Lima Sekawan Sarjana Misterius Bagian 1
sSarjana Misterius Ebook by BBSC Edited by Raynold Convert & Pdf by DewiKZ
Bab 1 GEORGE DITINGGAL SENDIRI
"Tidak adil," kata George sengit. "Julian dan adik-adiknya boleh pergi - kenapa
aku tidak boleh" Sudah dua minggu aku harus tinggal terus di rumah. Sejak
sekolah libur, aku belum pernah melihat anak-anak itu lagi. Sekarang mereka akan
asyik melancong selama dua minggu - dan lagi-lagi aku tidak ikut!"
"Jangan mengomel terus, George," kata ibunya. "Kau boleh saja ikut, apabila
sudah tidak pilek lagi."
"Aku kan sudah sembuh, Bu," kata George merengut. "Ibu kan tahu sendiri, aku
sekarang sudah tidak pilek lagi."
"Sudah, Georgina!" kata ayahnya, ia berhenti membaca surat kabar dan memandang
George, anak tunggalnya. "Sudah tiga hari ini kau ribut terus pada waktu sarapan
mengenainya. Sekarang diam!"
George tidak pernah mau tahu apabila disapa dengan sebutan Georgina. Karena itu
ia cuma membuang muka sambil cemberut, walau sebetulnya ingin sekali menjawab.
Ibunya tertawa melihat tampangnya.
"Aduh, George - janganlah semasam itu," kata Ibu. "Kau pilek kan karena salahmu
sendiri! Siapa yang menyuruhmu lama-lama mandi berendam - sekarang kan baru
akhir April. Belum musim panas!"
"Aku selalu mandi berendam pada bulan April," kata George merajuk.
"Diam, kataku!" bentak Ayah sambil menghempaskan surat kabar yang sedang
dibacanya ke meja. "George! Kalau masih satu kali lagi kau membuka mulut, kau
nanti sama sekali tak boleh ikut dengan saudara-saudara sepupumu itu!"
Dari bawah meja terdengar Timmy menggonggong. Anjing itu paling tidak senang
jika ada yang memarahi George.
"Kau juga jangan berani-berani membantah," kata ayah George sambil menyodok
Timmy dengan ujung sepatunya, ia cemberut, persis sekali tampangnya saat itu
seperti anaknya. Ibu tertawa lagi.
"Sudahlah - jangan bertengkar terus," katanya. "Sabarlah sedikit, George. Aku
memang bermaksud menyuruhmu menyusul saudara-saudara sepupumu, apabila keadaanmu
sudah mengizinkan. Bahkan besok juga boleh, apabila kau sudah tidak sering batuk
lagi." "Kenapa Ibu tidak mengatakan begitu dari semula?" kata George. Seketika itu juga
wajahnya menjadi cerah kembali. "Tadi malam aku sama sekali tidak batuk. Bu! Aku
merasa sudah benar-benar enak lagi sekarang. Aku berjanji takkan batuk sama
sekali hari ini - asal diperbolehkan berangkat besok ke Puri Faynights!"
"Ada apa dengan Puri Faynights?" tanya ayahnya, yang sekali lagi menghentikan
kesibukannya membaca surat kabar. "Baru sekarang aku mendengarnya!"
"Ah, kau ini selalu begitu, Quentin," kata Ibu menyesali suaminya. "Paling
sedikit sudah tiga kali aku bercerita tentang soal itu. Julian, Dick dan Anne
mendapat pinjaman dua buah karavan tua dari seorang teman sekolah mereka.
Sekarang mereka berkemah di suatu lapangan, dekat Puri Faynights."
"Oh, jadi mereka sama sekali tidak menginap dalam puri," kata ayah George. "Aku
tidak setuju jika mereka menginap di situ, karena aku khawatir George akan
bertingkah dan sok sikapnya sepulang dari sana."
"Mana mungkin George bisa sok dan bertingkah," kata Ibu. "Aku bahkan selalu
repot menyuruhnya memotong kuku dan memakai pakaian bersih! Sudahlah, Quentin kau kan tahu juga bahwa George serta ketiga saudara sepupunya itu gemar
bertualang bersama-sama pada hari-hari libur!"
"Dan mengalami kejadian-kejadian seru," sela George sambil nyengir, ia sudah
gembira lagi, karena membayangkan besok akan berangkat menyusul Julian dan kedua
adiknya. Tapi ibunya langsung tidak setuju.
"Tidak! Sekali ini kau tak boleh melakukan petualangan yang aneh-aneh," kata
Ibu. "Lagi pula, kurasa itu juga tidak mungkin! Kalian kan cuma akan berkemah
dalam karavan di sebuah desa yang aman dan tenteram, dekat Puri Faynights."
"Tapi kalau George, ia lain," kata Ayah. "Anak ini - begitu mencium bau
petualangan sedikit saja, pasti akan segera beraksi! Aku belum pernah melihat
anak lain seperti George. Untung anak kita cuma dia sendiri. Kalau disuruh
menghadapi dua atau tiga seperti George, pasti aku takkan mampu!"
"Ah - cukup banyak anak yang seperti George," kata istrinya. "Misalnya saja
Julian dan Dick. Mereka juga selalu terlibat dalam salah satu kejadian - sedang
Anne membuntut terus di belakang mereka. Anne selalu menginginkan hidup tenang
dan aman." "Sudah, aku tidak mau berdebat lagi," kata ayah George. Didorongnya kursinya
dengan keras ke belakang. Secara tak disengaja, Timmy yang berbaring di bawah
meja tertendang olehnya. Anjing itu terkaing kesakitan.
"Anjing ini memang tak berotak," tukas Ayah dengan tidak sabar. "Kalau kita
makan selalu berbaring di bawah meja. Dikiranya aku selalu ingat bahwa ia ada di
situ! Yah - sekarang aku mau bekerja."
Ayah George keluar dari kamar makan sambil menutup pintu keras-keras. Sesaat
kemudian terdengar pintu kamar kerjanya dibantingkan, disusul bunyi gedubrak
jendela ditutup. Kedengaran kursi berderak-derik menahan beban tubuh yang
dihempaskan ke atasnya. Setelah itu - sunyi.
"Sekarang ayahmu takkan muncul lagi, sampai saat makan siang," kata Ibu. "Aduh,
ayahmu itu memang keterlaluan! Paling sedikit sudah tiga kali aku bercerita
padanya tentang Puri Faynights, di mana saudara-saudara sepupumu kini berada.
Yah, George - kurasa kau bisa saja berangkat besok ke sana, karena kelihatannya
kesehatanmu sudah pulih. Siapkan pakaian yang hendak kaubawa, supaya bisa
kukemaskan ke dalam koper nanti siang."
"Terima kasih. Bu!" seru George sambil memeluk ibunya. "Pokoknya Ayah pasti juga
akan merasa lega, jika aku pergi dari sini selama beberapa waktu. Aku terlalu
berisik baginya!" "Kalian berdua sama saja," kata Ibu. Ia teringat pada bunyi berisik pintu dan
jendela yang tadi ditutup dengan bantingan keras. "Kedua-duanya kadang-kadang
menjengkelkan, tapi tanpa kalian rasanya juga tidak enak! Aduh Timmy - kau
rupanya masih ada di bawah meja ya! Tak kusengaja menginjak ekormu tadi. Sakit?"
"Ah, Timmy tidak apa-apa jika Ibu yang menginjak," kata George bermurah hati.
Tentu saja - karena bukan dia sendiri yang terinjak! "Aku akan menyiapkan
barang-barangku sekarang juga, Bu! Bagaimana caraku pergi ke Puri Faynights"
Naik kereta api?" "Ya, George. Kau akan kuantarkan ke Stasiun Kirrin, dan di situ kau naik kereta
pukul sepuluh empat puluh," kata Ibu. "Di Limming Ho berganti kereta, naik yang
menuju ke Faynights. Kalau kau sekarang menulis surat pada Julian, pasti besok
akan sudah diterima. Jadi ia bisa menjemputmu di stasiun sana."
"Baiklah," kata George senang. "Aduh Bu, aku sudah khawatir saja, jangan-jangan
aku akan masih terus pilek selama liburan ini. Aku takkan mau mandi berendam
lagi, jika hari kebetulan sedang dingin dalam bulan April."
"Kau sudah bilang begitu tahun lalu - dan tahun sebelumnya juga," kata Ibu. "Kau
ini lekas lupa pada janjimu sendiri, George!"
"Yuk, Tim!" kata George, dan keduanya bergegas ke luar. Pintu kamar makan
dibanting dengan keras. Dinding sampai tergetar sebagai akibatnya.
Detik berikutnya pintu kamar kerja terbuka. Terdengar Ayah berteriak dengan
suara marah, "Siapa itu yang membanting-banting pintu pada saat aku sedang sibuk
bekerja" Tidak bisa menutup dengan pelan ya!"
George nyengir sambil lari ke tingkat atas. Ayahnya sendiri kalau menutup pintu
selalu membantingnya dengan keras-keras. Tapi kalau orang lain melakukannya,
baru ribut! Sesampai di atas ia mengaduk-aduk kotak alat-alat tulisnya, mencari
kartu pos. Ia harus mengirimkannya dengan segera! Kalau tidak, Julian akan
terlambat menerimanya. George senang sekali hatinya saat itu, karena
membayangkan besok akan dijemput oleh ketiga saudara sepupunya.
"Besok kita berangkat, Tim," katanya pada Timmy. Anjing itu mendongak sambil
mengibas-ngibaskan ekor. "Ya, tentu saja kau juga ikut! Kita berlima akan
berkumpul kembali. Lima Sekawan! Asyik, ya Tim?"
Setelah itu ia cepat-cepat menulis surat dan langsung pergi ke kantor pos untuk
mengirimkannya. Pintu depan rumah ditutupnya dengan keras. Ayahnya yang sedang
sibuk, nyaris saja naik pitam mendengarnya. Ayah George seorang sarjana yang
pintar dan tekun. Orangnya tidak sabaran, cepat naik darah - tapi di pihak lain
baik hati dan pelupa. Sebetulnya ia ingin sekali George tidak berwatak seperti
dia sendiri, melainkan lebih mirip Anne, keponakannya yang selalu tenang dan
pendiam. George mengeposkan kartu posnya. Isinya singkat saja.
"Tidak pilek lagi. Besok aku tiba pukul setengah satu siang. Jangan lupa
menjemput. Saat ini aku sudah bersemangat, begitu pula Timmy.
George." Setibanya kembali di rumah, George lantas mengacak-acak lemari pakaiannya,
memilih pakaian yang hendak dibawa. Ibu datang membantunya. Mereka selalu
bertengkar. Soalnya, George ingin membawa pakaian sesedikit mungkin. Pakaian
hangat - tidak perlu! Sedang ibunya berpendapat sebaliknya.
Tapi akhirnya koper terisi juga dengan pakaian yang mungkin akan diperlukan.
Seperti biasa, George tidak mau membawa rok biar sepotong pun tidak mau!
"Aku ingin tahu, kapan saatnya kau ini tidak ingin lagi menjadi laki-laki, dan
bertingkah seperti anak laki-laki," kata Ibu kesal. "Tapi baiklah, bawa saja
celana pendekmu yang jelek itu jika kau mau, begitu pula baju kaos yang merah
itu. Tapi baju hangat itu juga harus kaubawa! Kan sudah kumasukkan tadi kenapa
kaukeluarkan lagi" Dan kata Julian, kau perlu membawa selimut tebal. Saat
sekarang ini dalam karavan tidak begitu hangat."
"Aku ingin tahu, kayak apa rupanya," kata George sambil menjejalkan baju-baju
hangat ke dalam koper, seperti disuruh ibunya. "Kata Julian dalam surat,
potongan karavan-karavan itu lucu.
Karavan kuno, seperti yang biasa dipakai kaum kelana. Dan bukan karavan modern
yang langsing, yang ditarik dengan mobil'"
"Besok kau kan sudah bisa melihatnya," kata Ibu. "Nah, George - kau mulai batuk
lagi!" "Ah, ini kan cuma karena kena debu saja," jawab George. Mukanya menjadi ungu,
karena menahan rasa gatal yang menggelitik tenggorokannya, ia buru-buru minum
air seteguk. Kalau sampai ibunya mengatakan ia lebih baik jangan berangkat dulu
- wah, bisa gawat! Tapi Ibu beranggapan bahwa George benar-benar sudah sembuh. Anak itu sudah cukup
lama disuruh tinggal di tempat tidur terus. George sebagai pasien, rewelnya
bukan main. Dan kini, setelah beberapa hari diperbolehkan meninggalkan tempat
tidur, kelihatannya ia sudah sama lagi seperti biasanya.
"Ada baiknya jika anak itu pergi ke Faynights, dan menghirup udara segar di
sana," pikir Ibu. "Ia juga perlu bergaul lagi dengan kawan-kawan. George paling
tidak bisa tinggal sendiri, apabila tahu anak-anak boleh pergi melancong!"
Sore itu George bergembira terus. Tinggal satu malam lagi dan setelah itu ia
akan berangkat, ikut berkemah dengan saudara-saudaranya. Jika cuaca baik, pasti
akan asyik mereka di dekat Puri Faynights!
Tiba-tiba pesawat telepon berdering. Ibu menjawabnya.
"Halo," katanya. "Ah, kau rupanya yang menelepon, Julian. Ada apa?"
Mendengar itu, George bergegas lari ke serambi. Wah - mudah-mudahan tidak ada
kejadian apa-apa, pikir anak itu. Jangan-jangan Julian menelepon, untuk
memberitahukan agar George jangan datang. George ikut mendengarkan dengan
perasaan gelisah. "Apa katamu, Julian" Suaramu tidak begitu jelas! Ya, ya pamanmu baik-baik saja.
Kenapa kau bertanya begitu" Tidak, Paman Quentin ada di rumah - ia tidak
menghilang. Julian! Ada apa sebetulnya?"
George sudah tidak sabar lagi. Ada apa lagi sekarang" Tapi kemudian ternyata
bahwa urusannya biasa saja. Ketika pembicaraan dengan Julian selesai. Ibu
berpaling memandang George.
"Kau tidak perlu gelisah, George," katanya. "Tidak ada apa-apa - kau bisa
berangkat besok. Julian tadi menelepon, hanya untuk meyakinkan bahwa salah
seorang sarjana yang menghilang dengan tiba-tiba, bukan ayahmu. Rupanya dalam
koran sore ini ada berita singkat mengenai dua orang sarjana yang tiba-tiba
menghilang. Lalu Julian ingin menanyakan, apakah ayahmu ada dalam keadaan
selamat di rumah!" "Masakan Ayah bisa menghilang dengan begitu saja!" kata George mencemooh.
"Julian ada-ada saja! Yang menghilang itu kan cuma dua sarjana goblok, yang
berkhianat terhadap negara kita! Mereka pasti lari ke negara lain, untuk menjual
rahasia kita ke sana. Aku saja mengetahuinya - masa Julian tidak!"
Bab 2 LIMA SEKAWAN BERGABUNG KEMBALI
Keesokan harinya dua anak laki-laki meloncat turun dari sebuah karavan.
Kendaraan itu berada o lereng sebuah bukit yang masih basah rumputnya karena
embun pagi. Letak bukit itu jauh dari Kirrin, tempat tinggal George bersama
orang tuanya. Kedua anak itu menghampiri karavan lain, yang bersebelahan letaknya dengan
karavan pertama. Sesampai di sana, mereka mengetuk pintu.
"Anne!" seru keduanya. "Kau sudah bangun" Cuaca pagi ini bagus sekali!"
"Tentu saja aku sudah bangun!" Dari dalam karavan terdengar suara seorang anak
membalas. "Masuk sajalah - pintu tidak terkunci. Aku sedang sibuk menyiapkan
sarapan." Julian dan Dick membuka pintu yang dicat biru. Nampak Anne sedang berdiri
menghadap kompor kecil yang terdapat di ujung belakang karavan. Anak itu sedang
merebus telur. "Aku masih sibuk," katanya tanpa menoleh. "Aku sedang melihat waktu, menunggu
saat telur harus kuangkat. Masih satu menit lagi."
"Tukang pos baru saja datang dengan sebuah kartu pos dari George," kata Julian.
"Ia menulis bahwa ia sudah bersemangat kembali. Senang rasanya karena akhirnya
anak itu datang juga ke mari, bersama Timmy."
"Kita akan pergi menjemputnya bersama-sama," kata Anne, sementara matanya masih
terus menatap jarum arloji. "Dua puluh detik lagi."
"George belum banyak rugi, karena kita sendiri baru tiba tiga hari yang lalu di
sini," kata Dick "Wah, Anne - telur rebusmu itu pasti sudah sekeras batu
sekarang!" Anne berhenti menatap arlojinya. "Mana bisa' Telur rebus ini pasti
pas-pasan." Diambilnya sebuah sendok besar, dan diciduknya telur-telur dari
panci yang berisi air mendidih. "Tolong taruhkan ke mangkuk telur, Dick! Itu dia
barangnya - dekat hidungmu!"
Dick memungut sebutir telur rebus dari piring tempat Anne meletakkannya. Tapi
detik berikutnya ia melepaskannya lagi sambil menjerit kesakitan. Ternyata
telur-telur itu masih panas sekali. Telur yang dilepaskan Dick terjatuh ke
lantai, lalu pecah. Kuning telur meleleh ke lantai yang bersih.
"Dick!" seru Anne kesal. "Kau tadi kan melihat sendiri, telur itu kuangkat dari
air mendidih' Kini aku terpaksa merebus satu lagi. Sayang, Timmy belum ada di
sini sekarang. Kalau ada, pasti telur pecah itu akan dijilatinya sampai bersih.
Jadi aku tak perlu repot-repot membersihkan lantai lagi."
"Kita sarapan sambil duduk-duduk di tangga karavanmu saja Anne," kata Julian.
"Sinar matahari sedang enak-enaknya di situ!"
Anak-anak lantas sarapan sambil duduk-duduk di tangga karavan. Kedua karavan
mereka ditempatkan di lereng sebuah bukit berumput yang landai. Di belakang ada
pagar tanaman tinggi, yang melindungi dari gangguan angin. Tak begitu jauh dari
situ masih ada tiga karavan lagi. Tapi ketiga-tiganya karavan yang modern
bentuknya. Orang-orang yang menempatinya belum bangun saat itu. Pintu ketiga
karavan itu tertutup rapat. Julian dan kedua adiknya belum sempat berkenalan
dengan mereka. Di bukit seberang ada reruntuhan sebuah puri tua. Puri itu mempunyai menara
empat buah. Tiga di antaranya sudah sangat rusak keadaannya. Tapi yang keempat
nampaknya masih utuh. Jendela-jendelanya berupa celah-celah sempit di tembok.
Pada jaman dulu, jendela-jendela serupa itu besar sekali gunanya dalam perang,
karena lewat situlah para prajurit membidikkan panah mereka ke arah musuh yang
menyerang. Dari lembah ada jalan yang curam menuju ke puri. Di ujung sebelah atas jalan
terdapat sebuah gerbang besar. Gerbang itu sangat kokoh, terbuat dari batu-batu
besar berwarna putih. Jalan masuk lewat gerbang itu kini dihalangi dengan pintu
besi tempa. Jadi orang tidak bisa lagi masuk lewat situ. Jalan masuk satusatunya sekarang lewat sebuah pintu sempit yang terdapat pada sebuah menara
kecil. Di ambang pintu itu dipasang pagar putar. Pengunjung yang ingin masuk ke
dalam puri, harus melewati pagar putar itu.
Puri dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh buatannya. Sampai sekarang tembok
itu masih tetap tegak, walau di sana-sini sudah ada sedikit bagian atasnya yang
runtuh ke bawah bukit. Reruntuhan bekas puncak tembok itu berserakan di tanah,
nyaris tak kelihatan karena ditutupi rumput dan semak. Dulunya puri itu suatu
bangunan megah. Dibangunnya memang sengaja di atas bukit yang tinggi dan terjal,
supaya aman. Dari atas, para penjaga puri bisa dengan jelas mengamat-amati
daerah sekeliling sampai jauh sekali. Dengan begitu kalau ada musuh datang,
masih cukup banyak waktu untuk menutup gerbang besar, menempatkan para prajurit
di atas gembok. Puri itu mampu bertahan terhadap kepungan musuh selama waktu
yang lama.
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sehabis sarapan, Julian serta kedua adiknya masih bermalas-malasan sebentar di
tangga, sambil menikmati kehangatan sinar matahari pagi. Mereka memandang ke
arah puri, memperhatikan kawanan burung gagak yang terbang berputar-putar di
atas keempat menara di sana.
Banyak sekali burung gagak di sini," kata Dick. "Coba kita punya teropong - kita
akan bisa memperhatikan mereka. Pasti seasyik menonton sirkus rasanya. Aku
senang melihat mereka berhamburan terbang serempak dan terbang berputar-putar,
tanpa sekali pun saling tubrukan."
"Apakah burung-burung itu bersarang di sana?" tanya Anne.
"Ya," jawab Dick. "Puncak menara mereka isi dengan ranting-ranting besar, dan
setelah itu mereka membangun sarang di atasnya. Kalau kita periksa ke sana,
pasti tanah di sekitar menara-menara itu penuh dengan ranting-ranting
berserakan." "Kapan-kapan kita akan ke sana yuk - kalau George sudah datang," kata Anne.
"Masuk ke puri, pembayarannya cuma lima penny. Aku suka pada puri-puri tua. Enak
rasanya berada di tempat-tempat begitu."
"Aku juga," kata Julian. "Mudah-mudahan saja George membawa teropong hadiah
ulang tahunnya. Kalau kita membawa teropong sewaktu melihat-lihat puri nanti,
kita akan bisa memandang berkeliling daerah sini sampai jauh sekali!"
"Aku harus mencuci piring sekarang," kata Anne sambil bangkit. "Karavan kita
perlu kubersihkan dulu, sebelum George tiba."
"Kausangka George akan melihat bedanya?" kata Dick. "Kau cuma membuang-buang
waktu saja, Anne!" Tapi Anne memang gemar berbenah, serta membereskan alat-alat makan ke dalam
laci-laci dan lemari, ia sudah mulai biasa hidup dalam karavan. Ia ingin sekali
mengajak George melihat-lihat isinya.
Sambil melonjak-lonjak, Anne menuju ke pagar tanaman. Di situ ia memetik
seberkas mawar hutan, yang tumbuh di bawah. Sesampai di karavan lagi, mawar itu
dibagi menjadi dua rumpun dan dimasukkan ke dalam -dua buah jambangan.
"Nah - mawar ini kan cocok dengan tirai yang bergaris-garis hijau dan kuning,"
katanya puas. Setelah itu ia mulai sibuk menyapu dan membersihkan debu. Sesaat
ia sudah hendak menyuruh Dick ke sungai untuk mencuci barang-barang yang habis
dipakai sarapan. Tapi kemudian tidak jadi. Dick kurang hati-hati kalau mencuci
piring, dan barang-barang itu bukan milik mereka. Barang pecah-belah yang ada di
situ, semuanya kepunyaan pemilik karavan.
Pukul setengah dua belas, semuanya sudah bersih. Seprai dan selimut untuk George
sudah ditaruh di rak yang terdapat di atas pembaringannya. Pembaringan itu pada
siang hari dilipat ke bawah, menempel ke dinding. Dengan begitu ruangan di dalam
karavan menjadi lebih lapang.
Pembaringan Anne sendiri menempel ke dinding seberang.
"Liburan begini yang kusenangi," kata Anne pada dirinya sendiri. "Tempat tinggal
yang kecil dikelilingi padang dan bukit, kalau makan selalu piknik - dan jangan
sering mengalami kejadian yang tidak-tidak!"
"Apa saja yang kaugumamkan sedari tadi, Anne?" tanya Dick sambil mengintip ke
dalam lewat jendela. "Kalau tidak salah, kudengar kau mengatakan ada kejadian"
Kau mengharapkan kita mengalami kejadian seru?"
"Aduh, jangan!" kata Anne. "Aku sama sekali tak mengharapkannya! Untung saja di
tempat yang tenang dan sunyi ini kecil sekali kemungkinannya kita akan mengalami
petualangan!" Dick nyengir. "Yah - siapa tahu," katanya. "Kau sudah siap untuk menjemput George, Anne" Sudah
waktunya kita berangkat."
Anne keluar dari karavan, menggabungkan diri dengan Dick dan Julian.
"Lebih baik kaukunci saja pintu karavanmu," kata Dick. "Karavan kami sudah kami
kunci." la lantas menguncikan pintu karavan Anne. Setelah itu mereka menuruni
bukit, menuju pintu pagar yang terdapat di tepi jalan. Jalan itu menyusur kaki
bukit. Dilihat dari bawah, puri tua yang terdapat di atas bukti seberang nampak
menjulang lebih tinggi lagi. Anak-anak berjalan menuju ke desa.
"Aku senang, akan bertemu kembali dengan Timmy," kata Anne. "Dan pasti
menyenangkan jika sudah bersama-sama sekaravan dengan George nanti. Aku bukan
takut sendiri malam-malam - tapi senang rasanya jika George ada di dekatku, dan
Timmy mendengus-dengus dalam tidur."
"Kalau kau senang mendengar dengusan dan erangan, tidur saja dengan Dick," kata
Julian. "Kau kalau mimpi tentang apa saja, Dick" Kurasa tak ada orang sesering
dirimu bermimpi buruk!"
"Aku tak pernah mendengus dalam tidur, apalagi mengerang," tukas Dick
tersinggung. "Kau mendengar suaramu sendiri rupanya! Waktu itu...."
"He - kurasa kereta sudah datang ! Itu kan dia, yang muncul di belokan sebelah
sana itu?" kata Anne menyela pertengkaran kedua abangnya. "Pasti itu kereta si
George - karena pagi ini cuma ada satu kereta yang lewat di sini. Yuk, kita lari
saja cepat-cepat, supaya jangan terlambat!"
Ketiga-tiganya lantas berlari secepat mungkin. Ketika mereka sampai di peron,
kereta pun masuk ke stasiun. Dari balik sebuah jendela gerbong muncul kepala
seseorang. Kepala itu berambut ikal dipotong pendek. Saat itu juga muncul kepala
yang lain di sampingnya, kepala berbulu cokelat tua.
"Itu George - dan Timmy!" seru Anne.
"Haaaai!" seru George sambil melambai-lambai. Geraknya begitu ribut, sampai
nyaris ia terjatuh dari ambang pintu. Timmy menggonggong-gonggong dengan
gembira, lalu meloncat turun ke peron. Nyaris saja Dick ditubruk. George ikut
meloncat turun dengan mata bersinar-sinar karena gembira. Dipeluknya Anne eraterat, sedang Julian dan Dick ditonjok olehnya.
"Aku sudah sampai!" seru George dengan riang. "Tak enak rasa hatiku, ketika
mengetahui kalian pergi berkemah sendiri tanpa aku. Sampai repot Ibu, karena aku
rewel terus." "Itu bisa kubayangkan," kata Julian, sambil menggandeng George. "Sini, kubawakan
saja kopermu itu. Kita mampir dulu di desa, minum es krim untuk merayakan
kedatanganmu. Di sana ada toko yang menjual es krim yang enak sekali."
Bagus! Saat ini aku memang ingin es krim," kata George senang. "Lihatlah - Timmy
juga mengerti apa yang kaukatakan tadi. Kau kan juga senang bahwa kita berkumpul
lagi. Tim?" Timmy menggonggong-gonggong, untuk menyatakan persetujuannya.
"Wah - ternyata George tidak lupa membawa teropongnya," kata Dick, ketika tibatiba ia melihat kacang kulit yang tersampir di bahu George. Bukan kotak kamera
yang tersangkut pada ban itu, melainkan kotak teropong yang nampak masih baru.
"Bagus!" kata Dick lagi. "Kami ingin mengamat-amati burung gagak dengannya! Dan
di rawa juga ada beberapa ekor burung bangau."
Aku memang sudah berniat membawanya," kata George menjelaskan. "Baru liburan
inilah aku sempat memakainya. Ibu melarangku membawanya ke sekolah. He - masih
jauhkah toko penjual es krim itu?"
"Tempatnya di sini - di tempat penjualan susu ini," kata Julian sambil
membimbing saudara sepupunya itu masuk. "Kusarankan padamu supaya mulai dengan
es vanili dulu. Sudah itu pindah ke strawberry, dan mengakhirinya dengan es krim
coklat." "Idemu memang selalu bagus-bagus," kata George. "Mudah-mudahan kau cukup membawa
uang, jika kita hendak makan es krim sebanyak itu. Ibuku tak banyak membekali
aku uang." Anak-anak lantas duduk dan memesan es krim. Wanita gemuk penjaga toko tersenyum
pada mereka, karena sementara itu mereka sudah saling kenal-mengenal.
"Untung cuaca saat ini sangat baik," kata wanita itu. "Banyakkah karavan lain di
lapangan Faynights?"
"Tidak begitu banyak," jawab Julian sambil mulai memakan es krimnya.
"Tapi sebentar lagi akan bertambah beberapa buah," kata wanita itu lagi. "Aku
mendengar kabar bahwa orang-orang pasar malam akan datang kemari. Di sini mereka
biasanya memilih tempat di lapangan itu. Jika kabar itu benar, kalian pasti akan
senang." "Bagus!" kata Dick bergembira. "Kalau begitu kami akan mendapat kawan baru. Kita
senang pada orang pasar malam - ya kan. Tim?"
Bab 3 PAGI YANG MENYENANGKAN
Rupanya di dekat sini akan diadakan pasar malam, ya?" kata George. Sementara itu
ia sudah mulai dengan es krimnya yang kedua. Strawberry - seperti dianjurkan
oleh Julian. Ia bertanya lagi, "pasar malam kayak apa" Pertunjukan sirkus?"
"Ah, bukan! Biasa saja, segala macam campur aduk," kata penjaga toko. "Di sana
juga akan tampil artis penelan api. Pertunjukannya pasti akan menarik orangorang desa untuk berbondong-bondong datang ke pasar malam. Bayangkan - ada orang
menelan api! Aku heran, kenapa ada orang yang mau mencari nafkah dengan jalan
begitu." "Lalu, ada pertunjukan apa lagi?" tanya Anne. Ia tidak begitu kepingin menonton
orang menelan api. "Yah, pokoknya macam-macamlah! Ada orang yang biar diikat seerat apa pun juga
dengan tali, selalu bisa membebaskan diri kembali dalam waktu di bawah dua
menit," cerita wanita itu. "Rupanya orang itu cekatan sekali! Lalu ada pula
orang yang menamakan dirinya Pak Karet, ia bisa meliuk-liukkan badan semaunya,
menyusup masuk ke dalam pipa saluran. Jendela kalau terbuka sedikit saja, pasti
akan bisa dimasukinya!"
"Astaga - orang seperti itu, kalau menjadi maling pasti hebat sekali!" kata
George. "Aku ingin tubuhku bisa seperti karet! Orang itu kalau jatuh, apakah
bisa melambung kembali ke atas?"
Semuanya tertawa mendengar lelucon itu.
"Lalu ada apa lagi?" tanya Anne. "Kedengarannya asyik juga pasar malam itu."
"Ada seseorang yang mengadakan pertunjukan dengan ular," kata wanita penjaga
toko sambil bergidik. "Bayangkan - bermain-main dengan ular! Kalau aku, pasti
ngeri digigit. Kalau kulihat ada ular datang, aku langsung lari pontangpanting!" "Apakah yang dibawanya ular berbisa?" tanya Dick, setengah pada dirinya sendiri.
"Tak enak rasanya jika ada karavan yang penuh dengan ular, datang ke sebelah
tempat kita." "Aduh, jangan!" jerit Anne. "Kalau begitu, aku ingin pulang sekarang juga."
Saat itu ada orang lain masuk ke toko. Wanita gemuk yang peramah itu terpaksa
meninggalkan anak-anak, karena harus melayani langganan yang baru masuk. Julian
serta saudara-saudaranya merasa bergairah. Mereka merasa bernasib mujur, karena
sebentar lagi akan datang orang-orang yang begitu menarik ke tempat mereka
berkemah. "Penelan api!" kata Dick. "Aku sudah selalu ingin menonton pertunjukan semacam
itu! Aku berani taruhan, api itu tidak sungguh-sungguh ditelannya - karena pasti
mulut dan kerongkongannya akan terbakar."
"Kalian sudah selesai semuanya?" kata Julian sambil berdiri untuk membayar.
"Kalau sudah, kita ajak George melihat karavan kita. Rupanya sama sekali tidak
kayak yang pernah kita pakai dulu, George. Yang sekarang ini karavan kaum
kelana, jadi model kuno. Bagus sekali kelihatannya."
"Kau meminjamnya dari siapa?" tanya George ketika mereka berjalan ke luar dari
toko. "Kalau tidak salah, kawan sekolahmu, ya?"
"Betul! Ia beserta keluarganya kalau liburan Paskah dan pada musim panas, biasa
pergi berkemah dengannya," kata Julian. "Tapi liburan Paskah sekali ini mereka
melancong ke Prancis. Mereka lantas menawarkan untuk meminjamkannya pada yang
mau, daripada dibiarkan kosong tak terpakai. Dan kitalah yang beruntung boleh
meminjamnya!" Anak-anak menyusur jalan di kaki bukit, dan akhirnya sampai di pintu pagar yang
tadi. George menoleh, memandang puri yang menjulang tinggi c atas bukit
seberang. Kelihatannya semarak kena sinar matahari.
"Puri Faynights," katanya kagum. "Umurnya sudah berabad-abad! Aku ingin tahu apa
saja yang terjadi selama masa itu. Aku paling senang pada barang-barang kuno.
Yuk, kita pergi ke sana dan melihat-lihat dalamnya!"
"Memang begitu rencana kita. Ongkos masuk ke situ cuma lima penny," kata Dick.
"Aku ingin tahu, apakah di sana ada kamar tahanan bawah tanah tidak. Kamar yang
gelap, lembab dan menyeramkan!"
Anak-anak melanjutkan langkah, mendaki lereng bukit berumput dan menuju ke
lapangan di sana kedua karavan mereka terdapat. Ketika sudah dekat, George
berseru dengan gembira "Aduh! Itukah karavan-karavan kita" Bukan main bagusnya!
Persis kayak karavan yang biasa dipakai kaum kelana - cuma yang ini lebih bersih
dan semarak." "Karavan yang merah dengan hiasan hitam dan kuning -- itu
kepunyaan kami," kata Dick.
"Punyamu bersama Anne yang biru." Timmy menggonggong.
"Wah, maaf Timmy - punyamu juga," kata Dick dengan segera. Anak-anak tertawa. Aneh
sekali! Begitu tiba-tiba Timmy menggonggong, seakan-akan memahami pembicaraan
anak-anak. Kalau George - ia sudah tidak heran lagi. Menurut pendapatnya, Timmy
memang mengerti bahasa manusia.
Kedua karavan itu beroda tinggi Di dinding kiri kanannya ada jendela, sedang
pintu terdapat di bagian depan. Dengan sendirinya tangga untuk turun ke tanah
juga terdapat di sebelah situ. Lubang jendela dihiasi dengan tirai yang nampak
meriah. Sekeliling tepi atapnya dihiasi dengan ukir-ukiran.
"Ini dulunya karavan kaum kelana, yang sudah dipugar," kata Julian menjelaskan.
"Sebelah dalamnya sudah nyaman sekarang! Pembaringannya ada di sisi kiri kanan,
dan kalau siang bisa dilipat ke bawah sehingga menempel ke dinding. Lalu ada
pula bak kecil untuk mencuci. Tapi kami biasanya mencuci di sungai, karena malas
mengangkut air jauh-jauh dari sana. Lalu masih ada pula suatu tempat yang kecil
untuk menyimpan makanan, serta beberapa lemari dan rak-rak - lantai beralas
karpet gabus, yang dilapisi dengan hamparan lagi supaya angin tidak bisa masuk
dari luar...." "Kau ini ngoceh terus, kayak mau menjualnya padaku," kata George sambil tertawa
geli. "Kau tak perlu repot-repot lagi! Kedua-duanya kusukai, dan menurut
perasaanku karavan begini jauh lebih menyenangkan daripada karavan-karavan
modern seperti yang di sana itu. Yang begini rasanya lebih asli!"
"Ah, yang di sana itu juga asli," kata Julian. "Lagi pula ruangan mereka lebih
lapang. Tapi itu bukan soal bagi kita, karena kita toh boleh a Katakan akan
terus berada di luar!"
"Kita juga punya api unggun?" tanya George bersemangat. "Oh ya, aku sendiri
sudah melihatnya. Itu - di sana nampak tanah hangus berabu, bekas kalian
menyalakan api unggun. Yuk, Julian - kita menyalakan api unggun pada malam hari
lalu duduk-duduk mengelilinginya!"
"Ya - dan ditemani nyamuk serta kelelawar yang terbang berkeliaran," kata Dick.
"Ya, kita pasti akan melakukannya. Yuk, kita masuk, George!"
"Dia harus masuk dulu ke karavanku," kata Anne. sambil mendorong-dorong George
supaya menaiki tangga. George sangat bergembira membayangkan akan hidup tenang di tempat itu selama dua
minggu, bersama ketiga saudara sepupunya. Dan bersama Timmy. Ia menarik tempat
pembaringannya naik-turun, untuk melihat cara kerjanya. Tempat penyimpanan
makanan dan lemari-lemari dibukanya pintu-pintunya, lalu ditutup kembali.
Setelah itu ia masuk ke karavan yang ditempati oleh Julian dan Dick.
"Wah, rapi sekali," seru George tercengang. "Kalau Anne, sudah kukira akan
beres. Tapi tempat kalian ini tidak kalah rapi. Wah - jangan-jangan kalian sudah
berubah sekarang, menjadi anak-anak yang menggemari kerapian. Aku sendiri masih
sama seperti dulu!" "Kau tidak usah khawatir tentang soal itu," kata Dick sambil nyengir. "Ini
semuanya hasil kesibukan Anne. Kau kan tahu sendiri, adikku itu paling gemar
berberes-beres. Kalau ada dia, kau tak perlu memikirkan apa-apa lagi!"
"Walau begitu, George masih harus membantuku," kata Anne tegas. "Kalau anak
laki-laki, memang tak kuharapkan akan mau berbenah, memasak dan sebagainya tapi kalau George harus, karena dia anak perempuan!"
"Apa sebabnya aku dulu tidak dilahirkan menjadi anak laki-laki?" keluh George.
"Tapi baiklah, Anne. Aku akan membantu juga - kadang-kadang!"
Kemudian mereka pergi ke luar lagi. Cuaca hari itu memang benar-benar indah.
"Tadi ketika kita di desa, ada yang ingat untuk membeli koran tidak?" tanya
Dick. "Ah, kau sempat membelinya, Julian. Bagus! Coba kita lihat ramalan cuaca
sebentar. Kalau cuaca tetap baik, nanti siang kita mengadakan pelancongan sampai
jauh. Laut kelihatannya tidak begitu jauh dari sini."
Ketika Dick sedang memperhatikan berita ramalan cuaca, tiba-tiba perhatiannya
tertarik pada suatu kepala berita tertentu.
"He," serunya, "ini ada berita lagi tentang kedua sarjana yang menghilang itu,
Julian!" "Oh!" kata George, karena teringat lagi pada pembicaraan ibunya dengan Julian
lewat telepon malam sebelumnya. "Julian, apa sebabnya kau sampai menyangka bahwa
ayahku adalah salah seorang dari kedua sarjana yang menghilang itu" Masakan
ayahku mau berkhianat terhadap negara, dan menjual rahasia penyelidikannya pada
negara lain!" "Wah, aku sama sekali tidak menyangka begitu," tangkis Julian dengan segera.
"Sama sekali tidak, George! Aku takkan mungkin menyangka Paman Quentin akan bisa
berbuat begitu. Bukan - soalnya dalam koran kemarin ada berita tentang lenyapnya
dua sarjana kita yang paling kenamaan. Lalu timbul sangkaanku ketika itu,
jangan-jangan mereka diculik. Dan karena Paman Quentin kan sangat terkenal, aku
lantas menelepon untuk memastikan bahwa ia selamat."
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, begitu," kata George. "Yah, ibuku sama sekali tidak tahu-menahu tentang
kejadian itu! Karenanya ia sangat tercengang mendengar pertanyaanmu, apakah
sarjana yang lenyap itu Ayah. Apalagi karena ketika kau menelepon. Ayah
terdengar sedang gedubrak-gedebruk ribut dalam kamar kerjanya, mencari sesuatu
yang hilang." "Dan barang itu kemudian ternyata diduduki olehnya, seperti biasa," terka Dick
sambil meringis kocak. "Tapi nanti dulu! Menurut koran ini, kelihatannya kedua
sarjana itu sama sekali bukan diculik! Nampaknya mereka melarikan diri dengan
membawa dokumen-dokumen penting! Benar-benar nekat mereka itu!"
Dick lantas membacakan berita itu.
"Derek Terry-Kane dan Jeffrey Pottersham sudah dua hari ini menghilang. Pada
hari kejadiannya mereka bertemu di rumah seorang teman guna merundingkan suatu
urusan tertentu dalam pekerjaan mereka. Setelah itu mereka pergi berjalan kaki
bersama-sama, menuju stasiun kereta bawah tanah. Dan sejak saat itulah mereka
menghilang. Tapi berhasil diketahui bahwa Terry-Kane telah memperpanjang paspornya, serta
membeli karcis pesawat terbang menuju ke Paris. Tapi dan kota itu tidak ada
berita mengenai tibanya di sana.
"Nah! Persis itulah yang kukatakan pada Ibu!" seru George. "Kukatakan mereka
minggat, dengan maksud hendak menjual rahasia kepada negara lain. Kenapa mereka
sampai bisa lari?" "Paman Quentin tentu jengkel mendengar kabar itu," kata Julian. "Kalau tidak
salah, ia kan pernah bekerja sama dengan Terry-Kane itu?"
"Ya - kurasa memang pernah," kata George. Untung saja hari mi aku tak ada di
rumahi Ayah pasti marah-marah lagi, dan tak bosan-bosannya mengatakan
pendapatnya pada Ibu tentang sarjana pengkhianat!"
"Ya, pasti ayahmu mengamuk," kata Julian. Dan ia memang tidak bisa
dipersalahkan. Aku sendiri juga tidak habis heran kenapa ada orang yang bisa
berkhianat terhadap negaranya sendiri! Muak rasanya, jika memikirkannya. Ah lebih baik kita memikirkan soal makan siang saja, Anne. Makan apa kita nanti?"
"Susis goreng dengan bawang, kentang - dan untuk buahnya kita akan membuka
sebuah kaleng buah persik," jawab Anne dengan segera.
"Biar aku saja yang menggoreng susis," kata Dick. "Akan kunyalakan api di sini.
Siapa yang ingin susisnya digoreng sampai merekah kulitnya?"
Ternyata semua minta dibuatkan susis goreng seperti itu.
"Aku ingin punyaku digoreng sampai matang sekali," kata George. "Bagian kita
masing-masing berapa potong" Sejak sarapan tadi pagi, perutku baru kemasukan es
krim saja." "Ini ada dua belas potong," kata Anne, sambil menyodorkan kantong susis pada
Dick. "Jadi masing-masing mendapat tiga! Timmy tidak perlu diberi - karena aku
punya sepotong tulang yang besar untuknya. Julian! Tolong ambilkan air, ya" Itu
- pakai saja ember yang di sana itu! Aku hendak mengupas kentang. George,
usahakanlah membuka kaleng persik itu tanpa melukai jarimu - seperti yang
terjadi waktu itu." "Baik, Boss!" kata George sambil nyengir. "Ah - sekarang rasanya seperti duludulu lagi. Makan enak bersama kawan-kawan, sambil bersantai-santai. Hidup kita!"
Bab 4 ORANG PASAR MALAM Hari pertama mereka bersama-sama kembali itu sangat menyenangkan. Apalagi untuk
George, yang sebelumnya selalu resah karena ditinggal sendiri selama dua minggu.
Timmy juga asyik. An mg itu bolak-balik lari kian ke mari, mengejar Kelinci.
Tapi kelinci yang dikejar, kebanyakan hanya ada dalam khayalan Timmy saja.
Pokoknya ia asyik berlari, sampai akhirnya capek sendiri.
Timmy lantas menghampiri anak-anak dan merebahkan diri di dekat mereka. Napasnya
terengah-engah, seperti bunyi lokomotif uap yang sedang mendaki tanjakan.
Lidahnya yang panjang dan merah terjulur ke luar.
"Melihatmu saja aku sudah kepanasan, Tim," kata Anne sambil mendorongnya supaya
menjauh sedikit. "Lihatlah, George! Timmy kepanasan sekali, sampai beruap
tubuhnya. Wah, Tim - aku khawatir pada suatu hari kau akan meledak kepanasan!"
Sehabis makan anak-anak berjalan-jalan. Tapi tidak sampai ke tepi laut. Mereka
melihatnya dari atas sebuah bukit, airnya biru berkilau-kilau di kejauhan. Di
sana-sini nampak perahu-perahu layar putih, dari jauh kelihatannya seperti angsa
yang sedang mengembangkan sayap. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di sebuah
rumah petani. Tempat itu biasa menghidangkan makanan dan minuman untuk para
pelancong. Dengan pembayaran tentunya! Anak-anak minum teh di situ, ditonton
oleh anak-anak petani yang memandang mereka dengan terheran-heran.
"Kalian mau membeli selai buatanku sendiri?" tanya istri petani, ketika anakanak sudah membayar dan hendak pulang.
"0 ya, tentu saja!" jawab Dick. "Dan bisakah kami juga membeli kue buah Anda
yang itu" Kami saat ini sedang berkemah dengan karavan di lapangan Faynights, di
seberang puri. Jadi kalau makan, setiap hari kami piknik."
"Ya, boleh saja kalian beli semuanya," jawab istri petani yang ramah itu. "Aku
masih punya banyak, karena baru saja kemarin aku membikinnya. Kalian juga mau
daging asap" Kecuali itu aku juga punya acar bawang yang enak."
Wah - itulah yang rupanya disebut 'pucuk dicinta ulam tiba'! Anak-anak membeli
semua makanan itu dengan harga yang murah sekali. Dalam perjalanan pulang, Dick
membuka tutup tempat acar bawang, lalu mencium-cium baunya.
"Hmmm!" katanya senang. "Bau begini yang paling kusukai! Coba cium, George!"
Tentu saja mereka tidak cuma mencium-cium saja akhirnya. Masing-masing mengambil
sebutir acar bawang yang besar. Cuma Timmy saja yang langsung mundur teratur,
ketika botol acar itu didekatkan ke hidungnya. Satu-satunya yang paling tidak
disukainya, adalah bau bawang! Dick menutup botol itu kembali.
"Kurasa lebih baik jangan Dick yang membawa botol itu," kata Anne. "Aku khawatir
setiba kita nanti di karavan, acar bawang kita tinggal beberapa butir saja!"
Ketika mereka sampai di pintu pagar yang terdapat di dasar lereng tempat
perkemahan, matahari terbenam. Bintang barat sudah nampak terang, berkelip-kelip
di atas langit. Dalam perjalanan mendaki lereng menuju karavan, tiba-tiba Julian
berhenti lalu menuding. "He - lihatlah! Di sana ada dua karavan lagi, seperti kita punya. Mungkin itu
orang pasar malam yang sudah datang."
"Dan itu ada satu lagi - sedang mengarah ke mari," sambung Dick. "Karavan itu
harus lewat gerbang, karena tidak mungkin bisa memintas seperti kita tadi!"
"Wah! Akan banyak tetangga kita nanti yang menarik!" kata Anne senang. Anak-anak
mendaki terus sampai ke karavan, lalu memandang dengan perasaan ingin tahu ke
arah rumah beroda yang ditempatkan paling dekat. Karavan yang baru datang itu
bercat biru dan hitam di atas dasar warna kuning. Tapi warnanya sudah terkelupas
di sana-sini. Potongannya mirip karavan mereka, tapi sudah jauh lebih tua.
Di sekitar karavan yang baru datang itu tidak ada orang. Pintunya tertutup
rapat, begitu pula jendela-jendelanya. Anak-anak berdiri memandang ke
sekeliling. "Di bawahnya ada sebuah kotak besar," kata Julian. "Apa ya, isinya?"
Kotak yang dimaksudkannya berbentuk panjang dan lebar, tapi tidak tinggi. Di
sisinya ada lubang-lubang bundar. George datang mendekat.
lalu membungkuk untuk memperhatikan kotak itu dengan lebih seksama, ia ingin
tahu, apakah di dalamnya ada makhluk hidup.
Timmy ikut mendekat. Anjing itu merapatkan hidung ke salah satu lubang di sisi
kotak, lalu mengendus-endus. Tapi tiba-tiba anjing itu mundur lalu menggonggong
dengan keras. George meraih kalung leher Timmy dan hendak menariknya pergi. Tapi
anjing itu tidak mau. Ia malah menggonggong-gonggong terus!
Dari dalam kotak terdengar bunyi yang aneh. Kedengarannya seperti ada sesuatu
yang menggeleser. Timmy semakin ribut menggonggong.
"Jangan menggonggong terus. Tim!" kata George sambil menarik-narik kalung leher
anjing itu. "Julian, tolong aku! Dalam kotak itu ada sesuatu yang belum dikenal
Timmy - aku juga tak tahu apa isinya! Timmy kelihatannya bingung, dan juga agak
takut, ia takkan berhenti menggonggong, jika tidak lekas-lekas kita seret
pergi!" Dari arah pintu pagar di kaki lereng terdengar suara orang berseru dengan marah.
"He! Bawa anjing kalian itu pergi dari situ! Kalian mau apa di situ, mengusik
ular-ularku!" "Hiii - ular!" jerit Anne. Ia lantas lekas-lekas lari ke karavannya. "George,
dalam kotak itu ada ular. Tarik Timmy dari situ!"
Dengan bantuan Julian, akhirnya George berhasil juga menyeret Timmy pergi.
Anjing itu sampai agak tercekik karena kalung lehernya dicengkeram kuat-kuat
oleh kedua anak itu. Tapi Timmy seakan-akan tak merasakannya. Perhatiannya tetap
terpaku pada isi kotak. Sementara itu suara orang yang marah-marah tadi sudah terdengar dekat sekali di
belakang mereka. George berpaling. Dilihatnya seorang "laki-laki setengah umur.
Orang itu bertubuh kecil. Kulitnya coklat, sedang matanya yang hitam berkilatkilat, ia mengacung-acungkan kepalan tinju, sambil berteriak-teriak terus.
"Maaf," kata George. Ia semakin berusaha -penarik Timmy supaya mundur. "Jangan
teriak-teriak terus, Pak - nanti anjingku menyerang Anda!"
"Menyerang diriku! Anjing itu akan menyerangku" Kenapa kau memelihara anjing
galak, yang mengganggu ular-ularku dan hendak menyerangku!" teriak laki-laki
kecil itu sambil menandak-nandak seperti jago tinju. "Ciaaahh! Awas - nanti
kulepaskan ular-ularku! Biar anjingmu itu lari tunggang-langgang ketakutan, dan
tidak berani embati lagi!"
Wah - ancaman itu tidak boleh dipandang enteng! Dick datang membantu. Akhirnya
mereka berhasil mengendalikan Timmy, dan menariknya masuk ke dalam karavan Anne
dan George. Pintunya cepat-cepat dikunci dari luar. Anne tinggal di dalam,
berusaha menenangkan Timmy. Sementara itu Julian, Dick dan George keluar lagi,
mendatangi laki-laki yang masih marah-marah terus.
Orang itu menarik kotak besar dari bawah karavan, lalu membuka tutupnya. Anakanak terpukau menatap ke arah kotak. Ular siapakah yang ada di dalamnya. Ular
kobra - atau apa" Mereka sudah siap lari, jika ternyata ular-ular sama biaknya
seperti pemilik mereka. Dari dalam kotak muncul kepala yang besar, lalu bergerak-gerak. Sepasang mata
hitam menatap tanpa berkedip. Kemudian meluncurlah tubuhnya yang panjang sekali,
melibat naik lewat tungkai laki-laki itu, membelit pinggang dan terus naik
sampai melilit leher. Sementara itu pemiliknya terus mengelus-elus sambil
membujuk dengan suara pelan merayu.
George bergidik. Julian dan Dick memandang sambil melongo.
"Itu ular sanca," kata Julian. "Astaga, bukan main besarnya. Aku belum pernah
melihat ular dari jarak sedekat ini. Aneh, kenapa orang itu tidak dililitnya
keras-keras sampai mati?"
"Orang itu memegang bagian ekornya, sehingga ular tak mungkin bisa memperteguh
lilitannya," kata Dick, yang memperhatikan dengan seksama. "Eh, lihat - itu ada
seekor lagi!" Dan benarlah! Ada lagi seekor ular merayap keluar dan kotak. Tubuhnya panjang
sekali. Ular itu juga merayap naik, melilit tubuh si pemilik. Ular itu bergerak
seperti meluncur, sambil berbunyi mendesis-desis. Ular itu besar sekali!
Badannya lebih gemuk daripada pangkal paha Julian.
Anne ikut memandang dari balik jendela karavan. Ia pun menatap dengan mata
terbelalak. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat ular sebesar itu. Ia juga
tak tahu jenisnya. Dalam hati ia sudah mulai menyesal, kenapa memilih tempat
berkemah di situ. Akhirnya laki-laki itu berhasil menenangkan kedua ularnya kembali. Tapi
sementara itu ia nyaris tak kelihatan lagi. Hampir seluruh tubuhnya tertutup
tubuh kedua ular yang bergelung-gelung melilitnya. Di sisi kiri-kanan lehernya,
dua kepala ular nampak bergerak-gerak.
Timmy juga ikut memandang dari balik jendela, di samping Anne. Anjing itu
tercengang melihat binatang besar yang bisa merayap, sehingga ia tidak
menggonggong lagi. Ia bahkan pergi dari jendela, lalu bersembunyi di bawah meja.
Timmy tidak suka melihat kedua binatang yang tampangnya seram itu.
Laki-laki yang marah tadi terus mengelus-elus kedua ularnya. Sambil merayu-rayu,
kedua binatang melata itu dimasukkan kembali ke dalam kotak. Ular-ular itu
merayap masuk, lalu melingkar lagi di dalam. Laki-laki itu buru-buru menutup
kotak dan menguncinya sekaligus.
Setelah itu ia menatap anak-anak yang masih melongo.
"Nah, kalian lihat sendiri betapa resahnya ular-ularku jadinya!" tukasnya.
"Sekarang jangan dekat-dekat lagi kemari, mengerti"! Dan anjingmu itu juga
jangan boleh mendekat. Ah, anak-anak memang selalu mengganggu saja, selalu' mau
tahu! Aku tak suka pada anak-anak! Ular-ularku juga! Kalian jangan mendekatdekat lagi - mengerti?"
Kalimat terakhir diteriakkannya kuat-kuat, sehingga anak-anak kaget.
"Pak," kata Julian, "kami kembali hanya untuk minta maaf, karena gonggongan
anjing kami tadi. Anjing selalu menggonggong, jika menghadapi barang atau
makhluk yang tak dikenalnya. Memang sudah begitulah sifat anjing!"
"Aku juga membenci anjing," tukas orang itu sambil masuk ke karavannya.
"Usahakan agar binatang itu tidak ada di dekat-dekat sini, terutama apabila aku
mengeluarkan ular-ularku. Kalau berani mendekat juga, ada kemungkinan ia akan
dililit sampai gepeng oleh seekor di antaranya. Hah!"
Setelah itu ia masuk dan menutup pintu karavan rapat-rapat.
"Wah, awal perkenalan kita dengan orang pasar malam ternyata tidak begitu
menyenangkan," keluh Julian. "Padahal aku sudah berharap-harap, mudah-mudahan
mereka baik hati dan mau membeberkan rahasia mereka sedikit pada kita."
"Aku agak seram mendengar kata-katanya yang paling akhir," kata George cemas.
"Jika dililit salah seekor ular sanca itu, Timmy pasti akan mati. Akan kujaga
agar Timmy tidak mendekat, jika laki-laki aneh itu sedang mengeluarkan ularularnya. Kelihatannya ia sayang sekali pada binatang-binatang itu, ya?"
"Memang," kata Julian. "Aku ingin tahu, siapa yang tinggal dalam karavan yang
satu lagi. Tapi aku takut melihat ke situ! Siapa tahu, isinya mungkin gorila,
atau gajah, atau kuda Nil, atau...."
"Konyol!" kata George geli. "Wah, hari sudah mulai gelap! He - itu dia karavan
yang kita lihat datang tadi!"
Karavan yang dimaksudkannya nampak bergerak pelan-pelan mendaki lereng. Di
sisinya tertulis suatu nama dengan huruf yang besar-besar berwarna merah.
"Pak Karet". "He - manusia karet datang," kata George. "Dick, itu dia orangnya - yang
mengendalikan kuda?"
Anak-anak memandang ke arah orang laki-laki yang duduk di tempat kusir. Orang
itu kurus jangkung. Tampangnya murung, seakan-akan mau menangis terus. Kudanya
sama saja - juga Kelihatan seperti selalu sedih.
"Yah - bisa saja ialah yang menamakan dirinya Pak Karet," kata Julian. "Tapi
melihat tampangnya, lesu sekali."
Sementara itu laki-laki yang baru datang meloncat turun dari tempat duduknya.
Geraknya lincah dan cekatan. Kalau melihat bentuk tubuhnya, takkan ada yang
mengira ia bisa bergerak selincah itu. Dibimbingnya kuda penarik karavannya ke
tempat yang rumputnya tumbuh subur, lalu dilepaskannya di situ. Kuda itu mulai
merumput, dengan tampang yang masih tetap sedih seperti tadi.
Tiba-tiba orang itu berseru kuat-kuat. "Buffalo!" teriaknya. "Kau ada di situ?"
Saat itu juga pintu karavan yang kedua terbuka. Seorang pemuda menjulurkan
kepalanya ke luar. Orangnya bertubuh besar. Rambutnya lebat berwarna pirang, ia
memakai kemeja berwarna merah nyala.
"Hai, Karet," sapanya sambil tersenyum lebar. Kami lebih dulu tiba di sini.
Silakan masuk - Skippy sudah menyiapkan makanan."
Pak Karet berjalan dengan tampang lesu, masuk ke dalam karavan yang ditempati
pemuda yang bernama Buffalo. Ketika ia sudah ada di dalam, pintu karavan
langsung ditutup kembali.
"Asyik juga mereka itu," kata Dick. "Manusia karet - lalu Buffalo dan seseorang
bernama Skippy - serta pawang ular yang di sebelah kita. Aku ingin tahu, siapa
lagi yang masih akan datang nanti!"
Anne berseru-seru dari dalam karavan, memanggil mereka.
"Masuklah," katanya. "Timmy sudah melolong-lolong terus sedari tadi."
Ketika mereka masuk, ternyata Anne sudah menyiapkan makan malam. Roti dengan
daging asap, lalu sepotong kue buah serta jeruk seorang satu.
"Aku ingin makan roti dengan acar bawang," kata Dick. "Akan kucincang lalu
kutaburkan di atas daging asap. Wah, aku ini memang selalu punya akal yang serba
hebat," katanya memuji diri sendiri.
Bab 5 MALAM PERTAMA UNTUK GEORGE DAN TIMMY
Sehabis makan anak-anak mengobrol tentang orang-orang yang baru datang itu.
George menepuk-nepuk Timmy, sambil mengomelinya.
"Aku bisa mengerti bahwa kau tak suka pada ular. Tim - tapi kalau sudah sekali
kukatakan kau angan menggonggong lagi dan kuajak pergi, kau harus langsung
menurut. Mengerti?" Ekor Timmy melengkung ke bawah, dan anjing itu meletakkan kepalanya ke lutut
George sambil melolong pelan.
"Kurasa sejak ia melihat ada ular keluar dari kotak-kotak itu, ia takkan mau
dekat-dekat lagi ke sana," kata Anne. "Harus kau lihat tadi - Timmy sangat
ketakutan ketika memandang ke luar jendela bersamaku, lalu melihat kedua ekor
ular itu muncul dari kotak, ia cepat-cepat meloncat turun dan bersembunyi di
bawah meja."
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang perkenalan kita dengan para artis pasar malam tidak begitu
menyenangkan," kata Julian. Kurasa mereka kurang menyukai anak-anak. Soalnya,
anak-anak biasanya merepotkan saja mengintip-intip dan mengacak ke sana-ke
mari." "Kalau tidak salah, baru saja kudengar ada lagi karavan datang," kata George
dengan tiba-tiba. Timmy segera meruncingkan kupingnya ke atas, sambil menggeram.
"Diam, Timmy! Bukan kita saja yang boleh berada di lapangan ini!"
Dick menghampiri jendela, lalu mengintip ke luar. Ia melihat beberapa bayangan
benda-benda besar di seberang lapangan yang sudah gelap itu. Di depan salah satu
di antaranya ada api unggun yang kecil nyalanya. Sesosok tubuh kelihatan
membungkuk di depan api. "Wah, roti buatanmu enak, Anne," kata Dick memuji-muji. "Bagaimana - masih ada
yang ingin acar bawang lagi?"
"Tidak, Dick," kata Anne tegas. "Kau sudah memakan rotimu."
"Aku kan bisa saja makan acar bawang tanpa roti?" kata Dick berkeras. "Kemarikan
botolnya, Anne." Tapi Anne tidak mau. "Sudah kusembunyikan," katanya. "Besok kau kan masih kepingin memakannya lagi"
Kau tidak boleh rakus, Dick. Kalau masih lapar, makan saja biskuit."
"Aku tadi bermaksud hendak menyarankan agar kita menyalakan api unggun di luar
malam ini," kata George. "Tapi rasanya aku sudah terlalu mengantuk sekarang.
Kalau duduk-duduk di depan api, aku pasti akan tertidur!"
"Aku juga sudah mengantuk," kata Anne. "Yuk, kita berbenah sebentar, George.
Setelah itu langsung masuk ke tempat tidur. Julian dan Dick boleh saja membacabaca atau menyibukkan diri dengan salah satu permainan dalam karavan mereka,
jika mereka masih belum mengantuk."
Dick menguap lebar-lebar.
"Yah - mungkin aku masih akan membaca sedikit," katanya. "Mudah-mudahan cukup
banyak air yang ada untuk keperluanmu sekarang, Anne. Soalnya, saat ini aku tak
mau kausuruh mengambil air lagi ke sungai. Siapa mau, berjalan melintas lapangan
gelap, dengan kemungkinan tersandung ular, dan entah apa lagi yang dibiarkan
berkeliaran di rumput oleh para artis itu!"
"Maksudmu, ular-ular itu dibiarkan bebas berkeliaran pada malam hari?" kata
Anne. Anak itu sudah was-was saja!
"Tentu saja tidak!" kata Julian. "Lagipula kalau ada binatang mendekat - biar
cuma landak sekali pun - Timmy pasti akan langsung menggonggong untuk memberi
tahu. Jadi kau tak perlu khawatir terhadap ular!"
Setelah itu ia pergi bersama Dick ke karavan mereka. Tak lama kemudian nampak
cahaya terang dari arah sana, serta bayangan yang bergerak-gerak di balik tirai
jendela yang tertutup. "Mereka sudah menyalakan lampu," kata Anne sambil memandang. Lampu karavan
mereka sendiri sudah sedari tadi menyala. Ruangan itu nampak nyaman dan
menyenangkan. Anne menunjukkan cara memasang pembaringan pada George. Setelah
itu mereka sibuk mengatur seprai, selimut dan macam-macam lagi.
"Mana bantalku?" tanya George. "Oh, rupanya kalau siang dijadikan sandaran
punggung, ya! Bagus juga ide itu."
Keduanya lantas berganti pakaian, lalu membersihkan badan dengan air sungai yang
ditaruh dalam bak kecil dalam karavan itu. Mereka juga tak lupa menyikat gigi.
"Kau sudah menyiapkan senter?" tanya Anne, ketika mereka berdua sudah berbaring
di tempat tidur masing-masing. "Soalnya, lampu akan kupadamkan. Nanti malam jika
kau memerlukan sesuatu, kau harus mencarinya dengan sentermu, George. He lihatlah, Timmy masih duduk dekat ambang pintu! Rupanya ia tak tahu bahwa kita
akan tidur di sini. Tim, kau menunggu kami naik ke atas, ya?"
Timmy memukul-mukulkan ekor ke lantai. Memang itulah yang ditunggunya sedari
tadi. George kalau tidur selalu naik ke tingkat atas. Tapi dalam karavan itu
Timmy tidak melihat tangga yang menuju ke atas. Dikiranya George tahu, di mana
letak tangga tersembunyi itu!
Setelah menunggu agak lama, barulah anjing itu menyadari bahwa George malam itu
akan tidur di pembaringan yang menempel ke dinding. Timmy lantas pergi ke kolong
tempat itu. Setelah menghembuskan napas panjang sekali, ia lantas tertidur.
Tapi walau Timmy sudah tidur, kupingnya tetap tajam, ia memang anjing penjaga
yang baik. Namun malam itu tak terjadi apa-apa yang menyebabkan ia perlu bangun
dan menggonggong. Keesokan paginya ia dibangunkan oleh kicauan burung di pohonpohon. Timmy berdiri - dan punggungnya membentur dasar pembaringan George yang
rendah. George terbangun karenanya.
Sesaat anak itu lupa di mana ia berada. Tapi dengan segera teringat kembali.
George tersenyum. Tentu saja! Saat itu ia berada dalam karavan, bersama Anne.
Didengarkannya kicauan burung yang bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu. Jauh
lebih merdu daripada suara burung di kota. Di kejauhan terdengar suara sapi
melenguh. Sinar matahari pagi menyusup ke dalam lewat celah-celah tirai jendela.
Tahu-tahu mata George terpejam kembali. Anak itu terlena lagi. Begitu pula
dengan Timmy. Anjing itu meringkuk di tempat semula.
Orang-orang di karavan lain-lainnya mulai bangun. Pintu dan jendela dibuka. Api
unggun dinyalakan. Ada orang pergi ke sungai untuk mengambil air.
Julian dan Dick datang ke karavan Anne serta George, lalu menggedor-gedor pintu.
"Ayo bangun, pengantuk! Sekarang sudah pukul setengah delapan! Perut kami
lapar!" "Astaga!" Anne terbangun, sambil menggosok-gosok matanya yang merah karena masih
agak mengantuk. "George! Bangun, George!"
Tak lama kemudian anak-anak itu sudah duduk mengelilingi api unggun. Tercium bau
enak. Dick menggoreng telur dengan daging yang diiris tipis-tipis. Baunya
menyebabkan anak-anak semakin merasa lapar. Sementara itu Anne merebus air di
atas kompor dalam karavan, untuk membuat teh. Setelah air matang, Anne ke luar
sambil membawa baki. Di atas baki diletakkannya teko teh yang berisi air
mendidih. "Anne kalau bekerja selalu rapi," puji Dick. "Coba kemarikan piringmu, Ju sarapanmu sudah siap! Ayo pergi. Tim - jangan kauajukan hidungmu terlalu dekat!
Nanti tepercik minyak panas. Tolong awasi Timmy jika aku sedang masak, George.
Dia kan sudah mencuri sepotong daging!"
"Yah, dengan begitu kau tak perlu repot-repot menggorengnya," kata George. "Wah,
sudah banyak karavan yang ada di sini sekarang! Rupanya mereka datang tadi
malam." Anak-anak memandang berkeliling lapangan. Nampak ada empat sampai lima karavan
lagi, selain ketiga karavan kepunyaan pawang ular, pemuda yang bernama Buffalo
serta Pak Karet. Perhatian anak-anak paling tertarik pada satu karavan. Warnanya kuning terang,
dihiasi dengan gambar nyala api di sisinya. Di situ tertulis nama 'Alfredo,
Artis Penelan Api'. "Kurasa orangnya pasti besar dan galak," kata Dick. "Penelan api sejati, yang
suka marah-marah! Suaranya menggeledek, dan kalau berjalan langkahnya panjangpanjang." "Atau bisa juga kurus kecil, dan jalannya berjingkat-jingkat kayak kuda poni,"
kata Julian. "Itu ada orang keluar dari karavannya," kata George. "Lihatlah!"
"Loh - wanita!" kata Anne. "Ah, mungkin istrinya. Aduh, orang itu mungil sekali.
Tampangnya mirip orang Spanyol!"
"Nah, yang muncul sekarang ini - pasti dialah si penelan api!" kata Dick.
"Dugaanmu ternyata tepat, Dick! Jago juga kau menebak!"
Seorang laki-laki bertubuh besar menuruni tangga karavan, di belakang wanita
mungil yang mungkin istrinya. Tampang laki-laki itu memang nampak galak.
Rambutnya panjang terjurai ke belakang seperti singa. Mukanya merah, dengan mata
besar berkilat-kilat, ia berjalan dengan langkah panjang-panjang. Istrinya
terpaksa agak berlari-lari di sampingnya.
"Memang begitulah bayanganku tentang artis penelan api," kata Dick senang.
"Kurasa lebih baik kita jangan dekat-dekat dulu padanya, sebelum mengetahui
apakah ia juga tidak suka pada anak-anak atau tidak - seperti pawang ular! Wah,
istrinya kecil sekali tubuhnya. Pasti ia disuruh-suruh terus oleh suami yang
galak itu!" "Tapi pokoknya penelan itu mau mengambilkan air dari sungai untuk istrinya,"
kata Anne sambil memperhatikan. "Dua ember yang besar-besar! Wah - tampangnya
memang pantas menjadi penelan api, ya?"
"Itu ada lagi orang muncul," kata Dick. "Kalau yang ini, siapa ya" Lihatlah
caranya berjalan menuju ke sungai. Geraknya menyelinap, seperti harimau. Pasti
ia juga sangat kuat!"
"Orang yang sanggup membebaskan diri dari ikatan yang seerat apa pun!" tebak
Anne. "Pasti dia itulah orangnya."
Anak-anak asyik memperhatikan orang-orang yang baru datang itu. Sedang para
artis sibuk sendiri, saling mengobrol dan tertawa-tawa. Akhirnya nampak tiga
wanita berangkat membawa keranjang besar.
"Mereka pergi berbelanja," kata Anne. "Aku juga harus berbelanja. Kau ikut,
George" Sepuluh menit lagi ada bis lewat di bawah, menuju ke desa. Nanti saja
kita berbenah, sepulang kita dari desa."
"Baiklah," kata George sambil ikut berdiri. "Lalu apa yang dilakukan oleh Julian
dan Dick selama itu?"
"Ah - mereka harus mengambil air lagi serta mengumpulkan ranting kering untuk
api unggun. Dan - membereskan pembaringan mereka," kata Anne sambil lalu.
"O ya?" kata Dick sambil nyengir. "Mungkin kami akan melakukannya - tapi mungkin
juga tidak! Tapi yang pasti, kalian berdua harus pergi berbelanja, karena
persediaan makanan kita tinggal sedikit. Kalau sampai habis - bisa gawat perut
kita! O ya, - Anne tolong belikan juga pasta gigi untukku, ya" Dan kalau nanti
lewat di tempat penjualan susu, belikan kue donat selusin - kalau ada!"
"Kalau bisa beli juga nanas dalam kaleng," kata Julian menambahkan. "Dan jangan
lupa, kita juga perlu susu."
"Jika masih ada pesanan, kalian nanti harus ikut untuk membantu kami membawa
semuanya," kata Anne. "Masih ada lagi?"
"Mampir di kantor pos, dan lihat apakah ada surat untuk kita," kata Dick. "Dan
jangan lupa membeli koran! Kita perlu mengikuti perkembangan dunia - walau saat
ini aku sebetulnya tidak begitu berminat."
"Baiklah," kata Anne. "Yuk, kita pergi sekarang, George. Kalau tidak, bisa
ketinggalan bis nanti."
Kedua anak itu berangkat menuruni lereng, diikuti oleh Timmy.
Bab 6 ARTIS YANG TIDAK RAMAH
Julian dan Dick kemudian memutuskan untuk mengambil air dan mengumpulkan ranting
kering, sementara Anne dan George pergi berbelanja. Mereka bahkan membereskan
tempat tidur masing-masing. Tapi cara mereka benar-benar istimewa! Seprai dan
selimut ditarik dari kasur lalu ditaruhkan dengan begitu saja ke atas rak. Lalu
pembaringan dilipat ke bawah, menempel ke dinding.
Setelah tugas itu selesai, mereka tinggal menunggu kedatangan anak-anak
perempuan kembali dari desa. Tapi Julian dan Dick tak mau duduk-duduk saja
sambil menganggur. Mereka lantas berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Tapi
keduanya tak berani mendekati pawang ular, yang saat itu sedang sibuk dengan
salah seekor ular sancanya.
"Ia kelihatannya seperti sedang memolesnya. Tapi itu kan mustahil," kata Julian.
"Sebenarnya aku ingin sekali mendekat, untuk melihat apa yang sedang dikerjakan.
Tapi ia cepat sekali marah! Jangan-jangan nanti disuruhnya ular itu mengejar
kita." Pawang ular duduk di atas sebuah kotak. Seekor ular dibaringkannya di atas
lututnya. Ular itu melilit salah satu paha orang itu, dan naik ke pinggang.
Kepala binatang melata itu kelihatannya terdapat di bawah ketiak pawang. Orang
itu sibuk menggosok-gosok sisik ular. Dan ular itu kelihatannya seakan-akan
senang diperlakukan begitu!
Pemuda yang bernama Buffalo, sedang berlatih dengan cemeti. Cemeti yang ada di
tangannya bergagang indah, dihiasi dengan batu permata yang berkilau-kilauan
kena sinar matahari. "Coba kaulihat cemetinya itu!" kata Julian. "Panjangnya bukan main! Aku kepingin
melihatnya beraksi!"
Seakan-akan perkataan Julian terdengar olehnya, Buffalo berdiri sambil mengayunayunkan cemeti. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. Sekejap kemudian terdengar
bunyi menggeletar - mirip bunyi pistol yang ditembakkan! Cemeti terayun mengiris
udara. Julian dan Dick terlonjak karena kaget. Mereka sama sekali tak menyangka
bahwa cemeti bisa berbunyi senyaring itu.
Sekali lagi Buffalo mengayunkan cemetinya. Dan sekali lagi terdengar bunyi mirip
tembakan pistol. Setelah itu Buffalo bersuit. Seorang wanita bertubuh pendek
montok muncul di ambang pintu karavannya. "Sudah kaubetulkan lagi?" tanya wanita
itu. "Mungkin sudah betul lagi sekarang," jawab Buffalo. "Ambil rokok, Skippy.
Cepat!" Wanita yang ternyata bernama Skippy mengulurkan tangan ke dalam karavan. Ia
mencari-cari di atas rak, lalu mengambil sebungkus rokok. Tapi ia tidak menuruni
tangga karavan, tapi tetap berdiri di ambang pintu, ia memegang sebatang rokok
dengan ibu jari dan telunjuknya.
Buffalo mengayunkan cemetinya. TARR! Seketika itu juga rokok di tangan wanita
itu lenyap - seperti disulap. Anak-anak melongo. Masakan ujung cemeti itu yang
melecut rokok dari tangan Skippy" Tuanya mustahil!
"Itu dia rokoknya," kata Buffalo sambil menunjuk ke suatu arah. "Pegang lagi,
Skippy. Kurasa cemeti ini sudah beres lagi sekarang."
Skippy memungut rokok itu, lalu menyelipkannya - ke mulut!
"Jangan!" seru Buffalo. "Aku belum merasa pasti terhadap cemeti ini. Pegang saja
seperti tadi lagi." Skippy mengambil rokok dan menjepitnya di antara kedua jarinya.
TARR! Sekali lagi cemeti menyambar dengan bunyi menggeletar. Dan sekali lagi
rokok lenyap. "Wah - rokoknya patah, Buffalo," kata Skippy menyesali, sambil menunjuk rokok
yang patah dua di tanah. "Kau ceroboh!"
Buffalo diam saja. Ia membelakangi Skippy, sambil berbuat sesuatu dengan
cemetinya. Tapi Julian dan Dick tidak bisa melihat apa yang sedang diperbuat
oleh orang itu. Mereka lantas mendekat, karena ingin melihat lebih jelas.
Saat itu Buffalo masih membelakangi mereka. Tapi rupanya ia mendengar langkah
mereka mendekat. "Pergi dari sini," katanya, dengan suara biasa. "Anak-anak dilarang datang
kemari. Ayo pergi - kalau tidak ingin kuayunkan cemetiku untuk membabat ujung
rambut kalian!" Julian maupun Dick merasa yakin, Buffalo pasti sanggup melakukan tindakan yang
diancamkannya itu. Mereka lantas cepat-cepat mundur, tanpa sampai harus berlari.
"Kurasa pawang ular bercerita padanya tentang Timmy yang ribut-ribut kemarin
sehingga mengganggu ular-ularnya," kata Dick. "Mudah-mudahan saja hubungan kita
dengan orang-orang pasar malam tidak menjadi kacau karenanya."
Anak-anak lantas menyeberangi lapangan. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan
Pak Karet. Mau tidak mau, mereka melongo memandangnya. Orang itu kelihatannya
benar-benar seperti terbuat dari karet! Kulitnya semu kelabu, seperti karet.
Kelihatannya juga seperti karet wujudnya.
Orang itu menatap Dick dan Julian sambil cemberut.
"Ayo pergi dari sini," katanya ketus. "Anak-anak tidak boleh berkeliaran di
lapangan tempat kami."
Julian jengkel mendengarnya.
"Kami juga berhak ada di lapangan ini, seperti kalian," katanya. "Kami berkemah
dengan karavan di sini. Itu dia karavan kami - yang di sebelah sana itu!"
"Yah - tapi lapangan ini dari dulu sudah selalu menjadi tempat kami," kata Pak
Karet. "Jadi kalian harus pergi dari sini! Pindah saja ke lapangan sebelah."
"Kami tak mempunyai kuda untuk menarik karavan-karavan kami. Itu jika kami ingin
pindah - tapi kami tidak mau," tukas Julian. Ia semakin marah. "Lagi pula, apa
sebabnya kalian tak mau kami berada di sini" Kami ingin berkenalan dengan
kalian. Kami pasti takkan mengganggu atau - merepotkan."
"Kaum kami tidak bisa cocok dengan kaum kalian," kata orang itu berkeras. "Kami
tidak suka jika kalian ada di sini - begitu pula halnya dengan karavan-karavan
mentereng yang di sana itu," katanya lebih lanjut, sambil menuding ke ketiga
karavan modern yang ditaruh di salah satu sudut lapangan. "Lapangan ini sudah
selalu menjadi tempat kami."
"Sudahlah, lebih baik kita jangan bertengkar terus mengenainya," sela Dick, yang
selama ini terus memperhatikan Pak Karet dengan perasaan ingin tahu. "Benarkah
Anda seperti karet, sehingga mampu menyusup-nyusup lewat saluran dan sebagainya"
Betulkah - ?" Dick tak sempat menyelesaikan pertanyaannya. Tiba-tiba manusia karet itu
menjatuhkan diri ke tanah, menggeliat-geliat dengan aneh lalu melesat ke depan,
menyambar kaki kedua anak itu - dan detik berikutnya mereka sudah tergeletak di
tanah! Sedang Pak Karet melanjutkan langkah sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Bukan main!" kata Dick sambil meraba-raba kepalanya yang benjol. "Aku masih
berusaha memegang tungkainya tadi - rasanya persis seperti memegang karet! Wah sayang orang-orang ini tidak suka jika kita berada di lapangan mereka. Tak enak
rasanya jika semua memusuhi kita. Lagi pula itu kan tidak adil, karena kita
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin beramah-tamah dengan mereka."
"Kurasa ini cuma urusan yang menyangkut kaum kita dengan kaum mereka," kata
Julian, menirukan ucapan Pak Karet tadi. "Akhir-akhir ini memang banyak yang
berperasaan begitu. Sayang! Padahal kita kan sama-sama manusia, cuma warna kulit
saja yang berbeda-beda. Selama ini kita kan selalu bisa bergaul dengan siapa
saja." Setelah itu keduanya lantas merasa segan untuk menghampiri karavan-karavan yang
lain, walau sebetulnya mereka ingin sekali melihat Alfredo si Penelan Api dari
jarak dekat. "Orang itu tampangnya persis seperti dugaanku," kata Dick. "Aku tak heran jika
ia pemimpin orang-orang pasar malam yang sekarang berkumpul di sini - itu jika
mereka mempunyai pemimpin!"
"Lihatlah - itu dia datang!" kata Julian. Dan benarlah! Alfredo muncul dari
balik sebuah karavan. Orang itu lari cepat-cepat, mengarah ke tempat anak-anak
berdiri. Mula-mula Julian menyangka orang itu datang untuk mengusir mereka, ia
tak berniat lari - tapi tetap berdiri di situ, rasanya seram juga! Laki-laki
bertubuh besar itu masih lari terus ke arah mereka, dengan pipi merah padam
serta rambutnya yang seperti surai singa melambai-lambai turun-naik mengikuti
gerak langkahnya. Kemudian anak-anak melihat alasan, kenapa Alfredo lari! Ia dikejar istrinya yang
kecil mungil. Wanita itu menjerit-jerit dalam bahasa yang tak dikenal anak-anak.
Di tangannya nampak sebuah panci terayun-ayun!
Alfredo lewat dekat Julian dan Dick. Tampangnya nampak sangat ketakutan, ia lari
terus menuju pintu pagar, melampauinya dengan sekali lompat lalu menghilang ke
jalan. Wanita kecil mungil itu memperhatikan suaminya menghilang. Ketika Alfredo
berpaling sebentar, wanita itu mengacung-acungkan panci sambil berseru-seru
dengan galak. "Laki-laki jahat!" jeritnya. "Kau hanguskan lagi makanan untuk sarapan. Lagilagi hangus! Kupukul kepalamu dengan panci, laki-laki jahat. Ayo kembali,
Alfredo! Kembali, kataku!"
Tapi tentu saja Alfredo tidak mau kembali. Wanita yang marah-marah itu lantas
berpaling pada Julian dan Dick.
"Dia menghanguskan sarapan," katanya. "Dia tidak mau mengawasi, jadi selalu
hangus." "Aneh, ada penelan api yang menghanguskan makanan yang dimasak olehnya," kata
Julian. "Tapi kalau dipikir-pikir, masuk akal juga sebenarnya!"
"Uahh - menelan api, itu kan pekerjaan gampang," kata istri Alfredo yang kecilkecil cabe rawit itu. "Tapi memasak, nah - itu tidak begitu gampang! Untuk itu
diperlukan otak, tangan dan mata sekaligus. Tapi Alfredo - sudah tidak berotak,
tangannya juga serba canggung! Bisanya cuma menelan api. Apa gunanya menelan
api, hahh?" "Yah - kurasa ia mencari nafkah dengannya," kata Dick geli.
"Alfredo memang bandel," kata wanita mungil itu. Ia berpaling hendak pergi. Tapi
ia masih sempat menoleh sesaat, sambil tersenyum dengan tiba-tiba. "Tapi kadangkadang, ia sangat baik hati," katanya.
Setelah itu ia kembali ke karavannya. Kedua anak itu saling berpandangan.
"Kasihan si Alfredo," kata Dick. "Kelihatannya setabah singa, dan badannya
sebesar raksasa - tapi hatinya sekecil hati tikus. Bayangkan, dikejar wanita
semungil itu saja ia lari!"
"Aku tidak yakin apakah aku juga tidak lari pontang-panting, jika aku dikejar
sepanjang lapangan, sementara panci diayun-ayunkan sebagai senjata," kata Julian
membela penelan api itu. "He - siapa lagi ini?"
Orang yang menurut sangkaan Anne pasti artis yang bisa membebaskan diri dari
ikatan, datang dari arah pintu pagar ke arah mereka. Orang itu berjalan dengan
langkah yang enak, persis seperti kucing sedang menyelinap. Julian memandang
sekejap ke arah tangan orang itu. Kelihatannya kecil, tapi kuat sekali. Ya - orang itu pasti dapat membuka simpul tali yang paling
kuat sekalipun. Dick dan Julian memandangnya dengan perasaan ingin tahu.
"Anak-anak dilarang masuk kemari," kata orang itu setelah dekat.
"Maaf, tapi kami juga berkemah di sini," jawab Dick. "Pak - Andakah orang yang
mampu membebaskan diri dari ikatan tali?"
"Mungkin," kata orang itu sambil berjalan terus. Tapi tiba-tiba ia berpaling.
"Kalian ingin kuikat?" serunya. "Aku ingin melakukannya! Kalian jangan coba-coba
mengganggu kami, karena nanti kalian akan benar-benar kuikat dengan tali."
"Aduh - mereka ini kenapa tidak ada satu pun yang ramah," kata Julian. "Mereka
lain sekali dengan orang-orang sirkus yang pernah kita kenal! Aku mulai merasa,
tak begitu mudah bersahabat dengan mereka ini."
"Sebaiknya kita hati-hati saja," jawab Dick. Entah apa sebabnya, tapi mereka
nampaknya tidak suka pada kita. Sudahlah, jangan kita teruskan melihat-lihat
perkemahan mereka pagi ini. Kita jauhi mereka dulu, sampai mereka sudah terbiasa
pada kita. Setelah itu, mungkin mereka akan lebih ramah."
"Yuk, kita menyongsong Anne dan George saja sekarang," kata Julian. Mereka
lantas pergi ke perhentian bis. Tepat pada saat itu bis datang, kelihatan
kepayahan mendaki bukit. George dan Anne turun, diikuti oleh ketiga wanita dari
kalangan pasar malam yang baru habis berbelanja- Anne serta saudara sepupunya
mendekati Dick dan Julian yang sudah menunggu.
"Banyak sekali belanjaan kami," kata Anne. "Keranjang kami sampai berat sekali
rasanya. Terima kasih, Julian, jika kau mau membawakan keranjangku. Dan Dick
bisa membawakan keranjang George. Kalian tadi melihat ketiga wanita yang turun
bersama kami?" "Ya," jawab Julian. "Kenapa?"
"Dalam bis kami mencoba mengajak mereka bercakap-cakap," kata Anne. "Tapi sikap
mereka sama sekali tidak ramah. Kikuk kami jadinya! Dan Timmy tentu saja
menggeram-geram lagi - sehingga suasana menjadi lebih tidak enak lagi."
"Kami juga mengalami kesulitan dengan orang-orang yang ada di sini," kata
Julian. "Kami sama sekali tak berhasil berkenalan dengan mereka. Mereka maunya
cuma agar kita pergi dari sini."
"Aku tadi membelikan koran untukmu " kata Anne, "dan George menerima surat dari
ibunya Tapi surat itu dialamatkan pada kita berlima - jadi kami belum
membukanya. Kita akan membacanya bersama-sama, jika sudah ada dalam karavan."
"Mudah-mudahan sudah tiba saat makan siang," kata George. "Bagaimana pendapatmu,
Timmy?" Timmy mengenal kata makan. Sambil menggonggong gembira, anjing itu lantas lari
mendului ke arah karavan. Makan" Timmy selalu mau, jika diajak makan!
Bab 7 KEJADIAN MENGEJUTKAN
Sehabis makan siang, George membuka surat yang diterima dari ibunya. Perut anakanak sudah kenyang dengan makanan yang disiapkan oleh Anne.
"Enak," kata Julian, sambil merebahkan diri ke rumput. "Kau memang pengurus
rumah tangga yang baik, Anne. Sekarang tolong bacakan cerita Bibi Fanny dalam
suratnya, George." George melicinkan kertas surat yang terlipat, lalu mulai membaca. "Surat ini
ditujukan pada kita semua," katanya.
"George, Anne, Julian dan Dick,
Mudah-mudahan George sudah tiba dengan selamat di sana, dan kalian sempat
menjemputnya. Aku menulis surat ini sebetulnya untuk mengingatkan pada George
bahwa neneknya akan berulang tahun hari Sabtu yang akan datang. Kau harus
menulis surat untuk memberi selamat padanya, George. Aku lupa mengingatkan soal
ini pada George sebelum ia berangkat. Karena itulah aku lantas buru-buru menulis
surat ini. George, ayahmu kaget sekali ketika membaca kabar tentang kedua sarjana yang
tiba-tiba menghilang itu. Ia kenal baik pada Derek Terry-Kane, dan bahkan pernah
bekerja sama dengannya selama beberapa waktu. Menurut ayahmu, ia merasa yakin
Terry-Kane tak mungkin berkhianat pada negara. Menurut pendapatnya, sarjana itu
pasti diculik orang bersama Jeffrey Pottersham. Mungkin saat ini mereka sudah
berada di suatu negara yang jauh dari sini, dan di sana dipaksa untuk
membeberkan rahasia mereka. Untung saja kau sudah berangkat hari ini juga,
karena tadi siang ayahmu marah-marah terus sambil berjalan mondar-mandir
membanting-banting pintu.
Ingat ya George, kalau kau menulis surat kemari, jangan sebut-sebut soal
sarjana, karena kurasa ayahmu sebentar lagi pasti akan tenang kembali, ia benarbenar kaget rupanya! Tak henti-hentinya menggumam 'Jadi apa sekarang dunia kita
ini"' Padahal ia sendiri tahu, dunia ini menjadi seperti sekarang karena
perbuatan para sarjana juga. Nah, kuucapkan selamat berlibur pada kalian - dan George, jangan lupa menulis
surat pada nenekmu ya. Salam sayang dari Ibu (Bibi Fanny)"
"Hah," kata George sehabis membaca surat, "bisa kubayangkan Ayah berjalan
mondar-mandir, kayak...kayak...."
"Kayak penelan api," sambung Dick sambil nyengir, melihat George mencari-cari
kata yang tepat. "Kalau ia begitu terus, bisa kubayangkan pada suatu hari Bibi
Fanny akan menguber-uber dengan panci! Tapi urusan dengan kedua sarjana itu,
memang agak aneh! Bagaimana pun, Terry-Kane kan sudah bermaksud hendak pergi, ia
sudah mengurus paspor, membeli karcis pesawat terbang! Jadi walau ayahmu yakin
akan kebersihan orang itu, tapi rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan
dirinya. Ya kan, George?"
"Apakah ada berita dalam koran mengenai soal itu?" kata Dick ingin tahu, sambil
membuka surat kabar. "Ah - ternyata ada lagi! Ini dia beritanya -'SARJANA-SARJANA YANG MENGHILANG'
'Kini sudah bisa dipastikan, Jeffrey Pottersham merupakan orang bayaran suatu
negara yang tak bersahabat dengan negara kita, dan bermaksud menggabungkan diri
dengan Terry-Kane untuk lari ke luar negeri. Sampai sekarang belum didapat kabar
lagi tentang kedua orang itu, walau berbagai laporan yang masuk mengatakan bahwa
mereka dilihat di berbagai tempat di luar negeri'.
"Nah! Sekarang perkara itu sudah jelas," kata Julian. "Ternyata mereka memang
pengkhianat. Lihatlah - ini ada foto-foto mereka."
Keempat anak itu mendekatkan muka ke surat kabar, memperhatikan foto-foto kedua
sarjana yang menghilang. "Menurut perasaanku, Terry-Kane mudah sekali dikenali tampangnya," kata Anne.
"Alisnya tebal dan melengkung, sedang keningnya tinggi dan menonjol. Kalau aku
bertemu dengan orang yang alisnya seperti itu, pasti aku akan menyangka alis itu
palsu!" "Pasti sekarang dicukur olehnya," kata Dick menduga. "Dengan begitu tampangnya
akan berubah sama sekali. Mungkin alis yang dicukur itu lantas ditempelkannya
terbalik ke bibir atasnya - dijadikan kumis palsu!"
"Konyol, ah!" kata George sambil tertawa mengikik. "Sarjana yang satu lagi,
tampangnya biasa-biasa saja - kecuali keningnya yang lebar. Sayang kita berempat
tak ada yang berkening lebar! Kurasa kita ini termasuk tolol - karena kata orang
kening lebar itu tanda orang pintar!"
"Siapa bilang kita tolol," kata Julian. "Sudah cukup sering kita harus mencari
akal dalam berbagai petualangan kita sampai sekarang - dan hasilnya belum pernah
mengecewakan!" "Yuk, kita berbenah dulu sekarang, dan setelah itu jalan-jalan lagi," kata Anne.
"Sebab kalau tidak, aku pasti akan tertidur. Matahari panas sekali, seperti
dipanggang tubuhku rasanya."
"Ya - kita jalan-jalan saja sekarang," kata Julian sambil berdiri. "Bagaimana
jika kita pergi melihat-lihat ke puri, mau" Atau lebih baik lain kali saja"'
"Lain kali sajalah," kata Anne malas. "Sekarang aku segan bersusah-susah mendaki
lereng bukit yang terjal itu. Kurasa untuk itu sebaiknya kita pergi pagi-pagi."
Anak-anak membereskan bekas makan siang, lalu mengunci pintu kedua karavan
mereka. Setelah itu mereka berangkat. Sambil berjalan, Julian menoleh sebentar
ke belakang. Dilihatnya beberapa orang pasar malam sedang duduk bersama-sama
sambil makan. Orang-orang itu memperhatikan anak-anak. Tapi mereka tak
mengatakan apa-apa. Tidak enak rasanya dipandang dengan cara begitu!
"Mereka itu rasanya kurang senang pada kita, ya," kata Dick. "Dengar baik-baik.
Tim - kau jangan mau kalau diberi makanan oleh orang-orang itu, mengerti"!"
"Aduh, Dick!" kata George kaget. "Kau curiga bahwa mereka akan mencelakakan
Timmy?" "Bukan begitu," kata Dick. "Tapi tak ada salahnya berhati-hati sedikit. Seperti
dikatakan oleh manusia karet tadi pagi, kaum kita dan kaum mereka lain jalan
pikirannya tentang beberapa hal. Yah - memang begitulah kenyataannya, jadi apa
boleh buat! Tapi sayang mereka tak mau memberi kesempatan pada kita untuk
beramah-tamah. Aku tak suka keadaan seperti sekarang ini."
"Pokoknya, mulai sekarang Timmy akan terus kusuruh dekat-dekat padaku," kata
George. Ia langsung memerintahkan, "Timmy kemari! Selama kita berada di lapangan
ini, kau harus dekat terus padaku, ya! Mengerti?"
Timmy menggonggong sekali, lalu merapatkan diri pada George. Hidungnya dekat
sekali ke tumit anak itu, sehingga berulang kali tersenggol.
Anak-anak memutuskan untuk naik bis dulu ke desa Tinkers' Green. Dan dari situ
baru berjalan menuju laut. Dengan begitu cukup waktu bagi mereka untuk kembali
sebelum gelap. Bis ternyata sudah ada di perhentian. Anak-anak lantas berlari-lari mengejarnya.
Dari perhentian itu sampai ke Tinkers jauhnya sekitar dua mil. Sesampai di desa,
mereka turun lagi dari bis.
"Kita makan es krim dulu yuk!" kata Dick mengajak, ketika mereka lewat di depan
sebuah toko. Di depan toko terpasang bendera reklame es krim. Tapi Julian
melarang dengan tegas. "Tidak," katanya. "Kita kan baru saja makan siang sampai sekenyang-kenyangnya!
Nanti saja kita makan es krim lagi, pada saat minum teh. Kalau makan es terusmenerus, kita takkan pernah sampai ke tepi laut nanti!"
Mereka berjalan-jalan dengan asyik, menyusur jalan-jalan yang di kanan-kirinya
penuh dengan semak-semak berbunga. Setelah itu merintis padang rumput yang
ditumbuhi mawar liar "Itu dia laut!" seru Anne tak lama kemudian. "Aduh, teluk di sini bagus sekali.
Dan airnya biru sekali. Kepingin rasanya berenang-renang di dalamnya!"
"Coba saja kalau tahan," kata Julian. "Saat ini air laut masih dingin sekali sedingin es! Yuk - kita pergi ke pangkalan yang di sebelah sana itu! Kita
melihat-lihat perahu nelayan!"
Anak-anak lantas menuju ke pangkalan kecil yang terbuat dari batu. Sesampai di
sana, mereka mengobrol dengan para nelayan. Para nelayan itu ada yang sedang
duduk-duduk saja menikmati kehangatan sinar matahari, dan ada pula yang
membetulkan jala mereka. Mereka kelihatannya senang diajak mengobrol.
"Enak rasanya disambut dengan ramah-tamah, dan tidak diperlakukan dengan kasar
dan dipelototi terus, seperti sikap orang-orang pasar malam!" kata Dick pada
Julian. Abangnya itu mengangguk saja. Ia sependapat dengan Dick.
Seorang nelayan mengajak anak-anak ke perahunya, lalu menerangkan berbagai hal
pada mereka. Sebagian dari penjelasan orang itu sudah mereka ketahui, tapi
sebagian belum. Enak rasanya mendengarkan logat bicara orang itu, sambil
memperhatikan matanya yang biru cerah berkilat-kilat sambil bicara. Kulit
nelayan itu coklat tua, karena selalu berada di udara terbuka.
"Kalau kami ingin menyewa perahu, bisakah kami memperolehnya di sini?" tanya
Julian. "Adakah yang bisa kami tangani sendiri" Kami sudah berpengalaman dengan
perahu layar." "Pak Tua Josef yang duduk di sana itu - ia punya satu yang bisa kalian sewa,"
kata nelayan teman bicara mereka. "Aku tahu ia pernah menyewakannya, jadi kurasa
jika kalian benar-benar sudah biasa dengan perahu layar, ia mau saja
menyewakannya pada kalian."
"Terima kasih. Pak! Nanti kapan-kapan kalau kami ingin berlayar, kami akan
menanyakan padanya," kata Julian. Kemudian ia memandang arlojinya. "Yuk, kita
cari tempat di mana kita bisa minum teh. Kita harus sudah sampai di karavan
lagi, sebelum gelap. Kami saat ini sedang berkemah di dekat Puri Faynights,
Pak." "0 ya?" kata nelayan itu. "Saat ini di sana kan sedang ada orang-orang pasar
malam, ya" Dua minggu yang lalu mereka mengadakan pertunjukan di sini. Wah - aku
benar-benar kagum melihat pertunjukan penelan api! Lalu orang yang diikat dengan
tali - bukan main! Bayangkan, aku sudah mengikatnya erat-erat dengan tali
pancingku - itu dia yang kupakai. Kuat sekali, kan" Nah aku mengikatnya dengan
segala macam simpul rumit yang kukenal, eh, tak sampai semenit kemudian orang
itu berdiri, dan tali pengikatnya tahu-tahu terlepas dengan begitu saja!"
"Ya, betul," kata pak tua yang bernama Josef. Ia mendekat, mengikuti
pembicaraan. "Orang itu benar-benar luar biasa. Lalu si manusia karet! la
meminta diambilkan saluran air yang kecil sekali. Sekecil begini - bayangkan !
Lalu dengan cekatan ia menyusup masuk ke dalam saluran itu, dan dengan gampang
bisa ke luar lagi. Aku sampai ngeri melihatnya menggeliat-geliat keluar dari
ujung yang satu lagi."
"Kami juga akan menonton, jika mereka sudah memulai pertunjukan mereka," kata
Julian. "Saat ini sikap mereka tidak mau ramah terhadap kami.
Mereka tak senang melihat kami berada di lapangan mereka."
"Mereka memang gemar menyendiri," kata Pak Josef. "Mereka mengalami kericuhan di
sebuah desa sebelum mereka ke sini. Mereka diadukan orang pada polisi - entah
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena sebab apa! Dan kini mereka tak mau bergaul lagi dengan orang luar."
"Yah - kami terpaksa pergi sekarang," kata Julian. Anak-anak meminta diri pada
para nelayan yang ramah-tamah itu, lalu berangkat pulang. Di tengah jalan mereka
mampir di sebuah restoran kecil, untuk minum teh. Setelah itu perjalanan
dilanjutkan. "Ada yang ingin naik bis?" kata Julian. "Dengan berjalan kaki pun kita akan bisa
sampai di karavan sebelum gelap - tapi jika Anne dan George sudah capek
berjalan, kita bisa saja naik bis dari Tinkers' Green."
"Kami sama sekali tidak capek!" tukas George tersinggung. "Kau pernah mendengar
aku mengatakan aku capek, Julian?"
"Ya deh, ya deh," kata Julian menyabarkan saudara sepupunya itu. "Aku kan cuma
bermaksud sopan saja. Kalau begitu kita berjalan kaki pulang."
Ternyata perjalanan mereka lebih lama daripada yang diperkirakan. Hari sudah
mulai gelap, ketika mereka akhirnya sampai dekat pintu pagar lapangan tempat
karavan mereka. Anak-anak memanjat pintu pagar itu, lalu berjalan lambat-lambat
menuju ke tempat karavan.
Tapi tiba-tiba mereka tertegun. Semuanya memandang berkeliling, lalu menatap
lagi ke depan dengan mulut melongo.
Kedua karavan mereka sudah tidak ada lagi di tempatnya! Anak-anak bisa melihat
bekas tempat kedua rumah beroda itu. Mereka juga mengenali bekas api unggun yang
biasa mereka nyalakan. Semuanya masih ada - cuma kedua karavan mereka saja yang
lenyap! "Loh!" kata Julian. "Bingung aku jadinya! Sedang mimpikah kita sekarang" Karavan
kita tidak ada lagi!"
"Ya - tapi - tapi - kalau begitu ke mana perginya?" kata Anne terbata-bata
karena kaget. "Maksudku - kita kan tidak punya kuda, jadi tak mungkin kedua
karavan itu bisa dipindahkan. Karavan kan tidak bisa berjalan sendiri!"
Keempat anak itu membisu. Mereka benar-benar bingung. Mana mungkin dua buah
karavan yang besar-besar, bisa menghilang dengan begitu saja"
"He - lihat!" seru Dick dengan tiba-tiba. "Itu, di sana ada bekas roda di atas
rumput! Lihatlah! Kedua karavan kita lewat di situ. Yuk, kita ikuti bekasnya.
Lihatlah - rupanya bergerak menurun lereng!"
Sambil terheran-heran terus, anak-anak serta Timmy lantas mengikuti jejak roda
karavan-karavan mereka yang membekas di rumput. Satu kali Julian cepat-cepat
menoleh ke belakang, karena merasa ada yang memperhatikan secara sembunyisembunyi. Tapi tak satu pun dari orang pasar malam yang nampak. Mungkin mereka
mengintip dari balik tirai karavan mereka, pikir Julian. Ia merasa tidak enak.
Bekas roda kedua karavan mereka menuju langsung ke gerbang pagar. Gerbang itu
tertutup. Tapi mestinya tadi dibuka untuk melewatkan karavan-karavan mereka.
Nampak bekas roda pada rumput dekat gerbang, begitu pula di ambangnya sendiri
lalu hilang di jalan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Anne ketakutan. "Karavan kita
hilang! Kita tak punya tempat tidur sekarang. Aduh, Julian - apa yang harus kita
lakukan sekarang?" Bab 8 DI MANAKAH KEDUA KARAVAN ITU" Sekali itu Julian benar-benar kehabisan
akal! Kelihatannya ada orang yang mencuri kedua karavan mereka.
"Kurasa sebaiknya kita menelepon polisi," katanya. "Mereka akan mencegat kedua
karavan itu, serta menangkap pencurinya. Tapi untuk malam ini, itu takkan banyak
menolong kita! Kita harus mencari salah satu tempat untuk tidur."
"Menurut pendapatku, kita perlu mendatangi salah seorang dari kaum pasar malam,"
kata Dick. "Biarpun mereka tak ada urusannya dengan pencurian ini, mestinya ada
yang melihat kedua karavan itu dilarikan."
"Ya, betul. Kurasa katamu itu benar," kata Julian. "Mereka pasti sedikit-banyak
tahu mengenai kejadian ini. George, kau tinggal di sini bersama Anne - karena
siapa tahu, mungkin mereka akan bersikap kasar. Timmy kami ajak serta, karena
barangkali ada gunanya."
George sebetulnya tidak mau disuruh tinggal. Tapi melihat Anne ketakutan, ia
lantas menurut untuk menemani anak itu. George berdiri memperhatikan kedua
sepupunya, yang berjalan naik lagi ke atas bukit, diikuti oleh Timmy.
"Kita jangan mendatangi pawang ular," kata Dick sambil berjalan mendaki.
"Barangkali saat ini ia sedang main-main dengan ular-ularnya di dalam karavan!"
"Orang bisa main apa dengan ular?" tanya Julian heran. "Kalau main ular-ularan,
itu baru bisa! Tapi itu kan permainan manusia."
"Ha, ha, lucu," kata Dick. "He - itu ada orang, dekat api unggun. Kurasa itu
Buffalo. Ah, bukan - Alfredo. Yah - sekarang kita sudah tahu bahwa ia sebetulnya
tak segalak tampangnya! Dia saja yang kita tanyai tentang karavan kita."
Keduanya lantas menghampiri artis penelan api, yang saat itu sedang duduk sambil
merokok dekat api. Orang itu tidak mendengar mereka datang. Karenanya ia kaget
sekali, ketika tiba-tiba disapa oleh Julian.
"Pak Alfredo," kata Julian, "tahukah Anda ke mana perginya kedua karavan kami"
Ketika kami pulang tadi, tahu-tahu sudah tidak ada lagi."
"Tanya pada Buffalo," kata Pak Alfredo dengan ketus, ia sama sekali tidak mau
menoleh. "Tapi Anda sendiri - Anda sama sekali tak tahu apa-apa mengenainya?" desak
Julian. "Tanya Buffalo," kata Alfredo, sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya, Julian
dan Dick kesal melihat sikap orang itu. Mereka berpaling, lalu menghampiri
karavan Buffalo. Pintu karavan itu tertutup. Anak-anak mengetuknya. Sesaat
kemudian Buffalo muncul di ambang pintu. Cahaya lampu dari dalam menyinari
kepalanya dari belakang, sehingga -orang itu nampak seperti memakai mahkota
rambut keemasan. "Selamat malam. Pak Buffalo," kata Julian dengan sopan. "Kami disuruh Pak
Alfredo kemari untuk menanyakan karavan kami yang tahu-tahu lenyap, dan..."
"Tanya manusia karet," tukas Buffalo singkat, lalu menutup pintu kembali dengan
bantingan keras. Julian mulai naik darah. Sekali lagi ia mengetuk pintu. Namun
yang terbuka bukan pintu, tapi jendela. Skippy, istri Buffalo menjenguk ke luar.
"Kalian pergi saja menanyakannya pada Pak Karet," serunya, lalu menutup jendela
kembali. Anak-anak merasa seperti mendengar wanita itu cekikikan pelan.
"Mungkinkah kita ini sedang dipermainkan?" tanya Dick dengan sengit.
"Kelihatannya memang begitu," jawab Julian. "Yah, kita coba saja manusia karet.
Tapi dia yang paling akhir akan kutanyai!"
Keduanya lantas pergi ke karavan manusia karet. Pintu diketuk dengan keras.
"Siapa di luar?" Dari dalam karavan terdengar suara manusia karet.
"Keluarlah sebentar - kami hendak menanyakan sesuatu," kata Julian.
"Siapa itu?" tanya Pak Karet lagi.
"Anda sudah tahu, siapa kami," tukas Julian sambil menyaringkan suara. "Karavan
kami dicuri orang, dan kami ingin menyelidiki siapa orang itu. Jika Anda tak mau
membantu kami, maka kami akan menelepon polisi."
Seketika itu juga pintu karavan terbuka. Manusia karet muncul di atas tangga,
sambil menatap Julian yang menunggu di bawah.
"Tak ada yang mencuri karavan kalian," kata orang itu. "Tak ada! Tanya saja pada
pawang ular." "Jangan kira kami mau saja disuruh berputar-putar menanyai setiap orang di
perkemahan ini!" tukas Julian marah. "Aku tak ingin melapor pada polisi. Kami
ingin bersahabat dengan kalian, dan bukan bermusuhan. Tapi kalau begini kan
konyol! Jika karavan kami benar-benar dicuri, maka kami akan terpaksa lapor pada
polisi. Dan bisa kubayangkan, kalian pasti tidak ingin didatangi polisi lagi!
Kami tahu, beberapa minggu yang lalu ada orang mengadukan kalian pada polisi."
"Karavan kalian bukan dicuri," kata manusia karet itu dengan nada masam. "Akan
kutunjukkan pada kalian, di mana kedua karavan itu sekarang."
Dengan lincah ia menuruni tangga karavannya, lalu berjalan mendului Julian dan
Dick. Ia menuju ke tempat di mana kedua karavan anak-anak semula berada.
"Anda mau ke mana?" seru Julian dari belakang. "Kami sudah tahu, karavan itu tak
ada di sana lagi! Anda jangan main-main lagi - kami sudah bosan!"
Tapi orang itu berjalan terus, tanpa mengatakan apa-apa. Jadi Julian dan Dick
lantas terpaksa membuntuti saja. Timmy kelihatannya sama sekali tidak senang.
Anjing -itu tak henti-hentinya menggeram-geram. Kedengarannya seperti bunyi
guruh di kejauhan. Tapi manusia karet sama sekali tak mengacuhkannya. Timbul
sangkaan pada diri Julian, jangan-jangan orang itu tidak takut pada anjing,
karena anjing tak kan bisa menggigit karet!
Orang itu ternyata membawa mereka ke pagar tanaman yang terdapat di tepi
lapangan berumput itu, di belakang tempat karavan mereka selama itu. Julian
semakin kesal, karena ia tahu kedua karavan mereka dibawa orang pergi ke jalan
yang di bawah. Kalau begitu, apa sebabnya manusia karet mengajak mereka ke arah
yang berlawanan" Pak Karet menerobos pagar tanaman, diikuti oleh Dick dan Julian. Astaga! Di
balik pagar nampak dua bayangan besar. Itu dia karavan-karavan mereka!
"Loh!" kata Julian tercengang. "Kenapa karavan kami ditaruh di sini, di lapangan
sebelah?" "Kaummu tidak bisa bercampur dengan kaum kami," kata Pak Karet. "Kami tidak
senang direcoki anak-anak. Tiga minggu yang lalu ada seorang di antara kami
mengalami kejadian yang tidak enak. Orang itu biasa mengadakan pertunjukan
dengan burung-burung kenari. Burung yang dipeliharanya lebih dari seratus ekor.
Tapi kemudian beberapa orang anak datang ke perkemahan kami pada waktu malam.
Mereka membuka pintu kandang-kandang, sehingga semua burung itu terlepas."
"Aduh," kata Julian kaget. "Pasti semua burung itu akan mati, karena tidak biasa
mencari umpan sendiri. Itu memang keterlaluan! Tapi kami tidak berbuat hal-hal
seperti begitu!" "Kini kami tidak mau mengizinkan anak-anak berkeliaran lagi di tempat kami,"
kata manusia karet itu. "Karena itulah karavan kami tarik dengan kuda ke
lapangan ini! Kami tadi menyangka kalian pasti akan sudah kembali sebelum gelap,
sehingga bisa melihat sendiri ke mana karavan kalian dipindahkan."
"Ah - senang rasanya mendengar Anda dengan tiba-tiba mau bicara panjang lebar,"
kata Julian. "Sudah, Tim - kau tidak perlu menggeram-geram lagi. Karavan sudah
kita temukan lagi!" Pak Karet pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Terdengar geraknya menyusup
dengan mudah di sela-sela pagar. Julian mengeluarkan kunci pintu karavan dari
kantong. Setelah itu ia menaiki tangga lalu membuka pintu. Sesaat ia meraba-raba
di dalam, mencari senternya. Setelah ditemukan, langsung dinyatakannya dan
disorotkan ke sekeliling ruangan. Ternyata keadaan di dalam masih tetap seperti
semula. Tak ada barang hilang!
"Yah -- begitulah," katanya kemudian. "Rupanya ini cuma perbuatan sirik mereka.
Orang-orang pasar malam itu membalas perbuatan anak-anak jahil yang melepaskan
burung-burung kenari itu. Cuma kita yang dijadikan korban! Tapi perbuatan anakanak itu memang keterlaluan. Pasti setengah dari makhluk kecil tak berdaya itu
mati kelaparan. Aku tak setuju jika burung dikurung dalam kandang - tapi kalau
burung kenari, itu lain halnya. Burung kenari tidak mungkin bisa hidup di negeri
sedingin tempat ini, jika tidak dipelihara orang! Burung-burung itu pasti akan
mati kelaparan. Jadi membebaskan burung-burung itu, merupakan perbuatan kejam!"
"Betul!" kata Dick setuju. Kedua anak itu lantas menuruni lereng bukit, menuju
ke celah pada pagar lewat mana kedua karavan mereka mestinya dihela naik ke
atas. George dan Anne pasti akan lega, jika tahu bahwa karavan mereka sudah
ditemukan kembali! Julian bersuit keras, dan langsung dijawab oleh George.
"Kami masih ada di sini, Julian!" seru anak itu dari bawah. "Ada apa?"
"Karavan kita sudah kami temukan lagi," balas Julian dengan gembira. "Di sini di lapangan sebelah!"
Anne dan George segera datang ke situ. Kedua anak itu agak heran. Julian lantas
menjelaskan duduk perkaranya.
"Rupanya orang-orang pasar malam benci sekali pada anak-anak," katanya. "Salah
seorang di antara mereka, seorang artis yang biasa tampil dengan burung-burung
kenari yang bisa nyanyi, pada suatu malam ditimpa musibah. Burung-burungnya
dilepaskan oleh segerombolan anak yang datang malam-malam, sehingga
peliharaannya itu banyak yang mati. Jadi kini artis-artis itu tidak mau lagi
jika ada anak-anak di dekat mereka."
"Kurasa pawang ular takut kita akan melepaskan ular-ularnya," kata Dick sambil
tertawa geli. "Tapi syukurlah, karavan kita sudah berhasil ditemukan lagi. Aku
Dendam Empu Bharada 10 Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain Tongkat Rantai Kumala 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama