Goosebumps - 4 Bergaya Sebelum Mati Bagian 1
R. L. Stine Bergaya Sebelum Mati! (Goosebump # 4) Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.neti 1 "Tak ada yang bisa dilakukan di Pitts Landing," kata Michael Warner, memasukkan
tangannya ke kantong celana jins pudarnya.
"Ya Pitts Landing adalah terowongan,." Kata Banks Greg.
Doug Arthur dan Shari Walker menggumamkan persetujuan mereka.
Pitts Landing adalah terowongan . Itulah slogan kota, menurut Greg dan tiga
temannya. Sebenarnya, Pitts Landing tak jauh berbeda dari kota-kota kecil lain
dengan jalan-jalan sepi. rumput teduh dan nyaman, rumah-rumah tua.
Tapi di sini itu, suatu sore yang nyaman, dan empat sekawan itu nongkrong di
jalan masuk rumah Greg, menendang-nendang kerikil, bertanya-tanya apa yang harus
dilakukan untuk bersenang-senang dan bergembira.
"Ayo kita pergi ke Grover dan melihat apa buku-buku komik baru sudah datang,"
usul Doug. "Kita tak punya uang, Bird," kata Greg padanya.
Semua orang yang menyebut Doug "Bird" karena dia sangat mirip burung. Suatu
julukan yang lebih baik mungkin adalah "Bangau." Dia punya kaki kurus yang
panjang dan punya langkah yang besar dan jauh. Di bawah rambut tebal coklatnya,
yang jarang ia sisir, ia punya mata kecil cokelat seperti burung dan hidung
panjang yang melengkung seperti paruh. Doug tak benar-benar senang dipanggil
Bird, tapi ia sudah terbiasa untuk itu.
"Kita masih bisa melihat komik-komik itu," desak Bird.
"Sampai Grover mulai berteriak padamu," kata Shari. Dia menggembungkan pipinya
dan melakukan tiruan yang cukup baik dari pemilik toko yang kasar itu. " Apa kau
akan bayar atau akan menetap ?"
"Dia pikir dia keren," kata Greg, menertawakan tiruan Shari. "Dia benar-benar
brengsek." "Kupikir X-Force baru akan datang di minggu ini," kata Bird.
"Kau mestinya bergabung dengan X-Force," kata Greg, mendorong temannya dengan
main-main. "Kau bisa jadi Manusia Burung. Kau akan jadi terkenal !."
"Kita semua harus bergabung dengan X-Force," kata Michael. "Jika kita pahlawan
super, mungkin kita akan memiliki sesuatu untuk dikerjakan."
"Tidak, kita tak akan punya pekerjaan," jawab Shari dengan cepat. "Tak ada
kejahatan untuk diperangi di Pitts Landing."
"Kita bisa melawan rumput alang-alang," saran Bird. Dia pelawak dalam kelompok
itu. Yang lainnya tertawa. Mereka berempat sudah berteman sejak lama. Greg dan Shari
tinggal bertetangga satu sama lain, dan orang tua mereka berteman terbaik. Bird
dan Michael tinggal di blok berikutnya.
"Bagaimana kalau main kasti?" usul Michael. "Kita bisa pergi ke taman bermain."
"Tidak," kata Shari. "kau tak dapat bermain hanya dengan empat orang." Dia
mendorong kebelakang helaian rambut hitamnya yang mengganggu, yang jatuh di
wajahnya. Shari mengenakan kaus kuning besar di atas celana panjang hijau
terang. "Mungkin kita akan menemukan beberapa anak lain di sana," kata Michael,
mengambil segenggam kerikil dari jalanan dan menyaringnya melalui jari-jarinya
yang gemuk itu. Michael berambut merah pendek, bermata biru, dan berwajah penuh
bintik-bintik. Dia tak benar-benar gemuk, tapi tak ada seorangpun yang akan
menyebutnya kurus. "Ayo, mari kita main kasti," desak Bird. "Aku butuh latihan. Liga Kecilku
dimulai dalam beberapa hari.."
"Liga Kecil " Di musim gugur?" tanya Shari.
"Ini musim liga yang baru. Pertandingan pertamanya hari Selasa setelah
sekolah.," Bird menjelaskan.
"Hei - kami akan datang menontonmu," kata Greg.
"Kami akan datang menontonmu dicoret," tambah Shari. Hobinya adalah mengolokolok Bird. "Kau main di posisi apa ?" tanya Greg.
"Penghalang," sela Michael.
Tak ada yang tertawa. Lelucon Michael selalu terasa datar.
Bird mengangkat bahu. "Mungkin outfield (penangkap dan pelempar bola). Kenapa
kau tak bermain, Greg?"
Dengan bahu yang besarnya dan lengan dan kakinya yang berotot, Greg adalah atlet
alami kelompok itu. Dia (berambut) pirang dan tampan, dengan mata abu-abu hijau
berkedap-kedip dan senyum ramah yang lebar.
"Kakakku Terry seharusnya pergi mendaftarkanku, tapi dia lupa," kata Greg,
ekspresi wajahnya jijik. "Di mana Terry?" Tanya Shari. Dia agak naksir pada kakak Greg.
"Dia punya pekerjaan di hari Sabtu setelah sekolah. Di Dairy Freeze," kata Greg
padanya. "Ayo kita pergi ke Dairy Freeze!" seru Michael antusias.
"Kita tak punya uang - ingat?" kata Bird muram.
"Terry akan memberi kita horen es krim gratis," kata Michael, menatap penuh
harapan pada Greg. "Ya horen es krim gratis. Tapi tak ada es krim di dalamnya," kata Greg padanya.
"Kau tahu bagaimana jujurnya kakakku itu."
"Ini membosankan," keluh Shari, menonton burung murai melompat di trotoar. "Ini
membosankan, berdiri di sekitar sini berbicara tentang bagaimana bosannya kita."
"Kita bisa duduk dan berbicara tentang bagaimana bosannya kita," usul Bird,
memonyongkan setengah mulutnya dengan senyum konyol yang selalu digunakannya
saat ia membuat lelucon bodoh.
"Ayo kita jalan-jalan atau lari-lari kecil atau berbuat sesuatu," desak Shari.
Ia berjalan melintasi halaman dan mulai berjalan, menyeimbangkan badannya di
puncak-puncak putih yang tinggi di tepi trotoar, melambaikan tangannya seperti
pemain (akrobat) di kawat yang tinggi.
Anak-anak itu mengikutinya, meniru di permainan dadakan Follow the Leader (Ikuti
si Pemimpin), semuanya menyeimbangkan badannya di tepi trotoar saat mereka
berjalan. Seekor anjing cocker spaniel yang penasaran datang melesat keluar dari pagar
tetangga, menyalak bersemangat. Shari berhenti untuk membelainya. Anjing itu,
mengibaskan ekor pendeknya penuh semangat, menjilat tangannya beberapa kali.
Lalu anjing itu kehilangan minat dan menghilang kembali ke pagar.
Keempat sahabat itu melanjutkan ke blok, bermain-main mencoba untuk menjatuhkan
satu sama lainnya dari trotoar saat mereka berjalan. Mereka menyeberangi jalan
dan melanjutkan melewati sekolah. Beberapa orang sedang bermain basket, dan
beberapa anak-anak kecil bermain sepak bola memakai lapangan bisbol, tetapi tak
ada yang mereka kenal. Jalanan berbelok menjauh dari sekolah. Mereka mengikutinya melewati rumah-rumah
yang biasa. Kemudian, tepat di luar area berhutan kecil, mereka berhenti dan
melihat lapangan rumput yang melandai, rumput yang tak dipotong selama
berminggu-minggu, gulma-gulma tinggi mencuat di mana-mana, semak-semak acakacakan dan tumbuh tak terkendali.
Di atas lapangan, hampir-hampir tersembunyi dalam bayangan-bayangan besar dari
pohon ek tua, tergeletak sebuah rumah besar bobrok. Rumah itu, siapa pun bisa
melihatnya, dulu pernah besar. Atap berpapan abu-abu, tiga loteng tinggi, dengan
beranda yang ditutupi kawat nyamuk, atap merah yang miring, dan cerobong asap
tinggi pada kedua ujungnya. Tapi jendela-jendela yang pecah di lantai dua,
sirap-sirap kotor yang retak karena cuaca, tempat-tempat kosong bernoda di atap,
dan daun-daun jendela tergantung longgar di samping jendela-jendela yang
berlapis debu adalah bukti rumah itu tak terurus.
Semua orang di Pitts Landing tahu itu rumah Coffman. Coffman adalah namayang
dicat di kotak surat yang miring pada tiang yang rusak di jalan depan.
Tapi rumah itu telah kosong selama bertahun-tahun - sejak Greg dan temantemannya bisa mengingat. Dan orang-orang suka menceritakan kisah-kisah aneh tentang rumah itu: cerita
hantu, kisah tentang pembunuhan liar dan hal-hal mengerikan yang terjadi di
sana. Kemungkinan besar, tak satupun darinya yang benar.
"Hei - aku tahu apa yang bisa kita lakukan untuk bersenang-senang," kata
Michael, sambil menatap rumah yang bermandikan bayang-bayang.
"Hah " Apa yang kau bicarakan?" tanya Greg berwaspada.
"Ayo kita pergi ke rumah Coffman," kata Michael, mulai untuk berjalan melewati
lapangan yang berisi rerumputan liar.
"Wah. Apakah kau gila?" teriak Greg, bergegas untuk mengejarnya.
"Ayo masuk," kata Michael, mata birunya menangkap cahaya matahari akhir sore
yang tersaring turun melalui pohon-pohon ek yang tinggi. "Kita ingin suatu
petualangan. Sesuatu yang agak menarik, bukan " Ayo - Ayo kita periksa."
Greg ragu-ragu dan menatap rumah itu. Satu udara dingin membasahi punggungnya.
Sebelum ia bisa menjawab, suatu bentuk gelap melompat dari bayang-bayang
rerumputan liar yang tinggi dan menyerangnya!
2 Greg berguling mundur ke tanah.
"Aah!" jeritnya.
Kemudian dia menyadari yang lainnya tertawa.
"Ini anjing cocker spaniel yang bodoh itu!" teriak Shari. "Dia mengikuti kita!"
"Pulanglah, anjing. Pulanglah!." Bird mengusir anjing itu pergi.
Anjing berlari ke tepi jalan, berbalik, dan menatap kembali pada mereka, ekor
pendeknya bergoyang-goyang marah.
Merasa malu bahwa dia tadi begitu takut, Greg perlahan-lahan menarik dirinya
berdiri, mengharapkan teman-temannya untuk memberinya hiburan. Tapi mereka
menatap rumah Coffman dan berpikir.
"Ya, Michael benar," kata Bird, memukul keras punggung Michael, begitu keras,
Michael meringis dan berbalik untuk menghantam Bird. "Ayo kita lihat seperti apa
itu di sana." "Tidak," kata Greg, mundur. "Maksudku, tempat semacam ini menyeramkan bukan?"
"Jadi?" Shari menantangnya, bergabung dengan Michael dan Bird, yang mengulangi
pertanyaannya: "Jadi?"
"Jadi.. Aku tak tahu.," Jawab Greg. Dia tak suka menjadi salah satu orang yang
berakal dalam kelompok itu. Semua orang selalu menertawakan seseorang yang
berakal. Dia lebih suka menjadi orang yang liar dan gila. Tapi, entah bagaimana,
akhirnya ia selalu jadi yang berakal.
"Aku tak berpikir kita harus masuk ke sana," katanya, menatap rumah tua
terlantar itu. "Apakah kau ayam (panggilan untuk orang yang pengecut-pent) ?" tanya Bird.
"Ayam!" Michael bergabung masuk.
Bird mulai berketok keras, menyelipkan tangannya ke ketiak dan mengepakkan
lengannya. Dengan matanya yang bulat dan hidungnya bengkok, ia tampak seperti
seekor ayam. Greg tak ingin tertawa, tapi ia tak bisa menahannya.
Bird selalu membuatnya tertawa.
Ketokan dan kepakan itu tampaknya jadi akhir diskusi. Mereka berdiri di kaki
tangga beton yang rusak yang menuju ke beranda ditutup dengan kawat nyamuk.
"Lihatlah. Jendela berikutnya ke pintu depan rusak," kata Shari. "Kita bisa
meraihnya dan membuka pintu."
"Ini keren," kata Michael antusias.
"Apakah kita benar-benar melakukan ini?" Greg, jadi satu-satunya orang yang
berakal, harus bertanya. "Maksudku - bagaimana akan Spidey"
Spidey adalah seorang pria aneh yang tampaknya berumur lima puluh atau enam
puluh tahun, mereka semua pernah melihatnya mengintai kota. Ia berpakaian hitamhitam dan bergerak pelan di sepanjang panjang, berkaki ramping. Dia tampak
seperti laba-laba hitam, sehingga semua anak-anak memanggilnya Spidey.
Kemungkinan besar ia adalah seorang pria tunawisma. Tak ada yang benar-benar
tahu apa-apa tentang dirinya - dari mana ia berasal, tempat tinggalnya. Tapi
banyak anak-anak telah melihatnya berkeliaran di sekitar rumah Coffman.
"Mungkin Spidey tak seperti orang asing," kata Greg.
Tapi Shari telah mencapai melalui kaca jendela yang rusak untuk membuka pintu
depan. Dan setelah sedikit usaha, ia memutar kenop kuningan dan pintu kayu yang
berat terbuka. Mereka satu demi satu melangkah ke pintu masuk depan, Greg dengan enggan
memimpin di bagian belakang. Saat itu sudah gelap di dalam rumah. Hanya sorotan
sempit sinar matahari berhasil mengalir ke bawah melalui pepohonan tebal di
depan, menciptakan lingkaran cahaya pucat pada karpet cokelat usang di kaki
mereka. Papan lantai berderit ketika Greg dan teman-temannya berjalan melewati ruang
tamu itu, yang kosong kecuali beberapa kardus bahan makanan yang terguling di
salah satu dinding. Perabotan Spidey itu" Greg bertanya-tanya.
Karpet ruang tamu, bisa dikatakan usang, yang ada di jalan masuk, memiliki noda
oval gelap di tengahnya. Greg dan Bird, berhenti di ambang pintu, keduanya
melihatnya pada waktu yang sama.
"Kau pikir itu darah?" tanya Bird, matanya yang kecil bersinar gembira.
Greg merasakan hawa dingin di bagian belakang lehernya. "Mungkin kecap,"
jawabnya. Bird tertawa dan menampar dengan keras di belakang.
Shari dan Michael menjelajahi dapur. Mereka menatap meja dapur yang tertutup
debu ketika Greg melangkah di belakang mereka. Dia melihat langsung apa yang
telah menarik perhatian mereka. Dua tikus abu-abu gemuk berdiri di meja, menatap
kembali pada mereka. "Mereka lucu," kata Shari. "Mereka tampak seperti tikus kartun,"
Bunyi suaranya membuat dua hewan pengerat itu berlari cepat di sepanjang meja,
di sekitar wastafel, dan hilang dari pandangan.
"Mereka kotor," kata Michael, wajahnya jijik. "Kupikir mereka itu tikus besar
(rat). Bukan tikus (curut-bahasa jawa)"
"Tikus besar punya ekor yang panjang, tikus tidak," Kata Greg padanya.
"Mereka pasti tikus besar," gumam Bird, mendorong melewati mereka dan masuk ke
lorong. Dia menghilang ke bagian depan rumah.
Shari mengulurkan tangan dan membuka lemari di atas meja. Kosong. "Kukira Spidey
tak pernah menggunakan dapur," katanya.
"Ya, aku tak berpikir dia adalah seorang koki yang ahli," canda Greg.
Dia mengikuti Shari ke ruang makan yang panjang dan sempit, seperti kosong dan
berdebu sebagai ruang-ruang lainnya. Sebuah lampu gantung rendah masih
tergantung di langit-langit, begitu cokelat dengan tempelan debu, mustahil untuk
mengatakan bahwa itu adalah kaca.
"Seperti rumah hantu," kata Greg pelan.
"Huu," jawab Shari.
"Tak banyak yang bisa dilihat di sini," keluh Greg, setelah kembali ke lorong
gelap. "Kecuali kau mendapatkan getaran dari bola yang berdebu."
Tiba-tiba, suara keras sesuatu yang patah membuat Greg melompat.
Shari tertawa dan meremas bahunya.
"Apa itu!" teriaknya, tak mampu menahan rasa takutnya.
"Rumah tua melakukan hal-hal seperti itu," kata Shari. "Mereka membuat suarasuara tanpa alasan sama sekali."
"Kupikir kita harus pergi," desak Greg, kembali malu bahwa dia bertindak begitu
ketakutan. "Maksudku, disini membosankan."
"Ini sesuatu yang menarik, ada di tempat yang kita tidak seharusnya berada,"
kata Shari, mengintip ke dalam ruangan kosong yang gelap - mungkin sebuah
ruangan kerja atau belajar di suatu waktu.
"Kupikir," jawab Greg ragu.
Mereka menabrak Michael. "Di mana Bird?" tanya Greg.
"Kupikir ia turun di ruang bawah tanah," jawab Michael.
"Hah" Ruang bawah tanah?"
Michael menunjuk ke satu pintu yang terbuka di sebelah kanan lorong. "Tangganya
di sana." Ketiga-tiganya ber jalan mereka ke bagian atas tangga. Mereka mengintip ke dalam
kegelapan. "Bird?"
Di suatu tempat jauh di ruang bawah tanah, suara Bird sampai kepada mereka dalam
suatu jeritan ngeri: "Tolong ! Ini menangkapku, siapapun - tolong bantu. Ini
menangkapku!" 3 "Ini menangkapku. Ini menangkapku!"
Pada saat Bird bersuara menjerit ketakutan, Greg mendorong melalui Michael dan
Shari, yang berdiri beku dengan mulut ternganga ngeri. Hampir-hampir melayang
menuruni tangga yang curam, Greg memanggil temannya. "Aku datang Bird! Apa itu!"
Jantungnya berdebar, Greg berhenti di bawah tangga, setiap ototnya tegang dengan
ketakutan. Matanya panik mencari-cari melalui cahaya berasap yang mengalir dari
Goosebumps - 4 Bergaya Sebelum Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jendela ruang bawah tanah di dekat langit-langit.
"Bird?" Dia di sana, duduk nyaman, tenang, di atas tong sampah logam yang terbalik,
kakinya disilangkan, teesenyum lebar di wajah burungnya. "Kena kau," katanya
pelan, dan tertawa keras.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" suara-suara takut datang dari Michael dan Shari.
Mereka berteriak-teriak menuruni tangga, datang berhenti di samping Greg.
Mereka hanya perlu waktu beberapa detik untuk menyadari situasinya.
"Lelucon bodoh lainnya?" tanya Michael, suaranya masih gemetar ketakutan.
"Bird - kau iseng lagi pada kami?" tanya Shari, menggelengkan kepalanya.
Menikmati momennya, Bird mengangguk, dengan setengah seringai anehnya. "Kalian
terlalu mudah (ditipu)," ejeknya.
"Tapi, Doug -" Shari memulai. Dia hanya memanggilnya Doug ketika ia kesal
dengannya. "Apakah kau belum pernah mendengar anak yang berteriak serigala"
Bagaimana jika kapan-kapan sesuatu yang buruk terjadi, dan kau benar-benar butuh
bantuan, dan kami pikir kau hanya iseng?"
"Apa yang bisa terjadi?" jawab Bird puas. Dia berdiri dan menunjuk ke sekeliling
ruang bawah tanah. "Lihat - di sini lebih terang daripada di atas."
Dia benar. Sinar matahari dari halaman belakang mengalir turun melalui empat
jendela-jendela panjang di permukaan tanah, dekat langit-langit ruang bawah
tanah. "Aku masih berpikir kita harus keluar dari sini," desak Greg, matanya bergerak
cepat di sekitar ruangan besar yang kacau itu.
Di belakang tong sampah Bird yang terbalik berdiri sebuah meja buatan sendiri
yang terbuat dari selembar kayu triplek diletakkan diatas empat kaleng cat.
Sebuah kasur yang hampir datar, kotor dan bernoda, juga bersandar di dinding,
selimut wol pudar terlipat di bawah.
"Spidey pasti hidup di bawah sini!" seru Michael.
Bird iseng berjalan melalui tumpukan kotak-kotak makanan kosong yang telah
dilemparkan di seluruh lantai - kebanyakan makan malam TV. "Hei, makan malam si
orang yang lapar !" serunya. "Di mana Spidey memanaskan makanan-makanan ini?"
"Mungkin dia memakannya (dalam keadaan) beku," usul Shari. "Kau tahu. Seperti es
lilin." Dia berjalan menuju lemari kayu ek yang tinggi dan membuka pintunya. "Wah. Ini
sangat bagus!" Katanya. "Lihat!" Dia mengeluarkan sebuah mantel bulu yang tampak
kumal dan melilitkannya di bahunya. "Bagus!" ulangnya, berputar-putar di dalam
mantel tua. Dari seberang ruangan, Greg bisa melihat bahwa lemari itu penuh dengan pakaian
tua. Michael dan Bird bergegas bergabung dengan Shari dan mulai menarik keluar
sepasang celana panjang yang kelihatan aneh yang berlonceng bawahnya, kemeja
menguning dengan lipatan di bagian depan, dasi-dasi yang dicelup selebar satu
kaki, dan syal-syal dan saputangan-saputangan besar berwarna cerah.
"Hei, teman-teman -" Greg memperingatkan. "Tidakkah kalian pikir mungkin bendabenda itu milik seseorang?"
Bird berputar, selendang merah berbulu halus melilit leher dan bahu. "Ya. Bajubaju Ini adalah kostum Spidey." kelakarnya.
"Lihat topi ini baad," kata Shari, berbalik untuk memamerkan topi ungu terang
berpinggiran lebar yang diambilnya.
"Rapi," kata Michael, memeriksa jubah biru panjang. "Pakaian ini pasti
setidaknya dua puluh lima tahun. Ini mengagumkan.. Bagaimana mungkin seseorang
meninggalkannya di sini begitu saja?"
"Mungkin mereka akan datang kembali untuk itu," usul Greg.
Saat teman-temannya memeriksa isi lemari, Greg berjalan ke ujung lain dari ruang
bawah tanah besar itu. Satu tungku perapian menempati dinding yang luas, pipa
yang tertutup sarang laba-laba yang tebal. Sebagian tersembunyi oleh saluran
tungku, Greg bisa melihat tangga, mungkin mengarah ke pintu keluar.
Rak kayu berjajar di tengah dinding, penuh dengan kaleng cat lama, kain, koran,
dan alat-alat ya gberkarat.
Siapapun yang siapa tinggal di sini pastinya benar-benar seorang tukang, pikir
Greg, memeriksa meja kerja kayu di depan rak. Sebuah catok logam dijepit ke tepi
meja kerja. Greg memutar pegangan, mengharapkan jepitan catok terbuka.
Tapi ia terkejut, saat ia memutar gagang catok, suatu pintu tepat di atas meja
kerja muncul terbuka. Greg menarik seluruh pintu hingga terbuka, menampakkan
sebuah rak lemari tersembunyi.
Tergeletak di rak itu sebuah kamera.
4 Selama beberapa saat, Greg hanya menatap kamera itu.
Sesuatu mengatakan kepadanya kamera disembunyikan karena suatu alasan.
Sesuatu mengatakan bahwa dia tak boleh menyentuhnya. Dia harus menutup pintu
rahasia dan berjalan pergi.
Tapi dia tak bisa melawannya.
Dia mengulurkan (tangannya) ke rak tersembunyi itu dan mengambil kamera itu
dengan tangannya. Kamera itu ditarik keluar dengan mudah. Kemudian, Greg terkejut, pintu langsung
terhentak menutup dengan suara keras.
Aneh, pikirnya, membalik kamera itu di tangannya.
Tempat yang aneh untuk meninggalkan kamera. Mengapa seseorang menaruhnya di
sini" Jika ini cukup berharga untuk disembunyikan di lemari rahasia, mengapa
mereka tak membawanya bersama mereka"
Dengan bersemangat Greg memeriksa kamera itu. Kamera itu besar dan cukup berat,
dengan lensa panjang. Mungkin lensa potret jarak jauh, pikirnya.
Greg sangat tertarik dengan kamera-kamera. Dia memiliki kamera otomatis murahan,
yang mengambil foto dengan baik. Tapi ia menabung uang sakunya dengan harapan
membeli kamera yang benar-benar baik dengan banyak lensa.
Dia suka melihat majalah-majalah kamera, mempelajari model-model yang berbeda,
memilih yang ingin dibelinya.
Seringkali ia melamun tentang bepergian di seluruh dunia, pergi ke tempat-tempat
menakjubkan, puncak-puncak gunung dan sungai-sungai di hutan tersembunyi. Dia
memotret semua yang dia lihat dan menjadi seorang fotografer terkenal.
Kameranya di rumah itu terlalu payah. Itu sebabnya semua foto-fotonya yang
keluar terlalu gelap atau terlalu terang, dan semua orang di foto-fotonya ada
sinar titik merah di mata mereka.
Greg bertanya-tanya apakah kamera ini ada gunanya.
Mengangkat bidikan kamera ke matanya, ia mengamati sekitar ruangan. Dia datang
berhenti di Michael, yang mengenakan dua bulu kuning terang Boas, topi Stetson
putih dan telah naik ke puncak tangga untuk berpose.
"Tunggu !Tahan!" teriak Greg, bergerak mendekat, mengangkat kamera itu ke
matanya. "Biarkan aku memotretmu, Michael."
"Di mana kau menemukannya?" tanya Bird.
"Apa kamera itu ada filmnya di dalamnya?" tuntut Michael.
"Aku tak tahu," kata Greg. "Ayo kita lihat."
Sambil bersandar pada jeruji pagar, Michael melakukan pose apa saja yang
dianggapnya canggih. Greg menunjuk ke kamera dan menfokuskan dengan hati-hati. Butuh waktu yang
singkat bagi jarinya untuk menemukan tombol rana (pemetik foto). "Oke, siap
Katakanlah cheese (keju)?"
"Cheddar," kata Michael, menyeringai ke arah Greg saat ia menahan posenya pada
jeruji pagar. "Sangat lucu. Michael amat lucu." Kata Bird sinis.
Greg memusatkan Michael di bingkai jendela bidik, kemudian menekan tombol rana.
Kamera itu ditekan dan berkilat.
Kemudian kamera itu membuat suara mendesing elektronik. Sebuah slot terbuka di
bagian bawah, dan satu kertas karton persegi meluncur keluar.
"Hei - ini salah satu dari kamera cuci otomatis," seru Greg. Dia menarik keluar
kertas karton persegi dan memeriksanya. "Lihat - gambarnya mulai dicuci."
"Coba kulihat," teriak Michael ke bawah, bersandar di pagar.
Tapi sebelum dia mulai menuruni tangga, semua orang mendengar suara berderak
keras. Mereka semua mendongak ke sumber suara - dan melihat jeruji pagar putus dan
Michael melayang ke pinggir atas.
"Tidaaaak!" jerit Michael saat dia jatuh ke lantai, dengan lengan terentang,
bulu Boas bulu di belakangnya seperti ekor-ekor binatang.
Dia berbalik di udara, lalu terbentur beton keras di punggungnya, matanya
membeku, melebar keheranan dan takut.
Dia terpental satu kali. Lalu berteriak lagi: "Pergelangan kakiku! Aaauuu! Pergelangan kakiku!" Dia
meraih pergelangan kakinya yang cedera, lalu cepat-cepat melepaskan dengan
terkesiap keras. Terlalu sakit untuk menyentuhnya.
"Ohhh - pergelangan kakiku!"
Masih memegang kamera dan foto, Greg bergegas untuk Michael. Shari dan Bird
melakukan hal yang sama. "Kami akan pergi mencari bantuan," kata Shari pada Michael, yang masih
(berbaring) di punggungnya, mengerang kesakitan.
Tapi kemudian mereka mendengar langit-langit berderit.
Langkah-langkah kaki. Di atas mereka.
Seseorang ada di rumah. Seseorang mendekati tangga ruang bawah tanah.
Mereka akan tertangkap. 5 Langkah-langkah kaki di atas semakin keras.
Keempat sekawan itu saling memandang ketakutan.
"Kita harus keluar dari sini," bisik Shari.
Langit-langit berderak. "Kalian tak bisa meninggalkanku di sini!" protes Michael. Dia menarik dirinya ke
posisi duduk. "Cepat - berdiri," perintah Bird.
Michael berusaha berdiri. "Aku tak dapat berdiri dengan kaki ini." Wajahnya
menunjukkan kepanikannya.
"Kami akan membantumu," kata Shari, memutar matanya ke Bird. "Aku akan memegang
satu lengan, kau (Bird) memegang yang lainnya."
Bird dengan patuh bergerak maju dan menarik lengan Michael di bahunya.
"Oke, ayo kita bergerak!" bisik Shari, menyangga Michael dari sisi lainnya.
"Tapi bagaimana kita keluar?" tanya Bird terengah-engah.
Langkah-langkah kaki itu semakin keras. Langit-langit berderak di bawah berat
badan mereka. "Kita tak bisa naik tangga itu," bisik Michael, bersandar pada Shari dan Bird.
"Ada satu tangga lagi di belakang tungku perapian," kata Greg pada mereka,
sambil menunjuk. "Ini mengarah keluar?" tanya Michael, meringis dari rasa sakit pergelangan
kakinya. "Mungkin." Greg memimpin jalan. "Berdoa saja pintu itu tak digembok atau lainnya."
"Kami berdoa! Kami berdoa!" kata Bird.
"Kita pergi dari sini!" kata Shari, mengerang di bawah lengan berat Michael.
Bersandar berat terhadap Shari dan Bird, Michael tertatih-tatih setelah Greg,
dan mereka berjalan ke tangga di belakang tungku perapian. Tangga itu, mereka
melihat, mengarah ke pintu ganda kayu di permukaan tanah.
" Aku tak melihat gembok," kata Greg khawatir. " Mudah-mudahan, pintu itu
terbuka!" "Hei - siapa di bawah sana?" suara seorang pria yang marah memanggil dari
belakang mereka. "Itu - itu Spidey!" Michael tergagap.
"Cepat!" desak Shari, memberikan Greg dorongan karena ketakutan. "Ayo!"
Greg mengatur kamera itu ke bawah pada tangga teratas. Kemudian dia mengulurkan
tangan dan meraih pegangan pintu ganda.
"Siapa di bawah sana?"
Suara Spidey terdengar dekat, marah.
"Pintu-pintu itu bisa dikunci dari luar," bisik Greg, ragu-ragu.
"Cukup dorong saja, Bung!" pinta Bird.
Greg menghela napas dalam-dalam dan mendorong dengan seluruh kekuatannya.
Pintu itu tak bergeming. "Kita terjebak," katanya kepada mereka.
6 "Sekarang apa?" rengek Michael.
"Coba lagi," Bird mendesak Greg. "Mungkin hanya macet." Dia menyelip keluar dari
bawah lengan Michael. "Sini. Aku akan membantumu."
Greg pindah ke atas memberi ruang bagi Bird untuk naik disampingnya. "Siap?"
tanyanya. "Satu, dua, tiga - dorong!"
Kedua anak laki-laki mendorong pintu kayu berat itu dengan sekuat mereka.
Dan pintu terbuka. "Oke! Sekarang kita keluar dari sini!" kata Shari gembira.
Dengan membawa kamera itu, Greg memimpin jalan keluar. Halaman belakang itu, ia
lihat, terhalang rerumputan liar dan tumbuh di luar kendali di bagian depan.
Satu dahan yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon ek tua, mungkin saat badai,
roboh setengah di pohon, setengah di tanah.
Entah bagaimana, Bird dan Shari berhasil menyeret Michael menaiki tangga dan ke
rerumputan. "Kau bisa berjalan" Coba saja," kata Bird.
Masih bersandar kepada mereka berdua, Michael dengan enggan menekan kakinya di
atas tanah. Dia mengangkatnya. Kemudian menekan lagi. "Hei, rasanya sedikit
lebih baik," katanya, terkejut.
"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Bird.
Mereka lari ke pagar tanaman penuh tumbuhan yang berada di sepanjang sisi
halaman, Michael sendiri sekarang melangkah dengan hati-hati di atas pergelangan
kaki yang sakit, berjaga-jaga sebaik mungkin. Lalu, tetap di bawah bayangan
pagar, mereka berjalan memutari rumah ke depan.
"Bagus!" teriak Bird gembira saat mereka sampai di jalanan. "Kita berhasil!"
Terengah-engah, Greg berhenti di pinggir jalan dan berbalik kembali ke rumah.
"Lihat!" teriaknya, menunjuk ke jendela ruang tamu.
Sebuah bayangan gelap berdiri di jendela, tangan-tangan menempel pada kaca.
"Itu Spidey," kata Shari.
"Dia c uma - menatap kita," seru Michael.
"Aneh," kata Greg. "Mari kita pergi."
Mereka tak berhenti hingga mereka sampai di rumah Michael, suatu rumah luas
berkayu merah bergaya peternakan di belakan halaman depan yang teduh.
"Bagaimana pergelangan kakimu?" tanya Greg.
"Sudah mendingan. Bahkan tak terlalu sakit," kata Michael.
"Bung, kau bisa saja terbunuh!" kata Bird, menyeka keringat dari dahinya dengan
lengan kausnya. "Terima kasih mengingatkanku," kata Michael datar.
"Untungnya kau punya semua bantal tambahan," goda Bird.
"Diam," gumam Michael.
"Nah, kalian menginginkan petualangan," kata Shari, bersandar di batang pohon.
"Pria itu Spidey sudah pasti aneh," kata Bird, menggelengkan kepalanya.
"Kau lihat bagaimana caranyamenatap kita?" tanya Michael. "Berpakaian hitam
seluruhnya dan semuanya. Dia tampak seperti semacam zombie atau sesuatu?"
"Dia melihat kita," kata Greg pelan, tiba-tiba merasa dingin ketakutan. "Dia
melihat kita sangat jelas. Kita sebaiknya menjauh dari sana.."
"Untuk apa?" tuntut Michael. "Itu bukan rumahnya. Dia hanya tidur di sana. Kita
bisa menelepon polisi akan dirinya."
"Tapi kalau dia benar-benar gila atau sesuatu, tak ada mengatakan apa yang
mungkin dilakukannya," jawab Greg berpikir.
"Ah, dia tak akan melakukan apa pun," kata Shari tenang. "Spidey tak ingin
masalah. Dia hanya ingin dibiarkan sendiri.."
"Ya," Michael setuju dengan cepat. "Dia tak ingin kita bermain-main dengan
barang-barangnya. Itulah mengapa ia berteriak seperti itu dan mengejar kita.."
Michael sedang membungkuk, menggosok pergelangan kakinya. "Hei, mana fotoku?"
tuntutnya, meluruskan (diri) dan berpaling ke Greg.
"Hah?" "Kau tahu. Foto yang kau ambil dengan kamera itu."
"Oh Benar.." Greg tiba-tiba menyadari dia masih mencengkeram erat kamera itu di
tangannya. Dia meletakkannya dengan hati-hati di rumput dan merogoh saku
belakang celananya. "Aku menaruhnya di sini ketika kita mulai berlari,"
jelasnya. "Yah " Apakah itu keluar?"tuntut Michael.
Ketiganya berkerumun membungkuk di sekitar Greg agar bisa melihat jepretan foto.
"Wah - tunggu sebentar!" teriak Greg, menatap tajam pada foto kecil persegi itu.
"Ada sesuatu yang salah. Apa yang terjadi di sini?"
7 Keempat Mends (") itu melongo atas foto di tangan Greg, mulut mereka ternganga
Goosebumps - 4 Bergaya Sebelum Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena terkejut. Kamera telah menangkap Michael di udara saat ia jatuh ke lantai melalui jeruji
pagar yang rusak. "Itu tak mungkin!" teriak Shari.
"Kau mengambil foto sebelum aku jatuh!" kata Michael, merebut foto itu dari
tangan Greg sehingga ia bisa mempelajarinya dekat. "Aku mengingatnya."
"Ingatanmu salah," kata Bird, bergerak untuk mendapatkan pandangan yang lain
dari balik bahu Michael. "Kau jatuh, bung. Suatu foto aksi yang bagus." Dia
mengambil kamera. "Ini adalah kamera yang bagus yang kau curi, Greg."
"Aku tak mencurinya" - Greg memulai - "Maksudku, aku tak menyadari -"
"Aku tak jatuh!" Michael bersikeras, memiringkan gambar di tangannya,
mempelajarinya dari setiap sudut. "Aku berpose, ingat " Aku memiliki senyum
besar konyol di wajahku, dan aku berpose."
"Aku ingat senyum konyol itu," kata Bird, menyerahkan kamera kembali ke Greg.
"Apakah kau punya ekspresi lainnya?"
"Kau tak lucu, Bird," gumam Michael. Dia mengantongi gambar itu.
"Aneh," kata Greg. Dia melirik arlojinya. "Hei - aku harus pergi."
Dia mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan menuju rumah. Matahari sore
sedang turun dibalik sekelompok pohon palem, bentuk yang panjang pergeseran
bayangan-bayangan di atas trotoar.
Dia telah berjanji pada ibunya bahwa ia akan merapikan kamarnya dan membantu
menyedot debu sebelum makan malam. Dan sekarang ia sudah terlambat.
Apa itu mobil asing di jalanan" ia bertanya-tanya, berlari-lari kecil melewati
halaman tetangga menuju rumahnya.
Itu adalah mobil biru station wagon Taurus. Merek baru.
Ayah mengambil mobil baru kami! ia menyadari.
Wow! Greg berhenti untuk mengaguminya. mobil ini masih memiliki stiker menempel
ke jendela pintu. Dia membuka pintu pengemudi, membungkuk, dan mencium bau
pelapis vinil. Mmmmmm. Itu bau mobil baru.
Dia menarik napas dalam lagi. Baunya begitu enak. Begitu segar dan baru.
Dia menutup pintu keras-keras, menilai bunyi debam benda padat it saat tertutup.
Mobil baru yang hebat, pikirnya penuh semangat.
Dia mengangkat kamera ke matanya dan mengambil beberapa langkah mundur jalanan.
Aku harus mengambil gambarnya, pikirnya. Untuk mengingatkan seperti apa mobil
itu saat benar-benar baru.
Dia mundur sampai ia membingkai seluruh mobil station wagon itu dalam jendela
bidik. Lalu ia menekan tombol pemetik potret.
Seperti sebelumnya, kamera berbunyi klik keras, lampu kilat menyala, dan dengan
deru elektronik, sebuah foto yang belum dicuci, suatu persegi abu-abu dan kuning
meluncur keluar dari bagian bawah.
Membawa kamera dan foto, Greg berlari ke dalam rumah melalui pintu depan. "Aku
pulang!" teriaknya. "Turun sebentar lagi!" Dan bergegas menaiki tangga berkarpet
ke kamarnya. "Greg" Apakah itu kau" Ayahmu di rumah," panggil ibunya dari lantai bawah.
"Aku tahu. Sebentar lagi (aku) turun. Maaf, aku terlambat!" teriak Greg kembali.
Lebih baik aku menyembunyikan kamera ini, putusnya. Jika ibu atau ayah
melihatnya, mereka akan ingin tahu punya siapa itu dan dari mana aku
mendapatkannya. Dan aku tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Greg - apakah kau sudah melihat mobil baru " Apa kau sudah turun?" panggil
ibunya tak sabar dari kaki tangga.
"Aku datang!" teriaknya.
Matanya panik mencari tempat persembunyian yang baik.
Di bawah tempat tidurnya"
Tidak. Ibunya mungkin menyedot (debu) di bawah sana dan menemukannya.
Kemudian Greg teringat ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya. Dia
menemukan ruangan itu tahun lalu ketika orangtuanya membelikannya satu set
tempat tidur baru. Dengan cepat, ia mendorong kamera itu masuk (kedalam).
Menatap ke dalam cermin di atas meja rias, ia menyikat rambut pirangnya sikat
dengan cepat, mengusap coretan jelaga hitam di pipinya dengan satu tangan,
kemudian mulai ke pintu. Dia berhenti di ambang pintu.
Foto mobil itu. Di mana ia meletakkannya"
Butuh beberapa detik untuk mengingat bahwa ia melemparkannya ke tempat tidurnya.
Penasaran tentang bagaimana hasilnya, ia kembali untuk mengambilnya.
"Oh, tidak!" Dia menjerit pelan ketika dia menatap foto itu.
8 Apa yang terjadi di sini" Greg bertanya-tanya.
Dia mendekatkan foto itu ke wajahnya.
Ini tak benar, pikirnya. Bagaimana ini bisa!
Mobil biru station wagon Taurus dalam foto itu berantakan. Tampaknya seolah-olah
mengalami kecelakaan yang mengerikan. Kaca depannya hancur. Logam bengkok dan
melemgkung. Pintu di sisi pengemudi itu ambruk,
Mobil itu tampak (hancur) seluruhnya!
"Ini tak mungkin!" Greg berucap pelan.
"Greg, kau di mana?" panggil ibunya. "Kami semua lapar, dan kau membuat kami
menunggu." "Maaf," jawabnya, tak dapat mengalihkan pandangannya dari foto itu. "Aku
datang." Dia memasukkan foto itu ke dalam laci lemari paling atas dan berjalan ke lantai
bawah. Gambar dari mobil yang terbakar menguasai pikirannya.
Hanya untuk memastikan, ia menyeberangi ruang tamu dan mengintip keluar dari
jendela depan ke jalan masuk.
Di sana berdiri station wagon, berkilauan dalam cahaya matahari terbenam.
Mengkilap dan sempurna. Dia berbalik dan berjalan ke ruang makan di mana saudaranya dan orang tuanya
sudah duduk. "Mobil wagon baru yang mengagumkan, Yah," kata Greg, mencoba
mengusir gambar foto itu dari pikirannya.
Tapi dia terus melihat logam yang bengkok, pintu pengemudi yang ambruk, kaca
depan yang hancur. "Setelah makan malam," Ayah mengumumkan kepada Greg dengan gembira, "Aku akan
membawa kalian semua berjalan-jalan dengan mobil baru!"
9 "Mmmm ini ayam yang enak,." Kata saudara Greg Terry, berbicara sambil menguyah.
"Terima kasih atas pujiannya," kata Mrs Banks datar, "tapi itu daging sapi muda
-bukan daging ayam" Greg dan ayahnya tertawa. Wajah Terry memerah. "Yah," katanya, masih mengunyah,
"itu daging sapi muda yang sangat enak, rasanya sebagus ayam!"
"Aku tak tahu mengapa aku repot-repot memasak," desah Mrs Bank.
Mr Banks mengganti topik pembicaraan. "Bagaimana di Dairy Freeze?" dia bertanya.
"Kami kehabisan vanili sore ini," kata Terry, menggarpu sebuah kentang kecil dan
memasukkannya utuh ke dalam mulutnya. Dia mengunyah sebentar, lalu menelannya.
"Orang-orang jengkel tentang itu."
"Kupikir aku tak bisa ikut," kata Greg, menatap makan malamnya, yang hampir tak
tersentuh. "Maksudku -"
"Mengapa tidak?" tanya ayahnya .
"Yah..." Greg mencari di pikirannya alasan yang baik. Dia perlu satu, tapi
pikirannya kosong. Dia tak bisa memberitahu mereka kebenaran.
Bahwa dia telah mengambil foto Michael, dan foto itu menunjukkan Michael jatuh.
Lalu beberapa detik kemudian, Michael jatuh.
Dan sekarang ia telah mengambil gambar dari mobil baru. Dan mobil itu hancur di
foto. Greg tak benar-benar tahu apa artinya. Tapi dia tiba-tiba dipenuhi dengan
perasaan yang kuat, takut, ketakutan,. . . Yang ia tak tahu apa.
Semacam perasaan salah yang tak pernah dialaminya sebelumnya.
Tapi dia tak bisa memberitahu mereka semua itu. Itu terlalu aneh. Terlalu gila.
"Aku... berencana untuk pergi ke Michael," katanya berbohong, menatap piringnya.
"Yah, telpon dia dan katakan padanya kau akan menemuinya besok," kata Mr Banks,
mengiris daging sapinya. "Itu tak masalah."
"Yah, aku juga merasa kurang sehat," kata Greg.
"Apa yang salah?" tanya Mrs Bank dengan keprihatinan singkat. "Apakah kau demam"
Kupikir kau tampak sedikit memerah ketika kau masuk"
"Tidak," jawab Greg tak nyaman. "Bukan demam. Aku hanya merasa agak lelah, tak
terlalu lapar.." "Bisakah aku memiliki daging ayammu - Maksudku, daging sapi?" tanya Terry penuh
semangat. Dia meraih garpunya melewati meja dan menangkap potongan daging di
piring Greg. "Yah, perjalanan yang menyenangkan bisa membuat kau merasa lebih baik," kata
ayah pada Greg, melirik Greg curiga. "Kau tahu, udara segar. Kau bisa berbaring
di belakang jika kau mau.."
"Tapi, ayah -" Greg berhenti. Dia telah menggunakan semua alasan yang bisa
dipikirkannya. Mereka tak akan pernah percaya kalau dia mengatakan dia harus
tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah pada malam minggu!
"Kau ikut kami, titik," kata Mr Banks, masih mempelajari Greg. "Kau sudah
sekarat saat mobil baru ini tiba aku benar-benar tak mengerti masalahmu.."
Aku juga tidak, aku Greg pada dirinya sendiri.
Aku tak mengerti sama sekali. Mengapa aku begitu takut naik mobil baru" Hanya
karena ada sesuatu yang salah dengan itu kamera bodoh itu"
Aku jadi bodoh, Greg berpikir, berusaha mengusir perasaan takut yang mengambil
nafsu makannya. "Oke, Yah. Baik," katanya, memaksakan tersenyum. "Aku ikut."
"Apa ada kentang lagi?" tanya Terry.
10 "Ini sangat mudah dikendarai," kata Mr Banks, mempercepat ke jalan masuk ke
jalan bebas hambatan. "Ini seperti menangani mobil kecil, tak seperti station
wagon." "Banyak ruang di belakang sini, Yah," kata Terry, menggeser rendah jok belakang
di samping Greg, mengangkat lututnya ke belakang kursi depan.
"Hei, lihat - ada pegangan minuman yang ditarik keluar dari dasbor!" seru Ibu
Greg. "Itu rapi."
"Mengagumkan, Bu," kata Terry sinis.
"Yah, kita tak pernah memiliki pegangan minuman sebelumnya," jawab Mrs Bank. Dia
berbalik kembali kepada dua anak laki-laki itu. "Apakah sabuk pengaman kalian
terkait" Apakah bekerja dengan benar?"
"Ya. Baik-baik saja,." Jawab Terry.
"Mereka memeriksanya di showroom, sebelum aku mengambil mobil ini," kata Mr
Banks, memberi tanda untuk pindah ke jalur kiri.
Sebuah truk menderu, mengeluarkan awan knalpot belakangnya. Greg memandang
keluar jendela depan. Jendela pintu masih tertutup oleh stiker mobil baru.
Mr Banks keluar dari jalan tol, ke jalan raya empat jalur hampir kosong yang
menikung ke arah barat. Matahari terbenam adalah bola merah rendah di cakrawala
di langit abu-abu arang. "Tancap gas, Yah," desak Terry, duduk dan bersandar ke depan. "Ayo kita lihat
apa yang mobil ini bisa dilakukan."
Mr Banks menurut menekan kakinya pada pedal gas. "Kecepatan luncurnya tampaknya
sekitar enam puluh (mil perjam)," katanya.
"Pelan-pelan," omel Mrs Bank. "Kau tahu batas kecepatan lima puluh lima."
"Aku hanya mengujinya," kata ayah Greg membela diri. "Kau tahu. Memastikan
persnelingnya tidak slip atau yang lainnya.."
Greg menatap speedometer yang bersinar. Mereka tujuh puluh (mil per jam)
sekarang. "Pelan-pelan. Aku serius," desak Mrs Bank. "Kau bertingkah seperti remaja gila."
"Itu aku!" Mr Banks menjawab, tertawa. "Ini mengagumkan!" katanya, menirukan
Terry, mengabaikan permohonan istrinya untuk memperlambat.
Mereka meraung melewati beberapa mobil kecil di jalur kanan. Lampu-lampu mobil
yang bergerak menuju mereka putih terang yang kabur di malam yang gelap itu.
"Hei, Greg, kau tenang sekali," kata ibunya. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah, aku baik-baik saja,." Kata Greg pelan.
Dia berharap ayahnya akan memperlambat. Dia berjalan tujuh puluh lima (mil per
jam) sekarang. "Bagaimana menurutmu, Greg?" tanya Mr Banks, menyetir dengan tangan kiri saat
tangan kanannya mencari-cari di dashboard. "Di mana tombol lampu" Aku harus
menyalakan lampu mobilku."
"Mobil bagus," jawab Greg, berusaha terdengar antusias. Tapi dia tak bisa
mengusir rasa takutnya, tak bisa mengeluarkan foto mobil hancur itu dari
pikirannya. "Mana saklar lampu yang bodoh itu" Harusnya ada di sini di suatu tempat," kata
Mr Banks. Saat ia melirik dashboard yang tak biasa, station wagon membelok ke kiri.
"Yah - hati-hati truk itu!" jerit Greg.
11 Klakson berbunyi. Satu hembusan udara kuat menyapu mobil station wagon, seperti gelombang laut
raksasa mendorongnya ke samping.
Mr Banks membelokkan mobil station wagon ke kanan.
Truk itu menderu lewat. "Maaf," kata ayah Greg, dengan mata lurus ke depan, memperlambat mobil untuk
enam puluh, lima puluh lima, lima puluh. . .
"Aku bilang perlambat," omel Mrs Banks, menggelengkan kepala. "Kita bisa saja
terbunuh!" "Aku coba untuk menemukan lampu," jelasnya. "Oh, Di sini. Di roda setir." Dia
mengklik lampu itu. "Kalian baik-baik saja?" tanya Mrs Bank, berpaling untuk memeriksa mereka.
"Ya. Baik," kata Terry, terdengar sedikit terguncang. Truk itu akan menabrak
tempatnya di sisi mobil. "Aku baik-baik saja," kata Greg. "Bisakah kita kembali sekarang?"
"Tidakkah kau ingin terus?" tanya Mr Banks, tak mampu menyembunyikan
kekecewaannya. "Kupikir kita akan terus ke Santa Clara, berhenti dan membeli
beberapa es krim atau yang lainnya.."
"Greg benar," kata Mrs Banks pelan kepada suaminya. "Cukup untuk malam ini,
Sayang. Mari kita berbalik.."
"Truk itu tak sedemikian dekat," bantah Mr Bank. Tapi dia menurut keluar dari
jalan raya dan mereka menuju rumah.
Lalu, aman dan sehat di kamarnya, Greg mengambil foto itu keluar dari lemari dan
memeriksanya. Di foto station wagon baru itu, sisi pengemudi ambruk, kaca depan
hancur. "Aneh," katanya keras-keras, dan memasukkan foto itu di ruangan rahasia di ujung
papan tempat tidurnya di mana ia menyembunyikan kamera itu. "Sungguh aneh."
Dia menarik kamera keluar dari tempat persembunyiannya dan memutarnya di
tangannya. Aku akan coba sekali lagi, putusnya.
Dia berjalan ke lemari dan membidik dirinya cermin.
Aku akan mengambil gambar diriku di cermin, pikirnya.
Dia mengangkat kamera, kemudian merubah pikirannya. Itu tak akan bekerja, ia
menyadari. Lampu kilat akan memantul kembali dan merusak foto. Sambil
mencengkeram kamera di satu tangan, ia berjalan melintasi lorong ke kamar Terry.
Saudaranya ada di mejanya, mengetik di papan ketik komputer, wajahnya
bermandikan cahaya biru dari layar monitor.
"Terry, bisakah aku memotretmu?" tanya Greg pelan, memegang kamera itu.
Terry mengetik lagi, lalu mendongak dari layar. "Hei - dari mana kau dapat
kamera itu?" "Eh... Shari meminjamkannya padaku," kata Greg padanya, berpikir cepat. Greg tak
suka berbohong. Tapi dia merasa tak enak menjelaskan pada Terry bagaimana dia
dan teman-temannya telah menyelinap ke rumah Coffman dan dia lari dengan kamera
itu. "Jadi bisakah aku memotretmu?" tanya Greg.
"Aku mungkin akan merusak kameramu," canda Terry.
"Kupikir ini sudah rusak," kata Greg padanya. "Itu sebabnya aku ingin mengujinya
padamu." "Silakan," kata Terry. Dia menjulurkan lidahnya dan menyilangkan matanya.
Greg menekan pemetik potret. Satu foto yang dicuci meluncur keluar dari slot di
depan. "Trim's. Sampai ketemu.." Greg menuju ke pintu.
"Hei - aku tak dapat melihatnya?" panggil Terry.
"Jika keluar," kata Greg, dan bergegas melintasi lorong ke kamarnya.
Dia duduk di tepi tempat tidur. Memegang foto dalam pangkuannya, ia menatapnya
tajam saat foto itu dicuci. Warna kuning pertama-tama yang mengisi. Lalu warna
merah muncul, diikuti dengan nuansa biru.
Goosebumps - 4 Bergaya Sebelum Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah," gumam Greg saat wajah kakaknya muncul. "Ada sesuatu yang jelas salah di
sini." Dalam foto tersebut, mata Terry tak disilangkan, dan lidahnya tak mencuat
keluar. Ekspresinya suram, ketakutan. Ia tampak sangat kesal.
Saat memperhatikan latar belakangny, Greg kembali terkejut. Terry tak ada di
kamarnya. Dia di luar ruangan. Ada pohon-pohon di latar belakang. Dan suatu
rumah. Greg menatap rumah itu. Itu tampak begitu akrab.
Apakah rumah itu di seberang jalan dari taman bermain"
Dia melihat sekali lagi melihat ekspresi ketakutan Terry. Kemudian dia
menyelipkan foto dan kamera ke dalam ruang rahasianya di ujung papan tempat
tidurnya dan dengan hati-hati menutupnya.
Kamera itu pasti rusak, dia memutuskan, berusaha untuk tidur.
Ini adalah penjelasan terbaik yang bisa keluar dari (pikiran)nya.
Berbaring di tempat tidur, menatap bayang-bayang langit-langit yang bergeser, ia
memutuskan untuk tak memikirkannya lagi.
Satu kamera yang rusak tak perlu dicemaskan.
*** Selasa sore setelah sekolah, Greg bergegas untuk menemui Shari di taman bermain
untuk menonton pertandingan Liga Kecil Bird.
Itu adalah sore hari yang hangat, matahari tinggi di langit yang tak berawan.
Rumput lapangan baru saja dipangkas dan mengisi udara dengan bau manis yang
tajam. Greg menyeberangi rumput dan memicingkan mata ke sinar matahari yang cerah,
mencari Shari. Kedua tim melakukan pemanasan di sisi lapangan kasti, berteriak
dan tertawa, suara bola masuk ke dalam sarung tangan bersaing dengan suara
nyaring mereka. Beberapa orang tua dan anak datang untuk menonton. Sebagian berdiri di sekitar
lapangan, sebagian lagi duduk di tempat duduk terbuka stadion di sepanjang garis
base pertama. Greg melihat Shari belakang (pemain) penahan dan melambaikan tangan padanya.
"Apa kau membawa kamera itu?" tanyanya penuh semangat, berlari menyambutnya.
Greg mengangkatnya. "Bagus," seru Shari, sambil menyeringai. Dia meraihnya.
"Kupikir ini rusak," kata Greg, berpegangan pada kamera. "Foto-foto tak keluar
dengan benar. Sulit untuk menjelaskan.."
"Mungkin itu bukan fotonya. Mungkin itu tukang fotonya," goda Shari.
"Mungkin aku akan memfotomu dilempari sandwich," ancam Greg. Dia mengangkat
kamera itu ke matanya dan menunjuknyapada Shari.
"Potret itu, dan aku akan memfotomu memakan kamera," ancam Shari main-main. Dia
meraih ke atas dengan cepat dan menarik kamera itu dari tangan Greg.
"Untuk apa kau ingin kamera ini, sih?" tanya Greg, berupaya setengah hati untuk
mengambilnya kembali. Shari memegangnya menjauh dari tangannya yang terulur. "Aku ingin mengambil
gambar Bird saat ia datang untuk memukul. Dia tampak seperti burung unta di
piring." "Aku dengar itu." Bird muncul di samping mereka, pura-pura tersinggung.
Dia tampak konyol dalam seragam putihnya yang dikanji. Kemeja itu terlalu besar,
dan celananya terlalu pendek. Topi adalah satu-satunya benda yang sesuai.
Warnanya biru, dengan lumba-lumba perak di atas paruhnya dan kata-kata: PITTS
LANDING DOLPHINS. "Nama macam apa Dholphin ( Lumba-lumba) bagi tim kasti?" tanya Greg, menyambar
paruh topi dan memutar topi itu kebelakang di kepala Bird.
"Semua topi lainnya dibawa," jawab Bird. "Kami punya pilihan antara Zephyrs
(angin sepoi-sepoi)dan Dholpins (lumba-lumba). Tak seorang pun dari kami tahu
apa itu Zephyrs,. Jadi kami mengambil Dholpins."
Shari menatapnya dari atas ke bawah. "Mungkin kalian harus bermain dalam pakaian
jalananmu." "Trim's atas dorongannya," jawab Bird. Dia melihat kamera dan mengambil itu
darinya. "Hei, kau bawa kamera itu. Apa ada filmnya?"
"Ya. Kupikir begitu," kata Greg padanya. "Coba kulihat." Dia meraih kamera,
tetapi Bird mengayunkan keluar dari genggamannya.
"Hei - apa kau akan berbagi hal ini, Greg?" tanyanya.
"Hah" Apa maksudmu?" Greg meraih kamera itu lagi, dan sekali lagi Bird
mengayunkannya menjauh darinya.
"Maksudku, kita semua mempertaruhkan nyawa kita turun di ruang bawah tanah
mendapatkan itu, kan?" kata Bird. "Kita semua harus berbagi."
"Yah..." Greg tak memikirkannya. "Kurasa kau benar, Bird. Tapi aku orang yang
menemukannya. Jadi -"
Shari meraih kamera itu dari tangan Bird. "Kukatakan pada Greg untuk membawanya
sehingga kita bisa mengambil gambarmu ketika kau sudah bangun."
"Satu bentuk contoh yang baik?" tanya Bird.
"Satu contoh buruk," kata Shari.
"Kalian hanya iri," jawab Bird, mengerutkan kening, "karena aku seorang atlet
alami, dan kalian tak bisa menyeberang jalan tanpa jatuh di wajah kalian." Dia
memutar kembali topi menghadap ke depan.
"Hei, Bird - kembali ke sini!" panggil salah satu pelatih dari lapangan bermain.
"Aku harus pergi," kata Bird, memberi mereka satu lambaian cepat dan mulai
berlari kembali ke teman-teman timnya.
"Jangan. Tunggu. Biarkan aku mengambil fotomu dengan cepat sekarang," kata Greg.
Bird berhenti, berbalik, dan mencari satu pose.
"Tidak, aku akan memfotonya," desak Shari.
Dia mulai untuk meningkatkan kamera ke matanya, membidik ke arah Bird. Dan saat
ia mengangkatnya, Greg meraih untuk itu.
"Biarkan aku mengambilnya!"
Dan kamera pun berpindah. Ditekannya dan lalu (kamera itu) bersinar sekejap.
Satu foto yang dicuci meluncur keluar.
"Hei, kenapa kau melakukan itu?" tanya Shari dengan marah.
"Maaf," kata Greg. "Aku tak bermaksud -"
Dia menarik foto itu dan memegangnya di tangannya. Greg dan Bird mendekati
menonton yang dicuci itu.
"Buset, apa sih itu!" teriak Bird, menatap tajam di persegi kecil itu saat
warna-warna menjadi cerah dan mengambil bentuk.
"Oh, wow!" teriak Greg.
Foto itu memperlihatkan Bird tergeletak tak sadarkan diri telentang di tanah,
mulutnya terbuka, lehernya tertekuk dengan sudut yang menakutkan, matanya
tertutup rapat. 12 "Hei - ada apa dengan kamera bodoh ini?" tanya Bird, menyambar foto dari tangan
Shari. Dia memiringkan dari satu sisi ke sisi lain, menyipitkan mata di itu.
"Ini di luar fokus atau sesuatu lainnya."
"Aneh," kata Greg, menggelengkan kepalanya.
"Hei, Bird - ke sini!" panggil pelatih Dolphins.
"Aku datang!" Bird mengembalikan foto itu ke Shari dan berlari ke teman-teman
timnya. Peluit ditiup. Kedua tim menghentikan latihan dan berlari ke bangku sepanjang
garis base ketiga. "Bagaimana ini bisa terjadi!" tanya Shari pada Greg, melindungi matanya dari
sinar matahari dengan satu tangan, memegang erat foto ke wajahnya dengan
tangannya yang lain. "Ini benar-benar terlihat seperti Bird berbaring di tanah,
pingsan atau yang lainnya. Tapi ia berdiri tepat di depan kita."
"Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti," jawab Greg berpikir. "Kamera
ini terus melakukan hal itu."
Membawa kamera di sisinya, berayun dengan tali yang ramping, ia mengikuti Shari
ke tempat yang teduh di samping bangku-bangku stadion.
"Lihat betapa bengkok lehernya," lanjut Shari. "Ini sangat mengerikan."
"Ada sesuatu yang jelas salah dengan kamera ini," kata Greg. Dia mulai
menceritakan tentang foto yang ia ambil dari mobil station wagon baru, dan foto
dari Terry saudaranya. Tapi Shari menyelanya sebelum dia bisa menyelesaikan
kata-katanya. "- Dan itu foto Michael. Menunjukkan dia jatuh dari tangga bahkan sebelum dia
jatuh. Hanya saja ini begitu aneh..."
"Aku tahu," kata Greg.
"Coba kulihat kamera itu," kata Shari dan menarik kamera dari tangannya. "Apakah
masih ada film yang tersisa?"
"Aku tak bisa beritahu," mengakui Greg. "Aku tak bisa menemukan penghitung film
atau apa pun." Shari memeriksa kamera dengan dekat, menggulirkannya di tangannya. "Ia tak
mengatakan di mana saja. Bagaimana kau bisa tahu apakah itu dikeluarkan atau
tidak." Greg mengangkat bahu. Pertandingan bisbol mulai berlangsung. Dholphins adalah tim tamu. Tim lain,
Cardinals, berlari keluar untuk mengambil posisi mereka di lapangan.
Seorang anak di bangku menjatuhkan kaleng sodanya. Kaleng itu menghantam tanah
dan tumpah, dan anak itu mulai berteriak. Sebuah mobil station wagon tua berisi
dengan remaja melaju lewat, membunyikan radio, bunyi klakson meraung-raung .
"Di mana kau menempatkan filmnya?" tanya Shari tak sabar.
Greg melangkah lebih dekat untuk membantunya memeriksanya. "Di sini, pikirku,"
katanya, menunjuk. "Apa bagian belakangnya tak dilepas?"
Shari menggesek-geseknya. "Tidak, kupikir tidak begitu. Sebagian besar kamera
cuci otomatis memuatnya di depan.."
Dia menarik belakangnya, tetapi kamera tak terbuka. Dia mencoba menarik dari
bawah. Tak lebih beruntung. Memutar kamera, dia mencoba menarik lensanya. Ini
tak bergeming. Greg mengambil kamera darinya. "Tak ada slot atau lubang di depan."
"Nah, kamera apa itu, sih?" Shari menuntut.
"Eh... Ayo kita lihat." Greg mempelajari bagian depan, memeriksa bagian atas
lensa, kemudian membalik kamera ke atas dan mempelajari bagian belakangnya.
Dia menatap ke arahnya dengan ekspresi terkejut di wajahnya. "Tak ada nama
mereknya. Tak ada." "Bagaimana bisa kamera tidak punya nama?" teriak Shari jengkel. Dia menyambar
kamera menjauh dari Greg dan memeriksa dengan seksama, menyipitkan matanya
terhadap sinar matahari sore yang terang benderang.
Akhirnya, dia menyerahkan kamera kembali kepadanya, kalah. "Kau benar, Greg. Tak
ada namanya. Tak ada kata apapun. Tak ada. Kamera bodoh," tambahnya dengan
marah. "Wah. Tunggu," Kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, ingat aku tak
membelinya." Aku mengambilnya dari rumah Coffman."
"Yah, ayo kita setidaknya mengetahui bagaimana cara membukanya dan melihat
isinya," kata Shari.
Pukulan Dolphin pertama muncul ke penjaga base kedua. Pukulan kedua memukul pada
tiga ayunan lurus. Selusin penonton atau sedemikian berteriak memberi semangat
pada tim mereka. Anak kecil yang telah menjatuhkan sodanya terus berteriak. Tiga anak-anak yang
naik sepeda, melambaikan tangan pada teman-temannya di tim, tetapi tak berhenti
untuk menonton. "Aku sudah mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa mencari cara untuk
membukanya," aku Greg.
"Berikan padaku," kata Shari dan meraih kamera itu darinya. "Harusnya ada tombol
atau sesuatu. Harus ada beberapa cara untuk membukanya. Ini konyol."
Ketika dia tak bisa menemukan tombol atau tuas apapun, ia mencoba menarik
belakangnya sekali lagi, mencongkel dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mencoba
memutar lensa, tapi tak mau berputar.
"Aku tak akan menyerah," katanya, mengertakkan gigi. "Aku tak akan. Kamera ini
harus terbuka. Itu harus!"
"Menyerahlah. Kau akan menghancurkannya," kata Greg, meraihnya.
"Merusaknya. Bagaimana aku bisa merusaknya?" Shari menuntut. "Ini tak punya
bagian-bagian yang bergerak. Tak ada!."
"Ini tak mungkin," kata Greg.
Dengan wajah jijik, Shari menyerahkan kamera padanya. "Oke, aku menyerah.
Periksa sendiri, Greg.."
Greg mengambil kamera itu, mulai mengangkatnya ke wajahnya, lalu berhenti.
Mengeluarkan teriakan pelan terkejut, mulutnya ternganga dan matanya lurus ke
depan terbuka lebar. Kaget, Shari berpaling untuk mengikuti tatapan terkejutnya.
"Oh tidak!" Ada di tanah beberapa meter di luar garis base pertama, berbaring Bird. Dia
telentang, lehernya tertekuk di sudut yang aneh dan tak wajar, matanya tertutup
rapat. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 13 "Bird!" teriak Shari.
Napas Greg tercekat di tenggorokan. Dia merasa seolah-olah dia tercekik. "Oh!"
akhirnya ia berhasil berteriak dengan suara melengking serak.
Bird tak bergerak. Shari dan Greg, berlari berdampingan dengan kecepatan penuh, mencapai Bird
bersama-sama. "Bird?" Shari berlutut di sampingnya. "Bird?"
Bird membuka satu mata. "Kena kau," katanya pelan. Setengah senyum aneh
terbentuk di wajahnya, dan dia tertawa bernada tinggi terbahak-bahak.
Butuh waktu bagi Shari dan Greg untuk bereaksi. Mereka berdua berdiri ternganga,
terbelalak lebar di teman mereka yang tertawa.
Kemudian, jantung Greg mulai melambat normal, ia meraih ke bawah, meraih Bird
dengan kedua tangannya, dan menariknya bangkit dengan kasar.
"Aku akan memegangnya saat kau memukulnya," Greg menawari (Shari), memegang Bird
dari belakang. "Hei, tunggu -" protes Bird, meronta-ronta menggeliat keluar dari cengkeraman
Greg. "Rencana yang bagus," kata Shari, menyeringai.
"Aduh! Hei - lepaskan! Ayolah! Lepaskan!" protes Bird, berusaha sia-sia bergulat
agar bebas. "Ayolah! Apa masalah kalian" Itu lelucon, teman-teman!"
"Sangat lucu," kata Shari, memberikan pukulan main-main di bahu Bird. "Kau amat
lucu, Bird." Bird akhirnya membebaskan dirinya dengan menarik keras dan menari menjauh dari
mereka berdua. "Aku hanya ingin menunjukkan kalian semua untuk tahu bagaimana
palsunya kamera cuci bodoh itu."
"Tapi, Bird -" Greg memulai.
"Hanya saja rusak, itu saja," kata Bird, menyikat beberapa helai rumput yang
baru dipotong di celana seragamnya. "Kau pikir karena itu, ia menunjukkan
Michael jatuh menuruni tangga, ada yang aneh dengan ini. Tapi itu bodoh.. Benarbenar bodoh." "Aku tahu itu," jawab Greg tajam. "Tapi bagaimana kau menjelaskannya?"
"Sudah kubilang, man. Kamera itu rusak. Rusak. Itu saja."
"Bird - ke sini!" satu suara memanggil, dan sarung tangan penangkap bola Bird
datang terbang di kepalanya. Dia menangkapnya, melambai dengan satu seringai ke
Shari dan Greg, dan berlari ke area lapangan bisbol bersama dengan anggota lain
dari Dolphins. Membawa kamera erat di satu tangan, Gcreg memimpin jalan ke bangku-bangku
stadion. Dia dan Shari duduk di ujung bangku Bagian bawah.
Beberapa penonton sudah kehilangan minat pada permainan yang berlangsung dan
telah pergi. Beberapa anak telah mengambil bola kasti dari lapangan dan bermain
sendiri menangkap (bola) di belakang bangku penonton. Di seberang taman bermain,
empat atau lima anak-anak mulai bermain sepak bola.
"Bird sungguh konyol," kata Greg, matanya pada permainan.
"Dia membuatku takut sampai mati," seru Shari. "Kupikir dia benar-benar
terluka." "Badut," gumam Greg.
Mereka menyaksikan permainan dalam keheningan selama beberapa saat. Ini tak
terlalu menarik. Dolphins kalah 12-3 di babak ketiga. Tak satu pun dari para
pemain yang (bermain) sangat baik.
Greg tertawa saat pemukul Cardinal, seorang anak dari kelas mereka bernama Joe
Garden, menghantam bola yang melayang keluar ke lapangan dan tepat di atas
kepala Bird. "Itu bola ketiga yang terbang di atas kepalanya!" teriak Greg.
"Mungkin dia akan hilang di matahari!" seru Shari, ikut tertawa.
Mereka berdua menyaksikan kaki panjang bangau Bird (mengejar) setelah bola. Pada
saat ia berhasil menangkapnya dan mengangkatkatnya ke arah lapangan, Joe Garden
sudah berputar ke base dan mencetak (angka).
Ada ejekan keras dari para penonton.
Pemukul Kardinal selanjutnya melangkah ke tempat memukul. Beberapa anak lagi
Goosebumps - 4 Bergaya Sebelum Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turun dari bangku, setelah cukup melihat.
"Disini matahari sangat panas," kata Shari, melindungi matanya dengan satu
tangan. "Dan aku punya banyak PR. Mau pergi"."
"Aku hanya ingin melihat babak berikutnya," kata Greg, mengamati pemukul
mengayun dan meleset. "Bird main di babak berikutnya. Aku ingin tinggal dan
mengejeknya.." "Apa itu gunanya teman?" kata Shari sinis.
Ini butuh waktu lama untuk Dolphins untuk menyelesaikan babak ketiga. The
Cardinals telah memukul di seluruh urutan mereka.
Kaos Greg basah dengan keringat waktu Bird datang ke tempat memukul di awal
(babak) keempat. Meskipun Shari dan Greg mencemooh dengan nyaring, Bird berhasil memukul bola
melewati shotstop (perhentian pendek di antara base ke 2 dan ke 3) untuk single
(perhentian aman di base 1).
" Pukulan yang mujur!" teriak Greg, menangkupkan tangannya seperti sebuah
megafon. Bird pura-pura tak mendengarnya. Dia melemparkan helm pemukulnya (pada rekan
timnya), menyesuaikan topinya, dan mengambil pimpinan singkat dari base pertama.
Pemukul berikutnya mengayunkan pada lemparan pertama dan gagal.
"Ayo pergi," desak Shari, menarik lengan Greg. "Ini terlalu panas. Aku mati
kehausan.." "Ayo kita lihat apakah Bird -"
Greg tak menyelesaikan kalimatnya.
Pemukul memukul bola berikutnya dengan keras. Ini membuat suara keras saat
meninggalkan (tongkat) pemukul.
Selusin orang - pemain dan penonton - menjerit saat bola terbang melintasi
lapangan, bergerak dengan garis yang tajam, dan memhantam ke sisi kepala Bird
dengan suara lain. Greg menyaksikan dengan ngeri saat bola memantul dari Bird dan tergiring jauh ke
tengah lapangan rumput. Mata Bird terbelalak tak percaya, kebingungan.
Dia berdiri membeku di tempat pada garis base untuk waktu yang lama.
Kemudian mengangkat kedua tangan dengan dramatis ke atas kepalanya, dan ia
menjerit melengking, panjang dan keras, seperti ringkikan bernada tinggi dari
kuda. Matanya bergulung di kepalanya. Dia berlutut. Mengeluarkan teriakan lain, kali
ini lebih pelan. Lalu roboh, menggeletak ke punggungnya, lehernya berada di
sudut yang tak wajar, matanya tertutup.
Dia tak bergerak. 14 Dalam hitungan detik, kedua pelatih dan kedua tim itu buru-buru berlari ke
pemain yang jatuh itu, berkerumun di atasnya, membentuk suatu lingkaran erat,
hening di sekelilingnya. Sambil berteriak, "Bird Bird!" Shari melompat dari bangku dan mulai berlari ke
lingkaran penonton dengan ngeri.
Greg mulai mengikuti, tapi berhenti ketika ia melihat sosok yang akrab yang
berlari (dengan kecepatan) penuh menyeberangi jalan, melambai kepadanya.
"Terry!" teriak Greg.
Mengapa saudaranya datang ke taman bermain" Mengapa dia tak di tempat kerjanya
sehabis sekolah di Dairy Freeze"
"Terry " Apa yang terjadi?" teriak Greg.
Terry berhenti, terengah-engah, keringat mengalir di dahinya merah yang terang.
"Aku... Berlari... Di... Sepanjang... Jalan," ia berhasil mengucapkan.
"Terry, apa yang salah?" Perasaan sakit pelan-pelan timbul dari perut Greg.
Saat Terry mendekat, wajahnya berekspresi ketakutan yang sama seperti di foto
dirinya yang diambil Greg.
Ekspresi ketakutan yang sama. Dengan rumah yang sama di belakangnya di seberang
jalan. Foto itu telah menjadi kenyataan. Sama seperti foto Bird tergeletak di tanah itu
menjadi kenyataan. Tenggorokan Greg tiba-tiba terasa kering seperti kapas. Dia menyadari bahwa
lututnya gemetar. "Terry, apa yang terjadi?" ia berhasil berteriak.
"Ayah," kata Terry, meletakkan satu tangan beratnya di bahu Greg.
"Hah, Ayah?" "Kau harus pulang, Greg. Ayah - Dia mengalami kecelakaan yang buruk."
"Kecelakaan?" kepala Greg berputar. Kata-kata Terry tak masuk akal baginya.
"Di mobil baru," jelas Terry, kembali meletakkan tangan beratnya di bahu Greg
yang gemetar. "Mobil baru ini (rusak) total. Sepenuhnya (rusak) total.."
"Oh," desah Greg, merasa lemah.
Terry meremas bahunya. "Ayolah. Cepat."
Memegang erat kamera di satu tangan, Greg mulai berlari mengejar kakaknya.
Mencapai jalan, ia berbalik kembali ke taman bermain untuk melihat apa yang
terjadi dengan Bird. Banyak orang masih berkerumun di sekitar Bird, menghalangi dirinya dari
pandangan. Tapi - apa itu bayangan gelap di balik bangku" Greg bertanya-tanya.
Seseorang - seseorang serba hitam - bersembunyi di belakang sana.
Mengawasi Greg" "Ayo!" desak Terry.
Greg menatap tajam bangku-bangku itu. Sosok gelap itu mundur keluar dari
pandangan. "Ayolah, Greg!"
"Aku datang!" teriak Greg, dan mengikuti saudaranya menuju rumah.
15 Dinding-dinding rumah sakit itu berwarna hijau pucat. Seragam yang dikenakan
oleh para perawat yang bergegas melewati koridor yang terang itu putih. Ubin
lantai di bawah kaki Greg saat ia bergegas dengan saudaranya menuju kamar ayah
mereka berwarna cokelat gelap dengan bintik oranye.
Warna-warna. Semua yang bisa Greg lihat itu berwarna kabur, berbentuk tak jelas.
Debam sepatu menimbulkan suara berisik di lantai yang keras. Dia hampir tak bisa
mendengarnya di atas debaran hatinya.
(Rusak) total. Mobil itu (rusak) total.
Sama seperti di foto. Greg dan Terry berbelok di suatu sudut. Dinding-dinding di koridor ini kuning
pucat. Pipi Terry merah. Dua dokter yang dilewati mengenakan pakaian bedah hijau
limau. Warna-warna. Hanya warna-warna.
Greg berkedip, mencoba untuk melihat lebih jelas. Tapi itu semua berlalu dengan
terlalu cepat, terlalu tak nyata. Bahkan bau rumah sakit yang tajam, aroma unik
dari alkohol, makanan basi, dan obat pembasmi kuman, tak bisa membuatnya jadi
nyata baginya. Kemudian dua bersaudara itu memasuki kamar ayah mereka, dan semuanya menjadi
nyata. Warna-warna itu memudar. Gambar itu menjadi tajam dan jelas.
Ibu mereka melompat dari kursi lipat di samping tempat tidur.
"Hai, anak-anak."
Dia menggenggam segumpal kertas tisu di tangannya. Jelas bahwa ia telah
menangis. Dia memaksakan senyum ketat di wajahnya, tapi matanya memerah, pucat
dan pipinya bengkak. Berhenti persis di ambang pintu kamar kecil, Greg membalas sapaan ibunya dengan
suara pelan, tercekik. Kemudian matanya, melihat dengan jelas sekarang,
berpaling kepada ayahnya.
Perban Mr Banks seperti mumi yang menutupi rambutnya. Satu tangannya di gips.
Tangan lainnya tergeletak di sisinya dengan tabung terpasang tepat di bawah
pergelangan tangan, meneteskan cairan gelap ke lengan. Seprai ditarik sampai ke
dadanya. "Hei - bagaimana kabarmu, guys?" tanya ayah mereka. Suaranya terdengar tak
jelas, seolah-olah datang dari jauh.
"Yah -" Terry memulai.
"Dia akan baik-baik saja," sela Mrs Banks, melihat pandangan ketakutan di wajah
anak-anaknya. "Aku merasa baik," kata Mr.Banks grogi.
"Kau tak terlihat begitu baik," kata Greg tanpa berpikir , melangkah dengan
hati-hati ke tempat tidur.
"Aku baik-baik saja. Sungguh," desah ayah mereka. "Beberapa patah tulang. Itu
saja." Dia mendesah, lalu mengernyit dari rasa sakit. "Kurasa aku beruntung."
"Kau sangat beruntung," kata Mrs.Banks cepat.
Apa yang beruntung" Greg bertanya-tanya diam-diam pada dirinya sendiri. Dia tak
bisa mengalihkan pandangannya dari tabung yang menusuk ke dalam lengan ayahnya.
Sekali lagi, ia memikirkan jepretan foto dari mobil itu. Foto itu diatas
kamarnya di rumah, terselip di dalam ruangan rahasia di ujung papan tempat
tidurnya. Hasil foto itu menampilkan mobil yang (rusak) total. Sisi pengemudi ambruk
masuk. Haruskah ia memberitahu mereka tentang hal itu"
Dia tak bisa memutuskan. Apakah mereka mempercayainya kalau dia memberitahu mereka"
"Apamu yang patah, Yah?" tanya Terry, duduk di radiator di depan jendela,
memasukkan tangannya ke saku celana jeansnya.
"Ayahmu tangannya patah dan beberapa tulang rusuknya," jawab Mrs. Bank cepat.
"Dan dia mengalami gegar otak ringan. Para dokter mengamatinya untuk luka dalam.
Tapi, sejauh ini, masih baik."
"Aku beruntung," ulang Mr Banks. Dia tersenyum pada Greg.
"Ayah, aku harus memberitahumu tentang foto kuambil ini," kata Greg tiba-tiba,
berbicara cepat, suaranya gemetar dengan gugup. "Aku mengambil foto dari mobil
baru itu, dan -" "Mobil ini benar-benar hancur," sela Mrs Banks. Duduk di tepi kursi lipat, ia
mengusap jari-jarinya, memutar-mutar cincin pernikahannya, sesuatu yang selalu
ia lakukan saat ia gugup.
"Aku senang kalian tak melihatnya."
Suaranya tercekat di tenggorokannya. Kemudian ia menambahkan, "Ini merupakan
keajaiban dia tak terluka lebih buruk."
"Foto ini -" Greg mulai lagi.
"Nanti," kata ibunya dengan kasar. "Oke?" Dia menatapnya dengan pandangan penuh
arti. Greg merasa wajahnya menjadi panas.
In hal penting, pikirnya.
Lalu ia memutuskan mereka mungkin tak akan percaya padanya, bagaimanapun juga.
Siapa yang akan percaya dengan cerita yang sepertinya gila"
"Apakah kita bisa mendapatkan mobil baru lagi?" tanya Terry..
Mr Banks mengangguk hati-hati. "Aku harus menelepon perusahaan asuransi,"
katanya. "Aku akan menelepon mereka ketika aku pulang," kata Mrs. Banks. "Kau tak benarbenar memiliki tangan yang bebas."
Semua orang tertawa pada saat itu, tertawa gugup.
"Aku merasa agak mengantuk," kata Mr.Banks. Matanya setengah tertutup, suaranya
teredam. "Ini obat penghilang rasa sakit yang dokter berikan padamu," Mrs Banks,
mengatakan kepadanya. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan menepuk tangannya.
"Tidurlah. Aku akan kembali dalam beberapa jam."
Dia berdiri, masih memainkan cincin kawinnya, dan memberi isyarat dengan
kepalanya ke arah pintu. "Selamat tinggal , Yah," kata Greg dan Terry serempak.
Ayah mereka menggumamkan balasan. Mereka mengikuti ibu mereka keluar pintu.
"Apa yang terjadi!" tanya Terry ketika mereka berjalan melewati pangkalan
perawat, kemudian menyusuri gang panjang berwarna kuning pucat. "Maksudku,
kecelakaan itu." "Seorang pria berlari melalui lampu merah," kata Mrs.Banks, matanya yang memerah
lurus ke depan. "Dia membajak ke kanan ke sisi mobil ayahmu. Remnya katanya tak
bekerja." Dia menggelengkan kepalanya, air mata terbentuk di sudut matanya.
"Aku tak tahu," katanya, mendesah. "Aku hanya tak tahu harus berkata apa.
Syukurlah dia akan baik-baik saja."
Mereka berbelok ke gang hijau, berjalan berdampingan. Beberapa orang menunggu
dengan sabar di lift di ujung lorong.
Sekali lagi, Greg menemukan dirinya berpikir tentang foto-foto yang diambilnya
dengan kamera aneh itu. Pertama Michael. Lalu Terry. Kemudian Bird. Kemudian ayahnya.
Keempat foto itu semuanya menunjukkan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang
mengerikan yang belum terjadi.
Dan lalu keempat foto itu semuanya menjadi kenyataan.
Greg merasa merinding saat pintu lift terbuka dan kerumunan kecil orang bergerak
maju untuk menekan ke dalam.
Apa itu benardari kamera itu" ia bertanya-tanya.
Apa kamera itu menunjukkan masa depan"
Atau apakah kamera itu benar-benar menyebabkan hal-hal buruk terjadi"
16 "Yeah, aku tahu itu, Bird baik-baik saja." Kata Greg ke dalam gagang telepon.
"Aku bertemu dengannya kemarin, ingat " Dia beruntung. Benar-benar beruntung.
Dia tak mengalami gegar otak atau apa pun."
Di ujung lain dari saluran kawat itu - di rumah sebelah - Shari setuju, kemudian
mengulangi permintaannya.
"Tidak, Shari aku benar-benar tak ingin," jawab Greg keras.
"Bawa,"tuntut Shari. "Ini hari ulang tahunku."
"Aku tak ingin membawa kamera itu. Itu bukan ide yang baik. Sungguh," kata Greg
padanya. Itu adalah akhir pekan berikutnya. Sabtu sore. Greg sudah hampir keluar pintu,
dalam perjalanan ke pesta ulang tahun Shari, ketika telepon berdering.
"Hai, Greg. Mengapa kau tidak dalam perjalanan ke pestaku?" Shari menanyainya
ketika ia berlari untuk mengangkat gagang telepon.
"Karena aku di telepon denganmu," jawab Greg datar.
"Yah, bawa kamera itu, oke?"
Greg tak melihat kamera itu, tak dikeluarkan dari tempat persembunyiannya sejak
kecelakaan ayahnya. "Aku tak ingin membawanya," dia bersikeras, meskipun Shari menuntut dengan nada
tinggi. "Apakah kau tak mengerti, Shari. Aku tak ingin orang lain terluka.?"
"Oh, Greg," kata Shari, berbicara dengannya seolah-olah dia tiga tahun. "Kau tak
benar-benar percaya hal itu" Kau tak benar-benar percaya kamera yang dapat
menyakiti orang." Greg terdiam sejenak. "Aku tak tahu apa yang kupercayai," katanya akhirnya. "Aku hanya tahu bahwa,
pertama Michael, lalu, Bird -"
Greg menelan ludah. "Dan aku bermimpi, Shari Kemarin malam."
"Hah" Mimpi apa?" tanya Shari tak sabar.
"Tentang kamera itu. Aku telah memotret seluruh keluargaku -... Ibu, Ayah, dan
Terry. Mereka sedang memanggang. Di halaman belakang. Aku mengangkat kamera itu.
Aku lalu berkata, 'Katakan Cheese, Katakan Cheese,...' berulangkali. Dan ketika
kulihat melalui jendela bidik, mereka tersenyum kembali padaku - tapi mereka
(menjadi) tulang belulang. Semuanya. Kulit mereka lenyap, dan -..... dan ... "
Suara Greg melemah. "Mimpi yang bodoh," kata Shari, tertawa.
"Tapi itulah sebabnya aku tak ingin membawa kamera," desak Greg. "Kupikir -"
"Bawa, Greg," sela Shari. "Ini bukan kameramu, kau tahu. Kita semua berempat di
rumah Coffman. Ini milik kita berempat.. Bawa."
"Tapi mengapa, Shari?" Greg menuntut.
"Ini akan jadi suatu kebodohan, itu saja. Kamera itu akan mengambil foto aneh
seperti itu.." "Itu pasti," gumam Greg.
"Kami tak punya apa-apa lagi yang harus dilakukan untuk pestaku," kata Shari
padanya. "Aku ingin menyewa video, tapi ibuku bilang kita harus pergi ke luar
rumah. Dia tak ingin rumah berharganya kacau. Jadi kupikir kita bisa mengambil
foto semua orang dengan kamera aneh itu. Kau tahu. Melihat hal-hal aneh apa yang
Si Pemanah Gadis 8 Pendekar Misterius Karya Gan K L Pemburu Nyawa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama