Ceritasilat Novel Online

Gerhana 6

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 6


mengeluarkan suara jijik. "Alice paling suka pesta, jadi dia mengundang seisi
kota ke rumahnya malam harinya. Pasti menyebalkan."
Mata Jacob langsung terbuka selagi aku bicara, dan senyum lega membuat wajahnya
tidak tampak letih lagi. "aku tidak diundang. Aku tersinggung nih," godanya.
"Anggap saja kau ku undang. Itu kan pestaku, jadi seharusnya aku boleh
mengundang siapa pun yang kuinginkan."
"Trims," tukas Jacob sarkastis, matanya kembali terpejam.
"Kuharap kau benar-benar mau datang," kataku tanpa berharap. "Pasti asyik.
Bagiku, maksudku." "Tentu, tentu." gumam Jacob. "Itu pasti sangat... bijaksana." Suaranya lenyap.
Beberapa detik kemudian, ia sudah mendengkur.
Kasihan Jacob. Kuamati wajahnya yang sedang bermimpi. dan menyukai apa yang
kulihat. Saat tidur, setiap jejak keras kepala dan kepahitan lenyap dari
wajahnya dan tiba-tiba saja ia kembali menjadi pemuda yang dulu pernah menjadi
sahabat terdekatku sebelum semua omong kosong tentang werewolf ini mengganggu
kehidupan kami. Ia tampak jauh lebih muda. Ia terlihat seperti Jacob-ku. Aku
meringkuk di sofa, menungguinya tidur, berharap ia bisa tidur sebentar untuk
menggantikan kurang tidurnya. aku memindah-mindah saluran TV; tapi tak banyak
yang bisa ditonton. Akhirnya aku memilih menonton acara masak-memasak, walaupun
saat menonton aku tahu tidak akan pernah serepot itu waktu memasakkan makan
malam untuk Charlie. Jacob terus saja mendengkur, dengkurannya semakin keras. Kukeraskan volume TV.
Anehnya, aku merasa rileks, dan hampir mengantuk juga. Rumah ini rasanya lebih
aman ketimbang rumahku sendiri, mungkin karena tidak ada yang pernah datang
mencariku di sini. Aku bergelung di ujung sofa dan terpikir olehku untuk ikut
tidur. Mungkin aku sudah ketiduran kalau saja dengkuran Jacob tidak sekeras itu.
Jadi, bukannya tidur, aku malah membiarkan pikiranku berkelana ke mana-mana.
Ujian akhir sudah selesai, dan sebagian besar mudah. Kalkulus, satu-satunya
pengecualian, sudah lewat, lulus atau gagal. Pendidikan SMA-ku sudah berakhir.
Tapi aku tidak benar-benar tahu bagaimana perasaanku tentang hal itu. Aku tidak
bisa memandangnya secara objektif; karena itu berkaitan dengan berakhirnya
kehidupanku sebagai manusia.
Aku bertanya-tanya sendiri berapa lama Edward berencana memakai alasan "bukan
karena kau takut" ini. Aku harus bersikap tegas suatu saat nanti.
Kalau berpikir praktis, aku tahu sungguh masuk akal meminta Carlisle mengubahku
segera setelah aku lulus.
Forks Jadi nyaris sama berbahayanya dengan zona perang. Bukan, Forks itulah zona
perangnya. Belum lagi... itu bisa jadi alasan yang tepat sekali untuk tidak
menghadiri pesta kelulusanku sendiri. Aku tersenyum-senyum saat memikirkan
alasan paling remeh dari semua alasan mengapa aku harus berubah. Bodoh... namun
tetap menarik. Tapi Edward benar - aku belum benar-benar siap.
Dan aku tidak ingin bersikap praktis. Aku ingin Edwardlah yang mengubahku.
Memang bukan keinginan rasional. Aku yakin bahwa - kira-kira dua detik setelah
aku digigit dan bisa itu mulai membakar urat-urat nadiku - aku benar-benar
takkan peduli siapa yang melakukannya. Jadi seharusnya itu tidak menjadi
masalah. Sulit menjelaskannya, bahkan pada diriku sendiri, kenapa itu
penting. Pokoknya aku ingin dialah yang melakukan pilihan itu - ingin memilikiku
sehingga tidak sekadar membiarkan aku diubah. tapi dia sendirilah yang melakukan
perubahan itu. Kekanak-kanakan memang, tapi aku senang membayangkan bibirnyalah
yang menjadi hal terakhir yang kurasakan. Bahkan yang lebih memalukan lagi, ada
hal yang takkan pernah utarakan secara terus terang, aku ingin bisanyalah yang
racuni sistemku. Itu akan benar-benar membuatku jadi miliknya seutuhnya.
Tapi aku tahu Edward akan ngotot mempertahankan syarat menikah yang diajukannya
waktu itu - karena ia jelas ingin menunda mengubahku dan sejauh ini, taktiknya
berbasil. Aku mencoba membayangkan memberi tahu kedua orang tuaku bahwa aku akan
menikah musim panas ini. Memberi tahu Angela, Ben. dan Mike. Aku tidak sanggup.
Aku tidak bisa membayangkan haus bilang apa.
Lebih mudah memberi tahu mereka bahwa aku akan menjadi vampir. Dan aku yakin
paling tidak ibuku,seandainya aku berniat menceritakan hal sebenarnya hingga
sedetail - detailnya - bakal lebih mati-matian menentang rencanaku menikah muda
daripada menjadi vampir. Aku meringis membayangkan ekspresi ngeri Renee.
Kemudian, sedetik saja, aku melihat visi aneh yang sama tentang Edward dan aku
duduk di ayunan teras, memakai baju dari dunia yang berbeda. Dunia tempat tidak
ada orang yang akan merasa aneh melihatku mengenakan cincin kawinnya di jariku.
Tempat yang lebih simpel, di mana cinta didefinisikan dengan cara-cara yang
lebih sederhana. Satu tambah satu sama dengan dua...
Jacob mendengus dan berguling ke samping. Lengannya terkulai dari punggung sofa
dan menindihku. Astaga, berat sekali dia. Dan panas. Baru beberapa detik saja, aku sudah
kepanasan. Aku berusaha menggeser tubuhku dari bawah lengannya tanpa membuatnya terbangun,
tapi aku harus mendorongnya sedikit, dan ketika lengannya terjatuh dari tubuhku.
matanya serta-merta terbuka. Ia melompat berdiri, memandang berkeliling dengan
gugup. "Apa" Apa?" tanyanya, linglung.
"Hanya aku, Jake, Maaf aku membangunkanmu."
Jake menoleh dan menatapku, matanya mengerjap bingung.
"Bella!" "Hei, tukang ngantuk."
"Oh, astaga! Aku ketiduran ya tadi. Maaf ya! Berapa lama aku tidur?"
"Beberapa dengkuran. Sudah tak bisa kuhitung lagi."
Jacob mengenyakkan bokongnya kembali ke sofa di sampingku. "Wow. Maafkan aku
soal tadi, sungguh."
Kutepuk-tepuk kepalanya, berusaha menghaluskan anak-anak rambutnya yang awutawutan. "Jangan merasa tidak enak. Aku justru senang kau bisa tidur sebentar."
Jacob menguap dan meregangkan otot-ototnya. "Payah benar aku akhir-akhir ini.
Tidak heran Billy selalu pergi. Aku sangat membosankan."
"Ah, itu tidak benar," sanggahku.
"Ugh, ayo kita keluar. Aku perlu jalan-jalan sedikit, kalau tidak aku pasti
bakal teler lagi." "Jacob, tidurlah lagi. Aku tidak apa-apa. Akan kutelepon Edward untuk datang
menjemputku." Kutepuk-tepuk semua sakuku sambil bicara, dan baru sadar semuanya
kosong. "Brengsek, aku terpaksa pinjam teleponmu. Ponselku pasti ketinggalan di
mobil." Aku mulai beranjak untuk berdiri.
"'Jangan!" sergah Jacob, menyambar tanganku. "Tidak, jangan ke mana-mana. Kau
kan jarang bisa ke sini. Payah benar aku, menyia-nyiakannya begitu saja."
Jacob menarikku turun dari sofa sambil bicara, kemudian membimbingku ke luar,
merunduk saat melewati ambang pintu. Cuaca semakin sejuk sementara Jacob tidur
tadi; sekarang hawa terasa menggigit padahal saat ini bukan musim dingin, pasti
akan ada badai. Rasanya sekarang seperti bulan Februari, bukan Mei.
Hawa yang dingin menggigit sepertinya membuat Jacob lebih sigap. Ia berjalan
mondar-mandir di depan rumah selama semenit, menyeretku bersamanya.
"Bodoh benar aku," gerutunya pada diri sendiri.
"Ada apa, Jake. Kau kan hanya ketiduran tadi." Aku mengangkat bahu.
"Padahal sebenarnya aku ingin mengobrol denganmu. Benar-benar keterlaluan."
"Bicaralah sekarang," bujukku.
Jacob menatap mataku sebentar, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke
pepohonan. Pipinya tampak merona merah, tapi itu sulit dipastikan karena
kulitnya yang gelap. Mendadak aku ingat apa yang dikatakan Edward tadi waktu ia menurunkan aku, bahwa
Jacob akan memberitahuku sendiri apa saja yang diteriakkannya dalam benaknya
tadi. Aku mulai menggigit-gigit bibir.
"Begini." kata Jacob. "Sebenarnya aku berniat melakukannya dengan cara sedikit
berbeda." Ia tertawa, dan kedengarannya seperti menertawakan diri sendiri. "Cara
yang lebih halus," imbuhnya. "Sebenarnya aku
berniat menyusun kata-katanya dulu tapi" - ia memandang awan-awan, yang semakin
meredup seiring berlalunya sore - "aku tidak punya waktu lagi untuk
menyusunnya." Jacob tertawa lagi, gugup. Kami masih berjalan mondar-mandir dengan langkah
pelan. "Kau bicara apa sih," desakku.
Jacob menghela napas dalam-dalam. "aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Sebenarnya kau sudah tahu... tapi kupikir sebaiknya aku mengutarakannya secara
terbuka. Sehingga tidak ada lagi keraguan dalam hal ini."
Aku menjejakkan kakiku ke tanah, dan Jacob berhenti melangkah. Aku melepaskan
tanganku dari gandengannya, lalu bersedekap. Mendadak aku yakin tidak ingin
mengetahui pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.
Alis Jacob berkerut, matanya yang menjorok masuk bagai dinaungi bayangan. Bola
matanya hitam pekat saat ia menatapku dengan pandangan tajam menusuk.
"Aku mencintaimu, Bella," kata Jacob dengan nada mantap dan yakin. "Bella, aku
mencintaimu. Dan aku ingin kau memilihku, bukan dia. Aku tahu kau tidak merasa
seperti itu, tapi aku harus menyatakan ini padamu supaya kau tahu kau punya
pilihan. Aku tidak mau ada salah komunikasi di antara kita."
15. TARUHAN KUPANDANGI Jacob berlama-lama, tak mampu mengatakan apa-apa.
Aku tidak tahu harus bilang apa. Sementara Jacob menatap ekspresi terperangahku,
keseriusan lenyap dari wajahnya.
"Oke." ujarnya, nyengir.'Hanya itu."
"Jake - " Rasanya ada sesuatu yang besar menyangkut di tenggorokanku. Aku
berusaha menyingkirkannya."Aku tidak bisa,maksudku aku tidak... aku harus
pulang." Aku berbalik, tapi Jacob menyambar bahuku dan memutar tubuhku.
"Jangan,tunggu. Aku tahu itu, Bella. Tapi, dengar, jawablah pertanyaanku, oke"
Apakah kau mau aku pergi dan tidak pernah bertemu lagi denganmu" Jujurlah."
Sulit berkonsentrasi, jadi butuh satu menit untuk menjawabnya. "Tidak, bukan itu
yang kuinginkan." akhirnya aku mengakui.
Lagi-lagi Jacob nyengir. "Begitu."
"Tapi aku menginginkanmu bukan karena alasan yang sama dengan kenapa kau
menginginkanku," sergahku.
"Kalau begitu, jelaskan kenapa persisnya kau menginginkanku."
Aku berpikir dengan saksama. "Aku merasa kehilangan kalau kau tidak ada. Kalau
kau bahagia," aku menjelaskan hati-hati. "itu membuatku bahagia. Tapi itu juga
berlaku bagi Charlie, Jacob. Kau keluargaku. Aku sayang padamu, tapi aku tidak
mencintaimu." Jacob mengangguk, tidak merasa terganggu sama sekali.
"Tapi kau tetap menginginkanku di dekatmu."
"Ya," Aku mendesah. Penjelasanku tidak membuat Jacob surut langkah.
"Kalau begitu aku akan tetap di dekatmu."
"Kau memang senang menyiksa diri sendiri." gerutuku.
"Yep," Jacob membelai-belai pipi kananku dengan ujung jemarinya.
Kutepis tangannya jauh-jauh. "Menurutmu, bisa tidak kau bersikap sedikit lebih
baik, paling tidak?" tanyaku, kesal.
"Tidak, tidak bisa. Putuskan sendiri, Bella. Kau bisa memilikku apa adanya,
termasuk sikapku yang menjengkelkan atau tidak sama sekali."
Kupandangi dia, frustrasi. "Itu kejam."
"Kau juga kejam."
Perkataannya itu membuat langkahku terhenti, dan tanpa sengaja aku mundur
selangkah. Jacob benar. Kalau aku tidak kejam, sekaligus serakah, aku akan
mengatakan padanya aku tidak mau berteman dengannya dan menyuruhnya pergi jauhjauh. Bukan tindakan yang tepat berusaha mempertahankan temanku padahal itu
justru akan melukai hatinya. Entah apa yang kulakukan di sini, tapi tiba-tiba
saja aku yakin itu bukan tindakan yang tepat.
"Kau benar," bisikku.
Jacob tertawa. "Aku memaafkanmu kok. Tapi usahakan agar kau tidak terlalu marah
padaku. Karena baru-baru ini aku memutuskan aku tidak akan menyerah. Sesuatu
yang sulit didapat itu justru sangat menarik untuk ditaklukkan."
"Jacob." Kutatap matanya yang gelap, berusaha membuatnya menganggapku serius.
"Aku mencintainya, Jacob. Dia seluruh hidupku."
"Kau juga cinta padaku," Jacob mengingatkan aku. Ia mengangkat tangan waktu aku
membuka mulut hendak memprotes. "Tidak seperti kau mencintainya, aku tahu. Tapi
dia juga bukan seluruh hidupmu. Tidak lagi. Mungkin dulu begitu, tapi dia pergi.
Dan sekarang dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan itu - aku."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Kau benar-benar nekat."
Tiba-tiba Jacob berubah serius. Ia meraih daguku dan memeganginya kuat-kuat
sehingga aku tak bisa memalingkan wajah dari tatapan matanya yang tajam.
"Sampai jantungmu berhenti berdetak, Bella." katanya. "Aku akan terus berada di
sini, berjuang. Jangan lupa bahwa kau punya pilihan."
"Aku tidak ingin punya pilihan," tukasku, berusaha menyentakkan daguku tapi siasia. "Dan detak jantungku sudah tinggal menghitung hari, Jacob. Waktunya sudah
hampir habis." Mata Jacob menyipit. "Berarti semakin kuat alasanku untuk berjuang - berjuang
lebih keras lagi sekarang, mumpung aku masih bisa," bisiknya.
"T...," aku hendak protes, tapi terlambat.
Bibirnya melumat bibirku, menghentikan protesku. ia menciumku dengan marah,
kasar, satu tangan mencengkeram kuat-kuat tengkukku, membuatku tak bisa
melepaskan diri. Sekuat tenaga kudorong dadanya, tapi Jacob sepertinya bahkan
tidak menyadarinya. Meski ia sedang marah bibirnya tetap terasa lembut, hangat,
dan asing di bibirku. Aku berusaha mendorongnya jauh-jauh, tapi lagi-lagi gagal. Tapi sepertinya kali
ini ia menyadarinya, dan itu membuatnya semakin bersemangat. Bibirnya memaksa
bibirku membuka, dan bisa kurasakan embusan napasnya yang panas di dalam
mulutku. Atas dasar naluri, kubiarkan kedua tanganku terkulai dan berhenti bereaksi.
Kubuka mata dan tidak melawan, tidak merasa... hanya menunggunya berhenti.
Berhasil. Amarah Jacob sepertinya menguap, dan ia menarik bibirnya untuk
menatapku. Ia menempelkan lagi bibirnya dengan lembut ke bibirku, satu kali, dua
kali... tiga kali. Aku berlagak seperti patung dan menunggu.
Akhirnya Jacob melepaskan wajahku dan
mencondongkan tubuhnya ke belakang.
"Sudah selesai?" tanyaku, suaraku tanpa ekspresi.
"Sudah," desahnya. Senyumnya terkuak, matanya terpejam.
Kutarik lenganku ke belakang, kemudian mengayunkannya ke depan, meninju mulut
Jacob dengan sekuat tenaga.
Terdengar suara berderak.
"Aduh! ADUH!" jeritku, melompat-lompat kesakitan sambil mendekap tinjuku di
dada. Tulangku patah, aku bisa merasakannya.
Jacob memandangiku dengan syok. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak, brengsek! Kau membuat tulangku patah!'
"Bella, kau sendiri yang membuat tulangmu patah. Sekarang, berhenti menandaknandak dan biar kuperiksa."
"Jangan sentuh aku! Aku mau pulang sekarang juga!"
"Kuambil mobilku dulu," kata Jacob kalem. Ia bahkan tidak mengusap-usap dagu
seperti di film-film. Menyedihkan. "Tidak, trims." desisku. "Lebih baik aku jalan kaki saja."Aku berbalik menuju
jalan. Hanya beberapa kilometer ke perbatasan. Begitu aku menjauh dari Jacob,
Alice pasti akan melihatku. Ia akan mengirim seseorang untuk menjemputku.
"Setidaknya izinkan aku mengantarmu pulang," desak Jacob. Sungguh tak bisa
dipercaya, berani benar ia memeluk pinggangku.
Dengan marah aku menyentakkan diri darinya.
"Baiklah!" geramku. "Lakukan saja! Aku tak sabar ingin melihat apa yang akan
dilakukan Edward padamu! Mudah-mudahan saja dia mematahkan lehermu, dasar ANJING
tolol tukang paksa menyebalkan!"
Jacob memutar bola matanya. Ia mengantarku ke kursi penumpang dan membantuku
naik. Ketika naik ke balik kemudi, ia bersiul-siul.
"Memangnya kau tidak kesakitan sama sekali?" tanyaku, marah dan kesal.
"Bercanda, ya" Kalau saja kau tadi tidak menjerit, aku mungkin tidak bakal tahu
kau berusaha meninjuku. Aku memang tidak terbuat dari batu, tapi aku juga tidak
selembek itu." "Aku benci padamu, Jacob Black."
"Itu bagus. Benci adalah emosi yang menggelora."
"Soal emosi sih gampang," gerutuku pelan.
"Pembunuhan, kejahatan emosional terburuk."
"Oh, ayolah,"sergah Jacob, sikapnya tetap riang dan kelihatannya ia bahkan akan
mulai bersiul-siul lagi. "Itu tadi pasti lebih asyik daripada berciuman dengan
batu."

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangankan lebih, mendekati saja tidak," tukasku dingin.
Jacob mengerucutkan bibir. "Ah, kau hanya mengada-ada."
"Aku tidak mengada-ada."
Sepertinya perkataanku bahkan tidak membuatnya terusik sedikit pun, tapi sejurus
kemudian wajah Jacob berubah cerah. "Itu karena kau marah. Aku memang tidak
berpengalaman dalam urusan ini, tapi kurasa tadi itu sudah sangat luar biasa."
"Ugh," erangku.
"Kau akan memikirkannya malam ini. Saat dia mengira kau sudah tidur, kau akan
memikirkan pilihan-pilihan yang kau miliki."
"Kalau aku memikirkanmu malam ini, itu karena aku bermimpi buruk."
Jacob memperlambat laju mobilnya hingga merayap, memalingkan wajah kepadaku
dengan mata gelapnya yang membelalak lebar dan bersungguh-sungguh "Coba
pikirkan, Bella." desaknya, suaranya lembut dan bernada penuh semangat. "Kau
tidak perlu mengubah apa-apa untukku. Kau tahu Charlie pasti senang kalau kau
memilihku. Aku bisa melindungimu sama baiknya dengan vampirmu, mungkin bahkan
lebih baik. Dan aku akan membuatmu bahagia, Bella. Ada begitu banyak yang bisa
kuberikan padamu yang tidak bisa dia berikan. Aku berani bertaruh dia bahkan tak
bisa menciummu seperti tadi, karena dia takut melukaimu. Aku tidak akan pernah,
tidak akan pernah menyakitimu, Bella."
Kuacungkan tanganku yang cedera.
Jacob mendesah. "Itu bukan salahku. Seharusnya kau tahu itu sebelum memukulku."
"Jacob, tidak mungkin aku bisa bahagia tanpa dia."
"Kau belum pernah mencobanya," sanggah Jacob.
"Waktu dia pergi dulu, kau menghabiskan seluruh energimu untuk memikirkannya
terus. Kau bisa bahagia kalau saja mau melepasnya. Kau bisa bahagia bersamaku."
"Aku tidak ingin bahagia bersama orang lain kecuali dia," aku bersikeras.
"Kau tidak akan pernah bisa merasa yakin pada dirinya, seperti kau bisa yakin
pada diriku. Dia pernah meninggalkanmu dulu, jadi dia bisa melakukannya lagi."
"Tidak.. itu tidak benar," sergahku dari sela-sela rahang yang terkatup rapat.
Pedihnya kenangan itu menyayat hatiku seperti cambuk. Membuatku ingin balas
menyakiti Jacob. "Kau dulu juga pernah meninggalkanku." aku mengingatkannya dengan nada dingin,
ingatanku melayang ke minggu-minggu saat Jacob bersembunyi dariku, kata-kata
yang diucapkannya di hutan di samping rumahnya... "Itu tidak benar," bantah
Jacob. "Kata mereka, aku tidak boleh memberitahumu, bahwa tidak aman bagimu
kalau kita bersama. Tapi aku tidak pernah meninggalkanmu, tidak pernah! Aku dulu
selalu berlari mengitari rumahmu
pada malam hari - seperti yang kulakukan sekarang. Hanya untuk memastikan kau
baik-baik saja." Aku takkan membiarkan Jacob membuatku merasa kasihan padanya sekarang.
"Antar aku pulang. Tanganku sakit."
Jacob mendesah, dan mulai memacu mobilnya dalam kecepatan normal, memandangi
jalan. "Pikirkanlah dulu, Bella."
"Tidak," tolakku keras kepala.
"Kau akan memikirkannya. Malam ini. Dan aku akan memikirkanmu sementara kau
memikirkanku." "Seperti kataku tadi, mimpi buruk." Jacob nyengir. "Kau membalas ciumanku."
Aku terkesiap, tanpa berpikir mengepalkan tinjuku lagi, mendesis ketika tanganku
yang patah bereaksi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Tidak." "Kurasa aku bisa membedakannya."
"Jelas tidak bisa, itu tadi bukan membalas ciumanmu, tapi berusaha supaya kau
berhenti menciumku, dasar idiot."
Jacob tertawa,tawanya rendah dan serak.
"Mengharukan. Hampir terlalu defensif, menurutku."
Aku menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya berdebat dengannya; dia hanya
akan memutarbalikkan semua ucapanku. Aku berkonsentrasi pada tanganku, berusaha
meregangkan jari-jariku, memastikan bagian mana yang patah. Rasa sakit menusuk
buku-buku jariku. Aku mengerang.
"Aku benar-benar minta maaf soal tanganmu," kata Jacob, kedengarannya nyaris
tulus. "Lain kali kalau mau memukulku, pakai tongkat bisbol atau linggis saja,
oke." "Jangan kira aku akan melupakannya," gerutuku.
Aku tidak sadar kami mengarah ke mana sampai kami berada di jalan menuju
rumahku. "Mengapa kau membawaku ke sini?" tuntutku.
Jacob menatapku hampa. "Lho, katamu tadi kau mau pulang."
"Ugh. Kurasa kau tidak bisa mengantarku ke rumah Edward, ya?" Aku mengertakkan
gigi dengan gemas. Kepedihan membuat wajahnya terpilin, dan bisa kulihat perkataanku tadi
menohoknya lebih daripada apa pun yang pernah kukatakan.
"Ini rumahmu, Bella." ujarnya pelan.
"Memang, tapi memangnya ada dokter yang tinggal di sini!" tanyaku mengacungkan
tanganku lagi. "Oh," Jacob berpikir sebentar. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit. Atau
Charlie bisa mengantarmu?"
"Aku tidak mau ke rumah sakit. Memalukan dan tidak perlu."
Jacob membiarkan mesin Rabbit tetap menyala sesampainya di depan rumah,
menimbang-nimbang dengan ekspresi tidak yakin. Mobil patroli Charlie terparkir
di halaman garasi. Aku mendesah. "Pulanglah, Jacob."
Aku turun dari mobil dengan canggung, berjalan menuju rumah. Mesin mobil di
belakangku dimatikan, dan aku jengkel sekali mendapati Jacob lagi-lagi berada di
sebelahku. "Apa yang akan kaulakukan?" tanyanya.
"Aku akan mengompres tanganku dengan es batu, kemudian menelepon Edward dan
memintanya datang untuk mengantarku ke Carlisle supaya dia bisa mengobati
tanganku. Lalu, kalau kau masih di sini, aku akan pergi mencari linggis."
Jacob diam saja. Ia membukakan pintu depan dan memeganginya untukku.
Kami berjalan sambil berdiam diri melewati ruang depan tempat Charlie berbaring
di sofa. "Hai, anak-anak." sapanya, duduk sambil
mencondongkan tubuh. "Senang melihatmu di sini, Jake."
"Hai, Charlie." sahut Jacob dengan nada biasa-biasa saja, berhenti sebentar. Aku
terus melangkah marah ke dapur.
"Kenapa dia?" tanya Charlie.
"Dia merasa tangannya patah," aku mendengar Jacob menjelaskan kepada Charlie.
Aku langsung menuju kulkas dan mengeluarkan wadah es batu.
"Kok bisa?" Sebagai ayah, menurutku seharusnya Charlie lebih menunjukkan sikap
prihatin ketimbang geli. Jacob tertawa. "Dia memukulku tadi."
Charlie ikut-ikutan tertawa. Aku cemberut sambil menghantamkan wadah es batu ke
pinggir bak cuci. Es batu berjatuhan nyaring ke bak cuci, dan aku meraup
segenggam dengan tanganku yang sehat dan membungkusnya dengan lap piring yang
kuambil dari konter. "Kenapa dia memukulmu?"
"Karena aku menciumnya," jawab Jacob, sama sekali tidak malu.
"Hebat juga kau, Nak." Charlie malah menyelamati dia.
Aku mengertakkan gigi dan meraih telepon. Kuhubungi nomor ponsel Edward.
"Bella?" Edward langsung menjawab pada deringan pertama. Kedengarannya ia lebih
dari lega, ia girang sekali.
Terdengar olehku derum Volvo di latar belakang; ia sudah di mobil, baguslah
kalau begitu. "Ponselmu ketinggalan... Maaf Jacob mengantarmu pulang?"
"Ya," gerutuku. "Bisakah kau datang dan menjemputku, please?"
"Aku segera datang," ujarnya langsung. "Ada apa?"
"Aku ingin Carlisle memeriksa tanganku. Kurasa ada yang patah."
Suasana di ruang depan kini sunyi senyap, dan aku bertanya-tanya dalam hati,
kapan Jacob bakal kabur. Aku menyunggingkan senyum muram membayangkan
kegelisahannya. "Apa yang terjadi?" tuntut Edward, suaranya berubah datar.
"Aku meninju Jacob," aku mengakui.
"Bagus," ucap Edward muram. "Walaupun, aku prihatin kau cedera."
Aku langsung tertawa, karena Edward terdengar sama senangnya seperti Charlie
tadi. "Kalau saja aku bisa melukai dia." Aku mendesah frustrasi. "Dia bahkan tidak
merasa sakit sama sekali."
"Bisa kuatur," Edward menawarkan diri.
"Aku memang sudah berharap kau akan berkata begitu."
Edward terdiam sejenak. "Aneh sekali kaubilang begitu," katanya mulai merasa
khawatir. "Memangnya apa yang dia
lakukan?" "Dia menciumku," geramku.
Yang terdengar di ujung sana hanya suara mesin meraung semakin cepat.
Di ruang sebelah Charlie bicara lagi. "Mungkin sebaiknya kau pergi, Jake," ia
menyarankan. "Kurasa aku akan tetap di sini, kalau Anda tidak keberatan."
"Tanggung sendiri akibatnya," gerutu Charlie.
"Anjing itu masih di sana?" Edward akhirnya kembali bersuara.
"Masih." "Sebentar lagi aku sampai," katanya galak, dan telepon pun terputus.
Saat aku meletakkan gagang telepon, tersenyum, kudengar suara mobil Edward
ngebut melintasi jalan. Rem diinjak keras-keras agar mobil berhenti tepat di
depan rumah. Aku beranjak membukakan pintu.
"Bagaimana tanganmu?" tanya Charlie waktu aku lewat, ia tampak jengah. Jacob
nongkrong di sebelahnya di sofa, terlihat sangat santai.
Kusingkirkan bungkusan es batu dari tanganku untuk menunjukkan kondisinya.
"Bengkak." "Mungkin sebaiknya kau menyerang orang yang seukuran denganmu," Charlie
mengusulkan. "Mungkin." sahutku sependapat. Aku berjalan terus untuk membukakan pintu.
Edward sudah menunggu. "Biar kulihat." gumamnya.
Edward memeriksa tanganku dengan lembut sangat berhati-hati hingga aku tidak
merasa sakit sama sekali. Kedua tangannya hampir sama dinginnya dengan es, dan
terasa menyejukkan di kulitku.
"Kurasa dugaanmu benar soal tangan yang patah," katanya. "Aku bangga padamu. Kau
pasti mengerahkan segenap tenagamu untuk melakukannya."
"Sebanyak yang kumiliki." Aku mendesah. "Meskipun masih kurang, ternyata."
Edward mengecup tanganku lembut."Aku akan merawatnya," janjinya. Kemudian ia
berseru, "Jacob," suaranya tetap tenang dan datar.
"Sudah, sudah," Charlie mengingatkan.
Aku mendengar Charlie bangkit dari sofa. Jacob lebih dulu sampai di ujung
koridor, langkahnya juga nyaris tak terdengar, tapi Charlie menyusul tak jauh di
belakangnya. Ekspresi Jacob waspada dan bersemangat.
"Aku tidak mau ada perkelahian, mengerti?" Charlie hanya memandangi Edward saat
bicara. "Kalau perlu, aku bisa memakai lencanaku."
"Itu tidak perlu," kata Edward dengan nada kaku.
"Kenapa kau tidak menangkapku saja, Dad?" aku mengusulkan. "Kan aku yang
melakukan pemukulan."
Charlie mengangkat alis. "Kau mau mengajukan tuntutan, Jake?"
"Tidak," Jacob nyengir. "Aku rela kok ditinju asal bisa menciumnya."
Edward meringis. "Dad, Dad menyimpan pemukul bisbol kan di kamar" Aku ingin meminjamnya
sebentar." Charlie menatapku tajam. "Cukup, Bella."
"Ayo kita pergi supaya Carlisle bisa memeriksa tanganmu sebelum kau telanjur
masuk penjara," kata Edward, ia merangkul bahuku dan menarikku ke pintu.
"Baiklah," sahutku, bersandar padanya. Aku sudah tidak terlalu marah lagi.
karena sekarang aku sudah bersama Edward. Aku merasa terhibur, dan tanganku
tidak begitu sakit lagi. Kami sedang berjalan menyusuri trotoar waktu kudengar Charlie berbisik dengan
nada cemas di belakangku.
"Apa-apaan kau!" Sudah gila, ya?"
"Sebentar saja, Charlie," sahut Jacob."Jangan khawatir, sebentar lagi aku
kembali." Aku menoleh dan kulihat Jacob mengikuti kami, berhenti sebentar untuk menutup
pintu di depan wajah Charlie yang kaget dan resah.
Awalnya Edward tidak menggubris Jacob, ia terus menuntunku ke mobilnya. Ia
membantuku naik menutup pintu,kemudian berbalik menghadap Jacob di trotoar.
Aku mencondongkan badan dengan cemas lewat jendela yang terbuka. Aku bisa
melihat Charlie di dalam rumah, mengintip dari sela-sela tirai ruang depan.
Pembawaan Jacob biasa-biasa saja, kedua lengannya terlipat di dada, tapi otototot dagunya mengeras. Edward berbicara dengan suara sangat tenang dan lembut, tapi itu malah membuat
kata-katanya terdengar lebih mengancam. "Aku tidak akan membunuhmu sekarang,
karena itu akan membuat Bella sedih."
"Hahhh," gerutuku.
Edward berpaling sedikit untuk melontarkan senyum sekilas. Wajahnya tetap
tenang. "Besok pagi kau pasti akan merasa bersalah," katanya, menyapukan jarijarinya ke pipiku. Lalu ia menoleh kembali pada Jacob. "Tapi kalau kau sampai membawanya pulang
lagi dalam keadaan cedera, dan aku tidak peduli siapa yang salah dalam hal ini,
aku tidak peduli apakah dia sekadar tersandung, atau meteor jatuh dari langit
dan menimpa kepalanya, kalau kau mengembalikan dia dalam keadaan kurang sempurna
daripada saat aku meninggalkannya padamu, kau akan berlari hanya dengan tiga
kaki. Kau mengerti itu, anjing!"
Jacob memutar bola matanya.
"Siapa yang mau kembali ke sana?" sergahku.
Edward meneruskan kata-katanya seakan-akan tidak mendengar perkataanku. "Dan
kalau kau berani menciumnya lagi, aku akan mematahkan rahangmu untuknya," janji
Edward, suaranya masih lembut dan halus laksana beledu, namun mematikan.
"Bagaimana kalau dia ingin aku menciumnya?" tantang Jacob, arogan.
"Hah?" dengusku.
"Kalau itu yang dia inginkan, aku tidak keberatan,"
Edward mengangkat bahu, tak terusik. "Mungkin sebaiknya kau menunggunya meminta,
bukan malah seenaknya mengartikan bahasa tubuhnya, tapi terserah saja, itu kan
wajahmu." Jacob nyengir. "Tak usah berharap," omelku.
"Memang dia berharap begitu," gumam Edward.
"Well, kalau kau sudah selesai mengorek-ngorek isi kepalaku," tukas Jacob
jengkel, "kenapa kau tidak langsung pergi untuk mengobati tangannya?"
"Satu hal lagi," ujar Edward lambat-lambat. "Aku akan berjuang sekuat tenaga
untuk mempertahankannya. Kau harus tahu itu. Aku tidak menganggap sepele apa pun
juga, dan aku akan berjuang dua kali lebih keras daripada yang bakal
kaulakukan." "Bagus," geram Jacob. "Tidak asyik mengalahkan orang yang sudah menyerah kalah."
"Dia milikku," Suara Edward yang rendah mendadak garang, tidak setenang
sebelumnya. "Aku tidak bilang aku akan berjuang secara adil."
"Aku juga tidak."
"Semoga beruntung."
Jacob mengangguk. "Ya, semoga laki-laki yang terbaik yang menang."
"Kedengarannya tepat sekali... guk."
Jacob meringis sekilas, kemudian ekspresinya kembali datar dan ia memiringkan
tubuhnya agar dapat tersenyum padaku. Aku balas memelototinya.
"Mudah-mudahan tanganmu sebentar lagi sembuh. Aku benar-benar menyesal kau
cedera." Dengan sikap kekanak-kanakan, aku membuang muka.
Aku tidak mendongak lagi saat Edward berjalan mengitari mobil dan naik ke sisi
pengemudi, jadi aku tidak tahu apakah Jacob masuk kembali ke rumah atau tetap
berdiri di sana, mengawasiku.
"Bagaimana rasanya?" tanya Edward waktu kami menjauh.
"Jengkel." Edward terkekeh. "Maksudku tanganmu."
Aku mengangkat bahu. "Aku sudah pernah mengalami yang lebih parah daripada ini."
"Benar," Edward sependapat, keningnya berkerut.
Edward membawa mobilnya mengitari rumah menuju garasi. Tampak Emmett dan Rosalie
di sana, kedua kaki Rosalie yang sempurna, yang bisa dikenali meskipun


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbungkus jins, keluar dari bawah Jeep Emmett yang besar. Emmett duduk di
sebelahnya, sebelah tangan terulur ke bawah Jeep ke arah Rosalie. Butuh waktu
beberapa saat untuk menyadari bahwa Emmett berfungsi sebagai dongkrak.
Emmett memperhatikan dengan sikap ingin tahu saat Edward membantuku turun dari
mobil dengan hati-hati. Matanya tertuju pada tangan yang kudekap di dada.
Emmett nyengir. "Jatuh lagi ya, Bella?"
Kutatap ia dengan galak. "Tidak, Emmett. Aku meninju werewolf."
Emmett mengerjapkan mata, kemudian tawanya meledak.
Saat Edward membimbingku melewati mereka, Rosalie berbicara dari bawah mobil.
"Jasper bakal menang taruhan," ucap Rosalie puas.
Tawa Emmett langsung terhenti, dan ia mengamatiku lagi dengan sorot mata
menilai. "Taruhan apa?" tuntutku, berhenti sejenak.
"Ayo kita segera memeriksakanmu ke Carlisle," desak Edward. Ditatapnya Emmett.
Kepalanya menggeleng nyaris tak kentara.
"Taruhan apa?" desakku sambil menoleh.
"Trims, Rosalie," gumam Edward sambil mempererat pelukannya dan menarikku ke
rumah. "Edward...." gerutuku.
"Itu kekanak-kanakan." tukas Edward sambil mengangkat bahu. "Emmett dan Jasper
senang bertaruh." "Emmett pasti mau memberitahuku," Aku berusaha berbalik, tapi lengan Edward
mencengkeram erat seperti besi di pinggangku.
Edward mendesah. "Mereka bertaruh berapa kali kau akan terpeleset pada tahun
pertama." "Oh." Aku meringis, berusaha menyembunyikan kengerian yang mendadak muncul waktu aku
menyadari maksudnya. "Mereka bertaruh berapa banyak orang yang akan kubunuh?"
"Ya," Edward mengakui dengan sikap enggan. "Menurut Rosalie, emosimu yang
meledak-ledak akan membuat Jasper menang taruhan."
Aku merasa sedikit gamang. "Jasper bertaruh aku akan membunuh banyak orang."
"Dia bakal lebih senang kalau kau kesulitan menyesuaikan diri. Dia sudah muak
selalu menjadi yang paling lemah."
"Tentu. Tentu saja itu akan membuatnya senang. Kurasa aku bisa saja melakukan
beberapa pembunuhan, kalau itu membuat Jasper senang. Kenapa tidak?" aku
mengoceh tidak keruan, suaraku monoton dan datar. Dalam benakku, aku seperti
melihat judul-judul berita di koran, daftar nama-nama...
Edward meremasku. "Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Faktanya, kau tidak perlu
mengkhawatirkannya sama sekali, kalau memang tidak mau."
Aku mengerang dan Edward, mengira tangankulah yang sakit, menarikku lebih cepat
ke rumah. Tanganku memang patah, tapi cederaku tidak terlalu serius,hanya sedikit retak di
salah satu buku jari. Aku tidak mau digips, dan kata Carlisle, aku boleh hanya
memakai penyangga asal berjanji memakainya terus. Aku berjanji.
Edward tahu pikiranku berkelana ke mana-mana saat Carlisle dengan hati-hati
memasangkan penyangga tanganku. beberapa kali ia menyuarakan kekhawatirannya
bahwa aku kesakitan, tapi kuyakinkan ia bukan itu penyebabnya.
Seakan-akan aku butuh,atau masih bisa, mengkhawatirkan hal lain.
Semua cerita Jasper tentang vampir-vampir yang baru diciptakan berkecamuk dalam
pikiranku sejak ia menjelaskan masa lalunya. Sekarang tiba-tiba kisah-kisah itu
muncul lagi akibat berita tentang pertaruhannya dengan
Emmett. Dalam hati aku penasaran apa yang mereka pertaruhkan. Hadiah apa yang
bisa memotivasi bila kau sudah memiliki segalanya"
Sejak dulu aku tahu aku bakal berbeda. Aku berharap mudah-mudahan aku bisa jadi
sekuat yang dikatakan Edward. Kuat, cepat, dan yang terpenting, cantik.
Seseorang yang bisa berdiri di sisi Edward dan merasa dirinya memang pantas
berada di sana. Aku berusaha untuk tidak terlalu banyak berpikir tentang hal-hal lain yang juga
akan terjadi nantinya. Liar. Haus darah. Mungkin aku takkan bisa berhenti
membunuh orang. Orang-orang yang tidak kukenal, yang tak pernah menyakitiku.
Orang-orang seperti para korban di Seattle yang jumlahnya semakin bertambah,
yang memiliki keluarga, teman-teman, dan masa depan. Orang-orang yang
memiliki kehidupan. Dan aku bisa menjadi monster yang merenggut semua itu dari
mereka. Namun sejujurnya. aku bisa mengatasi bagian itu,karena aku percaya kepada
Edward, percaya penuh kepadanya. bahwa ia tidak akan membiarkanku melakukan halhal yang bakal kusesali. Aku tahu ia pasti mau membawaku ke Antartika dan
berburu penguin kalau aku memintanya. Dan aku rela melakukan apa pun asal bisa
menjadi orang yang baik. Vampir yang baik. Pikiran itu pasti akan membuatku
terkikik.. seandainya aku tidak sedang mengkhawatirkan hal baru ini.
Karena, kalau entah bagaimana aku benar-benar seperti itu,seperti gambaran
mengerikan tentang vampir baru
sebagaimana digambarkan Jasper dalam benakku -mungkinkah aku bisa menjadi
diriku,Dan seandainya yang kuinginkan hanya membunuh orang, bagaimana jadinya
dengan hal-hal yang kuinginkan sekarang"
Edward sangat terobsesi agar aku tidak kehilangan satu pun pengalaman sebagai
manusia. Biasanya keinginannya itu terkesan konyol. Tidak banyak pengalaman
manusia yang kukhawatirkan bakal hilang. Selama aku bisa bersama Edward, apa
lagi yang kuinginkan"
Kupandangi wajahnya sementara ia mengawasi Carlisle mengobati tanganku. Tak ada
hal lain di dunia ini yang kuinginkan lebih daripada dia. Apakah itu, bisakah
itu, berubah" Adakah pengalaman manusia yang tidak ingin kulewatkan"
16. HARI YANG PENTING "AKU tidak punya baju!" aku mengeluh sendiri.
Setiap potong baju yang kumiliki bertebaran di tempat tidur; laci-laci dan
lemariku kosong. Kupandangi ruang-ruang kosong itu, berharap bakal muncul baju
bagus yang bisa kupakai. Rok khaki-ku tersampir di punggung kursi goyang, menungguku menemukan padanan
yang pas. Sesuatu yang akan membuatku terlihat cantik dan dewasa. Sesuatu yang
menyatakan acara istimewa. Tapi aku tidak menemukan apa-apa.
Sebentar lagi aku harus berangkat, tapi aku masih mengenakan sweter lusuh
favoritku. Kecuali aku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik di sini,dan
kemungkinannya sangat kecil,aku akan diwisuda dalam balutan sweter ini.
Kupelototi tumpukan baju di tempat tidur dengan wajah cemberut.
Yang paling membuatku jengkel, aku tahu persis apa yang akan kukenakan
seandainya baju itu ada, blus merahku yang hilang dicuri. Kutinju dinding dengan
tanganku yang sehat. "Dasar vampir maling tolol menjengkelkan!" geramku.
"Memangnya apa yang kulakukan?" tuntut Alice.
Alice bersandar santai di sebelah jendela yang terbuka, seolah-olah sudah sejak
tadi ia di sana. "Tok, tok," imbuhnya sambil nyengir.
"Susah ya, menungguku datang membukakan pintu?"
Alice melemparkan kotak putih pipih ke tempat tidur.
"Aku kebetulan lewat. Kupikir, mungkin kau butuh sesuatu untuk dikenakan."
Kutatap bungkusan besar yang teronggok di atas tumpukan pakaianku yang tidak
memuaskan, dan meringis. "Akuilah," tukas Alice. "Aku ini penyelamat." "Kau memang penyelamat," gumamku.
"Trims." "Well, senang juga sekali-sekali bisa melakukan sesuatu dengan benar. Kau tidak
tahu betapa menjengkelkannya masalah ini, kecolongan tidak bisa melihat hal-hal
yang seharusnya bisa kulihat. Aku merasa sangat tidak berguna, Sangat...
normal." Alice meringis merasakan betapa ngerinya kata itu.
"Tak terbayangkan betapa tidak enaknya itu. Menjadi normal" Ugh."
Alice tertawa. "Well, paling tidak ini bisa menggantikan bajumu yang hilang
dicuri maling menyebalkan itu, sekarang aku tinggal memikirkan apa yang tidak
bisa kulihat di Seattle."
Ketika Alice mengucapkan kata-kata itu, menyatukan dua situasi dalam satu
kalimat, saat itulah bola lampu bagai menyala di kepalaku. Sesuatu yang samar
yang berhari-hari mengganggu ketenanganku, benang merah yang tak kunjung bisa
kuketahui apa itu, tiba-tiba saja menjadi jelas. Kutatap Alice, wajahku membeku
dengan entah ekspresi apa yang tadi terlintas.
"Kau tidak mau membukanya?" tanya Alice. Ia mendesah waktu aku tidak segera
bergerak, lalu ia sendiri yang membuka tutup kotak itu. Lalu mengeluarkan
sesuatu dari dalamnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, tapi aku tidak bisa
mengumpulkan konsentrasiku. "Cantik, kan" Aku memilih warna biru, karena aku
tahu Edward paling sukamelihatmu memakai warna itu."
Aku tidak mendengarkan. "
Berarti sama," bisikku.
"Apanya yang sama?" tuntut Alice. "Kau tidak punya gaun seperti ini. Ya ampun,
kau kan hanya punya satu rok!"
"Bukan, Alice! Lupakan dulu soal gaun itu, dengarkan!"
"Kau tidak suka, ya?" Wajah Alice disaput perasaan kecewa.
"Dengar, Alice, masa kau tidak mengerti juga" Berarti sama! Orang yang membobol
masuk dan mencuri barangku, serta para vampir baru di Seattle sana. Mereka
bersama-sama!" Pakaian itu terjatuh dari sela-sela jari Alice, suaranya mendadak tajam. "Kenapa
kau mengira begitu?"
"Ingat apa yang dikatakan Edward. waktu itu" Mengenai seseorang yang
memanfaatkan lubang-lubang dalam penglihatanmu sehingga kau tak bisa melihat
para vampir baru itu" Kemudian ucapanmu sebelumnya, tentang pemilihan waktunya
yang sangat pas, betapa si pencuri sangat berhati-hati untuk tidak melakukan
kontak apa pun, seolah-olah dia tahu kau akan bisa melihatnya kalau dia
menyentuh sesuatu. Menurutku kau benar, Alice, kurasa dia memang tahu. Kurasa
dia memang sengaja memanfaatkan lubang-lubang itu. Dan seberapa besar
kemungkinan ada dua orang berbeda yang cukup banyak tahu mengenai dirimu
sehingga bukan hanya mereka bisa berbuat begitu, tapi juga memutuskan
melakukannya pada saat bersamaan. Tidak mungkin. Pelakunya pasti satu orang.
Orang yang menciptakan pasukan ini adalah orang yang
mencuri bauku." Alice tidak terbiasa dibuat kaget. Tubuhnya langsung membeku, dan ia tertegun
lama sekali sehingga aku mulai menghitung-hitung dalam kepalaku sambil menunggu.
Ia tidak bergerak dua menit penuh. Lalu matanya terfokus kembali padaku.
"Kau benar." katanya terperangah. "Tentu saja kau benar. Dan waktu kau
menjelaskannya seperti itu... "
"Ternyata dugaan Edward keliru," bisikku. "Ternyata ini ujian... untuk melihat
apakah ini berhasil. Bahwa dia bisa masuk dan keluar dengan aman selama dia
tidak melakukan hal-hal yang harus kauawasi. Seperti mencoba membunuhku,
misalnya.... Dan dia bukan mengambil barang-barangku untuk membuktikan dia sudah
menemukanku. Dia mencuri bauku... supaya yang lain-lain
bisa menemukan aku."
Mata Alice membelalak lebar karena syok. Aku benar, dan kentara sekali ia juga
tahu itu. "Oh, tidak," ujarnya tanpa suara.
Aku sudah tak lagi mengharapkan emosiku bereaksi secara masuk akal. Sementara
otakku mencerna fakta bahwa ada orang yang menciptakan sepasukan vampir pasukan yang dengan kejam sudah membunuh lusinan orang di Seattle - untuk tujuan
kilat menghancurkan aku, aku justru merasa sangat lega.
Sebagian karena akhirnya aku berhasil menemukan jawaban atas perasaan tak enak
yang terus mengusikku, bahwa ada hal penting yang luput dari perhatianku.
Tapi sebagian lagi justru berbeda sama sekali.
"Well," bisikku, "sekarang semua boleh merasa lega. Ternyata tidak ada yang
berniat menghabisi keluarga Cullen."
"Kalau kaukira hal yang satu itu sudah berubah, kau salah besar," sergah Alice
dari sela-sela rahangnya yang terkatup rapat. "Kalau ada orang yang mengincar
salah satu dari kita, mereka harus melewati kita dulu untuk bisa mencapai yang
satu itu." "Trims, Alice. Tapi setidaknya kita tahu apa yang sesungguhnya mereka incar. Itu
pasti bisa membantu."
"Mungkin." gumamnya. Ia mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamarku. Duk, duk
- pintu kamarku digedor-gedor.
Aku terlonjak. Alice sepertinya tidak menyadari.
"Belum siap juga, ya" Bisa-bisa kita terlambat!" protes Charlie, kedengarannya
gelisah. Seperti aku, Charlie juga kurang menyukai acara-acara resmi. Dalam kasusnya,
persoalannya adalah karena harus berpakaian rapi.
"Hampir. Sebentar lagi," jawabku parau. Charlie terdiam sejenak. "Kau menangis,
ya." "Tidak. Aku hanya gugup. Pergilah."
Kudengar langkah-langkah kaki Charlie yang berat menuruni tangga.
"Aku pergi dulu, ya," bisik Alice.
"Kenapa?" "Sebentar lagi Edward datang. Kalau dia mendengar tentang hal ini... "
"Pergi, pergi!" desakku langsung. Edward pasti bakalan langsung panik kalau
tahu. Aku takkan bisa menyembunyikan masalah ini terlalu lama darinya, tapi
mungkin upacara kelulusan bukan saat yang tepat untuk reaksinya.
"Pakailah," perintah Alice sambil bergegas keluar jendela.
Aku melaksanakan perintahnya, berpakaian dengan sikap linglung.
Awalnya aku berencana menata rambutku dengan tatanan indah, tapi karena sudah
tak sempat lagi, aku membiarkannya tergerai membosankan seperti biasa. Sudahlah,
tidak apa-apa. Aku tak sempat lagi mematut diri di cermin. jadi tidak tahu
bagaimana penampilanku mengenakan sweter dan rok pemberian Alice. Aku
menyampirkan toga polyester kuning jelek di lenganku dan
bergegas menuruni tangga.
"Kau cantik." puji Charlie, belum-belum suaranya sudah tersendat menahan haru.
"Baju baru, ya?"
"Yeah," gumamku, berusaha berkonsentrasi.
"Pemberian Alice. Trims."
Edward datang hanya beberapa menit setelah Alice pergi, Tak cukup waktu untuk
memasang ekspresi tenang di wajahku. Tapi berhubung kami akan naik mobil patroli
bersama Charlie, ia tidak sempat bertanya ada masalah apa.
Minggu lalu Charlie ngotot begitu tahu aku bermaksud pergi dengan Edward ke
acara wisuda. Dan aku mengerti maksudnya,orang tua seharusnya mendapat hak utama
untuk datang ke acara wisuda. Aku mengalah dengan lapang dada, dan Edward dengan
riang menyarankan kami pergi bersama. Berhubung Carlisle dan Esme tidak
keberatan. Charlie tak bisa menemukan alasan kuat untuk menolak; dengan berat
hati ia terpaksa setuju. Dan sekarang Edward duduk di jok belakang mobil polisi
ayahku, di balik pemisah yang terbuat dari fiberglass, dengan ekspresi geli
-mungkin karena ayahku juga menunjukkan ekspresi geli, disertai cengiran lebar
setiap kali matanya diam-diam melirik Edward di kaca spion. Yang hampir pasti
berarti Charlie membayangkan hal-hal yang akan membuatnya bertengkar denganku
kalau ia menyuarakan pikirannya.
"Kau baik-baik saja?" bisik Edward waktu ia membantuku turun dari jok depan di
lapangan parkir sekolah. "Gugup," jawabku, dan itu benar.
"Kau cantik sekali," pujinya.
Sepertinya Edward ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi Charlie, kentara
sekali dari sikapnya, menyelinap di antara kami dan merangkul bahuku.
"Kau senang?" tanyanya.
"Tidak juga," aku mengakui.
"Bella, ini hari besar. Kau lulus SMA. Sekarang kau masuk ke dunia sesungguhnya.
Kuliah. Hidup mandiri... Kau bukan gadis kecilku lagi," Charlie tersendat di
akhir kalimat. "Dad," erangku. "Kumohon, jangan cengeng."
"Siapa yang cengeng?" geram Charlie. "Nah, kenapa kau tidak senang?"
"Aku tidak tahu, Dad. Mungkin belum terasa atau bagaimana."
"Bagus juga Alice menyelenggarakan pesta. Kau membutuhkan sesuatu yang bisa
membuatmu gembira." "Tentu. Aku memang butuh pesta."
Charlie tertawa mendengar nadaku dan meremas bahuku. Edward mendongak ke awanawan, wajahnya seperti berpikir.
Ayahku harus meninggalkan kami di pintu belakang gimnasium dan mengitari gedung
menuju pintu masuk utama bersama para orangtua lain.
Suasana hiruk-pikuk saat Mr. Cope dari Bagian Tata Usaha dan Mr. Vamer, guru
Matematika, berusaha mengatur semua orang berbaris secara alfabetis.
"Kau ke depan, Mr, Cullen," bentak Mr. Vamer kepada Edward.
"Hai, Bella!" Aku mendongak dan melihat Jessica Stanley melambai padaku dari bagian belakang
barisan dengan senyum lebar menghiasi wajah.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edward menciumku sekilas, mendesah, dan bergabung dengan murid-murid lain yang
nama keluarganya juga berawalan dengan huruf C. Alice tidak ada. Apa yang akan
dia lakukan" Membolos dari acara wisuda" Sungguh bukan saat yang tepat bagiku
untuk melontarkan dugaan tadi. Seharusnya aku menunggu sampai acara ini selesai.
"Sini, Bella!" Jessica memanggilku lagi.
Aku berjalan menyusuri barisan untuk berdiri di belakang Jessica, dalam hati
agak heran kenapa ia tiba-tiba begitu ramah. Ketika aku sudah semakin dekat,
kulihat Angela berdiri lima baris lebih ke belakang, mengamati
Jessica dengan keingintahuan yang sama.
Jess sudah mengoceh sebelum aku bisa mendengar suaranya.
"..sungguh luar biasa. Maksudku, kayaknya kita baru saja bertemu, tapi tahu-tahu
sekarang kita sama-sama diwisuda," celotehnya. "Percaya nggak kalau ini sudah
berakhir" Rasanya aku kepingin menjerit!" "Aku juga," gumamku.
"Ini benar-benar luar biasa. Ingatkah kau waktu kau pertama kali datang ke sini"
Waktu itu kita langsung akrab. Pokoknya sejak pertama kali bertemu. Luar biasa.
Dan sekarang aku akan ke Califomia dan kau ke Alaska. Wah, aku pasti kangen
sekali padamu! Janji ya, kita harus kumpul-kumpul lagi kapan-kapan! Aku senang
sekali kau akan bikin pesta. Sempurna. Karena. kita sudah lama nggak kumpulkumpul.Sementara sebentar lagi kita akan berpisah.. "
Jessica mengoceh terus, dan aku yakin sikapnya yang tiba-tiba ramah pasti
dikarenakan nostalgia kelulusan dan perasaan gembira karena diundang ke pesta,
padahal aku sama sekali tidak punya andil dalam hal itu. Aku berusaha keras
menyimak celotehannya sambil mengenakan toga. Dan ternyata aku senang karena
hubunganku dengan Jessica bisa berakhir dengan baik.
Karena ini adalah akhir, tak peduli apa pun yang dikatakan Eric, si lulusan
terbaik, dalam kata sambutannya, yang mengatakan bahwa "commencement" selain
memiliki arti secara penyerahan ijazah kepada para lulusan, juga berarti "awal"
dan segala macam omong kosong lainnya.
Acara berjalan sangat cepat. Aku merasa seperti menekan tombol fast forward.
Memangnya kita harus berjalan secepat itu" Kemudian Eric berpidato dengan sangat
cepat saking gugupnya, kata-kata dan kalimat berkejaran hingga pidatonya tak
bisa dimengerti lagi. Tahu-tahu Kepala Sekolah Greene sudah mulai memanggil
nama-nama para wisudawan, antara satu dengan yang lain tanpa diselingi jeda yang
cukup panjang; deretan depan gimnasium sampai terbirit-birit maju. Ms. Cope yang
malang sampai kewalahan memberikan ijazah yang benar
kepada Kepala Sekolah sesuai nama yang dipanggil.
Kulihat Alice, yang mendadak muncul, melenggang ke panggung untuk menerima
ijazahnya, ekspresi penuh konsentrasi terpatri di wajahnya. Edward menyusul di
belakang, ekspresinya bingung, tapi tidak kalut. Hanya mereka yang bisa
mengenakan toga kuning jelek ini dan tetap tampil menawan.
Keduanya tampak menonjol di tengah kerumunan, kerupawanan dan keanggunan mereka
seakan berasal dari dunia lain. Aku jadi heran sendiri bagaimana aku dulu bisa
mengira mereka manusia biasa. Sepasang malaikat, lengkap dengan sayap, justru
tidak akan terlihat mencolok.
Kudengar Mr. Greene memanggil namaku dan aku bangkit dari kursi, menunggu
barisan di depanku bergerak. Terdengar sorakan di bagian belakang gimnasium, aku
menoleh dan melihat Jacob menarik Charlie berdiri, keduanya bersorak-sorai
memberi semangat. Aku bahkan sempat melihat puncak kepala Billy di sebelah siku
Jake. Aku masih sempat menyunggingkan sesuatu yang menyerupai senyuman.
Mr. Greene selesai membacakan daftar nama, tapi terus menyodorkan ijazah dengan
senyum malu sementara kami lewat di depannya.
"Selamat, Miss Stanley." gumamnya saat Jess menerima ijazahnya.
"Selamat, Miss Swan." gumamnya. seraya menjejalkan ijazah ke tanganku yang
sehat. "Trims," gumamku.
Dan selesailah sudah. Aku berdiri di sebelah Jessica bersama para wisudawan lain. Sekeliling mata Jess
merah, dan ia berkali-kali menyeka wajahnya dengan lengan toga. Sedetik kemudian
baru aku paham ia menangis.
Mr. Greene mengatakan sesuatu yang tidak terdengar olehku, dan semua orang di
sekelilingku bersorak-sorai dan berteriak. Topi-topi kuning berjatuhan di
sekitarku. Kulepas juga topiku, terlambat, dan hanya membiarkannya jatuh ke
tanah. "Oh, Bella!" pekik Jess di tengah suara orang-orang mengobrol yang mendadak
terdengar. "Tidak percaya rasanya kita sudah tamat SMA."
"Aku tidak percaya semua sudah berakhir," gumamku.
Jessica memeluk leherku. "Janji ya, kita akan terus saling berhubungan."
Aku balas memeluknya, merasa sedikit canggung karena mengelak mengiyakan
permintaannya. "Aku sangat senang bisa mengenalmu, Jessica. Masa dua tahun yang
sungguh indah." "Ya, memang." desahnya, dan terisak. Kemudian ia melepas pelukannya. "Lauren!"
pekiknya, melambai-lambai di atas kepalanya dan berjalan menembus kerumunan toga
kuning. Para keluarga mulai membaur, membuat kami semakin terdesak.
Aku melihat Angela dan Ben, tapi mereka dikelilingi keluarga mereka. Nanti saja
aku menyelamati mereka. Aku menjulurkan leher panjang-panjang, mencari Alice.
"Selamat," bisik Edward di telingaku, kedua lengannya memeluk pinggangku.
Suaranya pelan; ia tidak ingin buru-buru melihatku sampai di titik penting ini.
"Eh, trims." "Kelihatannya kau masih gugup," Edward mengamati. "Memang masih."
"Apa lagi yang perlu dikhawatirkan" Pesta nanti malam" Tidak akan seburuk yang
kaukira." "Mungkin kau benar."
"Kau mencari siapa?"
Ketahuan juga ternyata. "Alice - di mana dia?" "Begitu mendapatkan ijazahnya,
dia langsung kabur."
Nada suaranya berubah. Aku mendongak dan melihat Edward memandang ke pintu
belakang gimnasium dengan ekspresi bingung. dan aku langsung mengambil keputusan
saat itu juga, keputusan yang semestinya harus kupikirkan baik-baik, tapi jarang
kulakukan. "Kau mengkhawatirkan Alice?" tanyaku. "Eh...," Edward tidak mau menjawab.
"Omong-omong, apa yang sedang dia pikirkan" Untuk mencegahmu membaca pikirannya,
maksudku." Mata Edward berkelebat ke wajahku, dan menyipit curiga. "Saat ini dia sedang
menerjemahkan Himne Perang Republik ke dalam bahasa Arab. Kalau sudah selesai
nanti, dia akan beralih ke bahasa sandi Korea."
Aku tertawa gugup. "Kurasa itu akan membuat otaknya cukup sibuk."
"Kau tahu apa yang dia sembunyikan dariku," tuduh Edward.
"Tentu saja," Aku menyunggingkan senyum lemah.
"Justru akulah yang menyebabkannya." Edward menunggu, bingung.
Aku memandang berkeliling. Charlie pasti sedang berusaha menembus kerumunan
untuk mencapai kami. "Aku tahu bagaimana Alice," aku buru-buru berbisik, "mungkin dia berusaha
menyembunyikan masalah ini darimu sampai setelah pesta nanti. Tapi karena aku
sendiri tidak keberatan pestanya dibatalkan, well, bagaimanapun, jangan langsung panik,
oke" Selalu lebih baik kalau kita tahu sebanyak mungkin yang bisa kita ketahui.
Itu pasti bisa membantu, entah bagaimana caranya."
"Apa sih yang kaubicarakan?"
Kulihat kepala Charlie di tengah lautan kepala lain saat ia mencariku. Lalu
tatapannya tertumbuk padaku dan ia melambaikan tangan.
"Pokoknya tetaplah tenang, oke?"
Edward mengangguk sekali, mulutnya terkatup membentuk garis yang muram.
Dalam bisikan terburu-buru aku menjelaskan pikiranku padanya. "Menurutku selama
ini kau salah bila mengira persoalan-persoalan yang kita hadapi berasal dari
beberapa pihak. Menurutku justru semuanya berasal dari satu pihak... dan kurasa
pelakunya sebenarnya mengincarku. Semua itu berhubungan, pasti. Hanya satu orang
yang mencoba bermain-main dengan visi Alice. Orang tak dikenal yang masuk ke
kamarku adalah ujian, untuk menguji apakah ada yang bisa menyelinap tanpa terlihat oleh pikiran Alice. Orang ini pastilah orang yang sama dengan yang selalu
berubah pikiran, dan yang menciptakan para vampir baru, dan yang mencuri bajubajuku,semuanya berhubungan. Bajuku diambil untuk mereka."
Wajah Edward berubah putih pias hingga aku sulit menyelesaikan penjelasanku.
"Tapi tidak ada yang mengincar kalian, kau mengerti, kan" Itu bagus - Esme,
Alice, dan Carlisle, berarti tidak ada yang berniat menyakiti mereka!"
Mata Edward membesar, membelalak panik, terpana, dan ngeri. Ia langsung tahu aku
benar, sama halnya dengan Alice.
Kuletakkan tanganku di pipinya. "Tenang," aku memohon.
"Bella!" seru Charlie, menerobos kerumunan keluarga-keluarga yang berjejal di
sekeliling kami. "Selamat, Sayang!" Dia masih saja berteriak, padahal sudah berada tepat di
samping telingaku. Dirangkulnya aku erat-erat, dengan licik menggeser Edward
saat melakukannya. "Trims," gumamku, pikiranku tertuju pada ekspresi Edward. Ia masih belum bisa
menguasai diri. Kedua tangannya separuh terulur ke arahku, seperti hendak
menyambar dan membawaku kabur. Aku sedikit lebih bisa menguasai diri ketimbang
dia, dan menurutku kabur rasanya tidak terlalu buruk.
"Jacob dan Billy harus buru-buru pulang, kau lihat tidak mereka datang tadi?"
Tanya Charlie, mundur selangkah, tapi kedua tangannya tetap memegang bahuku. Ia
berdiri memunggungi Edward, mungkin sengaja untuk membuatnya merasa tersisih,
namun saat ini hal itu bukan masalah. Mulut Edward menganga lebar, matanya masih
membelalak ketakutan. "Yeah," aku meyakinkan ayahku, berusaha tetap menyimak perkataannya. "Suara
mereka kedengaran kok."'
"Baik betul mereka sampai mau repot-repot datang," kata Charlie.
"He-eh." Oke, ternyata memberitahu Edward bukan ide bagus. Tindakan Alice mengaburkan
pikirannya benar. Seharusnya aku menunggu sampai kami sendirian di suatu tempat,
mungkin bersama anggota keluarganya yang lain. Dan tidak ada benda-benda yang
mudah pecah di sekitarnya - seperti jendela...mobil... bangunan sekolah. Wajah
Edward memunculkan kembali semua perasaan takutku, bahkan lebih. Walaupun
ekspresinya kini bukan lagi takut, tapi amarah meluap-luap yang mendadak. tampak
jelas di wajahnya. "Nah, sekarang kau mau makan malam di mana?" tanya Charlie. "Di mana saja boleh
lho." "Aku kan bisa masak."
"Jangan konyol. Bagaimana kalau kita makan di Lodge?" usul Charlie dengan senyum
bersemangat. Aku tidak begitu suka makan di restoran favorit Charlie, tapi saat ini apa
bedanya" Aku toh tidak bakal bisa makan.
"Baiklah, ke Lodge, keren." sahutku.
Senyum Charlie semakin lebar, kemudian ia mendesah. Ia menoleh sedikit ke arah
Edward, tanpa benar-benar menatapnya.
"Kau mau ikut juga, Edward?"
Kupandangi dia, mataku memohon. Edward mengubah ekspresinya tepat sebelum
Charlie menoleh untuk melihat kenapa Edward tidak. menjawab.
"Tidak, terima kasih," jawab Edward kaku, wajahnya keras dan dingin.
"Kau punya rencana lain bersama orangtuamu?" tanya Charlie, nadanya agak tidak
enak. Edward selalu lebih sopan meskipun Charlie sebenarnya tak pantas
menerimanya. Kini sikapnya yang mendadak ketus mengagetkan Charlie.
"Ya. Permisi..." Edward tiba-tiba berbalik dan menghambur menerobos kerumunan
yang mulai berkurang. Gerakannya agak terlalu cepat, terlalu kalut untuk mempertahankan pembawaannya
yang biasanya sempurna. "Aku salah omong, ya?" Tanya Charlie dengan ekspresi bersalah.
"Jangan khawatir, Dad," aku meyakinkan dia. "Kurasa bukan Dad penyebabnya."
"Kalian bertengkar lagi?"
"Tidak ada yang bertengkar. Urus saja urusan Dad sendiri."
"Kau memang urusanku."
Aku memutar bola mataku. "Ayo kita makan."
The Lodge sarat pengunjung. Tempat itu, menurut pendapatku, kemahalan dan norak,
tapi hanya itu satu-satunya tempat di kota yang paling mirip restoran resmi,
jadi selalu populer menjadi ajang berbagai acara. Dengan muram kupandangi
pajangan kepala rusa sementara Charlie melahap iga panggang dan mengobrol dengan
orangtua Tyler Crowley di meja sebelah. Suasananya berisik, semua yang datang ke
sana baru saja kembali dari acara kelulusan, dan sebagian besar mengobrol dengan
sesama pengunjung di seberang lorong atau meja sebelah seperti Charlie.
Aku duduk membelakangi jendela depan, berusaha melawan godaan untuk menoleh dan
mencari-cari sepasang mata yang bisa kurasakan tertuju padaku sekarang. Aku tahu
aku takkan melihat apa-apa. Sama pastinya dengan aku tahu ia tak mungkin
membiarkan aku sendirian tanpa diawasi, bahkan sedetik sekalipun. Tidak setelah
ini. Makan malam berjalan lambat. Charlie, yang sibuk bersosialisasi, makan terlalu
pelan. Kucuil-cuil burgerku, menjejalkan potongan demi potongan ke serbet saat
aku yakin Charlie sedang tidak melihat. Sepertinya waktu berjalan sangat lama,
tapi waktu aku melihat jam,yang kulakukan lebih sering daripada yang perlu
kulakukan, jarum jamnya ternyata belum bergerak terlalu jauh.
Akhirnya Charlie selesai mendapat kembalian dan meletakkan tip di meja. Aku
berdiri. "Buru-buru, ya?" tanyanya.
"Aku ingin membantu Alice mempersiapkan segala sesuatunya," jawabku.
"Oke." Charlie berpaling sebentar untuk berpamitan kepada semua orang. Aku
keluar dan menunggu di samping mobil polisi.
Aku bersandar di pintu depan, menunggu Charlie selesai berpamitan dengan temantemannya. Sudah hampir gelap di lapangan parkir, awan-awan sangat tebal, hingga
tidak ketahuan lagi apakah matahari sudah terbenam atau belum. Udara terasa
pengap. seperti hendak turun hujan. Sesuatu bergerak dalam keremangan bayangbayang. Seruan tertahanku berubah jadi embusan napas lega ketika kulihat Edward muncul
dari keremangan. Tanpa mengatakan apa-apa, ia mendekapku erat-erat di dadanya. Tangannya yang
dingin meraih daguku, lalu menengadahkan wajahku supaya ia bisa menempelkan
bibirnya yang keras ke bibirku. Bisa kurasakan ketegangan di dagunya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku begitu ia membiarkanku menarik napas.
"Tidak begitu baik," gumamnya. "Tapi aku harus bisa menguasai diri. Maaf kalau
aku tadi tidak bisa menahan emosi."
"Salahku. Seharusnya aku menunda memberitahumu."
"Tidak," sergah Edward. "Ini hal penting yang perlu kuketahui. Sulit dipercaya
aku justru tidak melihatnya!"
"Kau kan sedang banyak pikiran."
"Dan kau tidak?"
Tiba-tiba Edward menciumku lagi, tidak membiarkanku menjawab. Ia melepaskan diri
sedetik kemudian. "Sebentar lagi Charlie keluar."
"Aku akan memintanya mengantarku ke rumahmu."
"Aku akan mengikutimu ke sana."
"Itu tidak perlu," aku mencoba berkata, tapi Edward sudah keburu lenyap.
"Bella?" Charlie memanggil dari ambang pintu restoran, menyipitkan mata,
berusaha melihat dalam gelap. "Aku di sini."
Charlie melenggang ke mobil, menggerutu pelan, mengomeli ketidaksabaranku.
"Nah, apa yang kaurasakan sekarang?" tanya Charlie padaku saat mobil melaju di
jalan tol menuju utara. "Ini hari yang sangat bersejarah bagimu."
"Aku merasa baik-baik saja," dustaku.
Charlie tertawa, tahu aku bohong. "Khawatir soal pesta itu?" tebaknya.
"Yeah," dustaku lagi.
Kali ini Charlie percaya saja. "Kau memang tidak pernah suka pesta."
"Keturunan siapa, ya?" gumamku.
Charlie terkekeh. "Well, kau kelihatan sangat cantik. Seandainya saja terpikir
olehku untuk membelikanmu sesuatu. Maaf, ya."
"Jangan konyol, Dad "Itu tidak konyol. Aku merasa tidak selalu melakukan hal yang seharusnya
kulakukan untukmu." "Itu konyol. Dad hebat kok. Ayah terbaik di dunia. Dan..." Tak mudah berbicara
hati ke hati dengan Charlie, tapi akhirnya aku bisa juga, setelah lebih dulu
berdeham-deham. "Dan aku sangat senang pindah dan tinggal bersamamu, Dad. Itu
ide terbaik yang pernah terpikir olehku. Jadi jangan khawatir - Dad hanya sedang
mengalami pesimisme pascawisuda."
Charlie mendengus. "Mungkin. Tapi aku yakin pernah gagal di sana-sini beberapa
kali. Maksudku, lihat saja tanganmu!"
Aku menunduk, memandangi kedua tanganku dengan pandangan kosong. Tangan kiriku
disandang penyangga yang aku sendiri jarang menyadarinya. Buku jariku yang retak


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak begitu sakit lagi. "Tak pernah terpikir olehku untuk mengajarimu cara meninju orang. Tapi ternyata
aku salah." "Lho, kupikir Dad memihak Jacob?"
"Tak peduli aku memihak siapa, kalau ada yang menciummu tanpa izin, kau harus
bisa menegaskan perasaanmu tanpa mencederai dirimu sendiri. Kau pasti tidak
memasukkan ibu jari ke kepalan tangan, ya?"
"Tidak. Dad. Baik sekali Dad sampai berpikir begitu, walaupun itu pikiran aneh,
tapi kurasa, diajari pun percuma. Kepala Jacob benar-benar keras."
Charlie tertawa. "Lain kali, kalau mau meninju di perut."
"Lain kali?" tanyaku tidak percaya.
"Sudahlah, jangan terlalu keras padanya. Dia masih muda."
"Dia menjengkelkan."
"Dia tetap temanmu."
"Aku tahu," Aku mendesah. ''Aku tidak benar-benar tahu apa yang sebaiknya
kulakukan dalam hal ini, Dad."
Charlie mengangguk lambat-lambat. "Yeah. Tidak selamanya hal yang tepat itu bisa
diketahui dengan jelas. Terkadang hal yang tepat untuk seseorang justru tidak
tepat bagi orang lain. Jadi... silakan memikirkannya sendiri."
"Trims," gumamku garing.
Lagi-lagi Charlie tertawa, tapi sejurus kemudian keningnya berkerut. "Kalau
pesta ini jadi terlalu liar... " ia mulai mewanti-wanti.
"Jangan khawatir, Dad. Carlisle dan Esme ada di sana untuk mengawasi. Aku yakin
Dad juga boleh datang. kalau mau."
Charlie meringis sambil menyipitkan mata, berusaha melihat menembus kegelapan di
luar kaca depan. Charlie juga tidak suka pesta, sama seperti aku.
"Di mana ya belokannya?" tanya Charlie. "Seharusnya mereka memangkas pepohonan
dan semak di sekitar jalan masuk - mustahil menemukannya gelap-gelap begini."
"Sehabis tikungan berikutnya, kalau tidak salah." Aku mengerucutkan bibir. "Dad
benar - mustahil menemukannya. Kata Alice, dia sudah mencantumkan peta di
undangannya. Meski begitu, mungkin semua orang bakal tersesat." Aku sedikit
senang membayangkan hal itu.
"Mungkin," sahut Charlie saat jalan menikung ke timur. "Atau mungkin juga
tidak." Kegelapan yang hitam pekat mendadak sirna di depan, tepat di jalan masuk menuju
rumah keluarga Cullen. Seseorang melilitkan ribuan lampu kecil berkelap-kelip di
pepohonan di sisi kiri dan kanan jalan, jadi mustahil terlewatkan.
"Alice," ucapku masam.
"Wow," Charlie terkagum-kagum saat kami berbelok memasuki jalan masuk. Bukan
hanya dua pohon di ujung jalan yang dihiasi lampu. Setiap kira-kira dua puluh
meter, sebuah "mercusuar" menyala membimbing para tamu menuju rumah putih besar.
Sepanjang jalan - sejauh hampir lima kilometer.
"Kalau melakukan sesuatu Alice tidak setengah-setengah, ya?" gumam Charlie
takjub. "Yakin Dad tidak mau masuk?"
"Yakin sekali. Selamat bersenang-senang, Nak."
"Terima kasih banyak, Dad."
Charlie tertawa-tawa sendiri waktu aku turun dan menutup pintu. Aku mengawasinya
pergi sambil terus senyam-senyum. Sambil mendesah aku bergegas menaiki tangga,
menabahkan hati untuk menghadapi pestaku.
17. SEKUTU "BELLA?" Suara lembut Edward terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya
berlari lincah menuruni undakan teras, rambutnya berantakan karena berlari. Ia
langsung memelukku, sama seperti yang dilakukannya di lapangan parkir tadi, dan
menciumku lagi. Ciuman ini membuatku takut. Terlalu banyak ketegangan dan kegelisahan yang
kurasakan dari caranya melumat bibirku, seakan-akan Edward takut kami tak punya
banyak waktu lagi bersama-sama.
Aku tak boleh membiarkan diriku berpikir seperti itu. Tidak kalau aku harus
bersikap sebagaimana layaknya manusia normal beberapa jam ke depan. Aku
melepaskan diri darinya. "Mari segera kita akhiri pesta konyol ini," gumamku, tak sanggup menatap
matanya. Edward merengkuh wajahku dengan dua tangan, menunggu sampai aku mendongak.
"Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada dirimu."
Kusentuh bibirnya dengan jari-jari tanganku yang sehat.
"Aku tidak terlalu mengkhawatirkan diriku kok."
"Kenapa aku tidak terlalu kaget mendengarnya, ya?"
Edward menggerutu sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum
kecil. "Siap berpesta?" tanyanya.
Aku mengerang. Edward memegangi pintu untukku, lengannya tetap memeluk pinggangku. Sejenak aku
berdiri membeku di sana, lalu menggelengkan kepala lambat-lambat.
"Tak bisa dipercaya."
Edward mengangkat bahu. "Begitulah Alice."
Bagian dalam rumah keluarga Cullen telah diubah menjadi kelab malam - bukan
seperti kelab malam yang sering dijumpai di kehidupan nyata, hanya di TV.
"Edward!" seru Alice dari sebelah pengeras suara berukuran raksasa. ''Aku
membutuhkan saranmu." Ia melambaikan tangan ke arah tumpukan CD. ''Apakah
sebaiknya kita beri mereka lagu-lagu yang familier dan
menghibur Atau" - ia melambaikan tangan ke tumpukan lain -" mendidik selera
musik mereka?" "Yang menghibur saja," Edward merekomendasikan.
"Kuda hanya mau dituntun ke air."
Alice mengangguk serius, dan mulai melemparkan CD-CD musik yang "mendidik" itu
ke dalam kotak. Kuperhatikan ia sudah mengganti bajunya dengan tank top berhias
manik-manik dipadu celana kulit merah. Kulitnya yang telanjang bereaksi ganjil
di bawah lampu-lampu merah dan ungu yang berkedip-kedip.
"Sepertinya dandananku kurang heboh."
"Dandananmu sempurna," bantah Edward tak sependapat.
"Kau lumayan," Alice mengoreksi.
"Trims." Aku mendesah. "Menurutmu, mereka bakal datang. tidak?"
Siapa pun bisa mendengar nada berharap dalam suaraku. Alice mengernyit padaku.
"Semua akan datang," jawab Edward. "Mereka semua sudah tak sabar lagi ingin
melihat bagian dalam rumah keluarga Cullen yang terpencil dan misterius."
"Wow, keren," erangku.
Ternyata aku tak perlu membantu. Aku ragu - bahkan nanti setelah aku tidak lagi
butuh tidur dan bisa bergerak jauh lebih cepat - aku akan bisa menandingi
kesigapan Alice dalam mengurus segala sesuatu.
Edward menolak melepaskanku meskipun hanya sedetik, menyeretku ke sana kemari
sementara ia mencari Jasper dan Carlisle untuk menceritakan tentang teoriku. Aku
mendengarkan sambil berdiam diri dengan perasaan ngeri saat mereka mendiskusikan
serangan terhadap pasukan vampir di Seattle. Kentara sekali Jasper tidak senang
dengan perbandingan jumlah yang ada, tapi mereka tak bisa menghubungi siapa pun
kecuali keluarga Tanya yang tidak bersedia membantu. Tidak seperti Edward,
Jasper tidak berusaha menyembunyikan perasaan putus asanya. Kentara sekali ia
tidak suka berjudi dengan taruhan sedemikian tinggi.
Aku tak sanggup ditinggal sendiri, menunggu. dan berharap mereka kembali Aku tak
sanggup. Bisa-bisa aku gila.
Bel pintu berdering. Dalam sekejap suasana langsung berubah normal. Senyum hangat dan ramah
menggantikan ketegangan di wajah Carlisle. Alice mengeraskan volume musik, dan
dengan lincah meluncur menuju pintu.
Ternyata yang datang satu mobil Suburban penuh berisi teman-temanku, entah
terlalu gugup atau terlalu terintimidasi untuk datang sendiri-sendiri. Jessica
orang pertama yang muncul di pintu, disusul Mike di belakangnya. Lalu Tyler,
Conner, Austin, Lee, Samantha... bahkan Lauren membuntut di belakang, matanya
yang kritis berbinar-binar dengan perasaan ingin tahu. Mereka semua penasaran,
dan langsung ternganga takjub melihat ruangan besar yang ditata menyerupai
tempat nongkrong yang chic. Ruangan itu tidak kosong, seluruh anggota keluarga
Cullen sudah siap di tempat masing-masing, siap berperan dalam sandiwara manusia
mereka yang sempurna seperti biasa. Malam ini aku merasa seperti sedang
berakting, sama seperti mereka.
Aku pergi untuk menyapa Jess dan Mike, berharap nada gugup dalam suaraku
dianggap sebagai ekspresi kegirangan. Belum sempat beranjak untuk menyapa
temanku yang lain, lagi-lagi bel pintu berdering. Kupersilakan Angela dan Ben
masuk, membiarkan pintu terbuka lebar, karena melihat Eric dan Katie hendak
menaiki undakan. Aku tidak sempat lagi merasa panik. Aku harus mengobrol dengan semua orang,
mencurahkan segenap konsentrasi untuk menjadi tuan rumah yang ceria. Meski
sebenarnya ini pesta patungan antara Alice, Edward, dan aku., namun tak dapat
disangkal akulah sasaran yang paling populer untuk diberi ucapan selamat dan
terima kasih. Mungkin karena keluarga Cullen terlihat agak asing di bawah lampulampu pesta yang dipasang Alice. Mungkin karena lampu-lampu itu membuat ruangan
menjadi remang-remang dan terkesan misterius. Bukan atmosfer yang bisa membuat
kebanyakan manusia merasa rileks berdiri di sebelah orang seperti Emmett.
Kulihat Emmett nyengir kepada Mike saat mereka bertemu di meja
hidangan, kilauan lampu merah menerpa giginya, dan Mike langsung mundur
selangkah. Mungkin Alice sengaja melakukannya, memaksaku menjadi pusat perhatian posisi
yang menurutnya seharusnya bisa lebih kunikmati. Ia tak bosan-bosan berusaha
membuatku jadi manusia seperti yang dibayangkannya.
Jelas pesta ini sukses besar, walaupun para tamunya secara naluriah gelisah
karena kehadiran keluarga Cullen -atau mungkin itu justru menjadi bumbu yang
semakin menyemarakkan suasana pesta. Musiknya menular, lampu-lampunya nyaris
menghipnotis. Menilik cepatnya makanan habis, hidangan pestanya pasti juga
lezat. Sebentar saja ruangan sudah penuh, meski tidak sampai menyesakkan.
Seluruh murid kelas senior sepertinya ada di sini, begitu juga sebagian besar
murid junior. Tubuh-tubuh bergoyang mengikuti irama yang bergetar di bawah
telapak kaki mereka, pestanya nyaris berubah menjadi ajang dansa-dansi.
Ternyata memang tidak sesulit yang kukira. Aku mengikuti teladan yang
ditunjukkan Alice, berbaur dan mengobrol sebentar dengan semua orang. Sepertinya
mereka cukup gampang disenangkan. Aku yakin pesta ini jauh lebih keren daripada
pesta mana pun yang pernah diadakan di Forks. Alice nyaris mendengkur saking
bangganya - tak seorang pun di sini yang bakal melupakan
malam ini. Aku sudah mengitari ruangan satu kali, dan sampai lagi di Jessica. Ia mengoceh
penuh semangat, dan aku tidak perlu terlalu menyimak, karena besar kemungkinan
ia tidak membutuhkan responsku. Edward berdiri di sebelahku - tetap menolak
membiarkanku sendirian. Tangannya mesra memeluk pinggangku, sesekali mendekapku
lebih erat, mungkin sebagai respons atas berbagai pikiran yang tak ingin
kudengar. Itu sebabnya aku langsung curiga waktu ia melepaskan pelukannya dari pinggangku
dan beringsut menjauhiku.
"Jangan ke mana-mana," bisiknya di telingaku. "Sebentar lagi aku kembali."
Edward berjalan anggun menerobos kerumunan, kelihatannya sama sekali tidak
menyentuh tubuh-tubuh yang berdiri berdekatan, begitu cepatnya ia lenyap sampaisampai aku tak sempat bertanya kenapa ia pergi. Kupandangi ia dengan mata
menyipit sementara Jessica berteriak-teriak penuh semangat meningkahi suara
musik. menggayuti sikuku, tidak sadar perhatianku sedang di tempat lain.
Kulihat Edward mencapai bayang-bayang gelap di sebelah pintu dapur. Di sana
lampu hanya bersinar temaram. Ia membungkuk di atas seseorang, tapi aku tak bisa
melihat orangnya, tertutup kepala-kepala di antara kami.
Aku berjinjit, menjulurkan leher panjang-panjang. Saat itulah lampu yang merah
menyapu punggungnya dan terpantul di manik-manik yang menghiasi baju Alice.
Meski lampu itu hanya menyentuh wajahnya setengah detik, itu sudah cukup.
"Permisi sebentar, Jess." gumamku, menarik lenganku dari cengkeramannya. Tanpa
menunggu aku langsung pergi, bahkan tanpa melihat apakah aku melukai perasaannya
dengan kepergianku yang mendadak itu.
Aku merunduk, menerobos kerumunan, terdorong-dorong sedikit. Beberapa orang kini
berjoget. Aku bergegas menuju pintu dapur.
Edward sudah pergi, tapi Alice masih di sana, di kegelapan, wajahnya kosong wajah tanpa ekspresi seperti yang kerap terlihat di wajah orang yang baru saja
menyaksikan kecelakaan mengerikan. Satu tangannya mencengkeram ambang pintu,
seolah-olah ia harus berpegangan.
"Apa, Alice, apa" Apa yang kau lihat?" Kedua tanganku mencengkeram dada memohon-mohon. Alice tidak menatapku, matanya menerawang jauh. Aku mengikuti arah pandangnya
dan melihatnya bertatapan mata dengan Edward di seberang ruangan. Wajah Edward
kosong bagai batu. Ia berbalik dan lenyap dalam bayang-bayang di bawah tangga.
Saat itulah bel pintu berdering, berjam-jam setelah deringan terakhir, dan Alice
menengadah dengan ekspresi bingung yang dengan cepat berubah jadi jijik.
"Siapa yang mengundang werewolf?" omelnya padaku.
Aku merengut. "Aku."
Kupikir aku sudah membatalkan undangan itu - bagaimanapun juga aku tidak
menyangka Jacob bakal nekat datang ke sini.
"Well, urus mereka sendiri kalau begitu. Aku harus bicara dengan Carlisle."
"Tidak, Alice. tunggu!" Aku berusaha meraih lengannya, tapi Alice sudah keburu
lenyap dan tanganku hanya menggapai udara kosong.
"Brengsek!" gerutuku.
Aku tahu pasti sekaranglah saatnya. Alice sudah melihat apa yang dinantinantikan olehnya, dan jujur saja. rasanya aku tak kuat menahan ketegangan dan
membukakan pintu lebih dulu. lagi-lagi bel pintu berdering, lama dan panjang,
seolah-olah ada orang memencet tombol bel dan tidak melepaskannya. Aku
membelakangi pintu dengan penuh tekad, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling
ruangan yang gelap, mencari Alice.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku mulai beranjak menaiki tangga.
"Hai, Bella!" Suara Jacob yang berat berkumandang saat musik berhenti sejenak, dan, meski
tidak ingin, wajahku otomatis terangkat begitu mendengar namaku dipanggil.
Aku mengernyitkan wajah. Tidak hanya satu werewolf, melainkan tiga. Jacob masuk sendiri, diapit Quil dan
Embry di kiri-kanannya Keduanya tampak sangat tegang, mata mereka berkelebat
mengitari ruangan seperti memasuki ruang bawah tanah berhantu. Tangan Embry yang
gemetar masih memegangi pintu, tubuhnya miring agak ke belakang, siap lari.
Jacob melambai padaku, lebih tenang dibanding kedua temannya yang lain, meskipun
hidungnya mengernyit jijik. Aku balas melambai - lambaian perpisahan - dan
berbalik mencari Alice. Aku memaksakan diri menyelinap di antara punggung Conner
dan Lauren. Ia muncul entah dari mana, tangannya mendarat di bahuku dan menarikku kembali ke
keremangan dekat dapur. Aku mengelak dan melepaskan diri dari cengkeramannya,
tapi pemuda itu menyambar pergelangan
tanganku yang sehat dan menyentakku dari kerumunan.
"Sambutan yang ramah," komentarnya.
Aku menarik tanganku dan menatapnya cemberut.
"Untuk apa kau ke sini?"
"Kau yang mengundangku, ingat?"
"Kalau hook kananku memang terlalu lemah bagimu, izinkan aku menerjemahkannya.
itu berarti aku membatalkan undangan."
"Jangan jahat begitu. Aku membawakan hadiah kelulusan untukmu lho."
Aku bersedekap. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan Jacob sekarang. Aku
ingin tahu apa yang dilihat Alice, dan apa pendapat Edward dan Carlisle
mengenainya. Aku menjulurkan leher panjang-panjang, melihat ke balik punggung Jacob, mencaricari mereka. "Kembalikan saja ke tokonya, Jake. Aku harus melakukan sesuatu..
Jacob bergerak menutupi pandanganku, menuntut perhatianku.
"Aku tidak bisa mengembalikannya. Aku tidak membelinya di toko - aku membuatnya
sendiri. Butuh waktu sangat lama pula." Lagi-lagi aku mencondongkan tubuh ke
balik tubuhnya, tapi tak satu pun anggota keluarga Cullen yang tampak. Ke mana
perginya mereka" Mataku menyapu seluruh penjuru ruangan yang gelap itu.
"Oh, ayolah. Bell. Jangan berlagak seolah-olah aku tidak di sini!"
"Aku bukannya berlagak." Mereka tidak ada di mana-mana. "Dengar, Jake, saat ini
aku sedang banyak pikiran."
Jacob meletakkan tangannya di bawah daguku dan mendongakkan wajahku. "Boleh
minta waktu beberapa detik saja tanpa terbagi-bagi, Miss Swan?"
Aku menyentakkan wajahku. "Jaga tanganmu baik-baik, Jacob,"desisku.
"Maaf!" seru Jacob. mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. "Aku benarbenar minta maaf. Mengenai kejadian waktu itu juga, maksudku. Seharusnya aku


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menciummu seperti itu. Itu salah. Kurasa.., wdl, kurasa aku menipu diri sendiri
dengan mengira kau menginginkanku."
"Menipu - gambaran yang tepat sekali!"
"Bersikaplah yang baik. Kau bisa menerima permintaan maafku, kau tahu."
"Baiklah. Permintaan maaf diterima. Sekarang, permisi sebentar... "
"Oke," gumam Jacob, dan nadanya sangat berbeda dari sebelumnya hingga aku
berhenti mencari-cari Alice dan mengamati wajahnya. Jacob menunduk memandang
lantai, menyembunyikan matanya. Bibir bawahnya sedikit mencebik.
"Ternyata kau lebih suka berkumpul dengan teman-teman sejatimu," tukasnya dengan
nada kalah. "Aku mengerti."
Aku mengerang. "Aduh, Jake, kau tahu itu tidak adil."
"Memangnya aku tahu?"
"Seharusnya kau tahu." Aku mencondongkan tubuh ke depan, menyipitkan mata,
berusaha menatap matanya. Jacob mendongak, menghindari mataku.
"Jake?" Ia tak mau melihatku. "Hei, katanya kau membuatkan sesuatu untukku, benar?" tanyaku. "Atau itu hanya
omong kosong" Mana hadiahku?"
Upayaku berpura-pura antusias tampak sangat menyedihkan, tapi berhasil. Jacob
memutar bola matanya dan kemudian nyengir padaku.
Aku tetap mempertahankan sikap pura-puraku yang menyedihkan, menyodorkan telapak
tangan. "Aku menunggu lho."
"Yang benar saja," gerutu Jacob sarkastis. Tapi ia merogoh kantong belakang
jinsnya dan mengeluarkan kantong kain rajutan berwarna-warni. Seutas tali kulit
mengikat kantong itu. Diletakkannya kantong itu di telapak tanganku. "Hei, cantik sekali, Jake. Terima
kasih!" Jacob mendesah. "Hadiahnya di dalam, Bella." "Oh."
Susah juga membuka ikatannya. lagi-lagi Jacob mendesah dan mengambil kantong itu
dariku, membukanya dengan mudah dengan menarik tali yang tepat. Aku menyodorkan
telapak tanganku, tapi Jacob membalikkan kantong itu dan mengguncangnya,
mengeluarkan sesuatu yang berwarna keperakan ke tanganku. Logam beradu dengan
logam, menimbulkan suara berdenting pelan.
"Bukan aku yang membuat gelangnya," Jacob mengakui. "Hanya bandulnya."
Pada rantai gelang perak itu terpasang sebuah pahatan mungil dari kayu. Aku
mengamatinya lebih saksama. Sungguh menakjubkan betapa mendetailnya patung
mungil itu - serigala miniatur itu terlihat seperti sungguhan. Bahkan bahannya
terbuat dari kayu berwarna merah-cokelat, serupa benar dengan warna kulit Jacob.
"Cantik sekali," bisikku. "Kau sendiri yang membuatnya" Bagaimana?"
Jacob mengangkat bahu. "Billy yang mengajarkan. Dalam hal itu dia malah lebih
pandai daripada aku."
"Sukar dipercaya," gumamku, membolak-balik serigala mungil itu dengan jemariku.
"Kau benar-benar menyukainya?"
"Ya! Luar biasa sekali, Jake."
Jacob tersenyum, awalnya senang, tapi kemudian ekspresinya berubah masam. "Well,
kupikir mungkin itu bisa membuatmu teringat padaku sesekali. Kau tahu kan kata
orang, jauh di mata, jauh pula di hati."
Aku tak menggubris sikapnya. "Sini, bantu aku memakainya."
Aku menyodorkan pergelangan tangan kiriku, karena yang kanan memakai penyangga.
Jacob memasangkan kaitannya dengan mudah, meski gelang itu tampak terlalu rapuh
untuk jari-jarinya yang besar.
"Kau akan memakainya?" tanyanya.
"Tentu saja aku akan memakainya."
Jacob nyengir padaku,senyum bahagia yang senang bisa kulihat di wajahnya.
Aku membalasnya beberapa saat kemudian, tapi lalu mataku kembali mengitari
ruangan, dengan gugup mencari-cari Edward atau Alice di antara kerumunan.
"Kenapa kau gelisah begitu?" tanya Jacob.
"Tidak apa-apa," dustaku, mencoba berkonsentrasi. "Terima kasih untuk hadiahnya,
sungguh. Aku benar-benar suka." "Bella?" Alis Jacob bertaut sehingga matanya seperti tenggelam jauh di balik
bayang-bayang. "Pasti ada masalah, kan?"
"Jake, aku... tidak, tidak apa-apa.'"
"Jangan bohong, kau tidak pandai berbohong. Seharusnya kau memberitahuku kalau
ada masalah. Kami ingin mengetahui hal-hal ini," tukasnya, menggunakan kata
ganti orang jamak pada akhir kalimat.
Mungkin Jacob benar, para serigala pasti tertarik pada apa yang terjadi. Hanya
saja aku belum yakin apakah ini memang hal itu. Aku belum bisa memastikannya
sampai aku bertemu Alice.
"Jacob, aku akan memberitahumu. Tapi izinkan aku mencari tahu dulu apa yang
sebenarnya terjadi, oke" Aku perlu bicara dengan Alice."
Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi mengerti. "Si peramal itu melihat
sesuatu." "Ya, tepat waktu kau datang tadi."
"Apakah ini mengenai pengisap darah yang masuk ke kamarmu?" bisik Jacob,
merendahkan suaranya lebih rendah daripada dentuman musik.
"Ada hubungannya," aku mengakui.
Jacob mencerna informasi itu sebentar, menggelengkan kepala sambil membaca
wajahku. "Kau tahu sesuatu yang tidak kauceritakan padaku... sesuatu yang sangat
penting." Apa gunanya berbohong lagi" Dia terlalu mengenalku. "Ya."
Jacob menatapku sesaat, kemudian berbalik untuk menatap mata saudara-saudara
sekawanannya, di tempat mereka berdiri di ambang pintu, canggung dan rikuh.
Begitu melihat ekspresinya, mereka langsung bergerak, berjalan gesit melewati
para tamu, hampir seperti sedang berdansa juga. Kurang dari satu menit mereka
sudah berdiri mengapit Jacob, menjulang tinggi di atasku.
"Sekarang. Jelaskan," tuntut Jacob.
Embry dan Quil menatap kami bergantian, wajah mereka bingung dan waswas.
"Jacob, aku tidak tahu semuanya." Aku terus menyapukan pandangan, mencari jalan
untuk meloloskan diri. Mereka menyudutkanku, baik dalam arti harfiah maupun
sebaliknya. "Yang benar-benar kauketahui saja, kalau begitu."
Mereka serentak bersedekap. Agak lucu sebenarnya, tapi juga menakutkan.
Kemudian aku melihat Alice menuruni tangga, kulitnya yang putih berkilau dalam
terpaan cahaya ungu. "Alice!" pekikku lega.
Alice langsung melihat ke arahku, padahal suara bass yang berdentum-dentum
menenggelamkan suaraku. Aku melambai-lambai penuh semangat, dan melihat wajah
Alice saat matanya tertumbuk pada tiga werewolf yang membungkuk di atasku.
Matanya menyipit. Tapi, sebelum reaksi itu muncul, wajahnya tampak stres dan takut. Aku menggigit
bibir saat ia bergegas menghampiriku.
"Aku perlu bicara denganmu," bisiknya di telingaku.
"Eh, Jake, sampai ketemu lagi nanti...," gumamku saat kami beranjak mengitari
mereka. Jacob mengulurkan lengan menghalangi jalan kami, menumpukan tangannya di
dinding. "Hei, jangan buru-buru."
Alice mendongak. menatapnya. matanya membelalak tak percaya. "Maaf, apa katamu?"
"Ceritakan pada kami apa yang terjadi," tuntut Jacob, suaranya menggeram.
Jasper muncul entah dari mana. Padahal sedetik yang lalu hanya ada Alice dan aku
yang terpojok di dinding, Jacob menghalangi jalan. Tapi mendadak muncul Jasper,
berdiri di sebelah lengan Jake, ekspresinya mengerikan.
Jacob pelan-pelan menarik lagi lengannya. Sepertinya itu tindakan paling bagus
jika Jacob memang ingin mempertahankan lengannya.
"Kami berhak tahu," gumam Jacob, matanya masih menatap Alice garang.
Jasper melangkah di antara mereka, dan ketiga werewolf menegakkan tubuh masingmasing. "Hei, hei," seruku, mengumandangkan tawa sedikit histeris. "Ini pesta, ingat!"
Tak ada yang menggubrisku. Jacob menatap Alice garang sementara Jasper memandang
Jacob ganas. Wajah Alice mendadak berubah bijak.
"Tidak apa-apa, Jasper. Dia benar." Jasper tetap memasang posisi waspada.
Aku yakin ketegangan ini bakal membuat kepalaku meledak sebentar lagi. "Apa yang
kaulihat, Alice?" Alice menatap Jacob sebentar, kemudian berpaling padaku, jelas memutuskan untuk
membiarkan mereka ikut mendengarkan.
"Keputusan sudah diambil."
"Kalian akan ke Seattle?"
"Tidak." Aku merasa darah Surut dari wajahku. Perutku mulas.
"Mereka akan datang ke sini," ujarku, suaraku tercekik.
Para pemuda Quileute menatapku sambil terdiam, membaca setiap pergolakan emosi
yang bermain-main di wajah kami. Mereka terpaku di tempat masing-masing, namun
tak sepenuhnya tenang. Tiga pasang tangan gemetar.
"Ya." "Ke Forks," bisikku.
"Ya." "Untuk?" Alice mengangguk, memahami pertanyaanku. "Salah seorang di antara mereka membawa
blus merahmu." Aku mencoba menelan ludah.
Ekspresi Jasper tidak setuju. Kentara sekali ia tidak suka mendiskusikan masalah
ini di hadapan para werewolf, tapi ia merasa harus mengatakan sesuatu. "Kita
tidak bisa membiarkan mereka datang sejauh ini. Kita kekurangan orang untuk
melindungi kota." "Aku tahu," sahut Alice, wajahnya tiba-tiba tampak sedih. "Tapi tak penting di
mana kita menghentikan mereka. Jumlah kita tetap tidak cukup, jadi pasti ada
sebagian yang lolos dan datang ke sini untuk mencari."
"Tidak!" bisikku.
Hiruk-pikuk pesta menenggelamkan pekikanku. Di sekeliling kami teman-teman,
terangga, dan musuh-musuhku makan, tertawa-tawa, dan bergoyang diiringi suara
musik tak tahu sama sekali sebentar lagi mereka akan menghadapi kengerian,
bahaya, bahkan mungkin kematian.
Gara-gara aku. "Alice," ucapku tanpa suara. "Aku harus pergi, aku harus menjauh dari sini."
"Tak ada gunanya. Yang kita hadapi bukan pelacak. Mereka akan tetap datang ke
sini lebih dulu." "Kalau begitu aku harus pergi menemui mereka!" Kalau suaraku tidak separau dan
setegang itu, mungkin yang keluar adalah pekikan. "Kalau mereka menemukan apa
yang dicari, mungkin mereka akan menjauh dan tidak mencelakakan orang lain!"
"Bella!" protes Alice.
"Tunggu sebentar," perintah Jacob, suaranya rendah dan memaksa. "Siapa yang akan
datang ini!' Alice mengalihkan tatapannya yang dingin kepada Jacob.
"Kaum kami. Dalam jumlah besar."
"Kenapa?" "Mencari Bella. Hanya itu yang kami tahu."
"Terlalu banyak untuk kalian hadapi?" tanyanya.
Jasper menahan emosinya. "Kami memiliki beberapa kelebihan, anjing.
Pertempurannya bakal seimbang."
"Tidak," tukas Jacob, senyum miring yang aneh dan kejam mengembang di wajahnya.
"Tidak akan seimbang."
"Bagus!" desis Alice.
Masih membeku ketakutan, kutatap ekspresi baru Alice.
Wajahnya berbinar-binar penuh semangat, keputusasaan seketika lenyap dari garisgaris wajahnya yang sempurna.
Alice nyengir kepada Jacob, dan Jacob balas nyengir.
"Semua langsung menghilang, tentu saja," kata Alice kepada Jacob dengan nada
menang. "Tidak menguntungkan memang, tapi dengan berbagai pertimbangan, aku akan
menerimanya." "Kita harus berkoordinasi," kata Jacob. "Tidak mudah bagi kami. Meski begitu,
ini lebih merupakan tugas kami ketimbang tugas kalian."
"Aku tak setuju, tapi kami memang membutuhkan bantuan. Kami tidak akan pilihpilih." "Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu," aku menyela mereka.
Alice berjinjit, Jacob membungkuk ke arahnya, wajah mereka berbinar-binar penuh
semangat, hidung mengernyit menahan bau satu sama lain. Keduanya menatapku tak
sabar. "Berkoordinasi!" ulangku, gigiku terkatup karena gemas.
"Kau tidak bermaksud menghalangi kami ikut, kan?" tanya Jacob.
"Kau memang tidak boleh ikut!"
"Paranormalmu tidak menganggap begitu."
"Alice - bilang tidak pada mereka!" desakku. "Bisa-bisa mereka terbunuh!"
Jacob, Quil, dan Embry tertawa keras-keras.
"Bella," kata Alice, suaranya menenangkan, membujuk, "kalau sendiri-sendiri,
kita semua bisa terbunuh. Tapi bersama-sama-"
"Itu tidak akan menjadi masalah," Jacob menyelesaikan kalimatnya. Lagi-lagi Quil
tertawa. "Berapa banyak?" tanya Quil penuh semangat.
"Tidak!" teriakku.
Alice bahkan tidak memandang ke arahku. "Berubah- ubah, 21 hari ini, tapi
jumlahnya menurun." "Kenapa?" tanya Jacob, ingin tahu.
"Ceritanya panjang," kata Alice, tiba-tiba memandang sekeliling ruangan. "Dan
sekarang bukan tempat yang tepat untuk mendiskusikan ini."
"Bagaimana kalau nanti malam?"
"Baiklah," Jasper yang menjawab. "Kami memang sudah merencanakan... pertemuan
strategis. Kalau kalian ingin bertempur bersama kami, kalian membutuhkan
beberapa instruksi."
Wajah para serigala kontan menunjukkan sikap tidak puas begitu mendengar kalimat
terakhir. "Tidak?" erangku.
"Pasti bakal aneh." kata Jasper dengan sikap merenung.
"Aku tak pernah mempertimbangkan untuk bekerja sama. Ini pasti yang pertama
kali." "Itu sudah jelas." Jacob sependapat. Ia buru-buru ingin pergi sekarang. "Kami
harus kembali untuk menemui Sam. Jam berapa?"
"Jam berapa yang terlalu malam untuk kalian?"
Ketiganya memutar bola mata masing-masing. "Jam berapa?" ulang Jacob.
"Jam tiga?" "Di mana?" "Kira-kira enam belas kilometer sebelah utara kantor jagawana Hutan Hoh.
Datanglah dari arah barat, kalian pasti bisa mengikuti bau kami."
"Kami akan datang."
Mereka berbalik untuk pergi.
"Tunggu, Jake!" aku berseru memanggilnya. "Please! Jangan lakukan ini!"
Jacob berhenti, berbalik untuk nyengir padaku, sementara Quil dan Embry berjalan
dengan sikap tidak sabar menuju pintu. "Jangan konyol, Bella. Kau memberiku
hadiah yang jauh lebih bagus daripada hadiah yang kuberikan padamu."
"Tidak!" aku berteriak lagi. Raungan gitar elektrik menenggelamkan teriakanku.
Jacob tidak menyahut; ia bergegas pergi menyusul temannya yang sudah lenyap. Aku
hanya bisa memandang tak berdaya saat Jacob menghilang.
18. INSTRUKSI "ITU tadi pasti pesta terlama sepanjang sejarah," keluhku dalam perjalanan
pulang. Edward sepertinya setuju. "Sekarang toh sudah berakhir," katanya, mengusap-usap
lenganku dengan sikap menenangkan.
Karena sekarang akulah satu-satunya yang butuh ditenangkan. Edward sendiri baikbaik saja sekarang - seluruh anggota keluarga Cullen baik-baik saja.
Mereka semua sudah berusaha meyakinkanku; Alice menepuk-nepuk kepalaku waktu aku
pergi tadi, memandangi Jasper dengan sikap penuh makna sampai gelombang damai
melandaku. Esme mengecup keningku dan berjanji semua pasti beres, Emmett tertawa
terbahak-bahak dan bertanya kenapa hanya aku yang diizinkan berkelahi dengan
werewolf... solusi yang diberikan Jacob membuat mereka semua rileks, hampirhampir seperti euforia setelah berminggu-minggu terimpit stres. Keraguan telah
digantikan dengan rasa percaya diri. Pesta tadi benar-benar diakhiri dengan
suasana perayaan. Tapi tidak bagiku. Sudah cukup buruk - mengerikan - bahwa keluarga Cullen akan bertempur untukku.
Sudah cukup mengerikan bagiku mengizinkan itu terjadi. Itu saja rasanya lebih
daripada yang bisa kutanggung.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi sekarang ditambah Jacob. Saudara-saudaranya yang bodoh dan bersemangat
itu, sebagian besar dari mereka bahkan lebih muda daripada aku. Mereka sama saja
seperti anak-anak kecil bertubuh bongsor dan berotot besar,yang menganggap
pertempuran ini sama mengasyikkannya dengan piknik di pantai. Aku tak boleh
membahayakan mereka juga. Urat-urat sarafku tegang dan menonjol. Entah sampai
kapan aku bisa menahan diri agar tidak menjerit keras-keras.
Aku berbisik, berusaha terdengar terap tenang. "Kau harus mengajakku malam ini."
"Bella, kau sangat lelah."
"Memangnya kaukira aku bisa tidur?"
Kening Edward berkerut. "Ini eksperimen. Aku tak yakin kami semua bisa...
bekerja sama. Aku tidak mau kau terjebak di tengah-tengahnya."
Mendengar alasan itu aku malah semakin ingin pergi.
"Kalau kau tak mau mengajakku, akan kutelepon Jacob."
Sorot mata Edward mengeras. Itu pukulan baginya, aku tahu. Tapi jangan harap aku
mau ditinggal. Ia tidak menjawab; kami sudah tiba di rumah Charlie sekarang. Lampu depan
menyala. "Sampai ketemu di atas," gumamku.
Aku berjingkat-jingkat masuk lewat pintu depan. Charlie tertidur di ruang tamu,
tubuhnya kelewat besar untuk ukuran sofa yang kecil mendengkur sangat keras
hingga aku bisa saja menyalakan gergaji listrik dan ia tetap tak terbangun
saking nyenyaknya. Kuguncang bahunya keras-keras. "Dad! Charlie!"
Charlie menggerutu. matanya tetap terpejam.
"Aku sudah pulang - bisa-bisa Dad sakit punggung kalau tidur seperti itu. Ayo,
waktunya pindah." Setelah mengguncang-guncang tubuhnya lama sekali, akhirnya aku berhasil menyuruh
Charlie pindah dari sofa tanpa pernah benar-benar membuka mata. Kubantu ia naik
ke tempat tidur dan ia langsung ambruk di atas penutup tempat tidur, masih
berpakaian lengkap, lalu langsung mendengkur lagi.
Ia takkan mencariku dalam waktu dekat.
Edward menunggu di kamar sementara aku mencuci muka dan mengganti bajuku dengan
jins dan kemeja flanel. Ia mengawasiku dengan sikap tidak suka dari kursi goyang
sementara aku menggantung baju pemberian Alice di lemari.
"Kemarilah," kataku, meraih tangannya dan menariknya ke tempat tidurku.
Kudorong ia ke ranjang, lalu bergelung rapat-rapat di dadanya. Mungkin Edward
benar dan aku memang kelewat letih hingga bakal ketiduran. Tapi aku takkan
membiarkannya menyelinap pergi tanpa aku.
Edward menyelimutiku rapat-rapat, kemudian mendekapku erat-erat.
"Tenanglah." "Tentu." "Ini pasti berhasil, Bella. Aku bisa merasakannya."
Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat.
Edward masih memancarkan perasaan lega. Tidak ada orang, kecuali aku, yang
peduli jika Jacob dan teman-temannya terluka. Bahkan Jacob dan teman-temannya
sendiri pun tak peduli. Apalagi mereka.
Edward tahu aku sudah nyaris tak bisa menahan emosi.
"Dengar, Bella. Ini akan sangat mudah. Para vampir baru itu akan terkejut
setengah mati. Mereka bahkan tidak tahu werewolf itu ada. Aku pernah melihat
mereka beraksi berkelompok, seperti Jasper juga bisa mengingatnya. Aku benarbenar yakin teknik berburu para serigala itu akan membuat para vampir baru mati
kutu. Dan dalam keadaan tercerai berai dan bingung, mereka bisa kami kalahkan
dengan mudah. Jangan-jangan malah ada beberapa di antara kami yang tinggal duduk
santai saja," gurau Edward.
"Benar-benar mudah," gumamku datar di dadanya.
"Sssttt," Edward membelai-belai pipiku. "Kita lihat saja nanti. Sekarang jangan
khawatir. Edward mulai menggumamkan lagu ninaboboku, tapi sekali ini lagu itu
tidak berhasil menenangkan perasaanku.
Orang-orang - well, vampir dan werewolf maksudnya, tapi tetap saja - orang-orang
yang kusayangi terancam terluka. Terluka karena aku. lagi. Kalau saja kesialanku
sedikit lebih terfokus. Rasanya aku kepingin berteriak
sekeras-kerasnya ke langit yang kosong: Akulah yang kauinginkan - di sini! Hanya
aku! Aku berusaha memikirkan bagaimana aku bisa melakukan hal itu - memaksa
kesialanku terfokus pada diriku saja. Jelas tidak mudah. Aku harus menunggu,
menanti kesempatan... Aku tak kunjung tidur. Menit demi menit berlalu cepat, dan yang mengejutkan, aku
masih tetap tegang dan waspada waktu Edward menarik tubuhku dan mendudukkanku.
"Kau yakin tak mau menunggu saja di sini dan tidur?" Kutatap ia dengan masam.
Edward mendesah, lalu meraupku dalam dekapannya sebelum terjun dari jendela
kamarku. Ia berlari menembus hutan yang gelap dan sunyi, aku bertengger di punggungnya.
Bahkan saat ia berlari bisa kurasakan semangatnya meluap-luap. Edward berlari
seperti biasa jika kami hanya berdua, hanya untuk bersenang-senang, sekadar
untuk merasakan tiupan angin di rambutnya. Saat keadaan masih tenang, hal-hal
semacam itulah yang bisa membuatku bahagia.
Sesampainya di padang terbuka yang luas, keluarganya sudah menunggu, mengobrol
santai, rileks. Sesekali terdengar tawa Emmett yang bergema di ruang terbuka
yang luas itu. Edward menurunkanku dan kami berjalan bergandengan tangan
menghampiri mereka. Karena suasana yang gelap gulita sebab bulan tersembunyi di balik awan, butuh
semenit untuk menyadari ternyata kami berada di lapangan bisbol. Tempat yang
sama di mana, lebih setahun yang lalu. malam pertamaku yang menyenangkan bersama
keluarga Cullen terusik oleh datangnya James dan kawanannya. Aneh rasanya berada
di sini lagi - seolah-olah pertemuan ini belum terasa lengkap sampai James,
Laurent, dan Victoria datang dan bergabung dengan kami. Tapi James dan Laurent
takkan pernah kembali. Pola itu tidak akan berulang. Mungkin semua pola lain pun
sudah lenyap. Ya, ada orang yang telah menghancurkan pola mereka. Mungkinkah keluarga Volturi
merupakan pihak-pihak yang feksibel dalam persamaan ini"
Aku meragukannya. Di mataku Victoria selalu terkesan bagaikan kekuatan alam yang tak bisa
dihindari - seperti angin topan yang bergerak dalam garis lurus sepanjang tepi
pantai - tak bisa dihindari, tak tergoyahkan, tapi. bisa diramalkan. Mungkin
salah membatasinya seperti itu. Victoria pasti mampu beradaptasi.
"Tahukah kau apa yang kupikirkan?" tanyaku kepada Edward.
Edward tertawa. "Tidak."
Hampir saja aku tersenyum. "Apa yang kaupikirkan?"
"Kupikir, semua itu pasti saling berhubungan. Bukan hanya dua,tapi ketigatiganya." "Aku tidak mengerti."
"Tiga hal buruk terjadi sejak kau kembali." Aku mengacungkan tiga jariku. "Para
vampir baru di Seattle. Penyusup di kamarku. Dan, pertama-tama Victoria datang
mencariku." Mata Edward menyipit memikirkannya. "'Kenapa begitu menurutmu?"
"Karena aku sependapat dengan Jasper, keluarga Volturi mencintai aturan-aturan
mereka. Dan kalau mereka yang
melakukannya, pasti hasilnya lebih baik." Dan aku pasti sudah mati kalau mereka
memang ingin aku mati. aku menambahkan dalam hati. "Ingat waktu kau melacak.
keberadaan Victoria tahun lalu?"
"Ya." Kening Edward berkerut. "aku tidak begitu berhasil."
"Kata Alice, kau berada di Texas. Kau mengikutinya ke sana?"
Alis Edward bertaut. "Ya. Hmm... "
"Betul kan - bisa jadi dia mendapat ilham di sana. Tapi karena dia tidak tahu
harus bagaimana, para vampir baru itu jadi lepas kendali."
Edward menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya Aro yang tahu persis bagaimana visi
Alice bekerja." "Aro-lah yang paling tahu, tapi bukankah Tanya, Irina, serta teman-temanmu yang
lain di Denali juga cukup tahu"
Laurent tinggal bersama mereka cukup lama. Dan kalau dia ternyata masih
Anak Pendekar 27 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Jodoh Rajawali 17

Cari Blog Ini