Ceritasilat Novel Online

Halloween Tanpa Kepala 2

Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala Bagian 2


dan menekanku kembali ke tong itu.
Kubuka mulutku untuk menjerit"dan merasakan kecoakkecoak itu meluncur masuk ke mulutku, merangkak di atas lidahku.
Aku"aku menelan makhluk-makhluk itu!
"Itu nggak masuk hitungan. Ayo, tangkap satu!" Aku
mendengar Norb memerintah dari belakangku. "Gigit kecoak itu.
Gigit!" "Tangkap satu! Tangkap satu!" Max berseru.
Aku mendengar anak-anak bersorak dan tertawa-tawa.
Perutku jungkir-balik. Aku bakal muntah nih, aku tersadar.
Kecoak-kecoak berkeriap di atas wajahku, di rambutku.
"Tangkap satu! Tangkap satu!" anak-anak berteriak berulangulang.
Aku tak sanggup lagi, aku tersadar. Aku tak tahan lagi.
Aku harus mengakhiri semua ini. Harus menghentikannya...
Tak ada pilihan lagi. Aku tak punya pilihan. Kututup mataku
dan kubuka mulutku lebar-lebar. Dan kutangkap segerombolan kecoak
di antara gigi geligiku. 14 KUKATUPKAN rahangku keras-keras dan kuangkat kepalaku.
Dapat kurasakan serangga yang lengket itu di antara gigiku, di atas
lidahku. Sambil mengerang kubuka mulutku dan mulai meludah.
Kulepehkan kecoak-kecoak itu ke dalam tong itu lagi. Dan walaupun
sudah tak ada satu kecoak pun di dalam mulutku, aku terus meludah,
berusaha mengusir rasa asam dan gelitikan yang mengerikan itu.
Anak-anak tertawa dan bertepuk tangan. Norb menepuk
punggungku keras-keras. "Cukup seram untukmu, Brandon?"
tanyanya. Matanya berkilat senang di balik topengnya.
"Ayo, bikin yang lebih seram lagi!" seseorang berseru. Dan
yang lain mulai berteriak berulang-ulang: "Lebih seram lagi! Lebih
seram lagi!" Ini benar-benar mimpi buruk! pikirku.
Ini tak mungkin terjadi padaku. Anak-anak ini jahat sekalil
"Boleh aku pergi sekarang?" aku bertanya pada Norb. Suaraku
bergetar. Kutarik sebuah kaki kecoak dari lidahku.
Ia diam saja, jadi kucoba sekali lagi. "Aku akan pergi dari sini,"
kataku. "Kalian tak bisa menahanku di sini."
"Tentu saja kami bisa," Norb menjawab. Ia memberi isyarat
dengan kedua tangannya, dan beberapa anak yang mengenakan
kostum mengitariku. "Lebih seram lagi," ujar mereka berulang-ulang. "Lebih seram
lagi!" Norb meremas bahuku sampai aku mengerang. "Ayo kita
mainkan sebuah permainan," ia berkata. "Semua memainkan sesuatu
di pesta"ya, kan, Brandon?"
"Aku mau pergi," kataku dengan rahang rapat. "Kalian tak bisa
menahanku di sini. Ini sih namanya... menculik!"
Entah kenapa, ucapanku ini membuat semua anak di situ
tertawa terbahak-bahak. "Aku serius!" pekikku. "Biarkan aku pergi dari sini!"
"Bagaimana kalau kita main Twister?" tanya Norb, tak
memedulikan ucapanku. "Kau suka main Twister?"
"Tidak!" jawabku marah. "Aku tak mau bermain apa pun. Aku
mau pergi!" Norb menekan bahuku dengan jemarinya. "Baiklah. Twister," ia
berkata lembut. Ditariknya aku ke tengah ruangan. "Kau senang,
Brandon" Apakah semua ini cukup seram bagimu?"
Aku memberontak sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri.
Tapi tangannya menjepit bahuku, mengirimkan rasa sakit ke
sekujur tubuhku. Ia mendorongku keras sekali"dan aku pun jatuh
terjerembap ke atas alas permainan Twister yang digelar di lantai.
"Kau duluan," perintahnya.
"Aku nggak mau main!" Kusilangkan tanganku di depan
dadaku. "Pokoknya nggak mau."
Anak-anak mengelilingiku. Mata Norb yang gelap menatapku
lewat lubang mata di topengnya. "Sebaiknya kau menikmati bagian
ini, Brandon," ujarnya pelan. "Ini bagian yang menyenangkan. Setelah
ini, semuanya akan menjadi benar-benar seram."
"Apa" Kenapa?" teriakku. "Apa maksudmu?"
Ia tidak menjawab. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?" desakku. "Apa yang akan
kalian lakukan padaku?"
15 BEBERAPA detik kemudian, aku sudah terjatuh di atas alas
permainan, bertumpu pada kedua tangan dan lututku. Seorang anak
laki-laki yang mengenakan kostum vampir mengambil posisi di
atasku, juga bertumpu pada kedua tangan dan lututnya.
Siapakah anak-anak ini" pikirku, jantungku berdebar kencang.
Kenapa mereka melakukan semua ini padaku" Apakah semua
ini cuma ide mereka tentang Halloween yang menyenangkan" Atau
apakah mereka sungguh-sungguh jahat"
Anak cowok berkostum vampir itu menindihku dengan berat
badannya. Di sekelilingku anak-anak berteriak berulang- ulang: "Yang
lebih seram! Yang lebih seram!" Suara mereka menggema di dinding
ruang bawah tanah, semakin keras dan semakin keras di telingaku.
"Lebih seram lagi! Lebih seram lagi!"
Aku merinding. Tubuhku gemetaran.
Apakah mereka akan pernah membiarkan aku pergi" Ataukah
mereka bermaksud menyiksaku semalaman"
Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Seorang anak cewek yang mengenakan kostum monyet
menjatuhkan diri ke sebelahku di atas alas permainan.
Dilingkarkannya salah satu lengannya pada lenganku.
"Aku nggak mau main," erangku. "Pergi sana! Pergi dariku!"
Kurasakan lengan yang lain membelit kedua kakiku.
Anak laki-laki di atas punggungku mulai terasa semakin berat.
Sebuah lengan mengunci lenganku yang lain.
"Aku benci permainan ini!" teriakku. "Kenapa kalian
melakukan ini padaku?"
Anak berpakaian vampir itu tiba-tiba terasa enteng. Apakah ia
sudah bangkit" Aku mendengar suara HISSSS yang keras sekali, dekat di
telingaku. Aku memutar kepala dan melihat lengan yang membelit
lenganku perlahan-lahan mulai berubah... semakin kurus... dan
membelit semakin erat lagi.
Suara HISSSSS lagi. Begitu dekat. Amat dekat.
Lalu suara rahang dikatupkan.
Sesuatu bergelung melilit pinggangku. Dan semakin erat.
Semakin erat. Ular. Anak-anak itu menyusut... berubah... berubah menjadi ular.
Mereka melilit tubuhku. Membelit dadaku, tanganku, kakiku.
"Tiddddaaak!" Sebuah lolongan ketakutan lepas dari
tenggorokanku. Suara keras rahang dikatupkan membuatku menahan napas.
Kulit yang kasar dan hangat menggeleser di leherku.
Dan sekarang mereka semua berdesis. Mencekik leherku.
Mendesis. Mengatupkan rahang.
Aku... sedang mati lemas, aku tersadar.
Tak bisa bernapas... Tak bisa bernapas.
Aku jatuh menelungkup, rata di atas alas permainan. Dengan
tubuh lemas, aku berbalik hingga jatuh telentang.
Kukibaskan salah satu tanganku"hingga ular yang melilit di
situ terlempar lepas. Lalu kuangkat tanganku. Dan kucengkeram ular yang mencekik
leherku"kemudian kutarik.
Ular itu meliuk di tanganku. Dan menyentakkan kepalanya ke
arahku. Mengatupkan rahangnya dekat ke wajahku, begitu dekat
hingga dapat kurasakan napasnya yang panas di pipiku.
Dengan satu sentakkan kuat, kulemparkan binatang itu ke
tengah-tengah kerumunan anak-anak yang ramai bersorak dan
berteriak-teriak. Lalu sambil menarik ular yang lain dari salah satu pergelangan
kaki, aku melompat berdiri.
Ruangan itu berputar-putar. Aku berkedip beberapa kali,
berjuang menstabilkan diriku.
Anak-anak berdiri mengelilingiku, berteriak-teriak, suara
mereka terdengar tak jelas dan aneh dari balik topeng mereka. Mereka
bertepuk tangan dalam ritme yang pelan dan tak berubah. Terusmenerus mengulang-ulang kata-kata mereka yang menakutkan.
"Lebih seram lagi... Lebih seram lagi!"
Aku harus pergi dari sini, kataku pada diri sendiri.
Aku harus kabur. Selagi bisa.
Tapi bagaimana caranya"
Dengan panik aku menatap sekeliling ruangan. Pita-pita kertas
krep berwarna oranye dan hitam tampak berkilauan, meliuk-liuk jatuh
dari langit-langit seperti ular.
Dan di bawahnya... Di bawahnya aku melihat tangga ruang
bawah tanah. Dan pintu di puncak tangga itu.
Terbuka. Pintu itu terbuka lebar. Bisakah aku lari ke sana" Bisakah aku mencapai pintu itu dan
lari dari rumah ini, lepas dari anak-anak aneh yang terus berteriakteriak ini"
Aku tahu, aku harus mencoba.
Aku maju selangkah. Dan selangkah lagi.
Lalu sekonyong-konyong tangan Norb kembali mencengkeram
bahuku lagi. Matanya menatap mataku lekat-lekat. "Kau sudah siap
untuk trik Halloween yang sungguhan?" ia bertanya. "Aku akan
membuat kau lenyap."
16 "TIIDDDAAAK!" aku menjerit marah.
Lalu kurenggut pinggang Norb dengan kedua tangan"dan
kusentakkan tangannya dari bahuku.
Di balik topeng jeleknya, matanya membelalak kaget.
Aku tak memberinya kesempatan untuk menangkapku lagi. Aku
berbalik dan lari ke tengah kerumunan anak-anak. Sambil
merundukkan kepala seperti pemain gelandang belakang, aku
merangsek langsung ke tengah mereka.
Teriakan-teriakan itu berhenti. Diganti jeritan-jeritan terkejut.
Dengan kepala tetap menunduk, aku kabur tanpa menoleh ke
belakang. Lari menembus hutan ular. Lari menuju tangga, mataku
terpaku pada pintu yang terbuka.
"Owwww!" Aku jatuh terjerembap di kaki tangga. Lututku terbentur. Rasa
sakit menyebar di sekujur tubuhku.
Tapi kucengkeram birai tangga dan kutarik diriku naik.
Melompati anak-anak tangga, berusaha keras untuk tidak
memedulikan lututku yang berdenyut-denyut. Ke atas. Pintu itu sudah
dekat sekali sekarang. "Yes!" aku berteriak girang saat mencapai puncak tangga dan
menyerbu keluar ambang pintu. Dapat kudengar teriakan dan jeritan di
bawah, jauh di bawah sekarang.
Sekilas kutatap ke bawah. Mereka tidak mengejarku.
Sambil menarik napas panjang, aku berbalik dan berlari terbiritbirit menembus rumah yang gelap itu. Keluar dari pintu depan dan
melintasi halaman depan menuju jalanan.
Sepatuku terpeleset di rerumputan yang berembun.
Aku berlari dalam kegelapan yang pekat. Tak ada bulan. Tak
ada bintang. Tak ada lampu jalan atau penerangan dari satu rumah
pun. Pepohonan yang hitam bergoyang tanpa suara di langit yang
sehitam arang. Selain itu tak ada lagi yang bergerak. Tak ada kendaraan lewat.
Tak ada siapa pun di jalanan.
Kuseberangi sebuah jalan dan terus berlari. Aku tak tahu ke
arah mana aku menuju. Pokoknya aku harus melarikan diri, sejauh
mungkin dari rumah dan anak-anak itu.
Aku terus berlari sampai rasa sakit yang menusuk pinggangku
memaksaku memelankan langkah.
Deretan rumah berakhir, dan kutemukan diriku berlari kecil di
antara tanah-tanah kosong yang ditumbuhi banyak pepohonan. Saat
kuikuti liukan jalan itu, cahaya yang suram membanjiri tanah, jatuh ke
atas trotoar, ke atasku. Aku menengadah. Bulan telah menyelinap keluar dari balik
awan. Cahayanya yang keperakan membuat pepohonan yang tinggi
tampak berkilauan, tak nyata, dan bagaikan makhluk halus.
Sepatuku berdentam-dentam memukul trotoar. Napasku
tersengal-sengal, jantungku berdetak liar, pinggangku masih terasa
sakit. Di mana semua orang"
Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya orang yang
keluar pada malam Halloween di permukiman ini"
Aku berhenti saat kulihat sesuatu bergerak di rerumputan di
tanah kosong. Kusipitkan mataku, berusaha keras untuk melihat lebih
jelas. Anjingkah itu" Atau kelinci yang berdiri tegak di antara
ilalang" Aku melangkah lebih dekat lagi.
Sesuatu menyembul dari balik rerumputan, bergerak pelan
sekali, menjulang seperti pohon kecil, meraih ke angkasa.
Sesuatu... "Oh, tidak!" erangku. "Oh, tiddddaaak!"
17 SEBUAH tangan! Tangan manusia. Aku menelan keras-keras seraya menatap tak percaya. Di dekat
tangan itu ada tangan lain menyeruak keluar dari bawah tanah. Tangan
itu bergerak-gerak mengibaskan tanah yang melekat padanya.
Kedua tangan itu terulur ke atas, bergerak seperti mau
mencengkeram, jemarinya dibengkokkan dan diluruskan kembali.
Sambil membeku tanpa suara, kutatap ke dalam cahaya samar
yang menyeramkan itu. Dan melihat lebih banyak tangan lagi
menyembul keluar dari bawah tanah.
Selusin tangan terulur naik. Lalu selusin lagi, berkilat kuning
dan hijau di dalam cahaya bulan.
Tangan-tangan menggapai-gapai dari tanah. Menangkap,
mencengkeram udara. Mengibaskan tanah yang melekat padanya...
terulur... terulur... Dan kemudian kepala-kepala. Kepala manusia. Rambutnya
penuh tanah. Kulitnya berlepasan, menggantung di tengkoraknya.
Kepala demi kepala menyembul dari tanah.
Menatapku dengan sorot mata penuh permohonan, wajah
mereka meringis, mulut mereka terbuka seperti kesakitan.
"Bawa kami bersamamu," salah satu berbisik serak.
''Tidak. Aku saja!" yang lain berkata dengan suara parau.
"Bawa aku bersamamu. Bawa aku." Mereka berseru tak hentihentinya.
Dan tangan mereka terulur ke arahku"semuanya" menggapai
dari balik tanah, jemari mereka mengepal dan membuka, mata
mereka, mata yang cekung dan kosong, memohon, meminta.
"Bawa aku bersamamu."


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana ini bisa terjadi" Bagaimana mungkin orang mati
bisa keluar dari bawah tanah" Apakah mereka benar-benar sudah
meninggal" Apa yang terjadi di sini" pikirku.
Kupejamkan mataku. Kupaksa diriku untuk berbalik pergi dari
pemandangan jelek yang mengerikan itu.
Dan sekonyong-konyong aku berlari. Lari secepat aku dapat,
tubuhku condong ke muka, lenganku terulur ke depan.
Kakiku terasa goyah dan lemas. Leherku seperti tercekik hingga
napasku keluar dalam desahan.
Tapi aku terus berlari, berlari membabi buta, berlari tanpa
sedikit pun melambatkan langkah. Berlari mengikuti lekukan jalan di
antara pepohonan. Lalu berhenti sambil menjerit saat deretan pepohonan berakhir.
Saat tanah tempat kakiku berpijak berakhir.
Dan aku menatap celah yang dalam di depanku, di bawah
kakiku. Sebuah lubang. Menganga di tanah.
Jurang itu" Ya! Aku telah menemukannya. Aku telah sampai di jurang itu.
Jurang Raven yang gelap pekat menganga di depanku.
"Oh, untunglah," aku mendesah lega.
Aku menjulurkan badan ke muka, tanganku kuletakkan di lutut.
Dan menunggu sampai napasku lebih lega. Menanti sampai kepalaku
berhenti berputar, dan dahiku tak lagi berdenyut.
Aku berdiri membungkuk di sana selama satu menit, mungkin
dua. Menarik napas... menarik napas... dan menatap jurang yang
sempit itu. Aku pernah melompatinya, kataku pada diri sendiri. Aku bisa
melompatinya lagi. Dan setelah itu aku akan bisa pulang. Meninggalkan tempat
yang kosong dan mengerikan ini.
Begitu merasa enakan, aku menegakkan tubuhku. Dan
melangkah ke tepi jurang.
"Bukan masalah," gumamku. "Aku bisa melompatinya dengan
mudah." Aku menunduk memandang tepi jurang yang curam, lalu
bebatuan gelap yang tajam di bawahnya.
Dan kemudian menjerit histeris saat melihat sesosok tubuh.
Seorang anak laki-laki"tergeletak di dasar jurang. Berbaring
menelungkup. Tangan dan kakinya terpentang, seolah-olah tengah
memeluk bebatuan di bawahnya.
Cal-kah itu" Cal" Sekujur tubuhku gemetaran, sampai-sampai aku jatuh berlutut.
Kudoyongkan diriku ke depan agar bisa melihat lebih baik.
Cal" Pasti Cal telah mengikutiku keluar dari rumah Mr. Benson. Ia
pasti ikut mencoba melompati jurang itu.
Dan meleset. Meleset. Dan kini temanku"teman baikku"tergeletak di sana,
tubuhnya remuk, berbaring menelungkup di atas batu, mati tak
bergerak. "Cal?" aku berseru padanya, suaraku serak dan bergetar.
"Cal" Kau masih hidup" Kau bisa mendengarku?"
Tidak. "Cal" Kau bisa bergerak" Kau bisa?"
Wow. Tunggu dulu. Kucengkeramkan jemariku pada tepi jurang itu dan
kudoyongkan tubuhku lebih jauh lagi. Sampai aku nyaris terjatuh ke
dalam jurang. "Cal?" Bukan. Bukan Cal. Dengan mata disipitkan, tubuh condong ke muka, aku pun
melihat bahwa bukan Cal yang tergeletak mati di bebatuan di bawah
sana. Bukan Cal. Bukan Cal. Bukan Cal.
Tapi aku. 18 "APA?" Napasku melompat dari dadaku seperti ledakan keras.
Sekujur tubuhku terempas oleh rasa terkejut yang amat sangat.
Dan sebelum sempat menarik diriku dari tepi jurang, aku
terjatuh. Saat tubuhku melayang jatuh, sepasang tangan yang kuat
menyentak bahuku. Seseorang menarikku ke belakang.
Mengembalikanku ke tanah yang keras. Dan menerbangkan aku"
tubuhku, dengan kekuatan yang fantastis"hingga telentang di atas
tanah. Sambil mendesah ngeri, dadaku naik-turun, aku bertatapan
dengan Norb. "Ada masalah?" ia bertanya tenang, menatapku dari balik
topeng jeleknya. Lewat bahunya kulihat yang lain bermunculan. Max dalam
kostum tengkoraknya, anak berkostum vampir, anak cewek yang
berpakaian seperti monyet. Masih mengenakan kostum, mereka
melangkah keluar dari hutan dan mendekati bibir jurang.
Kupaksa diriku untuk bangkit duduk. "Apa..." Aku terdiam. Tak
mampu menyelesaikan pikiranku.
Mereka semua tertawa. Norb menjulang di atasku, tangannya di
pinggang. Aku mencoba lagi. "Apa... yang terjadi?"
Norb menggelengkan kepala. "Brandon, tidakkah kau
mengerti?" "Tidak," jawabku. "Apa yang terjadi" Di bawah sana..." Aku
menunjuk ke dalam jurang.
"Itu kau," ia berkata datar.
"Aku tahu. Tapi..." Aku menelan ludah.
"Kau gagal," ia berkata pelan.
"Apa?" "Kau mencoba melompati jurang, dan gagal." Ia membungkuk
ke dekatku. "Coba ingat-ingat."
"Aku... aku tak bisa," sahutku terbata-bata. "Aku melompat
dan..." Kuperas otakku. Aku ingat telah mendarat keras sekali...
hingga segalanya gelap. Benarkah" Aku gagal menyeberangi jurang"
"Kau mati," ujar Norb datar, tanpa emosi sama sekali.
"Tubuhmu remuk di bawah sana, Brandon. Tapi jiwamu berhasil
sampai ke kehidupan lain di seberang."
"Kehidupan lain," seorang cewek bergumam.
"Kehidupan lain... kehidupan lain..."
"Jiwaku?" Aku menahan napas.
Norb mengangguk. "Kau telah bergabung bersama kami di
kehidupan lain." "Tidak. Tak mungkin," gumamku lemah. Kugelengkan kepala.
"Aku tak percaya."
"Kau bersama kami sekarang, Brandon," ulang Norb. "Kau
akan tinggal bersama kami di sini, di kehidupan lain."
"Selamanya," si tengkorak menimpali.
"Selamanya," seorang anak cewek mengulangi.
"Tidak!" protesku. Kucengkeram bagian depan jaket Norb
dengan dua tangan. "Tidak!" jeritku. "Kau harus melepaskan aku.
Kumohon"biarkan aku pergi!"
Ia menggelengkan kepala. "Tidak bisa."
"Aku berjanji akan jadi anak baik. Aku tidak akan pernah
menakut-nakuti siapa pun lagi! Janji!" erangku.
Mereka semua tertawa. Tawa yang dingin dan mengejek.
"Nggak bisa," ujar Norb pelan.
Dikibaskannya tanganku. "Kau ketakutan"ya, kan?"
gertaknya. "Ya," aku mengaku. "Aku ketakutan."
"Sekarang kau tahu bagaimana rasanya ketakutan," timpalnya.
"Sekarang kau ada di kehidupan lain. Kau tahu bagaimana rasanya
menjadi amat sangat ketakutan."
"Aku janji tidak akan menakut-nakuti siapa pun lagi!" seruku.
"Dengar. Aku janji..."
Yang lain tertawa sekali lagi.
Aku tak dapat menahan diri untuk melihat sekali lagi. Dengan
kaki gemetaran, aku merangkak kembali ke bibir jurang"dan
mengintip ke bawah. Mengintip memandangi tubuhku sendiri. Yang tergeletak di atas
bebatuan. Begitu diam. Begitu mati.
"Apa yang dapat kulakukan?" desakku, seraya berbalik menatap
Norb. "Pasti ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kembali."
Ia menatapku lama sekali, seperti berjam-jam rasanya.
"Mungkin...," akhirnya ia berkata.
"Katakan padaku!" teriakku. "Kumohon... Aku tak bisa tinggal
di sini! Aku harus kembali! Beritahu apa yang bisa kulakukan!"
Mata Norb berkilat di balik topengnya. "Cuma ada satu cara,"
ujarnya. 19 "APA?" Aku berjalan terhuyung-huyung ke arahnya dan
kembali mencengkeram jaketnya. "Katakan apa yang harus
kulakukan. Aku akan melakukan apa pun!"
"Tak akan mudah"bagimu," sahut Norb.
"Akan kulakukan," janjiku. "Apa pun itu."
"Kau harus menolong orang lain," ia berkata.
"Apa?" Dengan dagdigdug aku menunggu ia meneruskan katakatanya.
Embusan angin dingin berputar-putar di sekitar kami. Segumpal
tanah jatuh berguling dari tepi jurang dan menyentuh bebatuan di
bawahnya. Sebuah gambar berkelebat di benakku. Gambar yang amat
mengerikan. Aku melihat diriku sendiri terjatuh ke atas bebatuan itu,
seperti gumpalan tanah. "Kau harus menolong orang-orang yang sedang ketakutan,"
lanjut Norb akhirnya. "Kau harus menyelamatkan mereka. Tiga orang.
Kau harus menemukan tiga orang yang ketakutan dan menolong
mereka." Aku menatapnya. "Cuma itu?"
Ia mengangguk. "Tidak akan mudah," ia berkata lagi, suaranya
hanya lebih keras sedikit dari bisikan.
"Aku bisa melakukannya," janjiku. "Dan setelah aku
melakukannya...?" "Kau bisa tinggal dalam duniamu," jawabnya. "Kau bisa
kembali ke kehidupanmu."
"Te-terima kasih," ujarku terbata. "Aku?"
"Jangan berterima kasih padaku," sahut Norb dingin. "Kalau
gagal, kau tidak akan ingin berterima kasih padaku. Kalau gagal, kau
tidak akan pernah bertemu orangtua dan teman-temanmu lagi. Kau
akan tinggal bersama kami di seberang sini."
"Aku nggak bakal gagal," kataku padanya.
Norb terkekeh geli. "Oh ya?" seringainya. "Oh ya" Kita lihat
saja nanti." Dan kemudian diangkatnya kedua tangannya" dan
didorongnya aku kuat-kuat melewati tepi jurang.
20 AKUmenjerit sampai ke dasar jurang.
Dan mendarat miring di atas bebatuan yang tajam di dasar
jurang. Mental sekali. Lalu tergeletak diam.
Kututup mataku dan menunggu ledakan rasa sakit itu.
Tapi aneh sekali, aku tidak merasakan apa pun.
Kubuka mataku, jantungku masih berdentam liar di dalam
rongga dadaku. Aku menatap tubuh yang menelungkup di atas
bebatuan di sebelahku. Tubuhku. Kucengkeram bahunya dan kubalikkan.
Gelombang rasa mual melandaku. Aku tak sanggup melihat
diriku sendiri. Kulepaskan tubuh itu hingga jatuh kembali ke atas batu
dengan bunyi pelan. Aku telah mati, pikirku, tanganku merangkul diriku, berjuang
keras menghilangkan rasa mual itu.
Aku sungguh-sungguh mati.
Bagaimana aku bisa menolong orang tanpa tubuhku" pikirku.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan tiga orang ketakutan jika
aku sendiri hantu" Aku membutuhkan tubuhku, kataku pada diri sendiri. Jika aku
ini hantu, aku pasti akan membuat orang ketakutan. Dan aku tak akan
dapat menolong mereka. Aku mendongak memandang ke atas, ke tepi jurang. "Hei!"
teriakku. "Kalian masih di sana" Norb" Kau masih di atas situ?"
Tak ada jawaban. Aku melihat suara kikikan tawa, lalu bisikan-bisikan menyuruh
diam. Kuangkat tanganku ke mulut membentuk corong, lalu berseru,
"Aku bisa mendengar kalian. Aku tahu kalian ada di atas sana!"
Akhirnya topeng Norb muncul di atas bibir jurang. "Kau mau
apa, Brandon" Apakah aku harus mendorongmu sekali lagi supaya
kau mulai beraksi?" Tawa geli kembali terdengar di belakangnya.
"Aku memerlukan tubuhku!" seruku. "Bagaimana aku bisa
membantu orang tanpa tubuhku?"
Norb menatapku tak senang. "Kau boleh memilikinya lagi
selama satu jam," ujarnya.
"Cuma satu jam" Tapi"tapi?" Aku tak sanggup berkata-kata.
"Yap. Kau cuma punya waktu satu jam. Satu jam untuk
menyelamatkan tiga orang yang ketakutan."
"Dan jika aku tak berhasil melakukannya dalam satu jam?"
tanyaku dengan suara bergetar.
Tak ada jawaban. Norb menghilang dari pandangan. Sekarang sunyi senyap di
atas sana. Nggak masalah. Aku toh tahu jawabannya.
Jika aku tidak menyelamatkan tiga orang dalam satu jam, aku
akan kembali ke kehidupan lain itu. Dan tinggal di sana... selamalamanya.
Tapi bagaimana aku mendapatkan tubuhku kembali" pikirku.
"Norb, aku butuh bantuanmu," teriakku. "Bagaimana aku?"
Tiba-tiba saja aku merasa begitu hangat, begitu hidup.
Aku menatap ke tanah"tubuhku telah lenyap.
Aku sudah menyatu dengan tubuhku! aku tersadar. Aku tidak
mati lagi. Aku bangkit dan mencobanya. Menggerak-gerakkan tanganku.
Menekuk-nekukkan lututku. Batuk. Tertawa. Menggoyangkan sekujur
tubuhku. Rasanya enak sekali menjadi diriku lagi!
"Satu jam saja," aku mengingatkan diriku.
Aku mendaki dinding jurang, menancapkan tanganku ke dalam
tanah yang keras dan bebatuan, lalu mulai menghela tubuhku naik ke
atas. ebukulawas.blogspot.com


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku sudah setengah jalan saat kudengar geraman binatang yang
penuh kemarahan. 21 GERAMAN itu berubah menjadi lolongan marah.
Jantungku berhenti berdetak. Aku berpegangan erat-erat pada
dinding jurang. Sekarang ada dua anjing, menggeram buas sekali.
Aku mengenali suara itu. Anjing-anjing penyerang Mr. Benson.
Apakah mereka menantiku di atas sana"
Kuseret diriku lebih ke atas. Kakiku gemetaran begitu hebatnya
hingga aku nyaris jatuh ke belakang.
Di atasku, anjing-ajing itu menggeram dan menggonggong
marah. Kegelapan menyelimutiku saat bulan kembali lenyap di balik
awan. Bebatuan luruh di kakiku dan jatuh ke dasar jurang. Aku
mendengar suaranya saat terempas ke tanah di bawahku. Dan sekali
lagi, aku membayangkan diriku terjatuh, berguling ke kematianku
sendiri. Kuusir bayangan itu dan kupaksa diriku naik ke atas.
Lolongan anjing yang mengerikan membuatku bergidik ngeri.
Aku naik ke bibir jurang"dan bersiap-siap menghadapi serangan
anjing-anjing itu. Tidak ada. Tak ada seekor pun anjing menantikanku. Tak ada anjing yang
siap menyerang di tepi jurang itu.
Rumah tua Mr. Benson berdiri gelap di hadapanku. Anjinganjing yang tengah marah itu ada di dalamnya.
Dan di antara lolongan mereka, aku mendengar jerit ketakutan.
Jeritan manusia. Cal-kah itu" Apakah Cal masih ada di dalam rumah itu" Apakah waktu telah
membeku tak berubah selama aku ada di seberang jurang itu"
Aku bergerak cepat melintasi halaman belakang, sepatuku
tergelincir di atas rerumputan yang beku dan basah.
Pekikan ngeri yang parau kembali melayang dari jendela dapur
yang terbuka. Benar. Itu Cal. Aku mengenali suaranya. Aku melongok lewat ambang jendela. Kucondongkan tubuhku
lewat birainya dan memandang ke dalam rumah yang gelap itu.
Dua ekor anjing berbulu kelabu mengilap yang tengah
menggeram dan menggonggong telah mengunci Cal di sudut. Tangan
Cal terangkat di depan tubuhnya, seolah-olah untuk melindungi
dirinya. Kedua binatang itu mempertontonkan gigi mereka. Salah satu
menekukkan kaki belakangnya, siap-siap melompat menyerang.
Cal menurunkan tangan. Matanya bersitatap dengan mataku.
"Brandon!" Ia menahan napas. "Ke mana saja kau" Tolong aku!
Lekas!" Kuangkat diriku melewati bingkai jendela.
"Tolong aku!" Cal memohon. "Mereka akan mencabik-cabik
diriku!" Aku mendarat di atas kakiku di lantai dapur itu. "Apa yang bisa
kulakukan?" seruku. "Jauhkan mereka! Jauhkan mereka dariku!" jerit Cal histeris.
"A-akan kucoba!" aku tergagap.
Aku maju beberapa langkah mendekati anjing-anjing yang
galak itu. Salah satu berbalik dan memamerkan giginya padaku, matanya
bersinar merah. Kedua anjing itu kini menatapku dengan saksama. Cal
tetap berdiri merapat di sudut, dadanya yang besar naik-turun,
tangannya masih terangkat membentuk tameng.
Geraman yang rendah dan penuh ancaman keluar dari mulut
kedua makhluk itu. "Wow?" gumamku.
Mereka bergerak amat cepat.
Sambil merundukkan kepala, mereka menyerbu ke seberang
ruangan"dan melompat ke arahku!
22 AKU mencoba merunduk, mengelak serangan mereka.
Terlambat. Kaki-kaki bercakar yang berat menghantam tubuhku. Dadaku.
Bahuku. Aku mundur hingga punggungku menabrak bak cuci piring.
Dan melolong kesakitan saat salah satu makhluk buas itu
menancapkan giginya di pergelangan kakiku.
Saat aku ambruk ke lantai, sekilas kulihat Cal terpaku di sudut,
matanya membeliak ngeri. "Lari!" jeritku. "Pergi dari sini! Pergi!"
Salah satu anjing melompat menyerangku lagi. Mendorongku
hingga rebah ke belakang. Anjing yang satunya merobek jinsku.
"Lari dari sini!" aku berteriak sekali lagi.
Akhirnya, Cal bergerak. Ia melangkah tertatih-tatih ke arah
pintu belakang. "Ayo, lari!" suaraku melengking saat kedua anjing itu
menggigitku. "T-tapi... kau?" Cal bertanya terbata-bata.
"Jangan mengkhawatirkan aku!" hardikku. "Kau tak bisa
menolongku! Sana pergi! Keluar!"
Sedetik lamanya ia kembali ragu. "Aku akan mencari bantuan,"
ia berkata. Didorongnya pintu belakang dengan kedua tangannya, lalu
lenyap dalam kegelapan malam.
Salah satu cakar anjing itu mengiris udara di depan mukaku.
Sambil memilin dan menarik, temannya merobek jinsku.
Sambil tersengal-sengal, aku berjuang melepaskan diri.
Mereka takkan berhenti sampai berhasil mencabik-cabik diriku,
aku tersadar. Dan kalau sudah begitu, aku takkan mungkin bisa
menyelamatkan siapa pun! Aku harus melepaskan diri dari mereka. Aku harus mencari cara
untuk mengalihkan perhatian mereka.
Kutendang anjing yang berada di kakiku.
Anjing itu menggeram marah"dan membenamkan giginya
lebih dalam lagi pada kaki celanaku. Di antara napasku yang keras,
aku mendengar suara RRRRIP saat makhluk itu menarikku itu hingga
robek. Anjing yang satunya berdiri di atas dadaku, mengunci tubuhku
ke lantai. Bagaimana aku bisa mengalihkan perhatian mereka kalau
begini" aku bertanya pada diriku. Bagaimana"
Dan ketika itulah aku melihat tas trick-or-treat yang tergeletak
di konter dapur. Tas yang aku dan Cal rampas dari anak kecil di
jalanan itu. Masih ada beberapa cokelat di tas itu, aku teringat.
Dan anjing kan suka cokelat"ya, nggak"
Dalam kepanikan, benakku melompat dari satu pikiran ke
pikiran yang lain. Ambil tas itu dan lemparkan ke anjing-anjing itu. Tunjukkan
cokelat-cokelat itu pada mereka.
Mungkin... mungkin mereka akan mengejar cokelat-cokelat itu.
Dan mereka akan sibuk cukup lama hingga memberiku cukup waktu
untuk kabur dari situ. Konter dapur itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Jauh dari
tempatku tergeletak... Dengan satu erangan, kudorong anjing besar yang berdiri di
dadaku. Lalu aku berguling ke samping.
Dan menendang kuat-kuat dengan kedua kakiku. Menendang
anjing yang satu lagi dari kakiku. Binatang itu mendongak, lalu
menggeram penuh ancaman. Aku kembali berguling. Dan melompat ke atas kakiku.
Lalu meluncur cepat ke arah konter.
Yes! Yes! Kurenggut tas itu dengan kedua tangan"lalu kuempaskan ke
lantai. Tas itu jatuh miring. Batangan-batangan cokelat berserakan ke
atas lantai. Apakah anjing-anjing itu akan mengejarnya" Maukah mereka
membebaskanku demi cokelat-cokelat itu"
Aku memandang lantai itu saat makhluk-makhluk
menyeramkan itu mendekati cokelat yang berserakan. Dan
mengendus-endusnya. Tidak. Tidak. Tidak... Sambil menggeram penuh ancaman, mereka menginjak cokelatcokelat itu"memamerkan gigi mereka, mata mereka yang merah
berkilat-kilat, siap menyerangku lagi.
23 "TIDDAAAK!" Aku melolong ngeri.
Waktu kedua anjing itu melompat, aku meluncur ke lantai.
Kuambil sebatang cokelat di masing-masing tangan.
Dan kulempar kedua cokelat itu ke udara.
Aku berguling menjauh saat kedua binatang itu melompat dan
mengatupkan rahang mereka menangkap cokelat-cokelat yang
melayang di udara itu. Cokelat-cokelat itu kini berada di mulut kedua makhluk itu.
Akhirnya mereka berhenti menggeram saat mulai menggigit cokelat
itu. Dan kemudian mengunyahnya.
Yes! Aku melihat peluangku. Lalu kabur secepat kilat ke ambang
pintu yang terbuka. Sambil berlari, kupungut dua batang cokelat lagi
dari lantai dan kulemparkan ke anjing-anjing itu.
"Trick-or-treat, teman-teman!" kataku tercekat.
Dan aku pun lenyap dari situ. Keluar dari pintu dan lari dengan
kecepatan penuh mengitari sisi rumah.
"Cal?" panggilku sambil melintasi halaman depan yang landai.
"Cal" Kau masih di sini?"
Aku tak melihatnya. Aku tak berhenti berlari. Terus meluncur ke jalanan, sambil
sesekali menoleh untuk melihat apakah kedua anjing itu mengejarku.
Tidak. Belum. Aku berbelok dan berlari menyusuri blok. Menyeberangi jalan.
Dan terus berlari. Nah, itu satu, pikirku. Satu orang ketakutan telah berhasil
kuselamatkan. Berapa banyak lagi waktu yang kumiliki"
Aku berhenti di bawah sebuah lampu jalan untuk memeriksa
jam tanganku. Kuangkat jam itu ke dekat mataku dan kutatap lekatlekat.
"Oh, tidak." Aku mendesah saat kulihat jamku mati. Jarum yang
menunjukkan detiknya diam membeku di angka dua belas.
Kuguncang-guncangkan jam itu. Kutepuk-tepuk.
Jarumnya tak mau bergerak juga.
Apakah jam itu rusak waktu aku jatuh ke jurang" Ataukah
waktu berhenti ketika aku mati"
Tak ada waktu memikirkan hal itu. Aku masih harus
menyelamatkan dua orang lagi. Dan aku harus melakukannya dengan
cepat. Aku melihat sekelompok anak yang mengenakan kostum berlari
dengan penuh semangat ke sebuah rumah di seberang jalan. Mereka
tertawa dan bercanda satu sama lain. Salah satu anak cowok tengah
memasukkan permen ke mulutnya"tanpa membuka topeng monster
yang dikenakannya. Anak-anak sedang bersenang-senang, pikirku sedih.
Mereka memencet bel dan berteriak, "Trick-or-treat!" Sambil
memperhatikan mereka, aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku
akan pernah lagi bersenang-senang seperti itu. Apakah aku akan
pernah kembali normal seperti dulu. Apakah aku akan pernah kembali
hidup... Gelombang rasa putus asa menderaku. Aku tak bisa melakukan
ini, putusku. Mungkin sebaiknya aku menyerah saja sekarang.
Di mana aku akan bisa menemukan orang-orang ketakutan yang
dapat kutolong" Ini kan malam Halloween. Orang-orang keluar untuk
bersenang-senang. Tak ada seorang pun yang menghadapi masalah.
Dua orang anak yang mengenakan kostum vampir meluncur
ngebut di atas sepeda, jubah mereka berkibaran di belakang mereka.
Aku melompat ke sebuah pagar tanaman untuk menghindar agar tidak
tertabrak. Mereka tertawa dan terus ngebut.
Aku menggeleng sedih. Aku akan pulang saja, putusku. Akan
kupandangi rumahku untuk terakhir kali. Keluargaku.
Aku tak tahu berapa lama lagi sisa waktu yang kumiliki.
Mungkin aku cuma punya cukup waktu untuk mengatakan selamat
tinggal. Aku berjalan terhuyung-huyung di sebuah belokan dan mulai
menyelusuri blok berikutnya. Aku begitu jauh tenggelam dalam
lamunan sedihku, hingga tidak memperhatikan rumah-rumah dan
halaman-halaman yang kulewati.
Waktu aku mendongak, kutemukan diriku di sebuah jalan
buntu. Pepohonan terpentang di kedua arah. Sebuah rumah yang gelap
dan tua tampak di antara barisan rapat pepohonan.
Rumah angker itu! Rumah tempat aku dan Cal meninggalkan Vinnie.
Aku melangkah ke antara ilalang tinggi yang memenuhi
halaman depan. Dan mendongak memandang rumah itu.
Gelap dan senyap. Salah satu kaca telah hilang dari ambang jendela tingkat atas.
Angin bertiup masuk, membuat tirai-tirainya berkibar-kibar.
Sebuah antena TV menjulang bengkok di atas atap rumah,
seperti burung yang patah sayapnya. Sebagian cerobong asapnya telah
runtuh, serpihan batu batanya berserakan di atas jalur masuk.
Benarkah ada yang bergerak di jendela depannya" Benarkah
aku melihat kilatan lampu senter" Seraut wajah"
"Vinnie." Kugumamkan namanya.
Aku dan Cal telah mendengar jeritannya, aku teringat. Tapi
tetap saja kami tinggalkan ia di sana. Kami tinggalkan ia sendirian dan
kabur dari situ. Apakah Vinnie masih di sana" Masih di dalam rumah
mengerikan ini" Aku harus mencari tahu. Aku melangkah melintasi ilalang yang
tinggi, berjalan menuju pintu muka.
Sudah bertahun-tahun rumah itu kosong tanpa penghuni.
Rumput dan ilalang menjulang tinggi nyaris sepinggangku. Kakiku
tersandung-sandung batu dan botol bekas dan sampah-sampah
lainnya. Semua anak di kompleks tempat kami tinggal percaya rumah itu
angker. Sebagian dari mereka berkata pernah melihat kilatan-kilatan
cahaya yang aneh di dalam rumah pada larut malam. Beberapa anak
mengatakan pernah mendengar lolongan dan erangan yang tak
mungkin keluar dari mulut manusia.
Aku dan Cal selalu senang sekali mengunci anak-anak di rumah
itu. Apakah mereka ketakutan" Jelas! Sebagian dari mereka bahkan
masih belum bisa menghentikan jeritan mereka!


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi itu cuma di masa lalu, ketika segala sesuatunya masih lucu
dan menyenangkan. Kini, saat aku melangkah mendekati rumah itu,
aku teringat semua masa penuh kegembiraan itu"namun aku tidak
tertawa. "Vinnie?" panggilku. Suaraku tak jelas, pelan.
Aku naik ke beranda yang telah hancur. Lantai kayunya yang
lembap berderak dan melesak di bawah sepatuku. "Vinnie?"
Aku mendengar sesuatu dari dalam. Erangan" Tangisan"
Aku menarik napas panjang dan mendorong pintu depan hingga
terbuka. Serangan itu datang begitu cepat hingga menjerit pun aku tak
sempat. 24 AKU mendengar suara-suara.
Sesuatu menampar keningku, lalu mental.
Saking terkejutnya aku langsung mundur ke beranda.
Kuusap kepalaku dan mendengar kepakan panik.
Bayang-bayang"banyak bayang-bayang"terbang di atasku.
Kelelawar! Apakah mereka menyerangku"
Sambil mengusir rasa sakit, kudengar kembali suara-suara tadi.
Suara kepakan sayap itu telah pindah ke pepohonan.
Aku menunggu beberapa saat, mengatur napas. Lalu dengan
hati-hati kulongokkan kepalaku lewat pintu depan. Sekarang rumah
itu tampak kosong. Ruang muka berdiri dalam gelap. Aku tak dapat melihat apa
pun. Sambil berpegangan pada kusen pintu, aku melangkah masuk.
"Vinnie?" seruku dengan bisikan tertahan. Kubersihkan
tenggorokanku dan memanggil lagi. "Vinnie"kau ada di sini?"
"Brandon?" Namaku melayang ke telinga, lemah dan parau, dari suatu
tempat jauh di dalam rumah.
"Brandon"kaukah itu?"
Perlahan-lahan mataku terbiasa dengan kegelapan. Kuikuti
suara Vinnie, melalui koridor gelap panjang yang mengantarku
langsung ke bagian belakang rumah.
"Vinnie"di mana kau?" seruku. Kata-kataku bergema di lorong
yang panjang itu. "Aku di belakang sini," sahutnya. "Tapi jangan kemari. Jangan
masuk ke sini, Brandon!"
"Apa?" tanyaku ngeri.
"Pergilah secepat kau dapat!" Vinnie mengingatkan dengan
suaranya yang gemetaran dan kecil. "Dia"dia besar sekali, Brandon.
Dan amat sangat jelek."
Aku berhenti di depan daun pintu yang tertutup di ujung
koridor. "Apa yang besar?" tanyaku.
"Pergi dari sini!" jerit Vinnie dari balik pintu. "Sudah terlambat
untukku. Tapi kau masih bisa menyelamatkan diri."
Kuangkat tanganku mencengkeram kenop pintu yang dingin.
"Menyelamatkan diri dari apa, Vinnie?" desakku.
Aku menunggu. Tubuhku merinding ngeri. Embusan angin
dingin entah dari mana membuat sekujur tubuhku kedinginan.
"Vinnie?" panggilku lagi.
Aku kembali menunggu. Lalu kuputar kenop dan
kudorong pintunya. Aku melangkah masuk ke dalam sebuah
ruangan gelap yang penuh dengan perabotan tua yang berantakan.
Sofa-sofa dan kursi- kursi tinggi, hampir semuanya diselimuti seprai
dan selimut. Aku mengedipkan mata dalam ruangan yang nyaris gelap itu.
"Jangan?" jerit Vinnie.
Ia duduk membungkuk di atas kursi kayu keras yang tinggi.
Aku menyipitkan mata untuk melihat apakah ia terikat. Tidak.
Tak ada sesuatu pun yang mengikatnya di sana.
"Ayo," bujukku seraya melambaikan tangan agar ia datang
padaku. "Ayo kita pergi dari sini."
"Aku... tak bisa," katanya tercekat. Wajahnya meringis
ketakutan. Ia telah menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.
"Cepat, ayo kita tinggalkan tempat ini!" seruku.
"Aku tak bisa!" pekiknya. "Dia... tak mau meninggalkanku."
"Tak ada siapa-siapa di sini," protesku. "Rumah ini kosong.
Ayolah, Vinnie?" "Dia di sini!" ratapnya. "Hantu itu. Semua cerita itu benar,
Brandon. Hanya saja, makhluk ini jauh lebih mengerikan daripada
yang dapat kaubayangkan. Tidak seperti hantu di film-film itu. Dia?"
Ia langsung menghentikan kalimatnya, matanya membeliak
ngeri. Diangkatnya jemarinya yang gemetaran ke bibirnya.
Aku memasang telinga. Dan mendengarnya.
Aku mendengar bunyi langkah kaki yang berat dan tetap dari
belakangku. Dari koridor yang panjang. Langkah-langkah yang
menggema. Langkah-langkah kaki yang berat dan tetap.
Semakin dekat... semakin dekat.
"Pergi," erang Vinnie. Ia mengepal dan membuka tangannya.
"Lekas, Brandon."
"Tidak tanpa kau," aku memberitahu.
Langkah-langkah kaki itu berdentam di gendang telingaku.
"Tidak! Lari"sebelum terlambat!" ujar Vinnie dengan bisik
ketakutan. Suara langkah kaki yang amat berat membuatku berbalik.
Dan... terlambat! 25 VINNIE tak bergerak sedikit pun. Ia duduk membungkuk di
kursi keras itu, sekujur tubuhnya gemetaran, tangannya terkepal eraterat.
BAM. BAM. Suara langkah-langkah yang berat membuat lantai kayu itu
berderak keras. Aku melompat ke belakang sebuah sofa dan bertumpu di atas
tangan dan lututku. "Vinnie"sembunyi!" bisikku.
Ia tak juga bergerak. Tanganku menyentuh sesuatu yang keras dan dingin. Aku
menahan napas. Ah. Cuma senter rupanya. Kugulingkan benda itu hingga tidak menghalangi jalanku. Lalu
aku mengintip dari balik sofa.
Dan melihat hantu itu. Hantu berbentuk seorang pria. Pria yang tubuhnya amat sangat
besar. Ia mengenakan jubah yang kedodoran dan berkibar-kibar.
Hantu itu berwarna abu-abu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tak
ada warna lain. Rambut kelabu, mata kelabu, kulit kelabu, jubah
kelabu. Sepasang kaki kelabu berdentam-dentam di atas lantai saat ia
bergerak melintasi ruangan. BAM. BAM.
Aku membeku di belakang sofa, menahan napas saking
terkejutnya. Dan ketika hantu kelabu itu bergerak semakin dekat, aku
melihat bahwa kepalanya terbelah dua. Terbelah tepat di tengah.
Seolah-olah sebuah kapak telah membagi tengkoraknya menjadi dua.
Matanya yang kelabu bergerak liar di setiap sisi belahan.
Hidungnya terbelah dua. Belahannya turun melewati bibirnya dan
berhenti di dagunya. Begitu ia melangkah ke dalam ruangan yang nyaris gelap dan
menundukkan kepala ke arah Vinnie, aku dapat melihat ke dalam
tengkoraknya. Aku dapat melihat otaknya yang berwarna kelabu,
bergelembung, bergelembung di dalam tengkorak yang terbuka.
Dengan perut berguncang-guncang di balik jubahnya, hantu
raksasa yang jelek itu merundukkan kepalanya yang terbelah. Dan
membawa wajahnya ke dekat Vinnie.
Apa yang akan dilakukannya" aku bertanya-tanya.
Aku harus menyelamatkan Vinnie. Aku harus menakut-nakuti
hantu itu hingga kabur dari situ.
Tapi bagaimana caranya"
Masih bertumpu pada tangan dan lutut di belakang sofa,
kuperhatikan bagaimana hantu itu semakin mendekatkan wajahnya ke
wajah Vinnie. "Unh... unh..Bibirnya yang terbelah mengeluarkan erangan.
"Unh..." Vinnie mengerang ketakutan. Ia duduk gemetaran di atas kursi.
Matanya menatap lurus ke muka.
Sekonyong-konyong, aku dapat ide. Ide yang brilian.
Mungkin itu cuma ide yang konyol. Tapi cuma itu yang ada di
kepalaku. Aku akan mencoba tampil tanpa kepala, putusku. Aku akan
muncul dari balik sofa tanpa kepala dan menyerang hantu raksasa itu.
Mungkin... cuma mungkin lho, itu akan membuat si hantu ketakutan
cukup lama hingga aku punya kesempatan untuk menyeret Vinnie dari
situ. Aku duduk di lantai. Dengan tangan gemetaran, kutarik jaketku
hingga menutupi puncak kepalaku dan menutup ritsletingnya sampai
atas. Aku ragu. Kalau ini tidak berhasil, pikirku, mungkin aku akan
kehilangan kepalaku selamanya.
Kepalaku tersembunyi di balik jaket. Aku tak dapat melihat apa
pun lagi. Tapi aku memang tak perlu melihat apa pun. Aku dapat
mendengar geraman-geraman menjijikkan hantu itu. Aku tahu di
mana makhluk itu berdiri.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Lalu aku melompat ke atas kakiku, merentangkan tanganku
jauh-jauh ke kedua sisiku, dan menyerbu tanpa kepala ke ruangan itu,
sambil menjerit histeris.
26 JERITANKU menggema di semua dinding.
Di tengah ruangan aku menyentakkan kepalaku hingga
tersembul dari atas jaket untuk melihat.
Hantu kelabu itu menatapku lekat-lekat, mulutnya yang terbelah
membuka. Di kedua sisi retakan yang membelah wajahnya, matanya
yang kelabu mencelat keluar.
Ia memiringkan kepala jeleknya ke belakang dan mengeluarkan
jeritan yang berat. Dan kemudian ia mengangkat tangan ke rahangnya"dan
menarik kepalanya hingga terlepas dari bahunya.
Kepala itu memekik keras sekali. Kedua bola matanya
bergerak-gerak liar. Sambil memegangi kepala yang menjerit-jerit itu dengan kedua
tangannya, hantu itu mengangkatnya tinggi-tinggi di atas bahunya.
Aku mundur terhuyung-huyung. Sambil menangis ketakutan,
Vinnie menutup wajahnya dengan tangan.
Jeritan yang mendirikan bulu roma kembali keluar dari mulut
hantu itu. Dan kemudian aku benar-benar terperanjat saat hantu itu
berbalik dan meninggalkan kami. Berbalik dengan susah payah. Dan
sambil terus memegangi kepalanya yang menjerit histeris, hantu itu
melangkah pergi. Hantu itu berjalan dengan terhuyung-huyung ke ambang pintu.
Dan lenyap di koridor yang panjang.
Dapat kudengar jeritannya di sepanjang koridor, semakin lama
semakin samar seiring dengan kepergiannya.
"Vinnie?" Menahan napas, cepat-cepat kuhampiri kursinya.
"Vinnie"aku berhasil! Aku berhasil mengusirnya pergi!"
"Tidak," gumamnya. Wajahnya masih terlindung di balik
tangannya. "Tidak, kau tidak mengerti."
"Apa" Ayo kita pergi dari sini!" desakku seraya menarik lengan
Vinnie. "Buka matamu! Bangun! Ayo, kita pergi! Aku sudah berhasil
mengusir hantu itu!"
"Tidak," Vinnie berkata, sambil akhirnya menurunkan kedua
tangannya. "Tidak, Brandon." Ia menggelengkan kepala. "Kau tidak
mengerti. Itu bukan hantunya."
"Apa?" Kutatap dia, aku benar-benar bingung dibuatnya.
"Itu bukan hantunya," ulang Vinnie. "Itu cuma hewan
peliharaan sang hantu!"
27 MULUTKU ternganga tak percaya. Kutatap sepupuku,
berusaha memahami kata-katanya. "P-pe-liharaan?" aku terbata-bata.
Vinnie mengangguk, wajahnya begitu pucat dan mengerut
ketakutan. "Well, terus... di mana hantunya?" aku bertanya.
Sebelum Vinnie bisa menjawab, aku merasakan sesuatu
bergerak. Lantainya. Lantai rumah itu menekuk di bawah kakiku.
Aku mendengar suara gelegar yang amat keras" dan dindingdinding ruangan mulai meluncur mendekati kami, seolah-olah mau
memakan kami. "Apa yang terjadi?" seruku.
"Kau tak tahu?" erang Vinnie. "Seluruh rumah ini adalah hantu
itu! Seluruh rumah ini benar-benar jahat. Dia"dia telah mengurungku
di sini! Dia tidak membiarkan aku bergerak sedikit pun!"
"Ayo kita pergi dari sini!" Aku beranjak mendekati Vinnie.
Tanganku terulur, siap menarik dia dari kursinya"dan pada saat
itulah lantai itu kembali melengkung.
Aku tersandung. Dan terjatuh berlutut saat lantai ruangan itu
berubah lembek. Lantai itu seperti meleleh di bawah kakiku.
"Kurasa aku takkan bisa menghampirimu!" seruku.
"Jangan coba-coba, Brandon. Sebab usahamu sia-sia. Riwayat
kita benar-benar tamat!" erang Vinnie.
Aku melangkah ke arah Vinnie"dan papan-papan kayu di
bawahku bergoyang-goyang, mempermainkan aku seperti bola pantai
di atas ombak lautan. "Aku nggak bakal menyerah!" Aku merayap dengan perutku,
menyeret diriku sepanjang lantai. Ketika sedikit demi sedikit aku
berhasil mendekati Vinnie"kurasakan lantai itu terangkat ke atas.
Melemparkan tubuhku ke seberang ruangan. Mengempaskan diriku
keras-keras ke dinding. "Brandon"awas!"
Aku berguling menjauhi dinding"tepat ketika dinding itu
bergerak mendekat ke arahku.
Aku terpaku, ngeri menyaksikan dinding-dinding itu bergerak.
Berderit keras sekali. Dan kini mendekat ke tengah ruangan dengan
cepat. Bersiap-siap menggencet kami sampai mati.
"Vinnie, turun dari kursi itu!" teriakku. "Kita harus keluar dari
sini!" "Aku nggak bisa," ia mengerang.
Kuulurkan tanganku menggapai lengan sebuah sofa. Sambil
bertumpu padanya, aku bergerak mendekati Vinnie.
Lantai ruangan bergerak, liar. Sofa itu melompat-lompat keras
sekali sementara aku berpegangan padanya.
Aku merayap maju. Keempat dinding bprgerak makin rapat. Ruangan itu jadi
semakin sempit. Semakin kecil.


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika aku mengulurkan kedua tanganku, aku pasti dapat
menyentuh sebuah dinding dengan masing-masing tangan, aku
tersadar ketakutan. Kutatap Vinnie. Ia duduk ketakutan. Tubuhnya membeku oleh
rasa ngeri. Aku hampir sampai di sana. Nyaris sampai ke dekat Vinnie.
Tinggal beberapa senti lagi.
"Ulurkan tanganmu, Vinnie!" pekikku saat lantai itu
mengempaskan tubuhku ke belakang.
Vinnie menggeleng menyatakan tidak.
"Kumohon, Vinnie! Lakukan! Berikan tangan?"
"Oh, tidaaaaak!" Vinnie mendongak ke langit-langit dan
mengerang. Aku ikut mendongak"dan mendapatkan langit-langit ruangan
bergeser bergemuruh ke atasku.
Lantai ruangan berguncang keras sekali"hingga aku jatuh
berlutut. Aku terjatuh keras sekali"tepat di atas senter. Bersamaan
dengan guncangan lantai, senter itu berguling menjauh.
Kuulurkan tanganku, mencari-cari sesuatu untuk tempat
berpegang. Dan tanpa sengaja tanganku mencengkeram senter itu.
Sebuah pikiran gila kembali melintas di benakku yang penuh
ketakutan. Bagaimana hantu itu akan bereaksi terhadap cahaya"
Hantu tinggal dalam gelap, ya, kan" aku bertanya pada diriku.
Kalau kunyalakan senter itu...
Bisakah aku memaksa hantu itu mundur" Bisakah aku
mengalihkan perhatiannya cukup lama hingga aku dan Vinnie punya
cukup waktu untuk melarikan diri"
Cahaya. Ya... cahaya. Lantai itu melempar-lemparkan tubuhku ke dinding. Langitlangit kini jaraknya cuma tinggal beberapa senti dari kepalaku.
Di depanku, kursi yang diduduki Vinnie berputar, semakin
kencang dan semakin kencang. Vinnie mencengkeram lengan kursi,
dan berputar begitu cepatnya, sampai ia cuma kelihatan seperti
bayangan kabur. "Tolong...," ia bergumam lemah. "Oh, tolong..."
"Tidak!" Aku menahan napas saat senter itu terlepas dari
genggamanku. Aku terjatuh ke lantai yang bergelombang dan berdenyutdenyut"dan berhasil meraih senter itu lagi.
Kugeserkan tanganku ke sisi senter itu"dan memencet
tombolnya. Lalu berteriak histeris ketika tak terjadi apa-apa.
Baterenya habis. "Tidak! Tidak! Tidak!" jeritku, begitu frustrasi dan marah.
Kuhantamkan lampu senter itu ke lantai.
Dan akhirnya benda itu menyala.
Pertama berkedip lemah. Ku guncang-guncang senter itu keraskeras, dan nyalanya semakin terang.
Sambil bersusah payah berdiri di atas lantai yang berdenyut dan
bergerak-gerak, kuangkat senter itu dan kusapukan sinarnya ke
dinding. Berhasilkah" 28 AKU begitu terkejut saat keempat dinding itu bergeser mundur.
Kugerakkan cahaya senter itu ke lantai. Dan berteriak senang
saat lantainya berhenti bergerak dan mulai rata kembali.
"Yes! Yes!" jeritku dengan suara melengking.
Aku berbalik dan mengarahkan cahaya senter itu ke kursi
Vinnie"dan kursi itu mulai mengecil.
Vinnie melompat berdiri. "Kursi itu membebaskan aku!" ia
berteriak. Kursi itu bertambah kecil, kecil"dan akhirnya lenyap ditelan
lantai. "Ayo, pergi!" seruku.
Kucengkeram tangan Vinnie dan lari, sambil menyeret dia ke
pintu. Dinding-dinding itu mulai bergerak mengepung kami lagi. Tapi
kuayunkan cahaya senter itu dari satu dinding ke dinding lain, hingga
dinding-dinding itu kembali ke tempatnya semula.
Kami berlari melewati ambang pintu ruangan itu. Dan terus
menyusuri koridor yang panjang.
Beberapa detik kemudian, kami sudah berada di luar lagi,
kembali ke udara yang sejuk dan segar. Berlari, berlari sekencangkencangnya, meninggalkan rumah angker itu, menyusuri jalanan yang
masih dipenuhi teriakan dan tawa anak-anak yang melakukan trick-ortreat.
Aku telah berhasil menyelamatkan dua orang yang ketakutan,
aku tersadar. Tinggal satu lagi. Tapi aku tahu, tak mungkin ada banyak waktu
tersisa. Mungkin cuma beberapa menit... atau bahkan detik!
Aku dan Vinnie berlari sampai kami tiba di rumahnya. Ia
berterima kasih padaku karena telah menyelamatkan dirinya. Tak
henti-hentinya ia berterima kasih padaku.
Tapi aku nyaris tidak mendengarkan. Otakku terus berputar.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan satu orang lagi" Apa yang
bisa kulakukan" Kuperhatikan Vinnie berlari memasuki rumahnya. Akankah
orangtuanya percaya bila ia menceritakan kisahnya itu" Mungkin
tidak. Tapi aku tak punya waktu untuk mengkhawatirkannya.
Aku perlu menyelamatkan satu orang lagi. Kalau saja aku tahu
berapa lama lagi waktu yang kumiliki...
29 "JANGAN ganggu aku!"
"Apa?" Aku berbalik dan melihat sekelompok anak-anak
berkostum di seberang jalan.
"Jangan ganggu aku!" adikku, Maya, menjerit sekali lagi.
Beberapa anak berbadan besar dan bertampang nakal
mengepung Maya dan teman-temannya. Aku melihat salah satu dari
mereka mendorong teman Maya dan merampas tas trick-or-treat-nya.
Seorang anak berbadan besar lain mencengkeram lengan adikku
dan menelikungkannya ke belakang punggungnya.
Maya berteriak ketakutan.
Akan kubuat ketakutan berandalan-berandalan itu, putusku.
Dengan begitu aku berhasil menyelamatkan tiga orang ketakutan. Aku
akan baik-baik saja. Aku akan hidup kembali!
Kumasukkan kepalaku ke balik jaket. Lelucon tanpa kepala itu
pasti bakal berhasil, aku berkata pada diriku.
Kukancingkan ritsleting jaket itu sampai ke atas dan menutupi
kepala. Lalu aku berlari menyeberangi jalan seraya berteriak,
"Kepalaku. Kepalaku!"
Aku mendengar suara tawa.
"Brandon"berhentilah bergurau! Tolong kami!" rengek Maya.
Kusembulkan kepalaku. Dan anak-anak bandel itu
menertawakan akal muslihatku itu. Mereka sama sekali tidak takut.
Apa dong sekarang" aku bertanya pada diriku.
Salah satu dari mereka"anak cowok berbadan besar dan
bertampang sangar dengan rambut merah yang berdiri tegak seperti
sapu di atas kepalanya" mencengkeram bagian depan jaketku. "Apa
yang ingin kaulakukan padanya, Chris?" ia bertanya pada salah satu
temannya. "Aku lebih suka dia tanpa kepala," seorang anak cowok
berambut pirang yang mengenakan kacamata RayBan biru sekalipun
hari sudah gelap, menjawab sambil menyeringai.
"Yuk kita lepaskan kepalanya," si rambut merah berkata seraya
mempererat cengkeramannya.
"L-lepaskan aku," kataku terbata-bata. "Dan tinggalkan anakanak ini. Cari orang yang sebaya dengan kalian?"
"Tutup mulut, idiot!" si rambut merah membentak.
"Suruh dia memanjat pohon itu," berandalan yang lain
mengusulkan. Mereka mencengkeram dan mendorongku dengan kasar ke
sebatang pohon. "Tidak"kumohon," pintaku. "Aku nggak punya waktu. Kalian
harus membiarkan aku pergi. Aku?"
Jika mereka memaksaku memanjat pohon ini, aku tak akan
punya kesempatan lagi, aku tersadar. Aku takkan bisa menyelamatkan
siapa pun lagi. Dan aku akan kembali ke seberang jurang itu, ke
kehidupan yang lain... untuk selamanya.
"Ayo, naik," anak bernama Chris itu menghardik. "Mulai
memanjat." "Tidak?" Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.
Tapi mereka terlalu kuat. Si rambut merah mendorongku ke
batang pohon itu. "Panjat! Cepat!"
Riwayatku benar-benar tamat nih, aku tersadar.
Matilah aku. Dan kemudian"sesuatu yang benar-benar buruk terjadi.
30 "PANJAT pohon itu. Terus sampai ke atas!" Si rambut merah
kembali mendorongku dari belakang.
Kurasakan tangannya mendorong bahuku"lalu... dan lalu...
Aku merasakan bahuku bergerak.
Bahuku meluncur ke depan dan mulai jatuh.
Aku mendesah ngeri saat kepalaku ikut jatuh. Kedua bahuku...
dadaku... Aku berdiri dan melotot, benar-benar bingung. Kuperhatikan
tubuhku roboh ke atas rumput. Tergeletak miring dan tak bergerak
sedikit pun. Aku berdiri terperangah di sana"memandangi tubuhku.
Terus menatap sampai akhirnya aku tersadar apa yang telah
terjadi. Waktuku sudah habis. Satu jam yang diberikan padaku telah berakhir. Aku gagal.
Gagal! Sekali lagi, aku keluar dari tubuhku.
Dan sekarang aku berdiri menatap tubuhku sendiri dengan
penuh kengerian. Sebuah jeritan membuatku menengadah.
Anak-anak berandalan itu tengah menatapku dengan mata
membeliak lebar. Mereka terenyak menatap tubuhku yang roboh"dan
kemudian ganti menatapku.
Dan setelah itu mereka melemparkan kepala ke belakang seraya
menjerit ngeri. Sekarang mereka semua berteriak histeris"anak-anak nakal itu,
Maya, dan ketiga teman adikku itu.
Kemudian mereka berbalik dan lari tunggang-langgang serta
tersandung-sandung, begitu ketakutan ingin segera pergi dari
pemandangan yang mengerikan itu.
Kuperhatikan mereka berlari sambil menjerit ketakutan
sepanjang jalan. Anak-anak berandalan itu lari ke satu arah. Maya dan
teman-temannya lari menuju rumah kami.
"Aku berhasil!" aku berteriak sekeras-kerasnya. "Aku telah
menyelamatkan tiga orang ketakutan! Aku berhasil! Berhasil!" Aku
tahu waktu yang diberikan padaku telah habis, tapi kuharap Norb akan
berbaik hati padaku. Kusembunyikan tubuhku di balik semak. "Aku akan segera
kembali padamu!" kataku gembira.
Lalu aku pergi dari situ, berlari menuju jurang. "Aku berhasil!"
kataku sekeras-kerasnya saat melewati rumah Mr. Benson. "Aku
berhasil! Aku sudah menyelamatkan tiga orang!"
Aku berhenti di tepi jurang dan memandang ke seberang. "Hei,
Norb!" seruku. "Norb"di mana kau" Aku telah berhasil! Aku
kembali nih!" Dari balik kegelapan, Norb muncul di seberang sana. Ia masih
mengenakan topeng monster jelek itu. Ia melambai ke arahku. "Lekas.
Kau bisa melakukannya. Ayo, melompatlah kemari."
"Baiklah," aku setuju. Aku mundur sedikit dan mengambil
ancang-ancang. Di tepi jurang aku melompat"dan dengan mudah
sampai ke seberang. "Selamat datang kembali," Norb berkata, matanya menatapku
dengan saksama dari balik topengnya.
"Aku berhasil!" seruku gembira. "Aku telah menyelamatkan
tiga orang yang ketakutan. Sekarang kembalikan aku ke dalam
tubuhku!" Norb tertawa. "Ups"cuma bercanda!" katanya.
Aku terenyak menatapnya. "Apa" Apa katamu?"
"Ups"cuma bercanda!" seru Norb girang sekali.
Aku menelan dengan susah payah. Begitu gemetarannya,
hingga aku tak mampu berkata-kata. "Maksudmu...?" kataku akhirnya.
"Kau nggak ngerti juga, Brandon?" Norb bertanya. Diangkatnya
tangannya ke atas"dan ditariknya topengnya hingga lepas.
"Tiddddaaak!" aku menjerit histeris saat melihat wajahku.
Wajahku! Aku sedang menatap wajahku!
Norb memiringkan kepalanya ke belakang dan tertawa.
"Selamat Halloween!" serunya. "Selamat Halloween, Brandon!"
Dan kemudian ia mengangkat tangannya kembali dan
melepaskan wajahnya. Dan di baliknya... tak ada sesuatu pun selain udara. Ia benarbenar tak memiliki kepala!
"Tahun ini, aku tampil sebagai dirimu," Norb berkata. Suaranya
seperti muncul entah dari mana. "Kau tak tahu, ya" Tidakkah kau
mulai curiga saat aku mengatakan namaku"Norband" Itu dari
namamu"Brandon. Aku cuma mengacak-acak hurufnya!"
Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.
Anak-anak lain tertawa. Dan mereka ikut-ikutan melepaskan
topeng mereka. Aku mengerang. Wajah mereka semuanya sudah hancur dan
remuk. Busuk. Serpihan kulit berwarna hijau bergelantungan di
tulang-tulang yang telah menguning. Rongga-rongga mata yang
kosong. Rahang-rahang kendur tanpa gigi...
"Kalian semua sudah mati," bisikku tercekat.
"Kau juga," Norb berkata lembut. "Sekarang kau salah satu dari
kami, Brandon. Kau salah satu dari kami untuk selamanya."
Kutatap dia, membiarkan kata-katanya mengendap.
Mereka mempermainkan aku, semua ini cuma lelucon
Halloween. Tak pernah ada satu kesempatan pun bagiku untuk memperoleh
tubuhku lagi. Desahan panjang keluar dari kerongkonganku.
Kusipitkan mataku menatap Norb. "Well... sekarang masih
Halloween, kan?" aku bertanya.
"Benar," jawabnya.
"Dan kita semua sudah mati, ya kan?" tanyaku lagi.
"Benar," sahutnya lagi.
"Jadi, ayo!" seruku seraya menepuk punggungnya. "Ayo kita
lompati jurang ini ke seberang, dan kita takut-takuti orangorang!"END
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 18 Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Pusaka Negeri Tayli 5

Cari Blog Ini