Ceritasilat Novel Online

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 8

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 8


Bukankah itu orang yang paling ingin kutemui seminggu terakhir."
Mei, mengenakan gaun putih terbaik, melangkah masuk mengempit tas kecil.
Gerakan tanganku terhenti, meletakkan sendok garpu. Langsung berdiri.
"Kau kebelet juga" Bukannya tadi kuajak menemani saja kau tidak mau?" Andi menatapku setengah bingung, setengah sebal.
Aku tidak menjawab, tatapanku sempurna tertuju pada pintu masuk. Mengeluh tertahan, Mei, ternyata dia tidak sendirian. Mei datang bersama satpam super
galak rumahnya. Papa-nya selesai mengisi buku tamu, menyerahkan amplop merah angpao pada petugas meja, berjalan di belakang Mei.
*** Bagaimanalah urusan ini" Aku gregetan, gemas, menggenggam kertas kecil dari Mei yang sejak semalam kukantongi. Aku harus menemui Mei. Tapi mendekati Mei
yang bersama Papanya, itu mustahil, bukan percakapan yang akan kudapatkan, bahkan aku tidak punya ide bagaimana memulai menyapa Papa Mei. Aku gentar lebih
dulu. Melihat Mei dan Papanya, Sarah dan Mamanya bergegas mendekati, berseru menyapa, aku menelan ludah, menilik dari cara mereka berpelukan, jika bukan keluarga
dekat, maka mereka pastilah kerabat, teman, yang amat karib satu sama lain. Bicara sebentar, Mama Sarah memeluk Mei lagi, baru kemudian Sarah mengantar
Mei dan Papa-nya ke meja yang berisi separuh di pojok ruangan, sepanjang melintasi ruangan, mengawal Mei, Sarah terlihat bergurau riang, tertawa. Dadaku
berdetak lebih kencang, jarakku dengan Mei hanya belasan langkah, jika sekali saja Mei mengangkat kepalanya, menoleh ke kiri, maka dia akan melihatku yang
berdiri di tengah lautan tamu dan meja-meja. Tetapi Mei tidak menoleh, dia terus melangkah.
"Kau jadi ke toilet, tidak?" Andi menyikutku, dari tadi meringis menunggu.
"Eh, kau duluan." Aku menjawab sembarang.
"Bilang, dong. Aku sudah status awas sejak tadi." Andi bersungut-sungut segera pergi."
Mei dan Papanya sudah duduk di mejanya.
Aku menatap sekitar, berputar. Ruangan besar ini ramai oleh suara sendok, garpu, obrolan ringan, tawa riang, seruan hangat saling menyapa. Langit-langitnya
dipenuhi lampu kristal bercahaya terang."
Bagaimana aku bisa mendekati Mei" Aku memutuskan melangkah perlahan meninggalkan meja kami.
Bagaimana aku bisa bicara dengan Mei" Aku membenak, berpikir, terus melangkah mendekat, jarakku menyisakan tiga meja. Suara Papa Mei yang bicara dengan
teman satu mejanya terdengar, membuatku teringat intonasi kalimatnya padaku beberapa waktu lalu."
Aku mematung, menyeka leherku yang tiba-tiba berkeringat.
Lima belas menit berlalu, Andi sudah kembali duduk rapi, aku tetap berputar-putar saja di ruangan"sudah macam petugas mengantarkan makanan. Mendekati meja
Mei, sudah dekat, tinggal satu meja, langkahku terhenti, menghela nafas, kembali melingkar, menjauh. Berhenti sejenak, memperhatikan Mei yang sejak tadi
diam, tidak ikut pembicaraan di mejanya, takjim mengiris makanannya di atas piring. Demi menatap wajah sendu itu dari kejauhan, keberanianku muncul kembali,
melangkah mendekat, sudah dekat, tinggal satu meja, astaga, kenapa aku jadi peragu sekali" Apa susahnya menyapa Mei, peduli amat reaksi satpam super galaknya
nanti. Aku membujuk separuh hatiku. Sia-sia, aku gugup, kembali melingkar, menjauhi meja itu.
Setengah jam berlalu, tetap tidak ada kemajuan. Di depan ruangan besar hotel, pasangan pengantin sedang bernyanyi berdua. Dengan bahasa yang tidak kumengerti"tapi
cukuplah melihat mereka berdua untuk tahu itu lagu yang romantis.
Bagaimanalah ini" Aku mendongak, meremas kertas kecil di tanganku, menatap langit-langit ruangan. Setelah seminggu penasaran ingin bertemu, apakah malam
ini juga berakhir sia-sia, acara ini tidak akan menungguku menyelesaikan urusan, pasangan pengantin sudah bersiap melempar bunga, pesta pernikahan akan
segera berakhir. Aku mendesah resah, tidak bisakah aku diberikan sedikit pertolongan.
Ternyata seruan putus-asaku didengar.
Persis saat bunga dilempar oleh mempelai wanita ke kerumunan gadis-gadis di depan, seruan-seruan antusias, perhatian tumpah ke sana, Papa Mei tiba-tiba
berdiri. Aku menelan ludah, semakin gugup. Papa Mei melangkah ke arah pintu masuk, meninggalkan Mei. Nafasku sedikit tersengal, Papa Mei pergi ke toilet,
tidak salah lagi. Kesempatan itu datang, meski amat genting. Waktuku sempit, berapa lama sih orang ke toilet" Paling juga tiga-empat menit. Dengan situasi gugup, terlalu
lama mematut-matut pembicaraan, aku membutuhkan bantuan. Aku bergegas kembali ke mejaku.
"Pak Tua." Aku berbisik.
"Alangkah lamanya kau ke toilet, Borno. Sudah setengah jam" Dari tadi baru kembali sekarang?" Andi menatapku bingung.
Aku mengabaikan Andi, aku menarik tangan Pak Tua, menjauh dari meja. Bang Togar, Cik Tulani dan Koh Acung sibuk menonton prosesi melepas pengantin oleh
kedua orang tua, tidak memperhatikan. Andi juga ikut menatap ke depan. Aku harus bergegas, tanganku menunjuk-nunjuk, mulutku bicara cepat, patah-patah
menjelaskan pada Pak Tua.
"Pak Tua bisa menolongku, bukan" Menahan Papa Mei agar tidak segera kembali. Tidak usah lama-lama, sepuluh menit. Sudah lebih dari cukup."
Pak Tua yang (tentu saja) bingung kenapa dia ditarik dari meja, bingung dengan penjelasanku, bingung dengan permintaan tiba-tibaku, menatap lamat-lamat,
"Maksud kau, orang tua ini disuruh mengalihkan perhatian satpam galak itu, Borno?"
Aku mengangguk. "Buat apa" Bukankah malah bagus kalau kau bertemu dengan Papanya?"
"Ayolah, Pak Tua." Aku memohon.
Pak Tua mengusap rambut berubannya, "Sejak kalian bertemu tidak sengaja di rumahku beberapa minggu lalu, banyak sekali yang tidak kau ceritakan padaku
tentang gadis itu, Borno. Orang tua ini sudah tidak tahu lagi perkembangan hubungan kalian. Ada apa sebenarnya?"
Aku gemas, ini bukan waktunya bertanya, waktuku kian sempit.
"Baiklah, Nak." Pak Tua menatapku kasihan, "Kau butuh berapa lama" Sepuluh menit" Kuberikan kau setengah jam. Temui gadis berwajah sendu kau itu."
Aku hampir saja mencium tangan Pak Tua sebagai tanda terima-kasih, tapi itu bisa diurus nanti-nanti. Aku bergegas, segera melangkah menuju meja di pojokan
ruangan besar hotel. Di depan masih berlangsung prosesi melepas pengantin. Semua perhatian tertuju ke sana.
Aku semakin dekat. Jarakku tinggal satu meja, tanganku sudah terjulur, mulutku sudah siap menyapa.
"Abang Borno mau kemana?" Sarah lebih dulu memotongku, dia kebetulan melintas di dekatku, membawa beberapa kotak kado kecil.
Eh" Aku menyeka wajah, sedikit kaget.
Mei yang mendengar namaku disebut, menoleh.
Satu detik yang cepat. "Selamat malam, Mei." Aku memutuskan lebih dulu menyapa Mei.
"Kalian saling kenal, abang" Sie?" Sarah berseru riang, memotong, "Abang Borno mengenal Sie" Sie, kau mengenal abang Borno" Tadi abang memanggil apa" Mei"
Ohiya, itu nama kecil Sie. Aduh, ini sungguh kejutan yang menyenangkan. Kau kenal abang Borno di mana, Sie?"
Dan skenario yang kususun sejak seminggu terakhir berantakan. Lupakan kalimat pertama yang akan kukatakan, percakapan yang kurencanakan, pertanyaan yang
akan kusampaikan, kenapa, kenapa itu. Sarah mengambil alih semua pembicaraan.
Wajah Mei terlihat kaku, dia demi sopan-santun ikut berdiri, berkali-kali berusaha tersenyum, menanggapi betapa riangnya Sarah saat tahu kami sudah saling
mengenal. Aku tahu, melihat wajah Mei, dia juga tidak menyangka akan bertemu denganku di pesta pernikahan ini. Siapa pula yang akan menduga bertemu dengan
bujang gang sempit tepian Kapuas di semarak acara.
"Abang kenal Sie di sepit" Aduh, itu pasti menyenangkan." Sarah tergelak, memotong penjelasan patah-patah Mei, "Sayang, sepit itu tidak ada lagi. Padahal
saya pernah berencana meminjamnya, penasaran seberapa sulit mengemudikan sepit dibanding boat putihku."
"Eh, Mei, dia juga pernah belajar mengemudi sepit." Aku kehabisan ide menanggapi antusiasme Sarah, mencomot sembarang kalimat dari langit-langit ruangan.
"Oh ya" Kau sudah bisa mengemudikan sepit, Sie" Bukankah kau dulu yang paling takut belajar naik sepeda?" Sarah masih dengan menggendong beberapa kotak
kado menoleh pada Mei. Yang ditoleh hanya menggeleng, berusaha memasang senyum.
"Kami dulu kawan dekat, abang. Sejak SD malah, bertiga, masih ada Madammoiselle, kemana-kemana selalu bertiga. Tiga anak bermata sipit, berkulit putih,
nakal, main sepeda keliling kota Pontianak. Iseng membawa pergi boat Papa. Mencuri mangga di tepian sungai, dikejar penduduk satu gang. Itu masa-masa bandel.
Kau masih ingat, Sie" Sendal kanan kau tertinggal di bawah pohon mangga, menangis tidak berani pulang karena Mama kau pasti marah kalau sendal itu hilang.
Ingat" Madammoiselle akhirnya nekad kembali ke sana, menemui penduduk yang sedang marah." Sarah tanpa diminta menceritakan masa lalu, "Itu masa kecil yang
seru, abang. Hingga Sie tiba-tiba harus pergi ke Surabaya. Keluarga besarnya pindah ke sana saat usia kami tiga belas, kelas satu SMP." "
Waktu berhargaku musnah sia-sia. Sarah terus bercerita tentang masa kanak-kanak mereka dulu tanpa bisa dijeda. Aku hanya meremas gemas kertas kecil ditanganku.
Berkali-kali melirik Mei, memberikan kode betapa inginnya aku bertanya kenapa" Aku ingin mengajaknya bicara berdua. Mei lebih banyak menatap Sarah, mengabaikan
semua kode-ku. Pak Tua menunaikan janji. Papa Mei kembali persis setengah jam kemudian. Mempelai sudah diantar naik ke atas mobil pengantin, tamu satu persatu sudah pamit
meninggalkan ruangan. Mama Sarah mengantar beberapa kerabat dekat ke pintu ruangan besar hotel, bilang terima-kasih atas kunjungan dan ang pao"-nya, tertawa
bergurau." Aku mengusap dahi, waktuku benar-benar habis.
Dan Sarah akhirnya tersenyum, "Aduh, abang, Sie, saya hampir lupa harus meletakkan kotak kado ini di belakang ruangan. Kutinggalkan kalian berdua, ya.
Jangan kemana-mana, aku akan kembali."
Percuma. Persis Sarah pergi. Saat aku siap berdehem bertanya, Papa Mei telah kembali ke meja, melihat kami yang berdiri berhadap-hadapan.
"Tentu saja." Suara Papa Mei terdengar tajam seperti biasa, menatapku datar, sama sekali tidak nampak kaget melihatku, "Tentu saja kau diundang dalam pesta
ini, Borno." Aku menelan ludah, "Selamat malam, Oom."
Papa Mei sama sekali tidak merasa perlu menjawab salamku, dia menoleh pada Mei, "Kita pulang, Mei. Di luar mendung tebal, sebelum terlanjur hujan.?"
Aku hendak mengangkat tanganku, menahan.
Mei mengangguk, meraih tas kecilnya.
"Mei pulang, abang." Suaranya antara terdengar dan tidak.
Aku entah harus bilang apa" Aku masih berkutat membujuk hatiku agar menahan Mei.
Sejenak, punggung Mei dan Papanya hilang dibalik tamu lain yang bergegas pulang. Gerimis mulai turun membasahi jalanan.
Aku mematung. Hanya seperti itu, Borno" Setelah seminggu tanpa penjelasan" Separuh hatiku mengeluh dalam. Tidak, kau tidak sepengecut itu, Borno! Peduli
amat dengan perasaan tidak suka Papa Mei, kau berhak untuk bertanya pada Mei dengan cara yang baik, berhak mendapatkan penjelasan. Separuh hatiku melawan.
Ayolah, apa susahnya bertanya, sebelum Mei pergi meninggalkan lobi hotel. Sebelum kesepatan itu hilang, dan boleh jadi esok-lusa tidak ada lagi kesempatan
itu. Maka, akhirnya, setelah susah-payah, aku berhasil mengumpulkan seluruh tekad, berlari menerobos undangan.
Menyenggol sana-sini, mendorong sedikit, terantuk, terus bergegas.
Mobil hitam metalik itu sudah merapat di lobi bersama mobil-mobil lain."
"Tunggu. Tunggu sebentar, Mei." Aku berseru.
Seruan yang tidak hanya membuat langkah Mei dan Papanya terhenti, tapi semua undangan yang berdiri di lobi menoleh padaku."
Pintu mobil sudah terbuka, Mei sudah bersiap masuk.
"Kenapa?" Aku bertanya dengan seluruh pengharapan. Harapan atas sebuah penjelasan.
Gadis itu menggigit bibir, menatapku lamat-lamat."
Hujan menderas, membuat basah halaman parkir hotel. Kota kami dibasuh hujan untuk kesekian kali.
"Kenapa, Mei?" Aku melangkah mendekat, jarakku tinggal tiga langkah, membuka genggaman tangan, menunjukkan kertas kecil yang diberikannya kemarin malam.
Lobi hotel menyisakan suara hujan.
Gadis itu menggeleng, dia perlahan masuk ke dalam mobil.
Papa Mei menatapku datar, sebelum ikut masuk.
Mobil hitam metalik menderum halus meninggalkan lobi hotel.
Menyisakanku yang ditonton banyak orang.
*** Catatan: ini episode paling panjang dalam sejarah Borno, jangan dibaca saat kalian menunaikan amanah. Ini juga (sepertinya) termasuk episode yang mengharukan,
jangan dibaca saat kalian sedang berada di tempat umum, apalagi nonton bola, bisa malu ketahuan nangis :)
"Terus terang, orang tua ini lebih suka Borno seorang pengemudi sepit, dibanding Borno seorang pemilik bengkel. Kau dulu lebih sering menjengukku dibanding
sekarang, Borno. Bertanya kabar, ngobrol santai, menemani orang tua ini, atau setidaknya bertemu di dermaga kayu, antrian nomor 13." Pak Tua tertawa, menerima
juluran kantong plastik dariku, "Ayo masuk, Andi. Jangan berdiri bengong di anak tangga. Sudah lama sekali aku tidak mendapatkan kehormatan macam ini,
dikunjungi oleh kalian berdua. Hampir empat bulan, bahkan" Sejak bengkel itu buka" Kupikir kalian sudah lupa rumah orang tua ini."
Andi nyengir, ikut melangkah masuk."
Kunjunganku kali ini memang spesial"terlepas dari empat bulan tidak. Aku sengaja menyempatkan diri, sepulang dari bengkel, dan Andi menawarkan diri ikut.
"Bagaimana bengkel kalian?" Pak Tua menjulurkan piring-piring. Kami makan malam bersama di ruang tengah, dengan bingkai jendela berpemandangan sungai Kapuas
di malam hari. "Lancar, Pak." Aku menjawab pendek.
Pak Tua menuangkan gulai kepala ikan yang kami beli dari rumah makan padang, "Sejauh ini, mobil paling seru yang pernah masuk bengkel kalian apa?""
Andi dengan cepat menyebutkan merk mobil Eropa varian dan keluaran tahun terbaru"mobil itu ada masalah kecil dengan sistem presneling otomatisnya.
"Kalau hanya itu, tidak seru, Andi. Biasa saja. Kalau ukurannya mobil mahal, mewah, semua bengkel besar di Pontianak pasti pernah menerima mobil yang lebih
bagus dari itu. Maksudku mobil klasik, yang jarang ditemukan di jalanan kota." Pak Tua nyengir.
Andi ikut nyengir, mencentong nasi dari bakul. Kalau itu belum pernah."
Dua perahu kayu besar melintas di bingkai jendela. Perahu sembako, lampu terang di tiangnya memperlihatkan geladak yang penuh dengan tumpukan karung dan
kardus." Kami asyik menghabiskan makanan dengan bercakap-cakap ringan."
Ringan pindah dari satu topik ke topik lainnya.
"Aku selalu kagum dengan orang Padang dan warung makannya." Pak Tua mengambil topik baru, "Bayangkan, bahkan waktu aku jalan-jalan ke negeri China, Arab,
bahkan hingga Amerika sana, selalu menemukan warung makan Padang. Bukan main."
"Pak Tua pernah ke Amerika?" Andi tertarik.
"Kau menghinaku, anak muda. Orang tua ini bukan pembual, dan jelas-jelas lebih jauh perjalanannya dibanding kau yang melintasi perbatasan Entikong saja
sudah ketahuan petugas imigrasi memakai paspor bapak kau. Diusir pulang. Deportasi masih membanggakan, ini diusir.?"
Aku tertawa, Andi tersenyum masam. Kalimat Pak Tua membuatku teringat kejadian SMA itu, rasa-rasanya baru kemarin kami berdua nekad hendak ke Kuching,
Malaysia. "Begitulah, semua orang bersemangat, Borno. Tahun ini kabarnya ada hadiah khusus dari walikota untuk pemenang lomba sepit 17-an. Rutenya pun lebih jauh,
bolak-balik hingga jembatan Kapuas II. Kau mau ikut, Borno?" Pak Tua bertanya, kami sudah membahas topik lain, meninggalkan Amerika.
"Aku tidak punya sepit, Pak Tua." Aku menyeka peluh di dahi dengan tangan kiri. Menghabiskan gulai kepala ikan ini membuatku berpeluh.
"Kau mau ikut, tidak?" Pak Tua bertanya lagi.
"Sebenarnya aku masih penasaran Pak Tua, tahun lalu aku hanya finish urutan empat." Lomba sepit tahun lalu itu memang menyebalkan.
"Kau mau ikut, tidak?"
"Aku sebal sekali melihat gaya Bang Togar mengolok-olok, memperlihatkan pialanya, kalau saja dia tidak curang, sengaja membuat ombak dari sepitnya untuk
menghalangiku, aku bisa menyalipnya, bukan sebaliknya malah disalip dua sepit lain." Aku mengacungkan tangan yang belepotan nasi.
"Orang jaman sekarang terkadang memang rumit sekali." Pak Tua menghela nafas.
"Rumit?" Aku tidak mengerti, apa hubungannya dengan Bang Togar" Pak Tua hendak lompat ke topik lain" Membahas kata rumit"
"Iya, rumit. Aku tanya dia tiga kali, mau ikut tidak, bukannya menjawab "iya" atau "tidak", dia malah sibuk menjelaskan, padahal siapa pula yang hendak
mendengarkan penjelasannya. Nah, untuk keempat kalinya aku bertanya, kau mau ikut, tidak?"
Kali ini Andi yang tertawa"mentertawakanku.
"Iya, Pak Tua." Aku tersenyum masam pada Andi.
"Nah, aku pinjamkan sepitku. Selesai masalah kau, bukan." Pak Tua nyengir, "Apalagi dengan pengetahuan mesin kau, bisalah motor tempel perahu tuaku kau
sulap jadi lebih bertenaga. Togar itu sebenarnya curang, dia sudah memodifikasi motor tempelnya."
"Modifikasi?" Aku tertarik, pantas saja dia berkali-kali jawara, "Dia memodifikasinya dengan siapa, Pak Tua?"
Pak Tua menggeleng, "Aku kurang paham. Katanya dia pernah melepas mesinnya, lantas dibawa ke Surabaya. Ngomong-ngomong soal Surabaya, bapak kau masih di
sana, Andi?" "Sudah pulang, Pak." Andi mengangguk.
Pembicaraan dengan cepat meninggalkan Pontianak, pindah ke Surabaya.
"Selesai urusan sewa menyewa peralatan bengkel itu?"
"Beres, Pak. Kami akhirnya membeli kredit, tidak menyewa."
Pak Tua mengangguk, iku senang mendengar kabar baik.
Dan hanya soal waktu, pembicaraan menyentuh ke topik penting itu."
"Bagaimana kabar Mei, Borno?" Pak Tua membasuh tangannya di baskom, gulai kepala ikan bagiannya tandas, menyisakan tulang.
Aku terdiam, mengangkat kepala.
"Sudah lewat seminggu sejak pesta pernikahan itu, bukan" Kau tidak pernah cerita padaku kenapa kau menyuruh orang tua ini menahan satpam galak itu di ruangan
toilet hotel" Susah payah aku menahannya, tak sepotong penjelasan datang dari kau."
Aku masih terdiam, perlahan ikut mencuci tangan di baskom satunya.
"Dia bertengkar dengan gadis sendu menawan itu, Pak Tua." Andi yang menjawab, cengengesan, memeras potongan jeruk nipis ke baskom cuci tangan terakhir.
"Bertengkar?" Dahi Pak Tua terlipat.
"Bukan bertengkar, sebenarnya." Aku menjawab sebelum Andi menjawab sembarangan lagi."
Baiklah, sebenarnya tujuanku menyambangi Pak Tua juga karena ingin meminta pendapatnya. Untuk bisa memberi pendapat, Pak Tua berhak tahu kejadian-kejadian
yang tidak diketahuinya beberapa minggu terakhir.
Lima belas menit aku bercerita tanpa dipotong"ada dua kali Andi hendak jahil menyela, tapi tatapan bijak Pak Tua membuat mulut Andi kembali tertutup. Aku
menceritakan Mei yang datang malam-malam, memintaku berhenti menemuinya. Mei yang susah sekali kutemui, mendatangi rumahnya, mendatangi sekolahnya. Bahkan
seminggu terakhir, sejak pertemuan di pesta pernikahan, aku sudah dua kali ke rumah Mei, sia-sia, Bibi bilang Mei sudah tidurlah, istirahatlah, tidak mau
diganggu. Dua kali aku ke komplek sekolahnya, Ibu kepsek menatap prihatin, bilang agar aku bersabar. Aku bilang pada Pak Tua kalau aku mulai sebal dengan
kemajuan hubungan kami. Apa susahnya Mei menemuiku, menjelaskan kenapa. Tega sekali dia hanya memberiku secarik kertas. Apa susanya dia mengirimkan surat
panjang penjelasan. Pak Tua diam, membiarkan aku menumpahkan seluruh perasaan jengkel.
Lima belas menit yang panjang. Ceritaku selesai.
Dua perahu kayu berukuran besar melintas lagi di bingkai jendela, beriringan dengan kecepatan paling 2 knot, lampu sorotnya terang menyinari permukaan
sungai Kapuas. Suara mesinnya terdengar berderum, mengalahkan suara air yang muncrat oleh propelernya.
Pak Tua menghela nafas. "Sebenarnya, kalau orang tua ini boleh tahu" Dan kalau kau bersedia menjawabnya, menurut kau, menurut kau sendiri, sudah seberapa jauh hubungan kalian?"
"Seberapa jauh?" Aku menatap Pak Tua.
"Iya, apakah kau sudah pernah bilang padanya kalau kau suka" Apakah dia sudah mengangguk juga bilang suka" Atau menolak?" Pak Tua tersenyum arif.
Aku menelan ludah, menggeleng. Itu sama sekali belum terjadi.
"Sebenarnya sudah jauh, Pak," Andi nyeletuk, suaranya terdengar sebal, "Gadis sendu itu sudah tiga kali membawakan Borno makan siang di bengkel. Tiga-tiganya
sama sekali tidak membawakan bagian untukku. Mereka makan berdua, terlalu, membuatku manyun menonton."
Pak Tua tertawa. Aku kembali tersenyum masam.
Angin malam melintasi bingkai jendela, terasa dingin.
"Menurut kau, Borno, apakah gadis itu suka pada kau?"
Aku terdiam. "Entahlah, Pak Tua."
Pak Tua menghela nafas lagi.
"Menurut kau, Borno, lantas apakah gadis itu tahu kalau kau suka padanya?"
Aku terdiam, menggeleng, "Entahlah, Pak Tua."
"Astaga. Jawaban seperti apa itu?" Andi kembali rese nyeletuk, "Tentu saja suka, Pak Tua. Sebodoh-bodohnya perempuan, kalau sampai mau diajak plesir berdua
berkeliling kota Pontianak, makan berdua melintasi sungai, disoraki satu dermaga, dia pasti tahu kalau yang mengajaknya suka padanya, dan jelas dia juga
suka diajak jalan-jalan berdua, suka pada yang mengajaknya. Semua perhatiannya, semua percakapan. Apalagi yang diperlukan sebagai bukti?"
Aku melotot pada Andi, menyuruhnya tutup mulut.
Pak Tua tertawa sebentar, segera berhenti saat melihat wajah kusutku.
Langit-langit ruangan dengan bohlam pijar 20 watt lengang sejenak.
Pak Tua menatapku lembut, "Apakah kau sungguh menyukai gadis itu, Borno?"
Aku menatap balik Pak Tua, hendak menjawab lantang.
"Tidak usah dijawab di depan orang tua ini, Borno." Pak Tua menggeleng, tersenyum, "Tidak usah. Sejatinya, rasa suka tidak perlu dikatakan, diumbar, ditulis
dalam surat, apalagi kau pamer-pamerkan, yang bisa dibaca atau dilihat orang banyak. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar,
jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk mensugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu."
Aku kembali diam. Pak Tua tersenyum, "Kau datang kemari pastilah hendak bertanya kenapa gadis itu tiba-tiba meminta kau berhenti menemuinya, bukan" Kenapa dua minggu terakhir
dia menolak bertemu dengan kau" Selalu menghindar. Membuat jarak, mendirikan tembok tebal di antara kalian setelah semua kemajuan hubungan yang menyenangkan.?"
Aku mengangguk. Pak Tua mengangkat bahunya, "Sayangnya, orang tua ini tidak tahu jawabannya, Borno. Hanya Mei yang tahu. Kita hanya bisa berasumsi dengan semua pertanda,
tapi asumsi tentang perasaan, sama dengan menebak besok sepitku akan ramai penumpang atau sebaliknya sepi. Serba tidak pasti, berasumsi dengan perasaan,
itu berarti sama saja membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan. Yang orang tua ini tahu,
dan itu bisa dipastikan, bahkan hingga sekarang, kau tidak tahu persis apakah gadis itu suka dengan kau atau tidak, bukan?"
Aku kembali menunduk. Ruangan kembali lengang. "Setelah begitu banyak cerita indah tentang perasaan, kisah cinta yang berakhir bahagia, si Fulan dan Fulani, amoy Singkawang Sie Sie, maukah kau sekarang
mendengar sebuah cerita tentang perasaan yang berakhir menyedihkan, Borno?" Pak Tua memecah senyap, menatapku datar.
"Aku juga mau, Pak Tua. Bukan cuma Borno." Andi protes, berseru ketus.
Pak Tua tertawa, "Maaf, Kawan," Pak Tua menepuk pelan dahinya, "Orang tua ini lupa kau ternyata juga berada di ruangan ini". Nah, maukah kalian berdua
mendengar sebuah cerita menyedihkan tentang perasaan, Andi, Borno?"
Aku dan Andi mengangguk. *** Enam puluh tahun silam, tahun 1950, kota Pontianak hanyalah kampung luas."
Rumah panggung dari kayu trembesi bergerombol memenuhi tepian Kapuas, kehidupan berpusat pada sungai. Pasar, sekolah, tempat ibadah, tempat pertemuan,
semua berkumpul di tepian Kapuas. Belum ada bangunan tinggi sarang burung walet, rumah permanen dari beton, gedung-gedung gagah, apalagi menara BTS dan
tiang besi lainnya. Mobil dan kendaraan bermotor hampir tidak ada, hanya dimiliki adipati, pemangku pemerintahan sementara"karena Indonesia baru saja merdeka;
atau dimiliki saudagar China, atau bekas pejabat militer dan kerajaan Belanda yang masih tersisa"yang memutuskan tidak kembali ke Eropa sana. Sejauh mata
memandang, kota hanya dipenuhi atap rumah dari sirap, tanpa cat, tanpa jendela kaca apalagi teralis besi. Pontianak ibarat perkampungan luas yang memanjang
mengikuti alur sungai. Tidak lebih, tidak kurang.
Jaman itu, perahu kayu menjadi sarana transportasi massal. Kecil, sedang, besar, memenuhi sungai, hilir-mudik, menyeberang kesana-kemari. Membawa penumpang,
mengangkut barang, menjadi kebutuhan hidup, dan sebagainya. Jaman itu, kebanyakan perahu kayu menggunakan tenaga manusia, kekuatan tangan mendayung. Hanya
hitungan jari yang menggunakan tenaga uap, itu hanya kapal-kapal besar milik saudagar. Jangan tanya jembatan Kapuas, siapa pula di jaman itu yang sudah
terbayang membangun jembatan sepanjang ratusan meter membelah sungai. Kehidupan benar-benar berpusat di sungai, dalam artian sebenarnya.
Enam puluh tahun lalu, sepelemparan batu dari Istana Kadariah yang bangunannya masih berdiri megah hingga sekarang, di sebuah lahan luas dengan pagar mengelilingi,
tinggallah sebuah keluarga besar. Tuan dan Nyonya pemilik rumah itu terbilang masih kerabat adipati, saudagar kaya-raya, ditambah pula hubungan baik dengan
bekas pejabat militer Belanda. Keluarga mereka amat dikenal sepanjang tepian Kapuas. Rumah keluarga itu tinggi, panjang, dan besar. Ada lebih dari cukup


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar untuk menampung sembilan anak dari keluarga itu. Tidak terhitung tujuh pembantu yang bekerja di rumah, mengurus taman, mengurus hewan peliharaan,
hingga mencuci mobil Tuan yang dikapalkan khusus dari Amsterdam.
Boleh dibilang, keluarga itu bahagia. Tuan rumah baik hatinya, disukai tetangga, dihormati kolega, disegani rekan bahkan pesaing bisnis. Tuan rumah tidak
keberatan babu-nya tinggal bersama mereka, termasuk membawa keluarga, anak mereka masing-masing, menganggapnya sebagai anggota keluarga. Sudah menjadi
tradisi, setiap malam, pukul tujuh, seluruh anggota keluarga makan malam bersama di meja panjang dengan belasan kursi. Bisa kalian bayangkan betapa ramainya
makan malam itu, sembilan anak Tuan dan Nyonya, enam anak pembantu, termasuk ikut serta pegawai rumah lainnya.
Adalah Andi, kita sebut saja demikian namanya, untuk memudahkan cerita, putra bungsu dari sembilan bersaudara. Anaknya tampan, pintar, dan selalu dibanggakan
orang-tuanya dalam setiap acara jamuan. Andi putra tersayang, Andi yang paling sering disebut namanya, Andi, dan Andi.
Saat usia Andi delapan tahun, karena kesibukan terus bertambah, Nyonya memutuskan menerima pembantu baru, pasangan suami-istri. Suaminya bekerja mengurus
kebun dan hewan peliharaan, istrinya juru masak di rumah. Pasangan suami-istri ini membawa anak perempuan, berusia enam tahun, sebut saja namanya Rinai.
Mereka diijinkan menghuni paviliun kecil di belakang bangunan utama, berbagi dengan pembantu lain. Rinai adalah gadis kecil hitam, ingusan, keriting rambutnya,
tidak terurus, sedikit lamban dan pendiam. Dengan semua kekuragannya, bisa dibilang tidak ada anak-anak di keluarga besar itu yang mau berteman dengan
Rinai, bahkan di hari pertama dia tiba.
Saat makan malam pertamanya, bangku di sebelah Rinai kosong. Tidak ada anak yang mau duduk dekatnya. Ragu-ragu, menatap aneh, menjaga jarak, ekspresi seperti
itulah yang keluar dari anak-anak di keluarga besar itu.
"Andi, kau bisa duduk di sebelah anggota baru keluarga kita, sayang." Nyonya lembut menyuruh putra bungsunya. Dan Andi, yang sejatinya anak baik, mengangguk.
Pindah dari sebelah Ibunya, berjalan ke seberang meja panjang, duduk menemani Rinai.
Makan malam dimulai. Sungguh tidak ada yang tahu kalau malam itu menjadi muasal semua kejadian menyedihkan sepuluh tahun kemudian.
Empat anak Tuan dan Nyonya (lima lainnya sudah cukup besar, jadi melanjutkan sekolah di Jawa), ditambah tujuh anak pembantu yang sepantaran, sekolah di
tempat yang sama. Mereka pergi bersama, pulang bersama. Rutinitas yang sedikit berubah sejak kedatangan Rinai. Hanya Andi yang mau menemani Rinai, menunggunya
selesai berpakaian, selesai sarapan. Hanya Andi yang mau belajar bersama, bermain dan kegiatan kanak-kanak lainnya. Di mana ada Andi, disitu Rinai selalu
ikut, kemana saja Andi pergi, Rinai selalu mengekor, ngintil, apalah istilahnya. Mencolok sekali melihat mereka berdua, Andi yang tampan, berkulit putih
cerah, pintar, sedangkan di dekatnya Rinai yang jelek, hitam, keriting, dan ingusan.
Situasi ini dengan segera menjadi olok-olok di rumah, di sekolah, di mana-mana. "Andi suka Rinai yang jelek!", "Andi pacaran dengan Rinai yang hitam, keriting!"
Semua gatal untuk ikut berkomentar, menambah-nambahi lantas tertawa memegang perut. Kalian tidak pernah membayangkan, olok-olok masa kanak-kanak terkadang
amat membekas, seperti parut luka yang tidak pernah hilang. Dan itu bukan di kulit, melainkan parut luka di hati.
Kabar baiknya, hingga Andi berusia dua belas, Rinai delapan, empat tahun sudah mereka tinggal bersama, ejekan itu tidak berpengaruh banyak. Andi tetap
bersedia duduk di sebelah Rinai saat makan malam, Andi tetap bersedia menemani Rinai belajar dan bermain, bahkan Andi tetap bersedia membela Rinai dari
ejekan, gangguan teman-teman sekolahnya."
Kabar buruknya, Andi dan Rinai tumbuh besar. Usia lima belas, saat Andi melanjutkan sekolah SMA, masalah itu berubah jadi serius. Teman baru, tempat baru,
sekolah baru, wawasan baru, dan jangan lupakan, Andi tetap remaja tanggung yang dalam proses pendewasaan, olok-olok "Andi pacar Rinai yang jelek," mulai
masuk ke dalam hati. Rinai tentu saja tidak ingusan lagi, tapi penampilan dia sama dengan tujuh tahun lalu, amat berbeda dibanding remaja usia lima belasan.
Mulailah Andi perlahan-lahan menjaga jarak dengan Rinai. Dia mulai keberatan diikuti kemana-mana, dia menolak bermain bersama, dia bahkan berteriak mengusir
Rinai yang berusaha ikut bergabung dengan teman-teman barunya.
"Kau tidak duduk di dekat Rinai, sayang?" Nyonya tersenyum, bertanya. Itu makan malam di usia ke tujuh belas.
Muka Andi merah padam. "Bukankah kau selama ini teman dekat Rinai?" Nyonya membujuk.
Andi melemparkan sendok-garpu, meninggalkan meja panjang dengan seringai marah. Membuat Tuan berdiri hendak menyuruhnya duduk kembali, Nyonya lebih dulu
berbisik, menahan, "Andi masih remaja. Lama-lama dia akan mengerti kalau itu hanya olok-olok temannya, lama-lama juga hilang dengan sendirinya."
Rinai menunduk, mengunyah makanannya tanpa suara"dia selalu diam.
Tetapi olok-olok itu tidak kunjung berhenti, dan ada situasi baru yang membuat Andi semakin kesal. Umur delapan belas, ada gadis yang cantik, pintar, menarik
hati Andi di sekolah. Cocok benar dengan Andi yang tampan dan juga pintar. Itu sebenarnya cinta monyet, tapi berubah serius, karena setiap kali Andi malu-malu
menyapa gadis itu, teman-temannya selalu jahil menggangu dengan berseru tentang Rinai yang jelek mau dikemanakan, Kawan" Dan gadis cantik itu, teganya
juga menolak cinta monyet Andi dengan santai bilang, "Aku tidak mau bersaing dengan pacar lama kau yang hitam dan keriting itu." Menunjuk Rinai yang memaksakan
ikut serta dalam acara berhuluan Kapuas itu.
Usia Andi delapan belas, olok-olok itu berubah menjadi kebencian pada Rinai. Anak babu yang selalu mengikuti kemana dia pergi, selalu duduk dekat-dekat,
selalu berdiri di belakangnya, selalu ngintil"tidak peduli meski sudah dia usir, diteriaki, tetap saja ikut. Hilang sudah Andi yang selama ini baik hati,
menghargai orang lain meski amat berbeda dengannya. Dia benci Rinai yang selama ini menyukainya, benci Rinai yang selama ini berharap jadi pacarnya. Tidak
bisakah Rinai tahu diri" Tidak bisakah Rinai berhenti mengganggunya.
Hari saat Andi menyampaikan perasaannya pada gadis cantik itu adalah hari ketika keluarga besar mereka tamasya ke hulu Kapuas, mengunjungi rumah peristirahatan
di kebun kopi luas milik keluarga. Mereka naik perahu kayu besar dengan tenaga mesin uap. Tuan dan Nyonya membiarkan anak-anaknya mengajak teman. Andi
sudah sengaja benar mengajak gadis cantik itu. Sudah menyiapkan skenario untuk bilang perasaan di atas perahu yang melaju membelah Kapuas. Ah, remaja usia
delapan belas, setahun lagi akan melanjutkan kuliah di pulau Jawa, hatinya berbinar-binar oleh cinta. Sayangnya, cinta itu ditolak mentah-mentah, gadis
cantik yang disukai Andi menolak sambil menunjuk penyakit yang selama ini menempel padanya, Rinai. Maka Andi berpikiran pendek, dia merasa Rinai telah
menjadi parasit cinta dan hidupnya. Saat kapal besar itu merapat di dermaga dekat kebun kopi, ketika belasan penumpangnya turun, ramai berlarian menuju
rumah peristirahatan, saat tahu Rinai pergi ke kamar mandi kapal, Andi tega menggembok pintu kamar mandi itu dari luar. Mendengus, berpikir dengan demikian,
setidaknya sepanjang hari menghabiskan waktu di kebun kopi luas, parasitnya tidak akan mengikutinya kemana-mana lagi. Rinai yang jelek tidak akan menganggunya.
Boleh jadi dia bisa mengutarakan cintanya lagi pada gadis cantik itu, dan kali itu akan diterima.
Kalian tahu, gadis hitam, keriting dan jelek itu terkunci di kamar mandi hingga malam hari. Andi lupa membuka gembok itu." Jangan bayangkan gadis bertubuh
kecil itu menangis ketakutan karena terkurung dalam kamar mandi perahu, itu belum mengerikan. Yang mengerikan adalah, jaman itu, masih ada perampok sungai
yang suka menjarah harta saudagar. Mereka berperahu kecil, menyerbu rumah, kapal besar. Saat Andi dan keluarga besarnya asyik menghabiskan waktu di rumah
peristirahatan, bersiap membakar jagung, rombongan perampok diam-diam menjarah seluruh isi kapal, mengikat awaknya, melemparkannya ke dermaga kayu, dan
setelah puas mengambil harta, mereka membakar perahu itu.
Tidak ada yang tahu kalau Rinai terkunci di dalam kamar mandi.
Api membumbung tinggi, membuat menyala malam gelap, terlihat jelas dari halaman rumah peristirahatan."
Semua panik, berlarian ke arah dermaga. Tuan dan Nyonya berseru-seru, menyuruh pekerja kebun kopi memadamkan api. Terlambat, kapal besar itu habis terbakar
dalam hitungan menit, menyisakan puing yang segera tenggelam ke dalam sungai Kapuas. Asap hitam mengepul tinggi.
Andi jatuh terduduk di dermaga, dia menangis, baru menyadari kesalahan fatal yang telah dia lakukan. Berteriak macam orang gila, bilang kalau Rinai terkunci
di kamar mandi. Bayangkanlah, ketika gadis itu tidak berdaya, tidak bisa kemana-mana, saat api mulai membakar tubuhnya. Itu mengerikan" Menyesakkan" Tidak,
itu belum puncak bagian yang menyesakkan.
Orang-tua Rinai, saat tahu kematian anaknya, mendengar penjelasan, hanya bisa menangis. Mereka memutuskan berhenti bekerja dari keluarga besar itu. Mereka
tidak akan menuntut Tuan dan Nyonya yang selama ini sudah berbaik hati padanya, tidak akan meminta ganti rugi atas nyawa anaknya. Mereka hanya meminta
Andi sekali saja mau menjenguk kamar Rinai selama ini.
Lihatlah, di kamar itu, di dinding-dindingnya, di plafon, di dipan, di buku tulis, Rinai menulis besar-besar kalimat, "Andi adalah Kakak kandungku.", "Andi
& Rinai. Saudara sejati.", "Rinai sayang Andi, kakakku.", "Andi adalah kakakku, meski semua orang mentertawakan.", "Rinai tahu, Andi tidak sungguh-sungguh
hendak mengusirku tadi. Andi selalu sayang adiknya.?"
Itulah kebenarannya. Tidak sekalipun Rinai menyimpan perasaan sayang pada Andi kecuali menganggap Andi kakak kandungnya. Orang yang pertama kali bersedia
makan malam di sebelahnya, ketika anak-anak lain menolak. Orang yang selalu membelanya, menemaninya. Bagi Rinai, urusan itu lurus saja, Andi adalah kakaknya,
titik, tidak lebih tidak kurang. Ia tidak pernah menyimpan perasaan cinta, sayang, atau apapun yang selama ini disangkakan Andi padanya. Dan jelas, Rinai
bukan parasit, dia hanya terlalu menghargai Andi, kekurangan yang dia miliki membuatnya tergantung pada Andi selama ini.
Kenyataan yang menyesakkan. Andi tergugu menatap seluruh isi kamar.
Nyonya menangis, memeluk kaki, memohon berjuta maaf, meminta agar orang tua Rinai tetap tinggal. Permohonan yang sia-sia. Tuan hendak menukar kepergian
Rinai dengan harta benda, kebun, apa saja yang mereka minta. Tawaran yang percuma. Segenap kesedihan itu telah membuat orang-tua Rinai bersikukuh memutuskan
pergi, membawa seluruh kepedihan. Melupakan kenangan atas jasad Rinai yang habis terbakar dalam kejadian itu, abunya dibawah aliran sungai Kapuas hingga
lautan. *** Ruang tengah rumah Pak Tua lengang."
Aku menelan ludah. Andi mematung. Astaga, alangkah sedihnya kisah ini."
Pak Tua menghela nafas panjang, "Tentu saja cerita tadi tidak ada konteks secara langsung dengan permasalahan kau, Borno. Tidak sama sekali, malah. Hanya
saja, itu baik kau dengarkan agar kau tahu, terkadang, sebuah kisah perasaan bisa berakhir menyakitkan, tidak selalu seperti Sie Sie atau Fulan dan Fulani.
Itu baik kau dengarkan, agar kau mengerti, kita tidak pernah bisa berasumsi dengan perasaan. Keliru, keliru sekali kalau kita melakukannya. Satu-satunya
cara terbaik menyikapi perasaan adalah dengan memastikannya."
"Dalam urusan kau dengan Mei, tentu saja naif untuk bilang kalau Mei tidak tahu kau suka padanya. Dia tahu persis kau suka, amat tahu malah, aku berani
bertaruh. Kalian jelas-jelas bukan anak bodoh dalam ceritaku tadi, Mei sudah jauh lebih dewasa, berpendidikan, dan guru. Tapi kenapa dia tiba-tiba membuat
jarak, membangun tembok, meminta kau berhenti menemuinya, orang-tua ini tidak tahu. Apakah Mei menyukai kau selama ini" Orang tua ini juga tidak tahu.
Hanya Mei yang tahu."
Ruang tengah rumah papan kembali lengang saat Pak Tua menghela nafas panjang, menatap kosong ke arah bingkai jendela, menatap sungai Kapuas yang gelap.
"Apa yang harus kulakukan, Pak Tua?" Aku akhirnya memecah senyap.
"Kau bertanya langsung pada Mei."
"Tetapi dia terus menolak bertemu denganku." Aku berseru gemas.
"Maka kau jangan berputus-asa. Terus berusaha." Pak Tua menjawab perlahan.
"Aku sudah berkali-kali berusaha. Sampai kapan?"
"Sampai dia bersedia menjelaskannya."
"Kalau dia tidak pernah mau menjelaskannya?"
Pak Tua tersenyum, "Maka itu berarti saatnya kau mundur teratur, Borno. Terkadang, cinta tidak pernah bisa dipaksakan. Meski Sie Sie pernah berhasil memaksanya
tumbuh." Aku mengeluh tertahan, saran Pak Tua menyakitkan (bahkan baru mendengarnya saja).
Pak Tua menatap wajah kusutku, "Borno, usiaku sekarang tiga perempat abad, aku belajar banyak tentang cinta. Kau tahu, cinta hanyalah segumpal perasaan
dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka dengan mesin, suka berkunjung
ke rumahku. Hanya itu."
"Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. itu Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal
membesar. Coba saja kau cueki, kau lupakan, kau usir, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan karena kekenyangan."
"Mei terus menolak menjelaskan. Kau sudah berusaha. Dia terus menolak, bahkan aku cemas, dia malah memutuskan pergi dari sini, maka itu berarti sudah saatnya
kau memulai kesempatan baru, cerita baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apapun alasan dia menolak bertemu, mau seberapa
sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Dan saat itu belum terjadi,
bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang."
Aku terdiam, "Pak Tua, tadi Pak Tua bilang Mei akan pergi?"
"Boleh jadi. Ketika dia tidak sanggup lagi menghindari kau, dia akan pergi, tapi itu hanya asumsiku, Borno. Jangan percaya asumsiku." Pak Tua melambaikan
tangan. Aku menelan ludah. Mei pergi" Itu kemungkinan yang buruk.
Ruang tengah rumah papan kembali lengang.
Pak Tua kembali lamat-lamat menatap bingkai jendela. Termenung."
"Boleh, boleh aku bertanya satu hal, Pak Tua?" Andi tiba-tiba bersuara. Kalimatnya bergetar.
Pak Tua tersenyum, menoleh, "Silahkan, Andi."
"Apakah, apakah anak kecil yang Pak Tua ceritakan tadi dekat sekali dengan kehidupan Pak Tua?" Andi susah-payah menyampaikan pertanyaan.
Pak Tua terdiam, menelan ludah, tidak langsung menjawab.
Situasi mendadak berubah jadi ganjil.
Pak Tua tiba-tiba tertawa getir," "Kenapa kau bertanya itu, Andi" Bukankah nama anak itu tadi kita sebut saja Andi" Beda kalau kita sebut saja Hidir.?"
Andi menunduk, tidak kuat bersitatap dengan mata Pak Tua yang tiba-tiba basah, "Aku hanya menebak, Pak Tua" Karena, karena sepanjang bercerita, Pak Tua
selalu menatap jendela. Maaf kalau telah menyinggung perasaan Pak Tua."
Ruangan semakin lengang. Pak Tua kembali tertawa getir, menggeleng, "Aku tidak tersinggung, Andi. Astaga, selama ini aku pikir kau cuma tukang celetuk, lamban berpikir dan banyak
bicara saja. Ternyata kau pintar sekali menebak."
Aku dan Andi terdiam. Apa maksudnya"
Pak Tua menatap kami bergantian, menyeka ujung matanya.
"Kalian dulu sering bertanya kenapa orang-tua ini terus hidup membujang, bukan" Itulah jawabannya. Anak itu sejatinya bernama Hidir. Anak itu, adalah orang
tua ini enam puluh tahun silam. Sejak kejadian mengerikan itu, semua keberuntungan keluarga besar kami raib begitu saja. Tercerai-berai. Kakak-kakakku
merantau, pindah ke kota lain, hilang kontak. Bapak dan Ibu-ku meninggal saat kerusuhan besar. Tidak tahan dengan ingatan atas seluruh kejadian, aku akhirnya
memutuskan pergi. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Bertemu dengan banyak orang, mengunjungi banyak tempat, mencoba membasuh dosa dengan perjalanan.
"Hingga akhirnya orang tua ini lelah, usiaku lima puluh saat kembali ke Pontianak, kota kita ini. Kalian bahkan belum lahir. Aku memutuskan membeli rumah
kecil ini, menjadi pengemudi sepit. Kenapa aku kembali" Dan hanya jadi pengemudi sepit" Karena" karena dengan demikian, aku bisa setiap hari menelusuri
sungai ini, di mana jasad Rinai pernah mengalir hingga lautan, di mana jasad Rinai terkubur di dasarnya". Dengan demikian, dengan demikian, aku bisa berdamai
mengenang seluruh kejadian itu, membasuh dosa besarku dengan air Kapuas, berusaha menebusnya dengan selalu berbuat baik, selalu berprasangka baik." Suara
Pak Tua serak, tubuh kurusnya tergugu.
"Inilah orang tua yang kalian kenal, Borno, Andi". Buruk. Buruk sekali masa lalunya. Seseorang yang telah membunuh gadis berusia enam belas, gadis yang
selalu menganggapnya kakak yang dibanggakan. Inilah orang tua yang selalu kalian minta pendapatnya, selalu kalian hormati. Buruk, buruk sekali masa lalunya"."
Pak Tua menunduk, susah payah menahan tangis. Tubuh kurus, tinggi, rambut beruban itu bergetar di bangkunya."
"Inilah orang tua yang kalian kenal, Nak."
Dan Andi reflek bangkit, dia mendekap bahu Pak Tua erat-erat. Ikut menangis.
Malam itu, aku belajar banyak dari cerita Pak Tua.
Bahwa cinta (tidak sekadar cinta lawan jenis yang kita pahami), tak selalu berakhir bahagia.
*** "Alangkah paginya kau berangkat, Borno?" Tetangga menyapa, menguap, masih sarungan di depan rumah papan yang nempel rapat satu sama lain, "Kau mau ke bengkel
atau jangan-jangan mau jadi komandan upacara bendera 17an di lapangan balaikota?"
Demi sopan santun, aku menggeleng, "Tidak dua-duanya, Pak. Aku mau ke dermaga ferry."
"Ada kerabat kau yang datang dari Surabaya pagi ini?"
"Eh, bukan, Pak. Menunggu barang." Aku jadinya terpaksa berhenti.
"Oo," Tetangga gang nampaknya akan mengakhiri pembicaraan dengan oo-panjangnya, aku hendak meneruskan langkah, telat, dia lebih dulu bertanya lagi, "Barang
apa, Borno?" Aku menyeringai. Beginilah kehidupan gang sempit kami, tetangga satu sama lain dekat, kadang saking dekatnya, ingin tahunya berlebihan.
"Barang bengkel, Pak. Saya harus bergegas, maaf." Aku mengangguk sesopan mungkin, dan sebelum tetangga itu membuka mulutnya, aku sudah wassalam melanjutkan
langkah." Gang masih sepi, masih remang, baru pukul lima, tiga puluh, ditambah lagi ini hari libur 17an, orang malas berpergian, tidur kesiangan, satu-dua lampu
di beranda masih menyala, asap mengepul dari belakang rumah papan, pastilah nyonya rumah sedang menyiapkan sarapan"aku sudah sarapan, Ibu tidak pernah
mengijinkanku pergi dari rumah tanpa sarapan, semakin pagi aku memulai aktivitas, maka semakin dinihari ibu sibuk di dapur. Aku menguap, menatap lengang,
yang ramai di sepanjang gang adalah umbul-umbul, bendera besar-kecil, dan hiasan perayaan lainnya. Di perempatan lampu merah dan dermaga malah terpasang
spanduk besar-besar. Hari ini, pukul dua siang nanti, ada acara besar dilangsungkan di dermaga kayu, lomba sepit seluruh kota Pontianak, konon katanya
akan dibuka oleh walikota, juga ditonton banyak turis bule.
Aku menguap, tiba di steher yang lebih banyak lagi umbul-umbulnya, ditambah tenda besar dengan barisan kursi telah tersusun rapi, serta podium."
"Pagi, Borno. Lama sekali tidak melihat kau kemari." Petugas timer menyapa riang melihatku, dia juga baru tiba, di tambatan antrian terlihat dua-tiga sepit
yang menunggu penumpang hendak menyeberang, hingga lomba nanti siang, aktivitas dermaga tetap normal."
"Pagi, Oom." Aku menguap lagi.
"Kudengar kau ikut lomba sepit siang ini?"
Aku mengangguk. "Sepit siapa yang kau pakai?""
"Pak Tua, Oom."
"Sepit Pak Tua" Kau tidak keliru, Borno" Mana ada kesempatan menang dengan perahu itu" Sepit itu sama uzurnya dengan pemiliknya. Nanti malah ngadat mesinnya
saat dipaksa ngebut." Petugas timer menepuk dahi, setengah tidak percaya.
"Daripada tidak ada perahu, Oom." Aku mengangkat bahu, nyengir, "Setidaknya aku ikut meramaikan, menang-kalah urusan belakangan."
"Mantap kali." Petugas timer bersepakat, tertawa, "Aku suka kalimat kau, Borno."
Sebenarnya aku bohong, lomba kali ini urusan menang-kalah jelas nomor satu, seminggu terakhir aku sengaja mem-permak mesin tempel sepit Pak Tua, setiap
kali ada waktu senggang di bengkel. Boleh saja tampilan luarnya uzur, mesin sepit Pak Tua sudah kinclong sekarang, kutambahkan mekanisme tenaga turbo malah.
"Pagi buta macam nih, kau mau kemana, Borno?"
"Aku mau menyeberang, Oom."
"Buru-buru?" Aku mengangguk. "Kalau begitu, susahlah urusan, penumpang masih sepi, kau macam tidak tahu saja, tidak mau jalan sepit kalau belum penuh." Petugas timer melongok ke tambatan
sepit, mencari mungkin ada pengemudi sepit yang terhitung kawan dekat, "Sebentar, aku carikan yang mau mengantar kau sukarela. Nah, itu ada Jauhari nongkrong."
Belum sempat petugas membuka mulut meneriaki Jauhari, melesat dengan kecepatan tinggi, menderum dengan suara kencang bertenaga, membuat kecipak air muncrat
tinggi, melaju sebuah sepit ke arah dermaga macam anak panah dilepaskan. Membuat orang yang berada di sekitaran steher tertoleh"siapa pula yang pagi-pagi
sudah mengemudi berandalan di sungai Kapuas.
Awalnya aku tidak mengenali sepit yang mendekat"nampaknya baru di cat ulang, dengan warna merah menyala. Apalagi pengemudinya bergaya mengenakan kaca-mata
hitam, tapi setelah sepit itu merapat halus ke bibir dermaga, aku baru tahu.
"Pagi, Borno." Bang Togar bergaya melepas kaca-mata, suara berat khasnya terdengar empuk.
Aku menelan ludah, sepagi ini bertemu Bang Togar, mood baikku bisa menguap.
"Bagaimana sepit abang kau ini, hah?" Bang Togar menepuk-nepuk dinding perahu kayunya, "Sudah ku dempul kelupas dan retak kecilnya, sudah kucat ulang warnanya
yang buram, sudah kembali seperti baru, ini kupermak khusus untuk lomba nanti siang. Coba kau masih ingusan belajar sepit dua tahun dulu, Borno, harusnya
kau yang kusuruh-suruh mengecat sepit kebanggaanku ini. Bukannya sekarang, malah menantangku. Kau tidak akan punya peluang mengalahkan kecepatan "Petir"-ku,
Kawan. Nama barunya, bagus, bukan" Petir! Semua penonton akan meneriakkan namanya." Bang Togar jumawa, menunjuk pinggir bagian luar sepitnya yang bergambar
halilintar. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, benar kan, Bang Togar sudah mulai rese.
"Mana sepit Pak Tua yang katanya kau pinjam" Alamak, almarhum sepit Borneo yang sudah kau jual saja tidak ada apa-apanya, apalagi sepit tua itu." Bang
Togar semakin menyebalkan.
"Dia mau menyeberang, Togar." Petugas timer memotong.
"Menyeberang" Siapa?""
"Borno mau menyeberang. Kau bisa antar?""
"Tidak usalah, Oom. Jauhari saja." Aku buru-buru menggeleng.
Terlambat, Bang Togar justeru sepakat dengan ide petugas timer, "Nah, kebetulan. Kau bergegas naik, Borno. Biar kau merasakan sendiri betapa cepatnya Petir-ku."
"Tidak usah, Bang. Tadi Jauhari sudah mau mengantarku." Aku menolak"pura-pura menunjuk Jauhari yang lagi nongkrong di sepitnya, mengupil.
Bang Togar sudah berdiri, meraih paksa tangaku, lantas menarikku ke atas perahu. Aku menelan ludah, tidak berkutik, terpaksa menurut.
"Duduk yang kokoh, Borno. Berpegangan." Bang Togar bergaya memasang kaca-mata.
Dan belum habis kalimatnya, belum sempurna aku duduk, dia sudah menarik pedal gas, sepit yang kutumpangi melaju dengan akselerasi kecepatan tinggi. Aku
bergegas mencengkeram dinding perahu kayu, hampir saja terjengkang jatuh.
Bang Togar tertawa melihat wajah piasku.
*** Setidaknya, karena Bang Togar semangat memamerkan tenaga motor tempel sepitnya, aku jadi diuntungkan dua hal. Pertama aku jadi tahu, selentingan kabar
dari Pak Tua benar, motor tempel sepit Bang Togar memang sudah dipermak, tidak standar lagi"pantas saja dia selalu menang. Dan lebih dari itu, aku tahu,
menilik dari derum mesin, liukan saat dia iseng menyalip perahu besar lain, sepit Bang Togar memang mantap untuk kecepatan tinggi, tapi tidak tangguh untuk
bermanuver. Dia harus menurunkan kecepatan sedemikian rupa saat meliuk, apalagi berputar atau berbelok. Itu kabar baik, perlombaan sepit tahun ini berbeda
dengan tahun sebelumnya yang hanya lurus saja, kami harus memutari satu rit penuh. Berputar arah di jembatan Kapuas.
Yang kedua, aku jadi bisa membujuk Bang Togar membujuk mengantarku langsung ke dermaga ferry. Dia awalnya marah besar, "Najis aku mengantar kau kesana.
Seumur-umur aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di dermaga pelampung." Aku memasang wajah serius, "Sekalian saja, bang. Bukankah kalau Bang Togar
mau mengantar aku jadi bisa tahu seberapa hebat sepit ini. Kalau hanya menyeberang, tidak terlalu terbukti ketangguhannya. Itu hanya macam kilat lampu
tustel, nah, kalau sampai dermaga ferry, baru terlihat petir sungguhan." Bang Togar mulai ragu-ragu. "Ayolah, bang, lagipula, kan hanya mengantar, abang
tidak perlu menginjakkan kaki di dermaga. Jadi tidak akan melanggar sumpah. Bagaimana?" Aku berusaha menahan seringai serius.
Pak Tua benar, dia pernah bilang, terkadang cara menaklukkan keras kepala, angkuh atau kesombongan adalah juga dengan" keras kepala, angkuh atau kesombongan
yang bersangkutan. Tidak perlu repot-repot mencari cara lain. Lihatlah, Bang Togar yang sedang jumawa soal sepitnya, akhirnya mengangguk, terus menarik
pedal gas, sepit menuju hilir Kapuas, meluncur cepat ke arah dermaga pelampung. "Baiklah, Borno. Kau perhatikan baik-baik kecepatan Petirku!" Bang Togar
berseru, berusaha mengalahkan suara mesin dan gelembung air buritan. Aku menyeringai, mengangguk, pura-pura kagum (padahal mati-matian berusaha menahan
tawa). Dengan "taksi sepit" gratis yang mengantarku langsung ke bibir dermaga pelampung, aku tiba lebih cepat dibandingkan jadwal. Loncat ke steher beton, melambaikan
tangan, Bang Togar balas melambaikan tangan, sepitnya langsung meninggalkan kesibukan dermaga.
Andi tiba lima belas menit kemudian, dia berangkat dari rumah kontrakannya yang tak jauh dari bengkel. Dan kami berdua duduk bengong menunggu kapal ferry
dari Surabaya merapat. Terlambat satu jam dari jadwal, baru pukul delapan mereka melempar sauh.
"Selamat datang, Daeng." Aku memeluk bapak Andi.
"Kau ada-ada saja, Borno. Macam memeluk pejabat yang berkunjung." Bapak Andi tertawa, "Anakku saja tidak pernah memelukku selama ini setiap aku pulang."
Aku nyengir, menyikut Andi di sebelahku, "Kalau begitu, peluk bapak kau, Kawan."
"Tidak mau." Andi hanya membungkuk, mencium tangan bapaknya.
"Peluk! Bapak kau ini sudah seminggu lebih pergi. Tidak rindu kau?" Aku melotot.
Andi cengengesan salah-tingkah, sedikit segan menatap mataku. Dermaga ramai oleh orang-orang yang turun dari kapal, mengangkat koper, kardus, karung-karung,
kesibukan khas setiap kali ada kapal besar merapat."
Bapak Andi sudah lebih dulu memeluk Andi.
"Sudah, Pak. Malu aku." Andi segera melepasnya, jengah.
Aku dan bapak Andi tertawa."
"Bagaimana kabar bengkel, Borno?""
"Ramai seperti biasa, Daeng."
Bapak Andi mengangguk-angguk.
"Eh, barang bawaannya mana?" Andi nyeletuk, setelah dua menit kami saling bertanya kabar. Celingukan, belum ada porter yang biasanya repot menggendong


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karung-karung berdiri di samping bapaknya. Lihatlah, bapaknya bahkan membawa satu dongkrak saja tidak.
"Bukan hanya Borno yang berpikiran maju sekarang, Nak." Bapak Andi tertawa, "Semua peralatan yang kita beli dikirim langsung ke bengkel. Aku berhasil membujuk
penjualnya sebagai bonus pembelian. Jadi mereka mengirimkannya pakai kontainer, lantas dari pelabuhan peti kemas dibawa dengan truk ke bengkel, kita bayar
di tempat setelah peralatan terpasang. Mungkin baru tiba dua hari lagi kapalnya."
Andi mengangkat tangannya, protes, "Kalau begitu, kenapa Bapak tetap menelepon, menyuruh kami menjemput" Aduh, aku terpaksa bangun pagi sekali tadi, tidak
sempat sarapan, apalagi mandi."
"Karena kalian harus membantuku mengangkat karung-karung itu." Bapak Andi nyengir, menunjuk tiga porter yang akhirnya datang mendekat, memikul karung besar.
Aku dan Andi mengeluh. Dilihat dari luar, jelas sekali kalau itu karung petai atau jengkol. Sepertinya bapak Andi sudah melupakan trauma penipuan penjualan
bengkel beberapa bulan silam. Lihatlah, dia sudah riang menyuruh-nyuruhku mencari oplet, menyuruh-nyuruh Andi menggotong karung, sambil ceramah tentang
potensi bisnis perdagangan lintas pulau, bilang idenya tentang menyekat separuh ruangan kantor bengkel sebagai kantor perdagangan, atau bila perlu menyewa
ruko di sebelah bengkel, "Ide bagus, bukan" Dan kau juga memiliki saham di toko itu nanti, Borno". Ohiya, kau bawa uang, Borno" Bisa kau talangi porter-porter
itu, dompetku kosong." Bapak Andi menyuruh-nyuruh lagi"padahal jelas-jelas sejak tadi kerjaannya hanya berdiri menonton. Aku sejenak seperti menyesali,
harusnya aku dulu berdoa agar bapak Andi itu cukup pulih dari trauma, tidak usah pulih juga tabiat bossy-nya.
*** Bengkel hari ini sengaja ditutup."
Aku sudah menitipkan pesan pada Lai dan Juned agar mereka datang ke tempat lomba sepit. Mereka melakukan perintah itu dengan baik, saat beres urusan di
dermaga ferry, karung-karung itu sudah ditumpuk di pojokan workshop bengkel, di sebelah tumpukan ban, saat kembali ke steher sepit bersama Andi dan bapaknya,
spanduk besar bengkel kami sudah terpasang diantara spanduk-spanduk lain. Lai dan Juned juga terlihat sibuk membagikan stiker bengkel pada penonton yang
memadati dermaga kayu. Acara balapan sepit ini selalu ramai penonton, tempat yang tepat untuk promosi gratisan."
Kami tiba di steher persis pukul satu siang. Di tempat biasanya antrian sepit, telah berbaris sepit calon peserta lomba, luber hingga ke kolong rumah papan
menambatkan sepit, tidak kurang dari lima puluh sepit ikut serta. Tenda sudah dipenuhi tamu undangan, penonton berdesak-desakan ingin melihat dari jarak
dekat, itu di luar penonton yang menonton sepanjang tepian rute balapan, berkerumun di dermaga lain, menonton dari bingkai jendela, di beranda rumah, meriah,
perhatian penduduk kota terarah pada sungai Kapuas.
Petugas timer yang bertugas sebagai pembawa acara merangkap komentator, membawa toa besar di tangannya, berseru berkali-kali, berusaha menertibkan penonton
di steher kayu yang semakin membludak, "Jangan dekat-dekat, penonton jangan menghalangi meja panitia." Sekejap menoleh ke arah lain, "Astaga, kalian belum
cukup umur untuk mendaftar lomba balapan sepit. Kalian ikut lomba makan kerupuk di dekat balai kampung sana." Dia menyuruh lima-enam anak SD menyingkir
dari bibir dermaga, anak-anak itu mencibirkan mulut sebelum pindah. "Ayo mister, jangan ragu-ragu ambil fotonya, apalagi kalau itu fotoku. Mendekat ke
sini." Petugas timer nyengir, sudah berseru pada beberapa bule dengan ransel di punggung, kamera besar di tangan."
Setengah jam sebelum lomba, saat panitia sudah siap, hanya menunggu walikota Pontianak membukanya, perhatian penonton yang sejak tadi asyik melihat hiburan
rebana di tengah dermaga, tiba-tiba tertuju pada sungai Kapuas, di sana, dari jarak puluhan meter, meluncur cepat, mendekat sebuah sepit yang terlihat
sekali masih baru, dan perhatian penonton semakin terbetot, berseru-seru semangat, bertepuk-tangan, saat sepit itu sempurna merapat ke bibir dermaga.
Aku yang duduk di tepian dermaga bersama belasan pengemudi calon peserta lomba ikut berdiri, memperhatikan, dan segera pelan menepuk dahi. Tadi kupikir
siapa lagi yang bertingkah aneh macam Bang Togar, pamer sepit sebelum lomba dimulai, ternyata pengemudi sepit berwarna hijau mencolok itu perempuan. Bertopi
hijau, memakai kaos lengan panjang putih, berkaca-mata hitam. Aku mengenal sekali pengemudi sepit yang datang, itu adalah Sarah. "
Meja pendaftaran lomba jadi rusuh.
"Sudah tutup. Tidak boleh lagi ada yang daftar." Bang Togar, ketua PPSKT merangkap sekaligus ketua panitia menolak Sarah ikut serta.
"Sejak kapan kita bersepakat ada batas waktu pendaftaran?" Pak Tua menengahi, panitia lain mengangguk sepakat, "Sepanjang lomba belum dimulai, siapapun
pengemudi sepit yang mau daftar, bebas ikut serta. Ini acara milik semua pengemudi sepit Kapuas."
"Astaga, Pak Tua." Bang Togar menarik Pak Tua, berbisik, "Aku tahu dia lebih dari pandai mengemudikan boat fiberglass-nya, tetapi perempuan" Sarah itu
dokter gigi, perempuan pula, Pak Tua. Dia tidak terdaftar sebagai pengemudi sepit. Terlepas dari itu, kita tidak akan bertanding melawan perempuan, bukan"
Malu aku." Tetapi yang malu memang hanya Bang Togar, yang lain tidak keberatan. Penonton malah berseru-seru menyemangati, turis lokal dan turis bule semakin antusias
menyimak. Sementara aku membantu Sarah naik ke atas dermaga.
"Hallo. Kau kaget melihatku?" Sarah riang menyapa, tidak terlalu mempedulikan keributan di meja pendaftaran.
Aku nyengir, tertawa, "Siapa yang tidak, seluruh penonton juga kaget, Sarah."
Sarah menggeleng, wajah riangnya berubah jadi tegas, "Tidak, tidak."
Tidak apanya" Dahiku terlipat, menatapnya.
"Kau sungguh tidak sopan, Borno. Kau lupa, seluruh penduduk Pontianak yang sopan, selalu memanggil anak gadis yang lebih tua darinya dengan Kakak. Tidak
sopan memanggil nama langsung, tahu. Saya lebih tua."
Aku menelan ludah, menatap wajah galak Sarah.
"Hanya bergurau, abang." Sekejap Sarah sudah tertawa, senang melihat tampang piasku.
Aku manyun sejenak, meski akhirnya ikut tertawa.
"Ini sepit baru?" Aku menunjuk sepit hijau di bibir dermaga, dari tadi aku berusaha mengalihkan tatapan dari wajah riang, cantik dan berbinar-binar itu.
Malu kalau sampai ketahuan menatapnya.
"Tidak juga, sepit ini sudah lama, tapi jarang dipakai, abang." Sarah mengangkat bahu, jongkok, menepuk-nepuk sepitnya, "Seperti yang pernah saya bilang
di resepsi pernikahan, saya selalu penasaran, abang, jadilah seminggu terakhir mencoba. Ternyata seru, lebih asyik dibanding boat fiberglass. Nah, kapan
lagi bisa melawan abang balapan selain di sini, bukan?"
Aku sejenak menatap wajah riang yang sama sekali tidak keberatan dibakar teriknya matahari kota Pontianak. Buru-buru mengangguk sepakat.
"Mana sepit abang?"
Aku menunjuk sepit Pak Tua di ujung tambatan. Jangan bandingkan dengan kemilau cat baru sepit milik Sarah, sepit Pak Tua itu bahkan kusam, menyedihkan
dan terlihat tidak layak tanding.
"Penampilan yang menipu." Sarah manggut-manggut memperhatikan sepit Pak Tua, "Saya berani bertaruh, abang pastilah telah membongkar mesinnya."
Aku tertawa, mengangkat bahu, "Jangan keras-keras, nanti yang lain tahu.
Sarah ikut tertawa renyah. Aku sampai menggaruk kepala melihat betapa riangnya wajah Sarah.
Lima menit berlalu, keributan di meja pendaftaran tuntas, tidak ada satu pasalpun di panduan lomba yang melarang pengemudi sepit perempuan ikut serta.
Nama Sarah dicantumkan paling bawah."
Kerumunan di meja pendaftaran bubar. Bang Togar masih mengomel masygul, "Mana pernah dalam sejarah per-sepit-an ada pengemudi perempuan. Mau ditaruh di
mana seluruh kebanggaan leluhur kalau kalian sampai kalah olehnya."
Tetapi tidak ada yang mendengarkan, apalagi berniat memperpanjang perdebatan, semua sibuk menoleh bibir dermaga, walikota Pontianak sudah datang, naik
boat fiberglass. Beberapa panitia menjulurkan tangan, membantu rombongannya naik ke atas steher.
"Perhatian, perhatian! Woi, pengemudi sepit yang ngupil di sana, Jauhari, kau perhatikan ke depan. Semua peserta diharap berdiri, berbaris." Petugas timer
demi melihat undangan lomba terpenting sudah datang, segera mengangkat toanya, berseru lantang, "Hadirin yang berbahagia, lupakan hutang-hutang, cucian
menumpuk, pekerjaan yang tertunda, siapa saja yang patah-hati, yang habis dimarahi, tertimpa sial atau musibah lupakan semua, mari kita ramai-ramai meriahkan
acara siang ini" Hadiri, inilah dia yang kita tunggu-tunggu selama satu tahun penuh, lomba balapan sepit Sungai Kapuas dalam rangka 17an akan segera DIMULAIII!!"
Petugas timer macam komentator sepakbola, mulai berbusa memimpin perlombaan.
Penonton seketika berseru-seru, bertepuk-tangan antusias.
Dermaga kayu ramai sekali.
*** Ada 64 sepit yang ikut-serta.
Sesuai kesepakatan dalam technical meeting, maka akan dibagi menjadi 16 group, berisi masing-masing empat peserta. Inilah babak penyisihan, setiap group
akan bertanding sekali, berhuluan menuju jembatan Kapuas, lantas berputar arah di salah satu tiang betonnya, kembali berhiliran ke dermaga kayu. Pemenang
group otomatis maju ke babak enam belas besar. Nama-nama 64 peserta lomba dengan groupnya sudah ditulis di papan besar dekat podium, dilengkapi panah-panah
diagram menuju babak final.
"Woi, maju empat sepit group pertama!" Petugas timer lantang meneriaki kerumunan pengemudi sepit, macam dia sedang mengatur penyeberangan sehari-hari di
pagi yang sibuk. Penonton bertepuk-tangan. Semakin antusias.
Empat sepit bergerak perlahan dari antrian, menuju bibir dermaga, Bang Togar ada diantaranya. Kaca-mata hitam bertengger di wajahnya. Aku menelan ludah,
ikut tegang menatap empat sepit bersiaga di garis start, menunggu aba-aba mulai. Petugas timer memegang pistol tanpa peluru, mengacungkannya ke atas, dan
saat pelatuknya ditarik, suara dor kencang membahana di langit-langit sungai, empat sepit bagai anak panah melesat meninggalkan steher."
Balapan telah dimulai. "Hadiri sekalian, Petir sementara unggul" cepat sekali meninggalkan tiga sepit lain, sudah satu badan perahu penuh memimpin". Sepertinya memang tidak mudah
mengalahkan juara empat tahun berturut-turut" dia terlalu tangguh." Petugas timer berbusa mengomentari jalannya lomba."
Kami yang ada di dermaga kayu sebenarnya hanya bisa melihat setengah pal ke depan hingga sepit-sepit itu tidak jelas, terlihat semakin mengecil, terus
berhuluan ke arah jembatan Kapuas. Sisanya tidak terlihat. Hanya bisa menunggu empat-lima menit dengan wajah tegang. Giliran penonton yang berada di tepian
hulu sungai yang dilewati sepit bersorak-sorak, menonton empat sepit melintas."
Empat menit menunggu. "Lihat, lihat, mereka sudah kembali". astaga" Mereka" Ternyata hanya satu yang baru kelihatan. Sepit berwarna merah, tidak salah lagi, hadiri" itu pasti
Petir si Togar"." Petugas timer segera mengangkat toa, berseru lantang demi melihat sepit-sepit terlihat mendekat."
"Bukan main, tiga sepit lain tertinggal jauh, ratusan meter". Woi, jangan-jangan tiga sepit lain itu duduk ngopi dulu di warung pisang dekat jembatan sana."
Petugas timer terus mengoceh, bergurau, penonton tertawa, "Sebentar lagi, ayo terus Petir, sebentar lagi finish"." Sepit merah Bang Togar tidak mengurangi
kecepatan walaupun jaraknya tinggal puluhan meter, "Inilah dia, pemenang group pertama. Tentu saja! Tentu saja penonton yang berbahagia, juara empat tahun
terakhir! Nama terbaru sepitnya adalah PETIR!"
Sepit Bang Togar melintas. Tepuk-tangan segera bergemuruh di dermaga kayu, memecah ketegangan. Anak-anak yang menonton, berseru-seru, "Petir! Petir! Petir!"
Aku menelan ludah, meski aku tidak suka, penggemar Bang Togar ternyata banyak di dermaga, para penggemar Petir!"
Dengan cepat suasana lomba semakin seru.
Satu demi satu group sepit bertanding. Perlombaan berjalan tanpa terasa, satu jam berlalu, sembilan group sudah menyelesaikan pertandingan, sepuluh peserta
yang lolos ke babak 16 besar sudah tertulis besar-besar di papan.
"Woi, maju empat sepit berikutnya!" Petugas timer berseru lantang.
Aku menelan ludah, baiklah, ini giliranku, group 10, aku loncat ke atas sepit Pak Tua, duduk dengan posisi mantap, menarik pedal gas perlahan, suara motor
tempel terdengar bergemuruh, penuh tenaga, sepit Pak Tua merapat ke bibir dermaga bersama tiga sepit lainnya, dan aku menepuk dahi, ternyata salah-satunya
sepit Jauhari. "Jangan menangis kalau kau sampai kalah, Borno." Jauhari tertawa, nyengir.
"Tutup mulut, Bang Jau." Aku mendengus.
Jauhari terkekeh, "Jangan sampai sepit uzur Pak Tua yang kau pinjam ini sampai ngadat, Borno, bisa-bisa kau kembali ke garis finish macam sabut yang hanyut."
Aku memutuskan tidak menanggapi.
"Kalian siap?" Petugas timer memastikan.
Aku mengangguk, tiga pengemudi sepit lain juga mengangguk.
DOR!! Suara tembakan membahana.
Aku gesit menarik pedal gas, seperseribu detik setelah bunyi letusan. Sepit Pak Tua meluncur cepat, setengah meter memimpin tiga sepit lain. Tawa Jauhari
langsung tersumpal. "Mereka sudah melesat, hadirin yang berbahagia maupun hadirin yang tidak berbahagia, mereka sudah MELESAT!!!" Petugas timer berteriak semangat, "Lihat,
Borno memimpin, diikuti tiga sepit lainnya". Jangan terlalu ngebut, Kawan, nanti sepit tua kau itu somplak lambungnya. Eh?" Seruan ngasal petugas timer
tertahan, Pak Tua terlihat melotot padanya, "Maaf Pak Tua, aku terlalu bersemangat". Dan, dan empat sepit telah hilang dari pandangan" kita tungga saja
beberapa menit lagi mereka pasti kembali lagi, akan kita lihat siapa peserta yang lolos ke babak 16 berikutnya?"
Jau dari dermaga kayu, terus berhuluan sungai, aku menoleh pada Jauhari, dia tertinggal sepuluh meter di belakangku, wajahnya terlihat tegang, terus menekan
pol pedal gas sepitnya. Dua sepit lain lebih jauh lagi tercecer. Aku nyengir, tiang jembatan Kapuas sudah di depan kami. Inilah kelebihan modifikasi sepitku,
kipsa propelernya sudah kudesain ulang, sepit Pak Tua bisa berbelok stabil dengan kecepatan tinggi. Dua panitia yang menunggu di tiang jembatan melambaikan
bendera saat aku menikung tajam, menyemangati. Mulus, sembilan detik menghempaskan badan agar perahu kayu menikung seimbang, sepit Pak Tua kembali berhiliran,
trek lurus, kecepatan tinggi.
Aku tertawa, lihatlah, Jauhari di sisiku, berlawanan arah, yang seharusnya bersiap menikung justeru sedang memaki-maki, berdiri di atas sepitnya yang entah
kenapa tiba-tiba mogok, teronggok macam sabut kelapa mengapung.
"WOI!! Aku duluan Bang Jau!"
Jauhari mengacungkan papan dayung, sebal.
Sepit Pak Tua melesat menuju dermaga kayu.
"Mereka sudah kembali, hadirin!! Lihat, entah sepit siapa itu, meluncur sendirian di depan, belum terlihat jelas". Dan". Dan". Astaga! Itu sepit Borno".
Bukan main. Kejutan besar, hadirin"
Penonton bertepuk-tangan. Anak-anak yang menonton juga berseru-seru menyebut namaku, "Borno! Borno! Borno!?"mengingat sejarah foto wajahku pernah terpampang
di dermaga, aku cukup terkenal di mata mereka. Sepitku melintasi garis finish. Tepuk tangan ramai terdengar lagi. Aku mengacungkan kepal tangan ke arah
Pak Tua yang duduk bersama Andi."
Aku berhak lolos ke babak 16 besar.
Masih tersisa enam group lagi, yang semakin seru saja menontonnya."
Setengah jam berlalu, tibalah di group paling akhir, sambutan paling meriah segera memenuhi dermaga kayu. Tentu saja penonton antusias, ada Sarah di sana.
"Kalau hanya begitu saja kecepatan sepit yang lain, aku bisa memenangkan lomba ini sambil memejamkan mata, abang." Itu bual Sarah saat bersiap loncat ke
atas sepitnya. Aku menepuk dahi, tertawa menatapnya, kenapa semua peserta lomba menjadi menyebalkan begini" Lihat, Jauhari, meski dia sudah kalah telak,
saat kembali ke dermaga kayu berhiliran dengan dayung, dia masih bisa-bisanya berseru ketus, "Kalau saja mesin sepitku tidak mati, kau sudah kalah tadi,
Borno. Jangan banyak komentar kau."
Sarah sudah duduk mantap di buritan sepit. Dia terlihat berbeda sekali dibanding peserta sebelumnya."
"Kalian siap?" Petugas timer bertanya.
Empat pengemudi sepit mengangguk."
Petugas timer mengangkat pistol tanpa peluru. DOR!!!
"Mereka sudah melesat". Astaga! Sepit hijau cepat sekali, seperti peluru ditembakkan". Memimpin satu badan perahu lebih. Hadirin, sepertinya kita tidak
boleh meremehkan pengemudi perempuan". Dia lebih cepat dibanding sepit dengan pengemudi laki-laki manapun sekarang." Suara toa petugas timer berusaha mengalahkan
riuh seruan penonton. Aku mengusap peluh di leher, terlepas dari sepit Sarah terbilang baru, omong besar dia sepertinya tidak kosong. Dia amat mahir memulai lomba. Itu jelas
jadi salah-satu kunci kemenangan, start yang baik. Satu menit berlalu, empat sepit mulai hilang dari pandangan. Giliran penonton dermaga tegang menunggu
sepit itu kembali, Andi bahkan tidak berkedip menatap hulu sungai, bisa kapan saja empat sepit itu muncul lagi. "
Empat menit berlalu. "Mereka kembali, hadirin" Lihat! Bukan main" sepit hijau memimpin sendirian." Petugas timer menepuk jidat, mengangkat bahu seolah tidak percaya apa yang
dilihatnya. "Apa yang akan dibilang leluhur kita, bukan begitu Bang Togar" Ini pertama kali ada perempuan ikut serta lomba, dan langsung mengalahkan pengemudi
sepit laki-laki. Apa kata mereka?"
Tetapi tidak ada yang peduli dengan kalimat petugas timer"apalagi peduli wajah masam Bang Togar. Penonton berseru-seru menyemangati, turis bule sibuk memotret
dengan lensa besar dan panjang mereka. Aku menelan ludah, sepit Sarah meluncur melintasi garis finish tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Cepat sekali"bahkan
aku tidak yakin apakah sepit Pak Tua lebih cepat dari itu.
*** Babak 16 besar dimulai. Enam belas sepit terbaik dari babak penyisihan kembali dibagi menjadi empat group dengan masing-masing empat sepit. Juara group otomatis berhak masuk ke
babak final, empat sepit terbaik.
Perlombaan semakin menegangkan. Kerumunan penonton di dermaga semakin ramai, juga di sepanjang tepian Kapuas. Pukul empat sore, matahari mulai bergerak
tumbang, permukaan sungai tidak terlalu terik, penonton bisa menonton lebih nyaman."
"Woi, maju empat sepit pertama." Petugas timer memulai babak 16 besar.
Sepit merah Bang Togar meluncur anggun ke bibir dermaga bersama tiga sepit lainnya. Wajah Bang Togar terlihat dingin, dia memasang kaca-mata hitamnya dengan
takjim. Bang Togar pastilah paham, berbeda dengan babak penyisihan, babak 16 besar jelas jauh lebih kompetitif, perbedaan antar sepit (mesin, keahlian
mengemudi) tidak terlalu signifikan lagi.
"Kalian siap?" Petugas timer memastikan.
Empat pengemudi sepit mengangguk.
Penonton bersorak-sorai. Anak-anak menggemakan koor, "Petir! Petir! Petir!"
DOR!! Tembakan tanda start berbunyi nyaring. Permukaan sungai Kapuas segera dipenuhi gelembung dan gerakan air yang seperti ombak. Aku menatap sepit merah
Bang Togar yang memimpin cepat, bergumam, andai saja Pak Sihol sedang mandi petang, jangankan sabun, ember cuciannya saja bisa terseret ombak dari empat
sepit melaju cepat. Empat sepit mengecil, hilang di hulu sungai.
"Sepertinya Bang Togar menjadi pesaing paling tangguh lomba ini." Sarah menyikut lenganku. Berdiri di sebelahku.
Aku menoleh, menatap wajah yang ikut tegang memperhatikan hulu sungai, menunggu kapan saja empat sepit kembali.
"Dia tidak setangguh itu." Aku melambaikan tangan.
"Bukannya abang kalah di final tahun lalu?" Sarah nyengir.
"Aku tidak akan kalah kalau Bang Togar tidak curang, dia sengaja melintas amat dekat dengan sepitku, membuat ombak, membuat sepit tidak stabil, aku terpaksa
mengurangai kecepatan di final tahun lalu itu, kalau tidak aku bisa terbalik."
"Oh-ya?" Sarah mengedipkan mata, memasang wajah pura-pura tidak percaya, "Jangan-jangan itu karangan abang saja karena malu mengakui kalah" Lagipula bukankah
mengganggu sepit lawan sah-sah saja, tidak dilarang?"
Aku mengeluarkan puh kesal.
Sarah tertawa, "Abang itu terlihat lebih menarik kalau sedang sebal, loh. Terlihat amat oke."
Aku hampir saja tersedak. Mukaku merah padam. Tadi Sarah bilang apa" Aku menarik" Untunglah Andi dan Pak Tua yang berdiri di sebelahku lebih asyik menatap
ke hulu sungai, tidak ada yang memperhatikan wajahku. Sepit merah Bang Togar meluncur di depan, memimpin tiga sepit lain.
"Inilah dia finalis pertama kita. Bang Togar dengan sepit Petir-nya"." Petugas timer berseru lantang saat sepit merah melintas di depan dermaga, "Benar-benar
nama yang cocok". Kita berikan sambutan yang meriah untuk finalis pertama. PETIR!"
Penonton bertepuk-tangan.
"Petir! Petir! Petir!?"
Aku masih kebas, ragu-ragu melirik Sarah yang sudah ikut bertepuk-tangan. Tega, Sarah santai-santai saja setelah bergurau mengatakan kalimat itu, tapi
lihatlah akibatnya padaku, membuatku malu. Bahkan aku tidak menyadari kalau group kedua babak 16 berikutnya telah menyelesaikan balapannya. Finalis kedua
datang dari pengemudi sepit hulu Kapuas, jauh datang dari hulu, sengaja menjajal ketangguhan mengemudi. Aku tidak terlalu mengenalnya.
"Maju lagi empat sepit!" Petugas timer berteriak.
Aku bangkit dari duduk. Jantungku berdetak lebih kencang. Berbeda dengan babak penyisihan yang mudah saja kumenangkan, aku tahu babak 16 besar lebih sulit.
"Semangat, abang!" Sarah mengacungkan tinju.
Aku mengangguk, masih kaku gara-gara gurauannya tadi.
Andi menepuk-nepuk bahuku, "Hajar mereka, Kawan."
Aku nyengir, loncat ke atas sepit.
"Kalian siap?" Petugas timer mengacungkan pistol ke atas.
Aku dan tiga pengemudi sepit mengangguk.
DOR!!" Aku reflek menekan pedal gas secepat mungkin, sepitku melaju."
"Mereka sudah mulai, hadirin" lihat, sepit warna biru memimpin!" Suara petugas timer terdengar samar-samar oleh teriakan penonton, konsentrasiku ada pada
kemudi. Aku menoleh ke kanan, teriakan Oom petugas timer benar, sepitku hanya ada di urutan dua, sepit biru di sebelahku memimpin setengah badan sepit. Aku menggeram,
terus stabil menekan pedal gas.
Lima ratus dilewati dengan cepat, aku masih tertinggal. Astaga, alangkah cepatnya pesaingku, menilik dari kecepatannya, motor tempel sepitnya pasti tidak
standar lagi, aku bergumam, menebak.
Tiang jembatan Kapuas di depan kami, sepit Pak Tua yang kupinjam semakin tercecer satu badan perahu. Aku mengatupkan rahang, gatal hendak menambah kecepatan,
menekan pedal gas pol. Urung, sedetik aku memutuskan menunggu hingga berputar di bawah jembatan, belum saatnya aku memaksa sepit Pak Tua bekerja hingga
kecepatan maksimalnya. Empat sepit hampir bersamaan berputar di empat tiang jembatan Kapuas. Dua panitia yang berjaga di bawah jembatan, yang memastikan
tidak ada sepit curang, melambaikan bendera."
Aku menyeringai, lihat, kesabaranku tepat, sekarang giliran sepitku memimpin satu badan perahu penuh setelah putaran 180 derajat, aku tersenyum, pesaing
biru itu kedodoran di tikungan, dia malah tertinggal di posisi empat. Ternyata babak 16 besar tidak sesulit yang kubayangkan. Aku menatap kerumunan penonton
di pinggir sungai, berseru-seru menyemangati, menoleh ke belakang, mendongak" ke atas, juga banyak penonton berdiri di jembatan Kapuas."
"Lihat! Mereka sudah kembali, hadirin! Siapakah yang memimpin"." Petugas timer meraung melihat empat sepit muncul di hulu Kapuas. Penonton di dermaga kayu
berseru-seru. "Dan". Dan ternyata" Astaga" Sepit tua itu kembali memimpin." Petugas timer menepuk dahi, tidak percaya apa yang dilihatnya, "Kupikir sudah rontok satu-persatu
papan perahunya" eh, maaf, maaf, Pak Tua, aduh, aku kan hanya komentator apa-adanya. Sepit Pak Tua itu memang sudah tua, bukan" aduh, maaf, Pak. Maaf"."
Pak Tua mengacungkan tinju ke arah petugas timer. Penonton tertawa melihat ulah petugas timer yang membungkuk-bungkuk.
Sepitku melintasi garis finish. Aku lolos ke babak final.
Group terakhir. Masih tersisa satu sepit lagi yang berhak maju ke babak final.
"Kalahkan dia, Jupri!" Bang Togar terlihat berbisik pada Jupri yang bersiap.
"Kalau kau berhasil mengalahkan dokter gigi itu, hutang kau selama ini kuanggap lunas." Bang Togar menepuk-nepuk bahu Jupri, "Tapi kalau kau yang kalah,
awas saja, kutagih nanti malam semuanya."
Aku menyeringai melihat Bang Togar dan Jupri.
"Inilah dia group terakhir babak 16, hadirin. Tiga pengemudi sepit laki-laki, satu pengemudi sepit perempuan." Petugas timer berseru lewat toa, "Kita saksikan,
mereka sudah bersiap-siap naik sepit masing-masing."
"Hati-hati, Sarah" Aku sedikit gugup melihat Sarah harus bertanding melawan Jupri"Jupri terkenal sama curangnya dengan Bang Togar.
Sarah tersenyum, loncat ke atas sepit hijaunya, "Terima-kasih sudah mengingatkan, abang."
Aku buru-buru menoleh ke arah lain, malu terlihat mencemaskan dirinya.
"Kalian siap?" Petugas timer bertanya.
Sarah dan tiga pengemudi sepit mengangguk. Bang Togar mengacungkan tinju ke arah sepit Jupri, menyemangati"sekaligus mengancam kalau sampai dia kalah.
DOR!! Suara letusan bergema nyaring."
Empat sepit maju melesat.
Aku mengusap wajah. Kecemasan melanda hatiku, jangan-jangan Jupri sengaja menganggu sepit Sarah di tikungan tiang jembatan" Bagaimana kalau sepit Sarah
sampai terbalik" Meski dia jago sekali mengemudikan sepit, siapa yang tahu dia bisa berenang" Aku mulai berpikir yang aneh-aneh.
Empat menit berlalu, aku semakin cemas.
"Lihat!! Astaga, leluhur kita" leluhur kita benar-benar akan marah, Bang Togar!" Petugas timer berseru lantang, menatap tidak percaya, melotot, "Sepit
hijau memimpin jauh di depan, bahkan meninggalkan Jupri, juara dua lomba sepit tahun lalu."
Aku mengangkat kepala, menatap hulu Kapuas, sepit Sarah sudah kembali, tanpa kekurangan satu apapun, melesat cepat menuju garis finish. Aku seketika berseru-seru
senang bersama teriakan ratusan penonton di dermaga.
Astaga" Aku nyengir lebar, jujur saja, aku baru kali ini tiba-tiba mencemaskan seseorang"di luar mencemaskan Ibu, atau Pak Tua saat mereka sakit.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Babak final. Pukul lima sore. Langit kota terlihat jingga, ribuan burung layang-layang terbang berisik, seperti tidak mau kalah dengan berisiknya suara penonton di
dermaga kayu dan sepanjang tepian Kapuas.
"Inilah dia, hadiri" setelah 64 sepit berlomba, 60 tersingkir, empat maju ke babak final, hadiri" inilah dia babak yang paling kita tunggu-tunggu." Suara
petugas timer mulai terdengar serak setelah hampir tiga jam memimpin pertandingan. "Inilah dia empat finalis yang akan memperebutkan piala dan uang tunai
dari walikota". Yang akan mem-perebutkan kebanggaan dan kehormatan pengemudi sepit terbaik sepanjang Kapuas". Apakah dia Bang Togar, Ketua PPSKT kita tercinta?"
Penonton ramai berseru-seru, "PETIR! PETIR! PETIR!"
"Atau pengemudi sepit dari hulu Kapuas, datang jauh-jauh berhiliran menguji keterampilan pengemudi sepit kota Pontianak". Sambutlah pendatang baru kita
JOHAN!" Penonton bertepuk-tangan lagi.
"Atau". Atau mantan pengemudi sepit yang sekarang jadi pengusaha bengkel" Anak muda yang membanggakan hati kita" siapa lagi kalau bukan, BORNO!!"
Penonton berseru-seru. Aku nyengir, jelas-jelas pendukungku lebih banyak dibanding Togar. Ibu-ibu penghuni gang sempit meneriakkan namaku.
"Atau apakah finalis terakhir kita". Pengemudi sepit perempuan pertama sepanjang sejarah lomba sepit sungai Kapuas, dokter gigi" apakah dia mengemudi sejago
saat mencabut gigi busuk kita" Seberani saat menyuruh kita membuka mulut" Kita sambut Ibu Dokter SARAH!"
Dermaga lebih riuh rendah oleh seruan.
Aku nyengir lebar, pendukung Sarah ternyata lebih banyak.
Kami berempat menuju sepit masing-masing.
Andi menepuk-nepuk bahuku, "Habisi mereka, Borno. Termasuk dokter gigi itu. Aku lebih senang kau yang menang dibanding dia."
Aku menyelidik. "Tentu saja bukan?" Andi mengangkat bahu, "Kalau kau menang, kau bisa mentraktirku makan di warung padang selama sebulan."
Aku tertawa, Andi adalah kawan yang logis.
Saat itulah, saat petugas timer semakin berbusa membakar semangat penonton, walikota Pontianak berdiri, menerima pistol, dia yang akan menembakkan tanda
start. Saat Bang Togar, Sarah dan pengemudi sepit lain sudah loncat ke atas sepit. Ada yang tiba-tiba mendekatiku, menerobos kerumunan penumpang. Seseorang
itu segera menahan tanganku, membuat gerakanku yang hendak loncat ke atas sepit terhenti. Seketika.
Aku menelan ludah. Ada apa"
*** Dalam ceritaku ini, Pak Tua selalu benar. Jika dia keliru, atau kenyataannya berbeda dari yang dia sampaikan, maka itu biasanya karena kenyataan itu datang
terlambat. Berbeda dengan Bang Togar, yang juga punya rumus sama. Bang Togar selalu benar, jika dia keliru, maka lihat kalimat sebelumnya. Sayangnya, baik
rumus Bang Togar maupun Pak Tua, ketika kalimat keduanya tiba, tetap saja hasilnya sama menyebalkan, sama menyakitkan, seperti itulah.
Dua minggu lalu, pulang dari rumah Pak Tua, bertanya pendapatnya tentang Mei, aku memutuskan mengikuti saran Pak Tua, bersabar, terus menghubungi Mei."
Awalnya aku mencoba menemui Mei di sekolahnya, di rumahnya, membujuk Ibu kepsek yang baik hati, atau Bibi bertubuh besar namun gesit itu. Disuruh menunggu,
aku menunggu. Satu jam, dua jam, sia-sia, aku pulang, kembali lagi esok harinya. Tapi karena kesibukan bengkel tidak bisa kutinggalkan terus menerus demi
Mei, ditambah Andi dan dua montir lain sudah sering mengeluh, maka aku harus mencari cara lain agar terus berhubungan dengan Mei, meskipun itu hanya satu
arah, sepihak. Aku menemukan ide baiknya, menyontek Mei yang pernah menyerahkan secarik kertas lewat Bibi. Itu memang klasik, tapi itu oke"surat! Hari ini, siapa lagi
penduduk kota Pontianak yang menggunakan surat kertas untuk menyampaikan sesuatu" Jarang.
Pesan pertama yang kutulis di kertas buku tulis seperempat halaman adalah: "Mei, aku menunggu kau pulang dari sekolah. Sudah satu jam, tidak bisa lama-lama,
maaf. Kaki Andi tadi pagi tertimpa kunci pas. Jempol kaki kanannya bengkak, merah, sebenarnya tidak parah, tapi kau tahulah, dia sudah macam habis tertimpa
kontainer saja. Aku harus pulang segera, di bengkel tidak ada siapa-siapa."
Aku memberikan lipatan kertas lecek itu pada Bibi, menyeringai, "Tolong berikan pada, Mei." Bibi mengangguk, tersenyum sabar padaku"bagaimana tidak sabar,
aku setiap hari mengganggunya, hari ini malah menyuruh-nyuruh dia mencari kertas dan pulpen, lantas menitipkan pesan pula.
Besok sore saat aku ijin meninggalkan bengkel, kembali menunggu di rumah dekat balai kota itu, aku kembali menulis pesan di atas secarik kertas: "Mei,
apa kabar" Tadi siang aku dan Andi makan di warung padang. Menunya kepiting. Ohiya, kau tahu kenapa kepiting tidak bisa berjalan maju" Itu teka-teki pemilik
warung padang, dia terkekeh menyebut jawabannya. Kalau kau penasaran, nanti kapan-kapan kuberitahu. NB. Semoga kau belum tahu teka-teki itu, dan penasaran,
jadi kita bisa bertemu. Amin."
"Pesan buat Nona Mei lagi?" Bibi bertanya, menerima lipatan kertas.
Aku mengangguk. Besok sorenya lagi, saat kembali menunggu di rumah dekat balai kota, aku kembali menulis pesan, kali ini aku membawa sendiri pulpen dan kertasnya, tadi
baru saja miting dengan pelanggan, jadi tidak sengaja mengantongi pulpern, "Mei, kau mau menonton lomba balap sepit minggu depan" Itu selalu seru. Ramai,
berisik. Maaf, karena itulah aku harus bergegas pulang, sudah satu jam menunggu kau, aku harus menemukan cara agar bisa mengalahkan Bang Togar."
Dan dengan segera, kebiasaanku menitipkan pesan itu dihafal oleh Bibi. Pernah aku saking kesalnya, hari itu Mei kebetulan sudah pulang dari sekolahnya,
tapi dia tetap menolak keluar menemuiku, aku putus-asa, mendengus jengkel, bergegas hendak pergi."
Bibi berseru, mengingatkan, "Kau tidak menitipkan pesan, Nak?"
Langkah kakiku terhenti, menoleh. Bibi mengangkat tangannya, jari-jarinya bergerak seolah sedang memegang lipatan kertas. Baiklah, aku mencari sembarang
kertas, ada bekas catatan pesanan spare part di sakuku, merobeknya sedikit, menulis, "Mei, aku pulang. Selamat tinggal."
Bibi nyengir melihat betapa butut dan kecilnya lipatan kertas yang kuserahkan kali ini, tapi dia tidak berkomentar, tersenyum mengangguk, lantas menutup
pintu. Apakah aku benar-benar putus-asa" Mengucapkan selamat tinggal" Tidak, besoknya aku tetap memaksakan datang meski ada pelanggan penting di bengkel. Aku
hanya datang untuk menitipkan pesan pada Bibi, "Mei, semoga kau baik-baik saja. Maaf aku marah-marah kemarin sore. Kau tahu, gara-gara itu, semalam aku
bermimpi buruk, ternyata Andi adalah alien, mahkluk asing yang dikirim dari planet lain. Dia bisa berubah menjadi monster dongkrak, lantas memakan baut,
roda, mobil, merusak seluruh bengkel. Mungkin mulai hari ini aku harus hati-hati padanya. Siapa tahu itu sungguhan, bukan. Borno."
Aku tidak punya ide mau menulis apa, jadi lebih banyak ngasal. Sebenarnya aku ingin menulis kalimat seperti, "Mei, aku suka kamu." Atau "Mei, aku kangen
kamu." Macam pesan-pesan lazimnya di dunia perasaan yang memakai pola baku "aku" dan "kamu", tapi kalimat itu tidak kuasa kutuliskan. Situasiku sudah rumit
tanpa perlu ditambah rumit"sebelum jelas benar apa perasaan Mei padaku. Dan sejauh ini, pesan-pesan pendek itu tidak pernah mendapatkan balasan."
Setidaknya aku tahu kalau pesan-pesan itu dibaca Mei, Bibi memberitahukannya.
"Bagaimana ekspresi wajahnya saat membaca pesanku, Bi?" Aku penasaran.
"Biasa saja." Bibi nyengir lebar.
Aku mengeluh, menyeka peluh di leher."
Hari itu setelah sia-sia menunggu satu jam, aku akhirnya menulis pesan di bekas kertas karton kue yang dihidangkan Bibi, "Mei, tadi malam aku sungguh berharap.
Seandainya aku tidak bisa bertemu kau secara langsung, aku sungguh berharap bisa bertemu kau lewat mimpi. Itu lebih dari cukup. Sialnya, malah Andi yang
muncul dalam mimpiku semalam. Dia mengaku, kalau Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acung sebenarnya juga alien. Astaga. Itu semakin mengerikan."
Hanya itulah kalimat terbaik dalam pesan kertas secuilku.
Seminggu berlalu, tetap tak ada kemajuan berarti.
*** Tiga hari lalu, sebelum lomba sepit, aku menulis pesan, "Dear Mei, tadi pagi aku selesai mempermak mesin tempel sepit Pak Tua, kubuat sedemikian rupa menjadi
amat bertenaga, belum lagi arah kipas propelernya kubuat otomatis, sepit Pak Tua bisa menikung dengan kecepatan tinggi. Kau tahu dari mana semua ide itu"
Dari buku yang kau hadiahkan. Itu buku tentang mesin terbaik yang pernah kubaca. Aku ingin sekali memperlihatkan hasil permakan mesinnya pada kau, Mei.
Aku pasti bisa memenangkan lomba sepit tiga hari lagi. Kau mau menonton" Akan menyenangkan sekali kalau kau datang.?"
Tidak ada balasan Mei. Dua hari lalu, aku menulis pesan, "Dear Mei, apakah kau selalu menyimpan pesanku" Atau kau remas, menggumpal, lantas kau lempar ke kotak sampah. Aku sungguh
tidak berharap lagi kau mau menemuiku. Aku menghargai keputusan yang kau buat. Biarlah. Tetapi bisakah kau sekali saja membalas pesan-pesanku" Bukankan
itu tidak melanggar permintaan kau agar aku berhenti menemui kau. Hanya membalas pesan, bukan menemui."
Sejenak termangu, hampir saja aku menambahkan kalimat itu di akhir pesan. Bibi menungguiku di bawah bingkai pintu. Aku menyeka pelipis, mengurungkan menulis
kalimat itu. Malu saat hendak menuliskannya, tanganku malah bergetar. Akhirnya aku berdiri, menyerahkan pesan itu pada Bibi.
Bibi mengangguk menerimanya."
Kemarin sore, satu hari sebelum balapan sepit 17an, sejak dari bengkel aku sudah meniatkan menunggu Mei hingga malam, urusan bengkel sudah kuserahlan pada
Andi, dia mengangguk, mengingatkan tentang menjemput bapaknya di dermaga ferry pukul enam besok pagi. Sialnya, meski aku menunggu hingga tiga jam di beranda
rumah Mei, ia tetap menolak bertemu denganku. Padahal aku semangat sekali ingin cerita tentang balapan sepit besok siang."
Aku menjadi kesal, mendengus tidak terima, maka bergegas meninggalkan beranda rumah, tanpa bicara sepatah pun pada Bibi yang seperti biasa tetap sabar
meladeni keras-kepala kami, bolak-balik.
Baru tiba di gerbang pagar, aku memutuskan kembali ke beranda. Teringat belum menulis pesan.
Bibi menyerahkan secarik kertas dan pensil, tersenyum, sudah hafal kebiasaanku.
Baiklah, dengan segenap rasa kesal, aku menulis: "Mei, aku bersumpah, aku tidak akan pernah berhenti hingga kau sendiri mau menjelaskan semua alasan itu.
Aku hanya butuh penjelasan. Tidak harus sebuah pertemuan. Kenapa" Kenapa?""
Aku menghela nafas panjang, membaca lagi pesan pendek itu. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kesal, aku kembali membungkuk, akhirnya menambahkan kalimat
itu setelah dua kali "Kenapa?" Aku menulis kalimat perasaan itu dengan tangan bergetar, susah payah menyelesaikannya, kalimat yang selama seminggu terakhir
kutahan-tahan." Bibi memperhatikan di sebelahku.
Aku membaca ulang pesanku, menyeringai, apakah aku akan menyerahkan pesan ini" Dengan kalimat itu sebagai penutupnya" Separuh hatiku mulai ragu-ragu, separuh
lagi malah malu. Astaga" Kau sungguhan akan menulisnya, Borno" Bagaimana kalau dia tetap tidak peduli. Aku menelan ludah, menghela nafas panjang untuk
kesekian kali, baiklah, membungkuk lagi, memutuskan menghapus kalimat itu."
Bibi tetap memperhatikan di sebelahku.
Aku berdiri, menyerahkan kertas pesan, dengan kalimat terakhir yang telah kuhapus.
"Maafkan Nona Mei, Nak." Bibi menatapku prihatin, "Dia sejak kecil memang sudah keras kepala."
Aku mengangguk, tidak mengapa. Ijin pamit padanya, berjalan melintasi halaman dengan wajah tertunduk. Lampu jalanan mulai menyala. Malam ini langit kota
Pontianak cerah. Boleh jadi aku akan berjalan kaki pulang ke bengkel. Sendirian. Berpikir. Memikirkan semua tingkah bodohku sebulan terakhir. Boleh jadi,
mulai hari ini, saatnya aku harus melupakan Mei, memulai kesempatan baru, seperti saran Pak Tua padaku.
*** Pak Tua benar. Tetapi bukan soal memulai kesempatan baru itu.
Pak Tua benar. Ketika Mei terdesak, dia tidak kuasa lagi membaca pesan-pesan itu, terlebih pesan terakhirku dengan satu kalimat yang telah kuhapus"bodohnya,
aku tidak menduga kalau mudah saja mengembalikan apa yang telah dihapus dari tulisan pensil, Mei memutuskan pergi. Menjauh dariku"ketika menjauh secara
perasaan tidak cukup, maka menjauh secara fisik adalah pilihan berikutnya. Pak Tua benar, Mei pergi.
Dermaga kayu bising oleh penonton.
"Hadirin yang berbahagia, hadirin setengah berbahagia, hadirin seperempat berbahagia maupun hadirin yang tidak berbahagia sama sekali, inilah dia" inilah
dia final paling mendebarkan sepanjang sejarah balapan sepit sungai Kapuas!" Petugas timer berdiri di tengah dermaga, mengangkat toa tinggi-tinggi, ludahnya
muncrat berseru-seru serak, "Inilah dia empat pengemudi perahu kayu terbaik kita! Tiga pengemudi laki-laki, satu pengemudi perempuan. Nah, berbeda dengan
babak penyisihan dan 16 besar, di babak final ini mereka akan membawa sepit ngebut, memutari tiang jembatan Kapuas sebanyak dua kali" dua rit yang menegangkan!"
Penonton di dermaga kayu, di jendela-jendela rumah, di tepian Kapuas ramai bertepuk-tangan. Ketegangan dan antusiasme menyelimuti langit-langit. Tiga pengemudi
lain sudah menuju sepit masing-masing, hanya aku yang tertahan di bibir dermaga.
Bibi, adalah Bibi yang memegang tanganku.
Dia tersengal, berpeluh, tangannya gemetar menjulurkan lipatan kertas, "Nona" Nona Mei." Susah payah Bibi berseru, berusaha mengalahkan bising penonton.
Aku menelan ludah, menatap wajah yang pastilah habis berlari secepat mungkin dari perempatan dekat gang.
"Ini apa?" Tanganku gemetar mengangkat lipatan kertas.
"Pesan dari Nona Mei, Nak."
Aku tidak bertanya dua kali, bergegas membukanya, Andi yang bingung melihatku kenapa belum bergerak ke arah sepit, menoleh. Lebih bingung lagi melihat
kenapa ada ibu-ibu berbadan besar, separuh baya, sedikit membungkuk, ngos-ngosan di depanku.
"Maafkan Mei, abang. Mei pergi."
Kau sungguh terlalu Mei. Kutulis pesan berbaris-baris, berhari-hari, hanya ini saja balasan pesan kau" Tangan kau gatal, tidak bisa menulis" Kau sungguh
tega Mei. Tetapi aku tidak sempat mengeluh, bermelankolik atau mendramatisasi. Situasinya sudah terlanjur dramatis, aku segera menatap Bibi, mencengkeram
lengannya, "Mei, Mei pergi kemana?"
"Bandara. Nona Mei pergi ke Surabaya."
"Kapan?" Suaraku mencicit panik.
"Satu jam lalu. Nona Mei sengaja menahanku agar tidak segera memberikan pesan itu, Nak. Dia menyuruhku mengirimkannya besok pagi. Tapi bibi tua ini tidak
tahan, tidak kuasa. Kau harus segera tahu, Nak. Kau berhak tahu". Maka bibi memutuskan melanggar pesan Nona Mei. Seumur-umur bibi bekerja di rumah itu,
sungguh baru pertama kali bibi melanggar perintah. Aduh, semoga almarhumah Nyonya tidak marah pada bibi."
Astaga! Aku sungguhan panik. Tidak mendengarkan kalimat sedih bibi, tidak mendengarkan cuap-cuap kalimat petugas timer, apalagi bisingnya penonton.
"Woi, Borno, kau segera naik sepit!" Petugas meneriakiku.
"Borno! Borno! Borno!" Pendukung meneriakkan namaku.
Aku menatap sekitar. Wajah-wajah antusias, wajah-wajah menyemangati. Tetapi pikiranku sudah tidak lagi ada di dermaga kayu. Suara bising itu bagai televisi bisu, lengang, aku
menatap sekitar dengan pikiran sempurna pada Mei. Gadis berwajah sendu misterius itu, yang sekarang sedang duduk di bangku belakang, mobil hitam metalik
meluncur cepat menuju bandara kota, koper besar berada di bagasi.
Dermaga kayu terasa lengang.
"Jangan melamun, Borno. Kau mau menyuruh kami mati penasaran menunggu final, hah" Bapak walikota sudah siap menembakkan pistol, tahu." Petugas timer sebal,
menurunkan toa, melangkah mendekatiku, menepuk bahuku keras-keras.
Aku menoleh, menatap kosong, "Maafkan aku, Oom. Maafkan"."
Petugas timer hendak membuka mulutnya, meneriakiku.
Aku sudah lari menerobos kerumunan penonton, menyibak siapa-saja di depanku, mendorong paksa, penonton rebah-jimpah, satu dua jatuh terduduk, aku tidak
peduli, aku bergegas secepat kakiku bisa melewati gerbang dermaga, lantas terus menuju perempatan lampu merah.
Penonton terdiam, sempurna menatapku yang berlari..
Bang Togar berdiri di sepitnya, meneriakiku, "Woi, pengecut, kau mau kemana?"
Sarah terdiam, tidak mengerti.
Penonton berbisik-bisik satu sama lain.
Jauhari cengengesan, "Kena batunya dia. Paling juga kebelet buang air besar."
"Kalau hanya ingin buang air besar, kenapa tidak di toilet dermaga saja, Bang." Pengemudi lain menimpali, menolak kemungkinan itu.
Jauhari yang masih sebal karena kalah di babak penyisihan mengangkat bahu, "Mana kutahu, boleh jadi dia sudah keciprit di celana. Malu kalau ketahuan,
jadi bergegas pulang ganti celana."
"Tapi arah rumahnya bukan ke sana, Bang."
"Tutup mulut kau. Susul Borno sana kalau mau tahu persis." Jauhari melotot.
Keriuhan dermaga kayu terhenti.
Teriakan anak-anak dan ibu-ibu gang sempit juga terhenti, saling tatap. Tidak mengerti.
"Astaga, kau mau kemana, Kawan?" Andi mengeluh, "Nasib, hilang sudah kesempatan makan gratis selama sebulanku."
Pak Tua menghela nafas perlahan, menatap penuh arti punggungku yang segera hilang dibalik kerumunan penonton. Pak Tua menunduk tidak banyak berkomentar.
Petugas timer menepuk dahinya, kehabisan kata. Dia telah kehilangan salah-satu finalis, bahkan sebelum balapan paling seru dimulai. Aku dengan kecepatan
penuh, berusaha mengejar Mei di bandara.
*** Semua orang juga tahu, ojek sepeda motor adalah pamungkas jika kalian butuh kecepatan tinggi mengejar sesuatu di jalanan padat kota. Mereka master jalan
pintas, jago nyelip di celah sempit kendaraan lain, dan memang suka (tanpa disuruh) salip kiri, salip kanan. Jadi sebenarnya biasa-biasa saja, jika ada
pejabat, orang penting, artis atau apalah yang terpaksa naik ojek ketika dia dalam posisi buru-buru, dihadang macet pula, justeru pejabat itu norak kalau
bergaya dan mengaku-ngaku betapa sederhananya dia karena bersedia berpanas-panas naik ojek"atau boleh jadi wartawan televisinya yang norak, sibuk memberitakannya.
Lima menit berlari non-stop, suara keriuhan dermaga sepit tertinggal di belakangku, entah apa yang sedang terjadi di sana, mungkin final balapan sudah
dilangsungkan. Aku tersengal, sedikit membungkuk, meneriaki tukang ojek yang mangkal di perempatan lampu merah dekat gang sempit"orang-orang yang malas
menonton lomba balapan. Salah-satu dari mereka langsung menyambar helm, melepas standar, menghidupkan motor, mendekatiku.
"Mau kemana, bang?""
Aku kenal dia, Ujang, salah-satu pemuda gang sempit.
"Bandara." "Bandara" Astaga, abang mau naik pesawat" Bukan main. Jangan-jangan abang nih orang pertama yang naik pesawat dari gang sempit kita." Ujang tertawa.
"Berapa duit?" Aku melotot, menyuruhnya diam.
"Tiga puluh ribu, bang.?"
"Berapa lama?" Aku masih berusaha mengendalikan sengal nafas.
"Paling juga setengah jam, bang."
"Kubayar kau enam puluh ribu jika tiba di sana dalam waktu 15 menit. Bisa?"
Tanpa banyak bicara, Ujang menyerahkan helm. Mengangguk mantap.
Aku loncat ke jok belakang, belum benar betul posisiku, motor bebek Ujang sudah melesat membelah padatnya mobil di perempatan. Aku nyaris terjengkang.
"Pegangan, bang. Kecepatan penuh." Ujang tertawa.
Aku tidak mencemaskan motor bebek Ujang yang seperti kesurupan menyalip kendaraan lain di depannya"bahkan dua motor patroli polisi kurang ajar dia salip
juga, membuat petugasnya berteriak marah, beruntung dua polisi itu tidak berselera mengejar tukang ojek. Aku mencemaskan hal lain, fakta jika mobil yang
mengantar Mei sudah berangkat satu jam lalu, maka dengan kecepatan apapun aku mengejarnya, Mei pasti sudah di bandara saat ini. Dan jika jadwal pesawatnya
segera berangkat, maka aku tidak akan memiliki kesempatan menemuinya sebelum dia pergi.
Ujang memotong jalan, menyelinap di gang kecil, belok kiri, kanan, melewati anak-anak yang sedang bermain, hampir menabrak gerobak bakso, banting kemudi,
terus ngebut, tiba-tiba sudah muncul di jalan besar menuju bandara, lengang, lebih ngebut lagi dia.
Lima belas menit tepat, motor Ujang menerobos palang parkir"kusuruh biar cepat, nanti-nanti saja bayar tiket parkirnya. Motor bebek itu masuk ke jalanan
bandara, hingga akhirnya merapat di lobi keberangkatan, aku loncat dari atas motor, menyerahkan helm, meninggalkan Ujang yang diteriaki dan dikejar-kejar
oleh petugas keamanan bandara."
Sebenarnya jangankan naik pesawat, datang ke bandara baru pertama kali ini, aku tidak tahu logika sebuah bandara. Tetapi dalam situasi terdesak, terkadang
naluri kita menuntun pada tahapan yang tepat. Logika bandara ini pasti samalah dengan terminal bus kota Pontianak, atau dermaga ferry, aku harus bergegas,
tidak sempat bertanya bingung. Aku benar menyuruh Ujang berhenti di lobi keberangkatan"Ujang sudah sejak menerobos palang parkir bertanya, bilang aku mau
turun di mana. Untung kami tidak merapat di lobi kedatangan, karena lima menit waktu berhargaku bisa hilang sia-sia untuk kembali ke lobi yang benar."
Aku reflek berhenti lima belas detik di layar televisi besar, yang menunjukkan jadwal keberangkatan, menatap layar. Pesawat menuju Surabaya lima belas
menit lagi boarding, apa itu boarding" "masuk pesawat", itu penjelasan mbak-mbak petugas di dekat layar televisi. Aku menghela nafas, sedikit lega, masih
punya waktu, berlari-lari kecil hendak masuk ke ruangan besar check-in (aku benar harus ke sana, meski aku tidak paham apa itu mekanisme check-in). Petugas
berjaga di gerbangnya, memeriksa tiket penumpang.
Aku menelan ludah, lariku mengendur. Aku tidak punya tiket, bagaimanalah aku bisa masuk" Satu rombongan besar masuk, salah-satu dari mereka menyerahkan
tiket, menunjuk teman-temannya, petugas memeriksa sekilas, melihat rombongan, lantas mengijinkan. Aku meremas jemari, ini mudah, petugas tidak terlalu
detail memeriksa, aku celingukan depan belakang, mencari penumpang rombongan dalam antrian panjang. Ada satu di belakang, aku segera merapat.
Antrian penumpang yang hendak masuk bandara cukup panjang, lima menit, hingga akhirnya giliran "rombonganku" tiba di pintu masuk, bapak-bapak yang memegang
tiket menunjuk anggota rombongannya, aku pura-pura bergabung."
"Tiketnya." Petugas tetap melotot padaku.
"Eh, sudah dibawa bapak yang itu, bukankah sudah diperiksa tadi?" Aku pura-pura bingung, reflek menunjuk bapak yang sudah mendorong kopernya melewati x-ray,
rombongannya yang terdiri dari 6-7 orang berisik berebutan.
Giliran petugas itu bingung, menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki, setengah tidak percaya, bukankah rombongan di depan adalah rombongan anak-anak
SD, berseragam, mungkin hendak ikut acara di kota lain."
"Eh, eh, aku salah satu guru pembina mereka." Aku bergegas mengarang, sebelum dia bertanya. Sambil mengutuk dalam hari, baru menyadari kalau aku memilih
rombongan yang keliru. Petugas pintu masuk sejenak masih menyelidik, sebelum akhirnya mengangguk.
Aku menghela nafas lega. Bergegas berlari melintasi ruangan besar.
Tetapi tetap saja ada pintu kedua yang tidak bisa kulewati dengan mudah. Pintu menuju ruang tunggu sebelum naik ke pesawat.
"Boarding pass!" Petugas galak bertanya.
Aku terdiam, antrian penumpang tertahan.
"Kau punya kertas yang diberikan petugas meja check-in, Nak?" Petugas lain bertanya lebih lembut, dia macam sedang bicara dengan orang bebal, tidak pernah
naik pesawat. Aku terdiam. Bagaimana urusan ini?"
"Kau punya" Yang bentuknya seperti tiket, Nak. Sini aku bantu. Mana?""
Aku menggeleng." "Oo, kau pasti belum check-in, mau kuantar ke mejanya" Kasihan, kau pasti bingung di bandara ini. Tiketnya mana, Nak, biar kubantu?"
Aku menggeleng, aku tidak punya dua-duanya, tiket, apalagi boarding pass. Waktuku sempit sekali, pengumuman "penumpang menuju Surabaya harap segera masuk
lewat pintu satu" sudah terdengar sejak aku tertahan tadi, dan terus diulang-ulang."
Aku melongok ke dalam, siapa tahu ada di Mei di sana. Bagaimanalah ini, apa aku akan menerobos masuk" Apa aku akan mendorong petugas yang sekarang sibuk
berbisik-bisik, bergumam kalau sejak tiket pesawat murah maka semakin banyak saja penumpang yang nyasar di bandara"belum lagi yang bergaya sekali naik
pesawat, macam mau kondangan.
"MEI!" Aku berseru kencang.
Eh" Petugas yang masih menghalangiku bingung. Kenapa aku tiba-tiba teriak.
"MEI!" Aku berseru lebih kencang."
Lihatlah, di balik dinding kaca ruang tunggu, Mei terlihat berdiri, berjalan perlahan menuju antrian penumpang yang akan naik pesawat. Aku melihatnya.
Aku melihat Mei di sana. Petugas justeru memasang badan tinggi besarnya sebagai palang masuk. Aku panik, gemas menatap petugas yang galak mengusir. Aku mendorong petugas, berusaha
menerobos. "ASTAGA! Kau tidak bisa memaksa masuk, Nak." Petugas yang baik-hati, hendak mengajakku ke meja check-in, reflek menahan.
"TANGKAP DIA!!" Yang lain berseru galak.
Dua petugas berhasil menahan tanganku, aku menepisnya, bergulat."
"Lepaskan!" Aku meronta.
"Jangan biarkan dia lolos."
"Mei! MEI!!" Aku berseru-seru panik, jarakku dengannya masih 20 meter, ruang tunggu ramai, tidak mudah memanggil Mei dari jarak sejauh ini. Tapi keributan
di pintu masuk menolongku, membuat kepala-kepala tertoleh. Orang-orang menunjuk, berbisik satu sama lain, ingin tahu apa yang terjadi.
Mei yang persis di belakang antrian akhirnya ikut menoleh.
"Mei!" Suaraku serak, hampir putus-asa memanggil, petugas sudah berhasil meringkus dua tanganku. Macam meringkus pencuri jemuran, aku ditarik paksa keluar
dari ruangan. Mei mematung, menatap kejadian.
Aku balas menatapnya nanar, "Mei".?"


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang berdiri menonton. "
Badanku diseret kasar, aku tetap berusaha menoleh, menatap Mei. Tetapi tangan petugas memegang tengkukku, menyuruh menghadap ke depan. Selesai sudah, semua
Pangeran Anggadipati 3 Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Naga Pembunuh 12

Cari Blog Ini