Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan Bagian 3
"Kau siapa?" balas Julian berseru. "Ayo keluar - tunjukkan dirimu! Kami datang
untuk bertemu dengan orang yang bernama Red. Antarkan kami padanya."
Sesaat tak terdengar apa-apa. Seakan-akan orang yang terdengar suaranya tadi
agak kaget. Tapi kemudian terdengar lagi suaranya yang menggema.
"Apa sebabnya kalian ingin bertemu dengan Red" Siapa yang mengirim kalian ke
mari?" "Tidak ada yang menyuruh kami. Kami datang untuk menjemput saudara sepupu kami,
dan anjingnya sekaligus," jawab Julian. Ia berbicara sambil mencorongkan
tangannya, supaya suaranya juga menggema seperti suara orang yang tak nampak
itu. Sekali lagi lawan bicaranya terdiam. Tahu-tahu dari sebuah lubang pada langitlangit gua yang rendah muncul sepasang kaki. Seorang laki-laki melompat dengan
gerakan lincah, lalu tegak di samping Dick dan Julian. Mereka kaget. Tak
disangka bahwa suara itu datang dari sebelah atas!
Julian menyorotkan senternya pada orang yang baru datang itu. Orang itu kayak
raksasa besarnya, dengan rambut berwarna merah menyala. Bukan itu saja! Alisnya
merah, dan janggutnya juga merah, menutupi mulut berbentuk kejam. Julian cukup
sekali saja menatap mata orang itu.
"Ini orang gila rupanya," katanya dalam hati. "Jadi dialah yang bernama Red
Tower. Apakah dia sebetulnya" Sarjana kayak Paman Quentin, yang merasa iri
terhadap kegiatan Paman" Atau pencuri besar-besaran, yang berusaha merebut
dokumen-dokumen penting untuk dijual" Tapi satu hal sudah jelas, orang ini
gila!" . Red menatap kedua anak laki-laki itu.
"Jadi kalian beranggapan bahwa aku menculik sepupu kalian, hah?" katanya. "Siapa
yang menceritakan omong kosong itu?"
Julian diam saja. Red langsung bergerak menghampiri dengan sikap mengancam.
"Siapa yang bilang?" katanya lagi.
"Akan kukatakan padamu jika polisi sudah datang," jawab Julian nekat.
Red kaget dan mundur selangkah.
"Astaga! Polisi" Apa yang mereka ketahui" Kenapa mereka hendak ke sini" Ayo
jawab pertanyaanku!"
"Banyak yang harus diketahui tentang Anda, Pak Red Tower," kata Julian.
"Misalnya saja - siapa yang memerintahkan pencurian dokumen pamanku" Siapa yang
mengirim surat, meminta buku catatan yang lain" lalu siapa yang menculik sepupu
kami, lalu menyanderanya sampai dokumen-dokumen diberikan. Siapa yang
mengangkutnya ke mari dari karavan kepunyaan Simmy" Siapa ...?"
"Astaga!" seru Red. Kedengarannya seperti sangat ketakutan. "Dari mana kau
mengetahui segala hal itu" Semuanya tidak benar! Tapi polisi - apakah mereka
juga mendengar segala omong kosong itu?"
"Sangkaan Anda bagaimana?" tukas Julian. Dalam hati ia menyayangkan bahwa polisi
sebetulnya tidak tahu-menahu, dan dia cuma berlagak begitu belaka. Red menariknarik janggutnya. Biji matanya yang hijau berkilat-kilat, sementara orang itu
memeras otak. Tiba-tiba ia berpaling ke arah lubang di langit-langit, lalu berseru keraskeras, "Markhoff! Turunlah ke mari'"
Dari lubang muncul sepasang kaki lagi, dan seorang laki-laki bertubuh pendek
gempal meloncat turun lalu tegak di sisi Dick dan Julian.
"Kau pergi ke tebing lalu turun ke teluk. Di sana kau akan menemukan perahu yang
disembunyikan di salah satu tempat - yaitu perahu yang tadi kita lihat dipakai
oleh anak-anak ini," kata Red dengan suara tajam.
"Rusakkan perahu itu, sampai pecah berantakan. Setelah itu kau kembali lagi ke
mari dan giring kedua anak itu ke atas. Ikat mereka di sana. Kita harus segera
berangkat, dan anak perempuan itu kita bawa serta."
Orang yang satu lagi mendengarkan perintah itu dengan tampang masam.
"Mana mungkin kita berangkat?" katanya membantah. "Anda kan tahu, helikopter
belum siap. Anda kan mengetahuinya juga."
"Kalau begitu bereskan dengan segera," bentak Red. "Kita berangkat malam ini
juga. Polisi akan ke mari - kaudengar kataku itu" Polisi akan datang ke mari!
Anak ini tahu segala-galanya - ia sendiri yang mengatakan padaku - jadi rupanya
polisi juga sudah mengetahui segala-galanya. Kita harus berangkat!"
"Lalu bagaimana dengan anjingnya?" tanya orang yang pendek gempal.
"Tembak saja," perintah Red. "Tembak anjing itu, sebelum kita pergi. Binatang
itu berbahaya. Seharusnya kita sudah membunuhnya terlebih dulu. Sekarang
pergilah - pecahkan perahu itu."
Orang yang pendek gempal menghilang di balik batu yang menonjol, menuju ke gua
yang banyak kelelawarnya. Julian mengepalkan tinju. Ia marah, membayangkan
perahu George akan dipecahkan berkeping-keping. Sementara itu Red masih tegak di
depan mereka. Ia menunggu. Matanya berkilat-kilat kena sinar senter.
"Kalau masih ada tempat, sebenarnya aku ingin mengangkut kalian pula'" sergahnya
secara tiba-tiba. "Ya, kubawa kalian naik ke udara - tapi setelah itu kujatuhkan
ke tengah laut!" Ia tertawa keras-keras, lalu meneruskan,
"Bilang pada paman kalian, ia akan menerima kabar dariku mengenai putrinya yang
tersayang! Setelah itu akan diadakan tukar-menukar. Jika ia menginginkan anaknya
pulang, ia harus mengirimkan catatan yang kuinginkan. Dan terima kasih atas
kedatangan kalian untuk memberi tahu. Sebelum polisi tiba di sini, aku akan
sudah menghilang!" Setelah itu ia berjalan mondar-mandir sambil bicara pada dirinya sendiri. Dick
dan Julian diam saja sambil memperhatikan orang itu. Mereka mengkhawatirkan
nasib George. Benarkah Red akan melarikannya dengan helikopter" Orang itu
kelihatannya tidak waras otaknya, jadi apa pun juga mungkin dilakukan olehnya.
Akhirnya orang yang bertampang masam muncul kembali.
"Perahu sudah kupecahkan," katanya.
"Bagus," kata Red. "Sekarang aku naik lebih dulu. Kemudian menyusul kedua anak
itu. Setelah itu kamu. Jika mereka bertingkah, tendang saja mereka!"
Setelah itu Red masuk ke dalam lubang di langit-langit. Julian dan Dick
menyusul, karena melihat tak ada gunanya melawan. Orang yang di belakang mereka
kelihatannya galak. Kalau bertindak tidak setengah-setengah. Orang itu langsung
menyusul naik. Selama itu Jo sama sekali tak kelihatan. Ia menyembunyikan diri karena ketakutan
setengah mati. Julian agak bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan mengenai
anak itu. Bilang pada Red tentang dia tidak bisa - tapi meninggalkan seorang
diri, rasanya juga tidak enak. Yah - Jo anak yang tajam otaknya. Mungkin ia
sendiri akan menemukan jalan.
Red mendului, melewati sebuah gua lagi lalu masuk ke dalam sebuah lorong. lorong
itu rendah sekali sehingga ia terpaksa berjalan terbungkuk-bungkuk.
Orang yang di belakang menyalakan senter yang sangat terang sorotannya, sehingga
mereka sekarang bisa melihat lebih jelas. lorong yang mereka lalui melandai ke
atas. Kelihatannya mengarah ke bangunan yang ada di atas tebing. Pada satu
bagian, lorong itu sangat terjal. Di situ dipasang susuran tangan, supaya orang
bisa berpegangan ke situ sambil mendaki.
Kemudian mereka sampai pada undak-undakan yang dipahat pada batu tebing itu
sendiri. Undak-undakan itu kasar dan dibuat asal saja, sehingga susah sekali
melaluinya. Di ujung atas undak-undakan ada pintu kokoh yang terpasang pada
birai yang lebar. Red mendorong pintu itu sehingga terbuka. Cahaya matahari
memancar ke dalam. Julian mengejap-ngejapkan mata. Di luar dilihatnya sebuah halaman yang luas.
Halaman itu dilapisi batu datar yang besar-besar. Di sela-sela batu tumbuh
rumput liar. Di tengah halaman terdapat sebuah helikopter. Pesawat itu nampak aneh dan
janggal di tengah-tengah halaman yang sudah tua. Rumah dengan menara segi
empatnya yang tinggi, dibangun pada tiga sisi halaman. Tembok rumah itu penuh
ditumbuhi tanaman menjalar.
Pada sisi halaman yang terbuka ada tembok yang tinggi. Di tengah-tengah tembok
itu nampak gerbang yang sangat besar. Gerbang itu tertutup pintunya. Dari
tempatnya berdiri, Julian melihat palang pintu yang besar menyilang pada daun
pintu. "Memang mirip genteng kecil," pikir Julian dengan heran. Tiba-tiba ia dipegang
lalu diseret masuk ke sebuah bangunan kecil yang ada di dekat situ. Lengannya
disentakkan ke belakang, kemudian pergelangan tangannya diikat erat-erat. Tali
pengikatnya diselipkan ke gelang besi yang tertancap ke tembok bangunan, lalu
diikatkan ke situ. Julian mendelik menatap lelaki gempal yang melakukan hal yang sama terhadap
Dick. Julian memutar tubuh. Ia ingin melihat bagaimana ia diikat. Tapi ternyata
bahkan berpaling saja ia tak mampu. Ia diikat terlalu erat.
Julian mendongak, memandang ke arah menara. Dilihatnya wajah seseorang menatap
ke luar dari jendela di sana. Kelihatannya seperti seorang anak kecil. Jantung
Julian berdebar keras. Mestinya anak itu George! Ia bertanya-tanya dalam hati,
apakah George melihat mereka. Mudah-mudahan saja tidak! Karena George pasti akan
bingung sekali apabila mengetahui bahwa ia juga tertangkap bersama Dick.
Tapi mana Timmy" Julian tak melihat tanda-tanda bahwa anjing kepunyaan George
itu ada di situ. Tapi nanti dulu! Apakah yang tergeletak dalam bangunan yang
kelihatannya seperti tempat berangin-angin itu" Bangunan itu letaknya di
seberang halaman. Mungkinkah itu Timmy" Tapi jika benar, tentunya sudah
menggonggong dengan gembira ketika mendengar Dick dan Julian muncul di halaman!
"Apakah itu anjing saudara sepupuku?" tanya Julian pada lelaki yang bertampang
masam. lelaki itu mengangguk.
"Betul," jawabnya. "Kami terpaksa membiusnya, karena tak henti-hentinya
menggonggong. Anjing itu galak ya" Kurasa sebaiknya memang ditembak saja!"
Sementara itu Red sudah melintasi halaman, lalu menghilang di balik sebuah
gerbang yang terbuat dari batu. lelaki bertampang masam menyusulnya ke situ
sehingga Julian dan Dick ditinggal berdua saja.
"Kita gagal lagi," keluh Julian pada adiknya. "Kini orang-orang itu akan lari
membawa George'''. Dick diam saja. Ia merasa lesu. Dan pergelangan tangannya yang diikat terasa
sakit. Kedua abang adik itu bingung memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya.
"Sssst!" Apa itu" Julian memalingkan kepala, memandang ke arah pintu yang menutup undakundakan ke bawah tanah. Dilihatnya Jo berdiri di ambang pintu, sedikit
tersembunyi di belakangnya.
"Sssst! Aku datang untuk melepaskan kalian. Bagaimana - aku sudah bisa keluar
sekarang?" Bab 19 JO DATANG MEMBANTU
"JO!" seru Dick dan Julian serempak. Seketika itu juga semangat mereka bangkit
kembali. "Ayo cepat- di sini sudah aman!"
Saat itu tak ada orang lagi di halaman yang luas. Jo melesat melintasinya, lalu
cepat-cepat masuk ke dalam bangunan tempat kedua temannya terikat.
"Di kantong belakangku ada pisau," kata Julian. "lebih cepat jika tali yang
mengikat kami dipotong saja, daripada dilepaskan dengan tangan. Wah Jo - belum
pernah aku segembira saat ini melihat orang datang!"
Sambil nyengir Jo mengambil pisau lipat Julian yang besar. Pisau itu dibuka
olehnya. Jarinya digeserkan ke matanya. Tajam sekali! Setelah itu dengan cepat
diirisnya tali pengikat sampai putus.
