Ceritasilat Novel Online

Sang Raja Jin 2

Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar Bagian 2


diketahuinya. Tuhan! Apa yang terjadi padaku" katanya kepada
wajah di cermin itu. Sebelum ini, Si Kolonel, atasannya, mengizinkannya
untuk melakukan perjalanan selama yang diperlukannya.
Kolonel itu adalah orang yang cukup simpatik. Ia orang
yang penuh pengertian dan ramah. Dan Si Kolonel berpikir
aku telah tersesat di gurun, seperti orang bodoh! Ia serasa
ingin menangis, tapi tak kuasa.
Misi mereka menjadi bencana. Dinas intelijen keliru
besar! Ia dan dua anak buahnya bergabung dengan sekelompok arkeolog dari Prancis untuk melakukan penggalian
di dekat Gunung Haggar. Mereka dipilih berdasarkan
keahlian masing-masing. Pada mulanya mereka berjalan
bersama dengan sekelompok mahasiswa, sampai pada
suatu malam mobil jip yang mereka tumpangi tersesat dan
mogok di tengah padang pasir.
Sejak itu mereka mulai tertimpa kesialan. Mereka
keluar dari jip dan entah mengapa berjalan berpisah ke
arah yang berlainan. Mereka berjalan tak tentu arah di
gurun yang luas, mencari-cari sesuatu yang mungkin
menunjukkan jalan yang pernah dilalui manusia.
Tapi siapa yang bisa meramalkan akan datangnya
badai pasir yang muncul entah dari mana tanpa
peringatan" Radar cuaca pun tak bisa. Tak ada yang bisa!
Saat matahari terbit, ketika ia kembali lagi ke jip, badai menerjang dirinya. Badai itu datang begitu tiba-tiba.
Kekuatan angin yang dahsyat menghantam tubuhnya dan
membuatnya terjungkal dan berguling-guling. Ia terseret
badai hingga ke sebuah puncak bukit pasir, lalu
terjerembap dan merosot turun. Ia berusaha berdiri untuk
naik, tapi badai menghantamnya kembali sampai ia
terjungkal ke bawah. Ia tak bisa berjalan sedikit pun
untuk melawan angin itu. Akhirnya, setelah terseret badai
selama beberapa menit, ia mendarat di dekat sebuah
bongkahan batu besar yang menonjol dari balik tumpukan
pasir. Ia mengambil tali di pinggangnya, lalu mengikatkan
dirinya pada batu itu. Sembari memaki-maki nasibnya
yang sial, ia berpegangan erat pada batu itu dan menunggu badai reda. Tapi, entah mengapa muncul perasaan ngeri yang tak terkira dalam dirinya, dan ia menutup matanya
saat badai kembali mengamuk. Ia mencoba terus
bertahan. Pasir-pasir menerjang dan menampar-nampar tubuh
dan mukanya. Ia tak bisa membuka matanya sama sekali.
Ini mustahil! begitu pikirnya. Ia sangat heran, namun
lama-lama ia jatuh tertidur.
Ia bangun setelah badai reda dengan perasaan seperti
habis mengalami mimpi yang samar-samar. Pasir menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia bangkit, lalu mencoba
menjernihkan pikirannya. Pelan-pelan ia berdiri, memeriksa anggota tubuhnya, kemudian menggeliat-geliat
untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku dan ngilu. Ia
memeriksa perlengkapan yang dibawanya. Tempat minumnya hilang dan jam tangan berkompas sudah pecah
berantakan. Namun anehnya, kompasnya masih utuh.
Saat itu matahari sudah bertengger di atas kepala. Sinarnya amat terik. Ia memandang sekeliling. Ia hanya melihat
pasir dan bukit-bukit pasir yang menjulang. Lalu
tatapannya tertumbuk pada sebongkah batu yang menjadi
tempatnya berlindung. Ternyata diameternya cukup besar. Dan di dekatnya
terlihat sebuah gua. Kapten Simach melihat sebuah kerangka manusia. Posisi kerangka itu duduk bersandar
pada batu granit, kakinya menjulur lurus, tangan
kanannya berada di atas sebuah batu yang sedikit
menonjol. Tulang jemarinya seperti mengundangnya
masuk ke dalam gua. Selain kerangka itu, tak ada lagi
yang tersisa, bahkan sesobek kecil sisa baju pun tak ada.
Ia menatap cukup lama pada gua yang temaram itu.
Debu tipis melayang di depan gua, seolah-olah pasir itu
punya nyawa. Sebagian dari debu itu keluar-masuk mulut
gua, seolah-olah ada napas sesosok hantu di gua itu.
Ia tak ingat berapa lama ia berdiri di situ. Ia tak takut.
Ia melihat silinder berdebu berada dalam genggaman jarijari tangan kiri dari tengkorak manusia itu. Tanpa pikir
panjang, ia mengambil silinder itu. Ternyata cukup berat.
Ia membersihkan dan memeriksanya. Setelah dibersihkan,
benda itu memancarkan cahaya kuning. Pasti bahannya
dari emas. Apakah ini sebuah makam"
Ia merinding dan gelisah. Silinder itu ia masukkan
dengan hati-hati ke dalam kantongnya. Lalu ia keluar dari
gua. Entah mengapa ia merasakan gua yang sunyi itu
seperti mengawasi dirinya saat ia berjalan menjauh.
Berjam-jam ia berjalan ke utara, tempat jipnya berada. Ia tahu pasti, orang-orang sedang menunggunya.
Akhirnya, ia melihat mereka di kejauhan. Mereka sedang
mengendarai jip, berputar ke arah barat.
"Haiya!" teriak salah seorang dari mereka ketika
melihat lelaki itu. Orang itu lalu menembakkan pistol ke
udara. Ia lega ketika mendengar suara pistol itu dan berhenti
menunggu mereka. Mereka pasti cemas karena badai itu.
Setelah bertemu, ia merangkul mereka satu per satu.
Minuman segera disodorkan kepadanya. Pelan-pelan ia
menghabiskannya. Sunyi. Ia menatap mereka yang saling bertukar pandang.
"Ada apa?" tanyanya. "Apa kalian menemukan sesuatu?"
Lelaki yang lebih tua menjawab, "Tidak, Kapten. Tidak
ada jejak. Kami tadi sedang mencari Anda."
"Hah! Ada apa gerangan" Apa kalian pikir aku tersesat?"
"Begini, setelah hari pertama..."
"Hari pertama" Apa maksudmu?"
Lelaki itu menggeser posisinya dan tampak agak gelisah, lalu berkata, "Anda hilang selama dua hari, Kapten."
Ia mengangkat bahu. "Kami pikir Anda... yah..."
Pada mulanya Kapten Simach tak memahami apa
yang dikatakan anak buahnya itu. Ia kaget ketika menyadari bahwa dirinya sudah hilang selama dua hari. Lama
sekali! Apakah aku tidur selama 30 jam" Ia tak percaya,
namun dirinya tak bisa mengingat. Pikirannya melayang,
kebingungan. Ia diam saja saat mobil membawanya kembali ke
markas. Ia tak menyebut gua dan silinder itu. Ia mencoba
mengingat-ingat mimpinya di gurun pasir, tapi ia tak bisa
mengingatnya. Ia membayangkan gua dan tengkorak itu,
embusan anginnya, dan pasir yang menari-nari.
Tak lama kemudian, sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia
merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, semacam
bisikan yang bergema di pikirannya, seperti suara yang
hilang ditelan angin. Ia memegang silinder di kantongnya
dan bertanya-tanya apakah ia hanya bermimpi tersesat.
Tapi ingatannya tetap saja kabur.
Beberapa hari kemudian, perasaan itu masih menghantuinya. Mungkin tak lama lagi ia akan menemukan
jawaban dari misteri ini. Dalam beberapa jam lagi, ia dan
Profesor Freeman akan tahu. Karena itu, ia tak bisa
istirahat. Pikiran ini menenangkan dirinya, tapi dirinya
tetap tak terhibur. Ia merasa ada semacam firasat,
seolaholah badai itu akan membuka kotak Pandora, dan
seolaholah akan ada kutukan kuno yang mengerikan
bakal menimpa dirinya. Ia berpikir, kuharap isinya hanya daftar barang perdagangan, tapi jauh di lubuk hatinya ia tahu isi tulisan itu
pasti bukan seperti harapannya.
Pengetahuan terbesar adalah pengetahuan yang
diiringi rasa takut Al-Hikam (Kitab Kebijaksanaan), Ibnu
Athaillah Kami mendengarkan semua kisah itu dengan penuh
perhatian. Tak seorang pun merasa letih, walaupun kami
belum beristirahat sejak pagi. Bahkan, ada yang belum
beristirahat sejak semalam. Syekh pasti memberi kami
sebagian dari energinya yang luar biasa, dan mungkin
lebih dari itu. Aku merasakan persaudaraan yang aneh
dengan tamu-tamu kami, seolah-olah kisah mereka telah
membukakan hati kami ke hati mereka.
Syekh duduk dengan kepala tepekur dan mata tertutup. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya.
"Mari kita lihat transkripsinya," ujarnya.
Profesor Freeman mengambil dua lembar kertas dari
kantong jaketnya dan menyerahkannya kepada Syekh. Ia
membacanya dengan pelan, lalu menyerahkannya kepadaku. Ali dan Rami mendekatiku, lalu kami membaca
bersama-sama. Isinya bukan daftar barang dagangan, tapi seperti ini:
Dengan Nama Allah, yang menciptakan langit dan
bumi. Aku, Zadok, putra Eleazer, Kepala Pendeta
Kuil Tuhan, menulis ini untuk Sulaiman, Sang Raja
Agung, putra Daud Sang Raja, untuk melindunginya dari setiap bahaya yang menghadang jalannya. Sembuhkan semua penyakit
dan kelemahannya. Segala puji bagi-Mu, wahai
Tuhan kami, yang telah menganugerahkan daya
dan kekuatan-Mu dalam tulisan ini, dan dalam
pembacaannya. Mahasuci Engkau wahai Raja
Diraja Yang Mahasuci, dan segala puji bagi-Mu.
Dan di kertas kedua tertulis:
Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, segala puji
milik-Mu. Rahmat-Mu membuka semua yang
tersembunyi. Yang ada di dalam cincin. Tengah
kucurahkan rohku. Akan kuungkapkan kata-kataku.
Datanglah, wahai bintang malam.
Kami saling pandang dengan takjub. Syekh, yang
menunggu kami selesai membaca, kini meminta kami
untuk diam. "Engkau yakin itu asli, Shlomeh?" tanyanya.
Profesor Freeman mengangguk. "Itu asli. Tak diragukan lagi. Di laboratoriumku kini ada dokumen tertulis
paling berharga di muka bumi."
"Dan menurutmu... itu apa?"
Profesor menatap ke luar jendela. Roman wajahnya
sulit diartikan. Lalu ia mengangkat bahunya.
"Kupikir Zadok, Kepala Pendeta Kuil Sulaiman,
menulis kemi"a16 ini untuk melindungi Sang Raja. Itu hal
biasa pada zamannya. Sulaiman pasti membawanya
selama bertahun-tahun karena Zadok meninggal pada
16 Jimat Biblikal, biasanya berupa doa tertulis yang dibawa untuk
menangkal setan. awal kekuasaannya. Jadi ia membawanya kalau-kalau
dirinya terjebak di gua gurun dan butuh sesuatu untuk
ditulisi. Dan aku yakin Sulaiman menulis bagian yang
kedua itu. Tulisan kedua itu berada di sisi sebaliknya dari
kertas papirus." "Mengapa kau berpendapat seperti itu?"
"Itu ditulis oleh tangan yang berbeda."
"Itu tidak membuktikan apa pun. Bagaimana
mung-kin Sulaiman pergi sampai jauh ke gurun sebelah
barat?" Profesor menghela napas. "Itu bagian dari misteri ini."
"Lanjutkan." "Bukti sejarah tidaklah banyak, dan bahkan samar.
Perjanjian Lama berkisah, Sulaiman mengambil putri
Firaun sebagai salah satu istrinya. Psusennes diyakini
sebagai Firaun pada waktu itu. Aku selalu menduga
bahwa Shishak, yang menjadi Firaun berikutnya, adalah
putra mereka. Jika demikian, dia mungkin membenci
ayahnya. Dia adalah anak pertama, tapi tidak dihargai dan
dihormati. Dia bukanlah Yahudi, sebab ibunya bukan
berasal dari kaum itu. "Kitab Pertama Raja-Raja menyatakan, karena
Sulaiman pernah melanggar perintah Tuhan, maka
setelah dia meninggal, Tuhan membagi kerajaannya
kepada Jeroboam putra Nebat, yang menguasai sepuluh
suku, dan kepada Rehoboam, putra Sulaiman, yang hanya
menguasai dua suku dari Yerusalem. Shishak bahkan
pernah melindungi Jeroboam di Mesir dari kemarahan
Sulaiman. Barangkali saat sudah tua Sulaiman ingin
berdamai dengan putra sulungnya, atau ingin mencegah
perang karena ia tahu perang itu akan datang. Apa pun
alasannya, yang terjadi adalah sebaliknya, sebab dalam
Kitab Kedua Kronikel ditulis bahwa Shishak menyerbu
Israel pada tahun kelima kekuasaan Rehoboam. Ia lalu
merampas harta dari Kuil Sulaiman dan istana Raja
Sulaiman. Ia mungkin menjarah semuanya, bahkan
termasuk perisai emas yang dibuat oleh Sulaiman."
"Tapi cincin tak ikut diambil," Syekh menambahi.
"Ya, Anda tahu itu. Tulisan di papirus itu menyiratkan
bahwa Sulaiman memiliki beberapa cincin yang amat
berharga baginya. Mungkin termasuk cincin bersegel itu."
"Ah! Maksudmu cincin yang konon punya kekuatan
untuk menguasai jin dan manusia," kata Syekh.
Profesor tertawa kecil. "Sebenarnya saya ragu apakah
memang cincin itu punya kekuatan sedemikian besarnya.
Tapi, jika dia memang menggunakan cincin itu, mungkin
cincin itu selalu dibawanya, bahkan saat dia berada di
Mesir. Dia mungkin pernah melarikan diri ke Mesir agar
Shishak tidak dapat memanfaatkan dirinya dan cincinnya
untuk melawan Rehoboam."
"Hmmm, mungkin saja," kata Syekh yang tampak
serius. "Atau mungkin dia sudah pergi ke daerah Sheba
sebelum dia meninggal untuk menemui Sang Ratu dan
putranya, yang katanya adalah buah dari perkawinan
mereka. Mungkin saja dia ke sana dengan membawa serta
cincin yang sama. Sepertinya kau hendak berkata bahwa
Sulaiman tidak dimakamkan di kota Daud, sebagaimana
tertulis dalam Perjanjian Lama. Kau hendak mengatakan
bahwa pada saat sudah tua, dia pergi, dengan alasan yang
tidak diketahui, menuju gurun di arah barat, dan
kerangka yang ditemukan di gua itu adalah kerangkanya."
Kami menatap Kapten Simach, lalu kami saling menatap. Sekali lagi bulu kudukku merinding hebat.
"Tepat," kata Profesor. "Apa pun alasannya, Sulaiman
tampaknya berada di suatu tempat di Gunung Haggar.


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempat itu berada di sebelah barat Mesir, tapi wilayah
Mesir saat itu jauh lebih luas dan lebih kuat ketimbang
sekarang, dan banyak suku-suku dan kerajaan di
sekitarnya memberi hormat kepada Kerajaan Mesir.
Mungkin bahkan termasuk Sabia, atau Sheba. Lalu,
bagaimana dia bisa sampai begitu jauh di gurun barat,
saya tidak tahu. Namun badai pasir yang datang tiba-tiba
mungkin telah menjebaknya di gua itu. Dia lalu
menambahkan katakata terakhir pada kemi"a itu dan
menyegelnya kembali dengan sebuah batu pipih, yakni
bulla yang kutemukan di atasnya. Dan jasadnya tetap di
sana selama 3000 tahun lebih, sampai Kapten Simach
bertemu dengan badai pasir di gurun itu."
"Mengapa kau berpendapat bahwa kalimat kedua itu
ditulis Sulaiman setelah dia terjebak di dalam gua?"
"Kata-katanya itu ditulis dengan darah," jawab Profesor.
Keheningan menyela beberapa saat. Sepertinya
Kapten Simach tak mengerti mengenai benda yang
ditemukannya. Aku pun menyimpan banyak pertanyaan.
Tapi kami semua menunggu Syekh berbicara.
"Lalu, mengapa kau datang ke sini, Shlomeh" Tekateki ini tampaknya mudah dipahami oleh muridku yang
paling bodoh sekalipun. Apa yang bisa aku bantu?"
Profesor tersenyum mendengar canda ini, namun
matanya tampak bersinar seperti penyihir yang sedang
menyiapkan ilmu pamungkasnya.
"Benda aslinya mengandung lebih dari ini," katanya.
Ia mengambil kertas lagi dari kantongnya, membentangkannya, lalu meletakkannya di atas karpet agar semua
orang bisa melihat. "Aku menyalin dan memperbesarnya dari aslinya. Ini
juga ada di sisi sebaliknya dari kemi"a itu. Ditulis dengan
darah. Anda semua lihat?" Ia menunjukkan isinya. "Dua
lingkaran konsentris menutupi bintang heksagon: perisai
Sulaiman. Menurut saya, ini adalah cetakan dari segel...
cincin Raja Sulaiman."
Ia berhenti sejenak, menatap wajah kami yang tercengang.
"Dan, di sini," katanya sembari menengok kepada
Syekh, "ada tanda di tengah bintang. Tanda-tanda itu sulit
dilihat, tapi saya yakin itu pasti sebuah kata atau kalimat.
Ada ciri yang terlihat, walaupun hurufnya sangat rapat
berdesak-desakan sehingga dibutuhkan mikroskop untuk
melihatnya. Kekentalan tintanya menunjukkan ini ditulis
dengan darah." Ia mengangkat tangannya. "Saya telah menggunakan
peralatan terbaik yang ada"sinar X, scanner inframerah"
tapi kata ini tak bisa dibaca. Saya tak tahu kenapa. Tapi
barangkali nanti akan bisa dibaca dengan jelas." Ia mengangkat bahunya. "Mungkin itu adalah nama Allah yang
tersembunyi. Saya tak tahu. Saya pikir Anda bisa membantu saya."
Syekh mengambil kertas itu dan mengibas-ngibaskannya, sehingga tak ada yang bisa melihatnya untuk beberapa saat.
"Shlomeh, jika memang ini cap dari cincin Sulaiman,
dan juga dicap dengan darah yang sama, maka cincin itu
pasti berada bersamanya di dalam gua itu. Terus, mengapa dia menyegel kotak itu dengan batu pipih?"
"Saya tak tahu," kata Profesor dengan murung. "Ini
adalah misteri dalam misteri. Aaron... maksud saya
Kapten Simach, berkata bahwa dia tidak melihat cincin di
sana. Tapi Anda benar, cincin itu mungkin masih ada di
sana." Syekh diam-diam memuji murid lamanya ini. Ada
seulas senyum tipis di bibirnya. Ia lalu mengangguk-angguk sebelum berkata, "Kawan, mengapa engkau membawa
ini padaku?" Profesor Freeman tampak terkejut dengan pertanyaan
ini. "Mengapa" Hmm.... Sebenarnya, Anda adalah orang
pertama yang terlintas dalam benak saya. Saya pikir
temuan ini mungkin memberi sesuatu pesan kepada
Anda," katanya. "Itu saja alasannya."
Syekh tampak berpikir. Ia mengusap-usap jenggot
panjangnya sembari memeriksa lagi tulisan kuno dan cap
segel itu. "Ya, aku tahu," katanya. Ia lalu berbicara sebentar
dengan Rami. Rami lalu pergi sebentar dan kembali dengan membawa dua buah buku dari rak di salah satu ruangan. Syekh membaca salah satu buku itu dalam hati,
yang ternyata adalah Injil. Setelah itu ia meletakkannya
kembali. "Ini adalah bagian dari misteri. Dan kamu tahu katakata ini juga kan, Shlomeh" Kalimat itu berasal dari
Amsal. "Camkanlah! Akan kucurahkan rohku kepadamu,
dan akan kuberitahukan kata-kataku kepadamu," juga,
"Sebab orang-orang yang lurus akan tinggal di tanah ini...?"
"Ya, ya," kata Profesor. Ada nada ketidaksabaran
dalam suaranya. "Amsal, salah satu kitab dari Perjanjian
Lama yang disepakati oleh sebagian besar sarjana sebagai
tulisan Sulaiman. Sekarang sudah mulai jelas."
"Kecuali bentuk waktunya diubah."
"Ya, kutipan di papirus itu menggunakan bentuk
waktu sekarang. "Tengah kucurahkan rohku." Mungkin
saat itu Sulaiman sedang sekarat." Profesor Freeman mengernyitkan dahi setelah ia mengatakan itu.
Syekh tidak berkata apa-apa. Ia mengambil buku
yang satunya, membuka-buka halamannya, sampai ia
menemukan apa yang dicarinya. Lalu ia membaca dalam
hati. Sejenak kemudian, ia meletakkan kembali buku itu
dan membiarkannya tetap terbuka. Aku tak bisa melihat
judulnya. "Namun, bahkan walau sudah meninggal dan telah
beribu-ribu tahun berlalu, Sang Raja tampaknya masih bisa memerintah makhluk hidup," ujar Syekh. "Diceritakan
bahwa ketika Ratu Sheba datang mengunjungi Sulaiman,
untuk mengetahui apakah kabar tentang kebijaksanaan
Raja itu benar atau tidak, Sulaiman mengirimkan
Benaiah, putra Jehoida, seorang panglima, untuk
menemui Sang Ratu. Dan Benaiah ini sangat tampan."
Syekh mengambil lagi buku itu dan membaca,
"Tam-pan... seperti semburat cahaya merah di langit timur
kala matahari memecah malam, seperti bunga lili yang
mengapung di air, dan seperti bintang malam yang
sinarnya melebihi bintang lainnya.?"
Ia menutup buku itu dan langsung menatap Kapten
Simach. "Kau paham?" Kapten mengangkat kepala, lalu berkedip-kedip. Ia
tampak bingung sesaat, tapi ekspresinya yang aneh masih
terlihat. Ali dan Rami menatapnya dengan heran. Rebecca
juga menatap Kapten. Jadi, kata-kata Syekh tadi bukan
bercanda. Aku melihat Kapten, lalu menatap Syekh, dan
kembali menatap kapten muda itu.
"Nah," kata Syekh kepada kawannya. "Kau juga tahu
referensi ini. Mengapa kau tidak berbicara tentang itu?"
Profesor menggeleng. Ia tampak malu. "Karena ini tak
masuk akal," protesnya. "Ini tidak ilmiah. Ini..."
"Ya, benar," potong Syekh sembari meletakkan tangannya di atas buku yang sudah ditutup. "Seperti mimpi
yang mengisyaratkan kejadian masa depan. Itu juga tidak
ilmiah." Profesor tidak menjawab. Bayangan ibunya berkelebat
di depan matanya. Mungkin sebagai ilmuwan ia bisa
mengabaikan ucapan di dalam bayangan ibunya; tapi sebagai seorang anak, ia tidak bisa melakukannya.
"Yang kau ceritakan pada kami sangat menarik,
Shlomeh. Tapi aku tidak mengerti bahasa Canaanitish
kuno, juga pesan yang kau terjemahkan itu. Seluruh
persoalan ini seharusnya diserahkan kepada Dinas
Purbakala Israel. Kenapa kau malah menemuiku?"
Profesor itu ragu-ragu. "...Saya hanya berpikir pesan
itu mungkin memberikan beberapa makna kepada Anda.
Pesan itu seperti... seperti sejenis ramalan."
"Engkau bertanya tentang apa yang sudah kau
ketahui, Shlomeh," ujar Syekh.
Namun Profesor tetap bersikukuh. "Tetapi saya tidak
tahu makna tulisan di cap itu, walaupun misalnya ia
menggunakan bahasa yang sama. Bila kita bisa memahami maknanya dalam kaitannya dengan..."
"Itu tidak akan membantumu."
"Tapi bagaimana Anda..." Maksud saya, bagaimana
lagi kita bisa...?" Profesor berhenti mendadak. Ia tampak bingung, atau
mungkin tidak ingin membantah kata-kata mantan
dosennya. Syekh tidak berkata apa-apa lagi. Saat itu, seekor
ngengat cokelat terbang melalui jendela yang terbuka dan
berputar-putar di atas kepala kami. Syekh menjulurkan
tangan kanannya, dan tak lama kemudian ngengat itu
mendarat di telapaknya. "Ngengat ini mencari cahaya, demikian juga dirimu,"
katanya, sambil pelan-pelan menutup jari tangannya lalu
memasukkan ngengat itu ke jubahnya. Begitu tangannya
ditarik keluar lagi, tangannya sudah kosong.
"Mimpi-mimpimulah yang membawamu ke sini, kawan. Tapi kau tidak akan mendapatkan maknanya di sini.
Engkau sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Aku
akan membantumu semampuku, sesuai kehendak
Tuhan." Profesor menatap pada tangan Syekh yang kosong,
lalu menatap tangannya sendiri, dan tidak berkata
apa-apa. Diamnya lebih menjelaskan ketimbang kata-katanya. "Tidak adakah cara lain?" putrinya bertanya.
Syekh menggeleng. "Kebenaran tidak bisa ditemukan
dalam buku-buku. Ia kemudian menatap langsung pada
Kapten Simach. "Kau harus mencari jawabannya di
tempat yang sama ketika engkau menemukan pertanyaannya." Kapten Simach menutup matanya.
"Jadi, kita harus ke gurun itu?" tanya Profesor.
"Ya, dan segera," ujar Syekh.
Aku tahu Syekh juga akan menyuruh kami ikut. Itulah sebabnya kami diminta tetap tinggal. Ali dan Rami
duduk diam di sampingku. Mereka juga tahu.
Syekh menyalakan cangklongnya dan menutup
matanya sejenak. Lalu ia menatap Rebecca. Badan
Rebecca tampak mengkerut dan kepalanya tertunduk.
Kemudian ia menegakkan badan dan mengangkat
bahunya dan berkata, "Syekh," katanya pelan.
Syekh" Suaranya lembut, tapi ada cahaya di matanya. "Izinkan saya bergabung dengan tarekat Anda."
Profesor Freeman menatap putrinya dengan heran,
tapi Syekh hanya tersenyum. Ia telah membaca maksud
Rebecca. "Ini adalah jalan ketenangan terdalam," katanya. "Ini
jalan yang sulit. Jalan paling sulit yang pernah kau kenal.
Tak satu pun dari dirimu yang akan tersembunyi. Apa kau
sudah yakin?" Rebecca tidak ragu-ragu, "Ya, saya yakin."
"Ayahmu adalah sahabatku. Engkau juga harus minta izin darinya," kata Syekh.
Rebecca menatap ayahnya. Profesor Freeman bertemu pandang dengan putrinya,
lalu mengangguk-angguk tak jelas. "Aku tak tahu harus
berkata apa." "Apa kau percaya pada Tuhan?" tanya Syekh kepada
Rebecca. "Ya," jawabnya pelan.
"Kalau begitu, engkau akan diterima," katanya. "Di
antara darwis tarekat ini, ada orang-orang dari berbagai
ras dan keyakinan yang berbeda. Kami berbeda-beda, tapi
semuanya adalah pejalan di jalan yang sama."
"Dan apakah engkau akan shalat sebagaimana orang
Islam?" tanya Profesor Freeman kepada putrinya.
Putrinya hanya tersenyum, tapi tetap diam.
"Yahudi, Kristen, Muslim," kata Syekh, "kita semua
adalah Ahli Kitab, yang mengikuti warisan yang sama. Aku
pernah berdoa bersama orang-orang Kristen dan Yahudi,
kawan. Hanya ada satu Tuhan yang mendengar doa kami."
Profesor menarik napas dalam-dalam dan menunduk.
Angin berembus pelan di antara dedaunan dan Syekh
membisikkan sesuatu kepadanya. Apa yang dikatakan
Syekh membuat Profesor kaget dan langsung duduk tegak.
"Bicaralah sekarang!" kata Syekh. "Hanya telinga yang
bisa mendengar ucapan lidah."
Profesor sedikit mengangkat bahunya. "Ya, baiklah,"
katanya lalu memeluk Rebecca sambil mendesah.
Kapten Simach belum pernah bicara selama ini. Kini
Syekh berpaling kepadanya.
"Shlomeh akan melihat putrinya dibaiat. Kuharap
engkau di sini juga, agar semuanya bisa mendengar."
Kata-kata itu tampaknya mempengaruhi Kapten
Simach. Setelah lama diam, apa yang terlintas di pikirannya hanya diperlihatkan dengan sedikit gerakan. Ia hanya
mengangguk tanda setuju. "Jadi, mari kita lakukan!" kata Syekh. "Rebecca tidak
akan pulang ke rumahnya. Kalian semua, kuharap mau
menghargaiku sekali lagi dengan menginap di sini
semalam. Besok malam akan ada majlis, pertemuan dua
mingguan kami. Ishaq akan membantu Rebecca mempersiapkan baiatnya."
Setelah itu ia berdiri dan kami pun ikut berdiri. Setelah ia pergi dari ruangan, energi yang meliputi kami semalaman sepertinya lenyap. Aku hampir tak punya daya
lagi untuk mengangkat kasur dan selimut tambahan ke
ruang tamu. Akhirnya aku tidur sangat nyenyak.
Kutenggak bergelas-gelas Cinta Anggurnya tak
pernah surut, juga dahagaku
Abu Yazid Al-Bustami Syekh sendiri yang membangunkanku. Ini sangat
tidak lazim, dan karena itu aku bersiap-siap.
"Catat semua yang engkau lihat dan dengar," katanya.
"Murid lamaku dan kawannya akan segera pergi ke gurun,
dan kamu akan ikut bersama mereka sebagai juru
tulisku." Ia pasti melihat sorot mataku sebab ia tersenyum dan
menambahkan, "Jangan takut. Ali dan Rami akan ikut
juga. Mereka mengenal daerah gurun. Rebecca juga ikut.
Dialah yang paling mengenal ayahnya. Bergegaslah dan
bangunkan mereka. Lingkaran sudah hampir selesai."
Lingkaran sudah hampir selesai!
Itu benar. Syekh tidak hanya menyuruhku untuk


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencatat secara biasa. Aku harus menceritakan semua
hal yang terjadi. Aku harus menjadi saksi. Kerangka
manusia dan tulisan kriptik kuno mungkin akan bisa
dijelaskan maknanya, dan bahkan cincin bersegel yang
hebat itu mungkin masih ada di dalam gua di tengah
gurun itu. Kami merasa seperti diseret ke masa lampau
oleh sebuah kekuatan gaib, oleh angin yang membadai,
mimpi dan darah. Walau aku merasakan semacam firasat, aku merasa
tertarik oleh misteri ini. Sepertinya kata-kata Syekh menarikku ke dalam lingkaran yang hampir selesai. Aku
percaya pada Syekh, dan apa pun peristiwa yang
dibacanya di darah dan tulang Sulaiman, pasti berkaitan
dengan Kapten dan profesor tua itu. Dan aku, Rebecca, Ali,
dan Rami, tampaknya harus mengetahuinya.
Sesudah mereka dibangunkan, aku harus mempersiapkan baiat untuk calon penempuh jalan ruhani ini.
Aku menyukai ketegasan dan kesopanan Rebecca. Ia
belum menjadi darwis atau Sufi, namun ia sudah belajar
diam. Ia menyambutku dengan senyuman hangat setelah
kuketuk pintu kamarnya. Aku menunduk, tangan kananku meraba dadaku. Ia tampak tenang, dan jauh lebih
percaya diri ketimbang pertama kali kulihat.
Kami tidur hampir seharian, dan kini sudah
menjelang malam. Para darwis lain akan segera datang,
dan mereka yang menginap di sini belum muncul. Karena
itu Rebecca memintaku menemaninya setelah aku
menyiapkan teh untuk sarapan yang sudah terlambat.
Ia duduk tegak, punggungnya hanya sedikit menyentuh sandaran kursi. Tangannya terlipat di pangkuannya.
Aku merasakan ada tanda kesiapan dalam postur tubuhnya. Ia seperti sedang menunggu perintah.
Kuhidangkan segelas teh kepadanya, lalu duduk
menghadap wajahnya. Namun aku tak berani beradu
pandang. Aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku belum
pernah melakukan hal seperti ini.
Ia tampaknya tahu kalau aku sangat malu.
"Terima kasih telah membantuku," katanya. "Aku tak
pernah mengira akan duduk di sini."
"Aku juga demikian saat pertama kali duduk di situ,"
kataku mengakui, sambil menatapnya.
"Bagaimana kejadiannya" Tolong ceritakan..."
Itu permintaan yang pas untuk menghilangkan kegelisahanku. Aku tersenyum dengan rasa terima kasih. Sembari duduk di sebelah meja dapur, aku lalu menceritakan
kisahku padanya. Aku pertama kali bertemu Syekh gara-gara tatapan
mata yang tulus. Jika kuingat waktu itu, aku jadi geli
sendiri. Saat itu aku adalah mahasiswa yang serius,
pencinta kebenaran dan kebijaksanaan. Kau tahu" Ya,
aku mahasiswa filsafat. Tentu saja aku bisa meraih gelar
sarjana yang bergengsi. Aku berasal dari keluarga kaya.
Nah, pada suatu musim semi aku memutuskan untuk
berjalan-jalan melalui taman menuju kamar kosku setelah
mengikuti kuliah di universitas. Di sana terdapat sebatang
pohon kecil di dekat pancuran dan terkadang aku duduk
di sana untuk membaca. Setibanya di tempat itu, aku
mendengar suara musik. Musik itu berasal dari sebilah
ney, dan aku mencari asal suaranya. Kukira ada seorang
musisi yang sedang berlatih. Tapi aku terkejut ketika
menjumpai sekumpulan orang yang duduk di atas rumput
mendengarkan permainan musik itu. Kupikir itu semacam
konser, dan aku pun mencari tempat duduk untuk ikut
mendengarkan. Pria yang memainkan musik itu sangat
tampan. Ia juga kelihatan ramah dan sopan.
Namanya Ali. Mungkin sekitar dua lusin pria dan wanita dari segala usia duduk di sana. Semuanya mendengar
dengan tenang. Kemudian Rami mendatangiku. Ia adalah
salah seorang teman kuliahku. Walaupun aku tak begitu
mengenalnya, aku hafal wajahnya. Ia tidak bicara, tapi
menjabat tanganku dan memelukku. Lalu ia mengajakku
duduk berdampingan. Tapi sayangnya, musik itu segera
berakhir begitu aku duduk.
"Aku datang terlambat," kataku pada Rami.
"Oh, tidak," katanya. "Kau datang tepat pada waktunya."
Saat itulah Syekh datang bergabung dengan perkumpulan itu.
Ia benar-benar mengesankan saat berjalan ke arah
kami. Ia memakai pakaian putih dan penutup kepala yang
juga putih. Ia mengenakan sandal dan kaus kaki putih
yang sedikit tampak di bawah jubahnya ketika ia duduk di
sebuah kursi di atas rerumputan.
Rami berbisik padaku bahwa ia adalah Syekh Haadi,
seorang Guru Sufi, salah seorang guru spiritual paling
terkenal pada zaman kita. Syekh itu sendiri mengaku
heran kenapa ia memutuskan untuk berbicara di taman
ini, di tengah-tengah orang ramai. Ia jarang sekali
melakukan hal ini. Tentu saja aku tak paham apa yang dikatakannya
waktu itu. Aku tak pernah mendengar tentang dirinya.
Tapi yang jelas, melalui musik itu aku masuk ke
dalam semacam ritual keagamaan. Aku merasa bodoh dan
ingin pergi dari situ. Tapi aku seperti terperangkap.
Rasanya aku harus tetap bertahan di sana.
Kupikir tidak ada salahnya sesekali mengikuti
upacara semacam ini. Syekh tersenyum hangat saat
mengucapkan salam kepada kami. Aku belum pernah
bertemu figur yang demikian tenang sepanjang hidupku.
Syekh Haadi kemudian meletakkan tangannya di dadanya dan membungkuk ke arah hadirin di depannya.
"Salam," ujarnya.
Suaranya yang dalam dan bergetar membuatku terpana. Suara itu seperti memenuhi taman saat ia mulai
berbicara tentang Cinta, dan jalan panjang menuju Tuhan.
Kau sudah mendengarnya, bukan" Suaranya amat berwibawa sehingga menimbulkan kekuatan yang hebat.
Aku mendadak gelisah. Rami dan hadirin lainnya mendengarkan penuh perhatian. Namun aku selalu memandang pesan-pesan mistisnya dengan rasa curiga dan tak percaya. Itu bukan seleraku.
Kemudian tepuk tangan meriah membahana. Tapi
aku hanya ingat kata-kata terakhir yang diucapkannya
saat itu. Ya, aku ingat dengan jelas.
Ia berkata, "Saudara-saudara semua, keberuntungan
Anda tidak berada di tangan bintang-bintang, tapi di tangan Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Percayalah pada-Nya, dan simpanlah rasa cinta
kepada-Nya di hatimu, niscaya jalan hidupmu akan
diberkati." Tepuk tangan makin keras. Aku pun ikut bertepuk
tangan dengan sopan karena merasa lega acaranya sudah
selesai. Aku baru saja hendak bangkit dan pergi ketika ia
bangkit dari kursinya dan mengangkat tangan kanannya.
Ada koin uang di tangannya.
"Kalian lihat," katanya menambahi. "Pernah, saat
saya masih muda, saya akan berangkat haji ke Makkah.
Sebuah perjalanan ribuan mil dari tempat tinggal saya
pada waktu itu, tapi saya hanya membawa satu keping
uang ini di kantong, sebab saya percayakan diri kepada
Allah sebagai pemandu langkah saya. Dan setelah saya
pulang haji, uang ini masih ada di kantong saya."
Semua orang terpesona dengan cerita ini. Banyak di
antara mereka menyebut beberapa macam nama Tuhan.
Tapi aku tidak percaya ceritanya. Muncul kepongahan intelektual dalam diriku, dan aku merasakan dorongan
logika yang tak bisa kutahan.
"Maaf, menyela," kataku, lalu berdiri di depan Syekh.
"Kalau Anda benar-benar hanya percaya kepada Tuhan,
Anda seharusnya tidak perlu membawa bahkan satu
keping uang sekalipun."
Semuanya mendadak diam, lalu terdengar banyak
embusan napas. Rami amat kaget, dan yang lainnya menatapku dengan tatapan takut. Tapi Syekh Haadi hanya
tertawa. Ia tersenyum padaku, lalu menundukkan kepalanya sedikit.
"Anda benar sekali," katanya, sambil memasukkan
uang itu ke kantongnya. "Saat itu aku pemuda yang bodoh."
Orang-orang masuk ke dapur. Mereka memberi salam
kepada kami. Rebecca lalu mencium ayahnya. Ayahnya
membisikkan beberapa kata kepadanya, dan Rebecca
mengangguk-angguk. Rami menuangkan teh kepada Ali,
Profesor, dan Kapten Simach, lalu menatap kami berdua.
Ia kemudian membawa yang lainnya menuju taman.
"Lalu apa yang terjadi kemudian?" tanya Rebecca,
setelah kami berdua saja.
Aku menghela napas. "Ia menghampiriku dan mengundangku makan malam pada malam berikutnya. Syekh
berkata bahwa para darwis bisa mendapat banyak
manfaat dari kebijaksanaanku."
Rebecca tertawa, begitu pula aku, meski tidak sampai
terbahak-bahak. "Ia memberi umpan, dan engkau memakannya."
"Benar." Aku setuju dengan perumpamaan itu. Entah
mengapa aku seperti hendak menangis. Aku terkejut sendiri dengan emosi yang tiba-tiba muncul.
Rebecca paham. "Engkau saat itu tidak percaya pada
segala sesuatu, bukan?"
Aku mengakui itu benar. Tapi waktu itu aku tidak
pernah mengakuinya. "Terus, apa yang terjadi?"
"Malam berikutnya, Rami datang ke kamarku dan
mengantarku untuk makan malam di khaniqah," kataku,
lalu menunjuk ruang pertemuan di sebelah dapur. "Waktu
itu aku agak menyesal karena menerima undangan
terse-but. Aku berprasangka bahwa mereka mungkin
akan mengabaikanku karena aku telah berperilaku tidak
hormat kepada Syekh mereka. Tapi ternyata, semua orang
menyambutku dengan hangat dan ramah. Aku bersumpah, belum pernah kusaksikan orang-orang yang begitu
tulus dan ramah seperti itu di sepanjang hidupku. Bahkan, Syekh tampak gembira melihat kedatanganku. Ia
memintaku duduk di sebelah kanannya saat makan
malam. Ia banyak berbicara tentang Jalan Tasawuf.
Dengan sabar ia menjawab pertanyaanku tentang sejarah
dan silsilah tarekatnya. Aku benar-benar terkejut
sekaligus senang oleh perhatian yang diperlihatkannya.
Dan sebagai penghargaan, aku akan menulis kajian ilmiah
tentang metodologi tarekatnya."
Rebecca tertawa. "Itu benar. Saat itu aku pasti kelihatan sangat bodoh,
menulis dengan tergesa-gesa sembari duduk setelah makan malam. Saat itu aku tak tahu betapa berharganya perhatian yang dia berikan.
Tak lama kemudian, teh dan camilan dihidangkan.
Syekh mohon diri lalu pergi ke kamar atas, tapi Ali mulai
memainkan ney-nya dan para darwis lainnya melagukan
nama-nama Allah seiring dengan irama kendang. Rasanya
saat itulah aku mulai tersentuh. Belum pernah kudengar
instrumen sederhana itu dimainkan, juga belum pernah
kudengar suara yang sederhana namun berlimpah kebahagiaan. Musik itu membuatku berhenti menulis. Aku
ingat betul saat meletakkan buku catatanku. Musik itu
menerbitkan semacam kerinduan panjang di hatiku"kerinduan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku
ingat waktu itu air mataku menetes. Aku hampir tak percaya. Aku terus berkata pada diriku sendiri bahwa ini
adalah hal yang tak masuk akal, tapi aku terus saja
menangis." Aku menerawang, menarik napas dalam-dalam.
Ingatan itu masih membayangiku"ingatan yang muncul
dari dalam ketakjuban yang mendalam. "Aku menginap
malam itu, malam berikutnya, dan malam berikutnya lagi.
Seminggu kemudian, Syekh membaiatku."
lam. Alis Rebecca sedikit terangkat. Ia berpikir dalam-da"Seperti itukah jalannya?" akhirnya ia bertanya pelan.
"Hanya seperti itu?"
"Ya... walaupun sebenarnya lebih dari itu."
"Dan pernahkah kau bermimpi, atau mendapatkan
semacam visi?" "Aku tak membicarakan soal itu kepada siapa pun,
kecuali kepada Syekh. Maaf."
Rebecca mengangguk pelan. Tampaknya ia bisa memahaminya. Ia berdiri, lalu menuangkan teh ke gelas. Seharusnya akulah yang melakukannya, tapi aku lebih suka
menikmati gerakan-gerakannya.
"Baiklah kalau begitu," katanya setelah beberapa saat. "Beri tahu aku apa saja yang perlu kuketahui."
"Ya, tentu saja," jawabku ramah. Aku berusaha untuk
tidak bertingkah seperti orang sekolahan.
"Setelah makan malam, kita akan ke ruang pertemuan, mungkin minum teh lagi, dan Syekh akan minta izin
untuk masuk ke ruangannya di atas. Kemudian, ia akan
memanggilmu dan aku akan mengantarmu ke atas. Kita
berdua akan berlutut di lantai di depan pintu kamarnya.
Lalu ia akan memanggilmu, sementara aku menunggu di
luar. Kau harus duduk tepat di hadapannya, menunggu ia
berbicara. Ingat itu, ya.... Bicaralah hanya jika ia mengajukan pertanyaan atau memberi izin. Apa yang akan ditanyakannya, aku tidak tahu."
"Apa yang ditanyakan olehnya padamu dulu?"
"Itu tidak akan membantumu. Ia mengajukan pertanyaan yang berbeda pada setiap orang."
Ia mengangguk. "Lanjutkan."
"Kemudian ia akan bertanya apa yang kau bawa kepadanya."
"Apa yang harus kubawa?"
"Sekantong permen"kami sediakan di sini"dan sebuah cincin."
"Cincin?" "Ya, cincin dengan batu akik. Tak perlu yang mahal.
Kami bisa membelikannya kalau kau belum punya."
"Tidak usah," katanya setelah merenung sejenak.
"Aku punya satu."
"Pemberian cincin adalah lambang kemurahan hati.
Entah kaya atau tidak, darwis berupaya untuk mengosongkan hatinya dari keterikatan pada dunia. Cincin itu
sendiri adalah pernyataan niatmu. Itu menandai ketaatanmu kepada Allah, dan kepada Syekh sebagai pembimbingmu di jalan Tarekat. Batu di cincin itu
melambangkan kepala pejalan atau salik. Ia berarti,
kesanggupan untuk tidak pernah mengungkapkan hal-hal
yang rahasia dalam dirimu." "
"Bagaimana jika aku bermimpi... seperti ayahku?"
tanyanya. "Kau hanya bisa menceritakannya kepada Syekh,"
jawabku. "Dan mengenai permen?"
"Itu diberikan sebagai hadiah atas kelahiran keduamu. Kami percaya bahwa setelah ibumu melahirkanmu ke
dunia ini, jiwamu berpisah dari Tuhan. Jadi, di sini kau
dilahirkan kembali sebagai salik di Jalan Cinta, kembali
menuju Tuhan." "Oh!" Ekspresinya yang sederhana itu menyentuh hatiku.
"Syekh mungkin akan mengajukan banyak pertanyaan,
atau mungkin memberikan nasihat... apa saja. Sekali lagi,
itu akan berbeda-beda untuk setiap orang. Terakhir, ia
akan mengajarimu zikir, kata atau frasa untuk mengingat
Tuhan. Zikir itu nanti mesti diulang-ulang dalam hati
seiring dengan tarikan dan embusan napas. Dengan cara
itu, setelah jangka waktu yang lama, zikir akan menjadi
bagian dari napasmu. Pada akhirnya, zikir akan mengalir
langsung dari hati, dan kemudian setiap napasmu akan
menjadi zikir dan doa, berkah dan syukur."
Mata Rebecca tiba-tiba seperti menyala, dan aku tersenyum. "Setelah Syekh membaiatmu, ia akan mencium
kedua pipimu. Kemudian, ia akan mengembalikan permenmu setelah mengambil beberapa butir untuk dirinya
sendiri. Terakhir, ia akan memanggilku dan aku akan


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengantarmu turun. Semua darwis akan berdiri saat kau
datang, dan kau akan memberi mereka masing-masing
satu butir permen sambil mengucapkan salam dan
mencium kedua pipi mereka. Aku akan berada di urutan
terakhir." Aku menarik napas, menatapnya.
"Lalu?" tanyanya.
mi." Aku tersenyum. "Lalu kau akan menjadi saudara kaKulihat ia meneteskan air matanya, tapi aku menduga
ia mungkin tak menyadari kalau dirinya menangis.
"Maaf," katanya. "Aku masih kanak-kanak."
Aku kini tahu mengapa Syekh memilihku untuk
membantunya dalam menjalankan upacara baiat.
"Aku juga masih seperti anak kecil," kataku sembari
memberinya sapu tangan. Ia menerimanya, memegang
tanganku, dengan kedua tangannya. Tatapan hati kami
telah mengikat persaudaraan yang telah kurasakan
semenjak awal. Dan kini tali persaudaraan itu terasa
semakin kuat. Ini adalah awal dari persahabatan istimewa
di dalam lingkaran persaudaraan kami.
Apa pun filsafat yang masuk ke dalamnya, Samudra
tetaplah Samudra Fariduddin Attar Dan demikianlah. Pada acara makan malam itu kami
banyak bertukar senyum dan tatapan rahasia penuh pengertian. Keadaan ini tampaknya membuat Rebecca menjadi lebih tenang, walaupun aku tak tahu pasti apa yang
dipahaminya. Syekh tampaknya terserap dalam pikirannya sendiri dan tak banyak bicara. Pada akhir jamuan
makan, ia berbicara dengan seorang darwis tua, lalu pergi
ke atas. Setelah hidangan habis dan sufreh dibersihkan, teh
dihidangkan. Profesor Freeman dan Kapten Simach duduk
bersama di sudut ruangan, sementara Rebecca duduk di
dekatku. Kepalanya tertunduk.
Tak satu pun darwis lain yang menatap kami. Mereka
tahu bahwa ini adalah awal perjalanan dan karenanya
mereka tidak mau mengganggu kontemplasi Rebecca.
Tak lama kemudian, darwis tua itu datang mendekati
kami, lalu berkata pelan bahwa waktunya sudah tiba.
Aku mengajak Rebecca ke atas dan berjalan ke ruangan Syekh. Pintu ruangannya terbuka dan kami dapat
melihatnya duduk bersandar bantal putih sembari mengisap cangklongnya. Dua gelas teh dan sekantong permen
tersedia di sana. Kami berlutut di depan pintu. Aku menyampaikan
bahwa orang yang akan berbaiat sudah datang.
"Silakan masuk," katanya.
Rebecca masuk dan duduk menghadapnya. Pintu
kututup. Baru beberapa menit, pintu terbuka kembali dan
Rebecca keluar. Ia melirikku sekilas, lalu pergi ke kamar
mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air.
Itu namanya mandi tobat, lambang pembersihan diri,
yang sering menjadi bagian dari baiat tarekat apa saja,
termasuk tarekat kami. Tapi rupanya, mandinya Rebecca
lama sekali. Ia tidak menatapku saat melewatiku menuju
ruang baiat. Lalu ia menutup pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka kembali dan
ia keluar, melangkah mundur, berlutut lagi, lalu menutup
pintu ruangan. Baiat telah selesai. Kini telah ada darwis baru di
tarekat kami, dan aku berdiri menyambutnya.
"Salam!" katanya dengan lembut sambil menjabat
tanganku. "Salam!" aku menjawabnya. Ia tampak habis menangis, meski ia membawa sekantong permen.
"Awan pasti akan segera lenyap di atas padang
rum-put yang tersenyum," kataku, mengutip puisi Rumi
untuk menghiburnya. "Air mata adalah berkah."
"Kalau begitu aku akan menjadi Wali Allah," katanya,
dan kami berdua tertawa. Ia masih membawa sapu tanganku, yang dipakainya
lagi untuk mengusap air matanya. Lalu kami turun.
"Salam!" aku berseru, dan semua orang, termasuk
Profesor dan Kapten Simach, berdiri.
Kusuruh Rebecca untuk mulai membagi permen.
Seperti adab yang berlaku dalam tarekat kami, pembagian
dimulai dari orang di sebelah kanannya, dan terus
berputar searah jarum jam. Ia menyalami semua darwis
dan menyerahkan sebutir permen kepada masing-masing
orang. Mereka segera mengemutnya, atau menyimpannya.
Rebecca pun memberikan salam kepada Kapten Simach
dengan cara yang sama. Ia kemudian memeluk ayahnya
erat-erat. Terakhir, ia memberiku salam lagi dan memberi
permen terakhir. "Dua kali salam," kataku.
Ia menjawab dengan tangisan sesenggukan.
Aku kemudian membawanya ke sudut ruangan untuk
duduk dan membaca zikirnya terus-menerus sembari
menunggu kedatangan Syekh.
Ini waktunya muhasabah atau mengoreksi diri.
Seperti tertera dalam Al-Quran, "Dan sesungguhnya,
apakah engkau mengungkapkan apa yang ada dalam
dirimu atau menyembunyikannya, Allah akan memanggilmu untuk memperhitungkannya."
Kami berjuang untuk menaklukkan ego dalam pikiran dan
perbuatan kami, dan berusaha bersyukur atas anugerah
Allah dengan menghambakan diri dalam banyak
pelayanan. Setelah sepuluh sampai lima belas menit, akhirnya
Syekh turun dan bergabung bersama kami. Semua berdiri
menyambutnya. Ia lalu duduk di atas alas bulu domba,
kemudian memerintah kami untuk duduk kembali. Ia
memberi isyarat agar Rebecca duduk di sebelah kanannya,
Profesor dan Kapten Simach di sebelah Rebecca, sedang
aku di sebelah kirinya. Ali dan Rami duduk di sebelahku.
Setelah semuanya duduk tenang, teh dihidangkan kepadanya. Ia menyeruputnya dengan lembut, lalu mulai berbicara:
"Wahai para darwis," tuturnya seraya melemparkan
pandangan tajam ke semua hadirin. "Ketika Allah
menciptakan umat manusia, semuanya mengatakan
mencintai-Nya. Maka Dia kemudian menciptakan
kesenangan-kesenangan duniawi, dan sembilan per
sepuluh dari mereka segera meninggalkan-Nya, sehingga
yang tersisa hanya sepersepuluhnya. Kemudian Allah
menciptakan kemegahan dan kenikmatan Surga, dan
sembilan per sepuluh dari sepersepuluh yang tersisa itu
meninggalkan-Nya. Lalu Allah menimpakan bencana dan
kesedihan kepada sepersepuluh yang tersisa itu. Dan
sembilan per sepuluh dari sepersepuluh yang tersisa itu
juga melarikan diri dari-Nya."
Syekh berhenti sejenak untuk menyalakan cangklongnya, kemudian mengembuskan asap tembakaunya pelanpelan. "Manusia-manusia yang menjauh dari-Nya itu terombang-ambing antara kesenangan, harapan, dan putus asa. Tapi, mereka yang
tetap bertahan, yakni sepersepuluh dari sepersepuluh dari
sepersepuluh yang tersisa, adalah manusia-manusia
Pilihan. Mereka tidak menginginkan dunia, tidak mengejar
surga, dan tidak melarikan diri dari derita. Hanya Allah
semata yang mereka inginkan, dan walaupun mereka
menerima penderitaan dan cobaan yang bisa membuat
gunung-gunung gemetar ketakutan, mereka tidak
meninggalkan cinta dan kepasrahan kepada-Nya. Mereka
adalah hamba Allah yang sejati, pencinta Allah yang
sesungguhnya." Kata-katanya membuat Syekh melanjutkan: banyak mata menangis. "Mengikuti Jalan Cinta harus menjadi hamba sejati,
harus melayani Tuhan dan segenap makhluk-Nya, agar
mereka bisa menemukan jalan yang benar. Dikisahkan,
suatu ketika Allah Yang Maha Pengasih bersabda kepada
hati Dzun Nun Al-Mishri. "Allah berfirman kepadanya: "Jika datang kepadamu
orang yang sakit karena berpisah dari-Ku, sembuhkanlah
dia. Atau bila karena melarikan diri dari-Ku, carilah dia.
Atau jika karena takut kepada-Ku, yakinkanlah dia. Lalu
beri bantuan kepadanya, atau kalau kau bertemu dengan
orang yang mencari-Ku, bantulah dia mendekati-Ku. Atau
jika dia amat membutuhkan rahmat-Ku, bantulah dia.
Atau jika dia berharap kasih sayang-Ku, ingatkanlah dia.
Dan jika dia tersesat, carilah dia. Sebab engkau telah
ditakdirkan untuk membantu-Ku, dan engkau telah Kuangkat untuk melayani-Ku.?"
Kata-kata itu langsung tersimpan dalam ingatan kami, dan membuat hati kami terenyuh. Sebelumnya,
pernah kudengar ucapan Syekh yang begitu kuat dan
menyentuh seperti saat ini. Banyak yang kemudian
menyebut nama Allah, lalu menangis dengan bersyukur
dan berdoa. Profesor Freeman memeluk putrinya saat ia menangis, dan matanya sendiri pun berlinang-linang. Tapi
Kapten Simach tampak sangat terpana. Wajah dan
tangannya terangkat ke atas, seperti sedang melihat
surga, dan ia tampaknya ingin bicara walaupun tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dan wajahnya
seperti sedang menanggung kesakitan yang dalam. Syekh
lalu mencondongkan badannya kepada Kapten dan
menyentuh bahunya. Tangan Kapten langsung jatuh lagi
ke pangkuannya, dan ia menundukkan kepalanya.
Setelah kejadian yang mengherankan ini, Syekh
mengangkat tangan kanannya. Suara tangisan dan
rintihan pun berhenti. Ia meminta musik dilantunkan.
Malam ini ney Ali dan tar Rami akan berpadu, dan darwis
lainnya memainkan dafs. Salah seorang darwis tua
bahkan memainkan tombeck kuno, semacam rebana kecil
yang terbuat dari kayu mulberi dan kulit domba.
Ney mulai menyuarakan kerinduannya, dan dawaidawai tar mendendangkan harapan bersama dengan kumandang syair-syair lagunya. Tak lama kemudian, irama
dafs makin cepat, dan suara makin meninggi seiring dengan tepukan tangan para darwis lainnya.
Mereka menyanyikan salah satu sajak ciptaan Syekh:
Dengarkanlah lagu Cinta ini, oh, darwis
Kisah tentang hati yang tiada ujungnya
Allah berbisik, "Jadilah!" dan ketakterbatasan
Mengembangkan sayap keabadian
Cinta menghalau kegelapan,
Dan dunia berlimpah cahaya suci
Gunung, laut, dan bintang menjadi saksi
Angin timur mendesah, Laa ilaaha illallah Oh, Sufi, semesta terus bernyanyi
Maafkanlah terjemahanku yang buruk ini. Sesungguhnya syair aslinya jauh lebih elok. Tapi apa-apa yang
hilang dalam terjemahan ini bisa terdengar dari suara kendang dan tepuk tangan dan di setiap suara yang bergaung
dalam harmoni, mengulang-ulang syahadat, Laa ilaaha
illallah, tiada Tuhan selain Allah.
Ney dan tar masih terus mengiringi suara drum, rebana, dan tepukan tangan, sampai setiap dinding
bergetar, dan setiap hati berdegup kencang, dan setiap sel
tubuh ikut bernyanyi dalam kegembiraan, kenangan, dan
kerinduan: Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!
Sepuluh menit berlalu, dua puluh, tiga puluh, sampai
kerongkongan kami kering dan tangan panas, dan air
mata bercampur dengan darah hati. Akhirnya, Syekh
mengangkat tangannya dan suara rebana dan drum
berhenti mendadak pada nada pamungkas.
Teriakan-teriakan perlahan menghilang, tapi suara
tangis dan rintihan masih terdengar dari mereka yang
tenggelam dalam irama dengan hati yang terbangkitkan.
Setelah suasana hening, Syekh menyalakan tembakaunya dan mulai berbicara:
"Mengapa kalian menangis dan bergetar seperti ini?"
tanyanya. "Karena apa kalian menangis dan merintih?"
"Allah!" jawab banyak hadirin serempak.
"Benar!" jawab Syekh. "Allah satu-satunya sumber
kebahagiaan dan kesedihan. Dialah sumber kepedihan
sekaligus obatnya. Jiwa mengingat ini, seperti tetes air
mengingat samudra dan begitu merindukan Persatuan
Tertinggi. Semua yang kalian pelajari di jalan ini tak lain
adalah perenungan akan kebenaran ini, sebab semua
pengetahuan sejati berasal dari zikir. Kita mesti
membersihkan hati dengan air mata sesal, agar bisa
memantulkan cahaya rahmat dan kasih-Nya.
"Pada suatu hari di masa lalu, seorang dari kaum
Qalandar17 bertemu dengan seorang penjahat besar..."
Demikianlah Syekh mengawali cerita. Ini mengejutkan, sebab malam sudah larut, sudah patut
untuk istirahat. Tapi kami tetap duduk mendengar,
karena tahu bahwa apa pun yang dilakukan Syekh pasti
ada tujuannya. Syekh mengembuskan asap tembakaunya, lalu ber17
Darwis pengembara yang penyendiri.


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata: "Pada masa lalu, seorang faqir pengelana tiba di
sebuah oasis di sebuah gurun di barat. Dia seorang
Qalandar yang berkelana di gurun-gurun Afrika dan Arab
selama bertahun-tahun. Dia mencari-cari tempat
penyendirian agar bisa mengingat Tuhannya dan
merenungi misterimisteri-Nya. Amal, iman, dan kepasrahannya kepada Tuhan membuatnya dianugerahi
kedamaian jiwa. Ketulusan dan ibadahnya di Jalan Cinta
sangatlah mendalam, sehingga hal-hal gaib tersingkap
padanya, dan ia menjadi seorang Wali, Sahabat Allah.
Nah, faqir itu tiba di oasis pada malam hari. Ia segera
merebahkan tubuhnya di bawah pohon kurma untuk
beristirahat sejenak sebelum menunaikan shalat tahajud.
Tetapi, tanpa disadari, ada lelaki lain yang juga sedang
beristirahat di dekat pohon itu.
"Tapi lelaki itu adalah penjahat tersohor, gembong
dari sekelompok penjahat yang dahulu sangat ditakuti
orang. Mereka dulu suka merampok kafilah-kafilah pedagang kaya yang bepergian melalui kota-kota di pedalaman.
Tapi kekejaman para penjahat itu akhirnya sampai ke telinga Sultan, dan karenanya ia memerintah prajuritnya
untuk memburu dan membunuh gerombolan perampok
itu. Banyak anggota perampok yang tertangkap dan dipancung kepalanya. Yang lainnya meninggalkan gembong
penjahat itu. Sebagian lagi mengkhianatinya karena takut
dihukum mati seperti kawan-kawannya yang lain.
"Akhirnya, pentolan penjahat itu sendirian. Hartanya
ludes semua. Uangnya yang terakhir sudah habis dalam
pelarian. Kini ia menjadi buronan nomor wahid. Kepalanya
dihargai sangat mahal. Bahkan, mantan kawan-kawannya, yaitu para penadah barang-barang hasil
jarahannya, kini tak mau lagi menolongnya. Mereka juga
takut jika kemarahan Sultan menimpa diri mereka.
Karena itulah penjahat ini melarikan diri berhari-hari
melintasi gurun dan sampai di oasis tersebut dalam
keadaan letih dan lapar. Ia duduk di bawah pohon dan
merutuki nasibnya yang malang.
"Nah, sekarang aku bertanya pada kalian, dari dua
lelaki itu, mana yang lebih agung dan mana yang lebih rendah" Siapa yang diberkahi Allah dan siapa yang
dilaknat-Nya" Jangan, jangan menjawab! Kalian tak akan
tahu jawabannya, sebab kalian bukan hakim mereka.
Hanya Sang Penciptalah yang berhak menghakimi
ciptaan-Nya. "Tapi, Malaikat Munkar dan Nakir, yang bertugas
menanyai orang yang sudah meninggal, melihat keadaan
dua orang itu. Kata Malaikat Munkar, "Di sini jelas tampak
beda antara emas yang murni dan yang palsu. Dua orang
ini sudah bisa dinilai mutu jiwanya, walau mereka belum
mati. Allah akan mengangkat lelaki yang saleh dan setan
akan menemani lelaki jahat itu."
?"Pasti demikian," kata Nakir setuju. "Emas sejati
amatlah langka. Surga amatlah luas, dan neraka penuh
api yang menyala-nyala hingga ke dasarnya."
"Allah mendengar bersitan pikiran kedua malaikat-Nya itu. Dia lalu berbicara kepada hati dua
malaikat itu: "Kalian telah menghakimi nasib mereka.
Namun manusia akan celaka jika Aku menghakimi
makhluk-Ku hanya dengan keadilan belaka. Bukankah
Aku Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" Saksikanlah!
Aku akan mengunjungi mereka dalam tidur dan visi
mereka, agar kalian tahu kebenaran sejati dari
makhluk-Ku." "Lalu Allah menidurkan dua orang itu dan mengirimkan mimpi kepada si faqir dan penjahat tersebut. Qalandar
yang alim itu bermimpi berada di dalam neraka, bahkan
berada di dasar neraka yang paling dalam, dengan nyala
api yang paling lebat dan hebat. Sedangkan pentolan
penjahat itu berada di surga, berdiri bersama-sama para
Wali Allah di hadapan singgasana-Nya."
Syekh meletakkan cangklongnya dan meminum tehnya. Matanya mengamati wajah-wajah kami.
"Apakah baik memasukkan orang jahat ke surga?"
tanyanya. "Apakah adil memasukkan orang saleh ke dalam neraka?"
Tak ada yang berani menjawab.
"Bagus!" katanya. "Membersihkan hati dari penghakiman akan membuka Jalan Cinta. Dan itulah
pelajaran yang diterima oleh Malaikat Munkar dan Nakir.
"Sebab kedua malaikat itu menyaksikan si faqir yang
saleh berada di tengah-tengah neraka, dan melihat orang
yang sangat baik ini berdiri telanjang dengan api
membakar dagingnya. Jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa
membuat telinganya sakit. Tapi lelaki itu tidak merasakan
kesakitan saat api neraka membakarnya, dan ia bahkan
tak terkejut ataupun takut. Ia hanya memikirkan Sang
Kekasih, dan penderitaan sehebat apa pun tak bisa
mengalihkan perhatiannya kepada Allah. Ia lalu duduk
diselimuti kobaran api yang panas dan menyesakkan.
Dengan suara tenang dan keras Sufi itu mulai berzikir:
?"Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!"
"Api itu menyala lebih hebat saat zikirnya menggelegar. Lalu api itu meredup, dan gunung-gunung api di
neraka bergetar hebat mendengar zikirnya. Jiwa-jiwa lain
yang disiksa di neraka berhenti menjerit dan memasang
telinga lebar-lebar, karena nama Allah selama ini tak pernah diucapkan di neraka. Kemudian semua suara lenyap
kecuali suara zikir itu. Lelaki itu terus berzikir sampai
dasar dan fondasi neraka berguncang hebat, sedangkan
para penghuni lain yang terkutuk di neraka mulai
mendapatkan secercah harapan untuk bebas dari azab
neraka. "Neraka itu pasti akan runtuh berkeping-keping jika
Iblis tidak muncul dan memohon kepada si faqir untuk
menghentikan zikirnya. Tapi lelaki saleh itu terus saja
berzikir, sebab ia sudah lama menapaki Jalan Cinta, dan
kehendak Sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya, entah ia dimasukkan ke dalam surga atau neraka."
Syekh berhenti sejenak untuk mencecap tehnya. Ia
tak memandang kami sebelum melanjutkan ceritanya.
"Dan bagaimana nasib penjahat itu?" tanyanya setelah gelas tehnya kosong. "Gembong penjahat yang dulu
begitu ditakuti, dan kemudian tersia-sia dan menderita,
kini mendapatkan tempat yang begitu indah.
"Allah juga memperlihatkan keadaan penjahat itu
kepada kedua malaikat-Nya. Mereka melihat penjahat itu
berdiri dengan jubah panjang, gemetar di tengahtengah
penghuni surga di hadapan singgasana Allah Yang
Mahakuasa. Dan Malaikat Jibril berbicara kepada lelaki
itu: ?"Dengan rahmat dan kasih Allah, Penciptamu, perbuatan burukmu telah dimaafkan," katanya. "Kini masuklah dengan damai."
"Dan kini, kebenaran memasuki hati si penjahat itu.
Ia amat takjub, air mata menetes dari matanya. Lalu ia
menyaksikan keagungan dan keindahan Dzat Yang Maha
Pengasih. Ia pun tersungkur dan menangis sejadi-jadinya.
"Dan Allah berfirman kepadanya: "Wahai anak cucu
Adam, janganlah takut. Sebab tiada satu pun yang terperosok ke dasar tanpa bisa kuangkat kembali ke permukaan."
"Penjahat itu tak lagi jeri. Ia berlutut dan bersujud
kepada-Nya sembari terus menangis. Air matanya mengalir tiada henti. Ia menyesali hidupnya yang kelam di masa
lampau. Air matanya menjadi aliran rahmat yang tak bisa
berhenti. Kaki Sang Wali yang tidur di sebelahnya basah
oleh air matanya. "Ia akan terus menangis kalau saja visi yang dihadirkan Allah itu tidak diakhiri. Kedua lelaki itu bangun
mendadak. Kemudian sang penjahat melihat si faqir. Ia
mendekati faqir itu sambil masih menangis. Si faqir yang
mengetahui keadaannya lalu memeluknya. Mereka berdua
melakukan shalat dan berdoa bersama sampai fajar
mengembang. Akhirnya, penjahat itu menjadi murid si
faqir. Demikianlah.... "Sementara itu, Malaikat Munkar dan Nakir, yang
baru saja melihat setetes dari rahmat Allah yang tiada
habisnya, bersujud di hadapan Tuhan. Mereka malu
karena terburu-buru menghakimi. Penilaian Allah berada
di luar pemahaman manusia dan malaikat."
Banyak yang menangis saat mendengar cerita ini, tak
terkecuali Rebecca. Bahkan setelah yang lainnya diam, ia
masih menangis, seolah-olah baru saja patah hati.
Ayahnya memeluk dan mencoba menghiburnya, tapi
tangisnya tak bisa dihentikan. Kisah itu sepertinya
menyentuh lubuk terdalam dari akhwat 18 tarekat yang
baru masuk itu. Tapi, aku tak tahu apa yang membuatnya
menangis sedemikian hebat. Aku lupa pada tangisanku
sendiri karena memperhatikannya. Tapi Syekh diam saja,
tidak berusaha menghiburnya. Ia hanya menatapnya
dengan ramah dan hangat, penuh pengertian. Akhirnya, ia
memberi isyarat kepada dua akhwat lain untuk mengajak
Rebecca masuk ke ruangan.
Profesor Freeman tampak sangat bingung seperti diriku. Ia baru saja mau berdiri untuk mengikuti putrinya
saat Syekh berkata pelan tapi jelas kepadanya.
"Ya, temanilah dia," katanya. "Dia bersedih karena
mengingat ibunya, dan air mata itu sudah lama menunggu
untuk keluar." Ayah Rebecca mendadak terharu. Ia bergegas menemui putrinya yang masih menangis.
Aku mengingat kata-kata Syekh: Tak satu pun bagian
dari dirimu yang akan tersembunyi.
Seperti membaca pikiranku, Syekh berkata kepada
kami: "Wahai darwis! Zikir adalah makanan jiwa. Zikir
adalah obat bagi hati yang terluka. Sejak langkah pertama,
18 Saudara perempuan. zikir mulai melonggarkan cengkeraman masa lampau, dan
pelan-pelan, sekali lagi pelan-pelan, beban nafsu akan
berkurang sampai ia terbersihkan. Sedikit demi sedikit,
diri akan terserap, dan keserakahan serta kedengkian
akan berguguran. Dan setelah beban semakin ringan,
perjalanan menjadi semakin cepat. Walaupun takut dan
sedih mungkin membutakanmu di awal perjalanan,
janganlah takut! Kebenaran adalah cahaya yang akan
mengusir kegelapan. Mata hati harus terbuka pelan-pelan
untuk melihat." Kalimat yang lembut dan mendalam ini membangkitkan kenanganku tentang kematian ayahku yang mendadak, dan aku menjadi sedih. Hadirin lainnya, yang sudah tenang, mulai menangis lagi. Mungkin mereka ingat
pada orang-orang yang dicintai, tapi sudah meninggal atau
menderita. Bahkan, di tengah-tengah kesedihan ini Syekh menatap kami dengan penuh kasih, dan hati kami mulai
memancarkan cahaya yang memisahkan harapan dari
keputusasaan. Syekh mulai berdendang:
Wahai Kekasih, anak panah-Mu menancap di
hati, Tanpa belas kasihan. Tapi aku terus
Menjadi sasaran anak panah emas itu
Allah! Allah! Allah! Tiada kesedihan pada diri Haadi, selain Kau
Tiada harapan selain Kau Tiada riang selain Kau Kaulah kepedihan, Kau pula penawarnya
Hati kami tersentuh oleh kelembutan lagu ini.
Sembari menangis, kami ikut mendendangkan refrain lagi
itu: Allah! Allah! Allah! Kaulah kepedihan, Kau pula penawarnya
Dan melalui proses alkimia yang lebih tua ketimbang
bintang-bintang, air mata kami pelan-pelan berpadu dengan kebahagiaan. Dan darah kami berubah menjadi
anggur yang paling tua dan memabukkan. Perlahan-lahan, kami mabuk kepayang, bergoyang dan
bertepuk tangan saat darah yang seperti menjelma anggur
itu mengalir melalui pembuluh nadi kami, menuju hati
yang penuh damba. Rebecca pun terhanyut oleh kekuatan lagu itu. Ia
segera turun untuk bergabung bersama kami. Ayahnya
mengikuti di belakangnya. Rebecca masih menangis, tapi
tangis itu mengeluarkan semua kesedihannya, dan kini ia
bisa bersuara dengan jelas dan jernih.
Kami menyanyikan lagu tentang kepedihan yang
mengiringi penciptaan dunia, dan lagu tentang harapan
kebahagiaan yang mungkin kami raih setelah dunia berakhir. Setelah kami seperti kehabisan air mata saat menyanyi, Syekh memelankan tempo lagunya, lalu
menghentikannya. Malam semakin malam.
"Allah!" kami berseru setelah diam sejenak, saat darah
dan napas kami sudah kembali tenang. Syekh kemudian
memimpin shalat Isya. Kami berdiri di depan jendela yang menghadap kiblat.
Kami bercakap dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Kami bersujud pada kekuasaan dan
rahmat-Nya, dan memasrahkan kehendak kami kepada
kehendak-Nya. Cahaya rembulan mengurapi wajah kami.
Syekh tampak seperti bermandikan cahaya perak, yang
seolah-olah memancar dari senyum Sang Kekasih.
Tuhan mengguyuri hati dengan darah dan air mata,
Sebelum mengukir rahasia-rahasia-Nya di sana
Masnawi, Jalaluddin Rumi Seusai shalat, Syekh berdiri di pintu depan dan
memberikan ucapan selamat malam kepada semua
darwis. Ia mencium pipi mereka satu per satu. Bahkan
putri-putri Syekh juga heran dengan kelembutan
kata-kata Syekh malam ini.
Aku berdiri di dekat Ali, Rami, dan Rebecca. Kami juga
mengucapkan selamat malam kepada para ikhwan 19
tarekat kami. Aku tak tahu kapan bisa bertemu mereka
lagi. Aku sedikit bersedih ketika membayangkan diriku
akan pergi. Ketika Syekh masuk kembali ke khaniqah,
entah mengapa aku merasa senang ketika menutup pintu
yang menuju ke dunia luar, seolah-olah aku tak akan jadi
pergi.

Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami mengikuti Syekh ke ruang pertemuan. Di sana
Profesor Freeman tengah memeriksa salinan manuskrip
kuno. Sekali lagi ia berusaha mencari makna tersembunyi
dari tulisan itu. Tapi ia sendirian saja.
"Di mana Kapten Simach?" tanya Syekh.
Profesor menengok dan terlihat sedikit kaget ketika
mengetahui Kapten tidak ada. Syekh menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke dapur dan menuju taman.
Ternyata Kapten Simach berada di sana, di bawah
cahaya lampu rumah. Ia duduk di sebuah batu kecil di antara pepohonan. Matanya menatap langit.
Di sebelahnya ada sosok lelaki. Saat kami mendekat,
aku sangat terkejut ketika mengetahui bahwa sosok lelaki
itu adalah pengemis tua, si faqir yang pernah kutemui dan
meramal diriku. Syekh tersenyum. "Hebat, masuk tanpa melewati
pintu, ya..." tuturnya.
"Tidak," kata si faqir. "Pintunya terbuka. Kutemukan
19 Saudara laki-laki. kapten ini duduk di sini. Ia sedang menanti."
"Kalau begitu sudah saatnya," kata Syekh.
"Ya," kata lelaki tua itu sembari mengangguk.
Faqir itu berdiri perlahan. Syekh memeluknya. Mereka saling mencium pipi masing-masing dan membisikkan
kata-kata yang tak bisa kudengar.
Kami melihat kejadian ini dengan heran. Syekh tak
pernah mengatakan bahwa ia mengenal faqir itu saat kami
pertama kali melihatnya di masjid. Tapi kini mereka
tampak akrab seperti sahabat lama.
"Dia berasal dari kaum Qalandar yang dipanggil untuk membimbing kalian dalam perjalanan!" kata Syekh.
"Dia dipanggil Jasus Al-Qulub. Tak ada yang tahu jalan ke
sana sebaik dirinya."
Jasus Al-Qulub! Mata-mata Hati! Itu adalah julukan
yang hanya diberikan kepada sedikit Syekh Sufi di masa
lalu. Julukan itu bukan hanya menunjukkan pencapaian
spiritual yang tinggi, tapi juga kemampuan membaca masa depan.
Dan ia telah meramal nasibku dengan tepat!
Aku merasa aneh. Tapi aku senang ketika tahu ia
akan menjadi pemandu. Syekh berkata dirinya tidak akan
menemani kami. Aku takut jika Syekh tidak ada di sisiku
untuk memberi petunjuk. Dan kaum Qalandar konon
bukan hanya manusia-manusia yang tak kenal takut, tapi
juga tergolong Awliya, Para Sahabat Allah. Di dunia ini
jumlah mereka sedikit sekali.
Lelaki tua itu memakai jubah kasar bertambal-tambal, yang menyelubungi tubuhnya yang kurus kering.
Syekh memperkenalkannya kepada kami satu per satu.
"Salam!" kata si faqir kepada Ali dan Rami, tapi tidak
menjabat tangan atau mencium pipi mereka. Mereka
kemudian menunduk hormat, dan membalas ucapan salamnya.
"Salam," katanya kepada Rebecca. "Dan selamat datang!" Rebecca tersenyum terkejut, tapi membalas salamnya dengan sopan.
Lelaki tua itu tahu bahwa Rebecca sudah menjadi
darwis! Ia kemudian memberikan salam kepada Profesor yang
tampaknya juga terkejut dengan kehadirannya yang tak
diundang. Faqir itu menatapnya beberapa saat, lalu
menganggukkan kepala. "Ya, ya," katanya. Aku tidak tahu
apa maksudnya. Terakhir, ia memberi salam kepadaku.
"Salam," katanya sambil mendekatiku. Aroma api
yang kering meruap dari tubuhnya. Aroma yang kuat,
namun bukannya tidak menyenangkan.
"Salam!" aku membalas. Senyum tipis membingkai
mulutnya. Matanya yang tajam menatapku kembali, dan
sekali lagi aku tak bisa bicara ataupun berpaling. Tatapannya yang tajam menusuk hatiku. Aku merasa ia
mengetahui sesuatu yang tak bisa kuketahui. Takut dan
raguku seperti mengalir kepada dirinya, dan aku mendadak tak bisa menahan diri untuk menanyakan sesuatu
kepadanya. "Apakah Anda faqir yang diceritakan Syekh semalam?" bisikku pelan kepadanya.
Senyum Qalandar itu bertambah dalam. Matanya
berbinar seperti bintang kejora. "Bukan, anak muda," katanya. "Akulah si penjahatnya."
Kalau saja Syekh tidak menyadarkanku, mungkin
aku akan terus berdiri dengan mulut ternganga.
"Bawa Kapten Simach ke dalam," katanya.
Aku merasa tak enak dengan pertanyaanku.
Penjahat" Aku menyalahkan diriku yang terlalu lancang.
Aku bergegas membantu Profesor mengangkat Kapten
Simach dari tempat duduknya. Mata Kapten masih
memandang langit, tapi ia tak menolak ketika diajak
masuk ke dalam khaniqah. Atas perintah Syekh, kami mendudukkannya dalam
posisi bersila di tengah-tengah ruangan. Kami duduk di
depannya, membentuk setengah lingkaran. Faqir itu duduk tepat di depannya.
"Ada apa dengannya?" tanya Profesor Freeman. Kapten Simach kini duduk dengan mata tertutup, kepalanya
sedikit menunduk. Ekspresi yang sulit dijelaskan
menghias wajahnya. "Biarkan dia istirahat sebentar," kata Syekh, tanpa
menjawab pertanyaan Profesor. Ia duduk di sebelah kanan
Kapten Simach. "Tapi dia sakit. Sebaiknya kita memanggil dokter,"
kata Profesor bersikeras.
"Dokter tak punya obat untuknya," kata Syekh.
Profesor Freeman cemas sekali. "Apa yang terjadi dengannya?"
"Kawanmu itu bukan hanya menemukan kerangka
manusia dan tabung silinder di gua itu, Shlomeh," jawab
Syekh dengan tenang. "papirus yang kau terjemahkan itu
mengandung cap dari sebuah cincin segel. Kapten itu kini
juga seorang utusan, tapi segelnya ada di hatinya."
Kami menatap Kapten lagi. Ia tertidur, atau mungkin
dalam keadaan meditasi. Ali dan Rami saling menatap.
Rebecca terus menatap Kapten. Setitik air mata bertahan
di pipinya. Profesor memandang putrinya dengan rasa kasihan.
Ia menggenggam tangannya. Mungkin ia juga merasakan
kebenaran, atau mungkin karena air mata putrinya, tapi
yang jelas ia menuruti kata-kata Syekh.
"Apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolongnya?" tanya Profesor.
"Ia tidak datang kepada aku untuk minta bantuan,"
kata Syekh. "Pesannya bukan untukku."
Profesor Freeman duduk tegak. Ia menatap Kapten
Simach. "Hanya kau yang bisa menolong kawanmu itu,
Shlomeh," kata Syekh. "Badai itu datang untuk kalian
berdua." Profesor terkejut dengan ucapan itu, yang pernah ia
dengar dalam mimpinya. Syekh berbicara dengan tenang,
tapi ucapannya penuh ketegasan.
"Tapi apa... apa yang bisa saya lakukan?"
"Tanyai dia," kata Syekh.
"Tanya...?" "Tanyai dia," kata Syekh lagi.
Profesor Freeman menatap kapten muda itu, lalu menelan ludahnya. Syekh dan si faqir menutup matanya, lalu
masing-masing menundukkan kepala.
Kami menyaksikan kejadian aneh itu dengan tenang.
Aku duduk di deretan ujung timur, dan bisa melihat si
faqir dan Syekh pada saat yang bersamaan.
"Tanyai dia," kata Syekh lagi.
Profesor menarik napas dalam-dalam.
"...Aaron?" katanya.
Kapten Simach tak bergerak.
"Aaron," katanya lagi, kali ini dengan menyentuh
tangan lelaki itu. "Ada apa gerangan" Apa yang harus kau
katakan?" Kapten Simach mulai bergerak. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya. Ia gelisah, tapi matanya terbuka lebar,
lalu berkedip-kedip. Si faqir mencondongkan badannya ke
depan, punggungnya melengkung seperti bulan sabit.
Matanya menatap mata Kapten.
"Bicaralah," kata Syekh.
Aaron Simach mendengar perintah yang lembut itu. Ia
menegakkan badannya, dan tatapannya mengarah kepada
mata si faqir yang tajam. Ia menarik napas dalamdalam. Ia
berkedip lagi, dan secercah cahaya muncul di matanya.
Sekali lagi, air mata meleleri pipinya.
Dengan rintihan yang mendalam, ia mulai berbicara.
Segel di hatinya terbuka sudah:
"YA TUHANKU! YA TUHANKU! TIDAK SELAMANYA!
RAHMATI AKU, YA TUHAN! APINYA PADAM!"
Daya suara itu mengisi ruangan. Itulah arti dari
tulisan kriptik itu, dan ucapan itu seolah-olah diteriakkan
di tengah-tengah gunung. Tubuhku bergetar mendengar suara itu. Itu bukan
suara Aaron Simach. Syekh telah berjanji bahwa "semua suara akan diberitahukan", tapi siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut melalui mulut Kapten" Aku mencatatnya, tapi rasa
rintihannya tak bisa dicatat dengan pena jenis apa pun.
Suara itu terdengar sangat memilukan.
Kusadari diriku menangis. Dan tiba-tiba saja hadirin
yang lain juga menangis dengan tangan gemetaran. Kami
saling menatap, namun aku melihat wajah-wajah mereka
juga sedih. Sepertinya dari dalam diri kami ada intuisi
yang mengatakan: Lekas! Kita harus berangkat!
Tapi Syekh tetap diam. Si faqir masih menatap mata
Kapten Simach yang mengucurkan air mata kelegaan. Ia
masih menangis meski sudah berada dalam pelukan
Syekh. Ia jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian, Syekh kemudian mengusap
alisnya, dan menyuruh kami untuk tetap duduk dan diam.
Akhirnya, ia menyuruh Ali dan Rami untuk membawanya
ke dalam dan menemaninya.
"Ia sudah tidur untuk beberapa waktu lamanya," ujar
Syekh. Profesor tampak bingung dan gelisah. "Tapi, itu tadi
apa" Dan... dan apa?"" Ia gemetaran. Matanya menatap
Syekh dengan bingung. Rebecca menggenggam tangan
ayahnya. "Sang Raja telah berbicara!" kata si faqir.
"Ya," ujar Syekh. "Sulaiman, Sang Raja, mencapkan
kata-kata itu dalam hati Kapten! Tak diragukan lagi. Yang
berbicara tadi adalah ruh Sulaiman yang menunggu di
gua. Ruhnyalah yang memanggil, bergema melalui mulut
sahabatmu itu." Profesor Freeman menatap si faqir, lalu putrinya, tetapi ia tidak menyangkal kata-kata Syekh.
"Tapi, apa itu artinya" Kata-kata..." tanya Profesor
ragu-ragu. "Engkau dipilih untuk menerima ini," kata Syekh.
"Dan maknanya harus kau cari sendiri. Ini telah diramalkan sejak engkau lahir, dan telah diceritakan kepadamu
saat kau masih kecil."
"Oleh Rabbi itu?"
"Ya." "Tapi saya tidak ingat apa yang dia katakan!"
"Tak ingat, kawan" Tapi kau percaya bahwa mimpi
ibumu benar, bahwa yang akan mendatangimu akan berarti bagimu."
Profesor menunduk. Syekh menatapnya dengan lembut. "Kebenaran adalah sifat dari ruh, Shlomeh, bukan sifat ingatan," kata
Syekh. "Perjalanan nanti akan mengungkapkan apa-apa
yang tersembunyi di gua itu, dan di hatimu."
Profesor Freeman mendengarkan dengan diam. Tampaknya ada pertempuran di dalam hatinya. Untuk melihat
segala sesuatu di balik selubung akal, dibutuhkan metanoia, perubahan persepsi dalam diri seseorang.
"Mengapa saya...?" tanyanya. "Aku ini ilmuwan,
bukan mistikus." Syekh tersenyum kepada kawan lamanya itu. "Shlomeh," katanya. "Ketika pertama kali kutapaki jalan tasawuf, aku selalu berzikir kepada Allah. Aku berusaha
mengenal-Nya, mencintai-Nya, dan mencari-Nya. Tetapi,
saat aku sampai pada ujung, aku melihat Dia sudah
mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Dan pengetahuan-Nya tentang diriku mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya padaku sudah ada
sebelum aku mencintai-Nya. Dan Dia sudah mencariku
sebelum aku mencari-Nya. Tuhan hanya bisa dikenali
sesuai kehendak-Nya, dan melalui kehendak-Nya,
Shlomeh. Engkau telah dipilih. Badai itu datang
untukmu." Solomon Freeman memeganginya. mulai menangis. Putrinya Syekh tidak berkata lagi. Ia menatap si faqir, lalu
berdiri dan berjalan ke luar ruangan dengan cepat
sebelum kami sempat berdiri. Aku mendengar langkah
kakinya menapaki tangga, lalu terdengar kata-kata yang
tak jelas. Ali dan Rami tak lama kemudian bergabung
bersama kami kembali. Kami saling bertatap muka. Dan,
sekali lagi, aku merasa awal perjalanan sudah dekat
sekali. Kami telah menyatakan diri siap untuk memulai
perjalanan menuju negeri jauh, bahkan mungkin
menghadapi bahaya dan kematian, yang tampaknya akan
terjadi. Aku sangat takut sekaligus tertantang.
Perjalanan Demi memperlihatkan kesempurnaan pengetahuan-Nya, Ia menempatkan semua misteri di
tengah-tengah gurun Fakhruddin Iraqi Kau tutup mulutku biar tak kuasa menyemburkan rahasia-rahasia
Dan di dalam dadaku Kau buka pintu yang tak kutahu namanya
Jalaluddin Rumi Pagi itu begitu cerah dan menyenangkan. Kapten
Simach sudah tampak sehat saat hendak sarapan


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama kami. Ia masih diam dan penuh pikiran, tapi kini
sudah kembali bersikap seperti militer. Matanya awas dan
tegas. Aku, Ali, Rami, dan Rebecca sudah duduk tatkala
Profesor Freeman datang bersamanya. Kami berdiri saat
keduanya masuk. Ali menyediakan piring dan sendok. Ali
berkata pada mereka bahwa Syekh dan Qalandar itu
sudah pergi sejak subuh, karena suatu keperluan, dan
belum kembali. Kami tidak bicara. Pertanyaan hanya kami simpan
dalam hati. Sesuai adab, kami tidak boleh mengganggu
privasi orang lain. Setelah sarapan selesai, dan semuanya
dibersihkan, Rami menghidangkan teh. Kami duduk
bersila di ruang pertemuan, membentuk setengah
lingkaran di sekitar Kapten.
Ia menatap kami dan tersenyum. "Aku senang melihat
kalian lagi dan berbicara dengan suaraku sendiri."
"Benar," kata Profesor. "Tapi berapa banyak yang bisa
kau ingat?" Kapten Simach menjawab tanpa ragu. "Semuanya,"
katanya, sambil menatap foto Syekh yang terpampang di
dinding. "Aku mengingat semuanya."
Cara Kapten berbicara membuatku terkejut. Sepertinya ia dilimpahi kegembiraan yang menenteramkan. Aku
bertanya-tanya apakah ia benar-benar sudah pulih dari
pengalaman ruhaninya. "Kalau kau tak mau bicara..." kata Rebecca, seolaholah mewakili ayahnya yang tampak bernafsu ingin tahu
semuanya. Kapten itu menggeleng. "Tidak... pengalaman itu tidak
menyakitkan. Hanya saja" sulit untuk" sepertinya
kesadaranku pelan-pelan lenyap, dan pikiran aneh mulai
masuk. Pertama-tama kukira itu bayanganku saja, bahwa
aku akan menjadi... ya, begitulah..." Ia mengangkat bahunya. "Pada akhirnya, aku hanya bisa melihat dan mendengar. Tapi aku melihat semuanya, mendengar semuanya."
"Apakah kau takut?" tanyaku.
"Pada mulanya tidak. Pengalaman itu sangat lembut.
Dan halus. Hampir seperti mimpi. Pelan-pelan aku menyadarinya. Tentu saja aku tak ingin percaya. Kukira aku
sudah gila. Lalu aku takut, sampai aku merasakan...." Kini
suaranya menjadi pelan. "Pengalaman itu menyentuhku...
Aku tak bisa menjelaskannya."
"Dan sekarang?" tanya Ali. "Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja," katanya. Senyumnya menegaskan pernyataan itu. "Aku juga mendengar kata-kata aneh
itu terlepas dari mulutku. Aku masih bisa merasakannya
di lidahku." Ia menggelengkan kepala. "Lalu ia pergi. Aku
merasa ia pergi begitu cepat, dan pikiranku kosong. Itu
terjadi cepat sekali. Kukira aku pingsan."
Profesor Freeman menepuk bahunya. "Kau kelihatan
lebih tua," katanya.
Kapten itu tampak senang. "Justru aku merasa lebih
muda." Tak ada lagi yang diucapkan. Kami duduk diam sampai Syekh masuk ruangan. Kapten Simach adalah orang
pertama yang melihatnya dan langsung berdiri menyambutnya. Kami yang terkejut bergegas berdiri menyambutnya. Syekh mendekati Kapten dan menjabat
tangannya, sambil menatap langsung kedua matanya.
"Kau masih lelah?" tanya Syekh.
Kapten Simach tertawa, "Tidak, Syekh."
Syekh" Kini aku mengerti mengapa ia bahagia. Ia telah menerima misteri itu, dan Syekh telah menuntunnya.
"Ini dia darwis baru," kata Syekh. "Atas permintaannya, aku telah membaiatnya semalam, saat kalian sedang
tidur." Kami berdiri terbengong-bengong sampai Syekh memanggil kami. "Ayo. Kemari. Sambut saudara baru kalian!"
"Salam!" kami berseru serempak dan kemudian saling
berpelukan. Aku agak takut saat menyentuhnya, takut
barangkali ada sisa-sisa kelakuannya yang aneh. Tapi
tindakannya lembut dan matanya begitu meyakinkan saat
kami menyalaminya. Profesor pun memeluknya. Kemudian, sambil menepuk bahunya ia berkata, "Kau ternyata benar-benar gila!"
Syekh tertawa mendengar kata-kata itu, demikian
pula kami, walaupun aku tak paham arti canda itu.
Setelah kami duduk mengelilingi Syekh, ia memberi
tahu kami bahwa kami harus segera berangkat. "Aku sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan, dan mengirimkan pesan kepada beberapa sahabat. Bisakah engkau
segera pergi?" Ia bertanya hanya kepada Profesor Freeman, sebab
jika Syekh menyuruh darwis pergi saat itu, maka sang darwis pasti langsung pergi.
"Ya, bisa," kata Profesor. "Aku tidak mengajar selama
musim panas ini. Aku bebas. Tapi, aku harus pulang dulu
untuk mengurus rumahku, dan mengepak beberapa
barang." "Aku akan menyediakan semua yang kau butuhkan,
dan juga akan menjaga rumahmu kalau kau bersedia
meninggalkan kunci rumahmu," kata Syekh.
Rebecca langsung menyerahkan kunci rumahnya.
Ayahnya terdiam seribu bahasa.
"Kalau begitu, bersegeralah," kata Syekh. "Dalam satu
jam aku akan mengantar kalian ke dermaga. Pemandu
akan menemui kalian di sana."
"Kita tidak naik pesawat?" tanya Profesor.
Syekh menggeleng. "Tidak, kawan. Kalian akan pergi
dengan kapal dan masuk ke gurun, seperti yang dilakukan
Sulaiman." Tak ada yang membantah. Satu jam kemudian, kami
sudah berada di jalan menuju dermaga.
Inilah perjalanan sunyi. Masing-masing dari kami
tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga sampai ke
dermaga. Kapalnya ternyata sudah tua dan kusam sekali.
Kapal itu berbendera Mesir dan bertenaga uap.
Kapten kapalnya adalah seorang lelaki kasar berbadan besar. Ia sedang berdiri di dek menunggu kami. Wajahnya yang berewokan menunjukkan ekspresi tak sabar,
ingin segera berangkat. Tapi setelah ia melihat Syekh, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat.
Buru-buru ia menghampiri kami dan tampak sedikit malu
saat menundukkan kepala memberi hormat. Syekh
menjabat tangannya dengan hangat dan berterima kasih
kepadanya karena bersedia menunda keberangkatannya.
Lelaki itu jelas kelihatan malu karena diperhatikan oleh
Syekh sedemikian rupa. Kembali ia menunduk memberi
hormat, lalu bergegas menyuruh anak buahnya
mengantar kami. Kudengar suaranya yang memberi perintah kepada
anak buahnya. Pada saat itu Syekh menatap seseorang
yang berada di sebuah tonggak di atas kami. Ia adalah si
faqir, yang berdiri tak bergerak, menatap kami di bawah.
Mereka berdua sejenak saling menatap. Tapi aku tak tahu
apa yang sedang mereka berdua komunikasikan. Si faqir
itu berdiri di kejauhan, dan Syekh tidak mengubah
ekspresinya. Aku sudah cukup lama bersamanya, sehingga aku
tahu bahwa kadang ia berkomunikasi dengan cara yang
tidak kupahami: komunikasi tanpa kata-kata. Tak seorang
darwis pun yang mempertanyakan soal ini. Sementara itu,
yang lainnya memeriksa perlengkapan sebelum kapal
berangkat. Mereka tampak amat senang.
"Sungguh bagus!" kata Profesor. "Tak seorang pun
akan tahu ke mana kita pergi sampai kita berada di sana.
Ah, kemudian gurun pasir, tempat misteri sedang
menunggu untuk disingkap. Mungkin ini adalah pusaka
paling besar: Cincin Sulaiman."
Syekh mengangguk pelan. "Mungkin, namun cincin
agung itu hanya sebuah cincin yang dalam dirinya sendiri
tidak begitu berharga. Anugerah Tuhan-lah yang membuat
Cincin Sulaiman itu memiliki kekuatan besar. Apa kau
sudah melupakan mimpimu, kawanku" Engkau bukan
hanya mencari batu di gurun. Yang Mahagaib telah
menempatkanmu di jalan badai. Apa yang akan kau pelajari lebih dari sekadar harta pusaka yang terkubur di bukit
pasir." Jalan badai! Profesor terkesima oleh ucapan Syekh yang bijak.
Betapa mudahnya kita terjerat oleh nafsu di dunia yang
semakin memuja pikiran. Syekh lalu memeluk sahabat
lamanya itu. Saatnya untuk berangkat. Kami merasa
rindu dan kehilangan. Kami semua bergerak hendak
mendekati Syekh, namun ia mengangkat tangannya dan
menyuruh kami tetap diam di tempat. Ia menatap kami
semua dengan sorot kasih sambil tersenyum. Dan ia
berkata lembut dan hangat:
"Wahai para darwis, ingatlah tujuan perjalanan kalian. Patuhilah pemandumu. Jangan berbelok ke kiri atau
ke kanan. Palingkan hatimu dari gemerlap dunia. Cinta
Allah adalah Cincin Sulaiman. Carilah permata sejati, dan
carilah selalu Penguasa Segala Permata."
Aku mohon kekuasaan; kutemukan dalam
pengetahuan Aku mohon kehormatan; kutemukan
dalam kemiskinan Aku mohon kesehatan; kutemukan dalam kesederhanaan Aku mohon beban
diringankan; kutemukan dalam diam Aku mohon
hiburan; kutemukan dalam keputusasaan
Ali Sahl Esfahani Kami berada di lautan selama dua hari. Kapal kami
berlayar di laut yang tenang, mengarah ke Aljazair. Kami
tidur di dek depan, jauh dari awak kapal. Pemandu kami
tak mau tidur di kabin. Ia memperingatkan kami agar
tetap bersama, dan tetap diam supaya kami tidak
membocorkan tujuan kami. Kami mematuhinya. Tampaknya si kapten kapal dan beberapa awaknya
mengenal si faqir. Mungkin karena itulah mereka
menjauhi kami, walaupun mereka tak menggubris faqir itu
sama sekali. Kapten kapal sendiri yang mengantarkan makanan
pada kami. Kami diizinkan menggunakan kamar pribadinya. Kami tidur bersama-sama dan berbicara dengan
suara pelan. Bahkan, ketika Ali meminta izin untuk
memainkan ney-nya, Qalandar tua itu menggeleng.
Mungkin ia merasa, permainan ney akan menarik
perhatian orang. Walau ia tak menjelaskan alasannya, tapi
Ali patuh. Syekh telah memerintah kami untuk mematuhi
pemandu kami dalam segala hal, selama di perjalanan.
Tapi kami tidak terbiasa dengan jalan kesunyian seperti yang dilakukan Qalandar itu. Ia suka menghilang
selama beberapa jam, mungkin tidur dan makan di suatu
tempat di kapal ini. Bahkan, pada waktu shalat ia menghilang. Ia jarang berbicara meski sedang bersama kami. Ia
duduk diam dan merenung, matanya tertutup, dengan
kaki ditekuk bersilangan dan dagunya bersandar di atas
lututnya. Jarang sekali ia mengangkat kepala.
Aku mengamatinya dengan cermat dan merasa iri dengan kaum pengelana. Kerinduan mereka sepertinya terus
terjaga di sepanjang perjalanan hidup mereka. Mereka
seperti napas yang menghibur hatiku. Kami biasanya ikut
bertafakur, tapi Profesor Freeman hanya duduk dan
mengamati. Tampaknya ia mulai cemas ketika tahu ke
mana kapal ini berlayar. Ia menggeleng saat kami hampir
sampai ke tempat tujuan. "Syekh Haadi bilang, kita akan
pergi ke tempat Sulaiman pergi," katanya. "Tetapi jelas,
Raja Sulaiman pergi ke Mesir lalu ke Tanis di delta utara.
Lalu kenapa kita berlayar ke barat?"
Tak ada yang tahu jawabannya. Kecemasan Profesor
Freeman mungkin beralasan, tapi Syekh mengatakan
bahwa sang pemandu itu lebih tahu jalan. Hanya Kapten
Simach yang tidak begitu cemas.
"Kita tak punya bukti di arah mana pun," katanya
sopan. "Tapi kita harus mengikuti ke mana kita dibimbing,
sambil menunggu dan melihat. Allah lebih tahu mana
jalan yang tepat." Itulah pepatah kesukaan Syekh. Profesor dan
putrinya menengok ke arah Kapten Simach dengan
terkejut, namun Ali dan Rami mengangguk setuju.
Profesor Freeman adalah pakar yang ternama. Tapi
perjalanan dari awal ini sudah berada di luar kemampuan
akademisnya. Dan terdapat sebuah kualitas untuk
mengetahui keniscayaan dalam diri darwis baru ini, yang
tak bisa disangkal, seolah-olah dalam dirinya masih
tersimpan kenangan yang bukan miliknya sendiri.
Aljazair Kami tiba sebelum malam, tetapi si faqir tak
mengizinkan kami mendarat. Kami duduk di depannya
dengan diam, menunggu sesuatu yang tidak kami ketahui.
Akhirnya kapten kapal mendatangi kami, ditemani dua
awaknya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Seorang
bocah lelaki berada di belakangnya.
Kapten kapal itu memperkenalkan bocah itu sebagai
Ahmed, putranya yang termuda. Umurnya mungkin lima
belas tahun, dan ia baru pertama kali berlayar bersama
ayahnya. Ketiga orang itu mendatangi kami dengan berhati-hati. Mereka mendekati si faqir sedekat mungkin, dan
menjauhi kami sejauh mungkin. Si faqir berdiri saat mereka mendekat. Aku sedikit mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Salam!" kata kapten kapal. "Berkat rahmat Tuhan
kita tiba dengan selamat. Anda baik-baik saja?"
"Ya, berkat pertolongan Allah dan kebaikanmu, kami
baik-baik saja," jawab si faqir. "Kami banyak berutang
budi kepadamu." "Alhamdulillah!" kata si kapten kapal, sambil sedikit
menunduk. "Segala puji bagi Allah semata. Saya tidak
ingin mengganggu, tapi ada persoalan baru, dan kami hanya bisa meminta tolong kepada Anda, wahai Siddiq."
Siddiq" Nama ini adalah sebutan hanya bagi
orang-orang yang dianggap suci oleh suku Berber dan
suku di Ahaggar di gurun selatan. Julukan ini juga dipakai
oleh Abu Bakar, khalifah pertama setelah Nabi
Muhammad, dan menunjukkan manusia yang sudah
tercerahkan jiwa dan visinya; orang yang kata-katanya
adalah Kebenaran. Siddiq: Hati Yang Tulus. Ia ditugaskan menjadi saksi
kebenaran, menengahi perselisihan.
"Bagaimana aku bisa membantumu?" tanya si faqir
kepada kapten kapal, tapi matanya menatap kedua lelaki
dan anak kecilnya. "Tuan," salah seorang dari mereka menyela. "Sebuah
benda berharga telah dicuri oleh orang ini dari kotak di
kabin saya" "Bukan aku!" sergah lelaki satunya dengan marah.
"Aku melihat kotak itu terbuka dan hanya berusaha untuk..."
"Diam!" bentak kapten kapal. Kedua lelaki itu saling
melotot satu sama lain, tapi mereka tidak berani bicara.
Si faqir menatap keduanya. Semuanya tampak merasa tak nyaman dilihat seperti itu, kecuali si bocah lelaki.
Akhirnya ia mengangkat tangannya, dengan telapak menghadap ke atas, mengangguk ke arah lelaki yang dituduh
mencuri itu. "Hatimu menunjukkan engkau tak bersalah,"
katanya. "Kau boleh pergi dan tak usah cemas."


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki itu menarik napas lega. Sambil berterima kasih
kepada Siddiq atas keputusannya yang adil, ia menunduk,
lalu pergi. Persoalan selesai begitu cepat. Siddiq melihat kebenaran dan keputusannya sudah final, walau mungkin tidak memuaskan. Si penuduh menatap punggung lelaki
tertuduh yang sedang berjalan pergi. Ia tampak geram.
Si faqir lalu menatap si penuduh. "Jangan ragu! Temanmu itu bicara jujur. Ia melihat kotak itu terbuka dan
berusaha menutupnya tepat saat engkau masuk ke
kabinmu." Suaranya tenang namun tegas. "Jangan
membicarakan soal ini lagi. Apa hanya karena perhiasan
kecil itu kau tega kehilangan kawan, yang telah lama
bersamamu menghadapi banyak topan" Mintalah maaf
padanya, biar kelak engkau dimaafkan di hadapan
Tuhan!" Kekerasan lelaki itu melunak setelah mendengar kata-kata itu. Kepalanya langsung tertunduk. Akhirnya ia
menurut. Kapten kapal kemudian menggamit lengannya
dan mengajaknya pergi. "Patuhi kata-kata Siddiq!" ujarnya. "Ayo! Setelah minta maaf, aku akan membantu kamu
mencari barangmu. Kalau tidak ketemu, nanti aku yang
menggantinya. Aku tak mau ada keributan di kapalku."
Mereka lalu turun dan menghilang, hanya tinggal
Ahmed, bocah lelaki itu. Si faqir duduk di atas tumpukan
peti dan Ahmed duduk di dekat kakinya, menatapnya
dengan heran. itu. "Aku belum pernah bertemu orang suci," kata bocah
"Oh, aku tahu itu," kata si faqir.
"Apa kamu juga peramal, seperti yang sering aku
dengar?" Lelaki tua itu cuma mengangkat bahunya.
"Apa kamu mau mengajari aku keahlian itu?" Ahmed
bertanya pelan. Pertanyaan itu membuatku tersenyum,
tapi Sang Mata-mata Hati kami kini menatap tajam ke
mata bocah itu. "Hatimu sudah mengetahui keahlian lain, anak muda,
juga tangan dan lidahmu. Dua keahlian tak bisa menyatu
dalam tubuh yang sama."
Bocah itu terkejut. Ia segera berdiri.
"Diam di situ!" perintah si faqir.
Ahmed duduk dan tak bergerak. Ia ketakutan, tapi di
matanya aku melihat sorot kesombongan, keras kepala,
dan kelicikan. "Kau tak perlu takut," kata si faqir, namun matanya
membuat bocah itu tak bisa bergerak. "Sekarang keluarkan isi kantongmu."
Dengan berat hati bocah itu menggerakkan tangannya, seolah-olah ada yang memaksanya bergerak. Ia mulai
resah setelah mengeluarkan pisau lipat, beberapa uang
dinar, dan sebuah cincin dari kantongnya.
"Sesungguhnya para pencuri saling mengenal," kata si
faqir. "Gadis itu tidak meminta hadiah seperti itu. Kenapa
kau akan memberinya dengan jalan yang kotor?"
Wajah Ahmed pucat pasi, sementara matanya membelalak heran. Mulutnya megap-megap, tapi ia tak bisa
berkata apa-apa. "Jawab!" bentak si faqir.
Ahmed tak bisa mengelak. Ia menangis.
"Aku tak bermaksud... Aku..." Suaranya hampir tak
terdengar. "Anak dungu! Allah Yang Mahabijak memerintah kita
untuk saling mencintai, bahkan semua anasir di dunia ini
saling mencintai. Tapi kau pasti tahu cinta tak bisa digapai
dengan cara-cara kotor. Cinta akan hilang. Hukuman bagi
pencuri adalah neraka!"
Ahmed makin pucat, sangat takut. Ia tak bisa berhenti
menangis. "Apakah kau akan memberi tahu ayahku?"
tanyanya dengan takut. "Aku bukan hakimmu, nak, juga ayahmu," kata si
faqir. "Tapi Allah Maha Pengasih. Kamu harus minta maaf,
lalu bertobatlah kepada-Nya. Sekarang pergi sana!"
Sang Maha Sesat 1 Wiro Sableng 053 Kutukan Dari Liang Kubur Rahasia The Secret 1

Cari Blog Ini