Goosebumps - Kutukan Ayam Bagian 2
kamar mandi untuk mencari krem pelembut bibir.
***************************
Mom dan Dad baru pulang larut malam. Cole dan aku
sebenarnya berusaha menunggu, karena ingin bicara dengan mereka.
Tapi akhirnya kami tidak tahan lagi, dan pergi tidur.
Hari Minggunya aku bangun siang. Matahari sudah tinggi di
langit ketika aku membuka mata. Sinarnya yang jingga masuk melalui
jendela kamarku yang terbuka. Angin lembut membelai-belai buluku.
Hah" Bulu" "Astaga!" Aku langsung duduk tegak sambil mengerang.
Tengkukku gatal sekali. Lenganku juga.
Aku mengedip-ngedipkan mata untuk meyakinkan diri bahwa
aku tidak bermimpi. Lalu aku menatap bulu-bulu putih yang tumbuh
di sepanjang lenganku. Aku membuka mulut untuk berteriak. Tapi yang keluar cuma
"Cluck Cluck Cluck." Persis suara ayam betina.
Aku melompat turun dari tempat tidur dan bergegas ke cermin
di meja riasku. Aku menarik leher baju tidurku, dan memekik
tertahan. Pundak dan lenganku penuh bulu lembut berwarna putih dan
cokelat. Aku mengusapkan tangan ke bibir. Ternyata bibirku telah
semakin keras. Sekeras tulang.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu bergerak di cermin. Serta-merta
aku berbalik dan melihat Cole berdiri di ambang pintu kamarku.
"Crystal...," ujarnya. Ia masuk dengan terhuyung-huyung.
Pundak dan lehernya penuh bulu putih. Rupanya bulu-bulu yang
sempat kucabut kemarin tumbuh kembali.
"Coba lihat aku!" aku menjerit.
Aku berpaling ke cermin dan mulai mencabut buluku. Setiap
kali ada yang terlepas, aku meringis kesakitan. Tapi aku tidak peduli.
Aku ingin segera bebas! Dalam waktu singkat aku telah selesai mencabut semuanya.
Bulu-bulu itu kukumpulkan dan kubuang ke keranjang sampah.
Kemudian aku membantu Cole mencabut bulunya.
Bibir Cole pun telah mengeras. Dan kukunya bertambah
panjang. Tangannya kini mirip cakar.
"Vanessa," ia bergumam.
Aku menatapnya sambil membelalakkan mata. Aku langsung
mengerti apa maksud ucapannya.
Soalnya aku sendiri juga punya pikiran sama. Aku terus teringat
bagaimana kami menjatuhkan barang belanjaan Vanessa.
"Ya," aku membenarkan. "Tadinya aku enggan mengakuinya.
Aku tidak mau percaya. Tapi ini pasti ulah Vanessa. Dia BLUUUCCK
BLUCCCK mengubah kita jadi ayam."
"Ayam ayam," Cole berkotek.
Aku mendengar suara benda-benda di dapur di bawah. Mom
dan Dad! "Mereka harus BLUCCCK diberitahu!" seruku. "Kita, harus
menceritakan semuanya!"
Cole dan aku langsung bergegas ke pintu. Kami keluar kamar
dengan saling mendesak. Sesudahnya kami berlari berdampingan
menyusuri koridor. Aku mendengar suara Mom dari dapur.
Cole dan aku memanggil-manggilnya ketika kami berlari
menuruni tangga. "Mom"kami butuh BLUUUCCK bantuan!" aku memekik.
"Soal Vanessa. Dia benar-benar BLUUCCCK CLUUCK punya
kekuatan gaib!" "Dia mengubah kami jadi ayam!" seru Cole. "Badan kami mulai
penuh bulu!" "Betul!" aku menimpali. "Kami butuh bantuan, Mom. Cole dan
aku"BLUUUCK"kami berubah jadi ayam."
"Wah, kebetulan," Mom menyahut dengan tenang. "Kita perlu
dua ekor ayam lagi untuk pesta barbecue nanti sore."
15 "HAH?" "Kita mau dipanggang?"
Cole dan aku sama-sama menahan napas. Mom pasti bercanda.
Begitu kami masuk ke dapur, aku menyadari Mom tidak bicara
dengan kami. Ia sedang menelepon. Ia membelakangi kami sambil
mengetuk-ngetuk meja dengan jari.
Aku langsung memandang berkeliling. Aku melihat panci dan
mangkuk tergeletak di mana-mana, bercampur-baur dengan daun
selada dan tomat, sekantung kentang, botol-botol saus barbecue, dan
setumpuk potongan ayam di baki di samping tempat cuci piring.
Berantakannya minta ampun!
"Mom"ada... ada yang CLUUUCK BLUUUCK perlu kami
ceritakan!" aku tergagap-gagap.
Mom membalik sambil terus bicara, dan mengangkat tangan
untuk menyuruhku diam. Ia mengucapkan beberapa patah kata lagi,
kemudian meletakkan telepon. "Kalian bangun siang sekali," katanya,
lalu menatap jam dinding sambil mengerutkan kening. "Sekarang
sudah hampir tengah hari. Satu atau dua jam lagi tamu-tamu kita
sudah datang." "Mom...," kataku.
Ia menyeka kening dengan punggung tangan, lalu pergi ke
tempat cuci piring. "Kalian lupa bahwa kita mengadakan pesta
barbecue nanti sore" Kita mengundang dua puluh orang, dan..." Ia
menunjuk potongan-potongan ayam yang menumpuk di hadapannya.
Perutku serasa diaduk-aduk sewaktu menatap tumpukan itu.
"Cluuuucck bluuuck," Cole bergumam.
Aku menghampiri Mom di tempat cuci piring. "Cole dan aku
perlu bicara," kataku sambil meraih lengannya. "Cole dan aku"kami
punya masalah. Masalah serius."
"Soal latihan paduan suara tadi pagi?" Mom menyela. Ia
mengambil kuas kecil dan mulai mengoles potongan-potongan ayam
dengan saus barbecue. Potongan yang sudah selesai dioles,
dipindahkannya ke mangkuk besar.
"Bukan, Mom. Aku..."
"Mrs. Mellon baru saja menelepon," Mom melanjutkan. "Ia
menanyakan kalian. Dia pikir terjadi sesuatu dengan kalian."
"Memang,'' ujarku serius.
"Dia begitu baik. Nanti sore dia akan datang membawa dua
ayam panggang. Katanya untuk orang-orang yang tidak suka ayam
panggang berbumbu pedas seperti yang biasa kita buat."
Ia berpaling padaku. "Crystal, kau bisa membantu memotong
cabenya." "Mom"tolong jangan bicara soal ayam!" seru Cole.
"Ada sesuatu yang perlu kami ceritakan," kataku.
"Dad sedang menyiapkan panggangan di belakang," ujar Mom
sambil mengoleskan saus merah ke sepotong sayap ayam. "Oh! Es!
Kita masih harus beli es!"
"Mom"Cole dan aku berubah jadi ayam," kataku dengan nada
mendesak. Mom cuma tertawa. "Es dan piring kertas," ia bergumam.
"Jangan pakai piring porselen. Nanti terlalu repot."
"Aku tidak bercanda!" Langsung saja aku menarik tangannya,
sehingga kuasnya jatuh ke dalam mangkuk.
"Crystal"aku tidak punya waktu," Mom mendesah. Ia meniup
rambut yang jatuh ke keningnya, lalu memungut kuas yang jatuh.
"Sebaiknya kau dan Cole sarapan dulu"atau makan siang sekalian.
Setelah itu kalian bisa membantu Dad di luar."
"BLUUUUCK!" seru Cole.
"Dengarkan aku, Mom," aku memohon. "Mom tidak dengar
Cole berkotek-kotek?"
"Ya, bagus sekali," Mom bergumam sambil menaruh sepotong
paha ayam ke dalam mangkuk.
"Atau coba lihat bibirku!" aku mendesak. "Ini semua gara-gara
Vanessa. Kami bertabrakan dengan Vanessa, dan barang belanjaannya
jatuh. Dan sekarang dia mengubah kami CLUUUCK jadi ayam."
"Sudahlah," Mom mendesah. "Kalian tidak lihat Mom lagi
sibuk" Mom tidak punya waktu untuk..."
Ia terdiam ketika melihat bibirku. "Wah, bibirmu kering sekali."
"Bibirku bukannya kering!" seruku sengit. "Bibirku berubah
jadi paruh!" "CLUUUCK BLUUUCK!" Cole menambahkan.
Mom mengangkat tangan. "Oleskan krem ke bibirmu, Crystal.
Dan jangan ganggu Mom di dapur, oke" Mom tidak punya waktu
untuk bercanda. Kalau kalian tidak mau membantu, paling tidak
jangan mengganggu." Aku berpaling pada Cole. Ia menggelengkan kepala dengan
lesu. Kami keluar dari dapur. "Mudah-mudah Dad mau
mendengarkan kita," kata Cole pelan.
"Rasanya sih tidak," sahutku. Bibirku bergemeretak. "Dad sama
sibuknya dengan Mom."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Cole. Ia
menggaruk-garuk tengkuk. Jangan-jangan bulu di tengkuknya sudah
mulai tumbuh lagi" Tiba-tiba aku mendapat ide. "Anthony!" aku memekik.
"Hah" Ada apa dengan Anthony?" tanya Cole.
"Anthony kan bersama kita waktu itu!" aku menjelaskan. "Aku
yakin dia mengalami hal yang sama dengan kita. Dia pasti juga sedang
berubah jadi ayam." Cole mengusap-usap dagu. "Cluuuck. Bluuuck. Yeah. Bisa
jadi." "Jadi kalau kita bertiga bicara dengan Mom dan Dad,
barangkali mereka mau percaya!" aku berseru.
"Tak ada salahnya dicoba," ujar Cole. "Ayo, kita ke rumah
Anthony." Cole dan aku masing-masing meraih segelas jus jeruk, dan
sepotong Pop-Tart, yang kami lahap mentah-mentah.
Lalu kami keluar lewat pintu depan dan bergegas ke rumah
Anthony. Kami sudah hampir sampai ketika kami bertemu Vanessa.
16 UNTUNG saja kali ini kami tidak bertabrakan lagi.
Aku melihatnya lebih dulu. Ia tengah berjalan cepat ke arah
kami, tapi di seberang jalan. Walaupun udara panas, ia berpakaian
serbahitam. Pundaknya terbungkus syal hitam dari katun. Syal itu
berkibar-kibar ketika ia menyusuri trotoar dengan langkah-langkah
panjang. "Ya ampun"dia lagi!" Cole berbisik sambil menggamit
lenganku. Tanpa sadar kami berhenti di tengah trotoar dan memandang
heran ketika Vanessa mendekat.
Apakah ia akan mengatakan sesuatu kepada kami"
Cukupkah keberanianku untuk mengatakan sesuatu kepadanya"
Jantungku berdegup kencang. Saking gugupnya, bibirku sampai
bergemeretak. Kepala Cole mulai bergerak naik-turun. Persis ayam. Ia
berkotek ketakutan. Kasihan adikku. Melihatnya seperti itu, aku langsung lupa bahwa aku sendiri
juga ngeri. "Vanessa...!" aku memanggil.
Tapi ia terus saja berjalan. Syalnya berkibar-kibar.
"Vanessa..!" aku memanggil sekali lagi.
Wajahnya berkerut-kerut. Tampaknya ia sedang berkonsentrasi
penuh. Kurasa ia tidak melihat Cole dan aku.
Akhirnya ia berhenti. Tapi ia memandang ke seberang jalan
seakan-akan tidak mengenali kami.
"BLUUUCK BLUUUCK!" adikku berkotek dengan gusar.
Vanessa langsung tersenyum. Ia tertawa, dan matanya berbinarbinar.
Ia menyibakkan rambutnya yang hitam lurus. "Bluck bluck
juga!" katanya. "Ayam ayam!" Kemudian ia berpaling dan kembali
menyusuri trotoar. "Bluuuck"tunggu!" Cole memanggil. Kepalanya bergerak
naik-turun. "Kau harus menolong kami!" seruku.
Vanessa mempercepat langkahnya. Rambutnya yang hitam
melambai-lambai. Ia tidak menoleh ke belakang.
********************* Anthony berada di pekarangan depan ketika kami sampai di
rumahnya. Ia sedang asyik mengayun-ayunkan tongkat golf milik
ayahnya. Di tengah pekarangan ada lubang yang baru digali.
Kami menyaksikannya memukul bola dari jarak beberapa
meter. Bola menggelinding di rumput, lalu masuk ke lubang. Anthony
langsung mengacungkan jempol kepada kami. "Hebat, ya" Aku
latihan terus, nih."
"Yeah, hebat," aku bergumam. Perasaanku masih ketar-ketir
karena pertemuan dengan Vanessa tadi.
"Bluuuck buuuck," ujar Cole.
Anthony menatapnya sambil memicingkan mata. "Ada apa
kalian kemari" Orangtuaku ke pesta barbecue di rumah kalian.
Sebenarnya aku, mau ikut, tapi aku ada latihan sepak bola nanti."
Anthony mengeluarkan bola dari lubang, lalu mundur beberapa
langkah. Ia meletakkannya di rumput, kemudian berdiri membungkuk,
dan bersiap-siap memukul lagi.
"Anthony, apakah kau mengalami kejadian aneh?" aku
langsung bertanya. "Yeah," Cole menimpali. "Maksudnya, dalam dua hari terakhir"
Sesuatu yang sangat aneh?"
Anthony mengayunkan tongkat golf. Aku mendengar bunyi tok
yang mantap ketika tongkatnya mengenai bola. Bola itu
menggelinding kencang, dan berhenti beberapa senti di depan lubang.
Anthony menoleh ke arah kami. "Yeah," katanya. "Memang ada
yang aneh. Kok kalian tahu?"
"Sebab BLUUUCK kami juga mengalami hal yang sama,"
sahutku. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Masa, sih?"
Cole dan aku mengangguk. Anthony meringis. Ia pura-pura sibuk mengamati tongkat
golfnya. "Jadi, kalian juga mendadak jago main golf?" ia bertanya.
Sekarang giliran kami terheran-heran. "Main golf" Apa
hubungannya?" seruku.
"Justru itu anehnya," kata Anthony. "Minggu lalu aku hampir
selalu meleset kalau memukul bola. Sumpah! Main golf mini pun aku
tidak bisa." "Memangnya kenapa?" tanya Cole.
"Tapi sekarang aku mendadak jago," Anthony menjelaskan. Ia
memutar tongkat golfnya. "Tiba-tiba aku bisa memasukkan bola dari
jarak lumayan jauh. Aneh, kan?"
"Tapi"tapi"tapi...," aku tergagap-gagap.
"Bagaimana dengan bulu-bulu yang tumbuh di badanmu?"
tanya Cole. "Dan bagaimana dengan bibirmu?"
Anthony tercengang. Kemudian ia berpaling padaku. "Ada apa
sih dengan Cole" Apakah dia mendadak sinting?"
"Kau juga berkotek-kotek terus?" Cole kembali bertanya.
Anthony tertawa. Tapi segera berhenti. "Tunggu dulu, ini
Goosebumps - Kutukan Ayam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semacam lelucon, ya?"
Aku menarik adikku mendekat. "Dia tidak mengerti apa yang
kita maksud," bisikku. "Aku tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya dia
tidak berubah." Kepala Cole bergerak naik-turun. Ia berkotek pelan.
"Ayo, kita pergi saja," ujarku. "Anthony tidak bisa membantu
kita." "Aku belum mengerti apanya yang lucu," Anthony berkata
sekali lagi. "Sampai BLUUUCK ketemu!" seruku padanya. Aku menarik
Cole ke jalan. "Kami harus membantu Mom dan Dad di rumah."
"Mungkin aku akan menyusul setelah latihan sepak bola," seru
Anthony. "Ayamnya jangan dihabiskan, ya!"
"Yeah, beres," aku bergumam.
***************************
Para tamu sudah berdatangan. Aku mengenali sedan Honda
merah milik Bibi Norma yang diparkir di depan garasi. Dan aku juga
melihat keluarga Walker, tetangga kami. Mereka sedang menuju ke
pekarangan belakang. Aku menyusup masuk lewat pintu depan, dan langsung naik ke
kamarku. Sebenarnya aku ingin memberitahu Mom apa yang sedang
terjadi dengan Cole dan aku. Tapi aku tahu Mom terlalu sibuk. Ia
takkan mendengarkanku. Pintu kamar kututup rapat-rapat. Aku tidak ingin orang lain
melihatku sebelum aku sempat memeriksa keadaanku.
Dan ternyata memang ada bulu-bulu putih dan cokelat yang
menyembul dari tengkuk dan pundakku.
Bulu-bulu itu baru muncul dari kulit, dan karena itu sulit sekali
dicabut. Aku terpaksa menggunakan pinset.
Cabut. Cabut. Cabut.... Aduh. Perihnya! Aku mendengar suara-suara dari pekarangan belakang. Aku
juga melihat asap dari tempat pemanggangan melalui jendela
kamarku. Uh. Dari dulu aku sebenarnya suka aroma ayam panggang. Tapi
sekarang aku malah mual. Perutku serasa diaduk-aduk. Aku hampir
muntah. Aku menutup mulut"atau lebih tepat, paruhku!"dengan
sebelah tangan, dan menunggu sampai serangan mual itu berlalu.
Lebih baik aku tetap di kamar saja, kataku dalam hati. Tidak
usah ke bawah, deh. Tapi kemudian aku mendengar Mom memanggilku dari dapur.
"Sebentar!" sahutku. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa
turun. Aku menyilangkan jari kedua tanganku. Jariku mendadak kaku
dan kasar. Kuku-ku juga jadi panjang dan runcing. Moga-moga tidak
ada yang memperhatikan perubahanku, aku berdoa dalam hati.
Perlalan-lahan aku menuruni tangga dan menuju ke dapur.
Mom telah menyanggul rambutnya. Ia mengenakan celemek panjang
putih yang sudah berlepotan saus barbecue.
Ia sedang mencampurkan bahan-bahan salad dalam mangkuk
besar. Tapi ia segera berhenti ketika melihatku. "Crystal, ke mana saja
kau" Tamu-tamu kita sudah berdatangan. Tolong layani mereka di
luar sementara Mom menyelesaikan urusan di dapur."
"Oke, Mom. Beres," sahutku. Aku berkotek perlahan.
"Sekalian lihat apakah esnya masih cukup," Mom memberi
perintah. "Dan tanya Dad apakah Dad perlu arang lagi. Kita..."
Tiba-tiba ia terdiam, dan memekik tertahan.
Ia memandang ke luar jendela. "Astaga, Crystal"coba lihat apa
yang sedang dilakukan adikmu di luar."
Aku menghampiri jendela dan memandang ke luar. "Oh, ya
ampun!" aku berseru.
Aku nyaris tidak percaya apa yang kulihat.
17 RUPANYA Cole telah masuk ke daerah berpagar yang
merupakan kurungan ayam. Ia merangkak kian kemari. Belasan ayam
berkumpul di sekelilingnya.
"Sedang apa dia?" tanya Mom sambil menempelkan tangan ke
pipi. Aku tahu apa yang tengah dilakukannya. Tapi aku juga tahu ini
bukan waktu yang tepat untuk menjelaskannya pada Mom. Habis, ada
dua puluh tamu yang sedang menunggu hidangan.
Aku memandang ke luar jendela. Cole sedang mematuk biji-biji
yang berserakan di tanah.
Aku melihatnya menunduk-nundukkan kepala. Aku melihatnya
membuka mulut dan menjulur-julurkan lidah. Dengan rakus ia
melahap makanan ayam. Kepalanya bergerak naik-turun ketika ia
menelannya. "Kenapa adikmu harus bertingkah seperti itu, padahal kita lagi
ada tamu?" Mom bertanya sambil geleng-geleng kepala. "Apakah dia
pikir itu lucu?" "Entahlah, Mom," sahutku. Cole kembali menundukkan kepala
dan melahap biji-biji yang berserakan di antara kerikil.
Beberapa orang menontonnya sambil tertawa. Tapi ada juga
yang mengerutkan kening karena heran.
"Ayo, keluarlah dan suruh dia berhenti!" Mom memerintahkan
sambil berpaling ke mangkuk salad. "Tarik dia dari kurungan ayam,
dan suruh dia masuk rumah, Crystal. Dia harus menjelaskan
semuanya." "Oke, Mom," aku bergumam.
Sejenak aku memperhatikan Cole mematuk biji-bijian.
Kemudian aku keluar dari dapur dan menuju ke kurungan ayam.
"Cole?" aku memanggil pelan. Aku berhenti di depan pagar
kawat. "Cluuuck Cluuuck Cole?"
Aku memang bermaksud mengajaknya ke dalam rumah untuk
menemui Mom. Aku memang bermaksud menyeretnya keluar dari kurungan
ayam. Tapi biji-biji itu kelihatan begitu lezat!
Aku mendorong beberapa ekor ayam ke samping. Kemudian
aku berlutut, menundukkan kepala"dan mulai mencari biji-bijian
dengan penuh semangat. *************************
Keesokan hari di sekolah, aku tidak memperhatikan sepatah
kata pun yang diucapkan orang lain, termasuk para guru. Aku terus
memikirkan acara barbecue kemarin.
Tentu saja semua tamu menyangka Cole dan aku cuma
bercanda. Mereka tidak mengerti apa lucunya. Tapi mereka yakin
semuanya hanya lelucon. Mom dan Dad benar-benar marah. Mereka sebenarnya
membutuhkan bantuan kami. Tapi Cole dan aku terlalu sibuk
mematuk biji-bijian. Mom kemudian semakin jengkel ketika Cole dan aku tidak mau
makan ayam panggang yang dibuatnya. "Ini kan masakan kegemaran
kalian!" ia berteriak.
Sekarang tidak lagi, pikirku sedih.
Cuma membayangkan makan ayam saja sudah membuatku
mual. Keesokan pagi, aku terpaksa minta tolong Cole untuk mencabut
bulu-bulu di tengkuk dan pundakku. Di punggungku juga ada
beberapa bulu putih yang tidak bisa kuraih.
Kami membutuhkan waktu dua puluh menit untuk mencabut
semua bulu yang tumbuh dalam semalam. Semuanya kami
sembunyikan di laci lemari pakaianku. Kami tidak ingin Mom atau
Dad menemukan bulu itu, sebelum kami sempat menjelaskan apa
yang terjadi. Waktu terasa berjalan begitu lambat selama aku berada di
sekolah. Tengkuk dan punggungku gatal sekali. Aku hanya bisa
berdoa agar bulu-bulu itu tidak tumbuh sebelum aku pulang.
Aku juga berdoa agar tak ada guru yang menyuruhku ke depan,
kelas. Aku semakin sering berkotek-kotek. Semakin lama aku semakin
sulit bicara. Seusai sekolah, tim basketku bertanding melawan tim basket
sekolah lain. Sepanjang minggu aku sudah tak sabar menunggu
pertandingan itu. Tapi sekarang aku hanya ingin pulang sebelum anakanak lain mendengarku berkotek-kotek, atau melihatku mencari bijibijian di lapangan bermain.
Semua buku pelajaran kumasukkan ke dalam locker. Dan aku
sudah menyelinap keluar lewat pintu depan"ketika aku bertemu
pelatihku, Mr. Clay. "Crystal, saya sudah mencarimu ke mana-mana!"
ia berseru. "Cluck?" aku menyahut.
"Hilary lagi flu berat. Karena itu kau akan menggantikannya
sebagai pemain utama," ia berkata padaku.
"Cluck...," aku hendak menjawab.
Tapi Mr. Clay tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan
apa-apa lagi. Ia mencengkeram pundakku, membalikkan badanku, dan
menggiringku ke ruang ganti. "Saya yakin kau akan bermain sebaikbaiknya. Ayo, ganti baju dulu."
"Cluck!" ujarku. Dalam keadaan biasa, aku pasti senang sekali!
Aku dipasang sebagai pemain utama. Inilah yang telah kuimpikan
sepanjang tahun! Ketika aku mengenakan seragam, semua pemain lain
menghampiriku. Mereka mengajakku ber-high five untuk memberi
semangat padaku. Mungkin aku sanggup, kataku dalam hati. Mungkin aku bisa
bermain baik. Mungkin aku bisa menunjukkan betapa hebatnya aku.
Tapi begitu pertandingan dimulai, aku langsung sadar aku
berada dalam kesulitan. Kesulitan besar. 18 TIM kami berhasil merebut bola pertama. Aku berbalik dan
berlari menuju ring lawan.
Aku berlari sambil membungkuk ke depan. Kepalaku bergerak
maju-mundur. Maju-mundur. Maju-mundur.
Mulutku berkotek-kotek. Aku berusaha menegakkan badan. Tapi tidak berhasil.
Pemain tengah kami melepaskan lemparan. Meleset. Kami
semua segera berlari ke ring di ujung seberang.
"Aduuuh!" aku mengerang.
Ternyata aku tidak bisa berlari tanpa kepalaku bergerak majumundur.
Aku melirik ke pinggir lapangan"dan melihat Mr.Clay melotot
ke arahku. "Crystal"sedang apa kau?" ia berseru.
Beberapa anak tertawa melihat tingkahku.
"Crystal"jangan bercanda terus," ujar Gina, pemain depan
kami. Bola berpindah ke daerah lawan, dan aku langsung berlari
menyusuri lapangan. Kepalaku bergerak maju-mundur. Aku sadar aku
berlari dengan kaki kaku. Lututku tak lagi bisa ditekuk!
Bola melayang ke arahku. Aku tidak bisa menangkapnya. Kedua tanganku terlipat di
ketiak. Sikuku menyembul ke luar bagaikan sayap.
Aku berkotek keras ketika bolanya membentur pundakku.
Kepalaku bergerak maju-mundur.
Teman-temanku berseru-seru gusar. Aku melihat Mr.Clay
menggeleng-gelengkan kepala di tepi lapangan. Para pemain tim
lawan menatapku sambil tertawa.
Aku kembali berlari ke daerah permainan sendiri. Sambil
berlari, aku berusaha melepaskan tangan dari ketiak. Kepalaku tetap
bergerak maju-mundur. Bibirku bergemeretak.
Aku menoleh ke bawah"dan langsung berhenti.
Aduh! Kakiku. Bulu-bulu putih bermunculan di kakiku.
Di depan begitu banyak orang.
Aku mendengar bunyi peluit. Salah satu tim minta time out.
Teman-temanku berlari menghampiri Mr. Clay. Aku lari ke
arah lain. Aku keluar dari gedung olahraga dan lari meninggalkan
sekolah. Aku berlari dan berlari dan berlari. Rasanya aku tidak ingin
berhenti. Waktu makan malam aku bersembunyi di kamarku. Aku begitu
putus asa"dan ketakutan. Sebenarnya aku ingin menceritakan
semuanya pada Mom dan Dad. Tapi bagaimana kalau mereka tidak
percaya" Bagaimana kalau mereka menganggap semua itu cuma
lelucon" Sehabis makan, Mom dan Dad berangkat ke sekolah untuk
mengikuti pertemuan orangtua murid. Cole dan aku menunggu sampai
mobil mereka berangkat. Setelah itu barulah kami berani turun ke
ruang duduk. Kami langsung berlutut dan mencari remah-remah roti yang
jatuh ke karpet. Tubuhku penuh bulu putih dan cokelat. Aku pasti akan
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencabut semuanya.
"Aku"CLUUUCK"aku ngeri," Cole tergagap-gagap.
"Aku juga," aku mengakui. Aku menarik sepotong benang yang
terselip di antara bulu-bulu karpet.
"Crystal, apa yang harus kita lakukan?" tanya Cole.
Aku sudah hendak menjawab, "Aku juga tidak tahu."
Tapi tiba-tiba aku tahu persis apa yang harus kami lakukan.
19 KAMI menyelinap keluar rumah. Udara malam terasa dingin.
Angin kencang mengacak-acak buluku. Jauh di atas, aku melihat
bulan purnama yang pucat berulang kali menghilang di balik awan.
Cole dan aku menyusuri jalan menuju ke desa. Kami berusaha
melangkah dengan cepat. Tapi kaki kami terasa kaku, dan kami sulit
menekuk lutut. Beberapa kali ada mobil yang datang dari arah berlawanan.
Setiap kali kami bersembunyi di balik semak-semak sambil berkotek
pelan. Kami tidak ingin dilihat orang dalam keadaan seperti ini. Dan
kami tidak ingin ditanya ke mana kami akan pergi.
Kami melewati desa sambil menyusuri bagian belakang tokotoko. Pohon-pohon berdesir-desir dan bergoyang-goyang ketika angin
bertambah kencang. Udara terasa semakin lembap. Dan akhirnya aku
merasakan tetes-tetes hujan membasahi keningku.
Tiba-tiba aku mencium bau harum yang membuatku menarik
napas dalam-dalam. Bau itu berasal dari toko roti dan kue. Rupanya
Mrs. Wagner sedang membuat donat untuk dijual besok pagi.
Aku merintih sedih. Apakah aku akan punya kesempatan lagi
untuk merasakan donat" Ataukah aku akan menghabiskan sisa
hidupku dengan mencari-cari makanan di tanah"
Cole dan aku membelok ke jalan setapak yang menuju ke
rumah Vanessa. Malam semakin gelap" dan semakin dingin"ketika
kami menjauhi desa. "Apa yang CLUUUCK harus kita katakan padanya?" Cole
bertanya pelan. Aku menyeka tetes hujan yang menempel di alisku. Tanganku
terasa kasar, dan jariku sekeras tulang.
"Aku akan BLUUCK memberitahunya bahwa kita menyesal,"
sahutku. "Aku akan menjelaskan bahwa kita tidak sengaja
menjatuhkan barang belanjaannya. Dan bahwa kita menyesal tidak
membantunya memungut barang-barang itu. CLUUUCK."
Goosebumps - Kutukan Ayam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami sampai di pagar kayu yang mengelilingi tanah Vanessa.
Pintu pagarnya dibiarkan terbuka, dan kini berayun-ayun karena
tertiup angin. Aku memandang ke arah rumahnya. Rumah itu tampak
bagaikan makhluk gelap di tengah rumput tinggi. Tak ada satu lampu
pun yang menyala. Apakah ia sudah tidur"
"A-aku rasa bluuuck dia tidak di rumah," bisik Cole.
"Tentu saja dia ada di rumah," sahutku ketus. "Memangnya
cluuuck dia mau pergi ke mana" Di Goshen Falls tidak ada tempat
yang bisa dikunjungi malam-malam begini."
Kami melewati pintu pagar. Aku berusaha menguncinya,
supaya tidak terus membentur pagar. Tapi gerendelnya patah.
"Apa yang harus kita katakan setelah minta maaf?" tanya Cole,
yang berjalan di belakangku.
Aku membalik dan memegang pundaknya, lalu menggiringnya
ke pintu depan bersamaku.
"Setelah itu kita mohon agar dia mencabut guna-gunanya," aku
berkotek. "Kita mohon supaya ia mengembalikan kita ke wujud kita
yang asli." "Kaupikir dia mau melakukannya?" tanya Cole.
"Entahlah," sahutku. "Tapi kita akan segera tahu."
Aku mengetuk pintu depan.
20 TAK ada jawaban. Gerbang di belakang kami membentur pagar. Cole dan aku
tersentak kaget. Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali mengetuk pintu.
Kami menunggu sambil memandang lurus ke depan. Sambil
mendengarkan suara pohon-pohon dan gerbang yang terus membentur
pagar. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah.
Aku mendesah kecewa dan berpaling pada adikku. "Kau benar.
Vanessa lagi pergi."
Kami meninggalkan rumah. Awan-awan terkuak, dan bulan
kembali muncul di langit. Jendela depan rumah Vanessa tampak
berkilau memantulkan cahaya bulan yang keperakan.
"Coba kita intip ke dalam," aku mendesak.
Kami menghampiri jendela. Sambil berjinjit, kami mengintip ke
ruang duduk. Aku melihat benda-benda yang tampak sebagai sosok-sosok
gelap. Kursi-kursi kuno dengan sandaran tinggi. Sofa panjang penuh
bantal. Rak-rak buku yang memenuhi dinding dari lantai sampai ke
langit-langit. Semuanya berkesan kuno. Tapi aku tidak melihat sesuatu yang
aneh atau menakutkan. Kemudian perhatianku beralih pada setumpuk buku di meja
kecil di samping sofa. Buku-buku itu besar-besar dan tebal-tebal. Dan
dalam cahaya yang redup pun, aku bisa melihat sampul buku-buku itu
sudah retak-retak karena tuanya.
Aku memicingkan mata dan melihat dua buku lagi. Kedua buku
itu tergeletak dalam keadaan terbuka di meja di depan sofa.
"Cole...," aku berbisik. Jantungku mulai berdegup kencang.
"Kaulihat buku-buku tua itu" Siapa tahu isinya tentang ilmu gaib!"
"Hah?" Ia merapatkan wajahnya ke jendela. "Apa maksudmu?"
"Itu, lho. Bluuuck. Buku-buku berisi mantra. Buku-buku ilmu
sihir. Kelihatannya memang seperti buku-buku sihir"ya, kan?"
Cole mengangguk. "Yeah. Bisa jadi."
Aku mencabut sehelai bulu putih yang tumbuh di bawah
dagunya. "Aduh!" ia memekik. "Kenapa kaucabut bulu itu?"
Aku angkat bahu. "Sori. Bulu itu merusak pemandangan." Aku
kembali berpaling ke jendela, dan memperhatikan buku-buku tua di
meja. "Ayo pergi," Cole mengajak sambil menarik lenganku. "Dia
tidak ada di sini." "Tapi buku-bukunya ada," ujarku sambil melepaskan tangan
dari pegangannya. "Dan kalau itu memang buku sihir, barangkali kita
bisa menemukan buku yang tepat. Bluuuck. Buku dengan mantra yang
tepat. Setelah itu kita bisa normal lagi!"
Cole geleng-geleng kepala. Paruhnya bergemeretak. "Yeah.
Pasti. Setelah itu aku akan mengepakkan sayap dan bertelur!"
"Jangan sewot, dong!" aku memarahinya. "Mungkin ini bukan
ide yang baik. Tapi masih bagus daripada tidak ada ide sama sekali."
Aku menyeretnya ke pintu depan. Lalu aku memutar pegangan
pintu"dan mendorong pintunya.
Pintu berat itu berderak-derak.
"Bluuuck. Coba kita lihat buku-buku itu sebentar," kataku.
Tanpa menunggu jawabannya aku melangkah ke kegelapan yang
dingin di dalam rumah. "Sudah kepalang tanggung, nih."
Aku menarik Cole ke dalam. Rumah Vanessa berbau kopi dan
rempah-rempah. Baunya manis bercampur pedas.
Aku menuju ke ruang duduk. Cahaya keperakan masuk melalui
jendela depan. Papan-papan lantai berderit-derit di bawah kakiku. Aku berhenti
di samping sofa dan menatap tumpukan buku tua di hadapanku.
Aku baru saja hendak meraih buku paling atas" ketika sebuah
pekikan nyaris membuatku tersentak kaget.
"Ohhh!" Aku langsung menarik tangan. "Vanessa...!" Cole
berseru tertahan. 21 AKU menahan napas. Jantungku nyaris copot.
Aku membalik"dan melihat kucing Vanessa melompat ke
sandaran salah satu kursi.
Mata kucing itu bersinar-sinar keemasan dalam cahaya redup.
Kucing itu menyeringai sambil mendesis-desis marah.
"A-aku pikir Vanessa yang datang," gumam Cole. "Dan
agaknya cluuuck kucingnya juga tidak suka kita berada di sini."
"Kami takkan lama," aku berkata pada kucing itu. Aku memberi
isyarat pada Cole untuk maju ke sofa. "Bantu aku memeriksa bukubuku ini. Kalau kita bisa menemukan yang tepat..."
Kucing Vanessa melayangkan cakarnya ketika Cole lewat di
depannya. "Hei..!" Cole segera menghindar.
"Kucing memang tidak suka ayam," aku berbisik.
Aku meraih salah satu buku terbuka di meja. Aku
mengangkatnya ke dekat wajahku, lalu berusaha membaca judulnya di
bawah cahaya yang redup. Huruf-hurufnya sudah kabur karena kotor. Sampulnya yang
tebal telah retak-retak dan tertutup lapisan debu. "Judulnya tidak
terbaca," kataku. Aku melihatnya menuju ke dinding. "Akan kunyalakan
lampunya," ia mengusulkan.
Kucing Vanessa kembali mendesis-desis.
"Jangan"jangan!" aku berseru dengan suara tertahan. "Biarkan
lampunya mati. Supaya Vanessa tidak bisa melihat kita kalau dia tibatiba pulang."
Kugosok-gosok sampul buku itu. Kemudian sekali lagi aku
mencoba membacanya. "Hei"kita beruntung!" seruku gembira.
"Ada apa, Crystal?" tanya Cole. "Kau menemukan...?"
Sebelum aku sempat menyahut, lampu di langit-langit menyala.
"Ohh!" aku memekik ketika melihat Vanessa berdiri di dekat
dinding. 22 AKU mundur dengan terhuyung-huyung.
Buku yang kupegang terlepas dari tanganku, dan jatuh
berdebam ke lantai. "Vanessa, aku..."
Aku menelan ludah. Baru kemudian aku sadar aku sedang menatap lukisan. Lukisan
diri Vanessa yang tergantung di dinding.
"Oh, wow!" seruku. "Lukisan itu"hampir sebesar orangnya.
Aku pikir..." Aku berpaling pada Cole. Ia berdiri di depan sakelar lampu, dan
memandang lukisan besar itu.
"Jadi kau yang menyalakan lampu?" tanyaku dengan nada
menuduh. "Ya," jawabnya. "Sori. Aku tidak bermaksud bluuuck bluuuck
membuatmu takut. Kupikir kau akan lebih gampang membaca judul
buku itu." Judul buku itu! "Cole"kurasa aku menemukan buku yang kita cari!" seruku.
Aku langsung membungkuk dan memungut buku tua itu dari
lantai. Yes! "Cole"lihat!" aku berseru sambil memperlihatkan sampul
depan pada adikku. "Judulnya Chicken Chicken Chicken. Pasti ini
buku yang kita cari! Kalau saja aku bisa menemukan mantra yang
dibaca Vanessa..." "Barangkali kita bisa membatalkannya!" Cole menimpali.
Tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dari depan rumah.
Cole dan aku sama-sama tersentak kaget. Kucing hitam yang
bertengger di sandaran kursi pun melompat turun dan berlari keluar
ruangan. "Suara apa itu" Pintu gerbang"atau Vanessa?" aku memekik.
Cole mematikan lampu. Kami pasang telinga sambil berdiri
seperti patung. Buku tua milik Vanessa kudekap erat-erat.
Hening. Lalu suara benturan itu terdengar lagi. Ternyata cuma
pintu pagar yang tertiup angin.
"Ayo, lebih baik kita pergi saja," aku berbisik sambil melirik ke
pintu depan. "Bluuuck," jawab Cole. Ia berbalik dan menuju ke pintu dengan
langkah kaku. Biarpun dalam suasana remang-remang, aku bisa
melihat bulu-bulu yang telah tumbuh kembali di tengkuknya.
Kucing Vanessa menghadang kami di dekat pintu.
Punggungnya melengkung, seakan-akan siap menyerang. Dengan
hati-hati Cole dan aku berjalan melewatinya.
"Kucing manis. Kucing manis," aku bergumam.
Raut mukanya yang garang tidak berubah.
Aku membuka pintu"dan disambut angin kencang yang
hampir membuat pegangan pintu terlepas dari tanganku. Cole dan aku
melangkah keluar. Aku menutup pintu.
Aku membawa buku Vanessa yang berat itu sementara kami
berjalan pulang. Kami terpaksa mencondongkan badan untuk
menghadapi terpaan angin. Rambutku berkibar-kibar bagaikan umbulumbul.
Goshen Falls diselubungi kegelapan. Memang semua toko di
sini sore-sore sudah tutup. Satu-satunya cahaya terang berasal dari
pompa bensin swalayan di sudut jalan.
Cole dan aku berjalan di tengah. Aku ingin segera sampai di
rumah dan mencari mantra yang diucapkan Vanessa untuk mengubah
kami. Akhirnya rumah kami mulai tampak. Belum ada mobil di depan
garasi. Rupanya Mom dan Dad belum pulang dari pertemuan di
sekolah. Bagus! pikirku. Barangkali aku bisa menemukan mantra itu dan
membuat Cole dan aku normal lagi sebelum mereka pulang.
Aku menaiki tangga ke kamarku, Cole mengikuti di belakang
dan menutup pintu. Aku duduk di tepi tempat tidur dan menaruh buku besar itu di
pangkuanku. Cole berdiri di sampingku. Ia memperhatikanku
membalik halaman demi halaman sambil mengamati huruf-huruf kecil
yang tercetak. "Bagaimana?" ia bertanya tidak sabar. "Ada" Sudah ketemu,
belum?" Aku tidak menyahut. Aku semakin cepat membalik halaman
sambil memantau kolom demi kolom. Semakin cepat. Semakin cepat.
Halaman demi halaman. Jantungku berdegup kencang.
"Bagaimana?" adikku mendesak. "Bagaimana?"
Dengan kesal kututup buku itu.
"Aduuuh!" aku meratap. Kulemparkan buku itu ke tempat tidur.
"Cole," seruku sambil menggelengkan kepala, "kita telah
membuat kesalahan besar."
23 EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM COLE memekik kaget. Bulu-bulu putih dan cokelat di
tengkuknya langsung berdiri tegak.
"Crystal"ada apa?" ia bertanya dengan suara parau.
"Kita salah membawa buku!" aku berseru sambil melompat
berdiri. Setumpuk bulu tertinggal di tempat yang baru saja kududuki.
"Ini buku resep masakan! Satu buku penuh resep masakan ayam!"
"Idih!" seru Cole.
Perutku langsung mual. Lenganku mendadak terasa gatal. Aku
menoleh dan melihat bulu-bulu putih bermunculan dari kulitku.
"Kita harus kembali ke sana," kataku. Paruhku bergemeretak.
Paruhku kini sudah lebih menonjol dari daguku. Gigiku masuk ke
dalam gusi, dan sudah hampir lenyap sama sekali. Aku harus berusaha
keras untuk mengucapkan setiap kata.
Cole menelan ludah. "Kembali ke sana?"
"Sebelum terlambat," bisikku. "Sebelum kita sepenuhnya
berubah jadi ayam." Ia menelan ludah dan tidak menyahut.
Aku meraih buku tadi dan melangkah ke pintu kamar. Tapi
kemudian aku berhenti. Aku membelalakkan mata karena ngeri ketika
melihat bayanganku di cermin.
Mataku! Kepalaku! Mataku telah berubah menjadi lingkaran kecil. Dan bentuk
kepalaku juga berbeda dari sebelumnya. Bertambah sempit. Kedua
mataku semakin jauh satu sama lain, dan bergeser ke sisi kepala.
"Oh! Ooooh!" aku meraung sedih.
"Ayo, cepat!" Cole mendesak. Ia meraih tanganku. Punggung
tangan kami sama-sama tertutup lapisan bulu putih pendek.
"Ya. Cepat!" aku membeo sambil menggerakkan kepala majumundur.
Kami menuruni tangga dan keluar lewat pintu depan. Kembali
menghadapi malam yang gelap dan berangin.
Aku merasakan dorongan kuat untuk membungkuk dan
mematuk-matuk kerikil yang berserakan di depan garasi. Tapi aku
melawan dorongan itu dan terus menuju ke jalanan.
Kami harus segera kembali. Kembali ke rumah Vanessa.
Tapi apakah masih ada waktu"
**********************************
Dalam keadaan normal, jarak ke rumah Vanessa bisa ditempuh
dalam waktu sepuluh menit. Tapi kali ini Cole dan aku membutuhkan
waktu jauh lebih lama. Antara lain karena kaki kami begitu kaku. Dan
juga karena jauh lebih sulit melihat dengan jelas kalau mata kita tidak
menghadap ke depan, melainkan ke samping!
Angin kencang mereda sedikit ketika kami akhirnya tiba di
rumah Vanessa. Atap rumahnya diterangi cahaya bulan yang pucat.
Semua jendela masih gelap. Kami bersandar ke pagar sambil
mengatur napas dan mengamati rumahnya. Tak ada tanda-tanda ia
sudah pulang. Sambil mendekap buku masakan yang berat, aku melewati
Goosebumps - Kutukan Ayam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerbang dan menghampiri pintu depan. Pintunya tetap mudah dibuka.
Cole dan aku melangkah masuk. Sekali lagi kami disambut bau
rempah-rempah yang aneh. "Cluuuck, Vanessa?" aku memanggil. "Halo" Ada orang di
sini?" Sepasang mata kuning menatap tajam dari tangga. Kucing
hitam itu menguap lebar, seakan-akan sama sekali tidak heran melihat
kami muncul lagi. Tidak heran, sekaligus juga tidak senang.
"Dia belum pulang," bisik Cole. "Ayo bluuuck bluuuck cepat."
Aku menaruh buku masakan di tempat semula, lalu berbalik ke
tumpukan buku di samping sofa. Tapi ketika aku menoleh,
perhatianku berpaling ke mangkuk di meja.
Biji bunga matahari! Aku tidak sanggup berbuat apa-apa. Langsung saja aku
menundukkan kepala dan mulai melahap biji-biji lezat itu dengan
paruhku. "Crystal"apa-apaan sih kau?" Cole berbisik dengan suara
parau. "Jangan macam-macam!"
Ia meraih salah satu buku dan mulai membalik-balik
halamannya. Aku melahap beberapa biji lagi. Kemudian aku juga
memeriksa buku-buku. Cole berkotek gembira. "Buku-buku ini"semuanya buku
sihir!" serunya. "Kau bluuuck benar," ujarku. "Di sini ada beratus-ratus mantra
gaib." Cole membalik-balik halaman buku yang sedang dipegangnya.
Matanya bergerak dari kiri ke kanan, lalu kembali lagi ke posisi
semula. Begitu terus! "Bagaimana caranya supaya kita bisa
menemukan mantra yang tepat?" ia bertanya.
"Rasanya sudah kutemukan," sahutku.
Buku itu kubawa ke jendela agar aku bisa melihat lebih jelas.
Yes! "Apa katanya?" Cole bertanya penuh semangat. Ia segera
meletakkan bukunya. Kepalanya bergerak naik-turun ketika ia
menghampiriku. "Ada satu cluuuck halaman penuh mantra ayam," sahutku.
"Yang ini namanya 'Orang jadi Ayam'. Kedengarannya cocok"ya,
kan?" "Jangan yang itu. Cari 'Ayam jadi Orang', dong!" seru Cole.
Aku mengamati halaman demi halaman. "Tidak ada," ujarku.
"Kita terpaksa membalikkan mantra 'Orang jadi Ayam'."
"Ya, sudah!" kata Cole. "Balikkan saja! Cepat! Apa yang harus
kita lakukan?" Saking semangatnya, ia sampai tidak bisa diam. Ia mengepit
tangannya di ketiak, mengangkat siku untuk membentuk sayap"lalu
mulai berputar-putar sambil berkotek-kotek.
"Cole"bluuuck bluuuck bluuuck," aku menegurnya.
Ia tidak menggubrisku dan terus saja berkotek-kotek.
Aku kembali berpaling ke buku di tanganku, dan membaca
mantranya dengan saksama. Sepintas lalu sih tidak terlalu sulit. Tidak
ada bahan-bahan khusus yang perlu disiapkan. Cuma serangkaian kata
yang harus diucapkan cepat-cepat. Orang yang membaca mantra itu
juga harus berkotek-kotek dan menari sedikit.
Lalu, menurut buku itu, kita tinggal menunjuk korban yang
malang dan berbisik, "Ayam ayam!"
Persis seperti yang dilakukan Vanessa terhadap kami.
"Kedengarannya cukup mudah," ujarku. "Diam dulu, dong. Aku
mau bluuuck coba, nih."
Cole berhenti berputar-putar, lalu berpaling padaku. "Katakatanya jangan lupa cluuuck bluuuck," ia berseru.
Aku tahu maksud Cole. Ia hendak mengingatkanku bahwa
semua kata harus kubalik.
Hmmm... aku mengamati mantra itu. Ternyata lebih sulit dari
yang kukira semula. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus
mencobanya. Sambil memegang buku tua yang berat itu dengan sebelah
tangan, aku menunjuk Cole, lalu diriku sendiri, dengan tanganku yang
satu lagi. "Ayam ayam," aku berbisik.
Oke. Itu penutup mantranya.
Pandanganku beralih ke bagian bawah halaman. Dan aku mulai
membaca semua kata dari bawah ke atas: "Cluck cluck chick. Chick
cluck cluck chick." Instruksi selanjutnya adalah maju tiga langkah dan ke kanan
dua langkah. Jadi aku membuat dua langkah ke kiri, lalu tiga langkah
ke belakang. Aku terus menelusuri tulisan di buku tua itu dengan jari ayamku
yang kasar. Dengan hati-hati aku membaca tulisannya dengan urutan
terbalik: "Chick cluck chick cluck. Cluck cluck chick."
Kemudian aku maju dua langkah, dan bergeser ke kanan sejauh
tiga langkah. Aku mengepak-ngepakkan lengan dan berkotek empat
kali. Setelah itu aku membaca baris pertama di bagian atas halaman:
"Cluck cluck chick cluck. Cluck chick cluck."
Selesai. Aku telah membaca seluruh mantra. Dari belakang ke depan.
Apakah usahaku akan berhasil" Apakah dengan membalikkan
mantra Vanessa, Cole dan aku bisa kembali normal"
Apakah cara yang kami pakai memang ampuh"
Ya. Tiba-tiba aku mulai merasa aneh. Lengan dan kakiku mendadak
gatal sekali. Bulu-bulu di sepanjang lenganku langsung bertambah
panjang. Buku yang kupegang terlepas dari tanganku dan jatuh berdebam
ke lantai. Pandanganku berkunang-kunang.
Kemudian seluruh ruangan berubah menjadi ungu dan mulai
miring. "Hei"ada apa ini?" seru Cole. Suaranya lemah. Seolah ia
berada di tempat yang sangat jauh.
Ya, mantra itu memang ampuh, aku berkata dalam hati. Aku
berpegangan pada ambang jendela agar tidak terjatuh.
Aku merasakan ada sesuatu yang berubah.
Tapi apa" EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM 24 KEPALAKU pusing sekali. Seluruh ruangan bergoyanggoyang dan berayun-ayun.
Tiba-tiba lantai tampak jauh sekali. Aku mengedipkan mata.
Satu kali. Dua kali. Lantainya seolah-olah satu kilometer di bawahku.
"Cluck cluck, Cole?" Aku berpaling pada adikku. Dan serentak
aku memekik karena ngeri.
Sekarang aku mengerti kenapa lantai itu berkesan begitu jauh.
Cole dan aku telah TUMBUH!
Kami bukan ayam biasa lagi. Kami telah berubah menjadi ayam
RAKSASA! "A-aku sebesar kuda!" seruku.
Aku memandang ke atas. Langit-langit ruangan hanya satu atau
dua senti di atas kepalaku.
Cole mengerang kaget. Seluruh tubuhnya gemetaran. Bulu-bulu
besar tercabut dari tubuhnya dan berjatuhan ke lantai. Ia mengepakngepakkan lengan, dan semakin banyak bulu beterbangan.
Aku melihat kucing Vanessa mundur ke arah pintu depan.
Matanya yang kuning terbelalak lebar karena ketakutan. Kucing itu
melengkungkan punggung dan mengangkat ekor dan mendesis-desis
tanpa henti. Aku berjalan selangkah ke arah Cole. Tubuhku yang besar dan
penuh bulu bergoyang-goyang. "A- ada yang bluuuck tidak beres!"
kataku panik. Kepala Cole tampak bergerak naik-turun. Paruhnya
bergemeretak, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya ia berkata
dengan susah payah, "Crystal"coba lagi."
Ya. Ia benar. Aku harus mencoba sekali lagi membalik mantra
itu. Mungkin aku tidak bisa mengubah diri kami jadi manusia lagi.
Tapi paling tidak kami bisa kembali ke ukuran normal.
Aku membungkuk untuk mencari buku yang tergeletak di
lantai. Upaya itu tidak mudah. Saking jangkungnya aku, buku itu
tampak sekecil kemasan kaset!
Memungutnya juga tidak mudah. Buku itu berulang kali
terlepas dari jariku yang bersisik.
Rasanya aku menghabiskan waktu berjam-jam sebelum berhasil
menemukan mantra tadi. Aku mengangkat buku mungil itu, dan
mendekatkannya ke mata kananku. Kemudian aku mulai membacakan
mantranya dari belakang ke depan lagi.
Moga-moga berhasil, aku berdoa dalam hati. Moga-moga
mantra Vanessa bisa kubalik.
Aku mengakhiri mantra dengan berkata: "Cluck cluck chick
cluck. Cluck chick cluck."
Adakah hasilnya" Aku mendengar Cole berkotek tertahan dari seberang ruangan.
Sekali lagi aku mulai merasa aneh. Pandanganku kembali
berkunang-kunang. Aku memejamkan mata. Seluruh ruangan terasa miring dan bergoyang.
Aku berusaha berpegangan. Tapi tanganku hanya menggapai
udara. "Oooh!" aku mengerang ketika aku mulai jatuh. Ya. Aku
melayang... melayang... Ketika aku membuka mata, aku tidak tahu di mana aku berada.
Ruangan tadi telah lenyap. Aku dikelilingi kegelapan. Dikelilingi....
Hei! Aku menatap buku mantra yang kubaca tadi. Buku itu
tergeletak di lantai di sampingku. Tapi buku itu telah bertambah
besar! Buku itu lebih tinggi daripada aku!
"Cip cip!" aku berseru.
"Cip cip cip!" aku mendengar Cole menyahut dengan suara
hampir tak terdengar. Aku berpaling padanya. "Cip?"
"Cip cip!" Ia telah berubah menjadi anak ayam berbulu kuning. Aku
menelan ludah. Aku tahu apa artinya. Artinya aku juga telah berubah
menjadi anak ayam berbulu kuning.
Aku telah berhasil membalik mantranya. Tapi hasilnya tidak
seperti yang kuharapkan! Aku hendak mengatakan sesuatu"tapi dari mulutku hanya
keluar bunyi cip cip pelan. Kakiku yang mungil berbunyi klik-klik di
lantai kayu. "Cip cip?" tanya Cole. Adikku terdengar amat ketakutan.
Jantungku yang kecil berdegup kencang di dadaku yang penuh
bulu kuning. Tiba-tiba aku marah sekali. Kenapa nasib kami jadi
begini" aku bertanya dalam hati. Kenapa Vanessa merasa berhak
memperlakukan kami dengan seenaknya"
Aku mematuk-matuk lantai dengan gusar. Aku tidak
mempunyai cara lain untuk melampiaskan kemarahanku.
Dan aku juga tidak punya waktu banyak untuk marah.
Sebuah bayangan yang berkelebat membuatku menoleh.
Aku melihat sosok raksasa. Aduh! Ternyata kucing Vanessa.
Kucing itu berbaring di atas meja, di samping mesin tik model kuno.
Ekornya membentur mesin tik ketika kucing itu melompat
turun. Dengan cepat ia melintasi ruangan, tanpa suara" lalu
menjulang tinggi di atasku. Matanya yang kuning tampak bersinarsinar.
Kucing itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang minta
ampun besarnya. "Cip cip!" aku memekik. Saking ngerinya, aku sampai tidak
bisa bergerak. Kucing itu melompat. Aku merasakan cakarnya mencengkeram tubuhku yang mungil.
Dan kemudian ia mulai meremas tubuhku.
25 AKU berusaha menendang. Aku berusaha mengayunkan
tangan. Aku berusaha menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
Tapi aku tidak berdaya menghadapi kucing raksasa itu.
Cakarnya yang besar meremas tubuhku hingga aku hampir tidak
bisa bernapas. Kemudian kepalaku dicengkeramnya.
Sebelum aku sadar apa yang terjadi, aku sudah terangkat dari
lantai. Selama beberapa detik aku bergelantungan dalam cengkeraman
kucing Vanessa. Aku ingin menjerit. Aku ingin membebaskan diri.
Tapi aku tak berdaya. Aku terlalu lemah dan kecil untuk
berbuat apa-apa. Kucing itu menatapku dengan mata bersinar-sinar ketika aku
bergelantungan di depan wajahnya. Kemudian mulutnya membuka"
dan aku pun dilahapnya. Ohhh! Embusan napas panas menerpa diriku. Mulutnya begitu
panas, begitu lengket, dan basah.
"Cip cip ciiiip!" aku memekik.
Kucing itu mempermainkanku dengan lidahnya.
Dan kemudian"di luar dugaanku"ia memuntahkanku
kembali. Aku terempas ke Intai. Di belakangku, aku mendengar Cole
berciap-ciap. Aku bangkit dengan susah payah. Dan berusaha lari.
Tapi kucing Vanessa kembali menangkapku. Lalu kembali
mengangkatku dengan cakarnya yang kasar.
Aku melihat kepala kucing itu dalam posisi miring. Aku melihat
gigi taringnya berkilau-kilau karena air liur. Aku kembali merasakan
embusan napasnya yang panas dan bau.
Aku diangkat semakin tinggi. Semakin tinggi.
Jangan-jangan aku bakal ditelan kali ini" aku bertanya-tanya.
Apakah riwayatku akan berakhir di perut seekor kucing"
Ternyata tidak. Sekali lagi kucing itu membiarkanku jatuh ke
lantai. Punggungku membentur lantai. Kakiku yang mungil
menendang-nendang udara. Sebelum aku sempat berdiri, kucing itu sudah menyambarku
lagi. Kali ini kakiku yang dicengkeramnya. Diayun-ayunkannya aku
ke kiri dan ke kanan di depan mulutnya yang menganga.
Astaga, aku dijadikan mainan, pikirku.
Kucing itu sedang bermain-main dengan makanannya!
Dan kalau sudah bosan bermain... baru aku akan dilahapnya!
Aku mendengar Cole berciap-ciap di lantai, jauh di bawahku.
Kucing itu mencengkeramku dengan sebelah kaki, dan membiarkanku
menggelantung di depan wajahnya. Kemudian ditepisnya aku dengan
kakinya yang satu lagi, sehingga tubuhku berputar-putar tak
terkendali. Aku jadi pusing. Aku memejamkan mata ketika kucing itu
membiarkanku jatuh ke lantai.
Goosebumps - Kutukan Ayam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku jatuh dalam posisi miring, dan kali ini aku tetap tergeletak.
Aku begitu lemah, begitu ketakutan. Aku bahkan tidak mencoba
bergerak. Terengah-engah, aku menunggu serangan berikutnya.
Menunggu cengkeraman cakarnya yang tajam. Menunggu diangkat
tinggi-tinggi lagi. Menunggu.... Tapi serangan yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang,
sehingga aku pun menoleh. Aku berusaha memfokuskan pandangan.
Di mana kucing itu" Aku mendengar adikku berciap ketakutan.
Perlahan-lahan aku bangkit. Kugoyang-goyangkan buluku yang
basah dan lengket karena terkena ludah kucing.
Mana kucing itu" Kenapa ia tiba-tiba berhenti menyiksaku"
Tiba-tiba lampu menyala. "CIIIP!" aku memekik kaget ketika melihat wajah raksasa yang
muncul di hadapanku. Vanessa! "Wah, wah!" suaranya menggelegar di telingaku yang mungil.
"Ada siapa ini?"
Tangannya menyambar ke bawah dan mengangkatku dari
lantai. 26 PERTAMA aku yang diangkatnya, lalu Cole. Kami bertengger
di telapak tangannya yang lebar. Kemudian Vanessa merapatkan
wajahnya yang pucat, agar dapat melihat lebih jelas. Ia
mengembangkan senyum dengan bibirnya yang dipoles lipstik hitam.
"Rupanya kalian sudah berhasil menemukan buku mantraku," ia
mencemooh. "Coba kutebak. Kalian pasti Crystal dan Cole."
Cole dan aku menciap keras-keras sambil melompat-lompat.
Vanessa tertawa. "Kalian lucu sekali!" serunya. "Sayang kalian
perlu diberi pelajaran." Ia berdecak-decak.
"Cip cip!" aku memekik.
Aku ingin bertanya kenapa ia berbuat begini terhadap Cole dan
aku. Aku ingin berjanji bahwa kami takkan mengulangi perbuatan
kami. Aku ingin menuntut agar ia mengembalikan kami ke bentuk
yang asli"sekarang juga.
Tapi aku cuma bisa menciap-ciap.
"Hmm, apa yang harus kulakukan dengan kalian berdua?" tanya
Vanessa. Matanya yang gelap tampak bersinar-sinar. "Apakah
sebaiknya kalian kutaruh di luar saja" Hmm, rumah kalian jauh sekali
dari sini. Kalian pasti sudah dimakan sebelum kalian sampai di sana."
"Ciiiip!" Cole dan aku memohon.
Bagaimana caranya agar kami dapat berkomunikasi dengannya"
Bagaimana caranya dgar kami dapat berbicara dengannya"
Bagaimana" Tiba-tiba aku mendapat ide.
Mesin ketik tua di atas meja. Vanessa memegang kami tepat di
atasnya. Aku memandang ke bawah, dan melihat sehelai kertas putih
terpasang pada mesin ketik itu. Ya! pikirku. Ini satu-satunya
kesempatan kami. Aku tidak berpikir panjang.
Aku langsung melompat dari telapak tangan Vanessa. Dan
mendarat dengan keras di permukaan meja.
"Hei, anak ayam...!" aku mendengar Vanessa memekik kaget.
Ia menurunkan tangannya untuk meraihku lagi.
Tapi aku sudah melompat ke tuts mesin ketik. Aku
menundukkan kepala. Dan mulai mematuk-matuk dengan paruhku
yang kecil tapi keras. Aku mematuk huruf V Kemudian melompat ke kiri dan
mematuk huruf A. Ketika tangan Vanessa bergerak mendekatiku, aku
turun satu baris dan mematuk huruf N.
Tangan Vanessa berhenti beberapa senti di atasku. Apakah ia
menyadari apa yang hendak kulakukan" Apakah ia mengerti bahwa
aku sedang berusaha mengetik pesan"
Huruf E berada dua baris di atas huruf N. Kakiku tersandung
ketika melompat naik, dan aku hampir menekan huruf yang salah.
Tapi aku berhasil mematuk huruf E, lalu mundur selangkah dan
mematuk huruf S dua kali berturut-turut.
Aku menoleh ke atas. Ya! Vanessa memperhatikanku. Cole
masih bertengger di telapak tangannya. Vanessa membungkuk di atas
meja. Matanya yang gelap menatap kertas di mesin tik.
Napasku terengah-engah ketika aku selesai mengetik.
Jantungku yang mungil berdegup kencang. Usahaku benar-benar
menguras tenaga. Tapi aku berhasil mengetik pesanku sampai selesai:
VANESSA, KAMI BENAR-BENAR MENYESAL. KAMI
TIDAK SENGAJA MENJATUHKAN BARANG BELANJAANMU.
KAMI DATANG UNTUK MINTA MAAF.
Aku tumbang dan jatuh di meja. Saking lelahnya, aku hampir
tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa menoleh dan menatap Vanessa.
Sudikah ia menolong Cole dan aku" Maukah ia menerima
permintaan maaf kami" Maukah ia mengubah kami jadi normal
kembali" Vanessa merapatkan wajahnya ke wajahku. "Permintaan maaf
kalian agak terlambat," katanya dingin. "Tak ada yang bisa
kulakukan." 27 COLE menciap dengan nada mengiba.
Aku bangkit sambil mendesah. Kemudian aku kembali naik ke
mesin tik. TOLON, aku mematuk. Saking letihnya, aku tak sanggup mematuk huruf G di ujung
kata itu. Penuh harap aku memandang Vanessa. Ia membaca kata yang
baru saja kuketik. Kemudian ia menjentik-jentikkan dagu dengan
kukunya yang bercat hitam.
"Hmm...," ia bergumam. "Aku suka kata 'tolong'." Ia
mengangkatku dengan hati-hati, lalu menurunkanku di samping Cole.
"Sopan santun sangat penting," Vanessa berkata sambil
menatap kami dari dekat. "Terutama bagi anak muda. Itulah yang
paling penting bagiku di dunia ini. Sopan santun."
Ia memicingkan matanya yang gelap. "Waktu itu di depan toko
bahan makanan," ia melanjutkan dengan geram, "kalian tidak minta
maaf setelah menabrakku. Jadi aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa
menghukum kalian." Ia mengamati kami sambil berdecak- decak.
Rupanya itu sebabnya Anthony tidak ikut berubah jadi ayam!
aku menyadari. Sebelum kabur, Anthony sempat minta maaf pada
Vanessa. Kalau saja Cole dan aku meniru contohnya waktu itu, kami
takkan jadi anak ayam sekarang!
Tapi dari mana kami bisa tahu Vanessa begitu mementingkan
sopan santun" Kami dibawanya ke sebuah rak buku yang tinggi. "Kalian lihat
koleksi buku ini?" ia bertanya. "Semuanya buku tentang sopan santun.
Lusinan buku tentang sopan santun. Aku mengabdikan hidupku untuk
sopan santun." Ia mengamati kami dengan serius. "Kalau saja anak muda
zaman sekarang tidak begitu lancang. Aku sebenarnya ingin menolong
kalian. Sungguh. Tapi permintaan maaf kalian terlambat. Terlambat
sekali." Ia menurunkan kami ke meja. Mungkin karena tangannya mulai
pegal. Ia menggosok-gosoknya dengan tangan yang satu lagi.
Sekarang bagaimana" aku bertanya dalam hati.
Apakah kami akan disuruh pulang dalam keadaan begini"
Vanessa benar. Cole dan aku takkan selamat sampai di rumah. Kami
pasti bakal jadi santapan anjing atau kucing atau musang.
Aku menciap-ciap karena panik. Semua buluku berdiri tegak.
Apa yang bisa kami lakukan"
Aku mendapat satu ide lagi, harapan kami yang terakhir.
Sekali lagi aku naik ke mesin tik. Dan aku kembali mematukmatuk....
TERIMA KASIH ATAS PENJELASANMU. DAN TERIMA
KASIH KARENA KAU TELAH BERUSAHA MENGAJARKAN
SOPAN SANTUN PADA KAMI. DENGAN HORMAT, COLE DAN
CRYSTAL. Itulah harapanku yang terakhir. Harapan terakhir seekor anak
ayam. Aku menatap Vanessa dan menunggu tanggapannya....
"Astaga!" ia berseru. Serta-merta ia mencabut lembaran kertas
itu dan membacanya sekali lagi. "Ucapan terima kasih!" serunya.
"Kau menulis ucapan terima kasih!"
Ia memandang Cole dan aku sambil tersenyum lebar. "Anak
muda zaman sekarang tidak pernah menulis ucapan terima kasih!" ia
berseru. "Ini perbuatan paling sopan yang pernah kualami!"
Ia menari-nari sambil memegang kertas itu. "Ucapan terima
kasih! Ucapan terima kasih!"
Kemudian ia berbalik. Ia menunjuk Cole dan aku. Bergumam
tak jelas. Lalu kembali menunjuk.
"Hei!" aku berseru ketika tubuhku mulai membesar. Aku
merasa seperti balon yang sedang ditiup. Bulu-bulu kuning di tubuhku
berguguran. Rambutku muncul kembali. Juga lenganku... tanganku!
"HOREEE!" aku bersorak. Cole juga berseru-seru gembira.
Kami telah kembali normal! Vanessa telah mengembalikan
kami ke wujud kami yang asli!
Cole dan aku saling mencubit"sekadar untuk memastikan
bahwa kami tidak bermimpi. Kemudian kami menengadah dan
tertawa. Kami begitu bahagia!
Vanessa ikut tertawa. Kami semua tertawa gembira.
Kemudian Vanessa berbalik dan menuju ke dapur. "Biar
kuambilkan minum untuk kalian," ia menawarkan. "Aku tahu kalian
pasti haus sekali." "Terima kasih!" aku berseru. Aku ingat betapa pentingnya
sopan santun bagi Vanessa.
"Ya"terima kasih!" Cole menimpali.
Kami berpandangan sambil tersenyum lebar. Kemudian kami
sekali lagi saling mencubit. Kulit! Kulit sungguhan"tanpa bulu!
Aku menggerakkan bibir, lalu menjilat-jilatnya. Bibir manusia
yang lembut dan tidak bergemeretak.
Vanessa kembali dengan membawa dua gelas soda. "Aku tahu
anak-anak suka cola," katanya. Satu gelas diserahkannya padaku, satu
lagi kepada Cole. "Minumlah," ia mempersilakan kami.
Aku memang haus sekali. Aku minum beberapa teguk.
Minuman dingin itu terasa begitu menyegarkan. Jauh lebih lezat
daripada biji-biji yang berserakan di karpet.
Wow. Aku begitu bahagia karena telah kembali normal.
Aku menoleh dan melihat Cole mereguk minumannya sampai
tetes terakhir. Rupanya ia benar-benar haus.
Setelah selesai, ia meletakkan gelasnya, dan bersendawa keraskeras. Sendawa paling keras yang pernah kudengar.
Cole langsung tertawa terbahak-bahak.
Aku sendiri langsung ikut tertawa.
Cole bersendawa begitu lucu, sehingga aku tidak bisa menahan
diri. Aku masih tertawa terbahak-bahak ketika Vanessa melangkah
ke depanku. Wajahnya tampak gusar.
Oh, oh, ada apa lagi sekarang" aku bertanya dalam hati.
Berikutnya ia menunjuk Cole, lalu aku, dan berbisik, "Babi
babi." END Jawaban The Answer 2 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Keadilan 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama