The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 3
Peserta perempuan dari Distrik 1, tampak menantang dengan gaun emas tembus
pandang, naik ke tengah panggung menghampiri Caesar untuk menjalani
wawancara. Sekali lihat tampak bahwa mentornya pasti tidak punya masalah
mencari sudut yang pas untuknya. Dengan rambut pirang bergelombang, mata
hijau zamrud, tubuhnya jangkung dan gemulai... dia seksi dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Setiap wawancara hanya berlangsung selama tiga menit. Kemudian bel berdering
dan giliran peserta selanjutnya naik ke panggung. Aku harus memuji Caesar, dia
sungguh-sungguh melakukan yang terbaik untuk membuat peserta bersinar. Dia
bersikap ramah, berusaha membuat peserta yang tegang agar bisa santai, tertawa
saat mendengar lelucon basi, dan berkat reaksinya dia bisa membuat jawaban yang
payah menjadi jawaban yang bisa dikenang sepanjang masa.
Aku duduk dengan anggun seperti yang diajarkan Effie sementara satu demi satu
distrik tampil ke panggung. Semua peserta tampaknya memperlihatkan sudut
tertentu dari penampilannya. Anak lelaki mengerikan dari Distrik 2 adalah mesin
pembunuh keji. Gadis berwajah rubah dari Distrik 5 tampak licik dan licin. Aku
langsung bisa menemukan posisi Cinna ketika dia duduk di tempatnya, tapi
keberadaannya di sana tetap tidak bisa membuatku tenang. 8, 9, 10. Anak lelaki
yang pincang dari Distrik 10 tampak tenang. Telapak tanganku banjir keringat, tapi
gaun yang penuh perhiasan ini tidak menyerap keringat, dan pasti akan langsung
berbekas jika aku berusaha mengeringkannya di gaunku. Lalu Distrik 11.
Rue, yang mengenakan gaun tipis dan ringan yang berkibar-kibar lengkap dengan
sepasang sayap, berjalan seakan melayang menghampiri Caesar. Penonton
berdecak kagum melihat penampilan peserta dengan sentuhan ajaib. Caesar
bersikap manis padanya, memuji nilai tujuh yang diperolehnya dalam latihan, nilai
luar biasa untuk orang yang tubuhnya sekecil Rue. Ketika Caesar bertanya pada
Rue apa yang bakal menjadi kekuatannya di arena pertarungan, tanpa ragu dia
langsung menjawabnya. "Aku sangat sulit ditangkap," katanya dengan suara bergetar. "Dan jika mereka
tidak bisa menangkapku, mereka tidak bisa membunuhku. Jadi jangan remehkan
aku." "Aku sih tak bakal meremehkanmu," sahut Caesar memberi semangat.
Anak lelaki dari Distrik 11, Thresh, juga berkulit gelap seperti Rue, tapi cuma itu
saja kemiripan mereka. Thresh seperti raksasa, mungkin tingginya hampir dua
meter dan tubuhnya sebesar kerbau, tapi kuperhatikan dia menolak ajakan dari para
Peserta Karier untuk bergabung dengan mereka. Malahan dia sering tampak
sendirian, tak pernah bicara dengan siapapun, dan tampak ogah-ogahan latihan.
Meskipun begitu, dia memperoleh nilai sepuluh dan tidak sulit membayangkan
bahwa dia pasti membuat juri kagum padanya. Dia tidak meladeni usaha Caesar
untuk mengobrol basa-basi dan menjawab hanya dengan ya dan tidak atau diam.
Kalau saja tubuhku sebesar tubuhnya, aku bisa bersikap masam dan bermusuhan
tanpa ditanyai macam-macam. Aku berani bertaruh paling tidak setengah sponsor
berpikir untuk mensponsorinya. Kalau aku punya uang, aku juga akan bertaruh
untuknya. Kemudian mereka memanggil Katniss Everdeen, dan bisa kurasakan diriku seakan
berada dalam mimpi, berjalan dan menuju tengah panggung. Aku balas menjabat
tangan Caesar yang terulur, dan dia cukup sopan untuk tidak langsung menyeka
tangannya ke jas. "Katniss, Capitol pasti berbeda jauh dibanding Distrik Dua Belas. Apa yang
membuatmu kagum sejak kau tiba di sini?" tanya Caesar.
Apa" Apa katanya" Seakan-akan semua kata terdengar tidak masuk akal.
Mulutku rasanya sekering serbuk gergaji. Dengan putus asa aku mencari Cinna di
tengah kerumunan dan memandang matanya. Kubayangkan kata-kata itu keluar
dari bibir Cinna. "Apa yang paling membuatmu kagum sejak kau tiba di sini?"
Aku berpikir keras, mengingat apa yang membuatku bahagia di sini. Jujurlah,
pikirku. Jujurlah. "Sup daging domba," akhirnya jawabanku terlontar.
Caesar tertawa, dan samar-samar aku bisa mendengar sebagian penonton juga
tertawa. "Sup daging domba dengan buah plum kering?" tanya Caesar. Aku mengangguk.
"Oh, aku bisa makan sepanci besar."
Caesar menengok ke samping memandang penonton dengan tatapan ngeri, sambil
tangannya memegang perut. "Tidak kelihatan, kan?"
Jawaban penonton menenangkannya dan mereka pun bertepuk tangan. Inilah
maksudku tadi. Caesar berusaha membantu peserta.
"Begini, Katniss," katanya sok berahasia, "Saat kau muncul di upacara pembukaan,
jantungku seakan berhenti. Bagaimana pendapatmu tentang kostum yang
kaupakai"' Cinna mengangkat sebelah alisnya. Jujurlah.
"Maksudmu setelah aku mengatasi ketakutan terbakar hidup-hidup?" tanyaku.
Tawa terbahak-bahak. Tawa sungguhan dari para penonton.
"Ya. Mulai dari sana," kata Caesar.
Cinna adalah sahabatku, dan sudah seharusnya aku menyampaikan pendapatku
tentang ini. "Menur utku hasil karya Cinna brilian sekali, itu kostum paling
memesona yang pernah kulihat, dan aku tidak percaya bisa memakainya. Aku juga
tidak percaya bisa memakai gaun ini sekarang."
Aku mengangkat gaunku seraya merentangkannya lebar-lebar. "Lihat saja!"
Penonton mendesah oooh dan aaah, aku bisa melihat jari Cinna membuat gerakan
melingkar. Tapi aku tahu apa maksudnya. Berputarlah untukku.
Aku berputar sekali dan seketika reaksinya pun terdengar.
"Oh, lakukan lagi. Berputarlah!" kata Caesar, jadi aku mengangkat tanganku dan
berputar sehingga gaunku pun ikut terentang berputar, sehingga aku tampak ditelan
api dalam gaun ini. Para penonton bersorak. Saat aku berhenti berputar, aku
mencengkeram lengan Caesar.
"Jangan berhenti!" katanya.
"Aku harus berhenti, aku pusing!" Aku juga tertawa terkekeh-kekeh, yang tak
pernah kulakukan seumur hidupku. Tapi ketegangan dan berputar-putar tadi telah
memengaruhiku. Lengan Caesar merangkulku memberi perlindungan. "Jangan kuatir. Aku
memegangimu. Kau tidak boleh mengikuti langkah mentormu, kan?"
Semua orang berteriak ketika kamera menyorot Haymitch yang menjadi terkenal
akibat adegan jatuhnya pada hari pemungutan, dan dia melambai ramah pada
kamera lalu kamera pun kembali menyorotiku.
"Tidak apa-apa," Caesar menenangkan penonton. "Dia aman bersamaku. Lalu,
bagaimana dengan nilai latihan. Sebelas. Beri kami sedikit bocoran tentang apa
yang terjadi di sana."
Aku memandang para Juri Pertarungan yang berada di balkon dan menggigit
bibirku. "Ehm... aku cuma bisa bilang, kurasa apa yang kulakukan itu yang
pertama kali." Kamera menyoroti para juri, yang tergelak dan mengangguk.
"Kau membuat kami penasaran setengah mati," kata Caesar, seakan dia benarbenar merasa kesakitan. "Ayo ceritakan detailnya."
Kupandangi balkon sekali lagi. "Aku tidak boleh membicarakannya, kan?"
Juri yang terjatuh ke mangkuk minuman berteriak keras, "Tidak boleh!"
"Terima kasih," jawabku. "Maaf. Bibirku terkunci rapat."
"Mari kita kembali ke saat ketika mereka menyebut nama adikmu pada hari
pemungutan," kata Caesar. Dia tampak lebih tenang sekarang. "Dan kau maju
menggantikannya. Bisa kauceritakan tentang adikmu?"
Tidak. Tidak, aku tidak bisa menceritakannya pada kalian semua. Mungkin hanya
pada Cinna. Kurasakan kesedihan yang kulihat di wajah Cinna bukan sekedar
khayalanku. "Namanya Prim. Umurnya dua belas tahun. Dan aku menyayanginya
lebih dari apa pun."
Seluruh Pusat Kota langsung sunyi senyap.
"Apa yang dikatakannya padamu setelah pemungutan?" tanya Caesar.
Jujurlah. Jujurlah. Aku menelan ludah dengan susah payah. "Dia memintaku benarbenar berusaha keras untuk menang."
Penonton terkesiap, mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutku.
"Apa jawabanmu?" desak Caesar dengan lembut.
Aku tidak merasakan kehangatan, malah rasa dingin membeku menjajah tubuhku.
Otot-ototku menegang seperti yang biasa kurasakan sebelum membunuh buruan.
Ketika aku bicara, suaraku terdengar turun satu oktaf. "Aku bersumpah akan
melakukannya." "Tentu saja," kata Caesar, dan meremas tanganku memberi kekuatan. Bel berbunyi.
"Maaf, waktu kita habis. Semoga beruntung, Katniss Everdeen, peserta dari Distrik
Dua Belas." Tepuk tangan masih membahan lama setelah aku duduk. Mataku mencari Cinna
untuk mendapat ketenangan. Dengan sembunyi-sembunyi dia mengacungkan
kedua jempolnya. Aku masih dalam kondisi kalut pada bagian pertama wawancara Peeta. Tapi dia
langsung membuat penonton terpesona sejak awal; aku bisa mendengar penonton
tertawa, berteriak. Dia berperan sebagai anak tukang roti, membandingkan pesertapeserta dengan roti dari distrik mereka. Kemudian dia bercerita lucu tentang
bahaya pancuran di kamar mandi Capitol. "Coba cium, apakah aku masih wangi
mawar?" Dia bertanya pada Caesar, kemudian mereka saling mencium bergantian yang
membuat semua orang tertawa geli. Aku sudah fokus seratus persen saat Caesar
bertanya pada Peeta apakah dia sudah punya pacar.
Peeta tampak ragu, lalu menggeleng tidak meyakinkan.
"Anak muda tampan sepertimu. Pasti ada gadis istimewa di hatimu. Ayolah, siapa
namanya?" tanya Caesar.
Peeta mengembuskan napas. "Hm, sebenarnya ada seorang gadis. Aku sudah
naksir padanya entah sejak kapan. Tapi aku yakin dia tidak sadar aku hidup sampai
hari pemungutan." Terdengar suara simpati dari penonton. Cinta tak kesampaian yang bisa mereka
pahami. "Dia sudah punya pacar?" tanya Caesar.
"Aku tidak tahu, tapi banyak lelaki lain yang menyukainya," jawab Peeta.
"Begini saja. Kau menangkan Hunger Games ini, lalu pulang. Dia pasti tidak bisa
menolakmu, kan?" kata Caesar memberi dukungan.
"Kurasa cara itu takkan berhasil. Menang.... sama sekali tak membantuku," kata
Peeta. "Kenapa tidak?" tanya Caesar, heran.
Wajah Peeta bersemu merah dan dengan gagap dia berkata, "Karena... karena... dia
datang kemari bersamaku."
Bab 10 BAGIAN 2 PERTARUNGAN SESAAT, kamera menyoroti Peeta yang menunduk sementara kata-katanya mulai
dipahami. Lalu aku bisa melihat wajahku, mulutku yang setengah terbuka
campuran antara kaget dan protes, diperbesar di setiap layar televisi ketika aku
tersadar, Aku! Gadis yang dimaksud Peeta adalah aku! Aku mengatupkan bibir dan
menunduk, berharap bisa menutup segala bentuk emosi yang bergejolak dalam
diriku. "Wah, buruk sekali nasibmu," kata Caesar, dan aku bisa mendengar rasa sakit
sungguhan dalam suaranya. Penonton juga ikutan bergumam setuju, bahkan ada
yang memekik sedih. "Tidak bagus," Peeta sependapat.
"Yah, kurasa kami tidak bisa menyalahkanmu. Sulit untuk tidak jatuh cinta pada
gadis itu," kata Caesar. "Dia tidak tahu?"
Peeta menggeleng. "Tidak tahu, sampai sekarang."
Mataku bekerjap memandang layar televisi raksasa cukup lama hingga bisa
melihat kedua pipiku bersemu merah.
"Pasti kalian kepingin aku menariknya ke atas sini dan mendengar jawabannya?"
Caesar bertanya pada para penonton. Mereka berseru mengiyakan. "Sayangnya,
peraturan adalah peraturan, dan waktu Katniss Everdeen sudah habis tadi. Well,
semoga beruntung, Peeta Mellark, dan kurasa aku bisa mewakili seluruh Panem
saat aku berkata hati kami besertamu."
Sorakan penonton terdengar memekakkan telingan. Peeta jelas membuat
wawancara dengan peserta lain jadi tak ada apa-apanya dengan pernyataan
cintanya padaku. Ketika penonton akhirnya tenang, Peeta mengucapkan "Terima
kasih" dengan suara tercekik pelan dan kembali ke tempat duduknya. Kami berdiri
menyanyikan lagu kebangsaan. Aku harus mendongakkan kepalaku untuk
menunjukkan rasa hormat dan tidak bisa menghindar melihat semua layar televisi
sekaranh penuh dengan gambar aku dan Peeta, yang di benak penonton terasa jauh
namun dekat. Malangnya nasib kami.
Tapi aku tahu yang sesungguhnya.
Setelah menyanyikan lagu kebangsaan, para peserta kembali ke lobi Pusat Latihan
dan memasuki elevator. Aku memastikan lebih dulu agar tidak masuk ke elevator
dengan Peeta di dalamnya. Para penonton menghambat jalan rombongan penata
gaya, mentor, dan pendamping, jadi hanya peserta di dalam elevator. Tak ada
seorang pun yang bicara. Elevatorku berhenti untuk menerunkan empat peserta
sebelum aku sendirian dan pintu terbuka di lantai 12. Peeta baru saja keluar dari
elevatornya ketika telapak tanganku menghantam dadanya. Dia kehilangan
keseimbangan dan menabrak jambangan jelek yang diisi dengan bunga palsu.
Jambangan itu bergoyang dan jatuh berkeping-keping ke lantai. Peeta terjatuh di
antara pecahan jambangan, dan darah langsung mengalir dari kedua tangannya.
"Kenapa kaupukul aku?" tanyanya, terkejut.
"Kau tidak berhak! Kau tak berhak mengatakan segala hal yang kaukatakan
tentang aku!" Aku berteriak padanya.
Elevator terbuka dan seluruh kru ada di sana, Effie, Haymitch, Cinna, dan Portia.
"Ada apa"' tanya Effie, suaranya terdengar histeris. "Kau jatuh?"
"Setelah dia mendorongku," kata Peeta saat Effie dan Cinna membantunya
bangun. Haymitch menoleh memandangku. "Mendorongnya?"
"Ini pasti idemu, kan" Membuatku jadi tampak bodoh di depan semua penduduk
negeri ini?" sahutku.
"Ini ideku," kata Peeta, mengernyit ketika dia menarik pecahan dari telapak
tangannya. "Haymitch hanya membantuku."
"Ya, Haymitch memang sangat membantu. Membantumu!" seruku.
"Kau memang bodoh," kata Haymitch jijik. "Kaupikir dia menyakitimu" Anak itu
memberimu sesuatu yang takkan pernah bisa kaudapatkan sendirian."
"Dia membuatku tampak lemah!" kataku.
"Dia membuatmu tampak diinginkan! Kita jujur saja ya, kau butuh segala bantuan
yang bisa kauperoleh dalam hal itu. Kau sama romantisnya dengan tanah liat
sampai dia bilang menginginkanmu. Sekarang semua orang menginginkanmu.
Hanya kau yang mereka bicarakan. Pasangan kekasih yang tak mungkin bersatu
dari Distrik Dua Belas!" kata Haymitch.
"Tapi kami bukan pasangan kekasih yang tak mungkin bersatu!" kataku.
Haymitch mengguncangkan bahuku dan mendorongku ke dinding. "Siapa yang
peduli" Ini semua cuma acara besar di TV. Semuanya tentang bagaimana kau
dipandang. Setelah wawancaramu, aku berani bilang kau cukup baik, walaupun itu
juga sudah merupakan keajaiban. Sekarang, setelah ini kau jadi gadis yang
membuat patah hati. Oh, oh, oh, betapa anak laki-laki di distrikmu berharap dan
memujamu. Menurutmu mana yang akan mendapat sponsor lebih banyak?"
Bau anggur dalam napasnya membuatku mual. Kudorong tangannya menjauh dari
bahuku dan beranjak pergi, berusaha menjernihkan kepalaku.
Cinna datang dan merangkulku. "Dia benar, Katniss."
Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan. "Seharusnya aku diberitahu, jadi aku
tidak tampak tolol."
"Tidak, reaksimu sempurna. Kalau kau sudah tahu, reaksimu takkan terlihat
sungguhan," kata Portia.
"Dia hanya menguatirkan pacarnya," gerutu Peeta sambil melempar pecahan
jambangan yang ternoda darah.
Pipiku bersemu merah lagi ketika teringat pada Gale. "Aku tidak punya pacar."
"Terserah," cetus Peeta. "Tapi aku yakin dia pasti cukup cerdas untuk tahu mana
buatan mana sungguhan kalau dia melihatnya. Lagi pula kau tidak bilang kau
mencintaiku. Jadi apa masalahnya?"
Kata-kata mereka mulai terserap dalam benakku. Kemarahanku pun perlahan-lahan
lenyap. Pikiranku terkoyak antara aku telah dimaafkan dan diberi kesempatan.
Haymitch benar. Aku berhasil melewati wawancara dengan baik, tapi benarkah
aku berhasil" Gadis konyol yang berputar-putar dengan gaunnya yang berkilau.
Tertawa terkekeh-kekeh. Satu-satunya jawaban berisi yang kuberikan adalah ketika
aku bicara tentang Prim. Bandingkan itu dengan Thresh, dengan diamnya, dan
kekuatannya yang mematikan, seketika aku terlupakan. Bodoh, berkilau, dan
terlupakan. Tidak, tidak sepenuhnya terlupakan, aku mendapat nilai sebelas dalam
latihan. Tapi sekarang Peeta membuatku jadi objek cinta. Bukan cuma cintanya.
Mendengarnya bicara bahwa aku punya banyak penggemar. Dan jika penonton
benar-benar menganggap kami sedang jatuh cinta... aku ingat bagaimana
bersemangatnya mereka menanggapi pengakuan Peeta. Pasangan kekasih yang tak
mungkin bersatu. Haymitch benar, orang-orang di Capitol menelan cerita semacam
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bulat-bulat. Mendadak aku kuatir aku tidak bereaksi seperti seharusnya.
"Setelah dia bilang dia mencintaiku, apakah menurutmu aku juga tampak
mencintainya?" tanyaku.
"Tampaknya begitu," kata Portia. "Caramu menghindar untuk tidak memandang
kamera, pipimu yang memerah."
Yang lain juga ikut berkomentar senada.
"Kau hebat, sweetheart. Sponsor akan mengantre panjang untuk mendapatkanmu,"
kata Haymitch. Aku malu dengan reaksiku. Kupaksa diriku untuk mengaku pada Peeta. "Maaf aku
mendorongmu." "Tidak apa-apa," katanya, mengangkat bahu. "Walaupun secara teknis ini ilegal."
"Tanganmu sakit?" tanyaku.
"Akan sembuh kok," jawabnya.
Dalam keheningan yang mengikuti percakapan aku dan Peeta, aroma makan
malam yang nikmat menyerbu penciuman kami dari ruang makan.
"Ayo, mari makan," kata Haymitch. Kami semua mengikutinya ke meja dan duduk
di sana. Tapi Peeta mengeluarkan terlalu banyak darah, sehingga Portia harus
membawanya untuk diobati. Kami mulai menyantap sup krim dengan kelopak
bunga mawar tanpa menunggu mereka. Pada saat kami selesai makan, mereka
kembali. Aku tidak bisa tidak merasa bersalah. Besok kami sudah berada di arena.
Peeta sudah membantuku dan aku membalasnya dengan luka. Sampai kapan aku
bisa berhenti berutang padanya"
Setelah makan malam kami menonton tayangan ulang di ruang duduk. Meskipun
yang lain meyakinkanku bahwa aku memesona, tapi aku merasa meriah dan
dangkal, berputar-putar dan cekikikan dengan gaunku yang berkilau. Peeta yang
sungguh-sungguh tampak memesona dan akhirnya keluar menjadi pemenang
sebagai pemuda yang jatuh cinta. Kemudian tampak aku disorot kamera, tersipusipu dan bingung, setelah dibuat cantik berkat tangan emas Cinna, dan jadi makin
diinginkan berkat pengakuan cinta Peeta. Keadaan membuat nasibku tragis, dan
setelah semua peristiwa yang terjadi, aku jadi sosok yang tak terlupakan.
Ketika lagu kebangsaan selesai dinyanyikan dan layar televisi berubah gelap,
keheningan menyergap ruangan. Kami harus bangun dini hari besok dan bersiapsiap ke arena. Pertarungan baru dimulai pukul sepuluh karena banyak penduduk
Capotol yang baru bangun pada siang hari. Tapi aku dan Peeta harus mulai lebih
awal. Kami tidak tahu seberapa jauhnya kami harus melakukan perjalanan ke arena
yang disiapkan untuk Pertarungan tahun ini.
Aku tahu Haymitch dan Effie tidak akan bersama kami. Setelah mereka pergi dari
sini, mereka akan berada di Markas Pertarungan, semoga mereka sibuk mengurusi
banyak orang yang ingin menjadi sponsor, dan menyusun strategi bagaimana dan
kapan mereka mengirimkan hadiah-hadiah sponsor itu untuk kami. Cinna dan
Portia akan menemani kami sampai ke tempat kami akan diluncurkan ke arena.
Namun perpisahan terakhir harus diucapkan di sini sekarang.
Effie memegang tangan kami berdua, dengan air mata sungguhan di matanya,
mendoakan kami semoga berhasil. Dia berterima kasih pada kami karena telah
menjadi peserta terbaik dan jadi kehormatan baginya untuk menjadi sponsor.
Kemudian, karena Effie adalah Effie dan tampaknya menurut hukum dia harus
mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan, dia menambahkan, "Aku takkan
terkejut jika akhirnya aku dipromosikan ke distrik yang lebih baik tahun depan."
Selanjutnya, dia mencium pipi kami berdua lalu bergegas keluar, tidak sanggup
menahan emosi akibat perpisahan atau kemungkinan peningkatan rezekinya.
Haymitch bersedekap dan memandang kami berdua.
"Ada nasihat terakhir?" tanya Peeta.
"Ketika gong berbunyi, langsung lari dari sana. Kecuali kalian siap menghadapi
banjir darah di Cornucopia. Segera pergi, buat jarak sejauh-jauhnya dengan peserta
lain, dan cari sumber air," katanya. "Mengerti?"
"Dan setelah itu?" tanyaku.
"Usahakan tetap hidup," kata Haymitch.
Nasihat yang sama seperti yang diberikannya di kereta, tapi kali ini dia tidak
mabuk atau tertawa. Dan kami hanya mengangguk. Apa lagi yang bisa kami
katakan" Ketika aku menuju kamarku, Peeta tetap di sana untuk bicara dengan Portia. Aku
merasa lega. Apa pun kata-kata perpisahan aneh yang harus kami ucapkan bisa
menunggu sampai besok. Ranjangku sudah dibereskan, tapi tidak ada tanda-tanda
gadis Avox berambut merah. Aku berharap aku tahu namanya. Atau
menunjukkannya. Tapi mungkin itu malah akan berbuah hukuman untuknya.
Aku mandi dan menggosok cat emas, makeup, dan aroma keindahan dari tubuhku.
Yang tersisa dari kerja keras tim desain adalah bentuk api di kuku-kukuku.
Kuputuskan untuk tidak menghapusnya agar bisa jadi pengingat siapa diriku di
hadapan penonton. Katniss, gadis yang terbakar. Mungkin bisa jadi sesuatu yang
dapat kujadikan pegangan dalam beberapa hari ke depan.
Kukenakan gaun tidur tebal yang putih lembut lalu naik ke ranjang. Setelah lima
detik aku sadar aku takkan bisa tidur. Padahal aku teramat butuh tidur karena di
arena jika aku menyerah pada kelelahan akibatnya bisa berarti maut.
Ini tidak bagus. Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu, dan mataku tidak mau
menutup juga. Aku tidak bisa berhenti membayangkan seperti apa arena yang akan
jadi tempatku betarung. Padang pasir" Rawa" Tempat pembuangan yang kosong"
Di antara segalanya, aku berharap ada pepohonan. Pohon-pohon berarti adanya
tempat persembunyian, makanan, dan perlindungan. Sering kali ada pepohonan
dalam Hunger Games, karena padang terbuka biasanya membosankan dan Hunger
Games akan berakhir terlalu cepat. Tapi bakal seperti apa iklim nanti" Apa
jebakan-jebakan yang dipasang Juri Pertarungan untuk menghidupkan saat-saat
membosankan" Dan masih ada lagi peserta-peserta lain.
Semakin aku berharap bisa tidur, semakin jauh rasa kantukku. Akhirnya, aku
terlalu gelisah untuk tetap tiduran di ranjang. Aku berjalan mondar-mandir,
jantungku berdetak terlalu cepat, napasku memburu. Kamarku terasa seperti sel
penjara. Kalau aku tidak segera mendapat udara, aku bakalan membanting-banting
barang. Aku berlari menuju lorong kamar ke atap. Pintu itu bukan hanya tidak
terkunci tapi juga terbuka. Mungkin ada orang yang lupa menutupnya, tapi tak
masalah. Medan energi yang meliputi atap mencegah siapa pun yang putus asa
untuk melarikan diri. Dan aku tidak kepingin melarikan diri, aku hanya ingin
mengisi paru-paruku dengan udara. Aku ingin melihat langit dan bulan pada
malam terakhir tanpa ada seorang pun yang memburuku.
Tidak ada lampu di atap, tapi ketika kakiku yang tanpa alas kaki mengijak
permukaan atap yang berubin, aku melihat siluetnya, bayangan hitam di belakang
cahaya yang bersinar tanpa henti di Capitol. Terdengar keramaian berlangsung di
jalanan, musik dan lagu serta klakson, yang sama sekali tak bisa kudengar melalui
jendela kaca yang tebal di kamarku. Aku bisa menyelinap pergi sekarang tanpa
ketahuan olehnya; dia tidak bakal bisa mendengarku di antara hiruk-pikuk. Tapi
udara malam terasa sangat manis, aku tidak tahan membayangkan harus kembali
ke kandang menyesakkan yang disebut kamar itu. Lagi pula apa bedanya jika kami
bicara atau tidak" Kakiku bergerak tanpa suara melintasi ubin. Jarakku hanya semeter di belakangnya
ketika aku berkata, "Seharusnya kau sudah tidur."
Dia tampak terkejut tapi tidak menoleh. Aku bisa melihat kepalanya sedikit
menggeleng. "Aku tidak mau melewatkan pestanya. Ini kan pesta untuk kita."
Aku berjalan ke sampingnya dan mencondongkan tubuh melewati pembatas.
Jalanan yang lebar di bawah sana penuh dengan orang-orang yang menari. Aku
menyipitkan mata agar bisa lebih memperhatikan sosok-sosok mungil di bawah.
"Apakah mereka memakai kostum?"
"Entahlah," jawab Peeta, "Mana aku tahu dengan segala pakaian sinting yang
mereka pakai di sini. Tidak bisa tidur juga, ya?"
"Tidak bisa mematikan pikiranku," aku menyahut.
"Memikirkan keluargamu?" tanyanya.
"Tidak," jawabku dengan setitik rasa bersalah. "Aku tidak bisa berhenti berpikir
tentang besok, yang tentu saja tak ada gunanya."
Dengan bantuan cahaya dari bawah, sekarang aku bisa melihat wajahnya, serta
caranya yang canggung ketika memegang tangannya yang berbalut perban. "Aku
sungguh-sungguh minta maaf membuat tanganmu luka."
"Tidak apa-apa, Katniss," katanya. "Aku juga tak pernah jadi penantang dalam
Hunger Games semacam ini."
"Jangan berpikir seperti itu," kataku.
"Kenapa tidak" Memang benar kok. Harapan terbaikku adalah tidak
mempermalukan diriku sendiri dan..." Peeta terdiam, tampak ragu.
"Dan apa?" tanyaku.
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Hanya saja... aku ingin mati sebagai
diriku sendiri. Apakah itu masuk akal?" tanya Peeta.
Aku menggeleng. Bagaimana mungkin dia bisa mati sebagai orang lain yang
bukan dirinya" "Aku tidak mau mereka mengubah diriku di sana. Menjadikanku
sebagai monster yang bukan diriku sebenarnya."
Kugigit bibirku sambil merasa dangkal. Sementara aku sibuk memikirkan apakah
bakal ada pepohonan, Peeta sedang berusaha mempertahankan identitasnya.
Kemurnian dirinya. "Maksudmu kau tak mau membunuh siapa pun?" tanyaku.
"Bukan begitu. Kalau saatnya tiba, aku yakin aku akan membunuh sama seperti
orang lain. Aku tidak mau menyerah tanpa perlawanan. Hanya saja aku terus
berharap bisa memikirkan cara untuk... untuk menunjukkan pada Capitol mereka
tidak memilikiku. Aku bukan sekedar pion dalam Hunger Games mereka ini," kata
Peeta. "Tapi kau memang bukan milik mereka," kataku. "Tak seorang pun dimiliki. Itulah
cara kerja Hunger Games."
"Oke, tapi dalam kerangka berpikir itu, masih ada kau, masih ada aku," Peeta
berkeras. "Kau mengerti?"
"Sedikit. Hanya saja... bukan bermaksud menyinggung ya, tapi siapa yang peduli,
Peeta?" tanyaku. "Aku peduli. Maksudku, apa lagi yang bisa kuperdulikan pada tahap ini?" tanyanya
berang. Matanya yang biru memandang mataku lekat-lekat, menuntut jawaban.
Aku mundur selangkah. "Pedulilah pada perkataan Haymitch. Tentang berusaha
tetap hidup." Peeta tersenyum padaku, sedih dan tampak mengejek. "Oke. Terima kasih atas
tipnya, Manis." Rasanya seperti ditampar, mendengar cara Peeta menggunakan istilah sayang yang
meremehkan yang sering digunakan Haymitch. "Dengar, kalau kau ingin
menghabiskan jam-jam terakhir hidupmu merencanakan semacam kematian agung
di arena, itu pilihanmu. Aku ingin menghabiskannya di Distrik Dua Belas."
"Aku takkan kaget jika kau bisa," kata Peeta. "Sampaikan salam pada ibuku, kalau
kau berhasil pulang, mau kan?"
"Pasti kusampaikan," jawabku. Lalu aku berputar dan meninggalkan atap.
Aku melewati malam itu terbangun berkali-kali dalam tidur, membayangkan
komentar tajam apa yang kuucapkan pada Peeta Mellark besok pagi. Peeta Mellar.
Kita akan melihat betapa tinggi dan tegarnya dia ketika berhadapan dengan hidup
dan mati. Dia mungkin akan menjadi peserta yang berubah menjadi binatang buas,
jenis yang berusaha memakan jantung lawannya setelah membunuh mereka.
Beberapa tahun lalu ada anak lelaki yang seperti itu, namanya Titus dari Distrik 6.
Dia jadi buas tak terkendali dan Juri Pertarungan harus menyetrumnya dengan
pistol listrik agar bisa mengambil mayat peserta-peserta lain yang telah
dibunuhnya sebelum dia memakan mereka. Tidak ada peraturan di arena, tapi
kanibalisme tidak disukai oleh penonton di Capitol, jadi mereka berusaha
menghentikannya. Ada spekulasi bahwa gelundungan bola salju yang akhirnya
menghabisi Titus sengaja diatur untuk memastikan agar pemenang Hunger Games
bukanlah maniak sinting. Aku tidak bertemu Peeta pada pagi hari. Cinna sudah datang sebelum matahari
terbit, memberiku pakaian sederhana untuk dipakai, dan mengantarku ke atap.
Segala persiapan akhir dan gaunku baru dikenakan di makam bawah tanah yang
berada di bawah arena. Pesawat ringan muncul entah dari mana, jenis pesawat
yang sama seperti yang kulihat di hutan pada hari aku melihat gadis Avox
berambut merah itu ditangkap. Kemudian tangga diturunkan dari pesawat itu.
Tangan dan kakiku menjejak janjang-janjang tangga terbawah dan seketika aku
merasa tak mampu bergerak. Ada semacam gelombang yang melekatkanku pada
tangga sementara aku terangkat naik ke pesawat.
Kupikir tangga akan segera melepaskanku, tapi aku masih menempel di sana
ketika seorang wanita berjas putih menghampiriku membawa alat suntik.
"Ini hanya alat pelacak, Katniss. Lebih baik kau tidak bergerak, agar aku bisa
menempatkannya dengan lebih efisien," katanya.
Tidak bergerak" Aku sudah sekaku patung. Tapi itu tidak membuatku mati rasa
terhadap rasa sakit menyengat di bagian lengan atasku ketika jarum memasukkan
alat pelacak berbentuk logam ke balik kulitku. Sekarang Juri Pertarungan akan bisa
melacak keberadaanku di arena. Mereka pasti tidak mau kehilangan peserta, kan"
Setelah alat pelacak itu masuk ke tubuhku, tangga yang kupegang melepaskanku.
Wanita itu menghilang kemudian Cinna dijemput dari atap. Anak lelaki Avox
datang dan mengarahkan kami ke ruangan tempat sarapan telah disajikan.
Meskipun perutku mulas setengah mati, aku makan sebanyak yang bisa masuk ke
perutku, meski tak satu pun makanan lezat ini kunikmati. Aku amat tegang, hingga
bisa makan apa saja termasuk debu batu bara. Satu-satunya hal yang membuat
perhatianku teralih adalah pemandangan dari jendela ketika kami terbang melintasi
kota dan hutan. Inilah pemandangan yang dilihat burung. Hanya saja burungburung itu bebas dan aman. Berbeda 180 derajat dengan diriku.
Perjalanan ini sudah berlangsung selama setengah jam sebelum jendela-jendela
menggelap, menunjukkan bahwa kami sudah berada dekat arena. Pesawat ringan
itu mendarat lalu aku dan Cinna kembali ke tangga, tapi kali ini tangga membawa
kami ke lorong bawah tanah, menuju makam yang berada di bawah arena. Kami
mengikuti petunjuk menuju tujuanku, ruang persiapanku. Di Capitol, mereka
menyebutnya Ruang Peluncuran. Di distrik-distrik, ruang ini disebut Ruang
Penyimpanan Ternak. Tempat binatang menunggu untuk disembelih.
Segalanya tampak baru. Aku jadi orang pertama dan satu-satunya yang
menggunakan Ruang Peluncuran ini. Arena-arena pertarungan merupakan tempat
bersejarah, yang jadi tempat yang dilindungi selama Pertarungan. Tempat-tempat
ini jadi objek wisata populer untuk penduduk Capitol. Tur selama sebulan,
menonton ulang Pertarungannya, tur ke makam, mengunjungi tempat pesertapeserta tewas. Kau bahkan bisa ikut bermain dalam reka ulang.
Mereka bilang makanan yang disajikan dalam kegiatan itu sangat lezat.
Aku berjuang untuk menjaga agar sarapanku tidak kumuntahkan ketika aku mandi
dan sikat gigi. Cinna menata rambutku dengan gaya khasku yang sederhana,
kepang satu yang jatuh di punggungku. Lalu pakaian pun tiba, pakaian yang sama
untuk setiap peserta. Cinna tidak berkomentar tentang pakaianku, dan dia juga
tidak tahu seragam apa yang dipakai dalam Pertarungan kali ini, tapi dia
membantuku memakai pakaian dalam, blus hijau muda, ikat pinggang cokelat yang
kuat, dan jaket hitam berpenutup kepala yang panjangnya sampai ke pahaku.
"Bahan dalam jaket ini didesain untuk memantulkan panas tubuh. Bersiap-siaplah
menghadapi malam-malam dingin," katanya.
Bot yang kupakai di luar kaus kaki yang menempel ketat pada kulit jauh lebih baik
daripada yang kuperkirakan. Kulit sepatu ini lembut, tidak seperti yang kumiliki di
rumah. Sepatu ini memiliki sol karet yang fleksibel dan enak buat dipakai jalan.
Bagus untuk berlari. Aku selesai didandani ketika Cinna mengeluarkan pin emas mockingjay dari
sakunya. Aku benar-benar lupa pada benda itu.
"Di mana kau mendapatkannya?" tanyaku.
"Dari baju hijau yang kaupakai di kereta," katanya.
Aku ingat sekarang saat aku melepaskannya dari gaun ibuku, dan memasangnya di
kaus. "Ini lambang distrikmu, kan?"
Aku mengangguk dan menjepitkannya di bajuku.
"Benda ini nyaris tidak lolos dewan penilai. Ada yang berpikir pin ini bisa
digunakan sebagai senjata, dan memberimu keuntungan yang tidak adil. Tapi
akhirnya mereka meloloskannya," kata Cinna. "Mereka mengambil cincin dari
anak perempuan Distrik Satu. Jika kau memutar batu permatanya, ada jarum yang
muncul. Jarum beracun. Dia mengaku sama sekali tidak tahu cincin itu bisa
berubah bentuk jadi senjata, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa dia tahu.
Akhirnya cincin itu harus disita. Nah, kau sudah siap. Coba bergerak. Rasakan
apakah semuanya nyaman."
Aku berjalan mengelilingi ruangan, mengibas-ngibaskan tanganku. "Ya, semuanya
nyaman. Pakaian ini pas dengan sempurna."
"Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menunggu panggilan,"
kata Cinna. "Kecuali kau masih mau makan?"
Aku menolak tawaran makanan tapi menerima segelas air yang kuminum pelanpelan sembari menunggu di sofa. Aku tidak mau menggigit bibir atau kukuku, jadi
aku menguyah-nguyah bagian dalam pipiku. Luka di bagian dalam pipiku belum
sembuh benar setelah beberapa hari lalu. Tidak lama kemudian aku bisa merasakan
darah memenuhi mulutku. Kegelisahanku berubah jadi ketakutan ketika aku menunggu apa yang terjadi
selanjutnya. Aku bisa saja tewas dalam waktu satu jam. Bahkan bisa jadi kurang
dari satu jam. Jemariku menelusuri benjolan kecil yang keras tempat wanita itu
menyuntikkan alat pelacaknya. Kutekan benjolan itu, meskipun terasa sakit,
tekananku sangat kuat hingga mulai terbentuk memar kecil di sana.
"Kau ingin bicara, Katniss?" tanya Cinna.
Aku menggeleng, tapi tidak lama kemudian aku mengulurkan tangan ke arahnya.
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cinna menyambut tanganku dalam genggamannya. Dan kami duduk dalam posisi
bergenggaman seperti ini sampai terdengar suara wanita yang merdu
mengumumkan sudah tiba saatnya bersiap-siap untuk peluncuran.
Masih sambil menggenggam satu tangan Cinna, aku berjalan dan berdiri di atas
piringan logam bundar. "Ingat apa kata Haymitch. Lari, cari air. Selanjutnya lihat apa yang terjadi," kata
Cinna. Aku mengangguk. "Dan ingat ini. Aku tidak boleh ikut bertaruh, tapi kalau
bisa, aku akan memasang taruhan pada dirimu."
"Sungguh?" aku berbisik.
"Sungguh," sahut Cinna. Dia menunduk dan mengecup dahiku. "Semoga
beruntung, gadis yang terbakar."
Kemudian silinder kaca turun mengelilingiku, membuat kami harus melepaskan
pegangan, memisahkanku dari Cinna. Dia mengetukkan jemarinya ke bawah dagu.
Kepala diangkat tinggi-tinggi.
Aku mengangkat daguku dan berdiri setegak mungkin. Silinder itu mulai naik.
Selama sekitar lima belas menit, aku berada dalam kegelapan dan aku bisa
merasakan piringan logam mendorongku keluar dari silinder, menuju udara
terbuka. Sesaat, mataku dibutakan silau cahaya matahari yang terang. Sesaat,
mataku dibutakan silau cahaya matahari yang terang, aku hanya bisa merasakan
embusan angin yang kuat membawa aroma pohon-pohon pinus yang memberikan
harapan. Kemudian aku mendengar suara pengumuman pembawa acara legendaris, Cladius
Templesmith, ketika suaranya menggelegar di sekitarku.
"Saudara-saudara sekalian, maka dimulailah Hunger Games Ketujuh Puluh
Empat!" Bab 11 ENAM puluh detik. Itulah waktu yang ditetapkan pada kami untuk berdiri di
piringan-piringan logam sebelum suara gong melepaskan kami. Melangkah
sebelum waktu satu menit, ranjau darat akan meledakkan kakimu. Enam puluh
detik waktu yang diberikan pada semua peserta untuk pergi sejauh mungkin dari
Cornucopia, terompet emas raksasa berbentuk seperti corong dengan ekor
melengkung. Di mulut corong yang tingginya sekitar enam meter berceceran
benda-benda yang akan membantumu bertahan hidup di arena. Makanan, tempat
air, senjata, obat-obatan, pakaian, alat membuat api. Di Cornucopia berserakan
persediaan-persediaan lain, yang nilainya makin berkurang semakin jauh jaraknya
dari trompet. Contohnya, hanya beberapa langkah dariku terdapat plastik
berukuran satu meter persegi. Benda ini bisa berguna saat turun hujan. Tapi di
mulut terompet, aku bisa melihat benda yang akan melindungiku dari hampir
semua cuaca. Kalau saja aku punya keberanian untuk masuk dan bertarung untuk
mendapatkannya melawan 23 peserta lain. Dan aku sudah diberi instruksi untuk
tidak melakukannya. Kami berada di lapangan terbuka yang datar. Tanah gersang yang penuh tanah. Di
seberangku, di belakang peserta-peserta lain, aku tidak bisa melihat apa-apa, bisa
jadi di sana ada lereng melandai atau jurang. Di sebelah kananku ada danau. Di
sebelah kiri dan belakangku terdapat hutan pinus yang tidak terlalu lebat.
Haymitch pasti ingin aku berlari ke sana. Segera.
Aku bisa mendengar perintah-perintahnya dalam kepalaku. "Segera pergi, buat
jarak sejauh-jauhnya dengan peserta lain, dan cari sumber air."
Tapi hadiah di depan mata tampak menggoda, sangat menggoda. Dan aku tahu jika
aku tidak mengambilnya, orang lain yang akan mendapatkannya. Para Peserta
Karier yang selamat dari pertumpahan darah akan membagi benda-benda untuk
bertahan hidup yang tersisa. Ada yang menarik perhatianku. Di sana, di atas
gundukan selimut yang terlipat, ada anak panah berujung perak dan busurnya,
lengkap dengan tali busurnya, menunggu untuk dipakai. Itu milikku, pikirku.
Benda itu dimaksudkan untukku.
Aku cepat. Aku bisa berlari lebih cepat daripada anak-anak perempuan lain di
sekolahku dalam lari jarak dekat, meskipun ada beberapa bisa mengalahkanku
dalam lari jarak jauh. Jarakku dengan busur itu hanya empat puluh meter, aku bisa
melakukannya dengan mudah. Aku tahu aku bisa mendapatkannya, aku tahu aku
bisa jadi orang pertama yang mengambilnya, tapi pertanyaannya adalah seberapa
cepat aku bisa keluar dari sana" Pada saat aku berhasil berlari dari gelombang ini
dan mengambil senjata itu, yang lain pasti tiba di terompet, dan satu atau dua
peserta juga bisa mengambil senjata lain, mungkin juga lebih dari sepuluh peserta
yang tiba, dan dalam jarak dekat, mereka bisa menghabisiku dengan tombak atau
alat pemukul. Atau menghajarku dengan tinju mereka yang keras.
Tapi, aku bukan sasaran satu-satunya. Aku berani bertaruh banyak peserta yang
akan melewati gadis bertubuh kecil, walaupun gadis itu mendapat nilai sebelas
dalam latihan, dan mereka akan berusaha mengalahkan lawan-lawan yang lebih
berat. Haymitch tak pernah melihatku berlari. Mungkin jika dia pernah melihatku lari, dia
akan menyuruhku mengambilnya. Mengambil senjata itu. Karena itu satu-satunya
senjata yang bisa jadi penyelamatku. Dan aku hanya melihat satu busur di antara
benda-benda yang bertumpukan di sana. Aku tahu waktu satu menit sudah hampir
habis dan aku harus memutuskan apa strategiku. Kakiku bersiap-siap lari, bukan
berlari masuk hutan tapi menuju tumpukan selimut, menuju busur panah. Tiba-tiba
aku melihat Peeta, jarak kami terpisah lima peserta di sebelah kananku, lumayan
jauh sebenarnya, tapi aku masih bisa melihatnya memandangku dan aku merasa
dia menggeleng padaku tapi sinar matahari membuat mataku silau. Sementara aku
masih bingung mengartikan gelengan Peeta, gong berbunyi.
Dan aku melewatkannya! Aku melewatkan kesempatanku! Beberapa detik yang
hilang karena tidak segera bersiap-siap membuatku harus berubah pikiran. Sejenak
kakiku bingung hendak melangkah ke mana, otakku menyuruhnya lari dan
mengambilnya tapi aku melompat ke depan, memungut lembaran plastik dan
sebongkah roti. Benda-benda yang kuambil sangat kecil nilainya dan aku sangat
marah pada Peeta karena mengalihkan perhatianku sehingga aku berlari cepat
dalam jarak dua puluh meter untuk mengambil tas ransel oranye cerah yang bisa
dipakai untuk menyimpan banyak barang karena aku tidak tahan membayangkan
pergi dari sini nyaris tanpa membawa apa-apa.
Seorang anak lelaki, kurasa dia dari Distrik 9, mengambil tas ransel itu
berbarengan denganku dan selama beberapa saat kami bertarik-tarikan lalu dia
terbatuk, memuncratkan darah ke wajahku. Aku terhuyung mundur, merasa jijik
dengan semburan darah yang hangat dan lengket. Lalu anak lelaki itu jatuh ke
tanah. Saat itulah aku melihat pisau tertancap di punggungnya. Peserta-peserta lain
sudah tiba di Cornucopia dan menyebarkan diri untuk menyerang. Aku melihat
gadis dari Distrik 2, hanya berjarak sepuluh meter, berlari ke arahku, satu
tangannya memegang enam bilah pisau. Aku sudah melihatnya melempar pisau
dalam latihan. Lemparannya tak pernah meleset. Dan aku jadi sasaran selanjutnya.
Segala ketakutan yang kurasakan kini memadat menjadi ketakutan terhadap gadis
ini, predator yang bisa membunuhku dalam waktu beberapa detik. Adrenalin
mengalir deras dalam darahku dan aku langsung menggayutkan ransel itu ke
sebelah bahuku lalu berlari dengan kecepatan penuh ke dalam hutan. Aku bisa
mendengar pisau mendesing ke arahku dan secara refleks aku mengangkat ransel
untuk melindungi kepalaku. Mata pisau itu menancap ke atas ranselku. Kini kedua
bahuku memanggul ransel, dan aku berlari menuju pepohonan. Entah bagaimana
aku tahu gadis itu takkan mengejarku. Dia akan kembali ke Cornucopia sebelum
semua benda bagus di ambil orang. Aku menyeringai. Terima kasih atas pisaunya,
pikirku. Di tepi hutan aku menoleh ke belekang untuk melihat pemandangan di tanah
lapang. Kurang-lebih dua belas peserta sedang saling baku hantam di trompet.
Beberapa peserta sudah tewas terbaring di tanah. Mereka yang kabur sudah
menghilang di antara pepohonan atau menuju ruang kosong di seberangku. Aku
terus berlari sampai hutan berhasil menyembunyikanku dari peserta-peserta lain,
lalu aku berlari pelan selama beberapa saat. Bergantian aku berlari pelan dan
berjalan, membuat jarak sejauh mungkin antara aku dan para pesaingku. Aku
kehilangan rotiku saat berebutan tas dengan anak lelaki dari Distrik 9 tapi aku
berhasil menyimpan plastik ke dalam pergelangan tanganku, jadi sembari berjalan
aku melipat plastik itu dengan rapi dan menyimpannya ke dalam saku. Aku juga
melepaskan pisau yang tertancap-pisau yang bagus dengan mata pisau panjang dan
tajam, dengan bagian bergerigi di dekat gagangnya, yang membuat pisau ini
berguna untuk menggergaji-dan aku menyelipkan pisau ini ke ikat pinggangku.
Aku belum berani berhenti untuk memeriksa isi tas ranselku. Aku terus bergerak,
dan hanya berhenti untuk memastikan apakah ada yang mengejarku.
Aku bisa berjalan lama sekali. Aku tahu berdasarkan pengalamanku di hutan. Tapi
aku akan membutuhkan air. Itu saran kedua dari Haymitch, dan karena aku hampir
melanggar saran pertamanya, kini aku menajamkan pandanganku untuk
menemukan air. Ternyata aku belum beruntung.
Hutan mulai berubah bentuk, dan pohon-pohon pinus mulai berpadu dengan
berbagai macam pohon, ada pohon-pohon yang kukenali tapi ada yang sama sekali
asing buatku. Pada satu ketika, aku mendengar suara dan segera menghunus pisau,
berpikir bahwa aku mungkin harus membela diri, tapi aku ternyata cuma membuat
kaget kelinci. "Senang bertemu denganmu," bisikku. Kalau ada satu kelinci, pasti ada ratusan
yang menunggu untuk dijerat.
Lereng mulai melandai. Aku tidak menyukainya. Lembah membuatku merasa
terperangkap. Aku ingin berada di tempat tinggi, seperti perbukitan di sekitar
Distrik 12, di sana aku bisa melihat musuh-musuhku mendekat. Tapi aku tidak
punya pilihan selain terus melangkah.
Tapi lucu, aku tidak merasa lemah. Hari-hari makan dengan rakus akhirnya
membuahkan hasil. Aku masih sanggup bertahan meskipun kurang tidur. Berada di
hutan rasanya menyegarkan. Aku lega bisa merasa sendirian, walaupun rasa itu
cuma ilusi, karena aku mungkin sedang tampil di layar televisi sekarang. Tidak
terus-menerus tapi muncul sesekali. Ada banyak peserta yang tewas pada hari
pertama sehingga peserta yang berjalan santai di hutan tidaklah menarik untuk
dilihat. Tapi mereka akan cukup sering menunjukkan keberadaanku agar para
penonton tahu aku masih hidup, tanpa terluka dan sedang bergerak. Hari
pembukaan merupakan hari taruhan paling ramai, saat pendataan korban-korban
awal. Tapi hari itu tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi ketika para
peserta di arena pertarungan menyusut hingga tinggal beberapa orang saja.
Sudah lewat tengah hari ketika aku mendengar dentuman suara meriam. Satu
tembakan mewakili satu peserta yang tewas. Perkelahian pasti sudah selesai di
Cornucopia. Mereka tidak pernah mengumpulkan mayat peserta yang tewas
bersimbah darah sampai para pembunuhnya pergi. Pada hari pembukaan, mereka
bahkan kadang-kadang tidak menembakkan meriam sampai perkelahian awal
berakhir karena terlalu sulit untuk menghitung jumlah korban. Aku memberanikan
diri untuk berhenti berjalan, napasku terengah-engah sembari menghitung suara
tembakan. Satu... dua.... tiga... terus dan terus sampai tembakan terdengar sebelas
kali. Sebelas peserta yang tewas. Sisa tiga belas orang yang masih dalam
pertarungan. Kukuku menggaruk lepas darah kering milik anak lelaki dari Distrik 9
yang batuk darah ke wajahku. Dia pasti sudah tewas. Aku memikirkan Peeta.
Apakah dia berhasil bertahan untuk hari ini" Beberapa jam lagi aku akan tahu.
Ketika foto-foto mereka yang tewas diproyeksikan ke angkasa agar bisa dilihat
kami semua. Mendadak aku dibanjiri perasaan bahwa Peeta mungkin saja sudah tewas,
kehabisan darah, mayatnya diambil dan sekarang sedang dalam proses dipindahkan
ke Capitol lalu dibersihkan, didandani, dan dikirim ke Distrik 12 dalam kotak kayu
sederhana. Dia tidak lagi berada di sini. Dia dalam perjalanan pulang. Aku
berusaha keras mengingat apakah aku sempat melihatnya ketika pertarungan
dimulai. Tapi bayangan terakhir yang bisa kulihat adalah Peeta menggeleng ketika
gong berbunyi. Mungkin lebih baik jika dia sudah tewas sekarang. Dia sama sekali tidak punya
keyakinan akan menang. Dan aku tidak perlu menghadapi tugas tak menyenangkan
untuk membunuhnya. Mungkin lebih baik jika dia sudah tidak lagi dalam
pertarungan ini. Aku duduk berselonjor di samping tas ranselku, kelelahan. Aku harus memeriksa
barang-barang di dalam ransel sebelum malam tiba. Melihat barang apa saja yang
bisa kumanfaatkan. Ketika melepaskan kaitan tas ransel itu, aku bisa merasakan tas
ini kokoh walaupun warna tas ini norak. Bisa dibilang warna oranye ini berkilau
dalam kegelapan. Dalam hati aku mengingatkan diri agar segera membuat
kamuflase pada tas ini besok pagi.
Kubuka penutup ransel. Yang paling kuinginkan saat ini adalah air. Perintah
Haymitch untuk segera menemukan air bukanlah jenis perintah yang bisa
kuabaikan begitu saja. Aku tidak bisa bertahan lama tanpa air. Selama beberapa
hari, aku masih bisa hidup dengan gejala-gejala dehidrasi yang tidak
mengenakkan, tapi setelah itu kondisiku yang memburuk dan kepayahan dan aku
bakal mati dalam seminggu, paling lama. Perlahan-lahan aku mengeluarkan
barang-barang rampasanku. Satu kantong tidur hitam tipis yang bisa memantulkan
panas tubuh. Sebungkus biskuit. Sebungkus dendeng sapi kering. Sebotol iodine.
Sekotak korek api. Segulung kawat. Kacamata hitam. Dan botol plastik berukuran
1,8 liter lengkap dengan tutupnya yang bisa untuk menampung air tapi sekarang
kering kerontang. Tidak ada air. Memangnya sulit ya bagi mereka untuk mengisi botol ini dengan
air" Aku sadar mulut dan kerongkonganku mulai kering, juga bibirku pecah-pecah.
Aku sudah berjalan seharian. Cuaca panas dan banyak berkeringat. Aku sering
mengalami ini di distrikku, tapi di sana selalu ada air sungai yang bisa diminum,
jika terpaksa salju bisa dilelehkan jadi air.
Ketika aku menyimpan barang-barangku ke dalam ransel, terlintas pikiran yang
mengerikan. Danau tadi. Danau yang kulihat ketika aku menunggu gong berbunyi.
Bagaimana jika danau itu satu-satunya sumber air di arena" Dengan begitu, mereka
akan memastikan agar kami bertarung di sana. Danau itu jaraknya satu hari penuh
perjalanan dari tempatku duduk sekarang, perjalanan yang jauh lebih sulit tanpa
ada minuman. Dan, seandainya aku berhasil sampai ke sana, aku yakin tempat itu
dijaga ketat oleh para Peserta Karier. Aku nyaris panik saat teringat pada kelinci
yang kukagetkan tadi. Binatang itu pasti harus minum. Aku hanya perlu mencari
tahu sumbernya. Senja mulai tiba dan aku gelisah. Pepohonan terlalu jarang untuk bisa jadi tempat
persembunyian. Daun-daun pinus yang membuat suara langkahku teredam juga
membuatku makin sulit mencari jejak binatang, padahal aku butuh jejak mereka
untuk menemukan air. Dan aku masih terus berjalan turun, makin jauh ke dalam
lembah yang tampaknya tak berujung.
Aku juga lapar, tapi aku belum berani membuka bungkus biskuit atau dendengku
yang berharga. Malahan, aku mengeluarkan pisau dan mengorek pohon pinus,
mengelupasi lapisan luar pohon dan memotong bagian dalam batang pohon yang
lebih lembut. Perlahan-lahan aku mengunyahnya sambil berjalan. Setelah
seminggu menyantap makanan paling lezat di dunia, batang pohon ini rasanya sulit
ditelan. Tapi aku sudah sering makan pinus ini sepanjang hidupku, dan aku
langsung bisa menyesuaikan diri.
Satu jam kemudian, jelas bahwa aku harus menemukan tempat untuk berkemah.
Binatang-binatang malam mulai keluar. Sesekali aku bisa mendengar suara burung
hantu atau lolongan binatang, firasatku mengatakan aku harus bersaing dengan
binatang-binatang pemangsa lain dalam memburu kelinci. Tapi sejauh ini belum
bisa dipastikan apakah aku juga dipandang sebagai sumber makanan binatangbinatang pemangsa tersebut. Mungkin sekarang ada binatang-binatang yang sedang
mengintaiku. Tapi sekarang keputusan untuk menempatkan peserta-peserta lain sebagai lawan
yang harus kupikirkan. Aku yakin banyak yang harus berburu saat malam tiba.
Mereka yang bertarung di Cornucopia akan punya makanan, air yang berlimpah
dari danau, obor atau senter, dan senjata yang sudah gatal ingin mereka gunakan.
Aku cuma berharap aku sudah berjalan cukup jauh dan cepat untuk keluar dari
jangkuan mereka. Sebelum beristirahat, kuambil kawat dan kupasang dua jerat di semak-semak. Aku
tahu terlalu berisiko untuk menyiapkan perangkap, tapi makanan akan cepat habis
di sini. Dan aku tidak bisa menyiapkan jerat jika terus berlari. Aku berjalan selama
lima menit lagi sebelum membuat kemah.
Kupilih pohonku dengan saksama. Pohon willow yang tidak terlalu tinggi tapi
berada di antara pohon-pohon willow lain, memberikan tempat persembunyian di
antara deretan pepohonan. Aku memanjatnya, naik ke dahan pohon yang lebih kuat
di dekat batangnya, dan menemukan tempat nyaman untuk jadi tempat tidurku.
Perlu sedikit pengaturan, tapi akhirnya aku berhasil mendapatkan kantong tidurku
dalam posisi yang lumayan nyaman. Kutaruh ranselku ke bagian kaki kantong
tidurku, lalu aku masuk ke dalamnya. Untuk jaga-jaga, aku melepaskan ikat
pinggangku, melingkarkannya ke sekeliling dahan pohon dan kantong tidurku, lalu
mengencangkannya di bagian pinggangku. Tubuhku cukup kecil untuk bisa masuk
seluruhnya ke dalam kantong tidur sampai kepalaku bisa tertutup, tapi aku tetap
memakai penutup kepalaku.
Ketika malam tiba, udara makin dingin. Meskipun besar risiko yang kuhadapi
untuk mendapatkan ransel ini, aku tahu keputusanku tepat. Kantong tidur ini tak
ternilai harganya, karena bisa memelihara dan memancarkan kembali panas
tubuhku. Aku yakin saat ini kekuatiran utama beberapa peserta lain adalah
bagaimana menjaga tubuh mereka agar tetap hangat sementara aku bisa tidur
selama beberapa jam. Seandainya aku tidak sehaus ini....
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari sudah malam ketika aku mendengar lagu kebangsaan yang selanjutnya diikuti
pengumuman mereka yang tewas. Di antara cabang-cabang pohon aku bisa melihat
lambang Capitol, yang tampak seperti mengambang di angkasa. Aku sebenarnya
memandang layar lain, layar raksasa yang diangkut pesawat ringan mereka. Lagu
kebangsaan berakhir dan sesaat langit tampak gelap. Di rumah, kami bisa
menonton liputan penuh setiap pembunuhan yang terjadi, tapi di layar ini tidak
karena dianggap bisa memberikan keuntungan yang tidak adil terhadap pesertapeserta yang masih hidup. Contohnya, jika aku bisa mendapat busur dan panah lalu
aku memanah seseorang, rahasiaku akan diketahui semua orang. Tidak, di arena
ini, yang kami lihat hanyalah foto-foto yang sama yang mereka tunjukkan ketika
mereka menayangkan nilai latihan kami di televisi. Foto wajah yang sederhana.
Tapi sekarang mereka tidak menunjukkan angka, hanya nomor distrik. Aku
mengambil napas dalam-dalam ketika wajah-wajah sebelas peserta yang tewas
ditampilkan dan jemariku mulai menghitung satu per satu.
Wajah pertama yang ditampilkan adalah gadis dari Distrik 3. Itu artinya Peserta
Karier dari Distrik 1 dan 2 berhasil bertahan hidup. Tidak mengejutkan. Lalu anak
lelaki dari Distrik 4. Aku tidak mengira anak lelaki itu tewas, biasanya semua
Peserta Karier berhasil melewati hari pertama. Anak lelaki dari Distrik 5... kurasa
gadis berwajah rubah itu berhasil selamat. Dua peserta dari Distrik 6 dan 7. Anak
lelaki dari Distrik 8. Sepasang dari Distrik 9. Ya, itu anak lelaki yang berebutan tas
ransel denganku. Kedua jemari tanganku sudah habis, tinggal satu peserta lagi.
Apakah Peeta" Ternyata bukan, satu lagi adalah anak perempuan dari Distrik 10.
Itu saja. Capitol menutup tayangan itu dengan musik sebelum gambar menghilang.
Lalu kegelapan dan suara-suara hutan kembali menyelimutiku.
Aku lega Peeta masih hidup. Kukatakan pada diriku sendiri sekali lagi bahwa jika
aku terbunuh, kemenangan Peeta akan memberi keuntungan pada ibuku terutama
Prim. Inilah yang kukatakan pada diriku untuk menjelaskan berbagai emosi yang
bertentangan saat aku memikirkan Peeta. Rasa terima kasihku padanya karena
telah memberiku keuntungan berkat pernyataan cintanya padaku saat wawancara.
Kemarahanku pada sikap soknya di atap. Ketakutanku bahwa kami mungkin saja
harus bertarung satu lawan satu di arena ini.
Sebelas tewas, tapi tidak satu pun dari Distrik 12. Aku berusaha mengingat-ingat
siapa saja yang tersisa. Lima Peserta Karier. Si Muka Rubah. Thresh dan Rue.
Rue... ternyata dia berhasil selamat melewati hari pertama. Aku merasa bersyukur.
Aku baru ingat sepuluh peserta yang tersisa. Tiga lagi biar kupikirkan besok.
Sekarang aku berada tinggi diatas pohon, saat ini yang harus kulakukan untuk
mencoba beristirahat. Aku tidak bisa tidur selama dua hari belakangan, dan aku juga melewati perjalanan
panjang menuju arena. Perlahan-lahan otot-ototku mengendur. Mataku terpejam.
Hal terakhir yang kupikirkan adalah untungnya aku tidak mendengkur...
Krak! Suara ranting patah membuatku terbangun. Sudah berapa lama aku tertidur"
Empat jam" Lima" Ujung hidungku terasa dingin membeku. Krak! Krak! Apa
yang terjadi" Ini bukan suara ranting yang patah terinjak, tapi suara patahan yang
berasal dari pohon. Krak! Krak! Kuperkirakan suara itu berasal dari jarak ratusan
meter di sebelah kananku. Perlahan-lahan, tanpa suara, aku memutar tubuhku ke
arah tersebut. Selama beberapa menit, tidak ada apa-apa kecuali kegelapan dan
suara gaduh. Lalu aku melihat percikan dan api mulai timbul. Aku bisa melihat
seseorang menghangatkan tangannya di atas api, tapi aku tidak bisa melihat lebih
dari itu. Aku harus menggigit bibirku agar tidak meneriakkan berbagai sumpah serapah
yang ada dalam kosakataku pada orang yang menyalakan api. Apa yang mereka
pikirkan" Api yang dinyalakan saat senja tidak terlalu jadi masalah. Mereka yang
bertarung di Cornucopia memiliki kekuatan lebih dan persediaan cukup, dan
mungkin sudah menyisiri hutan selama berjam-jam untuk mencari korban.
Daripada cuma menyalakan api, sekalian saja mengibarkan bendera dan berteriak,
"Ayo kemari tangkap aku!"
Dan sekarang aku hanya berjarak selemparan batu dari peserta paling tolol dalam
Hunger Games ini. Terikat di pohon. Tidak berani melarikan diri karena lokasiku
sudah disebarluaskan kepada pembunuh manapun yang berminat. Maksudku, aku
tahu di luar sana memang dingin dan tidak semua orang punya kantong tidur. Tapi
kau sebaiknya mengatupkan gigimu rapat-rapat dan tetap bertahan seperti itu
sampai pagi! Selama dua jam selanjutnya aku berbaring di dalam kantong tidurku dalam
keadaan marah, berpikir sungguh-sungguh bahwa jika aku bisa turun dari pohon
ini, aku pasti bisa dengan mudah menghabisi tetangga baruku itu. Instingku
menyuruhku kabur, bukan bertarung. Tapi jelas orang ini mengundang bencana.
Orang bodoh selalu berbahaya. Dan orang ini mungkin bukan orang yang ahli
memakai senjata sementara aku memiliki pisau yang bagus ini.
Langit masih gelap, tapi aku bisa merasakan tanda-tanda awal fajar menyingsing.
Aku mulai berpikir bahwa kami-maksudnya orang yang sedang kurencanakan
kematiannya dan aku-memiliki kemungkinan untuk lolos. Lalu saat itulah aku
mendengarnya. Langkah-langkah kaki beberapa orang yang mulai berlari. Orang
yang menyalakan api itu mungkin ketiduran. Para penyerang itu sudah ada di
depannya sebelum dia sempat kabur.
Sekarang aku tahu si tolol itu adalah perempuan, aku bisa mendengar rengekannya,
diikuti jeritan memilukan setelahnya. Kemudian terdengar suara tawa dan saling
memberi selamat dari beberapa suara.
Seseorang berteriak, "Dua belas tewas dan sebelas lagi sisanya!" yang disambut
dengan teriakan mengelu-elukan.
Jadi mereka bertarung dalam kawanan. Aku tidak kaget. Sering kali mereka
bersekutu pada tahap awal Hunger Games. Kelompok yang kuat memburu mereka
yang lemah, lalu saat ketegangan mulai meningkat, mereka akan saling membantai.
Aku tidak perlu berpikir keras siapa yang bersekutu di sini. Pasti para Peserta
Karier yang tersisa dari Distrik 1, 2, dan 4. Dua anak lelaki dan tiga anak
perempuan. Mereka yang selalu makan siang bersama.
Sesaat, aku mendengar mereka memeriksa barang-barang gadis yang tewas itu.
Dari komentar-komentar yang terdengar aku tahu mereka tidak menemukan barang
berharga. Aku bertanya-tanya apakah Rue yang jadi korban kali ini tapi buru-buru
mengenyahkan pikiran itu. Dia jauh lebih cerdas untuk tidak menyalakan api
seperti itu. "Lebih baik kita pergi supaya mereka bisa mengambil jasadnya sebelum bau." Aku
yakin itu suara anak lelaki kasar dari Distrik 2. Ada aksen dalam suaranya, dan
yang membuatku takut, aku mendengar kawanan itu berjalan ke arahku. Mereka
tidak tahu aku di sini. Bagaimana mungkin" Dan aku tersembunyi di antara
pepohonan. Paling tidak selama matahari belum terbit. Pada saat kantong tidurku
akan mengubah dari kamuflase menjadi masalah. Jika mereka terus bergerak,
mereka akan melewatiku dan lenyap dalam waktu satu menit.
Tapi Peserta Karier itu berhenti di tanah terbuka sekitar sepuluh meter dari
pohonku. Mereka punya senter dan obor. Aku bisa melihat ada tangan dan sepatu
bot, di celah-celah dahan pohon. Aku diam membeku, bahkan tidak berani
bernapas. Apakah mereka sudah melihatku" Tidak, belum. Dan kata-kata yang
mereka ucapkan aku bisa mendengar pikiran mereka berada di tempat lain.
"Bukankah kita seharusnya sudah mendengar dentuman meriam?"
"Menurutku begitu. Tidak seharusnya mereka berlama-lama."
"Kecuali dia belum mati."
"Dia sudah mati. Aku sendiri yang menusuknya."
"Lalu mana suara meriamnya?"
"Harus ada yang kembali ke sana. Memastikan dia benar-benar sudah tewas."
"Yeah, kita kan tidak mau mencari jejaknya sampai dua kali."
"Sudah kubilang dia sudah mati!"
Mereka masih terus bertengkar, sampai salah seorang peserta membungkamnya.
"Kita menyia-nyiakan waktu! Aku akan ke sana dan menghabisinya lalu kita terus
bergerak!" Aku nyaris jatuh terjungkal dari pohon. Tadi itu suara Peeta.
Bab 12 AKU bersyukur telah berpikir untuk mengikat tubuhku dengan ikat pinggang.
Tubuhku terguling ke samping hingga menghadap tanah, tertahan di dahan pohon
berkat ikat pinggangku, berpegangan dengan satu tangan, kakiku menjepit tas
ransel di dalam kantong tidur dan menjejakkannya di dahan pohon. Pasti ada suara
berisik saat aku terguling, tapi para Peserta Karier itu terlalu sibuk bertengkar
untuk bisa mendengarnya. "Pergi sana, Lover boy," kata anak lelaki dari Distrik 2. "Pastikan saja sendiri."
Dengan bantuan cahaya obor, aku sempat melihat Peeta, yang berjalan menuju
tempat gadis yang tadi menyalakan api. Wajah Peeta bengkak karena memarmemar, ada perban penuh darah di salah satu lengannya, dan terdengar dari suara
langkah kakinya dia berjalan pincang. Aku ingat dia menggeleng, memberiku kode
agar tidak bertarung merebut barang-barang persediaan. Padahal selama itu dia
sudah berencana untuk melemparkan dirinya ke gunungan barang-barang di
Cornucopia. Kebalikan dari apa yang diperintahkan Haymitch padanya.
Oke, aku masih bisa menerimanya. Melihat begitu banyak barang persediaan
memang menggoda. Tapi ini... ini hal yang berbeda. Bergabung dengan kawanan
Karier untuk memburu kami. Tak ada seorang pun dari Distrik 12 yang berpikir
untuk melakukan hal semacam itu!
Para Peserta Karier biasanya sangat kejam, sombong, mendapat lebih banyak
makanan, tapi itu semua karena mereka anjing peliharaan Capitol. Secara umum,
mereka dibenci semua orang kecuali dari distrik mereka sendiri. Aku bisa
membayangkan omongan di distrikku tentang Peeta sekarang. Dan Peeta berani
bicara padaku tentang rasa malu"
Jelas, anak lelaki yang mulia di atap itu hanyalah salah satu permainannya padaku.
Tapi ini akan jadi permainan terakhirnya. Dengan penuh harap aku akan
memandangi langit malam untuk melihat tanda-tanda kematiannya, kalau aku tidak
membunuhnya sendiri lebih dulu.
Para Peserta Karier diam sampai Peeta berada di luar jangkauan pendengaran, lalu
mereka berbicara dengan suara pelan.
"Kenapa kita tidak membunuhnya sekarang dan mengakhiri semua ini?"
"Biarkan dia ikut. Apa ruginya" Dan dia jago memakai pisau."
Benarkah" Wah, ini berita baru. Banyak hal menarik yang kupelajari tentang Peeta
hari ini. "Lagi pula, dia kesempatan terbaik kita untuk menemukannya."
Butuh waktu sesaat sebelum aku paham bahwa "nya" yang dimaksud mereka
adalah aku. "Kenapa" Menurutmu gadis itu percaya gombalan cinta cengengnya?"
"Mungkin saja. Menurutku gadis itu tampak bodoh. Setiap kali aku mengingatnya
berputar dengan gaun itu, rasanya aku ingin muntah."
"Seandainya kita tahu bagaimana dia bisa mendapat nilai sebelas."
"Pasti si Lover Boy tahu."
Suara langkah Peeta yang kembali membuat mereka diam.
"Dia sudah mati?" tanya anak lelaki dari Distrik 2.
"Tadinya belum. Tapi sekarang sudah," jawab Peeta. Tepat pada saat itu, meriam
berbunyi. "Siap lanjut lagi?"
Kawanan Karier itu berlari tepat ketika fajar mulai menyingsing, dan kicauan
burung mengisi udara. Aku tetap berada dalam posisiku yang aneh, otot-ototku
terpaksa bekerja lebih lama lagi, lalu aku mengangkat tubuhku kembali ke atas
dahan pohon. Aku perlu turun, lalu melanjutkan perjalanan, tapi selama beberapa
saat berbaring di sana, mencerna semua yang telah kudengar. Peeta bukan hanya
bersama peserta Karier, dia juga membantu mereka menemukanku. Gadis bodoh
yang harus dianggap serius karena nilai sebelasnya. Karena dia bisa menggunakan
busur dan panah. Dan Peeta yang paling tahu semua itu.
Tapi dia belum memberi tahu mereka. Apakah dia sengaja menyimpan informasi
itu karena dia tahu hanya informasi itulah yang membuatnya tetap hidup" Apakah
dia masih berpura-pura mencintaiku di hadapan penonton" Apa yang ada dalam
benak Peeta" Tiba-tiba burung berhenti berkicau. Lalu ada seekor burung yang memekikkan
peringatan bernada tinggi. Hanya satu not. Nada yang sama seperti yang didengar
olehku dan Gale ketika gadis Avox berambut merah itu tertangkap. Di atas bekas
api unggun itu muncul pesawat ringan. Dari pesawat itu turun jepitan logam
raksasa. Perlahan-lahan, gadis yang tewas itu dijepit dan diangkat ke dalam
pesawat. Kemudian pesawat itu lenyap. Burung-burung kembali berkicau.
"Ayo bergerak," aku berbisik pada diriku sendiri. Kugerak-gerakkan tubuhku
keluar dari kantong tidur, yang kemudian kulipat rapi dan kusimpan di dalam
ransel. Aku mengambil napas dalam-dalam. Saat aku tersembunyi dalam
kegelapan, terbungkus kantong tidur di antara canag-cabang pohon willow,
mungkin kamera sulit mengambil gambarku. Aku tahu mereka melacak jejakku.
Pada saat aku menjejakkan kakiku ke tanah, aku berani jamin kamera akan
menyorot wajahku dari jarak dekat.
Penonton akan menyadari sendiri, melihat aku berada di atas pohon, tidak sengaja
mendengar percakapan para Karier, dan aku mengetahui Peeta bersama mereka.
Sampai aku tahu bagaimana strategiku menghadapi semua itu, lebih baik aku
bersikap seolah-olah bisa mengatasi semuanya. Tidak tampak hilang akal. Jelas
tidak bingung atau ketakutan.
Aku harus kelihatan selangkah di depan permainan ini.
Jadi aku melangkah keluar dari rimbunnya dedaunan menuju cahaya fajar. Aku
berhenti sedetik, memberikan waktu pada kamera untuk menyorotiku. Kemudian
aku mengangkat kepalaku sedikit kesamping lalu tersenyum penuh arti. Nah!
Biarkan mereka memikirkan sendiri artinya!
Aku hendak pergi ketika aku teringat pada jerat-jerat yang kupasang. Mungkin aku
kurang bijaksana jika memasang jerat sementara peserta lain berada tidak jauh
dariku. Tapi aku harus melakukannya. Mungkin akibat bertahun-tahun berburu,
pikirku. Dan iming-iming kemungkinan mendapat daging. Aku berhasil menjerat
seekor kelinci gemuk. Dalam waktu singkat aku sudah menguliti dan
membersihkan binatang itu, meninggalkan kepala, kaki, ekor, kulit dan jeroan di
bawah tumpukan dedaunan. Aku berharap mendapat api karena makan kelinci
mentah bisa menyebabkan demam, itu pelajaran yang kudapat dengan cara
menyakitkan. Mendadak aku teringat pada peserta yang tewas itu. Aku bergegas
berlari ke kemahnya. Apinya nyaris padam masih menyisakan bara. Kubelek
daging kelinci itu, kuambil ranting pohon, dan kupanggang di atas bara.
Aku bersyukur kalau ada kamera sekarang. Aku ingin para sponsor melihat aku
bisa berburu, dan aku jadi taruhan yang bagus karena tidak seperti yang lain aku
tidak mudah masuk perangkap karena kelaparan. Sementara kelinci masak, aku
meremukkan arang dari ranting yang terbakar dan menutupi warna ransel oranyeku
dengan arang itu. Warna hitamnya membuat ranselku tidak terlalu norak lagi, tapi
menurutku lumpur akan lebih membantu membuatnya lebih samar. Tentu saja,
untuk punya lumpur, aku perlu air....
Kusandang tas ranselku, kuambil kayu dengan panggangan daging kelinci, dan
kusepakkan tanah ke atas bara. Lalu aku berjalan ke arah yang berlawanan dengan
arah yang diambil peserta Karier. Kumakan setengah daging kelinci sembari
berjalan, lalu kubungkus sisanya dengan plastik untuk kumakan nanti. Daging itu
membuat perutku tidak keroncongan lagi tapi tidak membantu menghilangkan
hausku. Prioritas utamaku saat ini adalah air.
Seraya terus berjalan, aku merasa yakin wajahku menguasai layar Capitol, jadi
dengan hati-hati aku terus menyembunyikan perasaanku. Pasti Cladius
Templesmith sedang menikmati obrolan dengan para komentator tamu, membahas
tingkah laku Peeta, dan membandingkannya dengan reaksiku. Apa artinya semua
itu" Apakah Peeta sudah menunjukkan sifat aslinya" Bagaimana hal ini
memengaruhi pasar taruhan" Apakah kami akan kehilangan sponsor" Apakah kami
mendapat sponsor" Ya, aku yakin kami dapat, atau paling tidak pernah dapat.
Jelas Peeta telah memilin kisah dalam dinamika kisah asmara kami yang bernasib
malang. Benarkah begitu" Mungkin saja, karena dia tidak pernah bicara banyak
tentang diriku, kami masih bisa memperoleh keuntungan dari itu. Mungkin
penonton akan berpikir ini adalah sesuatu yang kami rencanakan jika aku tampak
geli sekarang. Matahari sudah bersinar di langit, sinarnya begitu terang meskipun aku terlindung
di bawah kanopi pepohonan. Kubalur bibirku dengan lemak dari kelinci dan
berusaha untuk tidak terengah-engah, tapi tak ada gunanya. Baru lewat satu hari
dan aku mengalami dehidrasi parah. Aku berusaha dan memikirkan segala yang
kuketahui untuk menemukan air. Air mengalir ke bawah, jadi terus turun
menyusuri lembah ini bukanlah ide yang buruk. Jika saja aku bisa menemukan
jejak binatang buruan atau tanaman semak-semak hijau, pasti akan amat
membantu. Tapi segalanya tampak tak berubah. Tanah menanjak dan turun sedikit,
burung-burung terbang, pepohonan yang sama.
Seiring hari berlalu, aku tahu aku menghadapi masalah. Air kencingku sudah
berwarna cokelat gelap, kepalaku sakit, dan ada bagian kering di lidahku yang
sudah kehilangan kelembapannya. Matahari menyakiti mataku, maka kuambil
kacamata hitamku dari ransel, tapi saat kupakai kacamata itu membuat
penglihatanku jadi aneh, akhirnya kusimpan lagi kacamata itu di dalam ransel.
Siang sudah menjelang sore ketika kupikir aku menemukan pertolongan. Aku
menemukan semak-semak buah berry dan bergegas mencomoti buahnya, agar bisa
mengisap cairan manis dari kulitnya. Tapi saat buah itu mendekati bibirku, aku
memperhatikannya baik-baik. Tadinya kupikir aku menemukan blueberry tapi
ternyata bentuknya berbeda, dan saat kubelah buah itu bagian dalamnya tampak
merah darah. Aku tidak mengenali buah berry ini, mungkin saja buah ini bisa
dimakan, tapi kutebak buah ini adalah trik jahat dari juri. Bahkan instruktur
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanaman di Pusat Latihan telah menjelaskan dengan gamblang agar kami tidak
makan buah berry kecuali 100% yakin buah itu tidak beracun. Aku sudah tahu itu,
tapi aku sangat haus sampai-sampai aku perlu mengingat peringatan dari instruktur
itu agar punya kekuatan untuk membuang buah itu jauh-jauh.
Kelelahan mulai menderaku, tapi ini bukan rasa lelah biasa yang biasanya kualami
setelah melakukan perjalanan panjang. Aku harus sering-sering berhenti dan
beristirahat, meskipun aku tahu satu-satunya obat untuk menyembuhkanku
mengharuskanku untuk terus melakukan pencarian. Aku mencoba taktik barumemanjat pohon setinggi yang mungkin kulakukan dalam kondisiku yang lemah
ini-untuk mencari tanda-tanda air. Tapi sejauh mata memandang ke arah mana pun,
aku hanya melihat hutan tanpa akhir.
Aku bertekad terus berjalan sampai malam tiba, hingga aku jatuh dan tak sanggup
lagi berjalan. Dalam keadaan terkuras habis, aku memanjat pohon dan mengikat diriku di dahan
pohon. Aku tidak nafsu makan, tapi aku menyedot tulang kelinci agar mulutku
punya kegiatan. Malam tiba, lagu kebangsaan dilantunkan, dan di angkasa aku
melihat foto gadis yang ternyata berasal dari Distrik 8. Gadis yang dihabisi Peeta.
Ketakutanku terhadap kawanan Karier tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
rasa haus yang membakarku. Selain itu, mereka berjalan menuju arah yang
berlawanan denganku, dan pada saat ini mereka pasti sudah beristirahat. Dengan
kelangkaan air, mereka mungkin harus kembali ke danau untuk mengisi air.
Mungkin itu satu-satunya jalan untukku juga.
Pagi hari membawa masalah. Kepalaku berdenyut seirama dengan denyut
jantungku. Gerakan sederhana pun membuat sendi-sendiku ngilu. Bukannya turun
dengan lompatan anggun, aku malah jatuh dari pohon. Aku perlu waktu beberapa
menit untuk membereskan perlengkapanku. Dalam hatiku aku tahu ada sesuatu
yang salah. Seharusnya aku bersikap lebih waspada, bergerak lebih gegas. Tapi
otakku berkabut dan tak mampu menyusun rencana. Aku bersandar pada batang
pohon, satu jariku mengelus lidahku yang permukaannya kini sekasar ampelas
sambil memikirkan pilihan-pilihan yang kumiliki. Bagaimana caranya aku
mendapatkan air" Kembali ke danau" Bukan pilihan yang bagus. Aku mungkin takkan berhasil
sampai ke sana. Berharap turun hujan" Tidak ada awan di langit.
Terus mencari. Ya, ini satu-satunya kesempatanku. Tapi kemudian, pikiran lain
menghantamku, dan gelombang kemarahan yang mengiringi pikiranku membuatku
tersadar. Haymitch! Dia bisa mengirimiku air! Pencet tombol dan air akan dikirimkan
padaku dengan parasut perak hanya dalam beberapa menit. Aku tahu aku pasti
punya sponsor, paling tidak satu atau dua yang sanggup memberiku sebotol air.
Ya, memang mahal biaya untuk menjadi sponsor, tapi orang-orang ini kaya raya.
Dan mereka juga bertaruh atas diriku. Mungkin Haymitch tidak menyadari betapa
besarnya kebutuhanku atas air.
Dengan suara selantang mungkin aku berteriak. "Air."
Aku menunggu penuh harap agar ada parasut yang turun dari langit. Tapi tak ada
apa-apa yang jatuh. Ada sesuatu yang salah. Apakah aku hanya berkhayal punya sponsor" Atau apakah
sikap Peeta membuat mereka menahan diri menjadi sponsorku" Tidak, aku tidak
percaya. Ada seseorang di luar sana yang ingin membelikanku air tetapi Haymitch
menolak mengizinkannya. Sebagai mentorku, dia bisa mengontrol hadiah yang
diberikan sponsor. Aku tahu dia membenciku. Dia sudah menyatakannya dengan
jelas. Tapi apakah dia membenciku hingga tega melihatku mati" Karena kehausan"
Haymitch bisa saja melakukannya. Jika seorang mentor tidak memperlakukan
peserta-peserta yang jadi tanggungannya dengan baik, penduduk Distrik 12 akan
menuntut tanggung jawabnya. Aku yakin Haymitch tidak mau mengambil risiko
sebesar itu. Terserah apa kata mereka tentang para pedagang di pasar gelap Hob,
tapi aku yakin mereka tak bakal mau menerima Haymitch kembali jika
membiarkanku mati dengan cara seperti ini. Dan kalau begitu, di mana lagi dia bisa
membeli minuman keras" Jadi... bagaimana" Apakah dia sedang berusaha
membuatku menderita karena aku melawannya" Apakah dia terlalu mabuk untuk
memperhatikan apa yang sedang terjadi di Hunger Games ini" Tapi entah
bagaimana aku tidak percaya itu dan aku juga tidak percaya dia sengaja ingin
membuatku tewas dengan cara ini. Sesungguhnya, dia punya cara sendiri-yang
tidak menyenangkan-yang dengan sungguh-sungguh berusaha menyiapkan diriku
untuk semua ini. Jadi apa yang terjadi di sini"
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Tidak ada ruginya menangis
sekarang, tapi demi menyelamatkan hidupku pun air mataku tidak bisa keluar. Apa
yang sedang dilakukan Haymitch" Meskipun aku marah, kesal, dan curiga, ada
suara kecil di benakku yang membisikkan jawaban.
Mungkin dia sedang mengirimimu pesan, bisiknya. Pesan. Apa isi pesannya" Lalu
aku tahu. Hanya ada satu alasan baik kenapa Haymitch menahan air dariku. Karena
dia tahu aku hampir menemukannya.
Kukatupkan gigiku rapat-rapat dan kupaksa untuk berdiri. Berat tas ranselku
seakan bertambah tiga kali lipat. Kutemukan patahan cabang pohon yang bisa
kugunakan untuk membantuku berjalan dan mulai melangkah. Matahari bersinar
keji, lebih terik dibanding dua hari pertama. Aku merasa seperti potongan kulit tua,
kering dan retak-retak di bawah panas. Setiap langkah yang kuambil butuh usaha
keras, tapi aku tidak mau berhenti. Aku tidak mau duduk. Jika aku duduk,
kemungkinan besar aku tidak bisa bangun lagi, dan aku tidak bakal ingat apa
tugasku. Aku jadi sasaran yang mudah! Semua peserta, bahkan Rue yang mungil, bisa
mengalahkanku sekarang, tinggal dorongan saja aku jatuh ke tanah dan tikam aku
dengan pisauku sendiri, dan aku tidak punya kekuatan untuk melawannya. Tapi
jika hutan ini melindungiku, mereka akan mengabaikanku. Sejujurnya, aku merasa
terpisah jauh jutaan kilometer dari mahkluk hidup lain.
Tapi aku tidak sendirian. Tentu tidak, karena mereka pasti punya kamera yang bisa
menelusuri jejak keberadaanku. Kuingat-ingat lagi bagaimana selama bertahuntahun aku menonton peserta-peserta tewas karena kelaparan, kedinginan,
perdarahan, dan kekurangan cairan. Jika tidak ada pertarungan yang lebih seru di
tempat lain, aku pastilah jadi tontonan utama di layar televisi.
Pikiranku tertuju pada Prim. Kemungkinan besar dia takkan bisa menontonku
secara langsung di televisi, tapi mereka menampilkan laporan terbaru pada jam
makan siang di sekolah. Demi dirinya, aku berusaha tampil setegar mungkin.
Tapi pada siang hari, aku tahu hidupku bakal berakhir sebentar lagi. Kakiku
gemetar dan jantungku berdebar tidak beraturan. Berkali-kali aku tidak sadar pada
apa yang kulakukan. Aku terjatuh lebih dari sekali tapi berhasil berdiri lagi, tapi
ketika tongkatku lepas, aku akhirnya terjatuh ke tanah dan tak sanggup bangkit.
Kubiarkan mataku terpejam.
Aku salah menilai Haymitch. Ternyata dia tidak berniat membantuku sama sekali.
Tidak apa-apa, pikirku. Tidak terlalu buruk kok. Udara tidak sepanas sebelumnya,
menunjukkan sore hari menjelang. Ada aroma manis dan samar yang
mengingatkanku pada bunga bakunh. Jemariku mengelus tanah yang lembut,
dengan mudah menyelusup ke dalamnya. Ini tempat yang lumayan untuk mati.
Ujung-ujung jemariku membuat pola-pola berputar di tanah yang sejuk dan licin.
Aku suka lumpur, pikirku. Entah sudah berapa kali aku berhasil melacak jejak
binatang buruanku dengan bantuan lumpur yang lembut dan meninggalkan jejak
ini. Lumpur juga bagus untuk mengobati sengatan lebah. Lumpur. Lumpur.
Lumpur. Lumpur! Mataku membelalak terbuka dan jemariku langsung menggali
tanah. Ini memang lumpur! Hidungku membaui udara. Dan yang kucium memang
aroma bunga bakung! Kolam bunga bakung!
Aku merangkak sekarang di atas lumpur, memaksa tubuhku untuk terus bergerak
menuju aroma bunga. Lima meter dari tempatku terjatuh, aku merangkak di antara
belitan tanaman menuju kolam. Mengambang di atas air, bunga-bunga warna
kuning yang bermekaran, bunga-bunga bakung yang cantik.
Aku harus menahan diri untuk tidak mencemplungkan wajahku ke air dan menelan
air sebanyak yang sanggup kutelan. Masih ada akal sehatku yang tersisa. Dengan
tangan gemetar, kukeluarkan botolku dan segera kuisi dengan air. Kuteteskan
iodine dengan jumlah yang kuingat untuk membersihkannya dari kuman.
Penantian selama tiga puluh menit terasa sangat menyiksa, tapi aku harus
melakukannya. Setidaknya, kupikir aku menunggu selama setengah jam, tapi lebih
tepatnya aku menunggu sesanggup yang bisa kutahan.
Tenang, pelan-pelan, kataku dalam hati. Kuteguk air itu sekali dan menunggu. Lalu
sekali lagi. Selama dua jam kemudian, aku minum setengah botol air. Lalu
kuhabiskan juga setengahnya lagi. Aku menyiapkan sebotol air lagi sebelum
beristirahat di pohon. Di sana aku masih terus minum, makan daging kelinci, dan
menikmati biskuitku yang berharga. Tidak ada wajah-wajah di angkasa malam ini.
Besok aku akan tetap berada di sini, beristirahat, membuat kamuflase dari lumpur
untuk ranselku, menangkap ikan kecil di kolam yang kulihat saat minum tadi,
menggali akar di kolam bakung untuk meracik
makanan lezat. Aku bergelung
dalam kantong tidurku, berpegangan pada botol airku seakan hidupku bergantung
padanya, dan memang itulah kenyataannya.
Beberapa jam kemudian, langkah-langkah kaki membuatku terbangun. Aku
memandang sekelilingku dengan bingung. Matahari belum terbit, tapi mataku yang
silau bisa melihat jelas.
Tidak mungkin aku tidak melihat dinding api yang mengelilingiku.
Bab 13 Hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah bergegas turun dari pohon, tapi
aku terikat di atas dengan ikat pinggangku. Entah bagaimana jari-jariku berhasil
melepaskan gesper ikat pinggang dan aku terjatuh ke tanah dalam keadaan
terbungkus kantong tidur. Tidak ada waktu untuk berkemas. Untungnya ransel dan
botol airku sudah ada dalam kantong tidur. Aku mendesakkan ikat pinggang ke
dalam ransel, menyautkan ransel ke bahuku, dan kabur.
Dunia di sekitarku berubah menjadi asap dan api. Dahan-dahan pohon yang
terbakar memetikkan api, menimbulkan hujan api yang jatuh ke kakiku. Yang bisa
kulakukan adalah mengikuti yang lainnya, kelinci-kelinci dan rusa, bahkan aku
sempat melihat sekawanan anjing liar berlari menembus hutan. Aku memercayai
perhitungan arah mereka karena insting mereka lebih tajam daripada instingku.
Tapi mereka jauh lebih cepat, melesat di antara sesemakan dengan anggun
sementara sepatu botku tersandung akar pohon dan batang-batang pohon yang
tumbang, tidak mungkin aku bisa menyamai kecepatan lari mereka.
Panasnya luar biasa, tapi yang lebih buruk dari panas adalah asap, yang setiap saat
bisa membuatku sesak napas. Kutarik bagian atas kausku untuk menutup hidung,
bersyukur karena kaus itu basah oleh keringat, sehingga bisa memberikan
perlindungan sedikit lebih baik. Akh terus berlari karena aku tahu aku harus
berlari. Napasku tercekik, tas ranselku menghantam pungggungku, wajahku lukaluka karena ranting-ranting yang tidak kelihatan karena tertutup kabut abu-abu.
Kebakaran ini bukan disebabkan api unggun yang lepas kendali, tak ada tandatanda ketidaksengajaan. Api yang menyerangku memiliki bentuk tidak alami,
keseragaman yang menandakan bahwa api itu buatan manusia, dihasilkan dari
mesin, dirancang oleh Juri Hunger Games. Pertarungan hari ini pasti terlalu tenang.
Tidak ada yang tewas, mungkin tidak ada perkelahian sama sekali. Penonton di
Capitol akan merasa bosan, mereka akan mengatakan Hunger Games kali ini tidak
menarik sama sekali. Bosan dan tidak menarik adalah aib bagi acara ini.
Tidak sulit bagiku untuk mengetahui motif para juri. Ada kelompok peserta Karier
dan peserta-peserta lain yang tersisa, mungkin kami tersebar dan terpisah jauh di
arena. Api ini di rancang untuk memaksa kami keluar, membuat posisi kami jadi
berdekatan. Cara ini mungkin bukan cara paling orisinal, tapi teramat sangat
efektif. Aku melompati batang kayu yang terbakar. Sayangnya lompatanku kurang tinggi.
Ekor jaketku tersambar api dan aku harus berhenti untuk melepaskan jaketku dan
menginjak-injal api di jaketku agar padam. Tapi aku tidak berani meninggalkan
jaketku, jadi dalam keadaan setengah berasap dan panas bekas terbakar, aku nekat
memasukkan jaket itu ke dalam kantong tidur. Aku berharap semoga tiadanya
udara akan memadamkan bara yang tersisa. Hanya ransel di punggungku inilah
yang kupunya, dan aku harus berusaha bertahan hidup dengan barang-barang yang
jumlahnya tidak seberapa.
Dalam beberapa menit, tenggorokan dan hidungku terasa terbakar. Aku mulai
batuk-batuk hebat dan paru-paruku seakan terpanggang. Rasa tidak nyaman kini
berubah jadi kepanikan karena setiap kali bernapas aku merasakan dadaku tertusuk
ngeri, tak terhingga sakitnya. Aku berhasil berlindung di bawah batu besar ketika
aku mulai muntah-muntah, mengeluarkan sisa makan malamku yang seadanya
serta air yang masih tersisa di perutku. Aku meringkuk dengan kedua tangan dan
lutut di lantai, lalu terus muntah hingga tak ada lagi yang bisa kumuntahkan.
Aku tahu aku harus terus bergerak, tapi saat ini aku gemetar hebat dan pusing,
sambil megap-megap mencari udara. Kubasuh mulutku dengan air yang tidak lebih
dari sesendok untuk membersihkan mulutku yang kemudian kuludahkan, lalu aku
minum beberapa teguk air lagi dari botol. Kau punya waktu satu menit, kataku
dalam hati. Satu menit untuk beristirahat. Waktu semenit itu kugunakan untuk
membereskan barang-barang, menggulung kantong tidur, dan dengan asal-asalan
memasukkan semua barang ke ransel. Waktu semenitku habis. Aku tahu sekarang
waktunya bergerak tapi asap sudah mengaburkan pikiranku. Binatang-binatang
yang berlari cepat yang kujadikan petunjuk jalan sudah jauh meninggalkanku. Aku
tahu aku tidak pernah melihat batu-batu besar yang kujadikan tempat berlindung
ini. Kemana para Juri Pertarungan mengarahkanku" Kembali ke danau" Ke
wilayah yang penuh bahaya baru" Aku baru saja memperoleh ketenangan di kolam
selama beberapa jam saat serangan dimulai. Apakah aku bisa menyusuri kembali
jejak api dan kembali ke kolam itu, paling tidak untuk memperoleh sumber air. Api
itu pasti akan padam dan tidak akan membakar selamanya. Bukan karena para Juri
tidak bisa membuatnya seperti itu, tapi karena kebakaran terus-menerus akan
membuat bosan penonton. Kalau saja aku bisa berada di belakang garis api, aku
bisa menghindarkan pertemuan dengan para Peserta Karier. Aku sudah
memutuskan untuk berusaha dan mengambil jalan memutar, meskipun cara ini
membuatku harus berjalan beberapa kilometer menjauhi kobaran api lalu
memutarinya kembali. Tepat pada saat itu aku mendengar ledakan bola api
pertama menghantam batu yang jaraknya tidak lebih dari semeter di atas kepalaku.
Aku melesat keluar dari perlindunganku, dipacu oleh ketakutanku.
Pertarungan ini sudah berbelok ke putaran lain. Api membuat kami harus bergerak,
dan kini penonton akan menyaksikan pertunjukkan seru. Saat mendengar desisan
api berikutnya, aku langsung tiarap ke tanah, tidak membuang-buang waktu untuk
melihatnya. Bola api menerjang pohon di sebelah kiriku, membakarnya bulatbulat. Diam berarti maut. Aku nyaris belum berdiri benar sebelum bola api ketiga
menyambar tanah tempatku tadi berbaring, menyulut tiang api dibelakangku.
Waktu kini tidak berarti bagiku saat aku dengan panik berusaha menghindar dari
serangan-serangan. Aku tidak bisa melihat asal serangan-serangan bola api ini, tapi
pastinya bukan dari pesawat ringan. Sudah jatuhnya tidak tajam. Mungkin seluruh
bagian hutan ini sudah dipersenjatai dengan pelontar api yang disembunyikan di
pepohonan atau bebatuan. Di sebuah tempat yang sejuk dan bersih tak bernoda
entah di mana, Juri Pertarungan duduk di belakang meja kendali, jari-jarinya di
atas pemicu yang bisa mengakhiri hidupku dalam hitungan detik. Yang diperlukan
hanya satu tembakan jitu.
Apa pun rencana samar yang kupikirkan tentang kembali ke kolam langsung
terhapus dari benakku ketika aku berlari zigzag, menyuruk, dan melompat
menghindari bola-bola api. Masing-masing bola api itu hanya sebesar buah apel,
tapi menghasilkan kekuatan besar dalam setiap terjangannya. Semua indraku
langsung bekerja keras ketika kebutuhan untuk bertahan hidup menguasai diriku
sepenuhnya. Tidak ada waktu untuk berpikir apakah langkahku adalah langkah
yang benar. Saat mendengar desisan, aku langsung bertindak atau mati.
Namun ada sesuatu yang membuatku terus bergerak maju. Seumur hidup yang
kuhabiskan untuk menonton Hunger Games membuatku tahu hanya wilayah
tertentu yang dipasangi perangkap untuk serangan-serangan tertentu. Kalau saja
aku bisa kabur dari wilayah ini, aku mungkin bisa keluar dari jangkauan pelontarpelontar api ini. Mungkin saja dalam pelarianku aku bakal jatuh ke sarang ular
berbisa, tapi aku tidak bisa menguatirkan hal itu sekarang.
Aku tidak tahu berapa lama aku berjuang menghindari bola-bola api, tapi
serangan-serangan itu mulai surut. Baguslah, karena aku mau muntah-muntah lagi.
Kali ini cairan asam yang mendidihkan tenggorokanku dan membakar hidungku
juga. Aku terpaksa harus berhenti saat tubuhku kejang-kejang. Tubuhku berusaha
keras mengenyahkan racun yang kuisap pada saat serangan. Aku menunggu suara
desisan, tanda bahwa saatnya aku kabur. Aku tidak mendengarnya. Tekanan akibat
muntah membuat mataku berair. Pakaianku basah kuyup karena keringat. Entah
bagaimana, di antara bau asap dan muntah, aku mencium bau rambut terbakar.
Tanganku langsung meraba kepang rambutku dan mendapati bola api sudah
menghanguskan rambutku sepanjang lima belas sentimeter. Gumpalan rambut
gosong mengisi jemariku. Aku memandanginya,terpesona melihat rambutku yang
sudah berubah bentuk dan saat itulah aku mendengar suara desisan.
Otot-ototku bereaksi, hanya saja kali ini tidak cukup cepat. Bola api menerjang
tanah di sampingku, setelah sebelumnya sempat menyerempet betis kananku. Aku
panik melihat bagian kaki celanaku terbakar. Aku menggeliat dan bergerak mundur
dengan kedua tangan dan kaki di tanah, berusaha menjauhkan diriku dari kengerian
yang ada di hadapanku. Saat aku tersadar, kukibas-kibaskan kakiku maju mundur
di tanah, yang malah makin memperburuk keadaan. Tapi kemudian, tanpa pikir
panjang, kurobek sisa kain celanaku dengan dua tangan kosong.
Aku duduk di tanah, beberapa meter dari kobaran yang menghasilkan bola api tadi.
Betisku menjerit kesakitan, kedua tanganku penuh dengan bilur-bilur merah. Aku
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gemetar hebat hingga tak bisa bergerak. Kalau Juri-Juri Pertarungan ingin
menghabisiku, saat inilah saatnya.
Kudengar suara Cinna, dengan kain-kain mewah dan perhiasan-perhiasan
gemerlap. "Katniss, gadis yang terbakar." Pasti para Juri Pertarungan tertawa
terbahak-bahak bila mengingatnya. Mungkin, kostum-kostum Cinna yang indah
yang membuat mereka menciptakan siksaan ini untukku. Aku yakin Cinna tidak
bisa meramalkan kejadian ini, dan melihat aku tersiksa pasti membuatnya sedih,
karena aku percaya dia sayang padaku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin
tampil telanjang bulat di kereta kuda itu akan lebih aman buatku.
Serangan sudah berakhir. Para Juri Pertarungan tidak mau aku mati. Belum
saatnya. Semua orang tahu mereka bisa menghabisi kami semua dalam hitungan
detik setelah gong pembukaan berbunyi. Acara utama dalam Hunger Games adalah
menonton para peserta saling membunuh. Satu-dua kali mereka membunuh
seorang peserta hanya untuk mengingatkan peserta-peserta lain bahwa mereka bisa
melakukannya. Tapi lebih seringnya, mereka memanipulasi kami agar saling
berhadapan satu lawan satu. Itu artinya, kalau aku tidak ditembak lagi, artinya di
dekatku ada seorang peserta lain.
Seandainya bisa, aku ingin memanjat pohon dan berlindung di sana sekarang, tapi
asap masih sangat tebal dan bisa membuatku sesak napas hingga tewas. Kupaksa
diriku agar bisa berdiri lalu berjalan tertatih-tatih menjauh dari kobaran api yang
menerangi langit. Meskipun awan-awan hitam masih menguntitku, api itu
tampaknya tidak mengerjarku lagi.
Cahaya lain, cahaya dini hari, perlahan-lahan muncul. Lingkarang-lingkaran asap
tersorot sinar matahari. Jarak pandangku buruk. Aku mungkin hanya bisa melihat
sampai sejauh lima belas meter ke arah mana pun mataku memandang. Peserta lain
bisa dengan mudah bersembunyi tak terlihat olehku. Seharusnya aju menghunus
pisauku untuk jaga-jaga, tapi aku tidak yakin pada kemampuanku untuk bisa tahan
memegangi pisau terus-menerus. Aku benci luka bakar, sejak dulu itu rasa sakit
yang paling tidak kusukai, bahkan meskipun cuma kesundut oven saat
mengeluarkan roti dari panggangan. Bagiku ini adalah rasa sakit yang terburuk,
dan seumur hidup tak pernah aku merasakan rasa sakit semacam ini.
Saking lelahnya aku bahkan tidak sadar kakiku tercelup di kolam sampai semata
kaki. Aku sampai di mata air, yang airnya keluar dari celah-celah bebatuan, dengan
kesejukan yang amat nikmat. Kucelupkan kedua tanganku ke air dangkal itu dan
langsung merasa jauh lebih baik. Kalau tidak salah inilah yang selalu dikatakan
ibuku. Pengobatan pertama untuk luka bakar adalah air dingin. Tapi luka bakar
yang dimaksud ibuku adalah luka bakar ringan. Mungkin sarannya manjur untuk
kedua tanganku. Tapi bagaimana dengan betisku" Walaupun aku belum punya
keberanian untuk memeriksa lukaku, tapi kuperkirakan lukaku itu pasti skalanya
jauh berbeda daripada luka di tanganku.
Selama beberapa saat, aku berbaring tengkurap di ujung kolam, mengibasngibaskan kedua tanganku di air, sambil memperhatikan hiasan berbentuk api-api
kecil di kukuku mulai rontok. Baguslah. Aku sudah muak dengan api.
Kubasuh darah dan debu dari wajahku. Aku berusaha mengingat-ingat segala yang
kuketahui tentang luka bakar. Luka bakar merupakan luka yang biasa dialami
warga Seam karena kami masak dan menghangatkan rumah kami dengan batu
bara. Pernah terjadi kecelakaan tambang... satu keluarga membawa pemuda dalam
keadaan tak sadarkan diri, dan mereka memohon pada ibuku untuk menolongnya.
Dokter distrik yang bertanggung jawab mengobati penambang sudah angkat
tangan, dan menyuruh keluarganya agar membawa pemuda itu pulang dan
menunggu kematiannya di rumah. Dia dibaringkan di meja dapur rumah kami, tak
sadar pada dunia sekelilingnya. Aku sempat melirik luka di pahanya, lukanya
terbuka, dagingnya terpanggang, terbakar hingga kelihatan tulangnya, lalu aku lari
keluar dari rumah. Aku pergi ke hutan dan berburu sepanjang hari, otakku penuh
dengan gambaran kaki yang mengerikan itu, dan kenangan kematian ayahku.
Lucunya, Prim, yang takut pada bayangannya sendiri, malah tetap tinggal di rumah
dan membantu ibuku. Ibuku selalu bilang orang yang jadi penyembuh itu sudah
memiliki bakat sejak lahir, bukan lewat sekolah atau dilatih. Mereka
mengusahakan yang terbaik, tapi pria itu tewas, seperti yang diramalkan oleh sang
dokter. Aku harus mengobati kakiku, tapi aku masih tak sanggup melihatnya. Bagaimana
jika keadaannya separah kaki pria itu hingga aku bisa melihat tulangku" Lalu aku
teringat perkataan ibuku, katanya jika luka bakarnya teramat parah, si korban
mungkin tidak merasa sakit karena saraf-saraf perasanya sudah hancur.
Kecemasanku berkurang mengingat omongan ibuku, lalu aku duduk dan melihat
kakiku. Aku nyaris pingsan melihat betisku. Dagingnya merah terang dan penuh dengan
bagian-bagian kulit yang melepuh. Aku mengambil napas dalam-dalam dan pelan.
Aku yakin kamera sedang menyoroti wajahku. Aku tidak boleh menunjukkan
kelemahan karena luka ini. Terutama jika aku menginginkan bantuan. Rasa
kasihan tidak membuatmu dapat pertolongan. Kekaguman penonton saat
melihatmu tetap tegar tak butuh pertolonganlah yang bisa membantumu. Kurobek
sisa celana di bagian lutut dan memeriksa lukaku dengan lebih saksama. Luka
bakarku seukuran telapak tangan. Tidak ada bagian kulit yang menghitam. Kupikir
tidak apa-apa jika aku merendamnya. Dengan langkah lunglai kucelupkan kakiku
ke kolam, tumit sepatu botku kutahan di batu agar kulit sepatunya tidak terlalu
basah kuyup, lalu aku mendesah, karena rasanya nyaman sekali. Aku tahu ada
bahan rempah yang bisa dijadikan obat, tapi aku tidak bisa mengingatnya. Air dan
waktu mungkin yang kupunya untuk menyembuhkannya.
Apakah aku harus terus berjalan" Asap perlahan-lahan lenyap tapi masih cukup
tebal dan membuat sesak napas. Kalau aku terus berjalan menjauhi api, bukankah
aku akan langsung berhadapan dengan para Karier" Selain itu, tiap kali aku
mengangkat kakiku dari air, sakitnya kembali memuncak dan aku harus
mencelupkannya lagi. Tanganku tidak separah kakiku. Tanganku tidak perlu
dicelupkan terus menerus di air. Perlahan-lahan aku membereskan
perlengkapanku. Pertama-tama aku mengisi botol dengan air kolam, meneteskan
iodine, dan setelah cukup waktu menunggu, aku mulai mengisi cairan tubuh.
Setelah beberapa saat, kupaksa mulutku mengunyah biskuit, untuk meredakan rasa
laparku. Kugulung kantong tidurku. Selain beberapa noda hitam, kantong tidur itu
tidak rusak. Jaketkulah yang bermasalah. Bau dan bekas terbakar, paling tidak
sekitar tiga puluh sentimeter di bagian punggungya tidak bisa diperbaiki lagi.
Kupotong bagian yang rusak, menyisakan bagian jaket yang hanya menutupi
sampai bagian bawah tulang rusukku. Tapi penutup kepalanya masih utuh dan ini
jauh lebih baik daripada tidak punya jaket sama sekali.
Selain rasa sakit, aku mulai mengantuk. Aku bisa saja memanjat pohob dan
beristirahat di sana, tapi aku bakalan mudah kelihatan. Selain itu, rasanya aku tak
sanggup meninggalkan kolam ini. Kuatur perlengkapanku dengan rapi, bahkan
ranselku sudah kusandang di bahu, tapi aku tidak bisa beranjak. Kulihat tanaman
dengan akar-akarnya yang bisa dimakan dan kuputuskan untuk meracik makanan
dengan sisa daging kelinci yang terakhir. Minum air. Melihat matahari bergerak
perlahan di langit. Apakah ada tempat lebih aman dari sini yang bisa kutuju" Aku
bersandar pada ranselku, dikuasai rasa kantuk.
Kalau para Karier menginginkanku, silakan cari aku di sini, pikirku sebelum
terlelap. Silakan cari aku di sini.
Dan mereka memang menemukanku. Untungnya aku sudah siap bergerak, karena
ketika mendengar langkah kaki, aku hanya punya waktu kurang dari semenit untuk
kabur. Malam sudah turun. Saat aku terbangun, aku sudah bangkit dan berlari,
mencipratkan air di kolam, melesat ke semak-semak. Kakiku yang luka membuat
langkahku lambat, tapi aku bisa merasa pengejarku juga tidak segesit sebelum
kebakaran terjadi. Kudengar mereka batuk-batuk dan suara mereka serak ketika
saling memanggil. Namun, mereka tetap mendekat, seperti sekawanan anjing liar, kemudian aku
melakukan apa yang sudah kulakukan sepanjang hidupku dalam situasi semacam
ini. Aku mencari pohon tinggi dan mulai memanjat. Kalau lari sudah menyakitkan,
memanjat pohon rasanya penuh derita tak berkesudahan karena tidak hanya butuh
segenap tenaga tapi juga kontak langsung antara tanganku dan batang pohon.
Namun aku gesit, dan saat mereka tiba di bawah pohonku, aku sudah berada tujuh
meter di atas mereka. Selama beberapa waktu, kami berhenti dan saling
mengamati. Kuharap mereka tidak mendengar debaran jantungku.
Ini dia, pikirku. Kesempatan apa yang kupunya dalam menghadapi mereka"
Mereka berenam, lima peserta Karier dan Peeta. Satu-satunya yang membuatku
terhibur adalah mereka tampak kepayahan. Tapi lihat senjata mereka lihat wajah
mereka yang menyeringai dan meringis memandangku, mereka sudah yakin bakal
bisa menghabisiku. Tampaknya sudah tidak ada harapan. Tapi terlintas sesuatu
dalam benakku. Tidak diragukan lagi mereka lebih besar dan lebih kuat daripada
aku, tapi mereka juga lebih berat. Ada alasan kenapa aku dan bukannya Gale yang
memanjat jauh untuk memetik buah paling tinggi, atau mencuri sarang burung
paling susah dicapai. Beratku pasti lebih ringan dua puluh sampai tiga puluh
kilogram dari peserta Karier yang tubuhnya paling kecil.
Sekarang aku tersenyum. "Bagaimana keadaan kalian?" sapaku riang.
Mereka terkesiap mendengarku, tapi aku tahu penonton akan menyukainya.
"Lumayan," jawab anak lelaki dari Distrik 2. "Kau sendiri bagaimana?"
"Udara terlalu hangat untuk seleraku," sahutku. Aku seakan bisa mendengar gema
tawa dari Capitol. "Udara di atas sini lebih baik. Kenapa kau tidak naik saja?"
"Memang itu niatku," jawab anak lelaki yang sama.
"Nih, pakai ini, Cato," kata anak perempuan dari Distrik 1, dan dia memberikan
busur perak dan seikat anak panah. Busurku! Anak-anak panahku! Melihatnya saja
membuatku ingin marah. Aku ingin menjerit keras-keras pada diriku sendiri dan
pada Peeta si pengkhianat yang membuat perhatianku teralih hingga batal
mengambilnya. Aku berusaha memandang matanya sekarang, tapi dia tampaknya
sengaja menghindari tatapanku dengan mengelap pisaunya dengan ujung kemeja.
"Tidak," sahut Cato, mendorong busur itu. Aku lebih jago dengan belatiku." Aku
bisa melihat senjatanya, pedang pendek dan berat di selipan ikat pinggangnya.
Aku memberi waktu pada Cato untuk menjejak pohon dengan mantap sebelum aku
mulai memanjat lebih tinggi. Gale selalu bilang aku seperti tupai yang bisa terbiritbirit memanjat dahan paling kurus sekalipun. Sebagian kemampuanku berkat berat
badanku, tapi sebagian berkat latihan. Kau harus tahu di mana menempatkan
tangan dan kakimu. Aku sudah memanjat lebih tinggi sepuluh meter lagi ketika
mendengar suara kayu patah, kulihat ke bawah dan Cato sedang melayang jatuh
dan membawa patahan dahan pohon. Dia jatuh dengan keras dan kuharap lehernya
patah, tapi kemudian dia berdiri dan mencaci maki habis-habisan.
Gadis dengan busur dan panah, Glimmer kudengar seseorang memanggil
namanya-uh, orang-orang di Distrik 1 sering menamai anak mereka dengan namanama konyol-si Glimmer ini menyeimbangkan tubuhnya di pohon sampai dahan di
bawah kakinya mulai patah dan akal sehat menyuruhnya berhenti bergerak. Paling
tidak aku berada 25 meter di atas pohon. Glimmer berusaha memanahku dan
langsung terlihat jelas dia tidak pandai menggunakan busur. Tapi salah satu anak
panahnya berhasil menancap di dekatku dan aku mengambilnya. Kulambailambaikan anak panah itu menggoda Glimmer, seolah-olah aku mencabut anak
panah itu hanya untuk menggodanya, padahal sesungguhnya aku bermaksud
menggunakan panah ini kalau ada kesempatan. Aku bisa membunuh mereka,
semuanya, kalau saja senjata-senjata perak itu ada di tanganku.
Para peserta Karier berkumpul di bawah dan aku bisa mendengar mereka saling
menggerutukan rencana. Mereka marah karena aku berhasil membuat mereka
tampak bodoh. Tapi senja telah habis dan kesempatan mereka untuk menyerangku
mulai habis. Akhirnya, aku mendengar suara Peeta berkata dengan keras, "Oh,
biarkan saja dia di atas sana. Dia juga tak bakal kemana-mana. Akan kita bereskan
dia besok pagi." Yah, Peeta benar tentang satu hal. Aku takkan kemana-mana. Rasa lega berkat air
kolam pupus sudah, membuatku langsung bisa merasakan luka bakarku dengan
sepenuh rasa. Aku merangkak turun ke bagian pohon yang bercabang dan dengan
kagok menyiapkan tempat untuk tidur. Kupakai jaketku. Kubuka kantong tidurku.
Kuikat tubuhku di pohon dan berusaha tidak mengerang kesakitan. Kantong tidur
itu menimbulkan panas berlebihan untuk kakiku. Kurobek sela di kantong tidur
dan kekeluarkan betisku agar kena udara terbuka. Kuteteskan air di lukaku dan di
kedua tanganku. Semua keberanianku lenyap sudah. Aku lemah karena kesakitan dan kelaparan tapi
aku tidak bisa makan. Bahkan jika aku bisa bertahan malam ini, apa yang akan
terjadi pada pagi hari" Aku memandangi dedaunan, memaksa diriku untuk
beristirahat, tapi luka bakar ini membuatku tidak bisa tidur. Burung-burung sudah
pulang ke sarang, menyanyikan lagu ninabobo untuk anak-anak mereka. Binatangbinatang malam keluar dari sarang. Burung hantu berburu. Bau samar sigung
menembus asap. Entah mata binatang apa mengintip memandangiku dari pohon di
sekitarku-mungkin semacam tupai-yang tertarik cahaya api dari obor-obor peserta
Karier. Tiba-tiba, aku sudah bertumpu pada sikuku. Itu bukan mata tupai, aku
kenal baik pantulan mata binatang itu. Sesungguhnya, itu sama sekali bukan mata
binatang. Dalam cahaya senja yang makin menggelap, aku berhasil mengenalinya,
memandangiku tanpa suara di antara dahan pohon.
Rue. Sudah berapa lama dia di sana" Mungkin sepanjang waktu. Diam dan tidak
memperhatikan sementara kejadian berlangsung di bawahnya. Mungkin dia naik
ke pohon tidak lama sebelum aku naik, karena mendengar kawanan Karier itu
mendekat. Sesaat kami berpandangan lekat-lekat. Kemudian nyaris tanpa membuat daun
bergemerisik, tangannya yang kecil terulur ke depan dan menunjuk sesuatu di atas
kepalaku. Bab 14 MATAKU mengikuti arah yang ditunjukkan oleh jarinya, hingga ke arah dedaunan
di atas kepalaku. Mulanya, aku tidak mengerti apa yang ditunjukkan oleh Rue, tapi
kemudian sekitar lima meter di atas kepalaku, aku melihat sebentuk benda yang
masih samar-samar terlihat dalam sorotan cahaya yang mulai temaram. Tapi...
benda apa itu" Semacam binatang" Ukurannya sebesar racoon, tapi tergantung
pada bagian bawah dahan pohon, berayun-ayun pelan. Benda itu bentuknya
berbeda. Di antara suara hutan yang tak asing lagi di malam hari, telingaku
menangkap dengungan bernada rendah. Aku tahu apa itu. Sarang tawon.
Ketakutan mencekamku, tapi akal sehatku masih bekerja untuk membuatku tetap
tenang tak bergerak. Lagi pula, aku tidak tahu jenis tawon apa yang di sana. Bisa
saja tawon biasa yang sifatnya jangan-ganggu-kami-dan-kami-takkanmengganggumu.
Tapi ini kan Hunger Games, dan biasa bukanlah hal yang biasa. Kemungkinan
besar binatang itu adalah hasil mutasi Capitol, yang ditanami tawon penjejak.
Seperti burung jabberjay, tawon-tawon pembunuh ini dibiakkan di lab dan ditaruh
di tempat-tempar strategis, seperti ranjau-ranjau darat, di sekitar distrik selama
perang. Tawon pembunuh itu lebih besar daripada tawon biasa, ada bagian berwarna emas
di tubuhnya dan sengatan bisa menimbulkan bengkak sebesar buah plum. Banyak
orang yang tidak sanggup menerima lebih dari beberapa kali sengatan. Bahkan ada
yang tewas seketika. Kalau kau tidak mati, halusinasi yang dihasilkan dari bisa
tawon ini bisa membuatmu gila. Dan masih ada lagi, tawon-tawon ini akan
memburu dan membunuh mereka yang menggangu sarangnya. Dan dari sanalah
asal nama penjejak. Setelah perang, Capitol menghancurkan semua sarang tawon di sekitar kota
mereka, tapi sarang-sarang yang berada di dekat distrik-distrik dibiarkan begitu
saja. Kurasa, mereka sengaja menjadikannya pengingat kelemahan kami, sama
seperti Hunger Games ini. Satu lagi alasan agar para penduduk tetap berada di
dalam pagar batas Distrik 12. Saat aku dan Gale melihat sarang tawon penjejak,
kami langsung berbelok ke arah lain.
Apakah sarang tawon penjejak yang sekarang tergantung di atas kepalaku" Aku
menoleh mencari Rue untuk meminta bantuan, tapi dia sudah lenyap di balik
pohonnya. Dalam kondisi sekarang ini, kurasa jenis sarang tawon apa pun tidak ada
pengaruhnya lagi buatku. Aku terluka dan terperangkap. Kegelapan membuat
kematianku ditangguhkan untuk sementara, tapi pada saat matahari terbit, para
peserta Karier ini akan menyusun rencana untuk membunuhku. Tidak mungkin
mereka tidak melakukannya setelah aku membuat mereka kelihatan begitu bodoh.
Sarang tawon itu mungkin satu-satunya pilihanku yang tersisa. Kalau saja aku bisa
menjatuhkan sarang tawon itu pada mereka, aku mungkin punya kesempatan lolos.
Tapi untuk bisa melakukan itu, aku bisa saja kehilangan nyawaku.
Tentu saja, aku takkan mungkin berada cukup dekat dengan sarang tawon hingga
bisa memotongnya. Aku harus memotong dahan pohon dan menjatuhkan sarang itu
ke bawah. Bagian pisauku yang bergerigi bisa melakukannya. Tapi apakah
tanganku sanggup" Apakah getaran dari gergajiku malah membangunkan sarang
tawon itu" Dan bagaimana jika peserta Karier mengetahui apa yang kulakukan lalu
memindahkan kemah mereka" Semua itu pasti akan membuat rencanaku gagal.
Aku sadar kesempatan terbaikku untuk menggergaji tanpa menarik perhatian
adalah saat lagu kebangsaan berkumandang, yang bisa dimulai kapan saja. Dengan
susah payah aku keluar dari kantong tidur, memastikan pisauku terselip aman di
ikat pinggang, dan mulai memanjat pohon. Kegiatan memanjat ini termasuk
berbahaya karena dahan-dahan pohon ini jadi teramat tipis bahkan untuk tubuh
seringan tubuhku ini, tapi aku tetap bertahan. Ketika aku sampai ke cabang pohon
yang menjadi tempat sarang itu, suara dengungan terdengar lebih jelas. Tapi jika
ini memang benar tawon penjejak, suaranya terlalu lemah. Pasti gara-gara asap,
pikirku. Asap membius mereka. Obat bius adalah salah satu cara yang digunakan
pemberontak untuk menghadapi serangan-serangan tawon.
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lambang Capitol bersinar terang di atas kepalaku dan lagu kebangsaan
menggelegar. Sekarang atau tidak sama sekali, pikirku, lalu mulai menggergaji.
Tangan kananku langsung melepuh ketika dengan kaku bergerak maju mundur.
Setelah mendapat ritme yang pas, aku tidak perlu lagi terlalu bersusah payah
meskipun aku nyaris tak sanggup melakukannya. Kukatupkan gigiku rapat-rapat
dan sesekali kudongakkan kepalaku melihat langit dan mendapati bahwa tidak ada
yang tewas hari ini. Tapi tidak masalah. Penonton akan tetap duduk melihatku
terluka dan terperangkap di pohon sementara kawanan Karier berada di bawah
menungguku. Lagu kebangsaan berakhir ketika aku baru sepertiga jalan
menggergaji batang kayu, langitpun menggelap, dan aku terpaksa berhenti.
Sekarang bagaimana" Aku mungkin bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan
meraba-raba tapi itu bukan rencana yang cerdas. Kalau tawon jadi terlalu gelisah,
kalau sarangnya menyangkut entah di mana ketika jatuh, kalau aku berusaha
melarikan diri, hal ini cuma menghabiskan waktu. Kupikir lebih baik jika aku
mengendap-endap naik saat dini hari, lalu mengirim sarang tawon itu ke musuhmusuhku.
Dalam cahaya sanar obor peserta Karier, aku beringsut kembali ke dahan pohonku
dan menemukan kejutan terbaik yang bisa kuperoleh. Di atas kantong tidurku
terdapat pot plastik kecil yang terikat parasut perak. Hadiah pertamaku dari
Pendekar Kidal 12 Dewi Ular 76 Tamu Dari Alam Gaib Sumpah Palapa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama