Goosebumps - Kulit Manusia Serigala Bagian 1
1 AKU turun dari bus dan langsung memicingkan mata karena
silau. Sambil menaungi mata dengan sebelah tangan, aku mencari-cari
Paman Colin dan Bibi Marta di pelataran parkir yang kecil itu.
Aku tak ingat lagi tampang mereka seperti apa. Terakhir kali
melihat mereka aku masih empat tahun, delapan tahun lalu.
Tetapi terminal bus Wolf Creek superkecil. Seperti gubuk kecil
di tengah tempat parkir yang luas. Aku yakin pasti dapat menemukan
mereka. "Berapa koper?" gumam sopir bus dari sudut mulutnya.
Walaupun udara bulan Oktober ini dingin, punggung seragam abuabunya tampak basah oleh keringat.
"Cuma satu," jawabku. Aku satu-satunya penumpang yang
turun di Wolf Creek. Di seberang terminal, aku melihat pompa bensin dan sederet
toko kecil. Di belakang itu semua, tampak hutan.
Pohon-pohonnya berwarna kuning dan cokelat, daun-daun
musim gugur masih menempel pada cabang-cabangnya. Daun-daun
kering, cokelat beterbangan di atas tempat parkir.
Sopir bus menggerundel sewaktu mengangkat pintu sorong
bagasi. Dia menarik keluar koper hitam. "Ini milikmu, Nak?"
Aku mengangguk. "Ya. Terima kasih."
Aku bergidik ketika angin dingin menerpaku. Kuharap Mom
dan Dad membawakan cukup banyak pakaian hangat untukku.
Mereka sangat terburu-buru sewaktu mengemas koperku.
Secara tiba-tiba mereka harus berangkat ke luar negeri untuk
urusan bisnis sebelum Halloween. Mereka harus ke Prancis. Dan
mereka harus mencarikan tempat menginap bagiku selama dua
minggu. Mungkin malah lebih.
Paman dan bibikulah pemenangnya!
Kubetulkan letak tali kamera di bahuku. Sepanjang perjalanan
tadi kamera berada di atas pangkuanku. Aku tak ingin kameraku
terguncang-guncang di dalam bagasi.
Kameraku adalah milikku yang paling berharga. Ke mana pun
aku pergi selalu kubawa. Dan jarang sekali kamera itu lepas dari
pandanganku. Sopir bus mendorong koperku di atas trotoar ke dekatku. Dia
menutup kembali pintu bagasi keras-keras. Kemudian berjalan
kembali ke bagian depan bus. "Ada yang menjemput?"
"Ada," jawabku, sekali lagi mencari-cari Paman Colin dan Bibi
Marta. Sebuah van biru berlumur lumpur mendecit memasuki tempat
parkir. Klaksonnya berbunyi. Kulihat ada tangan melambai padaku
dari tempat duduk penumpang.
"Itu mereka!" aku memberitahu si sopir bus. Tetapi dia sudah
masuk kembali ke dalam busnya dan menutup pintu. Bus mendesis
dan menderum, lalu menderu pergi.
"Hai, Alex!" teriak Bibi Marta dari dalam van.
Aku mengangkat koperku dan berjalan mendekati mereka. Van
itu berderit dan berhenti. Paman Colin turun dari balik kemudi. Bibi
Marta berlari dari pintu yang lain.
Aku sama sekali tak ingat mereka. Kubayangkan mereka masih
muda dan berambut gelap. Tetapi ternyata mereka berdua sudah
kelihatan tua. Keduanya jangkung dan langsing. Saat mereka berdua
bergegas mendekatiku, bagiku mereka tampak seperti dua belalang
kurus dengan gumpalan rambut beruban di atas kepala.
Bibi Marta memelukku erat-erat. Tangannya kurus sekali.
"Alex... senang sekali bertemu kau! Aku senang kau datang!" serunya.
Dia melepas pelukannya dan buru-buru mundur. "Uh-oh. Kotak
kameramu rusak tergencet!"
Kuputar tali kamera di leherku. "Tidak, kotaknya keras,"
jawabku. "Tidak apa-apa."
Sambil tersenyum Paman Colin menyalamiku. Rambut
berubannya yang berombak terburai ditiup angin. Pipinya merah dan
seperti retak. Kerutan usia tua, kurasa.
"Kau sudah begini besar dan dewasa," katanya. "Aku harus
memanggilmu Mr. Hunter nih, bukan Alex lagi."
Aku tertawa. "Belum ada yang memanggilku Mr. Hunter,"
kataku. "Bagaimana perjalanannya?" tanyanya.
"Penuh guncangan," jawabku. "Kurasa sopirnya menerjang
semua lubang di jalan! Dan laki-laki yang duduk di sebelahku
cegukan sepanjang jalan."
Bibi Marta tertawa. "Kedengarannya seru sekali."
Paman Colin memandang kotak kameraku. "Kau suka
memotret, Alex?" Aku mengangguk. "Ya. Aku ingin menjadi fotografer suatu hari
nanti. Seperti Paman dan Bibi."
Senyum mereka bertambah lebar. Kata-kataku rupanya
membuat mereka senang. Tetapi senyum Paman Colin segera lenyap. "Mencari nafkah
dengan fotografi itu berat," katanya. "Harus banyak bepergian. Kami
tak pernah menetap lama di suatu tempat."
Bibi Marta menghela napas. "Itulah sebabnya sudah bertahuntahun kami tidak melihatmu." Dia memelukku lagi.
"Aku berharap bisa ikut memotret dengan Paman dan Bibi,
paling tidak sekali," kataku. "Aku yakin Paman dan Bibi bisa
mengajariku banyak hal."
Paman Colin tertawa. "Kami akan mengajarmu semua rahasia
kami." "Kau akan tinggal paling sedikit dua minggu," tambah Bibi
Marta. "Jadi, kita punya cukup banyak waktu untuk pelajaran
memotret." "Tidak, kalau kita menghabiskan seluruh waktu di tempat parkir
ini!" kata Paman Colin. Sambil melenguh dia memasukkan koperku
ke bagian belakang van. Kami naik ke van. Dan beberapa detik kemudian, kami pun
meninggalkan terminal bus, memasuki kota.
Kami melewati kantor pos, kemudian toko sayuran kecil, dan
binatu. Setelah melewati perempatan, hutan yang lebat mengapit kami
di kiri-kanan jalan. "Cuma segini?" seruku.
"Alex," jawab Bibi Marta, "kau baru saja tur mengelilingi Wolf
Creek." "Kuharap kau tidak akan bosan di kota sekecil ini," Paman
Colin menambahkan. Van menikung tajam mengikuti jalan yang
berbelok menembus hutan. "No way!" seruku. "Aku betul-betul ingin menjelajahi hutan."
Aku anak kota. Bahkan menyentuh pohon pun aku jarang.
Masuk hutan, pikirku, pasti akan menarik sekali"seperti
mengunjungi planet lain. "Aku ingin menghabiskan seratus rol film untuk memotret
hutan!" kataku. Van terguncang hebat, sampai kepalaku membentur
atapnya. "Pelan-pelan, Colin!" tegur Bibi Marta. Dia menoleh kepadaku.
"Pamanmu cuma tahu satu kecepatan"kecepatan tinggi."
"Ngomong-ngomong soal kecepatan, kami akan mengajarimu
trik-trik memotret di alam bebas menggunakan film berkecepatan
tinggi," kata Paman Colin sambil kakinya menekan pedal gas lebih
keras. "Aku sudah mendaftar untuk ikut lomba fotografi di kotaku,"
aku memberitahu mereka. "Aku ingin membuat foto Halloween yang
hebat. Sesuatu yang betul-betul unik, agar aku memenangkan lomba
ini."ebukulawas.blogspot.com
"Oh, ya. Halloween tinggal beberapa hari lagi," kata Bibi Marta
sambil mengerling pamanku. Kemudian dia menoleh memandangku
lagi. "Kau mau jadi apa Halloween nanti, Alex?"
Aku tak perlu berpikir lagi. Jauh-jauh hari aku sudah
memutuskan. "Manusia serigala," jawabku.
"TIDAK!" jeritnya.
Van melanggar tanda berhenti. Aku terlontar dari tempat
dudukku, keras membentur pintu. Dan memandang ke luar lewat kaca
depan yang berguncang hebat dengan tak berdaya... sementara van
kami meluncur memapak truk yang meraung.
2 "AAAAAIIIII!" Akukah yang berteriak itu"
Van kami berguncang hebat. Aku terlempar lagi. Kali ini
terbanting di lantai. Paman Colin membanting setir ke arah rerumputan bahu jalan.
Aku melihat sesuatu yang merah mendesing lewat"truk itu.
Klaksonnya dibunyikan keras-keras.
Paman Colin menghentikan van di bawah pepohonan. Mukanya
yang berkerut merah padam. Kedua tangannya menyapu rambutnya ke
belakang. "Colin, ada apa?" tanya Bibi Marta lembut.
"Sori," gumamnya. Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku
kehilangan konsentrasi."
Bibi Marta berdecak. "Nyaris saja kita semua mati." Dia
menoleh menatapku. "Alex, kau tidak apa-apa?"
"Tidak. Aku baik-baik saja," kataku. "Tak kusangka perjalanan
di sini begitu penuh sensasi!" aku mencoba bergurau. Tetapi suaraku
bergetar. Kotak kameraku terjatuh di lantai. Kuambil dan kubuka, lalu
kuperiksa kameranya. Kelihatannya sih oke-oke saja.
Paman Colin menyalakan mesin dan van kembali meluncur di
jalan. "Sori yang tadi itu," gumamnya. "Aku akan lebih berhati-hati.
Janji deh." "Kau memikirkan Mr. dan Mrs. Marling lagi, kan?" Bibi Marta
menuduh. "Waktu Alex bilang manusia serigala, kau langsung teringat
mereka dan..." "Diam, Marta!" Paman Colin menukas. "Jangan bicara tentang
mereka sekarang. Alex baru saja datang. Apa kau ingin dia ketakutan,
bahkan sebelum kita tiba di rumah?"
"Hah" Siapa Mr. dan Mrs. Marling?" saking penasaran, aku
maju dan mencondongkan tubuh ke depan.
"Jangan pedulikan," jawab Paman Colin tajam. "Duduk yang
betul." "Mereka tidak penting," kata Bibi Marta. Dia menoleh ke luar
jendela. "Hei... kita hampir sampai."
Langit seakan bertambah gelap. Pohon-pohon tua tumbuh
rimbun di sepanjang jalan, daun-daunnya menghalangi sinar matahari.
Aku berpikir keras. Paman dan bibiku bersikap agak aneh.
Mereka menyembunyikan sesuatu, pikirku. Aku heran kenapa Paman
Colin begitu marah dan membentak bibiku ketika dia menyebut Mr.
dan Mrs. Marling. "Kenapa tempat ini dinamakan Wolf Creek?" tanyaku. Wolf
berarti serigala, sedangkan creek sungai kecil.
"Karena nama Chicago sudah ada yang pakai!" gurau Bibi
Marta. "Dulunya memang ada serigala di hutan," Paman Colin
menjelaskan dengan suara perlahan.
"Dulunya!" seru bibiku. Dia merendahkan suaranya menjadi
bisikan, tetapi aku masih bisa mendengarnya. "Kenapa kau tidak
mengatakan yang sebenarnya kepada Alex, Colin?"
"Diam!" geramnya lagi. "Kenapa kau ingin membuatnya
takut?" Bibi Marta memandang ke luar jendela. Untuk sementara semua
diam. Jalan berbelok dan tampak sebuah lingkaran kecil. Tiga rumah
berdiri hampir berdempetan di lingkaran itu. Kulihat hutan terhampar
di belakang ketiga rumah itu.
"Itu rumah kami"yang tengah," kata Paman Colin sambil
menunjuk. Aku memandangnya. Rumah kecil, kotak, putih, dengan
halaman rumput yang baru dipangkas. Di sebelah kanannya rumah
gaya ranch yang memanjang dan rendah. Warnanya abu-abu, dengan
gorden warna gelap. Rumah di sebelah kirinya nyaris tersembunyi oleh semaksemak rimbun. Alang-alang yang tinggi memenuhi halaman
depannya. Ada dahan pohon tergeletak di tengah jalan masuknya.
Paman Colin menyetir vannya memasuki jalan masuk rumah
tengah. "Memang kecil, tapi kami kan jarang di sini," katanya.
Bibi Marta menghela napas. "Selalu bepergian."
Ia menolehku lagi. "Tetangga kita gadis yang menyenangkan."
Dia menunjuk rumah bergaya ranch di sebelah kanan. "Umurnya dua
belas tahun. Sama denganmu, kan?"
Aku mengangguk. "Namanya Hannah. Dia manis sekali. Kau sebaiknya berteman
dengannya, agar tidak kesepian."
Manis" "Ada anak laki-laki di sekitar sini?" tanyaku.
"Sayangnya tidak," jawab bibiku.
Pamanku mematikan mesin van. Kami turun. Aku mengangkat
kedua tangan tinggi di atas kepala. Seluruh tubuhku terasa pegalpegal. Enam jam lebih aku duduk!
Aku menatap rumah abu-abu di sebelah kanan. Rumah Hannah.
Bisakah kami berdua berteman"
Paman Colin menurunkan koperku dari bagian belakang van.
Aku ganti memandang rumah di sebelah kiri. Buset! Amburadul
benar! Rumah itu gelap pekat. Beberapa kaca jendelanya bolong.
Sebagian berandanya juga runtuh.
Aku melangkah mendekati rumah rongsok yang aneh itu.
"Siapa yang tinggal di situ?" tanyaku pada Bibi.
"Jangan dekat-dekat rumah itu, Alex!" jerit Paman Colin.
"Jangan tanya apa-apa tentang mereka! Jangan sekali-kali mendekati
rumah itu!" 3 "TENANG, Colin," kata Bibi Marta pada pamanku. "Alex tidak
akan ke sana." Bibi Marta lalu menoleh padaku. "Mr. dan Mrs. Marling tinggal
di rumah itu," bisiknya. Diangkatnya jari ke bibirnya. "Jangan tanyatanya lagi... oke?"
"Jangan dekat-dekat ke situ," Paman Colin menggeram. "Bantu
aku menurunkan barang."
Untuk terakhir kali aku memandang rumah rongsok itu.
Kemudian mendekati van untuk membantu pamanku.
Sebentar saja sudah selesai. Bibi Marta membantuku beresberes di kamar tamu, sementara Paman Colin menyiapkan roti lapis isi
kalkun di dapur. Kamarku kecil dan sempit, kira-kira seukuran lemari dinding di
rumahku. Lemarinya yang kecil berbau kapur barus. Tapi Bibi Marta
bilang, baunya akan hilang jika pintu lemari dan jendela dibiarkan
terbuka. Aku menyeberangi ruangan untuk membuka jendela. Ternyata
jendelaku menghadap rumah Mr. dan Mrs. Marling. Sebuah kereta
sorong yang sudah berkarat bersandar di dinding.
Jendela-jendelanya gelap berselimut debu.
Aku menyipitkan mata memandang jendela di seberangku... dan
memikirkan peringatan Paman Colin.
Kenapa Mr. dan Mrs. Marling membuatnya begitu cemas"
Setelah membuka jendela, aku kembali mendekati bibiku. Dia
memasukkan T-shirt terakhirku di laci paling atas. "Kamar ini kecil,
tapi kupikir kau akan nyaman di sini, Alex," katanya. "Dan mejanya
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah kubersihkan, jadi kau bisa bikin pe-er di situ."
"Pe-er?" gumamku.
Lantas aku ingat. Aku sudah berjanji akan masuk sekolah
setempat selama aku tinggal di Wolf Creek.
"Kau bisa berangkat bersama Hannah hari Senin pagi," kata
Bibi Marta. "Dia juga kelas enam. Dia akan menemanimu."
Aku ogah memikirkan masuk ke sekolah yang asing. Kuambil
kameraku. "Aku sudah tak sabar ingin ke hutan dan memotret," kataku
pada Bibi. "Bagaimana kalau sehabis makan siang nanti?" dia
mengusulkan. Sambil merapikan rambutnya, Bibi mengajakku
melewati lorong pendek menuju ke dapur.
"Sudah beres?" tanya Paman Colin. Dia sedang menuang air
jeruk ke dalam tiga gelas. Roti lapisnya sudah terhidang di atas meja
dapur yang bulat dan kecil.
Sebelum aku sempat menjawab, terdengar ketukan keras di
pintu belakang. Bibi Marta membukanya, dan seorang gadis seumurku
masuk. Hannah. Hannah jangkung dan kurus, kira-kira lima senti lebih tinggi
dariku. Bibi Marta benar. Hannah manis. Rambutnya hitam dan lurus,
matanya hijau-zaitun, dan senyumnya menawan. Dia memakai sweter
gombrong hijau, menutupi celana ketat hitam.
Bibi Marta memperkenalkan kami berdua. Kami berdua bilang,
"Hai." Aku benci ketemu orang baru. Rasanya canggung.
Bibi Marta bertanya kalau-kalau Hannah mau roti lapis. "Tidak,
terima kasih," jawab Hannah. "Aku sudah makan."
Aku suka suaranya. Rendah dan parau. Serak-serak basah.
"Alex baru saja sampai. Naik bus," kata Bibi Marta. "Itu
sebabnya makan siang kami terlambat."
Aku menghabiskan roti lapisku dalam beberapa detik saja.
Rupanya aku lapar berat. "Hannah, bagaimana kalau kau menemani Alex menjelajah
hutan?" saran Paman Colin. "Dia anak kota. Kau mesti kasih tahu dia,
pohon itu apa!" Semua tertawa. "Aku sudah melihat banyak pohon"di bioskop!" gurauku.
Hannah tertawa, berat dan parau.
"Aku ingin memotret banyak sekali," kataku sambil meraih
kameraku. "Kau juga senang fotografi?" tanya Hannah. "Seperti paman
dan bibimu?" Aku mengangguk. "Kuharap kau membawa film warna," kata Hannah. "Daundaun musim gugur sekarang ini pas sangat memesona."
Kami pamit pada Paman Colin dan Bibi Marta dan keluar lewat
pintu depan. Matahari sore berwarna kemerahan sudah mulai turun ke
balik pohon-pohon. Membuat bayangan tubuh kami jadi panjang
sekali di atas rerumputan.
"Hei, kau menginjak bayangkanku!" Hannah memprotes sambil
nyengir. Diayunkannya kakinya untuk membuat bayangannya
menendang bayanganku. "Ouw!" jeritku. Kulontarkan tinjuku, dan bayanganku
menonjoknya. Bayangan kami berantem seru sekali, saling menendang dan
memukul. Akhirnya dia menginjak-injak bayanganku dengan sepatu
ketsnya. Dan aku menjatuhkan diri ke tanah, membuat bayanganku
terpuruk di atas rumput. Saat aku bangkit duduk, Hannah sedang mendongak tertawa.
Rambutnya yang hitam dan lurus beterbangan dengan liar di sekeliling
wajahnya. Kutarik kamera dari dalam kotaknya dan cepat-cepat kujepret
dia. Hannah berhenti tertawa. Dia merapikan rambut dengan kedua
tangannya. "Hei"kenapa kaupotret aku?"
Aku mengangkat bahu. "Pingin aja."
Aku berdiri dan mengangkat kamera ke depan mataku
Kuarahkan lensanya ke rumah Mr. dan Mrs. Marling. Aku maju
beberapa langkah, mencoba menangkap rumah itu dalam lensaku.
"Hei...!" teriakku ketika Hannah menarik lenganku.
"Alex... jangan memotret!" dia memperingatkan dengan bisikan
yang parau. "Mereka akan melihatmu."
"Lalu kenapa?" teriakku. Tetapi aku bergidik saat kulihat
sesuatu bergerak di jendela depan yang gelap.
Apa ada yang mengintip kami"
Kuturunkan kameraku. "Ayo, Alex." Hannah menarikku ke arah belakang. "Kita jadi ke
hutan tidak nih?" Aku menyipitkan mata menatap rumah Mr. dan Mrs. Marling.
"Kenapa pamanku begitu cemas waktu aku tanya tentang rumah itu?"
tanyaku pada Hannah. "Ada apa sih sebetulnya?"
"Aku sebenarnya tidak tahu," jawabnya, sambil melepaskan
lenganku. "Orang menganggap Mr. dan Mrs. Marling pasangan tua
yang aneh. Aku sendiri belum pernah melihat mereka. Tapi... aku
sudah dengar banyak cerita tentang mereka."
"Cerita macam apa?"
"Cerita seram-seram," bisiknya.
"Serius, ah. Cerita macam apa?" aku berkeras.
Dia tidak menjawab. Mata hijaunya menyipit memandang
beranda yang rusak, atap sirapnya yang buluk. "Pokoknya kita jangan
dekat-dekat rumah itu, Alex."
Hannah mulai berlari-lari kecil menyusuri tepi rumah menuju
ke belakang. Tetapi aku tidak mengikutinya. Aku menyeberang dan
melangkah memasuki rumpun alang-alang tinggi di pekarangan Mr.
dan Mrs. Marling. "Alex"berhenti! Kau mau ke mana?" panggil Hannah.
Sambil memegang kameraku erat-erat, aku melangkah
mendekati rumah itu. "Aku anak kota," kataku pada Hannah. "Aku
tidak gampang takut."
"Alex, ayolah...," Hannah memohon. "Mr. dan Mrs. Marling
tidak menyukai anak-anak. Mereka tidak suka kalau ada orang datang.
Ayo kita ke hutan saja."
Aku melangkah hati-hati ke lantai papan beranda yang sudah
keropos. Kuangkat mata menatap jendela depan.
Bayangan matahari yang sedang terbenam memenuhi kaca.
Sesaat jendela itu seperti terbakar.
Aku terpaksa membuang pandang.
Kemudian, saat sinar matahari sudah memudar dari jendela, aku
memandangnya lagi... dan menahan napas saking kagetnya.
Di dalam rumah itu, gorden-gordennya tercabik-cabik,
compang-camping. Seakan dicabik-cabik oleh cakar binatang.
4 "HANNAH... kaulihat itu?" teriakku. Pandanganku tak bisa
lepas dari gorden yang compang-camping itu.
Hannah berdiri bersandar ke rumah paman dan bibiku. "Aku tak
mau ke situ," katanya pelan, tangannya tersilang di depan dada.
"Tapi gordennya..."
"Kan sudah kubilang mereka aneh," kata Hannah tajam. "Dan
mereka tidak suka ada anak-anak mengintip jendela mereka. Ayolah,
Alex." Aku meninggalkan rumah Mr. dan Mrs. Marling. Sepatuku
tersangkut papan lantai yang mencuat dan aku nyaris jatuh.
"Kita jadi ke hutan tidak nih?" tanya Hannah habis sabar.
"Sori." Aku menarik lepas sepatuku dan mengikutinya ke
belakang. "Ceritakan lebih banyak lagi tentang Mr. dan Mrs.
Marling," kataku, sambil berlari kecil mengejarnya. "Ceritakan ceritacerita seram tentang mereka yang pernah kaudengar."
"No way!" jawab Hannah dengan suaranya yang serak-serak
basah. Kami menyeberangi halaman belakang rumah Paman dan Bibi.
Di tepi rerumputan, hutan terbentang. Pohon-pohonnya yang tinggi,
kuning dan merah, bermandi cahaya matahari sore.
"Ayo dong, cerita," aku memohon.
"Mungkin beberapa hari lagi, setelah Halloween," jawab
Hannah. "Setelah lewat bulan purnama."
Aku mengikuti pandangan Hannah ke langit. Bulan yang putih
cemerlang"hampir sempurna bulatnya"muncul dari balik
pepohonan, walaupun hari masih siang.
Hannah bergidik. "Aku benci jika purnama tiba," katanya. "Aku
akan senang sekali jika purnama telah lewat."
"Kenapa?" tanyaku. "Apa istimewanya bulan purnama?"
Dia menoleh menatap rumah Mr. dan Mrs. Marling. Dan tidak
menjawab. ************ Kami berjalan di antara pepohonan. Sinar matahari yang mulai
temaram menembus dedaunan, mengirim bercak-bercak keemasan di
tanah. Daun-daun dan ranting-ranting kering berkertak terinjak sepatu
kami. Aku menemukan pohon tua berbonggol-bonggol, melengkung
seperti kakek bungkuk. Kulit batangnya berbintil dan berkerut, seperti
kulit tua. Akar-akar gemuk bertonjolan dari dalam tanah.
"Wow! ini benar-benar cool!" seruku, seraya menarik keluar
kameraku. Hannah tertawa. "Kau ini benar-benar anak kota."
"Tapi... lihat pohon ini!" kataku. "Sepertinya... dia hidup!"
Hannah tertawa lagi. "Pohon memang hidup, Alex!"
"Kau tahu apa yang kumaksud," gerutuku.
Aku mulai menjepret pohon tua yang bungkuk itu. Aku mundur
dan bersandar ke pohon birch yang miring. Mencari posisi agar pohon
tua itu bentuknya kelihatan seperti manusia.
Kemudian aku bergerak mengelilinginya, memotret
lekukannya, kerutannya. Aku memotret ranting kurusnya yang
terjuntai ke tanah seperti lengan yang lelah.
Aku berjongkok dan memotret akar-akarnya yang mencuat dari
dalam tanah seperti kaki-kaki kurus.
Dengung lembut membuatku mendongak. Seekor burung
kolibri melayang di atas bunga rumput liar. Aku menoleh dan
mencoba menangkap burung kecil itu ke dalam lensaku.
Tetapi burung kolibri itu terlalu cepat untukku. Ia sudah melesat
pergi sebelum aku sempat menekan tombol kamera.
Aku bangkit. Hannah sedang duduk bersila di tanah, meremas
daun-daun kering. "Tidakkah burung kolibri itu tahu musim panas sudah
berakhir?" gumamku. Hannah menatapku dengan pandangan kosong, seakan dia lupa
aku ada di sana. "Oh, sori, Alex. Aku tidak melihatnya." Lalu dia juga
bangkit. "Sampai mana kita kalau berjalan lurus saja?" tanyaku sambil
menunjuk ke dalam hutan. "Kau tiba di Wolf Creek," jawab Hannah. "Akan kutunjukkan
padamu sungai kecil itu lain kali. Sekarang lebih baik kita pulang.
Kita sudah harus keluar dari hutan sebelum matahari terbenam."
Aku tiba-tiba teringat serigala yang tadi disebut-sebut Paman
Colin. Serigala yang namanya dipakai untuk menamai tempat ini.
"Serigala-serigala yang dulunya tinggal di hutan ini," kataku,
"mereka sudah tak ada, kan?"
Hannah mengangguk. "Ya, mereka sudah tak ada."
Tiba-tiba terdengar lolongan nyaring... begitu dekat di
belakangku. Lengkingan lolong nyaring serigala!
Aku menjerit sekuat-kuatnya.
5 AKU terhuyung dan tersandar ke pohon birch. Kameraku
membentur batangnya, tetapi tidak terjatuh.
"Hannah...?" seruku tertahan. Matanya terbelalak keheranan.
Tetapi sebelum dia dapat menjawab, dua anak laki-laki muncul
dari balik rumpun cemara yang tinggi. Mereka mendongak dan
melolong seperti serigala.
"Hei... kalian!" seru Hannah sebal.
Kedua anak itu pendek dan kurus, keduanya berambut lurus
hitam dan bermata cokelat. Mereka berhenti melolong dan
memandangku, memandangku dengan pandangan lapar, seperti
serigala. "Apakah kami membuat kalian takut?" salah seorang dari
mereka meledek, mata cokelatnya berkilat gembira. Dia memakai
sweter cokelat tua dan celana denim hitam. Syal ungu panjang melilit
lehernya. "Kalian berdua selalu membuatku takut!" sindir Hannah.
"Tampang kalian membuatku ngeri!"
Anak laki-laki yang satunya memakai sweter gombrong abuabu dan celana khaki komprang menyapu tanah. Ia mendongak dan
melolong lagi dengan nyaring.
Hannah menoleh memandangku. "Mereka sekelas denganku,"
dia menjelaskan. "Itu Sean Kiner." Dia menunjuk anak dengan syal
ungu. "Dan dia Arjuna Khosla."
"Arjuna?" Nama yang aneh bagiku.
"Nama India," si pemilik nama menjelaskan.
"Hannah sudah bercerita kau akan datang," kata Sean sambil
nyengir. "Kau anak kota, kan?" tanya Arjuna.
"Yah, begitulah. Cleveland," gumamku.
"Kau suka Wolf Creek?" Arjuna bertanya. Tapi pertanyaannya
tidak kedengaran seperti pertanyaan. Kedengarannya seperti
tantangan. Keduanya menatapku dengan mata cokelat gelap mereka,
mengamat-amatiku seakan aku ini sejenis jamur aneh.
"Aku... aku baru tiba," jawabku tergagap.
Mereka berdua bertukar pandang. "Ada hal-hal yang harus
kauketahui tentang hutan ini," kata Sean.
"Apa misalnya?" tanyaku.
Ia menunjuk kakiku. "Misalnya kau tidak boleh menginjak sulur
beracun!" "Hah?" aku meloncat mundur. Dan menatap tanah.
Mereka berdua terbahak. Tak ada sulur beracun. "Kalian berdua sama lucunya dengan kotoran anjing," ejek
Hannah. "Kau yang lebih tahu. Itu kan sarapanmu!" jawab Sean.
Dia dan Arjuna tertawa, lalu tos.
Hannah menghela napas. "Ingatkan aku untuk tertawa nanti,"
gumamnya, sambil memutar matanya.
Entah kenapa itu membuat kedua anak tadi melolong lagi.
Setelah selesai, Sean mengulurkan tangan akan mengambil
kameraku. "Boleh aku lihat?"
"Ah..." aku menarik balik kameraku. "Kamera ini mahal sekali,"
kataku. "Aku tak ingin orang lain memegangnya."
"Oooh. Mahal!" ejeknya. "Dari karton" Coba kulihat!" ia
mencoba merebutnya lagi. "Fotolah aku," Arjuna menuntut. Ia membuka mulutnya lebarlebar dengan dua jari dan meleletkan lidahnya.
"Pose yang bagus," kata Hannah.
"Foto aku!" Arjuna mengulang.
"Jangan ganggu Alex," tukas Hannah. "Tinggalkan dia."
Arjuna pura-pura tersinggung. "Kenapa dia tak mau
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memotretku?" "Karena dia tidak memotret hewan!" seringai Hannah.
Sean tertawa, dan menjambret kamera dari tanganku.
"Hei, jangan!" aku memohon. Kucoba merebut kembali
kameraku, tapi gagal. Sean melempar kameraku ke Arjuna. Arjuna mengangkatnya
dan berpura-pura memotret Hannah. "Wajahmu membuat lensanya
pecah!" serunya. "Akan kubuat wajahmu pecah!" Hannah mengancam.
"Kamera itu benar-benar mahal," aku mengulangi. "Kalau
sampai rusak..." Hannah merebut kamera itu dari tangan Arjuna dan
mengembalikannya kepadaku.
Kupeluk kameraku. "Trims."
Kedua anak laki-laki itu bergerak mendekatiku. Memandang
mereka mendekatiku, dengan wajah keras dan mata begitu dingin,
lagi-lagi aku jadi ingat binatang liar.
"Jangan ganggu dia," bentak Hannah.
"Kami kan cuma main-main," jawab Arjuna. "Kami tidak akan
merusakkan kameranya."
"Ya. Kami cuma main-main," Sean menambahkan. "Kau
keberatan?" "Tidak," jawabku sambil masih memeluk kameraku.
Arjuna menengadah memandang langit yang mulai gelap.
Lewat celah-celah pepohonan aku cuma bisa melihat langit kelabu.
"Sudah sore," Arjuna bergumam.
Senyum Sean lenyap. "Ayo kita keluar dari sini." Matanya
gelisah memandang berkeliling. Bayang-bayang semakin gelap dan
udara semakin dingin. "Mereka bilang ada binatang liar berkeliaran di hutan," kata
Arjuna pelan. "Arjuna, jangan macam-macam," keluh Hanna sambil memutar
matanya. "Betul kok," Arjuna bertahan. "Ada binatang yang mencabik
kepala rusa. Sampai putus."
"Kami melihatnya sendiri," Sean menambahi. Matanya berkilau
dalam cahaya yang mulai memudar. "Sungguh mengerikan."
"Mata rusa itu menatap kami," Arjuna menambahkan. "Dan
ulat-ulat menggeliat keluar dari lehernya."
"Iih!" seru Hannah, menutup mulut dengan satu tangan. "Kalian
cuma mengarang, kan?"
"Tidak." Sean menatap bulan.
"Sudah hampir bulan purnama. Bulan purnama membuat semua
makhluk aneh keluar dari tempat persembunyian mereka," Sean
melanjutkan, pelan sekali, seperti berbisik. "Terutama pas Halloween.
Dan bulan akan purnama penuh malam itu."
Aku menggigil. Bulu kudukku berdiri. Tiba-tiba aku merasa
kedinginan. Anginkah penyebabnya" Atau kata-kata Sean yang
menakutkan" Kubayangkan rusa yang tergeletak di tanah.
Kubayangkan matanya yang berkilat menatap kosong, tanpa
kehidupan. "Kau mau jadi apa Halloween nanti?" Arjuna menanyai
Hannah. Hannah mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Aku belum
memutuskan." Arjuna ganti menatapku. "Kau sudah tahu mau jadi apa, Alex?"
Aku mengangguk. "Ya. Aku mau jadi manusia serigala."
Arjuna celangap menahan napas. Kedua anak laki-laki itu
bertukar pandang. Senyum mereka lenyap. Wajah mereka berubah serius.
"Ada apa?" tanyaku.
Tak ada jawaban. "Hei... ada apa?" aku mengulangi.
Arjuna menunduk menatap tanah. "Kita sudah punya cukup
banyak manusia serigala di Wolf Creek," gumamnya.
"Apa maksudmu?" teriakku. "Apa sebenarnya maksud
ucapanmu?" Tetapi mereka tidak menjawab.
Sebaliknya, mereka malah berbalik dan menghilang ke dalam
hutan. 6 BIBI MARTA mengundang Hannah untuk makan malam
bersama kami. Kami berempat berdesakan mengelilingi meja makan
yang kecil itu, menikmati sup hangat yang lezat.
"Sup buatan Bibi paling enak sedunia!" kata Hannah.
Bibi Marta tersenyum. Kuah menetes dari dagunya. Dilapnya
dengan serbet. "Terima kasih, Hannah. Kumasukkan apa saja yang
bisa kutemukan." "Maaf, kami tadi terlambat datang," kataku. "Aku lupa waktu.
Aku tak ingin meninggalkan hutan. Menarik sekali di sana."
Paman Colin memandang ke luar jendela dapur. Dia
memandang bulan yang sedang naik. Kemudian pandangannya beralih
ke rumah Mr. dan Mrs. Marling.
"Aku tadi memotret pohon yang luar biasa," aku bercerita.
"Pohon itu berkerut dan bungkuk seperti orang tua."
Paman Colin tidak menanggapi. Matanya masih terpaku ke luar
jendela. "Colin, Alex mengajakmu bicara," tegur Bibi Marta.
"Huh" Oh." Paman kembali menghadap meja, menggelengkan
kepalanya seakan mengusir pikirannya. "Sori. Apa katamu tadi?"
Kuceritakan lagi tentang pohon tua tadi.
"Aku akan membantumu mencetak foto-foto itu," dia
menawarkan. "Mungkin besok pagi. Kamar kecil di atas bisa dijadikan
kamar gelap. Kami sebetulnya butuh rumah yang lebih besar.
Terutama dengan pekerjaan yang belakangan ini kami lakukan."
"Apa yang sedang Paman dan Bibi foto sekarang?"
"Makhluk-makhluk malam," jawabnya. Matanya melayang ke
jendela lagi. Kuikuti pandangannya ke jendela belakang rumah Mr.
dan Mrs. Marling. Gelap pekat.
"Kami memotret hewan-hewan malam," Bibi Marta
menjelaskan. "Hewan-hewan yang muncul hanya pada malam hari."
"Seperti burung hantu, misalnya, maksud Bibi?" tanya Hannah.
Bibi Marta mengangguk. "Kami telah menemukan burungburung hantu hebat di dalam hutan. Iya, kan, Colin?"
Paman Colin menoleh kembali dari jendela. Cahaya bulan
keperakan memenuhi jendela. "Makhluk-makhluk malam tidak suka
difoto," katanya, sambil menyendok wortel dan mengunyahnya
perlahan. "Mereka suka menyendiri."
"Kadang-kadang kami menunggu di suatu tempat sampai
berjam-jam," bibiku menambahkan. "Menunggu hewan tertentu
menongolkan kepalanya dari dalam lubangnya di tanah."
"Bolehkah aku ikut Paman dan Bibi suatu malam nanti?"
tanyaku penuh minat. "Aku tak akan bersuara. Janji deh."
Paman Colin menelan sepotong ayam. "Ide yang bagus,"
katanya. Tetapi kemudian wajahnya berubah serius. Dan dia
menambahkan, "Mungkin sesudah Halloween."
Aku menoleh dan melihat Bibi Marta sedang menatap rumah
Mr. dan Mrs. Marling. "Bulan masih rendah," katanya sambil berpikir.
"Tapi malam ini terang sekali."
"Di luar sana seperti siang hari," kata Paman Colin. Ekspresi
apakah yang melintas sekejap di wajahnya" Apakah ketakutan"
Sikap paman dan bibiku sungguh aneh malam ini. Mereka
tampak cemas. Kenapa mereka tak putus-putusnya memandang ke luar
jendela" Apa yang mereka harapkan bisa dilihat dari rumah Mr. dan
Mrs. Marling" Aku tak tahan lagi. "Apakah semua oke?" kutanya mereka.
"Oke?" Paman Colin menyipitkan mata memandangku. "Kurasa
begitu..." "Apakah kalian berdua sudah memikirkan kostum Halloween?"
Bibi Marta mencoba mengubah pembicaraan.
"Kurasa tahun ini aku mau menjadi bajak laut lagi," jawab
Hannah. Dia menghabiskan susu cokelatnya dan menjilat sisanya di
tepi gelas. "Aku akan mengikat bandana di sekeliling kepalaku dan
mataku kututup sebelah."
"Rasanya Colin dan aku punya pakaian tua aneh yang bisa
kaupakai," Bibi Marta menawari. Dia menoleh padaku. "Bagaimana
denganmu, Alex?" Aku sebenarnya masih ingin jadi manusia serigala. Tapi aku
ingat apa yang terjadi tadi waktu aku bilang begitu. Nyaris saja Paman
Colin menabrak truk! Maka aku tersenyum dan berkata, "Mungkin aku juga akan jadi
bajak laut." Aku menyuap sendokan terakhir supku.
Sama sekali tak terbayangkan olehku bahwa beberapa jam
kemudian, saat bulan telah mencapai puncaknya di langit, aku akan
berhadapan muka dengan manusia serigala beneran.
7 SETELAH Hannah pulang, aku ke kamarku yang kecil. Aku
beres-beres sedikit, memasukkan pakaian ke dalam laci.
Aku bukan orang paling rapi sedunia. Ngaku saja deh... aku
sebetulnya malah termasuk orang jorok. Tapi aku sadar, kalau aku
membiarkan barang bertumpuk di kamar mungil ini, bakalan kacau
deh, aku tak akan bisa menemukan apa-apa.
Aku duduk di depan meja dan menulis surat pendek untuk Mom
dan Dad. Kuceritakan segalanya baik-baik saja. Juga bahwa aku akan
menjepret banyak foto bagus untuk kupamerkan kepada mereka
sepulang mereka dari Prancis nanti.
Setelah surat kumasukkan amplop dan alamat mereka kutulis,
ternyata aku belum ngantuk. Tapi kuputuskan aku sebaiknya tidur.
Aku berjalan ke lemari untuk mengambil piamaku. Tetapi aku
berhenti di depan jendela.
Dan menatap cahaya jingga yang redup.
Cahaya di jendela Mr. dan Mrs. Marling!
Cahaya itu berpendar di antara dua pohon doyong, daundaunnya bergetar tertiup angin. Cahaya jingga suram berbentuk kotak
di dasar rumah, dekat bagian belakang.
Jendela kamarkah" Kudekatkan wajahku ke kaca jendela dan aku menyipit
menembus kegelapan. Memandang cahaya kotak yang suram itu.
Apakah aku akan melihat Mr. atau Mrs. Marling" Aku menahan
napas dan menunggu. Aku tak perlu menunggu lama.
Napasku tertahan ketika ada bayangan melintas di jendela
tetangga sebelah. Sosok kelabu di balik cahaya jingga.
Laki-lakikah itu" Tidak begitu jelas. Bayangan itu bergerak. Baru kusadari, itu ternyata binatang.
Bukan. Laki-laki. Mr. Marling" Kupepetkan wajahku, kutatap tajam bayangan itu. Apakah itu
anjing besar" Seorang laki-laki" Aku tak bisa memastikan.
Bayangan itu menjauh dari jendela.
Dan kemudian kudengar lolong nyaring binatang.
Lolong itu keluar dari balik jendela. Menyeberangi jarak sempit
kedua rumah kami. Lolong nyaring itu memasuki kamarku. Melibasku.
Lolong yang mengerikan. Setengah hewan, setengah manusia.
Lolong yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Rasa dingin menjalari punggungku. Bulu kudukku berdiri.
Lolongan lain membuatku menahan napas.
Aku menatap nanar ketika bayangan itu kembali ke jendela.
Makhluk dengan kepala mendongak. Moncongnya terbuka,
mengeluarkan lolongan hewan yang mengerikan.
Aku harus memotretnya, pikirku. Aku harus memotret
bayangan yang melolong itu.
Aku berputar dari jendela. Berlari ke rak.
Meraih kameraku. Kameraku" Hilang! 8 "TIDAK...!" aku menjerit tertahan.
Tanganku menggerayangi meja dengan panik.
Kamera itu tadi kutaruh di sana. Pasti.
Tapi ternyata tidak. Kameraku tak ada.
Mataku menyapu ruangan. Aku baru saja beres-beres. Semua
ada di tempatnya. Meja. Laci.
Tak ada kamera. Tak kelihatan kamera.
Aku jongkok dan mencari-cari di kolong tempat tidur.
Tak ada kamera. Aku merangkak ke lemari dinding. Membuka pintunya. Dan
mencari-cari di dasar lemari.
Sementara aku mencari-cari, ada lolongan serigala lain
menerobos masuk kamarku. Lebih nyaring. Lebih melengking.
Dan kemudian kudengar dua lolongan bersama-sama. Kedua
lolongan yang melengking itu menyatu dalam harmoni yang aneh dan
sumbang. Apakah itu lolongan Mr. dan Mrs. Marling"
Saat aku berdiri terdengar bunyi gesekan. Kayu bergesek
dengan kayu. Bunyi jendela terbuka. Kudengar bunyi BLUK berat.
Kaki yang mendarat di tanah.
Kemudian kudengar geraman. Lalu langkah-langkah berat.
Langkah-langkah tepat di depan kamarku!
Aku berlari kembali ke jendela. Dengan napas putus-putus,
jantung berdegup kencang, aku memandang ke luar.
Terlambat. Tak ada lagi siapa-siapa.
Semuanya gelap. Bahkan cahaya jingga di jendela Mr. dan Mrs.
Marling pun sudah lenyap. Rumah itu sudah gelap gulita lagi.
Pohon-pohon bergoyang, bayangan hitam dilatari langit biru
gelap. Daun-daunnya berkilau keperakan ditimpa cahaya bulan.
Lama sekali aku memandang ke luar, menunggu jantungku
tenang. Menunggu datangnya lagi lolongan nyaring dan langkahlangkah berat.
Semuanya sunyi sekarang. Kameraku... Kupaksa diriku meninggalkan jendela. Aku keluar dari kamar
dan menyeberangi lorong pendek menuju ke ruang keluarga. Apakah
tadi kamera kuletakkan di sini waktu aku dan Hannah kembali dari
hutan" Tidak. Tak kelihatan ada kamera.
Aku memeriksa dapur. Tetap tak ada kamera.
"Bibi Marta! Paman Collin!" aku memanggil mereka.
Suaraku yang keluar ternyata lebih kecil daripada yang kumaui.
Aku kembali ke lorong. Melewati kamarku. Melewati kamar
mandi dan kamar penyimpanan seprai dan handuk. Kamar mereka ada
di ujung. "Apakah Paman dan Bibi melihat kameraku?" teriakku.
Kubuka pintu kamar mereka.
Gelap pekat. Gelap dan kosong.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tercium parfum Bibi Marta yang beraroma bunga. Dan bau
tajam cairan pencuci film.
Mereka ke hutan untuk memotret binatang, rupanya.
Aku sendirian di sini. Aku menarik napas dan menahannya. Tenang, Alex, kataku
pada diri sendiri. Kau tidak apa-apa. Kau aman-aman saja.
Kau akan menemukan kameramu jika kau tenang. Mungkin
kamera itu ada di depanmu. Tapi kau sangat panik dan ketakutan, jadi
kau tak melihatnya. Tenanglah!
Aku menarik napas panjang sekali lagi. Aku mulai merasa
tenang. Kututup kembali pintu kamar paman dan bibiku dan aku
kembali ke kamarku. Aku sudah setengah jalan ke kamar ketika kudengar bunyi
garutan pelan. Dan kemudian langkah kaki.
Tubuhku serasa membeku. Aku berdiri mendengarkan.
Langkah-langkah kaki lagi. Berat.
Dari mana asalnya" Dari atas" Ya. Aku menatap langit-langit yang rendah.
Terdengar lagi bunyi garutan. Lagi langkah-langkah kaki.
Kusadari, mereka ada di loteng!
Apa pun makhluk yang melolong tadi, mereka ada di dalam
rumah! 9 AKU bersandar ke dinding. Seluruh tubuhku gemetar.
Sulit rasanya menelan ludah. Terdengar lagi langkah-langkah di
atas kepalaku. Aku harus keluar dari sini! Aku harus keluar dari rumah ini!
Aku harus memberitahu Paman Colin dan Bibi Marta!
Tapi kakiku serasa lemas sekali. Jangan-jangan aku tak bisa
berjalan. Aku mencoba melangkah, gemetaran. Satu langkah lagi.
Kemudian kudengar suara lain dari atas.
Aku berhenti mendengarkan.
Senandung" Ada orang bersenandung"
Dengan tenaga yang entah datang dari mana, kuraih pintu
loteng. Kubuka. Lalu aku berteriak, "Siapa di atas" Siapa itu?"
"Aku, Alex!" terdengar suara yang tak asing bagiku.
"Hannah...?" kerongkonganku serasa tercekat. "Nga-ngapain
kau di atas?" "Apakah bibimu tidak bilang aku kembali lagi?" tanya Hannah.
"Tidak," jawabku.
"Tadi Bibi bilang dia punya baju-baju tua yang bisa dijadikan
kostum yang bagus. Jadi aku kembali untuk memeriksanya."
Kepalanya muncul di atas tangga. "Kenapa sih suaramu
kedengaran aneh sekali?"
"Ku-kupikir...," tapi aku tak bisa menyelesaikan kalimatku.
Aku menaiki tangga loteng.
"Jangan...!" teriak Hannah. "Jangan naik!"
Aku berhenti di anak tangga ketiga. "Kenapa?" tanyaku.
"Aku tidak berpakaian lengkap. Aku sedang mencoba-coba
kostum," ia menjelaskan. Dia tersenyum kepadaku. "Lagi pula aku
ingin memberimu kejutan. Ada baju-baju ajaib di sini. Dandanan
paman dan bibimu pasti aneh waktu mereka muda dulu."
Kepalanya menghilang dari pandangan. Aku bisa mendengar
keresek pakaian di atas. Aku turun lagi. "Hei... kau tahu di mana kameraku?" tanyaku.
"Sudah kucari ke seluruh rumah dan..."
"Oh, tidak!" Hannah mengeluh. Kepalanya muncul lagi. Kali ini
ia tidak tersenyum. "Ada apa?" tanyaku.
"Kameramu, Alex. Mungkinkah ketinggalan di hutan?"
Aku kaget. "Aku tak tahu. Kupikir..." Suaraku menghilang.
Perutku serasa ditonjok. "Waktu Sean dan Arjuna pergi, kamera itu masih kaupegang,"
kata Hannah. "Tapi waktu kita tiba di rumah, seingatku kau sudah
tidak membawanya." "Oh, wow!" Kugelengkan kepala. "Aku harus mengambilnya,
Hannah. Tak bisa kubiarkan kamera itu menginap semalaman di
hutan." ''Jangan...!'' teriaknya. "Alex, dengarlah aku. Kau tak boleh ke
sana." "Aku harus ke sana!" balasku.
"Tapi hutan tidak aman di malam hari," protesnya. "Berbahaya
ke sana." Aku berbalik dan berlari ke lorong. Kupakai jaketku.
Kutemukan senter di dasar lemari lorong. Kucoba beberapa kali.
Nyalanya terang dan mantap.
"Aku akan kembali sebentar lagi," aku berteriak kepada
Hannah. "Jangan..., Alex!" kudengar larangannya. "Percayalah padaku!
Jangan ke hutan malam ini! Tunggu aku berpakaian. Tunggu aku
dulu... oke?" Tetapi aku tak dapat membiarkan kameraku di udara terbuka
dan rusak. Kututup pintu di belakangku dan aku melangkah di bawah
cahaya bulan. 10 AKU berlari kecil menyusuri sisi rumah menuju ke halaman
belakang. Awan gelap menutupi bulan. Udara malam ternyata lebih
dingin dari yang kukira. Basah. Kutarik ritsleting jaketku.
Sambil lewat aku melirik rumah Mr. dan Mrs. Marling. Tak ada
yang bisa dilihat. Jendela belakang dibiarkan terbuka. Tetapi
rumahnya sendiri gelap gulita. Tak ada lampu yang menyala.
Rumput licin dan basah karena embun. Setetes air jatuh
menimpa dahiku. Hujan" Aku mengeluh dalam hati, teringat kameraku yang tergeletak di
hutan. Kamera itu mahal sekali. Mudah-mudahan saja bisa kutemukan
sebelum hujan turun. Hewan-hewan kecil berlarian dalam diam melewati kakiku.
Bukan. Bukan hewan. Daun-daun yang gugur. Daun-daun itu
bergerak di atas rerumputan gelap, terdorong angin.
Aku menundukkan kepalaku melewati cabang pohon dan
memasuki hutan. Pohon-pohon tua bergoyang dan berderik.
Suara UHU-UHU burung hantu yang tak putus-putusnya, di
kejauhan, membuatku teringat paman dan bibiku. Mereka ada di suatu
tempat di hutan ini, siap memotret binatang malam. Akankah aku
bertemu mereka" Kuikuti jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan.
Setetes air kembali jatuh menimpa kepalaku. Tetes-tetes lainnya mulai
berjatuhan ke tanah. Aku berhenti ketika pohon tua bungkuk sudah kelihatan. Pohon
yang sore tadi kufoto bersama Hannah. Kusorotkan senterku
sepanjang batangnya yang melengkung.
"Paling tidak aku tidak kesasar," kataku keras.
Aku menginjak dahan yang patah dan masuk lebih jauh ke
dalam hutan. Pohon-pohon mulai berdesis, daun-daunnya bergoyang
diterpa angin yang bertiup semakin kencang. Aku masih bisa
mendengar UHU-UHU burung hantu di kejauhan.
Cahaya senterku memudar, kemudian terang kembali.
Lingkaran cahayanya yang kecil menerangi jalanku di antara
pepohonan. "Itu dia!" Aku berteriak ketika cahaya senter mengenai kotak kameraku.
Rupanya tadi kuletakkan di atas tunggul pohon yang rata. Bagaimana
aku bisa melupakannya di sana"
Sambil sekali lagi berteriak kegirangan, kuambil kameraku.
Kupeluk erat-erat. Aku senang sekali kamera itu ketemu. Kuperiksa
hati-hati di bawah cahaya senter.
Kuseka beberapa tetes air yang ada di atasnya. Kemudian,
sambil menggendong kamera itu dengan satu tangan, aku berjalan
pulang. Hujan telah berhenti, paling tidak untuk sementara. Aku mulai
bersenandung gembira. Rasanya aku ingin meloncat-loncat saking
senangnya! Kamera itu sangat berarti bagiku, lebih dari apa pun. Aku
berjanji pada diriku, tak akan meninggalkannya lagi.
Aku berhenti bersenandung ketika mendengar suara marah.
Geraman binatang. Geram yang mengerikan.
Senterku terjatuh. Makhluk itu menggeram lagi.
Di manakah dia" Dari mana datangnya geraman"
Tepat di belakangku! 11 AKU menunduk memungut senterku. Lututku tiba-tiba terasa
lemas. Aku panik. Kudengar seperti bunyi dengkur yang keras. Lalu geraman lagi.
Kupaksa diriku bergerak. Aku harus pergi dari sini.
Serumpun semak lebat tiba-tiba ada di depanku. Sambil
memegang kamera erat-erat aku melesat ke balik semak itu. Dan
berjongkok. Setelah aman bersembunyi di balik semak, aku berusaha
mengatur napasku. Berusaha menenangkan jantungku yang berdetak
tak keruan. Pandanganku tak bisa menembus daun-daun semak yang lebat.
Tapi aku mendengar dengkur dan geraman binatang itu. Aku
membungkuk lebih rendah, berharap tidak kelihatan.
Berharap makhluk itu tidak dapat membauiku.
Dan kemudian kudengar entakan keras langkah berat di tanah.
Jeritan kemarahan, seperti teriakan serangan.
Terdengar embikan ketakutan. Nyaring dan kecil. Jerit ngeri...
yang tiba-tiba terputus. Diputus. Bersandar pada semak, dengan kaki lemas, seluruh tubuh
gemetar, kudengar bunyi perkelahian.
Sangat dekat. Sangat dekat, sampai kurasa kalau aku berdiri dan
mengulurkan tangan, aku bisa menyentuh si penyerang dan
korbannya. Begitu dekatnya, sampai aku bisa mendengar setiap geram, dan
setiap jerit ketakutan. Suara benda jatuh. Geraman. Sekali lagi jeritan kecil tak
berdaya. Suara robekan yang keras.
Kecap-kecap kunyahan. Moncong yang beradu. Kunyahan lagi,
lebih cepat. Sendawa binatang. Bunyi robekan lagi.
Kupejamkan mata, kucoba membayangkan apa yang terjadi
tepat di depanku. Kudengar bunyi benda jatuh, kemudian semua sunyi.
Desir angin terdengar lebih keras.
Desisan... kemudian sunyi.
Kubuka mataku. Aku bangkit dengan gemetar.
Dan kudengar langkah-langkah berat. Ranting-ranting dan
dedaunan kering berderak terinjak langkah-langkah berat.
Langkah-langkah itu mendekat dengan cepat. Menuju ke
tempatku. Menuju aku. Makhluk itu"mahkluk kelaparan itu" bergerak
mendatangiku. "Ohhhh," keluhan ketakutan lolos dari kerongkonganku.
Sambil memegang kotak kamera erat-erat, aku berbalik dari
semak rumpun itu. Dan berlari.
Kudengar geraman binatang di belakangku. Napas-napas berat.
Aku tidak menoleh. Aku masuk lebih jauh ke dalam hutan. Rasanya aku mendengar
gemericik air sungai kecil di sebelah kananku. Wolf Creek" Aku tidak
berhenti untuk mengeceknya.
Ada ranting menggores pipiku ketika aku melewatinya.
Rasanya perih sekali. Aku mengangkat sebelah tangan untuk melindungi wajah
sambil berlari. Aku berlari membabi buta. Berlari menembus kegelapan.
Di manakah senterku"
Oh, tidak. Senterku ketinggalan di semak.
Tak apa, toh tak berguna untukku. Aku berlari terlalu cepat, tak
bisa mengikuti cahaya senter.
Aku berlari menerjang gerumbulan alang-alang tinggi.
Gerumbulan alang-alang basah itu menutup kembali, seakan
menamparku. Kakiku terantuk karang yang separuh terpendam. Untung aku
tidak jatuh. Aku meloncati akar yang menonjol... dan terus berlari.
Selain napasku sendiri yang terengah, aku mencoba
mendengarkan kalau-kalau ada langkah-langkah berat di belakangku.
Kalau-kalau ada geraman seram.
Apakah makhluk itu masih mengejarku"
Kuraih batang pohon yang basah, dan aku berhenti. Kupeluk
batang pohon itu. Aku berusaha agar kakiku tidak melorot, berusaha
mengatur napasku. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Tak ada geraman. Tak ada dengkuran. Tak ada langkah-langkah
berat di tanah. Berkali-kali kutarik napas dalam-dalam. Paru-paruku serasa
terbakar. Mulutku serasa kering, aku tak dapat menelan.
Aku tidak apa-apa, kataku pada diri sendiri. Aku selamat...
untuk sementara. Kupandang kegelapan di depanku.
Dan makhluk itu memukulku dari belakang.
12 "UKH"!" Aku menjerit tertahan. Dan jatuh terjerembap.
Aku berputar untuk menghadapi penyerangku.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa. "Huh?" Teriakan kaget terlontar dari mulutku.
Aku merayap bangkit... dan melihat apa yang memukul
belakang kepalaku tadi. Sarang burung. Sarang burung yang sudah kering dan rusak.
Pasti terjatuh dari cabang di atasku. Mungkin karena tertiup angin.
"Oh, wow." Kubersihkan rambutku dari ranting-ranting.
Kemudian, sambil masih memeluk kameraku, aku memandang
berkeliling. Di manakah aku" Pepohonan di depanku miring, seakan saling bersandar. Ada
gundukan karang rendah di tepi gerumbul alang-alang tinggi.
Aku tersesat.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mendongak menatap langit. Tak ada bulan. Awan gelap
menutupi bulan dan bintang.
Bagaimana aku bisa menemukan jalan pulang"
Kusipitkan mata dalam kegelapan, mencoba mencari jalan
setapak. Mencari sesuatu yang mungkin kukenali.
Tak ada. Jika aku bisa menemukan sungai kecil, mungkin aku bisa
menemukan batang pohon tempat aku menemukan kameraku.
Tapi di arah mana sungai kecil tadi"
Aku sungguh bingung. Aku bergidik. Setetes air jatuh di bahu jaketku.
Aku terloncat saking kagetnya. Sarang burung tadi jadi
membuatku kagetan akan benda-benda yang jatuh dari langit!
Apa yang harus kulakukan"
Kepalaku mencoba mencari ide-ide.
Apakah sebaiknya aku berteriak minta tolong" Berteriak
memanggil paman dan bibiku" Mungkin kalau aku berteriak keraskeras, mereka bisa mendengarku.
Tapi, tidak. Jika aku berteriak, binatang itu"binatang yang
menggeram tadi"akan mendengarku lebih dulu.
Apakah dia masih mencariku" Apakah dia masih berada dekatdekat aku"
Kuputuskan sebaiknya aku tidak berteriak minta tolong.
Apa yang harus kulakukan" Apa"
Mulai berjalan ke satu arah" Dan terus maju apa pun yang
terjadi" Tidak. Aku ingat buku yang pernah kubaca, tentang seorang
laki-laki yang tersesat di gurun. Dia mencoba berjalan lurus ke depan.
Ternyata dia hanya berjalan melingkar-lingkar. Dia berjalan terus
berputar-putar, dan tidak menyadarinya, sampai dia melihat jejaknya
sendiri di pasir. Mungkin sebaiknya aku menunggu sampai matahari terbit. Aku
tak akan bisa menemukan jalan pulang dalam kegelapan. Kalau hari
sudah pagi, kesempatanku tentu makin besar.
Ngeri juga aku memikirkan harus bermalam di hutan. Tapi
menunggu sampai hari terang kelihatannya pilihan terbaik.
Tetapi tiba-tiba aku mendengar bunyi gemuruh. Dan hujan lebat
mulai mengguyur tubuhku. Hujan yang superdingin, disertai angin
kencang. Aku tak mungkin tinggal di sini.
Aku harus pulang. Aku berjalan terus, mencoba mencari jejakku. Aku menarik
napas lega ketika tiba di semak tempatku bersembunyi tadi.
Kutemukan senterku dan kugenggam erat-erat di tanganku yang
bebas. Kucoba menerka sebaiknya arah mana yang harus kuambil
selanjutnya. Sambil menunduk menghindari terpaan hujan, aku mulai
berjalan lagi. Kurang dari semenit kemudian kakiku terantuk sesuatu.
Sesuatu yang lunak. Aku jatuh. Aku menoleh untuk melihat apa yang membuatku
jatuh. Dan menjerit ngeri! 13 SENTER bergetar di tanganku. Cahayanya yang bergoyang
menyinari pemandangan mengerikan.
Tubuh seekor binatang. Tidak. Dua ekor.
Dua binatang. Binatang apakah itu" Aku tak tahu. Keduanya telah dikunyah
habis. Hancur tercabik-cabik. Aku teringat bunyi robekan tadi. Bunyi kedua binatang ini
dicabik-cabik. Perutku mual.
Binatang apakah yang melakukan ini"
Binatang apakah yang cukup kuat untuk mencabik-cabik
binatang lain" Rasa dingin menjalari punggungku.
Aku bangkit. Kupaksa diriku memandang ke arah lain.
Hujan turun semakin deras. Kumasukkan kamera ke balik
jaketku... dan aku mulai berlari lagi.
Aku harus meninggalkan pemandangan mengerikan ini.
Mampukah aku nanti melupakannya.
Angin melecutkan air hujan ke tubuhku. Rasanya aku berlari
menembus gelombang lautan. Tetapi aku tak bisa berhenti.
Ketakutanku membuatku terus berlari.
Makhluk mengerikan itu masih ada dalam hutan ini. Masih
menggeram dan mendengkur, di dekat-dekat sini.
Sepatu ketsku sudah kuyup. Berkali-kali aku terpeleset lumpur
yang licin. Aku tak tahu, berapa lama aku sudah berlari. Aku berhenti
ketika hampir tercebur ke sungai kecil. Air hujan yang turun deras,
membuat permukaannya memercik ke tepiannya yang rendah.
Aku mengikuti sungai itu, merasa sedikit lebih mantap. Sesaat
kemudian, kulihat jalan setapak sempit memotong pepohonan yang
tumbuh miring. Aku membelok ke jalan setapak itu. Apakah jalan ini akan
membawaku keluar dari hutan" Aku harus mencobanya.
Hujan sudah mulai mereda. Sepatuku terbenam di dalam
lumpur saat aku terus menapaki jalan setapak itu.
Segera aku tiba di pohon kakek tua bungkuk.
"Yes!" teriakku keras-keras. "Yes!" Kuacungkan tinjuku di atas
kepala dengan penuh kemenangan. Aku hampir tiba di rumah.
Aku berjalan lagi. Beberapa menit kemudian, aku sudah keluar
dari hutan, dan tiba di halaman belakang rumah paman dan bibiku.
Aku senang sekali! Ingin terbang rasanya!
Aku sudah tak sabar ingin masuk rumah. Melepas pakaianku
yang basah dan berganti pakaian kering.
Tapi aku berhenti di tengah halaman.
Dan melongo memandang lingkaran cahaya kuning senterku.
Memandang jejak aneh di rumput yang basah.
Jejak yang dalam itu menuju halaman rumah Mr. dan Mrs.
Marling. Aku membungkuk agar bisa melihatnya lebih jelas. Bukan jejak
manusia. Terlalu panjang dan lebar. Lagi pula bentuknya berbeda dari
jejak kaki atau sepatu manusia.
Jejak binatang. Dengan bantuan cahaya senter, kuikuti jejak di atas rumput itu.
Menyeberangi halaman belakang rumah Mr. dan Mrs. Marling
yang penuh ditumbuhi alang-alang.
Aku berhenti ketika melihat di mana jejak aneh itu berakhir.
Tepat di depan jendela kamar Mr. dan Mrs. Marling yang
terbuka. 14 SAAT aku masuk ke dapur untuk sarapan keesokan paginya,
Bibi Marta sedang menelepon. Dia berdiri membelakangiku. Tetapi
dia menoleh waktu aku mengucapkan selamat pagi kepada Paman,
dan menatapku dengan gusar.
"Ya, saya mengerti," katanya kepada si penelepon. "Itu tak akan
terjadi lagi." ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku duduk di sebelah Paman Colin. Ia menyeruput kopinya dari
cangkir putih, matanya menatap Bibi Marta.
"Tak akan terjadi lagi," bibiku mengulangi. Dahinya berkerut.
"Akan kuminta dia agar jangan dekat-dekat. Tidak. Dia tidak mematamatai Anda, Mr. Marling."
Ah, rupanya Bibi sedang bicara dengan orang itu.
Paman Colin menggeleng dengan sedih. "Aku sudah
memperingatkan agar kau jangan dekat-dekat rumah itu, Alex,"
katanya. "Repot kan, jadinya. Mereka menelepon kemari."
"Maaf," gumamku. "Tapi..."
Aku ingin menceritakan apa yang terjadi semalam, apa yang
kualami dan segala sesuatu yang kulihat.
Tetapi Paman menempelkan jari di bibirnya, mengisyaratkan
agar aku diam selama bibiku masih bertelepon.
"Tidak. Keponakanku tidak memotret rumah Anda, Mr.
Marling," Bibi Marta melanjutkan. Dia memutar matanya. "Saya
berjanji. Dia tidak akan mengganggu Anda lagi. Saya akan bicara
dengannya sekarang. Oke. Selamat pagi."
Bibi meletakkan gagang telepon dan memandang Paman Colin
seraya menghela napas. "Orang itu," gumamnya.
"Kita harus berhati-hati," jawab Paman Colin, matanya
menyipit menatapku. "Jangan sampai mereka marah."
"Tapi... tapi...," aku tergagap. "Aku melihat sesuatu..."
"Mereka melihatwu, Alex," bibiku menukas. "Mereka
melihatmu mengendap-endap mengitari rumah mereka larut malam
kemarin. Mereka marah sekali."
Bibi menuang kopi untuknya sendiri dan berjalan ke meja. Dia
duduk dan menyapu sejumput rambut dari dahinya.
"Apa yang kaulakukan di luar semalam?" pamanku bertanya.
"Aku minta maaf. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kameraku
ketinggalan di hutan," aku menjelaskan. "Aku harus keluar dan
mengambilnya. Tak mungkin kubiarkan semalaman di luar... apalagi
semalam kan hujan." "Tapi kau kan tak perlu dekat-dekat ke rumah Mr. dan Mrs.
Marling," Bibi. Marta menuduh.
"Aku... kudengar lolong binatang dari dalam rumah mereka!"
kataku akhirnya. "Dan aku melihat jejak aneh memanjat jendela kamar
di samping." Paman Colin mengangguk kalem. Diseruputnya kopinya
dengan tenang. "Jejak itu mungkin jejak anjing mereka," katanya,
matanya mengerling Bibi Marta.
"Anjing?" aku berteriak.
Keduanya mengangguk. "Mereka punya dua anjing besar,
anjing gembala," bibiku menjelaskan. "Galak."
"Sebesar serigala," Paman Colin menambahkan,
menggelengkan kepalanya. Dia mengambil roti dan mengolesinya
dengan mentega. Aku menghela napas. Aku merasa lebih tenang.
Dua anjing gembala. Pantas ada lolongan dan jejak kaki aneh di
rumput basah. "Kau sudah siap berangkat ke sekolah?" tanya Bibi Marta.
"Hannah akan segera datang menjemputmu."
"Aku hampir siap," jawabku, lalu minum segelas air jeruk.
"Waktu aku di hutan semalam..." aku mulai bercerita.
Keduanya menatapku. "Aku melihat ada dua binatang yang terkoyak-koyak.
Maksudku, terbunuh."
Paman Colin mengangguk. "Hutan memang berbahaya di
malam hari," katanya pelan.
"Kami sungguh tak ingin kau ke hutan malam hari, Alex," kata
Bibi Marta. Ia mengambil sehelai benang dari bahu T-shirt-ku.
Kemudian dengan lembut disisirnya rambutku dengan tangannya.
"Berjanjilah kau tidak akan ke sana lagi."
"Aku berjanji," gumamku.
"Dan berjanjilah kau tidak akan dekat-dekat Mr. dan Mrs.
Marling," pamanku menambahkan.
Sebelum aku sempat menjawab, bel pintu berdering. Hannah
masuk ke dapur. Ransel di punggungnya kelihatan penuh sekali dan
berat. "Siap?" tanyanya.
Aku mengangguk dan mendorong kursiku ke belakang. "Yah,
kurasa aku sudah siap," kataku. "Aneh rasanya, pergi ke sekolah orang
lain." "Kau akan menyukai guruku, Mr. Shein," Hannah menimpali.
"Orangnya sangat menarik. Baik, lagi."
Kuraih ransel dan jaketku. Kami mengucapkan selamat tinggal
kepada paman dan bibiku dan keluar lewat pintu depan.
Aku melirik rumah Mr. dan Mrs. Marling saat kami hampir tiba
di jalan. Jendela kamar tidur di samping sudah tertutup. Rumahnya
gelap, seperti biasanya. "Kameramu ketemu?" tanya Hannah.
Aku mengangguk. "Ya. Tapi tidak mudah." Kuceritakan
pengalamanku yang mengerikan.
Hannah berdecak. "Kan sudah kuperingatkan, Alex," katanya.
"Aku sih tidak bakalan pergi ke hutan di malam hari."
Bus sekolah berwarna kuning melewati kami. Beberapa anak
berteriak dari jendela memanggil Hannah. Hannah melambai kepada
mereka. Matahari pagi masih rendah di kaki langit. Embun keperakan
menyelimuti rerumputan. Udara segar dan dingin.
"Satu blok lagi kita sampai," kata Hannah. "Kau Nervous?"
Aku tidak menjawab. Aku masih memikirkan Mr. dan Mrs.
Marling. Kuceritakan pada Hannah tentang lolongan yang kudengar
dari dalam rumah mereka. "Paman Colin bilang mereka punya dua
anjing gembala. Sangat besar dan galak."
"Tidak," tukas Hannah tajam.
Aku berhenti. "Apa maksudmu?" seruku.
"Mr. dan Mrs. Marling tidak punya anjing," katanya. "Aku
sudah tinggal di sini sama lamanya dengan mereka, dan aku belum
pernah melihat anjing."
"Kalau begitu kenapa pamanku bilang mereka punya anjing?"
tuntutku. "Supaya kau tidak takut," jawab Hannah.
"Aku... aku tidak mengerti," kataku tergagap. "Kalau Mr. dan
Mrs. Marling tidak punya anjing, apa yang meninggalkan jejak-jejak
aneh di depan jendela mereka?"
Hannah menggeleng. Mata hijaunya tajam menatapku. "Alex,
kau tidak mengerti?" serunya. "Kau belum bisa menebak?"
"Menebak apa?" tanyaku.
"Mr. dan Mrs. Marling adalah manusia serigala!" Hannah
menjelaskan. 15 KENAPA semua orang di Wolf Creek terobsesi dengan
manusia serigala" Aku jadi bertanya-tanya sendiri.
Kutertawakan Hannah dan kugoda sepanjang sisa perjalanan ke
sekolah. Maksudku, bagaimana bisa di zaman ini orang masih percaya
bahwa manusia serigala itu ada"
"Kau ini cuma mencoba menakut-nakutiku," kataku. "Tapi aku
tak gampang ditakuti... ingat" Aku melihat sendiri salah satu anjing
gembala itu. Melolong di balik jendela."
Hannah mengangkat bahu. "Terserah kalau kau tidak percaya,"
gumamnya. "Jangan coba-coba menakut-nakutiku dengan manusia serigala
lagi," kataku. Tapi aku mendapat kejutan ketika kami tiba di sekolah. Bahkan
Mr. Shein, guru kelas enam, ingin membicarakan manusia serigala
sepanjang pagi itu! Usianya kira-kira empat puluhan. Orangnya pendek, gemuk,
rambutnya mulai menipis, dan kacamata tebal berbingkai hitam
bertengger di atas wajahnya yang kemerahan. Mr. Shein memakai
sweter kuning, jadi ia kelihatan seperti buah pir masak.
Tapi Hannah benar. Ia sangat baik. Sangat ramah. Ia
menyambutku dengan hangat dan memperkenalkan aku pada anakanak kelas enam lainnya, membuatku merasa kerasan.
Aku diberinya tempat duduk di belakang dekat pintu. Hannah
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk di deretan paling depan.
Kulihat Sean dan Arjuna dekat jendela di seberang ruangan.
Mereka mengangguk, tapi tidak bilang apa-apa.
Mereka berdua kelihatan kumal dan capek. Pakaian mereka
kusut sekali. Rambut mereka acak-acakan. Kelihatannya mereka tidak
tidur semalaman, pikirku.
Pikiran yang aneh.... Setelah mengabsen dan membacakan beberapa pengumuman,
Mr. Shein duduk di tepi mejanya. Matanya mengelilingi ruangan. Ia
menunggu kami tenang. "Apa ada yang tahu tentang ilmu lycantrophy?" tanyanya. Di
balik kacamatanya, matanya berkilat.
Aku belum pernah mendengar kata itu. Maka betapa herannya
aku melihat beberapa anak mengangkat tangan. "Ya, kau, Arjuna,"
kata Mr. Shein. "Itu ilmu yang mempelajari tentang manusia yang berubah
menjadi serigala," kata Arjuna.
"Manusia serigala!" seru Sean.
Mr. Shein mengangguk. "Ya, manusia serigala," ia mengulangi.
"Itulah yang dipelajari lycantrophy." Ia berdehem. "Karena akhir
minggu ini sudah Halloween, kurasa ada baiknya kita membahas
lycantrophy." "Bulan akan purnama penuh pada malam Halloween tahun ini!"
kata seorang anak laki-laki bertubuh atletis.
"Ya, betul," Mr. Shein sepakat. "Banyak orang percaya,
dibutuhkan bulan purnama untuk bisa menghidupkan manusia
serigala... tapi pendapat ini salah. Meskipun kekuatan manusia
serigala memang bertambah saat bulan purnama penuh."
Sambil menyilangkan kaki, Mr. Shein duduk santai dan mulai
bicara. Ia menjelaskan bagaimana legenda tentang manusia serigala
ini mulai muncul lebih dari dua ratus tahun lalu di Eropa. Seorang pria
normal yang digigit serigala, berubah menjadi serigala ketika cahaya
bulan purnama menimpa dirinya.
"Itu kutukan yang tak bisa dipunahkan," kata Mr. Shein,
suaranya rendah dan mantap. Berusaha agar kedengarannya seram.
"Tak peduli betapa besar pun usahanya untuk hidup sebagai manusia
normal, orang yang sudah kena kutukan ini akan berubah menjadi
serigala kalau ia kena cahaya bulan."
"Perempuan juga?" tanya Hannah.
Beberapa anak terkikik. "Ya, perempuan juga," jawab Mr. Shein dengan serius.
"Manusia serigala ini harus menggeram dan melolong," Mr.
Shein melanjutkan. "Dan berkeliaran di hutan mencari mangsa."
"Cool!" gumam anak laki-laki berambut merah yang duduk di
depanku. Semua anak tertawa. "Saat pagi tiba, manusia serigala harus mencopot kulit serigala
mereka," Mr. Shein menjelaskan. "Mereka kembali berbentuk
manusia. Mereka harus menyembunyikan kulit serigala itu sampai
malam berikutnya. Mereka harus menyembunyikannya di tempat yang
aman. Sebab jika ada yang mengambil kulit itu dan membakarnya...
manusia serigala itu akan mati."
"Cool!" si rambut merah berkata sekali lagi.
Anak-anak kembali tertawa. Lalu mulai ramai berceloteh.
Mr. Shein meminta anak-anak tenang. Cukup lama juga, baru
semua diam. Mr. Shein meloncat turun dari meja, menarik ke bawah
sweter kuningnya, lalu mondar-mandir di depan papan tulis.
Kembang Karang Hawu 1 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Tengkorak Kaki Satu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama