Ceritasilat Novel Online

Boneka Hidup Beraksi 1

Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi Bagian 1


RL Stine: Boneka Hidup Beraksi (Goosebumps # 7) Seperti yang saya janjikan, di bulan Januari ini satu lagi novel Goosebump yang
berjudul asli Night Of The Living Dummy telah selesai saya terjemahkan. Meski di
awal-awal ceritanya kurang begitu menegangkan tetapi dipertengahannya cerita
novel ini mulai menegangkan urat syaraf seperti ciri khas dari RL Stine.
Novel ini bercerita tentang pengalaman si kembar Kris dan Lyndi dengan boneka
kayu yang mereka miliki yaitu Tuan Wood dan Slappy.
Bagaimana kisah dan petualangan yang mereka alami "
Saya persilakan anda membacanya sendiri novel ini dan merasakan ketegangannya.
Saya harap kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam terjemahan ini
tidak begitu mengganggu kenikmatan Anda saat membacanya.
Farid ZE Sabtu, 5 januari 2012 Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu"Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com RL Stine: Boneka Hidup Beraksi (Goosebumps # 7) 1 "Mmmm Mmmmm! Mmmmm!"
Kris Powell berusaha untuk mendapatkan perhatian saudara kembarnya.
Lindy Powell mendongak dari buku yang sedang dibacanya untuk melihat apa
masalahnya. Alih-alih wajah cantik saudaranya, Lindy melihat gelembung, bulat
merah muda hampir seukuran kepala Kris.
"Bagus," kata Lindy tanpa gairah.
Dengan gerakan tiba-tiba, ia menusuk gelembung itu dan meletuskannya.
"Hei!" teriak Kris saat permen karet merah muda itu meledak ke pipi dan dagunya.
Lindy tertawa. "Kena kau."
Kris dengan marah meraih buku bersampul tipis Lindy dan membantingnya hingga
tertutup. "Aduh - hilang dari tempatmu!" serunya. Dia tahu adiknya benci kehilangan
tempatnya (membaca)dalam sebuah buku.
Lindy meraih buku itu kembali dengan cemberut. Kris berusaha untuk menarik
permen karet merah muda itu dari wajahnya.
"Itu gelembung terbesar yang pernah kutiup," katanya marah. Permen karet di
dagunya tak hilang. "Aku sudah meniup yang jauh lebih besar dari pada itu," kata Lindy dengan
cibiran sombong. "Aku tak percaya pada kalian berdua," gumam ibu mereka, berjalan ke kamar tidur
mereka dan menjatuhkan tumpukan cucian yang terlipat rapi di kaki tempat tidur
Kris. "Kalian bahkan bersaing atas permen karet"
"Kami tak bersaing," gumam Lindy. Dia mengibaskan rambut ekor kuda pirangnya dan
matanya kembali pada bukunya.
Kedua gadis memiliki rambut pirang lurus. Tapi Lindy memelihara rambutnya (jadi)
panjang, biasa mengikatnya di belakang kepala atau di satu sisi (dengan gaya)
ekor kuda. Dan Kris telah memotong rambutnya sangat pendek.
Inilah cara bagi orang-orang untuk mengenali kembar itu satu dari yang lain,
karena mereka hampir mirip dalam setiap hal lainnya. Keduanya memiliki dahi
lebar dan bulat, bermata biru. Keduanya punya lesung pipi di pipi mereka saat
mereka tersenyum. Kedua mudah tersipu, satu lingkaran merah muda besar terbentuk
di pipi pucat mereka. Keduanya berpikir hidung mereka agak terlalu lebar. Keduanya berharap mereka
sedikit lebih tinggi. Teman baik Lindy, Alice, hampir tiga inci lebih tinggi,
meskipun dia belum berumur dua belas tahun.
"Apa aku dapat semuanya?" tanya Kris, menggosok dagunya, yang merah dan lengket.
"Tak semua," kata Lindy, melirik ke atas. "Ada beberapa (permen karet) di
rambutmu." "Oh, bagus," gumam Kris. Dia meraih rambutnya, tapi tak bisa menemukan permen
karet. "Kena lagi," kata Lindy, tertawa. "Kau terlalu mudah!"
Kris mengucapkan sebuah geraman marah. "Kenapa kau selalu begitu (bersikap) tak
baik padaku?" "Aku" Tak baik?" Lindy mendongak dengan mata terbelalak tanpa rasa bersalah.
"Aku malaikat. Tanyakan siapa saja."
Dengan jengkel, Kris kembali kepada ibunya, yang sedang memasukkan kaus kaki ke
dalam laci meja rias. "Bu, kapan aku akan dapat kamar sendiri?"
"Pada kedua belas dari tak pernah," jawab Bu Powell, menyeringai.
Keris mengerang. "Itulah yang selalu Anda katakan."
Ibunya mengangkat bahu. "Kau tahu kita tak punya (tempat) yang luang seinci pun,
Kris." Dia berpaling ke jendela kamar tidur. Sinar matahari menerobos melalui lapisan
tipis tirai. "Ini hari yang indah. Apa yang kalian berdua lakukan di dalam?"
"Bu, kami bukan gadis-gadis kecil," kata Lindy, memutar matanya. "Kami dua belas
tahun. Kami terlalu tua untuk pergi keluar dan bermain."
"Apa aku dapat itu semua?" tanya Kris, masih menggaruk potongan kecil permen
karet merah muda dari dagunya.
"Biarkan saja. Hal ini menambah bagus corak kulitmu," kata Lindy padanya.
"Kuharap kalian akan (bersikap) lebih baik untuk satu sama yang lain," kata Bu
Powell dengan mendesah. Mereka tiba-tiba mendengar gonggongan nyaring datang dari lantai bawah.
"Apa Barky senang sekarang?" Bu Powell cemas. Anjing terrier hitam kecil itu
selalu menggonggong tentang sesuatu. "Mengapa tak mengajak Barky jalan-jalan?"
"Jangan merasa seperti itu," gumam Lindy, menggerakkan hidungnya dalam bukunya.
"Bagaimana dengan sepeda barumu yang indah yang kalian dapatkan pada ulang
tahun kalian?" kata Bu Powell, tangan di pinggul. "Sepeda-sepeda itu, kalian
agaknya tak bisa hidup tanpanya. Kalian tahu, yang satunya telah duduk di garasi
sejak kalian mendapatkannya."
"Baik, baik. Anda tak harus sinis, Bu," kata Lindy, menutup bukunya. Dia
berdiri, menggeliat, dan melemparkan buku itu ke tempat tidurnya.
"Kau ingin?" tanya Kris pada Lindy.
"Ingin apa?" "Pergi naik sepeda. Kita bisa pergi ke taman bermain, melihat apa ada orang yang
nongkrong di sekolah."
"Kau hanya ingin melihat apa ada Robby," kata Lindy, nyengir.
"Jadi?" kata Kris, tersipu-sipu.
"Pergilah. Carilah udara segar," desak Bu Powell. "Sampai jumpa nanti. Aku pergi
ke supermarket." Kris menatap ke dalam cermin meja rias. Dia mendapatkan sebagian besar permen
karet sudah lenyap. Dia menyisir rambut pendeknya ke belakang dengan kedua
tangan. "Ayolah. Ayo kita pergi," katanya. "Yang terakhir keluar adalah telur busuk."
Dia melesat ke ambang pintu, mengalahkan saudaranya setengah langkah.
Saat mereka dengan mendadak muncul dari pintu belakang, Barky menyalak nyaring
di belakang mereka, matahari sore sudah tinggi di langit yang tak berawan. Udara
tenang dan kering. Rasanya lebih seperti musim panas daripada musim semi.
Kedua gadis itu mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan. Lindy membungkuk
untuk menarik membuka pintu garasi, lalu berhenti. Rumah tetangga tertangkap
matanya. "Lihat - mereka menyelesaikan dindingnya," katanya Kris, menunjuk di halaman
belakang mereka. "Rumah baru itu selesai begitu cepat. Sungguh menakjubkan," kata Kris mengikuti
tatapan saudarannya. Para tukang bangunan merobohkan rumah tua itu selama musim dingin. Pondasi beton
baru telah diletakkan di bulan Maret. Lindy dan Kris telah berjalan-jalan
berkeliling pada saat tak ada pekerja di sana, mencoba untuk mencari tahu di
mana kamar-kamar yang berbeda akan diatur.
Dan sekarang dindingnya telah dibangun. Bangunan itu tiba-tiba tampak seperti
sebuah rumah yang sebenarnya, menjulang tinggi di tengah-tengah tumpukan kayu,
gundukan besar kotoran berwarna merah-coklat, tumpukan balok beton, dan berbagai
macam gergaji listrik, alat-alat, dan mesin.
"Hari ini tak ada yang bekerja," kata Lindy.
Mereka melangkah menuju rumah yang baru itu.
"Kaupikir siapa yang akan pindah?" Kris bertanya-tanya. "Mungkin beberapa pria
yang berwajah menarik seumur kita. Mungkin pria kembar yang tampan!"
"Yuck!" Lindy membuat wajah jijik. "Pria kembar. Bagaimana kau bisa semelenceng
itu" Aku tak percaya kau dan aku berada dalam keluarga yang sama.!"
Kris jadi sasaran sindiran tajam Lindy itu. Kedua gadis kembar itu menyukai dan
membenci kekembaran mereka pada waktu yang sama. Karena mereka bersama-sama
hampir semuanya - penampilan mereka, pakaian mereka, kamar mereka - mereka lebih
dekat daripada saudara (mana pun) yang pernah ada.
Tetapi karena mereka begitu mirip, mereka juga berusaha untuk memaksa satu
dengan yang lainnya dengan (cara yang) gila di banyak waktu.
"Tak ada seorang pun di sekitar (ini). Ayo kita periksa rumah baru itu," kata
Lindy. Kris mengikutinya melintasi halaman.
Seekor tupai, setengah jalan menaiki batang lebar dari sebuah pohon maple,
mengawasi mereka dengan waspada.
Mereka berjalan melalui sebuah lubang di semak-semak rendah yang membagi dua
taman itu. Kemudian, berjalan melewati tumpukan kayu dan gundukan tanah tinggi,
mereka naik ke beranda beton.
Satu lembaran plastik berat telah dipaku atas lubang dimana (seharusnya ada)
pintu depan. Kris menarik salah satu ujung atas plastik, dan mereka menyelinap
ke dalam rumah. Saat itu gelap dan dingin di dalam dan berbau kayu segar. Dinding telah berdiri
tetapi belum dicat. "Hati-hati," kata Lindy. "Paku-paku."
Dia menunjuk ke paku-paku yang besar tersebar di lantai. "Jika kau menginjak
satu, kau akan kejang mulut dan mati."
"Keinginanmu," kata Kris.
"Aku tak ingin kau mati," jawab Lindy. "Hanya kejang mulut." Dia mencibir.
"Ha-ha," kata Kris sinis. "Ini harusnya jadi ruang tamu," katanya, berjalan
dengan hati-hati melintasi ruang depan ke perapian di dinding belakang.
"Satu langit-langit katedral," kata Lindy, menatap balok-balok kayu gelap di
atas kepala mereka terbuka. "Rapi."
"Ini lebih besar dari ruang tamu kita," kata Kris, mengintip dari jendela besar
bergambar itu ke jalan. "Baunya luar biasa," kata Lindy, mengambil napas dalam-dalam. "Semua serbuk
kayu. Begitu berbau (kayu) pinus."
Mereka berjalan melalui lorong dan menjelajahi dapur.
"Apakah kabel-kabel itu menyala?" tanya Kris, menunjuk ke sekelompok kabel
listrik hitam yang tergantung di balok langit-langit.
"Mengapa kau tak menyentuh satu dan mencari tahu?" usul Lindy.
"Kau duluan," serang Kris kembali.
"Dapur ini tak terlalu besar," kata Lindy, membungkuk untuk menatap ke dalam
lubang (tempat) di mana lemari dapur seharusnya.
Dia berdiri dan hendak menyarankan mereka untuk memeriksa lantai atas ketika dia
mendengar suara. "Hah?" Matanya membelalak kaget. "Apa ada seseorang di sini?"
Kris membeku di tengah-tengah dapur.
Mereka berdua mendengarkan.
Hening. Kemudian mereka mendengar langkah-langkah cepat pelan. Dekat. Di dalam rumah.
"Ayo kita pergi!" Lindy berbisik.
Kris sudah merunduk di bawah plastik, menuju pintu keluar yang terbuka. Dia
melompat dari beranda belakang dan mulai berlari menuju halaman belakang mereka.
Lindy berhenti di bawah beranda dan berbalik kembali ke rumah baru itu.
"Hei - lihat!" panggilnya.
Seekor tupai terbang keluar jendela samping. Mendarat di tanah dengan keempat
kakinya bergerak dan bergegas menuju pohon maple di halaman (rumah) Powells '.
Lindy tertawa. "Cuma tupai bodoh."
Kris berhenti di dekat semak-semak rendah. "Kau yakin?" Dia ragu-ragu, melihat
jendela rumah baru itu. "Itu seekor tupai yang cukup keras."
Ketika ia berbalik dari rumah itu, ia terkejut menemukan bahwa Lindy telah
lenyap. "Hei - kemana kau pergi?"
"Di sini," kata Lindy. "Aku melihat sesuatu!"
Butuh waktu untuk Kris mencari saudaranya. Lindy setengah-tersembunyi di balik
kotak sampah besar hitam di ujung halaman.
Kris melindungi matanya dengan satu tangan untuk melihat lebih baik. Lindy
membungkuk di sisi tempat sampah itu. Dia tampak mengaduk-aduk sampah-sampah
itu. "Ada apa di sana?" kata Kris.
Lindy sedang melemparkan benda-benda di sekitarnya dan tampaknya tak
mendengarnya. "Apa itu?" kata Kris, dengan langkah enggan menuju tempat sampah itu.
Lindy tak menjawab. Kemudian, perlahan-lahan, dia menarik sesuatu. Dia mulai untuk menahan benda
itu. Lengan dan kaki menjuntai lemas ke bawah. Kris bisa melihat kepala dengan
rambut cokelat. Sebuah kepala" Lengan dan kaki"
"Oh, tidak!" Kris berteriak keras, mengangkat tangannya ke wajahnya dengan
ngeri. 2 Seorang anak" Kris mengeluarkan hembusan napas pelan, menatap ngeri saat Lindy mengangkatnya
keluar dari sampah sampah.
Kris bisa melihat wajah orang itu, membeku dengan tatapan mata terbelalak.
Rambut cokelat orang itu berdiri kaku di atas kepalanya. Dia tampak mengenakan
semacam jas abu-abu. Lengan dan kakinya menjuntai lemas.
"Lindy!" panggil Keris, tenggorokannya ketat dengan ketakutan. "Apa itu - Apa
dia hidup...?" Jantungnya berdebar kencang, Kris mulai berlari ke saudaranya. Lindy memeluk
benda malang itu di tangannya.
"Apakah dia hidup?" ulang Kris terengah-engah.
Dia berhenti sebentar ketika suadaranya mulai tertawa.
"Tidak. Tak hidup!" kata Lindy dengan gembira.
Dan lalu Kris sadar bahwa itu bukan anak-anak, setelah semuanya.
"Sebuah boneka!" jeritnya.
Lindy mengangkatnya. "Sebuah boneka ventriloquist (ahli bicara perut)," katanya.
"Seseorang membuangnya. Apa kau percaya" Dia dalam kondisi sempurna."
Butuh waktu beberapa saat bagi Lindy untuk melihat bahwa Kris itu terengahengah, wajahnya merah padam.
"Kris, apa masalahmu" Oh, wow. Apakah kau pikir dia benar-benar seorang anak?"
Lindy tertawa mengejek. "Tentu saja tidak," desak Kris.
Lindy menahan boneka itu dan memeriksa punggungnya, mencari tali penarik untuk
membuat mulutnya bergerak.
"Aku benar-benar seorang anak!" Lindy membuat boneka itu berkata. Dia berbicara
dengan suara bernada tinggi dengan gigi terkatup, berusaha untuk tak
menggerakkan bibirnya. "Bodoh," kata Kris, memutar matanya.
"Aku tak bodoh. Kau yang bodoh!" Lindy membuat boneka itu berkata dengan suara
tinggi melengking. Ketika dia menarik tali di punggungnya, bibir kayu itu
bergerak naik turun, berbunyi klik ketika digerakkan. Dia menggerakkan tangannya
ke atas punggungnya dan menemukan kontrol untuk membuat matanya dicatnya
bergeser dari sisi ke sisi.
"Dia mungkin dipenuhi dengan serangga," kata Kris, membuat wajah jijik. "buang
dia, Lindy." "Tidak," desak Lindy, menggosok tangannya dengan lembut rambut boneka kayu itu.
"Aku akan menyimpannya."
"Dia akan menyimpanku," Lindy membuat boneka itu berkata.
Kris menatap curiga pada boneka itu. Rambut cokelat dicatnya di kepalanya.
Matanya yang biru bergerak hanya dari sisi ke sisi dan tak bisa berkedip. Dia
memiliki bibir dicat merah terang, melengkung ke atas menjadi senyum menakutkan.
Bibir bawahnya pada satu sisi sumbing hingga tak cukup cocok dengan bibir atas.
Boneka itu mengenakan jas abu-abu berkancing ganda di atas kemeja berkerah
putih. Kerah itu tak melekat pada baju. Sebaliknya, dada boneka kayu itu dicat


Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih. Sepatu kulit coklat besar yang melekat pada ujung kaki kurus kakinya yang
menggantung. "Namaku Slappy," Lindy membuat perkataan bodoh, mulutnya menyeringai bergerak
naik dan turun. "Bodoh," ulang Kris, menggelengkan kepala. "Kenapa Slappy?"
(Slap = menampar, menempeleng),
"Datanglah ke sini dan aku akan menamparmu!" Lindy membuatnya berkata, mencoba
untuk tak mengggerakkan bibirnya.
Keris mengerang. "Apa kita akan naik sepeda ke taman bermain atau tidak, Lindy?"
"Kuatir Robby yang malang itu merindukanmu?" Lindy membuat Slappy bertanya.
"Letakkan benda jelek itu ," jawab Kris tak sabar.
"Aku tak jelek," kata Slappy dalam suara melengking Lindy itu, matanya meluncur
dari sisi ke sisi. "Kau yang jelek!"
"Bibirmu bergerak," kata Kris pada Lindy. "Kau pembicara perut yang buruk."
"Aku akan jadi lebih baik," desak Lindy.
"Maksudmu kau benar-benar akan menyimpannya?" teriak Kris.
"Aku suka Slappy. Dia manis," kata Lindy, memeluk boneka di bagian depan
kausnya. "Aku manis," Dia membuat boneka itu berkata. "Dan kau jelek."
"Diamlah!," bentak Kris pada boneka itu.
"Kau yang tutup mulut!" Slappy menjawab dalam suara yang ketat Lindy, melengking
tinggi. "Kau ingin menyimpannya untuk apa?" tanya Kris, mengikuti saudaranya ke jalan.
"Aku selalu menyukai boneka-boneka," kenang Lindy. "Ingat wayang-wayang golek
punyaku" Dulu aku bermain dengannya selama berjam-jam pada suatu waktu. Aku
memainkannya dengan lama."
"Aku juga selalu bermain dengan wayang-wayang golek itu," kenang Kris.
"Kau mengusutkan semua talinya," kata Lindy, mengerutkan keningnya. "Kau tak
baik dalam hal itu ."
"Tapi apa yang akan kau lakukan dengan boneka ini?" tuntut Kris.
"Aku tak tahu. Mungkin aku akan mengadakan satu pertunjukan," kata Lindy
berpikir, memindahkan Slappy dari satu lengan ke lengan yang lain. "Aku berani
bertaruh aku bisa mendapatkan uang dengannya. Kau tahu. Muncul di pesta ulang
tahun anak-anak. Mengadakan pertunjukan."
"Selamat ulang tahun!" Dia membuat Slappy berkata. "Serahkan uang!"
Kris tak tertawa. Kedua gadis berjalan di sepanjang jalan di depan rumah mereka. Lindy memeluk
Slappy dalam lengannya, satu tangannya di punggungnya.
"Kupikir dia menyeramkan," kata Kris, menendang kerikil besar di seberang jalan.
"Kau harus mengembalikannya ke tempat sampah."
"Tidak," desak Lindy.
"Tidak," dia membuat Slappy berkata, menggelengkan kepala, matanya kaca birunya
bergerak dari sisi ke sisi. "Aku yang akan menempatkanmu di tempat sampah!"
"Slappy pasti ada artinya," kata Kris, mengerutkan kening pada Lindy.
Lindy tertawa. "Jangan lihat aku," godanya. "Mengeluhlah kepada Slappy."
Keris merengut. "Kau cemburu," kata Lindy. "Karena aku menemukannya dan kau tidak."
Kris mulai protes, tapi mereka berdua mendengar suara-suara. Kris mendongak
untuk melihat dua anak (keluarga) Marshall dari blok bawah berjalan ke arah
mereka. Mereka lucu, anak-anak berkepala merah yang kadang-kadang Lindy dan Kris
asuh. "Apa itu?" tanya Amy Marshall, menunjuk Slappy.
"Apakah dia bicara?" tanya saudara laki-lakinya, Ben, tinggal beberapa kaki
jauhnya, ekspresi bimbang (tampak) di wajah berbintik-bintiknya.
"Hai, aku Slappy!" Lindy membuat boneka itu memanggil. Dia memeluk Slappy dengan
satu tangan, membuatnya duduk tegak, lengannya tergantung di sisi tubuhnya.
"Dari mana kau mendapatkannya?" Tanya Amy.
"Apa matanya bergerak?" tanya Ben, masih tertinggal di belakang.
"Apa matamu bergerak?" tanya Slappy pada Ben.
Kedua anak-anak Marshall tertawa. Ben lupa keengganannya. Dia melangkah dan
meraih tangan Slappy itu.
"Aduh. Jangan begitu keras!" teriak Slappy.
Ben menurunkan tangannya dengan tergagap. Lalu ia dan Amy jatuh dalam tawa
gembira. "Ha-ha-ha-ha!" Lindy membuatnya Slappy, memiringkan kepalanya ke belakang dan
membuka mulut lebar-lebar.
Kedua anak berpikir bahwa itu lucu. Mereka tertawa bahkan lebih keras.
Senang dengan respon yang didapatkannya, Lindy melirik saudaranya. Kris sedang
duduk di tepi jalan, memeluk kepalanya dengan tangannya, wajahnya tampak kesal.
Dia cemburu, Lindy sadar. Kris melihat bahwa anak-anak benar-benar menyukai
Slappy dan aku mendapatkan semua perhatian. Dan dia benar-benar cemburu.
Aku pasti menjaga Slappy! Lindy berkata pada dirinya sendiri, diam-diam senang
dengan kemenangan kecilnya.
Dia menatap mata biru terang dicat boneka itu. Yang mengejutkan, boneka itu
tampak menatap ke arahnya, Sinar matahari berkerlip di matanya, senyumnya lebar
dan mengetahui. 3 "Siapa yang menelepon?" tanya Pak Powell, menyendokkan lagi sesuap spaghetti ke
dalam mulutnya. Lindy menyelinap kembali ke tempatnya di meja. "Itu Bu Marshall, Dari blok
bawah." "Apa dia ingin kau mengasuh bayi?" tanya Bu Powell, meraih mangkuk salad. Dia
berpaling pada Kris. "Kau tak ingin salad?"
Kris menyeka saus spaghetti dari dagunya dengan serbet. "Mungkin nanti."
"Tidak," jawab Lindy. "Dia ingin aku tampil. Pada pesta ulang tahun Amy. Dengan
Slappy." "Pekerjaan pertamamu," kata Pak Powell, senyum melintasi wajahnya yang ramping.
"Amy dan Ben begitu sangat menyukai Slappy, mereka bersikeras," kata Lindy. "Bu
Marshall akan membayarku dua puluh dolar."
"Itu bagus!" seru ibu mereka. Dia melewatkan mangkuk salad melewati meja untuk
suaminya. Sudah seminggu sejak Lindy menyelamatkan Slappy dari tempat sampah sampah.
Setiap hari sepulang sekolah, ia menghabiskan berjam-jam di kamarnya berlatih
dengannya, bekerja pada suaranya, berlatih tak menggerakkan bibirnya, memikirkan
lelucon untuk tampil dengannya.
Kris tetap berkeras semua hal itu bodoh. "Aku tak percaya kau jadi seperti kutu
buku," katanya kepada saudaranya. Dia menolak untuk menjadi penonton untuk
rutinitas Lindy itu. Tapi ketika Lindy membawa Slappy ke sekolah pada hari Jumat, sikap Kris mulai
berubah. Sekelompok anak-anak telah berkumpul di sekitar Lindy di luar lokernya.
Saat Lindy membuat Slappy berbicara untuk mereka, Kris menyaksikan dari ujung
lorong. Dia akan benar-benar akan mempermalukan dirinya sendiri, pikir Kris.
Tetapi dirinya terkejut, anak-anak bersorak dan berteriak-teriak. Mereka pikir
Slappy lucu. Bahkan Robby Martin, pria yang Kris taksir selama dua tahun,
berpikir Lindy itu hebat.
Menonton Robby tertawa bersama anak-anak lain yang membuat Kris berpikir keras.
Menjadi pembicara perut mungkin akan menyenangkan.
Dan menguntungkan. Lindy akan mendapatkan dua puluh dolar di pesta ulang tahun
Marshall. Dan ketika beritanya tersebar, dia mungkin akan tampil di banyak pesta
dan mendapat uang lebih banyak.
Setelah makan malam, Lindy dan Kris mencuci dan mengeringkan piringnya. Kemudian
Lindy bertanya pada orangtuanya apakah dia boleh mempraktekkan komedi rutin
barunya pada mereka. Dia bergegas ke kamarnya untuk mengambil Slappy.
Pak dan Bu Powell mengambil tempat duduk di sofa ruang tamu.
"Mungkin Lindy akan menjadi bintang TV," kata Bu Powell.
"Mungkin," Pak Powell setuju, menetap kembali di sofa, wajahnya tersenyum
senang. Barky menyalak dan naik di antara Pak dan Bu Powell, potongan ekor
kecilnya bergoyang-goyang bersemangat.
"Kau tahu kau tak diizinkan di sofa," kata Bu Powell, mendesah. Tapi dia tak
bergerak untuk mengusir Barky.
Kris duduk menjauh dari yang lain, di lantai dekat anak tangga, memeluk dagu
dengan tangannya. "Kau tampak murung malam ini," kata ayahnya.
"Bisakah aku mendapatkan boneka, juga?" tanya Kris. Dia tak benar-benar
merencanakan untuk mengatakannya. Permintaan itu hanya muncul keluar (begitu
saja) dari mulutnya. Lindy kembali ke dalam ruangan, membawa Slappy di pinggang. "Siap?" tanyanya.
Dia menarik kursi ruang makan ke tengah ruang tamu dan duduk di atasnya.
"Nah, bisakah aku?" ulang Kris.
"Kau benar-benar ingin satu juga?" tanya Bu Powell, terkejut.
"Mau apa?" Lindy bertanya, bingung.
"Kris mengatakan dia ingin boneka juga," Bu Powell membeitahunya.
"Tidak," kata Lindy panas. "Mengapa kau ingin jadi seperti peniru?"
"Sepertinya menyenangkan," jawab Kris, pipinya berubah merah cerah. "Jika kau
dapat melakukannya, aku bisa melakukannya juga," tambahnya nyaring.
"Kau selalu meniru semua yang kulakukan," protes Lindy marah. "Kenapa kau tak
menemukan sesuatu sendiri untuk sekali" Pergilah ke atas dan kerjakan koleksi
perhiasan sampahmu itu. Itu hobimu. Biarkan aku menjadi pembicara perut itu."
"Gadis-gadis" - Pak Powell mulai, mengangkat tangan agar tenang - "tolong,
jangan berkelahi karena satu boneka."
"Aku benar-benar berpikir aku akan lebih baik dalam hal itu," kata Kris.
"Maksudku, Lindy tak sangat lucu."
"Semua orang berpikir aku lucu," desak Lindy.
"Itu tak sangat bagus, Kris," omel Bu Powell.
"Yah, aku hanya berpikir kalau Lindy punya satu, aku harus bisa punya satu,
juga," kata Kris kepada orangtuanya.
"Peniru," ulang Lindy, menggelengkan kepala. "Kau telah merendahkanku turun
sepanjang minggu. Kau mengatakan itu adalah kutu buku Tapi aku tahu mengapa kau
berubah pikiran. Kau marah karena aku akan dapat uang dan kau tidak."
"Aku benar-benar berharap kalian berdua tak akan berdebat tentang segala hal,"
kata Pak Powell muak. "Nah, bisakah aku punya boneka?" tanya Kris .
"Itu mahal," jawab Pak Powell, melirik istrinya. "Yang bagus harganya lebih dari
seratus dolar. Aku benar-benar tak berpikir kita mampu membeli satu sekarang."
"Mengapa kalian berdua tak berbagi Slappy ?" Saran Bu Powell.
"Hah?" Lindy mulut terganga terbuka sebagai protes.
"Kalian berdua selalu berbagi segalanya," lanjut Bu Powell. "Jadi kenapa kalian
tak berbagi Slappy?"
"Tapi, Bu -" rengek Lindy sedih.
"Ide bagus," sela Pak Powell. Dia menunjuk ke Kris. "Cobalah. Setelah kalian
berbagi akan dia untuk sementara waktu, aku yakin salah satu dari kalian akan
kehilangan minat dalam akan dia. Mungkin bahkan kalian berdua."
Kris naik berdiri dan berjalan ke Lindy. Dia mengulurkan tangan untuk boneka
itu. "Aku tak keberatan berbagi," katanya pelan, mencari persetujuan di mata
saudaranya akan ide itu. "Bisakah aku memegangnya cuma sebentar?"
Lindy memegang erat Slappy.
Tiba-tiba kepala boneka itu miring ke belakang dan mulutnya terbuka lebar.
"Pergilah, Kris!" ia menggeram dengan suara parau keras. "Pergi kau orang tolol
bodoh!" Sebelum Kris bisa mundur, tangan kayu Slappy terangkat, dan ia menampar keraskeras di wajah. 4 "Aduh!" Kris menjerit dan mengangkat tangan ke pipinya, yang jadi merah muda cerah. Dia
melangkah mundur. "Hentikan, Lindy ! Itu menyakitkan!"
"Aku?" teriak Lindy. "Aku tak melakukannya! Slappy yang melakukannya!"
"Jangan bodoh," protes Kris, menggosok pipinya. "Kau benar-benar menyakitiku."
"Tapi aku tak melakukannya!" teriak Lindy. Dia memalingkan wajah Slappy pada
dirinya. "Mengapa kau begitu kasar pada Kris?"
Paj Powell melompat dari sofa. "Berhentilah berakting bodoh dan minta maaflah
pada saudaramu," perintahnya.
Lindy menundukkan kepala Slappy itu. "Maafkan aku," ia membuat boneka itu
berkata. "Tidak. Dalam suaramu sendiri," desak Mr Powell, menyilangkan lengan di depan
dadanya. "Slappy tak menyakiti Kris. Kau yang menyakitinya."
"Oke, oke," gumam Lindy, tersipu-sipu. Dia menghindari tatapan marah
Kris."Maafkan aku. Ini.." Dia memberikan Slappy ke tangan Kris.
Kris begitu terkejut, dia hampir saja menjatuhkan boneka itu. Slappy lebih berat
dari yang ia bayangkan. "Sekarang apa yang harus kulakukan dengan dia?" tanya Kris pada Lindy.
Lindy mengangkat bahu dan melintasi ruangan ke sofa, tempat ia menjatuhkan diri
di samping ibunya. "Kenapa kau membuat keributan seperti itu?" bisik Bu Powell, bersandar dekat
dengan Lindy. "Itu sangat kekanak-kanakan."
Lindy tersipu. "Slappy milikku! Mengapa sesuatu tak bisa menjadi milikku sekali
waktu?" "Kadang-kadang kalian begitu baik satu sama lain, dan kadang-kadang..." Suara Bu
Powell melemah. Pak Powell mengambil tempat duduk di lengan kursi yang empuk di seberang
ruangan. "Bagaimana aku membuat mulutnya berjalan?" tanya Kris, memiringkan boneka
terbalik turun untuk memeriksa punggungnya.
"Ada tali di punggungnya, di dalam celah dalam jaketnya," kata Lindy padanya
denan enggan. "Kau cukup menariknya."
Aku tak ingin Kris menjalankan Slappy, pikir Lindy dengan sedih.
Aku tak ingin berbagi Slappy.
Mengapa aku tak bisa memiliki sesuatu yang hanya jadi milikku" Mengapa aku harus
berbagi segalanya dengannya" Mengapa Kris selalu ingin meniruku"
Dia mengertakkan gigi dan menunggu kemarahannya memudar.
*** Kemudian malam itu, Kris duduk tegak di tempat tidur. Dia bermimpi buruk.
Aku dikejar-kejar, dia ingat, jantungnya masih berdebar. Dikejar oleh apa" Oleh
siapa" Dia tak bisa ingat. Dia melirik ke sekeliling ruang gelap, menunggu detak jantungnya kembali normal.
Ruangan terasa panas dan pengap, meskipun jendela terbuka dan tirai-tirai
berkibar-kibar. Lindy berbaring tertidur di sampingnya di tempat tidur kembar di samping Kris.
Dia mendengkur pelan, bibirnya sedikit terbuka, rambut panjangnya jatuh lepas di
wajahnya. Kris melirik jam radio - di atas meja tempat tidur di antara dua tempat tidur
kembar. Saat itu hampir tiga pagi.
Meskipun dia sekarang terjaga, mimpi buruk itu tak akan benar-benar memudar. Dia
masih merasa tak nyaman, sedikit takut, seolah-olah dia masih dikejar-kejar oleh
seseorang atau sesuatu. Bagian belakang lehernya terasa panas dan berkeringat.
Dia berbalik dan menepuk-nepuk bantal, menyangganya lebih tinggi di ujung tempat
tidur. Saat ia berbaring di atasnya, sesuatu menarik perhatiannya.
Seseorang duduk di kursi di depan jendela kamar. Seseorang menatapnya.
Setelah bernapas keras, ia menyadari bahwa itu Slappy.
Sinar kuning bulan tertuang di atasnya, membuat tatapan matanya bercahaya. Dia
duduk di kursi, miring ke kanan agak berbelok, meletakkan satu tangan di lengan
kursi ramping. Mulutnya terkunci dalam seringai lebar mengejek, matanya tampak menatap tepat
pada Kris. Kris menatap kembali, mempelajari ekspresi boneka itu di bawah sinar bulan
kuning menakutkan. Kemudian, tanpa berpikir, tanpa menyadari apa yang dia
lakukan, dia diam-diam berdiri dari tempat tidur.
Kakinya terbelit seprai dan dia hampir tersandung. Menendang seprai pergi, ia
berjalan cepat melintasi ruangan ke jendela.
Slappy menatap ke arahnya saat bayangan Kris jatuh di atasnya. Senyumnya tampak
jadi lebih lebar saat Kris mendekat.
Embusan angin membuat tirai-tirai lembut itu berkibar di wajahnya. Kris
mendorongnya pergi dan menatap ke bawah pada kepala boneka yang dicat itu.
Dia mengulurkan tangan dan mengelus rambutku kayunya, bersinar di bawah sinar
bulan. Kepalanya terasa hangat, lebih hangat dari yang ia bayangkan.
Kris cepat menyentakkan tangannya menjauh.
Suara apa itu" Apa Slappy mencibir" Apakah ia menertawakannya"
Tentu saja tidak. Kris sadar bahwa ia terengah-engah.


Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa aku begitu panik karena boneka bodoh ini" pikirnya.
Di tempat tidur di belakangnya, Lindy membuat suara mendeguk dan berguling
telentang. Kris menatap tajam ke mata besar Slappy itu, yang berkilauan dalam cahaya dari
jendela. Dia menunggu untuk berkedip atau untuk memutar matanya dari sisi ke
sisi. Dia tiba-tiba merasa bodoh.
Dia hanya boneka kayu bodoh, pikirnya.
Dia mengulurkan tangan dan mendorongnya.
Tubuh kaku itu berayun ke samping. Kepala kerasnya itu membuat dok pelan
menghantam lengan kursi kayu.
Kris menunduk menatapnya, merasa kepuasan yang aneh, seolah-olah dia entah
bagaimana memberi boneka itu pelajaran.
Tirai-tirai itu berdesir menerpa wajahnya lagi. Dia mendorongnya pergi.
Merasa mengantuk, ia mulai kembali ke tempat tidur.
Dia hanya berjalan satu langkah ketika Slappy mengulurkan tangan dan meraih
pergelangan tangannya. 5 "Oh!" Saat tangan itu mempererat (cengkeramannya) di pergelangan tangannya, Kris
berteriak dan berputar. Dia terkejut, Lindy meringkuk di sampingnya. Lindy memegang erat pergelangan
tangan Kris. Kris menyentakkan tangannya dari genggaman Lindy itu.
Sinar bulan melalui jendela menyinari seringai iblis Lindy itu. "Kena lagi!" ia
menyatakan. "Kau membuatku takut!" Kris bersikeras. Tapi suaranya yang keluar berbisik
gemetar. "Kau melompat satu mil!" seru Lindy seru. "Kau benar-benar berpikir boneka itu
menyambarmu." "Tidak!" jawab Kris. Dia bergegas ke tempat tidurnya.
"Apa yang kau lakukan, sih?" tuntut Lindy. "Apa kau bermain-main dengan Slappy?"
"Tidak, aku... Eh... Mengalami mimpi buruk," kata Kris padanya. "Aku hanya pergi
untuk melihat keluar jendela."
Lindy tertawa terkekeh-kekeh. "Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu."
"Aku akan kembali tidur. Tinggalkan aku sendiri," bentak Kris. Dia menarik
selimut sampai ke dagu. Lindy mendorong boneka itu kembali ke posisi duduk. Kemudian ia kembali ke
tempat tidurnya, masih terkekeh-kekeh atas ketakutan yang diberikannya pada
saudaranya. Kris mengatur ulang bantalnya, lalu memandang ke seberang ruangan ke jendela.
Wajah boneka itu setengah tertutup dalam bayangan sekarang. Tapi matanya
bersinar seolah-olah ia hidup. Dan menatap padanya seolah-olah mencoba untuk
mengatakan sesuatu padanya.
Mengapa ia harus menyeringai seperti itu" Tanya Kris pada dirinya sendiri,
mencoba untuk menyeka keringat dinginnya yang terasa di bagian belakang
lehernya. Dia menarik selimut, duduk di tempat tidur, dan berbaring miring, menjauhi
tatapan mata lebar itu. Tetapi bahkan dengan punggungnya berbalik, dia bisa merasakan mata itu
menatapnya. Bahkan dengan mata tertutup dan menarik selimut ke kepala, dia bisa
membayangkan bayangan seringai terdistorsi, mata yang tak berkedip. Menatapnya.
Menatap. Menatap. Dia hanyut ke dalam tidur yang tak nyaman, melayang ke mimpi buruk lainnya yang
gelap. Seseorang sedang mengejarnya. Seseorang yang sangat jahat itu
mengejarnya. Tapi siapa" *** Pada Senin sore, Lindy dan Kris keduanya tinggal setelah sekolah berlatih untuk
konser musim semi. Sudah hampir jam lima saat mereka tiba di rumah, dan mereka
terkejut melihat mobil ayah mereka di jalan masuk.
"Kau pulang begitu cepat!" seru Kris, menemukan ayahnya di dapur membantu ibu
mereka menyiapkan makan malam.
"Aku akan berangkat besok untuk sebuah konferensi penjualan di Portland," Pak
Powell menjelaskan sambil mengupas bawang di atas wastafel (bak cuci piring)
dengan pisau pengupas kecil. "Jadi hari ini aku hanya bekerja setengah hari."
"(Masak) apa untuk makan malam?" tanya Lindy.
"Roti daging," jawab Bu Powell, "jika ayah kalian bisa mengupas bawang."
"Ada trik untuk tak menangis saat kalian mengupas bawang," kata Pak Powell, air
mata bergulir di pipinya. "Seandainya aku tahu itu."
"Bagaimana latihan paduan suaranya?" tanya Bu Powell, meremas bola besar dari
gilingan merah daging sapi di tangannya.
"Membosankan," keluh Lindy, membuka lemari es dan mengambil sekaleng Coke.
"Ya. Kita menyanyikan semua lagu-lagu Rusia dan Yugoslavia,." Kata Kris. "Lagulagu begitu sedih. Semuanya tentang domba atau sesuatu. Kami tak benar-benar
tahu apa isinya. Tak ada terjemahannya."
Pak Powell buru-buru ke wastafel dan mulai memercikkan air dingin di mata
merahnya yang berair. "Aku tak bisa menangani ini!" ratapnya. Dia melemparkan
setengah bawang yang dikupas kembali ke istrinya.
"Bayi cengeng," gumamnya, sambil menggeleng.
Kris menaiki tangga untuk menjatuhkan ranselnya di kamarnya. Dia melemparnya ke
meja tempat dia berbagi dengan Lindy, kemudian berbalik untuk kembali ke bawah.
Tapi sesuatu di dekat jendela tertangkap matanya.
Berputar, ia terkesiap. "Oh, tidak!" Seruan terkejut keluar dari bibirnya.
Kris mengangkat tangannya ke pipinya dan menatap tak percaya.
Slappy sedang bersandar di kursi di depan jendela sambil menyeringai dengan
tatapannya mata lebarnya yang biasanya. Dan duduk di sampingnya ada boneka yang
lain, juga menyeringai padanya.
Dan mereka berpegangan tangan.
"Apa yang terjadi di sini?" teriak Kris keras.
6 "Apa kau menyukainya?"
Pada awalnya, Kris berpikir bahwa Slappy-lah yang menanyakan pertanyaan itu.
Dia ternganga tak percaya tercengang.
"Nah" Apa pikiranmu tentangnya?"
Butuh waktu agak lama bagi Kris untuk menyadari bahwa suara itu datang dari
belakangnya. Dia berbalik dan melihat ayahnya berdiri di ambang pintu, masih
mengusap matanya dengan kain lap basah.
"Ini - boneka baru ini?" Kris tergagap.
"Dia untukmu," kata Pak Powell, melangkah ke ruangan, handuk basah menempel di
kedua mata. "Sungguh?" Kris bergegas ke kursi dan mengambil boneka baru itu untuk
memeriksanya. "Ada pegadaian kecil di sudut di seberang kantorku," kata Pak Powell, menurunkan
handuk. "Aku sedang berjalan melewatinya dan, percaya atau tidak, pria ini di
jendela. Ia juga murah. Kupikir si pemilik rumah gadai senang untuk
menyingkirkannya." "Dia... Manis," kata Kris, mencari kata yang tepat. "Dia tampak seperti boneka
Lindy, kecuali rambutnya yang merah cerah, bukan cokelat."
"Mungkin dibuat oleh perusahaan yang sama," kata Pak Powell.
"Bajunya lebih baik dari punya Slappy itu," kata Kris, memegang boneka di lengan
panjangnya untuk dapat pandangan yang lebih baik. "Aku benci jas abu-abu boneka
Lindy bodoh itu." Boneka yang baru mengenakan celana biru dari kain tebal dan kemeja dari kain
lembut berwarna merah dan hijau. Dan bukannya berpenampilan formal sepatu
cokelat mengkilap, dia punya sepatu putih tinggi di kakinya.
"Jadi kau menyukainya?" tanya Pak Powell, tersenyum.
"Aku mencintainya!" teriak Kris gembira. Dia menyeberangi ruangan dan memeluk
ayahnya. Lalu ia mengambil boneka itu dan berlari keluar dari ruangan, menuruni tangga,
dan ke dapur. "Hei, semuanya! Temui Tuan Wood!" dia menyatakan dengan gembira,
memegang boneka menyeringai di depannya.
Barky menyalak gembira, melompat untuk menggigit di sepatu boneka. Kris menarik
boneka itu menjauh. "Hei!" teriak Lindy terkejut. "Dari mana kau mendapatkannya?"
"Dari Ayah," kata Kris, seringainya lebih luas daripada bonekanya. "Aku akan
mulai berlatih dengannya setelah makan malam, dan aku akan menjadi pembicara
perut lebih baik daripadamu."
"Kris!" omel Bu Powell. "Semuanya bukan kompetisi, kau tahu!"
"Aku telah memiliki pekerjaan dengan Slappy," kata Lindy dengan mencibir unggul.
"Dan kau baru saja mulai. Kau hanya pemula."
"Tuan Wood jauh lebih tampan daripada Slappy," kata Kris, mencerminkan cibiran
saudara kembarnya. "Tuan Wood keren. Setelan abu-abu bonekamu itu neraka."
"Kaupikir kemeja tua jembel itu keren?" Lindy mendengus, membuat wajah jijik.
"Yuck. Boneka tua itu mungkin ada cacingnya!"
"Kau yang cacingan!" seru Keris .
"Bonekamu tak akan lucu," kata Lindy kejam, "karena kau tak punya selera humor."
"Oh, ya?" jawab Kris, melemparkan Tuan Wood ke atas bahunya. "Aku pasti punya
selera humor. Aku bertaruh denganmu, aku tak akan (kalah)?"
"Peniru! Peniru!" Lindy berteriak marah.
"Keluar dari dapur!" Bu Powell memerintahkan dengan memekik tak sabar. "Keluar!
Keluar! Kalian berdua tak bisa dipercaya! Boneka-boneka itu punya watak lebih
baik dari kalian!" "Trim's, Bu," kata Kris sinis.
"Panggil aku untuk makan malam," kata Lindy kembali. "Aku akan ke atas untuk
melatih penampilanku dengan Slappy untuk pesta ulang tahun pada hari Sabtu."
*** Itu adalah sore berikutnya, dan Kris duduk di meja rias yang dia berbagi dengan
Lindy. Kris mengaduk-aduk kotak perhiasan dan mengeluarkan untaian manik-manik
berwarna cerah yang lain. Dia menyelipkannya ke kepalanya dan menguraikannya
dari tiga untai manik-manik lain yang dipakainya. Lalu ia menatap dirinya di
cermin, menggelengkan kepalanya untuk melihat lebih baik, anting-anting panjang
yang berjuntai. Aku suka koleksi perhiasan sampahku, pikirnya, menggali ke dalam kotak perhiasan
kayu untuk melihat harta lain apa yang bisa ia tarik keluar.
Lindy tak tertarik pada barang-barang itu. Tapi Kris bisa menghabiskan berjamjam mencoba manik-manik, memainkan jarinya ke puluhan perhiasan kecil (pada
kalung atau gelang), menggerakkan jari-jarinya di atas gelang-gelang plastik,
menggemerincingkan anting-anting. Koleksi perhiasannya selalu membuatnya
gembira. Dia menggelengkan kepalanya lagi, membuat anting-anting bergemerincing lama.
Sebuah ketukan di pintu kamar tidur membuatnya berputar balik.
"Hei, Kris, bagaimana kabarmu?"
Temannya Cody Matthews melangkah ke dalam ruangan. Dia berambut pirang putih
yang lurus, dan mata abu-abu pucat di wajah rampingnya yang serius. Cody selalu
tampak seolah-olah dia tenggelam dalam pikirannya.
"Kau naik sepedamu ?" tanya Kris, mencopot beberapa untai manik-manik sekaligus
dan melemparkannya ke dalam kotak perhiasan.
"Tidak. Jalan kaki," jawab Cody. "Kenapa kau menelepon" Kau cuma ingin
nongkrong?" "Tidak" Kris melompat berdiri. Dia berjalan ke kursi dekat jendela dan menyambar
Tuan Wood. "Aku ingin melatih aksiku."
Cody mengerang. "Aku binatang percobaan itu?"
"Tidak. Penonton. Ayo."
Dia membawanya ke pohon maple tua bengkok di tengah halaman belakangnya. Sinar
matahari sore baru saja mulai menurunkan dirinya di langit, yang cerah musim
semi-biru. Dia mengangkat satu kaki ke batang pohon dan menyangga Tuan Wood di lututnya.
Cody telentang di tempat teduh.
"Katakan padaku jika ini adalah lucu," perintahnya.
"Oke. Mulai." Jawab Cody, menyipitkan mata berkonsentrasi.
Kris memutar Tuan Wood ke wajahnya.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya.
"Cukup bagus. Tok kayu," ia membuat boneka itu berkata.
Dia menunggu Cody untuk tertawa, tapi dia tak tertawa.
"Apa itu lucu?" tanyanya.
"Agak," jawabnya tanpa semangat. "Lanjutkan."
"Oke." Kris menunduk sehingga ia tatap muka dengan bonekanya. "Tuan Wood,"
katanya, "kenapa kau berdiri di depan cermin dengan mata tertutup?"
"Yah," jawab si boneka dengan suara bernada tinggi, melengking, "Aku ingin
melihat tampak seperti apa diriku saat aku tidur!"
Kris memiringkan kepala boneka itu kembali dan membuatnya tampak seolah-olah ia
tertawa. "Bagaimana dengan lelucon itu?" tanyanya Cody.
Cody mengangkat bahu. "Lebih baik, kurasa."
"Ah, kau tak membantu!" jerit Kris marah. Dia menurunkan lengannya, dan Tuan
Wood jatuh ke pangkuannya. "Kau seharusnya memberitahuku jika itu lucu atau
tidak." "Kurasa tidak," kata Cody serius.
Kris mengerang. "Aku perlu beberapa buku lelucon yang bagus," katanya. "Itu
saja. Beberapa buku humor yang bagus dengan beberapa lelucon yang benar-benar
lucu. Lalu aku akan siap untuk melakukan. Karena aku pembicara perut yang cukup
baik, kan?" "Kurasa," jawab Cody, menarik segenggam rumput dan membiarkan, daun-daun hijau
yang lembab itu tersaring melalui jari-jarinya.
"Yah, aku tak menggerakkan bibirku banyak, kan?" tuntut Kris.
"Tak terlalu banyak," Cody memenuhi (tuntutan Kris). "Tapi kau tak benar-benar
membuang suaramu." "Tak ada yang bisa membuang suaranya," kata Kris padanya. "Ini hanya ilusi. Kau
membuat orang-orang berpikir kau membuang suaramu. Kau tak benar-benar
membuangnya." "Oh," kata Cody, menarik segenggam rumput.
Kris mencoba beberapa lelucon lagi.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya pada Cody.
"Kupikir aku harus pulang," kata Cody. Ia melemparkan segenggam rumput padanya.
Kris meyikat daun-daun hijau dari kepala kayu Tuan Wood. Dia mengusap tangannya
dengan pelan ke rambut bercat merah boneks itu.
"Kau menyakiti perasaan Tuan Wood," katanya pada Cody.
Cody berdiri. "Mengapa kau ingin main dengan benda itu, sih?" tanyanya,
mendorong rambut putih pirangnya ke belakang dari dahinya.
"Karena menyenangkan," jawab Kris.
"Apakah itu alasan yang sebenarnya?" tuntut Cody.
"Yah.. Kukira aku ingin menunjukkan Lindy bahwa aku lebih baik daripadanya."
"Kalian berdua aneh!" Cody menyatakan. "Sampai ketemu di sekolah."
Dia melambai sedikit, lalu berbalik dan menuju rumahnya di blok ini.
*** Kris menarik selimut ke bawah dan naik ke tempat tidur. Cahaya pucat bulan
tersaring melalui jendela kamar tidur.
Sambil menguap, ia melirik jam-radio. Hampir jam sepuluh. Dia bisa mendengar
Lindy menggosok gigi di kamar mandi di seberang lorong.
Mengapa Lindy selalu bersenandung saat dia menyikat giginya" Kris bertanyatanya. Bagaimana bisa satu saudara kembar melakukan begitu banyak hal-hal
menjengkelkan" Kris melirik Tuan Wood untuk terakhir kalinya. Dia bersandar di kursi di depan
jendela, tangannya dengan hati-hati diletakkan di pangkuannya, sepatu putih
menggantung di tepi kursi.
Dia terlihat seperti orang asli, pikir Kris mengantuk.
Besok aku akan memeriksa beberapa buku lelucon yang bagus dari perpustakaan di
sekolah. Aku bisa lebih lucu dari Lindy. Aku tahu aku bisa.
Dengan mengantuk, ia mengatur kembali bantalnya. Aku akan tidur segera setelah
kami mematikan lampu, pikirnya.
Beberapa detik kemudian, Lindy memasuki ruangan, mengenakan baju tidur dan
membawa Slappy di bawah satu lenganny.
"Kau tidur?" tanyanya pada Kris.
"Hampir," jawab Kris, menguap keras. "Aku sudah belajar untuk matematika akhir
semalaman. Kemana saja kau"."
"Selesai dari rumah Alice," kata Lindy padanya, mengatur Slappy di kursi di
samping Tuan Wood. "Beberapa anak sudah pulang, dan aku mempraktekkan
panampilanku pada mereka. Mereka tertawa begitu keras, kupikir mereka akan robek
ususnya. Saat Slappy dan aku bicara (dengan mulut bocor) rutin kami, Alice


Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyemburkan susu coklat dari hidungnya. Lucu sekali! "
"Itu bagus," kata Kris tanpa antusias. "Kurasa kau dan Slappy siap untuk pesta
ulang tahun Amy pada hari Sabtu."
"Ya," jawab Lindy. Dia menempatkan lengan Slappy ke bahu Tuan Wood.
"Mereka tampak begitu manis bersama-sama," katanya. Lalu ia melihat pakaian rapi
tersampir di kursi. "Apa itu?" tanya pada Kris.
Kris mengangkat kepalanya dari bantal untuk melihat apa yang ditunjuk oleh
saudaranya. "Pakaianku untuk besok," kata Kris padanya. "Kami mengadakan pesta gaun di kelas
Bu Finch. Ini pesta perpisahan. Untuk Margot. Kau tahu. Guru siswa."
Lindy menatap pakaian. "Rok Betsey Johnsonmu" Blus sutramu?"
"Kami harus benar-benar berdandan," kata Kris, menguap. "Bisakah kita tidur
sekarang?" "Ya. Tentu." Lindy berjalan ke tempat tidur, duduk, dan mematikan lampu tidurmeja. "Apakah kau jadi lebih baik dengan Tuan Wood?" tanyanya, naik di antara
kain seprai. Keris merasa perih oleh pertanyaan itu. Itu jelas semacam ejekan.
"Yah, aku jadi benar-benar bagus, Aku melakukan beberapa hal untuk Cody. Di
halaman belakang. Cody tertawa begitu keras, ia tak bisa bernapas. Sungguh. Dia
memegang pinggangnya. Dia mengatakan Tuan dan aku harusnya masuk TV. "
"Sungguh?" jawab Lindy setelah ragu-ragu beberapa saat itu. "Itu aneh. Aku tak
pernah berpikir Cody memiliki banyak selera humor. Dia selalu begitu muram. Aku
tak berpikir aku pernah melihatnya tertawa."
"Yah, dia tertawa pada Tuan Wood dan aku," desak Kris, berharap dia pembohong
yang lebih baik. "Mengagumkan," gumam Lindy. "Aku tak bisa menunggu untuk melihat penampilanmu."
Demikian pula aku, pikir Kris murung.
Beberapa detik kemudian, mereka berdua tertidur.
*** Suara ibu mereka, memanggil dari lantai bawah, membangunkan mereka ja, tujuh
keesokan paginya. Cerah, sinar matahari pagi-oranye yang cerah tertuang ke dalam
melalui jendela. Kris bisa mendengar burung berkicau gembira di pohon maple tua.
"Bangun dan bersiap-siaplah. Bangun dan bersiap-siaplah!" Setiap pagi, Bu Powell
berteriak kata-kata yang sama.
Kris mengusap kantuk dari matanya, kemudian mengulurkan lengan tinggi-tinggi di
atas kepalanya. Dia memandang ke seberang ruangan, kemudian terkesiap pelan.
"Hei - apa yang terjadi?" Dia mencapai ke tempat tidur Lindy dan mengguncangguncang bahu Lindy. "Apa yang terjadi?"
"Hah?" Lindy, kaget, duduk tegak.
"Lelucon apa itu" Dimana dia?" tuntut Kris.
"Hah?" Kris menunjuk kursi di seberang ruangan.
Duduk lurus di kursi, Slappy menyeringai kembali pada mereka, bermandikan sinar
matahari pagi. Tapi Tuan Wood sudah lenyap.
7 Kris berkedip beberapa kali dan mendorong dirinya naik dari tempat tidur dengan
kedua tangannya. Tangan kirinya kesemutan. Dia pasti tidur di atasnya, ia
menyadari. "Apa" Apa yang salah?" tanya Lindy, suaranya berkabut dengan ngantuk.
"Mana Tuan Wood?" tuntut Kris tak sabar. "Di mana kau meletakkannya?"
"Hah" Meletakkannya?"" Lindy berusah untuk memusatkan matanya. Dia melihat
Slappy duduk kaku di kursi di seberang ruangan. Dirinya sendiri.
"Ini tak lucu," bentak Kris. Dia turun dari tempat tidur, menarik turun ujung
tidur, dan berjalan dengan cepat ke kursi di depan jendela. "Apakah kau tak
pernah bosan bermain lelucon bodoh?"
"Lelucon" Hah?" Lindy menurunkan kakinya ke lantai.
Kris membungkuk untuk mencari di lantai di bawah kursi. Lalu dia pindah ke kaki
tempat tidur dan berlutut padanya untuk mencari di bawah kedua tempat tidur
kembar itu. "Di mana dia, Lindy?" tanyanya dengan marah, berlutut di kaki tempat tidur. "Aku
tak berpikir ini lucu. Aku benar-benar tak berpikir ini lucu."
"Yah, aku juga tidak," Lindy bersikeras, berdiri dan menggeliat.
Kris berdiri. Matanya terbelalak saat ia melihat boneka yang hilang itu.
"Oh!" Lindy mengikuti tatapan terkejut saudaranya.
Tuan Wood tersenyum pada mereka dari ambang pintu. Dia tampak berdiri, kakinya
yang kurus membungkuk pada sudut yang aneh.
Dia mengenakan pakaian gaun Kris, rok Betsey Johnson dan blus sutra.
Mulut Kris terbuka lebar karena terkejut, ia melangkah cepat ke pintu. Dia
segera melihat bahwa boneka itu tak benar-benar berdiri sendiri. Dia bersandar,
kenop pintu terdorong ke dalam lubang di punggungnya.
Dia meraih boneka itu di pinggang dan menariknya menjauh dari pintu.
"Blusku. Ini jadi kusut." Teriaknya, menahannya hingga Lindy bisa melihat. Dia
menyipitkan mata marah pada saudaranya. "Kau ini sangat menjengkelkan, Lindy."
"Aku?" jerit Lindy. "Aku bersumpah, Kris, aku tak melakukannya. Aku tidur
seperti batu tadi malam. Aku tak bergerak. Aku tak bangun sampai kau
membangunkanku. Aku tak melakukannya. Sungguh!"
Kris menatap tajam pada adiknya, kemudian menurunkan matanya ke boneka itu.
Dalam blus dan rok, Tuan Wood menyeringai ke arahnya, seakan menikmati
kebingungan itu. "Yah, Tuan Wood," kata Kris keras-keras, "Kurasa kau yang memakai pakaianku dan
berjalan ke pintu dengan sendirian!"
Lindy mulai mengatakan sesuatu. Tapi suara ibu mereka dari lantai bawah
mengganggu. "Apa kalian pergi ke sekolah hari ini" Di mana kalian" Kalian
terlambat!" "Kami datang!" seru Kris ke bawah, melirik marah pada Lindy. Dengan hati-hati
ia mengatur Tuan Wood telentang di tempat tidurnya dan menarik roknya dan blus
darinya. Dia mendongak untuk melihat Lindy aksi gila di seberang lorong untuk
jadi yang pertama di kamar mandi.
Sambil mendesah, Kris menatap Tuan Wood. Boneka itu menyeringai ke arahnya,
menyeringai nakal. "Nah" Apa yang terjadi?" tanyanya pada boneka itu. "Aku tak memakaikanmu pakaian
dan menggerakkanmu. Dan Lindy bersumpah dia tak melakukannya.."
Tetapi jika kami tak melakukannya, pikirnya, siapa pelakunya"
8 "Miringkan kepala ke depan," perintah Lindy. "Itu saja. Jika kau memantulkannya
sedikit ke atas dan ke bawah, itu akan membuatnya tampak sepertinya dia
tertawa.." Kris menurut memantulkan Tuan Wood di pangkuannya, membuatnya tertawa.
"Jangan menggerakkan mulutnya begitu banyak," kata Lindy padanya.
"Kurasa kalian berdua gila," kata Alice teman Lindy.
"Jadi apa lagi yang baru?" Cody bercanda.
Mereka berempat duduk di sebidang tanah kecil yang teduh di bawah pohon maple
tua membungkuk di halaman belakang rumah Powell. Itu adalah hari Sabtu sore yang
panas, matahari tinggi di langit biru yang pucat, lapisan cahaya kuning
tersaring turun melalui dedaunan berpindah di atas kepala mereka.
Barky sibuk mengendus-endus di sekitar halaman, ekor kecilnya bergoyang-goyang
tanpa henti. Kris duduk di kursi lipat, bersandar di bonggol batang pohon. Tuan Wood di
pangkuannya. Lindy dan Alice berdiri di tepi tempat teduh, tangan mereka bersilang di dada
mereka, melihat penampilan Kris dengan kerutan kening berkonsentrasi di wajah
mereka. Alice seorang gadis tinggi kurus, dengan rambut hitam lurus ke bahunya, hidung
pendek lagi mancung, dan mulut manis berbentuk hati. Dia memakai celana pendek
putih dan atasan biru terang.
Cody telentang di rumput, tangan di belakang kepala, sehelai rumput panjang di
antara giginya. Kris mencoba untuk memamerkan keterampilan bicara perutnya. Tapi Lindy terus
menyela dengan saran "membantu"nya. Saat dia tak membuat saran, Lindy gugup
melirik arlojinya. Dia tak ingin terlambat untuk pekerjaannya di pesta ulang
tahun Amy jam dua nanti. "Kurasa cara kalian aneh," kata Alice pada Lindy.
"Hei, sama sekali tidak," jawab Lindy. "Slappy begitu menyenangkan. Dan aku akan
membuat banyak uang dengannya. Dan mungkin aku akan menjadi bintang komedi atau
yang lain ketika aku lebih tua." Dia melirik jam tangannya lagi.
Pendekar Binal 7 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas Pembunuhan Abc 2

Cari Blog Ini