"Aku tadi bersembunyi di bawah," katanya tergesa-gesa. "Lalu ketika kurasa
keadaan sudah aman, aku lantas menyusul ke mari. Tapi lorong sangat gelap. Tak
enak rasanya waktu lewat di situ. Setelah itu aku sampai di pintu tadi lalu
mengintip ke luar. Wah lega sekali rasanya ketika kulihat kalian berdua di
sini." "Untung saja orang-orang tadi sama sekali tak menyangka bahwa kau juga ada di
sini." kata Dick. "Kau memang anak baik! Kutarik kembali segala kata-kataku yang
tidak enak mengenai dirimu!"
Jo berseri-seri mendengarnya. Begitu tali pengikat tangan Julian sudah putus
semua, Julian lantas menggosok-gosok pergelangannya yang kaku dan terasa nyeri.
Sementara itu Jo mulai memotong tali yang mengikat Dick. Tak lama kemudian
pekerjaan itu pun selesai.
"Mana George?" tanya Jo, setelah membantu Dick menggosok-gosok lengan dan
pergelangan tangan yang sakit.
"Di sana - di atas menara itu," kata Julian sambil menuding. "Kalau kita bisa
pergi ke halaman, kau akan bisa melihatnya. Dan Timmy ada di tempat beranginangin di sebelah sana. Ia dibius oleh mereka."
"Aku takkan membiarkan Timmy ditembak mati," kata Jo. "Anjing itu baik hati! Aku
akan ke sana dan menariknya ke gua di bawah tanah!"
"Jangan sekarang!" kata Julian kaget dan ngeri sekaligus. "Kalau kau sampai
ketahuan sekarang, akan buyar segala kesempatan kita. Sebagai akibatnya, kita
semua akan terikat di sini!"
Tapi percuma saja! Jo sudah melesat ke bangunan yang ditunjukkan oleh Julian,
lalu mengelus-elus Timmy yang tidak sadarkan diri.
Tiba-tiba terdengar bunyi pintu dibanting. Dick dan
Julian kaget setengah mati, sementara Jo cepat-cepat bersembunyi ke balik tempat
berangin-angin. Ternyata yang muncul itu Red. Orang itu datang, melintasi
halaman! "Cepat - ia menuju ke mari!" desis Dick dengan panik. "Kita berdiri menempel ke
gelang besi tadi sambil melipat tangan ke belakang! Dengan begitu ia akan
mengira bahwa kita masih terikat ke situ!"
Jadi ketika Red masuk, ia mendapat kesan seakan-akan Dick dan Julian masih
terikat erat. Red Tower tertawa terbahak-bahak.
"Kalian boleh menunggu terus di sini sampai polisi tiba!" katanya. Setelah itu
ditutupnya pintu dan dikunci sekaligus. Ia menuju ke helikopter dan memeriksa
pesawat itu dengan seksama. Kemudian kembali ke pintu dari mana ia tadi muncul.
Ia masuk ke dalam, sedang pintu ditutupnya lagi keras-keras.
Jo menunggu dulu sampai keadaan dirasakan sudah benar-benar aman. Setelah itu ia
lari cepat-cepat ke tempat Julian dan Dick. Untung anak kunci pintunya masih
terselip di dalam lubangnya. Jo bergegas membuka pintu, lalu menyuruh kedua
temannya bergegas lari ke pintu yang menuju ke bawah tanah. Mereka menuruni
undak-undakan sambil terpeleset-peleset.
"Terima kasih, Jo," kata Dick.
Setelah, itu mereka duduk. Julian menggaruk-garuk kepala. Ia bingung, tak tahu
apa yang harus dikerjakan setelah itu. Polisi takkan mungkin muncul, karena
mereka sama sekali tidak tahu-menahu tentang Red, tentang George atau apa saja.
Dan tak lama lagi George akan dibawa terbang dengan helikopter, sedang Timmy
akan ditembak mati. . Julian mengeluh ketika teringat pada menara yang tinggi.
"Tak ada jalan bagi kita untuk menyelamatkan George dari menara itu," katanya.
"Pintu ke sana pasti dikunci, karena kalau tidak pasti George akan sudah lama
bisa keluar sendiri. Dan kita juga tidak bisa mendatanginya. Sedang berusaha
masuk ke dalam rumah, juga tidak ada gunanya. Kita akan langsung ketahuan, lalu
ditangkap lagi." Jo menatap Dick. "Kau sangat ingin agar George diselamatkan?" tanya anak itu.
"pertanyaan aneh," tukas Dick. "Tentu saja - tak ada yang lebih kuinginkan
daripada itu." "Yah - kalau begitu dia akan kubebaskan," kata Jo. Anak itu langsung bangkit.
"Jangan main-main," sergah Julian. "Ini persoalan serius, Jo."
"Aku juga tidak main-main," tukas Jo. "Lihat sajalah nanti aku pasti akan
berhasil membebaskannya. Dan setelah itu kau akan yakin bahwa aku bisa
dipercaya, kan" Kau beranggapan bahwa aku ini jahat, biasa mencuri dan sama
sekali tak berharga. Kurasa kau memang benar. Tapi aku bisa melakukan beberapa
hal yang tak bisa kalian lakukan. Dan jika kalian ingin agar George bebas, aku
akan melakukannya untuk kalian."
"Lalu bagaimana caranya?" tanya Julian terce ngang. Sukar rasanya bisa percaya.
Jo duduk lagi. "Kau tadi kan melihat menara yang tinggi," katanya menjelaskan. "Menara itu
besar, jadi kamar di dalamnya tidak cuma satu. Jika aku bisa masuk ke dalam
kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamar tempat George dikurung, aku akan
bisa membukakan pintu sehingga ia bisa lari."
"Lalu bagaimana menurut perkiraanmu, kau akan bisa masuk ke kamar yang
bersebelahan itu?" kata Dick setengah mengejek.
"Dengan sendirinya dengan jalan memanjat tembok," jawab Jo. "Dinding menara
penuh ditumbuhi tanaman menjalar. Aku sudah sering memanjat tembok seperti itu."
Dick dan Julian melongo menatapnya.
"Kaukah tampang yang muncul di balik jendela rumah George waktu malam-malam
itu?" tanya Julian. Ia teringat pada Anne yang ketakutan. "Pasti itu kau! Kau
ini seperti monyet saja, memanjat dan melesat ke mana-mana. Tapi kau takkan
mampu memanjat tembok setinggi itu! Jadi jangan coba-coba. Nanti jatuh!"
"Uahh!" kata Jo mencemooh."Baru tembok sebegitu saja! Takkan mungkin aku jatuh.
Aku bahkan sudah pernah memanjat tembok yang sama sekali tidak ditumbuhi tanaman
menjalar. Tapi selalu ada saja lubang dan celah yang bisa dipakai sebagai tempat
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpegang dan berpijak. Tembok yang begini, dengan mudah saja aku akan
memanjatnya!" Julian benar-benar takjub membayangkan bahwa Jo memang tidak main-main. Sedang
Dick teringat bahwa ayah Jo dulu akrobat. Mungkin keahlian itu sudah merupakan
bakat turun-temurun. "Kalian mesti melihatku beraksi di atas tali di sirkus," kata Jo bersungguhsungguh. "Aku bisa menari-nari di situ - dan tak pernah dipasang jala pengaman
di bawahku! Kalau pakai jala pengaman, bayi saja juga bisa! Nah, aku berangkat
saja sekarang." Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Jo mendaki undak-undakan dengan lincah. Di ambang
pintu atas ia berhenti sebentar sambil mengintip ke luar. Di luar sepi. Detik
berikutnya Jo melesat melintasi ha!aman, sampai di kaki menara yang penuh
ditumbuhi tanaman menjalar. Sementara itu Dick dan Julian mengintip keluar dari
balik pintu. "Mati anak itu nanti," kata Julian ngeri.
"Beraninya bukan main," kata Dick kagum. "Belum pernah kujumpai anak seperti dia
seumur hidupku. lihatlah - sekarang ia sudah memanjat. Persis monyet!"
Jo memanjat dengan cekatan. Tanaman merambat dilewatinya, seperti naik tangga
saja. Tapi sebenarnya tiap kali sebelum bergerak lebih ke atas lagi, tangannya
terlebih dulu menguji kekokohan batang tanaman yang akan dijadikan pegangan.
Sekali ia nyaris jatuh, ketika ada batang tanaman yang terenggut lepas dari
tembok. Dick dan Julian yang memperhatikan dari jauh, merasa seakan-akan jantung
mereka berhenti berdenyut karena kaget. Tapi Jo tenang saja. Dengan cepat
disambarnya batang yang lain, lalu meneruskan panjatannya.
Ia terus merambat ke atas. lewat tingkat pertama, lalu kedua dan kemudian naik
menuju tingkat ketiga. Tinggal satu lagi lalu ia akan sampai di tingkat paling
atas. Dari bawah, tubuhnya kelihatan kecil sekali.
"Aku tak tahan melihatnya - tapi tak melihat juga tak sanggup," kata Dick. Ia
pura-pura menutup mata dengan tangan. Tubuhnya terasa kejang, karena gugup.
"Kalau Jo sampai terjatuh - lalu apa yang akan kita lakukan ?"
"Tutup mulut," desis Julian. "Jo takkan jatuh! Geraknya cekatan, seperti kucing.
lihatlah - sekarang ini menuju ke jendela kamar yang bersebelahan dengan tempat
George dikurung. Jendela itu terbuka sedikit."
Sementara itu Jo sudah duduk enak-enak di ambang jendela kamar yang ditujunya.
Ia melambai-lambaikan tangan ke arah kedua anak laki-laki yang nampak jauh di
bawah. Sikapnya santai sekali, seakan-akan saat itu sama sekali tak berbahaya.
Kemudian ia memutar tubuh, lalu berusaha mendorong daun jendela ke atas agar
terbuka lebih lebar. Walau ia mendorong sekuat tenaga, tapi jendela tak dapat
digerakkan sedikit juga. Jo lantas merebahkan tubuh ke ambang jendela. Ia beringsut-ingsut, sehingga
akhirnya berhasil masuk lewat celah yang sangat sempit antara daun jendela
dengan ambangnya. Detik berikutnya Jo menghilang dalam kamar.
Dick dan Julian menarik napas lega. Lutut Dick gemetar. Bersama Julian ia
kemudian turun kembali ke lorong bawah tanah. Di situ mereka duduk diam-diam.
"Wah, pertunjukan tadi lebih menyeramkan daripada di sirkus," kata Dick setelah
agak lama membisu. "Aku takkan sanggup lagi menonton akrobat beraksi. Menurut
perasaanmu, apa yang sedang dikerjakan Jo sekarang?"
Jo sibuk sekali. Ia terjatuh ke balik jendela, sehingga lututnya memar terantuk
lantai kamar. Tapi Jo sudah biasa menahan rasa sakit.
Dengan cepat ia bangkit lalu bersembunyi di balik sebuah kursi. Siapa tahu, ada
orang mendengar bunyinya terjatuh tadi. Tapi setelah beberapa saat tak ada yang
muncul, Jo lantas memberanikan diri mengintip ke luar. Kamar itu berisi kursi
meja yang tua dan besar-besar. Debu hinggap di mana-mana. Dari langit-langit
kamar bergelantungan jaring labah-labah.
Jo berjingkat-jingkat mendekati pintu. Ia tak memakai sepatu, jadi langkahnya
sama sekali tak terdengar. Ia mengintip ke luar. Dilihatnya dekat situ ada
tangga melingkar terbuat dari batu, menuju ke bawah. Di sisi kiri kanan tangga
ada pintu. Jadi rupanya di tingkat menara itu terdapat empat kamar. Tiap pojok
ada satu. Dan dalam tiap kamar terdapat dua jendela.
Jo memandang ke pintu sebelah. Mestinya itulah pintu kamar tempat George
dikurung. Dalam lubang kunci terselip sebatang anak kunci yang sangat besar.
Nampak pula gerendel panjang dipasakkan ke tiang pintu. Jo cepat-cepat pergi ke
situ lalu menarik gerendel supaya terbuka. Tarikan itu menimbulkan bunyi
nyaring. Jo melesat lagi masuk ke dalam kamar yang pertama. Tapi masih tetap tak
ada yang muncul. Ia lantas kembali ke pintu yang terkunci. Kini ia memutar anak
kunci yang besar. Ternyata bisa terputar dengan mudah, karena selalu diminyaki.
Jo cepat-cepat mendorong pintu sehingga terbuka. Dijulurkannya kepala dengan
hati-hati ke dalam. Ternyata George memang ada di situ. Anak itu kelihatan kurus
dan sedih. Ia duduk dekat jendela. Jo ditatapnya, seperti melihat hantu!
"Ssssst!" desis Jo. Ia sangat menikmati saat gemilang itu. "Aku datang
membebaskanmu'" Sesaat George cuma bisa melongo saja.
Bab 20 KETEGANGAN MEMUNCAK
"JO!" bisik George, ketika ia sudah pulih dari kagetnya. "Benarkah kau yang
datang?" "Memang betul aku - rasakan, kalau masih belum percaya," .jawab Jo. Dihampirinya
George, lalu dicubitnya keras-keras. Setelah itu disentakkannya lengan anak itu.
"Ayo," kata Jo, "kita harus pergi dari sini, sebelum Red datang. Cepatlah
sedikit - aku tak mau tertangkap olehnya!"
George bangun, seperti sedang mimpi. Ia ikut saja, ketika ditarik ke pintu.
Mereka menyelinap ke luar, lalu tertegun sejenak di ujung atas tangga yang
melingkar. "Kurasa kita harus turun lewat sini," kata Jo. Ia memiringkan kepala,
mendengarkan dengan baik-baik. Setelah itu ia mulai menuruni tangga.
Tapi belum sampai selusin anak tangga dilewati, anak itu terpaku ketakutan.
Terdengar langkah orang naik ke atas!
Jo bergegas lari ke atas lagi. George didorongnya masuk ke dalam kamar yang
dilewatinya pertama-tama tadi.
"Ada orang datang," bisiknya dengan terengah-engah. "Sekarang habislah riwayat
kita." "Tentu lelaki yang berambut merah," kata George. "Orang itu naik ke sini tiga
sampai empat kali sehari. Ia selalu berusaha agar aku mau membuka mulut,
bercerita tentang kegiatan ayahku. Tapi aku tak tahu apa-apa. Apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
Di luar terdengar langkah pelan menaiki tangga, makin lama makin tinggi.
Bunyinya menggema. Kedua anak itu kini juga bisa mendengar napas terengah-engah.
Tiba-tiba Jo mendapat akal. Didekatkannya mulut ke telinga George, lalu ia
berbisik. "Begini sajalah," katanya. "Kita berdua kan mirip satu dengan lainnya. Aku akan
membiarkan diriku tertangkap lalu dikurung dalam kamar tadi. Sementara itu kau
menyelinap lari ke bawah, ke tempat Dick dan Julian. Red takkan tahu bahwa aku
bukan kamu! Pakaian kita serupa, karena Joan meminjamkan pakaianmu yang usang
padaku." "Jangan," bisik George kembali. "Aku tak mau kau tertangkap. "
"Tapi harus begitu," bisik Jo sengit. "Jangan goblok begitu! Nanti kalau Red
sudah pergi lagi, aku bisa dengan mudah membuka jendela lalu turun lewat tanaman
menjalar yang ada di luar. Ini satu-satunya kesempatan bagimu. Malam ini juga
kau akan dibawa pergi dari sini dengan helikopter."
Sementara itu langkah tadi sudah terdengar sampai di tingkat atas. Jo mendorong
George, disuruhnya bersembunyi di balik gorden. Sekali lagi ia berbisik,
"Lagipula, ini kulakukan bukan untukmu, tapi untuk Dick. Kau diam saja di situ.
Serahkan segala-galanya padaku."
Di luar terdengar suara orang berteriak kaget. Orang yang datang itu melihat
pintu kamar tempat George dikurung ternganga lebar. Ia cepat-cepat masuk.
Ternyata tak ada siapa-siapa lagi di situ. Orang itu keluar lagi, lalu berseru
ke bawah, "Markhoff! Pintu kamar terbuka, dan anak itu tak ada lagi di dalamnya! Siapa
yang membuka pintu tadi?"
Markhoff bergegas naik. Sekali langkah, sekaligus. dua anak tangga dilewati. Ia
muncul di tingkat teratas dengan tampang bingung.
"Tak ada yang membuka pintu," katanya. "Siapa yang bisa melakukannya" Kurasa
anak perempuan itu tak mungkin sudah jauh dari sini. Sejak terakhir kalinya aku
mengunci pintu ini, aku terus-terusan berada dalam kamar tingkat bawah. Kalau ia
lari ke luar, pasti akan nampak olehku."
"Siapa yang membuka kunci pintu?" teriak Red marah-marah. "Anak perempuan itu
harus tetap ada di tangan kita, supaya bisa dilakukan pertukaran."
"Mestinya ia masuk ke salah satu kamar lainnya," kata Markhoff. Ia kedengarannya
seakan tak mempedulikan majikannya yang mengamuk. Markhoff masuk ke kamar yang
berseberangan letaknya dengan kamar di mana Jo dan George bersembunyi sambil
gemetar ketakutan. Kemudian lelaki itu masuk ke kamar mereka. Dengan segera dilihatnya bagian atas
kepala Jo tersembul dari balik sandaran kursi. Markhoff cepat-cepat melompat ke
arah Jo, lalu menariknya ke luar.
"Ini dia'" serunya. Rupanya ia sama sekali tak menyadari bahwa anak perempuan
yang dipegangnya itu bukan George, melainkan Jo. Kedua anak itu memang mirip
satu sama lain. Kedua-duanya berambut ikal yang dipotong pendek, muka mereka
sama-sama coklat. Dan pakaian mereka pun serupa. Jo menjerit dan meronta-ronta,
seakan-akan dia memang George.
Takkan ada yang menyangka bahwa ia sebenarnya memang sengaja membiarkan dirinya
ketahuan dan tertangkap! George menggigil di balik gorden. Ia ingin sekali memburu keluar untuk
memberikan bantuan. Tapi disadarinya bahwa itu takkan ada gunanya. Lagipula
sekarang ada peluang baginya untuk mencari Timmy. Ia sudah nyaris tak kuat lagi
terpisah sebegitu lama dari anjing kesayangannya.
Jo yang masih menjerit dan meronta-ronta, sementara itu diseret ke dalam kamar
yang tadi, lalu pintu dikunci kembali. Kemudian Red bertengkar dengan Markhoff.
Keduanya saling tuduh-menuduh siapa yang lupa mengunci pintu.
"Kau yang terakhir naik ke mari," tukas Red.
"Biar aku paling akhir, tapi aku takkan membiarkan pintu tak dikunci," balas
Markhoff tak kalah sengitnya.
"Aku takkan segoblok itu. Kalau Anda, itu soal lain."
"Cukup'" bentak Red. "Anjing itu sudah kautembak mati" Belum! Ayo cepat turun
dan lakukan perintahku, sebelum binatang itu juga sempat melarikan diri!"
Rasa ngeri mencengkam diri George. Timmy akan ditembak! George bingung, tak tahu
apa yang harus dilakukan.
Didengarnya Red dan Markhoff berjalan menuruni tangga. Bunyi sepatu mereka mulamula berdentang di atas batu, tapi makin lama makin pelan dan akhirnya
menghilang. George menyelinap turun. Ternyata kedua orang tadi masuk ke sebuah kamar di
tingkat bawah. Mereka masih saja bertengkar. George memberanikan diri, lari
melewati ambang pintu kamar yang terbuka. Untung kedua orang itu tidak melihat ke arahnya! George sampai ke tangga
yang melingkar lagi. Ia turun begitu, cepat, sehingga nyaris terpeleset. Ia
terus turun. Tak ada yang berpapasan dengannya saat itu. Ia merasa seram. Tempat
itu aneh sekali! Akhirnya ia sampai di sebuah ruangan yang gelap dan sangat luas. Bau di situ
pengap. George lari ke pintu besar yang terdapat di sisi depan ruangan,lalu
berusaha membukanya. Pintu itu sangat berat. Tapi akhirnya ia berhasil juga.
George berdiri di luar, disinari cahaya matahari cerah. Ia terkejap-kejap
sebentar. Setelah itu ia mencari-cari dengan matanya. Ia tahu di mana Timmy
berada. Kadang-kadang ia melihat anjing kesayangannya itu, melangkah dengan gerak aneh
keluar-masuk tempat berangin-angin. George tahu Timmy dibius, karena tak mau
berhenti menggonggong. Red yang mengatakan padanya, ketika George pernah
bertanya mengenai Timmy. Orang itu sangat kejam. Ia senang melihat George
menderita. Anak itu bergegas melintasi halaman, menuju ke tempat berangin-angin. Timmy ada
di situ. Anjing itu terkapar di lantai, kelihatannya seperti sedang tidur.
George menubruknya, lalu merangkul leher Timmy.
"Timmy! Aduh, Timmy'" katanya sedih. Sesaat George tidak bisa melihat apa-apa,
karena genangan air mata. Timmy yang saat itu masih terpengaruh obat bius, dalam
mimpinya mendengar suara yang paling disayanginya. Anjing itu bergerak sedikit,
lalu membuka mata. Di depannya nampak George!
Tapi ia masih terlalu mengantuk, Matanya terpejam kembali. George bingung,
karena takut kalau-kalau Markhoff datang hendak menembak mati anjingnya itu,
"Timmy'" bisiknya dengan sangat dekat ke kuping Timmy. "Timmy! Ayo bangun,
Timmy!" Timmy membuka matanya lagi. Eh - George masih ada di depannya! Ternyata ia sama
sekali tidak mimpi. Kalau begitu semuanya akan beres kembali. Timmy bingung
sekali selama beberapa hari belakangan itu. Anjing itu berdiri terhuyung-huyung,
sambil menggoyang-goyangkan kepala. George cepat-cepat memegang kalung leher
Timmy. "Bagus, Tim," katanya. "Sekarang kau ikut denganku. Cepat!"
Tapi Timmy belum mampu berjalan. Berdiri saja, sudah dengan susah payah. George
memandang ke arah halaman. Ia sudah takut saja, jangan-jangan Markhoff akan
muncul saat itu. Tapi ia melihat orang lain. Dilihatnya Julian berdiri di ambang pintu di
seberang. Anak itu memandang ke arahnya. George terlalu cemas mengingat nasib
Timmy, sehingga ia tak sempat heran.
"Ju'" panggilnya. "Tolong aku! Mereka hendak menembak mati Timmy!"
Julian dan Dick bergegas mendatangi George.
"Apa yang terjadi tadi, Jo?" kata Julian. "Kau tidak ketemu dengan George?"
"Ju - ini aku, George!" kata George. Saat itu barulah Julian menyadari, anak
yang ada di depannya itu memang George. Tadinya ia begitu yakin bahwa itu Jo!
"Tolong aku mengangkat Timmy," kata George sambil menarik-narik kalung leher
anjingnya. "Di mana sebaiknya kita menyembunyikannya?"
"Di bawah tanah," kata Dick. "Cuma itulah satu-satunya tempat yang ada. Yuk'"
Entah bagaimana caranya, tapi akhirnya mereka berhasil membawa Timmy yang masih
lemas itu menyeberang halaman, menuju ke pintu ke bawah tanah. Padahal Timmy
beratnya bukan main! Dengan segera pintu dibuka, dan Timmy ditolakkan ke dalam.
Anjing itu terjungkir dan berguling-guling menuruni tangga batu. Terdengar bunyi
gedebuk ketika tubuhnya mendarat di dasar tangga. George terpekik ngeri.
Tapi ajaib. kelihatannya Timmy sama sekali tak cedera. Bahkan kejutan itu malah
menggugahnya. Anjing itu bangun, lalu memandang celingukan ke sekelilingnya.
Kemudian ia mulai mendengking-dengking sambil mendongak ke arah George yang
masih ada di atas. Timmy berusaha naik tangga, tapi ia masih terlalu lemas.
Dalam sekejap mata George sudah berlutut di samping Timmy, sambil menepuk dan
mengelus-elus. Dick dan Julian menyusul. Timmy merasa bahwa keadaan sekarang
akan biasa lagi. Asal saja kepalanya sudah tidak terasa berat dan pusing lagi
seperti saat itu. Ia tak mengerti, apa sebabnya ia merasa mengantuk terus.
"Sebaiknya kita bawa dia ke dalam gua," kata Dick. "Orang-orang itu pasti akan
mencarinya - dan mencari kita juga, jika ketahuan bahwa Timmy tak ada lagi di
tempat tadi, dan kita sudah menghilang dari tempat kita diikat."
Mereka lantas bergegas menyusur lorong-lorong sempit, dan akhirnya sampai dalam
gua, rendah yang ada lubang di dasarnya. Timmy kelihatannya masih tetap
linglung. Sesampai dalam gua, anak-anak lantas duduk menggerombol. George duduk dekatdekat dengan Timmy. Ia merasa lega, ketika kedua saudara sepupunya memadamkan
senter. Ia rasanya mau menangis saja. Padahal George tak pernah menangis. Jadi
akan memalukan jika mereka melihat air matanya berlinang-linang.
Dengan suara pelan diceritakannya apa yang terjadi dengan Jo.
"Aku disuruhnya bersembunyi, supaya ia yang tertangkap," kata George. "Anak itu
benar-benar hebat! Belum pernah kualami anak perempuan setabah dia. Dan ia
bahkan melakukan hal itu, walau ia tak suka padaku."
"Anak itu memang. aneh," kata Dick. "Tapi hatinya baik - benar-benar anak yang
budiman." Mereka berbicara cepat-cepat. saling menceritakan pengalaman selama itu. Tapi
mereka tetap berbisik-bisik. George menceritakan betapa ia tertangkap lalu
dibawa ke karavan bersama Timmy yang dipukul dengan tongkat sehingga pingsan.
"Kami melihat tulisanmu di dinding karavan, yang menyebutkan 'Red Tower'," kata
Dick. "Itulah yang kami jadikan pegangan, sehingga akhirnya sampai ke sini."
"Dengar," kata Julian tiba-tiba. Kedua saudaranya berhenti bicara. Kemudian
Julian menyambung. "Kayaknya aku tadi mendengar sesuatu. Kurasa kita harus
cepat-cepat menyusun rencana sekarang. Sebentar lagi mereka pasti akan mencari
kita. Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Bab 21 PENJAHAT BERTAMBAH BINGUNG
SETELAH Julian berkata begitu, George dan Dick juga merasa seakan-akan mendengar
sesuatu. Mereka mendengarkan baik-baik. Jantung George berdebar keras. Ia merasa
yakin, pasti kedua saudara sepupunya bisa mendengar debaran itu.
"Kurasa yang terdengar itu deburan ombak yang menggema dalam gua dan lorong,"
kata Julian kemudian. "Biasanya kita tak perlu lagi menajamkan telinga - karena
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timmy pasti akan segera menggeram, begitu terdengar bunyi yang mencurigakan!
Tapi kasihan dia, kelihatannya sangat mengantuk karena dibius. Ia takkan bisa
mendengar apa-apa saat ini!"
"Apakah dia bisa normal kembali?" tanya George cemas, sambil meremas-remas
kuping Timmy yang berbulu halus.
"O ya," kata Julian yakin. Padahal dalam hati ia-tidak merasa pasti. Timmy yang
malang! Kelihatannya benar-benar sakit.
"Tentunya selama hari-hari belakangan ini kau sangat menderita, ya George?"
tanya Dick. "Ya," jawab George. "Aku tak ingin bicara mengenai waktu itu lagi. Kalau Timmy
ada bersamaku waktu itu, kurasa aku takkan begitu sengsara rasanya. Tapi mulamula, ketika aku baru saja dibawa ke mari, yang kuketahui tentang Timmy hanya
suaranya saja yang menggonggong dan menggeram-geram terus di bawah menara.
Kemudian Red mengatakan padaku, bahwa Timmy sudah dibius olehnya."
"Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?" tanya Julian.
"Yah - kalian kan tahu, sebelumnya aku dikurung dalam karavan yang tidak enak
baunya itu," kata George. "Kemudian datang seorang laki-laki bernama Simmy.
Kurasa ia ayah Jo. Orang itu lantas menyeret kami ke luar. Timmy masih linglung
sehabis dipukul kepalanya. Ia dimasukkan ke dalam karung, lalu kami berdua
ditaruh di atas punggung kuda penarik karavan. Kami diangkut merintis hutan,
lalu melewati suatu jalan yang lengang dan tak terurus. Kami terus menyusur
pantai, dan akhirnya sampai di sini. Kami tiba pada tengah malam."
"Kasihan si George!" kata Julian. "Mudah-mudahan Timmy lekas normal kembali. Aku
ingin menyuruhnya melabrak Red dan lelaki yang satu lagi itu!"
"Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan Jo," kata Dick. Tiba-tiba ia teringat
bahwa kini anak itu terkurung dalam kamar menara, di tempat George disekap
selama itu. "Bagaimana perkiraanmu - mungkinkah saat ini Red dan Markhoff sudah tahu bahwa
kita berhasil melarikan diri, dan Timmy juga menghilang?" kata Julian lagi.
"Mereka pasti mengamuk kalau tahu!"
"Tidak bisakah kita lari saja dari sini?" tanya George. Sekonyong-konyong anak
itu ketakutan. "Kalian kan ke mari naik perahu" Tidak bisakah kita lari
dengannya,lalu mengambil bantuan untuk membebaskan Jo?"
Dick dan Julian diam saja. Keduanya segan mengatakan bahwa perahu George yang
disayanginya itu sudah rusak berantakan karena dipecahkan oleh Markhoff. Tapi
anak itu harus tahu. Julian lantas menceritakannya dengan singkat.
George diam saja mendengarnya. Selama beberapa menit ketiga anak itu sama-sama
membisu. Yang terdengar saat itu cuma bunyi napas Timmy saja yang berat, mirip
suara mendengkur. "Tidak bisakah kita apabila hari sudah gelap nanti naik lagi ke atas, lalu
melintasi halaman dan mengitari tembok menuju pintu gerbang?" kata Dick
kemudian. "Di sini kita sudah pasti tak bisa lari ke mana-mana- setidak-tidaknya
tanpa perahu, mustahil!"
"Atau lebih baik menunggu dulu sampai Red dan Markhoff sudah pergi naik
helikopter," sambut Julian. "Setelah itu rasanya lebih aman."
"Memang betul - tapi lantas bagaimana dengan Jo?" kata Dick. "Mereka kan mengira
anak itu George! -Jadi ia akan dibawa pergi bersama mereka, seperti direncanakan
dengan George. Aku tak sanggup berusaha lari, tanpa terlebih dulu berusaha
menyelamatkan Jo. Dia benar-benar berjasa terhadap George."
Ketiganya lantas sibuk merembukkan segala kemungkinan untuk menolong Jo. Tapi
rasanya tak ada satu pun rencana yang bisa dipakai. Sementara itu waktu berjalan
terus. Mereka merasa lapar dan kedinginan.
"Coba kita bisa melakukan sesuatu, maka pasti perasaan kita akan lebih enak,"
keluh Dick. "Aku ingin tahu, apa yang sedang terjadi saat ini di rumah Red."
Ternyata banyak sekali yang terjadi dalam rumah kelabu bermenara persegi yang
menjulang tinggi! Pertama-tama Markhoff keluar. Ia hendak menembak mati Timmy, seperti
diperintahkan oleh Red. Tapi ketika ia sampai di tempat berangin-angin,
dilihatnya anjing itu sudah tak ada lagi di situ!
Markhoff melongo! Padahal anjing itu kecuali dibius, juga diikat keempat
kakinya. Tapi sekarang yang nampak cuma tali saja yang tergeletak di lantai.
Sedang anjingnya sudah tidak ada lagi!
Markhoff celingukan, memandang ke sekeliling ruangan. Siapakah yang melepaskan
Timmy" Kemudian ia lari ke bangunan terkunci, di mana Julian dan Dick tadi
diikatnya dengan tali ke gelang besi yang terpasang di tembok. Ternyata pintu
masih terkunci. Tentu saja! Markhoff memutar anak kunci, lalu mendorong pintu
sehingga terbuka. "He!" serunya marah. Maksudnya hendak membentak-bentak Dick dan Julian. Tapi
tiba-tiba ia melongo lagi. Dalam ruangan itu tidak ada siapa-siapa! Sekali lagi
dilihatnya tali tergeletak di lantai - tapi dalam keadaan terpotong-potong.
Sedang kedua tahanan sudah minggat. Anjing lenyap. Kedua anak laki-laki kabur!
Markhoff merasa seakan-akan ditipu matanya sendiri. Ia memandang berkeliling
ruangan. "Tapi pintu kan terkunci dari luar!" gumamnya. "Apa-apaan ini" Siapa yang
melepaskan anjing dan kedua anak itu"' Apa kata Red nanti?"
Markhoff memandang ke arah helikopter yang sudah siap terbang di tengah halaman.
Sesaat ia sudah ingin lari saja, meninggalkan Red seorang diri di situ. Tapi
kemudian ia teringat pada watak majikannya yang cepat marah itu. Jika ada orang
berani mengkhianati, maka kekejaman pembalasannya tidak pernah setengahsetengah. Karena itu ia dengan segera berubah pikiran.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang saja, sebelum gelap," pikirnya. "Ada sesuatu
yang tidak beres di sini. Mestinya ada orang lain di tempat ini, yang
kehadirannya sama sekali tidak kita ketahui. Sebaiknya kulaporkan saja pada
Red!" Markhoff lantas masuk ke dalam rumah. Dalam ruangan besar, tahu-tahu ia
bertatapan dengan dua orang yang sudah menunggu di situ. Mula-mula ia tak tahu
siapa mereka, karena ruangah itu gelap. Markhoff buru-buru mundur selangkah.
Tapi kemudian dilihatnya bahwa kedua orang itu Simmy dan Jake.
"Apa yang kalian cari di sini?" bentaknya. "Bukankah kalian disuruh mengamatamati Pondok Kirrin, untuk menjaga agar mereka jangan sampai bisa memberi tahu
polisi?" "Betul," kata Jake masam. "Dan kami ke mari untuk melaporkan bahwa juru masak di
situ - yang bernama Joan - tadi pagi pergi ke kantor polisi. Bersama dia ikut
salah seorang anak - seorang anak perempuan. Sedang yang laki-laki, kedua-duanya
tidak kelihatan." "Memang tidak mungkin, sebab mereka ada di sini. Setidak-tidaknya, tadi ada di
sini," kata Markhoff. "Tapi kini sudah lari lagi. Lalu mengenai polisi, kami
mendengar bahwa mereka berada dalam perjalanan ke mari. Dan kami sudah mengatur
rencana selanjutnya! Kalian terlambat datang dengan kabar kalian. Kalian ini
payah, disuruh memata-matai saja tidak sanggup! Sekarang pergi - kami akan
membawa lari anak perempuan itu dengan helikopter sebelum polisi tiba. Bagaimana
sampai ada yang tahu di mana anak itu" Kaliankah yang membocorkannya?"
"Huhh!" kata Simmy dengan nada menghina. "Kausangka kami ingin berurusan dengan
polisi" Jika kau menyangka begitu, kau edan! Kami ingin minta pembayaran
tambahan. Kami sudah melakukan semua pekerjaan yang tidak enak, tapi kalian
hanya membayar setengah dari upah yang dijanjikan. Sekarang berikan sisanya!"
"Minta saja pada Red," sergah Markhoff. "Kenapa minta padaku" Minta saja pada
dia!" "Baiklah, kami akan meminta padanya," tukas Jake. Mukanya merah padam karena
marah. "Kami sudah melakukan segala-galanya seperti yang disuruh olehnya
mencurikan dokumen-dokumen, menculik anak itu serta anjingnya yang galak lihat! Tanganku sampai luka digigitnya! Tapi upah yang kami terima cuma setengah
dari yang dijanjikan semula! Dan kurasa kedatangan kami di sini tepat sekali
saatnya. Kalian bermaksud melarikan diri naik heli itu, supaya tak perlu
membayar sisa upah kami. Cih!"
"Di mana Red sekarang?" bentak Simmy.
"Ada di atas," jawab Markhoff. "Ada kabar buruk untuknya, jadi dia takkan merasa
gembira melihat tampang kalian yang jelek muncul di sini. Lebih baik aku dulu
yang menyampaikan kabar, dan setelah itu barulah kalian memaparkan permintaan
tadi." "Mau melucu ya!" kata Jake. Suaranya terdengar mengancam. Ia tak suka pada
Markhoff. Begitu pula halnya dengan Simmy. Keduanya mengikuti lelaki gempal itu
menaiki tangga rumah yang lebar, lalu naik tangga lagi sampai akhirnya tiba
dalam kamar yang terletak di bawah tangga yang melingkar.
Red ada dalam ruangan itu. Ia sedang sibuk meneliti kertas-kertas yang dicuri
dari kamar kerja ayah George. Kelihatannya ia sedang jengkel sekali.
Dibantingkannya kertas-kertas ke meja, ketika Markhoff masuk.
"Bukan ini kertas-kertas yang kuinginkan!" katanya keras. "Anak perempuan itu
akan kutahan terus sampai .... lho! Ada apa, Markhoff" Ada yang tidak beres?"
"Banyak," jawa Markhoff. "Anjing itu tak ada lagi - sudah lenyap ketika
kudatangi untuk ditembak! Lalu kedua anak laki-laki juga sudah minggat - ya,
betul! Lari dari bangunan yang terkunci! Aku sendiri tak tahu bagaimana
caranya," katanya terburu-buru, ketika melihat mata Red menjadi sewarna dengan
rambutnya. "Lalu ini ada dua tamu untuk Anda - mereka minta uang," katanya sambil mencibir.
"Mereka juga hendak menyampaikan kabar tentang persoalan yang sudah Anda ketahui
- yaitu polisi sudah diberi tahu mengenai Anda!"
Muka Red Tower menjadi merah padam. Matanya yang aneh, merah berkilat-kilat.
Mula-mula ditatapnya Markhoff. Setelah itu berganti ke Simmy dan Jake. Markhoff
nampak agak gelisah. Tapi Jake dan Simmy membalas tatapnya dengan sikap tak
acuh. "Kau - kalian - kalian berani datang ke mari, padahal sudah kuperintahkan jangan
datang!" bentak Red. "Kalian sudah menerima pembayaran. Aku tak bisa diperas
dengan begitu saja!"
Tak ada yang tahu apa yang akan dikatakan olehnya setelah itu, karena pada saat
itu juga dari arah sebelah atas terdengar suara pekik jerit, ditambah bunyi
seakan-akan ada orang berusaha menjebol pintu.
"Kurasa itu anak tadi," kata Markhoff menggumam. "Kenapa lagi dia sekarang"
Selama ini kan selalu diam!"
"Sebaiknya kita keluarkan saja sekarang lalu kita bawa pergi," kata Red, yang
mukanya masih merah padam.
"Jake, kau ke atas untuk menjemputnya. Kalau ia masih teriak-teriak terus, pukul
saja supaya diam." "Ambil sendiri," kata Jake seenaknya.
Red melirik Markhoff, yang langsung mengacungkan pistol.
"Perintahku harus selalu dituruti," kata Red lagi. Suaranya tiba-tiba terdengar
dingin. "Selalu, kataku! Mengerti?"
Detik berikutnya yang lari ke atas bukan Jake saja, tapi juga Simmy. Mereka
bergegas-gegas membuka kunci dan gerendel pintu yang tertutup. Setelah itu Simmy
melangkah masuk, untuk memberi pelajaran pada anak perempuan yang dikurung di
situ. Tapi seketika itu juga ia tertegun. Mulutnya melongo. Matanya terkejap-kejap.
Digosok-gosok dengan tangan lalu melongo lagi. Sedang Jake seperti tidak mau
kalah lebar mengangakan mulutnya.
"Halo, Yah," sapa Jo. "Ayah kelihatannya heran melihat aku ada di sini."
Bab 22 JO BERTINDAK CEPAT
"JO!" seru Simmy. "Lho! Apa - astaga - JO!"
Jake lebih dulu pulih dari kagetnya.
"Apa-apaan ini?" bentaknya kasar pada Simmy. "Ada apa Jo di sini" Bagaimana la
bisa sampai di sini" Lalu mana anak satu lagi, yang kita ringkus waktu itu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" kata Simmy, sementara matanya masih tetap terbelalak
menatap Jo. "Kenapa kau ada di sini, Jo" Ayo katakan! Dan di mana anak yang satu
lagi?" "Coba cari dalam kamar, barangkah ada di situ," kata Jo seenaknya. Tapi ia sudah
siap akan lari, jika ayahnya atau Jake tahu-tahu hendak menyambarnya. Kedua
lelaki itu memandang ke sekeliling ruangan dengan tergesa-gesa. Jake mendekati
sebuah lemari besar. "Ya betul - mungkin anak itu bersembunyi di dalam," kata Jo. Ia mulai asyik.
"Periksa baik-baik!"
Kedua lelaki itu bingung, tak tahu apa yang harus dikatakan. Mereka datang
hendak menjemput George-tapi yang ada di situ ternyata Jo!
Tapi bagaimana" Kenapa" Apa yang terjadi tadi" Mereka kehilangan akal. Tak ada
yang mau kembali ke bawah untuk memberitahukan pada Red. Mereka lantas sibuk
memeriksa seluruh kamar. Sampai sudut-sudut terkecil pun tak luput dari
pemeriksaan. Sementara Itu Jo mengejek-ejek terus.
"Tarik laci-laci, periksa apakah ia bersembunyi di dalamnya. Dan jangan lupa
melihat di bawah permadani. Yak! Betul, Jake, masukkan kepala ke tempat
perapian, lalu lihat ke atas ke dalam cerobong asap. Awas! Jangan sampai George
bisa menyepakkan angus ke matamu!"
"Kutempeleng kau nanti kalau tidak mau diam!" geram Jake dengan sengit, sambil
membuka pintu sebuah lemari kecil. Saat itu dari bawah terdengar suara marah.
"Jake! Apa lagi yang kaulakukan di atas" Cepat, bawa anak itu ke mari!"
"Ia tak ada di sini!" Jake membalas berteriak. Ia ikut marah. "Apa yang
kaulakukan dengannya" Ia tak ada lagi di sini!"
Red memburu naik ke atas dengan mata menyala-nyala karena marah. Pertama-tama
yang dilihatnya dalam kamar adalah Jo. Dan tentu saja dikiranya anak itu George.
"Apa maksudmu - anak itu tak ada lagi?" katanya mengamuk. "Kau sudah sinting
rupanya!" "Tidak," jawab Jake sambil memicingkan mata. "Pokoknya tak seedan dirimu, Red.
Anak ini bukan anak sarjana yang kami curi kertas-kertas catatannya! Ini anak
Simmy - namanya Jo."
Red saat itu kelihatan seakan-akan beranggapan bahwa Jake sudah gila. Kemudian
dipandangnya Jo. Ia masih tetap tak melihat perbedaan antara Jo dengan George
yang sudah tak ada lagi di situ! Rambut ikal pendek, muka coklat, hidung mencuat
ke atas - ia tak mau percaya bahwa anak itu bukan George, tapi Jo anak Simmy! Ia
malah menyangka bahwa Jake dan Simmy tiba-tiba saja hendak menipunya. Entah
dengan alasan apa! Tapi kemudian Jo membuka mulut.
"Ya, aku Jo," katanya. "Aku bukan Georgina. Anak itu sudah pergi. Sedang aku ini
cuma Jo saja, dan Simmy ayahku. Kau kan datang untuk menyelamatkan diriku, Yah?"
Tentu saja Simmy sama sekali tidak berniat begitu. Ia cuma bisa melongo saja
menatap Jo. Sekarang Red sudah benar-benar marah. Begitu ia mendengar suara Jo,
ia langsung sadar bahwa anak itu memang bukan George. Jadi ternyata ia memang
tertipu - dan karena yang berdiri di depannya itu anak Simmy, maka tentunya
Simmy ikut campur dalam penipuan terhadapnya!
Tiba-tiba didekatinya Simmy lalu ditamparnya. Matanya menyala-nyala.
"Kau mengkhianati aku ya"!" bentaknya.
Simmy terpelanting ke lantai. Dengan segera Jake datang membantu. Kaki Red
disengkelit olehnya sehingga orang itu terjatuh. Dan Jake langsung menindihnya.
Jo memandang ketiga lelaki yang sedang bergulat di lantai. Ia mengangkat bahu.
Biar saja mereka berkelahi! Ketiga-tiganya sudah melupakan dirinya. Dan baginya,
itu malah kebetulan. Jo lari ke luar. Ketika sedang menuruni tangga, tiba-tiba
ia mendapat akal lagi. Ia kembali sambil nyengir nakal. Pintu kamar ditutupnya
dengan hati-hati - lalu langsung dikunci dan digerendel.
Ketiga orang yang di dalam mendengar pintu dikunci. Jake melompat ke arah pintu,
lalu menarik-narik tombolnya.
"Kita dikurungnya di dalam," katanya marah-marah.
"Panggil Markhoff!" bentak Red. Tubuhnya menggigil karena marah. Dan Markhoff
yang ditinggal dalam kamar di bawah tangga, tiba-tiba mendengar suara ributribut di atas! Pekik jerit bercampur bunyi pintu dipukul-pukul! Ia bergegas
naik, sambil bertanya-tanya dalam hati ada apa di atas.
Jo saat itu bersembunyi dalam kamar sebelah. Begitu Markhoff menuju ke pintu
yang terkunci dan menarik gerendel, anak itu cepat-cepat menyusup lewat lalu
melesat menuruni tangga putar. Markhoff sama sekali tak melihatnya. Jo nyengir
sendiri, sambil memeluk sesuatu.
Benda itu anak kunci pintu kamar atas. Sekarang tak ada yang bisa membukanya karena anak kuncinya hilang!
"Buka pintu!" seru Red dari dalam. "Anak itu tak ada lagi di sini."
"Anak kunci juga tidak ada!" balas Markhoff dari luar. "Rupanya dibawa anak itu.
Kukejar dia sekarang!"
Mengejar Jo, mungkin ia masih mampu. Tapi menemukannya" Anak itu seakan-akan
lenyap dengan begitu saja.
Markhoff mengamuk, mencari ke seluruh ruangan. Tapi Jo tetap tak ditemukannya.
Markhoff lantas pergi ke halaman dan memeriksa di situ.
Sebetulnya Jo lari ke dapur, dan di situ menemukan ruangan tempat menyimpan
makanan. Perutnya terasa sangat lapar. Ia ingin makan. Dalam dapur tak ada
orang, walau di oven nampak api menyala.
Jo menyelinap masuk ke dalam kamar tempat menyimpan makanan. Diambilnya anak
kunci yang terselip dalam lubangnya sebelah luar. Ia mengunci dirinya dalam
kamar itu. Dilihatnya di situ ada sebuah jendela berukuran kecil. Dengan hati
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati dibukanya jendela itu, sehingga kalau nanti ketahuan bahwa ia mengunci diri
di situ, ia akan bisa minggat lewat lubang jendela.
Setelah itu ia mulai menyikat makanan. Entah apa saja yang masuk ke dalam
perutnya. Tapi pokoknya setelah itu ia merasa jauh lebih enak. Ia lantas
teringat pada teman-temannya. Terpikir olehnya bahwa tentunya mereka juga sangat
lapar. Ia menemukan sebuah ransel tergantung pada paku. Diambilnya tas itu lantas
diisinya dengan berbagai jenis makanan. Sekarang apabila ia berhasil menemukan
mereka, pasti ia akan disambut dengan gembira!
Jo meletakkan anak kunci kamar tadi di dasar ransel. Ia merasa puas terhadap
dirinya sendiri. Red, Simmy dan Jake sudah berhasil dikunci olehnya dalam kamar
menara, sehingga tak bisa apa-apa lagi. Sedang Markhoff - ia tidak begitu takut
pada orang itu, kalau dibandingkan dengan Red. Jo merasa yakin, akan bisa
menghindar dari kejaran Markhoff.
Ia sama sekali tak kasihan pada Simmy, ayahnya. Jo tidak sayang atau hormat
padanya, karena Simmy juga tidak bersikap seperti seharusnya seorang ayah' pada
anaknya. Jo mendengar langkah Markhoff tergesa-gesa masuk ke dalam dapur. Ia lantas
cepat-cepat memanjat rak tempat menaruh makanan. Ia sudah siap menyusup ke luar
lewat jendela, apabila orang itu kedengaran berusaha hendak mendobrak pintu.
Tapi ternyata tidak! Markhoff keluar lagi dengan langkah gedebak-gedebuk.
Jo membuka pintu dengan hati-hati. Dilihatnya seorang wanita tua berdiri dekat
meja di dapur. Wanita itu sedang sibuk melipat pakaian yang rupanya baru saja
diangkat dari tali jemuran di luar. Ia nampak kaget, ketika tahu-tahu kepala Jo
muncul dari balik pintu kamar tempat menyimpan makanan.
"Kenapa...." Wanita itu hendak mengatakan sesuatu dengan nada marah. Tapi Jo
sudah lebih dulu lari ke luar dapur. Wanita tua itu pergi ke kamar yang baru
saja ditinggalkan anak itu. Ia terpekik-pekik kesal, ketika melihat simpanan
makanan di situ licin tandas.
Jo merayap dengan hati-hati, menuju ruang depan. Didengarnya langkah kaki
Markhoff di tingkat atas. Rupanya orang itu masih terus mencarinya dengan marah.
Jo nyengir senang, lalu menyelinap ke pintu depan.
Ia membuka pintu. Setelah menunggu sekejap, ia keluar. Sambil merapatkan diri ke
tembok, Jo beringsut-ingsut menuju pintu yang terdapat di ujung atas undakundakan bawah tanah. Sesampai di situ pintu langsung dibuka olehnya dan ia
menyusup masuk. Dengan hati-hati sekali pintu ditutupnya kembali.
Sekarang mencari teman-temannya. Jo merasa pasti bahwa mereka ada dalam gua.
Pasti mereka akan gembira melihat ia datang membawa makanan!
Jo bergegas-gegas turun ke bawah, lalu menyusur lorong yang melandai ke bawah.
Ia tak membawa senter., Jadi ia terpaksa berjalan sambil meraba-raba. Ia sama
sekali tak merasa takut. Cum a sekali ia mengaduh, ketika kakinya terantuk batu
tajam. Sementara itu Julian, Dick dan George masih tetap duduk bergerombol mengelilingi
Timmy. Julian pernah sekali bangun dan pergi ke pintu yang membuka ke halaman
rumah, lalu mengintip dengan hati-hati untuk melihat apa yang nampak di luar.
Tapi ia tidak melihat apa-apa, kecuali seorang wanita tua yang sedang
menggantung pakaian pada tali jemuran.
Mereka bertiga memutuskan untuk menunggu dulu sampai malam, sebelum berbuat
sesuatu. Menurut perasaan mereka mungkin saja saat itu Timmy akan sudah normal
kembali, sehingga bisa diharapkan bantuannya melindungi mereka terhadap Red atau
Markhoff. Sementara itu mereka duduk saja terkantuk-kantuk sambil menggerombol,
menikmati kehangatan tubuh Timmy yang besar.
Tiba-tiba Timmy menggeram! Betul, anjing itu menggeram. Sudah lama tak terdengar
lagi suaranya yang galak. George memegang moncongnya, menyuruh diam. Setelah itu
mereka memasang telinga. Terdengar suara seseorang memanggil-manggil.
"Dick! Julian! Di mana kalian" Aku tersesat!"
"Itu Jo!" seru Dick lalu menghidupkan senternya dengan segera. "Kami ada di
sini, Jo! Bagaimana kau bisa melarikan diri" Apa yang terjadi di atas?"
"Banyak sekali," jawab Jo, setelah sampai di tengah-tengah temannya yang bertiga
itu. "Wah, tanpa senter gelap sekali lorong tadi. Rupanya aku salah jalan.
Karena itulah aku lantas berteriak-teriak. Padahal aku tak terlalu jauh tersasar
tadi. Kalian mau makan?"
"Apaa?" Tiga suara berteriak serempak, suara tiga orang anak yang kelaparan.
Bahkan Timmy ikut mengangkat kepalanya dan mengendus-ngendus bawaan Jo.
Jo tertawa sambil membuka oleh-olehnya. Begitu makanan dikeluarkan dengan segera
anak-anak berebutan mengambilnya.
"Kau memang anak ajaib, Jo," kata Dick dengan mulut penuh makanan. "masih ada
lagi isi tas itu?" "Ya - ada," jawab Jo. Lalu mengambil anak kunci yang besar. "Ini, lihatlah! Aku
mengunci Red, Jake dan ayahku dalam kamar menara, dan ini dia anak kuncinya.
Nah! Apa kata kalian sekarang?"
Bab 23 DIKEJAR MARKHOFF GEORGE mengambil anak kunci itu dan memperhatikannya dengan kagum.
"Jo!" serunya gembira. "Betulkah ini anak kunci kamar itu - dan kau mengurung
mereka semua di dalamnya" Sungguh, kau ini memang anak ajaib!"
"Betul!" kata Dick. Tiba-tiba dirangkulnya anak itu sebentar, sehingga muka Jo
berseri-seri karena senang.
"Aku belum pernah mengenal anak perempuan sehebat dia. Ia setabah dua puluh anak
sekaligus'" "Ah, sebenarnya itu tadi gampang saja," jawab Jo, sementara matanya berkilatkilat gembira. "Sekarang kau kan mau percaya padaku, ya Dick" Kalian kan tak ada
lagi yang masih akan jahat terhadapku?"
"Tentu saja tidak," kata Julian. "Mulai sekarang kita akan bersahabat untuk
selama-lamanya!" "Tapi aku bukan teman George," kata Jo dengan segera.
"O ya," kata George. "Kutarik kembali semua ucapanku yang tidak enak terhadapmu.
Kau sama hebatnya seperti anak laki-laki."
Itu pujian setinggi-tingginya yang bisa diberikan oleh George pada anak
perempuan. Wajah Jo semakin bersinar. Ditumbuknya George sambil main-main.
"Sebetulnya aku melakukan hal itu untuk Dick," katanya. "Tapi lain kali,
untukmu!" "Wah - mudah-mudahan jangan sampai terjadi lagi lain kali," kata George
bergidik. "Tak bisa kukatakan bahwa aku senang selama beberapa hari belakangan
ini." Kini mereka semua sudah lebih gembira dan bersemangat, karena perut sudah tidak
kosong lagi. Julian memandang ke arlojinya.
"Sebentar lagi malam," katanya. "Aku ingin tahu, apa yang sedang dilakukan
orang-orang di atas!"
Ternyata tiga dari mereka masih tetap terkurung dalam kamar menara. Pintu tetap
tak bisa dibuka, walau Markhoff sudah berusaha sekuat tenaga. Pintu itu kokoh
sekali buatannya. Dan kuncinya juga tak bisa dikutik-kutik. Dua orang lagi dari
kawanan mereka dipanggil dari garasi untuk membantu. Namun hasilnya, cuma daun
pintu saja yang semakin jelek permukaannya karena ditendang-tendang. Tapi selain
daripada itu, sama sekali tak ada perubahan. Pintu tetap terkunci!
Di dalam kamar, Simmy dan Jake melihat saja sementara Red mondar-mandir kayak
singa dalam kurungan. Dalam hati mereka bersyukur bahwa mereka berdua lawan Red
seorang diri. Orang itu persis orang gila tingkahnya. Mondar-mandir sambil
berteriak-teriak. Markhoff yang berdiri di luar bersama kedua orang yang dipanggil untuk membantu,
sementara itu sudah sangat cemas. Polisi belum muncul sampai saat itu. Ia tak
tahu bahwa mereka memang takkan muncul, karena Joan hanya bisa menyampaikan
laporan bahwa Julian dan Dick berangkat naik perahu untuk menemui seseorang
bernama Red. Tapi ia sama sekali tak tahu di mana tempat tinggal orang itu!
Karena Red dan juga Markhoff tak tahu bahwa polisi tak mungkin datang, mereka
lantas mengira bahwa polisi sudah bersiap-siap untuk menyergap mereka. Coba
mereka bisa lari dengan helikopter, sebelum terjadi apa-apa!
"Markhoff! Ajak Karl dan Tom ke gua di kaki tebing," kata Red setelah beberapa
waktu berlalu. "Anak-anak itu pasti ada di sana. Cuma di situ saja mereka bisa
bersembunyi. Mereka takkan bisa keluar dari sini karena pintu gerbang depan
terkunci dan dipasak dengan palang pintu, sedang tembok halaman terlalu tinggi
sehingga tak mungkin mereka memanjat lewat situ. Tangkap anak-anak itu dan
geledah mereka. Cari anak kunci pintu ini!"
Markhoff beserta kedua pembantu yang berbadan tegap turun ke bawah lalu pergi ke
pintu yang menuju ke dalam gua.
Mereka menuruni undak-undakan yang terjal. Tak lama kemudian mereka sudah
tersandung-sandung menyusur lorong sempit yang melandai ke bawah. Dentang sepatu
bot beralas paku menggema ribut. Akhirnya mereka sampai di gua yang ada lubang
pada dasarnya. Tapi tak ada siapa-siapa di situ. Anak-anak mendengar bunyi berisik orang-orang
datang, lalu bergegas turun ke gua sebelah bawah lewat lubang penghubung. Mereka
terus lari, masuk ke dalam gua berbau pengap yang banyak kelelawarnya. Lalu
menyusup ke sela batu dan masuk ke gua paling depan yang terletak di belakang
birai batu yang menjorok di atas tebing yang curam.
"Tak ada tempat persembunyian untuk kita," keluh Julian. Ia menoleh ke dalam gua
kembali lebih baik di situ saja, daripada berdiri di depan lubang yang terang.
Ditariknya anak-anak ke dalam gua, sementara ia menyorotkan senter ke atas dan
ke bawah. Ia mencari-cari sudut terselip yang bisa dijadikan tempat bersembunyi.
Dilihatnya ada semacam serambi pada tempat yang agak tinggi. Dijunjungnya George
ke situ, dan George menarik Timmy ke atas. Timmy yang malang sekali itu ia
takkan bisa banyak menolong mereka. Anjing itu masih terpengaruh obat bius,
sehingga kerjanya mengantuk terus. Ia menggeram ketika terdengar suara orang
datang, tapi setelah itu kepalanya terkulai kembali.
Dick naik ke atas serambi, lalu merunduk di sisi George. Julian menemukan
sebongkah batu yang menonjol ke luar. Ia berusaha menyembunyikan diri di
belakangnya, sementara Jo tiarap dalam lubang di sisi dinding lalu mengubur
tubuhnya dengan pasir. Anak itu banyak akalnya, pikir Julian kagum. Selalu tahu
apa sebaiknya yang harus dilakukan!
Tapi sial bagi Jo - cuma ia sendiri yang kemudian ketahuan! Itu pun secara
kebetulan saja - Markhoff menginjak tangan anak itu. Bersama kedua pembantunya
orang itu turun ke bawah lawat lubang di langit-langit, lalu terus melalui gua
yang banyak kelelawarnya, dan akhirnya sampai di gua yang menghadap ke laut.
"Anak-anak itu tak ada di sini," kata salah seorang pembantu Markhoff. "Pasti
mereka bersembunyi di tempat lain. Huhh, tempat ini seram-yuk, kita kembali
saja!" Sementara itu Markhoff sibuk menyorotkan senternya ke atas dan ke bawah, untuk
melihat barangkali ada salah seorang anak yang bersembunyi di balik tonjolan
batu. Ia berjalan sambil menyorotkan senter - dan tiba-tiba tangan Jo terinjak
olehnya. Jo menjerit kesakitan. Markhoff kaget setengah mati, sehingga nyaris
saja senternya terlepas dari pegangan.
Tapi Markhoff ternyata cukup sigap. Detik berikutnya Jo sudah ditariknya keluar
dari dalam pasir. Digoncang-goncangnya anak itu.
"Ini dia anak yang kita cari!" katanya pada kedua pembantunya. "Dia yang
melarikan anak kunci. Mana barangnya, Setan kecil" Ayo serahkan padaku, kalau
tidak ingin kucampakkan ke bawah tebing!"
Julian kaget mendengar ancaman itu. Ia merasa yakin bahwa Markhoff tidak mainmain. Orang jahat itu pasti akan melemparkan Jo ke kaki tebing. Ia sudah
bersiap-siap untuk meloncat turun dan membantu, ketika tiba-tiba Jo membuka
mulut. "Baiklah, tapi lepaskan aku dulu," kata anak itu. "Nih, ini dia anak kunci yang
kaucari! Pergilah ke atas - bebaskan ayahku sebelum polisi datang. Aku tak ingin
ayahku tertangkap polisi!"
Markhoff berseru menang sambil menyentakkan anak kunci yang dipegang Jo. Setelah
itu Jo ditempelengnya keras-keras.
"Kodok jelek," umpatnya. "Kau boleh tinggal di bawah sini bersama kawan-kawanmu!
Kalian boleh tinggal lama di sini! Mau tahu apa yang akan kami lakukan" Kami
akan menggulingkan sebongkah batu besar ke lubang yang ada di gua yang satu lagi
- dan kalian akan tertawan di sini!
"Kalian tak bisa lari ke atas- dan turun ke bawah juga tak mungkin! Jika mencoba
lari dengan jalan berenang, tubuh kalian pasti akan remuk karena terbanting ke
karang. Nah - itulah pelajaran bagi kalian, karena selalu mencampuri urusan
orang lain!" Kedua pembantunya tertawa keras-keras.
"Bagus idemu itu, Mark," kata yang satu. "Mereka terkurung di sini - dan tak ada
yang tahu di mana mereka berada. Yuk - jangan buang-buang waktu lagi sekarang.
Kita harus cepat-cepat membebaskan Red, sebelum dia meledak karena marah!"
Kemudian ketiga penjahat itu kembali lagi ke dalam tebing. Anak-anak mendengar
langkah kaki mereka makin lama makin jauh, dan akhirnya hilang. Rupanya ketiga
orang itu sudah naik lagi ke gua yang ada di atas, lalu berjalan kembali ke
rumah. Julian muncul dari tempatnya bersembunyi. Tampangnya geram dan sekaligus agak
takut. "Nah, habis riwayat kita sekarang," katanya suram. "Jika mereka sungguh-sungguh
menutup lubang penghubung dengan batu besar, maka kita akan terkurung di sini
untuk selama-lamanya! Seperti katanya tadi, kita tidak bisa naik ke atas dan
kita juga tidak bisa melarikan diri lewat bawah. Ombak laut terlalu besar, jadi
kita tak mungkin bisa berenang di situ. Sedang di atas birai yang di luar,
permukaan tebing tak bisa didaki!"
"Coba kulihat sebentar apakah lubang penghubung benar-benar mereka tutup atau
tidak," kata Dick. "Mungkin saja mereka cuma menggertak saja."
Tapi ternyata Markhoff sama sekali tidak cuma menggertak. Ketika sinar senter
diarahkan ke lubang yang ada di langit-langit gua, nampak sebongkah batu besar
menutupi dari atas. Jadi mereka tak bisa naik lewat lubang itu lagi. Tak mungkin batu sebesar itu
bisa digeser ke samping dari bawah. Anak-anak lantas duduk dengan wajah muram di
atas birai, diterangi cahaya matahari terbenam.
"Sayang Jo tadi ketahuan," kata George. "Dan lebih sayang lagi, ia terpaksa
menyerahkan anak kunci pada orang-orang itu. Sekarang Red beserta kawanannya
akan bisa melarikan diri."
"Tak mungkin," kata Jo dengan tidak disangka-sangka. "Aku tadi tidak menyerahkan
anak kunci kamar menara. Aku sebenarnya masih membawa satu anak kunci lagi,
yaitu anak kunci pintu kamar tempat menyimpan makanan di sebelah dapur! Dan anak
kunci itulah yang kuserahkan pada mereka."
"Astaga!" kata Julian kaget bercampur kagum. "Macam-macam saja perbuatanmu, Jo!
Tapi bagaimana kau sampai memegang kunci yang satu lagi itu?"
Jo menceritakan pengalamannya setelah melarikan diri dari kamar menara.
"Setelah Markhoff pergi, aku keluar lagi," katanya mengakhiri cerita. "Tentu
saja pintu harus kubuka sebelumnya. Lalu anak kuncinya sekaligus kubawa, karena
siapa tahu" Mungkin saja aku ingin masuk lagi ke tempat itu, lalu mengunci diri
di dalamnya supaya bisa makan sampai kenyang!"
"Aku yakin, takkan ada orang bisa mengalahkanmu, Jo," kata Dick bersungguhsungguh. "Tak mungkin! Kau lincah seperti sekawanan monyet. Jadi anak kunci yang
sebenarnya masih ada padamu?"
"Ya," jawab Jo. "Dan Red, Jake serta ayahku masih tetap terkunci dalam kamar
menara!" Tiba-tiba terlintas pikiran tak enak dalam diri Dick. "Nanti dulu!" katanya.
"Apa yang akan terjadi apabila mereka menyadari bahwa yang dipegang bukan anak
kunci yang benar" Pasti mereka akan turun lagi ke sini!
Astaga - apa yang akan terjadi dengan kita kemudian?"
Bab 24 PENEMUAN YAK DISANGKA
ANAK-ANAK merasa tak enak perasaannya, membayangkan bahwa sebentar lagi mungkin
ketiga orang tadi akan datang kembali dengan kemarahan yang semakin menjadijadi. "Begitu Markhoff mencobakan anak kuncinya ke pintu kamar menara dan ternyata ia
tidak bisa membukanya, ia akan segera tahu bahwa Jo menipunya!" kata George.
"Lalu ia akan sangat marah dan bergegas kembali ke sini. Entah bagaimana nasib
kita kalau begitu," keluh Julian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang"
Bersembunyi lagi?" "Tidak," kata Dick. "lebih baik kita ke luar, lalu menuruni tebing sampai ke
tepi laut. Aku akan merasa lebih aman di situ, daripada tetap dalam gua sini.
Mungkin di sela-sela batu di teluk, kita akan menemukan tempat persembunyian
yang lebih baik." "Sayang perahuku sudah rusak," kata George sambil mengeluh karena teringat pada
perahunya yang bagus. "Dan - bagaimana cara kita menurunkan Timmy nanti?"
Anak-anak berembuk membicarakan persoalan itu. Satu hal sudah pasti - Timmy
takkan bisa turun sendiri. Jo lantas teringat, di tebing sebelah bawah masih
tergantung seutas tali - yang dipakai untuk menolong Dick dan Julian mendaki
tebing yang terjal. "Aku tahu akal," katanya. Akal anak itu sudah mulai bekerja lagi. "Julian, kau
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turun paling dulu. Setelah itu, kau Dick. Lalu George menyusul. Kalian bisa
turun sambil berpegangan pada tali, supaya jangan sampai jatuh. Setelah itu tali
kutarik ke atas. Timmy kuikat pinggangnya, lalu kuulurkan turun ke tempat
kalian. Ia masih agak linglung karena obat bius, jadi takkan meronta-ronta. Ia
bahkan takkan tahu apa yang terjadi dengannya."
"Tapi bagaimana dengan dirimu?" kata Dick. "Kau akan turun paling akhir. Kau
tidak takut" Kau akan sendirian di birai sini, sementara tiap saat orang-orang
itu bisa muncul lagi."
"Tidak - aku tidak takut," kata Jo. "Tapi cepatlah sedikit!"
Julian turun paling dulu. Ia merasa bersyukur karena bisa berpegang pada tali,
sementara tangan dan kakinya menggapai-gapai mencari tempat berpegang dan
berpijak. Kemudian Dick mendapat giliran. Ia nyaris terpeleset jatuh, karena
begitu tergesa-gesa turun.
George turun dengan pelan dan hati-hati. Ia merasa tidak enak, merayap turun
pada permukaan tebing yang terjal. Sekali ia melirik ke arah laut yang ada di
bawah. Kepalanya langsung pusing. Dipejamkannya mata sesaat, sementara ia
menggelantung pada tali dengan satu tangan.
Pekerjaan menurunkan Timmy, ternyata tidak gampang. George menunggu di bawah
dengan cemas. Jo agak sukar menemukan cara yang aman untuk mengikat anjing
kesayangan temannya itu. Timmy berat dan besar badannya. Walau keadaannya masih
agak linglung, tapi toh tak suka diikat. Akhirnya Jo berhasil mengikatnya, lalu
berseru memanggil anak-anak yang di bawah.
"Aku mengulurkannya sekarang. Mudah-mudahan saja tali tidak putus. Aduh - kenapa
dia meronta-ronta - nah! Ia terbentur ke tebing!"
Bagi Timmy sendiri, perjalanan turun itu sama sekali tak menyenangkan. Ia
terayun-ayun pada tali, sementara di atasnya Jo memegang kuat-kuat sambil
menghembus-hembus kepayahan.
"Aduh, beratnya bukan main," serunya dari atas. "Mudah-mudahan saja peganganku
tak terlepas. Siap-siap untuk menerimanya di bawah!"
Akhirnya Jo tak kuat lagi menahan beban seberat itu, dan tali tergelincir dari
tangannya. Untung saat itu Timmy tinggal dua meter lagi dari dasar tebing.
Julian dan George bergegas menyambutnya, ketika anjing itu tiba-tiba meluncur
dengan cepat ke bawah. "Sekarang aku turun," seru Jo dari atas. Tanpa mengacuhkan tali yang masih
tergantung-gantung, ia turun dengan cekatan. Ia selalu saja berhasil menemukan
tempat berpegang dan berpijak, bahkan pada bagian-bagian yang kelihatannya rata.
Anak-anak memandangnya dengan kagum.
'Terima kasih, Jo," kata George sambil mendongak ke arah anak yang sedang turun
itu. "Kau benar-benar hebat. Timmy tidak bisa dibilang enteng tubuhnya."
"Memang," kata Jo setibanya di kaki tebing. Ia menepuk kepala Timmy. "Nyaris
saja peganganku tadi terlepas. Nah - apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita menyelidiki keadaan teluk kecil ini, mencari tempat di mana kita bisa
bersembunyi," kata Julian. "George, kau ke sana - dan kami ke arah sini."
Mereka berpisah, mencari tempat persembunyian yang cocok. Menurut penglihatan
Dick dan Julian, sama sekali tidak ada. Setidak-tidaknya di sisi teluk yang
mereka selidiki. Permukaan air mengalun turun naik dalam teluk, sedang agak di
sebelah luar ombak memecah menimpa batu karang. Takkan ada harapan bagi mereka,
jika mencoba lari dengan jalan berenang!
Tiba-tiba terdengar' George berteriak keras.
"Ju! Ke sini sebentar! Lihatlah - apa yang kutemukan di sini!"
Anak-anak bergegas ke tempat George berdiri, di balik batu tebing yang besar dan
agak menonjol. Jarinya menuding sesuatu benda besar yang diselubungi rumput
laut. "Di sini ada perahu! Terselubung rumput laut - tapi toh perahu!"
"Itu perahumu!" seru Dick sekonyong-konyong. Ia bergegas-gegas menyingkirkan
rumput laut yang menutupi perahu yang tersembunyi itu. "Ternyata Markhoff sama
sekali tak memecahkannya! Ini dia - dalam keadaan utuh. Ia tak berhasil
menemukannya, tak nampak karena terselubung rumput laut. Lalu ia kembali dan
berbohong pada Red!"
"Ia tak memecahkannya!" seru Jo, sambil ikut sibuk menyingkirkan rumput laut.
"Masih utuh - tak rusak sedikit pun. Ia tak memecahkannya!"
Keempat anak itu sangat heran dan gembira, sehingga mereka bertingkah seperti
orang yang tidak waras. Saling menepuk punggung dan menandak-nandak. Ternyata
perahu kepunyaan George masih ada, dalam keadaan utuh. Mereka bisa melarikan
diri. Hore! Anak-anak terdiam dengan seketika, sewaktu terdengar suara orang berteriak di
atas mereka. Mereka kaget, lalu mendongak. Markhoff serta kedua pembantunya yang
tadi berdiri di tepi birai, jauh di atas tebing. Ketiga orang itu berteriakteriak sambil mengacung-acungkan tinju.
"Awas! Tunggu saja sampai kalian tertangkap lagi!" seru Markhoff.
"Cepat! Cepat!" seru Julian sambil menyeret-nyeret perahu. "Kita masih punya
kesempatan. Tarik perahu cepat-cepat ke air!"
Sementara itu Mar,khoff sudah mulai menuruni tebing. Jo menyesal, kenapa tali
tidak dilepaskan dulu sebelum ia turun. Sekarang Markhoff bisa turun dengan
gampang, karena ada tali yang bisa dijadikan pegangan.
Dengan sekuat tenaga ia ikut menarik-narik perahu ke arah air. Dalam hati ia
mengutuk, karena perahu sangat berat.
Perahu sudah hampir mencecah air, ketika secara tiba-tiba terjadi sesuatu yang
mengejutkan. Timmy yang selama itu memandang kesibukan mereka dengan bingung,
tiba-tiba terpeleset dari batu tempatnya berdiri. Anjing itu jatuh ke air.
George menjerit ngeri. "Timmy," pekiknya. "Timmy terjatuh ke air! Cepat-cepat! Ia masih pusing karena
obat bius - tak mampu berenang. Ia pasti tenggelam!"
Julian dan Dick tak berani berhenti menarik perahu, karena mereka melihat bahwa
sebentar lagi Markhoff akan sudah sampai di kaki tebing. George lari menghampiri
Timmy. Anjing itu menggelepar-gelepar dalam air. Kelihatannya masih kaget dan
linglung. Tapi pengaruh air terhadap dirinya menakjubkan. Air laut yang dingin seakan-akan
menyadarkannya secara tiba-tiba. Geraknya mulai bersemangat, lalu berenang
dengan cekatan ke batu tempatnya berada tadi. Ia naik lagi ke atas dengan
bantuan George. Timmy menggonggong dengan nyaring.
Perahu meluncur ke dalam air. Julian menjulurkan tangannya ke arah George.
"Ayo masuk," kata Julian mendesak. "Cepat!"
Jo sudah ada dalam perahu, begitu pula Dick. George ditarik masuk, sambil
memegang Timmy erat-erat. Julian memandang dengan gugup ke arah Markhoff.
Penjahat itu sudah hampir sampai di ujung tali sebelah bawah. Ia nampak bersiapsiap hendak meloncat. Julian mulai panik. Jangan-jangan penjahat itu masih
sempat mengejar! Tiba-tiba Timmy terlepas dari pegangan George. Seketika itu juga anjing itu lari
ke kaki tebing, sambil menggonggong-gonggong dengan galak. Kelihatannya ia sudah
normal lagi. Rupanya air laut yang dingin melenyapkan segala rasa linglung dan
mengantuk. Timmy sudah menjelma Timmy yang biasa lagi!
Jarak Markhoff dari kaki tebing tinggal sekitar satu setengah meter lagi. Tahutahu ia mendengar suara anjing menggonggong. Ia memandang ke bawah dengan
ketakutan. Dilihatnya anjing besar itu melonjak-lonjak, berusaha menyambar
kakinya. Markhoff cepat-cepat memanjat tali lagi, untuk menjauhkan diri dari
jangkauan gigi Timmy yang tajam. Sementara itu Timmy menggonggong-gonggong
terus, sambil menggeram-geram.
"Awas! Tergigit kakimu nanti! Bisa putus," seru salah seorang pembantunya dari
atas. "Awas Mark! Anjing itu buas!"
Markhoff semakin ketakutan. Ia cepat-cepat naik lebih tinggi lagi, lalu menoleh
ke bawah. Jantungnya seakan-akan terhenti, ketika melihat Timmy berusaha menaiki
tebing. Markhoff lantas memanjat lebih tinggi lagi. Ia bergantung dengan sebelah
tangan pada tali. Ia takut sekali jatuh, karena pasti akan langsung diterkam
oleh Timmy yang sedang mengamuk.
"Sini, Timmy!" Tiba-tiba George berseru memanggil anjingnya. "Ayo ke mari!"
Ternyata anak-anak sudah berhasil menggerakkan perahu. mereka agak ke tengah.
Sekarang jika Timmy berhasil dipanggil untuk naik ke perahu, mereka akan bisa
cepat-cepat berdayung melewati batu karang yang menonjol di mulut teluk kecil
itu, sebelum Markhoff sempat memotong jalan.
"Timmy! Timmy!" seru anak-anak serempak.
Timmy mendengar panggilan mereka. Anjing itu menoleh sekali ke arah kaki
Markhoff. Kelihatannya Timmy agak menyesal tak berhasil menggigitnya. Tapi
setelah itu ia lari menuju ke perahu, lalu langsung meloncat ke dalamnya. Timmy
berdiri di bibir perahu sambil menggonggong-gonggong terus.
Markhoff meluncur menuruni tali, lalu meloncat ke kaki tebing. Tapi ia sudah
terlambat. Perahu melesat keluar dari mulut teluk. Setengah menit kemudian sudah
menghilang di balik tebing yang tinggi dan agak menjorok ke tengah laut.
Julian dan Dick mendayung terus. George merangkul Timmy. Jo ikut-ikutan.
"Syukurlah, dia sudah normal lagi," kata George gembira.
"Ya, air laut yang dingin menyadarkannya kembali," kata Jo sambi! meremas-remas
bulu Timmy yang tebal. "Timmy yang baik!"
Sementara itu Timmy mendekatkan hidungnya ke dasar perahu, sambil mengendusngendus. Wah - bau apa ini" pikirnya. Jo agak heran melihat tingkah Timmy.
Tapi ia segera tahu apa sebabnya.
"O - dia mencium bau bekal makanan yang kami bawa, tapi tak sempat dimakan,"
serunya. "Wah, sekarang dibongkarnya bungkusan itu - he, isinya ditelan begitu
saja. Timmy!" "Biarkan saja," kata Julian sambil mendayung kuat-kuat. "Ia sudah sepantasnya
mendapat hadiah! Lega sekali hatiku mendengar gonggongannya kembali! Lihat sekarang ia mengibas-ngibaskan ekor tanda bergembira!"
Timmy memang bergembira. Keadaan sudah normal kembali baginya. Ia sudah bisa
lagi melihat, mendengar dan mencium dengan baik, bisa menggonggong serta
meloncat-loncat. Dan George yang disayanginya sudah ada kembali di sampingnya!
"Sekarang kita pulang!" kata Julian. "Anne pasti akan bergembira melihat kita
datang. Wah, bukan main petualangan kita sekali ini!"
Bab 25 SEMUA BERES! HARI sudah mulai gelap ketika perahu George memasuki Teluk Kirrin. Pelayaran
cukup jauh. Anak-anak sangat capek. Jo dan George menggantikan mendayung, ketika
kedua anak laki-laki sudah kehabisan tenaga. Tapi Timmy yang selalu kelihatan
riang menyebabkan anak-anak tak begitu merasakan beratnya pelayaran.
"Ekor Timmy tak henti-hentinya mengibas kian ke mari sejak ia masuk ke perahu,"
kata George geli. "Rupanya ia senang, keadaannya sudah biasa lagi!"
Ketika perahu memasuki Teluk Kirrin, di kejauhan nampak sesosok tubuh kecil.
Kelihatan hanya remang-remang dalam keadaan setengah gelap. Anne sudah menunggu
di pantai. Begitu nampak perahu muncul, ia lantas berseru-seru dengan suara
gemetar. "Kaliankah itu" Aku sudah menunggu terus sepanjang hari di sini! Kalian tidak
apa-apa?" "Semua beres! George dan Timmy berhasil kami bebaskan," balas Dick, sementara
perahu menyentuh pantai. Anak-anak berloncatan turun, lalu menarik perahu ke atas pantai. Anne ikut
membantu. Ia tak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Pokoknya ia sangat
gembira melihat saudara-saudaranya kembali semua dalam keadaan selamat.
"Bagiku, mengalami petualangan sangat tidak menyenangkan," katanya. "Tapi kalau
ditinggal, lebih-lebih tidak enak lagi. Lain kali aku tak mau ditinggal!"
Setelah itu anak-anak pulang. Mereka berjalan lambat-lambat. Capek sekali
rasanya. Joan nampak berdiri di depan rumah. Ia juga sudah seharian cemas terus.
Juru masak yang baik hati itu terpekik gembira ketika melihat George ada di
tengah mereka. "George! Ternyata kalian berhasil menyelamatkannya! Kalian anak nakal semuanya!
Pergi sehari penuh, sedang aku setengah mati ketakutan di sini karena tak tahu
kalian ke mana" Kau baik-baik saja, George?"
"Ya," kata George. Ia sudah sangat mengantuk. Matanya sudah mau terpejam terus.
"Tapi aku ingin makan dulu, sebelum tertidur!"
"Ke mana saja kalian sepanjang hari" Apa saja yang kalian kerjakan?" kata Joan
beruntun-runtun, sementara ia sibuk menyiapkan makanan. "Aku begitu ketakutan,
sehingga akhirnya kudatangi saja kantor polisi. Tapi konyolnya, aku tak bisa
memberi keterangan apa-apa seperti ke mana kalian pergi, dan sebagainya! Aku
cuma tahu bahwa kalian hendak mendatangi seseorang bernama Red, dan bahwa kalian
pergi naik perahu kepunyaan George!"
"Dan sejak itu polisi mondar-mandir terus sepanjang pantai dengan perahu motor,"
kata Anne. "Mereka berusaha mencari kalian. Tapi tak berhasil."
"Tentu saja. Perahu kami sembunyikan baik-baik," kata Dick. "Dan kami juga. Kami
tersembunyi begitu baik, sehingga aku sampai pernah menyangka takkan ada yang
bisa menemukan lagi seumur hidup kami!"
Saat itu terdengar telepon berdering. Julian bangkit dengan segera.
"Untunglah - pesawat telepon sudah dibetulkan kembali. Nanti setelah Anda
menjawab telepon ini, aku akan menelepon polisi," katanya pada Joan.
Tapi ternyata ia tak perlu lagi melakukannya, karena yang menelepon saat itu
polisi. Polisi gembira mendengar laporan dari Joan bahwa anak-anak sudah pulang
dengan selamat. "Sepuluh menit lagi kami akan sudah ada di sana," kata polisi itu.
Dalam waktu sepuluh menit itu anak-anak mengisi perut mereka sampai kenyang.
"Silakan makan terus," kata sersan polisi yang pernah datang sebelumnya bersama
seorang pembantu. Dan pembantu itu ikut datang lagi. "Sementara itu kalian bisa
bercerita." Anak-anak lantas menyampaikan laporan. Segala-galanya diceritakan. Mula-mula
George yang bercerita, disusul oleh Jo, kemudian Dick dan akhirnya Julian. Pada
awalnya sersan nampak bingung mendengarnya. Tapi lama-kelamaan ia mengerti juga.
"Apakah ayahku akan dipenjarakan?" tanya Jo kemudian.
"Kurasa memang begitu," kata sersan.
"Apa boleh buat, Jo," kata Dick.
"Biar saja," kata Jo. "Mungkin dengan begitu ia nantinya akan bisa menjadi orang
baik-baik. Dan selama ia dipenjarakan, aku tak perlu terpaksa menuruti
perintahnya untuk berbuat jahat."
"Kita lihat saja, mungkin bisa diusahakan tempat penitipan bagimu," kata sersan
ramah. "Kau tak boleh jadi gelandangan terus, Jo."
"Aku tak mau dimasukkan ke panti asuhan anak nakal," kata Jo ketakutan.
"Kami juga takkan mengizinkan," kata Dick. "Kau anak paling berani yang pernah
kukenal. Tak seorang pun dari kami akan membiarkan dirimu dimasukkan ke panti
asuhan. Kami akan mencarikan seseorang yang akan mengasuhmu dengan baik hati,
seperti -" "Seperti aku," kata Joan yang selama itu ikut mendengarkan cerita. Ia merangkul
Jo. "Aku punya saudara sepupu yang pasti akan senang menerima anak bandel
seperti dirimu - anak bandel tapi berhati baik. Kau tak perlu khawatir. Kami
akan mengurus dirimu."
"Aku mau saja jika tinggal dengan orang sepertimu," kata Jo dengan seenaknya.
Anak itu memang bandel! "Kalau begitu aku takkan berbuat jahat lagi, dan juga tidak bandel. Tapi sekalisekali aku ingin berjumpa dengan Dick - serta kalian semua."
"Boleh saja, asal selama itu kau tidak nakal," kata Dick sambil nyengir. "Tapi
ingat! Kalau kudengar kau masuk lagi ke dalam tempat menyimpan makanan lewat
jendela - maka aku tak mau bertemu denganmu untuk selama-lamanya!"
Jo malah nyengir. Ia merasa sangat berbahagia. Tapi tiba-tiba ia teringat pada
sesuatu. Dirogohnya tas yang masih selalu dibawa-bawa olehnya. Kemudian ia
mengacungkan sebuah anak kunci berukuran besar.
"Nih, Pak Sersan," katanya pada sersan polisi. "Ini anak kunci kamar menara.
Tanggung Red dan kawan-kawannya masih terkurung di dalamnya, tinggal diangkut
saja lagi oleh polisi! Wah, pasti mereka akan kaget setengah mati, jika tibatiba pintu terbuka dan ternyata polisi yang muncul!"
"Banyak sekali orang yang akan kaget," kata sersan polisi sambil mengantongi
kembali buku notes yang sudah penuh dengan catatan. "Ngomong-ngomong, kami sudah
menghubungi seorang kawan ayahmu, George. Padanya kami tanyakan tentang kertaskertas catatan yang dicuri. Ia lantas mengatakan, ayahmu menyerahkan semua
dokumen yang penting dari Amerika padanya sebelum ayahmu pergi. Jadi yang ada di
tangan orang bernama Red Tower, sebetulnya tak berharga. Percuma saja ia repotrepot selama ini." "Apakah yang Anda ketahui tentang Red?" tanya Julian. "Orangnya kelihatan agak
sinting!" "Kalau benar dia orang yang kami maksudkan, memang! Otaknya agak kurang waras,"
kata sersan polisi. "Kami akan senang sekali apabila ia sudah berhasil
ditangkap. Begitu pula halnya mengenai Markhoff. Ia tak selicik Red. Tapi ia
sangat berbahaya!" "Mudah-mudahan ia belum minggat naik helikopter," kata Dick. "Ia bermaksud lari
malam ini." "Dalam waktu sejam lagi kami akan sudah tiba di sana," kata polisi. "Kalau aku
boleh meminjam telepon sebentar, aku akan mengurusnya."
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Polisi sangat sibuk malam itu! Mobil-mobil mereka melaju ke tempat tinggal Red
Tower. Pintu gerbang yang dikunci dan ditutup dengan palang, langsung didobrak.
Helikopter masih ada di halaman. Tapi pesawat itu terguling dan rusak
berantakan. Anak-anak kemudian mendengar cerita bahwa Markhoff berusaha
melarikan diri dengannya bersama kedua pembantunya. Tapi ternyata helikopter itu
masih belum beres. Ketika Markhoff mencoba menerbangkannya, memang naik sedikit ke udara - tapi
lantas terbanting kembali ke tanah.
Wanita tua yang dilihat Jo dalam dapur bergegas menolong ketiga orang yang
merangkak keluar dari pesawat yang berantakan itu. Markhoff luka kepalanya,
sehingga ia sama sekali tak melawan ketika diringkus polisi.
"Mana Red?" tanya sersan polisi padanya. "Masih terkurung di atas?"
"Ya," jawab Markhoff sengit. "Bagus! Kalau kalian ingin mengeluarkannya bersama
orang yang dua lagi, pintu kokoh itu harus didobrak terlebih dulu!"
"Tak perlu," kata sersan sambil mengacungkan anak kunci. Mata Markhoff melotot
memandang benda itu. "Anak itu lagi!" katanya kemudian sambil menggertakkan geraham karena marah.
"Dan aku diberinya anak kunci kamar tempat menyimpan makanan. Tunggu sampai aku
berhasil membekuknya - pasti akan menyesal dia nanti."
"Kau harus lama menunggu, Markhoff," tukas sersan. "Bahkan lama sekali - selama
kau dipenjarakan." Red, Simmy dan Jake marah-marah ketika pintu kamar dibuka. Tapi hati mereka
langsung kecut ketika melihat polisi yang muncul. Tak lama kemudian mereka sudah
dibawa pergi dengan kendaraan polisi.
"Lumayan juga hasil penyergapan kita kali ini," kata sersan pada salah seorang
bawahannya. "Dan gampang - karena tiga dari mereka sudah terkurung, sehingga
tinggal dijemput saja!"
"Tapi bagaimana dengan anak perempuan yang bernama Jo?" tanya bawahannya. "Anak
itu jahat, dan banyak akalnya!"
"Setiap orang selayaknya diberi kesempatan untuk berbuat baik," kata sersan.
"Dan kini ia mendapat kesempatan itu. Ia belum terlanjur jahat sama sekali.
Mudah-mudahan saja ia berhasil menjadi anak yang baik!"
Malam itu Jo tidur lagi di kamar Joan. Sedang anak-anak yang lain masuk ke kamar
masing-masing. Anne dengan George, sedang Dick sekamar lagi dengan Julian.
Ketika mereka sudah hendak masuk ke tempat tidur, tiba-tiba mereka dikagetkan
bunyi telepon berdering di tingkat bawah.
"Ada apa lagi?" kata Julian, lalu turun untuk menjawab.
"Di situ Kirrin 011" Di sini Kantor Pos. Ada kawat untuk Anda, dengan kesempatan
jawaban yang sudah dibayar lebih dulu. Saya bacakan sekarang isi kawat itu."
"Silakan," kata Julian. Ternyata kawat itu datang dari Paman Quentin di Spanyol.
Isinya menyebutkan alamatnya di sana. Tapi masih ada tambahan lagi.
"HARAP KAWATKAN KEADAAN DI SANA- PAMAN QUENTIN".
Julian mengulangi isi kawat itu pada saudara-saudaranya, yang sementara itu
sudah mengerumuninya di bawah.
"Bagaimana sebaiknya jawaban kita?" katanya. "Kurasa tak ada gunanya membuat
mereka gelisah, karena semuanya sudah selesai."
"Betul!" kata Dick. "Bilang saja semaumu."
"Baiklah," kata Julian, lalu berbicara lagi dengan petugas kantor kawat. "Halo!
Ini jawaban kami. Anda sudah siap?" Ia lantas memberikan jawaban.
"KAMI ASYIK DI SINI TITIK SEMUA BERES JULIAN".
"Semua beres," kata Anne sambil menarik napas lega. "Perkataan itu yang paling
ingin kudengar pada akhir setiap petualangan. Semua beres."
TAMAT . Tamu Aneh Bingkisan Unik 3 Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut Betina Dari Neraka 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama