Goosebumps - Guru Monster Bagian 2
lumpur. Hanya Mrs. Maaargh yang tersenyum di ruangan ini. Para
murid duduk tegang, termasuk aku sendiri.
Tidak ada yang bicara atau tertawa. Banyak yang berdeham dan
mengetuk-ngetukkan jari ke meja dengan gugup.
"Aku akan memanggil kalian secara acak," kata si monster.
"Ingat, ini hanya audisi, bukan pertunjukan sebenarnya. Tapi
berusahalah sebaik mungkin, sebab aku akan menentukan posisi
kalian pada rantai makanan hari ini."
Ia menatap langsung padaku ketika bicara tentang rantai
makanan itu dan menjilat bibirnya dengan lapar.
Celeste yang pertama dipanggil. Ia menyetel kaset berisi musik
untuk latar belakang, dan menyanyikan My Favourite Things dari The
Sound of Music. Suaranya bagus sekali.
Mrs. Maargh memindahkan Celeste ke posisi kedua di rantai
makanan. Peter Clarke, yang berada pada urutan paling bawah, maju
berikutnya. Ia memperdengarkan nada-nada dengan bunyi-bunyian
dari mulut dan dengan memukul-mukul kepalanya, memainkan The
Star Spangled Banner. Kedengarannya lumayan.
Mrs. Maaargh menaikkan posisinya empat baris. Berarti Molly
berada pada urutan paling bawah.
Semalam aku menanyakan pada Molly, kenapa posisinya pada
rantai makanan bisa begitu rendah. Waktu itu habis makan malam dan
aku sedang berlatih membuat binatang dari balon, sementara Molly
berlatih biola. "Mrs. Maaargh memergoki aku waktu aku mencoba kabur,"
kata Molly. "Waktu itu dua hari setelah sekolah dimulai. Aku sangat
ketakutan. Aku memanjat ke luar jendela dan mencoba lari turun
bukit." Molly mendesah. "Tapi Mrs. Maaargh memasang kamera video
di seluruh gedung ini. Dia berhasil menangkapku waktu aku baru
setengah turun. Keesokan harinya dia menurunkan posisiku ke tempat
paling bawah." Molly menggeleng. "Sejak itu dia selalu mengawasiku," gumam
Molly. "Karena itulah aku mesti tampil sebaik mungkin dalam audisi.
Kalau tidak..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Dia juga mengawasiku," kataku. Kuangkat binatang buatanku.
"Kau suka pudel ini?"
Molly memandangi hasil karyaku. "Pudel" Tadi kukira itu
kuda." *********** Sekarang aku menatap Molly yang sedang mengetuk-ngetukkan
jemarinya di lengan kursi dengan gelisah, menunggu Mrs. Maargh
memanggilnya. Tapi monster itu justru memanggil si gadis berambut merah,
yang menampilkan dansa modern. Penampilannya boleh juga, tapi
kemudian kakinya kram dan ia terpaksa berhenti.
Mrs. Maaargh menggeleng-geleng, tapi tidak memindahkan
posisi gadis itu. Ia tetap pada posisi tengah di rantai makanan.
Gadis itu senang sekali. Berikutnya Molly. Molly membawakan sepotong karya Bach. Mulanya ia gugup,
malah tongkat penggeseknya jatuh ketika ia baru mulai.
Tapi setelah mulai, penampilannya bagus sekali. Poninya ikut
bergerak sementara ia bergoyang mengikuti musik. Setelah ia selesai,
seisi kelas bertepuk tangan.
Molly membungkuk sedikit, lalu kembali ke kursinya. Kulihat
ia gemetar dan dahinya berkeringat.
"Bagus sekali, Molly," kata Mrs. Maaargh. "Ada satu violis lagi
yang mesti kita dengar, lalu aku akan memutuskan siapa yang berhak
tampil pada pertunjukan bakat."
"Tapi... tapi... " Molly terbata-bata, "apa posisiku tidak
dinaikkan?" Ia menunjuk namanya yang berada paling bawah.
"Tidak, kurasa tidak," kata Mrs. Maaargh.
"Kenapa tidak?" tuntut Molly.
"Tidak ada alasan," sahut sang guru monster sambil
menyilangkan lengannya yang lembek di depan gaun kuningnya.
"Tapi itu tidak adil!" teriak Molly, suaranya bergetar.
"Memang tidak adil," bentak Mrs. Maaargh. "Aku kan monster.
Ingat?" Beberapa anak menggumamkan protes, tapi sebagian besar
hanya menatap diam ke depan. Kami semua tahu Molly diperlakukan
tidak adil, tapi tidak ada yang berani mengambil risiko menggantikan
tempatnya. Berikutnya Mrs. Maaargh memanggil Brad. "Kita lihat, siapa
yang lebih bagus," katanya sambil menggosok-gosokkan kedua
tangannya. "Aku senang persaingan. Bisa membangkitkan seleraku."
Ia tertawa. Hanya dia yang bisa...
Kumasukkan kedua tanganku ke saku supaya tidak gemetar.
Mendadak mulutku terasa sangat kering. Aku benar-benar ketakutan
sekarang. Kalau Mrs. Maaargh tidak mau bersikap adil, habislah aku.
Dia benci padaku. Kulihat Molly masih tetap gemetar di mejanya. Ia menutupi
wajahnya dengan dua tangan.
Brad pergi ke ruang musik untuk mengambil biolanya. Kami
semua menunggu dalam diam. Celeste mengacungkan ibu jarinya
pada Molly, berusaha menghibur anak itu, tapi Molly tidak melihat,
karena ia masih menutupi wajahnya.
Brad kembali dengan membawa kotak biolanya dan lembaran
notasi musik. Tangannya gemetar ketika ia menaruh kertas itu di
penyangga. Ia terus berdeham dam menghapus keringat di dagunya.
Tampaknya ia sangat ketakutan.
Ia membuka kotak biolanya dengan satu sentakan.
Ia hendak mengambil biolanya... lalu gerakannya terhenti.
Ia mundur, mengerang keras.
"Tidak! Oh, tidaaak!" ratapnya.
13 "OHHHH!" Anak-anak di dekat Brad ikut bersuara dan
mengernyit jijik. "Bau sekali," seru seorang anak.
"Ya, baunya gawat!" kata seorang gadis.
Brad terhuyung mundur sambil menutupi mulut dan hidungnya.
Ia terbelalak kaget dan terus memandangi kotak biolanya.
"Wow!" teriakku ketika bau yang memuakkan itu melayang ke
bagian belakang ruangan. Baunya sangat tajam dan menyengat. Aku
menahan napas, mencoba tidak menghirup bau itu.
Beberapa anak melompat bangkit dan pindah ke dekat jendela.
Anak gemuk dari barisanku membuka jendela dan menjulurkan kepala
ke luar. "Aku tidak bisa napas!"
"Aduh, baunya..."
"Keluarkan! Keluarkan! Aku mau muntah nih!"
Erangan dan omelan memenuhi seisi kelas.
Brad mundur ke papan tulis dengan tangan menutupi wajah.
Aku masih menahan napas, berharap bau memualkan ini segera
hilang. Sambil geleng-geleng kepala Mrs. Maaargh menghampiri kotak
biola itu. Dengan menggeram ia membungkuk dan mengambil biola
dari dalam kotak, lalu mendekatkannya ke wajahnya.
Ia mendengus-dengus beberapa kali. "Seperti bau sigung,"
katanya. Lalu ia menaruh biola itu lagi di kotaknya. "Aku keluar
sebentar." Ia berjalan ke pintu, gaun kuningnya yang besar bergerak-gerak
seperti balon gas. Seisi kelas berusaha menahan rasa mual. Beberapa anak
mencoba mencari udara segar di luar jendela.
Brad meringkuk di tembok, memandangi biolanya dengan sedih
sambil menggeleng-geleng.
Tak lama kemudian Mrs. Maaargh kembali dengan membawa
sebuah botol cokelat kecil. Ia berhenti di depan pintu dan mengangkat
botol itu. "Ini cairan bau sigung," katanya. "Diambil dari lab di atas.
Cairan bau sigung murni. Kutemukan di ruang musik."
"Tapi siapa...?" Brad hendak bertanya, namun ia tak bisa
menahan mual. Ia memencet hidungnya dan mencoba lagi, "Tapi siapa
yang menuangkan cairan sigung ke kotak biolaku?"
Mrs. Maaargh angkat bahu. "Mana aku tahu?" sahutnya. Lalu ia
mengangkat botol cairan itu ke bibirnya, menengadah sedikit, dan
menghabiskan isi botol itu.
Anak-anak berseru jijik. Lebih banyak lagi yang pergi ke
jendela. "Yep, ini memang cairan sigung," kata Mrs. Maaargh sambil
menjilat bibirnya. Brad mundur sampai ia berdiri di dekatku di bagian belakang
ruangan. Ia masih terus berusaha menahan mual.
"Biolaku...," gumamnya. "Aku tidak bisa menggunakannya
lagi." Mendadak Mrs. Maaargh tampak marah. Dengan ketakutan
kulihat ia menunjukkan jarinya... ke arahku.
"Kau yang bertanggung jawab atas semua ini!" geramnya.
14 "HAH" Aku?" Aku terkesiap.
Aku hendak berdiri, tapi lalu kusadari bahwa yang ditunjuk
Mrs. Maargh ternyata Brad.
"Kau bertanggung jawab atas peralatanmu sendiri," katanya
pada Brad. "Tapi... tapi...," Brad mencoba memprotes.
"Molly yang akan memainkan biola pada pertunjukan besok,"
kata si monster sambil menyeringai pada Brad. "Kau mesti
menampilkan pertunjukan lain."
Ia beranjak ke arah tabel rantai makanan, mengambil kartu
nama Brad dari bagian atas dan memindahkannya ke tempat paling
bawah. Molly terisak-isak. "Aku ikut sedih, Brad," gumamnya. "Aku
tidak mau menang dengan cara begini."
Brad terenyak ke meja tempat kandang-kandang berada. Molly
bergegas mendekatinya sambil menggeleng-geleng dan merangkul
bahunya. "Kau pasti selamat," bisiknya. "Kau bisa menampilkan
pertunjukan lain." Brad tertunduk, tidak menjawab.
Seisi kelas tidak tahan lagi dengan bau itu. Mereka minta
diizinkan keluar. "Masih banyak yang akan melakukan audisi," kata Mrs.
Maaargh. "Kembali ke tempat duduk masing-masing."
Ia mengambil kotak biola tadi dan menyodorkannya pada Brad.
"Keluarkan ini. Mungkin baunya akan hilang dari sini."
Sambil menutup hidung Brad mengambil kotak itu dan
bergegas keluar. "Berikutnya Paul," kata Mrs. Maaargh. "Duduk semuanya!
Duduk!" Astaga, pikirku. Kenapa aku sial begini" Ruangan ini masih
bau. Tidak akan ada yang bisa menikmati pertunjukanku.
Lalu kulihat Mrs. Maaargh tersenyum lebar, dan tahulah aku
bahwa ia sengaja memilihku untuk maju berikutnya.
Aku meraih kotak balonku dari kolong tempat duduk. Tidak
ada. Rasa panik menjalari tubuhku. Lalu aku ingat di mana aku
menaruh kotak itu. "Balonnya ada di kamarku," kataku pada Mrs. Maaargh. "Boleh
aku mengambilnya?" Ia cuma angkat bahu. Kuanggap itu isyarat mengizinkan, jadi aku melesat keluar,
menghirup udara sambil lari ke kamarku. Asyik, udara segar!
Bau sigung itu menempel pada pakaian dan kulitku. Entah bisa
hilang atau tidak. Aku ingin mandi sebenarnya, tapi tentu saja tak
mungkin. Sudah waktunya beraksi. Aku sudah berlatih hampir sepanjang
malam. Pertunjukanku akan lumayan lucu.
Mungkin"cuma mungkin, lho"aku bisa menjaga agar tidak
berada paling bawah pada rantai makanan. Kalau Mrs. Maaargh
bersikap fair. Aku masuk ke kamarku. Kulihat kertas-kertas musik Brad
bertebaran di mejanya. Kasihan dia, pikirku. Mrs. Maaargh tidak adil
terhadapnya. Siapa yang menuang cairan bau sigung ke biolanya" Siapa yang
sampai hati berbuat begitu"
Aku melayangkan pandang dan melihat kotak balon itu di
tempat tidurku. Aneh, pikirku. Aku yakin menaruhnya di atas lemari.
Kuambil kotak itu, lalu bergegas keluar, kembali ke kelas.
Semakin lama aku semakin ketakutan.
Apa Mrs. Maaargh akan menyukai pertunjukanku" Akankah dia
menganggapnya lucu" Akankah dia bertindak adil dan memberiku
kesempatan" Sambil menarik napas panjang aku masuk ke kelas.
15 KUAMBIL sebuah balon merah. "Aku akan membuat pemakan
semut," kataku. Beberapa anak berdecak. Masih ada yang menutupi hidung dan
mulut. Bau sigung itu masih sangat terasa.
"Mungkin kelihatannya seperti pudel," kataku, "tapi percayalah,
ini pemakan semut." Aku meniup balon merah itu.
Tidak mengembang. Tidak ada apa-apa. Udaranya keluar begitu saja.
"Ha ha, pasti balon ini bocor," kataku. Kubuang balon itu.
"Cuma bercanda. Memang kusengaja, supaya kelihatannya susah."
Beberapa anak berdecak. Aku melirik Mrs. Maaargh. Ia sudah duduk di belakang
mejanya, memandangiku dengan galak sambil bertopang dagu.
"Oke, ini dia pemakan semut dari balon," kataku. Kuangkat
sebuah balon biru panjang ke mulutku dan kutiup.
"Hah?" Balon ini juga tidak mengembang.
Kucoba lagi, meniup terus sekuat tenaga. Pelan-pelan balon itu
mulai mengembang. Aku hendak mengikat ujungnya, tapi ternyata
balon itu kempes lagi. Beberapa anak tertawa. Mereka pasti mengira ini juga
disengaja. Tapi mendadak aku merasa panik.
Kulemparkan balon itu dan kuambil balon lain. "Ini dia si
pemakan semut." Suaraku bergetar dan tanganku gemetar, sehingga
hampir-hampir aku tak bisa mengangkat balon itu ke mulutku.
Aku menarik napas panjang, berusaha mengusir rasa panik.
Lalu mulai meniup. Dan gagal. Beberapa anak tertawa. "Tidak! Hentikan!" teriakku nyaring. "Ada yang tidak beres.
Aku akan membuat binatang yang paling susah saja. Lobster."
Goosebumps - Guru Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuambil sebuah balon merah panjang dari kotak dan
kurentangkan di kedua tanganku. "Lobster dari balon... dengan capit,"
kataku. Dahiku mulai berkeringat. Lampu di langit-langit rasanya
terang sekali. Seluruh ruangan ini seolah terjungkit naik.
Kuangkat balon itu ke mulutku dan mulai meniup.
Tidak ada apa-apa. Kuperiksa balon itu. "Ada apa sih ini" Masa semua balon ini
bocor?" seruku. ebukulawas.blogspot.com
Kulihat sebuah lubang kecil di ujung balon itu.
Aku mengambil sejumlah balon lain dan memeriksanya satu per
satu. Semuanya berlubang di ujung.
"Semuanya berlubang!" teriakku. "Ada yang menusuk..."
Mrs. Maaargh bangkit berdiri dengan berat, sambil mendesah.
"Kurasa aku sudah cukup melihat," geramnya.
"Tapi, Mrs. Maaargh...!" aku memohon, "aku tidak bisa
menampilkan pertunjukanku. Ada yang melubangi balon-balonku."
Ia berdecak-decak, lalu beranjak ke tabel.
Dengan suara keras ia menarik kartu namaku, lalu
memindahkannya ke bawah kartu Brad, posisi paling bawah pada
rantai makanan. Kemudian ia menoleh padaku sambil menjilat bibir. "Jangan
lupa makan kue banyak-banyak, Paul," katanya. "Aku ingin kau enak
dan manis saat kumakan nanti."
16 "INI pasti ulah Marv," kata Molly ketika kami kembali ke
kamar. Pertunjukan-pertunjukan lainnya berlangsung sukses. Seorang
anak lelaki bernama Frank berhasil menduduki posisi paling atas
setelah membawakan puisi dari Hamlet.
Pada akhir audisi, aku masih tetap pada posisi paling bawah,
sesudah Brad. Aku berjalan dengan lesu sepanjang lorong. Aku serasa
lumpuh oleh rasa takut. Aku tahu aku akan tetap berada paling bawah. Aku tahu akulah
yang akan dimangsa. "Marv" Kenapa kau beranggapan begitu?" Brad bertanya pelan.
"Aku melihat dia berkeliaran di sekitar ruang musik pagi tadi,"
sahut Molly. "Aku yakin dialah yang menaruhkan cairan bau sigung
itu pada biolamu." "Tapi apa alasannya?" tanya Brad. "Karena aku tidak
mengizinkan dia mencoba biolaku?"
Molly mengangguk dan berpaling padaku. "Aku juga
melihatnya di lorong depan kamarmu," katanya. "Aku yakin dialah
yang melubangi balon-balonmu."
"Mungkin," sahutku pelan. Aku tidak ingin membicarakan ini.
Tidak bisa. Aku merasa sangat marah dan takut.
"Apa yang akan kaulakukan, Brad?" tanya Molly. "Kau punya
bakat lain" Kau mesti ambil keputusan."
"Aku dulu bisa sulap dengan kartu, waktu masih kecil," kata
Brad dengan tercekat. "Mungkin aku masih bisa melakukannya
sekarang." Kami tiba di kamar, berpisah dengan Molly, dan melangkah ke
dalam dengan lesu. Tapi di ambang pintu aku terenyak.
Di mejaku ada sepotong besar kue cokelat, dialasi serbet kertas.
Jadi, memang Marv rupanya. Marv yang masuk ke kamarku
dan melubangi semua balonku.
Rupanya ia masih membantu ibunya untuk menggemukkanku.
"Berani-beraninya kau!" teriakku. "Awas kau!"
Kuambil kue itu dan kulemparkan ke luar jendela. Lalu aku
mengempaskan diri ke ranjang dan membenamkan wajah di bantal.
********** Aku bertemu Molly dan Celeste di lab sesudah makan malam.
Mereka sedang membuat proyek ilmiah agar mendapat nilai ekstra.
Mereka sedang memasang bola-bola karet berwarna biru pada
sebuah rangka dari kawat dan kayu, sambil sesekali melihat tabel di
buku. "Apa fungsi benda itu?" tanyaku. Perutku berkeruyuk. Aku
belum bisa makan, karena masih cemas dan takut.
"Tidak ada fungsinya," kata Celeste. Ia memasang sebuah
kawat keperakan mengitari sebuah kawat lain. "Ini model galaksi."
Aku mengangguk. "Bagus juga."
"Kau perlu membuat proyek, Paul," Molly mengingatkan.
"Segera." "Benar," Celeste sependapat. "Kau berada paling bawah pada
rantai makanan itu."
"Kau tidak perlu mengingatkan aku," bentakku.
"Kan bukan salah kami!" seru Molly. "Jangan bentak-bentak
begitu dong! Kami cuma ingin membantu."
"Sori," kataku. "Aku salah paham." Aku mendesah pelan.
"Kau mesti berusaha lebih keras," desak Molly. "Kau mesti
membuat Mrs. Maaargh terkesan."
"Dia sudah terkesan padaku," erangku. "Aku dianggapnya akan
menjadi makanan enak."
Celeste berkata, "Kau mesti berusaha naik dari posisi paling
bawah, Paul. Usahakan sedapat mungkin."
"Buat proyek sains saja," desak Molly. "Semua anak melakukan
kegiatan ekstra. Kau juga mesti mencoba."
"Aku tidak seperti kalian," ratapku. "Aku tidak sesuai masuk
sekolah ini. Aku... aku..."
"Jangan pesimis dulu," Celeste memarahiku. Ia menyibakkan
rambut pirangnya. "Kau mesti berusaha, Paul. Jangan sampai kalah."
"Aku punya gagasan untukmu," kata Molly. Ia membolak-balik
halaman buku teksnya. "Ini. Lihatlah."
Aku melihat sebuah diagram di halaman itu. "Apa ini" Peta
New Jersey?" Celeste tertawa. "Baguslah kau masih bisa bercanda," katanya.
"Aku selalu bercanda kalau sedang ketakutan," gumamku.
"Ini diagram molekul," Molly menjelaskan sambil
menelusurkan jari di halaman itu. "Ini susunan molekul paling rumit
yang pernah ditemukan."
Aku memutar-mutar bola mataku. "Hebat."
"Serius dong!" bentak Molly. "Mau dibantu, tidak?"
Aku minta maaf. "Kau bisa membuat model susunan molekul ini," Molly
melanjutkan. "Mrs. Maaargh pasti terkesan.
Aku memandangi gambar itu. "Membuatnya" Bagaimana?"
Molly membuka laci. "Lihat. Ini ada bola-bola lunak dan kayukayu. Kau bisa membuat susunan molekul dengan perlengkapan ini.
Pasti bagus jadinya Celeste bergegas ke sudut lab, mengambil sebuah karton besar.
"Kau bisa menyimpannya di sini. Masukkan karyamu ke sini, lalu
tunjukkan pada Mis Maaargh."
Kupelajari diagram di buku itu. "Banyak sekali bagiannya,"
keluhku. "Kau pasti bisa," kata Celeste.
"Kau mesti mencoba, Paul," Molly menambahkan.
Mereka benar. Aku tak boleh menyerah. Aku mesti
memindahkan posisiku dari urutan paling bawah.
Maka aku mulai bekerja. Aku mulai menyusun bola-bola itu
dan memasangnya ke kayu-kayu tersebut. Rasanya seperti permainan
ketika aku masih kecil. Hanya saja susunan molekul ini sangat rumit.
Kami mengerjakan proyek kami bersama-sama. Kalau saja
kegiatan ini dilakukan bukan karena panik, tentunya akan sangat
menyenangkan. Molly dan Celeste kembali ke kamar mereka pukul setengah
sebelas malam, tapi aku masih terus bekerja. Aku ingin menyelesaikan
proyek ini secepat mungkin.
Menjelang tengah malam, aku tidak tahan lagi. Mataku berat
sekali. Aku tak bisa lagi membaca diagram di buku. Proyekku hampir
selesai, tapi aku terlalu lelah untuk meneruskan. Aku mesti tidur
sekarang. Kuambil model itu dan dengan hati-hati kumasukkan ke dalam
kotak, lalu kotak itu kututup dan kusimpan di bagian belakang salah
satu lemari. Sambil menguap kumatikan lampu ruang lab, lalu aku keluar ke
lorong dan menuju deretan kamar.
Sepatuku menimbulkan suara keras di lantai, bergema di
seluruh lorong. Semua anak sudah tidur rupanya. Atau sedang belajar
keras di kamar masing-masing.
Aku berbelok... dan terkejut ketika sesosok tubuh melompat
dari sebuah ambang pintu yang gelap.
"Marv!" teriakku.
Anak itu menatapku dengan sepasang matanya yang hitam.
Seulas senyum kejam tampak di wajahnya yang pucat dan bundar.
"Paul," bisiknya, "kau suka kue cokelatnya?"
17 "JANGAN ganggu aku!" teriakku dengan suara serak
ketakutan. Kudorong dia dan aku lari ke kamarku. Di pintu aku menoleh
dan melihat Marv melotot padaku. Wajahnya merah padam dan
mengernyit marah. Aku terhuyung-huyung masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Napasku terengah-engah dan jantungku berdebar-debar.
Kenapa Marv jahat sekali padaku" pikirku. Aku kan tidak
pernah mengganggunya. Kenapa dia bersemangat sekali membantu
ibunya" Kulihat Brad sedang duduk di tepi ranjangnya. Rambutnya
menutupi dahi dan matanya merah.
Ia mengangsurkan sekotak kartu padaku. "Paul, ambil satu,"
katanya. "Yang mana saja."
"Aku sedang tidak berminat main sulap," kataku, masih
berusaha mengatur napas. Aku menoleh ke jam dinding. "Sudah lewat
tengah malam, Brad. Aku..."
"Kau mesti menolongku," teriak Brad sambil bangkit berdiri.
"Aku sudah berjam-jam berlatih sulap ini. Sebelumnya aku matimatian belajar matematika agar mendapat nilai ekstra. Aku mesti
berhasil dengan sulapku."
Ia terisak ketakutan. "Aku... aku tidak mau di makan."
Aku merinding. "Aku juga tidak," gumamku. "Marv sudah
mencelakakan kita. Gara-gara dia, kesempatan kita hilang."
"Tapi kita masih bisa mencoba," kata Brad. "Kalau kita
berusaha keras, kita pasti bisa. Pasti!"
Ia mengangsurkan kartu-kartunya padaku. Aku mengambil satu
dan membantunya berlatih selama dua jam. Akhirnya aku tidak tahan
lagi. Mataku perih dan aku letih sekali, sampai tidak bisa
membedakan gambar-gambar di kartu lagi.
Sementara itu aku juga terus melirik kotak balonku. Mestinya
aku berlatih membuat binatang dari balon.
Besok malam saja aku latihan, pikirku. Aku akan belajar keras
dan melanjutkan proyek molekulku sambil membuat binatang dari
balon. Mungkin, mungkin, aku akan berhasil.
Sambil menguap kusetel alarm wekerku, lalu aku naik ke
tempat tidur dan langsung pulas.
*********** Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali, sebelum
alarmku berbunyi. Kukenakan celana panjang dan sweatshirt-ku, lalu
aku bergegas ke mejaku. Masih mengantuk aku menulis surat pada orangtuaku.
Kuberitahukan bahwa guruku adalah monster.
Kuminta mereka menyelamatkanku sebelum terlambat.
Molly dan Celeste sudah mengatakan bahwa surat mereka tak
pernah sampai, tapi aku masih ingin mencoba. Usaha terakhir.
Kotak surat ada di tembok sebelah luar kantor depan.
Dengan hati-hati aku menuliskan alamat dan menempelkan
prangko di amplop, lalu kumasukkan ke kotak surat. Tidak ada orang
di sekitarku. Pintu kantor depan terbuka. Masih terlalu pagi, dan
kelihatannya tidak ada orang di dalam. Aku melongok... dan terkesiap.
Di bawah kotak surat itu ada tong sampah besar.
Pantas saja! Tidak akan ada surat yang sampai.
Dengan berdebar-debar aku melongok ke luar. Tidak ada siapasiapa.
Kuangkat telepon di meja depan dan kuhubungi nomor
rumahku. Tapi yang menjawab adalah pesan yang sudah direkam itu.
Rupanya telepon kantor pun diblokir.
Aku tak bisa menghubungi orangtuaku.
Dengan lesu aku naik ke lab, melanjutkan proyek molekulku
sampai saat sarapan tiba.
Kuharap Mrs. Maaargh menyukai karyaku, pikirku putus asa.
Mudah-mudahan saja. *********** Proyek itu selesai sesudah makan malam. Bentuknya rumit.
Aku memeriksanya dua kali, untuk memastikan hasilnya sempurna.
Lalu dengan hati-hati kumasukkan karyaku itu ke kotaknya dan
kututup rapat-rapat. Dalam perjalanan kembali ke kamarku aku
berpapasan dengan Molly dan Celeste. Aku mengacungkan jempol
pada mereka. Apakah Mrs. Maaargh akan terkesan dengan hasil karyaku"
Bisakah karya ini menyelamatkan hidupku"
Hanya satu cara untuk mengetahuinya.
Keesokan paginya dengan hati-hati kubawa kotak itu ke ruang
kelas. Mrs. Maaargh sedang memeriksa kertas-kertas di mejanya. Ia
baru datang. Kelas baru dimulai seperempat jam lagi.
Ia pura-pura tidak melihatku, terus menunduk memeriksa
kertas-kertas itu sambil menggerutu sendiri.
Kuletakkan kotakku di meja di sampingnya. "Mrs. Maaargh?"
Akhirnya ia mengangkat wajah padaku. "Kau pagi sekali,"
gerutunya. "Aku... aku tahu," aku terbata-bata, lalu menelan ludah.
Pernahkah aku segugup dan setakut ini dalam hidupku"
"Apa isi kotak itu?" ia memberi isyarat dengan kepalanya.
"Proyek sains," kataku. "Aku sudah berhari-hari
mengerjakannya. Model susunan molekul. Aku membuatnya untuk
mendapat nilai ekstra. Kuharap... Anda menyukainya. Aku..."
"Buka kotak itu dan perlihatkan isinya," bentak Mrs. Maaargh.
Aku ragu. "Ehm... kalau Anda sedang tidak berminat, aku
kembali lagi nanti. Maksudku..."
"Buka kotak itu!" bentaknya, seluruh wajahnya yang lembek
bergetar. Aku terlompat. "Baiklah." Kubuka kedua sisi kotak itu. "Aku
bekerja keras menyelesaikannya. Ini karya yang sangat rumit," kataku.
Aku sangat ketakutan, sampai tidak sadar apa yang kukatakan.
Mrs. Maaargh mengetuk-ngetukkan jemarinya yang gemuk di
meja. Dengan hati-hati kukeluarkan proyekku dari dalam kotak dan
kuletakkan di mejanya. "Anda suka, Mrs. Maaargh?"
Monster itu memandanginya. Matanya yang berair melotot, lalu
ia ternganga terkejut. "Apa... ini... leluconmu?" geramnya.
Hah" Aku memandangi proyekku. "Oh, tidak!" teriakku.
Goosebumps - Guru Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seseorang telah mengubah hasilnya, memindahkan susunannya.
Ini bukan lagi hasil karyaku. Ini bukan susunan molekul.
Bola-bola dan tongkat-tongkat itu disusun membentuk dua kata:
KAU JELEK. 18 DENGAN geraman marah Mrs. Maaargh meraih proyek itu dan
meremukkannya. Bola-bola dan tongkat-tongkat itu hancur bertebaran
di lantai "Aku... bukan aku... " kucoba menjelaskan.
"Leluconmu... tidak... lucu!" bentak monster ilu
Ia bangkit berdiri sambil menggeram marah, lalu berjalan ke
tabel rantai makanan. "Mrs. Maaargh... jangan!" pintaku.
Ia merenggutkan kartu namaku dari bagian paling bawah dan
membuangnya ke lantai. "Kau tidak termasuk lagi dalam tabel itu,"
teriaknya. "Tapi... tapi..."
"Kau berada lebih bawah lagi, Paul. Di lantai, teriaknya. "Kau
tidak berada di tabel itu lagi."
Aku ingin protes, tapi yang keluar hanya cicitan pelan.
Sementara aku berdiri gemetar, monster itu mendekatkan wajah
padaku. "Sekarang kau punya nama baru," katanya serak, napasnya
yang panas dan basah begitu dekat di wajahku. "Namamu bukan lagi
Paul, melainkan MAKANAN ENAK!"
Kakiku gemetar, juga seluruh tubuhku. Tapi aku berhasil
menjauh darinya dan bergerak lemah ke luar.
Aku berjalan di lorong dengan kepala pusing. Anak-anak mulai
keluar dari kelas masing-masing. Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa.
Tidak ingin bicara dengan siapa-siapa.
Aku mesti kembali ke kamarku untuk berpikir. Aku mesti
merencanakan langkah selanjutnya.
Apa yang bisa kulakukan"
Aku berpapasan dengan segerombolan cewek, lalu aku
berbelok, dan melihat Marv.
Lagi-lagi ia tersenyum jahat padaku. Senyum penuh arti.
Ia ingin aku tahu bahwa ia sudah bertindak lagi.
Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi aku melewatinya,
menerobos sekelompok anak yang sedang menuju kelas.
"Paul... ada apa?"
Aku menoleh dan melihat Molly berlari mengejarku dengan
rupa cemas. "Ada apa, Paul?"
Aku tidak ingin bicara padanya. Aku tak sanggup
menghadapinya. Ia sudah mencoba menolongku, tapi ternyata sia-sia.
Ia dan Celeste melongo memandangiku sementara aku lari ke
kamarku, lalu membanting pintu. Kuempaskan diri ke ranjang, lalu
aku bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam. Kemudian aku duduk,
tapi bangkit lagi. Aku tidak tahu mesti melakukan apa.
"Kenapa akuuuuu?" teriakku sambil memukul mukul tembok
dengan tinjuku. Mendadak aku tahu apa yang mesti kulakukan.
Melarikan diri. Toh tak ada jalan lain untuk bertahan.
Sekarang namaku sudah MAKANAN ENAK. Begitulah kata
Mrs. Maaargh. Aku bahkan tidak berada pada rantai makanan lagi.
Lari. Itu satu-satunya kesempatanku.
Aku tahu Molly dan yang lainnya pernah mencoba, dan kata
Molly itu mustahil. Tapi mungkin aku lebih beruntung. Mungkin aku bisa
menyelinap keluar, menuruni bukit, mencari seseorang, siapa saja,
yang mau mendengarkan ceritaku dan percaya padaku, lalu mau
datang ke sekolah untuk menyelamatkan anak-anak lainnya.
Aku menggosok-gosok tinjuku yang sakit terkena tembok. Tadi
aku tidak merasakannya. Ya, aku mesti lari. Toh tak ada cara lain lagi.
Aku tidak kembali ke kelas. Aku melapor sakit ke kantor
perawat. Kutunggu sampai semua anak lain sudah berada di kelas, lalu
aku mulai menyelidiki bangunan ini.
Aku menyelinap dari pintu ke pintu, menghindari para guru dan
siapa pun yang berjalan di lorong. Aku menyusuri semua lorong,
sampai menemukan apa yang kucari.
Sebuah pintu kecil di samping lemari dapur di bagian belakang
sekolah. Pintu itu hanya digunakan oleh para petugas dapur untuk
membawa masuk bahan-bahan makanan.
Kalau aku membukanya, apakah akan ada alarm berbunyi"
Mesti dicoba. Aku menarik napas, lalu memutar tombol pintu,
dan menariknya. Pintu yang berat itu membuka.
Tidak terdengar bunyi alarm.
Tidak terdengar apa-apa. Bagus! Aku melongok ke luar. Awan gelap menggantung di langit.
Udara sejuk dan lembap. Baru kali ini aku menghirup udara segar lagi.
Aku menjulurkan leher ke bawah bukit. Tidak ada pagar atau
sistem alarm apa pun di luar sana. Tak ada yang bisa menghalangiku
lari ke bawah. Mungkin ada kamera video yang diarahkan ke pintu dan bagian
belakang gedung, tapi aku tidak melihatnya. Kalau aku lari cukup
cepat, mungkin aku bisa lolos.
Dan begitu berada di bawah bukit, kalau aku terus berjalan,
pasti akhirnya aku akan menemukan rumah, atau kota, atau orang.
Terdengar langkah kaki mendekat. Aku tercekat.
Cepat-cepat aku menutup pintu dan membalikkan tubuh. Dua
wanita berseragam putih mendatangiku.
"Sedang apa kau di sini?" tanya yang seorang.
"Aku... eh... tersesat," jawabku. "Aku mencari ruang makan."
"Ke arah sana," kata wanita itu, menunjukkan. "Tapi kau sudah
terlambat untuk sarapan, dan terlalu awal untuk makan siang."
"Oh, maaf," kataku, lalu berjalan pergi. Kurasakan mata mereka
terus mengawasiku ketika aku menjauh.
Tapi aku tidak peduli. Aku mesti lari. Aku sudah tahu jalannya. Dan aku akan
mengambil risiko itu. *********** Keesokan paginya hujan lebat turun. Guntur menggelegar.
Biar saja. Hujan akan membuat mereka lebih sulit mengejarku.
Aku sarapan bersama Brad. Kucoba bersikap biasa. Aku
melambaikan tangan pada Molly dan Celeste, berceloteh tentang
binatang dari balon pada Brad.
Sebenarnya aku ingin menceritakan rencanaku padanya, juga
pada Molly dan Celeste. Aku ingin mereka kabur bersamaku.
Tapi aku khawatir ada yang mencuri dengar.
Bagaimana kalau Marv ada di dekat-dekat sini"
Lagi pula lebih mudah satu orang yang kabur daripada dua atau
lebih. Aku akan kembali membawa bantuan, pikirku. Akan
kuselamatkan mereka semua.
Di tengah sarapan aku beranjak ke toilet di bagian belakang.
Tapi begitu berada di luar ruang makan, aku berbalik.
Dan menyelinap ke pintu belakang yang kemarin kutemukan.
Aku tidak menunggu lagi. Tidak ragu-ragu lagi. Kubuka pintu
itu... dan aku melesat keluar, ke tengah hujan lebat.
19 "WAAAAH!" Aku berteriak ketika hujan lebat itu menerpaku.
Aku merunduk dan lari menembus tirai hujan.
Sepatuku terasa licin di jalan sempit yang keras itu. Genangan
air yang terinjak olehku muncrat membasahi kakiku.
Aku menuju rerumputan tinggi. Di depanku tampak bukit yang
menurun. Tapi hujan ini begitu lebat, sampai-sampai aku tak bisa melihat
ke bawah bukit atau ke hutan lebat yang terbentang di baliknya.
Aku bahkan tak bisa melihat apa yang ada beberapa meter di
depanku. Sering kali aku terpeleset dan harus memelankan laju lariku.
Pakaianku yang basah terasa menempel di kulit. Kucoba melindungi
mataku dengan satu tangan agar tidak kemasukan air yang menetes
turun dari dahiku. Guntur menggelegar dekat di atasku, membahana di
sekelilingku. Aku terus merunduk dan lari.
Biarlah hujan, pikirku. Hujan sederas mungkin. Aku akan
kabur! Kabur dari tempat mengerikan itu.
Aku tak bisa berhenti. Kutengadahkan kepala dan kubuka
mulutku, tertawa bahagia.
"Aku berhasil! Aku berhasil!"
"Hei!" Aku berteriak ketika kakiku tersandung sesuatu.
Aku mengangkat tangan, berusaha menjaga keseimbangan, tapi
tetap saja aku terpeleset.
Aku terjerembap telentang di rumput basah. Tubuhku melesak
di tanah yang lunak. Hujan menerpaku dengan deras, gelombang demi gelombang
air sedingin es. Aku berusaha bangkit. Mata kakiku sakit, tapi aku bisa
menggerakkannya. Tidak apa-apa.
Aku hendak berdiri, tapi kudengar seruan di belakangku.
Deru hujan begitu deras, sehingga aku tidak mendengar jelas
apa yang diteriakkan. Aku berdiri gemetar sambil menyeka sejumput lumpur dari
pakaianku. Kembali kudengar seruan itu. Lebih dekat.
"Paul! Paul! Stop!"
Aku ketahuan. 20 MELALUI tabir hujan yang deras kulihat sesosok tubuh berlari
ke arahku di tengah rerumputan sambil melambai-lambai liar.
Lagi terdengar seruan itu, "Paul... stop! Stop!"
Kilatan halilintar menerangi langit, dan dalam cahaya sekilas itu
kulihat Molly yang mendekat dengan wajah cemas dan mata nyalang,
sementara tangannya teracung melambai.
Aku ingin berbalik dan terus lari.
Tapi ia sudah berada di sampingku sebelum aku bisa bergerak.
Ia terengah-engah, membungkuk dan menekankan tangan ke jeansnya yang basah kuyup.
"Paul...," katanya. Poninya lekat ke dahi. "Kau mau..."
"Kita bisa kabur!" teriakku, mengatasi deru hujan. "Tidak ada
pagar di sini, Molly. Tidak ada yang bisa menghentikan kita!"
Aku menunjuk ke bawah bukit, tapi Molly meraih lenganku dan
menarikku kembali ke arah sekolah.
"Tidak tampak!" teriaknya.
"Hah?" Aku memandanginya melalui tirai hujan.
Molly menangkupkan tangan di depan mulutnya. "Pagarnya
tidak tampak! Dialiri listrik! Seperti untuk anjing. Supaya anjing tidak
keluar dari pekarangan!"
Aku mengangguk mengerti. "Kau akan kesetrum!" teriak Molly. "Aku sudah tahu. Aku
pernah coba..." Sisa kalimatnya tenggelam oleh gelegar halilintar.
"Tapi, Molly, aku mesti mencoba," teriakku. "Aku tidak bisa
tetap di sini." "Kau mesti kembali," desak Molly. Ia menarik lenganku lebih
keras, hampir-hampir membuatku jatuh.
"Lepaskan!" teriakku. "Aku tidak mau..."
"Kau mesti kembali!" ulangnya. "Orangtuamu ada di sini!"
21 AKU tercengang. "O ya?"
Molly mengangguk dan menarikku lagi.
Orangtuaku ada di sini" Bagaimana bisa" Bagaimana mereka
tahu aku perlu diselamatkan"
Molly dan aku lari berdampingan, melompati kubangankubangan air hujan, terpeleset-peleset di rerumputan, terus mendaki
bukit. Bangunan sekolah yang jelek dan gelap menjulang di hadapan
kami. Kilat berkeredap di antara sepasang menaranya yang hitam.
Kami masuk lewat pintu belakang, pakaian kami meneteskan
air di lantai. "Di mana mereka?" tanyaku. "Di mana?"
Molly menunjuk. "Kulihat mereka berdiri di depan. Dekat
ruang-ruang kelas." Ia mendorongku. "Cepatlah ganti pakaian."
Aku menggigil. "Tidak ada waktu. Aku..."
"Cepatlah," desak Molly. "Kalau mereka melihatmu seperti ini,
mereka tidak akan mau mendengarkanmu."
Benar juga. Aku bergegas ke kamarku dengan terpeleset-peleset dan tubuh
terus meneteskan air. Kulemparkan pakaianku yang basah ke lantai
dan kukenakan pakaian kering.
Jantungku berdebar kencang. Aku tak sabar ingin bertemu
orangtuaku. Aku sangat bahagia. Sangat lega. Yakin akan selamat.
Aku lari di lorong secepat mungkin. Jantungku serasa akan
meledak. Kulihat orangtuaku berada di luar sebuah ruang kelas. "Mom!
Dad!" teriakku terengah-engah sambil melambai-lambai senang.
Mereka menoleh dan balas melambai.
"Aku senang sekali!" kataku terharu. "Bagaimana Mom dan
Dad tahu..." "Paul... tenanglah! Tenang!" kata Dad.
Mom mengernyit padaku. "Kata Mrs. Maaargh, kau punya
masalah, Paul. Kami sangat kecewa padamu."
"Dia itu monster!" teriakku. "Monster!''
Mrs. Maaargh melongok ke luar dari dalam kelas. "Nah, dengar
sendiri, kan?" katanya pada orangtuaku. "Mengerti maksud saya
sekarang?" 22 "TAPI... tapi... " aku tergagap-gagap.
"Mari ke ruang guru," kata Mrs. Maaargh dengan ramah. "Kita
bisa berbincang-bincang tanpa diganggu." Ia tersenyum memuakkan.
"Mom, dengar dulu...," pintaku.
Kaki telanjang Mrs. Maaargh menimbulkan bunyi basah di
lantai ketika ia berjalan di depan, menuju ruang guru.
"Paul, kau basah kuyup!" seru Mom. "Kenapa rambutmu basah
begitu?" "Aku... aku..."
"Dia mencoba kabur tadi pagi," sela Mrs. Maaargh.
Orangtuaku terperanjat. "Ya, benar," kata Mrs. Maaargh sambil menyalakan lampu.
"Sudah saya bilang dia kelihatannya bermasalah."
Kedua orangtuaku melotot marah padaku.
"Mari minum teh dan silakan cicipi kue kecilnya," kata Mrs.
Maaargh dengan manis. Ia membungkuk ke arahku dan menjilat
bibirnya. "Makanan kecil adalah pembuka hari yang nikmat."
Mom dan Dad duduk di dekat sebuah meja kayu. Aku dipaksa
ikut duduk. "Paul sulit menyesuaikan diri pada suasana baru di
sekolah," kata Mom pada Mrs. Maaargh.
Goosebumps - Guru Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya merasa harus menghubungi Anda berdua," kata Mrs.
Maaargh sambil menuangkan teh.
"Hah?" seruku, melompat bangkit. "Anda yang menghubungi
mereka?" "Saya pikir mungkin Anda ingin membawa Paul pulang," kata
Mrs. Maaargh sambil menyodorkan secangkir teh panas.
"Kelihatannya dia sangat tidak bahagia di sini."
"Ya!" aku berseru dengan tinju teracung. "Ya! Bawa aku
pulang! Bawa!" "Kami tentunya tidak ingin membawa dia pulang," kata Dad
sambil merengut ke arahku. "Kami ingin Paul belajar menyesuaikan
diri." "Kami harap Anda bersedia memberi kesempatan lagi
padanya," kata Mom. "Tolong jangan suruh dia pulang."
Monster itu mengangguk, dagunya terlipat di bagian depan
gaunnya. "Tak usah cemas," katanya manis. "Setelah bincang-bincang
kita hari ini, aku yakin Paul akan bisa mengatasi masalahnya."
Aku merinding dan melompat bangkit lagi. "Mom dan Dad
mesti membawaku pulang!" teriakku.
"Paul, duduk... sekarang!" bentak Dad.
"Tapi dia itu monster!" teriakku sambil menunjuk Mrs.
Maaargh. "Benar, aku tidak bohong!"
"Cukup!" teriak Mom. "Kenapa kau kekanak-kanakan begitu?"
"Mom mesti percaya," pintaku. "Dia monster. Lihat saja
kakinya. Lihatlah!" Dad menggeleng dan Mom merah padam. "Kami minta maaf,"
kata Dad pada Mrs. Maaargh. "Kami minta maaf untuk Paul. Entah
kami mesti bilang apa."
"Tidak apa. Tidak apa." Mrs. Maaargh mengangkat satu
tangannya. "Anak-anak sering membicarakan kaki saya. Memang kaki
saya sangat bengkak."
Ia mundur, kakinya menimbulkan suara basah. Ia
memandanginya sambil menggeleng-geleng sedih
"Ini karena kelainan kelenjar," gumamnya. "Dokter-dokter
mengatakan belum pernah menemukan kasus separah ini. Saya sedang
berobat sekarang." Mom berdecak-decak. Mrs. Maaargh memotes sepotong sisik dari cakarnya yang
hitam. "Kaki saya tidak muat dimasukkan ke sepatu," lanjutnya dengan
sedih. "Saya sangat malu karenanya."
"Anda tidak perlu malu," kata Mom. Ia menoleh padaku. "Paul
yang mestinya malu karena bersikap kasar."
"Mom tidak mengerti...," kataku.
Tapi Dad menyuruhku duduk dan tutup mulut.
"Saya cemas tentang Paul," kata Mrs. Maaargh sambil
menghirup tehnya dengan berisik. Lidahnya yang tebal bergerak-gerak
di dalam cangkit. "Sangat berbahaya mencoba kabur."
"Itu tidak akan terulang," kata Dad. "Saya janjikan itu."
"Tapi... tapi..." Susah payah aku berusaha menceritakan yang
sebenarnya, tapi orangtuaku terus saja menyuruhku diam.
"Hutan di dekat sini sangat berbahaya," Mrs. Maaargh
melanjutkan. "Kalau dia mencoba kabur lagi, dia bisa tersesat dan
hilang selamanya." Oh, mendadak aku mengerti, mengapa Mrs. Maaargh meminta
orangtuaku datang ke sekolah.
Ia sedang merintis jalan agar aku menghilang.
Ia akan menjadikanku makan malam, lalu ia akan mengatakan
pada orangtuaku bahwa aku kabur lagi dan hilang di hutan.
Lalu dengan sangat sedih ia akan berkata, Sudah saya katakan
ini bisa terjadi. Saya sudah memperingatkan Paul agar tidak melarikan
diri. Orangtuaku masih berbincang-bincang beberapa lama bersama
Mrs. Maaargh, lalu monster itu menghabiskan isi cangkirnya dan
bangkit berdiri. "Senang sekali bertemu dengan Anda berdua," katanya dengan
senyum pura-puranya. "Sayang sekali saya harus segera mengajar."
"Terima kasih Anda mau menemui kami," kata Dad sambil
menjabat tangannya yang gemuk.
"Kami yakin mulai sekarang Paul akan belajar lebih rajin," kata
Mom dengan mata terarah padaku.
"Paul, kuharap kau menangkap pesan hari ini," kata Mrs.
Maaargh sambil nyengir memuakkan padaku. "Kau tahu?" Ia
membungkuk ke dekatku. "Kau kuizinkan tampil pertama kali pada pertunjukan bakat
besok." "Ada pertunjukan bakat?" seru Mom. "Bagus sekali. Sayangnya
kami tidak bisa hadir. Bagus sekali sekolah ini."
Mrs. Maaargh mengucapkan selamat jalan, lalu beranjak pergi.
Begitu ia tidak kelihatan lagi, aku melompat dan mencegat
orangtuaku. "Kenapa Mom dan Dad percaya padanya?" teriakku.
"Kenapa kalian tidak percaya padaku?"
"Kelihatannya dia baik," sahut Mom.
"Paul, kau ini kenapa sebenarnya?" tanya Dad.
"Dia itu monster!" teriakku. "Monster!"
Dad menggaruk-garuk kepalanya. "Dia memang agak aneh,"
katanya sambil mengernyit padaku. "Tapi kami mendidikmu untuk
tidak menilai orang dari penampilan luarnya. Ingat?"
"Penampilan luar bisa menipu," tambah Mom.
Mereka hendak beranjak ke pintu.
Aku meraih lengan kemeja Dad. "Tapi dia akan memakanku,"
teriakku. "Dia akan memakanku hidup-hidup."
Mom dan Dad tertawa. "Suruh dia menambahkan kecap
banyak-banyak," kata Dad.
"Dan minta dia sisakan tulang-tulangnya untukku," gurau Mom.
Bergurau" Kami sudah berada di pintu depan. Mereka memelukku dan
memintaku belajar rajin, serta jangan membuat ulah lagi.
Lalu mereka pergi. Mereka kesempatan terakhirku. Dan mereka pergi.
Aku berdiri terpaku di pintu depan.
Apa yang mesti kulakukan" Apa yang akan kalian lakukan
kalau kesempatan terakhir kalian sudah lenyap"
Masih adakah cara untuk menyelamatkan diri"
Sebuah sentuhan di bahuku membuatku menjerit.
Aku terlompat dan membalikkan tubuh dengan berdebar.
"Marv!" Sepasang matanya yang kecil berbinar-binar di wajahnya yang
bundar. Ia nyengir lebar dan mengangsurkan sebuah kantong merahkuning. "Mau kue?" tanyanya.
23 MASIH ada satu kesempatan.
Situasinya sudah mendesak. Orangtuaku sudah diperingatkan
bahwa kalau aku kabur lagi, aku bisa hilang selamanya. Dan Mrs.
Maaargh sekarang memanggilku "Makanan Enak" di depan semua
anak. Tapi selalu ada satu kesempatan paling akhir. Ya kan"
Aku berlatih sepanjang malam untuk perunjukan bakat itu.
Kupaksa Molly dan Celeste menontonku. Lalu kupaksa Brad
menontonku juga selama berjam-jam.
Binatang-binatang dari balon buatanku benar-benar jelek. Kata
mereka. Pokoknya jelek luar biasa.
Tapi aku menyertakan lelucon-lelucon yang sangat lucu untuk
setiap binatang yang kubuat.
Aku tidak tidur. Aku terlalu takut dan tegang.
Tapi semakin lama berlatih, aku semakin lebih yakin. Kalau
penampilanku bagus, mungkin aku bisa menaikkan posisiku pada
rantai makanan. Pertunjukan bakat itu diadakan setelah sarapan. Aku duduk di
ruang makan, memandangi sarapanku.
Perutku kaku. Rasanya setiap otot di tubuhku melilit. Aku perlu
energi untuk bisa tampil baik, tapi aku tidak bisa makan.
"Paul?" Suara itu membuatku tersentak. Sekretaris kantor
berdiri di belakang mejaku. "Ada pesan untukmu," katanya. "Di
kantor depan." Kuikuti ia ke luar ruang makan. Semua orang menatapku. Ia
membawaku ke kantor di dekat bagian depan sekolah.
"Itu," katanya menunjukkan, lalu bergegas mengangkat telepon
yang berdering. Aku mengambil catatan yang ada di meja dan membacanya.
Mula-mula aku memperhatikan tanda tangannya. Pesan ini dari
Mrs. Maaargh. Ternyata tulisannya kecil-kecil dan rapi.
Waktunya tampil! Kau yang pertama pagi ini. Temui aku di
tengah panggung auditorium. Datanglah begitu kau menerima pesan
ini dan kita mulai pertunjukannya.
Mrs. Maaargh. Aku tercekat. Mendadak mulutku kering sekali. Aku minum
banyak-banyak dari pancuran di luar kantor.
Lalu aku bergegas ke kamarku untuk mengambil balon.
Ini dia! pikirku. Ini kesempatanku yang paling akhir untuk
menyelamatkan diri. Aku membuka pintu dan masuk. Aneh, auditorium luas ini
gelap gulita. Satu-satunya cahaya hanya dari lampu sorot yang
membuat lingkaran cahaya di tengah panggung.
Pasti di situlah Mrs. Maaargh menghendaki aku menunggu,
pikirku. Aku melayangkan pandang ke kursi-kursi, lalu ke panggung. Di
mana dia" Kakiku lemas dan gemetar ketika aku naik ke panggung.
Kucengkeram kotak balonku erat-erat, seolah-olah benda itu adalah
ban penyelamat. "Mrs. Maaargh?" panggilku sambil melihat ke bayang-bayang
di belakang panggung. "Mrs. Maaargh" Aku di sini!" Suaraku
bergema di antara barisan kursi kosong itu.
"Apa tidak sebaiknya lampu-lampu auditorium dinyalakan?"
seruku. Tak ada jawaban. Tak ada siapa-siapa di sini.
Aku melangkah ke lingkaran cahaya itu, dan menunggu sampai
mataku bisa menyesuaikan diri.
"Halo?" panggilku. "Ada orang di sini" Halo?"
Kuangkat kotak balonku dan kuucapkan kalimat yang telah
kuhafalkan sebelumnya. "Halo, semuanya, aku ahli balon lokal yang
ramah " Kubayangkah semua penonton di depanku tergelak-gelak,
sementara Mrs. Maaargh tersenyum lebar sambil berpikir, Ternyata si
Paul boleh juga. Mungkin dia akan kuberi kesempatan.
"Mrs. Maaargh?" panggilku. "Anda ada di sini?"
Aku mulai berkeringat di bawah lampu yang panas itu. Aku
merasa panas, lalu dingin. Tanganku basah dan dingin sekali.
Kesempatan terakhirku, pikirku. Ayo teruskan!
Di bagian belakang auditorium, sebuah pintu terbuka. Cahaya
masuk ke bagian belakang lorong. Seorang gadis melongok ke dalam.
Molly! Aku menyipitkan mata ke seberang kursi-kursi. Molly
memandang ke arah panggung, masih memegangi pintu.
"Paul?" panggilnya. "Kau sedang apa di situ?"
"Menunggu Mrs. Maaargh," teriakku supaya ia bisa mendengar.
"Aku yang pertama tampil."
Molly ternganga. "Kau tidak tahu" Tadi diumumkan saat
sarapan." "Apa yang diumumkan?" teriakku.
"Pertunjukan bakatnya ditunda."
24 MOLLY menghilang. Pintu menutup lagi, dan auditorium
kembali gelap. Selama beberapa saat aku berdiri terkejut, terpaku dalam
kegelapan. Ditunda" Ditunda"
Sambil mendesah panjang aku melangkah keluar dari lingkaran
cahaya. Dan sebuah tangan mencengkeram tengkukku dengan kasar.
Aku terkesiap. Tangan itu semakin erat mencengkeramku.
Aku membalikkan badan... dan melihat Mrs. Maaargh. Ia
mendekatkan kepalanya yang besar ke kepalaku dan membuka
mulutnya dalam suatu seringai lebar.
"Selamat pagi, SARAPANKU!" geramnya.
"T-tidak," aku tergeragap, lalu meronta-ronta.
Tapi ia terlalu kuat. Aku tak bisa melepaskan diri.
Aku menjerit kaget ketika lantai di bawah kakiku melesak.
Ada apa ini" Kenapa seluruh sekolah ini melesak ke bawah
tanah" Tidak! Dengan ketakutan kulihat bahwa kami berdiri di sebuah
pintu bawah tanah yang tersembunyi di lantai panggung. Pintu itu
turun semakin cepat. ebukulawas.blogspot.com
"Kita akan ke mana?" teriakku. "Apa yang kaulakukan?"
Sebagai jawaban, ia menjilat bibirnya dengan lapar.
Aku mencoba mendorongnya dengan dua tangan.
Tapi cengkeramannya di leherku begitu erat.
Pintu bawah tanah ini turun ke bawah panggung. Sekarang yang
ada hanya kegelapan. Kakiku gemetar dan aku nyaris jatuh, tapi
monster itu mengangkatku dengan mencengkeram tengkukku.
"Kau... kau tidak sungguh-sungguh, kan?" tanyaku terbata-bata.
"Tentu aku sungguh-sungguh," geramnya.
Pintu yang kami injak turun semakin dalam... semakin dalam.
"Tapi... tapi kau pasti akan sangat menyesal," kataku.
"Tidak akan," sahut si monster. "Aku kan monster. Ingat?"
"Tapi ini tidak benar!" teriakku. "Kau tahu ini tidak benar."
"Aku tidak tahu mana yang benar mana yang salah," katanya.
"Aku cuma tahu aku lapar."
"Tapi... tapi... kau pasti tertangkap. Orang-orang akan tahu dan
akan menangkapmu. Mereka akan membunuhmu."
"Makanya aku selalu hati-hati," katanya, napasnya yang panas
dan asam meniup di wajahku. "Itu sebabnya aku cuma makan satu
anak setiap tahun." Pintu yang kami injak berhenti turun. Di sekitarku hanya
kegelapan. Mrs. Maaargh menarikku dengan kasar dari pintu, lalu pelanpelan pintu itu mulai terangkat kembali ke atas.
Aku terjebak di sini. Di mana kami sebenarnya"
Sambil menggeram pelan Mrs. Maaargh menyeretku di sebuah
lorong panjang dan gelap. Kami berbelok dan masuk ke terowongan
lain yang membuka ke sebuah ruang bawah tanah yang lebar dan
rendah. Di sepanjang tembok dan langit-langit tampak pipa-pipa
berselimut debu. Kudengar suara air menetes entah di mana. Mesinmesin berdengung. Di atas ada suara bergemuruh.
Monster itu menyalakan lampu bohlam dengan tangan satunya.
Cahaya lampu yang pucat menerangi ruangan yang kelabu dan
berdebu ini. "Di mana kita?" tanyaku. "Untuk apa kita di sini?"
Ia menyeretku ke dinding, lalu membungkuk dan membuka
sebuah pintu besi yang besar.
Terdengar suara gemuruh. Lidah api menjilat-jilat di balik
Goosebumps - Guru Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu, berderak-derak dan melompat-lompat.
"Tempat pembakaran!" teriakku.
Mrs. Maaargh mendekatkan wajahnya padaku. "Aku bukan
binatang," katanya. "Aku tidak makan daging mentah. Santapanku
kumasak dulu." Sambil memegangiku erat-erat ia membuka mulutnya lebarlebar. Gusinya mulai membesar. Empat baris gigi runcing mencuat
dan tetes-tetes besar air liur turun ke gigi-giginya yang jelek.
Ia mulai menggeram keras, dadanya turun-naik, lidahnya yang
gemuk berputar-putar di barisan giginya.
Ia mengangkatku dari lantai dengan dua tangan.
"Tidak, jangan!" pintaku. Aku melotot memandangi api yang
berkobar-kobar. "Tunggu!"
Ia mengatupkan mulutnya dengan lapar.
Lalu ia mengangkatku tinggi-tinggi di depannya... dan
melemparkanku ke api. 25 "TIIDAAAAK!" teriakku sambil meronta-ronta. Aku berhasil
menyambar pintu perapian raksasa itu. Sambil meliuk keras aku
menjauhkan diri dari api, dan berhasil berdiri di samping pintu
perapian yang terbuka. Monster itu memiringkan kepala dan meraung marah. Ia hendak
menangkapku, tapi aku berhasil menghindar.
Kuambil sebatang pengorek berat dari besi, yang biasa
digunakan untuk mengorek perapian. Sambil menggerung kuangkat
pengorek itu dan kulemparkan sekuat tenaga ke arah monster tersebut.
Pengorek itu menghantam perutnya.
Si monster berseru kaget dan terjatuh.
Apakah dia terluka" Aku tidak mau menunggu. Aku lari ke terowongan dengan lengan terulur ke depan. Aku
lari sekuat tenaga, terengah-engah, tidak menoleh, tidak
mendengarkan, tidak melihat apa pun selain kegelapan lorong di
depan. Aku berbelok dan lari di lorong berikutnya.
Di depan terdengar suara derum pelan. Lalu aku melihat
sepasang sepatu dan sepasang kaki dalam celana jeans.
Pintu bawah tanah! Seseorang turun kemari.
Aku berhenti lari. "Molly" Kau sedang... bagaimana kau..." Aku
tak bisa melanjutkan, napasku terlalu pendek-pendek..
"Paul, maafkan aku," seru Molly. "Cepat naik!"
"Maaf?" bisikku. "Apa maksudmu?"
"Maaf aku mencelakakanmu," katanya sambil terisak. "Tapi aku
takut sekali, Paul. Takut sekali. Aku tahu Mrs. Maaargh akan
memakanku. Dia benci padaku, karena aku mencoba kabur. Aku akan
menjadi mangsanya, Paul. Aku takut sekali. Lalu kau datang."
"Tapi... aku tidak mengerti," kataku.
"Aku tahu aku salah," lanjut Molly dengan gemetar. "Tapi
akulah yang melakukannya. Aku yang merusak biola Brad, sehingga
akulah yang tampil. Aku juga yang melubangi balon-balonmu dan
mengubah susunan molekulmu. Aku takut sekali. Aku tidak mau
dimakan." "Tapi kemarin kau mengejarku dalam hujan. Kenapa?" tanyaku.
"Aku tidak mau kau kabur," kata Molly, terisak lagi. "Kalau kau
lari, akulah yang dimakan. Jadi, aku membujukmu untuk kembali.
Aku memang egois dan jahat, tapi itu kulakukan karena aku sangat
ketakutan." Aku melongo memandanginya. Jadi, selama ini bukan Marv
yang jahat, tapi Molly. "Tapi aku merasa sangat bersalah," kata Molly lagi. "Jadi, aku
datang untuk menyelamatkanmu."
Pintu itu berderum dan bergerak, mulai terangkat. "Cepat,
Paul." Molly mengulurkan tangan. "Lompat. Kita bisa kabur."
"Oke," teriakku. Pintu itu sudah naik hingga sebatas
pinggangku. Cepat sekali.
Aku melompat. Tapi sesuatu menahanku. "Kau mau ke mana, SARAPANKU?" Mrs. Maaargh
menggeram. Sepasang lengannya yang gemuk melingkari kakiku.
Aku mengulurkan tangan pada Molly. "Tunggu! Tunggu!"
pintaku. Tapi pintu itu terangkat naik bersama Molly. "Sayang sekali,"
kata si monster. Senyum jahat menghiasi wajahnya. "Selamat tinggal,
pintu. Selamat tinggal, Paul."
"Tidak!" teriakku.
Aku meronta-ronta dan berhasil melepaskan diri. Aku bisa lari
lebih cepat daripada dia, pikirku. Dia besar dan lamban. Aku lebih
gesit. Tapi ke mana aku bisa lari"
Monster itu bangkit dan siap-siap menjegalku. Aku menerobos
melewatinya dan lari. Lari sekenanya di lorong itu. Adakah pintu di sini" Atau anak
tangga" Atau tempat bersembunyi yang bagus"
Aku menerobos ke dalam kegelapan.
Aku berbelok ke lorong lain, melewati ruang suplai yang penuh
sesak, masuk ke lorong lain lagi.
"Tidaaaak!" teriakku kaget saat aku bertumbukan dengan Marv.
26 "TOLONG... " pintaku. "Tolong jangan beritahu dia di mana
aku. Biarkan aku lolos."
Sepasang mata Marv yang kecil melebar heran. Ia mundur.
"Kau kan temanku," gumamnya.
Aku sudah hendak lari melewatinya, tapi lalu berhenti dan
menoleh. "Apa?"
"Kau temanku," katanya. "Kau mau duduk denganku di ruang
makan. Kau mau bicara denganku. Kau satu-satunya yang baik
padaku." Aku tercekat. "Maksudmu..."
"Itu sebabnya aku membawakanmu kue," katanya. "Sebab kau
temanku." "Kau bukannya ingin membantu ibumu?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Aku akan membantumu," katanya.
Kudengar gemuruh langkah kaki di belakang kami semakin
keras. Mrs. Maaargh berhasil melacak jejakku.
"Bagaimana kau akan menolongku?" tanyaku. "Bisakah kau
mengeluarkan aku dari sini?"
Ia menggeleng. "Tidak ada jalan keluar," katanya.
"Lalu bagaimana kau bisa menolongku?" teriakku.
Langkah kaki si monster semakin dekat.
"Buatlah dia tertawa," kata Marv.
Aku menyipitkan mata. "Apa?"
"Buat dia tertawa, Paul. Dia hampir tidak pernah tertawa, tapi
kalau sudah tertawa, dia akan tidur panjang. Dia akan tertidur selama
enam bulan." "Tapi bagaimana caranya?" tanyaku panik sambil
mencengkeram kemeja Marv. "Bagaimana aku bisa membuat dia
tertawa?" Ia tidak menjawab. Matanya melotot dan ia melepaskan diri dari
cengkeramanku, lalu mundur ke dalam bayang-bayang.
Aku menoleh. Mrs. Maaargh berdiri di depanku, memblokir
lorong. Lengannya terentang. Ia merunduk dan menyeringai padaku,
siap-siap menyerangku lagi.
"Tak ada jalan untuk lari, Sarapan," katanya sambil menjilat
bibir dengan lapar. Ia membuka mulutnya, sekali lagi memamerkan
deretan giginya. Aku memandanginya ketakutan. Bagaimana supaya dia
tertawa" pikirku. Apa yang mesti kukatakan atau kulakukan"
Aku berpikir keras. Kepalaku serasa akan meledak.
Apa aku mesti menceritakan lelucon padanya"
Tidak. Ia tidak pernah tertawa pada leluconku. Lagi pula aku
sedang sangat ketakutan dan tak ingat lelucon apa pun.
Kalau saja balon-balonku ada di sini, pikirku. Mungkin
binatang balon buatanku bisa membuatnya tertawa.
Apa lagi yang bisa kulakukan"
Menari" Menyanyi"
Tidak. Ia akan melahapku sebelum aku selesai. Sambil
menggeram pelan monster itu merunduk dan bersiap menyerang.
Mendadak aku mendapat gagasan.
27 MONSTER itu merunduk ke depan, kakinya yang besar
berdebum di lantai yang keras.
Aku berlutut. "Kau mau apa?" tanyanya marah.
Aku membungkuk dan mengulurkan tangan.
Bisakah aku melakukannya" Bisakah aku menyentuh kaki
lembek yang menjijikkan itu"
Ia mengentakkan satu kakinya dengan tak sabar. SRET SRET.
Cakar-cakarnya yang tebal menyapu lantai.
Kuangkat tanganku di atas kaki itu.
Perutku bergolak. Aku merasa mual.
Aku tak sanggup menyentuhnya, pikirku. Terlalu menjijikkan.
"Bangun!" bentaknya.
Tak ada pilihan lain. Aku harus melakukannya.
Pelan-pelan kusentuhkan jemariku di kaki yang besar itu.
Rasanya sangat lembek dan lembap.
Dan aku mulai menggelitik.
Karena membungkuk, aku tak bisa melihat wajah monster itu,
tapi kudengar ia terkesiap.
Aku terus menggelitik kakinya, menggerakkan jemariku di
kulitnya yang lembek. Iiih! pikirku. Ini memuakkan. Sangat memuakkan.
Aku tak percaya aku menyentuh kakinya.
Tapi Mrs. Maaargh mulai tertawa.
Aku menggelitik lebih lama.
Suara tawanya bergemuruh di seluruh lorong bawah tanah.
Kedengarannya lebih mirip salak anjing daripada suara tertawa.
Aku terus menggelitiknya.
Ia terus dan terus tertawa. Tersedak dan tertawa.
Lalu ia terduduk di lantai dan tertawa dengan kepala tengadah.
Sampai kemudian seluruh tubuhnya terdorong ke belakang dan
ia terbaring telentang di lantai.
Aku cepat-cepat berdiri dengan perut mual. Seluruh tubuhku
serasa gatal dan merinding.
Dada dan perut monster itu bergerak naik-turun. Napasnya
teratur, matanya tertutup dan mulutnya terbuka sedikit.
"Dia tidur," kata Marv pelan sambil melangkah keluar dari balik
bayang-bayang. Aku memandangi monster itu, masih terlalu mual untuk bicara.
Masih terasa olehku kulitnya yang menjijikkan itu.
"Dia akan tidur berbulan-bulan," kata Marv. "Bisa juga
setahun." Kupaksakan diri memalingkan wajah dari monster itu. "Kau
menyelamatkanku," kataku.
Marv tersenyum. Ia menarik-narik rambutnya. "Begitulah."
Aku merangkul bahunya. "Kau menyelamatkanku!" aku berseru
senang. "Tak percaya rasanya. Kau menyelamatkanku!"
Kami melangkah ke pintu bawah tanah. Lalu Marv berhenti
berjalan dan menoleh padaku. "Ada satu masalah, Paul."
"Apa?" tanyaku.
Mata Marv berkilat-kilat. "Semua keributan tadi membuatku
lapar sekali," katanya.
Aku terkesiap dan menjauh darinya. "Kau cuma bercanda kan?"
seruku. "Kau bercanda kan?"
"Iya kan?"END Tiga Makam Setan 3 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama