Ceritasilat Novel Online

Negeri Lima Menara 3

Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 3


harus berubah. Ingat anak-anakku, Allah berfirman, Dia t idak akan mengubah nasib sebuah kaum,
sampai kaum itu sendirilah yang melakukan perubahan. Kalau kalian mau sesuatu dan ingin
menjadi sesuatu, jangan hanya bermimpi dan berdoa, t api berbuadah, berubahlah, lakukan saat ini.
Sekarang juga!" Maradona Hapal Ouran "Selamat dan jaga etika menulis dan patuhi deadline kata Ustad Salman. Tapak tangan kurusnya
menjepit tanganku erat. Lalu bagai mengalungkan medali emas olimp iade, dengan hikmat dia
menyampirkan t anda pengenal dengan foto diriku dan tulisan berhuruf tebal di atas kertas
seukuran KTP: W artawan. Wow, perasaanku melayang dan senang bukan main. Rasanya saat itu
aku siap menjelma menjadi Goenawan Muhammad, bos TEMPO, majalah yang selalu menjadi
referensi kami. Aku baru saja menyelesaikan pelatihan 3 hari untuk menjadi wartawan majalah
kampus kami, Syams, matahari.
Untuk kegiatan luar kelas, aku memilih bergabung dengan majalah kampus karena aku sangat
tertarik belajar menulis dan memotret. Untuk urusan tulis-menulis ini, sebelumnya beberapa kali aku
menjadi finalis lomba menulis di PM. Ini yang membakar semangat, selalu menjadi finalis, tidak
pernah Padahal aku merasa cukup baik di b idang ini. Untuk memperkuat skill menulis inilah
kemudian aku melamar dan ikut tes menjadi wartawan Syams.
Setelah tercatat sebagai kuli tint a majalah kampus, aku banyak belajar dari ment or-mentor
menulisku, salah satunya Ustad Salman. Bahkan aku berani menulis puisi dan cerpen untuk di-kirim
ke majalah dan koran yang terbit di Jawa dan Sumatera. Hasilnya" Berkali-kali aku mendapatkan
amplop tebal koran-koran ini, berisi naskahku sendiri dan surat permint aan maaf belum bisa
memuat tulisanku dengan beraneka alasan. Tapi sesuai k ata sakti Yang aku percayai itu, man
jadda wajada, aku berusaha tidak kendor.
Mungkin memang tulisanku belum cukup bagus. Satu-satunya tulisan kirimanku yang dimuat oleh
surat kabar Jawa Pos adalah sebuah tulisan 3 paragraf: sebuah surat pembaca.
W alau hanya surat pembaca, aku tetap senang. Rasanya hebat sekali opini kita - walau dalam
bentuk surat pembaca - dimuat di koran besar dan dibaca banyak orang. Kliping surat pembaca ini
bahkan aku abadikan di dalam diariku, sebagai bukti t ulisanku juga bisa dicetak di luar PM.
Privilege yang aku punya sebagai w artawan kampus adalah izin untuk memegang kamera dan
menggunakannya. Tanpa menjadi anggota klub fotografi dan kru majalah, tidak ada yang boleh
menggunakan kamera di PM. Selain mengirimkan naskah tulisan, aku juga pernah mengirimkan
foto-foto kegiatan PM ke majalah-majalah Islam. Tapi tidak pernah dimuat.
Untuk urusan potret-memotret, aku sudah belajar sejak kelas lima SD. Pada suatu Idul Fitri, Ayah
menerima hadiah kamera Yashica bekas dari Pak Etek Gindo yang pulang berlibur dari Cairo.
1 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Ayahku senang bukan kepalang. Ke mana saja dia membawa kamera ini dan memotret apa saja.
Waktu itu jarang sekali orang punya kamera pribadi. Lama-lama dia menjadi fotografer tidak resmi
di acara-acara kampung kami.
Dia dengan senang hati memotret tanpa memungut bayaran.
Sedangkan orang sekampung juga senang ada tukang potret gratisan. Sedikit-sedikit Ayah
mengajariku memot ret dan mulai memberiku kepercayaan untuk memotret acara seperti
perpisahan kelas enam di SD, khatam Al-Quran di madrasah, sampai ke adikku.
Sedangkan untuk bidang olahraga, aku memilih silat dan sepakbola. Aku antusias sekali bergabung
dengan perguruan silat Tapak Madani. Apalagi dulu waktu kecil belajar silek kumango, salah satu
aliran silat Minngkabau dari lingkungan surau dan dikembangkan oleh Alam Basifat Syekh
Abdurahman A l Khalidi di Surau Kumango, Tanah Datar. Yang menarik perhatianku adalah
langkah sfefciraaF simbolkan sebagai langkah Alif, Lam, Lam, Ha dan Mim, Ha, Mim, Dai, yang
merupakan huruf Arab dari kalimat Allah dan Muhammad Sayang, jadw al latihan silat tidak cocok
dengan jadwal latihan menulis di Syams. Akhirnya aku memilih sepakbola saja. Kaca Kiai Rais,
"pilih lah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu sehingga bisa mengerjakannya dengan penuh
kesenangan dan hasil bagus." Memang kalau sudah main bola dan menulis, rasanya t idak ada
capeknya. Untuk sepakbola aku bergabung dengan tim asrama Al-Barq Banyak piala yang diperebutkan setiap
t ahun di PM, mulai dari lomba drama, pertunjukan musik, kesenian, majalah dind ing, pidato,
sampai lomba menghias asrama. Tapi tidak ada yang mengalahkan kepopuleran Liga Madani,
kompetisi antar delapan asrama yang berjalan sepanjang tahun dan berakhir dengan final d i setiap
akhir tahun. Juaranya menggondol Piala Madani, lambang supremasi sebuah asrama di PM.
Walau ikut latihan bersama tim asrama, aku bukan tim inti dalam kompetisi ini. Kata Kak Is, postur
tubuhku yang kurus kurang pas untuk bertarung keras dengan tim lain. Alhasil, aku menjadi anggota
tim penggembira untuk melayani latihan tim ut ama saja. Tapi itu saja sudah membuatku senang.
Apalagi tim kami sekarang berpeluang masuk babak selanjutnya setelah menang dua kali melawan
asrama lain dengan Said sebagai t op scoret dengan tiga gol.
Di Man injau dulu, tidak ada lapangan bola yang bagus untuk latihan. Aku dan teman masa kecilku
belajar main bola di atas tanah sawah yang habis disabit. Setelah akar pad i dibersihkan, tanah di
sawah itu berlubang-lubang, basah, dan liat. Ketika mengejar bola, sering kami terjerembab karena
kaki kami melesak ke dalam tanah yang gembur. Keadaan semakin parah ketika hujan turun.
Sawah yang gembur berlinang-linang dengan lumpur yang tebal. Risikonya semakin gampang
terpeleset dan berguling-guling di lumpur. Yang terjatuh jadi bahan ejekan dan sorakan kami.
Setelah lelah bermain, kami tidak ubahnya seperti kerbau keluar dari kubangan. Supaya t idak
dimarah i orangtua karena berlepotan tanah, kami mencebur dan berenang dulu di Danau Maninjau.
Badan boleh bersih, tapi sayang bau lumpur tidak bisa h ilang. Amak tetap tahu dan memarahiku
sampai d i rumah* Sebaliknya, Said dengan semangat memilih hampir semua cabang olahraga yang ada, mu lai silat,
sepakbola dan terakhir body building. Aku tidak habis pikir bagaimana dia membagi waktu latihan.
"Kalau diniatkan, semuanya bisa diatur akhi," jawabnya sambil bergegas memakai sepatu bola.
Belakangan dia menyerah juga dan hanya memilih 4 cabang olahraga.
2 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Atang yang memakai kacamata bergagang tebal seperti Clark Kent , sesuai bakatnya, langsung
larut dengan latihan-latihan teater yang menurutku terlalu dibuat-buat. Kalau bukan melolong-lolong
tanpa sebab dengan memasang muka masam dan serius, maka pemain teater ini bisa tertawa-tawa
sambil bergulingan. Sungguh t idak bisa aku mengerti. "Inilah namanya penjiwaan, dasar ente tidak
mengerti seni," begitu jawab sinis mendengar hujatanku. Tangannya membetulkan kacamatanya
yang tidak melorot. Selain teater, Atang mengaku punya sebuah keinginan terpendam, yaitu menjelma menjadi Teuku
yang membaca AlQuran dengan suara bak gelombang lautan yang bergelora.
W alau tahu modal suaranya yang pas-pasan, Atang tetap membulatkan tekad . untuk menjadi
anggota Jammiatul Qura, sebuah grup mengasah suara dan kefasihan melantunkan ayat Tuhan.
Namun, di antara kami berlima yang paling tahu apa mau adalah Raja. Bahkan sejak kami pertama
menjejakkan, kaki d i PM dia telah pernah bergumam akan belajar menjadi singa podium, yang
mampu membakar semangat pendengar, dalam berbagai bahasa dunia pula, seperti Bung Karno.
Untuk itu dia langsung bergabung dengan English Club yang mengajarkan bar gaimana berpidato,
berdiskusi, dan berdebat dengan baik.
Baso si pemilik photographic memory ini telah bertekad bulat untuk bisa menghapal tiga puluh juz
Al-Quran selama di PM segera bergabung dengan kelompok Thahfidzul Quran.
Sejauh ini, dia telah berhasil menghapal juz Amma yang punya surat pendek-pendek. Selainitu dia
juga terdaftar sebagai anggota kelompok Kajian Islam, kelompok diskusi yang membahas tentang,
ilmu-ilmu Al-Quran. Uniknya, pengganti olahraga, dia memilih ikut kursus pijit refleksi telapak tangan
dan kaki untuk pengobatan.
Sedangkan Dulmajid, tidak lain dan tidak bukan, memuaskan nafsu membacanya dengan
bergabung sebagai tim perpustakaan. Dengan menjadi bagian tim ini d ia b isa set iap hari dikelilingi
buku. Sesekali dia ikut membantu majalah Syams. Dan dalam rangka ing in menjadi seperti Icuk
Sugiarto, Dulmajid juga mendaftar sebagai anggota klub bulut angkis.
Dua kali seminggu aku mengikuti lari pagi bersama yang mirip karnaval kepagian. Tepat setelah
Subuh, ribuan murid dengan seragam olahraga asrama masing-masing berbaris rapi, dikomandoi
seorang petugas olahraga yang memakai peluit. Lari pagi hukumnya wajib, setiap tindakan tidak lari
pagi adalah kunjungan ke mahkamah.
Prit... prit. prit.. begitu irama peluit mereka agar langkah pasukannya teratur. Selama setengah jam
lebih kami lari pagi melint as jalan-jalan desa yang masih disaput kabut, melewati peternakan,
rumah-rumah sederhana, sawah, dan kali.
Kalau lari dilakukan bersama karena wajib, maka sepakbola kami wajibkan sendiri karena
permainannya yang heboh. Apalagi khusus masalah si kulit bundar ini, PM punya sebuah kompetisi antar asrama yang riuh.
Setiap pertandingan dipenuhi suporter kedua belah pihak. Selainitu, juga ada pertandingan
persahabatan PM Selection dengan para tim tamu yang datang dari kota-kota lain. Tidak
ketinggalan pula turnamen sepakbola yang lebih kecil untuk para ustad dan pegawai E almukanam,
3 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
pimpinan PM, Kiai Rais sendiri kabarnya akan main.
"Kapan ya kita bisa lihat beliau main bola?" kepada siapa-siapa ketika kami berkumpul di bawah
menara. "Mana mungkin Kiai Rais main bola. Beliau itu kiai dan hapal Quran pula," sergah Baso dengan
wajah paling hakul yakin yang dia punya.
"Main bola bukan barang haram, mungkin saja," sangkal Said agak kesal.
Kiai Rais adalah sosok yang bisa menjelma menjadi apa saja. Setiap Jumat sore, di depan ribuan
muridnya, sambil mengehlfci elus jenggotnya yang rapi, dia dengan telaten membimbing kami
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara yang sangat memikat. Pada kesempatan ini dia
memakai pakaian jubah put ih panjang, kopiah haji dan sorban tersampir di bahu, layaknya seorang
syaikh pengajar di Masjid Nabawi.
Tidak salah, dulu dia menuntut ilmu di Madinah University.
Selain menggondol gelar MA di bidang tafsir, dia juga menggondol pengakuan sebagai seorang
haafiz, penghapal AlQuran.
Setiap awal musim ujian, dia kembali t ampil di podium aula dengan gaya motivator yang membakar
semangat kami. Kali ini tanpa sorban, dia memakai kemeja putih, berdasi, bercelana hitam, sepatu
mengkilat dan memakai kopiah hitam.
Penampilannya pas sekali sebagai seorang administrator pendidikan yang terpandang. Matanya
mendelik-delik lincah, mengingatkan aku pada salah satu cita-cita profesiku dulu, menjadi Habibie.
Setelah mendengar dia bicara, rasanya apa saja bisa kami terjang dan pelajari.
Bagi Baso, Kiai Rais adalah kiai yang cocok jadi guru, bukan pemain bola.
Sampai pada suatu hari, TOA pengumuman yang terpasang di ujung koridor asrama kami beibunyi
nyaring: "Ayuhal ikhw an, saksikan besok sore, sebuah pertandingan bergengsi antara Klub Guru dan Kelas
6 Selection. Menghadirkan pemain-pemain tangguh yang ada di PM, bahkan Kiai Rais sendiri akan ikut t urun,
jangan ketinggalan... saksikan..... "Kiai Rais main bola" Kok bisa ya?" kata Baso tergagap bingung. Dia yang selama ini begitu
mengidolakan kehebatan Kiai Rais menghapal Al-Quran rupanya gagal menyambungkan penghafal
Quran dan sepakbola. Baginya itu dua dunia yang benar-benar berbeda.
4 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
"Nah apa kubilang. Ya bisa lah, boleh kan, seorang kiai pun main bola!" bela Said bersemangat.
Tangannya digosok-gosok' kan, seperti seorang kelaparan akan menyambar hidangan lezat.
Matanya berkilat-kilat, tidak sabar menonton pertandingan ini.
"Kenapa bingung kamu Baso" Rugi kalau k ita tidak nonton," katanya lagi.
Aku, Said, Raja, Atang dan Dulmajid sepakat kami harus ada di lapangan. Kami sepakat tidak ada
jadwal kumpul di bawah menara besok. Kami akan langsung ke lapangan sepakbola lengkap
dengan sarung dan kopiah, supaya nant i tidak perlu lagi pulang ke asrama begitu bel ke masjid
berbunyi. Baso masih menerawang, matanya tidak yakin.
Baginya, kaitan antara penghapal Al-Quran dan pemain sepakbola tetap sebuah misteri.
Said seperti mendidih melihat kawannya yang satu ini t idak mengerti juga.
"Eh Baso, anta kan hapal banyak hadist. Nah, ingat gak hadist yang bilang bahw a Nabi itu ingin
umatnya sehat dan kuat. Makanya dianjurkan kita bisa berbagai keterampilan fisik, mulai dari memanah, berkuda dan
berenang. Itu artinya olah raga, Nabi saja olahraga, masak Kiai Rais tidak. Apalagi kamu
...," katanya menyorongkan telunjuknya ke muka Baso sampai Baso terlonjak kaget menghindari
telunjuk Said yang hampir mengenai hidungnya. Baso tampak berpikir keras sebelum akhirnya set
uju untuk ikut ke lapangan besok.
Tepat setelah Ashar, kami set engah berlari menuju kelapangan karena t idak mau kehabisan
tempat. Sarung kami pakai agak tinggi supaya bisa melangkah lebih lebar. Benar saja pinggir
lapangan telah dijejali oleh banyak murid, ustad juga orang-orang dari luar PM. Sejumlah kursi yang
terbatas Mulai terisi, yang tinggal hanya daerah untuk berdiri. Delapan corong TOA besar yang
dipasang melingkari lapangan kemerosok sebentar sebelum kemudian mengeluarkan suara gegap
gempita komentator bola PM yang paling terkenal, bernama Amir Tsani. Dengan suara berat dia
mulai memperkenalkan kedua tim kepada penonton.
"Ayyuhal ikhw an. Saudara-saudara semua. Selamat datang dalam pertandingan penting ini. Saya
akan perkenalkan para pemain dari kedua tim, yaitu..." Dia menyampaikan semua komentar dalam
Bahasa Arab, karena minggu ini minggu wajib berbahasa Arab.
Sebagai kelas paling senior, kelas 6 menurunkan pemain terbaik yang muda dan sigap. Di ant
aranya adalah Rajab Sujai, yang dianggap sebagai bek terbaik PM karena kecepatan dan postur
tubuhnya yang liat menghadang penyerang mana pun.
Kak Rajab ini tidak lain adalah Tyson yang menjabat bagian keamanan. Sementara, kelompok guru
yang relatif lebih tua juga tidak mau kalah, mereka punya playmaker Ustad Torik yang selama ini
dikenal sebagai sang don dalam masalah keamanan PM. Para siswa kelas 6 ini sangat paham
reputasi si don ini. Kata-katanya adalah hukum. Mendengar namanya saja, siswa kelas satu bisa
pucat pasi. Tim guru juga diperkuat oleh pemain bertahan Ustad Abu Razi, dedengkot mabikori,
badan tertinggi pramuka di PM. Badannya bongsor, bercambang, gempal, kira-kira seperti Hulk, tapi
edisi warna hitam. Dengan t ongkrongan raksasa ini, penyerang mana pun akan jeri unt uk
menusuk pertahanan lawan.
5 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Nah, yang paling dapat sambutan meriah adalah ketika Amir Tsani berteriak, "Dan sebagai striker ut
ama tim guru, fahuwa alkiram Kiai Rais...!" Suara Amir hilang tertelan tepuk dan sorak-sorai seisi
lapangan. Kiai Rais masuk ke lapangan dengan t akzim dan melambai sekilas ke arah penonton. Yang paling
membuat aku terperanjat adalah penampilannya. Surban berganti topi baseball, sarung berganti
celana training panjang berwarna hitam, jubah berganti kaos sepakbola bernomor sepuluh,
bertuliskan Maradona, pahlawan Argentina di Piala Dunia 1986. Yang masih sama adalah
jenggotnya yang panjang terayun-ayun setiap dia menyepak bola. Konon, ketika dia masih menjadi
murid seperti kami, Kiai Rais adalah striker andalan PM, dan sering merobek gawang lawan dengan
tendangan kanonnya yang melengkung-lengkung.
Pertandingan berjalan seru. Awalnya tim kelas 6 tampak masih malu-malu berhadapan dengan guru
mereka, apalagi dengan Kiai Rais. Di paruh pertama, Kiai Rais memperlihatkan kemampuannya
mengolah bola lengkung dan beberapa kali mengancam pertahanan lawan. Barulah menjelang
turun minum Kiai Rais dengan lincah mampu meliuk-liuk melewati bertahan lawan dan dengan gaya
yang efisien, mencungkil bola ke atas kepala kiper yang terlanjut maju.
...yarmi kurrah ila w asat, ilal yu sra, w a gooool.' Teriak Amir sang komentator heboh.
1-0 untuk para guru. Penonton bergemuruh. Said berteriak ke telinga Baso, "T uh, ini namanya
Maradona". Baso sama sekali t idak merasa t ersindir karena terpana dengan kehebatan idolanya.
Masuk babak kedua, barulah umur yang berbicara. Kiai Rais digantikan guru yang lebih muda. Tim
guru seperti kehabisan gas, lemas, dan mudah terbawa angin permainan kelas 6.
Dengan fisik lebih muda, mereka merajalela dan menutup pertandingan dengan skor 3-1. W alau
tim guru kalah, kami tetap senang karena berhasil melihat Kiai Rais junjungan kami membuat gol
dengan indah. "Ayyuha ikhw an, Terima kasih atas kehadiran semua, dan sebuah pengumuman dari keamanan
pusat agar semua otang segera ke masjid karena w aktunya telah t iba," t utup Amir dek ngan
penuh otoritas, masih dengan bahasa Arab yang fasih, kefasihannya ini sempat membawa
sengsara bulan lalu, ketika orang wali murid yang berkunjung protes karena mendengar ada
ayat-ayat suci diteriakkan di lapangan dengan cara serampangan, di tengah pertandingan bola lagi.
Unt ung ada Kak Burhan, sang pemandu tamu yang selalu punya jawaban, bahw a ini bukan
mengaji, tapi komentator sepakbola. W ali murid ini dengan muka merah mengangguk-angguk
malu. Berlian dari Belgia Salah satu bagian penting dari qanun adalah pengaturan arus informasi yang sampai kepada kami
para murid. Agar semua informasi mengandung pendidikan, semua saluran hamil dikont rol dan
disensor. Di PM, kami hanya bisa membaca 3 koran nasional yang telah disensor oleh bagian
keamanan dan pengajaran. Potongan kertas putih ditempel khusus di bagian tulisan yang disensor.
6 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Lembar-lembar koran ditempel di panel kaca bolak balik yang tersebar di beberapa sudut PM dan
selalu dirubung oleh banyak murid. Karena kami tidak bisa membolak-balik halaman kertas koran,
yang kami lakukan kalau ingin membaca sambungan berita adalah berpindah ke panel yang lain,
atau pindah ke seberang panel, tergantung lanjutan berita ada di mana. Beberapa bagian yang
disensor selalu menjadi perhatian kami, khususnya bagian iklan film. Dengan menerawang
melawan matahari, kadang kala kami b isa membaca judul filmnya samar-samar, seperti:
Bangkitnya Nyi Roro Kidul, Ratu Buaya Putih, Golok Setan, Dongkrak Antik dan lainnya. Sedangkan
pemain filmnya t idak jauh dari sekitar Barry Prima, Suzanna, atau W arkop.
Said paling kesal dengan sensor ini. Kekesalan ini menjelma jadi c ita-cita. "A ku ingin menjadi t
ukang sensor ini saja nanti,"
katanya setiap kami berdesakkan membaca koran sore hari.
Artinya dia harus jadi bagian keamanan pusat Seperti Tyson!
Panel kaca tidak bisa mengakomodasi majalah sehingga tidak ada sumber berita tertulis selain
koran. Tapi kalangan guru boleh membaca majalah seperti Tempo. Untunglah sebagai bagian dari
awak majalah sekolah, aku punya akses ke perpustakaan khusus guru yang menyediakan majalah
Tempo. "Kalau kalian ingin bisa menulis berita dengan baik dan enak dibaca, menggunakan bahasa yang
bercerita dan sastrawi, maka sering-seringlah membaca Tempo. Mereka punya standar bahasa
yang tinggi," begitu petuah Ustad Salman berkali-kali, set iap kami mengadakan pertemuan bulanan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

redaksi dan pena-sehat majalah.
Dengan mata berbinar-binar aku selalu larut dengan berbagai laporan seru wartawan Tempo
langsung dari Mesir, Amerika, Australia, sampai Jepang. Semua dikemas dengan bahasa yang
enak dibaca dan istilah-istilah yang canggih, yang terus terang aku hanya berpura-pura mengerti
saja. W alau sekarang ada di PM, belajarnya adalah agama, aku t idak malu bermimpi suatu saat
bisa menjadi wartawan Tempo yang melaporkan berita-berita penting dan terhormat dari berbagai
belahan dunia. Diam-diam aku mulai mempertimbangkan mengganti cita-citaku dari Habib ie
menjadi w artawan Tempo. Yang juga tidak aku lewatkan adalah Catatan Pinggirnya Goenawan Muhamad. Bagiku ini adalah
bahasa para peri yang membuai. Sejujurnya, lebih banyak yang tidak aku mengerti, tapi tetap aku
paksakan membacanya. Rasanya kok aku menjadi lebih pintar dan terhormat kalau bisa bilang
pada orang lain bahw a minggu ini aku telah membaca t ulisan GM - begitu namanya diringkas di
Tempo. W alau media lokal disensor ketat, PM membebaskan kami menerima majalah dari luar negeri,
karena ini bagian! yek mendalami bahasa Arab dan Inggris. Maka berbondong bondonglah kami
melayangkan surat ke seluruh dunia, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, Pakistan, sampai
Arab Saudi. Tidak perlu susah mengarang karena senior kami sudah punya template surat puja-puji
yang manjur untuk membujuk siapa pun mengirimi kami majalah dan buku gratis.
Sebenarnya, int i suratnya cuma satu: Dengan hormst, W shsi orang baik di luar negeri sana, tolong
7 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
kirimi kami sebanyak mungkin dan secepat mungkin majalah dan buku gratis! Dialamatkan ke
mana" Senior kami juga sudah list organisasi daft ar yang b isa dihubungi. Alamat ini telah
bertahun-tahun teruji mampu dan mau meladeni surat-surat dari PM. Tapi ada yang mengirim surat
membabi buta. Asal melihat ada alamat luar negeri yang kayaknya ada free pw Mtcation-nya,
dikirim saja. Yang jelas, akibat histeria menulis surat ke luar negeri ini set iap hari
bertumpuk-tumpuk paket-paket dan amplop berisi barang cetakan datang dari berbagai negara.
Sebulan yang lalu kami berenam sama-sama mengirim bp"
berapa surat untuk dapat majalah gratis. Dari pengalaman selama ini, barulah setelah sebulan ada
kemungkinan jtoflfiMfg datang. Sudah beberapa hari ini aku, Raja dan Said rajin berdesak-desakkan
dengan puluhan murid lainnya di pengumuman penerima paket yang selalu diperbarui set iap jam 4
sore. Hanya Said yang tinggi besar le luasa melihat tanpa berjinjit-jinjit seperti penguin sedang
kasmaran. "Alif dan Raja, kalian ada di daft ar penerima barang tuh!"
teriak Said. Dia hanya butuh memanjangkan leher untuk bisa membaca semua nama. Matanya
terus menuruni daftar nama sampai ke paling terakhir sebelum akhirnya menyerah.
"Nggak ada lagi... nggak ada lag i... Kapan ya BBC mengirim i brosur liga Inggris," keluhnya
dengan Wajah seperti anak TK kehilangan mobil-mobilan.
Said memang sangat bersemangat mendapatkan segala terbitan yang berhubungan dengan
kompetisi sepakbola Eropa, khususnya liga Italia dengan idolanya Marco van Basten dan Ruud
Gullit dari AC Milan. Sebelumnya, dia telah dapat brosur dari liga Jerman dan Italia, tinggal Inggris
yang dinanti-nantinya. Hari ini aku menerima tiga kiriman sekaligus. Dua amplop putih kecil dan sebuah amplop cokelat
tebal diserahkan oleh petugas sekretariat setelah mencek papan namaku memang sama dengan
alamat penerima. Membuka bungkusan kiriman luar negeri adalah sensasi yang sulit digambarkan.
Senang, harap-harap cemas, bangga, dan tidak sabar. Ujung amplop berlabelkan "par avion" dan
cap bergambar burung elang ini aku robek pelan-pelan, seakan-akan sebuah kertas berharga.
Sebuah buku tebal aku tarik keluar dengan riang.
"W ah, buku percakapan Indonesian-American English dari Radio Amerika!" teriakku kaget. Secarik
surat pendek menyertai dan berbunyi: "Mr. Fikri, enjoy your free copy of this book. Thank you. VOA
Indonesian Service."
Sudah lama aku mint a buku ini tanpa ada balasan dan sudah hampir lupa kalau pernah menulis ke
sana. Giliran amplop kecil aku robek. Sebuah surat berlogo gambar singa dari sebuah museum
Inggris memint a maaf karena tidak bisa mengirimkan publikasi gratis karena hanya diperunt ukkan
untuk member saja. Luar biasa, untuk bilang tidak bisa saja sampai harus mengirim surat sendiri,
jauh-jauh ke PM. Aku tidak habis pikir dan terkesan dengan gaya dan etika mereka.
Amplop yang berisi brosur penerimaan mahasiswa baru di sebuah universitas di India.
Puas rasanya bahwa dunia ini mendengar dan meresponsku. Puas rasanya menyadari kalau kita
mau berusaha mengetok pintu, kemungkinan besar akan ada yang menjawab. Di lain kesempatan
8 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
aku pernah dapat inflight magazine JAL Airlines, bul etin tiga bulanan bahasa Arab tentang
Pakistan, sampai jadwal siaran Rad io Rusia.
Raja yang paling agresif dalam perkara kirim mengirim surat ini, khususnya untuk penerbitan
berbahasa Inggris. Seakan-akan di matanya dunia ini toko buku serba ada yang gratis. Tinggal mint a, nant i pasti
datang. T idak sia-sia, paket rupa-rupa kerap datang untuknya. Ada katalog ekspo teknologi di
Jerman, buku belajar bahasa Inggris dari Radio Australia, newsletter dari Radio Belanda dan Yang
paling ane h katalog perhiasan int an berlian dari Antwerp, Belgia. Selama itu untuk kepentingan
belajar berbahasa Inggris, hampir semua publikasi dari Negeri Barat ini dibolehkan oleh PM.
Sahirul Lail Kalau sudah dibakar oleh motivasi Kiai Rais, aku t etap agak grogi menghadapi ujian ini. Beda
sekali dengan semua ujian yang pernah aku rasai sebelum ini. Bebanku terasa berlipat ganda,
karena terdiri dari ujian lisan dan tulisan. Selainitu pelajaran lebih sulit karena tidak dalam bahasa
Indonesia. Yang membuat aku gamang adalah kelemahanku dalam bahasa Arab dan hapalan. Aku bahkan
tidak tahu apakah kualitas bahasa Arab yang aku punya cukup untuk membuatku naik kelas. Kalau
belajar bersama, aku selalu minder dengan kehebatan Baso dan Raja. Keduanya, terutama Baso,
sangat gampang dalam menghapal. Sementara kualitas bahasa Arabnya tinggi dengan tata bahasa
dan kosakata yang kaya. Sementara aku" Semua pelajaran bagiku adalah kerja keras dan perjuangan. Yang aku syukuri,
dua kawan cerdasku ini orang baik yang selalu mau membantu dan berbagi ilmu.
Mereka masih bersedia berulang-ulang menerangkan bab-bab yang aku tidak paham-paham
berkali-kali. Aku mencoba menghibur diri bahw a aku tidak sendiri. Atang, Dulmajid dan Said juga
punya masalah yang mirip, dan kami sangat berterima kasih kepada Baso dan Raja.
Maka, di diari terpercayaku, aku tuliskan rencana konkrit untuk mengatasi masalah ujian ini. Yang
pertama, aku ingin meningkatkan doa dan ibadah. Salah satu hikmah ujian bagiku ternyata menjadi
lebih mendekat padaNya. Bukankah Tuhan telah berjanji kalau kita memint a kepadaNya, maka
akan dikabulkan" Aku akan menerapkan praktik berprasangka baik bahwa doaku akan dikabulkan. Tapi berdoa saja
rasanya kurang cukup. Aku mencanangkan untuk menambah ibadah dengan shalat sunat Tahajjud
setiap jam 2 pagi. Di papan pengumuman asrama t elah t ertulis, "Daft arkan diri kalau ingin
dibangunkan shalat Tahajud malam ini". Aku langsung mendaftar untuk dua minggu ke depan.
Bawaan alamiku, seperti juga keluarga Ayah dan Amak, berbadan kurus dan kecil. Masalah
vitaminini cerita lama. W aktu aku masih SD, Ayah kadang-kadang di awal bulan membelikan kami vitamin C yang
9 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
berwarna oranye di botol plastik kecil dan rasanya asam-asam manis. Sekali-sekali beliau pulang
membawa sebotol minyak ikan yang berwarna putih. "Minum minyak ikan dan v itaminini supaya
cepat tinggi dan besar," bujuk Ayah waktu itu. Mendengar iming-iming tinggi dan besar, aku yang
berbadan mungil langsung bersedia menelan minyak ikan walau rasanya membikin mual-mual. Di
lain waktu Ayah pulang membawa tablet obat cacing. "Agar cacing mati dan waang cepat gapuak
Dan aku hakul yakin, kerja keras selama dua minggu dan belajar malam pasti membuatku lebih
kurus lagi. Karena itu rencana lain yang aku t ulis adalah memperbanyak makan dan menambah
gizi. Kini, set iap makan, aku usahakan makan selalu menambah nasi, walau tanpa tambahan lauk
karena set iap orang hanya dapat satu kupon lauk.
Untuk mendongkrak stamina dan gizi, aku berketetapan untuk membeli multivitamin, madu, dan
telur ayam kampung. Janji Yang ditawarkan vitamin dan segala macam pil membuat aku selalu mau membelinya
sekali-sekali. Adapun telur dan madu adalah resep rahasia Said.
Menurutnya, dengan mencampur kuning telur dan beberapa sendok madu setiap pagi, akan
menjaga stamina tubuh untuk belajar sampai jauh malam.
Rencana lainnya, ya tidak lain tidak bukan, begadang dan bangun malam untuk belajar. Sahirul lail.
Sahirul lail maknanya kira-kira begadang sampai jauh malam untuk belajar dan membaca buku.
Sebuah pepatah Arab berbunyi: Man thalabal fula sah iral loyali. S iapa yang ingin mendapatkan
kemuliaan, maka bekerjalah sampai jauh malam. Dan aku ingin mencari kemuliaan itu.
Ujian mulai besok, dan hari ini aku berjanji dengan Sahibul Menara untuk mencoba sahirul lail
bersama. Setelah makan malam, kami sibuk pergi ke kafetaria untuk membeli perbekalan.
Pilihannya banyak, mulai dari kacang telur, permen, mie, roti, minuman manis, kopi dan gula. Tapi
uang di kantongku terbatas. Selanjutnya, kami belajar malam seperti biasa sampai jam 10 malam.
Kami tidur dulu untuk nant i bangun lagi dini hari.
"Kum ya akhi, Tahajjud," bisik Kak Is, membangunkan aku malam buta, seperti permint aanku.
Teng... teng... lonceng kecil berdentang dua kali d i depan aula. Jam 2 dini hari. Aku menyeret
badan untuk bisa duduk sambil mencari-cari kacamata di sebelah kasur. Dengan t ersaruk-saruk
aku keluar kamar yang temaram dan mengambil w uduk.
Aku membentang sajadah dan melakukan shalat Tahajud.
Di akhir rakaat, aku benamkan ke sajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba
memusatkan perhatian kepadaNya dan menghilang selain-Nya. Pelan-pelan aku merasa badanku
semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi set itik debu yang melayang-layang
di semesta luas yang dicipt akanNya. Betapa kecil dan tidak berartinya diriku, dan betapa luas
kekuasaanNya. Dengan segala kerendahan hati, aku bisikkan doaku.
"Y a Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan berharap. Ujian pelajaran
Muthala'ah tinggal besok, tapi aku belum siap dan belum hapal pelajaran. HambaMu ini datang
10 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
memint a kelapangan pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan lu lus
ujian dengan baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar terhadap doa hamba yang kesulitan.
Amii nnn." Alhamdulillah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku siap saKirul lail, belajar
keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah
sajadah, aku bergabung dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang
yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di t engah malam buta ini.
Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya dengan dinding, dengan
bermacam gaya. Tapi semuanya sama: mulut komat-kamit, buku t erbuka di tangan, sarung melilit
leher, segelas kopi dan duduk di atas hamparan sajadah. Sekilas mereka seperti sedang naik
permadani terbang. Aku layangkan pandanganku ke aula di seberang Al-Barq.
Jam 2 malam, aula ini sudah ramai seperti pasar subuh!
Puluhan lampu semprong berkerlap-kerlip di atas set iap meja pasukan sahiru l lail Ketika angin
malam berhembus, mata apinya serempak menari-nari seperti kunang-kunang.
Said melambaikan tangan di ujung koridor. Lima kawanku telah lebih dulu bangun dan duduk
melingkar mengeliling i lampu petromaks yang mendesis-desis set elah dipompa. PM
memang tidak dalam jalur PLN karena t erisolir dari keramaian.
Karena itu PM membeli beberapa mesin diesel yang menerangi PM sampai jam 10 malam. Setelah
itu, mesin-mesin dimatikan kecuali sebuah generator kecil untuk penerangan jalan dan koridor
asrama. Karena itu, kalau mau sahirul Bil yang terang, perlu membeli lampu semprong atau
sekalian petromaks seperti yang dimiliki Said.
Said menyorongkan gelas besar dan semangkuk makrunah,
"Y a alchi, ngopi dulu supaya tidak ngantuk." Itulah enaknya punya teman seperti Said yang sering
dapat wesel. Konsumsi ditanggung banyak.
Dengan menghirup kopi panas di tengah dini hari, aku siap berjuang. Sebuah doa aku
kumandangkan lamat-lamat sebelum membuka buku pelajaran mut halaah. "Allahumma ift ah alainfl
Kilcmatan...." Tuhan, mohon bukakanlah pintu hikmah dan ilmuMu buatku. Rabbi tfdni ilman
warzuqni fahman. Tuhanku tambahkanlah ilmuku dan berkahilah aku dengan pemahaman.
Hampir satu jam kami khusyuk dengan pelajaran masing-masing. Keheningan hanya dipecah oleh
gemeretak kacang yang kami kunyah dan Said yang memompa petromaks yang meredup.
Pelajaran rasanya masuk dengan gampang ke kepalaku. Tapi hampir satu jam, aku mulai goyah
dan berjuang berat melawan kelopak mata yang semakin berat.
Tegukan kopi sudah tidak mempan lagi. Dua kali aku kaget sendiri karena menjatuhkan buku yang
aku pegang gara-gara tertidur dalam duduk. Nasib kawan-kawanku tidak lebih baik.
11 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Kepala mereka pelan-pelan mengangguk ke depan dan lalu tersentak ke atas lagi ketika terbangun.
Begitu berkali-kali sampai kami dikejutkan lonceng berdentang tiga kali. Jam tiga subuh.
Raja dan Baso mengucek-ngucek mata sambil menguap lebar. Mereka segera mengundurkan diri
masuk kamar. Said sudah sulit ditolong dari cengkeraman kantuk, tapi dia tidak mau menyerah.
Setiap buku yang dipegangnya jatuh ke lantai karena tertidur, dia kembali memungutnya dan
melanjutkan membaca. Sementara Atang dan Dulmajid tampak masih cukup kuat melawan kantuk.
Aku juga t idak mau kalah. W alau mata berat, aku ingin menjalankan t ekad yang sudah aku tulis di
buku. Aku akan bekerja keras habis-habisan dulu.
Aku berdiri sambil mengulet untuk mengusir kantuk.
Setelah membasahi muka dan mengambil wudhu, kantukku lumayan reda. Setiap aku merasa
harus menyerah dan tidur, aku melecut diriku, "ayo satu halaman lagi, satu baris lagi, satu kata
lagi..." Akhirnya dengan perjuangan, aku bisa menamatkan bacaanku. Dengan lega aku angkat
buku itu dan benamkan di wajahku sambil berdoa, "Ya Allah telah aku sempurnakan semua
usahaku dan doaku kepadaMu. Sekarang semuanya aku serahkan kepadamu. Aku tawakal dan
ikhlas. Mudahkanlah ujianku besok. Amin."
Dengan doa itu aku merasa tenang dan tentram. Aku kembali t idur dengan senyum puas. Tidak
lama setelah itu aku kembali dibangunkan Kak Is, kali ini unt uk shalat Subuh.
Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu
tempat. Di PM, orang belajar d i set iap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil
berjalan, sambil bersepeda, sambil ant ri mandi, sambil an-tri makan, sambil makan bahkan sambil
mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri
melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.
Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian
rupa sehingga semua murid jatuh menyerah kepadanya. Kami t elah ketagihan. Kami candu belajar.
Dan imtihan atau ujian adalah pesta merayakan candu itu.
Ujian gelombang pertama adalah ujian lisan yang menegangkan. Pagi itu, bersama beberapa murid
lainnya, aku antri di depan sebuah ruang kelas, menunggu giliran dipanggil. Wajah kami tidak ada
yang tenang, dan semua komat-kamit menghapal dan mungkin juga menyebut doa tolak bala.
Tiba-tiba pintu ruangan ujian lisan terbuka. Seorang murid keluar dengan muka kusut. Mungkin dia
gagal menjawab ujian. Sejurus kemudian, sebuah kepala muncul dari balik pintu dan membacakan
giliran siapa yang harus masuk. "Alif Fikri... t afadhal". Jant ungku berdebur. Aku merapikan baju
dan masuk ke dalam kelas yang lengang ini dengan mengucap salam. D i dalam ruangan ada meja
panjang. T iga orang ustad penguji duduk di belakang meja itu. Mereka berkopiah, berbaju putih,
dan berdasi. Penuh wibawa. Salah satunya adalah yang memanggil aku masuk tadi. Satu meter di
depan mereka, ada sebuah meja kecil dan kursi kayu. Mereka mempersilakan aku menempati kursi
yang berderit ketika diduduki itu.
Pantatku menggantung di ujung kursi karena tegang.
12 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Badanku terasa mengecil. Di seberang sana, tiga pasang mata menatapku seorang dengan diam.
Seakan-akan mereka menikmati tekanan mental yang sedang aku hadapi. Aku menundukkan
pandangan ke dua telapak tanganku yang saling mencengkeram di atas meja. Aku berdoa dalam
hati semoga kegugupanku tidak menguapkan apa yang tadi malam telah aku pelajari sampai subuh.
Pertanyaan pertama menyambar. Aku disuruh menceritakan ulang sebuah percakapan dalam buku
Muthala'ah. Suara Ustad Fatoni - salah seorang penguji - terasa mengepungku karena bergaung di
kelas kosong ini. Dengan tergeragap dan terdiam sebentar sambil mengais-ngais ingatanku dari
semalam, suaraku agak bergetar ketika melemparkan jawaban yang akhirnya aku temukan. T idak
sempurna, t api cukup membuat dia manggut-manggut.
Pertanyaan terus berlanjut semakin lama semakin susah. Di pertanyaan terakhir, tiba-tiba aku
merasa blank dan tidak menemukan jawaban tentang int i cerita di bab ketiga buku Muthala'ah.
Lama aku aku berpikir samb il mengusap-usap kening, dan tetap tidak bisa menjawab. Akhirnya aku
menyerah dan berkata, "Afwan ya Ustad, nasiitu. Maaf saya lupa." Dengan jawabanku itu berakhir
lah ujian lisan yang terasa sangat lama itu. Aku tidak puas, tapi aku senang karena telah melewati
sebuah beban. Dengan kepala sedikit lebih ringan aku keluar dan siap dengan ujian lisan lainnya
besok. Akhirnya setelah seminggu, ujian lisan se lesai juga. Selang beberapa hari, datang ujian tulisan.
Ujian hari pertama lagi-lagi Muthalk'ah atau bacaan bahasa Arab. Aku duduk terasing dari teman
sekelas karena selama ujian posisi duduk diacak dengan kelas lain. Dalam satu ruangan ini hanya
ada aku dan Baso dari satu kelas. Dan soal pun dibagikan. Bent uknya berupa kertas buram
setengah halaman yang membuat mataku keriting. Semuanya t ulisan Arab dan semuanya huruf
gundul. Dan semuanya soal esai, tidak ada pilihan ganda.
Duhh..... Tentu saja jawabannya juga harus sama, Arab gundul juga.
Untuk pelajaran ini aku harus menjawab dengan banyak tulisan. Aku keteteran karena harus
menguras hapalanku yang seret dan belum biasa menulis Arab dengan cepat. Tapi Baso yang
duduk dua bangku di depanku seperti sedang pesta. Dia lancar menulis dan beberapa kali
mengangkat tangan untuk mint a lembar jawaban tambahan. Tidak ada orang yang meminta lembar
jawaban lebih seperti dia.
Aku cukup frustrasi dengan ujian yang banyak memerlukan hapalan karena selalu merasa tidak bisa
menjawab dengan memuaskan. Aku bertanya-tanya, apakah semakin tinggi kelas kami d i PM,
semakin banyak hapalan" Dengan kapasitasku seperti ini, apakah aku cocok di sini.
Kadang-kadang, set iap terbentur oleh urusan hapalan, aku melihat masa depanku semakin redup
di PM. Berapa lamakah aku bisa bertahan"
Lima Negara Empat Benua Ujian hari terakhir adalah dua pelajaran favoritku: kaligrafi Arab dan Bahasa Inggris. W alau bukan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelajaran utama, untuk kaligrafi, aku mempersiapkan diri lebih dari para Sahibu l Menara. Kaligrafi
13 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
tidak dihapalkan, tapi dipraktekkan. Dengan tekun, aku menulis berlembar-lembar kertas dengan
menggunakan beragam gaya kaligrafi yang diajarkan dan yang belum diajarkan. Aku bahkan
meminjam beberapa buku referensi kaligrafi terbitan Mesir dan lokal. Kalam - pena khusus kaligrafi
pun aku siapkan dengan berbagai ukuran.
Semua aku lakukan dengan penuh antusiasme. Dengan gembira dan percaya diri aku mengerjakan
soal ujian kaligrafi dan Bahasa Inggris. Inilah hari tersuksesku dalam ujian kali ini.
Dan dari kejauhan, bunyi lonceng besar kembali berdentang keras. Menandakan 15 hari ujian telah
berakhir. Alhamdulillah. Setelah meregang otak habis-habisan dan kurang tidur, semua proses ini berakhir juga.
Melelahkan, tapi puas karena aku merasa telah berjuang sehabis tenaga.
Kini, untuk satu minggu, kami akan bebas menggunakan waktu yang selama ini begitu mahal. Tidak
ada belajar, yang ada hanya rileks, bersantai, olahraga, membaca, jalan-jalan, dan tidur. Aku tidak
terlalu peduli dengan hasil yang akan dibagikan sebelum libur pulang kampung. Toh aku telah
menyempurnakan usaha dan memanjatkan doa terbaik.
Seperti air bah, ribuan orang serentak keluar dari ruang-ruang ujian. Kami pulang ke asrama
dengan muka berseri-seri.
Setelah shalat Dzuhur dan makan siang, aku bergabung dengan gerombolan t eman-teman yang
duduk berangin-angin di koridor asrama. Ceracau, ketawa, dan obrolan bercampur aduk di udara.
Kami menikmati kebebasan dan bercerita tentang apa rencana kami selama liburan. Tiba-tiba
sebuah sepeda putih berkelebat cepat dan merem mencicit di depan kami. Inilah sepeda Kak
Mualim dari bag ian sekretaris.
Kerjanya membagikan wesel dan mengantar surat ke asrama-asrama set iap siang. Selalu ngebut
Semua mata dengan penuh minat berharap menerima surat kali ini. Dari t as kain d i bahunya, dia
menarik 3 lembar surat. "Yang beruntung hari ini menerima surat: Andang Hamzah, Zainal Nur, dan... Alif Fiktif serunya
lantang tanpa turun dari sepedanya. "Saya Alif Kak... saya Alif...," kataku terburu-buru dan segera
menyambar surat dari t angannya.
Sepucuk surat datang dari Randai. Ini surat ketiganya. Janji kami memang saling menulis surat
paling tidak setiap dua bulan. Surat pertamanya tentang masuk SMA membuatku iri.
Surat keduanya bercerita tentang pelajaran-pelajaran SMA yang asyik. Tampaknya tidak banyak
hapalan seperti di PM. Tapi surat ketiga ini kembali menggoyang perasaanku. Kali ini Randai tidak hanya menulis surat,
tapi juga melampirkan foto dan sebuah potongan koran. Fotonya adalah gambar dia dan teman
sekelasnya berjalan-jalan ke Sitinjau Laut, di dataran tinggi dekat Kota Padang. Randai dan teman
sekelasnya duduk di sebuah bukit berhutan lebat dan nun jauh di belakangnya laut biru
14 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
berkilat-kilat. Semuanya bahagia.
Beberapa orang duduk berpasang-pasangan. Tulisan d i belakang foto itu: "libur setelah ujian".
Tahun ajarannya memang lebih dulu sebulan.
Sementara potongan koran Haluan yang dikirimkannya berisi berita kemenangan Randai dalam
lomba deklamasi ant ar SMA. Dia menyabet juara dua dan menerima trofi dari W alikota Bukittinggi.
Bibirku tersenyum. Sebersit hawa panas menjalar di dadaku.
Aku tidak t ahu bagaimana sebaiknya. Setiap aku membaca suratnya, aku hampir selalu merasa iri
mendengar dia mendapatkan semua yang dia mau. Padahal ustadku jelas mengajarkan tidak boleh
iri. Tapi kalau aku tidak membaca suratnya, aku tahu aku sangat penasaran mengetahui kabarnya.
Mungkin jauh d i lubuk hatiku, aku selalu berharap bisa mengungguli dia. Aku mungkin selalu
berharap PM akan lebih baik dari SMA-nya.
Minggu ini aku juga menerima surat dari Pak Etek Gindo.
Dia sangat senang aku ternyata mengikuti sarannya masuk PM. Di dalam amp lop suratnya aku
menemukan lipatan kertas karbon hitam. Di dalam lipatan ini lembar dolar Amerika pecahan 20
dolar. "Terimalah sedikit hadiah masuk PM.
Sengaja diselubungi kertas karbon hitam supaya tidak diganggu tikus-tikus pos. Dolar ini bisa
ditukar ke rupiah d i bank besar terdekat," tulisnya. Aku melakukan sujud syukur setelah menerima
hadiah tidak terduga ini. Ini mungkin yang dimaksud Ustad Faris, "T uhan itu bisa mendatangkan
rezeki kepada manusia dari jalan yang tidak pernah kita sangka-sangka."
Sore, setelah bermain voli d i depan aula, kami berselonjor sant ai di bawah menara favorit. Wajah
basah dengan peluh, tapi rileks dan lepas. Kami benar-benar menikmati menghirup udara yang
segar dan penuh kebebasan. Kecuali Baso. Dia tidak ikut olahraga. Dan sekarang dia masih saja
memelot oti beberapa kertas soal ujian, sambil sibuk bolak-balik melihat buku pelajaran. Berkali-kali
d ia mengangguk-angguk sambil tersenyum sendiri. Aku tidak habis pikir, dengan kemampuan
photographic memorinya, dia tidak perlu cemas dengan hasil ujian, apalagi harus mencek seperti
ini. "Baso, bosan aku melihat buku-buku. Coba jauh-jauh dari sini," keluh Said sambil memalingkan
mukanya. Dia memang tidak terlalu pede dengan hasil ujiannya k ali ini. Dan mengaku merasa sakit
perut setiap melihat soal ujian. Atang dan Dulmajid mengangguk-angguk mendukung Said.
"Iya, sekali-sekali kita libur belajar. Kini waktunya santai dan memikirkan libur," timpal Raja. Raja
jelas optimis dengan ujiannya, tapi dia bukan tipe yang harus mencek ulang hasilnya lagi. Aku
sendiri berpikir netral, aku tahu sebagian ujianku kurang bagus, tapi sebagian lagi cukup
menggembirakan. Baso cuma mengangkat mukanya sejenak ke arah kami, melempar senyum malas sekilas, dan
kembali sibuk dengan soal-soalnya.
Angin sore bertiup menggetar-getarkan bilah daun pohon kelapa yang banyak tumbuh di
sudut-sudut PM. Sejuk. 15 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Matahari lindap tertutup awan putih yang berarak-arak d i langit. Aku membaringkan diri di pelataran
menara sambil menatap awan-awan yang bergulung-gulung.
Dulu di kampungku, setelah puas berenang di Danau Maninjau, kami anak-anak SD Bayur duduk
berbaris di batu-batu hitam di pinggir danau sambil mengeringkan badan. Rambut kami
kibas-kibaskan untuk menjatuhkan titik-titik air.
Sedangkan celana yang kuyup kami jemur di atas batu. Kalau angin sedang tenang, permukaan air
danau yang luas itu laksana cermin. Memantulkan dengan jelas bayangan bukit, langit, awan dan
perahu nelayan yang sedang menjala rinuak, ikan t eri khas Maninjau. Sambil menunggu celana
kering, kami punya permainan favorit. Yaitu tebak-tebakan bentuk awan yang sedang menggantung
di langit, di atas danau.
Kami berlomba menggambarkan awan-awan itu mirip binatang atau wajah orang dan saling
menyalahkan gambaran anak lain. Akhirnya memang bukan tebak-tebakan, tapi lomba
membenarkan pendapat sendiri. Jarang kami punya kata sepakat apa bentuk awan itu karena
semua tergantung imajinasi dan perhatian set iap orang. Ada yang melihat awan seperti naga,
gajah, harimau, bahkan wajah Bung Karno, Pak Harto, Pak Mul kepala sekolah kami, atau angku
Datuak Rajo Basa, guru mengaji kami. Aku sendiri jarang melihat awan menjadi bentuk makhluk
hidup apalagi manusia. Aku lebih sering melihat awan-awan seperti pulau, benua atau peta.
Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali me lihat awan-awan ini menjelma menjadi peta
dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua
Amerika. Mungkin aku terpengaruh Ustad Salman yang bercerita panjang lebar bagaimana orang
kulit putih Amerika sebagai sebuah bangsa berhasil meloloskan diri dari kekhilafan sejarah Eropa
dan membuat dunia yang baru.
Yang lebih baik dari bangsa asal mereka sendiri.
Mungkin juga aku terpengaruh oleh siaran radio VOA yang diasuh oleh penyiar Abdul Nur Adnan
yang berjudul "Islam d i Amerika". Bagian Penerangan selalu mengudarakan acara Pak Nur yang
selalu melaporkan perkembangan Islam di Amerika Serikat Misalnya, dia mengabarkan di
Washington DC, ibukota negara superpower ini, telah berdiri sebuah masjid raya yang besar di
daerah elit pula. Di kampus-kampus Amerika semakin banyak jurusan tentang kajian Islam dan
mahasiswa datang dari berbagai negara Islam untuk belajar ilmu dan teknologi terkini. Negara ini
juga memberi banyak beasiswa kepada negara berkembang seperti Indonesia.
Awan putih ini semakin berarak-arak ke ufuk yang lembayung. Aku berbisik dalam hati, "Tuhan,
mungkinkah aku bisa menjejakkan kaki di benua hebat itu kelak?"
"Hoi, apa yang kau lamunkan?" tanya Raja menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan
mataku. Aku tersadar dari lamunanku.
"Aku melihat dunia di awan-awan itu," kataku sok puitis.
Aku gerakkan telunjukku menunjukkan garis-garis imajiner d i awan kepada Raja yang duduk di
sampingku. Kami sama-sama menengadah. "Benua Amerika," kataku. Keningnya mengernyit. Dia
tidak melihat apa yang aku lihat
16 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
"Aku sama sekali tidak melihat Amerika. Malah menurutku lebih mirip benua Eropa. Tuh, kan...,"
tukas Raja samb il menjalankan jarinya di udara, menunjuk ke gerumbul awan yang agak gelap.
"Kalau aku, suatu ketika nant i ingin menjalani jejak langkah Thariq bin Ziyad, menapaki perjalanan
Ibnu Batut ah dan jejak ilmu Ibnu Rusyd di Spanyol. Lalu aku ingin melihat kehebatan kerajaan
Inggris yang pernah mengangkangi dunia. Aku penasaran dengan cerita dalam buku reading kita,
ada Big Ben yang cantik dan bagian rute jalan kaki dari Buckingham Palace ke Trafalgar Square,"
kata Raja menggebu-gebu kepada kami. Dia memang pencinta buku pelajaran Bahasa Inggris dan
hapal isinya dari depan sampai belakang.
Atang, Baso, Said dan Dulmajid ikut mendongak ke langit karena penasaran melihat kami
bertengkar tentang awan. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang setuju dengan bentuk awan
yang kami bayangkan. Masing-masing punya tafsir sendiri.
Atang dan Baso merasa awan-awan itu bergerumbul membentuk kontinen Asia dan Afrika. Sejak
membaca buku tentang peradaban Mesir dan Timur Tengah, keduanya tergila-gila kepada budaya
wilayah ini. Kerap mereka terlibat diskusi seru membahas soal seperti Firaun ke berapakah yang
disebut di Al-Quran atau di manakah letak geografis Nabi Adam pertama turun ke bumi.
"Menurutku, tempat yang perlu didatangi itu Timur Tengah dan Afrika, karena sering disebut dalam
kitab suci agama samawi. Pasti tempat ini menarik untuk didatangi. Apalagi Mesir yang disebut ibu
peradaban dunia. Ada Laut Merah, Kairo, Pira-mid, dan sampai kampus Al Azhar. Siapa t ahu nant i
aku bisa kuliah ke sana," tekad Atang.
Jangan lupa dengan Iran, Iraq, India, dan negara lainnya.
Semua punya keunikan yang mengejutkan. Bagiku, wilayah Asia dan Afrika lebih menarik untuk
diselami," kata Baso mendukung Atang.
Sementara Said dan Dulmajid tetap menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti. W alau sudah
ikut menengadah bersama kami, mereka berdua tetap tidak melihat relevansi awan di ujung pucuk
menara kami dengan peta dunia. Mereka menganggap, awan ini ada di langit Indonesia, karena itu
apa pun imajinasi orang, itu t etaplah Indonesia. Berbicara tentang cita-cita, mereka juga sepakat
bahwa negara inilah tempat berjuang dan tempat yang paling tepat untuk berbuat baik.
"Ah, aku t idak muluk-muluk. Aku akan mencoba kuliah dan lalu kembali ke kampung dan membuka
madrasah di kampungku," kata Dulmajid. Said mengangguk-angguk setuju, dan menambahkan,
"Aku juga. Setelah sekolah, aku balik ke Kampung Ampel, dan memperbaiki mut u sekolah dan
madrasah yang ada," kata Said.
"Mungkin kita bisa kerjasama Dul?" tanya Said samb il melirik lucu. Bulu matanya yang panjang dan
lentik mengerjap-ngerjap. Dul mengangguk dan mereka berjabat tangan sambil tertawa. Aku
berpikir, jangan-jangan jalan Said dan Dulmajid lah Yang paling benar dan mulia di antara kami.
Kami terlalu bermimpi tinggi akan berkelana dan menggenggam dunia, tanpa tahu bagaimana
caranya. 17 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Sedangkan Said dan Dul sudah tahu akan melakukan apa.
Baso melihat kepada Said dan Dul. "Bagus saja kembali ke kampung, tapi kalian harus mencoba
merantau dulu. Ingat kan apa yang kita pelajari minggu lalu, t entang nasehat Imam Syafii48
tentang keutamaan merant au?"
Tanpa menunggu jawaban kami, dia melantunkan syair berbahasa Arab dari Imam Syafii: Orang
pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merant aulah
ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelahrlelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Kami t ermenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awan-awan sumber khayal kami
sekarang berganti warna menjadi merah terang, seiring dengan merapatnya matahari ke
peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib.
Ustad Faris dalam kelas Al-Quran selalu mengingatkan bahw a Allah itu dekat dan Maha
Mendengar. Dia bahkan lebih dekat dari urat leher kami. Dia pasti tahu apa yang kami pikirkan dan
mimpikan. Semoga Tuhan berkenan mengabulkan mimpi-mimpi kami. Siapa tahu, senda gurau kami d i bawah
menara, mencoba melukis langit dengan imajinasi kami unt uk menjelajah dunia dan mencicipi
khazanah ilmu, akan didengar dan dengan ajaib diperlakukan Allah kelak.
Malam itu, menjelang tidur, aku tulis d i halaman diari tentang mimpi-mimpi kami di bawah menara
tadi sore. Apakah aku benar ingin menjenguk Islam dan peradaban di negeri Paman Sam itu"
Apakah ini impian yang masuk akal"
Kenyataannya sekarang aku ada di jalur pendidikan agama, berada di pondok dan dikaderkan
untuk menjadi guru dan ustad. Bagaimana aku bisa mencari jalan" Apa kata Amak"
Apakah ini dibolehkan agama" Apa kata Randai dan orang lain mendengar mimpiku ini" Tertawa,
mengejek, mendoakan, atau tidak percaya"
Di kepalaku berkecamuk badai mimpi. Tekad sudah aku bulatkan: kelak aku ingin menuntut ilmu
keluar negeri, kalau perlu sampai ke Amerika. Dengan sepenuh hati, aku torehkan tekad ini dengan
huruf besar-besar. Ujung penaku sampai tembus ke halaman sebelahnya. Meninggalkan jejak yang
dalam. "Man jadda w ajadda. Bismillah". Aku yakin Tuhan Maha Mendengar.
Orator dan Terminator Hari ini semua orang memakai Wajah suka cita. Ketegangan tentang hasil ujian telah reda. Tadi
pagi semua nilai ujian diumumkan. Aku bersyukur sekali, hasil jerih payah belajar habis-habisan
menghasilkan nilai yang baik. Begitu juga teman-temanku yang lain, di luar dugaan, kami semua
mendapatkan nilai cukup baik. Kecuali Baso dan Raja. Mereka memuncaki nilai di kelas kami.
Yang tinggal sekarang kesenangan. Mulai besok kami menjadi orang merdeka. Uthlah. Libur. Indah
sekali rasanya melihat ke belakang perjuangan melelahkan yang aku lakukan setengah tahun ini,
18 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
sekarang diganjar dengan libur setengah bulan. Bayangkan! Dua minggu tanpa jaras, tanpa kelas t
anpa bagian keamanan, dan tanpa antri. Ke mana pun aku pergi, topik pembicaraan teman-teman
adalah liburan. Di PM selalu ada dua golongan dalam merayakan liburan.
Golongan pertama adalah golongan yang beruntung. Mereka mengepak tas dan pulang ke rumah
masing-masing, naik kendaraan umum atau dijemput oleh orang tua mereka. Ini adalah golongan
mayoritas. Golongan kedua adalah yang tidak pergi ke mana-mana dan tetap t inggal di PM selama
liburan. Umumnya, yang tidak berlibur karena rumah mereka sangat jauh sehingga tidak efektif pemakaian
waktunya, atau karena tidak punya uang untuk pulang bolak balik di liburan pertengahan tahun. Jadi
mereka mengumpulkan uang untuk bisa liburan di akhir tahun kelak.
Malangnya aku termasuk golongan yang kedua. Kiriman weselku selama ini lancar tapi pas-pasan.
Ayah dan Amak tampaknya sedang kesulitan sehingga t idak ada dana khusus untuk libur pulang
ke Padang. Aku sudah mencoba bertanya, tapi mereka berdua baru bisa mengirimkan uang
tambahan minggu depan. Sudah terlalu terlambat untuk berlibur.
Aku mencoba menghibur diri, kalau pun ada uang, liburanku suatu pemborosan. W aktu yang t
erpakai untuk naik bus bolak balik b isa 5-6 hari. Sisanya hanya 9 hari yang bisa digunakan di
rumah. Karena itu aku memutuskan untuk menunda pulang di libur akhir tahun saja.
Aku tidak sendiri. Baso juga tinggal di PM dengan alasan yang sama. Raja tidak pulang ke Medan,
tapi ke rumah tulangnya di Jakarta. Sedangkan sisa Sahibul Menara pulang berlibur.
Sejak dari pagi buta suasana PM sudah heboh. Hampir setiap orang di kamar sibuk mengemasi
sekaligus membersihkan lemari kecil mereka masing-masing. Tumpukan baju, gunungan buku, dan
ceceran kertas ujian tersebar di mana-mana. Barang' barang bekas yang tidak terpakai kami lempar
ke karung besar yang menganga di sudut kamar.
Kamar kami sudah seperti kapal d ikoyak badai. Bunyi resleting koper ditarik terdengar silih
berganti. Isinya lemari telah pindahkan ke dalam koper. Salam-sa-laman dan peluk erat di
mana-mana. Saling mengucapkan sela' mat liburan sampai ketemu 2 minggu lagi. Aku tidak
mengurus koper, tapi mengucapkan selamat liburan kepada teman-teman lain.
Hari ini tidak ada lagi aturan ketat yang membuat kami harus hati-hati dengan jasus dan Tyson,
karena ini juga hari libur buat mereka. Anak-anak kecil dari keluarga penjemput berteriak-teriak
sambil berlarian senang melint asi halaman masjid PM yang luas. Para orang tua murid
berseliweran dengan pakaian warna-warni sibuk mencari kamar anak mereka. Suasana meriah dan
rileks. Beberapa orang berfoto di depan masjid dan aula kebanggaan kami. Aku sempat beberapa kali
ditarik-tarik Said untuk berfoto dengan keluarga besarnya di kaki menara kami.
Tidak tanggung-tanggung, dia dijemput oleh 8 orang. Dua orang tua, paman dan tante, kakek, dan
nenek serta dua keponakannya yang masih balita.
19 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Rombongan para murid yang tidak dijemput keluarga sudah dinanti oleh bus-bus yang berbaris di
depan aula. Kebanyakan naik ke bus carteran yang bertuliskan nama kota masing-masing. Ada
yang ke Bangkalan, Denpasar, Jakarta, Jambi, bahkan Banda Aceh. Beberapa orang dijemput
dengan kendaraan pribadi. Selain Said, aku melihat Saleh, teman sekelasku dari Jakarta juga
dijemput orang tua dan adik-adiknya dengan Toyota Kijang biru. Bapak dan Ibunya yang berpakaian
muslim putih-putih sangat senang bertemu lagi dengan Saleh, anak laki' laki satu-satunya. Kami,
golongan kedua, melambai-lambaikan tangan ke bus yang satu persatu meninggalkan PM. Sedikit
gundah terselip di hatiku melihat kawan-kawan akan merasakan libur yang menyenangkan.
Bayangan Amak, Ayah dan dua adikku di kampung aku tepis dari pelupuk mata. Sekali lagi aku
hibur diriku dengan bilang, perjalanan ke Maninjau bolak balik akan sangat melelahkan.
Menjelang sore, kemeriahan ini semakin susut. PM sekarang lengang dan terasa lebih luas. Entah
karena penduduknya tinggal sedikit atau karena tidak ada aturan ketat yang mempersempit gerak
kami. Aku, Baso dan Atang duduk-duduk sant ai samb il mengunyah kerupuk emping melinjo yang
dibawa keluarga Said. Atang tidak jadi pulang hari ini, karena bapaknya yang datang menjemput
baru sampai besok. Sepi. Yang terdengar hanya bunyi kerupuk berderak digilas geraham kami masing-masing. Aku dan
Baso termenung-menung. W alau aku telah mencoba menghibur diri berkali-kali, tapi perasaan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggalkan ribuan orang seperti hari ini terasa aneh. PM sendiri tiba-tiba seperti t idak berdenyut
lagi. Merasa senyap, tidak diajak, tidak mampu, dan berbagai macam rasa yang aku t idak pahami
terasa hilang timbul. Aku melirik Baso dengan ujung mata. Matanya menatap kosong ke lonceng
besar yang tegak kokoh di depan aula. Mungkin dia merasakan hal yang sama denganku.
"Apa rencana kalian se lama libur ini," tanya Atang kepada kami berdua mencoba membunuh
kesunyian. Dia bertanya dengan bahasa Arab, walaupun selama libur kami boleh bahasa Indonesia.
"La airi. Tidak tahu. Mungkin main ke Ponorogo, atau ke perpustakaan," jawabku sekenanya. Aku
mencoba berbahasa Indonesia, w alau terasa lebih pas dengan bahasa Arab.
"Aku sudah punya rencana. Mencoba menyelesaikan hapalan juz kedua selama libur ini," kata Baso
tenang-tenang. Tekadnya menghapal Al-Quran tidak pernah luntur.
Atang mungkin membaca perasaan kami.
"Aku tahu tinggal di PM adalah pilihan kalian. Tapi, mungkin di mobil dinas bapakku masih ada kursi
kosong," katanya mengundang.
Aku dan Baso sama-sama memandang wajah Atang.
Tampaknya keinginan hati kami terdalam sebenarnya adalah berlibur.
"Masalahnya, aku tidak punya uang sama sekali. Baru minggu depan ada," jawabku.
20 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
"Walau aku ingin menambah hapalan Al-Quranku, tapi itu bisa dilakukan setelah libur. Masalahku
sama dengan Alif. Aku muflis. Bokek!" Baso menyumbang bunyi.
Kembali hanya bunyi kriuk-kriuk kripik melinjo yang mendominasi. Kami bertiga hanyut dengan
pikiran masing-masing. Dalam hati, aku sebetulnya bersorak dengan adanya kemungkinan yang
ditawarkan Atang. Berlibur ke Bandung kayaknya menyenangkan.
"Aku juga tidak punya duit sekarang. Tapi aku bisa menjamin makan dan tinggal kalian nant i gratis
selama d i Bandung. Pergi ke Bandung jelas tidak bayar karena naik mobil bapakku. Untuk ongkos
kembali dari Bandung ke PM aku bisa meminjamkan nanti. Bagaimana?" bujuk Atang.
"Boleh aku pikir dulu malam ini ya," balasku. W alau hatiku bersorak, aku merasa perlu berhitung
lagi, apakah duitnya memang ada, dan apakah enak kalau dibayarin seperti ini.
Baso set uju dengan ideku untuk pikir-pikir dulu. Atang tersenyum.
Begitu bangun menjelang subuh, kami berdua t elah berada di depan Atang yang masih
mengucek-ucek mata. Aku menjabat tangannya erat, "Thayyib ya akhi. Ila Bandung. Oke, kita ke
Bandung. Atang tersenyum senang kami akhirnya mau ikut dia.
Perjalanan ke Bandung sangat menyenangkan. Bapak Yunus, ayah Atang adalah laki-laki separo
baya yang periang. Sepanjang perjalanan dia bercerita tentang kemajuan pendidikan di Bandung dan dengan senang
hati mentraktir kami selama perjalanan. Tidak sampai 12 jam, kami telah masuk Kot a Bandung
yang penuh pohon rindang dan berhawa sejuk. Yang pertama aku tanya ke Atang adalah di mana
letak ITB. Kampus impianku dan Randai.
Pak Yunus adalah pegawai Pemda Bandung dan aktif di Muhammadiyah. Kaca depan rumahnya
menempel sebuah stiker hijau dengan gambar matahari di tengahnya. "Dari mulai orang tua saya
sudah aktif di pengurus cabang Muhammadiyah," katanya Pak Yunus.
Keluarga Yunus berkecukupan dan sangat menghargai seni.
Dinding rumah dipenuhi lukisan, rak buku disesaki buku teater, melukis dan tari. Beberapa majalah
berbahasa Sunda dan majalah Panjimas ada di meja tamu. Peragat rumahnya rapi dan berwarna
terang. Rumah Atang terletak di dekat kampus Universitas Padjadjaran di kawasan Dipati Ukur.
Kawasan ini hiruk pikuk dengan mahasiswa yang berseliweran masuk dan keluar gang. Menurut
Atang, daerah sekitar rumahnya adalah lokasi favorit kos-kosan mahasiswa, karena dekat ke
kampus. "Bahkan dua kamar di paviliun rumahku ini dijadikan tempat kos anak Unpad," katanya.
Atang ternyata sudah merencanakan sesuatu buatku dan Baso. Beberapa minggu lalu ternyata
Atang dihubungi oleh teman-teman SMA-nya yang sekarang aktif di komunitas teater Islam dan seni
Sunda di Universitas Padjajaran. Mereka biasa mengadakan pengajian di masjid Unpad Dipati Ukur.
21 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Begitu tahu Atang akan pulang liburan, mereka langsung mendaulatnya untuk mengisi acara
pengajian bulanan minggu ini.
Begitu kami menyatakan ikut ke Bandung, Atang langsung mempunyai ide baru. Daripada hanya
dia yang memberi ceramah, dia meminta kami berdua juga ikut memberi kuliah pendek, tapi dalam
bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kami berdua tidak punya pilihan se lain set uju. Untunglah kami
telah terlatih memberikan pidato dalam 6 bulan terakhir ini.
Berbagai konsep pidato sudah ada di kepala, tinggal disampaikan saja.
"Silakan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di sekitar kalian. Di mana
pun dan kapan pun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat",
begitu pesan Kiai Rais d i acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti yang disampaikan
Atang adalah kesempatan kami untuk mempraktekkan apa yang telah kami pelajari di luar PM,
menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, Ballighul ann i walau
aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat.
Seperti undangan yang diterima Atang, kami datang ke Masjid Unpad sebelum Ashar. Di luar
dugaan, shalat Ashar berjamaah di masjid kampus ini penuh. Aku sempat agak grogi melihat
jamaah yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum, dan terutama para
mahasiswi yang manis-manis. Tapi begitu aku t ampil di mimbar membawakan pidato Bahasa
Inggris favoritku yang berjudul "How Islam Solves Our Problems", pelan-pelan grogiku menguap.
Semua teks pidato dan potongan dalil masih aku hapal dengan baik. Suaraku yang awalnya
bergetar, berganti bulat dan nyaring. Bagai di panggung muhadharah, hadirin terpukau.
Atang dan Baso juga tidak kalah baik penampilannya. Atang dengan lihai memasukkan berbagai
macam guyon Sunda yang membuat hadirin terpingkal-pingkal. Sedang Baso, dengan lafaz
Arabnya yang bersih, dilengkapi hapalan ayat dan hadisnya yang baik, membuat pendengar
mengangguk-angguk, antara mengerti dan tidak. Pokoknya, dengan gaya masing-masing, kami
bertiga membuat para hadirin berdecak kagum dan terlongo-longo. Mereka tidak biasa melihat
pengajian dalam tiga bahasa dan dibawakan oleh tiga anak muda yang kurus, berambut cepak, tapi
dengan semangat mendidih.
Begitu acara selesai, kami d isalami dan d ipuji banyak jemaah. Ada yang bertanya bagaimana
belajar pidato bahasa asing, bagaimana cara masuk PM, dan sebagainya. Dengan agak malu-malu,
kami menjawab semua pertanyaan dengan sabar. Tiga mahasiswi berjilbab banyak bertanya ke
Atang dalam bahasa Sunda. Mungkin bekas temannya di SMA dulu.
Atang sibuk membetulkan kacamatanya yang baik-baik saja, ketika menjawab pertanyaan mereka.
Di akhir acara, pengurus masjid berbaju koko yang mengenalkan dirinya kepada kami bernama
Yana, menyelipkan sebuah amplop ke saku Atang. "Hatur nuhun Kang Atang dan teman semua.
Punten, ini sedikit infaq dari para jemaah untuk pejuang agama, mohon diterima dengan ikhlas."
Kami kaget dan tidak siap dengan pemberian ini.
Mandat dan pesan PM pada kami adalah melakukan sesuatu dengan ikhlas, tanpa embel-embel
imbalan. Atang dengan kikuk berusaha menolak dengan mengangsurkan amplop kembali ke Kang
Yana. Tapi dengan tatapan sungguh-sungguh, dia memaksa Atang untuk menerimanya.
22 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
Besoknya Atang mengajak kami keliling Bandung naik angkot. Sesuai janji, Atang yang membayari
ongkos. Dimulai dari melihat alam yang hijau Dago Pakar, melihat keramaian kota di Dago, Gedung
Sate, toko pakaian di Cihampelas, keriuhan Alun-Alun dan mencari buku-buku bekas dan murah di
Palasari. Di hari berikut nya kami berjalan sampai ke luar kota: Lembang dan Tangkuban Perahu. Atas
permintaanku, Atang juga mengajak kami masuk ke dalam kampus ITB di Jalan Ganesha dan
Masjid Salman yang t erkenal itu. Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan
unik, pohon-pohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni.
Sedangkan di Masjid Salman, anak-anak muda dengan jaket lusuh bertuliskan nama jurusan kuliah
berkumpul di dalam masjid dan pelatarannya. Membentuk kelompok-kelompok yang sibuk
berdiskusi. Mereka memegang buku, Al-Quran dan catatan. Diskusinya semangat sekali. Pemimpin
diskusinya juga anak muda yang tampak lebih senior. Dia menuliskan potong-potongan ayat dan
istilah-istilah modern di papan t ulis kecil. Aku mencuri dengar, bacaan Arabnya tidak fasih, t ulisan
Arab nya apalagi, tapi semangatnya menerangkan luar biasa.
Leng-kap dengan istilah-istilah modern yang t idak sepenuhnya aku pahami.
Ada kece mburuan di hatiku. Atau merasa t ersindir" Dengan keterbatasan ilmu agama mereka,
kenapa mereka begitu bersemangat berdiskusi t entang Islam" Padahal mereka punya jadw al
kuliah teknik yang konon berat. Sebaliknya aku malah ingin belajar ilmu teknik-teknik mereka.
Apakah seperti ini manusia, yang tidak pernah puas dengan apa yang dipunyai dan selalu melihat
kepunyaan orang lain"
Betapa hebat sekolah ini telah menghasilkan seorang Ir. Soekarno, Presiden Indonesia dan
beberapa menteri ternama.
Mimpiku memang belum padam. Di gerbang batunya, di sebelah arca Ganesha, aku mendongak ke
langit. Duhai Tuhan, apakah mimpiku masih bisa jadi kenyataan"
Atang menelepon Said yang ada di Surabaya. Mendengar kami bertiga berkumpul di Bandung, dia
bersikeras agar kami menyempatkan diri main ke rumahnya di Surabaya, sebelum kembali ke PM.
Dia b ilang, kami bisa kembali bersama mobil keluarganya ke PM.
Tawaran yang menggiurkan aku. Untunglah kemudian Baso dan Atang setuju. Selainitu kami juga
tertolong dengan amplop yang kami terima kemarin. Isinya cukup membantu biaya transportasi aku
dan Baso. Tiga hari sebelum libur berakhir, kami bertiga meninggalkan Bandung menuju Surabaya
dengan menumpang kereta api ekonomi. Said dengan senyum lebar khasnya menyambut kami
dengan lengan terbuka lebar. Tangan tiang betonnya memeluk kami.
Kawanku yang satu ini memang selalu bisa menunjukkan ekspresi persahabatan yang kental.
"Syukran ya ikhw ani lihudurikum...Pokoknya kalian tidak akan rugi main ke sini dulu," katanya
membantu mengangkat koperku. Dia memasukkan koper-koper kami ke Suzuki Hijet biru dan
menyetir sendiri ke rumahnya, di daerah Ampel.
Keluarga besar Said menyambut kami dengan tidak kalah meriah. Bapaknya, kami panggil Abi.
Seorang laki-laki paruh baya yang tegap dan berambut putih. Dia memakai baju put ih terusan
seperti piyama dan jari tangannya terus memetik tasbih yang dibawa ke mana-mana. Abi
23 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
menepuk-nepuk bahu kami, seakan-akan bertemu kawan lama. "T afadhal. Silakan.
Anggap rumah sendiri ya," katanya dengan logat jawatimuran yang kental.
Rumah Said bertingkat dan furniturnya terbuat dari kayu kokoh yang dipelitur hitam. "Ini kayu jati,"
kata Said waktu aku t anya. Dinding rumahnya penuh lukisan kaligraf i, foto-foto keluarga dan
silsilah keluarga yang seperti pohon besar, ujung bawahnya keluarga Jufri, dan ujung atasnya Nabi
Muhammad. Juga ada sebuah kalender besar bertuliskan Pengurus Nahdhatul Ulama Jawa Timur,
berdampingan dengan sebuah piagam yang d iterbitkan oleh PBNU untuk orang tua Said atas
dukungan dan sumbangan besarnya buat pembangunan sekolah NU di Sidoarjo. Dua mobil parkir
di garasi depan. Baso dari tadi tidak henti-henti menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berdecak-de-cak kagum melihat rumah Said.
Said menceritakan bahwa rumah di seberangnya adalah kantor Abi, sebuah usaha batik rumahan
yang cukup sukses. Kami - Atang, Baso, aku dan Said tidur di kamar yang sama, ukurannya besar
dan mempunyai kasur busa yang tebal. Di dinding kamar Said masih terpampang foto-foto kejayaan
semasa dia SMA. Juga ada dua poster bintang film, keduanya poster Arnold Schwarzenegger. Satu
poster yang lebih baru mendominasi p int u kamarnya, foto PM dari udara. Sekolah kami t ercinta.
"Aku juga sudah tiga kali ceramah, dua di masjid, satu di kantor Fatayat NU," kata Said menimpali
cerita kami ceramah di Unpad.
"Salah satu yang hadir di ceramah itu, calon istriku, Najwa,"
katanya berbisik samb il tersenyum lebar. Buru-buru dia merogoh dompetnya, mengeluarkan
sebuah pas foto seorang perempuan Arab muda berkerudung hitam. Alisnya hitam pekat dan
matanya kejora. Said memang telah dijodohkan dengan salah satu keluarga jauhnya. Kedua belah
keluarga setuju, dan menurut Said, dia dan calon istrinya juga tidak keberatan.
Ini benar-benar pengalaman baru bagiku, masuk ke dalam sebuah keluarga Arab dan berada di
kawasan yang ditinggali mayoritas orang Arab. Setelah sarapan dengan nasi kebuli, Said mengajak
kami melihat toko keluarganya di Pasar Ampel, tidak jauh dari rumahnya.
Pemandangan pasar ini sungguh menarik hatiku. Jalanan pasar semarak dengan barang dagangan
yang menjela-jela ke jalan mulai dari baju muslim, bahan pakaian, sajadah, batik, minyak wangi
sampai kurma dan air zamzam. Bau minyak wangi bercampur dengan bau sate kambing
menggelitik hidung. Lagu kasidah dan irama padang pasir mengalun dari beberapa toko.
Kali ini Said berlagak seorang pemandu turis.
"Saudara-saudara, selamat datang di Pasar Kampung Ampel, pasar tertua di Surabaya. Telah ada
sejak abad ke-15, tidak lama set elah kehadiran Sunan Ampel." Tangannya sambil melambai ke kiri
dan kanan, menyapa para penjaga toko yang banyak memakai kopiah putih dan baju terusan
seperti Abi. "Dari daerah m ana asal keturunan Arab di sini?" t anya Baso tertarik.
24 Perempuan Paris Motinggo Busye baca di cerita-silat.mywapblog
"Macam-macam. Kebanyakan dari Yaman, Hadralmaut seperti faam Jufri, keluargaku. Tapi ada
juga sebagian dari Hijaz dan Persia. Tapi walau dari Arab, jangan harap kami kebanyakan di sini
masih lancar bahasa Arab. Kalian dengar sendiri, kami di sini lebih lancar bahasa suroboyoan."
"Hmmmm... kalau pohon silsilah tadibagaimana ceritanya....," tanya Atang ragu-ragu.
"Oh, yang ada di dinding rumahku" Ya, kami percaya, sebagai keturu
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25 online di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
nan dari Y aman, ada hubungan silsilah terus ke atas kepada Rasulullah," kata Said dengan
bangga. Nah, sebelum kita jalan keliling kota, aku mau ajak kalian mencicipi makanan kesukaanku," kata
Said begitu kami sampai di depan sebuah rumah makan. Said dengan cekatan memesankan
berbagai makanan. Tidak lama kemudian terhidang kebab, roti maryam dan semangkok besar
makanan berkuah yang aku tidak tahu namanya.
"Ayo... ayo.... aku traktir. Semua yang aku pesan adalah menu andalan mereka. Coba ini, saya
jamin kalian tidak akan ketemu di tempat lain. Ini namanya gulai kacang hijau,"pamer Said.
Hah, kacang hijau digulai" Di kampungku kacang hijau hanya untuk bubur manis. Aku, Atang dan
Baso mencicipi makanan ini. Agak terasa aneh di lidah Minangku, tapi aku bisa memakannya.
Setelah dimakan dengan hidangan lain, rasanya semakin enak. Tidak lama, semua hidangan yang
di depan kami berempat tandas.
Seperti di Bandung, tuan rumah kami, Said, dengan senang hati mengajak kami keliling ke berbagai
objek wisata di sekitar Surabaya, seperti Tunjungan Plaza, Jembatan Merah, dan Kebun Binatang.
Bagi aku anak kampung yang baru saja menjejakkan kaki di Pulau Jawa, jalan-jalan di Bandung
dan Surabaya merupakan pengalaman yang sangat luar b iasa. Aku bersyukur sekali mempunyai
teman-teman yang baik dan tersebar di beberapa kota seperti Atang dan Said.
Di hari terakhir sebelum kami kembali ke PM, Said punya kejutan buat kami.
"Kalian masih ingat kan waktu kita ke Ponorogo sampai basah kuyup dan melihat poster film Amold
Schwarzenegger?" tanyanya kepada kami sambil mengerlingkan matanya yang lucu.
"Yang membuat kita hampir dihukum itu kan," kata Atang dengan muka masih kurang senang.
"Hampir aku botak dan malu seumur hidup," kata Baso tak kalah sengit
Said tidak peduli dengan perasaan Atang dan Baso.
"Y a, benar! Ingatan kalian memang bagus. Karena itu aku akan traktir kalian unt uk nonton filmnya,
Terminator," katanya berbinar-binar. Aku senang sekali, karena belum pernah menonton film di
bioskop selain film G-30 S PKI. Itu pun di bioskop di Bukittinggi yang penuh kecoa dan kepinding.
Dengan gaya malu-malu tapi mau, Atang dan Baso menyambut tawaran Said.
Bioskop di Surabaya ternyata jauh lebih bagus daripada d i kampungku. Udaranya dingin dan
kursinya empuk. Suara dan gambarnya juga terasa lebih tajam dan jernih. Film ini dibuka dengan
sebuah kilatan cahaya dari lang it yang kemudian menjelma menjadi aktor idola Said, Arnold
Schwarzenegger. 1 online di cerita-silat.mywapblog
Aku tidak terlalu paham cerita detailnya, tapi yang jelas Arnold adalah robot canggih utusan dari
masa depan untuk menyelamatkan umat manusia. Sepanjang jalan pulang ke rumah Said, kami
bertengkar tentang apakah robot yang sudah seperti manusia itu bisa masuk surga atau masuk
neraka. Kami berempat kembali ke PM diant ar sendiri oleh Abi dengan mobil kijangnya. Muka kami senang
dan segar setelah libur. Inilah liburan sekolahku yang paling berkesan. Penuh pengalaman baru
mulai dari memberi ceramah, tinggal di kampung Arab sampai menonton bioskop. Aku yakin Randai
pun tidak akan pernah punya liburan seseru liburku.
Kami tidak sabar kembali ke PM antara lain karena penasaran ingin berprofesi sebagai bulis lail
alias night watckmatu Sebuah tugas menjadi peronda malam menjaga PM. Sebagai anak baru,
kami akan mendapat giliran ronda setelah semester pertama. Menurut para senior kami, menjadi
bulis lail ini pengalaman tak terlupakan.
Princess Of Madani Hari pertama masuk sekolah masih menyisakan hal-hal yang menyenangkan selama liburan. Cerita
kami tidak hab is-habisnya tentang apa yang telah dikerjakan dan akan kami lakukan. Semua
senang bertemu teman lagi, tapi juga agak malas harus kembali ke kelas lagi.
"Selamat datang kawan-kawan, ayo mana oleh-oleh kalian untukku yang telah menjaga kamar
kalian selama dua minggu?" sambut Kurdi dengan senyum lebar kepada anak-anak yang terus
berdatangan setelah libur. Beberapa orang memberinya makanan seperti jenang, dodol Garut, dan
kerupuk tempe. Kurdi seorang anak bermuka bundar dan berperut lebih bundar dengan pembawaan riang gembira.
Dia kawan satu kamarku dan memilih tidak liburan karena orang tuanya jauh di Kalimantan. Dia
sangat menyukai seni lukis dan matematika. Dan dia bertekad menggunakan liburan di PM ini untuk
mendalami luk isan minyak. Bosan meluk is, d ia ke perpustakaan untuk membaca buku-buku teori
matematika. Kombinasi hobi yang unik.
Tidak hanya kami yang liburan saja yang punya cerita menarik. Kurdi juga tidak mau kalah. Selama
ini dia memang tidak pernah kehabisan cerita-cerita lucu dan gosip terbaru seputar PM. Kakak
pertamanya seorang ustad dan kakak keduanya duduk di kelas enam. Tidak heran dia punya
informasi yang lebih banyak daripada kami. Kami selalu merubungnya begitu dia mulai
menceritakan hal-hal yang membuat kami terbahak-bahak sampai sakit perut. Tapi kali ini ceritanya
tidak mengocok perut. "Saya baru dapat info kalau kita akan punya warga baru yang istimewa di sini. Seorang gadis


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

caaaant ik." Kata cantik diucapkannya dengan hiperbolik. Kontan kami yang masih sibuk
membongkar koper masing-masing berhenti, menoleh ke dia, menunggu cerita selanjutnya.
2 online di cerita-silat.mywapblog
"Nah, kalau cant ik aku bilang, baru kalian tertarik mendengar," kata Kurdi terbahak menikmati
leluconnya sendiri. "Keluarga Ustad Khalid baru pulang dari Mesir, dan mereka akan tinggal di rumah dosen, tidak jauh
dari sini." "Lalu, apa hebatnya!" kata kami protes.
"Nah, ini yang kalian tak tahu. Telah jadi legenda di kalangan kakak kelas bahw a ustad ini punya
anak gadis cantik yang tidak jauh umurnya dengan kita."
"Wah!" "Iya, jadi gosipnya kita akan punya "putri" di sini."
"Masih ingat tuan putri yang aku ceritakan kemarin" Yang anak Ustad Khalid?" t anya Kurdi retoris
di tengah kamar suatu sore.
Saat itu hampir semua anggot a kamar ada. Kami mengangguk-angguk sambil sibuk menutup
lemari masing-masing, bersiap-siap ke masjid.
"Aku kemarin melihat dia di depan rumahnya," lanjut Kurdi bangga.
Kami meliriknya iri. "Kalau melihat sih biasa. Banyak yang sudah pernah melihat, dari jauh. Tapi yang tahu namanya
baru aku," kata Kurdi berbinar-binar.
Seketika itu juga t erdengar bunyi pint u-pintu lemari ditut up buru-buru. Kami segera merubung di
sekitarnya dengan penasaran. Barulah setelah kami janjikan berbagai konsesi makanan serta
traktiran, Kurdi akhirnya bersedia menyebutkan rahasia yang dia klaim hanya dia yang t ahu.
"Nama tuan putri itu Sarah," katanya puas dengan imbalan yang dia dapat dari informasi ini.
Sa-rah... Sa-rah. Nama itu seperti bersenandung memasuki kupingku. Indah dan enak didengar.
Sejak di PM, semua nama yang kudengar adalah punya laki-laki. Kalau ada yang perempuan,
paling banter adalah nama para mbok-mbok di dapur umum seperti Tinem, Sugiyem, dan Jumirah.
Tapi Sarah, hmmmm indah sekali didengar.
Di kamar aku bertemu mereka, di kelas aku bertemu mereka lagi, di lapangan bola juga, bahkan di
depan kaca, aku pun bertemu makhluk yang sama: laki-laki. Sekolah kami adalah keraja-an kaum
lelaki. Tidak ada perempuan di areal belasan hektar ini kecuali mbok-mbok di dapur umum dan
kantin, keluarga para guru senior yang kebetulan tinggal di dalam kampus, dan para tamu yang
datang dan pergi. Karena itulah, mohon dimaklum i dengan sepenuh hati, bahw a kami agak norak kalau bertemu
lawan jenis. Senang tapi gugup. Yang jelas, suatu kebahagiaan tersendiri kalau bisa melihat gadis
3 online di cerita-silat.mywapblog
sebaya apalagi kalau sampai dapat kesempatan mengobrol. Amboi nian rasanya. Kesempatan
seperti ini akan terkenang terus sampai berminggu-minggu dan menjadi bahan obrolan di kelas, di
kamar, ketika lari pagi, dan di masjid.
Tapi aturannya amat jelas: Mamnu'. Terlarang. Selama di PM, kami tidak diizinkan untuk
berpacaran dan berhubungan akrab dengan perempuan. Jangankan saling bertemu,
bersurat-suratan saja dilarang. Hukumannya tidak main-main, paling rendah dibotak, dan bisa naik
kategori menjadi dipulangkan.
Sore itu ketika akan ke masjid, kami Sah ibul Menara yang penasaran ingin melihat Sarah,
mengambil jalan memut ar sehingga lewat di depan rumahnya. Dan berapa beruntungnya kami,
sekilas kami melihat seorang gadis berkerudung hijau di tangkan rumah baru Ustad Khalid.
Bersama dengan seorang ibu, dia merapikan beberapa kardus yang bertuliskan Arab.
Sambil tetap berjalan lurus ke arah masjid, kami menoleh takut-takut ke arah rumah itu. W alau
hanya sek ilas wajahnya, tapi aku setuju dengan gosip dari Kurdi, gadis ini seperti seorang putri.
Di bawah menara, kami berlima sering membahas masalah yang satu ini.
"Apa kamu pernah pacaran Lif?" tanya Atang dengan pandangan agak merendahkan umurku. Dia
tahu pasti, sebagai anak yang lebih muda tiga tahun dari dia, tentulah aku t idak punya
pengalaman. "Tentu saja," jawabku pendek membela diri. Dalam pikiranku tergambar peristiwa waktu aku saling
pinjam buku pelajaran dengan teman perempuan sekelas. Malu berbicara, aku menyelipkan surat
pendek berisi pujian di halaman tengahnya. Sejak itu teman itu menjauh dariku.
"Aku setamat di sini akan mengawini Najwa, dari keluarga pamanku," sahut Said dari ujung,
terpancing pembicaraan kami. W aktu libur kemarin Said telah memperlihatkan fotonya kepada
kami. "Alah, masih tiga tahun lagi kok disebut-sebut sekarang.
Sudah keburu direbut orang," timpal Raja samb il terkekeh-kekeh. Said merengut mendengarnya,
tapi membalas. "Orangtua kami telah set uju. Dan kami telah sepakat..."sergahnya.
Menurut Said, sejak dia masuk PM, keluarga calonnya semakin kesengsem. Aku kira Said punya
semuanya untuk menjadi menantu idaman para mertua. Anak muda yang tampan, berbadan tegap
dan baik hati, kaya, punya nasab keluarga yang baik, dan sekarang belajar di PM pula. Ketika
melepas kami liburan Kiai Rais pernah mengatakan bahwa semakin lama kami di PM, semakin kami
berharga. "Dulu jual paku sekarang jual rambutan, dulu tidak laku sekarang jad i rebutan," seloroh
beliau yang disambut gelak t awa satu aula.
4 online di cerita-silat.mywapblog
Aku biasanya tidak banyak b icara. Apalagi memang tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang
hal ini. Tapi nama Sarah yang bersenandung itu membuat aku memberanikan diri berkata, "Kalau
aku ingin berkenalan dengan Sarah,"kataku.
Semua mata memandang kepadaku. Pertama dengan sorot kaget, lalu dengan pasti berubah
menjadi mengejek. "W ah, ada punguk merindukan bulan nih," kata Atang sambil terkekeh tanpa suara. Senioritasnya
sebagai lulusan SMA muncul.
"Sarah adalah idaman semua orang. Dan dia berada d i tempat yang paling tidak bisa ditembus.
Bapaknya, Ustad Khalid adalah salah seorang guru yang paling tegas dan disegani. Bagaimana
mungkin kau akan bisa?" tanya Raja.
"Tapi, kan kalau ada niat ada jalan. Man jadda u/ajada, kan?" kataku sekenanya. Dalam hati, aku
juga tahu, jauh panggang daripada api.
"Aku traktir makrunah sebulan kau kalau sampai kenal dengan dia," tantang Raja menggebu-gebu
seperti biasa. Makrunah adalah menu khas kantin PM berupa mie gemuk-gemuk bergelimang kecap, bawang
goreng dan rajangan cengek. Menu favorit di kantin kami.
"Oke, aku tidak takut tantanganmu. Akan kubuktikan aku bisa. Akhi semua, kalian dengar kan ya?"
jawabku agak kesal. Mataku mengedarkan pandangan.
"Oke, janji. Tapi dengan syarat, ada gambar kau dengan dia," t ambah Raja cengengesan.
"Hah, bilang saja kau tidak berani. Kok pakai syarat aneh segala macam."
"Kalau gak mau ya sudah. Artinya gak berani. Titik. Take it or leave it."
"Kita lihat saja nant i siapa yang menang!" kataku mulai sengit. Aku agak tersinggung dengan gaya
bicara Raja yang me-remehkanku. Aku tahu dia memang lebih pintar dan lebih tua. Tapi bukan
berarti dia bisa selalu lebih baik.
Banyak keajaiban terjadi di dunia karena orang telah memasang tekad dan niat, dan lalu mencoba
merealisasikannya. Aku pun percaya dengan man jadda wajada itu. Dan aku akan membuktikan
bahwa Raja salah dan tidak boleh meremehkan aku seperti itu. Aku akan membuat pembuktian.
Kita lihat saja nanti. Sementara aku dibakar emosi untuk membuktikan Raja salah, isu tentang Sarah semakin merajai
pembicaraan sehari-hari di PM. D ia dibicarakan di mana-mana, tapi sekaligus tidak ada di
mana-mana. Dia seperti hantu, sosok yang terus dibicarakan dan dibayangkan, tapi tidak ada
wujudnya. 5 online di cerita-silat.mywapblog
Obrolan tentang Sarah bahkan kini mengalahkan popularitas Rosadi, penyerang tim sepakbola PM
yang bisa lari seperti kijang dan Teguh, juara pidato bahasa Inggris yang baru memenangkan piala
gubernur di Surabaya. Rumah Ustad Khalid dan beberapa guru senior tepat berada di pusat kampus kami. Setiap akan
masuk kelas dan ke dapur umum, pasti kami b isa melihat rumahnya. Sering kami mengambil jalan
memutar untuk sengaja melewati rumahnya.
Dan set iap lewat itulah aku dan ribuan kawan lainnya berkompetisi bebas untuk mencuri pandang
ke arah beranda rumahnya dengan harapan: Sarah sedang ada di luar rumah menyiram bunga.
Sayang seribu kali sayang, harapan kolektif kami ini jarang terjadi. Yang kadang t erjadi, Sarah
sekelebat turun dari mobil dan langsung masuk rumah. Yang kami lihat adalah sekilas
punggungnya ketika menuju pintu rumah, dan kalau beruntung, sekilas wajahnya ketika dia
menutup pintu dan melihat ke arah luar. Dan walau pemandangan ini hanya sekelebat, setiap
penampakan Sarah adalah berita menggemparkan bagi kami semua.
Siapa pun yang bisa melihat penampakan sekelebat itu akan dengan royal bercuap-cuap kepada
semua orang, di kamar, di kelas, di bu lis lail dan sebagainya. Tentu tidak ada yang bisa menjamin
kalau cerita ini juga telah dibumbui berbagai hal dramatis.
Tiga minggu setelah liburan, dengan pakaian "dinas" ke masjid, kami seperti biasa berkumpul di
bawah menara. Dari kejauhan, kami melihat Dulmajid berlari-lari. Mukanya merah, mulut nya seperti
mas koki, megap-megap mencari udara, tapi matanya bersinar.
"Y a akhi, tau gak, hari ini aku dapat rezeki besar!" teriaknya kepada kami berempat. Aku yang
sedang dalam penantian abadi terhadal wesel berharap dia mendapat wesel atau kiriman makanan.
Lumayan bisa memin jam atau dapat makan gratis.
"Makanan atau wesel?" tembakku langsung.
"Bukan... yang ini lain," katanya mengerlingkan mata.
"T adi, ketika aku jadi piket asrama siang, aku melihat pemandangan yang sangat jarang. T idak lain
dan tidak bukan, si Sarah berkeliling PM dengan keluarganya. Bahkan sempat melihat asrama k
ita!" lapornya semangat.
Terus?" perhatian kami semuanya sekarang tersedot.
Semua kepala merapat ke Dulmajid.
"Ya aku lihat saja..."
"Kamu tidak berusaha senyum, menyapa, atau berkenalan?"
"Iya, itu dia, kenapa aku tidak melakukannnya," kata Dulmajid dengan muka masygul. Dia menyesali
dengan amat dalam kekeliruannya.
6 online di cerita-silat.mywapblog
"Bagus nasib kau. Tapi artinya tetap saja kau tidak bisa memenangkan makrunah sebulan dariku.
Tak ada fotonya,"sergah Raja cepat dengan iri.
Bukan dia saja yang iri. Kami semua, bahkan semua penduduk PM melihat siapa saja yang
beruntung melihat penampakan Sarah dengan penuh benci dan iri. Kok bisa mereka sebe-runtung
itu. W alau penuh dengan benci dan iri, kami t etap dengan antusias duduk melingkar
mendengarkan si Dulmajid yang sekarang mengulang detik-detik dia melihat Sarah. W alau dalam arti senyatanya
memang hanya hitungan beberapa detik. Sekelebat saja.
Kalau dihimpun cerita beberapa saksi mata dan pengalamanku sendiri, Sarah adalah gadis muda
berumur 15 tahun yang sangat menarik. Alisnya h itam kelam dan tebal.
Ujung kedua alisnya nyaris bertemu saking suburnya. Mungkinini yang dimaksud dengan ungkapan
semut beriring. Mukanya putih dan lonjong dibalut jilbab.
Kini, set iap melewati rumahnya, tidak pernah aku lewatkan untuk menengok ke beranda rumahnya.
Apa daya, upaya melengos ke kanan jalan tidak menghasilkan apa-apa. Sarah tidak pernah
tampak. Beberapa kali Yang muncul adalah Ustad Khalid yang berkumis lebat. Cepat-cepat aku
palingkan wajah ketakutan.
Aku mulai menyusun berbagai rencana yang mungkin untuk menembus tembok Cina ini. Ada
beberapa kemungkinan yang aku pertimbangkan. Pertama dengan cara paling jant an, datang
bertamu ke rumah Ustad Khalid untuk bertanya tentang pelajaran. Di PM, kapan saja seorang murid
boleh mengetok pintu rumah ustad untuk bertanya tentang pelajaran. Aku membayangkan, ketika
asyik berdiskusi hangat dengan Ustad Khalid di beranda rumahnya, Sarah muncul menating
secangkir teh hangat dan pisang goreng. Tapi aku segera menghapus lamunan itu, karena Ustad
Khalid tidak mengajar kelasku.
Cara yang kedua yang lebih mungkin adalah memanfaatkan kedudukanku sebagai wartawan
majalah kampus Syams. Aku bisa mengajukan surat untuk wawancara panjang dengan Ustad
Khalid, untuk dimuat sebagai rubrik "Mengenal Guru Kita". Wawancara seperti ini sudah beberapa
kali aku melakukannya dengan ustad senior.
Tapi aku ragu-ragu. Apakah wawancara ini benar" Apakah sebetulnya motivasiku" Ingin
mewawancarai seorang tokoh PM yang baru kembali sekolah, atau mencari peluang untuk kenal
dengan anaknya, untuk kemudian membuktikan kepada Raja kalau aku bisa" Aku terus terang
bingung menjawabnya. Tapi bukankah niatku benar ketika berniat mewawancarai Ustad Khalid" Kalau dari wawancara itu
aku bisa kenal Sarah, berarti itu bonus saja" Bolak-balik aku menimbang-nimbang.
Keputusanku: wawancara perlu dilakukan.
Aku segera membuat persiapan. Dengan kop surat majalah kampus, aku tulis surat permohonan
wawancara, lengkap dengan alasan wawancara dan beberapa pointer pertanyaan.
7 online di cerita-silat.mywapblog
Intinya aku ingin menggali lebih jauh tentang motivasi, semangat dan nasihat dari Ustad Khalid. Aku
ingin tahu bagaimana suka duka menuntut ilmu di Mesir, dan bagaimana kami para siswa PM bisa
belajar dari pengalamannya.
Semoga Ustad Khalid punya waktu.
Pendekar Pembela Sapi "Yang terpilih malam ini adalah kamar sembilan!" seru Kak Is. Kami sukacita menyambut
pengumuman ini. Beberapa orang bahkan bertepuk tangan girang.
Akhirnya, apa yang kami nanti-nantikan setengah tahun ini jadi kenyataan juga. Malam ini untuk
pertama kalinya kami sekamar mendapat penugasan menjadi bulis lail at au pasukan ronda malam.
Inilah kesempatan yang dinantikan semua murid baru dan juga murid yang lebih senior.
Kasur segera kami gelar dan lampu kamar dipudurkan.
Sebagai bulis lail, kami dapat keringanan untuk tidur lebih awal jam tujuh malam. Ketika semua
orang masih belajar dan tidak boleh masuk kamar, kami malah diwajibkan tidur untuk persiapan
begadang. Setelah tidur 3 jam, Kak Is membangunkan kami untuk memulai tugas mulia ini.
"Qum ya akhi. Ayo bangun. W aktunya bertugas. Cepat berkumpul di kant or keamanan pusat untuk
untuk briefing dan pembagian lokasi kalian," katanya di depan kami yang masih menguap dan
mengucek-ngucek mata. PM Madani berdiri d i atas kawasan belasan hektar di daerah terpencil di pedalaman Ponorogo.
Pondok dan dunia luar hanya dibatasi pohon-pohon rindang dan pohon kelapa yang
julang-menjulang, yang berfungsi sebagai pagar alami sekolah kami. Sementara di dalam PM,
banyak sekali barang berharga mulai dari komputer sampai ternak sapi pedaging dan sapi perah
kepunyaan PM. Bagaimana agar sekolah kami aman dari pencuri di malam hari" Kiai Rais mengembangkan solusi
praktis: bulis lail. Ronda dari jam 10 malam sampai subuh ini melibatkan sekitar seratus murid set
iap malamnya untuk menjaga keamanan PM.
Tidak seperti ronda malam di kampungku yang harus keliling, di PM, sepasang peronda
ditempatkan di puluhan sudut sekolah yang dianggap rawan untuk ditembus oleh pencuri atau
orang yang bermaksud jahat lainnya.
Di kant or Keamanan Pusat yang sempit ini kami duduk berdesakkan di lantai. Beberapa orang
kembali meneruskan tidur yang terganggu sambil duduk. Tapi begitu melihat Tyson yang membagi
penugasan, rasa kantuk kami langsung menguap.
8 online di cerita-silat.mywapblog
Aku mengguncang-guncang Atang yang tertidur duduk dengan gugup sambil membisikkan ke
kupingnya, "Tyson". Tidak ampun lagi, leher layu Atang jadi tegak dan mata yang 5 watt menjadi
100 watt. Mengerjap-ngerjap.
Dengan gaya otoritatif dan suara tegas seperti perwira brimob, Tyson mengingatkan bahwa malam
ini keamanan PM ada di bahu kita, karena itu tidak seorang pun boleh tidur sepiring pun. Bagi yang
tidur akan dipastikan masuk mahkamah keamanan pusat.
"Adik-adik, malam ini kalian harus lebih waspada. Menurut laporan kepolisian, sekarang musim
pencurian. Dan pencurinya bersenjata," kata Tyson lantang. Wajah kami menjadi tegang.
"Kampung sebelah kita sudah beberapa kali kecurian mula i dari motor sampai sapi. Dan seminggu
yang lalu beberapa sapi pondok hilang dari kandang yang terletak di pinggir sungai.
Melihat kami memasang wajah jeri, Tyson mencoba menghibur. "Tapi jangan takut, kami sudah
menyiapkan pasukan patroli khusus dari ustad dan murid S ilat Tapak Madani. Mereka akan
berkeliling dari satu pos ke pos lain.
Tugas kalian adalah menjaga pos masing-masing. Kalau ada apa-apa, beri isyarat dengan peluit.
Siapa yang mendengar peluit harus meniup peluitnya sendiri, sehingga nant i menjadi pesan
berantai buat semua orang," katanya lugas samb il membagikan peluit berwarna merah kepada
setiap orang. Said, yang merupakan tim int i Tapak Madani memang sudah beberapa hari ini sibuk dengan
latihan khusus. Bahkan malam ini pun dia tidak ikut bersama kami di pos, karena dia bagian dari
pasukan patroli khusus tadi.
Briefing selesai. Aku dan Dulmajid mendapat pos di pinggir Sungai Bambu, di pojok terujung PM.
Begitu bubar dari briefing, kami menyerbu kantin untuk mempersiapkan perbekalan untuk
menemani ronda malam ini. Atang yangbaru menerima wesel memborong aneka makanan, mulai
dari kacang sukro, mie instant, minuman energi, roti, sampai kerupuk. Sayang, aku tidak
berpasangan dengan Atang. Aku yang selalu punya wesel mepet merasa cukup dengan set angkup
roti mentega saja. Dulmajid yang mungkin lebih parah situasi ekonominya, cukup senang dengan 2
buah plastik kecil kacang telur. Aku tidak lupa membawa gelas kosong untuk jatah kopi dan air
panas y ang akan diantar oleh dua petugas.
Untunglah aku tidak kebagian tugas sebagai petugas air.
Kedua orang ini harus memasak air panas dan menyeduh kopi di sebuah tong besar. Tong besar ini
kemudian ditaruh di atas gerobak kayu yang didorong berkeliling ke set iap pos jaga malam.
Bayangkan tugas beratnya, ketika seisi PM tidur nyenyak, dua orang malang yang terpilih ini harus
mendorong gerobak yang berat ke 50 pos di kawasan seluas lima belas hektar.
Tepat jam 10 malam, aku dan Dulmajid sampai di lokasi kami, sebuah tempat gelap di ujung barat


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PM. Sesuai namanya, Sungai Bambu dikawal oleh rumpun bambu yang menyeruak ke sana-sini.
9 online di cerita-silat.mywapblog
Lokasinya jauh dari keramaian PM, pohon bambunya rapat dan besar-besar.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, sungai ini terkenal angker.
Dulu katanya tempat pembuangan korban PKI. Ingat cerita itu, aku melihat ke sekeliling pos dengan
takut-takut. Aku merasa sejurus angin dingin berhembus dan menggetar-getarkan pucuk-pucuk
bambu. Memperdengarkan gesekan daun yang menyerupai rint ihan risau dan resah. Dalam
imajinasiku, inilah rint ihan para korban PKI puluhan tahun silam. Bulu romaku serempak tegak.
"Dul, kenapa bunyi bambunya seperti itu?" tanyaku kepada Dulmajid, untuk memecah sepi.
Tidak berjawab. Dia mengangkat satu tangan memintaku jangan mengganggu.
Dulmajid, si anak Madura yang tidak pernah memperlihatkan rasa t akutnya, kali ini t ampak serius.
Matanya menatap Al-Quran kecilnya. Dia mungkin mengadakan perlawanan atas ketakutan ini
dengan membaca Ayat Kursi dan Surat Yasin dari kitab Quran kecilnya, lamat-lamat.
Pos penjagaan kami adalah dua kursi dan sebuah meja kayu. Sebuah bola lampu yang
redup-terang seperti kunang-kunang raksasa tergantung di sebuah t iang bambu di sebelah meja.
Menurut instruksi Tyson, kursi dan meja kami harus dihadapkan ke sungai untuk memantau daerah
ini. Sungai ini tenang dan kelam. Bunyi alirannya halus seperti dengkuran kucing.
Belum lagi hatiku tenang, aku ingat rumor lain yang pernah diceritakan teman lain. Dari kegelapan
sungai inilah kerap bahaya kriminal mengint ai. Inilah salah satu jalur bagi para pencuri untuk masuk
ke PM. Biasanya para pencuri ini pelan-pelan menyeberangi Sungai Bambu yang dangkal, kira-kira
tingginya sepinggang orang dewasa.
Lalu mereka membongkar paksa kelas-kelas, mengambil bangku dan meja kayu dan kembali
menyeberang sungai sambil menjunjung tinggi-tinggi hasil jarahannya.
Barulah setelah menamatkan surat Yasin, mengecup Quran, dan meletakkan ke dadanya sebelum
diletakkan dengan takzim di meja, Dul mau aku ajak ngobrol.
"Oke kawan, aku siap melawan dedemit Sungai Bambu sekarang," katanya penuh dengan percaya
diri. Inilah momen yang menyenangkan dalam pengalaman bulis. Bisa bicara ngalor ngidul, semalam
sunt uk, tidak ada jadw al lonceng yang mengganggu, dan satu lagi, tidak perlu takut dicatat jasus
kalau memakai bahasa Indonesia.
Besoknya bisa pula t idur sampai siang. Dulmajid yang 3 tahun lebih tua dariku berkisah tentang
kenangannya di SMA yang menyenangkan. Tapi dia selalu merasa beruntung bisa masuk PM
karena merasa banyak belajar ilmu dunia dan akhirat.
Profesi bapaknya petani garam di Sumenep. Dengan penda'
10 online di cerita-silat.mywapblog
patan orangtua yang tidak besar, mengirim Dulmajid sampai SMA dan sekarang ke PM adalah
sebuah perjuangan. Dulmajid bertekad untuk belajar keras, kalau bisa juga meningkatkan taraf
hidup keluarganya yang telah beberapa generasi menjadi petani garam.
"Nasib kami para petani garam masih tetap asin, belum manis. Penghasilan kami naik turun
tergantung harga garam nasional. Ekonomi kami lemah dan pendidikan kurang baik,"
katanya menerawang, mengingat dulu dia ikut membantu orang-tuanya bertani garam. Padahal
untuk membuat garam perlu banyak tenaga.
"Sebelum diisi air laut, tambak garam harus kering dan tanahnya padat. Ini saja butuh waktu
minimal 10 hari, tergantung teriknya matahari. Setelah seminggu kami baru bisa memanen garam di
tambak yang telah mengering.
Sebuah kehidupan yang berat," katanya.
Nanti, setamat di PM, dia ingin pulang kampung, memerdekakan kampungnya dari keterbelakangan
dengan membangun sekolah. Untuk menambah nafkah, dia ingin menjadi guru di berbagai sekolah
agama yang butuh seorang lulusan pondok.
Satu jam pertama kami menggebu-gebu bercerita, dipenuhi ke-tawa khas Dul yang selalu berderai.
Semua makanan perbekalan kami tamat dengan cepat. Roti tangkup, dua plastik kecil kacang
sukro, dan sebungkus mie yang kami bagi rata berdua. Makanan habis, kantuk mengancam.
Aku bercerita tentang permainya kampungku di pinggir Danau Maninjau, sebuah danau dari kawah
gunung api purba yang maha besar. Aku telah menggebu-gebu, tapi tidak ada reaksi dari
sebelahku. Aku lirik, Dul sedang berjuang melawan jajahan kantuknya yang keji. Kepalanya
pelan-pelan jatuh ke dadanya, lalu diangkat lagi dan jatuh lagi dan diangkat lagi.
Matanya terpejam di balik kacamata tebalnya.
"Qum ya akhi, kok sudah tidur, belum habis ceritaku," aku goyang-goyang bahunya.
Dia menggeleng-geleng untuk meraih kembali kesadarannya.
Giliran dia bercerita tentang karapan sapi, aku merasa makin lama suaranya m akin halus dan
sayup da ilang sama sekali. Sampai tiba-tiba aku terbangun mendengar bunyi berisik dari
rumpun bambu di depanku. Dua ekor tikus besar mencericit berlari melintasi bawah meja kami.
Untunglah lomba mengantuk kami dilerai dengan kedatangan petugas kopi. Ali dan Sabrun, dua
kawan sekamarku mendorong gerobak besar berisi kopi dengan susah payah ke arah kami.
"Hoi, la tan'as daiman, ini kopi datang!" kata Ali me lihat kami yang berwajah tidur. Sabrun
menuangkan cairan hitam ke gelas kami dengan gayung plastik.
Ransum kopi panas mengepul-ngepul ini cukup manjur.
Setelah beberapa hirup, kantuk berkurang dan kami kembali mengobrol seru tentang cita-cita masa
11 online di cerita-silat.mywapblog
depan. Aku ingin menjadi Habib ie atau w artawan, dan Dul ingin menjadi dosen.
Aku ingin kuliah di Bandung, Dul ingin ke Surabaya, supaya dekat ke Madura, katanya.
W aktu terus bergulir. Sekitar jam dua pagi, aku menghabiskan tegukan terakhir kopi yang tersisa.
Dan perlahan tapi pasti, kantuk datang lagi. Takut tertangkap basah oleh Tyson yang sering
Jangan ngantuk terus melakukan razia, kami membuat pakta untuk tidur bergantian setiap 30 menit.
Seingatku, pakta ini hanya berjalan satu putaran, dan setelah itu aku tidak ingat ada giliran lagi.
Kami berdua benar-benar terjerumus dalam tidur yang pulas.
Sekonyong-konyong, butir-butir dingin dan basah menerpa mukaku berulang-ulang. Aku gelagapan
dan memaksa mengungkit kelopak mata yang terasa seberat batu.
Pandanganku kabur dan rasanya masih melayang-layang.
Samar-samar sebuah telapak tangan yang kukuh mendekat ke mukaku. Jari-jarinya tiba-tiba
menjentik. Aku tergeragap. Dan mukaku sekali lagi basah oleh air.
"Qiyaman ya akhi5ll" yang punya tangan itu menggeram.
Geraman yang kukenal. Geraman Tyson. Ya Tuhan. Tangan kirinya memegang botol air yang
digunakan unt uk membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang dia menjentikkan air ke muka
Dul yang segera mencelat dan terjengkang dari kursinya karena kaget.
Tangannya bergerak cepat memilin kuping kami. "Amanah menjaga PM kalian sia-siakan. Sampai
ketemu di mahkamah besok!" katanya dengan desis murka samb il berlalu dengan sepeda hitamnya
ke dalam gelap malam. Ah, alamat aku menjadi jasus lagi. Kantukku tiba-tiba punah.
Satu jam lagi azan Subuh akan berkumandang dan selesailah tugas kami. Tugas yang tidak kami
lakukan dengan baik. Menurut T yson, satu jam terakhir ini adalah masa kritis.
Biasanya kondisi mengantuk, capek dan merasa sebentar lagi selesai sehingga lengah. Padahal di
masa satu jam ini sering terjadi pencurian. Para pencuri datang berkelompok dan bersenjata tajam.
Situasi inilah yang membuat Said beberapa hari ini sibuk dengan latihan dan rapat koordinasi. Dia
termasuk t im elit Tapak Madani untuk pengamanan yang dipimpin Ustad Khaid ir, mantan atlet silat
nasional. Ustad yang berasal dari Lint au, Sumatera Barat ini berperawakan sedang tapi liat. Kalau
berjalan seperti kucing, ringan dan lincah. Konon dia menguasai berbagai ilmu beladiri klasik dan
modern. Mulai dari silek tuo yang sudah langka di Minang, silat Lint au, sampai kung fu dan
tentunya silat Tapak Madani. Dialah idola Said setelah Arnold Schwarzenegger.
Aku sedang berdiri meregangkan badanku yang kesemutan ketika tiba-tiba dari arah hulu sungai
kami mendengar suara orang berteriak-teriak dan bunyi kaki berlari mendekat ke arah kami. Tapi
sungai benar-benar gulita, kami tidak melihat apa-apa yang terjadi. Lampu kecil ini hanya
menerangi beberapa meter ke depan. Aku dan Dul saling berpandangan dan bersiaga. A pakah ini
pencuri" Kapan kami harus meniup peluit Lalu bunyi lengkingan peluit bersahutan merobek gulita.
12 online di cerita-silat.mywapblog
Kami segera membalas, meniup peluit kami kencang-kencang.
Tidak salah lagi, PM sudah dimasuki pencuri!
Derap kaki yang heboh tadi kini berhenti. Sekarang yang terdengar adalah bak-buk-bak!
Lalu terdengar teriakan, "aw as! satu orang lari, kejar!!!"
Aku tegang. Derap kaki t erdengar makin mendekat ke arah pos kami. Tidak t ahu apa yang harus
dilakukan, secara refleks kami berdua mengangkat kursi masing-masing, siap menggunakannya
sebagai senjata kalau ada serangan.
Dan gerombolan semak di dekat akar bambu tiba-tiba tersibak. Sebuah bayangan hitam melompat
cepat, langsung menuju ke arah kami. Dengan gugup aku memicingkan mata, membaca zikir,
sambil menyorongkan kaki kursi ke arah depan. Aku lihat Dul juga melakukan hal yang sama.
Krak... duk... bruk... Ahhh! Kursi yang aku pegang bergetar seperti dihantam karung goni dan
terpental ke samping. Aku membuka mata takut-takut. Sosok hitam yang besar tadi terjengkang dan
mengerang kesakitan sambil memegang kakinya, tepat di depan kami berdua, di atas onggokan
daun bambu kering. Bajunya hitam, t utup kepalanya hitam. Dengan refleks tanganku kembali
meraih kursi, siap-siap dengan semua kemungkinan.
Kaki kursi yang kami sorongkan dengan asal-asalan ke depan rupanya menggaet kaki si hitam ini
dan membuatnya tersungkur. Tapi sosok hitam-hitam ini tidak menyerah. Dia bangkit berdiri,
memperlihatkan badannya yang tinggi besar.
Kresak... kresek... daun-daun kering dilindas telapak kakinya yang bergeser ke kanan dan kiri.
Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, tangannya merogoh pinggangnya. Sebuah benda mengkilat
diangkatnya setinggi dada. Memantulkan sinar lampu. Sebuah parang berkilat-kilat Aku dan Dul
serentak surut. Darahku berdesir. Kami ciut.
Jelas kami kalah besar dan tidak punya senjata sepadan melawan parang ini. Sementara
lengkingan peluit terus bersahut-sahut an dari kejauhan. Seisi PM sudah tahu ada pencuri. Aku
berharap bantuan segera datang. Sadar nasibnya tersudut, si hitam gelagapan dan mengambil
ancang-ancang lari sambil mengayunkan parangnya ke depan. Mengarah kepadaku. Ayunan
pertama ini melibas kaki kursi kayu dan mementalkannya dari tanganku. Parangnya kembali t
erangkat, siap melancarkan ayunan kedua.
Tiba-tiba, semak kembali terkuak. Bagai kijang, lima orang berlompatan dengan lincah dan
mengurung sosok hitam tadi.
Tiga di antaranya aku kenal: Tyson, Said dan Ustad Khaidir.
Mereka menenteng tongkat, ruyung, dan tali. Tim elit Tapak Madani!
"CEPAT MENYERAH!!! Kau sudah kami kepung!" hardik Ustad Khaidir. Tangannya mengibas ke
arahku, menyuruh menjauh.
13 online di cerita-silat.mywapblog
Sosok hitam ini membisu dan tidak melihatkan tanda-tanda menyerah. Posisi kuda-kudanya
merendah dan dia mengedarkan pandangan liar kepada pengepungnya. Lalu tiba-tiba kakinya
melent ing seperti per, badannya mencelat dan menyabetkan parang ke depan. Langsung menuju
ulu hati Ustad Khaidir. Sebuah gerakan yang salah besar.
Dengan kecepatan yang sulit aku ikut i, aku melihat, tangan dan kaki Ustad Khaidir berkelebat
ringan dan pendek-pendek.
Tahu-tahu, kakinya menghajar lut ut dan tangannya menetak per-gelangan tangan si hitam. Detik
selanjut nya, aku melihat sosok hitam ambruk di tanah berdebum dan mengerang kesakitan.
Parangnya telah berpindah t angan ke Ustad Khaidir yang berdiri kembali dalam posisi sempurna,
posisi awal silek tuo. Posisi alif.
Dengan langkah cepat, Tyson mendatangi kami set elah si hitam diringkus.
"Syukran ya akhi, telah menahan dia untuk lari. Kalian bebas dari mahkamah, kesalahan tidur
dimaafkan," katanya.
Kali ini dengan nada bersahabat. Dia mengulurkan tangan.
Mungkin untuk menghargai usaha kami. Aku jabat dengan ragu-ragu. Cincin kuningannya terasa
dingin di telapakku. Di malam yang menegangkan ini dua orang pencuri berhasil diringkus. Mereka ditemukan membuka
paksa pintu kandang sapi. Tim elit berhasil melumpuhkan yang satu di dekat kandang, dan yang
satu lagi di depan mataku sendiri. Kedua lut utku masih gemetar ketika melihat kedua orang
digelandang ke arah PM untuk diserahkan ke polisi. Gemetar tapi juga senang. Senang karena bisa
ikut menangkap pencuri dan lebih senang lagi lepas dari kewajiban jadi jasus.
Si Punguk dan Sang Bulan Sudah dua minggu sejak aku bertemu Sarah. Tapi rasany a baru kemarin. Pengalaman yang selalu
membawa senyum ke wajahku. Pengalaman yang juga mengajarkan bahwa kalau aku mau
bercita-cita, selalu ada jalan. Bahkan keajaiban-keajaiban bisa d iciptakan dengan usaha-usaha tak
kunjung menyerah. Bunyi mesin ketik bertalu-talu. Malam ini kantor majalah Syams cukup ramai karena kami sedang
mempersiapkan perencanaan naskah buat majalah edisi berikut nya. Aku membersihkan kamera
yang akan aku pakai untuk liputan.
Kepala lensa aku tiup-tiup untuk mengusir debu yang menempel.
Tiba-tiba pintu kantor majalah kami diket uk keras. Tanpa menunggu jawaban, sebuah sosok gelap
membuka pintu, membawa masuk angin dingin malam bersamanya. Sosok t ak diundang ini horor
nomor satu kami: Tyson. 14 online di cerita-silat.mywapblog
Tanpa banyak prosedur dia menyalak, "Alif, kamu dipanggil ke Kantor Pengasuhan, menghadap
Ustad Torik, sekarang juga!" katanya menunjuk hidungku. Dalam sekejap dia berkelebat pergi,
meninggalkan aku yang pucat.
Di dalam ruangan KP aku duduk dengan cemas. Ini adalah tempat paling menakutkan di PM.
Mereka ada di atas hukum, yang membuat hukum dan bahkan bisa menghukum Tyson dan anak
buahnya. Apa kesalahanku" T anganku dingin.
Ustad Torik muncul. Matanya tajamnya tidak lepas dari wajahku.
"Benar kamu bulan ini mewawancarai Ustad Khalid?" selidiknya.
"Be... betul, Ustad," jawabku terbata.
"Saya mohon maaf kalau ada yang salah," jawabku mendahului penghakiman. Mungkin aku dapat
remisi dengan mengaku salah.
"Beliau mint a kamu dat ang besok ke rumahnya jam delapan pagi. Tolong bawa kamera, karena
beliau sekeluarga mint a tolong difoto keluarga," perintahnya lurus. Aku menarik napas longgar.
Bangau Sakti 12 Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy Hujan Dan Teduh 1

Cari Blog Ini