Ceritasilat Novel Online

Saputangan Gambar Naga 1

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
SUPARTO BRATA Saputangan Gambar Naga Oleh: Suparto Brata GM 501 03-349 O Penerbit PT Grasindo, Jalan Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh
undang-undang Editor: A. Ariobtmo Nusantara Asisten Editor ifermina Purba Penata isi: Suwarto
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta, 2003
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Cerita ini pernah dimuat bersambung pada Harian Sore Surabaya Post 17 April-September 1990
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Naskah cerita Saputangan Gambar Naga ini dikerjakan di rumah Rungkut Surabaya Februari-April
1989, untuk pertama kalinya ditik langsung, tanpa ditulis tangan lebih dahulu
Bus 'Kudaku Lari' bagaikan kuda larat masuk ke jalan bebas hambatan Surabaya
Di belakang sopir, duduk seorang gadis bermata sipit. Matanya memandang lurus ke depan seperti
sang sopir, tapi bibirnya menggumamkan senyum, sikapnya santai, sama sekali tidak terlibat
ketegangan sekitarnya. Jelas nenek moyangnya orang Cina. Dan, itu lebih dijelaskan dengan tata
rambutnya yang panjang, hitam, dikepang dua. Tata rambut ini sengaja dibikin semirip mungkin
dengan zaman Kubilai Khan, ketika di negeri nenek moyangnya sana, baik laki-laki maupun
perempuan berambut panjang dan dikepang seperti itu. Aneh juga, meski sudah lima belas
keturunan, tata rambut ini masih disenangi oleh gadis yang duduk di belakang pengemudi bus
'Kudaku Lari' itu. Tanda-tanda bahwa dia masih kuat ingin meniru leluhurnya tampak juga pada baju
yang dikenakan. Ia mengenakan baju sutera hijau berlengan pendek sehingga tampak lengannya
yang mulus, 1 dan leher bajunya berdiri melingkari. Pada dadanya sebelah kiri, terdapat saku warna serupa. Di
situ tersembul tisu putih yang menjadi hiasan dada. Selain tisu, masih ada sesuatu tersimpan
baik-baik dalam lipatan segi empat, saputangan.
Kearcaan gadis berdandanan rambut model kuno itu menarik perhatian kernet bus yang berdiri di
sebelah kiri sopir, la tidak perlu lagi membantu sopir mengawasi depan bus sejak masuk jalan
bebas hambatan, sebab pandangan ke depan lapang dan tidak terganggu kendaraan yang datang
dari arah berlawanan. Kesempatan itu digunakannya untuk mengendorkan urat dan napas sambil
melayangkan pandang ke arah penumpang. Rata-rata penumpang berwajah ceria, mendambakan
segera sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dan terseoklah pandang matanya pada rupawan
1 Cina di belakang sopir. Wajah yang ayu, dandanan yang kuno, senyuman yang ramah, sungguh
menyejukkan hati untuk dipandang. Lelaki kernet itu tak alang lagi melahapnya dengan pelototan
matanya yang rakus dan nakal. Mumpung memandang tidak bayar, nakal sedikit tidak kentara,
boleh saja. Betapa nikmat memandangi wajah gadis zaman Kubilai Khan itu pada bus 'Kudaku Larf
yang terus melarat di jalan bebas hambatan.
"Surabaya sudah di ambang pintu! Penumpang harap bersiap-siap dengan bawaannya. Terutama
yang turun halte Dupak! Jangan ketiduran!" suara kernet.
Gadis itu menoleh ke arahnya. Pandang mata pun bersambung. Si kernet berharap begitu. Puncak
kenikmatan memandang. Setelan'bersambung, geragapanlah dia! Merasa kurang ajar, merasa
bersalah, ketakutan! Siap terima dampratan! HehP Oh, tidak! Gadis itu tersenyum tambah lebar,
badarlah kearcaanya. Ia tidak mendamprat atau
2 mengumpat. Pandangannya tetap lunak, menyejukkan hati
yang bertatap pandang, tidak menghunjam marah. Sifat kurang ajar Si Kernet berkembang lagi,
lebih berani, terus memandang lurus ke arah dalam mata juwita. Sambil mengeluarkan tisu dari
saku bajunya, gadis itu mengajaknya bicara. Bau harum yang khusus mengembang di seputarnya.
"Jalan Dandanggula, di mana itu" Apa aku harus turun di terminal?" tanya gadis tadi.
Selain tisu kusut, tertarik juga secarik saputangan berwarna hijau serupa bajunya. Sebelum
dikembalikan, saputangan tadi sempat terbuka lipatannya. Ada bekas-bekas gambar naga, tapi
kosong, tidak berisi,, hanya garis-garis tepinya saja yang membentuk gambar naga. Sambil bicara
kepada kernet, saputangan itu cepat dilipat lebih rapi, dan kembali dimasukkan ke sakunya.
"Dandanggula" Dandanggula itu mana?" Si Kernet ganti bertanya kepada sopir.
"Dandanggula itu daerah pemukiman baru. Daerah nama tembang-tembang Jawa di sebelah timur
kota!" "O, bangsanya Jalan Kinanthi, Megatruh itu, ya?"
"Daerah elite itu! Rumahnya bagus-bagus, jalannya besar-besar," penjelasan sopir.
"Anu, Non! Turun di Halte Dupak sini saja. Naik taksi menerobos Tugu Pahlawan!"
Bus terus melaju cepat. Deru mesinnya membuntuti.
"Asalnya dari mana, Non?"
"Tuban." "Lama di Tuban?"
"O, sudah tujuh ratusan tahun yang lalu!" jawabnya penuh tawa.
2 Ah, menyenangkan. Humornya menggigit.
3 "Apa belum pernah ke Surabaya" Kok belum tahu Jalan Dandanggula?"
"Pernah. Hanya lewat saja. Tapi Surabaya belum diatur seperti sekarang. Jalan Dandanggula belum
ada. Perahu-perahu masih berlaki-lalang di bengawan besar. Banyak rawa-rawa."
"Jadi tujuan akhir bukan Surabaya" Cuma lewat saja" Pantas tidak kenal Jalan Dandanggula."
'Kudaku Lari' terus melaju. Udara berbau minyak mulai menyinggung pucuk hidung para
penumpang. "Kok lewat Surabaya, dari mana hendak ke mana!"
"Dari Tuban ke Singasari."
"O, ya! Mengapa ke Singasari?"
"Menyusul ayah!"
"O, asalnya dari Tuban, ya" Sejak tujuh ratus tahun yang lalu, ha, ha, ha! Kerjanya apa, kok begitu
lama tinggal di sana?"
Tiba-tiba Si Kernet asal Surabaya yang berbakat melucu itu berminat ingin terus berbicara dan
berseloroh dengan Si Gadis. Selain sedap dipandang mata, cicit piut pasukan Kubilai Khan ini enak
dibawa bergaul, diajak omong-omong. Meski kulitnya kuning dan matanya sipit, senyumnya yang
ramah tidak mengandung rasa getir. Hatinya terbuka, tidak ada rasa kalau aku berkulit kuning dan
kamu sawo matang. Tupih ratus tahun, Non! Apa kerja Non di sana"!"
"Ibuku yang menetap di Tuban. Dalam tahanan. Disekap dalam sebuah bilik!"
"Ha, ha, ha! Lucu! Lucu sekali! Seperti berita dalam surat kabar saja! Seorang pembantu rumah
tangga asal Tuban disekap oleh majikannya! Apa ibumu seorang pembantu rumah tangga, Non?"
4 Gadis itu ikut hanyut tertawa. Ceritanya menyulut gelak tawa. Si Kernet, Si Sopir, dan penumpang
bus yang mendengar ikut tertawa, baik tampak di mulut, maupun dalam hati. Penumpang bus
bagian depan itu bergembira ria! Kesenangan berkendaraan 'Kudaku Lari" terasa di akhir
perjalanan ketika kota tujuan Surabaya sudah tampak. Puncak menara kantor gubernur telah
mengintip di kaca depan sopir.
Cerita Si Gadis belum selesai. Para pendengar merasa begitu. Masih ada sambungnya yang lebih
menggelitik, karena menilik awalnya yang begitu menarik. Kisah penyiksaan manusia, suatu tragedi,
kejadian tragis, tapi terpenggal oleh letupan gelak tertawa! Tragedi manusia ditertawai karena tampil
dalam situasi santai. Sedang tragedi itu tinggal kisahnya saja! Kisah yang belum terungkap, belum
3 diucapkan oleh Si Gadis, keburu dilanda gelak tertawa!
Seorang lelaki gemuk berbaju lorek yang duduk berbatasan gang dengan Si Gadis paling jelas
mendengarkan percakapan mereka. Ia tertawa terkekeh karena ucapan gaya Surabaya Si Kernet.
seperti berita dalam surat kabar, ha, ha, ha!" Si Gemuk ikut larut dalam gelak tertawa.
Mereka berhenti tertawa, seperti bus yang melaju dan dihentikan penumpang yang mau turun. Bus
pelan dulu, berhenti, tapi mesin masih mengerang, penumpang turun, bus melaju lagi, dan bergerak
pelahan. Gelak itu juga berhenti sampai tidak seorang pun tercecer tertawa, namun siap meringis
untuk lanjutan kisah lucu berikutnya. Mereka tentu menunggu jawaban Si Gadis.
"Apa ibumu seorang pembantu rumah tangga, Non?" Tentu saja bukan! Kernet sendiri yang
memustahilkan. Masa gadis secantik dan berpakaian indah begitu anak pembantu rumah tangga. Tidak mungkin ia anak
Si Tun atau Si Yem, "Kok disekap" Bagaimana kisahnya?" tanya Si Baju Lorek. Ia ikut-ikutan tak
sabar menanti. "Karena ia harus tinggal di Tuban. Tidak boleh mengikuti ayah ke Singasari."
Tapi mamamu bukan pembantu rumah tangga keluarga ayahmu" Bukan pribumi Jawa?"
"Bukan. Mama seasal dengan papa Fang Fang, sama-sama bangsawan Fukien. Fang Fang juga
lahir di sana." "Kok bisa ya, sama bangsanya berbuat sekejam itu?" "Bisa saja. Suasananya waktu
itu memungkinkan," tambah Si Gadis.
"Memang bukan kisah yang pernah diungkapkan dalam surat kabar. Bukan kisah pembantu rumah
tangga yang disekap majikannya." Si Kernet mencampuri dengan nada humor Surabayanya yang
kental. Tapi sekali ini humor itu membunuh alir kisah yang mau lancar. Kisah tersekat lagi. Para
pendengar dan pemerhati kecewa. Menyesali ucapan Si Kernet, gigi Si Badan Ceking saja yang
tetap besar sehingga wajahnya seperti terwelu.
Si Juwita zaman Baheula tampaknya tidak berselera lagi melanjutkan kisah mengenai ibunya atau
mamanya. Bukan emaknya. Ia kembali memandang ke depan, melihat lurus ke menara kantor
gubernur yang telah seabad umurnya.
"Papamu pindah ke Singasari?" Si Gemuk Baju Lorek memancing lagi alir cerita dari gadis baju
hijau. "Ada urusan di Singasari."
"O, cuma sementara! Mamamu tidak boleh ikut. Lalu disekap di dalam bilik. Itulah yang kausebut
'suasananya memungkinan?" Baju Lorek itu berkisah sendiri dengan
menjajaki kemungkinan yang ada. Kemungkinan kisah ibu
disekap itu jadi wajar. Si Gadis tidak sempat lagi berkomentar. Kota Surabaya kian dekat. Perasaan penumpang 'Kudaku
Lari' terus bergegas. Bau harum yang khusus terus saja menyebar sejak saputangan hijau tadi
keluar dari saku gadis itu.
4 'Turun di sini saja, Non. Taksi banyak dan gampang diperoleh. Bawaannya banyak?" tanya Si
Kernet. Bus berhenti setelah keluar dari jalan bebas hambatan. Si Kernet dengan semangat menyediakan
tenaga untuk membantu. Si Tacik turun. Masih dengan sikapnya semula, yakni mengharap
keakraban dari perempuan muda itu. Bukan saja tersenyum bila bertemu pandang, melainkan juga
senggol-senggolan dengan kulitnya yang halus itu! Entah lengannya yang teraga, entah bokongnya
yang bahenol, kalau bisa Si Kernet ingin menyenggolnya, menikmatinya dengan senggolan. Tapi
ketika ia sudah menjinjing tas bawaan Si Gadis, tiba-tiba saja telah berdiri di sampingnya seorang
laki-laki bertubuh kekar, berdada bidang seperti seorang petinju kelas berat. Rambut laki-laki ini
awut-awutan, bulu keningnya tebal, matanya yang sipit meninggi pada arah pelipisnya, sedang
kumisnya tipis tapi panjang melengkung ke bawah. Wajah kuno yang lain! Seangkatan dengan
wajah Si Gadis! Laki-laki bertubuh bokser ini menyapa gadis itu dengan suara dalam, tanpa
senyum, dan dari matanya yang sipit terpancar sinar suram dan rasa tidak senang terhadap kernet.
"Fusen jangan salah terima. Mereka bukan seteru. Bukankah mereka ini sangat ramah" Seperti
orang Singasari saja!" kata gadis itu sambil menggapai lengan laki-laki itu. Jelas bahwa mereka
berkenalan! (Tadi gadis itu seperti berjalan seorang diri. Kecantikan dan kelemahan tubuhnya memang bisa
membahayakan perjalanannya. Tetapi sikapnya yang ramah tamah itu menjadikan teman yang
akan selalu melindungi dia dari keganasan. Ketika kernet bus nekad akan melancarkan serangan
ugal-ugalannya, tiba-tiba Si Lemah Lembut itu punya seorang pelindung yang gagah perkasa. Dan
Si Kurus Kernet tak berani berkutik.
"Taksinya ada di sana! Panggil saja," ujar kernet masih meneruskan keinginannya membantu. Ia
tidak punya niat menggoda lagi. Ia menelan ludah, dan giginya yang mencuat kian menongol! Cepat
ia naik ke busnya, ingin rasanya lekas-lekas menghindar dari wajah Tartar yang menemani gadis
itu! "Klaaar! Berangkat langsung! Jamput." "Ada apa, Net" Kok mengumpat?" tegur sopir! "Ada
tentara Kubilai Khan mengawal Putri Cina tadi! jamput; nggak oleh apa-apa>." Maksudnya tidak
dapat senggolan! "lo itu tadi kok tiba-tiba ada pengawalnya! Ternyata dia tidak seorang diri!" ujar Si Baju Lorek. Ia ikut
menyesal karena tadi ikut-ikutan berseloroh dan melecehkan perempuan muda itu. Dikira tidak
berteman. "Nggak tahu. Itu tadi muncul begitu tiba-tiba!" "Naik dari mana perempuan tadi, Net?" tanya sopir.
Kernet tidak tahu. Sopir sendiri baru ingat bahwa perempuan muda itu duduk di belakangnya
setelah 'Kudaku kini memasuki jalan bebas hambatan. Begitu juga bau cum yang khusus itu
tersedot di penciuman disadari baru saja Kok aneh1. Tidak ada yang memperhatikan sebelumnya! i
"Jangan-jangan perempuan jadi-jadian.'" orang muda disebelah kiri baju lorek, yang duduk dekat
jendela, ikut mm berkomentar. "Tadi tidak ada yang memperhatikan kakinya"!"
"Mengapa kakinya?"
"Kalau perempuan jadi-jadian, kakinya kaki kuda! Atau ngawang, tidak menjejak bumi!" Orang muda
5 ini bicara bersungguh-sungguh. Ha-ha-ha! Serentak orang di seputar sopir tertawa. Siang hari, pada Abad Komunikasi Canggih, ada
perempuan jadi-jadian naik bus Tuban
"Apalagi kalau ingat baunya!" masih pada tengah tertawa, sopir yang berkumis Gatutkaca
menimpali! "Baunya menyengat harum sekali! Seperti bau setanggi Cina dibakar!"
"Iya, iya! Baunya kok aneh! Bau itu terpancar baru saja ketika kita terlibat berbicara dengan dia!
Sebelumnya, mana" Aku yang duduk bersekatan gang tidak mencium bau harum!" Si Baju Lorek
mengakui. Bus berjalan perlahan karena jalan diperbaiki. Dari kaca depan mobil terlihat banyak orang
berkerumun seperti sedang bekerja bakti, membongkari serokan.
"Mungkin bau tisunya. Ia mengeluarkan tisu setelah diberi tahu Surabaya sudah dekat, dan tertarik
juga saputangan hijau yang ada gambarnya liang-liong tapi melompong. Waktu itulah aku mencium
bau harum!" "Ah, tidak! Ia gadis kuno, tidak mustahil kita memandangnya aneh!" Si Kernet ingin memperbaiki
Citranya tentang gadis yang telah dinikmati kecantikannya tadi. Ia ingin gadis itu gadis biasa yang memang
akrab kepadanya. "Sekarang dia sudah tidak berada di dekat kita! Bau harumnya juga hilang! Lo, bau apa ini"! Wah!
Bangkai! Siapa kentut"!"
"Apa ini bukan peninggalan gadis tadi" Gadis itu sebenar* nya sudah tiada, sudah meninggal dunia
zaman dandanan seperti itu! Ia muncul sebentar di antara kita, dengan wajah dan bau yang
mengesankan, lalu pergi kembali ke kubur* nya' Yang ditinggalkan bau bangkai'" Orang muda yang
duduk di dekat jendela bicara ngototi Masih mempertahankan pendiriannya semula, meskipun
sudah jadi buah tertawaan! "Edan! Polusi ini! Jangan bicara macam-macam!" "Polusi udara Kota
Surabaya berbau minyak! Bukan seperti sekarang ini. Ini masih bau kelanjutan wewangian tacik
yang di situ tadi'" "Tadi baunya harum'" mendebat lagi Si Baju Lorek di sampingnya. "Harum yang khusus. Maksudku
mengandung rasa pahit. Kini pahit yang khusus itu mengembang, harumnya menyusut. Jadi bau
mayat'" "Perempuan tadi memang misterius! Perempuan jadi-' kata yang duduk dekat jendela. Bicaranya
bersungguh-gguh seperti tadi Ia mengemukakan bahwa perempuan i muncul tidak wajar. Kini
pendengarnya tidak ada yang nertawakan' Semua jadi bersungguh-sungguh! Mungkin u harum
khusus yang telah berubah jadi bau mayat itu nyebab tersumbatnya gelak tawa. Seloroh tentang
rempuan jadi-jadian itu kini disajikan tidak pada tempat-a lagi.
"Bau ini memang bukan bau kentut! Bukan pula bau ra polusi Surabaya. Bau lanjutan harumnya
perempuan 6 tadi," kata sopir, seperti seorang ahli bau-bauan. Tentang bau udara polusi Kota Surabaya dia
memang patut dipercaya, sebab tiap hari ia masuk dari daerah Gresik dan tahu betul perubahan
kepadatan udara berbagai tempat yang dilalui busnya! Dan tentang lanjutan bau yang dibawa oleh
perempuan di belakangnya, ia pun sudah mencatat sejak awal. Bau harum yang khusus! Dan
khususnya itu mengintip dulu di pucuk lubang hidung, jadi bau mayat sekarang berkembang!
Tentang bau kentut, wah, semua saja bisa jadi pakar! Pengetahuan bergaul dengan pedagang
bakso, tahu tek, penjual telur burung puyuh, tentu bisa dibedakan dengan yang bergaul dengan
para peragawati, bintang film, peserta seminar perkotaan, atau anggota dewan perusahaan! Bau
kentutnya bisa dibedakan dari apa yang mereka makan.
Bus berjalan cepat, daerah yang diperbaiki telah lewat. Tapi suasana dalam bus masih tegang.
"Coba perhatikan apa yang dibicarakan tadi," laki-laki muda dekat jendela itu mendesakkan
persoalannya. "Berdiam di Tuban, tujuh ratus tahun yang lalu! Perempuan disekap dalam bilik!
Perjalanan dari Tuban ke Singasari! Surabaya belum teratur, perahu masih berlaluan di bengawan
besar! Mamanya seasal dengan papanya, dari bangsawan Fukien! Bukankah itu bukan cerita
zaman sekarang?" "Hiii! Jangan-jangan ia gadis yang hidup tujuh ratus tahun yang lalu! Mati konyol! Entah dibunuh,
entah diperkosa, atau bunuh diri! Rohnya masih mengembara. Dan kini ia memperlihatkan diri di
antara kita, berhubung dengan diulang abad yang ketujuh! Tiap satu abad dia muncul! Hiii! Sayang
aku tadi kok ya urung menyenggol bokong atau lengannya! Coba terlaksana kan tahu, yang
kucemol 11 itu daging hidup atau hanya tulang belulangnya! Ada pengalaman!" Si Kernet bercerita riuh
gemuruh dengan gaya Surabaya. Lepas bebas. Ludahnya sampai muncrat di antara giginya yang
besar nongol! "Lo, untung urung menyenggol! Biasanya kalau telah menyenggol terus katut. Tidak bisa lepas!
Tahu-tahu orang mendapati kamu mati meniduri kuburan!" ujar pemuda di tepi jendela.
"Ah, kita ini bicara apa"! Terlalu kuat berprasangka. Marilah kita lihat kenyataannya. Gadis ayu tadi
bernama Fang Fang. Kebetulan saja kuno. Tapi itu mungkin dipengaruhi kuat oleh pelajaran yang
dituntutnya. Ia mungkin mahasiswi arkeologi, mempelajari dan mengagumi sejarah Kota Tuban.
Lalu mengejawantahkan dirinya ikut berperan dalam peristiwa sejarah yang ditemukannya dalam
bidang studinyaT ujar orang gemuk berbaju lorek. "Kok Anda tahu bahwa dia mahasiswi?" . "Aku


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilang 'mungkin'! Aku tadi minta kita melihat kenyataan. Lalu mengembangkan dengan
kemungkinan yang berlaku zaman sekarang. Tadi Dik Ini bicara dari kenyataan bau harum, lalu
kemungkinannya berkembang bahwa perempuan itu jadi-jadian! Mungkin Dik Ini tukang amal.
Zaman judi buntut jadi peramal buntutan, ya?" debat Si Gemuk. La menyebut "Dik Ini" untuk
menyebut orang muda di sampingnya.
"Dan Anda ini, psikolog?" "Bukan. Pengrajin cerita." "Apa itu pengrajin cerita?"
"Pengarang cerita yang bisa dipesani membikinkan cerita. Cerita apa saja. Cerita novel, cerita silat,
cerita sinetron, cerita ludruk."
12 7 "O, makanya pinter ngarang. Diberi bahan 'Gadis Ayu berkepang dua' sebagai kenyataan, terus
bikin cerita seri mahasiswi! Tentang bau mayat tadi, bagaimana menurut
analisismu?" "Tadi kan busnya berjalan perlahan. Jalan sedang diperbaiki, ada kerja bakti membongkar got. La
baunya got itu yang menyengat hidung kita! Ah, jangan bicara yang
bukan-bukan!" "Ayo, siap-siap! Surabaya terakhir!" seru Si Kernet!
Fang Fang, gadis yang turun di Halte Dupak, masuk taksi diikuti oleh Fusen, pemuda bertubuh
kekar yang juga turun dari bus 'Kudaku Lari'. Sejak awal hidupnya, Fusen bertetangga dengan Fang
Fang, ia sering membantu keluarga Fang Fang. Kini Fusen bertugas mengawal Fang Fang ke
Surabaya untuk berobat. "Ke Jalan Dandanggula," ujar Fusen dengan tegas kepada sopir taksi.
"Daerah kawasan baru di kota bagian timur, ya, Tuan?"
Taksi menerobos keramaian kota menuju kawasan timur. Daerah ini tumbuh menjadi daerah
pemukiman baru tanpa perencanaan yang matang. Pembangunan dilaksanakan menurut rencana
lokal mendadak, yang kebetulan dikelola oleh pemegang modal besar. Rumah pemukiman yang
dibangun tumbuh membesar, tanpa perimbangan kemampuan warga kota yang membutuhkan.
Gedung yang terbangun besar-besar, tapi penghuninya tidak pernah tampak.
13 "Fusen, mengapa kita tidak langsung ke Pasar Atom saja" Bukankah Pasar Atom arahnya ke
sana?" Di tengah perjalanan Fang Fang bertanya kepada pengawalnya.
"Kita harus ketemu dulu sama Yong Pin. Dia nanti penunjuk jalan."
Sopir taksi yang telah dibekali pengetahuan dasar sebagai pemandu wisata merasa wajib
memperkenalkan Kota Surabaya kepada para penumpangnya, sejauh itu tidak mengganggu
penumpangnya. Maka ceritanya sambil mengemudikan taksinya ke tempat tujuan, "Jalan
Dandanggula itu kawasan pemukiman baru. Dulu nama jalan dan kampung di Surabaya ini
semrawut. Sudah sebegitu jauh pembangunan pemukiman melaju, tapi tidak ada peraturan daerah
yang mengatur pokok-pokok pemberian nama jalan/kampung/nomor rumah. Sekarang sudah diatur.
Seluruh kota ini sudah dikotak-kotak, tiap kotak diberi nama kelompok, misalnya kelompok nama
hari. Kalau dulu orang gelandangan yang ngedrop tanah stren, atau pengusaha real estate yang
kaya raya dapat dengan seenaknya memberi nama perkampungan yang dibangunnya. Sekarang
tidak mungkin. Di mana pun tanah drop-dropan atau kaplingan atau pemukiman real estate itu
dibangun, namanya harus disesuaikan dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Jadi pemukiman elite yang kita tuju ini namanya bukan lagi Zodiak Permata Permai seperti
kehendak pengelola real estatenya, melainkan harus tunduk sama peraturan pemerintah, yaitu
8 daerah tembang-bang Jawa. Jalan Dandanggula, Jalan Sinom, dan se-ngsanya."
Taksi berhenti pada sebuah rumah besar yang setara Ogan rumah sekitarnya. Fang Fang dan
Fusen turun. Langsung memencet bel. Seorang perempuan datang diikuti seekor anjing yang menyalak-nyalak.
Sehari-harinya mereka itulah penghuni rumah besar itu.
"Yong Pin ada?"
Perempuan yang mengenakan sewek itu mengangguk dan membukakan pintu. Anjing yang
menyalak dibentaknya agar diam.
Mereka sudah berbicara sebelumnya, sehingga pertemuan antara Yong Pin dan Fusen berjalan
lancar. "Heh"! Kamu gadis kecil yang menangis minta dibelikan es lilin dulu"! Luar biasa!" tegur Yong Pin
kepada tamu perempuannya.
"Apanya yang luar biasa?" '
"Berkembang menjadi gadis remaja yang elok rupawan! Kalau tidak ada latar belakang sejarah,
tentunya Fusen sudah jatuh cinta kepadamu!"
Fang Fang mengernyitkan kening saja menanggapi sambutan tuan rumah itu. Ia terus saja berjalan
ke ruang tengah yang dilengkapi perabotan gemilang, lalu duduk pada kursi yang terbaik. Dagunya
terangkat sedikit sehingga tampak sedikit angkuhnya anak perawan itu.
Tidak ada ikatan cinta-mencintai antara kami. Yang ada antara tugas dan kewajiban," Fusen
memotong. Ia tampaknya tidak suka tuan rumah temannya itu punya purbasangka macam-macam
tentang dirinya dan Fang Fang. "Kita ini orang awam, yang merasa senang bisa melayani dan
menolong putri Fang Fang! Kedatanganku mengantarkan dia berobat. Aku sudah menulis hal itu
dalam surat kilatku."
"O, aku mengerti! Aku mengerti! Sifat setia itu masih juga tertanam dalam-dalam di hatiku! Kamu
tidak usah khawatir. Aku sudah menyiapkan segala kemudahan yang bisa ku bantu selama Fang Fang berada
di sini." "Sudah kamu carikan dokter?"
"Sudah kutelepon. Dokter di Jalan Suara Asia. Untung hari ini kalian datang. Besok pagi ia ambil
cuti untuk berlibur ke luar kota. Sore ini dia bisa melayani meski datangnya pasien mendadak,"
jawab Yong Pin, sekaligus telah membuktikan keset ia kawanan nya.
"Bisa kita langsung pergi ke Pasar Atom?" Fang Fang menyela. Ia seperti seorang bangsawan.
Dimanja dan dihormati oleh kedua laki-laki itu.
9 Yong Pin memandang bertanya kepada Fusen. "Aku berjanji membawanya ke Pasar Atom. Ia selalu
mengajak ke sana sejak keberangkatannya dari Tuban," jawab Fusen.
"Aku mau mencari isi saputangan yang diberi Fusen kemarin. Gambarnya bolong, cuma diberi
tepiannya saja. Sulamannya tidak ada. Berarti jiwanya juga tidak ada! Kalau pergi ke dokter bisa
dilaksanakan sore, kita bisa pergi ke Pasar Atom sekarang. Kita manfaatkan waktu!" celoteh Fang
Fang. "Apa kalian tidak lelah" Habis berkendaraan begitu jauh, pakai bus lagi!"
"Belum merasa lelah kalau isi sulaman untuk saputangan ini belum di tanganku. Nanti harus
tertempelkan di saputangan itu!"
"Baiklah. Kita nanti sekaligus makan siang di luar. Ada istoran yang enak di Pasar Atom sana!"
"Maaf, ya, kami mengganggu kesibukanmu!" Fusen sekata.
"Ah, tidak. Kita kan dari dulu bertiga begini. Dua laki-ini pengawalnya, Fang Fang selaku putri yang
harus didampingi. Sekarang jiwa mengabdi itu masih juga bersemayam di hatiku! Aku suka membantu
kalian. Mari! Kamu duduk di depan, Fusen. Biar Fang Fang seorang diri
di belakang!" Mereka mendekati Honda Civic merah yang diparkir
di halaman. "Seperti mengendarai kereta saja. Aku di belakang.
Kamu berdua saisnya!"
Sebentar lagi Honda Civic melejit menyeberang kota.
"Bicaranya agak aneh, ya?" Sementara mengemudikan kendaraan, Yong Pin bicara perlahan
kepada teman di sampingnya. "Itulah yang menyebabkan aku berprakarsa membawanya ke psikiater."
"Kamu" Prakarsamu" Bukan orang tuanya?"
"Aku memperhatikannya sejak anak-anak." ,
"Kamu memang pengasuhnya. Boleh dikata begitu. Waktu kita masih suka main cari kerang di
pantai dulu, ia juga ikut ke pantai. Tapi kukira sudah lain keadaannya sekarang. Kamu bekerja di
Semarang, bukan" Dan Fang Fang tetap di Tuban?" ;, i
10 "Aku berlibur pulang kampung. Bertemu Fang Fang, dan kurasa ada hal-hal yang aneh pada
dirinya. Kurasa ia perlu diperiksa dokter jiwa."
"Ia tidak curiga apa-apa waktu kauanjurkan pergi ke dokter?"
17 ic "Tidak. Ia mengerti. Bahkan ia berminat pergi ke sini. Ke Pasar Atom. Dan ingin menemui dokter
ketika aku rerusan dengannya. Seperti ada kekuatan gaib yang menariknya. Ia menjawab ya, mau,
dan minta secepatnya kemari. Tidak sekali dua kali ia mendesakku untuk segera berangkat ke
Surabaya. Siapa dokter yang telah kamu hubungi itu" Dokter jiwa yang beken?" "Dokter Mengki."
"Dokter Mengki!" -.;
Kedua pendengarnya tersentak! Fusen dan Fang Fang. Yang duduk di depan tidak tahu bahwa
Fang Fang mendekatkan kepalanya ke depan, ikut mendengarkan percakapan dua orang laki-laki
muda. "Oh, kamu mendengarkan juga, Fang"!"
"Dokter Mengki"!"
"Kamu kenal?" "Makanya aku tertarik sekali pergi ke sini. Sudah saatnya aku bertemu dengan ayah," terdengar
Fang Fang mengakhiri kalimatnya dengan tertawa sambil menjatuhkan diri ke sandaran jok. Lalu
tenang. Tidak terdengar berisiknya.
Yong Pin berbisik kepada teman sebelahnya, mengulang pertanyaan yang diucapkan tadi, "Kamu
kenal?" "Mengki, nama ayah Fang Fang!" "Ah, ya! Kita tidak pernah menyebut nama ayahnya ketika
kita masih sekolah di Tuban dulu. Dan Fang Fang masih kecil, aku hampir tidak memperhatikan.
Masih ingusan. Yang terkesan, ya waktu ia menangis di tepi pantai, berteriak-teriak memanggil
ibunya! Mengira mamanya dibawa naik ke perahu nelayan dan disekap di sana! Ia baru diam ketika
kamu belikan es lilin. Waktu itu panas " j aku sudah menyebur ke air. Fang Fang berdiri tegak
seorang diri, rambutnya, roknya ditiup angin! Aku heran waktu itu, mengapa kamu mengajak gadis
ingusan ikut bermain di pantai. Kami semua pemuda remaja! Fang Fang bukan adikmu. Hanya anak
tetangga! Ah! Aku tidak mengira ia tumbuh menjadi gadis aduhai seperti itu! Berapa tahun kita
berpisah" Sepuluh tahun" Lama juga. Mengapa kamu tidak jatuh hati kepadanya, Sen?"
"Hatiku sudah terkunci sebagai pelindungnya. Pengasuhnya! Pengawalnya! Mungkin saja seperti air
dengan daun keladi hati kami dalam bergaul. Antara tugas dan kewajiban lebih melekat, begitu aku
berada di dekatnya. Selalu bertugas dan wajib melindunginya," Fusen berkilah.
"Tidak tergugah nafsu kelakianmu memandangi tubuh perempuannya yang indah dan sintal itu?"
"Perempuan seksi banyak di dunia ini. Tapi tidak tiap perempuan menggelitik nafsu kelakianku.
Juga terhadap Fang Fang. Ikatan batinku sebagai pengawal lebih menonjol, daripada sebagai
laki-laki dewasa terhadap perempuan- 11 "Ya, kalau memang tidak jatuh hati, banyak dalih bisa dikemukakan." M
"Apakah kamu berminat merebut hatinya" Aku bisa membantu!"
"Oh, tidak! Aku seperti kamu. Melihat penampilan dan sikapnya, tiba-tiba aku menaruh hormat
berlebihan kepadanya. Kata hati laki-lakiku bilang dia seksi, tapi entah perasaan apa lagi yang
menjerat minatku untuk berbuat goda kepadanya! Dingin saja hatiku kru terhadapnya. Ditindih rasa
wajib menolong, wajib bertugas!"
"Mungkin terpengaruh karena aku hendak membawanya ke dokter jiwa?"
'Ah,'tidak! Misalnya rasa hormatku kepadanya. Tiba-tiba terkesan kepadaku ketika ia berjalan
masuk ke ruang besar rumahku. Ia seperti seorang dewi yang patut berjalan begitu di rumahku itu!
Oh, ya, bagaimana kokkzmu punya pikiran hendak membawanya ke dokter jiwa?"
"Bicaranya aneh! Sering tidak nyambung antara ucapan satu dengan ucapan berikutnya. Loncatan
pikirannya tidak terikuti olehku."
"Kelainan jiwa" Atau itukah yang menangkal kegairahan cintamu kepadanya, meskipun kamu
melihat tubuh Fang Fang berkembang ranum demikian rupa setelah kamu jenguk kembali di
Tuban" Hatimu terkekang dengan sendirinya. Hati mengkerat, mata melotot!" <
"Mungkin kita tidak usah lagi pergi ke dokter. Kamu saja yang mengobatinya. Kamu yang
menganalisis jiwanya!" Yong!Pin tertawa terbahak. Lalu diam. Fusen menengok ke arah Fang Fang.
Didapatinya gadis itu terlelap tidur. Kepalanya tergolek pada sandaran. Wajahnya yang ayu begitu
pasrah. Tidak terlihat sama sekali kemauan kuat dan kegairahan hidup yang terlihat tadi. Kasihan'
Dalam keadaan tergolek begitu ia tampak begitu rapuh!
"Ia tidak terusik oleh percakapan kita. Ia tidur pulas. Perjalanan di bus tadi membuatnya lelah."
"Tapi aneh juga. Mengapa dia menurut kauajak mengunjungi dokter jiwa. Padahal sudah berapa
tahun tidak saling berjumpa. Apa ada rasa cintanya terhadapmu" Bertepuk sebelah tangan?"
"Cinta yang kauhubungkan dengan asmara tentu tidak! Sikapku kepadanya, dan sikapnya
kepadaku, seperti belasan tahun lalu, seperti waktu kamu melihatnya di pantai. Ia sanggup
menangis dan minta es lilin kepadaku, dan itu
20 sah. Begitu pula aku seperti dibebani kewajiban mengajaknya ke pantai, meskipun ia masih orok
dan itu acara pemuda berkembang remaja. Sikap lama tetap tergenggam di hatiku, tentunya juga di
hatinya, ketika Selasa lalu aku bertemu lagi dengannya."
"Itu lebih mendorong keinginanku mengetahui sebabnya. Kamu belum menjawab pertanyaanku.
Apa alasannya ia mau saja kauajak ke dokter jiwa. Hanya dalam beberapa hari bergaul kembali, itu
pun kamu tidak dalam satu rumah, ia bisa kamu yakinkan perlu mengunjungi dokter jiwa!"
"Sebelumnya ia pun tidak bertingkah aneh! Belum kelihatan barangkali! Baik keluarganya, mamaku,
para tetangga, maupun masyarakat lingkungan pergaulannya, tidak merasakan keanehan pada diri
Fang Fang. Wajar saja. Meskipun tubuhnya tumbuh segar, ia belum menyebarkan aroma
perempuannya sehingga dalam pergaulan ia tidak menarik perhatian laki-laki dewasa. Seandainya
12 bunga, ia masih menguncup, belum mekar!"
"Bagaimana kamu bisa tahu semua itu" Kamu datang ke Tuban minggu lalu. Sekarang aku melihat
Fang Fang sebagai seorang gadis yang ranum, sikap dan perbuatannya bisa menjatuhkan iman
laki-laki dalam sekilas lihat. Aku berani sumpah, nanti di Pasar Atom ia akan termasuk orang yang
mesti ditengok dan dipandangi laki-laki dewasa normal yang berpapasan dengannya! Bagaimana
dalam waktu satu dua hari kamu bisa bicara mengenai aroma perempuan yang belum tersebar dari
batang tubuhnya?" "Aku sendiri ya heran! Prosesnya begitu cepat! HHBfi pertama aku jumpa, ia sebagai gadis remaja
yang polos, muda, dan belum masak. Teman lain ya bilang begitu. Kamu ingat Kok Sing" Ia buka
warung tidak jauh dari tempat
kami. Ketika Fang Fang kuajak makan di sana, Kok Sing menyapanya seperti kepada gadis kecil
saja. Kok Sing bilang jiwa Fang Fang belum terbuka. Kesenangannya masih menimang-nimang
kucing. Kucingnya disapa dengan santun, dianggap seperti manusia! Cerita seperti itu dimuntahkan
begitu saja oleh Kok Sing kepadaku."
"Waktu kamu pulang cuti, adakah terkilas di anganmu bertemu dengan Fang Fang?" potong Yong
Pin. "Tidak. Aku terlalu lama meninggalkan Tuban. Kamu tahu rumahku itu diwarisi oleh tarikku yang
sudah berumah tangga di sana sebelum aku meninggalkan Tuban. Enggan rasanya aku pulang.
Kalau mama tidak dikabarkan sakit, tidak bakal aku cuti ke Tuban."
"Karena tidak di anganmu, kamu tidak terkejut bertemu Fang Fang?"
"Biasa saja. Percakapan kami di hari pertama hanya tanya jawab tentang keluarga, tetangga,
kenalan. Ketika menyebut Fang Fang, kakakku menyuruh anaknya memanggil. Fang Fang tidak
malu-malu datang ke rumahku dengan mengenakan baju rangkapan dalam saja. Tidak malu-malu,
masih kekanak-kanakan. Ia malah minta oleh-oleh kepadaku. Dari pertemuan pertama itu sudah
tidak ada terpercik cinta asmara antara aku dan dia." "Kamu beri oleh-oleh dia" Apa?" Tidak
kusiapkan apa-apa untuknya. Keponakanku saja kubelikan jenang kudus beberapa bungkus di
jalanan. Aku katakan aku tidak bawa oleh-oleh. Tapi seperti waktu minta es lilin dulu, permintaannya
itu menjadi pikiranku juga. Maka keesokan harinya, kemarin pagi, aku datang ke rumahnya.
Sebagai ganti oleh-oleh, kuberi dia kenang-kenangan berupa saputangan."
22 "Saputangan" Masih baru?"
"Tidak. Kenang-kenangan dari Kediri ketika aku memimpin bola basket melawat ke Kota Tahu.
Saputangan sutera hijau, di tengahnya ada gambar naga, tapi hanya tepi-tepinya saja. Itu yang
kuberikan kepadanya. Kuanggap dia masih kanak-kanak, jadi saputangan begitu, sekalipun tidak
baru, pantas saja." "Mau dia menerimanya" Termasuk barang bekas, kan" Dia tidak melecehkan pemberianmu?"
"O, dia senang sekali. Wajahnya memancarkan rasa gembira yang berlebihan. Wajahnya, matanya
seolah bersinar-sinar. Rasanya, ya, rasanya sejak itulah pamornya pecah! Maksudku ia tiba-tiba jadi
13 gadis remaja yang menyebarkan aroma perempuannya."
"Semisal buah-buahan sedang ranum!"
"Saputangan itu digenggamnya, diraba-rabanya, dikaguminya. Aku merasa puas sekali telah
memberikan saputangan itu kepadanya. Seakan ikatan persahabatan lama antara aku dan dia
tergalang kembali. Aku kembali menjadi pengasuh atau pengawal yang setia, dia menjadi anak
asuh yang punya keinginan keras yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya. Seperti sikap para
bangsawan dulu. Dan aku merasa puas, merasa senang, merasa bahagia kalau bisa memberi
bantuan untuk melaksanakan keinginannya itu. Seperti wajarnya pengawal setia. Seperti yang
sekarang kulakukan!"
"Seperti pengawal putri raja zaman kuno," Yong Pin
menyetujui. Mobil Civic masih berliku-liku mengikuti alir lalu lintas
yang macet. "Jadi menurut nalarmu, saputangan sutera hijau itukah yang mempercepat proses ranumnya gadis
tetanggamu itu" Dari mana kaudapatkan?"
a .?"Kenang-kenangan dari Kediri. Itu prosesnya juga aneh. Regu basket kami melawat ke Kota
Kediri dalam rangka kompetisi memperebutkan piala antara lima kota, yaitu: Semarang, Solo,
Madiun, Surabaya dan tuan rumah Kediri. Semarang juara pertama. Waktu upacara penerimaan
piala akan dimulai yang dilakukan pada sebuah lapangan, kesempatan itu digunakan oleh panitia
untuk menandai dibangunnya gedung olahraga khusus basket di Kediri. Gedung itu disingkat
Gelora Basket. Upacara dengan cara tradisional, yaitu menanam kepala kerbau. Waktu ketua
panitia melongok lubang tempat kepala kerbau ditanam, ia tidak berkenan."
"Jadi upacara penanaman kepala kerbau itu urung" Wah, panitia apa itu tanpa perencanaan
matang," sahut Yong Pin, sabar menunggu antrian lalu lintas yang macet.


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan! Lubangnya terlalu cetek. La itu nanti kalau selesai upacara, malam hari, kepala kerbau itu
bisa digondol oleh anjing-anjing liar!" Yong Pin terbahak. "Lalu"!"
"Dia minta agar lubangnya digali lebih dalam lagi. Sampai satu meter. Waktu akan disudahi
penggalian itu, tiba-tiba cangkulnya mengenai barang keras. Coba kauterka apa"
"Sudahlah cepat, tak usah pakai teka-teki. Jalan macet sudah membuat orang tak sabar menunggu.
Aku sudah kepengin tahu akhir ceritamu itu!" "Kepala orang!"
"Apa"! Tengkorak, maksudmu?"
24 "Tidak. Kepala orang yang kulitnya mengering. Kepala itu tertusuk tembus oleh sebatang anak
panah di pangkal lehernya. Cuma sampai leher itulah yang ditemukan pada lubang galian tadi.
Mungkin anak panah beracun itu yang membuat kepala orang itu tidak membusuk dan hanya
14 mengering saja. Tapi jelas bahwa anak panah itu menusuk bagian yang fatal dan menyebabkan
kematian manusia yang punya kepala itu!"
"Itu suatu pembunuhan yang kejam! Mungkin terjadi pada zaman sebelum orde baru. Konon
kabarnya Kediri sangat rawan akan bunuh-membunuh anggota partai yang tidak sepaham."
"Wajah kepala itu tertutup kain hijau sutera, di tengahnya ada gambar garis-garis naga berwarna
kuning. Hanya garis-garis saja."
"Kalau begitu yang dibunuh orang Cina!"
"Oleh panitia, kepala itu disuruh angkat ke atas. Peserta upacara melihat dengan jelas. Mereka
dibiarkan mengamati sepuasnya. Dan diambil kesimpulan bahwa kepala itu bukan kepala orang
zaman sekarang. Baik rambut kepala, ornamen ikat kepalanya, saputangan yang menutup muka
serta bentuk anak panahnya, semuanya barang-barang kuno."
"O, mungkin pasukan Tartar zaman Kubilai Khan yang menyerbu Kediri! Heh, tunggu! Prajurit Tartar
bertopeng! Aku seperti pernah bermimpi soal ini! Aku ketemu dengan prajurit Tartar bertopeng, dia
mengancam aku, akan membunuhku apabila aku tidak memberikan keterangan kepadanya! Ah,
kapan itu terjadi" Nanti kalau ingat kuceritakan! Sekarang bagaimana lanjutan ceritami
"Ketika kain hijau tutup muka itu dilepas, maka terlihat wajah yang berteriak kesakitan. Mungkin
kepala itu punya 25 tubuh yang kekar, dengan melihat otot wajahnya begitu kukuh. Rambut keningnya tebal, matanya
yang sipit menghujam ke arah hidung. Kumisnya kecil panjang, lebih panjang dari bibirnya."
"Gambaran itu kan mirip dengan wajahmu!" Yong Pin mencocokkan bayangan wajah yang
digambarkan temannya. "Betul! Memang di antara perempuan yang berada di depan, paling depan ...." U . "Apakah mereka
tidak takut'"' "Banyak yang lebih ingin tahu daripada yang ngeri ketakutan. Termasuk perempuan tadi. Aku
dengar cekikian berkata, 'wajahnya seperti Kapten Semarang!' Dan cekikian itu diikuti sorak tertawa
setuju dan lucu!" "Siapa Kapten Semarang?"
"Kapten basket dari Semarang! Aku! Mereka berkomentar, makanya Semarang juara, wong
kaptennya ditunggui danyangnya! Semprut Mereka bahkan usul supaya saputangan sutera hijau
penutup muka itu diberikan sebagai kenang-kenangan kepadaku. Panitia setuju. Maka saputangan
itu diikutsertakan dalam upacara pemberian piala kejuaraan."
"wah! Betapa baunya, ya"! Kamu terima juga?"
"Lo, baunya harum seperti asap setanggi Cina. Keadaan suteranya juga masih bersih. Tentu saja
aku terima. Patut untuk kenang-kenangan, karena barangnya unik dan langka. Karena itu timbul ide
15 untuk memberikan kepada Fang Fang."
"Dan kepala Tartar itu, ditanam kembali bersama kepala kerbau?"
"O, tidak. Rencananya diserahkan ke Kantor Dikbud. Tapi mau ditaruh di etalase selama
pembangunan Gelora Basket dikerjakan."
"Tapi masa prajurit Tartar bertopeng itu kamu" Apakah kamu pernah mengancamku" Apa mungkin
kamu membunuh sahabatmu, aku"!"
"Ah, mimpimu adalah mimpimu! Jangan kamu sangkutpautkan dengan cerita nyataku. Kalau nanti
ada waktu, kita bisa bersama melihat kepala prajurit Tartar itu di Gelora Basket Kediri yang sedang
dibangun." "Ya! Aku ingin melihatnya! Aku ingin mencocokkan apakah wajah orang itu sama dengan wajah
prajurit Tartar bertopeng yang mengancamku dan membunuhku di dalam impian. Ah, bukan impian.
Aku ingat betul kok hal itu terjadi! Pada suatu waktu, entah di mana dan kapan! Melekat dalam
angan-anganku! Ah! Kamu ini cerita yang aneh-aneh saja! Siang hari bolong begini, di jalan yang
sibuk, sempat mengisahkan dongeng!"
"Lo, ini bukan dongeng! Ini cerita sungguhan! Nyatanya, saputangan yang kuberikan kepada Fang
Fang itu terus berbuntut pada Fang Fang yang bertingkah aneh ini!"
"Ya, cerita sudah dimulai. Aku sangat tertarik dan ingin tahu akhirnya. Paling-paling dokter nanti
bilang Fang Fang kurang waras!" bisik Yong Pin.
"Kamu bukan saja sebagai penonton atau saksi, tapi ikut berperan dalam kisah ini," ujar Fusen
tandas. "Nyatanya kamu harus ikut membawanya ke dokter!"
"Sebenarnya, apa yang membuatmu menganjurkan Fang Fang pergi mengunjungi dokter jiwa?"
"Ya, itu tadi, perkataannya aneh. Tidak nyambung, bait kalimat satu dengan yang lain. Ini
kukemukakan kepadanya. Dia mengakui, terjadi guncangan-guncangan aneh pada dirinya setelah
bertemu kembali denganku. Anehnya lagi, aku lancang saja mengajaknya pergi ke dokter jiwa.
27 Dan ia setuju. Ia minta aku mengantarnya, mengawalnya. Baik proses perubahan akhlaknya
maupun keberangkatan kami kemari, seperti didorong oleh kekuatan yang meluncurkan kami untuk melaksanakannya
segera. Menghubungi kamu, ya langsung lancar. Meskipun sudah sekian tahun kita tidak saling
berkomunikasi." Honda Civic merah itu berjalan sendat, lalu lintas padat. Tapi Yong Pin tidak memerlukan perhatian
khusus untuk mengemudikan mobil itu. Karena meskipun padat, lalu lintas berjalan tertib dan
teratur. Itu semua berkat kesadaran para pengemudi yang disiplin diri selama duduk di belakang
kemudi. Dan Yong Pin dapat berbincang sambil mengemudi
Fusen sekali lagi menengok ke belakang. Wajah yang pasrah masih tergolek di sana. Kasihan.
16 Betapa rapuhnya! Dan tiba-tiba Fusen yang bertubuh kekar berbulu-bulu merasa dibutuhkan
tenaganya oleh gadis lemah gemulai itu! Kebutuhan seorang putri untuk dikawal dalam suatu
perjalanan berbahaya. "Ada perkataannya yang kuingat lucu ketika memulai keberangkatannya ke sini. 'Sekali lagi kita
tunaikan tugas seperti dahulu juga. Kita ulang peristiwa itu, kata Fang Fang. Dan saya setuju saja!
Ia seperti berkata benar. Dan perjalanan pergi ke dokter ini meluncur lancar, tanpa ada penolakan,
kecurigaan, atau keengganan yang menyebabkan tersendat"
"Diulang" Peristiwa itu ulangan" Jadi sebelumnya kamu pernah mengajak Fang Fang pergi ke
dokter?" "Itulah mengapa perkataan itu kuingat benar! Banyak gkapan yang aneh, tapi yang satu ini sengaja
kucatat sebagai ntoh keanehannya. Aku belum pernah diajak dia pergi
mengunjungi dokter. Tetapi entah kapan pada suatu waktu, rasanya aku pernah bertugas
mengawal dia melakukan pekerjaan berat. Kami seperti mengendarai kuda! Ia seorang putri yang
cakap mengendarai kuda, mengenakan pakaian laki-laki, dan aku mengawalnya dengan senjata
lengkap." "Senjata lengkap" Senapan, pistol?" "Senjata lengkap perang berkuda zaman dulu! Pedang, kapak, panah, perisai!"
"Wah, sempurna mimpimu! Sesuai dengan bentuk tubuhmu! Pasukan berkuda zaman Kubilai
Khan!" "Aku tidak bermimpi."
" Berangan-angan."
"Aku yakin peristiwa itu pernah terjadi. Kuingat melekat di sini, di dadaku, bahwa semua itu pernah
terjadi. Dan keyakinan itu pula yang meluncurkan dia kubawa ke sini sekarang. Kita sama setuju, ini
peristiwa ulangan!" "Syukurlah. Ada kesetiaan, dan ada kepuasan pada dirimu. Itu suatu nikmat Tuhan yang tak ternilai
harganya dalam hidup kita! Sekarang kita sampai di Pasar Atom. Sebaiknya Sang Puteri
kaubangunkan." "Maaf, terpaksa bikin repot kamu."
"Tidak. Aku longgar, koki Ada kesempatan bagiku untuk membantu kamu dan Fang Fang!" ujar
sopir Honda Civic " Fang Fang benar-benar jadi Tuan Puteri manja.
Honda Civic merah itu kebetulan bisa memperoleh tempat parkir di halaman bawah. Tak ada panas,
tetapi tidak mesti mengeluarkan tenaga ekstra untuk memanjat
17 29 gang yang berputar menuju tingkat atas. Penumpang mobil turun Fang Fang turun dari mobil dan
langsung disergap terik sinar matahari, wajahnya tampak riang gembira, pakaiannya yang dari
bahan sutera dengan warna hijau cerah tampak gemerlapan. Ketika berjalan menuju gedung
tempat diragakan barang dagangan, ia seperti seorang maharani yang menghadiri suatu upacara
adat, dikawal oleh dua orang prajurit yang menyandang segala perlengkapan perang dan siap
tempat. Tapi kini tinggal sikapnya saja. Yang tampak adalah seorang gadis manja yang berwajah
agung dikawal oleh dua orang pemuda ganteng, Fusen dan Yong Pin.
Fang Fang melangkah tanpa ragu-ragu, geraknya lincah, tanpa menoleh teman pengiringnya, yakin
bahwa pemuda-pemuda itu tahu dan tangkas melaksanakan kewajibannya mengawal Sang Puteri.
Begitu masuk pasar, ia mengeluarkan tisu dari sakunya. Tertarik juga lipatan saputangan hijau
keluar. Fang Fang memegang erat-erat saputangan itu, seakan-akan hendak meyakinkan diri
bahwa langkahnya benar. Sebentar lagi saputangan itu akan mendapatkan jodohnya, yaitu gambar
naga yang kini baru membekas pada saputangan itu.
Perbuatan Fang Fang yang menggenggam erat saputangan itu tidak lepas dari lirikan mata Fusen.
Segera saja ia berbisik kepada kawannya.
"Pin! Lihatlah saputangan yang digenggam Fang Fang! Itulah saputangan pemberianku,
saputangan kenang-kenangan dari Kediri!"
"Saputangan tutup muka kepala prajurit Tartar yang telah tewas sekian abad yang lalu! Warnanya
masih bagus!" "Baunya harum semerbak. Tidakkah kamu mencium bau-bauan wangi sekarang ini?"
30 "Ya. Seperti setanggi dibakar."
"Itulah baunya! Saputangan itu!"
"Apakah Fang Fang pernah ke Pasar Atom sebelum ini" Kelihatannya ia kenal betul tempat ini." i I
"Aku tidak tahu! Melihat tata hidup orang tuanya, Fang Fang jarang pergi ke luar Tuban. Selain tidak
ada kepentingan, temannya siapa" Mestinya ia tidak kenal Pasar Atom. Meskipun pernah ke sini,
tetapi tidak sering. Heran juga ia dapat bertingkah seperti terbiasa datang kemari. Mungkin ini suatu
keangkuhan yang dimiliki sebagai keturunan bangsawan Cina. Kamu perhatikan tadi dia melangkah
dengan dagu terangkat sedikit. Itulah kebiasaan keluarganya!"
Yong Pin sudah lama tinggal di Surabaya. Tetapi ia tidak begitu kenal liku-liku Pasar Atom.
Karenanya ada rasa waswas pada dirinya, kalau-kalau Fang Fang terpisah dari kawalan mereka.
Dialah yang paling bertanggung jawab, sebab Fusen hanyalah tamu di kota ini. Kalau Fang Fang
sampai terpisah, ia akan mendapat malu sekali. Seorang gadis remaja keluaran Tuban tersesat di
Pasar Atom, terlepas dari pengawasan pengawalnya! Aduh, gugurlah keangkuhan Tuan Puteri.
Mengapa Yong Pin merasa ikut malu" Mengapa ia merasa ikut sebagian dari keangkuhan yang
dilakukan Fang Fang di Pasar Atom" Pasar Atom ramai dan luas. Fang Fang bisa kebingungan
18 tersesat tanpa pengawal. Tapi perempuan muda ini tidak peduli sama sekali, terus saja melangkah
laju menuju ke tempat yang satu itu, tidak tempat lain lagi!
"Kamu betul. Fang Fang bagaikan sepotong besi sembrani berjalan. Di mana ia lewat, orang yang
berdekatan menengoknya. Tentu saja karena kecantikannya) Tapi andaikata tidak melihat, bau
saputangannya yang khusus
31 tai juga akan memancing perhatian orang untuk mengikuti asal bau itu! Dan ketemu Fang Fang!"
"Entahlah! Aku jadi ikut-ikutan bangga mengawalnya!" kata Yong Pin.
Tidak tergesa, tapi pasti. Fang Fang terus melangkah memasuki bangunan tengah pasar yang
banyak dikerumuni orang. Dari lantai pertama, lewat tangga naik ke tingkat dua. Ia hampir tidak
pernah menengok ke tempat barang yang diragakan di etalase kios. Bagaikan ditarik oleh besi
sembrani, gadis itu langsung menuju ke Suatu tempat, ke pedagang lantai dua yang meragakan
barang-barang kelontong. Di sana diragakan saputangan, ikat pinggang, barang keperluan
jahit-menjahit, sulam-sulaman, dan lain-lainnya. Di kios itu Fang Fang berhenti dan melihat-lihat
barang yang diragakan. "Cari apa, Cim?" tanya pelayan, seorang gadis. "Aplikasi bordiran gambar liong." "O, untuk hiasan
blus, ya! Ini ada model korsase yang sedang mode. Paling laris. Apalagi kalau dasarnya polos,
bagus! Kemarin toko Modes Beauty memborong tiga dus," ujar pelayan sambil menawarkan aplikasi
gambar bunga. "Bukan. Aku cari gambar liong. Coba bongkar dus yang paling bawah itu!" ujar Fang Fang dengan
suara pasti. "O, itu model kuno, Cim! Sudah tidak zaman lagi. Persediaannya sudah habis tahun lalu!"
"Bongkar yang itu! Masih ada satu, tertindih dus-dus penyok. Dibordir dengan benang sutera warna
kuning emas! Gambar liong utuh, kepalanya yang berzamang gagah, ekornya yang bersirip, dan
empat kakinya yang berkuku kukuh!"
"Kok tahu, Cim" Apa kemarin sudah ke sini?" tanya pelayan heran. Ia yang menunggui kios
sepanjang hari, tidak ingat lagi ada aplikasi bordiran gambar liong. Karena itu ia ragu untuk membongkar. Kuatir
tenaganya terbuang mubazir. Yang punya kios mendekat. Seorang laki-laki setengah
baya. "Apa, Nem?"
"Tacik ini tanya aplikasi gambar liong!" Kini terpaksa Nem membongkar dus yang terbawah, karena
majikannya 19 memergoki. Sebagai pelayan, ia harus meladeni pembeli.
Itu perintah mutlak majikannya! "Paman Hwee!" "Fang Fang!"
"Mengapa Paman di sini"!"
"Mengapa kamu tanyakan gambar liong"! Aku yang menyimpan! Itu milik keluarga kita! Sekarang
aku pewarisnya!" "Jangan ngawuri Mama yang menyulam! Aku ahli
warisnya!" "Ya! Tapi selama gambar naga itu telah hilang tercecer di wilayah Singasari, ahli warisnya jadi
kabur! Sudah lenyap dari keluarga kita. Harus dicari! Diburu! Siapa yang memperolehnya, itulah
yang menjadi ahli waris! Aku telah me^ rebutnya. Aku telah memperoleh kembali sulaman gambar
naga itu sebagai inti atau jiwa kepewarisan! Jadi aku ahli warisnya!"
"Tapi Paman tidak membawanya pulang!"
"Aku mau membawanya pulang. Setelah kurebut dari tangan-tangan yang tidak berhak, sulaman
gambar naga itu kubawa pulang! Kubawa kembali ke tanah warisan kita, jadi milikku! Tapi
orang-orang Raden Wijaya itu berkhianat! Aku tak bisa mengejar naik perahu. Aku diburu-buru,
dirunyam, dianiaya, dikerubuti oleh mereka, di-biedeskan ke dalam lumpur rawa-rawa sampai mati.
Sulaman gambar naga itu kusimpan, kubawa ke dalam
lumpur sini, di tepi Kali Pegirikan! Punyaku!"
'Bukan! Bukan hakmu! Milik keluarga kita. Ayah dan ibuku adalah asal usul saputangan gambar
naga itu. Ibu yang menyulam gambar naganya. Jadi aku ahli warisnya, aku yang berhak memiliki
gambar liong itu!" seru Fang Fang bengis.
Pada waktu itu, pelayan Nem berhasil menarik dus yang paling bawah. Dibuka, dan dari dalamnya
dikeluarkan aplikasi sulaman benang kuning emas gambar naga. Begitu benda itu diacungkan,
Fang Fang dengan sigap menangkap dan membawanya ke dadanya. Hwee pemilik kios kalah
cepat merebut. Dan sebelum laki-laki itu bergerak lebih jauh. Fang Fang telah melekatkan aplikasi
gambar liong atau naga itu pada saputangan hijau pemberian Fusen yang dikeluarkan dari saku
bajunya, digelar lebar! Pada penggabungan saputangan hijau dan aplikasi sulaman gambar naga itu terjadilah pijaran putih
yang amat menyilaukan mata. Berasal dari penggabungan itu! Bagaikan sambaran petir, sekalian
kegiatan di sekitar itu terhenti.
Sementara semua orang berhenti bergerak, dan semua benda terkena sinar pijar, berlangsunglah
peristiwa lain. Fang Fang menggenggam saputangan hijau yang telah itu dengan gambar naga,
diacungkannya ke udara. nya terengah karena habis memacu kudanya, namun iya tersenyum karena memperoleh kelegaan.
"Fusen! Yong Pin! Aku memperolehnya! Lihatlah, bukan-i ini saputangan ayah" warnanya hijau, ada
gambar naga rarna kuning! Tidak mungkin orang Singasari memiliki saputangan semacam ini!
20 Hanya orang Fukien yang membuat saputangan dengan simbol naga seperti ini, dan orang Fukien
yang berada di daerah seberang sini hanyalah ayah!" Sambil berkata begitu, Fang Fang membeber
saputangan itu dan diperlihatkan kepada kedua pengiringnya.
"Betul, Tuan Puteri! Betul, itu tentunya saputangan ayahanda Tuanku Mengki'i. Warna hijau adalah
lambang kebanggaan Provinsi Fukien, gambar naga adalah lambang kejayaan bangsa kita. Jelas
bahwa saputangan itu milik orang kita! Di mana Tuan Puteri temukan?"
"Di sini! Tersangkut pada pasak dangau! Ingatlah, dangau ini terletak di tepi muara kali besar.
Tempat ini sebenarnya bisa untuk berlabuh kapal. Mengapa kita mesti berlabuh di Tuban" Untuk
sampai di Singasari tentu terlalu jauh bila berkuda menelusuri daratan! Lain kali apabila kamu
menjadi penunjuk jalan, bawalah perahu atau kapal kita di sini. Lalu kita berjalan menuju ke arah
puncak gunung yang tampak di kaki langit itu."
Kedua orang pengiring Puteri Fang Fang itu memperhatikan benar daerah tempat mereka berada.
Di sekitarnya banyak sekali anak sungai bercabang. Mereka berada di salah satu gugusan pulau
atau delta. Di dekat situ terdapat sumur air tawar, sementara air di tempat lain rasanya payau atau
malah asin. Sementara beristirahat, Fang Fang memperhatikan saputangan yang baru saja ditemukan
tersangkut di pasak dangau.
"Ini saputangan Ayah. Ibu yang menjahit dan menyulam gambar naga ini Saputangan ini diberikan
kepada Ayah ketika mereka masih bertunangan. Dan kembali disimpan oleh Ibu, ketika mereka
mengikat tali perkawinan. Saputangan ini menjadi semacam pusaka warisan, bersama rumah besar


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kebun halaman milik bangsawan Fukien. Saputangan ini dibawa oleh ibu ketika mereka
berlayar ke negeri seberang sebagai utusan Sang Kaisar. Barang ini dibawa sebagai penguat
pemilik tanah pusaka. Siapa yang memiliki sulaman gambar naga ini adalah ahli waris sah
kekayaan bangsawan Fukien."
"Mengapa sampai terbawa oleh ayahanda Tuanku Mengki'i?" tanya Fusen.
"Ketika akan mendarat di negeri seberang, Ayah melarang Ibu dan aku ikut. Jalan darat lebih
berbahaya. Maka Ibu dan aku disekap di dalam bilik. Ibu masih mengusulkan, meskipun disekap
dalam bilik, hendaklah Ayah membawa saputangan ini sebagai tanda kebesaran keluarga,
kebesaran bangsawan Fukien. Saputangan buatan Ibu ini juga bisa digunakan sebagai penangkal
bahaya. Aku menyaksikan betapa Ibu minta dengan sangat hal itu kepada Ayah. Aku percaya,
saputangan ini bisa berkhasiat seperti ucapan Ibu. Tetapi kelihatannya Ayah tidak demikian. Beliau
mau membawanya sebagai hal yang terpaksa. Saputangan ini dibawanya karena ia tidak
mengalami kesulitan, serta untuk menenteramkan hati Ibu." "Dan jatuh tercecer di sini!" sahut
Fusen. "Ayah terlalu sembrono!" ujar Fang Fang sambil menggenggam saputangan gambar naga
itu erat-erat! "Sekarang di tanganku, kutemukan di sini, berarti perjalananku benar. Berarti Ayah
juga melewati jalan ini. Petunjuk dari Hyang Widhi bahwa langkahku benar! Ini menambah
keyakin-oi bahwa dengan membawa dan memiliki saputangan i maka segalanya akan beres seperti
kata Ibu. Karena putangan ini ada di tanganku, aku menjadi ahli warisnya! putanganku!"
Puteri Fang Fang dan kedua pengawalnya beristirahat
21 di dangau. Kuda mereka dilepas untuk merumput, sedangkan Fusen dan Yong Pin
mengamat-amati daerah sekitarnya.
Fang Fang duduk di dangau sambil memandangi saputangan yang baru saja diperolehnya. Gambar
naga itu disulam benang sutera kuning emas. Itu buah tangan Aisun, ibunya. Disulam selagi masih
gadis, diberikan sebagai tanda mata kepada buah hatinya. Sulaman tadi merupakan barang seni
hasil karya perempuan anak negeri, dipilihnya lukisan naga yang gagah perkasa sebagai lambang
keperkasaan bangsanya, bangsa pribumi daratan Cina. |
Pada waktu ayahnya mengabdikan diri kepada Kaisar Kubilai Khan, lambang kebangsaan
semacam lukisan naga itu tak pernah diperlihatkan lagi di depan umum. Lambang itu
disembunyikan di antara keluarga, di celah jantung bangsa. Fang Fang pernah tahu, Paman Hwee,
adik ibunya, menanyakan arti gambar naga itu, dan ibunya melarang membentangkan lukisan tadi
sebagai hiasan rumah. Itu lukisan pusaka, pemegangnya adalah ahli waris tanah dan kebangsaan
Fukien. Saputangan itu juga menjadi pelindung dan penyelamat keluarga, menurut kata Aisun.
Karena itu selama berada di rumah besar bangsawan Fukien, saputangan tadi disimpan
tersembunyi di tempat yang keramat. Karena sibuknya bertugas di istana kaisar, Mengki'i tidak
pernah lagi bicara atau rerasan mengenai warna hijau dan sulaman gambar naga lagi.
Kubilai Khan adalah kaisar bangsa Mongol yang menganut agama Buddha Nahayana yang bersifat
Tantris. Tokoh pujaan utamanya adalah Hewajra. Dengan menjalankan upacara tertentu,
penganutnya memperoleh kekuatan magis yang hebat. Namun, tidak dapat dipaksakan untuk
37 membudayakan kehidupan penduduk pribumi, lebih-lebih para bangsawan seperti Aisun dan
Mengki'i. Berat bagi para bangsawan Fukien harus memuja Hewajra kalau mengabdi kepada kaisar.
Tapi kalau tidak mengabdi kepada kaisar, mereka harus berjuang dengan perut kosong! Mengki'i
sudah tidak kuat lagi benahan untuk menolak kerja sama dengan kaisar. Akhirnya, ia juga
bergabung seperti bangsawan lain yang lebih dulu tak tahan kelaparan, mengabdi kepada kaisar
bangsa Mongol, Kubilai Khan. Aisun berpesan agar Mengki'i jangan terpengaruh untuk mengikuti
paham yang bersifat Tantris, yaitu memuja Hewajra untuk memperoleh tenaga gaib yang dapat
dipakai untuk mencapai tujuan hidup.
Mengki'i, ayah Fang Fang, adalah seorang bangsawan Fukien yang jatuh miskin. Berbidang-bidang
tanah milik leluhurnya dirampas oleh bangsa Mongol. Istrinya, Aisun, seorang perempuan yang
setia, mau dan sanggup menderita asal tetap bersatu dengan suami yang tercinta. Mereka
menempati rumah peninggalan keluarga yang dibangun secara megah, tetapi pada zaman oroknya
Fang Fang, keluarganya merangkak di jurang kemiskinan karena tidak mau bekerja sama dengan
kekaisaran bangsa Mongol. Meski tetap menempati rumah besar itu, kehidupan yang berlangsung
di dalamnya tidak lagi semarak. Dengan bersusah payah ayah dan ibunya mencoba hidup
sebisanya. Paman Hwee lebih dulu bergabung dengan teman bangsawan senasib dan bekerja
pada kaisar. Mengki'i akhirnya juga menghadap kaisar, mencari pekerjaan. Perjuangan mati-matian
yang telah dipertahankan sejak zaman kakeknya, yaitu tidak mau membantu dan bekerja sama
dengan bangsa penjajah yang sudah dua generasi menduduki tanah
tumpah darahnya, gugur berantakan pada zaman Mengki'i. Kebanggaan yang tersemat di dada
seluruh keluarga hancur 22 lebur ketika Mengki'i melangkahkan kakinya menuju Istana orang Mongol yang mendirikan dinasti
Yuan di tanah airnya. Aisun sebenarnya masih kuat bertahan hidup menderita, tetapi Mengki'i tidak
sampai hati lagi melihat Fang Fang kecil yang sering tidak disuapi makan pada waktunya.
Karena bekerja di istana, keluarga Mengki'i tidak lagi menderita kelaparan. Telah banyak
bangsawan lain berbuat seperti itu, bahkan sejak kakek Kubilai Khan menyerbu dunia, mereka
sudah ikut membantu. Tetapi bagi bangsawan Fukien seperti Mengki'i dan Aisun, nenek moyang
mereka bertahan tidak mau bekerja sama dengan bangsa Mongol yang menjajah tanah airnya.
Meski sekarang Mengki'i mau bekerja di istana kaisar, orang-orang awam masih tetap menghormati
kerabat bangsawan Fukien sebagai pejuang akhir kebanggaan bangsanya.
Mengki'i akhirnya ditugaskan ke Pulau Jawa, menghubungi Kertanegara, raja Singasari!
Seluruh keluarga kecewa! Mereka keberatan dengan pelayarannya ke seberang itu! Tetapi Mengki'i
tidak berani menolak! Menolak berarti dipecat. Dan dipecat berarti ia dan keluarganya akan kembali
menjalani hidup sengsara dan kelaparan seperti dahulu kala. Mungkin akan melebihi masa lalu!
Sebab sekarang ia pernah menentang perintah kaisar! Kehidupan keluarganya akan diawasi
khusus dan dibuntu rezekinya.
"Mengapa tidak dicoba untuk menolaknya?" tanya Aisun. Sejak semula, perempuan Fukien ini tidak
setuju kalau suaminya melangkahkan kakinya ke istana.
39 Itulah perselisihan yang diketahui oleh Fang Fang pertama kalinya. Ia sudah cukup dewasa untuk
mengerti. Ia lebih dekat pada ibunya, karena ayahnya memang pekerja yang tekun dan sering di
istana. Mengki'i tidak bisa menolak tugas itu. Ia harus berangkat. Aisun tidak mau ditinggal sendirian, tidak
mau berpisah dengan suaminya. Maka ia memaksa diri mengajak Fang Fang ikut berangkat
berlayar ke negeri seberang, dalam sebuah kapal besar. Kapal yang kemudian berlabuh di Tuban.
Kini Fang Fang mengenakan seragam prajurit Tartar. Ia minta dikawal dua orang bangsa Fukien
asli, Fusen dan Yong Pin, untuk menyusul ayahnya. Ayahnya sudah berangkat sehari sebelumnya,
mengendarai kuda yang dikawal oleh empat orang prajuritnya menuju istana Singasari.
"Apakah belum cukup waktu istirahat7" tanya Fang Fang.
Fusen bangkit dan menangkap kudanya. Diikuti oleh Yong Pin dan Fang Fang.
"Kita menuju ke arah gunung di kaki langit itu!" ujar Fang Fang sambil mengibarkan saputangan
gambar naga yang baru saja ditemukan. Sikapnya itu dilakukan dengan penuh harapan agar bisa
dituntun mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya. Saputangan itu pelindung dan
penyelamat keluarga, kata Aisun.
Digertaknya sanggurdi di kakinya, dan kudanya pun berlari dengan semangat tinggi. Fusen dan
Yong Pin pun mengikuti gerakan Puteri Fang Fang.
" 23 40 Fang Fang berhasil merebut aplikasi sulaman gambar naga dan ditempelkan pada saputangan
hijau pemberian Fusen. Pemilik kios hanya terbengong melihatnya: Pijaran kilat telah menghentikan
kegiatannya. "Sekarang saputangan hijau dan sulaman naga ini telah bersatu kembali. Dan tergenggam di
tanganku! Tidak mungkin terlepas lagi! Sekarang aku bisa memilikinya dengan tenang. Kubawa
tidur abadi bersama kekasihku!" ucap Fang Fang. Dengan sikapnya yang angkuh, ia melipat
saputangan itu kembali, dan dimasukkan kembali ke sakunya. Lalu ia melangkah meninggalkan kios
itu. "Apa yang terjadi" Ada ledakan mercon lagi?" tanya pemilik kios. Sekejap pandangannya silap oleh
kilatan pijar. Bukan petir, matahari bersinar terang. Beberapa tahun yang lalu memang terjadi
ledakan mercon di dekat Pasar Atom. Itu mungkin yang menjadi trauma bagi pemilik kios.
Tidak ada yang bisa menjawab peristiwa sinar pijar di tengah hari bolong yang cuaca terang
benderang itu! Dengan tenang Fang Fang membayar harga barang yang diambil, lalu pergi meninggalkan kios.
Fusen dan Yong Pin mengikuti, seperti halnya prajurit Tartar yang setia mengawal tuan puterinya.
Sedangkan pemilik kios masih terengah-engah tak berdaya, seakan-akan habis berkelahi untuk
mempertahankan barang miliknya dengan susah payah, dan kalah. Kehabisan kekuatan!
Sementara melepaskan diri dari lapangan parkir yang berjejal itu, pengemudi Honda Civic merah
usul, "Kita cari makan dulu. Aku tahu restoran yang enak sekitar sini!" -.
Di meja restoran, Fusen dan Yong Pin memanjakan Fang Fang untuk berbuat apa saja. Dan gadis
ayu itu tidak menghiraukan macam makanan apa yang harus dipesan.
41 erhatiannya masih pada saputangan yang baru diperolehnya. Saputangan itu dibeberkannya di atas
meja, dan tampaklah warna dasar hijau yang cerah, di tengahnya disulam gambar naga yang gagah
perkasa, dan elok buatannya.' Taraf lukisannya mencapai bentuk seni yang tinggi. Pantas menjadi
pusaka keluarga bangsawan Fukien yang pernah agung itu!
"Saputangan pusaka ini akhirnya bersatu utuh kembali setelah terkoyak selama tujuh ratus tahun
lamanya!" ucap Fang Fang. Dua orang laki-laki muda di hadapannya mendengarkan dengan penuh
perhatian dan kekaguman. "Setelah bersatu utuh begini, akan kusimpan baik-baik di tempat akhir
aku berbaring bersama kekasihku, dan aku tidak akan mengembara langlang buana lagi untuk
mencarinya dan mempersatukan saputangan dengan gambar naganya!"
Setelah mendengar pembicaraan Fang Fang yang memusatkan pada saputangan gambar naga di
tangannya itu, Yong Pin berbisik kepada kawannya, "Apakah dengan diperolehnya saputangan itu
kita tidak perlu membawanya ke dokter sore nanti" Apakah kesembuhannya akan datang dengan
sendirinya karena saputangan yang kembali utuh dengan sulaman jiwa naga?"
"Sstt! Justru omongannya tambah kacau, kita harus secepatnya mempertemukan dia dengan
dokter. Kamu yakin bahwa dokter itu pandai" Artinya bisa mengupayakan kesembuhan Fang
24 Fang?" "Tentu saja! Dokter Mengki tangannya dingin, tiap pasien yang datang kepadanya biasanya
sembuh!" < H "Bagus! Kuharap kamu tidak tergesa kendor menolong aku, sudah kadung basah
begini. Bersiaplah seperti ke*
sanggupanmu semula. Mungkin pengobatan Fang Fang ini akan berjalan sampai dua tiga hari lagi!
Artinya, dalam waktu yang sekian itu aku membutuhkan bantuanmu!" Ngotot, tapi Fusen bicara
dengan berbisik, agar Fang Fang yang sedang berkonsentrasi pada saputangannya tidak
terganggu. "Baik! Baik! Aku sudah siap sedia sejak surat kilat khususmu tiba kemarin. Tenaga, kendaraan,
biaya, waktu, aku sediakan untuk kesibukan kita sekarang ini! Kamu tidak usah kuatir. Kapan saja
kamu perlukan, aku bersedia membantumu! Entahlah, begitu menerima suratmu, aku lepaskan
semua kerja rutinku. Timbul hasrat membantumu secara tuntas! Dan semua kusediakan dengan
suka hati. Seperti ada kewajiban yang harus kutunaikan. Kewajiban ku telah dipesan sejak lama,
sejak duluuu... sekali, mungkin bukan pada generasi kita! Dan nyatanya, tanpa peristiwa apa-apa,
segala yang kamu butuhkan tersedia padaku sekarang: tenaga, mobil, waktu, biaya, dan
kemudahan lainnya! Tidak ada yang memberati aku!" ucap Yong Pin nyerocos seperti tetesan air
talang pada hari hujan. "Syukur kalau begitu. Selain terima kasih, aku sampaikan juga maaf, karena aku melibatkan kamu
dalam usaha menyembuhkan Fang Fang ini Prosesnya begitu cepat, seperti insting saja aku
menulis surat kilat khusus kepadamu kemarin itu. Bukan dikemudikan nalar. Sekali lagi aku minta
maafi" "Ya, semuanya berjalan lancar sampai saat ini! Mudah-mudahan begitu seterusnya!" Yong Pin
menyatakan kesiapan dirinya membantu.
"Tentu saja segalanya berjalan lancar! Semuanya berangkai satu sama lain secara otomatis. Sebab
sekarang ini genap tujuh ratus tahun lelakon kita telah berlangsung! Tiap abad begini, arwah kita
melayang dan berusaha bertemu kembali untuk melakukan perbaikan hal-hal yang dahulu salah kita perbuat. Tetapi
mudah-mudahan ini yang terakhir. Sebab, sekali ini Fusen telah memberi aku saputangan dasar
yang dahulu tertanam di Kediri. Dan, tadi aku berhasil melekatkan kembali sulaman gambar naga
pada saputangan ini.' Gambar naga yang merupakan jiwa pusaka bangsawan Fukien, yang dulu
terenggut dari dasarnya. Saputangan dan gambar naga kini telah tergabung, dan sekaligus berada
di tanganku kembali! Tidak akan kulepaskan lagi! Semua akan abadi bersama tenangnya arwah kita
bersemayam! Tidak lagi tiap abad kita gentayangan!" Puteri Fang Fang bicara begitu. Ucapannya
bersemangat, wajahnya berseri-seri memperlihatkan kegembiraan hatinya. Pada dasarnya ia lincah,
tidak gampang didera duka.
Sambil berbicara yang tidak ada ujung pangkalnya itu, pembicaraan yang merupakan
tembelan-tembelan kisah yang terpotong, makanan yang terhidang pun habis dilahap masuk perut.
Acara makan harus diakhiri, dan Yong Pin berdiri mendekati kasir untuk membayar. Ketika masuk
ke dalam mobil, tembelan-tembelan kisah yang terpampang di alam pikiran mereka ternyata sudah
punya bentuk yang bisa dilacak. Ada benang merah yang bisa dirunut. Dan kini mereka merasa
kisahnya belum selesaL, masih terus menggelinding. Ketiga orang dalam mobil Civic itu tidak saja
membentuk cerita, melainkan ikut berperan dan bertokoh dalam potongan-potongan kisah panjang
25 itu! Mereka tak kuasa menolak atau mendahului. Semuanya menggelinding dengan sendirinya.
" 44 Yong Pin mengemudikan mobilnya ke jalan Suara Asia. Nama jalan di kawasan itu menggunakan
nama surat kabar dan majalah yang pernah terbit di Surabaya. Sambil menghafalkan nama jalan,
orang bisa mempelajari sejarah penerbitan surat kabar di Surabaya. Mereka berhenti di rumah
nomor 19-Dua penumpang dan seorang pengemudi Civic turun dari kendaraannya, menyeberangi
pelataran, dan sampailah di ruang praktek dokter Mengki.
Ada enam orang yang berada di ruang tunggu dokter Mengki ketika Fusen dan Yong Pin masuk
mengiringi Fang Fang. Turun dari mobil, Fang Fang terpaksa dihimpit oleh kedua laki-laki
pengawalnya. Keadaannya tampak lemah.
"Kita harus masuk segera atau menunggu?" tanya Fusen. Ia sedikit gugup melihat begitu
banyaknya orang di ruang tunggu. Kalau mereka semua pasien, masuk satu-satu, tentulah harus
menunggu lama sampai pada gilirannya. Sedangkan mereka telah lebih dulu berpesan melalui
telepon, mungkin bisa dianggap punya hak istimewa.
"Aku tadi tidak bicara soal ini ketika telepon. Jadi sebaiknya kita menunggu saja."
"Tapi keadaan Fang Fang begitu mengkhawatirkan!"
"Kamu terlalu gugup. Tenang sajalah! Kita duduk di sana!" Yong Pin mengajak ke arah bangku yang
kosong. "Mungkin Fang Fang juga terpengaruh oleh keberadaan dokter itu."
"Kita telah menemukan saputangan hijau gambar naga! Kita telah menemukan harapan! Kita tidak
sesat! Jalan yang kita tempuh benar!" oceh Fang Fang.
Mereka duduk. Fang Fang diapit. Dia bisa duduk tegak sendiri, tetapi seringkah lebih suka
bersandar pada Fusen. 45 "Ia meracau terus. Aku heran, mengapa para tetangganya di Tuban tidak pernah melihat gejala
kelainan tingkah laku gadis ini sebelumnya. Kok Sing hanya berkata bahwa tingkahnya seperti
kanak-kanak. Ia suka mengajak bicara kucing. Tapi itu biasa. Mereka yang gemar kucing menyapa
kucingnya dengan manis, dan dianggap mengerti bahasa manusia."
Setelah mereka duduk, baru jelaslah macam-macam orang yang berada di ruang tunggu. Ada
seorang laki-laki duduk menyendiri, kedua tangannya dilipat pada dada. Ia seperti yang paling tahu
tentang dirinya sendiri. Dan kedatangannya ke situ hanya mau berbicara dengan dokter, bukan
orang lain. Berhadapan dengan Fang Fang di bangku seberang sana ada dua orang perempuan. Duduknya
bersanding, dan berbicara seorang kepada yang lain. Tentulah hanya seorang di antaranya yang
26 sakit, yang lain pengantarnya. Fusen mengira yang mudalah yang sakit, karena kelihatan tegang.
Heran juga, zaman sekarang banyak kaum muda sakit pikiran.
Kelompok yang lain terdiri dari tiga orang laki-laki. Mereka kenal satu sama lain. Jelas bahwa yang
sakit hanya seorang yang dua pengantar. Tidak mungkin seorang waras mengantar dua orang sakit
atau ketiga-tiganya sakit. Atau ketiga-tiganya waras.
Setelah dihitung-hitung, sebenarnya yang antre hanya tiga orang. Tidak lama menunggu giliran!
Pintu kamar praktek dibuka. Seorang gadis ayu keluar paling dulu, diikuti kedua orang tuanya dan
dokter. "Mei Lan! Beri salam pada dokter!" ujar ibunya. "Bye-bye, dokter! Nanti kalau perkawinan
saya berlangsung, dokter saya undang. Jangan bilang sama Andre,
kalau saya pasienmu, ya" Malu ah, ketahuan datang ke
psikiater!" "Ya, Mei Lan! Semua orang tidak saya beri tahu kalau
kamu datang periksa ke sini!"
"Dan kalau Andre menolak aku, aku akan bertunangan
dengan dokter! Dokter juga mempesona kok kalau bicara!
Mengapa dokter tidak kawin lagi?"
"Jangan khawatir, Mei Lan! Andre tidak akan meninggalkan kamu lagi, kok."
Sebelum Mei Lan dan ibu bapaknya turun di halaman, pasien laki-laki yang d
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
uduk menyendiri sudah berdiri. Dokter segera tahu siapa giliran yang diperiksa. Laki-laki itu disuruh
mengikutinya masuk bilik periksa.
"Acara film malam ini bagus-bagus, /b! Kok si bujang berkunjung ke sini?" tegur dokter.
"Hari baik, kan, bukan untukku ...," sahut laki-laki
itu. Pintu pun ditutup. Pasien terakhir sebelum Fang Fang adalah kelompok tiga orang laki-laki itu. Ketiganya masuk
dengan langkah pasti. Kelihatan mereka sehat-sehat saja. Siapakah di antara mereka yang sakit"
Tidak ada pasien baru lagi. Fang Fang terakhir. Fusen lega. Mereka nanti tidak usah tergesa
ditunggu giliran pasien berikutnya. Dokter bisa dengan teliti memeriksa penyakit Fang Fang.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam bilik periksa! Begitu melengking. Fusen terperanjat dan
tertegak. Tidak, bukan dia sendiri. Juga Yong Pin bahkan Fang Fang, bersikap seperti dia.
'Terdengar teriakan!"


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' "Suara dokter! Mereka menganiaya!?" tindih Yong Pin. "Itu suara Ayah!"' Fang Fang mengangkat
mukanya, telinganya seperti dipasang untuk menangkap suara dari dalam bilik periksa. "Fusen! Itu
suara Ayah! Ayo mendekat! Ia dalam bahaya!"
Fusen segera bangkit. Fang Fang dan Yong Pin menyusul. Ketiganya bergegas mendekati pintu.
Teriakan kedua terdengar, membuat tiga orang tadi tersentak mempercepat langkah.
"Dokter itu dianiaya!" seru Yong Pin. "Aku tadi sudah pikir-pikir. Mana dari tiga orang itu yang sakit"
Ketiganya gagah dan sehat. Nggak tahunya mereka mau merampok! Kita panggil polisi'"
"Bu suara Ayah! Perlu pertolongan! Tunggu! Aku keluarkan panji-panji keluarga!" seru Fang Fang.
Sambil berkata begitu, gadis tadi menarik saputangan dari dalam bajunya. Saputangan sutera hijau
gambar naga. Saputangan itu ditarik dan dikibarkan dengan tangan kanannya. Dan sekejap bau
harum semerbak menghambur di seputarnya.
Fusen tidak berpikir lagi. Tubuhnya yang sudah kekar mendorong pintu dengan kekuatan ekstra.
Elok, ternyata pintu tidak digrendel. Bisa dibuka tanpa dorongan khusus.
Pintu terbuka! Dua orang laki-laki memegangi kedua belah tangan dokter, seorang di kiri dan yang
lain di kanan. Seorang laki-laki yang lain mengayunkan penggada, dipukulkan pada pundak dan
kepala dokter! Lengking bunyi teriakan terdengar dari mulut dokter yang teraniaya itu!
Fusen dan Yong Pin secepatnya mencegah pemukulan lebih lanjut Fang Fang menjerit sekuat
tenaganya! Jeritan ku! Jerit Fang Fang itu begitu nyaringnya, begitu tajamnya, memekakkan telinga. Bunyi jerit
1 itu menyentuh 48 perasaan yang mendengarnya hingga seketika' itu juga kegiatan mereka terhenti. Mereka tak tahan
tersengat gelombang suara yang disiarkan dari mulut Fang Fang. "Ayah! Ayah! Pandanglah
saputangan gambar naga irri!
Lambang kekuatan keluarga! Lihatlah! Kukibarkan di udara! Berkibar-kibar di udara biru negeri
asing, lambang ini dapat menyelamatkan kita! Pandanglah! Pandanglah dengan
bangga!" Udara begitu biru, cuaca terang. Dari jauh terlihat seseorang berpakaian adat Cina yang
diseret-seret oleh dua orang Singasari, satu memegang lengan sebelah kiri, yang lain sebelah
kanan. Orang Singasari yang ketiga membawa cemeti dan berulang kali mendera orang yang
berpakaian Cina itu! "Pukullah! Deralah sekuat tenagamu! Tetapi jangan sampai ia tewas. Permalu dia!" seru seseorang
yang berpakaian kebesaran kerajaan Singasari. Ia seorang perwira muda yang mendapat tugas
untuk membawa orang Cina itu enyah dari tanah Singasari.
"Fusen! Yong Pin! Cepatlah melaju! Tolonglah Papa!" seru Fang Fang dengan suara melengking.
Sambil berseru begitu, ia menghardik kudanya sambil mengacungkan saputangan hijau sutera
bersulam gambar naga kuning! "Ayo! Ayo! Ayo!"
Kedua pengawal yang mengenakan pakaian keprajuritan Tartar menyerbu ke arah orang Cina yang
dianiaya oleh orang-orang Singasari, berpacu mengikuti gerak laju Puteri Fang Fang! Mengikuti,
memburu, dan akhirnya menyalip kendaraan gadis Tartar itu.
Mereka sedang berada di lapangan yang botak. Tetapi daerah sekelilingnya merupakan hutan lebat
yang ditumbuhi oleh batang jati dan mahoni raksasa. Ketiga orang
49 Tartar yang memacu kudanya itu muncul dari sebelah utara. Mereka harus melintasi padang botak
yang luasnya lebih seratus tombak. Sedangkan orang Singasari yang membawa seorang
berpakaian adat Cina itu muncul dari hutan di sebelah selatan.
"Tuanku Pamoraga! Ada orang berkuda datang dari utara! Mereka berpakaian asing, seperti
orang-orang Tartar tawanan kita!" lapor seorang yang membawa cemeti.
"Atas nama Raja Singasari Sri Kertanegara, cepat lakukan apa yang telah dititahkan!" perintah
perwira muda Singasari itu. "Potonglah daun telinga utusan Raja Kubilai Khan itu! Cepati Tempat ini
sudah cukup jauh dari ibukota kerajaan, dan kita hams melepaskan mereka!"
Tang kiri atau yang kanan?" tanya salah seorang yang memegang tangannya.
"Tidak soal kiri atau kanan! Pokoknya dipermalu! Dipotong daun telinganya! Biar ia sampai di
tempat asalnya dan lapor kepada rajanya dalam keadaan malu! Coreng-corenglah wajahnya
2 dengan ujung kerismu, biar wajahnya tidak segagah sekarang ini!"
"Peganglah kepalanya, kawan! Aku yang mengiris daun telinganya!"
"Aduhduhduh! Mati aku! Mati aku!" sesambat utusan Tartar itu dalam bahasanya.
"Tolol! Cari kelewang yang tajam! Biar tidak cecel-cuwel! Kasihan!"
"Hus! Ini kelewang bikinan Empu Sadudu, paling tajam di antara kelewang prajurit Singasari!" ujar
penjagal yang sanggup menangani pemotongan daun telinga itu!
Pemotongan daun telinga selesai dikerjakan. Utusan yang malang itu belum juga dilepaskan. Kedua
belah tangannya masih dipegangi oleh penganiayanya.
i "Kini giliranku menggores-gores mukanya dengan
ujung kerisku!" seru yang membawa cemeti Cemetinya dibuang, dan ia maju sambil menghunus
kerisnya. "Jambaklah rambutnya, biar wajahnya tidak bisa bergeleng-geleng!"
"Cepatlah sedikit! Orang-orang berkuda ku sudah kian mendekat!" perintah Pamoraga, perwira yang
memimpin pengusiran utusan Kubilai Khan itu.
Setelah kepalanya dipegangi oleh pembawa kelewang, wajah utusan yang berkening tebal dan
berkumis panjang itu pun tampak menengadah. Ia sudah berumur setengah baya, namun wajahnya
masih tampak licin dan bercahaya. Sinar matanya tidak keras, memandang lunak mengajak akrab.
Sebenarnya ia lebih berwatak mau damai daripada melaksanakan kehendaknya dengan keras!
"Apalagi yang kautunggu! Cepat goreskan ujung kerismu pada pipinya!"
Setelah melihat wajah yang suka damai itu, pemegang keris tidak sampai hati. Mendengar umpatan
temannya, ia menarik napas panjang, lalu bergerak dengan suara minta maaf. "Aku melakukan ini
demi perintah Sri Paduka Raja Kertanegara! Aku seorang prajurit, jadi harus' setia kepada perintah
rajaku!" "Aduhduhduh! Hancur wajahku!"
"Kerisku ini beracun. Jadi tidak mungkin luka di pipimu itu akan sembuh menjadi halus seperti
semula!" "Sudah kamu lakukan perintahku, Ardanta?" tanya Pamoraga yang berdiri di samping sebatang
pohon mahoni. "Sekarang, lepaskanlah dia! Larilah kamu sekalian menghindar serbuan orang
Tartar itu!" "Ayo! Hamuk! Hamuk!" seru Fusen dan Yong Pin.
Sedangkan Fang Fang membuntuti di belakang dengan mengibarkan saputangan gambar naga.
51 3 Orang Cina yang teraniaya itu dilepas tiba-tiba, dan ketiga orang Singasari itu secepatnya
menyingkir lari ke pohon-pohon batas hutan, lenyap di sana. Orang Cina itu jatuh tersungkur. Tetapi
tenaganya cukup untuk segera bangkit. Ia bangkit berlutut, kedua tangannya meraba-raba bagian
yang sakit di kepalanya. Daun telinganya sebelah kiri terpotong, dan darah bercucuran keluar dari
sana. Juga tangannya yang meraba-raba wajahnya menjadi merah bersimbah darah! Ia sesambal!
Ia menderita. Orang-orang berkuda yang membelanya kurang cepat sampai. Orang-orang Singasari itu sudah
lenyap di balik pohon-pohon besar di hutan. Dan yang tertangkap hanyalah orang bangsanya yang
teraniaya itu, sudah dalam keadaan bangkit berdiri.
Tuanku Mengki'i' Tuanku Mengki'i!" seru laki-laki berkuda yang terdepan.
"Ayah! Papa! Oh, Ayah'" seru Fang Fang yang menyusul sampai di tempat penganiayaan.
Ketiga penolong itu sudah tidak menghiraukan bahaya lagi. Mereka tidak mengejar para
penganiaya lagi. Mereka turun dari kudanya dan menolong Tuanku Mengki'i yang malang itu!
Tuanku Mengki'i! Nasib apa gerangan yang Tuan derita ini! Oh, bersimbah darah!"
"Fusen! Kamu datang" Mengapa kamu datang menyusul"! Siapa yang memerintahkan kamu
datang kemari"!"
"Ayah! Aku, Ayah! Lihatlah saputangan ini! Saputangan penyelamat keluarga! Bersyukurlah karena
aku datang membawa saputangan ini!" ucap Fang Fang.
"Fang Fang! Mengapa kamu kemari" Siapa yang mengatur ini semua, siapa"!" seru Mengki'i yang
sedang menderita 52 itu dengan sengit. Kesakitannya seakan-akan tidak dirasakan!
"Tuanku! Tuanku berdarah! Sangat parah! Biarlah kami rawat! Yong Pin, buka minumanmu daft dari
kotak obatku di pelana kuda!"
Yong Pin melakukan permintaan temannya. Prajurit Tartar telah dilatih begitu rupa untuk
menyelamatkan' diri dan merawat luka-lukanya yang diperoleh dalam peperangan. Mereka juga
mempersiapkan obat-obatan secukupnya. Maka dari itu, Yong Pin bisa dengan cekatan melakukan
apa yang dibutuhkan untuk merawat luka majikannya. Fusen dengan cepat menutup luka bekas
potongan daun telinganya, serta menghentikan aliran darah yang keluar dari wajah yang terluka. (fl
Untuk sementara, Mengki'i menurut dirawat. Dibiarkannya anak buahnya menghentikan tetesan
darah pada luka-lukanya. "Aku harus membalas ini, Ayah! Aku harus menuntut balas! Fusen! Yong Pin! Kita cari tiga orang
itu! Mereka belum jauh dari sini! Jahanam, orang-orang Singasari!" ujar Fang Fang sambil
melayangkan pandang ke arah hutan tempat ketiga orang Singasari itu bersembunyi. Selayang
pandang cuma, karena ia masih tidak tega melihat luka parah yang diderita ayahnya!
4 Melihat kerja Fusen selesai, Fang Fang cepat berseru, "Fusen! Yong Pin! Cari mereka! Kejar
mereka! Bunuh kalau perlu! Balaslah penderitaan ayahanda!"
Mendengar perintah majikannya, Fusen dan Yong Pin secepatnya bangkit untuk melaksanakan
perintah. Tetapi Mengki'i yang sudah jauh lebih baik dari keadaannya tadi, lebih cepat menangkap
lengan baju Fusen dan Yong Pin
53 dan dibabitkan ke bawah hingga keduanya yang tidak siap dengan perlakuan ini jatuh terduduk tak
berkutik. "Kalian ini mau apa"! Kalian ini mau bunuh diri, ya!" Gila! Siapa yang bikin aturan begini"! Siapa
yang menyuruh kamu datang kemari"! Edan semua! Kalian kusuruh apa" Kalian mau menentang
perintahku, ya"!" sentak Mengki'i. Nadanya marah sekali!
"Ampun, Tuanku! Ampun! Kami menuruti perintah Tuan Puteri. Kami tidak sampai hati membiarkan
beliau pergi sendiri!" sembah Fusen.
"Papa! Aku yang mengajak mereka! Aku yang mau menyusul Ayah! Dan apa yang kurasakan, betul
semua! Aku hams menyusul Ayah karena Ayah dalam bahaya! Aku merasa Ayah kehilangan
saputangan ini, dan aku menemukannya di jalanan. Aku datang dengan saputangan ini untuk
menyelamatkan Ayah! Bersyukurlah. Ayah, kami telah datang tepat pada waktunya'" ujar Fang
Fang menyadarkan ayahnya.
"Bersyukur! Bersyukur! Ini prinsip! Orang Tartar tidak pernah pergi menjelajah negeri asing dengan
membawa perempuannya! Mereka berperang berbulan-bulan menuju negeri jauh membawa
perbekalan lengkap, makan sambil naik kuda, tetapi tidak ada yang membawa bininya! Apalagi
seorang utusan seperti aku, utusan Kaisar! Datang bertugas ke negeri asing membawa istrinya,
anaknya perempuan! Sungguh memalukan! Karena itu aku sekap kamu di bilik kapal! Kularang
mengikuti aku di daratan menuju Kerajaan Singasari! Tapi apa sekarang yang kamu kerjakan"
Menyusul aku! Aduh, memalukan! Memalukan sekali, duta Kaisar Kubilai Khan yang bertugas
membawa anak istrinya! Kamu ini tahu adat apa tidak"!" Sangat marah! Duta Mengki'i sangat
marah dengan tindakan puterinya yang menyusul ke Singasari!
54 "Tapi, Ayah! Perasaanku menuntunku, bahwa aku
harus menyusul Ayah, menyelamatkan Ayah!"
"Siapa yang menyelamatkan^aku! Siapa"! Lihatlah, wajahku dicoreng-moreng, dilukai, daun
telingaku dipotong! Apa kamu bilang ini selamat"!"
"Kurang ajar! Perbuatan itu harus dibalas, Ayah! Hams dibalas!"
"Dibalas bagaimana" Kamu mampu menghapus malu
ini" Coba kamu kerjakan! Kamu perempuan bisa apa?"
5 "Fusen dan Yong Pin prajurit Tartar pilihan! Mereka punya kesetiaan kepada kita, karena orang
Fukien asli!* "Coba laksanakan kalau kalian mampu!"
"Fusen! Yong Pin! Cari penganiaya Papa itu!" perintah
Puteri Fang Fang. "Siap, Tuanku!"
Kedua pengawal itu mencabut pedangnya dan mengendarai kudanya. Puteri Fang Fang tidak
ketinggalan. Ia mengendarai kuda dengan cekatan dan menghunus pedangnya. Ia seperti prajurit
Tartar yang masih sangat remaja, ingin menunjukkan bakti dirinya kepada sang ayah dengan
semangat tinggi! "Ayo! Bergerak! Mereka tadi menyusup ke hutan lebat sebelah sana untuk menyembunyikan diri!
Mereka hanya berjalan kaki, tentu tidak bisa jauh bergerak!"
Fusen dan Yong Pin telah menggertakkan kuda pada sanggurdinya. Fang Fang segera menyusul.
Tetapi tali kendali terpaksa ditarik, dan kuda orang Tartar itu melonjak-lonjak kebingungan karena
mendapat perlakuan yang berlawanan. Kaki penunggangnya menggertak, tetapi tangannya
mengekang kendali! Kuda mereka meringik protes! I
55 "Ha, ha, ha, ha!" terdengar tertawa Duta Mengki'i terbahak-bahak. Ia menertawakan tingkah laku
Fang Fang dan kedua pengawalnya! 'Tolol benari"
Ketiga penunggang kuda Tartar itu mendadak mengekang kuda mereka, karena ketika kuda telah
digertak, mereka melihat bahwa di celah-celah pohon-pohon besar mahoni yang menjadi batas
tanah yang botak itu tampak sepasukan prajurit Singasari berkuda, bersenjata kelewang, tombak
beserta perisainya, siap menghadapi ketiga orang Tartar itu. Siap tempur! Tombak berjajar
sepanjang batas hutan, pucuknya siap dihunjamkan pada sasaran di depan mereka. Yong Pin,
Fusen, dan Puteri Fang Fang terbengong melihatnya. Yang dihadapi bukan tiga orang Singasari
yang lari tunggang langgang menyusup ke dalam hutan setelah menganiaya Duta Mengki'i, tetapi
sepasukan prajurit Singasari yang siap tempur menghadapi tiga orang Tartar yang maunya gagah
berani! Sekarang mau gagah berani" Berarti bunuh diri!
Melihat ketiga penunggang kuda prajurit Tartar itu mengekang kembali, dan memandang
tercengang terhadap pasukan Singasari, kepala pasukan Singasari, Pamoraga, menggerakkan
kudanya keluar dari semak belukar tempat persembunyiannya. Ia maju beberapa tindak, dan
berhenti pada tempat antara sepuluh langkah dari tempat Fang Fang dan teman-temannya.
Seorang Singasari berjalan kaki ikut muncul dari dalam semak belukar, dan berdiri di dekat kuda
Pamoraga. Ia tidak bersenjata.
"Ha, ha, ha! Orang Singasari tidak sebodoh seperti apa yang kamu bayangkan! Sama sekali tidak
bodoh! Mereka bangsa yang besar, cerdik, dan kuat! Bangsa yang punya wibawa di seantero
kepulauan besar ini! Peradabannya
maju, dan cara hidupnya punya gaya tersendiri daripada
6 yang biasa kita kenal, namun tidak kalah kukuhnya perihal
karya seni hidup yang mereka anut. Dan satu lagi yang patut kamu camkan dalam hati sanubarimu,
Fang Fang! Bangsa Singasari ku adalah bangsa yang ramah taman! Tidak pernah aku bayangkan
ketika aku menginjakkan kakiku di bumi Singasari ini akan mendapat sambutan hangat dan akrab
seperti ini! Sejak semula, sejak di pelabuhan Tuban, aku mendapat sambutan dengan ramah
tamah, suka menolong, dan memberi petunjuk kepadaku ke mana aku hams berjalan untuk pergi
menghadap Raja Singasari Kertanegara! Semua orang yang kutemui bersikap begitu! Tidak ada
yang bersifat memusuhi atau mencurigai datangku sebagai orang asing yang akan berbuat jahat!
Berbeda amat dengan pendirianku dan purbasangkaku! Aku datang ke negeri ini sebagai duta
penakluk, kukira pribumi di sini akan menyambutku dengan muka masam!"
"Bohong semua! Bohong! Kalau Papa disambut dengan ramah tamah, tentunya tidak terjadi seperti
sekarang ini! Daun telinga Papa diperung, wajah Papa ditoreh dengan benda tajam! Ramah tamah
macam apa itu"! Untunglah aku segera datang dengan mengibarkan saputangan kita, saputangan
gambar naga! Kalau tidak, terlambat sedikit saja, barangkali Ayah telah disembelih! Atau dipacung!
Dan kami sudah tidak tahu lagi kabar berita mengenai Ayah! Oh! Padahal Ayah hanya sebagai
duta, sebagai utusan, sebagai penyampai berita atau pesanan! Ayah bukanlah orang berdosa!
Berita yang Ayah sampaikan bukanlah kemauan Ayah pribadi, bahkan bukan pesan bangsa Ayah
yang sama-sama kita cintai' Bukan! Pesan Kaisar Kubilai Khan, raja bangsa Mongol! Tidak
sepantasnya Ayah 57 mendapatkan perlakuan seperti ini! Aku harus membalas dendam! Harus kita tunjukkan bahwa kita
juga bangsa yang punya kekuatan, punya harga diri!* ucap Fang Fang dengan penuh semangat.
Suaranya melengking seperti anak laki-laki umur empat belas tahun, tubuhnya masih kanak-kanak,
tetapi jiwanya sudah kerasukan rasa kebangsaan yang berkembang!
: "Papa jangan melecehkan saputangan ini! Aku menyaksikan Ayah dianiaya oleh mereka, dan aku
telah menghentikan penganiayaan itu! Tapi mereka masih punya utang karena menyiksa Ayah! Aku
harus menagihnya, harus kubalas sikap dan perbuatan mereka yang sombong itu!" seru Fang Fang!
Lalu menghardik kudanya sambil mengajak Fusen dan Yong Pin, "Fusen! Yong Pin! Serbu orang
muda yang terdekat itu, dan habisi jiwanya sebagai pembalasan kita terhadap Ayah!"
Dengan pedang yang masih terhunus, dan saputangan gambar naga sebagai dasaran pegangan di
gagang pedang, Fang Fang menyerbu perwira Singasari yang telah berkuda beberapa langkah saja
dari tempat Fang Fang beranjak."
58 Fusen dan Yong Pin yang sejak perdebatan ayah dan
anak itu terlena mendengarkan, terkejut mendengar perintah Sang Puteri yang tiba-tiba itu.
Meskipun pedang belum disarungkan sebagai sikap kesiap-siagaan mereka karena berdekatan
dengan musuh, tetapi karena perhatian mereka tertuju pada perdebatan antarpemimpin mereka,
maka mereka terlena. Mereka terkesiap ketika perintah datang! Kuda sudah sama dihardik,
pegangan pedang diperkuat, tapi hams maju ke mana mereka masih memerlukan pikiran!
7 "Fusen! Yong Pin! Kamu mau apa" Mau menuruti perintah anak durhaka itu"! Berhenti! Diam!
Tahan perbuatanmu! Aku yang menjadi kepalamu, pemimpinmu dalam perlawatan ini! Kamu harus
mematuhi perintahku! Kamu akan mendapat hukuman untuk perbuatan menyelewengkan
perintahku itu, tahu"! Berhenti! Biarlah anak durhaka itu menanggung sendiri dosanya! Aku tidak
bertanggung jawab oleh tingkah lakunya yang murang tata, yang memberontak terhadap larangan
ayahnya! Ia telah melanggar adat dan tata aturan bangsawan Fukien yang sejati! Ia akan
menanggung sendiri akibatnya, aku tidak mau tahu! Dan siapa pun yang menolong
pemberontakannya juga akan terkena getahnya! Camkan itu! Itu ucap seorang bangsawan Fukien!"
Mengki'i meneriakkan kata-katanya itu dengan sorot mata bengis memandangi Fusen dan Yong
Pin! Dan ketika menengok ke arah Fang Fang, ia memejamkan mata rapat-rapat! Ia sadar telah


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu marah, dan kini kutukan telah diucapkan! Ia menyesal sekali! Sebenarnya ia amat cinta
kepada Fang Fang, puteri dan anak satu-satunya! Mengapa harus mengucapkan kata-kata kasar
terhadapnya"! Ia menangis dalam hati! Matanya tidak bisa mengeluarkan air mata, hanya
dipejamkan rapat-rapat! Angannya memburu ucapan yang
59 baru saja disebutkan untuk ditarik kembali! Ia ingin menelan kembali seperti air ludahnya!
Pamoraga, perwira muda Singasari, berada beberapa langkah dari kekayuan tepi hutan tempat
pasukan Singasari bersiap waspada dengan senjata perang di tangannya. Ia maju ke depan
bersama seorang Singasari berpakaian preman yang berjalan kaki, yang tidak lain adalah seorang
pedagang di Tuban yang dibawa oleh rombongan Mengki'i pergi menghadap ke istana Singasari
sebagai penerjemah: Baik Pamoraga maupun orang preman itu, tidak dalam keadaan siap
berkelahi. Ketika Pamoraga dan saudagar Tuban itu berada beberapa langkah dari pepohonan batas hutan,
kesiap-siagaan pasukan Singasari pada pihak yang menang, karena tidak seimbang dengan
kesiapan prajurit Tartar yang hanya tiga orang dan hanya bersenjatakan pedang. Pihak Tartar pun
menyadari kekalahan kekuatannya, dan dalam keadaan pupus semangat, mau menyerah saja.
Suasana itu didukung oleh bunyi tertawa berbahaknya Duta Mengki'i yang mengejek gerakan mata
gelapnya Fang Fang, kalau terus nekad, ya merupakan gerakan bunuh diri yang konyol.
Berhentinya serbuan tiga orang Tartar di tengah langkah merupakan tindakan yang paling baik,
karena keselamatan hidup mereka masih bisa diharapkan! Selanjutnya, pertengkaran antara Duta
Mengki'i dengan anak muda yang tampak cantik itu sungguh memesona perwira muda Singasari
Pamoraga, dan selama perdebatan berlangsung cukup aman bagi Pamoraga untuk tidak
mencampuri atau melakukan tindakan penumpasan. Ia bahkan berkenan membiarkan orang-orang
Tartar itu bercekook, membiarkan mereka berdebat untuk menentukan sikap terhadap
kehadiran pasukan Singasari yang siap siaga dengan kekuatan penuh! Oleh Pamoraga,
pertengkaran mereka di tengah medan laga itu menyengsemkan, dalam hati ia
menertawakannya! "Hai, Saudagar Tuban! Apakah yang mereka pertengkarkan"!" tanya Pamoraga kepada orang
Singasari preman di dekatnya.
"Ampun, Tuanku! Mereka menggunakan bahasa dialek mereka dan diucapkan sangat cepat
sehingga hamba susah menangkapnya! Tapi kalau tidak salah, anak muda itu adalah putera
8 Tuanku Mengki'i. Ia dimarahi Oleh ayahnya karena tidak patuh akan perintahnya, membandel mau
berbuat sekehendak hatinya, dan tidak memedulikan peringatan dan pelarangan sang ayah!"
"Heran juga aku. Bangsa Tartar ini masih begitu muda sudah diperkenankan menyandang
keprajuritan! Perlengkapan perang mereka pepak. Dan anak semuda itu diperkenankan membawa
pedang, panah, kapak dan kelihatannya terampil juga menunggang kuda! Apakah ini suatu isyarat
bahwa bangsa Tartar, memang dilahirkan untuk berperang sepanjang umurnya"!" rerasari
Pamoraga. "Itu juga, Tuanku. Itu pula yang mungkin dibicarakan oleh mereka! Anak muda ini sebenarnya
belum cukup umur untuk berbuat seperti yang sekarang Tuanku saksikan! Sang ayah marah-marah
karena itu! Mestinya anak itu tetap tinggal di rumah dan tidak ikut menyusul pergi ke negeri asing
dan bersiap perang seperti itu!"
Saudagar dari Tuban itu memang bukan penerjemah yang ahlit Ia mengetahui bahasa Cina hanya
dalam pergaulan berdagang di pelabuhan Tuban'.1 Namun :di: antara orang pribumi yang
ditemukan oleh Mengki'i, di antara
61 yang menyambut kedatangan Mengki'i dengan ramah tamah, orang itu paling bisa diandalkan untuk
dijadikan penunjuk jalan pergi ke istana Singasari menghadap Sri Baginda Raja Kertanegara. Selain
penunjuk jalan, ia bisa digunakan sebagai penerjemah sehingga nanti pembicaraannya dengan
Kertanegara bisa segera dipahami dengan hadirnya orang itu! Hal itu memang jadi kenyataan.
Maksud kedatangan Duta Mengki'i ke Singasari sebagai utusan ketiga Kaisar Kubilai Khan dari
daratan Cina adalah meminta paksa agar Raja Kertanegara mau tunduk di bawah kekuasaan
bangsa Mongol, wajib memberi upeti dan datang menghadap Kaisar Kubilai Khan. Semua itu dapat
dituturkan dengan panjang lebar, diterjemahkan, dan dipahami oleh pihak Singasari.
"Awas, Tuanku! Awas! Awas!" teriakan orang-orang Singasari yang bersiap-siap di balik pepohonan
hutan! "Awas, Tuanku Pamoraga! Tuan diserang!"
Pasukan di balik pohon batas hutan itu berteriak bersama karena mereka juga terkejut oleh
tindakan Fang Fang yang melancarkan serangan dengan tiba-tiba. Untuk menghardik kudanya dan
melindungi tuannya, mereka tidak bakal datang lebih cepat. Karena itu secara naluriah, mereka
memperingatkan tuannya dengan berteriak-teriak, ?"waspadalah, Tuan! Orang Tartar ku menyerang
Tuan dengan dibekali semangat benci dan dendam!"
Serangan Fang Fang, meskipun hanya dilakukan seorang diri saja, gerakan laju kudanya dan
kesiapan mem-babitkan pedang untuk menghancurkan Pamoraga telah merupakan kemenangan!
Langkah menang berkelahi berada di pihak Fang Fang dan ia akan bergerak cepat sebelum ada
pembelaan dari pihak lain! Gerakannya gesit)
62 jarak serangan dan sasarannya beberapa depa saja* yang jelas ia akan lebih dulu melukai
musuhnya sebelum gerakan pembelaan lain sempat beranjak dari tempatnya!
"Orang Singasari jahanam! Pengecut! Beraninya beramai-ramai untuk memotong kuping orang
yang tidak berdosa, yang tidak mau melawan! Sekarang terimalah pembalasan dendamku! Sabetan
9 pedang pertama ini untuk mengganti kuping ayahku!" suara Fang Fang melengking mengatasi
teriakan "Awas! Awas!" pasukan Singasari.
Pamoraga terkejut bukan main! Sekalipun lengking suaranya masih kanak-kanak, serangan yang
mendadak dengan laju kuda yang kencang dan babitan pedang yang cekatan itu merupakan
serangan mendadak yang amat berbahaya! Celakanya lagi, jarak mereka begitu dekat sehingga
tidak bakal sempat berpikir dan bersiap mengelakkan serangan atau menangkisnya. Meskipun
Pamoraga seorang perwira muda Singasari yang terlatih menghadapi segala kemungkinan
serangan mendadak, dalam keadaan mepet demikian tidak mungkin ia mengatur siasat mengambil
tindakan terbaik. Tidak sempati Apa yang dikerjakan adalah gerakan naluriah yang tak sempat
diolah oleh nalarnya! Ia harus mengakui terlena! Sebagai prajurit, terlena begini suatu kesalahan
besar! Hukuman atau akibatnya nyawa melayang! Sudah di medan perang, berhadapan dengan
musuh, seorang prajurit seharusnya tidak boleh hilang kewaspadaannya, dan konsentrasi
pikirannya harus kepada keberadaannya saat itu. Tahu akan situasi. Memasang jerat-jerat siasat
untuk melumpuhkan musuh. Pamoraga tidak! Ia terlena, terkesima menonton peragaan aneh
musuhnya, yang mungkin saja suatu siasat tersamar pihak lawan! Kalau Pamoraga terpenggal
kepalanya oleh in pedang prajurit Tartar yang belum cukup umur itu maka itu haruslah diterima sebagai
keteledorannya dan sebagai hukuman yang pantas!
Dalam jarak tempat dan waktu yang begitu sempit, Pamoraga bergerak singgung balas tanpa pikir,
melengkungkan tubuhnya ke samping, hampir menjatuhkan diri. Ia jatuh ke arah kanan, ke sebelah
yang akan dilalui oleh kuda Fang Fang! Ketika babitan pedang Fang Fang berlangsung, posisi
Pamoraga begitu rupa hingga tubuhnya tidak teraih oleh babitan pedang. Sementara itu, laju kuda
Fang Fang begitu cepatnya sehingga pada waktu sampai di samping kanan Pamoraga, tubuh
perwira Singasari itu hampir saja tertendang kepala kuda! Tapi tidak! Kuda sudah telanjur lewat dan
tubuh Pamoraga baru jatuh. Tepat pada waktu itu, perut Fang Fang pada gilirannya melintasinya.
Dengan cepat kedua tangan lelaki muda itu mendekap perut Fang Fang yang masih melaju
bersama kudanya. Didekap begitu erat, sedang sanggurdi kudanya ditekan sekuat mungkin.
Puteri Fang Fang yang mengerahkan tenaganya pada serangan pedangnya, sama sekali tak
mengira perutnya akan tertahan oleh tenaga yang begitu kuat. Lari kudanya tak tertahan, dan
keseimbangan tubuhnya jadi goyah. Secara naluri, ia menjatuhkan diri ke kanan, arah punggung
kuda lawan, sebab pantatnya telah terlepas dari pelana kudanya yang terus lari melaju! Curahan
perhatian Fang Fang tidak lagi pada pedang yang tergenggam, tetapi mencari keseimbangan tubuh
yang beranjak di awang-awang. Tangan perwira Singasari itu begitu kukuhnya sehingga tanpa pikir
panjang Fang Fang menggunakannya untuk menyelamatkan tubuhnya dari kejatuhannya ke
64 bumi. Tindakan secepat kilat itu menyelamatkan dirinya
dari jatuhan tubuhnya. Titik berat badannya telah beralih ke pelana kuda lawan, dan tersangkut di
situ. Kurang percaya akan kekuatan dua belah tangan yang mendekap perutnya, Fang Fang
mendekapkan tangannya mencari kekuatan gandolan pada tubuh yang terdekat, merangkul tubuh
lawan erat-erat! Kakinya masih bergelantungan, dan itu isyarat bahwa kejatuhannya ke bumi masih
besar kemungkinannya! Kedua tubuh yang berlawanan itu kini bergelantongari pada kuda Singasari yang tidak begitu besar
10 seperti kuda Tartar. Kedua orang bermusuhan itu tidak saling menyerang, tetapi kini saling mencari
keselamatan agar dirinya tidak jatuh, dan tubuh lawan dijadikan pijakan kekuatan! Karena
berpelukan begitu erat dan lupa pertahanan yang lain maka pedang dan saputangan Fang Fang
terlepas, ikat kepalanya, ikat kepala prajurit Tartar, terlepas dari tempatnya, dan terurailah rambut
Fang Fang yang menebal di pangkalnya, jadi awut-awutan.
Melihat kejadian itu, pasukan Singasari yang sudah melangkah maju keluar dari hutan hendak
menolong perwiranya, jadi terpekik heran! Penyerang Tartar itu bukan pemuda kecil yang
bersemangat menyala-nyala, tapi ternyata seorang perempuan! Perempuan Tartar! Dari teriakan
berwaspada dan siap menyerbu, pasukan Singasari jadi terpekik-pekik gembira dan merasa lucu!
"Perempuan, Tuanku! Musuh Tuanku seorang perempuan! Perempuan! Hoaha-ha-ha! Perempuan
cantik!" Dan karena senjata Fang Fang terlepas dari tangannya, jelaslah bahwa serangan
perempuan Tartar itu tidak berbahaya lagi! Apalagi posisinya berpeluk-pelukan saling mencari
keselamatan; tidak 65 saling menyerang, tanpa bantuan pasukan Pamoraga puri tentu bisa menguasai situasi
sepenuhnya! Maka mereka terus berteriak-teriak bergembira karena melihat tontonan yang
benar-benar menghiburi "Puteri Tartar, Tuanku! Eratkan saja pelukannya! Hoaha-ha-ha!"
Sebelum mendengar sorak-sorai pasukannya, ketika menangkap perut musuhnya sebagai upaya
menyelamatkan jiwanya sambil melakukan serangan terhadap lawan membabi buta, Pamoraga
terkejut ketika perut yang dipeluk itu berubah posisi menggelantong kepadanya. Muka Pamoraga
bergeser dari perut ke atas, tidak melewati dada berotot, tapi lunak dan ternyata payudara, tapi itu
hanya sejenak karena ketika dirinya sudah mulai tegak, ia dirangkul erat oleh tangan lawan dan
berikutnya hidungnya bertempelan dengan pipi kanak-kanak yang halus dan berbau haram! HebJ"
Dan terdengarlah teriakan-teriakan itu!
"Puteri Tartar, Tuanku! Perempuan Tartar yang cantik jelita lawan Tuanku!"
Pergulatan itu berlangsung cepat, sekali. Namun goresan di hati Pamoraga tidak berlangsung
begitu cepat hilang, bahkan kemudian goresan itu menjadi luka parah penuh nanah! Nanah
kenangan' Perut, payudara, lalu pipi yang lunak! Ah! Berulang kali peristiwa cepat itu diputar ulang
di batinnya! Nanah yang nikmat!
Fang Fang ketika mengetahui serangannya gagal dan keselamatannya kini berada di tangan lawan,
secepatnya berontak' Pelukannya jadi gelutan membanting dengan kekuatan, dan kakinya yang
tertumpang di pelana kuda lawan dijadikan andalan kekuatan untuk mencelakakan lawannya!
Didorongnya ke depan agar Pamoraga jatulj terkebabang.
Kuda Singasari yang tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu tersentak dan mengangkat kaki
depannya sambil meringik kuat-kuat! Karuan saja kedua orang yang bergelutan jadi beban di punggungnya itu
menggelondor jatuh lewat belakang kuda! Gedebug! Pamoraga di bawah dan punggungnya
terbanting pada tanah, sedangkan Fang Fang menindihnya!
"Horeee! Horee! Teras gelut saja, Tuanku! Tenis uleng saja!" seru para penonton.
11 "Hoaha-ha-ha! Hoaha-ha! Lihat, Fusen, Yong Pin! Betapa lucunya pertempuran kedua orang itu! Itu
pertempuran atau pergumulan"!" Mengki'i yang sempat menyaksikan peristiwa itu sejak semula jadi
ikut bersorak-sorak! : "Tuanku! Tuanku! Tapi Putri Fang Fang akan dibunuh oleh mereka! Akan ditawan oleh mereka!
Harus kita lepaskan, Tuanku!" ujar Yong Pin.
'Tolol, kamu! Apa tidak kamu lihat bahwa orang Singasari juga tidak sampai hati memperlakukan
perempuan sebagai lawan tanding mereka! Tidak! Mereka punya hati, mereka punya perasaan,
tidak mungkin membunuh atau menghukum Fang Fang! Kini aku malah sudah punya keyakinan,
bahwa Fang Fang akan selamat! Ia tidak lagi dalam keadaan incaran bahaya selama berada di
negeri ini! Mereka orang-orang ramah, dan Fang Fang, bagaimana pun dendam kesumatnya tidak
akan dipandang sebagai lawan yang harus dibunuh! Biarlah dia berbuat sekehendaknya di sini, aku
tidak peduli lagi! Ia sudah murtad dari perintahku, tetapi perintah itu kuberikan karena kekuatiranku
bahwa dia akan memperoleh bahaya besar kalau ikut mendarat di negeri ini. Sekarang aku yakin,
Fang Fang tidak apa-apa. Aku sudah dilukai, tapi aku kini tidak perlu lagi melindungi
67 dia karena ia sudah memilih perbuatannya sendiri dan ternyata tidak membahayakan dirinya! Lihat
saja akhir pertarungan itu! Kita tunggu penyelesaiannya! Meskipun Fang Fang jelas di pihak yang
kalah, ia tidak bakal mendapat hukuman berat yang menyengsarakan dirinya!"
68 keluarganya! Ya, untuk meraih senjata itu, Fang Fang harus bangkit, melepaskan diri dari
pergelutan dengan Pamoraga!
Fang Fang bangkit, melepaskan diri dari pergumulan. Dan secepatnya ia menubruk senjata ku
sebelum Pamoraga juga berusaha bangkit, dan bahkan lebih cepat bergerak daripada Fang Fang!
Mereka bersama-sama menubruk, tetapi tidak keroyokan! Sebab Pamoraga menubruk pedang
Fang Fang, sedang perempuan Tartar itu menubruk saputangan gambar naga! Saputangan itu
ternyata lebih penting daripada senjata perangnya!
Setelah saputangan itu terebut, Fang Fang segera mengacungkan saputangan itu ke udara!
Dikibar-kibarkan di depan Pamoraga. Sementara Pamoraga yang telah menguasai pedang, jadi
terheran-heran melihat kelakuan musuhnya! Tidak menyerang! Tidak memukul! Bahkan yang
direbut lebih dulu saputangan! Dan kini saputangan itu dikibarkan kepadanya" Apa maksudnya"
Tanda bahwa ia menyerah"
"Saudagar Tuban! Tanyakan, apa maksud perbuatan perempuan ini"!" n
Dengan segala daya upaya, saudagar Tuban itu beri tanya kepada Fang Fang, mengapa dia
berbuat seperti itu! Tapi Fang Fang tidak berkata apa-apa. Tidak bergerak. Tetap mengacungkan
saputangan hijau gambar naga!
"Hoa-ha-ha! Puteriku itu mencari keselamatan lewat khasiat saputangan itu! Ia percaya bahwa
dengan membawa dan memiliki saputangan itu, semuanya akan beresi Semuanya akan
berlangsung seperti apa yang diingininya! Karena itu saputangan itu paling berharga baginya, paling
Tiga Mutiara Mustika 4 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Petaka Kerajaan Air 2

Cari Blog Ini