Brisingr Serial The Inheritance Cycle 3 Karya Christopher Paolini Bagian 14
yang memancar. Roran berdiri dengan kedua lengan terentang sementara Katrina
mengikat bagian samping jaket kulit berlapis yang dikenakannya pada Roran. Ketika
Katrina selesai, ia menarik ujung jaket, meratakan kerutannya, dan berkata, "Nah,
selesai. Apakah terlalu ketat?" Roran menggeleng. "Tidak." Katrina mengambil
pelindung kaki dari ranjang mereka dan berjongkok di depan Roran dalam terpaan
cahaya lilin yang bergoyang-goyang. Roran memperhatikannya saat Katrina memasang
gesper pelindung kaki pada betisnya. Katrina menangkupkan tangan di lekukan betis
Roran saat memasang pelindung kaki kedua, tangannya terasa hangat menembus kain
celana Roran. Katrina lalu berdiri, kembali ke ranjang dan mengambil kedua pelindung
tangan. Roran mengulurkan tangan kepada Katrina dan menatap mata istrinya, dan
Katrina membalas tatapannya. Dengan gerakan lambat dan saksama, Katrina
memasangkan pelindung tangan di lengan bawah Roran, kemudian menarik tangannya
dari bagian dalam siku Roran menuju pergelangan tangan, tempat Roran
menggenggam tangan Katrina dengan tangannya sendiri. Katrina tersenyum dan
menarik tangannya dari genggaman Roran yang lembut. Kemudian ia mengambil baju
rantai besi dari ranjang. Katrina berjingkat dan mengangkat baju rantai besi itu sampai
berada di atas kepala Roran lalu memegangnya di sana sementara Roran memasukkan
kedua lengan. Rantainya bergemerincing seperti suara es saat Katrina melepaskannya
dan baju rantai itu tertahan di bahu Roran, lipatannya terbuka sampai bagian bawahnya
sejajar dengan lutut. Di kepala Roran, Katrina memasangkan topi kulit, mengikatnya
dengan simpul erat di bawah dagu Roran. Katrina mengatupkan tangan di wajah Roran
sejenak, dan mengecup bibirnya lalu mengambil helm kerucut Roran, yang ia pasang
dengan hati-hati di atas topi pelindung dari kulit di kepala suaminya. Roran menyelipkan
tangan di sekeliling pinggang Katrina yang melebar saat wanita itu mulai melangkah ke
ranjang, menghentikannya. "Dengarkan aku," ujar Roran. "Aku akan baik-baik saja." Ia
berusaha mengalirkan seluruh cintanya kepada Katrina melalui kata-kata dan kekuatan
tatapannya. "Jangan hanya duduk di sini sendirian. Berjanjilah padaku. Kunjungilah
Elain; ia butuh bantuanmu. Ia sakit, dan masanya melahirkan seharusnya sudah lewat."
Katrina mengangkat dagu, matanya berkilat dengan air mata yang Roran tahu takkan
dititikkannya sebelum ia berangkat. "Haruskah kau berada di barisan depan?" Katrina
berbisik. "Harus ada yang berada di sana, dan aku sama saja seperti orang lain. Siapa
yang akan kaukirim untuk menggantikanku?" "Siapa saja... siapa saja selain dirimu."
Katrina menatap ke bawah dan terdiam sejenak, kemudian mengeluarkan saputangan
merah dari bagian atas bajunya dan berkata, "Ini, bawa tanda cinta dariku, sehingga
seluruh dunia tahu betapa aku bangga padamu." Dan ia mengikat saputangan itu pada
sabuk pedang Roran. Roran menciumnya dua kali dan melepaskan pelukan, lalu Katrina
mengambil perisai serta tombak Roran dari ranjang. Roran mengecupnya untuk ketiga
kalinya saat mengambil senjata itu dari tangan istrinya, kemudian menyelipkan lengan
pada pegangan perisai. "Jika terjadi sesuatu padaku-" ia mulai berkata. Katrina
menempelkan jari di bibir Roran. "Sst. Jangan bicara begitu, aku takut akan jadi
kenyataan." "Baiklah." Roran memeluknya untuk terakhir kali. "Hati-hati." "Kau juga."
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Meski benci meninggalkan Katrina, Roran mengangkat perisai dan melangkah keluar ke
terpaan cahaya fajar yang pucat. Manusia, kurcaci, dan Urgal berbaris ke arah barat
melintasi perkemahan, menuju lapangan terinjak-injak tempat kaum Varden berkumpul.
Roran mengisi paru-parunya dengan udara dingin pagi hari, mengetahui rekan-rekan
pejuangnya sudah menunggu. Begitu tiba di lapangan, ia mencari divisi yang dipimpin
Jormundur dan, setelah melapor pada Jormundur, melangkah ke barisan depan, tempat
ia memilih berdiri di samping Yarbog. Urgal itu meliriknya, kemudian menggeram, "Hari
yang bagus untuk bertempur." "Hari yang bagus." Suara trompet membahana di barisan
depan kaum Varden segera setelah matahari muncul di cakrawala. Roran mengangkat
tombak dan mulai berlari maju, seperti semua orang di sekitarnya, berteriak sekuat
tenaga saat anak-anak panah melesat menghujani mereka dan batu-batu besar
mendesing di atas kepala, beterbangan ke segala arah. Di hadapannya, tembok batu
setinggi delapan puluh kaki menjulang. Pengepungan Feinster dimulai. BERANGKAT
Dari rumah Rhunon, Saphira dan Eragon terbang kembali ke rumah pohon mereka.
Eragon mengumpulkan semua barang miliknya dari kamar, memasang pelana Saphira,
kemudian kembali bertengger di tempat biasanya di bahu Saphira. Sebelum kita pergi
ke Tebing Tel'naeir, kata Eragon, ada satu hal lagi yang ingin kulakukan di Ellesmera.
Haruskah" tanya Saphira. Aku takkan tenang sebelum melakukannya. Saphira
melompat terbang dari rumah pohon. Ia melayang ke arah barat sampai sejumlah
bangunan tidak tampak lagi, dan ia menukik ke bawah untuk mendarat ringan pada jalan
sempit berlapis lumut. Setelah bertanya dan mendapatkan arah dari elf yang duduk di
dahan pohon terdekat, Eragon dan Saphira melanjutkan perjalanan melintasi hutan
sampai tiba di rumah kecil berkamar satu yang tumbuh dari sebatang pohon cemara
yang berdiri miring, seakan ada angin permanen yang menekannya. Di sebelah kiri
rumah terdapat onggokan tanah gembur lebih tinggi beberapa kaki daripada Eragon.
Anak sungai tumpah dari tepi gundukan tanah dan membentuk kolam jernih sebelum
akhirnya mengalir ke kelebatan temaram hutan. Bunga-bunga anggrek putih menghiasi
tepi kolam. Akar yang membulat muncul dari dalam tanah dari antara bunga-bunga
ramping yang tumbuh di dekat tepi kolam, dan Sloan duduk bersila di atas akar tersebut.
- Eragon menahan napas, tidak ingin mengejutkan pria itu karena kedatangannya.
Si tukang daging mengenakan jubah cokelat dan jingga, mirip yang dikenakan kaum elf.
Secarik kain hitam tipis diikat di kepalanya, menutupi lubang-lubang menganga yang
tadinya merupakan matanya. Di pangkuannya, ia memegang sebatang kayu kering,
yang dirautnya menggunakan pisau bengkok kecil. Lebih banyak kerutan di wajahnya
daripada yang diingat Eragon, dan di tangan serta lengannya terdapat beberapa luka
baru, tampak kelabu di atas kulit sekitarnya. Tunggu di sini, kata Eragon pada Saphira,
dan turun dari punggung naga itu, Saat Eragon menghampirinya, Sloan berhenti meraut
dan menelengkan kepala. "Pergi," tukasnya. Karena tidak tahu bagaimana
menjawabnya, Eragon berhenti di tempat dan tetap membisu. Dengan otot rahang
berkedut, Sloan kembali meraut kayu di tangannya, kemudian mengetukkan ujung
pisaunya pada akar yang didudukinya lalu berkata, "Terkutuk. Tidak bisakah kau
meninggalkanku sendiri dengan kepedihanku selama beberapa jam saja" Aku tidak
ingin mendengarkan pendongeng dan penyanyi kalian, dan tidak peduli berapa kali
kalian memintaku, aku tidak akan berubah pikiran. Sekarang pergilah. Ayo, pergi." Rasa
kasihan dan kemarahan meluap dalam diri Eragon, juga perasaan bingung melihat pria
yang berada di sekitarnya ketika ia tumbuh dewasa, dan begitu sering ditakuti serta
tidak disukainya, terpuruk dalam keadaan seperti ini. "Apakah kau nyaman?" tanya
Eragon dalam bahasa kuno, dengan nada ringan dan berlagu. Sloan mengeluarkan
geraman muak. "Kau tahu aku tidak mengerti bahasamu dan tidak ingin
mempelajarinya. Kata-katanya berdenging di telingaku lebih lama daripada seharusnya.
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Jika kau tidak mau bicara dalam bahasa rasku, tidak usah bicara padaku sama sekali."
Meski Sloan meminta, Eragon tidak mengulangi pertanyaan itu dalam bahasa mereka,
tapi ia juga tidak pergi. Sambil memaki, Sloan kembali meraut kayu. Setiap dua kali
rautan, ia mengusapkan ibu jari kanannya pada permukaan kayu, memeriksa perubahan
apa pun yang diukirkannya. Beberapa menit berlalu, kemudian dengan suara lebih
lembut, Sloan berkata, "Kau benar; memiliki sesuatu yang dikerjakan tanganku bisa
menenangkan pikiran. Kadang-kadang... kadang-kadang aku bisa hampir melupakan
apa yang direnggut dariku, tapi kenangan-kenangan itu selalu kembali, dan aku merasa
tercekik karenanya... Aku senang kau telah menajamkan pisaunya. Pisau pria harus
selalu tajam." Eragon memperhatikannya selama semenit lagi, kemudian berpaling dan
melangkah kembali ke tempat Saphira menunggu. Saat menarik tubuhnya naik ke
pelana, ia berkata, Sloan tampaknya tidak banyak berubah. Dan Saphira menjawab,
Kau tidak bisa mengharapkannya menjadi orang lain sama sekali dalam waktu yang
begitu singkat. Ya, tapi aku berharap ia belajar menjadi bijaksana di Ellesmera sini dan
mungkin ia akan menyesali kejahatan yang diperbuatnya. Jika ia tidak mau mengakui
kesalahannya, Eragon, tidak ada yang bisa memaksanya. Bagaimana pun, kau telah
melakukan apa yang bisa kaulakukan. Sekarang ia harus menemukan jalan untuk
berdamai dengan dirinya sendiri. Jika tidak bisa, biarkan ia mencari pelipur lara dalam
kuburan abadinya. Dari tanah lapang dekat rumah Sloan, Saphira mengudara dan
melintas di atas pepohonan lalu menuju utara ke arah Tebing Tel'naeir, mengepakkan
sayap sekuat mungkin. Matahari pagi tampak bundar di cakrawala, dan pancaran
cahayanya yang menyapu puncak-puncak pepohonan menimbulkan
bayangan-bayangan gelap memanjang yang mengarah ke barat seperti panji-panji
ungu. Saphira menukik turun ke daerah lapang dekat rumah pohon pinus Oromis,
tempat Oromis dan Glaedr berdiri menunggu mereka. Eragon terkejut melihat Glaedr
mengenakan pelana yang diikat di antara dua duri panjang di punggungnya dan Oromis
mengenakan mantel tebal untuk bepergian berwarna biru dan hijau, di atasnya ia
mengenakan rompi besi ketat berwarna emas, juga pelindung tangan di lengan. Perisai
tinggi berbentuk berlian disampirkan di punggungnya, helm arkaik diselipkan pada siku
kirinya, dan pada sabuk di pinggangnya tergantung pedangnya yang berwarna tembaga,
Naegling. Diiringi embusan angin dari sayap-sayapnya, Saphira mendarat di hamparan
rumput dan daun-daun semanggi. Ia menjulurkan lidah, merasakan udara saat Eragon
merosot ke tanah. Apakah kalian akan terbang bersama kami ke Varden" Saphira
bertanya. Ujung ekornya berkibas penuh semangat. "Kami akan terbang bersama
kalian sampai tepi Du Weldenvarden, tapi di sana kita harus berpisah," kata Oromis.
Dengan kecewa Eragon bertanya, "Apakah Anda akan kembali ke Ellesmera?" Oromis
menggeleng. "Tidak, Eragon. Dari sana kami akan melanjutkan perjalanan ke kota Gil
Oromis menjawabnya, "Dan seharusnya sekarang kau sudah tahu betul, kekuatan saja
jarang menentukan kemenangan jika dua penyihir bertarung. Meski begitu, aku memiliki
semua kekuatan yang kubutuhkan di sini, di permata pada pedangku." Dan ia meraih ke
samping tubuhnya, meletakkan telapak tangan kanannya pada berlian kuning yang
membentuk kepala gagang Naegling. "Selama seratus tahun lebih, Glaedr dan aku
menyimpan setiap titik tenaga berlebih yang kami miliki ke dalam berlian ini, dan
orang-orang lain menambahkan tenaga mereka juga; dua kali seminggu, beberapa elf
dari Ellesmera mengunjungiku di sini dan memindahkan sebanyak mungkin kekuatan
mereka ke dalam permata ini tanpa membunuh mereka sendiri. Jumlah energi yang
tersimpan di dalam batu ini sangat besar, Eragon; dengannya aku bahkan bisa
memindahkan gunung. Maka, melindungi diriku dan Glaedr dari serangan pedang,
tombak, serta panah, atau bahkan dari batu besar yang dilontarkan mesin pengepung
merupakan masalah kecil. Sedangkan soal serangan sakitku, aku telah memasang
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
pelindung tertentu di batu permata pada Naegling yang melindungiku dari celaka jika
aku akan mendadak mendapat serangan di tenga pertempuran. Maka kaulihat, Eragon,
Glaedr dan aku jauh dari tidak berdaya. Karena malu, Eragon menunduk dan berkata,
"Ya, Master. Ekspresi Oromis agak melembut. "Aku menghargai kekhawatiranmu,
Eragon, dan kau berhak merasa cemas, karena perang adalah situasi yang berbahaya
dan bahkan pejuang yang paling hebat pun bisa mendapati kematian telah menunggu
mereka di tengah kekacauan perang. Meski demikian, alasan kami sungg-uh layak. Jika
Glaedr dan aku pergi menyongsong kematian, kami pergi dengan rela, karena
pengorbanan kami akan membantu Alagaesia terbebas dari bayang-bayang tirani
Galbatorix." "Tapi jika Anda tewas," kata Eragon, merasa sangat kecil, "dan kami
berhasil membunuh Galbatorix serta membebaskan telur naga terakhir, siapa yang akan
melatih naga itu dan Penunggang-nya?" Oromis mengejutkan Eragon dengan menepuk
bahunya. "Jika itu terjadi," kata elf tersebut, wajahnya serius, "merupakan tanggung
jawabmu, Eragon, dan tanggung jawabmu, Saphira, untuk melatih naga dan
Penunggang baru dengan pengetahuan orde kita. Ah, jangan tampak begitu murung,
Eragon. Kau takkan sendirian mengemban tugas. Islanzadi dan Nasuada akan
memastikan cendekiawan terbaik dari kedua ras untuk membantumu." Perasaan gelisah
yang aneh mengganggu Eragon. Ia telah lama ingin diperlakukan lebih daripada
sekadar bocah, meski demikian, ia tidak merasa siap menggantikan posisi Oromis.
Rasanya memikirkannya saja salah. Untuk pertama kalinya, Eragon mengerti ia
akhirnya akan menjadi generasi yang lebih tua, dan ketika berada dalam situasi itu, ia
takkan memiliki guru lagi untuk dijadikannya tempat mencari nasihat. Tenggorokannya
tercekat. Setelah melepaskan bahu Eragon, Oromis menunjuk Brisingr, yang ditimang
Eragon, kemudian berkata, "Seluruh hutan bergetar ketika kau membangunkan pohon
Menoa, Saphira, dan setengah elf di Ellesmera menghubungi Glaedr dan aku dengan
panik, memohon kami segera menolongnya. Terlebih lagi, demi kalian, kami harus
berurusan dengan Gilderien si Bijak, untuk mencegahnya menghukum kalian karena
menggunakan metode kasar seperti itu." Aku tidak akan meminta maaf, kata Saphira.
Kami tidak punya waktu untuk membujuk. Oromis mengangguk. "Aku mengerti, dan aku
tidak mengkritikmu, Saphira. Aku hanya ingin kalian tahu konsekuensi perbuatan kalian."
Atas permintaannya, Eragon menyerahkan pedangnya yang baru ditempa kepada
Oromis dan memegangi helmnya sementara elf itu memeriksa pedangnya. "Rhunon
telah melampaui kemampuannya sendiri," Oromis menyatakan. "Sedikit senjata, pedang
atau yang lain, yang bisa menyamai ini. Kau sangat beruntung memiliki pedang
semenakjubkan ini, Eragon." Sebelah alis Oromis yang tajam diangkat sepersekian inci
saat ia membaca glyph pada bilah pedang. "Brisingr... nama yang tepat sekali untuk
pedang Penunggang Naga." "Ya," sahut Eragon. "Tapi entah mengapa, setiap kali aku
menyebut namanya, bilah itu menyemburkan..." ia ragu, dan alih-alih mengucapkan kata
api -yang, tentu saja adalah brisingr dalam bahasa kuno-ia berkata, "kobaran." Alis
Oromis semakin naik. "Begitu" Apakah Rhunon memiliki penjelasan tentang fenomena
ini?" Sambil bicara, Oromis mengembalikan Brisingr kepada Eragon, menukarnya
dengan helmnya. "Ya, Master," jawab Eragon. Dan ia bercerita tentang dua teori
Rhunon. Ketika Eragon selesai, Oromis bergumam, "Aku ingin tahu..." dan menatap
melampaui Eragon ke arah cakrawala. Kemudian Oromis mengguncang kepalanya
sedikit dan sekali lagi memfokuskan mata kelabunya pada Eragon dan Saphira.
Wajahnya menjadi lebih serius daripada sebelumnya. "Aku khawatir telah membiarkan
kesombonganku bicara. Glaedr dan aku mungkin bukannya tak berdaya, tapi seperti
yang kauutarakan tadi, Eragon, kami juga tidak utuh. Glaedr memiliki lukanya, dan aku
memiliki... kelemahanku sendiri. Ada alasannya aku dijuluki si Cacat yang Utuh.
"Kelemahan-kelemahan kami tidak akan jadi masalah jika musuh yang dihadapi adalah
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
manusia fana. Bahkan dalam keadaan kami sekarang, kami bisa dengan mudah
membunuh seratus manusia biasa-seratus atau seribu, tidak masalah. Meski demikian,
musuh kami adalah lawan paling berbahaya yang kami atau negeri ini hadapi. Meski aku
tidak suka mengakuinya, Glaedr dan aku lemah di hadapannya, dan kemungkinan besar
kami tidak akan selamat dalam pertarungan yang akan kami hadapi. Kami telah
menikmati hidup yang panjang dan bahagia, tapi kalian berdua masih muda dan segar
serta penuh harapan, dan aku yakin prospek kalian dalam mengalahkan Galbatorix lebih
besar daripada orang lain." Oromis melirik Glaedr, dan wajah elf itu jadi mendung.
"Maka, demi memastikan keselamatan kalian, dan sebagai pencegahan karena
kemungkinan besar kami akan mati, atas izinku Glaedr memutuskan untuk..." Aku
memutuskan, kata Glaedr, untuk memberi kalian jantung dari jantungku, Saphira
Brightscales, Eragon Shadeslayer. Keterkejutan Saphira sama besarnya seperti Eragon.
Bersama-sama, mereka menatap naga emas agung yang menjulang di hadapan
mereka. Saphira berkata, Master, kehormatan ini tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, tapi... apakah kau yakin ingin memercayakan jantungmu kepada kami" Aku
yakin, jawab Glaedr, dan menundukkan kepalanya yang besar sampai berada sedikit di
atas Eragon. Karena berbagai alasan, aku yakin. Jika memegang jantungku, kalian akan
bisa berkomunikasi dengan Oromis dan aku-tidak peduli seberapa jauh kita terpisah-dan
aku akan bisa membantu kalian dengan kekuatanku kapan saja kalian berada dalam
kesulitan. Dan jika Oromis dan aku mati di medan perang, pengetahuan dan
pengalaman kami, juga kekuatanku, akan masih bisa kalian gunakan. Lama sekali aku
memikirkan pilihan ini, dan aku yakin ini tindakan yang benar. "Tapi jika Oromis tewas,"
kata Eragon dengan suara lirih, "apakah kau sungguh-sungguh ingin hidup tanpanya,
dan sebagai Eldunari?" Glaedr menolehkan kepala dan memfokuskan sebelah matanya
yang besar pada Eragon. Aku tidak ingin berpisah dengan Oromis, tapi apa pun yang
terjadi, aku akan terus melakukan apa yang bisa kulakukan demi menggulingkan
Galbatorix dari takhtanya. Itu satu-satunya tujuan kami, dan bahkan kematian takkan
mampu mengurungkan niat kami memburunya. Memikirkan kehilangan Saphira
membuatmu ngeri, Eragon, dan kau pantas merasa seperti itu. Meski demikian, Oromis
dan aku telah menghabiskan berabad-abad berdamai dengan diri sendiri bahwa situasi
itu takkan terhindarkan. Tidak peduli seberapa berhati-hatinya kami, jika kami hidup
cukup lama, akhirnya salah satu dari kami akan mati. Itu bukan pikiran yang
menyenangkan, tapi itulah kenyataan. Begitulah dunia diatur. Sambil beringsut dari
posisinya, Oromis berkata, "Aku tidak bisa berpura-pura menyukainya, tapi tujuan hidup
bukanlah untuk melakukan apa yang kita inginkan, tapi melakukan apa yang perlu
dilakukan. Itulah yang dituntut takdir dari kita." Maka aku bertanya pada kalian sekarang,
kata Glaedr, Saphira Brightscales dan Eragon Shadeslayer, maukah kalian menerima
pemberianku dan segala yang berkaitan dengannya" Aku bersedia, jawab Saphira. Aku
bersedia, jawab Eragon setelah bimbang sesaat. Kemudian Glaedr menarik kepalanya
ke belakang. Otot perutnya bergelombang dan mengejang beberapa kali, dan
kerongkongannya mulai mengeluarkan suara tercekik, seolah ada yang tersangkut di
sana. Sambil melebarkan kaki-kakinya, naga emas itu menjulurkan leher lurus ke depan,
setiap urat dan nadi di tubuhnya menonjol di bawah lapisan sisik-sisiknya yang
gemerlapan. Kerongkongan Glaedr terus mengejang dan mengendur dengan kecepatan
yang semakin tinggi sampai akhirnya ia menurunkan kepala sejajar dengan Eragon dan
membuka rahang, udara panas berbau tajam menguar dari moncongnya yang luar biasa
besar. Eragon menyipitkan mata dan berjuang agar tidak tercekik. Saat menatap ke
dalam mulut Glaedr, Eragon melihat kerongkongan naga itu berkontraksi sekali lagi,
kemudian muncul titik cahaya emas di antara lipatan jaringan daging berwarna merah
darah dan basah. Sedetik kemudian, benda berbentuk bulat dengan diameter sekitar
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
satu kaki meluncur turun dari lidah Glaedr yang berwarna merah tua dan melesat keluar
dari mulutnya begitu cepat, sehingga Eragon nyaris tidak berhasil menangkapnya.
Ketika kedua tangannya mendekap Eldunari yang licin berlumuran ludah itu, napas
Brisingr Serial The Inheritance Cycle 3 Karya Christopher Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eragon tersentak dan ia mundur selangkah, karena tiba-tiba ia merasakan seluruh
pikiran dan emosi Glaedr, serta semua sensasi tubuh naga itu. Jumlah informasi yang
menerpanya membuatnya kewalahan, begitu pula kedekatan benak mereka. Eragon
memang menduga hal seperti ini akan terjadi, tapi ia masih terkejut-kejut saat menyadari
sedang memegang seluruh jiwa dan raga Glaedr dengan kedua tangannya. Glaedr
mengernyit, mengibaskan kepala seakan baru tersengat, dan cepat-cepat menutupi
pikirannya dari Eragon, meski Eragon masih bisa merasakan percikan pikiran Glaedr
yang bergerak-gerak, begitu pula warna-warni emosinya. Eldunari-nya sendiri seperti
bongkahan emas raksasa. Permukaannya hangat dan dilapisi ratusan sudut tajam, yang
ukurannya berbeda-beda dan kadang miring ke sudut yang aneh. Bagian tengah
Eldunari memancarkan pendar samar, mirip lentera tertutup, dan cahaya yang
memancar tampak berdenyut perlahan dan stabil. Saat pertama kali dilihat, cahaya itu
tampak rata, tapi semakin lama Eragon menatap, ia menyadari banyak detail di
dalamnya: pusaran dan arus yang berputar serta melingkar-lingkar dengan acak,
butiran-butiran berwarna lebih gelap yang tampak tidak bergerak sama sekali, dan
gelombang-gelombang pijar terang yang tidak lebih besar daripada kepala jarum pentul
yang memancar sejenak, kemudian pudar kembali di balik pijaran yang lebih terang.
Eldunari itu hidup. "Nih," kata Oromis, dan menyerahkan kantong kain yang kokoh
kepada Eragon. Dengan lega Eragon merasakan hubungannya dengan benak Glaedr
lenyap begitu ia memasukkan Eldunari ke kantong dan tangannya tidak lagi menyentuh
batu seperti permata tersebut. Masih agak terguncang, Eragon mendekap Eldunari di
dalam kain itu ke dadanya, terkesima memikirkan ia memeluk intisari Glaedr dan takut
akan apa yang bisa terjadi jika ia membiarkan jantung dari jantung itu terlepas darinya.
"Terima kasih, Master," Eragon berhasil berkata, menundukkan kepala pada Glaedr.
Kami akan menjaga jantungmu dengan nyawa kami, kata Saphira. "Tidak!" tukas
Oromis, suaranya galak. "Tidak dengan nyawa kalian! Itu hal yang justru harus dihindari.
Jangan biarkan jantung Glaedr mengalami celaka karena kecerobohan kalian, tapi
kalian juga dilarang mengorbankan diri demi melindunginya atau aku atau orang lain.
Kalian harus tetap hidup apa pun taruhannya, jika tidak, harapan kita semua akan
musnah dan kegelapan akan meliputi kita semua." "Ya, Master," jawab Eragon dan
Saphira bersamaan, Eragon Glaedr berkata, Karena kau telah bersumpah setia pada
Nasuada, dan kau harus menuruti perintahnya serta setia padanya, kau boleh
memberitahunya tentang jantungku jika harus, tapi hanya kalau terpaksa. Demi semua
naga di mana saja, berapa pun sisanya di dunia, pen getahuan tentang Eldunari bukan
untuk umum. Bolehkah kami memberitahu Arya" tanya Saphira. "Dan bagaimana
dengan Blodhgarm dan elf-elf lain yang dikirimkan Islanzadi untuk melindungiku?" tanya
Eragon. "Aku mengizinkan mereka memasuki benakku ketika terakhir kali Saphira dan
aku melawan Murtagh. Mereka akan menyadari kehadiranmu, Glaedr, jika kau
membantu kami di tengah pertempuran." Kau boleh memberitahu Blodhgarm dan para
perapal mantranya tentang Eldunari, kata Glaedr, tapi hanya setelah mereka bersumpah
akan merahasiakannya. Oromis mengenakan helm di kepala. "Arya adalah putri
Islanzadi, dan kurasa sudah selayaknya ia tahu. Meski demikian, sama kasusnya seperti
Nasuada, jangan memberitahunya kecuali keadaan mendesak. Rahasia yang
disampaikan bukanlah rahasia. Jika kalian bisa, jangan memikirkannya, juga jangan
memikirkan Eldunari sama sekali, sehingga tidak ada orang yang bisa mencurinya dari
benak kalian." "Ya, Master." "Sekarang mari kita berangkat," kata Oromis, dan
mengenakan sarung tangan tebal. "Aku dengar dari Islanzadi bahwa Nasuada sudah
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
mengepung kota Feinster, dan kaum Varden sangat membutuhkan kalian." Kami sudah
terlalu lama berada di Ellesmera, kata Saphira.
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Mungkin begitu, kata Glaedr, tapi waktu kalian di sini dipergunakan dengan baik. Sambil
berlari kecil, Oromis melompat ke kaki depan Glaedr yang tinggal satu dan memanjat
punggungnya yang tinggi dan bergerigi, tempat Oromis duduk di pelana dan mulai
mengencangkan tali pengikat kakinya. Sambil terbang, elf itu berkata pada Eragon, "Kita
bisa mengulang daftar nama-nama sejati yang kaupelajari pada kunjungan terakhirmu."
Eragon menghampiri Saphira dan dengan hati-hati memanjat punggungnya,
membungkus jantung Glaedr dengan salah satu selimutnya, kemudian memasukkan
bungkusan itu ke kantong pelana. Kemudian ia memasang tali pada kakinya seperti
yang dilakukan Oromis. Di belakangnya, ia bisa merasakan denyut stabil energi yang
memancar dari Eldunari. Glaedr melangkah ke tepi Tebing Tel'naeir dan membuka
lipatan sayapnya yang luar biasa lebar. Bumi bergetar ketika naga emas itu melompat
ke arah langit yang berselimut awan, dan udara bergemuruh ketika Glaedr
mengepakkan sayap-sayapnya ke bawah, mendaki dari hamparan pepohonan di
bawah. Eragon mencengkeram duri punggung Saphira di depannya ketika Saphira
mengikuti Glaedr, melonjak ke udara terbuka dan terjun beberapa kaki dalam tukikan
tajam sebelum naik ke sisi Glaedr. Glaedr terbang di depan ketika kedua naga
mengarah ke barat daya. Keduanya mengepakkan sayap dalam tempo berbeda,
Saphira dan Glaedr melesat di atas hutan yang bergelombang. Saphira
menengadahkan leher dan mengeluarkan raungan keras. Di depannya, Glaedr
melakukan hal yang sama. Jeritan nyaring mereka bergema ke seluruh kubah langit
yang luas, membuat burung-burung dan hewan-hewan lain di bawah ketakutan. Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Bidadari Pendekar Naga Sakti
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
TERBANG Dari Ellesmera, Saphira dan Glaedr terbang tanpa henti di atas hutan kuno
kaum elf, melesat jauh di atas pohon-pohon pinus tinggi berwarna gelap.
Kadang-kadang hutan memberi celah pada daerah terbuka, dan Eragon melihat danau
atau sungai berliku-liku melintasi daratan. Sering ada sekawanan rusa kecil berkumpul
di sepanjang tepi air, dan hewan-hewan itu berhenti lalu menengadahkan kepala untuk
menyaksikan kedua naga terbang melesat. Tapi Eragon hampir tidak memperhatikan
pemandangan di bawah karena sibuk menghafal setiap kata dalam bahasa kuno yang
diajarkan Oromis kepadanya, dan jika ia melupakan atau salah mengucapkan lafalnya,
Oromis menyuruhnya mengulang-ulang sampai ia bisa mengingatnya dengan benar.
Mereka tiba di tepi Du Weldenvarden pada pengujung petang hari pertama. Di sana, di
atas perbatasan berbayang-bayang gelap antara pepohonan dan padang rumput,
Glaedr dan Saphira terbang berputar-putar, dan Glaedr berkata, Jaga jantungmu
dengan baikk, Saphira, jantungku juga. Aku akan menjaganya, Master, jawab Saphira.
Dan Oromis berteriak dari punggung Glaedr, "Semoga angin keberuntungan menyertai
kalian, Eragon, Saphira! Kali berikutnya kita bertemu, kuharap akan di depan gerbang
Uru Jika kau menikmatinya, seluruh dunia akan mengerut di kaki kita, termasuk
Galbatorix. Tidak, baguslah kau tidak menikmati pertumpahan darah seperti aku. Kita
pasangan seimbang, Eragon... Jika berpisah kita tidak utuh, tapi bersama-sama kita
adalah satu. Sekarang jernihkan benakmu dari pikiran-pikiran beracun itu dan beri aku
teka-teki sehingga aku bisa tetap terjaga. Baiklah, kata Eragon setelah beberapa saat.
Aku berwarna merah, biru, kuning, dan segala warna dalam pelangi. Aku panjang dan
pendek, tebal dan tipis, dan jika beristirahat, aku melingkar. Aku bisa menghabiskan
seratus domba sekaligus dan masih merasa lapar. Apakah aku" Naga, tentu saja, jawab
Saphira tanpa ragu. Bukan, permadani wol. Bah! Hari ketiga perjalanan mereka berlalu
dengan lambat sekali. Satu-satunya suara yang terdengar adalah kepakan sayap
Saphira, napasnya yang terengah, dan deru angin di telinga Eragon. Kedua kaki dan
bagian bawah punggungnya pegal karena duduk lama di pelana, tapi
ketidaknyamanannya sungguh tak berarti dibandingkan dengan ketidaknyamanan
Saphira; otot-otot terbangnya terbakar rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Tapi ia
tetap bertahan dan tidak mengeluh, dan ia menolak tawaran Eragon untuk mengurangi
sakitnya dengan mantra, berkata, Kau akan membutuhkan kekuatanmu saat kita tiba
nanti. Beberapa jam setelah matahari terbenam, Saphira terhuyung dan jatuh beberapa
kaki dalam tukikan memualkan. Eragon duduk tegak, terkejut, dan melihat sekeliling
untuk mencari petunjuk apa yang mengganggu penerbangan mereka tapi hanya melihat
kegelapan di bawah dan kerlip bintang di atas. Kurasa kita sudah tiba di Sungai Jiet,
kata Saphira. Udara di sini dingin dan lembap, seperti seharusnya di atas air. Maka
Feinster tidak jauh di depan. Apakah kau yakin bisa menemukan kota itu dalam
kegelapan" Kita bisa saja berada seratus mil di utara atau selatannya! Tidak mungkin.
Kemampuanku menentukan arah mungkin tidak sempurna, tapi sudah pasti lebih baik
daripada dirimu atau makhluk-makhluk darat lain. Jika peta kaum elf yang kita lihat
memang akurat, kita tidak mungkin lebih jauh dari lima puluh mil di utara atau selatan
Feinster, dan di ketinggian ini, kita akan dengan mudah bisa melihat kota tersebut dari
kejauhan. Kita mungkin bahkan bisa mencium bau asap dari cerobong-cerobongnya.
Dan memang benar. Belakangan malam itu, ketika fajar hanya tinggal beberapa jam
lagi, pendar merah samar muncul di cakrawala barat. Melihatnya, Eragon memutar
tubuh dan mengambil baju besi dari kantong pelana, kemudian mengenakan tunik rantai
besi, topi kulit, helm, pelindung tangan, dan pelindung kaki. Ia berharap memiliki perisai,
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
tapi telah meninggalkannya pada kaum Varden sebelum berangkat ke Gunung Thardur
bersama Nar Garzhvog. Kemudian dengan sebelah tangan Eragon merogoh ke dalam
ransel sampai menemukan botol perak berisi faelnirv yang diberikan Oromis kepadanya.
Botol logam tersebut terasa dingin ketika disentuhnya. Eragon menenggak sedikit cairan
sihir itu, yang membakar bagian dalam mulutnya dan terasa seperti elderberry, arak,
dan sari apel beralkohol. Rasa panas mengalir di wajahnya. Dalam beberapa detik saja,
keletihannya mulai lenyap saat efek menyegarkan faelnirv berfungsi. Eragon
mengguncang botolnya. Dengan cemas ia merasa seakan sepertiga cairan di dalamnya
telah habis, meski ia hanya meminum setenggak satu kali sebelum ini. Aku harus
mengiritnya setelah ini, pikirnya. Saat ia dan Saphira terbang semakin dekat, pendar di
cakra wala menjadi ribuan titik cahaya terpisah, dari lentera tangan kecil, api tungku, api
unggun, sampai petak-petak besar berkobar yang memuntahkan asap hitam berbau
tajam ke udara malam. Dalam cahaya samar api-api tersebut, Eragon melihat lautan
ujung tombak dan helm mengilap merangsek ke dasar kota yang besar dan
dipertahankan dengan baik, temboknya dipenuhi sosok kecil yang sibuk menembakkan
anak panah pada pasukan di bawah, menuangkan kuali berisi minyak panas di antara
dinding benteng, memotong tali-temali yang dilemparkan ke atas tembok, dan
mendorong tangga-tangga kayu goyah yang tanpa henti disandarkan para pengepung di
benteng. Seruan dan pekikan samar-samar melayang ke atas dari bawah, begitu pula
dentuman balok pendobrak pada gerbang besi kota. Sisa-sisa keletihan Eragon lenyap
ketika ia mengamati medan perang dan memperhatikan letak orang-orang, bangunan,
serta berbagai jenis mesin perang. Tersebar ke arah luar tembok kota, terdapat ratusan
gubuk reyot rapat, nyaris tidak ada jarak bagi seekor kuda pun untuk melintas: tempat
tinggal mereka yang terlalu miskin untuk memiliki rumah di bagian utama kota.
Sebagian besar gubuk tampak ditinggalkan penghuninya, dan ada bagian luas yang
tampak telah dirobohkan sehingga pasukan kaum Varden bisa mendekat ke tembok
kota. Beberapa pondok kecil terbakar, dari ballkan saat Eragon mengamati, api
menyebar, melompat dari satu atap jerami ke atap jerami lain. Di bagian timur
gubuk-gubuk tersebut, garis hitam melengkung terbentuk di tanah, tempat pant untuk
melindungi perkemahan kaum Varden. Di sisi lain kota terdapat pelabuhan dan dermaga
yang mengingatkan Eragon pada Teirm, kemudian laut gelap dan bergejolak yang
tampak membentang tanpa ujung. Gairah haus darah mengalir dalam diri Eragon, dan ia
merasakan Saphira bergetar di bawah kakinya pada saat yang sama. Ia mencengkeram
gagang Brisingr. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran kita. Apakah
sebaiknya kita umumkan kedatangan kita" Saphira menjawab dengan mengeluarkan
raungan yang membuat gigi-geligi Eragon bergemeletuk dan melukis langit di hadapan
mereka dengan semburan tebal api biru. Di bawah, kaum Varden di kaki kota dan
pasukan yang mempertahankan kota di tembok benteng berhenti bergerak dan selama
sedetik, keheningan meliputi medan perang. Kemudian kaum Varden mulai bersorak
dan memukulkan tombak pada perisai masing-masing, sementara erangan ketakutan
terdengar dari orang-orang di dalam kota. Ah! seru Eragon, mengerjapkan mata.
Kuharap kau tidak melakukan itu. Sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa. Maaf Masih
mengerjapkan mata, Eragon berkata, Hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menemukan kuda yang baru mati, atau hewan lain, sehingga aku bisa mengisi lagi
tenagamu dengan energinya. Kau tidak perlu - Saphira berhenti bicara ketika benak lain
menyentuh benak mereka. Setelah setengah detik merasa panik, Eragon mengenali
kesadaran itu sebagai milik Trianna. Eragon, Saphira! teriak si penyihir. Kalian tepat
waktu! Arya dan elf lain memanjat tembok, tapi mereka terkepung sekelompok besar
prajurit. Mereka takkan bertahan semenit lagi kecuali ada yang menyelamatkan mereka!
Cepat! BRISINGR! Saphira menekuk kedua sayapnya ke tubuh dan terjun bebas,
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
meluncur menuju bangunan-bangunan gelap di kota. Eragon merunduk menghindari
angin yang menampar wajahnya. Dunia berputar di sekitarnya ketika Saphira berputar
ke kanan sehingga para pemanah di bawah sulit menembaknya. Tubuh Eragon terasa
berat ketika Saphira menghentikan terjunnya. Kemudian Saphira terbang lurus dan
beban yang terasa mendesak Eragon pun lenyap. Seperti elang aneh yang memekik,
anak-anak panah melesat di dekat mereka, beberapa meleset yang lainya dipantulkan
perisai sihir Eragon. Setelah menyambar rendah di luar tembok kota, Saphira mengaum
lagi lalu mencabik dengan cakar dan ekor, mengempaskan sekelompok pria yang
menjerit-jerit di atas tembok ke tanah yang keras delapan puluh kaki di bawah. Menara
persegi tinggi yang dipersenjatai empat pelontar ballista berdiri di ujung terjauh tembok
selatan. Pelontar berbentuk busur silang raksasa itu menembakkan tombak sepanjang
dua belas kaki ke arah pasukan Varden yang bergerombol di luar gerbang kota. Di balik
dinding tirai, Eragon dan Saphira melihat sekitar seratus prajurit mengeroyok dua
pejuang, yang berdiri dengan punggung menempel di dasar menara, mati-matian
berusaha menangkis serangan banyak pedang. Bahkan dalam kegelapan dan dari
ketinggian terbang Saphira, Eragon mengenali Arya di antara para pejuang itu. Saphira
melompat ke bawah dari tembok luar dan mendarat di tengah gerombolan prajurit,
meremukkan beberapa pria di bawah kakinya. Sisa prajurit bertemperasan, menjerit
panik dan kaget. Saphira meraung, kesal karena mangsa-mangsanya melarikan diri,
dan mengibaskan ekor ke tanah, membuat dua belas prajurit lagi gepeng. Seorang pria
berusaha berlari melewatinya. Secepat ular yang mematuk, Saphira menerkam prajurit
itu di antara rahang-rahangnya dan mengguncang kepala, mematahkan tulang
punggung si prajurit. Saphira membunuh empat prajurit lagi dengan cara yang sama.
Pada saat itu pria-pria yang tersisa sudah menghilang di antara bangunan. Cepat-cepat
Eragon membuka ikatan kakinya di pelana, kemudian melompat ke tanah. Tambahan
beban akibat baju besinya membuatnya jatuh di satu lutut ketika mendarat. Ia
mendengus dan mendorong tubuhnya berdiri. "Eragon!" teriak Arya, berlari
menghampirinya. Elf itu terengah-engah dan berkeringat di sekujur tubuh. Ia hanya
mengenakan pelindung berupa jaket kulit berlapis dan helm ringan dicat hitam sehingga
tidakBrisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Eragon dan Saphira berhenti persis di luar jarak pandang bangunan. Pejuang yang
membawa mereka ke sana berkata, "Kami tidak bisa mendekati mereka. Pintu-pintu dan
jendela-jendela dipalang, dan mereka memanah kami jika kami berusaha mendobrak
masuk." Eragon menatap Saphira. Aku saja, atau kau" Aku akan menangani ini, kata
Saphira, dan melompat ke udara dengan kibasan sayap. Bangunan itu bergetar,
jendela-jendelanya pecah, saat Saphira mendarat di atap. Eragon dan para pejuang lain
menyaksikan sambil terperangah ketika naga itu mengaitkan ujung-ujung cakarnya pada
lekukan semen di antara batu dan, sambil meraung mengeluarkan tenaga, merobek
bangunan itu sampai para prajurit yang ketakutan tampak dari luar, yang dibunuhnya
seperti anjing terrier membunuh tikus. Ketika Saphira kembali ke sisi Eragon, para
pejuang Varden beringsut menjauh darinya, terang-terangan menunjukkan rasa takut
karena pertunjukan kebrutalan Saphira tadi. Ia mengabaikan mereka dan mulai menjilati
cakar, membersihkan darah dari sisiknya. Pernahkah aku berkata betapa leganya aku
karena aku bukan musuhmu" tanya Eragon. Belum, tapi kau baik sekali berkata
demikian. Di seluruh kota, para prajurit bertarung dengan kegigihan yang membuat
Eragon kagum; mereka tunduk hanya jika terpaksa dan melakukan segala cara untuk
menghalangi para pejuang Varden. Karena perlawanan mereka yang penuh tekad,
pasukan Varden tidak tiba di bagian barat kota, tempat kastil berdiri, sebelum cahaya
fajar pertama mulai menyebar di langit. Kastil itu merupakan bangunan yang
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
mengagumkan. Tinggi dan persegi serta dihiasi banyak menara dengan ketinggian
berbeda. Atapnya terbuat dari lempengan batu, sehingga penyerang tidak bisa
membakarnya. Di depan kastil terdapat pekarangan dalam yang besar -di dalamnya
terdapat beberapa bangunan luar dan sebaris ketapel-dan dinding luar yang
bersinggungan dengan beberapa menara kecilnya sendiri mengelilingi segalanya.
Ratusan prajurit mempertahankan tembok benteng dan ratusan lagi memenuhi
pekarangan dalam. Satu-satunya jalan masuk ke pekarangan dari bawah adalah lorong
kubah yang lebar di dinding luar, yang ditutup dengan pintu besi dan sepasang pintu
kayu ek tebal. Beberapa ribu pejuang Varden berdiri menekan dinding luar, berjuang
mendobrak pintu besi dengan balok pendobrak yang mereka bawa dari gerbang utama
kota atau dengan memanjat dinding dengan tali berkait atau tangga, yang terus
didorong prajurit-prajurit di atas tembok. Hujan anak panah mendesing bolak-balik di
sekitar tembok. Tampaknya kedua belah pihak sama-sama tidak dalam posisi
menguntungkan. Gerbangnya! seru Eragon, menunjuk. Saphira meluncur turun dari
ketinggian dan membersihkan tembok di atas pintu besi dengan semburan api, asap
keluar dari cuping hidungnya. Ia mendarat di atas tembok, membuat tubuh Eragon
terguncang, dan berkata, Pergilah. Aku akan membereskan ketapel-ketapel sebelum
mereka melontarkan bebatuan kepada kaumVarden. Hati-hati. Eragon turun ke tembok
benteng dari punggung Saphira. Merekalah yang harus berhati-hati! jawab Saphira. Ia
menggeram ke arah prajurit-prajurit bertombak yang berkumpul di dekat mesin-mesin
ketapel. Setengah dari mereka berbalik dan kabur ke dalam. Tembok terlalu tinggi bagi
Eragon untuk terjun ke bawah, maka Saphira mengulurkan ekor di sisi tembok dan
menyelipkannya di antara dua celah dinding pembatas. Eragon menyarungkan Brisingr,
kemudian memanjat turun, menggunakan duri-duri di ekor Saphira sebagai pijakan
seperti tangga. Ketika sampai di ujung ekor, ia melepaskan pegangan dan melompat
sejauh dua puluh kaki. Ia berguling untuk mengurangi benturan jatuhnya saat mendarat
Brisingr Serial The Inheritance Cycle 3 Karya Christopher Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di antara kerumunan kaum Varden. "Salam, Shadeslayer," sapa Blodhgarm, muncul dari
kerumunan, bersama sebelas elf lain. "Salam." Eragon mengeluarkan Brisingr lagi.
"Kenapa kalian belum membuka pintu gerbang bagi kaum Varden?" "Gerbang ini
dilindungi banyak mantra, Shadeslayer. Butuh tenaga besar untuk mendobrak dan
menghancurkannya. Aku dan rekan-rekanku ada di sini untuk melindungimu serta
Saphira, dan kami tidak akan bisa melakukan tugas dengan baik jika tenaga kami
terkuras untuk melakukan tugas lain." Sambil menahan sumpah serapah, Eragon
berkata, "Menurut kalian, lebih baik aku dan Saphira saja yang menguras tenaga,
Blodhgarm" Apakah itu akan membuat kami lebih aman?" Elf itu menatap Eragon
sejenak, matanya yang kuning tidak terbaca, kemudian ia menunduk sedikit. "Kami akan
segera membuka gerbangnya, Shadeslayer." "Tidak, jangan," geram Eragon. "Tunggu di
sini." Eragon merangsek ke depan barisan Varden dan melangkah menuju pintu besi.
"Beri aku ruang!" ia berteriak, menunjuk ke arah para pejuang. Para pejuang Varden
mundur memberinya jalan, membentuk area terbuka selebar dua puluh kaki. Sebatang
tombak dari mesin pelontar memantul pada perisai sihirnya dan 11' terbang
berputar-putar ke jalan. Saphira meraung dari dalam pekarangan di balik tembok, dan
terdengar suara kayu terbelah serta tali-temali putus. Eragon memegang pedang
dengan dua tangan, mengangkatnya, dan berteriak, "Brisingr!" Api menjilat-jilat dari bilah
pedangnya, dan para pejuang di belakangnya berseru terkejut. Eragon maju dan
memotong salah satu jeruji pintu besi. Cahaya menyilaukan memancar ke arah tembok
dan bangunan-bangunan sekitarnya saat pedang itu mengiris besi tebal tersebut. Pada
saat yang sama, Eragon merasakan keletihannya bertambah tiba-tiba saat Brisingr
mematikan perisai sihir yang melindungi pintu besi. Ia tersenyum. Seperti yang
diharapkannya, mantra penangkal yang dimasukkan Rhunon ke Brisingr lebih dari cukup
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
untuk mengalahkan sihir yang melindungi gerbang. Bergerak cepat tapi mantap, Eragon
membuat lubang selebar mungkin pada pintu besi, kemudian menyingkir ke samping
ketika jeruji yang putus terjatuh di jalan batu dengan suara berdentang keras. Ia
melangkahi jeruji itu dan maju menuju pintu kayu yang terpasang lebih dalam pada
dinding luar. Ia menjajar- kan Brisingr dengan celah setipis rambut di antara kedua
daun pintu, meletakkan beban tubuhnya pada pedang, kemudian mendorong bilah
pedangnya melalui celah sempit tersebut sehingga menembus ke dalam. Kemudian ia
meningkatkan arus energi pada api yang berkobar di pedangnya sampai cukup panas
untuk membakar kayu daun pintu yang tebal semudah pisau memotong roti yang baru
matang. Asap tebal bergulung-gulung dari sekitar pedang, membuat tenggorokannya
tercekik dan matanya berair. Eragon mengiris ke atas, membakar balok kayu raksasa
yang memalang pintu dari dalam. Segera setelah merasakan tekanan pada Brisingr
berkurang, ia menarik pedang tersebut dan mematikan apinya. Ia mengenakan sarung
tangan tebal, sehingga tidak takut memegang tepi pintu yang membara dan menariknya
terbuka dengan mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya. Pintu itu juga terdorong ke luar,
seolah atas kemauan sendiri, meski sedetik kemudian, Eragon melihat Saphira-lah yang
mendorongnya; naga itu duduk di sebelah kanan ambang pintu, mengintip ke arahnya
dengan mata safir yang gemerlapan. Di belakangnya, barisan ketapel sudah hancur
berantakan. Eragon berdiri di samping Saphira saat para pejuang Varden
berbondong-bondong memasuki pekarangan dalam, memenuhi udara dengan teriakan
perang mereka. Letih karena usahanya tadi, Eragon meletakkan telapak tangan pada
sabuk Beloth si Bijaksana dan mengisi ulang energinya yang terkuras dari energi yang
dicadangkannya pada kedua belas berlian yang tersembunyi di dalam sabuk. Ia
menawarkan sisa energi kepada Saphira, yang sama-sama letih, tapi naga itu menolak,
berkata, Simpan untuk dirimu sendiri. Kau tidak punya banyak cadangan lagi. Lagi pula,
yang kubutuhkan hanya makan dan tidur semalaman. Eragon bersandar pada Saphira
dan membiarkan kelopak matanya setengah terpejam. Tidak lama lagi, katanya. Tidak
lama lagi ini akan selesai. Kuharap begitu, sahut Saphira. Di antara para pejuang yang
merangsek masuk terdapat Angela, mengenakan baju besinya yang tampak aneh,
bertepi jumbai dan berwarna hijau-hitam serta membawa huthvir-nya, senjata berupa
tongkat dengan dua ujung belati yang biasa dibawa pendeta kurcaci. Si ahli tanaman
obat berhenti di sebelah Eragon dan, dengan ekspresi jail, berkata, "Pertunjukan
mengesankan, tapi tidakkah kau menganggap itu berlebihan?" "Apa maksudmu?" tanya
Eragon sambil mengerutkan kening. Angela mengangkat sebelah alis. "Ayolah, apakah
perlu membuat pedangmu terbakar seperti itu?" Eragon menunjukkan paras mengerti
ketika memahami keberatan Angela. Ia tertawa. "Memang tidak perlu memotong pintu
besinya, tapi aku menikmatinya. Lagi pula, itu bukan kemauanku. Aku menamai pedang
ini Api dalam bahasa kuno, dan setiap kali aku mengucapkan namanya, bilahnya
terbakar seperti ranting kering di api unggun." "Kau menamai pedangmu Api?" Angela
berseru dengan nada tidak percaya. "Api" Nama membosankan apa itu" Sekalian saja
kaunamai pedangmu Api Membara. Api. Hmph. Tidakkah kau lebih suka memiliki
pedang bernama Penggigit Domba atau Belati Chrysanthemum atau sejenisnya?" "Aku
sudah punya Penggigit Domba di sini," kata Eragon, dan meletakkan tangan pada tubuh
Saphira. "Untuk apa aku butuh yang lain?" Angela nyengir lebar. "Bisa juga kau
bercanda! Mungkin kau masih punya harapan." Dan ia berlari ke arah kastil,
memutarmutar tongkat belati gandanya di sisi tubuh dan bergumam, "Api" Bah!"
Geraman lembut terdengar dari Saphira, dan ia berkata, Hati-hati soal siapa yang
kausebut Penggigit Domba, Eragon. Kau bisa tergigit juga. Ya, Saphira. BAYANGAN
KEMATIAN Pada saat itu, Blodhgarm dan rekan-rekannya telah bergabung dengan
Eragon dan Saphira di pekarangan dalam, tapi Eragon mengacuhkan mereka dan
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
mencari-cari Arya. Ketika menemukan elf itu, berlari di sebelah Jormundur yang berada
di atas kuda, Eragon memanggilnya dan menggebuk perisai untuk menarik
perhatiannya. Arya mendengar panggilannya dan berlari menghampiri, langkahnya
seanggun gazelle. Ia memegang perisai, helm yang menutupi seluruh kepala, dan baju
rantai besi sejak terakhir mereka berpisah, dan logam pada baju besinya mengilap
tertimpa cahaya kelabu redup yang menyapu kota. Saat Arya berhenti, Eragon berkata,
"Saphira dan aku akan masuk ke kastil lewat atas dan berusaha menangkap Lady
Lorana. Apakah kau ingin ikut bersama kami?" Arya menyetujui dengan anggukan
singkat. Eragon melompat dari tanah ke kaki depan Saphira, memanjat ke pelana. Arya
mengikutinya sedetik kemudian dan duduk rapat di belakangnya, cincin-cincin pada baju
rantainya menekan punggung Eragon. Saphira membuka lipatan kedua sayapnya yang
seperti beludru kemudian mengudara, meninggalkan Blodhgarm dan elf yang lain
menengadah dengan ekspresi frustrasi. "Kau seharusnya tidak meninggalkan para
pengawalmu begitu saja," Arya bergumam di telinga kiri Eragon. Ia melingkarkan
tangannya yang memegang pedang di pinggang Eragon dan berpegangan erat-erat
ketika Saphira menukik di atas pekarangan. Sebelum sempat menjawab, Eragon
merasakan sentuhan benak Glaedr yang besar. Selama sedetik, kota di bawahnya
lenyap, dan ia hanya melihat dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan Glaedr.
Anak panah kecil cepat dan menggigit memantul pada perutnya saat ia melesat naik di
atas gua kayu para makhluk dua kaki bertelinga bundar. Udara stabil dan mantap di
bawah sayap-sayapnya, sempurna untuk penerbangan yang dibutuhkannya. Di
punggungnya, pelana bergesek pada sisik-sisiknya saat Oromis beringsut memperbaiki
posisi duduk. Glaedr menjulurkan lidah dan merasakan aroma kayu terbakar-daging
matang-darah tumpah yang memikat. Ia dulu sering berada di sini. Pada masa
mudanya, kota ini bukan bernama Gil'ead, dan pada saat itu satu-satunya penghuni
adalah elf-elf-jarang-tertawa-berlidah tajam. Kunjungan-kunjungannya dulu selalu
menyenangkan, tapi hatinya pedih ketika teringat dua pasangan-sarang yang mati di
sini, dibunuh kaum-Terkutuk-berotak-miring. Matahari-bulat-malas melayang persis di
atas garis cakrawala. Ke arah utara, air-besar-Isenstar tampak seperti lembaran perak
bergelombang. Di bawah, sekawanan telinga-runcing yang dipimpin Islanzadi tersebar di
sekeliling kota-sarang-semut-berantakan ini. Baju besi mereka gemerlapan seperti es
hancur. Gumpalan api biru memenuhi seluruh area, setebal kabut pagi. Dan dari
selatan, si kecil-pemarah-dan-pencakar-Thorn terbang ke arah Gil'ead, meraungkan
tantangan untuk didengar semua orang. Murtagh-putra-Morzan duduk di punggungnya,
dan di tangan kanan Murtagh, Zar'roc bercahaya seperti paku. Kesedihan memenuhi
hati Glaedr ketika melihat kedua bocah yang menyedihkan itu. Ia berharap dirinya dan
Oromis tidak harus membunuh mereka. Sekali lagi, pikirnya, naga harus memerangi
naga dan Penunggang harus memerangi Penunggang, dan ini semua karena
Galbatorix-pemecah-telur itu. Dengan suasana hati murung, Glaedr mempercepat
kepakan sayapnya dan merentangkan cakar-cakarnya untuk bersiap-siap mencabik
musuh yang mendekatinya. Kepala Eragon tersentak ketika Saphira menukik ke satu
sisi dan terjun beberapa kaki sebelum kembali meluruskan tubuh. Apakah kau juga
melihat itu" tanya Saphira. Ya. Merasa cemas, Eragon melirik ke kantong pelana,
tempat jantung dari jantung Glaedr tersembunyi, dan bertanya-tanya apakah ia dan
Saphira seharusnya menolong Oromis dan Glaedr tapi kemudian meyakinkan diri sendiri
bahwa banyak perapal mantra di dalam pasukan elf. Guru-gurunya itu tidak akan
menginginkan bantuannya. "Ada apa?" tanya Arya, suaranya terdengar nyaring di
telinga Eragon. Oromis dan Glaedr akan bertarung dengan Thorn dan Murtagh, jawab
Saphira. Eragon merasakan tubuh Arya menegang di belakangnya. "Bagaimana kalian
tahu?" ia bertanya. "Akan kujelaskan nanti. Aku hanya berharap mereka tidak terluka."
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
"Aku juga," kata Arya. Jendela di sini terlalu sempit untukku. Ketika elf dalam hati.
Ia menyentuh bahu Arya dan berbisik, "Kau merasakan itu?" Arya mengangguk. "Kita
seharusnya membawa Blodhgarm." Bersama-sama, mereka menuruni undakan,
berusaha mati-matian agar tidak menimbulkan suara. Ruangan berikutnya pada menara
jauh lebih besar daripada ruangan terakhir; langit-langitnya setinggi lebih dari tiga puluh
kaki, dan di sana tergantung lentera dengan tutup kaca berbagai segi. Api kuning
menyala-nyala di dalamnya. Ratusan lukisan minyak memenuhi dinding: potret pria-pria
berjanggut dengan jubah berbordir mewah dan para wanita tanpa ekspresi duduk di
antara anak-anak kecil bergigi rata; lukisan pemandangan laut yang suram
menggambarkan pelaut-pelaut tenggelam; dan adegan-adegan peperangan, manusia
membantai gerombolan Urgal yang menakutkan. Sederet kerai kayu tinggi dipasang
pada dinding utara membuka ke balkon dengan birai batu. Di seberang jendela, dekat
dinding terjauh, terdapat sederet meja bundar penuh gulungan perkamen, tiga kursi
berlapis, dan dua jambangan kuningan raksasa berisi buket-buket bunga kering.
Seorang wanita berambut kelabu yang tampak gagah, mengenakan gaun ungu muda,
duduk di salah satu kursi. Wajahnya mirip dengan beberapa pria di lukisan. Tiara perak
bertatahkan batu giok menghias kepalanya. Di tengah ruangan berdiri tiga penyihir yang
tadi dilihat Eragon di kota. Kedua pria dan satu wanita itu berhadapan, tudung jubah
mereka tersampir di punggung dan lengan-lengan mereka terentang ke kedua sisi
tubuh, sehingga ujung-ujung jari mereka bersentuhan. Mereka bergoyang-goyang
serentak, menggumamkan mantra yang tidak familier dalam bahasa kuno. Orang
keempat duduk di tengah segi tiga yang mereka bentuk: pria berjubah mirip dengan
mereka, tapi tidak berkata apa-apa, dan mengernyitkan wajah seakan kesakitan. Eragon
melontarkan benaknya ke salah satu perapal mantra, tapi pria itu begitu terpusat pada
tugas yang dilakukannya, Eragon gagal menembus kesadarannya sehingga tidak
berhasil membuat pria tersebut menyerah pada serangan benaknya. Pria itu bahkan
tampak tidak menyadari serangan benak Eragon. Arya pasti telah mencoba hal yang
sama, karena ia mengerutkan kening dan berbisik, "Mereka terlatih dengan baik." "Kau
tahu apa yang mereka lakukan?" Eragon bergumam. Arya menggeleng. Wanita bergaun
ungu muda menengadah dan melihat Eragon serta Arya yang berjongkok di undakan
batu. Dengan terkejut Eragon melihat wanita itu tidak berteriak minta pertolongan, tapi
malah menempelkan jari pada bibir, kemudian memberi isyarat agar mereka mendekat.
Eragon dan Arya berpandangan bingung. "Ini bisa saja jebakan," bisiknya kepada Arya.
"Sepertinya begitu," kata Arya. "Apa yang sebaiknya kita lakukan?" "Apakah Saphira
sudah hampir tiba?" "Maka mari kita sapa nyonya rumah kita." Keduanya menyamakan
langkah, menuruni sisa undakan dan menyelinap ke seberang ruangan, tidak pernah
mengalihkan tatapan dari para penyihir yang berkonsentrasi. "Apakah kau Lady
Lorana?" tanya Arya dengan suara lembut ketika mereka berhenti di hadapan wanita
yang duduk itu. Wanita itu mengangguk. "Memang benar, elf cantik." Ia mengalihkan
tatapan ke arah Eragon kemudian berkata, "Dan kau sang Penunggang Naga yang
sering sekali kami dengar akhir-akhir ini" Apakah kau Eragon Shadeslayer?" "Benar,"
jawab Eragon. Ekspresi lega terpancar dari wajah ningrat wanita itu. "Ah, aku memang
berharap kau akan datang. Kau harus menghentikan mereka, Shadeslayer." Dan ia
menunjuk ke arah para penyihir. "Kenapa tidak kausuruh mereka menyerah?" bisik
Eragon. "Aku tidak bisa melakukannya," kata Lorana. "Mereka hanya menuruti kata Raja
dan Penunggang barunya. Aku telah bersumpah setia kepada Galbatorix-aku tidak
punya pilihan - sehingga aku tidak bisa melawan dirinya atau para pelayannya; jika
keadaan tidak seperti ini, aku sendiri akan mengusahakan agar mereka dimusnahkan."
"Kenapa?" tanya Arya. "Apa yang begitu kautakutkan?" Kulit di sekitar mata Lorana
berkerut. "Mereka tahu mereka takkan mampu mengusir pasukan Varden begitu saja,
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
dan Galbatorix tidak mengirim bala bantuan. Maka mereka mencoba, aku tidak tahu
bagaimana, untuk menciptakan Shade dengan harapan monster itu akan melawan
Varden dan menyebarkan ketakutan serta kebingungan di seluruh pasukan kalian."
Kengerian meliputi Eragon. Ia tidak bisa membayangkan harus bertarung dengan Durza
lagi. "Tapi Shade bisa dengan mudah berbalik melawan mereka dan semua orang di
Feinster seperti ia melawan kaum Varden." Lorana mengangguk. "Mereka tidak peduli.
Mereka hanya ingin menyebarkan lebih banyak kepedihan dan kehancuran sebelum
mereka mati. Mereka gila, Shadeslayer. Kumohon, kau harus menghentikan mereka,
demi rakyatku!" Saat ia selesai bicara, Saphira mendarat di balkon di luar ruangan,
meretakkan birai dengan ekornya. Ia menghancurkan kerai dengan sekali kibasan
cakar, merobek bingkainya semudah mematahkan ranting kering, kemudian mendorong
kepala dan bahu masuk ke ruangan sambil menggeram. Para penyihir terus merapal
mantra, tampak tidak menyadari kehadirannya. "Oh, astaga," kata Lady Lorana,
mencengkeram lengan kursinya. "Baik," kata Eragon. Ia mengangkat Brisingr dan mulai
melangkah menghampiri para penyihir, begitu pula Saphira dari arah berlawanan. Dunia
berputar di sekeliling Eragon, dan sekali lagi ia mendapati dirinya melihat melalui mata
Glaedr. Merah. Hitam. Percikan kuning berdenyut. Sakit... Sakit-menusuk tulang di
perutnya dan bagian atas sayap kirinya. Sakit yang tidak pernah dirasakannya selama
seratus tahun. Kemudian sakitnya lenyap ketika partner-hidupnya-Oromis
menyembuhkan luka-lukanya. Glaedr menyeimbangkan tubuh dan mencari-cari Thorn.
Naga-semungil-burung-merah itu lebih kuat dan lebih cepat daripada yang Glaedr kira,
karena campur tangan Galbatorix. Thorn menerkam sisi kiri tubuh Glaedr, bagian yang
lemah, tempat ia kehilangan kaki depannya. Mereka saling berputar, terjun ke arah
daratan-keras-peremuk-sayap. Glaedr menggigit, merobek, dan mencakar dengan kaki
belakang, berusaha membuat naga yang lebih kecil menyerah. Kau tidak akan
mengalahkanku, anak kecil, ia bersumpah pada diri sendiri. Aku sudah tua sebelum kau
lahir. Cakar-cakar-putih-setajam-belati mengiris rusuk dan bagian bawah tubuh Glaedr.
Ia mengibaskan ekor dan menghantam kaki Thorn-bertaring-panjang-yang-menggeram,
menancapkan duri di ekornya pada paha Thorn. Sudah sejak lama pertarungan itu
membuat perisai-sihirtak-kasatmata mereka lenyap, membuat mereka berdua rentan
terhadap setiap jenis luka. Ketika tanah yang berputar-putar hanya tinggal berjarak
beberapa ribu kaki, Glaedr menarik napas dan memundurkan kepala. Ia menegangkan
lehernya, mengeraskan otot perut, dan menyemburkan cairan-api-kental dari dalam
perutnya. Cairan itu men yala ketika bercampur dengan udara di kerongkongannya. Ia
membuka rahang lebar-lebar dan menyemburkan api ke arah si naga merah,
menyelubunginya dengan kepompong membara. Arus api-bergeliut-lapar membuat
bagian dalam pipi Glaedr terasa digelitik. Ia menutup kerongkongan, mengakhiri arus api
saat ia dan naga yang-menjerit-memekik-mencakar-cakar itu saling melepaskan diri.
Dari punggungnya, Glaedr mendengar Oromis berkata, "Kekuatan mereka melemah;
aku bisa melihatnya dari gerakan mereka. Beberapa menit lagi, maka konsentrasi
Murtagh akan terpecah dan kita bisa mengambil kendali benaknya. Dengan cara itu,
atau kita akan membunuh mereka dengan pedang dan taring." Glaedr menggeram
setuju, frustrasi karena * * * Eragon menatap langit-langit, bingung. Ia telentang di
dalam menara kastil. Arya berlutut di sebelahnya, wajahnya tampak sangat cemas. Ia
mencengkeram lengan Eragon dan membantunya berdiri, memeganginya saat Eragon
limbung. Di seberang ruangan, Eragon melihat Saphira mengibaskan kepala, dan
merasakan kebingungan naga itu. Ketiga penyihir masih berdiri dengan tangan
terentang, tubuh bergoyang-goyang dan merapal dalam bahasa kuno. Kata-kata mantra
mereka bergema dengan kekuatan luar biasa dan menggelantung di udara jauh setelah
seharusnya menghilang dalam kesunyian. Pria yang duduk di dekat kaki mereka
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
mencengkeram lutut, seluruh tubuhnya gemetar saat kepalanya menggelepar dari sisi
ke sisi. "Apa yang terjadi?" tanya Arya dengan suara tertahan. Ia menarik Eragon
mendekat dan semakin merendahkan suara. "Bagaimana kau bisa mengetahui pikiran
Glaedr dari jarak jauh, dan benaknya tertutup bahkan terhadap Oromis" Maafkan aku
karena menyentuh benakmu tanpa izin, Eragon, tapi aku mencemaskan keadaanmu.
Hubungan apa yang kau dan Saphira miliki dengan Glaedr?" "Nanti," sahut Eragon, dan
menegakkan bahu. "Apakah Oromis memberimu amulet atau jimat yang membuatmu
bisa mengontak Glaedr?" "Butuh waktu lama untuk menjelaskannya. Nanti, aku janji."
Arya bimbang, kemudian mengangguk dan berkata, "Aku akan menagih janjimu."
Bersama-sama, Eragon, Saphira, dan Arya maju ke arah para penyihir dan
masing-masing menyerang satu penyihir. Gemuruh suara besi berdentang dalam
ruangan ketika Brisingr tergelincir sebelum menyentuh sasarannya, membuat bahu
Eragon terkilir. Pedang Arya mengalami nasib yang sama, memantul pada perisai sihir,
begitu pula cakar depan Saphira. Cakarnya mendecit di lantai batu. "Konsentrasi pada
yang satu ini!" teriak Eragon, dan menunjuk perapal mantra yang paling jangkung, pria
pucat berjanggut berantakan. "Cepat, sebelum mereka berhasil memanggil spirit!"
Eragon dan Arya bisa saja mencoba mengelak atau menyingkirkan perisai sihir penyihir
lain dengan mantra mereka sendiri, tapi menggunakan sihir untuk melawan penyihir lain
adalah tindakan yang berbahaya kecuali benak si penyihir sudah berada dalam
kendalimu. Eragon maupun Arya tidak mau ambil risiko terbunuh perisai sihir yang tidak
mereka ketahui jenisnya. Dengan menyerang bergantian, Eragon, Saphira, dan Arya
Brisingr Serial The Inheritance Cycle 3 Karya Christopher Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memotong, menusuk, dan memukul perapal mantra berjanggut selama hampir semenit.
Tidak ada pukulan mereka yang menyentuh pria itu. Kemudian, akhirnya, setelah
tertahan sedikit, Eragon merasakan sesuatu mulai menyerah di bawah pukulan Brisingr,
dan pedang itu terus menyayat lalu menghantam kepala si perapal mantra. Udara di
hadapan Eragon bergetar. Pada detik yang sama, ia merasakan tenaganya berkurang
mendadak saat perisainya melindunginya dari mantra yang tidak diketahui jenisnya.
Serangan itu berhenti setelah beberapa detik, membuatnya pusing dan kepalanya
terasa ringan. Perutnya keroncongan. Ia mengernyit dan mengisi kembali kekuatan
tubuhnya dengan cadangan energi di sabuk Beloth si Bijaksana Satu-satunya reaksi
yang ditunjukkan kedua penyihir lain begitu melihat rekan mereka tewas adalah
mempercepat ucapan mantra mereka. Busa berwarna kuning menggumpal di sudut bibir
mereka, ludah muncrat dari mulut, dan bagian putih mata mereka tampak lebih besar,
tapi mereka tetap tidak berusaha kabur atau menyerang. Ketika melanjutkan ke penyihir
berikutnya-pria bertubuh gemuk yang mengenakan cincin di ibu jari-Eragon, Saphira,
dan Arya mengulangi proses yang mereka lakukan pada penyihir pertama: memukul
bergantian sampai berhasil melemahkan perisai sihirnya. Saphira-lah yang membunuh
pria tersebut, membuatnya terlontar di udara dengan pukulan cakarnya. Pria itu
membentur sisi tangga batu dan tengkoraknya pecah menghantam ujung undakan. Kali
ini tidak ada serangan sihir. Saat Eragon bergerak menuju si penyihir wanita, kumpulan
cahaya warna-warni meluncur masuk ke ruangan melalui kerai yang rusak dan
mengelilingi pria yang duduk di lantai. Spirit-spirit berpendar itu memancarkan cahaya
kemarahan dahsyat saat mereka berputar-putar di sekeliling pria tersebut, membentuk
dinding tak tertembus. Pria itu mengangkat kedua lengannya untuk melindungi diri dan
menjerit. Udara berdengung dan bergemeretak dengan energi yang memancar dari
bola-bola cahaya yang berkelip. Rasa masam seperti besi meliputi lidah Eragon, dan
kulitnya merinding. Rambut si penyihir wanita berdiri tegak. Di seberangnya, Saphira
mendesis dan melengkungkan punggung, setiap ototnya menegang. Rasa ngeri
menusuk Eragon. Tidak! pikirnya, merasa mual. Jangan sekarang. Tidak setelah segala
yang kami hadapi ini. Ia lebih kuat daripada saat berhadapan dengan Durza di
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Tronjheim, tapi sekarang ia lebih menyadari betapa berbahayanya Shade. Hanya tiga
pejuang yang pernah membunuh Shade dan berhasil selamat: Laetri sang Elf, Irnstad
sang Penunggang, dan dirinya sendiri- dan ia tidak yakin bisa mengulangi
kesuksesannya. Blodhgarm, di mana kau" teriak Eragon dengan benaknya. Kami butuh
bantuanmu! Kemudian segala di sekeliling Eragon berkelip lenyap, dan sebagai
gantinya ia melihat: Putih. Putih kosong. Air-udara-lembut-dingin menyejukkan tubuh
Glaedr setelah rasa panas pertarungan. Ia mengepak di udara, menyambut balutan tipis
udara lembap yang berkumpul di lidah kering-lengketnya. Ia mengepak sekali lagi dan
air-udara memisah di hadapannya, menunjukkan matahari-panas-memancar dan
bumi-hijau-cokelat-berkabut. Di mana dia" Glaedr bertanya-tanya. Ia memutar
kepalanya, mencari-cari Thorn. Naga-semungil-burung-merah itu sudah terbang ke atas
Gil'ead, lebih tinggi daripada burung biasa terbang, tempat udara terasa tipis dan napas
menjadi uap-udara. "Glaedr, di belakang kita!" teriak Oromis. Glaedr memutar tubuh,
tapi Galbatorix tergelak. "Sambutan yang kasar sekali. Memalukan, Oromis-elda.
Apakah kaum elf melupakan sopan santun mereka yang terkenal seratus tahun
belakangan ini?" "Sopan santun yang layak kauterima tidak berbeda daripada yang
layak diterima serigala gila." "Ck-ck, Oromis. Ingatlah apa yang kaukatakan kepadaku
ketika aku berdiri di hadapanmu dan Tetua lainnya: 'Kemarahan adalah racun. Kau
harus mengusirnya dari benakmu, jika tidak kemarahan akan merusak sifatmu yang
lebih baik.' Kau seharusnya mendengarkan nasihatmu sendiri." "Kau tidak bisa
membuatku bingung dengan lidah ularmu itu, Galbatorix. Kau adalah kengerian, dan
kami akan memastikan kau dimusnahkan, bahkan jika kami harus mengorbankan
nyawa." "Tapi mengapa harus begitu, Oromis" Mengapa kau harus melawanku" Sedih
sekali aku melihat kebencian telah menutupi kebijaksanaanmu, karena dulu kau sangat
bijak, Oromis, mungkin yang paling bijak di antara seluruh orde kita. Kau orang pertama
yang menyadari kegilaan menggerogoti jiwaku, dan kaulah yang meyakinkan para Tetua
lain untuk menolak permintaanku akan sebutir telur naga lagi. Sangat bijaksana, Oromis.
Sia-sia, tapi bijaksana. Dan entah bagaimana kau berhasil meloloskan diri dari Kialandi
dan Formora, meski mereka berhasil melukai kalian, kemudian kalian bersembunyi
sampai semua musuhmu mati, kecuali satu. Itu juga sangat bijaksana, elf" Galbatorix
berhenti sejenak. "Tidak perlu melanjutkan memerangiku. Aku mengakui dengan
sukarela bahwa aku telah melakukan kejahatan besar pada masa mudaku, tapi hari-hari
itu sudah lama berlalu, dan ketika aku mengingat darah yang kutumpahkan, hati kecilku
tersiksa. Tapi, apa yang kauinginkan dariku" Aku tidak bisa menghapus perbuatanku.
Sekarang, keinginan terbesarku adalah melanjutkan kedamaian dan kemakmuran
kekaisaran yang kupimpin. Tidak bisakah kau melihat aku sudah tidak lagi haus untuk
balas dendam" Kemarahan yang memacuku selama bertahun-tahun telah terbakar
habis menjadi abu. Tanyakanlah pada dirimu sendiri, Oromis: siapa yang bertanggung
jawab atas perang yang terjadi di seluruh Alagaesia" Bukan aku. Kaum Varden-lah yang
memicu konflik ini. Aku cukup puas memimpin rakyatku dan membiarkan kaum elf,
kurcaci, serta Surda memimpin diri mereka sendiri. Tapi kaum Varden tidak cukup puas.
Merekalah yang memilih untuk mencuri telur Saphira, dan merekalah yang memenuhi
negeri dengan gunung-gunung mayat. Bukan aku. Kau dulu pernah bijak, Oromis, dan
kau bisa menjadi bijak kembali. Singkirkan kebencianmu dan bergabunglah denganku di
Iliera. Denganmu di sisiku, kita bisa mengakhiri konflik ini dan menyambut era damai
yang akan berlangsung selama seribu tahun lagi." Glaedr tidak terbujuk. Ia menguatkan
cengkeraman cakar-menusuk peremuknya, membuat Thorn melolong kesakitan.
Suara-sakit itu kedengaran sangat nyaring setelah pidato Galbatorix. Dengan suara
jernih dan lantang, Oromis berkata, "Tidak. Kau takkan bisa membuat kami melupakan
kekejianmu dengan kata-kata bohong semanis madu. Lepaskan kami! Kau tidak mampu
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
menahan kami di sini lebih lama, dan aku menolak bercakap-cakap tanpa tujuan dengan
pengkhianat seperti dirimu." "Bah! Kau tua bangka tolol," kata Galbatorix, dan suaranya
menjadi kasar penuh amarah. "Kau seharusnya menerima tawaranku; kau akan jadi
budakku yang paling utama. Aku akan membuatmu menyesali pengabdianmu pada
sesuatu yang kauanggap keadilan. Dan kau salah. Aku bisa menahanmu selama yang
kuinginkan, karena aku sudah menjadi sekuat dewa, dan tidak ada yang mampu
menghentikanku!" "Kau takkan berhasil," kata Oromis. "Bahkan dewa tidak bertahan
selamanya." Mendengar itu, Galbatorix menyemburkan sumpah serapah. "Filosofimu
tidak berpengaruh padaku, elf! Aku penyihir terhebat, dan tidak lama lagi aku akan
menjadi semakin hebat. Ajal tidak akan merenggut nyawaku. Kau, sebaliknya, akan
mati. Tapi mula-mula kau akan menderita. Kalian berdua akan menderita lebih daripada
yang bisa kalian bayangkan, kemudian aku akan membunuhmu, Oromis, dan aku akan
mengambil jantung dari jantungmu, Glaedr, dan kau akan melayaniku sampai akhir
zaman." "Tidak akan!" seru Oromis. Dan Glaedr sekali lagi mendengar benturan
pedang dengan perisai. Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Glaedr membentengi benaknya dari benak Oromis sepanjang pertarungan ini
berlangsung, tapi hubungan mereka jauh lebih dalam daripada pikiran saja, maka ia
merasakan ketika Oromis mengejang, terlumpuhkan serangan sakit-saraf-terkutuknya
itu. Terkejut, Glaedr melepaskan kaki Thorn dan berusaha menendang naga merah itu
agar menyingkir. Thorn melolong terkena hantamannya tapi tetap berada di tempat.
Mantra Galbatorix mengunci mereka berdua dalam posisi seperti itu-tidak ada yang bisa
bergerak lebih dari beberapa kaki ke segala arah. Terdengar dentang besi kembali dari
atas, kemudian Glaedr melihat Naegling terjatuh melewatinya. Pedang emas itu berkilat
dan berpendar saat terjun berputar-putar ke bawah. Untuk pertama kalinya, cakar dingin
ketakutan mulai mencengkeram Glaedr. Sebagian besar energi dalam-kata Oromis
disimpan di dalam pedang itu, dan perisai sihirnya juga menempel pada pedang.
Tanpanya, Oromis akan tak berdaya. Glaedr melemparkan tubuhnya sendiri ke
perbatasan mantra Galbatorix, berjuang mati-matian melepaskan diri. Tapi sekuat apa
pun berusaha, untuk berpikir apakah ini mungkin dilakukan, ia mendorong Murtagh dan
Thorn dengan semburan sihir, membuat mereka terpelanting seperti daun tertiup angin,
kemudian Glaedr melipat kedua sayap ke tubuhnya dan terjun menuju Gil'ead. Jika
Glaedr mengalirkan kekuatannya sendiri ke tubuh Oromis yang rusak, berusaha
mempertahankan nyawanya sampai mereka meraih daratan. Tapi sebanyak apa pun
energi yang diberikannya kepada Oromis, Hilang. Hilang! HILANG. Kegelapan.
Kekosongan. Ia sendirian. Kabut merah terang menutupi dunia, berdenyut seirama
dengan nadinya. Ia melebarkan sayap dan menukik kembali ke arah tadi mereka
datang, mencari-cari Thorn dan Penunggangnya. Ia takkan membiarkan mereka lolos; ia
akan menangkap mereka dan mencabik-cabik mereka dan membakar mereka sampai ia
menghapuskan keberadaan mereka dari muka bumi. Glaedr melihat
naga-semungil-burung-merah itu terjun ke arahnya, dan ia meraungkan kesedihannya
serta mempercepat laju terbangnya. Naga merah itu menukik pada detik terakhir,
berusaha berkelit, tapi ia tidak cukup cepat untuk menghindari Glaedr, yang menerkam
dan men ggigit ujung ekor si naga merah sepanjang tiga kaki. Hujan darah mengucur
dari bonggol tern pat ujung ekornya tadi berada. Berteriak kesakitan, si naga merah men
ggeliat membebaskan diri dan melesat ke belakang Glaedr. Glaedr mulai memutar
tubuh untuk menghadapinya, tapi naga yang lebih kecil itu terlalu cepat, terlalu lincah.
Glaedr merasakan sakit menusuk pada tengkuknya, kemudian pandangannya
mengabur dan lenyap. Di mana dia" Ia sendirian. Ia sendirian dalam kegelapan. Ia
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
sendirian dalam kegelapan, dan ia tidak bisa bergerak maupun melihat. Ia bisa
merasakan benak orang lain di sekitarnya, tapi bukan benak Thorn dan Murtagh,
melainkan benak Arya, Eragon, dan Saphira. Kemudian Glaedr tersadar di mana dirinya
berada, dan kengerian situasi ini membuatnya terguncang, dan ia melolong dalam
kegelapan. Ia melolong dan terus melolong, lalu melemparkan diri dalam kepedihan,
tidak peduli apa yang akan terjadi, karena Oromis sudah mati, dan ia sendirian.
Sendirian! * Sambil tersentak, Eragon kembali berada dalam dirinya sendiri. Ia
meringkuk seperti bola. Air mata mengalir di wajahnya. Tersengal, ia mendorong
tubuhnya dari lantai dan mencari Saphira serta Arya. Ia butuh beberapa saat untuk
memahami apa yang disaksikannya. Penyihir wanita yang tadinya akan diserang Eragon
telah tergeletak di lantai, terbunuh oleh sekali tusukan pedang. Spirit-spirit yang
dipanggil olehnya dan rekan-rekannya tidak terlihat di mana pun. Lady Lorana masih
terpaku di kursi. Saphira berjuang untuk bangkit di seberang ruangan. Dan pria yang
tadi duduk di lantai di tengah tiga perapal mantra yang lain berdiri di sebelah Eragon,
mencekik leher Arya sampai elf itu menggantung di udara. Warna lenyap dari kulit pria
itu, menjadikannya seputih tulang. Rambutnya, yang tadinya cokelat, berubah warna
menjadi merah terang, dan ketika ia melihat ke arah Eragon sambil tersenyum, Eragon
melihat matanya telah berwarna merah marun. Dalam seluruh penampilan dan
pembawaannya, pria itu mirip sekali dengan Durza. "Nama kami Varaug," kata si Shade.
"Takutlah pada kami." Arya menendangnya, tapi hantamannya tampak tidak berakibat
apa-apa. Tekanan benak Shade yang membakar menyerang benak Eragon, berusaha
menghancurkan pertahanannya. Kekuatan serangan itu membuat Eragon tidak mampu
bergerak; ia hampir tidak bisa menolak sulur-sulur pikiran si Shade yang menusuknya,
apalagi melangkah atau mengayunkan pedang. Entah bagaimana, Varaug lebih kuat
daripada Durza, dan Eragon tidak yakin berapa lama ia bisa bertahan menghadapi
serangan Shade itu. Ia melihat Saphira juga diserang; naga itu duduk kaku dan tidak
bergerak di balkon, seringai terukir di wajahnya. Urat di dahi Arya menonjol, dan
wajahnya menjadi merah serta ungu. Mulut Arya terbuka, tapi ia tidak bernapas. Dengan
telapak tangan kanannya, ia memukul siku si Shade dan mematahkan sendinya dengan
suara berderak keras. Tangan Varaug mengendur, dan selama sedetik, kaki Arya
kembali menyentuh lantai, tapi kemudian tulang pada lengan si Shade kembali
terpasang di tempatnya, dan ia mengangkat Arya lebih tinggi. "Kalian akan mati," kata
Varaug. "Kalian akan mati karena telah mengurung kami di dalam lempung dingin dan
keras ini." Mengetahui nyawa Arya dan Saphira berada di ujung tanduk membuat semua
emosi dalam diri Eragon menguap, kecuali tekad bajanya. Pikirannya setajam dan
sejernih pecahan kaca, ia menusuk kesadaran si Shade yang menggelegak marah.
Varaug terlalu kuat, dan spirit-spirit yang berada di dalam tubuhnya terlalu
terpisah-pisah sehingga Eragon sulit mengendalikan mereka. Maka Eragon berniat
mengisolasi si Shade. Ia mengelilingi benak Varaug dengan benaknya sendiri: setiap
kali Varaug berusaha meraih ke arah Saphira atau Arya, Eragon memblokir serangan
mental tersebut, dan setiap kali si Shade berusaha menggerakkan tubuh, Eragon
menangkalnya dengan mantranya sendiri. Mereka berduel dalam kecepatan cahaya,
saling menyerang di sepanjang batas benak si Shade, yang berupa daerah yang begitu
kacau serta tidak berbentuk sehingga Eragon cemas ia akan gila jika menatapnya terlalu
lama. Eragon mengerahkan tenaga untuk berduel dengan Varaug, berusaha
mengantisipasi semua gerakan Shade itu, tapi ia tahu pertarungan mereka ini hanya
akan berakhir dengan kekalahannya. Meski cukup cepat, Eragon tidak bisa
mengalahkan pikiran begitu banyak inteligensia yang berada di dalam tubuh si Shade.
Konsentrasi Eragon berangsur-angsur melemah, dan Varaug menyambar kesempatan
ini untuk memaksa dirinya semakin memasuki benak Eragon, menjebaknya...
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
menusuknya... menekan pikirannya sampai Eragon tidak mampu berbuat apa-apa selain
menatap si Shade dengan kemarahan tak tersalurkan. Rasa menggelitik yang menyiksa
merayapi tubuh Eragon ketika spirit-spirit itu menggerayangi tubuhnya, menunggangi
setiap aliran darahnya. "Cincinmu penuh cahaya!" seru Varaug, matanya melebar
kegirangan. "Cahaya indah! Akan memberi kami makan lama sekali!" Kemudian ia
menggeram marah ketika Arya mencengkeram pergelangan tangannya dan
mematahkannya di beberapa tempat. Arya memutar tubuh sampai terbebas dari cekikan
Varaug sebelum Shade itu bisa menyembuhkan diri sendiri, dan Arya terjatuh ke lantai,
megap-megap mencari udara. Varaug menendangnya, tapi Arya berguling menghindar.
Arya meraih pedangnya yang jatuh. Eragon gemetar saat berusaha menyingkirkan
kehadiran si Shade yang menjepitnya. Tangan Arya menggenggam gagang pedangnya.
Teriakan tanpa makna terdengar dari mulut Shade. Ia menerkam Arya, dan mereka
berguling-guling di lantai, berebut pedang. Arya berteriak dan mendaratkan pukulan
pada sisi kepala Varaug dengan gagang pedangnya. Shade itu lumpuh sejenak, dan
Arya bergegas mundur, mendorong tubuhnya berdiri. Dalam sekejap, Eragon
melepaskan diri dari benak Varaug. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, ia terus
menyerang kesadaran si Shade, hanya ingin menahannya beberapa menit lagi. Varaug
berjongkok dengan sebelah lutut, kemudian gerakan- nya terhenti karena Eragon
menggandakan serangan benaknya. "Serang dia!" teriak Eragon. Arya melompat ke
depan, rambutnya yang hitam berkibar.... Dan ia menusuk jantung Shade dengan
pedangnya. Eragon mengernyit dan menarik diri dari benak Varaug persis saat Shade
itu mundur dari serangan Arya, membebaskan tubuhnya dari tancapan pedang. Shade
itu membuka mulut dan mengeluarkan pekikan melengking bergetar yang memecahkan
kaca lentera di atas. Ia mengulurkan tangan kepada Arya dan terhuyung ke arahnya,
kemudian berhenti ketika kulitnya berubah menjadi transparan, menampakkan dua
belas spirit berkilauan yang terjebak dalam kungkungan tubuhnya. Spirit-spirit itu
berdenyut, semakin besar, dan kulit Varaug robek di sepanjang otot perutnya. Diiringi
ledakan cahaya terakhir, spirit-spirit membuat tubuh Varaug hancur berantakan dan
terbang ke luar ruangan, menembus dinding seolah batunya tidak padat. Denyut
jantung Eragon berangsur-angsur mereda. Kemudian, merasa sangat tua dan sangat
letih, ia melangkah menghampiri Arya, yang berdiri bersandar pada kursi,
menangkupkan tangan pada leher. Ia terbatuk, meludahkan darah. Karena Arya tampak
tidak mampu bicara, Eragon menggenggam tangan Arya dan berkata, "Waise heill."
Saat energi untuk menyembuhkan mengalir keluar dari tubuhnya, kaki-kaki Eragon
terasa lemas, dan ia harus berpegangan pada kursi. "Sudah baikan?" ia bertanya ketika
mantranya selesai. "Sudah," bisik Arya, dan menghadiahi Eragon senyum lemah. Ia
menunjuk tempat Varaug tadi berada. "Kita membunuhnya... Kita membunuhnya, tapi
kita tidakBrisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Eragon menutup kembali kantong Eldunari dan berusaha mengikat talinya, keletihan
membuat jemarinya ceroboh. Kaum Varden mendapatkan kemenangan penting dan
kaum elf mengambil alih Gil'ead, tapi ini tidak membuatnya gembira. Ia menatap
Nasuada dan berkata, "Bagaimana sekarang?" Nasuada mengangkat dagu. "Sekarang,"
katanya, "kita akan bergerak ke selatan ke Belatona, dan jika sudah menguasainya, kita
akan meneruskan perjalanan ke Dras-Leona dan mengepungnya juga, kemudian ke Uru
Setelah mereka meninggalkan Nasuada, Eragon dan Saphira setuju untuk
meninggalkan Feinster dan kembali ke perkemahan kaum Varden sehingga mereka
berdua bisa beristirahat tanpa terganggu keributan berbagai jenis suara di dalam kota.
Bersama Blodhgarm dan pengawal-pengawal Eragon lain yang mengelilingi mereka,
semua berjalan menuju gerbang utama Feinster, Eragon masih memegang jantung
Brisingr (The Inheritance Cycle 3) karya Christopher Paolini
Glaedr. Tidak ada di antara mereka yang bicara. Eragon menatap tanah di antara kedua
kakinya. Ia tidak terlalu memedulikan para pria yang berlari atau berjalan melewatinya;
tugasnya dalam pertempuran telah selesai, dan yang ingin dilakukannya hanyalah
berbaring dan melupakan kesedihan hari ini. Sensasi terakhir yang dirasakannya dari
Glaedr masih bergema dalam benaknya: Ia sendirian. Ia sendirian dan berada dalam
kegelapan... Sendirian! Napas Eragon tertahan ketika ia mual mendadak. Jadi begitulah
rasanya jika kehilangan Penunggang atau nagamu. Tidak heran Galbatorix jadi gila. Kita
yang terakhir, kata Saphira. Eragon mengerutkan kening, tidak mengerti. Naga dan
Penunggang merdeka yang terakhir, Saphira menjelaskan. Kita satu-satunya yang
tersisa. Kita... Sendirian. Ya. Eragon tersaruk ketika kakinya tersandung batu longgar
yang tidak dilihatnya. Merasa merana, ia memejamkan mata sejenak. Kita tidak bisa
melakukan ini sendirian, pikirnya. Kita tidak bisa! Kita belum siap. Saphira
menyetujuinya, dan kesedihan serta kegelisahan Saphira, ditambah perasaan Eragon,
hampir membuat Eragon lumpuh. Ketika mereka tiba di gerbang kota, Eragon berhenti,
enggan menyeruak di antara kerumunan ramai orang yang berkumpul di depan
gerbang, berusaha melarikan diri dari Feinster. Ia melirik ke sana kemari untuk mencari
jalan lain. Saat matanya melintasi tembok luar, tiba-tiba ia merasakan keinginan kuat
untuk melihat kota di bawah cahaya pagi. Ia menjauh dari Saphira, berlari menuju
Brisingr Serial The Inheritance Cycle 3 Karya Christopher Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangga ke puncak tembok. Saphira menggeram kesal dan mengikutinya, setengah
membuka lipatan sayap saat melompat dari jalan ke tembok dalam satu gerakan saja.
Mereka berdiri berdua di tembok benteng selama hampir satu jam dan menyaksikan
matahari terbit. Satu demi satu, pancaran cahaya pucat keemasan menerpa padang
rumput hijau dari arah timur, menerangi butiran-butiran debu tak terhitung yang
melayang-layang di udara. Ketika pancaran cahaya menerpa gumpalan asap, asap
tersebut berpendar jingga dan merah serta membubung dengan kecepatan yang
semakin tinggi. Api di antara gubuk-gubuk di luar tembok kota hampir padam, meski
sejak Eragon dan Saphira tiba, pertarungan membuat banyak rumah di dalam Feinster
dilalap api, dan lidah-lidah api yang berasal dari rumah-rumah yang mulai runtuh itu
menjadikan suasana kota tampak cantik yang menakutkan. Di belakang Feinster, laut
yang berkilauan membentang menuju cakrawala yang jauh dan datar, menampakkan
layar-layar kapal menuju utara di kejauhan. Ketika matahari menghangatkan Eragon
menembus baju besinya, perasaan melankolisnya berangsur-angsur menguap seperti
kabut yang menggeliat pada permukaan sungai di bawah. Ia menarik napas
dalam-dalam dan mengeluarkanya, mengendurkan otot-otot. Tidak, katanya, kita tidak
sendirian. Aku memilikimu dan kau memiliki aku. Dan ada Arya serta Nasuada dan Orik,
juga banyak lagi yang akan membantu kita dalam perjuangan ini. BUKU KETIGA
SIKLUS WARISAN USAI DI SINI. KISAH AKAN BERLANJUT DAN BERAKHIR DI
BUKU KEEMPAT. Pendekar Bloon 27 Suro Buldog Karya Pandir Kelana Misteri Kehadiran Arwah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama