Ceritasilat Novel Online

Perempuan Suci 3

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 3


"Salah satu rishta-nya berada di desa tetangga. Anak laki-laki itu tampan dan lulus dengan nilai B. Komputer atau entah apa. Keluarganya lumayan kaya. Mereka memiliki satu rumah besar dua lantai dengan enam kamar tidur, didirikan di atas empat belas meria lahan. Dan coba tebak" Mereka hanya memiliki dua orang anak lagi. Yaitu dua orang anak perempuan, kakak-kakak si lelaki ini, keduanya sudah menikah dan tinggal di tempat lain."
"Begitu...." Fatima menelan informasi itu mentah-mentah. Jadi, anak lelaki itu adalah anak laki-laki satu-satunya sempurna! Putrinya tidak akan mendapatkan saudari ipar lain-nya, dan rumah itu akan menjadi milik mereka pada akhirnya. Dan Firdausnya akan menjadi ratu yang berkuasa atas rumah itu.
"Bagaimana dengan orangtuanya"" tanyanya tajam.
"Ayahnya sudah meninggal dunia. Hanya ada seorang ibu, dan dia orang yang berjiwa lembut dan baik. Kurasa kau tidak dapat mengharapkan ibu mertua yang lebih baik daripada perempuan ini untuk putrimu, Fatima Jee. Aku mengenal beberapa ekor ular berbisa.... Kau bisa menerka siapa yang kumaksudkan, bukan"" Kulsoom mengedipkan sebelah matanya ke arah Fatima karena dia menyadari kehadiran Firdaus di halaman luar. Dia bisa mendengar sekaligus melihat mereka dari jendela yang terbuka. Seraya mencondongkan tubuhnya ke depan, Fatima menutup salah satu daun jendela kayu itu.
"Begitu...," ucap Fatima lirih. Sekali lagi dia tampak melamun. Keluarga ini cocok baginya. Dia tidak akan membiarkan mereka lolos dari cengkeramannya. Mereka adalah paket yang sangat menarik dan dia ingin membukanya sebelum terlambat. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak ibu yang mengincar anak lelaki ini dan keluarganya. Dia tinggal di desa tetangga. Jadi, putrinya tidak akan pergi terlalu jauh. Itu adalah satu tambahan keuntungan yang besar bagi mereka.
Merasa harus segera memutuskan, Fatima menyelipkan tangannya ke dalam tuniknya dan mengeluarkan dompet kecil dari lipatan leher bajunya. Setelah membukanya, dia mengeluarkan sehelai uang pecahan 500 rupee dan memberikannya kepada Kulsoom.
"Ini, saudariku Kulsoom. Menurutku, kita akan tertarik pada anak lelaki ini dan keluarganya. Aku memberimu ini sebagai penghargaan atas penelitianmu sekaligus meminta pertolonganmu untuk merahasiakan rishta ini dan tidak menukarnya untuk harga yang lebih tinggi yang ditawarkan siapa pun di antara tetangga kami, ataupun klienmu yang lain. Jika ternyata kemudian aku mendapatimu membisikkan satu kata saja tentang hal ini kepada orang lain, aku akan mencampakkanmu dan mencari bantuan mak comblang lainnya. Aku tidak akan membiarkanmu lagi mendekati anak-anakku atau teman-temanku. Apakah kau paham, Kulsoom Jee"" ujar Fatima seraya menatap tajam pada mak comblang itu.
"Ayolah, Fatima Jee, kau dapat memercayaiku. Aku tidak akan mengembuskan satu kata pun pada siapa pun mengenai yang sudah ditetapkan untuk kepuasanmu. Kau seharusnya mengenalku lebih baik." Dengan kecurigaan yang dinyatakan begitu terbuka oleh Fatima, Kulsoom segera berusaha meyakinkan kembali padanya bahwa dialah klien favoritnya.
"Sekarang ceritakan padaku tentang rishta yang kedua." Dengan pikiran yang sudah benar-benar tenang, Fatima kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan santai. Memiliki tiga orang putri untuk dinikahkan, dia harus menjelajahi jalan-jalannya sebanyak mungkin.
"Yang kedua tinggal di kota. Kau tahu tempat di mana aku sangat terkenal," bual Kulsoom
. Wajah bulatnya menyeruakkan sesungging senyuman berbangga hati. "Aku memiliki koneksi yang baik dengan mak comblang lainnya, kau tahu, di kota-kota dan desa-desa lainnya. Yang kutakutkan, satu-satunya masalah dengan rishta yang satu ini adalah bocah lelaki ini berasal dari sebuah keluarga besar. Ia adalah anak tertua dan mereka memiliki lima anak perempuan semuanya belum menikah, semuanya lebih muda daripada bocah lelaki itu, juga dua orang kakak laki-laki lainnya."
"Sudah, hentikan saja! Jangan berkata apa-apa lagi, Kulsoom Jee. Aku tidak yakin kami akan tertarik pada keluarga ini." Bayangan putrinya terlibat konflik dan disembunyikan dalam satu rumah tangga dengan begitu banyak saudari dan saudara ipar, dan dengan begitu banyak maskawin yang harus disiapkan, telah membuat Fatima mengerutkan keningnya karena ngeri. Memikirkan betapa dia telah mengorbankan tahun-tahun dalam kehidupannya yang berharga untuk bekerja di rumah orang lain hanya agar mampu membesarkan dan memberi pendidikan pada putri-putrinya, Fatima yakin tidak akan menyia-nyiakan semua itu dengan menanam salah satu putrinya di dalam sebuah rumah tangga keluarga besar. Putri-putrinya akan tersingkirkan dari segala hal yang lebih baik.
"Kulsoom, bagaimana tentang 'dia'" Kau tahu maksudku!" desis Fatima sambil mengangkat alisnya bak orang yang sedang bersekongkol, berharap si mak comblang akan memahaminya. Dia tidak ingin Firdaus mendengar apa
yang sedang mereka diskusikan. "Apakah dia sudah menemukan seorang rishta untuk putranya" Aku tahu kau bekerja untuknya juga. Jangan mengkhianatiku tentang yang satu itu, Kulsoom. Kau harus terus memberitahuku tentang segala yang terjadi di sana. Jika aku mendapatimu merahasiakan sesuatu dariku...," suara Fatima meluncur dahsyat. Tatapan matanya kembali menajam.
"Tidak, tentu tidak, saudariku Fatima, aku tidak akan mengkhianatimu. Namun, aku bisa mengatakan padamu blak-blakan bahwa dia sama sekali tidak berniat menjadikan Firdausmu sebagai menantunya, tidak akan pernah! Sekarang setelah Zarri Bano menolak menikah dengan Khawar, dia mengalihkan perhatiannya pada Ruby. Itu sebabnya, saudariku tersayang, jika kau sungguh-sungguh mendengarkan nasihatku, janganlah selalu berharap ataupun melayangkan pandanganmu ke arah hawali itu. Ini jalan buntu. Aku tahu kau sudah menancapkan pilihanmu pada Khawar dan menyukainya sejak lama, dan menganggapnya sebagai calon idaman untuk putrimu, tetapi ibunya benar-benar bermasalah. Kau sungguh-sungguh kehilangan peluang di sana, sayangku. Perempuan itu, seperti yang kau ketahui, adalah seekor ular berbisa. Kujelaskan padamu, dia membencimu dan keluargamu, dan akan memakan putrimu hidup-hidup lewat kenyinyirannya."
"Baiklah, Kulsoom, tolong jangan memancingku!" tukas Fatima kesal. "Suatu hari dia akan menyesalinya. Katakan padaku berapa orang perempuan di desa ini yang menjabat kepala sekolah dan begitu terpelajar. Kukatakan padamu, Firdausku akan berhasil berhasil dengan mudah!" Untuk menekankan inti kalimatnya itu, Fatima menjentikkan jarinya di depan wajah Kulsoom. "Ini hanya karena aku ingin Firdaus tetap tinggal di desa ini. Dia juga ingin tetap tinggal di sini, dan satu-satunya orang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kepribadiannya adalah Khawar...."
"Namun, tidak bagi keluarga Khawar, Fatima. Kau harus menerima kenyataan! Latar belakang keluargamu berbeda dengan mereka. Aku tak ingin menyinggung perasaanmu, tetapi perempuan itu sangat pongah dan sok. Dia tidak pantas sebagai rishta. Satu-satunya keluarga yang dianggap sejajar dengannya hanyalah keluarga Habib Khan. Kau tahu maksudku. Dia menyatakan derajat putri-putrimu ada di bawahnya."
"Ya, aku tahu benar maksudmu," jawab Fatima. Wajahnya memerah karena marah. "Apakah dia tidak menyadari bahwa aku bekerja untuk menopang kehidupan keluargaku" Jika ada kejadian yang serupa menimpa suaminya, apa yang akan dilakukannya" Membiarkan anak-anaknya kelaparan" Apakah keluargaku akan selamanya dihukum dan dicaci hanya karena aku bekerja untuk menafkahi mereka" Kau tahu bahwa pekerjaanku bukan pekerjaan yang kuwarisi, tidak ada
dalam hikayat keluargaku. Kami petani seperti penduduk desa lainnya sama seperti keluarganya. Aku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini." Air mata tampak menggenang di matanya.
"Meskipun demikian, aku tidak akan menyerah," serunya optimistis dengan suara nyaring. "Sudah bertahun-tahun kutahu Khawar ingin menikahi putriku. Ibunyalah yang bagaikan duri dalam daging. Aku akan berbicara pada buzurg kami, Siraj Din. Sebagai tetua desa ini dan laki-laki yang keluarganya menjadi tempatku mengabdikan tahun-tahunku yang berharga, mungkin dia dapat menengahi dan memberi fatwa yang baik bagi kita serta menampik pendapat perempuan itu...."
"Hentikan! Ibu, hentikan!" jerit Firdaus sambil menghambur ke ruangan itu dan berdiri di samping Fatima yang pipinya memerah menahan marah. "Aku sudah cukup mendengar semuanya sampai telingaku terasa panas membara karena malu. Kukatakan padamu, Ibu. Bahkan, andai perempuan pongah itu datang sambil berlutut, aku tidak akan mau melangkahkan sebelah kaki sekali pun ke dalam rumah mereka. Tidakkah kita memiliki harga diri atau apakah kita masih memiliki derajat, Ibu" Mereka pikir, siapa mereka" Berasal dari tanah yang seperti apakah mereka" Apakah mereka sudah kehilangan perikemanusiaan mereka dengan mementingkan diri sendiri dan mengagungkan berhektar-hektar tanah milik mereka" Ibu, bagaimana mungkin Ibu menganiaya kami semua dengan menyodor-nyodorkan diri pada mereka" Seolah-olah Tuhan hanya menciptakan Khawar dan tak ada lelaki lainnya. Tidak adakah lelaki atau keluarga lain di muka bumi ini"" Dia terhenti sejenak untuk menarik napas panjang.
"Jika Ibu tetap bersikukuh menikahkan aku dengan Khawar, tolong dengarkan aku, Ibu, dengarkan dengan saksama. Aku akan tetap melajang! Aku tidak akan menikah untuk menyenangkan Ibu, tidak juga untuk dewan sekolah, agar mereka tetap mempertahankan aku di desa ini. Jika Ibu ingin aku menikah dengan lelaki mana pun, aku akan mempertimbangkan calon yang diceritakan Kulsoom Jee di awal tadi, calon dari desa tetangga. Aku dapat tetap mengabdi di sekolahku dari sana. Aku pribadi merasa tertarik padanya, Kulsoom Jee," ujar Firdaus pada si mak comblang. "Tolong ceritakan padaku tentang lelaki itu dan keluarganya, dan tolong aturlah pertemuan di antara kedua keluarga kami."
"Ya, Sahiba muda," sambut Kulsoom dengan hormat. Matanya yang mungil berpindah-pindah memandang ibu dan putrinya itu. Dikejutkan oleh kemarahan putrinya, Fatima tidak mengatakan apa pun lagi selama beberapa menit saat mereka menyesap teh dan menyantap biskuit, selain menceritakan pada Kulsoom kisah sedih tentang Zarri Bano yang menjadi seorang Perempuan Suci.
Baru satu jam kemudian Kulsoom meninggalkan rumah Fatima sebagai seorang perempuan yang terpuaskan. Sambil menunggu ketiga putri Fatima, dia sudah dijamu hidangan khusus dan diberi hadiah istimewa berupa seperangkat pakaian oleh Fatima, selain juga sebotol krim pelembap untuk kulitnya yang kering dan berbintik. Kulsoom merasa yakin benar bahwa dia akan diberi hadiah yang cukup setelah berhasil menjodohkan putri-putri Fatima pada para rishta yang berharga.
* * * Saat melangkahkan kaki menuju rumah sahabatnya, Naimat Bibi, dijalan desa, Kulsoom melihat Khawar di atas kuda putihnya di tengah ladang. Dengan sengaja, dia mempercepat langkahnya menuju lelaki itu.
"Assalamu 'alaikum. Apa kabarmu, Anakku"" sapanya seraya terus menjaga jarak dari kaki-kaki kuda. Bagaimanapun, dia bukanlah seorang pencinta binatang. Tungkai-tungkai kakinya yang kerempeng baru saja lepas dari gips bulan lalu.
"Wa 'alaikumussalam. Aku baik-baik saja, Bibi Kulsoom. Apa yang membawamu ke pojok desa ini"" ujarnya menggoda mak comblang desa yang terkenal itu.
"Aku berkunjung ke rumah Fatima." Dengan bersemangat, Kulsoom memancing-mancing, sambil menengadah menatap si pemuda tampan itu. "Dia baru saja pulang ke desa. Aku tadi memberitahunya tentang beberapa rishta yang cocok untuk ketiga putrinya yang jelita."
"Termasuk untuk Firdaus"" Khawar bertanya lirih seraya membungkuk untuk menepuk paha kudanya dan menahan ekspresi wajahnya sewajar mungkin.
"Oh, tentu saja, khususny
a Firdaus. Dia yang tertua dan yang paling menjanjikan dari ketiga putri Fatima," jawab Kulsoom dengan sengaja menyunggingkan senyum yang seolah sedang menyembunyikan sesuatu.
"Di manakah para rishta ini""
"Satu di antaranya ada di kota. Lelaki itu seorang jenderal," bualnya licik. Pandangannya menengadah, membalas tatapan mata Khawar. "Yang lainnya tinggal di desa tetangga. Dia adalah anak lelaki satu-satunya dan seorang sarjana, memiliki seorang ibu yang sangat baik hati dan sebuah hawali besar, dan bekerja sebagai seorang penyelia di kota." Dia menambahkan kalimat terakhirnya sebagai penyemarak. Dia sangat piawai dalam membesar-besarkan suatu hal dan saat itu harus dilakukannya.
"Oh, kalau begitu Firdaus kita tidak bisa menjadi pilihan lagi. Jodoh yang hebat!" seru Khawar sedikit sarkastis. Cuping hidungnya membengkak. Kedua tangannya tampak tegang mencengkeram tali kekang kudanya.
"Ya, tentu saja," dengan licik Kulsoom mengompori pemuda itu, melihat tatapan maupun aksinya tampak seperti tidak tertarik. "Tidak seorang pun yang cocok di desa ini untuk Firdaus kita. Dia sendiri bersikukuh dirinya tidak ingin menikah dengan siapa pun di sini, bahkan jika mereka mengemis padanya sekalipun, atau andaikan dewan sekolah mengeluarkannya dari sekolah. Seharusnya kau dengar sendiri apa yang dikatakannya, Khawar. Dia begitu keras kepala dan garang padaku dan ibunya tentang itu."
"Mengapa""
"Eh...." Dengan sengaja Kulsoom memutuskan untuk bermain-main dengan nasib dan mengatakan yang sesungguhnya pada Khawar. "Kau tahu, Khawar, Fatima berangan-angan bahwa kau dan Firdaus akan menjadi pasangan yang serasi. Namun, tentu saja ibumu tidak akan mau mendengar hal itu, dan kini Firdaus benar-benar tidak ingin berhubungan dalam bentuk apa pun denganmu. Tahukah kau apa yang dikatakannya, Khawar sayang" Dia berkata, andaikan ibumu datang berlutut meminangnya sekalipun, dia tidak akan bersedia menjejakkan kaki ke rumahmu. Dapatkah kau bayangkan ibumu sedang berlutut mengemis-ngemis, Khawar" Firdaus tampaknya akan mengejar calonnya, seorang pemuda yang tinggal di desa tetangga. Menurutku, penting bagimu untuk mengetahui hal itu, Anakku. Karena aku tahu bahwa kau selalu mengincar Firdaus dan aku tidak ingin kau menyalahkanku karena semua itu sudah terlambat." Perempuan itu lalu mengembuskan napas berat.
"Dia akan segera dipetik, begitu yang dikatakan ibunya, di depan hidungmu sendiri, Khawar. Aku tidak akan berkata apa-apa lagi aku sudah mengatakan semuanya. Dan ibumu tidak akan berterima kasih padaku. Aku mungkin sudah menciptakan seorang musuh dan sekaligus kehilangan bisnisku dengannya tetapi lihatlah, aku peduli, Khawar! Aku peduli pada kalian berdua. Kalian adalah anak-anak yang tidak pernah kumiliki. Meski demikian, aku juga tidak ingin menimbulkan jurang di dalam keluargamu. Selamat malam, Anakku, semoga Allah mewujudkan semua mimpimu." Dia mengakhirinya dengan doa dan kembali ke jalan desa.
Dia meninggalkan Khawar di atas kudanya, meninggalkan begitu banyak hal untuk dipikirkannya. Khawar tahu permainan apa yang sedang dimainkan Kulsoom. Kelelakiannya terluka. Apa yang diceritakan Kulsoom bahwa Firdaus tidak ingin menikah dengannya, ataupun menjejakkan kaki di rumahnya, membuatnya seakan-akan harus menghadapi dua perempuan angkuh. Seorang perempuan yang ingin dinikahinya dan seorang ibu yang tidak akan membiarkannya menikahi perempuan itu.
Ini adalah saatnya bertindak! Masalah ini harus dituntaskan, dengan cara apa pun. Dia tidak merasa menikmatinya, tetapi tampaknya pertentangan dengan ibunya tak dapat ter-elakkan. Seperti yang telah dikatakan Kulsoom, Firdaus mungkin saja akan dipetik oleh mereka yang disebut "jenderal" dan "manajer". Mungkinkah Firdaus akan meninggalkan dia dan sekolahnya" Dia memiliki kepentingan ganda, di hatinya, juga pada saat itu sebagai pihak yang berwenang.
* * * Ketika Khawar sampai di rumahnya, api kebencian ibunya terhadap Fatima dan anak-anaknya semakin membara. Oleh karena itu, Kaniz tidak menangkap sorot mata dingin putranya.
"Si tukang cuci itu memamerkan bingkisan yang dibawanya dari kota!" Kaniz mul
ai mengomel, serapah menghambur ke arah putranya. "Aku berani bertaruh semuanya hanya berisi barang-barang bekas dari keluarga itu," tudingnya. Sementara Khawar tampak begitu dingin. Ibunya melihat raut beku itu, tetapi dia enggan mencermatinya. Pada kenyataannya, dia terpicu oleh julukan kejam ibunya, yaitu "si tukang cuci", untuk menggambarkan Fatima. Bulu mata Khawar yang panjang dan lentik mengatup dan menyembunyikan raut mukanya dari tatapan sang ibu.
"Ibu, dia tidak selalu bekerja sebagai tukang cuci!" tukasnya. "Dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Perempuan-perempuan manja seperti Ibu bahkan tidak tahu bagaimana memberi makan anak-anak mereka, apalagi membesarkan dua keluarga sekaligus menyokong seorang suami yang cacat. Aku mengagumi perempuan itu jika Ibu ingin tahu."
Bibir Kaniz ternganga lebar karena terkejut. Dia mendengus kesal. "Aku tahu mengapa kau mengagumi perempuan itu," ujarnya. Suaranya menjadi pelan dan terdengar berbahaya. "Itu pasti karena gadisnya! Si sombong yang angkuh dan sok itu."
"Gadis itu adalah perempuan yang ingin kunikahi, Ibu. Namun seperti Ibu, dia juga sangat angkuh. Dia sudah menyatakan tidak akan pernah menjejakkan kakinya di rumah ini, bahkan andai Ibu berlutut memohon padanya sekalipun." Dia berhenti. Dalam hati, dia menertawakan sorot mata ibunya mendengar hal itu. Mulut Kaniz terbuka sepenuhnya karena kaget, sambil tampak sekuat tenaga berusaha mengumpulkan kata-kata keluar dari mulutnya.
"Aku... aku...." Napasnya tersengal. "Aku memohon padanya untuk menikah denganmu"" pipi Kaniz yang berwarna terang itu lalu memerah. Mata berbentuk kacang almondnya berpijar. "Tidak akan pernah! Jika kau ingin menikah dengan perempuan itu, kau hanya bisa melakukannya tanpa seizinku dan di luar rumah ini! Dan... dan aku tidak akan pernah membiarkannya menjejakkan kaki di rumah ini!" dia menuntaskannya dengan emosi yang meluap-luap.
"Dengarkan aku baik-baik, Ibu," buru Khawar. Sejenak dia tak peduli bahwa ibunya sedang mengalami histeria hebat. "Firdaus adalah perempuan yang ingin kunikahi." Dia tidak ingin mengatakan hal itu, tetapi ibunya telah menggiringnya untuk menumpahkan semuanya.
"Kalau begitu kau harus memilih antara aku dan gadis itu. Aku akan mengusirmu dan mengingkarimu sebagai putraku!" jerit Kaniz. Kini dia benar-benar tidak mampu mengendalikan diri. Tangannya menekan kuat dadanya yang terasa akan meledak.
"Baiklah, Ibu! Aku tidak akan mengikuti tiranimu lagi. Aku sudah hampir dua puluh tujuh tahun dan aku bisa membuat keputusanku sendiri. Jika Ibu begitu picik dan berpikir sempit, aku terpaksa akan bertindak sendiri dan melakukan apa yang kuanggap benar. Aku tidak ingin Ibu mengejar-ngejar rishta lainnya untukku. Aku tidak akan kehilangan Firdaus untuk orang-orang kota yang licik. Dia milik desa ini. Dia harus bersamaku dan tinggal di dalam rumahku. Meski ini tidak masuk akal bagimu, Ibu, atau meskipun aku harus keluar dari rumah ini." Dia memberi ibunya ultimatum. Matanya sungguh-sungguh tampak keji.
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah!" teriak Kaniz pada putranya. Dia menjadi begitu kasar dan nyaris saja membanting-bantingkan kakinya ke lantai. "Kau boleh pergi, bocah kasmaran tak tahu diuntung! Tidak bisakah kau jatuh cinta dengan seorang gadis lainnya yang lebih baik daripada anak perempuan tukang cuci, anak perempuan dari musuh terbesarku itu" Kau sudah mengkhianatiku, Khawar. Aku tidak akan pernah mengampunimu jika kau menikahi gadis itu!" Kaniz menjadi sangat murka. Pipinya berwarna merah karenanya.
"Aku akan menikahi gadis itu! Gadis itu akan segera menjadi kepala sekolah dan akan mampu menegakkan kepalanya lebih tinggi daripada Ibu dan status asli keluarga Ibu. Orang dari segala kalangan akan menghormatinya. Dia bernilai dua puluh kali lebih berharga daripadamu, Ibu!" Khawar membalas dengan kejam.
Kemudian, merasa marah pada dirinya sendiri dan menyesali amuknya, dia pun bergegas keluar dari ruangan itu. Dia tahu betul bahwa dirinya sudah sangat melukai dan menyinggung perasaan ibunya, tetapi biarlah. Hari ini dia sudah melewati batas kesabarannya dalam menca
ndai ibunya. Kaniz tenggelam begitu dalam di kursinya. Halilintar baru saja menyambar. Pikirannya pun berkecamuk. Langit baru saja runtuh di atas kepalanya dan berjatuhan di atas bahunya. Putra semata wayangnya, kepada siapa dia mengabdikan hidupnya selama dua puluh tujuh tahun, baru saja memberinya sebuah ultimatum. "Bagaimana mungkin dia bisa mengkhianatiku seperti ini"" Kaniz bertanya pada dirinya sendiri dalam kebingungan, sementara matanya mulai berair.
Tidak akan pernah! Dia lebih memilih mati daripada menyambut gadis itu ke dalam rumahnya. Putranya telah benar-benar gila. Majnoon! Dia mungkin baru saja menenggak minuman yang disiapkan oleh penyihir itu. Itulah cara yang digunakannya untuk memikat hati Khawar. "Betapa Fatima saat ini akan melonjak-lonjak gembira!" erangnya.
Jantungnya berdebam keras di dalam rongga dadanya. "Aku akan mati terlebih dahulu daripada menerima perempuan itu sebagai menantuku." Kaniz bergidik jijik. Mimpi ter-buruknya kini membentang di depan matanya. Kehilangan anak laki-lakinya untuk perempuan itu, dan mendapati ibunya, si tukang cuci gendut itu, berjalan-jalan di sekitar rumahnya yang indah.
"Tidak akan terjadi dalam seribu tahun!" geramnya sendirian di dalam kamarnya.
15. SEBAGAI SEORANG sahabat yang setia, Kulsoom Bibi, si mak comblang, memutuskan mendatangi sahabat karibnya, Naimat Bibi, untuk "menghormati"-nya dengan berita menggemparkan tentang cucu perempuan tertua Baba Siraj Din yang kini menjadi seorang Perempuan Suci.
Sambil memastikan bahwa gelang-gelang kacanya tidak pecah terbentur daun pintu kayu yang keras di rumah sederhana berkamar tiga milik Naimat Bibi, Kulsoom mendorong pintunya lebar-lebar. Kalau Naimat Bibi sedang ada di rumah, pintu akan selalu dibiarkan terbuka lebar. Kulsoom pun melangkah masuk perlahan ke dalam lorong gelap menuju halaman rumah terkecil di desa itu. Hidung Kulsoom mengerut jijik. Dia menutupkan dupatta sifon putihnya yang baru ke hidungnya. Dia sedang berusaha menahan bau tidak sedap yang menyengat.
Benda yang paling mencolok di halaman itu adalah pohon jambu yang besar. Dahan-dahan rindangnya yang membengkak karena buah-buahan yang berbentuk seperti pir, nyaris menutupi seluruh halaman, menutupinya dari semburat cahaya redup matahari yang juga tampak membias di atas atap rumah Naimat Bibi.
"Naimat Bibi!" seru Kulsoom riang sambil melangkah perlahan di atas pijakan semen yang sudah rusak menuju halaman rumah. Beberapa kali kakinya terpeleset di atas pijakan ini. Matanya menjelajahi plesteran dinding yang sudah rompal di sana sini, mempertontonkan lapisan batu bata yang retak di bawahnya. Temannya itu sedang membungkuk di pinggir sebuah kuah besar berisi air mendidih di atas sebuah kompor gas di beranda yang digunakannya sebagai dapur. Dengan sebilah sendok kayu besar, dia tampak sibuk mengaduk-aduk gunungan tepung di atas air.
Ketika menangkap sosok temannya mendekat, Naimat Bibi segera bangkit, sampai nyaris tersandung bangku kecil tempat kakinya berpijak. Dengan seulas senyum lebar menyeruak di wajahnya yang berwarna seperti chaie, dia menyapa Kulsoom dengan "Bismillah! Bismillah! Kulsoom Jee...."
"Apa yang kau lakukan dengan air itu"" Kulsoom bertanya bingung.
"Membuat sabun," serunya gembira seraya menghadiahkan pelukan hangat yang biasa dilakukannya. Kulsoom terkesiap kaku dalam pelukan temannya. Dia sangat bimbang apakah kedua tangan Naimat Bibi yang memeluknya itu cukup bersih. Dia amat mencemaskan dupatta sifon putihnya yang baru.
Naimat Bibi kembali ke kuali besar berisi adonan sabun. Di hadapan sorot mata penasaran Kulsoom, dia mulai memasukkan dan mengaduk sebongkah lemak binatang yang baru diambilnya dari tukang jagal bersama sejumlah minyak jamur.
"Pikirkan tanganmu, Naimat Bibi. Ingatlah apa yang terjadi padamu saat kau menambahkan soda," penuh perhatian Kulsoom memperingatkan saat temannya itu menyendok sejumlah besar soda bubuk.
"Aku tahu, tetapi," dengan malu-malu Naimat Bibi mengangkat ujung kerudung usang yang khusus dikenakannya dalam situasi semacam itu, "aku sudah membuat satu lubang lagi di sini."
Kulsoom tertawa denga n nada mengejek. Dia heran mengapa temannya itu harus bekerja sekeras itu. "Mengapa kau disibukkan dengan semua ini, Naimat Bibi" Jangan katakan kau sudah membuat dua kuali sabun." Kulsoom melangkah menuju dua belanga tanah merah yang besar, dicat, dan dipoles dengan pola geometris yang ditinggalkan di salah satu sudut halaman agar terkena panas matahari. Dia menekankan jempolnya ke gumpalan adonan berwarna kuning pekat.
"Adonan itu sudah mengeras dengan baik, Kulsoom Jee. Kau bisa menyentuhnya. Aku membuatnya karena tidak mampu membeli bubuk busa. Ini akan dijual dalam kotak-kotak dan harganya lumayan mahal. Lagi pula sekotaknya tidak lebih dari satu hari mencuci saja, apalagi jika harus mencuci seprai. Batangan kecil sabun itu tidak cocok untukku. Sabun seperti itu selalu tergelincir dari tanganku yang besar. Aku sudah terbiasa dengan gerakan sederhana menyiramkan sabun cair ke atas pakaian dan menguceknya dengan saksama di dalam air sabun.
"Ini, aku sudah membuat sebaskom sabun lagi untukmu, meski aku tahu kau nyaris tidak pernah mencuci sendiri baju-bajumu. Tahukah kau, Kulsoom Jee, sesungguhnya aku senang membuat sabun. Aku pasti satu-satunya perempuan yang membuat sabun buatan rumah di zaman sekarang ini. Gadis-gadis muda menertawakanku saat melihatku menggiling butiran gandum sendirian untuk membuat tepung. Semua orang telah terpuruk pada kehidupan modern penuh kemewahan dan kemalasan sekarang ini. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus berpuas hati."
Terhibur oleh nada suara temannya yang nakal, Kulsoom Bibi tidak tahan untuk menimpali, "Dengarlah, Naimat Bibi, ada orang yang memiliki pekerjaan lain yang lebih baik untuk mengisi waktunya daripada menggiling gandum di rumah dan tak jemu-jemunya membuat berbaskom-baskom sabun. Aku salah satunya yang sama sekali tidak punya waktu luang. Jika aku duduk di rumah menggiling gandum setiap pagi dan membuat berbaskom-baskom sabun, bagaimana aku bisa menjalankan bisnis perjodohanku" Aku harus selalu berada di luar rumah, mengunjungi banyak keluarga, membina hubungan dengan semua orang. Mengapa kau amat senang membuat kehidupanmu begitu sulit" Tidakkah kau sudah cukup sibuk sebagai seorang koki desa" Jasamu selalu dibutuhkan saat ada tetamu tak terduga datang di keluarga mana pun di desa ini, dan tentu saja oven chapatti-mu menyala dua kali sehari, memanggang untuk hampir setengah penduduk desa ini."
"Yah, bisnisku tidak sama menguntungkannya dengan bisnismu!" balas Naimat Bibi membela dirinya. "Kau tahu tidak, aku tidak mendapatkan bingkisan pakaian, giwang emas, dan uang. Dari semua chapatti itu, aku hanya mendapatkan keping-keping recehan, paisa, atau makanan untuk pekerjaanku. Yang ingin kulakukan adalah sebuah pekerjaan yang tidak begitu rendahan, tetapi memberi keuntungan yang lumayan. Ada usul, Kulsoom Jee""
"Tidak, aku tidak punya!" jawab Kulsoom kesal. Kini dia agak terganggu dengan arah pembicaraannya. "Dan asal kau tahu, kau mungkin malah menghasilkan jumlah total paisa yang lebih banyak setiap harinya. Aku, sebaliknya, harus menunggu berbulan-bulan untuk diberi hadiah atas kerja kerasku. Lagi pula, aku tidak datang kemari untuk
membicarakan sabun atau penggilingan tepung! Aku datang untuk memberitahumu tentang Zarri Bano kita. Aku baru saja mendengar dari Fatima bahwa dia akan menjadi seorang Perempuan Suci."
Kulsoom memberi jeda. Dia merasa puas dengan efek kata-katanya pada temannya itu.
Mulut Naimat Bibi dengan bibir tipisnya dan jajaran gigi yang tak beraturan itu telah menganga lebar. Dia langsung lupa pada adonan panas yang sedang diaduknya sehingga adonan dalam panci itu berbuih-buih.
"Apa yang kau katakan"" Naimat Bibi bertanya dengan bingung. Dia sudah mengabaikan sendok kayu yang tanpa disadarinya jatuh ke dasar kuali itu. "Kau sedang menceritakan padaku tentang majikan muda kita yang terpelajar dan gemerlapan itu menjadi seorang Bibi" Kupikir, mereka melakukan adat itu di masa lalu saja dan itu hanya terjadi di desa ini, bukan di kota. Bagaimana mungkin" Mengapa""
"Ini tentu saja berkaitan dengan wafatnya tuan muda kita, Jafar, yang merupakan ahli war
is mereka." "Menurutmu, apakah mereka benar-benar membuatnya menjadi seorang perempuan saleh" Aku tidak bisa memercayainya. Dia berpakaian bagaikan seorang aktris film sepanjang waktu. Aku tidak bisa membayangkannya terbungkus chador. "
"Aku merasakan firasat buruk bahwa mereka akan menikahkannya pada Kitab Suci Al-Quran, pada keimanannya. Para Zemindar ini adalah lelaki-lelaki keji, bagaikan macan dan banteng. Dan mereka sangat posesif pada kaum perempuannya."
"Jadi, itu berarti gadis malang itu tidak akan pernah menikah ataupun memiliki anak"" Wajah keriput Naimat Bibi kini menunjukkan keprihatinan dan mimik seram.
"Dia bukan satu-satunya yang tidak diberkahi dengan kehadiran anak di desa kita ini," ujar Kulsoom pedih. "Aku telah keburu menjadi janda sebelum mempunyai anak. Kau sebaliknya. Tampaknya kau memiliki rahim yang tidak pernah ditakdirkan untuk dikaruniai anak."
"Namun, suamiku hidup bersamaku selama sepuluh tahun," tukas Naimat Bibi mengingatkan temannya. Dia merasa tersinggung dengan nada suara Kulsoom yang meremehkan dan hinaannya terhadap kesuburan rahimnya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Kulsoom berkata, "Aku tahu, sahabatku. Aku masih saja percaya kau seharusnya tetap bersamanya, daripada menceraikannya saat kau mengizinkannya untuk menikah lagi. Dia akan menjagamu dan mendukungmu, sebagaimana yang seharusnya dilakukannya. Dengan begitu, kau tidak usah menyalakan tandoor-mu."
"Tidak, temanku. Aku tidak menyesalinya. Aku sangat mandiri, orang yang puas pada diri sendiri. Aku bisa saja tinggal dengan istri keduanya dan membantu membesarkan anak-anaknya. Aku bahagia dia sekarang mendapatkan anak-anak dari perempuan lain, tetapi aku tidak memiliki kasih sayang seorang ibu, tidak juga aku mengabaikan mereka. Mengapa kau membicarakan diriku" Berbicaralah tentang Chaudharani Kaniz. Dia seorang perempuan cantik, tuan tanah yang kaya raya, dan masih di usia lima puluh tahunan. Dia tidak pernah menikah lagi, bukan" Dia mengorbankan hidupnya untuk putranya. Si tuan tanah, Younus Raees, dari desa tetangga, sempat mencoba selama hampir tiga tahun untuk meminangnya, tetapi dia tidak pernah menikahi lelaki itu atau lelaki mana pun. Tahukah kau bahwa Younus baru saja menjadi seorang duda""
"Oh, ayolah, kita tidak perlu membicarakannya, dia adalah orang yang tidak ramah," ejek Kulsoom jahat. "Dia tidak mampu mencintai siapa pun kecuali dirinya sendiri. Suami macam apa yang sanggup bertahan dengan sikapnya yang keji" Dia kini sedang kehilangan putranya akibat sifat keras kepalanya, karena dia tidak mengizinkan anaknya itu menikahi Firdaus. Aku baru saja berbicara pada Khawar, anaknya. Mengenai sang Chaudharani, aku sepertinya akan mengunjunginya nanti untuk memberitahunya mengenai Zarri Bano."
Naimat Bibi tertawa mengejek. Gilirannya untuk balas menggali keterangan dari temannya itu.
"Kedua keluarga itu, keluarga Siraj Din dan keluarga Khawar, bagaikan keluarga kembar. Orang yang pertama, Siraj Din, pasti sudah diberi tahu tentang apa yang terjadi pada Khawar. Sekarang ini Kaniz pasti sedang menunggumu untuk datang berkunjung dan memberitahunya...." Perempuan tua itu terhenti ketika melihat temannya menunjukkan wajah terkejut.
"Ah!" jerit Kulsoom saat dia merasakan kotoran gagak jatuh di atas dupatta-sifon putihnya yang baru, tepat di atas kepalanya.
Dengan jijik, Kulsoom cepat-cepat beranjak dari bawah pohon. Pipi Naimat Bibi menggembung menahan tawa, tetapi dengan bijak dia memalingkan wajahnya dari temannya itu.
"Itu selalu terjadi padamu, bukan, Kulsoom Jee"" gumamnya sambil mencoba menegakkan kepalanya.
"Ya, memang. Dan aku sungguh-sungguh tidak terhibur. Lihatlah dupatta baruku. Barang ini didatangkan jauh-jauh dari Barra! Setiap kali berdiri di bawah pohonmu, aku pasti dihujani oleh gagak-gagak sialmu itu. Kau harus menebang pohon ini. Setiap kali aku memandangi lantaimu, ada tahi di mana-mana. Itu menjijikkan dan berbahaya bagi kesehatan."
Dengan pipi merona merah, Naimat Bibi berujar, "Aku menggosok lantaiku setiap hari, Kulsoom Jee!" Dia agak tersinggung.
Kulsoom melepaskan dupatta-nya dan melemparkannya
ke atas lantai tepat di depan kaki Naimat Bibi. "Kau memiliki banyak sekali sabun. Jadi, kau bisa mencucinya untukku sekarang!"
"Ah, aku memang memiliki banyak sabun, jangan khawatir tentang itu. Gagak-gagak ini sudah bertengger sepanjang hari. Aku tidak tahu apakah aku akan didatangi tamu lain."
"Mungkin saja anak-anak tirimu akan datang mengunjungi ibu tirinya dari kota." Kini giliran Kulsoom menggoda temannya itu.
"Haram hukumnya!" Sambil tertawa dan menunjukkan wajah lucu pada temannya, Naimat Bibi masuk ke tempat penyimpanan barangnya yang kecil untuk mengambil kerudung lain bagi sahabatnya. Bagaimanapun, Kulsoom tidak mungkin tak berkerudung di jalanan.
Sambil menyambar dupatta sutra baru milik Naimat Bibi, Kulsoom membalikkan tubuhnya. "Aku akan mengembalikannya padamu nanti!" Dia pun berlalu dari rumah temannya itu.
Tiba-tiba saja Kulsoom membayangkan segelas susu skim dingin, lassi, dan mengetahui dengan pasti bahwa benda itu melimpah ruah di rumah Sardara. Dia segera melangkahkan kakinya ke arah rumah perempuan penjual susu itu. Dia juga, tentu saja, akan membantu Sardara, mengingat perempuan itu menderita sakit persendian dan selamanya terikat di atas kursi rodanya. Kini bergantung pada kebaikan jiwa dan kesetiaan teman-temannya seperti Kulsoom untuk mendapatkan berita-berita terbaru, baik itu pergunjingan maupun masalah yang lebih serius.
Kini, kabar bahwa putri tuan tanah mereka yang begitu jelita dan gemerlapan akan menjadi seorang Perempuan Suci merupakan "berita utama" bagi sebagian besar penduduk desa ini. Jika bukan berita itu, Kulsoom tidak tahu lagi berita seperti apa yang lebih menghebohkan. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin jika Ratu Elizabeth dari Inggris mengunjungi desa mereka, itu akan menjadi berita yang lebih heboh. Di penghujung hari itu, semua keluarga yang menghargai kehadiran Kulsoom akhirnya mengetahui apa yang akan terjadi pada Zarri Bano mereka yang "malang".
16. "TIDAK MUNGKIN!" Sikander menghantamkan kepalan tangannya ke atas meja. Matanya menatap nanar ibunya di rumah mereka di Karachi. Dia berdiri tegak, menjulang tinggi di atas ibunya yang sedang duduk di sofa. "Zarri Bano menjadi Shahzadi Ibadat! Omong kosong apa ini, Ibu""
Bilkis memandangi putranya dengan tatapan putus asa. Tidakkah dirinya sendiri sempat mengalami guncangan luar biasa ketika Habib menelepon dan memberitahukan hal itu dengan tegas, "Zarri Bano sudah memutuskan untuk menjadi seorang Shahzadi Ibadat, seorang Perempuan Suci." Dia merasakan kehilangan yang amat dalam, mengingat tidak akan ada pernikahan antara putranya tercinta dan perempuan jelita tinggi semampai yang telah menawan hati dan pikiran Sikander.
Tidak lama sesudahnya, Bilkis balas menelepon dan minta berbicara dengan Shahzada. Hal pertama yang merebut perhatian Bilkis adalah adanya perubahan dalam nada suara dan sikap perempuan itu. Gaya bicara Shahzada yang sangat resmi telah kehilangan kehangatan yang biasa dirasakannya. Bahkan dari jarak bermil-mil, Bilkis tahu bahwa ada sesuatu yang salah.
Dia menyimak dengan perasaan terpuruk, dengan benak terbagi dalam dua bayangan Zarri Bano. Perempuan muda yang cantik jelita dan anggun serta perempuan yang hidup dengan khidmat hanya untuk beribadah dan berkerudung tertutup, terpisah dari hiruk-pikuk duniawi yang riang gembira dan ditakdirkan untuk tidak pernah mengalami pernikahan atau memiliki keturunan.
Bilkis sudah berusaha mengatakannya selembut mungkin pada putranya, tetapi pada akhirnya efeknya sama saja sebuah bom bagi Sikander.
"Mereka tidak bisa melakukannya! Ini barbar! Zaman apa ini, negeri apa yang mereka tinggali" Dalam Islam, tidak ada biarawati, tidak ada istilah perempuan menikahi Kitab Suci Al-Quran! Omong kosong apa ini" Tidak ada satu perempuan pun yang bisa mengingkari apa yang telah digariskan alam padanya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Siapa yang menemukan tradisi gila ini" Apakah mereka sempat mempelajari Kitab Suci Al-Quran yang menyebutkan bahwa para janda dan mereka yang diceraikan harus didorong untuk menikah kembali pada kesempatan pertama" Jadi, bagaimana mungkin seora
ng perawan muda yang cantik bisa dipaksa untuk mengingkari pernikahan" Itu inti permasalahannya, bukan" Agar dia tidak bisa menikahi siapa pun. Habib tidak menginginkan dia menikahiku, aku tahu itu! Sadarkah mereka bahwa mereka sedang berbuat kejahatan" Apakah mereka...." Ibunya segera memotong kemarahan Sikander yang tengah membuncah itu.
"Tolong berhentilah, Sikander. Itu sudah terjadi dari generasi ke generasi pada kelas masyarakat tertentu di Sindu dan ini adalah masalah yang sangat dirahasiakan. Adat istiadat mereka sangat kuat. Tak seorang pun yang menentang orang-orang ini. Mereka sangat kuat dan memiliki pengaruh amat besar pada masyarakat sekitarnya. Kaum perempuan mereka hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atau otonomi."
"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa percaya bahwa itu adalah Zarri Bano yang asli. Dia menentang semua stereotip itu. Aku tidak percaya dia akan menyetujui semua gagasan gila itu. Dia terlalu menikmati hidupnya, dan tidak akan menjalani hidup terasing. Itu bukan Zarri Bano. Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi!"
"Sikander, tolong tenanglah. Duduklah dulu," pinta Bilkis sambil menepuk sisi sofa di sampingnya. Sikander memandangi titik itu. Tubuhnya begitu tegak menjulang dan tampak tegang.
"Aku juga sama terkejutnya denganmu, Sikander," lanjut Bilkis lembut. "Aku teramat menyukai Zarri Bano. Kau bisa berbicara dengannya jika itu akan membantumu, putraku yang tampan, tetapi menurutku, kau hanya akan membenturkan kepalamu ke dinding batu," keluhnya.
"Aneh rasanya mengingat kembali kejadian itu sekarang, tapi aku ingat sempat mendengar beberapa orang perempuan bergunjing, setelah kematian Jafar, tentang 'Perempuan Suci' dalam sejarah keluarga itu. Mereka mempergunjingkannya, dan aku tidak memerhatikannya saat itu karena kupikir itu hanyalah legenda, tetapi aku mengingatnya sekarang. Aku juga menangkap sikap dingin Habib pada kita, khususnya padamu. Nyaris tampak seperti dia sedang membencimu. Matanya mengawasimu bagaikan seekor elang. Seolah-olah kau adalah ancaman pribadi baginya. Saat itu, aku hanya mengartikannya sebagai kedukaan mendalam atas kehilangan putranya, Jafar, tetapi setelah kupikir kembali, aku seharusnya lebih mencermati isyarat-isyarat ini. Orang tidak akan memperlakukan calon menantunya dengan sikap bermusuhan seperti itu, atau terhadap calon besannya, tanpa kesantunan seperti itu. Tidakkah kau memerhatikan sesuatu saat itu""
"Tidak, Ibu. Seperti Ibu, aku hanya mengartikannya sebagai sikap berkabung Habib atas putranya. Aku tidak bisa melepaskan Zarri Bano, Ibu! Aku akan menghancurkan tradisi mereka ini. Bahkan andaikan aku tidak memiliki kepentingan pribadi sekalipun. Adat seperti ini adalah kejahatan terhadap sesama manusia."
Dia berlalu dari hadapan ibunya dan berdiri sendirian, berpikir keras di tengah ruang tamu.
"Aku akan pergi ke kampung halaman mereka," Sikander memutuskan. "Aku akan mendatangi Habib dan Zarri Bano besok."
"Baiklah, putraku. Lakukan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau berhak melakukannya. Meskipun belum secara resmi bertunangan denganmu, Zarri Bano tetaplah tunanganmu." Dengan penuh cinta, Bilkis mengelus bahu putranya, mencoba menenangkan dan meredakan kekakuan otot-ototnya.
* * * Pagi yang hangat dan cerah di bulan Mei, tepat satu bulan setelah kematian Jafar. Zarri Bano sedang duduk di teras halaman belakang rumah, di depan meja sambil menikmati cahaya matahari pagi sebelum menjadi panas. Dengan mata terpejam, dia meresapi wangi perdu mawar dan nyanyian sekawanan burung pipit di pepohonan.
Ruby bergabung dengannya untuk menyantap sarapan pagi di beranda dan kemudian pergi ke pasar dengan ibunya untuk membeli beberapa helai kain. Habib pergi mengurusi bisnisnya di Hyderabad. Sekarang ini semua tamu telah
kembali ke rumahnya masing-masing dan hanya tinggal tiga orang pelayan yang tetap tinggal di rumah itu, yang kini sibuk membersihkan berbagai sudut gedung itu.
Kedamaian yang melingkupinya meninabobokan Zarri Bano hingga dia tertidur. Sambil bersandar pada tumpukan bantal di sofa, dia membiarkan koran di pangkuannya terjatuh
ke lantai. Zarri Bano terbangun dengan gundah, merasa dia sedang diawasi. Sesosok bayangan tinggi membias di tubuhnya. Dalam keadaan sepenuhnya terjaga, matanya mengerjap-ngerjap terbuka dan menatap celana panjang linen putih yang membungkus sepasang kaki berotot. Lalu dia memandang ke arah dada bidang yang berbalut kemeja rapi berkanji, kemudian pandangannya mendarat di wajah tampan kecokelatan karena terbakar matahari, di mana sepasang mata kelabu dengan sorot dinginnya sedang menatap nanar ke arahnya.
"Apakah aku sedang bermimpi"" Zarri Bano bertanya pada dirinya sendiri. Ketika bibir yang jantan itu menyunggingkan seulas senyum datar, Zarri Bano tersentak, hingga jantungnya nyaris berhenti berdetak. Ini bukan mimpi! Sikander berdiri di hadapannya dengan karismanya. Gelombang rasa senang menghantamnya dan menjelajahi sekujur tubuhnya, menyirami taman mawar di hatinya, dan membuat bunga-bunganya bermekaran indah.
Dia jadi sadar dan malu mengingat penampilannya yang tidak rapi. Rambutnya yang panjang dan ikal terurai di bahunya tak beraturan dan dia merasa telanjang tanpa dupatta menutupi kepala hingga ke dadanya. Sambil menyilangkan tangan ke dadanya, dia meletakkan tangan yang satunya di pipinya, berusaha menutupi dirinya dari pandangan Sikander. Namun, dia tetap menikmati perhatian yang dipancarkan kedua mata itu.
Sepasang mata itu ada di mana-mana! Mengungkungi wajahnya, menelusuri leher jenjang nan putih susu, lekukan femininnya yang lembut, kedua lengannya yang setengah terbuka, dan menggerayangi rambutnya yang bergelombang indah.
Tenggelam dalam gairah tatap mata Sikander yang melingkupinya, Zarri Bano tidak mampu memalingkan wajahnya dari sepasang mata itu atau wajahnya yang tampan. Detak jantungnya berpacu dengan iramanya. Hawa hangat telah menyebabkan rona merah jambu mengalir cepat naik dari tenggorokan ke kedua pipinya.
Tiba-tiba saja, sopan santun dan rasa malu seorang perempuan dengan cepat menampakkan dirinya. Dengan satu gerakan rikuh, tangannya meraih dupatta-nya dari kursi di sampingnya. Di depan tatapan nanar Sikander, Zarri Bano mengerudungkannya ke sekeliling bahu hingga ke bagian depan tubuhnya, menutupi dirinya sepenuhnya.
Kini Zarri Bano merasa marah pada dirinya sendiri karena tertangkap basah dalam sikap seperti itu. Tatapan Sikander telah menelanjanginya. Dengan degup jantung semakin kencang karena rasa malu, dia bangkit dan berdiri gugup sambil kembali menyelempangkan dupatta-nya ke sekeliling bahu.
"Sahib Sikander, bagaimana kau bisa sampai kemari"" tanyanya. "Kau mengejutkanku." Dia tidak mampu menatap langsung mata Sikander.
"Aku bisa melihatnya, Sahiba Zarri Bano," balas Sikander lembut. Sorot matanya tampak hangat diwarnai tawa. "Aku datang dengan cara yang wajar. Fatima memberitahuku bahwa selain dirimu, tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini. Ini tepat sekali untukku. Karena kaulah yang ingin kutemui."
"Silakan, Sahib Sikander, duduklah." Zarri Bano mempersilakannya duduk di salah satu kursi. Sambil mendudukkan pantatnya, Sikander memberi isyarat serupa mempersilakan Zarri Bano duduk. Zarri Bano pun terduduk, berhadap-hadapan dengan Sikander, merasa agak tegang tetapi tak mampu mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Sikander dan mengingat setiap detail dan waktu yang pernah mereka habiskan berdua.
"Tahukah kau, Zarri Bano, aku berharap setelah kita menikah nanti, kita akan memiliki anak-anak secantik kau."
Pipi Zarri Bano memerah saat Sikander menyebut kata anak-anak. Matanya segera tertunduk menatap kedua tangan di pangkuannya. Sebutir peluru rasa sakit dan kerinduan menghunjam tubuhnya, membuat wajahnya memucat, dan semburat kepedihan tampak di kedua matanya. Dia memalingkan pandangannya ke hamparan perdu mawar, memandanginya, tetapi tidak sungguh-sungguh menikmati mawar-mawar merah jambu dan kuning yang sedang merekah indah itu. Tanpa ampun, dia menginjak-injak taman mawar cintanya. Lalu, dia menoleh ke arah Sikander sambil menegakkan duduknya. Matanya tenggelam ke dalam sorot mata Sikander; kedukaan terpancar di sana sehingga dia berharap dan berdoa agar lelaki itu mengenali s
orot pedih itu dan memahaminya.
"Sahib Sikander," Zarri Bano memulainya dengan nada suara yang amat rendah. Suara yang datang dari lubuk hatinya yang terdalam, "Bagimu dan aku, tidak akan ada pernikahan ataupun anak setidaknya, tidak bersamaku. Kau mungkin sudah mendengar bahwa aku akan menjadi seorang Shahzadi Ibadat. "
"Apakah orangtuamu yang memaksamu melakukannya"" tuduh Sikander. Dia nyaris tak mampu menahan emosinya.
"Tidak, Sikander. Aku melakukannya atas keinginanku sendiri. Itu memang tradisi keluarga kami, tetapi pada akhirnya keputusan ada di tanganku. Gagasan itu diajukan padaku oleh ayahku dan aku menerimanya."
"Tetapi mengapa, Zarri Bano"" tanya Sikander frustrasi. Dia membungkukkan badannya dan meraih tangan gadis yang dicintainya itu. Secara naluriah, dia ingin merengkuh tubuh Zarri Bano untuk berkomunikasi dengannya dalam tataran ragawi jika kata-kata tidak mampu mewakilinya.
Zarri Bano terpukau mengamati gerakan jemari Sikander. Dia merasa tersihir oleh sentuhannya. Sekali lagi, sebagaimana yang pernah terjadi di Karachi, dia mendapati dirinya amat menikmati sensasi jemari maskulin Sikander di telapak tangannya. Tiba-tiba saja dia menginginkan jemari itu merengkuh dan membelai wajahnya. Sampai kemudian kata-kata sang ayah berkelebat laksana petir, dan membuatnya merasa bersalah dan terpuruk: "Kau menginginkan seorang lelaki dalam hidupmu." Merasa terguncang dan malu, Zarri Bano mengibaskan tangannya, seolah sentuhan Sikander telah menodai dan membakar tangannya. Zarri Bano memalingkan wajahnya.
"Mulai hari ini, Sahib Sikander, kita tidak memiliki hubungan apa pun. Karena itu, kau tidak boleh menyentuhku. Kau harus menjaga jarak. Kita tidak berarti apa pun satu sama lain." Dia berdoa Sikander tidak memedulikan keangkuhan dalam kata-kata yang dilontarkannya.
"Zarri Bano, demi Allah! Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu" Tidakkah pertunangan kita berarti sesuatu bagimu"" Kemarahan dan gugatan bergetar dalam diri Sikander.
"Itu sudah lama berlalu," ujarnya dalam suara yang lirih dan parau seraya merasakan kepedihan saat mengingat dengan jelas malam-malam di pantai waktu itu. "Banyak yang sudah terjadi setelah kejadian itu. Sahib Sikander, tolong maafkan aku."
"Aku tidak percaya ini!" Sikander berdiri tegak; sosok yang tinggi menjulang dan tampak murka. "Tatap aku, Zarri Bano. Mari kita hentikan omong kosong ini. Kau bersedia menikah denganku dan aku ingin menikahimu. Itulah yang kita berdua inginkan dan sudah kita idamkan sejak pertama kali kita bertukar pandang di mela. Kita memiliki sesuatu yang sangat istimewa. Kita berdua tahu itu! Tidakkah kau merasakannya" Siang itu, di mela, saat itu seolah-olah kedua jiwa kita bersentuhan dan membaur menjadi satu. Jangan biarkan mereka memisahkan kita, Zarri Bano, kumohon. Kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sepasang kekasih. Ini yang akan kita lakukan, kita akan menikah! Aku tidak peduli dengan adat istiadat barbarmu...."
Kepala Zarri Bano tersentak. Kata "barbar" menyengat hatinya dan menggiring keangkuhannya. Zarri Bano yang angkuh hidup kembali. Dengan mata memercikkan amarah, dia menukas, "Siapakah kau sampai berani menilai tradisi kami barbar, Sahib Sikander"" Dia kini berdiri juga dan menatap langsung ke wajah Sikander dengan galak. "Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang tradisi kami."
"Benar, aku hanya tahu sedikit saja tentang tradisi keluargamu, tetapi aku tahu bahwa jika kau menjadi Perempuan Suci, mereka akan merampas keperempuanan dan kebebasan pribadimu. Dengarkan aku, Zarri Bano, kau tak bisa mengorbankan dirimu sendiri demi adat istiadat dan tradisi keluargamu."
"Mengorbankan"" tanya Zarri Bano sinis. Tanpa disadari, Sikander telah menyentuhnya tepat di titik rawan. "Siapa bilang aku akan dikorbankan" Tahukah kau apa itu Shahzadi Ibadat" Tahukah kau betapa pentingnya peranan itu"" Suaranya terdengar samar di telinganya sendiri.
"Aku tidak tahu soal peranan itu, tetapi aku tahu kau tidak bisa menjadi istriku atau ibu bagi anak-anakku, atau diperbolehkan hidup normal bersamaku sebagai seorang perempuan. Tidakkah kau ingin menjadi peremp
uan normal" Tidakkah hal itu berarti sesuatu bagimu" Tidakkah aku berarti bagimu"" tanya Sikander frustrasi seraya mengamati dengan takjub sorot mata Zarri Bano yang berkilat-kilat dan berisi kobaran api ke arahnya. Berkilau bagai permata, sepasang mata itu adalah salah satu yang membuatnya terpikat pada Zarri Bano.
"Aku tidak membutuhkan kuliahmu, Sikander." Dia menoleh ke arah lelaki itu, berdiri tegak dan tampak angkuh. "Dengan sikap kelelakian yang kau tampilkan, kau terlalu lancang menyimpulkan apa yang kuinginkan. Tidak semua perempuan menginginkan anak atau mendambakan seorang lelaki dalam kehidupan mereka. Kau pikir aku tidak mampu menjalani kehidupanku tanpa kehadiranmu" Kau pikir aku begitu menginginkanmu sehingga aku akan melepaskan keluargaku untukmu" Betapa sombongnya! Tidak akan pernah! Kau adalah seorang lelaki egois. Menurutmu, mengapa aku tidak pernah memilih calon suami sebelumnya" Sebagian besar karena aku tidak pernah merasa yakin apakah aku memang sejak awal menginginkan pernikahan. Kau tidak ada bedanya, Sahib Sikander! Pernikahan tidak lebih dari suatu lembaga seperti juga aspek-aspek lainnya dalam hidup. Dalam dunia patriarkat kita, pernikahan bisa menjadi sebuah pengorbanan yang lebih besar daripada yang kau bayangkan akan kujalani.
"Pada kenyataannya, dalam perananku sebagai seorang Perempuan Suci, aku akan mendapatkan kebebasan yang lebih besar dan kemerdekaan sebagai seorang perempuan. Aku tidak akan terikat dengan lelaki mana pun, tidak pada aturan atau komitmen mana pun, hanya pada keyakinan dan yang menyertainya, layaknya orang normal lainnya. Apa yang lebih baik daripada komitmen kepada keyakinan kita" Aku tidak tertarik pada 'pertemuan dua jiwa' atau 'jiwamu' yang sedemikian bersemangat kau ungkapkan. Aku tidak pernah berniat menjadi kekasihmu! Jangan hina aku dengan pembicaraan yang memalukan seperti itu. Kau sedang berbicara pada perempuan yang berbeda sekarang, Sahib Sikander," tuntasnya seraya menatap tajam ke arah Sikander.
Sebersit perasaan putus asa menyerang Sikander. Jika Zarri Bano sendiri yang menginginkannya, apa yang bisa dilakukannya" Pertempuran itu tiba-tiba saja usai baginya ketika dia berusaha menyatukan perempuan yang kini sedang berdiri tegak di hadapannya itu dengan perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta di mela, dan kemudian di kebun buah.
Merasa terpuruk dan dikhianati, dia berlalu dari hadapan Zarri Bano dan mengarahkan pandangannya ke arah pohon anggur yang berbuah lebat di sudut halaman. Detik demi detik berlalu, Zarri Bano tetap berdiri tegak, mengawasi gerak Sikander yang menjauhinya. Matanya kini membersitkan kepedihan. Seakan berada dalam kebingungan, Sikander menoleh padanya sekali lagi.
"Dengarkan aku!" dia mulai lagi. "Lupakan tentang pernikahan, lelaki, aku, anak-anak, dan jiwa, tolong pikirkan saja individualitasmu. Kau sebagai seseorang. Kebebasan pribadimu sedang dipertaruhkan di sini. Tidakkah kau lihat, Zarri Bano, kau akan dijadikan seseorang yang bukan dirimu" Di manakah keyakinan dan idealisme feminismu" Bagaimana mungkin seorang perempuan sekaliber dirimu, dengan sebuah gelar kesarjanaan, bekas editor sebuah majalah, di akhir abad kedua puluh ini bisa sedemikian dibutakan" Aku tidak mampu menggambarkannya, Zarri Bano. Ini adalah zaman perempuan menjadi perdana menteri. Zamannya para Benazir Bhutto."
"Sahib Sikander, tolong jangan coba menilaiku dalam peranan apa pun. Kau sama sekali tidak mengenalku atau perempuan kaliber apa diriku ini. Hanya karena aku memiliki gelar sarjana, apakah itu membuatku berbeda dengan perempuan lainnya yang bukan sarjana""
"Kau sangat terpelajar. Kau dapat berpikir untuk dirimu sendiri, Zarri Bano. Tahukah kau, betapa ironisnya ini mengingat bidang yang kau kuasai adalah psikologi" Tidakkah penelitian dan bidang kerjamu mengajarimu sesuatu tentang perilaku manusia" Kau adalah tumbal bagi tradisi keluargamu, terutama bagi ayahmu!" Ketulusan dalam suara Sikander tidak mampu ditangkap oleh Zarri Bano.
"Sahib Sikander, sekali lagi kau menyimpulkan terlalu jauh. Aku paham tentang perilaku manusia, dan aku sudah mempel
ajarinya, seperti yang kau katakan. Aku tahu apa yang kulakukan. Tolong jangan rendahkan kepintaranku. Pendidikan tinggi mungkin sudah kukenyam, aku mungkin salah satu anggota pergerakan perempuan APWA, dan aku telah memperdebatkan serta mendukung isu-isu perempuan. Namun, tampaknya kau melupakan apa yang kuceritakan padamu di restoran di Karachi. Aku masih sebuah mikrosom dari keluargaku, seorang anak perempuan dari seorang
zemindar yang kaya raya dan sangat berkuasa. Keluarga, perilaku, dan etiket sosial kami diatur oleh sebentuk kode etik dan adat khusus keluarga besarku. Itu yang tidak mampu kau pahami sebagai seorang asing dari kelompok sosial lain. Aku bagian dari semua itu dan yang memang menjadi tempatku. Aku tidak bisa memisahkan diri dari semua itu. Tidak sesederhana itu!"
"Jadi, individualitasmu akan dikorbankan demi 'adat' keluargamu, untuk 'semua' itu. Jika kau memang sudah dicuci otak untuk melakukan sesuatu yang dicerca orang normal, apa lagi yang bisa kulakukan sebagai seorang lelaki gher biasa untuk mencegah agar kau tidak dikorbankan"" Dia menekankan kata gher itu dengan pahit. Zarri Bano tetap menganggap dan memperlakukannya sebagai seorang asing. Sikander tidak akan pernah memaafkan Zarri Bano untuk pengkhianatan itu. Dia memerhatikan kekakuan di bibir Zarri, menyadari gadis itu tersinggung oleh kata-katanya.
Mengikuti kata hatinya dan dipicu oleh hasratnya yang menggebu untuk berkomunikasi dengan Zarri, sekali lagi, dengan satu gerakan lembut, Sikander meraih tangan Zarri Bano ke dalam genggaman tangannya.
Jantung Zarri berdegup amat kencang, tetapi dia sama sekali tidak berusaha menarik tangannya lagi. Ketika Sikander mendekatkan tangan itu ke bibirnya, Zarri merasakan seberkas cahaya hangat menerangi batinnya, mengembuskan angin segar ke dalam hatinya yang bersemi kembali. Dia mengatupkan matanya. Sikander melanjutkan penjelajahannya ke sekitar wajah Zarri.
Keduanya hanyut dalam apa yang terjadi berikutnya. Jemari Zarri Bano telah hidup dan bergerak dengan sendirinya. Jemari itu mulai bergerak menyentuh bibir Sikander, menyentuh dan membelai sekitar mulut dan rahangnya. Dengan mata terhunjam pada Zarri, Sikander menggerakkan wajahnya perlahan mengimbangi sensualitas jemari Zarri, sampai akhirnya jemari itu sekali lagi menyentuh bibirnya, membalas tekanan mulut Sikander atasnya.
Tercekat ketakutan, mata Zarri Bano tampak mengerjap-ngerjap. Dengan pipi memerah, dia menyentakkan tangannya dari mulut Sikander. "Apa yang sudah kau lakukan padaku"" tuduhnya panik. Zarri melangkah mundur menjauhinya dan memandangi jemarinya merasa malu.
Mantra itu sudah terucap!
"Kita tidak berarti apa-apa satu sama lain, katamu, Zarri Bano"" Sikander mengejeknya dengan pahit. "Ya, kau baru saja mengkhianati dirimu sendiri. Kita akan selalu menjadi sepasang kekasih!" Seraya sejenak menatap mata gadis itu, dia berkata parau, "Selamat tinggal, Zarri Bano. Jangan harap aku akan datang ke upacara penahbisanmu, aku malah akan mengundangmu ke upacara pernikahanku. Kau akan mati untukku hari itu. Aku bersumpah kau tidak akan pernah bisa mengenyahkanku dari benakmu dan hatimu sampai hari kematianmu. Aku menjanjikanmu balas dendam ini, Zarri Bano. Kau akan berharap kau tidak pernah mendengar namaku atau melihatku." Sikander berpaling dan berlalu dari Zarri Bano tanpa pernah menoleh ke belakang lagi. Keluar dari halaman belakang, memasuki rumah, dan kemudian keluar dari pintu masuk.
Dari tempatnya berdiri, Zarri Bano mendengar deru suara jip yang berlalu. Dia terpaku di tempatnya. Tangannya masih merasakan sentuhan Sikander. Kata-kata yang dilontarkannya mengoyak perasaannya hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. Perlahan-lahan dia menguatkan diri dan memulihkan nalarnya yang kacau. Adakah orang lain yang menyaksikannya menyentuh wajah Sikander" Dia sudah melupakan dunia di sekelilingnya. Untung saja, tak ada seorang pun yang melihat. Sambil duduk di kursi rotan, dia memejamkan matanya, menggosok-gosokkan jemarinya, dan membayangkan kembali dengan jelas sensasi kehangatan mulut Sikander di jemarinya itu.
Sontak dia merasa takut den
gan apa yang sudah dilakukannya. Kata-kata terakhir Sikander yang begitu sinis kembali bergaung di kepalanya. Dia berkata bahwa dia akan mengundangnya ke pesta pernikahannya dan dia akan mengingatnya terus hingga akhir hayatnya. Tubuhnya terasa luluh oleh rasa sakit yang tiba-tiba menyengat. "Aku akan mencucurkan darah untuknya hari itu!" ratapnya lirih dengan sepasang mata terus terpejam rapat.
Ayahnya tak akan pernah tahu apa yang sudah dikorbankannya untuk melepaskan Sikander keluar dari hidupnya. Melepaskan Sikander adalah sebuah pengorbanan yang jauh lebih hebat daripada keperempuanannya sendiri. Dia sudah menukarkan cintanya untuk adat istiadat keluarganya. "Ini harga yang terlalu mahal untuk kubayar!" gumamnya pilu seraya mendekap kedua tangannya di dadanya.
17. ZARRI BANO tetap berdiam diri di halaman sepanjang siang itu. Tak ada keinginannya untuk bangkit dan mengerjakan sesuatu; hanya rongga kosong yang gelap dalam batinnya yang harus ditanganinya. Sikander sudah pergi. Dia telah melepaskannya. Itu adalah akhir dari episode pendek yang manis dalam kehidupannya kebangkitan hasratnya sebagai seorang perempuan dan penemuannya atas cinta.
Benaknya tiba-tiba saja terserang bayangan dirinya sendiri terbungkus sebuah jubah hitam panjang. "Bagaimana aku mampu mengenakan burqa"" ratapnya pada dirinya sendiri. "Aku tidak akan pernah terbiasa mengenakannya. Bukan aku. Aku yang memiliki naluri alamiah terhadap kemewahan dan mode ini akan tercekik hidup-hidup di balik jubah itu."
Saat itu Habib Khan keluar menuju halaman rumah dan melangkah pasti ke arah putrinya, menatapnya dengan sorot mata tegang. "Aku mendengar bajingan dari Karachi itu datang hari ini. Betulkah, putriku"" Zarri Bano mengangkat matanya yang hampa ke arah sang ayah.
"Ya, dia dari sini," ujarnya datar. Dengan sengaja, dia menghilangkan sebutan "Ayah". Dia merasa enggan menggunakan kata itu akibat kebencian yang dirasakannya pada ayahnya. Habib duduk di kursi di hadapan Zarri Bano, sesosok tubuh tinggi yang tampak kaku, dikuasai kegugupan.
"Ya"" desaknya tajam. Matanya menghunjam ke wajah putrinya.
Zarri Bano tidak menanggapi, hanya memalingkan wajahnya, memandangi rerumputan hijau di sekitar mereka. "Zarri Bano "
"Tidak!" tukasnya cepat. Dia melayangkan pandangannya ke arah sang ayah. "Zarri Bano sudah mati sejak detik ini juga. Jangan memanggilku dengan nama itu!"
Terkesiap, Habib dilingkupi perasaan gugup. Putrinya baru saja mengatakan bahwa Zarri Bano sudah mati. Apakah itu berarti dia sudah mengusir Sikander" Dia membuka mulutnya untuk menggali kebenaran dari putrinya itu.
Namun, kemudian dia mengatupkannya lagi setelah melihat garis yang menunjukkan kebisuan di mulut Zarri Bano. Habib sadar putrinya saat itu sengaja tidak mengacuhkannya, sebagai upaya menjaga jarak secara fisik dan emosional darinya.
"Zarri Bano putriku masih hidup dan sehat walafiat," sahutnya menyiratkan nada lebih ringan dalam nada bicaranya. "Dia sedang duduk di hadapanku. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa mati"" Zarri Bano memutar kepalanya dan memandangi ayahnya, merasa menang.
"Ayah, marilah kita hentikan saja segala kekonyolan ini dan segera menuntaskannya. Ayah tidak memberiku pilihan lain, bukan" Aturlah upacara penahbisan itu secepat mungkin."
Habib nyaris tak mampu menanggung kepedihan dan kehancuran yang tampak dalam sorot mata putrinya. Dia merengkuhnya, tetapi Zarri Bano membalikkan tubuhnya menjauhi sang ayah dan berlari ke kamarnya.
Habib menyaksikan kepergian putrinya dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lega karena Zarri Bano akan menjadi Perempuan Suci, meski dia tidak mampu menanggung kepedihan dan derita yang langsung menyergapnya.
Tampaknya dia sudah memenangi pertempuran sekaligus kalah di dalamnya. Pada satu sisi Zarri Bano benar dia memang sudah mati karena dia bukan orang yang sama lagi. Kedipan dalam bola mata hijau permata Zarri Bano, cinta yang membuncah untuk sang ayah, menjadi pemuas dahaga hidupnya. Jantungnya bergetar, mengingat tatapan kebencian yang diterimanya dari sepasang mata Zarri Bano tadi.
"Oh, ya, Allah!" dia melolong nyaring untuk diri
nya sendiri. "Apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini" Aku mencintai putriku. Menurutku, inilah yang tepat untuknya, untuk keluargaku, tradisi kami, dan warisan kami. Di atas segalanya, dia akan meraih ketenaran, penghormatan, dan pengabdian. Dengan semua ini, mengapa aku masih saja merasakan kepedihan" Seakan sesuatu yang salah sedang berlangsung dan aku berjalan di negeri kematian."
Sebagai ganjarannya, sakit kepalanya kumat. Sejak kematian putranya, dia terus didera sakit kepala. Dia bangkit dengan letih, tetapi tak merasa kalah. Kini ada tujuan yang jelas dalam hidupnya.
Hanya ada satu tindakan yang harus dilakukan keluarganya. Banyak yang harus dipersiapkan untuk upacara itu. Itu bukanlah upacara pernikahan tradisional, tetapi atas izin Allah dia akan membuat upacara penahbisan putrinya yang jelita sebagai sebuah perayaan, sebuah acara yang akan dikenang selama berpuluh-puluh tahun. Dia akan menyerahkan putri kesayangannya pada tugas barunya, dengan segala kemegahan dan perayaan yang bisa diciptakan untuk sebuah pernikahan.
Dengan benak yang mulai terhibur membayangkan sebuah perayaan agung, Habib merasakan tenaganya bangkit kembali. "Akulah sang majikan, sang kepala keluarga, pemegang kekuasaan tertinggi, di mana aku memang sudah ditakdirkan untuk menikmatinya," katanya pada dirinya sendiri dengan senang hati, seraya memilin-milin kumis lebatnya.
18. SIKANDER DUDUK dalam mobil jipnya di tempat yang sama seperti saat ada di mela, lebih dari dua bulan lalu. Saat menengadahkan kepalanya, dia memandang pohon minar yang menjulang tinggi, dengan kerimbunan cabang-cabang daun hijaunya, berayun-ayun tertiup angin siang itu.
Sambil menutup matanya, dia membiarkan pikirannya melayang pada kenangan itu dan menikmati bayangan Zarri Bano sedang berdiri tegak, tampak cantik menawan, di bawah pohon itu, dengan pakaian hitamnya. Dia menyaksikan senyuman yang menggoda bermain-main di bibirnya dan rambutnya yang terurai membingkai indah wajah jelitanya.
Dia merasakan kembali momen saat Zarri Bano dengan anggun memasuki ruang tamu rumahnya, tampak luar biasa dalam warna merah jambu. Itulah kali pertama dia mendengar suaranya. Pikirannya kemudian melompat ke adegan saat mereka berdua berjalan bersama, diawasi oleh kedua orangtua mereka, mengelilingi ladang di rumah Zarri Bano. Dia tersenyum getir, membayangkan betapa dia mencuri-curi pandang ke arah Zarri Bano selama jalan-jalan yang panjang itu. Dia sempat berpikir bahwa Zarri terlalu angkuh dan terlalu percaya diri untuk bisa cocok dengannya. Meski pada akhirnya, sifat ini digabungkan dengan kecantikannya yang memikat, telah menyeretnya pada Zarri Bano bagaikan seekor ngengat pada nyala lilin.
Akhirnya, helaan napas panjang mengantarnya pada kenangan yang terlintas tentang kejadian yang menyentuh tetapi menyedihkan di kebun buah rumahnya di Karachi. Begitu banyak yang telah terjadi saat itu. Dia telah menyentuh tangannya dan berhasil menggapainya secara emosional dan spiritual, serta akhirnya berhasil melamarnya. Malam itu, di restoran, mereka berdua begitu riang bersenda gurau, dan dirinya mabuk karena kecerdasan dan kepintaran Zarri Bano.
Kelembutan jemari lentik Zarri Bano masih terasa membakar bibirnya. Kemudian angannya mundur ke saat mereka pulang ke rumah dari jalan-jalan malam mereka, dan menemukan kehidupan mereka telah terjungkir balik.
Saat ini dia telah kehilangan kendali atas hidup dan nasibnya. Perempuan yang dicintainya dengan sepenuh jiwa tercerabut darinya, dari genggamannya.
Menjadi seorang pengusaha muda yang sukses di Karachi adalah dunia Sikander yang sampai seminggu lalu tidak pernah dibicarakan olehnya. Orang-orang mengerjakan perintahnya. Sukses secara finansial, populer, dan tampan, telah membuatnya menjadi sosok bujangan idaman. Sejak awal usia dua puluh tahun, para orangtua dari kalangan atas Karachi selalu memamerkan putri-putrinya di hadapan Sikander. Meski demikian, di sini, dalam kaitannya dengan Zarri Bano, dia merasa diremehkan sekaligus dianggap tidak cukup pantas. Itu adalah sebuah fenomena baru dalam kehidupannya dan dia tidak menikma
tinya sedikit pun. Perasaan tidak percaya menggugahnya sekali lagi. Bagaimana mungkin di akhir abad kedua puluh bisa terjadi hal seperti ini" Jika ini di luar kehendak Zarri Bano, dia bisa memanggil aparat penegak hukum dan pihak yang berwenang.
Dia dapat menyeret hal ini ke pengadilan. Dia adalah lelaki yang memiliki pengaruh. Dia yakin bisa melakukannya, tetapi ternyata dialah, Zarri Bano sendiri, yang telah mencampakkannya! Dia telah meninggalkannya dan juga melepaskan pernikahan.
Aliran hangat menjalar ke seluruh tubuhnya saat dia mengingat apa yang dirasakannya ketika jemari lentik Zarri Bano menjelajahi dan mengelus bibirnya. Sentuhannya begitu lembut dan perlahan. Bisa dipastikan Zarri Bano merasakan sesuatu untuknya! Untuk alasan apa lagi seorang perempuan angkuh dan terhormat membiarkan seorang lelaki bebas berbuat semaunya pada tangannya, dan dia justru meraih dan menyentuh bibirnya....
Sejak awal, naluri Sikander telah memberi isyarat padanya bahwa Zarri Bano adalah seorang perempuan yang penuh gairah. Ironisnya, dia meragukan apakah Zarri Bano sendiri menyadari fakta itu. Dia juga merasa yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya lelaki yang telah menyalakan api gairah dalam diri Zarri Bano, dan untuk pertama kalinya pula. Apakah Zarri Bano sungguh-sungguh tahu bahwa dirinya sedang ditumbalkan" Dengan mengorbankan cinta manusia, hasrat, dan semua kesenangan!
Untuk apa" Untuk merengkuh kehidupan terasing seorang pertapa religius sepenuhnya bertentangan dengan kodratnya. Teganya mereka melakukan ini pada Zarri Bano!
Sikander menghantamkan kepalanya ke roda kemudi karena frustrasi. Ayah dan ibu Zarri Bano tampaknya telah menjalani sebuah kehidupan yang utuh dan membagi semua kesenangannya, lalu mengapa mereka justru mengingkari hal yang sama untuk putri mereka"
Dalam kebudayaan masyarakat setempat, sudah biasa menikahkan seorang anak perempuan pada usia dini biasanya segera setelah masuk usia puber, demi izzat mereka. Lalu ini, ada kasus di saat orangtua dengan sengaja mencegah putrinya yang sudah dewasa sepenuhnya untuk menikah. Mengapa" Agar mereka dapat tetap menggenggam tanah dan warisan mereka!
"Sialan! Aku akan memberi tahu mereka bahwa aku tidak menginginkan warisan mereka," dia berkata mantap. "Mereka dapat menyerahkan semuanya kepada Ruby. Aku memiliki cukup kekayaan untuk menjamin kesejahteraan Zarri Bano seumur hidup dalam kemewahan sebagaimana kehidupannya sehari-hari," Sikander berteriak nyaring kata-kata itu bergema di dalam jipnya.
Sia-sia saja! Dia mengibaskan sejumput rambut dengan marah dari dahinya. Pandangannya terpaku pada pohon di hadapannya. Dia tahu jauh di dalam hatinya bahwa Zarri Bano tidak akan pernah menikahinya dalam situasi seperti saat ini. Gadis itu tidak akan pernah menodai kebanggaan dirinya ataupun status keluarganya. Kebanggaannya adalah kelemahannya yang paling fatal kelemahan yang ditemukan oleh ayahnya dan kemudian digunakannya dengan baik.
Dia mengangkat kepalanya untuk menatap ke balik kaca mobilnya ketika mendengar ada kendaraan lain yang mendekat. Itu adalah sebuah mobil yang berisi dua orang lelaki, dan mobil itu berhenti di depan jipnya. Tubuh Sikander menegang begitu dia mengenali Habib yang duduk di samping sopirnya. Kemarahan menjalari tubuhnya. Kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan sangat kuat. Sikander membalas tatapan dingin Habib dengan
tatapan nanar, mencurahkan semua kebenciannya lewat sorot matanya. Matanya tertancap di wajah Habib saat dia menyalakan mesin mobilnya dan menjalankannya melintasi mobil itu.
Habib mengamati jip yang berlalu itu. Dengan jempol dan jari telunjuknya, dia mulai memilin-milin kumisnya yang dicat cokelat sambil merenung dalam-dalam. Jika ada orang yang bisa mengacaukan rencanaku untuk menjadikan putriku seorang Perempuan Suci, lelaki itulah orangnya. Alarm peringatan berdenging di kepalanya. Kemudian, apakah dia baru kembali dari rumah" Apakah dia baru menemui putriku" Mengingat dengan samar bahwa selain dua orang pelayan dan Zarri Bano, tidak ada orang lainnya lagi di rumah, Habib sangat gundah ingin segera pulang. Sesuatu yang
amat besar sedang dipertaruhkan di sini.
* * * Di rumah dia menyaksikan Zarri Bano dan menanyainya di halaman. Mendahulukan hal itu, Habib menemui Fatima dan dia pun menanyainya dengan kasar tentang apakah Sikander datang berkunjung dan apa yang sudah terjadi. Kemudian dia menyelidik lebih lanjut tentang apa yang sudah dibicarakannya dengan Zarri Bano.
"Ya," Fatima meresponsnya dengan datar. Dia sudah menyaksikan adegan intim itu dari balik gorden di salah satu kamar tidur yang menghadap langsung ke bagian belakang halaman dan kebun. Secara pribadi, Fatima yang malang masih saja mengagungkan gagasan di mana Sikander seharusnya melarikan Zarri Bano dan dia akan membantu mereka.
"Di mana kau saat itu, Fatima, ketika dia datang kemari" Tidak adakah seseorang di sini yang bisa mengawasi putriku"" Habib berteriak gusar padanya. "Sebagai anggota rumah tanggaku yang telah lama dan sebagai pengurus rumah tanggaku," lanjutnya, "kupikir kau akan menanggung beban itu untuk menyelamatkan izzat dan kehormatan kami daripada membiarkan seorang lelaki bujangan melanggar tata krama kita, dan mendapatkan izin bertemu putriku."
Pipi Fatima membara karena marah dalam diam. "Aku ada di sekitar sini, Sahib Jee, tetapi Sahib Sikander adalah calon suami Zarri Bano." Dengan berani dia ikut campur dalam masalah tersebut. "Karena itu, dia memiliki hak untuk mendapat izin bertemu tunangannya." Fatima tidak berani memandangi Habib sekarang.
Murka oleh pernyataan yang agak menyindir itu, sorot mata hijau Habib yang dingin membuat Fatima paham apa yang dipikirkan Habib tentang dirinya dan mengenai hal yang baru saja diungkapkannya. Dengan mulut membentuk garis tegas, dia menyalak pada Fatima. "Kau tidak tahu diri dan melupakan tempatmu, Fatima! Namun, aku akan mengampuni kelancanganmu kali ini karena aku tahu kau sangat mengasihi Zarri Bano seperti putrimu sendiri dan bersedia melakukan apa pun untuknya. Tapi ingatlah, di masa depan, Zarri Bano tidak memiliki tunangan. Dia akan menjadi seseorang yang begitu murni, seorang perempuan suci! Hak khusus dari tugas itu adalah terasing dari lawan jenis, kecuali anggota keluarga terdekat.
"Kini, baguskah, Fatima, jika calon Perempuan Suci kita, yang seharusnya mewakili tahap tertinggi kesucian dan kehormatan, namanya dikaitkan dengan lelaki mana pun" Sikander itu kan seorang bujangan! Dan Zarri bukan perempuan yang akan menikah. Oleh karena itu, akan salah jadinya mengaitkan namanya dengan lelaki mana pun selain aku, pamannya, dan kakeknya. Tidak boleh ada pemuda, bahkan sepupunya sekalipun, yang boleh berhubungan dengannya. Izzat-nya harus terus diawasi. Reputasinya harus sedemikian bersih. Jelas, Fatima"" tanyanya. Suaranya melemah menjadi sebentuk desisan, tatapan kejamnya memercik ke arah wajah pucat sang pelayan, sebelum akhirnya Habib meninggalkannya.
Dengan rahang kaku, Fatima menggumamkan kata, "Ya." Kedua matanya yang sudah lama tertunduk di bawah tekanan berat sorot mata Habib tak berdaya untuk menyahut atau mengatakan apa pun lagi.
Ketika Habib melangkah ke luar memasuki halaman untuk mencari putrinya, bayangan Zarri Bano kawin lari dengan tunangannya kini menjadi sungguh-sungguh mustahil dalam benak Fatima. Habib sudah benar-benar mengurung putrinya. Dengan berat hati, Fatima menyadari bahwa Zarri Bano, perempuan yang berprinsip itu, tidak akan pernah bisa melarikan diri dengan lelaki mana pun. Perempuan lainnya, di tempat yang lain, dalam sosok yang lebih lemah, mungkin bisa melakukannya, tetapi tidak Zarri Bano! Dia lebih memilih masuk kandang singa daripada mencari keselamatan dan surga.
Hari yang cerah itu sudah kehilangan seluruh cahayanya bagi Fatima. Dia tidak perlu bertanya pada Zarri Bano apa yang harus dilakukannya. Fatima sudah tahu.
Sekali lagi dia mengingat betapa Sikander dan gadis itu di halaman, berdiri berhadapan, dan tangan Zarri Bano menyentuh bibir Sikander. Perasaan Fatima terguncang untuk mereka berdua. Mengapa kehidupan ini begitu tidak adil" Betapa mereka adalah pasangan yang serasi. Bahkan orang buta sekalipun mampu melihat bahwa keduanya saling mendamba. Oh, ya Allah, me
ngapa mereka tega pada gadis itu" Mengapa tidak dibiarkan saja Zarri Bano dan Sikander menikah, dan Zarri masih tetap bisa menjadi seorang Shahzadi Ibadat"
Tawa histeris menggelegak di dalam tenggorokan Fatima. Mengapa harus repot-repot membodohi diri sendiri" Bukankah daya tarik utama menjadi seorang Perempuan Suci adalah bahwa dia tidak pernah menikah" Siapa yang pernah mendengar adanya aktivitas seksual seorang Shahzadi Ibadat, serta memiliki suami dan anak-anak! Dengan menjadi seorang Perempuan Suci, Zarri Bano ditakdirkan untuk selamanya melajang dan suci lahir batin.
Dengan berat hati dan langkah gontai, Fatima berjalan ke dapur dan memberi serangkaian instruksi kepada para asistennya untuk santapan makan siang. Dia sudah berharap terlalu banyak untuk Zarri Bano dan putrinya, Firdaus. Tampaknya, kedua gadis itu sudah memiliki jalan di masa depan mereka yang penuh onak duri.
* * * Siang itu juga, di vila di Karachi yang menjadi tempat tinggal Sikander, Bilkis sedang menanyai putranya begitu dia memasuki ruang tengah, "Bagaimana perjalananmu, putraku" Sudahkah kau bertemu Zarri Bano" Apa yang dikatakannya"" Dia menatap wajah Sikander dengan penasaran, menilik raut wajahnya atau tanda-tanda yang bisa menceritakan sesuatu. Garis kemurungan di bibirnya tampak tidak menyiratkan sesuatu yang baik. Sikander menatap ibunya dengan sorot mata muram dan kemudian menjawab semua pertanyaannya.
"Dia akan mengikuti omong kosong soal Shahzadi Ibadat. Menikahkan diri dengan Kitab Suci Al-Quran. Aku tidak berarti apa pun untuknya! Hanya adat istiadat keluarganya yang tampaknya berarti untuknya. Jangan harap aku menghadiri penobatannya. Aku akan mandi, Ibu," dia menuntaskan kalimatnya dengan getir.
Dia meninggalkan Bilkis yang terpana di lorong dingin yang luas. Bilkis menyaksikan putranya itu beranjak pergi. Melihat bahunya yang tampak begitu tegang, hatinya ikut hancur berkeping-keping. Betapa kehidupan yang tidak adil terkadang menjadi nyata. Betapa tidak beruntung putranya itu, jatuh cinta kepada seorang perempuan yang tidak bisa diraihnya.
Bilkis menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Memangnya kenapa jika putranya tidak bisa menikahi Zarri Bano" Ada ribuan perempuan cantik lain yang bisa dipilihnya. Sikander adalah salah satu bujangan idaman di kalangan atas Karachi. Jika Zarri Bano tidak mungkin dinikahi, bukan berarti perempuan lain juga tidak bisa diraihnya. Tidak semua perempuan menjadi Perempuan Suci.
Saat Bilkis berjalan di kebun jeruk di samping vila mereka, siksa batin putranya itu berkecamuk dalam pikirannya, dan dia mencemaskan berapa lama waktu yang diperlukan Sikander untuk melupakan Zarri Bano....
19. DI HARI penahbisan Zarri Bano, khoti tampak semarak dihiasi rangkaian beribu bola lampu kecil warna-warni yang berkelap-kelip, bagaikan lampu mercusuar dalam cahaya malam.
Sebagian besar tetangga dan penduduk Chiragpur diundang menghadiri upacara penahbisan putri Habib Khan. Sanak kerabat dari seluruh penjuru Pakistan sudah tiba di rumah-rumah keluarga lainnya dua hari sebelumnya.
Kerumunan ramai membuat vila itu penuh sesak dan bising oleh suara obrolan dan gelak tawa para tetamu. Ketujuh kamar tamu yang masing-masing berisi empat ranjang seluruhnya penuh dihuni. Koper-koper teronggok dan bertebaran di mana-mana.
Tamu-tamu pesta pernikahan, seperti yang sudah menjadi adat kebiasaan, secara alamiah bergerombol sendiri-sendiri ke dalam kelompok-kelompok kecil, bergantung pada usia, jenis kelamin, latar belakang, dan tentu saja, seberapa jauh mereka saling mengenal. Nuansa kegairahan terpancar dalam diri semua orang, sebagian besar tamu menjadikan Zarri Bano dan upacara penahbisannya sebagai topik pembicaraan. Sebagian pernah mendengar tentang Shahzadi Ibadat di masa lalu dan karena itu mengetahui konsekuensi yang mengiringinya. Bagi sebagian lainnya, itu adalah sebuah fenomena baru yang terus-menerus digunjingkan dan memancing kontroversi.
"Yang benar saja!" jerit salah seorang perempuan. Alisnya terangkat bersatu dengan lipatan keningnya.
"Ya, memang begitu!" terdengar jawaban tegas seorang tamu bernama Nilofer
, yang menarik perhatian sekelompok perempuan lainnya. "Menurutku, saudariku, ini adalah upacara yang ganjil. Mereka memanfaatkan Al-Quran," bisiknya sambil menundukkan kepalanya dan diam-diam menoleh ke kiri kanannya. "Tidak ada mempelai laki-laki, meski ini memang layaknya sebuah pesta pernikahan, dengan segala hiasan khas pesta pernikahan. Sekarang coba katakan padaku, saudariku, siapa yang ada di dalam pikiran mereka yang sanggup melakukan hal seperti ini pada putri mereka sendiri" Khususnya pada jenis gadis yang sangat merdeka seperti Zarri Bano" Maksudku, pernahkah kau saksikan sehelai dupatta bertahan lebih dari lima menit di kepala gadis itu"" Nilofer menikmati satu-satu ekspresi kaget perempuan-perempuan di sekitarnya. "Ya, akan lebih dari sekadar sehelai dupatta yang akan dikenakannya mulai sekarang, itu pasti!"
Mereka baru saja selesai makan malam. Berkumpul bersama di sofa-sofa, atau berjongkok di lantai berkarpet bersama teman dan sahabat, merupakan waktu yang sangat tepat bagi para perempuan untuk menikmati gosip yang benar-benar hebat. Dengan menguasai perhatian penuh mereka, seraya mencondongkan tubuhnya ke depan, Nilofer berniat memanfaatkan situasi itu. Dia memiliki kepentingan untuk membalas dendam pada sepupunya, Shahzada, sejak lama. Hatinya berbunga-bunga mendapati kesempatan emas ini. Dengan anggun, dia bersiap untuk mengata-ngatai keluarga tingkat tinggi dan berkuasa ini!


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang akan menghabiskan jutaan rupee untuk sebuah upacara yang bahkan tidak bisa disebut sebagai upacara pernikahan" Kalau itu kalian, maukah kalian melakukannya, saudari-saudariku"" Matanya berkilauan menantang mereka untuk tidak sepakat dengan pendapatnya. "Semua pengeluaran itu untuk tujuan apa" Pernahkah kalian melihat gaun pengantin Zarri Bano, jihaz-nya, pernahkah"" tanyanya dengan raut licik di wajahnya. Ketika salah seorang perempuan itu menggelengkan kepala, Nilofer segera berdiri, siap menawarkan diri untuk membawa mereka berkeliling.
"Kalian tidak akan menyangka betapa terkejutnya kalian nanti, saudariku. Aku akan mengajak kalian berkeliling ke gazebo di halaman belakang. Ada banyak hal yang bisa dilihat; banyak yang bisa dikagumi. Tahukah kalian berapa banyak pakaian milik Zarri Bano" Kukatakan pada kalian ada ratusan! Aku tidak sedang membesar-besarkan, teman, karena aku sudah berada di rumah ini selama dua minggu dan sudah membantu mengumpulkan dan menyiapkan gaun pengantin Zarri Bano. Ruby dan aku yang memilih sebagian besar barang-barang itu. Zarri Bano tidak berurusan dengan semua itu. Malang nian! Dia menghindar dari semua itu. Aku berani bertaruh, bahkan Benazir Bhutto sekalipun tidak memiliki gaun seperti itu dalam pesta pernikahannya. Itu seperti gaun milik seorang pengantin agung." Dia menghela napas untuk membumbui ceritanya dan memandangi satu per satu wajah mereka yang mendengarkannya.
"Tapi, ini adalah pengalaman yang mengerikan!" katanya dengan nada suara yang membuat yang lainnya terdiam. "Kapan coba Zarri Bano sempat mengenakan semua gaun itu jika dia akan dibungkus dalam kerudung hitam panjang, dalam burqa" Kami merancangnya khusus untuk Zarri Bano, kalian tahu, dari seorang tukang jahit terkemuka di Karachi. Suami seperti apa yang akan digodanya dengan gaun-gaun megahnya" Fungsi sosial seperti apa yang akan dijalaninya" Di mana dia akan memamerkan keindahan pesta pernikahannya" Karena aku membayangkan kehidupannya hanya berkutat di seputar madrasah dan sajadah. Sebuah kehidupan yang sepenuhnya dipersembahkan untuk ibadah dan kebersahajaan." Nilofer berhenti sejenak untuk mengambil napas. Wajahnya memancarkan kemenangan saat melihat mereka tampak kebingungan. Getaran rasa senang menjalari tulang belakangnya.
Dia ingin meraih kemenangannya lebih jauh dengan membawa sebagian dari mereka berjalan-jalan untuk menunjukkan gazebo tempat jihaz yang dipamerkan. Sekawanan perempuan yang penasaran segera mengekor di belakangnya dengan penuh semangat, keluar melewati halaman belakang, dan memasuki gazebo besar yang hijau menjulang di halaman samping yang dipenuhi gaun pengantin Zarri Bano dan aneka hadiah
. Bagi perempuan desa pada umumnya, gazebo itu bak gua harta Aladdin. Seraya mengekor di belakang Nilofer, mata mereka semakin terbelalak, terpukau oleh semua perhiasan emas dan perak yang luar biasa indah dipamerkan dalam kotak beludru berwarna merah dan hijau. Ada banyak sekali gaun berhias logam berbentuk koin, atau shalwar kameze, yang dipamerkan untuk menarik perhatian.
"Apa gunanya semua ini" Tidak akan ada seorang pun yang menyaksikannya," celetuk salah satu dari kawanan perempuan itu, cukup keras untuk didengar teman-temannya.
"Sahib Habib menginginkan semuanya tersedia untuk Zarri Bano," perempuan lainnya membalas dengan lugas dan dengan nada rendah, membantah komentar sebelumnya. Sebagai salah seorang anggota keluarga dekat Habib, dia diminta untuk mengawasi gazebo yang memamerkan gaun pengantin.
"Meskipun tidak akan ada mempelai laki-laki dalam upacara ini," lanjutnya, "kita bisa menganggap ini sebagai pesta pernikahan dan semuanya berlangsung sesuai dengan namanya. Sahib Habib tak mau putrinya tidak terpenuhi gaun pengantinnya. Dia akan mengenakan semuanya ini." perempuan itu mengayunkan tangannya ke sekeliling gazebo dan menunjuk ke semua kotak pakaian yang berjejer, juga wadah-wadah perhiasan. "Tentu saja dia tidak akan sombong seperti kita semua dengan memamerkan semua perhiasan dan pakaiannya seperti pesta-pesta pernikahan pada umumnya," ujarnya ketus. Ketidakpercayaan tergambar di wajah dua tiga perempuan, dan seringai sinis di wajah Nilofer.
Mereka semua memikirkan apa yang sedang dipikirkan Zarri Bano tentang semua ini. Masalahnya, nyaris tak ada yang melihat gadis itu. Dia sudah tidak mengacuhkan keberadaan para tetamu di rumahnya, dan tak seorang pun yang memiliki keberanian untuk mendekatinya apalagi mengobrol dari hati ke hati dengannya seperti yang amat mereka harapkan.
* * * Satu-satunya orang yang diberi kehormatan untuk melakukannya adalah seorang Shahzadi Ibadat dari keluarga lain di kota. Dia diundang secara pribadi oleh Habib ke upacara tersebut untuk memotivasi dan menuntun Zarri Bano menjalani upacara itu dan memperkenalkannya pada tata krama yang dituntut dari peran tersebut.
Sakina, seorang Shahzadi Ibadat yang mewarisi rumah dan tanah ayahnya, secara resmi diantar ke kamar Zarri Bano oleh Fatima. Dia berjalan dengan langkah perlahan dari rumah induk, dengan penuh minat melayangkan pandangan ke sekelilingnya, melihat persiapan upacara penahbisan Zarri Bano. Benaknya disibukkan oleh perasaan deja vu, mengingat kembali dengan jelas upacara yang pernah dijalaninya sendiri, sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Fatima meninggalkannya di ambang pintu kamar Zarri Bano dan Sakina kembali ke masa kini. Dia mengetuk pintu perlahan dan seorang perempuan muda membukanya. Sakina memerhatikan pakaian mewah yang dikenakan perempuan muda itu dan wajah polosnya yang dibuat-buat.
Zarri Bano duduk di depan meja rias memakai gaun pengantin sifon merah berhias lempengan logam. Rambut panjangnya yang ikal ditata indah oleh Ruby, membentuk gelungan di atas kepalanya. Seuntai kalung bertatahkan rangkaian emas menggantung di lehernya. Sepasang anting panjang yang selaras dengan kalung itu juga terjuntai di kedua telinganya, sementara sepasang lengan putih mulusnya tampak berkilauan oleh lusinan gelang emas yang didesain sedemikian cantik.
"Apakah itu aku"" tanya Zarri Bano terbengong-bengong, menatap sosok pengantin yang mencemooh di hadapannya. "Aku tampak seperti pengantin perempuan Pakistan." Bahkan kedua tangannya telah dilukis secara ritual oleh adiknya menggunakan pacar pada malam sebelumnya. Dia menyeringai melihat kedua telapak tangannya yang berlumuran warna oranye kemerahan.
Cemoohan tentang perhiasan dan pernak-pernik busananya malah agak keterlaluan. "Semua ini kepura-puraan!" keluhnya. "Untuk apa semua ini""
Dia mengerjapkan matanya mendongak. Sesosok bayangan hitam berdiri tegak, menyeramkan, di belakang bangkunya.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano terjajar melihat kepala Sakina yang terbungkus jubah hitam, dan hanya menyisakan dua pertiga wajahnya yang bisa terlihat. Tidak ada kening. Hany
a separuh dagunya yang terlihat.
"Beginilah rupaku nantinya," jerit batinnya ketakutan. "Lukisan di wajahku, perhiasanku, dan tatanan rambutku semuanya ini akan disembunyikan di balik sehelai jilbab hitam."
"Assalamu 'alaikum, Zarri Bano." Sosok gelap menyeramkan itu menyapanya dari balik cermin, membangunkan Zarri Bano dari lamunannya. "Bolehkah aku duduk di bangku ini""
Setengah mati Zarri Bano berusaha mengerahkan pengetahuannya tentang perempuan itu. "Wa 'alaikumussalam. Tentu saja!" sahut Zarri Bano.
"Namaku Sakina. Kau mungkin pernah mendengar tentang aku almarhum ayahku adalah Murad Chaudhury."
"Ya, tentu saja, Baji Jan. Ayah sudah berbicara tentang dirimu." Zarri Bano bangkit untuk menyalaminya, segera saja dia kembali ke sikap wajarnya.
Sakina menatap bagian belakang sosok Zarri Bano yang tinggi dari permukaan cermin di meja rias; menatapnya dengan kekaguman. Sosok itu sama indahnya dengan penampilan depannya.
"Kau seorang perempuan yang sangat cantik, Zarri Bano," seruannya ini terlontar begitu saja dari mulutnya. "Aku pernah mendengar tentangmu, tetapi hari ini, melihatmu langsung dalam riasan lengkap. Aku harus mengakui bahwa orang itu sudah berbuat adil dengan pujiannya terhadapmu."
Zarri Bano menatap Sakina dengan sorot mata penuh penyesalan. "Aku hanyalah seorang gadis biasa yang sedang berada di puncak kehidupanku. Ayolah, tidak perlu memuji-muji diriku." Pembicaraan tentang kecantikannya sudah lama tak lagi menarik bagi Zarri Bano.
Dia menunduk memandangi tangannya yang berkulit terang dihiasi riasan pacar yang mencolok, tepat di jari-jarinya yang panjang ramping dengan kuku-kuku yang dibentuk sedemikian indah. Jemari itu dihiasi cincin beraneka bentuk dan ukuran, bertatahkan beragam permata, rubi, intan, dan berlian.
"Katakan padaku, Ukhti Sakina, apa gunanya semua ini"" Zarri Bano bertanya pelan seraya menjulurkan tangannya pada Sakina. Suaranya menyiratkan sarkasme. "Mengapa kedua tanganku harus didandani sekonyol ini" Biasanya aku tidak pernah mengenakan lebih dari dua buah cincin. Ini, lihatlah, aku mengenakan delapan cincin di jari-jariku! Itu karena mereka tidak bisa menemukan cincin yang pas untuk jempolku! Siapa yang harus kubuat kagum dengan semua ini" Ipar yang mana" Suami yang mana yang akan mengagumi corak dan modelnya, serta menghitung jumlahnya" Kau tidak mengenakan apa pun di kedua tanganmu. Apakah kau juga menjalani drama mengerikan seperti ini,
didandani layaknya seorang pengantin sebelum menjadi seorang Perempuan Suci"" Zarri Bano terhenti sejenak, membuat Sakina terpaku melihat sorot mata hijaunya yang tajam.
Sakina melihat ke sekelilingnya dengan rikuh, menyadari bahwa di sekitar mereka ada orang lain yang tertarik mendengarkan semuanya, Ruby dan dua perempuan lainnya. Tidak adil bagi Zarri Bano jika derita batin yang sedang dirasakannya harus disaksikan orang lain. Hanya dia, Sakina, sebagai seorang Perempuan Suci itu sendiri yang dapat ikut merasakan pengalaman traumatis Zarri Bano tersebut, karena dia juga pernah melalui semua prosesi upacara tersebut, dipaksa menjalani semua ritual yang tak bisa dikendalikannya.
Seperti Zarri Bano, dia sudah dipaksa untuk melakukan semuanya oleh anggota keluarga laki-laki tertua. Satu-satunya yang membedakan, dan merupakan perbedaan yang paling kentara, Sakina menyadari dengan getir bahwa Zarri Bano perempuan yang begitu menawan, sementara dirinya biasa-biasa saja. Seakan penahbisan ini adalah pelanggaran terhadap hukum alam. Tidak boleh menikah. Tidak boleh memiliki anak. Tidak menjalani kehidupan yang normal. Sakina menatap nanar Zarri Bano, tiba-tiba saja dia merasa begitu sedih dan pilu.
"Zarri Bano, bisakah kita berbincang berdua saja"" Sakina memberanikan diri bertanya.
"Ya, tentu saja. Ruby...." Zarri Bano menoleh seraya mengirimkan tatapan penyesalan pada adiknya.
"Tentu saja, Kak. Ayo, para gadis." Ruby memberi tanda pada sepupunya, Gulshan, dan dua teman perempuannya untuk keluar dari kamar itu. Zarri Bano dan Sakina menyaksikan mereka beranjak pergi dan kemudian memalingkan kembali wajah mereka untuk saling memandang.
"Silakan duduk, Ukhti Sakina, mari duduklah di kursi besar ini."
"Terima kasih." Sakina melangkah ke arah kursi besar itu dan duduk.
Keduanya tampak tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Zarri Bano berdiri kikuk di tengah-tengah kamar tidurnya, ingin mencurahkan begitu banyak hal, tetapi tidak mampu memercayai dirinya sendiri untuk mengatakan apa pun pada seseorang yang sungguh-sungguh asing. Dengan mata yang seolah terhipnotis, tertunduk menatap ranjang, Zarri Bano menggigil menyaksikan burqa. Raut wajah Sakina melembut penuh pengertian.
"Ya, Ukhti Zarri Bano, itulah yang harus kau kenakan, sebelum kau siap untuk menjalani upacara. Bolehkah aku membantumu"" bujuknya lembut.
Apakah itu bayangannya saja atau dia benar-benar telah menyaksikan Zarri Bano kembali menciut selangkah" Ekspresi di mata Zarri Bano yang tadinya tampak liar kini tampak seperti hewan terluka yang terperangkap!
Sakina segera membuat keputusan kilat. Kewajibannyalah untuk tidak membuat siapa pun kecewa, tidak Habib Khan ataupun Zarri Bano. Dengan langkah mantap, dia melangkah ke arah ranjang dan perlahan mengangkat burqa yang disiapkan untuk Zarri Bano dengan kedua tangannya. Dengan raut lembut tampak di wajahnya, dia pun memalingkan wajahnya pada Zarri Bano.
"Saudariku, akan sangat aneh mengenakan jilbab ini pada awalnya, tetapi kau akan segera terbiasa nanti. Menutupi aurat perempuan adalah bagian dari keyakinan dan budaya kita, sebagaimana yang kau ketahui. Karena itu, tidak ada bedanya gaya berbusana yang digunakan seluruh Muslimah, katakan saja di Iran, misalnya. Mereka sudah mengenakan pakaian seperti ini sejak revolusi mereka perempuan biasa, yang menggunakannya di luar rumah untuk menutupi aurat mereka. Di sini, di Pakistan, kita selalu mengenakan burqa. Hanya saja, kau tidak pernah mengenakannya sebelumnya dan entah bagaimana akhir-akhir ini jadi tidak mode lagi. Chador menggantikannya. Oleh karena itu, kau akan merasa sedikit aneh pada awalnya. Ayo, kita coba kenakan padamu, ya""
Zarri Bano mengangguk tanpa berbicara, menatap nanar jubah hitam di tangan Sakina. Burqa itu meluncur turun melewati kepalanya, bahunya, dan sampai di ujung kakinya. Sakina kemudian memasangkan jilbab yang menutupi rambut Zarri Bano, memasangnya dengan pas hingga hanya menampakkan segitiga kecil wajah si pengantin.
Zarri Bano berdiri kaku di dalam burqa itu, merasa bukan manusia.
Bagaikan sebuah tenda hitam besar, jubah besar itu menyembunyikan gaun upacara resminya sepenuhnya. Hanya kakinya yang bersandal jepit yang terlihat. Tepian burqa itu panjangnya hingga menutupi pergelangan tangannya. Gelang-gelang emas yang tak terhitung jumlahnya yang dipasang di tangannya bergemerencing aneh di dalam pakaian itu. Sambungan kain pada segitiga yang membingkai wajahnya menggelitik pipi lembutnya dan dia merasa amat gerah.
"Kau tampak jelita," Sakina tersenyum. "Maukah kau melihat rupamu di depan cermin""
Mata Zarri Bano terbelalak mendengar kata-kata Sakina. Histeria membadai dalam dirinya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia mengatupkan kedua matanya, merasa tak mampu bernapas di balik jubah hitam itu.
Karena tak bisa lagi menahan diri, Zarri Bano menjerit kesal, "Tampak jelita di dalam benda ini" Bisakah seorang perempuan tampak jelita di dalam pakaian ini" Aku jijik pada pakaian ini, Ukhti Sakina. Baju ini membakar tubuhku! Aku tidak pernah memakai kerudung, chador, apalagi burqa, seumur hidupku. Benda ini aku tidak tahan! Benda ini mengurung kehidupanku. Tahukah kau bahwa hitam adalah warna favoritku dua bulan yang lalu" Tetapi ini!" Tubuh Zarri Bano mulai gemetar tak terkendali di balik kain lembut yang terasa dingin itu.
"Aku tahu, saudariku, tetapi kau harus berusaha menahannya. Kau akan segera terbiasa dengannya."
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah!" Suara ketus Zarri Bano terlontar dari tenggorokannya saat dia memalingkan wajahnya dari Sakina, menyembunyikan kerapuhannya.
"Kau akan berubah, Zarri Bano, kujamin. Aku sudah pernah melewati fase yang baru akan kaujalani ini. Ini hanya soal waktu, sahabatku. Seperti juga fase lainnya dalam hidup, kejadian ini akan me
mbangkitkan emosi, luka, dan sakit hati tersendiri. Untukmu, hidup tidak akan pernah sama lagi," ujar Sakina. "Kau akan mendapatkan saat-saat yang paling menggairahkan yang bisa kau angankan. Kau akan mengetahui banyak hal tentang Islam menjadi ulama. Kau akan mempunyai banyak pengikut penghormatan, harga diri, kemuliaan, dan ketenaran. Aku memiliki semua itu. Aku tidak akan pernah bisa mendapatkannya jika aku menikah seperti perempuan lainnya, dan berkeluarga."
"Ukhti Sakina, aku tidak menginginkan penghormatan, kemuliaan, ataupun ketenaran! Aku ingin menjadi diriku yang normal seorang perempuan biasa," ujar Zarri Bano. Suaranya bergetar karena emosi.
"Aku pernah mengatakan kalimat yang sama, Ukhti Zarri Bano. Kemudian aku berubah. Aku tidak pernah menyesalinya dan kau juga tidak akan menyesalinya, saudariku. Tentu saja, sesekali akan ada sengatan nostalgia yang menyakitkan, ini wajar saja. Kau akan merasakannya ketika melihat para perempuan dikelilingi anak-anak mereka, atau ketika mereka tampak sedang bercanda akrab dengan suami mereka. Namun, semua kehilangan itu hanyalah setitik air di lautan dibandingkan dengan yang akan kau raih. Kau akan mendapatkan kemerdekaan dan kemandirian. Aku sudah berkeliling dunia. Aku bersekolah di universitas. Aku menghadiri konferensi-konferensi internasional. Bisakah aku melakukan semua itu jika terikat pada seorang suami dan sebuah keluarga" Aku mengatakan semua ini untuk membuatmu merasa lebih baik, untuk memberitahumu bahwa apa yang akan kau peroleh dengan menjadi seorang Shahzadi Ibadat jauh melebihi semua kehilangan yang diakibatkan olehnya."
Seraya mendengarkan apa yang dikatakan Sakina dengan santun, serta membiarkan kata-kata itu terserap ke dalam dirinya, Zarri Bano tak mampu menahan kepiluan batinnya, dan dia pun menangis. "Yang kutahu hanyalah," dia menjepit lipatan burqa di depan Sakina, "dengan pakaian ini, Zarri Bano sudah mati. Perempuan yang pernah tinggal di kamar ini dua puluh tujuh tahun terakhir ini sudah tiada. Aku sudah melepaskan identitasku dan seorang asing telah menggantikan tempatku. Aku, pada saat ini, bergulat dengan kematian dan kedukaan seorang perempuan, seraya mempersiapkan kelahiran dan kebangkitan orang lain dalam kengerian. Aku tidak menginginkan Zarri Bano dalam diriku mati! Tapi, aku tidak bisa membuatnya bertahan hidup. Aku harus memisahkan hidup seorang perempuan yang sedang kasmaran, Ukhti Sakina, untuk jatuh ke dalam keinginan dan aspirasi ayahku, serta adat kebiasaan keluarga kami. Kau tahu mengapa ini bisa terjadi karena kau sendiri pernah mengalaminya. Ini terjadi dalam rangka menjaga harta warisan kami, tanah-tanah kami yang tak ternilai harganya, yang akan dicatat atas namaku, di pengujung hari ini. Aku tidak menginginkan tanah ladang atau menjadi seorang ahli waris, Ukhti Sakina tetapi, itu tidak penting lagi, bukan" Sudah menjadi wasiat ayah dan kakekku bahwa aku akan dijadikan seorang ahli waris dan Perempuan Suci." Zarri Bano menarik napas panjang dan tampak bergetar.
"Tetapi aku juga memiliki harga diriku sendiri, Ukhti Sakina!" lanjutnya penuh perasaan. "Tidak ada seorang pun yang bisa merampas itu dariku. Aku tidak akan mengerjakan semua yang mereka titahkan. Masih ada sedikit Zarri Bano yang akan kupertahankan sepanjang masa, bahkan meski nanti aku akan membunuh dan mengubur sisanya. Dan itu adalah harga diri pribadi dan integritas diriku! Maafkan aku, Ukhti Sakina, kini aku harus melakukan sesuatu sebelum turun. Aku tidak akan turun sebagai seorang pengantin sekaligus seorang biarawati aku hanya bisa menjadi satu saja, tidak dua-duanya!" Matanya berkilat dan wajahnya merona.
Sakina membalas tatapan tajam itu, tak sanggup berkata-kata. "Ya, tentu saja. Kau akan baik-baik saja, bukan"" tanyanya merendah.
"Ya!" seraya memamerkan senyumnya yang terindah ke arah Sakina, pipi Zarri Bano tampak berdekik. Sakina segera merasa lebih baik.
Kini Zarri Bano kembali mampu menguasai keadaan. "Aku akan memanggilmu bilamana aku siap." Zarri Bano memberi tahu tamunya itu dengan lemah lembut.
Sakina meninggalkan kamar dan berdiri di luar, di loron
g, berbincang-bincang dengan Ruby.
Di dalam kamar, Zarri Bano melemparkan burqa-nya ke atas ranjang. Dengan secepat kilat, dia melepaskan setiap keping perhiasan dari leher, telinga, tangan, dan jemarinya. Setelah meloloskan gaun pengantin merahnya yang panjang berlipit dan berhias koin-koin logam, dengan tunik pendek yang serasi, dia berdiri tegak hanya mengenakan rok dalam sutra berwarna gading di depan cermin dan mengamati dirinya sendiri.
Kemudian, dia melepaskan gulungan rambut ikalnya yang ditata tinggi bergaya putri raja. Sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, Zarri Bano membiarkan tirai tebal selembut sutra itu jatuh terurai di sekeliling bahunya. Dia menatap dirinya sendiri selama beberapa detik di depan cermin, mematri potret dirinya ke dalam benaknya selamanya.
Kemudian, dia mengambil sebuah gunting besar dari laci meja riasnya dan dengan menggenggam segumpal besar rambut di atas kepalanya, Zarri Bano memangkasnya sekaligus dengan satu kali gerakan menggunting yang kuat. Delapan inci rambut berkilau itu berceceran bergumpal-gumpal di atas lantai marmer. Zarri Bano menatap lagi bayangan di cermin. Bagai seekor anak ayam yang baru menetas, rambutnya berbentuk tak beraturan di sekitar wajahnya.
Dengan tidak mengenali dirinya sendiri, Zarri Bano menatap nanar, sekaligus terpana melihat penampilannya. Lalu, dengan selembar tisu, dia menghapus bersih semua riasan di mukanya.
Setelah puas dengan apa yang dilakukannya, dia kembali memasangkan burqa itu di kepalanya, dia merasa agak ringan sekarang. Tidak ada lagi batangan jepit rambut yang menusuki kulit kepalanya, tidak ada kalung yang menggores-gores lehernya, tidak ada puluhan gelang yang memberati kedua lengannya, dan tidak ada gaun berbordir yang berat yang tertekan di balik jubahnya.
Jubah itu sepenuhnya menyembunyikan bentuk tubuhnya. "Aku bisa saja berberat badan lima belas batu* dan mengalami kegemukan, tapi tak akan ada seorang pun yang tahu bedanya," pikir Zarri Bano. Tidak ada seorang pun yang akan mengira bahwa selain rok dalam sutra dan pakaian dalam lainnya, Zarri Bano lalu tidak mengenakan apa-apa lagi. (*Ukuran berat, biasa digunakan di Inggris; 1 batu = 6,35 kg penerj.)
"Ruby," panggil Zarri Bano. Dia merasa belum siap menghadapi Sakina.
Ruby berlari tergopoh menghampirinya, lalu langkahnya terhenti terguncang. Ruby berusaha sekuat tenaga menghadapi kakaknya dalam pakaian burqa. Bibirnya bergetar karena kalut.
Zarri Bano membaca raut wajah adiknya itu. Pertama-tama Ruby merasa terguncang, lalu dengan setengah mati mengendalikan urat-urat wajahnya, dia mencoba tersenyum pada kakaknya, tetapi gagal dengan menyedihkan.
Dengan hati hancur, Zarri Bano memandang sedih wajah adiknya. "Ruby kau adalah cerminku," bisiknya. "Aku memikirkan apa yang kau pikirkan. Aku merasakan apa yang kau rasakan, sayangku."
"Sudahkah kau melihat bayangan dirimu sendiri"" ujar Ruby tergagap.
"Belum," jawaban pilu itu mengiringi langkah Zarri Bano sedikit menjauhi cermin tinggi di kamarnya.
Tiba-tiba saja Ruby menjerit histeris begitu disaksikannya gumpalan-gumpalan rambut di atas lantai. Sambil berjongkok, dia memunguti gulungan lembut itu dan membawanya ke depan Zarri Bano. "Mengapa kau lakukan ini pada rambutmu, Baji Jati"" tanyanya terguncang.
"Apa gunanya itu semua di balik burqa ini""
Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dia memain-mainkan jemarinya di gulungan rambut itu. Lalu pandangannya tertunduk melihat perhiasan yang berceceran di atas meja rias dan gaun pengantin yang terlempar ke atas kursi besar. Dia menoleh pada kakaknya dengan sorot mata tak percaya.
"Aku hanya bisa menjadi seorang Perempuan Suci atau seorang pengantin, Ruby. Aku tidak bisa berdandan menjadi kedua-duanya," jelas Zarri Bano. "Semua benda itu kuwariskan padamu gaun pengantinku dan gulungan rambutku. Kau selalu iri pada rambutku. Sekarang kau dapat menjepitnya di kepalamu karena itu kau tidak perlu menyembunyikan rambutmu."
Dengan langkah mantap berwibawa, Zarri Bano melangkah ke luar menuju lorong. Sakina begitu terpukau melihat perubahan yang disaksikannya di tempat itu. Ketegangan, ke
dukaan, dan keterpurukan sudah benar-benar sirna! Kata-kata memilukan yang keluar dari mulut Zarri Bano bahwa "Zarri Bano sudah mati" dan bahwa "sekarang seseorang yang asing telah menggantikannya", kembali terngiang di benak Sakina. Orang yang berdiri di depannya memang orang yang benar-benar asing! Siapakah yang bisa terlihat begitu tenang seperti perempuan ini, setelah kejadian memilukan yang dirasakan mereka berdua di kamar tidurnya tadi"
"Apakah kau siap untuk turun, Zarri Bano"" ujar Sakina sambil tersenyum pada gadis itu dan mengulurkan tangan padanya.
Sejenak, jantung Zarri Bano berhenti berdetak. Kemudian, sekali lagi dia mampu mengendalikan dirinya, dan menegakkan kepalanya dengan angkuh.
"Ya, Ukhti Sakina. Terima kasih telah datang menemuiku dan berbicara padaku. Kita adalah dua jiwa yang sama-sama terperangkap oleh takdir kita." Kata-kata yang meluncur datar itu tidak mampu menutupi kepedihan nada suaranya.
"Tidak perlu berterima kasih padaku, saudariku yang cantik." Sakina merasa takjub bahwa kecantikan Zarri Bano tetap terpancar bagaikan kilatan lampu di atas bukit, dengan semua kemegahannya, bahkan dari balik burqa itu.
Sakina memanggil Ruby Gadis itu keluar dari kamar tidur, masih merasa terguncang mengetahui kakaknya setengah telanjang di balik burqa-nya dan rambutnya terpangkas pendek. Dia menatap nanar dua perempuan yang dari kepala hingga jari kakinya tertutup jubah hitam itu.
"Apakah kau baik-baik saja, Baji Jan"" tanyanya dengan suara berat oleh air mata. Matanya menatap lekat-lekat wajah Zarri Bano.
"Aku baik-baik saja." Zarri Bano meremas tangan adiknya. "Aku sudah pasti tidak akan mengecewakanmu, ayah kita, ataupun keluarga besar kita," bisiknya di telinga Ruby sambil menyibakkan untaian anting-anting di telinga Ruby. "Aku akan menjalaninya."
"Aku tahu kau tidak akan mengecewakan siapa pun, kakakku tersayang, tetapi aku tidak menginginkanmu melalui semua ini! Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan bahwa ini semua adalah mimpi buruk, dan aku akan terbangun dengan napas lega."
"Ini bukan mimpi, Ruby, adikku. Aku sudah menyadarinya! Menurutmu aku tidak berdoa ratusan kali agar terbangun dari mimpi buruk yang menyiksaku selama dua bulan terakhir ini" Ini benar-benar terjadi, Ruby. Sadarilah!" Nada suaranya yang kental oleh kepahitan mengantarkan seulas senyum yang ditujukannya pada Sakina.
"Ayo kita turun dan melalui semua kemustahilan ini," gumam Zarri Bano, tidak pada siapa pun, seraya melangkah menuruni tangga.
20. ZARRI BANO, Sakina, dan Ruby bersama-sama menuruni tangga ulir yang lebar itu. Kerumunan perempuan dan anak-anak yang penasaran menunggu di kaki tangga, menanti saat pertama kali mereka melihat sang Perempuan Suci dalam kerudung resminya. Pesta pernikahan adalah sebuah perayaan yang biasa bagi mereka. Perayaan yang satu ini adalah sebuah kejadian langka, dan menyaksikan Zarri Bano, putri Habib Khan yang gemerlap, menjadi seorang Perempuan Suci dengan mengenakan burqa adalah sebuah kejadian yang amat luar biasa.
Suling Naga 24 Animorphs - 42 Petualangan The Journey Pendekar Muka Buruk 1

Cari Blog Ini