Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas Bagian 2
33 penggugup?" tanya Pulung seraya mengantungi benda itu dengan cepat, agar tidak diketahui oleh
Ibu yang mondar-mandir di kebun
belakang. "Kapan kau menemukannya?"
"Tadi pagi, ketika aku mencari peci hitam
untuk sholat subuh."
"Di mana kau menemukannya?"
"Sudah kubilang, di dalam kamar ayah
Ratri!" "Eh, jangan terlalu galak. Bicara dengan
nada yang enak saja. Salah satu sifat kakekmu yang paling kubenci adalah nada bicaranya
yang selalu tegang. Jangan kautiru kebiasaan yang buruk itu. Nanti aku bisa membencimu.
Oke" Ayo dong, bicara yang enak."
Gogor mendesah. Ia sadar, sejak tadi ia
membentak-bentak Pulung tak keruan.
Untunglah Pulung memahami perasaannya.
Hingga sejak tadi Pulung bersikap santai saja.
Tidak meladeni bentakan-bentakan Gogor.
"Ketika aku mengenakan peci itu, aku
merasakan ada benda yang mengganjal dalam
lipatan peci. Lalu benda itu kuambil. Ternyata kalung yang hilang itu..."
"Apa... hm... apa bukan milik mendiang ibu Ratri?" Pulung menggumam. Ia bersikap tidak
mencurigai Gogor, agar temannya itu menjadi tenang.
"Semalam Ratri bercerita tentang ibunya di kuburan Mbah Sawunglanang," kata Gogor. "Ia tidak
menyinggung-nyinggung soal kalung
berlian. Kukira ibunya tidak pernah memiliki kalung itu. Lagipula tidak mungkin ayahnya menyimpan
kalung semahal itu dalam peci yang selalu dikenakannya untuk bersembahyang.
34 Peci yang semalam dipakai di kuburan itu
bukan yang dipakainya untuk bersembahyang.
Kata Ratri begitu. Ayahnya punya banyak peci hitam. Tapi hanya satu yang dikenakannya
untuk bersembahyang. Semalam Pak Rangga
juga bersembahyang isya dengan peci itu di rumahnya. Kaulihat sendiri, kan?"
"Melihat sih tidak. Tapi semalam aku tahu
Pak Rangga pulang untuk bersembahyang isya di rumah. Bersembahyang di kuburan memang
tidak diperkenankan. Kata Wak Solikun begitu.
Ah, semalam aku juga mengenakan peci itu
untuk bersembahyang isya. Tapi aku tidak
menemukan kalung itu."
"Aku menemukannya tadi pagi ketika
bersembahyang subuh."
"Duluan mana sembahyangnya" Kau atau
aku?" "Aku yang pertama kali bersembahyang.
Baru Gruno, lalu kau dan Jalu."
Pulung merenung sesaat. Lalu bergerak
dengan cepat melompati pagar tanaman petai cina itu.
"Pinjam sepedamu! Aku harus menjumpai
Si Man sekarang juga!" serunya.
Ini soal serius. Tidak biasanya Pulung mau bekerja sama dengan Si Man, pamannya yang
menjadi polisi itu. Pulung selalu musuhan
dengan pamannya. Sebabnya sederhana saja.
35 Dulu pamannya itu tinggal di rumah Pulung.
Paman dan kemenakan itu akrab sekali. Pulung memanggil pamannya Si Man, singkatan dari 'Si
Paman'. Sejak Si Man menjadi polisi, Pulung harus memanggil pamannya dengan panggilan
Oom Wi. Nama pamannya itu Wikan. Bermula
dari kekecewaan Pulung terhadap pamannya
ini, dimulailah permusuhan itu. Pulung
menganggap pamannya berubah menjadi orang
sombong, hingga memanggilnya pun harus
dengan panggilan 'Oom'. Perasaan kecewa ini kemudian berkembang menjadi sikap
bermusuhan. Seterusnya sampai bertahuntahun kemudian hingga pangkat Oom Wi
menjadi kopral satu, Pulung tetap tidak cocok dengan pamannya. Kalau pamannya sedang
membutuhkan bantuannya, Pulung sering jual mahal. Tapi kini dia yang membutuhkan
bantuan pamannya. Berarti dia sendiri sudah tidak sanggup memecahkan misteri itu. Inilah soal
yang sangat serius! Oom Wi mengenakan celana pendek saja.
Sandalnya juga jelek sekali, terbuat dari bekas ban mobil yang harganya murah dan buatan
Tegal. Ia sedang menyiapkan peralatan
memancingnya. Alat pancingnya bagus,
jorannya bisa dipanjang-pendekkan.
"Ha! Kau tahu saja lagi kutunggu-tunggu,
Lung!" seru Oom Wi begitu Pulung bersalam di ambang pintu rumahnya di asrama polisi itu.
"Tante mana, Oom?" tanya Pulung.
Memanggil 'Oom' dengan sangat terpaksa. Hal itu tampak dari nadanya yang kaku.
"Sedang pergi. Yuk, kita langsung saja ke
36 muara. Lagi musim kakap, Lung! Kemarin
teman Oom Wi dapat kakap, beratnya lima kilo!
Siapa tahu nanti kita mendapatkan ikan
sebesar itu. Kalau dapat tiga ekor, kaubawa yang dua!"
"Mbok Gemi mana, Oom?" tanya Pulung,
tak acuh pada ajakan Oom Wi. "Haus, nih!"
"Mbok Gemi ikut tantemu. Ambil saja
sendiri di dapur! Kayak tamu saja lagakmu!
Ayo, cepat! Jam-jam begini banyak ikan
kelaparan, Iho! Kalau lebih sore lagi, sudah banyak orang yang mancing!"
Pulung berjalan ke dapur untuk membuat
teh manis bagi dirinya sendiri. Ia berkata sambil lewat di samping Oom Wi, "Tadi Jalu menengok
ayahnya ya, Oom?" "Jalu siapa" Teman Oom yang ahli
memancing kakap namanya juga Jalu!"
"Jalu anak Pak Rangga!"
"Rangga" Pegawai kantor pos yang punya
alat pancing buatan Jepang itu?"
Pulung kesal bukan main. Tapi kalau
sedang butuh dengan Si Man, dia harus bisa menahan hati. Tak boleh salah ucap. Lain soal kalau
yang butuh Si Man sendiri!
"Pak Rangga masih ditahan, Oom" Pak
Rangga dari Kalitepung yang semalam dibawa ke kantor Oom karena dituduh mencuri kalung
berlian!" tanya Pulung seraya mengaduk
minumannya. "Oh, Rangga yang itu" Kau terlibat, ya" Kok begitu seriusnya?"
37 "Jalu teman sekelasku."
"Eh, ini sudah jam tiga! Ayo lekas, Lung!"
Oom Wi bersiap mengemasi peralatan
pancingnya. Ia membawa minuman dan
makanan kecil dalam ransel. Ia menjinjing
ransel itu. "Nanti mampir di empang untuk beli udang
buat umpannya. Keluarkan sepeda motor itu, Lung. Bisa, kan?"
Pulung diam saja. Ia mereguk
minumannya. Sengaja berlagak kepanasan.
Agar tidak dipaksa segera menghabiskan
minuman itu. Oom Wi menjenguk ke dapur. Pulung
menatapnya dengan kesal. Oom Wi salah
paham. Dikiranya Pulung mencurigai dari mana Oom Wi punya sepeda motor bebek itu. Pulung
selalu mencurigai asal-usul setiap benda yang berharga mahal di rumah Oom Wi. Soalnya dia tahu
benar, gaji Oom Wi tidak banyak.
"Sialan!" seru Oom Wi karena merasa
dicurigai. "Kalau oom kamu tidak jujur, tidak tinggal di asrama lagi dong! Bisa punya rumah sendiri.
Sepeda motorku juga lebih bagus
daripada motor bebek yang butut itu! Tanya saja sama Bapak. Sepeda motor itu dia yang
membelikannya dari hasil panen sawahku yang digarapnya. Jangan asal curiga, nanti kau jadi
tukang fitnah!" "Oom! Aku mau tanya nih!" seru Pulung
serius. "Soal sepeda motor itu?"
38 "Bukan! Soal ayah Jalu!"
"Itu bukan urusanmu! Kau harus bisa
membedakan mana urusan dinasku, dan mana
urusan pribadi..." "Jangan sombong! Kalau sedang butuh
bantuanku, kenapa Oom Wi tidak pernah bicara soal urusan dinas dan urusan pribadi" Aku
sudah sering membantu Oom Wi, kan"
Sekarang aku juga akan membantu tugas Oom
Wi. Aku bukan minta tolong. Kata Bapak, Oom Wi terlalu lembek, makanya tidak cepat naik
pangkat!" Oom Wi melotot. Diketuknya kepala Pulung
dengan ujung jorannya yang terbuat dari bahan fibre glass 5. Tidak menyakitkan, tapi menyinggung
perasaan. "Kau sedang bicara dengan siapa, pikirmu"
Aku pamanmu, bukan temanmu bermain
gundu! Slompret, kau! Tidak tahu sopan!"
Pulung mengambil kalung berlian itu.
Dengan gaya kurang ajar dilemparkannya
benda itu ke lantai di depan kaki pamannya.
"Hei!" seru Oom Wi terkejut. "Kaucuri dari mana benda itu" Milik Ibu, ya" He! Setan kecil, kau! Dari
mana benda itu?" "Tanya yang sopan!" sengat Pulung kesal.
Oom Wi memungut kalung itu lalu
39 5 Sejenis plastik mengamat-amatinya. Ia meletakkan joran dan ranselnya. Lalu duduk di kursi ruang tamu.
"Benda ini tak ada artinya kalau kau tidak menerangkan bagaimana kau menemukannya."
katanya dengan nada lunak. Ia tahu, Pulung tak akan sembarangan mencarinya kalau tidak ada
keperluan yang mendesak. Apalagi dengan seuntai kalung berlian ini!
"Kalau hanya bisa bertanya, Oom Wi tidak
usah jadi kopral!" ejek Pulung, merasa mulai menang.
"Jadi agar pangkatku naik, aku harus
memecahkan misteri kalung berlian ini" Begitu maumu?" kata Oom Wi, sudah mulai mengajak
bercanda kemenakannya. Ia harus bergaya
begitu. Kalau langsung serius, Pulung bisa besar kepala dan makin jual mahal.
"Mestinya yang jadi kopral aku," kata
Pulung dengan dada melembung. "Oom Wi lebih cocok jadi pemancing ikan seperti ketika Oom Wi
tinggal di desa dulu..."
"Kau salah!" kata Oom Wi sambil
menjentikkan jarinya. "Kalau kau jadi polisi, pangkatmu pasti letnan, tahu!"
Kini Pulung merasa, Oom Wi sudah tertarik
benar dengan kalung berlian itu.
"Nggak jadi mancing ikan kakap, Oom?"
ejek Pulung. "Terserah Pak Letnan!" balas Oom Wi.
"Kalau Pak Letnan perintahkan agar kopral
pergi memancing..." "Sudah! Jangan bercanda melulu!"
Oom Wi tertawa. Digosok-gosoknya kepala
40 Pulung dengan gemasnya. Sudah lama ia
mengagumi kemenakannya ini. Tapi dia tetap tidak suka dengan sikap bermusuhan yang
selalu diperlihatkan oleh Pulung. Tidak suka akan kekurangajaran sang kemenakan.
"Uh! Seperti menggosok buah durian saja!
Rambutmu makin kaku! Kepalamu makin keras
kayak batu!" seru Oom Wi.
"Tapi kan pinter, Oom?"
"Yah... kadang-kadang kau memang lebih
pinter daripada Polan."
Pulung mendengus. Oom Wi memang tidak
pernah memujinya, dalam bercanda maupun
serius. Supaya tidak bertele-tele, Pulung
menceritakan asal-usul kalung itu.
Dikisahkannya pula tentang brendung yang menyerang Pak Rangga.
Sungguh menarik cerita itu. Nyata Oom Wi
mendengarkannya dengan bersungguhsungguh. Ia lupa untuk berlagak tidak butuh lagi. Sikapnya sudah mencerminkan rasa
kagumnya pada Pulung, kemenakannya yang
nakal dan tak pernah akur dengannya.
"Ikut aku, Lung!" kata Oom Wi seraya
beranjak ke kamarnya untuk mengenakan
celana panjang. "Ke muara untuk mancing kakap yang
41 beratnya lima kilo?"
"Ke kantor! Laporanmu bisa kauulangi di
depan Wadan!" "Wadan" Siapa sin Wadan itu?"
"Wakil komandan! Sore ini yang bertugas
Wadan!" "Komandan di mana" Sedang mancing
juga?" Oom Wi mendengus. Baginya, lebih baik
yang bertugas Wadan. Sebab Pulung sudah
kenal baik dengan komandan Oom Wi dalam
pelacakan beberapa perkara kejahatan yang
lalu. Pulung sering berlaku tidak sopan di depan komandan. Bikin malu saja! Tahu rasa kalau berani
tidak sopan di depan Wadan. Bisa kena hardik bolak-balik!
Memang Pulung terpaksa berlaku sopan di
depan Wadan. Pangkatnya apa, Pulung tidak
tahu. Warnanya kuning, bentuknya bunga
melati dan dua huruf 'M'. Untunglah Pulung tidak tahu bahwa pangkat itu adalah peltu, pembantu
letnan satu. Kalau dia tahu, dia akan memanggil Wadan itu dengan panggilan 'Let'
juga seperti terhadap Letnan Maryadi,
komandan Oom Wi. Karena dia tidak tahu,
maka dia memanggil orang bertampang seram
itu Pak Kunto. Dengan nada penuh hormat
pula. Nama 'Kuntobroto' tertera di dada baju polisi bertampang sangar itu.
Tapi dasar Pulung, di mana pun dia tetap
42 suka bertindak konyol juga. Terutama di depan polisi, siapa saja yang namanya polisi. Rasa tidak
senangnya pada pribadi Oom Wi
berkembang secara membabi buta, hingga ia
tidak suka pada polisi. Letnan Maryadi sudah hapal perangai Pulung, maka dia sering bisa
mengambil hati si Rambut Kaku. Tapi Pak
Kunto belum paham benar pada si Kepala Buah Durian itu. Dia melotot-lotot setiap kali Pulung
berbicara dengan gaya seenaknya, seperti
kepada pamannya saja. "Kapan sih Pak Rangga dibebaskan, Pak?"
begitu gaya Pulung bertanya. Ia akan
menumpuk pahanya sendiri, karena dilihatnya Pak Kunto bersilang kaki. Tapi Oom Wi
menginjak kaki Pulung. "Jaga sikapmu!" dengusnya dengan marah.
Pulung menekan belakang lutut Oom Wi
dengan ibu jari tangannya. Serangan itu
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat Oom Wi berjingkat. Kakinya yang
menginjak Pulung terangkat. Pulung
menumpuk pahanya dengan sikap santai. Oom
Wi tak berdaya, meskipun ia ingin menggampar kepala Pulung sekuat-kuatnya.
Sebenarnya Pulung bukan anak yang tinggi
hati dan tidak sopan. Ia bisa menghormati
orang yang menurutnya pantas dihormatinya.
Rasa hormatnya pada Wak Solikun, tak bisa
diragukan lagi. Sebab Wak Solikun selalu
bersikap tanpa cela. Demikian juga rasa
43 hormatnya pada Bapak dan Oom Yan. Tapi
untuk apa dia bersopan-sopan dengan polisi yang menyilangkan kakinya ketika Pulung
menghadap membawa laporan berharga itu"
Maka Pulung menumpuk kedua pahanya,
sekedar membalas sikap Pak Kunto yang
bersilang kaki. "Terima kasih atas laporanmu," kata Pak
Kunto. Pulung makin kesal karena
pertanyaannya tidak dijawab. "Masih ada yang lain, Nak" Coba sampaikan kalau masih ada
yang lain." "Tidak ada!" kata Pulung tandas. Dipanggil
'Nak' oleh Pak Kunto, rasanya juga tidak
senang. Letnan Maryadi saja memanggilnya
'Dik' atau kadangkala bahkan 'Bung'. Kan enak kedengarannya. Panggilan Dik mengesankan
seolah-olah Pulung bukan anak kecil lagi.
Lebih-lebih panggilan Bung. Ah, rasanya
panggilan itu yang paling menyenangkan.
Pulung merasa diperlakukan sebagai orang
dewasa karena panggilan 'Bung'.
Pulung bangkit dari kursinya.
"Saya permisi," katanya.
Tanpa menunggu jawaban, ia membalik
dan melangkah ke luar dari ruangan Pak Kunto.
Oom Wi mengikutinya dengan wajah cemberut.
44 "Aku tidak menyukai Wadan!" kata Pulung.
Sengaja berkata begitu agar Oom Wi tidak
mendahuluinya dengan maki-makian seperti
biasanya. "Semua orang juga tidak suka padamu!
Aku malah ingin nonjok kepalamu!" sengat Oom Wi seraya bergegas mengikuti langkah Pulung
yang cepat sekali. "Jangan ribut, deh!" seru Pulung. "Dari
dulu aku memang tidak suka pada Oom Wi!
Tidak suka juga pada teman-teman Oom Wi!"
"Kau makin konyol! Makin besar, makin
dungu! Kalau Bapak tahu hal itu, kau juga
akan dihajarnya!" "Bilang deh sama Bapak!" Pulung
menantang. "Ayo ke rumah sekarang,
mumpung Bapak di rumah!"
Pulung mengambil sepeda yang ditaruhnya
di halaman rumah Oom Wi, lalu meloncat ke
sadelnya. Kakinya tidak sampai ke pedal sepeda yang sangat tinggi itu. Tapi dia bisa ngebut juga.
"Ayo, dong! Katanya mau laporan pada
Bapak?" tantangnya seraya mengayuh sepeda
itu. Oom Wi marah bukan main. Ia mengambil sepeda motornya. Dia pun ngebut ke rumah
Bapak. Hanya dua kilometer jaraknya dari
asrama di dekat kantor polisi itu.
Semuanya dilaporkan kepada Bapak.
45 Kepada Ibu juga. Ketika Pulung tiba di rumah, Oom Wi sudah menikmati kopi kental dan
sepiring ketan yang disajikan Ibu.
Pulung yakin, Bapak pasti akan marah
padanya. Seperti Pulung masih kecil saja, kalau marah Bapak sering menghajarnya. Rasanya
tidak enak dihajar di depan Oom Wi. Pulung terus saja ke langgar Wak Solikun. Ia sholat asar di
sana, meskipun sangat terlambat. Lalu mengisi kulah langgar seperti biasanya.
Wak Solikun sedang bekerja di kebun
rambutannya. Ia menyapu tanah kebun yang
luas itu dengan sapu lidi. Dukri, anak lelakinya, tak ada. Dukri hanya bisa main saja. Anak
sebesar itu tak punya kesadaran sedikit pun untuk membantu orang tuanya. Itu sebabnya
Wak Solikun sayang benar pada Pulung. Karena Pulung selalu muncul pada saat dibutuhkan.
"Assalamualaikum...," Pulung bersalam.
Wak Solikun mengangkat kepalanya dan
membalas salam itu. Pulung meminta sapu lidi di tangan Wak Solikun. Ia membuka sepatunya, lalu
mulai menyapu. "Semalam kau tidur di Kalitepung, ya?"
tegur Wak Solikun seraya duduk di atas tanah.
Ia mulai menggulung rokok daun kawungnya.
"Iya, Wak." "Kenapa tidak melayat Pak Lurah?"
"Oh... apa sudah dimakamkan, Wak?"
"Aku baru pulang dari makam bersama
bapakmu. Nyonya dan Mister Yan juga melayat.
Malah mereka belum pulang."
Biasanya Pulung tertawa setiap kali Wak
46 Solikun menyebut 'Mister Yan'. Tapi sekarang tidak. Dia tahu, Wak Solikun kecewa karena Pulung
tidak ikut melayat. Pulung memang
tidak mengenal Pak Lurah Kalitepung. Tapi
Bapak mengenalnya sebagai sesama pamong
desa. Wak Solikun juga mengenalnya. Kalau
Wak Solikun dan Bapak melayat, maka
seharusnya Pulung ikut. Lebih-lebih hubungan Pak Lurah Kalitepung dan keluarga Oom Yan
juga baik sekali, dan Pulung adalah anak
angkat keluarga Oom Yan. "Kalitepung sedang kena bencana," Wak
Solikun menggumam. Pulung terus menyapu sambil
mendengarkan ucapan Wak Solikun.
"Setiap kali seorang kepala desa
melepaskan jabatan karena kesehatan atau
telah lanjut usia, selalu desanya goncang. Dulu desa kita juga pernah mengalami hal seperti itu."
Pulung berhenti menyapu. Ia bertanya,
"Apa ada hubungannya dengan takhyul, Wak"
Aku sering mendengar kata orang-orang tua
bahwa kepala desa ibarat induk ayam. Kalau induknya mati, anak-anak ayam akan menciap-ciap
dan tercerai-berai. Kata orang hal itu sudah menjadi kodrat."
Wak Solikun mengisap rokoknya. Lalu
menghembuskan asap dan berkata, "Itu
takhyul, bukan kodrat."
"Lalu kegoncangan yang Uwak maksudkan,
47 apa?" "Perebutan kekuasaan. Kedudukan kepala
desa selalu diinginkan oleh banyak orang. Dulu ketika Pak Lurah yang tua meninggal, di sini juga
terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan telah terjadi sejak Pak Lurah tua sakit dan
diperkirakan tidak mampu lagi memimpin desa.
Orang-orang yang menginginkan kedudukan
lurah mulai melakukan kegiatan kampanye.
Mereka punya pengikut yang membantu usaha
kampanye. Bahkan banyak juga yang
membentuk tim yang terdiri dari orang-orang bayaran dan para penjahat. Penduduk ditakut-takuti
agar mau memilih seseorang. Ada juga yang membujuk dengan memberikan uang atau
beras. Tak jarang ada yang menyebarkan fitnah agar calon lurah yang lain cemar nama baiknya
hingga penduduk tidak akan memilihnya.
Macam-macamlah cara orang merebut
kesempatan. Untunglah orang yang kemudian
terpilih menjadi lurah ternyata orang yang bersih dan tidak tercela. Apa jadinya desa ini kalau
dipimpin oleh bandit yang bermuka
manis ketika pemilihan lurah diadakan?"
Pulung sering mendengar tentang kisah
yang terjadi ketika ia masih kecil itu. Konon orang yang terpilih menjadi lurah adalah orang yang
telah mendapatkan pulung lurah. Pulung itu semacam 'wahyu' atau 'ndaru' dalam bahasa Jawa.
Konon pula orang yang kejatuhan pulung hanyalah orang-orang yang berbakat dan
mempunyai keturunan darah pemimpin. Karena kepercayaan orang akan adanya pulung itulah,
maka si Rambut Kaku diberi nama Pulung.
"Kalitepung dalam kegoncangan seperti
itu," kata Wak Solikun. "Kumpulkan
sampahnya di lubang itu," Wak Solikun
menunjuk ke lubang tanah dengan jari
48 tangannya yang menjepit rokok gulungan daun kawung. Pulung sadar bahwa sejak tadi ia
berhenti menyapu. Ia mulai menyapu lagi ketika Wak Solikun melanjutkan, "Sejak Pak Lurah
Kalitepung jatuh sakit, gerakan orang-orang yang ingin menduduki jabatan kepala desa
sudah mulai tampak. Orang-orang itu mulai
mencari muka. Yah... Kalitepung desa subur dan punya tanah pertanian yang luas. Kepala desa di
sana mendapat tanah bengkok sampai delapan belas hektar. Siapa yang tidak ingin kedudukan
lurah di Kalitepung" Jabatan
seumur hidup, tanah bengkok delapan belas
hektar..." Pulung lekas-lekas menyelesaikan
pekerjaannya. Bapak seorang pamong desa.
Sebagai anak pamong desa, Pulung tahu apa
arti 'tanah bengkok'. Bapak pun
mendapatkannya seluas dua hektar. Tanah
bengkok adalah tanah milik desa. Dipercayakan kepada para pamong desa selama masa jabatan
pamong tersebut. Luas tanah bengkok
tergantung luas tanah milik desa dan
kedudukan pamong desa yang bersangkutan.
Lurah mendapat bagian paling luas. Lurah di desa Pulung memperoleh lima belas hektar
tanah bengkok. Tetapi di desa lain mungkin lebih luas lagi. Selama seseorang menjadi
pamong desa, ia diperkenankan menggarap
tanah bengkok dan memungut hasilnya sebagai mata pencaharian atau pendapatan. Sebab para
pamong itu tidak mendapatkan gaji
sebagaimana pegawai negeri. Tanah bengkok
inilah yang sering menjadi incaran orang. Makin luas dan subur tanah bengkok di suatu desa, makin
banyak orang menginginkan kedudukan
pamong, terutama lurah. 49 "Aku mendengar tentang brendung itu,"
kata Wak Solikun ketika Pulung membawa sapu lidi untuk disimpannya di dapur rumah guru
mengaji itu. "Semalam kau berada di sana,
kan?" "Aku menyaksikan brendung itu, Wak. Tapi aku tidak percaya kalau brendung itu benar-benar bisa
mencari pencuri." "Mungkin saja bisa. Hal itu tidak aneh."
Pulung kaget mendengar ucapan guru
mengajinya itu. Biasanya Wak Solikun paling tidak percaya pada hal-hal yang berbau
takhyul. "Jadi Uwak percaya bahwa brendung
dimasuki roh halus dan bisa mencari pencuri?"
tanya Pulung heran. "Kalau Tuhan memperkenankan, sapu yang
kaupegang tadi pun bisa mencari penjahat. Apa yang sulit jika Tuhan menghendaki" Dunia dan
isinya ini, baik yang tampak atau yang tidak tampak oleh mata manusia, diciptakan oleh
Tuhan hanya dalam sekejap saja. Anak yang
pintar mengaji seperti kau, masa meragukan kebesaran Tuhan?"
"Eh, ya tidak, Wak. Tapi aku heran kalau
Wak Solikun percaya pada takhyul."
"Brendung bukan takhyul. Hal-hal yang gaib memang masih terjadi. Brendung termasuk
kebudayaan manusia yang berkaitan dengan
hal-hal gaib. Apa kau ragu, bahwa Tuhan juga menciptakan kegaiban-kegaiban?"
"Ragu sih tidak. Tapi... masa arwah orang
yang sudah meninggal bisa masuk ke dalam
brendung hingga boneka gayung itu bisa bergerak-gerak mencari pencuri?"
"Jangan salah paham. Aku tidak bilang
50 bahwa yang merasuk ke dalam brendung itu adalah arwah yang gentayangan. Aku hanya
bilang, kegaiban juga diciptakan oleh Tuhan.
Gaib adalah sesuatu yang sukar dipecahkan
dengan akal manusia. Manusia yang cerdik,
sering membuat yang semula dianggap gaib,
menjadi tidak. Buktinya, pesawat televisi..."
"Wah! Kok sampai ke televisi segala, Wak?"
Wak Solikun berjalan ke kulah langgar.
Pulung terpaksa menunggu guru mengaji itu
membersihkan badannya. Dia tertarik benar
dengan ucapan gurunya. Rasa hormatnya pada Wak Solikun menjadi berlipat ganda. Hebat
guru mengaji itu. Rasanya serba tahu saja. Dia tidak hanya menguasai jurus-jurus silat dan
ayat-ayat suci, dia juga memahami hal-hal yang gaib. Pulung duduk di bangku kayu di bawah pohon
melinjo. Pohon itu tegak di tepi halaman langgar kecil yang tua umurnya. Di halaman inilah Pulung
berlatih silat pada malam terang bulan, sejak bulan masih sepotong sampai
lewat purnama penuh. Di tempat ini pula
Pulung sering mengobrol dengan Wak Solikun untuk membicarakan banyak hal. Bahkan
kalau Pulung sedang risau karena menjumpai kesulitan dalam pelajaran, di sini pula Wak Solikun
memberinya nasihat-nasihat berharga.
Di halaman yang tak berumput dan berdebu
kemerah-merahan ini, betapa banyaknya
peristiwa telah terjadi. Di sini pula Pulung sering menerima hardikan-hardikan, bahkan
juga hajaran-hajaran keras, bila dia melakukan kesalahan yang membuat gurunya marah. Kata Wak
Solikun, di halaman tak berumput ini pula dulu Bapak digembleng menjadi santri dan
pendekar. Ketika itu Bapak masih sebaya
Pulung sekarang. Wak Solikun adalah teman
51 mengaji dan lawan latihan silat bagi Bapak.
Wak Solikun telah selesai mandi dan
berganti pakaian. Isterinya menyajikan teh pahit dan gula aren. Pulung mendapat bagian pula. Tapi
ia selalu merasa malu bila harus duduk minum teh bersama gurunya. Ia merasa dirinya sangat kecil
bila dibandingkan dengan sang guru. Duduk minum teh bersama, ah!
Seolah Pulung diperlakukan sebagai orang
dewasa, sebagai teman mengobrol Wak Solikun!
"Ayo, tehnya diminum," Wak Solikun
mengajak. Ia sendiri mereguk teh pahit yang hangat setelah menggigit sedikit potongan gula aren
yang manis seperti gula merah. Memang nikmat hidangan itu untuk sore hari yang
cerah. Pulung menikmati hidangan itu dengan
perasaan malu tetap mengganggu.
"Soal kegaiban dan televisi itu, bagimana, Wak?" tanyanya setelah meletakkan gelasnya di bangku
kayu, di antara dia dan Wak Solikun.
Wak Solikun menekan ujung peci
hitamnya. Gayanya seperti dia mulai berbicara di mimbar pada acara peringatan hari-hari
besar Islam. "Misalnya kau membawa pesawat televisi ke
pedalaman yang penduduknya masih primitif
dan ketinggalan zaman," kata Wak Solikun. Ia menggulung rokok lagi. Ketika rokok itu
dimasukkan ke bibirnya, Pulung menyalakan
korek api. Ia merasa bangga, karena hanya dia murid Wak Solikun yang berani menyalakan
rokok gurunya. Murid Wak Solikun lainnya
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa segan berhadapan dengan sang guru.
Apalagi duduk mengobrol sambil minum teh
52 dan menyalakan rokok guru mengajinya. Wak
Solikun berkata lagi, "Pesawat televisi bisa dianggap sebagai barang gaib oleh penduduk
pedalaman yang masih terbelakang itu. Bisa-bisa kau disangka dewa!"
Pulung tertawa. Contoh itu memang masuk
akal dan lucu. "Jadi sesuatu yang dianggap gaib oleh
orang terbelakang, sebenarnya adalah karya teknologi modern. Orang-orang cerdik bisa
menciptakan kegaiban bagi orang bodoh," kata Wak Solikun lagi.
"Lalu soal brendung itu, Wak" Apa seperti halnya pesawat televisi di tengah masyarakat pedalaman
yang terbelakang?" "Aku pernah menyaksikan brendung pada masa aku kanak-kanak dulu. Itu memang soal gaib."
"Jadi ada roh halus yang merasuk ke dalam
boneka gayung itu?" "Belum tentu roh halus. Soal gaib tidak
bisa dipastikan. Kita hanya bisa menduga
berdasarkan nalar dan pikiran, juga
pengetahuan kita." Pulung bingung jadinya. Jawaban Wak
Solikun dinilainya terlalu muter-muter dan tidak tegas. Agaknya Wak Solikun memahami
perasaan murid terbaiknya. Ia menerangkan
dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami,
"Sesuatu yang menggerakkan brendung itu belum tentu roh halus. Belum tentu pula arwah orang
yang sudah meninggal. Pernah melihat pertunjukan hipnotis?"
"Belum, Wak. Tapi pernah mendengar
ceritanya." "Orang yang menguasai ilmu hipnotis, bisa
menggerakkan benda dengan pandangan
53 matanya. Pada zaman Jepang dulu, aku pernah melihat seorang opsir tentara Jepang
menggerakkan mobil dengan pandangan
matanya. Ia menguasai ilmu hipnotis tingkat tinggi."
"Jadi brendung itu digerakkan oleh kekuatan hipnotis, Wak?"
"Belum pasti. Sejak tadi kubilang belum
pasti. Aku tidak menyaksikannya sendiri."
"Kulihat brendung itu bisa bergerak-gerak seperti ada tenaga gaib yang
menggerakkannya!" "Untuk mengetahui apa tenaga penggerak
brendung itu, kau harus menyelidikinya.
Brendung yang kulihat ketika aku masih kecil dulu memang bergerak karena tenaga gaib.
Entah setan kebun rambutan, entah hantu
kuburan angker yang merasuk ke dalam
boneka gayung itu. Aku hanya melihat dia
bergerak, dan pencuri itu mengakui
perbuatannya." Pulung makin puyeng saja. Ia bangkit
dengan kepala terasa berat sekali. Soal
brendung masih belum terpecahkan. Wak Solikun tidak mau memastikan apa benar
arwah orang yang meninggal merasuk ke dalam brendung. Tapi Wak Solikun membenarkan bahwa
kegaiban masih ada di dunia ini. Pulung lupa bersalam ketika meninggalkan gurunya.
"Assalamualaikum!" Wak Solikun yang
menyerukan salam ketika Pulung sudah
melangkah mendekati sepeda Gogor.
54 Pulung membalik dan melambaikan
tangannya ke dekat kepala, "Wa Alaikumsalam, Wak!"
Wak Solikun tertawa dalam hati melihat
tingkah Pulung. Hari ini ia berlaku lembut pada muridnya itu. Tidak seperti biasanya. Sebab tadi di
kuburan ia mendengar cerita orang
Kalitepung tentang sepak-terjang anak Pak
Bayan itu. Wak Solikun menilai, semalam
Pulung berlaku sangat tepat sebagai santri maupun pendekar hasil gemblengannya.
5 MUSUHAN LAGI BAPAK mengawasi sepatu Pulung. Sepatu itu
telah rusak. Sudah dua kali diganti alasnya.
Pulung salah tingkah karena pandangan mata ayahnya. Apalagi Bapak baru saja menerima
laporan Oom Wi tentang sikap Pulung di kantor polisi. Rasanya kepala pun ringan sekali.
Tatapan mata Bapak selalu menggelisahkan.
"Ingin punya sepatu baru, he?" tegur
Bapak, tanpa melepaskan pandangan matanya
pada sepatu Pulung. "Kan belum panen, Pak." kata Pulung.
Bapak memang biasa membelikan sesuatu bila panen tiba. "Tante Yan juga sudah ngajak beli
sepatu. Tapi enakan dikasih Bapak!"
Bapak mendengus. "Berapa nomor sepatumu?" tanyanya.
55 "Tiga delapan, Pak. Eh... aku jadi curiga.
Ada apa sih, Pak" Kok tanya-tanya sepatu.
Dapat arisan, ya?" "Oom Wi mau kasih sepatu baru kalau kau
mau membantunya." "Payah, Pak! Oom Wi janji melulu!"
"Mestinya kau membantunya tanpa
mengharapkan hadiah. Dia kan pamanmu."
"Bantu apa sih, Pak" Tadi dia ngajak
mancing. Aku tidak suka mancing. Kerjaan
orang malas, tuh!" Ibu tersenyum senang. Baru sekali ini
Pulung tampak akrab dengan Bapak seperti itu.
Biasanya Pulung bersikap tertib sekali terhadap ayahnya. Menghadap Bapak seperti menghadap
kepala sekolah saja. Ibu tidak tahu, Pulung bersikap seperti itu karena hatinya risau bukan main, Ia
sibuk menebak-nebak apakah Bapak
sedang marah atau tidak. "Kalung berlian yang kautemukan cukup
berharga bagi polisi," kata Bapak.
"Sayangnya, penemuan kalung itu
memberatkan tuduhan pada Pak Rangga."
Pulung merenung. Kalau saja tadi Si Man
mau diajak bicara baik-baik, ia tidak berniat memperlihatkan kalung berlian itu. Akan
diselidikinya sendiri mengapa kalung berlian yang hilang itu berada di peci hitam Pak
Rangga. Ia yakin, pasti ada seseorang yang meletakkannya di sana ketika seisi rumah
56 sedang tidur. Hanya ada dua orang yang bisa dicurigai: Pak Dawuh atau Taslim.
"Kadang-kadang Bapak sendiri tidak tahu,
mengapa kau menjadi sering terlibat dalam hal-hal seperti itu. Seolah-olah kau seorang
detektip, pembantu polisi, atau entah apa
istilahnya," kata Bapak dengan suara perlahan.
Nadanya seperti bergumam saja, padahal jelas dia berkata kepada anaknya. "Apa kelak kau ingin
menjadi polisi seperti pamanmu?"
"Tidak tahu, Pak," Pulung menggeleng. Ia
duduk dengan sikap sopan di depan ayahnya.
"Kenapa kau tertarik untuk menyelidiki
perkara Pak Rangga?"
"Soalnya Pak Rangga itu ayah temanku,
Pak." "Hanya karena itu" Apa kau tidak sedang
berkhayal menjadi polisi ulung seperti dulu ketika kau menyelidiki misteri kematian
Nansy?" "Tidak, Pak. Aku tidak suka berkhayal lagi."
"Jadi apa yang mendorongmu un
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
tuk menyelidiki perkara Pak Rangga" Hanya karena dia ayah temanmu" Atau karena kau yakin Pak
Rangga difitnah orang..."
"Kalau aku berterus terang, Bapak tidak
marah, kan?" "Coba bilang." "Aku... aku berantam dengan Jalu di
Sarean Selehraga." "Terus?" "Aku merasa bersalah sekali, Pak. Kalau
Wak Solikun mengetahui hal itu, aku pasti
dihukum juga. Tapi aku tidak bisa
menghindarkan perkelahian itu. Aku terpaksa."
"Ceritanya kau ingin menebus
kesalahanmu pada Jalu, begitu?"
"Kayaknya iya, Pak!"
"Tapi ini perkara serius. Polisi sudah
menangani kasus ini. Dari laporanmu, polisi bisa mulai bekerja. Kata pamanmu, pencurian kalung
berlian itu tidak dilaporkan kepada polisi. Jadi sebenarnya polisi tidak bisa
menahan Pak Rangga lebih dari empat puluh
delapan jam. Tapi setelah kau melaporkan hasil pengamatanmu, polisi tidak akan melepaskan Pak
Rangga sebelum kasus ini selesai."
"Kok jadi begitu, Pak" Memang polisi tidak percaya bahwa kalung itu diletakkan oleh
seseorang ke dalam peci Pak Rangga?"
"Kau sudah bicara dengan Wak Solikun?"
1 "Sudah, Pak." "Apa katanya?" "Dia menerangkan tentang brendung."
"Apa dia tidak menyebut-nyebut tentang
perebutan kekuasaan di Kalitepung?"
"Iya, Pak. Dia juga bilang begitu."
"Nah," Bapak menjentikkan jarinya.
"Pamanmu juga minta keterangan tentang Pak Rangga dari Bapak."
"Bapak kenal Pak Rangga, Pak?"
"Kenal akrab sih tidak. Tapi Bapak tahu
akan sepak-terjangnya di tengah masyarakat.
Dia berbakat menjadi pemimpin. Pengaruhnya di masyarakat Kalitepung cukup baik. Pak
Lurah Kalitepung bahkan pernah membujuknya agar Pak Rangga mau mencalonkan diri sebagai
kepala desa kalau Pak Lurah sudah meletakkan jabatan karena usia tuanya. Tapi kelihatannya Pak
Rangga tidak berminat menjadi lurah.
Kalau dia mau, dalam pemilihan lurah
mendatang bisa dipastikan dia yang akan
terpilih..." "Jadi fitnah itu ada hubungannya dengan
pemilihan lurah yang akan datang, Pak?" sahut Pulung dengan cepat.
"Mungkin. Lawan-lawannya berusaha
menjatuhkan nama baiknya dengan fitnah itu.
Ini baru dugaan Bapak. Hal semacam ini
seringkali terjadi di mana pun juga. Perebutan kekuasaan di desa seperti itu seringkali diikuti
dengan tindakan-tindakan kotor. Pamanmu
setuju dengan dugaan Bapak. Makanya untuk
2 sementara Pak Rangga diamankan di kantor
polisi. Kalau dia dibebaskan, mungkin saja jiwanya terancam. Ia tidak tahu siapa
musuhnya, karena sebenarnya ia samasekali
tidak menginginkan kedudukan kepala desa.
Karena itu, mungkin dia lengah dan bisa
disingkirkan dengan mudah oleh orang-orang yang membencinya."
"Disingkirkan ke mana, Pak?"
"Ke akherat! Disingkirkan, bisa berarti
dibunuh!" Pulung merasa ngeri membayangkan hal
itu. Ternyata perkara yang diselidikinya bukan perkara biasa yang ringan. Itu sebuah perkara besar.
Menyangkut keselamatan jiwa seseorang, juga masa depan sebuah desa bernama
Kalitepung! "Apa rencanamu?" tanya Bapak kemudian.
"Tidak tahu, Pak."
"Sekali ini, bekerja samalah dengan
pamanmu. Kau bisa bebas bergerak di
Kalitepung. Orang tak akan mencurigaimu.
Apalagi banyak orang yang tahu kau anak Pak Bayan."
Pulung tertawa. Rasanya aneh mendengar
bapak menyombongkan diri begitu. Tapi
memang benar, Pak Dawuh pun mengenalnya
karena dia anak Pak Bayan. Biar hanya sedikit, ada juga rasa bangga Pulung menjadi anak
seorang pamong desa. Pulung ingin bercerita tentang Pak Dawuh.
3 Tapi maksud itu diurungkannya. Ia khawatir akan bertindak ceroboh lagi hingga makin
memperberat tuduhan kepada Pak Rangga.
Lebih baik ia mengumpulkan bukti-bukti saja
lebih dahulu. Si Man pun tidak percaya pada dugaan Pulung bahwa Pak Dawuh berlaku
mencurigakan. *** Boneka gayung itu sudah siap pada jam
sembilan malam. Buatannya kasar sekali. Tidak diberi baju, tidak pula diberi hiasan untuk
menggambar wajahnya. Hanya gayung diberi
kaki kerucut dari bambu bulat yang dibelah ujungnya. Boneka itu diikat dengan dua utas setagen
saja. Empat ujung setagen itu berjuntai ke bawah. Pulung memegangi salah satu ujung setagen itu.
Ia memasukkan antena penemuannya ke dalam lilitan setagen. Antena yang telah diulur menjadi panjang itu menusuk
lambung boneka gayung. "Ayo kita mulai!" serunya.
Gruno memegangi salah satu ujung
setagen. Gogor memegangi ujung lainnya. Polan ragu-ragu. Ia merasa takut.
"Pol! Pegangi ujung setagen itu!" perintah Pulung.
Polan belum beranjak. "Nanti brendung itu kesurupan sungguhan, ya?" tanyanya.
"Bodoh! Ini kan brendung main-mainan saja! Ayo cepat!"
4 Polan memungut ujung setagen. Boneka
gayung itu mengambang karena ditarik dari
empat penjuru. Pulung menggerak-gerakkan
antena. Boneka gayung bergerak-gerak. Ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang...
"Kita coba menyerang ke sana!" Pulung
menunjuk sebatang pohon pisang di sudut
kebun belakang rumahnya. "Kau jalan duluan, Lung!" seru Gruno.
Pulung yang berada di arah depan sebelah
kiri boneka gayung itu, mulai menarik. Yang lain mengikutinya. Boneka gayung melesat dan
tersembul-sembul karena ayunan setagen.
Pulung mengendalikan boneka itu dengan
antena. Boneka gayung bisa membentur-bentur pohon pisang.
"Berhasil!" seru Pulung gembira. "Kalau
antenanya ada empat batang, boneka ini lebih mudah dikendalikan!"
"Tidak perlu empat!" Gruno membantah.
"Cukup dua batang antena yang dipegang oleh dua orang di arah depan gayung."
"Aku punya pendapat!" kata Gruno.
"Apa?" tanya Pulung.
"Ujung antena itu bisa terlepas dari badan brendung. Pasti di bagian badan brendung itu diberi
kaitan agar ujung antena tetap
menempel." "Betul juga," kata Pulung. "Bagaimana hasil penyelidikan Jalu" Apa dia sudah menemukan bangkai
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
brendung itu?" "Malam ini dia akan ke sini untuk
5 melaporkan hasil penyelidikannya," kata Gruno.
"Jam lima sore tadi dia kujumpai di rumahnya."
"Kita tunggu saja, Gor! Kenapa kau
tersenyum-senyum saja?"
"Ah, tidak," Gogor menggeleng.
"Ngaku saja kau!" kata Gruno. "Kau pasti
mengharapkan Ratri ikut Jalu, kan?"
"Ah, enggak..."
Tak lama kemudian, Jalu tiba. Ternyata
Ratri memang ikut. Kakak beradik itu langsung menuju ke kebun belakang. Ibu mengantarkan
mereka. "Bagaimana, Lu?" tanya Pulung segera.
"Hm... dari mana aku memulai laporan?"
tanya Jalu. "Dari mana saja! Mulailah!"
Jalu mencari tempat duduk. Pulung
menunjuk ke arah bangku panjang yang
terletak di emper (teras) belakang rumahnya. Di dekat sana, lampu listrik lima belas watt
menyala agak redup. Bola lampunya kotor oleh debu. Tapi sinarnya lumayan juga untuk
menerangi sekitar tempat itu. Wajah Jalu
tampak letih sekali. Gogor melompati pagar petai cina menuju ke rumahnya. Tidak ada yang
mengacuhkannya. Setiap kali berada di tengah teman-teman
kakaknya, Polan selalu merasa rendah diri. Tak enak berada di sana saja. Ia pun pergi dengan
diam-diam. "Mbah Mandor itu...," Jalu memulai.
Adiknya memotong, "Aku saja yang cerita
6 tentang Mbah Mandor!"
"Nah, mulailah!" sambut Pulung. Ia tetap
berdiri. Membiarkan Ratri duduk bersama
kakaknya. Gruno pun tetap berdiri. Pulung
melanjutkan, "Jangan lupa, ceritakan juga
mengapa kau lari ke rumah Mbah Mandor
ketika ayahmu dibawa ke Balai Desa."
"Mbah Mandor sudah kuanggap sebagai
nenekku sendiri," kata Ratri. Ia menoleh pada kakaknya. "Iya kan, Mas?"
"Jangan bertele-tele! Ngomong yang
singkat!" seru Jalu setengah menghardik.
"Suami Mbah Mandor dulu seorang
mandor..." Jalu menoleh dan memandangi adiknya.
Pandangan tajam itu seolah memerintahkan
agar Ratri tidak bicara berkepanjangan.
"Eh... begini, maksudku... suami Mbah
Mandor dulu seorang mandor irigasi. Kalau
sekarang namanya mandor pengairan. Ia
mengatur pembagian air sungai untuk
pengairan sawah..." "Kau ceritakan saja apa kata Mbah Mandor
tentang brendung itu!" potong Jalu mulai kesal.
"Dulu Mbah Mandor menjadi dukun
brendung. Sekarang tidak lagi. Kata Mbah Mandor, ia berhenti menjadi dukun brendung karena
7 tidak mau lagi menggunakan kekuatan setan..."
"Jadi brendung benar-benar menggunakan kekuatan setan untuk menjalankannya?"
potong Pulung. "Kata Mbah Mandor begitu," Ratri
mengangguk. "Mbah Mandor sudah insyaf. Dia hanya mau meminta kepada Tuhan, bukan
kepada setan. Ketika ada orang yang
memintanya untuk menjadi dukun brendung, dia menolak. Orang itu lalu meminta kepada Mak Tarni
untuk menjadi dukun brendung yang kemarin itu."
"Siapa Mak Tarni?" tanya Pulung.
"Mak Tarni dulu menjadi pembantu dukun
brendung. Tapi kata Mbah Mandor, Mak Tarni tidak mungkin bisa membuat brendung. Mbah
Mandor tidak pernah menurunkan
kepandaiannya sebagai dukun brendung kepada siapa pun juga. Ia sangat sedih karena
brendung yang kemarin itu digunakan untuk memfitnah Bapak."
"Teruskan." Tetapi Ratri tidak berbicara lagi. Ia
menunduk. Wajahnya tampak sedih karena
teringat akan nasib ayahnya.
"Hei, No! Tolong bawakan ini!" seru Gogor
dari seberang pagar petai cina. Ia membawa baki berisi dua gelas teh manis dan sepiring getuk
lindri. Rupanya sajian itu hanya untuk Ratri dan kakaknya.
Gruno menggerutu, tapi dia mau juga
mengambil baki itu. Gogor meloncati pagar
petai cina. Kakek Sakeh sengaja tidak membuat pintu di pagar itu agar Gogor tidak sering main ke
rumah Pulung pada saat ia harus bekerja mengurus bebek. Kalau dia tahu cucunya
sering meloncati pagar, dia pasti marah juga.
8 "Sampai di mana laporan Ratri?" tanya
Gogor dengan gaya yang bikin enek. Gruno
mendengus karenanya. "Kau diam dulu. Biar Ratri menikmati
hidanganmu," kata Pulung, karena dia tahu
Gruno hampir ribut dengan Gogor.
Ratri berkata lagi tentang brendung itu.
Orang-orang yang memegangi setagen brendung itu adalah Pak Kamo, Pak Aril, Kang Keman, dan
Pak Sukri. Keempatnya penduduk
Kalitepung. Hubungan mereka dengan Pak
Rangga biasa-biasa saja. Tidak sangat baik, tidak pula buruk. Sedangkan orang yang
menghubungi Mbah Mandor untuk membuat
brendung adalah Pak Aril.
Laporan Ratri ditambah oleh Jalu yang
mencari bangkai brendung. Ia hanya menemukan pecahan-pecahan tempurung
kelapa. Ia memperlihatkannya kepada Pulung.
Masih ada coretan bekas gambar mata di
pecahan tempurung kelapa itu. Gogor merasa ngeri melihatnya.
"Bagian-bagian lainnya tidak
kautemukan?" tanya Pulung.
"Rupanya ada orang yang mendahuluiku.
Sisa-sisa brendung itu tidak ada lagi. Lung, apa kau mencurigai Pak Dawuh?"
"Memang kenapa dia?"
"Kata anaknya, Pak Dawuh membawa
pulang bagian-bagian badan brendung juga."
9 Pulung memikirkan hal itu. Siapa Pak
Dawuh sebenarnya" Dalang pembuatan
brendung itukah" Pantas malam itu dia mencari sesuatu di jalan tanah di dekat makam Mbah
Sawunglanang. Tapi Pulung tak mau ceroboh
lagi. Soal kalung berlian itu pun hanya dia dan Gogor yang tahu. Gruno tidak tahu, Jalu dan Ratri
pun tidak. Tiba-tiba Pulung ingat akan sesuatu. Ketika ia bersembahyang isya di rumah Jalu, kalung itu belum
di sana. Ia bersembahyang isya
sebelum Pak Rangga diserang oleh brendung...
"Lu!" serunya tiba-tiba. "Ketika ayahmu
diserang brendung, apa pintu rumahmu terkunci?"
"Terkunci. Kaulihat sendiri aku
menguncinya ketika kau selesai bersembahyang isya di rumah, kan?" sahut Jalu.
"Lalu... ketika kau pulang dari Balai Desa, apa pintu rumahmu masih terkunci juga?"
"Kau juga lihat pintu itu masih terkunci.
Malah kau sendiri yang membukanya."
"Pintu belakang?"
"Masih terkunci juga. Tapi... siapa yang
keluar lewat belakang setelah kita masuk?"
"Semuanya pernah keluar lewat pintu
belakang untuk mencuci kaki sebelum tidur,"
kata Gruno. "Tapi siapa yang pertama kalinya?" tanya
Pulung. "Aku," jawab Gogor. "Soalnya aku keburu
ingin pipis..." 10 "Jangan ngawur!" kata Gruno. "Kau tidak
berani keluar sendirian! Aku mengantarmu!"
"Iya, tapi aku yang membuka pintu itu!"
Gogor ngotot. "Lalu kau juga ke belakang. Aku tidak minta diantar. Kau mendahuluiku ke
belakang. Tapi aku yang pertama kali membuka pintu itu."
"Jangan berdebat dulu!" Pulung
mengangkat tangannya. Ia berpikir keras
sampai dahinya berkerut-kerut. Lalu bertanya pada Jalu, "Bagaimana cara kau mengunci
pintu belakang rumahmu?"
"Kau kan bisa. Hanya mengangkat gerendel
ke atas. Gerendel bawah sudah terlepas."
"Hm... apa gerendel pintu itu mudah turun
dengan sendirinya" Kalau tidak salah, untuk mengunci pintu itu diperlukan juga penumbuk padi
untuk mengganjalnya..."
"Ketika aku membuka pintu itu, tidak ada
penumbuk padi yang mengganjal!" sela Gogor.
"Ya. Aku juga belum memasangnya ketika
aku meninggalkan rumah itu setelah mengantar Pulung sholat isya. Maksudmu bagaimana,
Lung?" "Pintu itu bisa dibuka kalau daun pintunya didorong ke luar, kan" Atau ditarik dari luar!
Bisa, Lu?" "Kayaknya bisa. Gerendel atas itu sudah
licin sekali. Mana bentuknya lurus saja begitu.
Tidak seperti gerendel sekarang, bisa diputar ke samping hingga tidak bisa turun dengan
sendirinya." "Kalau begitu, ada seseorang yang masuk
11 ke dalam rumah ketika ayahmu dibawa ke Balai Desa."
"Untuk apa orang masuk ke rumah kami"
Kami tidak merasa kehilangan!" kata Jalu.
Akhirnya Pulung merasa harus
menerangkan soal kalung berlian hasil temuan Gogor. Ia pun menerangkannya dengan hati-hati
agar Jalu tidak naik pitam lagi.
"Kurang ajar!" Jalu meninju telapak
tangannya sendiri. "Siapa kira-kira, Lung" Pak Dawuh?"
"Kau lihat Pak Dawuh ketika ayahmu
dibawa ke Balai Desa?" Pulung malah bertanya.
"Tidak. Aku tidak melihatnya. Pasti dia
sedang memasuki rumahku! Dia pencuri kalung berlian itu!"
"Jangan sembarang menuduh dulu!" cegah
Pulung. "No, apa pendapatmu" Dari tadi kau lebih dungu dari pada kambing congekan!
Ngomong, dong!" Sejak tadi Gruno ingin bicara. Tapi ia
merasa malu. Sebab hal itu menyangkut nama baik keluarganya.
"Soal kakekku, Lung," kata Gruno. Ucapan
itu adalah isyarat kepada Pulung.
Pulung mengerti. Gruno akan selalu
merasa malu setiap kali membicarakan tentang kakeknya. Sebab kakeknya itu bekas pencuri pada
zaman lampau. Namanya sendiri
dilupakan orang. Ia hanya dikenal dengan nama Pak Pandung. Sedangkan pandung artinya maling!
"Itu soal pribadi. Kau bilang saja nanti!"
kata Pulung, memberi isyarat agar Gruno
berbicara empat mata saja dengannya. Tidak beramai-ramai seperti itu.
12 Apa sebenarnya yang akan dikatakan
Gruno" Pulung jadi penasaran. Ia berpura-pura menguap seperti mengantuk. Ratri mencolek
tangan kakaknya. "Mas Pulung sudah ngantuk. Kita pulang
saja, yuk," ajaknya pada Jalu.
"Kalian mau menemani kami lagi?" tanya
Jalu seraya bangkit dari bangku panjang itu.
"Kami akan menyusul saja. Gogor boleh
ikut Jalu sekarang," kata Pulung.
Jalu dan Ratri pulang bersama Gogor.
Tinggal Pulung dan Gruno. Mereka mengemasi boneka gayung dan duduk di bangku panjang
itu. "Ngomonglah tentang kakekmu," kata
Pulung. "Bukan tentang dia. Tapi tentang
pendapatnya," kata Gruno.
"Tentang apa saja, ngomonglah!"
"Mbah Pandung sudah dihubungi polisi."
"Hah" Polisi menghubungi Mbah Pandung"
Lalu bagaimana?" "Polisi meminta Mbah Pandung memeriksa
bekas-bekas pencurian di rumah Pak Jumadi.
Kata polisi, setiap pencuri mempunyai cara tertentu untuk masuk ke rumah korbannya.
Ada yang lewat genting, ada yang membuka
13 pintu dengan kunci palsu. Pokoknya sesuai
dengan keahlian masing-masing."
"Terus apa pendapat Mbah Pandung?"
"Kau percaya" Mbah Pandung yakin tidak
ada seorang pencuri pun yang masuk ke rumah Pak Jumadi!"
"Lho! Masa begitu?"
"Aku juga tidak percaya. Tapi Mbah
Pandung yakin. Agaknya polisi juga yakin benar pada keterangan Mbah Pandung."
"Bagaimana kakekmu yakin bahwa tidak
ada pencuri yang masuk ke sana?"
"Kalau ada pencuri masuk lewat genting
dan turun ke dalam kamar Bu Jumadi, jejaknya akan makin tipis ke arah bawah. Jadi jejak yang
paling tinggi di dekat langit-langit pasti lebih tebal daripada jejak di dekat lantai. Sebab pencuri itu
turun dari Iangit-langit ke lantai."
"Betul juga. Lalu?"
"Jejak yang ditemukan di dinding kamar itu sebaliknya. Di dekat lantai jejak itu lebih tebal daripada
di dekat Iangit-langit. Berarti orang yang membongkar genting itu naik dari kamar ke langit-langit,
barulah membuka genting dan turun lewat pohon jambu di samping rumah
Pak Jumadi. Jadi orang yang disebut pencuri itu berasal dari dalam rumah. Bukan dari luar."
"Kalau begitu, pencurinya orang dalam?"
"Kata Mbah Pandung begitu. Kalau bukan
Pak Jumadi sendiri, mungkin anak lelakinya."
"Kau sudah menyelidiki anak lelaki Pak
Jumadi?" "Mestinya kautanyakan pada Jalu."
"Kalau sejak tadi kaubilang soal
14 penyelidikan kakekmu, aku sudah tanya pada Jalu!"
"Kau kan tahu perasaanku, Lung. Kalau
kau punya kakek seperti Mbah Pandung, kau
juga akan berperasaan seperti aku..."
"Aku mengerti. Tapi apa orang Kalitepung
tidak ada yang mengenal kakekmu?"
"Mungkin ada. Tapi ketika Mbah Pandung
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan penyelidikan, ia bersama dengan
anggota polisi berpakaian preman. Mungkin
pamanmu ikut juga. Karena polisinya
berpakaian preman, orang bisa menyangka
Mbah Pandung juga anggota polisi. Iya, kan?"
"Mudah-mudahan begitu."
Mudah-mudahan, hanya sebuah harapan.
'Mudah-mudahan Pak Rangga bukan pencuri',
juga hanya sebuah harapan. Pada
kenyataannya bagaimana, Pulung belum tahu.
Dan ia ingin tahu akan kelanjutan seuntai
kalung berlian yang ditemukan oteh Gogor. Ia harus bertemu dengan Oom Wi untuk
menanyakan soal itu. "Kita ke rumah Si Man sebelum ke
Kalitepung. Kau yang nggenjot sepeda, ya" Aku sudah capek seharian kerja keras!" kata
Pulung. Diperintahkan boss dengan cara begitu,
15 Gruno pun oke saja. *** Tetapi Si Man masih tetap menjengkelkan
juga. Sebagai anggota polisi, Si Man tidak bisa mengutarakan rahasia tugasnya kepada
Pulung. Hal itu membuat Pulung keki pada Si Man. Selalu begitu. Rasanya Si Man tidak
mungkin bisa akur dengan Pulung. Dalam hal apa saja!
Tetapi dalam hati Pulung memuji Si Man
juga. Sebab siang tadi ternyata Si Man tidak mengadukan sikap Pulung yang tidak sopan di depan
Wadan. Si Man hanya meminta agar
Bapak mengizinkan Pulung membantunya.
Hanya itulah yang membuat Pulung bersikap
agak sopan pada Si Man. "Semuanya serba tidak boleh tahu," keluh
Pulung karena Si Man tidak mau bicara apaapa tentang rencana tugasnya. "Jadi apa yang boleh kuketahui, Man?"
"Man?" Oom Wi alias Si Man, melotot lebarlebar. "Dalam soal kesopanan, kau lebih dungu daripada Polan!"
Tante Rus, isteri Si Man itu, hanya
senyum-senyum saja. Tante Rus baik hati dan lembut. Tak pernah memusingkan Pulung mau
memanggil Si Man atau apa saja kepada
pamannya. Dalam hati, Tante Rus juga
memihak Pulung. Dia setuju, paman yang tidak bisa mengambil hati kemenakannya memang
16 tak perlu dihormati. Coba kalau Si Man bisa mengambil hati Pulung, tentunya Pulung akan
bersopan-santun juga seperti sikapnya kepada Tante Rus. Tapi Tante Rus tidak pernah bilang soal
itu kepada Si Man. Kalau ketahuan dia memihak Pulung, Si Man bisa marah.
Pulung bangkit dari kursi yang
didudukinya. Gruno bingung, tapi dia ikut
bangkit juga. "Dari dulu kita memang tidak cocok.
Persetan sepatu baru yang Si Man janjikan! Aku tidak mau kerja sama lagi!" sengat Pulung
seraya berlalu. Di teras, ia berseru pada Tante Rus, "Pulung minta diri, Tante!"
"Lho, kok buru-buru?" seru Tante Rus
seraya mengejar ke depan. "Tante masih
kangen, Iho!" "Lain kali saya ke sini lagi, Tante. Tapi
kalau Si Man lagi tidak di rumah!"
"Lung!" seru Oom Wi yang naik pitam
karena di-'Si Man-Si Man'-kan oleh si Rambut Kaku. "Apa kau benar-benar tidak bisa sopan?"
"Tergantung keadaan!" seru Pulung penuh
ejekan. "Tidak usah janji mau ngasih sepatu baru, aku mau saja membantu. Tapi jangan
selalu bikin keki, dong!"
Si Man menggeram karena marahnya.
Tante Rus menggamit tangan suaminya,
memberi tanda agar dia mengalah saja. Pulung bisa garang bagai anak singa kalau dia diusik.
Tapi sebenarnya dia selembut anak kijang bila orang tahu bagaimana cara menghadapinya.
"Oke!" kata Si Man pada akhirnya. "Satu
hal yang harus selalu kauingat, kau tidak lebih pintar daripada polisi!"
"Aku tahu. Kalau aku lebih pintar daripada polisi, aku tidak ke sini menyerahkan kalung berlian itu.
Akan kupecahkan sendiri perkara ini."
17 "Berlian, pikirmu?"
"Iya! Yang tadi kubawa ke sini kan kalung
berlian!" "Berlian apa" Imitasi! Palsu!"
"Ha?" Pulung melongo. "Jadi... jadi itu
berlian palsu?" "Pikirmu kau sudah pintar, ya?" Si Man
mengejek demi dilihatnya Pulung benar-benar terlongoh. "Makin besar kepala, kau akan
menjadi makin dungu!"
"Selamat malam, Oom!" seru Pulung seraya
membalik dengan sigap. Panggilan 'Oom'
diucapkannya untuk mengejek, bukan
menghormat. Sesudah itu, dia menyambar sepeda dan
meloncat ke sadelnya. Gruno enak, dia yang membonceng. Tak bakal bisa begitu kalau
Pulung tidak marahan dengan Si Man.
6 DUA MISTERI SEMALAMAN mereka tidur bergantian. Tapi
sampai pagi tak ada kejadian apa-apa. Taslim dan Pak Dawuh masih berjaga di teras rumah.
Tidur mereka pun lelap sekali. Sampai pagi.
Di sekolah, Pulung mengantuk lagi.
18 Untunglah dia tidak disuruh membuat kalimat dengan kata 'dini' lagi oleh Pak Son.
Ristiani mentraktir bubur kacang hijau.
Pulung menghabiskan dua mangkuk sampai
perutnya melembung. "Kelaparan lagi, ya?" tanya Ristiani sambil memandangi Pulung. Ristiani sendiri
semangkuk pun tak habis. "Kata Wak Solikun, tak baik menolak
rejeki," jawab Pulung seraya menyeka mulutnya dengan sapu tangan Ristiani. Enak saja dia
mengotori sapu tangan itu. Ristiani bakal
marah kalau bukan Pulung yang
melakukannya. Sehingga Gogor merasa sangat iri. Dia duduk di sudut kantin. Lebih keki lagi karena
dia harus mentraktir Gruno. Padahal sejak dulu dia tak akur dengan cucu Mbah
Pandung itu. "Tapi kalau kau tidak lapar, kau tak akan
menghabiskan dua mangkuk," kata Ristiani.
"Katamu, Wak Solikun-mu itu melarang kau
makan berlebihan." "Singkat saja, Ris! Ngomonglah apa maumu
makanya mentraktirku tanpa kuminta!"
Ristiani tertawa karena ketahuan sedang
mengakali Pulung. "Ceritakan dong tentang boneka gayung
itu!" katanya. "Sialan! Kau memerasku!"
"Kalau kau tahu diri, pasti kau mau cerita!"
19 Pulung mau bercerita. Tapi tentu saja
hanya bagian-bagian yang boleh didengar orang lain yang diceritakannya. Soal-soal yang
berhubungan dengan penyelidikan, tidak
dikatakannya. Ristiani menyangka hanya sesedikit itu
yang diketahui Pulung. Dia merasa lebih tahu.
Katanya mengomentari cerita Pulung, "Kadang-kadang aku kasihan padamu karena ternyata
kau tidak sepintar yang kukira."
"Kau di atas angin, ya" Mentang-mentang
sudah nraktir, seenaknya kau mengejek!"
gerutu Pulung. "Percaya" Kau sedang menghadapi dua
misteri!" kata Ristiani. "Pertama, misteri boneka gayung itu. Yang kedua, misteri kalung berlian yang
tahu-tahu jadi berlian palsu. Eh, jangan marah, ya" Apa pamanmu orang jujur?"
"Soal kejujuran, aku percaya. Dia seperti
Bapak, tak pernah melakukan kejahatan apa
pun juga. Bapak dan Si Man satu kelas kalau soal kejujuran. Jangan ngawur kamu, Ris!"
"Jadi bagaimana kalung berlian itu menjadi palsu setelah berada di tangan pamanmu?"
"Kau curiga padanya, kan" Kau menuduh
dia menukar kalung aslinya dengan yang palsu, kan?"
"Ya, tidak. Tapi... eh, tunggu! Mungkin
begini, pamanmu membohongimu tentang
kalung itu. Sebenarnya kalung yang
kauserahkan padanya itu kalung yang asli. Tapi dia bilang itu palsu, agar kepalamu jadi mumet!
20 Kau kan bersaing melulu dengan pamanmu"
Kukira pamanmu juga nggak senang kalau kau lebih pintar darinya. Iya, kan?"
"Kepalaku jadi mumet justeru karena
kudengar pendapatmu. Kalau nggak bisa
membantu, jangan ngomong saja, deh!"
"Aku mau membantu."
"Apa?" "Ingat ketika aku punya mainan pesawat
terbang yang bisa terbang memutar itu?"
Pulung ingat. Ristiani pernah mendapat
hadiah ulang tahun dari pamannya yang tinggal di Jakarta. Hadiah itu berupa pesawat terbang
sebesar botol kecap. Kalau baling-balingnya diputar dengan memukul-mukul ujung baling-baling itu,
maka mesinnya menderum. Pesawat bisa terbang seperti pesawat sungguhan. Pada salah satu
sayapnya, dipasang dua utas kawat.
Dua utas kawat itu sejajar. Ujungnya
dihubungkan dengan alat pengendali yang
berbentuk huruf 'U'. Alat itulah yang dipegang Ristiani. Pesawatnya terbang memutar. Ristiani juga
harus berputar mengikuti pesawat itu
sambil memegangi alat berbentuk huruf 'U'.
Pesawat bisa menukik dan menanjak kalau alat pengendali dimainkan. Karena alat
pengendalinya berbentuk huruf 'U', pesawat kecil itu disebut pesawat U-Control.
Brak! Pulung menggebrak meja. Ristiani
terkejut sampai melonjak dari kursinya.
"Ada apa, Lung?" seru Gruno karena
terkejut dan heran melihat Pulung bersikap garang di depan Ristiani.
"Eh... tidak, tidak. Sori, deh," kata Pulung.
21 "Terima kasih, Ris! Perutku kenyang karena kau. Otakku juga terang karena kau. Semoga kau
masuk sorga! Mau sekarang, apa?"
Ristiani mengelus dadanya sendiri seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tadi dia
menyangka Pulung marah padanya. Ternyata
gebrakan meja itu hanya pertanda Pulung
gembira bukan main karena menemukan
pemecahan misteri boneka gayung.
Pulung bergegas keluar dari kantin. Gruno
mengejarnya. Mereka berjalan bersisian.
"Punya gagasan baru, ya?" tanya Gruno.
"Brendung itu dikendalikan dengan
pesawat yu kentrol!"
"Yu kentrol" Apa sih itu?"
"Pokoknya pesawat yang bisa mutermuter!" Gruno tidak tahu apa maksud Pulung.
Sebenarnya Pulung sendiri tidak tahu apa nama pesawat itu. Kayaknya Ristiani menyebutnya
'yu kentrol'. Sedangkan tulisan di bungkus pesawat itu adalah U-Control. Nggak apa-apalah,
U-Control memang dibaca 'yu kentrol'.
"Lalu antena yang kautemukan itu
sebenarnya alat apa?"
Pulung berpikir sesaat. Ia memandangi
Gruno dan berkata sesudah berpikir, "Kita
selalu menyepelekan hal-hal yang sepele."
"Maksudmu?" 22 "Ristiani lebih pintar daripada kita. Kalau kujelaskan tentang brendung itu padanya sejak kemarin,
kita tidak repot bikin boneka gayung segala. Kita juga melupakan teman yang lebih pintar daripada
kita." "Siapa?" "Saleh Doman! Kau banyak tahu soal
elektronika karena kau anak seorang penjual radio. Tapi Saleh Doman anak seorang pemilik
bengkel alat-alat listrik. Jangan kecil hati, No.
Kau harus mengakui kelebihan Saleh Doman.
Kau pernah mengagumi pesawat pemancar
milik Ristiani, kan" Itu juga hasil karya Saleh Doman. Dibuat dari radio biasa yang
diperlengkapi dengan alat pengirim sehingga bisa menjadi pemancar. Ketika Polan diculik dulu, aku
menggunakan jasa Saleh Doman dan Ristiani dengan pemancar mereka."6
"Sebenarnya kau mau ngomong apa, sih?"
"Kita tanyakan pada Saleh Doman, antena
apa sebenarnya yang kutemukan!"
Gruno setuju. Antena itu ditaruh di dalam
tas Pulung. Mereka memperlihatkan benda itu pada Saleh Doman, anak Kampung Arab yang
jangkung dan berhidung panjang itu.
Saleh Doman selalu merasa senang bila
Pulung meminta bantuannya. Sekali ini dia pun senang. Dia tersenyum bangga sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Abunawas Kampung Arab!" sengat Pulung.
"Kau kusuruh ngomong, bukan manggutmanggut!" 6 Baca: Pulung - Dua Penculikan
23 "Ini antena pesawat pemancar, Fah!" kata si Abunawas Kampung Arab. Saleh Doman tidak
marah dikatain apa saja oleh Pulung. Dia
sendiri tidak pernah memanggil Pulung dengan panggilan yang benar. Ia menyebut Pulung
dengan panggilan 'Khalifah'. Artinya,
'komandan' atau 'boss'. "Pemancar apa, Was?" tanya Pulung pada si
Abunawas. "Sejenis walkie-talkie. Tahu kan, walkie-talkie itu alat penghubung yang sering dipakai oleh polisi"
Itu Iho, yang buat ngomong jarak jauh, yang bentuknya seperti radio kecil, yang warnanya hitam..."
"Jangan menghina! Aku pernah
memakainya ketika adikku diculik!" potong
Pulung. "Kamu memang selalu lebih pintar dari
Abunawas, Fah!" "Tengkyu, Was! Ada juga gunanya kamu
dikasih napas, ya?" Saleh Doman tertawa penuh kebanggaan.
"Jangan lupa, Fah!" seru Saleh Doman
ketika Pulung beranjak meninggalkannya.
"Selain polisi, banyak juga orang menggunakan pesawat itu."
Pulung berhenti melangkah dan berbalik
menghadapi Saleh Doman. "Misalnya siapa?" tanyanya.
"Pernah lihat pemasangan pipa air minum
di depan rumahku?" tanya Saleh Doman.
24 "Ya! Aku ingat! Mandor para pekerja itu
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan walkie-talkie untuk berbicara dengan pekerja yang sedang menyambung pipa di
bawah tanah!" "Betul!" Saleh Doman mengacungkan ibu
jarinya. "Petugas PLN yang membetulkan
sambungan kawat di atas tiang listrik juga menggunakan walkie-talkie untuk berbicara dengan
petugas lainnya di bawah. Oke, Fah!
Mau tanya apa lagi?"
"Cukup, Was! Salam untuk adikmu yang
manis si Sheila!" Saleh Doman manggut-manggut lagi.
"Juga untuk ibumu, ayahmu, tukang
kebunmu, pembantumu, kepindingmu..."
*** Sekarang Pulung menjumpai Jalu yang
tengah termenung di bawah cemara di halaman sekolah. Pulung duduk di samping Jalu.
Keteduhan cemara terasa menyegarkan
tubuhnya. "Ceritakan apa saja yang kauketahui
tentang Pak Dawuh. Semuanya, jangan ada
yang ketinggalan," katanya seraya meluruskan kedua kakinya.
"Pak Dawuh orang tua yang nyentrik. Suka
melakukan hal-hal yang aneh. Pakaiannya pun meniru-niru anak muda dari kota. Ia punya
sepeda motor. Kerjanya memang jual-beli
25 sepeda motor. Tapi sepeda motor miliknya
bukan barang dagangan..."
"Terus. Jangan berhenti!"
"Sepeda motornya Binter Mercy, Ia menjadi anggota Mercy Club, yaitu organisasi pecinta sepeda
motor Binter Mercy..."
"Apa ada keistimewaan sepeda motornya?"
"Sepeda motor itu dihiasi lampu beranekawarna seperti bis malam saja."
"Terus" Aku sering melihat ada sepeda
motor yang juga diberi alat pengeras suara dan tape recorder. Apa sepeda motor Pak Dawuh begitu
juga?" "Tidak. Tapi aku pernah lihat dia tertawatawa sambil naik sepeda motor. Kayaknya dia sedang mengobrol. Tapi dia sendirian."
"Hm... ya... apa dia membawa alat
pemancar" Misalnya walkie-talkie?"
"Tidak. Tapi aku sering lihat dia
mengenakan topi joki berwarna merah dan...
apa namanya alat yang dipasang di telinga itu"
Seperti alat pendengar yang dipasang di telinga penyiar radio atau pilot!"
Ternyata Pulung masih membutuhkan
Saleh Doman juga. Bel Sudan berbunyi. Pulung berpapasan dengan Saleh Doman di pintu
kelas. "Apa nama alat yang dipasang di telinga
seperti yang dipakai pilot?" tanya Pulung
segera. 26 "Earphone. Kenapa, Fah?"
"Anggota Mercy Club apa punya alat itu?"
"Tidak semuanya punya. Kecuali mereka
yang jadi anggota RAPI."
"Heh! Apa lagi itu?"
"Radio Antar Penduduk."
"Organisasi apa itu" Jelaskan dengan
singkat!" "Perkumpulan orang-orang yang gemar
berhubungan melalui udara dengan pesawat
pemancar dan penerima."
"Apa bedanya dengan klubmu?"
"Klubku kan ORARI (Organisasi Amatir
Radio Indonesia). Klubku menggunakan
pesawat penerima dan pemancar seperti yang kaulihat di rumahku dan di rumah Ristiani..."
"Klub RAPI menggunakan pesawat
pemancar dan penerima yang bisa dibawa ke
mana-mana" Maksudku seperti yang sering
kulihat di mobil-mobil itu?"
"Ya. Mobil atau sepeda motor juga bisa.
Kalau naik sepeda motor, pesawat pemancar
dan penerimanya kecil, biasanya ditaruh dalam tas. Alat pendengarnya menempel di kedua
telinga seperti yang dipakai pilot. Sedangkan alat untuk ngomong atau mik, ditaruh di dekat mulut.
Juga mirip mik yang dipakai pilot.
27 Pesawat pemancar dan penerima itu disebut
radio CB. Ingin tahu apa radio CB itu?"
"Jelaskan. Mungkin aku perlu tahu!"
"CB itu singkatan dari Citizen Band.
Menurut sejarahnya, alat pemancar dan
penerima ini mula-mula digunakan oleh para petani di Amerika. Karena tanah pertanian
mereka luas, maka letak rumah para petani itu berjauhan. Mereka menggunakan pesawat
pemancar dan penerima sebagai alat
penghubung dengan tetangga. Makanya
pesawat mereka dinamakan citizen band.
Artinya 'penghubung warganegara'. Tanya apa lagi, Fah?"
"Selamat siang, Anak-anak!" terdengar
suara Pak Koswara, guru matematika
bertampang angker. Serta-merta Pulung merasa perutnya
mulas. Dia memang bukan pecinta matematika.
Setiap kali melihat guru matematika, selalu saja perutnya mulas. Penyakit itu timbul karena rasa
bencinya pada matematika, bukan pada
gurunya. *** Mungkin Tante Yan kecewa, karena Pulung
tidak mengacuhkannya lagi. Sore tadi Tante Yan datang. Ia mengajak Pulung agar mau tidur di
Gedong Lawang Satus selama Oom Yan bepergian jauh. Tapi Pulung menolak,
28 meskipun sebenarnya dia tak sampai hati. Ia menyuruh Polan menemani Tante Yan.
Untungnya Polan mau. Tapi kekecewaan Tante Yan masih
terbayang oleh Pulung. Wajah tante yang baik hati itu tampak muram sekali. Tapi biarlah, Pulung
pun sedang kebingungan karena
misteri-misteri yang sulit dipecahkan. Dia memutuskan untuk memperlihatkan antena itu pada Pak
Dawuh. Gruno tidak setuju. Pulung menurut saja.
Mereka berempat tidur bergantian lagi di
rumah Jalu. Ratri tidur di kamar sendirian.
Menunggu apa sebenarnya mereka" Masingmasing belum tahu. Yang penting mengawasi
Pak Dawuh. Kebaikan Pak Dawuh yang
berlebihan juga cukup mencurigakan. Semua
orang memang baik pada Pak Rangga. Tapi
hanya Pak Dawuh yang mau berjaga di sana
setiap malam. Taslim pun sudah
mengundurkan diri. Malam ini Pak Dawuh
sendirian di teras rumah. Jadi kebaikan orang tua yang nyentrik itu perlu dicurigai.
Malam ini Pak Dawuh mengenakan celana
jeans biru. Jaketnya juga jeans biru. Mestinya pakaian itu tidak sesuai lagi dengan usianya.
Tapi sudahlah, orang kampung yang sok ngota itu memang suka berlaku aneh.
Pada jam satu pagi, tiba giliran Gogor yang berjaga. Betapa tersiksanya dia. Jatah berjaga satu jam
terasa lama sekali. Dasar penakut, melihat teman-temannya yang terbujur di lantai berselimut kain
sarung pun dia takut. Seperti mayat-mayat bergelimpangan...
"Lung! Lung!" ia menggoyang-goyangkan
tubuh Pulung. "Bangun, Lung!"
29 Pulung melompat dengan sigapnya.
"Ada apa?" tanyanya seraya berdiri dengan
kaki menekuk dalam kuda-kuda siap tempur.
"Oh... tidak... tidak apa-apa..."
Pulung menarik napas panjang. Ia tahu,
Gogor merasa takut harus berjaga sendirian.
"Buatkan minuman, nanti kau kutemani,"
kata Pulung seraya duduk bersila di atas tikar.
"Takut ke dapur sendirian?"
Sebenarnya Gogor takut. Tapi dia malu
kalau harus mengaku. Maka dia diam saja.
Pulung maklum. "Yuk, kuantar!" ajaknya seraya melangkah
ke dapur. "Buatkan kopi yang kental, ya" Aku ngantuk sekali."
"Ya. Kau jadi suka kopi, ya" Nanti
jantungmu tidak sehat, Lung!"
"Buatkan saja. Aku mau ke belakang
sebentar. Mau pipis!"
Pulung membuka pintu dapur. Memang
mudah. Kalau alat penumbuk padi yang
mengganjal daun pintu diambil, maka tinggai mendorong daun pintu ke luar. Gerendelnya
akan meluncur turun dengan sendirinya. Daun pintu pun bisa dibuka ke arah dalam. Jadi pada
malam Pak Rangga diserang brendung, ada orang yang masuk ke rumah lewat pintu ini.
Setelah meletakkan kalung berlian palsu ke dalam peci Pak Rangga, orang itu keluar. Ia bisa
memasang gerendel lagi dengan merogohkan
30 tangannya lewat lubang angin di atas pintu, setelah daun pintu ditutup. Pak Rangga ceroboh juga,
pintu dapurnya begitu mudah dibuka
orang. Sebenarnya Pulung tidak mau pipis. Ia
ingin mengintip Pak Dawuh. Ia berjalan dengan berjingkat ke depan, lewat pintu samping. Pak
Dawuh tidak ada di teras lagi!
Dengan cepat Pulung kembali ke dapur.
"Ada apa?" tanya Gogor dengan gugup dan
takut. "Tenang! Bangunkan Gruno dan Jalu!
Cepat! Suruh mereka ke samping kanan rumah!
Jangan ribut!" Selesai dengan ucapannya, Pulung
berkelebat keluar. Ia mengendap-endap untuk mencari Pak Dawuh. Ia melihat bayangan
bergerak-gerak mendekati kuburan Mbah
Sawunglanang. Dada Pulung berdesir karena
kaget dan takut. Ia tidak tahu bayangan itu siapa. Pak Dawuh atau... ah, bukan! Jumlahnya lebih
dari satu. Hantukah" Arwah Mbah
Sawunglanangkah" Terdengar suara siulan seperti bunyi
burung hantu dari arah belakangnya. Pulung menoleh. Dalam kegelapan dilihatnya dua sosok
bayangan mengendap-endap ke arahnya.
Pulung menggoyangkan perdu melati di
dekatnya. Bunyi goyangan itu didengar oleh Gruno. Ia mendekat seraya menggamit tangan Jalu.
"Ada apa?" tanya Gruno dengan bisikan.
"Lihat bayangan-bayangan di kuburan itu!"
31 bisik Pulung. "Perhatikan berapa orang!"
"Orang" Apa mereka benar-benar
manusia?" bisik Gruno.
"Jangan dekat-dekat, mulutmu berbau!"
bisik Pulung. "Mulutmu juga!" bisik Jalu.
"Jangan bicara ngelantur!" seru Pulung dalam bisikan. "Berani berpencar?"
"Berani!" bisik Jalu, tak peduli bau mulut Pulung menguar ke hidungnya.
"Kau berani, No?" bisik Pulung.
"Sekali ini tidak, Lung! Terus terang, aku belum yakin itu manusia."
"Baca doa pengusir setan, No."
"Ya." Ketiganya diam sesaat. Mereka membaca
doa. Pulung membaca doa Nurbuat ajaran Pak Gowok. Tapi memang tidak bisa khusyuk.
Perhatiannya tertuju pada bayangan-bayangan yang bergerak di kuburan Mbah Sawunglanang.
Dari kuburan itu terdengar suara 'dug-dug-dug'
berulang-ulang. "Sudah, Lung," bisik Jalu. "Aku mau
masuk lewat gerbang itu. Kau boleh dari sini.
Perhatikan di depan situ. Ada bagian pagar yang terbuka. Merayaplah dari sana. Kau akan bisa
masuk." "Berani sendirian, Lu?" bisik Pulung.
"Semua yang dikubur di situ adalah
leluhurku. Apa yang kutakutkan?"
"Baik! Mulailah!"
32 Jalu berjalan mengendap-endap ke arah
gerbang kuburan. Pulung merayap masuk,
disusul oleh Gruno. Mereka berbaring
menelungkup sambil mengawasi kuburan Mbah
Sawunglanang. Di sana ada bayanganbayangan bergerak. Membungkuk dan tegak.
Pulung menghitung. Semuanya ada empat
orang. Seperti sedang menggali tanah kuburan itu. Mereka menggunakan seligi dan cangkul.
"No, berani mendekati Jalu?" bisik Pulung.
"Berani. Kenapa?"
"Beritahu dia supaya memasang kayu atau
apa saja di gerbang untuk jebakan. Sesudah itu bawa kemari lampu senternya. Suruh dia
berjaga-jaga di luar gerbang saja. Jangan di dalam. Ingat, yang penting keselamatan diri sendiri,
bukan menangkap orang-orang itu.
Ingat, No?" "Ya." "Jangan melakukan kekeliruan sekecil apa
pun!" "Ya. Berangkat sekarang?"
"Hati-hati!" Gruno merayap di atas tanah. Tak peduli
baju dan celananya kotor. Jarak ke gerbang tidak jauh. Tapi ditempuh dengan merayap
dalam suasana seperti itu, sungguh berat
sekali. Ia harus meraba-raba untuk mencari jalan agar kepalanya tidak membentur nisan.
33 Dan rasa takut di hatinya tidak hilang juga.
Bagaimanapun dia sedang berada di kuburan, di kampung orang pula!
Gruno tidak melihat ada seseorang yang
sedang menelungkup pula di sana. Kepalanya menyundul pantat orang itu. Gruno terkejut, orang
yang disundulnya juga terperanjat.
Mereka menjerit bersamaan.
Jeritan itu membuat orang-orang yang
sedang menggali kuburan terkejut.
"Lari!" ada yang berseru begitu.
Jalu menyalakan lampu senternya ke
kuburan Mbah Sawunglanang.
"He! Siapa kau?" seru orang yang disundul
Gruno. "Pak! Aku Gruno!" seru Gruno seraya
berdiri. "Sialan! Kau bikin rencanaku berantakan!"
orang itu bersungut-sungut. Ternyata dia Pak Dawuh. "Mana Pulung?"
"Aku di sini, Pak!" seru Pulung sambil
bersiaga. Ia belum tahu Pak Dawuh musuh
atau kawan.
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Brengsek, kau!" Pak Dawuh menggerutu.
"Kau terlalu banyak ingin tahu!"
"Pak Dawuh sedang apa di sini?" tanya
Pulung dengan masih bersiaga.
"Sok tahu, kau! Kalau bukan anak Pak
Bayan, kukemplang kepalamu!"
34 Jalu berseru sambil mendekati kuburan
Mbah Sawunglanang dan menyorotkan lampu
senternya, "Aku mengenali salah seorang dari mereka!"
"Siapa?" seru Pak Dawuh seraya mendekat.
"Pak Kamo!" "Hah! Apa kataku..."
"Jadi Pak Dawuh sudah tahu?"
"Nanti kuceritakan di rumahmu. Kita
menunggu Taslim juga di sana!"
Jalu memandangi kuburan moyangnya
yang menjadi berantakan. Tanah galian
menggunduk. Ada sebatang seligi yang
ketinggalan. Jalu memungutnya.
"Kurang ajar!" geramnya. "Untuk apa
mereka menggali makam leluhurku?"
"Kita ke rumahmu dulu, Lu! Nanti
kuterangkan di sana!"
Memang tak enak bicara panjang-lebar di
kuburan itu. Mereka bergegas ke rumah Jalu.
Ratri sudah terbangun. Rupanya Gogor
menggedor-gedor pintu kamar Ratri karena dia ketakutan sendirian di rumah.
"Apa yang kaulakukan di kuburan itu,
hm?" tanya Pak Dawuh kepada Pulung. Ia
tampak gusar sekali. 35 "Terus terang, aku mengintip kerja Pak
Dawuh di kuburan itu! Sekarang apa yang
Bapak lakukan di sana" Menggali kuburan
Mbah Sawunglanang untuk mengambil harta
karun?" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di
pipi Pulung. Tangan Pak Dawuh cukup besar
dan mantap. Tetapi tamparan itu dilakukan
tanpa teknik. Hanya tamparan biasa. Mungkin Pak Dawuh tidak bisa bersilat. Menyadari hal itu,
Pulung naik pitam. Ia menatap tajam-tajam mata Pak Dawuh. Bagaikan penyihir akan
menundukkan musuh dengan tatapan mata
penuh daya sihirnya. Pak Dawuh bergidik juga melihat tatapan mata hitam setajam itu.
Tatapan mata seorang anak kecil. Kekuatan apa yang tersimpan dalam tubuh anak kecil
berambut kaku itu" "Saya tidak terima diperlakukan begini!"
sengat Pulung dengan marahnya.
Gruno memahami gelagat. Ia meloncat ke
samping kiri Pak Dawuh. Kedudukannya
menguntungkan. Ia bisa menyerang sewaktuwaktu bila Pak Dawuh bergerak hendak
memukul Pulung. "Lalu mau apa kau?" hardik Pak Dawuh.
"Kecil-kecil sok jagoan!"
Pulung meloncat menyerang! Gogor dan
Ratri menjerit bersamaan. Pak Dawuh siap
36 mengangkat kakinya. Tapi Gruno menjejakkan tumitnya ke lambung kiri Pak Dawuh. Dengan
sendirinya Pak Dawuh terkejut. Kedudukannya goyah. Pulung menghajar wajah Pak Dawuh
dengan sisi telapak tangan kanannya. Pak
Dawuh mengaduh dan jatuh terduduk!
Pulung berdiri dengan kuda-kuda tetap
kukuh. Siap menghadapi serangan lawan.
Tetapi Pak Dawuh mengangkat tangan
kanannya. "Sudah! Sudah! Satu-satu, ya?" serunya.
Tetapi Pulung tetap bersiaga penuh. Gruno
bergeser ke kanan sehingga ia berada di
belakang Pak Dawuh. Kesiap-siagaan seperti ini membuat Pak Dawuh tak berkutik. Sedikit
gerakan mencurigakan ia lakukan, dua anak
singa itu bisa menghajarnya tanpa ampun.
Kedudukannya lemah, dan anak-anak singa itu benar-benar terlatih untuk melumpuhkan
seekor singa tua seperti dirinya. Menyadari hal ini, Pak Dawuh bersikap santai. Ia duduk
bersila di lantai. "Ya, aku terima kalah!" katanya seraya
mengangkat kedua tangannya.
"Sekarang katakan apa kerja Pak Dawuh di
kuburan itu!" hardik Pulung.
"Aku mengintip orang menggali kuburan
Mbah Sawunglanang." 37 "Sejak kapan Pak Dawuh melihat orang
itu?" "Sejak mereka datang. Aku lalu menyuruh
Taslim untuk memeriksa rumah empat orang
yang memegangi brendung. Kalau mereka tidak ada di rumah, berarti yang menggali kuburan itu
mereka." "Mengapa mereka menggali kuburan Mbah
Sawunglanang?" "Mungkin untuk mengambil susuknya.
Kamu tahu susuk" Jimat yang berbentuk
seperti jarum, yang kecilnya hanya seujung jarum jahit. Susuk itu dimasukkan ke dalam
bagian-bagian tubuh tertentu agar orang
menjadi sakti." "Mbah Sawunglanang orang yang beriman.
Mustahil dia menggunakan susuk seperti itu!
Jangan mengada-ada!" hardik Pulung.
Suaranya masih galak, sikapnya pun masih
bersiaga penuh. "Banyak orang yang percaya bahwa Mbah
Sawunglanang mempunyai ilmu karang. Kau
tahu apa ilmu karang?"
"Ya!" Pulung tidak bohong. Ia sering mendengar
kata orang tentang ilmu karang. Yaitu ilmu kesaktian yang membuat manusia tidak
mempan ditembak atau dibacok. Orang yang
38 mempunyai ilmu karang konon bila meninggal jenazahnya tidak bisa hancur meskipun telah dikubur
selama berpuluh tahun. Rambut dan
kukunya masih tumbuh memanjang. Juga
giginya, masih utuh seperti ketika masih hidup saja. Jenazah orang yang mempunyai ilmu
karang sering diperebutkan. Kuburannya digali orang untuk diambil susuknya. Konon kalau
susuk itu dipakai oleh orang, orang itu akan menjadi kebal senjata pula. Jenazah orang yang punya
ilmu karang itu akan hancur seperti
jenazah lazimnya bila susuknya telah diambil.
"Tapi aku tidak percaya Mbah
Sawunglanang punya ilmu karang," gumam
Pulung. "Aku juga tidak!" sahut Pak Dawuh. "Tapi
banyak orang yang percaya! Makanya aku
curiga ketika Kamo membuat brendung. Apalagi brendung itu menyerang Pak Rangga. Kamo
sengaja menyingkirkan Pak Rangga dari desa agar dia bisa bebas menggali kuburan Mbah
Sawunglanang!" Pulung melirik Gruno. Gruno memberi
tanda agar Pulung terus menanyai Pak Dawuh dengan sikap tetap waspada.
"Lung," Jalu mendekati Pulung. "Sudahlah,
aku percaya pada Pak Dawuh. Kita bicara baik-baik saja. Jangan tegang begini."
"Kamu diam!" hardik Pulung pada Jalu.
Gogor menarik tangan Jalu. Diajaknya
menyingkir jauh-jauh. "Kalau boss kita sedang marah, jangan berani-beranian melawan. Bisa gawat semua!"
bisik Gogor. Jalu mengerti. Ia diam saja di sisi Gogor.
39 Perasaannya tegang bukan main.
"Saya mau tanya!" seru Pulung dengan
suara masih digalak-galakkan. Sebenarnya dia tidak tega memperlakukan Pak Dawuh
semacam itu. Di matanya, Pak Dawuh seolah
bagaikan Kakek Sakeh yang tua dan lemah. Pak Dawuh memang kekar dan belum setua Kakek
Sakeh. Tetapi sikapnya yang pasrah itu
membuat dirinya tampak seperti si tua tak
berdaya. "Tanya apa lagi?" tanya Pak Dawuh dengan
suara lemah. "Apa Pak Dawuh menjadi anggota Mercy
Club?" "Oh, tidak... tidak..."
"Pak Dawuh punya sepeda motor Binter
Mercy?" "Iya. Aku juga punya jaket yang capnya
'Mercy Club'. Tapi aku bukan anggotanya. Jaket itu dikasih orang yang menjual sepeda motor yang
sekarang kupakai." "Pak Dawuh menjadi anggota RAPI?"
"Apaan itu?" "Iya, tidak?" "Tidak. Rapi jali, apa?"
"Jangan main-main!"
"Berani sumpah!"
"Kenapa Pak Dawuh sering menggunakan
earphone sambil naik sepeda motor?"
40 "Apa itu" Aku tidak paham!"
"Alat pendengar yang menempel di telinga!
Pak Dawuh tertawa-tawa kalau mengenakan
earphone sambil naik sepeda motor."
Pak Dawuh terbahak-bahak!
"He! Jawab pertanyaanku!" hardik Pulung.
"Itu kan tape recorder yang namanya wokmen! Aku sedang mendengarkan dagelan
Basiyo, makanya aku tertawa-tawa!"
Sialan! Ternyata yang disangka alat
pemancar itu adalah wokmen (walk man), tape recorder kecil yang menggunakan alat pendengar di
kedua telinga. Pulung mengeluarkan antena hasil
temuannya. Ia memperlihatkannya pada Pak
Dawuh. "Ini apa?" tanyanya.
"Antena. Iya, kan" Ha! Kaupikir aku nggak
tahu, ya?" seru Pak Dawuh dengan bangga. Ia tertawa-tawa karena bisa menebak tepat.
"Ketika malam itu Pak Dawuh kupergoki di
jalan tanah, Pak Dawuh sedang mencari antena ini, kan?" Pulung menyerang dengan
pertanyaan yang penuh tuduhan.
"Tidak. Aku mencari bangkai brendung!"
"Untuk apa" Akan Bapak sembunyikan
agar rahasia brendung itu tidak ketahuan orang lain, kan?"
"Kamu pinter-pinter goblok!" seru Pak
Dawuh sambil menuding wajah Pulung. "Aku
41 kan tidak percaya si Tarni bisa bikin brendung!
Makanya aku heran kenapa brendung itu bisa jadi. Aku ingin tahu rahasianya. Kalau aku bisa bikin
brendung begitu, akan kupakai untuk menakut-nakuti para pemuda yang suka
mabuk-mabukan di rumah Pak Jumadi!"
"Jangan ngaco! Jawab yang benar!"
"Itu yang benar! Berani sumpah!"
Dari halaman terdengar suara Taslim
memanggil-manggil Pak Dawuh. Gruno lengah.
Ia menoleh ke pintu. Pak Dawuh menggerakkan kaki kanannya memutar. Pulung tak sempat
mengelak. Kakinya dihajar kaki Pak Dawuh
yang besar dan kukuh. Ia terjengkang. Pak
Dawuh meloncat berdiri dan bersorak seperti anak kecil yang menang bertanding layang-layang.
"Hore! Kena! Kena! Enak, kan?"
Gruno kembali bersiaga. Gogor menjauh
seraya menarik tangan Ratri. Jalu ikut tegang.
Tetapi Pulung terbahak-bahak seraya bangkit dari lantai!
Pak Dawuh menyergap Pulung. Dipeluknya
kepala berambut kaku itu. Digosokgosokkannya kepala itu ke perutnya dengan
gemas. "Anak macan! Hayo, sekarang bisa
melawanku, tidak" Rasakan tuh, bau pusarku!"
seru Pak Dawuh ribut. Taslim masuk. Ia kebingungan sesaat
setelah melihat manusia-manusia dan
tingkahnya di dalam rumah itu.
42 "Betul. Mereka tidak di rumah, Pak!"
serunya melapor. "Nah!" seru Pak Dawuh seraya melepaskan
pelukannya. "Apa kataku" Betul, kan" Betul mereka tidak di rumah, kan" Berarti yang
menggali kuburan itu Kamo, Aril, Keman, dan Sukri! Mereka itu yang memegangi brendung! "
"Mana bangkai brendung yang Bapak
temukan itu?" tanya Pulung.
"Ada di rumah! Sebentar kuambil, ya?"
sahut Pak Dawuh. "Awas! Jangan lari!" Pulung pura-pura
mengancam. "Kalau lari, kenapa memangnya" Anak
macan! Kepalamu kayak durian mentah!"
"Bapak sudah tua. Mata Bapak tidak awas.
Kalau lari, nanti jatuh ke kali!"
Pak Dawuh berkelebat dengan cepat
bagaikan memamerkan kelincahannya. Suara
tertawanya terdengar makin menjauh.
Dia lekas kembali. Pulung pun heran si tua ini bisa bergerak secepat itu. Kalitepung banyak misteri.
Banyak hal tak terduga terjadi begitu saja di sini. Pulung bersyukur bisa
menyaksikan hal-hal yang aneh itu.
Bangkai brendung diletakkan di atas meja.
Pulung mengamatinya. Ia memungut benda
seperti mesin sepeda motor, tetapi sangat kecil.
Hanya sekepalan tangannya. Ia tidak paham
43 benar soal-soal teknik. Ia memberikan benda itu pada Gruno.
"Saleh Doman juga belum tentu mengenal
benda ini, Lung," kata Gruno setelah
mengamati benda itu sesaat lamanya. "Kita
serahkan saja pada polisi. Mungkin polisi akan mengenalnya. Kita harus mengakui, kita ini masih
hijau dalam soal-soal begini. Kritik, ya, Lung?"
"Apa?" "Belakangan ini kau menjadi sombong dan
takabur. Marah, ya?"
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku marah justeru karena kau tidak
bilang sejak dulu-dulu!"
"Sori, deh. Soalnya aku ingin kita tetap
utuh, tidak bertengkar melulu. Tapi bukan
berarti aku setuju pada sikapmu terhadap Oom Wi. Kau keponakan yang kurang ajar. Terus-terang,
aku memihak pamanmu!"
"Oke! Oke! Sekarang bagaimana ini?"
"Kita serahkan padanya. Kita sudah cukup
mempunyai bukti. Hanya saja kita tidak tahu bukti-bukti itu diapakan agar misteri ini
tersingkap?" "Sori, No! Aku sudah telanjur sombong.
Malu dong, kalau nyerah begitu saja sama Si Man. Aku mau deh, minta maaf padanya. Tapi jangan
terlalu kalah, dong. Kita selesaikan pekerjaan kita, baru datang dan minta maaf pada Si Man."
"Kau masih memanggilnya Si Man. Kau
tidak pernah menghormatinya. Kalau kau
mengaku salah, mestinya kau jangan ber-'Si Man-Si Man' lagi."
44 "Jangan salah paham, No. Aku memang
biasa memanggilnya Si Man. Kalau kau mau,
ayahmu juga bisa kupanggil Oom. Orang
sedunia ini bisa juga kupanggil Oom. Tapi orang yang kupanggil Si Man kan hanya satu" Hanya
dia, adik bapakku. Aku tidak sreg memanggil dia Oom Wi. Karena itu paman yang kukenal
sejak aku kecil, paman yang dulu mengasuhku dengan penuh kasih sayang itu, kupanggil Si Man.
Aku tidak bisa mengubah panggilan itu.
Sebab kalau kupanggil dia Oom, rasanya aku memanggil orang lain. Bukan memanggil
pamanku yang sangat kuhormati. Kasih tahu
dia, No. Panggilan Si Man sebenarnya tidak kurang menghormat. Tapi dia selalu salah
paham, sehingga kami sering bertengkar..."
"Aku sering dengar sendiri, kau sengaja
memanggil Si Man agar dia marah kalau kau
sedang kesal padanya."
"Soalnya dia yang mendahului. Dia yang
selalu membuatku kesal dengan memaksaku
memanggilnya Oom Wi. Kau tahu kan, aku
paling benci pada orang yang menghardikku"
Hanya Bapak yang boleh menghardikku. Aku
pun marah kalau Wak Solikun menghardikku
tanpa alasan. Kalau aku bersalah, dihajar pun aku mau."
"He! Kalian ngobrol apa, sih?" sela Pak
Dawuh. Ia ingin tahu benar, apa rahasia
brendung itu. Ia benci pada anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan di rumah Pak
Jumadi. Akan ditakut-takutinya anak-anak
45 brengsek itu dengan boneka hantu agar mereka terbirit-birit. "Bilang dong, bagaimana cara
membuat brendung palsu itu?"
"Selamat pagi!" terdengar seruan itu di
ambang pintu. Semuanya menoleh. Si Man melangkah
masuk dalam pakaian preman. Diiringi oleh Pak Rangga. Ratri menjerit seraya menghambur
memeluk ayahnya. Pulung membuang muka
demi dilihatnya Si Man tertawa bangga.
Si Man memeluk kepala Pulung.
Dipeganginya kepala berambut kaku itu. Ia
memperkenalkan kepada semua orang bagaikan dalam sebuah acara resmi, "Bapak-bapak dan
Adik-adik, akan saya perkenalkan jagoan kita ini! Namanya Pulung. Dia bisa menjadi orang hebat
karena dia cukup cerdik. Tapi sayang, kepalanya terbuat dari batu. Lihat! Betapa kerasnya kepala
ini!" Berkata begitu, Si Man menjitak kepala
Pulung keras sekali. Pulung tidak marah,
karena ia merasakan pelukan Si Man sangat
hangatnya. Seperti dulu, ketika ia masih kecil dan Si Man tinggal di rumahnya. Betapa
akrabnya dia dengan Si Man. Seperti dua
sahabat karib saja, sehingga Pulung sering berlaku kurang ajar pada pamannya. Tapi Si Man dulu
tak pernah marah. Dia memaafkan
kenakalan anak kecil yang dikasihinya. Kini bila Pulung tak bisa berlaku sopan, dia marah
besar. Sebab dia ingin Pulung menganggapnya sebagai ayah. Si Man sendiri tak punya anak.
Betapa rindunya Si Man pada seorang anak. Ia ingin menjadikan Pulung sebagai anaknya. Dan
bukankah bila Bapak telah tiada, Si Man
menjadi penggahti ayah Pulung" Tapi rasanya sungguh sulit mengubah sikap akrab itu. Si Man
sadar, dia tak akan berhasil mengubah
sikap. Dia harus menjadi Si Man seperti dulu, agar Pulung bisa akrab lagi dengannya. Si Man bisa
46 berlaku sebagai seorang ayah terhadap Polan, karena dulu ia tidak akrab dengan si bungsu anak
Bapak itu. Tapi terhadap Pulung, dia harus menjadi sahabat, kakak, teman
bermain dan memancing ikan, teman bergurau, dan jangan sekali-kali menempatkan diri
sebagai seorang bapak. "Man...," Pulung memanggil dengan manja,
seperti dulu-dulu juga. "Kenapa tahu-tahu Si Man berada di sini?"
Si Man tersenyum penuh kasih dan maaf.
Dia tak marah di 'Si Man-Si Man'-kan lagi. Tak marah, sungguh!
"Sudah sering kubilang, tidak semua
gerakan operasi polisi boleh kauketahui.
Kerahasiaan tugas harus selalu dijaga.
Meskipun kau teman memancingku, kau bukan
polisi. Aku tak boleh sembarangan
mengutarakan rahasia tugasku. Paham" Uh,
mulutmu berbau!" "Jadi tugasku gagal, ya?" tanya Pulung
dengan kecewa. "Siapa bilang kau gagal" Justeru berangkat dari laporanmu, maka polisi bisa
mengembangkan gerakan operasi!"
"Tapi aku tidak bisa menangkap banditnya,
Man. Jangan marah, ya?"
"Aku tidak menyuruhmu menangkap
bandit. Kau hanya kusuruh mencari buktibukti dengan penyelidikan gaya Pulung. Oke"
Sekarang laporkan hasil penyelidikanmu."
47 "Kita berkawan lagi, Man?"
"Berkawan dan bekerja sama. Setuju?"
Pulung menggerayangi saku baju Si Man
dengan menyundul-nyundulkan kepalanya.
Seperti ada lipatan uang dalam saku itu. Nyata berbunyi 'kresek-kresek' ketika kepala Pulung
digeser-geserkan. "Punya duit, Man?" bisik Pulung.
"Mau beli sepatu baru, ya" Jangan kecewa,
aku hanya bisa membuatkan sepatu ukuran
kakimu dari sepatu dinasku yang sudah tidak terpakai. Buatannya bagus, Lung. Sengaja
kupilih tukang sepatu ahli. Nomor kakimu
masih tiga tujuh, kan?"
"Ngawur! Itu ukuran kaki Si Pol!"
"Oh, ya" Jadi aku salah ingat" Ah, Polan
beruntung, kalau begitu. Berapa nomor
kakimu?" "Sudah, deh! Minta Mama juga dikasih
yang baru! Lagipula aku begini-begini tidak untuk cari sepatu, Man. Percaya" Aku hanya ingin
membebaskan Pak Rangga dari tuduhan
dan fitnah. Bagaimana kabar kalung berlian yang ditemukan Gogor itu, Man?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Seseorang menaruh kalung itu ketika Pak
Rangga diserang brendung. Iya, kan?"
"Betul!" "Tapi aku tidak tahu mengapa kalung itu
48 bukan berlian asli!"
"Gampang. Yang asli sudah dijual untuk
berfoya-foya, minum-minuman keras, berjudi..."
"Ha" Jadi pencurinya anak Pak Jumadi
sendiri?" "Betul. Orangnya juga sudah mengaku.
Pengakuan itu yang membuat Pak Rangga
dibebaskan." "Jadi pencuri itu yang menaruh kalung
berlian palsu ke dalam peci Pak Rangga?"
"Salah!" Pulung memandangi Pak Rangga yang
masih mengelus-elus kepala Ratri.
"Dumain, anak Pak Jumadi itu, tidak tahumenahu tentang brendung. Ia mencuri kalung milik ibunya untuk berfoya-foya dan berjudi. Ia tidak
memfitnah siapa-siapa," kata Pak Rangga.
"Jadi brendung itu dibuat untuk...," Pulung menoleh pada Pak Dawuh. "Bapak betul!
Pembuat brendung sengaja akan menyingkirkan Pak Rangga dari kuburan Mbah Sawunglanang.
Mereka juga mengatur siasat agar ada bukti bahwa Pak Rangga mencuri kalung berlian itu.
Salah seorang dari mereka meletakkan kalung berlian palsu ketika orang menjadi sibuk."
"Untuk apa mereka menyingkirkan aku dari
kuburan leluhurku?" tanya Pak Rangga.
"Kata Pak Dawuh, banyak orang yang
percaya bahwa Mbah Sawunglanang memiliki
49 ilmu karang." "Masya Allah!" seru Pak Rangga. "Orangorang sesat! Moyang kami tidak pernah
mempunyai ilmu-ilmu kebal macam begitu!
Mbah Sawunglanang orang yang taat beragama!
Kalau dia kebal, pada zaman revolusi dulu dia tidak terluka kena pecahan mortir!"
"Kata orang, ada juga ilmu karang yang
pemiliknya mempan senjata, Pak. Tapi lukaluka yang ada di tubuhnya bisa sembuh dengan sendirinya dan seketika!" bantah Pulung.
"Luka-luka Mbah Sawunglanang sembuh
karena diobati di rumah sakit! Bukan karena dia punya ilmu karang! Saya tersinggung kalau sejarah
perjuangannya dipalsukan! Menganggap dia sebagai orang sakti, juga termasuk
pemalsuan sejarah! Saya bisa marah! Leluhur saya itu orang beriman yang taat. Dia hanya
melakukan perbuatan yang diperkenankan
Tuhan!" "Maaf. Saya lancang mulut," ucap Pulung
penuh sesal. "Pak... sabar, Pak...," Ratri menyabarkan
ayahnya. Pak Rangga sadar, ia memang cepat naik
pitam kalau nama baik leluhurnya dicemarkan.
Itu sebabnya dia menyandang golok ketika
tersiar kabar makam Mbah Sawunglanang akan dijadikan tempat membuat brendung.
"Sekarang makam itu sudah dibongkar
orang!" kata Pulung dengan tandas. Ia sengaja mengucapkan kalimat itu agar Pak Rangga
50 pergi saja. Benar dugaannya. Pak Rangga langsung
melompat ke luar. Ia berlari ke kuburan. Kedua orang anaknya mengikuti.
"Gila kau!" cetus Si Man. Tapi dia tidak
marah. "Enak saja ngerjain orang!"
"Oke, Man. Tuh bangkai brendung
penemuan Pak Dawuh."
Si Man memeriksa bangkai brendung. Ia tertarik pada mesin kecil itu.
"Mesin apa itu, Man?" tanya Pulung.
"Mesin penggerak brendung. "
"Aku tahu! Maksudku cara kerjanya
bagaimana" Kayaknya brendung itu bisa dikendalikan."
"Perlu diselidiki dulu. Ini bukti-bukti yang sangat lengkap. Oke, kerjamu beres sekali, Lung! Atas
nama kepolisian, aku menyampaikan terima kasih dan penghargaan.
Juga kepada Pak Dawuh."
"Terima kasih, terima kasih," kata Pak
Dawuh sambil membungkuk-bungkuk. Ia
berterima kasih karena diberi ucapan terima kasih. Lucu juga orang itu.
Si Man mengemasi barang-barang itu. Ia
berbicara lewat pesawat walkie-talkie yang semula berada di saku celananya. Tak lama
kemudian, dua orang anggota polisi berpakaian preman datang.
Pulung tetap tak mau kalah dengan Si
Man. Ia tidak menyerahkan antena
penemuannya. Kata Saleh Doman, itu antena
pesawat pemancar. Ia akan memecahkan satu
51 misteri lagi tentang antena itu.
7 KEJUTAN SI POL PULUNG menceritakan semua pengalamannya
pada Wak Solikun. Mereka berbicara di bawah pohon rambutan. Bulan hanya segaris lengkung
saja. Sinarnya belum terang. Itu pun terhalang oleh mega-mega.
"Jadi dugaanku tidak benar, ya?" gumam
Wak Solikun. "Rupanya kau lebih cerdik
daripada ayahmu. Bayan juga menduga latar
belakang fitnah itu karena perebutan
kekuasaan. Ternyata hanya karena kabar angin tentang ilmu karang..."
Dipuji terang-terangan begitu, Pulung jadi tersipu.
"Polisi sudah menangkap komplotan
pembuat brendung itu?" tanya Wak Solikun.
"Tadi Si Man ke rumah. Katanya, semuanya
sudah tertangkap. Tapi tidak ada yang mengaku mengetahui rahasia brendung itu. Mereka kompak
menyatakan bahwa brendung itu
benar-benar dikendalikan dengan kekuatan
gaib. Mak Tarni juga percaya bahwa ia bisa membuat brendung itu bertenaga gaib."
"Jadi sekarang tinggal menyingkap rahasia
bagaimana brendung itu bisa bergerak. Kalau kau berhasil memperlihatkan bukti-buktinya,
komplotan itu tak berkutik. Mereka pasti
didalangi oleh seseorang atau beberapa orang.
52 Memang banyak yang mengincar ilmu karang.
Orang berduit bahkan berani membayar
berpuluh juta untuk susuk ilmu karang yang belum ketahuan kebenarannya itu. Tapi yah...
di dunia ini banyak orang sesat yang mudah tertipu dengan khayalan tentang kekebalan, kesaktian,
dan semacam itu..." "Kata Si Man, komplotan Pak Kamo
mengaku sudah lama mengincar kuburan Mbah
Sawunglanang untuk mengambil susuk yang
sebenarnya tidak ada itu. Tapi gagasan
membuat brendung muncul setelah Pak Jumadi kehilangan kalung berlian. Rencana mereka
akan membuat brendung di kuburan Mbah Sawunglanang. Sasarannya tetap Pak Rangga.
Kalau rencana itu berjalan mulus, orang akan percaya bahwa Pak Rangga benar-benar
pencurinya. Sebab orang akan menyangka
arwah Mbah Sawunglananglah yang merasuki
brendung itu. Tak mungkin Mbah Sawunglanang mencelakakan keturunannya
kalau memang Pak Rangga tidak bersalah.
Pendapat orang pasti begitu."
"Tak semudah itu memanggil arwah orang
yang sudah meninggal. Dunia fana dan dunia baka tidaklah sama. Tapi komplotan itu lebih pintar
daripada orang-orang Kalitepung, ya"
Mereka bisa menggunakan kesesatan orang
Kalitepung yang masih percaya pada takhyul.
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal komplotan itu juga orang-orang yang percaya pada takhyul tentang ilmu karang.
53 Masya Allah! Sesat semuanya..."
Pulung merasa telah cukup mengobrol
dengan guru mengajinya. Ia bangkit dari tempat duduk di samping Wak Solikun.
"Aku akan menginap di Gedong Lawang
Satus, Wak. Tadi Si Pol sudah kusuruh menunggu di sana," katanya.
"Boleh, boleh. Kau memang harus belajar
menghargai perasaan orang-orang yang
mengasihimu. Nyonya Yan orang baik. Kau
sering mengecewakannya..."
Pulung memberi salam kepada guru
mengajinya dengan rasa hormat yang sungguh-sungguh. Salam berbalas, dan mereka berpisah di
sana, di bawah rambutan yang mulai
berbunga. *** Gedong Lawang Satus sudah gelap. Lampu-lampu di teras dipadamkan. Pulung heran, tak
biasanya rumah besar itu sesepi ini. Baru jam sepuluh malam, sudahkah lelap semua
penghuni gedung berpintu banyak itu"
Pulung melangkah di halaman yang luas
dan penuh bunga. Si Pol pasti tidur di kamar samping kamar Pulung di rumah itu. Pulung
akan mengetuk jendela kamar itu untuk
membangunkan Si Pol. Tetapi suara apa itu"
Dengungan lebah raksasa" Pulung
mengendap bersiaga terbawa oleh
54 kebiasaannya. Dengung seperti bunyi lebah
raksasa terdengar jauh di atas atap. Apa
gerangan" Dan... Tuhanku! Ada hantu kecil
berlidah panjang menari-nari mengeliling kepala Pulung!
Hantu itu! Matanya merah, rambutnya
putih terurai panjang. Baunya wangi seperti
bau cendana dan kemboja...
Pulung membaca doa ajaran Wak Solikun.
Doa pengusir setan. Pengusir makhluk halus.
Doa ampuh, tapi kenapa hantu itu masih
berputar-putar di atas kepalanya" Doa Nurbuat ajaran Pak Gowok dibacanya pula. Tapi tidak
sampai selesai. Sebab dia sudah sibuk diserang oleh hantu kecil seperti bayi berambut dan berlidah
panjang. Hantu jenis apa ini" Arwah bayi gentayangan, atau kuntilanak kecilkah dia" Tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa riuh dari dalam Gedong Lawang Satus. Begitu banyaknya orang
tertawa. Tante Yan, Oom Yan, Bu Renti, segenap pembantu dan tukang
kebun, bahkan juga Si Pol!
Pulung merasa keki karena ia sadar sedang
dikerjain. Dia meloncat. Hantu bayi berambut panjang direnggutnya. Ternyata hanya boneka kertas
yang ringan sekali. Diberi gantungan dengan benang yang kuat. Pulung
menyentakkan boneka itu dan dibantingnya ke tanah.
"Aduh! Celaka!" seru Polan seraya
menghambur ke luar. Suara dengung berhenti setelah terdengar
bunyi sesuatu menabrak pohon.
55 "Apa-apaan kamu, Pol!" hardik Pulung.
"Pesawatku! Aduh, Tante! Pesawatku
hancur menabrak pohon! Gara-gara Mas
Pulung! Aduh, hancur, deh! Habis, deh!" seru Polan ribut. Ia berlari ke pohon mangga. Lalu
dipungutinya benda-benda yang berantakan di sana. Ia membawanya masuk ke beranda.
Lampu-lampu menyala. Beranda menjadi
terang-benderang. Polan meletakkan reruntuhan pesawat
terbang sebesar botol kecap di lantai beranda Gedong Lawang Satus. Pulung keheranan
melihatnya. "Pesawat apa itu?" tanyanya. "Punya
siapa?" "Punyaku. Gara-gara Mas Pulung, jadi
begini..." "Dari mana kaudapat benda itu?"
"Tadi pagi Oom Yan pulang dari Jakarta.
Aku dikasih oleh-oleh pesawat ini. Tapi
sekarang jadi begini..."
Oom Yan berjongkok untuk memeriksa
pesawat yang terbuat dari bahan fibre glass itu.
"Ah, tidak apa-apa," katanya. "Masih bisa
dirakit lagi. Besok Oom kerjakan. Hanya
mesinnya yang terlepas, kok."
"Pesawat ini apa yang disebut pesawat yu
kentrol, Oom?" tanya Pulung.
56 "Ini pesawat model, pesawat yang meniru
pesawat sungguhan. U-Control termasuk
pesawat model juga. Tapi yang ini dikendalikan dengan gelombang radio. Namanya pesawat
model Radio Control. Bentuk pesawat ini persis dengan pesawat tempur Mirage bertenaga jet.
Persis dengan aslinya, pesawat model ini juga menggunakan tenaga jet. Kekuatan mesinnya 3,5cc.
Termasuk pesawat model berukuran
besar dengan kekuatan mesin yang besar pula."
"Jadi mainan mahal ini Oom berikan untuk
Si Pol?" "Ya, karena dia sering menemani Tante di
rumah. Kau makin jarang ke sini, Lung. Tante jadi kesepian."
"Tadi boneka kertas itu digantung di badan pesawat ini, ya, Oom?" tanya Pulung sangat ingin tahu.
"Iya." "Misalnya mesin pesawat ini dimasukkan
ke dalam boneka kertas itu, apa bonekanya bisa terbang?"
"Terbang bagus seperti pesawat itu, ya
tidak! Bentuk badan pesawat kan
mempengaruhi gerakan terbangnya."
"Tapi bisa bergerak ke depan, kan?"
"Bisa." "Kalau digunakan untuk menggerakkan
brendung, apa bisa, Oom?"
"Wah! Brendung yang pakai boneka gayung itu" Mana bisa" Brendung kan berat?"
"Tapi bisa Pa," sela Tante Yan. "Dulu kita pernah lihat pesawat model yang besar sekali, kan" Ingat,
Pa, ketika kita berlibur di Jakarta dulu" Pesawat itu sebesar biawak. Kekuatan mesinnya pasti lebih
57 besar lagi!" "Mungkin juga. Mesin berkekuatan 5cc
mungkin kuat menggerakkan brendung. Tapi apa ada pesawat model dengan kekuatan mesin 5cc,
Ma?" "Ada! Mama pernah dengar ada seorang
kopral dari Australia yang bikin pesawat model Hercules dengan kekuatan mesin 6,5cc! Wah!
Bentangan sayap pesawat model itu sampai tiga meter panjangnya. Sampai-sampai Departemen
Perhubungan Australia tidak mengakui pesawat itu sebagai pesawat model. Izin terbang yang
diberikan oleh departemen itu adalah izin
khusus untuk pesawat terbang tanpa awak."
"Tapi mana mungkin di Indonesia ada yang
sebesar itu?" "Yang lebih kecil sedikit, mungkin ada kan, Pa?"
"Sebentar, Oom," Pulung menyela. "Apa
pesawat ini tidak menggunakan baling-baling?"
"Sudah Oom bilang, kan" Ini pesawat
model Mirage. Persis seperti pesawat tempur Mirage sungguhan, pesawat model ini menggunakan
mesin jet, bukan baling-baling.
Kalau pesawat model Hercules, tentunya pakai baling-baling seperti pesawat Hercules
sungguhan. Kau tahu kan, pesawat Hercules itu adalah pesawat pengangkut pasukan yang juga
digunakan oleh tentara kita?"
"Terus terang, saya tidak tahu."
Oom Yan tertawa tanpa mengejek dan dia
tidak menertawakan Pulung. Dia tertawa karena jawaban Pulung memang lucu.
"Apa di sini hanya Si Pol yang punya
pesawat model begitu, Oom?" tanya Pulung.
"Tidak. Di desa ini memang hanya Si Pol
yang punya. Tapi di kota ada. Pemilik toko penyalur pupuk itu juga punya. Oom sering
58 lihat anaknya main pesawat model di atap
rumahnya. Atap rumah itu digunakan juga
sebagai lapangan bulu tangkis."
"Apa hanya dia yang punya selain Si Pol,
Oom?" "Mungkin." "Oke. Saya mau menelepon Si Man!"
"Lho! Mau apa?"
"Melapor, Oom. Si Man kan sudah saya
angkat jadi komandan saya!"
Oom Yan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia menghibur Polan agar anak itu tidak sedih lagi menyaksikan reruntuhan pesawatnya. Baru sehari
ini Polan belajar menerbangkan pesawat modelnya. Ia lekas pintar. Sebagai penerbang pesawat
model, ia baru memiliki enam jam
terbang. Tapi ia telah mahir. Memang mudah sekali menerbangkan pesawat itu. Hanya tinggal
menekan tombol pada alat pengendali yang
berbentuk seperti radio dengan antena panjang.
Setelah mesin pesawat menderu, tongkat
kemudi digerakkan ke atas. Maka pesawat akan meluncur ke angkasa. Untuk menukik, alat
yang disebut tongkat kemudi itu diturunkan.
Pesawat bisa membelok, memutar, bahkan
berjungkir-balik seperti pesawat tempur milik angkatan udara kita.
"Man! Si Pol bikin kejutan!" seru Pulung
setelah berhasil menghubungi pamannya lewat pesawat telepon.
"Kejutan apa?" tanya Si Man.
59 "Ia menemukan rahasia brendung. Cepat datang ke Gedong Lawang Satus, Man! Jangan lupa,
tanyakan pada Pak Kamo apa dia dibayar oleh pemilik toko penyalur pupuk untuk
mencari susuk ilmu karang!"
"Ngomong yang teratur!"
"Aku menduga pemilik toko penyalur
pupuk itu yang menjadi dalang komplotan Pak Kamo. Ini dugaan, Iho! Bukan fitnah! Kalau Si Man
tidak bisa menangkap dalang komplotan
itu, jangan jadi polisi, Man! Pulang saja ke kampung, jadi tukang mancing ikan lagi!
Daaaah, Si Man!" Hubungan telepon diputuskan oleh Pulung.
Tak peduli Si Man menggerutu habis-habisan.
Pulung lalu berlari ke rumahnya untuk
mengambil antena penemuannya. Ia
mencocokkan bentuk antena itu dengan antena pada alat pengendali pesawat Si Pol. Memang
mirip sekali, hanya berbeda ukuran. Karena memang berbeda pesawat dan kekuatan
mesinnya. "Saya mau tanya lagi, Oom," kata Pulung
pada Oom Yan. "Kata Pak Son, orang yang
gemar bertanya, tandanya orang yang bisa jadi genius."
"Oom juga genius , karena Oom selalu bisa menjawab pertanyaanmu! Eh, asal jangan tanya soal
jurus, ya?" gurau Oom Yan.
"Bagaimana sih bisanya pesawat itu nurut
saja dikendalikan dengan alat macam radio
ini?" "Tadi Oom sudah bilang, Iho! Pesawat
model ini dikendalikan dengan gelombang radio.
Jadi alat yang mirip radio ini, mengirimkan sinyal-sinyal melalui antenanya ke arah antena yang ada
di badan pesawat. Sinyal-sinyal
60 (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
itu berupa 'perintah' kepada pesawat. Kalau
tongkat kemudi didorong ke kiri, pesawat
membelok ke kiri. Berarti pesawat itu bisa menerima 'perintah' dari radio pengendali, alias perintah
sang penerbang." Pulung tidak paham soal elektronika.
Apalagi soal pesawat model. Tapi dia bisa
mengerti, bahwa gelombang radio memang bisa digunakan untuk menggerakkan benda-benda.
Kalau begitu, Saleh Doman termasuk
ketinggalan zaman juga. Abunawas Kampung
Arab itu belum mengenal pesawat model. Ia
hanya menduga antena penemuan Pulung
adalah antena pesawat penerima dan
pemancar. Betapa sulitnya misteri boneka
gayung itu. Tanpa kerja sama dari beberapa pihak, memang tak mungkin bisa
mengungkapkannya. Pulung menyadari, dia
memang tidak bisa hanya mengandalkan
jurusnya saja. Masih banyak hal yang tidak diketahuinya. Ia harus belajar menghargai
orang lain, menghargai kelebihan-kelebihan orang lain. Tak ada manusia yang sempurna
ilmunya. Saleh Doman yang dikaguminya
karena keahliannya di bidang elektronika pun ternyata masih dikalahkan oleh Si Pol yang bisa
menggerakkan boneka kertas dengan pesawat
modelnya. Tapi Si Pol hanya bisa
menerbangkan pesawat model, tanpa tahu
seluk-beluknya. 1 Jadi siapakah sebenarnya yang menjadi
genius " Tak ada. Masing-masing punya kelebihan, sekaligus juga kekurangan. Tak ada yang
sempurna, sebab yang Mahasempurna
hanyalah Tuhan semata. Pulung menunduk dengan sedih. Ia teringat
akan ucapan Gruno di rumah Jalu.
"Ya, Allah...," bisik Pulung. "Bimbinglah
hatiku, agar aku tidak menjadi orang yang
sombong dan takabur..."
*** Si Man datang membawa bungkusan berisi
sepasang sepatu. Si Pol agak terhibur karena sepatu hadiah dari Si Man itu.
"Kau pantas menerima hadiah itu, Pol,"
bisik Pulung dengan rela. "Kejutan boneka
kertasmu ikut membantu kelancaran tugas
paman kita..." Si Pol yang tidak tahu arah ucapan Pulung, menjadi terlongoh-longoh. Pulung mengulurkan tangan
kepada Si Man dengan tulus.
"Tugasku selesai, Man. Tapi Si Pol yang
merampungkannya," kata Pulung. "Kita damai, ya Man?"
"Damai. Tapi tugasmu belum selesai."
"Lho" Misteri brendung itu sudah
tersingkap dengan jelas, kok! Si Man bisa naik pangkat, Iho!"
2 "Masih banyak bandit di sekitar kita, Lung,"
kata Si Man bersungguh-sungguh. "Bantuanmu masih akan diperlukan oleh polisi maupun
pamanmu. Masih bersedia membantu, kan?"
"Insya Allah." Ya, mudah-mudahan. Kini Pulung
menyadari, semua kesibukannya membantu
tugas Si Man membuat pelajarannya menurun.
Ia sering mengantuk di kelas. Sekarang yang dipikirkannya adalah mengejar ketinggalan
dengan teman-temannya. *** Tante Yan sengaja memberi kesempatan
beristirahat kepada Pulung. Ia tidak
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membangunkan Pulung yang tidur dengan
nyenyak sekali. Tante Yan menelepon Pak Son untuk memintakan izin bagi Pulung.
Pada jam sepuluh Pulung terbangun
karena deru pesawat model. Oom Yan berhasil mendandani kerusakan pesawat itu. Jam
sepuluh, hah! Pulung meloncat dan lari ke
kamar mandi. Selesai mandi, Pulung lari ke rumahnya
untuk ganti baju dan mengambil tas
sekolahnya. Dia naik mobil colt ke kota. Dia tiba di depan kelasnya tepat ketika bel istirahat kedua berdentang.
Pak Son mengemasi buku dan
berjalan ke luar. Pulung berhenti melangkah.
3 "Selamat pagi, Pak," ucapnya.
"Nah, kau!" Pak Son menuding, "Buatlah
kalimat dengan kata 'dini'!"
Diserang secepat itu, Pulung gelagapan
juga. Tapi dia berfikir keras untuk menciptakan kalimat itu.
"Saya... saya tidur pada dinihari, sehingga saya terlambat ke sekolah," katanya.
"Betul!" puji Pak Son. "Jadi sekarang Dini tidak duduk di kelas dua A, kan?"
Seisi kelas terbahak-bahak. Pak Son tak
acuh saja. Dengan langkah bergegas dia
meninggalkan kelas itu. Dia tidak marah pada Pulung, karena pagi tadi Tante Yan sudah
menjelaskan secara singkat keadaan Pulung.
Pak Son hanya berpesan bahwa Pulung harus
mendahulukan kepentingan sekolahnya. Bukan petualangannya yang menegangkan.
"Lung! Ada pesta untuk kamu!" seru
Ristiani gembira. "Hayo, anak-anak! Pesta
untuk jagoan, kita mulai!"
Seruan Ristiani bersambut riuh. Mereka
menuju ke kantin. Setiap orang memesan
semangkuk bubur kacang hijau. Mangkukmangkuk berisi bubur itu ditaruh di atas meja.
Seisi kelas menaruh semangkuk bubur. Dua
meja menjadi penuh. "Habiskan, tuh! Biar tidak suka berantem
lagi!" seru Ristiani.
4 Anak-anak mengelilingi meja sambil berdiri.
Pulung duduk di kursi dengan terlongohlongoh. "Kalian sudah gila, ya?" seru Pulung. "Siapa yang punya gagasan gila ini?"
"Ini gagasan orang banyak! Ayo, makan!"
seru Ristiani. "Makan, Jagoan! Habiskan semuanya!"
seru yang lain. "Ayo makan! Awas kalau nggak habis!
Kugampar nanti kamu!" seru yang lain lagi.
Pulung tafakur. Ia merasa terharu sekali.
Semua ini adalah bukti bahwa ia disukai oleh semua temannya. Ia memungut sebuah
mangkuk. Diberikannya kepada Gogor.
"Makanlah. Kalau nggak mau, kulaporkan
kau memecahkan telur bebek kakekmu,"
katanya. Pulung memberikan semangkuk bubur
pada Gruno, dan katanya, "Demi nama baik
kakekmu, makanlah. Kalau tidak mau,
kuceritakan kepada semua orang tentang Mbah Pandung..."
Gruno menggerutu. Tapi dia terpaksa
menerima pemberian itu. Pulung memberikan
semangkuk bubur pada Ristiani.
"Nggak! Aku nggak mau!" Ristiani menolak.
5 Pulung memberikan mangkuk itu pada
Jalu yang baru tiba. "Rejekimu bagus, Lu! Makan, nih!" serunya.
Jalu menyambar pemberian itu. Pulung
membagi-bagikan bubur lainnya. Anak-anak
berebut. Dua orang yang tidak kebagian,
Ristiani dan Saleh Doman.
Setelah masing-masing menikmati
sesendok atau dua sendok buburnya, Pulung
bangkit dan berkata, "Nah, Saudara-saudara!
Aku akan bertanya pada kalian. Apa kalian
ikhlas memberikan bubur itu kepadaku?"
"Sialan! Kenapa tanya" Ikhlas, dong!" seru seorang teman perempuan.
"Terima kasih. Jadi bubur ini semua
milikku. Aku memberikannya pada kalian
sebagai pinjaman. Akan kutagih setiap hari semangkuk bubur dari kalian. Jadi mulai
besok, selama empat puluh hari aku akan
makan semangkuk bubur setiap jam istirahat kedua tiba. Kalian bergiliran mengembalikan pinjaman
kalian. Terima kasih!"
"Curang, kamu!" seru Ristiani. "Aku kan
nggak ikut makan?" "Kau dan Abunawas bebas dari hutang.
Tapi yang lain tidak!"
Anak yang merasa terjebak berseru-seru
menggerutu. Tapi mereka akan rela mentraktir Pulung semangkuk bubur kacang hijau secara
bergiliran. Untuk sahabat yang baik, apalah artinya semangkuk bubur kacang hijau"
6 Pulung menyendok buburnya dengan
perasaan bahagia. Ternyata dia selalu menang.
TAMAT Document Outline Pulung - Misteri Boneka Gayung 02.pdf Pulung - Misteri Boneka Gayung 02.pdf Bung Smas
BONEKA GAYUNG DAFTAR ISI 1DUEL DI SELEHRAGA 2SANG JAGOAN TIDAK DATANG
3SEUNTAI KALUNG BERLIAN 4PENYELIDIKAN PULUNG 5MUSUHAN LAGI 6DUA MISTERI 7 KEJUTAN SI POL TAMAT (http://cerita-silat.mywapblog.com)
7 Bukit Siluman 3 Wiro Sableng 125 Senandung Kematian Raja Naga 7 Bintang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama