Ceritasilat Novel Online

Rukas Angel 3

Rukas Angel Karya Angelia Putri Bagian 3


menginginkanku sebagai model cover majalah mereka. Aku menoleh-noleh mencari
sosok Kazuto, dan kulihat dia sedang menelepon seseorang, masih di tempat yang
sama. Aku tidak berani mengganggunya, jadi aku duduk di tempat yang terpisah darinya
dan memperhatikan para kru yang hilir mudik membereskan barang-barang dan
property yang digunakan untuk pemotretan tadi. Ketika aku baru akan berjalan ke
tempat Kazuto untuk memberitahunya bahwa pemotretan sudah selesai, tiba-tiba kedua
mata dan mulutku ditutup dengan kain. Aku mencium bau manis yang menyengat dari
kain yang menutupi mulutku. Obat bius! Aku mencoba berontak, namun kedua
tanganku dipiting ke belakang, dan lama-kelamaan aku merasakan kesadaranku
memudar, sebelum aku tidak ingat lagi apa yang terjadi. *** Sepertinya aku memang
harus merutuki hari diciptakannya ponsel dan sepertinya juga, aku harus benar-benar
mengganti nomor ponselku dengan yang baru karena sehari ini saja aku sudah
mendapatkan telepon menyebalkan dari Kazuto. Sekarang, Lucia juga ikut-ikutan
meneleponku. "Apa yang kamu inginkan, Lucia" Bukankah sudah kubilang jangan
pernah ganggu aku lagi?" kataku ketus tanpa mengucapkan kata halo saat menerima
teleponnya. "Kenapa kamu harus marah, sayang" Aku hanya ingin tahu bagaimana
keadaan tunanganku yang tampan." Ujarnya dengan aksen suara yang dibuat semanis
mungkin. Ugh. Rasanya aku ingin muntah mendengar suaranya. "Aku baik-baik saja.
Dan kuperingatkan lagi, jangna coba-coba menghubungiku lagi, atau..." "Atau apa"
Kamu tidak sedang bersama perempuan lain, kan?" katanya menyela ucapanku, "Inoue,
aku tahu kamu sedang dekat dengan seorang perempuan bernama Ruka. Apakah dia
juga alasan kamu kabur dari rumah dan kabur dari pertunangan kita?" Rasanya aku
ingin menampar Lucia jika dia ada di hadapanku sekarang. Suaranya begitu
mencemooh ketika menyebutkan nama Ruka. Dan itu membuatku mengkertakkan gigi
tanpa kusadari. "Aku tidak sedang dekat dengannya. Lagipula, apa pedulimu" Aku
sudah bilang pada Kazuto bahwa aku ingin pertunangan kita dibatalkan." Kataku
menahan geram, "Dan Kazuto akan menyanggupinya. Dan, percayalah, jika kamu tahu
siapa gadis bernama Ruka itu, aku yakin kamu akan malu jika berani menyakitinya."
Kudengar nafas tertahan di seberang telepon dan merasa puas sudah menjatuhkan
setitik bom yang cukup untuk membuatnya sadar diri. Aku benar-benar ingin lepas dari
Lucia. "Aku sudah menduga hal itu," suara Lucia dibuat terkesan tenang dan terkendali,
walau aku tahu dia pasti ingin menamparku jika aku ada di dekatnya, "Karena itu, aku
sudah membuat rencana untuk menyingkirkan gadis itu." Apa" Apa katanya tadi"
Menyingkirkan gadis itu" "Apa yang sedang kamu rencanakan?" tanyaku curiga,
"Jangan main-main denganku, atau Kazuto, kalau kamu tidak ingin menyesal di
kemudian hari." "Oh... aku tidak akan menyesal sayang. Jika pertunangan kita batal
sekalipun, aku akan tetap mengejarmu karena kamu adalah orang yang ditakdirkan
untukku." Kata Lucia, "Aku akan memastikan, salah satu diantara kalian tidak akan
mendapatkan gadis bernama Ruka itu." "Ap - jangan coba-coba, Lucia. Jika kamu
menyakiti gadis bernama Ruka itu, aku akan..." "Akan apa" Sepertinya kamu khawatir
sekali padanya. Apa jangan-jangan kamu dan Kazuto mencintai perempuan yang
Rukas Angel - Angelia Putri
sama?" "Itu bukan urusanmu." "Itu menjadi urusanku kalau itu sudah menyangkut ke
pertunangan kita, Inoue." Kali ini nada suara Lucia benar-benar serius. "Aku tidak akan
membiarkan satupun dari kalian mendapatkan gadis bernama Ruka itu. Aku jamin itu."
"Ap - halo" Halo!?" Telepon langsung diputus begitu saja. Dan otakku langsung
berputar mencerna ucapan Lucia di telepon tadi. Apa dia tahu soal Ruka" Tapi, dari
mana" Dari Kakek" Sepertinya tidak... Kakek yang kukenal (walau hanya sekali
berbicara dengan beliau) tidak akan membocorkan rahasia kecil sedikitpun. Jadi...
kupastikan bahwa pria tua itu tidak tahu sama sekali tentang Ruka. Dan kalaupun
tahu... Lalu, dari mana Lucia mendapatkan informasi tentang Ruka" Apa dia menyewa
detektif untuk mengawasi gadis itu" Dengan perasaan cemas, aku segera menelepon
nomor Ruka. Tapi, selalu dijawab oleh mailbox. Sial. Perasaanku makin tidak enak.
Kutelepon nomor Kazuto. Dan syukurlah, dia langsung menjawab pada dering pertama.
"Tumben sekali kamu meneleponku." Suara Kazuto terdengar heran, sekaligus curiga.
"Ada apa" Bukankah sudah kubilang kalau - " "Ruka bersamamu?" tanyaku langsung.
"Apa?" "Apa Ruka bersamamu, Kazuto" Demi Tuhan! Jawab saja!" kataku mulai didera
rasa panic. "Kenapa kamu begitu panic" Dan kenapa kamu menanyakan soal Ruka"
Tidak biasanya..." Oke. Ini benar-benar menguji kesabaranku. "Lucia meneleponku
lagi," kataku, "Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan nomorku, dan aku tidak
menuduhmu sebagai pelakunya. Tapi, aku takut terjadi sesuatu pada Ruka. Lucia tahu
tentang dia dan berniat melakukan sesuatu padanya." "Lucia?" kudengar nada bingung
dalam suara Kazuto. "Kenapa dia menghubungimu dan mengatakan bahwa dia tahu
tentang Ruka?" "Itu juga yang ingin kuketahui." Kataku mulai gemas, "Kazuto, dengar,
kalau sampai terjadi sesuatu pada Ruka... itu artinya ada beberapa kemungkinan,
termasuk Lucia. Dia bisa saja melakukan segala cara agar aku bisa kembali
melanjutkan pertunangan. Dan aku rasa... dia akan melakukan sesuatu pada Ruka.
"Jangan anggap remeh Lucia, Kazuto. Kau tidak tahu bagaimana persisnya wanita itu
selain aku yang sudah bisa menerka sifatnya dari pertama kali bertemu. Sekarang,
kutanya lagi, apa Ruka bersamamu?"
Rukas Angel - Angelia Putri
"Aku menemaninya di lokasi pemotretan. Tapi, dia belum keluar dari tenda. Padahal
katanya dia ingin berganti pakaian..." suaranya tiba-tiba menggantung. Nah... nada
menggantung seperti ini tidak pernah diperdengarkan Kazuto sebelumnya. Yah...
mungkin hanya beberapa kali, tapi, itu pun sangat jarang. "Kazuto, Ruka ada di sana
juga, kan?" tanyaku lagi. "Err... tunggu sebentar. Aku akan meneleponmu lagi nanti."
Lalu telepon diputus. Dan aku menatap ponselku selama beberapa detik sebelum
Kazuto menghubungiku lagi. Cepat juga dia menghubungiku lagi. "Bagaimana?" "Ruka
tidak ada." Kata Kazuto, kengerian tergambar jelas dalam suaranya. "Manajernya tadi
bilang kalau dia sudah keluar dari tenda dan berganti pakaian. Kemudian keluar dan...
tidak ada." Uh-oh... gawat. "Sepertinya... sepertinya Ruka menghilang." *** Kepalaku
terasa pusing, dan berat. Aku masih merasa tubuhku lemas akibat obat bius yang tadi
kuhirup dari kain yang menutupi mulutku. Sepertinya aku menghirup terlalu banyak
karena sekarang, walaupun aku sadar, tapi, tubuhku tidak bisa digerakkan. Ini di mana"
Pertanyaan itu terbersit dalam benakku ketika menyadari sekelilingku gelap. Gelap yang
benar-benar gelap. Hitam dan tidak ada warna lain. Seolah aku berada di tempat
terdalam sebuah gua yang dalam. Tapi, di sini tidak ada bunyi tetesan air atau apa pun.
Hening. Tidak ada suara sama sekali. Dan aku benci dengan kegelapan seperti ini.
Sangat membencinya. Aku mencoba bergerak, tapi ternyata kedua tangan dan kakiku
terikat. Bahkan mulutku juga ditutup dengan lakban. Dan sepertinya tempatku berada
sekarang adalah sebuah ruangan berdebu atau semacamnya karena aku merasakan
Rukas Angel - Angelia Putri
udara yang kering dan agak berdebu. Kalaupun aku mencoba menggunakan
kemampuan telekinesisku di sini percuma saja karena aku tidak mungkin bisa melihat
apa pun karena kegelapan ini. Kemudian aku mendengar suara-suara lain di dekatku.
Suara lirih laki-laki, berbicara dengan seseorang di dalam kegelapan yang
menyelimutiku sekarang. Suaranya terlalu lirih dan nyaris tidak terdengar. Tapi, aku
sempat mendengar desahan nafas seseorang dan bunyi sesuatu jatuh ke lantai. Lalu
hening lagi. Dan aku mulai takut dengan apa yang akan terjadi padaku nanti. Tiba-tiba
lampu di sudut ruangan menyala. Dan walaupun hanya berupa cahaya temaram, aku
bernafas lega, setidaknya kegelapan ini tidak terlalu menakutkan lagi. Tapi, kelegaanku
tertahan ketika aku melihat seorang pria berpakaian serba hitam dan berwajah dingin
menyeramkan berdiri menjulang di atasku dengan sebuah pisau di tangannya. Seringai
jahat terlihat jelas di wajahnya. "Saatnya bermain," katanya dengan suara serak dan
kasar. CHAPTER 15 Mataku terpaku pada pisau di tangannya yang memantulkan
sinar dari lampu temaram di belakangnya. Aku beringsut mundur dan berusaha menjauh
dari pria itu. Aura di sekitarnya sangat menakutkan. Lebih menakutkan daripada aura
yang berada di sekitar Kazuto. Aura pria ini lebih... dingin, mencekam, dan ada hasrat
membunuh di dalamnya. Membunuh" Mataku kembali terpaku pada pisau itu dan
kengerian mengaliri tubuhku. Apa pria ini akan membunuhku" Pria itu berlutut di
hadapanku dan mencekal bahuku, lalu menarikku ke dekatnya. Hingga aku bisa melihat
wajahnya dengan lebih jelas. Aku bergidik melihat bekas luka bakar di sebagian
wajahnya dan juga beberapa bekas luka gores lainnya yang membuat wajah pria itu
menjadi jauh lebih menakutkan. Aku mencoba melepaskan cekalan tangannya pada
bahuku dengan meronta. Suaraku tidak bisa keluar karena mulutku dilakban. Dan
gerakanku terbatas dengan tangan dan kaki terikat. Dengan mudah, pria itu berhasil
mencekal bahuku lagi, kali ini lebih keras, dan dia bahkan mendorongku ke dinding dan
menatapku dengan tatapan liar. "Aku akan puas mendandani gadis cantik sepertimu
dengan warna merah pekat dari darahmu." Katanya sambil terkekeh, "Tapi, itu bisa
menunggu. Sebelum itu, aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa membuatku
merasa lebih senang lagi." Pisau yang ada di tangannya di dekatkan ke wajahku dan
aku memejamkan mata ketakutan. Mata pisaunya yang dingin mengenai kulitku dan
membuatku meremang. Kemudian mata pisau itu beralih ke leherku, dan aku gemetar
akibat rasa sakit yang tiba-tiba terasa di sana. Apa dia menusukku" Atau menggoreskan
pisaunya di sana" "Kuharap kamu akan senang dengan riasan yang kuberikan
padamu." Ujarnya, dan membuatku membuka mata ketakutan, "Wanita itu
memerintahkanku untuk melenyapkanmu, agar keinginannya tidak ada yang
menghalangi lagi." Wanita itu" Siapa yang dia maksud" Pisau di tangannya sedikit
berlumur darah, dan aku tahu itu adalah darahku. Pria itu mendekatkannya di tengah
dadaku dan melepas dua kancing kemeja sekolahku. Matanya menatap senang ketika
kedua kancing itu terlepas dan jatuh ke lantai. "Kurasa aku akan cukup
bersenang-senang hari ini." katanya terkekeh dengan suara mengerikan. "Wanita itu
ternyata juga menghadiahiku hadiah yang luar biasa." Aku ingin bertanya siapa wanita
yang dia maksud, tapi lakban di mulutku menghalangi kata-kataku. "Ssstt... jangan
bergerak, atau pisau ini akan melukaimu." Katanya sambil mendecak pelan dengan
suara yang menjijikkan. "Sekarang, mari kita lihat, apa yang kau punya untukku, gadis
manis." Suara yang menakutkan dengan ancaman seperti itu membuatku makin
gemetar. Aku beringsut menjauh, tapi dinding di belakang menghalangiku dan aku tahu
aku sudah tersudut olehnya. Pria itu tertawa pelan dan menatapku dengan tatapan
seperti serigala lapar. "Well, saatnya pertunjukan." *** Segera setelah Kazuto
memberitahu Ruka tidak lagi bersamanya, aku langsung menyuruhnya memberitahu di
mana lokasi pemotretan itu dan bergegas ke sana, dengan kemampuanku, itu tidaklah
Rukas Angel - Angelia Putri
sulit dan memakan banyak waktu. Hanya dalam waktu 10 menit, aku sudah tiba di
taman yang dijadikan lokasi pemotretan. Kuperhatikan sudah tidak terlalu banyak orang
di sana, dan mobil sedan hitam Kazuto yang termasuk model terbaru terlihat mencolok
di antara kehijauan taman ini. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru
taman dan melihat Kazuto sedang duduk di bangku taman di bawah pohon rindang
besar. Aku segera menghampirinya dan melihat wajahnya diliputi kecemasan. "Kazuto,"
Dia mendongak dan menatapku. Ekspresi cemas di wajahnya berubah datar. Dan aku
tidak bisa membaca emosi apa yang sedang dirasakannya. "Ruka menghilang,"
katanya, "Padahal menurut manajernya, Sonia, Ruka sudah keluar dari tenda sesaat
setelah dia berganti pakaian. Ketika kutanya apa dia melihat Ruka lagi setelah itu, dia
bilang dia tidak tahu." "Oke..." aku mengangguk-angguk. Kecemasan kemudian ikut
menjalariku. "Lalu, apa kamu tahu ke mana dia menghilang?" "Ruka tidak mungkin pergi
tanpa aku," katanya lagi, "Tas sekolahnya saja masih ada di
Rukas Angel - Angelia Putri
tenda ketika aku mencarinya. Itu artinya, dia menungguku dan... mungkin ada
seseorang yang membawanya pergi," "Dengan sukarela" Kurasa tidak, kecuali kalau itu
adalah fans-nya yang ingin berfoto bersamanya di tempat lain." ujarku. "Aku takut, Lucia
yang melakukan ini semua." "Kenapa harus Lucia?" dia mengerutkan kening, "Lucia
tidak tahu siapa Ruka. Dan dia tunanganmu, kan?" "Lucia bukan tunanganku." Jawabku
sengit, "Sudah kubilang kalau aku ingin pertunanganku dengannya dibatalkan. Aku tidak
suka dengan wanita penggoda dan penjilat seperti dirinya." "Tapi, kenapa dia bisa tahu
tentang Ruka" Aku bahkan tidak pernah menyebut-nyebut soal Ruka di depannya ketika
kami bertemu beberapa hari yang lalu." "Kau bertemu dengannya?" aku mengangkat
sebelah alis. "Dia datang kepadaku 3 hari yang lalu karena ingin tahu di mana alamat
rumahmu. Tapi, aku menolak memberikannya karena tahu kamu akan mengancamku
dengan kemampuanmu yang jauh lebih besar dariku." dia mengerutkan keningnya
tidak suka, "Tapi, kelihatannya dia tidak menyerah. Kudengar dia menyewa seorang
detektif untuk melacakmu." "Dan saat itulah dia mengetahui tentang Ruka." Selaku, "Aku
berkenalan dengan Ruka tepat 3 hari yang lalu. Dan mungkin, saat itu detektif yang
disewa Lucia tahu aku bertemu dengan Ruka dan melaporkan hal itu padanya." "Aku
tidak memikirkan sampai ke situ." Kazuto mengerutkan keningnya semakin dalam. "Tapi,
kenapa dia harus mencelakai Ruka?" Aku memutar bola mataku mendengar
kepolosannya yang benar-benar di luar dugaan. Walau Kazuto bisa dikatakan secara
teknis adalah kakakku, dan dia juga lebih berpengalaman dalam hal formal, tapi, untuk
urusan menelaah para wanita di sekitarnya, dia nol besar. Apalagi saat masih kecil, dia
selalu berkutat dengan buku-buku pelajaran tebal yang jika dikumpulkan bisa dibuat
menjadi bantal untuk tidur. "Kazuto, aku tidak tahu kamu ini polos atau apa..." kataku
geleng-geleng kepala, "Tapi, kamu tidak tahu siapa Lucia. Dia itu tipe wanita yang akan
menghalalkan segala cara apabila ada sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
Membunuh pun, aku yakin dia akan melakukannya jika dia mau. "Dan mengenai Ruka.
Jika benar dia menyewa detektif untuk melacakku, dia pasti tahu juga soal Ruka yang
kutunjuk sebagai model untuk gaun rancanganku di festival kelulusan nanti. Dan dia
pasti menganggap Ruka sebagai ancaman bahwa aku membatalkan pertunangan
karena hal tersebut. Lucia adalah orang yang berpikiran pendek. Dia akan melakukan
apa pun agar aku bisa kembali padanya." Itu benar. Aku ingat dulu Lucia pernah
mencoba menculikku dengan menyewa beberapa preman yang cukup berpengalaman
dalam menculik. Untung saja waktu itu aku berhasil menghajar mereka dengan bela diri
yang kupelajari ketika masih kecil. Waktu itu, Lucia marah karena aku tidak mau
menemuinya setelah berkali-kali dia membujukku. Lucia adalah wanita yang berbahaya.
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku tidak perlu kata-kata untuk menjelaskannya. Tindakan dan sifatnya yang manja
itulah, yang membuatku tahu wanita seperti apa Lucia itu. Dan kadang aku gemas
sendiri melihat Kazuto hanya mendiamkan Lucia jika wanita itu berkunjung ke rumah
dan tidak melakukan apa-apa pada sikapnya yang jelas-jelas sangat mengincar harta
keluarga Hoshihiko. "Kita tidak akan punya banyak waktu untuk bicara nanti malam."
Kataku sambil menghembuskan nafas. "Kalau dugaanku benar, Lucia akan melakukan
apa pun agar bisa menyingkirkan siapa pun yang menghalanginya... dan itu pasti
termasuk Ruka. "Dan jika terjadi sesuatu pada Ruka... maka dugaanku semakin kuat."
Aku menatap Kazuto, "Kalaupun fans-fans Ruka yang membawanya, kurasa Ruka tidak
akan tinggal diam dan akan melakukan sesuatu sendirian. Ruka termasuk gadis yang
cukup mandiri, dan kupikir, juga menguasai bela diri." "Kau tahu dari mana hal seperti
itu?" Aku tersenyum dengan sebelah bibir dan mengetuk-ngetuk dahiku. "Otakku
mampu menerka seperti apa kemampuan orang yang ada di hadapanku." *** Kazuto
menelepon seorang detektif kenalannya untuk meneliti Lucia setelah kujelaskan kenapa
aku begitu membencinya (yang benar saja, aku sudah mengatakannya berulang kali,
tapi dia baru menyadari sekarang setelah Ruka dalam bahaya). Aku sendiri berusaha
mencari di mana keberadaan Ruka dengan kemampuanku. Aku memang merasakan
keberadaannya, tapi kurasa Ruka berada di tempat yang jauh karena aku hanya
merasakannya sekilas, kemudian menghilang begitu saja. Kazuto selesai menelepon
dan menoleh kearahku. "Detektif kenalanku akan melaporkan hasilnya dua hari lagi."
katanya, "Dan kuharap apa yang kamu katakan tentang Lucia benar, Inoue. Kalau tidak,
mungkin aku harus meminta maaf pada keluarga Hayashima karena menyelidiki
mereka." "Tenang saja. Jika yang kukatakan adalah bohong, maka aku sendiri yang
akan minta maaf pada mereka." kataku. "Lalu, sekarang kita harus bagaimana?" "Kita
harus mencari Ruka. Perasaanku tidak enak, dan aku takut terjadi sesuatu padanya."
Begitu juga aku. batinku sambil meringis. Aku juga berharap Ruka tidak apa-apa. Dan
apabila benar Lucia yang menculik Ruka, sungguh, aku akan mendatangi wanita itu dan
akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. *** Aku berusaha menjauh dari pria itu
sebisaku ketika pisau di tangannya menggores kakiku. Rasa nyeri dan bau karat darah
membuatku mual. Kepalaku tiba-tiba pusing karena melihat darah di pisaunya.
"Kenapa" Takut dengan darah?" Aku menatap ngeri wajah pria di hadapanku. Seringai
di wajahnya malah membuat wajah itu semakin kelihatan mneyeramkan. Di sekitarku
tidak ada benda-benda yang bisa kugunakan untuk memukulnya dengan telekinesisku.
Lagipula, aku belum melatih kemampuanku yang satu itu dalam 2 hari ini, dan aku tidak
yakin apakah aku bisa melakukannya sekarang. Tunggu. Aku masih bisa menggunakan
kemampuan mengendalikan pikiran yang kupunya. Dengan kemampuan itu, mungkin
aku bisa keluar dari sini. Dengan sedikit takut, aku mencoba menatap langsung matanya
selama beberapa detik, dan kemudian pria itu menatap kosong. Aku bernafas lega, aku
bisa mengendalikan pikirannya. Dengan satu gerakan kecil, aku menyuruhnya
membuka ikatanku. Setelah pria itu membuka ikatanku, aku segera membuka lakban
yang menutupi mulutku dan berlari kabur kearah pintu yang berada di belakangnya.
Tapi, aku melupakan kalau seharusnya aku masih mengendalikan pikiran pria itu
setelah aku keluar dari ruangan tersebut. Tiba-tiba saja tanganku ditarik kasar dan
didorong ke dinding dengan gerakan yang kasar dan keras sampai-sampai punggungku
sakit. "Berniat kabur" Bagaimana kau bisa melepas ikatanmu, manis?" Aku
menatapnya, dan menggunakan kemampuan telekinesisku untuk menjauhkannya
dariku. Ia terpental ke belakang dan menubruk dinding. Kesempatan ini kugunakan
dengan sebaik mungkin, aku melesat keluar dan berlari meninggalkan ruangan itu. Tapi,
ternyata tempatku berada sekarang adalah rumah kayu yang besar. Dan walaupun
berdebu dan kelihatan lama tidak dipakai, besarnya koridor yang kulewati menunjukkan
Rukas Angel - Angelia Putri
kalau tempat ini benar-benar besar. Aku tidak melihat adanya pintu keluar lain, dan ini
membuatku cemas. "Gadis kecil kurang ajar!" Aku menoleh ke belakang dan melihat
pria itu berhasil bangkit. Aku yakin, sebentar lagi
Rukas Angel - Angelia Putri
dia akan menyerangku lagi. Aku berlari melintasi koridor ini sambil berharap ada pintu


Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengarah ke luar rumah ini. Derap langkah kaki di belakangku menunjukkan
bahwa pria itu mengejarku. Aku harus bisa kabur darinya! Ada sebuah pintu di
depanku, dan aku berlari cepat ke sana dan membuka pintu itu. Syukurlah pintu itu
adalah pintu keluar. Aku melihat pepohonan yang menutupi keberadaan rumah kayu ini
dan sempat tertegun. Apa jangan-jangan aku dibawa ke hutan" "Kemari kau, gadis
kecil!!" Suara itu langsung menyentakku. Aku tidak ingin membiarkan kesempatanku
kabur menghilang begitu saja. Aku kembali berlari dan mendarat tepat di atas rumput
hijau yang bercampur dengan dedaunan kering. Kutoleh ke belakang dan melihat pria
itu masih gigih mengejarku. Jika ini hutan, pasti ada ujungnya. Kataku dalam hati. Tapi,
di kota ini hutan rindang seperti ini sudah jarang ada dan tergantikan dengan hutan
buatan yang di dalamnya ada cottagecottage milik pribadi... Itu dia! Tempat ini pasti
adalah hutan buatan yang menampung cottage-cottage pribadi milik orang-orang kaya.
Aku ingat dulu saat masih bersama keluarga Anderson, kami pergi ke hutan seperti ini
dan menghabiskan waktu liburan dengan menikmati keindahan hutan. Dan menilik dari
pohon-pohon yang berdiri tegak di sekitarku, aku rasa ini adalah hutan yang sama.
Kalau begitu... Aku mengernyit ketika merasakan rasa sakit yang amat sangat menjalar
dari punggungku. Rasa sakit itu semakin menyebar ketika aku mencoba berlari lebih
cepat. Ketika aku meraba punggungku, aku merasakan ada cairan di sana. Berwarna
merah. Darah. Langkahku langsung terhenti ketika ada rasa sakit lain yang berasal dari
kakiku. Rasa sakit itu membuatku jatuh ke atas rumput. Kulirik kakiku dan menahan
nafas ketika sebuah pisau kecil menancap di kaki kananku. Sebuah siluet menjulang
tinggi di belakangku, pria tadi. Dia menyeringai lebar dan mendekat kearahku dengan
langkah perlahan. Aku tidak bisa bergerak karena setiap kali aku melakukannya rasa
sakit di punggungku semakin menjadi. Apakah yang membuat rasa sakit di punggungku
juga pisau" Membayangkannya membuatku ngeri. Jika itu benar pisau, mungkin aku
harus bersyukur karena pisau itu tidak mengenai organ vitalku. Pria itu berjongkok di
dekatku dan mencabut sesuatu dari punggungku. Rasa sakit itu berubah menjadi jeritan
dari mulutku. Kepalaku pening, dan saat itu, aku melihat pisau yang tadi digunakannya
untuk menyayat lenganku sudah berlumur darah yang lebih banyak dari yang tadi.
"Seharusnya kau tidak kabur, dan kau tidak akan merasakan sakit terlebih dahulu." Dia
menggeram. "Tapi, sudah terlanjur, sebaiknya aku membunuhmu sekarang." Dia
mencabut pisau di kaki kanaku dan membuatku menjerit kesakitan lagi. Pria itu
mengangkat pisaunya tinggi-tinggi, bersiap menikamkannya ke salah satu anggota
badanku. Aku menutup mataku erat-erat menyadari pisau itu akan membunuhku. Satu
detik... dua detik... tidak terjadi apa-apa. Aku sedikit membuka mataku dan terkejut pria
itu tertusuk pisaunya sendiri, tepat di jantung. Matanya melotot padaku, kemudian tanpa
bisa mengucapkan sepatah kata pun, ia roboh ke tanah di dekat kakiku. Darahnya
keluar banyak dan mengalir di antara rumput dan dedaunan kering di bawahnya. "Apa
yang..." "Ruka!!" Aku menoleh ke asal suara itu dan melihat Kak Inoue dan Kazuto
berdiri tidak jauh dariku. Sebelah tangan Kak Inoue terangkat, seolah sedang
melakukan telekinesis seperti yang sering kulakukan. Tunggu. Apa Kak Inoue juga bisa
telekinesis" Aku tidak sempat memikirkan hal itu lebih jauh ketika rasa sakit kembali
menjalar dan membuat otakku lumpuh. Hal terakhir yang kuingat adalah Kazuto berlari
kearahku sebelum pandanganku berubah gelap. *** Kazuto mengemudikan mobilnya
Rukas Angel - Angelia Putri
kearah sebuah area hutan buatan yang berisi cottage-cottage pribadi milik para investor
asing dan juga orang-orang kaya yang tinggal di berbagai kota dan Negara. Kota ini
memang menjadi tempat paling ideal untuk orang-orang pecinta alam dan kehijauan
yang masih asli karena kota ini masih memiliki hutan yang cukup rindang di beberapa
tempat. Ketika kami berhenti sebentar untuk memberiku kesempatan menggunakan
kekuatanku untuk melacak di mana Ruka, saat itulah aku merasakannya. Keberadaan
Ruka begitu dekat dengan kami. "Bagaimana?" tanya Kazuto. "Dia dekat. Sangat
dekat." gumamku sambil menatap kearah hutan buatan di sebelah kiri jalan. "Dari arah
sana." Kazuto ikut menatap kearah hutan itu. Dan kami berdua mendengarnya. Suara
jeritan kesakitan seorang perempuan dari arah hutan. "Suara barusan..." aku
mengerutkan kening. "Itu suara Ruka!" Seolah tersengat listrik, kami berdua segera
keluar dari mobil dan langsung melompat kearah pagar pembatas hutan. Tidak sulit,
karena kami mempunyai kemampuan yang nyaris sama. Dengan kecepatan yang
mungkin secepat kilat, kami berdua berlari kearah asal suara jeritan itu dan melihatnya.
Ruka. Dengan punggung dan kaki berdarah sementara seorang pria dengan luka bakar
di wajahnya berjongkok di dekatnya dan sedang mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi,
sementara Ruka menutup matanya, terlihat ketakutan. Secara refleks, aku
menggunakan telekinesisku untuk mencegah pria itu menikamkan pisaunya pada Ruka.
Kugunakan telekinesisku dan membuatnya menikam dirinya sendiri tepat di jantung. Dia
sempat terbelalak, melotot pada Ruka, kemudian matanya menangkap kearah kami.
Tapi, dia tidak punya kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata pun akibat tikaman
pisaunya sendiri, yang tidak disangkanya, langsung menancap tepat di jantung. Ruka
membuka matanya dan menatap ketakutan sebelum pria itu roboh di dekat kakinya.
"Apa yang..." "Ruka!" Ruka menoleh dan kelihatan kaget melihat kami berdua. Tapi,
kemudian matanya setengah terpejam sebelum dia akhirnya jatuh pingsan. Kazuto
langsung berlari kearah Ruka dan langsung memeriksa luka di punggung gadis itu.
Sementara aku memeriksa pria dengan luka bakar itu. Dia benar-benar sudah mati.
"Untungnya tidak mengenai organ vital," ujar Kazuto, "Tapi, lukanya sangat parah. Kita
harus membawanya ke rumah sakit." Aku menatap Kazuto yang langsung
menggendong Ruka. Perasaanku tiba-tiba nyeri ketika melihatnya melakukan hal
tersebut. "Inoue, bagaimana kalau kamu juga ikut?" Aku menggeleng mendengar
ajakannya, "Tidak. Aku ingin memeriksa sebentar barangbarang pria ini. Aku akan
menyusul ketika sudah selesai." Kazuto menatapku sebentar, kemudian mengangguk
pelan. Dia lalu pergi dengan sangat cepat. Aku sempat mengangkat alis melihat
kecepatan jalannya yang cepat itu. Sepertinya kemampuannya meningkat pesat dari
yang terakhir kutahu. Yah... lahir dari ayah berkemampuan khusus, kami berdua
mewarisi kemampuan beliau. Seperti kemampuan telekinesis dan kelima panca indera
kami yang lebih tajam dari orang-orang kebanyakan. Setelah kupastikan Kazuto pergi,
aku segera beralih ke mayat pria yang ada di hadapanku. Kugeledah saku celana, jaket,
dan juga baju yang dikenakannya. Dan temuanku sungguh di luar dugaan. Ada segepok
uang dalam bentuk Dollar yang cukup banyak, pisau lipat lain berwarna hijau, ponsel,
dan sebuah surat yang terlipat rapi dalam amplopnya. Perhatianku tertuju pada amplop
itu. Kuraih amplop itu, dan membaca surat di dalamnya.
Rukas Angel - Angelia Putri
Dan ketika membaca siapa pengirim surat itu, aku benar-benar yakin dugaanku ternyata
benar. Lucia mengirim pria ini untuk membunuh Ruka. *** Aku menyusul Kazuto ke
rumah sakit tepat setelah aku membereskan mayat pria tadi dan menguburnya di suatu
tempat. Oke. Kalian bisa menganggapku sebagai pembunuh berdarah dingin, tapi, pria
itu adalah pria tidak dikenal dan mungkin saja dia adalah pembunuh berbahaya
Rukas Angel - Angelia Putri
sebelumnya. Jadi, kutinggalkan ponsel, pisau, dan segepok uang milik orang itu, kecuali
amplop dan surat tadi. Aku berniat memperlihatkannya pada Kazuto. Sampai di rumah
sakit, aku langsung mencari Kazuto, dan menemukannya sedang duduk menunduk
menatap kakinya di dekat ruang UGD. Aku langsung menghampirinya dan dia
mendongak menatapku. "Kau menemukan sesuatu tentang siapa yang menyewa pria
itu?" tanyanya langsung. "Sudah kubilang kalau terkaanku benar." jawabku, lalu
menyerahkan amplop di tanganku. "Baca saja surat di dalamnya, dan aku yakin kamu
akan mengerti." Dia mengerutkan kening sejenak sebelum menerima amplop itu.
Kemudian membaca surat di dalamnya. Kuperhatikan keningnya semakin berkerut
membaca surat tersebut dan setelah selesai, dia mendongak dan menatapku dengan
pandangan curiga. "Jadi, ini..." "Kan, sudah kubilang?" kataku sambil menghela nafas,
"Lucia akan melakukan apa saja agar aku bisa kembali padanya. Dan karena Ruka
menjadi modelku dalam festival kelulusan, dia pasti menganggap Ruka sebagai
ancaman." "Kalau begitu, Ruka tidak boleh menjadi modelmu." Selanya, "Aku akan
menyuruhnya membatalkan janjinya untuk menjadi modelmu dan Lucia tidak akan
menyakiti Ruka lagi." "Haloo... sebenarnya aku juga ingin melakukan hal tersebut, tapi
sudah terlambat." Ujarku jengkel. "Aku tidak mungkin mencari model pengganti lain yang
cocok seperti Ruka. Tapi, aku juga tidak bisa membiarkan Lucia bertindak seenaknya.
Kau tahu sendiri bagaimana obsesinya padaku... atau mungkin juga padamu."
"Padaku?" "Saat menelepon tadi, dia bilang dia tidak akan membiarkan orang lain
selain dirinya mendapatkanku atau kamu." kataku mengingat-ingat, "Aku rasa itu ada
hubungannya dengan sesuatu yang menyangkut harta atau semacamnya." "Apakah aku
juga harus terlibat dalam pertunangan kalian berdua?" dia mengerutkan kening.
"Kenapa kamu selalu saja membuat masalah?" "Bukan aku yang membuat masalah,
Kak. Tapi, masalah yang selalu datang padaku." balasku jengkel. "Aku sudah pernah
mengatakan padamu kalau Lucia itu aneh. Obsesinya padaku waktu itu benar-benar
membuatku tidak menyukainya sejak kami pertama kali bertemu. Dan kamu, serta pria
tua itu malah menyuruhku agar tetap melanjutkan pertunangan, jelas saja aku menolak."
"Apa itu juga alasanmu untuk tidak pulang ke rumah?" "Salah satunya adalah itu." aku
mengedikkan bahu, "Banyak hal yang membuatku tidak betah di rumah megah itu.
Selain karena semua barang-barangnya mengimintidasi, juga karena aku benci dengan
Ayah." "Tolong jangan menjelek-jelekkan Ayah, Inoue. Beliau tidak bersalah apa pun
padamu." Aku menatapnya dengan pandangan sinis. Tahu apa dia dengan apa yang
sudah dilakukan Hoshihiko Murone pada ibuku dan aku" Dia tidak tahu apa-apa. Dan
aku tidak pernah mau mengakui pria itu sebagai ayahku. Sampai kapan pun. Aku
menghembuskan nafas dan mengerutkan kening. Sepertinya aku harus pergi menemui
Lucia jika ingin semua ini berakhir. Walau aku tidak yakin Lucia akan mudah
melepaskan pertunangan ini karena dia begitu terobsesinya padaku. "Aku akan pergi
menemui Lucia." Kataku, "Kalau Ruka sudah sadar, hubungi aku. Aku ingin
membicarakan masalah ini padanya." Kazuto mengangguk. "Apa aku perlu
menemanimu menemui wanita itu?" tanyanya. "Tidak perlu." Jawabku sambil
mengangkat sebelah alis. "Tumben sekali kau perhatian pada apa yang akan
kuperbuat." "Aku tidak mau Ruka kenapa-napa lagi." katanya. "Kalau benar Lucia yang
melakukannya, mungkin aku bisa membujuk Kakek untuk membatalkan pertunangan
kalian." "Akan kupegang janji itu." kataku. Lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
CHAPTER 16 Ketika aku membuka mata, hal yang kulihat adalah langit-langit putih
yang terang benderang, juga terdapat bau obat-obatan di sekitarku dan membuatku
ingin muntah. Di mana ini" Apa ini... apa ini rumah sakit" Kuedarkan pandanganku ke
sekeliling ruangan tempatku berada. Semuanya didominasi warna putih. Dan yang
paling membuktikan adalah selang infuse yang berada di dekat tempat tidur yang
Rukas Angel - Angelia Putri
kutiduri dan selang itu menempel di punggung tangan kananku. Tempat ini benar-benar
rumah sakit. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Aku berusaha lari dari pria
psikopat menyeramkan di hutan buatan, kemudian punggung serta kaki kananku
dilempari pisau, dan aku rasa aku kehilangan darah cukup banyak. Lalu, pria itu hendak
menikamku lagi dengan pisau, lalu Kak Inoue dan Kazuto datang, dan... Kak Inoue dan
Kazuto! Aku ingat tangan Kak Inoue terangkat seperti sedang melakukan sesuatu pada
pria itu. Aku ingat pisau itu tertancap tepat di jantung pria psikopat itu dan membuatnya
tewas seketika. Tidak mungkin, kan kalau pria itu ingin membunuh dirinya sendiri
padahal target yang ingin dia tikam adalah aku" Pasti terjadi sesuatu pada pria psikopat
itu. Apalagi melihat tangan Kak Inoue yang terangkat seakan sedang melakukan
telekinesis... Pintu ruangan ini tiba-tiba terbuka, dan Ibu serta seorang gadis lain yang
lebih tua dariku masuk dan langsung menghampiriku. "Emilia!" Ibu langsung duduk di
samping tempat tidur dan memelukku. Airmata terlihat mengalir di pipi beliau. "Bu...?"
aku mengerutkan kening. Bagaimana beliau tahu aku di sini" "Kamu tidak apa-apa,
kan" Detektif yang ibu sewa untuk mengawasimu bilang kalau kamu diculik dan nyaris
terbunuh oleh pria psikopat gila, Jasper." "Jas... per?" "Dia pembunuh bayaran yang
menghalalkan segala cara untuk membunuh." Ujar gadis yang ikut bersama Ibu, "Ah,
aku Teresa, Emilia. Kamu mungkin agak lupa padaku, ya?" Aku mengerutkan kening
dan menyadari bahwa dia adalah Kak Teresa. Kakak angkatku. Wajahnya agak sedikit
berbeda dengan yang dulu. Dan tubuhnya sedikit lebih tinggi. Aku benarbenar nyaris
tidak mengenalinya tadi. Ibu memeriksa selang infuse yang terpasang pada punggung
tanganku, lalu menatapku, "Apa ada yang kamu perlukan, Emilia?" "Aku... haus."
Kataku pelan. Dengan sigap, Kak Teresa mengambilkan segelas air dan memberikan
sedotan di dalamnya, untuk memudahkanku minum. Kuminum beberapa teguk dan
merasakan tenggorokanku sudah lebih baik. Aku menyudahi minumku dan Kak Teresa
menaruh gelas itu di atas meja. "Kamu tidak apa-apa, kan, Emilia" Apa lukamu sakit?"
tanya Ibu khawatir. "Aku tidak apa-apa, Bu..." aku tersenyum menenangkannya. "Cuma
agak sedikit sakit di punggung dan kaki kananku." Ibu mengangguk-angguk. "Oh ya, Ibu
tahu aku di rumah sakit karena detektif yang Ibu sewa untuk mengawasiku" Sejak
kapan?" tanyaku. Rukas Angel - Angelia Putri
"Sejak Ibu tahu kamu bersekolah di sekolah yang Ibu dirikan. Ibu langsung menelepon
detektif itu dan menyuruhnya mengawasimu." Ibu tersenyum, tapi kemudian senyum itu
sedikit memudar. "Katanya kamu diantar oleh seorang pria muda dengan pakaian mahal
ke lokasi pemotretanmu. Siapa pria yang mengantarmu, Emilia?" "Ah, itu..." Pintu
lagi-lagi terbuka, dan Kazuto masuk sambil membawa sebuah bungkusan plastic di
tangannya. Ibu dan Kak Teresa menoleh kearah Kazuto. Dan aku tidak tahu apa yang
terjadi, tahu-tahu saja Ibu memelukku erat-erat sementara Kak Teresa langsung
bergerak dan menampar Kazuto dengan keras. *** "Ibu" Ada apa?" aku bertanya
bingung melihat sikap mereka yang seakan ketakutan melihat Kazuto. "Kau! Kenapa
kau kemari!!?" kata Kak Teresa, membentak Kazuto yang mengerutkan kening dengan
sama bingungnya seperti aku. Kazuto menatapku, lalu Ibu, dan Kak Teresa bergantian
dengan pandangan masih kebingungan. "Apa kau belum puas mencelakai paman dan
bibiku!?" kata Kak Teresa lagi. "Dan sekarang kau ingin mencelakai sepupuku juga.
Iya!?" "Sepupu?" Kazuto mengerutkan kening, "Aku tidak berniat mencelakainya. Justru
aku berada di sini karena aku - " "Pergi dari sini!! Pergi dan jangan menampakkan
wajahmu di hadapan kami lagi! Kau dan pria yang kau sebut kakekmu itu adalah
pembawa sial bagi Emilia!!" "Tapi, aku dan Ruka..." "Aku bilang, pergi dari sini!!!" Kazuto
masih kelihatan bingung, bahkan ketika dia diusir paksa oleh Kak Teresa. "Bu,
Rukas Angel - Angelia Putri
sebenarnya ada apa" Kenapa kalian mengusir Kazuto?" tanyaku, "Dia tidak salah
apaapa. Dia yang menyelamatkanku dari pria bernama Jasper itu..." "Emilia, sebaiknya
jangan berhubungan dengannya." Ujar Ibu. "Ibu mohon, kamu jangan lagi berhubungan
dengannya." "Memangnya kenapa" Sebenarnya ada apa?" "Emilia," Kak Teresa
menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan, "Dia adalah tunanganmu. Dia juga
adalah cucu dari orang yang membunuh kedua orangtua kandungmu." "Apa?"
Kemudian aku teringat perkataan Ibu yang mengatakan bahwa aku memiliki tunangan
sejak kecil, juga seorang kakek. Ibu juga bilang kalau Kakekku-lah yang membunuh
kedua orangtuaku. Dan beliau juga bilang kalau tunanganku itu 3 tahun lebih tua dariku.
Dan... dan Kazuto bilang kalau aku dan dia bertunangan. Dia mengatakan itu saat
makan malam kemarin. Dia menceritakan semuanya. Lalu... lalu... "Bu, apa dia..."
sebuah pemikiran baru terbentuk dalam benakku. "Apa nama keluarga kakekku... nama
keluarga ibu kandungku adalah Hoshihiko?" Kalau benar, berarti yang diceritakan oleh
Ibu, dan apa yang diceritakan Kazuto juga merupakan hal yang sesungguhnya, maka...
"Ya, Emilia," beliau mengangguk sedih. "Nama keluarga ibumu sebelum menikah adalah
Hoshihiko." *** Aku sampai di rumah Lucia. Rumah yang megah dengan berbagai
bunga beraneka warna di tamannya yang cukup luas. Rumah ini adalah rumah keluarga
Hayashima yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan
sekarang, rumah ini dimiliki sepenuhnya oleh Lucia karena kedua orangtuanya
meninggal ketika dia masih berusia 17 tahun. Dan itu, sudah lumayan lama. Aku
memencet bel di dekat pintu lalu menunggu. Kudengar langkah kaki dari dalam rumah,
dan pintu di depanku terbuka. Cukup mengejutkan ternyata Lucia sendiri yang
membukakan pintu. "Inoue!!" Suaranya terdengar menjijikkan bagiku, walau bagi orang
lain mungkin terdengar seksi dan menggoda. Tapi, sayangnya, aku tidak tergoda sama
sekali. "Tumben sekali kamu datang kemari. Apa kamu sudah memutuskan untuk
melanjutkan pertunangan kita?" tanyanya. "Tidak." jawabku cepat. "Aku kemari ingin
membicarakan sesuatu padamu." "Ingin bicara apa" Ah, masuklah dulu. Tidak enak
kalau kita bicara sambil berdiri. Aku akan menyuruh pelayan menyuguhkan teh. Lalu..."
"Bagaimana kamu bisa tahu tentang Ruka?" Pertanyaanku langsung membuat raut
wajahnya berubah. Dia menatapku seolah-olah aku membicarakan hal yang aneh. "Aku
tidak mengerti apa maksudmu," katanya, "Siapa itu Ruka?" "Kau jangan bohong. Tadi
kamu meneleponku dan mengatakan akan menyingkirkan Ruka dariku dan Kazuto."
Ujarku, menatapnya tajam, "Kau tahu dari mana tentang dia?" "Kenapa aku harus
memberitahumu?" "Karena kau nyaris membunuhnya dengan mengirim pembunuh
untuk menculiknya. Kau jangan mengelak lagi, Ruka. Aku tahu kau yang menyewa
pembunuh dengan wajah penuh luka bakar bernama Jasper itu untuk membunuh Ruka.
Iya, kan?" Lucia menatapku tajam, dia mendecak pelan dan bersedekap, "Aku
melakukan hal yang kuanggap benar, karena gadis itu berusaha merebutmu dariku."
katanya. "Dia tidak pernah berusaha merebutku. Dia tunangan Kazuto." Balasku. "Dia
tidak ada hubungan apa-apa denganku." "Oh" Benarkah" Tapi, kenapa menurut detektif
yang kusewa untuk mengawasimu bilang kalau kalian berdua terlihat... akrab?" dia
tertawa sinis, "Tidak boleh ada yang terlihat akrab denganmu kecuali aku, Inoue.
Harusnya kau tahu itu." "Tapi, sudah kukatakan padamu juga kalau aku tidak
menyukaimu dan ingin pertunangan ini batal. Dan kurasa, setelah kejadian ini, Kazuto
atau kakekku akan mempertimbangkan untuk membatalkan pertunangan kita." Kataku,
"Karena itu, kuperingatkan kau, Lucia, jangan pernah mengganggu kehidupanku lagi,
atau kau yang akan menyesal nantinya." "Kenapa kau selalu seperti ini" Kenapa kau
selalu kejam dan tidak menyukaiku?" tanyanya, kali ini dengan raut wajah sedih.
"Padahal aku sayang padamu dan aku ingin kau juga seperti itu. Tapi, kenapa?" "Rasa
sayangmu itu terlalu berlebihan. Dan juga memuakkan." Balasku dingin. "Kalau kau
Rukas Angel - Angelia Putri
sadar, seharusnya kau tahu kalau aku tidak menyukaimu sejak pertama kali kita
bertemu. Dan kurasa, kau juga tahu kalau aku tidak sudi punya tunangan sepertimu."
"Tapi, kenapa!?" Dia mulai lagi acting dengan wajah menahan tangis sekaligus keras


Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala. Ini salah satu yang tidak kusuka dari Lucia. Dia selalu menjadi drama queen di
setiap saat. Dan aku benci perempuan yang sedikit-sedikit menangis karena hal kecil.
Yah... walau yang satu ini bukanlah masalah kecil. "Karena aku tidak menyukaimu,
Lucia. Aku tidak suka dengan gaya bicara, berpakaian, dan juga semua yang
menyangkut tentang dirimu. Semua hal yang ada pada dirimu itu membuatku muak. Dan
aku bersumpah, kalau kau masih mengganggu Ruka, atau siapa pun yang berhubungan
denganku, aku sendiri yang akan membunuhmu." Wajahnya kelihatan pucat dan dia
menatapku dengan mata membelalak. "Kau tidak serius dengan ucapanmu, kan?"
"Apa aku terlihat bercanda di depanmu sekarang?" aku menatapnya, "Kalau kau lupa,
aku dan Kazuto adalah pewaris keluarga Hoshihiko yang punya kemampuan khusus
yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Kurasa kau juga tahu, kalau aku dilahirkan dari
keluarga yang Rukas Angel - Angelia Putri
punya sejarah panjang mengenai penelitian tentang sains dan teknologi kedokteran di
Negara ini." "T, tapi, kau tidak serius untuk membunuhku, kan" Aku tunanganmu,
Inoue..." "Kau bukan tunangan yang baik. Dan sudah berkali-kali kukatakan padamu
kalau aku membencimu." Selaku, "Jadi, kurasa kau harus menjauh dari kehidupanku
mulai sekarang, atau aku akan membeberkan semua yang kutahu pada polisi dan kau
akan dipenjara seumur hidup." "Tidak! Kumohon jangan, Inoue. Aku tidak mau masuk
penjara..." "Kalau begitu, jangan ganggu aku lagi." balasku, "Dan jangan pernah
mengganggu keluargaku, dan teman-temanku, Lucia. Kalau tidak, kau akan tahu
akibatnya. Aku hanay ingin menyampaikan hal itu. Selamat tinggal." Aku berbalik pergi
dan tidak mengindahkan panggilan serta teriakan Lucia yang histeris. Yah... sebodo
amat. Aku sudah mengatakannya agar jangan menggangguku. Kalau sampai dia masih
melakukannya, percayalah, Aku bisa saja membunuhnya dengan tanganku sendiri.
Ketika aku baru saja meninggalkan rumah Lucia, ponselku berbunyi. Telepon dari
Kazuto. "Halo?" "Inoue, kamu bisa menemuiku sekarang" Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan denganmu." katanya. Suaranya terdengar aneh. Kelihatan sedih dan...
bingung. "Aku mau pulang, Kazuto. Kepalaku sakit dan aku ingin menenangkan pikiran
dengan makan fast-food kesukaanku." Kataku mengerutkan kening. "Kumohon, Inoue.
Saat ini aku butuh... teman. Bisakah kamu pergi ke bar yang pernah kita datangi dulu"
Aku membutuhkan teman sekarang ini." Suaranya sedih, bingung, dan kelihatan
memohon. Ini tidak seperti Kazuto yang biasanya. Apakah Ruka dalam kondisi kritis"
Atau ada yang terjadi pada gadis itu sehingga Kazuto kedengaran down seperti ini"
Gawat. Aku tidak suka terjadi sesuatu pada Ruka. Tidak. Aku tidak berani
membayangkan Ruka masih dalam kondisi kritis. Dan untuk sesaat, aku mengerti sekali
perasaan Kazuto. "Oke. Tunggu aku di sana 1 jam lagi." *** Satu jam kemudian, aku
sudah sampai di bar yang Kazuto maksud, Stars Bar. Ini adalah tempat kami sering
minum bersama saat SMA dulu. Walau kami memiliki kepribadian yang bertolak
belakang, tapi kesukaan kami pada minuman sama persis. Mungkin karena kami
memiliki ayah yang sama pula" Entahlah. Tapi, aku menganggap, ketika kami minum di
bar bersama-sama, persaudaraan kami lebih terasa ketimbang sikap kami yang saling
menjauhi satu sama lain. Ketika aku masuk, aku langsung menatap sosok yang duduk
di kursi tinggi di dekat meja bar yang terbuat dari Kristal dan sedang meminum cairan
berwarna keemasan dari gelasnya. "Kazuto," Kazuto menoleh kearahku dan
mengisyaratkanku untuk mendekat. Aku lalu berjalan kearahnya dan duduk di
Rukas Angel - Angelia Putri
sebelahnya, memesan minuman yang sama seperti dirinya dan meminumnya sedikit
demi sedikit. "Jadi," aku meletakkan gelasku di atas meja, "Ada apa" Kenapa suaramu
di telepon tadi kelihatan resah dan bingung?" Kazuto menatap gelas di tangannya.
Kuperhatikan wajahnya mengernyit sedikit, walau itu tidak mengurangi ketampanannya.
"Ruka ternyata pernah berhubungan dengan Jennifer Anderson." Katanya pelan,
"Jennifer Anderson, "sang dewi"Jennifer Anderson" Bukankah dia dikabarkan
menghilang?" tanyaku mengerutkan kening. "Menurut berita, memang begitu..." Kazuto
mengangguk, "Tapi, tadi, saat aku baru saja membeli makanan untuk Ruka kalau-kalau
dia sadar, Jennifer Anderson, dan anaknya, berada di kamar rawat Ruka dan
mengusirku." "Mengusir?" "Lebih tepatnya, mereka mencaci-maki aku terlebih dahulu
sebelum mengusirku dengan kasar." Katanya. "Mereka sempat mengatakan kalau aku
adalah penyebab kedua orangtua kandung Ruka meninggal." "Hah" Kenapa mereka
berkata begitu?" "Entahlah. Karena aku juga bingung dengan apa yang mereka
katakan." Kazuto menghela nafas berat, "Keluarga Anderson dulu pernah mengangkat
Ruka sebagai anak dengan mengganti namanya dengan nama Emilia. Tapi, aku tidak
mengerti, kenapa mereka menyangkutpautkan aku dengan orangtua kandung Ruka"
Aku tidak tahu aku salah apa pada mereka." Rasa frustasi dan bingung tergambar jelas
di wajahnya. Dan dalam sekali teguk, cairan berwarna keemasan di dalam gelasnya
langsung tandas. "Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan Kakek." Ujarnya,
"Dulu Kakek pernah mengatakan padaku untuk menjaga Ruka, jangan sampai ada yang
menyakiti atau menyentuhnya sampai terluka. Dan sampai sekarang, aku tidak mengerti
apa maksud perkataan Kakek." "Beliau pernah bilang begitu padamu?" aku
mengerutkan kening. "Kapan?" "Saat aku berumur 8 tahun. Kalau tidak salah, seminggu
setelah aku bertemu Ruka. Kakek membawaku ke rumah sakit. Waktu itu Ruka dirawat
karena mengalami luka parah akibat kecelakaan. Ketika kutanya dia terkena kecelakaan
apa, Kakek tidak mau menjawab." "Itu artinya beliau memang menyembunyikan
sesuatu darimu. Bahkan mungkin, dari Ruka juga..." kataku menyimpulkan. "Lalu, apa
yang dikatakan anak Jennifer Anderson padamu?" "Dia hanya memakiku, membentakku
dengan suara keras, lalu mengusirku secara paksa, bahkan sebelum aku sempat bicara
pada Ruka." "Hmm..." aku manggut-manggut, menyesap kembali minumanku. "Apa
perlu aku yang bicara dengan mereka?" tanyaku. Kazuto langsung melayangkan
tatapan membunuh yang sudah sering dia gunakan untuk mengancamku. Dulu memang
mempan terhadapku, sekarang tidak lagi. "Aku akan bicara pada Ruka malam ini."
katanya sambil meminta segelas minuman lagi pada bartender yang sedang bertugas.
"Yah... kalau keluarga Anderson mengawasinya, aku akan tetap berbicara padanya."
"Kau tidak akan memaksa keluarga Anderson untuk mengizinkanmu bicara dengan
Ruka, kan?" kataku mengangkat sebelah alis. "Jangan gunakan cara licik, Kazuto. Aku
tahu kamu biasanya menggunakan cara yang tidak biasa untuk memaksa orang lain."
Kazuto menatapku sebentar, kemudian beralih ke gelas minumannya. "Itu tergantung,"
katanya sambil mengedikkan bahu, "Aku tidak jamin aku akan melakukan cara yang
tidak memaksa..." Aku menatapnya dengan spekulasi, tapi, akhirnya menyerah dan
menghela nafas. Jika aku mencoba menghentikan niatnya, itu sama saja bunuh diri. Aku
tahu seperti apa menyeramkannya Kazuto jika keinginannya tidak terpenuhi. Dan aku
tidak ingin melihat seramnya Kazuto saat hal itu benar-benar terjadi. *** Kejutan yang
terlintas dalam pikiranku tentang Kazuto dan bagaimana meninggalnya orangtua
kandungku membuat aku ingin menangis saja. Bahkan setelah Ibu dan Kak Teresa
menjelaskan siapa sebenarnya Kakekku (karena aku belum membaca map yang
diberikan oleh Ibu tadi pagi) dan Kazuto. Dan semakin mendengar lebih jauh, rasanya
ada sesuatu yang meremas dadaku. Sakit. Tapi, entah kenapa, sakitnya benar-benar
luar biasa. Dan aku seakan tidak bisa menahan diri untuk mennagis. Kalau benar apa
Rukas Angel - Angelia Putri
yang dikatakan Ibu kalau Hoshihiko Kouji adalah kakekku, dan Kazuto adalah tunangan
yang saat itu mengunjungiku sehari sebelum ulang tahunku... kenapa semua itu
Rukas Angel - Angelia Putri
menghilang dari ingatanku" Kenapa aku harus hilang ingatan" Kenapa aku harus
mengalami hal pelik seperti ini" Rasanya aku ingin berteriak keras, aku ingin
melampiaskannya dengan berteriak. Tapi, tenagaku terlalu lemah. Apalagi luka di
punggungku belum sembuh benar. Sekarang aku hanya berbaring diam di atas tempat
tidur. Lampu kamar juga sudah dimatikan, dan hanya lampu tidur di dekatku yang masih
menyala dan memberikan cahaya remang-remang yang cukup menerangi
penglihatanku. Ibu sudah pulang sejak tadi, dan Kak Teresa menawarkan diri untuk
menemaniku. Dia mengajakku mengobrol banyak hal, kebanyakan tentang masa kecil
kami. Tapi, semua itu tidak bisa mengalihkan pikiranku dari semua hal yang terjadi
padaku selama ini. Banyak pertanyaan berkelebat dalam benakku. Seperti, "Apakah
semua yang kualami selama ini sudah direncanakan sejak lama?", "Apa aku hidup
hanya untuk kemudian mati karena kecelakaan seperti orangtuaku?", atau "Apa semua
yang dikatakan Kazuto adalah bohong, bahwa dia bukan orang jahat, dan dia akan
menjagaku dari semua yang ingin melukaiku?", dan lain sebagainya. Perih... rasanya
hatiku perih memikirkan semua pertanyaan itu. Aku tidak bisa menangis karena
airmataku terasa kering. Kutatap langit-langit kamar dan menghembuskan nafas lelah.
Kak Teresa yang duduk di samping tempat tidurku dan tertidur di dekat tanganku. Infuse
yang menempel di punggung tanganku sudah dilepas karena menurut perawat yang
memeriksaku, aku tidak memerlukannya lagi. Tapi, sebagai gantinya, aku harus banyak
istirahat dan mau makan makanan bergizi yang disediakan rumah sakit. Yah... asal
makanannya bisa kucerna, tidak masalah. Aku menghembuskan nafas sekali lagi dan
menatap ke luar jendela. Kearah langit yang bersih tanpa awan, namun tidak ada
bintang dan bulan. Hanya gelap. Gelap yang menenangkan. Tidak seperti kegelapan
yang kurasakan ketika aku berada di pondok kayu waktu itu. Mengingatnya lagi
membuat bulu kudukku meremang. Astaga... kenapa aku harus mengingat hal
menyeramkan itu lagi, sih" Lebih baik aku tidur. pikirku, kemudian memejamkan mata
dan mencoba menenangkan tubuhku, ketika aku mendengar suara berderit pelan dari
arah jendela. Kubuka mataku kembali dan hampir berteriak ketika melihat sesosok
tubuh masuk dari sana. Dari siluet tubuhnya, aku tahu sosok itu adalah laki-laki. Namun,
karena penerangan yang tidak memadai, aku tidak bisa menebak siapa sosok itu. Ia
melangkah mendekat kearahku, dan ketika dia sudah lebih dekat, barulah aku bisa
melihat wajahnya. Kazuto. Tapi, bagaimana bisa dia masuk lewat jendela kamar ini,
yang bahkan berada di lantai 5" "Kazu..." Kazuto menempelkan jarinya di bibirku dan
aku langsung terdiam. Matanya menatapku dengan tatapan sendu. Tatapan sendu yang
pertama kali kulihat. "Aku ingin bicara denganmu," bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar,
"Aku ingin kamu ikut aku sebentar." Sebelum aku sempat menjawab, dengan hati-hati
dia menyelipkan tangannya di belakang punggungku, kemudian kakiku. Dengan mudah
dia menggendongku, dan aku harus melingkarkan kedua tanganku pada lehernya kalau
tidak mau, atau setidaknya, akan jatuh. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Kita... mau ke mana?" tanyaku. "Aku ingin menanyakan sesuatu, apa kamu - "
"Ssstt..." dia menggeleng pelan, "Aku tahu kamu akan bertanya. Tapi, sebaiknya kita
mencari tempat yang cocok untuk berbicara." Dengan langkah lebar dan tanpa suara,
dia berjalan kearah jendela tempatnya masuk tadi, lalu melompat. Aku memekik dan
memejamkan mataku takut kalau kami akan jatuh ke tanah sejauh 12 kaki dari kamar
rawatku berada. Tapi, yang kudengar hanya langkah halus di antara rerumputan. Ketika
kubuka mataku kembali, kami sudah berada di taman rumah sakit, tepat menghadap
Rukas Angel - Angelia Putri
kearah kebun bunga kecil yang di tengah-tengahnya terdapat air mancur. Kazuto
mendudukkanku di sebuah bangku panjang, lalu dia duduk di sampingku. "Aku tidak
tahu harus mulai dari mana," katanya sambil menghembuskan nafas dengan frustasi.
"Kalau begitu... aku yang akan bertanya." Ujarku. Dia menatapku sesaat, kemudian
mengangguk. "Kamu pernah bilang kalau kamu memiliki seorang kakek dan satu adik
tiri," kataku pelan-pelan, "Apa... nama kakekmu itu Hoshihiko Kouji?" Lama dia tidak
menjawab, namun kemudian dia mengangguk pelan. Dan rasanya ada sesuatu yang
menghantam kepala dan dadaku bersamaan. "Kalau begitu... aku ingin bertanya lagi."
kataku, menelan ludah dengan susah payah, "Apa... apa sebelum aku kecelakaan dan
hilang ingatan, kamu mengunjungiku bersama kakekmu?" Dia terdiam lagi sebelum
menjawab. "Ya," katanya serak. Sekali lagi, aku merasakan ada sesuatu yang
menghantamku. "Lalu, apa kakekmu juga benar-benar terlibat dalam tewasnya kedua
orangtua kandungku?" "Aku tidak tahu," katanya sambil menggeleng pelan, "Aku hanya
tahu, seminggu setelah aku mengunjungimu bersama Kakek, aku menengokmu ke
rumah sakit karena kata beliau, kamu mengalami kecelakaan parah hingga tidak
sadarkan selama beberapa hari. Waktu itu, aku khawatir dan takut kehilangan kamu
untuk selamanya. Apalagi waktu itu hampir seluruh tubuhmu diperban dan kelihatan
kurus..." Dia menghela nafas dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Rasa
frustasi benarbenar terpancar di wajahnya. "Aku ingin bertanya lagi," kataku, "Apa... apa
kakekmu... punya anak perempuan selain orangtuamu?" Dia mendongakkan wajahnya
dan keningnya berkerut tanda dia tidak mengerti. "Apa maksudmu?" Aku mendadak
merasa salah tingkah. Kualihkan pandanganku kearah lain sebelum kembali
menatapnya. "Menurut Ibuku - bibi kandungku, Jennifer Anderson, kakekku bernama
Kouji, dengan nama keluarga Hoshihiko." Aku menatap wajah Kazuto takut-takut, "Dan
ibuku... nama keluarganya sebelum menikah dengan ayahku adalah Hoshihiko." "Apa?"
Dan aku mengernyit melihat ekspresinya. Wajah Kazuto menyiratkan keterkejutan ketika
mendengar kata-kataku. Dia menatapku seolah-olah aku mengatakan hal yang tidak
masuk akal. "Jadi, Jennifer Anderson itu bibimu?" Aku mengangguk. "Dan... kamu
bilang... nama kakekmu... Kouji" Hoshihiko... Kouji?" Pertanyaan itu terdengar aneh
diucapkan Kazuto. Dari suaranya, tersirat nada heran, kaget, dan bingung yang tidak
kentara. Aku lagi-lagi mengangguk mengiyakan pertanyaannya. "Nama ibu kandungku
adalah Megumi Ayano." Jawabku, "Dan bibiku bilang kalau nama keluarganya sebelum
menikah adalah Hoshihiko." "Kakek hanya bilang kalau dia hanya memiliki satu anak,
yaitu ayahku, Hoshihiko Murone." Ujar Kazuto. "Kakek tidak pernah bilang kalau beliau
memiliki anak lain selain ayahku, apalagi seorang anak perempuan." "Apa?" Kali ini,
keterkejutan dan kebingungan yang melandaku. "Tapi... nama kakek kita berdua sama."
Kazuto seperti merenung, "Apa kamu punya foto kakekmu" Atau ibumu, mungkin?"
"Ada... tapi, di dalam map yang diberikan oleh bibiku, dan tertinggal di dalam tas
Rukas Angel - Angelia Putri
sekolahku." Jawabku. "Tapi, Bibi bilang kalau nama kakekku, yang menurutnya
bertanggung jawab atas kematian kedua orangtua kandungku, adalah Hoshihiko Kouji.
Dan beliau juga bilang kalau aku memiliki tunangan yang bernama sama denganmu,
Hoshihiko Kazuto." "Dan aku bertanya-tanya, apakah Hoshihiko Kazuto yang dimaksud
bibiku itu adalah kamu. Karena melihat dari perlakuan bibi dan saudara sepupuku tadi
padamu... sepertinya memang kamulah tunangan yang beliau maksud." Ujarku,
"Apalagi kamu bilang kalau kita ditunangkan sejak kecil. Itu berarti, kamu dan kakekmu,
kan, yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku?" "A, aku tidak tahu..."
Kazuto menggeleng sambil mengerutkan kening. "Aku hanya tahu kalau aku memiliki
tunangan sejak kecil dan namanya adalah Megumi Ruka. Tapi, aku tidak tahu kalau
Rukas Angel - Angelia Putri
Megumi Ruka itu adalah... cucu perempuan Kakek." "Apa itu berarti, kita adalah
saudara sepupu?" tanyaku. "Tapi, saudara sepupu sekalipun tidak boleh berhubungan,
kan" Apalagi sampai bertunangan dan menikah. Itu jelas tidak mungkin." Ya. Apa yang
kukatakan barusan itu masuk akal. Sesama sepupu, apalagi jika saudara kandung, tidak
boleh memiliki hubungan lebih dari itu. Menurut pandangan orang-orang, itu tidaklah
pantas, dan mungkin akan menimbulkan gunjingan di antara orang-orang banyak.
Kazuto menatapku kemudian menggeleng. "Aku... aku tidak tahu." gumamnya, "Tapi,
kalau memang Kakek punya anak selain ayahku, mungkin masuk akal kalau
cucu-cucunya kelak akan bertunangan dan kemudian menikah." "Apa" Bagaimana - "
"Kamu punya kemampuan telekinesis dan mengendalikan pikiran, kan" Itu adalah
kemampuan yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga Hoshihiko selama
lebih dari 50 tahun ini." dia mengerutkan kening, "Dan seharusnya, orang-orang yang
tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga Hoshihiko tidak memiliki kemampuan
seperti itu." "Jadi, aku dan kamu memang..." Kepalaku sakit menerima semua fakta
yang ada. Aku memegang dahiku dan memijatnya pelan. Rasanya kepalaku mau pecah.
Semua ini tidak bisa kuterima dengan akal sehatku. "Aku tidak tahu apa kita memang
saudara atau bukan," ujar Kazuto, "Tapi, aku akan mencari tahu hal itu. Aku janji
padamu." Aku mendongakkan kepalaku dan menatap Kazuto. Ada keseriusan dan
kesungguhan dalam raut wajahnya. "Tapi... kalau kita benar saudara
kandung - saudara sepupu, kenapa kita harus ditunangkan?" tanyaku. "Mungkin... demi
menjaga kemampuan keluarga Hoshihiko tidak tercemar atau bahkan pudar, keluarga
Hoshihiko menikah dengan saudara sendiri." "Tapi, itu seperti... seperti..." Aku ingin
menyebutnya sebagai binatang. Tapi, itu akan terdengar tidak sopan, juga menghina.
Dan juga, itu akan membuatku semakin bingung dan frustasi dengan semua jalan cerita
dalam hidupku. Apa sebenarnya yang direncanakan oleh Tuhan sampai semua ini
harus terjadi padaku" "Binatang?" Kazuto menyelesaikan kalimatku yang belum selesai
dan mengerutkan kening, "Kurasa iya..." Kazuto menghembuskan nafas dengan berat,
lalu menatapku. "Dengar, Ruka, aku janji akan mencari tahu semuanya. Aku akan
menemukan kebenarannya." Katanya, "Dan akan kupastikan, semua itu akan
kusampaikan langsung padamu. Karena itu, percaya padaku. Ya?" Kami berdua saling
menatap satu sama lain. Wajah Kazuto kelihatan muram dan sedih. Aku yakin, fakta
yang kami bicarakan ini cukup mengguncangnya. Begitu juga aku. Aku mengangguk
pelan, dan dia langsung menarikku ke dalam pelukannya. Aku tidak melakukan
perlawanan untuk lepas dari pelukannya. Aku membutuhkan pelukannya, dan juga
suara detak jantungnya di telingaku. Rasanya seperti irama music yang indah. Dan aku
menyukainya. Aneh, kan" Padahal aku baru sebentar bertemu dengannya. "Ruka,"
"Ya?" "Seandainya... semua yang tadi kita bicarakan itu benar... apa kamu tetap akan
percaya padaku" Dan... dan mencintaiku?" Aku melepaskan diri dari pelukannya dan
menatap mata Kazuto. "Seandainya semuanya benar..." aku mengerutkan kening,
"Entahlah. Aku tidak tahu apakah semua itu nyata atau tidak. Tapi, mengenai
perasaanku... aku juga tidak tahu." "Kalau begitu, katakan padaku, apa kamu
merasakan perasaan yang sama denganku?" "Perasaan yang... seperti apa?" "Bahwa
kamu juga mencintaiku." Aku membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Lidahku serasa kelu, dan tidak mampu mengucapkan kata ataupun kalimat apa pun.
"Aku... aku..." "Ruka, apa kamu juga mencintai aku?" tanyanya lagi. "I, iya, tapi... aku
tidak tahu..." aku menggeleng lemah. "Aku masih tidak tahu apakah semua tadi itu
benar atau tidak. Kalaupun semua itu tidak benar, mungkin... aku..." "Cukup," Kazuto
memejamkan matanya seolah kesakitan. "Intinya adalah, kamu tidak mencintaiku. Iya,
kan?" "Ap - tidak! Aku hanya bingung, Kazuto. Bukan seperti itu maksudku..." aku
menggeleng. "Aku sayang padamu. Walau kita baru mengenal beberapa hari, tapi... tapi
Rukas Angel - Angelia Putri
aku tahu, aku mengenalmu dan aku pernah menyukaimu." "Benarkah?" Aku


Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk, "Aku tahu kamu bukan orang jahat. Aku tahu kamu tidak bersalah atas
apa yang terjadi pada kedua orangtua kandungku," ujarku menatapnya, "Dan aku tahu
kamu juga sangat mencintaiku. Tapi, aku tidak bisa mendeskrpsikan perasaan apa yang
kurasakan padamu. Aku hanya merasakan bahwa aku merasa nyaman berada di
dekatmu, dan semua yang kamu lakukan padaku adalah karena kamu mencintaiku.
"Tapi, aku tidak tahu perasaan apa yang kurasakan padamu. Kupikir, mungkin itu cinta,
tapi masih dalam taraf yang kecil. Mungkin dengan sering bersama... aku bisa
menumbuhkan kembali cinta itu di dalam hatiku." "Benarkah?" dia menatapku, "Itu
artinya kamu juga mencintaiku?" Wajah Kazuto kelihatan seperti anak kecil yang sedih
dan ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga baginya. Aku menjadi iba
melihat wajahnya yang seperti itu dan ada dorongan kuat untuk melingkarkan kedua
lenganku pada lehernya dan memeluknya. Kurasakan Kazuto tertegun dan tubuhnya
agak menegang, tapi kemudian rileks dan membalas pelukanku. Ia membenamkan
wajahnya di lekukan leherku dan aku mendengar suara desahan lelah dan sedih
darinya. "Aku tidak mau kamu pergi dariku, Ruka..." katanya pelan, "Aku
menganggapmu sebagai cahayaku. Karena kamu membawaku pergi dari kegelapan
yang selama ini menyelubungi kehidupanku dan membawaku ke tempat terang. Aku
tidak mau kamu pergi lagi..." "Aku... aku tidak akan pergi." Kataku, "Bukankah waktu itu
saat berada di dalam bianglala aku berjanji padamu bahwa aku tidak akan pergi" Kamu
juga harus memercayai kata-kataku." "Aku percaya..." katanya, "Aku percaya..." Kazuto
melepaskan pelukanku, kemudian mendekatkan wajahnya dan menciumku. Bibirnya
yang hangat menekan bibirku. Kedua lengannya memeluk pinggangku dengan erat
seolah tidak mau melepasku. Dia memperdalam ciumannya dan sebelah tangannya
meremas rambutku. Hal yang benar-benar membuatku terkesiap dan tanpa sadar
membuka mulutku hingga memberikan akses baginya untuk menjelajahi mulutku. Dia
baru berhenti saat aku tidak bisa bernafas dan mendorongnya agak menjauh. Dahi kami
saling menempel, dan wajah kami sangat dekat. Nafas Kazuto mengenai wajahku dan
membuat pipiku menghangat.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Aku akan mengantarkanmu kembali ke kamar." katanya serak. "Aku akan mencari tahu
semuanya. Dan kuharap, kamu tidak pernah membenciku." "Kenapa aku harus
membencimu" Kamu tidak salah, kan?" balasku. "Aku percaya padamu, Kazuto. Ibu dan
Kak Teresa pasti hanya salah paham." Dia mengangguk pelan mendengar kata-kataku.
"Aku akan bicara pada Kakek, dan meminta semua penjelasan darinya." Ujarnya sambil
mengerutkan kening, "Beliau pernah bilang akan menceritakan sesuatu padaku dan adik
tiriku di usia kami yang ke-20. Sekarang kami berdua sama-sama sudah berusa 20
tahun, dan kurasa sudah saatnya untuk menagih cerita tersebut." Dan kuharap bukan
cerita yang bisa membuatku atau Kazuto bersedih nantinya. Kataku dalam hati. Aku
berharap demikian. Aku mengangguk dan tersenyum kecil padanya. "Kalau beliau
sudah menceritakannya padamu, ceritakan juga padaku. Aku juga ingin mengetahui
kebenarannya." "Ya. Tentu saja." dia membalas senyumku dan mencium dahiku,
"Sekarang, aku akan mengantarkanmu ke kamar. Sini, biar kugendong." Aku tidak
melawan ketika dia menggendongku lagi. Kulingkarkan kedua lenganku di lehernya dan
membiarkan Kazuto membawaku. Aku sempat kagum dengan kemampuannya
melompat ke lantai di mana kamar rawatku berada hanya dengan satu sentakan kecil.
Berarti Kazuto memang memiliki kemampuan telekinesis yang mungkin lebih hebat
dariku. Kak Teresa masih tertidur di tempatnya, dan Kazuto membawaku dengan
hati-hati kembali ke tempat tidur. Dia lalu mendudukkanku di sisi tempat tidur dan
Rukas Angel - Angelia Putri
membantuku merebahkan kepalaku karena punggungku masih terasa sakit. Kazuto
menatap sambil mengelus rambutku. Senyuman yang agak sedih tersungging di
wajahnya. "Senyumanmu kelihatan sedih," kataku lirih. Takut membangunkan Kak
Teresa. "Kenapa?" "Aku hanya takut... kalau semua itu benar, kita bersaudara."
Ujarnya, "Aku tahu kamu mungkin akan merasa jijik karena kita ditunangkan padahal
kita bersaudara. Dan aku takut kalau kamu menghindariku setelah tahu yang
sebenarnya. Aku takut kamu pergi lagi. Selain kamu, tidak ada orang lain yang pernah
membuatku merasa berarti..." Aliran kata-katanya berhenti ketika aku mengulurkan
tanganku dan mengelus pipinya. Dia sempat kaget dan menatapku dengan tatapan
bertanya. "Kamu jangan berpikiran jauh dulu," kataku, "Semua itu masih belum tentu
benar. Bisa saja kita berdua hanya saudara jauh, tapi, tidak terikat dalam hubungan
darah. Semua itu masih belum jelas, kan" Jadi, kamu jangan membuat dirimu tertekan."
Kazuto menggenggam tanganku yang mengelus wajahnya dan mengangguk pelan. Ia
lalu mencondongkan tubuhnya dan mencium keningku. "Besok aku akan ke sini lagi.
Secara diam-diam." Katanya, "Aku tidak mau kakak sepupu dan bibimu itu memakiku
lagi dan tidak mengizinkanku bertemu denganmu." "Aku minta maaf kalau perlakuan
mereka padamu sangat kasar." Aku meringis mengingat kejadian tadi. "Tidak apa. Itu
adalah reaksi yang wajar." Dia tersenyum lagi, "Sekarang, istirahatlah." Aku
mengangguk. Kazuto memperbaiki letak selimut yang menyelimuti tubuhku dan
kemudian pergi. CHAPTER 17 Pagi ini aku bangun dengan perasaan tidak menentu.
Bukan karena Lucia. Tapi, karena Kazuto dan Ruka. Perhatian Kazuto pada gadis itu
benar-benar membuatku iri hati, sekaligus cemburu. Kenapa harus selalu Kazuto yang
mendapatkan keberuntungan, sementara aku selalu mendapat kesialan" Bukan berarti
aku menganggap hidupku penuh kesialan. Aku malah mensyukuri adanya kesialan itu.
Karena kalau tidak, aku tidak akan menjadi manusia yang menghargai hidup dan tidak
akan pernah bisa menjadi manusia yang mawas diri. Tapi, mengingat bagaimana
Kazuto memandang Ruka, benar-benar membuatku ingin meninju atau menghancurkan
sesuatu sampai hancur. Oke, oke... jangan melakukan hal itu. Aku harus focus. Hari ini,
aku punya banyak pekerjaan yang kuselesaikan, salah satunya adalah menyelesaikan
gaun yang akan menjadi masterpiece saat festival kelulusanku nanti. Memikirkan Ruka
akan memakai gaun buatanku, hatiku langsung membuncah dengan perasaan hangat.
Dengan pemikiran seperti itu, aku langsung bergegas mandi dan pergi ke studio mini
milikku dan Tristan. Studio mini yang kumaksud hanyalah sebuah bangunan yang
kelihatannya mirip gudang di dekat rumahku. Tapi, tentu saja tempat itu bukanlah
gudang sungguhan. Tempat itu kurenovasi dan kulapisi dengan karpet dan
barang-barang lain yang menyangkut hobiku : mendesain. Tristan bahkan mengecat
dinding dan langit-langit tempat itu dengan lukisan seperti menara Eiffel yang ada di
Paris. Dan beberapa lukisan bintang-bintang di langit-langit tempat tersebut dilukis
dengan cat yang bisa menyala dalam gelap. Jadi, kalau di luar sedang hujan dan tidak
ada bintang di langit, biasanya aku akan pergi ke studio mini dan menatap lukisan
bintang dari Tristan yang memang jago melukis. Sekarang, setelah mandi, sarapan
dengan roti tawar dan susu coklat (lagi), aku langsung pergi ke studio mini. Tempat itu
hanya beberapa meter dari rumah, dan hanya dalam waktu yang singkat, aku sudah
berada di dalam studio mini kesayanganku ini. Kunyalakan lampu dan menatap
perabotan yang ada di tempat ini. Sofa merah hati, meja kaca, beberapa patung
manekin, gulungan-gulungan kain, kotak perhiasan, dan lain sebagainya. Di sudut lain
terdapat meja panjang untuk menaruh keperluan cemilan dan minuman. Lemari di
belakang meja itu berisi banyak cemilan, soda, dan minuman beralkohol yang biasanya
kuminum sendirian(karena Tristan tidak diperbolehkan untuk minum lagi oleh Alice).
Hasil berburu koleksi sepatu bersama Tristan juga ada. Kebanyakan memang sepatu
Rukas Angel - Angelia Putri
wanita, dan ukurannya bervariasi, tergantung berapa ukuran kaki model pilihan kami. Di
sudut yang lain terdapat pintu berwarna coklat. Aku berjalan kearah pintu coklat itu dan
membuka kuncinya. Kunyalakan lampu yang terdapat di ruangan di balik pintu coklat
tersebut. Dan... di sinilah, semua gaun rancanganku dari pertama kali aku terjun ke
dunia fashion design sampai sekarang berada. Gaun berbagai warna, ukuran, dan
bentuk itu kupajang di rak gaun yang berjejer di setiap sisi. Di tengah-tengah ruangan
terdapat sebuah patung manekin polos. Aku tidak menaruh gaun di sana karena masih
belum waktunya. Patung manekin itu nantinya akan menjadi tempat di mana gaun
kesayangan sekaligus paling special terpajang. "Sekarang, aku harus mencari gaun
yang cocok untuk Ruka." Kataku, "Dan untuk Julia, kurasa. Adik Alice itu juga pasti
mengikuti ajang peragaan busana itu." Ya. Aku datang ke tempat ini untuk mencarikan
gaun diantara sekian banyak gaun hasil desainku di tempat ini untuk Ruka, dan Julia.
Aku punya banyak koleksi, jadi merelakan satu atau dua gaun saja kurasa tidak
masalah, apalagi untuk Ruka. Aku makin rela. Hehehe... Bercanda. Tapi... aku serius.
Yah... anggap saja, ini sebagai hadiah untuknya. Lagipula aku ingin memberikan gaun
yang kupilihkan ini secara Cuma-Cuma untuknya, kok. Dan, aku juga berpikiran ada
satu gaun yang kurasa benar-benar cocok untuknya. Sambil menyalakan AC, aku
menuju kearah salah satu rak gaun dan mengerutkan kening ketika melihat gaun yang
kugantung di sana tidak ada sama sekali. Aneh. Padahal aku yakin sudah meletakkan
gaun itu di tempat yang seharusnya. Apa Tristan yang mengambilnya" Tapi, tidak
mungkin. Tristan snagat tahu kalau ruangan ini adalah ruanganku yang paling pribadi
karena menyimpan banyak koleksi gaun yang kurancang sejak aku memutuskan
mengejar cita-citaku sebagai seorang desainer pakaian. Dan dia bahkan tidak memiliki
kunci ruangan ini, yang dibuat oleh ahli kunci khusus. Lalu, siapa" "Maaf kalau aku yang
mengambil gaun ini tanpa permisi." Suara itu langsung membuatku mengerjap kaget.
Kutolehkan kepalaku ke belakang dan melihat seseorang yang sebenarnya sangat tidak
ingin kutemui. Dia tersenyum dengan sebelah
Rukas Angel - Angelia Putri
bibir sambil bersandar pada pintu. "Kuharap kamu memaafkanku karena lancang masuk
ke dalam area pribadimu ini, sayang. Tapi, kamu harus tahu, tidak ada yang bisa
disembunyikan dariku." Lucia berdiri di depan pintu sambil memegang gaun yang kucari.
Gaun biru langit dengan aksen pita putih. Gaun yang kucari. "Lucia?" "Seharusnya kamu
tahu kalau aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkanmu kembali." katanya
sambil tersenyum, "Dan mula-mula akan kumulai dari gaun ini." *** Kepalaku rasanya
sakit ketika terbangun di pagi hari. Rasanya seperti ada palu yang memukul kepalaku
berkali-kali dan tidak memberikanku kesempatan untuk bernafas (itu hanya kiasan,
kok...). Kak Teresa sudah bangun dan kelihatan segar. Katanya dia baru saja
menumpang mandi di kamar mandi rumah sakit, dan mengantarkan sarapanku. Aku
sempat mengangkat sebelah alis ketika melihat ada yang lain dari menu sarapanku
yang pertama di rumah sakit ini. "Kalau-kalau kamu merasa makanan dari rumah sakit
tidak enak, kamu bisa memakan itu." ujarnya sambil terkekeh. "Aku membeli makanan
yang ini diam-diam dari kantin rumah sakit. Kuharap kamu suka." "Terima kasih, Kak."
Aku tersenyum dan langsung memakan sarapanku. Walau aku tidak sampai
menghabiskan semuanya, syukurlah, setidaknya aku tidak mencoba untuk muntah
karena bau obat-obatan di ruangan ini membuatku mual. Setelah sarapan, Kak Teresa
langsung menyodorkan obat-obatan yang harus kuminum. "Oh ya, aku perlu mengambil
pakaian ganti untukmu." Kata Kak Teresa, "Di mana rumahmu, Emilia" Biar nanti
kuambilkan pakaian ganti untukmu." "Kakak tahu flat yang dekat dengan hutan di pinggir
kota, kan" Flat berwarna putih abuabu itu?" "Ah, ya... aku tahu. Jadi, kamu tinggal di
Rukas Angel - Angelia Putri
sana?" Aku mengangguk, tapi kemudian mengerang pelan, "Aku lupa, kunci rumahku
tertinggal di dalam tas sekolahku... oh ya, apa Kakak tahu di mana tas sekolahku?"
"Tidak," dia menggeleng, "Aku tidak melihat ada tas sekolahmu di sini. Para perawat
yang membawamu ke ruangan ini juga tidak melihat ada tas sekolah." "Oh..." aku
manggut-manggut, tapi keningku berkerut. Apa tas sekolahku ada pada Kazuto"
Sepertinya iya. Karena saat diculik, aku memang sedang tidak membawa tas sekolah
yang kutinggalkan di tenda kemarin. "Emilia, aku ingin bertanya padamu," suara Kak
Teresa membuatku menoleh, "Apa kamu menyukai pria itu" Hoshihiko Kazuto itu?"
"Kenapa Kakak menanyakan itu?" Kak Teresa mengedikkan bahu, dia kelihatan gelisah.
"Tidak apa-apa. Soalnya... kamu kelihatan akrab sekali dengannya." Ujarnya, "Aku
melihat kalian berdua di taman rumah sakit kemarin malam." Kak Teresa tahu kejadian
kemarin malam!" "Kakak... tahu?" tanyaku. "Walau saat itu kalian berusaha untuk
berbicara tanpa ketahuan, aku tahu." katanya sambil mengangguk, "Kemarin malam aku
hanya pura-pura tidur." Aku ingat Kak Teresa yang kemarin tidur di sisiku. Tapi, aku
tidak menyangka dia tidak benar-benar tidur. Akting Kak Teresa benar-benar hebat, aku
bahkan tidak bisa menebak apakah dia benar-benar tidur atau tidak. "Emilia, kamu suka
pada pria itu?" tanya Kak Teresa mengulangi pertanyaan yang sama. "Aku... tidak tahu."
kataku. "Kazuto memang pada awalnya sempat membuatku takut karena auranya yang
begitu menyeramkan. Tapi, selain itu, dia baik. Perhatian padaku. Dia juga bilang kalau
dia sudah menungguku lama sekali sejak kecil." "Menunggumu untuk apa?" "Dia
tunanganku, kan, Kak" Sudah pasti dia menungguku." Kak Teresa menatapku dengan
tatapan sedih dan menggeleng-geleng. "Aku dan Ibu sudah menduga kejadiannya akan
seperti ini." katanya pelan, "Tapi, Emilia, kamu harus ingat kalau dia dan kakeknya itu
adalah pembunuh kedua orangtua kandungmu. Kamu mungkin tidak ingat sekarang,
tapi, Kakak yakin, kamu punya setitik rasa dendam di hatimu." Aku mengerutkan kening.
Dendam... mungkin sedikit, tapi tidak bisa mengalahkan rasa takut dan kecewa, serta
perasaan aneh lain yang berkecamuk dalam benakku. Yang pasti, itu bukan kemarahan.
Mungkin aku takut pada Kazuto, apalagi kalau benar dia adalah saudara kandungku.
Dan kecewa... mungkin perasaan itu ada karena Kazuto tidak sepenuhnya jujur padaku
walau maksudnya mungkin untuk melindungiku. Tapi, tetap saja... Pintu tiba-tiba
terbuka dan membuat kami berdua menoleh serentak. Tapi, tidak ada seorangpun yang
masuk. Aneh... apa ada perawat datang, tapi tidak mau masuk" "Siapa di situ?" tanya
Kak Teresa. Lalu, orang yang membuka pintu ruang rawatku masuk, dan aku langsung
dihadapkan dengan cengiran lebar Kak Inoue yang membawa seikat bunga dan juga
sebuah tas kertas berwarna coklat di kedua tangannya. "Hai, Ruka, kuharap aku tidak
mengganggumu." Katanya sambil tersenyum lebar. *** "Kau mau apa, Lucia?" tanyaku
sambil menatap tajam pada Lucia. Bagaimana bisa dia ada di sini" Dan bagaimana bisa
dia masuk ke ruangan pribadiku ini tanpa kunci" Atau... sebenarnya dia punya
kuncinya" "Bagaimana kamu bisa masuk ke sini" Ini area pribadiku dan tidak ada
seorangpun yang boleh masuk kemari." "Oh, benarkah?" dia menjawab sambil
tersenyum, dan serius. Senyumnya itu sangat mengerikan. "Bukankah sudah kubilang
kalau aku tidak akan membiarkanmu dimiliki orang lain selain aku" Yah... itu juga
berlaku untuk kakakmu Kazuto." "Apa?" "Kalian berdua sebenarnya sangat bodoh.
Tertarik pada gadis lemah bernama Ruka itu." katanya sambil menimang-nimang gaun
milikku di tangannya. "Seharusnya kalian tertarik padaku saja, karena aku tahu satu
rahasia yang mungkin akan membuat kalian... tersiksa." Wow. Apa maksudnya itu"
"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu" Memangnya apa rahasia yang kau maksud?"
"Inoue sayang..." dia mendecak pelan dan berjalan mendekatiku, "Akan kuceritakan
semua itu dengan senang hati, sayangnya kamu keburu mengancam akan
melaporkanku pada polisi. Kamu lupa" Aku hanya bisa menceritakan rahasia itu
Rukas Angel - Angelia Putri
padamu jika kamu mau meneruskan pertunangan kita." "Itu adalah tawaran yang tidak
ingin kuambil. Terima kasih." Kataku, lalu menjangkau gaun di tangan Lucia. "Berikan
gaun itu padaku." Namun, Lucia berhasil berkelit dan menjauh beberapa langkah dariku.
"Tidak bisa, Inoue. Aku ingin kamu berjanji dulu kalau kamu akan meneruskan
pertunangan." Tatapan matanya terlihat begitu membunuh, "Aku ingin kita
meneruskannya. Kenapa" Karena aku ingin menjadi bagian dari keluarga Hoshihiko."
"Hanya itu?" aku menaikkan sebelah alis, "Maaf, kurasa kau salah memilih orang... atau
kakekku yang salah memilih orang untuk dijadikan tunanganku. Aku tidak ingin
meneruskan pertunangan itu." "Jangan paksa kesabaranku, Inoue," "Aku memang tidak
memaksa kesabaranmu, kok. Sekarang, berikan gaun itu." Aku mencoba meraih gaun
itu lagi, tapi Lucia kembali berkelit. Kulihat tatapannya benar-benar menunjukkan
kemarahan. Yah... oke. Aku pandai membuat marah wanita. Tapi,
Rukas Angel - Angelia Putri
hanya wanita yang ada di hadapanku sekarang ini. Selebihnya, aku tidak pernah
berinteraksi dengan wanita, bahkan dengan model-modelku sebelum Ruka. "Tidak bisa,
Inoue. Aku ingin kamu berjanji dulu kalau pertunangan kita tetap diteruskan." Katanya
keras kepala. "Kau ini..." "Hentikan, kalian berdua," Suara berat itu langsung
menghentikan aliran kata-kataku. Suara berat ini... suara berat yang punya ciri khas
ini... aku sangat mengenalnya. Bahkan walau aku hanya mendengarnya sekali seumur
hidupku. Kami berdua sama-sama menoleh dan... perkiraanku benar. Pemilik suara
berat itu memang dia. Pria itu. "Kau..." tanpa sadar kedua tanganku mengepal,
menunjukkan amarah. Aku mendengar suara Lucia seperti tercekat. Ketika menoleh,
aku melihat dia mundur ketakutan. Aura yang dikeluarkan pria di hadapan kami berdua
memang benar-benar membuat nyali ciut. Dia bahkan sampai menunduk takut lantaran
tidak mau menatap pria di hadapan kami. Bibir Lucia bergetar, dan sinar matanya
seperti kelinci ketakutan. "K, Kakek... Kouji..." katanya dengan suara yang menurutku
mirip suara tikus. Aku kembali menatap pria itu dengan tatapan tidak menentu. Antara
tatapan kebencian, kemarahan, kekecewaan, dan... ketidak-berdayaan sekaligus.
Perasaanku berkecamuk melihat pria itu, kakekku sendiri. Kakek tersenyum tipis,
mendengar Lucia memanggilnya dengan sebutan "kakeklalu menatap kearahku, dan
tatapannya berubah dingin. "Inoue, kita perlu bicara." *** "Tidak." kataku, "Aku tidak
mau bicara denganmu." Aku menoleh kearah Lucia dan langsung menyambar gaun itu.
Dia sedikit terperanjat dan hendak berbicara ketika aku menyambar satu gaun lagi dan
menatap mereka berdua. "Bisakah kalian pergi dari sini?" Kakek menatapku sebentar,
kemudian dia sedikit melangkah mundur. Sementara Lucia masih berdiam diri di
tempatnya. Aku menghembuskan nafas kesal dan dengan setengah kasar
mendorongnya keluar dari ruangan ini. Aku sendiri langsung menutup pintu dan
menguncinya. Setelah ini aku harus meminta pada ahli kunci khususku itu untuk
membuat kunci yang baru. Aku tidak mau Lucia atau siapa pun masuk sembarangan ke
area pribadiku ini. Aku berbalik dan menatap mereka berdua. Yah... Lucia sedikit
menjauh dari Kakek. Mungkin karena auranya yang menakutkan itu" Entahlah. Tapi,
aku sama sekali tidak takut. "Inoue, kita perlu bicara, secara pribadi." Kata Kakek. Nada
suaranya nyaris sama seperti Kazuto. Yah... mereka memang kakek dan cucu sejati.
Menurutku... "Sudah kukatakan aku tidak mau bicara padamu." Kataku sambil
mengambil kantong kertas di dekatku. "Aku sibuk, dan bukankah Kakek sendiri juga
sibuk?" Beliau menatapku dengan tatapan datar. Dan walau aku punya kemampuan
khusus seperti beliau, aku tidak mau menggunakannya. Kenapa" Katakan saja, aku
malas. Pikirku, tidak perlu buang-buang tenaga menghadapi beliau karena pada
dasarnya, ibuku sudah melarangku untuk berurusan dengannya, walau beliau itu


Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rukas Angel - Angelia Putri
kakekku sendiri. "Memangnya apa yang ingin kau bicarakan" Aku tidak punya waktu,
karena aku harus mengunjungi seseorang." Kataku lagi. Aku lalu beranjak pergi ketika
Kakek bersuara lagi. "Maksudmu mengunjungi Ruka?" Langkahku langsung terhenti dan
aku menoleh kearahnya. Dan baru kusadari wajah beliau kelihatan... menghangat.
Hah" Serius, nih" "Apa maksudmu, Kek?" Beliau tersenyum dan berjalan kearahku. Dia
bahkan tidak memerdulikan Lucia yang menatap kami berdua dengan takut-takut.
Kelihatannya nyalinya sudah benar-benar terbang hanya karena kehadiran Kakek di
sini. "Kau ingin mengunjungi Ruka, kan?" tanya beliau, "Orangku sudah
memberitahuku bahwa kamu bertemu dengannya. Begitu pula dengan Kazuto." "Lalu"
Apa urusannya denganmu?" "Karena itulah kita perlu bicara." Beliau memasukkan
sebelah tangannya ke dalam saku jas yang dia kenakan dan menarik sesuatu keluar
dari sana, "Aku yakin benda ini memiliki arti penting untukmu." Sejenak aku tertegun dan
menatap beliau dan benda di tangannya bergantian. Benda di tangan Kakek itu, kan...
"Dari mana Kakek mendapatkan benda ini?" tanyaku, menahan geraman marah yang
tanpa kusadari tercermin dalam suaraku. "Aku mendapatkannya secara kebetulan... 12
tahun yang lalu." jawab beliau dengan senyum tipis. Aku kembali menatap benda di
tangannya dan tidak tahu harus berkata apa. Lalu aku kembali menatap beliau dan
menghela nafas. "Kau ingin bicara" Oke. Ingin membicarakan tentang apa?" "Tidak di
sini. Ayo, ikut aku." Beliau menghelaku keluar dari studio mini. Lucia terbirit-birit
mengikuti kami dan memegang lengan jas Kakek, membuat beliau menoleh kearahnya.
"Ah, Lucia..." beliau tersenyum, "Kau juga harus ikut." "Apa?" Aku dan Lucia sama-sama
menyuarakan keterkejutan dan menatap beliau dengan alis terangkat. "Kenapa di harus
ikut?" tanyaku. "Karena dia adalah tunanganmu. Dan dia harus mendengarkan apa
yang akan kukatakan padamu." Aku memandang beliau dengan tatapan marah.
"Kuharap Kakek mau membatalkan pertunanganku dengan Lucia." Kataku sinis. "Apa
Kakek buta kalau dia hanya mengincar harta?" "Oh, tentu saja aku tahu." jawab beliau,
yang disambut dengan raut wajah pucat Lucia, "Tapi, dia adalah orang penting yang
sudah membuat Ruka terluka. Dan... mungkin aku harus memberinya sedikit hukuman."
Aku menatap beliau dengan tatapan heran. Kenapa beliau sepertinya sangat perhatian
pada Ruka" Apa yang dikatakan Kazuto kemarin itu benar, kalau Kakek memiliki
rahasia saat mengatakan padanya untuk menjaga Ruka dan jangan sampai gadis itu
terluka sedikitpun" Lucia menatap Kakek dengan wajah putih seperti kertas. "Ka, Kakek
tidak serius, kan?" tanyanya terbata. "A, aku tidak melakukan apa-apa pada gadis itu.
Aku hanya..." "Memberi peringatan" Aku juga tahu itu." beliau mengangguk, "Karena
itulah, kau harus ikut kami." Dan beliau langsung menghela kami berdua ke dalam mobil
yang entah sejak kapan sudah berada di depan studio mini-ku. *** Rupanya beliau
mengajak kami ke taman bermain yang pernah didatangi Kazuto dan Ruka malam itu.
Aku sempat mengernyitkan kening bingung dan heran kenapa beliau mengajak kami ke
sini. Tapi, aku tidak berniat untuk berkomentar karena... seperti yang kukatakan tadi,
aku malas membuang-buang tenaga.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Inoue?" Ketika aku baru keluar dari mobil, aku langsung melihat Kazuto yang sedang
duduk bersandar pada sebatang pohon besar di dekat wahana komedi putar.
Pakaiannya... biasa. Maksudku, memang dia masih kelihatan formal dengan sweater
tanpa lengan berwarna abu-abu yang melapisi kemeja putih yang dikenakannya, dan
celana jins berwarna hitam. Yah... memang itu penampilannya yang biasa, dan
menurutku masih semi-formal. Tapi, kenapa dia ada di sini" "Kamu datang sesuai janji,
Kazuto." Kakek tahu-tahu saja berdiri di belakangku, "Nah, sekarang, mari kita ke
restoran itu untuk makan siang. Aku yakin kalian bertiga juga sudah lapar sepertiku."
Rukas Angel - Angelia Putri
Bertiga" Ah, ya... benar juga. Aku lupa dengan kehadiran Lucia. Dia berdiri agak jauh
dari Kakek dan agak merapat padaku, seolah mencari perlindungan. "Ayo," beliau
langsung berjalan melewatiku dan Kazuto. Aku segera mendekati Kazuto yang
mengikuti Kakek di belakang. "Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan oleh pria tua itu?"
tanyaku sambil berbisik. "Jangan tidak sopan pada Kakek, Inoue. Panggil beliau Kakek."
Kata Kazuto balas berbisik, "Aku juga tidak tahu apa yang ingin beliau bicarakan, tapi,
kusarankan kamu jangan membantah atau membuat beliau marah." "Ck," aku
mendecak dan berjalan di belakangnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan
dada. Tidak berbicara lagi dengannya. Kami sampai di restoran itu dan langsung
disambut oleh para pelayan yang entah dari mana datangnya. Mereka menunjukkan
meja kami, meletakkan semangkuk sup hangat sebagai makanan pembuka dan juga
beberapa minuman, termasuk anggur merah pekat yang ada di dalam gelas di dekatku.
Aku menatap Kazuto yang duduk dalam diam dan menyesap anggurnya sebentar, lalu
Kakek... pria itu meminum kopi yang disediakan untuknya sambil menatap kami
satu-persatu. Hidangan utama setelah sup adalah daging steak yang dipanggang
sampai benar-benar menguarkan aroma harum yang menggiurkan. Kami berempat
makan dalam diam, dan aku bisa merasakan aura mengimintidasi dari Kakek sangat
mendominasi kami. "Sebelumnya, aku ingin meluruskan masalah Inoue dan Lucia."
Ujarnya sambil berdeham, membuka pembicaraan setelah kami menyantap makanan
kami masing-masing dan sedang menikmati dessert berupa chocolate parfait dengan
buah-buahan segar. "Mengenai masalah pertunangan mereka. Aku sudah
mendengarnya dari Kazuto." Beliau menatapku dan Lucia bergantian. Tatapan matanya
sangat tajam seolah hendak menembus jiwa kami. Sial. Aku paling benci situasi seperti
ini. "Aku tidak mengharapkan pertunangan kalian batal. Karena aku tidak akan
mengizinkannya." Ujar beliau, bagai vonis hukuman mati. Yang langsung kutanggapi
dengan amarah menggelegak. Tapi, aku harus tetap tenang. Aku tidak mungkin
mempermalukan diriku sendiri di hadapan beliau sekarang ini. Tidak. Tidak untuk saat
ini. "Aku tidak terima." Kataku dingin, "Aku tidak ingin pertunanganku dan Lucia
dilanjutkan. Anda ini buta atau apa" Apa Anda tidak melihat bahwa yang diincar dariku
melalui pertunangan ini hanyalah harta, kekuasaan, dan... semua yang berhubungan
dengan uang?" "Tidak!! Aku tidak pernah berpikiran seperti itu!" ujar Lucia, terperanjat.
"Kau jangan membuatku terlihat seperti cewek yang hanya menginginkan materi, Inoue."
Aku mendelik padanya. Memang itu kenyataannya, kan" "Aku tidak mengada-ada, dan
aku tidak sedang memfitnahmu, Lucia. Aku tidak akan pernah melakukan - " "Inoue,
Lucia, tolong berhenti berdebat." Suara Kakek membuat kami berdua terdiam, dan
kembali menoleh kearah beliau. Beliau menatap kami satu-persatu, "Aku tidak
mempermasalahkan apakah apa yang kamu katakan itu benar, Inoue," ujar beliau,
"Tapi, keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Pertunangan kalian tetap dilanjutkan."
"Tapi - " "Dan apa kamu tidak tahu kalau Lucia memiliki kepribadian ganda?" Apa" "Apa
kata Kakek tadi" Kepribadian ganda?" aku mengerutkan kening, "Maksudnya seperti
ada dua sisi dalam diri kita, sisi jahat dan sisi baik?" "Begitulah. Lucia memiliki masalah
seperti itu." beliau menatap Lucia yang sekarang menunduk di bawah tatapannya.
"Lucia memiliki kepribadian ganda. Lucia yang menginginkan harta dan kekuasaan
dalam keluarga Hoshihiko adalah sisi dirinya yang lain. Lucia yang sekarang bersama
kita adalah sisinya yang lain, sisinya yang baik." Aku menatap Lucia yang menatapku
takut-takut. Apa karena itu dia tadi menyangkal dia tidak menginginkan harta dan
kekuasaan" Tapi, tidak. Aku tidak bisa mempercayainya. "Kuharap kamu mempercayai
dan membantu Lucia untuk menekan sisi jahatnya agar tidak terbangun, Inoue," ujar
Kakek. "Dan aku ingin kamu tetap melanjutkan pertunangan kalian, seperti yang
kukatakan tadi. Aku tidak mau keputusanku ini dibantah. Kamu tetap melanjutkan
Rukas Angel - Angelia Putri
pertunangan ini, Inoue." Aku menatap beliau dengan mata berkilat marah. Tapi, aku
tahu aku tidak bisa membantah. Akhirnya aku menghela nafas dan mengedikkan bahu
dengan tidak berselera. "Aku tidak akan membantah." kataku. Beliau tersenyum tipis.
Aku melirik kearah Lucia sekilas dan dia masih menunduk, walau aku bisa melihat dia
bernafas lega. Huh. Aku paling benci situasi seperti ini, di mana aku tidak bisa
mengambil jalanku sendiri, dan harus diatur oleh beliau. Aku masih tidak bisa menerima
beliau sebagai kakekku walau aku menyebut beliau dengan sebutan kakek. "Oke,
sekarang, kita ke pembicaraan yang lain." beliau mengeluarkan benda yang tadi
diperlihatkan padaku, "Inoue, Kazuto, apa arti benda ini bagi kalian berdua?"
CHAPTER 18 Beliau meletakkan benda itu di atas meja, dan aku serta Kazuto
menatap benda itu lekat-lekat. Benda itu adalah benda yang tidak asing lagi bagi kami
berdua, dan harus kuakui, juga menyimpan rahasia hidup kami masing-masing. Tapi,
kenapa benda itu ada pada Kakek" Bagaimana beliau mendapatkannya" "Kenapa
benda ini bisa ada pada Kakek?" tanya Kazuto, menyuarakan pertanyaan dalam
benakku. Kakek tersenyum mendengar pertanyaan Kazuto, seolah pertanyaan yang
dilontarkannya adalah pertanyaan yang sama seperti anak SD. "Benda ini Kakek
temukan secara tak sengaja..." beliau berujar lambat-lambat. "Benda ini... kalung ini...
Kakek temukan ada pada Ruka. Sesaat sebelum dia masuk rumah sakit 12 tahun lalu."
Aku mengerutkan kening mendengar informasi ini. Aku sama sekali tidak mengerti apa
yang beliau maksud. Tapi, kelihatannya tidak bagi Kazuto, karena wajahnya langsung
berubah pucat, menatap kalung itu dan wajah Kakek bergantian. "Benda ini... ada pada
Ruka?" "Apa maksudnya itu?" tanyaku tidak mengerti. Menatap kalung dengan rantai
emas itu. Kalung yang menjadi penghubung antara diriku dan ibuku. Benda yang
diberikan ibuku pada sahabat dekatnya. "Kalung itu adalah salah satu harta berharga
milik Ayah." Kata Kazuto, "Lavender Rose. Ayah selalu menyebut kalung itu dengan
nama tersebut." "Lavender Rose?" aku mengerutkan kening, menatap ukiran bunga
mawar yang berwarna merah agak pink pada liontin kalungnya. Lalu rantai emasnya,
bahkan liontinnya sendiri berwarna emas. Tidak ada unsure warna ungu pada kalung
tersebut, kalau memang disebut Lavender Rose.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Kalung ini memang harta berharga milik Ayah kalian, pada mulanya. Lalu dia
memberikannya pada seorang gadis, adiknya sendiri." "Adik?" Kali ini bukan hanya aku
yang terkejut, tapi Kazuto, dan juga Lucia. Kami sama-sama terkejut. "Ayah punya
adik?" tanyaku tidak percaya. "Adik?"" Kakek menatap kami dan mengangguk pelan.
"Ya. Adik perempuan, namanya Ayano." Ayano... entah kenapa nama itu tidak asing
bagiku. Aku seperti pernah mengenal nama itu. "Ayano adalah adik tidak resmi ayah
kalian." "Adik tidak resmi?" aku dan Kazuto seolah membeo perkataan Kakek. "Apa lagi
maksudnya itu?" Beliau lalu menatap kami berdua dengan tatapan tajam. Lalu seulas
senyum - senyum yang menurutku samar dan terlihat licik - tersungging di bibirnya.
"Kalung ini adalah penentu siapa pendamping Ruka." Ujar beliau, "Yaitu siapa yang
akan dipilih oleh Ruka diantara kalian berdua." Apa katanya tadi" "Tapi... bukankah
Kakek baru saja memutuskan bahwa pertunangan Lucia dan Inoue tidak dibatalkan?"
tanya Lucia, "Kenapa sekaran Kakek malah..." "Ah... sebenarnya, merebut kembali hati
Inoue adalah tantangan untukmu, Lucia." Beliau tersenyum, "Aku ingin kalian bertiga...
memainkan peran, dan hadiahnya adalah kalung ini, dan juga Ruka. Di antara kalian
berdua, siapa yang bisa menarik perhatian Ruka, dialah keluarga Hoshihiko yang
sebenarnya." "Kenapa Kakek bicara seperti itu?" tanyaku. "Bukankah sudah jelas bahwa
aku adalah "anak haram"Oh... itu sebenarnya bohong." Jawab beliau, yang langsung
disambut dengan wajah bego (menurutku) olehku dan Kazuto. "Bohong?" "Sebenarnya,
Rukas Angel - Angelia Putri
kalian berdua adalah anak resmi. Tapi, aku sengaja mengatakan bahwa Inoue adalah
anak haram. Agar dia mengejar apa yang menjadi impiannya selama ini, dan
menyamarkan bahwa dia adalah salah satu dari pewaris sah harta Hoshihiko... "... dan
juga, salah seorang diantara kalian adalah kakak kandung Ruka." "Apa!!?" Aku saling
pandang dengan Kazuto, yang juga balas memandangku. Rona pucat terpatri di
wajahnya. Salah satu di antara kami adalah kakak kandung Ruka" *** Aku menatap
Ruka yang agak terkejut dengan kedatanganku ke rumah sakit. Seorang gadis berambut
pirang duduk di sisi tempat tidurnya dan menatapku dengan tatapan curiga. Mungkin dia
mengira aku adalah orang suruhan Kazuto, ya" "Siapa kamu?" tanya gadis pirang itu
sambil berdiri, "Ada perlu apa?" "Aku Nakayama Inoue," kataku memperkenalkan diri
dan tersenyum padanya, "Aku teman Ruka... atau lebih tepatnya, orang yang menyewa
Ruka sebagai model untuk festival kelulusanku di universitas nanti." "Orang yang
menyewa Emilia sebagai model?" gadis itu mengerutkan kening dan menoleh kearah
Ruka. "Dia Kak Inoue, Kak Teresa. Dia bukan orang jahat, kok..." ujar Ruka, seolah
memberikan jawaban pada gadis bernama Teresa itu secara tidak langsung. "Dia
memang memintaku menjadi model untuk peragaan busana di festival kelulusans
universitasnya." "Benar" Dia bukan orang suruhan pria itu?" tanya Teresa lagi. Ruka
menggeleng, dan aku melihat raut wajah Teresa yang tegang dan curiga berubah rileks.
Dia lalu menoleh kearahku dan tersenyum samar. "Maaf, aku agak protektif padanya
karena... sedikit masalah." Katanya, "Ah, silakan duduk, aku akan menaruh bunga yang
kamu bawa itu ke dalam vas." Dengan cekatan, Teresa mengambil buket bunga di
tanganku dan mengambil vas Kristal bening dari dalam laci meja di dekatnya. Aku lalu
duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Teresa dan menatap Ruka yang tersenyum
padaku sementara Teresa pergi ke kamar mandi untuk mengambil air. Aku kembali
teringat percakapan siang tadi antara aku, Kazuto, Lucia, dan Kakek. "Kak Inoue kenapa
wajahnya tegang seperti itu?" tanya Ruka sambil tetap tersenyum, "Ah, ya... mungkin
untuk gaun pentas seni nanti itu aku - " "Ruka," "Ya?" dia menatapku dengan kepala
sedikit dimiringkan. Kuhembuskan nafas dalam-dalam, lalu menatapnya dengan tatapan
paling serius yang kubisa. "Apa kamu punya perasaan padaku?" Aku lihat senyum di
wajahnya agak memudar ketika mendengar pertanyaanku. Keningnya berkerut samar.
"Maksud Kakak apa?" "Maksudku... apa kamu menyukaiku" Lebih dari seorang kenalan
tidak dikenal?" Kali ini wajah Ruka kelihatan kaget sekaligus bingung. Tapi, aku sudah
mengatakannya. Aku tidak mungkin bisa mundur. "Aku ingin kalian berdua
memperebutkan hati Ruka." Ujar Kakek sambil mengetukngetuk kalung yang beliau
letakkan di atas meja. "Aku ingin melihat, siapa yang bisa mengambil hatinya." "Kenapa
Kakek membicarakan hal itu seolah membicarakan hadiah besar untuk sebuah
permainan?" tanya Kazuto. "Ruka bukan sebuah hadiah - " "Bukankah tadi sudah Kakek
bilang kalau salah satu diantara kalian berdua adalah kakak kandung Ruka yang
sengaja kupisahkan darinya dan keluarganya?" beliau mengangkat sebelah alis, "Aku
menyuruh kedua ibu kalian untuk merahasiakan hal tersebut, untuk saat yang tepat ini."
Saat yang tepat" Dia gila, menganggap ini seperti sebuah permainan. Memangnya
beliau pikir kami ini apa" Apa kami ini hanya asset dan bukan cucu yang harusnya
disayang dan dikasihi" Oke. Ini adalah salah satu alasan kenapa aku muak berada di
dalam keluarga Hoshihiko. Aku benci sifat Kakek yang menganggap apa yang ada di
sekitarnya bisa diatur sesuka hatinya. "Dan, sayangnya, ibu kalian berdua meninggal
dunia sebelum aku ingin
Rukas Angel - Angelia Putri
memberitahukan hal ini pada kalian." suara beliau membawaku kembali ke kenyataan,
"Karena Ayano, dia mengandung dua orang anak, dan anak laki-laki itu, yang tidak lain
Rukas Angel - Angelia Putri
kakak kandung Ruka... adalah salah satu dari kalian. "Karena itu, aku ingin kalian
berdua mencoba memperebutkan hati Ruka, dan bila saatnya tepat..." beliau kembali
menunjukkan senyum licik yang membuatku muak. "... aku yang akan memberitahu
siapa kakak kandung Ruka pada gadis itu sendiri." Itu adalah tantangan, sekaligus
ancaman yang membuatku dan Kazuto sama-sama memikirkan satu hal. Kami harus
melindungi Ruka dari rencana Kakek. Kami tidak peduli siapa diantara kami yang
menjadi kakak kandung Ruka sebenarnya, kecemasan kami Cuma satu, bila Ruka
mengetahui salah satu dari kami adalah kakaknya, perasaan yang bertumbuh pada diri
Kazuto - atau pada diriku juga, yang tumbuh sedikit demi sedikit - akan sirna seketika.
Dan, sudah pasti, akan ada kecanggungan diantara kami bertiga. Dan mungkin, aku
yang akan merasa paling bersalah apabila ternyata Kazuto-lah kakak kandungnya.
Semua yang dilakukan oleh Kazuto selama ini untuk Ruka akan sia-sia dan tidak ada
artinya bila Ruka memandang Kazuto sebagai seorang kakak kandung. Hei... walau aku
sering merasa iri padanya karena dia memiliki Ruka yang lebih pendiam dan manis itu,
aku tahu, aku mungkin tidak bisa mengejar seperti yang dicapai oleh Kazuto karena
Lucia masih terikat tali pertunangan denganku. Dan Kakek memutuskan untuk tetap
melanjutkan pertunangan kami, tanpa bisa dibantah. Jadi, aku bisa apa" Yah... walau
ada setitik perasaan yang mendorongku ingin memiliki Ruka juga. "Kak... kita baru kenal
beberapa hari." suara Ruka membuyarkan lamunanku. "Aku tahu..." aku berdeham,
"Tapi, kalau aku mencoba untuk memperjuangkanmu, apakah kamu mau
menerimanya?" Dia terdiam lagi, dan aku tahu, dia sedang memikirkan Kazuto. Dengan
penuh pertimbangan. Sial. Lagi-lagi ada sesuatu yang berulah di dalam hatiku.
Bersyukur sekali Teresa tidak ada di ruangan ini sekarang karena dia sedang
mengambilkan air untuk bunga yang kubawa. Dan kuharap dia tidak keluar dari kamar
mandi untuk beberapa saat lagi. "Aku... tidak tahu, Kak..." katanya lemah. "Aku... aku
sudah punya seseorang." Ya, aku tahu seseorang itu adalah Kazuto. Tapi, kalau begini,
rencana Kakek, akan berjalan lancar, dan aku sudah merundingkan ini dengan Kazuto,
yang dengan terpaksa, menyetujui tindakan yang akan kuambil untuk membuat Ruka
tidak memilihku. "Aku tidak ingin Ruka tahu tentang semua ini, dan jika benar akulah
kakak kandungnya... Inoue, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak mau Ruka
memandangku sebagai Kakak. Dan aku tidak mau dia menjauh dariku..." kata Kazuto
saat itu. Dan aku, sebagai adik yang baik (hanya untuk kali ini), akan berusaha
semaksimal mungkin agar semua itu tercapai. Walau rasanya hatiku juga ikut sakit
menyadari aku mau membantu Kazuto yang notabene sifatnya berbanding 180 derajat
denganku. Tapi, bagaimanapun juga, sepertinya aku harus melakukan hal tersebut. Aku
berdiri dan duduk di sisi tempa tidurnya. Dia sedikit kaget dengan tindakanku, dan tanpa
peringatan, aku mencium keningnya. Dan kudengar helaan nafasnya yang terkejut dan
tubuhnya yang kaku menerima ciumanku. Aku melepaskan ciumanku dan dia
menatapku dengan mata terbelalak lebar, bingung. "Apa..." "Kuharap kamu tidak punya
perasaan apa-apa padaku." kataku pelan, "Karena kalau tidak, aku yakin, orang yang
sangat tulus mencintaimu akan tersiksa melihatmu berpaling pada yang lain." Dia
menatapku dengan ekspresi bingung. Dan tepat saat itu juga, Teresa keluar dari kamar
mandi sambil membawa vas yang berisi bunga dariku di tangannya. CHAPTER 19
Aku masih menatap Kak Inoue dengan tatapan bingung ketika dia mencium keningku.
Aku tahu jenis ciuman yang dilakukannya, penuh perasaan. Ada sedikit perasaan ingin
melindungi dan... menyenangkan saudara" Aku bisa merasakannya. "Kuharap kamu
tidak punya perasaan apa-apa padaku. Karena kalau tidak, aku yakin, orang yang
sangat tulus mencintaimu akan tersiksa melihatmu berpaling pada yang lain." katanya.


Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengerutkan kening tidak mengerti dengan ucapannya. Ketika aku hendak
menanyakan apa maksudnya, Kak Teresa kembali dari kamar mandi sambil membawa
Rukas Angel - Angelia Putri
vas bunga yang sudah ia isi dengan air. Bunga yang dibawakan Kak Inoue kelihatan
cantik dengan vas bunga dari Kristal itu. "Nah, aku akan meletakkan vas bunga ini di
sini," Kak Teresa meletakkan vas bunga itu di atas meja di dekat tempat tidurku, "Aku
akan pergi ke kantin rumah sakit. Aku akan menelepon Ibu untuk bergantian
menjagamu." Aku tidak mengatakan apa-apa dan menatap Kak Teresa pergi.
Pandanganku kemudian kembali pada Kak Inoue yang duduk bersandar pada kursinya.
"Apa maksud ucapan Kakak tadi?" tanyaku, akhirnya bisa menyuarakan pertanyaan itu.
"Tidak ada apa-apa." dia tersenyum, "Oh ya, aku bawakan kamu gaun yang kamu
inginkan untuk pentas senimu nanti." Dia mengalihkan pembicaraan, aku tahu itu. Kak
Inoue mengambil kantong kertas yang dia letakkan tadi di atas meja dan
menyerahkannya padaku. Aku menerima kantong kertas itu dan mengeluarkan isinya.
Dan aku yakin, mataku mengerjap ketika melihat gaun yang ada di dalamnya. Gaun itu
tanpa lengan, berwarna biru langit, dengan aksen pita putih dan sedikit pemanis dari
payet dan Kristal kecil yang ditempelkan satu- persatu dan sangat hati-hati di bagian
bawah gaunnya. Kuelus gaun itu dan bahannya berdesir ketika kusentuh. Sutra-kah ini"
"Kurasa ini cocok untukmu." Kata Kak Inoue, "Ini salah satu gaun yang pertama kali
kubuat." "Benarkah?" aku menatapnya, "Padahal kukira ini adalah gaun yang baru-baru
ini Kakak buat. Bahannya sangat halus, dan keseluruhan gaun ini... cantik sekali."
"Terima kasih atas pujiannya." Dia terkekeh, "Aku juga sedang mengerjakan gaun
pengantin yang akan kutampilkan dalam festival kelulusan nanti. Dan kuharap saat itu,
kamu sudah sembuh dan bisa memukau para penonton." Aku tertawa kecil dan
mengangguk. Setelahnya, kami membicarakan hal lain dan tidak mengungkit-ungkit soal
ciumannya barusan. *** Ibu datang pada saat jam makan siang tepat setelah Kak
Inoue pergi untuk kembali ke kampusnya. Ibu masih mengenakan blazer dan juga rok
kerja berwarna hijau tosca. Beliau membawakanku permen coklat. Asyik! Aku sangat
suka permen coklat dan memang sedang ingin makan yang manis-manis saat ini. "Tapi,
jangan makan terlalu banyak. Kamu masih sakit dan dalam proses penyembuhan." Ujar
beliau saat aku mengambil permen coklatku yang kelima. "Aku tahu..." aku mengangguk
dan langsung melahap permen coklat di tanganku. Hmm... rasa coklat-vanilla. Aku suka
ini. Syukurlah slang infuse di punggung tanganku sudah dilepas, jadi aku bisa sedikit
leluasa untuk menggerakkan tanganku. Dokter bahkan mengatakan aku adalah pasien
yang paling cepat pulih. "Oh ya, tadi Teresa bilang kamu kedatangan tamu, seorang
cowok seusianya." Ujar beliau. "Siapa dia, Emilia?" "Namanya Kak Inoue, Bu. Dia
mahasiswa fashion design di ArTalent University." Kataku,
Rukas Angel - Angelia Putri
"Kami bertemu ketika aku nyaris menabraknya, dan sebagai... permintaan maaf, aku
menyanggupi permintaannya menjadi modelnya untuk peragaan busana di festival
kelulusannya nanti." "Apa dia... orang suruhan pria itu, kakekmu?" tanya beliau lagi.
Pertanyaan yang sama seperti yang dilontarkan Kak Teresa. "Tidak, kok, Bu. Kak Inoue
itu bukan orang suruhan Kakek. Aku jamin itu." aku tersenyum menenangkan. "Ah ya,
Bu, coba lihat gaun ini. Indah sekali, kan?" Aku meraih kantong kertas berisi gaun yang
diberikan Kak Inoue tadi. Aku mengeluarkan gaun itu dan memperlihatkannya pada Ibu.
"Bagus sekali." Gumam Ibu sambil mengelus gaun itu. "Iya, kan?" aku tersenyum, "Kak
Inoue yang membuatnya, Bu." "Pria tadi?" Ibu mengangkat sebelah alisnya, "Dia
seorang desainer - ah ya, dia mahasiswa fashion design, ya?" Aku tertawa kecil dan
mengangguk. "Gaun ini akan kupakai saat pentas seni nanti..." kataku. "Apa menurut
Ibu, gaun ini cukup bagus?" "Bagus, kok... bahannya ringan, dan pemilihan warnanya
juga sangat bagus. Sepertinya dia sangat berbakat membuat gaun seperti ini." "Iya,
kan?" aku tersenyum lebar, "Aku juga suka warnanya, Bu. Seperti warna langit cerah."
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ibu senang kalau kamu juga senang dengan gaun ini." Aku kembali menaruh gaun itu
ke dalam kantong kertas dan meletakkannya di dekatku. "Bu," "Ya, sayang?" "Boleh...
aku berjalan-jalan sebentar di luar" Aku ingin ke taman rumah sakit." "Tapi, lukamu
bagaimana?" wajah Ibu langsung berubah datar, "Kata dokter, kamu harus istirahat total
selama beberapa hari, Emilia." "Bu, aku baik-baik saja, kok..." ujarku, "Aku merasa
sehat. Dan aku ingin jalan-jalan ke taman. Boleh, ya?" Ibu menatapku lama, sebelum
akhirnya menghembuskan nafas. "Baiklah... Ibu tidak mungkin menolak permintaanmu."
Beliau mengangguk, "Tapi, kamu harus ditemani Teresa. Ibu akan meneleponnya untuk
segera ke sini." "Tidak usah, Bu. Kak Teresa pasti sedang menikmati makan siang."
Kataku mencegah Ibu yang sudah membuat gerakan mengambil ponsel dari sakunya.
"Tidak usah menelepon Kak Teresa. Aku bisa pergi sendiri." "Emilia, Ibu tidak mau kamu
kenapa-napa. Apalagi mengingat cucu pria itu berani mendatangimu kemari..." "Bu," aku
memejamkan mataku, berusaha menahan keinginan untuk mengatakan kalau Kazuto
bukanlah orang jahat. "Aku akan baik-baik saja. Orang itu tidak akan mendatangiku,
atau bahkan menyakitiku." ujarku. "Ibu percaya, deh sama aku. Ya?" "Emilia, Ibu hanya
khawatir," "Aku tahu..." aku tersenyum, "Tapi aku sudah dewasa, dan aku bisa menjaga
diri. Ibu harus percaya padaku." Ibu tampak hendak membalasku, tapi, kemudian beliau
terdiam dan lagi-lagi menghela nafas, kali ini dengan sangat berat hati. "Baiklah." Dan
seperti itu saja, aku langsung berterima kasih pada Ibu dan pergi keluar kamar dengan
senang hati. *** Ketika aku baru saja keluar dari kamar tempatku dirawat, seseorang
memanggil namaku. Aku menoleh dan melihat seorang pria yang kelihatannya berusia
40 tahun keatas berjalan kearahku. Tongkat yang digunakannya untuk berjalan tampak
elegan karena memiliki setidaknya 10 butir berlian. Apakah pria itu yang memanggilku
tadi" "Maaf, kamu Megumi Ruka, kan?" tanya pria itu ketika sudah berdiri di hadapanku.
Aku mengangguk pelan. "Anda siapa, ya?" Pria itu tersenyum dan mengulurkan
tangannya. "Namaku Nakayama Samuel. Aku kakek Inoue." Aku yakin mataku
membulat saking kagetnya. Kenapa kakek Kak Inoue bisa tahu di mana aku dirawat"
Apa dia mengikuti Kak Inoue sampai kemari" "Aku ingin menemui gadis yang membuat
Inoue terpikat." Pria itu tertawa, "Kau boleh memanggilku Kakek. Boleh aku
memanggilmu Ruka?" "Y, ya... tentu." Aku mengangguk. "Ruka, Kakek ingin bicara
sebentar denganmu. Kamu bisa ikut Kakek ke taman?" Kebetulan sekali, aku juga ingin
ke sana. Aku menganggukkan kepala dan langsung mengikuti Kakek di sebelahnya.
Wajah Kakek selalu dipenuhi senyum ramah, dan aku sangat menyukainya. Kami
sampai di taman, dan beliau langsung duduk di salah satu bangku taman. Dan aku
menyadari kalau bangku yang beliau duduki adalah bangku yang kemarin malam
kududuki bersama Kazuto. Ingatan itu membuat hatiku merasakan kehangatan.
"Duduklah, nak," Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya. Kami lalu duduk dalam
diam selama beberapa saat, sebelum akhirnya Kakek Samuel mengucapkan sesuatu.
"Aku lihat cucuku sangat dekat denganmu." beliau tersenyum, "Sepertinya kamu
menyita perhatiannya secara penuh." "Benarkah" Aku tidak merasa begitu." ujarku.
Memikirkan Kak Inoue memikirkanku rasanya mustahil... eh, tidak juga, sih. Bukankah
aku memang harus dipikirkan karena aku akan menjadi model untuknya, ya" Kakek
Samuel tertawa. Dan suara tawanya juga begitu ramah. "Oh ya, apa kamu masih
sekolah?" "Aku bersekolah di Hope Academy." Jawabku. "Ah, ya... sekolah milik diva
terkenal itu, ya" Aku pernah bertemu dengannya. Dan dia masih terlihat cantik walau
sudah memiliki anak." beliau lalu menatapku, "Apa kamu senang bersekolah di sana?"
"Ya..." aku mengangguk, merasa aneh dengan pertanyaannya. "Di sana aku bisa
belajar banyak hal. Apalagi jadwal pelajarannya disesuaikan dengan jam kerjaku
sebagai model." "Kamu model" Pantas saja... wajahmu cantik dan sangat anggun." Aku
hanya tersenyum menanggapi pujian itu. "Oh, aku lupa kalau aku ingin membicarakan
Rukas Angel - Angelia Putri
sesuatu denganmu." beliau berdeham. "Ruka, mungkin ini terdengar aneh, tapi Kakek
mohon kamu tidak menganggapku sedang mempermainkanmu." "Memangnya Kakek
ingin mengatakan apa?" Kakek Samuel menatapku lama, sebelum akhirnya
mengucapkan sesuatu yang membuatku membelalakkan mata saking kagetnya. "Kau
mau mencoba menjadi pacar Inoue?" TO BE CONTINUED Apa yang sebenarnya
terjadi" Kenapa Kakek Samuel meminta Ruka untuk menjadi pacar Inoue" Dan
bagaimana rencana Kazuto dan Inoue agar Ruka tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang ternyata adalah kakak kandung gadis itu" Apa rencana mereka berdua
berjalan lancar" Lalu, bagaimana dengan ingatan masa lalu Ruka yang menghilang"
Mungkinkah ada misteri di
Rukas Angel - Angelia Putri
dalam ingatannya yang hilang itu"
Tiga Naga Sakti 2 Celebrity Wedding Karya Alia Zalea Prahara Rimba Buangan 1

Cari Blog Ini