Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 1
Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Pesan dari Masa Silam Washington DC, Desember 2003, jam 16.00
Iseng saja aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk
kananku. Hawa dingin segera menjalari wajah dan lengan kananku. Dari balik kerai tipis di lantai
empat ini, salju tampak turun menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit.
Ketukan-ketukan halus terdengar setiap gumpal salju menyentuh kaca di depanku. Matahari sore
menggantung condong ke barat berbentuk piring putih susu.
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading,
bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin
memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon
american elm yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es.
Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilingkupi permadani putih. Jalan raya yang lebar-lebar mulai
dipadati mobil karyawan yang beringsut-ingsut pulang.
Berbaris seperti semut. Lampu rem yang hidup-mati-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine
polisi - atau ambulans - sekali-sekali menggertak diselingi bunyi klakson.
Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluar dari alat pemanas di
ujung ruangan. Mesinini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau begitu, badan setelan melayuku tetap
menggigil melawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujung ruang kantor
menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin
dari secaw an es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi.
Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membebat diri dengan baju tebal
yang berat. Yang lebih menyebalkan, kulit t ropisku berubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku
selalu terpesona melihat bangunan, pohon, taman dan kota diselimut i salju putih berkilat-kilat.
Rasanya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda dengan alam kampungku di
Danau Man injau yang serba biru dan hijau. Setelah dipikir-p ikir, aku siap gatal daripada
melewatkan pesona winter time seperti hari ini.
Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lint
as mobil. Diapit dua tempat t ujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The
Mal , tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal hab is dijalani sebulan.
Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke
kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powel di Department of State, markas FBI, dan
Pentagon. Lokasi imp ian banyak wartawan.
Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa. Ini hari terakhirku masuk
kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas dan sekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke
London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris, dan misi pribadiku
1 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
menghadiri undangan The W orldinter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi sebagai salah satu
panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim
Amerika, t ermasuk serangan 11 September 2001.
Kamera, digital recorder, dan tiket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus.
Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicie-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan
dan syal cashmer cokelat tua, aku bebatkan di leher.
Oke, semua beres. Tanganku segera bergerak melipat layar Apple PowerBook-ku yang berwarna
perak. Ping... bunyi halus dari messenger menghentikan t anganku.
Layar berbahan titanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di
ujung kanan monitor. Dari seorang bernama "Batutah". Tapi aku tidak kenal seorang
"Batutah" pun. "maaf, ini alif dari pm?" Jariku cepat menekan t uts. "betul, ini siapa, ya?"
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi. "alif anggota pasukan Sahibul Menara?" Jantungku
mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard.
"benar, ini siapa sih!!" balasku mulai tidak sabar. "menara keempat, ingat gak?"
Sekali lagi aku eja lambat-lambat... me-na-ra ke-empat....Tidak salah baca. Jantungku seperti
ditabuh cepat. Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali.
Aku bergegas menghentak-hentakkan jari:
"masya Allah, ini ente, atang bandung" sutradara Batutah?"
"alhamdulillah, akhirnya ketemu juga saudara seperjuanganku....
"atang, di mana ente sekarang?"
"kairo." Belum sempat aku mengetik lagi, bunyi ping terdengar berkali-kali. Pesan demi pesan masuk
bertubi-tubi. "ana lihat nama ente jadi panelis di london minggu depan."
"ana juga datang mewakili al azhar untuk ngomongin peran muslim melayu di negara arah"
2 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"kita bisa reuni euy. raja kan juga di london."
"kita suruh dia jadi guide ke trafalgar square seperti yang ada di buku reading di kelas t iga dulu."
Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri
dalam hatiku. Keputusan Setengah Hati Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang
telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku
termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam.
Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah
tapi jant ungku melonjak-lonjak g irang. Aku tersenyum malu-malu ketika Pak Sikumbang
menyorongkan mik ke mukaku. Dia menunggu.
Sambil menunduk aku paksakan bicara. Yang keluar dari kerongkonganku cuma bisikan lirih yang
bergetar karena gugup, "Emmm... terima kasih banyak Pak... Itu saja..."
Suaraku layu tercekat. Tanganku dingin.
Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah
Amak1 belajar di madrasah tsanawiyah2, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya,
masuk jalur non agama - SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di
madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA.
Alangkah bangganya kalau bisa b ilang, saya anak SMA Bukittinggi.
Beberapa hari setelah eforia kelulusan mulai kisut , Amak mengajakku duduk di langkan rumah.
Amakku seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan
sepasang mata yang bersih yang dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa
saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang.
Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan di lehernya tergantung
selendang. Dia menamatkan SPG bertepatan dengan pemberontakan G30S, sehingga negara yang sedang
kacau tidak mampu segera mengangkatnya jadi guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarela yang
hanya dibayar dengan beras selama 7 tahun, sebelum diangkat menjadi pegawai negeri.
Tidak biasanya, malam ini Amak tidak mengibarkan senyum. Dia melepaskan kacamata dan
menyeka lensa double focus dengan ujung lengan baju. Amak memandangku lurus-lurus. Tatapan
beliau serasa melewati kacamata minusku dan langsung menembus sampai jiwaku. Di ruang
3 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
tengah, Ayah duduk di depan televisi hitam putih 14 inchi. Terdengar suara Sazli Rais yang berat
membuka acara Dunia Dalam Berita TVRI. "Tentang sekolah waang, Lif..."
"Iya, Mak, besok ambo mendaftar tes ke SMA. Insya Allah, dengan doa Amak dan Ayah, bisa
lulus..." "Bukan itu maksud Amak..." beliau berhenti sebentar. "Aku curiga, ini pasti soal biaya pendaftaran
masuk SMA. Amak dan Ayah mungkin sedang tidak punya uang. Baru beberapa bulan lalu mereka
mulai menyicil rumah. Sampai sekarang kami masih tinggal di rumah kontrakan beratap seng
dengan dinding dan lant ai kayu."
Amak meneruskan dengan hati-hati.
"Amak mau bercerita dulu, coba dengarkan..."
Lalu diam sejenak dengan muka rusuh. Aku menjadi ikut kalut melihatnya.
"Beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama karena tidak punya cukup uang.
Ongkos masuk madrasah lebih murah...."
Kecurigaanku benar, ini masalah biaya. Aku meremas jariku dan menunduk melihat ujung kaki.
"...Tapi lebih banyak lagi yang mengirim anak ke sekolah agama karena nilai anak-anak mereka
tidak cukup untuk masuk SMP atau SMA..."
"Akibatnya, madrasah menjadi tempat murid warga kelas dua, sisa-sisa... Coba waang bayangkan
bagaimana kualitas para buya, ustad dan dai tamatan madrasah kita nant i.
Bagaimana mereka akan bisa memimpin umat yang semakin pandai dan kritis" Bagaimana nasib
umat Islam nanti?" Wajah beliau meradang. Keningnya berkerut-kerut masygul.
Hatiku mulai tidak enak karena tidak mengerti arah pembicaraan ini.
Amak memang dibesarkan dengan latar agama yang kuat.
Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah orang alim yang berguru
langsung kepada Inyiak Canduang atau Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. Di awal abad kedua puluh,
Inyiak Canduang ini berguru ke Mekkah di bawah asuhan ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad
Khatib Al Minangkabau dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.
Mata Amak menerawang sebentar.
"Buyuang, sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya cita-cita," mata Amak kembali
menatapku. 4 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan
yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma -ruf nabi
munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran," kata Amak
pelan-pelan. Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini t erasa
melayang. Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela napas panjang, Amak meneruskan dengan suara
bergetar. "Jadi Amak minta dengat sangat w aang tidak masuk SMA.
Bukan karena uang Tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah."
Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. Kursi rotan tempat dudukku berderit ketika
aku menekurkan kepala dalam-dalam. SMA - dunia impian yang sudah aku bangun lama di
kepalaku pelan-pelan gemeretak, dan runtuh jadi abu dalam sekejap mata.
Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu
agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI,
ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti
profesi tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu
fiqh dan ilmu hadist. Aku ingin suaraku di-dengar di depan civitas akademika, atau dewan gubernur
atau rapat manajer, bukan hanya berceramah di mimbar surau di kampungku. Bagaimana mungkin
aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk madrasah lag i"
"Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama.
Am-bo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi," tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa
panas. "Menjadi pemimpin agama lebih mu lia daripada jadi insinyur, Nak."
"Tapi aku tidak ingin..."
"Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang
punya darah ulama dari dua kakekmu."
"Tapi aku tidak mau."
"Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk
akhirat." "Tapi bukan salah amboy orang tua lain mengirim anak yang kurang cadiak masuk madrasah...."
"Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA!"
5 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Tapi..." "Tapi..." "Tapi..." Setelah lama berbantah-bantahan, aku tahu diskusi ini tidak berujung. Pikiran kami jelas sangat
berseberangan. Dan aku di pihak yang kalah.
Tapi aku masih punya harapan. Aku yakin Ayah dalam posisi 51 persen di pihakku. Ayah
berperawakan kecil tapi liat dengan bahu kokoh. Rambut hitamnya senantiasa mengkilat diminyaki
dan disisir ke samp ing lalu ujungnya dibelokkan ke belakang. Bentuk rahangnya tegas dan dahi
melebar karena rambut bagian depannya terus menipis. Matanya tenang dan penyayang.
Walau berprofesi sebagai guru madrasah - beliau pengajar matematika - seringkah pendapatnya
lain dengan Amak. Misalnya, Ayah percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih
sering menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir, atau Haji Agus Salim,
dibanding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku
adalah ulama yang te rkenal di Minangkabau.
Tapi entah kenapa beliau memilih menonton televisi hari ini dan tidak ikut duduk bersama Amak
membicarakan sekolahku. Aku buru-buru bangkit dari duduk dan bertanya pada Ayah yang sedang duduk menonton.
Kacamatanya memantulkan berita olahraga dari layar televisi. Sambil menengadah ke arahku dan
mengangkat lensanya sedikit, Ayah menjawab singkat, "Sudahlah, ikuti saja kata Amak, itu yang
terbaik." Aku tanpa pembela. Dengan muka menekur, aku minta izin masuk kamar. Sebelum mereka
menyahut, aku telah membanting pintu dan menguncinya. Badan kulempar telentang di atas kasur
tipis. Mataku menatap langit-langit.
Yang kulihat hanya gelap, segulita pikiranku. Di luar terdengar Sazli Rais t elah menutup Dunia
Dalam Berita. Kekesalan karena cita-citaku ditentang Amak ini berbenturan dengan rasa tidak tega melawan
kehendak beliau. Kasih sayang Amak tak terperikan kepadaku dan adik-adik. Walau sibuk
mengoreksi tugas kelasnya, beliau selalu menyediakan waktu; membacakan buku, mendengar
celoteh kami dan menemani belajar.
Belum pernah sebelumnya aku berbantah-bantahan melawan keinginan Amak sehebat ini. Selama
ini aku anak penurut. Surga di bawah telapak kaki ibu, begitu kata guru madrasah mengingatkan
keutamaan Ibu. Tapi ide masuk madrasah meremas hatiku.
Di tengah gelap, aku terus bertanya-tanya kenapa orangtua harus mengatur-atur anak. Di mana
6 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
kemerdekaan anak yang baru belajar punya cita-cita" Kenapa masa depan harus diatur orangtua"
Aku bertekad melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di dalam kamar gelap.
Keluar hanya untuk buang air dan mengambil sepiring nasi untuk dimakan di kamar lagi.
Sudah tiga hari aku mogok bicara dan memeram diri.
Semua ketukan pintu aku balas dengan kalimat pendek,
"sedang tidur". Dalam hati aku berharap Amak berubah pikiran melihat kondisi anak bujangnya yang
terus mengurung diri ini.
Amak memang berusaha menjinakkan perasaanku dengan mengajak bicara dari balik pintu.
Suaranya cemas dan sedih.
Tapi tiga hari berlalu, tidak ada tanda-tanda keinginan keras Amak goyah. Tidak ada tawaran yang
berbeda tentang sekolah, yang ada hanya himbuan untuk tidak mengunci diri.
Sore itu pintu kayu kamar diketuk dua kali. "Nak, ada surat dari Pak Et ek Gindo," kata Amak sambil
mengangsurkan sebuah amplop di bawah daun pintu. Pak Etek sedang belajar di Mesir dan kami
saling berkirim surat. Dua bulan lalu aku menulis surat, mengabarkan akan menghadapi ujian akhir
dan ingin melanjutkan ke SMA.
Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela
dinding kayu. Dia mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi sebuah usul.
"...Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa Timur. Mereka
pintar-pint ar, bahasa Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama
dan diajar disiplin untuk bisa bahasa asing
set iap hari. Kalau tertarik, mungkin sekolah ke sana bisa jadi pertimbangan..."
Aku termenung sejenak membaca surat ini. Aku ulang-ulang membaca usul ini dengan suara
berbisik. Usul ini sama saja dengan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merantau jauh ke Jawa
dan mempelajari bahasa dunia cukup menarik hatiku.
Aku berpikir-pikir, kalau akhirnya aku tetap harus masuk sekolah agama, aku tidak mau madrasah
di Sumatera Barat. Sekalian saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga.
Ya betul, Pondok Madani bisa jadi jalan keluar ketidakjelasan ini.
Tidak jelas benar dalam pikiranku, seperti apa Pondok Madani itu. Walau begitu, akhirnya aku
putuskan nasibku dengan setengah hati. Tepat di hari keempat, aku putar gagang pintu. Engselnya
yang kurang minyak berderik. Aku keluar dari kamar gelapku. Mataku mengerjap-ngerjap melawan
silau. "Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di
7 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Bukittinggi atau Padang," kataku di mulut pintu. Suara cempreng pubertasku memecah keheningan
Minggu pagi itu. Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret airnya miring
dan menyerakkan air di lant ai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari balik koran Haluan,
kali ini menurunkan koran dan melipatnya cepat-cepat. Dia mengangkat telunjuk ke atas tanpa
suara, menyuruhku menunggu. Mereka berdua duduk berbisik-bisik sambil ekor mata mereka
melihatku yang masih mematung di depan pintu kamar. Hanya sos-ses-sis-sus yang bisa kudengar.
"Sudah waang pikir masak-masak?" tanya ayahku dengan mata gurunya yang menyelidik. Ayahku
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarang bicara, tapi sekali berbicara adalah sabda dan perint ah.
"Sudah Yah," suara aku coba tegas-tegaskan.
"Pikirkan lah lagi baik-baik," kata Amak dengan tidak berkedip.
"Sudah Mak," kataku mengulangi jawaban yang sama.
Ayah dan Amak mengangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara rendah. Setelah
beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara.
"Kalau itu memang maumu, kami lepas waang dengan berat hati."
Bukannya gembira, Tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan
mereka. Ini jelas bukan pilihan ut amaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul
dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.
Rapat Tikus Tidak ada w aktu lagi. Menurut informasi dari surat Pak Etek Gindo, w aktu pendaftaran Pondok
Madani ditutup empat hari lagi, padahal but uh t iga hari jalan darat untuk sampai di Jawa Timur.
Tiket pesawat tidak terjangkau oleh kantung keluargaku.
"Kita naik bus saja ke Jawa besok pagi," kata Ayah yang akan mengantarku.
Bekalku, sebuah tas kain abu-abu kusam berisi baju, sarung dan kopiah serta sebuah kardus mie
berisi buku, kacang tojin dan sebungkus rendang kapau yang sudah kering kehitam-hitaman. Ini
rendang spesial karena dimasak Amak yang lahir di Kapau, sebuah desa kecil di pinggir Bukittinggi.
Kapau terkenal dengan masakan lezat yang berlinang-linang kuah sant an.
Sebelum meninggalkan rumah, aku cium tangan Amak sambil minta doa dan minta ampun atas
kesalahanku. Tangan kurus Amak mengusap kepalaku. Dari balik kacamatanya aku lihat cairan
bening menggelayut di ujung matanya.
"Baik-baik di rant au urang, Nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu
agama sama dengan berjihad di jalan Allah," kata beliau. Wajahnya t ampak ditegar-te-garkan.
8 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Katanya, cinta ibu sepanjang hayat dan mungkin berpisah dengan anak bujangnya untuk
bertahun-tahun bukan perkara gampang. Sementara bagi aku sendiri, bukan perpisahan yang aku
risaukan. Aku gelisah sendiri dengan keputusanku merant au muda ke Jawa.
Setelah merangkul Laili dan Safya, dua adikku yang masih di SD, aku berjalan tidak menoleh lagi.
Kutinggalkan rumah kayu kontrakan kami di tengah hamparan sawah yang baru ditanami itu.
Selamat tinggal Bayur, kampung kecil yang permai. Ha-laman depan kami Danau Maninjau yang
berkilau-kilau, kebun belakang kami bukit hijau berbaris.
Bersama Ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut merayapi Kelok Ampek
Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan 44 kelok patah. Kawasan Danau Maninjau menyerupai kuali
raksasa, dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar. Makin lama kami makin tinggi di
atas Danau Manin jau. Dalam satu jam permukaan danau yang biru tenang itu menghilang dari
pandangan mata. Berganti dengan horison yang didominasi dua puncak gunung yang gagah,
Merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk awan.
Tujuan kami ke kaki Merapi, Kota Bukittinggi. Di kota sejuk ini kami berhenti di loket bus antar pulau,
P.O. ANS. Dari Ayah aku tahu kalau PO itu kependekan dari perusahaan oto bus.
Kami naik bus ANS Full AC dan Video. Kami duduk di kursi berbahan beludru merah yang empuk di
baris ketiga dari depan. Aku meminta duduk di dekat jendela yang berkaca besar. Bus ini adalah
kendaraan terbesar yang pernah aku naiki seumur hidup. Udara dipenuhi aroma pengharum
ruangan yang disemprotkan dengan royal oleh stokar ke langit-langit dan kolong kursi. Berhadapan
dengan pintu paling belakang ada W C kecil. Di belakang barisan kursi terakhir, langsung
berbatasan dengan kaca belakang, ada sebidang tempat berukuran satu badan manusia dewasa,
lengkap dengan sebuah bantal bluwak dan selimut batang padi bergaris hitam putih. Kenek bilang
ini kamar tidur pilot . Kata Ayah, setiap delapan jam, dua supir kami bergiliran untuk tidur.
Tampak duduk dengan penuh otoritas di belakang set ir, laki-laki legam, berperut tambun dan
berkumis subur melint ang. Kacamata hitam besarnya yang berpigura keemasan terpasang gagah,
menutupi sebagian wajah yang berlubang-lubang seperti kena cacar. Dia mengenakan kemeja
seragam hitam dan merah dipadu dengan celana jins. Di atas saku bajunya ada bordiran
bertuliskan namanya, "Muncak".
Aku memanggilnya Pak Et ek Muncak. Kebetulan dia adalah adik sepupu jauh Ayah.
Begitu mesin bus berderum, tangan kirinya yang dililit akar bahar menjangkau laci di atas
kepalanya. Dia merogoh tumpukan kaset video beta berwarna merah. Hap, asal pegang, dia
menarik sebuah kaset dan membenamkannya ke pemutar video. Sejenak terlihat pita-pita
warna-warni berpijar-pijar di layar televisi, sebelum kemudian muncul judul film: Rambo: The First
Blood Part II. Aku bersorak dalam hati. Televisi berwarna adalah kemewahan di kampungku, apalagi pemut ar
video. Mungkin tontonan ini bisa sejenak menghibur hatiku yang gelisah merant au jauh. Bus melaju
makin kencang. Sementara Rambo sibuk berkejar-kejaran dengan pasukan Vietnam.
"Selamat Jalan, Anda telah Meninggalkan Sumatera Barat"
sebuah gapura berkelebat cepat. Bus kami menderum memasuki Jambi.
Tapi semakin jauh bus berlari, semakin gelisah hatiku.
9 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Jantungku berdetak aneh, menyadari aku sekarang benar-benar meninggalkan kampung
halamanku. Bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang paling tepat"
Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing"
Bagaimana kalau pondok itu seperti penjara" Bagaimana kalau gambaran Pondok Madani dari Pak
Etek Gindo itu salah"
Pertanyaan demi pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat kepalaku.
Aku tidak kuat menahan malu kalau harus pulang lagi.
Sudah aku umumkan keputusan ini ke segenap kawan dan handai tolan. Bujukan mereka agar
tetap tinggal di kampung telah kukalahkan dengan argumen berbahasa Arab yang terdengar gagah,
"uthlubul ilma walau bisshin", artinya
"tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina".
"Ke Cina saja disuruh, apalagi hanya sekedar ke Jawa Timur," bantahku percaya diri kepada para
pembujuk ini. Ke mana mukaku akan disurukkan, kalau aku pulang lagi"
Hari kedua perjalanan, stok film habis. Rambo sudah dua kali "disuruh" Pak Et ek Muncak
bertempur di hutan Vietnam.
Sementara, pelan tapi pasti suasana bus berubah. Akumulasi bau keringat, sampah, bau pesing W
C, bau kentut, bau sendawa, dan tentu saja bau penumpang yang mabuk darat menggantung pekat
di udara. Tapi Pak Etek Muncak tampaknya punya dedikasi tinggi dalam menghibur penumpang. Beberapa
kali dia menurunkan kacamata hitamnya sedikit dan mengintip para penumpang dari kaca spion.
Begitu dia melihat banyak penumpang yang lesu dan teler, dia memutar kaset. Bunyi talempong
segera membahana, disusul dengan sebuah suara berat memperkenalkan judul kaset.... "Inilah
persembahan Grup Balerong pimpinan Yus Datuak Parpatiah: Rapek Mancik.
Rapat Tikus...." Para penumpang bertepuk tangan, sebagian bersuit-suit.
Kaset ini berisi komedi lokal yang sangat terkenal di masyarakat Minang. Yus Datuak Parpatiah, si
pendongeng, melalu i logat Minang yang sangat kental, berkisah tentang bagaimana lucunya rapat
antar warga tikus yang ingin menyelamatkan diri dari serangan seekor kucing. Di sana-sini narator
dengan cerdik menghubungkan kehidupan tikus dan kehidupan masyarakat Minang. Banyak
diskusi, banyak pendapat, banyak debat, hasilnya nol besar. Karena tidak seekor tikus pun yang
mau melakukan rencana yang telah bertahun-tahun dibicarakan untuk melawan kucing. Yaitu
mengalungkan giring-giring di leher kucing, sehingga ke mana pun kucing pergi, masyarakat tikus
pasti mendengar. Kontan, bus yang melint as rimba Sumatera yang hening itu menjadi riuh rendah. Bangku-bangku
sampai berdecit-decit karena penumpang terbahak-bahak sampai badan mereka
bergoyang-goyang. Pak Sutan yang terserang mabuk darat dan lesu pun bisa bangkit dari
10 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
keterpurukannya setelah berhasil muntah sambil ketawa. Mukanya merah padam, tapi bahagia. Umi
Piah, nenek tua berselendang kuning yang duduk di belakangku tidak kalah heboh. Beberapa kali
dia tergelak kencang sambil kentut. Mungkin otot perutnya agak los karena menahan tekanan
ketawa. Pak Sut an adalah sosok kurus beraliran put ih. Rambut, alis, jenggot, bahkan bajunya semua putih.
Dia saudagar kain yang selalu bolak-balik Pasar Tanah Abang dan Pasar Ateh Bukittingi. Dia
membawa hasil tenunan Pandai Sikek ke Jakarta dan pulang kembali dengan memborong baju
murah untuk dijual di Bukittinggi. Dia tipe orang yang senang maot a, ngobrol ngalor-ngidul.
Sambil tidur-tidur ayam, aku mendengar Ayah berbicara dengannya.
"Bapak mau menuju ke mana?" tanya Pak Sutan mencondongkan badannya ke kursi Ayah.
"Saya mau mengantar anak. Mau masuk sekolah di Pondok Madani di Jawa Timur."
"Maksudnya, pondok tempat orang belajar agama itu, kan?"
dia bertanya sambil matanya melirik berganti-ganti ke arah aku dan Ayah dengan sorot simpati.
"Iya betul, Pak."
"W ah, bagus lah itu," jawabnya seperti menguatkan kami.
Ayah tersenyum tanpa suara sambil mengangguk-angguk.
Setelah diam sejenak dan tampaknya berpikir-p ikir, Pak Sutan mendekatkan kepalanya ke Ayah.
Dia merendahkan suara seakan-akan tidak mau didengar orang lain. Mukanya serius. "Semoga
berhasil Pak. Saya dengar, pondok di Jawa itu memang bagus-bagus mutu pendidikannya. Anak
teman saya, cuma setahun di pondok langsung berubah menjadi anak baik.
Padahal dulunya, sangat mantiko. Nakal. Tidak diterima disekolah mana pun karena kerjanya
ngobat, minum dan suka berkelahi. Anak begitu saja bisa berubah baik."
Dengan setengah terpicing aku bisa melihat muka Ayah meringis. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Pak... anak ambo kelakuannya baik dan NEM-nya termasuk paling tinggi di Agam. Kami kirim ke
pondok untuk mendalami agama".
Suaranya agak ditekan. Mungkin naluri kebapakannya tersengat untuk membela anak dan
sekaligus membela dirinya sendiri. Tidak mau dicap orang tua yang gagal. Dalam hati aku bertepuk
tangan untuk pukulan telak Ayah.
Pak Sutan terdiam dan sejenak raut muka berubah-ubah.
"W ah lebih bagus lagi itu," jawabnya malu-malu dengan suara rendah. Dia berusaha meminta maaf
tanpa harus mengucap maaf.
Amak mungkin benar. Banyak orang melihat bahwa pondok adalah buat anak yang cacat produksi.
Baik karena tidak mampu menembus sekolah umum yang baik, atau karena salah gaul dan salah
urus. Pondok dijadikan bengkel untuk memperbaiki yang rusak. Bukan dijadikan tempat untuk
11 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
menyemai bibit unggul. Tapi bagaimana kalau Pak Sutan ini benar" Kalau ternyata Pondok Madani memang tempat
kumpulan para anak mantiko.
Anak bermasalah" Wajahku rusuh dan hatiku mengkerut. Aku lebih banyak diam selama
perjalanan. Walau mengantuk, aku tidak bisa tidur nyenyak selama perjalanan. Sebentar-sebentar terbangun
oleh guncangan bus yang menghantam jalan berlubang. Di lain waktu, aku terbangun dengan
kekhawatiran tentang sekolah. Di antara buaian lubang di jalan, dua kali aku dikunjungi mimp i yang
sama. Mengikuti ujian akhir matematika yang sulit tanpa sempat belajar sama sekali.
Mungkin karena pikirannya juga tidak menentu, Ayah juga tidak banyak bicara tentang tujuan
perjalanan kami. Dia lebih banyak membicarakan kehebatan sepupunya yang tamatan ST M,
merantau ke Jakarta dan sukses mempunyai kios reklame di Aldiron, Blok M dengan nama Takana
)o Kampuang. Kangen Kampung. Atau tentang teman masa kecil yang kemudian punya armada
empat angkot di Bekasi, dengan tulisan besar di kaca belakang bertuliskan Cint o Badarai. Cint a
Berderai. Perjalanan di malam kedua semakin berat. Bus kami sampai di bagian jalan lintas Sumatera yang
mengular, memilin perut dan membuat mata nanar. Sudah 3 butir pil antimo aku tenggak dan kulit
limau manis aku jajalkan di depan hidung.
Tapi perutku terus bergolak ganas. Air liur terasa encer kecut dan otot rahang mengejang. Kritis.
Aku berdiri di depan dam raksasa yang siap runt uh. Plastik aso i, begitu orang Minang menyebut
tas kresekt aku buka lebar-lebar untuk menampung isi perutku yang bertekad keluar. Hanya tinggal
menunggu waktu saja... BLAAR! Bus tiba-tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak kaget. Amukan di perutku
tiba-tiba surut, pudur seperti lilin dihembus angin. Pak Etek Muncak dan kenek bersamaan berseru,
"Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!". Roda belakang pecah. Di tengah rimba gulita, hanya ditemani
senter dan nyanyian jangkrik hutan, kenek dan supir bahu membahu mengganti ban. Aku was-was.
Bulan lalu ada berita besar di Haluan t entang bus yang dirampok oleh bajing loncat, komplotan
begundal yang menghadang bus dan truk di tempat sepi. Mereka tidak segan membunuh demi
mendapatkan rampokan. "Semoga tidak lama gant i bannya," gumam Ayah yang mulai kuatir. Menurut Pak Etek Gindo,
Pondok Madani tidak punya tawar menawar dengan batas w aktu pendaftaran murid baru. Kalau
terlambat, mohon maaf, coba lagi t ahun depan.
Untunglah Pak Etek Muncak dengan raut muka meyakinkan menjamin bahw a kami akan sampai di
penyeberangan ferry Ba-kauheuni sebelum tengah malam. Badanku pegal dan telapak kakiku
bengkak karena t erlalu lama duduk. Aku sudah tidak sabar menunggu kapan bisa turun dari bus
dan naik ferry. Ini akan menjadi pengalaman pertamaku menyerangi lautan.
"Pegangan yang kuat," teriak laki-laki bercambang lebat dengan seragam kelasi kepada
penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. Dari laut yang gulita, deburan demi deburan terus
12 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
datang menampar badan kapal, bagai tidak setuju dengan perjalananku. Lampu ruang penumpang
mengeridip setiap goyangan keras datang. Angin bersiut -siutan melontarkan tempias air laut yang
terasa asin di mulut . Muka dan bajuku basah.
Aku segera mencekal erat pagar besi dengan tangan kanan.
Tapi aku tetap terhuyung ke kanan, ketika ombak besar menampar lambung ferry. Mukaku terasa
pias karena cemas dan mual. Berkali-kali aku berkomat-kamit memasang doa, agar laut kembali
tenang. Ayah memeluk tiang besi di sebelahnya.
"Ndak ba'a do, sebentar lagi kita sampai!" seru ayah mencoba menenangkan sambil menggamit
bahuku. Padahal setengah jam yang lalu pelayaran kami mulus, gemericik air yang dibelah haluan
terasa menentramkan hati.
Untunglah beberapa menit kemudian angin berubah lindap dan gelombang susut. Kapal kembali
tenang membelah Selat Sunda. Laut boleh tenang, tapi perutku masih terus bergulung-gulung
seperti ombak badai. Mulut ku pahit dan meregang. Begitu terasa ada yang mendesak
kerongkongan, aku hadapkan muka ke laut lepas dan aku relakan isi perut ditelan laut.
Aku baru benar-benar merasa lega ketika melihat ujung mer-cusuar yang terang dan kerlap-kerlip
sampan nelayan yang mencari ikan di malam hari. Artinya Pulau Jawa sudah dekat. Tidak lama
kemudian, kapten kapal mengumumkan kami akan segera sampai dan menyarankan penumpang
untuk turun ke ruang parkir di perut kapal dan segera naik bus.
Bagai paus raksasa kekenyangan, begitu sampai dermaga Merak, ferry ini memuntahkan isi
perutnya berupa bus besar antar kota, truk, mobil pribadi, motor dan sebuah traktor kecil dan
galedor'. Tidak lama kemudian bus tumpanganku melarikan kami ke arah Jakarta. Jari-jariku masih
bergetar dan bajuku lembab berbau asin air laut .
**** Supremasi orang Minang soal makanan sangat tampak dalam perjalanan ini. Hampir semua tempat
makan di pinggir jalan lintas Sumatera dan Padang memakai tanduk dan bertuliskan "RM Padang".
Di dalam ruangannya yang lapang tersusun meja dan kursi yang jumlahnya ratusan. Speaker yang
berbentuk kotak-kotak kayu ada di set iap sudut ruangan dan tidak henti-henti memperdengarkan
lagu pop Minang. Kendaraan berat yang berfungsi meratakan jalan. Biasanya berwarna kuning dan rodanya
berbentuk silinder besi. Sementara itu di belakang ruang makan, berderet puluhan kamar mandi dan W C serta mushala
untuk melayani penumpang antar kota yang mungkin sudah tiga hari tiga malam menjadi musafir.
Menurut pengamatanku, perbedaan antara RM yang ada di lint as Sumatera dan Lintas Jawa
adalah derajat pedasnya rendang. Semakin menjauh dari Padang semakin tidak pedas.
Di set iap RM, ada sudut yang tampak disiapkan untuk kalangan VIP. Tidak jarang, sudut ini ditutup
13 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
pemisah ruangan, dan tempat duduknya dibuat sangat sant ai seperti bale-bale. Makanan yang
terhidang sangat lengkap. Pelayan selalu siaga di sebelah meja ini. Tempat paling terpuji di RM
ini ternyata disiapkan hanya bag i "pelanggan teladan": para supir dan kenek bus antar kota ini.
Rupanya para saudagar Minang ini sadar bahw a supir bus adalah klien penting yang selalu
membawa puluhan pelanggan. Hebatnya lagi, servis kelas satu ini disediakan gratis. Berunt unglah
kami, sebagai kroni sang supir, bisa menikmati fasilitas untuk Pak Etek Muncak ini.
Bus kami tidak hanya menderu melint as batasan geografis tapi sekaligus menembus batas budaya,
dan bahasa. Duduk di sebelah jendela kaca bus yang besar, rimba muncul dalam wajah beragam,
mulai dari hutan ilalang akibat pembabatan pohon, hutan kelapa, hutan jati, hutan karet, hutan
gelap, hutan terang, hutan botak, hutan rimbun, hutan berkabut, hutan berasap dan hutan terbakar.
Aku menyaksikan mulai dari rumah gadang, rumah panggung Palembang, rumah atap rumbia,
rumah bata, rumah joglo, sampai rumah kardus. Atapnya pun berbagai rupa dari ijuk, seng,
genteng, plastik sampai tidak beratap. Berbagai kulinari unik yang dijajakan para tukang asong juga
sebuah kemeriahan tersendiri, ada b ika padang, sate padang, sate udang, pisang goreng, kacang
rebus, rujak buah, sampai tempe mendoan. Para pedagang ini bahkan memakai bahasa lain untuk
hanya menyebut "berapa": bara, berapo, berape, sabaraha, sampai piro.
Di hari ketiga, aku menggeliat terbangun ketika silau matahari pagi mulai menembus jendela bus
yang berembun. Langit sudah terang dan biru, sementara kabut tipis masih mengapung di tanah dan menutupi
sawah dan pohon-pohon. Sebuah tanda lalu lintas muncul dari balik kabut tipis, bertuliskan "Selamat Datang di Jawa Timur."
Provinsi tempat Pondok Madani berada.
Pagi mulai beranjak dhuha. Bus ANS menurunkan aku dan Ayah di terminal Ponorogo. Sambil
menenteng tas, kami memutar mata ke sekeliling stasiun, mencari informasi bagaimana mencapai
Pondok Madani. Masih di dalam terminal, tidak jauh di depan kami ada tenda parasut biru yang
kembang kempis ditiup angin. Sebuah papan menggantung di depannya: Jurusan Pondok Madani.
Di depan tenda ada meja panjang yang dijaga anak-anak muda berbaju kaos putih panjang lengan.
Rambut mereka cepak gaya Akabri. Seorang di antaranya bergegas mendekati kami. Sepatu bot
ala tentaranya berdekak-dekak di aspal. Di dada sebelah kiri kaosnya tertulis nama; Ismail
Hamzah-Maluku. Di lehernya menggantung kartu pengenal merah bertuliskan "Kelas 6, Panitia
Penerimaan Siswa Baru".
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan senyum lebar yang memperlihatkan sebaris gigi putih, dia menyapa Ayah,
"Assalamualaikum Pak. Saya Ismail siswa kelas enam PM atau Pondok Madani. Bapak mau
mengantar "W aktu ketika matahari mula i naik di pagi hari, tapi belum siang. Sebagian umat Islam melakukan
shalat sunat di waktu dhuha ini anak sekolah ke Madani?" Ayah mengangguk.
"Baik Pak, tolong ikut i saya..." Dengan sigap dia mengangkat tas dan kardus kami lalu
mengikatkannya di atap bus biru PM Transport. Sejenak kemudian kami telah menembus
14 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
perkampungan dan persawahan yang menghijau, disupiri oleh Ismail.
Lembar petualangan hidupku baru saja dibuka.
Kampung di Atas Kabut Bus L300 berkursi keras ini tidak penuh. Ayah duduk di depan di sebelah Ismail, aku di bangku
barisan kedua. Di sebelahku duduk anak laki-laki berkulit legam dan berkacamata tebal. Dia
memakai sepatu hitam dari kulit yang sudah retak-retak. Sol bagian belakangnya tidak rata lagi.
Sebentar-sebentar matanya melihat keluar jendela. Dia menyebut namanya Dulmajid, dari Madura.
"Tentu saja saya datang sendiri," jawabnya sambil ketawa berderai memamerkan giginya yang
gingsul, ketika aku tanya siapa yang mengantarnya.
Sementara di bangku belakang, duduk seorang anak kurus, berkulit bersih, bermata dalam dan
bermuka petak. Sebuah kopiah beludru hitam melekat miring di kepalanya. Sepatu kets dari bahan
jeans hitam bertabrakan dengan kaos kaki putihnya. "Raja Lubis," katanya menyebutkan nama. Di
tangannya tergenggam sebuah buku, yang sekali-sekali dia buka. Mulutnya terus komat-kamit
seperti merapal sesuatu. Raja melihat ke arahku dan menjelaskan sebelum aku bertanya, "Aku sedang meng-hapalkan kut
ipan pidato Bung Karno." Aku tidak mengerti maksudnya. Yang jelas, kedua anak ini juga akan
masuk PM. Di bangku paling belakang ada dua kanak-kanak sedang cekikikan sambil memakan kuaci. Mereka
diapit oleh dua ibu berkerudung. Di terminal aku mendengar kalau dua ibu ini mendaftarkan anak
mereka yang baru lulus SD masuk PM.
Diam-diam aku kagum dengan keberanian anak-anak ini.
Masih semuda itu, masih sepolos itu, sudah harus berpisah dengan orang tua mereka.
Setengah jam berlalu, bus kami melambat setelah melewati hamparan sawah hijau yang sangat
luas. Angin segar dari jendela yang terbuka meniup-niup muka dan rambutku.
Sekali-sekali tampak rumah kayu beratap genteng kecokelatan dan berlantai tanah. Berbeda
dengan atap rumah gadang yang menyerupai tanduk dan lancip di kiri dan kanan, atap di sini lancip
di tengah. Beberapa rumah sudah berdinding bata merah yang dibiarkan polos terbuka tanpa acian.
Kami juga melewati serombongan laki-laki dengan ikat kepala hitam memanggul pacul di bahu.
Beberapa orang di antaranya menarik gerombolan sapi yang berjalan malas-malasan. Setiap
melangkah, genta di leher sapi ini berbunyi tung... tung...tung...
"Bapak, Ibu dan calon murid. Sebentar lagi kita akan sampai di Pondok Madani. Kami akan
membawa Anda semua untuk langsung mendaftar ke bagian penerimaan tamu. Bagi yang akan
mendaftar jadi murid baru, batas waktu pendaftaran jam lima tepat sore hari ini. Jangan lupa
dengan tas dan semua bawaan Anda," Ismail memberi pengumuman, kembali dengan senyum
15 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
lebarnya. Aku dan Ayah menarik napas lega. Kami masih punya waktu untuk mendaftar sesuai waktu, Walau
perjalanan bus sempat tertahan. Degup jantungku berlomba. Rasanya semua darahku berkumpul di
dada dan membeku beberapa saat. Dua anak-anak yang baru tamat SD tadi tampak agak pucat
dan tidak tertawa-tawa lagi. Tangan mereka meremas-remas kotak kuaci sampai hancur. Raja dan
Dul mencondongkan badannya ke depan dengan muka serius Bus lalu berbelok ke jalan tanah
yang kecil. "Sedikit lagi, di ujung jalan yang ada gapura itulah Pondok Madani," kata Ismail sambil menunjuk
jauh ke depan. Bagai terbuat dari karet, semua leher kami memanjang melihat ke depan dengan
panasaran. Jalan desa kecil yang berdebu tiba-tiba melebar dan membentangkan pemandangan lapangan
rumput hijau yang luas. Di sekitarnya tampak pohon-pohon hijau rindang dan pucuk-pucuk kelapa
yang mencuat dan menari-nari dihembus angin. Di sebelah lapangan tampak sebuah kompleks
gedung bertingkat yang megah. Sebuah kubah besar berwarna gading mendominasi langit,
didampingi sebuah menara yang tinggi menjulang. Di tengah kabut pagi, kompleks ini seperti
mengapung di udara. Sebuah spanduk besar berkibar-kibar melintang di atas jalan, "Ke Madani, Apa yang Kau Cari?"
Jantungku kembali berdenyut serabutan.
Ya, apa sebetulnya yang aku cari" Hanya karena memberontak tidak boleh masuk SMA" Dan lebih
penting lagi, apakah aku bisa bertahan"
Ismail meloncat turun dari bus. Kerikil yang diinjak hak sepatunya berderik-derik. Dia menyerahkan
selembar daftar penumpang ke seorang anak muda berwajah riang yang t elah menunggu di luar
mobil. Sebuah dasi berkelir biru laut menggantung rapi di kerah leher baju putihnya. "Shabahal khair
ya akhi Burhan. Ini rombongan tamu pertama hari ini.
Semua delapan orang," kata Ismail.
"Syukran ya akhi. Terima kasih. Kami akan beri pelayanan terbaik."
Burhan.mempersilakan kami mengikutinya menuju rumah tembok putih berkusen hijau terang. Lima
kereta angin bercat kuning parkir berjejer di depan. Kismul Dhiyafah, Guest Reception. Bagian
Penerimaan Tamu, tertulis di papan nama.
Di langkan yang dinaungi rimbunan lima pohon kelapa ini tidak ada perabot selain dua meja kayu.
Masing-masing meja dijaga seorang anak muda yang berpakaian seperti Burhan.
Burhan menyuguhi kami dengan limun bercampur serpihan es batu yang diambilnya dari salah satu
meja. Di meja satu lagi, setiap calon murid mengisi formulir kedatangan pendaftaran, mendapat
kamar sementara, menerima kupon, piring dan gelas plastik untuk makan di dapur umum. Setelah
itu kami dipersilakan istirahat, berselonjor di lantai yang dilapisi karpet biru.
Lalu dengan suara keras Burhan membuat pengumuman:
16 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani. Hari ini saya
akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas lima belas hektar
ini. Jangan takut, kita tidak akan mengeliling i semua, hanya yang penting-penting saja. Kira-kira
butuh waktu satu jam. Siapa yang tertarik ikut tur, silakan berkumpul lagi di sini setengah jam lagi.
Kamar menginap Anda sudah kami atur sesuai dengan nomor urut kedatangan. Semoga Anda
menikmati kunjungan ini dan kami bisa melayani dengan sebaik-baiknya."
"Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan
manusia mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu
umum dan ilmu agama. Saat ini ada tiga ribu murid yang tinggal di delapan asrama," Burhan
membuka tur pagi itu dengan fasih.
"Walau asrama penting, tapi kamar di sini lebih berfungsi untuk tidur dan istirahat, kebanyakan
kegiatan belajar diadakan di kelas, lapangan, masjid, dan tempat lainnya, seperti yang akan kita
lihat nanti," papar Burhan sambil mengajak kami y ang bergerombol di sekelilingnya unt uk mulai
berjalan. Aku, Raja dan Dulmajid berada di rombongan ini. Kami penuh semangat bergerombol di sekitar
Burhan. Tidak jauh dari kami, tampak dua kelompok kecil yang masing-masing juga dipimpin oleh
seorang pemandu yang berbaju putih dan bercelana hitam, seperti Burhan.
"Gedung utama di pondok ini dua. Pertama adalah Masjid Jami' dua tingkat berkapasitas empat ribu
orang. Di sini semua murid shalat berjamaah dan mendalami Al-Quran. Di sini pula set iap Kamis,
empat ratusan guru bertemu mendiskusikan proses belajar mengajar," jelas Burhan sambil
menunjuk ke masjid. Kubah dan menara raksasanya berkilau disapu sinar matahari pagi. Masjidini
dikelilingi pohon-pohon rimbun dan kelapa yang rindang. Beberapa kawanan burung bercecuitan
sambil hinggap dan terbang di sekitar masjid.
"Y ang kedua adalah aula serba guna. Di sini semua kegiatan penting berlangsung. Pagelaran t
eater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa baru, dan penyambutan tamu pent
ing," kata Burhan sambil memimp in kami melewati aula. Gedung ini seukuran hampir setengah
lapangan sepakbola dan di ujungnya ada panggung serta tirai pertunjukan. Tampak mukanya
minimalis dengan gaya artdeco, bergaris-garis lurus. Sederhana tapi megah. Di atas gerbangnya
yang menghadap keluar, tergantung jam antik dan tulisan dari besi berlapis krom: Pondok Madani.
Rombongan kecil kami memintas lapangan besar yang berada di depan masjid dan balai pertemuan
menuju bangunan memanjang berbentuk huruf L. Dindingnya dikapur putih bersih, atap segitiganya
dilapisi genteng berwarna bata dan ubinnya berwarna semen mengkilat. Kusen, jendela dan
tiangnya dilaburi cat minyak hijau muda. Bangunan sederhana yang tampak bersih dan terawat ini
terdiri dari 14 kamar besar. Bangunan ini semakin teduh dengan beberapa pohon rindang dan
kolam air mancur di halamannya.
"Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni, karena setiap anak t
ahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AlBarq, yang berarti petir. Kami ingin anak
baru bisa menggelegar sekuat petir dan bersinar seterang petir," t erang pemandu kami. Mata Raja
yang berdiri di sebelahku berbinar-binar.
Tur berlanjut ke bagian selatan pondok, melewati barisan pohon asam jawa yang berbuah lebat
bergelantungan. 17 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Sebagai tempat yang mementingkan ilmu, kami punya perpustakaan yang lengkap. Koleksi ribuan
buku berbahasa Inggris dan Arab kami pusatkan di perpustakaan yang kami sebut maktabah atau
library," kata Burhan sambil menunjuk ke bangunan antik ber-bentuk rumah Jawa. "Tolong dijaga
suara ya." Dari pintu dan jendela yang terbuka lebar, kami melongok ke dalam. tidak ada suara kecuali
kresek-kresek lembar kertas dibolak-balik. Ke mana mata memandang, aku lihat hanya tumpukan
buku, dinding ke dinding, langit-langit ke lantai.
Beberapa orang asyik membaca di meja kayu yang berjejer-jejer di sela-sela rak buku. Dulmajid
tidak hent i-henti mendecakkan lidah sambil menggeleng-geleng kepala.
"Kami punya kompetisi sepakbola yang ketat dan diadakan sepanjang tahun. Semua pertandingan
bahkan selalu dilengkapi komentator langsung yang menggunakan bahasa Inggris dan Arab," kata
Burhan dengan penuh semangat menunjuk lapangan dan gedung besar seperti hanggar.
Gedung itu juga punya berbagai sarana olahraga lain, seperti bola basket dan bulutangkis. Di
samping gedung tampak ruangan yang heboh dengan umbul-umbul dan spanduk. "Ini adalah papan
klasemen kompetisi olahraga antar asrama.
Sepakbola paling favorit di sini," tunjuk Burhan ke beberapa papan besar bergaris-garis dengan
kolom kiri nama tim dan kolom kanan penuh angka. "Kebetulan saya salah seorang pemainint i,"
tambahnya cepat-cepat sambil tersipu.
Burhan masih menyimpan banyak hal. "Saya ingin perlihatkan apa yang kami pelajari di luar kamar
dan di luar kelas. Semua ini menjadi bagian pent ing dari pendidikan 24 jam di sini. Dan set iap
murid bebas mau mengembangkan bakatnya," ujarnya bersemangat.
Kini kami melint asi jalan yang diapit oleh bangunan berkamar-kamar. Salah satu pintu kamar
terbuka lebar dan di dalamnya beberapa anak muda tampak sibuk menyetem gitar listrik, sement
ara di sebelahnya seorang anak dengan mata terpejam menjiwai gesekan biolanya. Bunyinya
mendayu-dayu. Aku coba mengeja tulisan di papan notnya: Sepasang Mata Bola.
"Di Art Department ini anak yang tertarik mengembangkan jiwa seni bisa berkumpul. Ada musik,
melukis, desain grafis, teater, dan sebagainya," kata Burhan sambil melambaikan tangan kepada
para pemusik itu. Mereka mengangguk sambil tersenyum, tanpa melepaskan alat musiknya.
Ruangan di sebelahnya agak berantakan. Kanvas dan kaleng cat aneka warna bertumpuk-tumpuk
di setiap sudut. Sementara dua orang tekun menggoreskan kuas cat minyak melukis Wajah seseorang berkumis
tebal yang tidak aku kenal.
"Itu wajah Sir Muhammadiqbal, pemikir modern Islam dari Pakistan," Burhan menjelaskan.
Seorang lagi sedang membuat lukisan kaligrafi abstrak.
18 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Bagi kita di sini, seni pent ing untuk menyelaraskan jiwa dan mengekspresikan kreatifitas dan
keindahan. Hadist mengatakan: Innallaha jamiil wahuwa yuhibbul jamal.
Sesungguhnya Tuhan itu indah dan mencintai keindahan. Jadi, jangan khawatir buat para calon
siswa, hampir semua seni ada tempatnya di sini, mulai musik sampai fotografi," jelas Burhan.
Masih di jalan ini kami sampai di blok berikut nya. Kali ini bentuk ruangannya seperti camp tempur.
Tali temali, ransel, sepatu bot berjejer, dan sebuah papan besar bertuliskan
"Boyscout Headquarter". T iga orang berpakaian pramuka h ilir mudik menggulung tiga tenda biru
langit yang berlepot an lumpur kering. "Mereka baru pulang dari jambore di Jepang.
PM memang aktif mengirimkan pramuka kita ke berbagai jambore. Pramuka adalah kegiatan wajib
bagi semua murid,"jelas Burhan.
Tidak terasa, hampir satu jam kami berkeliling PM.
"Baiklah, ini akhir dari tur kita. Semoga Bapak dan Ibu menikmati tur singkat ini. Seperti bisa dilihat,
Pondok Madani ini punya berbagai macam kegiatan, kira-kira mungkin seperti warung serba ada.
Hampir semua ada, tergantung apa minat murid, mereka bebas memilih." Sambil melap keningnya
yang berkeringat dengan sapu tangan, Burhan pun menutup turnya.
Ayah yang dari t adi t ampaknya ingin bertanya, mengangkat telunjuknya. Tanpa menunggu
dipersilakan dia bertanya,
"Mas, saya melihat pondok ini penuh segala kegiatan, mulai dari seni, pramuka, sampai olahraga.
Lalu belajar agamanya kapan?" tanyanya penasaran. Kami mengangguk-angguk mengiyakan
pertanyaan ini. Burhan tersenyum senang.
Sepertinya dia telah sering mendapatkan pertanyaan yang sama.
"Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kiai kami, pendidikan PM tidak membedakan
agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan
sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana," jelas Burhan lancar.
Kami bertepuk tangan. Burhan membungkukkan badannya dan menjura kepada kami. Tampaknya
dia benar-benar dipersiapkan untuk menjadi pemandu tamu yang hebat. Tur singkat ini
membukakan mataku tentang isi PM. pelan-pelan membuat hatiku lebih tenang. Jangan-jangan
keputusanku untuk merant au ke PM bukan pilihan yang salah"
"O iya, saya ucapkan selamat ujian kepada para calon murid. Karena untuk bisa menikmati semua
kegiatan ini, tentu saja anak-anak bapak dan ibu harus lulus tes masuk yang ketat. Semoga sukses,
assalamualaikum...," katanya lalu melambaikan t angan kepada kami.
19 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Apa" Ada tes untuk bisa masuk?" tanyaku dengan muka bingung ke Raja dan Dulmajid yang
berdiri di sebelahku. "Y a ujian seleksi. Sekitar dua ribu orang ikut , tapi hanya empat ratus yang diterima," kata Raja
dengan wajah pasrah. "Tapi aku tidak tahu dan belum ada persiapan." Aku menelan ludah.
"Aku saja belum siap, walau sudah belajar sejak minggu lalu," ujar Dulmajid dengan ekspresi yang
membikin aku makin khawatir.
"tidak ada yang merasa siap. Ujian di sini terkenal sulit.
Tahun lalu aku gagal karena telat mendaftar," kata Raja lagi.
"Lalu kapan ujiannya?" Ulu hatiku ngilu.
"Lusa. Kita masih punya waktu belajar dua hari lagi."
"Terus, soalnya seperti apa saja?"
Pikiranku buncah. Bagaimana kalau aku tidak lulus. Ke mana mukaku akan diletakkan. Pasti aku
akan jadi bulan-bulanan bahan olokan orang sekampung dan teman-teman.
Aku sudah terlanjur berkampanye: ke Cina saja disuruh belajar, masak ke Jawa saja tidak.
"Bukan soalnya, tapi apa mata pelajarannya. Nih, baca sendiri daftar ujiannya," kata Raja
mengangsurkan kertas yang bertuliskan jadw al ujian masuk PM. Isinya: ujian t ulis dan ujian lisan
serta wawancara yang meliputi empat mata pelajaran.
Pak Etek Gindo tidak memberitahu kalau untuk masuk Pondok Madani harus melalu i ujian t ulis
dan wawancara. Tidak ada juga yang memberi tahu bahwa setiap t ahun calon siswa baru sampai
dua ribu orang datang untuk berlomba hanya untuk empat ratus kursi. Aku pikir masuk PM tinggal
datang, mendaftar dan belajar.
Malam itu aku tidur bersesak-sesak di lantai beralaskan karpet, di kamar calon pelajar bersama
anak-anak lain. Ayah dan* para orangtua ditempatkan di kamar khusus pengantar.
Aku luruskan badan, melepaskan lelah. Tapi mataku belum berminat untuk tidur. Mataku menatap
langit-langit dan kepalaku penuh.
Banyak sekali yang terjadi dalam beberapa hari ini. Hanya enam hari lalu aku kesal dan m arah
dengan nasib, empat hari lalu aku membuat keputusan ekstrim untuk merantau jauh, tiga hari
kemudian aku meninggalkan kampung untuk pertama kalinya menuju tempat yang aku tidak tahu.
Hari ini aku sampai di PM dengan perasaan bimbang. Hari ini pula aku mulai terkesan dengan apa
yang ada di PM. Tapi hari ini pula aku kecut, karena aku tidak siap dengan ujian masuk.
Aku tangkupkan buku matematika yang belum selesai aku baca ke mukaku. Aku hela napas berat.
20 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Malam semakin larut . Di hari H, ribuan calon siswa, termasuk aku, Dulmajid dan Raja berkumpul di aula untuk ujian tulis.
Senjata kami hanya sebuah niat untuk belajar di PM, sebatang pulpen, dan sepotong doa dari para
orangtua murid yang mengintip-ngint ip kami dengan cemas dari sela-sela p int u dan jendela aula.
Soal demi soal aku coba jawab dengan tuntas. Semua hasil kerja keras belajar dua hari dua malam
dan sisa-sisa ingatan bertahun-tahun di SD dan MTsN aku kerahkan. Besoknya aku menjalani ujian
lisan yang tidak kalah melelahkan dan membuat kepala berat. Aku tidak yakin hasilnya, tapi aku
merasa t elah memberikan yang terbaik.
Hanya satu hari setelah ujian, tepat tengah malam, sepuluh papan besar digot ong dari dalam
kantor panitia ujian dan disusun berjejer di depan aula. Hasil ujian masuk! Malam but a itu, orangtua
dan calon murid yang sudah tidak sabar berkerumun dan berdesak-desakan dari satu papan ke
papan yang lain. Sekonyong-konyong, Ayah yang ikut berdesakan bersamaku merangkulku dengan
kagok. Tangannya mencengkeram bahuku kencang. Di kampungku memang tidak ada budaya
berangkulan anak laki-laki dan seorang ayah. "Alif, nama kamu ada di sini," katanya dengan napas
terengah-engah. Dia berjinjit menunjuk baris nama dan nomor ujianku. Alhamdulillah, aku lulus.
Aku senang sekali bisa lulus dan menyelesaikan tantangan ini. Tapi di saat yang sama, pikiranku
melayang ke Randai. Mungkin saat ini dia sedang mengukur celana abu-abunya di tukang jahit dan minggu depan telah
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikuti pekan perkenalan siswa SMA baru. Ahh....
Hari ini aku mengirim satu telegram dan satu surat.
Telegram untuk mengabarkan kelulusan kepada Amak dan sepucuk surat kepada Randai. Kepada
kawan dekatku, aku berkisah pengalaman menarikku di PM dan betapa aku masih merasa sedih
tidak bisa bergabung dengan dia masuk SMA.
Ayahku pulang sehari set elah pengumuman. Meninggalkan aku sendiri di tengah keramaian ini.
Man Jadda Wajada "MAN JADDA WAJADAH!"
Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang.
Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat
menikam kami satu persatu. Wajah serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya
bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami.
Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh sakti mandraguna di film layar tancap keliling di
kampungku, persembahan dari Departemen Penerangan.
Man jadda wajada: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan
21 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung,
menjerit balik, tidak mau kalah kencang.
"Man jadda wajada!"
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokanku panas dan suara serak. Ingar bingar ini
berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdenging-denging sementara wajah kami merah padam
memforsir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar di sebelahku. Bahkan, meja
kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh air liur yang ikut berloncatan set iap berteriak lantang.
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang enerjik ini tidak dimuati aura jahat. Dia dengan royal
membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat menikmatinya. Seperti
sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang!
Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh senti menyilang di wajahnya, laki-laki ini hilir mudik
di antara bangku-bang-ku murid baru, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga
puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada.
Mant era ajaib berbahasa Arab ini bermakna tegas: "Siapa yang bersungguh-sungguh, akan
berhasil!" Laki-laki ramping ini adalah Ustad Salman, wali kelasku.
Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Bola matanya yang lincah
memancarkan sinar kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan t angannya yang gesit ke setiap
sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja put ihnya yang licin.
Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitamnya bersol tebal
dan berdekak-dekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.
Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur
yang energik, menyalakkan "man jadda w ajada". Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut
-sahut an dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara
pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.
Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mut iara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas
kehidupan kami kelak. *** Sejam yang lalu, kami berkerumun dengan tidak sabar di depan sebuah pintu kelas. Di daun pintu
itu selembar kertas putih bertuliskan Kelas 1 A tertempel rapi. Di antara kerumunan ini, hanya Raja
dan Dul yang aku kenal. Lamat-lamat, bunyi ketukan sepatu cepat dan penuh semangat terdengar
dari balik ruang kelas kami. Makin lama makin dekat. Tiba-tiba dari balik tembok, muncul laki-laki
muda berwajah ramah menyapa dengan nyaring,
"Shabahul khair. Selamat pagi. Silakan masuk!"
Tangan kanannya mengibas-ngibas mengisyaratkan kami masuk. Setiap kami disodori senyum
sepuluh senti yang membentang di wajahnya. Laki-laki periang ini adalah Ustad Salman.
22 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Ijlisuu, silakan pilih tempat duduk yang paling nyaman buat kalian."
Aku bergegas memilih dua baris dari depan ke arah belakang. Ini posisi aman menurutku. Tidak
terlalu menant ang tatapan guru di kursi depan, Tapi juga tidak t ersuruk di bagian terbelakang.
Di sebelahku duduk seorang anak jangkung berambut pendek tegak. Tadi dia datang paling pagi.
Sebuah kacamata tebal membebani batang hidungnya. Wajahnya yang putih tampak serius dan
agak tegang. Beberapa helai janggut kasar mencuat di dagunya. Dia mengangguk, sambil
menyorongkan tangannya. "Eh, kenalkan nama saya Atang," katanya singkat.
Kacamata-nya melorot t urun ketika mengangguk. Secepat itu pula tangannya mengembalikan ke
posisi semula. Buru-buru kemudian dia menambahkan, "Saya dari Bandung. Urang sunda
Aku genggam jemari t angannya yang panjang kurus-kurus.
"Saya Alif Fikri dari Man injau, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Untuk pertama kalinya dalam h idup aku berjabat tangan dengan orang non Minangkabau. Nun di
kampungku, mulai dari pegawai kecamatan, guru, tukang pos, penjual martabak, supir bus, sampai
kenek adalah urang awak, orang Minang asli. Dulu, sebetulnya aku nyaris menjabat tangan seorang
Jawa. Ketika duduk di SD, guruku menyuruh kami sekelas mengibarkan bendera merah putih dari
kertas minyak di pinggir jalan kampungku. Balasan kibasan benderaku adalah lambaian tangan
yang menyembul dari jendela mobil hitam setengah terbuka. Ingin aku jabat tangan itu, tapi
mobilnya terlalu cepat berlalu. Yang punya tangan adalah Presiden Soeharto yang datang
meresmikan PLT A Maninjau tahun 1983.
Sengaja aku tambahkan Sumatera Barat kalau-kalau dia tidak tahu Bukittinggi di mana.
Menyebutkan Bukittinggi juga sebetulnya kurang tepat, bahkan Maninjau pun sebuah kebohongan
kecil. Sebenarnya, aku lahir dan berasal dari kampung liliput di pinggir Danau Maninjau, Bayur
namanya. Maninjau lebih dikenal orang luar karena lumayan populer sebagai kota asal Buya Hamka, u lama
sastrawan karismatik yang tersohor itu.
Setelah memperkenalkan diri, Ustad Salman meminta set iap orang maju ke depan kelas dan
memperkenalkan nama, asal, alasan ke pondok dan cita-cita. Raja Lubis yang duduk di meja paling
depan maju dengan penuh percaya diri.
Sejenak dia menarik napas dalam, dagunya sedikit terangkat, kepalanya berput ar setengah
lingkaran menyapu kelas. Setelah mendehem, dia memperkenalkan diri dengan suara lantang dan
berat. Iramanya lebih mirip pidato daripada perkenalan. Raja yang berasal dari p inggir Kot a Medan
ini tahun lalu gagal masuk PM karena terlambat mendaftar.
Sambil menunggu tahun ajaran baru, dia menghabiskan satu tahun belajar di sebuah pondok tidak
jauh dari sini. "Kenapa sampai mau dua kali mencoba ikut tes masuk PM?" tanya Ustad Salman.
23 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Dengan gagah dia berkata, "Aku ingin menjadi ulama yang int elek, Ustad. Dari sepuluh orang
bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama."
Sebetulnya dari t adi aku sangat heran melihat kelakuannya.
Ketika kami sekelas membawa beberapa buku tulis dan Al Quran, dia malah membawa beberapa
buku tebal sekaligus. Salah satunya buku paling tebal yang pernah aku lihat.
"Buku apa ini?" tanyaku polos.
"Cak kau lihat ini bos, judulnya Advanced Learners Oxford Dict ionary, kamus Bahasa Inggris yang
hebat. Cocok buat kita yang belajar bahasa Inggris. Kalau ingin pandai seperti Habibie, macam
buku inilah yang harus kau baca," ujarnya serius samb il mengangkat kitab tebal ini pas di mukaku.
"Mulai hari ini aku akan membaca kamus ini halaman per halaman," kata Raja samb il mengepalkan
tangan. Hobi ut amanya membaca buku, atau tepatnya kamus tebal ini. Di kemudian hari, hobi ini
terbayar tunai. Dia paling lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan guru Bahasa Inggris. Kalau
bicara Inggris, suaranya sengau-sengau seperti orang selesma.
Makhluk paling raksasa di kelas adalah Said Jufri yang berasal dari Surabaya. Lengannya yang
legam sebesar tiang telepon dan berbuku-buku oleh otot keras serta ditumbuhi bulu-bulu panjang
keriting. Bajunya yang berbahan jatuh mencetak dada dan bahunya yang kekar. Rambut hitam ikal,
alis tebal, kumis melint ang, fitur hidung dan tulang pipinya tegas melengkapi wajah Arabnya. Dia
memang keturunan kelima dari saudagar Arab yang mendarat dan menetap di kawasan Ampel,
Surabaya. Walau berwajah Arab, tapi medok suroboyoan. Walau umurnya baru 19 tahun, Wajahnya
seperti bapak-bapak berumur 40 tahun.
"W aktu SMA, aku anak nakal, sekarang aku insyaf dan ingin belajar agama," katanya sambil
tersenyum lebar. Matanya yang dilingkupi bulu yang lentik berkejap-kejap. W ah, ini dia yang
disebut Pak Sutan yang ada di bus kemarin. Anak nakal di sekolahkan di pondok, batinku.
"Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan
batin," katanya memberi mot ivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta.
Antara mengerti dan tidak kami mengangguk-angguk takzim.
Dia mantan anak nakal yang aneh. Tidak salah kalau dia yang paling dewasa di antara kami.
Karena itu kami secara aklamasi memilihnya jadi ketua kelas. Selama setahun ke depan, dia selalu
menjawab keluh kesah kami dengan senyum dan cerita yang mengobarkan semangat.
"Saya berasal dari Sulawesi," kata Baso Salahuddin yang berlayar dari Gowa. Wajahnya seperti
nenek moyangnya yang pelaut ulung, rambut landak, kulit gelap, kalau berjalan seperti
terombang-ambing di atas perahu, mengambang dan kurang lurus. Bajunya adalah seragam
pramuka yang sudah luntur cokelatnya. Emblem-emblemnya sudah dilucuti, menyisakan warna
yang lebih gelap di saku dan lengan.
24 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Sambil mengerlingkan matanya ke kiri atas, dia bicara di depan kelas. "Alasan saya... alasan saya
ke sini apa ya" O iya, saya ingin mendalami agama Islam dan menjadi ha/ iz-penghapal Al-Quran."
Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura. Dia juga satu bus denganku ketika sampai di PM.
Kulitnya gelap dan wajahnya keras tidak menjanjikan. Unt unglah dia berkacamata fra-me tebal
sehingga tampak terpelajar. Animo belajarnya memang maut. Di kemudian hari, aku menyadari dia
orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setia kawan yang aku kenal.
Kawan yang duduk di belakangku adalah T euku. Anak yang berkulit keling ini berasal dari B anda
Aceh. Ketika Ustad Teguh membaca namanya, serta merta dia berdiri tegap dengan setengah
berteriak menjawab "Teuku hadir, Ustad". Seisi kelas, tidak terkecuali ustad kaget dengan gerakan
berdiri tiba-tiba dan teriakan nyaring anak Aceh ini. Dia suka berbicara dengan suara keras dan
tergesa-gesa, sehingga bahasa Indonesianya terdengar lucu.
Tapi di antara semua teman baru ini yang membuatku paling kagum adalah Saleh. Dia tinggi kurus,
atletis, dan buku-bukunya banyak stiker bertuliskan Lakers, Bulls, dan gambar orang-orang hitam
berkepala botak, bercelana pendek goyor-goyor.
"Gue dari Jakarte, anak Betawi asli. Tahu Monas, kan" Nah, rumah gue gak jauh dari sana, di
Karbela," katanya dengan bangga.
Beruntung sekali dia tinggal di ibukota, pikirku iri. Di umurku yang ke-15 ini, belum sekalipun aku
menjejakkan kaki di ibukota negara sendiri. Dalam perjalananku dari Padang ke Jawa Timur, aku
sempat sekilas melewati Jakarta jam tiga dini hari. Bus hanya berhenti untuk menurunkan Pak
Sutan yang akan ke Tanah Abang. Dari jendela bus kulihat gedung-gedung tinggi, jalan-jalan silang
gemilang yang semuanya bermandikan cahaya. Modern. Makanya, Jakarta adalah kota yang paling
ingin aku kunjungi, setelah Mekkah.
Sang Rennaissance Man Sehabis Isya, murid-murid berbondong-bondong memenuhi aula. Ratusan kursi disusun sampai ke
teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon
transmigrasi. Di panggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan besar
menggantung sebagai latar: Pekan Perkenalan Siswa PM.
Seorang laki-laki separo baya yang berbaju koko putih maju ke podium. Rambutnya yang setengah
memutih menyembul dari balik kopiah hitamnya. Janggutnya pendek rapi tumbuh dari dagu
bundarnya. Laki -laki ramping ini mempunyai wajah seorang bapak penyabar.
Matanya berbinar-binar dan t ersenyum kepada lautan murid baru dan lama. Senyumnya begitu
lebar, seakan-akan tidak ada yang lebih membesarkan hatinya selain melihat ribuan murid
bersesak-sesakkan di ruangan ini.
Dia mendehem tiga kali di depan mik. Tiba-tiba suara t awon tadi langsung diam dan senyap.
Murid-murid yang duduk di belakang tampak meninggikan lehernya untuk melihat lebih jelas ke
depan. Penampilan laki-laki ini boleh bersahaja, tapi aura wibawa yang membuat dia terlihat lebih
besar dari fisiknya. Aku mencolek Raja yang duduk di sebelah kiriku.
25 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Siapa bapak ini?" tanyaku penasaran.
Raja memandangku dengan tidak percaya. Dia melot ot,
"Bos, kau murid macem mana ni, kok bisa gak tahu. Ini dia kiai kita, almukarram Kiai Rais yang
menjadi panutan kita dan semua orang selama di PM ini. Dia seorang pendidik dengan
pengetahuan dan pengalaman lengkap. Pernah sekolah di Al-Azhar, Madinah dan Belanda."
Raja mengangsurkan kepadaku sebuah buku berjudul, Biografi Kiai-Kiai Pendidik. "Di buku ini ada
biografi ringkas beliau. Menurut penulisnya, Kiai Rais cocok disebut sebagai rennaisance man,
pribadi yang tercerahkan karena aneka ragam ilmu dan kegiatannya."
"Marhaban. Selamat datang anak-anakku para pencari ilmu.
Welcome. Selamat Datang. Bien venue. Saya selaku rais ma'had-pimpinan pondok- dan para guru
di sini dengan sangat bahagia menyambut kedatangan anak-anak baru kami untuk ikut menuntut
ilmu di sini. Terima kasih atas kepercayaannya, semoga kalian betah. Mulai sekarang kalian semua
adalah bagian dari keluarga besar PM," Kiai Rais membuka sambutannya. Suaranya dalam dan
menenangkan. "Assalamualaikum," tutupnya. Pidatonya sangat singkat.
Semua orang memberi t epuk tangan bergemuruh.
Aku menyikut Raja. "Singkat sekali, mana petuah seorang kiai," tanyaku.
"Tenang bos. Kata buku ini Kiai Rais itu seperti "mata air ilmu". Mengalir terus. Dalam seminggu ini
pasti kita akan mendengar dia memberi petuah berkali-kali," jawab Raja penuh harap.
Raja benar. Setelah berbagai kata sambutan dan beberapa pengumuman tentang laba koperasi,
kantin dan dapur umum, Kiai Rais kembali naik panggung.
"Anak-anakku. Mulai hari ini, bulatkanlah niat di hati kalian.
Niatkan menuntut ilmu hanya karena Allah, lillahi taala. Mau membulatkan niat kalian?""
"MAUUU!" terdengar koor dari ribuan murid di depan Kiai Rais. Lalu, sejenak dia memandu kami
menundukkan wajah dan memantapkan niat bersih untuk menuntut ilmu.
Allahumma zidna i Iman war zuqna fahman... Tuhan tambahkan ilmu kami dan anugerahkanlah
pemahaman... Kiai Rais kembali me lanjutkan pidato. "Menuntut ilmu di P M
bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing.
Tapi menuntut ilmu karena T uhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak
26 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami, para ustad, ikhlas mendidik kalian dan
kalian ikh laskan pula niat untuk mau dididik." Tangan beliau bergerak-gerak di udara mengikut i
tekanan suaranya. Aku menyikut rusuk Raja sambil berbisik, "tidak ada ijazah"
Bagaimana maksudnya?"
Raja melirikku sekilas, "Maksudnya, PM tidak mengeluarkan selembar ijazah seperti sekolah lain.
Yang ada adalah bekal ilmunya. Ijazah PM adalah ilmunya sendiri."
Jawaban yang tidak terlalu aku mengerti artinya sekarang.
"Beruntunglah kalian sebagai penuntut ilmu karena Tuhan memudahkan jalan kalian ke surga,
malaikat membentangkan sayap buat kalian, bahkan penghuni langit dan bumi sampai ikan paus di
laut an memintakan ampun bagi orang yang berilmu. Reguklah ilmu di sini dengan membuka
pikiran, mata dan hati kalian."
Telunjuk tangan Kiai Rais terangkat di depan mukanya, memastikan kami memperhatikan petuah
ini. "Selainitu, ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang
bulu. Kalau tidak bisa mengikut i aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini.
Malam ini akan dibacakan qanun, aturan komando. Simak baik-baik, tidak ada yang t ertulis, karena
itu harus kalian tulis dalam ingatan. Setelah mendengar qanun1 setiap orang tidak punya alasan
tidak t ahu bahwa ini aturan."
"Dan yang tidak kalah penting, bagi anak baru, kalian hanya punya waktu empat bulan untuk boleh
berbicara bahasa Indonesia. Setelah empat bulan, semua wajib berbahasa Inggris dan Arab, 24
jam. Percaya kalian b isa kalau berusaha.
Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia."
Aku kembali mengganggu Raja. "Bagaimana mungkin aku bisa bahasa asing dalam empat bulan?"
"Bos, kau dengar dan percayalah sama Kiai Rais. Puluhan tahun dia melakukan ini dan selalu
membuktikan dia benar, selama kita mengikuti aturannya," bisik Raja. Matanya melirik bagian
keamanan yang mendelik karena kami berbicara ketika Kiai Rais berpidato.
"Apalagi semua akan berpihak kepada kita. Bahkan ikan paus di lautan saja ikut mendoakan kita,"
katanya berbisik ke telingaku.
"Belajar di sini tidak akan santai-santai. Jadi, niatkanlah berjalan sampai batas dan berlayar sampai
pulau. Usahakan memberi percobaan yang lengkap. Ada yang tahu percobaan yang lengkap?"
tanya Kiai Rais seakan bertanya kepada kami satu-satu.
27 Sapta Siaga Tuduhan Palsu lengkap di cerita-silat.mywapblog
Kami semua diam dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Seorang wali murid pernah memberi nasehat kepada anaknya yang sekolah di PM. Anakku, kalau
tidak kerasan tinggal di PM selama sebulan, cobalah t iga bulan, dan cobalah satu tahun. Kalau
tidak kerasan satu tahun, cobalah tiga atau empat tahun. Kalau sampai enam tahun tidak juga
kerasan dan sudah tamat, bolehlah pulang untuk berjuang di masyarakat. Ini namanya percobaan
yang lengk (http://cerita-silat.mywapblog.com)
28Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ap." Kami mengangguk-angguk terkesan dengan perumpaman ini.
"Sebelum kita tutup acara malam ini, mari kita berdoa untuk misi ut ama hidup kita, yaitu rahmatan
lil alamin, membawa keberkatan buat dunia dan akhirat," ucap Kiai Rais sambil memimpin sebuah
doa. Amin bergema meliputi udara aula ini.
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan sebelum beristirahat di kamar masing-masing dan memulai misi besar kalian besok pagi:
menuntut ilmu, mari kita teguhkan niat dengan membaca Ummul Al-Qurann dan dilanjutkan
menyanyikan bersama himne sekolah kita. Al-Fatihah... "
Segera setelah Al-Fatihah ditutup dengan kata amin yang khusyuk, aula diselimut i bahana sebuah
himne yang mulai lamat-lamat dengan syahdu tapi kemudian tempo meningkat dengan ketukan
yang keras dan optimis: Kami datang dari semua sudut bumi Untuk menjadi gelas yang kosong
Yang siap di si Mengharap ilmu dan hikmah
Dengan hati yang lapang Dari kebijakan para guru kami yang ikhlas Di Pondok Madani yang damai
Walau dengan referensi not sendiri-sendiri, kami bernyanyi dengan sepenuh jiwa dan tenaga.
Tepuk tangan yang panjang dan membahana membuat dadaku bergetar-getar.
?"" Shopping Day Usai malam pertama Pekan Perkenalan, kami berbondong kembali ke asrama. Kak Iskandar, rais
furaiah, sebutan buat ketua asrama, memberi komando untuk mengikutinya.
"Walau kalian sebelumnya telah ditempatkan di asrama AlBarq, tapi belum resmi diterima sebagai
anggot a asrama. Menyanyikan lagu h imne pondok yang dipimpin langsung oleh Kiai Amin Rais adalah penanda
bahwa kalian sekarang resmi menjadi bagian dari asrama Al-Barq. Selamat!" ujarnya kepada kami
di depan pintu asrama. "Sebelum tidur, kami akan bacakan cjanun, aturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar.
Pelanggaran pasti akan diganjar sesuai kesalahannya. Dan ganjaran paling berat adalah
dipulangkan dari PM selama-lamanya," katanya tegas.
Kami berpandang-pandangan melihat keseriusannya.
1 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Kesalahan apa sih membuat seorang bisa sampai dipulangkan"
Al-Barq adalah bangunan memanjang dengan koridor berbentuk huruf L. Kamar-kamar berjejer di
sepanjang koridor. Bangunan sederhana ini terlihat bersih dengan ubin tua yang masih mengkilat dan lis kayu kokoh
bercat hijau. Ukuran kamar kami lebih besar dari setengah lapangan bulut angkis dan aku tempati
bersama 30 murid lainnnya.
Seisi kamar sudah berkumpul duduk di tengah ruangan yang kosong. Semua t as dan koper kami
singkirkan ke pinggir Aku juga mengacung. "Kak, kenapa kita tidak shalat berjamaah di masjid
saja?" "Tentu kita berjamaah di masjid, tapi hanya Maghrib saja.
Sisanya kita lakukan di kamar, karena ini juga bagian dari pendidikan. Setiap orang akan mendapat
giliran menjadi imam. Setiap kalian harus merasakan menjadi imam yang baik. Semua orang boleh
memberi masukan kalau ada yang salah," jelas Kak Is.
"Oya, satu hal yang penting kalian ingat terus adalah: selalu pasang kuping untuk mendengarkan
jaras atau lonceng. Lonceng besar di depan aula itulah pedoman untuk semua pergantian kegiatan," katanya lagi.
"Ingat, kamar ini sekarang milik kalian bersama. Kamar ini tempat kalian tidur, shalat, dan belajar.
Maka jagalah seperti menjaga rumah kalian sendiri. Besok kita akan p ilih ketua kamar serent ak
dan membuat jadwal piket kebersihan," pidato Kak Iskandar sebelum mematikan lampu listrik besar
di kamar kami. Seketika kamar temaram. Hanya tinggal sebuah lampu tidur, sebuah lampu semprong minyak tanah
yang kerlap kerlip karena apinya diayun-ayun angin malam di ujung kamar. Jendela kamar dibiarkan
terbuka, memerdekakan udara menjelang musim hujan yang sejuk keluar masuk.
Sepotong rembulan pucat mengintip dari jendela. Hari ini aku segera pulas tertidur walau hanya
beralas sajadah. Malam ini aku bermimpi terdampar di sebuah pulau yang permai.
Perahuku bocor dan karam. Aku menemukan ratusan kotak-kotak besi, yang ketika kubuka semua
isinya adalah gulungan demi gulungan kertas qanun.
?"" Awal tahun ajaran, PM diserbu kesibukan luar biasa. Semua orang tampak berjalan cepat dan
berseliweran mengerjakan berbagai urusan masing-masing. Buat anak baru seperti aku, kesibukan
utamanya belanja buku dan keperluan sekolah lain.
2 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Dalam amplop tanda kelulusan ujian yang kami terima beberapa hari lalu ada selembar kertas yang
bertuliskan keperluan yang wajib kami beli sebagai murid baru. Aku buka lipatan kertas folio ini. Ini
lis belanja w ajib: Daftar Belanja Murid Semester Pertama PM
Buku 1. Kamus Arab-Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus
2. Kamus Inggris-Indonesia oleh Hassan Shadily-John M.Echols
3. Al-Quran 4. Durusul Lughoh Arabiah dan Muthala'ah
5. Nahwu Sharaf 6. English Lesson 7. English Grammar 8. Paket buku pendukung jilid 1
Perlengkapan pakaian 1. Sarung 2. Ikat Pinggang 3. Kopiah 4. Baju Pramuka 5. Baju olahraga (kaos dan training pack)
6. Papan nama untuk disematkan di baju. Latar belakang ungu untuk anak kelas 1. Waktu
pembuatan 10 menit. Perlengkapan lain: 1. Shunduk, atau lemari kecil dengan kunci
2. Firash, kasur lipat 3 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Kalam kaligrafi "Kak, di mana saya bisa beli barang-barang ini?" tanyaku pada Kak Iskandar.
"Semua tersedia lengkap di toko koperasi di sebelah ruang pertemuan. Kalau saya jadi kamu, saya
akan berangkat sekarang, karena antrinya panjang," jawab Kak Is.
Atang, Dulmajid, Raja, Baso, dan Said ternyata teman sekamarku. Kami sepakat untuk belanja
bersama. Sekitar 200 meter dari asrama ada bangunan koperasi bertingkat dua.
Tingkat satu khusus toko buku dan tingkat dua untuk segala kebutuhan lainnya. Di atas pint u
masuknya yang terbuka lebar tertulis "Student Cooperative", lalu diikut i tulisan Arab yang sangat
artistik sehingga aku kesulitan membacanya. Tapii aku yakin artinya kira-kira koperasi pelajar.
Tingkat satu lebih mirip gudang buku dari pada toko buku.
Setiap bagian dinding tertutup gundukan buku yang hampir menyentuh langit-langit. Para petugas
yang berambut cepak seperti bint ara polisi dengan gesit membantu para murid yang membeli buku
t ahun ajaran ini. Di sebuah sudut, tumpukan ini menjelma seperti pilar-pilar Yunani dengan
balok-baloknya berwujud buku-buku setebal 20 sentimeter. Semua buku bertuliskan huruf Arab
yang tidak bisa aku baca.
"Itu dia kamus dan ensiklopedia Arab yang paling terkenal, namanya Munjid. Nanti kalau sudah 3
tahun kita baru boleh mempelajarinya," Raja dengan bangga berbisik kepadaku.
Matanya nanar menatap buku ini. Dasar si kutu buku. Kalaulah ada uang, mungkin dia langsung
membeli dua Munjid sekaligus.
Di sebelah lain ada tumpukan buku yang lebar-lebar dan tebal, uniknya semua halamannya
berwarna kuning. Tampak sekilas seperti buku lama. Tapi sampulnya tampak baru sungguh indah,
berwarna marun dengan kelim-kelim keemasan mengelilingi judulnya yang berbahasa Arab.
Kembali tanpa dimint a Raja menjelaskan panjang lebar.
"Eh, kalian tahu nggak, inilah buku yang melihat hukum Islam dengan sangat luas. Buku Bidayatul
Mujtahid yang ditulis ilmuw an terkenal Ibnu Rusyd atau Averrous, cendekiawan berasal dari
Spanyol. Isinya adalah fiqh Islam dilihat dari berbagai mazhab, tanpa ada paksaan untuk ikut salah
satu mazhab. Saya t ahu PM membebaskan kita memilih.
Sayang, baru 2 t ahun lagi kita boleh mempelajarinya." Wajah Raja tampak kecewa sangat serius.
"Nah kalau yang itu aku sudah punya, kemarin aku bawa ke kelas. Kau ingat, kan"
Yang aku angkat di muka kau itu," dengan logat Medan yang kental, melihat Oxford Advanced
Learners Dict ionary. Padahal menurut daftar buku wajib, kamus ini baru akan kami pakai tahun
depan. Aku segera mengikuti antrian memesan buku. Kak Herlambang, begitu tulisan di papan namanya,
4 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
tersenyum kepadaku. "Faslun awwaU Kelas satu, kan" Dari mana asalmu?"
tanyanya basa-basi. Tanpa dimint a tangannya segera bekerja cepat menjangkau buku dari
beberapa rak yang berjejer di belakangnya. Dalam sekejap, sebuah tumpukan buku, berisi
judul-judul yang ada dalam daftar belanjaku telah siap.
"Thayyib. Baiklah. Ini buku wajib kelas satu. Ada yang lain?" tanyanya.
Selesai dengan buku, kami naik ke lantai dua untuk membeli kasur lipat dan seragam.
Menurut aturan, kami punya 4 seragam. Sarung dan kopiah untuk waktu shalat, baju pramuka untuk
hari pramuka, baju olahraga untuk lari pagi dan acara bebas, serta kemeja dan celana panjang rapi
untuk sekolah. Kami sudah membelinya semua.
"Semua beres, kecuali lemari kecil. Apa istilahnya tadi"
Suluk?" tanya Said pada Raja, yang selalu memamerkan kehebatan kosa kata Arab dan Inggrisnya.
"Bukan suluk, tapi shunduq, pakai shad," jawab Raja dengan tajwid yang sangat fasih.
"Arti harfiahnya kotak, bukan lemari. Ini tempat pakaian, buku, dan segala macam yang kita punya.
Lemari kayu kecil yang lebih menyerupai kotak," terang Raja dengan bersemangat. Dia selalu
dengan senang hati berbagi informasi apa saja, melebihi dari apa yang kami tanya. Dan sepertinya
dia sangat menikmati momen lebih tahu dari kita semua.
Bagusnya, dia t idak pelit dengan informasi.
"O iya, shu-nn-du-uq," eja Said mencoba mengikuti kefasihan Raja.
Tempat membeli lemari kecil ini di sebuah lapangan di sebelah perpustakaan. Di pinggir lapangan
terpancang spanduk ber-tuliskan: Shundug lil baiFor Sale. Di tengah lapangan tampak menggunung
lemari bermacam warna yang ditumpuk-tumpuk. Ukurannya mulai dari dari tinggi setengah meter
sampai setinggi badan. Selain lemari baru, ada juga yang bekas, dan tentunya lebih murah. Tampak beberapa murid lama
memiku l dan mendorong lemari lamanya dan menjual kepada pengurus koperasi. Sedangkan
beberapa anak lain membopong lemari ke asrama mereka. Bagaikan tumbukan butir-butir gula yang
dirubung oleh semut, lemari-lemari ini datang dan pergi.
Melihat uang di kantong terbatas, aku memutuskan untuk membeli lemari bekas saja. Untuk itu aku
harus memilih baik-baik lemari y ang masih bisa d ipakai. Ada kuncinya yang rusak, engsel, ada
yang semuanya bagus, Tapii baunya mint a ampun, ada yang sempurna, tapi kakinya patah. Ada
yang semuanya bagus, tapi warnanya kuning membakar mata. Belum ada yang pas.
"Y a akhi, bla bla bkz," kata seorang senior sambil mengetok-ngetok jam tangannya. Aku bengong
tidak mengerti, yang aku tahu jamnya menunjukkan 16.50 siang.
Melihat anak baru terbengong-bengong, dia baru ingat kalau dia masih berbicara bahasa Arab. "Y a
5 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
akhi, silakan pilih sebelum kehabisan waktu. Sebentar lagi lonceng ke masjid!"
teriak senior itu melihat aku masih berlama-lama memilih.
Di antara tumpukan lemari tua berwarna hitam, aku menemukan sebuah lemari hijau tua setinggi
pinggang yang kokoh dan mulus. Aku segera membayar kepada senior tadi sebanyak 15 ribu
rupiah. Sementara Atang, Baso, Dulmajid, Raja dan Said juga t elah menemukan pilihan mereka.
Matahari telah tergelincir di ufuk dan gerimis merebak ketika kami beriring-iringan menggotong
lemari masing-masing melintasi lapangan besar menuju asrama kami. Said yang tinggi besar
dengan gagah dan enteng membopong lemarinya. Atang yang membeli lemari yang lebih besar
tampak terengah-engah menahan beratnya, sambil membetulkan kacamatanya yang melorot terus.
Raja, Baso dan Dulmajid, walau berbadan tidak besar memperlihatkan kekuatan alami mereka
sebagai anak kampung yang tangguh.
W alau kepayahan, mereka maju dengan pasti. Aku yang paling kurus berjalan terseok-seok paling
belakang, bergulat dengan lemari yang beratnya serasa 3 kali berat badanku.
Sergapan Pertama Tyson Teng... teng... t eng... teng.... Suara lonceng besar di depan Cis gedung pertemuan bergema
sampai jauh. Belum lagi gaungnya padam, semua penjuru sepi senyap, tidak ada orang satu pun.
Kami berpandang-pandangan dengan kalut . Kalau mengikuti qanun yang dibacakan tadi malam,
lonceng 4 kali d i jam 5 artinya t anda semua aktifitas harus berhenti dan semua murid sudah harus
ada di masjid dengan pakaian rapi dan bersarung.
Jangankan duduk manis bersarung di masjid. Kami masih menggotong lemari di tengah lapangan.
Artinya kami telah melawan perint ah lonceng, alias terlambat. Dari kejauhan, aku lihat asrama kami
seperti rumah hantu, kosong, sepi, tak satu jiwa pun.
Kami seperti sekawanan tentara yang terjebak di padang terbuka, tanpa perlindungan sama sekali.
Kami telah dengan telak melanggar qanun di hari pertamanya berlaku. Aku hanya bisa berharap,
sebagai murid baru kami bisa dimaafkan terlambat barang 5 menit. Lagi pula, sejauh ini tidak ada
petugas keamanan yang mencegat kami.
"Ayo lebih cepat!" seru Said di posisi paling depan.
Posisinya seperti pelari sprint yang memimpin paling depan.
Ringan, enteng, cepat. "Kumaha cepat, ini beratnya mint a ampun!" balas Atang sambil menggerutu. Dia menyeret
lemarinya di tanah. Raja tidak bisa menyembunyikan bahasa aslinya, yang terdengar hanya "bah,
bah, bah!" berkali-kali.
6 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Aku, Baso dan Dulmajid mendengus-dengus dari belakang.
"Tenang akhi, sebentar lagi kita akan selamat. Asrama hanya tinggal 100 meter lagi. Insya Allah
tidak akan kena hukum. Sedikit lagi...," kata Said dengan optimis memberi kami harapan.
Harapan yang terlalu indah. Tiba-tiba... uksss... Sebuah bayangan hitam berkelebat kencang dan
berhenti mendadak di depan kami yang sedang ngos-ngosan. Jejak sepedanya membentuk
setengah lingkaran menghalangi jalan kami.
"Qifya akhi... BERHENTI SEMUA!" suara keras mengguntur membuat kami terpaku kaget. Rasanya
darah surut dari wajahku. Gerimis semakin rapat. Langit senja semakin kelam.
Duduk tegap di sadel sepedanya, kami melihat laki-laki muda, berjas hitam, berkopiah, sebuah
sajadah merah tersampir di bahu kirinya. Di dadanya tersemat pin perak bundar berkilat bertuliskan
"Kismul Amni" - Bagian Keamanan.
Kalau ini film koboi, dia adalah sherif berwajah keras yang siap mengokang pistolnya. Dengan
enteng dia meloncat dari sadel.
Sepedanya diberi kaki. Langkahnya cepat menuju kami. Sret...sret... sret, sarungnya tidak
mempengaruhi keligatan gerakannya.
Perawakannya pendek gempal. Menyerupai sang juara t inju kelas berat dunia Mike Tyson - tapi
dengan ukuran lebih kecil.
Geraknya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami. Bagai pemburu ulung, raut
mukanya waspada dengan gerakan sekecil apa pun.
"Maaza khataukum. Apa kesalahan kalian?" tanyanya dengan suara seperti guruh.
Kami gelagapan. Tidak siap menjawab pertanyaan int erogatif di senja bergerimis dalam keadaan
kepayahan ini. "Apa salah kalian!?" berondongnya sekali lagi, tidak sabar.
Gerimis bercampur dengan percikan ludahnya. Mukanya maju.
Napasnya mengerubuti mukaku. Aku katupkan mataku rapat-rapat. Apa yang akan dilakukan T
yson ini padaku. Melihat aku menutup mata, dia membentak lebih keras,
"Jangan takut dengan manusia, JAWAB!"
Aku tidak punya pilihan lain untuk memberanikan diri menjawab. Ragu-ragu.
"Maaf... maaf... Kak, kami terlambat. Tapi hanya sedikit Kak, 5 menit saja. Karena harus membawa
7 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
lemari yang berat ini dari lapangan..."
"Sudah berapa lama kalian resmi jadi murid di PM?" katanya memotong kalimatku.
"Dua... dua... hari Kak," jawabku terbata-bata.
"Baru dua hari sudah melanggar. Bukankah kemarin malam qanun dibacakan dan kalian t ahu tidak
boleh terlambat." Kami membisu, tidak bisa menjawab. Hanya napas kami yang naik t urun terdengar berserabutan.
"Kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit. 1 menit atau 1 jam, terlambat adalah
terlambat. Ini pelanggaran."
Sambil membaca papan nama kami satu-satu, kakak mirip Tyson ini menyalak lagi.
"Ingat, Alif, Said, Atang, Dulmajid, Baso dan Raja, saya akan selalu ingat nama kalian. Jangan
diulangi lagi!" Kami bernapas sedikit lega. Gelagatnya, kami akan lolo s dari hukuman dan hanya diberi
peringatan. Sambil mengucapkan terima kasih dan merunduk-rundukkan kepala, kami kembali
beringsut membawa lemari-lemari sialan ini.
"Hei, nanti dulu, kalian tetap dihukum. Di PM tidak ada kesalahan yang berlangsung tanpa dapat
ganjaran!" hardik si Tyson.
Kami t erkesiap. Mukaku setegang besi.
"Ambil posisi berbaris bersaf. Tangan kanan kalian di bahu kiri t eman. CEPAT!"
Kami patuh. Membuat barisan. Aku berdiri paling ujung dekat T yson, menyusul Atang dan Said.
Sementara itu, t anpa kami sadari, ratusan murid yang sedang membaca Al-Quran di masjid lantai
dua melihat kami dengan ekor mata. Kami menjadi tontonan gratis menjelang Maghrib.
"Sekarang, pegang kuping teman kalian sebelah kiri.
CEPAT !" Kami menurut. Aku bergumam dalam hati, kalau cuma jewer gak apa-apa. Kalah menyakitkan
dibanding hukuman rotan waktu mengaji d i kampung dulu. Yang berat itu rasa malu ditonton
ratusan orang... Belum selesai gumamanku, kuping kiriku berdenging dan panas. T angan Tyson dengan keras
memelint ir kupingku. "Jewer kuping teman sebelahmu sekuat aku menjewermu!"
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
8 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Belum dia selesai, aku telah menjewer kuping Atang, sementara Atang menjewer kuping Said.
Selanjutnya Said memegang kuping Raja yang memegang kuping Dulmajid yang memegang kuping
Baso. Semakin kencang jeweran yang kuterima, semakin kencang aku menjewer Atang dan
semakin ganas Atang menjewer Said, begitu seterusnya. Sementara itu yang paling ujung, Baso
yang malang, tidak punya mitra untuk saling jewer menjewer. Dia hanya meringis-ringis tanpa bisa
melampiaskan kesumatnya. Dengan sudut mata aku lihat dia akhirnya menjewer pintu lemarinya
yang keras. Dari lantai dua masjid, beberapa orang tampak cekikikan.
Mereka menutup mulut dengan kopiah, tak kuasa menahan tawa. Sementara itu, di bawah tangga
masjid aku melihat seorang laki-laki berbaju putih, bersorban Arafat, berdiri diam sejak kami dihent
ikan Tyson tadi. Bagai elang mengancam ayam kampung, matanya tajam mengawasi kami.
Siapakah gerangan dia"
Itulah perkenalan pertama kami dengan orang yang aku gelari Tyson. Dia murid senior bernama
lengkap Rajab Sujai dan menjabat sebagai kepala Keamanan Pusat, pengendali penegakan disiplin
di PM. Kerjanya berkeliling pondok, pagi, siang dan malam dengan kereta angin. Dia tahu segala
penjuru PM seperti mengenal telapak tangannya. Begitu ada pelanggaran ketertiban di sudut PM
mana pun, dia melesat dengan sepedanya ke tempat kejadian dan langsung menegakkan hukum di
tempat, saat itu juga, seperti layaknya superhero. Dia irit komunikasi verbal, tapi tangannya cepat
menjatuhkan hukuman. Keras tapi efisien. T idak heran, semua murid menakut inya. Baru melihat
sepeda hitam berkelebat, hidup rasanya sudah was-was. Dan bagi kami berenam, Tyson kami
nobatkan sebagai horor nomor satu kami.
Agen 007 Dengan kuping masih terasa kembang-kempis, kami terbirit-birit berganti pakaian shalat dan berlari
ke masjid jami. Di masjid kami yang gagah ini setiap sore berhimpun 3 ribu pelajar untuk menyambut datangnya
azan Maghrib. Udara diliputi dengungan yang tidak habis-habisnya ketika 3000
mulut sibuk membaca. Memang kegiatan yang boleh kami lakukan di masjid ini hanya dua, yaitu
membaca buku pelajaran dan membaca Al-Quran.
Setelah lelah beraktifitas sejak jam 4.30 subuh, mempertahankan kepala tetap t egak dan mata
tetap t erbuka sungguh sebuah perjuangan maha berat. Apalagi, masjid kami punya langit-langit
tinggi sehingga sirkulasi udaranya sangat baik dan senantiasa berhawa sejuk. Dengungan suara
ribuan orang mendaras Al-Quran malah menjadi seperti dendang pengantar t idur yang mujarab.
Beberapa kepala mu lai terlihat doyong, terangguk-angguk, Di sebelahku Said tampak benar-benar
dalam kondisi yang sangat nestapa. Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya ke arah depan, lalu
ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada.
9 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Aku menyikutnya beberapa kali. Setiap kali d ia terlonjak kaget dan buru-buru meneruskan
membaca Al-Quran yang dipegangnya. Apa boleh buat, baru dua baris yang terbaca, kepala
kembali jadi ayunan. Bosan dengan upaya yang gagal, aku menyerah dan membiarkan Said
berayun-ayun terus. Tiba-tiba saja, badan Said yang besar rebah ke samping kirinya dengan bunyi gedebuk. Said yang
segera terbangun kaget sekali menemukan dirinya dalam posisi setengah tidur.
Tapi dalam h itungan kejapan mata, laksana bola karet raksasa, dia melent ing bangun ke posisi
duduk lagi. Mukanya digelengkan-gelengkan, tangan menyeka ujung mulut yang basah oleh iler.
Beberapa teman yang menjadi saksi mata rubuhnya sang Said tertawa cekikikan. Sementara orang
yang hampir diserempet Said bersunggut-sungut sambil mendelik.
Said menyembah-nyembah minta maaf.
Untunglah, di masjid kami ada "razia ngantuk" untuk mencegah wabah tidur massal ribuan kepala.
Kakak-kakak kelas kami dari Bagian Pengajaran mengadakan inspeksi dari saf ke saf memastikan
tidak ada yang mencuri waktu tidur sebelum Maghrib.
"Qum... -ya akhi, qum... Bangun... ayo... bangun!" seorang bagian pengajaran berdiri di depan
anak yang tertidur tidak jauh dari aku. Ujung sajadahnya yang berumbai-rumbai digerakkan untuk
menggelitik hidung yang mengantuk sampai mereka bangun.
Shalat Maghrib di masjid jami' dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena hampir semua orang
hadir - kecuali yang sakit atau pura-pura sakit - waktu seperempat jam setelah shalat dimanfaatkan
untuk memberikan maklumat penting bagi semua warga. Kismul I'lam, bagian yang khusus
mengurusi pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan kepercayaan diri,
mereka membacakan pengumuman dengan teratur dan suara bening. Bahasa yang dipakai untuk
pengumuman berganti-ganti setiap minggu, Arab atau Inggris.
Di PM memang bahasa resmi pergaulan setiap minggu diganti antara dua bahasa ini. Sementara itu
kalau pengumuman bersifat umum dan berlaku buat kelas satu, pengumuman dibacakan dalam
bahasa Indonesia. Isi pengumuman ini sungguh gado-gado. Mulai pengumuman undangan pertemuan para anggota
band, aktor, pesilat, para kali-grafer, pertemuan wali kelas, perubahan jadwal kelas, pemenang
lomba majalah dinding minggu ini, permint aan doa buat keluarga PM yang sakit mulai dari Sorong
sampai Aceh, hingga doa buat alumni yang meninggal. Namun dari semua itu, maklumat yang
paling ditunggu oleh semua orang sebenarnya hanya ada dua.
Pertama, ditunggu dengan penuh harap adalah daft ar penerima wesel dan paket hari ini. Banyak
yang berdoa khusyuk setelah Maghrib agar hari ini dia menjadi orang terpilih menerima wesel. Tapi
sayang, tentu tidak semua yang berdoa mendapatkannya.
"Ayyuha thalabah. Para siswa semua. Penerima wesel hari ini harap segera datang ke bagian
sekret ariat. Nama-namanya adalah...," ucap Kak Sofyan memulai kabar gembira. Semua orang
memasang kuping baik-baik. Tiba-tiba Said mengangkat tangan dengan gembira, menggumamkan
alhamdulillah dan berteriak yes, sambil tangannya ditarik ke bawah, layaknya striker habis
mencetak gol tunggal di injury time. Doanya dikabulkan Tuhan yang Maha Pemurah. Kali ini Said
yang menjadi orang beruntung mendapat wesel.
10 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Kedua, berita yang juga ditunggu tapi dengan penuh kekhawatiran adalah pengumuman siapa saja
yang harus menghadap ke mahkamah keamanan, pendidikan dan bahasa untuk diadili dan
mendapat hukuman sesuai kesalahannya.
Hampir pasti, yang dipanggil adalah pesakitan yang bersalah.
Setelah berhenti sebentar, Kak Sofyan menyebutkan judul pengumuman kali ini, "Panggilan ke
Mahkamah Keamanan Pusat". Masjid yang agak riuh sontak diam membisu.
"Nama-nama ini d iharap segera menghadap ke bagian keamanan segera..." Suaranya empuk,
ironis sekali dengan isi pengumumannya.
"Dari kelas satu, namanya adalah: Alif Fikri, Said Jufri, Dulmajid, Raja Lubis, Baso Salahuddin dan
Atang Yunus." Tanganku dingin. Semua darahku rasanya terisap ke jant ung. Rupanya azab kemalangan kami
tidak berakhir d i urusan putar memutar daun telinga satu jam yang lalu. Kami juga dipanggil ke
mahkamah keamanan untuk diadili atas kesalahan terlambat 5 menit. Said yang dari tadi menebar
senyum ke kiri dan ke kanan akibat eforia menerima wesel, bingung mengubah mimik muka. Dari
senang menjadi kalut .Matanya yang besar berputar-put ar, kening berkerenyit, senyumnya
mampat. "Masya Allah, padahal aku tadi hanya berdoa dapat wesel,"
bisik Said ke telingaku. Kumis suburnya bergetar.
Sebuah sejarah baru telah kami torehkan. Kami berenam adalah anak baru yang pertama
mendapat kehormatan menjadi pesakitan di mahkamah keamanan pusat. Bagi yang dipanggil ke
mahkamah, tidak ada pilihan lain kecuali hadir.
Tidak bisa sembunyi, lari, mangkir, atau beralasan sakit.
Akhirnya, dengan membaca Alfatihah dan Ayat Kursi, kami menguatkan diri dan berduyun-duyun
menuju ruang pengadilan angker ini.
"Katanya, ini kantor yang paling disegani, atau mungkin ditakuti," bisik Raja ketika kami
beringsut-ingsut di depan kantor dengan papan nama, "Kantor Kemanan Pusat". Dengan
takut-takut, kami melongok ke dalam ruangan yang cukup besar ini. Beberapa orang tampak duduk
di dalam. Wajah mereka senantiasa siaga, serius, dipenuhi aura otoritas dan disip lin. Tampang,
postur dan pakaian mereka berbeda-beda, tapi mereka punya kesamaan: semua punya kumis ijuk
melintang yang subur. Di dind ing tergantung peta pondok, jadwal piket, dan lima senter besar. Di luar ruangan, terparkir
rap i tujuh sepeda ontel, berwarna hitam mengkilat, lengkap dengan lampu besar dan emblem
kuning bertuliskan "Kismul Amni-Security Department," persis seperti yang dipakai Tyson tadi.
11 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Mungkin para penunggangnya merasa naik kuda layaknya sherif d i film koboi. Mungkin karena
itulah para kakak kelas kami menggelari mereka "the magnificent seven", julukan buat tujuh jagoan
pembela keamanan di film koboi yang pernah aku tonton di acara Film Akhir Pekan TVRI.
Kantor keamanan pusat bisa dianggap seperti Mabes Polri, sekaligus ruang pengadilan versi PM.
Dari sini berhimpun segala macam telik sandi dan penegakan hukum. Selama 24
jam set iap hari, mereka inilah yang menjaga kedisiplinan dan menegakkan aturan di PM.
Menyambut kami, berdiri tegak di depan pintu, adalah Tyson sendiri. Kami digiring duduk ke kursi
mahkamah yang berjejer di depan meja besar. Di seberang meja dua kakak bagian keamanan
lainnya memandang kami d ingin samb il melint ing kumis.
"AhKi. Kalian berenam, coba dengar. Awal dari kekacauan hukum adalah ketika orang meremehkan
aturan dan tidak adanya penegakan hukum. Di sini lain. Semua kesalahan pasti langsung dibayar
dengan hukuman. Sebagai murid baru, kalian harus mencamkan prinsip ini ke dalam hati. Karena
itu, setelah mempertimbangkan kesalahan kalian, mahkamah ini akan menambah hukuman supaya
kalian jera," kata Tyson dengan suara serius.
Dia berhenti. Sejenak menyelinap hening yang tidak nyaman. Lalu dia meneruskan "Tolong
hukuman ini diterima dengan ikhlas sebagai bagian dari pendidikan," kali ini suaranya dibikin rendah
tapi mengancam. Tiga pasang mata hakim ini mengurung kami.
Bulu kudukku merinding. Aku tak pernah membayangkan pilihan pemberontakanku untuk merantau
jauh ke Jawa, akan dilengkapi dengan pengadilan kebenaran oleh orang-orang seram berkumis
melintang ini. Dulmajid mengkerutkan badan dan menunduk sedalam-dalamnya, kepalanya hampir
menyentuh dengkulnya. Atang berkali-kali memperbaiki kacamatanya yang sebenarnya baik-baik
saja. Baso tampak merasa paling bersalah. Dia duduk pasrah dengan muka pucat. Raja yang
bersuara vokal kali ini hanya mampu berbisik lirih. Hanya Said yang mencoba terlihat gagah dan
tabah menerima keadaan ini. Sayang, kumisnya kali ini t ampak layu, kalah wibawa dengan kumis
para kakak keamanan. Kepala kami menunduk dalam, posisi duduk semakin berdempet-dempetan.
Mata aku picingkan, siap menerima yang terburuk.
"Kalian kami angkat sebagai jasus. Mata-mata," kata Tyson mengguntur. Tangannya cepat bergerak
membagikan kepada set iap orang dua kertas berukuran dua kali KTP. Aku menerimanya dengan
tangan gemetar dan basah.
"Dengarkan instruksi ana baik-baik. Saya tidak akan mengulangi, hanya sekali saja. Kertas yang
kalian pegang itu sangat menentukan masa depan PM. Di tangan kalianlah penegakan dan
kepastian hukum PM terletak," katanya menekan suaranya di setiap kata.
Aku membatin, apa-apaan ini, kami orang pesakitan yang telah melanggar aturan, kok malah
disebut memegang masa depan kepastian hukum PM.
"Kewajiban kalian adalah mengisi nama, kelas dan pelanggaran qanun yang dilakukan oleh siapa
saja yang ada di pondok ini dalam 24 jam ke depan. Setiap orang harus menemukan dua orang
pelanggar. Kalau kalian tidak berhasil menemukan dalam 24 jam, maka kalian akan mendapat
hukuman tambahan. Fahimta" Mengerti?" kata Tyson sambil mengedarkan pandangan.
Hening. Kami tidak ada yang bersuara. Aku lirik kawan-kawanku, wajah mereka masih terbenam,
12 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
tapi juga bimbang. Aku memberanikan bertanya.
"Kak, tapi kalau semua orang patuh dan tidak ada yang melanggar?" kataku setengah berbisik,
takut-takut. Dia menyeringai, kumis ijuknya yang subur menyembul-nyembul.
"Akhi, itulah tantangan kalian yang terberat dan tapi juga termulia. Memastikan sekolah kita disip lin
dengan zero tolerance, tidak ada toleransi," katanya datar.
"Kalau tidak berhasil, besok, jam 7 malam tepat kalian harus kembali ke sini. Ana akan kasih
tambahan dua tiket jasus lagi," katanya dingin menutup mahkamah yang aneh ini.
Jasus adalah bahasa Arab yang berarti mata-mata. Spion.
Seperti Roger Moore, Agent 007, yang menyaru dan diam-diam menyelusup ke sarang musuh
untuk mengumpulkan informasi rahasia. Entah bagaimana caranya, PM dengan cerdik menemukan
sebuah metode unik yang mengawinkan dua metode yang terpisah jauh: kepiawaian spionase
Roger Moore dan disiplin pondok. Tujuannya untuk menegakkan hukum dan disiplin.
Selain mirip Roger Moore, jasus juga mirip drakula.
Bayangkan, kerja jasus adalah bergentayangan mencari buruan siang malam. Korban yang digigit
drakula akan menjelma menjadi drakula juga. Pelanggar yang dicatat dan dilaporkan oleh jasus
besoknya diadili dan dihukum menjadi jasus juga. Seperti yang digariskan qanunt potensi
pelanggaran di pondok itu banyak. Mulai dari yang kecil-kecil seperti buang sampah sembarangan,
makan dan minum sambil berdiri, tidak memakai ikat pinggang, tidur di waktu jam jaga malam atau
jaga siang, pakai celana pendek, tidak pakai kopiah ke masjid, t idak pakai kemeja ke kelas,
memakai sarung ke kelas, atau memakai celana panjang ke masjid, mulai remeh temeh sampai
yang kelas berat seperti mencuri dan berkelahi.
Makanya, di tengah kesibukan di PM, kami selalu dituntut terus waspada dengan apa pun yang
kami lakukan yang mungkin melanggar qanun. Penetrasi pasukan jasus menjadi sangat luas dan
dalam, karena bisa saja ada di antrian kamar mandi, kift ir, kelas, acara olahraga dan segala aspek
kehidupan sant ri. Dinding, pintu, tanah, bahkan angin, bagai punya mata dan telinga.
Kami t idak pernah t ahu siapa yang sedang menjadi jasus d i antara kita. Jasus bisa muncul dalam
bent uk anak kelas satu yang berwajah innocent, sampai kelas enam yang berwajah boros. Untuk
kali ini jasus muncul dalam bentuk 6 murid baru yang masih ingusan.
Sebetulnya ada dua jenis jasus. Y ang pertama adalah jasus untuk keamanan dan kedisip linan
umum. Inilah posisi t ertinggi dalam dunia per-jasus-an. Itulah yang baru saja kami jabat, menjadi
jasus keamanan pusat. Misi kami adalah mencatat pelanggaran disiplin di semua sudut PM dan
kami laporkan segera ke kantor keamanan pusat. Penyerahan kartu yang sudah diisi adalah kunci
kami untuk merebut kembali kemerdekaan kami sebagai warga bebas. Posisi yang agak rendah
adalah jasus keamanan asrama, yang daya selusupnya hanya untuk kawasan asrama tertentu saja.
13 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Dan yang kedua adalah jasus bahasa. Gunanya memastikan tidak ada satu pun dari 3000 orang
murid mengeluarkan kata-kata dari mulut nya selain bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Indonesia
dan daerah haram hukumnya. Karena itu dibutuhkan bantuan pasukan jasus bahasa untuk beredar
di set iap sudut PM, "mengupingi" setiap perkataan yang tidak sesuai aturan.
Lantas bagaimana mencatat nama pelanggar" Tidak sulit, karena semua orang di PM harus selalu
memakai papan nama di sebelah kiri atas bajunya. Papan nama ini punya warna berbeda sesuai
dengan kelasnya. Kelas satu ungu, kelas tiga merah dan sebagainya. Jadi siapa pun di mana pun
selalu waspada karena nama dan kelasnya telah terindentifikasi.
Bagaimana kalau t anpa papan nama" Itu juga berita baik bagi jasus, karena melenggang tanpa
papan nama adalah pelanggaran dan layak untuk dilaporkan ke keamanan. Proses ini terus
berlangsung sepanjang waktu, 24 jam, 365 hari dalam set ahun, sehingga lama kelamaan
pelanggaran menurun drastis.
Aku sempat bimbang. Kenapa orang diajar untuk menjadi whistle blower, orang yang mencari
kesalahan orang lain dan kemudian melaporkan kepada pihak yang berwajib" Ini kan bisa menjadi
fitnah. Apakah ini akhlakul karimah yang diajarkan agama" Hal ini aku tanyakan kepada Ustad
Salman. "Akhi, sekarang semakin banyak orang menjadi tak acuh terhadap kebobrokan yang terjadi di
sekitar mereka. Metode jasus adalah membangkitkan semangat untuk aware dengan
ketidakberesan di masyarakat.
Penyimpangan harus diluruskan. Itulah inti dari ku llil haqqa walau kaana murran.
Katakanlah kebenaran walau itu pahit. Ini self correct ion, untuk membuat efek jera. Dan yang
paling penting, memastikan semua warga PM sadar sesadar-sadarnya, bahwa jangan pernah
meremehkan aturan yang sudah dibuat. Sekecil apa pun, itulah aturan dan aturan ada untuk
ditaati," jelas w ali kelas kami panjang lebar kepada seisi kelas.
Sejak keluar dari kantor mahkamah malam itu, kami berenam mengemban sebuah misi rahasia
sebagai anggota "pasukan elit jasus keamanan pusat".
"Wah ini dia, hati-hati semua, mungkin mereka ini sekarang telah jadi jasus," begitu olok-olok kawan
di asrama menyambut kami. Nama kami memang langsung terkenal sebagai pemecah rekor anak
baru yang dipanggil mahkamah keamanan pusat. Kami hanya tersenyum masam.
Tapi yang paling mengherankan aku adalah Said. Di saat kami semua merasa stres dengan jabatan
jasus ini, dia malah dengan senang hati menerima hukuman seakan-akan ini sebuah kado ulang
tahun. Anak keturunan Arab ini memang melihat segala sesuatu dari sisi putihnya, sisi positifnya,
dan dengan gampang melupakan sisi buruknya.
"Alah cuma gini aja kok bingung. Daripada masdhuk, coba kalian lihat ini sebagai permainan.
Bayangkan kayak permainan petak umpet. Cuma wilayah pencariannya berhektar-hektar dan waktu
bermainnya 24 jam. Asyik, kan"
Kapan lagi kita bisa main petak umpet sehebat ini," katanya dengan serius.
14 Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Marah Rusli online di cerita-silat.mywapblog
Baso paling meradang mendengar Said. "Bagaimana mungkin permainan. Ini hukuman kawan.
Jangan kau balikkan. Hukuman adalah untuk menebus kesalahan, bukan untuk dinikmati. Cara
berpikirmu aneh sekali." Baso geleng-geleng kepala tidak mengerti. Said hanya tersenyum lucu.
Kami yang lain tidak peduli karena sibuk dengan perburuan masing-masing.
Ketika kami dengan muka tertekuk mencari pelanggaran aturan, Said dengan penuh semangat dan
bersiul-siu l berkeliling pondok. Ketika kami stres t idak mendapatkan orang setelah makan siang.
Dia malah semakin penasaran dan termotivasi unt uk dapat korban. Ketika kami bersyukur set elah
mendapatkan pelanggar, Said malah ingin mendapatkan kartu tambahan, supaya dia bisa lebih
banyak menjaring orang bersalah. Aku tidak mengerti ini gejala sakit jiwa atau sebuah mental positif
dan mental pembela kebenaran dan penekan kemungkaran sejati.
Yang jelas, sesuai aturannya, kami telah bertekad sebelum Magrib besok, kami sudah menunaikan
misi ini dan siap bahu-membahu menjelajahi PM untuk mencari pelanggar aturan hari ini.
Bagai kawanan singa yang berburu mangsa di gurun Afrika, malam itu kami langsung beroperasi
secara berkelompok, berkeliling dari asrama ke asrama. Tapi akhirnya kami sadar bahw a berburu
secara berkelompok itu tidak efisien. Karena set iap orang harus menemukan orang yang berbeda.
Kami lalu sepakat untuk berpisah dan menjalankan misi sendiri-sendiri.
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum tidur kami bertemu di depan kamar.
"Alhamdulillah, syukurlah kawan, aku akhirnya dapat juga tadi.
Coba kalau tidak, bisa kebawa mimpi malam ini," kata Raja dengan muka sumringah. Dulmajid juga
Perguruan Sejati 1 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Bara Naga 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama