Ceritasilat Novel Online

Hantu Auditorium 2

Goosebumps - 24 Hantu Auditorium Bagian 2


sebelum aku sempat meletakkan telepon.
"Aku tidak tahu," ujarku. "Aku benar-benar -"
"Seram juga, ya," Tina memotong. "Mudah-mudahan kau tidak terlalu ngeri,
Brooke." "Sampai besok, Tina," aku berkata dengan dingin.
Cepat-cepat aku meletakkan telepon. Lama-lama dia mulai menyebalkan.
Sepertinya dia memang ingin sekali memainkan peran Esmerelda, kataku dalam
hati. Jangan-jangan dia memang berusaha menakut-nakuti aku, supaya aku
mengundurkan diri" *** Tidak lama setelah itu Zeke menelepon dan meyakinkan aku bahwa hantu itu
pasti Emile. "Dia membohongi kita, kan?" Zeke bertanya dengan berapi-api.
"Dia bilang dia pegawai sekolah. Dan dia mencoba menakut-nakuti kita. Pasti dia
deh," Zeke berkeras.
"Yeah. Mungkin saja," sahutku sambil memutar-mutar karet rambut di
tanganku. "Tingginya cocok," Zeke melanjutkan. "Dan dia juga tahu soal pintu kolong
itu." Zeke menarik napas. "Dan kenapa dia ada di sana, Brookie" Kenapa dia
ada di auditorium malam-malam?"
"Karena dia si Hantu?" tanyaku.
Memang masuk akal. Aku berjanji datang lebih pagi besok, supaya Zeke dan aku bisa menceritakan
tentang Emile kepada Ms. Walker.
Malam itu aku bermimpi tentang sandiwara kami. Aku berada di atas panggung,
berkostum lengkap. Semua lampu sorot diarahkan padaku. Aku menatap kursi-kursi yang dipenuhi
penonton. Auditorium menjadi hening. Semua orang menunggu Esmerelda berbicara.
Aku membuka mulut dan mendadak sadar bahwa aku tidak ingat harus berkata
apa. Aku menatap wajah para penonton.
Seluruh dialog seperti. terhapus dan ingatanku. Setiap kata. Setiap kalimat.
Semua kata telah terbang bagaikan burung yang. meninggalkan sarang.
Sarangnya kosong. Otakku benar-benar kosong.
Aku berdiri dicekam rasa panik. Aku tidak sanggup bergerak. Aku tidak
sanggup bicara. Aku terbangun bermandikan keringat dingin. Seluruh tubuhku gemetaran.
Setiap ototku terasa kejang. Selimutku sudah jatuh tergeletak di lantai.
Uh, mimpi itu betul-betul menakutkan.
Aku tidak sabar untuk berpakaian dan berangkat sekolah. Mimpi buruk itu ingin
kulupakan secepat mungkin.
Tapi berhubung aku harus mengantar Jeremy dulu, aku tidak bisa datang sepagi
yang kuharapkan. Jeremy terus bertanya tentang sandiwara kami. Dia ingin tahu segala sesuatu
tentang si Hantu. Tapi aku tidak berminat membicarakannya. Aku terus teringat
mimpiku, teringat perasaan panik yang menyerang saat aku berdiri di hadapan
tiga ratus orang dan kelihatan seperti orang tolol.
Aku mengantarkan Jeremy sampai ke gerbang sekolah, lalu terburu-buru
menyeberang jalan. Zeke ternyata sudah menunggu di pintu depan. Dengan
kesal dia menatap jam tangannya.
Aku tidak tahu untuk apa. Jamnya tidak menunjukkan waktu dengan tepat. Dia
pakai jam digital dengan tujuh belas macam kontrol. Zeke tak pernah mengerti
bagaimana cara menyetelnya. Dia bisa bermain game - dan jamnya bisa
memainkan selusin lagu. Tapi dia tidak bisa mendapatkan waktu yang tepat.
"Sori aku telat," kataku.
Dia meraih lenganku dan menarikku ke kelas. Dia bahkan tidak memberi
kesempatan padaku tntuk mengambil buku dan locker atau membuka jaket.
Kami menghampiri Ms. Walker, yang duduk di belakang mejanya sambil
mempelajari pengumuman-pengumuman yang harus disampaikannya pagi itu.
Dia menoleh sambil tersenyum, tapi senyumnya segera lenyap ketika melihat
roman muka kami yang serius.
"Ada masalah?" "Apakah kami bisa bicara sebentar dengan Anda?" bisik Zeke. DIa menatap
anak-ahak yang sudah berada di dalam kelas. "Bertiga saja?"
Ms. Walker menatap jam di dinding "Apakah tidak bisa menunggu sampai
nanti" Dua menit lagi bel sudah berdering."
"Kami hanya perlu satu menit," Zeke berjanji.
Ms. Walker mengikuti kami ke lorong, lalu menyandarkan punggung ke
dinding. "Ada apa?"
"Di sekolah kita ada hantu," ujar Zeke penuh semangat. "Hantu sungguhan.
Brooke dan saya sudah melihatnya."
"Nanti dulu!" Ms. Walker bergumam sambil mengangkat kedua tangannya
sebagai isyarat stop. "Betul kok" aku berkeras "Kami memang melihatnya, Ms Walker. Di
auditorium. Kami menyelinap masuk. Untuk menggunakan pintu kolong, dan -"
"Apa?" dia berseru. Dia memicingkan mata dan menatapku, lalu Zeke.
"Saya tahu, saya tahu," Zeke berkata sambil tersipu-sipu "Anda sudah melarang
kami. Tapi bukan itu masalahnya."
"Di sini ada hantu," aku menegaskan. "Dan dia berusaha menggagalkan
sandiwara kita." "Saya tahu Anda pikir saya-lah yang jail selama ini." Zeke menambahkan, "tapi
sebenarnya bukan. Itu ulah si Hantu. Dia -"
Ms. Walker kembali mengangkat kedua tangannya. Dia hendak mengatakan
sesuatu, tapi tiba-tiba bel berdering - persis di atas kepala kami.
Kami langsung menutup telinga masing-masing. Ketika bel akhimya berhenti
berdering, Ms. Walker menghampiri pintu kelas. Suasana di dalam benar-benar
gaduh. Anak-anak lain memanfaatkan ketidakhadiran Ms. Walker untuk
bercanda sesuka hati. "Saya menyesal telah menceritakan kisah itu," katanya kepada kami.
"Hah?" seru Zeke dan aku berbarengan.
"Seharusnya saya tidak menceritakan kisah hantu itu," Ms. Walker berkata
dengan nada menyesal. "Banyak anak yang terpengaruh karenanya. Saya minta maaf
karena telah membuat kalian ketakutan."
"Tapi kami tidak ketakutan!" Zeke memprotes. "Kami melihat seseorang, dan-"
"Kalian bermimpi buruk tentang hantu itu?" tanya Ms. Walker.
Dia tidak percaya pada kami.
"Begini - " aku angkat bicara.
Kami bertiga tersentak kaget ketika terdengar suara benturan keras dari dalam.
Suara benturan yang disusul tawa berderai-derai.
"Ayo, kita masuk saja," ujar Ms. Walker. Dia menunjuk Zeke "Dan mulai sekarang
jangan macam-macam lagi - oke" Saya tidak mau ada lelucon lagi.
Kita ingin sandiwara ini berhasil, bukan?"
Sebelum kami sempat menyahut, dia sudah bergegas memasuki kelas.
*** "Kenapa aku ada di sini?" Brian mengeluh. Dia gemetaran dan menatap pohonpohon gelap di hadapan kami "Kenapa aku mau diajak ke sini?"
"Kau ikut karena kau teman yang setia," kataku sambil menepuk pundaknya.
"Bukan. Karena aku bodoh!" Brian meralat.
Sebenarnya ini ide Zeke. Dia muncul di rumahku sehabis makan malam. Aku
memberitahu orangtuaku bahwa ada latihan sandiwara, padahal tidak ada.
Lalu Zeke dan aku berjalan ke sekolah Di depan sekolah Brian bergabung
dengan kami. Dia memang sudah berjanji akan menunggu kami di sana.
"Aku tidak percaya bahwa Ms. Walker tidak percaya cerita kita," Zeke
mengomel. "Apakah kau akan percaya cerita gila seperti itu?" aku menantangnya.
"Pokoknya, kita akan mencari si Hantu, dan kita akan membuktikan bahwa kita
benar," Zeke berkata dengan tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang.
Kalau Ms. Walker tidak mau membantu, kita harus berusaha sendiri."
"Persis seperti dalam cerita petualangan yang seru," aku berkomentar.
Zeke menoleh ke arahku. "Hmm, Brookie, kalau kau terlalu takut..."
"Tapi kenapa aku harus ikut?" Brian mengulangi sambil memperhatikan gedung
sekolah yang gelap. "Soalnya kami butuh bantuan!" kataku. Aku mendorong Zeke. "Ayo, jalan. Kita
lihat saja siapa yang takut dan siapa yang tidak."
"Sebenarnya aku agak ngeri," Brian mengakui "Bagaimana kalau kita
kepergok?" "Siapa yang mau memergoki kita" balas Zeke, "Kaudengar sendiri apa kata Dot.
Di sini tidak ada tukang bersih-bersih yang bertugas malam."
"Tapi bagaimana kalau ada alarm atau sebangsanya?" tanya Brian "Maksudku,
alarm maling." "Yang benar saja," sahutku sambil geleng-geleng kepala "Beli rautan pensil saja
sekolah kita tidak sanggup! Apalagi alarm maling."
"Hmm, pintunya harus didobrak," kata Zeke sambil memandang ke jalan.
Sebuah station wagon lewat tanpa mengurangi kecepatan. Dia kembali menarik-narik
pintu depan "Pintu dikunci."
"Barangkali ada pintu samping" ujar Brian.
Kami mengendap-endap ke bagian samping gedung sekolah. Lapangan bermain
lengang dan sunyi. Rumput tampak berkilau keperakan karena cahaya bulan.
Pintu samping ternyata juga dikunci.
Begitu pula pintu belakang yang menuju ke ruang musik.
Aku mendongak dan memandang ke atap. Gedung sekolah menjulang di atas
kami bagaikan makhluk misterius. Jendela-jendela memantulkan sinar bulan,
yang merupakan satu-satunya cahaya yang terlihat.
"Hei - ada jendela yang terbuka." bisik Zeke.
Kami Iangsung berlari menghampiri jendela salah satu kelas di lantai dasar.
Jendela itu memang setengah terbuka Setelah mengintip ke dalam, aku
mengenali ruang itu sebagai ruang PKK. Mrs. Langston pasti sengaja
membiarkan jendelanya terbuka, supaya bau biskuit yang dipanggang sore itu
bisa terbawa angin. Zeke menggenggam ambang jendela dengan kedua tangan, lalu menarik
badannya ke atas. Sambil duduk di ambang jendela, dia mendorong daun
jendela sampai terbuka sepenuhnya.
Beberapa detik kemudian Brian dan aku sudah menyusulnya ke dalam. Bau
biskuit gosong masih tercium jelas. Perlahan-lahan kami mengendap-endap
dalam kegelapan, menuju ke pintu.
"Aduh!" aku berseru tertahan ketika pahaku membentur meja yang rendah.
"Jangan ribut dong!" Zeke langsung menggerutu.
"Hei - aku kan tidak sengaja!" bisikku dengan gusar.
Zeke sudah keluar ke lorong. Brian dan aku menyusul, pelan-pelan, dengan
hati-hati. Lorong ternyata lebih gelap lagi dari ruang kelas. Kami terus merapat ke
dinding ketika berjalan menuju ke auditorium.
Jantungku berdebar-debar. Aku gugup sekali. Sepatuku menimbulkan bunyi
srek-srek pada lantai yang keras.
Tak ada yang perlu ditakuti, kataku dalam hati. Ini cuma gedung sekolah,
gedung yang sudah jutaan kali kaumasuki. Dan di sini tidak ada siapa-siapa.
Hanya kamu. Zeke. Brian. Dan si Hantu.
Hantu yang tidak mau ditemukan.
"Aku... aku benar-benar ngeri," bisik Brian ketika kami membelok di ujung
lorong. "Anggap saja ini cuma film bioskop yang seram," aku berkata padanya.
"Tapi aku tidak suka film seram," Brian memprotes.
"Ssst!" Zeke mendesis. Dia mendadak berhenti. Dan aku langsung
menabraknya. "Hati-hati sedikit dong, Brookie,"dia berbisik.
"Bilang-bilang dong kalau mau berhenti, Zekey," balasku dengan kesal.
Aku memandang ke kegelapan di hadapanku. Kami telah sampai di auditorium.
Zeke membuka pintu terdekat. Kami mengintip ke dalam. Gelap gulita. Udara
di auditorium terasa lebih dingin.
Dingin dan lembap. Soalnya, di sini tempat tinggal hantu, aku berkata dalam hati.
Jantungku berdegup semakin kencang. Aku langsung menyesal bahwa aku tidak
bisa mengendalikan pikiranku.
Zeke meraba-raba dinding dan menyalakan barisan lampu di atas deretan kursi
di sebelah kiri kami. Baru sekarang aku bisa melihat panggung yang kosong dan
sunyi. Seseorang membiarkan tangga bersandar pada salah satu dinding.
Beberapa kaleng cat ditaruh di bawah tangga.
"Bagaimana kalau semua lampu dinyalakan?" Brian mengusulkan. Sepertinya
dia benar-benar ngeri. "Jangan," sahut Zeke sambil mengamati panggung "Kita kan mau menyergap si
Hantu. Jangan sampai dia tahu kita datang"
Sambil saling merapat, kami menyusuri gang di tengah dan menuju ke
panggung. Sinar lampu dari belakang menghasilkan bayangan-bayangan
panjang. Mirip hantu, pikirku. Hei - rasanya ada bayangan yang bergerak di dekat panggung!
Ah, mana mungkin. Jangan macam-macam, Brooke, aku menegur diriku sendiri. Jangan biarkan
daya khayalmu lepas kendali.
Pandanganku terus beralih dari depan ke belakang, dari panggung ke deretanderetan kursi yang kami lewati.
Di mana dia" aku bertanya-tanya. Di mana si Hantu"
Apakah dia tinggal di ruangan gelap jauh di bawah panggung itu"
Kami sudah hampir sampai di panggung ketika bunyi itu terdengar.
Suara langkah" Papan lantai yang berderak"
Kami langsung berhenti. Rupanya Zeke dan Brian juga mendengarnya.
Aku meraih lengan Zeke. Dan aku melihat Brian membelalakkan mata karena
ngeri. Dan kemudian terdengar bunyi lain. Bunyi orang batuk.
"Kita... kita ti - tidak sendirian di sini!" aku tergagap-gagap.
15 "SI - SIAPA itu"!" aku berseru. Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan.
"Ada siapa di sini?" Zeke berseru ke arah panggung.
Tak ada jawaban. Sekali lagi terdengar bunyi berderak.
Brian langsung mundur selangkah. Dia menggenggam sandaran kursi dan terus
berpegangan. "Dia ada di belakang sana," Zeke berbisik ke telingaku. Matanya tampak
berbinar-binar. "Aku yakin dia ada di belakang sana."
"Di mana?" tanyaku dengan suara parau. Memang sukar untuk berbicara kalau
tenggorokan kita seperti tersekat.
Aku memandang ke panggung, tapi tidak melihat apa-apa.
Aku tersentak kaget ketika terdengar suara orang batuk.
Lalu ada bunyi berdentang-dentang yang bergema di seluruh auditorium.
Mula-mula aku mengira pelataran pintu kolong sedang bergerak ke atas.
Jangan-jangan ada orang yang sedang naik"
Jangan-jangan si Hantu akan muncul di hadapan kami"
Ternyata bukan. Aku memekik tertahan ketika latar belakang panggung mulai bergerak turun.
Suara berdentang itu bertambah keras. Gambar latar turun pelan-pelan ke
panggung. "Perbuatan siapa itu?" aku berbisik. "Siapa yang menurunkan gambar latar?"
Zeke dan Brian memandang lurus ke depan. Mereka tidak menyahut.
Zeke terbengong-bengong. Tanpa berkedip dia menatap ke panggung.
Gambar latar terus turun.
Dan kami bertiga menahan napas ketika melihat apa yang telah terjadi dengan
gambar itu. Semula gambarnya memperlihatkan tembok batu bata berwarna kelabu. Brian
dan beberapa anak lain menghabiskan waktu berhari-hari untuk
mengerjakannya. Mereka mulai dengan membuat sketsa, lalu mengoleskan cat
bata demi bata. "Si - siapa yang merusak gambarku?" seru Brian.
Zeke dan aku menatap gambarnya dengan mata terbelalak.
Tembok kelabu itu penuh corat-coret cat merah. Sepertinya seseorang
mencelupkan kuas ke dalam cat, lalu menggoreskannya ke seluruh gambar latar.
"Gambarku rusak!" Brian memekik.
Zeke yang pertama bergerak. Dia berpegangan pada. tepi panggung, lalu
menarik badannya ke atas. Brian dan aku segera menyusul.
"Siapa yang ada di sini?" Zeke memanggil sambil menempelkan tangan di


Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekeliling mulut. "Siapa yang ada di sini?"
Hening. Pasti ada orang di sini, aku berkata dalam hati. Orang itu telah menurunkan
gambar latar supaya kami melihat yang telah dilakukannya.
"Siapa yang ada disini" Siapa kau?" Zeke mengulangi.
Tetap tidak ada jawaban. Kami mendekat pelan-pelan sambil saling merapat.
Dan ketika kami menghampiri gambar latar, kami melihat serangkaian kata
yang ditulis dengan cat merah di bagian bawah.
Aku berhenti dan memicingkan mata untuk membaca pesan itu dalam cahaya
yang redup. JANGAN GANGGU RUMAHKU "Astaga," aku bergumam Aku langsung merinding.
Kemudian aku mendengar pintu samping dibuka. Kami bertiga segera
membalikkan badan melihat sosok gelap yang melangkah ke auditorium.
Kami berseru kaget ketika menyadari siapa orang itu.
16 Orang itu menatap kami sambil melongo. Berkali-kali dia mengedip-ngedipkan
mata, seakan-akan takut telah salah lihat.
"Saya - saya benar-benar tidak menyangka," Ms. Walker akhirnya berkata.
Aku menelan ludah. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutku. Zeke dan Brian pun berdiri seperti patung.
"Saya sangat kecewa terhadap kalian bertiga,' ujar Ms. Walker sambil
menghampiri kami. "Memasuki bangunan dengan paksa dan tanpa izin
merupakan pelanggaran serius. Dan kalian bertiga tidak boleh berada di-"
Dia mendadak terdiam. Pandangannya beralih pada gambar latar, dan dia
memekik tertahan. Dia begitu terkejut melihat Zeke, Brian, dan aku di atas
panggung, sehingga dia tidak memperhatikannya - sampai saat ini.
"Oh! Oh! Ya, ampun!" serunya sambil menempelkan kedua tangan ke pipi. Dia
terhuyung-huyung, seolah-olah tidak sanggup menjaga keseimbangan. Aku
sudah takut dia bakal jatuh!
"Tega-teganya kalian berbuat begini." katanya dengan sedih. Dia bergegas
melintasi panggung sambil terus menatap gambar latar yang berlumuran cat
merah. "Tega-teganya kalian merusak gambar ini. Anak-anak lain sudah bekerja
keras selama berhari-hari untuk menyelesaikannya!"
"Bukan kami yang melakukannya," ujar Zeke pelan-pelan.
"Ya, bukan kami," aku menambahkan
Ms. Walker menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan hendak mengusir kami
dari pikirannya. "Kelihatannya kalian tertangkap basah," dia berkata dengan
nada menyesalkan. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
"Ms. Walker, sebenarnya -," aku mulai berkata.
Dia mengangkat tangan supaya aku berhenti. "Begitu pentingkah lelucon ini
bagi kalian bertiga?" dia bertanya dengan suara bergetar.
"Ms. Walker -" "Begitu pentingkah kalian membuat semua orang percaya bahwa ada hantu di
sini" Sampai kalian masuk tanpa izin - dan dengan begitu melakukan
kesalahan serius - lalu merusak latar belakang panggung sandiwara kita?"
"Bukan kami yang melakukannya," aku berkeras. Suaraku pun bergetar.
Ms. Walker maju selangkah dan menggoreskan jari ke noda cat merah pada
gambar latar. Ketika dia mengangkat jarinya, ujung jarinya berwarna merah.
"Catnya masih basah," dia berkata sambil menatapku dengan tajam, "Selain
kalian tidak ada siapa-siapa di sini. Apakah kalian akan terus membohongi saya
sepanjang malam?" "Kalau saja Anda mau mendengarkan - ," Zeke angkat bicara.
"Kau-lah yang paling mengecewakan saya, Brian," ujar Ms. Walker. Ia
menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening, "Kau baru satu minggu
bersekolah di sini. Seharusnya kau menunjukkan sikapmu yang paling baik."
Brian tersipu-sipu. Wajahnya lebih merah dari wajah siapa pun yang pernah
kulihat. Dia menundukkan kepala, seolah-olah memang bersalah.
Aku menarik napas panjang "Ms. Walker, kami harus diberi kesempatan untuk
menjelaskan semuanya!" aku berseru, "Bukan kami yang melakukan ini!
Gambar latarnya sudah begini waktu kami datang! Sungguh?"
Ms. Walker hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian berubah pikiran.
"Oke." Dia langsung menyilangkan tangan di depan dada. "Silakan. Tapi saya
ingin mendengar yang sebenarnya."
"Ya," ujarku. Aku mengangkat tangan kanan, seakan-akan sedang bersumpah
"Brian, Zeke, dan saya memang masuk tanpa izin. Tapi sebenarnya bukan dengan
paksa. Kami memanjat lewat jendela yang terbuka."
"Kenapa?" Mr. Walker bertanya dengan tegas "Untuk apa kalian datang ke sini"
Kenapa kalian bukan di rumah masing-masing, seperti seharusnya?"
"Kami ingin mencari si Hantu," Zeke menyahut. Rambutnya yang pirang
disibakkannya dengan sebelah tangan. Dia selalu berbuat begitu kalau lagi
tegang. "Tadi pagi kami sudah bercerita mengenai si Hantu, tapi Anda tidak percaya."
"Tentu saja saya tidak percaya" balas Ms. Walker. "Itu hanya legenda tua.
Sebuah cerita." Ia menatap Zeke sambil mengerutkan kening.
Zeke menghela napas. "Kami sudah bertemu si Hantu, Ms. Walker. Brooke dan
saya. Karni melihatnya. Dia-lah yang mencorat-coret gambar latar. Bukan kami.
Dia yang turun lewat tali dan catwalk. Dan menyergap Brooke waktu latihan."
"Kenapa saya harus percaya itu?" tanya Ms. Walker, masih sambil
menyilangkan tangan di depan dada.
"Karena memang benar," kataku. "Zeke, Brian, dan saya - kami datang ke sini
untuk mencari si Hantu."
"Di mana kalian akan mencarinya?"' Ms. Walker bertanya.
"Ehm," Zeke bergumam. "Kemungkinan di bawah panggung."
"Maksudnya, kalian mau turun lewat pintu kolong?" tanya Ms. Walker.
Aku mengangguk "Mungkin. Kalau terpaksa."
"Tapi saya sudah melarang semua orang mendekati pintu kolong," guru kami
menegaskan. "Saya tahu," ujarku. "Dan saya menyesal. Kami semua menyesal. Tapi kami
harus menemukan si Hantu, untuk membuktikan kepada Anda bahwa dia
memang ada, bahwa kami tidak mengada-ada."
Tampang Ms. Walker tetap kencang. Dia tetap menatap kami sambil mendelik.
"Sampai sekarang saya belum mendengar apa pun yang bisa meyakinkan saya."
"Waktu kami datang tadi, kami mendengar suara-suara," Zeke memberitahunya
sambil bergoyang-goyang dengan canggung. "Suara langkah. Suara lantai
berderak. Jadi kami tahu ada orang lain di sini."
"Lalu gambar latarnya mulai turun," Brian menimpali dengan suara kecil. dan
bergetar, "Kami cuma berdiri di sini dan memperhatikannya turun sendiri, Ms.
Walker. Sungguh. Dan waktu kita lihat bahwa gambarnya sudah dicoret-coret,
kami... kami sendiri kaget sekali!"
Roman muka Ms. Walker agak melunak. Brian begitu gugup, sehingga Ms.
Walker kelihatannya mulai percaya.
"Saya sudah bekerja keras untuk membuat gambar latar itu," Brian melanjutkan.
"Ini tugas pertama yang saya kerjakan di sekolah ini, dan saya ingin hasilnya
sebaik mungkin. Saya tidak mungkin merusak gambar saya sendiri sebagai
lelucon konyol. Saya tidak mungkin berbuat begitu."
Ms. Walker menurunkan tangannya. Dia menatap kami satu per satu, lalu
kembali memperhatikan gambar latar. Kemudian dia membaca pesan yang
tertulis di bagian bawah sambil menggerakkan bibir tanpa bersuara:
JANGAN GANGGU RUMAHKU Dia memejamkan mata dan diam beberapa saat. Kemudian dia kembali
berpaling kepada kami. "Sebenarnya saya ingin mempercayai kalian," dia
mengakui sambil mendesah "Tapi saya tidak bisa."
Dia mulai mondar-mandir di hadapan kami. "Saya kembali ke sekolah sebab
saya lupa membawa kertas-kertas ulangan matematika kalian. Lalu saya
mendengar suara di auditorium. Saya masuk ke sini, dan melihat kalian di
panggung. Gambar latar sudah rusak dicoret-coret. Catnya masih basah. Dan
kalian berharap saya percaya bahwa hantu misterius dari tujuh puluhan tahun
silam-lah yang bertanggung jawab."
Aku diam saja. Begitu pula Zeke dan Brian. Rasanya tak ada lagi yang bisa
kami katakan. "Anehnya, saya mulai mempercayai kalian," Ms. Walker menambahkan sambil
mengerutkan kening. Kami bertiga menarik napas lega
"Maksudnya, saya mulai percaya bahwa bukan kalian yang mencorat-coret
gambar latar." Dia kembali menggelengkan kepala "Ayo, kita pulang saja," dia
berkata dengan lembut. "Malam sudah larut. Saya perlu merenungkan kejadian
ini. Barangkali kita perlu minta Mr. Levy mengadakan penyelidikan. Siapa tahu
dia bisa menemukan orang yang berniat menggagalkan sandiwara kita."
Oh, gawat, ujarku dalam hati. Jangan bawa-bawa kepala sekolah. Bagaimana
kalau dia memutuskan bahwa sandiwara kita harus dibatalkan" Tapi aku tidak
mengatakan apa-apa. Zeke dan Brian pun diam saja. Kami bahkan tidak saling
berpandangan. Kami hanya mengikuti Ms Walker ke lorong.
Aku lega sekali karena Ms. Walker akhirnya mulai mempercayai kami. Dan
juga karena dia tidak menjatuhkan hukuman.
Dia menyalakan lampu di lorong supaya kami tidak perlu berjaian dalam
kegelapan. Tiba-tiba kami berhenti serempak.
Kami semua melihat bercak-bercak cat merah yang mengotori lantai lorong.
"Hmm, coba lihat ini!" seru Ms. Walker. "Tukang cat kita agak sembrono. Dia
meninggalkan jejak untuk diikuti."
Ms. Walker menyalakan sejumlah lampu lain, dan kemudian kami mengikuti
bercak-bercak cat itu sampai ke ujung lorong. Jelas-jelas kami melihat jejak
sepatu di salah satu genangan cat.
"Ya ampun," bisik Zeke. "Dia meninggalkan jejak."
"Untung saja," aku menyahut, juga sambil berbisik. "Bercak-bercak cat ini
mungkin aka? membawa kita ke orang yang merusak gambar latar."
"Maksudmu si. Hantu?" ujar Zeke.
Kami membelok dan melewati sebuah noda kecil.
"Paling tidak ini akan membuktikan kepada Ms. Walker bahwa kita tidak
mengada-ada," Brian berkata pelan-pelan.
Kami kembali membelok. Jejak cat merah itu mendadak lenyap. Bercak terakhir tampak di depan sebuah
pintu locker. "Hmm," Ms. Walker bergumam sambil mengerutkan kening. Dia mengalihkan
pandangan dari bercak di lantai ke pintu locker. "Kelihatannya jejak ini menuju
kemari." "Hei!?" Zeke berseru tiba-tiba, sehingga kami semua tersentak kaget. Aku
melihatnya membelalakkan mata. "Itu lockerku!"
17 SEJENAK semuanya membisu.
Aku mendengar napas Zeke tersengal-sengal. Aku berpaling ke arahnya. Dia
sedang memelototi lockernya seakan-akan pandangannya sanggup menembus pintu
logam yang berwarna kelabu itu.
"Buka locker- mu , Zeke," Ms. Walker memerintahkan sambil mengertakkan gigi.
"Hah?" Zeke menatapnya dengan bingung, Seolah-olah tidak mengerti ucapan
Ms. Walker. Dia menundukkan kepala dan memperhatikan bercak-bercak cat
merah pada lantai di bawah pintu lockernya.
"Ayo, buka locker- mu ," Ms Walker mengulangi. Tiba-tiba dia kelihatan letih
sekali. Zeke tetap tidak bereaksi. "Tapi tapi tidak ada apa-apa di dalamnya," Zeke
memprotes. "Cuma buku pelajaran dan buku catatan dan sebagainya."
"Ayo" Ms. Walker menunjuk kunci kombinasi "Ayo, Zeke. Sudah malam."
"Anda menyangka bahwa - ?" Zeke mulai berkata.
Ms. Walker kembali menunjuk kunci kombinasi di pintu.
"Barangkali ada orang yang menjadikan Zeke sebagai kambing hitam," ujarku
"Barangkali orang itu sengaja meninggalkan bercak-bercak cat yang menuju ke
locker Zeke." "Mungkin saja," Ms. Walker menyahut singkat. "Karena itulah saya minta dia
membuka lockernya." "Oke, oke," Zeke bergumam. Tangannya gemetaran ketika dia meraih kunci
kombinasi. Sambil membungkuk dia memutar kunci itu - mula-mula ke kiri,
lalu ke kanan "Minggir sedikit dong." dia menggerutu. "Kau menghalangi sinar lampu.
Aku langsung mundur, "Sori" Aku baru sadar bahwa dia tidak bisa melihat
angka-angka pada kunci kombinasi karena terhalang bayanganku.
Aku melirik ke arah Brian. Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana.
Dia bersandar di dinding dan memperhatikan Zeke memutar-mutar kunci
kombinasi. Akhirnya terdengar bunyi klik. Zeke segera menarik pegangan pintu dan membuka
pintunya. Aku langsung mencondongkan badan ke depan untuk mengintip. Ms. Walker
juga. Akibatnya kepala kami nyaris bertabrakan.
Kami sama-sama melihat kaleng kecil berisi cat. Sebuah kaleng cat warna
merah di dasar locker, Tutupnya tidak terpasang rapat. Di pinggir kaleng masih
ada tetes-tetes cat yang mengalir ke bawah.
"Tapi itu bukan punya saya!" Zeke berseru.
Ms. Walker menarik napas panjang. "Sori, Zeke."
"Kaleng cat itu bukan punya saya!" Zeke berkeras. "Sungguh, Ms. Walker!
Bukan!" "Saya akan menelepon orangtuamu dan mengundang mereka ke sini untuk
mengadakan pembicaraan serius," Ms. Walker berkata sambil menggigit bibir.
"Dan tentu saja, kau tidak bisa ikut dalam sandiwara kita."
"Oh, jangan dong, Ms. Walker!" Zeke menggerutu. Pintu locker- nya dibanting
sekeras mungkin. Bunyinya bergema di sepanjang lorong yang lengang.
Ms. Walker tersentak kaget. Zeke ditatapnya dengan marah. Kemudian dia
berpaling kepada Brian dan aku. "Jadi kalian berdua juga terlibat" Katakan yang
sebenarnya!" "Tidak!" seru Brian dan aku berbarengan.
"Bukan kami yang melakukannya," aku menambahkan, lalu hendak berkata,
"Zeke juga bukan."
Tapi aku sadar bahwa usahaku sia-sia saja. Kaleng cat di locker Zeke
merupakan bukti yang sukar disangkal.
Zeke tidak bisa berkelit.
"Kalau saya mendengar bahwa kau dan Brian ternyata ikut terlibat, maka kalian
juga akan dicoret dari daftar pemain dan orangtua kalian juga akan dipanggil,"
Ms. Walker mengancam. "Sekarang pulanglah."
Kami segera keluar lewat pintu depan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Udara malam terasa dingin di kulitku yang panas. Aku menggigil.
Bulan sabit setengah tersembunyi di balik gumpalan kabut kelabu. Kabut itu
tampak bagaikan sosok hantu yang hendak menelan bulan
Aku mengikuti Zeke dan Brian menuruni tangga di muka gedung sekolah.
"Brengsek," Zeke menggerutu dengan gusar. "Betul- betul brengsek."
"Yeah," aku bergumam sambil mengangguk-angguk. Kasihan si Zeke. Dia
benar-benar kesal. Dan keadaannya bakal tambah gawat kalau orangtuanya sudah
ditelepon oleh Ms. Walker.
"Bagaimana kaleng cat itu bisa masuk ke locker- mu?" Brian bertanya sambil
melirik ke arah Zeke. Zeke langsung melengos. "Mana kutahu"!" balasnya sengit.
Kami menuju ke trotoar. Dengan gusar Zeke menendang kotak jus yang sudah
kosong ke tengah jalan. "Sampai besok deh," ujar Brian dengan muram. Dia melambaikan tangan, lalu
berjalan ke arah rumahnya.
Zeke berlari kecil ke arah yang berlawanan.
"Kita tidak pulang bareng-bareng?" aku memanggil.
"Tidak," dia menyahut sambil terus berlari. Lega juga rasanya dia
mendahuluiku. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa padanya.
Perasaanku tak menentu. .
Aku berjalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala dan berpikir keras, ketika
aku melihat titik cahaya mengambang di kegelapan di hadapanku.
Titiknya bertambah besar, dan aku menyadari bahwa itu lampu sepeda.
Sepedanya membelok ke pelataran parkir di sekolah, lalu meluncur ke arahku.
Ketika jaraknya tinggal satu atau dua meter, aku baru mengenali
pengendaranya. "Tina!" aku berseru terkejut. "Kenapa kau ada di sini?"
Dia berhenti. Matanya yang gelap memantulkan cahaya lampu jalanan di atas
kepala kami. Dia mengembangkan senyum. Senyum yang janggal.
"Hai, Brooke! "
Apakah dia ada di sekolah tadi" aku bertanya dalam hati. Apakah dia baru dari


Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekolah" "Dari mana kau?" aku mengulangi.
Dia tetap tersenyum simpul. "Dan rumah teman," katanya.
"Kau baru dari sekolah, ya?" aku mendesak.
"Dari sekolah" Tidak. Untuk apa aku ke sana malam-malam begini?" jawabnya.
Dia bergeser sedikit di jok sepeda, lalu kembali menginjak pedal. "Sebaiknya
jaketmu dikancingkan saja, Brooke," dia berkata padaku. "Kau tidak ingin kena
flu, kan?" 18 PADA hari Sabtu sepanjang hari kami mengadakan latihan sandiwara di
auditorium. Pertunjukannya tinggal seminggu lagi.
Kami semua bekerja keras, dan latihannya pun berjalan lancar. Aku cuma dua
kali lupa kalimat yang harus kuucapkan.
Tap tanpa Zeke rasanya tetap lain.
Robert Hernandez telah menggantikan tempatnya. Aku suka Robert, hanya saja
dia terlalu serius. Dia tidak pernah bisa memahami lelucon-leluconku, dan dia
juga tidak suka bercanda atau dijaili.
Sehabis makan siang, Robert dan Corey melatih sebuah adegan bersama-sama.
Ms. Walker belum kembali dari makan siangnya.
Aku menghampiri Brian. Dia memegang kuas yang baru dicelupnya ke dalam
cat hitam. Dia sedang berdiri -membungkuk di atas gambar latar yang baru, dan
memberi sentuhan terakhir pada beberapa batu bata.
"Bagus juga," aku memuji. Tiba-tiba saja aku merasa terdorong untuk menepuk
punggungnya supaya catnya berlepotan. Tapi kemudian aku memutuskan
bahwa itu bukan ide yang baik.
Aku sendiri tidak mengerti dari mana dorongan-dorongan mendadak seperti itu
berasal. "Bagaimana latihannya?" Brian bertanya tanpa menoleh. Dia sedang menambal
beberapa titik yang sebelumnya terlewatkan olehnya.
"Lumayan," kataku sambil memandang berkeliling. Aku melihat Tina sibuk
dengan kaleng besar berisi lem di seberang panggung. Dia sedang mengoleskan
lem ke lampu gantung yang terbuat dari karton.
"Robert bagus juga sebagai hantu," ujar Brian sambil menggaruk dagu dengan
ujung tangkai kuas "Yeah," aku membenarkan, "tapi aku tetap merasa kehilangan Zeke."
Brian mengangguk. Kemudian dia menoleh dan menatapku. "Kau tahu, tidak"
Sejak Zeke pergi tak ada lelucon konyol lagi. Tak ada dekor yang rusak. Tak
ada hantu misterius yang mengagetkan kita semua. Tak ada pesan ancaman di
dinding. Tak ada apa-apa. Tak ada satu kejadian buruk pun sejak Ms. Walker
mengusir Zeke." Terus-terang, aku sama sekali tidak memperhatikannya Tapi Brian benar. Sejak
Zeke dicoret dari daftar pemain, si Hantu sama sekali tak pernah muncul lagi.
Semuanya berjalan dengan lancar. Dan aku bahkan tidak menyadarinya.
Apakah ini berarti bahwa memang Zeke yang tampil sebagai si Hantu" Bahwa
Zeke yang bertanggung jawab atas segala kejadian aneh yang kami alami"
"Orangtua Zeke pasti marah, ya, waktu Ms. Walker memanggil mereka ke
sekolah?" tanya Brian, "Apakah Zeke kena hukuman?"
"Tentu saja," sahutku, sambil terus memikirkan si Hantu "Dia dihukum tidak
boleh keluar main seumur hidup. Dan videonya juga diambil. Berarti dia tidak
bisa nonton film horor. Zeke tidak bisa hidup tanpa film horor."
Brian terkekeh-kekeh, "Barangkali Zeke sudah terlalu banyak nonton film horor,"
katanya. "Oke, semuanya!" sebuah suara berseru keras-keras. Aku menoleh dan melihat
Ms. Walker sudah kembali dari makan siangnya "Kita mulai dari adegan
pembukaan Babak Dua," dia mengumumkan. "Kita akan melatih seluruh babak
sampai selesai." Aku meninggalkan Brian dan bergegas ke bagian depan panggung. Esmerelda
tampil dalam hampir semua adegan di Babak Dua. Kali ini aku akan
memastikan bahwa aku ingat semua kalimat yang harus kuucapkan.
Ketika aku menghampiri Robert, aku melihat Ms. Walker meraih naskahnya
dari meja. Dia memegangnya dengan kedua tangan, hendak membuka Babak
Dua. Aku memperhatikan ekspresinya berubah ketika tangannya mengutak-atik
naskah tersebut. Dia menggerutu. Kemudian dia kembali menarik-narik buku
tebal itu. "Hei -" serunya gusar. "Siapa ini yang iseng?"
"Ms. Walker, ada apa?" tanya Robert.
Ms. Walker mengacungkan naskahnya dengan mengguncang-guncangya
dengan jengkel. "Buku saya - semua halamannya direkatkan dengan lem" dia
marah-marah. Anak-anak di sekitar panggung menahan napas.
"Oke, ini sudah keterlaluan" seru Ms. Walker. Buku naskah dilemparkannya ke
dinding, "Ini lelucon yang terakhir! Sandiwara ini dibatalkan. Silakan pulang,
semuanya! Sandiwara kita batal!"
19 "Tapi Ms. Walker pasti berubah pikiran lagi, kan?" tanya Zeke.
Aku mengangguk. "Yeah. Setelah beberapa detik dia sudah tenang lagi, dan dia
bilang sandiwara kita bisa diteruskan. Tapi sampai selesai latihan dia jadi
uring-uringan dan gampang marah."
"Paling tidak, kali ini dia tidak bisa menyalahkan aku," ujar Zeke. Dia
menggelindingkan bola berwarna pink melintasi ruang tamu, dan Buster, anjing
cocker spaniel- nya yang berbulu hitam, langsung mengejarnya.
Brian dan aku sengaja mampir ke rumah Zeke untuk menceritakan
perkembangan terakhir. Zeke dilarang keluar main - mungkin untuk seumur
hidup - sehingga terpaksa mendekam di dalam rumah. Qrangtuanya sedang
nonton film di bioskop. Mereka akan pulang beberapa jam lagi.
Buster melepaskan bola dan mulai menyalak ke arah Brian.
Zeke ketawa. "Dia tidak suka padamu, Brian." Dia meraih bola dan kembali
menggelindingkannya di atas karpet.
Tapi bolanya tak digubris oleh Buster. Dia terus menggonggong ke arah Brian.
Brian tersipu-sipu. Dia mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepala
anjing itu. "Kenapa sih kau" Aku bukan orang jahat."
Buster langsung menghindar dan berlari untuk mencari bola yang telah
menggelinding sampai ke lorong.
"Hmm, ini bukti nyata bahwa ada orang iseng lain di kelas kita," ujar Zeke, dan
senyumnya langsung lenyap. Dia menyandarkan punggung di sofa yang
didudukinya. "Berarti sekarang terbukti bahwa bukan aku yang berusaha
menggagalkan sandiwara kita."
Sebenarnya aku ingin menanggapinya dengan bercanda, tapi aku melihat roman
muka Zeke serius. Karena itu aku diam saja.
"Di sekolah kita memang ada hantu,. dan hantunya bukan aku," kata Zeke.
"Tapi sekarang semua orang menganggap aku pembohong. Ms. Walker pikir
aku mau menggagalkan sandiwara kita. Dan orangtuaku sendiri menyangka aku
anak yang tidak bisa diatur."
"Sebagai hantu kau jauh lebih bagus daripada Robert," aku berusaha
menghiburnya. "Waktunya kurang dari seminggu lagi dan Robert belum juga
hafal kalimat-kalimatnya. Bahkan dia menyesal ikut seleksi sandiwara ini.
Sebenarnya dia sudah tidak mau ikutan lagi."
Zeke langsung berdiri. "Kalau kita bisa membuktikan bahwa bukan aku
hantunya, aku yakin Ms. Walker akan mengembalikan peran itu padaku."
"Oh-oh," kataku. Pikiran Zeke sudah terbaca olehku. Aku sudah tahu ucapannya
yang berikut. "Oh-oh," Brian membeo. Rupanya dia juga sudah bisa membayangkannya.
"Ayo, kita ke sekolah," ujar Zeke. Matanya berbinar-binar. "Kali ini hantu itu
akan kita cari sampai ketemu. Aku benar-benar ingin mendapatkan peranku
kembali." Aku menggelengkan kepala. "Jangan, Zekce -"aku mulai membujuknya.
"Aku mau membuktikan kepada semua orang bahwa bukan aku yang berniat
menggagalkan sandiwara kita," Zeke berkeras.
Brian melemparkan bola kepada Buster. Tapi anjing itu tidak bereaksi "Tapi
kau kan lagi dihukum," Brian mengingatkan Zeke.
Zeke angkat bahu. "Kalau kita bisa menemukan hantu itu dan membuktikan
bahwa aku tidak bersalah, orangtuaku justru akan senang aku melanggar
larangan mereka. Dan setelah itu hukumanku pasti dihapus. Ayo dong. Kita
coba sekali lagi, oke?"
Aku menatap Zeke sambil mengerutkan kening. Terus terang, aku tidak setuju
pada gagasannya itu. Terakhir kali kami menyusup ke auditorium, kami semua
mendapat kesulitan besar.
Tampang Brian pun menunjukkan bahwa dia enggan pergi ke sana.
Tapi bagaimana kami bisa menolak ajakan Zeke" Dia sudah sampai memohonmohon! *** Udara malam itu sebenarnya cukup hangat, tapi aku tetap kedinginan. Ketika
kami berjalan ke sekolah aku terus melihat bayangan-bayangan yang seakanakan hendak menyergap kami. Tapi setiap kali aku menoleh, bayanganbayangan itu langsung menghilang.
Brooke, kau terlalu banyak mengkhayal, aku menegur diriku sendiri.
Tapi kenapa jantungku terus berdentum-dentum bagaikan gendang besar ditalu"
Kenapa aku tidak berada di rumah dan menonton TV bersama Jeremy" Aku
punya firasat buruk mengenai petualangan kami. Firasat yang sangat buruk.
Kami tidak membuang-buang waktu dengan mencoba membuka pintu. Kami
memasuki gedung sekolah dengan cara sama seperti terakhir kali, yaitu dengan
memanjat lewat jendela ruang PKK. Kemudian, sekali lagi kami menyusuri
lorong-lorong gelap ke arah auditorium.
Deretan lampu di atas barisan kursi paling belakang ternyata masih menyala.
Panggung tampak gelap dan kosong di hadapan kaml, kecuali gambar latar yang
menempel di dinding. Zeke menyusuri gang di tengah. Brian dan aku sudah dibekali senter, dan kami
segera menyalakan senter masing-masing ketika menuju ke panggung. Berkas
cahayanya menyoroti deretan bangku kosong. Aku mengarahkan senterku ke
depan dan membiarkan cahayanya menyapu seluruh panggung.
Tak ada siapa-siapa di sana. Semuanya kelihatan biasa saja.
"Zeke, kita cuma buang-buang waktu di sini," ujarku sambil berbisik, biarpun
tak mungkin ada yang mendengar kami
Dia menempelkan telunjuk ke bibir "Kita harus turun ke bawah panggung," dia
menyahut sambil memandang lurus ke depan, "Dan kita akan menernukannya,
Brooke. Kali ini, kita akan menemukannya."
Belum pernah aku melihat Zeke begitu serius, begitu bersungguh-sungguh.
Bulu kudukku berdiri. Tapi aku memutuskan untuk tidak berdebat dengannya.
"Ehm.... mungkin lebih baik kalau aku tunggu di sini sementara kalian ke
bawah," Brian mengusulkan "Aku akan berjaga-jaga di panggung."
"Berjaga-jaga terhadap siapa?" balas Zeke, sambil menyorotkan senternya ke wajah
Brian. Roman muka Brian jelas-jelas ketakutan "Terhadap.. siapa saja yang mungkin
datang," dia menyahut pelan-pelan.
"Semua harus ikut turun," Zeke berkeras "Aku butuh dua saksi kalau kita
menemukan si Hantu - kau dan Brooke."
"Tapi si Hantu memang hantu - ya, kan?" tanya Brian "Bagaimana caranya
mencari hantu?" Zeke langsung melotot, "Pokoknya, kita cari dia sampai ketemu."
Brian angkat bahu. Dia dan aku sama-sama sadar bahwa malam ini tak ada gunanya
berdebat dengan Zeke. Papan-papan lantai panggung berderak-derak ketika kami menghampiri pintu
kolong. Berkas sinar senter-senter kami menerangi celah di sekeliling pelataran.
Brian dan aku berdiri di tengah-tengahnya. Zeke menginjak tuas di lantai, lalu
melompat ke samping kami.
Seketika terdengar bunyi berdentang yang sudah akrab di telinga kami. Lalu
bunyi berdengung saat pelatarannya mulai turun. Panggung seakan-akan
bergerak naik. Dalam waktu beberapa detik saja kami sudah dikelilingi empat
dinding gelap. Cahaya senter menyapu permukaan dinding. Sementara kami terus turun.
Suasana kian mencekam, dan semangatku pun semakin redup. Lututku mulai
gemetaran. Kami berdiri di tengah-tengah pelataran. Bunyi berdentang dan menggerisik
bertambah keras. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.
Selama beberapa detik tak ada yang bergerak.
Zeke yang pertama turun dan pelataran. Dia mengangkat senternya dan
menyorotkannya ke segala arah. Kami berada di tengah-tengah ruangan besar
yang kosong. Di kiri-kanan ada terowongan yang entah menuju ke mana.
"Sini, Hantu! Kemari, kau!" Zeke memanggil pelan-pelan, seakan-akan
memanggil anjingnya. "Hantu, di mana kamu?" dia bertanya dengan nada
bersenandung. Aku pun turun dari pelataran dan mendorongnya dengan keras.
"Jangan macam-macam," kataku. "Tadi kau bilang kau sedang serius. Kenapa
malah bercanda sekarang?"
"Supaya kau jangan terlalu ngeri," sahut Zeke.
Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Dia bercanda supaya dia jangan terlalu ngeri.
Aku menatap Brian. Dalam cahaya yang redup pun aku langsung melihat bahwa
wajahnya pucat pasi. "Tidak ada siapa-siapa di sini," katanya. "Ayo, kita naik
lagi deh." "Nanti dulu," ujar Zeke, "ikuti aku. Arahkan sentermu ke bawah, supaya jalannya
kelihatan." Brian dan aku berdampingan mengikuti Zeke. Kami memasuki terowongan
panjang, berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan pasang telinga.
Hening. Lututku masih gemetaran. Dan bukan lututku saja, tapi seluruh tubuhku. Tapi
Zeke kelihatan begitu berani. Dia tidak boleh tahu bahwa aku ngeri.
"Terowongan ini kemungkinan membentang sampai ke ujung gedung sekolah,"
bisik Zeke sambil mengarahkan senternya ke depan, "Mungkin lebih jauh lagi.
Sampai ke ujung blok"
Kami kembali maju beberapa langkah - lalu berhenti karena mendengar bunyi di
belakang. Bunyi berdentang diikuti dengungan keras.
"Hei!" Brian memekik.
"Pelatarannya" Kami bertiga membalik dan mulai berlari ke arah pelataran. Suara langkah kami
terdengar bergema di terowongan yang gelap.
Aku terengah-engah ketika sampai di ruangan semula. Aku nyaris tak sanggup
menarik napas "Pe - pelatarannya naik sendiri!" Zeke berseru.
Tak berdaya kami rnenyaksikan pelataran itu bergerak ke atas, kembali ke
panggung. "Tekan tombolnya!" Zeke berpesan padaku. "Bawa turun lagi!"
Aku meraba-raba dinding berusaha menemukan tombol yang dimaksud, lalu
berusaha menggerak-gerakkannya. Tapi tombol itu macet.
Oh, bukan. Ternyata dikunci.
Seseorang menguncinya supaya tidak bisa digunakan.
Pelataran pintu kolong berhenti jauh di atas kepala kami. Zeke, Brian, dan aku
sama-sama membisu sambil memandang kegelapan di atas
"Zeke, kita terperangkap di sini." aku bergumam "Kita tidak bisa naik lagi Kita
benar-benar terperangkap."
20 KAMI menunggu untuk melihat apakah seseorang akan turun. Tapi
pelatarannya tetap berhenti di
atas . Brian bertanya dengan suara bergetar, "Siapa yang menaikkan pelataran" Siapa
yang menginjak tuas supaya pelatarannya naik lagi?"
"Si Hantu!" seruku. Aku berpaling kepad? Zeke. "Sekarang bagaimana?"
Zeke angkat bahu. "Kelihatannya tidak ada pilihan lain. Kalau kita mau keluar
dari sini, kita harus menemukan si Hantu!"
Berkas sinar senter-senter kami menerangi lantai ketika kami kembali
memasuki terowongan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kami menyusuri
terowongan yang berliku-liku.
Dasar terowongannya mulai becek dan berlumpur. Udara pun bertambah dingin.
Di kejauhan aku mendengar bunyi menciut-ciut. Moga-moga bukan kelelawar,
aku berharap dengan cemas.
Brian dan aku harus mengayunkan langkah dengan cepat agar tidak tertinggal
oleh Zeke. Dia berjalan dengan Iangkah panjang, sementara senternya berayun
maju-mundur. Tiba-tiba aku mendengar seseorang bersenandung pelan. Baru kemudian


Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kusadari itu suara Zeke. Dia sedang bersenandung sendiri.
Ya ampun, Zeke! aku berkata dalam hati. Masa sih kau sama sekali tidak ngeri"
Kau tidak bisa menipuku dengan sikapmu yang sok tenang. Kau sama takutnya
seperti aku. Aku baru hendak mengolok-oloknya, tapi terowongan mendadak berakhir dan
kami berdiri di depan pintu yang rendah. Brian berdiri di belakang. Tapi Zeke
dan aku langsung menghampiri pintu itu dan memeriksanya di bawah cahaya
senter. "Siapa di sini?" Zeke memanggil dengan suara kecil yang berkesan janggal.
Tak ada jawaban. Aku mengulurkan tangan dan mendorong pintu, yang lalu membuka diiringi
bunyi berderak-derak. Zeke dan aku mengangkat senter masing-masing dan
mengarahkannya ke ruangan di balik pintu
Ruangan itu ternyata penuh perabot. Ada kursi lipat. Sofa lusuh dengan satu jok
sudah hilang. Rak-rak buku di sepanjang dinding.
Cahaya senterku menerangi meja kecil. Di atasnya ada mangkuk dan sebungkus
cornflakes (serpihan jagung-edit) . Aku mengalihkan senterku dan melihat tempat
tidur kecil yang berantakan di dinding seberang.
Zeke dan Brian menyusulku. Berkas sinar senter-senter kami menyapu semua
barang yang ada di dalam ruangan itu. Sebuah alat pemutar piringan hitam kuno
tampak di atas meja rendah. Di sampingnya terdapat tumpukan rekamanrekaman lama. "Astaga!" bisik Zeke. Senyumnya mulai berkembang.
"Rasanya kita berhasil menemukan tempat tinggal si Hantu," aku menyahut.
Brian menghampiri meja, lalu menyorot mangkuk sereal dengan senternya. "Si
Hantu - dia baru saja di sini," ujar Brian. "Cornflakes- nya belum melempem."
"Wow!" aku berseru. "Ternyata ada orang yang tinggal di sini, jauh di bawah -"
Aku berhenti karena merasa mau bersin. Aku berusaha menahannya. Tapi siasia. Aku bersin satu kali. Dua kali. Lima kali.
"Ssst, Brooke!" Brian mendesis. "Jangan ribut dong. Dia akan mendengarmu."
"Justru bagus dong. Kita kan mau menemukan dia," Zeke mengingatkan Brian.
Aku bersin tujuh kali. Lalu sekali lagi sebagai pelengkap. Akhirnya serangan
bersin itu berlalu. "Dia pasti mendengarnya. Aku jamin dia mendengarnya," Brian meratap.
Dengan panik dia memandang berkeliling.
Pintu mendadak menutup sendiri.
"Aaah!" Kami bertiga memekik kaget.
Jantungku langsung berdegup kencang. Setiap otot di tubuhku menegang.
Kami berbalik, menatap pintu. Pintu itu tidak terdorong oleh angin. Seseorang
telah menutupnya. Zeke yang pertama bereaksi. Dia langsung melompat ke pintu, lalu meraih
pegangannya dan mengguncang-guncangkannya dengan sekuat tenaga.
Pintu tak bergerak sedikit pun.
Zeke berusaha mendorong dengan bahunya, tapi hasilnya sama saja.
Untuk pertama kali dia kelihatan ngeri. "Kita - kita terkunci di sini," ujarnya
pelan-pelan. 21 AKU bergegas ke samping Zeke. "Barangkali pintunya bisa dibuka kalau kita
dorong bersama-sama," aku mengusulkan.
"Mungkin saja," sahut Zeke. Tapi sepertinya dia tidak berani berharap terlalu
banyak. Aku menelan ludah. Melihat Zeke ketakutan membuat aku semakin ngeri.
"Yeah. Coba kita dorong bersama-sama," Brian mendukung usulku sambil
melangkah maju, "Kalau perlu, pintu ini kita dobrak saja!"
Begitu dong, Brian! kataku dalam hati. Akhirnya dia memperlihatkan sedikit
semangat. Kami merapatkan pundak ke pintu dan bersiap-siap untuk mendorong.
Aku menarik napas panjang dan menahannya untuk menenangkan diri. Lengan
dan kakiku serasa terbuat dari permen karet.
Aduh, ini benar-benar seram, pikirku. Kalau kami terkunci di ruangan kecil ini
dan tidak sanggup keluar, bisa-bisa kami harus menghabiskan sisa hidup kami
di sini. Kami terpisah bermil-mil jauhnya dari dunia luar.
Semua orang akan mencari kami di atas. Dan mereka takkan pernah
menemukan kami. Biarpun kami menjerit dan berteriak sekuat tenaga, takkan
ada yang mendengar kami. Kami akan terperangkap untuk selama-lamanya.
Sekali lagi aku menarik napas panjang.
"Oke, aku hitung sampai tiga," kataku. "Pada hitungan ketiga, semuanya harus
mendorong pintu." Zeke mendahuluiku. "Satu... dua..."
"Hei! Tunggu aku memotong, lalu mengamati pintu sambil mengerutkan kening
"Pintunya kita dorong ke sebelah dalam waktu masuk ke sini, yakan?"
"Yeah, rasanya sih ya," balas Zeke. Dia menatapku sambil mengerutkan kening.
"Berarti tidak bisa didorong dari dalam," ujarku. "Pintunya harus ditarik."
"Hei - benar juga!" seru Zeke.
Aku meraih pegangan pintu, memutarnya, dan menarik dengan keras.
Pintu langsung membuka. Dan kemudian kami melihat laki-laki kecil yang berdiri di ambang pintu.
Senterku kuarahkan ke wajahnya, dan seketika aku mengenalinya.
Emile. Laki-laki kecil berambut putih yang mengaku sebagai petugas
kebersihan yang berdinas malam.
Dia menghalangi pintu dan memelototi kami sambil menyeringai dan
memicingkan mata. 22 "JANGAN ganggu kami!" aku menjerit.
Dia tidak beranjak. Mata kelabunya yang aneh beralih dari Zeke ke Brian lalu
menatapku. "Jangan ganggu kami!" aku mengulangi. Lalu kutambahkan dengan nada
memohon, "Jangan, ya?"
Roman mukanya malah bertambah kencang. Cahaya senter membuat bekas luka
yang memanjang di pipinya kelihatan semakin dalam dan seram.
Dia tetap menghalangi jalan kami. "Kenapa kalian ada di bawah sini?" dia
bertanya dengan suaranya yang parau. "Kenapa kalian ada di tempat
tinggalku?" "Jadi - kaulah hantu itu!" aku berseru.
Dia memicingkan mata dengan bingung "Hantu?" Dia mengerutkan kening
"Rasanya aku memang bisa disebut begitu."
Brian memekik tertahan. "Ini rumahku," laki-laki itu berkata dengan gusar. "Kenapa kalian ada di sini"
Kenapa kalian tidak mengindahkan semua peringatan yang kuberikan?"
"Peringatan?" tanyaku. Tubuhku gemetar begitu hebat, sehingga berkas cahaya
senterku seperti menari-nari di dinding.
"Aku sudah berusaha menghalau kalian dari sini," si Hantu berkata. Menghalau
kalian dari rumahku. "Maksudnya, dengan mencoret-coret gambar latar" Dengan turun lewat tali dari
catwalk" Dengan menaruh topeng dan pesan itu di locker- ku?"
Si Hantu mengangguk. "Dan apa yang terjadi tujuh puluh dua tahun lalu?" aku bertanya padanya. "Apa
yang terjadi padamu waktu sandiwara ini seharusnya dipentaskan untuk pertama
kali" Kenapa kau menghilang malam itu?"
Roman muka si Hantu berubah. Aku melihat sorot bingung dalam matanya yang
bersinar-sinar. "Aku - aku tidak mengerti," dia berkata sambil menatapku
dengan tajam. Rambutnya yang panjang jatuh menutupi keningnya.
"Tujuh puluh dua tahun yang lalu," aku mendesak.
Dia mengembangkan senyum getir. "Hei - aku belum setua itu!" katanya.
"Umurku baru lima puluh tujuh."
"Berarti... kau bukan si Hantu?" Zeke bertanya dengan ragu.
Emile menggelengkan kepala dan menghela napas. "Aku tidak tahu-menahu
soal hantu ini, anak muda. Aku cuma orang tanpa rumah yang berusaha
melindungi tempat berteduhku ini."
Kami bertiga menatapnya sambil menerka-nerka apakah dia bohong atau tidak.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia berkata apa adanya. "Jadi, selama ini
kau tinggal di bawah gedung sekolah?" tanyaku dengan lembut. "Dari mana kau tahu
ten- tang ruangan di bawah sini?"
"Ayahku bekerja selama tiga puluh tahun di sini," jawab Emile. 'Dia sering
mengajakku kemari waktu aku masih kecil. Waktu aku kehilangan apartemenku
di kota, aku teringat tempat ini. Dan sejak itu aku tinggal di ini. Sudah hampir
enam bulan sekarang"
Matanya kembali menyorot marah. Dia menepis rambut yang menutupi
keningnya, dan sekali lagi dia pasang tampang kencang. "Tapi kalian merusak
semuanya," dia berkata dengan ketus, "Gara-gara kalian semuanya jadi rusak."
Sekonyong-konyong dia melangkah maju, dan menghampiri kami dengan
roman muka yang menakutkan.
Aku langsung mundur. "A - apa yang akan kaulakukan pada kami?"
23 "SEMUANYA jadi kacau. Semuanya," ulangnya sambil berjalan ke arah kami.
"Tunggu dulu!" aku berseru sambil mengangkat tangan untuk melindungi diri.
Kemudian aku mendengar bunyi itu. Dari arah terowongan. Bunyi berdentangdentang. Aku berpaling kepada Zeke dan Brian. Rupanya mereka juga mendengarnya.
Pelatarannya! Pelatarannya sedang turun. Kami mendengarnya dari ujung
terowongan. Sepertinya ide itu muncul berbarengan dalam benak kami bertiga. Kami harus bisa
sampai ke pelataran. Itu satu-satunya jalan bagi kami untuk meloloskan
diri. "Kalian merusak semuarya," Emile mengulangi. Nada suaranya tiba-tiba lebih
berkesan sedih daripada marah. "Kenapa kalian tidak menghiraukan semua
peringatan yang kuberikan?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Zeke, Brian, dan aku melesat ke pintu.
"Oh!" Aku sempat menabrak Emile ketika aku melewatinya.
Di luar dugaanku, dia tidak berusaha menangkapku atau mencegahku.
Aku yang pertama menghambur keluar Aku berlari sekencang mungkin. Kakiku
tetap serasa terbuat dari permen karet, tapi kupaksakan untuk terus bergerak,
selangkah demi selangkah.
Aku tidak menoleh ke belakang. Tapi aku bisa mendengar Zeke dan Brian tepat
di belakangku. Dan kemudian aku mehdengar suara Emile membahana di
terowongan: "Kalian merusak semuanya. Semuanya!"
Apakah Emile sedang mengejar kami"
Aku tidak peduli. Satu-satunya keinginanku adalah mencapai pelataran pintu
kolong dan keluar dari situ!
Dengan kalang-kabut aku menyusuri terowongan yang berliku-liku. Sepatuku
setengah terbenam dalam tanah becek setiap kali melangkah Pundakku berkalikali membentur dinding terowongan yang kasar, tapi aku tidak mengurangi
kecepatan. Cahaya senterku menari-nari di hadapanku. Aku segera mengangkatnya ketika
pelataran pintu kolong mulai kelihatan. Napasku tersengal-sengal.
"Hah" Sedang apa kau di sini?" sebuah suara pria berseru.
Ayah Zeke! Zeke, Brian, dan aku langsung naik ke pelataran.
"Ada apa ini?" tanya Mr. Matthews. "Suara siapa yang saya dengar tadi?"
"Naik!" aku berkata sambil terengah-engah. "Bawa kami naik."
Zeke mengulurkan tangan dan menekan tombol. Kali ini tombolnya bisa
digerakkan. Dengan satu sentakan keras pelataran itu mulai bergerak naik
Aku memandang ke arah terowongan. Apakah Emile mengikuti kami"
Tidak. Dia tidak kelihatan.
Dia sama sekali tidak berusaha mengejar.
Aneh, pikirku. Betul-betul aneh.
"Saya mendengar suara laki-laki tadi. Siapa itu?" Mr. Matthews kembali
bertanya. "Dia tunawisma. Dia tinggal di bawah panggung," jawabku. Kemudian aku
menjelaskan apa yang terjadi, dan bagaimana Emile mencoba menakut-nakuti
kami selama berminggu-minggu.
"Dari mana Ayah tahu bahwa kami ada di bawah sana?" Zeke bertanya pada
ayahnya. "Seharusnya kau di rumah," Mr. Matthews berkata dengan tegas "Kau
dihukum. Dan hukumanmu belum selesai. Tapi waktu Ayah tahu kau tidak ada di
rumah, Ayah langsung bisa menebak bahwa kau pergi ke sekolah untuk
menyelidiki panggung ini. Pintu samping sekolah terbuka Ayah masuk ke
auditorium dan mendengar pelataran pintu kolong bergerak. Karena itu Ayah
memutuskan untuk menyusul ke bawah."
"Untung saja!" aku berseru. Rasanya Mr. Matthews ingin kupeluk saja.
Begitu pelatarannya berhenti, kami melangkah ke panggung. Ayah Zeke segera
menelepon polisi. Dia memberitahu mereka bahwa ada tunawisma yang tinggal
di bawah gedung sekolah. Tidak lama kemudian polisi sudah tiba. Kami memperhatikan mereka turun
lewat pintu kolong, lalu menunggu sampai mereka membawa Emile ke atas .
Tapi waktu mereka naik lagi beberapa menit setelah itu, mereka muncul tanpa
Emile. "Tidak ada siapa-siapa di bawah sana," salah satu petugas melaporkan. Dia
membuka helm dan menggaruk-garuk kepala. "Kami hanya menemukan tempat
tidur dan perabotan tua."
"Bagaimana dengan makanannya" Buku-bukunya?" tanyaku.
"Semuanya sudah diangkut," si petugas rnenyahut. "Sepertinya dia pergi
terburu-buru sekali. Pintu ruang bawah tanah juga masih terbuka."
Setelah para petugas kembali ke kantor polisi, Brian mengucapkan selamat
malam dan meninggalkan auditorium. Aku diantar pulang oleh ayah Zeke.
Aku berpaling kepada Zeke "Nah, sekarang kita sudah tahu siapa hantu itu,"
ujarku. Aku merasa agak sedih. "Ternyata cuma laki-laki malang yang tidak
punya rumah. Bukan hantu sungguhan berumur tujuh puluh dua tahun yang
sudah gentayangan sejak sekolah ini dibangun."
"Yeah, aku juga agak kecewa," sahut Zeke sambil mengerutkan kening,
"Sebenarnya aku kepingin Sekali bertemu hantu sungguhan" Roman mukanya
bertambah cerah "Tapi paling tidak Ms. Walker akan mempercayaiku sekarang.
Dan peranku dalam sandiwara kita akan kudapatkan lagi."
Sandiwara kita. Aku hampir lupa tentang sandiwara itu.
Zeke benar, pikirku dengan gembira Dia akan mendapatkan kembali perannya.
Semuanya bakal beres. Si Hantu sudah pergi. Sekarang kita bisa bernapas lega, pikirku. Sekarang kita bisa bersenang-senang
dan menampilkan pertunjukan yang hebat.
Wah. Ternyata aku salah besar!.
24 PADA malam menjelang pertunjukan, aku duduk di ruang ganti cewek sambil
mengoleskan makeup panggung ke wajahku. Aku belum pernah memakai make up
sebanyak itu, dan kurasa hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya aku
memang tidak mau pakai make up tebal-tebal.
Tapi Ms. Walker berkeras bahwa kami harus memakainya. Anak-anak cowok
juga. Katanya, untuk mengurangi pantulan dari lampu-lampu sorot, supaya
wajah kami tidak terlalu mengilap di atas panggung.
Suasana di ruang ganti cewek kacau balau. Semuanya sibuk mengenakan
kostum dan mengoleskan make up. Lisa Rego dan Gia Bentley - dua anak kelas lima
yang cuma dapat peran figuran - terus berdiri di depan cermin sambil
ketawa cekikikan dan mengagumi diri sendiri.
Ketika aku meninggalkan ruang ganti, manajer panggung sudah berseru,
"Perhatian! Semuanya siap di tempat masing-masing!"
Aku mendadak gugup sekali. Tenang saja, Brooke, ujarku dalam hati. Ingat, kau
seharusnya senang karena bisa tampil di sini.
Aku keluar dan ruang ganti, menyusuri lorong, memasuki auditorium lewat
pintu panggung, lalu mengambil tempat di pinggir. Seseorang menepuk
pundakku, dan aku langsung tersentak kaget. Aduh, gugupnya minta ampun
deh! Aku segera menengok. Ternyata aku berhadap-hadapan dengan si Hantu!
Aku tahu orang di balik topeng dan kostum itu cuma Zeke, tapi aku tetap
tertegun. "Zeke! Kau kelihatan seperti hantu sungguhan! Mantap sekali!" aku
berkata padanya. Zeke tidak menyahut. Dia membungkuk dengan sikap formal, lalu bergegas
untuk mengambil tempat. Tirai panggung masih tertutup. Tapi aku bisa mendengar suara para penonton di
baliknya. Wow! Tak ada satu kursi pun yang kosong, aku menyadari. Tiba-tiba aku


Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai gugup lagi. Lampu-lampu mulai meredup. Para penonton langsung terdiam. Lampu-lampu
panggung dinyalakan. Musik mulai mengalun.
Ayo, Brooke, aku berkata dalam hati. Sikat saja!
*** Sandiwara kami berjalan lancar sampai akhir babak pertama. Semua pemain
tampil dengan baik hingga saat itu.
Ketika tirai membuka dan para penonton bertepuk tangan untuk menghargai
dekor, aku melangkah ke panggung bersama Corey. Dan aku sama sekali lupa
pada demam panggungku. "Waspadalah, anakku," Corey mewanti-wanti, sesuai perannya sebagai ayahku
"Ada makhluk misterius yang tinggal di bawah gedung teater ini, hantu
berwajah mengerikan."
"Aku tidak percaya, Ayah!" aku menyahut sebagai Esmerelda. "Ayah hanya
ingin terus mengaturku. Ayah menganggap aku masih kecil!"
Para penonton tampaknya menikmati pertunjukan kami. Mereka tertawa jika
ada sesuatu yang lucu dan beberapa kali bertepuk tangan.
Wah, asyik juga, pikirku. Aku senang tidak merasa gugup. Aku menikmati
setiap menit keberadaanku di atas panggung.
Dan menjelang akhir babak pertama, aku menanti adegan puncak sandiwara
kami. Kabut dry ice tampak melayang-layang di panggung ditembus sorot lampu
berwarna biru, sehingga berkesan menyeramkan.
Aku mendengar pelataran pintu kolong berdentang-dentang. Dan aku tahu
bahwa Zeke, dengan kostum hantunya, sedang naik dari bawah panggung.
Beberapa detik lagi si Hantu akan muncul di tengah-tengah kabut biru.
Para penonton bakal kagum, pikirku sambil memperhatikan kabut bergulunggulung di sekeliling gaunku yang panjang dan berwarna kuhing.
"Hantu, kaukah itu?" aku memanggil. "Engkau datang untuk menemuiku?"
Topeng si Hantu yang berwarna biru-hijau mulai tampak di tengah kabut.
Menyusul pundaknya yang terbungkus jubah hitam.
Para penonton menahan napas lalu bertepuk tangan dengan meriah ketika si
Hantu muncul di hadapan mereka. Dia berdiri kaku di tengah kabut, dengan
jubah melambai-lambai. Dan kemudian dia melangkah menghampiri, pelan-pelan, penuh wibawa.
"Oh, Hantu! Akhirnya kita bisa bertemu?" aku berseru dengan segenap perasaan
yang dapat kucurahkan, "Sudah begitu lama aku mendambakan saat ini."
Aku meraih tangannya yang terbungkus sarung tangan, dan mengajaknya
menembus kabut ke bagian depan panggung.
Sebuah lampu berwarna putih menyorot kami.
Aku berpaling dan menghadap ke arah si Hantu. Aku menatap kedua mata di
balik topeng berwarna biru-hijau itu.
Dan seketika aku sadar bahwa itu bukan Zeke!
25 AKU hendak berteriak. Tapi dia meremas tanganku keras-keras.
Matanya menatap mataku dengan tajam. Pandangannya seakan-akan memohon
agar aku tidak berkata apa-apa, agar aku tidak membuka kedoknya.
Siapa dia" aku bertanya-tanya. Sepertinya aku sudah pernah melihatnya.
Aku kembali berpaling kepada para penonton. Suasananya hening. Semua orang
menungguku berbicara. Aku menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat Esmerelda yang berikut
"Oh, Hantu, mengapa engkau gentayangan di gedung teater ini" Ceritakanlah
kisahmu. Aku berjanji takkan takut."
Si Hantu mengibaskan jubahnya Matanya tetap menatap mataku. Tangannya
yang terbungkus sarung tangan tetap meremas tanganku, seakan-akan hendak
mencegahku melarikan diri.
"Lebih dari tujuh puluh tahun aku hidup di bawah gedung teater ini," dia
berkata, "Kisahku sungguh sedih Mungkin bahkan bisa disebut tragis,
Esmerelda-ku yang cantik"
"Teruskanlah!" seruku.
Siapa dia" aku bertanya dalam hati. Siapa"
"Aku terpilih menjadi bintang dalam sebuah sandiwara," si Hantu
mengungkapkan. "Sebuah sandiwara di gedung teater ini. Malam itu seharusnya
malam paling mengesankan dalam hidupku."
Dia terdiam agak lama dan menarik napas panjang.
Jantungku berdegup-degup. Ucapannya tidak sesuai dengan yang tertera di
naskah, aku menyadari. Kata-kata itu tidak ada di naskah kami.
Apa maksudnya" "Namun malam kejayaanku tak pernah tiba!" si Hantu melanjutkan, masih
sambil menggenggam tanganku erat-erat. "Sebab, Esmerelda tersayang, satu
jam sebelum pertunjukan dimulai, aku terjatuh. Aku terempas dan menemui
ajalku!" Aku menahan napas. Dia menunjuk pintu kolong.
Sekonyong-konyong aku tahu siapa dia. Dia-lah anak laki-laki yang menghilang
tujuh puluh dua tahun yang lalu. Anak laki-laki yang seharusnya berperan
sebagai si Hantu. Tapi dia menghilang dan tak pernah ditemukan lagi.
Dan sekarang dia berdiri di sampingku, di atas panggung yang sama. Dan dia
menjelaskan bagaimana dia menghilang, dan kenapa sandiwara itu tak pernah
dipentaskan. "Di situlah!" dia berseru sambil menunjuk lubang di lantai panggung. "Di
situlah aku terjatuh. Di situ! Aku terempas sampai tewas. Aku menjadi hantu
sungguhan. Dan sejak itu aku menunggu di bawah sana, menunggu dan
menunggu. Mengharapkan malam seperti ini, di mana aku akhirnya bisa
memainkan peranku yang paling besar!"
Begitu dia selesai bicara, para penonton langsung bertepuk-tangan dan
bersorak-sorai. Mereka pikir ini memang bagian dan sandiwara, kataku dalam hati. Mereka
tidak menyadan kepedihan di balik ucapannya itu. Mereka tidak tahu bahwa dia
mengungkapkan kisah nyata kepada mereka.
Si Hantu membungkuk rendah-rendah. Tepuk tangan semakin membahana.
Kami berdua diselubungi kabut
Siapa dia" Siapa"
Pertanyaan itu terus berkumandang dalam benakku.
Aku harus mendapatkan jawabannya. Aku harus tahu siapa si Hantu
sesungguhnya. Ketika dia kembah berdiri tegak, aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
Lalu aku meraih ke atas dan merenggut topengnya!
26 SAMBIL memicingkan mata aku memandang ke kabut biru yang tebal. Aku
betul-betul penasaran. Namun sekilas mataku silau karena cahaya lampu sorot yang terang benderang,
sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa.
Seketika si Hantu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Aku berusaha menarik tangannya.
"Jangan!" dia memekik "Jangan!"
Dia mundur sambil terhuyung-huyung, menjauhiku.
Kakinya tersandung, dan dia kehilangan keseimbangan
"Jangan! Jangan!" teriaknya.
Dan kemudian dia terjatuh ke belakang.
Ke lubang pintu kolong yang menganga.
Dan dia lenyap ditelan kabut biru yang bergulung- gulung.
Aku mendengar jeritannya saat dia melayang ke bawah.
Lalu hening. Keheningan yang membuat bulu kudukku berdiri.
Para penonton berdiri serempak dan bertepuk tangan dengan meriah.
"Bravo! Bravo!" mereka berseru-seru.
Mereka pikir semuanya bagian dari sandiwara kami.
Tapi aku tahu itu tidak benar. Aku tahu bahwa Hantu akhirnya memperlihatkan
din, setelah menunggu tujuh puluh dua tahun. Bahwa dia akhirnya memperoleh
kesempatan untuk tampil di atas panggung.
Dan bahwa dia sekali lagi menemui ajalnya.
Ketika tirai menutup dan meredam suara para penonton, aku berdiri di tepi
lubang di Iantai dan menutupi wajahku dengan kedua tangan.
Aku tidak sanggup bicara. Aku tidak sanggup bergerak.
Aku memandang ke dalam lubang di lantai, namun yang terlihat hanya
kegelapan yang hitam pekat.
Lalu, sambil menoleh, aku melihat Zeke berlari menghampiriku. Dia
mengenakan jeans dan T-shirt putih. Dia tampak bingung.
"Zeke!" aku berseru.
"Oh. Kepalaku dipukul orang," katanya sambil menggosok-gosok kepala. "Aku
sempat pingsan." Kemudian dia menatapku. "Brooke, kau tidak apa-apa" Apakah -?"
"Si Hantu!" seruku. "Dia yang memainkan peranmu tadi, Zeke Sekarang dia ada
- di bawah sana." Aku menunjuk pintu kolong yang terbuka. "Kita harus
mencarinya!" Aku menginjak tuas di lantai. Serta merta terdengar bunyi berdentang dan
berderak. Pelatarannya muncul dan kegelapan.
Zeke dan aku segera naik.
Kemudian kami turun, ke ruangan gelap jauh di bawah panggung.
Setiap sudut kami periksa. Tapi kami tidak berhasil menemukannya.
Kami tidak menemukan topengnya. Kami tidak menemukan kostumnya. Kami
tidak menemukan apa pun. Entah kenapa, aku memang sudah menduganya.
Aku sudah tahu bahwa kami takkan pernah lagi bertemu dengannya.
*** "Hebat, anak-anak! Hebat sekali!" Ms. Walker berseru ketika kami turun dari
panggung. "Hantu, saya suka kalimat-kalimat yang kautambahkan tadi! Bagus
sekali! Nanti kita ketemu lagi di pesta untuk para pemain!"
Zeke dan aku menuju ke ruang ganti untuk berganti pakaian. Tapi kami diserbu
oleh orang-orang yang ingin mengucapkan selamat dan memuji penampilan
kami. Sandiwara kami sukses besar!
Aku mencari Brian. Aku ingin memberitahu dia tentang si Hantu. Tapi aku
tidak melihatnya di tengah kerumunan orangtua dan teman-teman yang sedang
bergembira ria. "Ayo - kita pergi saja!" seru Zeke. Dia meraih tanganku dan menarikku ke
lorong di luar auditorium.
"Wow! Kita jadi terkenal" ujarku. Aku capek dan senang, dan bingung
sekaligus. "Kita ambil mantel, ganti bajunya di rumah saja," Zeke mengusulkan.
"Sekalian kita pikir-pikir siapa yang menggantikan tempatku tadi. Kita ketemu
lagi di rumahku nanti, terus berangkat barengan ke tempat pesta."
"Oke," kataku "Tapi kita harus buru-buru. Orangtuaku pasti sudah tak sabar
memuji penampilanku."
Suara tawa dan canda ria dari auditorium mengikuti kami ketika kami menuju
ke locker. "Hei -" Aku berhenti di depan lockerku. "Lihat, Zeke - pintunya terbuka.
Padahal tadi sudah kukunci."
"Aneh," Zeke bergumam.
Sebuah buku jatuh ke lantai ketika pintu locker- ku kutarik.
Aku membungkuk untuk memungutnya. Buku itu ternyata sudah tua.
Sampulnya yang cokelat tampak lusuh dan berlapis debu. Aku mengamatinya di
bawah cahaya lampu lorong yang redup.
"Wah, ini buku tahunan yang sudah tua," aku berkata kepada Zeke. Dari
sekolah ini. Woods Mill. Tapi dari tahun 1920-an."
"Hah" Bagaimana buku ini bisa masuk ke locker- mu?" Zeke bertanya dengan
bingung. Tiba-tiba aku melihat secarik kertas yang terselip di antara dua halaman.
Sambil menggenggam buku tua yang berat itu dengan kedua tangan, aku
membuka halaman yang ditandai oleh kertas tadi.
"Wow!" seru Zeke.
Kami melihat artikel buku tahunan mengenai sandiwara yang baru saja selesai
kami tampilkan "The Phantom Akan Naik Pentas di Musim Semi," begitu
bunyi judulnya. "Ini pasti ditulis pada awal tahun itu," kataku. "Kita tahu sandiwara ini belum
pernah dipentaskan. Kita tahu apa yang terjadi waktu itu."
"Coba bergeser ke tempat yang lebih terang," ujar Zeke sambil menarikku ke
bawah lampu. "Biar foto-fotonya kelihatan."
Kami menatap foto-foto kecil yang memenuhi dua halaman.
Dan kemudian kami melihatnya.
Foto hitam-putih yang kabur dan anak laki-laki yang mendapatkan peran utama,
anak laki-laki yang seharusnya tampil sebagai si Hantu. Anak laki-laki yang
menghilang sebelum pertunjukan.
Anak itu adalah Brian. END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Lembah Nirmala 9 Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 28

Cari Blog Ini