Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a Bagian 1
TEROR MELANDA KELAS 9A Ebook by Syauqy_arr - OCR by Raynold
1. Bencana Menimpa Petra WAKTU istirahat hampir berlalu. ketika Sporty menyadari bahwa arlojinya tidak
menempel pada pergelangan tangannya.
"Padahal tadi aku masih memakainya." ia berkata pada Oskar yang berdiri di
sampingnya sambil melahap permen-permen coklat.
"Seingatku. kaulepaskan arlojimu sebelum latihan olak peluru,"ujar Oskar. "Lalu
kauletakkan di atas bangku."
"Oh ya. sekarang aku baru ingat lagi. Kalau begitu, arlojiku masih ada di
lapangan olahraga. Aduh, mana aku sempat mengambilnya" Sebentar lagi jam
pelajaran berikut sudah mulai. Ah, masa bodoh Daripada arlojiku hilang."
Ia membiarkan Oskar berdiri seorang diri. dan berlari ke arah lapangan olahraga.
Tepat pada saat itu, bel yang menandakan awal jam pelajaran berdentang.
Hampir seribu murid mulai bergerak ke arah kelas masing-masing. Ada yang
bergegas seakan-akan terburu-buru. tetapi ada juga yang santai-santai saja.
Keributan yang selama istirahat memenuhi halaman sekolah kini semakin berkurang.
Terpaksa deh, aku terlambat masuk jam pelajarannya Bu Raul, pikir Sporty. Tapi
tidak apa-apa Arlojiku lebih penting. Aneh, kok aku bisa lupa sama sekali!
Jam tangan itu merupakan hadiah ulang tahun dari ibunya. Biasanya Sporty tidak
pernah melepaskannya, kecuali bila mandi atau tidur.
Tetapi jam pelajaran olahraga tadi memang berlangsung dengan seru. Acaranya
adalah latihan tolak peluru. Tolakan Sporty yang pertama kurang sempurna. Tetapi
pada tolakan kedua, ia berhasil memecahkan rekor pribadinya. Setelah melepaskan
jam tangan agar lebih leluasa bergerak, ia kemudian membuat tolakan yang
terakhir. Dalam kesempatan itu, ia memperbaiki rekornya yang baru berumur dua
menit dengan menambah jarak dua puluh lima sentimeter.
Kegembiraannya meluap-luap, sehingga ia sama sekali melupakan jam tangannya.
Sporty adalah salah seorang atlet andalan sekolahnya. Ia jago judo, dan walaupun
baru berumur tiga belas setengah tahun, ia telah terpilih untuk memperkuat regu
bola voli sekolahnya. Lapangan olahraga terletak di belakang aula, dan bangku di mana Sporty
meletakkan arlojinya berada di ujung lapangan. Tetapi ia terpaksa mengambil
jalan memutar, karena murid-murid tidak diperbolehkan melewati taman kecil yang
memisahkan aula dengan lapangan itu pada saat pelajaran sedang berlangsung.
Taman kecil itu ditumbuhi tanaman perdu dan pohon-pohon peneduh. Letaknya di
belakang bangunan yang dihuni oleh para guru yang belum berkeluarga. Taman itu
direncanakan sebagai tempat istirahat bagi para tenaga pengajar. Tetapi
nyatanya, mereka tidak pernah memanfaatkan tempat itu. Mereka lebih senang
berbincang-bincang di ruang guru, atau berjalan-jalan di pekarangan sekolah.
Karena itu suasana di taman kecil itu biasanya sepi, setidak-tidaknya pada pagi
hari. Jam tangannya ternyata masih tergeletak di atas bangku.
Dari jauh ia sudah dapat melihat kilauan cahaya matahari yang memantul pada
kacanya. Setelah memasang arlojinya pada pergelangan tangan, Sporty berlari kembali ke
arah sekolah. Aku ambil jalan pintas saja, ia berkata dalam hati. Mudah-mudahan tidak ada
orang yang melihatku. Tanpa mengurangi kecepatan, Sporty memasuki taman itu.
Jalan-jalan setapak berkelok-kelok, menyerupai aliran Sungai Elbe yang mengalir
dekat sekolahnya. Dahan-dahan pohon yang menggantung rendah menghalangi
pandangannya. Karena itulah ia nyaris menabrak wanita yang tiba-tiba saja telah berdiri di
hadapannya. Sporty hanya mempunyai dua meter untuk menghentikan langkahnya.
"Oh, maaf," ujarnya terkejut.
Baru sekarang ia menyadari siapa wanita itu, Bu Muller-Borello, seorang guru
muda yang mengajar di sekolah Sporty. Dia biasanya dipanggil Bu Mubo oleh
sebagian besar murid sekolah itu.
Bu Mubo berumur sekitar tiga puluh tahun, berbadan langsing, dan bermata biru.
Rambutnya yang keriting berwarna pirang. Bibirnya selalu diolesi lipstik
berwarna merah. Ia memiliki banyak pengagum, baik di antara rekan-rekan sesama
guru, maupun di kalangan murid-murid yang lebih tua. Namun mereka hanya berani
meliriknya secara sembunyi-sembunyi. Masalahnya, Bu Mubo sudah menikah, dan anak
laki-lakinya sudah berumur tujuh atau delapan tahun.
Dengan kikuk Sporty menatap wajah gurunya itu. Wanita itu sedang menangis.
Air mata mengalir di kedua pipinya. Kedua matanya bengkak dan berwarna merah.
Untuk menyelubungi isakannya. wanita itu menutup mulutnya dengan sebuah sapu
tangan. "Eh... maaf," kata Sporty sekali lgi. "Saya... saya tidak melihat Ibu."
Wanita itu menunduk, seakan-akan malu.
Sporty kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Ehm... ada apa, Bu Muller-Borello" Apakah saya bisa membantu?"
Wanita itu menggeleng dan memalingkan wajahnya. "Tidak ada apa-apa, Sporty. Saya
tidak apa-apa." Suaranya terdengar sengau, seperti .seseorang yang sedang pilek. "Tidak ada
pelajaran sekarang?"
"Ada, Bu." "Kalau begitu, cepat, masuk ke kelasmu."
Sporty agak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menyadari bahwa kehadirannya memang
tidak ada gunanya. Cepat-cepat ia kembali bergegas ke arah gedung sekolah.
Anehnya, ia berkata dalam hati, Bu Mubo tahu namaku! Padahal ia belum pernah
mengajar di kelasku. Apalagi ia salah seorang guru yang tinggal di kota.
Tetapi di pihak lain, siapa yang tidak mengenal Sporty di sekolah ini" Kepala
Sekolah pun kalah terkenal dengan anak itu.
Nama sebenarnya adalah Peter Carsten. Ia memperoleh julukan "Sporty" karena
sangat gemar berolahraga. Di antara anak-anak sebaya, hampir tidak ada yang
dapat menandingi kecepatan larinya. Ia juga termasuk murid yang pandai.
Pelajaran kesukaannya adalah matematika. Hasil ulangannya hampir selalu yang
terbaik di kelasnya. Sporty bersyukur sekali karena diterima di suatu sekolah yang terkenal bermutu
tinggi. Lebih-lebih karena ia menemukan tiga orang sahabat di sekolah itu,
Thomas, Oskar, dan Petra. Keempat anak itu bergabung dalam kelompok STOP. Nama
itu diambil dari huruf awal nama mereka masing-masing.
Sporty seorang anak yatim. Ayahnya, seorang insinyur, meninggal dalam suatu
kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu. Sejak kejadian itu, Sporty semakin
dekat dengan ibunya, yang tinggal di kota lain. Bu Carsten bekerja di bagian
tata buku suatu perusahaan besar, dan ia terpaksa membanting tulang untuk
membiayai sekolah anaknya. Sporty tahu hal itu. Sebagai balas budi ia selalu
belajar dengan tekun, tetapi itu tidak berarti bahwa ia sok rajin.
Sporty mempercepat langkahnya. Namun tetap saja ia terlambat masuk ke kelas.
Kejadian tadi masih saja menyibukkan pikiran Sporty. Ia merasa heran melihat
gurunya itu menangis di taman. Apakah Bu Mubo mengalami kesulitan dengan anak
didiknya di kelas 9a" Anak-anak itu memang selalu mengganggu wali kelas mereka
dengan tingkah yang aneh-aneh. Atau barangkali Bu Mubo mempunyai masalah
pribadi" Tetapi mungkin juga ia hanya terlalu lelah.
Aku akan membicarakan hal ini dengan yang lain, kata Sporty dalam hati.
Barangkali Oskar tahu sesuatu.
Teman sekamarnya itu memang sudah beberapa minggu mengikuti pelajaran tambahan
di rumah Bu Mubo, karena hasil ulangan bahasa Inggris dan bahasa Prancis-nya
semakin jelek saja Padahal sebenarnya otaknya cukup encer. Tetapi mau tidak mau,
Sporty pun terpaksa mengakui bahwa Oskar-lah murid yang paling malas di sekolah
mereka. Sporty membuka pintu kelasnya. Anak-anak kelas 9b sudah duduk di tempat masingmasing. Bu Guru menyambutnya dengan tatapan setajam pedang.
"Carsten, dari mana saja kamu?"
Suaranya terdengar melengking.
"Saya baru. saja dari lapangan olahraga, Bu. Saya mohon maaf, jam tangan saya
tertinggal di sana. Saya baru menyadarinya ketika bel sudah berbunyi."
"Itu bukan alasan. Saya selalu mulai mengajar tepat pada waktunya, dan saya
minta agar kamu jangan seenaknya saja."
Sporty mengangguk, lalu berjalan ke bangkunya. Ia duduk di samping Oskar.
"Kamu mengerti apa yang saya katakan?" tanya Bu Dr. Frederike Raul, guru bahasa
Inggris mereka yang baru.
"Ya," ujar Sporty. "Saya mengerti, Bu."
Beberapa murid melirik ke arah Sporty sambil nyengir. Tetapi sebagian besar
anak-anak yang lain tidak berani main-main. Mereka sedang tegang, karena
sebentar lagi hasil ulangan terakhir akan diumumkan.
Bu Raul sudah memberi tahu bahwa untuk kesekian kalinya nilai-nilai anak-anak
kelas 9b jelek-jelek. Namun itu tidak berarti bahwa anak-anak itu bodoh atau
malas belajar. Masalah sebenarnya adalah karena cara penilaian Bu Raul yang
aneh. Sewaktu Sporty memperhatikan guru bahasa Inggris itu, ia tiba-tiba menyadari
bahwa penampilan Bu Raul berlawanan 180 derajat dengan Bu Mubo. Pendapatnya itu
tidak keliru. Penampilan Bu Frederike Raul memang jauh dari anggun, dan dengan
pakaian yang biasa dikenakannya, ia menjadi semakin tidak menarik. Nampaknya
wanita itu tidak pernah mengurus rambutnya yang coklat dan agak berminyak.
Kaca mata yang dipakainya sama sekali tidak cocok dengan mukanya yang lonjong.
Dan di atas bibirnya selalu terdapat bayangan gelap, seakan-akan kumisnya siap
tumbuh. " Tetapi Sporty dan teman-teman sekelasnya tidak pernah mengusik masalah
penampilan Bu Raul. Mereka menyadari bahwa kecantikan adalah karunia Tuhan, dan
tidak setiap orang memperolehnya.
Yang menyebabkan Bu Raul tidak disukai oleh anak-anak adalah sifatnya yang tidak
adil, cara mengajarnya yang membosankan dan tanpa semangat, serta sikapnya yang
tidak peduli terhadap murid-murid.
Siapa yang bisa mengikuti pelajaran dengan baik, siapa yang mengalami kesulitansemuanya itu seakan-akan tidak diperhatikannya.
Kecuali itu, Bu Raul nampaknya juga tidak menyukai anak-anak gadis di kelas,
terutama yang cantik seperti Lori dan Stella.
Namun yang paling menderita adalah Petra. Mungkin karena gadis itu tidak hanya
sekadar cantik - ia merupakan gadis tercantik di seluruh sekolah, dan Sporty,
Oskar, serta Thomas sependapat mengenai hal itu.
Petra Glockner duduk dua baris di depan Sporty. Gadis itu sama-sama berumur tiga
belas tahun Ia tinggal di kota dengan orang tuanya, dan setiap hari datang ke
sekolah dengan mengendarai sepedanya. Hanya dalam musim dingin saja ia menumpang
bis sekolah. Petra mempunyai rambut yang indah, panjang, dan berwarna pirang keemasan.
Matanya biru, dan alisnya hitam dan tebal. Dalam renang gaya punggung, ia nyaris
tidak mempunyai saingan di antara teman-temannya, dan begitu juga dalam
pelajaran bahasa Inggris. Selama ini, Petra memang juara kelas dalam mata
pelajaran itu. Namun sejak Bu Raul mengajar, hasil ulangan gadis itu semakin
menurun. Nampaknya Bu Raul telah bertekad untuk tidak memberikan nilai bagus
pada Petra. Petra sering dijuluki "Salam" oleh teman-temannya. Julukan itu timbul karena
gadis itu sangat menyayangi binatang, terutama anjing. Setiap kali menjumpai
seekor anjing, Petra pasti akan mengajaknya bersalaman. Dan anehnya, semua
anjing itu menurut saja - bahkan yang paling galak sekalipun! Bagi Petra sudah
jelas, ia bercita-cita menjadi dokter hewan kalau sudah besar nanti.
Suasana di dalam kelas mendadak hening.
Bu Raul mulai membagikan kertas ulangan yang telah diperiksa.
Nilai 5 dan 6 bertebaran di mana-mana. Padahal menurut anak-anak ulangan
terakhir tidak sulit Oskar memperoleh nilai 5, tetapi ia tidak ambil pusing.
Satu-satunya reaksinya adalah memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya.
Sporty dan Thomas boleh bergembira karena mendapat nilai 2.
Namun Sporty tidak terlalu senang. Soalnya ia tahu, bahwa ia bersama beberapa
orang lagi, merupakan anak emas Bu Raul.
Lalu Petra menerima kertas ulangannya. Bu Raul menyerahkannya tanpa berkomentar.
Sporty melihat temannya itu terperanjat kaget.
Petra menundukkan kepala. Rambutnya yang tebal jatuh ke depan dan menutupi
wajahnya. Tetapi melihat gerakan bahunya yang naik turun, Sporty dapat menebak
bahwa Petra sedang menangis.
Sporty menggigit-gigit bibirnya. Ia selalu ikut prihatin bila Petra sedang
sedih. Sporty tidak tahu apa sebabnya, tetapi begitulah keadaannya. Melihat
gadis itu menangis membuat hatinya tersayat-sayat. Seandainya saja ia dapat
membantunya! Mimpi apa aku semalam" tanya Sporty dalam hati. Hari ini aku sudah melihat dua
orang menangis di sekolah.
"Petra?" ia memanggil perlahan.
Gadis itu menengok ke belakang. Matanya sembab. Meskipun demikian ia mencoba
tersenyum. Dengan punggung tangan ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya.
Dengan mengangkat empat jari, Petra mengisyaratkan angka yang diperolehnya.
Nilai 4" pikir Sporty terkejut. Petra dapat nilai 4" Ah, mana mungkin! Biasanya
ia selalu memperoleh nilai 1. Nilai 2 saja sudah merupakan bencana kecil
baginya. Wah, ada yang tidak beres kalau begini. Aku tahu bahwa Petra mempersiapkan diri
dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi ulangan ini. Ia hampir tidak pernah
keluar rumah karena belajar terus.
"Kau dapat berapa?" Petra balik bertanya Sporty hanya sempat mengangkat dua
jari. Kemudian Petra ditegur oleh Bu Raul agar menghadap ke depan.
Akhirnya jam pelajaran ini pun berlalu. Semua murid menarik napas lega ketika
bel berbunyi. Pelajaran berikutnya adalah biologi, tetapi gurunya tidak masuk karena sakit.
Karena tidak ada guru pengganti, anak-anak dibiarkan bebas selama jam pelajaran
itu. Namun sebelumnya ada waktu istirahat lima menit, dan keempat sahabat yang
tergabung dalam kelompok STOP segera keluar dari kelas.
Sporty menghampiri Petra. Gadis itu duduk termenung sambil menatap kertas
ulangannya dengan pandangan kosong.
"Aku tidak mengerti," Sporty berkata pada Petra. "Mana mungkin kau dapat nilai
4" Tidak masuk akal. Kelihatannya Bu Raul kumat lagi."
Petra menyodorkan kertas ulangannya. "Hanya ada dua kesalahan kecil dalam
karangan sepanjang enam halaman yang kubuat. Nah, tapi coba kaubaca komentarnya.
Di sini tertulis dengan tinta merah bahwa tata bahasanya kacau, isi karangannya
sendiri kurang berbobot, dan gaya penulisannya tidak memenuhi persyaratan."
Sporty membaca halaman pertama.
"Hm," gumamnya kemudian. "Karanganmu jauh lebih bagus dibandingkan karangan yang
aku buat. Dan aku malah diberi nilai 2! Coba kaubaca, Thomas. H. Thomas
Vierstein, alias Komputer, bertubuh jangkung, kurus kering, dan berkaca mata
tebal. Kaca matanya itu hanya dilepas jika perlu dibersihkan. Kedua lengannya
luar biasa panjang, dan pakaian yang dikenakannya selalu kelihatan kedodoran.
Thomas dijuluki "Komputer" karena daya ingatnya yang hebat. Kemampuan itu
barangkali diwariskan oleh ayahnya, seorang profesor dalam bidang matematika.
Daya ingat yang luar biasa itu memungkinkan Thomas mencapai prestasi-prestasi
gemilang. Anak itu tahu segala-galanya, tidak pernah melupakan sesuatu, dan suka
menganggap dirinya sebagai buku pintar berjalan - suatu kebiasaannya yang sering
membuat teman-temannya menjadi kesal. Tetapi kecuali itu, ia merupakan teman
yang dapat diandalkan. "Bu Raul benar-benar tidak adil," komentar Thomas sewaktu mengembalikan kertas
ulangan Petra. Gadis itu hanya menatap teman-temannya dengan sedih.
"Tetapi apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Kau bisa melaporkan kejadian ini pada Kepala Sekolah," Thomas mengusulkan.
"Ah, aku tidak berani."
"Tetapi ini kan menyangkut nilaimu."
"Kalau aku lapor ke Kepala Sekolah, maka Bu Raul seumur-umur akan menjadi
musuhku. Kalau sudah begitu, lebih baik aku pindah sekolah saja sekalian.."
"Sekarang pun Bu Raul sudah memusuhimu," ujar Sporty. "Padahal ia tidak punya
alasan yang jelas. Kau tidak pernah punya urusan dengannya, bukan" Bukan salahmu
kalau tampang Bu Raul seperti boneka pengusir burung di tengah-tengah ladang
gandum. Sepertinya, ia tidak senang kalau ada anak gadis yang cantik di
kelasnya, dan kau sebagai gadis tercan... ehm... maksudku, Bu Raul jauh lebih
ramah terhadap murid laki-laki."
Kesedihan mendadak terhapus dari wajah Petra. Dengan matanya yang biru gadis itu
menatap Sporty. Ah, brengsek, pikir anak itu. Lagi-lagi aku salah ngomong. Hampir saja aku
mengakui Petra sebagai gadis tercantik yang kukenal. Dan sekarang ia menatapku
seakan-akan baru saja menerima karangan bunga mawar dariku. Malu-maluin saja!
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pasti ia menduga bahwa aku diam-diam mengaguminya, tetapi tidak berani berterus
terang. Brengsek, soalnya ada benarnya juga...
Sporty merasakan bagaimana mukanya menjadi merah.
Thomas tersenyum simpul. Oskar, yang tak henti-hentinya makan coklat, nyengir selebar-lebarnya.
"Nah, aku ada akal," kata Sporty cepat-cepat.
"Oskar kan ikut jam pelajaran tambahan Bu Mubo nanti sore. Petra bisa menitipkan
kertas ulangannya. Kertas ulangan Thomas dan aku dibawa sekalian saja - biar ada
bandingan. Jangan khawatir, Bu Mubo benar-benar ramah.. Oskar nanti bisa minta
tolong padanya untuk memeriksa ulangan kita. Coba kita lihat apakah kau pantas
memperoleh nilai 4. Petra."
"Ide yang hebat!" Thomas memuji.
Mata gadis itu berbinar-binar.
"Kalau bisa. aku akan senang sekali. Katanya. Bu Mubo selalu bertindak adil
terhadap siapa saja. Dan penilaiannya bisa dijadikan pegangan. Kalau ia
mengatakan bahwa nilai 4 itu memang pantas - yah, apa boleh buat kalau begitu.
Berarti kali ini aku memang gagal. Tapi kalau... kita lihat saja nanti. Oskar,
kau bisa menghubungi Bu Mubo?"
Oskar mendadak berhenti nyengir
"Yaah," katanya sambil garuk-garuk kepala. "sebenarnya sih bisa saja. Tapi aku
suka gugup kalau membicarakan hal-hal seperti itu. Aku bisa mencobanya, tapi,"
ia berpaling pada Sporty, "aku lebih senang kalau kau ikut, oke" Kau sajalah
yang menerangkan semuanya. Kalau bisa, secara panjang lebar, supaya Bu Mubo
tidak terlalu memperhatikan hasil ulanganku."
Sporty ketawa. "Oke, aku ikut deh."
Penampilan Oskar, dan juga sebagian pembawaannya, sangat berbeda dengan Sporty.
Oskar agak pendek, dan berbadan bulat. Karena itu ia sering dipanggil "si
Gendut" Ia sama sekali tidak suka berolahraga. Baginya, hidup harus dijalani
dengan santai dan tanpa terburu-buru. Anak itu sebenarnya cerdik, hanya saja
malasnya tidak ada tandingannya.
Kekurangan Oskar yang paling menonjol adalah seleranya yang luar biasa terhadap
coklat. Anak itu bisa melahap coklat sampai berkilo-kilo. Satu hari saja tanpa
makanan kesukaannya itu adalah suatu hal yang tidak mungkin baginya. Kegemaran
Oskar itu didukung oleh kenyataan bahwa ayahnya merupakan pemilik salah satu
pabrik coklat terbesar. Petra dan Thomas tinggal bersama orang tua masing-masing di kota, yang jaraknya
kurang-lebih dua puluh menit Ian santai dan sekolah mereka. Oskar tinggal di
asrama, walaupun orang tuanya juga tinggal di kota yang sama. Pak dan Bu
Sauerlich, orang tua Oskar, mendiami sebuah rumah besar yang terletak di tengahtengah pekarangan luas. Sebenarnya, segala kebutuhan Oskar terpenuhi di sana,
namun anak itu lebih senang tinggal di asrama. Suasana di rumah orang tuanya
terlalu membosankan, katanya, apalagi dibandingkan dengan keadaan di asrama yang
selalu ramai. "Terima kasih atas bantuanmu, Sporty," kata Petra.
Anak itu mengangguk. Ia memasang tampang seakan-akan memang sudah seharusnya ia
menolong Petra. Tiba-tiba Sporty ingat bahwa pukul 15.00 ia punya janji dengan dokter gigi. Ia
segera mengatakan hal itu, dan Petra lalu bertanya apakah ia sakit gigi.
"Gigiku sehat-sehat saja. Tetapi aku memang terbiasa mengunjungi dokter gigi
setengah tahun sekali. Sekadar untuk periksa saja. Selama ini Dr. Kempfer belum
pernah mengebor gigiku. Setiap kali aku datang, ia selalu berkomentar bahwa
seandainya semua orang mempunyai gigi seperti aku, maka pasti sudah lama ia
terpaksa gulung tikar. Aku memang jarang jajan, apalagi yang manis-manis.
Berbeda denganmu, Oskar. Nanti, pada waktu kau berumur dua puluh tahun, kau
pasti sudah pakai gigi ketiga, yaitu gigi palsu."
"Masa bodoh," jawab Oskar dengan tenang. "Pokoknya aku masih bisa mengunyah
coklat. Eh, ngomong-ngomong, pantas tidak sih, kalau aku bawakan coklat sebagai
hadiah untuk Bu Mubo" Soalnya ia selalu begitu ramah.. kalau memberikan
pelajaran tambahan."
"Ya, sporty mengangguk. Ia memang ramah sekali. Tapi hari ini rupanya ia sedang
susah. Tadi, sebelum jam pelajaran bahasa Inggris, aku melihatnya berurai air
mata." "Hah, apa?" tanya ketiga sahabatnya serentak.
2. Berkomplot Melawan Ibu Guru
SPORTY menceritakan pertemuannya dengan Bu Mubo di taman kecil tadi.
"Aku yakin bahwa ia menangis karena ulah anak-anak kelas 9a," kata Thomas.
"Benar-benar keterlaluan. Pak Kepala Sekolah sendiri mengatakan bahwa merekalah
murid-murid yang paling brengsek di sekolah kita."
Sporty mengangguk. "Hanya satu hal yang aku tidak mengerti: Bu Mubo kan disukai
di mana-mana, kenapa justru anak didiknya sendiri yang terus-menerus
merongrongnya?" Di samping bertindak sebagai wali kelas, Bu Mubo juga mengajar bahasa Inggris
dan bahasa Prancis di kelas 9a. Namun akhir-akhir ini, suasana pada saat belajar
kadang-kadang lebih mirip pasar daripada ruang kelas.
"Baru minggu lalu," Oskar melaporkan. "Pak Kepala Sekolah terpaksa turun tangan
karena keributan anak-anak 9a sampai mengganggu kelas-kelas lain."
"Ya, mereka mencoba segala cara untuk merongrong wibawa Bu Mubo," tambah Petra.
"Pernah suatu kali, mereka semua duduk menghadap ke belakang. Dan mereka tidak
peduli ketika Bu Mubo masuk kelas.
Anak-anak itu malah menertawakannya beramai-ramai. Waktu mau ada ulangan, mereka
melancarkan aksi mogok. Tak seorang pun mau memegang pulpen. Terpaksa ulangan
dibatalkan." "Belum lagi masalah kunci palsu," ujar Thomas bersemangat. "Salah satu dari
mereka - entah siapa - punya kunci pintu ruang kelas. Ketika jam pelajaran
bahasa Inggris seharusnya dimulai, anak itu mengunci pintu dari dalam, sehingga
Bu Mubo tidak bisa masuk."
"Kalau aku jadi Bu Mubo," kata Petra, "aku tidak akan berani masuk kelas itu."
"Bu Mubo memang tidak menunjukkannya secara terang-terangan," kata Sporty,
"tetapi aku yakin bahwa ia juga takut Karena itulah ia sampai menangis tadi.
Barangkali ia berpikir bahwa tidak ada orang lain di sana. Bu Mubo pasti malu
karena kepergok olehku. Jadi, peristiwa tadi tidak boleh kita ceritakan pada
siapa-siapa. " Petra merapikan rambutnya yang panjang.
"Bagaimana mungkin satu kelas bisa bersikap seperti itu" Bayangkan, dua puluh
empat anak, dan semuanya seakan-akan telah berkomplot untuk mempermainkannya."
Sporty, yang membelakangi pintu ruang kelas yang terbuka lebar, mendengar
seseorang melangkah masuk, tetapi ia tidak menengok ke belakang.
"Dua puluh empat anak-semua kurang ajar," katanya, "itu memang tidak biasa. Tapi
aku tidak yakin bahwa semuanya tidak tahu aturan. Di dalam suatu kelompok,
biasanya hanya ada beberapa orang yang pegang peranan menentukan. Yang lainnya
tidak berkutik - mungkin karena ngeri, mungkin juga karena mereka merupakan
pendukung setia para pemimpin kelompok itu. Kalau menurut aku sih, anak-anak
kelas 9a sepenuhnya diatur oleh Detlef Bettger dan Joachim Drechsel. Yang perlu
dipertanyakan hanyalah: siapa di antara mereka berdua yang lebih brengsek?"
Raut muka Petra tiba-tiba berubah. Dengan mata terbelalak gadis itu memandang ke
arah pintu. Oskar, yang berdiri di hadapan Sporty, sejak tadi sibuk mengedipkan
sebelah mata; Thomas pun mencoba memberikan isyarat pada Sporty.
Sporty sadar. Ucapannya tadi seharusnya tidak boleh didengar oleh orang yang
baru saja masuk kelas. Siapakah orang itu" Seorang guru" Pasti bukan Bu Mubo. Lagi pula, mendengar
suara langkahnya, Sporty merasa yakin bahwa orang itu bukan seorang wanita.
Kalau begitu, berarti salah satu murid 9a.
Tanggung, deh, pikir Sporty. Biar ia tahu bagaimana pendapatku mengenai kelakuan
kelasnya. "Yang paling parah adalah," ia melanjutkan, "bahwa tidak ada yang berani
menentang teror itu. Aku berani jamin bahwa si Bettger dan si Dreehsel-lah biang
keladi semuanya ini Tapi kenapa mereka bersikap seperti itu" Apa mereka pernah
diperlakukan tidak adil oleh Bu Mubo" Rasanya tidak mungkin! Si Bettger memang
brengsek, dan si Drechsel sama saja. Mereka pasti senang melihat Bu Mubo tidak
berdaya menghadapi mereka."
"Menarik sekali," sebuah suara berkata dengan sinis.
Tanpa membalik badan, Sporty menjawab,
"Syukur deh, kalau kau sependapat denganku, Drechsel."
"Ternyata kau hanya bisa menjelek-jelekkan orang dari belakang. Dasar pengecut!"
Kini Sporty berbalik. "Dari belakang" Dengan senang hati aku akan mengulanginya
- berkali-kali, jika kau mau. Dan kalau aku punya waktu, aku bahkan bersedia
untuk menyatakannya secara tertulis. Sekaligus dengan salinannya untuk si
Bettger. Biar ada sesuatu untuk dipikirkannya."
Joachim Drechsel sama besarnya dengan Sporty, tetapi umurnya sudah lima belas
tahun Dua kali ia tidak naik kelas, pertama sewaktu masih duduk di sekolah
dasar, dan yang kedua kalinya di kelas delapan. Wajahnya kasar, dan kelihatan
lebih tua daripada umur sebenarnya. Ia dikenal sebagai tukang berkelahi yang
menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Ia suka memukul atau menendang
duluan - sasaran yang dituju biasanya perut lawan.
Dari dekat, bau asap rokok yang menempel padanya segera tercium. Semua murid
tahu, bahwa ia dan Detlef Bettger diam-diam merokok di WC selama jam istirahat.
Joachim Drechsel bertolak pinggang di depan Sporty.
"Rupanya kau kepingin dihajar, ya?"
"Coba saja, kalau kau memang mau cari ribut. Ayo, aku sudah siap. Atau kita
keluar saja" Ke aula, ke gudang sepeda, atau ke taman-kau tinggal pilih. Tapi
sebaiknya kita ke taman saja. Di sana banyak rumput, jadi kau tidak perlu takut
gegar otak kalau kubanting."
Dengan susah payah Oskar berusaha untuk tidak ketawa.
Si Drechsel menatapnya dengan marah, tetapi kemudian kembali melihat ke arah
.Sporty. "Aku akan mempertimbangkan tawaranmu, Carsten. Kau pasti menyesal nanti
Sebaiknya dari sekarang kau pesan tempat di rumah sakit."
Sambil tersenyum mengejek, Sporty memperhatikan Joachim Drechsel dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Apa kau tidak sadar bahwa kau bau, Drechsel" Seperti kedai minum murahan.
Sebenarnya mau apa sih kau di sini" Ini kelas 9b, bukan 9a. Kami jadi sesak
napas gara-gara kau. Sudah, jauh-jauhlah dari sini!"
"Dasar orang gila," desis Drechsel. Sambil berlagak tenang ia meninggalkan
Sporty dan teman-temannya.
Oskar menutup pintu. Petra menarik napas lega. "Aku sudah takut kalau-kalau kalian akan berkelahi di
sini." "Dia takut menghadapimu," Thomas berkomentar. "Tapi ia pasti mendendam. Si
Drechsel takkan ragu-ragu untuk menyerangmu dari belakang. Atau minta bantuan si
Bettger. Kau harus hati-hati."
Sporty hanya tersenyum. "Mengenai kelas 9a," ujar Thomas kemudian, "aku baru saja menyadari bahwa
sebagian besar dari mereka bukan anak asrama Aneh, bukan" Jangan-jangan anakanak asrama memang lebih tahu aturan!"
"Hus, jangan sembarangan," kata Petra sambil ketawa.
Mereka membuat janji untuk berkumpul lagi pukul setengah empat sore di rumah
Petra. Jam pelajaran terakhir - bahasa Jerman - berlalu dengan cepat.
Seusai sekolah, Thomas dan Petra pulang dengan mengendarai sepeda masing-masing.
Sporty dan Oskar berjalan ke arah bangunan asrama. Kamar mereka berada di lantai
dua. Murid-murid yang berumur antara dua belas sampai empat belas tahun tinggal
di sana, dan setiap kamar diberi nama oleh para penghuninya.
Ketika sampai di SARANG RAJAWALI - kamar mereka - Oskar langsung melemparkan tas
sekolahnya ke tempat tidur. Dengan gesit ia naik ke sebuah kursi dan menurunkan
sebuah kardus besar dari atas lemari.
Kardus itu berisi berbagai jenis coklat dengan aneka macam rasa. Oskar sering
berkata bahwa ia tidak bisa hidup tanpa persediaan coklat itu.
"Eh, sepuluh menit lagi kita makan siang," Sporty memperingatkannya.
"Kenapa memangnya" Dalam sepuluh menit aku bisa menghabiskan dua keping coklat."
"Busyet, membayangkannya saja aku sudah sakit perut. Coklat sebelum makan
siang!" "Apa sih maumu" Aku rasa, coklat bisa membangkitkan selera makan. Lagi pula,
rasa coklat cocok dengan rasa berbagai masakan seperti ikan asap, asinan
ketimun, obat batuk, otak sapi, bayam, dan sebagainya." Oskar tertawa. "Hei,
obat batuk" Ini suatu ide yang baik! Aku harus memberitahukannya pada ayahku.
Bayangkan, permen coklat diisi dengan obat batuk - anak-anak kecil pasti
berlomba-lomba untuk sakit."
"Satu hal harus diakui," kata Sporty menyindir, "kau benar-benar tahu makanan
yang enak. Aku takkan heran kalau suatu hari nanti kau mengarang buku masakan
yang bisa membuat perut paling kuat pun menjadi tak berdaya."
Perkiraan Sporty tidak meleset. Dalam waktu sepuluh menit tanda makan siang
telah dibunyikan. Menu hari ini adalah spaghetti dengan semur daging. Penuh
semangat Oskar langsung menghabiskan tiga porsi besar.
Seperti biasanya, murid-murid lebih banyak menghabiskan waktu untuk bercanda
daripada untuk makan, terutama kalau guru pengawas di meja masing-masing sedang
tidak memperhatikan mereka. Barangkali kelakuan mereka akan sedikit lebih baik
seandainya anak-anak perempuan ikut makan bersama, tetapi asrama itu memang
dikhususkan untuk murid laki-laki saja.
Setelah makan siang, Sporty memasukkan keempat kertas ulangan bahasa Inggris ke
dalam sebuah map. Oskar agak mengantuk karena kekenyangan. Matanya terasa berat. Dan ia berkata
bahwa sebenarnya ia ingin tidur dulu. Tetapi itu tidak mungkin, karena jam
pelajaran tambahan Bu Mubo dimulai tepat pukul 14.00.
Dengan ogah-ogahan ia akhirnya mengikuti Sporty ke arah gudang sepeda.
Beberapa waktu lalu Oskar memperoleh sebuah sepeda lipat dari orang tuanya
Sepeda itu buatan sebuah perusahaan terkenal, dan harganya pun cukup mahal.
Walaupun demikian, sepeda itu tidak dapat menandingi kendaraan roda dua milik
Sporty. Sporty mempunyai sebuah sepeda balap, yang dibelinya dengan uang hasil
keringatnya sendiri. Sepeda itu dilengkapi dengan berbagai peralatan tambahan, sehingga bahkan
memenuhi syarat untuk mengikuti pertandingan balap sepeda internasional semacam
Tour de France. Sporty terpaksa mengorbankan liburan semesternya untuk mengumpulkan uang.
berminggu-minggu lamanya ia bekerja sebagai pengantar koran, pembantu tukangtukang yang sedang membangun rumah, dan ikut menumpuk kardus-kardus dan petipeti di gudang toko serba ada. Ketika akhirnya berhasil mengumpulkan jumlah uang
yang dibutuhkannya dan tinggal mengambil sepeda di toko pada keesokan harinya,
ia sampai tidak bisa tidur sepanjang malam. Sejak itu Sporty merawat sepedanya
seperti seorang pengemudi mobil merawat mobil sportnya.
Mereka menuju ke kota. Sekolah dan asrama mereka terletak agak di luar kota, dikelilingi hutan dan
ladang-ladang. Satu-satunya penghubung ke kota adalah sebuah jalan kecil yang
diapit oleh deretan pohon mahoni di kedua sisinya. Jalan itu berakhir di sekolah
mereka. Angin lembut kini berhembus. Tanaman gandum tumbuh dengan subur dan kini sudah
hampir siap untuk dipanen.
Keringat Oskar bercucuran. Sepanjang jalan ia mengeluh bahwa otaknya sudah mulai
mengering, dan bahwa karena itu pelajaran tambahan pasti akan sia-sia saja.
Dalam waktu singkat mereka telah sampai di kota.
Kota itu termasuk besar, bahkan punya lapangan terbang dan stadion olahraga.
Kalau cuaca lagi cerah, pegunungan di kejauhan terlihat dengan jelas. Sejumlah
danau merupakan obyek rekreasi yang pada akhir pekan ramai dikunjungi pendudukpenduduk kota. Bu Muller-Borello tinggal di suatu daerah perumahan baru.
Untuk mencapainya, Sporty dan Oskar melewati rumah-rumah yang berderet-deret.
Oskar berada di depan, karena ialah yang tahu alamat Bu Mubo.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah mungil. Jauh di belakangnya,
terlihat rel kereta api. Di sepanjang rel itu terdapat kebun-kebun kecil milik
orang-orang kota. Payung-payung warna-warni menunjukkan bahwa orang-orang itu
sedang sibuk di kebun masing-masing.
Jelas saja! pikir Sporty. Dengan cuaca sebagus ini! Mestinya kita ke kolam
renang saja. Tapi Oskar malahan harus ikut pelajaran tambahan, dan aku sudah
membuat janji dengan Dr. Kempfer. Yah, apa boleh buat.
Rumah itu kelihatan bersih dan terawat. Sebuah pagar rendah mengelilinginya. Di
samping sebuah ayunan, seorang anak kecil sedang bermain dengan anjingnya yang
paling-paling baru berumur tiga bulan.
"Itu Marco dan Astro," Oskar menerangkan. "Marco adalah anak Bu Mubo, dan Astro
adalah anjingnya." "Kalau sebaliknya agak aneh, dong," kata Sporty sambil ketawa.
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menyandarkan dan mengunci sepeda masing-masing pada pagar, lalu berjalan
ke arah pintu. "Halo, kalian sudah berkenalan dengan Astro?" anak kecil tadi berseru.
Tanpa menunggu jawaban Sporty dan Oskar. Marco sudah mengangkat anak anjing itu
dan berlari mendekat. Marco adalah seorang anak kecil yang lucu. Matanya sama birunya dengan mata
ibunya. Rambutnya yang hitam pekat mungkin diwarisi dari ayahnya. Sambil tertawa
ia menyodorkan anjingnya pada Sporty.
"Nih, kau boleh menggendong Astro. Jangan takut. Astro tidak pernah menggigit,
kok." "Kau baik sekali," kata Sporty. Dengan sebelah tangan ia menerima anjing itu,
sementara tangannya yang lain memegang map berisi kertas ulangan bahasa Inggris.
Astro langsung memanfaatkan kesempatan itu. Ia memanjat ke bahu Sporty dan mulai
menjilat-jilat wajah anak itu.
"Hei!" seru Sporty sambil tertawa. "Kau anjing kecil yang nakal sekali."
Marco tersenyum lebar. "Aku juga selalu dijilatinya. Seharusnya sih tidak boleh.
Tapi itu artinya Astro menyukaiku. Dan ia juga menyukaimu."
"Aku juga menyukai kau dan anjingmu," jawab Sporty sambil mengembalikan Astro
pada anak kecil itu. "Namamu siapa?" tanya Marco kemudian.
"Aku Peter." "Kau juga ikut pelajaran tambahan?"
"Tidak, aku hanya mau minta tolong sedikit."
Astro tiba-tiba meloncat dan berlari ke belakang rumah. Marco segera mengejarnya
sambil bersorak riang. "Masih kurang dua menit," kata Oskar sambil melihat jam tangannya. "Apa kita
tunggu dulu, atau..."
Mereka ternyata tidak perlu mengambil keputusan, karena pintu rumah tiba-tiba
terbuka. Sambil tertawa ramah Bu Muller-Borello muncul di ambang pintu. Semula ia mengira
bahwa hanya Oskar yang datang.
Sewaktu melihat Sporty dan mengenalinya, guru wanita itu nampak malu untuk
sesaat. Kedua anak itu menyalaminya, dan Sporty berkata,
"Saya ikut karena kami - oskar, saya, dan dua teman sekelas - mempunyai suatu
persoalan yang agak pelik. Namun kami percaya Ibu akan bersedia membantu kami."
"Kedengarannya serius sekali," jawab Bu Muller-Borello. "Ayo, masuk dulu."
Udara di dalam rumah itu terasa sejuk. Pintu dapur terbuka. Seorang wanita
berumur sekitar enam puluh tahun sedang membereskan piring-piring.
Dengan ramah ia membalas teguran Sporty dan Oskar. Melihat wajahnya, kedua anak
itu langsung dapat menebak bahwa wanita itu adalah ibu Bu Mubo.
Walaupun sambutannya ramah, Sporty segera melihat bahwa mata wanita tua itu agak
merah dan sembab, seakan-akan baru saja menangis.
Ia berbagi duka dengan anaknya, pikir Sporty. Anak-anak 9a memang keterlaluan.
Seandainya mereka tahu penderitaan Bu Mubo... Tapi-apakah pantas kita membuat
repot Bu Mubo dengan urusan kita" Ah, sebenarnya sih tidak apa-apa. Setiap orang
seharusnya punya waktu untuk membereskan suatu ketidakadilan. Lagi pula, aku kan
mau membantu Petra. Bu Mubo mengajak Sporty dan Oskar ke ruang tamunya.
Ruangan itu ditata secara apik. Tetapi Sporty hanya memperhatikannya sepintas.
Pandangannya segera beralih ke jendela besar yang menghadap ke halaman belakang.
Kaca jendela itu pecah berantakan. Sisa-sisanya masih menempel pada kusennya.
Pecahan-pecahan kaca berserakan di antara pot-pot tanaman yang berdiri dekat
jendela.. Suatu kerai kayu telah diturunkan, sehingga bagian ruangan ini menjadi agak
gelap. Untung masih ada dua jendela lain.
"Keadaan di kamar kerja saya lebih parah lagi," kata Bu Mubo. "Jendelanya telah
dilempari beberapa batu dan barang saya banyak yang pecah."
Oskar terbengong-bengong mendengar penjelasan itu.
Sporty pun menatap gurunya itu dengan pandangan bertanya-tanya.
"Mari, silakan duduk!" kata Bu Mubo. la berusaha
keras agar tidak menangis kembali.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Sporty sambil menggelengkan kepala. "Dan untuk
apa?" Anak-anak telah duduk di atas sofa. Bu Mubo duduk di hadapan mereka.
"Saya pun tidak tahu siapa pelakunya, dan apa tujuannya. Kejadiannya tadi pagi,
sewaktu ibu saya sedang pergi berbelanja dengan Marco. Saya sama sekali tidak
dapat menjelaskannya. Kelihatannya ada satu atau beberapa orang yang tidak
menyukai saya. Tetapi saya sungguh-sungguh tidak tahu apa sebabnya. Saya tidak
pernah merugikan siapa-siapa. Saya sudah tidak tahan lagi menghadapi teror ini."
"Teror?" tanya Sporty. "Apa maksud Ibu?"
"Kejadian ini bukan yang pertama kalinya."
"Bukan?" "Hari Minggu lalu, jendela dapur saya dilempari batu. Hari Senin, seseorang
mematahkan antene mobil saya-saya memang terpaksa memarkir mobil di tepi jalan
di depan rumah, karena tidak punya garasi. Lalu sudah dua kali saya ditelepon
malam-malam, dan diganggu dengan kata-kata kurang ajar. Setiap kali orangnya
sama-seorang pria. Tetapi saya tidak mengenali suaranya."
"Rangkaian kejadian ini kelihatannya direncanakan dengan matang. Apakah Ibu
sudah menghubungi polisi?"
Kini Sporty baru mengerti mengapa Bu Mubo begitu putus asa tadi pagi. Pada waktu
itu ia pasti baru menerima kabar mengenai kejadian ini dari ibunya.
"Tentu saja sudah," jawab Bu Mubo dengan lesu. "Tetapi mereka tidak dapat
berbuat banyak. Saya khawatir, bahwa kasus ini dianggap sepele. Rumah saya tidak
akan dijaga secara khusus hanya karena kejadian-kejadian seperti itu."
"Bagaimana kalau suami Ibu mencoba menangkap bajingan-bajingan itu?"
"Suami saya tidak tinggal di sini," jawab wanita itu cepat-cepat. "Kami akan
bercerai." Ya, ampun! pikir Sporty. Malang benar nasibnya. Aku yakin bahwa perceraiannya
terjadi bukan karena kesalahannya. Aku tidak dapat membayangkan bahwa Bu Mubo...
Ah, guru itu memang kurang beruntung.
Tiba-tiba Bu Mubo nampak menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang pucat mencoba
tersenyum. "Tetapi, itu semua adalah persoalan saya. Maaf ya, kalau kalian terpaksa
mendengarkan keluh-kesah saya. Nah, bagaimana saya bisa membantu kalian?"
Kami juga harus membantu Bu Mubo, pikir Sporty, sebelum berkata,
"Kami menghadapi suatu ketidakadilan."
Bu Mubo memperhatikan Sporty dengan saksama.
"Suatu penilaian yang tidak adil?"
Sporty tersenyum. Ia senang Bu Mubo langsung dapat menebak maksud kedatangan
mereka. "Betul," katanya kemudian.
"Tapi yang hendak kautanyakan bukan nilaimu sendiri, bukan" Kau tadi menyinggung
dua teman sekelasmu.... "
"Mereka adalah teman-teman kami: Petra Glockner dan Thomas Vierstein."
"Hm, saya sudah pernah mendengar nama mereka, tetapi belum pernah bertemu
langsung." "Thomas memperoleh nilai 2 dalam ulangan bahasa Inggris, " Sporty melaporkan,
"dan ia puas dengan nilai itu. Ia menitipkan kertas ulangannya, agar Ibu punya
bahan bandingan. Saya sendiri juga dapat nilai 2. Kertas ulangannya juga saya
bawa. Masalahnya adalah nilai yang diperoleh Petra. Teman kami itu selama ini
selalu mendapat nilai 1, tetapi akhir-akhir ini prestasinya merosot terus. Dan
sekarang ia tiba-tiba diberi nilai 4 oleh Bu Raul."
"Itu kan masih lumayan."
"Tapi rasanya tidak adil. Kami ingin minta bantuan Ibu untuk menilai kembali
ulangan-ulangan kami."
Untuk sesaat Bu Mubo nampak merenung.
Sporty segera menyadari bahwa gurunya itu sedang mempertimbangkan sesuatu.
Bagaimanapun juga, Bu Raul adalah rekannya sesama guru.
Akhirnya ia berkata, "Baiklah, coba saya lihat ulangan kalian."
Sporty berdiri dan menyerahkan kertas-kertas itu.
"Mana kertas ulanganmu, Oskar?"
"Ada, Bu. Tapi saya dapat nilai 5."
Bu Mubo mendesah, seakan-akan memang sudah menduganya. Kemudian ia mulai membaca
karangan Thomas. Oskar memijit-mijit tangannya sambil memperhatikan lukisan-lukisan yang
tergantung di dinding Sporty melihat ke luar jendela.
Di dekat kebun-kebun tadi ada jalan setapak. Sebuah mobil sedang menuju ke arah
kota, dan meninggalkan awan debu di belakangnya. Seorang pria tiba-tiba keluar
dari sebuah pondok kecil. Dengan sikap mengancam, ia mengepalkan tangan dan
meneriaki si pengemudi mobil. Tetapi orang itu sudah terlalu jauh.
Dengan melirik sebentar, Sporty tahu bahwa Bu Mubo baru saja selesai membaca
kertas ulangannya, dan kini meraih pekerjaan Petra.
Ketika selesai membaca semuanya, wanita itu menumpukkan ketiga ulangan itu di
atas meja di hadapannya. "Kalian pasti sudah tahu bahwa guru pun hanyalah manusia biasa yang bisa
melakukan kesalahan. Dalam kasus ini nampaknya Bu Raul telah keliru memberi
nilai. Pekerjaan Petra Glockner ternyata paling baik di antara hasil pekerjaan
kalian. Hanya ada dua kesalahan yang tidak berarti. Saya sendiri tidak akan
memperhitungkan kesalahan sepele seperti itu dalam penilaian. Nilai-nilai yang
lain kelihatannya juga kurang sesuai. Maaf, Sporty, ulanganmu seharusnya hanya
pantas diberi nilai 3. Pekerjaan Thomas agak lebih baik. Mengenai Petra, gadis
itu pantas diberi nilai 1 untuk ulangannya. "
Sporty menatapnya sambil tersenyum lebar. "Benar sekali! Justru ini yang kami
harapkan. Ini baru adil. Petra sampai menangis tadi garagara dapat nilai jelek.
Saya berpendapat bahwa penilaian seorang guru seharusnya tidak boleh menyesatkan
muridnya. " "Saya yakin bahwa Bu Raul tidak bermaksud jelek. Semua orang sekali-sekali bisa
membuat kesalahan, bukan" Tinggalkan saja kertas ulangan kalian di sini. Saya
akan membicarakan hal ini dengan Bu Raul. Oke?"
"Wah, tentu saja." kata Sporty sambil berdiri. "Atas nama Petra, saya
mengucapkan terima kasih banyak."
3. Siapa Pencuri Sepeda Balap Sporty!
SETELAH mendengar hasil penilaian kembali oleh Bu Mubo, Sporty segera mohon
diri. Dengan sepedanya ia kembali ke arah pusat kota. Sedangkan Oskar tetap
tinggal di rumah Bu Mubo, karena masih harus mengikuti pelajaran tambahan.
Sporty merenung. Ada apa sebenarnya dengan Bu Mubo" Kelihatannya ia kehilangan
kendali atas anak-anak didiknya di kelas 9a. Si Bettger dan si Drechsel pastilah
biang keladi aksi teror ini. Keduanya memaksa anak-anak lain untuk berlaku
kurang ajar terhadap wali kelas mereka itu. Mereka dengan sengaja telah
menciptakan iklim ketakutan di kelas. Dan aksi teror itu bahkan berlanjut sampai
ke rumah Bu Mubo. Bagaimana mungkin dua murid begitu membenci guru mereka" Perusakan terhadap
rumah Bu Mubo bukan lagi sekadar tindakan kenakalan remaja, tetapi sudah
menjurus ke arah perbuatan kriminal.
Fakta-faktanya sudah jelas, pikir Sporty. Hanya saja, secara keseluruhan aku
belum bisa memastikan apa artinya semua ini. Tapi aku pasti akan menemukan siapa
yang bertanggung jawab. Tempat praktek Dr. Kempfer terletak di dekat Taman Balai Kota, pusat keramaian
di kota itu. Dua jalan utama bersilangan di sini. Sejumlah besar lampu lalu
lintas hidup-mati secara bergantian. Sekitar dua ratus mobil berdesak-desakan di
pelataran parkir. yang luas. Rumah-rumah tua berdampingan mengelilingi f1man
yang nyaris berbentuk bujur sangkar itu.
Toko-toko berderet-deret. Sejumlah restoran dan kedai minum menyediakan kursikursi di teras masing-masing untuk duduk-duduk dengan santai. Teras di depan
salah satu restoran dipenuhi oleh meja-meja yang diteduhi oleh payung-payung
warna-warni. Mobil-mobil melintas tepat di depannya namun para pengunjung
rupanya tidak merasa terganggu.
Sporty menemukan suatu tempat untuk menyandarkan sepedanya di depan sebuah
bangunan. Setelah merantai sepedanya dan memasang kunci gembok, ia lalu berjalan
ke bangunan itu. Pada lantai dasar terdapat sebuah kedai minum bernama KENDI EMAS. Melalui kaca
jendela para pengunjungnya dapat menyaksikan keramaian di Taman Balai Kota,
suatu hal yang membuat mereka bertambah betah. Karena, siapa pun yang tinggal di
kota ini - pada suatu saat pasti akan lewat di situ.
Kecuali itu, pada persimpangan dua jalan utama tadi rata-rata terjadi dua
kecelakaan lalu lintas setiap hari. Biasanya tidak terlalu parah namun ada saja
orang yang menyukai pemandangan seperti itu.
Dari luar, Sporty dapat melihat keadaan di dalam kedai minum itu dengan jelas.
Di belakang meja layan yang berbentuk setengah lingkaran. pemilik kedai minum
yang berperut buncit sedang sibuk mengisi gelas-gelas para tamu. Berliter-liter
bir dituangkannya langsung dari sebuah gentong besar. Hampir semua kursi di
hadapan meja layan telah terisi Pengunjung-pengunjung yang baru datang berdiri
di dekat pintu masuk dan menunggu sampai ada kursi yang kosong.
Meskipun suasananya ramai sekali, Sporty langsung melihat kedua pemuda yang
sedang memperhatikannya sambil nyengir.
Mereka adalah Detlef Bettger dan Joachim Drechsel.
Keduanya tidak duduk berdampingan tetapi di sebelah kiri dan kanan seorang
pemuda lainnya. Rupanya mereka baru saja memberitahukan kehadiran Sporty pada
pemuda itu. Umurnya sekitar delapan belas tahun. Ia mengenakan sebuah jaket kulit 1anpa baju
di dalamnya. Sebuah kalung besar menggantung di lehernya. Wajahnya mengingatkan
Sporty pada tampang seekor anjing buldog. Pemuda itu berambut pirang.
Potongannya menutupi sebagian dahinya. Telinga kirinya dihiasi sebuah anting
yang bergoyang-goyang setiap kali ia menggerakkan kepala.
Baru saja ia mengangkat sebuah gelas kecil berisi minuman keras. Dengan sekali
tenggak, isinya telah menghilang dalam kerongkongannya. Bir satu gelas penuh
segera menyusul. Kawan yang menyenangkan bagi Bettger dan Drechsel, pikir Sporty. Barangkali
prokem itu mereka jadikan contoh.
Bangunan itu hanya mempunyai satu jalan masuk. Selasar di balik pintu masuk
menuju ke suatu tangga. Itu tempat praktek Dr. Kempfer terletak di lantai atas. Sporty harus melewati
pintu kedai minum yang terbuka lebar.
Ia tidak menengok ke dalam, tetapi suara cempreng Bettger terdengar dengan
jelas. "Kau lihat anak itu, King" Itu si Mulut Besar yang kuceritakan padamu. Monyet
itu perlu diberi pelajaran sekali-sekali. Biar jangan mengigau terus. Ha ha
ha..." Sporty sadar bahwa kata-kata itu tertuju padanya. Namun ia tidak ambil pusing.
Ia terus menaiki tangga. Kemudian memencet bel di samping pintu ruang Praktek Dr. Kempfer. Setelah
menunggu sesaat. pintu itu terbuka. Dengan ramah ia menyapa asisten dokter yang
duduk di belakang meja tulis.
Sporty mengatakan bahwa ia telah membuat janji dengan Pak Dokter, lalu
dipersilakan masuk ke ruang tunggu.
Hanya ada satu pasien yang datang sebelumnya, seorang pria.
Orang itu membalas teguran Sporty dengan mendesah, seakan-akan sedang menanggung
beban yang sangat berat. Dengan sebuah sapu tangan ia melap wajahnya yang basah
oleh keringat. "Ya, Tuhan," gumamnya sambil menyandarkan badan.
Sporty duduk dan mengambil sebuah majalah olahraga.
Ia membolak-balik halamannya, tetapi sebuah bunyi aneh membuatnya mengangkat
kepala. Terheran-heran ia melihat pria tadi sedang mereguk minuman langsung dari botol.
Bau minuman keras menyebar ke seluruh ruangan.
"Biasanya saya jarang minum," kata pria itu seakan-akan hendak minta maaf atas
tindakannya. "Tetapi setiap kali pergi ke dokter gigi. saya perlu memupuk
keberanian dulu. Dengan minuman ini. Setiap kali saya selalu ketakutan setengah
mati. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa minuman keras ini, saya tidak akan
berani masuk ke ruang praktek."
Sporty ketawa. "Ya, pergi ke dokter gigi memang bukan hal yang menyenangkan."
"Kau sendiri tidak takut?"
"Gigi saya hanya akan diperiksa."
"Kau beruntung. Lima buah gigi saya perlu ditambal. Dan paling tidak sebuah gigi
geraham harus dicabut. "
"Tenang saja, Pak. Setengah jam lagi semuanya sudah lewat."
"Yah, untung saya bawa obat penenang ini." Ia kembali mereguk minumannya. "Ya,
ampun, sudah habis! Dan pengaruhnya sudah mulai berkurang. Wah, gawat."
Dengan putus asa pria itu memandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba ia mendapat
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah ide. "Apakah kau keberatan kalau masuk duluan?" ia bertanya pada Sporty. "Kita
bertukar giliran saja."
"Sama sekali tidak. Malah kebetulan, jadi saya tidak perlu menunggu lama-lama."
"Terima kasih, Nak! Terima kasih!" Ia berdiri. "Untung ada kedai minum di bawah.
Saya bisa menenangkan diri dulu di sana sementara kau diperiksa."
"Semoga berhasil!" seru Sporty sewaktu orang itu bergegas meninggalkan ruang
tunggu. Ketika asisten dokter masuk ke ruang tunggu, pria tadi belum kembali. Berarti
Sporty akan mendahuluinya.
Dr. Kempfer memeriksa semua gigi Sporty. Dengan gembira ia menyatakan bahwa
akhirnya ia berhasil menemukan sesuatu yang harus dirawat.
"Nah," katanya, "pada gigi geraham kedua di sebelah kiri bawah ada sedikit
karang gigi yang perlu dibersihkan."
Sporty menanggapinya dengan ketawa. "Kelihatannya kesehatan saya menurun dengan
pesat," ia berkomentar.
Dalam waktu kurang dari satu menit semuanya sudah selesai.
Mereka masih berbincang-bincang sejenak mengenai sekolah dan olahraga, kemudian
Sporty diperbolehkan pulang.
Sekarang langsung ke rumah Petra, kata Sporty dalam hati, ketika menuruni
tangga. Petra pasti gembira kalau tahu bahwa Bu Mubo bersedia membantunya.
Tanpa berhenti ia melewati pintu kedai minum.
Matahari bersinar cerah. Manusia dan kendaraan memadati Taman Balai Kota.
Kebisingannya memantul dari bangunan-bangunan yang mengelilinginya.
Mendadak langkah Sporty terhenti, seakan-akan telah menabrak rintangan yang tak
terlihat. Ia menggosok-gosok mata, karena tak dapat mempercayai pandangannya.
Sepeda balapnya lenyap. Nampaknya si maling sama sekali tidak memperdulikan lima atau enam sepeda
karatan yang ada di sekitarnya. Tetapi di tempat Sporty mengunci sepedanya, kini
hanya rantai dan gemboknya yang masih tergeletak di bawah.
Ia membungkuk dan memungutnya. Rasanya ia ingin menangis. Terbengong-bengong
diperhatikannya rantai yang diputus dengan menggunakan tang. Di sini, di tempat
yang paling ramai, dan pada siang hari bolong!
Sporty memandang ke sekelilingnya.
Orang-orang berjalan kian-kemari. Tapi tak seorang pun di antara mereka
memperhatikan yang lainnya.
Paling-paling beberapa anak muda mencoba menggoda seorang gadis cantik yang
lewat di hadapan mereka. Lagi pula-tempat penyimpanan sepedanya dipisahkan dari jalan raya oleh sederetan
mobil yang sedang diparkir. Jalur pejalan kaki juga ada di sebelah sana.
Seseorang yang lewat di tempat ini hanya mempunyai tiga pilihan, yaitu
mendatangi Dr. Kempfer,. pergi ke restoran, atau masuk ke kedai minum.
Seandainya maling sepedanya bekerja secara cepat dan sembunyi-sembunyi, maka tak
seorang pun akan memperhatikannya.
Tempat ini hanya terlihat dari...
Sporty berbalik. Seketika Bettger dan Drechsel menundukkan kepala.
Namun Sporty menyadari bahwa mereka sedang tersenyum lebar.
Kini mereka duduk berdampingan-di balik sejumlah gelas bir yang telah kosong.
Si prokem tadi, yang dipanggil "King" (Raja) oleh mereka, tidak kelihatan lagi.
Tidak mungkin! pikir Sporty. Aku tidak percaya bahwa mereka selicik ini. Maling"
Mustahil! Lagi pula mereka tidak mungkin menyembunyikan sepedaku di dalam kedai
minum. Tapi kenapa mereka nyengir terus" Apa justru mereka berdua yang melihat
sesuatu" Barangkali si King itu yang...
Ia mengantungi rantai dan gemboknya, lalu melangkah ke arah kedai minum.
Bettger dan Drechsel melotot ke arah rak botol, ketika Sporty mendekati mereka.
Kelihatannya mereka sedang berusaha keras agar tidak ketawa.
"Aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian." ujar Sporty.
Terheran-heran mereka menengok ke arahnya. Namun tentu saja mereka hanya purapura bingung. "Hei, coba lihat siapa yang datang!" ujar Detlef. "Ini kan si Sporty, anak
ingusan dan rombongan pelawak STOP! Selamat datang! Kau pasti datang untuk
mentraktir kami, bukan" Tidak perlu yang mahal-mahal, satu-dua gelas bir juga
sudah cukup." Detlef Bettger berperawakan kekar. Sayang, sikapnya agak bungkuk. Wajahnya
sempit, dan matanya yang biru jernih menatap Sporty dengan dingin. Barangkali
Detlef-lah yang lebih berbahaya dibandingkan Bettger-dan agak lebih licik.
Sporty tidak memperhatikan ucapan yang mengejeknya itu. Masalah itu akan
diselesaikan lain kali. Ia pasti masih akan bertemu lagi dengan kedua pemuda
itu. "Sepeda balapku dicuri orang," katanya, "sewaktu aku ada di tempat praktek
dokter gigi. Kalian..."
"Aduh, kami turut menyesal!" Joachim Drechsel memotong ucapannya. "Rasanya tak
kuasa aku menahan air mata."
"Dari sini, kalian bisa melihat tempatku menyimpan sepeda tadi," ujar Sporty
kemudian. "Apakah kalian melihat seseorang yang mencurigakan di sana?"
Kedua pemuda itu saling berpandangan.
"Hm," Detlef bergumam, "walaupun ingatanku sudah agak kacau karena alkohol, tapi
rasanya..." Dengan gaya dibuat-buat, ia meletakkan tangannya di dahinya. "Wah, sori, aku
baru ingat bahwa tadi aku ke kamar kecil sebentar. Apa kau tahu sesuatu,
Joachim?" Drechsel nyengir. "Tentu saja! Aku menyaksikan semuanya. Seorang nenek berumur
sekitar sembilan puluh tahun datang naik sepeda motor gajah. Dengan gigi
palsunya ia menggigit putus rantai pengikat sepedamu. Busyet, coba kaulihat
bagaimana ia kabur dari sini dengan sepedamu di boncengan, hahaha. Mudah-mudahan
kau paham bahwa kami tidak tahu apa-apa. Carsten. Kami ada di sini untuk
bersantai, untuk menikmati suasana yang nyaman. Siapa yang mau memperhatikan
sepedamu yang bulukan itu"!"
"Aku rasa kau bohong," kata Sporty. "Dari mana kau tahu bahwa rantai pengikat
sepedaku telah diputuskan" Aku sama sekali tidak menyinggung hal itu."
"Hah... apa" Aku... aku juga tidak tahu. Kebetulan saja aku tadi melihat kau
memungutnya." "Jadi hanya itu yang kaulihat" Aku yakin kalian berbohong. Awas, ya! Aku akan
membuat kalian bermimpi buruk kalau sampai terbukti bahwa kalian berdusta. Siapa
si King tadi" Dan siapa namanya sebenarnya?"
"Hati-hati kalau bicara. Bung!" kata Bettger. "Bisa-bisa gelas bir ini melayang
ke kepalamu. Sudah, pergi dari sini. Cari tempat lain saja kalau mau sok jago!"
Pemilik kedai minum yang berperut buncit telah mendengar sebagian percakapan
mereka. Dari caranya memandang Sporty langsung dapat menebak, pada siapa orang
itu memihak. Seandainya tatapan mata laki-laki gendut itu bisa berubah menjadi
pisau, maka Sporty sudah menjadi daging cincang sekarang.
Kini orang itu mendekat dan membanting kedua tangannya pada meja layan ..
"Mau pesan apa?" ia menghardik Sporty. "Bir, Wiski, vodka" Atau kau hanya mau
mengganggu tamuku saja?"
"Aku hanya ingin tahu bagaimana suasana di suatu kedai minum yang menjual
minuman keras pada anak-anak di bawah umur," jawab Sporty dengan tenang. "Asal
tahu saja, kedua jagoan ini baru berumur lima belas - badannya saja yang bongsor
tapi perkembangan otak mereka jauh terbelakang. Seharusnya mereka masih duduk di
taman kanak-kanak." Ia melangkah keluar. Perasaan putus asa mulai menguasai dirinya. Dari semua
benda yang dimiliki Sporty, sepeda balapnyalah barang yang paling berarti
baginya. Bahwa Bettger dan Drechsel menyaksikan pencurian sepedanya sudah dapat
dipastikan. Tapi ia tidak bisa membuktikannya. Apakah mereka telah memanasmanasi si King untuk melakukannya"
Sporty berjalan ke Balai Kota. Di lantai dasar gedung besar itu terdapat sebuah
pos polisi. Langsung ia melaporkan kejadian itu pada seorang polisi, yang
menanggapi pengaduan Sporty dengan ramah dan penuh perhatian.
Polisi itu mencatat semua keterangannya.
"Terus terang saja, " ia berkata kemudian, "kau jangan berharap terlalu banyak.
Di kota ini memang sering terjadi pencurian sepeda-bahkan lusinan setiap
harinya. Jarang sekali yang dapat ditemukan kembali. Kecuali itu, urusan kami
bukan hanya itu saja. Akhir-akhir ini kota kita semakin tidak aman saja. Belum
pernah terjadi begitu banyak pencurian kendaraan bermotor seperti dalam bulanbulan terakhir ini. Hampir setiap hari ada pemilik mobil mewah yang datang untuk
melaporkan kehilangan kendaraannya. Kelihatannya ini ulah suatu jaringan
penjahat yang terorganisasi dengan baik. Mereka mempunyai tenaga-tenaga ahli
yang bisa mengubah penampilan kendaraan-kendaraan itu. Setelah dirombak, barulah
mobil-mobil itu dilempar ke luar negeri untuk dijual di sana. Apa ada yang
kaucurigai?" "Mengenai pencurian mobil-mobil itu?" tanya Sporty terkejut.
"Bukan, maksudnya soal sepedamu. "
Sporty berpikir, apakah ia mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh Bettger dan
Drechsel" Dan si King itu" Tidak! Ia akhirnya memutuskan. Mungkin saja ia
keliru. Siapa tahu orang lain yang mencuri sepedanya. Sebelum menuduh kedua
teman sekolahnya. ia harus mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dulu. Karena itu
ia kemudian mengangkat bahu. "Saya sering bertengkar dan musuh saya cukup
banyak. Tapi saya tidak punya alasan untuk mencurigai seseorang."
"Yah, setidak-tidaknya kami sudah mencatat ciri-ciri sepedamu," ujar polisi itu.
"Sepeda balap mahal seperti yang kau punya kan jarang terlihat berkeliaran di
jalanan. Barangkali saja sepedamu muncul lagi."
4. Maria, Kawan Baru dari Itali
SPORTY sudah terbiasa menempuh perjalanan ke rumah Petra yang cukup jauh itu
dengan bersepeda. Kini ia terpaksa berlari-lari kecil. Diayunkannya langkahnya dengan gesit.
Meskipun demikian, tetap saja ia tiba lebih lambat daripada yang
direncanakannya. Tempat tinggal gadis itu berada di suatu jalan kecil yang tenang. Rumah-rumah
tua berderet-deret pada kedua sisi jalan.
Bu Glockner, ibu Petra, mempunyai sebuah toko kecil yang menjual bahan-bahan
makanan. Petra kadang-kadang ikut membantunya. Pak Glockner bekerja pada dinas
kepolisian. la berpangkat komisaris dan sering mengl1adapi kasus-kasus kejahatan
yang pelik. Ketika lewat di depan toko Bu Glockner, Sporty melihat setumpuk kardus berisi
buah-buahan. Bu Glockner sedang sibuk menimbang satu kilo apel untuk seorang
pembeli. "Halo, Sporty," ia berkata sambil ketawa. Wanita itu memang sangat menyukai
Sporty. "Lho, kau jalan kaki hari ini" Mana sepedamu" Petra dan Maria ada di
halaman belakang. Nanti, sebelum pulang, kau harus mampir dulu di toko, ya?"
"Dengan senang hati, Bu Glockner," jawab Sporty, walaupun sebenarnya ia agak
keberatan. Soalnya, ibu Petra itu selalu menghadiahkan buah-buahan segar
padanya. Menurut wanita itu, di asrama Sporty pasti jarang mendapatkannya. Hal
itu memang benar, tetapi lama-lama Sporty merasa malu juga. Ia tidak mau
mengambil untung dari kebaikan hati Bu Glockner.
Melalui selasar panjang Sporty berjalan ke arah halaman belakang.
Petra sudah pernah bercerita mengenai temannya yang bernama Maria. Namun sampai
sekarang, Sporty belum pernah bertemu langsung dengannya.
Maria berasal dari Itali. Ia berumur enam belas tahun, dan tinggal bersama orang
tuanya di ujung jalan yang sama dengan Petra. Sejak beberapa waktu yang lalu, ia
berteman dengan putri keluarga Glockner itu.
Nama lengkapnya adalah Maria Estate. Estate adalah bahasa Itali, yang berarti
musim panas. Sporty pernah diberi tahu oleh Petra bahwa Nyonya Estate, ibu
Maria, bekerja sebagai juru masak di sebuah hotel, sementara ayahnya bekerja
sebagai pelayan restoran.
Sebelum Sporty sempat menutuki pintu belakang, ia sudah disambut oleh gonggongan
gembira. Bello, anjing spanil milik Petra, telah melihat anak itu dan kini menyerbu ke
arahnya. Setiap kali kejadiannya sama saja: Bello melonjak-lonjak dan
menggonggong sambil mengibaskan ekor.
Sporty segera membungkuk, lalu membelai dan mengelus anjing itu.
Petra dulu mengambil Bello dari tempat penampungan hewan. Bello sungguh
beruntung mendapat majikan seperti Petra. Hanya ke sekolah saja yang ia tidak
boleh ikut Tetapi pada waktu-waktu lain, Petra jarang terlihat tanpa anjingnya.
Bello sangat setia pada gadis itu, dan sering mempertunjukkan berbagai keterampilan yang telah diajarkan
Petra padanya. Sayangnya, sebelah matanya buta. Namun itu tidak mempengaruhinya, karena indra
penciuman lebih penting bagi seekor anjing. Dengan bantuan daya penciuman, ia
selalu nampak sibuk menyelidiki lingkungan sekitar. Menurut Petra, itulah cara
anjing untuk meningkatkan kecerdasannya. Anjing-anjing yang tidak pernah diberi
kesempatan untuk mencium-cium sesuatu akan tetap bodoh. Tetapi hanya sedikit
pemilik anjing yang mengetahui hal itu.
"Halo," Sporty menegur kedua gadis itu.
Terheran-heran ia lalu melihat ke bawah.
Seekor tikus putih melintas tepat di depannya, kemudian berhenti. Sambil berdiri
dengan dua kaki belakangnya, binatang itu nampak menghirup-hirup udara.
"Itu tikusnya Maria," Petra menerangkan sambil ketawa.
"Eh, hati-hati!" ujar Sporty dengan nada cemas. "Bagaimana kalau dimakan Bello?"
"Jangan takut. Kelihatannya justru Bello yang agak ngeri. Tuh, lihat saja
sendiri." Bello telah berlari mendekati tikus itu. Setengah meter di depan binatang itu ia
berhenti. Ia berbaring dan merayap maju sambil mengendus-endus. Akhirnya ia
menggonggong, seakan-akan hendak mengajaknya bermain.
Tikus itu sama sekali tidak peduli dan malah mendekat. Ketika binatang itu mulai
naik ke kaki Bello, anjing itu tidak tahan lagi. Cepat-cepat ia mengambil
langkah seribu. Kedua anak gadis itu ketawa, dan untuk sesaat Sporty juga melupakan
kekesalannya. "Maria, ini temanku yang bernama Sporty," Petra memperkenalkannya.
Dengan malu-malu Maria menjabat tangan Sporty. Rambut gadis itu panjang dan
berwarna gelap. Wajahnya sempit, dengan sepasang mata berwarna coklat yang
memancarkan sinar lembut.
Maria berpenampilan menarik, tetapi Sporty tidak dapat memutuskan apakah gadis
itu bisa dikatakan cantik atau tidak Namun. itu tidak penting, karena
kelihatannya Maria enak diajak berteman. Petra selalu penuh pujian kalau
membicarakan kawan barunya itu.
Sporty mengangkat dan meletakkan tikus putih itu pada lengan bawahnya. Langsung
saja binatang itu merayap ke bahu Sporty, lalu memanjat ke atas kepalanya.
Nampaknya tikus itu tertarik pada telinga anak itu.
Maria tersenyum. Pembawaannya ternyata selembut penampilannya. Ia agak malu-malu
dan tidak banyak bicara. Dalam hal ini ia cocok dengan Petra, yang justru
bersifat sebaliknya. "Bagaimana?" tanya Petra penuh rasa ingin tahu.
Sporty langsung memahami maksud pertanyaan itu, dan mulai melaporkan
kunjungannya ke rumah Bu Mubo.
Dengan riang Petra bertepuk tangan.
"Bu Mubo memang baik sekali! Seandainya aku benar-benar dapat nilai 4, maka
untuk selanjutnya aku tidak berminat lagi belajar bahasa Inggris. Aku takkan
pernah lupa bahwa kau telah membantuku dalam urusan ini, Sporty. Dan aku juga
akan berterima kasih pada Bu Mubo. Kalau ia mengatakan bahwa aku seharusnya
dapat nilai 1, maka Bu Raul tidak mungkin ngotot lagi." Ia lalu berpaling pada
Maria. "Ini ulasan ulangan bahasa Inggris yang aku ceritakan tadi."
Anak Itali itu mengangguk.
Petra menatap Sporty. "Hei, kenapa sih tampangmu kusut begitu" Kau tidak senang bahwa keadilan
akhirnya menang?" gadis itu bertanya.
"Tentu saja aku ikut gembira. Tapi sepedaku tidak akan kembali karena hal itu."
"Sepedamu" Ada apa dengan sepedamu?"
Sporty bercerita. Petra sangat terkejut ketika mengetahui apa yang dialami temannya itu. Ia hendak
mengeluarkan pendapatnya, tetapi keburu didahului oleh Maria.
"Kau bilang bahwa seorang pemuda bernama King telah mencuri sepedamu. Sporty?"
"Ya, dialah yang kucurigai. Tetapi aku belum bisa memastikannya."
Maria mengangguk. "Aku kenal orang itu," katanya. "Ia memimpin sekelompok anak berandal. Mereka
selalu mengganggu kami - maksudku, orang-orang Itali yang bekerja di sini. Dan
juga orang-orang Turki. Mereka sering kali mengeroyok kami - sasaran mereka
bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga anak-anak perempuan. Mereka bilang kami
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah merampas tempat kerja mereka. Padahal itu tidak benar. Kami hanya
memperoleh pekerjaan yang kasar dan kotor. Orang-orang Jerman sendiri tidak akan
mau melakukan pekerjaan kami. Anak-anak berandal itu hanya cari alasan untuk
melampiaskan kekesalan mereka. Fabio sampai-sampai tidak berani keluar rumah
setelah gelap." Sporty mengerutkan dahi. "Fabio" Siapa itu?"
"Pacarku. Fabio Leone. Ia tinggal di dekat sini dan sedang magang di sebuah
bengkel mobil. Si King pernah menghajar Fabio sampai harus dirawat dokter. Luka
di kepalanya panjang sekali," kata Maria sambil memperagakannya dengan kedua
belah tangan, "dan terpaksa dijahit."
"Bajingan," gumam Sporty. "Jadi, si King menghajar Fabio-hanya karena pacarmu
itu orang Itali"!"
"Bukan hanya karena itu," kata Maria sambil menunduk. "Si King... aduh...
bagaimana ya cara mengatakannya..." Si King memaksa agar aku jadi pacarnya,
benar begitu?" "Kalimatnya tenar, tapi aku tidak setuju kalau kau berpacaran dengan bajingan
itu." Maria tersenyum. "Aku memang tidak mau berdekatan dengannya. Tapi justru karena
itu, ia semakin membenci Fabio."
Sporty meraih tikus putih yang masih bertengger di atas kepalanya, dan
menyerahkannya pada Maria.
"Kau tahu siapa nama si King sebenarnya?" ia bertanya kemudian.
"Seibold. Otto Seibold. Tetapi ia tidak senang dipanggil Otto. Barangkali karena
kedengarannya kurang seram. Karena itu ia selalu menggunakan julukan King."
"Aneh. Bagiku, dipanggil Sporty atau Peter sama saja. Tapi pokoknya sekarang aku
punya dua alasan untuk menyelidiki orang itu. Pertama karena sepedaku hilang,
dan kedua karena urusanmu."
Sporty merasakan tatapan Petra. Baru belakangan ia menyadari bahwa gadis itu
ternyata agak cemburu. Selama ini Sporty tidak pernah mengurusi gadis lain. Seluruh perhatiannya hanya
tercurah pada Petra dan Petra sudah terbiasa dengan keadaan itu. Bahwa Sporty
kini hendak membela gadis lain, membuatnya agak kikuk.
Namun Petra sama sekali tidak menganggap Maria sebagai saingan.
"Pengalaman Bu Mubo lebih gawat lagi," ujar Sporty kemudian.
"Ada apa memangnya?" tanya Petra.
"Ia diteror, dan saking takutnya Bu Mubo sudah tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukannya bila diteror oleh anak-anak kelas 9a."
Petra menanggapinya sambil mengangguk. "Kita sudah tahu hal itu."
"Ternyata bukan hanya oleh anak-anak didiknya saja," kata Sporty. "Apa yang
dialami Bu Mubo pasti bukan hanya perbuatan iseng murid-muridnya."
Ia lalu menceritakan semua yang diketahuinya.
"Mana mungkin"!" seru Petra terperanjat. "Apa maksud semuanya itu" Siapa biang
keladinya" Dan untuk apa ia melakukannya?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi rasanya, kelompok STOP perlu membantunya. Seperti
yang kaubilang tadi, Petra, Bu Mubo memang baik sekali dan patut dihormati. Eh,
malah murid-muridnya sendiri memperlakukannya seperti itu. Dan teror itu bahkan
berkelanjutan di rumahnya."
"Apakah ada hubungan antara kedua hal itu?"
"Aku juga sudah berpikir begitu. Tapi untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
menemukan siapa yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang dialami Bu
Mubo." Sporty berpaling pada Maria.
"Apakah kau tahu rumah Otto Seibold?"
"Ia tinggal di Jalan Karl Ludwig," jawab gadis Itali itu. "Di samping pintu
gerbangnya ada sebuah papan iklan besar. Otto Seibold, ahli ban segala kendaraan
- tulisannya " "Hah" Si konyol itu jual-beli ban?" tanya Sporty terheran-heran.
"Bukan dia, tapi ayahnya. Nama mereka kebetulan sama."
"Kalau begitu aku akan ke sana," kata Sporty.
Begitu keluar dari rumah Petra, anak itu langsung berjalan ke kanan. Sambil
termenung, ia melewati toko Bu Glockner. Sporty sama sekali lupa bahwa ia tadi
telah berjanji untuk mampir dulu sebelum pulang. Ia baru teringat lagi sewaktu
Bu Glockner memanggilnya.
"Tunggu dulu, Sporty! Ibu punya sesuatu untukmu," kata wanita itu sambil
menyerahkan sebuah kantung plastik.
Pertama-tama Sporty tidak mau menerimanya, tetapi Bu Glockner tetap memaksa seperti biasanya - dan akhirnya Sporty mengalah. Ia mengucapkan terima kasih,
tetapi Bu Glockner memotong ucapannya sambil tertawa, lalu mendorongnya keluar
dari toko. Kantung itu ternyata berisi anggur. Paling sedikit satu kilo. Harganya mahal,
dan Sporty tidak pernah punya pikiran untuk membeli buah-buahan semacam itu
dengan uang sakunya. Bu Glockner benar-benar luar biasa. Lagi pula ia sangat mirip dengan Petra. Pada
pandangan pertama orang sudah dapat menebak bahwa mereka adalah ibu dan anak.
Sporty mencicipi buah anggur itu. Rasanya enak sekali.
Ketika sampai di Jalan Karl Ludwig, isi kantung plastik tadi sudah habis
disikatnya. Gawat, ia berpikir. Lama-lama aku bisa jadi saingan si Oskar!
5. Sebuah Siasat Licik PELAN-PELAN Sporty melewati rumah itu. Dinding luarnya dicat dengan warna hijaubayam. Pada sisi sampingnya terdapat sebuah garasi yang dihubungkan oleh sebuah
jalur beraspal dengan jalan raya.
Halaman rumah itu nampak tak terurus. Rumputnya kering kerontang karena tidak
pernah disiram. Daun-daun di semak-semak sudah mulai layu, dan beberapa tanaman
hias malah sudah mati. Sporty terus berjalan, seakan-akan tidak memperhatikan rumah itu. Namun beberapa
meter kemudian ia berhenti, menyeberang jalan. lalu menyusuri jalan ke arah yang
berlawanan. Jalanan yang berlubang-lubang itu rupanya jarang dilewati mobil. Beberapa ekor
burung gereja hinggap di pohon-pohon yang terdapat di kedua sisi jalan.
Dan Sporty berada tepat di depan pintu gerbang. Ia berbalik ke seberang jalan,
lalu cepat-cepat bersembunyi di balik sebatang pohon.
Dengan hati-hati ia mengintip.
Otto Seibold Yunior, pemuda berandal yang biasa dipanggil King, baru saja keluar
dari pintu rumah. Ia mengenakan celana Jean, sepatu lars yang dibuat dari kulit, dan sebuah jaket
kulit berwarna hitam. Ia berjalan dengan kepala terdongak. Kedua belah tangannya
dimasukkan ke dalam kantung-kantung jaket. Sebatang rokok terselip di antara
kedua bibirnya. Barangkali itulah caranya untuk memperlihatkan bahwa ia tidak
takut pada siapa pun. Otto Seibold berjalan ke bagian samping rumah. mengeluarkan sebuah anak kunci
dari saku celana, kemudian membuka pintu garasi.
Ketika pintu itu telah terbuka lebar, Sporty melihat sesuatu yang membuat detak
jantungnya bertambah kencang.
Di dalam garasi terdapat sebuah jip dan di sampingnya, agak terdesak, sebuah
sepeda motor. Namun yang menarik perhatian Sporty adalah sepeda balap yang
disandarkan tepat di bawah sebuah jendela kecil di dinding belakang.
Sayang pandangan Sporty terhalang oleh jip itu, sehingga ia hanya bisa melihat
stang sepeda itu dan sebagian sadelnya. Jaraknya ke garasi itu lebih dari lima
puluh meter, kecuali itu. keadaan di dalamnya agak remang-remang. Karena itu
Sporty sulit untuk memastikan apakah itu sepedanya atau bukan.
Walaupun demikian ia merasa seperti tersengat listrik.
Mungkinkah itu sepedanya"
Otto mendorong sepeda motor tadi keluar dari garasi. Ia lalu menutup pintu dan menguncinya dengan seksama.
Kepada seseorang yang berada di belakang rumah, ia berseru.
"Kalau ada sesuatu-aku ada di Fattoria!"
Sporty tidak dapat melihat dengan siapa si King berbicara.
Kemudian anak berandal itu naik ke sepeda motornya. Gayanya persis seperti
seorang pembalap Setelah menghidupkan mesin, ia langsung ngebut. Tanpa
mengenakan helm, tentunya.
Rupanya ia tidak terlalu menyayangi kepalanya, ujar Sporty dalam hati. Kalau
sampai terbalik, akibatnya bisa gawat baginya.
Ia tetap memperhatikan si King yang kini telah sampai di ujung jalan. Jadi
bajingan itu mau ke Fattoria" Tempat itu masih di sekitar daerah itu.
Dengan berjalan kaki, dalam lima menit juga sudah sampai. Tapi namanya juga
prokem. Jarak segitu saja harus naik sepeda motor. Dasar sok jago!
Sporty tahu tempat yang dituju Otto. Ia sudah sering lewat di depannya, walaupun
belum pernah masuk. Fattoria adalah nama sebuah restoran Itali.
Ia kembali memperhatikan rumah di seberang jalan.
Siapakah yang berada di belakang bangunan itu"
Risikonya memang besar, tetapi Sporty telah bertekad untuk menyelinap ke balik
garasi, lalu mengintip melalui jendela kecil agar dapat memastikan apakah sepeda
yang ia lihat tadi merupakan miliknya atau bukan.
Sporty tidak membuang-buang waktu lagi. Cepat-cepat ia menyeberang, berlari
menyusuri dinding samping bangunan itu, kemudian menuju garasi.
Di sini ia berhenti sejenak, sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Ternyata
bagian belakang garasi terlihat dari halaman yang memanjang. Dan pria kekar yang
bekerja di sana juga masih berada dalam jarak pandang. Tetapi untung orang itu
sedang membelakangi Sporty, karena sibuk mengutak-atik sebuah mobil sport
berwarna merah menyala. Pada dinding belakang garasi terdapat dua jendela kecil Sporty berjinjit lalu
menempelkan hidung pada jendela yang pertama. Lapisan debu tebal menghalangi
pandangannya. Sejumlah sarang labah-labah menempel di kusen. Walaupun demikian,
ia dapat melihat sepeda tadi.
Ternyata memang sepeda balap kebanggaannya.
"He, kau! Sedang apa kau di sana?" tiba-tiba terdengar teriakan garang.
Otto Seibold Senior sangat mirip dengan anaknya-atau mungkin juga sebaliknya.
Raut mukanya sama kasarnya-hanya seperempat abad lebih tua - dan bulu-bulu kaku
yang menghiasi bibir atasnya segera mengingatkan Sporty pada seekor landak.
Pria itu mendekat. Lengan bajunya digulung ke atas. Pada masing-masing lengannya
terdapat gambar tatoo. Dengan tangan kanannya ia memegang sebuah kunci pas.
"Saya sedang mencari sepeda balap saya," jawab Sporty.
"Apa?" "Anda Pak Seibold?"
"Memangnya kaukira siapa"! Mau apa kau di sini?"
Matanya yang kecil mendelik ke arah Sporty.
"Anak Bapak tadi telah mencuri sepeda balap saya. Ia memutuskan rantai
pengikatnya. Itu adalah tindakan kriminal."
"Bajingan kau! Dasar orang Itali tak tahu diri!" Pak Seibold menghardiknya.
"Berani-beraninya kau memfitnah anakku..."
"Bapak tidak perlu berteriak-teriak," Sporty memotongnya. "Itu tidak akan
mengubah kenyataan. Lagi pula saya bukan orang Itali. Rambut saya memang
berwarna gelap, tetapi itu kan hal yang biasa, Pak Seibold-untuk orang Jerman
sekalipun." "Jangan kurang ajar. Kutampar kau nanti. Sudah numpang di negeri orang, masih
berani macam-macam lagi."
Sambil bergeleng-geleng, Sporty berkata, "Rupanya kemampuan berpikir Bapak agak
di bawah standar. Saya akan mengulanginya sekali lagi: anak Bapak adalah seorang
pencuri. Ia mencuri sepeda saya. Sepedanya sekarang ada di dalam garasi ini. Ini
suatu bukti yang cukup kuat, bukan?"
Pak Seibold membasahi bibirnya. Ia memperhatikan Sporty dengan mata setengah
terpejam. Ayah dan anak ternyata sama saja, pikir Sporty. Rupanya Pak Seibold yang
terhormat ini menganggap semua orang asing sebagai sampah masyarakat. Pantas
saja kalau anaknya jadi seperti itu.
"Heh, bagaimana kau bisa membuktikan bahwa sepeda itu memang milikmu?"
"Mudah saja. Nama saya terukir di suatu tempat yang tersembunyi." Sporty tidak
mengada-ada. Di bawah sadel sepedanya memang terdapat sebuah lempengan logam
yang bertuliskan namanya. "Kecuali itu, sekurang-kurangnya seratus teman sekolah
saya bisa menjadi saksi bahwa sepeda itu milik saya."
"Dasar pembohong! Bah, orang-orang Itali memang sama saja semuanya. Aku tak
percaya sepatah kata pun dari ocehanmu."
Sporty ketawa. Maki-makian orang itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap
dirinya. "Kalau begitu, silakan Bapak buka pintu garasi. Saya akan menunjukkan di mana
nama saya terukir. Nama saya Peter Carsten."
Pak Seibold kini mulai lebih waspada.
"Kuncinya tidak ada," katanya singkat.
"Terserah Bapak," kata Sporty. "Tetapi dengan tindakan ini, Bapak jadi ikut
bersalah." Ia berjalan memutari Pak Seibold, sambil memastikan bahwa ia tetap berada di
luar jangkauan tangan pria itu. Soalnya, mungkin saja orang itu tiba-tiba
mengamuk. Setelah melewatinya, Sporty mulai berlari. Ia harus menghubungi polisi. Dan
secepat mungkin. Tetapi bilik telepon umum terdekat berada di ujung jalan,
sekitar empat ratus meter dan rumah Pak Seibold.
Setelah berlari sekitar dua ratus meter, Sporty menengok ke belakang.
Pak Seibold berdiri di tepi jalan, dan mengepalkan tinjunya ke-arah Sporty.
Brengsek! pikir anak itu. Kalau ia sekarang memindahkan sepedaku, maka aku bisa
dituduh mempermainkan polisi. Tapi kalau begitu aku akan minta agar rumahnya
digeledah. Dengan napas tersengal-sengal ia sampai di bilik telepon umum. Untung ia masih
punya sekeping uang logam di saku celananya. Di buku telepon ia menemukan nomor
telepon pos polisi di Balai Kota. Ia langsung memutarnya, lalu minta bicara
dengan Sersan Kaltenberger, polisi yang tadi mencatat pengaduan Sporty mengenai
pencurian sepedanya. Dengan singkat Sporty menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Tolong secepatnya ke sini, Pak," kata anak itu. "Saya akan kembali ke sana.
Saya khawatir kalau-kalau Pak Seibold mengeluarkan sepeda saya dari garasi dan
menyembunyikannya di tempat lain. Mungkin ia malah akan memindahkan sepeda saya
dari rumahnya." "Saya segera ke sana," polisi itu berjanji.
Sporty tidak menyempatkan diri untuk beristirahat sedetik pun. Setelah
meletakkan gagang telepon, ia langsung kembali ke rumah Pak Seibold.
Tiba-tiba ia melihat sepedanya tersandar pada sebuah hidran air di pinggir
jalan, kira-kira lima puluh meter dari rumah Pak Seibold.
Sambil menarik napas panjang, Sporty menghentikan langkahnya. Bukan main! Orang
itu menyingkirkan barang curiannya dan beranggapan bahwa dengan demikian sudah
tidak ada masalah lagi. Cepat-cepat anak itu memeriksa keadaan sepedanya. Ternyata tidak ada yang rusak
atau hilang. Alasan apa yang akan diberikan Pak Seibold" Apakah ia hanya akan mengangkat bahu
sambil berkata bahwa ia tidak tahu-menahu tentang pencurian itu"
Bersepeda. Sporty lalu kembali ke dekat rumah berwarna hijau-bayam itu. Sekitar
dua puluh lima meter dari bangunan itu ia berhenti dan menunggu.
Beberapa menit kemudian mobil patroli polisi tiba. Kendaraan itu semakin
mendekat, kemudian berhenti di samping Sporty. Sersan Kaltenberger membuka
jendela. "Rupanya sepedamu sudah kembali. Apakah si Seibold akhirnya takut juga?"
"Malah sebaliknya," jawab Sporty. Kemudian ia menceritakan apa yang terjadi.
"Sebenarnya perkara ini sudah jelas," kata polisi itu. "Tapi si Seibold cukup
cerdik. Ia memilih untuk mundur teratur sebelum berhadapan dengan polisi. Sulit
sekali untuk membuktikan sesuatu kalau sudah begini. Kau satu-satunya saksi.
Berarti keterangan kalian saling beradu. Saya sendiri percaya pada ucapanmu,
tetapi penilaian pengadilan mungkin saja berbeda. Sekarang sebaiknya kita
mendatanginya saja."
Polisi itu turun dari mobil patroli.
Sporty mendorong sepedanya. Untuk sementara waktu ia tidak akan menaruhnya di
sembarang tempat. Otto Seibold Senior pura-pura sibuk menggosok-gosok mobil sportnya.
Ketika didatangi Sporty dan Sersan Kaltenberger, ia mengangkat kepala dan
berhenti bekerja. Raut mukanya tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Sersan Kaltenberger segera membuka pembicaraan,
"Bapak tentu telah mengetahui maksud kedatangan saya. Peter Carsten melaporkan
bahwa anak Bapak telah mencuri sepeda balapnya. Katanya, sepeda ini beberapa
menit lalu masih berdiri di dalam garasi Bapak. dan Peter sendiri yang
melihatnya melalui sebuah jendela pada dinding belakang garasi. Menurut
pengakuannya, Bapak tadi tidak bersedia mengembalikan sepeda balap miliknya.
Ketika Peter kemudian kembali dari telepon umum setelah menghubungi saya, ia
menemukan sepedanya di pinggir jalan - tersandar pada sebuah hidran air. Apakah
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bapak ingin mengatakan sesuatu sehubungan dengan hal ini?"
Pak Seibold bertolak pinggang.
"Benar, anak ini tadi memang ke sini. Ia mengoceh tidak keruan tentang sebuah
sepeda yang hilang dicuri. Hal itu juga benar. Setelah itu saya mengusirnya. Di
garasi saya memang ada sepeda balap. Tapi sepeda itu milik saya sendiri. Sudah
sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya tadi ia bisa saja memeriksanya, kalau
mau. Pintu garasinya terbuka lebar. Tidak perlu mengintip-ngintip lewat jendela
belakang segala. Dasar anak berandal! Berani-beraninya lagi memfitnah orang yang
tidak bersalah." "Busyet!" ujar Sporty. "Luar biasa. Pertama-tama Bapak membawa sepeda saya ke
hidran air,lalu Bapak mengambil sepeda balap Bapak, dan memasukkannya ke dalam
garasi - melelahkan sekali, bukan" Bapak bahkan masih berkeringat."
"He, jangan kurang ajar!" seru Pak Seibold kesal. "Kau memang kepingin ditampar,
ya?" "Jangan terburu-buru, Peter," ujar Sersan Kaltenberger. "Kita bicarakan hal-hal
yang dapat dibuktikan saja."
Mereka berjalan ke depan. Pak Seibold segera membuka pintu garasi.
Ternyata ia tidak berdusta. Pada dinding belakang garasi memang terdapat sebuah
sepeda balap tua. Karat terlihat di mana-mana. Lumpur yang telah mengering
menempel pada rantainya Beberapa jerujinya telah patah. dan bentuk sadelnya
sudah tidak keruan. Sepeda itu hanya bisa didorong. Untuk dinaiki sudah tidak
mungkin. "Bapak rupanya memakai sepeda ini untuk bersantai-santai setiap sore, bukan?"
ujar Sporty menyindir. "Pantas sepedanya dalam keadaan siap pakai dalam garasi
yang sempit ini." "Ini garasi saya, dan sepeda balap itu juga milik saya. Jadi terserah saya dong
di mana saya mau menyimpannya," jawab Pak Seibold dengan ketus.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih. Pak Seibold." kata Sersan Kaltenberger
dengan tenang ia mengangguk, berbalik, lalu berjalan ke arah mobil patrolinya.
Sporty mengepalkan tangan. Ia benar-benar merasa kesal.
"Sial," polisi itu berujar. "Saya yakin tuduhanmu memang benar. tetapi kita
tidak bisa membuktikannya."
"Tapi itu tidak adil, karena ia bisa lolos begitu saja."
"Yah, itulah hidup. Banyak orang yang seharusnya dihukum, tetapi mereka masih
saja bisa berkeliaran tanpa dikenai sanksi apa-apa. Mereka - para penjahat kecil
dan besar - memang lihai, dan pandai memanfaatkan lubang-lubang dalam undangundang. Tapi biasanya justru penjahat-penjahat kelas kakap yang lolos. Bahwa
seorang penjahat kelas teri seperti si Seibold bisa membebaskan diri dari
tuduhan adalah suatu hal yang jarang terjadi."
"Siapa bilang bahwa ia hanya seorang penjahat kelas teri," Sporty menanggapinya.
"Barangkali ia malah salah seorang gembong kejahatan."
Sersan Kaltenberger tertawa. "Saya bisa memahami kekesalanmu. Tapi jangan
terlalu dipikirkan! Sepedamu kan sudah ditemukan. Itulah yang terpenting bukan?"
Sporty mengucapkan terima kasih atas bantuan polisi itu. Bagaimanapun juga,
Sersan Kaltenberger telah berbuat sebatas wewenangnya.
Mobil patroli itu kembali ke pos.
Sporty melihat jam tangannya.
Jam pelajaran tambahan di asrama sudah lama dimulai. Di bawah pengawasan para
guru, anak-anak sedang menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.
Biar saja, pikir Sporty. Sekali-sekali aku tidak ikut. Masa kejadian ini tidak
bisa diterima sebagai alasan"! Tapi sekarang aku harus mencari si King dulu. Aku
tidak akan bisa tidur dengan tenang nanti malam, kalau bajingan itu belum diberi
pelajaran. Tanpa terburu-buru, ia mengarahkan sepedanya ke Restoran Fattoria.
6. Salah Pergaulan RESTORAN FATTORIA terletak di pinggir suatu jalan yang ramai. Karena kekurangan
tempat parkir, beberapa pengunjungnya terpaksa memarkir kendaraan mereka di atas
trotoar. Tetapi jalur pejalan kaki di depan rumah makan itu memang sangat lebar.
Sebuah pesawat terbang pun bisa diparkir di sana.
Sporty menyandarkan sepedanya pada sebuah pot bunga yang sebesar bak mandi.
Tanpa rantai, ia tidak dapat menguncinya. Kenyataan ini membuatnya agak gelisah,
dan ia memutuskan untuk tetap memperhatikan sepedanya melalui jendela restoran.
Ia berjalan melewati sebuah mobil Ferrari berwarna abu-abu metalik. Di samping
mobil itu terdapat sepeda motor milik Otto Seibold Yunior. Berarti bajingan itu
masih ada di sini. Sporty memasuki restoran itu.
Hampir tidak ada pengunjung. Dua pelayan berdiri di dekat meja kasir. Di bagian
belakang, sebuah keluarga dengan tiga anak sedang makan.
Pada bar yang berbentuk tapal kuda hanya ada dua tamu. Yang pertama adalah King
Seibold, yang kedua seorang pria berambut gelap dengan penampilan perlente.
Orang itu mengenakan stelan jas berwarna krem yang terbuat dari sutra alam,
sepatu berwarna terang, dan sebuah syal berwarna biru:
Keduanya sedang minum anggur, dan dilayani dari balik meja layan oleh seorang
gadis berambut pirang. Baru saja gadis itu bertanya,
"Anggur Lugana-nya ditambah sebotol lagi, Pak Borello" Atau mau coba anggur
lain?" "Lugana saja," jawab pria berambut gelap tadi.
Suaranya serak. Barangkali ia sedang sakit tenggorokan.
Borello" Sporty terperanjat. Jadi itukah suami Bu Mubo" Mestinya memang begitu, karena Borello adalah sebuah
nama yang jarang terdengar-setidak-tidaknya di kota ini. Kalau memang itu
orangnya, pikir Sporty dengan heran, untuk apa ia minum-minum dengan si King"
Kedua pelayan tadi telah mengetahui kedatangan Sporty. Gadis di balik meja layan
juga melihatnya, tetapi terlalu sibuk membuka sebuah botol anggur.
Borello dan Seibold tidak menyadari bahwa seseorang berdiri di belakang mereka.
Orang Itali itu menarik sesuatu dari kantung jasnya. Jarinya menggenggam dua
lembaran kertas. Dengan jelas Sporty melihat bahwa kertas itu adalah lembaran uang 500 Mark.
Uang itu diserahkan pada King.
Borello berkata, "Sampai saat ini kau berhasil melaksanakan tugas-tugasmu dengan
baik. Hei, Kawan, kau bisa kaya-raya kalau tetap bekerja seperti kemarinkemarin. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini."
"Tenang saja. Aku bisa menanganinya. Sebentar lagi ia akan menyerah."
Kini keduanya baru menyadari bahwa ada yang memperhatikan mereka
Borello menengok ke belakang.
Ia seorang pria tampan dengan gigi putih bersih, dan sejumlah kerut-kerut kecil
di sekitar matanya. Tapi matanya sendiri menyorot dingin seperti kaca berwarna
hitam. Seibold berbalik badan. Untuk sesaat, ia dan Sporty saling memelototi.
"Kau masih ingat aku?" tanya Sporty. "Kau pasti gembira sekali melihatku di
sini, bukan?" Seibold menutup mulut dan meraih antingnya yang bergoyang-goyang.
"Coba lihat keluar jendela!" kata Sporty.
"Untuk apa" Siapa sih kau" Dan apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, Maling kurang ajar! Coba lihat keluar! Tuh, di dekat pot
bunga. Kau masih ingat sepeda balap itu?"
Seibold segera menengok. Semuanya dapat melihat sepeda itu dengan jelas.
"Kau pasti kaget, bukan?" kata Sporty. "Baru saja polisi mengambilnya dari
garasimu. Dan kini mereka sedang mencarimu. Ayahmu sudah ditahan. Karena
menyembunyikan barang curian. Sebenarnya aku kepingin sekali menggantungmu
-dengan kalungmu yang konyol itu - tetapi aku tidak mau mengotori tanganku."
Ini suatu penghinaan besar. Tapi kelihatannya King Seibold sama sekali tidak
mendengarnya. Wajahnya menjadi pucat pasi, dan sebentar-sebentar ia menelan ludah.
Reaksi Borello juga di luar dugaan Sporty. Matanya terbelalak, dan tangannya
menarik-narik syal yang melilit di lehernya.
Seibold berdiri. Ia bakalan menyerang, pikir Sporty. Coba saja, kalau berani.
Tapi Seibold melewatinya begitu saja.
"Aku mau nelepon dulu," pemuda berandal itu berkata pada Borello.
Kemudian ia menghilang di balik suatu pintu yang rupanya tidak hanya menuju ke
kamar kecil, tetapi juga ke telepon umum.
Borello telah dapat menguasai diri kembali.
Ia meraih gelasnya, mencium-cium isinya, lalu minum seteguk. "Siapa kau?" ia
bertanya pada Sporty. "Sebentar lagi si berandal tadi pasti akan memberitahukannya pada Anda. Tapi
Anda sendiri siapa" Saya sudah pernah mendengar nama Anda. Apakah Anda suami Bu
Muller-Borello?" Orang Itali itu mendadak waspada "Kalau ya, kenapa?"
"Kalau begitu, Anda memang tidak pantas mempunyai istri seperti itu. Atau
mungkin Anda justru menginginkan istri Anda berurusan dengan seorang pencuri,
seorang tukang pukul, seorang bajingan tengik, yang kerjanya menganiaya orangorang sebangsa Anda sendiri" Tapi kelihatannya Anda memang cukup akrab
dengan....King Seibold. Bukankah Anda baru saja menyerahkan uang 5OO Mark
padanya, agar ia terus melakukan pekerjaannya dengan baik" Ya, saya melihatnya
sendiri. Cara-cara dunia hitam, bukan" Untung Anda tidak ikut membesarkan dan
mendidik anak Anda."
Sporty menarik napas panjang. Ia telah mengutarakan pendapatnya tentang Borello
secara terus terang, dan kini kekesalannya hampir sirna.
Terheran-heran ia menyaksikan raut wajah Borello berubah.
Muka orang itu kelihatan membengkak. Urat-urat di pelipisnya nampak menonjol.
"Jangan bawa-bawa Marco dalam urusan ini," ia berteriak. "Marco adalah anak
saya. Anak saya! Dan saya akan membawanya. Ia akan bahagia kalau tinggal bersama
saya. Hanya bersama saya!"
"Saya kira Marco akan lebih betah tinggal bersama istri Anda," ujar Sporty
dengan suara tenang. "Diam!" Borello mendesis, dan menambahkan sesuatu dalam bahasa Itali.
Kedengarannya seperti sebuah makian-sebuah makian yang kasar sekali.
"Non capisco. Parli adagio!" kata Sporty. Kemampuan bahasa Italinya terbatas
pada keempat kata itu, yang berarti: Saya tidak mengerti. Bicaralah pelan-pelan.
Pada detik berikut, King Seibold kembali.
Wajahnya merah padam. "Semuanya hanya isapan jempol!" ia berseru.
"Ayahku ada di rumah, dan polisi yang dibawa si konyol ini ke rumah, terpaksa
balik lagi tanpa dapat berbuat apa-apa, karena..."
Ia ragu-ragu untuk meneruskan kalimatnya.
"Karena pencurian sepedaku tidak dapat dibuktikan, " Sporty melengkapinya.
"Sayangnya memang begitu. Tapi kau sudah sempat berkeringat dingin, bukan?"
"Usir dia," kata Borello pada Seibold. "Kalau perlu, rontokkan beberapa giginya.
Tapi jangan di dalam. Tunggu sampai di luar saja."
"Dengan senang hati, Antonio." Seibold nyengir lebar.
Sambil bertolak pinggang, ia mendekati Sporty.
Sesaat kemudian ia telah terbanting ke lantai. Benturannya begitu keras, sampai
gelas-gelas di atas meja layan bergoyang semuanya.
Dengan suatu teknik judo- yang sederhana, Sporty telah mengait kaki lawannya
sehingga pemuda berandal itu kehilangan keseimbangan.
Seibold meraung-raung. Tulang keringnya membentur lantai ubin dengan keras.
"Aku tidak mau bikin keributan di sini, walaupun sebenarnya kau memang pantas
diberi pelajaran karena berani mencuri sepedaku. Tapi aku yakin bahwa kita masih
akan bertemu di lain kesempatan. Ingat! Mulai sekarang Maria Estate dan Fabio
Leone berada di bawah perlindunganku dan teman-temanku juga membantu. Kalau kau
masih mau coba-coba mengganggu mereka, maka bersiap-siaplah untuk berhari Natal
di rumah sakit. Ini berlaku untuk kau dan teman-temanmu."
Ketika meninggalkan restoran itu, Sporty hanya melirik sekilas pada Borello.
Ia mengangguk ramah ke arah gadis pirang di balik meja layan, dan kedua pelayan
pria yang berdiri di dekat pintu.
Selama kejadian di dalam, Sporty setiap beberapa detik menengok ke arah
sepedanya. Wah, ujarnya dalam hati. Ini sudah kedua kalinya aku terlibat keributan di
tempat umum hari ini. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa namaku dapat cap
buruk. Tapi semuanya kan bukan salahku. Akulah yang jadi korban pencurian. Dan
aku pula yang jadi korban ulah kriminal si Bettger, Drechsel, dan Seibold.
Bahwa kedua murid kelas 9a terlibat dalam urusan ini sudah dapat dipastikan.
King Seibold sebelumnya tidak mengenal Sporty. Pasti Bettger dan Drechsel yang
telah memanas-manasinya. Nampaknya King memang senang melakukan segala kegiatan
yang merugikan orang lain.
Ketika Sporty hendak pulang, tiba-tiba ia melihat toko sepeda di seberang jalan.
Borello dan Seibold pasti sedang memperhatikannya dengan geram, tapi Sporty
tidak menengok lagi. Di toko sepeda itu, ia dilayani oleh seorang wanita yang ramah.
"Sepedamu bagus sekali," kata wan ita itu sambil menengok ke arah sepeda Sporty
yang berada di depan pintu masuk. "Tidak ada yang lebih baik lagi. Kau mau jadi
pembalap sepeda?" Sporty menanggapinya dengan ketawa. "Untuk
selingan sih boleh juga," katanya. "Tetapi tidak sebagai pekerjaan utama "
Ia membeli sebuah rantai pengikat untuk sepedanya. Dengan sengaja ia mencari
yang paling kokoh. Ketika membayar, secara kebetulan ia menengok ke luar
jendela. . Borello dan Seibold sedang berdiri di depan Restoran Fattoria. Mereka
kelihatannya berbisik-bisik sambil merapatkan kepala.
Kemudian Seibold menghidupkan motornya, dan melaju pergi.
Orang Itali itu naik ke mobil Ferrari berwarna abu-abu metalik.
Gila! pikir Sporty. Rupanya Borello banyak uang. Mobil itu masih baru, dan
termasuk salah satu jenis mobil termahal.
"Hati-hati, jangan sampai sepeda balapmu hilang dicuri orang," wanita tadi
menasihati Sporty. Anak itu tersenyum dan berterima kasih. Coba kalau dia tahu! Tapi Sporty merasa
tidak perlu menceritakan segala kejadian yang telah dialaminya hari ini. Lagi
pula ia juga sudah harus pulang ke asrama.
Ia meninggalkan toko sepeda, menggantungkan rantai di bawah sadelnya, lalu
hendak berangkat. Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"He, kau!" orang itu berseru dari seberang jalan.
Sporty menengok dan menyadari bahwa ia yang dimaksud.
Salah seorang pelayan Itali tadi berdiri di depan restoran dan memberi isyarat
pada Sporty agar mendekat.
Ada apa ini, tanya Sporty dalam hati.
Pelayan itu tersenyum lebar. Pakaiannya mungkin meniru pakaian adat di Itali:
celana gelap, baju putih, rompi merah, dan sebuah selendang hijau yang
dililitkan pada perutnya, tanpa dapat menyembunyikan lapisan lemak yang
tertimbun di sana. Pelayan itu memelihara kumis lebat, dan kedua pipinya nampak menggelembung
"Wah, kau benar-benar hebat...' ia menegur dengan ramah. "Aku senang melihat kau
mempermalukan bajingan itu. Seharusnya sudah lama ada yang melakukannya. Ia
memang pantas menerima pelajaran itu. Si Seibold, maksudku. Tapi kau harus hatihati menghadapi Borello. Hanya itu saja yang hendak kukatakan padamu."
"Terima kasih atas peringatannya. Apakah si Borello itu berbahaya?"
"Jangan main-main dengan dia. Kata-kata yang kauucapkan padanya-wah, kalau aku
sih tidak akan berani berbuat seperti itu."
"Memangnya kenapa" Aku hanya sekadar mengatakan pendapatku. Apakah Anda tahu di
mana si 'Borello itu bekerja?"
"Borello pedagang mobil baru dan bekas. Orangnya kaya-raya. Dan tidak mengenal
belas kasihan. Kau perlu berhati-hati. Soalnya," pelayan itu mulai berbisikbisik, "dengar-dengar ia punya hubungan dengan Mafia. Menurut kabar burung,
Borello punya banyak kaki-tangan di kalangan orang tidak beres."
Hm, rasanya ia terlalu mengada-ada, pikir Sporty. Aku tidak yakin bahwa si
Borello benar-benar anggota jaringan penjahat yang tersebar di seluruh dunia
itu. Tapi bagi orang-orang Itali, rupanya setiap penjahat sudah pasti bekerja
untuk Mafia. "Untung Bapak memberi tahu aku," kata Sporty sambil berjabatan tangan dengan
pelayan itu. Ia lalu kembali ke asrama.
Ketika ia tiba di sana, jam pelajaran tambahan sudah hampir habis.
Guru yang bertugas sore itu adalah Dr. Lemberg, yang antara lain juga mengajar
bahasa Jerman di kelas 9a.
Orangnya agak pendiam, tetapi ramah. Murid-murid menyukainya. Pengetahunnya
dalam bidang bahasa Jerman sangat mendalam, sehingga guru-guru lain pun sering
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkonsultasi padanya. Dr. Lemberg telah mencatat ketidakhadiran Sporty. Ia sangat terkejut ketika
mendengar alasan anak itu.
"Baru kali ini ada murid yang memberi alasan seperti kau. Sukar dipercaya!" ia
berkomentar sambil geleng-geleng kepala.
Sporty telah menceritakan semua hal yang menyangkut Seibold. Tapi keterlibatan
Bettger dan Drechsel dengan sengaja tidak ia singgung-singgung. Persoalan itu
akan menimbulkan terlalu banyak keributan, sementara Sporty belum dapat
membuktikan apa-apa. Oskar, yang turut mendengarkan percakapan antara Sporty dengan Dr. Lemberg,
berusaha mengurangi ketegangannya dengan makan coklat.
Setengah jam lagi. Sporty duduk di bangkunya. Ia berkonsentrasi penuh, dan
berhasil menyelesaikan tugas terjemahan bahasa Prancis-satu-satunya pekerjaan
rumah untuk besok. Seusai jam pelajaran tambahan, Oskar dan Sporty berjalan ke SARANG RAJAWALI.
"Enak ya, kau bisa mengalami macam-macam, sementara aku terpaksa menghabiskan
waktu untuk membuat pekerjaan rumah," kata Oskar sambil merebahkan diri di atas
tempat tidur. "Tunggu sampai kaudengar semuanya," jawab Sporty. Ia lalu melaporkan segala
peristiwa yang dialaminya tadi.
"Dasar bajingan!" cetus Oskar setelah tahu bahwa pencurian sepeda temannya
didalangi oleh Bettger dan Drechsel: "Tapi jangan takut, mereka juga akan dapat
giliran." "Ada satu hal yang terus-menerus menghantui pikiranku. "
Oskar berjalan ke arah jendela, dan menatap temannya dengan pandangan bertanyatanya. "Yaitu?" "Apakah mungkin si Borello terlibat dalam aksi teror terhadap Bu Mubo" Mereka
kan belum resmi bercerai.
Aku rasa si Borello dulu pasti bersandiwara terus di depan istrinya. Tetapi
setelah kedoknya terbongkar, Bu Mubo lalu tidak mau berurusan lagi dengannya,
dan mengajukan permohonan perceraian."
"Hm, aku tahu arah pembicaraanmu," ujar Oskar. "Kau tentu menduga bahwa si
Borello merasa sakit hati. Bu Mubo telah mengusik harga dirinya. Bajingan itu
bukannya berpisah secara baik-baik, eh, malah menghancurkan jendela di rumah
istrinya, merusak mobil Bu Mubo, dan memaki-makinya melalui telepon. Ia... " .
"Bukan dia sendiri yang melakukannya," Sporty memotong. "Borello pasti menyuruh
orang lain. Ia sendiri tetap di belakang layar, tanpa perlu repot-repot. Si
Borello itu bosnya. Ia membayar anak-anak buahnya untuk melaksanakan pekerjaan
kotor itu." Oskar mengangguk. "Pekerjaan kotor. Ya, ia memang punya banyak tukang sampahtapi maksudku bukan para pekerja yang rajin membantu kita agar tidak tenggelam
dalam sampah. Kau benar. Borello punya anak buah seperti si Seibold itu. Gila,
1000 Mark diberikan begitu saja. Apa katanya tadi?"
"Tenang saja. Aku bisa menanganinya. Sebentar lagi ia akan menyerah. Itulah yang
dikatakannya." "Mencurigakan sekali."
Untuk beberapa saat kedua sahabat itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Udara petang yang sejuk mulai menyusup ke dalam SARANG RAJAWALI. Di ufuk barat
matahari sebentar lagi akan tenggelam. Sinarnya menerangi tepi hutan dengan
warna kecoklat-coklatan. Di atas halaman sekolah, sekawanan burung layang-layang
melintas beradu cepat terbang pulang ke sarang.
Dari dapur besar yang terdapat di lantai bawah, kini terdengar bunyi piring,
gelas, sendok, garpu, panci, dan peralatan memasak lainnya.
Seperempat jam lagi semua murid asrama akan dipanggil untuk makan malam bersama.
Seperti sebuah keluarga besar saja, pikir Sporty. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana suasana makan malam setelah semuanya lulus dan berkeluarga. Apakah
akan sama ramainya dengan sekarang"
"He, Sporty, coba tebak apa yang akan dihidangkan nanti, " kata Oskar tiba-tiba.
"Teh pahit." "Ah, aku serius nih. Sejak pertama aku tinggal di sini minumannya memang selalu
teh pahit. Maksudku tadi makanannya. "
"Baunya sih seperti ikan."
"Wah, gawat!" Oskar mendesah. "Berarti kita hanya dikasih roti sosis."
"Dan sekarang juga ada bau bawang."
"Nah, sudah mulai lumayan. Kita memang jarang dapat strawberry di sini.
Sayangnya buah-buah itu selalu berbau bawang."
"Kenapa kau tidak protes pada juru masak saja?"
Sporty mengusulkan. "Tapi hati-hati, kalau ia lagi kesal, bisa-bisa kau
dijadikannya daging cincang. Dan kami yang terpaksa menghabiskannya."
"Dasar kanibal! Aku kan akrab sekali dengan juru masak kita. Ia sangat senang
kalau ada orang yang dapat menghargai masakannya."
Sewaktu bel dibunyikan, mereka berdua segera keluar kamar dan bergabung dengan
anak-anak lain yang menuju ke ruang makan.
Seperti biasanya, di pintu masuk anak-anak saling mendorong dan berebut masuk.
Oskar-si rakus-mencoba menyelinap, tetapi akhirnya tertahan juga.
Sporty termasuk salah satu di antara sedikit anak asrama yang tidak pernah
didorong-dorong. Semua penghuni asrama sudah tahu bahwa ia jago judo.
Tetapi justru sekarang tiba-tiba ia menerima senggolan keras dari belakang,
sampai-sampai tubuhnya terdorong ke depan dan menabrak seorang murid kelas
terakhir. Sporty cepat-cepat minta maaf, berbalik badan, lalu menarik baju anak yang
berdiri di belakangnya. Ia terkejut ketika melihat wajah Ulrich Ranke yang pucat pasi di hadapannya.
"Maaf, maaf, Sporty," ujar anak itu terbata-bata. "Aku tidak sengaja. Ada yang
mengait kakiku waktu aku lagi melangkah. Karena itu aku menabrakmu. Sungguh, aku
tidak sengaja menyikutmu."
Sporty melepaskannya. "Mungkin saja. Lain kali lebih hati-hati kalau jalan."
Ia yakin benar bahwa Ulrich Ranke tidak akan menabraknya secara sengaja.
Anak itu memang loyo, dan sama sekali tak berbakat dalam olahraga. la benarbenar seorang penakut yang tidak berani berbuat apa-apa. Mungkin ia bahkan tidak
berani untuk mempunyai pendapat sendiri. Ia termasuk orang-orang yang takut
berbeda pandangan dengan orang lain, dan karena itu selalu membenarkan ucapan
lawan bicaranya. Sporty tidak menyukai Ulrich, tetapi ia merasa kasihan padanya.
Pernah suatu kali Ulrich hendak dikeroyok oleh kakak-beradik Schmidt, karena
suatu persoalan yang sepele. Tetapi pada waktu itu Sporty melindunginya.
Langsung saja kedua saudara itu mundur teratur. Dalam mimpi pun mereka tidak
akan berani berurusan dengan Sporty.
Ketika Sporty datang ke meja, Oskar sudah mulai melahap makanan di hadapannya
"Ada kabar menggembirakan," katanya. "Ramalanmu tepat sekali. Malam ini
disediakan teh pahit untuk kita. "
"Terus apa lagi?" .
"Ikan goreng dengan kentang rebus. Pakai bawang segala."
Oskar mengeluarkan sekeping coklat dari kantung celananya.
"Coklat cocok dengan segala macam makanan. Untung aku selalu bawa persediaan."
Sewaktu makan, Sporty memandang piringnya sambil merenung.
"Kau tidak lapar?" tanya Oskar.
"Siapa bilang?"
"Atau kau sedang mencari strawberry di dalam kentang?"
"Hanya makanan saja yang ada di otakmu," desah Sporty. "Aku sedang memikirkan
nilai-nilai yang lebih luhur."
"Apa itu, kalau aku boleh tahu."
"Aku lagi bingung, apakah kita perlu mengorek keterangan dari si Ulrich?"
"Dari si loyo itu" Untuk apa?"
"Aduh, dasar rakus! Si Ulrich kan anak 9a."
"Benar juga. Aku hampir lupa," jawab Oskar sambil mengunyah. "Setiap kali
melihatnya, aku kira ia masih duduk di taman kanak-kanak."
"Padahal anaknya tidak bodoh."
"Huh," kata Oskar. "Aku juga tidak bisa dikatakan bodoh. Tapi coba lihat,
bagaimana angka-angka di buku raporku" Orang buta huruf pun akan malu kalau
harus menunjukkan nilai seperti itu pada orang tuanya."
Ia terbatuk-batuk karena keselak.
Sporty menepuk-nepuk punggungnya.
"Gara-gara ikan brengsek itu. Durinya banyak benar!" Oskar mengeluh.
"Kalau kauhabiskan seluruh isi teko teh itu maka ikannya bisa berenang-renang
dengan leluasa di dalam perutmu. "
"Usulmu boleh juga. Tapi untuk apa kau mau bicara dengan si Ulrich?"
"Karena dia anak 9a! Kalau mikir pakai otak dong, jangan pakai dengkul! Si
Ulrich akan memberi tahu kita kenapa kelasnya memusuhi Bu Mubo."
"Mana mungkin ia mau bercerita?" tanya Oskar dengan ragu.
"Ah, kau hanya perlu memelototinya sebentar, dan ia akan menceritakan apa saja
yang ingin kauketahui."
Ulrich Ranke duduk tiga meja di sebelah kanan mereka. Ia tidak diajak
berbincang-bincang oleh siapa pun. Satu-satunya kesibukannya adalah membersihkan
tulang ikan dari sisa-sisa daging.
Akhirnya Ulrich selesai makan dan berdiri. Dengan lesu anak itu meninggalkan
ruang makan. Sporty dan Oskar segera mengikutinya.
Oskar hanya sempat menghabiskan tiga porsi, suatu hal yang amat disesalinya.
Dalam sekejap mereka telah menyusul Ulrich.
Anak itu sedang berdiri di depan papan pengumuman. Ia menengok ke kiri dan ke
kanan, seakan-akan bingung hendak berjalan ke mana.
"Eh, Ulrich, sudah lama aku ingin menanyakan sesuatu padamu," Sporty menegurnya
"Kau ada waktu sekarang?"
"Ada apa sih?" tanya Ulrich dengan cemas. Barangkali ia mengira bahwa Sporty
menaruh dendam karena peristiwa di ruang makan tadi.
"Persoalan ini tidak bisa dibicarakan di sini. Kita ke SARANG RAJAWALI saja. Di
sana kita bisa ngomong dengan santai."
"Ayo, deh." Bertiga mereka menaiki tangga ke lantai dua. Setelah masuk ke kamar Sporty dan
Oskar, Ulrich segera duduk di kursi belajar Sporty.
Oskar menawarkan coklat pada Ulrich, dan anak itu melahapnya seperti seseorang
yang sudah tiga hari tidak makan apa-apa.
"Bagaimana pendapatmu mengenai Bu Muller-Borello?" tanya Sporty.
"Bu Mubo" Pendapatku mengenai... Hm. Tidak tahu juga, yah. Sebenarnya ia...
Sebenarnya aku belum pernah memikirkannya."
"Apakah bisa dikatakan bahwa ia seorang guru yang baik dan ramah?"
Ulrich tidak dapat duduk dengan tenang.
"Ya, benar. Aku rasa kau memang benar."
"Siapa lagi di kelasnya yang berpendapat seperti itu" Bu Mubo kan wali kelas
kalian, dan seharusnya semua murid punya pendapat mengenainya."
"Hm. Aku tidak tahu pasti. Ada sih beberapa orang yang berpikiran seperti itu.
Tapi kami tidak pernah membicarakan hal itu."
Sporty berusaha untuk menahan kekesalannya. Si penakut yang kini duduk di
hadapannya tidak pernah memikirkan apa pun, hanya agar tidak perlu mengemukakan
pendapatnya. "Jadi bisa dikatakan," Sporty melanjutkan, "bahwa sebagian besar anak-anak 9a
sebenarnya menyukai Bu Mubo. Tapi kenapa kalian tetap saja merongrongnya"
Semuanya ikut serta. Bahkan kau, Ulrich, tidak ketinggalan. Kalian benar-benar
kelas paling brengsek di sekolah ini. Kalian menteror Bu Mubo. Apa saja kalian
lakukan untuk mengganggunya. Perbuatan kalian adalah tindakan paling keji dalam
sejarah sekolah ini. Cepat, katakan apa yang sebenarnya sedang terjadi!"
Ulrich duduk dengan sikap bungkuk. Wajahnya yang lembek menunjukkan
kebingungannya. "Apa sih maksudmu, Sporty?"
"Aku minta kau bercerita mengapa kalian menyiksa Bu Mubo!" Sporty menghardiknya.
"Oh, itu. Entahlah. Maksudku, aku juga tidak tahu sebabnya. Bettger dan Drechsel
menyuruh kami. Yang lain ikut-ikutan saja. Hanya orang gila yang tidak mau
turut. Akhirnya, semuanya jadi senang mengganggu Bu Mubo. Tapi aku tidak," ia
cepat-cepat menambahkan. "Aku biasanya juga tidak berbuat apa-apa."
"Jadi, kalian dihasut oleh Bettger dan Drechsel?"
Ulrich mengangguk. Terheran-heran Sporty menggeleng-geleng. "Dan semuanya mau saja" Tidak ada yang
melawan" Masa anak-anak 9a semuanya pengecut?"
"Bukannya begitu. Semuanya ketakutan. Mula-mula ada tiga anak yang tidak mau
ikut: Frenzel, Dippe, dan Zollitseh. Tapi sore harinya mereka dicegat di kota
dan dikeroyok sampai harus dirawat di rumah sakit."
"Siapa yang mengeroyok mereka?"
"Bettger dan Drechsel juga ikut. Selain itu juga ada tiga prokem. Umur mereka
sekitar delapan belas tahun. Salah satu dari mereka dipanggil 'King' Nah,
setelah kejadian itu, justru Frenzel, Dippe, dan ZoUitseh yang paling
bersemangat menyiksa Bu Mubo. Masuk akal, bukan" Mereka tidak mau ambil risiko
dihajar untuk kedua kalinya. Peristiwa itu merupakan peringatan bagi anak-anak
lain Sejak itu tidak ada yang berani melawan, soalnya Drechsel dan Bettger punya
dukungan prokem-prokem itu. Seluruh kelas 9a dilanda ketakutan."
Ulrich menggigil. Bayangan bahwa ia mungkin saja menjadi korban keganasan
berandal-berandal itu membuat wajahnya menjadi pucat pasi.
"Oke, deh," kata Sporty. "Hanya itu yang aku ingin tahu. Eh, masih ada satu hal:
besok kalian ada pelajaran Bu Mubo?"
"Ada. Dua jam bahasa Inggris. Mulai jam keempat sampai jam kelima."
7. Peringatan bagi Para Perusuh
CUACA keesokan harinya ternyata sama sekali tidak nyaman. Langit diselimuti awan
tebal, dan matahari seakan-akan enggan bersinar.
Dinginnya udara pagi membuat Oskar menggigil. Ia berdiri di pintu gerbang
sekolah, menunggu kedatangan Petra dan Thomas. Oskar mendapat tugas untuk segera
menyampaikan rencana Sporty pada kedua sahabatnya itu.
Sementara itu, Sporty berdiri di samping pintu ruang kelas 9a.
Murid-murid berdatangan satu per satu. Ulrich Ranke juga memasuki kelasnya.
Dengan heran ia menatap Sporty.
Bettger dan Drechsel datang bersamaan dan paling akhir. Mereka hanya mendelik ke
arah Sporty, lalu masuk kelas. Bettger hendak membanting pintu, tetapi Sporty
mencegahnya. Cepat-cepat si pengacau itu mundur, dan Sporty melangkah masuk.
Sebagian besar anak-anak 9a telah duduk di tempat masing-masing. Beberapa orang
berdiri dekat jendela. Dalam beberapa menit lagi jam pelajaran pertama akan
dimulai. Sporty berdiri di samping meja guru.
Ia akan memberikan suatu sambutan singkat. Kata-katanya sudah dipersiapkan tadi
malam. "Halo," ujar Sporty dengan lantang. "Coba dengarkan aku sebentar. Apa yang akan
kukatakan menyangkut kalian semua."
Anak-anak 9a terheran-heran. Mereka yang tadi masih sibuk berbincang-bincang,
kini mengarahkan perhatian pada Sporty.
"Aku sudah tahu bahwa kalian terus menteror Bu Mubo," kata Sporty keras-keras.
"Dan aku juga sudah tahu bahwa yang bertanggung jawab sebenarnya cuma Bettger
dan Drechsel. Yang lainnya hanyalah segerombolan pengecut yang mudah digertak.
Bu Mubo kan guru yang baik. Ia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Aku sama
sekali tidak mengerti kenapa Bettger dan Drechsel menghasut-hasut kalian. Tapi
satu hal ingin kutegaskan: mulai saat ini aksi teror kalian harus dihentikan.
Supaya jelas: siapa yang masih berulah, macam-macam akan berhadapan denganku,
mengerti?" Ia berhenti sejenak dan menatap wajah-wajah di hadapannya.
Sejumlah anak memandangnya dengan mata terbelalak, seakan-akan ia merupakan
salah satu keajaiban dunia. Beberapa menunduk malu.
Hanya Bettger dan Drechsel yang nyengir mengejek.
"Supaya kalian tahu teman macam apa Bettger dan Drechsel ini," Sporty
melanjutkan, "aku akan menceritakan peristiwa yang kualami kemarin. Sepeda
balapku dicuri di dekat Taman Balai Kota, oleh seorang pemuda berandal yang
dipanggil 'King', tapi sebenarnya bernama Otto Seibold. Beberapa saat sebelum
pencurian itu terjadi, Bettger dan Drechsel masih duduk-duduk bersama-sama si
King di suatu kedai minum. Aku tahu persis bahwa mereka dapat melihat sepeda
balapku. Dan tentu saja Bettger dan Drechsel seharusnya juga dapat menyaksikan
pencurian itu, soalnya keduanya tetap duduk di tempat duduk semula. Sewaktu aku
menanyai mereka, Bettger dan Drechsel mengaku tidak melihat apa-apa dan malah
mengejekku. Tapi aku yakin bahwa mereka berdusta. Aku juga yakin bahwa merekalah
yang mendalangi pencurian itu, dengan memanfaatkan teman prokem mereka.
"Nyatanya rencana mereka gagal total, karena aku sudah memperoleh sepedaku lagi.
Dan polisi juga sudah tahu ulah si Seibold. Kalian jangan mau ditakut-takuti
oleh Bettger dan Drechsel. Konyol betul, kalau mereka sampai berhasil merusak
Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suasana di sekolah kita."
Bel kedua sudah lama berbunyi.
Setelah mengucapkan kata terakhir, Sporty segera berbalik, hendak meninggalkan
kelas. Di ambang pintu ia hampir bertabrakan dengan Dr. Lemberg.
"Maaf," Sporty bergumam-lalu hendak lewat di samping guru itu.
"Saya sudah agak lama berdiri di sini," kata Pak Lemberg. "Sudah sejak kau mulai
memberi sambutan. Aku tidak ingin memotongmu tadi." Tanpa berkomentar apa-apa
lagi, Pak Lemberg kemudian menambahkan, "Cepat kembali ke kelasmu. Nanti kau
terlambat." Sporty bergegas. Nanti siang semua guru pasti sudah tahu, ia berkata dalam hati. Biar mereka
mengerti siapa biang keladi kerusuhan di kelas 9a.
Pelajaran di kelas Sporty telah dimulai-dan guru yang mengajar justru Bu Raul.
Wah, aku bisa kena semprot lagi, pikir Sporty. Alasan apa lagi yang bisa aku
berikan" Tetapi-sungguh ajaib! Bu Raul hanya memandangnya dengan tatapan lembut.
"Ayo, cepat duduk di tempatmu," katanya.
Petra tersenyum ke arah Sporty, ketika anak itu duduk di bangkunya sambil
menarik napas lega. Oskar telah melaporkan apa yang dikerjakan Sporty.
Thomas tersenyum lebar, dan mengacungkan jempol.
Bu Raul berdiri di belakang meja guru. Senyumnya yang masam. kelihatan sekali
dibuat-buat, tetapi itu sudah merupakan suatu perubahan tingkah laku yang besar.
Ia mengeluarkan tiga kertas ulangan dari mapnya.
"Ibu perlu menyampaikan sesuatu," ujarnya. "Secara tidak sengaja Ibu telah
membuat kesalahan pada penilaian ulangan terakhir. Ibu... Ibu keliru menuliskan
angka pada ulangan salah seorang teman kalian. Untung anak itu tidak tinggal
diam, dan Ibu masih sempat mengubah nilainya. Ia seharusnya dapat nilai 1."
Petra berusaha keras untuk tidak bersorak. Sambil tersenyum cerah ia menerima
kertas ulangannya. "Terima kasih banyak, Bu," katanya dengan riang.
Petra menengok ke belakang, dan mengedipkan mata pada sahabat-sahabatnya.
Tanpa berkomentar apa-apa, Bu Raul mengembalikan kertas ulangan Thomas dan
Sporty. Sukses besar! pikir Sporty. Kita harus berterima kasih pada Bu Mubo. Ia pasti
telah bersusah payah agar Bu Raul mau mengubah penilaiannya. Bu Mubo memang luar
biasa. Kenapa Bettger dan Drechsel begitu membencinya" Aneh! Pasti ada sebabnya.
Begitu bel tanda istirahat berbunyi dan Bu Raul meninggalkan kelas, Petra
langsung dikelilingi oleh teman-temannya.
Oskar menyalaminya dengan gaya resmi, dan Thomas berbicara mengenai kemenangan
kebenaran atas ketidakadilan. Sporty mengucapkan selamat, lalu bergegas keluar
kelas. "Aku mau ke kelas 9a sebentar," ia berkata pada ketiga sahabatnya. "Aku ingin
tahu apakah Bettger dan Drechsel masih membuat ulah."
Dengan langkah panjang ia menyusuri selasar.
Dr. Lemberg sudah berjalan menuju ruang guru Kelas 9a hanya berjarak beberapa
ruang dari kelas Sporty. Semua pintu kelas terbuka lebar. Hanya pintu kelas 9a
yang tertutup rapat. Dari balik pintu terdengar suara Bettger.
Sporty mencoba membuka pintu, tetapi pegangan pintu tidak dapat digerakkan sama
sekali. Mungkin diganjal dengan kursi dari dalam.
"Bagaimana?" tanya Oskar.
Ia bersama Petra dan Thomas telah menyusul Sporty.
"Sst," anak itu mendesis sambil menempelkan telinga ke daun pintu.
" ... karena itu pikirkanlah pilihan kalian dengan matang," kata Bettger.
Rupanya ia sedang berbicara pada teman-teman sekelasnya, karena hanya suaranya
yang terdengar. "Kalau berurusan dengan si Carsten, maka kalian tidak akan
cedera. Si tolol itu takkan tega menghajar kalian habis-habisan. Tetapi
bayangkan kalau kalian dihajar oleh King Seibold dan gerombolannya dan setiap
hari lagi! Masih ingat bagaimana nasib Frenzel, Dippe, dan Zollitseh" Daripada
harus menanggung risiko seperti itu, lebih baik kalian pindah saja dari sekolah
ini. "Aku memperingatkan kalian. Awas kalau ada yang menjawab pertanyaan Bu Mubo!
Siapa pun yang ditanya, jangan buka mulut! Yang berani membangkang akan kucatat
pada daftar hitam-dan daftarnya akan kuserahkan pada si King. Jelas"! Satusatunya perkecualian: kalau Bu Mubo bawa Kepala Sekolah ke sini, maka kalian
harus bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Biar aku yang membereskannya.
Awas, kalau ada yang berani macam-macam!"
Suasana di kelas 9a tetap hening. Tidak ada yang berani menjawab.
"Apa-apaan ini?" bisik Petra. "Masa satu kelas takut sama satu orang?"
"Awas, Pak Guru datang," kata Oskar.
Sementara mereka asyik menguping, bel tanda mulainya pelajaran berikut telah
berbunyi-dan guru matematika berjalan mendekat dengan cepat.
Sporty mendengar bahwa kursi pengganjal pintu ditarik kembali. Tetapi kini
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus kembali ke kelas mereka
sendiri. "Kalau begini caranya," kata Petra, "seharusnya semua anak 9a dikeluarkan dari
sekolah. Tapi hal semacam itu belum pernah terjadi."
"Mereka ketakutan," Sporty berkomentar, "dan akhirnya mereka ikut bersalah
karena terlalu dicekam ketakutan - seperti kita lihat sendiri. Tapi apakah
karena itu semua anak 9a harus dijatuhi hukuman berat" Di mataku, pengecutpengecut itu tidak ada harganya. Aku hanya merasa kasihan pada mereka. Aku rasa,
sebenarnya sudah cukup kalau Bettger dan Drechsel saja yang disingkirkan dari
peredaran. Merekalah biang keladi kerusuhan di kelas 9a."
"Kita wajib membebaskan anak-anak 9a dari... eh... oknum-oknum pengacau itu,"
Thomas memberi tanggapan. "Tapi bagaimana caranya?"
Pak Guru belum masuk ke kelas, sehingga mereka masih punya sedikit waktu. Cepatcepat keempat sahabat itu berembuk. Tanpa perlu berdiskusi panjang-lebar, mereka
mencapai kesepakatan. Pada waktu istirahat berikut, mereka akan pergi ke ruang
guru dan berbicara dengan Bu Mubo.
Tidak satu pun di antara keempat sahabat itu memperhatikan pelajaran biologi
dengan tekun. Hal itu patut disayangkan, karena pembicaraannya mengenai kulit
manusia, dan Pak Kausch telah berusaha keras untuk membuat anak-anak tertarik.
Namun, pikiran Sporty dan teman-temannya memang sedang menerawang jauh.
Tidak lama setelah bel istirahat berbunyi, mereka telah berada di depan ruang
guru. Sporty mengetuk pintu. Pak Braun yang keluar, dan Sporty segera mengatakan bahwa
ia ingin bertemu dengan Bu Muller-Borello.
Guru wanita itu menemui anak-anak di selasar. Ia tersenyum ramah, dan mungkin
mengira bahwa kedatangan mereka hanya sehubungan dengan perbaikan nilai ulangan
Petra. Gadis itu langsung mengucapkan terima kasih. Tetapi Bu Mubo mengatakan bahwa ia
memang wajib membantu bila terjadi kekeliruan dalam penilaian -apalagi kalau
menyangkut pelajaran bahasa Inggris.
"Kami masih ada keperluan lain," kata Sporty kemudian. "Kami hendak memberi tahu
Ibu, bahwa anak-anak kelas 9a telah merencanakan untuk mempermainkan Ibu pada
saat mengajar mereka."
Bu Mubo mengamati Sporty dengan pandangan bertanya-tanya. "Saya dapat kabar
bahwa ada seorang murid yang sangat bersemangat dalam membela saya. Dr. Lemberg
telah bercerita mengenai tindakan anak itu tadi pagi."
Sporty merasakan wajahnya menjadi merah. Cepat-cepat ia berkata ,
"Bukan hanya saya, Bu Mubo, yang tidak setuju dengan ulah anak-anak itu. Temanteman saya-dan sebenarnya semua murid lain-juga sependapat. Hanya anak-anak 9a
saja yang tidak mau pakai otak. Bettger dan Drechsel mengancam bahwa teman-teman
berandal mereka akan menghajar setiap anak yang tidak ikut dalam aksi teror
melawan Ibu." Sporty lalu bercerita secara terperinci, juga mengenai rencana Bettger dan
Drechsel untuk hari ini. Wajah Bu Mubo menjadi pucat pasi ketika mendengar laporan itu. Kelopak matanya
bergetar, dan ia berusaha keras untuk menguasai diri. Tetapi Sporty mendapat
kesan bahwa guru wanita itu sebentar lagi akan menangis.
"Kenapa mereka tega berbuat seperti itu?" Bu Mubo bertanya dengan suara datar.
"Dua-duanya bukan murid yang baik. Tapi selama ini saya selalu bersikap lunak
terhadap mereka. Menurut rencana, mereka akan meninggalkan sekolah pada akhir
tahun pelajaran ini untuk mulai bekerja. Kenapa mereka begitu membenciku" Kenapa
mereka begitu kejam?"
Sporty langsung teringat pada Antonio Borello, suami Bu Mubo. Hampir saja ia
mengemukakan kecurigaannya, tapi akhirnya membatalkan niatnya, karena merasa
saatnya kurang tepat. "Kalau kami boleh usul," ia berkata kemudian, "ada baiknya kalau Bettger dan
Drechsel disuruh menghadap Kepala Sekolah sebelum jam pelajaran keempat dimulai.
Kami bisa membuktikan bahwa merekalah yang menghasut anak-anak lain. Mereka
pasti akan memperoleh peringatan keras. Kecuali itu-tanpa mereka, anak-anak lain
pasti tidak akan berulah macam-macam. Dengan demikian sekaligus bisa
diperlihatkan siapa yang mendalangi aksi teror di kelas itu.
Ibu guru itu mengangguk. "Saya akan segera membicarakan hal ini dengan Bapak
Kepala Sekolah." Sepanjang jam pelajaran kedua. Sporty memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran
dengan berkonsentrasi penuh. Tetapi ia tetap tidak dapat memusatkan pikirannya.
Ketiga sahabatnya juga menunggu kejadian selanjutnya dengan tegang.
Pada waktu pergantian pelajaran berikutnya. mereka mendapatkan jawabannya.
Pak Kepala Sekolah mengutus sekretarisnya ke kelas 9a untuk memanggil Bettger
dan Drechsel. Dengan wajah berkerut-kerut kedua anak itu ikut ke kantor.
Sporty berdiri di ambang pintu kelasnya dan tersenyum pada mereka.
"Ini pasti gara-gara kau!" desis Drechsel sambil lewat.
"Memang. Pak Kepsek sudah tahu semuanya, Selamat bersenang-senang."
Pada waktu istirahat antara jam keempat dan jam kelima, keempat sahabat yang
tergabung dalam kelompok STOP berdiri di selasar. menunggu Bu Mubo.
Dengan wajah bahagia ia keluar dari kelas dan berhenti di depan anak-anak itu
sambil tersenyum. "Kedua perusuh itu masih ada di kantor Kepala Sekolah dan anak-anak yang lain
berubah sama sekali. Seluruh kelas mengikuti pelajaran saya dengan sangat tekun
seakan-akan hendak memperbaiki kesalahan yang telah mereka lakukan."
"Dan selama itu Pak Kepala Sekolah tetap menahan Bettger dan Dreehsel?" tanya
Thomas terheran-heran. Bu Mubo mengangguk. "Tadi memang sudah disepakati. Sampai saat ini Pak Kepala
Sekolah belum berbicara sepatah kata pun pada mereka. Keduanya pasti sudah kapok
sekarang. Baru sekitar akhir jam pelajaran berikut mereka diperbolehkan kembali
ke kelas, supaya saya punya gambaran bagaimana anak-anak lain bersikap kalau
mereka tidak ada di kelas."
Pada jam berikutnya, Bu Mubo tetap dapat mengajar dengan baik. Anak-anak kelas
9a sama sekali tidak membuat ulah.
Bettger dan Drechsel baru kembali ketika jam pelajaran bahasa Inggris sudah
hampir usai. Dari Ulrich Ranke, Sporty dan teman-temannya kemudian mendengar bahwa keduanya
masuk kelas sambil tersenyum mengejek. Mereka kelihatannya belum kapok.
"Justru sebaliknya," kata Ulrich. "Mereka hanya ketawa-ketawa waktu Bu Mubo
menanyakan apakah mereka masih mau mengganggu pelajaran. Lalu Bettger bilang,
peringatan keras yang mereka terima itu tidak pada tempatnya. Ia mengaku bahwa
mereka telah jadi korban fitnah, dan bahwa mereka telah tahu siapa yang harus
bertanggung jawab. Ia memperingatkan orang itu agar selanjutnya lebih berhatihati." Ulrich menatap Sporty dengan mata terbelalak.
"Pasti kau yang mereka maksud, bukan" Wah, kau harus lebih berhati-hati
sekarang. Mereka berdua-dan juga King Seibold beserta gerombolannya-mengincarmu.
Dan kalian juga," ia berkata pada Petra, Thomas, dan Oskar. "Semua orang tahu
bahwa kalian selalu bersama-sama."
"Peringatan keras," ujar Sporty. "Ini baru adil."
"Kalau mereka masih berani membuat onar," kata Petra, "maka mereka bisa langsung
dikeluarkan dari sekolah."
"Apakah orang tua mereka diberi tahu mengenai kejadian ini?" tanya Oskar.
"Tentu saja. Orang tua mereka akan dikirimi surat dari sekolah." jawab Ulrich.
"supaya tahu bagaimana ulah anak-anak mereka."
Namun Bettger dan Drechsel rupanya tidak ambil pusing. Setelah jam pelajaran
keenam. Sporty secara kebetulan mendengar percakapan mereka dengan seorang murid
lain. "Masa bodoh amat dengan peringatan itu." Bettger berkoar keras-keras.
"Mau dikeluarkan dari sekolah pun-karir kita tidak akan terganggu!" Drechsel
menambahkan sambil tertawa-tawa. "Kita sudah punya tempat kerja, tidak perlu
pakai ijazah sekolah segala!"
"Boleh juga," murid tadi menanggapi mereka. "Di mana kalian akan bekerja?"
"Di Borello-Motor," jawab Drechsel. "Pertama-tama kita ikut training, lalu
diangkat sebagai pegawai tetap. Pokoknya hebat, deh! Itulah gunanya koneksi."
Sporty terpaku di tempat.
Nah, ini baru kejutan! Sekarang hampir bisa dipastikan bahwa kedua pengacau itu
mempunyai hubungan dengan Antonio Borello. Bolehkah ia menyembunyikan hal ini
dari Bu Mubo" Petra, Thomas, dan Oskar-yang mendahuluinya-berdiri di depan papan pengumuman.
Mereka sedang berbincang-bincang dengan Bu Mubo.
Ibu guru itu baru saja hendak melangkah pergi.
Melihat wajah-wajah cerah di hadapannya, Sporty langsung menebak bahwa mereka
tadi membicarakan sesuatu yang menyenangkan dengan Bu Mubo.
"Bayangkan, Sporty," kata Petra cepat-cepat. "Kami diundang."
"Ya, oleh Bu Mubo," Thomas menambahkan.
"Nanti sore, pukul tiga."
"Untuk minum kopi dan makan kue," Oskar melengkapinya. Ia nampaknya sangat
bersemangat. "Aku juga diundang?" tanya Sporty.
"Pakai nanya segala," ujar Petra sambil geleng-geleng.
Sporty nyengir. "Kami akan menjemputmu, Petra. Pukul setengah tiga tepat. Oh,
ya, sebelum lupa, sebaiknya kita bawa karangan bunga, yang kecil saja juga
cukup. Kau bisa mengusahakannya, Thomas?"
8. Berkunjung ke Rumah Bu Mubo
HUJAN baru saja mereda. Lapisan awan mulai terkuak, dan langit biru kembali
membentang di atas kota. Udaranya bersih.
Mereka-Sporty, Thomas, dan Oskar-telah menjemput Petra di rumahnya. Keempat
sahabat itu kini bersepeda melintasi kota. Bello berlari dengan riang di samping
sepeda Petra. Gadis itu sebenarnya agak ragu-ragu membawa anjingnya, soalnya siapa tahu Bu
Mubo keberatan. Namun kemudian Sporty dan Oskar berhasil meyakinkan teman mereka
itu. Ke mana pun Bello dibawa, mereka berdalih, ia tidak pernah membuat onar.
Dan Bello bahkan bisa bermain-main dengan Astor, anak anjing milik Marco.
Mereka melewati sekelompok pekerja yang sedang sibuk menggali lubang di tepi
jalan. Sambil buka baju, mereka membanting tulang di bawah terik matahari. Salah
seorang dari mereka nampak seperti buku komik berjalan, karena seluruh badannya
dipenuhi gambar tato. Lengan, dada, dan bahu orang itu ditutupi gambar bunga, burung elang, kapal
layar, bahkan sebuah gambar hati tertembus panah.
Sporty bercerita bahwa Pak Seibold juga mempunyai tato di lengannya.
Thomas, si Komputer, segera memanfaatkan kesempatan ini untuk memamerkan
kebolehannya. "Hanya orang-orang tertentu saja yang senang ditato," ia memulai penjelasannya.
"Soalnya, gambar tato itu harus terus dipakai seumur hidup. Memang, gambar tato
yang kecil bisa dihapus dengan berbagai cara, tetapi pasti ada bekasnya. Dan
bekasnya itu biasanya malah lebih mengganggu daripada gambar tato itu sendiri.
Dulu hanya para pelaut, para gelandangan, dan para penjahat yang memakai tato,
tetapi sekarang orang-orang biasa pun mulai menggemarinya. Barangkali dengan
demikian mereka hendak membedakan diri dari orang-orang lain.
"Tato telah dikenal di Jepang sejak 1500 tahun yang lalu. Di Eropa sempat
dilarang, karena- alasan-alasan agama. Para penghuni pulau-pulau di daerah
Lautan Teduh merajah kulit mereka untuk memperlihatkan dari suku mana mereka
Suling Emas Dan Naga Siluman 16 Gento Guyon 1 Tabib Setan Hina Kelana 29
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama