Goosebumps - Semalam Di Menara Teror Bagian 1
"AKu ngeri," ujar Eddie. Aku menggigil dan menarik ritsleting jaketku sampai ke
dagu. "Eddie, ini kan idemu," aku berkata kepada adikku. "Bukan aku yang
memohon-mohon untuk melihat Menara
Teror, tapi kau." Matanya yang cokelat memandang ke arah menara. Embusan angin
kencang mengacak-acak rambutnya yang cokelat tua. "Perasaanku
tidak enak, Sue. Aku dapat firasat buruk."
Aku mengerutkan kening. "Aduh, Eddie, kau memang penakut! Kau
selalu dapat firasat buruk, bahkan kalau sekadar pergi ke bioskop."
"Kalau filmnya seram saja," dia bergumam.
"Umurmu sudah sepuluh tahun," sahutku dengan tegas. "Kau sudah tidak pantas
masih takut pada bayanganmu sendiri. Ini cuma kastil tua dengan menara," ujarku
sambil menunjuk ke arah kastil itu. "Ratusan turis berkunjung ke sini setiap
hari." "Tapi dulu ini tempat untuk menyiksa orang," balas Eddie. Tiba-tiba saja dia
kelihatan pucat sekali. "Dulu orang disekap di dalam menara itu dan dibiarkan
mati kelaparan." "Itu ratusan tahun yang lalu," aku menimpali. "Sekarang tak ada lagi yang
disiksa, Eddie. Sekarang cuma ada orang yang berjualan kartu
pos." Kami menatap kastil tua yang terbuat dari batu-batu berwarna abuabu, yang kini hampir hitam karena dimakan waktu. Kedua
menaranya yang ramping menjulang bagaikan lengan di kedua
sisinya. Awan-awan badai menggantung rendah di atas menara-menara yang
gelap. Pohon-pohon tua yang merunduk di halaman tengah tampak
bergoyang-goyang karena tiupan angin. Suasananya bukan seperti
musim semi. Udara terasa suram dan dingin. Keningku terkena tetesan
hujan. Lalu pipiku. Suasananya khas kota London, pikirku. Suasana yang cocok untuk
mengunjungi Menara Teror yang terkenal.
Ini hari pertama kami di Inggris, dan Eddie dan aku sudah berkeliling kota
London. Orangtua kami harus mengikuti konferensi di hotel
tempat kami menginap. Karena itu mereka mendaftarkan kami sebagai
peserta tur, dan kami pun berangkat.
Kami berkunjung ke British Museum, berjalan-jalan ke Harrods,
mendatangi Westminster Abbey dan Trafalgar Square.
Untuk makan siang, kami menyantap bangers and mash (sosis dan
bubur kentang) di sebuah pub khas Inggris. Setelah itu rombongan tur kami
berkeliling naik bus, Eddie dan aku duduk di lantai atas bus
tingkat berwarna merah cerah.
London ternyata persis seperti yang kubayangkan. Luas dan ramai.
Toko-toko mungil di jalan-jalan sempit dipadati taksi-taksi model
kuno berwarna hitam. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia berlalu
lalang di trotoar. Adikku si penakut tentu saja ngeri karena harus berkeliling kota yang asing
tanpa orangtua kami. Tapi aku sudah dua belas, dan jauh lebih
berani daripada dia. Dan aku juga berhasil menjaga supaya dia jangan terlalu
senewen. Aku kaget sekali waktu Eddie minta agar kami berkunjung ke Menara
Teror. Mr. Starkes, pemandu wisata kami yang botak dan bermuka merah,
mengumpulkan semua anggota rombongan di trotoar. Jumlahnya dua
belas orang, sebagian besar orang tua. Cuma Eddie dan aku yang
masih anak-anak. Mr. Starkes memberi pilihan kepada kami. Berkunjung ke satu
museum lagi - atau ke Menara.
"Ke Menara! Ke Menara!" Eddie memohon-mohon. "Aku harus melihat Menara Teror!"
Kami menempuh perjalanan panjang naik bus sampai ke pinggir kota.
Toko-toko digantikan oleh rumah-rumah mungil yang terbuat dari
bata merah. Kemudian kami melewati rumah-rumah yang lebih tua
lagi, rumah-rumah yang tersembunyi di balik pohon-pohon dan
tembok-tembok yang tertutup tanaman rambat.
Ketika bus akhirnya berhenti, kami turun dan menyusuri jalan sempit
yang terbuat dari batu bata. Jalan itu licin karena telah dipakai selama
berabad-abad, dan berakhir di sebuah tembok tinggi. Di balik tembok
tersebut, Menara Teror tampak menjulang ke langit yang kelabu.
"Cepat, Sue!" Eddie menarik-narik lengan bajuku. "Nanti kita ketinggalan!"
"Mereka pasti akan menunggu kita," aku berkata kepada adikku.
"Tenang saja, Eddie. Kita takkan tersesat."
Kami berlari kecil, menyusul rombongan yang telah mendahului kami.
Sambil mengencangkan mantelnya yang panjang dan hitam, Mr.
Starkes mengajak kami masuk melalui gerbang.
Dia berhenti dan menunjuk setumpuk batu kelabu di pekarangan
tengah yang luas dan berumput. "Tumpukan batu itu sisa benteng
yang asli," dia menjelaskan. "Kastil ini dibangun oleh pasukan Romawi sekitar
tahun 400. Saat itu London merupakan bagian dari
kerajaan Romawi." Hanya sebagian kecil benteng yang masih berdiri tegak. Selebihnya
telah ambruk atau roboh. Aku hampir tak bisa percaya bahwa aku
sedang berhadapan dengan tembok yang dibangun lebih dari seribu
lima ratus tahun yang silam.
Bersama Mr. Starkes kami lalu menyusuri jalan setapak yang menuju
kastil dan kedua bentengnya. "Kastil ini dibangun pasukan Romawi sebagai benteng
pertahanan," pemandu wisata itu meneruskan
penjelasannya. "Setelah mereka angkat kaki, tempat ini berubah
menjadi penjara, dan perubahan itu merupakan awal dari rangkaian
kekejaman dan penyiksaan selama bertahun-tahun di dalam temboktembok ini." Kukeluarkan kamera sakuku dari kantong jaket, kemudian kuambil
foto benteng Romawi. Setelah itu aku membalik dan memotret-motret
kastil. Langit telah bertambah gelap. Aku hanya bisa berharap agar
foto-fotonya cukup jelas.
"Ini penjara pertama di London bagi orang-orang yang terjerat utang,"
Mr. Starkes bercerita sambil berjalan. "Jika seseorang terlalu miskin untuk
melunasi utangnya, dia dikirim kemari. Artinya, dia tidak
pernah bisa membayar utangnya! Dan dengan demikian dia
mendekam di sini untuk selama-lamanya."
Kami melewati gardu jaga kecil. Besarnya kira-kira sama dengan
kotak telepon umum, terbuat dari batu putih, dengan atap miring.
Mula-mula kusangka gardunya kosong. Tapi di luar dugaanku,
seorang penjaga berseragam kelabu melangkah ke luar sambil
memanggul senapan. Aku berpaling memandang tembok gelap yang mengelilingi kastil.
"Lihat tuh, Eddie," bisikku. "Dari sini kota di luar sama sekali tidak
kelihatan. Rasanya kita seperti mundur ke masa lalu."
Dia menggigil. Aku tidak tahu apakah dia menggigil karena ucapanku,
atau karena angin kencang yang berembus di pekarangan tengah.
Kami menyusuri jalan setapak yang terselubung bayang-bayang kastil.
Mr. Starkes mengajak kami ke sebuah pintu sempit di bagian pinggir.
Kemudian dia berbalik menatap para anggota rombongan.
Aku terkejut melihat roman mukanya yang tegang dan penuh duka.
"Dengan berat hati saya terpaksa menyampaikan kabar buruk ini," dia berkata
sambil menatap kami satu per satu.
"Hah" Kabar buruk?" bisik Eddie, sambil merapat ke sisiku.
"Anda semua akan ditahan di menara utara," Mr. Starkes
mengumumkan dengan serius. "Di sana Anda akan disiksa, sampai
Anda menceritakan alasan sesungguhnya Anda memilih berkunjung
ke sini." EDDIE memekik tertahan. Beberapa anggota rombongan menarik
napas sambil membelalakkan mata.
Mr. Starkes terkekeh-kekeh dan wajahnya yang bulat dan merah mulai
dihiasi senyum. "Sedikit gurauan khas Menara Teror," katanya dengan riang.
"Sekali-sekali boleh dong saya bercanda."
Kami semua ikut tertawa. Kecuali Eddie. Dia masih tampak kaget.
"Orang itu sinting!" Eddie berbisik.
Sebenarnya, Mr. Starkes pemandu wisata yang sangat baik. Dia selalu
ceria dan siap membantu, dan sepertinya dia tahu segala sesuatu
mengenai London. Satu-satunya masalah adalah aksen Inggris yang
kadang-kadang sukar kupahami.
"Seperti yang Anda lihat, kastil ini sesungguhnya terdiri atas beberapa
bangunan," Mr. Starkes menjelaskan setelah kembali serius.
"Bangunan yang panjang dan rendah di sebelah sana, dulu berfungsi sebagai barak
tentara." Dia menunjuk ke seberang lapangan rumput.
Kuambil beberapa foto barak itu. Kelihatannya memang tua sekali.
Kemudian aku memotret penjaga berseragam kelabu yang berdiri
dalam posisi siap di depan gardu jaga.
Aku mendengar beberapa orang berbisik-bisik di belakangku. Ketika
menoleh aku melihat laki-laki bertudung dengan badan tinggi besar
mengendap-endap di belakang Mr. Starkes. Dia mengenakan jubah
hijau berpenampilan kuno dan membawa kapak perang yang besar
sekali. Algojo! Orang itu mengangkat kapaknya di belakang Mr. Starkes.
"Ada yang berminat potong rambut cara cepat?" Mr. Starkes bertanya dengan
santai, tanpa menoleh. "Ini tukang cukur kastil!"
Kami semua tertawa. Orang yang mengenakan kostum algojo
membungkuk sejenak, lalu kembali ke dalam bangunan.
"Wah, asyik juga," bisik Eddie. Tapi aku menyadari dia selalu menempelku ke mana
pun. "Pertama-tama kita akan memasuki ruang penyiksaan," Mr. Starkes mengumumkan.
"Harap jangan berpencar-pencar." Dia mengangkat bendera merah yang dipasang pada
tongkat panjang. "Bendera ini saya angkat tinggi-tinggi, supaya Anda dengan
mudah bisa menemukan saya. Orang mudah tersesat di dalam. Di sini ada ratusan ruangan dan lorong
rahasia." "Wow! Asyik!" seruku.
Eddie menatapku dengan ragu.
"Kau berani, kan, masuk ke ruang penyiksaan?" aku bertanya padanya.
"Tentu saja," sahutnya dengan suara bergetar.
"Anda akan melihat berbagai alat penyiksaan yang sangat tidak
lazim," Mr. Starkes melanjutkan. "Sipir-sipir di sini dulu mempunyai banyak cara
untuk membuat para tawanan yang malang meraung-raung kesakitan. Kami sarankan
Anda tidak mencobanya di rumah."
Beberapa orang tertawa. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin segera
masuk. "Sekali lagi saya minta Anda jangan berpencar-pencar," Mr. Starkes menegaskan
ketika kami melewati pintu yang sempit. "Rombongan
terakhir yang saya bawa hilang di sini. Beberapa dari mereka masih
gentayangan sampai sekarang. Bos saya benar-benar marah waktu
saya kembali ke kantor!"
Aku tertawa mendengar lelucon konyolnya. Kemungkinan besar dia
sudah ribuan kali menceritakannya.
Aku menengadah dan memandang ke puncak menara. Menara itu
terbuat dari batu. Tak ada jendela selain lubang kecil berbentuk bujur sangkar
di dekat puncak. Dulu benar-benar ada orang yang dipenjara di sini, pikirku. Orang
sungguhan. Ratusan tahun yang lalu. Tiba-tiba muncul pertanyaan di
hatiku, mungkinkah kastil ini ada hantunya.
Aku berusaha membaca ekspresi serius pada wajah adikku. Sepertinya
Eddie sedang memikirkan hal-hal yang bisa membuat bulu roma
berdiri. Kami menghampiri pintu yang gelap. "Lihat sini, Eddie," kataku. Aku mundur
selangkah dan mengeluarkan kamera dari saku jaket.
"Ayo, kita masuk saja," Eddie mendesak. "Yang lain sudah jauh di depan."
"Aku cuma mau ambil fotomu di gerbang kastil," sahutku.
Kuangkat kamera ke wajahku. Eddie pasang tampang konyol. Aku
menekan tombol dan mengambil fotonya.
Aku sama sekali tidak menduga bahwa inilah foto Eddie yang terakhir
kuambil. MR. STARKES mengajak kami menuruni tangga. Sepatu kets kami
berdecit-decit di lantai batu ketika kami memasuki bangsal besar
bercahaya redup. Aku menarik napas panjang, menunggu sampai mataku terbiasa
dengan suasana yang remang-remang. Udara yang kuhirup berbau
pengap. Suhu di dalam sini ternyata lebih hangat dari yang kuduga. Kubuka
ritsleting jaketku, lalu kutarik rambutku yang panjang dan cokelat dari balik
kerah. Kulihat beberapa lemari pajang merapat di dinding. Mr. Starkes
mengajak kami menghampiri semacam tempat tidur besar di tengah
bangsal. Rombongan kami segera berkerumun di sekelilingnya.
"Inilah the Rack," Mr. Starkes menjelaskan sambil menunjuk dengan bendera
merahnya. "Wow, ternyata benar-benar ada!" aku berbisik kepada Eddie. Aku sudah sering
melihat alat penyiksaan seperti itu di dalam film-film dan di buku-buku komik.
Tapi ini pertama kali aku melihat aslinya dengan mata kepala sendiri.
"Tahanan yang hendak disiksa dipaksa berbaring di sini," Mr. Starkes
melanjutkan. "Kemudian tangan dan kakinya diikat. Pada waktu roda besar itu
diputar, tali-temali yang mengikat tangan dan kakinya
tertarik sampai kencang." Dia menunjuk roda kayu berukuran besar.
"Kalau rodanya diputar lagi, maka tali-temalinya pun akan bertambah kencang,"
Mr. Starkes menambahkan dengan mata berbinar-binar.
"Kadang-kadang rodanya terus diputar dan si tahanan terus ditarik sampai semua tulangnya copot dari engsel masing-masing."
Dia terkekeh-kekeh. "Saya kira inilah yang disebut kunjungan
berkepanjangan di penjara!"
Beberapa anggota rombongan tertawa karena lelucon Mr. Starkes.
Tapi Eddie dan aku bertukar pandang dengan serius.
Sambil menatap alat penyiksaan itu, aku membayangkan seseorang
terbaring di situ. Aku membayangkan rodanya berderak-derak saat
diputar. Dan tali-temalinya bertambah kencang.
Aku menoleh dan melihat sosok gelap berdiri di seberang alat itu.
Orang itu sangat tinggi dan besar. Dia mengenakan jubah hitam yang
panjang, dan wajahnya terselubung bayangan dari topinya yang lebar.
Matanya menyorot tajam. Hei, sepertinya dia memandang ke arahku" Langsung saja kusenggol
adikku. "Kaulihat laki-laki di seberang sana" Yang berpakaian
hitam?" aku berbisik. "Apakah dia anggota rombongan kita?"
Eddie menggelengkan kepala. "Aku belum pernah melihatnya," dia menyahut. "Wah,
aneh! Kenapa dia memelototi kita seperti itu?"
Laki-laki itu menarik topinya ke bawah. Matanya menghilang di balik
pinggiran topinya. Mantelnya yang hitam menggembung ketika dia
mundur ke sudut yang gelap.
Mr. Starkes terus bercerita mengenai the Rack. Dia bertanya apakah
ada sukarelawan yang mau mencobanya. Semua tertawa.
Alat ini harus kupotret, aku berkata dalam hati. Teman-temanku pasti terkagumkagum. Aku meraih saku jaketku untuk mengambil kameraku.
"Hei - !" aku berseru dengan heran.
Cepat-cepat kurogoh saku yang satu lagi. Kemudian kuperiksa
kantong-kantong celana jeans-ku. "Oh, gawat!" seruku.
Kameraku hilang. "EDDIE!" aku berseru. "Kaulihat - ?"
Aku langsung terdiam ketika melihat senyum jail di wajah adikku.
Dia mengangkat tangannya - berikut kameraku - dan senyumnya
bertambah lebar lagi. "Si Pencopet Ulung beraksi kembali!" dia berkata dengan
riang. "Jadi kau yang mengambilnya dari sakuku"!" aku menghardiknya.
Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian kudorong dia begitu keras sehingga dia terhuyung-huyung
ke belakang dan menabrak the Rack.
Dia malah terpingkal-pingkal. Eddie menganggap dirinya sebagai
pencopet paling jago di seluruh dunia. Itu hobinya. Sungguh. Dan dia selalu
berlatih. "Tangan tercepat di muka bumi!" dia berkoar sambil mengayun-ayunkan kameraku.
Langsung saja kurebut dari tangannya. "Kau benar-benar brengsek!"
aku menggerutu. Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu senang jadi pencuri. Tapi dia memang
jago. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa waktu dia
menarik kamera itu dari kantongku.
Aku masih mengomel ketika Mr. Starkes mengajak rombongan kami
ke ruangan berikut. Eddie dan aku bergegas supaya tak ketinggalan. Sepintas lalu aku
melihat laki-laki berjubah hitam tadi. Dia berjalan mengikuti kami,
dan wajahnya masih tersembunyi di bawah pinggiran topinya yang
lebar. Sekonyong-konyong aku dicekam ketakutan. Apakah orang aneh itu
sedang mengawasi Eddie dan aku" Kenapa"
Pasti bukan. Paling-paling dia cuma turis biasa yang juga berkunjung ke Menara.
Tapi kalau begitu, kenapa aku mendapat firasat buruk
bahwa dia menguntit kami"
Berulang kali aku melirik ke belakang ketika Eddie dan aku
mengamati alat-alat penyiksaan di ruang berikut. Sepertinya orang itu sama
sekali tidak tertarik pada benda-benda yang dipajang. Dia terus berdiri di dekat
tembok. Mantelnya yang hitam seakan-akan menyatu
dengan bayang-bayang gelap, sementara matanya memandang lurus
ke depan - ke arah kami! "Coba lihat ini!" ujar Eddie sambil menarikku ke salah satu rak pajang. "Apa
ini?" "Jepitan jempol," sahut Mr. Starkes. Dia menghampiri kami dari belakang, lalu
meraih salah satunya. "Bentuknya mirip cincin," dia menjelaskan. "Nah, alat ini
dipasang pada jempol seperti ini."
Dia memasang cincin logam itu pada jempolnya. Kemudian
diangkatnya tangannya agar kami bisa melihat lebih jelas. "Di pinggir cincin ada
sekrup. Kalau diputar, sekrup ini akan menjepit jempolmu.
Semakin diputar, semakin keras menjepitnya."
"Aduh!" seruku.
"Sangat tidak menyenangkan," Mr. Starkes membenarkan sambil mengembalikan
jepitan jempol itu ke tempat semula. "Seluruh
ruangan ini berisi benda-benda yang sangat tidak menyenangkan."
"Aku hampir tidak bisa percaya bahwa barang-barang ini pernah
dipakai untuk menyiksa orang," Eddie bergumam. Suaranya gemetar.
Dia tidak suka pada hal-hal yang menyerarnkan - apalagi kalau hal itu
nyata, seperti sekarang. "Coba kalau aku punya sepasang untuk menjepit jempolmu!" aku menggodanya. Eddie
memang penakut. Kadang-kadang aku tidak bisa
menahan diri. Rasanya ada yang kurang kalau belum mengolokoloknya. Aku meraih ke balik tali pembatas dan mengambil borgol yang terbuat
dari logam. Borgol itu ternyata lebih berat dari yang kuduga. Dan di sekeliling
sisi dalamnya ada sederetan paku.
"Sue - kembalikan ke tempatnya!" Eddie berbisik dengan panik, Tapi aku malah
memasang borgol itu pada pergelangan tanganku.
"Nih, Eddie, kalau borgolnya dikunci, paku-pakunya menusuk
pergelangan tanganmu," kataku padanya.
Aku memekik kaget ketika borgol yang berat itu menutup diiringi
bunyi klik. "Aduh!" aku menjerit sambil menarik-nariknya dengan bingung.
"Eddie - tolong! Aku tidak bisa melepaskannya! Tanganku terpotong!
Tanganku terpotong!"
"OHHH!" Eddie mengerang ketakutan sambil menatap borgol yang melingkar pada
pergelangan tanganku. Mulutnya sampai ternganga,
dan dagunya mulai gemetar.
"Tolong aku!" aku meratap sambil mengayun-ayunkan tangan dan menarik-narik
rantai. "Buka borgolnya!"
Muka Eddie jadi pucat pasi.
Aku tidak tahan lagi. Serta-merta aku mulai ketawa. Dan dengan
mudah kutarik borgol itu dari pergelangan tanganku.
"Hah, kena kau!" aku bersorak dengan gembira. "Makanya, jangan suka usil.
Sekarang kau kena batunya!"
"A-a-aku - " Eddie tergagap-gagap. Matanya yang gelap
memelototiku dengan kesal."Aku pikir kau benar-benar kesakitan,"
dia bergumam. "Jangan kauulangi lagi, Sue. Aku serius."
Kujulurkan lidahku. Aku tahu perbuatanku kekanak-kanakan. Tapi
kadang-kadang tingkah adikku begitu menyebalkan, sampai-sampai
aku tidak bisa menahan diri.
"Mari ikut saya!" Suara Mr. Starkes memantul dari dinding-dinding batu. Eddie
dan aku ikut serta ketika rombongan kami berkerumun di
sekeliling Mr. Starkes. "Sekarang kita akan naik ke menara utara," si pemandu wisata mengumumkan.
"Seperti yang akan Anda lihat nanti, tangganya
sempit dan terjal. Jadi kita harus berbaris satu-satu. Tolong perhatikan langkah
Anda." Mr. Starkes menundukkan kepala ketika mengajak kami melewati
pintu yang rendah dan sempit. Eddie dan aku berada di ujung barisan.
Tangga batu itu melingkar-lingkar sampai ke puncak menara. Tak ada
pegangan. Dan tangganya begitu terjal, sehingga aku terpaksa
berpegangan pada tembok untuk menjaga keseimbangan.
Semakin dekat ke puncak, udaranya semakin panas. Tangga tua ini
sudah begitu sering didaki, sehingga semua anak tangganya sudah
licin dan pinggirannya pun sudah aus karena terinjak ribuan kaki.
Aku berusaha membayangkan para tawanan yang digiring ke puncak
menara. Kaki mereka pasti gemetaran karena takut.
Eddie berada di depanku. Dia berjalan pelan-pelan sambil menatap
dinding batu yang hitam karena jelaga. "Aduh, gelap sekali," dia mengeluh sambil
menoleh ke belakang. "Ayo dong, Sue. Jangan
sampai kita tertinggal terlalu jauh."
Jaketku menggesek dinding batu ketika aku mendaki. Sebenarnya aku
termasuk kurus, tapi tangganya begitu sempit sehingga aku terus
menabrak dinding. Setelah pendakian yang seolah-olah memakan waktu berjam-jam,
kami berhenti di sebuah pelataran. Tepat di hadapan kami ada sel kecil yang
gelap dengan terali besi.
"Sel ini digunakan untuk para tahanan politik," Mr. Starkes memberitahu kami.
"Musuh-musuh sang raja dibawa ke sini. Seperti Anda lihat, tempat ini tidak
nyaman." Aku mendekat dan melihat bahwa sel itu cuma berisi bangku batu dan
meja tulis yang terbuat dari kayu.
"Bagaimana nasib para tahanan itu?" seorang wanita berambut putih bertanya
kepada Mr. Starkes. "Apakah mereka harus mendekam di
sini sampai bertahun-tahun?"
"Tidak," Mr. Starkes menyahut sambil mengusap-usap dagu.
"Sebagian besar menjalani hukuman pancung."
Bulu kudukku mendadak berdiri. Aku menghampiri terali dan
mengintip ke dalam sel kecil itu.
Dulu benar-benar ada orang yang ditahan sini, aku berkata dalam hati.
Mereka berdiri di balik terali ini dan memandang ke luar. Mereka
duduk di meja kecil itu. Berjalan mondar-mandir. Menunggu ajal.
Aku menelan ludah dan melirik adikku. Sepertinya dia sama ngerinya
denganku. "Kita belum sampai di puncak," Mr. Starkes mengumumkan. "Mari naik lagi."
Tangga batu yang kami lewati bertambah terjal. Aku terus
berpegangan pada dinding sambil mengikuti Eddie.
Tiba-tiba saja aku mendapat perasaan aneh - rasanya aku sudah
pernah berada di sini. Rasanya aku sudah pernah mendaki tangga yang
melingkar-lingkar ini. Rasanya aku sudah pernah naik ke puncak
menara tua ini. Tapi tentu saja ini tidak mungkin.
Seumur hidup, Eddie dan aku belum pernah berkunjung ke Inggris.
Namun perasaan itu terus menghantuiku ketika rombongan tur kami
berdesak-desakan di ruangan kecil di puncak menara. Barangkali
menara ini pernah kulihat dalam film" Atau mungkin aku pernah
melihat fotonya di salah satu majalah"
Kenapa semuanya terasa begitu akrab bagiku"
Aku menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan dengan cara itu aku
bisa mengusir pikiran-pikiran aneh yang berkecamuk dalam benakku.
Kemudian aku melangkah ke samping Eddie dan memandang
berkeliling. Jauh di atas kepala kami terdapat jendela mungil berbentuk lingkaran.
Cahaya suram masuk melalui jendela itu. Dinding yang melingkar
tampak licin, namun dipenuhi retakan-retakan kecil dan bercak-bercak gelap.
Langit-langitnya rendah, begitu rendah sehingga Mr. Starkes
dan beberapa orang dewasa lainnya terpaksa merunduk.
"Barangkali Anda bisa merasakan kesedihan yang memenuhi ruangan ini," Mr.
Starkes berkata pelan-pelan.
Kami berdesak-desakan agar dapat mendengar lebih jelas. Eddie
menatap ke jendela, dan roman mukanya berkesan was-was.
"Inilah ruang menara yang digunakan untuk menyekap pangeran dan putri cilik,"
lanjut Mr. Starkes dengan serius. "Waktu itu abad kelima belas. Sang pangeran
dan sang putri - Edward dan Susannah of
York - ditawan di sel kecil ini."
Dia membuat gerakan melingkar dengan bendera merahnya.
Pandangan kami mengikuti gerakan benderanya dan memandang
berkeliling. "Bayangkan. Dua bocah cilik. Diambil dengan paksa dari rumah
mereka. Lalu disekap di dalam sel yang dingin dan suram di
puncak menara ini." Suara Mr. Starkes kini lebih menyerupai bisikan halus.
Tiba-tiba saja aku menggigil kedinginan. Cepat-cepat kutarik ritsleting jaketku
sampai ke atas. Eddie pun menyelipkan kedua tangannya ke
saku jeans-nya. Matanya membelalak ngeri ketika mengamati ruangan
yang kecil dan gelap ini.
"Sang pangeran dan sang putri hanya sebentar berada di sini," Mr.
Starkes kembali bicara. "Sementara mereka tidur malam itu, algojo kerajaan dan
sejumlah anak buahnya mengendap-endap menaiki
tangga. Mereka diperintahkan membunuh kedua bocah itu. Agar sang
pangeran dan sang putri tak naik takhta."
Mr. Starkes memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
Keheningan yang meliputi ruangan itu terasa mencekam.
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berbicara.
Satu-satunya bunyi adalah bunyi angin yang masuk melalui jendela
kecil di atas kepala kami.
Aku pun memejamkan mata. Aku berusaha membayangkan sepasang
anak kecil. Bingung dan ketakutan. Berusaha tidur di ruangan yang
kelam ini. Pintu membuka. Orang-orang tak dikenal menghambur masuk.
Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka menyerbu
untuk membunuh kedua anak kecil itu.
Di ruangan ini. Di ruangan tempat aku berdiri sekarang, pikirku.
Aku membuka mata. Eddie sedang memandang ke arahku, dan
wajahnya kelihatan pucat. "Seram sekali," bisiknya.
"Yeah," aku membenarkan. Mr. Starkes mulai menceritakan
kelanjutannya. Tapi kameraku terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai batu. Aku
segera membungkuk untuk memungutnya. "Aduh, Eddie, - lensanya
pecah!" seruku. "Ssst! Aku tidak bisa mendengar penjelasan Mr. Starkes tentang sang pangeran dan
sang putri!" protes Eddie.
"Tapi kameraku - !" Aku mengguncang-guncangkannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Lensanya tak mungkin utuh lagi kalau diguncang-guncang seperti itu.
"Apa katanya" Kau dengar dia bilang apa?" tanya Eddie.
Aku menggelengkan kepala. "Sori. Aku juga tidak dengar."
Kami menghampiri sebuah ranjang rendah yang menempel di dinding.
Di sebelahnya ada kursi kayu berkaki tiga. Satu-satunya perabot di
ruangan ini. Apakah sang pangeran dan sang putri pernah duduk di sini" aku
bertanya dalam hati. Apa saja yang mereka bicarakan" Apakah mereka bingung
memikirkan nasib mereka" Apakah mereka berbicara tentang hal-hal
yang bakal mereka kerjakan setelah dibebaskan" Setelah mereka
pulang ke rumah" Semuanya begitu sedih. Aku menghampiri ranjang dan menyentuhnya. Ternyata keras sekali.
Goresan-goresan hitam di dinding menarik perhatianku. Tulisan"
Mungkinkah sang pangeran atau sang putri meninggalkan pesan"
Aku membungkuk dan mengamati goresan-goresan itu sambil
memicingkan mata. Bukan. Bukan tulisan. Cuma retakan-retakan di dinding.
"Sue - ayo dong!" Eddie mendesak. Dia menarik-narik lengan bajuku.
"Oke, oke," sahutku jengkel. Sekali lagi kuusap ranjang itu. Rasanya begitu
keras, begitu tidak nyaman.
Aku menoleh ke jendela. Cahaya suram tadi sud h lenyap. Keadaan di
luar gelap gulita, seakan-kan malam telah turun.
Sekonyong-konyong aku merasa seakan-akan dinding batu di
sekelilingku hendak mengimpitku. Aku merasa seolah-olah berada di
dalam lemari gelap, lemari yang dingin dan menakutkan. Aku
membayangkan dinding-dinding mencengkeram dan mencekikku.
Begitukah perasaan sang pangeran dan sang putri dulu"
Mungkinkah aku merasakan ketakutan yang sama seperti mereka,
lebih dari lima ratus tahun yang silam"
Sambil menghela napas kulepaskan tanganku dari ranjang dan
berpaling kepada Eddie. "Ayo, kita jalan lagi," kataku dengan suara bergetar.
"Ruangan ini terlalu menakutkan, terlalu sedih."
Kami membalik, berjalan beberapa langkah ke arah tangga - lalu
berhenti mendadak. "Hei - !" kami berseru berbarengan.
Mr. Starkes dan para anggota rombongan kami telah menghilang.
"KE MANA mereka?" seru Eddie dengan suara melengking. Dia
kelihatan kaget sekali. "Kita ditinggal di sini!"
"Mereka pasti sedang menuruni tangga," ujarku sambil mendorong adikku. "Ayo,
kita susul mereka." Eddie terus menempelku. "Kau duluan," katanya perlahan.
"Kau takut, ya?" aku menggodanya. "Gara-gara ditinggal berdua di Menara Teror?"
Aku tidak tahu kenapa aku begitu senang menggoda adikku. Tapi
yang jelas, dia benar-benar ketakutan. Sebenarnya aku sendiri juga
agak ngeri. Tapi aku tidak bisa menahan diri.
Aku kan sudah bilang, Eddie sering membuatku bertingkah kekanakkanakan. Aku mulai menuruni tangga yang melingkar-lingkar. Suasana di
sekeliling kami seakan-akan bertambah gelap.
"Kok kita tidak mendengar mereka pergi, ya?" tanya Eddie. "Kenapa mereka pergi
begitu terburu-buru?"
"Soalnya sudah sore," sahutku. "Aku rasa Mr.
Starkes ingin secepatnya menggiring semuanya ke bus untuk
mengantarkan mereka ke hotel masing-masing. Kalau tidak salah,
Menara Teror ditutup jam lima sore," aku berkata sambil menatap arlojiku.
Ternyata sudah pukul lima lewat dua puluh.
"Cepat dong," Eddie mendesak. "Aku tidak mau terkunci di sini.
Tempat ini membuatku merinding."
"Aku juga," aku mengakui.
Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menatap kegelapan di hadapanku sambil memicingkan mata, lalu
mulai menuruni tangga. Sepatu ketsku tergelincir ketika menginjak
batu yang licin. Sekali lagi aku berpegangan pada tembok untuk
menjaga keseimbangan. "Mana sih mereka?" Eddie bertanya dengan gelisah. "Kenapa langkah mereka tidak
terdengar?" Udara bertambah dingin ketika kami turun. Cahaya remang-remang
berwarna kekuningan menerangi pelataran kecil tepat di bawah kami.
Tanganku menyerempet sesuatu yang lembut dan lengket. Sarang
labah-labah. Idih. Aku mendengar Eddie tersengal-sengal di belakangku. "Busnya pasti menunggu
sampai kita datang," aku berkata padanya. "Tenang saja.
Mr. Starkes tidak mungkin berangkat tanpa kita."
"Halo?" teriak Eddie. "Ada siapa di bawah sana?" Suaranya yang melengking
terdengar bergema di ruang tangga yang sempit.
Tak ada jawaban. "Penjaganya ke mana?" tanya Eddie.
"Eddie - kau jangan senewen begitu, dong," aku memohon. "Sekarang sudah sore. Para
penjaga pasti sedang sibuk mengunci pintu-pintu.
Dan Mr. Starkes pasti sudah menunggu kita di bawah. Tenang saja
deh." Kami sampai di pelataran yang diterangi cahaya remang-remang. Sel
kecil yang telah kami lihat tadi menempel di dinding.
"Jangan berhenti," Eddie memohon sambil terengah-engah. "Jalan terus, Sue.
Cepat!" Aku menggenggam pundak adikku untuk menenangkannya. "Eddie,
kau tidak perlu kuatir," ujarku. "Kita sudah hampir sampai di bawah."
"Tapi - " protes Eddie. Dengan kalang kabut dia menunjuk ke depan.
Aku langsung tahu apa yang membuatnya cemas. Ternyata ada dua
tangga yang menuju ke bawah?satu di sebelah kiri sel, satu lagi di
sebelah kanan. "Wah, aneh," aku bergumam. Pandanganku mondar-mandir antara tangga yang satu ke
tangga yang lain. "Seingatku tadi tangganya cuma satu."
"Ya-yang mana yang benar?" Eddie tergagap-gagap.
Aku pun ragu-ragu. "Aku tidak pasti," jawabku. Aku menghampiri tangga di sebelah
kanan dan mengintip ke bawah. Tapi tidak banyak
yang terlihat, karena tangga itu membelok begitu tajam.
"Yang mana" Yang mana?" Eddie bertanya dengan panik.
"Aku rasa itu tidak penting," ujarku. "Kedua-duanya menuju ke bawah, bukan?"
Kuberi isyarat agar dia mengikutiku. "Ayo. Sepertinya yang ini yang kita lewati
waktu naik tadi." Aku turun satu anak tangga.
Kemudian berhenti. Aku mendengar suara langkah. Langkah berat. Langkah menaiki
tangga. Eddie langsung meraih tanganku. "Siapa itu?" dia berbisik.
"Paling-paling Mr. Starkes," jawabku. "Dia pasti kembali untuk memanggil kita."
Eddie menarik napas lega.
"Mr. Starkes?" aku berseru ke bawah.
Hening. Yang terdengar hanya suara langkah yang terus mendekat.
"Mr. Starkes?" aku memanggil sekali lagi. Kali ini suaraku jauh lebih kecil.
Ketika sosok gelap itu muncul di hadapan kami, aku langsung tahu dia bukan
pemandu wisata kami. "Oh!" aku berseru kaget waktu laki-laki besar bermantel hitam itu muncul.
Wajahnya masih tersembunyi dalam kegelapan. Tapi matanya
bagaikan membara ketika dia menatap Eddie dan aku dari bawah
topinya yang lebar. "A-apakah ini jalan ke bawah?" aku tergagap-gagap.
Dia tidak menyahut. Dia tidak bergerak. Tapi matanya seolah-olah bendak membakar
mataku. Aku berusaha melihat wajahnya. Namun tampangnya terselubung
bayangan dari pinggiran topinya.
Aku menarik napas dan mencoba sekali lagi. "Kami terpisah dari
rombongan kami," ujarku. "Mereka pasti sedang menunggu kami.
Apakah - apakah ini jalan ke bawah?"
Sekali lagi dia hanya diam. Dan dia terus menatap kami dengan
pandangan mengancam. Dia begitu besar, aku menyadari. Seluruh tangga terhalang oleh
badannya. "Sir - ?" aku kembali angkat bicara. "Saya dan adik saya - "
Dia mengangkat sebelah tangan. Tangannya besar sekali, dan
terbungkus sarung tangan berwarna hitam.
Eddie dan aku ditudingnya.
"Kalian ikut saya sekarang," dia menggerung. Aku menatapnya sambil terbengongbengong. Aku benar-benar bingung. "Kalian harus ikut saya," dia mengulangi. "Saya tidak bermaksud jahat. Tapi
kalau mencoba kabur, saya tidak punya pilihan lain."
Ebukulawas.blogspot.com EDDIE memekik tertahan. Aku semakin melongo ketika orang itu menghampiriku.
Lalu aku menyadari siapa dia. "Anda penjaga di sini - bukan?" aku bertanya.
Dia tetap membisu. "Anda membuat saya ketakutan," kataku sambil memaksa tertawa.
"Maksud saya, dengan kostum Anda itu. Anda bekerja di sini bukan?" Dia maju selangkah sambil mengangkat tangan. Jari-jemarinya yang
terbungkus sarung tangan hitam tampak bergerak-gerak.
"Maaf kami terlambat begini," aku melanjutkan. "Kami terpisah dari rombongan
kami. Anda pasti sudah mau mengunci semua pintu,
supaya Anda bisa pulang."
Dia maju selangkah lagi. Matanya menyorot tajam. "Kalian tahu
kenapa saya ada di sini," dia menggeram.
"Tidak. Saya tidak tahu. Saya - " Aku mendadak terdiam ketika dia mencengkeram
pundakku. "Hei - jangan ganggu dia!" teriak Eddie.
Tapi orang berjubah itu juga menangkap adikku. Tangannya
mencengkeram pundakku dengan keras. "Hei - !" aku berseru
kesakitan. Dia mendorong kami hingga merapat ke dinding batu yang dingin.
Aku sempat melihat wajahnya, wajah yang berkesan keras dan geram.
Hidung panjang dan runcing, bibir tipis yang menyeringai lebar. Dan
matanya. Sepasang mata yang menyorot dingin.
"Lepaskan kami!" Eddie menuntut dengan gagah.
"Kami harus menyusul rombongan kami!" aku menambahkan dengan suara melengking.
"Kami sudah mau pulang. Anda tidak boleh
menahan kami di sini!"
Imbauan kami tak digubrisnya. "Jangan bergerak," dia berkata dengan suara parau.
"Berdiri di situ saja. Jangan coba-coba melarikan diri."
"Begini, Sir - kalau kami melakukan kesalahan..." Suaraku melemah sampai tak
terdengar lagi. Aku memperhatikannya merogoh ke dalam lipatan jubahnya. Sejenak
dia menarik-narik, kemudian dia mengeluarkan sesuatu.
Mula-mula kusangka dia mengambil bola-bola karet. Tiga buah bola.
Tapi ketika terdengar bunyi tik-tik-tik ketika benda-benda itu beradu, aku
menyadari dia memegang tiga batu putih yang licin.
Ada apa ini" aku bertanya dalam hati. Jangan-jangan dia tidak waras"
Jangan-jangan dia gila dan berbahaya"
"Begini, Sir - " Eddie mulai berkata. "Kami harus pulang sekarang."
"Jangan bergerak," hardik laki-laki berjubah itu. Dengan marah dia menyibakkan
jubahnya ke belakang. "Jangan bergerak - dan jangan
bersuara. Ini peringatan saya yang terakhir!"
Eddie dan aku bertukar pandang dengan ngeri. Sambil merapatkan
punggung ke tembok, aku beringsut-ingsut menuju tangga terdekat.
Sambil bergumam sendiri, orang itu memusatkan perhatian pada
ketiga batu putihnya yang licin, yang lalu disusunnya tumpang tindih.
Dia berseru dengan kesal ketika salah satu batu jatuh ke lantai. Batu itu
langsung terpental. Ini kesempatan kita! pikirku.
Serta-merta kudorong Eddie ke tangga yang satu lagi. "Lari! aku menjerit.
"Ayo, terus," aku mendesak Eddie. "Lari terus! Kita sudah hampir sampai di pintu
keluar!" Kata siapa" Rasanya tangga yang kami daki tadi tidak sepanjang ini.
Sepatu kets kami berdentam-dentam di tangga batu. Tapi suara
langkah laki-laki yang mengejar kami bahkan lebih keras lagi.
Teriakan-teriakannya menggelegar dan bergema di sekeliling kami.
Rasanya kami dikejar-kejar oleh seratus orang yang menakutkan,
bukan cuma satu. Siapa dia" Kenapa kami dikejar-kejarnya"
Kenapa dia begitu marah"
Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dalam benakku ketika aku
bergegas menuruni tangga yang melingkar-lingkar.
Tak ada waktu untuk mencari jawaban.
Tiba-tiba saja sebuah pintu besar berwarna kelabu menghadang di
depan kami. Eddie dan aku tidak sempat berhenti, dan kami sama-sama
menabraknya. "Pintu keluar! Ki-kita sudah sampai!" aku ter-gagap-gagap. Di belakang kami
terdengar suara langkah orang yang mengejar kami.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Kita berhasil! pikirku. Kita selamat!
Eddie mendorong pintu itu dengan bahunya. Satu kali, lalu sekali lagi.
Kemudian dia berpaling padaku, dagunya tampak gemetaran karena
takut. "Pintunya terkunci. Kita terkunci di sini!"
"Aduh!" aku memekik. "Ayo kita dorong berdua!"
Kami sama-sama menempelkan bahu dan mendorong dengan sekuat
tenaga. Sia-sia. Pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
Orang tadi semakin dekat. Kami sudah bisa mendengarnya
bergumam-gumam. Kami terperangkap, aku menyadari.
Dia akan menangkap kami. Kenapa dia mengincar kami" Apa yang akan dilakukannya"
"Coba sekali lagi," ujarku dengan suara seperti orang tercekik.
Eddie dan aku kembali berpaling ke pintu.
"Jangan macam-macam!" seru orang berjubah itu. Tapi Eddie dan aku sekali lagi
berusaha mendobrak pintu.
Dan kali ini berhasil. Pintunya membuka sedikit, menimbulkan bunyi
gesekan di lantai batu. Eddie menarik napas panjang dan menyelinap lewat celah yang
sempit. Aku segera menyusul.
Sambil terengah-engah kami menutup pintu itu. Di bagian luar
ternyata ada batang logam yang panjang. Batang itu bisa digeser
sehingga berfungsi sebagai gerendel. Orang berjubah tadi terkunci di dalam.
"Kita selamat!" aku berseru sambil membalik.
Namun rupanya belum waktunya bergembira. Kami ternyata berada di
sebuah bangsal besar yang gelap.
Dan sebuah suara yang mendirikan bulu roma - suara laki-laki yang
tertawa pelan - seruangan dengan kami - menandakan bahwa
kesulitan kami belum berakhir.
SUARA tawa itu berasal dari depan kami. Eddie dan aku sama-sama
tersentak kaget. "Kalian telah memasuki penjara bawah tanah sang raja. Buanglah
segala harapan," orang itu berkata.
"Si-siapa itu?" aku berseru.
Jawaban yang kuperoleh hanyalah tawa.
Seberkas sinar hijau dari langit-langit yang rendah merupakan satusatunya cahaya. Sambil berdempet- dempetan dengan Eddie, aku
memicingkan mata dalam keremangan dan mencari jalan keluar.
"Lihat tuh! Di sebelah sana!" bisik Eddie sambil menunjuk.
Di seberang ruangan, merapat ke tembok, ada kurungan dengan terali
besi. Kami maju beberapa langkah. Kemudian kami melihatnya.
Sebuah tangan yang kurus sekali menggapai-gapai dari balik terali.
"Oh!" aku memekik kaget.
Eddie dan aku melompat mundur.
Tapi kemudian kami melompat maju lagi karena pintu di belakang
kami digedor-gedor. "Kalian tidak bisa lolos!" seru laki-laki berjubah tadi dari
balik pintu. Eddie langsung meraih tanganku sementara orang itu terus
menggedor-gedor pintu. Bunyinya lebih keras daripada guntur.
Cukup kuatkah gerendelnya untuk menahan amukan laki-laki
tersebut" Sepasang tangan muncul dari sel lain di depan kami.
"Ini pasti cuma mimpi!" Eddie berkata dengan suara tercekik. "Penjara bawah
tanah cuma ada di zaman dulu!"
"Pintu lain!" aku berbisik. Seluruh tubuhku gemetaran ketika aku menatap tangantangan yang menggapai-gapai dari sel-sel yang gelap.
"Kita harus cari pintu lain."
Sambil kalang kabut aku memandang berkeliling dalam kegelapan. Di
salah satu sudut yang jauh aku melihat sebuah garis terang, mirip
celah pintu yang diterobos sinar.
Tanpa berpikir panjang aku berlari menghampirinya. Namun tanpa
diduga-duga, kakiku tersandung sesuatu. Sesuatu yang dirantai ke
lantai. Trernyata kakiku tersandung orang yang tergeletak dli lantai. Dan aku langsung
jatuh menimpa dadanya. Rantainya bergemerincing ketika kakiku terlilit.
Siku dan lututku menghantam lantai batu yang keras. Seketika rasa
sakit menjalar ke seluruh tubuhku.
Orang tua itu tidak bergerak.
Aku bangkit dengan susah payah. Lalu menatapnya dengan heran.
Baru kemudian aku sadar dia cuma boneka. Bukan orang sungguhan.
Cuma boneka yang dirantai ke lantai.
"Eddie - semuanya ini bukan sungguhan!" aku berseru.
"Hah?" Dia menatapku dengan bingung. Wajahnya berkerut-kerut karena ngeri.
"Ini bukan sungguhan! Semuanya cuma tiruan!" aku mengulangi.
"Lihat! Tangan-tangan yang keluar dari sel-sel - tak ada yang
bergerak! Ini cuma peragaan, Eddie. Cuma peragaan!"
Eddie hendak menjawab. Tapi ledakan tawa bengis langsung
membuatnya terdiam lagi. "Kalian telah memasuki penjara bawah tanah sang raja. Buanglah
segala harapan!" suara itu mengulangi. Lalu suara tawanya terdengar kembali.
Ternyata cuma kaset. Cuma rekaman.
Tak ada siapa-siapa selain kami. Tak ada sipir penjara.
Aku menarik napas panjang. Jantungku masih berdentum-dentum
bagaikan genderang. Tapi perasaanku sudah lebih enak setelah tahu
bahwa kami bukan di penjara sungguhan.
"Tak ada yang perlu ditakuti," ujarku kepada Eddie.
Dan kemudian pintu di Makang kami mendadak membuka dengan
suara berderak-derak. Dan laki-laki besar tadi menyerbu masuk.
Jubahnya berkibar-kibar, sementara matanya memancarkan sorot
kemenangan. EDDIE dan aku berdiri seperti patung di tengah-tengah ruangan.
Laki-laki berjubah itu juga berhenti di tempat. Satu-satunya suara
yang terdengar adalah tarikan napasnya yang tersengal-sengal.
Kami berpandangan. Sama-sama tak bergerak, bagaikan boneka
Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
boneka di dalam sel-sel. "Kalian tidak bisa lolos," orang itu menggeram sekali lagi. "Kalian takkan bisa
keluar dari kastil." Ucapannya membuatku merinding.
"Jangan ganggu kami!" Eddie memohon dengan suara yang kecil sekali.
"Ada apa sebenarnya?" tanyaku. "Kenapa kami dikejar-kejar terus?"
Laki-laki besar itu bertolak pinggang. "Kalian tahu jawabannya, balasnya
singkat. Dia maju selangkah ke arah Eddie dan aku. "Kalian sudah siap ikut saya
sekarang?" dia bertanya dengan nada memaksa.
Aku tidak menyahut. Aku malah merapatkan wajah ke telinga Eddie
dan berbisik, "Bersiap-siaplah untuk lari."
Eddie terus memandang lurus ke depan. Dia tidak berkedip maupun
mengangguk. Aku bahkan tidak tahu apakah dia mendengar apa yang
kukatakan. "Kalian tidak punya pilihan," laki-laki itu berkata pelan-pelan. Dengan kedua
tangan dia merogoh ke balik jubahnya. Sekali lagi dia
mengeluarkan batu-batu putih yang misterius. Sekali lagi kulihat
matanya yang berwarna gelap dan seringainya yang keji.
"A-Anda membuat kesalahan!" Eddie tergagap-gagap.
Laki-laki itu menggelengkan kepala. Pinggiran topinya yang lebar
menghasilkan bayangan yang miring di lantai. "Saya tidak membuat kesalahan.
Jangan coba kabur lagi. Kalian tahu kalian harus ikut saya sekarang."
Eddie dan aku tidak perlu diberi aba-aba.
Tanpa berkata apa-apa, tanpa saling melirik, kami membalik - dan lari
sekencang mungkin. Orang itu langsung berteriak-teriak dan mulai mengejar.
Ruangan tempat kami berada seakan-akan tidak berujung.
Kelihatannya ruang ini menghabiskan seluruh basement kastil, aku
berkata dalam hati. Di luar daerah yang terjangkau sinar, kegelapan seakan-akan
bergulung-gulung bagaikan kabut.
Rasa panik mencengkeramku. Kakiku mendadak terasa berat sekali.
Aku bergerak slow motion, pikirku sambil berjuang untuk menambah
kecepatan. Eddie dan aku merayap seperti kura-kura.
Kami akan tertangkap! Dua detik lagi kami akan tertangkap.
Aku menoleh ke belakang ketika aku mendengar laki-laki itu
mengaduh keras. Rupanya dia juga tersandung pada boneka yang
melintang di lantai dan jatuh berdebam.
Sementara dia mencoba bangkit, mataku sibuk mencari pintu atau
lorong atau apa saja yang terbuka untuk melarikan diri.
"Ba-bagaimana cara kita keluar dari sini?" seru Eddie. "Kita terperangkap, Sue!"
"Tidak!" balasku. Aku melihat sebuah meja kerja di dinding. Meja itu dipenuhi
berbagai perkakas. Langsung saja aku mencari sesuatu yang
bisa dipakai sebagai senjata. Tapi ternyata tidak ada yang cocok.
Akhirnya kuraih sebuah senter.
Dengan panik kutekan-tekan tombolnya.
Masih menyalakah senter itu"
Ya. Seberkas sinar putih menerangi lantai. Kuarahkan sinarnya ke dinding seberang.
"Eddie - lihat tuh!" aku berbisik.
Di dinding seberang ada sebuah celah rendah yang terbuka.
Barangkali semacam terowongan" Terowongan yang bisa kami pakai
untuk melarikan diri"
Sedetik kemudian kami sudah menundukkan kepala dan memasuki
lubang gelap itu. Cahaya senternya kuarahkan ke bawah. Kami terpaksa membungkuk
sambil berlari. Langit-langit terowongannya melengkung, jadi kurang
tinggi untuk bisa berdiri tegak.
Mula-mula lantai terowongan itu datar, namun kemudian menurun
dan membelok ke kanan. Udaranya terasa lembap dan sejuk. Di
sekitar kami aku mendengar suara air mengalir.
"Ini gorong-gorong lama," kuberitahu Eddie. "Berarti pasti menuju ke suatu
tempat di luar kastil."
"Mudah-mudahan saja," sahut Eddie sambil tersengal-sengal.
Kami menyusuri terowongan itu sambil berlari sekencang mungkin.
Senter di tanganku berayun-ayun. Sinarnya bergantian menerangi
langit-langit yang rendah dan lantai batu yang basah.
Berkat cahaya senterku aku melihat pegangan tangan dari logam yang
terpasang pada langit-langit. Eddie dan aku terpaksa membungkuk
semakin rendah agar kepala kami tidak sampai terbentur.
Berkas sinar dari senterku melompat-lompat dari lantai ke pegangan
tangan di langit-langit gorong-gorong. Eddie dan aku berlari sambil
menginjak genangan-genangan air kotor.
Kami sama-sama menahan napas ketika mendengar suara langkah di
belakang kami. Suara langkah yang berat dan bergema. Bergemuruh. Semakin lama
semakin dekat. Aku menoleh ke belakang. Tapi laki-laki berjubah itu belum melewati
belokan. Suara langkahnya terdengar mantap. Aku langsung tahu dia tidak jauh
di belakang kami. Kami bakal ketangkap lagi, pikirku dengan panik. Terowongan ini tak
ada ujungnya. Eddie dan aku tidak sanggup berlari lebih jauh lagi.
Kami akan tertangkap di gorong-gorong yang gelap dan lembap ini.
Lalu bagaimana" Apa sebenarnya tujuan orang itu"
Kenapa dia bilang kami tahu apa tujuannya" Bagaimana mungkin
kami tahu" Aku tergelincir sampai terhuyung-huyung ke depan. Senterku
membentur tembok, terlepas dari tanganku, dan jatuh ke lantai.
Cahayanya menyorot ke belakang, ke arah laki-laki berjubah itu.
Dia muncul sambil membungkuk, sambil berlari dengan kencang.
"Oh!" aku mengerang ketakutan.
Cepat-cepat aku membungkuk untuk meraih senterku. Tapi karena
tanganku gemetaran, senternya malah jatuh lagi.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki yang mengejar kami.
Dia menangkap Eddie dengan kedua tangan, lalu membungkusnya
dengan jubahnya yang hitam.
Kemudian dia berusaha meraihku. "Saya sudah bilang - kalian tidak mungkin lolos,"
katanya dengan suara parau.
AKU membungkuk untuk menghindari sergapan orang itu.
Sambil mengaduh ketakutan, kupungut senterku dari lantai.
Aku ingin memakainya sebagai senjata. Untuk membuat si laki-laki
berjubah kesilauan. Atau untuk memukul kepalanya.
Tapi aku tidak memperoleh kesempatan.
Aku berdiri sambil membelalakkan mata ketika cahaya senterku
menyorot ke ujung terowongan dan aku melihat tikus.
Ratusan tikus. Ratusan tikus kelabu yang bercicit-cicit.
Cahaya senterku membuat mata mereka tampak merah manyala
bagaikan bara api. Tikus-tikus itu berlari di lantai gorong-gorong.
Semuanya menyerang dengan berkertak-kertuk, seakan-akan
kelaparan. Suara mereka yang melengking terdengar bergema di terowongan.
Mengerikan sekali. Aku langsung menahan napas.
Mata mereka yang kecil tampak membara ketika mereka berlari ke
arah kami. Ekor mereka yang panjang terseret-seret di lantai bagaikan ular
hitam. Si laki-laki berjubah juga melihat gerombolan binatang pengerat itu.
Seketika dia melompat mundur sambil berseru kaget.
Eddie jatuh dari balik jubah orang itu, dan dia langsung
membelalakkan mata ketika melihat tikus-tikus yang menyerang.
"Lompat!" teriakku. "Lompat, Eddie!"
Eddie tidak bergerak. Kami sama-sama menatap tikus-tikus yang
menerjang bagaikan gelombang pasang.
"Lompat! Lompat, cepat!" aku memekik. Kuangkat kedua tanganku dan melompat.
Eddie juga melompat. Kami bergelantungan pada batang-batang
logam yang terpasang pada langit-langit gorong-gorong.
Sambil mengangkat badan, aku juga menarik kaki setinggi mungkin
dari lantai. Lebih tinggi. Lebih tinggi lagi. Semakin jauh dari tikus-tikus yang
mengalir bagaikan air bah.
Bau tak sedap memenuhi udara ketika tikus-tikus itu lewat di
bawahku, sehingga aku nyaris tak dapat bernapas.
Kuku mereka yang panjang berkertak-kertuk di lantai. Aku juga
mendengar ekor mereka terseret-seret.
Tikus-tikus itu tidak kelihatan dalam kegelapan. Tapi suara yang
mereka timbulkan terdengar jelas sekali. Aku bisa merasakan
kehadiran mereka. Binatang-binatang itu berusaha menggigit
sepatuku. Kakiku dicakar-cakar. Serangan mereka seakan-akan tak
ada habisnya. Aku menoleh dan melihat si laki-laki berjubah berbalik dan melarikan diri.
Dia kabur dengan langkah panjang untuk menyelamatkan diri dari
tikus-tikus yang menerjang bagaikan gelombang pasang. Tangannya
menggapai-gapai, dan jubahnya yang hitam tampak berkibar-kibar.
Topinya yang lebar terlepas dan jatuh ke lantai. Seketika selusin tikus
mengerubuti topi itu dan mengoyak-ngoyaknya sampai hancur.
Suara langkah laki-laki itu terdengar bergema ketika dia mempercepat langkahnya.
Beberapa ekor tikus tampak bergelantungan pada
jubahnya sambil bercicit-cicit.
Sedetik kemudian dia sudah melewati tikungan dan lenyap dari
pandangan. Tikus-tikus itu terus mengejarnya. Sewaktu binatang-binatang tersebut melewati
tikungan, semua suara berbaur menjadi gemuruh yang
bergema di gorong-gorong yang panjang.
Gemuruh yang membangkitkan kengerian. Kedua lenganku terasa
pegal dan capek. Tapi aku terus mengangkat kaki tinggi-tinggi dari
lantai. Tanganku baru kulepaskan setelah yakin bahwa tikus-tikus itu benar-benar
sudah pergi. Gemuruh tadi menghilang di kejauhan.
Aku mendengar napas Eddie yang tersengal-sengal. Dia mengerang,
lalu membiarkan dirinya jatuh ke lantai.
Aku pun melepaskan pegangan tangan dan melompat ke bawah.
Selama beberapa waktu aku berdiri seperti patung sambil menunggu
jantungku berhenti berdegup-degup, menunggu pelipisku berhenti
berdenyut-denyut. "Uh, hampir saja," Eddie bergumam. Dagunya gemetaran. Wajahnya tampak kelabu
seperti dinding terowongan.
Aku merinding. Aku yakin aku bakal lama dihantui mimpi buruk
mengenai ratusan tikus dengan mata merah.
"Kita harus cari jalan keluar dari gorong-gorong ini!" aku berseru dengan kalut.
"Mr. Starkes pasti sudah kalang kabut mencari kita."
Eddie memungut senter dari lantai dan menyerahkannya padaku. "Aku sudah tidak
sabar untuk kembali ke bus kita," katanya. "Aku sudah tidak sabar untuk pergi
dari menara mengerikan ini. Seumur hidup aku tak pernah membayangkan bahwa aku
bakal dikejar-kejar di gorong-gorong oleh orang gila. Jangan-jangan kita cuma
mimpi, Sue"!" "Ini bukan mimpi," sahutku sambil menggelengkan kepala. Tiba-tiba aku teringat
sesuatu. "Wah, pertemuan Papa dan Mama pasti sudah selesai," ujarku. "Mereka
pasti cemas karena kita belum pulang."
"Aku lebih cemas lagi," Eddie menimpali.
Kuarahkan senterku ke lantai di depan kami,lalu Eddie dan aku
kembali menyusuri terowongan, yang mulai naik dan membelok ke
kiri. "Pasti ada jalan keluar dari gorong-gorong ini," aku bergumam. "Pasti ada!"
Gemuruh yang terdengar sayup-sayup dari depan membuatku
memekik tertahan. Serangan tikus lagi! Eddie dan aku langsung berhenti dan pasang telinga.
"Hei - !" aku berseru dengan lega ketika menyadari bahwa bunyi yang terdengar
berbeda. Bunyi yang kami dengar adalah bunyi angin yang
memasuki gorong-gorong. Ini berarti kami hampir sampai di mulut terowonga n. Dan itu juga
berarti bahwa kami bisa keluar! "Ayo!" ujarku. Cahaya senterku menari-nari
ketika kami mulai berlari.
Terowongan yang kami lewati kembali membelok. Lalu tiba-tiba
berakhir. Aku melihat sebuah tangga logam yang menuju ke atas, ke sebuah
lubang besar di langit-langit terowongan. Aku mendongak dan melihat
langit malam. Eddie dan aku bersorak kegirangan. Adikku segera memanjat keluar,
dan aku menyusulnya. Udara malam di luar dingin dan lembap, tapi kami tidak peduli.
Udaranya terasa begitu segar dan bersih bagi kami.
Dan yang paling penting, kami sudah berhasil keluar. Keluar dari
gorong-gorong. Keluar dari Menara Teror.
Dan lolos dari kejaran laki-laki berjubah hitam yang menakutkan tadi.
Aku memandang berkeliling untuk mengira-ngira di mana kami
berada. Menara Teror menjulang tinggi, bagaikan bayangan hitam di
tengah kegelapan. Semua lampu telah dipadamkan. Gardu jaganya juga gelap dan
kosong. Tak seorang pun kelihatan.
Aku melihat tembok rendah yang memisahkan Menara dari dunia
sekitarnya. Dan kemudian aku menemukan jalan setapak yang menuju
ke gerbang keluar, ke pelataran parkir.
Langkah kami berdebam-debam ketika kami bergegas ke pelataran
parkir. Bulan sabit yang pucat mulai muncul dari balik awan,
membanjiri pohon-pohon dan tembok batu yang memanjang dengan
cahaya keperakan. Semuanya tiba-tiba berkesan janggal, seakan-akan tidak nyata.
Tanpa berhenti aku menoleh ke arah kastil tua itu. Cahaya bulan
menerangi kedua menara yang menjulang tinggi.
Ratusan tahun yang lalu jalan setapak ini benar-benar dilewati orang-orang
bernasib malang, aku berkata dalam hati.
Dan sebagian besar dari mereka mati di menara itu.
Sambil merinding kualihkan pandanganku ke depan dan terus berlari.
Cepat-cepat aku dan Eddie melewati gerbang yang terbuka.
Kami sudah kembali ke zaman modern, pikirku. Kami sudah kembali
ke tempat yang aman. Tapi kegembiraan kami tidak lama.
Pelataran parkir ternyata sudah kosong.
Bus kami telah pergi. Aku dan Eddie mencari-carinya sampai ke jalan raya. Tapi jalan itu
pun sunyi dan lengang. "Mereka meninggalkan kita di sini," Eddie bergumam sambil
mendesah. "Bagaimana cara kita kembali ke hotel?"
Aku hendak menjawab - tapi langsung berhenti ketika melihat sosok
di hadapanku. Seorang laki-laki jangkung berambut putih menghampiri kami sambil
terpincang-pincang. "Hei-kalian!" dia berseru sambil menunjuk.
Oh, gawat, pikirku dengan waswas. Seluruh tubuhku mendadak
lumpuh karena ketakutan. Apa lagi sekarang" HEI - kalian!" Orang itu bergegas mendekat. Eddie dan aku menatapnya sambil
saling merapat. Rambutnya yang putih tertutup topi berwarna kelabu.
Mantelnya yang panjang menggantung sampai ke mata kaki.
Dia berhenti di hadapan kami dan menunggu sejenak sampai napasnya
kembali normal. Matanya yang kecil memantulkan cahaya bulan
ketika dia mengamati Eddie, lalu aku.
"Kalian ini anak-anak yang dicari sopir bus tadi?" dia bertanya dengan suara
Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melengking tinggi. Logat bicaranya berbeda dari logat Mr.
Starkes. Rasanya dia orang Skotlandia.
Eddie dan aku mengangguk.
"Hmm, saya penjaga malam di sini," ujar orang itu. "Kalau malam tidak ada siapasiapa di sini selain saya."
"Ehm... bus kami ke mana?" Eddie memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah pergi," sahut si penjaga malam dengan ketus. "Kalian sudah dicari ke
mana-mana. Tapi akhirnya sopir busnya tidak bisa
menunggu lebih lama lagi. Apa yang terjadi" Kalian tersesat di sana?"
Dia menunjuk ke arah Menara.
"Kami dikejar-kejar," Eddie langsung bercerita. "Ada laki-laki yang mengejarngejar kami. Dia bila ng kami harus ikut dia. Dia
menakutkan sekali, "Laki-laki" Laki-laki yang mana?" Si penjaga malam menatap kami dengan curiga.
"Laki-laki berjubah hitam!" aku berseru. "Dan bertopi hitam. Dia mengejar-ngejar
kami. Di Menara." "Tidak ada siapa-siapa di Menara," balas si penjaga sambil geleng-geleng kepala.
"Saya kan sudah bilang. Kalau sudah malam tidak ada siapa-siapa di sini selain
saya." "Tapi dia ada di situ!" seruku. "Dia mengejar-ngejar kami! Kami dikejar-kejar
sampai ke gorong-gorong dan ke tempat tikus-tikus di
situ - " "Gorong-gorong" Kalian masuk ke gorong-gorong tadi?" tanya si penjaga malam. "Di
sini ada peraturan yang mengatur tempat mana yang boleh didatangi turis. Kalau
peraturan ini kalian langgar, kami tidak bisa bertanggung jawab lagi."
Dia menghela napas. "Dan sekarang kalian menyajikan cerita aneh tentang lakilaki berjubah hitam yang mengejar kalian di gorong-gorong. Ini tidak masuk akal.
Tidak masuk akal." Eddie dan aku berpandangan. Kami sadar bahwa orang itu takkan
percaya. "Bagaimana kami bisa kembali ke hotel kami?" tanya Eddie.
"Orangtua kami pasti sudah cemas."
Aku menoleh ke arah jalan raya. Tak satu mobil atau bus pun
kelihatan. "Kalian punya uang?" si penjaga bertanya sambil memasang topinya kembali. "Di
pojok sana ada telepon umum. Kalian bisa panggil
taksi." Aku merogoh saku celanaku dan meraba keping-keping uang yang
diberikan orangtuaku sebelum Eddie dan aku berangkat tadi. Aku
langsung lega. "Kami punya uang," ujarku.
"Tapi jaraknya cukup jauh. Kalian harus bayar lima belas sampai dua puluh pound
untuk perjalanan ke kota dari sini," dia mewanti-wanti.
"Tidak apa-apa," kataku. "Kami diberi uang Inggris oleh orangtua kami. Kalau
tidak cukup, orangtuaku yang akan membayar sisanya."
Si penjaga malam mengangguk. Kemudian dia berpaling kepada
Eddie. "Kau kelihatan agak pucat, Nak. Kau ketakutan di Menara
tadi?" Eddie menelan ludah. "Saya cuma ingin kembali ke hotel kami," dia bergumam.
Si penjaga malam kembali mengangguk. Kemudian, sambil
menyelipkan kedua tangan ke kantong mantelnya yang panjang, dia
mengantarkan kami ke telepon umum.
Sepuluh menit kemudian sebuah taksi berwarna hitam muncul.
Pengemudinya anak muda berambut pirang panjang dan berombak.
"Kalian mau ke hotel mana?" tanyanya padaku.
"Ke Hotel Barclay," jawabku.
Aku dan Eddie naik, dan duduk di bangku belakang. Suasana di dalam
taksi ternyata hangat dan nyaman. Aku bersyukur bahwa kami
akhirnya bisa duduk dengan tenang.
Aku tidak menoleh ke belakang ketika taksinya mulai jalan. Terus
terang, aku tak mau melihat kastil tua lagi.
Taksi yang kami tumpangi meluncur melewati jalan-jalan yang gelap.
Argometernya berdetak-detak, sementara si pengemudi bersenandung
pelan. Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke belakang. Aku
berusaha melupakan laki-laki menakutkan yang mengejar-ngejar kami
di Menara. Tapi aku tidak berhasil mengusirnya dari benakku.
Tidak lama kemudian kami sudah tiba di pusat kota London. Jalanan
dipenuhi mobil dan taksi. Kami melewati gedung-gedung teater dan
restoran yang terang benderang.
Taksi kami menepi di depan Hotel Barclay dan berhenti di sisi trotoar.
Si pengemudi membuka jendela geser di belakangnya dan berpaling
padaku. "Ongkosnya lima belas pound enam puluh pence."
Eddie menegakkan badan sambil terkantuk-kantuk. Dia berkedip
beberapa kali, dan sepertinya dia agak kaget mengetahui kami sudah
sampai di tempat tujuan. Aku merogoh saku dan mengeluarkan keping-keping uang. "Saya
kurang paham soal uang Inggris," aku mengakui. "Barangkali Anda bisa mengambil
jumlah yang benar dari sini?"
Si pengemudi mengamati keping-keping uang yang kusodorkan
padanya, lalu kembali menatapku. "Apa ini?" tanyanya dengan ketus.
"Keping uang," sahutku. Aku tak tahu apalagi yang mesti kukatakan.
"Apakah ini cukup untuk membayar ongkos taksi?"
Si pengemudi memicingkan mata. "Kau tidak punya uang sungguhan"
Atau kau memang mau membayar dengan uang mainan?"
"Sa-saya tidak mengerti," aku tergagap-gagap. Tanganku mulai gemetaran, dan
keping-keping uang yang kupegang hampir jatuh dari
tanganku. "Saya juga tidak mengerti," balas si pengemudi dengan sengit. "Tapi yang jelas,
ini bukan uang sungguhan. Uang yang berlaku di sini
adalah pound Inggris, Nona."
Roman mukanya berkesan gusar. Dia menatapku sambil melotot.
"Nah, kau mau membayar saya dengan pound Inggris, atau kau mau
membuat masalah" Ayo, cepat! Saya tidak punya waktu untuk
bermain-main!" KUTARIK tanganku dan kuamati keping-keping yang kupegang. Tapi
karena gelap, aku sukar melihat dengan jelas.
Keping-keping itu bulat, berukuran besar, dan cukup berat. Sepertinya terbuat
dari emas atau perak. Namun aku tidak bisa membaca tulisan
yang tercetak. "Mana mungkin orangtua saya memberikan uang mainan?" aku
bertanya pada si pengemudi.
Dia angkat bahu. "Saya tidak kenal orangtuamu."
"Hmm, kalau begitu biar mereka saja yang membayar ongkosnya,"
sahutku. Dengan susah payah keping-keping itu kuselipkan kembali
ke saku celanaku. "Lima belas pound enam puluh pence - ditambah uang rokok," si pengemudi berkata
sambil mengerutkan kening. "Di mana orangtuamu sekarang" Di hotel?"
Aku mengangguk. "Ya. Mereka ada konferensi. Tapi sekarang mereka pasti sudah ada
di kamar. Kami akan memanggil mereka, supaya
mereka bisa membayarmu."
"Tapi dengan uang sungguhan," si pengemudi berpesan. "Dan awas, kalau lima menit
dari sekarang kalian belum muncul lagi, saya akan
menyusul kalian." "Mereka pasti segera turun. Saya janji," aku berusaha
menenangkannya. Aku membuka pintu dan turun dari taksi. Eddie mengikutiku sambil
geleng-geleng kepala. "Ini benar-benar aneh," gumamnya pelan.
Petugas pintu berseragam merah membukakan pintu hotel untuk kami,
Eddie dan aku langsung memasuki lobi yang besar dan diterangi
lampu kristal. Sebagian besar orang yang kami jumpai menuju ke arah
yang berlawanan. Mungkin mereka mau makan malam di luar, aku
menduga-duga. Perutku berbunyi nyaring. Baru sekarang aku sadar bahwa aku pun
sudah kelaparan. Eddie dan aku melewati meja resepsionis yang panjang. Kami berjalan
begitu terburu-buru sehingga nyaris bertabrakan dengan petugas hotel yang
mendorong kereta penuh koper.
Di sebelah kanan, aku mendengar gemerincing piring-piring di
restoran hotel. Aroma roti yang baru keluar dari mesin panggang
merangsang selera. Pintu lift terbuka. Seorang wanita berambut merah dengan mantel
bulu turun sambil menggiring anjing pudel berbulu putih. Eddie
tersangkut pada talinya. Aku terpaksa membantu membebaskannya
agar kami tidak ketinggalan lift.
Cepat-cepat kami memasuki lift. Setelah pintunya menutup, aku
menekan tombol enam. "Ada apa sih dengan uang kita?" tanya Eddie.
Aku angkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Mungkin Dad keliru
memberi." Lift yang kami tumpangi berhenti di lantai enam, pintunya membuka.
Kami bergegas menyusuri koridor panjang berkarpet tebal yang
menuju kamar kami. Aku melangkahi baki room service yang tergeletak di lantai.
Seseorang menyisakan setengah potong sandwich dan semangkuk
buah. Perutku kembali berbunyi, mengingatkan aku betapa laparnya
aku. "Nah, sudah sampai." Eddie berlari ke pintu kamar 626 dan langsung mengetuk.
"Hei, Mom! Dad! Sue dan aku sudah pulang!"
"Cepat buka pintu!" aku berseru dengan nada mendesak.
Eddie kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. "Hei - buka dong!"
Kami menempelkan telinga ke daun pintu. Hening. Tak ada suara
langkah. Tak ada suara orang bercakap-cakap.
"Hei - Mom, Dad, Kalian ada di dalam!" seru Eddie. Sekali lagi dia mengetuk.
"Cepat dong! Ini kami."
Dia berpaling padaku. "Masa sih, pertemuan mereka belum selesai juga?" dia
bergumam. Aku menempelkan tangan ke sekeliling mulut. "Mom" Dad" Kalian
ada di dalam?" aku memanggil.
Tak ada jawaban. Eddie menghela napas. Dia tampak lemas. "Bagaimana sekarang?"
"Kalian ada masalah?" sebuah suara wanita bertanya.
Aku menoleh dan melihat petugas kebersihan hotel. Dia mengenakan
seragam abu-abu dan topi kecil berwarna putih. Dia menghentikan
kereta dorongnya yang penuh handuk dan berdiri di hadapan aku dan
Eddie. "Orangtua kami masih mengikuti konferensi," aku memberitahunya.
"Saya dan adik saya - kami tidak bisa masuk kamar."
Dia mengamati kami sejenak. Kemudian dia mundur selangkah dari
kereta dorongnya dan mengambil seikat anak kunci.
"Sebenarnya ini tidak boleh," ujarnya sambil mencari-cari anak kunci yang tepat.
"Tapi kasihan juga kalian terpaksa berdiri di luar sini."
Dia membukakan pintu untuk kami. Eddie dan aku sama-sama
mengucapkan terima kasih. Wanita itu tersenyum, lalu kembali
mendorong keretanya menyusuri koridor.
Kamarnya ternyata gelap. Aku menyalakan lampu ketika kami berdua
melangkah masuk. "Mereka belum datang," kataku pelan-pelan.
"Mereka pasti meninggalkan pesan untuk kita," sahut Eddie.
"Barangkali mereka pergi lagi dengan orang-orang yang juga ikut pertemuan. Atau
mungkin mereka sudah menunggu kita di restoran."
Kamar kami sebenarnya berupa suite dengan ruang duduk dan dua
kamar tidur. Sambil menekan sakelar-sakelar lampu yang kulewati, aku menuju ke
meja tulis di pojok. Di atasnya ada buku notes dan pena. Tapi buku
notesnya kosong. Tak ada pesan apa pun.
Kedua orangtuaku juga tidak meninggalkan pesan di meja di samping
tempat tidur. "Wah, aneh," Eddie bergumam.
Aku melintasi ruangan dan masuk ke kamar tidur mereka. Kemudian
aku menyalakan lampu dan memandang berkeliling.
Kamar mereka telah dibereskan. Tempat tidur mereka tampak rapi.
Tak ada pesan untuk kami. Meja riasnya pun kosong. Tak ada pakaian
yang ditaruh pada sandaran kursi. Tak ada sepatu di lantai. Tak ada tas kerja
atau buku catatan dari konferensi yang mereka ikuti.
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ruangan itu dihuni orang.
Aku berpaling dan melihat Eddie menuju ke lemari pakaian. Dia
mendorong pintu gesernya. sampai membuka lebar.
"Sue, lihat!" adikku berseru. "Lemarinya kosong! Pakaian Mom dan Dad - pakaian
kita - semuanya tidak ada!"
Aku langsung dapat firasat buruk. "Aduh, ada apa ini?" seruku dengan bingung.
"MANA mungkin mereka pergi begitu saja!" seruku. Aku langsung menghampiri lemari
pakaian untuk memeriksanya. Terus terang, aku
sendiri tidak tahu apa yang kuharapkan. Dari tempat aku berdiri pun
terlihat jelas bahwa lemari itu kosong.
"Kau yakin ini memang kamar kita?" tanya Eddie. Dia membuka laci paling atas.
Kosong. "Tentu saja aku yakin," balasku dengan jengkel.
Eddie membuka semua laci yang lain. Semuanya kosong.
Kami memeriksa setiap jengkal. Tak ada tanda apa pun mengenai
keberadaan orangtua kami.
"Sebaiknya kita ke resepsionis di bawah," aku mengusulkan sambil memeras otak.
"Kita tanya saja di mana pertemuan itu diadakan.
Setelah itu kita ke sana dan bicara dengan Mom dan Dad."
"Aku tidak yakin mereka masih di situ," Eddie bergumam sambil menggelengkan
kepala. "Mana mungkin mereka membereskan
barang-barang kita dan membawa semuanya ke tempat pertemuan?"
"Pasti ada jawaban yang masuk akal." sahutku. "Ayo. Kita turun saja lagi."
Kami kembali menyusuri koridor yang panjang dan turun dengan lift.
Ternyata ada kerumunan orang di depan meja resepsionis. Seorang
wanita besar bersetelan jas hijau sedang berdebat sengit mengenai
kamarnya. "Saya dijanjikan kamar dengan pemandangan ke sungai!"
dia membentak pria berwajah merah di belakang meja. "Dan saya
menuntut pemandangan ke sungai!"
"Tapi, Madam," pria itu berkata sambil menyabarkan diri, "hotel kami tidak
terletak di dekat sungai. Hotel ini tidak mempunyai
pemandangan ke arah sungai."
"Pokoknya saya harus dapat kamar yang menghadap ke sungai!"
wanita itu berkeras. "Semuanya tertulis di sini!" Dia menyodorkan selembar
kertas ke hadapan lawan bicaranya.
Perdebatan mereka masih berlangsung beberapa menit lagi, tapi aku
tidak memperhatikannya lebih lanjut. Aku sibuk memikirkan orangtua
kami. Dalam hati aku bertanya-tanya di mana mereka berada. Dan
kenapa mereka tidak meninggalkan pesan untuk kami.
Baru sekitar sepuluh menit kemudian Eddie dan aku mendapat giliran
untuk bicara dengan petugas penerima tamu. Orang itu menyimpan
beberapa lembar kertas dalam sebuah map, lalu berpaling kepada
kami. Secara otomatis dia mengembangkan senyum. "Ada yang dapat saya bantu?"
"Kami sedang mencari orangtua kami," aku berkata sambil bertopang pada sikuku.
"Kalau tidak salah, mereka sedang mengikuti konferensi.
Apakah Anda bisa memberitahu kami di mana pertemuan itu
diadakan?" Petugas tersebut menatapku sambil mengerutkan kening, seakan-akan
tidak mengerti maksudku. "Pertemuan yang mana?" dia akhirnya bertanya.
Aku kembali memeras otak. Tapi aku tidak ingat nama pertemuan itu.
Atau apa yang dibahas. "Pertemuannya besar," aku menyahut ragu-ragu. "Pertemuan yang pesertanya datang
dari seluruh dunia."
Petugas di belakang meja itu kembali mengerutkan kening. Sepertinya
dia sedang berpikir keras. "Hmm...."
"Pertemuannya ramai sekali," Eddie menimpali.
"Kelihatannya ada salah paham," si petugas berkata sambil
Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerutkan kening dan menggaruk-garuk telinga kanannya.
"Minggu ini tidak ada pertemuan apa pun di hotel kami."
Aku menatapnya sambil melongo. Sebenarnya aku ingin mengatakan
sesuatu, tapi tenggorokanku seakan-akan tercekik.
"Tidak ada pertemuan?" Eddie mengulangi sambil terbengongbengong. Si petugas menggelengkan kepala. "Tidak ada," tegasnya.
Seorang wanita muda memanggilnya dari ruang kerja di balik meja. Si
petugas memberi isyarat bahwa dia akan segera kembali, lalu bergegas ke belakang
untuk menanyakan keperluan rekannya.
"Jangan-jangan kita salah masuk hotel?" Eddie berbisik padaku.
Roman mukanya tampak kencang karena kecemasan yang
meliputinya. "Mana mungkin!" balasku dengan ketus. "Kenapa sih kau terus menggangguku dengan
pertanyaan-pertanyaan konyol" Aku bukan
orang tolol, tahu" Kenapa sih kau terus bertanya, jangan-jangan kita salah masuk
kamar" Jangan-jangan kita salah masuk hotel?"
"Sebab semuanya tidak masuk akal," dia bergumam.
Aku hendak menyahut, tapi petugas tadi keburu muncul lagi. "Boleh saya tahu
nomor kamar kalian?" tanyanya sambil kembali menggaruk-garuk telinganya.
"Enam dua enam," aku memberitahunya.
Dia menekan beberapa tombol pada papan ketik komputernya, lalu
menatap layar monitor sambil memicingkan mata. "Maaf, kamar itu kosong!'
"Apa?" aku berseru.
Petugas itu berpaling kepadaku. "Saat ini tidak ada tamu yang
menginap di kamar 626," dia mengulangi.
"Tapi itu kamar kami!" seru Eddie.
Si petugas memaksakan senyum. Dia mengangkat kedua tangannya,
seakan-akan ingin berkata, "Hei-tenang saja!"
"Kita akan menemukan orangtua kalian," dia berkata kepada kami dengan senyum
yang seolah-olah terukir di wajahnya. Sekali lagi dia
menekan beberapa tombol pada komputernya. "Hmm, apa nama
belakang kalian?" Aku membuka mulut untuk menjawab. Tapi aku tidak tahu harus
berkata apa. Aku melirik ke arah Eddie. Wajahnya tampak berkerut-kerut karena
konsentrasi. "Siapa nama belakang kalian?" si petugas mengulangi. "Kalian bilang orangtua
kalian ada di sini, kami pasti bisa melacak mereka. Tapi
untuk itu saya perlu tahu nama belakang kalian."
Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Tiba-tiba saja aku diliputi perasaan aneh yang bermula di tengkukku, lalu
menjalar ke seluruh tubuhku. Sekonyong-konyong aku merasa
seakan-akan tidak bisa bernapas, seakan-akan jantungku berhenti
berdetak. Nama belakangku. Nama belakangku...
Kenapa aku tidak bisa mengingat nama belakangku.
Seluruh tubuhku mulai gemetaran. Air mata mulai menggenangi
mataku. Ini benar-benar gawat! Namaku Sue, aku berkata dalam hati. Sue... Sue... siapa"
Sambil gemetar dan air mata membasahi pipi, aku menggenggam
pundak adikku. "Eddie," aku terbata-bata, "apa nama belakang kita?"
"A-aku tidak ingat!" dia pun terisak-isak.
"Oh, Eddie!" Langsung saja kupeluk adikku dan kudekap erat-erat.
"Ada apa dengan kita" Ada apa dengan kita?"
"KITA tidak boleh panik," aku berkata kepada adikku. "Kalau kita tarik napas
dalam-dalam dan menenangkan pikiran, kita pasti bisa
mengingatnya." "Mungkin kau benar," Eddie menyahut dengan bimbang.
Pandangannya tertuju lurus ke depan. Dia mengertakkan gigi dan
berusaha keras tidak menangis.
Beberapa menit telah berlalu. Atas saran si petugas penerima tamu,
kami telah pindah ke restoran hotel. Dia berjanji akan mencoba
menemukan orangtua kami sementara Eddie dan aku makan malam.
Usul itu disambut hangat oleh kami berdua, sebab kami memang
sudah kelaparan! Kami duduk di meja kecil di bagian belakang restoran. Pandanganku
berkeliling di ruangan yang besar dan megah itu. Lampu-lampu kristal memancarkan
cahaya berkilau, menerangi para tamu yang berpakaian
Pendekar Pemanah Rajawali 3 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Pendekar Laknat 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama