Ceritasilat Novel Online

Jam Antik Pembawa Bencana 1

Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana Bagian 1


"MICHAEL, tali sepatumu lepas."
Adikku, Tara, sedang duduk di teras depan, menatapku sambil nyengir lebar.
Hah, memangnya aku tolol" Aku takkan memeriksa tali sepatuku.
Sebab kalau aku menunduk, dia pasti akan melakukan sesuatu yang
konyol, seperti menonjok daguku.
"Huh, tipuan itu sudah kuno," sahutku.
Mom baru saja memanggilku dan si brengsek untuk makan malam.
Jauh sebelumnya Mom menyuruh kami keluar karena tak tahan lagi
mendengarkan pertengkaran kami.
Rasanya tak ada satu hari pun berlalu tanpa pertengkaranku dengan
Tara. Tara memang tidak kenal batas kalau bercanda. Dia tak pernah tahu
kapan harus berhenti. "Aku serius," dia berkeras. "Tali sepatumu lepas. Kau bisa
jatuh." "Sudahlah, Tara," ujarku beranjak menuju pintu.
Tapi sepatu kiriku seakan-akan melekat di lantai. Langsung saja
kuentak kakiku dengan keras.
"Idih!" Ternyata aku menginjak sesuatu yang lengket.
Aku melirik ke arah Tara. Dia kecil dan kurus. Mulutnya seperti mulut badut,
merah dan lebar, dan rambutnya yang cokelat tipis selalu
dikepang dua. Semua orang bilang tampang Tara dan aku mirip sekali. Aku paling
kesal kalau ada yang berkomentar begitu. Rambutku memang cokelat,
tapi tebal. Dan mulutku berukuran normal. Belum pernah ada yang
bilang tampangku seperti badut.
Untuk seusiaku, aku memang agak pendek, tapi tidak kurus.
Dan aku tidak mirip Tara.
Adikku memperhatikanku sambil tertawa cekikikan. "Sebaiknya kau periksa
sepatumu," dia berkata dengan nada mengejek.
Aku menunduk dan menatap sepatuku. Tali sepatuku tentu saja tidak
lepas. Tapi aku baru saja menginjak segumpal permen karet. Kalau
saja aku mau memeriksa tali sepatuku sebelum melangkah tadi, aku
pasti akan melihat permen itu.
Tapi Tara tahu aku tidak akan memeriksa tali sepatu. Dia tahu persis bahwa aku
tidak akan menuruti sarannya.
Lagi-lagi aku kena tipu oleh Tara si pengacau.
"Awas kau, Tara," aku menggerung. Aku berusaha menangkapnya, tapi dia mengelak
dan langsung berlari masuk.
Aku mengejarnya ke dapur. Dia menjerit-jerit dan berlindung di
belakang Mom. "Mom! Tolong! Aku dikejar Michael!" dia memekik.
Dia berlagak tak berdaya. Huh, dasar!
"Michael Webster!" Mom berseru. "Jangan kejar-kejar adikmu."
Kemudian dia menatap sepatuku dan menambahkan, "Astaga, kau
menginjak permen karet, ya" Aduh, Michael, lantainya jadi kotor
tuh!" "Ini gara-gara Tara!" aku membela diri.
Mom mengerutkan kening. "Jangan cari-cari alasan, Michael."
"Aku tidak cari-cari alasan!" seruku.
Mom menggelengkan kepala dengan kesal. "Kalau memang mesti cari alasan, Michael,
carilah alasan yang masuk akal."
Tara mengintip dari belakang Mom sambil menjulurkan lidahnya.
"Yeah, Michael."
Kemudian dia tertawa. Dia benar-benar menikmati kemenangannya.
Tara selalu menjadikanku kambing hitam. Selalu aku yang ditegur
karena hal-hal yang dilakukannya. Di mata orangtuaku, Tara tidak
mungkin berbuat salah. Dia dianggap seperti malaikat yang tak
berdosa. Aku dua belas. Tara tujuh. Dan gara-gara dia aku menderita lahirbatin selama tujuh tahun terakhir.
Sayangnya aku kurang ingat lima tahun pertama dalam hidupku.
Tahun-tahun sebelum ada Tara. Wah, tahun-tahun itu pasti
menyenangkan sekali. Begitu tenang dan tenteram - dan
mengasyikkan! Aku pergi ke teras belakang dan membersihkan permen karet yang
melekat di sepatuku. Tiba-tiba aku mendengar bel pintu berdering dan kudengar
Dad berseru, "Ah, akhirnya! Biar aku saja yang buka pintu."
Semua orang berkumpul di pintu depan. Dua laki-laki sedang
menggotong sesuatu yang berat ke dalam rumah. Sesuatu yang
berbentuk panjang, ramping, dan dibungkus kain tebal berwarna
kelabu. "Hati-hati," Dad mewanti-wanti kedua tukang angkut itu. "Ini barang antik. Bawa
ke sini saja." Dad mengajak mereka ke ruang kerjanya. Mereka menegakkan benda
itu dan mulai membuka pembungkusnya. Benda itu kira-kira selebar
aku dan sekitar satu kaki lebih tinggi.
"Apa ini?" tanya Tara.
Dad tidak langsung menjawab. Dia menggosok-gosok tangannya
seakan-akan sudah tak sabar ingin melihatnya. Kucing kami, Bubba,
menyelinap masuk dan menyandarkan tubuhnya ke kaki Dad.
Kain pembungkusnya tersingkap, dan aku melihat jam kuno yang
indah sekali. Warnanya hitam. Di beberapa bagian ada gambar
berwarna perak, emas, dan biru, serta berbagai ukiran, kenop, dan
tombol. Piringan jamnya berwarna putih, dengan jarum-jarum penunjuk dan
angka-angka Romawi berwarna emas. Aku melihat beberapa pintu
rahasia di balik gambar-gambar, dan sebuah pintu besar di bagian
tengah. Kedua tukang angkut itu memungut kain pembungkus yang tergeletak
di lantai. Dad memberi tip, dan mereka segera pergi.
"Wah, bagus sekali, ya?" Dad bertanya penuh semangat. "Jam ini benar-benar
antik. Dan harganya murah sekali. Kalian tahu kan toko
di seberang kantorku, Anthony's Antiques and Stuff, bukan?" Kami semua
mengangguk. "Nah, jam ini sudah lima belas tahun dipajang di toko itu," Dad bercerita sambil
menepuk-nepuk jam itu. "Setiap kali lewat di depan Anthony's, aku selalu
berhenti dan mengaguminya. Dari dulu aku
sudah suka sekali. Dan akhirnya Anthony bersedia menjualnya."
"Wow," ujar Tara.
"Tapi selama ini Anthony selalu menolak tawaranmu," Mom
berkomentar. "Kenapa justru sekarang dia mau menurunkan
harganya?" Wajah Dad berseri-seri. "Waktu istirahat makan siang tadi aku pergi ke sana
lagi, dan Anthony memberitahu bahwa dia menemukan cacat
kecil pada jam ini. Ada sesuatu yang tidak beres."
Langsung saja kuamati jam itu dengan saksama. "Apanya yang tidak beres?"
"Dia tidak mau bilang. Kalian melihat sesuatu yang tidak beres?"
Aku dan Tara mulai mencari-cari cacat yang dimaksud Dad. Susunan
angka Romawi-nya tidak keliru, dan kedua jarum penunjuk pun
terpasang dengan benar. Tak ada bagian yang tergores atau catnya
terkelupas. "Sepertinya tidak ada yang rusak," ujar Tara.
"Yeah, tak ada yang rusak," aku menimpali.
"Aku juga tidak tahu apa yang dimaksud Anthony," kata Dad. "Tapi cacat atau
tidak, aku memang sudah berniat membeli jam ini. Anthony sempat berusaha
mempengaruhiku tadi, agar aku berubah pikiran, tapi tekadku sudah bulat. Kalau
cacatnya cuma kecil saja, dan kita tidak melihatnya, apa pengaruhnya" Lagi pula,
aku benar-benar menyukai jam ini." Mom berdeham. "Hmm, aku tidak tahu apakah jam ini memang pantas ditaruh di ruang
baca." Dari roman mukanya aku langsung tahu bahwa Mom kurang menyukai jam itu.
"Mau ditaruh di mana lagi?" tanya Dad.
"Ehm - bagaimana kalau di garasi saja?"
Dad tertawa. "Hahaha, lelucon yang bagus!"
Mom menggelengkan kepala. Dia tidak bercanda. Tapi dia tidak
berkata apa-apa lagi. "Sayang, jam ini cocok sekali untuk menghiasi ruang baca," Dad melanjutkan.
Aku melihat sebuah piringan kecil dengan sejumlah angka di sisi
kanan jam. Piringan itu berwarna emas dan kelihatan seperti jam mini.
Tapi jarum penunjuknya cuma satu.
Angka-angka mungil berwarna hitam tertera di bagian luar piringan,
mulai dari angka 1800, ber-akhir pada angka 2000. Jarumnya
menunjuk salah satu angka: 1996.
Jarum itu tidak bergerak. Di bawah piringannya ada tombol kecil
berwarna emas. "Jangan sentuh tombol itu, Michael," Dad mewanti-wanti. "Piringan ini
menunjukkan tahun. Dan tombol ini menggerakkan jarum
penunjuknya." "Lho, apa gunanya?" tanya Mom. "Mana ad orang yang lupa tahun berapa sekarang?"
Komentar itu tak digubris oleh Dad. "Nah, jam ini dibuat tahun 1800, sesuai
angka yang pertama. Setiap tahun jarumnya maju satu angka
untuk menunjukkan tahun yang tepat."
"Tapi kenapa angkanya cuma sampai 2000?" tanya Tara.
Dad angkat bahu. "Entahlah. Barangkali orang yang membuat jam ini tidak bisa
membayangkan bahwa tahun 2000 akan tiba. Atau mungkin
juga dia pikir jam buatannya pasti sudah rusak sebelum tahun 2000."
"Barangkali dia menyangka dunia akan meledak tahun 1999," aku menduga-duga.
"Bisa jadi," ujar Dad. "Pokoknya, tolong tombol ini jangan diutak-atik. Atau
lebih baik lagi, jangan sentuh jam ini. Ini barang antik yang mudah sekali
rusak. Oke?" "Oke," kata Tara.
"Aku takkan menyentuhnya," aku berjanji.
"Wah," ujar Mom sambil menunjuk. "Sudah jam enam. Makan malam sudah hampir - "
Kalimat Mom terpotong oleh bunyi gong panjang. Sebuah pintu kecil
di atas angka 12 membuka - dan seekor burung melesat keluar.
Tampang burung itu jahat sekali - dan dia langsung menukik ke arah
kepalaku. Aku menjerit. "Ahhh, tolong!"
Ku-KuuuKK, Ku-kuukk! Burung itu mengepak-ngepakkan sayapnya yang kuning. Matanya
yang biru dan menyeramkan seakan-akan melotot ke arahku. Setelah
berbunyi enam kali, burung itu masuk kembali, dan pintunya langsung menutup
lagi. "Itu bukan burung sungguhan," ujar Dad sambil tertawa. "Tapi kelihatannya memang
seperti hidup, ya" Wow!"
"Dasar penakut!" Tara mengejekku. "Kau hampir mati ketakutan cuma gara-gara jam
antik!" Dia mengangkat tangannya dan
mencubitku. "Jangan macam-macam," aku menggerutu sambil mendorongnya.
"Michael, adikmu jangan didorong-dorong," kata Mom. "Kau kan jauh lebih besar
dari dia. Tara bisa cedera kalau sampai terjatuh."
"Yeah Michael," Tara menimpali.
Dad terus mengagumi jamnya. Sepertinya dia tidak sanggup
mengalihkan pandangan. "Aku tidak heran kau kaget karena burung tadi," ujarnya.
"Ini memang jam yang istimewa. Asalnya dari Jerman, dari daerah Black Forest daerah Hutan Hitam. Kabarnya, jam ini
memiliki kekuatan magis."
"Kekuatan magis?" aku membeo. "Masa sih?"
"Menurut legenda, pembuat jam ini memiliki kekuatan gaib. Jam ini dijampijampinya. Kata orang, kalau kita tahu rahasianya, kita bisa mundur ke masa
lalu." Mom mendengus. "Anthony yang bilang begitu" Itu memang cara
yang lihai untuk menjual jam tua. Katakan saja jam itu memiliki
kekuatan gaib!" Tapi Dad tidak peduli. "Siapa tahu?" sahutnya. "Cerita itu bisa saja benar."
"Kurasa memang benar," ujar Tara.
"Herman, seharusnya anak-anak jangan diceritakan dongeng seperti ini," gerutu
Mom. "Itu tidak baik untuk mereka. Bisa-bisa ketakutan Michael malah menjadijadi. Dia selalu mengada-ada dan mengarang
cerita yang tidak masuk akal."
Aku langsung protes. "Aku tidak mengada-ada! Aku selalu cerita apa adanya!"
Kenapa Mom sampai berpikiran seperti itu"
"Tak ada salahnya kalau anak-anak mengembangkan daya khayal
mereka," balas Dad. "Daya khayal memang perlu," Mom menanggapinya. "Tapi berbohong dan mengarang
cerita tak keruan itu soal lain."
Darahku serasa mendidih. Mom sangat tidak adil terhadapku. Dan
yang paling menyesakkan dadaku adalah senyum kemenangan di
wajah Tara. Sepertinya satu-satunya tujuan hidup adikku adalah menjelek-jelekkan aku.
Rasanya aku ingin memberi pelajaran padanya, supaya dia
berhenti memamerkan senyumnya yang menyebalkan itu.
"Makan malam sudah hampir siap," Mom mengumumkan sambil
meninggalkan ruang baca. Kucing kami menyusulnya. "Michael,
Tara - ayo, cuci tangan."
"Dan ingat," Dad menegaskan. "Jangan sentuh jam ini."
"Oke," ujarku. Aroma masakan Mom benar-benar membangkitkan selera. Aku segera
menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Ketika aku melewati
Tara, dia menginjak kakiku keras-keras.
"Aduh!" teriakku.
"Michael!" bentak Dad. "Jangan terlalu ribut!"
"Tapi, Dad, Tara menginjak kakiku."
"Ah, sakitnya kan tidak seberapa, Michael. Dia jauh lebih kecil darimu."
Kakiku berdenyut-denyut. Terpincang-pincang aku menuju ke kamar
mandi. Tara mengikutiku. "Dasar cengeng," ejeknya.
"Diam, Tara," kataku. Kenapa aku harus mendapatkan adik
perempuan paling brengsek di seluruh dunia"
Mom menghidangkan pasta dengan brokoli dan saus tomat untuk
makan malam. Dia penggemar masakan tanpa daging, dengan kadar
lemak rendah. Tapi aku tidak keberatan. Pasta masih mendingan
daripada hidangan semalam - sop miju-miju.
"Sebenarnya," kata Dad pada Mom, "tak ada salahnya kalau sekali-sekali kita
makan hamburger." "Aku tidak sependapat," sahut Mom. Dia tidak perlu berkata apa-apa lagi. Kami
semua sudah kenyang mendengar ceramahnya mengenai
daging, lemak, dan zat-zat kimia.
Dad menaburkan keju parmesan ke pastanya sehingga membentuk
lapisan tebal. "Mungkin ada baiknya untuk sementara kalian jangan masuk ruang bacaku," usul Dad
pada Tara dan aku. "Aku tidak berani
membayangkan kalian bermain-main di situ, lalu merusak jam kita
yang baru." "Tapi, Dad, malam ini aku harus membuat PR di sana," ujarku. "Aku harus membuat
laporan tentang 'Transportasi di Mancanegara'. Dan
untuk itu aku perlu pakai ensiklopedia."
"Kenapa tidak kau bawa ke kamarmu saja?" balas Dad.
"Semua jilid?" Dad menghela napas. "Hmm, rasanya memang tidak mungkin. Ya,
sudah. Malam ini kau boleh memakai ruang baca."
"Aku juga harus pakai ensiklopedia," seru Tara.
"Jangan ikut-ikut," aku menghardiknya. Aku tahu dia sebenarnya cuma mau
menggangguku. "Benar kok! Aku harus membaca tentang Demam Emas," katanya berkeras.
"Ah, kau mengada-ada. Demam Emas bukan pelajaran kelas dua. Itu pelajaran kelas
empat." "Kau tahu apa" Mrs. Dolin mengajarkannya sekarang. Barangkali
kelasku lebih pintar dari kelasmu dulu."
"Aduh, Michael," tegur Mom. "Kenapa sih harus bertengkar terus"


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa kau tidak percaya kalau Tara bilang dia perlu pakai
ensiklopedia?" Aku menghela napas dan menyuapkan pasta ke mulutku. Tara
menjulurkan lidahnya. Percuma saja aku berusaha meyakinkan mereka, pikirku. Bisa-bisa
aku malah kena semprot lagi.
Seusai makan malam aku membawa ransel sekolahku ke ruang baca.
Tara belum kelihatan. Moga-moga aku bisa menyelesaikan sebagian
PR sebelum dia muncul dan mulai menggangguku.
Kuletakkan semua buku pelajaranku di meja kerja Dad. Kemudian
pandanganku beralih ke jam yang baru dibelinya. Jam itu tidak
bagus - malah bisa dibilang jelek. Tapi aku suka kenop-kenop dan
tombol-tombolnya. Mungkin jam itu memang memiliki kekuatan
gaib - siapa tahu" Aku teringat cacat kecil yang disinggung Dad tadi. Dalam hati aku
bertanya-tanya apa kira-kira cacatnya. Barangkali ada bagian yang
jendul" Atau ada roda gigi yang rompal" Atau sebagian cat yang
terkelupas" Aku melirik ke pintu ruang baca. Bubba masuk sambil mendengkur
pelan. Aku membelai-belainya.
Mom dan Dad masih membereskan dapur seusai makan malam.
Rasanya tidak apa-apa kalau jam yang baru itu kuamati sebentar.
Dengan hati-hati agar tidak menyentuh tombol, aku menatap piringan
yang menunjukkan tahun. Kemudian aku meraba hiasan perak pada
sisi jam. Aku menatap pintu kecil di atas angka 12. Aku tahu burung tadi sedang
meringkuk di balik pintu itu, menunggu saat yang tepat
untuk melesat keluar. Aku tidak mau dikejutkan untuk kedua kali, jadi kulihat jam berapa
sekarang. Ternyata pukul delapan kurang lima menit.
Di bawah piringan angka aku melihat pintu lain. Yang ini berukuran
besar. Aku menyentuh pegangannya yang berwarna emas.
Kira-kira apa, ya, yang ada di balik pintu ini" aku bertanya-tanya.
Barangkali mekanisme roda gigi, atau sebuah bandul.
Sekali lagi aku menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Mestinya
tidak apa-apa kalau aku mengintip ke balik pintu besar itu.
Aku menarik pegangannya. Tapi pintunya macet Aku menarik lebih
keras. Pintunya membuka. Aku menjerit ketika sebuah monster mengerikan berwarna hijau
menghambur ke luar. Monster itu mencengkeramku lalu mendorongku
sampai jatuh. "MOM! Dad! Tolong!" aku menjerit.
Monster itu mengangkat kedua tangannya. Aku langsung melindungi
wajahku dan menunggu dicabik-cabik oleh cakarnya yang tajam.
"Ciluk ba!" Monster itu ketawa cekikikan dan menggelitikku dengan cakarnya.
Aku membuka mata. Tara! Tara dengan kostum Halloween-nya yang
lama! Dia berguling-guling di lantai sambil cekikikan. "Kau begitu gampang ditakuttakuti!" serunya. "Coba tadi kau bisa lihat tampangmu sendiri waktu aku melompat
keluar dari jam!" "Ini tidak lucu!" aku menghardiknya. "Ini - "
Gong. Ku-kuuk, ku-kuuk, ku-kuuk, ku-kuuk!
Burung itu muncul lagi dan langsung bersuara. Oke, aku memang
kaget. Tapi apa perlunya Tara terpingkal-pingkal menertawakan aku
sambil bertolak pinggang segala"
"Ada apa ini?" Dad berdiri di ambang pintu, sambil memelototi kami.
Dia menunjuk jam kebanggaannya. "Kenapa pintunya terbuka"
Michael, bukankah aku sudah melarang kau mengutak-atik jam itu!"
"AKU?" seruku. "Dia mau menangkap burungnya," Tara berbohong. "Memang sudah kuduga," ujar Dad.
"Dad, itu tidak benar! Tara yang - "
"Cukup, Michael. Aku sudah bosan mendengar kau menyalahkan Tara setiap kau
berbuat salah. Barangkali Mom memang benar. Barangkali
aku terlalu banyak membiarkanmu berkhayal."
"Ini tidak adil!" aku berseru. "Aku tidak berkhayal! Aku tidak pernah mengadaada!" "Dia bohong, Dad," Tara langsung menuduh. "Waktu aku masuk ke sini, dia sedang
mengutak-atik jam. Aku justru menyuruh dia
berhenti." Dad mengangguk. Dia percaya setiap kata yang diucapkan anak
emasnya itu. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Dengan geram aku bergegas ke
kamarku dan membanting pintu.
Tara pengacau paling brengsek di seluruh dunia, dan dia tidak pernah diharuskan
menanggung akibat dari perbuatannya. Dia bahkan
berhasil mengacaukan ulang tahunku.
Ulang tahunku yang kedua belas baru lewat tiga hari. Biasanya orang pasti senang
kalau berulang tahun. Hari itu seharusnya merupakan hari untuk bergembira, ya,
kan" Tapi itu tidak berlaku untukku. Tara tidak segan-segan melakukan apa saja untuk
menjadikan hari ulang tahunku sebagai hari terburuk dalam hidupku. Atau paling
tidak, salah satu hari terburuk.
Dia mulai dengan merusak kado ulang tahunku.
Aku tahu orangtuaku benar-benar bersemangat karena kado itu. Mom
sibuk mondar-mandir sambil berkata, "Jangan masuk garasi, Michael!
Pokoknya, jangan masuk garasi!"
Aku tahu kadoku disembunyikannya di situ. Tapi sekadar untuk
menggoda Mom, aku bertanya, "Kenapa jangan" Kenapa aku tidak
boleh masuk garasi" Kunci pintu kamarku rusak, dan aku perlu kotak
peralatan Dad untuk..."
"Jangan, jangan!" seru Mom. "Minta tolong Dad saja. Biar Daddy yang mengambil
peralatannya. Kau tidak boleh masuk garasi karena...
ehm... di situ ada setumpuk sampah. Baunya minta ampun. Baunya
begitu menyengat, kau pasti mual kalau menciumnya!"
Menyedihkan sekali, bukan" Dan Mom bilang "daya khayalku" adalah warisan dari
Dad! "Oke, Mom," aku berjanji. "Aku takkan masuk garasi."
Dan aku tidak masuk garasi - biarpun kunci pintu kamarku memang
perlu diperbaiki. Aku tidak mau merusak kejutan yang sudah mereka
persiapkan. Sore itu mereka mengadakan pesta ulang tahun yang meriah untukku.
Teman-temanku dari sekolah juga diundang. Mom membuat kue dan
makanan kecil untuk pestaku. Dad sibuk mengatur kursi dan
menggantung hiasan-hiasan kertas.
"Dad, Daddy punya waktu untuk memperbaiki kunci pintu kamarku?"
tanyaku padanya. Aku menginginkan privacy - dan untuk itu pintu kamarku harus bisa
dikunci. Tara merusaknya minggu yang lalu. Waktu itu dia mau
mendobrak pintu dengan tendangan karate.
"Tentu, Michael," ujar Dad. "Hari ini kau bebas minta apa saja. Kan sekarang
hari ulang tahunmu."
"Trims." Dad membawa kotak peralatannya ke atas lalu membongkar kunci
pintuku. Tara menunggu di ruang makan sambil mencari-cari
kesempatan untuk membuat onar. Begitu Dad naik tangga, dia
menarik salah satu hiasan kertas crepe dan membiarkannya tergeletak di lantai.
Tidak lama kemudian kunci pintu kamarku selesai diperbaiki, dan Dad bermaksud
mengembalikan alat-alatnya ke garasi. Ketika melewati
ruang makan, dia melihat hiasan kertas yang tergeletak di lantai.
"Hmm, kenapa kertas ini tidak mau menempel?" gumamnya. Dia merekatkannya kembali
dengan selotip. Beberapa menit setelah itu,
Tara menariknya lagi. "Aku tahu rencanamu, Tara," ujarku. "Jangan macam-macam deh.
Hari ini berarti sekali bagiku."
"Hari ini hari yang buruk sekali," balas adikku, "soalnya hari ini adalah hari
kelahiranmu." Dia berlagak gemetaran karena ngeri.
Aku tidak menggubrisnya. Bagaimanapun juga, hari ini hari ulang
tahunku. Dan tak ada apa pun yang bisa merusak kegembiraanku,
termasuk Tara. Masalahnya, Tara tidak sependapat.
Kira-kira setengah jam sebelum pesta dimulai, Mom dan Dad
memanggilku ke garasi. Aku berlagak tidak tahu apa alasan mereka. "Lho, bagaimana dengan sampah yang
menumpuk di situ?" "Oh, itu," ujar Mom sambil terkekeh-kekeh. "Itu cuma karanganku saja."
"Masa sih?" seruku. "Wah, kupikir memang benar-benar ada tumpukan sampah."
"Kalau kau percaya, berarti kau memang tolol," Tara berkomentar.
Dad membuka pintu garasi. Aku melangkah masuk.
Di dalam ternyata ada sepeda baru dengan 21 gigi. Sepeda yang sudah lama kuidamidamkan. Sepeda paling keren yang pernah kulihat!
"Bagaimana" Kau suka?" tanya Mom.
"Wow, bukan suka lagi!" aku berseru. "Trims."
"Sepedamu boleh juga, Mike," ujar Tara. "Mom, aku minta sepeda seperti ini untuk
ulang tahunku." Sebelum aku sempat mencegahnya, dia sudah memanjat ke sadel
sepedaku yang baru. "Tara, turun!" aku membentaknya.
Dia tidak peduli. Dia berusaha menjangkau pedal, tapi kakinya terlalu pendek.
Sepedanya terbalik. "Tara!" pekik Mom. Serta-merta dia bergegas menghampiri si brengsek itu. "Kau
tidak apa-apa?" Tara bangkit dan mengusap-usap lututnya. "Aku tidak apa-apa. Tapi lututku lecet
sedikit." Aku menegakkan sepedaku dan mengamatinya dengan saksama.
Sepeda baruku tak lagi berkilau dan hitam legam. Pada setangnya ada goresan
panjang berwarna putih. Sepedaku bisa dibilang hancur.
"Lihat nih, Tara! Gara-gara kau sepedaku jadi rusak!"
"Jangan mengada-ada, Michael," tegur Dad. "Sepedamu hanya tergores sedikit."
"Kau tidak kasihan pada adikmu?" tanya Mom.
"Bagaimana kalau dia tadi sampai cedera?"
"Salah sendiri! Siapa suruh dia naik sepedaku!?"
"Michael, kau masih harus belajar banyak untuk menjadi kakak yang baik," ujar
Dad. Huh, kadang-kadang mereka begitu menyebalkan!
"Ayo, kita masuk saja," Mom mengajak. "Sebentar lagi teman-temanmu akan datang."
Pesta ulang tahunku. Pesta itu pasti bisa menghiburku dengan adanya kue ulang
tahun dan kado-kado serta kehadiran teman-temanku.
Rasanya tak ada yang bisa mengacaukannya.
Mula-mula semuanya memang berjalan lancar. Satu per satu temantemanku berdatangan, dan semuanya membawa kado. Ada lima anak
cowok yang kuundang: David, Josh, Michael B., Henry, dan Lars; dan
anak cewek: Ceecee, Rosie, dan Mona.
Aku berteman biasa saja dengan Ceecee dan Rosie, tapi aku benarbenar suka pada Mona. Rambutnya cokelat dan panjang berkilau,
hidungnya yang mungil benar-benar menggemaskan. Dia jangkung
dan jago main basket. Dan penampilannya benar-benar keren.
Ceecee dan Rosie bersahabat dengan Mona. Jadi kalau Mona
kuundang, mereka juga harus diundang. Ke mana-mana mereka selalu
bertiga. Ceecee, Rosie, dan Mona datang bersamaan. Mereka membuka jaket
masing-masing. Mona memakai overall berwarna pink dengan kaos
turtleneck berwarna putih. Wah, benar kan, kataku tadi" Dia benarbenar keren. Aku tidak peduli tentang baju yang dipakai kedua
sahabatnya. "Selamat ulang tahun, Michael!" mereka berseru di pintu depan.
"Thanks," kataku.
Masing-masing menyerahkan kado yang dibawakan untukku. Hadiah
Mona kecil dan pipih, dan dibungkus kertas perak. Pasti CD, aku
berkata dalam hati. Tapi CD apa" Tahukah Mona CD apa yang
kusukai" Kuletakkan semua hadiah pada tumpukan kado di ruang tamu.
"Hei, Michael - kau dapat apa dari orangtuamu?" tanya David.
"Cuma sepeda," jawabku sambil berlagak acuh tak acuh. "Sepeda dengan 21 gigi."
Aku memasang CD. Mom dan Tara membawa piring-piring berisi
sandwich. Mom segera kembali ke dapur, tapi Tara malah ikut duduk
bersama kami "Adikmu lucu deh," kata Mona.
"Tunggu saja sampai kau kenal dia," gerutuku.
"Wah, jangan begitu dong, Michael," ujar Mona.
"Dia memang kakak yang brengsek," Tara bercerita. "Aku selalu dibentakbentaknya." "Siapa bilang" Sudah, pergi sana, Tara."
"Aku tidak mau pergi." Dia menjulurkan lidah.
"Biarkan saja, Michael," kata Mona. "Dia kan tidak mengganggu siapa-siapa."
"Hei, Mona," Tara angkat bicara. "Kau tahu, tidak" Michael kan naksir kau!"
Mona membelalakkan mata. "Oh, ya?"
Mukaku langsung merah padam. Kupelototi Tara. Rasanya dia ingin
kucekik di situ juga. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa - soalnya
terlalu banyak saksi mata.
Mona mulai ketawa. Ceecee dan Rosie juga ikut tertawa. Untung saja
teman-temanku yang lain tidak mendengarnya. Mereka sedang
berkerumun di depan CD player dan sibuk melompat dari satu lagu ke
lagu berikut. Aduh, aku harus bagaimana" Aku memang suka pada Mona. Aku
tidak bisa menyangkalnya - bisa-bisa dia malah sakit hati - tapi aku
juga tidak berani mengakuinya terus terang.
Rasanya aku mau mati saja. Dalam hati aku berharap bumi tiba-tiba
terbelah dan menelanku bulat-bulat.
"Michael, wajahmu jadi merah tuh!" seru Mona.
Lars mendengarnya dan langsung bertanya, "Ada apa dengan si
Webster?" Beberapa temanku biasa memanggilku dengan nama belakangku.
Aku menyambar Tara dan menyeretnya ke dapur. Tawa Mona
terngiang-ngiang di telingaku.
"Kau keterlaluan, Tara," bisikku. "Kenapa kau bilang pada Mona bahwa aku suka
sama dia?" "Memang benar, kan?" balas si brengsek. "Aku tidak pernah bohong."
"Yeah, tidak pernah!"
"Michael," potong Mom. "Kau mengganggu adikmu lagi, ya?"
Aku bergegas meninggalkan dapur tanpa menjawab.
"Hei, Webster," Josh memanggil ketika aku kembali ke ruang tamu.
"Mana sepedamu yang baru?"
Ah, kebetulan, pikirku. Ini kesempatan untuk menjauhkan mereka dari anak-anak
cewek. Aku mengajak mereka ke garasi. Semuanya mengagumi sepedaku
sambil mengangguk-angguk. Sepertinya mereka benar-benar terkesan.
Kemudian Henry meraih setang.
"Hei, kok sudah tergores?" dia bertanya.
"Yeah," ujarku dengan lesu. "Gara-gara adikku..."
Aku terdiam dan menggelengkan kepala. Percuma saja aku berusaha
menjelaskan duduk perkaranya. "Ayo, kita masuk lagi deh," usulku.
"Aku mau buka kado-kadoku."
Kami kembali ke ruang tamu.
Untung saja masih ada kado yang perlu kubuka. Acara yang satu ini
tidak mungkin dikacaukan oleh Tara.
Tapi lagi-lagi aku keliru.
Ketika aku masuk ruang tamu, aku melihat Tara duduk di tengahtengah sobekan kertas pembungkus yang berserakan di lantai. Rosie,
Mona, dan Ceecee duduk mengelilinginya sambil menonton.
Tara sudah membuka semua hadiahku.


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terima kasih banyak, Tara.
Dia sedang membuka kado yang terakhir - kado dari Mona.
"Coba lihat kado Mona untuk kau, Michael!" seru adikku.
Ternyata memang CD. "Katanya CD ini berisi lagu cinta yang bagus-bagus lho," Tara menggoda.
Semuanya tertawa. Semuanya menganggap Tara lucu sekali.
Tak lama kemudian, kami semua pindah ke ruang makan untuk
menikmati kue dan es krim. Aku sendiri yang membawa kuenya.
Mom mengikutinya sambil membawa piring-piring, lilin, dan korek
api. Kue ulang tahun yang dibuatkan Mom adalah kue cokelat kesukaanku.
Sambil membawanya dengan kedua tangan, aku melewati pintu dapur
dan masuk ke ruang makan.
Aku tidak melihat Tara yang berdiri merapat ke dinding. Aku tidak
melihat kakinya yang disodorkannya ke depan pintu.
Aku tersandung. Kuenya terlepas dari tanganku. Dan aku jatuh
menimpa kue itu. Dengan muka lebih dulu, tentu saja.
Beberapa temanku menahan napas. Tapi ada juga yang berusaha
meredam tawa. Aku duduk tegak dan mengusap krim cokelat yang menempel di
kelopak mataku. Wajah pertama yang kulihat adalah wajah Mona. Dia tertawa
terpingkal-pingkal. Mom membungkuk dan memarahiku. "Aduh, berantakan sekali!
Michael, buka mata dong kalau jalan!"
Aku mendengarkan suara tawa berderai di sekelilingku dan menatap
kue ulang tahunku yang hancur. Tak ada lilin yang bisa kutiup. Tapi aku tidak
peduli. Biarpun tanpa acara tiup lilin, dalam hati aku tetap mengucapkan
permintaanku. Aku ingin hari ulang tahun ini bisa diulang dari awal lagi.
Aku berdiri. Seluruh wajahku berlumuran kue cokelat. Temantemanku bersorak-sorai. "Wah, persis seperti the Hulk!" seru Rosie. Tawa mereka semakin keras.
Semuanya bergembira ria di pestaku. Semuanya. Kecuali aku.
Ulang tahunku gagal - gagal total. Tapi mengacaukan ulang tahunku
bukanlah perbuatan terparah ydng dilakukan Tara.
Kau takkan percaya kalau aku menceritakan apa lagi yang
dilakukannya. Ebukulawas.blogspot.com KEJADIANNYA seminggu sebelum ulang tahunku. Waktu itu Mona,
Ceecee, dan Rosie berkunjung ke rumahku. Kami semua kebagian
peran dalam sandiwara sekolah, dan kami bermaksud mengadakan
latihan bersama di rumahku.
Sandiwara itu adalah versi baru dari Pangeran Katak. Mona berperan
sebagai sang Putri, sedangkan Ceecee dan Rosie bermain sebagai
kedua saudaranya yang konyol. Pembagian perannya cocok sekali,
pikirku. Aku bermain sebagai si Katak, sebelum sang Putri menciumnya dan
mengubahnya jadi sang Pangeran. Entah kenapa, guru drama kami
tidak menghendaki aku bermain sebagai sang Pangeran. Peran itu
diberikannya kepada Josh.
Tapi tidak apa-apa. Aku toh menganggap peran si Katak lebih
menarik. Soalnya Mona, sang Putri, mencium si Katak, bukan sang
Pangeran. Sebentar lagi Mona dan kedua sahabatnya akan datang.
Tara sedang duduk di karpet di kamar kerja Dad, mengganggu Bubba.
Bubba membenci Tara hampir sama seperti aku.
Tara mengangkat Bubba dengan memegang kedua kaki belakangnya.
Bubba memberontak, meronta, dan menggeliat-geliut sampai berhasil
melepaskan diri. Tapi Tara segera menangkapnya lagi dan mulai dari
awal lagi. "Jangan ganggu dia, Tara," tegurku.
"Kenapa?" balas Tara. "Ini kan asyik."
"Kau menyakiti Bubba."
"Siapa bilang" Dia suka kok. Nih, lihat. Dia tersenyum." Tara melepaskan kaki
belakang Bubba dan menggenggam dadanya dengan
sebelah tangan. Dengan tangannya yang satu lagi dia menarik kedua
sudut mulut Bubba dan memaksanya tersenyum.
Bubba berusaha menggigit Tara, tapi gagal. "Tara," ujarku, "lepaskan dia. Dan
keluar dari sini. Teman-temanku mau datang."
"Tidak." Sekarang Tara memaksa Bubba berjalan dengan kaki depannya. Bubba jatuh,
hidungnya membentur lantai.
"Tara, sudah!" aku berseru. Ketika aku berusaha merebut Bubba dari tangannya,
dia melepaskan kucing itu. Bubba mengeong dan
mencakar lenganku. "Aduh!" Aku menurunkan Bubba, dan dia lang?ung kabur.
"Michael, kau apakan kucing itu?" Mom berdiri di ambang pintu.
Bubba menyelinap di antara kedua kakinya dan berlari ke selasar.
"Tidak kuapa-apakan! Dia mencakarku!"
"Kalau dia tidak kau ganggu, dia takkan mencakarmu," Mom
mengomel. Kemudian Mom pergi sambil berkata, "Aku mau ke atas
untuk istirahat sebentar. Aku sakit kepala."
Bel pintu berdering. "Biar kami saja, Mom!" seruku.
Aku yakin teman-temanku yang datang. Aku ingin mengejutkan
mereka dengan kostum katakku, tapi aku belum siap.
"Buka pintu, Tara," aku menyuruh si brengsek. "Suruh Mona dan yang lain tunggu
di ruang baca. Aku segera kembali."
"Oke," ujar Tara. Dia menuju ke pintu depan. Aku bergegas ke atas untuk berganti
baju. Kukeluarkan kostumku dari lemari pakaian. Lalu kutanggalkan celana
dan T-shirt-ku. Aku meraih kostum katak itu dan berusaha menarik
ritsletingnya. Tapi ternyata macet.
Hanya berpakaian dalam aku berdiri sambil menarik-narik ritsleting.
Tiba-tiba pintu kamarku membuka.
"Nah, dia di sini," aku mendengar Tara berkata. "Tadi dia menyuruhku mengajak
kalian ke atas." Aduh! pikirku. Moga-moga aku cuma salah dengar!
Aku tidak berani menoleh. Soalnya aku tahu apa yang bakal kulihat.
Pintu kamarku terbuka lebar. Dan Mona, Ceecee, Rosie, dan Tara
sedang menatapku. Sejenak mereka terbengong-bengong - tapi kemudian semua tertawa
terbahak-bahak. Tara yang tawanya paling keras. Dia terbahak-bahak sambil
memukul-mukul paha. Kaupikir ini sudah parah" Tunggu. Masih ada lagi.
Dua hari sebelum malapetaka pakaian dalam itu, aku, Josh, Henry, dan beberapa
anak lain bermain basket di sekolah seusai jam
pelajaran. Kevin Flowers juga ikut.
Kevin pemain yang hebat. Badannya besar dan tegap. Tingginya dua
kali aku! Dia tergila-gila pada basket. Tim college favoritnya adalah The Duke
Blue Devils. Setiap hari dia memakai topi Blue Devils ke
sekolah. Ketika kami sedang asyik bermain, aku melihat Tara di pinggir
lapangan, tempat kami menaruh jaket dan ransel masing-masing.
Aku langsung dapat firasat buruk. Aku selalu dapat firasat buruk kalau ada Tara.
Sedang apa dia di sini" aku bertanya-tanya.
Barangkali dia habis mengerjakan tugas tambahan, dan sedang
menungguku untuk pulang bersama-sama.
Ah, paling-paling dia mau mengacaukan konsentrasiku, aku berkata
dalam hati. Jangan termakan. Jangan pikirkan dia. Pusatkan pikiranmu pada
permainan. Perasaanku lagi enak. Dan aku berhasil mencetak beberapa angka
sebelum permainan berakhir. Timku menang. Soalnya Kevin Flowers
ikut di tim kami. Semua pemain bergegas ke pinggir lapangan untuk mengambil barang
masing-masing. Tara sudah tidak kelihatan.
Aneh, pikirku. Hmm, mungkin dia bosan menunggu dan pulang
sendiri. Kupanggul ranselku dan berkata, "Oke, sampai besok deh."
Tapi sekonyong-konyong suara Kevin terdengar menggelegar.
"Jangan ada yang bergerak!" Semuanya berhenti di tempat.
"Mana topiku?" dia bertanya. "Topi Blue Devilsku hilang!"
Aku angkat bahu. Mana kutahu di mana topinya.
"Ada yang mengambil topiku," Kevin berkeras. "Pokoknya, tak ada yang boleh pergi
sebelum aku menemukan topiku."
Dia merebut ransel Henry dan mulai menggeledahnya. Semua orang
tahu bahwa Henry sangat menyukai topi itu.
Tapi Josh malah menudingku. "Hei - apa itu yang nongol dari ransel Webster?" dia
bertanya. "Ranselku?" aku berseru. Serta-merta aku menoleh ke belakang.
Aku melihat sesuatu berwarna biru menyembul dari kantong luar yang
tertutup sebagian. Perutku langsung serasa terisi batu.
Kevin menghampiriku dan menarik topinya keluar.
"Aku tidak tahu bagaimana topimu bisa masuk ke situ, Kevin," aku berusaha
meyakinkannya. "Sumpah, aku - "
Kevin tidak menunggu sampai aku selesai membela diri. Dia memang
bukan pendengar yang baik.
Aku takkan menceritakan detail-detail tentang apa yang terjadi
sesudah itu. Yang jelas, tampangku tidak bisa disebut mulus setelah Kevin
selesai "memberi pelajaran" padaku!
Josh dan Henry membantuku pulang. Mom nyaris tidak mengenaliku.
Habis, mata dan hidungku telah bertukar tempat dengan daguku.
Ketika aku sedang membersihkan diri di kamar mandi, aku sempat
melihat Tara di cermin. Senyum kemenangan di wajah si brengsek itu
segera menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Kau!" seruku. "Kau yang menaruh topi Kevin di ranselku. Ya, kan?"
Tara cuma nyengir. Yeah. Memang dia biang keladinya.
"Kenapa?" tanyaku. "Kenapa kau melakukannya, Tara?"
Dia angkat bahu dan pasang tampang tak berdosa. "Oh, itu topi Kevin, ya?"
katanya. "Kupikir itu topimu."
"Dasar pembohong!" aku membentaknya. "Aku tidak pernah pakai topi Duke, dan kau
juga tahu itu! Kau sengaja!"
Aku begitu marah, aku tidak tahan melihat tampangnya. Langsung
saja kubanting pintu kamar mandi.
Dan tentu saja aku dimarahi karenanya.
Sekarang kau mengerti apa yang harus kuhadapi setiap hari.
Dan sekarang kau tahu kenapa aku melakukan apa yang telah
kulakukan. Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama seandainya mereka
jadi aku. MALAM itu aku mendekam di kamar sambil memeras otak. Aku
telah bertekad untuk membuat perhitungan dengan Tara.
Namun tak satu ide pun muncul dalam benakku. Sebenarnya sih ada
satu atau dua, tapi tak ada yang setimpal dengan perbuatannya
terhadapku. Kemudian jam itu tiba. Beberapa hari sesudahnya Tara melakukan
sesuatu yang memicu ide baru.
Tara selalu mencari kesempatan untuk mengutak-atik jam itu. Suatu
sore dia tertangkap basah waktu sedang menggeser-geser jarum
penunjuk. Tentu saja dia tidak sampai kena damprat - dia kan Tara
kecil yang manis. Tapi Dad sempat bilang, "Mulai sekarang aku akan mengawasimu.
Jangan main-main lagi dengan jam ini."
Akhirnya! pikirku. Akhirnya Dad sadar juga bahwa Tara bukan
malaikat yang tak berdosa. Dan akhirnya aku menemukan jalan untuk
membalas dendam. Kalau terjadi sesuatu dengan jam itu, maka pasti Tara yang akan
disalahkan. Jadi aku bertekad untuk memastikan bahwa terjadi sesuatu.
Sudah sepantasnya Tara menanggung akibat dari segala ulahnya yang
menyudutkan aku. Jadi apa salahnya kalau dia disalahkan atas sesuatu yang tidak
dilakukannya" kataku dalam hati. Hitung-hitung impas deh.
Malam itu, setelah semua orang tertidur lelap, aku mengendap-endap
ke ruang baca di bawah. Saat itu sudah hampir tengah malam. Aku menghampiri jam itu dan
menunggu. Satu menit lagi. Tiga puluh detik. Sepuluh detik. Enam, lima, empat, tiga, dua, satu....
Ku-kuuk! Ku-kuuk! Burung kuning itu melesat keluar, dan aku segera menyambarnya. Dia
masih bersuara, tapi suaranya seperti orang yang tercekik.
Aku memuntir kepalanya sampai menghadap ke belakang.
Kelihatannya lucu sekali.
Burung itu ber-ku-kuuk 12 kali sambil menghadap ke arah yang salah.
Aku tertawa dalam hati. Kalau Dad melihat ini, dia pasti akan
mengamuk! Burung itu masuk kembali.
Dad pasti marah sekali! pikirku sambil cengar-cengir dengan puas.
Dia akan meledak seperti gunung berapi. Tara pasti kena semprot
habis-habisan! Akhirnya Tara bakal tahu bagaimana rasanya disalahkan karena
sesuatu yang tidak dilakukannya.
Tanpa bersuara aku kembali ke atas. Tak ada yang melihatku
menyelinap ke kamar. Tak lama kemudian aku sudah tertidur pulas sambil tersenyum
bahagia. Tak ada yang lebih nikmat selain balas dendam.
Keesokan paginya aku bangun kesiangan. Aku sudah tak sabar
melihat Dad memarahi Tara. Mudah-mudahan saja aku belum
terlambat. Aku bergegas ke bawah dan langsung memeriksa ruang kerja.
Pintunya terbuka. Tak ada siapa-siapa. Sepertinya semuanya masih aman-aman saja.
Bagus, pikirku. Berarti aku masih bisa menyaksikannya.
Aku menuju ke dapur. Perutku sudah keroncongan. Mom, Dad, dan
Tara duduk di meja makan.
Begitu mereka melihatku, wajah-wajah mereka langsung bertambah
cerah. "Selamat ulang tahun!" seru ketiganya berbarengan.
"Lucu sekali," aku menggerung. Lalu aku membuka salah satu lemari.
"Serealnya habis, ya?"
"Sereal!" ujar Mom. "Kau tidak berminat makan sesuatu yang istimewa" Panekuk,
misalnya?" Aku menggaruk-garuk kepala. "Ehm, boleh juga sih. Panekuk
memang enak untuk sarapan."
Ini agak aneh. Biasanya kalau aku bangun kesiangan, Mom pasti
menyuruhku menyiapkan sarapan sendiri. Kenapa dia menawarkan
sesuatu yang istimewa"
Mom segera menyiapkan adonan panekuk. "Jangan masuk garasi,
Michael! Pokoknya, jangan masuk garasi!" Dia kelihatan bersemangat sekali.
Seakan-akan aku berulang tahun lagi.
Aneh. "...di situ ada setumpuk sampah," ujar Mom. "Baunya minta ampun.
Baunya begitu menyengat, kau pasti mual kalau menciumnya!"
"Mom cerita sampah ini kok diulang lagi?" tanyaku. "Waktu pertama saja aku sudah
tidak percaya." "Pokoknya, jangan masuk garasi," dia mengulangi.


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa dia berpesan begitu" Dan kenapa sikapnya begitu janggal"
Dad meninggalkan dapur sambil berkata, "Ada beberapa urusan
penting yang harus kukerjakan," dengan gaya riang yang tidak biasa untuk dia.
Aku angkat bahu dan menghabiskan sarapanku sambil berusaha tidak
memikirkan semua keanehan itu. Tapi sehabis sarapan, aku melewati
ruang makan. Ternyata ada yang menghiasnya dengan pita-pita kertas
crepe. Dan salah satu pita tergeletak di lantai.
Aneh. Benar-benar aneh. Dad muncul sambil membawa kotak peralatan. Dia memungut pitapita kertas crepe itu, lalu menempelkannya kembali.
"Hmm, kenapa kertas ini tidak mau menempel?" gumamnya.
"Dad," ujarku, "untuk apa Dad menempelkan pita-pita kertas di ruang makan?"
Dad tersenyum. "Sebab hari ini hari ulang tahunmu! Dan pesta ulang tahun belum
lengkap tanpa hiasan. Nah, kau pasti sudah tak sabar
melihat kadomu, bukan?"
Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. Ada apa ini" aku
bertanya dalam hati. Mom dan Dad mengajakku ke garasi. Tara juga ikut. Semuanya
bersikap seakan-akan mereka benar-benar akan memberikan hadiah
ulang tahun padaku. Dad membuka pintu garasi.
Dan itu dia. Sepedaku. Sepedaku yang berkilau dan kelihatan seratus persen baru. Tanpa satu goresan
pun. Pasti ini kejutan yang mereka maksud. Mereka berhasil
menghilangkan goresannya sehingga tak berbekas. Atau mungkin juga
mereka menukar sepedanya dengan sepeda yang baru!
"Bagaimana" Kau suka?" tanya Mom.
"Wow, bukan suka lagi!" aku berseru.
Tara berkata, "Sepedamu boleh juga, Mike. Mom, aku minta sepeda seperti ini
untuk ulang tahunku."
Kemudian dia memanjat ke sadel. Sepedanya terbalik. Waktu kami
berdirikan lagi, setangnya sudah tergores.
Mom memekik, "Tara! Kau tidak apa-apa?"
Ya ampun! Ini benar-benar mimpi buruk!
Semuanya terulang kembali. Persis seperti waktu ulang tahunku. Ada
apa ini" "Ada apa, Michael?" tanya Dad. "Kau tidak suka sepedamu yang baru?"
Aku tidak tahu harus bilang apa. Kepalaku serasa berputar-putar. Aku bingung
sekali. Kemudian aku sadar. Ini pasti gara-gara permintaanku.
Permintaan yang kuucapkan dalam hati pada hari ulang tahunku.
Setelah Tara menjegalku dan aku jatuh menimpa kueku, aku minta
agar aku bisa mundur ke masa lalu dan mengulangi ulang tahunku dari awal lagi.
Dan ternyata permintaan itu terkabul.
Wow! pikirku. Asyik juga.
"Ayo, kita masuk saja," ajak Mom. "Sebentar lagi teman-temanmu akan datang."
Pesta ulang tahun" Oh, jangan. Jangan! Haruskah pesta yang memalukan itu kualami untuk kedua kalinya"
YA. Mimpi buruk itu ternyata harus kulalui sekali lagi.
Teman-temanku datang semua, persis seperti waktu itu.
Aku mendengar Tara mengucapkan kata-kata yang membuat wajahku
merah padam, "Hei, Mona. Kau tahu tidak" Michael kan naksir kau."
Mona menyahut, "Oh, ya?"
Jangan berlagak kaget, Mona, pikirku. Kau kan sudah diberitahu Tara empat hari
lalu. Waktu itu kau berdiri di tempat yang sama. Dan kau pakai overall
merah jambu yang sekarang kau pakai.
Mona, Ceecee, dan Rosie tergelak.
Aku mulai panik. Ini tidak boleh berlanjut, pikirku.
Mom muncul sambil membawa baki berisi minuman. Aku langsung
memegang lengannya. "Mom," aku memohon, "tolong bawa Tara pergi dari sini. Kunci
saja di kamarnya." "Kenapa, Michael" Adikmu kan mau ikut bergembira." "Mom - ayo dong!" rengekku.
"Oh, Michael, jangan aneh-aneh deh. Kau harus bersikap baik
terhadap Tara. Dia takkan mengganggu. Dia kan masih kecil."
Mom pergi lagi, meninggalkanku bersama Tara dan teman-temanku.
Dia tidak bisa menyelamatkanku. Tak ada yang bisa
menyelamatkanku. Aku memamerkan sepedaku yang baru. Henry berkomentar, "Kok
sudah tergores?" Ketika kami kembali ke ruang duduk, semua hadiahku sudah dibuka
oleh Tara. "Coba lihat kado Mona untukmu, Michael!" Tara berseru.
Aku tahu, aku tahu, ujarku dalam hati. Aku dapat CD dari dia. Dengan lagu-lagu
cinta. "Katanya CD ini berisi lagu-lagu cinta yang bagus-bagus," Tara mengulangi.
Semuanya tertawa. Situasinya sama parahnya seperti waktu pertama kali.
Atau justru lebih parah lagi. Soalnya aku sudah tahu apa yang bakal terjadi. Dan
aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Atau ada yang bisa kulakukan"
"Michael," panggil Mom. "Coba ke dapur sebentar. Sudah waktunya potong kue!"
Nah, ini dia, pikirku. Dengan berat hati aku melangkah ke dapur.
Aku akan membawa kuenya - tapi kali ini aku tidak akan tersandung.
Aku tahu Tara akan berusaha menjegal kakiku. Tapi kali ini aku tidak bisa
diperdaya. Aku tidak sudi mempermalukan diriku untuk kedua kalinya, aku
mencoba meyakinkan diriku. Aku tidak perlu mengulangi semuanya
persis seperti waktu pertama kali.
Tapi dalam hati aku sendiri mulai ragu.
AKU berdiri di dapur dan menatap kue ulang tahunku. Aku
mendengar teman-temanku tertawa dan mengobrol di ruang makan.
Tara juga ada di situ. Aku tahu dia menunggu di samping pintu ruang makan. Menunggu
untuk menjulurkan kaki agar aku terjegal. Menunggu sampai aku
terjerembap sekali lagi dan ditertawakan beramai-ramai.
Tapi kali ini aku sudah siap.
Kuenya kuangkat dengan kedua tangan, hati-hati sekali. Kemudian
aku berbalik dan mulai menuju ke ruang makan.
Mom mengikutiku, persis seperti waktu pertama kali.
Aku berhenti sejenak di ambang pintu ruang makan. Aku memandang
ke bawah. Kaki Tara tidak kelihatan.
Perlahan-lahan aku melewati pintu. Satu langkah. Sejauh ini
semuanya aman-aman saja. Satu langkah lagi. Aku sudah berada di ruang makan.
Berhasil! Sekarang aku tinggal jalan ke meja, sekitar lima langkah, dan aku akan
selamat. Aku mengayunkan langkah. Satu kali. Satu kali lagi.
Kemudian aku merasakan kakiku tertahan sesuatu.
Tara mengaitnya dari bawah meja.
Rupanya di situ dia bersembunyi, aku menyadari. Tapi terlambat.
Segala sesuatu terjadi seperti dalam adegan gerak lambat. Seperti
dalam mimpi. Aku mendengar tawa cekikikan.
Dia menarik kakiku. Ya ampun! pikirku. Dia berhasil mengelabuiku. Aku kehilangan
keseimbangan. Sambil jatuh, aku menoleh ke belakang.
Tara duduk di bawah meja sambil nyengir lebar. Rasanya ingin sekali kuterkam
dia. Tapi sebelumnya aku harus jatuh dulu dengan wajah menimpa kue
ulang tahunku. Kuenya terlepas dari tanganku. Aku kembali berpaling.
Ceprot! Seketika semua orang tertawa terbahak-bahak. Aku duduk tegak dan
menyeka krim cokelat yang menempel di mataku.
Mona membungkuk di atas meja. Tawanya bahkan lebih keras dari
yang lain. Kejadian kedua ini bahkan lebih memalukan dari waktu pertama kali.
Aku duduk di lantai dengan wajah berlumuran kue. Bagaimana
mungkin aku setolol ini" aku bertanya-tanya.
Kenapa aku mengucapkan permintaan itu" Seumur hidupku aku
takkan pernah meminta pun lagi.
Aku membersihkan diri dan berhasil melewati sisa pesta dengan
selamat. Ketika aku beranjak tidur malam itu, aku bersyukur bahwa
semuanya telah berlalu. Aku memadamkan lampu dan menarik selimut sampai ke dagu.
Semuanya sudah berlalu, aku mengulangi. Sekarang aku tinggal tidur, dan besok
pagi semuanya akan kembali normal.
Aku memejamkan mata dan segera tertidur. Tapi dalam mimpi, semua
adegan memalukan pesta ulangtahunku terulang lagi - sepanjang
malam. Pesta yang hendak kulupakan itu telah menjadi mimpi buruk
sungguhan. Ada Tara, yang memberitahu Mona bahwa aku naksir dia. Wajah
Mona tampak begitu jelas dalam mimpiku, dan dia tertawa dan
tertawa dan tertawa, tanpa henti. Ceecee dan Rosie dan temantemanku yang lain pun terbahak-bahak.
Aku tersandung dan jatuh menimpa kue ulang tahunku, berulangulang. Aku sampai menggeliat-geliut di tempat tidur. Semakin lama, mimpi
buruk itu semakin mengerikan. Teman-temanku berubah menjadi
monster-monster yang menakutkan. Dan Tara yang paling
menyeramkan di antara semuanya. Wajahnya seakan-akan meleleh
ketika dia terpingkal-pingkal menertawakanku.
Bangun! aku berkata dalam hati. Ayo, bangun!
Dengan susah payah aku keluar dari dunia mimpi. Seluruh tubuhku
bermandikan keringat dingin ketika aku duduk di tempat tidur.
Kamarku masih gelap. Aku melirik weker di samping tempat tidurku.
Pukul tiga dini hari. Aku tidak bisa tidur, pikirku dengan gelisah. Aku tidak bisa
menenangkan diri. Dad dan Mom harus kuberitahu. Mereka harus tahu apa yang terjadi.
Barangkali mereka bisa membantu.
Aku turun dari tempat tidur dan menyusuri selasar yang gelap ke
kamar Mom dan Dad. Pintunya terbuka sedikit.
Langsung saja kudorong sampai terbuka lebih lebar.
"Mom" Dad" Kalian masih bangun?"
Dad membalik dan menggerung, "Hmm?"
Aku mengguncangkan pundak Mom. "Mom?"
Perlahan-lahan Mom membuka mata. "Ada apa, Michael?" bisiknya.
Kemudian dia duduk tegak dan meraih wekernya. Dalam cahaya biru
yang dipancarkan jamnya, aku melihatnya memicingkan mata untuk
melihat jam berapa sekarang.
"Jam tiga pagi!" dia berseru tertahan.
Dad mendengus dan mendadak ikut duduk. "Hmm" Ada apa?"
"Mom, ada yang harus kuceritakan!" aku berbisik dengan nada mendesak. "Tadi ada
kejadian menyeramkan. Memangnya Mom tidak
sadar?" "Michael, ada apa - ?"
"Ulang tahunku," aku menjelaskan. "Tara merusak pesta ulang tahunku, dan aku
minta agar aku bisa mengulanginya lagi dari awal.
Aku berharap ulang tahunku bisa lebih menyenangkan. Tapi aku tak
menyangka bahwa permintaanku bakal terkabul! Dan tahu-tahu, hari
ini aku berulang tahun lagi! Dan semuanya terjadi persis seperti waktu pertama
kali. Aku benar-benar bingung!"
Dad menggosok-gosok mata. "Itu kau ya, Michael?"
Mom menepuk-nepuk punggungnya. "Tidur saja, Sayang. Michael
cuma bermimpi buruk."
"Tidak, Mom," seruku. "Ini bukan mimpi. Ini benar-benar terjadi! Aku berulang
tahun dua kali! Dan Mom juga ada. Aku tidak mengada-ada!"
"Dengar, Michael," Mom mulai berkata. Suaranya mulai bernada gusar. "Aku
mengerti kau ingin cepat-cepat merayakan ulang
tahunmu, tapi kau harus bersabar dua hari lagi. Tinggal dua hari
lagi - oke" Jadi kembalilah ke kamarmu dan tidur lagi."
Dia mengecup pipiku. "Tinggal dua hari sampai ulang tahunmu.
Selamat bermimpi." DENGAN langkah gontai aku kembali ke kamarku. Kepalaku serasa
berputar-putar. Ulang tahunku masih dua hari lagi"
Bukankah ulang tahunku sudah lewat - sudah lewat dua kali, malah"
Aku menyalakan lampu baca dan menatap tanggal pada wekerku. Tiga
Februari. Aku berulang tahun tanggal lima Februari. Berarti masih dua hari lagi.
Mungkinkah itu" Mungkinkah waktu berjalan mundur"
Tidak mungkin, aku berkata dalam hati. Jangan-jangan aku sudah
mulai gila. Aku menggelengkan kepala keras-keras. Lalu kutampar-tampar pipiku
beberapa kali. Mundur ke masa lalu. Hah, gila!
Itu tidak mungkin, pikirku. Jangan mengada-ada, Michael.
Aku cuma ingin kembali merayakan ulang tahunku - satu kali.
Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan merayakan ulang
tahunku yang kedua belas.
Tapi kalau memang itu yang sedang terjadi, kenapa hari ini adalah dua hari
sebelum ulang tahunku" Kenapa bukan malam sebelumnya"
Barangkali waktu benar-benar berjalan mundur, aku berkata dalam
hati. Barangkali ini tidak ada sangkut-pautnya dengan permintaanku.
Tapi, kalau begitu - kenapa ini bisa terjadi" Aku memeras otak.
Jam itu. Jam antik kebanggaan Dad.
Aku memuntir kepala burungnya sampai menghadap ke belakang...
pergi tidur... dan ketika aku bangun, waktu telah mundur ke masa
lampau. Mungkinkah itu sebabnya" Mungkinkah aku penyebab semuanya ini"
Mungkinkah jam antik itu benar-benar mempunyai kekuatan gaib"
Mungkin tidak seharusnya kupuntir kepala burung konyol itu, aku
berkata dalam hati. Wah, kacau - aku berusaha balas dendam pada
Tara, tapi ternyata justru aku yang kena batunya.
Hmm, kalau memang itu penyebabnya, maka aku bisa mengatasinya
dengan mudah. Aku tinggal turun dan mengembalikan kepala burung itu ke posisi
semula. Sambil mengendap-endap aku keluar kamar dan menuruni tangga.
Orangtuaku pasti sudah tidur lagi, tapi aku tidak mau mengambil
risiko. Dan yang jelas, aku tidak mau kepergok Daddy pada waktu aku
sedang mengutak-atik jam kesayangannya.
Kakiku menginjak lantai ruang depan yang dingin. Perlahan-lahan aku menyelinap
ke ruang baca dan menyalakan lampu.
Aku memandang berkeliling.
Jam antik itu telah lenyap!
"Oh!" aku memekik tertahan.
Jangan-jangan jam itu dicuri maling!
Tanpa jam itu, bagaimana mungkin aku mengembalikan keadaan"
Bagaimana mungkin aku memutar kepala burungnya, supaya waktu
berjalan normal lagi"


Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serta-merta aku berlari ke atas, tanpa menghiraukan suara langkahku yang
berdebam-debam. "Mom! Dad!" seruku. Aku menyerbu ke kamar mereka dan
membangunkan Mom. "Aduh, apa lagi, Michael?" tanyanya dengan kesal. "Sekarang masih tengah malam
buta. Kami masih mau tidur!"
Biar saja mereka marah, pikirku. Urusan ini tidak bisa ditunda sampai pagi.
"Jam antiknya hilang!"
Dad berguling ke samping. "Apa" Huh?"
"Michael, kau cuma bermimpi buruk lagi," Mom berusaha
menenangkanku. "Ini bukan mimpi, Mom - ini benar-benar terjadi! Coba turun dan
lihat sendiri! Tidak ada jam antik di ruang baca."
"Michael - dengarkan aku. Kau cuma bermimpi," Mom berkata
dengan nada tegas. "Kita tidak punya jam antik. Dari dulu kita belum pernah
punya." Aku mundur sambil terhuyung-huyung.
"Itu cuma mimpi. Mimpi buruk," dia menambahkan.
"Tapi kan Dad membeli..."
Aku terdiam. Tiba-tiba saja aku mengerti.
Sekarang tanggal tiga Februari. Dua hari sebelum hari ulang tahunku.
Dan lima hari sebelum Daddy membeli jam antik itu.
Waktu benar-benar berjalan mundur. Daddy belum membeli jam itu.
Kepalaku pening. Mom berkata, "Michael, ada apa?" Dia turun dari tempat tidur, lalu menempelkan
punggung tangannya ke keningku.
"Hmm, kau agak hangat," dia berkomentar. Nada suaranya lebih ramah, mungkin
karena dia menyangka aku sakit. "Ayo, tidur lagi.
Kau pasti demam - itulah sebabnya kau bermimpi buruk terus."
Dad kembali menggerung. "Hmm" Sakit" Siapa yang sakit?"
"Biar aku saja yang urus, Herman," bisik Mom. "Kau tidur saja."
Dia menggiringku ke tempat tidur. Dia yakin aku sedang sakit.
Tapi aku tahu masalah sebenarnya.
Aku telah menyebabkan waktu berjalan mundur. Dan jam antik itu
mendadak lenyap. Bagaimana caranya memperbaiki kesalahanku supaya semuanya
normal kembali" Ketika aku muncul di dapur keesokan pagi, Mom, Dad, dan Tara sudah selesai
sarapan. "Cepat, Michael," Dad mendesak sambil berdiri. "Nanti kau terlambat masuk
sekolah." Huh, masalah yang kuhadapi lebih gawat daripada sekadar terlambat
sekolah. "Dad, tolong dengarkan aku sebentar," aku memohon. "Sebentar saja.
Ini benar-benar penting."
Dad kembali duduk di meja sarapan, tapi dengan tampang tidak sabar.
"Ada apa, Michael?"
"Mom juga harus dengar ini."
"Tentu, Sayang," ujar Mom. Dia menaruh susu di lemari es, dan mulai menyeka meja
racik. "Cerita ini kedengarannya memang aneh," aku angkat bicara, "tapi semuanya
benar." Aku berhenti sejenak. Dad menunggu. Dari roman mukanya aku tahu
dia menyangka aku bakal mengatakan sesuatu yang benar-benar
konyol. Aku tidak mengecewakannya.
"Dad, waktu berjalan mundur. Setiap pagi aku terbangun - dan
harinya ternyata satu hari sebelumnya."
Daddy geleng-geleng kepala. "Michael, daya khayalmu memang
hebat, tapi aku sudah harus berangkat kerja. Bagaimana kalau kita
bicara lagi nanti, setelah aku pulang kantor" Atau bagaimana kalau
kau mencatat semuanya" Kau kan tahu aku suka membaca cerita
science fiction." "Tapi - " Mom memotong, "Kucingnya sudah diberi makan?"
"Aku yang memberi makan Bubba," ujar Tara. "Padahal itu kan tugas Michael."
"Trims, Tara," sahut Mom. "Oke, semuanya. Sudah waktunya berangkat."
Kusambar sepotong roti sebelum Mom menggiring kami keluar.
Mereka masih terlalu sibuk untuk mendengarkanku, aku berkata
dalam hati seraya bergegas ke sekolah. Tapi nanti malam, pada waktu makan, aku
akan menjelaskan semuanya....
Selama di sekolah, aku terus memikirkan masalahku. Hari ini pun
sudah pernah kualami. Aku sudah mengerjakan semua tugas, sudah
mendengarkan semua penjelasan, dan sudah menghabiskan makan
siang yang rasanya tak keruan.
Ketika guru matematikaku, Mr. Parker, berbalik dan membelakangi
kelas, aku sudah tahu apa yang bakal terjadi. Aku bahkan tahu kapan.
Kevin Flowers menimpuknya dengan setip, dan lemparannya tepat
pada sasaran. Sekarang Mr. Parker akan berbalik... aku berkata dalam hati, sambil
memperhatikan Mr. Parker.
Dia menoleh. ...habis ini dia akan membentak Kevin...
Mr. Parker menghardik, "Kevin Flowers - lapor ke kantor kepala
sekolah, sekarang juga!" ...sekarang giliran Kevin marah-marah.
"Dari mana Anda tahu bahwa saya yang salah"!" teriak Kevin. "Anda tidak lihat
apa-apa!" Sisa adegan itu berlangsung persis seperti yang kuingat. Mr. Parker sempat
kelihatan ragu-ragu - bagaimanapun juga, Kevin memang
berbadan besar - tapi akhirnya dia sekali lagi menyuruh Kevin
melapor ke kantor kepala sekolah. Kevin menendang sebuah kursi
sampai terbalik, lalu melempar buku-bukunya ke segala arah.
Benar-benar membosankan. Seusai sekolah, aku memergoki Tara sedang mengganggu Bubba di
ruang kerja. Dia mengangkat kaki belakang kucing itu dan
memaksanya berjalan dengan kaki depan.
"Tara, sudah!" aku berseru Aku berusaha merebut Bubba dari tangannya. Dia
melepaskan kucing itu. Bubba mengeong dan
mencakar lenganku. "Aduh!" Aku menurunkan Bubba, dan dia langsung kabur.
Menjemukan. Menjemukan sekali.
"Michael, kau apakan kucing itu?" tanya Mom.
"Tidak kuapa-apakan! Dia mencakarku!"
"Kalau dia tidak kauganggu, dia tidak akan mencakarmu," Mom mengomel.
Bel pintu berdering. Oh, gawat. Mona, Ceecee, dan Rosie. Latihan untuk Pangeran Katak.
Bencana pakaian dalam. Aku tidak bisa membiarkannya terulang kembali. Tapi kakiku
menyeretku ke atas. Bagaikan robot aku berjalan ke kamarku.
Kenapa aku tidak melawan" aku bertanya dalam hati.
Aku akan mengeluarkan kostumku. Dan ritsletingnya bakal macet.
Tara akan membuka pintu, dan aku bakal berdiri hanya berpakaian
dalam. Mona akan terpingkal-pingkal. Dan aku akan berharap bahwa bumi
tiba-tiba terbelah dan menelanku bulat-bulat.
Aku tahu semuanya itu akan terjadi.
Jadi kenapa aku tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya"
Kenapa aku diam saja"
JANGAN naik tangga, aku membujuk-bujuk diriku sendiri. Jangan
pergi ke kamarmu. Kau tidak harus mengulangi semuanya.
Pasti ada cara untuk menghentikannya, atau paling tidak, untuk
mengendalikannya. Kupaksakan diriku untuk berbalik. Kupaksakan diriku untuk menuruni
tangga. Lalu duduk di anak tangga ketiga.
Tara yang membuka pintu, dan tak lama kemudian semuanya sudah
berdiri di hadapanku. Oke, aku berkata dalam hati. Situasinya sudah bisa kukendalikan.
Urut-urutan kejadiannya sudah berbeda dari waktu pertama kali.
"Michael, mana kostummu?" tanya Mona. "Aku ingin tahu seperti apa kostummu."
"Ehm, jangan deh," aku menyahut sambil sedikit mengerut.
"Kostumku jelek sekali, dan aku tidak ingin kalian takut - "
"Yang benar saja, Michael," Ceecee memotong. "Mana ada orang yang takut garagara kostum katak?" "Dan lagi pula, kau harus pakai kostum kalau latihan," Mona menambahkan. "Jangan
sampai aku baru melihatnya kalau kita sudah di atas panggung. Aku harus
mempersiapkan diri."
"Ayo dong, Michael," Tara menimpali. "Kostumnya dipakai dong.
Aku juga belum melihatnya."
Aku menatapnya sambil mendelik. Aku tahu apa rencana dia yang
sesungguhnya. "Tidak bisa," kataku.
"Ada apa sih?" tanya Mona.
"Aku tidak bisa."
"Dia malu!" seru Rosie.
"Dia tidak berani memakainya," Tara menambahkan.
"Bukan, bukan itu," ujarku. "Aku... aku pasti kepanasan kalau pakai kostum itu,
dan - " Mona membungkuk sedikit. Aku mencium sesuatu yang manis,
seperti buah arbei. Pasti wangi sampo yang digunakannya. "Ayo, Michael,"
katanya. "Demi aku?"
"Tidak." Dia mengentakkan kaki. "Aku tidak mau latihan kecuali kalau kau pakai kostum!"
Aku menghela napas. Kelihatannya tidak ada jalan untuk berkelit.
Mona takkan berhenti mendesak sebelum aku memakai kostum katak
itu. Karena itu, aku akhirnya mengalah, meskipun dengan berat hati. "Oke deh."
"Hore!" seru Tara. Sekali lagi aku mendelik ke arahnya.
Hmm, ujarku dalam hati. Aku memang harus pakai kostum. Tapi itu
tidak berarti bahwa mereka harus melihatku hanya berpakaian dalam.
Itu masih bisa kucegah. Aku masuk ke kamarku. Tapi kali ini, aku mengunci pintu.
Nah, sekarang kau tidak bisa berkutik, Tara, pikirku. Michael Webster tidak bisa
diakali. Maaf saja. Pintunya terkunci. Dan aku merasa
aman. Kubuka jeans dan T-shirt-ku. Kemudian kukeluarkan kostum
katak dari lemari pakaian.
Kutarik ritsletingnya. Macet.
Persis seperti waktu pertama kali.
Tapi kali ini aku tidak perlu kuatir, aku berkata dalam hati. Pintunya terkunci
rapat. Dan privasiku tetap terjaga.
Pada detik berikut pintunya mendadak membuka.
Tak berdaya aku berdiri di tengah kamar - hanya berpakaian dalam.
Mona, Rosie, dan Ceecee menatapku. Lalu mereka mulai menjerit dan
ketawa terpingkal-pingkal.
"Tara!" teriakku. "Pintunya kan terkunci!"
"Kata siapa?" balas Tara. "Kunci pintunya kan rusak!"
"Kan sudah dibetulkan Dad!" seruku.
Aku berusaha mengingat-ingat kapan Dad membetulkan kunci pintu
kamarku. Oh, betul juga. Dia baru membetulkannya setelah bencana pakaian dalam ini. Ketika
aku ulang tahun. Berarti belum. Aduh, siapa yang bisa mengingat urut-urutan semua kejadian itu"
Wah, gawat, aku berkata dalam hati. Aku bakal celaka.
Kaki Tiga Menjangan 9 Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan Cincin Berlumur Darah 3

Cari Blog Ini