Ceritasilat Novel Online

Pembawa Kabar Dari 2

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem Bagian 2


kembali pada kata awan. Jadi, ungkapan itu lengkapnya adalah, 'Seakan-akan suara geledek itu
bersembunyi di balik awannya awan. Inilah kerancuan kata yang tidak dapat
dihindari lagi. Setelah engkau
mengibaratkan geledek dengan peraduan/halte, engkau bersenandung, 'Dan awan pun
menunggu untuk berteriak. Dalam sebuah syair, mestinya engkau mengungkapkan, 'Dan para
penumpang pun tengah menunggu untuk berteriak. Sehingga, perumpamaan untuk halte menjadi
sepadan." Tak urung, wajah sang penyair buta itu pun berubah memerah, ia menunjukkan
tonjolan- tonjolan urat lehernya saking marahnya seraya memekik keras, "Semua itu omong
kosong! Adalah sebuah kebenaran yang tidak ada cermin-nya seandainya yang engkau
inginkan itu tiada lain hendak mencuri semua keindahan syair itu dan mengubahnya dengan perumpamaan yang
buruk. Dan, seorang pencuri tidaklah dipercayai terlebih saat ia mendendangkan syair,
Hari yang beraneka keindahan.
Waktu-waktunya datang tiba-tiba.
Sang pagi yang kosong penghormatan.
Mengalir, dan bersinar yang diminum.
Aku senantiasa menduga awan saat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bersama api kilat-kilatnya kaudahagakan.
Unta-untaku yang lelah dalam tempuh perjalanannya.
Dan sungguh dia selalu dipukul dengan cambuk emas
Ungkapanmu yang berbunyi, ' Waktu-waktunya datang tiba-tiba. adalah ungkapan
yang sia-sia selain untuk menyempurnakan bait syair itu saja. Kata-kata 'telah mengalir7
sungguh mengada- ada. Dalam tata bahasa Arab, huruf hamzah dalam kata 'asqa' sebenarnya tidak
ada. Engkau menambahkan huruf hamzah itu tiada lain untuk kemudahan dalam mengejanya. Jika
engkau beralasan karena unsur-unsur keterpaksaan, aku beritahu kepadamu bahwa tidak ada
istilah keterpaksaan dalam kamus para penyair. Bagi penyair-penyair besar, keterpaksaan
justru merupakan tantangan. Ada pun dalam bait kelima, sungguh engkau banyak
menghamburkan kata- kata yang kosong makna. Tidak ada perumpamaan yang tepat selain antara kilat
yang diumpamakan api. Lalu engkau bersenandung, 'Dan sungguh dia selalu dipukul
dengan cambuk emas. Ingatlah, memukul itu dengan tongkat dan bukan dengan cambuk, wahai
Tuanku! Ada pun ungkapan 'cambuk emas' sungguh perumpamaan yang bahkan lebih buruk dan rendah
dari perumpamaan 'air basi' dalam syair gubahan Abu Tamam."
Ibnu Zaidun rupanya ingin sekali berupaya melerai mereka dari perdebatan dan
pertentangan itu. Ia pun tertawa terbahak-bahak seraya berkata, "Dalam sebuah syair
sesungguhnya tidak terdapat aturan semacam itu. Sekalipun kami menanggung kritik
dan terbebani usulan, setiap
penyair - baik yang terdahulu maupun yang hidup kini - pasti tidak akan mau mengubah
syairnya." Ibnu Hannath tiba-tiba berteriak seraya berkata, "Tidak, Tuan! Keunggulan sebuah
syair adalah untuk mengritik apa-apa yang tidak dapat dipahami."
Tiba-tiba seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang datang dari Kota Maria
semenjak beberapa hari yang lalu itu maju ke depan seraya berujar, "Jika untuk seorang
bocah sepertiku diizinkan untuk berbicara, maka aku akan berkata, 'Seluruh
negeri Andalusia ini semuanya
memeluk agama syair tiga orang, yaitu Ibnu Bur& Ibnu Hannath, dan Ibnu Zaidun!"
Orang-orang pun tertawa terbahak-bahak. Ibnu Hannath menoleh pada orang yang
berada di sampingnya seraya bertanya, "Siapakah pemuda ini?"
"Dia adalah Abdullah bin Haddad, seorang . penyair, pemusik, dan seorang ser:
-ian. Dia banyak menggubah syair-syair cini yang cukup mengagumkan."
Naila kemudian berujar, "Dia adalah penyair cinta berkebangsaan Spanyol, wahai
Tuan Guru! dia melantunkan syair cinta di kota 'Nora' Spanyol yang sekaligus menjadi kota
yang membesarkan namanya."
Wilada berbisik dekat telinga Ibnu Zaidun. Ia berharap pada Ibnu Zaidun agar mau
memintakan pemuda itu melantunkan beberapa bait syair cintanya.
Ibnu Zaidun pun berkata lantang, "Lantun-kanlah di depan kami sebagian syairsyair Nora-mu, wahai Abdullah!"
Pemuda itu pun terdiam ragu. Tak lama kemudian ia berdendang:
"Kapan aku mengutamakan cerminmu
Dan menenteramkan hatiku yang mengaduh"
Aku melihat Hasan menguasaimu
Penghormatanku dan kebinasaanku
Aku tak mampu lupa Bahwa iku memercayai sahabat-sahabatku
Seberapa penting aku harus menangis darah karena-mu
Jika kau tidak mampu mengiba penangismu
Apakah kau tahu apa yang terjadi
Atas mataku dan matamu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Api tidak menyulutnya Dengan hatuku cahayamu menyala"
Jika gadis Nora berseri-seri
Sesungguhnya aku mencintaimu
Itulah keinginanmu."
Ia lalu melanjutkan syairnya:
"Antara kebajikan yang lembut adalah seorang gadis bangsa Su miri bagiku Jauh
cucuran air keran mendekat
Allah sungguh telah menunggalkan kebaikan yang tiga
la memuji dalam tulisan dengan sanjungan dan ratapan."
Wilada berdecak kagum seraya berkata, "Sungguh mengagumkan syair realisme ini!"
Sambil berkelakar. Abu Muhammad berseloroh, "Syair Ibnu Zaidun pun hampir
semuanya realistik. Bait-bait syairnya selalu segar dan banyak didendangkan
hampir di setiap tempat."
Ia kemudian pergi sambil bersenandung:
"Kapan mengumpatmu apa yang menjadi salahku"
Wahai ketenangan sekaligus kegundahanku
Kapan dia menggantikan lidahku
Untuk menerangkan tulisan-tulisanku"
Wahai taman pujaan Dan sebab malapetakaku Matahari engkau bersembunyi
Dari pandanganku dengan sebuah penghalang
Apa arti bulan purnama yang lemah cahayanya
Karena tertutup di balik awan
Kecuali seperti wajahmu ketika
Berseri-seri di balik kerudung cadarmu
Naila berseru memekik seraya berkata, "Ini benar-benar syair yang melecehkan
martabat kaum wanita dengan kerudung cadarnya dan mematahkan semangat orangorang yang tua renta dari kesirnaan masa mudanya."
Wajah Ibnu Abdus tampak murung. Ia akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan pada
topik yang lain. Ia menoleh ke arah Ibnu Hayyan dan berujar, "Hari-hariku
dipadati hanya untuk menelaah buku sejarahmu, wahai Tuanku. Aku sungguh takjub
dengan isinya. Hampir tidak ada cela di dalamnya. Engkau memenuhi buku itu
dengan kejelekan-kejelekan anak manusia yang tidak terampuni salah seorang pun
di dalamnya dari kesalahan mereka."
Ibnu Hayyan balik menoleh kepadanya dan menjawab, "Apalagi yang bisa aku
perbuat, wahai Pemuda Spanyol" Karena kehidupan dunia bukankah tercipta seperti
itu" Buku sejarahku adalah cermin kehidupan dunia yang aku turut hidup di
dalamnya. Baguskanlah perbuatan kalian sebagaimana membaguskan buku sejarahku."
"Bukankah kau menyebut Abu Amir bin Syahid yang membanggakan Andalusia dengan
karya sastranya, kecerdasannya, dan humor segarnya, Sungguh Cordova berada dalam
kejayaan, keunggulan, dan kecerdasannya. Segala bentuk kejahatan di Cordova yang
penuh amarah berkumpul dalam rasa patriotismenya. Dia adalah manusia yang agung
antara ucapan dan perbuatannya, menghimpun mereka dalam setiap ambisi nafsunya,
mengoyak mereka dalam syair-syairnya, dan orang yang paling berani terhadap Sang
Penciptanya?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Zaidun segera memotong ucapannya, "Begitukah" Demi Allah! Tidak ada seorang
pun yang berani memadamkan sumbu lampu seorang Abu Amir!"
Saat itu Wilada hanya memandangi Ibnu Hayyan seraya berkata, "Seandainya engkau
sudi untuk menuliskan biografiku dalam buku sejarahmu, maka demi kepercayaanku
kepadamu* kira- kira apa yang akan engkau tuliskan di dalamnya?"
Ibnu Hayyan hanya tersenyum dan berkata, "Aku akan menuliskan, 'Pada zamannya
hanya ada satu yang menjadi kelebihannya, hadirnya para penyaksi, semangat abadi yang
menggelora, indahnya ucapan dan pandangan, dan manisnya sumber serta rujukan."
Wilada terdiam. Ibnu Burd berkata memekik, "Teruskan, wahai Abu Marwan! Karena
ular pasti akan memuntahkan bisanya."
Ibnu Hayyan menjawab, "Tidak! Aku tidak akan menulis tentang puteri Al Mustakfi
selain tulisan itu atau semisalnya. Seandainya engkau menginginkan aku
menulisnya dengan sentuhan yang
halus, aku akan menulis, 'Kendati pun ia, semoga Allah mengampuninya dan
memperbaiki kesalahan-kesalahannya, membuang suatu kesimpulan, niscaya ia akan mendapatkan
cara untuk menggantikan kata-katanya."
Orang-orang pun tertawa sampai hampir membuat gaduh seisi ruangan.
Ibnu Zaidun berkata, "Kira-kira apa yang akan kamu tulis tentangku?"
Ibnu Hayyan menghela napas panjang kemudian berkata, "Pemuda sastrawan, raja
kepandaian, penyair kreatif, memiliki jiwa kebapakan yang selalu memperingatkan
Gordova, memiliki ketampanan, dan luasnya pandangan. Kefasihan lidahnya mengaliri tamantaman, mampu menghilangkan ambisi setiap kelompok, dan memudahkan setiap permintaan.'
Ibnu Abdus mendekati Ibnu Hayyan. Ia lalu menyodorkan kepadanya sepiring kue
dengan penuh ramah dan bersahabat. Ia lalu berkata dengan hati-hati, "Kira-kira apa
yang akan kau tulis tentangku?"
Abu Marwan hanya memandanginya seraya berkata, "Sastrawan yang syairnya mampu
menggapai lebih jauh dari apa yang bisa dicapai sastrawan lain. Tipu muslihatnya
terlampau jauh bahkan melampaui puncak dakiannya. Tipu muslihatnya menandingi
bangsa Arab. Ia menutupi aib
keturunannya dengan kebaikan dan kepandaiannya. Ia adalah guci minuman keras,
seorang menteri yang serupa dengan penggali pasir dan melampaui lari kuda pacuan maupun
kuda liar, serta mendengki setiap cita-cita mulia."
Ibnu Abdus terdiam marah seraya berkata, "Ini jelas suatu ejekan! Ia memfitnahku
dengan penuh iri dan dengki. Sungguh aku rela kehilangan jabatan untuk melawan omong
kosong seperti ini!" Ibnu Burd segera menyela, "Sesungguhnya sang Mahaguru tidak ingin mengatakan
tentangmu sedikit pun. Namun karena engkau terus mendesak dan memaksanya hingga setelah
beliau menunjukkan pandangannya tentang dirimu."
Naila tiba-tiba berteriak, "Sebenarnya kami tidak marah terhadap apa yang
ditulis oleh Abu Marwan. Seorang sejarawan mesti memiliki kebebasan untuk
menuliskan sejarah. Jika tidak,
rusaklah fakta sejarah itu dan berkuranglah kepercayaan orang-orang terhadap
para sejarawan. Lebih entengnya, ia tidak akan memuji sahabat karena persahabatannya dan tidak
akan membenci seorang musuh karena permusuhan dengannya. Saya tahu apa yang beliau
tulis tentang saya. Aku bersumpah atas nama Allah, rasul, dan para nabi, saat ini
beliau tidak akan mau menyebutkannya meski satu huruf sekalipun. Sekarang, marilah kita menuju
ruang minum!" Berduyun-duyunlah orang-orang ke tempat minuman. Mereka benar-benar dikelilingi
macam- macam minuman yang mengembuskan semerbak kayu gaharu. Saat itu duduklah "Gaia
Mona" seorang biduanita Spanyol di tengah-tengah kumpulan mereka. Setelah ia
membenarkan tempat duduknya, ia pun mulai bernyanyi dengan lantunan suaranya yang bagaikan bisikan
harapan dalam jiwa orang-orang yang sedang putus asa dan sedih. Ia melantunkan syair
Ibnu Zaidun, Jelaslah kebenaran nyata Sirnalah kesangsian yang yakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan musuh melihat apa yang menggoda mereka
Dari prasangka Katakanlah pada orang yang merendahkan untaku
Keinginannya adalah hutang bagiku
Wahai bulan purnama apakah kau perhatikan
Jiwa-jiwa tanpa mata. Ajaib bagi hati yang keras Bagimu, dan cambuk itu mulai terkulai!
Apa yang memberatkanmu seandainya gembira
Depan cerminmu yang sedih"
Meredakan gelora cinta Saat waktu bagimu berlalu begitu saja"
Ungkapan kata-kata bisa bermacam-macam
Namun dalihnya pun bisa beraneka ragam
Nyanyian terus mendayu-dayu di tengah-tengah kumpulan mereka setelah sebelumnya
kepala mereka mabuk dengan aneka rasa minuman.
Tak lama kemudian datanglah Zuraqa sang Pembual. Ia duduk di atas kursi dan
menyandarkan lehernya yang panjang. Ia berteriak laksana kokok ayam dan berkata, "Wahai para
sastrawan Cordova! Wahai para penyair Cordova! Jika kalian pernah mendengar
ucapan Abu Nawas yang mengatakan, 'Alirilah aku hingga kau melihatku. Aku mengira ayam jantan laksana
keledai!' Maka pusatkanlah semua perhatian kalian dariku dan penjelasan kalian
di depan wajahku, 'Apakah
perkataan Abu Nawas itu benar?"
Ia kemudian bersuara sehingga orang-orang yang mendengarkan dari kejauhan pun
tidak merasa ragu bahwa mereka tengah mendengar suara keledai. Ia lalu melompat sambil


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak, "Sungguh sang Pembual itu memang benar. Sekarang, minumlah dan bersukarialah!"
Saatnya kini kesempatan bagi para penari Spanyol. Orang-orang merasa terhibur
dengan nyanyian dan tabuhan gendang mereka. Larutlah pesta malam itu dengan penuh riang
dan gembira hingga kemudian cahaya pagi mulai menyembul. Orang-orang satu per satu
mulai pulang dan memohon undur diri setelah beberapa saat lamanya merenggut kebahagiaan yang
mereka dapatkan dari sang penguasa zaman.
Tatkala Ibnu Zaidun hendak berterima kasih dan pamit pada Naila, ia berbisik di
telinganya seraya berujar, "Aku khawatir tentang akibat dari surat yang aku kirimkan pada
Aisyah, wahai Bibiku! Demi Allah, bebaskanlah aku dari perangkapnya karena dia
adalah orang rakus yang akan
menghancurkan segala sesuatu yang tumbuh.'
Naila menjawab dengan tersenyum,
"Tenangkanlah dirimu, wahai Abu Walid! Aku pasti akan menemuinya. Aku akan
menghunus ekor kalajengkingku agar kau tidak kembali terperangkap dalam jeratannya."
Wilada pun menghadap keduanya sambil menyunggingkan senyuman mohon undur diri.
Naila hanya menyampaikan rasa terima kasih mendalam atas jamuan istimewanya maupun
kecantikan yang tak mampu mengembalikan kegembiraan itu pada saat yang lain.
0==0 04 Siapakah Aisyah binti Galib itu" Dari keturunan bangsawan manakah ia berasal"
Sungguh di sekelilingnya sarat tuduhan dan selalu disifati dengan sifat-sifat buruk hingga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siapakah Aisyah itu" Siapa ayahnya" Siapa juga ibunya" Dari keluarga apakah ia
tumbuh" Dan dalam lingkungan apakah ia tumbuh dan berkembang"
Florenda adalah ibu Aisyah yang tinggal di kota Saint-Yakev. Dalam keluarga yang
sangat sederhana, ayah Garcia menjadi pelayan di gereja pada siang hari dan memikul
senapan untuk merampok pada malam hari. Gereja yang ada di Saint-Yakev adalah gereja terbesar
di seluruh Spanyol sekaligus teater paling besar.
Orang-orang mengunjungi gereja itu untuk menunaikan ibadah. Mereka datang dari
negeri membuat penasaran orang-orang. Egypt (Mesir), dan Nouba, bahkan dari ujung Roma
maupun sekitarnya tak luput mendatangi gereja itu. Garcia mendapat penghasilan pada
siang hari dari sebagian sumbangan orang-orang yang melaksanakan ibadah. Dan ia terjaga dari
tidurnya pada malam hari untuk menutupi kebutuhan keluarganya.
Pagi hari-hari di bulan Sya'ban tahun 387 Hijriah (sekitar awal-awal tahun
1000.abad ke-10), rasa bingung melanda seluruh penduduk Kota Saint-Yakev yang tengah dirundung
keresahan. Dipukullah lonceng di gereja yang besar itu yang diiringi teriak orang-orang
dengan suara-suara bergetar dan menggigil seraya berteriak: "Pasukan Mansur Bin
Abu Amir mendekati kota!"
Mereka hidup dalam keadaan aman. Mereka mengira bahwa renggangnya kota mereka
dan terjalnya jalan-jalan di antara kota-kota itu dan Kota Cordova akan menjadikan
mereka terjaga dari serangan bangsa Arab. Nyatanya, sang pembawa berita
memberitahukan bahwa Mansur dan
balatentaranya telah sampai di Kota Quria. Kemudian mereka terjegal oleh padang
pasir yang tandus sehingga hanya sampai Kota Burtugal melewati Sungai Duwaira.
Di atas sungai itu para balatentara menyeberangi sungai dengan sampan kecil.
Mereka menyeberang satu per satu bagaikan jin dan iblis yang menyeberang jiwa dan
lembah-lembah. Mereka senantiasa menyeberangi sungai-sungai, mendaki gunung-gunung, bahkan
sampai pada puncak yang menjulang dan terjal jalannya. Mansur kemudian memerintahkan untuk
membuka dan membentangkan jalan luas bagi para balatentara.
Mereka kemudian menggali gunung itu dengan besi bahkan sampai mengikis
puncaknya. Mereka mencurahkan segala upaya hingga kemudian sampai ke Sungai Abla. Dari kota
itu ke Saint-Yakev tidaklah mereka menempuh kecuali dalam waktu yang sangat singkat.
Kaum lelaki bingung, kaum wanitanya menjerit-jerit, dan anak-anak pun menangis.
Tidak ada satu orang pun yang dimintai pertolongan dari serangan ini kecuali melarikan
diri. Lalu mereka berkumpul karena takut dan menjauhi kota seolah-olah mereka
adalah sekawanan lebah yang lari
tunggang-langgang karena sarangnya penuhi asap. Orang tua, para pemuda, anakanak, dan wanita yang menggendong bayi-bayi mereka bercampur air mata, kepedihan dan
rintihan. Ke manakah mereka akan pergi"
Mereka lari dari kematian menuju kematian, akan tetapi mereka mengira kematian
yang belum pasti lebih baik daripada kematian yang sudah pasti berada di ambang pintu.
Orang-orang senantiasa berada dalam bayang-bayang keseharian mereka, ibaratnya
mereka mengendarai suatu bahaya yang lebih dahsyat dari bahaya yang lain. Semangat
untuk hidup dalam menyusuri kehidupan ini telah berbalik kegilaan yang membenci kehidupan.
Bukankah ranjang yang dilempar pada diri api justru akan hadir sebagai pelita hidup"
Bukankah sang lebah akan menyengat tatkala mempertahankan hidupnya, dan dalam
sengatan itulah terdapat kematian. Bukankah orang yang membunuh dirinya itu dikarenakan dia mesti hidup"
Sesungguhnya kapal laut apabila didapatkan tenggelam maka para penumpangnya akan
panik dan saling tarik-menarik satu sama lain hingga kemudian mati karena ditelan air
laut. Rumah-rumah itu disirami api hingga membunuh panik penduduknya sebelum mereka
berhasil memadamkannya. Orang-orang yang melarikan diri itu bagaikan ular liar yang kalau
dibiarkan sebentar saja niscaya tidak ada yang tersisa selain ular itu sendiri.
Sebenarnya, takut mati merupakan bagian kematian, mencurahkan hidup yang telah dianugerahkan.
Garcia dan istrinya; Maraya, serta anaknya; Florenda, bersama orang lain yang
melarikan diri keluar dari negeri mereka dalam bayang-bayang seribu kematian. Gracia adalah
orang yang paling berpengaruh, kekar perawakannya, dan berotot urat-uratnya. Di atas
pundaknya ia memikul Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barang-barang yang tidak mampu mereka bawa dari barang-barang yang ringan untuk
dinikmati sekalipun. Ada pun sang istri, ia hanya terkulai lemah. Mukanya pucat dan resah menatap
luasnya Padang Sahara tandus dan pegunungan-pegunung-an yang mesti ditempuh. Ia hanya
bisa mengeleng-gelengkan kepala seraya mengeluh dan putus asa. Ia memangil semua
pendeta dan biarawati untuk membopongnya, karena sebentar lagi ia akan menjumpai ajalnya.
Saat itu, Florenda berusia sekitar lima belas tahun. Ia benar-benar dianugerahi kemolekan
dan kecantikan tubuh melebihi wanita-wanita cantik lainnya.
Bersama yang lain, keluarga itu selanjutnya meneruskan perjalanan dengan penuh
sunyi, sedih, dengan rasa haru mendalam. Ia tidak tahu, mau menuju manakah ia" Ia pun
tak mengerti, untuk tujuan apakah perjalanan ini" Akan tetapi, ia hanya ingin meninggalkan
kota tempat tinggalnya. Ia ingin melarikan diri dari penjajah Arab yang menimpakan bencana
pada kota itu dan tidak diketahui kapan akan berakhir. Ia hanya ingin
menghindari kekejaman yang digencarkan
seekor singa yang raungannya terdengar nyaring dari kejauhan dan membuat tuli
telinga-telinga lembah sekaligus anak bukit pegunungan.
Udara di pagi itu begitu dingin. Semilir angin berembus, paras muka benar-benar
bagaikan bulu burung yang berembus di tengah-tengah badai dan angin topan. Angin itu menceraiberaikan bulu- bulu itu di sana-sini sehingga tidak dapat diam maupun tahan. Jalanan itu
langsung sepanjang hari hingga akhirnya malam tiba. Dingin pun semakin
menggigit. Ia lalu menuju sebuah kaki bukit untuk berlindung dari embusan badai. Maraya
duduk bersimpuh dengan lutut diangkat menempel perut. Ia menutupi wajahnya di antara
kedua lututnya karena dingin. Orang-orang pun mulai melindunginya dengan cara masing-masing.
Florenda mengulurkan selimut ke atasnya. Ia terus membisikkan di telinganya, masih ada
kota-kota menyejukkan. Ia menganjurkan agar ibunya selalu tenang, sabar, dan tabah.
Garcia memang sosok yang keras kepala. Pemandangan yang menyedihkan yang menimpa
istrinya itu tidak membuatnya terharu. Ia hanya berdendang dan bernyanyi.
Istrinya terus menarik napas panjang karena kesal dan marah tetapi sayangnya ia
lemah dan lunglai. Akan tetapi anaknya selalu meperhatikannya. Sambil melipat bentang kedua
sikutnya ia menoleh kepada ayahnya seraya berkata, "Ibu tidak dapat berjalan, Ayah! Kedua
tangannya kini ibaratnya dua batang lidi. Aku menyentuh kepalanya yang panas
karena demam." Ia mencucurkan air matanya sedih. "Ibu sakit, Ayah! Lihatlah
kedua matanya, engkau tidak menemukan sinar di matanya. Dan rabalah dadanya
untuk merasakan hiruk-pikuk masa mudanya."
Akan tetapi Maraya tidak membutuhkan gendang. Dia berasal dari dunia badai dan
angin ribut. Ia meninggalkan bangsa Spanyol yang kasar dan kejam menuju lingkungan lain yang
masih tertutup dari penglihatan.
Florenda berteriak histeris kala akhirnya melihat mayat ibunya terbujur kaku.
Gracia hanya terbengong bingung. Khawatir terhadap istrinya yang tengah dirundung getaran
maut. Berputar di sekelilingnya ketakutan yang luar biasa yang tidak diketahui
oleh orang hidup kecuali sebentar saja saat perpisahan.
Yang mengagetkan, justru pada waktu yang sesaat itulah yang berhasil mengubah
tabiat lelaki itu. Tampak sisi-sisi kekhawatiran dan kesedihan dalam jiwanya. Padahal ia
nyaris tak peduli dengan kematian istrinya. Namun ia kini diselimuti kesedihan. Ia menangisi
istrinya bagai anak kecil.
Dan lukanya membekas ibarat ditinggal mati oleh seorang anak.
Ia menyelamatkan gadis itu dalam jurang keniscayaan dengan membebaskan dan
menyelamatkannya. Sebagaimana sepasang kekasih, seolah-olah ia mengingat masa
lalu saat kekuatan dan kegelisahan hati serta keluhuran cintanya pada gadis itu begitu
memuncak. Maka bertambah sedih pulalah ia merasakan haru, sakit, dan putus asa yang begitu
mendalam tatkala semuanya sudah dipersiapkan. Ditanamlah perempuan itu di bawah pohon tin. Ia
lalu memetik dua ranting pohon, dibikin salib lalu disimpan di bagian kepalanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kemudian memikul barang bawaannya dan menggandeng anak perempuannya. Keduanya
meneruskan perjalanan sambil terus-menerus terlintas pikiran seolah-olah
merasakan bentangan sayap maut. Dalam suara tertahan, perempuan itu berkata lirih, "Sekarang, mau ke manakah
kita, wahai Ayah?" "Entahlah, Florenda."
"Aku kira hendaknya kita kembali ke kota tempat tinggal kita, karena bangsa Arab
itu tak selamanya bersikap keras, terlebih apabila kita tidak mengancam dan melakukan
teror balik." "Kembali ke tempat tinggal kita" Ini tidak mungkin, Nak."
Ia kemudian menjulurkan kedua bibirnya tanda mengeluh dan menyesal seraya
berkata, "Apa yang dapat kita kerjakan, atau sampai di manakah kemampuan kita?"
"Keluarkanlah kami untuk dapat menghilangkan keluhuran seorang perempuan di
dunia ini kemudian kami menempuh kehidupan ini seolah-olah kami telaki melaksanakan
kewajiban suci" Tidak, wahai Putriku! Kita tidak akan kembali ke Saint-Yakev tanpa ibumu. Setiap
sudut tempat ini mengingatkanku kepadanya. Dia seolah berbisik pada telingaku
bahwa aku tidak mampu menjadi
seorang suami yang baik. Aku tak lebih anjing gila. Lebih baik aku mati sekarang
ini dan kau menyertai kematianku untuk memperingati kedukaan ini."
"Ke mana kita akan pergi, Ayah?"
"Ke Cordova." "Cordova jantung peradaban umat Islam, serambi binatang-binatang buas, sarang
burung nasar dan burung elang, di mana kita lari dari kejaran dendam mereka dan kita
tertimpa bahaya dalam kehidupan ini untuk mendapat pertolongan dari kekejaman mereka. Kenapa
kita tak pergi ke sebelah utara" Dan mencari perlindungan kepada Lion, Navar, dan QussaIIa. Di
mana kamu mendapatkan keamanan dan keselamatan di bawah naungan kerajaan-kerajaan Nasrani,
di mana kami hidup bersama kaum beragama yang sama sehingga negeri kami bagaikan negeri
mereka?" "Kita akan hidup bersama mereka selama sebulan atau dua bulan hingga kemudian
datang bencana, hingga kita melarikan diri dan menjauhkan diri dari bahaya, dan siapsiap untuk menyongsong kematian yang sebenarnya!"
"Bagamana bisa. Ayah?"
"Ini adalah ulah seorang khalifah Arab yang dikenal dengan sebutan Al Mansur.
Tidak menenteramkannya satu kebijakan apa pun selain menundukan seluruh negeri yang


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di Spanyol. Merayap pada seluruh negeri Spanyol Raya bahwa ia menguasai Lion,
menundukan Navar, dan jika ia belum menguasai kerajaan Qistalla hari ini, niscaya ia akan
menguasainya esok hari. Apakah kau tahu, serangannya ke Saint-Yakev merupakan
serangan yang keempat puluh
enam. Dia aka'n menundukan negeri-negeri dengan perang dan perang. Lebih baik
kita berlindung ke Cordova, ibukota pemerintahan umat Islam. Agar kita merasa aman di sana untuk
selamanya. Kita nanti bisa hidup dengan mereka. Dikarenakan mereka tidak akan merelakan
masyarakatnya terganggu. Mereka hanya menuntut jizyah dari orang-orang sepertiku yang
jumlahnya tidak melebihi 12 dirham per tahun. Marilah kita ke Cordova, Nak. Sebuah ungkapan
Spanyol menyatakan, 'Sesungguhnya teman seekor singa tidak takut akan satu loncatannya!"
Garcia dan anak perempuannya itu lalu pergi menuju Cordova. Mereka kehabisan
bekal. Lalu keduanya singgah di sebuah kampung untuk meminta makanan pada penduduknya.
Florenda mencoba menarik perhatian dengan nyanyian dan menari. Akhirnya, keduanya
memperoleh sumbangan dari orang-orang baik yang ada di kampung tersebut sehingga cukup
untuk menutupi perbekalan keduanya. Mereka berdua terus menari dan menyanyi hingga kemudian sampai di Cordova.
Mereka akhirnya sampai pada sekelompok orang yang berada di sebelah selatan. Di sana
banyak didiami orang-orang Nasrani dan orang-orang Spanyol. Tidak ada seorang pun yang mencari
nafkah kecuali dari menjual buah-buahan yang dikirimkan sepanjang hari dan malam antara
Cordova dan daerah sekitarnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Florenda senantiasa membantu pekerjaan ayahnya. Setiap hari ia turut
mengumpulkan uang dari menari dan menyanyi. Setiap hari itu pula uangnya terus
bertambah seiring ketertarikan dan penerimaan warga setempat terhadapnya.
Pada suatu hari, kebolehan Florenda dipertunjukkan dalam pasar malam Al Bazzaz.
Orangorang yang berjalan dan kebetulan melewati pertunjukan sang Florenda ramai
mengerumuninya untuk mendengarkan lantunan gendangnya. Saat itu lewat seorang
petro yang kebetulan mendengarkan musik dan nyanyian itu. Sampai-sampai nyanyian
itu mengguncangkan dirinya. Ia pun mencoba mendekat. Ia dapati seorang penyanyi
cantik, penabuh gendang yang andal, dan seorang seniwati tari nan lincah yang
jika diajarkan pada gadis-gadis lain di Andalusia, niscaya berguncanglah seluruh
negeri. Petro yang berkebangsaan Spanyol itu tak lain pemilik kedai minuman terbesar di
kota tersebut. Dia memiliki pandangan yang andal tentang keindahan, penglihatan musik yang
mampu menangkap macam-macam seni musik, sampai bisa merasakan unsur kesenian
yang ringan sekalipun. Berdatangan ke kedainya itu gadis-gadis cantik dan orangorang terkenal di Spanyol. .
Ia bahkan mengembangkan bisnisnya itu ke luar Andalusia. Para agennya yang ada
di belahan timur dan barat mengirimkan barang-barang berkualitas yang datang
dari Perancis, Mirakus, Mesir, Syam, dan Baghdad. Kedainya merupakan tempat
nongkrong muda-mudi Cordova yang ingin menikmati kesenangan, hiburan, dan
berbagai pertunjukan. Petro cukup kaget menyaksikan kepandaian yang dimiliki Florenda. Ia merasa
penasaran untuk melihat kembali sang Mutiara yang berkilau itu. Dialah seniwati
langka yang cukup berharga. Ia mampu menunjukkan ragam seni Cordova sehingga
membuatnya mudah mendapatkan penghasilan. Petro senantiasa menggoyang-goyangkan
kepalanya setiap kali tangan si biduanita itu menabuh rebana.
Petro begitu kagum melihatnya. Ia lalu memasukkan tangannya ke dalam saku baju
dan mengeluarkan beberapa uang dinar. Ketika biduanita itu melewatinya dengan
tabuhan gendang, ia melemparkan uang dinar itu.
Si perempuan itu pun meliriknya dengan wajah berseri-seri seraya berkata,
"Dinarkah ini, wahai Tuanku?"
Petro pun tampak heran dan bingung seraya menjawab, "Benarkah itu dinar"
Barangkali aku keliru. Aku bermaksud memberikan dirham. Karena aku menghargai
kecantikan dan kesenian-mu dengan dinar itu, ambillah ia, semoga dapat
memberkatimu!" Florenda mengambilnya. Dia nyaris tak percaya bahwa tangannya dipenuhi kantongkantong uang dinar. Berputarlah angan-angan dan mimpi di batok kepalanya. Dia
membayangkan nasib baik yang tiba-tiba mendatanginya sehingga ia memperoleh
berbagai kekayaan yang cukup berlimpah.
Florenda kemudian menuju tempat lain. Di pasar-pasar penghasilan yang lain.
Seiring itu pula, Petro membuntuti langkah-langkah gadis tersebut.
Suatu saat Petro mendekatinya dan berkata, "Siapakah namamu, wahai sang gadis?"
"Florenda." "Alangkah bagusnya namamu. Seandainya jiwa orang Spanyol tidak mengenal
nostalgia, mereka sungguh tidak akan menandakan nyala air mata mereka!"
"Nostalgia" Aku benar-benar tidak mengerti apa yang engkau katakan."
"Bagus. Tidakkah engkau mengetahui sejarah bangsa Spanyol, wahai Gadisku"
Bukankah telah diceritakan kepadamu tentang keadaan bangsa Spanyol dengan
bencana kebengisan orangorang Arab saat itu."
Tampaklah kebodohan dan kepolosan yang nyata dari wajah cantik Florenda. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, "Tidak. Tidak ada seorang pun yang
menceritakannya padaku."
"Florenda binti Julian, dialah yang menghancurkan raja Spanyol. Dia membuat
aneka makanan lezat dalam mulut-mulut Arab."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang perempuan melakukan pekerjaan ini?"
"Laki-laki dan perempuan. Dulu, surga menumbuhkan laki-laki dan perempuan dari
dalamnya." Florenda tertarik untuk mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dalam ucapan
Petro. Dikarenakan sejujurnya, dia tidak dapat menangkap makna di balik semua ucapan
sang Petro kecuali sedikit saja.
Ia berujar, "Ceritakanlah padaku sejujurnya, Galius, bagaimana seorang Florenda
menyia-nyiakan surga Andalusia?"
"Florenda, Nak, ia berada di istana Ludrik, raja Spanyol. Ayahnya tahu dari
kabar sang Raja mengenai kedudukannya. Ia marah dan menghalangi cinta buana
hingga ia kemudian pergi ke Musa bin Nushair, panglima perang bangsa Arab di
Afrika. Ia menemuinya dengan perahu. Ia meminta petunjuk kepadanya untuk sampai
di bangsa-bangsa kecil di dalam negerinya. Ia pun akhirnya menunjukkan jalanjalan itu untuk diinvansi olehnya. Allah telah mengutuk Ludrik, dan Allah
mengutuk pula sang Florenda ini.
Bukanlah kau diberi nama tersebut setelah kejadian saat itu?"
"Ah, ada-ada saja, Tuan...."
Petro segera menyebutkan namanya, "Petro."
"Ah, ada-ada saja Tuan Petro. Seandainya engkau menyaksikan apa yang dilakukan
bangsa Arab di negeri kami niscaya engkau akan paham apa yang menyebabkan rambut
di dahimu beruban. Mereka adalah iblis-iblis durhaka yang meledakkan gununggunung dan mengotori air-air sungai. Mereka itu laksana si Hitam yang memiliki
sayap burung nasar. Engkau akan mencucurkan air mata sehingga tidak bisa
menahannya." Ia melanjutkan kisahnya, "Karena orang-orang Arablah ibuku meninggal, wahai tuan
Petro. Mereka telah menjajah Saint-Yakev (Yakup Yang Suci) seolah-olah angin puyuh yang
tidak menetap dan tidak pula menyebar. Kami lari keluar dari negeri kami dengan
maksud menghindari kematian tetapi sebenarnya hanya demi menyongsong maut yang
lain. Baik disebabkan kedinginan, kelaparan, dan keletihan."
"Kamu dari Saint-Yakev?"
"Ya!" "Dengan siapa kamu tinggal?"
"Bersama ayahku, Garcia."
"Di mana kalian tinggal?"
"Di Selat Gibraltar, para pemburu itu!"
"Aku akan menengok ayahmu malam ini."
Ia kemudian mengulurkan tangannya pada gadis yang baru dikenalnya itu seraya
memberi hormat. Ia kemudian pulang sambil terus-menerus berkata-kata sendiri dan
menceracau, "Dia benar-benar mutiara yang berharga. Dia adalah terompet ajaib
yang jika aku meniupnya, gadis-gadis Cordova akan melempariku dengan apa yang
ada di saku mereka tanpa sadar dan seolah dipaksa. Ini adalah faktor kebetulan
yang sangat luar biasa, yang ditakdirkan di depanmu dengan mudah dan tanpa
rintangan yang perih. Yang jika kau mencarinya di muka bumi ini selama bertahun-tahun niscaya engkau
tidak akan mendapatkannya! Sering pula kau menemukan kebetulan bagaikan
menemukan logam emas di tanah yang kosong. Sering pula kau menemukan alat-alat
berharga di tengah tumpukan sampah.
Orang-orang berlalu di depannya. Bahkan tersirat dengan kefakiran dan kepedihan
yang cukup mendalam. Padahal, ia persis tengah berada dalam pandangan mereka.
Florenda, seandainya aku disuruh pergi ke ujung negeri Romawi dan seberang
pelosok Turkistan, aku yakin tidak akari menemukan orang sepertimu!"
Florenda menatap ayahnya yang ada di kamar gelap. Ia melihat ayahnya lemah dan
lunglai. Ayahnya tidak membiarkan satu pasar maupun jalan di Cordova dan sekitarnya
kecuali ia susuri Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil berteriak mengharap orang-orang mau mencicipi buah-buahan yang
dijajakannya. Ia memuji keranuman dan kelezatan rasanya.
Namun, pada hari itu tampaknya seperti tuli dari teriakannya maupun dari buahbuahannya. Seolah-olah mereka telah bersumpah untuk tidak menyentuh buah-buahan itu sedikit
pun karena mengira buah tersebut tak ubahnya racun mematikan sehingga timbul perasaan
khawatir saat menyentuhnya. Setelah mencium sang Ayah, Florenda berkata, "Bagaimana kabarmu hari ini, Ayah?"
Garcia hanya tersenyum kecut seraya berkata, "Kabar baik, Nak. Aku membawa buahbuahan itu mulai pagi hari. Dan aku tiba untuk melanjutkannya pada sore hari. Setelah
apel-apel itu dipandangi orang-orang, akhirnya kembali dengan selamat ke keranjangnya.
Naasnya, ia terus mendesakku agar sebelum engkau masuk kamarku untuk tetap mau memperlihatkannya
pada orang-orang kota besok dan lusa. Aku menerima tawaran itu tanpa mensyaratkan
padanya untuk tidak membebaniku dengan timbangan. Kini aku tidak membutuhkannya lagi!"
Ia melanjutkan, "Aku tidak bisa menjualnya dengan seperenam dirham. Apalagi kamu
dapat mendatangkan satu atau dua dirham. Maka pergilah kamu dan berikanlah kepadaku
usaha yang dapat dicapai pada malam hari."
Florenda akhirnya merasa cemas. Awan putus asa melewati mendung wajahnya seraya
berkata, "Aku tidak bisa mencari seperenam dirham sehari, lalu apa yang bisa aku
kerjakan?" "Luar biasa! Kami hidup kelaparan. Nak. Lalu kami menyeru Al Mansur bin Abu Amir
untuk senantiasa memberi bantuan dan pertolongan. Apakah engkau tahu kenapa rezeki
diharamkan datang pada hari ini, wahai Florenda" Ia diharamkan karena sekarang adalah hari
Ahad. Hari itu adalah waktu untuk beristirahat semenjak Allah menciptakan bumi
dan langit ini." "Benar, Ayah. Karena hari ini hari Ahad."
Florenda lalu menggoyang-goyangkan bajunya. Tiba-tiba jatuhlah sesuatu dari baju
itu yang kemudian tersinari cahaya lemah subuh. Cahaya lain yang bernyala-nyala itu
kemudian menerangi sinar mata Garcia sehingga memekik, "Apa ini?"
Ia kemudian mengulurkan tangannya untuk memungutnya. Ia berjingkrak-jingkrak
seperti orang gila. Ia berteriak-teriak sendiri, "Dinar! Dinar! Ini dinar, Florenda! Bagaimana
ini ada padamu" Bagaimana bisa kau medapatkannya?"
Florenda hanya tersenyum. Dengan penuh retoris ia bertutur, "Berkat berkah hari
Ahad, Ayah." "Atas nama Jesus Kristus, katakanlah sejujurnya. Bagaimana kau bisa memperoleh
uang itu?" Florenda lalu menyandarkan pundaknya seraya berkata, "Duduklah, Ayah! Itu
merupakan peristiwa besar dan mengagumkan!"
Ia kemudian mulai bercerita seputar pertemuan dan perkenalan dirinya dengan
Petro dan apa yang dibicarakan selama dengannya. Belum lagi ia tamat bercerita, tiba-tiba
keduanya mendengar pintu diketuk. Florenda lalu menyimpan jari telunjuk di
mulutnya sebagai isyarat pada ayahnya
untuk diam. Ia menutupi paras memelasnya.
Tak lama kemudian, ia menghampiri pintu dan membukanya. Suara y#ng berat dan
serak- parau berkata, "Selamat sore, wahai Florenda."
Florenda mempersilakan tamunya itu sambil tersenyum. "Selamat datang, Tuan
Petro. Sore yang ceria dengan tamu yang mulia, walaupun rumah kami yang sempit ini tidak
pantas untuk orang sepertimu." "Sesungguhnya, hijaunya daun berasal dari kotoran. Kefakiran bukanlah aib
seandainya kita menjadikannya sebagai tangan menuju hidup kaya yang berlimpah
harta." "Hidup kaya" Engkau bermimpi. Tuan! Marilah aku perkenalkan pada ayahku." Ia
kemudian memanggil ayahnya, "Ayah, ini Tuan Petro yang aku ceritakan itu."
Garcia berdiri lalu menyodorkan tangannya pada tamu itu seraya menyambutnya.
"Sahabatmu, Garcia Fransiscus!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kemudian menggelar tikar di atas lantai dan mereka pun duduk di atas tikar
tersebut. Mereka bertiga mulai berbincang-bincang seputar Cordova dan
sekitarnya, tentang pembangunan dan kehidupan sosio-budaya masyarakatnya.
Semuanya kosmopolitan di balik kefakiran akut dan "
merata sehingga menimbulkan kesenjangan yang luar biasa.
Petro berkata, "Orang pintar itu ialah orang yang tahu bagaimana caranya memburu
dan menggunakan kesempatan."
Buru-buru Gracia memotong, "Kesempatan apa, wahai Tuan?"
"Aku sudah lima bulan lebih mengelilingi jalan-jalan dan lorong-lorong di
seluruh kota terlaknat ini. Bahkan aku teliti dengan saksama setiap pondasi
dalam megah bangunan-bangunan itu.
Namun aku tidak melihat kesempatan barang satu hari pun! Karena yang engkau cari
sesungguhnya berada dalam genggamanmu!"
"Dalam genggamanku?"
"Ya. Dalam genggamanmu. Tidak ada perumpamaan yang cocok untukmu selain seperti
orang yang tidur di atas ranjang dan menggeliat karena rasa lapar menyerang.
Seandainya ia menolehkan pandangannya ke bawah ranjang, niscaya ia akan melihat
setumpuk emas yang akan mencukupi kebutuhan sepanjang hidupnya. Sedangkan
engkau, wahai Tuan Garcia, engkau pusatkan seluruh pikiranmu hanya tertumpu pada
anggur dan apel. Engkau merasa cukup dengan penghasilan satu atau setengah
dirham." Ia kemudian melirik Florenda seraya melanjutkan ucapannya, "Seandainya engkau


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat * pada kamarmu yang sekarang kauanggap hina ini, niscaya kau akan melihat harta
karun yang bernilai itu."
"Harta karun yang bernilai?"
"Ya. Di depanmu sesungguhnya terbentang harta karun yang dapat mengantarkanmu
dari kesusahan hidup pada kegelimangan harta. Emas itu akan mengalir dari ujungujung jarimu bagaikan mengalirnya air dalam berbagai jenis tumbuhan di tamantaman bunga." "Apa maksud semua ini, Tuan" Engkau benar-benar telah melecehkan kepailitan dan
kefakiran hidup kami dengan berbagai kelakarmu."
Garcia kemudian berdiri, sambil marah-marah ia berkata, "Akan tetapi, asal kamu
tahu, wahai Tuan Petro, kendati kami hidup miskin, kami sunguh tidak menerima
pelecehan ini meski datangnya dari seorang raja Andalusia sekalipun. Tidak,
Tuanku, kami adalah orang gunung yang tabah akan berbagai kesengsaraaan namun
tidak akan tinggal diam jika dilecehkan!"
"Pelecehan apa, Tuan Garcia" Harta karun itu tiada lain Florenda!"
"Harta karun Florenda?"
"Ya. Dialah pemilik kecantikan yang tiada tertandingi meski oleh gadis-gadis di
istana kera-jaan. Suara magisnya membuat iri kicauan burung. Keelokan perawakan tubuhnya
mengalahkan mulia ranting-ranting pohon. Ini sungguh keajaiban yang luar biasa.
Inilah anugerah seni dan keindahan alami yang tidak pernah diberikan pada
seluruh kamar yang gelap ini yang banyak dihinggapi kelelawar."
Buru-buru Florenda menyela, "Menurutmu, apa yang bisa kuperbuat?"
"Datanglah ke rumahku!"
Wajah Florenda pun berubah kecut. Ia lalu menghampiri ayahnya lantas memeluk dan
menciuminya seraya berkata, "Tidak, Tuan Petro. Aku berjanji tidak akan
meninggalkan ayahku meskipun engkau menjanjikan kepadaku hamparan bumi emas.
Tegakah aku meninggalkanmu Ayah" Tidak! Itu sama saja dengan menguburmu. Tidak
benar. Ayah, jika anakmu Florenda ini akan meninggalkanmu walau sekejap mata.
Ada kelezatan di saat lapar dan kebahagiaan dari kepailitan selama aku terus
berada di sampingmu. Kita menyelamatkan diri dari negeri kita bersama-sama dan
menjalani kesengsaraan hidup bersama-sama.' Aku telah kehilangan seorang ibu di
antara angin topan dan badai gurun. Aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai
dua kali.' Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang ayah lalu memeluk erat anaknya seraya menciuminya. Ia kemudian menoleh pada
Petro seraya berujar, "Tuan Petro, apa maksudmu dengan membawa Florenda bersamamu?"
Petro hanya terdiam di tempat duduknya. Ia lalu menyeka keringat dan air matanya
dengan satu tangan karena rasa haru yang tertahan seraya berujar, "Saya memiliki kedai
minuman besar di kota ini. Tempatnya persis di pesisir Pantai Al Wadi Al Kabir.
Kedai itu dikelilingi harum
semerbak taman-taman bunga dan padang rumput nan hijau. Keindahan menjadi lebih
lengkap saat Tuhan menciptakan suara para penyanyi yang pandai menabuh rebana, merdu
nyanyiannya, gemulai tariannya, dan entakannya menggetarkan."
"Kini aku tahu maksudmu. Saat suatu ketika engkau pergi dengan anakku malam hari
ke kedai itu. Aku akan menjual apel di pintu kedai itu. Sungguh engkau orang
yang baik hati." Petro hanya memalingkan muka dengan penuh kesal seolah-olah ia hanya bergumam
dalam hatinya, "Siapakah engkau, wahai orang tolol" Tidak ada pengaruh apa-apa baik
kau mau menyaksikan atau tidak."
Ia kemudian melanjutkan ucapannya, "Setelah Florenda dididik dan dilatih,
niscaya dia akan menjadi bintang kedai minuman ini sehingga membuat para pemuda
saling berdesak-desakkan untuk melihatnya seperti berdesak-desakkan di atas ranjang. Jika engkau
menitipkan anakmu itu padaku, aku jamin tidak bakal sampai satu atau dua bulan ia akan mendapatkan
bayaran untuk setiap bulannya sebanyak lima ratus dinar!"
Mulut Garcia hanya melongo seraya memekik keras, "Apa" Apa" Apa yang kaukatakan"
Lima ratus dinar!" "Bahkan lebih banyak dari itu!"
"Apa persyaratannya. Tuan?"
"Aku tidak mensyaratkan apa pun. Asal, hendaknya engkau rela seandainya aku
mengajak Florenda ke rumahku untuk kulatih mencapai popularitas yang dicita-citakannya.
Dalam waktu yang cukup singkat, kau akan melihat fatamorgana menghilangkan bayangannya. Saat
itu ia akan tampil di kedai minuman untuk bernyanyi dan menari dengan bayaran yang tidak
kurang dari lima ratus dinar setiap bulannya."
Gerai tawa Garcia tergelak panjang hingga tampak deret gigi-giginya yang runcing
bagaikan paku yang berkarat. Setelah itu ia menyusulnya dengan isak tangis yang tersedusedu dan penuh haru. Ia hanya bediri mematung di atas kedua kakinya seraya beteriak, "Tidak,
Tuanku. Demi Allah, jangan engkau perdayai kami dengan hartamu. Aku sungguh
tidak akan berpisah dengan
anakku walaupun ia hendak ditelan bumi."
"Lagi pula siapa yang mengatakan kepadamu bahwa kau harus berpisah dengan
anakmu?" "Kau akan tetap memperkenankanku berada di sampingnya?"
"Ya. Dan kau tidak usah menjual apel mulai hari ini."
Garcia lalu mengulurkan tangannya dengan penuh bimbang dan riang ia berkata,
"Ulurkanlah tanganmu, wahai Tuan. Kita telah banyak berbincang-bincang tentang sebuah
kesempatan dan bagaimana mempergunakannya."
Petro menyambut balik tangan Garcia seraya berkata, "Baiklah."
Ia lalu melirik Florenda yang bengong seperti banyak pertanyaan tersimpan. Ia
seperti merenung kemudian berkata, "Selama Ayah bersamaku maka aku bisa menerimanya
dengan sangat gembira." Petro menjawab, "Sekarang, marilah ke rumahku!"
Garcia menganggukkan kepala.
Saat Florenda hendak mengumpulkan dan membereskan semua barang-barangnya yang
sedikit dan tak berarti, buru-buru Petro menarik lengannya dengan lembut seraya
berkata, "Kamu dan ayahmu tidak perlu membawa sesuatu apa pun dari barang-barang
yang ada di dalam kamar ini. Biarkanlah semua itu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketiganya kemudian keluar. Florenda kembali berbalik untuk mengunci pintu rumah.
Namun, sang ayah tiba-tiba berujar, "Apa yang hendak kaulakukan, wahai Anakku!
Biarkanlah pintu itu seperti semula. Semua barang yang tersimpan di dalam kamar
tidaklah bernilai selain sebagai pelajaran bagi orang-orang untuk bagaimana
bersikap amanah." Berangkatlah mereka menuju rumah Petro. Garcia dan Florenda terbengong-bengong
melihat kemegahan dan kemewahan rumah Petro yang di dalamnya terdiri dari
ranjang tidur dan pernak-pernik perhiasan. Seluruh ruangan rumahnya dikelilingi
para pelayan dan hamba sahaya. Di sekelilingnya berdiri para perias, penata
rambut, dan dayang-dayang.
Tampaklah kecantikannya. Tergambar keelokan tubuhnya sehingga memikat setiap
orang yang melihatnya. Mulailah para pemain musik dan penari itu menggelar pesta
hiburannya. Florenda tampak mahir dan gemulai dalam menunjukkan kebolehannya.
Saat Petro melihatnya, ia hanya bergumam, "Dalam waktu dekat, ia akan menjadi
terkenal di kedai ini."
Suatu malam semi di Cordova. Saat itu Florenda tampak di kedai. Ia tampil di
kedai itu bagaikan hidup tanpa temu janji dengan orang-orang. Ia melantunkan
suaranya yang indah dan merdu bagaikan desah dan dengkur yang datang dari surga.
Ia mencurahkan segala kemampuan seninya sehingga tampak elok. Sebuah lantunan
dan nyanyian yang menyentuh kalbu para pendengarnya. Sebuah kecantikan,
keindahan, senyuman, dan jiwa yang lebih ringan dari bulu-bulu yang berhamburan.
Jika kau mendengarkannya tanpa perasaan maka tidak ada permainan bagi para
pemain itu. Sebuah sihir bagi sebuah pandangan dan curah decak kekaguman mereka. Khayalan
mereka melayang seolah-olah jiwa mereka tengah berenang di lautan nyanyian dan
syair lagu. Mereka berteriak histeris setiap pangkal tenggorokan mereka serak
karena mereka terus berteriak dua kali. Tiga kali.
Di antara mereka ada penyair muda yang memiliki suara merdu yang berdendang: Dan
sang penari itu indah pipinya....
Ia terdiam sejenak. Dari pojok ruangan penyair lain menyahu t: Dan bunga itu
ramping potongan dahannya
Yang pertama pun menjawab balik:
Aku jatuh cinta pada anak-anak Spanyol yang bercahaya kar enanya Yang keduanya
pun menyahut: Bagi setiap kekasih, bagi kekasihnya adalah seorang kekasih
Yang pertama berdendang: Di antara lekuknya yang bengkok ternyata ada gereja....
Yang kedua pun menyahut: Tekadku untuk memikul cinta yang terpasung
Orang-orang pun berteriak histeris dan bersorak-sorai. Florenda akhirnya banyak
dikenal orang baik. Di belahan timur maupun barat Cordova. Kecantikan dan
keindahan seninya menjadi topik pembicaraan di setiap rumah dan pertemuan.
Berlimpahlah emas! Kini, Garcia berubah menjadi orang kaya dan konglomerat Cordova. Ia tinggal di
sebuah istana yang megah dan memakai jas serta mantel sutera terbaik yang
dikeluarkan pabrik-pabrik tenun. Ia hidup dalam kehidupan yang megah dan glamor.
Orang-orang berlomba-lomba untuk mengenalnya. Berbagai pembicaraan tentang
dirinya nyaring dan indah terdengar. Ia menjadi bersinar dan menempati sosok
khayalan. Terlebih dalam pandangan bangsa-bangsa Arab, ia begitu elok dan indah.
Bertambah bersinarlah keelokan bangsa Arab.
Akhirnya, kedai Petro dipenuhi segerombolan anak-anak pejabat, petinggi negara,
dan pengusaha-pengusaha besar di kota itu. Di antara mereka ada Galib bin
Muhammad bin Abu Hafs, ayahnya adalah salah seorang menteri yang dekat dengan
pemerintahan Al Mansur. Tempat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkumpul orang-orang yang memiliki pengaruh dan berkedudukan tinggi. Sebuah
kekayaan yang berlimpah ibarat orang Yahudi yang fasih bicaranya.
Usia Galib saat itu sekitar tiga puluh tahun. Ia sosok familiar dan terpelajar.
Seorang pemuda dan pecinta sejati. Dia tergoda oleh Florenda pada saat malam
pertama ia melihatnya. Bertambahlah kecintaannya sehingga hampir rasa cintanya itu menghilangan akal
sehatnya. Ia selalu datang ke kedai itu pada setiap malam bersama teman-teman dekatnya. Ia
kerap melemparkan koin-koin emas ke Florenda hanya untuk mendapatkan pandangan yang
tulus dan senyuman yang lembut. Ia terlarut dalam cinta. Galib rupanya tengah dimabuk
cinta. Bangkitlah setitik harapan. Sayangnya, Florenda tetap angkuh bahkan sampai menyirnakan keberseri-serian
senyumnya. Wajahnya kecut dan muram. Galib pun kecewa. Usahanya ternyata tak membuahkan
hasil. Ia lalu menemui Garcia pada suatu hari. Ia memberitahukan kepadanya tentang
ketertarikannya pada Florenda. Ia menjelaskan padanya bahwasannya ia tak dapat hidup tanpa Florenda.
Ia bahkan meminta pada Garcia untuk menjadikan Florenda sebagai istrinya. Ia berjanji
untuk memberikan apa pun termasuk harta kekayaannya untuk menebus keinginannya dan barangkali
yang juga menjadi keinginan ayahnya itu.
Garcia pun termenung seraya mengelus janggutnya yang panjang. Ia benar-benar
menginginkan kemuliaan hidup. Sedikit pun ia tak penah bermimpi bahwa pada suatu
hari kelak anaknya akan menjadi istri seorang anak menteri pada pemerintahan Al Mansur.
Lengkaplah kekayaannya. Jika kini ia menikmati berbagai kesenangan yang
diberikan Petro, maka sebentar lagi ia juga akan memperoleh limpahan harta dari si Galib itu.
Kekayaan pertama didapat dari hasil pendapatan tarian putrinya yang kini begitu populer.
Sementara kekayaan lainnya didapatkannya juga dari putrinya yang hendak menjadi istri terhormat
yang hidup di bawah naungan seorang menteri! Betapa keutamaan yang cukup
sempurna dan tiada banding. Sungguh
kehormatan tiada terkira ketika ia mampu mendapatkan keduanya secara bersamaan.
Garcia pun mendongak kepalanya seraya berkata, "Lantas, apa yang bisa kami
perbuat terhadap Petro" Dia pasti tidak akan mau melepaskan Florenda."
"Apakah dia membeli Florenda" Apakah Florenda itu hamba sahayanya sehingga dia memiliki
Florenda dengan sebuah ikatan kontrak?"
"Bukan. Akan tetapi Petrolah yang mendidik dan membesarkan Florenda. Jika kau
sekarang mengambil Florenda darinya, maka kedainya itu akan kosong dari kesenian SaintYakev yang digemari orang-orang Al Mansur itu!"
"Petro hanya berbisnis untuk mengeruk pendapatan belaka."
"Benar, Tuanku. Karena itu, aku harus menemui dan meminta izinnya terlebih
dahulu." Galib memandang, seandainya rencananya itu diberitahukan pada Petro, maka akan
gagallah semua rencananya tersebut. Dikarenakan Petro adalah orang yang tegas, ia tidak
akan melepas Florenda begitu saja. Galib pun berusaha meyakinkan Garcia seraya berkata, "Apakah kau dapat menjamin
jika Florenda akan sudi untuk kujadikan istri?"
"Yang penting saya telah menyetujuinya untuk dijadikan istrimu, Tuan. Dia tidak
pernah menolak perintahku."
"Bagus! Kalau begitu, malam ini aku akan mengumpulkan sahabat-sahabatku untuk
menggelar acara pernikahan." "Sedemikian cepat, Tuan" Lantas, apa yang bisa saya perbuat pada Petro?"
"Tenanglah. Semuanya akan beres. Hanya, saya memintamu untuk merahasiakan
rencana ini pada siapa pun kecuali pada Florenda."
Galib pun berlalu. Ia kemudian mengumpulkan centeng-centeng dan pengawalpengawal ayahnya. Ia menyuruh mereka untuk mendatangi rumah Petro guna mengancam dan
menyekapnya seolah-olah Petro adalah seorang penjahat kriminal kelas kakap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Petro menerima sekawanan orang-orang itu dengan rasa cemas dan takut. Tatkala ia
sampai di depan Galib, Galib pun menyeru dengan suara lantang, "Apakah benar engkau Petro
bin Barva-kius?" Petro pun kaget jika Galib ternyata mengetahui namanya. Ia tahu kalau Galib
adalah salah seorang langganan kedainya pada setiap malam. Orang yang terkenal yang ia


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketahui dari ayah dan ibunya. Sambil merenung penuh khawatir, Petro pun mencoba menjawab dengan tenang,
"Benar, Tuan." Galib lalu melirik surat-surat yang ada di depannya. Ia kemudian membentangkan
surat itu lalu membacanya. Ia mendongakkan kepala seraya berkata, "Dokumen ini dikirimkan pada
ayahku tadi pagi. Ayah memerintahkan agar surat ini segera dikirimkan pada
Abdurrahman bin Futhais, Kepala Kepolisian."
"Apa gerangan isi dokumen itu, Tuan?"
"Isinya peringatan akan kelancanganmu yang mengancam darahmu."
"Isi surat itu menegaskan bahwa engkau, Tuan Petro, telah mengganggu ketertiban
kota ini. Merusak moralitas generasi muda dengan membolehkan mereka meneguk minuman keras
di kedai minuman milikmu. Bukankah hal itu telah dilarang Khalifah Al Mansur"
Seandainya pengaduan ini sampai ke tangan Kepala Kepolisian, ia pasti akan menutup kedaimu
dan menelantarkan seluruh penghasilan serta pengaruhmu ke sebelah utara!"
Wajah Petro memerah. Dengan terbungkuk-bungkuk, ia menjawab, "Saya berterima
kasih atas pemberitahuan ini, Tuan. Pengaduan ini pasti ulah dari salah seorang musuhku."
"Benar. Pengaduan itu datang dari salah seorang musuhmu. Dan aku kira,
permusuhan itu ada disebabkan seorang gadis yang bernama Florenda yang ada di
kedaimu itu. Mereka memandang
bahwa mereka tidak akan tinggal diam kecuali kamu mengenyahkannya dengan
berbagai cara." "Tetapi, Tuan, dia adalah nadi kehidupan kedai sekaligus keindahan dan
ketertarikannya." "Namun, keseniannya itu tidak bisa mem-binasakanmu begitu saja. Apa pendapatmu,
Tuan Petro, seandainya modal kekayaanmu ini malah justru menelantarkanmu pada
kefakiran dan mendatangkan malapetaka" Bukankah sebaiknya engkau hidup tenang dan tenteram
sebagaimana mestinya" Bukankah engkau menginginkan agar engkau terlindung dari
kebinasaan dan kefakiran . itu?"
"Tetapi saya tidak mampu merasa cukup tanpa kehadiran Florenda."
"Bagus sekali! Berarti kau akan menyaksikan kedaimu ditutup mulai malam ini
bahkan untuk selamanya!" Galib menoleh pada pengawal pengawalnya seraya berkata lantang dan geram,
"Tangkaplah ia!" Petro hanya terdiam. Dengan merendah, ia buru-buru menyela, "Bagaimana bisa aku
melepas seorang gadis yang justru menjadi modal utama kesenian dan keindahan kedaiku,
Tuan" Seandainya aku melepasnya, maka pemilik kedai yang lain yang ada di Cordova ini
pasti akan memungutnya." "Tidak! Seorang pun tidak akan diizinkan untuk memungutnya setelanmu. Dia tidak
akan dipekenankan lagi bernyanyi di kedai mulai saat ini."
"Bagaimana bisa, Tuan?"
"Karena dia akan diminta berhenti bernyanyi dan menari."
"Usaha ini hanya meredam gejolak sebentar saja. Apakah Anda kira bahwa dia akan
hidup bersama ayahnya?" "Tidak." Petro pun tersenyum kecut seraya berkata, "Ayahnya itu berutang padaku sebesar
seribu dinar." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan khawatir, dia pasti akan melunasinya."
Galib lantas menoleh pada salah seorang pengawalnya seraya berkata, "Wahai Abu
Auf, pergilah bersamanya ke rumah Garcia dan sampaikanlah kepadaku apa yang
dikatakan Garcia kepadanya. Jangan kaukurangi satu huruf pun! Dia pasti akan
berkata bahwa Petro tidak memiliki hak dan kekuasaan apa pun atas Florenda!"
Galib menatap Petro dengan penuh amarah seraya membentaknya, "Pergilah kalian!"
Sore harinya, Galib bin Abu Hafs bersama sejumlah sahabatnya pergi ke rumah
Garcia. Mereka menyambut rombongan Galib dengan penuh hormat dan ceria. Florenda
menyambut dengan wajah yang cantik bagaikan keindahan surgawi. Ia pun memberi
hormat dengan penghormatan yang khidmat dan ramah. Penuh cinta dan suatu rasa
yang terpendam. Garcia benar-benar menyelenggarakan pesta perkawinan yang meriah. Ia mencurahkan
segala kemampuannya untuk menyediakan aneka menu dan selera makanan maupun
minuman. Tidak hanya itu, berbagai bunga, wewangian, dan buah-buahan yang
didapat dari tanah Andalusia yang subur itu pun tak luput disuguhkan.
Di antara para tamu pesta perkawinan Galib itu hadir Abu Ala Sa'id Lughawi,
seorang sastrawan, seniman, dan penyair. Dia sengaja datang dari tempat yang
jauh. Tak urung, ia pun disambut dan diberi penghormatan atas kehadirannya itu.
Dalam pesta itu hadir pula Tsabin bin Qasim, seorang pakar hadits terkenal di
Andalusia, dan Fatin Al Shaqlaby, asisten khalifah Al Mansur.
Tatlaka seorang pelayan mencucurkan air pada gelas, setelah gelas itu penuh,
tersisalah setetes air dalam mulut kendi. Fatin memperhatikannya sembari
pandangannya tertuju pada Sa'id.
Ia menuduh Sa'id kerap mengutip syair dari buku-buku asing kemudian ia
menyebutnya sebagai karyanya sendiri. Selain itu, ia juga dikenal sering merekamereka kalimat yang tidak ada dalam kamus bahasa.
Untuk menghilangkan pandangan orang-orang bahwa Sa'id mengetahui segala hal yang
diketahui orang banyak, ia menoleh pada Sa'id seraya berkata, "Wahai Abu 'Ala,
bagaimana kau akan menyebut setetes air yang ajaib di mulut kendi itu?"
Sa'id memandangnya dengan sinis seraya meremehkannya, menjawab, "Memangnya, apa
yang membuat kamu takjub akan hal itu?"
"Yang membuatku takjub tiada lain karena dalam hal itu tidak ada bahasanya dalam
buku-buku timur!" Dengan penuh jengkel, Sa'id menjawab, "Sebutannya mungkin ada dalam buku-buku
orangorang Slavia! Perumpamaannya kurang lebih seperti ini...."
Ia kemudian bersenandung:
Kopi di mulut kendi itu begitu murni
Seperti cucuran air mata kesedihan deng an seribu kebimbangan Layaknya kendikendi kami di mulutnya a da ketenteraman Seolah seekor burung yang meraih yaout
dengan paruhnya Orang-orang pun berseru, "Demi bapakmu yang ada dalam genggamanNya, sungguh engkau telah menebar fitnah dan melempar batu, wahai Abu 'Ala!"
Setelah orang-orang menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, Galib kemudian
maju dengan ramah dan penuh kebesaran menuju seorang hakim negara, Tsabit bin
Qasim. Ia meminta kepadanya untuk menikahkan dirinya dengan Florenda. Tsabit pun
menikahkannya. Orang-orang pun terdiam dan penuh khidmat menghormati upacara
pernikahan itu. 0==0 Galib dan istrinya hidup bahagia dengan segala kesenangan dan kebahagiaan.
Kecintaan mereka terus bertambah sehingga hari-hari mereka terlewati seolah-olah
terus merupakan hidup Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baru bagi mereka. Mereka kemudian dianugerahi seorang anak perempuan yang mereka
beri nama: Aisyah. Aisyah kecil tumbuh dalam keluarga kaya raya. Ketika Dinasti Amiriah tumbang,
khalifah Al Musta'in Billah menggantikanya. Galib termasuk orang-orang yang dipinggirkan
dalam dinasti itu. Bersama Ali bin hamid Al Husni dan saudaranya, Qasim, ia pun akhirnya bersepakat
untuk merebut kekuasaan Al Musta'in Billah. Ia juga dibantu oleh bangsa Barbar.
Al Musta'in pun memerangi mereka. Saat itu, Galib hadir di barisan pertama
pasukan pemberontak. Berkecamuklah perang di antara keduanya. Sang khalifah pun
terbunuh. Galib bin Abu Hafs tewas dalam peperangan itu. Ia meninggalkan duka dan kesedihan
mendalam. Aisyah dan Florenda akhirnya hidup dengan sisa-sisa peninggalan kekayaan dan
kehormatannya. Dalam asuhan ibunya, Aisyah tumbuh berkembang. Ia begitu dimanja oleh ibunya. Ia
dibiarkan berbuat apa saja sekehendak hatinya. Ia bergaul dengan iblis untuk mengumbar
kegemarannya dalam berbagai hal. Ia mendekati orang-orang selalu dengan iming-iming uang.
Dalam semua urusan, tanpa terkecuali. Ia juga menggadaikan kecantikannya di setiap pintu
Cordova. Aisyah mengawali kisahnya ini pada saat berusia dua puluh lima tahun. Dia tumbuh
dengan wajah yang cantik, berperawakan molek, dan berkemilauan. Selalu berangan-angan
setiap waktu hanya tentang kecantikan dan kemolekan.
Apabila kita memandangnya, tampaklah di wajahnya sebuah kecantikan yang
sempurna. Sebuah perpaduan antara keindahan Arab dan kecerdikan gadis Spanyol. Ras
keduanya berkumpul dengan sempurna di wajah indahnya. Dialah Aisyah binti Galib yang jika
kita menatapnya tampaklah kecantikan yang sempurna.
Ada pun semangat, akhlak dan falsafah hidupnya justru bertentangan seratus
delapan puluh derajat dengan kemolekannya yang menawan itu. Sebuah gambaran sifat dan tabiat
jelek manusia, maka ia termasuk sejelek-jelek makhluk yang belum pernah dilahirkan dan
diciptakan Allah sebelumnya. Sebagaimana Allah telah meciptakan ular liar dengan bisanya,
maka gadis ini diciptakan dengan satu perangai yang dapat menutup cela dan menyembunyikannya
dari pandangan orang lain. Perangai itu tiada lain sifat riya'.
Perangai jeleknya telah mencapai puncaknya. Bahkan sampai pada taraf memolesnya
dengan kebaikan hati dan kelembutan sikap. Andalusia selalu mencucurkan air mata
layaknya orang- orang yang menyesal. Ia seolah-olah dirundung malu dari perbuatan jelek yang
dilakukannya. Ia juga dapat menutupi semua kehinaan dengan kebalikannya; dengan kepandaian dan
kecerdikan! Sehingga, kebodohan seolah-olah pengetahuan, iri dengki adalah kasih sayang,
kebencian adalah cinta, dan kejahatan adalah zuhud.
Ia benar-benar terwarisi oleh semangat kedengkian, dendam, dan kebencian ala
orang-orang Arab. Namun, ia juga khawatir jika di balik semua itu sarat juga menyangkut halhal lain berkaitan dengan orang Arab.
Ia mengikat Ibnu Zaidun. Ibnu Zaidun pun terpikat sehingga kemuliaan datang.
Bisikan nurani memutuskan untuk mengakhiri jalinan keindahannya. Ia menulis sepucuk surat pada
Aisyah sebagaimana yang disarankan Naila.
Dengan ragu dan takut, Ibnu Zaidun aktiirnya menulis surat itu. Karena ia tahu
bahwa di balik perangkap Aisyah, tersembunyi kedahsyatan perang antarsuku dan kabilah. Karena
dia juga tahu bahwa Aisyah bukan tipe orang yang mudah terpengaruhi hanya dengan sepucuk
surat. Bukan pula golongan orang yang mudah dihina karena ia sangat sadar akan harga dirinya
itu seolah melebihi orang lain. Dia adalah tipe orang yang tidak terperikan. Tipe orang yang jika mencintai
sesuatu, ia menyukainya dengan sangat. Sebaliknya, kalau membenci seseorang, ia membencinya
dengan membabi buta. Orang yang saat perasaannya tersinggung atau ketika harga dirinya
termaki, berubah liar dan buas, tega mengucurkan darah. Ia bagaikan ular yang tidak
mempan untuk diobati bisanya hanya dengan jampi-jampi bahkan obat apa pun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatkala surat Ibnu Zaidun sampai di tangan Aisyah, ia tampak marah luar biasa.
Benci bercampur sangsi. Ia berjingkrak-jingkrak layaknya hewan yang hendak disembelih.
Ia tertawa seolah-olah orang gila. Tawanya itu bahkan lebih nyaring dari sekadar teriakan
dan rintihan. Buru-buru pelayannya, Galia, menghampirinya. Ia tengah terdiam kaku.
Ibunya pun merasa gelisah. Ia kemudian mendekati anaknya yang tengah dirundung
kebingungan itu seraya berkata, "Apakah gerangan yang tengah terjadi, wahai
Aisyah?" Akan tetapi, Aisyah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tersedusedu dengan tangisan yang menyayat hati. Dengan penuh kasih sayang, Florenda lalu mencium
kepalanya, kemudian mencoba membuka salah satu telapak tangannya dari wajahnya dengan lemah
lembut. Ia hendak menanyakan masalah yang tengah membebaninya itu seraya berkata,
"Anakku sesungguhnya adalah seorang pemberani yang mampu mengelak tangisan ketika ada
ujian mengimpit sekalipun. Ia adalah orang Spanyol asli yang pengisap darah dan tidak
kenal takut serta tidak getar kala menghadapi cobaan hidup. Aku bangga padamu, wahai Aisyah,
dibanding gadis-gadis Cordova yang lemah hatinya dan kecil kemauannya. Kamu mewarisi
semangat kakekmu; Garcia. Kamu juga memiliki kemauan keras yang dapat mencerai-beraikan
pasukan musuh. Aku melihat ketegaran nyali kakekmu yang tidak pernah mencucurkan air
mata dari kedua pelupuknya. Ia tidak pernah mencucurkan air dari kedua matanya. Ia pernah
berkata seraya melihatmu dan kamu saat itu masih kecil. Sambil mengelus bulu rambut di dahimu,
ia berujar, 'Wahai Florenda, dia benar-benar putriku. Terkadang aku khawatir dia akan
dianiayai bangsa Arab. Ia kemudian terdiam seraya tersenyum dan berkata dengan suara tertahan,
'Dia justru akan hidup di tengah-tengah bangsa Arab!'"
Ia lantas melanjutkan, "Apa yang sebenarnya terjadi, wahai Aisyah" Hilang dari
semangatmu kebesaran kakekmu" Susut dari keringatmu kelembutan dan kemurahan
hati ayahmu" Ada apa
dengan surat ini?" Ia kemudian menarik Aisyah ke salah satu pojok kamar seraya berbisik pada
telinganya, "Adakah dalam surat itu ancaman bahaya" Apakah ia dari Aspioto" Bukankah dia


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarin ada di sini" Dia gembira dan tertawa-tawa, bukan" Apa yang sebenarnya
terjadi" Waspadalah, Nak! Kau
harus bisa mengendalikan amarahmu yang rentan akan cobaan! Ketahuilah bahwa di
antara manusia itu ada yang pura-pura tidur namun sebenarnya dia itu tidaklah tertidur.
Ada yang pura-pura tolol namun dia itu sesungguhnya tidak tolol. Sang pemburu
pun merasa kaget saat buruannya tidak terawasi. Sebuah perahu terkadang tenggelam hanya dengan embusan
angin tenang yang berbisik ramah. Apa sebenarnya isi surat itu, wahai Putriku" Jika
surat itu dari Aspioto, robeklah!" Aisyah lalu membuka kedua telapak tangannya dari wajahnya. Kata-kata ibunya
ternyata membekas dalam hatinya. Ia akhirnya menjawab, "Surat itu dari Ibnu Zaidun."
"Apakah dia memberitahu dalam surat itu bahwasannya ia mati setelah menulis
surat?" "Kalaulah dia mati niscaya masalahnya lebih mudah dan ringan."
"Lantas, ia mengatakan apa dalam suratnya itu?"
"Ia menamparku dengan tamparan yang membuatku terhuyung pingsan untuk selamanya.
Ia menginjak cintaku di atas kedua belah kakinya dan mencampakkan harga diriku di
tanah. Ia menendang dengan kakinya sebuah perasaan yang selama ini justru aku kokohkan.
Dia me-* ngumpamakan aku layaknya seorang pengemis dan peminta-minta dengan baju yang
bolong- lolong yang menghamparkan tangan memelas pertolongan, lalu ia meludahi tangan
yang terhampar itu dengan penuh makian dan hujatan."
"Sesuai dugaanku yang selalu mengatakan. dia adalah pemuda pengembara cinta yang
tak tahu malu. Ia ibarat burung yang selalu hinggap di setiap taman dan memakan
buah-buahan yang ditemuinya. Biarkanlah dia, Nak! Lebih dari seribu pemuda yang lebih kaya dan
terhormat darinya yang tertarik untuk menjadikanmu istri."
Aisyah pun kembali tertawa terbahak-bahak seraya berkata geram, "Membiarkan si
Arab pengkhianat itu" Ia menyulutku untuk berperang. Baiklah, akan kuperlihatkan
padanya bagaimana dalam darahku ada kehormatan seorang manusia. Ia merasa bangga dengan syairnya,
ternama Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan sastranya, dan angkuh dengan ketinggian kedudukannya. Akan tetapi aku
akan menelanjangi kejelekannya dan membebaskan semua rahasia tentang dirinya hingga
wajahnya tertutup di setiap pintu. Dan padamlah semua harapan dalam dadanya. Ia akan
menjadi bangkai hidup yang terhina. Anak-anak kecil akan mencemoohinya dan orang-orang dewasa
akan melemparinya. Aku akan perlihatkan kepadanya bahwa seorang wanita - saat ia
menginginkan - dapat menghancurkan orang besar sekalipun, cukup dengan sekadar membukakan
rahasia- rahasianya. Setiap orang di bumi ini memiliki sebuah kotak rahasia yang berisi
tentang kejelekan-kejelekan dan keburukan-keburukannya. Di masa lalu dia selalu
berusaha keras untuk menyembunyikan kotak rahasia ini sehingga tidak terlihat cahaya matahari yang
setiap hari panasnya tidak mengenai tengkuknya. Ia akan mengubur kotak rahasia itu di bawah
barang- barang antik sehingga istrinya sendiri pun tidak mengetahui tempatnya. Ia juga
tidak menceritakan tempat kotak rahasia itu pada anak-anaknya maupun sahabatsahabat dekatnya. Dia adalah laki-laki terhormat dalam pandangan orang banyak;
sebuah kedudukan mulia yang tidak kenal
perkara-perkara syubhat maupun tidak tersentuh kotoran kesuciannya. Sayangnya,
upaya untuk menutup segala rahasia itu sering tidak abadi. Ia terkadang melupakan dengan
sengaja bahwa kunci kotak rahasia itu tertinggal di saku baju yang ia buka. Mungkin juga ia
sempat kaget dengan kejadian rusuh sehingga ia meninggalkan kunci itu terlempar
ke suatu lubang, atau hilang di jalan karena dicuri seseorang yang kemudian si
pencuri itu selalu berupaya untuk membuka kotak ajaib itu karena rasa ingin tahu
apa sebenarnya isi kotak tersebut. Atau untuk menghilangkan rasa
sungkan antara dia dan temannya sehingga terbukalah tutup kotak itu tanpa
sengaja. Dan akhirnya terbongkarlah di depannya kotak yang penuh kotoran dan keburukan itu.
Ini pulalah yang diperbuat orang tolol - si Ibnu Zaidun - itu, Ibu! Ia lupa, kunci
kehidupannya ada padaku. Satu
rahasia dari rahasia-rahasianya, cukup untuk menghancurkan kehidupannya dan
merampas segala harapan-harapannya."
"Celakalah, wahai penghianat! Dia harus menerima balasan yang setimpal. Pepatah
Spanyol mengatakan, 'Jika kamu melempar kaca dengan batu maka kamu akan terkena
pecahannya." Ada pun Galia, ia hanya menutup terus wajah dan hatinya dengan cadar yang tidak
terkena sedikit cahaya pun. Padahal, kaum wanita adalah makhluk yang paling mampu untuk
melepaskan cadar ini. Kedua matanya seolah memerintahkannya untuk mengeluarkan cucuran air
sebagai tanda turut bersedih dan simpatik kepadanya.
Ia berujar, "Orang tolol ini tidak ada apa-apanya. Dia tidak dikenal di Cordova
kecuali setelah ia bertemu dengan Tuan Putri. Bertambah luaslah kemampuannya,
tinggi kedudukannya, dan orangorang mulia membicarakan keindahan sastra,
nyanyian, dan syairnya. Aku tahu persis kejelekankejelekan orang dungu itu tidak dapat dicuci meski dengan ombak laut."
Aisyah memandangnya dengan pandangan penuh simpati dan bersahabat, seraya
berkata, "Tidak, Galia. Biarkanlah ia menjadi urusanku. Dia hanyalah mainan kecil yang
dapat kuguncangkan sendiri. Jika aku selesai mengurus masalah ini maka lapanglah
dadaku dengan kehancuran dirinya. Si tolol itu akan tahu bahwa cucu Garcia ini, jika dipaksa
ia diam namun jika dilempar ia akan berbisa!"
0==0 05 Ibnu Zaidun terbangun dari tidurnya setelah semalaman menghadiri pesta resepsi
pernikahan Naila yang penuh dengan nyanyian dan aneka hiburan. Ia melewatkan malam itu
dengan penuh kegelisahan, meletihkan, dan terjaga semalaman.
Hari-hari berlalu tanpa kunjungan sahabat-sahabatnya karena mereka juga terlelap
di atas ranjang mereka masing-masing, saling menjauhi kegaduhan dan kebisingan kota.
Ibnu Zaidun seolah enggan bangkit dari bantalnya. Bayangan terus melayang di
kepalanya; keburukan yang samar seolah-olah kepala iblis. Nostalgia sepanjang malam itu
terus melintas dalam bentuk yang berkilauan, berseri-seri, sekaligus membingungkan.
Bayangan itu kemudian berkumpul dan bereinkarnasi untuk menampakkan sosok yang
jelas tentang seseorang maupun tentang pesta semalaman itu. Tidak ada seorang pun yang
dapat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyongsong maupun mengelaknya. Setiap kali pikirannya dipenuhi oleh sesuatu
yang menggembirakan dan melapangkan dada, ia lantas terpikat oleh tidur panjang yang
menyenyakkan. Ia terhindar dari kegalauan dan kegelisahan. Ia pun gembira sangat
riang. Setiap kali ia berupaya menutup secara mutlak pesta itu dari benaknya, matanya
justru makin terbelalak dalam kegelapan sebagaimana terbelalaknya mata orang-orang yang
sakit. Sebuah pangkal air mata yang tersisa lelah.
Tiba-tiba, tampak sebuah sosok yang jelas menghantui pikirannya. Terkadang ia
menghindarinya dengan membuka buku-buku bacaan. Ia lalu menyalakan lampu dan
memilih buku yang paling populer di lemari perpustakaannya untuk menghibur dan
melapangkan dirinya. Ia pun menelaahnya lembar demi lembar sambil meliuk-liukkan
lidah di luar mulutnya antara
berharap dan sinis. Namun, bayangan sosok itu memenuhi setiap kalimat dan
menutup setiap lembar buku tersebut. Ibnu Zaidun kembali menempel pada bantal. Tergambarlah dalam benaknya berbagai
sosok dan bayangan. Ada sosok Aisyah yang ia lihat pertama kali di malam meriah itu di
rumah Ibnu Abdus. Ia bersama ibunya. Ia duduk dengan penuh malu-malu. Kecantikannya
dikelilingi cahaya dan sinar kemilauan. Seolah-olah ia adalah bidadari dari kayangan.
Ibnu Abdus lalu memperkenalkan wanita itu pada dirinya. Gadis itu hanya
tersenyum simpul, berseri bagaikan cahaya matahari menyinari bunga yang tengah mekar. Para tamu
undangan itu benar-benar diliputi rasa senang, terhibur, dan riang gembira.
Namun, sang gadis tak sedikit pun menampakkan aroma wajah yang menyambut maupun
mengelak. Tak lama kemudian, hilanglah gambar sosok itu. Berkumpullah cahaya
yang baru. Tampak padanya sosok yang lain. Ia berada di atas perahu di tepi Pantai Al Wadi
Al Kabir bersama teman-temannya....
Saat itu musim semi. Mereka memetik bunga dan wewangian untuk para penumpang
kapal yang akan segera berangkat. Di antara mereka, Ibnu Zaidunlah yang kelihatan
paling bergembira. Berlayar di tengah kapal yang ditumpangi Aisyah. Di dalamnya terdapat sejumlah
penyanyi yang tengah memainkan ragam kecapi dan penari-penarinya yang mengikuti irama gendang
nan mendayu merdu. Ibnu Zaidun memetik bunga tanpa tersimpan maksud apa-apa. Jatuhlah bunga itu
persis di wajah Aisyah. Senyuman ringan yang berseri-seri pun tersungging mengiringi
pertanda simpati dan basa-basi. Saat Ibnu Zaidun memohon diri sebentar, tiba-tiba kapal itu telah lenyap dari
pandangan seraya kurang rela untuk menerima permohonan izinnya itu. Hilanglah
sosok itu seiring hilangnya kapal di tengah gelombang sungai. Menjelmalah sinar
baru. Pada pagi hari yang cerah, salah seorang pelayannya, Ali, masuk dengan membawa
surat yang pembawanya menunggu jawaban surat tersebut. Ia hanya menatap dirinya
sendiri seraya membuka sampul surat itu. Ia pun kemudian membaca isi surat tersebut.
Wahai Tuanku penyair kreatif, aku mendengar engkau mendendangkan syair:
Aku akan puaskan engkau dengan selintas pandangan
Aku rela dengan sambutanmu yang apa adanya
Aku tidak mau melayani intan harapan
Aku juga tidak mau melampaui curi pandang
Aku menjagamu dengan sekejap prasangka
Adakah engkau berpikiran macam-macam
Aku berhati-hati dari pandangan yang memata-matai
Dan sungguh nafsuku dilemah-lembutkan penuh waspada
Aku mencintai kasih sayangmu yang begitu lembut dan aku kagum akan seni dan
sastramu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bernyanyilah engkau di atas Bukit Andalusia bagaikan burung bulbul.
Hiduplah dengan orang yang selama ini mengagumimu, Aisyah binti Galib."
Ibnu Zaidun resah selama membaca surat itu. Berkecamuk dalam dirinya perasaan
gembira bercampur bingung. Ia kemudian membayangkan sosok Aisyah yang ia lihat di rumah
Ibnu Abdus dan di kapal itu. Ia melihat sosok yang penuh kesahajaan dan kewibawaan
sebagaimana yang tampak dalam surat itu. Aisyah memang seorang yang terpelajar yang mengagumi syairnya. Aisyah memujinya
sebagaimana orang-orang memujinya. Penyair adalah orang yang paling berpengaruh
karena syairnya. Semerbak apa yang dirasakan akan kejelekan Aisyah ternyata sirna
sehingga membuat dirinya gelisah. Ibnu Zaidun gembira dengan surat itu. Ia buru-buru berterima kasih pada Aisyah
seraya memuji keindahan bahasa dan memberikan penghargaan dirinya atas syair-syair.
Lagi-lagi, sosok itu menghilang. Menjelmalah sosok baru. Ibnu Zaidun memandang
dirinya dalam zat dan sifat aslinya di depan Maryam Al Arudia. Wanita itu datang
mengunjungi Ibnu Zaidun, memberitahukan bahwa Aisyah binti Galib datang kepadanya tadi pagi.
Wanita itu berkata, "Aku meminta Aisyah mendendangkan sebuah lagu. Ia
memandangku seraya berkata, 'Dia kagum padamu dengan memuji syair-syairmu. Tatkala aku
memberitahunya bahwa aku tidak hafal satu bait pun syair, tampak wajah Aisyah nyinyir seraya
berkata ketus, 'Lalu, bagaimana aku dapat memperolehnya"' Aku katakan padanya,
'Soal itu lebih mudah dari
sumbangan wajahmu yang cantik. Kita pergi kepadanya untuk menghadiahkan sebuah
syair. Dia akan menjadi makhluk Allah yang paling bahagia dengan melihatmu menjadi orangorang yang paling mengagumimu syair-syairnya/ Aisyah merenung malu seraya berujar,
'Tidakkah memalukan jika aku menemui seorang laki-laki di rumahnya" Adakah orang lain yang akan
melihatnya, wahai Bibiku"' Aku menjawab, 'Ia bisa pergi ke rumahmu, toh dia seorang lelaki yang
berperangai mulia dan murah hati/ Ia berkata penuh khawatir dan penuh rasa
takut, 'Kau berada bersamanya"' Aku
menjawab, 'Ya, aku akan bersamanya/
Ia kemudian menoleh pada Ibnu Zaidun seraya berkata, "Bagaimana menurutmu
engkau, wahai Abu Walid?" Dia hanya mendengarkan dirinya yang berkata-kata sendiri. "Aku akan menemui
Aisyah bersamamu dengan senang hati dan gembira."
Menjelmalah sosok yang lain. Ia melihat gedung yang menjulang tinggi. Puncaknya
menunjukkan kemegahan, kepongahan, dan keagungan. Aisyah menerimanya dengan
lemah

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut. Wajahnya tampak berseri-seri seperti terangnya cahaya keyakinan di
antara gelap keraguan. Ia menyodorkan tangannya pada Ibnu Zaidun, menyambut dan
menghormatinya dengan penuh ramah dan lembut.
Mereka duduk bertiga dengan penuh keakraban. Mereka berbincang-bincang seputar
sastra dan politik. Kehebatan Aisyah sedikit demi sedikit hilang. Tabiat aslinya
akhirnya muncul laksana bunga yang kelopaknya merekah di pagi hari. Lengkaplah
keagungan. Kewibawaan pun berganti
ketercampakkan. Gurauan yang berbaur kemuraman.
Aisyah kemudian menyuruh pelayannya, Ga-lia, untuk mengambil pulpen dan secarik
kertas. Ia duduk bagaikan seorang murid yang baik karena ingin dicintai.
Ia berkata, "Bacakanlah untukku, wahai Tuanku, syairmu yang terakhir tentang
Ibnu Jahwar." Ibnu Zaidun melihat dirinya sendiri lalu ia membacakan sebuah syair kepada
Aisyah. Ia tahu bahwa kegenapan itu pemuda
Terkurangikah dari rasa cinta oleh cela"
Dunia kanak-kanak ceria karena penuh dengan
klwyalannya Tiba-tiba muncul dari akar kebajikan itu kepunahan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kenapa cinta murni susut sucinya
Jika tidak memperoleh darinya pamrih"
Kau mengira melampaui keinginan cinta dari keindahannya
Menuntut cinta pada hamba sahaya selalu terkabul
Ibnu Zaidun membayangkan andaikan dirinya dekat dengan Aisyah lalu melihatnya
sampai di mana ia menulis syair itu. Terciumlah harum rambut Aisyah yang berbau Surga
Firdaus dan bau harum semerbak langit. Selesailah syair itu. Ibnu Zaidun memberinya hormat lalu
berbalik pulang dengan perasaan dimabuk cinta.
Menjelmalah bayangan yang terdiri dari kumpulan sosok dengan begitu cepat dan
berarak- arakan. Terkadang ia melihat Aisyah menjadi seorang budak, namun keinginannya
pun terpasung. Terkadang pula Aisyah berbentuk bayangan yang bergentayangan ke sana kemari
menuruti kehendaknya sendiri. Pupuslah segala impian dalam diri Ibnu Zaidun. Terkuburlah segala ambisi dan
sirnalah seluruh keinginan. Setiap bayangan itu akhirnya beterbangan menjelma sosok yang baru.
Tampak sosok warna yang jelas. Ya, tiada lain gambar surat yang ia kirimkan
kepada Aisyah di saat ia dimabuk cinta olehnya. Tergoreslah kembali rasa luka. Dua matanya
terkatup rapat layaknya sakit yang menyayat pada orang yang hendak mati.
Ibnu Zaidun terbangun dari tidurnya di pagi yang cerah. Salah seorang pelayannya
masuk seraya berkata, "Tuanku, ini surat dari Bilal, hamba sahaya Tuan Putri Aisyah.
Namun, ia tidak menunggu."
Ibnu Zaidun memungut surat itu dengan tangan gemetaran. Ia membuka sampulnya
kemudian membacanya. Wahai Pengembara di antara susunan gigi dan pipa
Aku telah mencium wangi darahmu
Ia pun memaki Aisyah marah. Ia bangkit dari tempat tidurnya seolah-olah hendak
melarikan diri dari masalah yang tengah dihadapinya dari ancaman kehancuran dan kemusnahan.
Tak lama kemudian, pelayan itu kembali menghampirinya seraya berkata, "Para
pengawal Ibnu Jahwar datang meminta Tuan untuk berangkat secepatnya bersama
mereka guna menemui khalifah." Hampir Ibnu Zaidun terjatuh ke lantai tatkala pelayannya memberitahukan hal itu.
Ia berusaha untuk menguatkan otot-otot sikutnya namun tak kuasa. Ia pun kemudian
menyandarkan dirinya di atas kursi yang terletak di samping pelayan itu.
Dengan terengah-engah, ia berkata, "Pengawal Ibnu Jahwar?"
"Ya, Tuanku." "Berapa orang?"
"Empat orang, Tuanku."
"Apakah wajah mereka tampak geram?"
"Mereka itu selamanya berwajah garang, Tuanku!!!"
"Saat berbincang-bincang denganmu, apakah ada kesan amarah dan benci dalam
ucapan mereka?" "Bahkan lebih garang dari amarah maupun gejolak neraka jahim."
Ibnu Zaidun melamun panjang. Ia pun berbicara di dalam dirinya sendiri.
Empat orang pengawal Ibnu Jaliwar datang padaku pada pagi hari! Tak ada berita
apa pun selain keburukan nista dan celaan yang melintang. Aisyah ternyata langsung
melancarkan serangan. Semula aku mengira bahwa ia akan memberi tempo dan keleluasaan padaku
untuk meminta maaf dan mengurungkan ancamannya, la justru mengejutkan musuhnya dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
serangan yang tidak memberikan kesempatan untuk melarikan diri dan melancangkan
bicaranya dari sebuah renungan. Dia benar-benar prajurit terlatih yang memandang serangan pertama sebagai
setengah pertolongan. Kemarin, ia memang benar-benar tidak ragu lagi untuk membawa surat
itu pada Ibnu Jahwar. Setiap baris dalam surat itu tak lain maut yang mengancam
dan bencana yang dahsyat.
Ibnu Jahwar sungguh seorang yang anarkis dan otoriter. Ia tidak peduli lagi pada
perkara-perkara syubhat maupun dosa-dosa kecil. Allah telah melaknat cinta!
Allah telaJi melaknat keindahan seni sastra!
Allah telah melaknat keelokan yang menyeret kelakar dalam pandangan orang-orang
bukan apa-apa selain ucapan, 'Si fulan itu sastrawan cerdas yang pemaki, pengumpat,
dan pembunuh yang jujur! Cinta telah menyeretku menjadi gila, menelantarkanku
pada jurang nista. Tabiatku yang periang dan penggelak tawa ternyata menjadi
malapetaka besar. Kini aku akan menghadap Ibnu Jahwar. Aku akan melihat muka
yang garang, mendengar suara Jahwar yang pendendam, dan
akan menyaksikan luapan amarahnya yang melintas di depannya setiap ucapan yang
menyakitkan. Ibnu Zaidun berdiri lalu membuka pakaiannya. Ia lalu menyuruh pelayannya untuk
membawakan bagalnya. Ia kemudian keluar seraya berat memberikan senyuman. Ia
melihat para pengawal Ibnu Jahwar seraya memberi hormat pada mereka pertanda kehormatan bagi
sang pengutus; Ibnu Jahwar. Akan tetapi, terlintas rasa takut dalam dirinya dikarenakan mereka tidak
menundukkan kepala. Tidak tampak pula kerendahan dalam diri mereka sebagaimana yang biasa mereka
lakukan ketika menghadap para pembesar negara.
Hatinya pun larut dalam kegalauan. Rasa takutnya semakin bertambah karena jika
mereka datang membawa kabar gembira dan berita buruk, niscaya mereka akan datang penuh
ramah dan hormat. Ibnu Zaidun menaiki bagalnya. Di sekelilingnya para pengawal. Ia bertanya,
"Siapa yang menentang undangan Tuanku Abu Hazm" Apakah mereka memenuhinya?"
"Sejak tadi pagi, beliau berada di balai pertemuan istana bersama para menteri
dan pejabat tinggi negara."
"Apakah kau mendengar beliau tertawa?"
Sang pengawal pun kebingungan. Ia terheran-heran dengan pertanyaan Ibnu Zaidun
tersebut seraya balik bertanya, "Tertawa" Maksud Tuan?"
"Ya. Tertawa yaitu tertawa. Anda tahu bagaimana tertawa, bukan?"
"Ya, saya tahu. Tapi, Tuanku Abu Hazm itu jarang tersenyum apalagi tertawa. Pada
hari ini, dia justru tampak sedang marah besar."
"Apakah kemarin ada seorang perempuan yang datang ke istana?"
Bertambah bingung pula si pengawal tadi seraya bertanya, "Maksud Tuan?"
"Perempuan... ya... seorang perempuan. Apakah kemarin datang seorang perempuan
dan meminta menghadap Ibnu Jahwar untuk mengadukan satu perkara atau meminta
perlindungan atas suatu penganiayaan?"
"Ya. Bahkan pengaduan itu sangat banyak, Tuanku."
0==0 Sampailah Ibnu Zaidun di istana. Orang yang pertama ditemuinya adalah Ibnu
Abdus. Setelah membeli hormat, sambil menyeringai Ibnu Abdus berkata, "Hari ini adalah
akibatnya, wahai Abu Walid!"
Ia kemudian melihat Muhammad bin Abbas. Ia melewatinya dengan wajah membisu
tanpa sepatah kata pun. Sebentar-sebentar terkadang terdengar orang-orang berbisik
satu sama lain. Ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menakwilkan setiap senyuman adalah ejekan dan cemooh. Kemuraman wajah ia artikan
sebagai ancaman dan penghinaan. Setiap kata yang terlontar ia tafsirkan seolah agar
membuat dirinya dipenuhi rasa panik dan takut akan bahaya yang mengancam.
Akhirnya, giliran bagi dirinya untuk menghadap Ibnu Jahwar.
Saat itu Ibnu Jahwar berusia sekitar enam puluh tiga tahun. Tubuhnya gemuk,
wajahnya lebar, kelam kusam melekat di wajahnya seolah tak mau berpisah darinya. Janggut
kebesarannya dicelup dengan daun pacar. Sorot matanya tajam berbinar. Pandangannya begitu
menusuk seolah hendak menerobos masuk ke dalam kalbu.
Kewibawaannya yang begitu besar cukup menyeramkan. Nyaris tak ada waktu untuk
bersenda gurau. Tak ada tempat untuk membiarkan aib.
Dialah pewaris tahta kerajaan dan kepala istana. Ayahnya adalah seorang menteri
pada masa pemerintahan Al Hakam bin Al Nashir Lidinillah. Al Maksum bin Abu Amir pun
kemudian mengangkatnya menjadi menteri. Dia seorang yang cerdas yang jauh dari perilaku
culas. Pikirannya cukup bijaksana. Ia selalu menghindari tertimpa bencana sebagaimana
yang pernah mengguncangkan Andalusia karena sekaligus mengakriiri pemerintahan rezim
Amiriah. Ketika udara tenang dan lembah itu sunyi dari kepemimpinan, ia akhirnya merebut
kekuasaan itu dan kemudian menggantikannya. Ia kemudian memimpin rakyat-rakyatnya.
Peristiwa ini terjadi sekitar pertengahan bulan Dzulhijjah tahun 423 H.
Setelah Hisyam bersama para menterinya tewas, para penduduk Cordova berkumpul
untuk memilih Ibnu Jahwar sebagai penggantinya. Mereka berusaha memilih seseorang yang
ditentang oleh siapa pun. Ia menolak pendapat mereka namun mereka terus memaksa dan mendesak. Ia lalu
menerima usulan itu dengan syarat bahwa ia memerintah negara itu berbentuk dewan yang di
dalamnya terdapat dua syekh: Muhammad bin Abbas dan Abdul Aziz bin Hasan. Cukuplah ini
sebagai kemuliaan baginya untuk menunjukkan pada kebaikan dan kebajikan.
Ibnu Zaidun kemudian masuk. Ia memberi hormat pada Sang Dewan Khalifah dengan
penuh rasa cemas dan penuh bimbang.
Ibnu Jahwar lalu mengulurkan tangannya menyalaminya seraya berkata, "Malammu
kemarin di rumah Naila Al Dimasykia adalah malam yang gila!"
Bergemetaranlah sekujur tubuh Ibnu Zaidun. Ia tahu bahwa angin puyuh tengah
berkumpul untuk membantai dan petir pun ragu untuk bersuara.
Ia berujar, "Malam itu berkumpul seluruh penyair dan para sastrawan Cordova,
Tuanku! Kegelapan malam itu menjadi kasih sayang yang tidak menampar kehormatan batasbatas etika." "Tapi ada nyanyian, bukan" Ada tarian! Ada minum-minuman keras!"
Ibnu Zaidun hanya berkata dalam dirinya sendiri, Inilah awal malapetaka itu.
Dari masalah ini dia kemudian akan berpindah pada soal surat-surat itu.
Setelah kekuatan hatinya yang bercerai-berai itu kembali teguh, ia berkata,
"Akan tetapi, Tuan, saya berkata sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
'Berlindunglah pada kami dan bukan pada
keburukan yang menimpa kami."
Ibnu Jahwar meliriknya dengan pandangan yang terheran-heran seraya berkata, "Aku
khawatir engkau membohongiku, wahai Anak Muda!"
"Bagaimana saya tega membohongi Anda, Tuanku, sementara Anda telah menyambut
saya dengan jamuan istimewa, membahagiakan saya dengan kesenangan yang berlimpah, dan
menghindarkan dari diri saya setiap cobaan dalam naungan Anda. Saya berdiri di
tempat yang mulia di depan hamparanmu, Tuan."
Ibnu Zaidun agaknya tengah menenangkan kegalauan hatinya setelah ia melihat
dengan tenang Ibnu Jahwar dan bersenandung:
Tebusanmu aku berkata namun terpalingkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan keinginan padamu yang tidak tertunaikan setelalinya
Apakah aku seperti orang lalai yang asing dan sia-sia
Seperti sia-sianya pedang yang tajam dalam sarungnya yang berkarat
Akulah pedang yang tidak mempan dengan gerakannya yang asing
Saat pedang itu mempan yang karat asahan
Mulailah kenikmatan tergigit jika menyertainya
Kebaikan sebuah keluarga kerajaan yang mendengki
Usiamu tidak memiliki kekayaan hasil jerih payah Hanya,
Harta kekayaan itu langkah terindah dengan karat ketololan
Akan tetapi untuk keadaan aku memakai kecantikannya
Pakaianmu adalah baju nasihat yang pengetahuannya terpuji
Saat ia selesai membaca syair itu, Ibnu Jahwar bergoyang-goyang di atas tempat
duduknya seraya berkata, "Pagi ini, para menteri telah berkumpul dan aku hendak
menawarkan jabatan menteri kepadamu. Aku memandang, engkau pantas menduduki dua
departemen kementerian. Engkau akan menjadi menteri sekaligus dutaku untuk seluruh pemimpin Andalusia.
Aku tidak melupakan jasa besarmu dan kemuliaan patriotismemu saat engkau menghalau


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan bangsa Barbar, wahai Abu Walid!"
Apakah engkau pernah memperhatikan orang yang tenggelam yang tidak tertinggal
darinya selain menunggu ajal dengan tangan melambai-lambai di tengah ombak, kemudian ia
terseret ke tepi pantai yang tenang" Apakah kau pernah memperhatikan orang yang meninggal
dengan tenang dan - di sekelilingnya - keluarganya mengerumuni sambil menangis, dan saat
kain penutupnya dibuka, mayat itu tiba-tiba hidup kembali seperti keadaan sebelumnya"
Nah, seperti itulah keadaan Ibnu Zaidun.
Hampir saja ucapan Ibnu Jahwar itu tidak terdengar karena kedua matanya terkatup
rapat. Lidahnya mulai kelu untuk mengeluarkan kata-kata yang menggambarkan ketakutan
yang luar biasa. Kesamaran itu akhirnya mulai terjawab. Ibnu Zaidun kemudian pulang dengan
perasaan lega dan berbunga-bunga. Ibnu Jahwar berterima kasih atas ketinggian kepercayaannya
dan kebijakankebijakannya. Tampaklah darinya kemilauan seolah-olah ia adalah satusatunya raja di muka bumi ini yang ia sapu dengan saputangannya. Seakan-akan matahari itu
bersinarkan mahkota. Di pagi hari yang sama, sebelum Ibnu Zaidun bangun dari tidurnya, Naila telah
memakai baju bagus kemudian mengambil gunting kecil yang disembunyikan di balik sakunya. Ia
lalu menemui para hamba sahaya yang telah mempersiapkan tandu seraya bertanya pada mereka,
"Apakah kalian sudah mempersiapkan batang korek api dan geretan?"
Orang yang paling tua di antara mereka menjawab, "Ya, Puanku. Kami telah
mempersiapkan lima batang korek api yang kami sembunyikan di balik baju kami."
"Bagus. Sekarang kita pergi ke rumah Aisyah binti Galib. Apabila engkau menaiki
tangga di rumahnya, duduklah kalian bersama para hamba sahayanya. Berbincanglah
dengan mereka dan mintalah agar mereka menyuguhkan air panas untuk kalian. Tatkala mereka
menyalakan api, maka tiuplah api mereka agar kelak setiap kalian menawarkan api dari korek
apinya masing- masing. Buatlah kekacauan sehingga mereka merasa panik karena menemukan setiap
barang mulai terbakar. Hendaklah kalian mengelabui satu hamba sahaya dan menipu setiap
mereka. Keraskanlah suara kalian seolah-olah merasa bingung dan ketakutan, 'Api! Api!'
Inilah yang aku inginkan untuk kalian kerjakan di pagi hari ini."
Naila kemudian menunggangi tandunya. Berangkatlah para sahaya itu dan sampailah
mereka di rumah Aisyah. Naila lalu menaiki tangga dan segera menemui Aisyah dalam
keangkuhan dan kecongkakannya. Naila - si raja pemerdaya itu - tidak terlihat marah agar
rencananya berjalan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mulus. Ia lalu membuka lebar kedua tangannya untuk menyambut Aisyah dengan penuh
cinta dan sayang. Ia pun menciumi pipinya bertubi-tubi.
Ia memeluk erat penuh cinta dan kelembutan seraya berujar, "Apa ini, Aisyah"
Setiap hari kau bertambah cantik dan berseri-seri" Sungguh aku mencintai masa
muda, wahai Cantik. Akan tetapi, di manakah masa muda itu" Tahukah kau bahwa aku
- setelah mengharamkannya - merasa
senang luar biasa" Terutama tatkala aku melihatnya pada seorang gadis sepertimu
yang tidak terbit pada gadis lain matahari Cordova?"
Aisyah menjawab, "Ini pujian yang terlalu berlebihan, Puanku. Aku merasa
tersanjung namun bercampur bingung. Apakah kau bertemu Ibnu Zaidun dalam waktu
dekat ini?" "Bagaimana aku bisa menemuinya, Sayang, sementara dia sedikit pun tidak
meninggalkan rumahmu" Akan tetapi aku telah memaafkannya dan memaafkan setiap pemuda yang
diuji dengan ketampanan yang luar biasa ini. Aku pun tidak takut padamu bahwa sebab
yang mendorongku untuk menemuimu di pagi hari ini tiada lain untuk menemuimu dan
menemuinya. Karena dia yang terlaknat ini telah meninggalkan rumahku pada waktu yang lalu
hingga kini, aku sampai melupakan paras mukanya."
Naila kemudian melirik kamar sebelah barat dengan hati-hati. Ia melihat pintunya
terbuka. Ia pun melayangkan pandangannya pada arah yang lain. Ia melihat pintu lemari surat
itu dikalungkan dengan benang di leher Aisyah.
Aisyah berdiri seraya berkata, "Dia juga telah melarikan diri dari rumahku!"
"Meninggalkan rumahmu"! Ini tidak mungkin!"
"Benar. Dia kini telah meninggalkanku. Akan tetapi dia akan menyesal sebelum dia
menemui penyesalan itu." "Jangan berkata begitu, Anakku! Serahkanlah urusan itu kepadaku. Tidaklah petang
hari tiba kecuali tunanganmu itu sudah berada di rumahmu."
Mereka larut dalam obrolan panjang. Tiba-tiba terdengar suara keras memekik,
"Api! Api!" Aisyah pun panik ketakutan. Ia segera menuju tangga untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Saat Aisyah panik, Naila segera menggunting kalung benang kunci itu. Ia
lalu menyembunyikan kunci itu di balik lengan bajunya.
Aisyah terus-menerus bingung sampai buru-buru Naila menuju kamar sebelah barat.
Ia melihat cermin yang di sampingnya terdapat lemari sebagaimana yang diceritakan Galia. Ia
pun segera membukanya dan buru-buru mengambil dengan cepat surat-surat yang ada di dalam
lemari itu. Ia pun segera turun dan api pun telah padam.
Bersyukurlah Naila kepada Allah karena terhindarkan dari bahaya. Ia lalu mencium
Aisyah penuh kasih sayang sebagai pertanda mereka mau berpisah. Tatkala ia sampai di
pintu gerbang rumahnya, Naila menoleh kepadanya seraya berkata dan mengedipkan salah satu dari
kedua matanya, "Aku mengira kunci ini jatuh darimu wahai bunga kecilku. Karena tadi
engkau buru-buru memadamkan api."
Aisyah pun jatuh pingsan. Bertambahlah kebingungan dan kepanikannya. Ingin
sekali ia melompat pada Naila, akan tetapi dia sudah berada di atas tandunya yang dipikul
para hamba sahayanya seolah-olah kuda-kuda yang taat pada majikannya.
Naila memerintahkan para hamba sahayanya pergi menuju rumah Ibnu Zaidun. Sebelum
mereka sampai di rumahnya, Ibnu Zaidun sudah turun dari bagal. Saat ia melihat
Naila, ia pun memberi hormat dan berteriak kegirangan, "Aku diangkat jadi menteri! Aku baru
saja datang dari istana dan bertemu dengan Ibnu Jahwar. Beliau memang orang yang
baik hati. Dari manakah engkau, wahai Bibi?"
"Dari rumah Aisyah."
"Aisyah! Aisyah! Semoga Allah membinasakan Aisyah! Apa yang kaukerjakan di
rumahnya?" Naila tersenyum dan berkata, "Baru saja aku memadamkan api dengan api."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian ia menyerahkan surat-surat itu seraya berkata, "Ambillah surat-surat
ini. Tuan Menteri Agung. Berhati-hatilah kau dalam menulis surat lagi."
Ibnu Zaidun berteriak kegirangan seperti orang yang gila. "Surat-surat! Suratsurat!" Ibnu Zaidun lalu merangkul lalu menciuminya. Ia berjingkrak-jingkrak dengan
salah satu kakinya layaknya anak kecil yang kegirangan. Ia kemudian menggandeng Naila
menuju pintu rumah seraya berkata, "Bagaimana engkau bisa berhasil mendapatkannya. Bibi?"
Naila pun menceritakannya.
Ibnu Zaidun terus-menerus memeluk dan menciumi Naila sambil menceracau, "Engkau
memang ratu pengawal! Engkau adalah pelita hidupku dan jembatan harapanku!"
Naila kemudian memohon undur diri. Ia lalu pulang setelah berkali-kali memberi
ucapan selamat pada Ibnu Zaidun yang telah diangkat sebagai seorang menteri.
Ibnu Zaidun duduk dan membuka surat-surat itu. Dalam salah satu surat -surat itu
berbunyi: Ibnu Jahwar tak lain yang dipenuhi kesombongan. Sosok munafik dan riya, menipu
manusia dengan janggutnya yang kemerah-merahan. Pelitanya gelap gulita. Seseorang yang
melompat ketika senang dan bersembunyi ketika takut! Dalam masa jahiliyah, dia itu Hubal.
Dan dalam bintang, ia adalah Saturnus.
Gemetarlah ia seraya bergumam, "Satu surat ini sebenarnya cukup untuk mengancam
darahku dan menghapus namaku dari daftar kehidupan."
Ia sempat melihat Muhammad bin Abbas kemarin.
"Aku melihat kebodohan di bajunya dan keras kepala di jubahnya. Ia melihatku
dengan pandangan yang sinis dan angkuh. Seolah-olah ia mengira matahari terbit dari
dirinya, lidah-lidah bertasbih memuja dirinya. Ia kaya harta namun fakir
kehormatan. Buruk perangainya dan jenaka
sikapnya." Ia menceracau lagi seraya berkata, "Surat yang ini bahkan lebih dahsyat lagi."
Ia kemudian membaca surat yang ketiga, Ini adalah Abdul Aziz bin Hasan putera
paman sang khalifah. Ia bertanya kepadaku satu bait dalam salah satu syair. Demi Allah, aku
tak menghargai kemampuannya dan pengetahuannya. Betapa dia adalah seorang yang
bodoh dan serigala yang buas. Ia menghabiskan malamnya di antara pelita dan siangnya dalam kegelapan
umat Islam. Hati Ibnu Zaidun berdebar-debar seraya bergumam, "Inilah dapur api yang ketiga."
Kemudian berteriak, "Wahai Ali, berikanlah kepadaku korek api!"
Ali pun membawanya. Ia lalu membakar surat-surat itu. Hatinya belum merasa
tenteram sebelum surat-surat itu menjadi abu!
0oo0 06 Hari-hari terus berlalu. Ibnu Zaidun hidup bahagia dan tenteram. Dunia kembali
hadir dengan ceria dan berseri-seri. Ketika dunia menghampirinya, hadirlah segala kesenangan
yang ada di dalamnya. Seakan-akan seluruh perkara itu mendatangkan sesuatu yang serupa
dengannya. Tembaga hadir sebagai tembaga dan kebahagiaan mendatangkan kebahagiaan. Jika
dulu mereka pernah berkata, "Musibah itu tidak datang sendiri-sendiri!!" Mengapa pula mereka
tidak berkata kini bahwa, "Kesenangan itu tidak datang sendiri-sendiri!"
Ibnu Zaidun hidup tenang dan bahagia. Ia menjadi salah seorang pemuda Cordova
idaman, patriotik, syairnya tiada banding, dan tulisannya tak terbantahkan.
Kebahagiaannya benar-benar bertambah tatkala Wilada siap dijadikan tunangannya.
Ibnu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Zaidun kaya cinta. Ia lalu mengirimkan syair yang sepoi-sepoi dan sehijau
hamparan surga yang mewangi. Sungguh telah mencintainya seorang bidadari surga yang lebih
jernih dari air susu dan lebih bening dari suasana pagi ceria.
Kebahagiaan Ibnu Zaidun semakin lengkap tatkala Ibnu Jahwar memberikan sebuah
jabatan yang terhormat sehingga makin membuatnya bersahaja, berwibawa, dan penuh
kehormatan terutama di tengah negeri-negeri lain karena kedudukannya sebagai duta bangsa.
Surat-surat diplomatik yang ditulisnya benar-benar penuh dengan gaya sastra dan keindahan
bahasa yang tinggi. Ketika dunia banyak yang iri dan dengki kepadanya, ia melantunkan syair pada
Ibnu Jahwar: Betapa jaminanmu kutemukan di banyak lembah
Mereka menyuguhkan api kedengkian dengan korek api
Mereka termaafkan semampuku dengan lapang
Namun mereka mengejek Penjelasan yang terukir indah mereka cemoohkan
Apabila kejenuhan taman yang indah dengan semerbak baunya
Apalah yang memberatkan hinggapnya lalat-lalat
Abu Amir bin Abdus adalah orang yang paling iri terhadapnya. Hal ini dikarenakan
Ibnu Zaidun memiliki dua anugerah. Pertama, mendapatkan cinta Wilada; kedua, kedekatannya
dengan Ibnu Jahwar sehingga beliau tidak memutuskan sesuatu kecuali setelah mendapatkan
nasihat darinya. Suatu malam, Ibnu Zaidun menghadiri undangan Wilada yang cukup meriah, penuh
hiburan dan nyanyian. Bertambahlah perasaan cinta dalam dirinya sehingga ia ungkapkan
dalam sebuah syair yang mendalam: Engkau di antara makhluk yang besok menjadi pujaanku
Engkau adalah waktu yang menjadi curahanku
Aku tidak mengajukan suatu keinginan diri
Kecuali dengan menyebutku dengan menenteram-kanku
Janjimu akan kesabaran atasmu adalah kesabaranku di tengah dahagaku pada air
yang jernih Aku memiliki cita-cita, seandainya pemfitnah itu merintangi
Akan kubuktikan hasil dengan buah keberhasilan
Benar, hidup bagi kedua matanya adalah firdaus yang menerangi kegelapan. Bagi
kedua telinganya hidup juga ibarat langgam merdu, bagaikan burung-burung yang
beterbangan dengan riang gembira dari dahan ke dahan, dan dari pohon ke pohon. Ia selalu tersenyum
di setiap taman. Beterbangan dengan bebas dan leluasa.
Aman dari badai topan maupun perangkap manusia.
Demikian gambaran hidup Ibnu Zaidun dengan cinta Wilada. Begitu juga Wilada yang
hidup di bawah keberhasilan Ibnu Zaidun. Mereka berdua hidup di dua tepi sungai yang
saling menggoyangkan air kehidupan. Digoyangkan dengan angin sepoi-sepoi dan nyanyian


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara yang merdu. Ia adalah tawa penyesalan di malam yang gelap gulita.
Ia benar-benar hidup bahagia. Keduanya adalah malam di rumah Ibnu Zakwan, teman
sekaligus orang yang dikasihi Ibnu Zaidun; antara tawa dan canda. Keduanya
berada di malam padang sutera dan istana Persia, dan mata kesaksian di antara sinar rembulan dan
cahaya gemintang. Ibnu Zaidun hidup bahagia setelah meminang Wilada. Terlupakanlah hari-hari
kegetiran itu. Ia memaafkan waktu dan tidak memikirkan lagi Aisyah binti Ghalib seolah-olah ia
telah memaafkan segala kesalahannya karena ia kini menjalani apa yang sedang dihadapinya. Ia
tidak menentang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
caranya dan mengeruhkan jernihnya karena itu adalah kedengkian para pendengki
dan tipuan para penipu. Kini semuanya telah berlalu. Setiap kali peristiwa itu terlintas, ia hanya
mengelus dada dan mencibir. Ia ingin hidup pada saat ini di mana ia tengah hidup.
Suatu hari, Ibnu Jahwar mengutus bagian urusan kenegaraan pada Tuan Agung
Patoleous. Ia begitu menghormati kedatangannya seraya meminta beliau untuk membantu
pemerintahannya. Ia memberikan harta dan kedudukannya untuk menjabat posisi kementerian.
Adalah Ibnu Abdus telah mengutus di belakangnya seorang mata-mata untuk merekam
setiap pembicaraan maupun obrolan di antara keduanya. Anugerah posisi bagi Abu Walid
adalah penyebab utama baginya sekaligus menjadi ancaman utama. Kecerdikannya, kelemahlembut-an perangainya, kebahagiaannya, dan kelantangan Ibnu Zaidun benar-benar menjadi
kebencian dan penghalang utama baginya. Kecerdasannya dalam berbagai hal benar-benar
mengguncangkan dirinya. Kelebihan dirinya justru memuakkan.
Orang tolol memang selalu memikirkan setiap obrolan, menimbang mana yang mesti
diinjaki kaki sebelum melangkah dikarenakan ia kurang percaya diri. Selalu khawatir
dengan tindak kebodohannya. Sementara orang cerdas dan pintar adalah pengembara yang yakin
menelusuri kepastian. Ia memburu kesempatan dan tidak membiarkannya cepat pergi. Ia
memainkan pikiran namun ia tidak tahu ke mana harus ditujukan setiap gagasannya kuat dan inovatif.
Ibnu Zaidun adalah penyair ternama yang mengetahui seluk-beluk kota. Lugas gaya
berpikirnya, fasih gaya berbicaranya dan penuh wibawa. Hampir tidak ada yang
menandinginya di seluruh negeri Andalusia. Ini membuatnya bahagia dan lupa diri. Bicara seenaknya
dan banyak ber-senda gurau. Saat itu, ia duduk dalam suatu pertemuan dengan Al Muzaffar yang dikenal lemahlembut. Mereka larut dalam obrolan-obrolan bahkan lepas kontrol. Ketika terlibat dalam
obrolan mengenai kerajaan Cordova atau tentang Ibnu Jahwar, ia tak sadar dengan
gegabah mencela dan mengumpatnya. Ia melecehkan dan memperolok-olokannya. Bahkan sampai melampaui
batas hingga terlibat obrolan yang cukup rentan akan bahaya.
Sahib Patoleous memujinya dengan berlebihan sampai lupa kalau Ibnu Jahwar itu
tidak suka jika seseorang memuji menterinya itu laksana seorang raja. Biarkan olehmu siatsifat jelek lelaki ini (baca: Ibnu Jahwar) sehingga mengurangi nilai keluhuran
kedudukannya dan tertandingi raja-raja lain.
Dalam sebuah syair, ia melantunkan:
Raja yang apabila raja lain memandanginya
Tumbuhlah dengki dan bersainglah ia
Tangan mereka yang panjang dibalas tangan
Kedudukan mereka yang tinggi dibalas kekuatan
Yang lebih kokoh, tidak membiarkan pemberiannya
Sia-sia, dan tidak ada rakyatnya yang membangkang
Khidmat ketaatannya sulit menolak
Kuat kehendaknya saat berkehendak
Agaknya mata-mata Ibnu Abdus mencium semua itu. Ia merekam semua obrolan
serampangan yang terjadi di pertemuan Al Muzaffar itu. Ia lalu mereka-reka dan menambahnambahkannya dan kemudian pergi ke rumah majikannya.
Bertambah kuatlah niat Ibnu Abdus. Baginya, kekuatan informasi berada di sumber
yang tepercaya. Cukuplah baginya tentang informasi Ibnu Jahwar. Ia adalah lelaki yang
memiliki telinga di setiap pelosok sehingga membungkam setiap binatang melata
sekalipun. Setelah dua bulan, Ibnu Zaidun kembali pulang. Ia memperhatikan Ibnu Jahwar
selalu berpaling darinya dan seolah enggan bertemu dengannya. Ia melihat senyuman berubah muram,
keyakinan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi kesangsian, dan kecintaan berubah kebencian. Ia pun lalu mengirimkan
sebuah syair yang di dalamnya ada kasih, ancaman, ada kejelekan, dan penolakan. Syair itu
Senjata Rahasia Cassie 2 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Kisah Si Rase Terbang 10

Cari Blog Ini