Ceritasilat Novel Online

Tersulut Catching Fire 1

Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins Bagian 1


The Hunger Games 2 : Catching Fire
(Tersulut) situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
-Suzanne CollinsKumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Re edited by Farid ZE Blog Pecinta Buku Bab 1 BAGIAN I PERCIKAN Aku menangkup termos dengan kedua tanganku meskipun kehangatan dari teh
yang sudah mendingin larut ke dalam udara yang beku. Otot-ototku kaku karena
kedinginan. Kalau sekawanan anjing liar muncul di hadapanku saat ini, kecil
kemungkinan bagiku untuk sempat memanjat pohon sebelum mereka
menyerangku. Aku harus bangkit, bergerak, melonggarkan persendianku yang
kaku. Tapi aku malahan duduk tak bergerak sama diamnya seperti batu besar yang
kududuki, sementara cahaya fajar mulai menyinari hutan. Aku tak bisa melawan
matahari. Aku hanya bisa memandanginya tanpa daya ketika matahari menyeretku
memasuki hari yang kutakuti selama berbulan-bulan.
Pada tengah hari nanti mereka akan tiba di rumah baruku di Desa Pemenang. Para
reporter, kru kamera, bahkan Effie Trinket, mantan pendampingku, akan datang ke
Distrik 12 jauh-jauh dari Capitol. Aku penasaran apakah Effie masih mengenakan
wig merah jambunya yang konyol.
Ada yang lain yang menunggu kami juga. Ada petugas yang akan melayani
kebutuhanku dalam perjalanan di kereta. Tim persiapan yang akan mempercantik
diriku. Penata gaya dan sahabatku, Cinna, yang merancang pakaian menakjubkan
yang membuat para penonton memperhatikanku untuk pertama kalinya dalam
Hunger Games. Kalau aku bisa mengambil keputusan, aku akan berusaha melupakan Hunger
Games sepenuhnya. Berpura-pura bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi
Tur Kemenangan membuatnya tak mungkin. Tur sengaja ditempatkan di antara
Hunger Games tahunan, itulah cara Capitol menjaga agar kengerian Hunger
Games selalu terasa segar dan tak pernah jauh. Para penduduk di distrik tak hanya
harus mengingat tangan besi kekuasaan Capitol setiap tahunnya, tapi mereka juga
dipaksa untuk merayakannya. Dan tahun ini, akulah salah satu bintang acaranya.
Aku harus melakukan perjalanan dari distrik ke distrik, berdiri di depan massa
yang bersorak namun dalam hati membenciku habis-habisan. Dan memandangi
wajah-wajah keluarga yang anak-anaknya telah kubunuh...
Matahari teguh bersinar, jadi aku memaksakan diriku berdiri. Aku sudah berada di
hutan selama tiga jam, tapi karena tak berusaha berburu, jadi aku tak punya buruan
untuk kupamerkan dirumah. Lagipula, tak ada pengaruhnya untuk ibuku dan Prim.
Mereka sanggup membeli dari tukang daging dikota, walaupun kami lebih suka
daging segar hasil buruan. Tapi sahabat baikku, Gale Hawthrone dan keluarganya
bakal menunggu hasil tangkapan hari ini dan aku tak bisa mengecewakan mereka.
Aku memulai perjalanan selama satu setengah jam yang diperlukan untuk
menelusuri tali jerat kami. Dulu ketika masih bersekolah, kami punya waktu pada
siang hari untuk memeriksa jerat yang kami pasang lalu berburu dan memetik
tumbuh-tumbuhan bahkan masih sempat menukar barang-barang perolehan kami
dikota. Tapi sekarang Gale sudah bekerja di tambang"dan aku menganggur
sepanjang hari"jadi aku yang mengambil alih tugasnya.
Pada saat ini Gale pasti sudah bertugas ditambang, sedang turun ke perut bumi
dengan elevator yang mengocok-ngocok isi perut, kemudian bekerja keras di liang
batubara. Setiap tahun di sekolah, sebagai bagian dari latihan kami, kelasku
melakukan tur ke tambang. Ketika aku masih kecil, tur ini tak menyenangkan.
Terowongan yang menimbulkan klaustrofobia, udara yang apak, kegelapan yang
menyesakkan disemua sisinya. Tapi setelah ayahku dan beberapa penambang
lainnya tewas dalam ledakan, aku nyaris tak sanggup memaksa diriku turun dengan
elevator. Kunjungan tahunan itu menjadi sumber kegelisahanku yang teramat
besar. Dua kali aku sengaja membuat diriku sakit sebelum acara kunjungan agar
ibuku menyuruhku tinggal di rumah.
Aku memikirkan Gale, yang hanya sungguh-sungguh hidup ketika berada di hutan,
dengan udara segar, matahari, serta air yang bersih dan mengalir. Dia bertahan
karena itulah caranya memberi makan ibunya serta dua adik lelaki dan
perempuannya. Aku sekarang punya uang berlimpah, yang cukup untuk memberi
makan keluarga kami berdua.
Bahkan sulit bagi Gale melihatku membawakan daging, meskipun aku yakin Gale
akan terus menyediakan makanan bagi ibuku dan Prim jika aku tewas terbunuh
dalam Hunger Games. Kukatakan pada Gale bahwa dia malah menolongku,
daripada aku sinting karena kerjaku cuma duduk saja sepanjang hari. Tapi
walaupun begitu, aku tak pernah membawakan hasil buruan ketika dia berada di
rumah. Itu hal yang mudah karena dia bekerja dua belas jam sehari.
Satu-satunya hari aku bisa bertemu Gale adalah hari minggu, ketika kami bertemu
di hutan untuk berburu bersama. Tapi rasanya tak sama seperti dulu, ketika kami
bisa menceritakan segalanya. Hunger Games telah merusak semua itu.Aku
memperoleh tangkapan bagus dari perangkap-perangkap yang kupasang, delapan
ekor kelinci, dua tupai dan seekor berang-berang yang berenang ke dalam
peralatan kawat yang dirancang oleh Gale sendiri. Dia jago membuat jerat,
memasang tali-temali untuk membengkokkan anak pohon agar bisa menarik
buruan supaya tak terjangkau binatang pemangsa.
Dengan hati-hati aku memasang kembali masing-masing jerat perangkapnya, aku
tau aku takkan pernah bisa mengimbangi kemampuan matanya melihat
keseimbangan, instingnya yang tau ke arah mana mangsa akan lewat. Ini bakat
alam. Seperti aku bisa memanah binatang dalam kegelapan.Ketika aku tiba di
pagar yg mengelilingi Distrik 12, matahari sudah tinggi. Seperti biasa, aku
mendengarkan sebentar, tapi tak ada dengungan arus listrik yang mengaliri rantai
besi itu. Hampir tak ada listrik, meskipun pagar ini seharusnya dialiri listrik
sepanjang waktu. Aku menggeliutkan tubuhku melewati celah dibagian bawah
pagar dan tiba di Padang Rumput, yang jaraknya hanya selemparan batu dengan
rumah lamaku. Kami masih jadi pemilik rumah itu karena secara resmi itulah
tempat tinggal ibuku dan Prim. Kalau aku tewas sekarang, mereka harus kembali
tinggal di rumah ini. Tapi pada saat ini, mereka hidup bahagia di rumah baruku di
Desa Pemenang. Bagiku, rumah lamaku inilah rumah yang sesungguhnya.
Saat ini aku pergi kesana untuk ganti pakaian. Menukar jaket kulit tua milik
ayahku dengan jaket berbahan wol halus. Kutinggalkan sepatu bot berburuku dan
kuganti dengan sepatu mahal yang menurut ibuku lebih layak dipakai oleh orang
dengan kedudukan sepertiku. Aku sudah menyembunyikan busur dan panahku di
rongga pohon di hutan. Aku sengaja duduk di dapur selama beberapa menit.
Tempat ini memberikan kesan ditinggalkan tanpa adanya api di perapian,tak ada
taplak di meja. Aku meratapi hidupku yang lama disini. Aku berharap bisa kembali
ke hidup lamaku disini. Karena jika kurenungkan kembali, hidupku yang dulu
tampak sangat aman dibanding sekarang, padahal aku kaya raya dan terkenal, juga
sangat dibenci oleh para penguasa di Capitol.
Suara ratapan dibelakang pintu menuntut perhatianku. Kubuka pintu dan kuliat
Buttercup, kucing jantan tua milik Prim. Dia benci rumah baru kami sama seperti
aku membencinya dan selalu kabur dari rumah ketika adikku ada di sekolah. Kami
tak pernah saling menyukai, tapi sekarang kami punya ikatan baru. Kubiarkan dia
masuk, memberinya secungkil daging berang-berang, bahkan menggaruk puncak
kepalanya. "Kau tau kan" Kau ini jelek," aku bertanya padanya.
Buttercup menyenggol tanganku untuk minta dielus lagi, tapi kami harus pergi.
"Ayo, sini." Kugendong dia dengan satu tangan, kuambil tas buruanku dengan
tangan yang lain dan kubawa keduanya keluar. Kucing itu langsung melesat pergi
dan menghilang di bawah semak-semak.
Sepatu ini menggigit jari-jari kakiku ketika aku melangkah di jalanan yang berlapis
kerak batubara. Bila aku melewati jalan pintas, dalam hitungan menit aku sudah
tiba di rumah Gale. Hazelle, ibu Gale, melihatku datang melalui jendela. Dia
sedang membungkuk di atas bak cuci piring. Hazelle mengeringkan tangannya di
celemek lalu menghilang dan menyambutku di ambang pintu.
Aku menyukai Hazelle. Menghormatinya. Ledakan yang menewaskan ayahku juga
merenggut suaminya. Lalu dia menjadi buruh cuci dikota.Pada usia empat belas
tahun, Gale, sebagai anak tertua telah menjadi pemberi nafkah utama keluarganya.
Dia sudah mendaftar untuk tessera, sebagai ganti Gale harus memasukkan
namanya lebih banyak dalam pemungutan nama peserta Hunger Games. Tapi
semua itu tak cukup memberi makan keluarganya. Tapi Hazelle dan Gale samasama bertekad agar tiga adik Gale, Rory yang berusia dua belas tahun dan Vick
yang berusia sepuluh tahun serta si bungsu, Posy, yang berusia 4 tahun takkan
pernah boleh mendaftar untuk tessera.
Hazelle tersenyum ketika dia melihat binatang hasil buruanku. Dia memegang
berang-berang di ekornya, menimbang-nimbang beratnya. "Dia akan jadi daging
rebus yang enak." Tidak seperti Gale, ibunya tidak punya masalah dengan pengaturan berburu ini.
"Kulit bulunya juga bagus," kataku. Rasanya menenangkan duduk disini bersama
Hazelle. Seperti yang selalu kami lakukan, mengobrol. Dia menuang secangkir teh
herbal untukku dan jemariku yang kedinginan dengan penuh rasa syukur langsung
menangkup cangkirnya yang hangat."Aku sedang berpikir, bagaimana kalau
sekembalinya dari tur nanti, sesekali kuajak Rory ikut sepulangnya dari sekolah
dan mengajarinya memanah."
Hazelle mengangguk. "Ide bagus. Gale sudah berniat melakukannya, tapi dia cuma
sempat hari minggu dan kurasa dia lebih suka menghabiskannya berdua
denganmu." Aku tak bisa menahan wajahku agar tak bersemu merah. Ini tentu saja bodoh. Tak
ada yang mengenalku seperti Hazelle. Dia tau ikatan yang kubagi bersama Gale.
Aku yakin banyak orang mengira bahwa pada akhirnya kami akan menikah
meskipun aku tak pernah memikirkannya. Tapi itu semua sebelum Hunger Games.
Sebelum rekan sesama peserta-ku, Peeta Mellark mengumumkan bahwa dia jatuh
cinta setengah mati padaku. Hubungan cinta kami menjadi strategi utama kami
hingga bisa selamat di arena pertarungan. Namun itu ternyata bukan strategi bagi
Peeta. Aku tak yakin apa artinya buatku. Tapi aku tau bagi Gale strategi ini cuma
berarti kepedihan. Dadaku nyeri bila memikirkan bagaimana aku dan Peeta harus
tampil sebagai pasangan kekasih lagi dalam Tur Kemenangan.
Kuteguk tehku lalu mundur dari meja. "Sebaiknya aku pergi sekarang. Aku harus
siap tampil cantik didepan kamera."
Hazelle memelukku. "Nikmati makanannya ya."
"Pasti," jawabku.
Perhentian berikutnya adalah Hob, tempatku dulu melakukan transaksi dagang.
Jika tempat ini menarik unsur-unsur kriminal, kurasa aku pantas berada disini.
Berburu di hutan yang mengelilingi Distrik 12 paling tidak melanggar lebih dari
sepuluh undang-undang dan bisa di hukum mati.
Walaupun mereka tak pernah mengatakannya, aku berutang pada orang-orang
yang jadi langganan di Hob. Gale bilang Greasy Sae, wanita tua yang menjual sup,
memulai pengumpulan dana untuk mensponsori aku dan Peeta dalam Hunger
Games. Pengumpulan dana ini awalnya cuma di Hob, tapi banyak orang
mendengarnya lalu ikut menyumbang. Aku tak tau berapa jumlah pastinya, dan
harga hadiah di arena mahalnya kelewatan. Tapi yang pastinya kutahu, hadiah itu
membuat perbedaan hidup dan matiku.
Masih janggal rasanya membuka pintu Hob dengan tangan kosong, tanpa
membawa binatang buruan untuk ditukar, sebagai gantinya kantong di pinggulku
berat dengan uang logam. Aku berusaha menyumbangi sebanyak mungkin kedai,
membagi-bagi uangku untuk membeli kopi, roti telur, benang dan minyak. Setelah
kupikir-pikir lagi, aku sekalian membeli tiga botol minuman keras berbentuk
cairan bening dari wanita bertangan satu bernama Ripper, korban kecelakaan
tambang yang cukup cerdik untuk menemukan cara bertahan hidup.
Minuman keras ini untuk Haymitch, yang bertindak sebagai mentorku dan Peeta
dalam Hunger Games. Haymitch bermuka masam, kasar dan mabuk hampir
sepanjang waktu. Tapi dia melaksanakan tugasnya dengan baik karena untuk
pertama kalinya dalam sejarah, dua peserta diizinkan untuk menang. Jadi tak
peduli seperti apa Haymitch, aku juga berutang padanya. Dan utangku berlaku
selamanya. Aku membeli minuman keras ini karena beberapa minggu lalu dia
kehabisan minumannya. Haymitch hilang sadar, tubuhnya gemetar dan dia
menjerit ngeri terhadap hal-hal yang hanya bisa dilihat olehnya. Dia membuat Prim
ketakutan setengah mati dan sejujurnya aku juga tak suka melihatnya seperti itu.
Sejak saat itu, aku menimbun minuman keras untuk berjaga-jaga seandainya
persediaan minumannya habis.
Cray, pemimpin Penjaga Perdamaian distrik kami, mengerutkan dahi ketika dia
melihatku menenteng botol. Cray adalah pria separuh baya berwajah merah cerah
dan beberapa helai uban dirambutnya yang disisir kesamping. "Barang itu terlalu
keras untukmu, Nak."
Cray pastilah tau sekeras apa minuman ini. Selain Haymitch, Cray minum lebih
banyak dari semua orang yang kukenal.
"Eh, ibuku menggunakannya sebagai obat," kataku tak acuh.
"Yah, barang itu bisa membunuh apapun," sahutnya, lalu membanting koinnya di
meja untuk membeli sebotol minuman.
Ketika tiba dikedai Greasy Sae, aku duduk di bangku dan memesan sup, yang
kelihatannya seperti campuran labu manis dan kacang polong. Seorang Penjaga
Perdamaian bernama Darius datang dan memesan sup yang sama ketika aku
sedang makan. Untuk ukuran penegak hukum, Darius adalah favoritku. Dia tak
pernah pamer kekuasaan, biasanya bisa diajak bercanda. Umurnya mungkin sekitar
dua puluh tahunan. Ada sesuatu dari senyumnya, rambut merahnya yang
berantakan, yang membuatnya kelihatan seperti anak-anak.
"Bukankah kau seharusnya ada di kereta?" tanya Darius padaku.
"Mereka menjemputku pada tengah hari," jawabku.
"Bukankah kau seharusnya tampil lebih baik?" tanyanya dalam bisikan yang keras.
Aku tak bisa tidak tersenyum mendengar gurauannya, meskipun suasana hatiku tak
terlalu bagus. "Mungkin pita dirambutmu atau apalah?" tangannya menyentil rambutku dan
kudorong dia menjauh. "Jangan kuatir. Pada saat mereka selesai mendandaniku, kau takkan mengenaliku
lagi," kataku. "Bagus," katanya. "Mari kita tunjukkan sedikit kebanggaan untuk distrik ini, Miss
Everdeen." Dia menggeleng melihat cibiran Greasy Sae dan berjalan pergi.
"Aku mau mangkuk itu dikembalikan," Greasy Sae berteriak padanya, tapi karena
wanita tua itu sambil tertawa, kata-katanya tak jadi tak terdengar tegas.
"Gale nanti ikut mengantarmu pergi?" Greasy Sae bertanya padaku.
"Tidak, namanya tak ada dalam daftar pengantar," kataku. "Tapi aku bertemu
dengannya hari minggu."
"Kupikir dia masuk daftar. Karena dia kan sepupumu," katanya ketus.Ini satu
bagian dari dusta yang dihasilkan Capitol. Ketika aku dan Peeta masuk 8 besar
dalam Hunger Games, mereka mengirim beberapa reporter untuk membuat cerita
pribadi mengenai kami. Ketika mereka bertanya tentang teman-temanku, semua
orang mengarahkan mereka pada Gale. Tapi dengan kisah asmara yang kumainkan
dalam arena pertarungan, Gale tak bisa jadi sahabat baikku. Dia terlalu tampan,
terlalu laki-laki dan tak mau tersenyum atau bersikap baik di depan kamera. Kami
agak mirip satu sama lain. Kami memiliki penampilan anak Seam. Rambut hitam
lurus, kulit pucat, mata kelabu. Jadi ada orang jenius yang menjadikannya
sepupuku. Aku tak tau sama sekali sampai kami pulang, menjejakkan kaki diperon
kereta api dan mendengar ibuku berseru, "Sepupu-sepupumu tak sabar lagi
bertemu denganmu!" Lalu aku menoleh dan melihat Gale serta Hazelle bersama semua anaknya yang
lain menungguku. Jadi apa yang bisa kulakukan, selain mengikuti permainan
mereka" Greasy Sae tau kami tak punya ikatan darah.
"Aku tak sabar menunggu semua ini berakhir," bisikku.
"Aku tau," kata Greasy Sae. "Tapi kau harus melewati semua ini sampai akhir.
Sebaiknya kau tak terlambat."
Salju mulai turun ketika aku berjalan menuju Desa Pemenang. Jaraknya tak sampai
satu kilometer dari alun-alun di pusat kota, tapi tempat ini seperti ada di dunia lain.
Desa ini adalah wilayah terpisah yang dibangun mengelilingi taman bunga indah
dan pohon-pohon hijau. Ada dua belas rumah disini, masing-masing rumah bisa
menampung sepuluh rumah lamaku. Sembilan rumah berdiri kosong, sudah sejak
lama dan tiga rumah yang digunakan milik Haymitch, Peeta dan aku.
Rumah yang dihuni oleh keluargaku dan kelurga Peeta memancarkan cahaya
kehidupan yang hangat. Namun, rumah Haymitch, meskipun dirawat oleh
pengurus rumah, menguarkan udara rumah yang terabaikan dan terbengkalai.
Kukuatkan diriku di depan pintu karena tau aku bakal mencium bau tengik, lalu
aku melangkah masuk. Hidungku langsung mengeryit jijik. Haymitch menolak mengizinkan siapapun
masuk dan membersihkannya, dia yang membersihkannya sendiri. Selama
bertahun-tahun bau minuman keras dan muntahan, kol rebus dan daging yang
terbakar, pakaian yang tak dicuci serta kotoran tikus telah menciptakan bau busuk
yang membuat mataku berair. Aku menyeberangi kotoran yang terdiri atas bekas
kertas pembungkus, pecahan gelas dan tulang-belulang untuk tau di mana


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haymitch berada. Dia duduk di meja dapur, tangannya melintang diatas meja,
wajahnya terpuruk diatas genangan minuman keras, dengkurannya terdengar jelas.
Kusodok bahunya. "Bangun!" kataku dengan suara keras, tak ada cara halus untuk
membangunnya. Dengkurannya berhenti sejenak, seakan-akan bingung, lalu
dengkurannya berlanjut. Kudorong dia lebih keras. "Bangun, Haymitch. Ini hari
tur!" Kubuka paksa jendela rumah Haymitch, kuhirup udara segar dari luar. Kakiku
mengais-ngais sampah di lantai dan menemukan poci kopi dari kaleng lalu
mengisinya dengan air keran. Api dikompor tak benar-benar padam dan aku
berhasil membuat beberapa buah batubara yang masih membara menyalakan api.
Kutuang biji kopi yang sudah digiling ke dalam poci secukupnya agar
menghasilkan seduhan kopi yang nikmat dan mantap, lalu kutaruh poci diatas
kompor. Haymitch masih di alam lain. Karena caraku sebelumnya tak berhasil, aku mengisi
baskom dengan air dingin, menyiramkan air itu ke kepalanya dan langsung
melompat menjauh. Geraman buas terlontar dari mulutnya. Dia terlonjak,
menendang kursinya kebelakang sampai sejauh 3 meter dan pisau terhunus di
tangannya. Aku lupa Haymitch selalu tidur dengan satu tangan menggenggam
pisau. Seharusnya aku melepaskan pisau itu lebih dulu dari jemarinya, tapi aku
terlalu banyak pikiran untuk mengingatnya.
Haymitch memuntahkan sejumlah makian tak senonoh, bahkan mengibas udara
dengan pisaunya sebelum menyadari apa yang terjadi. Dia menyeka wajahnya
dengan lengan baju lalu menoleh ke ambang jendela, tempat aku duduk, sekalian
bersiap-siap jika aku perlu cepat kabur.
"Apa yang kau lakukan?" bentaknya.
"Kau menyuruhku membangunkanmu satu jam sebelum kamera-kamera itu
datang," jawabku. "Apa?" tanyanya.
"Kau yang meminta kok," aku berkeras.
Haymitch tampak sudah ingat. "Kenapa aku basah begini?"
"Karena aku tak bisa membangunkanmu walaupun sudah mengguncang-guncang
tubuhmu," kataku. "Dengar, kalau kau mau dibangunkan dengan cara disayangsayang, kau seharusnya menyuruh Peeta."
"Menyuruhku apa?" Mendengar suaranya saja sudah membuat perutku mulas
dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan seperti rasa bersalah, kesedihan
dan ketakutan. Juga rindu. Aku harus mengakui bahwa ada sedikit perasaan itu
juga. Hanya saja perasaan itu timbun dengan berbagai perasaan lain sehingga tak
pernah bisa terlihat. Aku memperhatikan Peeta berjalan menyeberangi meja sinar matahari dari jendela
menyoroti serpihan-serpihan salju di rambut pirangnya. Dia tampak kuat dan sehat,
jauh berbeda dari anak lelaki yang sakit dan kelaparan yang kukenal di arena
pertarungan, bahkan kakinya sudah tak terlihat pincang. Peeta menaruh sebongkah
roti yang baru dipanggang diatas meja dan mengulurkan tangannya pada
Haymitch. "Menyuruhmu membangunkanku tanpa kena radang paru-paru," sahut Haymitch,
menyerahkan pisaunya pada Peeta. Dia melepaskan kausnya yang kotor, lalu
menyeka wajahnya dengan bagian kausnya yang kering.
Peeta tersenyum lalu mencelupkan pisau Haymitch kedalam cairan bening dari
botol di lantai. Dia mengeringkan mata pisau dengan ujung kemejanya lalu
mengiris roti. Aku berburu. Dia memanggang. Haymitch minum. Kami punya cara
masing-masing untuk tetap sibuk, untuk menjauhkan diri dari memikirkan masamasa kami sebagai peserta dalam Hunger Games. Baru ketika Peeta memberikan
pinggiran roti pada Haymitch, dia menoleh memandangku untuk pertama kalinya.
"Kau mau?" "Tidak, aku sudah makan di Hob," jawabku. "Terima kasih." Suaraku terdengar
asing, begitu formal. Seperti itulah cara bicaraku dengan Peeta sejak kamera
berhenti menyoroti kepulangan kami yang membahagiakan dan kembali ke
kehidupan nyata kami masing-masing.
"Sama-sama," balas Peeta sama kakunya.
Haymitch melempar pakaiannya ke onggokan yang berantakan. "Brrr. Kalian harus
banyak pemanasan sebelum acara dimulai."
Tentu saja Haymitch betul. Penonton akan mengharapkan penampilan sepasang
kekasih dimabuk asmara yang jadi pemenang di Hunger Games. Bukan dua orang
yang hampir tak sanggup saling memandang. Tapi aku malah berkata, "Mandi
sana, Haymitch." Kemudian aku melompat keluar jendela, lalu berjalan melewati
taman ke arah rumahku. Salju mulai membasahi tanah dan meninggalkan jejak-jejak kakiku di belakang.
Dipintu depan, aku berhenti untuk membersihkan sepatuku yang basah sebelum
masuk ke rumah. Ibuku sudah bekerja siang dan malam agar menghasilkan
penampilan yang sempurna bagi kamera, jadi aku tidak boleh mengotori lantainya
yang berkilau cemerlang. Aku belum lagi menginjakkan kaki didalam rumah
ketika ibuku muncul, memegangi tanganku seakan ingin menghentikanku.
"Jangan kuatir, aku sudah melepaskannya disana," kataku meninggalkan sepatuku
di keset. Ibuku tertawa aneh dan terdengar dipaksakan lalu menambil tas berburuku yang
penuh dengan persediaan makanan dari bahuku. "Cuma salju. Bagaimana jalanjalanmu" Menyenangkan?"
"Jalan-jalan?" Ibuku tau aku ada di hutan hampir semalaman. Lalu aku melihat ada
laki-laki yang berdiri dibelakangnya, diambang pintu dapur. Sekali lihat
pakaiannya yang dibuat khusus dan sosok wajahnya yang sempurna, aku tau dia
orang Capitol. Ada yang salah disini. "Lebih mirip skating daripada jalan-jalan.
Licin sekali di luar."
"Ada tamu yang ingin bertemu denganmu," kata ibuku. Wajahnya terlalu pucat dan
aku bisa mendengar kecemasan yang berusaha disembunyikannya.
"Kupikir mereka baru datang tengah hari nanti," aku pura-pura tak memperhatikan
keadaan ibuku. "Apakah Cinna datang lebih awal untuk membantuku bersiapsiap?"
"Bukan Katniss, yang..." Ibuku hendak menjelaskan.
"Silahkan lewat sini, Miss Everdeen," kata pria itu. Dia mengarahkan jalanku di
ruang depan. Rasanya aneh diantar seperti tamu dirumah sendiri, tapi aku tau lebih
baik aku tak berkomentar.
Sambil berjalan, aku menoleh kebelakang memberikan senyuman menenangkan
pada ibuku. "Mungkin intruksi lebih lanjut tentang tur."
Tapi ketika aku berjalan menuju pintu ruang belajar, pintu yang tak pernah kulihat
tertutup sampai saat ini, aku bisa merasakan pikiranku mulai berpacu. Siapa di
dalam sana" Apa yang mereka inginkan" Kenapa ibuku tampak sangat pucat"
"Silahkan masuk," kata pria dari Capitol, yang mengikutiku sejak dari ruang depan.
Kuputar kenop pintu dan kulangkahkan kakiku ke dalam. Hidungku mencium
perpaduan aroma bunga mawar dan darah. Seorang pria bertubuh kecil dan
berambut putih yang tampak tak asing lagi sedang membaca buku disana. Dia
mengangkat jarinya seakan berkata, "Tunggu sebentar." Kemudian dia berbalik
dan jantungku mencelos. Aku memandang langsung ke mata Presiden Snow yang selicik ular.
Bab 2 Dalam pikiranku, Presiden Snow harusnya terlihat di depan pilar-pilar marmer
dengan bendera-bendera berukuran raksasa tergantung disana. Keberadaannya
diruangan ini dikelilingi benda-benda biasa membuatnya tampak menggelegar.
Seperti membuka panci dan menemukan ular berbisa, bukannya daging rebus.
Apa yang dilakukannya disini" Pikiranku langsung melesat ke hari-hari
pembukaan Tur Kemenangan lain. Aku ingat melihat para pemenang bersama
mentor dan penata gaya mereka. Bahkan beberapa pejabat tinggi beberapa kali
hadir disana. Tapi aku tak pernah melihat Presiden Snow. Dia menghadiri perayaan
di Capitol. Titik. Jika dia sampai melakukan perjalanan sejauh ini dari kotanya, artinya cuma satu.
Aku dalam masalah besar. Dan jika aku dalam masalah, begitu juga keluargaku.
Aku bergidik memikirkan betapa dekatnya jarak antara ibuku dan adik
perempuanku dengan pria yang membenciku ini. Pria yang akan selalu
membenciku. Karena aku mempercundangi Hunger Games-nya yang sadis, dan
membuat Capitol tampak konyol, serta melecehkan kekuasaannya.
Yang kulakukan hanyalah berusaha membuat aku dan Peeta tetap hidup. Segala
tindakan pemberontakan adalah murni kebetulan. Tapi ketika Capitol memutuskan
hanya ada satu pemenang yang boleh hidup dan kau memiliki keberanian untuk
menantangnya, kurasa itu sendiri artinya sudah pemberontakan. Satu-satunya
pembelaanku adalah berpura-pura aku sedang jatuh cinta pada Peeta. Jadi kami
berdua diperbolehkan hidup. Dinyatakan sebagai pemenang. Pulang dan
merayakannya, melambai pada kamera dan ditinggalkan di sini. Hingga sekarang.
Mungkin karena rumah ini masih baru atau keterkejutan karena melihatnya atau
pemahaman bersama bahwa dia bisa membunuhku kapanpun dia mau yang
membuatku serasa jadi penyusup dirumah ini.Seakan ini adalah rumahnya dan aku
tamu yang tak diundang. Jadi aku tidak menyambutnya atau menawarinya duduk.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Sesungguhnya, aku memperlakukan Presiden
Snow seakan dia ular sungguhan, dari jenis yang paling berbisa. Aku berdiri tak
bergerak, mataku terkunci padanya, memikirkan rencana untuk melarikan diri.
"Menurutku kita bisa membuat keadaan ini jauh lebih sederhana dengan
sependapat untuk tak saling membohongi," katanya. "Bagaimana menurutmu?"
Menurutku lidahku beku dan tak mungkin bisa bicara, sehingga aku sendiri kaget
ketika bisa menyahutinya dengan suara yang tenang, "Ya, menurutku itu akan
menghemat waktu." Presiden Snow tersenyum, untuk pertama kalinya aku memperhatikan bibirnya.
Kukira aku akan melihat bibir seperti ular, yang ternyata tidak. Tapi bibir Presiden
Snow tampak penuh, dengan kulit yang tertarik terlalu ketat. Aku penasaran
apakah bibirnya dioperasi untuk membuat penampilannya lebih menarik. Kalau
betul, itu cuma buang-buang waktu dan uang karena dia tak tampak menarik sama
sekali. "Para penasehatku kuatir kau akan menyulitkan, tapi kau tak berencana
untuk bersikap menyulitkan, kan?" tanyanya.
"Tidak," jawabku.
"Kubilang juga begitu pada mereka. Kukatakan pada mereka gadis manapun yang
bersusah payah seperti itu untuk menjaga dirinya tetap hidup takkan mau
membuang hidupnya begitu saja. Belum lagi dia harus memikirkan keluarganya.
Ibunya, adik perempuannya, dan semua.. sepupunya." Dari caranya menyebutkan
kata 'sepupu', aku tau Presiden Snow tau bahwa aku dan Gale tak bertalian darah.
Yah, semuanya tak ada yang ditutup-tutupi sekarang. Mungkin itu lebih baik. Aku
tak bagus menghadapi ancaman terselubung. Lebih baik aku langsung tau dengan
jelas apa yang kuhadapi. "Mari silakan duduk." Presiden Snow mengambil tempat duduk dibelakang meja
kayu besar berpelitur tempat Prim mengerjakan PR dan ibuku mencatat anggaran
keuangan. Sebagaimana dia masuk kerumah kami tanpa izin, Presiden Snow juga
tak berhak duduk disana dan dengan semena-mena berada ditempat ini. Aku duduk
di seberang meja, dikursi bersandaran tinggi yang dirancang untuk orang yang
tubuhnya lebih jangkung daripada aku, sehingga cuma ujung jemari kukuku yang
menyentuh lantai. "Aku punya masalah, Miss Everdeen," kata Presiden Snow. "Masalah yang dimulai
ketika kau mengeluarkan buah-buah berry beracun itu di arena."
Kuperkirakan pada saat itulah para Juri Pertarungan harus memilih antara melihat
aku dan Peeta bunuh diri"yang berarti mereka bakal tak punya pemenang"dan
membiarkan kami hidup. Dan mereka memilih yang kedua.
"Kalau Ketua Juri Pertarungan, Seneca Crane, punya otak, seharusnya dia
meledakkanmu sampai berkeping-keping di arena. Tapi sayangnya dia bersikap
sentimentil. Jadi kau ada disini sekarang. Bisa kautebak dimana dia berada
sekarang?" tanyanya.
Aku mengangguk, karena dari caranya bicara sudah jelas bahwa Seneca Crane
sudah dieksekusi. Wangi bunga mawar dan bau darah kini tercium makin kuat
karena jarak kami hanya dipisahkan meja. Ada bunga mawar di kelepak jas
Presiden Snow, yang bisa jadi merupakan sumber wangi bunganya, tapi bunga itu
pasti sudah direkayasa genetik karena bunga mawar sungguhan tak beraroma
sebusuk itu. Sementara untuk bau darahnya.. aku tak tau dari mana asalnya.
"Setelah itu, tak ada yang bisa dilakukan selain membiarkanmu memainkan
skenario nistamu itu. Dan aktingmu lumayan juga, dengan gaya anak sekolahan
yang tergila-gila pada cinta. Orang-orang di Capitol banyak yang percaya.
Sayangnya, tak semua orang di berbagai distrik tertipu aktingmu," kata Presiden
Snow. Wajahku pasti menampilkan secuil rasa heran, karena dia menjawabnya.
"Tentu saja, kau tak tau tentang hal ini. Kau tak punya akses informasi tentang
suasana hati distrik-distrik lain. Di sejumlah distrik, mereka memandang
muslihatmu dengan buah berry itu sebagai tindakan perlawanan, bukan perbuatan
berlandaskan cinta. Dan jika anak perempuan dari Distrik 12 bisa melawan Capitol
lalu lolos begitu saja, apa yang menghentikan mereka melakukan usaha yang
sama?" tanyanya. "Apa yang menghalangi mereka melakukan pemberontakan
misalnya?" Butuh waktu beberapa saat untuk mencerna kalimat terakhirnya. Lalu kesadaran itu
menghantamku. "Ada pemberontakan?" aku bertanya, dalam hati aku ngeri namun gembira
memikirkan kemungkinan itu.
"Belum. Tapi mereka akan mengikuti gerakan itu jika keadaan tak berubah. Dan
pemberontakan biasanya mengarah menuju revolusi." Presiden Snow menggosok
pelipis kiri diatas alisnya, aku juga merasakan sakit kepala ditempat yang sama.
"Kau paham apa artinya" berapa banyak orang yang akan mati" Kondisi seperti
apa yang harus dihadapi mereka yang selamat" Apapun masalah yang mungkin
dimiliki seseorang terhadap Capitol, percayalah saat kubilang jika Capitol
melepaskan genggamannya sejenak saja dari distrik-distrik itu, seluruh sistem akan
roboh." Aku terpana mendengar keterusterangan, bahkan ketulusan dalam ucapannya.
Seakan perhatian utamanya adalah kesejahteraan seluruh penduduk Panem,
padahal sesungguhnya itu cuma bohong besar. Aku tak tau darimana keberanianku
mengucapkan kata-kataku selanjutnya. "Pasti sistem yang sangat rapuh yang kalau
segenggam buah berry bisa menjatuhkannya."
Ada jeda lama sementara dia mengawasiku. Kemudian dia berkata, "Memang
rapuh, tapi bukan seperti yang kauperkirakan."
Terdengar ketukan dipintu dan pria Capitol itu melongokan kepalanya diambang
pintu. "Ibunya mau tau apakah anda ingin minum teh."
"Aku mau. Aku mau minum teh," sahut sang presiden.
Pintu terbuka lebih lebar dan ibuku berdiri disana. Tangannya memegang nampan
berisi perlengkapan minum teh keramik yang dibawanya ke Seam ketika ibuku
menikah dulu. "Tolong, taruh saja disini." Presiden Snow menaruh bukunya ditepi dan menepuk
bagian tengah meja. Ibuku menaruh nampan diatas meja. Diatasnya ada teko keramik lengkap dengan
cangkir-cangkirnya, krim dan gula, serta sepiring kue kering. Kue-kue itu dihias
dengan indah berbentuk bunga-bunga berwarna lembut diatasnya. Hiasan kue itu
cuma bisa dihasilkan oleh Peeta.
"Pemandangan yang menyenangkan. Kau tau, lucunya orang-orang sering lupa
bahwa presiden juga butuh makan," kata Presiden Snow dengan gaya penuh
pesona. Tampaknya ibuku jadi sedikit lebih rileks.
"Mau kusiapkan makanan lain untuk anda" Aku bisa masak makanan yang lebih
mengenyangkan jika anda lapar," ibuku menawarkan.
"Tidak, ini sudah sempurna. Terima kasih," katanya, dengan jelas mengusir ibuku
pergi. Ibuku mengangguk, melirik sekilas padaku, lalu keluar. Presiden Snow
menuangkan teh untuk kami berdua, menambahkan krim dan gula ke dalam
tehnya, lalu sengaja berlama-lama mengaduknya. Aku merasa dia sudah selesai
bicara dan sedang menungguku menanggapinya.
"Aku tak bermaksud memulai pemberontakan," aku memberitahunya.
"Aku percaya padamu. Itu tak penting. Tampaknya penata gayamu bisa meramal
masa depan dalam pilihan pakaiannya. Katniss Everdeen gadis yang terbakar, kau
sudah mencetuskan api, yang dibiarkan tanpa pengawasan, percikan api itu bisa
jadi kebakaran hebat yang menghancurkan Panem," kata Presiden Snow.
"Kenapa anda tak membunuhku sekarang?" sergahku.
"Di depan umum?" tanyanya. "Itu hanya akan menambah bensin kedalam api."
"Kalau begitu diatur saja seperti kecelakaan," kataku.
"Siapa yang akan percaya?" tanyanya. "Kau pasti tak percaya, kalau kau
menontonnya." "Kalau begitu anda katakan padaku aku harus bagaimana. Dan aku akan
melakukannya," kataku.
"Kalau saja semuanya sesederhana itu." Dia mengambil sepotong kue dan
melihatnya dengan seksama. "Cantik. Ibumu yang membuatnya?"
"Peeta." Untuk pertama kalinya, aku tak sanggup memandangnya. Kuraih cangkir
tehku tapi segera menaruhnya ketika aku mendengar cangkir bergetar diatas
tatakannya. Untuk menutupi kegugupanku buru-buru kuambil sepotong kue.
"Peeta. Bagaimana kabar cinta sejatimu itu?" tanyanya.
"Baik," jawabku.
"Kapan dia menyadari tepatnya kadar ketidakpedulianmu?" tanyanya, sambil
mencelupkan kue ke dalam teh.
"Aku bukannya tak peduli," sahutku.


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi mungkin tak sepenuh hati seperti anak muda itu sebagaimana yang diyakini
seluruh negri," tukasnya.
"Siapa bilang aku tak sepenuh hati?" tanyaku.
"Kataku," sahut sang presiden. "Dan aku takkan berada disini jika aku satu-satunya
orang yang punya keraguan. Apa kabar sepupumu yang tampan itu?"
"Aku tak tau.. aku tak.." Suasana hatiku berubah total dalam percakapan ini, aku
tersendat ketika harus membicarakan perasaanku terhadap dua orang yang paling
kusayangi dengan Presiden Snow.
"Bicaralah, Miss Everdeen. Dengan mudah dia bisa kubunuh jika pembicaraan ini
tak menghasilkan kesimpulan yang menggembirakan," katanya. "Kau juga tak
menolongnya dengan menghilang ke hutan bersamanya setiap hari minggu."
Kalau Presiden Snow tau tentang ini, apa lagi yang dia ketahui" Dan bagaimana
dia bisa tau" Banyak orang yang bisa memberitahunya bahwa aku dan Gale
menghabiskan hari minggu dengan berburu. Bukankah kami selalu pulang dengan
tangan penuh hasil buruan" Bukankah itu yang kami lakukan selama bertahuntahun" pertanyaan sesungguhnya adalah apa yang menurut Presiden Snow terjadi
di hutan di luar Distrik 12. Atau mungkinkah kami dibuntuti" Rasanya tak
mungkin kami diikuti manusia lain. Bagaimana dengan kamera" Hutan selalu
menjadi tempat yang kami anggap aman, tempat kami berada di luar jangkauan
Capitol, tempat kami bebas mengatakan apa yang kami rasakan, menjadi diri kami
sendiri. Paling tidak sebelum Hunger Games. Jika setelah Pertarungan kami
diawasi, apa saja yang sudah mereka lihat" Dua orang berburu, membicarakan halhal berbau pengkhianatan. Tapi bukan dua orang yang jatuh cinta, seperti yang
tersirat dari kata-kata Presiden Snow. Kami aman dalam urusan itu. Kecuali...
kecuali... Hanya terjadi satu kali. Kejadiannyapun cepat dan tak terduga, tapi tetap saja
terjadi. Setelah aku dan Peeta pulang dari Hunger Games, beberapa minggu kemudian aku
baru bertemu Gale berduaan saja. Pertama-tama ada upacara-upacara perayaan
wajib. Pesta besar untuk para pemenang yang diadakan khusus undangan orangorang yang dianggap penting. Hari libur untuk seluruh distrik dengan makanan
gratis dan hiburan yang dibawa langsung dari Capitol. Hari Parsel, yang pertama
dari dua belas kali, ketika paket-paket makanan diantar ke semua orang di distrik.
Bagian itu yang kusukai. Melihat anak-anak kelaparan di Seam berlarian,
melambai-lambaikan kotak-kotak saus apel, kaleng berisi daging, bahkan permen.
Di rumah mereka, masih banyak barang seperti gandum dan minyak. Tahu bahwa
sekali tiap bulan selama satu tahun mereka akan menerima parsel yang lain, adalah
saat-saat aku merasa senang telah memenangkan Hunger Games.
Jadi diantara berbagai upacara, perayaan dan para reporter yang merekam setiap
gerak-gerikku ketika aku mendampingi, berterima kasih dan mencium Peeta di
depan penonton, aku sama sekali tak punya privasi. Setelah beberapa minggu,
situasi akhirnya mulai tenang. Kru-kru kamera dan para reporter mengemasi
barang-barang mereka lalu pulang. Aku dan Peeta mempertahankan hubungan
yang dingin sejak itu. Keluargaku tinggal dirumah baru kami di Desa Pemenang.
Kehidupan sehari-hari di Distrik 12"para pekerja pergi ke tambang, anak-anak ke
sekolah"berlanjut seperti biasa. Aku menunggu sampai kupikir benar-benar
aman, lalu pada suatu hari minggu, tanpa bilang pada siapapun aku bangun
beberapa jam sebelum subuh dan pergi ke hutan.
Udara masih cukup hangat. Kubungkus sekantong makanan istimewa. Dirumah
lamaku, aku memakai sepatu berburuku. Seperti biasa, pagar tak dialiri arus listrik
dan mudah bagiku untuk menyelinap ke hutan lalu mengambil busur dan anak
panahku. Aku pergi ke tempat aku dan Gale, tempat kami berbagi sarapan pada
pagi hari pemilihan yang mengirimku ke Hunger Games.
Aku menunggu sekitar dua jam. Aku mulai berpikir bahwa Gale sudah menyerah
menungguku selama minggu-minggu yang telah berlalu. Atau dia tak peduli lagi
padaku. Atau bahkan membenciku. Dan aku membayangkan selamanya
kehilangan dirinya, sahabat terbaikku, satu-satunya orang yang kupercayai dengan
rahasia-rahasiaku. Bayangan itu terasa meyakitkan sehingga aku tak tahan. Aku
bisa merasakan air mataku menggenang dan tenggorokanku tercekat seperti yang
biasa kurasakan saat aku sedih.
Lalu aku mendongak dan mendapati dia ada disana, tiga meter jauhnya dari
tempatku duduk, hanya memandangiku. Tanpa pikir panjang, aku melompat dan
memeluknya, kemudian mengeluarkan suara aneh yang merupakan perpaduan
antara tawa, tersedak dan tangis. Dia memelukku begitu erat sehingga aku tak bisa
melihat wajahnya, tapi rasanya begitu lama sebelum dia melepaskanku karena dia
tidak punya banyak pilihan sebab aku kecegukan dan harus segera minum.
Kami melakukan apa yang selalu kami lakukan. Makan sarapan. Berburu,
menangkap ikan dan memetik tanaman. Bicara tentang orang-orang di kota. Tapi
tidak tentang kami, kehidupan barunya ditambang, waktu yang kuhabiskan di
arena pertarungan. Pada saat kami berada dekat lubang di pagar dekat Hob, kupikir
aku sungguh-sungguh percaya bahwa semuanya bisa sama seperti dulu lagi.Bahwa
kami bisa terus melakukan apa yang biasanya kami lakukan. Kuberikan seluruh
hasil buruan pada Gale untuk ditukar. Kukatakan padanya aku tak mampir ke Hob,
meskipun aku berniat pergi kesana, karena ibu dan adikku tak tau aku pergi
berburu. Lalu tiba-tiba, ketika aku sedang mengusulkan agar aku yang mengurus
jerat setiap hari, Gale menangkup wajahku dengan dua tangannya lalu menciumku.
Aku sama sekali tidak siap. Kau pasti berpikir setelah menghabiskan waktu
berjam-jam bersama Gale"memperhatikannya bicara, tertawa dan merengut"aku
pasti tau segalanya tentang bibir Gale. Tapi aku tak pernah membayangkan betapa
hangatnya bibir itu ketika menekan bibirku. Dan bagaimana dua tangan yang bisa
merangkai jerat paling rumit, bisa dengan mudah memerangkapku. Rasanya aku
mengeluarkan suara desahan atau semacamnya dan samar-samar aku ingat
jemariku yang terkepal erat, kini berada di dadanya. Kemudian Gale melepaskanku
sambil berkata, "Aku harus melakukannya. Paling tidak sekali."
Lalu diapun menghilang. Walaupun matahari mulai terbenam dan keluargaku pasti kuatir, aku malahan
duduk di bawah pohon dekat pagar. Aku berusaha memutuskan bagaimana
perasaanku tentang ciuman itu, apakah aku menyukainya atau membencinya, tapi
yang bisa kuingat hanyalah tekanan bibir Gale dan aroma jeruk ditubuhnya. Tak
ada gunanya membandingkan ciuman Gale dengan ciuman-ciumanku dengan
Peeta. Aku sendiri masih belum paham apakah semua ciumanku dengan Peeta juga
diperhitungkan. Akhirnya aku pulang.
Sepanjang minggu itu aku mengurusi hasil tangkapan dari jerat dan membawakan
dagingnya untuk Hazelle. Tapi aku baru bertemu Gale lagi hari minggu. Aku sudah
menyiapkan pidato panjang, tentang bagaimana aku tak mau punya pacar dan tak
punya rencana untuk menikah, tapi aku akhirnya tak jadi memberikan penjelasan
pada Gale. Dia bersikap seakan-akan ciuman itu tak pernah terjadi. Mungkin dia
menungguku mengatakan sesuatu. Tetapi aku juga berpura-pura ciuman itu tak
pernah terjadi. Tapi ciuman itu terjadi. Gale telah menghancurkan semacam
penghalang tak kasatmata diantara kami dan bersama itu dia juga menghancurkan
harapanku agar kami bisa melanjutkan persahabatan kami yang dulu tanpa
kerumitan apapun. Apa pun yang kulakukan untuk berpura-pura, aku takkan
pernah bisa memandang bibirnya dengan cara yang sama lagi.
Semua adegan itu serta-merta terlintas dalam kepalaku ketika mata Presiden Snow
memandangku tajam ketika dia melancarkan ancaman untuk membunuh Gale.
Betapa bodohnya aku yang berpikir bahwa Capitol akan tidak memedulikanku
setelah aku pulang" Mungkin aku tak tau tentang kemungkinan pemberontakan.
Tapi aku tau mereka marah padaku. Bukannya bersikap waspada sebagaimana
yang harus kulakukan dalam keadaan ini, aku malah bertindak sembrono. Dari
sudut pandang Presiden, aku sudah mengabaikan Peeta dan memamerkan pada
penduduk distrikku bahwa aku lebih suka bersama Gale. Sesungguhnya, aku
sedang mengejek Capitol. Sekarang aku menempatkan Gale dan keluarganya,
keluargaku dan keluarga Peeta juga dalam bahaya karena kecerobohanku.
"Tolong jangan sakiti Gale," aku berbisik. "Dia cuma temanku. Dia sudah jadi
temanku selama bertahun-tahun. hubungan kami cuma sebatas itu. Lagipula,
semua orang menganggap kami saudara sepupu sekarang."
"Aku hanya tertarik pada bagaimana hubunganmu itu memengaruhi keadaanmu
dengan Peeta, yang pada akhirnya akan memengaruhi perasaan distrik-distrik
lainnya," jawab Presiden Snow.
"Aku akan bersikap sama dalam tur. Aku akan mencintai Peeta seperti
sebelumnya," kataku.
"Seperti sekarang kau mencintainya," Presiden Snow mengoreksi kalimatku.
"Seperti sekarang aku mencintainya." aku menegaskan pernyataannya.
"Tapi kau harus melakukannya dengan lebih baik jika kau mau menghindari
terjadinya pemberontakan," katanya. "Tur ini akan jadi satu-satunya
kesempatanmu untuk memutar balik keadaan."
"Aku tau. Aku akan melakukannya. Aku akan meyakinkan semua orang di distrikdistrik bahwa aku tak melawan Capitol, bahwa aku jatuh cinta setengah mati,"
kataku. Presiden Snow berdiri dan mengelap bibirnya yang bengkak dengan serbet.
"Pasang target yang lebih tinggi untuk berjaga-jaga seandainya kau gagal."
"Apa maksud anda" Bagaimana aku bisa memasang target yang lebih tinggi?"
tanyaku. "Yakinkan aku," jawabnya. Dia menaruh serbet dan mengambil bukunya. Aku tak
memandangi kepergiannya ketika dia hendak berjalan keluar pintu, jadi aku
menjengit ketika dia berbisik di telingaku. "Omong-omong, aku tau tentang
ciuman itu." Lalu pintu terdengar menutup di belakangnya.
Bab 3 BAU amis darah.. tercium dari napas Presiden Snow. Apa yang dia lakukan"
pikirku. Meminumnya" Aku membayangkan Presiden Snow menyesap darah dari
cangkir teh. Mencelupkan kue ke dalamnya dan meneteskan cairan merah ketika
mengangkat kuenya. Di luar jendela, mesin mobil dihidupkan, lalu menghilang dalam kejauhan. Mobil
itu lenyap begitu saja, tanpa diperhatikan siapapun, sama seperti kedatangannya.
Kamar ini seakan berputar perlahan dan dalam hati aku bertanya apakah aku
bakalan pingsan. Aku menunduk dan memegangi meja dengan satu tangan.
Tanganku yang satu lagi memegang kue kering indah berbentuk bunga bakung
buatan Peeta, yang kini sudah remuk jadi remahan dalam genggamanku. Aku tidak
tahu aku sudah meremas kue itu, tapi kurasa aku harus berpegangan pada sesuatu
ketika duniaku menikung tak terkendali.
Kunjungan dari Presiden Snow. Distrik-distrik di ambang pemberontakan.
Ancaman maut langsung kepada Gale, juga pada yang lainnya. Nasib semua orang
yang kusayangi ada di ujung tanduk. Kecuali aku mengembalikan keadaan dalam
tur ini. Menentramkan kegelisahan massa dan pikiran sang presiden.Dan
bagaimana caranya" Dengan membuktikan seantero negri bahwa aku mencintai
Peeta Mellark tanpa ada keraguan sedikitpun.
Aku tak bisa melakukannya, pikirku. Aku tak sebagus itu. Peeta yang bagus, yang
disukai orang banyak. Dia bisa membuat orang percaya apapun. Aku yang
biasanya tutup mulut, duduk dan membiarkan Peeta bicara sebanyak mungkin.
Tapi bukan Peeta yang harus membuktikan cintanya. Aku.
Kudengar langkah kaki ibuku yang ringan dan cepat diruang depan.
Dia tidak boleh tau, pikirku. Tidak boleh tau sama sekali tentang hal ini.
Kuulurkan kedua tanganku keatas nampan dan cepat-cepat menyeka sisa-sisa kue
kering dari telapak tangan dan jemariku. Kuteguk teh dengan tangan gemetar.
"Apakah semuanya baik-baik saja, Katniss?" tanya ibuku.
"Baik. Kita tak pernah melihatnya di TV, tapi Presiden selalu mengunjungi para
pemenang sebelum tur untuk memberikan salam keberuntungan," kataku ceria.
Wajah ibuku langsung dibanjiri kelegaan. "Oh, tadinya kupikir ada masalah."
"Tidak, sama sekali tidak," jawabku. "Masalah akan dimulai ketika tim
persiapanku melihat alisku tumbuh lebat."
Ibuku tertawa dan kupikir aku tak bisa mundur lagi setelah mengurusi keluargaku
sejak aku berusia sebelas tahun. Bagaimana aku akan selalu harus melindunginya.
"Bagaimana kalau aku siapkan mandimu?" tanya ibuku.
"Menyenangkan sekali," kataku, aku bisa melihat betapa ibuku senang mendengar
jawabanku. Sejak aku pulang aku berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan ibuku.
Dalam waktu yang kuhabiskan di arena membuatku sadar bahwa aku harus
berhenti menghukumnya atas sesuatu yang tidak bisa diatasinya, terutama depresi
yang dialami ibuku setelah kematian ayahku. Kadang-kadang ada kejadian yang
menimpa seseorang dan mereka tidak siap menghadapinya.
Seperti aku, contohnya. Sekarang ini.
Selain itu, ada satu hal menggembirakan yang dilakukan ibuku ketika aku pulang
ke distrik. Setelah keluarga dan teman-tenan menyambut kepulanganku dan Peeta
di stasiun kereta api, sejumlah reporter diijinkan mengajukan beberapa pertanyaan.
Ada seorang reporter yang menanyakan pada ibuku apa pendapatnya tentang pacar
baruku, dan ibuku menjawab, meskipun Peeta merupakan cowok ideal, aku masih
belum cukup umur untuk punya pacar. Ibuku mengakhiri perkataannya dengan
menatap tajam Peeta. Terdengar tawa membahana dan komentar-komentar dari
wartawan seperti, "Ada yang bakal kena masalah," lalu Peeta melepaskan
tangannya dan menjauh dariku. Kami tak lama berjauhan, tapi hal itu memberi
kami alasan untuk lebih menjaga jarak daripada ketika kami berada di Capitol. Dan
mungkin itu bisa dijadikan penyebab jarangnya aku terlihat bersama Peeta sejak
kamera berhenti menyoroti kami.
Aku naik ke lantai atas menuju kamar mandi, disana bak mandi air hangat sudah
menunggu. Ibuku juga menambahkan sekantong bunga kering yang
mengharumkan udara. Aku melepaskan pakaian dan masuk ke air yang terasa
lembut"ibuku juga menuangkan semacam minyak entah apa ke dalam air"lalu
berusaha mencerna segalanya. Pertanyaan pertama adalah siapa yang harus
kuberitahu, jika aku tak bisa menyembunyikan semua ini.
Pertanyaan pertama adalah siapa yang akan kuberitahu jika aku tidak bisa
menyembunyikan semua ini. Terang saja bukan ibuku atau Prim, mereka hanya
akan kuatir setengah mati. Bukan Gale. Lagipula apa yang bisa dilakukannya
dengan informasi ini" Jika Gale sebatang kara, aku mungkin membujuknya untuk
lari. Dia pasti bisa bertahan hidup di hutan. Tapi dia tak sendirian dan dia takkan
pernah meninggalkan keluarganya. Atau meninggalkanku. Saat aku pulang nanti
aku akan memberitahunya bahwa acara hari minggu kami sudah jadi kenangan
masa lalu, tapi aku tak bisa memikirkannya sekarang. Aku hanya bisa memikirkan
tindakan yang harus kuambil sesegera mungkin. Selain itu, Gale sudah sangat
marah dan frustasi pada Capitol sampai kadang-kadang kupikir dia sedang
merancang pemberontakannya sendiri. Tidak, aku tak bisa memberitahu siapapun
yang kutinggalkan di Distrik 12.
Masih ada tiga orang yang bisa kuberitahu tentang rahasia ini, dimulai dari Cinna,
penata gayaku. Tapi aku menduga Cinna pasti sudah berada dalam bahaya dan aku
tak mau menariknya lebih jauh kedalam masalah.Masih ada Peeta, yang jadi
partnerku dalam muslihat ini, tapi bagaimana aku memulai percakapan dengannya"
Hei, Peeta, ingat waktu kubilang padamu bahwa aku pura-pura jatuh cinta
padamu" Nah, sekarang aku benar-benar butuh kau untuk melupakan semua itu
dan beraktinglah lebih mencintaiku atau Presiden akan membunuh Gale. Aku tak
bisa melakukannya. Lagipula Peeta akan tetap berakting dengan baik meskipun dia
tak tau apa yang dipertaruhkan disini. Sisanya tinggal Haymitch. Haymitch yang
pemabuk, pemarah dan banyak tingkah, yang baru saja kusiram dengan sebaskom
air dingin. Sebagai mentorku dalam Hunger Games sudah tugasnya untuk menjaga
keselamatanku. Aku hanya berharap dia masih sanggup menangani tugas itu.
Aku merendam seluruh tubuhku ke dalam air, membiarkan air meredam suarasuara disekitarku. Aku berharap bak mandi ini bisa membesar agar aku bisa
berenang, seperti yang biasa kulakukan di hutan pada hari minggu di musim panas
bersama ayahku. Hari-hari itu terasa istimewa.
Aku tak ingat kapan aku belajar berenang, aku masih sangat muda ketika ayahku
mengajariku berenang. Aku hanya ingat menyelam, bersalto dan mengayuhkan
kaki. Sambil mengapung telentang, aku memandangi langit biru. Ayahku
mengambil burung air yang bersarang di sekitar danau. Aku memunguti telur-telur
di rerumputan dan kami menggali tanah ditepian air untuk mencabut akar katniss,
tanaman yang jadi asal kata namaku. Pada malam hari, ketika kami tiba dirumah,
ibuku berpura-pura tak mengenaliku karena aku sangat bersih. Kemudian dia akan
masak makan malam yang luar biasa nikmat, menunya bebek panggang dan
katniss bakar yang diberi kuah daging.
Aku tak pernah mengajak Gale ke danau. Aku bisa saja mengajaknya ke sana. Tapi
itu adalah tempat yang tak ingin kubagi dengan siapapun. Sehabis Hunger Games,
beberapa kali aku pergi ke danau itu. Berenang di danau masih menyenangkan,
tapi sering kali aku merasa tertekan disana. Danau tetap tak berubah sementara aku
hampir tak bisa dikenali lagi.Bahkan di dalam air aku bisa mendengar suara ribut.
Suara klakson mobil, teriakan-teriakan sambutan, pintu-pintu yang dibanting
menutup. Itu artinya rombonganku sudah datang. Aku baru saja mengelap tubuhku
dengan handuk dan memakai jubah mandi sebelum tim persiapanku menyerbu
masuk ke kamar mandi. Dalam urusan dengan tubuhku, tak ada lagi rahasia di
antara kami, tiga orang ini dan aku.
"Katniss, alismu!" Venia langsung memekik, bahkan dalam keadaan murampun,
aku masih bisa menahan tawa mendengarnya. Rambutnya yang berwarna biru
muda ditata sehingga membentuk ujung-ujung lancip dikepalanya dan tato-tato
keemasan yang tadinya ada diatas alisnya sudah melingkar di bawah matanya.
Octavia muncul dan menepuk punggung Venia menenangkannya, tubuhnya yang
gemuk terlihat makin gemuk disamping Venia yang kurus. "Sudah, sudah. Kau
bisa memperbaikinya dalam sekejap. Api apa yang bisa kulakukan terhadap kukukuku ini?" Dia menarik tanganku lalu menekannya di antara kedua tangannya yang
berwarna hijau kacang polong.


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kali ini kulitnya lebih tepat berwarna hijau cerah. Perubahan warna ini pasti
usahanya untuk mengikuti tren fashion Capitol yang selalu berubah-ubah.
"Katniss, harusnya kau menyisakan sedikit kukumu untuk bisa kukerjakan!"
serunya nyaring. Memang benar. Aku menggigiti kukuku sampai puntung selama beberapa bulan
terakhir. Aku berniat menghentikan kebiasaan buruk ini tapi aku tak menemukan
alasan bagus untuk melakukannya.
"Maaf," gumamku. Aku tak sungguh-sungguh memikirkan dampaknya pada tim
persiapanku. Flavius mengangkat beberapa helai rambutku yang basah dan kusut. Dia
menggeleng tak suka, membuat rambut ikalnya yang berwarna oranye bergoyanggoyang.
"Apa ada yang menyentuh ini sejak terakhir kalinya kau bertemu kami?" tanyanya
tegas. "Ingat, kami secara khusus memintamu untuk tak mengutak-atik
rambutmu." "Ya!" sahutku, "Maksudku, tak ada seorangpun yang memotongnya. Aku ingat
itu." Padahal sebenarnya aku tak ingat. Lebih tepatnya, urusan rambut tak pernah
disinggung. Sejak aku pulang, yang kulakukan terhadap rambutku hanyalah mengepangnya
seperti yang dulu sering kulakukan. Ucapanku sepertinya meredakan emosi
mereka, lalu mereka menciumku, kemudian mendudukkanku di kursi di dalam
kamar tidurku. Dan seperti biasa, mereka sibuk mengoceh tanpa memperhatikan
apakah aku mendengarkan atau tidak. Sementara Venia menumbuhkan kembali
alisku dan Octavia memasang kuku palsu lalu Flavius menempelkan cairan lengket
ke kepalaku. Aku mendengar segalanya tentang Capitol. Betapa suksesnya Hunger
Games, bagaimana semua orang tak sabar menunggu aku dan Peeta berkunjung ke
Capitol lagi pada akhir Tur Kemenangan. Setelah itu, tak lama lagi Capitol bakal
bersiap-siap untuk Quarter Quell.
"Seru kan?" "Kau pasti merasa beruntung kan?"
"Pada tahun pertamamu menjadi pemenang, kau akan menjadi mentor di Quarter
Quell!" "Oh, ya," kataku bersikap netral. Hanya itu yang bisa kulakukan. Pada tahun
normal, menjadi mentor merupakan mimpi buruk. Sekarang aku tak bisa berjalan
melewati sekolah tanpa bertanya-tanya anak mana yang akan kumentori. Tapi yang
menjadikan keadaan lebih buruk, tahun ini adalah Hunger Games yang ke tujuh
puluh lima, yang juga berarti Quarter Quell. Quarter Quell ini berlangsung setiap
dua puluh lima tahun sekali, menandai perayaan kekalahan distrik-distrik dengan
pesta besar-besaran dan supaya lebih seru mereka menambahkan siksaan bagi para
peserta. Aku tak pernah menyaksikan satupun secara langsung. Tapi aku ingat di
sekolah aku mendengar bahwa Capitol meminta dua kali lipat jumlah peserta
dalam Quarter Quell kedua. Para guru tak menceritakan secara mendetail, yang
sebenarnya mengherankan, karena pada tahun itulah Haymitch Abernathy dari
Distrik 12 menjadi pemenangnya.
"Haymitch sebaiknya bersiap-siap menerima banyak perhatian!" pekik Octavia.
Haymitch tak pernah menceritakan pengalaman pribadinya di arena padaku. Tapi
Capitol takkan membiarkan Haymitch melupakannya tahun ini. Dalam satu dan
lain hal, untung aku dan Peeta bisa menjadi mentor pada Quell ini, karena aku
berani taruhan Haymitch bakal teler berat.
Setelah mereka kehabisan bahan omongan tentang Quarter Quell, tim persiapanku
masuk ke topik tentang hidup mereka yang konyol. Entah siapa yang berbicara
tentang seseorang yang namanya tak pernah kudengar dan sepatu apa yang baru
dibeli, lalu Octavia bercerita panjang lebar tentang kesalahannya menyuruh semua
tamu yang datang ke pesta ulang tahunnya dengan memakai bulu.
Tidak lama kemudian alisku sudah tampak tebal, rambutku halus dan lembut,
kukuku sudah siap diwarnai. Tampaknya mereka sudah diberi perintah untuk
hanya menyiapkan kedua tangan dan wajahku, mungkin karena semua bagian
tubuhku yang lain akan terbungkus rapat dalam udara yang dingin ini. Flavius
kepingin bisa menggunakan lipstik ungu yang jadi kegemarannya di bibirku tapi
dia terpaksa menggantinya dengan warna pink ketika mereka mulai mewarnai
wajah dan kukuku. Dari palet warna dari Cinna aku bisa melihat bahwa kami akan
mengambil tema penampilan ala gadis muda. Bukan seksi.Baguslah. Aku takkan
pernah bisa meyakinkan siapapun bahwa aku berusaha bersikap provokatif.
Haymitch sudah menyatakannya dengan sangat jelas ketika dia melatihku untuk
wawancara dalam Hunger Games.
Ibuku masuk dengan malu-malu, mengatakan bahwa Cinna menyuruhnya agar
memperlihatkan caranya mengepang rambutku pada hari pemungutan pada tim
persiapanku. Mereka langsung antusias lalu dengan penuh perhatian melihat ibuku
memerinci proses pengepangan rambutku. Melalui cermin, aku bisa melihat wajah
mereka yang sungguh-sungguh mengawasi gerakan ibuku dan mereka begitu
bersemangat ketika giliran mereka mencoba mengepang rambutku. Sesungguhnya,
mereka bertiga bersikap baik dan sangat hormat pada ibuku. Siapa yang tau seperti
apa aku jadinya atau seperti apa gaya bicaraku jika aku dibesarkan di Capitol"
Mungkin penyesalan terbesarku juga tentang kostum bulu di pesta ulang tahunku.
Setelah rambutku selesai ditata, aku bertemu Cinna yang duduk di lantai bawah, di
ruang tamu. Cuma dengan melihatnya, aku langsung merasa penuh harapan. Cinna
tampak sama seperti biasa, pakaian sederhana, rambut coklat pendek dan sedikit
warna emas di alisnya. Kami berpelukan dan aku hampir menceritakan semua
kejadian yang kualami bersama Presiden Snow. Tapi tidak, aku sudah memutuskan
untuk memberitahu Haymitch lebih dulu. Akan tetapi begitu mudah berbicara
dengan Cinna. Belakangan kami sering ngobrol lewat telepon yang terpasang di
rumah ini. Telepon ini jadi semacam lelucon, karena tak ada seorangpun di distrik
ini yang kami kenal yang punya telepon. Peeta punya, tapi aku jelas tak mau
meneleponnya. Haymitch sudah mencabut teleponnya bertahun-tahun lalu.
Temanku, Madge, putri walikota, punya telepon dirumahnya, tapi jika kami ingin
bicara, kami bertemu langsung. Setiap pemenang diharuskan punya satu bakat.
Bakatmu adalah kegiatan yang kaulakukan karena kau tak lagi perlu sekolah atau
bekerja di bidang industri distrikmu. Bakatmu bisa apa saja.
Ternyata Peeta punya bakat, yaitu melukis. Selama bertahun-tahun dia sudah
menghias kue dan biskuit di toko roti keluarganya. Sekarang setelah dia kaya raya,
dia sanggup membeli cat sungguhan untuk dicoret-coret di kanvas. Aku tak punya
bakat, kecuali berburu ilegal dihitung bakat. Atau mungkin menyanyi, yang demi
apapun takkan kulakukan untuk Capitol. Ibuku berusaha membuatku tertarik pada
berbagai pilihan bakat dari daftar yang dikirimkan Effie Trinket padanya.
Memasak, merangkai bunga, bermain flute. Tak ada satupun yang berhasil,
meskipun Prim bisa menguasai ketiganya dengan mudah. Akhirnya Cinna turun
tangan dan menawarkan diri membantuku mengembangkan kegemaranku
merancang pakaian, yang amat sangat butuh bantuannya untuk dikembangkan dari
nol. Tapi aku setuju dengannya karena aku bisa mengobrol dengan Cinna dan dia
berjanji untuk mengerjakan semuanya.
Sekarang dia sedang mengatur barang-barang di ruang tamuku: pakaian-pakaian,
kain dan buku-buku sketsa dengan desain-desain pakaian yang digambarnya.
Kuambil salah satu buku sketsa dan memperhatikan gaun yang seharusnya
merupakan rancanganku. "Kau tau tidak, menurutku aku punya bakat yang menjanjikan," kataku.
"Ganti pakaian sana, dasar makhluk tak berguna," katanya, sambil melempar
pakaian ke arahku. Aku mungkin tak tertarik merancang pakaian tapi aku amat menyukai pakaianpakaian yang dibuatkan Cinna untukku. Seperti pakaian yang satu ini. Celana
panjang hitam longgar yang terbuat dari bahan yang tebal dan hangat. Kemeja
putih yang nyaman. Sweter hijau-biru dengan garis abu-abu berbahan wol yang
halus. Sepatu bot kulit bertali yang tak membuat kakiku sakit saat dipakai.
"Apakah aku yang merancang pakaianku sendiri?" tanyaku.
"Tidak, kau bercita-cita untuk merancang pakaianmu sendiri dan bisa jadi seperti
aku, pahlawan fashion-mu," kata Cinna. Dia menyerahkan setumpuk kartu padaku.
"Kau akan membacanya diluar kamera ketika mereka merekam pakaian-pakaian
ini. Cobalah terdengar seakan-akan kau peduli"
Tepat pada saat itu, Effie Trinket tiba dengan wig oranye labu untuk mengingatkan
semua orang. "Kita harus mengikuti jadwal!"
Dia mencium kedua pipiku sambil melambai pada kru kamera, lalu menyuruhku
berada di posisi yang seharusnya. Effie adalah satu-satunya alasan yang membuat
kami bisa kemanapun tepat waktu selama di Capitol, jadi aku berusaha
melaksanakan apa yang dimintanya. Aku mulai mondar-mandir seperti boneka
berjalan, memegangi pakaian-pakaianku dan mengatakan hal-hal konyol seperti
"pasti kau suka, kan?"
Tim suara merekamku membaca kartu-kartuku dengan suara riang agar bisa
mereka gabungkan dengan gambarnya nanti, lalu aku disuruh keluar ruangan agar
mereka bisa merekam rancangan-rancanganku/Cinna tanpa ada gangguan.
Prim pulang sekolah lebih cepat untuk acara ini. Sekarang dia berdiri di dapur,
sedang diwawancarai oleh kru. Dia tampak cantik dengan gaun biru langit yang
menonjolkan warna matanya, rambut pirangnya diikat ke belakang dengan pita
yang senada.Dia berjinjit agak ke depan dengan sepatu bot putihnya yang mengilap
seakan dia hendak bersiap kabur, seperti... Buk!
Seakan ada orang yang menghantam dadaku. Aku mundur. Kupejamkan mataku
rapat-rapat dan aku tak melihat Prim"aku melihat Rue, gadis dua belas tahun dari
Distrik 11 yang menjadi sekutuku di arena pertarungan. Rue, yang tak
kuselamatkan. Yang kubiarkan mati. Aku membayangkan Rue terbaring ditanah
dengan tombak menancap di perutnya...
Siapa lagi yang akan gagal kuselamatkan dari pembalasan Capitol" Siapa lagi yang
bakal tewas jika aku tak memuaskan keinginan Presiden Snow" Aku sadar Cinna
berusaha memakaikan jaket ke tubuhku, jadi aku mengangkat kedua tanganku.
Bahan bulu ini tak pernah kulihat sebelumnya. "Cerpelai," kata Cinna ketika aku
membelai bagian jaket berbulu yang berwarna putih itu. Sarung tangan putih. Syal
merah cerah. Ada benda berbulu yang menutup telingaku. "Kau membuat penutup
telinga jadi tren lagi."
Aku benci penutup telinga, pikirku. Benda itu membuatku sulit mendengar dan
sejak satu telingaku sempat tuli di arena, aku makin membenci benda ini. Setelah
menang, Capitol memperbaiki telingaku, tapi sampai sekarang aku masih belum
terbiasa. Ibuku bergegas menghampiriku membawa sesuatu yang tertangkup di kedua
tangannya. "Untuk keberuntungan," katanya.
Ternyata ibuku memberikan pin yang diberikan Madge sebelum Hunger Games.
Pin berbentuk mockingjay yang terbang dalam lingkaran emas. Aku berusaha
memberikannya pada Rue tapi dia tak mau menerimanya. Dia bilang pin itu yang
jadi alasan dia memutuskan memercayaiku.Cinna memasangnya di ikatan syalku.
Effie Trinket berada di dekatku dan bertepuk tangan. "Mohon perhatiannya! Kita
akan mengambil gambar pertama di luar, nanti para pemenang akan saling
menyambut pada awal perjalanan mereka yang luar biasa ini. Baiklah, Katniss,
senyum lebar ya, kau penuh semangat untuk perjalanan ini, kan?"
Effie mendorongku keluar dari pintu.
Selama beberapa saat aku tak bisa melihat dengan jelas karena salju, yang kini
sudah turun deras. Lalu aku berhasil melihat Peeta berjalan keluar pintu. Di dalam
kepalaku aku bisa mendengar perintah Presiden Snow, "Yakinkan aku." Dan aku
tau aku harus melakukannya.
Wajahku menampilkan senyum lebar dan aku mulai berjalan ke arah Peeta. Lalu,
seakan aku tak bisa menunggu sedetik lebih lama lagi, aku mulai berlari. Peeta
menangkapku dan memutar tubuhku kemudian dia terpeleset"Peeta masih belum
menguasai betul kaki palsunya"kamipun terjatuh di salju, tubuhku berada diatas
tubuh Peeta dan setelah itulah kami berciuman pertama kali setelah berbulanbulan. Ciuman itu penuh bulu, kepingan salju dan lipstik, tapi dibalik semua itu
aku bisa merasakan kemantapan yang dibawa Peeta terhadap segalanya. Dan aku
tau aku tak sendirian. Seburuk apapun aku menyakitinya, Peeta takkan membuka
rahasiaku di depan kamera. Dia takkan menciumku setengah hati. Dia masih
menjagaku dengan baik.Sebagaimana yang dilakukannya di arena. Entah
bagaimana aku jadi ingin menangis memikirkan semua itu. Tapi kutarik Peeta
berdiri, menyelipkan lenganku di lekukan lengannya dan dengan riang kutarik dia
berjalan. Sisa hari itu berlangsung tanpa benar-benar kuperhatikan, mulai dari menuju
stasiun KA, melambaikan salam perpisahan pada semua orang, kereta api
berangkat pergi, tim lamaku"Peeta dan aku, Effie dan Haymitch, Cinna dan
Portia, penata gaya Peeta"menyantap makanan yang tak terlukiskan lezatnya.
Lalu aku berganti piama dan jubah yang mewah, duduk di kompartemen megah
menunggu yang lain tidur. Aku tau Haymitch akan bangun beberapa jam lagi. Dia
tak suka tidur saat gelap.
Ketika kereta terdengar sepi, aku memakai sandal dan mengetuk pintunya beberapa
kali sebelum aku mendengar jawaban, menggerutu, seakan-akan dia yakin aku
pasti membawa kabar buruk.
"Kau mau apa?" tanya Haymitch, nyaris membuatku semaput dengan bau anggur
dari mulutnya. "Aku harus bicara denganmu," aku berbisik.
"Sekarang?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ini harus bagus ya."
Dia menunggu, tapi aku yakin setiap kata yang kami ucapkan di kereta api Capitol
ini pasti direkam. "Jadi bagaimana?" bentaknya.
Kereta api mulai direm dan aku berpikir Presiden Snow mengawasiku dan tak
senang pada niatku untuk mengaku pada Haymitch dan memutuskan untuk
membunuhku sekarang. Tapi ternyata kami hanya berhenti untuk mengisi bahan
bakar. "Kereta api ini pengap ya," kataku.
Kalimat yang aman sebenarnya, tapi aku melihat mata Haymitch menyipit penuh
pemahaman. "Aku tau apa yang kauperlukan."
Dia berjalan melewatiku dan dengan cepat melewati lorong kereta menuju pintu.
Ketika Haymitch berusaha membukanya, embusan salju menghantam kami. Dia
terpeleset terjatuh ke tanah.
Petugas Capitol bergegas membantu, tapi Haymitch melambai sopan mengusirnya
saat dia berusaha berdiri. "Hanya ingin udara segar. Sebentar saja."
"Maaf. Dia mabuk," kataku meminta maaf. "Aku akan membantunya."
Aku melompat turun dan berjalan tersandung-sandung melewati rel kereta di
belakangnya, salju membasahi sepatuku, ketika dia membimbingku hingga
melewati ujung kereta agar tak ada yang bisa mendengar percakapan kami. Lalu
dia menoleh memandangku. "Apa?" Kuceritakan segalanya pada Haymitch. Tentang kunjungan Presiden, tentang Gale,
tentang bagaimana kami semua akan mati kalau aku gagal.
Wajah Haymitch langsung sadar, dia tampak menua dalam sorotan lampu belakang
yang berwarna merah. "Kalau begitu, kau tak boleh gagal."
"Kalau kau bisa membantuku melewati perjalanan ini..," aku mulai bicara.
"Tidak Katniss, bukan hanya untuk perjalanan ini," katanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Bahkan jika kau berhasil lolos kali ini, mereka akan kembali beberapa bulan lagi
untuk membawa kita semua ke Hunger Games berikutnya. Kau dan Peeta akan jadi
mentor sekarang, setiap tahun dan seterusnya. Dan setiap tahun mereka akan
menyiarkan kembali hubungan asmara kalian, dan menyiarkan detail kehidupan
pribadi kalian ke publik dan kau takkan pernah bisa melakukan apapun selain
hidup bersama selamanya dengan anak lelaki itu."
Kata-kata Haymitch menghantamku habis-habisan. Aku takkan pernah punya
hidup bersama Gale, bahkan jika aku mau sekalipun. Aku takkan pernah dibiarkan
hidup sendirian. Aku harus selamanya mencintai Peeta. Capitol akan
memastikannya. Mungkin aku hanya punya waktu beberapa tahun, karena aku baru
berusia enam belas tahun, untuk tinggal bersama ibuku dan Prim. Lalu...
Kemudian... "Kau mengerti?" desak Haymitch.
Aku mengangguk. Maksudnya adalah hanya ada satu masa depan, kalau aku ingin
menjaga semua orang yang kucintai tetap hidup dan membuat diriku juga tetap
hidup. Aku harus menikahi Peeta.
Bab 4 Kami berjalan lambat dalam keheningan kembali ke kereta. Di lorong diluar
kamarku, Haymitch menepuk punggungku dan berkata, "Kau tau, kau bisa
melakukan lebih buruk lagi."
Dia kemudian berjalan ke kompartemennya.
Di dalam kamarku, aku melepaskan sandalku yang lembap, serta jubah dan
piamaku yang basah. Masih banyak jubah dan piama di laci tapi aku merangkak
kebawah selimut di ranjangku hanya dengan pakaian dalam.
Aku memandangi kegelapan, memikirkan percakapanku dengan Haymitch. Segala
yang dikatakannya benar sekali, tentang harapan-harapan Capitol, masa depanku
bersama Peeta, bahkan juga komentar terakhirnya. Tentu saja aku bisa
melakukannya jauh lebih buruk dibanding Peeta. Tapi bukan itu arti sesungguhnya,
kan" Salah satu dari sedikit kebebasan yang kami miliki di Distrik 12 adalah hak
untuk menikahi siapapun yang ingin kami nikahi atau tak mau kami nikahi. Dan
sekarang hak itupun direnggut dariku.
Aku penasaran apakah Presiden Snow akan memaksa kami punya anak. Kalau
kami punya anak, mereka akan menghadapi pemungutan setiap tahunnya. Dan
bukankah akan jadi pertunjukan seru jika anak dari dua orang pemenang terpilih


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk bertarung di arena" Anak-anak para pemenang ada yang pernah ikut
pertarungan. Setiap kali itu terjadi, selalu membuat penonton makin bersemangat
dan menimbulkan omongan tentang betapa keberuntungan tak memihak pada
keluarga tersebut. Tapi kejadian semacam ini terlalu sering terjadi. Gale yakin
Capitol sengaja melakukannya, mereka mengatur penarikan nama untuk
menambahkan lebih banyak drama dalam acara ini. Mengingat masalah yang
kutimbulkan, aku mungkin sudah menjamin anak yang kulahirkan pasti mendapat
tempat di Hunger Games. Aku memikirkan Haymitch, tak menikah, tak punya keluarga, menghapus
kenangannya terhadap dunia dengan minuman keras. Dia bisa memilih wanita
manapun di distrik. Tapi dia memilih hidup sendiri. Bukan sendirian.Lebih tepat
disebut mengurung diri. Mungkinkah setelah berada di arena, dia tau mengurung
diri lebih baik daripada pilihan lainnya" Aku pernah merasakan pilihan lain itu
ketika mereka menyebut nama Prim pada hari pemungutan dan aku
memandanginya berjalan ke panggung menuju kematiannya. Tapi sebagai kakak
perempuannya aku bisa menggantikan tempatnya, sebuah pilihan yang terlarang
bagi ibu kami. Dengan panik otakku mencari jalan keluar. Aku tak bisa membiarkan Presiden
Snow mengutukku dalam hidup semacam ini. Bahkan jika jalan keluarnya harus
mengorbankan nyawaku sendiri. Namun, sebelum itu aku akan berusaha melarikan
diri. Apa yang akan mereka lakukan jika aku menghilang begitu saja" Kabur ke
dalam hutan dan tak pernah keluar lagi" Sanggupkah aku mengajak pergi semua
orang yang kusayangi, memulai hidup baru jauh di dalam hutan" Kemungkinannya
kecil tapi bukannya tidak mungkin.
Kugeleng-gelengkan kepala untuk menjernihkan isi otakku. Sekarang bukan
waktunya membuat rencana melarikan diri yang gila. Aku harus fokus pada Tur
Kemenangan. Terlalu banyak orang yang nasibnya tergantung pada kemampuanku
menampilkan pertunjukan yang baik.
Dini hari tiba sebelum kantuk dan Effie sudah menggedor-gedor pintuku. Kuambil
pakaian apa saja yang ada di bagian paling atas laci lalu kupaksa diriku berjalan ke
gerbong makan. Aku tak melihat manfaat atas penjadwalan jam bangun tidurku ini,
karena kami sedang melakukan perjalanan. Tapi ternyata hasil permak terhadap
diriku kemarin hanya untuk tampil dari rumah menuju stasiun kereta api. Hari ini
aku akan dikerjai habis-habisan oleh tim persiapanku.
"Buat apa" Terlalu dingin untuk memperlihatkan bagian tubuh manapun,"
gerutuku. "Tidak di Distrik Sebelas," sahut Effie.
Distrik 11. Perhentian pertama kami. Kalau boleh memilih aku ingin memulainya
di distrik lain, karena inilah kampung halaman Rue. Biasanya tur dimulai dari
Distrik 12 lalu berurutan ke distrik berangka kecil. Baru selanjutnya ke Capitol.
Distrik pemenang sendiri dilewati dan disimpan untuk yang paling akhir. Karena
Distrik 12 mengadakan pesta yang paling tidak meriah"biasanya cuma makan
malam bagi para tamu dan arak-arakan pemenang di alun-alun dan sepertinya tak
seorangpun tampak menikmatinya"mungkin jalan terbaik adalah menyingkir dari
kami secepat mungkin. Tahun ini untuk pertama kalinya sejak Haymitch menang,
perhentian tur ini adalah Distrik 12 dan Capitol akan ramai dengan pesta pora.
Aku berusaha menikmati makanan seperti yang dikatakan Hazelle. Staf dapur jelas
ingin membuatku senang. Diantara makanan-makanan lezat yang tersaji, mereka
menyiapkan makanan kesukaanku, yaitu sup daging domba dengan buah plum
kering. Jus jeruk dan seteko coklat panas yang masih mengepul menunggu di meja
tempatku duduk. Jadi aku makan banyak, tapi aku tak bisa menikmatinya. Aku
juga kesal karena selain Effie tak seorangpun kelihatan batang hidungnya.
"Kemana semua orang?" tanyaku.
"Oh, siapa yang tau dimana Haymitch," jawab Effie. Aku tak sungguh
mengharapkan Haymitch ada disini, karena dia mungkin baru bersiap tidur
sekarang. "Cinna bekerja sampai larut menyiapkan pengaturan pakaianmu. Dia
pasti punya ratusan pakaian buatmu. Gaun malammu indah sekali. Dan tim
persiapan Peeta mu ngkin masih tidur." "Memangnya Peeta tak butuh disiapkan?" tanyaku.
"Tidak seperti yang kaubutuhkan," sahut Effie. Artinya aku harus menghabiskan
pagiku dengan membiarkan bulu-bulu di tubuhku dicabuti sementara Peeta enakenakan tidur. Aku tak terlalu memikirkannya, tapi di arena paling tidak anak lelaki
dibolehkan punya bulu di tubuhnya sementara anak perempuan harus bertubuh
licin. Aku bisa mengingat tubuh Peeta sekarang, ketika aku memandikannya
disungai. Bulu-bulu di tubuhnya kelihatan sangat pirang dibawah sorotan matahari,
ketika lumpur dan darah sudah terbasuh dari tubuhnya. Hanya wajahnya yang tetap
mulus. Apa yang mereka lakukan terhadap bulu-bulu di wajah itu.
Kalau aku merasa letih, tim persiapanku tampaknya berada dalam kondisi yang
lebih buruk. Mereka menenggak kopi dan saling berbagi pil-pil kecil berwarna
cerah. Aku gembira melihat bulu kakiku tumbuh lagi. Seakan itu jadi pertanda
bahwa keadaan akan kembali normal. Jemariku mengelus bulu-bulu halus di
kakiku sebelum menyerahkan diri kepada tim persiapanku. Tak satupun dari
mereka yang ramai mengoceh seperti biasa, jadi aku bisa mendengar setiap helai
buluku tercabut dari akarnya. Aku harus berendam dalam bak yang penuh dengan
larutan kental yang baunya tak menyenangkan, sementara wajah dan rambutku
terbungkus krim. Dua kali rendaman lagi tapi dengan ramuan tak separah
sebelumnya. Bulu-buluku dicabuti, tubuhku digosok dan dipijat lalu diminyaki
sampai aku mulus. Flavius mengangkat daguku dan mendesah. "Sayang sekali Cinna bilang tak boleh
melakukan perubahan total padamu."
"Ya, padahal kami bisa sungguh-sungguh melakukan sesuatu yang istimewa
padamu," kata Octavia.
"Saat dia sudah lebih besar," kata Venia nyaris dengan nada muram. "Dia pasti
akan mengizinkan kita."
Melakukan apa" Mengelembungkan bibirku seperti bibir Presiden Snow" Menato
dadaku" Mengecat kulitku dengan warna ungu cerah dan menanam permata di
dalam kulit" Membuat pola-pola hiasan di wajahku" Memberiku cakar yang
melengkung" Atau kumis kucing" Aku pernah melihat semua ini, terutama pada
orang-orang di Capitol. Apakah mereka sungguh-sungguh tak tau betapa anehnya
penampilan mereka di mata kami"
Memikirkan kemungkinan tubuhku akan diserahkan ke tangan penata gaya dan
mengikuti dandanan tim persiapanku hanya menambah penderitaan yang sekarang
bersaing dalam benakku"tubuhku yang tersiksa, kurang tidur, kawin paksa dan
ketakutan karena tak bisa memuaskan keinginan Presiden Snow. Pada saat
waktunya makan siang, Effie, Cinna, Portia, Haymitch dan Peeta sudah mulai
makan tanpa menungguku dan aku sudah tertekan untuk bisa ngobrol. Semua
orang bersemangat mengikuti tur ini. Yah, kecuali Haymitch. Tubuhnya masih
membiasakan diri dengan rasa pening sehabis mabuk lalu dia mengambil muffin.
Aku juga tak terlalu lapar. Aku mengaduk-aduk isi buburku di mangkuk, hanya
makan satu sampai sendok. Aku bahkan tak sanggup memandang Peeta"calon
suami yang sudah disiapkan untukku"walaupun aku tau ini bukanlah salahnya
sama sekali. Orang-orang memperhatikanku dan berusaha mengajakku mengobrol, tapi aku tak
mengacuhkan mereka. Mendadak, kereta api berhenti. Pelayan kami memberitahu bahwa kali ini kereta
berhenti karena ada onderdil kereta yang rusak dan harus diganti. Butuh waktu
paling sedikit satu jam untuk memperbaikinya. Berita ini membuat Effie
terperangah. Dia mengeluarkan jadwalnya dan mulai memperkirakan bagaimana
pengaruh penundaan ini terhadap semua peristiwa dalam hidup kami selanjutnya.
Akhirnya aku tak sanggup mendengar ocehannya lagi.
"Tak ada seorangpun yang peduli, Effie!" bentakku.
Semua orang yang ada di meja makan melotot memandangku.
"Memang, tak ada yang peduli kok!" sergahku, lalu aku bangun dan meninggalkan
gerbong makan. Kereta ini mendadak terasa sesak dan aku merasa mual sekarang. Aku menemukan
pintu keluar, membukanya dengan paksa"memicu semacam alarm yang
kuabaikan"dan melompat turun ke tanah, kupikir aku bakal mendarat di salju.
Tapi udara terasa hangat dan lembap menyentuh kulitku. Pohon-pohon masih
berdaun hijau. Seberapa jauhnya kami ke selatan dalam perjalanan satu hari" Aku
berjalan menyusuri rel kereta, mataku menyipit silau karena sorotan matahari dan
menyesali kata-kataku pada Effie. Dia sama sekali tak bisa disalahkan atas nasib
malangku. Aku harus kembali dan minta maaf. Tapi kakiku terus bergerak
menyusuri rel, melewati gerbong terakhir kereta dan meninggalkan semuanya di
belakangku. Penundaan perjalanan selama satu jam. Paling tidak aku bisa berjalan
selama dua puluh menit ke satu arah dan masih banyak waktu untuk berjalan
kembali. Tapi, setelah berjalan sekitar 200meter, aku malah terduduk di tanah.
Tak lama kemudian, aku mendengar bunyi langkah kaki di belakangku. Pasti
Haymitch yang datang untuk mengomeliku. Bukannya aku tak layak diomelinya,
tapi aku belum mau mendengarnya.
"Aku sedang tak ingin mendengar ceramahmu," kataku, seakan memberi
peringatan pada gerombolan rumput liar di dekat sepatuku.
"Akan kucoba untuk singkat saja." Peeta duduk di sampingku.
"Kupikir Haymitch yang datang," jawabku.
"Tidak, dia masih berjuang dengan muffin itu." Aku memerhatikan Peeta ketika
dia mengatur posisi kaki palsunya. "Hari yang buruk, ya?"
"Tidak juga," jawabku.
Peeta mengambil napas dalam-dalam. "Dengar Katniss, sudah lama aku ingin
bicara denganmu soal sikapku di kereta. Maksudku, di kereta terakhir, kereta yang
membawa kita pulang. Aku tau kau punya satu hubungan dengan Gale. Aku
cemburu padanya bahkan sebelum aku bertemu denganmu secara resmi. Dan tak
adil jika aku memaksamu bertanggung jawab atas segala yang terjadi di Hunger
Games. Maafkan aku."
Permintaan maaf Peeta membuatku terkejut. Memang benar Peeta mendepakku
dari hidupnya setelah aku mengaku padanya bahwa cintaku padanya selama
Hunger Games hanyalah akting. Tapi aku tak marah padanya. Di arena, aku
memainkan peran asmara itu dengan sepenuh hati. Beberapa kali sejujurnya aku
tak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Sesungguhnya, sampai sekarangpun
aku masih tidak tahu. "Maafkan aku juga," kataku. Aku tak tau untuk apa sebenarnya aku minta maaf.
Mungkin karena adanya kemungkinan aku bakal menghancurkannya"
"Kau tidak punya alasan untuk minta maaf. Kau hanya berusaha menjaga kita tetap
hidup. Tapi aku tak mau kita terus-terusan seperti ini, tak saling bicara dalam
kehidupan nyata tapi bergulingan di salju tiap kali ada kamera meliput kita. Jadi
kupikir kalau aku berhenti bersikap.. Kau taulah, terluka seperti itu, kita bisa
mencoba menjadi teman," katanya.
"Oke," kataku. Semua temanku mungkin bakal mati. Tapi menolak permintaan
Peeta juga takkan membuatnya aman. Tawarannya jelas membuatku merasa lebih
baik. Rasanya jadi tak terlalu bermuka dua. Akan lebih menyenangkan jika dia
mendatangiku dengan permintaan ini lebih amal, sebelum aku tau Presiden Snow
punya rencana-rencana lain dan menjadi sekadar teman tak lagi jadi pilihan buat
kami. Tapi sekarang atau lebih awal, aku senang kami bisa bicara lagi.
"Jadi ada masalah apa?" tanyanya.
Aku tidak bisa memberitahunya. Malahan, aku mencabuti rumput-rumput liar.
"Mari kita mulai dari sesuatu yang lebih sederhana. Bukankah aneh bila aku tau
kau rela mengorbankan hidupmu untuk menyelamatkanku.. tapi aku tak tau apa
warna favoritmu?" tanya Peeta.
Senyum terbentuk di bibirku. "Hijau. Kau?"
"Oranye," jawab Peeta.
"Oranye" Seperti warna rambut Effie?" tanyaku.
"Tak secerah itu." katanya. "Lebih seperti.. matahari terbenam."
Matahari terbenam. Aku bisa langsung membayangkannya, langit berhiaskan
warna lembut oranye. Indah. Aku teringat kue kering berhiaskan bunga, sekarang
setelah aku dan Peeta bicara lagi yang bisa kulakukan adalah tidak kelepasan
bercerita padanya tentang Presiden Snow. Lebih baik aku tetap pada topik obrolan
kecil saja. "Kau tau, semua orang heboh membicarakan lukisanmu. Aku merasa tidak enak
karena tak pernah melihatnya," kataku.
"Untunglah, kereta penuh dengan lukisanku," Peeta bangkit dan mengulurkan
tangannya membantuku berdiri. "Ayo."
Rasanya menyenangkan merasakan jemarinya berbelit dengan jemariku, bukan
untuk tontonan tapi karena persahabatan sungguhan. Kami kembali ke kereta
bergandengan tangan. Di pintu kereta, aku ingat. "Aku harus minta maaf pada Effie
dulu." "Jangan ragu untuk minta maaf secara berlebihan," Peeta memberi saran.
Jadi saat kami kembali ke gerbong makan, ketika orang-orang masih makan, aku
minta maaf pada Effie. Menurutku permintaan maafku sudah jauh lebih besar
daripada kesalahanku. Tapi dalam pikiran Effie mungkin aku cuma berhasil
menunjukkan tata krama yang baik sehabis melanggar etiket. Tapi Effie pantas
diacungi jempol, dia menerima permintaan maafku dengan elegan. Dia bilang,
jelas aku berada di bawah tekanan yang teramat besar. Aku benar-benar lolos
dengan mudah. Ketika Effie selesai, Peeta mengajakku berjalan melewati beberapa gerbong untuk
melihat lukisan-lukisannya. Aku tak punya perkiraan apa-apa tentang lukisannya.
Mungkin versi besar dari hiasan bunga diatas kue keringnya. Tapi yang kulihat
sama sekali berbeda. Peeta melukis Hunger Games.
Sebagian tak bisa langsung dipahami, jika tak benar-benar bersamanya di arena.
Air menetes di celah gua kami. Kolam kering. Sepasang tangan"tangannya"
yang menggali tanah mencari umbi-umbian. Lukisan-lukisan lain akan dikenali
dengan mudah. Trompet emas yang disebut Cornucopia. Clove menyusun pisaupisau di bagian dalam jaketnya. Salah satu mutt, berambut pirang dan bermata
hijau menggeram sambil berusaha menerjang kami. Dan aku. Aku ada di manamana. Tinggi di atas pohon. Memukulkan baju di bebatuan sungai. Terbaring tak
sadarkan diri diatas genangan darah. Dan ada satu yang tak kukenali"mungkin
seperti ini tampaknya aku ketika demam tinggi"bangkit dari kabut perak kelabu
yang sama dengan warna mataku.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
"Aku membencinya," jawabku. Aku nyaris bisa mencium bau darah, tanah, bau
napas mutt yang terasa tak alami. "Selama ini aku berusaha mati-matian untuk
melupakan arena pertarungan dan kau menghidupkannya lagi. Bagaimana kau bisa
mengingat semua ini dengan begitu jelas?"
"Aku melihatnya setiap malam," kata Peeta.
Aku tau maksudnya. Mimpi-mimpi buruk kini menghantuiku setiap kali aku tidur.
Tapi mimpi buruk lamaku, mimpi tentang ayahku yang meledak berkeping-keping,
sudah jarang. Belakangan, mimpiku jelas sekali tentang apa yang terjadi di arena.
Usahaku yang sia-sia ketika berusaha menyelamatkan Rue. Peeta yang hampir mati
kehabisan darah. Tubuh Glimmer yang menggembung lalu hancur di tanganku.
Akhir hidup Cato yang mengerikan dengan para mutt. Itulah mimpi-mimpi buruk
yang sering muncul. "Aku juga. Apakah jadi lebih baik" Dengan melukisnya?"
"Aku tak tau. Aku rasa aku sedikit tak takut lagi untuk tidur pada malam hari, atau
begitu yang kukatakan pada diriku sendiri," katanya. "Tapi mimpi-mimpi itu tak
kemana-mana." "Mungkin mimpi-mimpi itu takkan pernah pergi. Haymitch masih bermimpi."
Haymitch tak mengatakannya, tapi aku yakin ini sebabnya dia tak suka tidur dalam
kegelapan. "Memang. Tapi bagiku, lebih baik bangun dengan tangan memegang kuas daripada
pisau," katanya. "Jadi kau benar-benar membencinya?"
"Ya. Tapi lukisan-lukisan itu luar biasa. Sungguh," kataku. Memang lukisannya
luar biasa indah. Tapi aku tak mau melihatnya lagi. "Kau mau lihat bakatku" Cinna
melakukannya dengan baik."
Peeta tertawa. "Nanti saja." Kereta bergerak maju. "Kemari, kita hampir tiba di
Distrik 11. Ayo kita lihat dulu."
Kami tiba di gerbong paling ujung. Ada beberapa kursi dan sofa yang bisa jadi
tempat duduk, tapi yang menyenangkan adalah jendela-jendela belakang bisa
dibuka hingga ke langit-langit jadi kami bisa berkereta di luar, di udara segar dan
kau bisa melihat pemandangan alam membentang luas. Tanah-tanah terbuka
dengan kawanan-kawanan ternak penghasil susu sedang merumput. Jauh berbeda
dengan rumah kami yang tertutup rapat. Kereta kami perlahan-lahan melambat dan
kupikir kami akan berhenti sebentar lagi, ketika ada pagar tegak menjulang di
depan kami. Berdiri kurang-lebih 10 meter dan ditutup dengan lilitan kawat berduri
diatasnya, pagar ini membuat pagar yang ada di Distrik 12 seperti tak ada artinya.
Mataku segera memeriksa bagian dasar pagar, yang penuh dengan deretan pelat
logam. Pasti tak bisa menggali liang di bawah sana, tak bisa meloloskan diri untuk
berburu. Lalu aku melihat menara-menara pengawas, yang ditempatkan dengan
jarak yang sudah diatur, dijaga oleh para petugas bersenjata.
"Nah, itu kelihatan beda," kata Peeta.
Rue pernah memberi kesan bahwa peraturan-peraturan diterapkan dengan lebih
keras di Distrik 11. Tapi aku tak membayangkannya seperti ini.
Sekarang musim panen, terhampar sejauh mata memandang. Lelaki, perempuan
dan anak-anak mengenakan topi jerami untuk menghalangi sengatan matahari, kini
berdiri dan menoleh memandang kami, mengambil waktu untuk meluruskan
punggung ketika mereka melihat kereta kami berlalu. Aku bisa melihat kebun
buah-buahan di kejauhan dan aku bertanya-tanya apakah Rue pernah bekerja


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disana, memetik buah dari dahan-dahan paling tinggi di pepohonan. Gubuk-gubuk
masyarakat"tampak lebih bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah di
Seam"dibangun di sana-sini, tapi semuanya tak berpenghuni. Semua harus turun
membantu ketika masa panen tiba.
Hamparan pemandangan itu terus berlanjut. Aku tak menyangka betapa luasnya
ukuran Distrik 11. "Menurutmu berapa banyak orang yang tinggal di sini?" tanya Peeta.
Aku menggeleng tak tau.Di sekolah mereka menyebutnya distrik yang besar, itu
saja. Tak ada jumlah penduduk yang disebutkan. Tapi anak-anak yang kami lihat
lewat kamera pada hari pemungutan setiap tahun tak mungkin cuma sampling dari
anak-anak yang sesungguhnya tinggal di sini. Apa yang mereka lakukan"
Melakukan pemungutan awal" Memilih pemenang lebih dulu dan memastikan
mereka ada di antara yang hadir saat pemungutan" Bagaimana caranya Rue bisa
berada di panggung tanpa ada seorangpun yang mau menggantikannya"
Aku mulai lelah melihat luasnya tempat yang tak berujung ini. Ketika Effie
memberitahu kami untuk berganti pakaian, aku langsung menurut. Aku pergi ke
kompartemenku dan membiarkan tim persiapanku menata rambut dan hiasan
wajahku. Cinna masuk membawa rok oranye indah berpola daun-daun musim
gugur. Kupikir Peeta akan menyukai warna itu.
Effie menjelaskan program hari ini kepadaku dan Peeta untuk terakhir kalinya. Di
sebagian distrik, para pemenang diarak keliling kota dan para penduduk bersorak
menyambut.Tapi di Distrik 11 penampilan publik kami dilaksanakan di alun-alun.
Alun-alun itu berada di depan Gedung Pengadilan, yang berupa gedung marmer
raksasa. Dulunya gedung ini pasti indah, tapi waktu telah mengikisnya. Bahkan
lewat televisi, kau bisa melihat tanaman merambat menguasai bagian depan
gedung yang mulai rapuh dan atapnya yang mulai doyong. Alun-alun sendiri
dikelilingi toko-toko yang bagian depannya sudah lapuk, kebanyakan sudah
ditinggalkan pemiliknya. Penampilan publik kami sepenuhnya berlangsung di luar, ditempat yang disebut
Effie sebagai beranda, ruangan luas berubin antara pintu depan dan tangga namun
tertutup atap yang ditunjang pilar-pilar. Aku dan Peeta akan diperkenalkan di sana,
walikota Distrik 11 akan membacakan pidato untuk menghormati kami, dan kami
akan menjawabnya dengan ucapan terima kasih yang sudah dituliskan oleh
Capitol. Jika pemenang memiliki sekutu istimewa di antara peserta-peserta yang
tewas, menambahkan beberapa komentar pribadi di anggap menunjukkan niat baik.
Harusnya aku mengatakan sepatah-dua kata tentang Rue dan Thresh, tapi setiap
kali aku berusaha menulisnya di rumah, aku cuma memandangi kertas kosong.
Sulit bagiku untuk bicara tentang mereka tanpa merasakan emosi yang meluap.
Untungnya, Peeta sudah menulisnya dan dengan sedikit tambahan, tulisannya bisa
jadi dari kami berdua. Pada akhir upacara, kami akan diberi semacam plakat, lalu
kami bisa masuk ke Gedung Pengadilan dan makan malam akan disajikan di sana.
Ketika kereta masuk ke stasiun Distrik 11, Cinna memberikan sentuhan terakhir
pada pakaianku, mengganti ikat rambut kuning dengan ikat rambut emas metalik
lalu memasang pin mockingjay-ku ke pakaianku. Tak ada komite penyambutan di
peron, hanya ada tim Penjaga Perdamaian yang terdiri atas 8orang, yang
mengarahkan kami agar naik ke bagian belakang truk berlapis baja.
Effie mendengus ketika pintu ditutup. "Sungguh, kita semua dianggap seperti
penjahat," katanya. Bukan kita semua, Effie. Hanya aku, pikirku.
Truk berhenti di bagian belakang Gedung Pengadilan dan kami turun. Kami
bergegas masuk ke gedung. Aku bisa mencium aroma makanan lezat yang sedang
disiapkan, tapi aroma itu tak menghilangkan bau gedung yang sudah berlumut dan
berjamur. Ketika kami berbaris masuk lewat pintu depan, aku bisa mendengar lagu
kebangsaan mulai dilantunkan di alun-alun. Ada orang yang memasangkan
mikrofon padaku. Peeta menggenggam tangan kiriku. Walikota memperkenalkan
kami ketika pintu-pintu besar itu mendecit terbuka dengan susah payah.
"Senyum lebar!" kata Effie, lalu mendorong kami. Kami mulai maju.
Ini dia. Ini dia saatnya ketika aku harus meyakinkan semua orang bahwa aku jatuh
cinta setengah mati pada Peeta, pikirku.
Terdengar tepuk tangan keras, tapi tak ada sambutan lain seperti teriakan, sorakan
dan siulan yang kami terima di Capitol. Kami berjalan melintasi beranda, yang
terlindung dari sengatan panas, hingga atapnya habis dan kami berdiri dipuncak
tangga raksasa dibawah sinar matahari.Setelah mataku berhasil beradaptasi dengan
cahaya, aku bisa melihat gedung-gedung di alun-alun digantungi berbagai spanduk
yang membantu menutupi kota mereka yang terabaikan ini. Alun-alun penuh
orang, tapi sekali lagi, ini cuma sebagian dari jumlah penduduk yang tinggal di
distrik ini. Seperti biasa, panggung khusus dibangun di bagian tangga paling bawah sebagai
tempat duduk keluarga dari peserta-peserta yang tewas. Di tempat Thresh, hanya
ada wanita tua berpunggung bungkuk dan gadis jangkung berotot yang kuduga
adalah saudara perempuannya. Di tempat Rue.. aku tak siap menghadapi keluarga
Rue. Orangtuanya, dengan wajah yang masih digurati kesedihan, 5 orang adiknya
yang mirip dengan Rue. Postur tubuh yang mungil, mata coklat berbinar. Mereka
seperti sekelompok burung berwarna gelap.
Tepuk tangan akhirnya usai dan walikota berpidato memberi penghormatan kepada
kami. Dua gadis kecil datang membawakan buket bunga yang amat besar. Peeta
melakukan tugasnya sesuai skenario dalam menjawab. Lalu aku menutup
salamnya. Peeta sudah menulis catatan-catatan pribadinya di kartu, tapi dia tak mengeluarkan
kartu itu. Malahan dia berbicara langsung dengan gayanya yang sederhana dan
meyakinkan tentang Thresh dan Rue yang berhasil masuk 8 besar, tentang mereka
yang membuatku tetap hidup"dan berarti membuatnya tetap hidup"dan
mengatakan bahwa ini adalah utang yang takkan pernah bisa kami bayar. Lalu dia
ragu-ragu sejenak sebelum menambahkan sesuatu yang tak tertulis dikartu.
Mungkin dia berpikir Effie bakal menyuruhnya menghapus tulisan itu. "Tidak
mungkin ini bisa menghapus kehilangan Anda semua, tapi sebagai tanda terima
kasih, kami ingin masing-masing keluarga peserta dari Distrik 11 menerima satu
bulan hasil kemenangan kami setiap tahun selama kami hidup."
Penonton langsung terperangah dan bergumam keras menanggapi pernyataan
Peeta. Sebelumnya tak pernah ada yang melalukan apa yang dilakukan Peeta ini.
Aku tak tau apakah perbuatannya ini legal atau tidak. Peeta mungkin juga tak tau.
Sementara keluarga para peserta hanya bisa memandangi kami. Hidup mereka
berubah selamanya ketika Thresh dan Rue kalah, tapi hadiah ini akan mengubah
hidup mereka lagi. Sebulan hadiah yang diperoleh pemenang bisa menafkahi satu
keluarga selama satu tahun. Selama kami hidup, mereka takkan kelaparan.
Aku memandang Peeta dan dia tersenyum sedih padaku. Aku seakan bisa
mendengar suara Haymitch. Kau bisa melakukan lebih buruk. Pada saat ini, tak
mungkin aku membayangkan bisa melakukan lebih baik daripada ini. Hadiah ini..
sempurna. Jadi ketika aku berjinjit mencium Peeta, ciuman itu sama sekali tak
terasa terpaksa. Walikota berjalan ke depan lalu memberi kami masing-masing plakat yang sangat
besar sehingga aku harus meletakkan buket bungaku agar bisa memeganginya.
Upacara hampir berakhir ketika aku memperhatikan salah satu adik Rue sedang
memandangiku. Umurnya pasti sekitar 9 tahun dan dia cetakan Rue persis, sampai
caranya berdiri. Meskipun mendengar kabar gembira tentang hadiah tadi, dia tak
gembira. Bahkan, tatapannya tampak mencemooh. Apakah karena aku tak
menyelamatkan Rue" Tidak. Tapi karena aku belum berterima kasih padanya, pikirku.
Gelombang rasa malu menghantamku. Anak itu benar. Bagaimana mungkin aku
cuma berdiri disini dan membiarkan Peeta yang bicara. Jika Rue menang, dia pasti
takkan membiarkan kematianku terlupakan begitu saja. Aku ingat bagaimana di
arena aku menghabiskan waktu untuk menaburi bunga di atas jasad Rue. Tapi apa
yang kulakukan itu tak ada artinya jika aku tak mendukungnya sekarang.
"Tunggu!" Aku tergopoh-gopoh maju, memeluk plakatku erat-erat. Waktu yang
diberikan untukku bicara sudah lewat, tapi aku harus mengatakan sesuatu. Aku
berutang terlalu banyak. Bahkan jika aku menyerahkan semua kemenanganku pada
keluarga-keluarga yang ditinggalkan, takkan bisa membayar tutup mulutku hari ini.
"Tunggu, kumohon."
Aku tak tau bagaimana memulainya.Tapi setelah aku mulai, kata-kata meluncur
seakan sudah tersimpan dalam benakku sejak lama.
"Aku ingin berterima kasih pada para peserta dari Distrik 11," kataku. Aku
memandang dua wanita yang jadi keluarga Thresh. "Aku hanya sekali bicara
dengan Thresh. Namun cukup sekali itu baginya untuk membiarkanku hidup. Aku
tak mengenalnya ,tapi aku selalu menghormati Thresh. Atas kekuatannya. Atas
penolakannya untuk bermain dalam Hunger Games dengan aturan orang lain, tapi
hanya dengan aturannya sendiri. Kawanan karier menginginkan Thresh bergabung
bersama mereka sejak awal, tapi dia tak mau melakukannya. Aku menghormati dia
untuk itu. Untuk pertama kalinya wanita tua yang bungkuk"mungkin nenek Thresh?"
mengangkat kepalanya dan senyum samar terlukis di bibirnya.
Penonton sekarang hening, begitu heningnya sehingga aku bertanya-tanya
bagaimana mereka bisa sediam itu. Mereka pasti menahan napas.
Aku menoleh memandang keluarga Rue. "Tapi aku seakan merasa seakan
mengenal Rue dan dia akan selalu bersamaku. Segala yang indah mengingatkanku
padanya. Aku melihatnya di bunga-bunga kuning yang tumbuh dipadang rumput di
dekat rumahku. Aku melihatnya di burung-burung mockingjay yang bernyanyi di
pepohonan. Tapi terutama, aku melihatnya pada diri adik perempuanku, Prim."
Suaraku bergetar, tapi aku hampir selesai. "Terima kasih untuk anak-anak anda."
Aku mengangkat dagu menghadap penonton. "Dan terima kasih semuanya untuk
roti yang kalian berikan."
Aku berdiri disana, merasa hancur dan kecil, ribuan mata tertuju padaku. Ada jeda
yang panjang. Lalu ada seseorang di antara penonton yang menyiulkan nada
mockingjay 4not milik Rue. Nada yang menandakan berakhirnya masa kerja di
kebun. Nada yang menandakan keamanan di arena pertarungan. Pada saat siulan
itu berakhir, aku menemukan orang yang bersiul, seorang pria tua yang memakai
kaus merah lusuh dan baju terusan. Matanya memandang mataku.
Apa yang terjadi selanjutnya bukanlah kebetulan. Kejadiannya berlangsung terlalu
bagus untuk terjadi secara spontan, karena dilakukan serentak. Semua penonton
menekankan tiga jari tengah tangan kiri mereka ke bibir lalu melambaikannya
padaku. Itu tanda kami dari Distrik 12, perpisahan terakhir yang kuberikan pada
Rue di arena. Kalau aku tak bicara dengan Presiden Snow sebelumnya, gerakan ini mungkin bisa
membuatku terharu. Tapi mengingat perintah-perintahnya untuk menenangkan
distrik-distrik yang gelisah, aku malah jadi ngeri. Apa yang akan dipikirkannya
tentang pernyataan salut di depan umum untuk gadis yang melawan Capitol ini"
Aku dihantam oleh kenyataan akibat tindakanku ini. Aku tak sengaja
melakukannya"aku hanya ingin berterima kasih"tapi aku telah menimbulkan
sesuatu yang berbahaya. Masyarakat Distrik 11 menunjukkan pendapat yang
menyatakan penolakan mereka terhadap Capitol. Hal semacam inilah yang
seharusnya kupadamkan! Aku berusaha memikirkan kata-kata apa yang harus
kuucapkan untuk mengecilkan kejadian tadi. Tapi aku bisa mendengar suara statis
dari mikrofonku yang diputus paksa, lalu Walikota mengambil alih. Aku dan Peeta
menerima tepuk tangan terakhir kalinya. Kemudian Peeta menuntunku kembali ke
pintu, tak menyadari ada sesuatu yang salah.
Aku merasa tak enak badan dan harus berhenti berjalan. Mataku berkunangkunang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Peeta.
"Cuma pusing. Mataharinya terik sekali," jawabku. Aku melihat buket bunga
ditangannya. "Aku lupa bungaku," kataku dengan suara tak jelas.
"Akan kuambilkan," katanya.
"Biar aku saja," jawabku.
Seharusnya kami sudah duduk aman di dalam Gedung Pengadilan, jika aku tak
berhenti, jika aku tak lupa pada bungaku. Dan dari beranda yang terlindung atap,
kami melihat segalanya. Dua orang Penjaga Perdamaian menarik pria tua yang bersiul tadi ke puncak
tangga. Mereka memaksanya berlutut di depan penonton. Lalu menembakkan
peluru ke kepala pria itu.
Bab 5 PRIA itu baru saja terguling ketika sederet Penjaga Perdamaian berseragam putih
menghalangi pandangan kami. Beberapa tentara memegang senjata otomatis ketika
mendorong kami kembali ke pintu.
"Kami akan pergi!" kata Peeta, sambil menepis Penjaga Perdamaian yang
mendesakku. "Kami mengerti, oke" Ayo, Katniss."
Tangan Peeta merangkulku dan menuntunku kembali ke Gedung Pengadilan. Para
Penjaga Perdamaian mengikuti 1-2 langkah di belakang kami. Ketika kami sudah
di dalam, pintu dibanting menutup dan kami bisa mendengar langkah-langkah
sepatu bot para Penjaga Perdamaian yang bergerak ke arah penonton.
Haymitch, Effie, Portia dan Cinna menunggu dibawah layar yang dipasang di
dinding, wajah-wajah mereka tampak tegang.
"Apa yang terjadi?" Effie bergegas menghampiri. "Kami tak dapat gambar lagi
sehabis pidato Katniss yang indah, lalu Haymitch bilang dia merasa mendengar
suara tembakan dan kubilang itu konyol, tapi siapa yang tahu" Orang gila ada
dimana-mana!" "Tak ada apa-apa, Effie. Ada truk tua yang meledak," kata Peeta dengan suara
datar. Terdengar dua kali bunyi tembakan. Pintu yang tertutup tak banyak meredam
bunyi tembakan itu. Siapa tadi yang ditembak" Nenek Thresh" Atau salah satu
adik Rue" "Kalian berdua. Kemari," kata Haymitch.
Aku dan Peeta mengikutinya, meninggalkan yang lain di belakang kami. Para
Penjaga Perdamaian yang ditempatkan di sekitar Gedung Pengadilan tak terlalu
tertarik mengawasi kami setelah kami aman berada di dalam gedung. Kami naik
melalui tangga melengkung yang megah. Di puncak tangga, ada lorong panjang
yang lantainya dilapisi karpet usang. Pintu ganda terbuka, menyambut kami
menuju ruang pertama yang kami lihat. Langit-langit ruangan tingginya hampir 10
meter. Desain-desain buah dan bunga-bungaan diukir di sana juga anak-anak
gendut bersayap memandangi kami dari setiap sudut. Bunga-bungaan di dalam
vas-vas di ruangan ini menyebarkan aroma yang memualkan. Pakaian malam kami
digantung di rak-rak yang disenderkan di dinding.Ruangan ini disiapkan untuk
kami, tapi kami bahkan tak cukup lama berada di ruangan ini untuk sempat
menaruh hadiah-hadiah yang diberikan untuk kami. Kemudian Haymitch menarik
mikrofon-mikrofon dari dada kami, menyusupkannya dibawah bantal sofa, lalu
melambai pada kami agar jalan terus.
Setahuku, Haymitch baru sekali berada disini, ketika dia juga melakukan Tur
Kemenangan lebih dari puluhan tahun lalu. Tapi dia pasti punya ingatan luar biasa
atau insting yang hebat, karena dia membawa kami naik melewati anak tangga
yang berliku-liku serta lorong yang makin lama makin sempit. Sesekali dia harus
berhenti dan membuka pintu dengan susah payah. Mendengar derit engsel yang
terdengar marah, jelas pintu itu sudah lama tak dibuka. Pada akhirnya kami naik
tangga menuju pintu rahasia. Ketika Haymitch membukanya, kami berada di
kubah Gedung Pengadilan. Ruangan besar itu penuh dengan perabot rusak,
tumpukan buku-buku dan jurnal, serta senjata-senjata berkarat. Cahaya matahari
berusaha masuk lewat jendela. Haymitch menendang pintu rahasia hingga tertutup
lalu menoleh memandang kami.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
Peeta langsung bisa menghubungkan semua yang terjadi di alun-alun. Siulan,
salam penghormatan, keraguan kami di beranda, pembunuhan terhadap pria tua itu.
"Apa yang terjadi, Haymitch?"
"Lebih baik jika ceritanya keluar dari mulutmu," kata Haymitch.
Aku tak setuju. Kupikir akan seratus kali lebih buruk jika aku yang
menceritakannya. Tapi setenang mungkin aku tetap memberitahu Peeta segalanya.
Tentang Presiden Snow, kegelisahan di distrik-distrik. Aku bahkan tak menghapus
cerita tentang ciumanku dengan Gale. Kukatakan dengan jelas bahwa kami semua
dalam bahaya, bahwa seluruh negara ini dalam bahaya karena tipuanku dengan
buah berry. "Aku seharusnya memperbaiki segalanya dengan tur ini. Membuat
semua orang yang ragu jadi percaya bahwa aku melakukan semuanya atas dasar
cinta. Menenangkan keadaan. Tapi ternyata yang kulakukan hari ini malah
membuat tiga orang tewas, dan semua orang di alun-alun akan dihukum."
Aku merasa mual sehingga aku harus duduk di sofa yang per dan bagian dalamnya
sudah menyembul keluar. "Kalau begitu aku juga memperburuk keadaan. Dengan memberikan uang itu,"
kata Peeta. Tiba-tiba tangannya menghantam lampu yang terletak diatas kotak
kayu sehingga melayang ke seberang ruangan.
"Ini semua harus dihentikan. Sekarang juga. Permainan ini, yang kalian berdua
mainkan. Kalian berdua saling menceritakan rahasia tapi tidak memberitahuku
seakan-akan aku tak ada hubungannya, tolol atau terlalu lemah untuk memegang
rahasia kalian." "Bukan begitu, Peeta.." Aku hendak menjelaskan.
"Ya, memang seperti itu!" Peeta membentakku. "Aku juga punya orang-orang
yang kusayangi, Katniss! Keluarga dan teman-teman di Distrik 12 yang juga bisa


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tewas seperti keluarga dan teman-temanmu jika kita gagal. Jadi, setelah segala
yang kita alami di arena, aku tak bisa mendapat kebenaran darimu?"
"Kau selalu amat baik, Peeta," kata Haymitch. "Pandai menampilkan diri di depan
kamera. Aku tak mau mengganggu semua itu."
"Yah, sayangnya kau menilaiku terlalu tinggi. Karena aku benar-benar
mengacaukannya hari ini. Menurutmu apa yang akan terjadi pada keluarga Rue
dan Thresh" Menurutmu mereka akan mendapat bagian dari kemenangan kami"
Menurutmu aku memberi mereka masa depan yang baik" Karena menurutku
mereka beruntung jika bisa tetap hidup hari ini!"
Sekali lagi tangan Peeta melemparkan barang hingga melayang, kali ini patung.
Aku tak pernah melihatnya seperti ini.
"Dia benar, Haymitch," kataku, "Kita salah dengan tidak memberitahunya. Bahkan
dulu sewaktu di Capitol juga."
"Bahkan di arena, kalian punya semacam sistem kode entah apa, kan?" tanya
Peeta. Suaranya lebih tenang sekarang. "Dan aku tidak jadi bagian dari sistem itu."
"Tidak. Tak ada sistem resmi. Aku bisa tau apa yang Haymitch ingin kulakukan,
dengan hadiah-hadiah yang di kirimkannya atau yang tak dikirimkannya," kataku.
"Yah, aku tak pernah dapat kesempatan itu. Karena dia tak pernah mengirimiku
apapun sampai kau muncul," kata Peeta.
Aku tidak pernah memikirkannya. Seperti apa pemikiran dari sudut pandang Peeta
ketika aku muncul di arena, telah menerima obat luka bakar dan roti, padahal dia
yang berada di ambang maut tak mendapat apa-apa. Seakan-akan Haymitch
menjagaku tetap hidup dengan mengorbankannya.
"Dengar, Nak..," kata Haymitch.
"Tidak perlu, Haymitch. Aku tau kau harus memilih salah satu dari kami. Dan aku
ingin Katniss orangnya. Tapi ini beda. Orang-orang mati di luar sana. Akan lebih
banyak lagi yang mati kecuali kami bisa tampil sangat bagus. Kita semua tau aku
lebih bagus daripada Katniss di depan kamera. Aku tak perlu dilatih bicara oleh
siapapun. Tapi aku harus tau apa yang kuhadapi," kata Peeta.
"Mulai sekarang, kau akan selalu kami beritau," Haymitch berjanji.
"Sebaiknya begitu," kata Peeta. Dia bahkan tak menoleh memandangku sebelum
pergi. "Apakah kau memilihku, Haymitch?" tanyaku.
"Ya," jawabnya.
"Kenapa" Kau lebih menyukainya," kataku.
"Memang betul. Tapi ingat, sebelum mereka mengubah peraturan, aku hanya bisa
berharap salah satu dari kalian tetap hidup," katanya. "Kupikir karena di antara kita
bertiga, dia yang bertekad paling keras melindungimu, kupikir kita bisa
membawamu pulang." "Oh." Hanya itu yg terpikir olehku untuk kuucapkan.
"Kau akan paham, ada pilihan-pilihan yang harus kuambil. Jika kita selamat dari
masalah ini," kata Haymitch. "Kau akan belajar."
Aku belajar 1 hal hari ini. Tempat ini bukanlah versi yang lebih besar dari Distrik
12. Pagar kami tak dijaga dan hampir tak pernah dialiri listrik. Para Penjaga
Perdamaian walaupun tak disukai tapi tak sebrutal mereka di distrik ini. Di Distrik
11 ini, mereka lebih menderita dan merasa putus asa. Presiden Snow benar. Satu
percikan kecil cukup untuk membuat mereka terbakar.
Segalanya terjadi terlalu cepat hingga tak sempat kucerna. Peringatan itu,
penembakan-penembakan barusan, kesadaran bahwa aku mungkin memulai
sesuatu yang berdampak amat besar. Semua ini tampaknya mustahil. Beda kalau
aku memang berencana untuk mengacaukan kondisi negara, tapi mengingat
keadaan.. bagaimana mungkin aku bisa menimbulkan masalah sebesar ini"
Yang Lain Other 2 Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat Wasiat Sang Ratu 1

Cari Blog Ini