Ceritasilat Novel Online

Carry Me Down 3

Carry Me Down Karya M.j. Hyland Bagian 3


Aku mendirikan sepotong sosis dan menggunakannya untuk menepikan potongan
lainnya. "Apa kau setuju?"
"Aku setuju," jawabku.
Aku tidak mengerti yang ia bicarakan. Aku tidak suka caranya membelokkan
pembicaraan. Ia dapat melakukan apa saja yang ia inginkan sekarang. Aku tahu apa
yang kuinginkan. "Waktunya warta berita," katanya. "Apakah kita akan menonton bersama?"
---oOo--- Kami menonton warta berita bersama-sama dalam keheningan. Seorang polisi yang
tengah diwawancarai berkata, "Tersangka dituduh telah merobek gaun malam si
korban dan memintanya menanggalkan pakaian. Tapi si wanita tidak menuruti
permintaannya dan maksud si penjahat cukup jelas."
Tanpa melihat ke arahku, ayahku berkata, "Aku suka cara si polisi berbicara.
Mereka ingin tampak cerdas tapi ujung-ujungnya selalu membuat kepala pening."
"Tampaknya begitu," sahutku.
"Tampaknya begitu, bukan 'mpaknya."
Crito melompat ke pangkuannya dan ayahku langsung mendorongnya turun. "Aku sudah
cukup menghirup flek kucing," katanya.
"Apa itu flek?" aku bertanya.
"Benda kecil yang sering menyangkut di hidungku. Aku tidak suka ada benda masuk
ke hidungku." Kemudian ia tertawa seperti orang gila. Lalu mengeluarkan rokok dari kotak yang
diletakkan di atas perapian. Ia mengisap rokoknya seakan mengisap permen yang
terbakar. Seperti berlomba mencapai ujung akhirnya secepat mungkin untuk
mendapatkan hadiah. Ia jarang berbicara saat sedang merokok. Ia hanya menatap
nanar ke arah perapian. Biarkan saja.
Aku pergi. ---oOo--- Ibuku belum turun juga dan ini sudah hampir pukul sembilan. Aku ke dapur dan
menggoreng enam batang sosis. Aku membawa sosis-sosis itu ke kamarnya bersama
beberapa potong roti dan sebotol saus tomat.
Ia sedang duduk di ranjangnya, mengenakan kardigan di atas gaun pelayan toko
warna merah muda. "Pelayanan kamar!" sahutku. Aku meletakkan piring di ranjangnya dan ia tertawa.
"Enam sosis! Kau sosis!"
"Apakah kau mau memakannya?"
"Tidak, kau saja. Aku terlalu lelah untuk makan."
"Apakah kau ingin tidur sekarang?" aku bertanya.
"Ya." "Ke mana saja Ayah pergi?"
"Kapan?" "Kemarin dan hari ini."
"Bekerja. Ia mendapat pekerjaan yang aneh."
"Apakah ini berarti ia berbaikan dengan Nenek?"
"Akan segera terjadi," katanya. Ia memejamkan mata.
"Maukah kau mematikan lampu saat keluar." Aku tidak tahu bahwa aku akan keluar
ruangan. Ia berbalik tanpa melihatku. Ruangan itu dipenuhi bau kentut.
Aku merasa malu melihat kelakuannya.[]
17 Ayahku tidak turun dan kamarnya untuk sarapan. Aku menanyakan kepada ibuku di
mana Ayah dan ia membelai wajahku. "Ia pergi dengan bus pertama ke Wexford untuk
bertemu dengan bos lamanya."
"Lagi?" "Ia masih berusaha membereskan beberapa hal," katanya.
"Tapi ini telah tiga tahun sejak ia berhenti bekerja," sahutku.
Nenekku menurunkan irisan daging ke mulutnya seperti seorang pawang memberikan
ikan ke mulut singa laut. "Ia melakukan apa yang harus dilakukan seorang pria,"
katanya. "Ia meninggalkan buku-bukunya dan kembali menegakkan punggung
bertulangnya." Ibu berdiri dan melangkah ke arah jendela. Ia menghitung hingga sepuluh untuk
mengendalikan emosinya seperti yang sering ia ajarkan kepadaku. Aku dapat
melihat jarinya mengetuk pahanya sesuai dengan hitungan. Ia sedang mengenakan
lipstik merah muda, rok rajutan panjang warna merah muda, blus putih, dan rambut
tergerai. Ia tampak cantik dan tahu aku sedang mengamatinya, tapi ia tak
menghentikan aku. Saat ia berhenti menghitung, ia kembali ke meja dan tersenyum
kepadaku. "Satu lagi hari yang indah," katanya.
"Indah, segar, dan sejuk."
"Siapa yang ingin bermain kartu?" tanya Nenek. "John?"
"Tidak ada waktu."
"Kau punya sepuluh menit. Bagaimana bila satu putaran selikuran?"
"Oke." Ibuku mulai bersiul saat Nenek mengambil kartu dari meja rias dan membagikannya.
---oOo--- Dalam perjalanan berangkat ke sekolah aku memikirkan mimpiku tadi malam. Aku
bermimpi Ripley telah mengetahui bakat deteksi kebohonganku.
Aku tinggal bersamanya di sebuah rumah besar di Amerika. Ia memperlakukan aku
seperti anaknya sendiri. Aku dapat melihat semua gigi kecil gingsulnya. Aku berkata, "Meski kau mempunyai
gigi kecil, gingsul, dan bertumpuk, kau tetap terkenal." Ia tersenyum seraya
merangkul pundakku saat berjalan berdampingan menyusuri halaman menuju mobil
sport konvertibelnya. Karena aku tak dapat menirukan logat Amerika dengan baik, meski dalam mimpi,
Ripley terdengar bergumam saat berbicara denganku. Dan karena ia bergumam, aku
tak sepenuhnya memahami apa yang ia katakan.
Tapi aku yakin ia mengatakan bahwa aku akan terkenal suatu saat nanti.
Hanya ada satu kekurangan dalam mimpiku. Atap mobil Ripley terbuat dan karton.
Dan saat kami berkendara melalui jalan raya, atap kartonnya menekuk dan terlipat
seakan hampir lepas. Saat kukatakan kepada Ripley soal atapnya, ia menatapku dan tiba-tiba giginya
berubah menjadi besar dan lurus. Ia tidak tampak seperti dirinya lagi. Aku
terbangun, dan mengutuk bagian terakhir, bagian terburuk mimpiku. Lalu terdengar
keributan di koridor di luar kamarku; suara Ayah dan nenekku yang sedang
bertengkar. ---oOo--- Pukul sembilan lewat dua puluh menit, Pak Donnelly masuk ke kelas kami.
Selama beberapa menit ia membereskan barang-barang di meja Nona Collins,
mengeluarkan laci alat tulisnya, dan mendorongnya masuk kembali.
Kemudian ia berbicara. "Nona Collins sakit dan sementara menunggu ia sembuh, kalian akan diajar oleh
seorang guru baru yang akan dimulai hari ini, segera setelah ia tiba. Guru baru
ini seorang pria baik dan Dublin. Namanya Pak Roche dan ia akan mengajar hingga
Nona Collins sembuh dan mampu berjalan."
Sekarang ia memasukkan tangannya ke dalam saku. Aku berhenti mendengarkan dan
menengok ke luar jendela.
Pak Donnelly meminta kami bermain di luar. "Dan berdoalah untuk Nona Collins
hingga guru baru kalian datang."
Hari ini juga cerah dan matahari menampakkan diri. Aku berjalan menyusuri
pinggir lapangan sambil memukul-mukulkan tongkat kayu ke sepanjang pagar. Aku
tak menoleh ke arah gedung sekolah atau melihat apa yang sedang dilakukan
Brendan dan Kate. Aku melihat Joseph dan kudanya di seberang pagar dekat jalan. Ia sedang bersama
seorang pria lainnya. Aku menaiki pagar dan menyapanya.
Teman Joseph berkata, "Apakah kau ingin menunggang kudaku"
Namanya Zorro." Aku melompati pagar dan teman Joseph membantuku naik ke atas kudanya. Kuda itu
sakit. Tubuhnya dipenuhi luka, tapi terlambat untuk menolak menaikinya. Saat aku
menaikinya, aku dapat merasakan tulang rusuknya menyentuh betisku.
Aku menungganginya menyusuri tepian jalan, bersama Joseph dan temannya yang
mengobrol dan saling melempar lelucon. Aku merasa dunia menjadi milikku. Aku tak
merasa cemas dan aku tak peduli Brendan dan Kate bermain bersama tanpa diriku.
Aku tak peduli bahwa aku seperti Osmond, bermain sendiri. Setidaknya ketika aku
berbicara kepada diriku sendiri, aku melakukannya diam-diam tanpa melambaikan
tangan dan tak ada yang melihatku menggerakkan bibir.
Sesaat kemudian aku merasa lapar. "Sebaiknya aku kembali," kataku.
"Aku hendak makan siang."
Aku turun dari tubuh Zorro dan menatapnya. Aku ingin menatap ke dalam matanya
seperti yang sering kulakukan terhadap kuda Joseph, Neddy. Tapi Zorro tidak
membalas tatapanku dan ia memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba aku kembali cemas dan bertanya-tanya apakah karena aku hanya dapat
melihat satu matanya dan aku tak dapat melihat apa yang dilakukan mata lainnya.
"Terima kasih, Joseph," ucapku. "Selamat tinggal."
"Selamat tinggal, John Muda," kata teman Joseph.
"Siapa namamu?" aku bertanya kepadanya.
"Joseph. Sama seperti dia."
"Sampai jumpa," kataku. "Kusampaikan salammu untuk Nenek."
"Ya. Selamat tinggal."
"Baik-baik, ya."
---oOo--- Aku duduk di bangku di bawah jendela kantor Pak Donnelly dengan perasaan senang
dan mulai menyantap roti lapis selaiku. Seharusnya aku memberikan beberapa
keping biskuit kepada teman Joseph. Aku menengok untuk mencari tahu apakah
mereka masih berada di gerbang.
Aku melihat Kate. Ia menghampiriku, menarik jaket Brendan. "Ayo, Brendan,"
serunya, "ambil roti lapisnya."
Kate melihat ke sekeliling setelah ia berteriak. Ia ingin orang-orang melihat.
Brendan menunduk, dan bersandar rapat ke tubuh Kate, seakan menjaga kehangatan,
atau agar dirinya tidak terjatuh. Brendan menyeka hidung dengan tangannya,
seperti yang biasa ia lakukan bila merasa malu.
Kate berdiri di hadapanku. "Apa kau sudah membasahi celanamu hari ini?"
Aku memasukkan kulit roti ke mulutku dan mencoba mengunyahnya.
Tapi kulit roti itu terasa besar dan kering seperti kaus kaki. Aku mendesaknya
masuk di antara bibir bawah dan gigiku tapi potongan kulit roti tersangkut.
"Pembasah celana! Aku berbicara kepadamu!" jeritnya.
Penisku menegang seakan seseorang menyentuhnya. Aku merapatkan pahaku.
"Ambil roti lapisnya," perintahnya seraya menarik jaket Brendan.
"Tendang lututnya. Kedua lututnya."
Brendan menendang lututku dan aku membiarkannya. Aku dapat saja melawan, tapi
aku tidak mau. Aku akan bertindak seakan mereka tidak ada.
Aku akan melihat Brendan seakan ia hanyalah gambar di televisi.
Setelah menendangku, ia sempoyongan dan melangkah mundur untuk mendapatkan
keseimbangan. Karena aku tidak membalas, ia tampak kebingungan. Ia menunduk
menatap sepatunya. Aku menatapnya, dan ia menendangku lagi, di lututku yang lain. Kali ini lebih
keras. Mungkin demi memperlihatkan bahwa ia tak perlu diperintah oleh tuannya.
Ia cukup kuat dan tendangannya terasa sakit. Aku menatapnya. Aku menatap mereka
berdua seakan tak peduli apa yang mereka lakukan. Wajahku dingin. Aku meraba
lututku, dan panas dan telapak tanganku berhasil mengurangi rasa sakitnya. Tapi
aku tak meringis. Aku tak akan mengeluarkan suara, seperti yang dilakukan si penjaga sekolah.
"Ambil sekarang!" seru Kate. "Ambil roti lapisnya!"
Brendan merebut sisa roti lapis selaiku tanpa berniat mengucapkan terima kasih.
Ia terlihat ragu, seakan ingin mengubah pikiran.
Aku bangkit dan berlalu. Aku kembali ke ruang kelas dan duduk membaca buku geografiku.
Beberapa menit kemudian, sesaat setelah membalik halaman, aku melihat darah
membasahi ujung jariku. Aku telah menggaruk tempurung kepalaku terlalu kasar
hingga terbentuk lubang kecil di ujung kepalaku. Aku menggaruknya di malam hari,
saat tidak dapat tidur, dan membuat lubang, kadang tanpa sadar, hingga berdarah.
Lukanya tidak terasa sakit seperti seharusnya.
Lubang itu sesungguhnya bukan lukaku.
---oOo--- Setelah makan siang, Pak Donnelly memerintahkan kami masuk kelas. Ia berdiri di
depan ruangan, tapi tak mengeluarkan kata-kata. Ia memegang penghapus papan
tulis di tangannya dan penghapus itu tampak sekecil biskuit. Ia meletakkan
penghapus papan tulisnya dan mencoba memasukkan tangan ke dalam sakunya. Hanya
ujung jemari merahnya yang masuk dan sisanya tetap di luar, terjepit, merah
dipenuhi aliran darah, dan mengkilap.
Jemarinya merah, seperti ayahku, tapi lebih gemuk.
Kate berdiri dan berteriak, "Jika guru baru ini datang sangat terlambat, ia
harus mendapatkan kaleng!"
Kaleng itu tergantung di sudut kiri papan tulis dan Pak Donnelly menatapnya
beberapa lama sebelum memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Aku pun menatap ke arah jendela, ke lapangan bermain, ke gerbang sekolah dan
barisan pepohonan di jalan desa yang sempit.
---oOo--- Waktu hampir menunjukkan pukul dua saat seorang pria turun dan taksi tepat di
depan gerbang sekolah dan berjalan menyeberangi lapangan menuju ke arah kami.
Ia masih muda, lebih muda daripada ayahku, dan, meski tidak tinggi, ia tampak
kuat, dengan rambut hitam tergerai hingga ke bahunya. Aku tak pernah melihat
seorang pria berambut panjang, atau seorang pria turun dan taksi di gerbang
sekolah kami. Ia tampak terbuat dari bahan-bahan keras, baja atau besi, tidak mudah
dipatahkan. Sebagian besar laki-laki di kota kami terlihat seperti kue busa atau
lobak busuk, seperti paman-pamanku, Jack dan Tony, yang kelebihan lemak di
sekitar perut dan dagu mereka. Kulit pucat mereka terlihat seperti kalkun siap
panggang. Sebagian besar laki-laki di kota kami tidak hanya bertampang serupa, tapi
kelakuan mereka pun serupa. Bahkan ayahku bersikap seperti paman-pamanku bila
sedang berkumpul bersama. Hanya ayahku lebih tampan daripada mereka.
Si pria semakin mendekat dan aku dipenuhi harapan: aku selalu menginginkan
seorang guru pria yang pintar, seorang pria penuh semangat dan kecerdasan. Saat
aku melihatnya menghilang dari pandangan, aku tak dapat menahan senyuman.
Pak Donnelly tampak bingung dan menyeka meja guru berulang kali menggunakan
penghapus papan tulis seakan ia sedang menghapus kesalahannya.
Satu menit dalam keheningan, kemudian si pria masuk lewat pintu menuju ke depan
ruangan kelas kami. Pak Donnelly meletakkan penghapusnya dan berdiri di
sampingnya. Mereka berbincang sejenak kemudian meninggalkan ruangan bersama-sama. Pak
Donnelly menundukkan kepala dan pundaknya saat melewati ambang pintu dan mereka
menghilang. Suster Ursula datang menggantikan mereka. Ia berdiri di depan papan tulis dan
menyuruh kami membaca. "Sehening tikus," katanya.
---oOo--- Tiga puluh menit kemudian, si pria kembali sendirian dan Suster Ursula pergi
tanpa berkata-kata. "Kalian akan memanggilku Pak Roche, bukan Tuan," katanya.
Kami menahan tawa, bergerak resah, dan menatapnya.
Ia berjalan di depan papan tulis.
"Kalian tinggal di sebuah kota yang indah. Aku berani bertaruh, jika kalian
hening, akan terdengar suara kapal menggesek sandaran dermaga dan ikan-ikan
meniupkan gelembung serta camar-camar mendengkur."
Kami tertawa karena pantai berpasir Courtown dan Teluk Courtown berjarak empat
mil dari Gorey dan kami tak akan dapat mendengar suara camar ataupun kapal. Itu
adalah sebuah kebohongan, sebuah cerita, yang dilontarkan untuk memancing tawa
dan aku menyukainya. Aku menyukai pria ini.
Aku memperhatikan Pak Roche bergerak di antara bangku-bangku, dan aku dapat
mencium baunya. Mungkin ia menginjak onggokan pupuk kandang saat berjalan
menyeberangi lapangan; bau yang sama dengan para petani yang sarapan di kedai
Kylemore di kota. Bau menyengat dari sepatunya itu tidak cocok dengan pakaian
necis dan suara lembutnya. Aku bertanya-tanya apakah ia akan menyadarinya dan
membersihkan sepatunya. "Sekarang, aku akan sedikit berbincang dengan kalian satu per satu,"
katanya seraya menghampiri setiap bangku bergiliran, mengajukan pertanyaan dalam
bisikan. Aku menunggu giliranku dengan tegang. Berpikir ia akan segera mengetahui diriku
dan bahwa aku berbeda. Aku akan menceritakan bakatku.
Di bangku Brendan, Pak Roche membungkuk dan kali ini ia tidak berbisik.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami dapat mendengar jelas pertanyaannya, "Apakah kau mudah dipengaruhi,
Brendan?" Brendan mengangkat bahu, kemudian Pak Roche mendekatkan bibirnya ke telinga
Brendan. "Oke, akan kulakukan," kata Brendan yang kemudian menundukkan kepala dan diam,
seakan mencari pesan penting yang tertulis di mejanya.
Pak Roche menghampiri bangku Kate, tapi ia tidak membungkuk untuk berbisik di
telinganya. Alih-alih, ia duduk di bangku kosong di belakang Kate, menepuk
pundaknya dan berkata, "Dan siapakah kau?"
Kate berpaling menatapnya. "Aku Kate Breslin," jawabnya. "Aku anak tunggal dan
Dublin dan keluargaku membeli sebuah lahan warisan."
"Baik, Kate, aku percaya kau yang paling pintar. Itu pasti membuatmu merasa
istimewa?" Lalu baru kusadari: Pak Donnelly membawa Pak Roche keluar untuk menceritakan
diri kami masing-masing. Dan sekarang aku yakin Pak Roche telah mengetahui siapa
aku. "Tidak juga," jawab Kate, suaranya bergetar.
"Pintar atau tidak," Pak Roche melanjukan, "kuharap peti matimu kedap udara."
Ia tertawa dan seluruh kelas tertawa mengikutinya, karena perkataannya tidak
masuk akal. Bahkan Brendan menoleh dan menampakkan seringainya.
Pak Roche berjalan ke depan ruangan, duduk di pinggir meja guru, dan tersenyum
ke arahku. Meski ia tidak menghampiri bangkuku, aku yakin ia tahu. Aku yakin ia
akan membantuku. ---oOo--- Segera setibanya di rumah, aku membuat roti panggang lapis ham dan berbaring di
ranjangku, menghabiskan dua jam untuk menulis surat lagi kepada Guinness Book of
Records. Aku merasa yakin akan mendapat balasan kali ini.
Yang terhormat Guinness Book of Records,
Namaku John Egan dan sebelumnya aku pernah mengirimkan surat kepada Anda.
Aku adalah anak yang memiliki bakat mendeteksi kebohongan.
Aku telah membaca semua buku yang tersedia di pesisir timur Irlandia tentang
deteksi kebohongan dan menguji bakatku beberapa kali sejak, aku mengirim surat
pertamaku. Aku bahkan sangat yakin bakatku ini unik dan dapat dikatakan langka.
Tolong balas suratku kali ini dan aku akan mengatur sebuah demonstrasi di
hadapan Anda, di Dublin atau di London atau di mana pun yang menurut Anda
nyaman. Aku akan membuktikan bahwa aku dapat mendeteksi kebohongan dengan
ketepatan 100 persen. John Egan 11 tahun Gorey, Irlandia Ibuku masuk mengingatkan waktu minum teh tanpa mengetuk pintu
"Kenapa kau tidak mengetuk pintu?" kataku. "Apa aku tak punya privasi?"
Ia tertawa dan duduk di ranjangku. "Bukannya kau yang tidak sopan"
Mungkin aku mengetuk tadi tapi telingamu penuh kotoran sehingga tidak
mendengar." Ia memijat kakiku seraya berkata.
"Aku tidak suka membicarakan soal pekerjaan rumah, tapi sudah seharusnya kau
melakukan tugasmu. Dapatkah kau melakukannya tanpa harus diingatkan" Kau belum
menyapu lantai selama seminggu dan juga membersihkan rak di atas perapian."
"Maaf." "Baiklah. Kau dapat makan sekarang. Kita mempunyai daging panggang untuk teman
minum teh dan aku telah menyiapkan daun kelembak dan puding untuk pencuci
mulut," katanya. Tiba-tiba, meski aku tidak melihat ayahku selama dua hari, aku merasa senang.[]
18 Hari Rabu dan aku berjalan cepat menuju sekolah agar tiba lebih awal untuk
melihat Pak Roche mempersiapkan pelajarannya di meja guru. Aku memperhatikannya
setiap pagi. Aku sangat menyukainya, terutama suaranya.
Tapi kemudian, saat jam pelajaran kedua, aku menyadari aku telah menahan terlalu
lama dan aku harus segera ke toilet. Aku ingat kecelakaan terakhir. Aku berdiri,
mengangkat tangan, dan meminta izin keluar.
Pak Roche menghampiriku, meraih tangankku, dan membimbingku hingga koridor. Aku
malu dituntun seperti itu di depan semua murid. Tapi ia menatapku saat berjalan,
dan ia tersenyum seakan kami meninggalkan kelas adalah hal biasa, seakan aku
adalah temannya. Di koridor, ia memintaku duduk di bawah rak mantel dan aku duduk dengan kepala
berada di bawah mantel wol seseorang, menahan urineku.
"Tetap tahan," katanya. "Beberapa menit lagi."
Aku berusaha bertahan. Kemudian ia membawaku ke kamar mandi.
Ia menungguku dan aku menunggunya pergi. Tapi ia tetap berdiri di pintu,
melihat, sementara aku berdiri dengan tangan memegang resleting celanaku.
"Aku tak akan menggigit," katanya. "Ayolah."
Aku berbalik memunggunginya dan membuka resleting celanaku. Aku buang air kecil.
Hanya sedikit yang keluar sehingga aku takut akan berulang lagi. Saat aku
selesai, aku berbalik dan menatapnya.
"Sobat yang baik," katanya.
Aku berjalan mendahuluinya dan ia menepuk punggungku.
"Kau bocah yang baik," katanya. "Kau berlaku sangat sopan."
Aku tersenyum dan ia membalas. Sekarang aku merasa lebih baik, bahkan saat kami
kembali ke kelas, semua orang berbisik-bisik dan tertawa.
Tapi mereka bukan menertawakan aku. Kate berdiri di samping meja guru, menirukan
suara lembut Pak Roche. Pak Roche memintanya kembali ke bangkunya dan saat ia melangkah menjauh, Pak
Roche menampar tipis bagian belakang kepalanya. "Kau tak dapat meludah kemudian
menjilatnya kembali," katanya.
Tak ada yang memahami maksudnya, tapi semua tertawa, karena Kate terdiam dan
untuk pertama kalinya sejak tiba di sekolah ini ia membisu. Selama jam pelajaran
Kate tak bergerak kecuali Pak Roche memintanya. Bahkan Brendan pun tak berbicara
dengannya. ---oOo--- Seusai jam sekolah, saat semua orang telah meninggalkan kelas, aku menghampiri
meja Pak Roche. Ia menatapku dan tersenyum. Deretan gigi putih rapi berbaris di
antara garis ramah mulutnya.
"Pak Roche?" aku bertanya. "Aku ingin bertanya apakah kau dapat membantuku
mencari buku-buku tentang deteksi kebohongan dari Amerika?"
Aku berharap ia akan menanyakan mengapa aku tertarik pada subyek tersebut, tapi
ia malah meraih tanganku.
"Kau mengingatkan aku akan sesuatu yang selama ini merisaukanku."
"Apa?" aku bertanya.
Ia berdiri dan melangkah ke jendela. "Darahku mendidih mengetahui sekolah ini
tidak memiliki perpustakaan. Setiap sekolah seharusnya memiliki perpustakaan."
"Ya, Tuan," sahutku. "Ya, Pak Roche."
"Tidak ada buku cerita," katanya, "artinya tidak ada pembacaan cerita."
"Ya, Tuan," ucapku.
"Tak ada cerita artinya tidak ada imajinasi. Kita semua memulai hidup dengan
sebuah imajinasi. Tentu saja, tanpa cerita, imajinasi akan mati, seperti anjing
kelaparan." Ia menatap lapangan sekolah. "Dan ketika seseorang tidak membaca dan ketika
seseorang tidak memiliki imajinasi, mereka tidak akan memiliki pemikiran berdaya
cipta dan menghabiskan waktu hidupnya untuk meniru, mengambil sesuatu untuk
dikatakan. Slogan hidup, jargon, dan klise."
Aku mengangguk. "Manusia yang lemah mengulang apa yang ia dengar dan membuatnya tampak bodoh."
"Aku setuju, Tuan."
Ia menjauh kemudian berjalan kembali ke arahku untuk mengatakan,
"Dan ilmu pengetahuan serta penemuan lahir dan imajinasi."
Sejak tadi aku mencari sesuatu untuk dikatakan, dan sekarang aku menemukannya.
"Einstein juga memikirkan itu," kataku. Aku membacanya di sebuah buku yang
ditinggalkan ayahku di meja kecil minggu lalu.
Ia menoleh ke arahku, tampak senang, dan melompat di atas kakinya.
"Kau benar, John Egan. Kau tidak bodoh. Nilai penuh untukmu."
"Terima kasih, Pak Roche."
Ia menghampiriku dan memegang kedua lenganku. "Dan tidak ada imajinasi berarti
satu-satunya kehidupan yang kaujalani adalah yang kaudapatkan. Dan Tuhan tahu,
di dalam sini, aku katakan beberapa dari kalian belum mendapatkan kehidupan yang
seharusnya." Aku bertanya-tanya apakah aku harus mengatakan sesuatu, tapi ia berjalan ke
papan tulis tanpa berkata-kata.
Aku menatap rambut hitamnya yang tergerai lembut di pundak jaketnya. Seakan
rambutnya terbuat dan sutra.
"Aku memulangkanmu pukul setengah dua besok," katanya. "Dan pada Senin pagi akan
ada kejutan menunggu."
Apakah yang ia maksud kejutan untukku, atau untuk semua anak"
"Pulanglah sekarang," katanya. "Ibumu mungkin menunggu."
---oOo--- Ayahku melangkah mondar-mandir di depan perapian sementara menunggu teh
disajikan. Cara berjalannya tidak seperti Pak Roche. Ayahku melangkah dengan
sedikit melompat, sedangkan langkah Pak Roche lebih panjang dan anggun. Kepala
ayahku seakan berguncang di atas leher dan bahunya.
"Kenapa kau berjalan mondar-mandir?" aku bertanya.
"Kakiku sakit," katanya. "Bila duduk terlalu lama sepertinya banyak semut di
kakiku." "Kenapa?" "Tidak tahu. Mungkin semut-semut itu jatuh dari celanaku. Mereka datang di malam
hari saat aku mencoba tidur."
Ia pasti sedang senang karena mau berbicara seperti ini, bersikap menyenangkan
seperti Mami, seperti ketika ia berbicara dengannya.
"Apakah mereka membuatmu terbangun?"
"Ya, dan aku harus menendangkan kakiku untuk mengusir mereka."
"Apakah karena itu kau tidur di lantai?" aku bertanya.
Ia berhenti mondar-mandir dan berdiri di depan televisi. Aku mengira ia akan
marah, tapi ia justru tersenyum.
"Aku tidur di lantai sekali atau dua kali agar semut-semut itu tidak mengganggu
ibumu." "Jadi itu alasannya?"
"Yesus, Maria, dan Yusuf serta semua rasul sialan! Jangan pertanyaan bertingkat
itu lagi. Ya, Nak. Aku tidur di lantai agar tidak mengganggu ibumu yang malang
hingga ia dapat tidur dengan nyaman untuk bekerja keesokan harinya. Tak ada
alasan lain! Apa kau sudah puas?"
Aku takut ia akan terdiam dan berhenti berkata-kata karena telah mengetahui
bakatku. Tapi tadi ia malah berbicara dan melontarkan kebohongan lain. Kali ini
memang lebih lama, tapi akhirnya ia bicara juga.
Sekali lagi aku yakin. Ia berbohong.
Suaranya tinggi melengking, tangan dan lengannya lemas. Daun telingaku terasa
panas, tapi hanya itu gejala fisik yang kurasakan.
Pendeteksian kebohongan ini semakin mudah.
"Mungkin kau harus membunuh seekor dari gerombolan semut itu,"
kataku, "dan yang lain akan pergi menghadiri pemakamannya."
Ia duduk di sampingku dan menatap ke arah televisi. Doctor Who baru saja selesai
dan acara warta berita dimulai.
"Gagasan bagus," katanya. "Kau penuh dengan gagasan bagus."
"Aku tidak mengarangnya sendiri," sahutku. "Aku pernah mendengar lelucon itu."
Aku menceritakan lelucon yang kutonton dari televisi. "Seorang penyihir jahat
menangkap seorang Irlandia, seorang Inggris, dan seorang Skotlandia. Ia
membaringkan mereka di ranjang penuh makhluk pemakan daging. Si Irlandia harus
berbaring di ranjang berisi pasukan semut bertaring. Pagi harinya, si penyihir
masuk ke kamar tempat ketiga orang itu tidur. Ia berharap mereka telah mati.
Tapi si Irlandia berhasil selamat.
"Kenapa kau masih hidup?" tanya si penyihir. "Karena," kata si Irlandia,
"aku telah membunuh seekor semut pemakan daging dan yang lain pergi menghadiri
pemakamannya.'" Ayahku tersenyum, tapi tidak tertawa.
Aku tak peduli lagi. Aku tak peduli apa yang ia lakukan atau tidak ia lakukan.
Aku tak menginginkan ia menyukaiku lagi. Aku tak membutuhkannya sama sekali.
Aku menghabiskan akhir pekan di kamarku, membaca Guinness Book, menulis "The Gol
of Seil", dan mengerjakan pekerjaan rumah agar hari Senin aku dapat membuat Pak
Roche terpukau lagi. Aku telah terbiasa tidak bermain dengan Brendan.[]
19 Seperti yang telah dijanjikan Pak Roche, kejutan telah menanti di pada Senin
pagi. Bangku kami telah diatur mengumpul membentuk dua baris terpisah menyisakan
sebuah gang di tengah ruangan. Dan di bagian belakang tergantung tirai-tirai
merah pada tiang-tiang putih. Tirai tersebut diikat dengan tali hitam, tampak
seperti tirai yang membuka dan menutup layar bioskop. Dan sekitar satu setengah
kaki di belakang tirai terdapat sebuah meja kayu kecil, dengan sekotak penuh
buku di atasnya. Di belakang meja tersebut diletakkan sebuah kursi.
"Baiklah," kata Pak Roche. "Ayo duduk dan perhatikan ke depan. Saat kalian
hening dan diam, Aku akan menceritakan ada apa dengan tirai dan meja di belakang
kelas ini." Kami duduk dan menunggu. Pak Roche pergi ke belakang ruangan. "Sekarang berbaliklah,"
katanya. Ia duduk di belakang meja, di belakang tirai, dan mengeluarkan selusin buku dan
kotak. Semuanya adalah majalah Reader's Digest. Ia mengeluarkan tanda nama dari
saku dan menyematkannya di saku jaketnya: "Kepala Perpustakaan".
Ia tersenyum. "Selamat datang di perpustakaan imajinerku."
Ia berdiri dan melepaskan ikatan tirai hingga menutup di depannya.
Dari balik tirai ia memerintahkan kami melakukan sesuatu. Ia berteriak seperti
seorang seniman yang sedang beraksi di panggung. Kami saling menatap satu sama
lain. "Kalian harus berbaris dengan rapi dan hening dalam satu garis. Dan kalian yang
berada di bagian depan harus membunyikan lonceng yang tergantung di tirai
sebelah kanan. Lalu sibaklah tirai dan masuklah ke dalam perpustakaan imajiner."
"Tidak ada ruang yang harus dimasuki," kata Jimmy, kakak laki-laki Osmond.
"Kau harus berpura-pura," jawab Pak Roche. "Setelah tirai tertutup di
belakangmu, kau akan berdiri sendiri di depan meja. Aku akan menanyakan buku apa
yang ingin kalian pinjam."
Gagasannya adalah, meski semua buku itu majalah Reader's Dtgests, kami harus
berpura-pura memasuki sebuah perpustakaan sungguhan. Dan kami harus memesan buku
yang ingin kami baca. Pak Roche akan mencatat semua buku yang diinginkan hingga
minggu berikutnya untuk membujuk pihak sekolah mendirikan sebuah perpustakaan
yang lebih besar dan pantas.
"Setiap pukul setengah dua tiap harinya kalian akan berbaris di sini.
Dan saat kalian meminta sebuah buku, aku akan memberikan sebuah tugas menurut
bahasan buku yang kauinginkan. Dan karena bukunya imajiner, isi tugas yang
kalian kerjakan pun imajiner."
---oOo--- Pukul dua lebih dua puluh, aku mendapat sebuah firasat Pak Roche akan memanggil
namaku, dan memang benar.
"John Egan," panggilnya, "kau pembaca yang baik. Apakah tidak sebaiknya kau yang
memulai" Apakah tidak sebaiknya kau menjadi anak pertama yang mengunjungi
perpustakaan imajiner?"
Aku berdiri. "Ya, Tuan."
"Bagus. Majulah ke depan tirai dan tunggu. Yang lain berbaris di belakang John
Egan." Pak Roche pergi ke meja di belakang tirai. Aku membunyikan lonceng, menyibak
tirai, lalu menutupnya di belakangku. Di balik tirai semuanya bernuansa merah
dan terasa hangat, tempat yang nyaman untuk bersembunyi. "Aku ingin meminjam
buku tentang orang-orang Viking,"
kataku. Ia meraih ke dalam kotak dan mengeluarkan satu eksemplar majalah Reader's Digest
lama. "Ah," katanya, "kami memiliki sebuah ensiklopedia tentang subyek tersebut.
Bawalah pulang, dan kita dengar laporanmu besok pagi."
---oOo--- Sepanjang perjalanan pulang aku tak dapat memikirkan hal lain. Aku membuat roti
lapis dan langsung masuk ke kamarku memikirkan Pak Roche dan gagasan hebatnya.
Aku melatih apa yang akan kukatakan kepadanya tentang bakatku dan membayangkan
apa yang akan ia katakan. Seusai waktu minum tah aku duduk di ranjang, tidak
berhenti sejenak untuk menonton televisi, dan menuliskan laporan imajinasiku


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang kehidupan orang Viking. Aku sedikit berbuat curang dengan melihat salah
satu buku sejarah milik ayahku.
Aku berjalan cepat ke sekolah dan menunggu seharian untuk bercerita tentang
orang-orang Viking. ---oOo--- Pukul setengah satu, Pak Roche memintaku berdiri di depan kelas. Dan aku memulai
ceritaku tentang kebiasaan hidup orang-orang Viking. Aku berdiri dengan tangan
merapat di sisi tubuhku serta menekankan jari-jari kakiku ke sepatu agar aku
berhenti bergerak dan aku pun memulai.
"Orang-orang Viking senang bernyanyi saat mereka mendayung perahu Viking besar
mereka. Tersedia hadiah bagi orang yang menciptakan lagu lucu. Bila Viking
berlabuh di suatu tempat, mereka selalu menculik seorang anak perempuan
(berambut panjang hingga ke pinggang) dan mereka membawanya ke atas kapal,
membaringkannya di buaian sementara mereka memotong rambutnya. Kemudian mereka
melemparkannya ke air dan melihatnya tenggelam. Setelah itu, orang-orang Viking
menyantap kue dan minum wiski lalu pergi ke desa terdekat untuk mengambil emas,
permata, rubi, dan intan. Kadang mereka juga mengambil kucing-kucing dan
memelihara mereka di kapal sebagai teman."
Aku tidak tegang. Aku belum pernah berbicara setenang itu di depan kelas.
Biasanya aku akan tegang. Kadang bahkan aku menjadi tegang bila melihat orang
lain tegang, seperti ketika di konser sekolah saat seorang gadis yang bertugas
membalikkan lembaran nada si pemain piano gemetar hingga lembaran kertasnya
berjatuhan ke lantai. Saat aku selesai, Pak Roche menghampiriku dan merangkul pundakku.
Hening sejenak sebelum kemudian ia berkata, "Bagus sekali, John. Nilai terbaik."
Aku duduk, dan ia memberikan pelajaran sejarah panjang tentang orang-orang
Viking. Kami mengetahui nama-nama pedang mereka, seperti
"pembunuh bayi", "penggigit otak", dan "pembelah manusia". Aku menulisnya dalam
secarik kertas yang kutaruh dalam saku.
Mulai sekarang aku akan menyebut pisau Swiss Army-ku "penggigit ayah".
---oOo--- Sejak aku berjalan ke pintu rumah, aku tahu suasana telah berubah; sepertinya
nasib baikku di sekolah telah menyebar. Rumah terasa hangat.
Aroma ayam panggang melayang di udara. Ayah, Ibu, dan nenekku berbincang di
dapur. Ibuku memasak bawang dan irisan daging di penggorengan; radio menyala dan
tungku dipenuhi kayu bakar. Ayahku menyelinap di belakang ibuku, berpura-pura
mengambil seiris daging dari penggorengan.
"Mmmm," katanya seraya menyeka tangan ke celananya.
"Jangan lakukan itu!" kata ibuku, tapi sambil tertawa, bukan melarang.
Rambut poni ayahku panjang dan acak-acakan menutupi matanya dan ia tampak
senang. Bibirnya memerah seperti pipinya. Ia mengambil seiris daging dan
penggorengan dan memberikannya kepadaku. "Ini, Nak. Satu untukmu." Aku maju dan
menyambut irisan daging panas itu lalu memasukkannya ke dalam mulutku.
"Tidak ada yang selezat daging curian, apa kau setuju?"
"Ya, aku setuju," seruku seraya tertawa bersamanya.
Ibuku mengejarnya dan mereka berlari mengelilingi meja. "Tangkap dia, Mam!" aku
berseru. Nenekku melanjutkan menggoreng irisan daging lainnya dan tertawa saat melihat
ayahku merangkak di bawah meja. Ibuku turut merangkak di bawah meja, meski ia
tengah mengenakan gaun merah muda dan sepatu hak tingginya.
Aku ingin bergabung, maka aku menghampiri dan merangkak. "Kejar aku," aku
berseru. "Giliranku."
"Lain kali saja," sahut ayahku. "Kukira sudah cukup berlarian hari ini."
Mereka merangkak keluar dari bawah meja dan ayahku mendorong punggung Ibu dan
terus mendorongnya hingga ia terdesak ke sisi lain dapur, dekat pintu.
"Dasar kau, nakal," katanya dan mereka pun berkejaran lagi mengelilingi meja.
Aku ingin bergabung dengan mereka. "Mengapa kau berdandan rapi?"
aku bertanya kepada ibuku saat akhirnya mereka duduk, terengah-engah dengan muka
merona merah. "Kami akan pergi ke pesta dansa malam ini, dan nenekmu akan menjadi sopir kami."
Nenek tersenyum. "Dan aku tinggal di rumah?"
"Ya, tapi tak perlu cemas. Kami tidak akan pergi hingga larut malam.
Kau dapat menyantap semua krim pudingnya."
Aku meninggalkan mereka dan pergi ke ruang keluarga. Mereka menghampiriku
mengucapkan selamat tinggal dan aku hanya menatap mereka. Aku menonton televisi
hingga pukul sepuluh lewat, kemudian duduk di ranjang bersama Crito di
pangkuanku menunggu mereka pulang. Hari hampir larut, pukul sebelas lewat. Saat
sebuah mobil melintas di depan pondok, Crito melompat turun dan menghampiri
jendela kamarku, kemudian kembali saat tidak terdengar suara ban melindas
kerikil di halaman. Aku memeluknya erat agar ia tidak melompat lagi. Aku menekan dan membelai
perutnya seraya berbicara kepadanya.
"Apa pun yang kaulakukan, jangan melahirkan anak-anak kucing lagi,"
ujarku. Ia mencoba melompat turun saat ada mobil lain melintas, dan aku menahannya eraterat. "Jangan," aku berkata. "Diam di sini."
Ia menggeliat dan aku memegang bagian ekornya. Ia berusaha melepaskan diri. Aku
dapat merasakan tulang-tulang lentur aneh di bawah kulit dan bulunya. Aku
menariknya terlalu keras. Ia menarik ekornya tapi aku tak mau melepaskannya.
Ia mendesis. Aku merasa kasihan. Aku melepaskan dan tak mengejarnya. Alih-alih,
aku menatap langit-langit dan melamunkan Air Terjun Niagara. Aku berjumpa dua
orang jangkung dari Guinness Book di bandara di New York dan mereka menawarkan
membawakan koperku. Mereka mengatakan akan menginap di lantai empat belas sebuah hotel besar dekat
Empire State Building dan keesokan paginya mereka akan pergi ke Niagara dengan
gerbong kereta api kelas satu yang di dalamnya terdapat restoran, sebuah balkon,
dan band musik. Di Niagara, dekat Air Terjun Horseshoe, telah menunggu kru
kamera sebuah stasiun televisi untuk meliput pertemuan pertamaku dengan Robert
Ripley. Aku tertidur sebelum lamunanku selesai. Tapi bahkan sedikit anganku
tersebut berhasil menghentikan kegusaranku menunggu Ayah dan Ibu pulang. []
20 Pukul setengah dua dan sekali lagi kami berbaris di depan tirai perpustakaan
imajiner. Brendan mendapat giliran pertama. Ia membunyikan lonceng, menutup tirai di
belakangnya, dan menghampiri Pak Roche. "Aku ingin meminjam buku tentang membuat
payung karena ibuku selalu menghilangkan payung kami."
"Sebuah buku tentang membuat payung. Ah, ini dia," kata Pak Roche dan ia membuat
sebuah label di sampul majalah Reader's Digest, seperti biasa, kali ini tertera:
Cara Membuat Payung. Saat Brendan menerima bukunya, Kate mendahului antrean, membunyikan bel, dan
masuk ke balik tirai. "Apakah ada buku tentang membuat adik bayiku berhenti mengompol?" ia berseru.
"Aku akan mencarinya dalam koleksi lama kami," sahut Pak Roche. Ia keluar dari
balik tirai dan pergi ke lemari penyimpanan sapu serta keluar membawa sebuah
majalah Reader's Digest. Ia berlagak membersihkan debu yang mengotori buku itu
dan bergumam sendiri. Tapi apakah ia tidak menyadari bahwa Kate menanyakan buku itu hanya untuk
mencemoohku" Apakah ia tak memahami maksud Kate"
"Ini buku menurut anjuran dokter: Sepuluh Langkah Menghentikan Ngompol," katanya
seraya menyerahkan buku itu kepada Kate.
"Terima kasih," katanya. "Ini akan sangat membantu."
Mungkin Pak Roche mencurigainya dan ingin memberinya waktu untuk berpikir
kembali. Mungkin ia lupa bahwa ia berada di sini untuk melindungiku. Ketika ia
kembali ke tempat duduknya di belakang tirai, Kate mengambil bukunya dan
meletakkan di mejaku. "Ini," katanya, seraya membuka laci mejaku. "Baca ini dan
berhentilah mengencingi celanamu!"
Kate duduk di bangkunya dengan tangan terlipat di depan dada dan aku hampir tak
dapat bernapas mencari kata-kata untuk membalas. Tapi aku tak perlu berbicara:
Pak Roche keluar dari balik tirai, dan seakan ia dapat melihat Kate dari balik
tirai, ia langsung menghampiri Kate.
"Di mana kau taruh buku yang baru saja kuberikan kepadamu?" ia bertanya.
"Di mejaku." Pak Roche melihat meja Kate dan saat ia tak menemukan bukunya, ia memeriksa
mejaku. Ia melihat buku itu di mejaku. Ia menghampiri Kate dan menarik
rambutnya. Kate memberontak hingga pita merah muda yang mengikat rambut cokelat
panjangnya terlepas dan jatuh ke lantai. Kemudian Pak Roche berhenti.
"Auw," Kate mengaduh.
Pak Roche sangat marah hingga tak mampu berbicara. Alih-alih, ia menarik Kate
dari tempat duduknya. Kate membebaskan diri dan berlari ke jendela. Pak Roche
berdiri di samping bangkunya. "Kate Breslin, kembali ke sini. Yang lain, duduk
kembali di bangku masing-masing!"
Ia sungguh-sungguh dibakar amarah sekarang; lehernya menggembung dan berdenyut. Kate meremas pinggiran tirai jendela saat Pak Roche
menghampirinya. "Kau membohongi aku," teriaknya. "Kau membohongi aku."
"Aku tidak berbohong."
"Kau berbohong. Kenapa kaulakukan itu" Kenapa kau begitu kejam?"
"Apa?" Kate balas bertanya. "Apa yang telah kulakukan?"
---oOo--- Kami menonton dari bangku kami saat Pak Roche melangkah ke papan tulis dan
berdiri di sana dengan tangan terlipat di dada. Lengannya bergerak naik-turun
karena napasnya memburu. "Kita kembali ke pelajaran mengeja."
Saat Pak Roche baru saja akan duduk, Kate menoleh kepada Brendan dan membisikkan
sesuatu yang membuatnya tertawa. Pak Roche bangkit berdiri dan meninggalkan
kelas tanpa berkata-kata. Kami mendengar keributan dan lemari di koridor dan
saat ia kembali, ia membawa ember arang berisi air. Ia mengosongkan lantai di
depan kelas, satu kaki dan mejanya, dan meletakkan ember tersebut.
"Kate Breslin, maju dan berlutut di sini, minum air ini seperti seekor anjing."
"Apa?" "Berlutut di sini dan minum dan ember."
"Tidak," sahutnya.
"Aku tak mau melakukannya."
"Lakukan sekarang, atau aku akan memaksamu."
"Kau pasti sudah sinting," ujarnya. "Aku tak akan melakukannya."
Pak Roche memburu ke arah Kate, menjambak rambutnya, menyeret kepalanya,
mendorongnya berlutut di lantai, dan memaksa kepalanya masuk ke dalam ember
berisi air hitam keruh. "Apakah kau tahu apa akibat kejahatanmu bagi dunia" Apakah kau tak memahami
hukum sebab-akibat" Apakah kaupikir kejahatan tidak berakar dari sesuatu?"
Kate membisu. Pak Roche mendorong wajah Kate ke dalam air.
"Minum," hardiknya.
Ia meminumnya dan setelah merasa puas, Pak Roche menarik kepalanya keluar dan
ember. Air menetes membasahi lehernya dan menghitamkan kemejanya, seperti darah.
Aku mengira semuanya berakhir saat ia mulai menangis, tapi Pak Roche berlutut
dan dengan satu tangan mengangkat bokong Kate, satu tangan lainnya menekan
bagian belakang leher, mendorong wajahnya kembali masuk ke dalam air.
Kate mengerang dan akhirnya Pak Roche berhenti.
"Oke," katanya. "Sekarang berdiri di belakang sana."
Kate melangkah ke dinding belakang. Pak Roche memberikan baju hangat untuk
menyeka wajahnya. Kate menutup wajahnya dengan baju hangat Pak Roche.
"Orang sepertimulah yang membuat pria menjadi pemerkosa," kata Pak Roche. "Di
semua sekolah di seluruh penjuru negeri, pembunuh dan orang gila terlahir karena
dorongan penindas seperti dirimu."
Kate terisak. "Tolong jangan lakukan lagi," Kate mengiba. "Aku sungguh menyesal.
Aku harus pergi ke toilet."
Tapi Pak Roche belum selesai.
"Kau tidak akan pergi ke mana-mana."
"Tolong, Tuan, biarkan aku pulang. Aku minta maaf."
Pak Roche melipat tangan dan menatapnya.
---oOo--- Kami semua duduk menunggu. Pukul tiga dan bel waktu pulang sekolah telah
berbunyi. Seharusnya kami pulang. Tapi tak ada yang berani bergerak dan suarasuara perut keroncongan terdengar pelan. Tak ada yang berbicara saat para guru
dan murid kelas lain melewati kelas kami untuk mengambil mantel mereka. Pak
Roche berdiri di pintu dan melambaikan tangan kepada mereka.
Pak Donnelly lewat di depan kelas pukul tiga lebih sepuluh. Pak Roche mengatakan
kami sedang mengerjakan ujian dan tak akan pulang hingga orang terakhir selesai.
Pak Donnelly melongok ke dalam dan tak melihat seorang pun menulis. Ia membuka
mulutnya tapi urung mengucapkan kata-kata. Ia melirik arlojinya, kemudian pergi.
Tak ada yang boleh bergerak. Kami menoleh ke belakang ruangan dan melihat Kate
yang menatap Pak Roche. Kemudian terjadilah: pukul tiga lebih lima belas menit,
Kate membasahi dirinya sendiri.
Seakan aku yang sedang mengompol. Urine yang mengalir turun melalui kakinya
membentuk kolam di lantai adalah urineku. Aku dapat merasakan urine di kakiku,
membasahi kaus kakiku. Saat Pak Roche menghampiri Kate dan memegang bahunya, aku
merasakan kenyamanan sentuhannya.
"Bersihkan dirimu," katanya. "Yang lain pulanglah."
Aku berdiri di samping bangkuku, menunggu yang lain meninggalkan ruangan. Pak
Roche menghampiriku dan meraih tanganku. "Sebaiknya kau juga pulang sekarang,"
katanya. "Kita bertemu lagi besok."
Aku tersenyum lemah. "Kau tak punya alasan untuk tidak menegakkan kepalamu tinggi-tinggi, John Egan,"
katanya. "Tegakkan kepalamu dan perlihatkan kepadaku tampangmu saat sedang
bangga." Bahkan, meski Kate menangis memperhatikan kami, aku mengangkat daguku.
"Tidak setinggi itu," katanya. "Seperti ini."
Dan ia mengatur posisi wajahku sesuai dengan yang ia inginkan.
"Seperti ini. Kau kuat, maka kau harus terlihat kuat." Ketika ia mengangkat
daguku, ia menatapku dan aku mendapat perasaan nyaman di perutku.
"Terima kasih," sahutku. "Terima kasih, Pak Roche."
"Pergilah sekarang," katanya. "Aku akan mengurus Kate."
---oOo--- Saat aku tiba di rumah, pondok terlihat sepi dan tidak ada lampu yang menyala.
Awalnya kukira tak ada orang di rumah. Tapi saat aku menuju ruang keluarga,
ternyata pintunya tak dapat dibuka. Seseorang telah meletakkan kursi untuk
mengganjal gagangnya. Jantungku berpacu hingga menyakiti dadaku. Aku dapat
mendengar suara sayup-sayup di balik pintu.
Aku mendorong, tapi tak mau terbuka juga. Aku memanggil, "Siapa di dalam?"
Ibuku menjawab. "Kami sedang membicarakan sesuatu, John. Kami akan keluar
beberapa saat lagi."
"Bolehkah aku masuk?" aku bertanya.
"Tahanlah sejenak," sahut ayahku, dan aku pun berbalik menuju ke kamarku.
Hidungku terasa tersengat seperti saat aku tersandung dan jatuh.
Perasaan yang sama seperti saat meluncur ke permukaan tanah. Aku harus ke
toilet. Tapi saat tiba di sana, urineku tidak mau keluar. Aku kembali ke kamarku
dan menutup pintu. Aku menggapai ke bawah kasur memastikan
"The Gol of Seil" masih berada di sana. Buku itu aman. Kemudian aku memeriksa
uang yang kuambil dan dompet Nenek. Uangnya masih ada.
Aku meletakkan selembar rambut di halaman pertama "The Gol of Seil" agar aku
tahu bila ada seseorang yang telah membukanya. Kemudian aku meletakkan uangnya
dengan hati-hati di bawah kasur, di antara dua lembar kardus yang ditandai garis
menggunakan bolpoin hitam di bagian belakang lembaran kardus tempat lembar uang
pertama seharusnya berada.
Tak ada yang terusik. Tapi aku masih cemas.
Pukul setengah enam, Ibu memasuki kamarku.
"Maaf telah mengunci pintunya, John. Nenekmu ingin membicarakan sesuatu yang
sangat pribadi." "Tidak apa-apa," sahutku.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan, John."
"Aku baik-baik saja," kataku. "Aku tidak cemas."
"Kami sedang membuat teh. Maukah kau keluar membantuku mengupas wortel?"
"Oke."

Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak ingin tahu apa yang mereka bicarakan tadi.[]
21 Keesokan harinya Kate tidak masuk sekolah sementara Pak Roche bersikap seakan
tak terjadi apa-apa. Ceritanya tentang Kota Dublin membuat kami tertawa. Lalu ia
menjelaskan cara kerja daya gesek.
Aku memperhatikannya dengan saksama sepanjang hari. Aku memusatkan perhatian
pada semua yang ia lakukan, cara bicara, kata-kata yang digunakan, gerak tangan,
dan posisi tangan saat ia memegang kapur atau pena. Ia pun melirik ke arahku.
Ia tidak tersenyum atau mengedipkan matanya kepadaku, tapi itu karena ia
bersikap hati-hati: tak ada yang boleh tahu apa yang telah ia lakukan untukku
kemarin. Celaka bila tindakannya terlihat jelas oleh orang lain. Aku berjalan
pulang dengan riang melalui jalur yang biasa kulewati.
Tapi, sebentar kemudian rasanya berjalan tidak cukup melampiaskan perasaan
hatiku. Aku pun berpura-pura sedang berlari maraton, mewakili Irlandia di
Olimpiade. Saat aku tiba di boneka pohon, untuk pertama kalinya aku melihat ia tampak
nyaman, seakan dahan-dahan itu adalah tangan yang menopangnya agar ia dapat
memandang dunia dengan lebih jelas.
---oOo--- Namun, kegembiraanku tidak berlangsung lama.
Saat tiba di rumah, ayah dan ibuku telah menanti di dalam mobil.
Mesin dalam keadaan menyala dan di atas hamparan kerikil bertumpuk enam buah
koper. Salah satunya, yang terkecil, berwarna biru, berbahan karton, adalah
milikku. Aku mengira kami akan melakukan liburan kejutan menggunakan sebuah karavan.
Liburan yang sering dijanjikan ayahku.
Mobil Nenek terparkir di samping rumah, bukan di depan rumah.
Perubahan susunan ini mengatakan kepadaku sesuatu telah terjadi, dan itu
bukanlah liburan kejutan.
"Kita akan ke Dublin untuk beberapa hari," seru ayahku.
Aku ingin ia memberitahukan lebih banyak sebelum aku dapat mengetahui jika ia
berbohong. Aku tidak cukup memperhatikannya tadi.
Mungkin ia telah berhasil lulus ujian.
"Kenapa?" aku bertanya.
Ia melangkah ke depan merentangkan lengannya, dengan maksud meraih bahuku. Aku
mundur menjauh dan ia meletakkan tangan di pahanya, seakan memang itu maksudnya.
"Kenapa kita berangkat tiba-tiba?" tanyaku.
"Aku akan menceritakannya di mobil." Perutku rasanya seperti berputar. Bagaimana
dengan uang dan "The Gol of Seil?"
Aku berdiri di dekat Ayah dan menatap matanya. "Tapi, Pa, apakah Crito ikut"
Bolehkah aku masuk mengambilnya" Ia mungkin sedang berbaring di ranjang. Aku
akan masuk dan mengambilnya.
Aku baru saja melangkah saat ia meraih lenganku. "Tak perlu mencemaskan kucing
bodoh itu, masuk ke dalam mobil," serunya.
"Kau menyakitiku. Lepaskan."
Ia melepaskan cengkeramannya dan aku menjauh darinya. Aku mundur, hingga ke
pintu, mengambil Crito dan uangku.
Ibuku datang menghampiri, tangannya terentang. "Maafkan aku, Sayang. Tapi kita
harus pergi sebelum hari mulai gelap. Dan kau tak dapat tetap tinggal di sini."
"Bagaimana dengan buku-buku Guinness-ku?"
"Kami telah mengambil lima buah. Hanya itu yang kaubutuhkan.
Ayolah masuk ke mobil."
---oOo--- Kami berkendara beberapa mil dalam keheningan hingga akhirnya ayahku meminta Ibu
menyalakan sebatang rokok untuknya. Ibu mengambil beberapa isapan sebelum
memberikannya kepada Ayah. Ia menjepit batangan rokok di antara ibu jari dan
jari tengah lalu mengisap di bagian filternya hingga menipis dan basah.
"Tapi apakah kita akan tinggal bersama Bibi Evelyn dan Paman Gerald?" aku
bertanya. Ibuku menoleh dan tempat duduknya di depan dan menatapku.
Seraya menoleh ia menyentuhkan tangannya ke lututku. "Ya, selama beberapa hari."
"Kenapa?" tanyaku.
Ayahku melambatkan laju mobilnya dan berbicara dengan nada rendah. Sebuah truk
berjalan di belakang kami sehingga aku hampir tak dapat mendengar suara Ayah.
"Akan kukatakan alasannya kepadamu tapi kau harus berjanji berhenti memburuku
dengan pertanyaanmu lagi."
"Aku berjanji."
"Ada masalah dengan nenekmu dan ia meminta kami pergi."
"Untuk sementara," ibuku menambahkan.
"Masalah seperti apa?" aku bertanya lagi.
Ayahku berpindah ke sisi jalan dengan tiba-tiba hingga hampir masuk ke parit.
Truk di belakang kami membunyikan klakson saat mendahului kami. Si pengemudi
truk melotot ke arah kami.
"Aku hanya akan mengatakan ini satu kali," seru ayahku. "Paham?"
Ia membuang puntung rokoknya ke luar jendela tanpa memadamkannya.
"Ya," jawabku. "Baiklah," katanya, "Aku sedikit bertengkar dengan ibuku dan sambil menunggu
masalahnya terselesaikan, kita akan tinggal dulu di Dublin. Kau tak perlu
menanyakan kapan masalahnya selesai, dan aku tak akan mengatakannya kepadamu."
"Apakah karena uang?"
Ayahku menghentikan mobil di tepi jalan dan mulai berteriak; lebih menyerupai
jeritan, sangat keras hingga sulit mendengar kata-katanya. Ia berteriak
kepadaku, kupikir, tapi ia menatap ibuku. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di
roda kemudi dan menangis. Tampaknya, terdengar seperti menangis, tapi aku tak
dapat melihat wajahnya. "Kenapa kita tidak dapat tinggal?" Ayah bergumam. "Hanya itu yang kuinginkan.
Kenapa kita tak diizinkan tinggal?"
Ia terus mengatakannya, berulang kali, kadang dengan nada tinggi, kadang hampir
tak terdengar, sedangkan ibuku mencoba menenangkan dengan merangkul lengannya.
"Kau mau aku yang mengemudi?" Ibu bertanya.
"Tidak," sahut ayahku, suaranya bergetar dan lemah. "Aku saja."
Dan kami kembali berkendara tanpa berkata-kata.
---oOo--- Kami berkendara perlahan menembus hujan dan gelapnya jalan desa. Saat kami
berhenti di persimpangan berlampu merah di kota, aku melihat mobil-mobil lainnya
dan menyadari, bahkan saat orang yang kutatap tak dapat melihatku, mereka
merasakan tatapanku dan mencari-cari ke sekeliling.
Setiap kali seseorang melihatku, aku berpaling, malu. Aku ingin tetap melihat
dan tersenyum kepada orang-orang itu, tapi sulit sekali rasanya.
Aku membayangkan apakah itu sebabnya orang lain menyadari mereka sedang diawasi.
Mungkin itu salah satu bakatku juga.
Setelah satu jam berkendara, aku mulai kedinginan di tempat duduk belakang. "Aku
kedinginan," ujarku.
"Oke," kata ibuku. "Kita berhenti dan mengambil selimut piknik dari bagasi."
"Jangan dulu," kata ayahku.
Malam sangat gelap saat kami berhenti minum teh di sebuah hotel tepat di balik
Pegunungan Wicklow. Ayahku memilih duduk di meja di sudut belakang. Aku tak
dapat melihatnya. Aku berkonsentrasi melihat ke sekeliling.
Hotel itu beraroma bir dan keripik. Meja-mejanya diselimuti kain putih, dengan
peralatan makan tertata rapi di atasnya. Gelas-gelas diletakkan terbalik. Tempat
garam dan merica terisi penuh. Cahaya lampu yang temaram membuat suasana seakan
telah larut malam. Di tengah ruangan teronggok sebuah bungkusan keripik Tayto,
tapi tak ada yang mengambilnya. Sepertinya, seorang dewasa telah menendang
bungkusan tersebut hingga isinya terburai keluar dan terhampar di karpet berupa
remah-remah tajam. Seorang gadis kecil yang tak mau diam sedang memainkan pintu depan. Ia berlarian
keluar-masuk, meninggalkan pintu terbuka hingga orang-orang di ujung bar
menggerutu setiap udara dingin berembus. Setiap kali pintu dibiarkan terbuka,
kakak laki-laki si gadis kecil bangkit dan menutup pintunya. Tak ada yang
memintanya menutup pintu. Ia hanya melakukannya, meninggalkan santapan menjadi
dingin di atas meja. Aku memperhatikan semua perincian: apa yang dikenakan si gadis kecil, warna
rambutnya; apa yang diucapkan orang-orang saat memintanya menutup pintu dan
bagaimana gerakan tangan orang-orang saat menghardik. Aku memutuskan sepanjang
perjalanan ini aku akan menguji seberapa banyak perincian di hotel ini yang
mampu kuingat. Setelah kami bersantap, ayahku berbicara dengan si pelayan bar tentang Dublin
dan ibuku menunjuk peta yang tergantung di dinding. Ia menunjukkan rute
perjalanan yang telah kami tempuh.
"Aku tahu dari mana kita berjalan," sahutku, "dan aku tahu di mana letak
Dublin." "Tentu saja kau tahu," katanya. "Aku hanya memastikan kau mengingatnya. Lama
sekali sejak kau meninggalkan kota itu."
Ibuku mengeluarkan selimut dari bagasi. Dan sebelum kami kembali berkendara, aku
mencoba meringkuk di tempat duduk belakang, tapi tidak cukup. Lututku menendang
tempat duduk Ayah. Akhirnya aku duduk dengan punggung bersandar pada pintu.
Ibuku menghamparkan selimut menutupi tubuhku dan merapikan bagian lenganku.
Ayahku menatap dari kaca spion, menggigit bibirnya, dan menyalakan mesin.
"Kita harus segera berangkat," katanya.
Ibuku kembali duduk dan tak membalas kata-katanya.
Aku tak dapat tidur. Aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada diriku, di
mana aku akan sekolah, dan apakah aku akan bertemu Pak Roche atau Brendan atau
Crito lagi. Aku bertanya-tanya apakah uang curianku akan ditemukan. "Lalu apa?"
Aku bertanya kepada ibuku. "Apakah Nenek akan datang mengunjungi kita?"
"Jangan bertanya, John. Jangan sekarang."
"Tapi apa yang akan terjadi" Bagaimana dengan sekolah?"
"Kita lihat nanti," sahutnya.
Aku berhenti bertanya dan tertidur di tempat duduk belakang. Aku tak terbangun
lagi hingga kami tiba di Dublin dan lewat di depan gerbang Phoenix Park.
Ayahku berkata, "Ada singa di kebun binatang di dalam taman."
"Dan harimau serta gajah," ibuku menambahkan.
Aku suka pergi ke kebun binatang. Aku ingin melihat harimau. Aku pernah membaca
tentang seekor harimau Siberia yang kabur dari kandangnya dan berkeliaran di
kota hingga ia ditembak dengan panah pembius tepat di paha belakangnya. Aku
ingin melihat kandang-kandang di kebun binatang Dublin dan menyelidiki cara
harimau itu kabur. Kupikir Houdini juga pernah melepaskan diri dari kandang
monyet di sebuah kebun binatang. Kuharap mereka akan menerbitkan edisi tentang
kisah itu. ---oOo--- Bibi Evelyn menyambut kami di pintu teras rumah tiga lantainya. Lantai bawah ia
gunakan sebagai toko buku. Ia mengenakan sebuah mantel hitam besar menutupi gaun
tidurnya dan Paman Gerald berdiri di belakangnya tanpa berkata-kata. Ia memang
jarang berbicara dan orang selalu lupa kalau ada dirinya di sekitar mereka. Ia
pernah mengunjungi kami di Gorey bersama Bibi Evelyn dan keesokan harinya aku
bertanya kepada ibuku, "Kenapa Paman Gerald tidak pernah mengunjungi kita?"
Ibuku tertawa. "Baru kemarin ia datang kemari," sahutnya. "Kau menceritakan
kepadanya sebuah lelucon ketuk pintu yang sangat buruk.
Tok-tok. Siapa di sana" Aku" Aku siapa?"
Aku tertawa. "Oh, ya. Dan Paman Gerald berkata, 'Kau anak nakal.'"
"Ya, ia mengatakan itu."
"Tapi aku bukan anak nakal, kan?"
"Sejernih tiupan peluit," sahut Ibu.
---oOo--- Tidak ada cahaya yang keluar dan rumah-rumah di sepanjang jalan sempit tempat
Bibi Evelyn tinggal. Tiga orang pria yang keluar dari hotel, berjarak dua rumah
dari toko buku, berjalan sempoyongan seraya bernyanyi.
Aku ingat jalan dan rumah Bibi Evelyn karena aku pernah tinggal di sini saat
berumur tujuh tahun. Tapi aku tidak ingat rumahnya berwarna merah tua, seperti
darah kering. Bibi Evelyn meraih tanganku. "Tersenyumlah. Kau seperti orang yang kecurian
sepeda baru," katanya.
"Mungkin memang itu yang terjadi," sahutku.
Ia menuntun tanganku. "Ayo, kutunjukkan tempat tidurmu."
Saat menaiki tangga tiba-tiba ia berhenti dan menoleh ke arahku.
"Kau akan tidur dengan sepupumu, Liam," katanya. "Ia sedang tidak ingin
berbicara sekarang, tapi ia tak akan menggigit."
Liam berumur lima belas tahun. Meski ia adalah sepupu pertamaku, tapi aku tak
terlalu mengenalnya. "Aku tidak peduli."
Kami naik ke lantai tiga. Lantai teratas. Kemudian berbelok ke kiri, masuk ke
sebuah kamar berukuran kecil dan gelap. Liam berbaring telentang di ranjangnya.
Tangannya masuk ke balik celana olahraga pendeknya. Kamarnya beraroma seperti
susu basi. Rambut Liam berwarna kuning pucat, seperti jerami basah.
"Hoya," gumamnya tanpa bergerak.
Ia membiarkan tangannya tetap di balik celana, tak melakukan apa pun; mungkin
hanya menjaga agar tetap hangat. Pemanasnya dimatikan, dan rumah itu sedingin
es. "Baiklah," kata Bibi Evelyn. "Kutinggalkan kalian berdua. Tapi jangan ribut.
Nanti kalian akan membangunkan si kembar."
Aku meletakkan koperku di sisi ranjang Liam. Karena ia tak melihatku, dan
sepertinya tidak menginginkanku di sini, aku turun ke kamar mandi di lantai
satu. Ceceran urine membasahi tempat duduk toilet dan lantai. Kamar mandi itu
berbau seperti kotak tidur Crito bila selimutnya tidak diganti lama sekali. Aku
berdiri di depan toilet dan menatap airnya. Sekeping koin tenggelam di dasar
lubang. Noda perunggu terbentuk di sekelilingnya. Aku mengeluarkan dua keping
koin dan saku dan melemparnya ke lubang toilet seraya berkata, "Kembalikan aku
ke Gorey. Kembalikan aku dalam waktu satu minggu. Aku mohon."
---oOo--- Aku bertemu dengan ibuku. Ia berada di satu-satunya kamar tidur di lantai satu.
Satu lantai dengan kamar mandi, ruang keluarga, dan dapur.
Ia sedang mengeluarkan isi kopernya ke lantai di sisi sebuah ranjang ukuran
tunggal yang ditutupi selembar selimut kuning. Satu-satunya benda lain di
ruangan sempit itu adalah sebuah meja kecil dan sebuah mesin tik.
"Halo," aku menyapa. "Di mana Pa tidur?"
Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. "Aku sedang sibuk, John.
Kembalilah ke atas dan keluarkan isi kopermu."
---oOo--- Aku kembali ke kamar Liam dan mengeluarkan isi koperku. Liam tidak berbicara
denganku. Ia duduk di ranjang menyantap sebungkus keripik. Aku mengeluarkan lima
edisi terakhir Guinness Book dan sebagian pakaian yang kumiliki. Saat aku
selesai meletakkan buku dan pakaianku di bagian atas lemari pakaian Liam, aku
duduk di sisi Liam dan ia masih tidak berbicara.
Setengah jam kemudian ayahku masuk. "Turunlah ke dapur. Kita berbincangbincang." "Aku tidak ingin," sahutku.
"Kau harus," katanya.
Aku mengikutinya turun ke lantai satu.
---oOo--- Ibuku membuatkan sepoci teh dan Bibi Evelyn menyeka meja dapur menggunakan
selembar kain bau. Mejanya kotor dan dipenuhi buku sekolah, berlembar-lembar
bekas bungkus ikan dan keripik, serta botol susu. Aku duduk dan mengosongkan
bagian meja di depanku hingga menjatuhkan sebatang pensil ke lantai. Aku tak
berniat memungutnya. "Kau harus bersabar," kata ibuku seraya menggunakan tangannya memunguti remahremah dan meja. "Bersabar perihal apa?" aku bertanya.
"Akan banyak terjadi perubahan, dan beberapa di antaranya memerlukan waktu,"
katanya seraya menuangkan tetes susu terakhir dari botol. "Apa yang berubah?"
aku bertanya. Ayahku mencondongkan tubuhnya dan meraih tanganku. Tangannya basah berkeringat.
"Semisal kita akan tinggal di sini," katanya.
"Tapi kenapa kita tidak kembali" Kau bilang kita hanya tinggal di sini
sementara." "Kita mungkin akan menjadi penduduk Dublin mulai sekarang," kata ibuku.
"Menyenangkan bukan?" sahut Bibi Evelyn. Aku kesal tapi tak tahu harus berkata
apa atau bagaimana mengatakannya. Bagaimana dengan uang dan "The Gol of Seil" di
bawah kasurku?" "Bagaimana dengan Crito?"
"Oke," sahut ayahku. "Cukup untuk sekarang. Pergilah tidur. Kita akan menyantap


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bubur untuk sarapan besok pagi."
"Kenapa tiba-tiba bubur menjadi penting?" aku bertanya.
Ayahku bangkit berdiri. "Bubur selalu baik untuk tubuh," katanya.
Paman Gerald tersenyum kepadaku tapi yang kulihat adalah bayangan Nenek memukuli
kepala Crito dengan sekop seraya berkata, "Ketombemu banyak sekali."
---oOo--- Aku naik ke lantai tiga dan tidur, beradu kepala-kaki, di ranjang tunggal,
bersama Liam. Ia mendengkur dan bergulingan dalam tidurnya seakan sedang
berolahraga. Aku mencoba bergeser ke tepi ranjang tapi bergulir kembali ke
cekungan kasur tua yang kami tiduri dan kembali berhadapan dengan kaki Liam.[]
22 Aku bangun pagi sekali, sebelum lampu penerang jalan dimatikan, dan kupikir Liam
juga telah bangun. Aku mendengar ia berkata, "Panggil kurir,"
dan "Satu juta pound."
"Apa?" aku menoleh.
"Panggil kurir. Satu juta pound," katanya lagi lebih jelas seakan ia telah
terjaga. Ia berbaring telentang dengan mulut terbuka lebar. Aku ingin memasukkan sesuatu
ke dalam mulutnya. Seperti bohlam yang tergantung hampir lepas dari soket
rusaknya di atas kepalaku.
Aku turun dari ranjang pukul setengah delapan dan langsung menuju dapur dengan
masih mengenakan piyama. Tak ada orang di sana, tapi lampunya telah menyala. Aku
tak ingin sendirian. Aku menuruni tangga mengarah ke toko buku di lantai dasar.
Tangganya gelap. Tikus-tikus menggaruk-garuk di belakang dinding. Suara mereka
seperti tikus-tikus di belakang dinding flat kami saat di Wexford dulu. Kadang,
saat kami duduk hening di ruang keluarga, seekor tikus keluar merayap ke karpet
di tengah ruangan dan melihat ke sekeliling, sehening bantal, seakan ia tak
kasat mata. Kemudian ia akan mengendus salah satu dari kami dan berlari kembali
ke lubang tempatnya berasal.
Tikus-tikus selalu keluar sendirian, tak pernah sekeluarga, dan terdapat seekor
tikus cokelat besar istimewa berekor hitam panjang. Aku menyebutnya si bos
tikus. Aku melihatnya beberapa kali dan mengira melihatnya setiap saat. Jika aku
berjalan ke ruang keluarga dan melihat benda cokelat atau hitam di lantai dari
sudut mataku, aku mengira itu tikus dan aku panik. Aku sering berpikir aku
melihat tikus. Kata Ayah, aku menderita fobia tikus yang langka. "Kau melihat
seekor tikus di tengah lantai," katanya, "dan sekarang kaupikir semua yang lebih
kecil daripada sepatu adalah seekor tikus."
Beberapa minggu setelah ayahku berkata demikian, tikus-tikus itu berhenti
menggaruk-garuk di balik dinding ruang keluarga kami.
---oOo--- Aku berdiri sejenak mendengarkan garukan, kemudian menendang dinding sebelum
membuka pintu menuju toko buku.
"Pagi," sapa Bibi Evelyn, yang berdiri di sebuah pijakan tangga meraih sesuatu
di rak buku. Dua sepupu kembarku, Celia dan Kay, duduk di lantai menatapku.
Mereka berumur tujuh tahun, tapi bertubuh kecil untuk anak-anak seumuran mereka.
Seperti Paman Gerald, mereka pun jarang sekali berbicara. Alih-alih berbicara,
si kembar menatap orang; menancapkan mata dan memandang.
Tak peduli ke mana pun kau bergerak, mata mereka akan mengikuti. Tapi sepertinya
mereka tidak melihat apa pun. Mereka tidak sungguh-sungguh menatap, kupikir
tidak, bukan menatap sewajarnya. Mata mereka bergerak seakan ditarik oleh
magnet, seakan mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Pagi," sahutku seraya duduk di belakang meja kasir. Bibi Evelyn turun dan
tangga dan duduk di sisiku. Ia meraih tanganku.
"Di mana mereka?" aku bertanya.
"Siapa" Mami dan Papa?"
"Ya." "Mereka akan segera kembali."
"Di mana mereka?"
"Beberapa saat yang lalu mereka berada di rumah makan murahan beberapa rumah
dari sini. Tapi aku yakin sekarang mereka telah pergi entah ke mana."
"Tapi ke mana?"
"Tanyakanlah bila mereka kembali nanti. Dan menyingkir dari sana.
Kau mengambil terlalu banyak ruang."
Kay dan Celia, yang duduk bersisian di lantai, menatap ke arahku.
"Coba kau tebak berapa umurku?" Bibi Evelyn bertanya.
"Aku tidak tahu," jawabku. "Mungkin seumur dengan ibuku."
"Tidak! Aku lebih tua delapan tahun, tapi aku tidak tampak tua bukan"
Aku menggunakan krim ini. Lihatlah! Ini berhasil. Jadi, bagaimana tampangku"
Tidak setua umurku kan?"
"Sepertinya tidak."
Ia berdiri. "Naiklah, John. Buatlah sarapan."
"Aku tidak lapar."
"Kau lapar," katanya.
"Bibi Evelyn?" "Ya." "Maukah kau menceritakan sekali lagi soal Air terjun Niagara sebelum aku naik ke
atas?" "Aku sedang sibuk sekarang," katanya.
Saat itu pukul sepuluh lebih sembilan. Ia merapikan buku di rak dan melayani
satu-satunya pelanggan yang datang. Pelanggan itu bertampang tua dengan satu
mata palsu, putih seperti marmer, dan berjalan menggunakan tongkat. Ia membeli
sebuah buku teka-teki silang seharga 5
pound. Ketika ia pergi, Bibi Evelyn duduk kembali.
"Baiklah," katanya. "Kita lihat. Oke, ada seorang wanita di salah satu museum.
Waktu telah malam dan aula depan museum sangat gelap...." Ia meletakkan setumpuk
buku di meja kemudian membersihkan debu yang menempel di tangan menggunakan
celemeknya. "Mengapa gelap?"
"Karena itu adalah museum mayat hidup dan hantu serta alat-alat penyiksaan zaman
pertengahan. Biar aku lanjutkan. Wanita ini memiliki kuku panjang bercat, sangat
panjang dan berwarna oranye, dengan poles yang berkilauan dalam gelap. Dapatkah
kaubayangkan?" Aku ingin mendengar lebih banyak. "Dapatkah kauceritakan kisah yang lain?"
Ia mengambil buku terbesar dari meja dan mendekapnya di dada.
"Jika kau tidak senang dengan cerita yang tadi, jangan meminta lagi. Sana,
pergilah. Naik ke lantai atas dan biarkan aku bekerja."
---oOo--- Aku naik ke dapur. Liam sedang sarapan bubur di meja. Dengan mulut penuh, ia
mengupil dan menyantap apa yang baru saja ia dapatkan dari lubang hidungnya.
"Ini pukul sepuluh lewat," ujarku.
"Lalu apa urusanmu, benda berkaki dua?"
"Tidak ada," sahutku.
Ia memegang mangkuk bubur sejajar dengan wajahnya dan menghirup susu di
dalamnya. Suaranya mengingatkan aku akan nenekku dan aku membayangkan apa yang
sedang dilakukan Nenek, apa yang sedang dilakukan Crito, dan apakah Brendan
masih bermain dengan Kate.
Dan Pak Roche. Aku ingin tahu apakah ia menanyakan keberadaanku.
"Untuk kauketahui," kata Liam dengan mulut penuh bubur, "sekolah kami terbagi
dua sesi, pagi dan siang."
"Kenapa?" "Karena terlalu banyak murid."
Ia berbicara dengan logat Dublin dan hampir selalu bergumam. Aku memutar-mutar
mangkuk gula, tapi aku tak dapat makan. Aku tak ingin bertengkar dengan Liam,
maka aku terus berbicara, mencoba bersikap ramah.
"Pukul berapa sesi sekolah siang dimulai?"
"Dua belas," jawabnya.
"Lalu apa yang akan kaulakukan selagi menunggu?"
"Menendang bola di jalan bersama teman-temanku," katanya. "Nggak tahu." Aku baru
saja akan menanyakan apakah aku dapat bergabung saat ibu dan ayahku pulang.
Ayahku mengenakan kemeja dan dasi.
Aku berdiri. "Halo," sapaku.
"Semuanya baik?" ibuku bertanya.
"Baik," jawabku.
Ayah menatapku dan mengernyitkan dahi. "Kenapa kau masih mengenakan piyama?"
"Memangnya kenapa?"
"Kau tidak sedang sakit, kan?"
"Tidak, tapi...."
"Ayo berganti pakaian, tolong. Lalu kembali dan bantulah ibumu."
---oOo--- Saat aku kembali, ayahku telah pergi lagi dan ibuku berada di bak cuci, mengupas
kentang. Bibi Evelyn naik membawa beberapa potong daging dari toko pangan di
samping rumah. "Duduk," katanya kepada ibuku. "Aku akan memulai makan malam yang
nyaman dan lebih awal. Akan siap pukul dua belas."
Ibuku duduk di sampingku.
"Ke mana Ayah pergi?" aku bertanya.
"Menemui seseorang menanyakan seekor anjing," katanya.
"Mengapa kau tak mengatakan yang sebenarnya?"
"Nanti, saat ayahmu pulang."
"Kita harus kembali ke Gorey," sahutku. "Kau harus membantu pantomim musim
panas. Kau belum selesai membuatkan boneka-boneka."
"Kita lihat nanti," jawabnya dan, karena aku tidak suka jawaban itu kecuali bila
kami sedang bermain, aku tidak suka dengan jawabannya.
Kami duduk dalam keheningan.
Bibi Evelyn bergerak cepat saat memasak dan terlihat gugup. Ia bukan orang yang
mudah gugup. Ia menyenggol cangkir di atas lemari lalu vas di sisi jendela dan
menangkap keduanya sebelum menyentuh lantai. Ia bergerak sangat cepat untuk
ukuran wanita bertubuh seperti Alfred Hitchcock.
"Refleks!" teriaknya.
"Ya, Tuhan," kata ibuku, yang tertawa dengan cara yang aneh, menutup wajah
dengan tangannya. ---oOo--- Selama bersantap, perbincangan berkisar tentang cuaca, pernikahan, dan
pembaptisan. Aku tak berbicara. Aku bosan dan pergi ke ruang keluarga untuk
menonton TV. Di luar hujan turun deras dan ruangan menjadi gelap.
Tapi menonton televisi di tengah hari tidaklah terlalu menyenangkan. Aku
memaksakan diri menikmati tapi pikiranku tak lepas dari Pak Roche dan kapan aku
akan bertemu dengannya, bagaimana aku menunggu ujian pertamanya dan lulus dengan
nilai terbaik. Aku menggaruk luka mengering di kepalaku dan berhenti saat mengeluarkan darah.
---oOo--- Hampir pukul empat saat ayahku pulang. Dari tubuhnya tercium aroma losion habis
cukur. "Aku dan ibumu harus keluar lagi. Ada beberapa hal yang harus kami urus,"
katanya. "Sibukkanlah dirimu untuk beberapa jam lagi."
"Tapi aku bosan. Bolehkah aku ikut?"
"Tidak kali ini," kata ibuku. "Bacalah buku, atau menonton televisi."
Ayahku melemparkan sebatang cokelat Mars ke arahku tapi aku tak sempat
menangkapnya. Cokelat itu mendarat di karpet satu kaki dariku. Aku menatap Ayah
dan ia membalas. Aku tak akan memungut cokelat itu. "Tapi ke mana kalian akan
pergi?" aku bertanya.
"Menemui seseorang urusan seekor anjing," jawab ayahku.
Ibuku mengedipkan mata kepadaku.
"Orang yang berbeda dan anjing yang berbeda," katanya, tapi aku tak sedang ingin
meladeni leluconnya. ---oOo--- Saat mereka pergi, aku kembali ke toko buku menemui Bibi Evelyn. Aku duduk di
sebuah kursi di belakang meja bersamanya. Ia terlihat senang ditemani olehku dan
menawarkan sekantong kacang. Kacang itu mengingatkanku pada kebun binatang. Aku
bertanya-tanya apakah ia dapat membawaku ke sana. Kata Liam, kebun binatang
hanya lima belas menit naik bus dari sini. Aku bertanya-tanya apakah ada orang
yang pernah membantu seekor hewan melarikan diri.
"Maukah kau menemaniku ke kebun binatang?" aku bertanya.
"Tidak sekarang," jawabnya, bahkan tanpa perlu memikirkan terlebih dulu.
"Mungkin kau ingin ke rumah sebelah."
"Kenapa?" "Aku harus melakukan sesuatu yang pribadi, itu alasannya."
---oOo--- Aku berjalan ke rumah makan murahan dan masuk ke dalam. Dindingnya ditutupi
kertas bergaris merah dan kuning. Suara radio terdengar nyaring sekali. Ruangan
itu dipenuhi pria dan wanita tua. Di bagian depan terlihat beberapa wanita muda
dengan kereta bayi mereka. Hampir semua orang menghadap ke depan, seakan mereka
sedang menunggu kereta. Meja-meja diselimuti lembaran plastik kuning dan di
setiap meja terdapat sebotol HP
dan saus Worcestershire. Aroma keripik dan sosis terasa nikmat dan aku menjadi
lapar. Aku ingin melihat buku plastik daftar menu berwarna merah di meja dekat
pintu, tapi jika begitu aku harus membeli sesuatu bahkan jika kau berubah
pikiran. Wanita di meja kasir melirikku, dan tanpa menunggu ia mengeluarkan suara, aku
berkata, "Aku mencari orangtuaku."
"Apakah kau kehilangan mereka, Sayang?"
"Tidak. Terima kasih. Aku akan pergi."
Aku tidak mengerti kenapa aku menjadi gelisah.
---oOo--- Aku masuk ke toko kelontong di sebelah. Saat memasuki pintu, loncengnya
berdenting. Maureen, wanita tua yang bekerja di belakang meja pelayanan, ternyata masih
mengingatku sejak kunjungan terakhirku. Ia datang menyambut. "John!" serunya.
"Kau sudah besar! Sebesar pria.
Mengagumkan." Ia meremas lengan kananku. "Dan berotot pria juga!"
Aku menarik lenganku. "Duduklah bersamaku dan bantu aku menempelkan stiker-stiker harga."
Aku duduk bersamanya dan menempelkan stiker kubus-kubus kecil daging sapi dan
ayam. Maureen mengeluarkan kubus-kubus itu dan bungkusan yang lebih besar dan
menjualnya secara eceran. Meski pada bungkusan besar tersebut tertera, "Tidak
untuk dijual eceran".
"Jadi, apa yang membawamu ke Dublin, John?"
"Kami baru saja datang karena kami ingin kemari."
"Oh, ya." Ia mencabut selembar stiker dari punggung tangan keriputnya dan
menempelkannya di sebuah kubus daging. "Apakah kau bosan dengan udara pedesaan?"
"Ya. Sangat bosan. Bosan melihat sapi dan lumpur."
---oOo--- Selama empat hari, ayah dan ibuku pergi sepanjang hari, dan tidak pulang hingga
hari gelap. Aku ditinggal sendirian. Liam pergi sekolah di siang hari dan aku
hanya dapat menonton televisi atau membaca Guinness Book of Records.
Aku membaca dan mencatat soal Jean Francois Gravelet, alias Blondin the Great,
yang menyeberangi Air Terjun Niagara di atas seutas tali tiga inci pada 1855.
Saat Liam pergi sekolah, aku menyingkirkan barang-barang dan merekatkan selotip
selebar tiga inci dari sisi dinding ke seberangnya. Aku berjalan menyusurinya
seraya merentangkan tangan dan membayangkan berada 160 kaki di udara tanpa
jaring pengaman. Aku tak dapat menjaga kakiku tetap berada di batas tiga inci. Aku merasa tak
mungkin melakukannya. Tapi kemudian saat aku melihat lebih dekat foto Blondin,
aku melihat untuk pertama kalinya bahwa kakinya tidak lurus; saat berjalan di
seutas tali yang menegang, ia harus meratakan kaki bersandalnya dan menjaganya
tetap menjepit tali. Semakin lama memikirkannya, semakin aku dibuat bingung. Aku
akan meminta Bibi Evelyn mencarikan buku tentang Blondin dan para penyusur tali
lainnya. Malam harinya, ayah dan ibuku pergi ke lantai dasar untuk berbincang dan
menelepon. Ibuku mengatakan bahwa Ayah sedang mencari pekerjaan, dan mereka
berdua mencari tempat tinggal.
Saat aku menanyakan kenapa kami tidak dapat tinggal di pondok bersama Nenek, ia
berkata, "Mungkin nanti. Kita akan tinggal di Dublin untuk sementara." Dan saat
aku meminta izin menelepon Nenek menggunakan pesawat telepon di dapur, ia
berkata, "Ya, mungkin nanti.
Biarkan semuanya tenang dulu untuk beberapa hari lagi."
---oOo--- Ini adalah malam ketujuh kami di Dublin. Aku berada di kamar Liam, mencoba


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermain Cluedo sendirian. Ayahku datang dan duduk di ujung tempat tidur yang
melesak. "Hoya?" sapanya dalam logat Dublin yang dibuat-buat.
"Baik," jawabku seraya meletakkan pisau Swiss Army di atas papan Cluedo agar ia
dapat melihatnya. "Aku minta izin menelepon Nenek" Mungkin kita dapat melakukannya sekarang?"
Ia menarik napas dalam-dalam. "Tidak sekarang, John. Tapi segera.
Aku berjanji kita akan segera meneleponnya."
Aku melihat papan Cluedo lalu ke arah gambar tali dan lilin. Aku ingin tahu
apakah Crito baik-baik saja dan aku ingin tahu apakah "The Gol of Seil"
serta uangku dalam keadaan aman. Aku ingin tahu apakah Guinness Book.
telah membalas suratku. "Jangan sedih begitu," ujar ayahku. "Anggap saja ini liburan. Sebuah
petualangan." Aku menatapnya hingga ia memalingkan wajahnya. Aku menatapnya seakan wajahnya
adalah setumpuk kartu permainan atau sebuah foto, atau sebuah corat-coret di
dinding; sesuatu yang tidak nyata atau manusia.
Ia bangkit berdiri. "Jangan menatap seakan aku baru saja menendang kepalamu,"
katanya. "Semuanya akan baik-baik saja."
"Tapi kapan kita pulang?"
"Kita sudah pulang," katanya.
"Tapi Mam bilang kita akan tinggal di sebuah flat."
"Jangan merajuk. Tidak ada yang harus dikeluhkan. Lihat anak-anak miskin yang
tak memiliki apa pun. Tidak ada flat untuk tidur dan tidak memiliki sepatu di
kaki mereka." "Seperti anak-anak di Afrika?"
"Ya." "Kupikir tidak," sahutku dan aku mengambil kartu senjata bergambar seutas tali
dan menunjukkan kepada Ayah.
Ia menatap kartu itu. "Apa artinya?"
"Tidak ada," jawabku. "Apakah kau mau bermain?"
"Tidak sekarang. Mungkin nanti. Kita dapat bermain semalaman.
Sepupumu juga." Aku memegang gambar tali itu di depannya dan aku perhatikan, meski aku merasa
gugup, tanganku tidak gemetar. []
23 Hari Minggu kami pergi ke gereja menghadiri misa pembaptisan dan kami duduk di
baris depan. Aku duduk di antara Bibi Evelyn dan Paman Gerald, Liam duduk
merapat ke dinding yang berkali-kali ia tendangi. Celia dan Kay terus menatap
salib di atas altar seraya membisikkan bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka
sendiri. Saat pastor keluar menuju altar, jubahnya berkibar di belakangnya, seperti
seekor hewan yang keluar dan gua. Aku ingin melihat di mana ia tinggal, melihat
ke balik pintu saknsti menuju guanya, dan mencari tahu seperti apa di dalam
sana. Dalam perjalanan pulang, ayahku tiba-tiba berhenti di luar sebuah bandar lotre.
Pada etalase kacanya yang buram tertera tulisan "Akuntan Turf". "Aku akan
bermain di sini dulu sebentar," katanya. "Kalian pulang saja."
Ia masuk dan kami berdiri dijalan. Paman Gerald menggerak-gerakkan kakinya,
malu, sedangkan wajah dan leher ibuku memerah.
"Bandar lotre adalah tempat terakhir seharusnya ia berada," kata Bibi Evelyn.
"Aku tidak akan menghentikannya," sahut ibuku. "Biar saja ia melakukan apa yang
ia inginkan. Biar ia menghancurkan...." Ia berhenti berucap dan menatap sebuah
bus yang lewat. "Apa yang hancur?" aku bertanya. "Apa yang ia hancurkan?"
Ibu melongok ke dalam melalui kaca etalase bandar lotre kemudian membelai pipiku
menggunakan punggung jemari halusnya. Ia membuka mulut, tapi kemudian menutupnya
kembali. "Apa?" tanyaku. "Apa yang ingin kaukatakan?"
"Lupakanlah." "Apa?" Ia menarik napas dalam-dalam. "Ia...."
"Ia apa?" "Ia memukul nenekmu," katanya.
Ia menunduk, menatap lembaran surat kabar yang beterbangan di sekitar tiang
lampu dekat kakiku. "Dan sekarang kita terdampar di jalanan kotor."
"Apa?" kataku. "Kalian tidak terdampar di jalanan," Bibi Evelyn mencoba menghibur.
"Kenapa ia memukul Nenek" Kapan?"
Ibu memegang bahuku dan Bibi Evelyn meraih tanganku serta menuntunku seperti
yang ia lakukan saat kami baru saja tiba. Ini aneh, keduanya menyentuhku, satu
menahan, satu menarikku. Kilasan rasa malu merayap di sepanjang tulang
punggungku, naik hingga ke wajahku.
"Ayolah," kata ibuku. "Waktunya pulang."
"Aku akan mencari tahu sendiri," sahutku. "Aku akan masuk ke dalam dan aku tak
akan pulang." ---oOo--- Aku masuk ke dalam. Akuntan Turf dipenuhi asap rokok dan suara berisik pacuan
kuda dan radio. Aku berdiri di ambang pintu untuk beberapa saat dan menggaruk luka kering di kepalaku
hingga berdarah lalu aku melangkah menghampiri Ayah.
Ayahku telah melepaskan kemejanya dan sekarang ia berada di barisan antrean
menuju ke meja kasir. Ia berdiri di belakang barisan pria yang tak teratur,
semuanya memegang tiket dan seperti dia, semua pria itu melongok dari balik
kepala orang di depannya untuk melihat seberapa panjang antrean tersebut.
Aku berdiri di samping ayahku. "Pa?" panggilku.
Ia tidak tampak terkejut mendengar suaraku. Ia menatap lurus ke arah meja kasir,
ke arah jeruji di depan jendela kasir dan lubang di bawah kaca tempat uang
diletakkan sebelum diambil oleh petugas kasir. "Apa?"
sahutnya. "Apakah benar kau memukul Nenek?"
Ia masih tidak melirikku.
"Apakah benar?"
Ia berdeham. "Ya," bisiknya. "Sekarang pulanglah ke rumah. Keluar dan tempat
kotor ini." "Kita tidak memiliki rumah," sahutku. Tangannya yang menggantung lemas di sisi
tubuhnya mengepal dan cacing-cacing merah jemarinya bersembunyi di balik buku
jarinya yang berbulu. "Pulang," katanya.
"Kenapa kau memukulnya?"
Ia menoleh ke arahku. "Karena ia ingin dipukul," katanya. Ia berpaling kembali
melihat kasir. "Aku memukulnya karena ia mendesakku. Ia tahu aku akan memukulnya
tapi ia terus mendesakku. Lalu ia mengusirku dari rumahnya. Aku memukulnya dan
ia tahu akan melakukan itu."
"Apakah kau tidak lulus ujian di Trinity?" Jakunnya bergerak naik-turun saat ia
melihat lurus ke depan. "Kau tidak lulus?"
Ia menoleh ke arahku dan terlihat genangan air di matanya. "Tahukah kau" Kau
bahkan mirip dengannya."
"Mirip siapa?" "Nenekmu. Kalian seperti sepasang orang aneh yang terus memperhatikan kehidupan
orang lain." Aku merasa kasihan dan bersalah serta kasihan pada diriku sendiri.
Aku terus menatapnya. Jika ia menangis, aku akan mengatakan turut bersedih.
Lalu, mungkin, setelah ia menangis di sini kami dapat pergi ke rumah makan murah
dekat rumah Bibi Evelyn untuk menyantap sepotong kue. Tapi ia hanya terbatuk,
memasukkan tangan ke sakunya, dan berpaling kembali ke jendela kasir.
"Pulanglah," katanya.
Aku berjalan keluar. Dalam perjalanan pulang ke rumah Bibi Evelyn aku membeli sebatang cokelat Mars
dengan uang yang kemarin diberikan Ayah untuk mengganti cokelat yang terjatuh di
ruang keluarga dan mungkin diambil oleh Liam atau salah satu dari si kembar.
---oOo--- Saat aku kembali, semua orang sedang duduk mengelilingi meja dapur.
Paman Gerald duduk di ujung dekat toilet, bersama si kembar yang duduk di
dekatnya. Ia sedang bermain dengan mereka. Ia berbisik dan tersenyum seraya
menggerakkan tangan membuat bentuk gereja dan menaranya. "Ini gereja, dan ini
menaranya," bisiknya. "Buka pintu dan ada orang di dalam."
Si kembar tertawa saat jemari Paman Gerald menyembul dan bergerak-gerak seperti
orang telanjang dan itu membuatku ingin muntah. Ia tidak melakukannya lagi dan
saat ia berkata, "Buka pintu," si kembar membuka mulut lebar-lebar
memperlihatkan sisa bubur bayi dan benang-benang liur di antara geligi mereka.
Liam duduk dekat pintu ke ruang keluarga. Ia selalu duduk di sana.
Ibuku dan Bibi Evelyn duduk berdampingan, saling berpegang tangan di tengah.
Ibuku baru saja menangis.
Mereka semua membicarakan hal-hal sepele. Tentang pernikahan dan pendamping
mempelai wanita yang mengunyah permen karet dan tersedak di tengah upacara
kemudian melontarkan permennya ke gaun pengantin.
Tentang pai ayam untuk teman minum teh dan meski semuanya lapar, ibuku berkeras
kami semua harus menunggu ayahku pulang.
Saat tiba pukul tujuh dan ia tak kunjung pulang, kami bersantap, kecuali Paman
Gerald. Ia tidak makan karena ia tidak suka makan di depan orang banyak, bahkan
di depan keluarganya sendiri.
Aku menatap tatakan piring bergambar perburuan rubah, orang-orang bertudung
menunggang kuda, anjing dan rubah mati menggantung di pagar.
Ibuku melihat aku sedang memperhatikan gambar rubah. Ia menggerakkan tangannya
membentuk tapak rubah dan membuat mimik wajah menakuti.
Aku tersenyum dan ia membalas. Aku bertanyatanya apakah ini berarti ia sudah
merasa lebih baik, dan jika benar, kapan aku akan merasa lebih baik" Liam
mengangkat piringnya, mendekatkannya ke wajah, kemudian, saat ia pikir tak ada
yang memperhatikan, ia menyeruput isi pai.
"Liam," seru Bibi Evelyn, "pergi ke kamarmu dan tinggalkan kami agar kami dapat
berbincang." Liam pergi tanpa berkata-kata dan si kembar mengikutinya seperti anak-anak
anjing. "Baik," kata ibuku. "Aku seharusnya menceritakan dari awal apa yang telah
dilakukan ayahmu. Tapi sekarang, setelah semuanya terbuka, mungkin aku dapat
meluruskan persoalan."
Ia menyeduh tehnya seraya berbicara dan aku tak mendengar sendok berdenting
menyentuh sisi cangkir. Ia menceritakan bahwa ayahku memukul Nenek saat mereka
bertengkar dan Nenek terjatuh membentur lemari. Itu kecelakaan dan ia langsung
dibawa ke rumah sakit untuk dijahit lukanya.
Saat aku menanyakan mengapa Pa tidak meminta maaf agar kami dapat pulang, Ibu
berkata, "Ia telah meminta maaf, tapi belum diterima."
Ibu mengatakan bahwa kami tak akan lama tinggal di sini. Mungkin kami akan
tinggal di hotel untuk sementara hingga mendapatkan flat sendiri.
"Hotel seperti apa?" aku bertanya.
"Yang murah," kata Paman Gerald dari tempat duduknya di ujung meja dekat toilet.
"Ada sebuah hotel nyaman dekat gerbang Phoenix Park," sahut ibuku.
"Berdekatan dengan kebun binatang dan gajah. Kita dapat memberinya kacang."
"Apakah Pa akan dipenjara?"
"Nenekmu tidak mengajukan gugatan," kata Bibi Evelyn. "Ia tahu itu adalah
kecelakaan." ---oOo--- Telepon berdering dan ibuku bergegas mengangkatnya. "Mereka menutupnya,"
katanya. Telepon berdering kembali. Ibu menjawab.
"Mereka menutupnya lagi," katanya.
Telepon berdering sekali lagi.
Kali ini aku yang menjawab. "Halo," sahutku.
"Ini Ayah. Apakah ibumu ada" Apakah ia baik-baik saja?"
"Ya. Mam baik-baik saja. Kami baru saja menyantap pai ayam dan sekarang sedang
minum teh serta menikmati kue."
"Aku akan segera pulang. Dapatkah kau memberitahu Ibu?"
"Oke. Dah." Aku berdiri di dekat telepon, berharap akan berdering lagi.
"Tadi Ayah," kataku.
"Kenapa kau berteriak-teriak di telepon?" ibuku bertanya.
"Karena Ayah bernapas keras sekali. Seperti berbicara dengan traktor atau
semacamnya." "Mungkin ia hanya serak dan tersedak asap rokok yang memenuhi tempat kotor itu,"
kata Bibi Evelyn. Aku mengambil potongan kue dan pergi ke ruang keluarga.
---oOo--- Ayahku tidak pulang selama dua hari dan aku membayangkan ia berada di penjara
Mountjoy. Aku bermimpi buruk melihat ia berada di sebuah sel dengan toilet di
sudut ruangan serta seorang pria bertato dan berkepala gundul tidur di ranjang
bertingkat di atas Ayah. Ayah pulang Kamis pagi saat aku sedang di toko buku bersama Bibi Evelyn. Ia
mengenakan mantel baru berwarna cokelat dengan tepian dan kerah berbulu tebal.
Kumisnya mulai terbentuk di atas bibir. "Kabar baik,"
katanya, seraya meraihku dengan tangan merah dinginnya, "kita mendapatkan rumah
baru." "Di mana?" aku bertanya.
"Ballymun. Sebuah rumah susun. Lantai dua belas dari lima belas lantai,"
serunya. "Lantai dua belas!" kataku. "Kita akan tinggal di gedung pencakar langit?"
"Ya. Dan kolam renang sedang dibangun serta seharusnya akan selesai dalam
beberapa minggu. Dan jendela kamarmu kau dapat melihat jumbo jet melayang menuju
Amerika." "Kapan kita pindah?"
"Besok, pagi-pagi sekali."
Bibi Evelyn membalikkan tanda di pintu yang tertera tulisan "Akan Kembali dalam
5 Menit". "Sebaiknya kita mulai berkemas," katanya. "Naiklah dan cari Helen."
Kami naik dan mendapati ibuku duduk di sebuah kursi di bawah jendela ruang
keluarga. Televisi tidak menyala dan ia sedang tidak melakukan apa pun.
"Kau dapat sebuah flat, Helen! Sebuah flat perusahaan baru dan kau bisa pindah
besok," kata Bibi Evelyn. "Kau dapat membawa perabotan dan gudang di atas dan
ranjang di kamar tambahan."
Ayahku berdiri dekat perapian dan memainkan kotak korek api. Ibuku mengangguk
tanpa berkata apa pun. "Beberapa tetangga pasti mau menyumbangkan sedikit barang. Tapi kita tidak
mempunyai banyak waktu. Aku akan mulai mendatangi mereka sekarang."
Ibuku mengernyit. Bibi Evelyn beranjak dari bangku panjang dan menghampiri ibuku. Ia meraih tangan
ibuku seakan menuntun seorang cacat yang berusaha berdiri.
Tapi ibuku tak menyambut uluran tangan adiknya. Ia berterima kasih dan
meninggalkan ruangan. "Tidak perlu mengejarnya," seru ayahku.
Aku diam dan menyalakan televisi.[]
24 Pukul delapan pagi, aku berdiri dengan koper biru di samping kakiku
memperhatikan Ayah dan pamanku memasukkan barang ke sebuah truk kotor. Ibuku
membantu dengan memberikan petunjuk serta meletakkan benda-benda kecil di toli.
Aku menawarkan bantuan tapi ia menyuruh aku duduk dan menunggu di samping
koperku berjaga-jaga bila ada yang membutuhkan sesuatu dari dalam rumah.
"Seperti apa?" aku bertanya.
"Seperti mengambilkan secangkir teh atau segelas air bila kami kehausan."
Aku duduk di trotoar dan mengambil sebungkus plester luka. Aku mengenakan satu
pada lututku, menunggu sejenak, kemudian menariknya lepas. Aku menyukai rasa
sakit saat plester itu ditarik. Aku menikmati saat bulu-buluku turut tercabut
dan meninggalkan bidang bersih halus di kulitku.
Paman Gerald melihat apa yang kulakukan. Ia melambaikan jarinya ke arahku,
membuat tanda silang. Aku tersenyum dan membalas tanda silangnya, seperti biasa,
ia tidak tahu harus bagaimana. Ia mundur dan menatapku, tangannya tegap di sisi
tubuhnya. Ia berbalik kembali ke truk dan menggeser sebuah lemari pendek
beberapa inci untuk alasan yang tidak jelas. Kadang seakan Paman Gerald tidak
pernah menganggap hidup ini terlalu serius. Ia mencoba segala sesuatu, karena
tidak ada yang memperhatikannya, mengubah arah, melakukan hal lain, dan tak


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peduli pada apa yang terjadi kemudian.
Sekelompok tetangga berkumpul. Mereka terdiri atas lima wanita dan dua pria.
Mereka berdiri berkerumun di trotoar di depan rumah nomor 17.
Cara mereka berdiri merapat menunjukkan bahwa mereka adalah satu keluarga.
Mereka menatap seakan memiliki satu pikiran. Saat salah seorang menatapku, yang
lain pun menatapku. Saat salah seorang menatap ibuku, semuanya menatap ibuku.
Saat salah seorang memperhatikan Paman Jack menyalakan rokok, mereka semua
memperhatikannya. Seorang wanita memegang sendok kayu berlumur bubur di ujungnya, dan seorang lagi
sedang memegang lap piring. Mereka bilang ingin mengucapkan selamat jalan, tapi
tampak jelas mereka datang ingin melihat keadaan sebuah keluarga yang hancur.
Ibuku menatap mereka dan melambaikan tangan. Tiba-tiba saja mereka bergerak maju
ke pintu truk dan mengelilinginya. Ibu mundur menjauhi mereka.
"Kudengar ada pemanas terpusat di setiap flat," kata seorang wanita kurus
berambut merah. "Dan akan ada sebuah kolam renang nantinya," kata si wanita yang memegang sendok
kayu. ---oOo--- Paman Jack dan Paman Tony duduk di bak truk bersama perabotan dan aku gembira
duduk di kabin depan, di antara ayah dan ibuku. Aku senang duduk di bangku truk
tinggi dan memperhatikan tangan kekar ayahku memutar roda kemudi saat
mengeluarkan truk dari impitan kendaraan yang parkir.
Kami berkendara melalui jalan yang penuh sesak. Pemandangan indah pertokoan
berderet di sepanjang Jalan North Circular. Aku melihat anakanak berjalan ke
sekolah dan merasa bebas. Aku memegang tangan ibuku.
Namun, saat mendekati Ballymun, perasaanku berubah. Jalannya menyempit dan sisisisinya dipenuhi sampah. Rumah-rumah di sini kecil, kusam, dengan pintu dan
jendela tak bercat. Saat kami memarkirkan truk di tempat parkir di lantai dasar
salah satu menara tinggi Ballymun, jelas tak akan ada sesuatu yang baik terjadi
di sini. Ayahku melompat turun dari truk dan aku turun dibantu olehnya. Aku merasa berat
dan lelah. Aku melihat ke sekeliling. Semuanya ada tujuh menara dan lusinan blok
flat yang lebih kecil mengelilingi kami. Jalan ramai terbentang di ujung tempat
parkir. Gedung sekolah besar berada di seberang jalan ramai dan setelah sebuah
tempat putaran kendaraan.
Ibuku tetap duduk di truk, tangannya berada di pangkuan. Ayahku menyuruh Paman
Jack dan Paman Tony keluar dari bak truk dan ia merangkul bahuku.
"Setiap menara dinamai sesuai dengan orang-orang yang menandatangani proklamasi
Republik Irlandia pada 1916," katanya.
"Mana menara kita?" aku bertanya.
"Plunkett," jawabnya. "Yang di sana. Menara yang berdiri di tengah."
---oOo--- Tidak mungkin melihat tujuh menara itu dalam sekali pandang. Mereka terlalu
banyak dan berdekatan sehingga menutupi langit. Untuk melihat mereka semua, kau
harus berputar satu lingkaran. Bagaimana dapat disebut baru jika menara-menara
itu tampak lusuh dan kotor" Bangunan-bangunan ini seperti gigi-gigi keropos,
busuk, dipenuhi noda ter berwarna cokelat.
Gigi-gigi raksasa kotor dan jelek.
"Bagaimana mengangkut barang ke atas sana?" aku bertanya kepada ayahku.
"Menggunakan lift, bodoh."
Kami naik ke rumah baru kami. Tidak seperti lift yang kotor, tangga yang kotor,
dan koridor yang kotor, dinding flat kami putih bersih dan tak beraroma urine
atau puntung rokok basah.
Namun, flat itu sangat kecil dengan semua ruang yang serba kecil: dapur kecil,
ruang keluarga kecil yang hanya cukup untuk satu bangku panjang, televisi, dan
beberapa kursi. Toilet terkecil yang pernah aku lihat, dengan bak mandi yang
hanya cukup untuk orang kerdil. Dan dua kamar tidur kecil, keduanya memiliki
jendela yang tak dapat dibuka dengan pemandangan ke bawah, ke arah hamparan
aspal lapangan parkir. Seperti orang-orang yang tinggal di menara, kami harus membuang sampah melalui
saluran pembuangan yang terbuat dan bahan kain parasut, dan saluran pembuangan
itu berada di atas tangga dekat jendela kamarku.
"Aku tidak ingin tidur dekat saluran pembuangan sampah," aku mengajukan
keberatan. "Ya, tidak ada tempat lain," jawab ayahku.
Kami masuk ke kamar tidur terbesar. Ruangan itu dilengkapi lemari dinding
dilapisi cermin gelap. "Jika aku harus tidur di sini," kata ibuku, "aku akan menutup cermin terlebih
dulu." "Pertama kita harus menaikkan barang-barangnya," kata ayahku dan kami turun
menggunakan lift. ---oOo--- Meski masih banyak barang yang harus dinaikkan, ayahku berkeras bahwa Paman Jack
dan Paman Tony harus pergi. Tapi Paman Tony kembali membawa lima kantong keripik
pedas serta kami semua duduk di halaman berumput kecil dekat truk dan makan
bersama. "Baiklah. Kalian dapat meninggalkan kami," kata ayahku. "Kami dapat mengurus
sisanya sendiri." Mereka pergi setelah ayahku memberi sedikit uang untuk ongkos naik taksi.
Pemanas terpusat di dalam gedung dinyalakan sangat tinggi. Kami kepanasan di
dalam, dan rasanya seperti diguyur air dingin saat kami keluar. Setiap kali usai
menaikkan satu barang, ayahku membasuh kepalanya di bawah keran air dingin. Kami
berdiri di dapur yang kosong dan memperhatikannya seraya mengipasi diri
menggunakan sobekan karton dan kardus barang.
"Baiklah. Kita harus berbicara dengan perusahaan untuk mematikan pemanasnya,"
kata Ayah. "Kita tidak dapat tinggal seperti di daerah tropis."
Ibuku menengok ke luar jendela memandangi deretan gedung gelap di belakang kami
dan mendesah. "Aku telah berbincang dengan tetangga baru kita, Nyonya McGahern, dan katanya
termostat diatur oleh perusahaan dan pelanggan tidak dapat mengubahnya."
Ayahku mengelengkan kepala.
"Kita akan terbiasa," kata Ibu. "Hanya, kita harus mengenakan pakaian musim
panas." Amarah ayahku memuncak. "Baik sekali sikapmu padahal kita baru saja tiba. Sejak
kapan kau begitu cepat percaya pada kata-kata wanita tua yang ingin tahu urusan
orang?" "Aku tidak mengatakan soal wanita tua atau ikut campur urusan orang."
"Aku melihatnya berdiri di luar, mengintip semua kotak yang kita naikkan. Dan
kau! Kau berbicara dengan orang asing dan kau mengizinkannya masuk?"
"Michael, aku pikir tidak...."
"Aku sendiri akan menemui beberapa tetangga untuk mencari penjelasan yang lebih
baik." "Membuang waktu mencari pendapat lain," kata ibuku. "Aku tahu jawaban akan sama
saja." Ayah keluar membanting pintu di belakangnya.
Aneh sekali berdiri bersama ibuku di dapur yang kosong di belakang pintu yang
baru saja dibanting dan keributan yang telah terjadi. Berdiri tanpa melakukan
apa pun, dan aneh sekali tidak memiliki pilihan selain keluar lewat pintu yang
sama tanpa berkata-kata. Meski hari telah gelap saat kami selesai berbenah dan meletakkan perabot di
tempat yang diinginkan, ayahku berkata bahwa kami harus berjalan-jalan sebelum
makan dan pergi tidur. "Kita akan menjelajahi sekeliling kemudian minum teh di bar setempat.
Bagaimana?" Kami turun menggunakan lift dan aku harus menutup hidungku selama
berada di dalam lift, begitu pula ibuku. Ayahku menekan tombol ruang bawah
tanah. "Ayo kita melihat-lihat," katanya.
"Apa yang ada di sana?" aku bertanya. "Arena kegiatan. Setiap menara memiliki
satu arena kurasa." Namun, saat kami ke sana, arena tersebut ditutup. Sebuah tanda petunjuk waktu
buka tergantung di pintu: arena buka pada Sabtu malam.
Juga terdapat lembar berisi jadwal kegiatan. Besok diadakan pelajaran bermain
gitar untuk anak laki-laki berusia sepuluh hingga enam belas tahun.
"Ini dia," kata ayahku. "Pelajaran musik."
"Bagus," sahutku. "Tapi aku lapar."
"Kita melihat-lihat lagi sejenak. Baru setelah itu kita makan."
Saat kami keluar dari lift, aku melihat ke puncak menara, yang mencuat dari
dasar beton dan menjulang tinggi melebihi gedung lainnya di Dublin. Lurus ke
angkasa seakan memuaskan dahaga dan awan-awan putih, atau mencoba bermandi
hujan. Kami berjalan-jalan di antara menara. Seluruh dinding batanya bernoda abu-abu
gelap, seperti luka yang meneteskan darah. Satu-satunya warna yang terlihat
adalah cat jendela yang mengelupas dan hitam-merah grafiti dinding lantai dasar.
Balkon-balkon beton dipenuhi jemuran basah.
Koridor yang panjang dan tangga dipenuhi benda yang dilemparkan penghuni di
atasnya. Tidak ada pohon. Hanya ada sedikit barisan rerumputan liar di belakang gedung.
Di sepanjang barisan rerumputan terdapat pagar berkawat duri yang memisahkan
gedung rumah susun dan perumahan di belakangnya.
Terdengar suara riuh orang-orang. Sangat ramai. Orang-orang membawa kantong
plastik belanjaan, naik-turun tangga yang gelap.
"Semua orang di sini bertampang buruk dibandingkan dengan Mami,"
ujarku. Ibuku menghentikan langkahnya. "Itu perkataan yang tidak baik."
Ayahku terus berjalan dan saat ia agak jauh dan kami, ia berhenti lalu menoleh
ke arah ibuku. "Kau benar, John. Ibumu sangat cantik. Ia membuat orang lain
tampak buruk." Ibu menundukkan kepala dan kami berjalan kembali. Kami berjalan menyeberangi
lapangan parkir di depan sekolah. Sekolah yang ayahku ingin aku melihatnya, dan
kami melewati sebuah pub. Aroma keripik membuat air liurku menetes. "Aku
kelaparan," seruku. "Tahanlah sesaat lagi," sahut ayahku. "Kita selesaikan dulu melihat-lihat."
"Tidak," kata ibuku. "Kita harus makan."
Kami masuk ke The Slipper, salah satu dari tiga pub berjarak sekitar dua menit
dari kompleks rumah susun. Berisik sekali di dalam, penuh suara musik dan
obrolan pria-wanita. Dindingnya dipenuhi gambar pesawat terbang. Aku bertanya
kepada ayahku berapa banyak mesin sebuah Jumbo 747. Ia jawab, "Cukup banyak,"
dan kami tertawa bersama.[]
25 Hari pertama kami habiskan untuk memasukkan barang-barang ke dalam lemari dan
mengatur ulang letak perabotan. Hari kedua kami berbelanja ke toko. Kami harus
membeli semua kebutuhan dan yang paling sepele: garam, merica, tepung puding,
dan tepung semolina, hingga panci, lampu pijar, baterai, serta peralatan untuk
memperbaiki benda-benda rusak pemberian orang-orang.
Di supermarket ayahku menjatuhkan sebotol saus tomat ke lantai dan pecah.
Percikan saus mengotori celana panjang ibuku.
"Michael!" seru ibuku. "Bila aku tak mengenalmu dengan baik, aku akan mengira
kau sengaja melakukannya."
"Baik," sahut ayahku seraya menyingkir dan botol yang pecah, "kau tak mengenalku
dengan baik, dan itu tidak mengherankan."
"Beraninya kau berkata seperti itu kepadaku!" ibuku membentak, tak peduli dengan
dua wanita tua yang menatapnya dari bagian makanan beku.
"Aku akan bicara bila aku ingin bicara," sahut ayahku.
Ibuku melipat tangannya di depan dada dan menatap tajam ke arah Ayah.
"Kesabaranku sudah habis, Michael, kesabaranku yang dengan susah payah kuraih.
Maka bersyukurlah bila kau menemukan kain basah untuk membersihkan semua noda
ini dari pakaianku."
Ayahku tersenyum ke arah ibuku, sebuah senyuman hangat, dan Ibu membalasnya
seakan telah memaafkan. Aku tak mengerti mengapa ia melakukannya. Apa yang
terjadi di antara mereka" Pengertian seperti apa yang mereka miliki" Mengapa
ibuku menatapnya begitu hangat"
Ayahku pergi mencari kain basah, dan saat kembali ia langsung membersihkan
celana panjang Ibu yang tak lagi marah kepadanya. Mereka berciuman lama sekali
kemudian kami membayar barang-barang kami.
---oOo--- Pagi di hari ketiga kami di Ballymun, aku bangun dan merasakan sakit di gigiku.
Rasanya sakit sekali seperti ada pecahan kaca menancap di rahang kiriku setiap
kali aku menarik napas. Ibuku menyuruhku berpakaian. "Ayo kita ke dokter gigi," katanya.
"Aku akan membawamu ke balai kesehatan."
Balai kesehatan berada di ujung, bersebelahan dengan pusat perbelanjaan. Kami
berjalan menyusuri gang yang dindingnya dicat biru bergaris merah. Cerah dan
bersih, berbeda dengan kompleks rumah susun yang tak mendapat panas matahari,
cahaya, baik di dalam maupun di antara menara-menara. Pusat perbelanjaan itu
seperti negeri lain. Bahkan meski gigiku berdenyut, aku merasa seakan sedang
berlibur. Di dalam pusat perbelanjaan, cahaya benderang dan aroma menggiurkan
donat dan toko roti melayang di udara.
Dalam balai kesehatan ada klinik dokter umum, klinik dokter gigi, dan seorang
ahli kimia. Ruang tunggu dipenuhi orang-orang yang sedang membaca majalah.
Ibuku mengatakan kepada wanita yang berjaga di meja penerima pasien bahwa aku
sedang kesakitan. Kami diminta menunggu lima menit.
Dokter gigi itu bernama dr O'Connor. Tubuhnya tinggi dan berbahu lebar,
mengenakan pakaian mewah gelap dengan saputangan merah menyembul dari sela
sakunya. Aku mengatakan kepadanya sakit di gigiku dan ia melihat ke dalam mulutku
menggunakan sebatang logam yang memiliki cermin bulat di ujungnya. Kemudian,
tanpa memberi peringatan, ia menarik bibirku ke bawah dan menancapkan jarum
suntik ke gusiku. "Itu akan menghentikan rasa sakitnya. Sekarang, tenanglah di kursi sejenak
sementara aku mencabut gigimu," katanya.
Di langit-langit di atasku terdapat lukisan besar yang kuperhatikan selagi ia
mencabut gigiku. Ia memberitahu aku lukisan itu karya Bruegel.
Aku akan mengingatnya. Aku mengingat wajah para petani, wanita, dan anak-anak
berpakaian cokelat yang sedang memunguti kentang dan tanah bersalju. Tanpa
sarung tangan, topi, ataupun syal.
"Tidak ada asyiknya bila memandangi langit-langit putih," kata dr O'Connor.
"Lebih baik melihat orang yang sakitnya lebih parah daripada kita."
"Aku tidak merasakan apa pun," sahutku saat ia selesai, dan ia menjabat tanganku
seraya tersenyum lama sekali.
"Bocah yang baik. Tadi aku khawatir harus memberimu suntikan tambahan."
Aku menyukainya dan membayangkan apa jadinya bila aku memiliki ayah yang
berbeda. ---oOo--- Segera setelah aku dapat kembali mengunyah makanan, ibuku membuatkan jamur dan
sosis goreng serta kami bersantap sambil mendengarkan radio keras-keras
mengalahkan suara bantingan pintu dan pertengkaran tetangga.
Pukul setengah empat ayahku masuk. "Aku akan mulai bekerja dua hari lagi,"
katanya. Ibuku menepuk lengannya. Mata Ayah mengikuti gerakan tangan ibuku. "Aku tidak
sedang sekarat," katanya. "Ini belum usai."
"Pekerjaan apa?" aku bertanya. "Apakah kau berhasil masuk Trinity?"
"Tidak. Aku mendapatkan beasiswa di sebuah pabrik logam."
"Tapi apakah kau akan tetap mengikuti ujian masuk Trinity?" aku bertanya
kembali. "Tidak sekarang," katanya. "Sekarang aku harus mendapatkan sepotong roti."
"Apa?" seruku. "Oh, pikirkanlah sendiri," katanya, "dan sambil memikirkannya, pergilah ke toko
membeli susu dan sebungkus rokok Silk Cut warna ungu."
"Berapa uang yang akan kau terima setiap minggunya?" tanyaku.
"Pergilah dan aku akan kuberitahu saat kau pulang nanti."
Aku bangkit dan seakan ibuku membaca pikiranku, ia berkata,
"Mengapa kita tidak pergi ke kota besok saja" Kita menjadi wisatawan untuk
sehari." Aku pergi ke toko membeli rokok pesanan ayahku dan saat aku pulang, ternyata
liftnya rusak lagi. Aku harus melewati tangga yang dipenuhi bau urine.
---oOo--- Mentari bersinar cerah di atas Dublin memancarkan kehangatan. Ayahku mengenakan
kacamata hitam membuat tampangnya seperti kaca depan mobil dan ibuku mengenakan
gaun terusan selutut warna pink serta sepatu bot putih. Mereka berdua tampak
seperti bintang film lagi.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami berjalan menyusuri trotoar lebar Jalan O'Connell hingga Jalan Grafton, yang
membelok di ujungnya menuju pasar Stephen's Green dan Dandelion. Jalan dipenuhi
orang berbelanja dan bersantap. Ratusan bus berbaris seperti gajah-gajah kaleng,
dengan mata-mata kecil di dalamnya, masing-masing mengamati dunia.
Orang-orang berpakaian bagus keluar-masuk taksi. Orang-orang berkoper datang dan
pergi dari lobi hotel. Semua sibuk melakukan sesuatu.
Kami makan siang di Bewley's dan setelah itu kami berjalan-jalan ke Stephen's
Green. Kami membeli es krim dan menyantapnya seraya memperhatikan bebek-bebek
diberi makan oleh anak-anak kecil. Ketika hari menjelang gelap kami berjalan
kembali menyusuri Jalan Grafton. Lampu jalan bundar menyala putih seperti acar
bawang dan saat kami melewati Jalan Moore kami harus melangkahi jalan yang
dibasahi air sabun buangan pencucian sayuran dari pasar tadi pagi. Aku berharap
dapat tinggal di sini, di kota, dekat lampu-lampu jalan dan pengamen-pengamen
jalanan. Aku menggenggam tangan ibuku dan ayahku bersiul seraya kami berjalan sekali lagi
menyusuri Jalan O'Connell. Kami melewati gedung bioskop dan aku berhenti.
"Dapatkah kita menonton film" Dapatkah kita melihat film apa yang sedang
diputar?" Ayahku mengangkat bahu. "Aku tidak melihat alasan mengapa tidak."
Bioskop itu sedang memutar film Butch Cassidy and the Sundance Kid, tapi anakanak di bawah usia enam belas tahun tidak boleh masuk.
"Berjalan saja di belakangku," kata ayahku. "Masuk saja."
Ibuku setuju. Kami membeli tiket dan memberikannya kepada petugas pemeriksa
tiket. Meski film telah mulai diputar dua belas menit yang lalu, aku duduk di
antara ayah dan ibuku di baris ketujuh dan depan dan itu adalah film terbaik
yang pernah kutonton. ---oOo--- Setelah menonton film, kami menyantap ikan dan keripik di bangku di pelataran
Universitas Trinity. Meski hari telah gelap dan agak dingin sekarang, masih
banyak mahasiswa duduk mengenakan mantel mereka di atas rerumputan atau berjalan
dan mengendarai sepeda sepanjang jalan setapak yang diratakan dengan batu-batu
kerikil bulat. Meski mereka orang asing, ayahku tersenyum ke arah mahasiswa yang hilir-mudik.
Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan memperhatikan mereka menuruni tangga
dekat tempat kami duduk. Ia memperhatikan saat mereka keluar-masuk pintu di
belakang kami, mengambil sepeda mereka, dan mengendarainya menuju jalan. Lalu ia
mendongak melihat jendela-jendela yang diterangi lampu dan menganggukkan
kepalanya. "Kau akan berada di sini satu saat nanti," ujarku.
Bende Mataram 38 Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar Pendekar Lembah Naga 28

Cari Blog Ini