Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong Bagian 3
"Kenapa sih lo" Jadi sering marah kayak gitu?"
"Tauk ah, gelap!"
Bukan hanya di bus kota si Udin kena marah. Saat mereka istirahat di mesjid untuk sholat, Watik
menolak diajak. Dia hanya duduk-duduk di halaman mesjid. Alasannya males!
35 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tumben lo kagak mau sholat!"
"Udah, cepetan sholat! Bentar lagi bubaran kantor!"
"Jadi, lo tunggu di luar?"
"Iya! Cerewet amat sih lo!"
Remaja 17 tahun lulusan STM itu menatap Watik dengan penuh tanda tanya. Tapi, dia bergegas
masuk ke mesjid. Panggilan sholat lebih penting baginya, ketimbang memikirkan kenapa Watik jadi
uring-uringan begitu. Semuanya terjawab, kenapa Watik selalu marah-marah belakangan ini. Tadi pagi, ketika mandi,
Watik mendapati ada darah tumpah di lantai kamar mandi. Dengan perasaan takut, Watik bercerita
ke Nunik. Dia merasa heran, karena mbaknya bukannya cemas atau khawatir, tapi malah tertawa
senang. "Kok, Mbak seneng?"
"Ya, seneng! "Kenapa?" "Inget nggak, dulu Mbak pernah ngomong soal metamorphosa?"
"Ngg..., iya, inget...."
36 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Nah, yang ini nih... metamorphosa kamu... dari anak-anak ke dewasa... Begitu lho... Ngerti,
nggak?" "Watik udah dewasa, Mbak?"
"Iya! Udah dewasa!"
Watik tidak mempercayai dengan apa yang didengarnya
Sudah! Beli pembalut, sana!" Nunik memberinya uang lima ribu rupiah.
Watik pergi ke warung Bang Jupri. Dia berdiri gugup di depan warung Bang Jupri. Dia
celingak-celinguk; khawatir ada orang yang melihat kalau dia ternyata membeli pembalut.
Sebetulnya Watik ingin sekali menyembunyikannya. Dia tidak mau seorang pun tahu, kalau dirinya
mens. Yang kali pertama lagi. Tapi, dia tidak tahu cara untuk mengatasinya. Apalagi ketika darah
yang keluar makin banyak saja. Dia jadi panik!
Bang Jupri yang sedang membereskan dagangannya melihat kedatangannya. "Mau ngapain, Tik?"
tanyanya mendekati Watik. Matanya melotot menelusuri tubuh Watik. Dia menelan ludahnya sendiri,
karena membayangkan bisa memiliki tubuh segar itu.
Watik merasa risih. Dia tahu reputasi Bang Jupri kalau sudah urusan wanita. Mbak Nunik pacarnya.
Bahkan Mbak Sri yang di ujung gang juga pacarnya. Wah, pacarnya banyak juga kalau dihitung.
Belum lagi yang di sberang jalan!
"Heh! Lo nggak denger omongan Abang, ya?"
"Oh, anu, Bang....."
37 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Anu, apa!" "Mau beli...., pembalut........"
Bang Jupri ternganga. " Pembalut?" tanyanya tidak percaya.
"Iya...." "Buat siapa, Tik" Si Nunik?"
Watik menggelengkan kepalanya dengan perasaan takut.
"Terus, buat siapa?" bang Jupri memelototi tubuhnya.
Watik diam saja. "Makin montok aja lo!"
Watik gemetar. "Hah"! Jangan-jangan... elo udah.....?"
Watik tertunduk; ada perasaan takut!
"Buat elo pembalutnya?"
38 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Iya, Bang...."
Bang Jupri tertawa senang sambil menjawil pantat Watik.
Watik ketakutan dan mundur beberapa langkah.
"Nih! Bawa, bawa, deh!" bang Jupri mengambil sebungkus pembalut wanita dari kiosnya. "Elo nggak
usah beli! Ini hadiah dari abang!" Bang Jupri menghadiahinya pembalut wanita. Dan uang dari mbak
Nunik dikembalikan lagi padanya.
"Makasih, Bang..."
"Wah, mami Santi pasti seneng banget denger lo udah dapet! 'Ntar abang yang nganter ke sana,
deh!" Mendengar nama mami Santi, Watik makin takut. Dia bergegas pergi. Bang Jupri menatapnya
dengan tatapan seekor harimau yang sedang mengincar buruannya!
Sepulang dari warung bang Jupri, Nunik menyuruh Watik mandi. Bahkan shampo mahal dan sabun
wanginya dihadiahkan padanya. Setelah mandi, mbaknya mendandaninya!
"Coba, pake baju Mbak! Belum lama, lho!" Nunik memakaikan bajunya sendiri ke tubuh Watik, yang
suka dipakainya setiap malam Minggu di perempatan Cengkareng.
Watik sangat senang. Baju mbaknya ternyata pas!
"Wah, badan kamu emang bongsor, ya!" Nunik sangat puas. "Sebentar lagi Mbak kesusul sama
kamu!" 39 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Baju Mbak buat Watik?" dia tidak percaya ketika melihat dirinya di cermin ukuran 40 kali 20 cm,
yang menempel di dinding triplek kamar.
"Iya, buat kamu!" Nunik mengangguk senang sambil memolesi wajah Watik dengan bedak mahal.
Lalu memolesi bibir Watik dengan lip stick yang warnanya tak luntur.
Watik diam saja. Dia membiarkan dirinya didandani mbaknya. Dia merasa dirinya menjadi boneka.
Setiap hari, dia selalu bermain dengan boneka Barbie yang ditemukannya di tempat sampah di
belakang terminal. Boneka yang tidak utuh lagi. Hanya ada satu tangan dan satu kaki saja. Tapi, dia
cukup bahagia mendapatkannya. Dia cukup senang bisa menimang-nimang boneka barbie.
Sekarang Watik merasa dirinya menjadi boneka Barbie. Watik yang anak jalanan, yang suka
mengamen dengan ecek-ecek di perempatan Grogol atau bus kota jalur Kalideres - Gambir, sudah
tak ada lagi di cermin itu. Yang tampak di matanya adalah, Watik yang bukan anak-anak lagi. Kini
dirinya sudah dewasa. Sudah jadi wanita. Padahal umurnya masih 12 tahun.
"Lihat! Lihat kamu, Watik!" Nunik merasa bangga dengan hasil karyanya. "Inilah metamorphosa!
Kamu cantik sekali!"
Watik melihat ke cermin. Dia meraba dadanya, yang kelihatan. Kalung dari kulit lusuh dengan
bandul huruf "C" makin menyolok di antara belahan dadanya yang sudah besar. Kulit dadanya yang
tidak kena matahari ternyata putih semakin membuat kontras keberadaan kalung itu.
Tiba-tiba saja Watik merasa seperti ada yang menampar. Terutama hati nuraninya! Oh, dia kini
merasa asing dan malu mendapati dirinya seperti itu. Di cermin, dia melihat dirinya menjadi barang
aneh. Baju mbak Nunik ini bahannya serba sedikit. Bagian atasnya terbuka. Bagian bawahnya
hanya sampai pangkal paha. Watik makin malu.
*** 40 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Beginikah metamorphosa itu"
Apa nanti kata si Udin, yang suka wanti-wanti ngingetin sholat" Apa juga kata Pak Wahid, guru
ngajinya" Pasti dia marah besar! Watik ingat, hampir setiap saat, Pak Wahid selalu mengingatkan
anak-anak yang ikut mengaji di mushola kampung, bahwa mempertontonkan tubuh itu haram
hukumnya. Dosa. Allah akan menyiksa kita di neraka nanti! Watik suka takut membayangkannya!
"Kenapa, kamu?"
"Itu Watik, Mbak?" dia pangling melihat dirinya di cermin.
"Iya! Itu kamu! Cantik, ya! Kayak Iis Dahlia!"
"Tapi, Mbak....."
"Tapi, apa....?"
"Watik malu...."
"Malu, kenapa" Baju ini kan Mbak beli. Bukan nyuri..."
"Ini, Mbak... Kelihatan....."
Nunik tertawa. "Oh...., itu.... Nggak apa-apa. Nanti juga biasa. Malah kamu kelihatan seksi, lho!"
"Watik takut...."
41 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Takut sama siapa?"
Watik menunduk. "Pak Wahid?" "Iya...." "Biar nanti Mbak yang ngomong!" katanya kesal. "Pokoknya, mulai sekarang, kamu nggak usah
pergi ngaji lagi!" nadanya mulai marah.
Watik menunduk. "Tapi, ada yang lebih Watik takutkan, Mbak....," suaranya mulai tersedak di
tenggorokan. "Siapa lagi" Si Udin?"Nunik mulai kesal.
Watik menangis, "Allah, Mbak....."
"Hah" Allah" Kamu ini! Sok suci amat!"
Watik menangis. "Udah, diem! Jangan cengeng!"
Watik menahan tangisnya. 42 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tadi Bang Jupri... udah kamu kasih tau kalau kamu itu udah dapet?"
Watik mengangguk dengan perasaan takut.
"Nanti 'Mbak ngomong sama Bang Jupri! Kapan Mbak bisa bawa kamu ketemu mami Santi. Lebih
cepet lebih baik! Supaya kamu bisa ikut kerja ama 'Mbak!"
"Kerja ama Mbak?"
"Iya!" Nunik melotot. "Pokoknya, mulai sekarang ikut aja apa kata 'Mbak! Ngerti kamu!"
Watik mengangguk. "Udah, buka bajunya!"
Watik menurut. Dia jadi takut kalau melihat mbaknya marah. Dia juga suka kasihan, melihat
mbaknya pulang shubuh sehabis kerja. Jalan mbaknya sempoyongan, wajahnya pucat, bedak dan
lip sticknya belepotan pula. Mbaknya banting tulang untuk biaya hidup mereka sehari-hari.
Khabar Watik kedapatan menstruasi pertama dengan cepat menyebar di lingkungan tempatnya
tinggal, sebuah perkampungan di gang kecil yang padat dan kumuh. Pasti bang Jupri yang jadi
pengeras suaranya. Akibatnya, Watik mendapat banyak berkah. Begitulah setidak-tidaknya versi
Nunik. Tapi versi Watik, malah menstruasi pertamanya ini ibarat mendapatkan petaka!
"Asalamualaikum!" Prapti yang asal Yogya masuk.
"Waalaikumsalam!" Nunik membalasnya.
43 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Halo, nuhun sewu!" kali ini Titik yang asli Surabaya nyelonong.
"Endere langkung!" suara Rini, wong Madiun.
"Punteeeeeeen!" Lilis dari Ciamis juga ikut nimbrung.
Tetangga-tetangga sekontrakan, segang, bahkan sekampung berdatangan menjenguk Watik.
Semua berlomba-lomba ingin menjadi orang yang paling peduli akan nasib Watik. Ada yang
membawa jeruk, pepaya, apel, pembalut, bedak, lipstik, dan jamu! Nunik menerima oleh-oleh itu,
tapi Watik memilih diam di kamar merenungi peristiwa ini.
"Lihat, Watik! Lihat! Metamorphosamu membawa berkah!" mbaknya tertawa senang memegangi
kedua bahunya. Watik diam saja. Nunik menatapnya dengan kesal.
Para tetangganya berjejer melontarkan senyum pada Watik. Senyum maut; senyum yang
menawarkan kemudahan dalam memperoleh uang. Kerja enak, mudah, tak perlu banting tulang,
tapi uangnya banyak! Watik tidak membalas senyum mereka. Dia hanya melihat di meja plastik di ruang depan, penuh
dengan oleh-oleh dari mereka. Tapi dia tidak bersemangat dengan hadiah-hadiah itu. Baginya, tidak
lama lagi......... menstruasi pertama ini akan membawa dirinya ke sebuah malapetaka
berkepanjangan. "Piye, toh! Kok, malah sedih?" Prapti menjawil pipi Watik yang seperti buah tomat.
44 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik merasa jengah. "Kalian bisa maklum 'kan... Dulu, aku malah lebih parah!" Nunik mengingatkan para tetangganya.
"Nggak po-po, 'Mbak...Biasalah itu," Titik tersenyum.
"Iya! Nggak apa-apa!" Rini menimpali.
"Watik, sini, sini! Ikut sama aku aja. Kerja di restoran pasti lebih enak, lho!" ajak Prapti, yang bekerja
jadi pelayan di restoran Jepang. "Tempatnya dingin lagi! Pake a ce! Bisa cuci mata, lho. Siapa tau,
ada lelaki Jepang nyasar" Kamu bisa jadi piaraannya! Syukur-syukur diajak ke Jepang!"
"Atau ikut gue kerja di panti pijat aja! Cewek montok kayak lu, pasti lumayan gede tipnya!" Titik
merayu, sambil telunjuk dan jempol tangannya digesek-gesekan.
"Kalo gue lihat-lihat, bodi lu pas banget buat jadi penari strip tease!" Leni menaksir-naksir. "Gimana"
Lu mau kan kerja ama gue" 'Ntar gue ajarin, deh! Pokoknya, serahin aja ama gue!"
"Mending sama saya saja atuh. Kerja di hotel. Lumayan juga. Semuanya udah disediain. Kita mah
tinggal datang saja. Nemenin tamu yang minta ditemenin. Kamu pasti cepet laris, kayak pisang
goreng!" Lilis tertawa cekikikan.
Nunik tersenyum. Lalu dia menggeleng. "Aku bisa digorok mami Santi, kalau ngijinin Watik kerja
ama kalian! Jauh-jauh hari, dia ini udah dipesen mami Santi!" katanya tegas.
Watik lagi-lagi diam saja. Dia hanya ingin pergi!
Ya, pergi! 45 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jauh sekali! *** Bab Enam KUPU-KUPU PELANGI Watik menatap lagi kepompong yang menggantung di ranting pohon sirsak. Persis di daunnya yang
sudah kering. Kepompong itu kosong melompong. Dia mencari-cari ke udara. Dia ingat perkataan
mbaknya. Dari ulat, makan daun, kepompong, lalu jadi..... Saat itu juga seekor kupu-kupu yang
sayapnya berwarna-warni seperti pelangi, terbang rendah di atas kepalanya! Bahkan hampir
menyerempet kepalanya. Tangannya bergerak ke atas; hendak menjamahnya.
Watik tiba-tiba tertegun. Dia merasa melihat ada seberkas cahaya menempel di sayap kupu-kupu!
Sinar yang memberi penerangan pada dirinya, bahwa di sana ada sebuah jalan benderang yang
harus dilewatinya. Jalan lurus menuju tempat-Nya.
Kupu-kupu pelangi seolah menyapanya, "Selamat pagi, Watik!" Juga seperti mengajaknya terbang
untuk melihat isi dunia! Untuk bebas lepas menghirup udara!
"Selamat pagi, kupu-kupu!" jawab Watik bersedih.
"Kenapa kamu bersedih, Watik?"
"Aku iri sama kamu. Aku nggak punya sayap. Aku ingin terbang menjemput seberkas cahaya
sepertimu! Ayo, bawalah aku terbang!"
Tapi kupu-kupu pelangi tak berdaya. Dia hanya bisa hinggap di pohon sirsak, tempat di mana dia
46 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berasal. Watik mendekatinya. Mencoba meneliti warna sayapnya. Kupu-kupu pelangi diam saja;
seolah memberi kesempatan pada anak jalanan itu untuk menikmati keindahan kedua sayapnya
yang mirip warna pelangi.
"Warna sayapmu indah. Seperti pelangi!"
Kupu-kupu pelangi tersenyum sambil mengepakkan sayapnya. Lalu terbang terbawa angin.
Seberkas cahaya yang menempel di kedua sayapnya berpendaran dan hilang.
"Kenapa cahayamu hilang, wahai kupu-kupu?" Watik mengejar.
Kupu-kupu tak mengerti apa-apa.
Watik terus mengejar kupu-kupu pelangi; berlarian di lapangan di reruntuhan gedung, bekas
huru-hara Mei 1998 yang sudah dipenuhi alang-alang. Tapi dia terjerembab menimpa alang-alang.
Tubuhnya yang bongsor tenggelam di alang-alang. Dia memutar; tidur terlentang. Sebatang ilalang
dicabutnya. Dipilin-pilinnya di jemarinya yang lentik. Matahari pagi menyapa kulitnya yang
kecoklatan. Kupu-kupu pelangi hinggap di puncak alang-alang. Tubuhnya bergoyang-goyang mengikuti irama
ilalang yang tertiup angin pagi. Tubuhnya dekat dengan Watik, yang menatapnya dengan perasaan
sedih. Watik iri dengan kebebasannya. Dia mencoba meraihnya. Tapi, hanya ujung jarinya saja,
yang hampir menyetuh sayap kupu-kupu pelangi.
Watik mengadu padanya. "Wahai, Kupu-kupu pelangi," katanya. "Watik takut sekali. Watik tahu
yang ada di pikiran 'Mbak Nunik dan Bang Jupri. Malam Minggu kemarin, si Sadiah dibawa sama
mbak Nunik dan bang jupri ke mami Santi. Sadiah disuruhnya kerja di perempatan Cengkareng.
Pulangnya, Sadiah nangis. Katanya, dia dibawa pergi ke hotel sama om-om gendut."
Kupu-kupu pelangi gelisah di pucuk alang-alang. Dia terbang rendah dan hinggap lagi.
"Apa yang harus Watik lakukan, Kupu-kupu?" Watik merasa takut.
47 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kupu-kupu pelangi mengepak-ngepakan sayapnya lagi.
"Watik nggak mau kayak Sadiah!" Watik menangis. "Watik takut sama si Udin. Sama pak Wahid.
Takut sama Allah. Takut sama api neraka."
Kupu-kupu pelangi terbang tinggi.
"Tunjukkan sama Watik seberkas cahaya-Nya!" katanya terisak.
Kupu-kupu pelangi terbang makin tinggi.
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Angin berhembus kencang. Alang-alang merunduk. Kupu-kupu pelangi tak hinggap lagi.
Watik memilin-milin batang alang-alang. Dia menunggu kupu-kupu pelangi hinggap di pucuk
alang-alang. Tapi tak kunjung tiba. Watik mengitari pandang; mencari-cari kupu-kupu pelangi.
"Kupu-kupu pelangi" Di mana kamu?" dia bangkit. Dia duduk dan bersedih.
Watik merindukan kupu-kupu pelangi. Kedua matanya yang digenangi air mata memicing; mencoba
mencari-cari seberkas cahaya di langit sana. Tapi, dia tak bisa melihatnya, karena sudah terbias
oleh cahaya matahari yang mulai terik.
Angin makin kencang. 48 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Alang-alang kini bersujud.
Watik berdiri. Dia berjalan di sela alang-alang yang hampir rebah tertiup angin. Rambutnya tergerai.
Dia masih mencari kupu-kupu pelangi.
Hari makin siang. Watik dirundung sedih. Dia kehilangan kupu-kupu pelangi.
Kehilangan seberkas cahaya-Nya.
*** Watik bergegas menuju rumahnya di perkampungan padat di daerah Kalideres. Si Udin pasti
mencarinya untuk pergi mengamen dengan minus onenya ke perempatan Grogol. Tapi yang dia
dapati di depan rumahnya adalah mbak Nunik, yang sedang menyisiri rambut panjangnya yang
basah. "Ke mana aja kamu?" Nunik menyelidik.
"Abis main di lapangan, Mbak...."
"Sama siapa?" 49 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sendirian..." "Pasti sama si Udin!" hardiknya.
"Nggak, Mbak....."
"Dia udah tau, kalau kamu dapet?"
Watik menggeleng. "Mulai sekarang, kamu nggak usah ngamen lagi!"
"Sama Si Udin?"
"Sama siapa aja! Terutama Si Udin! Kalau dia tahu kamu udah dapet, bisa bahaya kamu maen
sama dia!" "Bahaya maen sama Si Udin?"
"Iya! Dia kan udah gede! Udah tujuhbelas tahun tahun sekarang! Pasti dia udah pernah nonton vi si
di porno! Yang iklan sabun itu!"
"Terus, Watik kerja apaan?"
"Bawel! Udah! Ganti baju, sana!"
50 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kan, yang ini masih bersih?"
"Cerewet kamu!"
Watik jadi takut kalau mbaknya sudah marah.
"Bajunya udah Mbak siapin di dipan!"
Watik mengangguk. Jam sepuluh, kita ke rumah mami Santi! Bang Jupri tadi ke sini! Dia udah nilpon ke mami Santi! Kita
ditunggu jam setengah duabelas!"
Mendengar nama mami Santi dan Bang Jupri, Watik berjalan dengan sedih ke dalam rumahnya.
Rumah mereka. Rumah petak berdinding bata dan triplek.
Di dalam kamar mbaknya- Watik tidur di ruang tamu, baju yang harus dipakainya teronggok di
dipan. Baju yang bagus. Watik ingat, mbaknya membeli baju itu sebulan yang lalu. Kata mbaknya,
yang membelikan baju itu Mas Wawan, buruh pabrik di Tangerang. Watik bisa menilai, sebetulnya
Mas Wawan lelaki yang baik dan bermaksud jadi pacar mbaknya. Atau kalau perlu menikahi
mbaknya. Mas Wawan pernah mengutarakan maksudnya kepada Watik. Tapi mbaknya kelihatan
acuh tak acuh. Hari ini mas Sunar, besok Om Ramdan, besoknya lagi Kang Wawan! Buat mbaknya,
semua laki-laki diperlakukan sama saja. Yang penting bagi mbaknya, laki-laki itu berduit!
Watik mendekati dipan. Dirabanya baju mbaknya. Tangannya gemetar. Tiba-tiba saja berkelebatan
masa lalunya. Hidupnya empat tahun yang lalu. Dia dan mbaknya masih tinggal bersama bapak
dan ibu mereka di daerah Tanah Abang, di bantaran sungai Ciliwung. Rumah mereka terbuat dari
papan. Atapnya kadang tak mampu menahan curahan hujan. Kalau banjir, rumah mereka pasti
terbawa hanyut! Bapak mereka mati terbakar di mall saat kerusuhan Mei 1998 bersama
bapak-bapak kawan mereka juga. Saat itu banyak orang bodoh dan miskin seperti bapak mereka,
yang menjarah sembako di mall untuk makan. Tapi, bapak mereka kena kualat; mati terpanggang
api! 51 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bapak mati karena dibakar! Mbak lihat, kok! Ibu sebetulnya udah ngelarang Bapak masuk ke mol!"
mbaknya pernah dengan marah nyeritain peristiwa kebakaran itu. "Tapi, Bapak tetep pergi!"
"Siapa yang yang ngebakar, Mbak?" Watik penasaran.
"Ssst..., kamu nggak perlu tau. Kalau pun tahu, kamu mau apa?"
Watik mengangguk, menuruti apa kata mbaknya.
"Kuburan Bapak juga nggak ada. Semua yang mati kebakar di mol-mol, pada diangkutin ke suatu
tempat. Nggak tau di mana!" kata Nunik lagi masih dengan marah.
Ya, Bapak mereka kuburannya tidak ada. Kalau berziarah, mereka bersama ibu pergi ke mall, yang
kini sudah dibangun lagi dan makin bagus saja.
Sepeninggal bapak, ibu banting tulang membiayai sekolah mereka. Pagi jadi kuli angkut di pasar
Tanah Abang, siang jadi pengemis di stasiun kereta, dan malam keluyuran di Bongkaran, berharap
ada lelaki nyasar yang mau memanfaatkan tubuhnya demi beberapa lembar ribuan! Tapi, ibu tak
kuat lagi. Dua tahun lalu, ibu mati terkena penyakit miskin dan kelamin
Sejak kematian ibu, mbaknya mengajak Watik pergi dari Tanah Abang. Rumah mereka digusur
untuk jalur hijau. Mereka hanya membawa tas sekolah dan beberapa lembar baju. Di antaranya ada
seragam SD mereka; merah dan putih! Padahal mbaknya sudah kelas 6 SD dan Watik 2 tahun di
bawahnya. Untuk makan, mereka jadi pengamen ecek-ecek di perempatan Grogol atau di
perempatan Cengkareng. Mereka tidur di sembarang tempat. Kadang di bawah jembatan layang
Grogol, di pasar Cengkareng, di emperan toko, atau di terminal Kalideres.
Setahun lalu, mbaknya kedapatan menstruasi. Hidup mereka berubah. Mbaknya tidak ngamen
ecek-ecek lagi, tapi bekerja dengan mami Santi. Baru sebulan bekerja, mbaknya sudah sanggup
menyewa kamar petak ukuran 6 kali 3 meter. Dengan ruang depan untuk menerima tamu plus
tempat tidurnya beralaskan kaur busa tipis, satu kamar tidur untuk mbaknya, dan dapur kecil. Kamar
mandi ramai-ramai dengan penghuni kamar petak lainnya. Pemilik kamar-kamar petak ini mami
Santi. Walaupun sempit dan pengap, Watik bangga menjadi penghuninya ketimbang tidur di
52 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
jalanan, yang sangat tidak aman, karena suka ada yang iseng nyingkapin roknya!
Mbaknya menyuruh Watik berhenti sekolah. Alasan mbaknya, selain tidak ada biaya, juga tak ada
gunanya sekolah bagi mereka. Toh, ujung-ujungnya tetap kembali ke jalanan. Watik kecewa, tapi
tak bisa berbuat apa-apa. Kini yang berkuasa atas dirinya adalah kakaknya.
Lalu Watik menenggelamkan kepedihannya dengan mengamen ecek-ecek di perempatan jalan
atau di bus kota. Atau sesekali ikut belajar di sekolah tempat penampungan anak-anak jalanan di
pasar Cengkareng. Gratis. Yang ngajar kakak-kakak mahasiswa.
Dua bulan yang lalu, Watik berkenalan dengan si Udin, yang ngamen memakai minus one. Mereka
bertemu secara tidak sengaja di atas bus. Watik yang hendak ngamen dengan ecek-ecek awalnya
takut. Biasanya kalau di dalam bus ada pengamen seperti Si Udin, Watik memilih turun. Kalau tidak,
dia bisa didamprat. Tapi, si Udin malah mempersilahkannya untuk ngamen. Ketika bus berhenti di
perempatan Grogol, si Udin mengajaknya turun.
"Gue sering lihat lo!" kata Si Udin.
Watik tersenyum malu-malu.
"Rumah gue sama rumah lo cuma beda gang doang!"
Watik mengangguk-angguk, pertanda senang.
"Biasanya yang nyanyi si Ida. Tapi, dia balik kampung! Hamil!"
Watik mendelik. "Bukan gue yang ngehamilin! Enak aja lo!"
53 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik tersenyum lucu. Lo mau gantiin si Ida?"
"Apa?" "Lo ngamen ama gue!"
"Saya" Nyanyi pake gituan?" Watik menunjuk kotak yang diteteng si Udin.
"Iya! Gampang banget, kok! Ntar gue ajarin! Yang penting lo mau dulu. Ntar duitnya kita bagi. Lo
dapet sepertiganya!"
Watik mengangguk mau. "Tapi, ada syaratnya!"
"Kok, pake syarat segala?"
"Lo mesti rajin sholat!"
"Itu doang?" "Lo mesti ikut pengajian di mesjid terminal sama Ustadz Wahid!"
54 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik berpikir. "Gimana" Mau, nggak?"
"Saya mesti bilang sama mbak Nunik."
"Bilang sama mbak lo! Gue anaknya babe Romli!"
Dikabari begitu oleh Watik, mbak Nunik manggut-manggut. Siapa yang tidak kenal sama babe
Romli, jagoan terminal Kalideres!
*** Tapi sekarang mbak Nunik melarangnya pergi mengamen bersama Si Udin. Bahkan mengaji di
mesjid terminal Kalideres! Semua gara-gara dia menstruasi. Gara-gara dia bermetamorphosa; dari
anak ke dewasa. Dia jadi wanita sekarang, karena sudah datang pada masa haid.
Watik betul-betul menyesal, karena mengalami menstruasi!
Tiba-tiba, "Heh! Kok, ngelamun!" hardik Nunik.
Watik kaget dan takut. Lamunan masa lalunya buyar.
55 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Cepet, pake bajunya!" Nunik menarik ujung pakaiannya.
Nggak mau, Mbak," Watik mundur.
Nunik kaget. Dia menatap Watik dengan tidak percaya. Matanya terbelalak. "Sejak kapan kamu
nggak nurut sama Mbak"!" bentaknya marah.
Watik menunduk. Dia selalu tidak berani jika melihat mata mbaknya terbelalak.
"Ayo, pake!" Nunik melemparkan bajunya.
Baju itu membentur tubuh Watik. Sebelum jatuh, buru-buru kedua tangan Watik menahannya.
Dipeganginya lama-lama baju itu.
"Cepet! Udah jam sepuluh, tau! Ntar macet lagi!"
"Tapi,Mbak....," Watik menggeraikan baju mbaknya.
Nuniek tidak banyak bicara lagi. Dengan kasar dia menarik tubuh Watik. Dia menurunkan resleting
di punggung Watik. Mempreteli pakaiannya. Sekilas dia melihat tubuh Watik, yang memang
dambaan para lelaki hidung belang! Tapi kadang-kadang dia iri, kenapa Watik diberi wajah yang
lebih cantik darinya. Diberi kulit yang lebih putih darinya. Diberi tubuh yang lebih indah darinya.
Tapi, kalau dia ingat apa yang dikatakan almarhum ibunya tentang Watik, rasa iri itu berubah jadi
benci! Ya, aku benci sama Watik! Kecantikan dan kemolekan tubuhnya, harus mendatangkan uang
buatku! Terbayang sudah komisi dari mami Santi, yang akan masuk ke kantongnya. Aku capek jadi
orang miskin! gerutu batinnya. Begitu setan membisiki kedengkian ke dalam diri Nunik.
"Ayo, pake baju 'Mbak!" hardiknya kesal.
56 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik menurut saja, ketika mbaknya memakaikan baju ke tubuhnya. Tapi dia merasa kelopak
matanya hangat. Apalagi ketika dia melihat ke cermin! Dia melihat dirinya menjadi orang lain. Baju
sack dress, baju terusan yang ketat dengan bagian atasnya yang terbuka. Ampuni aku, ya Allah!
Dia merasa air mata hangat mengaliri pipinya.
"Lihat! Lihat, Watik!" Nunik dengan kasa mencengkram bagian belakang leher Watik. Juga
mendorong tubuhnya, agar semakin mendekati cermin. "Kamu lebih cantik dari Mbak! Lebih seksi!
Semua orang pasti menginginkan kamu! Dan kita akan kaya!" Nunik menyeringai seperti setan
jahanam. Watik kini terisak-isak! Di dalam hatinya, ada terselip perasaan aneh, kenapa tiba-tiba ada tanduk di
kepala mbaknya! Kenapa dua gigi taring mbaknya menjulur ke luar dari mulutnya. Kenapa juga bola
mata mbaknya merah menyala. Lidahnya terjulur bagai lidah api! Mengerikan! Dia jadi tidak
mengenal mbaknya. Pada saat-saat seperti inilah, dia sangat membutuhkan seberkas cahaya dari
langit. Tapi, kupu-kupu pelangi pemmbawa seberkas cahaya itu terbang entah ke mana. Oh,
seberkas cahaya, datanglah pada kami! Terangi hati mbak Nunik!
Gimana" Udah pada siap?" tiba-tiba terdengar suara berat.
Watik seperti dipaku ke bumi. Dia makin membutuhkan seberkas cahaya itu untuk menerangi jalan
hidupnya. "Udah!" Nunik menyeret Watik.
Watik hampir saja terjatuh diseret Nunik. Dia hapal suara di pintu kamar itu. Dia melihat bang Jupri
menyeringai! Wajah preman ini lebih mengerikan dari mbaknya.
"Lo kayak mangga mateng, Tik!" bang Jupri meremas pantat Watik.
Nunik melotot kesal. "Awas! Kalo lo macem-macem sama si Watik! Gue laporin sama mami Santi,
tau rasa lu!" 57 Si Badung Si Badung Jadi Pahlawan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bang Jupri tertawa. Tiba-tiba, tanpa mereka duga, sebuah benda berkelebat menghantam kepala bang Jupri! Preman
yang sehari-hari buka warung sembako itu roboh ke lantai. Tak bangun lagi!
Nunik menjerit-jerit minta tolong.
Terdengar suara ribut di luar.
Watik tak mampu berkata-kata ketika lengan si Udin menyeretnya keluar!
"Ayo! Ikut gue!" Si Udin melindunginya seperti seorang pahlawan.
Tak ada seorang pun yang berani menolong, begitu si Udin keluar menarik Watik. Mereka hanya
bisa melihat ke dalam rumah; dimana Nunik sedang membangunkan si Jupri. Darang mengucur dari
kepala preman perempatan Cengkareng itu.
"Brengsek lu, Din!" Nunik memaki dengan panik. "Bang Jupri! Bangun, Bang!" dia membangunkan
lagi. Watik pasrah. Dia mengikuti saja ke mana si Udin membawanya lari. Dia merasakan udara
kebebasan mampir ke rongga dadanya. Dia menghirup sekehendak hatinya.
Tiba-tiba Watik dan Udin melihat kupu-kupu pelangi menyembul dari rimbunnya alang-alang.
Kupu-kupu pelangi itu memancarkan seberkas cahaya! Dia terbang rendah di atas kepala mereka.
Watik berusaha menjangkaunya! Lengannya menggapai-gapai! Kupu-kupu pelangi itu
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
58Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
terbang selangkah lebih maju; seolah jadi penunjuk jalan buat mereka! Seolah menjadi seberkas
cahaya, yang menerangi jalan mereka!
Jalan lurus itu kini seperti terbentang di depan mereka! Benderang diterangi seberkas cahaya.
*** Angin sore menampar dengan keras.
Angin amarah. Debu-debu yang dilewatinya berterbangan membentuk lingkaran yang makin lama makin
membesar ke atas. Sepreti angin puting beliung. Segala macam sampah terbawa masuk ke
pusarannya. Hembusannya menyusuri gang-gang sempit labirin di perkampungan dekat terminal. Semua orang
yang lalu-lalang di gang sempit meminggir, karena tidak mau tergulung oleh angin amarah! Mereka
memilih cari selamat. "Minggir, minggir!" hardik seorang kurcaci.
Orang-orang menurut; meminggir dengan wajah pucat pasi. Bikin ulah sedikit saja, mereka yakin
hidup tak akan selamat. Mereka sudah hapal siapa yang datang bersama angin amarah di sore
yang panas. Jupri berdiri di tengah-tengah angin amarah. Perban membebat kepalanya. Wajahnya garang.
Kedua matanya merah membara. Setan sudah merasuki jiwanya. Setiap dia melangkah,
permukaan tanah yang diinjaknya seperti membekas oleh jejaknya! Tampak sekali setiap ayunan
1 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
langkahnya sudah dikendalikan oleh iblis jahanam.
"Mana rumah babeh Romli! Mana!" hardik kurcaci yang lain.
"Biar mampus tuh orang!"
"Heh! Mau lari ke mana lo?" seorang kurcaci mencekal lengan seorang anak kencur.
"Ampun, Bang......," anak kencur ini ketakutan. "Gue nggak tahu apa-apa!"
"Lo pingin selamat?" Bang Jupri mencekik rahangnya.
"Aah....," si Kencur tidak bisa berbicara.
"Lo tunjukin rumah babeh Romli! Cepet!" Jupri melepaskannya.
"Sana, sana, Bang!" si Kencur menunjuk ke ujung gang. "Belok kanan. Yang banyak taneman
hiasnya!" "Sana, pergi lo!" seorang kurcaci menendang pantatnya.
Si Kencur lari terkencing-kencing.
Jupri kembali melangkahkan kakinya. Para kurcacinya membentengi. Akibat dari gerakan kedua
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki dan ayunan kedua tangannya mengakibatkan angin kemarahan yang luar biasa. Semua orang
yang berpapasan langsung mengkerut nyalinya.
2 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bang Jupri sudah sampai di depan rumah yang banyak tanaman hiasnya. Rumah kecil yang cukup
asri di tngah pengapnya perkampungan kumuh di belakang terminal.
Gimana, Bang?" Jupri mengangguk dengan senyuman kejam terlukis di ujung bibirnya.
Lalu : braaaaak! Pintu rumah babe Romli terbelah dua!
Para kurcaci menyerbu masuk.
"Apa-apaan lo! Masuk ke rumah orang main rusak!" babe Romli terlonjak dari dipannya. Dia sedang
rebah-rebahan melepas rasa penat. "Kagak permisi lagi! Udah ngerasa jagoan lo!" dia tersinggung.
Jupri melompat masuk. Babe Romli menghalangi tubuh si Jupri dengan mata merah menyala.
"Mana anak lo!" si Jupri bukan preman kemarin sore. Walau pun umurnya terpaut 10 tahun, dengan
nyali besar dia mendorong tubuh babe Romli hingga terpental!
"Ngapain lo nyari anak gue"!" Babe Romli bangkit dan menatap tajam ke Jupri. Darahnya sudah
sampai ke ubun-ubun. "Lo liat perban ini, Be!" dia menunjukkan ke kepalanya yang diperban. "Anak lo punya kerjaan! Apa
3 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
nggak bangsat dia!" Babe Romli menatap Jupri dengan tajam. "Jadi, kepala lo bocor sama anak gue?" Dia tidak
percaya, jika anaknya yang menyebabkan kepala preman perempatan Cengkareng itu diperban.
Ada senyum kebanggaan muncul di bibirnya.
"Hm! Lu ngetawain gue, ya"!" Jupri tersinggung.
Babe Romli kini betul-betul tertawa.
"Anjing lo!" "Heh! Lo ini kagak ada hormatnya ama yang tua, ya!"
"Babe kayak lo nggak perlu gue hormatin!"
"Mulut lo dasar kaleng rombeng!"
"Mana anak lo! Gue mesti kasih dia pelajaran!" Jupri meradang dan mengobrak-abrik kursi plastik di
ruang depan. Babe Romli tidak terima diperlakukan begitu. "Heh! Kalo pun anak gue yang bikin pala lo bocor,
bukan berarti gue bakalan nyerahin anak gue sama lo!" Dia menjambret bagian belakang leher
kemeja Jupri. Tapi tanpa diduga, Jupri memutar lehernya dengan gesit. Tangan kanannya kini balik mencengkram
lengan babe Romli. "Heh! Lo pikir gue takut ama, lo" Tua bangkotan! Udah bau tanah, lo!"
4 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Babe Romli mengatupkan gerahamnya. Dia sedang menghimpun tenaganya untuk menahan
plintiran tangan Jupri. Dia sadar kalau dirinya tidak muda lagi. Dia juga tahu kalau Jupri cukup
ditakuti di kalangan preman. Khabar yang dia dengar, Jupri memiliki ilmu hitam! Tapi, untuk
melindungi anaknya, dia rela mengorbankan apapun!
Akhirnya perkelahian antara babe Romli - si preman terminal, dengan si Jupri - preman perempatan
Cengkareng, tak terhindarkan lagi. Jagoan tua versus jagoan muda. Pengalaman berbenturan
dengan gelora muda. Ternyata ilmu si Jupri lebih unggul dari babe Romli.
Kepalan tangan Jupri membentur rahang bawah babe Romli!
Bum! Babe Romli terjengkang dan terkapar.
Bang Jupri berdiri sambil bertolak pinggang di atas tubuh babe Romli. Kaki kananya menginjak
kepala babe Romli. Istri babe Romli yang baru datang dari pasar kaget dan shock! Dia memohon,
agar Jupri mengampuni suaminya. Orang-orang tak bisa berbuat apa-apa, karena kroco-kroco si
Jupri bersiaga di teras rumah babe Romli.
"Lo pilih mampus, ya"!" hardik Jupri.
Babe Romli masih punya nyali. Dia meludahi wajah Jupri dengan mata merah menyala. Jupri
mengusap wajahnya yang basah. Dia menyeringai. Kaki kanannya berayun. Buk! Persis di ulu hati!
Tulang rusuk babe Romli yang rentan tak mampu menahan tendangan jagoan muda itu. Babe
Romli tersedak! Darah segar muncrat dari mulutnya.
"Astaghfirullah....," nyak Romli menubruk kaki Jupri. "Ampuni Babe, Pri... Ampuni... Lo bukan lawan
sebanding ama Babe....," tangis nyak Romli merebak, bercampur dengan ratapan.
5 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jupri menghentakan kakinya. Tubuh wanita itu terpental. Babe Romli tidak bisa menerima istrinya
diperlakukan demikian. Tapi, untuk berdiri saja dia tak sanggup.
"Gue tau, lo dalangnya! Lo yang nyuruh si Udin nyulik si Watik!" Jupri menarik tubuh babe Romli
dan memepetkannya ke tembok. Sikut kanannya mengunci leher babe Romli.
Babe Romli merasa napasnya tersumbat. Matanya nyalang menatap Jupri. Terlukis di bola matanya
yang kerus perasaan dendam.
Buk, buk, buk! Kepalan tangan Jupri bersarang berkali-kali di tubuh tua itu.
"Lepasin babe, Jupri.... Lepasin....."
Jupri tidak mempedulikan rintihan nyak Romli. Dia malah terus memborbardir tubuh babe Romli
dengan tinjunya. "Bang..., bilang sama si Jupri, kenapa...."
"Diem lo...." Jupri menatap nyak Romlil. "Hm! Jadi Nyak tau di mana si Udin!" Kini Jupri beralih mangsa.
"Bukannya lo ngomong dari tadi!" Tanpa mengenal belas kasihan, wanita malang itu dihajarnya.
"Allahu Akbar....!" wanita itu terjerembab.
6 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bangsat lo, Jupri!" babe Romli seperti mendapat angin segar. Dia berhasil bangkit dan merangsek.
Dia berhasil menghajar bagian belakang kepala Jupri. Tapi, karena tenaganya sudah habis,
pukulannya tak berarti apa-apa.
Jupri membalik. Secepat kilat dan seperti petir menggelegar, tendangan kakinya menghantam
rahang babe Romli. Tak puas dengan itu, Jupri menyergap lawannya yang sudah terlentang.
Kepalan tangan kanannya teracung bagai godam!
"Jupri....., jangan.....," nyak Romli merangkak penuh kesakitan.
"Awas.... Lo jangan bilang......."
Nyak Romli menatap suaminya dengan perasaan pasrah. "Jupri... lepasin babeh, ya....."
"Asal nyak mau ngomong, di mana si Udin sembunyi!"
"Iya, iya......"
Babe Romli menatap tajam pada istrinya.
Nyak Romli menghindar. Dengan hati pedih, dia memberi tahu di mana anaknya berada. "Tadi sih
nyak liat......, Si Udin ke gedung bekas kebakaran Mei, yang di belakang terminal itu.... "
"Sama si Watik?"
"Iya......" 7 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Babe Romli terbatuk-batuk dan berusaha melepaskan diri dari Jupri. Tapi, preman muda itu
menghentakkan tubuhnya! Babe Romli terpental. Preman generasi tua itu mencoba bangkit. Tapi,
Jupri menendang rusuknya.
"Mampus lo!" Jupri meninggalkan mereka dengan langkah pongah.
Nyak Romli memburu suaminya.
"Ahhhh," babe Romli mengerang kesakitan.
Nyak Romli memeriksa tubuh suaminya sambil menangis. "Beh..., lo gak pa-pa kan......," ratapnya.
Babe Romli menatapnya dengan marah.
"Maapin aye, Bang. Aye kagak mau Abang kenapa-napa...."
"Udin......, Udin.....," babe Romli mencoba bangkit.
"Ikhlasin, Bang....."
"Jupri!" teriak Babe Romli terluka. "Kalo anak gue kenapa-kenapa, lo urusannya ama gue!" dia
mengingatkan Jupri. Tapi Jupri hanya menoleh sambil meludah, "Puih!"
Lalu Jupri hilang, diiringi para kurcacinya.
8 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
*** Angin senjakala bertiup lirih; seolah mengabarkan duka nestapa ke dalam reruntuhan bangunan
akibat Mei berdarah. Diam-diam terselip angin amarh di dalamnya. Akibatnya terasa sekali
ketakutan menyelubungi bangunan itu. Gelap dan memilukan. Mencekam hati nurani dua anak bani
Adam, yang bersembunyi di dalamnya.
"Gimana, Bang?" Watik ketakutan.
"Kita tetep ke rumah kakek gue di Pandeglang."
"Sekarang aja, Bang...."
"Bentar lagi. Tanggung. Nunggu mahgrib dulu."
"Watik takut, Bang....."
"Kan ada gue." "Watik takut kehilangan Abang..."
Udin tertegun. Umurnya masih muda. Dia lulusan STM. Karena tidak ada biaya, tak bisa
meneruskan kuliah. Akhirnya dia memilih jadi pengamen; denan harapan siapa tahu nanti uangnya
bisa digunakan untuk kuliah.
9 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bang..." "Iya, Tik..." Lalu bisu. Angin bertiup kencang. Alang-alang merunduk. Pucuk-pucuknya bersentuhan; menimbulkan bisikan
setan. Gelisah menerjang mereka.
"Bang...." "Iya....." "Watik punya firasat jelek...."
"Kita berdoa sama Allah."
Lalu hening. Mereka larut dalam doa keselamatan. Pada Allahlah mereka minta perlindungan.
"Harusnya tadi kita langsung ke terminal. Jangan mampir dulu ke rumah."
"Gue mesti bilang sama nyak-babe. Gue nggak mau mereka kenapa-kenapa,"
"Tapi, akibatnya jadi gini. Kita nggak bisa ke mana-mana. Watik takut sama bang Jupri. Kalau bang
Jupri nggak mati, dia pasti ngejar ke sini."
10 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bang Jupri nggak bakalan mati. Gue mukul kepalanya nggak keras-keras amat, kok!"
Watik tertegun. "Membunuh kan dosa...."
Watik lebih tertegun lagi, ketika terdengar suara Bang Jupri menggelegar bagai petir.
"Udiiiin! Keluar lo!"
Udin langsung memepet ke tembok. Dia mencoba melihat keluar lewat lobang di tembok. Bang
Jupri ditemani tiga orang kurcacinya! Bang Jupri sedang menyuruh mereka masuk ke gedung untuk
mengepungnya. "Gimana, Bang?" Watik gelisah.
Udin melihat ke Watik dengan wajah cemas.
Udah, nyerah aja, Bang!"
Udin terduduk. Dia menyender. Kedua matanya terpejam. Ya Allah, lindungi hambamu ini! Dia
memohon petunjuk. "Lo nyerah aja, Din! Lo udah dikepung! Lo nggak bakalan bisa ke mana-mana."
Watik menangis. Suara hatinya menerobos reruntuhan ini; terus ke langit. Dia berharap, semoga
ada seberkas cahaya yang membimbing dirinya dan Udin agar lepas dari kepungan Bang Jupri.
11 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kalau lo nggak nyerah, gue bisa bikin mampu nyak sama babe lo! Tadi, mereka masih gue beri
ampun!" Udin marah ketika kedua orangtuanya dibawa-bawa. Dia langsung bangkit. "Lo apaain mereka,
Bang!?" teriaknya marah.
Jupri tertawa, "Cuman gue kasih hadiah bogem aja!"
"Kalo ada apa-apa sama mereka, gue nggak segen-segen ngebunuh elo!"
"Nyali lo boleh juga!" telunjuknya menuding Udin.
Udin mendengar suara-suara. Dia melihat beberapa bayangan berkelebat dari arah belakang
gedung. Dia tahu kalau dirinya sudah terkepung. Dengan berbesar hati, dia meraih lengan Watik.
"Maapin gue, Tik. Gue nggak bisa ngapa-ngapain. Gue nggak bisa nyelamatin elo!"
Watik memeluk Udin. "Nggak apa-apa, Bang. Watik ikhlas, kok. Abang udah berusaha," katanya
paasrah. "Cuma Allah yang bisa nolong kamu sekarang."
Bebeberapa bayangan itu menyerbu Udin!
Watik hanya bisa menjerit.
Semuanya berlangsung dengan cepat. Para kurcaci itu memborbardir Udin. Awalnya Udin bisa
berkelit, bahkan melontarkan serangan. Tapi, para kurcaci juga bukan anak kemarin sore. Di serang
dari berbagai arah mata angin, Udin keteter.
12 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Udin mengrang, merintih, dan darah segar menciprati bumi.
Watik menangis dan mengadu pada Allah.
Tiba-tiba Watik melihat kupu-kupu pelangi hinggap di jendela. Cahaya matahari senja memantul di
sayapnya. Berkilauan. Oh kupu-kupu pelangi, bawalah kami terbang! Tolonglah kami!
"Ayo, ikut Abang!" Jupri menyeret Watik.
Watik tidak melawan. Dia pasrah. Dia melihat ke kupu-kupu pelangi, yang kini mengepakkan
sayapnya dan terbang. Kedua bola matanya mengikuti ke mana serangga indah itu terbang.
Ternyata dia hinggap di tubuh Udin yang tergeletak tak berdaya. Sekejap tubuh Udin diselubungi
cahaya! Ketika tubuh Watik diseret Bang Jupri ke luar dari reruntuhan gedung, kupu-kupu pelangi itu terbang
mengikuti. Di pandangan matanya, tampak cahaya langsung membias dari kepakkan sayap
kupu-kupu, sehingga kegelapan malam yang tadi runtuh menimpa dalam sekejap sirna sudah. Dia
merasa terhibur. Dia merasa tentram. Dia merasa alam di depannya terbentang terang benderang.
Tak ada rasa takut lagi di hatinya.
"Cepet, jalan lo! Lembek amat, sih!" bang Jupri makin keras menyeretnya.
Watik menengok; melihat tubuh Udin tergeletak tak berdaya di reruntuhan gedung. Di matanya, dia
melihat tubuh Udin bergerak-gerak.
Sementara itu di dalam mobil, Arum tetap mengaduk-aduk jalanan di sepanjang Daan Mogot. Dia
berharap bisa menemukan cucunya! Darah dagingnya. Dan dia juga berharap, akan muncul
kupu-kupu pelangi yang memantulkan seberkas cahaya; terbang satu langkah lebih maju darinya!
Nanti dia akan mengikuti ke mana saja kupu-kupu itu terbang. Dia yakin, kupu-kupu itu akan
membawanya ke tempat yang dituju!
13 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
*** Bab Tujuh GADIS PEREMPATAN JALAN Watik merasa pedih hatinya, ketika Nunik memoleskan lip stick ke bibirnya. Selain sedih karena
memikirkan nasib Udin, yang tergeletak tak berdaya di reruntuhan gedung itu, juga dia merasa
menjadi sesuatu yang aneh. Ketika bibirnya seinci demi seinci mulai disapu pemerah itu, dia seperti
sedang memasuki suatu wilayah yang panas membara. Suatu wilayah yang sering dikatakan Pak
Wahid - guru ngajinya, penuh dengan iblis, hawa nafsu, uang panas, alkohol, serta sebutan
sampah masyarakat. Suatu tempat yang penuh dengan noda dan dosa. Orang-orang yang berada
di sana; ganjarannya pasti api neraka! Bahkan mereka adalah kayu bakarnya!
Tubuh Watik mengggil; kedinginan dan kepanasan. Oh, Udin! Mestinya kau di sini menolongku!
Wajahnya kini bermake up tebal. Berbedak, berlip stick, dan alisnya digores dengan warna hitam
pekat. Dia merasa seperti boneka badut. Dia jijik melihat wajahnya sendiri. Perutnya langsung
terasa mual dan ingin muntah. Dia ingin sekali berlari ke kamar mandi dan mencuci wajhnya dengan
sabun cuci, supaya terbebas dari tangan-tangan setan.
"Lihat, tuh!" Nunik menyeretnya untuk dekat berdiri di depan cermin.
Watik membuang muka. Perih, periiiih! Hatinya merintih. Dia tidak ingin wajahnya bermake up tebal.
Dia hanya ingin melihat kulit wajahnya yang asli. Yang kata Udin "segar seperti buah tomat"! Tapi
kini kulit wajahnya dipoles make up tebal oleh mbaknya. Tak ada lagi dirinya di sana. Yang tampak
hanyalah kepalsuan dan kemunafikan. Dia sangat takut melihat dirinya seperti itu.
"Kenapa, kamu"!" Nunik mencengkram kepala Watik dengan kasar. Didorongnya kepala Watik lebih
dekat lagi ke depan cermin. "Lihat! Lihat! Semua orang kepingin punya wajah kayak kamu! Kepingin
punya buah dada yang besar kayak kamu! Badan seksi kayak kamu!"
Watik masih belum berani melihat ke cermin. Dia betul-betul takut cermin itu memantulkan
bayangan wajahnya yang mengerikan. Tiba-tiba tangannya terkepal. Dia ingin sekali memukul
cermin itu! Ingin menghancurkan bayangan setan yang menyeringai di sajna! Tapi, tangan Nunik
14 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mencekal kepalannya dengan keras.
"Heh, kenapa sih"!"
Watik tetap menunduk. Nunik menjambak rambut di bagian belakang kepala Watik dengan kasar. "Kalau si Udin ngelihat,
hah! Dia pasti bakalan nafsu banget! Disangkanya lo bintang film porno kali!" nada Nunik sinis.
Watik kini menatap mbaknya dengan penuh harap. Tentang cermin dimana dirinya tampak aneh
lupakan dulu saja. Yang ada di benaknya adalah si Udin. "Mbak..., gimana Udin" Mbak pasti tau
kan?" dia memohon. Si Udin aja kamu pikirin! Biar dia mampus sekalian! Bang Jupri dilawan!" kata Nunik sewot. "Tau
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa dia!" "Udin masih hidup 'kan, 'Mbak?"
"Masih hidup apa nggak, emang gue pikirin!" umpatnya kesal. "Udah, lupain tukang ngamen itu!"
"Tapi, Mbak..."
"Heh! Inget, ya! Kalau kamu macem-macem lagi, Bang Jupri nggak akan ngasih ampun! Ngerti
kamu!" Watik merasa kalah. "Kamu harus nurut sekarang! Kamu harus jadi pabrik uang! Mbak bosen jadi orang miskin, tau!"
15 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
katanya sadis. Watik menutup kedua matanya. Dia terisak-isak. Air matanya mengalir, membentuk sungai di
pipinya. Bedak yang menutupi wajahnya jadi kacau-balau. Topeng yang menutupi wajah aslinya jadi
berantakan. "Heh! Nangis lagi! Lihat, tuh! Jadi hancur bedaknya!" Watik membedaki lagi wajah Watik dengan
kesal. "Dasar nggak tau diuntung!"
"Kenapa Mbak tega nyuruh Watik jadi pelacur?" tanyanya bergetar. Kedua matanya yang basah
terbuka lagi. "Heh! Denger, ya! Mulai saat ini, kamu nggak usah manggil 'mbak' lagi!"
Watik menoleh; melihat ke mbaknya. Dia merasa aneh ketika mendengar mbaknya berbicara
seperti tadi. Nggak usah manggil 'mbak' lagi! Apa maksudnya ini"
"Apa kamu nggak ngerasa, kalau kita ini beda?" Nunik merasa kesal. Dia mencengkram bagian
belakang kepala Watik dan mendorongnya lagi ke cermin. "Lihat! Lihat! Apa kita ini sama?"
"Mbak...." "Jangan pura-pura bego kamu!"
Watik akhirnya melihat ke cermin. Dia menatap wajahnya. Lalu ke wajah mbaknya. Di sana tampak
dengan jelas, bahwa dirinya lebih cantik dari mbaknya. Kulitnya juga lebih putih. Hidungnya juga
mancung, berbeda dengan hidung mbaknya yang kecil dan mancung ke dalam.
"Lihat, lihat! Beda kan!"
16 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mbak....." Aku ini bukan mbakmu!"
"Mbak..., kenapa Mbak ngomong begitu" Watik ini adik Mbak...."
"Heh! Apa selama ini Ibu nggak pernah ngomong sama kamu?"
"Maksud Mbak?" "Dasar anak tolol!"
Watik memberanikan diri lagi menatap ke cermin. Dia meraba-raba wajahnya. Berbedakah aku
dengan Mbak" Tiba-tiba dia melihat wajah mbaknya berubah jadi menyeramkan. Di kepala
mbaknya muncul tanduk berwarna merah menyala; seperti besi panas! Bola matanya bahkan lebih
seram; merah membara seperti bara api! Mulutnya basah dengan jilat menjulur meneteskan air liur
kehijauan! "Mbak...........," Watik menggigil.
"Nih!" Nunik memegang bandul kalung "C" di leher Watik. "Baca, baca ama lo!" katanya dengan
kasar menghentakkan bandul kalung itu hingga membentur dada Watik. Dia sudah mulai berbicara
memakai bahasa jalanan. Watik meraih bandul itu dan melihatnya. Dia tak pernah tahu apa-apa dengan kalung berbandul
huruf "C" itu. Sejak dia lahir dan besar, kalung itu sudah ada di sana. Beberapa kali dia hanya
pernah mengganti talinya saja. Bahkan terakhir kali, Udinlah yang mengganti tali kalung itu dengan
kulit tanpa pernah menyinggung-nyinggung ada makna apa di balik bandul berhuruf "C" itu.
17 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tapi Nunik memberikan khabar yang mengejutkan sekaligus menyakitkan tentang bandul kalung itu.
"Mungkin huruf 'ce' itu nama ibumu!"
"Mbak..., ibu Watik ya ibu mbak juga...."
"Nyokap nemuin lo hanyut di sungai! Lo masih bayi waktu itu! Pasti lo anak haram!"
Petir menggelegar mencambuk hati Watik!
"Nanti kita bicarain soal itu!" bentak Nunik kesal. "Sekarang, ayo jalan!" Nunik menyeretnya. "Udah
jam tujuh, nih!" Watik seperti kerbau dungu. Tak sanggup melawan. Cengkraman tangan Nunik seperti lilitan
tangan-tangan raksasa bermata merah dan berlidah api; erat dan menyakiti kulit tangannya. Hatinya
patah. Bahkan remuk redam. Aku dibuang ke sungai sewaktu masih bayi" Hati Watik merintih
pedih. Anak haramkah aku" Watik berusaha membuah jauh pikiran-pikiran buruk di hatinya. Siapa
tahu mbaknya asal bunyi saja.
"Loyo banget sih lo! Ayo, cepetan!" Nunik menariknya.
Watik terhuyung-huyung dan hampir saja terjatuh. "Mbak, betul Watik anak haram?" dia bertanya
juga. Tak tahan dia memendam kegalauannya.
"Kalo lo bukan anak haram, kenapa lo dibuang ke sungai" Gila apa ortu kayak gitu! Maen buang
anak!" "Tapi, Mbak..."
"Jangan panggil lagi gue 'mbak'!" potong Nunik berang.
18 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik menangis pedih. Di pintu rumah Jupri muncul. Dia langsung melotot; seperti hendak memangsa tubuh Watik. "Gile!
Lo kayak bintang film, Tik! Asoy banget!" pujinya sambil menjilati air liurnya sendiri.
"Dasar!" Nunik memaki Jupri.
Jupri nyengir seperti kuda yang sedang penuh birahi. "Kenapa sih lo lindungin dia" Bukannya dia
anak pungut nyokap lo?"
"Heh! Lo jangan samain die ama gue, ya!" Nunik menuding wajah Jupri. "Dulu, lo boleh merawanin
gue, sebelum gue dilempar ke lampu merah! Tapi die!" Nunik menunjuk ke Watik. "Mami Santi udah
wanti-wanti! Lo sentuh dia, urusannya bukan ama gue! Tapi ama bang Oten! Berani lo lawan dia?"
Bang Jupri menelan ludah, pertanda keder. Bang Oten sangat kondang di kalangan preman. Dia
punya nyawa delapan. Pernah diberitakan tewas saat tawuran antar preman di Tanah Abang,
ternyata muncul di Kali Jodoh. Lalu dikabarkan tewas dalam kerusuhan Ketapang, malah nongol
jadi orang kesayangan Mami Santi.
"Heh, kok diem" Takut lo sama Bang Oten?" Nunik memanas-manasi.
Bang Jupri Cuma nyengir seperti kuda. Tapi sekedar untuk pelampiasan, tanpa ragu-ragu, dia
memegang pantat Watik. "Makin seksi aja lo!" katanya kasar. Bahkan meremas pantat Watik,.
Tentu saja Watik bereaksi. Dia menepiskan lengan bang Jupri.
"Lepasin tangan lo!" hardik Nunik. "Dasar buaya lo!"
19 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jupri melepaskan pegangannya. Tapi matanya masih menyiratkan hasrat primitifnya kepada Watik.
*** Matahari jatuh di langit barat Jakarta. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Tak ada yang mampu menahan bola
api raksasa itu. Seperti juga lampu merah yang harus menggantikan lampu hijau. Saat itu tak ada
yang mampu menahannya. Ya, lampu merah menyala. Semua kendaraan harus berhenti. Tak peduli itu kendaraan dengan merek apa dan harga berapa.
Semua harus berhenti mematuhi aturan itu; jika lampu merah di perempatan jalan menyala. Yang
melanggar, bunyi pluit Pak Polisi di sudut jalan sudah siap menghadang. Atau kata makian dari
kendaraan lain. Atau lagi kalau sial, resiko tabrakan akan muncul. Kini yang harus dipikirkan, ketika
nanti lampu berganti hijau, kita akan mengambil arah ke mana" Belok kiri, belok kanan" Atau terus
saja" Atau tak punya tujuan" Hati-hati juga, tengok kiri-kanan, karena kejahatan akibat kemiskinan
kadang memunculkan gigi-gigi taringnya!
Di Jakarta, perempatan jalan dan lampu merah bukanlah perhentian yang menyenangkan. Kadang
orang-orang berharap di Jakarta tak perlu lagi ada perempatan dan lampu merah, sehingga tak
akan ada lagi kecemasan. Begitu juga dengan matahari yang jatuh di langit barat. Jika sudah
begitu, di beberapa sudut Jakarta akan tersapu oleh kegelapan atau bayang-bayang hitam. Lampu
merkuri tak mampu menjangkau sampai sejauh itu. Di sanalah kejahatan bermukim dan sedang
mengasah ketajamannya. Beberapa saat kemudian, mereka akan menyebarkannya dalam bentuk
teror! Tapi matahari jatuh di langit barat dan lampu merah menyala di perempatan jalan tak akan ada
yang sanggup menahannya. Itu sudah aturannya. Seperti halnya siang dan malam. Hanya orang
yang berani dan terdesak saja, yang mengisi hidup di antara kegelapan dan kegelisahan akibat
teror kemiskinan. Mereka bergentayangan di antara gedung-gedung pencakar langit dan lampu
jalanan, yang langsung berhias dengan lampu-lampu merkuri. Pilihan yang diambil mereka untuk
menyambung hidup beragam; dengan cara putih atau hitam. Dengan cara yang diharamkan atau
dihalalkan. Seperti juga para wanita yang menais rezeki di perempatan jalan. Mereka memcoba memanfaatkan
lampu merah yang menyala untuk menjebak para mangsanya; dengan bau parfum, senyum gincu,
dan lekuk tubuh mereka yang dibalut busana super ketat serta serba minim.
20 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sekarang pun lampu merah menyala.
Mobil-mobil yang bermerek dan keluaran terbaru, serta tak bermerek dan keluaran lama berhenti.
Berjejer. Para wanita perempatan jalan berlenggak-lengok di trotoar. Tubuh mereka yang diumbar
diciprati lampu merkuri, berwarna-warna dan mengundang lidah untuk mencicipinya.
Arum berada di dalam mobil. Dia duduk di jok belakang mobilnya; mencoba menguliti keremangan
lampu merkuri di setiap perempatan jalan. Dia berharap kedua bola matanya berhasil menyibak
misteri belantara Jakarta. Di mana kau, cucuku! Batinnya hanya bisa berteriak. Tapi, tak ada yang
bisa mendengarnya kecuali Tuhan. Teriakannya terpental lagi ke tubuhnya. Dinding dan kaca
mobilnya tak mampu melemparkannya ke jalanan. Dunia di luar mobilnya sangat gemuruh dan
bergegasan; siap melindas apa dan siapa saja yang lemah.
Pak Rahmat yang setia menemaninya hanya bisa menghitung uban di kepalanya, yang bertambah
terus. Entah sudah berapa perempatan jalan mereka lewati. Sudah berapa lampu merah mereka
rasakan. Sudah berapa puluh ribu jam terbuang di kubangan-kubangan kemacetan lalu lintas.
Kedua kakinya hampir tak bisa membedakan lagi mana pedal gas dan kopling. Semuanya sudah
secara reflek menginjak; menjadi suatu keharusan berdasarkan naluri.
"Sudah berpuluh kali kita melewati perempatan jalan di Daan Mogot," Arum melontarkan napasnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Namanya juga kita sedang berusaha."
"Atau mungkin ratusan kali ya, Pak....."
"Iya, Bu..." "Tapi, saya tak pernah melihat anak perempuan, yang memakai kalung berbandul ce, Pak..."
21 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kalau saja Anton masih bersama kita, Bu."
"Iya. Mungkin Anton bisa memastikan, apakah kalung itu masih menempel di leher si bayi apa tidak,
" Arum mengeluh. "Apa di hotel tempat Anton menginap, nggak ada orang yang tahu ke mana
Anton pergi" Siapa tahu dia pernah bilang sama office boy" Atau sama front officenya?"
"Saya sudah tanyain semua orang di hotel, Bu. Hotelnya juga kecil. Jadi, pegawainya nggak
banyak. Mereka tahu kapan Anton check out. Tapi, mereka nggak tahu ke mana Anton pergi."
"Ya, kayaknya kkita harus sabar, Pak. Itulah kuncinya. Saya yakin, Allah pasti berpihak pada
orang-orang yang sabar."
"Insya Allah, semuanya akan berakhir dengan baik, Bu."
"Ya, insya Allah...."
"Allah 'kan sudah menjanjikannya, Bu."
"Pak Rahmat mungkin sudah bosan saya ajak keliling-keliling terus."
"Tidak, Bu." "Betul?" Lampu hijau menyala. 22 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pak Rahmat termenung sambil menjalankan mobilnya. Dia masih ingat peristiwa di saat hujan deras
itu. Dari dalam mobilnya dia melihat Tuan Bram menyeret Cindy, yang sedang hamil 8 bulan. Lalu
dia membawa Tuan Bram dan Cindy ke klinik. Di klinik itu dia melihat kupu-kupu pelangi yang
memantulkan seberkas cahaya. Dia tahu, bahwa Tuhan sedang memberi peringatan kepadanya.
"Pak Rahmat?" "Saya justru yang paling merasa berdosa, Bu."
"Saat itu kita memang sedang khilaf, Pak. Itulah kenapa kita melihat kupu-kupu pelangi, yang
memancarkan seberkas cahaya. Alhamdulillah, kita termasuk yang disayang oleh Allah dengan
diberi peringatan oleh-Nya."
"Ya, kupu-kupu pelangi yang memantulkan seberkas cahaya. Saya ketika melihatnya pertamakali,
Bu..., sangat takut sekali."
"Saya juga, Pak."
"Itu pengalaman yang sulit saya lupakan. Mungkin nggak akan bisa saya, Bu."
"Yah. Tidak semua orang bisa mengalami peristiwa itu, Pa. Tapi, sudahlah, Pak, jangan
membicarakan masa lalu lagi..."
CIIIIT! Tiba-tiba saja Pak Rahmat mengerem dengan mendadak. Mobil belum lagi jauh dari perempatan
jalan. "Allahu Akbar!" tubuh Arum terlonjak ke depan.
23 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Maaf, Bu, maaf..."
"Ada apa tho, Pak?"
"Itu, ada mobil berhenti mendadak."
Arum merendahkan kepalanya; mencoba melihat lewat jendela depan. Sebuah mobil berhenti
melintang menghalangi jalan. Beberapa gadis perempatan jalan yang berdandan menor merubung
mobil itu. "Astagfirullahaladzim...."
"Coba diteliti, Bu....."
"Diteliti?" Pak Rahmat tak meneruskan lagi usulannya. Dia merasa tidak enak. Tapi, Arum tak urung
terpengaruh juga. "Maafkan saya, Bu...."
"Iya, saya mengerti. Ada betulnya juga, Pak."
"Yang saya dengar, anak-anak perempuan yang siang harinya ngamen, malamnya ganti profesi jadi
wanita nakal. Saya membacanya di koran, Bu...."
24 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ya Allah..., berilah perlindungan pada cucuku," Arum memohon pada-Nya. "Jangan sampai dia
seperti mereka..." Pak Rahmat ikut mendoakan juga dalam hatinya.
"Coba, pinggirkan mobilnya, Pak..."
"Baik, Bu...." Baru saja Pak Rahmat meminggirkan mobilnya, tiga orang gadis perempatan jalan menyerbu.
Mereka mengetuki kaca mobil dan mencoba melihat ke dalam; memeriksa apakah penumpangnya
bisa mereka rayu atau tidak. Pak Rahmat mencoba menyuruh mereka pergi dengan
mengibas-ngibaskan tangannya.
"Biarkan saja, Pak," kata Arum. "Biarkan mereka mendekat. Dengan begitu, saya bisa lebih leluasa
melihat, apakah cucu saya salah seorang di antara mereka."
"Oh, baik, baik, Bu...."
Arum meneliti para gadis perempatan jalan dari dalam mobilnya. Dia tak menurunkan kaca
jendekanya. Dia hanya mengelus dada melihat cara berpakaian mereka yang cenderung mengobral
tubuhnya. Dia berdebar-debar melihat tingkah laku mereka yang seronok dan sengaja
mempertontonkan lekak-lekuk tubuhnya.
"Buka dong, Mas....," yang berambut sebahu mengetuki kaca jendela.
Gadis berrok mini mendekatkan wajahnya ke kaca mobil. Dia berusaha melihat ke dalam. "Aduh,
ternyata te ge!" teriaknya genit.
"Es te we kali!" timpal temannya, yang memakai t-shirt ketat sebatas dada, sehingga bagian
25 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
perutnya kelihatan. "Nggak apa-apalah! Yang penting 'kan duitnya!"
"Kita juga terima kok, Tante! Dua warna!"
"Kita bisa kok a ce de ce, Tante!"
"Asal bayarannya oke, Tante!"
Tawa cekikikan mereka mewarnai perempatan jalan. Bau mulut dan tubuh mereka menyengat ke
mana-mana. Pak Rahmat gelisah. Dia merasa tak nyaman lagi duduk berlama-lama di mobilnya. Suasana
perempatan jalan sangat meresahkannya. "Bagaimana, Bu?" dia memberanikan diri bertanya.
"Tidak ada, Pak," katanya antara sedih dan haru. Sedih hatinya, karena dia tak menemukan
cucunya di sana. Merasa penuh haru, karena cucunya tak berada di antara para wanita penjaja diri
itu! "Ibu masih mau di sini?"
"Tidak, Pak. Jalan saja....."
Pak Rahmat menekan pedal gas lagi dan memindahkan perseneleng ke depan. Mobil pun
menluncur pergi. Para gadis perempatan jalanan meminggir memberi jalan sambil menggerutu.
"Mas, Mas! Tunggu!"
26 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Wah! Tak kasih diskon, deh!"
"Yaah! Alamat sepi deh malam ini!"
Tiba-tiba dari warung kaki lima, ada pengamen jalanan yang duduk menghadapi siternya.
Pengamen itu sudah tua. Dia memakai blankon. Dia memetik siter dan bernyanyi. Suara seraknya
melagukan tembang Jawa: Yen ing tawang ana lintang, cah ayu
aku ngenteni sliramu
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marang mega ing angkoso sun takoke pawartamu janji-janji aku eling, nimas
rungo kna tangis ing ati lintang-lintang ngiwi-iwi
ngenteni bulan dadari ..............................................
(di langit ada bintah, anak cantik
aku menunggu kamu kepada awan di angkasa aku tanyakan beritamu janji-janji aku ingat, Sayang
dengarkan tangisan di hati
bingtang-bintang menggoda
27 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menunggu bulan purnama) .............................................
Para gadis perempatan jalan itu saling pandang dan memasang wajah kesal. Mereka serentak
menoleh dan berteriak, "Pak Marto, bisa diem ngaaaaak" Lagi sepi, niiiiih!"
*** Suara siter Pak Marto di warung kaki lima terdengar merdu; mengiringi beberapa gadis, yang
berlenggak-lenggok di seputaran perempatan jalan. Mereka seolah para peragawati yang sedang
memperagakan busana pantai. Pakaian yang dikenakan sangat ketat dan bahannya serba sedikit,
sehingga lekuk tubuh mereka mencolok mata..Warna-warna pakaiannya mencerminkan kebebasan
dan sangat mencolok di bawah siraman lampu merkuri. Satu dua ada yang memanfaatkan cat walk
dengan berdiri persis di bawah lampu merah. Bibir mereka rata-rata bergincu tebal. Mereka tidak
segan-segan mengerling atau melontarkan wangi parfum tubuhnya ke para pengendara motor atau
pun mobil. Mereka seolah menawarkan jalan keluar dari kepenatan hidup. Itu sebagai cara mereka
untuk menjebak para korban. Mereka harus mendapatkan mangsa malam ini. Jika tidak, berarti
masalah keuangan akan mampir ke dapur mereka
"Jalan-jalan, Mas.....," terdengar suara renyah manja
"Iya, nih!" si hidung belang mengerling penuh nafsu.
"Mau ditemenin?" si manja membelai wajahnya.
"Mau banget!" si hidung belang sudah tak tahan lagi.
Si manja tanpa banyak bicara menggandengnya. Si hidung belang membiarkan dirinya diseret ke
gang-gang sempit dan berakhir di kamar-kamar sumpek dengan dipan dan tikar bau. Mereka
mencipratkan bercak-bercak moral purba, yang hanya seharga sepotong baju atau sepiring makan
siang di franchise. 28 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mampir sini, Mas....," kali ini yang memakai kaos sedada mengobral jaringnya; berharap akan ada
yang terjerat. Para pengendara ada yang meminggirkan motor dan mobilnya dan ada yang hanya melambaikan
tangannya saja pada para penjual surga dunia itu. Mungkin saja mereka takut pada istri, pada dosa,
pada Tuhan, pada penyakit kelamin, atau hanya karena mereka sedang tak punya uang saja.
Kehidupan malam di perempatan jalan itu menusuki hati Watik. Dia terpaksa haus jadi penghuninya,
karena ancaman Bang Jupri.
"Lo masih perawan, Tik!" Bang Jupri menjilat air liurnya. "Harga lo bisa mahal!"
Watik merintih pedih. "Kalau dulu, mbak lo itu gue yang merawanin. Mestinya lo juga gue yang merawanin. Tapi, Mami
Santi pinginnya perawan lo dijual ama boss-boss berduit! Gue bisa jual lo punya perawan jutaan!
Gue bakal dapet komisi banyak!" tawanya meledak.
"Watik nggak mau, Bang....."
Percuma lo nangis juga! Nggak ada gunanya! Mbak lo aja nggak peduli, karena lo emang bukan
adik kandungnya! Ternyata lo anak pungut, ya! Gue baru tahu kemaren malam! Pantesan lo beda
banget sama si Nunik."
Watik hanya bisa merintih sedih.
"Wah, kalau si Udin, pacar lo yang sok jagoan itu tau lo anak pungut! Bisa-bisa lo dikejain dia kali!
Atau, jangan-jangan lo udah dikerjain die, ya" Wah, brengsek juga tu anak! Udah mampus kali tuh
anak!" 29 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik terisak-isak. Dia tak sanggup membayangkan kelanjutan hidupnya tanpa si Udin. Dia tak bisa
memungkiri perasaan hatinya, bahwa ada perasaan sayang menyelinap ke dalam hatinya. Rasa
cinta. Rasa sayang. Di sisi Udin, dia memang merasakan kedamaian. Merasa terlindungi.
Udin, di mana kamu sekarang" Semoga kupu-kupu pelangi membimbingmu ke tempat yang terang
dan aman. Aku tahu kamu masih hidup. Aku tahu sekarang kamu berada di tempat yang aman.
Pergi, pergilah kamu, Udin! Aku yakin, suatu saat kelak, kamu akan datang padaku atas seijin-Nya!
Aku tahu, jika setiap saat aku meminta pada-Nya, pertolongan itu akan datang!
"Heh! Bengong lagi lo!" Bang Jupri membentaknya. "Lo tungguin di sini, ya!" dia menyuruhnya agar
tak tampil mencolok dulu. Untuk transaksi pertama, Bang Juprilah yang mengatur. Preman itu
berlari ke arah perempatan. Dia kini sedang berbicara dengan seseorang yang mengemudikan
sedan mewah. Watik masih memikirkan perjalanan hidupnya. Jika malam ini ada seorang lelaki hidung belang
membawanya ke suatu tempat dan harus melayani nafsu bejatnya, dia tak penah bisa
membayangkan kelanjutannya! Ya Allah, berilah hamba pertunjuk-Mu! Lindungilah hamba!
Kirimkanlah kuasa-Mu padaku!
Kini Watik hanya bisa pasrah saja. Dia berdiri di dekat sebuah ruko yang sudah tutup. Di bawah
lampu neon; menunggu pertolongan dari Tuhan. Tubuhnya berwarna keperakan karena dipayungi
cahaya lampu neon. Dia tak pernah menyadari jika beratus pasang mata dari dalam mobil
menatapnya; menguliti tubuhnya. Ada yang hanya bisa menelan air liurnya, ada yang beristighfar
sambil menyayangkan kenapa harus ada di situ, dan ada yang mengumpatnya sebagai sampah
masyarakat. Watik tak menyadari itu semua. Juga orang-orang pun tak pernah menyadari, kalau di hati kecilnya
ada rintihan panjang. Dia ingin berlari dari tempat itu. Berlari menjauh. Berlari entah ke mana.
Mungkin mencari-cari seberkas cahaya, yang bisa membawanya pergi. Oh kupu-kupu pelangi, di
manakah kau" Bawalah aku ke tempat-Nya!
"Watik! Tik!" bang Jupri memanggilnya.
Watik terkesiap. Darahnya seolah membeku. Dia menengadah, berharap langit tidak runtuh
30 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menimpanya. Lo udah dapet pembeli!" serunya menjawil pipi Wtik. "Boss!" jempol tangannya diacungkan. "Dia
nawar lo gede banget! Dua malem!" dia berjingkrak-jingkrak mengelilingi Watik. "Lo bakal dibawa
die ke Anyer! Ke villanya!"
Watik diam saja. "Tadi itu supirnya. Dia disuruh bossnya nyari perawan ting ting kayak lo!"
Watik merasa nasibnya terlepas dari genggamannya. Jatuh menggelinding ke jalanan dan hancur
dilindas roda-roda kendaraan.
"Lo nunggu di warung, sana!" Bang Jupri menunjuk ke sebuah warung kaki lima di mana Pak Marto
sedang memetik siternya. Watik menurut saja. Dia melangkah dengan gontai. Petikan siter Pak Marto mengiringinya dengan
sendu. Lelaki tua itu seolah mengerti perasaannya. Beberapa gadis sepertinya berpapasan. Mereka
menatap sinis pada Watik. Hal itu biasa terjadi di antara mereka. Jika ada yang baru, yang lama
pasti merasa tersisihkan. Jika datang yang lebih muda dan segar, yang tua dan keriput merasa
dibuang. Watik duduk di bangku warung kaki lima. Mak Encup tersenyum ramah menyambut kedatangannya.
Watik juga teresnyum pada Mak Encup. Juga pada Pak Marto, yang duduk di atas selembar
potongan kardus. Jari-jari pengamen tua itu dengan lincah menari-nari di atas dawai siter. Di
depannya tergeletak peci hitamnya yang sudah lusuh. Beberapa logam seratusan menggunduk di
sana. Ada juga selembar uang kertas lima ratusan.
"Ngopi, Neng?" Mak Encup menawarkan dagangannya. Warung ini hanya ada pada malam hari
saja. Sebuah meja kecil dan 1 bangku panjang. Di atas meja ada beberapa gelas, mangkok, kopi,
mie rebus, toples berisi gula dan kopi, dan termos, serta beberapa slop rokok yang ditumpuk.
Kompor kecil teronggok di tanah.
31 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik menggeleng lemah. Wajahnya menunduk. Setetes butiran air mata jatuh ke pangkuannya;
persis di telapak tangannya. Dia menggenggam lengannya, mencoba merasakan hangat air
matanya. Dia merasa berada di ujung tebing; sekali saja angin menerpa, dia akan terjun bebas ke
dasarnya! Api neraka akan menunggunya di sana! Ya Allah, kuatkanlah iman hamba!
"Neng nangis, ya"' Mak Encup menebak. "Biasa itu, Neng."
"Pasti masih baru, ya?" Pak Marto nimbrung sambil terus memetik siternya.
Watik mengangguk sedih. Mak Encup menyodorkan minuman mineral gelas. "Ntar juga biasa, Neng. Ayo, minum. Nggak usah
bayar dulu. Ntar-ntar kalau udah dapat pelanggan, baru bayar."
Watik mengambil minuman gelas itu. Dia membuka plastiknya yang erat melekat. Meneguknya
sedikit. Dulu Mak juga kayak Eneng.Wah, udah lama sekali. Emak ke sini dibawa sama pacar Emak.
Janjinya sih mau diajak kerja di kantor. Taunya, Mak dimasukin di Kramat Tunggak... Di sana itu...
deket Tanjung Priok. Sekarang sih udah digusur. Mau dijadiin Mesjid katanya.
"Mestinya kowe jangan mau!" Pak Marto tertawa meledek.
"Lha, nggak mau gimana coba! Pacar Emak udah merawanin Emak, Neng! Ya udah, Emak nggak
bisa ngapa-ngapain. Mau pulang kampung juga malu. Udah terlanjur selametan segala, mau kerja
di kota." Watik meneguk lagi minuman mineralnya. Dia mendengar cerita pemilik warung kaki lima ini dengan
perasaan campur aduk. 32 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Neng.....," Mak Encup tidak meneruskan kalimatnya.
Watik mendongak. "Mak pesen, kalau mau 'maen', pake kondom. Sekarang kan banyak penyakitnya. Apa itu
namanya.... Di ti pi Emak sering lihat, tuh!"
"Eid'esss, Mak!" tiba-tiba bang Jupri muncul sambil memonyongkan bibirnya. "Tulisannya 'A - I - De
- Es'. Singkatannya, nggak tau! Emang gue pikirin!"
Watik kembali gelisah ketika melihat Bang Jupri sudah berdiri di belakangnya.
"Heh, lo tau nggak! Emak baca di koran..."
Jupri memotong sambil tertawa, "Emang Mak bisa baca koran!"
"Heh! Jelek-jelek juga Emak lulusan SMP! Bisa baca! Matematik Emak tujuh! Makanya Emak pinter
dagang!" Pak Marto tertawa juga. "Terusin ceritanya, Mak! Penyakit serem itu!" lanjutnya.
"Nih, dengerin ya, Neng! Orang Jakarta yang kena ha i ve, itu...., virus penyakitnya eids yang
mematikan itu... udah seribuan lebih. Sampai tahun kemarin nih, ada sembilan puluhan orang yang
meninggal! Serem nggak, tuh!"
Watik gelisah dan ngeri mendengarnya.
33 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Lo nggak usah khawatir, Tik! Boss yang mau ngebawa lo ke Anyer ini bersih! Kopi, Mak! Pahit!"
Mak Encup dengan sigap mengambil gelas dan menyendok kopi.
"Orangnya kaya, Mak! Tau sendiri! Nggak pernah jajan sembarangan. Belon vitaminnya!" Bang
Jupri sangat gembira. "Pak Marto! Ayo! Nyanyiin Bengawan Solo!" pintanya sambil merogoh saku
celananya. "Nih! Bonus dari gue!" selembar lima ribuan dilempar ke peci.
Pak Marto merogoh pecinya. Uang kertas itu dikecupnya berkali-kali. "Matur nuwun, matur nuwun,
Bang Jupri! Baik sekali kowe malam ini."
"Gue bakal dapet bonus gede malem ini!"
"Wah, bonus gede, ya. Kalo gitu, tambahin dong."
"Enak aja! Udah, cepet nyanyiin!"
"Iya, iya," Pak Marto tertawa terkekeh-kekeh. Lalu dia dengan penuh semangat memetik siternya.
Dari mulutnya keluar nyanyian "Bengawan Solo".
Bang Jupri tampak sangat menikmati lagu kenangan itu.
"Eh, Jupri!" Mak Encup nyerobot sambil menyeduh kopi. "Lo mestinya ngerawatin dan ngejagain
cewek-cewek lo. Kan nyegah itu lebih bagus daripada ntarnya kena!"
"Iya, iya, Mak! Tapi, boss ini pasti nggak bakalan mau!"
34 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ya lo omongin, dong!"
"Lagian kalo pake gituan, ntarnya nggak sip!"
"Nggak sip, nggak sip! Kalo udah kena, tau rasa lo!"
"Udah, Mak! Nggak usah nyampurin urusan gue, deh. Mendingan Emak ngurusin kopi aja, deh!
Cepet, udah jadi belon! Yang pahit!"
"Dasar lo! Susah diomonginnya! Nih!" Mak Encup nyodorin segelas kopi.
Bang Jupri menyeruput kopinya dengan nikmat. Bahkan kedua matanya terpejam.
"Lo tahu 'kan si Tina" Dia tuh kena! Sekarang, siapa yang repot" Lo juga 'kan!"
"Alah, biarin aja! Lagian si Tina itu udah tua! Sekalian mampus aja, dah!"
"Mana bisa lo jadi 'papih' kayak si Hartono itu, kalo lagak lo kayak gini. Amatiran tau nggak lo!
'Mbentar lagi juga, pelanggan-pelanggan lo bakal kabur. Soalnya, cewek-cewek bawaan lo
penyakitan semua!" "Bawel amat sih Emak kita ini!"
Watik bergidik juga mendengar percakapan Emak Encup dan Bang Jupri. Ketika dia masih ngamen
sama si Udin, dia sering juga numpang baca di kios koran milik Bang Ipin. Dia pernah membaca
tentang penyakit AIDS yang membahayakan itu. Bahkan dia juga membaca, beberapa artis
Indonesia dan mancanegara yang suka gonta-ganti pasangan terkena penyakit mematikan itu
35 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Lagu "Bengawan Solo" masih terus berkumandang dari mulut renta Pak Marto. Jari-jarinya yang
hitam kurus dengan lincah menari-nari di dawai siter.
"Mak, Mak! Ada Kamtib, Mak! Cepet beresin dagangannya, Mak!" tiba-tiba seorang tukang ojek
berteriak-teriak dari motornya.
*** "Pamong Praja?" Mak Encup, Bang Jupri, dan Pak Marto secara berbarengan saling pandang.
Tukang ojek itu berhenti. "Bawa yang penting-penting aja, Mak!" perintahnya. "Cepetan, Mak!"
"Gawat! Ada razia! Bisa batal bonus gue!" Jupri panik.
Watik hanya bisa menatap mereka dengan penuh tanda tanya.
"Waduh! Kok, ada pembersihan, ya! Biasanya lo tahu, Pri!" Mak Encup seperti sudah mengerti apa
yang harus dilakukannya. Slop-slop berisi rokok, toples gula dan kopi dimasukan secara acak ke
dalam dus-dus. Semuanya dia lakukan dengan sangat cepat.
"Aneh juga! Kok, nggak ada yang ngebocorin ama gue! Sialan!" Jupri makin panik. "Heh, Jali! Yang
bener lo ngomong"!" teriaknya menuding si Ojek; antara percaya dan tidak.
"Yee! Dibilangin ada operasi! Nooooh! Mereka lagi ngangkutin yang di Pesing sono!" teriak Jali.
"Ayo, Mak! Cepet!"
36 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Die si Jali! Anak Emak yang nomer satu. Belon kawin!" Mak Encup mempromosikan anaknya pada
Watik sambil mengangkut dus-dus ke motor anaknya. "Ntar-ntar Emak kenalin, ya!"
Watik mengangguk dan bangkit. Dia melihat ke sekeliling. Kini suasananya sudah tidak tenang lagi.
Beberapa gadis perempatan jalan tampak panik dan berlarian seperti anak ayam kehilangan induk.
Pak Marto pun mulai membenahi diri. Peci lusuhnya - setelah uangnya dia raup dan dimasukkan ke
saku celananya, dipakai di kepalanya. Kardusnya dilipat. Siternya dijinjing. Tanpa banyak bicara,
pengamen tradisional itu melenggang pergi. Bonus dari si Jupri sudah lebih dari cukup untuk bekal
sarapan pagi besok. "Ayo, Mak! Cepetan!" si Jali membereskan dua tumpuk dus di sela-sela dua kakinya.
"Iya, iya!" teriaknya. "Nama Neng, siapa?"
"Watik, Mak...."
"Ya, udah! Sampai ketemu lagi! Mak pergi dulu!" Mak Encup menumpuk satu dus lagi di bagian
depan motor anaknya. Lalu tas plastik besar berisi kompor dicantelkan di stang motor. Setelah itu
dia langsung membonceng. Di pangkuannya masih ada satu tas besar berisi termos, beberapa
mangkuk, gelas dan sendok..
Udah ya, Mak!" Jali langsung tancap gas.
"Udah!" kata Mak Encup. "Jupri! Cepet lo selametin si Neng ini!" teriaknya lagi dengan penuh
semangat. " Jupri makin panik. "Wah, kayaknya bener omongan si Jali!" Dia melihat ke Watik. "Ayo, Tik! Kita lari
aja!" dia mencekal lengan Watik.
Tapi tanpa diduga, Watik berontak! Dia melawan! Dia mendorong tubuh Bang Jupri. Dia berlari ke
persimpangan jalan. Sementara itu dari arah timur dua buah mobil aparat keamanan muncul! Di
atas mobil itu sudah banyak mengangkut wanita penjaja seks perempatan jalan.
37 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jupri berang! Dia mengejar Watik. Dicekalnya lengan Watik. Untung beberapa wanita nakal lainnya
berlarian dengan panik dan menabrak Bang Jupri. Mereka terpental. Bang Jupri terlentang di
trotoar. Ketika Bang Jupri hendak bagun, Watik menendang perutnya.
"Sialan lo!" Jupri mengerang.
Kesempatan ini dipergunakan Watik untuk melarikan diri.
"Watik!" teriak Bang Jupri.
Dua mobil Satpol Pamong Praja itu makin mendekat. Di belakangnya ada satu mobil dari divisi
pemberitaan sebuah televisi swasta. Peristiwa penggarukan para pekerja seks komersial ini dalam
beberapa saat pasti akan tersebar ke seluruh lapisan masyarkat di Indonesia lewat layar kaca.
"Brengsek lo!" Jupri menatap Watik dengan panik dan bingung. Watik berlari ke jalan. Bang Jupri
merasa kecut jika harus kena garuk aparat. Dia tidak mau cuma gara-gara Watik harus merelakan
dirinya sendiri kena garuk. Dia memilih pergi saja. Persetan dengan komisi! Persetan dengan Watik.
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bang! Bang Jupri!" tiba-tiba seseorang memangggilnya.
Jupri menoleh. Dia melihat Nunik muncul dari balik tembok ruko-ruko yang sudah tutup. Dia berlari
mendekati Nunik. Dadanya naik-turun dengan cepat, karena dibakar amarah.
"Mana Watik?" Nunik mencari-cari dengan gelisah.
"Tuh! Adik lo emang sialan!" Jupri menunjuk ke persimpangan jalan.
"Dia bukan adik gue, tau!" Nunik melihat ke jalan raya. "Sialan si Watik! Bikin masalah aja tuh anak!"
38 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
gerutunya. "Lagian, lo biarin aja!"
Heh, lo mau kena garuk juga, apa!"
"Watiiiiik!" Nunik memangil dengan kesal.
Tak ada reaksi. "Udah, kita pergi aja!"
"Mami Santi bisa marah, Bang!"
"'Ntar gue yang ngomong!"
"Lo mau digebuk Bang Oten?"
Jupri tertegun. Tapi dia tak punya pilihan lain sekarang. Dia bergegas lari sambil menyeret Nunik.
Mereka dalam sekejap hilang di kegelapan pasar.
Sementara itu Watik berdiri di bawah lampu lalu-lintas Dia berada di antara persimpangan jalan. Dia
mencari-cari penunjuk: Mesti ke mana aku lari" Dia melihat beberapa aparat Satpol Pamong Praja
sudah berlompatan turun. Mereka membawa pentungan dan tak segan-segan menggunakannya
jika ada yang melawan. Di atas truk beberapa pekerja seks komersial menonton rekan-rekannya
senasib digaruk. Juga crew TV swasta yang mulai sibuk; sang kameramannya langsung memotret
peristiwa jalanan ini. Para aparat keamanan itu seperti sadar sedang dibidik kamera. Mereka mulai menganggap dirinya
jadi bagian dari sebuah sinetron kehidupan yang sesungguhnya. Orang tua, istri dan anak
tersayang, serta kerabat dan handai taulan pasti akan menonton breaking news atau buletin malan
di rumah. Lalu mereka pasang aksi saat kamera mengarah. Mereka semangat sekali dan
39 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menganggap sedang memberantas borok-borok sosial di jalanan. Kadangkala merea main pukul
rata saja; tak mempedulikan lagi mana yang ibu rumah tangga atau yang wanita penjaja betulan.
Sedangkan para gadis perempatan jalan itu menutup wajah mereka dengan koran atau kedua
tangan mereka. Tentu mereka tidak ingin suami, anak, orangtua, kerabat, serta tetangga di
kampung mengetahui pekerjaan mereka sesungguhnya. Setiap bulan mereka sudah terlanjur
mengirimi uang ke kampung dengan embel-embel "ini adalah gaji pertama sebagai karyawan di
pabrik" atau "bonus dari perusahaan". Bisa hancur nama baik keluaga mereka. Bisa jatungan
orangtua mereka. "Watiiiiik!" terdengar teriakan lagi.
Watik masih sempat mendengar teriakan yang memanggil namanya. Dia tahu itu Nunik, yang
ternyata bukan kakak kandungnya. Tapi dia tidak mempedulikan teriakan Nunik. Bahkan menoleh
pun tidak. Ya, dia memilih untuk tidak pergi ke Nunik, karena dia tahu di sana ada Bang Jupri!
Percuma saja. Tapi, ke mana aku harus lari"
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan meraih bandul kalung berhuruf "C". Dia mencoba
menemukan jawabannya di sana. Apakah "C" ini ibu kandungku" Batinnya bertanya lirih dan
mengharapkan ada jawaban yang datang. Tapi dia tak bisa mendengar apa-apa, karena kegaduhan
merebak. Para gadis perempatan jalan lari pontang-panting sambil berteriak-teriak, karena
dikejar-kejar aparat. Beberapa berhasil ditangkap dan dinaikkan ke atas truk.
"Ampun, Pak, ampun. Saya bukan cewek nakal, Pak. Bukan. Saya kebetulan lewat sini, Pak. Mau
beli obat nyamuk!" seseorang merengek minta dilepaskan.
"Kebetulan gimana kamu! Dandanan menor kayak gini, masak mau beli obat nyamuk! Sana, naik!"
aparat itu membentak sambil memukul pantatnya dengan pentungan.
"Saya baru pulang dari Bogor, Pak. Abis nengok Ibu. Kalau nggak percaya, ini ka te pe saya!"
"Udah, jangan banyak alasan! Sana, naik!"
"Pak, tolong, Pak! Jangan bawa saya!" teriak yang lainnya lagi. "Saya masih baru, Pak. Belon ngerti
peraturan di sini1" 40 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hah! Barunya di sini! Tapi, kamu lama di lokalisasi! Sama saja! Naik!" petugas yang lain
menghardik sambil menepuk pantatnya dengan jahil.
"Pak, Pak! Tolongin saya, Pak! Kalau saya digaruk, anak saya makan apa nanti!"
"Kan ada bapaknya!"
"Nggak ada, Pak! Saya udah cerai!"
"Bawel! Naik!" "Nanti Bapak saya servis," bisiknya.
"Hah! Emangnya saya radiator, diservis!"
"Semalaman, Pak!"
"Naik!" Watik masih berdiri di bawah lampu lalu-lintas. Masih memegangi bandul kalung berhuruf "C".
Sudah beberapa kali lampu berganti; dari merah, kuning, hijau..... ke merah lagi.....
Pada saat itu, tanpa diduga....... muncul kupu-kupu pelangi yang berada selangkah lebih maju di
depannya. Di kedua sayapnya memancar cahaya! Watik tertegun. Dia mengucek-ucek matanya;
seolah tak percaya! Tangannya menggapai-gapai hendak meraih kupu-kupu itu. Tapi tak sampai.
Tak pernah bisa dia raih! Kupu-kupu itu terbang rendah; seolah membimbingnya untuk berjalan
menuju mobil aparat keamanan!
Watik berjalan ke sana; ke mobil Pamong Praja. Dia berjalan di antara kebisingan orang-orang yang
41 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berlarian. Tak ada yang sempat memperhatikannya. Tak ada yang bisa melihat peristiwa
sebenarnya, bahwa Watik berjalan mengikuti ke mana kupu-kupu pelangi yang memancarkan
seberkas cahaya itu terbang..........
Tanpa diketahui semua orang, di balik kegelapan, seorang anak remaja menyaksikan semuanya.
Dia adalah Udin! *** Bab Delapan DI PENAMPUNGAN Arum sedari tadi terpaku di kursi. Matanya tertuju ke sebuah pesawat TV berlayar besar dan datar.
Acara berita malam membuatnya terhenyak. Diberitakan dan disiarkan dengan jelas penggarukan
para wanita penjaja seks komersial oleh Satpol Pamong Praja kota. Mereka diangkuti ke atas truk.
Mereka berjejalan di sana seperti kerbau atau sapi, yang hendak dijual pada saat-saat menjelang
lebaran. Penuh sesak. Arum membesarkan volume TV. Suara mereka yang minta diturunkan , karena bukan termasuk
wanita PSK memenuhi ruangan tengah rumahnya. Gambar-gambar memilukan itu mengepung
hatinya. Begitu lirih terdengar. Begitu ironis dengan kehidupan gemerlap Jakarta.
"Lepasin, Pak! Lepasin!"
"Saya bukan pelacur, Pak! Bukan! Saya ibu rumahtangga, Pak!"
"Jangan, Pak, jangan! Kasihanilah saya, Pak!"
"Anak saya masih kecil di rumah. Dia butuh susu, Pak!"
42 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kemudian seorang korban berhasil diwawancara oleh reporter TV. Wajahnya menyimpan kesedihan
dan "Saya baru pulang dari Bogor, Mas, Abis minjem duit sama Ibu. Anak saya yang baru umur 3
tahun kena cacar. Mau saya bawa ke rumah sakit. Kasihan bapaknya sekarang. Dia pasti nunggununggu. Padahal saya udah nunjukin ka te pe, Mas. Tolonglkah saya, Mas. Moga-moga suami saya
nonton ya, Mas. Biar dia bisa nyusul saya ke tempat penampungan."
Lalu ada wawancara yang lain. Kali ini seorang wanita bergincu tebal. "Kenapa kami diperlakukan
seperti binatang" Diangkuti ke atas truk dan ditumpuk kayak ikan sarden! Apa salah kami" Kami
kan cari uang. Kami kan ada di sini, karena ada yang mencari kami. Karena ada yang butuh sama
kami. Tapi, kenapa hanya kami yang ditangkapi" Kenapa yang di hotel-hotel berbintang nggak
ditangkapi juga" Apa bedanya mereka?"
"Iya, Mas! Ini kan nggak adil!" yang lainnya nimbrung dengan nada protes. "Katanya jaman
reformasi! Mana hidup udah susah begini! Harga-harga naik melulu! Janjinya mau merhatiin rakyat
kecil! Tapi, para koruptor malah dibiarkan bebas! Ini nggal adil! Kita kan nggak ngerugiin
siapa-siapa. Kita cari duit kayak gini karena nggak ada jalan lain aja."
Beberapa orang aparat Pamong Praja mendekati mereka. Wawancara itu dibubarkan. Beberapa
telapak tangan menghalangi lensa kamera. Gambar bergoyang-goyang. Orang berlarian.
Kepanikan yang ada. Ayo, cepet naik!" seorang aparat memaksa.
"Lepasin, Pak! Lepasin!"
Seorang aparat menutupi lensa kamera.
Gambar kembali bergoyang-goyang. Tapi tak lama. Kini muncul lagi gambar tentang sebuah
perempatan jalan. Lampu lalu lintas dari hijau ke merah. Lampu merkuri menghamburkan sinar
violetnya. Berkerlap-kerlip dan menyelimuti para wanita jalanan, yang lari pontang-panting
menghindari kejaran para aparat Kamtib.
"Masya Allah!" Arum terpekik. "Tadi saya dari sana!" Dia hapal betul dengan persimpangan jalan
43 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dimana penertiban itu terjadi. Sudah puluhan bahkan ratusan kali dia melewati tempat itu. Bahkan
tadi dia berhenti di sana dengan Pak Rahmat; mencari-cari cucunya.
Tiba-tiba kedua bola matanya tak berkedip. Ada peristiwa yang menarik buat Arum, ketika
gambar-gambar penggarukan itu ditampilkan di layar kaca. Dia melihat di antara kepanikan para
wanita yang diangkuti ke atas truk, ada seorang yang masih anak-anak di matanya. Anak itu luput
atau seolah tidak menarik perhatian orang-orang di sana. Anak itu berjalan seorang diri saja. Yang
membuatnya aneh, anak itu berjalan di antara kepanikan menuju truk dengan sangat tenang. Anak
itu seolah sedang mengikuti "sesuatu". Seolah sedang tersihir oleh "sesuatu". Seolah dibimbing oleh
"sesuatu" untuk naik ke atas truk dan bersedia digaruk aparat.
"Ayo, ayo ambil gambarnya dari depan!" Arum merasa gemas, karena anak itu membelakangi lensa
kamera. Arum merasa menyesal tak bisa melihat wajah anak itu. Ah! Mungkin kameramannya tak
jeli menemukan peristiwa ini!
"Mbok! Bangun, Mbok!" Arum menggoncang-goncangkan tubuh Mbok Siti, yang tertidur di sofa.
Mbok Siti terbangun dengan kaget, "Iya, Den Ayu?"
"Lihat, Mbok! Lihat itu!" Arum menunjuk ke TV.
Mbok Siti mengucek-ucek kedua matanya yang mulai rabun. "Ada apa di televisi, Den Ayu?" dia
merasa tak bisa mencerna apa-apa ketika melihat ke TV.
Arum bangkit dan berlari mendekati TV. Telunjuknya menyentuh layar TV. "Anak ini, Mbok! Anak
ini!" "Kenapa anak itu?"
"Mbok 'ndak ngerti, ya?"
Mbok Siti menggeleng. Tubuhnya yang sudah renta itu tampak rapuh. Arum tersadar kini. Dia
44 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
merasa berdosa, karena masih melibatkan Mbok sziti dalam pencarian cucunya. Seharusnya Mbok
Siti diberi kesempatan untuk hidup tenang di hari tuanya. Tapi, itu pernah dikatakannya pada Mbok
Siti. Yang terjadi adalah, Mbok Siti tetap akan menemaninya sampai kapan pun. Di antara mereka
memang sudah terjalin ikatan batin yang kuat; seolah antara ibu dan anak.
"Tadi yang di televisi itu, Mbok..., mereka para wanita nakal."
"Astaghfirullah....."
"Mereka diamankan pihak yang berwajib."
"Anak itu?" "Anak itu....," Arum kebingungan mencari kata-kata yang tepat. "Anak itu bagian dari mereka,
Mbok..." "Anak sekecil itu?"
"Iya, Mbok......."
"Ya, Allah! Zaman wis edan, tho!"
"Saya mau mencari tahu anak itu, Mbok..."
"Kenapa?" "Saya, saya takut....."
45 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Takut?" "Iya, Mbok. Saya takut cucu saya seperti mereka."
"Ya, 'ndak mungkin tho, Den Ayu! Masak Den Ajeng Larasati seperti itu?" Si Mbok sudah lama
membahasakan bayi yang dibuang itu dengan nama "Den Ajeng Larasati". Dia merasa bayi itu hadir
dan ada di antara mereka.
"Saya juga berharapnya begitu, Mbok."
"Insya Allah, Gusti Pangeran akan melindungi Den Ajeng."
"Besok saya mau dateng ke stasiun televisinya, Mbok. Mau nanyain tentang anak itu. Siapa tahu,
Mbok......" "Yo, wis. Mbok akan ngasih tahu Pak Rahmat besok. Sekarang Den Ayu tidur saja. Istirahat."
"Iya, Mbok," Arum mengangguk. Dia mengambil remote controle dan mematikan televisi. Dia
bergegas berjalan ke dalam kamarnya. Tidak mungkin cucu saya melakukan itu. Tidak mungkin.
Kecuali kalau dia dipaksa oleh keadaan!
*** Watik duduk menyendiri di sebuah bangku menghadap ke taman yang tak terurus. Rumput liar
meranggas bersaing dengan alang-alang. Pohon bambu merumpun dan memagari sekeliling
tembok batako, yang memisahkan tempat penampungan ini dengan perkampungan masyarakat.
Bangunannya lebih mirip sekolahan. Barak-barak yang diisi sepuluh dipan susun. Berarti ada dua
puluh orang mengisi ruangan berukuran 5 x 8 meter.
46 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Beberapa wanita yang semalam diangkut ke sini ada yang mengisi waktunya dengan bergerombol
dan kadang meladeni godaan-godaan nakal dari para pekerja di rumah penampungan. Itu terjadi
sejak semalam. Tak pernah bisa dia memejamkan matanya dengan nyaman, karena selalu saja
terdengar cekikikan suara di balik tembok. Atau suara-suara aneh, yang dulu sering didengarnya
dari kamar mbak Nunik. Seperti juga semalam, Watik selalu tak bisa tidur jika mbak Nunik
membawa pacarnya menginap di kamar petak kontrakan mereka. Biasanya di pagi hari, saat pacar
mbaknya hendak pulang dan mbaknya masih asyik mendengkur atau mandi, dirinya sering jadi
santapan godaan mereka. "Wah, ternyata lo lebih seksi dari kakak lo," suatu ketika Kang Wawan, buruh pabrik di Tangerang,
menggodanya. Suaranya sengaja di pelankan sambil matanya melirik ke kamar mbak Nunik.
Mungkin Kang Wawan takut mbak Nunik memergokinya sedang menggoda Watik.
Mas Sunar, pacar 'mbak Nunik yang kesekian, malah lebih kasar lagi. Beberapa kali dia pernah
bermaksud mengajaknya pacaran dengan iming-iming semua biaya hidupnya ditanggung. "Kalau
perlu, lo gue kawinin deh! Gue jadiin bini muda!" kata Mas Sunar waktu itu sambil menjawil
bokongnya. Dia karyawan di sebuah pabrik dengan posisi lumayan enak.
Semua itu Watik pendam saja di hati. Tidak pernah dia utarakan pada mbak Nunik, yang sudah
berlelah-lelah bekerja untuk hidup mereka berdua. Kasihan mbaknya jika tahu kalau pacar-pacar dia
sering menggodanya. Bisa-bisa terjadi perang mulut. Tapi yang terpenting baginya, adalah menjaga
perasaan mbaknya. "Hallo!" tiba-tiba ada yang menyapanya.
Watik menoleh. Seorang lelaki berpakaian dinas menghampirinya. Ada codet melintang di pipinya.
Lelaki itu berdiri di depannya. Watik merasa tidak enak duduk sementara petugas itu berdiri. Watik
pun berdiri. Gimana keadaannya?" "Alhamdulillah, baik, Pak."
47 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Nama kamu, siapa?"
"Watik." "Watik apa?" Watik menggeleng sambil menunduk. Dia sadar kalau sepasang mata lelaki itu sedang menelusuri
tubuhnya. Dia hanya sanggup memainkan kuku-kuku jarinya. Semua lelaki sama saja. Hanya
memperlakukannya esbagai benda pmuas nafsu belaka. Kecuali Udin, yang sangat santun
memperlakukannya. Di depan Udin, Watik merasa dihargai sebagai gadis yang sedang mekar.
"Cuma 'Watik'?"
Watik mengangguk lagi. "Ini apa"' tiba-tiba saja lelaki berpakaian dinas dan bercodet itu meraih bandul kalung di dada Watik
Keruan saja Watik mundur. Dia merasa kedua mata petugas itu tertuju tidak hanya pada bandul
kalung. Tapi pada bagian tubuhnya yang lain. Akibatnya ketika dia mundur, tali kalungnya tertarik
dan mengencang, serta menekan punggung leher Watik...
"Huruf 'ce'! Apa itu?" petugas bercodet itu melepaskannya.
Watik menggeleng dan makin mundur..
"Alah, nggak penting itu!"
48 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Watik mengangguk. "Kamu nggak ada yang ngejenguk?"
Watik masih menggeleng. "Lo nggak bisa ngomong, apa?" dia mulai kesal dan bicara sesenaknya.
Watik tergagap dan gemetar.
"Lo pingin keluar dari sini, nggak?"
Watik ternganga. "Mau nggak lo?"
Watik segera mengangguk. Hatinya menggelembung plus rasa cemas, karena ditawari menghirup
udara kebebasan. Lo mesti punya duit sepuluh juta!"
"Sepuluh juta"' Watik tidak percaya. Bola matanya hampir melompat ke luar. Uang segitu hanya
ada di dalam angan-angannya saja. Seumur hidupnya, uang pecahan yang paling besar pernah
dipegangnya adalah dengan nominal sepuluh ribuan. Ini sepuluh juta perak" Dengan cara apa
harus mencarinya"
Kupu Kupu Pelangi Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo 'kan bisa bilang ke babe lo!"
49 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saya sudah nggak punya orangtua lagi, Pak..."
"Hm! Begitu, ya!" lelaki ini mengelus-elus codetnya. Tapi, tak lama dia tersenyum. "Atau pake cara
lain aja!" sambil mengerling dan menjawil pantat Watik.
"Cara lain?" Watik mundur menjaga jarak. Dia merasa gemetar ketika melihat sepasang mata
petugas itu menyala merah. Dia hapal gelagat orang seperti itu: sedang dalam birahi.
"Saya dengar, kamu masih perawan, ya?" nada lelaki ini kembali sopan; tidak bergua-elo lagi.
Watik menggeleng dan pergi menjauh. Dia merasa takut. Tapi petugas itu mengejarnya dan
menariknya ke sudut yang sepi. Beberapa orang yang melihat cenderung tidak mau tahu. Watik
mencoba meronta, tapi orang itu mencekiknya ke dinding.
"Heh, denger, ya!" dia kasar lagi. "Lo mau selamat apa, nggak?"
Watik ketakutan. "Gue nggak bakalan nyakitin lo! Gue Cuma pingin nolong lo!" katanya melepaskan cekikannya.
Wajahnya sangat kesal. Watik terisak-isak. "Udah, jangan nangis!"
Watik mengusap air matanya.
50 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Gue cuma minta sama lo, kalau kepingin keluar dari sini mesti bisa diajak kerja sama. Begitu!"
Watik menunduk. "Mau pergi dari sini nggak lo?"
"Mau, mau, Bang..."
Nah, kalau lo mau keluar dari sini, lo mesti ikutin apa kata gue!"
"Saya mesti bagaimana, Bang?"
"Pokoknya, gue jamin lo nggak ngeluarin duit seperak pun!"
Watik menatapnya tidak percaya, "Gratis, Bang?"
"Udah! Sekarang lo gabung aja sama yang lain. Ntar gue yang ngatur. Tapi, awas! Kalo lo
macem-macem, gue jamin, seumur hidup lo bakal tinggal di sini terus!" ancamnya sambil pergi.
Watik mengangguk ketakutan. Dia mengusap butiran air matanya. Tiba-tiba dia merasa sebuah
tangan singgah di bahunya. Dia menoleh. Seorang ibu berparas cantik berdiri di belakangnya. Ibu
itu menatap kepergian petugas tadi dengan wajah penuh kebencian.
"Brengsek dia!" umpat si Ibu. "Jangan percaya sama omongan dia!" tambahnya geram.
Watik ternganga. Bola matanya yang jernih dan bundar mencoba menguliti tubuh perempuan di
hadapannya. Mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
51 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saya ini sebetulnya bukan pelacur seperti mereka. Saya ini cuma sial saja. Pada waktu malam
pembersihan, saya sedang beli obat nyamuk. Saya termasuk yang digaruk. Waktu itu saya nggak
bawa dompet. Wong cuma beli obat nyamuk aja. Nggak akan ke mana-mana lagi. Eh, dasar sial. Di
jalan ada penggarukan."
"Innalillahi wainnailaihi razi'un...."
Wanita ini mendelik. "Kok, ngomongnya kayak gitu, sih" Emangnya saya ini meninggal, apa"!"
Watik merasa bersalah. "Maaf, Bu... Kata guru ngaji saya, jika kita mendengar ada orang yang
sedang kena musibah, kita boleh ngucapin 'innalillahi wainnailaihi raji'un. Jadi, uka buat orang yang
meninggal saja," katanya menjelaskan.
"Wah, pinter ngaji juga kamu!" si Ibu menatap habis tubuh Watik; dari kepala sampai ke kaki.
"Kayaknya kamu anak baik, ya!"
Watik hanya menggigit bibirnya; pertanda luka perih di hatinya terasa.
"Eh, balik lagi ke soal saya tadi. Mereka tetep aja nggak percaya kalau saya ini ibu rumah tangga,
sudah bersuami dan punya anak satu."
Watik makin serius mendengarkan ceritanya. Ekspresi wajahnya kelihatan sekali kalau dia menaruh
simpati atas kejadian yang menimpanya.
"Padahal suami saya udah dateng ke sini. Nunjukin ka te pe saya. Bahkan surat nikah segala.
Dasar zaman wis edan. Mereka minta duit sepuluh juta kalau saya kepingin keluar dari sini. Edan,
edan! "Astaghfirullahaladzim. Kasihan Ibu."
52 Vila Toedjoeh Tjemara (Donatus A. Nugroho) m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Suami saya sekarang sedang ngelapor ke el es em yang ngurusin perempuan. Urusannya bisa jadi
besar, nih. Biarin! Biar semua orang tahu, kalau di sini itu banyak yang nggak benernya. Pada mata
keranjang! Hobinya meres wong cilik kayak kita."
"Meres?" "Iya. Kayak kamu ini," dia mengupasi lagi tubuh Watik dengan seksama. "Bisa jadi kamu ini bakal
dikerjain sama mereka. Masih muda, cantik, montok lagi. Masih perawan kamu?"
Kemelut Di Majapahit 12 Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam Son Of Neptune 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama