Ceritasilat Novel Online

Paket Bergambar Tengkorak 1

Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak Bagian 1


Ebook by Syauqy_arr - OCR by Raynold
I. Penjambretan di Taman Bismarck
ANGIN bertiup kencang. mengguncang-guncang dahan-dahan pohon di taman itu. Salju
yang turun terus-menerus sejak semalam, telah mengubah pemandangan menjadi serba
putih. Hanya sedikit orang yang berjalan-jalan dalam cuaca dingin seperti itu.
Salah seorang di antara mereka adalah Sporty.
Anak itu memang menyukai suasana musim dingin. Berpakaian hangat, ia berjalanjalan di dalam taman, sambil memperhatikan tingkah burung-burung gereja yang
sibuk mencari makan. Musim dingin merupakan masa sulit untuk burung-burung itu,
Tetapi untungnya, ada saja penyayang binatang yang membawakan sisa sisa roti
untuk mereka. Tiba-tiba Sporty terperanjat.
"Tolooong ,.. Tolooong!" terdengar teriakan ketika angin mereda. Namun sebelum
Sporty dapat menentukan dari mana suara itu berasal. angin kembali menderu-deru.
Sporty agak ragu-ragu. Benarkah ia baru saji mendengar teriakan minta tolong"
Atau barangkali hanya dipermainkan oleh khayalannya Sendiri" Tiupan angin
kadang-kadang memang dapat menimbulkan suara yang aneh-aneh.
Sporty mempercepat langkahnya. Ia harus menemukan sumber suara tadi. Jelas ia
akan menyelidiki persoalan ini sampai tuntas. Keberanian dan rasa ingin tahu
yang besar termasuk sifat-sifat yang paling menonjol pada dirinya.
Ia bergegas menyusuri jalan setapak. Ketika melewati sebuah belokan, langkahnya
mendadak terhenti. Adegan yang terjadi di depannya membuatnya menahan napas.
Sporty merasa bahwa burung-burung gereja pun turut mengomel melihat tindakan
sewenang-wenang yang sedang terjadi.
Seorang kakek sedang diserang oleh dua orang. Yang satu berbadan tegap. Temannya
lebih tinggi, tetapi ceking. Orang tua itu melawan sekuat tenaga, tetapi ia
tidak berdaya menghadapi kedua pengeroyoknya. Salah seorang memegangnya dari
belakang. Yang lain menghantam dada orang tua itu dengan tinjunya.
Kemudian ia merampas dompet si kakek dengan suatu gerakan secepat kilat.
"Berhenti!" teriak Sporty. Sebenarnya ia tidak bermaksud berteriak. Namun kata
itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Kedua penjahat itu tersentak kaget. Segera mereka menoleh ke arah Sporty. Wajah
mereka tersembunyi di balik topeng badut. Hanya mata mereka saja yang kelihatan
melalui celah-celah sempit.
Walaupun demikian, Sporty merasa pasti bahwa kedua penjahat itu anak muda.
Soalnya masing-masing mengenakan jeans belel, sepatu lars yang terbuat dan
kulit, serta jaket seperti yang biasa dipakai oleh para penerbang. Keduanya agak
lebih tinggi daripada Sporty.
Anak muda yang memukul orang tua tadi adalah yang berbadan tegap. Kedua belah
tangannya terbungkus sarung tangan berwarna merah, yang sepintas mirip sarung
tinju, Tetapi Sporty tahu bahwa sarung tangan seperti itu merupakan perlengkapan
pemain ski. Sarung tangan itu merupakan model yang paling baru dan paling mahal.
Hanya toko-toko olahraga terkemuka yang menjual barang seperti itu.
"Tolong! Jambret!" orang tua tadi berseru ke arah Sporty, Ia sudah kehabisan
tenaga, tetapi pemuda bertopeng itu masih memeganginya. "Cepat, Nak... panggil
bantuan." Bantuan" pikir Sporty. Tanpa bantuan pun aku bisa mengatasi kejadian ini Mereka
tidak tahu bahwa aku jago judo. Apa gunanya aku sudah memegang ban biru.
Tanpa ragu-ragu, Sporty berlari mendekat.
"Pergi!" pemuda berbadan tegap itu membentaknya. Namun kemudian ia nampak
terkejut. Ia mengenaliku, terlintas di benak Sporty. Berarti seharusnya aku juga
mengenalnya, dan... Sporty tidak sempat berpikir panjang lebar, Pemuda berbadan tegap tadi
menyambutnya dengan sebuah pukulan. Namun tinju itu tidak mengenai sasarannya,
karena Sporty telah melangkah ke samping. Dengan gesit ia kemudian menangkap
lengan lawannya, dan memelintirnya sekuat tenaga.
Penyerangnya berteriak kesakitan. Sporty baru melepaskan pegangannya ketika
pemuda itu terjatuh dan tergeletak di salju sambil mengerang-erang.
"Awas, Nak!" si kakek tiba-tiba berseru. Segera saja Sporty berbalik badan.
Namun ia terlambat sepersekian detik. Sebuah kepalan tinju mendarat telak di
wajahnya. Untuk beberapa detik mata Sporty berkunang-kunang.
Tetapi tidak percuma Sporty menjadi bintang olahraga di sekolahnya. Dengan
sebuah gerakan refleks, ia melangkah mundur. Lawannya segera memburunya
Pandangan Sporty kembali jelas. Ia melihat pria yang menjadi korban penjambretan
itu membungkuk dan meraih tongkatnya yang terjatuh tadi.
Pemuda bertopeng itu melayangkan tinjunya. Sporty menghindar. Detik berikutnya
keduanya telah bergumul di atas salju. Tetapi Sporty ternyata lebih kuat, jauh
lebih kuat dari lawannya yang berbadan kurus itu. Tanpa kemahiran bela diri pun,
ia pasti akan berhasil keluar sebagai pemenang. Dengan sebuah teknik kuncian,
Sporty mencekik lawannya.
"Masih melawan?" Sporty menghardiknya.
"Sudah... sudah... aku tak bisa napas...," pemuda bertopeng itu mendesah.
Tanpa kesulitan, Sporty membuat lawannya tidak dapat bergerak. Namun tepat pada
saat itu kakek tadi turut campur.
"Aku akan membantumu!" ia berseru pada Sporty. "Awas. kepala!"
Sporty tidak mengerti apa yang terjadi kemudian. Tahu-tahu tongkat orang tua itu
sudah menghantam punggungnya. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, Untuk
beberapa saat Sporty tidak dapat menarik napas. Kedua belah tangannya seakanakan lumpuh. Ia terpaksa melepaskan pemuda bertopeng itu. Sambil berjongkok di
atas salju, Sporty berusaha menghirup udara.
"Ya, Tuhan!" ia mendengar suara, kakek itu. "Aku.., aku keliru!"
Wah, habis aku! pikir Sporty. Mereka akan menghajarku, dan juga orang tua itu.
Kedua lengannya belum juga dapat digerakkan Sporty melihat pemuda yang baru saja
dicekiknya, bangkit kembali
"Ayo. Toni! Cabut!" ia berseru pada temannya yang berbadan tegap.
"Mereka kabur!" Sporty bersyukur dalam hati. "Untung saja! Rupanya mereka sudah
kapok!" Suara langkah terdengar menjauh. Kedua pemuda itu kabur seperti dikejar setan
Burung-burung gereja kembali ribut, seolah-olah hendak mengejek kedua penjahat
itu. Beberapa saat kemudian, kondisi Sporty telah pulih. Dengan sigap ia berdiri. Ia
menepiskan salju yang menempel di pakaiannya, lalu menghadap ke orang tua tadi.
"Kalau saja Bapak tidak turut campur... Mereka sudah tak berdaya tadi. Aku
hampir saja berhasil membuka kedok mereka, eh, tahu-tahu Bapak malah
menghantamku!" "Nak, saya benar-benar tidak bermaksud mencelakakanmu," kata orang tua itu penuh
penyesalan. Ia mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan hidung.
"Saya hanya ingin membantu. Dan... Yah, saya memang sudah tidak berguna.
Begitulah kejadiannya kalau kita sudah berumur delapan puluh tahun."
Orang tua itu terdiam. Ia memasukkan sapu tangannya ke kantung mantelnya.
"Saya sama sekali tidak menduga bahwa Bapak telah berusia delapan puluh tahun,"
Sporty mencoba menghibur orang tua itu.
Namun kakek itu tidak menanggapinya. Kekesalan yang dirasakannya harus
dilampiaskannya dulu. "Dasar bandit!" ia mengomel. "Makin lama makin berani. Di taman ini pun kita
sudah tidak aman lagi. Saya hanya bermaksud memberi makan burung-burung gereja.
Tiba-tiba saja kedua bajingan itu datang. Bertopeng lagi! Mereka hendak merampas
dompet saya. Nah. itu dia!"
Orang tua itu memungut dompet yang tergeletak di salju, lalu memeriksa isinya.
Baru sekarang Sporty sempat memperhatikan kakek yang nyaris menjadi korban
kejahatan itu. Ia berpakaian rapi. Ujung tongkatnya dihiasi ukiran yang terbuat
dari perak. Wajah orang tua itu kurus, dagunya lancip dan hidungnya bengkok.
Penampilannya meyakinkan. Sporty menduga bahwa orang itu mungkin saja merupakan
keturunan bangsawan. "Saya Kolonel Grewe," pria berusia lanjut itu berkata pada Sporty. "Namun tentu
saja saya sudah pensiun. Keberanianmu sangat mengesankan, Nak. Dan caramu
membereskan mereka juga luar biasa, Padahal kedua pemuda itu tentu lebih tua,
dan juga lebih besar dibandingkan denganmu. Siapa namamu?"
"Nama saya Spor... eh, maaf," anak itu berkata sambil tertawa. "Itu hanya nama
panggilan saja. Sporty, maksud saya. Semua teman saya memanggil begitu. Nama
saya sebenarnya adalah Peter Carsten."
"Aha!" kolonel itu berkata. "Panggilan Sporty memang cocok untukmu."
Pendapat itu memang benar. Sporty memperoleh julukannya itu antara lain karena
ia sangat gemar berolahraga. Mungkin juga karena rambutnya yang keriting dan
berwarna gelap. Atau karena kulitnya yang selalu coklat terbakar matahari,
Dibandingkan dengan umurnya yang baru tiga belas tahun, ia termasuk tinggi.
Sporty mempunyai sepasang mata berwarna biru, dan di kelasnya - kelas 9 b - ia
merupakan murid yang paling menonjol dalam pelajaran olahraga dan matematika.
"Kamu bukan orang asli daerah ini?" kata Kolonel Grewe, "Logatmu lain."
"Benar. Saya tinggal di asrama sekolah," jawab Sporty sambil menunjuk ke
belakang. Sekolah Sporty terletak beberapa kilometer di luar kota. Sekolah itu terkenal
karena mutunya tinggi. Untuk menampung murid-murid yang berasal dari luar kota.
para pengurus sekolah menyediakan sebuah asrama yang dibangun di belakang
sekolah. Asrama itu hanya dihuni oleh murid laki-laki saja, tetapi dalam satu
kelas juga terdapat murid perempuan, walaupun hanya tiga atau empat orang.
Setiap pagi mereka datang dengan bis sekolah khusus, Kehadiran murid perempuan
membuat suasana belajar di sekolah itu menjadi lebih menyenangkan,
Kehidupan di asrama tidak pernah membosankan. Apalagi untuk seorang remaja yang
penuh energi seperti Sporty. Jarak dari sekolah ke kota tidak jauh. hanya
sekitar dua puluh menit berlari santai. Sebuah jalan menghubungkan sekolah itu
dengan keramaian kota. "Aha!" Kolonel Grewe kembali berkata, "Saya.., eh.., hendak mengatakan sesuatu.
Tapi... dasar pelupa! Oh, ya! Saya ingin mengucapkan terima kasih, Seandainya
kamu tidak muncul, Sporty, para penjahat itu pasti akan berhasil merampas dompet
saya." "Pak Kolonel, saya yakin bahwa tanpa bantuan saya pun, Bapak pasti akan berjuang
sekuat tenaga untuk mempertahankan milik Bapak."
"Berjuang" Ya, berjuang! Tetapi kini pejuang zaman dulu telah loyo. Begitulah
pengaruh usia. Bagaimana saya dapat membalas kebaikanmu, Nak?"
"Saya tidak mengharapkan imbalan, Pak Kolonel!" jawab Sporty. "Saya hanya
membantu karena Bapak mengalami kesulitan, itu saja."
Kolonel Grewe mengangguk-angguk. Ia membuka dompet yang masih dipegangnya.
Sporty hampir tidak percaya ketika orang tua itu menyodorkan selembar uang 100
Mark. Mula-mula anak itu tidak mau menerima uang itu. Tetapi kolonel itu
memaksanya. "Saya akan sakit hati kalau kamu tidak mau menerima pemberian ini," katanya.
Tentu saja Sporty tidak menghendaki hal itu. Sambil tersenyum ia mengantungi
uang itu, lalu mengucapkan terima kasih. Kolonel Grewe sekali lagi berterima
kasih. Kemudian ia menyebutkan alamat rumahnya, dan mengundang Sporty untuk
berkunjung sekali waktu, Akhirnya orang tua itu mengeluarkan sebuah kantung
plastik berisi makanan burung.
Kolonel Grewe rupanya sudah melupakan kejadian tadi. Perhatiannya kini
sepenuhnya tercurah pada burung-burung gereja yang kelaparan. Kelihatannya ia
sama sekali tidak berniat menghubungi polisi.
Hebat juga, orang tua itu, pikir Sporty ketika ia berlalu dari tempat itu. Orang
lain seumur Pak Kolonel pasti sudah kalang kabut kalau mengalami kejadian
seperti tadi. Tenaganya juga masih lumayan. Punggungku sampai sekarang masih
terasa sakit. Keheningan kembali menyelimuti Taman Bismarck. Salju masih saja turun. Seekor
tupai berwarna hitam melintas di depan Sporty. Matahari bersinar redup, seakanakan tidak sanggup menembus awan yang menggantung rendah di langit.
Siapa kedua pemuda tadi" pikir Sporty. Apakah aku mengenal mereka" Kalau tidak
keliru, salah seorang di antara mereka menyebut nama Toni tadi. Hm, bukan suatu
nama yang jarang terdengar. Tapi - berapa banyak sih orang yang bernama Toni" Di
sekolah ada lima atau enam orang. Aku akan menyelidiki mereka satu per satu.
Lagi pula... rasanya aku mengenal temannya itu. Cara berjalannya khas. Aku yakin
bahwa aku pernah melihat orang itu. Gila! Dua murid sebuah sekolah terkemuka
merampok orang tua" Seperti penjahat sungguhan saja!
Mendadak Sporty berhenti. Ia membungkuk dan memungut sebuah kantung kulit yang
tergeletak di depannya. Ritsluitingnya macet, tetapi akhirnya Sporty berhasil
membuka kantung itu. Terheran-heran anak itu menatap isinya: sebuah sendok, sebuah belahan jeruk
nipis yang disimpan dalam kantung plastik, sebuah geretan, dan sebuah alat
suntik yang sudah sangat kotor. Alat suntik itu begitu kotor sehingga dalam
keadaan darurat pun takkan dipergunakan oleh seorang dokter.
Sporty termangu-mangu. Isi kantung kulit itu ternyata perlengkapan milik seorang
morfinis. Sporty selama ini hanya mengenal barang-barang itu dari poster-poster
yang disebarluaskan oleh dinas kepolisian dalam rangka kampanye anti-narkotika.
Tetapi ia tidak ragu-ragu, barang-barang itu memang merupakan perlengkapan untuk
menyuntikkan heroin ke dalam tubuh seorang pecandu narkotika.
Tiba-tiba Sporty sadar, bahwa kantung itu milik salah seorang dan kedua pemuda
bertopeng tadi. Berarti keduanya telah kecanduan heroin. Mereka berniat merampas
dompet orang tua itu untuk memperoleh uang. Uang yang akan dibelikan narkotika.
2. Petra Membuka Salon Anjing
SPORTY memang senang tinggal di asrama. Prestasinya di sekolah juga baik. Tetapi
semua itu belum lengkap tanpa ketiga temannya. Kekompakan keempat sahabat itu
tidak tergoyahkan dan sudah menjadi rahasia umum di sekolah mereka.
Oskar Sauerlich adalah teman sekamar Sporty. Kamar mereka diberi nama SARANG
RAJAWALI Anak-anak yang tinggal di asrama itu memang mempunyai kebiasaan memberi
nama kamar masing masing. Oskar sendiri dijuluki si Gendut. Orang tuanya kayaraya. Mereka memiliki sebuah pabrik coklat Walaupun kedua orang tuanya tinggal
di kota dekat sekolah, Oskar memilih untuk tinggal di asrama saja. Ia
berpendapat bahwa suasana di rumahnya terlalu sepi dibandingkan dengan keadaan
di asrama yang selalu ramai.
Thomas Vierstein, alias Komputer, bukan anak asrama. Ia tinggal di kota bersama
orang tuanya. Ayahnya profesor matematika, dan mengajar di Universitas di kota.
Thomas memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia tidak pernah melupakan sesuatu
Karena itu ia memperoleh julukan Komputer.
Satu-satunya anak perempuan dalam kelompok itu adalah Petra Glockner. Umurnya
tiga belas tahun lewat sedikit. Ia juga tinggal di kota bersama orang tuanya.
Nama kelompok keempat sahabat itu diambil dari huruf awal nama masing-masing. S
untuk Sporty, T untuk Thomas, 0 untuk Oskar, dan P untuk Petra-STOP, sebuah nama
yang singkat dan mudah ? diingat. Setiap ada waktu luang - berarti pada sore
hari dan pada akhir pekan - keempat sahabat itu bertemu di rumah Petra. Itu
telah menjadi kebiasaan mereka.
Sporty kini sedang menuju rumah Petra. Pertemuan dengan temannya itu selalu
dinantikannya dengan berdebar-debar. Bagi orang yang mengenal Petra, hal itu
tidak mengherankan. Gadis itu mempunyai sepasang mata berwarna biru yang dihiasi
bulu mata yang lentik. Rambutnya yang halus berwarna pirang, dan dibiarkan
tumbuh panjang. Petra dikenal sebagai perenang yang tangguh, khususnya dalam gaya punggung. Di
samping itu, ia juga jago bahasa Prancis. Sporty sangat menyukai Petra. Ia tidak
pernah menunjukkannya secara terang-terangan, tetapi dalam hati ia berjanji
bersedia berbuat apa saja demi gadis itu. Seperti sebagian besar temannya,
Sporty berpendapat bahwa Petra merupakan murid paling cantik di sekolah mereka.
Petra sangat sayang pada binatang, terutama anjing. Semua anjing yang
ditemuinya, pasti diajaknya bersalaman. Anehnya, semua anjing itu menurut saja,
bahkan yang paling galak sekalipun. Karena kebiasaannya itu, Petra dijuluki
Salam oleh teman-temannya. Gadis itu juga mempunyai binatang piaraan, seekor
anjing spanil bernama Bello. Anjing itu sangat lucu, tetapi juga sangat rakus.
Sambil berlari kecil, Sporty melewati rumah-rumah tua di jalan sempit itu. Ia
memang ingin cepat sampai ke tujuannya. Rumah keluarga Glockner berada di jalan
itu. Bu Glockner mempunyai sebuah toko kecil yang menjual bahan-bahan makanan.
Pak Glockner adalah komisaris polisi. Ia teman akrab keempat sahabat itu. Mereka
memang sering membutuhkan dukungannya, karena akibat kebiasaan Sporty, keempat
anak itu selalu saja terlibat dalam petualangan yang rnenegangkan dan penuh
bahaya. Sporty menekan bel di samping pintu rumah. Tetapi tidak ada yang membuka pintu.
Di tingkat dua, di mana keluarga Petra tinggaI. juga tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Toko Bu Glockner berada di lantai bawah. Sporty memandang melalui kaca etalase.
Toko itu sepi. Tidak seorang langganan pun nampak. Bu Glockner sedang mengatur
barang-barang di rak. Segera saja Sporty masuk.
"Permisi, Bu Glockner," ia menegur dengan sopan. "Petra ada?"
"Oh, kau, Sporty," wan ita itu membalas sambil tersenyum. "Petra ada di halaman
belakang." Bu Glockner adalah seorang wanita yang cantik dan ramah. Ia sangat mirip dengan


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putrinya. Sporty sering membayangkan bahwa tampang Petra setelah dewasa akan
menyerupai wajah ibunya sekarang.
"Ia sedang mengurus anjing," Bu Glockner menambahkan. Kemudian ia mengambil
sebuah apel besar warna merah segar dari rak berisi buah-buahan. Melihat gelagat
itu, Sporty ingin cepat-cepat menghilang. Tetapi Bu Glockner memanggilnya
kembali, dan memaksanya untuk menerima apel tadi. Hal semacam itu selalu
dialaminya apabila ia masuk ke toko itu. Sporty sampai malu sendiri. Tetapi
Petra toh pernah memberitahunya bahwa ibunya menganggap Sporty seperti anak
sendiri. Melalui pintu belakang, Sporty memasuki sebuah lorong yang menuju halaman
belakang. Lantai halaman seluruhnya ditutupi lempengan batu. Walaupun demikian,
di tengah-tengah halaman itu sebatang pohon apel tumbuh subur.
Semua penghuni rumah mengurus pohon itu dengan telaten. Tingginya kini empat
meter, Setiap musim gugur pohon itu berbuah. Tidak pernah lebih dari sembilan
buah apel- rekor tahun lalu itu belum terpecahkan - tetapi lumayan juga. Dan
setiap kali panen, keluarga Glockner mengadakan pesta kecil-kecilan, Siapa yang
memperoleh buah-buah apel itu" Tentu saja Petra. Buah-buaah itu ia bagi-bagi
bersama ketiga temannya. Pembagian itu tidak selalu berjalan lancar, terutama
kalau apelnya berjumlah tujuh atau sembilan buah, sedangkan peminatnya ada empat
orang. Di bawah pohon apel terdapat sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu. Petra
telah meletakkan sebuah bantal di atas bangku, agar ia dapat duduk dengan lebih
nyaman. Enam ekor anjing duduk di hadapannya. Keenam anjing itu membentuk
setengah lingkaran. Sambil mengibas-ngibaskan ekor masing-masing, mereka menatap
Petra penuh harap. Siapa tahu gadis itu dapat dibujuk untuk menyisir dan
membelai mereka sekali lagi.
Sporty mengenal anjing-anjing itu, Semuanya milik tetangga Petra, Semua, kecuali
seekor anjing spanil bemama Bello. Anjing itu milik Petra sendiri. Gadis itu
sedang sibuk membersihkan sebuah sikat rambut dari bulu-bulu anjing.
"Lalu siapa yang akan menyisir rambutku?" tanya Sporty.
"Kalau kau mau duduk dengan tenang, kau akan dapat giliran juga, " jawab Petra
sambil tertawa. "Tapi waku untuk menyisir sudah habis. Paling-paling aku blsa
memberikan obat cacing padamu."
"Terima kasih banyak. Aku tidak ingin merebut jatah langganan-langgananmu itu.
Lagi pula aku lebih berminat terhadap apel pemberian ibumu. Kalau..."
Sporty tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Bello telah mengetahui
kedatangannya dan menyerbu mendekat. Bello mmang sangat menyukai Sporty. Setiap
kali bertemu, Ia menyambut sahabat majikannya itu dengan gembira.
"Tunggu sebentar, Sporty," ujar Petra. "Aku sudah hampir selesai."
"Ada yang ingin kuceritakan padamu. Aku mungkin telah menemukan jejak dua
penjahat yang kecanduan narkotika. "
"Apa"!" tanya gadis itu sambil menoleh ke arah Sporty.
"Dan kalau aku tidak salah, mereka juga murid di sekolah kita," anak itu
menambahkan. "Aku tidak dapat mengenali kedua orang itu, karena wajah mereka
tersembunyi di balik topeng. Tetapi tangan salah seorang di antara mereka sempat
terbaret ketika ia bergumul denganku. Luka kecil itu memang tidak membuktikan
apa-apa, namun setidak-tidaknya dapat membantu kita menemukan orangnya."
Sporty melaporkan peristiwa yang ia alami tadi.
Dengan mata terbelalak Petra mengamati isi kantung kulit yang ditunjukkan oleh
temannya. "Kau benar, peralatan seperti ini biasanya dipakai oleh para morfinis."
Sporty merasa heran. "Dari mana kau tahu?" tanyanya.
"Dari ayahku. Ia sekarang memimpin satuan khusus yang bertugas memberantas
penyalahgunaan narkotika. Kata Ayah, akhir-akhir ini keadaan di kota ini semakin
rawan. Jumlah pecandu heroin meningkat dengan cepat. Padahal heroin termasuk
jenis narkotika yang paling berbahaya, Para pecandu pada umumnya tidak dapat
diselamatkan lagi. Tetapi ada beberapa kasus di mana seorang morfinis dapat
menghilangkan ketergantungannya pada obat bius itu."
"Bagaimma heroin itu bisa sampai di sini?" Sporty bertanya.
"Itu sedang diselidiki polisi. Kemungkinan besar kota- kita sekarang telah
menjadi salah satu pusat perdagangan narkotika, Tetapi identitas para penjahat,
baik gembong-gembongnya, maupun para pengedar kelas teri, sampai saat ini belum
diketahui. Peristiwa yang kaualami bersama Kolonel Grewe tadi telah belasan kali
terjadi. Soalnya, para pecandu itu membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk
membeli heroin. Sebagian besar dari mereka akhirnya terlibat dalam kejahatan.
Mereka mencuri, merampok atau menjadi pengedar. Mereka membuat orang-orang lain
kecanduan, lalu menjual heroin pada orang-orang itu."
"Aku tidak mengerti apa maunya orang-orang itu," kata Sporty sambil gelenggeleng. "Seperti tidak ada kerjaan yang lebih bermanfaat. Coba, kita bisa
berolahraga, berbincang-bincang dengan teman-teman, beprgian, membaca buku,
memelihara binatang, dan maslh banyak lagi. Kenapa selalu saja ada orang-orang
tolol yang merasa tidak puas" Bahwa anak-anak dan remaja-remaja merokok seperti
kereta api dan mabuk-mabukan itu saja sudah parah. Sekarang mereka malah mulai
bermain-main dengan narkotika. Aku sih tidak sudi. Setiap orang tahu bahwa
heroin merusak kesehatan. Kadang-kadang aku berpikir, bahwa para pecandu itu
membenci diri mereka sendiri. Mereka sepertinya tidak peduli pada berita-berita
mengenai para korban narkotika yang ditemukan dalam keadaan tewas. "
"Barangkali orang-orang itu mengira bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi
pada mereka," Petra berkomentar.
"Lalu, bagaimana pendapat ayahmu" Kenapa anak-anak muda menjadi pecandu heroin?"
"Alasannya macam-macam. Antara lain karena merasa bosan, atau karena merasa
takut terhadap sesuatu, Mungkin juga mereka membenci diri sendiri -seperti yang
kaukatakan tadi-atau orang tua mereka. Kadang-kadang mereka hanya didorong oleh
rasa ingin tahu. Tetapi itu merupakan langkah pertama menuju ketergantungan.
Banyak korban narkotika yang pada awalnya hanya tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan. Mereka tidak mempunyai perhatian khusus terhadap sesuatu. Akhirnya
mereka terjerumus." "Menurut dugaanmu, apakah ada murid sekolah kita yang ketagihan obat-obat
terlarang itu?" "Jelas." "Kenapa?" "Ayahku yang memberitahuku, Memang belum diketahui siapa orangnya: tetapi tandatandanya sudah ada, katanya."
"Brengsek! Tadinya aku tidak menduganya sama sekali. Di sekolah kita, Petra"!
Rasanya seperti ada seorang pengkhianat di antara kita."
Petra kmbali menyisir anjing spanilnya.
"Begitulah kenyataannya," katanya kemudian.
"Tapi aku tidak bisa menerima hal itu," jawab Sporty. "Gila, kalau ada murid
sekolah kita yang ketagihan, kita semua akan kena getahnya. Itu tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Kita harus mengambil tindakan. Kita harus mencari
orangnya, lalu membantunya agar ia dapat melepaskan diri dari barang terkutuk
itu. Dan, yang paling penting, kita harus menemukan siapa yang menjual heroin
itu. Siapa yang menjerumuskan murid-murid sekolah kita. Aku berpendapat
tindakannya termasuk kejahatan yang paling keji. Awas kalau aku berhasil
menemukan orang itu...."
Sporty terdiam. Ia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Biasanya ia memang
cinta damai, seperti semua orang. Tetapi lain halnya apabila ia menemukan
ketidakadilan dan kejahatan. Tanpa mengenal lelah ia akan berusaha menyelesaikan
masalah itu sampai tuntas,
"Aku yakin kau akan mencari jejak kedua penjahat bertopeng tadi," kata Petra.
"Tapi setidak-tidaknya tunggulah sampai ibumu tiba."
Sporty mengangguk dan melihat jam. "Ibuku malah belum sampai di sini. Sejam lagi
kereta api baru akan tiba. Tetapi sepuluh menit sebelumnya, aku harus sudah ada
di stasiun. Kalau Thomas dan si Gendut terlambat, salah mereka sendiri."
"Tenang saja, mereka pasti datang," ujar Petra.
"Kau kan tahu, mereka selalu menepati janji. Ibumu akan kita sambut dengan
meriah." Sporty tersenyum. Wah, sejam lagi! katanya dalam hati. Aku sudah tidak sabar
menunggu. Sayang Ibu jarang-jarang dapat mengunjungiku di sini. Untung ada
kesempatan seperti ini. Ibu Sporty telah bertahun-tahun hidup menjanda. Enam tahun lalu, ayah Sporty,
seorang insinyur, meninggal dalam suatu kecelakaan. Sejak itu mereka hidup paspasan. Bu Carsten harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
membiayai sekolah putranya. Walaupun demikian, ia telah memilih sekolah yang
paling baik dan paling mahal untuk putra kesayangannya.
Sebelum menikah, Bu Carsten bekerja sebagai sekretaris. Setelah kecelakaan yang
merenggut jiwa suaminya, ia kembali ke bangku sekolah. Ia mengikuti berbagai
kursus. Setelah lulus, ia diterima sebagai pegawai bagian keuangan pada sebuah
perusahaan besar. Rumah Sporty berlainan kota dengan sekolahnya. Perjalanan dengan kereta api
paling tidak memakan waktu empat jam. Karena karcisnya cukup mahal, Sporty hanya
dapat mengunjungi ibunya setiap liburan saja. Jarang sekali ia bisa pulang untuk
berakhir pekan. Oleh karena itu ia sangat gembira ketika kemarin menerima telepon dan mendengar
ibunya akan datang hari ini. Bu Carsten mempunyai urusan dinas di salah satu
kantor cabang perusahaan tempat ia bekerja. Kebetulan saja perjalanan menuju
kantor cabang itu melewati kota di mana Sporty bersekolah. Kesempatan itu
dipergunakan Bu Carsten untuk berjumpa dengan putranya. Sayang sekali ia hanya
mempunyai waktu untuk berakhir pekan. Tetapi waktu yang singkat itu sudah
memadai untuk saling melepaskan rindu.
Sporty langsung memesan sebuah kamar di Hotel Kaiserhof, sebuah hotel yang de
kat dengan stasiun kereta api.
"Nah, selesai," kata Petra sambil meletakkan sisir. "Salon anjing ditutup untuk
hari ini. Mudah-mudahan semuanya merasa puas. Ayo, semuanya harus berterima
kasih." Keenam langganannya diajak bersalaman satu per satu. Semuanya menurut. Kemudian
gadis itu memasang rantai ikat leher anjing-anjing itu.
"Kau mau membantuku, Sporty?" tanya Petra. "Tolong kembalikan anjing-anjing ini
ke majikan masing-masing. Aku harus membereskan kamarku dulu sebelum kita
berangkat ke stasiun. Soalnya Evi akan datang hari ini."
"Aku kira besok."
"Rencananya berubah. Ia akan datang dengan kereta api jam 18.00 dari Frankfurt."
"Ibuku tiba jam empat. Kalau begitu, kau nanti sekalian tunggu Evi saja."
Evi adalah saudara sepupu Petra. Umurnya sudah tujuh belas tahun. Hampir setahun
kedua gadis itu tidak bertemu. Evi kini telah lulus SMA. Bulan April mendatang
rencananya ia akan masuk Akademi Perawat. Sporty belum kenai gadis itu. Ia cuma
pernah melihatnya dari di foto yang dipajang di rumah Petra. Walaupun di foto
itu Evi nampak cantik, Sporty tidak terlalu bersemangat untuk berkenalan
dengannya. 3. Kasak-kusuk di Stasiun Kereta Api
STASIUN kereta api terletak di pusat kota. Setiap hari, ratusan, bahkan ribuan
orang lalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Aneka macam suara dan
bunyi saling tumpang tindih, menyiksa telinga orang-orang yang peka terhadap
kebisingan. Gemuruh kereta api yang datang dan pergi bercampur dengan tiupan
peluit kepala stasiun yang terdengar nyaring. Panggilan melalui pengeras suara,
bunyi ketukan palu para tukang yang sedang memperbaiki atap seng yang bocor,
semua itu membuat suasana bertambah hiruk-piruk.
Tetapi STOP sama sekali tidak merasa terganggu oleh kesibukan di sekitar mereka.
Hanya Bello saja yang tidak tenang. Sebentar-sebentar ia dikejutkan oleh suarasuara yang terasa asing baginya. Sambil melirik kiri-kanan dengan cemas, ia
merapatkan diri ke kaki Petra. Untung saja anak-anak itu bergantian membelainya
untuk menenangkannya. Mereka menunggu di peron nomor sembilan Mata Sporty bersinar cerah. Tangannya
menggenggam seikat bunga mawar. Berulang kali ia menengok ke arah jam besar yang
tergantung di bawah atap stasiun.
"Masih tujuh belas menit lagi," kata Oskar Sauerlich, ketika melihat tingkah
temannya itu. "Tapi aku juga sudah mulai kedinginan." Cepat-cepat ia memasukkan
sepotong coklat ke dalam mulutnya.
Coklat adalah kegemaran utamanya, Hal itu memang segera terlihat. Bukan tanpa
alas an Oskar dijuluki si Gendut oleh teman-temannya. Badannya serba bulat,
sehingga ia kadang-kadang sulit bergerak dengan leluasa. Ia tidak suka olahraga.
Wajahnya yang mirip bulan pumama cocok dengan potongan tubuhnya. Tapi ia teman
yang dapat diandalkan. Jujur dan selalu riang gembira.
"Kita bisa beku di sini kalau keretanya terlambat," ujar Thomas, si Komputer.
Thomas adalah kebalikannya Oskar. Kurus, jangkung, dengan wajah memanjang yang
dihiasi sebuah kaca mata tebal.
"Aku juga kedinginan," kata Petra. Ia mulai melompat-lompat di tempat. Gadis itu
mengenakan jaketnya yang berwarna biru, jaket kesayangannya yang mempunyai
lapisan dari bulu domba, Tetapi jaket itu tidak membantu menghangatkan kakinya.
"Kau tidak merasa dingin?" Petra bertanya pada Sporty. Anak itu tidak menjawab.
"He, Tuan Carsten! Saya berbicara dengan Anda!"
Sambil bergurau gadis itu menyikut temannya,
"Aduh!" kata Sporty, "Diam dong. Jangan bercanda saja! Lihat tuh, di sebelah
sana!" Dengan mata setengah terpejam, Sporty memandang ke peron seberang. Ketegangan
tercermin di wajahnya, "Ada apa?" tanya Oskar. "Aku hanya melihat kios penjual makanan kecil, tapi..."
"Ssst!" Sporty mendesis.
Sekitar seratus orang berdiri di peron nomor sebelas, Kuli-kuli berjalan bolakbalik sambil mengangkat kopor-kopor besar. Orang-orang yang akan berpergian
berjabatan tangan dengan para pengantar mereka.
Seorang pria duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya. Seorang wanita
setengah baya sibuk membenahi isi tasnya yang berhamburan di lantai peron.
Beberapa pemuda memperhatikan gerak-geriknya, tetapi tak seorang pun berusaha
membantu. Namun bukan keramaian itu yang menarik perhatian Sporty. Anak itu menatap tajam
ke arah seorang pemuda kurus tinggL Orang itu mengenakan sepatu lars, jeans
belel, dan sebuah jaket penerbang berwarna biru. Rambutnya panjang, lebih
panjang dari rambut pemuda-pemuda pada umumnya, tetapi masih berkesan rapi. Ia
berdiri membelakangi Sporty, sehingga wajahnya tidak terlihat.
"Perhatikan orang yang mengenakan jaket biru itu," ujar Sporty, "Aku yakin ia
salah satu dari kedua penjahat bertopeng itu."
"Hah?" ujar Oskar. "Siapa" Di mana" Oh, yang itu maksudmu. He, tunggu sebentar!
Rasanya aku sudah pernah melihatnya. "
"Kau tidak keliru, Sporty?" tanya Thomas. "Itu Detlef Egge, murid kelas 11a di
sekolah kita. Anaknya memang brengsek. Aku tidak akan heran kalau ia memang
terlibat dalam kejahatan."
"Pantas aku yakin bahwa aku sudah pernah melihatnya," kata Sporty.
"Ayahnya pemilik sebuah pabrik peralatan berat," Petra menjelaskan. "Salah
seorang terkaya di kota ini. Tapi-tidak begitu disenangi."
Pemuda yang sedang dibicarakan oleh keempat sahabat itu berbalik badan. Wajahnya
pucat, dan berkesan sombong. Rambutnya yang agak berombak menutupi sebagian
dahi. Dari seberang rei kereta api, matanya kelihatan jemih seperti air.
Sporty tiba-tiba ingat bahwa wajah itu pernah menarik perhatiannya di halaman
sekolah. Sporty ingat, ketika itu ia merasa heran melihat mata kiri pemuda itu
berkedip-kedip seakan-akan tak terkendali. Gejala seperti itu biasanya ditemui
pada orang-orang yang selalu merasa cemas dan gelisah, tetapi tidak lumrah bagi
seorang remaja. "Berapa umurnya?" tanya Sporty,
"Sekitar tujuh belas tahun," jawab Thomas. "Kelihatannya ia tidak berniat
berpergian. Barangkali ia hendak menjemput seseorang."
Tepat pada saat itu, sebuah kereta api memasuki stasiun dengan suara guruh.
Detlef Egge mundur beberapa langkah. Kepalanya menoleh ke kiri-kanan. Rupanya
mencari seorang penumpang kereta api itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Setidaktidaknya kesannya demikian. Namun kemudian seorang pria berpapasan dengannya.
Dekat sekali. Untuk sesaat, kedua orang itu bertukar pandang, dan Detlef
mengangguk. Lalu pria itu kembali berjalan. Detlef tetap berdiri di tempat
semula. Tanpa menengok lagi akhirnya ia melangkah ke arah jalan keluar, Sporty
cepat-cepat melirik jam tangannya. Empat belas menit lagi kereta api yang
ditumpangi ibunya tiba. "Ada yang tidak beres," ujarnya terburu-buru. "Apakah kalian juga memperhatikan
pria bertopi hitam tadi" Orang itu dan Detlef-ayo, kita buntuti mereka.
Barangkali kita akan menemukan sesuatu."
Sporty dan kawan-kawannya bergerak dengan hati-hati. Sesekali mereka berhenti
dan pura-pura sibuk berbincang-bincang, agar tidak menimbulkan kecurigaan Detlef
atau pria bertopi hitam itu. Namun sedetik pun kedua orang itu tidak terlepas
dari pengawasan mereka, Detlef Egge berjalan menuju kantin stasiun. Pria bertopi hitam itu tiba-tiba
membelok dan menghilang di balik sebuah pintu. Di balik pintu itu terdapat


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah tangga yang menuju ruang bawah tanah yang digunakan sebagai tempat
penitipan barang. "Ia akan menitipkan tasnya," Oskar menduga-duga. "Aneh, padahal hanya sebuah tas
kantor. Kenapa tidak dibawa saja?"
Mereka melihat Detlef Egge memasuki kantin. Rupanya ia memesan segelas bir,
karena pelayan kantin kemudian mengambil sebotol bir dan menuangkan isinya ke
dalam gelas, padahal tidak ada pengunjung lain, Detlef kemudian tetap berdiri di
depan meja layan. Anak-anak mengambil tempat di samping sebuah jendela, Dari tempat itu mereka
dapat memperhatikan gerak-gerik pemuda itu, tanpa terlihat olehnya, Tidak lama
setelah itu pria tadi kembali, tetap menenteng tas kantornya. Kesannya tas itu
sudah lebih ringan daripada sebelumnya.
Secara sembunyi-sembunyi, Sporty memperhatikan wajah pria itu. Ia takkan pernah
melupakannya. Wajah orang itu ternyata seperti wajah para penjahat dan bajingan
dalam film-film detektif. Hidungnya miring dan mancung ke dalam, matanya keeil,
pandangan matanya menyorot. Wajahnya berkerut-kerut. Tetapi nampaknya kerutkerut itu bukan diakibatkan oleh usia, sebab pria itu belum begitu tua. Umurnya
kira-kira antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Mulutnya penuh gigi emas.
Setiap kali ia membuka mulut, giginya kelihatan berkelip-kelip, Dengan giginya
itu ia menggigit sebuah cerutu
"Hi hi", cetus Petra. "Seandainya tidak berpakaian rapi, pasti ia sudah
dihampiri oleh satpam stasiun."
"Pakaian memang dapat mempengaruhi penilain orang, Sporty berkomentar. "Kadangkadang membuat penampilan seseorang menjadi tidak menyolok, tetapi kadang-kadang
juga sebaliknya, seperti sekarang ini. Orang itu blsa saja berpakaian mahal dan
rapih tetapi wajahnya tetap sama. Tuan Hidung Bengkok itu pastl tldak begitu
menarik perhatian seandainya ia mengenakan pakaian yang lusuh."
Si Hidung Bengkok ternyata masuk ke kantin stasiun. Anak-anak memperhatikannya
melalui jendela. Seakan-akan bingung mencari tempat duduk.
Ia berjalan di antara meja-meja yang kosong. Akhirnya ia menghampiri meja layan.
Detlef masih saja berdiri di tempat itu.
Si Hidung Bengkok meletakkan tas kantornya, lalu mengatakan sesuatu pada pelayan
kantin. Jarak antara Detlef dengannya tidak sampai satu meter. Keduanya tidak
saling memperhatikan. "Awas!" bisik Sporty. "Sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Pasti ada maksud
tertentu mereka berdiri berdekatan seperti itu."
Sedetik kemudian dugaan Sporty terbukti benar. Detlef meletakkan sebelah tangan
pada meja kasir. Ketika ia menarik kembali tangannya anak-anak melihat sebuah
anak kunci tergeletak di atas meja.
Segera saja si Hidung Bengkok bertindak. Ia mengulurkan tangan, meraih anak
kunci itu, lalu diam selama beberapa detik. Kemudian dimasukkannya tangannya ke
dalam kantung mantel bersama dengan anak kunci tadi.
"Aha!" ujar Oskar. "Jadi begltu caranya. Tetapi apa tujuan mereka?"
"Mereka pura-pura tidak saling kenal," kata Sporty yang tetap mengawasi kedua
orang itu. "Barangkali salah seorang dari mereka takut kalau-kalau ia dibuntuti.
Atau mungkin juga ini suatu tindakan pengamanan yang biasa dipakai di lingkungan
para penjahat. Tetapi menurut pendapatku, tingkah mereka terlalu dibuat-buat. "
Detlef Egge mereguk birnya sampai habis.
Pelayan kantin sedang membelakanginya.
Si Hidung Bengkok juga menghabiskan minumannya dergan sekali teguk. Sekaligus ia
mengeluarkan sesuatu dari kantung mantel sebelah kanan dan meletakkannya di atas
meja, Ketika ia menarik tangannya kembali, Oskar terheran-heran.
"Lagi-lagi sebuah anak kunci," katanya, "Mungkin yang tadi juga."
"Bukan, pasti anak kunci lain," Sporty berpendapat. "Tetapi serupa dengan yang
pertama. Mereka telah saling menukar kunci, Apa lagi kalau bukan kunci kotak
penitipan barang"! Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi Detlef akan mengambil
sesuatu yang dimasukkan ke dalam salah satu kotak penitipan oleh si Hidung
Bengkok. Dan si Hidung Bengkok akan mengambil barang yang disimpan oleh Detlef.
Rupanya salah seorang dari mereka telah membeli sesuatu yang ditawarkan oleh
yang lainnya, Nah, Detlef sudah membayar minumannya. Dan sekarang si Hidung
Bengkok juga mengeluarkan dompet. Hmm, sebaiknya kita berpencar saja. Thomas dan
Oskar, kalian mengawasi si Hidung Bengkok. Aku akan membuntuti Detlef."
"Jadi Bello dan aku dianggap tidak ada?" tanya Petra dengan nada kesal.
"Jangan marah dulu, Non," jawab Sporty. "Ingat pepatah lama, gadis-gadis cilik
dan anjing-anjing yang rakus sebaiknya tidak terlibat dalam kegiatan yang
mengandung bahaya." "Gadis cilik" Enak saja!" Petra memprotes. "Kau hanya beberapa bulan lebih tua
dari aku, dan itu tidak ada artinya."
"Ada yang tersinggung," Oskar berkomentar sambil nyengir lebar. Tetapi rupanya
ia melontarkan gurauan pada saat yang salah.
"Diam, Gendut!" gadis itu membentaknya. "Atau kau sudah bosan menikmati coklat
kesukaanmu" Jadi, bagaimana, Sporty?"
"Ya sudah, ikut saja, Tetapi aku tetap tidak setuju. Kalau Detlef Egge memang
salah seorang dari kedua peampok bertopeng itu, maka aku yakin ia mengenaliku,
Aku ingin ia menyadari bahwa aku mengawasi gerak-geriknya. Supaya ia gelisah.
Mungkin ia akan nunjukkan reaksi. Tetapi usaha ini tidak tanpa resiko, Karena
itu, Petra, aku sebenarnya... Awas! Mereka keluar."
Hampir bersamaan kedua orang itu meninggalkan kantin stasiun.
Si Hidung Bengkok langsung berjalan menuju tempat penitipan barang di ruang
bawah tanah. Detlef berhenti di depan sebuah kios majalah.
"Ayo, kita berangkat," ujar Thomas sambil menarik Oskar.
"Aku dan Bello ikut denganmu," kata Petra dengan matanya yang biru ia memandang
temannya. "Supaya kau tidak bertindak sembrono."
"Wah terima kasih banyak. Dari mana slh kau memperoleh sifat keras kepala itu?"
Petra tidak sempat menjawab karena tepat pada saat itu sebuah pengumuman
berkumandang melalui pengeras suara. Sporty mencoba untuk menangkap isi
pengumuman itu. Petra ikut medengarkannya.
"Kereta api yang ditumpangl Ibumu terlambat sepuluh menit," ujar gadis itu
kemudian. Sporty mencium-cium karangan bunga yang terbungkus kertas tipis.
"Kalau begini caranya, bunga-bunga ini keburu layu," katanya serius.
"Ngaco! Dalam cuaca dingin seperti ini1, bunga-bunga tetap segar," Petra
berkomentar. "Ketahuan kau tidak tahu apa-apa tentang bunga."
Sporty tersenyum. Dari semua teman-temannya, hanya Petra yang berani berbicara
seperti itu. "Awas," ujar Sporty tiba-tiba. "Detlef mulal berjalan."
Di belakang serombongan anak muda yang membawa ransel dan kopor, Sporty dan
Petra membuntuti Detlef. Pemuda itu berjalan pelan-pelan. Sikapnya agak ragu-ragu. Beberapa kali ia
menengok ke belakang. Rupanya hendak memastikan bahwa ttdak ada yang
memperhatikannya. Ia menghilang di balik pintu yang menuju tangga ke ruang bawah tanah. Selama
beberapa detik Sporty dan Petra menunggu. Ketika akhirnya berjalan menuruni
tangga, mereka berpapasan dengan beberapa orang. Salah satu di antara orangorang itu adalah si Hidung Bengkok. Ia tetap saja membawa tas kantornya seperti
tadi. Tidak ada barang bawaan lain. Cerutu yang masih diisapnya sudah hampir
habis. Wajahnya yang berkerut-kerut memancarkan rasa puas. Sepertinya ia baru
saja memperoleh sesuatu yang sangat menyenangkan hatinya,
Sporty, Petra, dan Bello menuruni anak tangga demi anak tangga. Lantainya kotor.
Di depan mereka Detlef telah sampai di ujung tangga. Thomas dan Oskar berdiri di
sana. Mereka menengok ke belakang, seakan-akan menunggu seseorang. Tetapi ketika
Detlef sudah lewat, kedua anak itu bergegas menyambut teman-teman mereka. Thomas
menggosok-gosokkan jempol dan telunjuk tangan kirinya, seperti sedang menghitung
uang. "Coba tebak," katanya terburu-buru, "apa yang diambil si Hidung Bengkok dari
kotak penitipan barang itu?"
"Sekarang bukan waktunya untuk main-main, " balas Sporty, "Apakah ia mengambil
uang?" "Hebat, kau berbakat jadi peramal," ujar Oskar.
"Tapi... Ah, kau curang, Thomas sudah memberitahukannya padamu melalui gerakan
tangannya tadi." Ia mengulang gerakan jempol dan telunjuk yang dilakukan Thomas tadi.
"Berapa jumlahnya?" tanya Petra yang tidak tahan melihat tingkah Oskar.
Thomas mengangkat bahu. "Pokoknya banyak. Di dalam kotak itu hanya terdapat
sebuah amplop. Si Hidung Bengkok tadi membuka amplop itu lalu menghitung
lembaran-lembaran uang yang ada di dalamnya. Aku belum pernah melihat uang
segitu banyak. Paling sedikit jumlahnya beberapa ribu Mark. Dan... "
"Kalian tunggu di sini." kata Sporty tiba-tiba, memotong ucapan Thomas.
"Kelihatannya Detlef telah menemukan kotak yang dicarinya,"
Memang benar. Pemuda itu dari tadi mencari-cari nomor kotak yang sesuai dengan
nomor yang tertera pada anak kunci yang ia pegang. Kini ia sedang memasukkan
anak kuncinya. Ketika Detlef membuka kotak itu, Sporty telah berdiri di belakangnya. Detlef
tidak mengetahuinya. Ia memasukkan tangannya ke dalam kotak tadi.
Sporty berusaha mengintip. Di dalam kotak penitipan barang itu ia melihat sebuah
paket yang terbungkus kertas berwarna abu-abu. Besarnya kira-kira setengah
ukuran kardus pembungkus sepatu. Si pengirim telah membuat sebuah gambar
tengkorak pada kertas itu dengan spidol berwarna hitam. Namun gambar itu tidak
memperlihatkan kesan seram. Malah sebaliknya, tengkorak itu kelihatan tersenyum
ramah. Detlef mengeluarkan sebuah tas plastik dari saku jaketnya. Cepat-cepat ia
memasukkan paket tadi ke dalamnya. Ketika berbalik badan, ia hampir bertabrakan
dengan Sporty. "Oh, maaf," ujar Sporty sambil mengamankan karangan bunga yang dipegangnya.
Detlef Egge terbelalak. Wajahnya menjadi pucat. Matanya yang ternyata memang
bening seperti air, setengah dipejamkannya sampai menyeruai celah sempit.
"Apakah kotak ini masih dipakai"'" tanya Sporty. Ia membalas pandangan pemuda
itu sambil tersenyum. "Apa" Apa yang...?"
"Apakah kotak ini masih dipakai?" Sporty mengulangi pertanyaannya. "Ah, tapi
kenapa harus kotak ini" Yang lain juga masih banyak yang kosong. Maaf kalau saya
mengganggu." Tanpa berkata apa-apa, Detlef Egge menyelinap pergi. Tangan kirinya menggenggam
tas plastik berisi paket tadi. Dengan terburu-buru ia menuju tangga. Hampir saja
ia lari pontang-panting. Sporty merasa puas bahwa usahanya ternyata membuahkan
hasil. Detlef terpaksa melewati teman-teman Sporty yang berdiri di kaki tangga. Mereka
menatapnya dengan pandangan menusuk. Bahkan Bello pun ikut-ikutan.
"Bagaimana?" tanya Petra ketika Sporty datang.
"Ia mengambil sebuah paket. Sebuah paket dengan gambar tengkorak."
"Jangan-jangan racun!" Oskar berkomentar.
"Heroin mungkin," kata Sporty. "Gambar tengkorak itu hanya dibuat untuk berjagajaga apabila paket itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi itu hanya dugaanku saja.
Siapa tahu isinya sama sekali bukan seperti yang kita duga."
"Aku yakin Detlef tadi kaget setengah mati ketika ia berbalik dan melihatmu,"
ujar Petra. Sporty mengangguk. "Ia memang terkejut. Bukan karena aku memergokinya ketika ia
mengambil paket itu, tetapi karena perkelahianku dengannya. Sekarang aku yakin
bahwa Detlef salah seorang dari kedua penjahat bertopeng itu. Dan kita juga akan
mengetahui siapa rekannya itu. Dan siapa lagi yang terlibat dalam jual-beli
narkotika ini. Mungkin kita akan berhasil membongkar jaringan pengedar yang
diceritakan oleh ayah Petra."
"Berurusan dengan penjahat-penjahat?" tanya Oskar seakan-akan tak percaya. "Wah.
Gawat! Kalau begitu aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan kenaikan kelas.
Kemungkinan riwayatku sudah tamat sebelumnya!"
Tetapi Oskar hanya bergurau.
Sporty langsung berkomentar
"Untukmu, bahaya mati kegemukan seratus kali lebih besar daripada itu. Ayolah,
lima menit lagi ibuku tiba."
4. Berkenalan dengan Bu Carsten
DENGAN suara menderu-deru, kereta api memasuki stasiun. Orang-orang yang sejak
tadi berdiri di peron, kini sibuk mencari anggota keluarga atau teman-teman yang
hendak mereka jemput. Dengan cermat. Sporty mengamati penumpang-penumpang yang meninggalkan kereta.
Akhirnya ia melihat ibunya turun dari gerbong nomor tiga. Sebelum wanita itu
sempat menginjakkan kaki di peron, Sporty sudah memanggil-manggilnya sambil
berlari mendekat. Sesaat kemudian Sporty telah merangkul ibunya erat-erat.
Sporty gembira sekali. Ia begitu gembira, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.
Sebenarnya ia ingin memeluk dan mencium ibunya, tetapi ia merasa canggung di
hadapan teman-temannya dan para penjemput lain.
Ketiga temannya berdiri agak jauh. Oskar hanya cengar-cengir. Thomas salah
tingkah. Sedangkan Petra memegang karangan bunga. Tanpa berkedip ia memandang
adegan pertemuan antara ibu dan anak itu.
Bu Carsten berumur tiga puluh delapan tahun. Tubuhnya langsing, dan
penampilannya sangat menarik. Petra menyukai potongan rambut wanita itu.
Rambutnya yang berwarna pirang kecoklat-coklatan dibiarkan lepas sampai sebatas
bahu. Potongannya sederhana, tapi enak dilihat. Bu Carsten mempunyai wajah
sempit dan sepasang mata berwarna coklat yang memancarkan keramahan.
"Hati-hati, Peter," ujarnya sambil tertawa, "Ibu tidak bisa bernapas."
Sporty melepaskan rangkulannya, lalu mengangkat kopor dan menjepit map yang
dibawa ibunya. Kemudian ia menggandeng tangan ibunya.
"Teman-temanku ikut menjemput. Ibu kan belum mengenal mereka. Oh ya, aku juga
membawa bunga untuk Ibu. Eh, sebentar ya..."
Sporty kebingungan karena kedua belah tangannya sedang sibuk. Untung saja Petra
cepat tanggap. Sambil tersenyum cerah, gadis itu mendekati Bu Carsten dan
menyerahkan karangan bunga itu.
"Bunga-bunga ini dari Sporty, Bu Carsten. Ia sendiri yag memilihnya, Dan nama
saya Petra Glockner."
"Aku sudah menduganya," jawab ibu Sporty sambil menjabat tangan Petra. "Wajahmu
persis seperti yang Ibu bayangkan. Sporty selalu bercerita mengenaimu dalam
surat-suratnya. Tentang kalian juga," tambahnya sambil menyalami Thomas dan
Oskar "Ibu senang sekali kalian menyempatkan diri ikut menjemput ke stasiun.
Sudah lama Ibu ingin berkenalan dengan kalian, Dan kau pasti Bello, bukan?"
Anjing itu duduk di hadapan Bu Carsten dan meatapnya terus-menerus. Tiba-tiba ia
mengangkat kakl kanannya untuk memberi salam.
Petra. tertawa, "Biasanya ia hanya memberi salam kalau disuruh saja."
Bu Carsten mengelus-elus kepala Bello, "Halo, anjing manis. Kau lucu sekali. Kau
pasti betah punya majikan seperti Petra."
"Aku mengambilnya dari tempat penitipan anjing," ujar Petra cepat-cepat. "Bekas
majikan Bello telah mengusirnya. karena sebelah matanya buta."
"Oh, Ibu sama sekali tidak memperhatikan hal itu," kata Bu Carsten. "Tetapi
setahu Ibu, penglihatan tidak begitu besar pengaruhnya bagi anjing-anjing.
Mereka lebih tergantung pada daya penciuman. Kalau seekor anjing menjadi buta,
itu hampir sama dengan manusia yang kehilangan indria penciumannya."
Sporty harus berusaha keras agar tetap kelihatan tenang. Ia tidak ingin temantemannya mengetahui bahwa ia begitu mengagumi ibunya. Namun sebenarnya ia tidak
perlu menyembunyikan perasaannya, sebab Petra, Thomas, dan Oskar juga merasakan
hal yang sama. Mungkin mereka kini baru memahami mengapa Sporty begitu
menyayangi ibunya. Bu Carsten diapit oleh Keempat anak itu. Sambil berbincang-bincang, mereka
menuju jalan keluar. Ketika rombongan kecil itu melewati kios majalah, Bu
Carsten menegur Sporty, "Peter, hati-hati dengan map itu, Isinya dokumen-dokumen penting yang harus Ibu
bawa ke kantor cabang di Salzburg. Ibu harus bertanggung jawab apabila terjadi
apa-apa dengan dokumen-dokumen itu."
Sporty baru saja hendak mengatakan bahwa ibunya tidak perlu khawatir, ketika ia
menyadari bahwa ia sedang diperhatikan oleh seseorang yang berdiri di samping
kios majalah. Sporty menoleh, tetapi orang itu segera mundur, seakan-akan takut terlihat.
Orang itu ternyata Detlef Egge!
Pemuda itu menatap tajam ke arah Sporty. Kebencian tercermin di matanya Dengan
geram ia mengepalkan tangan.
Kelihatannya Detlef hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian ia berubah
pikiran. Cepat-cepat ia berbalik badan. Dengan langkah-langkah panjang ia
menghilang di balik kios majalah.
Paket tadi sudah tidak dibawanya. Bawaan lain juga tidak ada.
Aku harus waspada, pikir Sporty. Mungkin saja Detlef ingin membalas den dam
karena peristiwa di taman tadi. Atau karena aku memergokinya ketika ia mengambil
paket tadi. Apa artinya semua ini" Tadi ia mencoba merampas dompet Kolonel
Grewe. Lalu aku menemukan kantung kulit berisi alat suntik itu. Dan sekarang


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Detlef menukar sejumlah besar uang dengan paket bergambar tengkorak yang dibawa
si Hidung Bengkok. Hm, aku takkan heran kalau Detlef terlibat dalam jual-beli
heroin. Tapi aneh, kalau ia pengedar, seharusnya ia punya uang. Lagi pula ia
anak orang kaya. Jadi untuk apa ia melakukan perampasan" Hasilnya tidak seberapa
dan risiko tertangkap cukup besar.
"Kita ke mana sekarang?" tanya ibunya tiba-tiba.
"Ke Hotel Kaiserhof." jawab Sporty cepat-cepat. "Aku sudah memesan kamar untuk
Ibu." Salju mulai turun kembali ketika mereka meninggalkan stasiun kereta api. Awan
tebal menutupi langit. Suhu udara mendekati titik beku.
Suasana di pusat kota sangat ramai. Karyawan-karyawan mulai meninggalkan kantorkantor yang terdapat di sekitar stasi un. Mereka bergega menuju tujuan masingmasing. Tidak ada yang berjalan santai sambil berbincang-bincang Semua ingin
cepat- cepat sampai di rumah. Cuaca memang tidak nyaman. Sebagian dari mereka
menggunakan kendaraan pribadi, sisanya memanfaatkan jasa angkutan umum.
Bergerombol mereka menunggu di halte bis.
Beberapa petugas berseragam kuning cerah terlihat menyebarkan garam di jalanan
dan trotoar. Maksudnya untuk mencairkan lapisan salju yang menutupi permukaan
jalan. Lapisan salju yang sangat licin membahayakan para pengemudi kendaraan
bermotor dan pejalan kaki. Usaha itu membuat jalanan jadi becek, karena salju
yang sudah setengah cair tidak segera dibersihkan.
Tiba-tiba saja Bello melolong kesakitan. Ia duduk dan mengangkat kaki kirinya.
Dengan memelas ia memandang ke arah Petra.
Gadis itu langsung mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan telapak kaki
Bello. "Kasihan, kakinya perih terkena garam yang disebarkan oleh petugas-petuga itu,"
ujar Bu Carsten sambil membelai kepala anjing itu, "Mereka seharusnya lebih
hati-hati." "Aneh, aku tidak pernah merasakan apa-apa kalau tanganku terkena garam di
dapur," ujar Oskar terheran-heran. "Kalau begitu Bello harus pakai sepatu, dong.
" "Apa sebenarnya yang kausebut garatn itu?" tanya Thomas, si Komputer.
"Huh, begitu saja pakai nanya. Padahal semua orang tahu bahwa garam adalah bumbu
dapur yang digunakan jika makanan terasa kurang asin," jawab Oskar.
"Ditinjau dari segi ilmiah, penjelasanmu belum lengkap, Oskar. Secara umum,
garam memang selalu diartikan sebagai garam dapur. Tetapi keterangan yang lebih
terperinci adalah sebagai berikut Yang disebut garam adalah semua zat elektrolit
yang tidak termasuk asam atau basa. Berarti, semua zat yang terdiri dari kation
dan anion. Selanjutnya garam dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu yang
bersifat netral, asam, atau basa. Bumbu dapur yang kaugunakan untuk menambah
rasa asin adalah natriumklorida. Rumus kimianya adalah NaCl. Yang dipakai untuk
mencairkan salju di jalanan adalah garam dapur yang telah didenaturalisasi
dengan zat besi yang dioksidasikan."
Oskar hanya terbengong-bengong. Tidak percuma Thomas dijuluki si Komputer.
Tetapi teman-temannya segera maklum bahwa Thomas hanya ingin memamerkan
kepandaiannya di depan ibu Sporty, walaupun ia sama sekali tidak melihat ke arah
wanita itu selama menyampaikan ceramah singkatnya.
Dan Bu Carsten ternyata memang terkagum-kagum.
"Julukan si Komputer memang cocok untukmu," katanya memuji. "Daya ingatmu
sungguh luar biasa."
Thomas tersenyum bangga. "Ah," katanya pura-pura merendah, "semua orang dapat
melatih daya ingat mereka. Yang penting hanyalah latihan secara teratur. Aku
berlatih setiap hari, paling tidak setengah jam. Aku mencoba menghafalkan halhal yang menarik dari semua bidang ilmu pengetahuan, walaupun sebenarnya minatku
terutama tertuju pada ilmu pengetahuan alam."
"Lalu ia memanfaatkan pengetahuannya untuk membuat kami jengkel dengan ceramahceramah seperti tadi," Petra berkomentar.
Ucapan gadis itu disambut dengan tawa oleh yang lain, termasuk Thomas.
Hotel Kaiserhof merupakan sebuah hotel yang kecil tetapi nyaman. Letaknya di
sebuah jalan sepi, tidak jauh dari stasiun kereta api.
Begitu mereka masuk, Sporty langsung menuju resepsionis dan menanyakan kamar
yang telah ia pesan untuk ibunya. Petugas penerima tamu dengan ramah mengatakan
bahwa kamar untuk Bu Carsten telah siap. Ia menyerahkan kunci kamar, lalu
memanggil seorang pelayan untuk mengangkat kopor Bu Carsten.
Sementara menunggu ibu Sporty mengatur barang-barangnya di kamar, keempat
sahabat itu menunggu di restoran. Dari tempat duduk mereka, anak-anak melihat
bahwa petugas yang ramah itu sedang melayani seorang pria yang rupanya hendak
meninggalkan hotel. Sporty memandang sekelilingnya. Restoran itu nyaris kosong, karena saat itu
memang bukan jam makan. Kecuali anak-anak itu, hanya ada tiga pengunjung lain.
Sepasang suami-istri yang sudah berusia lanjut sedang minum teh -si suami sambil
membaca koran, sedangkan istrinya sibuk membolak-balik halaman sebuah majalah.
Meja di sebelah mereka ditempati oleh seorang pria yang sedang menulis-nulis di
buku catatannya. Seorang pelayan menghampiri meja anak-anak dan menanyakan apa yang hendak mereka
pesan. Oskar tidak perlu berpikir panjang. Ia langsung minta susu coklat panas,
minuman kegemarannya, Petra memesan teh manis plus jeruk nipis. Sporty dan
Thomas sama-sama memilih kopi. Untuk ibunya, Sporty minta kopi susu. Bello
berbaring di bawah meja. "Ibumu hebat," Petra membuka percakapan. "Aku tidak menduga bahwa kau memiliki
ibu seperti itu." Thomas dan Oskar mengangguk setuju.
Sporty tidak menjawab, Ia hanya tersenyum lebar. Secara kebetulan pandangannya
mengarah ke luar jendela. Tiba-tiba ia menyadari bahwa sesosok tubuh berdiri di
depan jendela itu. Orang itu sedang menatap ke arahnya. Menyadari bahwa
kehadirannya telah diketahui, orang itu menghilang sebelum Sporty sempat
mengenali wajahnya. Sporty tidak dapat memastikannya, tetapi ia yakin orang itu Detlef Egge,
Hampir saja ia memberitahukan hal itu pada teman-temannya, namun akhirnya ia
berubah pikiran. Ah, percuma, ia berkata dalam hati. Belum tentu orang itu Detlef. Kalaupun dia,
sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berurusan dengannya.
Beberapa saat kemudian pelayan tadi mengantarkan pesanan anak-anak. Dan tidak
lama setelah itu, ibu Sporty kembali bergabung dengan mereka. Ia telah berganti
pakaian. Gaun berwarna putih yang dikenakannya membuatnya kelihatan anggun.
Sporty langsung berdiri dan menarik sebuah kursi untuk ibunya. Anak itu sama
sekali tidak bermaksud untuk sok sopan di depan teman-temannya. Tindakannya itu
hanya merupakan ungkapan kasih sayangnya pada ibunya. Sporty berpendapat bahwa
seharusnya semua orang memperhatikan ibu mereka seperti dia.
"Oh ya, aku hampir lupa," ujarnya kemudian. "Kali ini aku yang traktir. Kalau
lapar, jangan ragu-ragu, Katanya sih, kue-kue di sini enak sekali,"
"Hus, Peter, apa-apaan sih kau?" ibunya menyela sambl1 tertawa. "Kalian kan tamu
Ibu semua. Lebih baik uang sakumu itu disimpan untuk hal-hal yang lebih perlu."
"Tetapi aku lagi kaya," Sporty membela diri. "Aku punya uang 100 Mark. Sudahlah,
kali ini aku yang mentraktir semuanya."
"100 Mark?" tanya Bu Carsten terheran-heran, sambil meletakkan kunci kamarnya di
atas meja. Ia tinggal di kamar nomor 211. Angka itu tertulis besar-besar pada
gantungan kunci kamarnya.
"Sporty telah menyelamatkan seorang pensiunan kolonel dari sergapan dua penjahat
yang hendak merampas dompetnya, " Petra langsung bercerita dengan semangat
menggebu-gebu. "Sporty menggagalkan rencana kedua orang itu lalu memberi
pelajaran pada mereka. Tetapi sayang sekali mereka berhasil meloloskan diri.
Keduanya mengenakan topeng, sehingga wajah mereka tidak terlihat. Sebagai tanda
terima kasih, pensiunan kolonel itu menghadiahkan 100 Mark pada Sporty."
"Astaga, Peter!" seru Bu Carsten terkejut. Wajahnya pucat. "Bagalmana seandainya
terjadi sesuatu pada dirimu?"
"Mereka tidak bersenjata," jawab Sporty dengan tenang.
"Biarpun tidak bersenjata, itu kan bukan urusan anak kecil. Memang, Ibu mengakui
keberanianmu, tetapl kau kan baru berumur tiga belas tahun. Dan melawan dua
penjahat... Wah, Ibu tidak berani membayangkan apa yang mungkin terjadi! Kenapa
kau tidak menghubungi polisi saja" Lain kali, kau jangan ikut campur. Hubungi
polisi saja." "Kebetulan tidak ada polisi di sekitar tempat kejadian. Telepon umum juga tidak
ada. Kalau aku tidak bertindak, orang tua itu pasti sudah jadi korban kekejaman
kedua penjahat itu. Mereka sudah berhasil merampas dompetnya. Lagi pula, aku
juga memakai perhitungan. Percuma dong aku belajar judo."
Sporty lalu menceritakan kejadian itu pada ibunya Tetapi ia tidak mengatakan
bahwa peristiwa itu belum tuntas. Ia tidak ingin ibunya diliputi kecemasan.
Ibunya tidak perlu tahu bahwa ia berurusan dengan sebuah komplotan pengedar obat
bius. "Sukar dipercaya," ibunya berkomentar setelah Sporty selesai bercerita. Ia
merasa bangga, tetapi sekaligus khawatir akan keselamatan anaknya. "Jadi, kau
tidak menghubungi polisi setelah kejadian itu?"
"Itu kan urusan si ko1onel."
"Kau sering jalan-jalan sendirian di tempat itu?"
Sporty tertawa. "lbu jangan terlalu khawatir. Biasanya taman itu aman-aman saja.
Sejak lama sudah tidak terjadi kejahatan di sana. Di samping itu, aku tidak
pernah bawa uang banyak-banyak. Tidak ada gunanya merampas dompetku."
"Tapi kau harus berhati-hati, mengerti?"
Sporty mengangguk. Kemudian topik pembicaraan beralih ke soal sekolah, guru-guru, dan keadaan di
asrama. Bu Carsten juga bertanya tentang apa saja yang telah dialami oleh Sporty
dan kawan-kawannya selama ini. Penuh perhatian ia mendengarkan cerita anak-anak
itu. Mereka berbincang-bincang dengan akrab. Sporty akhirnya berhasil memaksa
Oskar dan Petra - masing-masing - memesan sepotong kue. Oskar memilih sepotong
kue coklat. Petra lebih suka kue tart.
Suasana sangat menyenangkan. Semua menikmati pertemuan sore itu.
Tetapi bencana ternyata mengancam mereka. Begitu melihat seorang pria memasuki
restoran itu, Sporty langsung menyadari bahwa akan terjadi sesuatu. Sesuatu yang
tidak menyenangkan. Sebab, pria itu ternyata -si Hidung Bengkok!
5. Pencurian Licik SPORTY. sangat terkejut ketika melihat pria bertopi hitam itu. Tetapi ia
berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu,
ia ikut tertawa ketika Oskar menceritakan sebuah lelucon. Namun pandangan
matanya tetap tertuju pada si Hidung Bengkok.
Pria itu menuju meja resepsionis. Ia mengatakan sesuatu pada petugas penerima
tamu. Tangan kirinya memegang tas kantor. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam
kantung mantelnya. Sebuah cerutu terselip di antara kedua bibirnya.
Nampaknya ia sedang memesan sebuah kamar. Petugas penerima tamu tadi mengangguk
dan menyodorkan selembar kertas, sebuah formulir yang harus diisi oleh setiap
tamu. Si Hidung Bengkok mengeluarkan sebuah bolpen dan mulai mengisi formulir
itu. Sporty merinding. Penjahat itu ternyata akan menginap di hotel yang sama dengan
ibunya! Apakah ini hanya suatu kebetulan" Tetapi laki-laki itu memang
membutuhkan tempat untuk bermalam. Sulit membayangkan ia menginap di rumah
Detlef Egge. Orang tua pemuda Itu takkan gembira mendapat tamu seperti dia.
Sedangkan Detlef dan si Hidung Bengkok nampaknya juga ingin merahasiakan
hubungan mereka. Itu terbukti dari cara mereka saling menukar kunci di stasiun
tadi. Berbagai pikiran berkecamuk di benak Sporty. Apa sebaiknya Ibu pindah ke hotel
lain saja" Tetapi bagaimana dengan kamar yang telah terlanjur kupesan" Ah,
paling-paling si Hidung Bengkok hanya akan menginap semalam - lalu besok pagi
pulang dengan kereta api pertama. Mudah-mudahan saja! Mungkin saja aku terlalu
mencurigainya. Tetapi bagai mana kalau ia memang berniat jahat"
Sporty tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Dengan hati-hati Petra menyentuh kaki Sporty dengan kakinya. Gadis itu ternyata
juga melihat si Hidung Bengkok. Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat,
Sporty menggelengkan kepala. Kemudian ia kembali mengarahkan perhatiannya pada
percakapan yang sedang berlangsung. Sekali-sekali ia melirik ke arah meja
resepsionis. Untung Thomas dan Oskar tidak dapat melihat si Hidung Bengkok dari tempat duduk
mereka. Thomas pasti cepat tanggap. Tetapi si Gendut belum tentu. Kemungkinan
besar ia keceplosan ngomong sehingga menimbulkan kecurigaan ibu Sporty. Lalu
Sporty akan terpaksa memberi tahu ibunya apa yang sesungguhnya terjadi.
Akibatnya mudah ditebak. Bu Carsten akan diliputi kecemasan, Dan itu yang hendak
dicegah Sporty. Bagaimanapun juga, Ibu tidak boleh tahu siapa si Hidung Bengkok itu sebenarnya.
Aku ingin ia menikmati akhir pekan ini. Jangan sampai ia tidak dapat tidur
dengan tenang. Ibu selalu bekerja keras, malah sering lembur. Aku tidak ingin
merepotkannya, kata Sporty dalam hati.
Dari sudut matanya, Sporty melihat si Hidung Bengkok mengeluarkan dompet. Pria
itu kemudian menyerahkan sejumlah uang pada petugas penerima tamu. Ia langsung
membayar uang sewa kamarnya!
Petugas itu menghitung jumlah uangnya, lalu menyerahkan kuitansi sambil
tersenyum lebar. Melihat gayanya, Sporty menduga bahwa ia telah memperoleh uang
persenan yang cukup besar dan si Hidung Bengkok.
Oh, kelihatannya si Hidung Bengkok tidak akan bermalam di sini, Sporty berpikir.
Dalam hati ia merasa agak lega. Mungkin orang itu akan pulang dengan kereta api
ekspres malam, dan sekarang hanya ingin berbaring untuk beberapa jam. Dan karena
itu, ia melunasi uang sewa kamarnya agar nanti tidak repot. Ia tinggal
mengembalikan kunci kamar lalu langsung menuju stasiun kereta api. Jadi tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi kenapa Detlef Egge mengawasiku melalui
jendela tadi" Ah, belum tentu juga dia. Siapa tahu aku hanya salah lihat.
Sporty kembali melibatkan diri dalam percakapan. Teman-temannya sedang
membicarakan sebuah film seru yang kemarin malam disiarkan melalui televisi.
"Kau nonton film itu?" Thomas ditanya oleh Oskar.
"Kemarin aku tidak sempat," jawab anak itu, "Tetapi aku sudah pernah melihat
film itu, bulan Oktober tahun lalu, dan waktu liburan Paskah, juga ketika kita
libur musim panas, Film itu kan selalu diulang-ulang. Seperti tidak ada film
lain saja!" Bu Carsten tertawa. "Kau benar, Thomas," katanya. "Siaran ulangan itu lama-lama menjengkelkan juga,"
"Di asrama kami ada seorang anak yang keranjingan nonton film," Oskar bercerita
"Setiap film yang agak bermutu ia tonton berkali-kali. Sampai-sampai ia dapat
menirukan percakapan antara para pemain film itu. Dan itu memang selalu
dilakukannya. Masih mending kalau ia mengucapkannya berbarengan dengan para
pemain film. Ini tidak! Selalu ia mendahului mereka. Akhirnya tidak ada lagi
yang mau nonton bersamanya. "
Bu Carsten mengemukakan sesuatu, tetapi Sporty tidak mendengarnya. Perhatiannya
sepenuhnya tertuju pada si Hidung Bengkok yang sedang memasuki restoran itu.
Petra juga melihatnya. Gadis itu langsung menundukkan kepala. Wajahnya menjadi
pucat. Sporty memutar-mutar cangkir kopi di hadapannya. Ia bingung. Apa yang harus
dilakukannya" Si Hidung Bengkok masih berdiri di ambang pintu. Ia menoleh ke kiri-kanan,
seakan-akan mencari seseorang.
Pandangan matanya menyapu kelima orang yang sedang berbincang-bincang dengan
santai itu, tetapi nampaknya ia tidak tertarik pada mereka.
Matanya kecil sekali! pikir Sporty, Dan tidak bisa diam, terus saja bergerakgerak. Sepertinya ia selalu curiga. Kalau diperhatikan, matanya mirip dengan
mata si Pongo, Pongo adalah seekor gorila jantan yang menghuni kebun binatang kota itu. Sporty
sering mengunjungi kebun binatang, dan ia tidak pernah lupa membawakan beberapa
buah pisang untuk si Pongo.
Si Hidung Bengkok ternyata tidak menemukan orang yang dicarinya, Tetapi ia masih
penasaran. Ia berjalan mendekat. Perlahan-lahan ia menuju ke meja yang ditempati
oleh rombongan kecil itu.
Sporty merasakan seluruh ototnya menegang. Ia telah bersiap-siap untuk berdiri
dan bertindak seandainya diperlukan.
Dekat sekali si Hidung Bengkok melewati meja mereka.
Petra tegang sekali. Sambil menunduk, ia menggigit-gigit bibir,
Thomas mengangkat kepala, lalu terbelalak, tetapi pandangan Sporty segera
menyadarkannya. Langsung ia berusaha untuk bersikap biasa.
Oskar sedang berbicara dengan ibu Sporty. Penuh semangat ia menguraikan cara
pembuatan coklat di pabrik milik ayahnya.
Si Hidung Bengkok berhenti dua langkah di belakang Sporty.
Oskar belum juga mengetahui kehadiran pria itu.
"Maaf " laki-laki itu menegur seorang pelayan yang sedang engatur meja. Suaranya
terdengar serak.

Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya punya janji dengan Pak Lamprecht. Apakah ia sudah datang?"
"Belum, saya rasa. Tetapi saya akan menyampaikan bahwa Tuan menanyakannya - bila
beliau datang. Boleh saya tahu nama Tuan?"
"Zaulich, Fritz Zaulich," jawab si Hidung Bengkok. "Untuk sementara saya tinggal
di hotel ini. Tolong beri tahu petugas penerima tamu jika Pak Lamprecht datang
dan mencari saya." "Baik, Tuan." Pria itu kelihatan puas, Ia kembali melewati meja tadi. Asap cerutunya
meninggalkan bau yang tidak enak.
Si Hidung Bengkok ternyata bernama Zaulich, Apakah mungkin ia menyebutkan nama
seandainya ia memang berniat jahat" Tentu saja tidak. Tetapi di pihak lain-siapa
yang dapat menjamin bahwa ia tidak menggunakan nama palsu"
Sporty memperhatikan si Hidung Bengkok sampai pria itu keluar dari restoran. Ia
tidak bereaksi ketika Petra menyentuh kakinya dengan hati-hati. Thomas setengah
memutar badannya agar dapat melihat pria itu meninggalkan ruangan. Oskar
memandang ibu Sporty sambil tersenyum cerah. Ia sama sekali tidak menyadari apa
yang telah terjadi. Setelah meninggalkan restoran, si Hidung Bengkok belok ke kanan dan berjalan ke
arah tangga yang menuju kamar-kamar.
Seharusnya aku bisa tenang sekarang, ujar Sporty dalam hati. Ia punya janji
dengan seseorang. Ia juga menyebutkan namanya. Dan kelihatannya ia sama sekali
tidak memperhatikan kami.
Walaupun demikian, perasaan tidak enak tetap menghantui pikiran anak itu.
Sporty kembali berbincang-bincang dengan ibunya. Tidak ada kesempatan untuk
membicarakan kedatangan si Hidung Bengkok dengan teman-temannya.
Ketika ia melihat jam tangannya, ternyata sudah pukul enam kurang seperempat.
Bu Carsten mengatakan, ia belum makan sejak pagi, dan ingin mengundang anak-anak
untuk makan malam bersama. Namun hanya Sporty yang dapat memenuhi permintaannya.
Teman-temannya terpaksa menolak.
"Maaf, Bu Carsten," ujar Petra, "saya harus menjemput Evi, saudara sepupu saya,
di stasiun kereta api. Ia akan tiba pukul 18.00. Evi akan menginap di rumah kami
selama satu minggu. Tetapi tidak pernah kurang dari tiga kopor besar dibawanya
apabila bepergian, karena itu saya minta bantuan Thomas dan Oskar."
"Kalau begitu kalian cepat-cepat saja ke stasiun. Kasihan kan sepupumu kalau
sampai harus menunggu lama-lama," kata Bu Carsten. "Ibu kan masih dua hari
tinggal di sini, dan besok kita juga masih akan bertemu, bukan ?"
Thomas dan Oskar sebenarnya ingin memenuhi ajakan ibu Sporty, namun mereka sudah
berjanji untuk membantu Petra mengangkat kopor-kopor saudara sepupunya.
Sebelum pergi ke stasiun, mereka masih sempat mengusulkan acara untuk besok.
Akhirnya semua sepakat untuk berjalan-jalan di pusat kota dan selanjutnya
mengunjungi beberapa museum.
Ketika Petra, Thomas, dan Oskar hendak berpamitan, si Hidung Bengkok yang
ternyata bernama Zaulich itu muncul kembali. Tas kantornya tetap dibawanya.
Tetapi kali ini ia tidak memasuki restoran, ia langsung menuju meja resepsionis.
Setelah menyerahkan kunci kamarnya pada petugas penerima tamu, ia berjalan
menuju pintu keluar. Aneh, pikir Sporty, kenapa ia malah pergi" Katanya ia sedang menunggu seseorang.
"Sampai besok," Petra, Thomas, dan Oskar berkata serempak. Ketika sampai di
pintu, mereka berhenti sejenak dan melambaikan tangan, kemudian kembali
berjalan. "Teman-temanmu sangat menyenangkan," kata ibu Sporty sambil menatap anaknya
penuh kasih sayang. "Mudah-mudahan kalian tetap akrab seperti tadi. Dan Petra
adalah seorang gadis yang hebat. Bukan hanya luar biasa cantik, tetapi juga
pandai dan baik hati."
"Dan berani," Sporty menambahkan. "Tidak semua anak laki-laki dapat menyainginya
dalam hal keberanian. Tetapi kadang-kadang sifat keras kepalanya cukup
merepotkan." . "Ibu juga mengenal seseorang yang keras kepala," Ibunya berkomentar sambil
membelai rambutnya. Bersama-sama mereka menikmati makan malam. Keduanya memesan bistik dengan
kentang goreng. Bu Carsten minum air putih, sementara Sporty minta dibawakan
segelas Coca-Cola. Sekali lagi Sporty bermaksud mentraktir ibunya, tetapi kali ini Bu Carsten
memperlihatkan bahwa bukan hanya Petra dan Sporty yang mempunyai sifat keras
kepala. "Dalam suratmu yang terakhir, kau menulis bahwa kau ingin membeli sepatu roda.
Nah, uangmu lebih baik kausimpan untuk itu saja. Dan Ibu juga membawakan sesuatu
untukmu. Barangnya masih tersimpan di dalam kopor."
Jam dinding yang tergantung dekat meja mereka menunjukkan pukul setengah tujuh
kurang beberapa menit. Seharunya Ibu tinggal di kota ini saja, pikir Sporty dalam hah. Berarti kami
bisa menghemat pengeluaran untuk biaya asrama. Dan dengan demikian aku juga
tidak perlu pindah sekolah Aku akan tetap berkumpul dengan Petra, Thomas, dan
Oskar. Tapi apakah Ibu di sini akan mendapat pekerjaan yang setaraf dengan
pekerjaannya sekarang" Ah, aku,sudah cukup beruntung. Tidak ada yang perlu
dikeluhkan. Sporty dan ibunya meninggalkan restoran itu. Mereka baru saja hendak naik tangga menuju kamar ibu Sporty, ketika anak itu melihat
Thomas berdiri di depan pintu hotel sambil menepis-nepiskan salju dari jaketnya.
"Sebentar ya. Bu," kata Sporty cepat-cepat. "Mungkin Thomas ingin menyampaikan
sesuatu. Kamar 211, ya?" ,
Bu Carsten membalik. Ia mengangguk dan dengan ramah melambaikan tangan ke arah
Thomas, yang baru saja memasuki hotel Kemudian ia mulai menaiki tangga tadi.
"Ada apa?" tanya Sporty ketika ia menghampiri Thomas.
"Eh, kami melihat si Hidung Bengkok, si Zaulich itu. Baru saja. Kereta api yang
ditumpangi Evi ternyata juga terlambat. Tepat sewaktu kami keluar dari stasiun
sambil membawa kopor-kopornya, si Hidung Bengkok turun dari taksi. Aku rasa
tidak mungkin ia naik taksi dari hotel ini ke stasiun. Jaraknya terlalu dekat.
Berarti sebelumnya ia mampir ke tempat lain."
"Mungkin ia menemui si Lamprecht, yang katanya ada janji dengannya."
"Hm, mungkin juga. Pokoknya, Zaulich tidak melihat kami. Karenanya aku dapat
membuntutinya dengan leluasa ketika ia masuk ke stasiun. Percaya atau tidak, si
Hidung Bengkok itu telah pergi."
"Apa" Pergi?"
"Ya, dengan kereta api ekspres tujuan Hamburg. Begitu masuk stasiun, ia langsung
beli karcis, jalan ke peron, lalu naik ke gerbong kelas utama. Tiga menit
kemudian keretanya berangkat. Aku yakin benar bahwa Zaulich berada di atas
kereta api itu. Hanya itu yang ingin kuceritakan padamu."
"Terima kasih, Thomas! Sekarang aku bisa bernapas dengan lega. Soalnya pria itu
tadi juga memesan sebuah kamar. Kau tidak dapat melihatnya waktu itu. Tapi
untung ia telah pergi. Aku sudah curiga, jangan-jangan ia memang berniat jahat."
Thomas membuka kaca mata, dan menggosok-gosoknya. Kemudian langsung berlari
kembali ke stasiun, sebab teman-teman yang lain masih menunggu di sana. Tanpa
bantuannya, Oskar tidak mungkin dapat membawa kopor-kopor Evi. Thomas memang
sengaja tidak menyinggung gadis itu di hadapan Sporty, soalnya ia menyangka
temannya itu takkan peduli.
Cepat-cepat Sporty berlari ke kamar ibunya yang terletak di lantai dua, lalu
mengetuk pintu dan membukanya.
Sambil tersenyum lebar ia melangkah ke dalam kamar. Kamar itu cukup besar
Perabotnya terdiri dari sebuah tempat tidur untuk dua orang, sebuah lemari
pakaian, sebuah meja tulis, dan dua buah kursi. Sebuah tirai bermotif bungabunga menutupi jendela. Tetapi mendadak senyumnya hilang. Ia menemukan ibunya
sedang duduk di atas tempat tidur. Wajah wanita itu pucat-pasi. Dengan mata
terbelalak ia memandang ke arah Sporty. Kedua belah tangannya gemetar.
Sporty terperanjat. Langsung ia duduk di samping ibunya. Dengan hati-hati ia
meletakkan tangannya kanan melingkari bahu ibunya.
"Ada apa, Bu?" ia bertanya dengan lembut "Apakah Ibu merasa kurang sehat?"
"Peter... map yang berisi dokumen-dokumen penting itu hilang."
"Apa?" Sporty melihat ke sekelilingnya. Kopor ibunya masih berdiri di samping tempat
tidur. "Bagaimana mungkin" Aku melihat sendiri Ibu membawa map itu waktu naik ke kamar
untuk membereskan barang dan berganti pakaian."
Ibunya mengangguk lemah. "Ibu memasukkan map itu ke dalam lemari pakaian.
Kemudian Ibu juga menggantung mantel Ibu dalam lemari itu. Mantelnya masih ada,
tapi..." "Barangkali pelayan..."
Bu Carsten menggeleng. "Pelayan yang membawa naik kopor Ibu langsung turun
setelah meletakkan kopor di samping tempat tidur. Ia tidak membawa apa-apa
ketika keluar dari kamar. Ibu kemudian membereskan barang-barang dan berganti
pakaian. Setelah mengunci pintu, Ibu lalu turun untuk menemui kalian."
"Apakah Ibu yakin telah mengunci pintu kamar?"
"Ya. Waktu Ibu kembali ke kamar, pintunya maih dalam keadaan terkunci. Ibu
benar-benar tidak mengerti bagaimana map itu bisa hilang."
Berbagai pikiran melintas di kepala Sporty, Semua membentuk suatu gambaran yang
sangat jelas mengenai kejadian itu.
"Map itu tidak mungkin menguap begitu saja," kata Sporty dengan nada datar.
"Berarti seseorang telah masuk ke kamar ini. Orang itu memiliki kunci cadangan,
Dompet Ibu masih ada?"
"Masih. Ibu membawanya sewaktu menemui kalian di restoran, Tidak ada yang hilang
selain map itu." "Tetapi untuk apa pencurinya mengambil map itu" Dokumen-dokumen yang terdapat di
dalam map itu tidak akan berguna baginya, bukan?"
Bu Carsten menundukkan kepala. Dengan kedua belah tangan ia menutupi wajahnya.
Sporty menyadari bahwa ibunya sedang menangis. Rasanya ini pertama kalinya ia
melihat ibunya menangis setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya,
Langsung ia merangkul ibunya kembali dan mencoba menghiburnya.
Dengan tangan kiri Sporty mengeluarkan sapu tangan dari saku celana, lalu
berusaha untuk mengeringkan air mata yang membasahi pipi ibunya.
Wanita itu mencoba tersenyum. Tapi air matanya masih saja mengalir. Sporty
kebingungan. Ia tahu bawa ibunya biasanya tidak mudah menangis,
"Dokumen-dokumen di dalam map itu sangat penting, Peter," ibu Sporty berkata
dengan terbata-bata. "Untuk orang luar memang tidak ada gunanya. Tetapi kertaskertas itu sangat berarti bagi Ibu. Dan bagi perusahaan tempat Ibu bekerja.
Dokumen-dokumen itu berisi rencana pengembangan di masa mendatang. Bapak
Direktur tidak berani mengirimkan dokumen-dokumen itu melalui pos. Risikonya
terlalu besar katanya. Kemudian ia memberi kepercayaan pada ibu untuk
mengantarkan dokumen-dokumen ke kantor cabang di Salzburg. Kalau ternyata map
itu hilang, maka... mungkin saja Ibu dipecat."
"Tapi kejadian ini kan bukan salah ibu," ujar Sporty cepat-cepat. Ibu kan tidak
tahu bahwa map itu akan dicuri di sini!"
Anak itu tidak sampai hati melihat ibunya berurai air mata.
"Persoalannya tidak semudah itu, Peter. Orang-orang di kantor Ibu tidak tahu
bahwa Ibu mampir di sini utuk mengunjungimu. Hal itu sebenarnya tidak dilarang.
Dan ongkos hotelnya juga Ibu tanggung sendiri. Tetapl bukan itu masalahnya.
Apakah kau sudah pernah mendengar istilah mata-mata industri" Istilah itu
merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan penyelidikan untuk membongkar
rahasia perusahaan tertentu. Sering kali mereka menggunakan cara yng tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Mungkin kau tahu bahwa perusahaan-perusahaan
besar mempunyai pengetahuan khusus di berbagai bidang, bidang pemasaran atau
manajemen misalnya. Pengetahuan itu bersifat rahasia, karena justru pengetahuan
itulah yang menyebabkan mereka dapat menang melawan saingan mereka. Di sinilah
mata-mata industri berperan. Mereka mencari informasi mengenai rahasia-rahasia
itu, lalu menjual informasi itu pada perusahaan saingan. Dengan hilangnya map
berisi dokumen-dokumen itu, mungkin saja Pak Direktur menyangka bahwa Ibu telah
memberikan dokumen-dokumen itu pada salah satu perusahaan saingan."
"Maksudnya, lbu bisa dituduh melakukan keglatan mata-mata?" tanya Sporty seakanakan tidak percaya. "Mungkin tidak segawat itu," jawab ibunya. "Tetapi situasinya amat tidak
menguntungkan buat Ibu."
Sporty terdiam. Secara tidak sadar ia mengepalan tangan. Ia tahu persis apa
latar belakang pencurian map itu. Bukan ibunya yang hendak dirugikan. Pencuri
itu sebenarnya bermaksud memberi pelajaran pada Sporty. Pada Sporty dan temantemannya. Rupaya itulah sebabnya si Hidung Bengkok datang ke hotel itu, Rupanya
Detlef Egge mendengar perkataan ibu mengenai dokumen-dokumen itu ketika ia
berdiri samping kios majalah di stasiun kereta api tadi. Kemudian pemuda itu
memberitahukan halltu pada Si Hidung Bengkok, yang lalu mencuri map berii
dokumen itu. Dasar penjahat! Tetapi untuk apa Ia melakukan pencurian itu" Itu
juga sudah jelas. Detlef Egge merasa terancam. Ia membutuhkan sesuatu yang dapat
memaksa Sporty dan teman-temannya. untuk tidak menceritakan apa yang mereka
ketahui pada polisi Barang itu kini telah diperolehnya. Si Hidung Bengkok yang
mengantarkan barang itu pada Detlef. Semuanya salahku, pikir Sporty, Akulah yang
menyebabkan kesulitan yang dialami Ibu sekarang. Sial! Apa yang akan kulakukan
sekarang" Apakah sebaiknya aku menceritakan apa yang telah terjadi pada Ibu"
Tapi jangan, itu hanya akan menambah bebannya. Ia pasti akan langsung
menghubungi polisi, dan dengan demikian urusannya akan bertambah rumit. Buktibukti saja aku tidak punya! Dan menggeledah rumah Detlef juga tidak ada gunanya,
soalnya obat bius dan map berisi dokumen-dokumen itu pasti ia sembunyikan di
tempat lain. Berarti aku harus menemukan cara lain.
Bu Carsten telah agak tenang kembali.
"Ibu terpaksa menghubungi polisi," katanya. Sambil mengeluh ia mengangkat gagang
telepon. "Jangan... jangan dulu, Bu. Tunggu sebentar"
Terheran-heran Bu Carsten memandang anaknya.
"Kenapa, Peter?" .
"Tolong jangan hubungi polisi dulu, Bu."
"Tapi Ibu kan harus melaporkan kejadian ini. Bagaimana kalau..."
Wanita itu tidak menerskan kalimatnya. Dengan pandangan bertanya-tanya ia
menatap Sporty. "Bu, tunggu dulu. Kalau Ibu menghubungi polisi, maka persoalan ini akan segera
diketahui oleh atasan Ibu. Serahkan semuanya padaku. Aku belum bisa menjelaskan
rencanaku, tetapi Ibu jangan khawatir. Aku akan berusaha mengembalikan dokumendokumen itu pada Ibu, Aku sudah bisa menduga siapa yang mengatur pencurian ini.
Ini.., ini adalah suatu masalah antara aku dengan seorang murid di sekolahku.
Aku tidak bisa menceritakan lebih banyak. Karena aku tidak ingin Ibu terlalu
banyak pikiran. Aku bisa menangani persoalan ini. Bajingan-bajingan itu hanya
melibatkan Ibu untuk memberi pelajaran padaku. Sebenarnya masalahnya hanya
sepele. Tidak perlu melapor pada polisi."
Sporty tersenyum, tetapi kelihatan sekali bahwa senyuman itu dipaksakannya.
Untuk beberapa saat setelah ia berkata demikian, suasana di dalam kamar itu
menjadi hening. Bu Carsten kembali memandang anaknya. Kemudian ia mengangguk.
"Kau semakin lama semakin mirip ayahmu. Bukan hanya wajahmu saja, tetapi juga
pembawaanu. Kalian sama-sama keras kepala. Umurmu baru tiga belas tahun, tetapi
Ibu mempercayaimu. Hanya satu permintaan Ibu, jangan melibatkan diri dalam halhal yang membahayakan keselamatanmu."
6. Pertemuan Empat Mata DI SEBERANG Hotel Kaiserhof terdapat sebuah kotak telepon umum. Seorang gadis
remaja sedang berbicara dengan seorang temannya.
Sporty menunggu Gadis itu tetap saja bercerita sambil tertawa cekikikan, seakanakan tidak menyadari ada orang lain yang juga membutuhkan jasa telepon umum itu.
Malahan ia kembali memasukkan dua keping uang logam.
Kesabaran Sporty mulai habis. Beberapa kali ia mengetuk kaca kotak telepon umum
itu. Akhirnya gadis itu meletakkan gagang telepon. Tanpa berkata apa-apa ia
melewati Sporty yang melotot ke arahnya.
Sporty langsung membuka buku telepon. Ia hendak mencari alamat Detlef Egge.
Tetapi ternyata ada beberapa orang bemama Egge. Akhirnya Sporty memutuskan untuk
menelepon Petra. Bu Glockner yang menerima, Setelah tahu siapa yang menelepon,
wanita itu lalu memanggil anaknya.
"Halo, Sporty?" tanya Petra. Suaranya terdengar riang. "Datang ke rumah, dong.
Kami sedang ngobrol-ngobrol. Evi ingin sekali berkenalan denganmu. Kau bisa
kemari?" "Tidak. Ibuku sedang mengalami kesulitan. Tapi tolong jangan beri tahu siapasiapa mengenai persoalan ini."
Ia lalu melaporkan apa yang telah terjadi.
"Ya, ampun!" seru Petra. "Licik sekali mereka. Kasihan Ibumu! Padahal ia begitu
gembira ketika berjumpa denganmu di stasiun tadi. Tapi aku rasa dugaanmu benar.
Kau benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini seorang diri?"
"Ya, dan aku sudah mulai melangkah, Tapi aku belum berhasil menemukan alamat si
Egge itu." Petra ternyata tahu. Gadis itu mengambil buku catatannya, kemudian membacakan


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alamat yang dicari Sporty .
"Tapi jangan pergi dulu," tambahnya cepat-cepat. "Kami akan ikut."
"Jangan! Aku akan telepon lagi kalau butuh bantuan. Perkara ini sekarang sudah
jadi urusan pribadiku. Terima kasih atas bantuanmu. Sampai ketemu."
Sporty meletakkan gagang telepon.
Jarak rumah orang tua Detlef Egge ternyata cukup jauh dari Hotel Kaiserhof.
Keluarga itu tinggal agak di luar kota, di suatu daerah perumahan orang-orang
kaya Bangunan-bangunan di daerah itu serba baru dan mewah. Walaupun deikian,
Sporty merasa bahwa ia tidak akan betah tinggal di lingkungan seperti itu.
Suasananya tidak menyenangkan, kata Sporty dalam hati ketika ia berjalan
menyusuri jalanan yang sepi itu. Aku lebih menyukai lingkungan di sekitar rumah
Petra, walaupun daerah itu hanya berisi bangunan-bangunan kuno. Lingkungannya
terasa lebih akrab. Di sini semuanya serba kaku Sepertinya orang-orang yang
tinggal di sini hanya ingin memamerkan kekayaan masing-masing.
Keluarga Egge tinggal di rumah nomor dua puluh dua. Berseberangan dengan rumah
mereka, sebuah bangunan yang mirip istana sedang dibangun.
Tetapi rumah nomor dua puluh dua tidak kalah mentereng. Rumah itu merupakan
bangunan yang paling besar di jalan itu, sekaligus yang paling aneh bentuknya,
Arsitek yang merancang rumah itu rupanya hendak menampilkan kesan modern. Dan ia
memang berhasil, atau lebih tepat jika dikatakan terlalu berhasil, soalnya
bangunan itu kelihatannya seperti berasal dari sebuah film mengenai masa yang
akan datang. Terheran-heran Sporty memandang bangunan bertingkat dua itu. Berbagai bentuk
dipaksakan menjadi satu. Bagian depannya berbentuk kotak, bagian samping bulat,
dan bagian belakangnya membentuk sebuah segitiga. Atapnya ada yang datar, ada
yang miring, dan ada yang berbentuk kubah. Tanpa batas yang jelas, sebuah garasi
yang dapat menampung empat buah mobil menyatu dengan rumah itu. Di balik garasi
terdapat sebuah bangunan tambahan yang menyerupai bentuk kerang. Seluruh
dindingnya terbuat dari kaca. Bangunan itu berisi kolam renang pribadi keluarga
Egge. Bangunan kolam renang itu terang-benderang. Tirai-tirai yang menggantung di
balik dinding kaca tidak ditutup. Maksudnya tentu agar orang-orang yang lewat
dapat melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Kolam renangnya dilapisi tegel keramik berwarna hijau. Cahaya berwarna hijau
menerangi airnya. Lantai di sekeliling kolam tertutup pasir putih. Pohon-pohon
palem ditempatkan dalam pot-pot besar. Suasananya dipaksakan mirip dengan hutan
rimba, Hanya kera saja yang belum ada,
Sekitar dua puluh orang sedang berpesta ria di ruangan itu. Sebagian berada di
dalam air, sisanya berdiri di sekeliling kolam renang. Semuanya orang dewasa.
Tawa berderai terdengar sampai di jalan.
Mungkin ada yang ulang tahun, pikir Sporty. Ia merasa heran melihat tingkah
orang-orang itu. Sporty berjalan menuju pintu pagar dan menekan bel. Tidak lama
kemudian gerbang itu membuka secara otomatis. Sporty melangkah maju menuju pintu
rumah. Seorang pria berseragam menyambutnya. Orang itu mengenakan sebuah celana hitam
yang disetrika dengan rapi, baju putih bersih, dan sebuah dasi kupu-kupu yang
agak kebesaran. Dengan sikap angkuh ia memandang Sporty. Sporty menduga pria itu
adalah kepala pelayan di rumah keluarga Egge
"Apakah saya bisa bertemu dengan Detlef?" anak itu bertanya dengan sopan,
"Saya lihat dulu apakah Tuan Muda ada di rumah. Siapa namamu?"
"Peter Carsten. Tetapi katakan saja pada Detlef bahwa Sporty ingin menemuinya.
Ada urusan penting yang perlu segera diselesaikan."
Kepala pelayan itu nampak ragu-ragu. Hampir saja ia menutup pintu dan membiarkan
anak itu menunggu di luar. Tetapi akhirnya Sporty dipersilakannya masuk.
"Tunggu saja di sini," katanya. "Saya akan memanggil Tuan Muda."
Hampir lima menit berlalu.
Kepala pelayan itu tidak kembali, tetapi selang beberapa menit Detlef sendiri
yang muncul Mungkin pemuda itu terkejut begitu mengetahui siapa yang datang,
namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya di hadapan Sporty.
Wajah Detlef agak pucat. Ia mengenakan celana jeans putih dan sebuah baju dingin
berwarna hitam. Kakinya terbungkus sepatu lars yang terbuat dari kulit yang
paling empuk. Sambil tersenyum mengejek Ia mengamati Sporty.
"Rasanya aku pernah melihatmu," ujar DetIef,
"Ya, kita memang sudah pernah bertemu," balas Sporty. "Tadi siang, sewaktu aku
menghajarmu dan temanmu itu. Kau tentu belum lupa, bukan"! Dan setelah itu di
stasiun kereta api."
"He, kau lagi mabuk, ya?" tanya Detlef. "Mana mungkin kita bertemu di taman itu"
Aku sudah berbulan-bulan tidak ke sana."
"Tapi aku mengenali wajahmu!"
"Tidak mungkin! Aku kan..." Detlef berhenti bicara Hampir saja ia keceplosan.
Sporty tersenyum dingin. "Mengapa kau tiba-tiba terdiam" Mungkin kau hendak
mengatakan bahwa kau mengenakan topeng tadi"!"
"Brengsek! Jangan mengada-ada! Apa sih maumu?"
"Aku ingin bicara denganmu "
"Mengenai apa" Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan! Ah, sudah! Aku tidak
punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu."
Sporty menatap pemuda itu tajam-tajam. Dengan tenang ia mengeluarkan kantung
kulit berisi alat suntik yang ia temukan di Taman Bismarck.
"Kita berdamai saja," katanya sambil memperlihatkan barng itu pada Detlef
"Kantung ini milikmu, bukan" Aku akan mengembalikannya jika kau menyerahkan map
ibuku padaku. Bagaimana, kau setuju?"
Detlef membelalakkan mata. "Kau mau cari perkara, ya?"
"Kalau aku jadi kau, aku akan berpikir dua kali sebelum menolak tawaran ini,"
jawab Sporty dengan tenang. "Aku yakin polisi bisa menemukan sidik jarimu pada
kantung kulit ini. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kuserahkan kantung ini
ke kantor polisi. Aku tinggal menyebutkan nama dan alamatmu, dan mereka akan
datang kemari untuk menjemputmu. Orang tuamu takkan gembira apabila mereka
mendengar bahwa kau seorang pecandu heroin."
Detlef Egge tersenyum lebar. "Sayang sekali aku tidak mengerti apa yang
kaukatakan." "Oh, begitu." kata Sporty sambil mengangguk-angguk. "Jadi kantung ini bukan
milikmu"! Berarti barang ini kepunyaan temanmu, si Toni. Jangan kausangka bahwa
dengan demikian kau sudah aman. Aku akan menemukan temanmu itu. Dan percaya1ah,
ia tidak akan bisa berbohong padaku. Kita lihat saja apakah kau masih bisa
cengar-cengir nanti."
Detlef Egge tidak terkesan oleh ancaman Sporty.
"Ah, rupanya kau memang lagi mabuk," katanya sambil tertawa. "Pantas saja kau
mengoceh tak keruan. Sayang sekali, sampai sekarang aku belum juga mengerti apa
maumu, Map ibumu hilang, katamu tadi" Memang, orang-orang semakin jahat saja.
Kasihan benar, ibumu. Padahal maksudnya agar kau jangan sok mencampuri urusan
orang. Tetapi jangan khawatir, semuanya bisa diatur. Kau suka baca cerita
detektif" Dalam cerita-cerita itu biasanya semuanya akan beres, asal saja kau
tidak macam-macam. Menghubungi polisi misalnya. Itu suatu kesalahan besar. Para
penjahat mungkin saja merasa tidak senang. Akibatnya bisa buruk untukmu. Tapi
yang paling penting adalah tutup mulut. Lupakanlah semua yang kauketahui. Ini
juga berlaku untuk teman-temanmu. Nah, kalau kau bisa bersikap seperti itu, maka
tidak ada persoaan, bukan" Tetapi kau jangan menyangka bahwa aku blcara begini
karena terlibat dalam suatu kejahatan, Aku hanyalah seorang penggemar cerita
detektif yang ingin membantu memecahkan kesulitanmu."
Kurang ajar, pikir Sporty, Detlef pura-pura tidak tahu-menahu soal map itu.
Tetapi sekaligus ia mengajukan beberapa persyaratan yang harus kupenuhi. Dan
cara ngomongnya itu seakan-akan ia tidak bersalah. Brengsek!
Setelah diam beberapa saat, Sporty akhirnya berkata,
"Oke, aku mengerti. Sekarang kau menang. Tetapi kalau sampai Senin pagi map itu
belum kembali, maka ibuku akan menanggung akibatnya, Berarti map itu tidak bisa
lagi kaupergunakan untuk memaksakan keinginanmu. Jika itu sampai terjadi, aku
akan segera melaporkanmu pada polisi. Aku akan mengatakan bahwa kau seorang
pecandu heroin. Dan juga bahwa kau pernah mencoba untuk merampas dompet milik
seorang kakek di taman Bismarck. Pikirkanlah hal itu,"
"Kau berani mengancamku?" DetIef mendesis. Ia mengangkat kaki untuk melangkah
maju, tetapi kemudian membatalkan niatnya.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Dan aku juga masih menunggu kau mengembalikan
map itu padaku," balas Sporty.
"He, jangan sok jago, kau! Jangan sembarangan menuduh orang. Kalau kau
memfitnahku di depan polisi, maka aku tidak dapat menjamin keselamatanmu atau
teman-temanmu. Kau mungkin saja mempertahankan diri, tetapi bagaimana dengan
cewekmu itu" Yang ke mana-mana selalu bawa anjing, maksudku. Jangan sampai ia
tertabrak oleh sebuah mobil sewaktu lagi bersepeda, Dengar-dengar sekarang lagi
banyak tukang ngebut berkeliaran di jalanan."
Sporty tidak dapat berkata apa-apa. Dengan berang ia menatap Detlef. Rasanya ia
ingin menghajar pemuda itu habis-habisan. Namun Sporty masih dapat menahan diri.
Ia menyadari bahwa tindakan itu tidak ada gunanya, setidak-tidaknya untuk
sementara waktu. "Dengar, Egge," kata Sporty dengan suara brgetar karena marah, "kalau terjadi
sesuatu pada Ibuku, Petra dan teman-temanku yang lain, atau anjing spanil milik
Petra, maka aku akan menghabisimu, Mukamu akan kupermak sampai ayahmu sendiri
takkan mengenalimu saat ia menengokmu di rumah sakit, mengerti"!"
Detlef Egge mundur satu langkah dan bersuit keras-keras. Si kepala pelayan
langsung muncul. "Bah, untuk apa aku mendengarka ocehnmu" Buang-buang waktu saja. Cepat, pergi!
Pergi. Dan jangan balik lagi!"
Sporty berbalik badan dan menuju pintu rumah yang telah dibuka oleh kepala
pelayan tadi. Orang itu memandangnya dengan sikap bermusuhan. KetIka melangkah
keluar, Sporty mendengar suara seorang wan ita memanggil Detlef.
"Deeetleeef, di mana kau" Kenapa kau tidak ikut meramaikan pesta kita. Ayo,
cepat, ayahmu sudah menunggu!"
"Malas, Bu," pemuda itu menyahut. "Aku lagi nunggu teman!"
7. Mengintai Musuh SPORTY melangkah menuju pintu pagar. Tiupan angin menerpa wajahnya. Udara dingin
di luar rumah membantu menjernihkan pikirannya yang sedang kusut. Ia tidak
mengerti bagaimana Detlef, yang hampir seumur dengannya, bisa bersikap begitu
kejam dan tak berperasaan. Kelihatannya, pemuda itu menghalalkan segala cara,
asal saja tujuannya tercapai. Kenyataan itu membuat Sporty tak habis pikir.
Bukankah Detlef telah memiliki segalanya yang menjadi dambaan anak muda"
Sesampainya di pintu gerbang, Sporty menengok ke belakang. Rumah yang mewah itu,
suasana pesta yang ramai, semuanya kini terasa hambar dan dingin.
Benarkah Detlef telah mempunyai segala-galanya" Memang benar, orang tuanya kayaraya. Hidupnya bergelimang harta dan kemewahan, Semua fasilitas tersedia
lengkap. Tetapi mungkin ia membutuhkan lebih dari itu, yaitu perhatian dan kasih
sayang orang tuanya. Barangkali ia kurang diperhatikan oleh ayah dan ibunya, pikir Sporty, Tapi itu
bukan alasan untuk bersikap seperti tadi. Dasar bajingan! Berani-beraninya ia
mengancam keselamatan Petra! Hati-hati kau, Detlef. Urusan kita belum selesai.
Setelah beberapa saat, kemarahan Sporty baru reda. Ia dapat berpikir dengan
tenang kembali. Apa katanya tadi" Sedang menunggu teman" Anak itu bertanya dalam hati. Hm, ada
baiknya kalau aku menunggu kedatangan temannya itu. Siapa tahu aku akan
memperoleh petunjuk baru.
Hari telah gelap. Beberapa lampu taman menerangi perkarangan rumah keluarga
Egge. Tetapi cahaya lampu-Iampu itu tidak mencapai jalanan.
Jangan sampai Detlef melihatku, pikir Sporty. Mungkin bajingan itu sedang
mengintip melalui salah satu jendela rumahnya.
Ia mencari tempat untuk bersembunyl. Dl sekltar rumah Detlef hanya ada satu
tempat yang cocok, yaitu rumah mirip istana yang sedang dibangun itu.
Cepat-cepat Sporty menyeberang. Dengan hati-hati ia mengendap-endap memasuki
halaman rumah itu. Ia memandang sekelilingnya. Ternyata tidak ada siapa-siapa.
"Nah, aman," bisiknya pelan, "Aku akan menunggu di sini."
Ia berjongkok di balik sebuah timbunan tanah galian. Dari tempat itu ia dapat
melihat rumah keluarga Egge dengan jelas.
Suasana pesta di seberang semakm meriah. Seorang tamu yang rupanya sudah agak
mabuk tiba-tiba melemparkan gelasnya ke dinding kaca yang mengelilingi kolam
renang. Gelas itu pecah berantakan.
Suaranya terdengar dengan jelas sampal di jalanan, Untuk sesaat, semua tamu
terdiam. Namun kemudian lelucon konyol itu disambut dengan tawa berderai yang
memecahkan keheningan malam.
Menit demi menit berlalu. Salju mulai turun lagi. Tapi orang yang ditunggu
Detlef belum juga datang.
Gawat, pikir Sporty setelah menunggu selama hampir setengah jam. Aku bisa beku
di sini kalau temannya itu tidak muncul-muncul juga.
Sambil berjongkok, anak itu berusaha menggerak-gerakkan badan agar tidak
kedinginan. Punggungnya, yang tadi secara tidak sengaja terkena hajaran tongkat
Kolonel Grewe, kini terasa sakit lagi.
Sporty hampir saja putus asa, ketika ia melihat sesosok tubuh muncul di ujung
jalan. Sosok itu berjalan dari arah pusat kota.
Itu dia! pikir Sporty gembira. Ternyata ia tidak sia-sia menunggu. Rasanya aku
ingat cara jalannya. Ya tidak salah lagi, itu si Toni. Dugaanku tepat sekali. Ia
sudah ganti baju, tetapi aku masih mengenali gerak-geriknya. Aku berani bertaruh
bahwa ia sedang menuju rumah Detlef, Nah, benar kan!
Toni berhenti di depan pintu gerbang rumah nomor dua puluh dua. Langsung ia
menekan bel. Sporty tidak dapat mengamati Toni. Pemuda itu berpakaian seperti orang eskimo.
Seluruh tubuhnya terbungkus pakaian tebal. Ketika Toni membuka topi yang
menutupi kepalanya, Sporty melihat bahwa rambutnya keriting.
Kepala pelayan tadi membuka pintu, dan Toni melangkah masuk.
Para pengedar narkotika sedang berkumpul, pikir Sporty. Coba kulihat bagaimana
kelanjutannya, Kali ini ia tidak perlu menunggu lama-lama.
Seperempat jam kemudian pintu rumah itu terbuka kembali.
Detlef Egge mengantarkan tamunya sampai di pintu pagar.
"Kau memang teman sejati, Toni," Sporty mendengar Detlef berkata. "Oke, nanti
saja kautelepon aku lagi. Dan tolong katakan pada Lembke, aku berpendapat bahwa
sebaiknya kita mengalah dulu. Setidak-tidaknya sampai kita tahu siapa yang ingin
mengacaukan usaha kita. Lalu..."
Detlef Egge tertawa. Dengan kepalan tangannya, ia memperagakan sebuah gerakan
tinju. Tetapi kelihatan sekali bahwa ia tidak biasa berkelahi.
Walaupun demikian. Toni menyambut gurauan itu dengan tawa yang meledak-ledak. Ia
berkomentar sedikit, tetapi Sporty tidak dapat mendengarnya.
Setelah mengancingkan jaketnya, Toni kembali berjalan ke arah pusat kota.
Pintu rumah Detlef menutup. Sambil menundukkan kepala, Toni melangkah membelah
malam yang dingin. Ia tidak menyadari dinnya sedang dibuntuti oleh sebuah
bayangan hitam. Kau takkan lolos, ujar Sporty dalam hati. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya.
Perjalanan yang ditempuh kedua orang itu ternyata cukup jauh, dan berakhir di
suatu daerah yang merupakan pusat kehidupan malam. Segala macam usaha hiburan
terdapat di daerah itu. Tempat bilyar, arena permainan ketangkasan, bar, bioskop
butut, diskotek murahan, semuanya dapat ditemui di daerah itu. Beberapa tempat
telah menjadi langganan razia polisi.
Toni mempercepat langkahnya. Rupanya ia sudah hampir sampai di tempat tujuannya.
Sporty mulai memperkecil jarak. Ia berani berbuat demikian karena selama ini
Toni tak sekali pun menengok ke belakang.
Siapa si Lembke itu" pikir Sporty. Dan apa yang dimaksud oleh Detlef tadi"
Apakah lagi ada antar pengedar narkotika"
Mereka melewati sebuah jalan yang sempit dan gelap. Lampu-Iampu neon berkedipkedip Musik yang memekakan telinga terdengar setiap kali seorang pengunjung
meninggalkan sebuah tempat hiburan.
Di sepanjang jalan itu, anak-anak muda bergerombol di depan pintu-pintu masuk ke
tempat-tempat keramaian itu. Entah mengapa mereka hanya berdiri di luar.
Gerombolan terbesar terdapat di depan pintu masuk sebuah Diskotek barnama SuperSound Disco. Tempat itu mempunyai reputasi buruk. Tetapi untuk segolongan
remaja, diskotek itu mempunyai daya tarik tersendri. Setiap malam mereka
berkumpul di sana. Toni melangkah masuk. Tanpa ragu-ragu Sporty mengikutinya.
Ia takkan tahu aku mengawasi gerak-geriknya, kata anak itu dalam hati. Diskotek
itu pasti menghemat lampu, lagi pula tempatnya tentu penuh sesak.
Dengan gesit ia menyelinap di antara anak-anak muda yang berdiri di depan pintu
masuk. Dua gadis orang berpapasan dengannya. Umur mereka tentu tidak jauh
berbeda dari Sporty. Wajah keduannya pucat-pasi. Mata mereka sayu, seakan-akan
tanpa semangat hidup. Di pintu masuk Sporty dicegat oleh seorang laki-laki bertampang seram.
Kelihatannya ia adalah penjaga pintu, sekaligus tukang pukul yang bertugas


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjga keamanan. "He, mau ke mana kau?" laki-laki itu menegur. "Bayar dulu kalau mau masuk ".
"Berapa?" tanya Sporty.
"Tiga Mark." Sporty mengeluarkan dompetnya dan membayar.
Punggung tangannya kemudian diberi cap oleh laki-laki tadi.
"Bisa hilang lagi?" Sporty bertanya.
"Jelas. Besok pagi juga sudah nggak ada bekasnya. Keenakan dong kau, kalau
capnya nggak hilang-hilang. Berarti besok kau bisa masuk tanpa bayar."
"Ngomong-ngomong, Lembke sudah datang?"
"Bos kita?" "Siapa lagi"! Kaukira aku menanyakan tukang sapu"!"
Laki-laki bertampang seram itu nyengir.
"Bos kita selalu ada. Tetapi kayaknya orang-orang belum pada tahu. Barusan si
Toni juga mencarinya. Ada urusan bisnis, katanya."
Sporty mengangguk dan melangkah masuk.
Si tolol itu sama sekali tidak curiga, katanya dalam hati. Kalau sekali lagi aku
ketemu orang bego seperti itu, maka aku bisa mengetahui seluruh rencana para
pengedar heroin itu, tanpa perlu repot-repot bertanya ke sana kemari.
Suasana hingar-bingar menyambut Sporty. Musik disko menghentak-hentak.
Penerangan di dalam ruangan itu hanya berupa tiga buah lampu sorot yang berwarna
biru, merah, dan kuning. Ketiga lampu itu secara bergantian menerangi lantai
dansa yang terdapat di tengah-tengah ruangan.
Puluhan anak muda memadati lantai dansa itu. Sporty tidak dapat membedakan siapa
yang berpasangan dan siapa yang sendirian, sebab semuanya berjingkrak-jingkrak
tanpa aturan. . Mata Sporty terasa perih terkena asap rokok yang menggantung di udara. Dengan
susah-payah ia menerobos kerumunan orang yang berdiri di pinggir lantai dansa.
Ia berjalan menuju bar yang terdapat di bagian belakang ruangan itu. Beberapa
gadis dengan danan yang mencolok mata melayani tamu-tamu. Mereka tidak terlalu
sibuk, karena sebagian besar pengunjung hanya membawa uang pas-pasan saja. Di
samping itu, ban yak di antara tamu yang membawa minuman sendiri, walaupun hal
itu dilarang. Secara sembunyi-sembunyi mereka mereguk minuman keras yang mereka
selundupkan ke dalam. Sporty berhenti di dekat bar. Ia telah melihat Toni. Pemuda itu belum menemukan
orang yang dicarinya. Sambll mempermainkan kancing jaketnya, ia memandang
sekitarnya, Toni ternyata berwajah bulat. Matanya kecil dan menimbulkan kesan licik.
Sporty berdiri di belakang seorang gadis berambut keriting. Sekali-sekali ia
mengintip untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan Toni.
"Turun, yuk," gadis itu tiba-tiba menegur. Ia terpaksa berteriak untuk
mengalahkan musik yang memekakkan telinga.
Sporty menggeleng. "Nanti saja, aku lagi malas."
Gadis itu hanya mengangkat bahu, lalu kembali memperhatikan orang-orang yang
sedang berdansa. Tepat pada saat itu Toni mendekati seorang pria yang sedang berdiri di ujung
bar. Mereka bersalaman lalu segera terlibat dalam percakapan seru.
"Itu pasti si Lembke," Sporty menduga.
Dari kejauhan Sporty mengamati pria itu, Umurnya sekitar tiga puluh tahun, Ia
berperawakan tinggi besar. Garis-garis wajahnya keras, Sebuah kumis tebal
melintang di atas bibirnya. Rambutnya agak keriting dan berwarna pirang
kecoklat-coklatan. Lembke berpenampilan perlente, Ia mengenakan stelan jas berwarna putih dan
sebuah kemeja berwarna hitam. Sebuah kalung emas melingkar di lehernya.
"Bagaimana mereka bisa berbincang-bincang dalam keadaan bising seperti ini?"
ujar Sporty terheran-heran.
"He, kau benar-benar nggak mau turun?" gadis tadi kembali bertanya.
"Nanti saja,.. kalau suasananya sudah lebih ramai. Sekarang masih terlalu sepi!"
Gadis itu menatapnya sambil membelalakkan mata. Mungkin ia merasa heran, soalnya
sekarang saja para pengunjung sudah sulit untuk bergerak. Mana mungkin bertambah
ramai lagi! Toni dan Lembke beranjak dari tempat mereka berdiri. Sebelum mereka menghilang
di balik kerumunan pengunjung yang memadati lantai dansa, Sporty telah bergerak
mendekat. Sebuah pintu membuka. Di belakangnya terdapat sebuah selasar yang
diterangi lampu neon. Sebuah papan kecil bertulisan DlLARANG MASUK menempel pada
pintu. tadi. Kedua orang itu menghilang ke dalam dan pintu itu menutup kembali. Sporty
menunggu selama sepuluh detik. Lalu ia membuka pintu itu. Sebelum masuk, ia
menengok ke belakang. Tidak ada yang memperhatikannya. Semua sibuk dengan urusan
masing-masing. Lagi pula, siapa yang dapat melihatnya dalam cahaya remang-remang
begitu" Cepat-cepat ia menyelinap masuk ke selasar itu. lalu menutup pintu. Di situ tak
begitu bising. Tidak ada pintu di kedua sisi selasar. Tetapi selasar itu
membelok ke kanan. Perlahan-lahan Sporty melangkah ke arah belokan itu, kemudian berhenti Sayupsayup ia mendengar suara dua orang pria sdang bercakap-cakap.
Dengan hati-hati ia mengintip. Ia melihat sebuah pintu yang tertutup. Suarasuara tadi berasal dari balik pintu itu. Sejumlah huruf berwarna emas yang
membentuk tulisan KANTOR terpasang di daun pintu. Dengan hati-hati Sporty
melangkah mendekat agar dapat mendengar percakapan yang sedang terjadi dengan
lebih jelas. "Mau wiski?" sese orang bertanya dengan suara serak. Mungkin Lembke.
"Tentu. Lumayan, untuk menghangatkan badan."
Itu suara Toni. "Memang brengsek," Lembke kembali berkata. Ucapan itu bukan tertuju pada wiski
yang sedang dituang ke dalam gelas, tetapi pada sesuatu yang tidak sempat
didengar oleh Sporty. Toni keselak. Ia terbatuk-batuk. Dengan tersengal-sengal ia akhirnya berkata,
"Semuanya sudah jelas. Jahanam itu tahu siapa kita. Ia tahu bahwa kau terlibat
dalam perdagangan narkotika. Juga Detlef dan aku. Detlef bilang kita sebaiknya
mengalah saja. Apa sih artinya uang 50.000 Mark dibandingkan dengan
penghasilanmu" Sayangnya aku sekarang lagi bokek. Tetapi nanti aku akan melunasi
bagianku, jangan khawatir, Detlef punya 10.000 Mark. Nih, aku bawa uangnya.
Sisanya terpaksa kaubayar sendiri."
"40.000 Mark" Apa kalian sudah gila?"
Untuk beberapa detik kedua orang itu terdiam.
Sporty menahan napas. Seluruh indrianya dikerahkan. Ia siap-siap untuk kabur
dari tempat itu, "Oke, deh," kata Lembke. "Sekarang kita terpaksa mengalah. Aku tidak mau ambil
risiko. Tidak ada gunanya mengundang bahaya bagi bisnis kita. Padahal semuanya
sedang berjalan lancar. Uang itu pasti dapat dikumpulkan, jangan khawatir.
Tetapi aku masih penasaran. Siapa sih si pemeras sialan itu"! Dan kenapa hanya
Detlef yang ia telepon" Aneh, kan" Kau dan aku sama sekali tidak pernah
dihubunginya. Lagi pula tidak ada yang tahu bisnis kita kecuali kita bertiga.
Aku sendiri tidak pernah memberi tahu siapa-siapa. Detlef juga tidak. Dan
kau..." "Sungguh mati, Dieter, aku tidak pernah bercerita macam-macam. Tetapi barangkali
pemeras itu sudah lama mengamati gerak-gerik kita."
"Sudahlah. Percuma saja kita berdebat. Kali ini aku akan mengalah. Aku akan
bayar. Tetapi hanya kali ini. Kalau sampai kejadian semacam ini terulang lagi,
aku terpaksa bertindak keras."
"Memang, Dieter. Jangan sampai kita jadi bulan-bulanan si pemeras. Tapi untuk
kali ini... Maksudku... jangan sampai bisnis kita berantakan hanya karena kita
bertindak ceroboh." "Brengsek, apa kaupikir aku belum mempertimbangkan hal itu?" balas Lembke ketus.
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Waktu si pemeras menelepon Detlef tadi, ia menetapkan batas waktu. Kalau
sampai..." "Apa" Batas waktu" Berani betul bangsat itu!"
"Pokoknya, ia bilang uang itu harus kita serahkan tepat tengah malam nanti."
"Caranya?" "Aku disuruh mengantarkan uang itu."
"Ke mana?" "Ke Wisma Gelandangan, di belakang Kuburan Lama. Uang itu harus kubawa dalam
suatu tas berwarna terang Di dalam salah satu ruang di Wisma Gelandangan ada
sebuah meja bilyar bekas. Tas itu harus kutaruh di sana. Setelah itu aku disuruh
segera kembali. " "He, aku ada akal. Kita bisa menyergapnya di sana. Pemeras itu pasti menunggu di
sana." "Aku rasa ia tidak sebodoh itu. Ia telah memperingatkan Detlef agar kita jangan
macam-macam. Demi keselamatan kita sendiri, katanya. Menurut pengakuannya, ia
punya pistol. Kecuali itu, pemeras itu juga telah menitipkan sebuah surat pada
salah seorang temannya. Ia bilang surat itu akan segera dikirimkan ke polisi,
kalau kita berani bertindak curang. Kau tentu bisa menebak isi surat itu,
bukan?" "Bajingan!" seru Lembke.
"Kelihatannya orang itu tidak main-main."
"Zaulich sudah tahu persoalan ini?"
"Belum. Mana kami berani memberitahunya" Kau kan tahu sifatnya! Zaulich selalu
kepingin agar semuanya berjalan dengan tenang. Begitu ada ribut-ribut, biar
sedikit saja, ia pasti akan langsung menarik diri. Terus dari mana lagi kita
bisa dapat barang"! Tidak ada cara lain, Dieter. Urusan ini harus kita
selesaikan sendiri. Lagi pula, Zaulich sudah cukup banyak membantu kita, dengan
mencuri map berisi dokumen dari Hotel Kaiserhof. Kata Detlef, itu satu-satunya
cara supaya anak ingusan itu tidak ikut campur lagi."
Anak ingusan yang dimaksud itu, kini sedang tersenyum simpul mendengar ucapan
Toni. Walaupun dengan berdebar-debar.
"Eh, siapa tahu justru anak itu biang keladinya?" Lembke menduga.
"Ah, tidak mungkin."
"Lho kenapa?" "Soalnya ia hanya secara kebetulan saja terlibat dalam urusan ini. Kau sudah
tahu kan, persoalan di Taman Bismarck tadi siang" Padahal si pemeras sudah
beberapa hari yang lalu menghubungi Detlef."
"Ya, aku sudah tahu persoalan kalian itu," ujar Lembke dengan nada mengejek.
"Payah, lawan anak kecil saja tidak mampu!"
"Coba kalau kau melihatnya, Umurnya memang baru tiga belas tahun, tapi kau
sendiri pun belum tentu sanggup membereskannya. Detlef kenal anak ingusan itu.
Namanya Sporty. Ia satu sekolah dengan Detlef. Detlef bilang anak itu juara judo
di sekolahnya, Aku yakin kau juga bakalan kelabakan kalau menghadapinya. "
"Aku takkan kelabakan, soalnya aku tidak akan melawan dia, Itu tugas kalian,
Lagi pula, kenapa sih kalian merampas dompet si tua bangka itu?"
"Itu.., itu urusan pribadi," jawab Toni agak ragu-ragu.
"Urusan pribadi bagaimana?"
"Kakek itu melaporkanku pada polisi."
"Apa lagi yang kauperbuat, heh?"
"Begini, aku punya ketapel di rumah. Bukan ketapel biasa dari kayu, tetapi model
baru. Nembaknya pakai bola baja. Percaya tidak, papan setebal lima senti pun
tembus. Dan tembakannya selalu tepat. Pertama-tama aku latihan dengan botolbotol bekas. Tapi lama-lama bosan, Terus aku mulai menembak burung. Sudah
belasan burung kusikat, semuanya sedang terbang! Nah, beberapa hari yang lalu
aku lewat di depan rumah kakek itu. Eh, tiba-tiba aku lihat beberapa ekor burung
gereja hinggap di pagar rumahnya. Rapat sekali, Sasaran empuk, pikirku, Siapa
tahu bisa kena tiga ekor sekaligus. Ternyata si tua bangka memperhatikan tingkah
lakuku. Aku lagi membidik, ketika ia keluar rumah sambil marah-marah. Burungnya
terbang semua. Aku langsung kabur. Tahu-tahu kakek itu menelepon polisi. Tidak
lama kemudian sebuah mobil patroli berhenti di sampingku. Aku dibawa ke kantor
polisi, dan memperoleh penngatan keras. Ketapelku disita. Kemudian aku susun
rencana untuk balas dendam. Tetapi aku tidak bisa menghajarnya begitu saja.
Polisi pasti akan mencurigaiku. Karena itu, aku memutuskan untuk sekalian
merampas dompetnya. Biar kelihatannya seperti penjambretan. Detlef langsung
setuju waktu aku mengajaknya. Soal begituan, Detlef selalu berminat. Untuk
mengelabui polisi, aku meletakkan sebuah kantung berisi alat suntik bekas di
dekat tempat kejadian, Supaya disangka bahwa kejahatan itu dilakukan oleh
seorang morfinis. Kejadian selanjutnya, kau sudah tahu, bukan?"
Sporty mengepalkan tangan. Ia benar-benar marah. Hampir saja ia menyerbu ke
dalam untuk menghajar Toni. Pernuda itu ternyata bukan pecandu obat bius. Dan
Detlef Egge kemungkinan besar juga bukan, Mereka hanya menjual heroin, Tetapi
dengan demikian mereka mencelakakan orang-orang lain.
Ajaib, pikir Sporty. Alat suntik itu berhasil mengelabuiku, tetapi sekaligus
menunjukkan jejak para pengedar ini.
"Anak ingusan itu ternyata cukup lihai," suara Toni terdengar kembali. "Ia tahu,
atau menduga, map ibunya ada di tangan Detlef, Entah setan mana yang
memberitahunya. Tadi ia sempat datang ke rumah Detlef, dan..,"
Sporty tidak menunggu lebih lama. Apa yang didengarnya sudah cukup. Nalunnya
mengatakan ia harus segera meninggalkan tempat itu.
Tanpa mengeluarkan suara ia kembali ke ruang disko.
8. Korban Narkotika DI RUANG disko suasana belum berubah. Kebisingan yang hampir tak tertahankan menyiksa telinga. Udara pengap bercampur asap rokok dan bau keringat. Puluhan
remaja melompat -lompat mengikuti irama musik. Gadis yang tadi menegur Sporty
masih berdiri di tempat semula. Entah mengapa ia belum menemukan pasangan untuk
menggetarkan lantai dansa.
Baru sekarang Sporty menyadari betapa tegangnya ia sewaktu memasang telinga di
depan pintu kantor tadi. Kedua belah tangannya sampai terasa lengket oleh
keringat. Karena itu ia ingin mencuci tangan dulu sebelum meninggalkan Super-Sound-Disco.
Sebuah gang sempit menuju ke ruang toilet. Tetapi gang itu tidaklah sesepi
selasar tadi. Sporty harus melewati tiga atau empat anak-muda yang menatap nya
dengan pandangan kosong. Pupil mata mereka mengecil.
Narkotik! terlintas di kepala Sporty. Ia pernah membaca bahwa pupil mata yang
mengecil merupakan bukti yang tidak dapat disangkal bahwa seseorang berada di
bawah pengaruh narkotika.
Ia berjalan melewati pintu toilet wanita. WC pria terletak di ujung gang itu.
Sporty membuka pintu dan melangkah masuk. Bau tidak sedap menyambutnya.
Di dalam ruangan terdapat empat buah tempat cuci tangan. Semuanya kelihatan
kotor dan tak terawat. Satu-satunya penerangan adalah sebuah lampu suram yang
tergantung di langit-langit. Empat buah cermin pernah terpasang pada dinding
yang penuh dengan coret-coretan spidol. Tetapi satu sudah copot. Tiga cermin
lainnya buram. atau retak. Pada masing-masing wastafel terdapat wadah berisi
sabun cair. Sebuah handuk yang nampaknya sudah bertahun-tahun tidak diganti,
menggantung pada sebuah paku yang tertancap di tembok. Untung Sporty selalu
mengantungi sapu tangan sehingga tidak terpaksa menggunakan handuk itu.
Sporty sendirian di dalam ruangan itu. Ia membuka keran, lalu membasuh kedua
belah tangannya. Tiba-tiba pintu WC membuka Sporty memandang ke dalam cermin
yang terpasang di hadapannya.
Seorang anak laki-laki masuk.
Sporty tidak mengenalnya. Ia baru saja hendak mengeluarkan sapu tangan dari saku
celananya, ketika remaja yang baru masuk itu menyergapnya dari belakang.
"Sporty" Wah, kebetulan! Akhirnya ketemu teman yang bisa meminjamkan duit
padaku. He, Sporty, tolong dong. Aku perlu duit, sepuluh Mark saja! Nanti
kukembalikan. Ayo, dong. Aku lagi nagih, nih."
Sporty menatapnya dengan terheran-heran.
Anak itu hampir sama tingginya dengan Sporty, Rambutnya pirang. Warna kulitnya
kekuning-kuningan. Garis-garis hitam melingkari sepasang mata yang berwarna biru
dan agak berair. Tulang pipi terlihat menonjol dari wajahnya yang kurus. Butirbutir keringat dingin membasahi dahi anak itu.
"Frank?" tanya Sporty ragu-ragu.
"Ayo dong, Sporty. Tolong dong, sepuluh Mark saja! Aku benar-benar lagi nagih."
"Frank Weyler?" Sporty bertanya sambil mengerutkan dahi.
"Masa lupa sama aku" Bagaimana, duitnya ada" Kita kan sama-sama... maksudku..."
Ia terdiam. Frank Weyler, kata Sporty dalam hati. Tidak mungkin! Aku hampir tidak
mengenalinya. Padahal tahun lalu kita masih satu kelas. Waktu ia itu tidak naik,
dan terpaksa mengulang kelas delapan. Bukan anak bodoh. Hanya-malas. Ia tidak
melanjutkan sekolah sesudah itu. Katanya, ayah tirinya menyuruhnya bekerja. Ia
lalu ikut kursus montir. Gila, tampangnya hancur-hancuran begitu! Hampir tidak
ada mirip-miripnya dengan dulu. Katanya lagi nagih" Apa maksudnya"
"Frank! Kau berubah sekali. Knapa kau jadi begini" Kau lagi sakit?"
"Sakit" Tidak, aku hanya lagi nagih dan..."
"Nagih" Apa sih maksudnya?"


Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak itu mengangkat alis. "Ah, kacau," desahnya kemudian. "Aku kira kau juga...
Tetapi bagaimana dengan duit itu?"
"Apa artinya nagih?"
"Ah, itu tidak penting. Pokoknya aku butuh..."
"Frank! Apa kau jadi begini gara-gara heroin" Kau kecanduan?" Sporty menggenggam
kedua lengan anak itu, lalu mengguncang-guncangnya. "Kenapa kau melakukannya"
Kau mencicil kematianmu!"
"He, lepaskan aku."
Frank mencoba melepaskan diri dari genggaman Sporty. Tetapi ia tidak berdaya.
Badannya nyaris tak bertenaga sama sekali. Akhirnya ia menyerah
"Frank, aku tanya sekali lagi! Kau kecanduan ya?"
"Aku... aku hanya nyuntik sekali-sekali. Itu saja. Dan sekarang aku lagi nagih.
Aku butuh barang." "Berarti kau kecanduan!"
"Sudah, jangan banyak omong. Kau mau kasih duitnya atau tidak?"
"Apa yang biasa kaupakai?"
"H. Apa lagi, coba" Yang lainnya kan cuma mainan anak-anak!"
"Heroin, maksudmu?"
"Memangnya kau sendiri belum pernah nyuntik" Oh ya, aku lupa. Kau kan seorang
olahragawan yang tidak penah menyentuh rokok dan tidak pernah minum bir. Kau
takkan bermimpi untuk memakai H bukan?"
Sporty tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada gunanya berdebat dengan bekas teman
sekelasnya itu. Sporty menatapnya. Ia kasihan melihat keadaan Frank yang telah
menjadi korban narkotika. Sesaat ia merasa seakan-akan berhadapan dengan
seseorang yang sedang menunggu ajalnya tiba - pada usia empat belas tahun!
"Aku tidak bawa uang," Sporty berbohon . "Tapi aku bisa pinjam asal kau mau
ikut. Kebetulan aku ada janji dengan Thomas dan Oskar"
"Mereka punya duit?" .
"Lebih dari sepuluh Mark yang kaubutuhkan itu. Tapi kau harus ikut."
Frank mengangguk. Ia masih membutuhkan sepuluh Mark untuk membeli satu cekak
heroin. Dalam keadaan seperti sekarang, ia akan melakukan apa saja asal bisa memperoleh uang
sepuluh Mark. Kami harus keluar dari tempat ini, pikir Sporty. Tanpa menarik perhatian. Kalau
Frank tiba-tiba memberontak, maka Toni dan Lembke pasti tidak akan tinggal diam.
Semuanya akan kacau. Mereka melangkah keluar, menyusuri gang sempit, lalu melewati ruang disko.
Sporty memegang tangan Frank dan menuntunnya. Agar tidak terlalu mencurigakan,
ia pura-pura ngobrol dengan temannya itu.
Frank hanya mengangguk-angguk. Keringat membasahi wajahnya, tetapi tubuhnya
menggigil kedinginan. Melihat cara jalannya, Sporty menduga bahwa anak itu
sebentar lagi akan ambruk.
Ketika mereka sampai di jalan, Sporty berkata, "Aku harus menelepon Thomas dan
Oskar. Di mana sebaiknya mereka menemui kita?"
"Di tempatku saja, Jalan Burghof nomor sebelas, lantai tiga. Tetapi jangan lamalama. Aku biasa beli barang di pengedar langgananku. Kalau aku tidak muncul
sampai jam sepuluh, maka jatahku akan dijual pada orang lain."
"Oke. Ada telepon di tempatmu?"
"Tidak ada." Di dekat Super-Sound-Disco terdapat sebuah kotak telepon umum. Sporty menelepon
Petra. Thomas dan Oskar ternyata sedang bersiap-siap pulang. Sementara Frank
menunggu dengan tubuh gemetaran, Sporty cepat-cepat melaporkan apa yang telah
terjadi. "Tolong katakan pada Thomas dan Oskar bahwa aku membutuhkan bantuan mereka, "
ujar Sporty. "Frank akan mengamuk kalau tahu aku tidak akan membantunya untuk memperoleh
heroin. Ya ampun, seandainya aku tahu apa yang harus kita lakukan dengan anak
itu." "Aku akan ikut," kata Petra lalu meletakkan gagang telepon.
Sporty menghampiri Frank, yang menatapnya dengan mata terbelalak.
"Mereka langsung ke tempatku?"
"Jelas. Ayo, kita berangkat. DI mana rumahmu?"
"Tidak jauh dari sini."
"Kau tidak tinggal bersama orang tuamu?"
"Orang tua?" Frank hendak meludah ke salju.
Gempar Aji Karang Rogo 2 Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat Bulan Jatuh Dilereng Gunung 3

Cari Blog Ini