Hardy Boys Terperangkap Di Laut Bagian 1
HARDY BOYS TERPERANGKAP DI LAUT Franklin W. Dixon Judul Asli TRAPPED AT SEA Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan Prodjosoegito Copyright 1982 oleh Stratemeyer Syndicate
" Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Inggris oleh Wanderer Books dari Simon &
Schuster Divisi dari Gulf & Western Corporation
Simon & Schuster Building
1230 Avenue of the Americas
New York, New York 10020 Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia
oleh PT. INDIRA, Jalan Sam Ratulangi 37
Anggota IKAPI Jakarta -1984 Cetakan 1: September 1984
Dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta
Djvu: BBSC ==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Daftar Isi 1. Muatan yang Mencurigakan
2. Lolos Dari Lubang Jarum
3. Pencarian di Waktu Malam
4. Dibajak 5. Uranium Curian 6. Persembunyian Komplotan
7. Terperangkap 8. Tangkap Keluarga Hardy
9. Terjun Bebas 10. Menyamar Sebagai Indian
11. Ancaman Bahaya Bom Atom
12. Devill's Point 13. Chet Menangkap Penjahat
14. Tertawan di Laut 15. Kekacauan di Dermaga 16. Pengejaran yang Menyeramkan
17. Seorang Tersangka Menghilang
18. Cerita yang Janggal 19. Kepala Perampok Bertopeng
20. Bukti Terakhir 1. Muatan yang Mencurigakan
Frank Hardy mengemudikan mobilnya di belakang truk merk Mack, melaju sepuluh
kilo di bawah batas kecepatan. Adiknya yang berumur tujuh belas, Joe, yang
berambut pirang dan setahun lebih muda, duduk di sebelahnya. Chet Morton, teman
mereka, duduk di belakang.
"Orang itu sedang pesiar," Joe menggerutu. "Mengapa tidak kau lewati saja,
Frank?" "Memang," kata Frank, lalu mempercepat mobilnya hendak mendahului dari sebelah
kiri. Tiba-tiba, tanpa memberi isyarat, sopir truk juga mengayun ke kiri dalam
usahanya mendahului sebuah traktor pertanian yang berjalan lambat.
"Awas!" seru Joe.
Tetapi Frank sudah terlalu maju. Ia sadar seketika, biar pun ia menginjak rem,
mereka masih akan menabrak truk. Sambil membunyikan klakson dan menginjak pedal
gas, ia bergerak ke kiri sejauh mungkin. Jalan sempit, tetapi ia hampir berhasil
mendahului truk ketika bumper truk tersebut menyangkut roda kanan belakang mobil
sport kuning Frank. "Ya, ampuuun!" seru Chet, kedua tangannya menutupi wajahnya.
Ketiga pemuda itu meluncur maju beberapa ratus meter, terhempas terlonjak-lonjak
sementara Frank berjuang keras untuk menguasai mobilnya. Akhirnya mereka
melambat, lalu berayun ke sebelah kanan.
"Kita belum mati 'kan?" tanya Chet setelah mobil berhenti.
"Tidak," kata Joe. "Tetapi sungguh ajaib kita tidak cedera."
Mereka turun dan melihat roda belakang yang peot. Truk raksasa itu berhenti di
belakang mereka dan sopirnya turun bersama keneknya, lalu mendatangi mereka.
Kedua orang itu kurus semampai berumur setengah baya. Yang seorang melambaikan
tangannya ke sopir traktor, yang juga berhenti karena khawatir.
"Maaf," sopir truk itu meminta maaf. "Aku tak melihat kalian hendak menyusul
dari belakang. Kalian tak apa-apa?"
"Kami tidak cedera," kata Frank. "Tetapi mobil kami berantakan, dan kami masih
tiga ratus kilo dari rumah."
"Perusahaan asuransi kami akan membereskan kerusakannya," kata sopir truk itu.
Ia mengulurkan SIM-nya dan Frank melihat bahwa nama sopir itu Jerry deToro.
"Ini Steve Burrows," kata Jerry sambil menunjuk keneknya.
Frank memperkenalkan diri serta kedua pemuda lainnya. Kemudian ia mencatat semua
informasi yang dibutuhkan untuk keperluan asuransi.
"Kami tak dapat lagi mengendarai mobil kami," kata Frank. "Dapatkah anda membawa
kami ke kota berikut?"
"Dengan senang hati," kata deToro. "Tetapi kalian harus duduk di kereta
gandengan. Tak ada tempat di depan."
"Tak mengapa." Gandengan itu dimuati-beberapa almari es, tetapi masih banyak ruang. Sebab hanya
tiga-perempat yang penuh muatan. Sebelum menutup dan mengunci pintu belakang,
Jerry menarik tuas membuka jendela di atap kereta gandengan, untuk memasukkan
cahaya dan udara. Hari itu hari yang panas di musim semi, dan sinar matahari menerobos masuk dari
lubang jendela di atap yang persegi itu.
Setelah truk mulai berjalan, Chet Morton yang gemuk itu meraba-raba perutnya.
"Seharusnya kita katakan kepada sopir agar mampir di Hamburger Heaven," katanya.
"Pengalaman ini sungguh membuat aku lapar."
"Engkau akan tetap selamat," kata Joe. "Hanya setengah jam sampai di kota
berikut." Sepuluh menit kemudian, rem angin mendesis dan truk besar itu berhenti.
"Singkirkan benda itu!" mereka mendengar deToro berteriak.
Kemudian terdengar suara yang kasar:
"Turun! Kalian berdua. Perlahan-lahan, kalian tak akan cedera."
Suara Jerry gemetar. "Jangan tembak, Pak. Kami akan ke luar."
Di belakang, Frank yang berambut hitam memegang lengan adiknya.
"Rupa-rupanya ada pembajakan!"
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Chet dengan cemas. "Mereka akan membuka
pintu belakang ini setiap saat."
Dengan mati-matian, ketiga pemuda itu mencari-cari tempat bersembunyi, namun
tidak berhasil. Almari almari es itu diatur rapat di bagian depan kereta
gandengan, diikat kuat hingga tak dapat digeser.
Joe melihat jendela tingkap di atas.
"Ke atas sana!" ia mendesis. "Cepat!"
Dengan naik ke atas almari es ia meraih tepi lubang, lalu menarik dirinya ke
atas. Kemudian ia berbaring pada perutnya dan tangannya diulurkan ke dalam, memberi
pegangan pada Frank. Akhirnya kedua pemuda itu berada di atap kereta gandengan,
bersama-sama menarik Chet ke atas. Namun lubang jendela itu tak cukup lebar bagi
tubuh pemuda itu yang gemuk. Ia 'macet' di perutnya!
Pada saat itu pula meeka mendengar kunci pintu belakang dibuka.
"Tarik lagi!" Chet berbisik sambil menen-dang-nendangkan kakinya.
Frank dan Joe memberanikan diri, mengambil risiko dapat dilihat oleh para
pembajak. Mereka berlutut, lalu menarik sekuat tenaga. Akhirnya Chet dapat lolos dari
lubang udara itu bagaikan gabus penutup botol. Dengan segera mereka bertiga
berbaring rapat di atap. Pintu belakang terbuka, dan mereka dapat melihat dua orang bertopeng seperti
pemain ski mengintip ke dalam. Keduanya memegang pistol. Yang seorang berkata
dengan nada gembira: "Wah, almari es! Paling sedikit bisa untung 10.000 dollar!" Kemudian ia
mengeraskan suaranya, berseru! "Bawa kedua badut itu ke sini."
Dua orang bertopeng lagi muncul, mendorong deToro dan Steve Burrows. Orang yang
bersuara kasar itu memerintahkan keduanya masuk ke dalam kereta gandengan.
DeToro dan Burrows nampak heran tak melihat ketiga pemuda, namun tak berkata
apa-apa. Dengan patuh mereka naik ke dalam. Pintu kembali ditutup dan dikunci.
Kedua sopir itu berjalan berkeliling, bahkan mengintip dari atas almari-almari
es. Chet hendak membuka mulut, tetapi Frank memberi isyarat agar diam. Frank
mengulurkan tangannya ke bawah melalui lubang di atap dan melambai-lambai ke
kedua orang. Ketika mereka mendongak, ia meletakkan telunjuknya di bibirnya.
Kedua orang itu mengangguk.
Mesin truk di depan mereka dihidupkan, dan mereka mulai bergerak. Ketiga pemuda
di atap bergeser untuk memandang ke depan. Sebuah truk gandengan yang lain, kali
ini truk merk Kenworth, berada kira-kira lima puluh meter di depan mereka. Truk
itu menggunakan beberapa nomor polisi, semuanya dilumuri lumpur.
Setelah berjalan sebentar, truk yang di depan membelok masuk ke jalan tanah.
Truk Mack mengikuti. Setengah kilo kemudian jalan itu berakhir pada suatu tempat
yang terbuka dan luas. Truk Kenworth memutar ke kiri dan berhenti, truk Mack
memutar ke kanan dan berhenti. Kemudian kedua truk itu mundur, hingga kedua
pintu belakang masing-masing hanya berjarak beberapa senti.
Ketiga pemuda melihat ke bawah, dan melihat dua orang bertopeng keluar dari
setiap truk. Pintu belakang kedua truk dibuka, dan di antara kedua bak truk
dipasang beberapa lembar papan, kemudian DeToro dan Burrows disuruh ke luar.
'Nah, pindahkan muatan itu ke dalam truk Kenworth!" orang yang bersuara kasar
itu memerintah. Tangannya tetap memegang pistol.
Kedua sopir itu mematuhinya tanpa berkata-kata. Ketika pekerjaan itu telah
selesai, mereka diperintahkan naik kembali ke gandengan truk Mack.
Tetapi pada saat mereka hendak naik, Chet bersin. Dengan segera ketiganya
menarik kepala mereka dari atas lubang, agar tak dilihat oleh para pembajak.
"Ada orang di dalam!" salah seorang yang bertopeng itu berseru.
Untunglah, dengan cepat Steve Burrows mengeluarkan saputangannya, lalu
menutupkannya di depan hidungnya. Ia berbangkis keras persis seperti Chet!
"Ah, ini apa orangnya," si suara kasar menggerutu. Ia menutup pintu dan
menguncinya. Begitu truk Kenworth pergi, ketiga pemuda itu merangkak ke depan, lalu turun
pada batang gandengan. Kemudian mereka melompat turun ke tanah. Frank membuka
kunci pintu untuk mengeluarkan kedua orang sopir.
"Wah, sungguh senang kalian dapat bersembunyi!" kata deToro dengan lega.
Chet merangkul pundak Steve Burrows.
"Terimakasih engkau telah bersin, Steve. Aku hampir saja menggagalkan semuanya."
"Engkau memang terpaksa," kata Steve menghibur. "Nah, sekarang aku akan
memanggil polisi dengan CB."
Ia masuk ke kabin truk, tetapi sesaat kemudian ia berteriak kecewa.
"Bangsat-bangsat itu membawa semua kunci!"
"Ah, tak bisa lagi menjalankan truk atau menghidupkan radio CB tanpa kunci
kontak," Jerry menggerutu. "Kukira kita harus berjalan kaki ke kota yang terdekat."
Ketika mereka sampai di kota tersebut, para pembajak telah pergi dua jam yang
lalu. Jerry DeToro menelepon polisi Negara Bagian yang berjanji akan mencari truk
Kenworth. Ia juga menelepon perusahaan Ortiz Trucking Company di Boston, untuk melaporkan
peristiwa pembajakan itu, dan minta dikirim kunci cadangan.
Frank menelepon perkumpulan penggemar mobil setempat, minta agar mobilnya
ditarik ke sebuah bengkel. Kemudian ia melaporkan kecelakaan itu kepada kantor
asuransi di Bayport. Ia juga minta agen asuransi itu untuk menghubungi keluarga
mereka dan keluarga Morton, mengabarkan kelambatan mereka. Kemudian mereka
mendaftarkan diri di sebuah hotel.
Setelah mobil mereka selesai diperbaiki, ketiga pemuda itu pulang. Pak Hardy
menjemput mereka di pintu depan. Sudah setengah baya dan jangkung, namun nampak
masih muda. Pak Hardy pernah bekerja pada Dinas Kepolisian Kota New York, tetapi
kini ia menjadi detektif swasta.
"Ibumu sudah khawatir," katanya sambil menyelidik dengan pandangannya, kalaukalau anak-anaknya mengalami cedera.
Bu Laura Hardy, seorang wanita ramping bermata biru cemerlang, turun cepat-cepat
di tangga. "Kalian ada yang cedera?" ia bertanya.
Adik pak Hardy, yaitu bibi Gertrude, bibi kedua pemuda itu, datang dari dapur.
Wanita yang jangkung lincah berambut hitam itu tak memberi kesempatan untuk
menjawab bagi mereka. "Ha, jadi kalian telah merusakkan mobil kalian," katanya. "Sudah kukatakan
kepada ayahmu, kalian seharusnya jangan main-main di desa. Siapa yang menyetir?"
"Frank," jawab Joe, "Yang salah si sopir itu. Tak ada yang cedera, dan mobil
juga sudah seperti baru lagi."
Mereka semua masuk ke kamar depan, di mana orang-orang tua itu mendengarkan
cerita kedua pemuda. Ketika Frank menceritakan peristiwa pembajakan dan
menyebutkan bahwa truk itu milik Ortiz Trucking Company, pak Hardy berseru:
"Satu lagi!" "Apa maksudmu, ayah?" tanya Frank.
"Aku akan pergi ke Washington besok. Untuk membantu pihak FBI menyidik
serentetan pembajakan dari perusahaan itu. Muatan yang dicuri seperti lenyap tak
berbekas, tanpa meninggalkan petunjuk."
"Mengapa pihak FBI mau melibatkan diri dalam perkara kriminal seperti ini?"
tanya Joe. "Perampokan bersenjata adalah masalah Polisi setempat."
"Rupa-rupanya perhatian mereka pada muatan khusus," kata pak Hardy. "Aku belum
tahu sebelum aku tiba di Washington. Sebab ini sangat rahasia. Kalian mau
membantu?" Jawaban ketiga pemuda itu sangat bergairah.
"Bagus. Nah, inilah yang harus kaulakukan.
Pergilah ke Boston besok, dan temuilah Cy Ortiz di Ortiz Trucking Company. Aku
akan mengatur dengan dia agar kalian diterima sebagai sopir pembantu. Tak
seorang pun kecuali dia yang tahu bahwa kalian penyelidik yang menyamar. Kalau
perlu, kalian dapat menghubungi aku di kantor FBI Washington. Kalau aku
membutuhkan kalian, aku akan menelepon CY."
"Kalau para pembajak itu menyerang trukku, mereka akan menghadapi kejutan," kata
Chet. "Aku baru saja belajar karate dari buku." Ia mengambil sikap dengan kedua tangan
diacungkan ke udara, lalu berteriak "Yaaaat!"
Joe mengedipkan mata kepada kakaknya, kemudian menggaetkan kakinya di belakang
pergelangan kaki Chet dan ditariknya. Dengan mendengus Chet jatuh terduduk di
lantai. "Engkau licik, tidak berteriak!" Chet mengeluh. "Bagaimana aku bisa tahu engkau
hendak menyerang kalau tidak berteriak?"
Joe tertawa. "Para pembajak itu juga tak akan berteriak, Chet. Kita sudah pernah menghadapi
mereka. Mereka bersungguh-sungguh!"
2. Lolos Dari Lubang Jarum
Bibi Gertrude mengundang Chet untuk ikut makan. Karena bibi Gertrude adalah ahli
masak yang terbaik di Bayport, si gemuk tidak perlu dipaksa lagi.
"Biarlah aku menelepon Lola dulu, agar dia menjemput aku nanti," katanya, lalu
pergi ke tempat telepon. "Mengapa tak kauajak dia sekalian?" bibi Gertrude menyarankan.
Chet mengangguk lalu memutar nomor teleponnya. Setelah sedikit berbicara dengan
adiknya, ia menutupi mulut telepon dan berkata: "Ia tak dapat datang. Callie
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang bertamu." "Callie juga baik sekali diundang," kata bibi Gertrude.
"Bagus," Kembali Chet berbicara di telepon, kemudian berkata: "Mereka akan
datang lima-belas menit lagi."
"Ha, bagus," kata Frank sambil tersenyum. Callie Shaw yang pirang bermata coklat
adalah pacarnya. Joe sering berkencan dengan adik Chet yang cantik lincah, Lola
Karena mereka sudah agak lama tak bertemu dengan kedua gadis tersebut, hal ini
merupakan pertemuan kembali yang mengasyikkan. Bahkan ramalan bibi Gertrude
bahwa ketiga pemuda itu akan menghadapi kesulitan, tak mengurangi kegembiraan
suasana. "Jangan khawatir, bibi Gertrude," kata Chet. "Aku akan memukul siapa saja yang
berani mengganggu Frank atau Joe dengan pukulan karate."
Iola tertawa cekikikan. "Apa yang lucu?" tanya kakaknya yang gemuk itu.
"Aku ingat papan yang hendak kaupecah-kan," kata Iola. Kepada yang lain-lain ia
menjelaskan: "Ia meletakkan sebilah papan di antara dua peti kayu. Ia berulang
kali memukulnya dengan tepi telapak tangannya. Setiap kali memukul, ia selalu
mengeluh 'aduh', lalu mengelus-elus tangannya. Akhirnya ia duduk di atas papan itu, dan
papan itu patah!" Joe tertawa kecil. "Lupakan saja karatemu kalau kita nanti menghadapi kesulitan, Chet. Duduki saja
orang yang hendak menyerang aku!"
Pak Hardy berkata: "Kalau kalian hendak bekerja sebagai sopir pembantu, kalian
memerlukan SIM khusus untuk kendaraan beroda delapan belas. Aku tahu, Frank dan
Joe dapat menguasainya. Tetapi bagaimana dengan engkau, Chet?"
"Aku dapat mengemudikan apa saja," kata Chet.
"Bukankah truk-truk raksasa itu mempunyai persneling yang lebih banyak dari
mobil biasa?" tanya Callie Shaw.
"Enam belas," jawab Chet dengan segera.
"Begitu banyak," tanya Bu Hardy. "Apakah tidak sulit untuk memindah persneling?"
"Tidak, kalau sudah tahu caranya," kata Chet. "Kalau menghadapi kesulitan untuk
memindah persneling pada jalan menurun yang terjal, lakukan saja kopling dua
kali. Aku sudah mengendarai bermacam-macam kendaraan pertanian. Aku tahu bahwa
aku dapat menguasai truk-truk gajah itu tanpa kesulitan."
"Baik," kata pak Hardy. "Aku akan mengatur SIM bagi kalian. Kalian dapat
mengambilnya di kantor urusan SIM besok pagi."
Esok harinya, setelah sarapan, Frank dan Joe mengantarkan ayahnya ke lapangan
terbang. Sebelum detektif itu berpamitan, ia memberikan sebuah kotak kecil pipih, kirakira sebesar setumpuk kartu (bridge) kepada Joe.
"Apa ini, ayah?" tanya Joe.
"Kotak detektif baru yang baru saja kususun," pak Drew menjelaskan. "Bacalah
instruksinya sambil jalan ke Boston."
"Terimakasih, ayah."
"Anak-anak ... hati-hati, ya?"
"Jangan khawatir, ayah, kami akan berhati-hati," kata Frank dan Joe. Kemudian
mereka menjemput Chet dan pergi ke kantor urusan SIM. Di sana mereka diuji
secara tertulis dan praktek di jalan sebagaimana mestinya.
Tak lama kemudian mereka telah berada dalam perjalanan ke Boston. Sementara
Frank mengemudi, Joe membaca keras-keras buku instruksi penggunaan kotak
detektif. "Ha, ini bagus," katanya. "Isinya seperangkat alat-alat mini: radio mini
penyadap, detektor elektronik, dan beberapa tablet yang mengeluarkan asap merah
bila digerus dan ditaburkan di tanah."
Frank tertawa. "Tablet asap telah pernah menyelamatkan kita, ingat?" Ia mengingatkan pada
peristiwa yang mereka alami dalam Misteri Sebuah Mumi.
Ortiz Trucking Company terdiri dari sebuah gudang besar di samping tempat parkir
yang memuat kurang lebih dua puluh truk gandengan. Mereka bertemu dengan Cy
Ortiz di sebuah kantor di sebelah panggung untuk pemuatan. Orangnya jangkung
kurus, hampir mirip Abe Lincoln tanpa janggut. Ketika mereka memperkenalkan
diri, ia menutup pintu kantornya untuk berbicara secara pribadi.
"Kalian mempunyai SIM untuk kendaraan besar?" ia bertanya.
Mereka menunjukkan kartu SIM mereka.
Setelah memeriksa kartu-kartu tersebut, ia berkata: "Kalian sebagai anak-anak
Hardy sudah sangat dikenal bila bekerja dengan namamu sendiri. Aku akan
mendaftarkan kalian sebagai Frank dan Joe Harrison.
"Aku juga sudah dikenal seperti mereka," kata Chet. "Aku sering sekali ikut
menangani perkara-perkara mereka."
Cy Ortiz memandanginya. "Aku belum pernah mendengar namamu."
Ketika nampak Chet tersinggung, Joe berkata: "Ia banyak disebut di koran-koran.
Lebih baik didaftar saja dengan nama Chet Martin. Eh,tunggu sebentar!" tiba-tiba
ia berseru. "Jerry deToro dan Steve Burrows sudah kenal siapa kami. Ini sulit sekali."
"Jangan khawatir tentang mereka. Mereka sedang bertugas jauh ke California,"
kata Ortiz. "Lalu apa yang harus kami lakukan, pak Ortiz?" tanya Frank.
"Mencari siapa yang mencuri truk-trukku! Truk yang kautumpangi pada waktu itu
yang kelima dibajak selama enam bulan terakhir ini. Kerugian seluruhnya sudah
hampir seperempat juta dolar. Pihak polisi menduga bahwa semua pembajakan itu
dilakukan oleh satu komplotan, sebab modus operandi-nya selalu sama. Empat orang
bertopeng dengan truk kosong menghadang di jalan, memaksa sopir sopirku dengan
todongan pistol masuk ke gandengan, lalu membawa kedua truk ke tempat yang sunyi
untuk memindahkan muatan.
Kemudian mereka menyekap sopir-sopirku di dalam gandengan dan pergi."
Joe mengangguk. "Nomor plat mereka juga selalu dilumuri lumpur."
"Betul." "Menurut pak Hardy," kata Chet, "barang-barang curian itu belum pernah ditemukan
di tukang-tukang tadah."
"Bagaimana hal itu menurut anda?"
"Kukira barang-barang itu diangkut lewat laut ke luar negeri. Itu berarti,
komplotan itu mempunyai kapal pengangkut."
"Pak Ortiz," kata Joe. "Ayah mengatakan bahwa pihak FBI sangat memperhatikan
salah satu muatan khusus yang telah dibajak. Apakah anda tahu muatan apa itu?"
"Aku tahu apa yang tercantum pada peti-petinya," kata pemimpin perusahaan itu.
"Yaitu muatan peti-peti yang bertanda 'sukucadang mesin bor' dari Perusahaan
Pertambangan Fargo kepada sebuah stasiun tenaga atom di Virginia."
Dari cara-cara mengungkapkannya, para pemuda itu mengetahui, Cy Ortiz tak
percaya bahwa muatan itu memang benar-benar suku cadang mesin bor.
"Dugaan anda apa sebenarnya isi peti-peti itu?" tanya Frank.
"Aku tak tahu," jawab Ortiz. "Tetapi aku tak percaya bahwa pihak FBI terlalu
memperhatikan sukucadang mesin bor."
Alis mata Chet terangkat naik.
"Karena dikirimkan ke stasiun tenaga atom, mungkinkah berisi bahan-bahan
nuklir?" "Aku sudah berpikir demikian," Ortiz mengaku. "Tetapi pihak FBI tak mau
mengatakannya. Bagaimana pun, komplotan itu tentu mempunyai orang dalam di
gudang ini. Sebab mereka rupa-rupanya mengetahui bila muatan yang berharga
sedang dikirimkan." Orang itu bangkit berdiri. "Mari ikut. Aku akan
memperkenalkan kalian kepada mandorku, Ox Manley. Ia yang akan menentukan
tugasmu." Mereka menemui mandor di gudang yang sedang mengawasi pemuatan balok-balok baja
ke atas kereta gandengan terbuka. Balok-balok itu diangkat dengan sebuah derek
yang dapat dipindah-pindahkan. Ujung kabel derek berbentuk cakar magnetik yang
memegang balok-balok itu demikian eratnya hingga tak diperlukan lagi sebuah
kait. Manley seorang raksasa seperti gorilla. Ketika ia melihat majikannya mendatangi,
ia memberi isyarat kepada operator derek untuk berhenti. Ortiz memperkenalkan
ketiga pemuda dan Manley mengangguk sambil tersenyum.
"Kuingin engkau memperkerjakan mereka sebagai sopir-sopir pembantu," kata Ortiz
kepada mandornya. "Kalian mempunyai SIM?" tanya Manley kepada para pemuda.
"Aku sudah memeriksanya," kata Ortiz cepat-cepat. "Semua beres."
"Anggota Serikat Buruh?"
"Bukan," jawab Ortiz. "Aku akan menjelaskannya kepada Serikat Buruh agar mereka
dapat menjadi anggota."
Ox mengangkat bahu. "Kita dapat menggunakan mereka pada konvoi tiga truk yang berangkat besok pagipagi." Ia memanggil seseorang yang berdiri di dekat mereka.
"Tolong awasi pemuatan, Sam, sementara aku mengajak ketiga pemuda ini
berkeliling." Cy Ortiz kembari ke kantornya. Orang yang bernama Sam memberi isyarat pada
operator derek untuk mengangkat sebuah balok. Ketika cakar magnet itu turun
untuk melekat pada balok baja, Ox memberi isyarat kepada para pemuda untuk
mengikuti. Joe berjalan di antara Frank dan Chet. Ia melirik ke atas ketika balok yang
berat itu berayun di atas kepala mereka. Tiba-tiba ia sadar, balok itu terlepas
dari cengkeraman magnet! Kedua tangannya berkelebat ke samping, mendorong Frank
dan Chet menjauh, seper sekian detik sebelum ia sendiri melompat bertiarap di
lantai. Gedubrak! Suara keras mengiringi balok baja itu menghantam lantai beton, tepat di mana
para pemuda tadi berdiri.
Ox Manley berputar membalikkan tubuhnya,
sementara ketiga pemuda bangkit berdiri dengan lutut gemetar.
"Tolol!" ia berteriak kepada orang yang ada di derek. "Turun!" , Operator derek
itu, seorang yang kurus berwajah seperti kapak, turun dari tempat duduknya.
"Aku tak pernah menyentuh tombol pelepas, Ox," ia membela diri. "Tentu ada
kortsleting, entah di mana!"
"Periksa, Sam," Ox memerintah. "Kalau sudah carilah operator derek yang lain,
yang mengerti benar." Kepada si kurus ia berkata: "Engkau dibebaskan dari derek
itu, dan kembali menjadi sopir, Ted."
"Aku menyesal, Ox," kata Ted.
"Jangan minta maaf kepadaku. Katakan kepada pemuda-pemuda ini bahwa engkau
hampir mencelakai mereka."
"Aku sungguh-sungguh menyesal, bung," operator derek yang sudah dipecat itu
menggumam serak. "Lupakanlah," kata Frank. "Tidak ada yang cedera."
"Ted Herkimer ini yang akan menjadi sopir dengan Joe besok pagi," kata Ox Manley
segera, lalu memperkenalkan para pemuda itu. Kemudian mereka ke luar ke tempat
parkir. Ia menunjukkan truk GMC yang akan dikemudikannya.
"Lebih hati-hatilah dengan truk daripada derek," Ox memperingatkan. Ted
mengangguk. "Aku akan segera memeriksanya, untuk memastikan agar dapat bekerja dengan baik,"
katanya lalu memanjat naik ke kabin.
Sementara itu, Manley memperkenalkan para pemuda itu kepada sopir-sopir yang
lain. Sopir yang akan bersama Frank adalah seorang Indian yang langsing berkulit
coklat bernama Dave Falcon. Ia mengemudikan truk Freightliner. Sopir Chet adalah
seorang bertubuh kecil tetapi gagah. Ia berbicara dengan lafal Cockney dan
bernama Avery Smithson. Truknya sebuah White.
"Masing-masing melaporkan diri pada jam delapan tiga puluh besok pagi," Manley
memerintah. Kemudian ia kembali ke gudang. Ketiga pemuda kembali ke mobil mereka
yang diparkir di pinggir jalan.
Ketika mereka mendekati pintu ke luar tempat parkir, mereka mendengar deru mesin
dari belakang. Mereka menoleh dan terpaku ketakutan.
Truk GMC yang dilepas dari gandengannya dengan Ted Herkimer di belakang kemudi,
menderu langsung ke arah mereka!
3. Pencarian Di Waktu Malam
Joe dan Chet melompat ke sisi, dan Frank ke sisi yang lain. Truk traktor itu
melesat di antara mereka, hampir saja menabrak. Rem-rem angin mendesis-desis,
kemudian kendaraan berat itu berhenti dengan mesin mati.
Ox Manley lari kembali dari gudang dan berteriak: "Ada apa dengan engkau,
Herkimer?" Si wajah kapak turun dari kabin.
"Pedal gas macet," ia berseru. Ia berdiri pada injakan di pintu dan meraih ke
dalam untuk melepaskan pedal gas itu dengan tangannya. Kemudian ia melangkah
mendekat dan berkata: "Rupanya kini sudah baik. Hihh, sungguh menakutkan!"
"Sekali lagi menyebabkan kecelakaan, engkau dipecat," kata Ox dengan panas.
"Sekarang kembalikan truk itu ke tempatnya."
"Jangan marah-marah," kata Ted kepadanya dengan nada marah pula. "Aku tidak
sengaja!" Ia kembali naik ke kabin, menghidupkan mesin dan memundurkan truk itu ke
gandengannya. Cy Ortiz keluar dari gudang untuk melihat apa yang terjadi. Setelah diceritakan
oleh Manley, ia mengernyit dan berkata: "Barangkali lebih baik kalau Herkimer
kaulepas saja." "Kalau semudah itu saja," kata Manley. "Tetapi anda tentu tahu, tentu ada
pertengkaran dengan serikat buruh. Kita tak dapat membuktikan kesalahan dia
selain kerusakan mesin yang menjadi penyebab masalah-masalah ini. Di samping
itu, ia adalah sopir yang baik.
Begitu ia membuat kesalahan yang dapat kubuktikan, aku akan memecatnya." Dengan
kata-kata itu mandor tersebut kembali masuk.
Cy Ortiz menghela napas lalu berkata kepada para pemuda: "Dalam hal ini ia
memang benar, tetapi aku menjadi curiga pada Herkimer. Aku melihatnya
berkeliaran di loteng nomor dua malam yang lalu."
"Ada apa di sana?" tanya Frank.
"Muatan yang harus dibawa Herkimer besok
adalah pesawat-pesawat TV mini dengan rancangan baru, disebut Spectrocolor.
Muatan yang sangat berharga."
Chet berkata: "Mungkin komplotan itu kali ini hendak mencuri muatan dari gudang,
bukan lagi dengan membajak."
"Itu masuk akal," kata Ortiz. "Lebih baik kutempatkan seorang penjaga di loteng
itu." "Anda tidak tahu pegawai mana yang dapat dipercaya," kata Joe berkeberatan.
"Bagaimana kalau kami saja yang tidur di sana malam ini?"
"Itu pikiran yang bagus," Ortiz membenarkan. "Aku akan menempatkan tiga velbed
di atas sana." Ia membawa mereka kembali ke dalam, menunjukkan lift yang menuju
ke loteng nomor dua. Kemudian ia memberikan kunci gedung.
"Aku yang selalu terakhir pulang," katanya. "Biasanya kututup sekitar jam enam
tiga puluh." "Apakah anda memerlukan kami datang sebelum itu!" tanya Frank.
"Tidak. Aku yakin bahwa komplotan itu tak akan melakukan kejahatan sebelum
malam, ka lau memang akan terjadi. Kalian makan malam dulu saja, kemudian kemari
kira-kira jam delapan."
Para pemuda itu pergi ke warung yang terdekat, kemudian kembali lagi setelah
berganti pakaian dan membawa alat-alat mandi dari kopor-kopor mereka. Mereka
membawa sebuah tas kecil yang dipercayakan kepada Chet untuk membawanya.
"Asal ingat saja, aku berhak mendapat persen untuk ini," kata Chet ketika Frank
membuka pintu gudang. "Wah, besar juga, mendapatkan rumah tinggal yang mentereng
ini." Dengan muka masam ia melihat lampu-lampu malam yang suram, yang dipasang
untuk menerangi ruangan tersebut.
Joe tertawa. "Memang ini bukan Hilton, tetapi paling tidak kita tak perlu naik tangga untuk
ke loteng. Itu liftnya. Ayo."
Segera pula mereka berada di loteng. Di sana tak ada lampu, tetapi mereka
membawa lampu senter. Tiga buah velbed dipasang di sebuah sudut.
Chet meletakkan tas di dekatnya, dan mereka mulai memeriksa sekeliling mereka.
Joe melihat tombol lampu di dinding yang menyalakan lampu di langit-langit. Hal
itu mempermudah tugas mereka.Ditumpuk di dekat lift barang adalah muatan TV mini
Spectrocolor, setiap dos berisi empat buah.
Frank melihat label dari karton yang terikat pada dos yang teratas. Pada sudut
label itu tertulis dengan huruf kecil-kecil: AI.
"Menurut perkiraanmu apa artinya ini?" tanya Frank kepada kedua temannya sambil
menunjuk ke huruf-huruf tersebut.
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Joe tak mengerti, tetapi Chet cepat-cepat berkata: "American Indians, Indian
Amerika." Frank dan Joe memandanginya.
"Dapatkah engkau menjelaskan itu?" tanya Frank.
"Aku hanya menafsirkan," kata Chet. "Aku tak bisa menjelaskan." Tiba-tiba lampu
mati. "A- a-da apa?" Chet berbisik.
Frank menyalakan senternya dan yang lain mengikuti.
"Aku tak tahu," kata Frank. "Kita diam saja, coba barangkali kita akan mendengar
sesuatu." Tetapi tak ada apa-apa yang bergerak di loteng. Setelah beberapa saat Chet
memindahkan berat tubuhnya ke kaki yang lain.
"Barangkali tuas pemutus arus turun," katanya. "Kulihat tempatnya di dekat lift
di lantai pertama. Aku akan turun dan memutarnya lagi."
"Satu bola lampu saja tak akan melebihi arus," kata Joe membantah, tetapi Chet
sudah pergi ke lift dan membuka pagar kayunya. Tiba-tiba cahaya senternya lenyap
dan Frank serta Joe mendengar jeritan ketakutan!
"Ia jatuh ke sumur lift!" teriak Joe.
Dengan nekad ia dan Frank berlari ke tempat lift dan mengarahkan senter mereka
ke bawah. Lift itu berada di lantai pertama dan senter Chet yang masih menyala tergolek di
atapnya, kira-kira sepuluh meter di bawah sana. Kira-kira dua meter di bawah
mereka, Chet berpegangan erat-erat pada salah satu kabelnya.
"Cepat!" ia berseru. "Aku tak tahan lebih lama lagi. Peganganku makin lemah!"
"Semenit lagi," kata Frank. "Kami segera datang menolong."
Joe sudah tertelungkup di lantai.
"Pegangi pergelangan kakiku," katanya kepada kakaknya. Frank memeganginya dengan
kuat. Untung kakinya sendiri mendapat tumpuan di lantai yang tidak rata.
Joe merayap maju hingga ia tergantung dengan kepala di bawah sebatas pinggang.
Jari-jarinya dapat menyentuh kepalan tangan Chet, tetapi tak sampai untuk
memegangi pergelangan tangannya.
"A- aku tak ta-han lagi!" kata Chet dengan serak.
"Kalau tak tahan, kedua kakimu akan patah!" kata Joe dengan tajam. "Frank, aku
perlu turun lagi sepuluh senti!"
Frank menjulur maju sebisa-bisanya. Pegangan kedua tangan Chet di kabel terlepas
begitu tangan Joe memegangi pergelangannya. Ia berayun bebas, seluruh tubuhnya
tertahan oleh Joe. "Tarik!" kata Joe kepada kakaknya.
Sambil bertumpu pada kedua kakinya, Frank menarik kaki Joe. Seketika itu pula ia
sadar, bahwa ia tak kuat melakukannya. Kalau Chet tak dapat menemukan pijakan
bagi kakinya, beban seberat itu akan terlalu berat baginya.
"Chet, tolong cari pijakan untuk kakimu!" kata Frank dengan parau.
Chet mengayunkan kakinya perlahan-lahan, jangan sampai Joe terlepas pegangannya.
Akhirnya kakinya menemukan sebuah lekuk di dinding sumur, dengan segera seluruh
berat tubuhnya ditumpukan pada kakinya.
"Aku dapat pijakan," katanya. "Kukira tentu ada susunan lekuk-lekuk ini untuk
tukang yang bekerja dalam sumur ini. Coba ... ha, ini dia lainnya."
Dengan Joe tetap memegangi tangannya, Chet memanjat ke atas. Setelah Frank dan
Joe menariknya ke tempat yang aman, ketiga pemuda itu tertiarap letih beberapa
saat. Kemudian mereka merayap bangun dengan lutut gemetar.
"Kukira aku sudah mati," kata Chet. "Trims, teman-teman."
Joe, yang masih merasakan sakit pada kaki-tangannya, mencoba melucu. "Kukira,
kami masih membutuhkan engkau, bung!"
Frank memijat tombol untuk menaikkan, dan lift itu naik perlahan-lahan. Ketika
atapnya sejajar dengan lantai, ia menyambar senter Chet. Lift terus naik hingga
lantainya sejajar dengan lantai loteng. Frank memberikan senter Chet kepadanya
dan ketiga pemuda itu mengarahkan sinar senter mereka ke dalam lift. Ternyata
kosong. "Bagaimana ia bisa naik-turun kalau listriknya mati?" tanya Chet.
"Dari aliran lain," kata Joe. "Tetapi siapa yang menurunkannya?"
"Mari kita periksa," kata Frank, dan ketiganya masuk ke lift.
Lampu malam masih menyala di lantai pertama tetapi tak seorang pun yang
kelihatan. Mereka memeriksa kantor Cy Ortiz, bengkel, ruang alat-alat, gudang, ruang
istirahat, tetapi tak nampak seorang pun.
"Coba kita lihat kotak pemutus arus," kata Frank. "Mungkin seseorang telah
mengutik-ngutiknya."
Ternyata salah satu tuasnya turun ke tanda off. Chet mengembalikannya ke
kedudukan on. "Kukira sekarang di loteng sudah menyala lagi."
"Barangkali penjahat itu sekarang ada di sana," bisik Joe. Dengan hati-hati ia
membuka pagar tempat lift.
"Hee!" serunya tertahan.
"Lift sudah naik ke atas lagi!"
Frank menekan tombol untuk menurunkannya. Ketiga pemuda itu dengan diam-diam
masuk dan naik ke atas. Loteng dalam keadaan gelap ketika mereka keluar dari lift. Mereka melangkah ke
tombol di dinding dan Joe menekannya. Heran, lampu tak menyala! Ia mengarahkan
sinar senternya ke bola lampu di atas. Ternyata telah pecah!
Pada saat itu pula Frank melihat bayangan sesosok tubuh yang kurus bergerak dari
balik tumpukan dos-dos IV mini, menuju ke arah lift.
"Itu dia!" seru Frank sambil mengarahkan sinar lampu senternya ke orang itu,
lalu lari mengejar. Joe dan Chet menyusul. Orang itu, terkejut oleh cahaya lampu senter Frank,
membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke balik dos-dos. Frank dan Joe mengejar,
sementara Chet mencoba mencegat di sisi lain.
Sesaat kemudian terdengar tabrakan dua tubuh, diikuti rintihan kesakitan. Frank
dan Joe berhenti dan memusatkan sinar senter mereka ke kedua orang yang
terguling di lantai. Ted Herkimer terbaring telentang di lantai, perutnya diduduki Chet!
"Turun engkau, gajah!" kata si wajah kapak tersengal-sengal. "Aku tak bisa
bernapas." Chet berdiri. Herkimer bangkit berdiri perlahan-lahan.
Joe tersenyum kepada temannya yang gemuk.
"Aku senang engkau mengikuti saranku. Itu jauh lebih bermanfaat dari pada
pukulan karate." Kemudian ia berpaling ke Herkimer. "Apa yang kaulakukan di
sini?" "Itulah pertanyaanku kepada kalian, bangsat," kata si kurus dengan marah.
"Bangsat?" kata Chet merasa terhina. "Pak Ortiz memerintahkan kami untuk menjaga
loteng ini. Hanya engkau yang tidak berhak di sini."
Sesaat kemudian Herkimer bertanya kepada Frank.
"Benarkah itu?"
"Memang benar," Frank memastikan. "Kami masih menunggu penjelasanmu!"
Orang kurus itu berkata: "Aku sedang lewat dengan mobilku dan melihat cahaya di
loteng. Kukira ada pencuri lalu datang untuk menyelidiki. Aku hendak turun untuk
memanggil polisi ketika kalian menyergap aku."
"Bagaimana engkau bisa masuk?" tanya Joe.
"Pintu gudang tidak terkunci."
Joe memandangi Frank yang nampak terkejut malu.
"Kukira aku lupa untuk menguncinya lagi," kata Frank.
Meskipun sebenarnya para pemuda itu tak mempercayai Ted Herkimer, namun tak ada
jalan untuk membuktikannya. Mereka mengantarkan dia kembali ke bawah dan ke luar
dari pintu. Kali ini Frank menguncinya dari dalam.
Mereka mendapatkan bola lampu baru dari gudang dan membawanya ke atas. Ketiga
pemuda itu bekerja keras menggeser peti berisi dos-dos TV ke tengah-tengah, dan
Joe memanjatnya untuk memasang bola lampu.
"Kukira tak akan ada apa-apa lagi malam ini," katanya sambil melompat turun.
"Mari kita tidur."
Tetapi, di tengah malam, jeritan tertahan membuat Frank dan Joe tersentak
bangun. Sambil menyambar senter di lantai dekat velbed-nya, mereka duduk dan memusatkan
cahaya senternya ke arah Chet. Pemuda gemuk itu telah menendang lepas
selimutnya, dan kedua tangannya bergerak-gerak kalang kabut. Joe membungkuk
untuk membangunkannya. Sambil berkedip-kedip menentang sinar senter, Chet menganggap bertanya: "A-ada
apa?" "Engkau mimpi buruk!" kata Joe.
"Waaahhh," Chet mengerang. "Aku sedang mengendarai mobil tuaku membawa muatan TV
ditumpuk di belakang dan bergoyang-goyang.Pada suatu saat tumpukan hendak runtuh
menimpa kepalaku!" Frank tertawa. "Yaaah, Joe. Lebih baik kita biarkan saja peti-peti itu jatuh. Barangkali Chet
tak perlu berteriak lagi."
"Trims, bung," Chet menggerutu. Tetapi akhirnya ia harus tertawa juga. "Maaf,
bung. Telah membangunkan kalian."
Mereka bangun pagi-pagi benar keesokan harinya. Mereka segera berpakaian dan
menuju ke lift. "Ada ruang istirahat di bawah sana. Kita dapat cuci muka dan menggosok gigi,"
kata Frank. Ketika mereka melewati tumpukan dos-dos TV, Joe mendadak berhenti,
"Tunggu sebentar," katanya penuh gairah. "Kalian lihat ini?"
"Apa?" tanya Chet sambil menahan mulutnya menguap.
"Label 'AI' telah hilang!"
4. Dibajak "Tentu Herkimer yang mengambilnya tadi malam!" kata Frank.
"Orang itu jelas-jelas menjadi tersangka," kata Joe. "Sayang sekali kita tak
dapat membuktikan apa-apa."
"Kita harus awasi dia dengan ketat," saran Frank. "Akhirnya, kita akan
memperoleh sesuatu dari dia."
Para pemuda itu pergi untuk sarapan. Ketika mereka kembali, gudang telah dibuka.
Ketiga truk yang akan berkonvoi sedang dimuati. Truk GMC Ted Herkimer mundur
menghadapi derek untuk memuat, dan beberapa pekerja sedang memuatkan peti-peti
berisi dos-dos TV Spectrocolor. Avery Smithson sedang memundurkan truk White-nya masuk ke dalam gudang. Kemudian
digandengkan dengan trailer terbuka yang hanya berisi balok-balok. Sementara itu
sopir Indian David Falcon sedang mengawasi orang-orang yang memuat karung-karung
besar berisi suratkabar pada truknya yang bermerk Freightliner di luar gudang.
"Kukira harus kita ceritakan peristiwa semalam kepada pak Ortiz," kata Joe
beberapa saat kemudian. "Betul," Frank menyetujui. "Mari kita lihat, apakah ia ada di kantornya."
Pemilik perusahaan angkutan itu ada di dalam ketika para pemuda itu masuk. Ia
memandangi mereka dengan heran ketika mendengar cerita itu.
"Aku tak tahu apa arti 'AI' itu," ia berkata. "Sekarang aku semakin khawatir
tentang Herkimer. Eh, sambil lalu, justru truknya yang harus kalian jaga dari
kemungkinan dibajak."
"Mengapa begitu?" tanya Chet.
"Balok-balok baja itu terlalu berat bagi para pembajak, dan koran tidak berharga
di mata mereka. Barangkali lebih baik Herkimer kupindahkan ke truk yang lain."
"Jangan. Biarlah seperti yang telah direncanakan," kata Joe. "Aku yang menjadi
sopir cadangan. Mungkin aku dapat mengungkapkannya kalau ia hendak berbuat yang
bukan-bukan." "Oke. Tetapi waspadalah. TV-TV itu justru barang yang paling disenangi para
pembajak!" Pada jam sembilan tiga puluh, truk-truk telah selesai dimuati dan siap untuk
berangkat. Avery Smithson berjalan paling depan dengan Chet sebagai pembantu sopir. Truk
Dave Falcon nomor dua, dengan Frank sebagai cadangan. Ted Herkimer bersama Joe
berjalan paling belakang dengan truk GMC mereka.
Ketika mereka beriringan keluar, Avery Smithson berkata kepada Chet: "Engkau
sudah mempunyai pengalaman dengan kendaraan besar begini, anak muda?"
"Aku mengendarai apa saja di jalan," Chet membual.
"Senang aku mendengarnya, dengan muatan seperti yang kita bawa ini. Kita membawa
barang jauh lebih berat daripada kedua truk lainnya. Sebuah jalan menurun dapat
mengakhiri perjalanan kita!"
"Tak usah khawatir kalau aku yang menyetir," Chet meyakinkan.
Frank sudah menjadi akrab dengan Dave Falcon. Pemuda Indian itu berkata
kepadanya,bahwa ia seorang Indian Iroguois totok, dan dibesarkan di daerah
penampungan orang Indian.
Frank berkata: "Tadi malam aku melihat sehelai label muatan dengan huruf-huruf
'AI'. Engkau mungkin tahu apa artinya?"
"Belum pernah kudengar," jawab pemuda Indian itu sambil mengangkat bahu.
Di truk White di belakang, Joe sedang menanyai Herkimer hal yang sama. Ted
Herkimer berkata, tak mengerti apa yang dimaksud oleh Joe.
"Label itu diikat dengan kawat pada salah satu peti Spectrocolor," kata Joe.
"Setelah engkau pergi, label itu sudah hilang. Kami mengira engkau yang
mengambilnya." "Ah, aku tidak mengambilnya," kata si muka kapak. "Untuk apa sebuah label begitu
bagiku?" Lalu lintas yang memotong perjalanan mereka, membuat mereka terpisah, tetapi
mereka sudah bersepakat sebelumnya, bahwa mereka akan berkumpul untuk makan.
Tempat berkumpul itu bernama Barr's Truck Stop, terletak di pertengahan jalan
antara Boston dan Washington. Waktu sudah menunjukkan jam satu tiga puluh ketika
mereka berhenti di sana. Mereka duduk di warung mengelilingi sebuah meja besar. Mereka bercakap-cakap
dengan akrab, dan selama waktu itu Ted Herkimer berusaha meyakinkan para pemuda,
bahwa ia tidak bermaksud jahat. Kejadian-kejadian sebelumnya hanyalah kecelakaan
biasa. Selesai makan, mereka ke luar lagi. Sekarang sopir-sopir cadangan yang
mengemudi. Joe menunggu kedua truk itu berangkat, lalu menyusul.
Lalu-lintas semakin padat dibandingkan pagi tadi, dan ketiganya segera terpisah.
Kedua truk di depan sudah jauh tak nampak lagi ketika Joe berkata: "Setidaktidaknya, dengan lalu-lintas sepadat ini kita tak akan di bajak."
Ia tak siap menerima jawaban Herkimer yang tajam: "Itu pendapatmu!"
Sesuatu di dalam suara orang itu membuat punggung Joe merinding.
"Apa maksudmu?" ia bertanya.
"Setengah kilo lagi ada jalan tanah. Beloklah ke kanan masuk ke jalan itu."
"Untuk apa aku harus setolol itu?" Joe menantang sambil memandangi Herkimer.
"Agar engkau tidak celaka," jawab Herkimer dengan datar. Tangannya mengeluarkan
sepucuk pistol. "Haaa, jadi engkaulah orang dalam itu," Joe membentak. "Mengapa engkau membuka
rahasiamu sendiri?" "Sebab kami tahu siapa sebenarnya kalian bertiga, Joe Hardy. Aku sudah pernah
melihat gambarmu di koran-koran," Herkimer mengejek. "Kami tahu bahwa ayahmu
sedang mengejar kami, jadi kami akan berhenti sesudah ini. Ayo, jalannya sudah
ada di depan." Joe melambatkan truknya dan memindahkan persneling. Dengan diam-diam ia merogoh
ke sakunya, mengeluarkan tablet-tablet asap dari dalam kotak detektifnya. Ketika
ia membelok, sambil lalu jari-jarinya meremas tablet dan disebarkannya dari
jendela. Seperempat kilo setelah memasuki jalan tanah, mereka tiba pada sebuah rumah
peternakan yang telah ditinggalkan. Jendela-jendelanya sudah pecah. Di sebelah
sisinya diparkir truk gandengan Kenworth yang pernah digunakan untuk melakukan
pembajakan. Herimer menyuruh Joe memundurkan truk GMC mereka, memutar sehingga
pintu belakangnya cukup dekat dengan pintu belakang truk pembajak.
Empat orang berkedok pemain ski turun dari Kenworth. Joe mengenali suara kasar
dari pimpinannya, ketika mereka membajak Jerry DeToro. Sekali lagi mereka
memasang papan-papan di antara kedua lantai gandengan, dan muatan dipindahkan.
Ketika mereka sedang memindahkan peti terakhir, sehelai kartu jatuh dari saku
Herkimer. Joe membungkuk untuk memungutnya, lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
Herkimer tak menyadarinya. Sebaliknya, ia menggiring Joe masuk ke dalam
gandengan. "Bermimpilah yang indah, Joe Hardy," ia mengejek. "Jangan lupa kirimkan salam
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami kepada ayahmu, kalau engkau masih hidup ketika mereka menemukanmu!"
Dengan kata-kata itu ia mengunci pintu belakang. Joe merasa bagian depan
dilepaskan, kemudian truknya pergi mengikuti truk Kenworth. Rupa-rupanya truk
itu terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Di dalam gandengan itu sangat gelap, tetapi Joe meraba-raba mencari jendela
atap. Ia membukanya. Lubang jendela itu segera memasukkan cahaya matahari dan
udara. Tetapi karena tak ada sesuatu benda pun yang dapat dipanjat, ia tak mampu
keluar dari lubang tersebut.
"Kuharap saja ada yang melihat asap merah itu," pikir Joe. Kemudian ia
mengeluarkan kartu yang terjatuh dari saku Herkimer. Itulah label yang bertanda
'AI'! Sementara itu, kedua truk yang ada di depan telah sampai pada jalan yang
menanjak panjang. Setelah mobil-mobil yang lebih cepat melewati truk White yang
dikemudikan oleh Chet, Frank berhasil menyusul hingga truk Freightlinernya
berada tepat di belakang Chet. Setelah melewati puncak yang tertinggi, mereka
mulai menuruni jalanan yang terjal. Kecepatan mereka segera bertambah.
"Di bawah sana ada tikungan," Avery Smith-son memperingatkan Chet. "Di balik
pagar di sebelah kanan itu ada jurang sedalam lima belas meter. Sebaiknya segera
ganti persneling." Jauh di bawah, mungkin satu setengah kilometer di depan, Chet dapat melihat
tikungan yang tajam tersebut, la mulai memindahkan persneling ke gigi netral.
Tetapi tiba-tiba persneling itu macet! Ia memberi gas untuk mempercepat putaran
mesin, namun ia tetap gagal pula memasukkan persneling ke gigi yang lebih
rendah. Ketika ia hendak mengembalikan ke gigi yang semula juga tak berhasil.
Truk itu macet pada gigi netral, dan kecepatan semakin meningkat setiap saat.
Keringat dingin bertetes-tetes di dahi si gemuk. Ia menghadapi kesulitan besar!
"Bak persneling yang gila ini membuat ulah lagi," kata Avery. "Engkau harus
mengandalkan rem saja, bung!"
Ketika Chet menekan pedal rem, langsung saja 'amblas' sampai ke lantai.
"Remnya juga blong!" ia berseru.
"Apa?" seru Avery. "Tidak mungkin. Coba lagi!"
Kecepatan dengan cepat bertambah. Spido-meter menunjukkan tujuh puluh, delapan
puluh, lalu seratus kilo lebih ... Chet dengan mati-matian memompa rem, namun
tak ada tekanan udara sama sekali. Ia membunyikan klaksonnya kepada kendaraankendaraan yang berjalan lebih lambat. Sopir-sopir yang terkejut melihat ke kaca
spion mereka, lalu membanting setir sampai ke pinggir jalan, menghindar agar
jangan sampai tertabrak dari belakang.
Truk raksasa White itu meluncur lewat dengan cepat.
"Kita harus melompat turun!" teriak Chet.
"Pada kecepatan ini kita akan mati," Avery balas berteriak. "Kita harus berjalan
terus sampai tenaga kecepatan habis sendiri."
"Tak mungkin kita melewati tikungan itu," kata Chet dengan gemetar. "Apa yang
harus kita lakukan, Avery?"
"Usulku, kita berdoa saja," kata orang Inggris bertubuh kecil itu. Ia segera
memejamkan mata. Di belakang, Frank menyadari apa yang terjadi pada Chet. Ia memasukkan
persneling ke gigi yang lebih tinggi. Jarak antara kedua truk, semula sudah
hampir menjadi seratus meter. Tetapi ketika Frank mulai tancap gas, jarak mulai
semakin pendek. Dua puluh meter di belakang truk White yang melesat cepat, Frank
membunyikan klaksonnya, memperingatkan kendaraan-kendaraan yang datang dari
depan bahwa ia akan mengambil jalan ke kiri dan melewati truk White. Lalu-lintas
yang sedang jalan mendaki dengan segera meminggir ke tepi.
Kini truk White sudah melaju dengan kecepatan seratus dua puluh. Truk
Freightliner merayap mendekat dengan kecepatan seratus empat puluh. Ketika
gandengan bagian belakang telah bebas, Frank berayun ke tengah, tepat di depan
truk yang tak terkendalikan. Ia menurunkan kecepatan, hingga sama dengan
kecepatan truk White. Namun truk White tetap saja semakin cepat. Jarak antara
bumper White dengan gandengan Freightliner semakin dekat, hingga akhirnya saling
menyentuh. Setelah Frank merasakan dorongan dari belakang, ia memasukkan persneling yang
lebih rendah. Namun untuk memperlambat truknya sendiri sambil menahan dorongan
truk White, nampaknya tak akan mungkin mengambil tikungan.
Frank secepat-cepatnya berganti gigi yang lebih rendah bertubi-tubi, kalau perlu
dengan injakan kopling dua kali. Sedikit demi sedikit ia imbangi dengan
menginjak rem angin. Ia berhasil mengoper persneling sampai sepuluh gigi lebih rendah, dan dengan
pedal rem hampir menyentuh lantai, mereka mendekati tikungan pada jarak lima
puluh meter. Dave Falcon berkata: "Kami tak mungkin berhasil melewatinya," lalu bertumpu pada
dashboard. Frank merasa butiran-butiran keringat ber-tetes-tetes, meluncur masuk ke mata,
hingga hampir membutakan pandangannya. Meskipun seandainya ia dapat tetap hidup
ketika menabrak, namun tak mungkin dapat mempertahankan diri terhadap beban
benturan balok-balok baja yang tentu akan menimpa mereka!
5. Uranium Curian Sepanjang jalan menurun, Chet terus berjuang dengan tongkat persnelingnya. Kini,
setelah kecepatan berkurang, ia paksakan masuk ke gigi rendah. Seketika itu pula
terasa tenaga mengerem. Kini truk White dapat memperlambat diri, cukup untuk
Freightliner sedikit mendahului. Terlepas dari dorongan beban di belakang, Frank
dapat mengerem secukupnya untuk mengambil tikungan dengan baik tanpa terguling.
Kedua truk semakin lambat, minggir ke pinggir jalan, lalu berhenti.
Frank dan Dave Falcon turun, keduanya masih gemetar.
"Cara mengemudi yang luar biasa," kata pemuda Indian itu kepada Frank. "Aku
sendiri tak pasti, apakah dapat melakukannya."
Frank tertawa kecil ketika keduanya datang mendekati truk yang lain. Chet dan
Avery baru saja turun dari truknya.
"Ya ampuuuun," kata Chet sambil menyeka dahinya. "Jauh lebih menegangkan dari
pada naik Jet coaster di Disneyland!" Tetapi tangannya yang gemetar memungkiri
lagaknya hendak melucu. "Mengapa trukmu itu?" tanya Frank.
"Gigi persneling macet dan remnya blong," jawab Avery. "Terima kasih atas
pertolonganmu, bung. Aku sudah memanjatkan doaku yang terakhir."
Dave Falcon berlutut di samping truk, memeriksa tangki kompresi angin. Setelah
beberapa saat ia berdiri lagi, lalu berkata: "Ini bukan kecelakaan, sebuah katup
udara telah dikendorkan!"
"Aku yakin, ini pasti Ted Herkimer!" Chet berbisik kepada Frank.
"Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya nanti, kalau ia dan Joe sudah
datang," kata Frak dengan geram. Dave Falcon yang juga seorang ahli teknik, mengatakan bahwa ia sanggup
memperbaiki sistem rem angin. Tetapi ia memerlukan paling tidak dua jam. Chet
bersedia menjadi pembantunya.
Setelah lewat setengah jam tanpa munculnya truk yang ketiga, Frank mulai
gelisah. Ia memutuskan untuk kembali, mencari truk GMC. Ia bersama Avery
melepaskan truk dari gandengannya, hingga akan meringankan perjalanan.
Frank kembali beberapa kilometer tanpa melihat truk GMC. Kemudian ia melihat
kepulan asap merah, melingkar-lingkar dari sebuah parit di sebelah kiri jalan.
Ia melihat jalan tanah lalu membelok ke kiri dan memasukinya.
"Engkau mau apa?" tanya Avery.
"Adikku memberi petunjuk bagiku. Sangat mungkin sekali bahwa mereka telah
memasuki jalan ini. Bersabarlah sedikit, Avery. Aku harus menyelidikinya."
Setengah kilometer dari jalan besar, mereka mendapatkan kereta gandengan dari
truk GMC itu diparkir di sebelah rumah pertanian yang telah kosong.
"Lho, setan alas!" seru Avery. "Apakah ini bukan dibajak"'
"Aku yakin memang dibajak. Dan aku juga mendapat firasat siapa yang
melakukannya." "Siapa?" "Bekas temanmu, Ted Herkimer."
Sementara Avery memandangi Frank dengan terkejut dan heran, Frank menuju ke
belakang gandengan dan membuka kunci pintunya.
"Hallo," seru Joe. "Sungguh senang melihat engkau!"
"Aku melihat isyarat asapmu," kata Frank sambil tersenyum kecil. "Aku lalu
menduga apa yang telah terjadi. Tetapi, ayo, kembali ke truk, dan ceritakanlah
sambil berjalan." "Daripada melalui jalan besar, lebih baik jalanlah ke kota yang terdekat," Joe
menyarankan. "Dengan demikian kita dapat mampir di kantor polisi."
Avery terkejut mendengar cerita Joe, sementara Frank hanya mengangguk-angguk.
"Itu cocok," katanya.
Mereka menuju ke kantor polisi. Sersan jaga mencatat ciri-ciri truk Kenworth dan
truk GMC, lalu menyiarkannya melalui radio. Demikian pula ciri-ciri Herkimer.
Namun jelas bagi Frank dan Joe, bahwa ia tak terlalu berharap dapat menangkap
para penjahat. "Mereka sudah beberapa jam di muka," katanya. "Lagi pula ada ratusan truk yang
demikian di jalan-jalan."
Frank hanya mengangguk. "Bolehkah aku menelepon perusahaanku di Boston?"
"Tentu, silakan."
Cy Ortiz tidak ada di tempat, maka ia berbicara dengan Ox Manley. Mandor itu
kedengaran marah sekali mendengar kejahatan Herkimer.
"Seharusnya aku sudah memecatnya, seperti yang dikatakan pak Ortiz," ia
berteriak marah. Tetapi setidak-tidaknya kita tahu, siapa yang ada di belakang
ini semua. Aku yakin, sekarang kita tak akan mengalami kesulitan lagi."
Selesai percakapan dengan mandor, Frank memutuskan untuk melaporkan peristiwa
pembajakan itu kepada ayahnya. Pak Hardy mengatakan, bahwa ia ingin bertemu
dengan kedua anaknya begitu tiba di Washington.
"Baik, ayah," kata Frank. "Tetapi karena kelambatan untuk memperbaiki rem,
kukira kami akan tiba di sana besok pagi. Kuperkirakan, kami harus beristirahat
di suatu tempat." "Oke," kata pak Hardy. "Kalau kalian sampai di sini, pergilah ke Glasgow Hotel.
Aku ada di kamar dua puluh enam."
Mereka kembali ke tempat truk White dan gandengan dari Freightliner.
Ternyata Dave Falcon harus bekerja lebih lama dari dugaan semula, untuk
memperbaiki rem itu. Mereka baru siap untuk berangkat pada jam enam sore. Karena
gudang Ortiz di Washington tentu sudah tutup lama sebelum mereka sampai, mereka
memutuskan untuk menginap di suatu tempat yang bernama 'Orville's Trucking
Oasis, kira-kira lima puluh kilometer sebelum Washington.
Tempat itu sudah penuh. Tempat parkir yang dapat memuat dua puluh lima truk
gandengan, hampir tak cukup untuk memasukkan kendaraan-kendaraan mereka. Mereka
hanya kebagian dua buah kamar, keduanya di lantai kedua, dan keduanya berisi dua
tempat tidur. "Nampaknya seperti ada yang tak dapat tidur malam ini," kata Chet. Ia nampak
khawatir. Joe tersenyum. "Engkau mau bersukarela?"
"Ah, aku masih merasa sedikit sakit karena jatuh di sumur lift," kata Chet.
"Baik, teman. Engkau boleh tidur di tempat tidur," kata Joe. "Di Freightliner
kebetulan ada karung tidur di belakang tempat duduk. Memang tidak luas, tetapi
cukup bagiku." Setelah makan malam, Joe keluar dan naik ke truk. Ia melepaskan sepatu dan
jaketnya, tetapi tetap memakai pakaiannya ketika menyeruak ke dalam ruang sempit
di belakang tempat duduk.
Di tengah malam, ia terbangun mendengar suara logam beradu logam, tepat di bawah
tempat ia tidur. Ia segera bangun dan duduk, berpikir-pikir apakah telah
bermimpi. Tetapi suara itu terdengar lagi.
"Ada sesuatu yang janggal," pikir Joe sambil ke luar dari karung tidurnya. Ia
membuka sedikit pintu kabin truknya dan menjenguk keluar. Suatu bayangan sedang
berlutut di tanah, dengan sebuah kunci-mengutik ngutik tangkai udara rem angin!
Joe mendorong pintu lebar-lebar, bermaksud melompati si penjahat, tetapi engsel
pintu yang kurang minyak berderit. Orang itu mendongak. Malam amat gelap hingga
wajah orang itu hanya nampak samar-samar putih. Sambil menyumpah orang itu
melompat dan lari. Joe melompat turun dan mengejar. Namun ia tak bersepatu, dan kerikil di tempat
parkir itu menyakiti kakinya. Ia terpaksa memperlambat larinya, dan melihat
orang itu menghilang dari pintu barak.
Orang itu sudah lari di tangga ketika Joe masuk ke dalam, lalu bergegas lari
mengejar. Di lobby yang hanya diterangi lampu kecil tak nampak seorang pun.
Di lantai dua, orang itu membuka pintu kamar Chet dan Frank, yaitu kamar yang
paling dekat dengan tangga. Kamar itu gelap, tetapi Joe masih dapat melihat
bahwa pelarian itu sedang memanjat jendela hendak keluar.
"A-a-ada apa?" tanya Frank masih menggan-tuk.
Joe tak punya waktu untuk menjawab. Ketika ia tiba di jendela, orang itu sudah
memanjat di tangga kebakaran. Ketika pemuda itu meletakkan kedua tangannya di
ambang jendela untuk melompat, orang itu melemparnya dengan kunci. Kilatan logam
memperingatkan Joe, dan ia menarik kedua tangannya, tepat ketika kunci yang
berat itu menghantam ambang jendela.
Orang itu memutar, lalu meluncur turun dari tangga kebakaran. Joe melompat ke
luar dari jendela, tetapi lantai jeruji itu terlalu keras bagi kakinya yang
telanjang. Ia dengan kecewa melihat penjahat itu melompat turun ke tanah, lari
ke mobilnya dan pergi. Frank turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu, tepat pada saat Joe merayap
masuk dari jendela. Chet masih tetap mendengkur lembut.
"Ada apa?" tanya Frank.
"Aku tak melihat wajahnya, tetapi kukira Ted Herkimer," kata Joe. "Ia mencoba
melakukan sabotase pada tangki udara Freightliner."
"Ya ampun! Kita ceritakan saja kepada Dave dan Avery!"
Kedua sopir itu sangat marah ketika mendengar apa yang telah terjadi, dan orang
Inggris yang bertubuh kecil itu memutuskan selanjutnya ia hendak tidur di
truknya. "Aku akan kembali ke truk Freightliner," kata Joe. Dengan demikian kita
terlindung." "Itu pikiran yang bagus," Frank menyetujui.
Ia kembali ke kamarnya, di mana Chet tetap tidur selama peristiwa tersebut.
Pagi-pagi esoknya, Dave Falcon memeriksa sistem rem kedua truk, ternyata dalam
keadaan baik. "Kukira penjahat itu tak cukup waktu untuk merusak," katanya.
Kedua truk itu tiba di gudang Ortiz Trucking Company kira-kira jam sebelas
siang. Mengingat kata-kata Ted Herkimer, bahwa pembajakan TV itu adalah yang terakhir
yang direncanakan komplotan tersebut, para pemuda itu, setelah berbicara dengan
Cy Ortiz melalui telepon, minta berhenti sebagai pembantu sopir. Kemudian mereka
naik taksi menuju ke Glasgow Hotel.
Pak Hardy membukakan pintu kamar dua puluh enam. Ada seorang lagi yang bersama
dia. "Inilah agen FBI Stewart Zegas," kata detektif itu setelah memperkenalkannya
kepada para pemuda. "Kami ingin sekali mendengar laporanmu," kata pak Zegas. "Kita minta saja agar
makan siang dikirimkan ke kamar, kemudian kalian melaporkan apa yang telah
terjadi." Sambil makan roti ham, para pemuda menceritakan pengalaman mereka. Setelah
selesai, pak Hardy berkata: "Kalian telah menghadapi pengalaman yang berat. Aku
gembira bahwa kalian tak ada yang cedera. Kini sudah tiba saatnya kami
memberitahu kalian. Stew, dapatkah engkau memberikan penjelasan kepada mereka?"
"Oke," kata agen FBI itu. "Anak-anak, muatan yang ditulis sebagai alat-alat bor
yang telah dibajak itu sebenarnya uranium. Jumlahnya cukup bagi seseorang yang
tahu teknologi membuat bom atom untuk membangun beberapa buah bom. Kami belum
mengetahui siapa orangnya itu."
Frank berkata: "Kalau kita dapat melacak Ted Herkimer, aku yakin kita dapat
mengetahuinya." Suara gesekan pada jendela di sebelah pintu menghentikan percakapan mereka.
Melalui gorden yang tertutup nampak sebuah bayangan kepala orang.
"Ada orang yang mencuri-dengar," bisik pak Hardy. Kemudian dengan keras ia
berkata: "Nah, kukira cukuplah untuk siang ini." Ia lalu secara sembarangan berkata
tentang sarapan esok paginya.
Sementara itu, Joe telah berdiri dan menuju ke pintu. Ia membukanya sedikit dan
Frank serta Chet mengintip ke luar dari atas pundaknya.
Sekarang tak nampak seorang pun, tetapi sesosok tubuh yang sudah mereka kenal
sedang berlari-lari ke jalan besar.
"Ted Herkimer!" bisik Joe. "Ia telah mengikuti kita kemari!"
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
6. Persembunyian Komplotan
Herkimer melompat ke sebuah mobil Ford dan segera melarikan diri. Seketika itu
pula ketiga pemuda itu lari ke luar ke jalan.
Sebuah taksi yang kosong kebetulan lewat. Ketika Chet bersuit dengan dua jari di
mulutnya, taksi itu memutar kembali. Ketiga pemuda melompat duduk di belakang.
"Ikuti Ford hijau itu," perintah Frank sambil menunjuk.
Herkimer rupanya tak sadar bahwa sedang dibayangi, sebab ia tak berusaha untuk
melenyapkan diri. Ia menuju ke timur pada Route 50 ke Route 2, lalu ke utara di
sepanjang Teluk Chesa-peake. Setelah beberapa saat ia membelok ke timur lagi,
masuk ke jalan tanah. Ketika taksi memasuki jalan tanah, para pemuda itu melihat Ford hijau itu
diparkir di sebelah dua mobil di sisi kanan sebuah rumah di tepi air. Mereka
segera meminta sopir untuk menghentikan mobil. Truk gandengan Kenworth milik
para pembajak serta truk penarik GMC terdapat di sisi lain rumah tersebut.
"Kita tepat memasuki gua singa!" kata Joe setengah berbisik.
Sementara Frank membayar sopir taksi, Chet bertanya dengan cemas: "Apakah dia
tidak kita suruh menunggu" Bagaimana kalau kita harus melarikan diri?"
"Aku melihat sebuah telepon umum di pinggir jalan, kira-kira tiga kilo yang
lewat," kata Joe. "Kita dapat memesan taksi dari sana."
"Berlari tiga kilo?" tanya Chet ketakutan.
"Pelatih rugby kita tentu akan mengatakan, hal itu baik bagi kita," sahut Joe.
Setelah taksi itu pergi, para pemuda itu berjalan dengan hati-hati di sepanjang
jalan tanah menuju ke rumah. Tiba-tiba pintu terbuka, dan Ted Herkimer ke luar.
Untunglah, ia berbicara sambil menoleh kepada seseorang, hingga tak melihat para
pemuda tersebut. "Tiarap!" desis Joe sambil menjatuhkan diri.
Mereka melihat ketika si muka kapak itu menuju ke mobilnya, mengambil sebuah tas
dari bagasi, lalu masuk ke rumah kembali.
"Nampaknya ia pindah kemari," bisik Frank. "Kukira kini sudah aman."
Mereka berdiri, lalu dengan waspada mendekati rumah kecil tersebut. Di tepian
terdapat sebuah dermaga dengan tiga buah perahu motor yang ditambat. Kira-kira
lima puluh meter ke sebelah kiri terdapat sebuah rumah lagi dengan dermaga pula.
Sebuah perahu terbuka berukuran 4 meter bermesin tempel ditambat di sana.
Semua serba hening. Para pemuda menuju ke jendela depan, namun ternyata gordengordennya diturunkan. Mereka menempelkan telinga mereka pada kaca jendela namun
tak dapat mendengar apa-apa. Dengan berendap-endap mereka mengitari sisi lain,
tempat truk-truk diparkir. Di sana terdapat sebuah jendela bertirai yang
terbuka. Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam, lima orang duduk mengelilingi sebuah
meja, dan salah seorang adalah Ted Herkimer.
Seorang yang tegap berwajah lebar berkata dengan suara kasar yang telah mereka
kenali. "Kalau Fenton Hardy sudah mulai mengejar kita, lebih baik Spectrocolor itu
segera kita kirim saja ke kapal."
"Jangan gugup, Mack," kata Herkimer sambil mengangkat bahu. "Hardy dan anak-anak
tak akan menemukan kita di sini. Tetapi Pengawal Pantai mungkin akan menahan
kita kalau kita mencoba melakukannya di siang hari. Kita tunggu saja sampai
malam." "Paling tidak kita muati saja dulu perahu-perahu itu," usul Mack. "Tetapi tidak
perlu terus ke Mary Malone sebelum malam."
"Baik," Herkimer menyetujui. "Bongkar truk itu dan muatkan dos-dos itu ke
perahu." Ketika Mack dan ketiga orang temannya berdiri, ketiga pemuda itu mengundurkan
diri ke semak-semak. Mereka melihat para pembajak keluar dari rumah kecil itu
dan mulai mengangkut TV Spectrocolor dari truk ke dermaga. Lalu di sana dimuat
ke kedua perahu. Chet berbisik: "Bila mereka berangkat nanti malam, kita dapat mengikuti mereka
dengan perahu di rumah sebelah itu."
"Itu pikiran yang bagus," Frank balas berbisik. "Mari kita bicarakan dengan
pemiliknya." Mereka merangkak melalui semak-semak ke rumah di sebelah. Pintu pagarnya pada
sisi yang membelakangi rumah para pembajak, hingga mereka tak dapat dilihat dari
sana ketika mereka mengetuk pintu. Papan nama di kotak surat di sebelah pintu
bertuliskan CALB JONES. Seorang tua yang jangkung bungkuk membukakan pintu.
"Pak Jones?" tanya Joe. "Ya."
"Apakah mungkin kami menyewa perahu anda?"
Orang tua itu agak curiga.
"Tergantung dari siapa kalian ini?"
"Aku Joe Hardy, ini kakakku Frank dan yang ini teman kami Chet Morton."
"Orang tua itu menaikkan alis matanya. "Joe dan Frank Hardy" Tetapi bukan anakanak Fenton Hardy, bukan?"
Ketika Joe mengaku bahwa merekalah itu, Caleb Jones menerima mereka dengan
hangat. "Aku sudah lama mengagumi ayah kalian," katanya. "Kalian dapat menggunakan
perahu itu dengan cuma-cuma."
Frank berkata: "Kami sangat menghargai tawaran anda, pak Jones. Tetapi itu
kurang adil. Kami sedang menjalankan tugas berbahaya, dan mungkin tidak mampu membawa kembali
perahu itu. Ayah pasti mengganti kerugian kepada anda kalau hal itu sampai
terjadi. Kami akan memberikan alamat kami di Bayport. Anda dapat mengirimkan
rekening kepada ayah kalau perlu."
"Begitu juga baik," kata orang tua itu.
"Untuk meresmikan perjanjian ini, kalian kuajak makan malam."
Calb Jones seorang bujangan yang tinggal seorang diri, tetapi ia pandai memasak.
Jelas bahwa ia ingin sekali mengetahui semua hal tentang perkara yang sedang
mereka tangani. Tetapi ia dapat menerima penjelasan bahwa hal itu adalah suatu rahasia.
"Apakah anda mengenal tetangga anda di sebelah?" tanya Frank.
"Tidak. Tetapi di sana sibuk benar lalu lintasnya."
"Lalu-lintas macam apa?" tanya Joe ingin tahu.
"Ah, truk-truk, perahu-perahu, semacam itulah. Dan banyak tamu-tamunya."
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya tak memberikan petunjuk-petunjuk baru. Maka
begitu malam tiba ketiga pemuda itu pergi ke dermaga, lalu naik ke perahu
terbuka. Mesin tempelnya berkekuatan lima puluh daya kuda, kira-kira cukup cepat
untuk mengikuti perahu-perahu para pembajak, kalau mereka berlayar dengan
kecepatan menjelajah. Tetapi jika mereka berlayar sepuluh tenaga, perahu para
pemuda itu tentu tak dapat mengejar.
Frank duduk di belakang dan menghidupkan mesin. Dengan kecepatan rendah, dengan
suara yang serendah mungkin, ia menjalankan perahu itu kira-kira seratus meter
dam tepian. Di sana mereka menghanyutkan diri tanpa lampu untuk menunggu perahuperahu pembajak. Malam sudah gelap ketika mereka mendengar suara mesin perahu dihidupkan.
Kemudian lampu di salah satu perahu menyala ketika meninggalkan dermaga.
"Mereka melaju dengan gas penuh," bisik Frank. "Dengan kecepatan ini kita akan
terpaksa makan debunya."
"Debu yang cukup basah," Chet menggerutu. "Apa yang harus kita lakukan?"
Pada saat itu juga sepasang lampu perahu yang lain nampak jauh di belakang
mereka. "Mereka menjalankan perahu mereka dengan jarak waktu," seru Joe. "Apa yang harus
kita lakukan hanyalah berlayar sejajar dengan mereka, dan kita akan dapat
mengetahui mereka semua."
Frank menjauh seratus meter lagi dari pantai, agar mereka tak melihatnya ketika
lewat. Pada saat perahu kedua melewati mereka, sepasang lampu yang ketiga nampak jauh
di belakang mereka. Mereka kini telah mencapai mulut Teluk Chesapeake, dan mulai
merasakan gelombang dari Samudera Atlantik.
"Hukkk," seru Chet, ketika perahu itu mulai oleng. "Aku mabuk laut!"
"Kalau begitu jangan memandangi aku saja, menghadaplah ke samping," kata Joe
waspada. Chet menelan dan berhasil menguasai rasa mualnya. Namun di kegelapan pun
wajahnya nampak pucat. Cahaya lampu mendekat dari atas depan, kira-kira pada jarak lima puluh meter
menuju ke pantai. Perahu pertama telah kembah Beberapa menit kemudian perahu
kedua lewat kembali ke dermaga.
Perahu ketiga nampak kurang dari seratus meter, dan para pemuda mengikutinya
dengan kecepatan sepenuhnya. Frank memperlambat jalannya ketika melihat sebuah
kapal yang sedang berlabuh, yaitu tujuan dari perahu pembajak. Segera setelah
itu Frank mengangkat gas hingga mesin berjalan stasioner, dan mereka hanyut
sampai lima puluh meter dari kapal.
Perahu pembajak ditambatkan pada sisi kapal. Dalam cahaya lampu 'parkir' kapal,
para pemuda dapat membaca nama Mary Malone di haluan kapal.
"Hee, mereka mengangkat muatan itu ke kapal dengan derek," bisik Chet. "Barang
apa itu kira-kira?" "TV Spectrocolor ..." Joe hendak berkata, tetapi dipotong oleh suara
melengkingnya rantai derek yang lepas kendali. Segera pula terdengar suara kejebur yang keras,
disusul oleh caci-maki. "Engkau menghilangkan satu peti, orang sinting!" terdengar suara memaki.
"Ada kerusakan pada derek," operatornya menjawab. Hening sejenak, kemudian ia
meneruskan: "Roda giginya pecah. Makan waktu satu jam untuk memperbaikinya."
"Ada yang dapat membantu?"
"Tidak. Awak kapal masih ada di kota untuk makan malam. Mereka belum akan
kembali dalam waktu dekat."
"Baik. Kami juga akan kembali dulu. Tak ada gunanya hanya diam saja selama satu
jam. Sampai nanti." Ketika perahu motor itu kembali menuju ke pantai, Frank meletakkan tangannya
pada bahu adiknya. "Kalau kita dapat melihat buku log kapal itu, kita dapat mengetahui tujuannya!"
Joe berkedip-kedip. "Jadi kita harus naik ke kapal itu?" "Itulah pikiranku."
"Engkau sinting?" seru Chet. "Banyak sekali penjahat di sana!"
"Kebanyakan masih di kota, ingat" Kukira kita mempunyai peluang yang bagus untuk
menyelinap naik tanpa diketahui orang." Frank memutar pengatur gas, cukup untuk
memutar ke sisi lain dari kapal, menjauhi mesin derek. Ketika ia melihat tangga
tali yang tergantung, ia mematikan mesin perahu dan menghanyut sampai cukup
dekat hingga Joe dapat menangkap ujung tangga tali.
Joe mengikatkan perahu itu pada tangga tali, kemudian berayun naik. Setelah di
pertengahan, ia menengok ke bawah.
Frank sedang berbicara dengan Chet.
"Barangkali ada baiknya engkau tetap di sini menunggu kami," katanya.
Chet yang masih belum merasa baik, memandangnya marah.
"Tak usah, ya! Aku harus ikut."
"Oke. Ayo naik," Frank memanjat.
Chet bangkit berdiri, tetapi sedemikian hingga berayun-ayun dan hampir jatuh ke
laut sebelum sempat menangkap tangga untuk berpegangan. Sambil mengerang, ia
mulai memanjat. Ketika ketiganya hampir sampai, tiba-tiba Joe berhenti. Ia mendengar suara!
Kemudian tepat di atasnya terdengar lagi: "Selamat datang di kapal!"
7. Terperangkap Punggung Joe merasa merinding. Dengan perlahan-lahan ia mendongak. Tetapi ia
merasa lega, tak seorang pun yang nampak di atas.
Kemudian ia mendengar Ted Herkimer berkata.
"Aku akan ikut berlayar sampai Atlantic Island, kapten. Aku harus lari ke luar
karena anak-anak Hardy itu mengetahui bahwa aku anggota komplotan."
"Engkau juga ikut, Larsoni?" tanya kapten.
Mack menjawab dengan suara kasarnya.
"Ya. Ted bilang untuk sementara tak ada lagi pembajakan. Sebab Fenton Hardy dan
FBI sedang mengejar-ngejar kami."
"Jadi ini muatan terakhir?"
"Ya," jawab Mac Larsoni. "Begitu engkau selesai memuat, engkau boleh angkat
jangkar." "Masih cukup lama," kata kapten.
"Mari ke bawah, aku akan menunjukkan tempat kalian."
Terdengar langkah-langkah kaki menjauh serta suara pintu dibuka dan ditutup. Joe
meneruskan memanjat lalu mengintip dari tepi geladak. Ia melihat operator derek
di seberang kapal, tetapi tak ada orang lain di dekatnya. Dengan hati-hati Joe
naik melompati pagar kapal, lalu memberi isyarat kepada kedua temannya untuk
menyusul. Setelah mereka merayap ke balik sekoci penyelamat, Frank berbisik: "Tak perlu
lagi melihat buku log sekarang. Herkimer sudah mengatakan hendak ke Atlantic
Island." "Aku yakin, itulah arti 'AI' di label peti," kata Chet. "Atlantic Island.
Komplotan itu menandai muatan yang hendak mereka bajak dengan huruf-huruf yang
menyebutkan tujuan mereka." Sesaat kemudian ia bertanya: "Di mana Atlantic
Island itu?" "Dekat kepulauan Bahama," jawab Joe.
"Mari kita lihat muatan itu," Frank mengusulkan. "Jadi kita dapat menunjukkan
ciri-cirinya kepada polisi, lalu ke luar dari sini."
"Itu pikiran yang bagus," kata Joe.
Mereka merangkak maju, menuju ke pintu tingkap yang tadi dimasuki kapten dan
kedua penjahat. Tangga menuju ke lorong yang memanjang dari depan ke belakang
pada geladak bawah, sejumlah bilik-bilik terdapat pada kedua sisi, dan melalui
pintu yang terbuka, pada salah satu bilik itu mereka mendengar suara kapten,
Herkimer dan Larsoni. Joe mendahului menuju ke belakang. Setiba di pintu tingkap lain, mereka
mengintip ke dalam ruang makan yang bersambung dengan dapur. Keduanya kosong.
Lebih jauh ke belakang mereka melihat ruang mesin di mana seorang ahli mesin
sedang memeriksa alat-alat pengukur.
Dengan diam-diam mereka berjalan di sepanjang lorong samping di sisi kiri kapal
dan sampai pada pintu ke tempat muatan kapal. Karena tak ada pekerja-pekerja di
sana, para pemuda itu melongok ke bawah, ke ruangan tempat muatan yang
diterangi. Ruangan itu hampir penuh dengan peti dan bandela kemasan. Mereka mengenali petipeti Spectrocolor dan melihat bentuk petinya. Yang lain-lain mungkin dari hasil
bajakan sebelumnya. "Kukira kita sudah cukup melihat," bisik Chet. "Mari kita ke luar sekarang."
Mereka mengundurkan diri seperti waktu datang. Ketika mereka sampai di pintu
ruang makan, Herkimer, Mack Larsoni dan seorang bertubuh besar berambut mulai
memutih dan memakai pet bersulam benang emas, mendatangi dari arah bilik depan
yang terbuka pintunya. Dengan segera para pemuda itu melompat masuk ke kamar
makan, sampai ketiga orang tersebut hilang dari pandangan melalui pintu tingkap
menuju ke atas. Setelah hening beberapa saat, mereka ke luar dan melanjutkan jalan ke luar.
Ketika mereka menaiki tangga dan melongok dari pintu tingkap, mereka melihat
ketiga orang tersebut berada di pagar kapal di seberang.
"Telepon Boss, katakan bahwa kami telah mulai berlayar," seru kapten kepada
pengemudi perahu motor. "Oke," jawaban yang terdengar.
"Kalau saja ia menyebutkan nama bossnya," bisik Joe.
Frank mengangguk. "Nah, mari kita ke luar."
Mereka merangkak-rangkak ke geladak, lalu di sepanjang pagar menuju ke tangga tali.
Laut telah lebih berombak selama mereka berada di kapal, dan kapal itu mulai
oleng dengan sangat. Sebuah ombak besar menyapu perahu mereka dengan menghantam
sisi kapal, dan mereka melihat tambangnya putus. Perahu itu hanyut beberapa
meter menjauh. "Yaaah, bagaimana sekarang?" tanya Chet cemas.
"Kita harus berenang mengejarnya," jawab Joe.
"Dalam badai ini" Kita akan tenggelam!"
Wajah Chet semakin menjadi pucat.
"La-la-lu bagai mana kita?"
"Lebih baik mencari tempat untuk bersembunyi," kata Frank dengan tegang.
"Rupa-rupanya kita terpaksa ikut ke Atlantic Island," kata Joe. "Gratis, lagi!"
Ia berusaha membanyol, namun suaranya seperti tercekik.
Pada saat itu, orang-orang di pagar seberang menuju ke pintu, dan para pemuda
bersembunyi di balik sekoci penyelamat.
Setelah mereka menghilang ke bawah, Frank, Chet dan, Joe melintasi geladak ke
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sisi kiri kapal. Pintu muatan telah ditutup dan dikunci, tetapi mereka tahu,
tentu ada jalan lain ke ruang muatan, yaitu dengan tangga. Mereka mendapatkannya
di depan pintu muatan, lalu turun dua geladak ke dalam ruang muatan.
"Kalau kita harus tinggal di sini selama perjalanan, aku tak jadi ikut dalam
perjalanan gratis ini," Chet mengeluh.
"Tak ada pilihan lain," bisik Joe. Ia menyalakan senternya yang kecil itu,
karena lampu-lampu ruangan itu dimatikan. "Nah, sekarang kita periksa dulu
barang-barang ini, kalau sudah kita cari tempat untuk kita sendiri."
Dengan diam-diam mereka bergerak di sepanjang gang-gang yang terbentuk di antara
tumpukan peti dan bandela. Pada dinding sebelah kiri, dengan diikat erat-erat,
berderet almari almari es yang telah dibajak dari truk Jerry deToro. Tanda-tanda
pada peti-peti yang lain menunjukkan berisi mesin tulis listrik, alat-alat
komputer, alat-alat rumah tangga, permadani permadani dan baju-baju bulu
binatang. "Di sini terdapat harta yang besar dari hasil curian," kata Joe.
"Aku akan menyediakan selimut dan liang gelap yang nyaman," kata Chet.
"Mari kita lihat, apa yang ada di bagian belakang," usul Frank.
Mereka menemukan semacam lubang berukuran tiga meter persegi, yang terbentuk
dari peti-peti yang ditumpuk pada tiga sisi.
"Ini cukup nyaman," kata Frank. "Nah, kalau sekarang kita dapat memperoleh
beberapa permadani dan baju bulu itu diikat menjadi bandela dengan plat-plat
besi. Untuk membukanya diperlukan gunting besi.
"Aku khawatir, kita hanya kebagian lantai tanpa alas," kata Joe.
"Berapa lama kira-kira sampai di Atlantic Island?" tanya Chet.
"Ah, jauhnya kira-kira seribu delapan ratus kilo," jawab Frank. "Berapa
kecepatan kapal ini menurut perhitunganmu, Joe?"
"Dua puluh dua knot, barangkali. Tetapi kukira kecepatan jelajahnya kira-kira
enambelas sampai delapan belas knot."
Frank menghitung dalam hati.
"Dua sampai tiga hari."
"Bagaimana kita dapat makan?" tanya Chet.
"Apakah engkau tak dapat bertahan beberapa hari tanpa makan?" tanya Joe.
Chet nampak ketakutan. "Engkau bergurau?"
"Mungkin kita dapat mencuri makanan dari dapur," kata Frank. "Waktu yang paling
aman untuk mencuri mungkin pada waktu tengah malam. Kami akan mencarikan engkau
kue-kue untuk tengah malam."
"Kalau aku dapat hidup sampai sekian lama," kata Chet murung.
Tak lama kemudian mereka mendengar suara jangkar diangkat dan kapal mulai
berlayar. Para pemuda itu duduk-duduk di persembunyian mereka yang gelap sambil bercakapcakap dengan berbisik. "Kalau saja ada lampu," Chet mengeluh. "Duduk-duduk begini selama tiga hari akan
sangat membosankan."
Dengan mendengar suara mesin, Joe berkata: "Kukira kita melaju lebih cepat dari
yang kuduga semula. Mungkin kita akan sampai dalam dua hari."
Tiba-tiba lampu di ruang muatan menyala. Para pemuda saling berpandangan dengan
cemas. Joe bangkit, lalu mengintip ke dalam gang di antara barang-barang.
Sambil menarik kepalanya ia berbisik:
"Ted Herkimer! Ia menuju ke arah sini."
Chet mendapat ilham. "Ke atas sana!" bisiknya, dan menunjuk ke atas tumpukan peti-peti. Sambil
membungkuk dan membentuk sanggurdi dengan kedua tangannya, ia memberi isyarat
kepada Joe untuk menginjakkan kakinya pada sanggurdi tangan itu. Ketika Joe
telah naik, Chet mengangkatnya ke atas sambil menegakkan tubuhnya. Joe merayap
tengkurap di atas peti. Dengan segera Chet mengangkat Frank pula. Kemudian Joe dan Frank menjulurkan
tubuhnya ke bawah dan menarik tangan si gemuk ke atas.
Mereka berhasil tepat pada waktunya. Ketiga pemuda itu bertiarap dan mengintip
dari pinggir tumpukan peti, ketika si muka kapak itu membelok di sudut.
Herkimer membawa pensil cat di tangannya. Setelah menandai beberapa peti di
ruangan itu, kembalilah ia ke gang antara deretan tumpukan peti. Para pemuda itu
memperhatikan dia kembali ke tangga, lalu menaikinya. Setelah itu lampu padam
lagi. Ketiga pemuda detektif itu melompat turun lagi. Frank dan Joe menyalakan senter
kecil mereka pada peti-peti yang telah ditandai oleh Herkimer. Pada setiap peti
tersebut tertulis huruf "U".
"Apa maksudnya ini?" tanya Chet.
"Di kelompok Atlantic Island terdapat sebuah pulau bernama Ulster Island," kata
Frank. "Mungkin peti-peti ini ke sana tujuannya."
"Kalau begitu seharusnya UI," kata Joe menyangkal.
"Apa yang diterakan pada peti-peti itu," tanya Chet sambil menunjuk tanda-tanda
tercetak yang hampir tak nampak.
Joe memindahkan sinar senternya.
"Fargo Mining Company," baca Frank. "Lihat ini, apa bunyinya yang ada di
bawahnya: 'sukucadang alat-alat bor'!"
"Aku yakin ini berisi uranium!" seru Joe. "Itulah arti tanda 'U' itu. Kita telah
menemukan muatan yang dicari pihak FBI!"
8. Tangkap Keluarga Hardy
Pada waktu tengah malam, para pemuda itu meninggalkan ruangan muatan untuk
menyerbu dapur! Tak seorang pun nampak di lorong geladak tengah, dan mereka
berhasil mencapai ruang makan tanpa gangguan. Semuanya serba gelap.
"Nyalakan sentermu!" bisik Chet.
Joe menerangi jalan melintasi ruang makan menuju ke dapur. Kedua ruangan itu
hanya terpisahkan oleh sebuah meja panjang, namun sedemikian hingga cahayanya
dapat terlihat dari lorong.
"Chet, jagalah di suatu tempat, dari mana engkau dapat melihat orang yang datang
ke ruangan ini!" "Tetapi aku ingin melihat makanan apa saja yang ada!" Chet membantah.
"Apakah lebih baik dia kita lemparkan ke laut saja?" tanya Joe kepada Frank
dengan jengkel. "Aku akan jaga, aku akan jaga!" Kata Chet sambil melangkah kembali ke ruang
makan. Mereka melihat daging panggang, sepotong ham dan sepotong keju yang besar di
dalam almari es. Di dalam almari kabinet terdapat beberapa potong roti. Mereka
mengambil pisau tukang daging yang tajam, lalu membuat selusin sandwich dan
membungkusnya dengan kantong kertas. Setelah itu mereka membersihkan jejak-jejak
bahwa mereka pernah ke tempat tersebut.
"Kukira ini mungkin akan diketahui oleh koki, kalau ia melakukan inventarisasi
yang baik," kata Joe. "Ia tentu tahu bahwa makanannya telah berkurang."
Frank mengangkat bahu. "Bagaimana dengan minumannya?"
Joe menyinari ke sekeliling dan mengambil sebuah botol bekas buah berukuran dua
liter dengan tutup yang diputar. Dengan segera ia mencucinya lalu mengisinya
dengan air. Pada saat itu Chet bergegas masuk.
"Sembunyi!" ia berbisik. "Ada orang datang!"
Joe memadamkan senternya dan ketiga-tiganya bersembunyi di bawah meja panjang.
Sesaat kemudian lampu dapur dinyalakan. Dengan mengintip melalui atas meja
mereka melihat dua awak kapal berdiri di sana."
"Koki tentu akan marah-marah kalau tahu ada makanan yang hilang," kata salah
seorang dengan khawatir. "Engkau tahu bagaimana dia."
"Ia tak akan tahu bahwa kita yang mengambilnya," kata yang seorang lagi. "Aku
lapar." Ia melangkah menuju ke dapur. Baru saja akan sampai ketika temannya yang ada di
pintu berbisik: "Ada orang datang!"
Kedua orang itu bergegas kembali ke lorong. Ketiga pemuda itu mendengar Kapten
kapal itu berkata: "Untuk apa kalian ada di dapur?"
"Koki menyuruh kami memeriksa, agar jangan sampai ada yang mencuri makanan,
pak," kata salah seorang awak. "Semuanya beres!"
"Oo," kata kapten. "Teruskanlah."
Sesaat kemudian langkah-langkah kakinya terdengar ke suatu arah, sedangkan kedua
awak itu ke arah yang lain. Ketiga pemuda kembali masuk ke ruang muatan sambil
membawa roti mereka. Chet segera hendak berpesta begitu sampai di persembunyian mereka.
Joe memperingatkan: "Masing-masing mendapat empat potong roti, dan kita tak akan
memperoleh lagi sampai besok
malam. Boleh saja engkau makan sekehendakmu, tetapi engkau tak akan memperoleh
bagian kami." Chet, mengingat akan lapar yang masih akan diderita, hanya makan setengah
potong. Joe dan Frank tak makan apa-apa.
Mereka tidur dengan gelisah di lantai kapal. Kira-kira pada jam lima pagi,
mereka menyelinap ke atas untuk cuci-muka, sebelum ada awak papal yang bangun.
Kemudian mereka kembali ke kapal tanpa diketahui orang. Mereka masing-masing
sarapan dengan sepotong roti, kemudian harus menghabiskan siang yang membosankan
itu dengan duduk-duduk, hanya diseling dengan makan siang dan makan malam.
Pada tengah malam mereka kembali menyelinap ke atas. Ketika mereka mengintip
dari sudut lorong ke dapur, mereka melihat dua orang awak yang kemarin malam,
yang gagal mencuri makanan karena kepergok kapten.
Ketika kedua awak kapal itu menyalakan lampu di ruang makan, terdengar suara
orang: "Ahaaa, kupergoki kalian sekarang, bangsat!"
"Kami hanya masuk untuk melihat-lihat apakah semuanya beres, pak," kata salah
seorang awak itu membela diri.
"Engkau kemari untuk melihat makanan apa
yang dapat kaucuri!" jerit koki itu. "Kalianlah yang mencuri di dapur tadi
malam." "Tidak bisa, pak. Bukan kami!" mereka menyangkal.
"Ayo kembali ke ranjangmu," perintah koki itu. "Kalau kupergoki sekali lagi
kalian berkeliaran di sini kecuali pada waktu makan, akan kucincang kalian
dengan pisau daging!"
Kedua awak kapal itu bergegas keluar. Koki yang ceking berwajah pemarah itu
melangkah keluar, memandangi kedua awak itu pergi. Kemudian ia memadamkan lampu,
melintasi lorong kembali ke biliknya.
"Waaw, hampir saja," bisik Chet. "Ia dapat memergoki kita daripada kedua awak
itu!" "Betul," kata Frank. "Kita berhutang budi kepada kedua awak itu."
"Dan kalau kita mengambil makanan lagi," sambung Joe, "kita akan menyudutkan
mereka lagi." Chet kelihatan ketakutan. "Maksudmu, kita harus kelaparan?"
"Kita ambil saja sedikit untuk masing-masing," Frank menyarankan. "Agar koki tak
mengetahuinya." Sejumlah kecil makanan yang mereka ambil ternyata sudah mencukupi, karena kapal
itu ternyata berlabuh pada jam sebelas esok paginya.
Ketika mereka mengetahui dari suara-suara di atas serta melambatnya suara mesin,
bahwa kapal sedang berlabuh, ketiga pemuda itu merayap-rayap ke geladak tengah.
Rupa-rupanya seluruh awak berada di geladak atas, sebab mereka tak melihat
seorang pun. Dari suara-suara di atas mereka dapat mengetahui, bahwa sisi kiri
kapal itu bersandar di dermaga.
Dengan perhitungan bahwa kebanyakan awak berada di sisi kiri, mereka lalu naik
ke tangga di sisi kanan. Mereka sampai di geladak atas tanpa diketahui, tetapi segera mendengar langkahlangkah kaki mendekat. Mereka bersembunyi di sebuah sekoci penyelamat.
Dua pasang kaki berhenti di depan mereka.
"Apa yang kausenangi tentang atlantik Island ialah, semua jenis muatan dapat
memperoleh harga tanpa banyak pertanyaan," kata Mack Larsoni.
"Karena itulah boss memilih pulau ini," kata Ted Herkimer.
"Katakanlah," tanya Larsoni ingin tahu. "Siapakah sebenarnya boss kita?"
"Engkau akan tetap sehat kalau tak bertanya-tanya macam itu," kata Herkimer
dengan dingin. Kata-kata itu menyebabkan sunyi sejenak. Kemudian Mack berkata:
"Siapa yang datang ke atas itu?"
"Hanya pengawas pelabuhan," kata Herkimer. "Jangan kaugelisahkan tentang mereka.
Mereka telah disogok."
Kedua orang itu menyeberang ke sisi lain. Setelah mengintai-intai ke segala
jurusan dan tak melihat seorang pun di sisi kanan kapal, para pemuda itu ke luar
dari bawah sekoci. Untuk pertama kali Joe melihat kantong kertas yang dibawa oleh Chet.
"Apa itu?" ia bertanya.
"Kedua potong roti yang belum kita makan. Engkau tentu tak mengharapkan aku
meninggalkannya, bukan?"
Pintu tingkap di atas kapal dibuka dan para awak mengangkut barang-barang ke
geladak. Joe bertanya: "Bagaimana kita dapat ke luar di tengah kesibukan ini?"
"Kita santai saja, berjalan seenaknya," Frank menyarankan.
Seperti tak ada apa-apa, mereka berjalan melintasi geladak menuju jembatan ke
dermaga. Namun mereka segera bersembunyi di balik peti-peti ketika Ted Herkimer, Mack
Larsoni dan salah seorang pengawas pelabuhan sedang bercakap-cakap di depan
mereka. Larsoni yang kasar itu berkata: "Tidak. Peti-peti yang bertanda "U" itu tidak
ditinggalkan di sini, pak pengawas. Mereka ini akan dibawa ke Pirate's Port."
"Sekehendakmulah, senior," kata pengawas itu, lalu berjalan menuruni jembatan ke
dermaga. Herkimer pergi ke pintu tingkap muatan, mengawasi peti-peti yang diderek ke atas
geladak. Dengan demikian ia membelakangi jembatan ke dermaga.
"Ayo," bisik Frank.
Ketiga pemuda itu melanjutkan jalan-jalan santai. Setelah beberapa saat seorang
mandor pengangkut berjalan melewati mereka. Ia berhenti, dan memandangi mereka
dengan curiga. "Siapa kalian ini?" ia bertanya.
"Pengawas pelabuhan," kata Joe dan berjalan cepat melewati dia. Chet dan Frank
menyusul. Mandor itu mengangkat bahu dan meneruskan jalannya.
Ketiga pemuda itu tidak khawatir terhadap Mack Larsoni, sebab dia belum pernah
melihat mereka. Ketika mereka melewati dia, ia memandangi mereka, tetapi tak
berusaha untuk menghentikan. Mungkin ia mengira, karena mandor tadi sudah
memeriksanya. Para pemuda itu menuruni jembatan tanpa tergesa-gesa. Di bawah seorang
berseragam keamanan pelabuhan berdiri mengawasi. Ia mengangkat tangannya dan
berkata: "Mana kartu pengenal?"
"Aku sedang disuruh mengantarkan sesuatu yang penting untuk syahbandar," kata
Chet dengan cepat sambil menunjukkan kantong kertasnya. "Dua orang ini adalah
pengawal, agar aku jangan terhambat."
"Oo," kata orang berseragam itu, mengira bahwa kantong kertas itu berisi uang
sogokan. "Silakan." Tiba-tiba suara Ted Herkimer terdengar dari belakang: "Itu anak-anak Hardy!
Tangkap mereka!" 9. Terjun Bebas "Lari!" seru Joe.
Jaraknya lima puluh meter dari pinggir dermaga sampai ke sederetan gudang, tanpa
apa-apa kecuali tempat terbuka di antara mereka. Ketika Herkimer, Larsoni dan
beberapa awak kapal berlari di jembatan mengajar para pemuda, empat orang kuli
muatan yang mendengar teriakan Herkimer berlari ke luar dari salah sebuah
gudang, lalu mencegat mereka.
Kuli-kuli itu rupa-rupanya belum pernah main rugby.
Joe membentur orang yang pertama dengan sikunya hingga tersingkir.
Frank melakukan body-blok ke yang lain, berguling melepaskan diri ketika orang
itu juga terhempas jatuh. Frank segera melompat bangun dan terus lari.
Chet begitu saja berlari menabrak yang dua orang lagi dan membuat mereka jatuh
terjengkang. Namun benturan itu harus dibayar mahal oleh Chet. Bungkusan yang dipeganginya
sobek terbuka, dan roti berhamburan di tanah bersama daging dan keju.
Chet mendesah desah bagaikan sebuah lokomotif sementara mereka mendekati gudanggudang. "Sembunyi saja, dari pada terus lari," katanya tersengal-sengal.
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Joe mengangguk dan menuntun mereka ke pintu yang terbuka untuk truk, dari mana
kuli-kuli tadi ke luar. Di sisi lain juga ada pintu yang terbuka, tetapi mereka
memperlambat lari mereka untuk melihat ke sekitarnya. Di sebelah kiri mereka ada
sederetan tumpukan dos besar dan beberapa mesin cuci. Rupa-rupanya kuli-kuli itu
sedang mengepak mesin-mesin cuci tersebut ke dalam dos karena ada yang sudah
berisi dan banyak lagi yang masih kosong.
Joe membalikkan salah satu dos hingga lubangnya menghadap ke belakang, lalu
masuk ke dalamnya. Frank dan Chet segera menirunya. Mereka baru saja masuk
ketika terdengar selusin pasang kaki berlari-lari lewat.
Joe mengeluarkan pisau lipatnya untuk membuat lubang kecil di sebelah kanan
dinding dosnya. Dengan mengintip, ia melihat kelompok orang-orang itu berdiri di
luar pintu, melihat-lihat ke semua jurusan.
Kemudian mereka masuk lagi. Ketika mereka sampai di dekat dos-dos yang
terguling, Ted Herkimer berkata kepada Larsoni: "Mereka tentu mempunyai mobil
yang sudah menunggu. Itu berarti bahwa Fenton Hardy sendiri juga ada di sana."
"Lalu, apa?" kata Larsoni yang kasar itu. "Biarpun ia membawa pihak FBI kemari,
mereka tak mempunyai landasan hukum di Atlantic Island.
"Namun bagaimanapun mereka dapat menimbulkan banyak kesulitan," Herkimer
menjelaskan. "Kalau mereka muncul lagi, kuingin mereka segera ditangkap."
Akhirnya, Herkimer, Larsoni dan awak kapal yang lain kembali ke kapal, sementara
kuli-kuli kembali ke pekerjaan mereka. Tiga di antaranya mengangkat sebuah mesin
cuci sedang yang seorang lagi meraih dos yang kiranya masih kosong. Ketika dos
itu tak bergerak sedikitpun, ia berkata dengan heran: "Lho, kok sudah diisi."
Dengan cepat Chet melompat keluar, menangkap orang itu, melemparkannya ke
lantai,lalu didudukinya! Ketika yang tiga orang lagi melepaskan mesin cuci untuk menyerbu dia, Joe dan
Frank merangkak ke luar dan menjulurkan kaki mereka ke kedua orang. Keduanya
jatuh tersungkur, tetapi yang keempat menubruk Chet.
Si gemuk berguling terlengang, hingga orang yang didudukinya mengerang
kesakitan. Chet menekuk lututnya hingga ke dagunya, lalu menangkap perut
lawannya dengan kedua kakinya.
Ketika kuli itu jatuh menimpa dirinya, Chet menangkap bajunya dan pada saat yang
sama meluruskan kedua kakinya. Orang itu jungkir balik ke belakang dan mendarat
dengan punggungnya dan napasnya terhembus keluar.
Dua orang yang jatuh terganjal kaki Frank dan Joe bangun kembali. Yang seorang
mengayunkan tinjunya kepada Frank. Pemuda itu mengelak dan mengirimkan tinjunya
ke perutnya. Rasanya bagaikan mengenai sebilah papan. Orang itu mengeluh pun
tidak! Ia bahkan mengayunkan tinju kirinya, namun Frank mengelak lagi. Pemuda
itu mundur mempertahankan diri, menangkis pukulan atau mengelak sementara
lawannya terus mengaun-ayunkan kedua tangannya. Ia memang kuat bagaikan sapi
jantan, namun sama sekali tidak trampil seperti seorang petinju.
Akhirnya Frank berhasil mencuri pukulan jab kiri hingga lawannya terhuyung, lalu
disusul dengan pukulan kanan yang mematikan. Kedua lengan lawan itu terkulai,
terhuyung, lalu jatuh tertelentang.
Sementara itu, lawan Joe beruntung dapat mendaratkan tinju kanannya hingga Joe
terkulai roboh. Orang itu mencoba hendak menendang kepalanya, tetapi Joe
berguling ke samping, lalu melompat bangun. Ia mendaratkan pukulan beruntun, ke
perut dan wajah lawannya.
Sebuah pukulan one-two pada rahang menghabisi perlawanannya. Musuh itu terduduk,
matanya nampak juling, kemudian terguling ke samping.
Chet bangun dari orang yang didudukinya, tetapi kuli yang tergolek itu tak
berusaha untuk bangun. Sebaliknya, ia hanya terengah-engah mencari udara. Para
pemuda lalu berlari ke pintu yang jauh. Setengah blok lagi, jejak-jejak bis kota
nampak membelok memutar dan menuju ke jalan yang berlawanan arah. Sebuah bis
kota sedang diparkir di tikungan tersebut. Ketika mereka menaikinya, Joe
bertanya kepada kondektur, dia mana mereka dapat mencari hotel.
"Hotel Atlantic cukup bagus, dan kita langsung melewatinya," kata orang itu.
"Aku akan memberitahu di mana kalian harus turun."
Sepuluh perhentian kemudian kondektur berseru:
"Carson Street, Hotel Atlantic!"
Hotel itu berada di tengah-tengah pusat pertokoan. Para pemuda itu membeli
pakaian baru sebelum mendaftarkan diri di hotel, hingga mereka dapat segera
mandi dan berganti pakaian. Di dekatnya ada pula sebuah bank, dan karena mungkin
harus menggunakan banyak uang, Frank menggunakan kartu kreditnya untuk menarik
lima ratus dolar. Seorang petugas yang sopan dan berpakaian rapih mendengus sombong melihat
pakaian mereka yang lusuh ketika mencatatkan diri.
Chet berkata: "Anda pun akan nampak lusuh kalau terpaksa harus tidur selama dua
hari di palka kapal, pak,"
"Kuakui, aku belum pernah mengalami hal demikian," kata penerima tamu itu dengan
congkak. Ia memilihkan bagi mereka sebuah kamar di lantai empat dengan dua tempat tidur
besar dan sebuah dipan. Setelah mandi dan berganti pakaian, mereka membicarakan
gerakan mereka selanjutnya. Mereka memutuskan untuk menelepon pak Hardy di
Washington dan minta petunjuknya. Ketika Frank mengangkat gagang telepon, suara
petugas yang sopan itu yang menyahut.
"Tolong sambungkan dengan jalur luar, pak," kata Frank.
"Kami akan menyambungkannya, pak."
"Oke. Sambungkan dengan Markas Besar FBI di Washington DC."
Setelah beberapa saat petugas itu berkata: "Maaf, pak, tetapi polisi setempat
telah melarang hubungan keluar tanpa izin polisi."
Ketika Frank meletakkan pesawatnya dan memberitahu kedua temannya, Chet meledak
marah. "Aku tak percaya! Orang itu tentu bersekongkol dengan penjahat!"
"Ah, mudah untuk mengetahuinya," kata Joe. "Mari kita ke kantor polisi."
Mereka turun dan bertanya kepada petugas di meja itu di mana kantor polisi.
Ketika mereka mengetahui bahwa jauhnya hanya dua blok, mereka lalu berjalan
kaki. Anehnya, sersan jaga rupanya sudah menunggu kedatangan mereka. Ia menyuruh
mereka masuk ke kantor seorang kapten yang tampan bertipe orang Latin. Kapten
itu berdiri dan memperkenalkan diri sebagai Luis Sanches, serta bertanya apa
yang kiranya dapat dilakukan untuk mereka.
Frank berkata: "Aku baru saja mencoba minta hubungan telepon ke Amerika Serikat,
tetapi penerima tamu di hotel kami mengatakan bahwa kami perlu mendapat izin
dari polisi." "Ya, itu memang kebijaksanaan kami," kata kapten Sanchez. Ia duduk lalu
bertanya: "Siapa yang hendak kalian hubungi?"
"Ayah kami." Kapten itu menaikkan sebelah alis matanya.
"Petugas hotel itu mengatakan bahwa kalian minta dihubungkan dengan FBI."
"Ia telah menelepon kemari?" tanya Frank.
"Sudah tentu." Semua telepon dan operator penghubungan telepon diminta
melaporkan semua usaha untuk menelepon keluar dari pulau ini."
"Mengapa?" "Kebijaksanaan pemerintah."
Frank bertanya: "Apakah kami dapat memperoleh izin?"
"Barangkali, kalau paspor kalian beres."
Para pemuda itu saling berpandangan. Tiba-tiba mereka sadar bahwa mereka
merupakan musuh tanpa paspor di negeri asing. Itu dapat berarti kesulitan besar,
atau bahkan penjara! Frank berkata: "Aku meninggalkannya di hotel. Telepon itu memang tak terlalu
penting. Kukira, kita lupakan sajalah."
Ketika mereka sampai di luar, Joe berkata: "Gertakan dengan paspor itu hanya
untuk menutup jalan kita saja. Kapten itu tak ingin mendapatkan kesulitan dengan
warga negara Amerika yang berpengaruh, tetapi ia juga menghendaki bahwa kita
jangan mengganggu kedudukannya."
Frank mengangguk. "Jelas, polisi di sini sudah bekerja sama dengan para penjahat. Lalu apa yang
akan kita lakukan sekarang?"
"Bagaimana kalau makan?" usul Chet. Ia menunjuk ke sebuah warung taco. "Itu ada
tempat." Mereka makan taco di meja luar sementara membicarakan tindakan mereka
selanjutnya. Joe berkata: "Ingat, Mack Larsoni mengatakan kepada inspektur pelabuhan bahwa
peti-peti bertanda "U" akan dikirimkan ke Pirate's Port" Mungkin kita juga harus
ke sana." "Di mana itu Pirate's Port?"
"Sebuah pulau kecil agak jauh dari sini," jawab Frank. "Kita harus terbang ke
sana." Setelah mereka selesai makan, mereka kembali ke tempat bis kota dan bertanya
kepada kondektur, di mana letaknya lapangan terbang.
"Ambil jalan ini dengan arah yang berlawanan," saran kondektur.
Mereka mengucapkan terimakasih, tetapi bersepakat untuk kembali ke hotel dulu
untuk mengambil barang-barang mereka. Ketika mereka tiba di lapangan terbang
yang kecil, mereka bertanya pada petugas bagian penerangan, kapan pesawat
berikutnya yang menuju ke Prate's Island.
"Lusa," jawabannya. "Hanya dua penerbangan dalam seminggu."
"Ya ampuuun!" seru Chet. "Apakah ada cara lain untuk ke sana?"
"Kalian dapat mencarter pesawat."
"Di mana?" "Ke luar dari pintu itu langsung ke lapangan, kalian akan melihat sebuah hangar
kira-kira seratus meter ke kanan. Nama di atapnya berbunyi ATLANTIC ISLAND
CHARTER SERVICE." Di hangar itu hanya ada sebuah pesawat, sebuah B 24 dari Perang Dunia II.
Seorang yang langsing berwajah keras berpakaian penerbang sedang memeriksa banban rodanya. Ia menegakkan diri memandangi para pemuda ketika mereka mendekat.
"Apakah anda pilot pesawat charteran?" Orang itu mengangguk. "Tom Fredericks.
Orang-orang memanggil aku Freddie. Kalian hendak ke mana?" "Pirate's Port."
"Lima puluh dolar setiap orang," kata Freddie.
Frank membayarnya dan pilot menyuruh mereka naik. Ia memakai helm dan kacamata,
menghidupkan mesin dan mengeluarkan pesawat dari hangar.
Joe bertanya: "Berapa lama penerbangan ini?"
"Kira-kira satu jam," jawab Freddie.
Pesawat tinggal landas dengan menderu-deru. Ketika telah mengudara, pilot
bertanya: "Apa urusan kalian di Pirate's Port, tuan-tuan?"
"Hanya melihat-lihat pemandangan,' kata Chet.
"Wisatawan?" "Begitulah." "Tak banyak yang dapat dilihat di sana," kata Freddie. "Corsair City hanya satusatunya kota yang tidak besar, lagi pula kota mati. Aku akan senang sekali
menerbangkan kalian ke pulau-pulau yang lain."
"Terimakasih, tidak usah," kata Joe. "Kami hanya ingin melihat Pirate's Port.
Mungkin kami akan ke tempat lainnya kelak."
Pesawat naik sampai sepuluh ribu feet. Tiba-tiba salah satu mesinnya mati dan
baling-balingnya berhenti. Pesawat menukik tajam. Freddie dengan mati-matian
menangani alat-alat pengemudi dan berhasil meluruskan terbangnya pada ketinggian
lima ribu feet. Tetapi pada saat itu pula mesin kedua batuk-batuk lalu mati.
Dengan suara panik pilot berkata:
"Kita akan jatuh! Pakailah payung udara yang ada di rak di atas kepala kalian.
Siaplah untuk terjun."
Para pemuda itu melihat ke bawah. Ke mana pun mata memandang yang nampak hanya
air. Mungkin pula banyak ikan hiunya!
Chet hendak meraih sebuah payung udara, wajahnya pucat. Tetapi Frank telah
memperhitungkan keadaan, lalu meletakkan tangannya ke pundak temannya.
"Tidak usah," bisiknya. "Orang itu hanya menggertak."
==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
10. Menyamar Sebagai Indian
Freddie tak mendengar apa yang dikatakan Frank, tetapi rupa-rupanya ia
mengetahui bahwa para pemuda itu tak mau melakukan apa yang dimintanya. Ia
berpaling ke belakang. "Mengapa kalian tak memakai payung udara?" ia menjerit.
"Sebab kita lebih tahu," kata Frank. "Kami juga pilot! Tindakanmu tadi memang
mengesankan, tetapi pesawat ini dapat terbang dengan satu baling-baling. Jangan
coba-coba mengumpankan kami pada ikan Hiu!"
Pilot itu menyumpah-nyumpah, berpaling ke depan lagi, lalu menghidupkan kedua
mesinnya lagi. Ia menerbangkan pesawatnya miring memutar lebar.
"Engkau kira hendak terbang ke mana?" tanya Joe mengancam.
"Kembali ke Atlantic Island. Kalau kalian ingin ke Pirate's Port, berenang
sajalah," Freddie mengejek. Chet, setelah berkurang takutnya, dan sadar bahwa Freddie adalah anggota
gerombolan yang sedang mereka kejar, berpikir dengan cepat.
"Kuberi engkau tiga puluh detik untuk kembali ke arah semula," katanya kepada
pilot. "Kalau pada waktu itu engkau belum juga melakukannya, aku akan menarik engkau
dari kursimu dan engkau kududuki. Biarlah kedua Hardy itu yang mengemudikan
pesawat!" "Kalau engkau berbuat begitu, akan kuadukan engkau sebagai pembajak."
"Tidak! Tidak bisa!" kata Frank. "Engkau sudah menerima seratus lima puluh dolar
untuk ongkos menerbangkan kami ke Pirate's Port. Kalau kami terpaksa mengambil
alih kemudi, kami justru mengadukan engkau untuk korupsi, nanti kalau kita
mendarat!" Chet berkata: "Lima belas detik." Pesawat membelok kembali ke arah Pirate's
Port. Setelah mendarat, pilot membawa pesawatnya ke terminal, menunggu sampai para
pemuda itu turun, lalu segera tinggal landas lagi.
Sambil memandangi B 24 itu mengangkasa, Chet berkata: "Seharusnya dia kita
adukan karena memaksa kita untuk terjun."
"Aku tak yakin apakah itu akan menguntungkan kita?" kata Frank. "Mungkin sekali
para penjahat itu juga menguasai tempat ini."
"Ketika kita meninggalkan hotel, petugas penerima tamu itu tentu sudah
memberitahu teman-temannya untuk mengikuti kita ke airport," Joe menyimpulkan.
"Atau dia telah menyogok si pilot, atau Freddie memang anggota komplotan."
"Satu yang sudah jelas," kata Chet. "Di mana-mana pun kita tidak aman."
"Untuk itu kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali harus hati-hati," kata Frank.
"Kita cari taksi ke Corsair City dan mencari hotel."
Sopir taksi membawa mereka ke sebuah tempat kecil-rapih, bernama Ascot. Letaknya
hanya dua blok dari pantai. Setelah mencatatkan diri, mereka bertiga lalu
berunding. "Urusan pertama ialah kapan Mary Malone akan datang," kata Joe. Ia menelepon
kantor pelabuhan. Setelah meletakkannya kembali, ia berkata: "Tidak akan datang
sebelum jam sembilan besok. Masih cukup waktu untuk membuat rencana."
"Apa yang harus kita lakukan," kata Frank, "ialah mengawasi mereka ketika
menurunkan muatan uranium. Kemudian membayanginya ke mana dibawanya."
"Satu-satunya masalah ialah, mereka telah tahu kita ada di sini," kata Joe.
"Jadi mereka tentu sudah melakukan pengawasan terhadap kita."
"Jawabannya ialah penyamaran," kata Chet. "Kita dapat mengenakan pakaian
pribumi. Tempat ini penuh dengan orang Indian. Siapa yang akan tahu kalau hanya bertambah
tiga orang lagi?" "Itu akal yang bagus," kata Joe. "Mari kita ke luar, mencari barang-barang itu
sebelum Freddie dan anak buahnya datang lagi."
Ketiga pemuda itu meninggalkan kamar mereka, mencari toko pakaian yang mereka
butuhkan. Apa yang dikatakan Chet memang benar. Paling tidak, setengah dari penduduknya di
jalan adalah bangsa Indian suku Caribia yang berpakaian pribumi. Banyak di
antara prianya yang membawa machete atau golok, yang mereka selipkan di kain
ikat pinggang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka itu adalah pekerja kebun tebu.
Yang lain-lain mengenakan pakaian yang berwarna-warni yang dihiasi merjan-merjan
yang berkilauan. Di dekat hotel, mereka melihat sebuah papan nama pada sebuah toko: TOKO PAKAIAN
MIGUEL.
Hardy Boys Terperangkap Di Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miguel sendiri ternyata seorang bertubuh besar dan berjanggut, dengan air muka
seperti seorang bajak laut. Ketika para pemuda itu mem beritahu, bahwa mereka
mendapat undangan untuk mengunjungi pesta karnaval dan membutuhkan pakaian,
orang itu menunjukkan tiga perangkat.
Pakaian Frank terdiri dari celana putih, kemeja putih bersulam dan bermanikmanik warna-warni, serta ikat kepala bermanik-manik pula. Pakaian Joe juga
mirip, tetapi manik-manik di bajunya tidak terlalu banyak dan ikat kepalanya
polos. Chet mendapat pakaian sebagai tukang perkebunan tebu, kemeja dan celana
sederhana dengan kain untuk ikat pinggang berwarna merah. Pada setiap pakaian
dilengkapi wig berambut hitam serta sepasang sandal.
Miguel menyuruh mereka ke tempat mencoba pakaian. Chet baru saja selesai
mengenakan pakaiannya, ketika pintu terbuka. Miguel yang berwajah seram itu
masuk mengayun-ayunkan sebilah machete!
Chet mundur menjauhi tetapi segera terpojok ke dinding. Ketika ia mengulurkan
kedua tangannya untuk melindungi diri, Miguel meletakkan goloknya.
"Ini untukmu," katanya dengan suara yang dalam. "Ini termasuk pakaianmu."
Dengan lega Chet menerima golok panjang itu.
Setelah ketiga pemuda itu puas dengan pakaian yang terasa pas ukurannya, mereka
mengenakan pakaiannya lagi lalu pergi meninggalkan toko. Di tengah jalan mereka
membeli alat-alat make-up berwarna coklat, lalu kembali ke hotel. Setelah
menyimpan pakaian yang baru dibeli, mereka menghabiskan sore itu untuk melihatlihat kota. Esok paginya pada jam delapan tiga puluh, dengan menyamar sebagai orang Indian,
ketiga pemuda itu pergi ke dermaga. Mereka melihat sejumlah orang yang nampak
kekar-kekar, selalu mengamati wajah-wajah orang yang datang ke sana.
"Aku yakin, mereka tentu telah disewa oleh komplotan, disuruh mencari kita di
antara orang-orang ini," bisik Chet.
Joe mengangguk. "Sudah tentu. Tetapi mereka hanya berdasarkan ciri-ciri kita. Kuharap saja
penyamaran kita ini dapat mengecoh mereka, bahkan si Herkimer pula."
"Kita akan segera mengetahuinya," kata
Frank. "Nah, itu kapalnya datang, Mary Motoric "
Setelah kapal merapat, Herkimer turun melalui jembatan. Ia berembuk dengan salah
seorang yang kekar itu, lalu berjalan berkeliling mengamati orang-orang.
Akhirnya ia kembali ke kapal.
"Berhasil!" kata Chet dengan senang.
Pada saat itu seseorang yang bagur berkulit pucat dan gundul lewat, lalu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 31 Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Pendekar Riang 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama