Ceritasilat Novel Online

Pencuri Petir 4

Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan Bagian 4


kenang-kenangan. Di bahunya tersandang ransel Waterland, jelas diisi dengan
barang lain. "Ya sudahlah." Grover mengangkat bahu. Tak lama kemudian, kami bertiga berhias
seperti iklan berjalan untuk taman bermain almarhum itu.
Kami terus mencari Terowongan Asmara. Aku mendapat firasat bahwa seluruh taman
sedang menahan napas. "Jadi, Ares dan Aphrodite," kataku, agar tak memikirkan
kegelapan yang semakin pekat, "mereka pacaran?"
"Itu gosip lama, Percy," kata Annabeth. "Gosip berusia tiga ribu tahun."
"Bagaimana dengan suami Aphrodite?"
"Ya, kau tahu," katanya. "Hephaestus. Si pandai besi. Dia menjadi cacat sewaktu
bayi, karena dilempar Zeus dari Gunung Olympus. Jadi, dia nggak terlalu ganteng.
Tangannya memang terampil, tetapi Aphrodite bukan tipe orang yang menghargai
otak dan bakat, gitu." "Tapi kok suka pengendara motor."
"Ya gitu deh." "Hephaestus tahu?"
"Tentu saja tahu," kata Annabeth. "Dia pernah memergoki mereka berdua. Maksudku,
benar-benar menangkap mereka, dalam jala emas, dan mengundang semua dewa datang
dan menertawakan mereka. Hephaestus selalu berusaha mempermalukan mereka. Itu
sebabnya mereka bertemu di tempat-tempat terpencil, seperti ...."
Dia berhenti, menatap lurus ke depan. "Seperti itu."
Di depan kami terdapat kolam kosong yang pasti asyik dipakai main skateboard.
Lebarnya paling sedikit 50 meter dan berbentuk seperti mangkuk. Di sekitar
tepinya, selusin patung perunggu Cupid berjaga dengan sayap terbuka dan busur
siap menembak. Di seberang kami, terbuka sebuah terowongan, mungkin dimasuki
aliran air mengalir saat kolam itu penuh. Papan di atasnya berbunyi, WAHANA
ASMARA ASYIK: INI BUKAN TEROWONGAN ASMARA KUNO!
Grover merayap ke tepi. "Teman-teman, lihat." Di dasar kolam terdampar sebuah
perahu yang berisi dua kursi berwarna putih-merah jambu. Bagian atasnya dihiasi
kanopi dan seluruh permukaannya dicat hati kecil-kecil. Di kursi kiri ada
perisai Ares, lingkaran perunggu yang dipoles, berkilauan dalam cahaya yang
memudar. "Ini terlalu gampang," kataku. "Jadi, kita tinggal berjalan turun ke situ dan
mengambilnya?" Annabeth mengusap dasar patung Cupid terdekat.
"Ada huruf Yunani terukir di sini," katanya. "Huruf eta. Aku jadi ingin
tahu ..." "Grover," kataku, "kau mencium bau monster?"
Dia mengendus angin. "Nggak ada."
"Nggak ada - maksudnya seperti di Gateway Arch dan kau nggak bisa mencium
Echidna, atau benar-benar nggak ada?"
Grover tampak tersinggung. "Sudah kubilang, itu di bawah tanah."
"Oke, maaf." Aku menghela napas dalam-dalam. "Aku mau turun."
"Aku ikut." Grover terdengar tidak terlalu bersemangat, tetapi aku merasa dia
berusaha menebus untuk peristiwa di St. Louis.
"Jangan," kataku. "Aku ingin kau tetap di atas, memakai sepatu terbang. Kau
Superman, si jago terbang, ingat" Aku akan mengandalkanmu sebagai bala bantuan,
kalau-kalau ada masalah. Grover membusungkan dada sedikit. "Tentu. Tapi, masalah apa yang mungkin
terjadi?" "Nggak tahu. Cuma firasat. Annabeth, ikut aku-"
"Kau bercanda?" Dia menatapku seolah-olah aku baru jatuh dari bulan. Pipinya
merah cerah. "Ada apa lagi?" tanyaku.
"Aku, ikut kau ke ... ke 'Wahana Asmara Asyik'" Malu, tahu. Bagaimana kalau ada
yang lihat?" "Siapa yang bakal lihat?" Tapi sekarang mukaku juga terbakar. Cewek memang jago
memperumit masalah. "Baiklah," kataku. "Aku sendirian saja."
Tetapi, ketika aku mulai menuruni sisi kolam, dia mengikutiku sambil menggerutu
bahwa cowok selalu mengacaukan situasi.
Kami sampai di perahu. Perisai itu disandarkan pada satu kursi, dan di
sebelahnya ada selendang sutra perempuan. Aku berusaha membayangkan Ares dan
Aphrodite di sini, sepasang dewa-dewi yang bertemu di wahana taman bermain yang
bobrok. Kenapa" Lalu, aku memerhatikan sesuatu yang tak terlihat dari atas:
cermin di seluruh dinding kolam, menghadap ke tempat ini. Kami dapat melihat
bayangan kami ke mana pun kami memandang. Pasti karena ini.
Sementara Ares dan Aphrodite bermesraan, mereka dapat melihat idola mereka: diri
mereka sendiri. Aku memungut selendang itu. Warnanya berkilau-kilau merah jambu, dan parfumnya
tak tergambarkan - mawar, atau kalmia. Bau yang enak. Aku tersenyum, agak
termimpi-mimpi, dan hendak menggosokkan selendang itu pada pipi ketika Annabeth
merebutnya dari tanganku dan menjejalkannya ke dalam saku. "Nggak boleh. Jangan
dekat-dekat sihir cinta itu."
"Apa?" "Ambil saja perisainya, Otak Ganggang, lalu kita keluar."
Begitu perisai itu kusentuh, aku langsung tahu kami bermasalah. Tanganku
memutuskan sesuatu yang menghubungkan perisai itu pada perahu. Jaring laba-laba,
pikirku, tetapi lalu kulihat seutas benda itu pada telapak tangan dan ternyata
benda itu semacam benang logam, begitu halus sehingga hampir tak terlihat.
Kawat jebakan. "Tunggu," kata Annabeth.
"Terlambat." "Ada huruf Yunani lain di sisi perahu, huruf eta lagi. Ini perangkap."
Bunyi meletus di sekeliling kami, bunyi sejuta gigi-gigi berputar, seolah-olah
seluruh kolam berubah menjadi satu mesin raksasa.
Grover berteriak, "Teman-teman!!"
Di atas tepi kolam, patung-patung Cupid menarik busur ke posisi tembak.
Sebelum aku sempat mengusulkan untuk berlindung, mereka memanah, tetapi tidak ke
arah kami. Mereka saling memanah, melintasi tepi kolam. Kabel-kabel bagai sutra
mengikuti panah, melengkung di atas kolam dan menjadi jangkar di tempat
menancapnya, sehingga membentuk bintang emas raksasa. Lalu, benang-benang logam
yang lebih kecil mulai menganyam di antara benang-benang utama, membentuk
jaring. "Kita harus keluar," kataku.
"Ya iyalah!" kata Annabeth.
Aku menyambar perisai itu dan kami berlari, tetapi menaiki tanjakan kolam tidak
semudah menuruninya. "Ayo!" teriak Grover.
Dia berusaha membuka satu bagian jaring untuk kami, tetapi di mana pun ia
menyentuhnya, benang-benang emas itu mulai membelit tangannya.
Kepala-kepala Cupid membuka. Keluarlah kamera-kamera video. Lampu sorot keluar
di sekeliling kolam renang, terang menyilaukan, dan suara loudspeaker
bergemuruh: "Siaran langsung ke Olympus satu menit lagi ... Lima puluh sembilan
detik, lima puluh delapan ...."
"Hephaestus!" jerit Annabeth. "Bodoh sekali aku! Huruf eta itu huruf 'H'. Dia
membuat jebakan ini untuk memergoki istrinya dengan Ares. Sekarang kita akan
disiarkan langsung ke Olympus dan tampak seperti orang bodoh!" Kami hampir
mencapai tepi ketika baris cermin itu membuka seperti tingkap dan ribuan ...
benda logam kecil mengalir keluar.
Annabeth menjerit. Pasukan serangga yang bisa diputar: tubuh perunggu bergigi, kaki kerempeng,
mulut bercapit kecil, semuanya merayap ke arah kami, dalam gelombang logam yang
berderak dan berputar. "Laba-laba!" kata Annabeth. "La-la-aaaah!"
Aku belum pernah melihatnya seperti ini. Dia terjengkang ketakutan dan hampir
dikerubungi robot laba-laba itu sebelum aku menariknya berdiri dan menyeretnya
kembali ke arah perahu. Benda-benda itu keluar dari seluruh dinding kolam sekarang, jutaan, membanjir ke
tengah kolam, benar-benar mengepung kami. Aku menghibur diri, bahwa mereka
mungkin tidak diprogram untuk membunuh, hanya mengepung kami dan menggigit kami
dan membuat kami tampak bodoh. Tetapi, kalau dipikir lagi, jebakan ini
dimaksudkan untuk dewa-dewa. Dan kami bukan dewa.
Aku dan Annabeth memanjat masuk ke dalam perahu. Aku mulai menendangi laba-laba
yang berbondong-bondong naik. Aku berteriak kepada Annabeth agar membantuku,
tetapi dia terlalu lumpuh untuk melakukan apa-apa selain menjerit.
"Tiga puluh, dua puluh sembilan," kata speaker.
Laba-laba mulai meludahkan helai-helai benang logam, berusaha mengikat kami.
Benang itu cukup mudah diputuskan pada mulanya, tetapi jumlahnya begitu banyak,
dan laba-laba itu terus berdatangan. Aku menendang satu dari kaki Annabeth dan
capitnya memotong sedikit sepatu selancarku yang baru.
Grover melayang-layang di atas kolam renang dengan sepatu terbang, berusaha
menarik lepas jaring itu, tetapi jaring itu tak bergeming.
Pikir, kataku dalam hati. Pikir.
Pintu masuk Terowongan Asmara berada di bawah jaring. Kami bisa menggunakannya
sebagai jalan keluar, tetapi terowongan itu dihalangi sejuta laba-laba robot.
"Lima belas, empat belas," kata speaker.
Air, pikirku. Dari mana asal air wahana ini"
Lalu kulihat semua: pipa-pipa air raksasa di belakang cermin, tempat semua labalaba ini berasal. Dan di atas jaring, di sebelah salah satu Cupid, bilik
berjendela kaca yang pasti merupakan pos si pengendali.
"Grover!" teriakku. "Masuk ke bilik itu! Cari tombol 'nyala'!"
"Tapi-" "Cepat!" Ini harapan gila, tetapi satu-satunya peluang kami. Laba-laba itu
sekarang menutupi haluan kapal. Annabeth menjerit-jerit. Aku harus membawa kami
keluar dari sini. Grover sekarang sudah berada di balik pengendali, menghantam-hantam tombol.
"Lima, empat-" Grover menatapku putus asa, mengangkat tangan. Dia memberitahuku bahwa dia telah
menekan setiap tombol, tetapi tetap tak terjadi apa-apa.
Aku memejamkan mata, dan berpikir tentang ombak, air melanda, Sungai
Mississippi. Aku merasakan sentakan akrab di perutku. Aku berusaha membayangkan
bahwa aku menyeret samudra sampai ke Denver.
"Dua, satu, nol!"
Air meledak keluar dari pipa. Air itu bergemuruh ke dalam kolam, menyapu semua
laba-laba. Aku menarik Annabeth ke kursi di sebelahku mengencangkan sabuk
pengamannya sementara ombak pasang menghantam perahu kami, menaikinya, menyapu
semua laba-laba dan membuat kami basah kuyup, tetapi tidak menggulingkan kami.
Perahu itu berputar, terangkat dalam banjir, dan berputar-putar di pusaran.
Air itu penuh dengan laba-laba yang korsleting, sebagian dari mereka menabrak
tembok beton kolam dengan begitu kuat, sehingga meledak.
Lampu sorot menerangi kami. Kamera Cupid sudah berputar, siaran langsung ke
Olympus. Tetapi, aku hanya bisa berkonsentrasi pada mengendalikan perahu. Aku menyuruhnya
mengikuti arus, menjauhi tembok. Mungkin hanya imajinasiku, tetapi perahu itu
tampaknya menanggapi. Setidaknya, perahu itu tidak hancur berkeping-keping. Kami
berputar sekali lagi, tingkat air sekarang hampir cukup tinggi untuk mencacah
kami pada jaring logam. Lalu, hidung perahu membelok ke arah terowongan dan kami
melaju ke kegelapan. Aku dan Annabeth berpegangan erat, menjerit, sementara perahu itu melesat di
belokan dan menyerempet tikungan dan menukik 45 derajat melewati gambar-gambar
Romeo dan Juliet serta banyak hal yang berkaitan dengan Hari Valentine.
Lalu, kami keluar dari terowongan, udara malam bersiul melalui rambut kami
sementara perahu menerjang lurus ke pintu keluar.
Jika wahana ini berfungsi, kami semestinya meluncur keluar dari turunan, ke
antara Gerbang Asmara Emas dan mendarat aman di kolam keluar. Tetapi, ada
masalah. Gerbang Asmara dirantai. Dua perahu yang terhanyut keluar dari
terowongan sebelum kami sekarang menumpuk pada barikade itu - satu tenggelam, satu
terbelah dua. "Buka sabuk pengaman," teriakku kepada Annabeth.
"Kau gila?" "Kecuali kau mau mati hancur." Aku mengikatkan perisai Ares ke lenganku. "Kita
harus melompat." Gagasanku sederhana dan gila. Saat perahu menabrak, kami akan menggunakan
kekuataannya sebagai papan tolakan untuk melompati gerbang. Aku pernah mendengar
orang selamat dari kecelakaan mobil dengan cara itu, terlempar 10-15 meter dari
kecelakaan. Kalau beruntung, kami akan mendarat di kolam.
Annabeth tampaknya mengerti. Dia mencengkeram tanganku sementara gerbang semakin
dekat. "Ikuti aba-abaku," kataku.
"Tidak! Aba-abaku!"
"Apa?" "Fisika sederhana!" teriaknya. "Gaya kali sudut trayek-"
"Baik!" teriakku. "Ikut aba-aba- mu!"
Dia ragu ... ragu ... lalu berteriak, "Sekarang!"
Krak! Annabeth benar. Andaikan kami melompat menuruti pikiranku, kami tentu menabrak
gerbang. Dia memungkinkan kami mendapat tolakan maksimum.
Sayangnya, lebih besar daripada yang kami perlukan. Perahu kami menabrak ke
tumpukan dan kami terlontar ke udara, lurus melewati gerbang, melewati kolam,
dan turun menuju aspal keras.
Sesuatu menangkapku dari belakang.
Annabeth berteriak, "Aduh!"
Grover! Di tengah udara, dia menyambar kemejaku dan lengan Annabeth, dan berusaha
menarik kami agar tidak terbanting, tetapi aku dan Annabeth memiliki momentum.
"Kalian terlalu berat!" kata Grover. "Kita akan terbanting!"
Kami berputar-putar ke tanah, Grover berupaya sekuat tenaga untuk memperlambat
jatuh. Kami menabrak papan foto. Kepala Grover masuk langsung ke lubang di tempat
wisatawan menempatkan kepala, berpura-pura menjadi Nu-Nu si Paus Ramah. Annabeth
dan aku terguling ke tangah, memar tetapi hidup. Perisai Ares masih terikat di
lenganku Setelah kami mengatur napas, aku dan Annabeth mengeluarkan Grover dari papan
foto dan berterima kasih kepadanya karena menyelamatkan nyawa kami.
Aku menoleh kembali ke Wahana Asmara. Airnya sedang menyurut. Perahu kami yang
menabrak gerbang hancur berkeping-keping.
Seratus meter dari situ, di kolam masuk, Para Cupid masih memfilmkan kejadian
ini. Patung-patung itu berputar sehingga kameranya menyorot langsung kepada
kami, lampu sorot menyorot wajah kami.
"Pertunjukan selesai!" teriakku. "Terima kasih! Selamat malam!"
Para Cupid berbalik ke posisi mereka semula. Lampu mati. Taman itu sunyi dan
gelap lagi, kecuali cucuran kecil air ke kolam-keluar Wahana Asmara. Aku
bertanya-tanya apakah Olympus sekarang menonton iklan, atau apakah peringkat
penonton kami tinggi atau tidak.
Aku benci digoda. Aku benci dikelabui. Dan aku punya banyak pengalaman
menghadapi penindas yang senang berbuat begitu kepadaku. Aku mengangkat perisai
di lenganku dan menoleh kepada teman-temanku. "Kita perlu bicara sedikit dengan
Ares." 16. Kami Membawa Zebra ke Vegas
Sang dewa perang menunggu kami di lapangan parkir restoran.
"Wah, wah," katanya. "Kalian tidak terbunuh." "Kau sudah tahu di sana ada
jebakan," kataku. Ares menyeringai jail. "Pasti si pandai besi cacat itu kaget sewaktu dia
menjaring sepasang anak bodoh. Kalian tampak bagus di televisi."
Aku menyorongkan perisai kepadanya. "Dasar berengsek."
Annabeth dan Grover menahan napas.
Ares menyambar perisai itu dan memutarnya di udara seperti adonan pizza.
Perisai itu berubah bentuk, meleleh menjadi rompi tahan peluru. Dia
menyampirkannya di punggung.
"Lihat truk yang di sana?" Dia menunjuk truk delapan belas roda yang diparkir di
seberang jalan restoran. "Itu tumpanganmu.Membawamu langsung ke L.A., dengan
singgah sekali di Vegas."
Truk beroda delapan belas itu memasang tanda di belakang, yang bisa kubaca hanya
karena dicetak dengan huruf putih berlatar hitam, kombinasi yang baik untuk
pengidap disleksia: WELAS ASIH INTERNASIONAL TRANSPORTASI KEBUN BINATANG YANG
MANUSIAWI. AWAS: HEWAN LIAR HIDUP.
Kataku, "Kau pasti bercanda."
Ares menjentikkan jari. Kunci pintu belakang truk itu terbuka. "Tumpangan gratis
ke Barat, Bocah. Berhenti mengeluh. Dan ini sedikit hadiah untuk mengerjakan
tugas dariku."

Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengambil ransel nilon biru dari setang motornya dan melemparkannya
kepadaku. Di dalamnya ada pakaian bersih untuk kami semua, uang tunai dua puluh dolar, dan
sekantong penuh drachma emas, dan sekantong Oreo Isi Dobel.
Kataku, "Aku nggak mau rongsok-"
"Terima kasih, Tuan Ares," sela Grover, sambil memberiku tatapan peringatan
terbaiknya. "Terima kasih banyak."
Aku mengertakkan gigi. Menolak pemberian dewa mungkin merupakan hinaan yang
membawa maut, tetapi aku tak menginginkan apa pun yang pernah disentuh Ares.
Dengan enggan, kusandang ransel itu di bahu. Aku tahu amarahku disebabkan oleh
kehadiran si dewa perang, tetapi aku gatal ingin menonjok hidungnya. Dia
mengingatkanku akan semua penindas yang pernah kuhadapi: Nancy Bobofit,
Clarisse, Gabe si Bau, guru-guru sarkastis - setiap orang berengsek yang pernah
mengataiku bodoh di sekolah atau menertawakanku saat aku dikeluarkan.
Aku menoleh ke restoran, yang sekarang hanya berisi beberapa pelanggan. Si
pelayan yang menyajikan makanan kami memandang gugup keluar jendela, seolah-olah
dia cemas Ares akan menyakiti kami. Dia menyeret si koki penggoreng dari dapur
untuk melihat. Dia mengatakan sesuatu kepada si koki.
Koki itu mengangguk, mengangkat kamera sekali-pakai yang kecil dan memotret
kami. Bagus, pikirku. Besok masuk koran lagi deh.
Aku membayangkan judul beritanya:
PELARIAN DUA BELAS TAHUN MEMUKULI PENGENDARA MOTOR YANG TAK BERDAYA.
"Kau berutang satu hal lagi padaku," kataku kepada Ares, sambil berusaha menjaga
agar suaraku tetap datar. "Kau menjanjikan informasi tentang ibuku."
"Kau yakin kuat mendengar beritanya?" Dia menstarter motornya. "Dia belum mati."
Bumi terasa berputar di kakiku. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, dia diambil dari si Minotaurus sebelum dia sempat mati. Dia diubah
menjadi air mancur emas, kan" Itu metamorfosis. Bukan kematian. Dia ditahan."
"Ditahan. Kenapa?"
"Kau perlu belajar tentang perang, Bocah. Sandera. Orang ditahan untuk
mengendalikan orang lain."
"Nggak ada orang yang mengendalikan aku." Dia tertawa. "Begitu, ya" Sampai
ketemu, Nak." Aku mengepalkan tangan. "Kau sok sekali, Tuan Ares, untuk seseorang yang
melarikan diri dari patung Cupid."
Di balik kacamatanya, api berkobar. Terasa angin panas di rambutku. "Kita akan
bertemu lagi, Percy Jackson. Lain kali kalau kau berkelahi, berhati-hatilah."
Dia membunyikan Harley-nya, lalu menderu menyusuri jalan Delancy.
Kata Annabeth, "Itu bukan tindakan cerdas, Percy."
"Biarin." "Jangan cari musuh dengan dewa. Terutama dengan dewa yang itu."
"Hei, teman-teman," kata Grover. "Aku nggak ingin menyela, tetapi ...."
Dia menunjuk ke restoran. Di kasir, kedua pelanggan terakhir membayar bon, dua
lelaki berbaju monyet hitam yang seragam, dengan logo putih di punggung yang
sama dengan logo di truk WELAS ASIH INTERNASIONAL.
"Kalau kita mau menumpang truk kebun binatang kilat," kata Grover, "kita harus
buru-buru." Aku tak menyukainya, tetapi kami tak ada pilihan yang lebih baik. Lagi pula, aku
sudah kenyang melihat Denver.
Kami berlari menyeberangi jalan dan memanjat bagian belakang truk besar itu,
lalu menutup pintunya. * * * Hal pertama yang terasa adalah baunya. Seperti kotak pasir kotoran kucing
terbesar di dunia. Bagian dalam truk itu gelap, sampai aku membuka tutup Anaklusmos.
Bilahnya menerangi pemandangan yang sangat memilukan dengan cahaya perunggu
samar. Dalam sebaris kerangkeng logam kotor, duduklah tiga hewan kebun binatang
yang paling mengenaskan yang pernah kulihat: zebra, singa albino jantan, dan
semacam antelop aneh yang aku tak tahu namanya.
Seseorang telah melempar sekarung lobak cina kepada si singa. Hewan itu jelas
tak mau memakannya. Zebra dan antelop mendapat masing-masing satu nampan gabus
yang berisi daging hamburger. Surai si zebra lengket karena permen karet,
seolah-olah ada yang iseng meludahinya pada waktu luang. Salah satu tanduk si
antelop diikatkan balon ulang tahun perak yang konyol, bertuliskan SUDAH GAEK!
Rupanya, tak ada yang ingin mendekati si singa untuk mempermainkannya, tetapi
hewan malang itu mondar-mandir di atas selimut kotor, di ruangan yang terlalu
kecil baginya, terengah-engah karena udara panas dan pengap truk itu.
Lalat mengerubungi matanya yang merah jambu, dan tulang iganya tampak menonjol
pada bulunya yang putih. "Ini welas asih?" teriak Grover. "Transportasi kebun binatang manusiawi?"
Dia mungkin ingin keluar lagi dan memukuli kedua sopir truk itu dengan seruling,
dan aku ingin membantunya, tetapi saat itu mesin truk menggerung menyala, truk
mulai berguncang, dan kami terpaksa duduk kalau tidak mau jatuh.
Kami berkumpul di pojok, di atas karung pakan yang berjamur, berusaha
mengabaikan bau dan panas dan lalat. Grover berbicara kepada hewan-hewan itu
dengan serentetan embik kambing, tetapi mereka hanya menatapnya sedih.
Annabeth ingin merusak kerangkeng dan membebaskan mereka saat itu juga, tetapi
kuingatkan bahwa hal itu tak ada gunanya sampai truk berhenti bergerak.
Lagi pula, aku mendapat perasaan bahwa, bagi si singa, kami mungkin tampak lebih
lezat daripada lobak itu.
Aku menemukan kendi air dan mengisi mangkuk mereka, lalu menggunakan Anaklusmos
untuk menyeret makanan yang tak cocok itu dari dalam kerangkeng.
Kuberikan daging kepada si singa dan lobak kepada si zebra dan antelop.
Grover menenangkan si antelop, sementara Annabeth menggunakan pisaunya untuk
memotong balon dari tanduknya. Gadis itu juga ingin memotong permen karet dari
surai kuda, tetapi kami memutuskan bahwa itu terlalu berisiko di dalam truk yang
berguncang-guncang. Kami meminta Grover berjanji kepada hewan-hewan itu, bahwa
kami akan membantu mereka lagi pagi-pagi, lalu kami bersiap tidur malam itu.
Grover meringkuk di atas karung lobak; Annabeth membuka kantong Oreo Isi Dobel
dan menggigiti sekeping biskuit dengan setengah hati; aku berusaha menghibur
diri dengan berkonsentrasi pada kenyataan bahwa kami sudah setengah jalan ke Los
Angeles. Setengah jalan ke tujuan kami. Baru tanggal 14 Juni.
Titik balik matahari masih tanggal 21. Kami masih punya banyak waktu.
Di lain pihak, aku tak tahu sama sekali apa yang akan terjadi berikutnya. Para
dewa terus mempermainkanku. Setidaknya, Hephaestus cukup berbudi, sehingga jujur
ketika melakukannya - dia memasang kamera dan mengiklankan aku sebagai hiburan.
Tapi, bahkan saat kamera tidak berputar, aku merasa misiku sedang diamati. Aku
menjadi sumber hiburan bagi para dewa.
"Eh," kata Annabeth, "maaf ya, tadi aku panik di taman air, Percy."
"Nggak apa-apa."
"Soalnya ...." Dia menggigil. "Laba-laba."
"Gara-gara cerita Arachne itu, ya," tebakku. "Dia diubah menjadi laba-laba
karena menantang ibumu berlomba menganyam, ya?" Annabeth mengangguk. "Sejak itu
anak-anak Arachne membalas dendam kepada anak-anak Athena. Kalau ada laba-laba
dalam jarak 1 kilometer dariku, pasti dia bisa menemukanku. Aku benci makhluk
kecil yang merayap-rayap. Yang pasti, aku berutang budi padamu."
"Kita satu tim, kan?" kataku. "Lagi pula, Grover yang terbang dengan hebat."
Kusangka Grover sudah tidur, tetapi dia menggumam dari sudut, "Aku memang cukup
hebat, ya?" Aku dan Annabeth tertawa.
Dia membelah sebuah Oreo, dan memberikan setengahnya kepadaku. "Dalam pesan Iris
... apakah Luke benar-benar nggak berkata apa-apa?"
Aku mengunyah kue dan memikirkan cara menjawab pertanyaan itu.
Percakapan via pelangi itu menggangguku sepanjang sore. "Kata Luke, kau dan dia
sudah lama berteman. Dia juga berkata bahwa kali ini Grover nggak akan gagal.
Nggak ada yang akan berubah menjadi pohon pinus."
Dalam cahaya perunggu remang-remang dari mata pedang, sulit membaca raut muka
mereka. Grover mengembik nelangsa.
"Semestinya sejak awal aku memberitahumu yang sebenarnya." Suaranya gemetar.
"Kupikir, kalau kau tahu seberapa besar kegagalanku, kau nggak akan mau aku
ikut." "Kau satir yang berusaha menyelamatkan Thalita, putri Zeus."
Dia mengangguk suram. "Dan kedua anak blasteran yang menemani Thalia, yang sampai ke perkemahan dengan
selamat ...." Aku menatap Annabeth. "Itu kau dan Luke, ya?"
Dia meletakkan Oreo, tanpa dimakan. "Seperti yang kau bilang, Percy, seorang
anak blasteran berumur tujuh tahun nggak mungkin bisa berjalan sejauh itu kalau
hanya sendirian. Athena membimbingku ke orang yang dapat membantu. Thalita dua
belas tahun. Luke empat belas. Mereka berdua kabur dari rumah, sama sepertiku.
Mereka dengan senang hati mengajakku. Mereka ... petarung monster yang hebat,
bahkan tanpa pelatihan. Kami menuju utara dari Virginia tanpa rencana jelas,
menghalau monster selama sekitar dua minggu sebelum Grover menemukan kami."
"Aku ditugasi mengiringi Thalia ke perkemahan," katanya sambil terisak-isak.
"Cuma Thalia. Aku mendapat perintah tegas dari Chiron: jangan melakukan apa pun
yang memperlambat penyelamatan. Soalnya, kami tahu Hades mengincar Thalia, tapi
aku nggak tega meninggalkan Luke dan Annabeth berdua saja. Kupikir ... kupikir
aku bisa membimbing ketiga-tiganya hingga selamat. Karena kesalahankulah Makhluk
Baik itu bisa mengejar kami. Aku terpaku. Aku ketakutan dalam perjalanan kembali
ke perkemahan dan beberapa kali salah belok. Andai saja aku lebih cepat ..."
"Hentikan," kata Annabeth. "Nggak ada yang menyalahkanmu. Thalia juga nggak
menyalahkanmu." "Dia mengorbankan diri demi menyelamatkan kita," kata Grover merana. "Dia mati
gara-gara aku. Dewan Tetua Berkuku Belah juga bilang begitu."
"Karena kau tak mau meninggalkan kedua anak blasteran yang lain?" kataku. "Itu
nggak adil." "Percy benar," kata Annabeth. "Aku nggak mungkin masih hidup sekarang, kalau
bukan berkat dirimu, Grover. Luke juga. Kami nggak peduli apa kata dewan."
Grover terus terisak-isak dalam gelap. "Peruntunganku memang begitu. Aku satir
paling payah sepanjang zaman, tapi malah menemukan dua anak blasteran terkuat
abad ini, Thalia dan Percy.'
"Kau tidak payah," Annabeth bersikeras. "Kau lebih pemberani daripada satir mana
pun yang pernah kutemui. Coba sebutkan satu satir lain yang berani pergi ke
Dunia Bawah. Aku yakin Percy sangat senang kau sekarang berada di sini."
Dia menendang tulang keringku.
"Iya," kataku, yang memang akan kukatakan sekalipun tidak ditendang.
"Bukan karena peruntungan, kau menemukan Thalia dan aku, Grover. Kau punya hati
terbesar di antara semua satir. Kau pencari yang alami. Itu sebabnya kaulah yang
akan menemukan Pan."
Aku mendengar helaan napas puas yang dalam. Aku menunggu Grover mengatakan
sesuatu, tetapi napasnya malah bertambah berat. Ketika bunyinya berubah menjadi
dengkur, kusadari dia sudah tidur.
"Bagaimana sih dia bisa begitu?" aku terheran-heran.
"Nggak tahu," kata Annabeth. "Tapi, baik sekali perkataanmu untuknya barusan."
"Aku sungguh-sungguh."
Kami diam selama beberapa kilometer, terambul-ambul di karung pakan. Si zebra
mengunyah lobak. Si singa menjilat sisa daging hamburger dari bibirnya dan
menatapku penuh harap. Annabeth menggosok-gosok kalungnya, seolah-olah sedang memikirkan strategi yang
mendalam. "Manik pohon pinus itu," kataku. "Itu dari tahun pertamamu?"
Dia melihat. Dia baru sadar bahwa dia memegang manik-manik itu.
"Iya," katanya. "Setiap bulan Agustus para pembina memilih peristiwa terpenting
pada musim panas itu, dan melukisnya di manik-manik tahun itu. Aku mendapat
pohon pinus Thalia, perahu Yunani yang terbakar, centaurus bergaun pesta prom nah yang itu musim panas yang aneh ...."
"Dan cincin universitas itu punya ayahmu?" "Bukan urusank" Dia menahan diri.
"Ya. Punya ayahku."
"Kau tak perlu cerita."
"Nggak ... nggak apa-apa.." Dia menghela napas dengan gemetar. "Ayahku mengirim
cincin ini terlipat dalam surat, dua musim panas yang lalu. Cincin ini semacam
kenang-kenangan terbesar dari Athena yang dia miliki. Dia nggak mungkin berhasil
menempuh program doktornya di Harvard tanpa Athena .... Ceritanya panjang.
Pokoknya, dia bilang dia ingin aku yang menyimpannya. Dia minta maaf karena
bersikap berengsek selama ini, katanya dia mencintaiku dan merindukanku. Dia
ingin aku pulang dan tinggal bersamanya."
"Kedengarannya tidak buruk."
"Yah ... masalahnya, aku percaya padanya. Aku mencoba pulang tahun ajaran itu,
tetapi ibu tiriku sama saja seperti dulu. Dia nggak ingin anak-anaknya terancam
bahaya gara-gara tinggal bersama orang aneh. Ada monster menyerang. Kami
bertengkar. Monster menyerang. Kami bertengkar. Aku bahkan nggak bertahan sampai
libur musim dingin. Aku menelepon Chiron dan langsung pulang ke Perkemahan
Blasteran." "Apa menurutmu kau akan mencoba lagi tinggal bersama ayahmu?"
Dia tak menemui mataku. "Nggaklah. Aku nggak suka menyakiti diri sendiri."
"Sebaiknya kau jangan menyerah," kataku. "Surati ayahmu atau apa."
"Terima kasih untuk nasihatnya," katanya dingin, "tetapi ayahku sudah memilih
dengan siapa dia ingin tinggal."
Kami melalui beberapa kilometer lagi dalam diam.
"Jadi, kalau dewa bertempur," kataku, "apakah peta kekuatannya akan sama seperti
Perang Troya" Apakah Athena akan melawan Poseidon?"
Dia meletakkan kepalanya pada ransel pemberian Athena, dan memejamkan mata. "Aku
nggak tahu apa yang akan dilakukan Ibuku. Aku cuma tahu aku akan bertempur di
sampingmu." "Kenapa?" "Karena kau temanku, Otak Ganggang. Ada pertanyaan bodoh lain?"
Aku tak terpikir jawaban untuk itu. Untungnya, tak perlu kucari. Annabeth sudah
tidur. Aku kesulitan ikut tidur, karena Grover mendengkur dan si singa albino menatapku
dengan lapar, tetapi akhirnya aku memejamkan mata.
* * * Mimpi burukku dimulai seperti mimpi yang sudah pernah kualami sejuta kali
sebelumnya: aku dipaksa mengerjakan tes standar sambil memakai jaket pengaman.
Semua anak lain sedang beristirahat, dan si guru terus berkata, Ayo, Percy. Kau
tidak bodoh, kan" Ambil pensilmu.
Lalu, mimpi itu menyimpang dari yang biasa.
Aku menoleh ke bangku ke sebelah dan melihat seorang gadis duduk di situ, juga
mengenakan jaket pengaman. Dia seumur denganku, rambut hitamnya bergaya punk
yang acak-acakan, matanya yang berwarna hijau badai dihias dengan pensil mata
hitam, dan hidungnya berbintik-bintik. Entah bagaimana, aku tahu siapa dia.
Thalia, putri Zeus. Dia meronta melawan jaket pengamannya, mendelik kearahku dengan frustrasi, dan
membentak, Bagaimana, Otak Ganggang" Salah satu dari kita harus keluar dari
sini. Dia benar, pikirku dalam mimpi. Aku akan kembali ke gua itu. Aku akan melabrak
Hades. Jaket pengaman itu mencari dari tubuhku. Aku jatuh menembus lantai ruang kelas.
Suara si guru berubah hingga terdengar dingin dan jahat, menggema dari kedalaman
jurang besar. Percy Jackson, katanya. Ya, kulihat pertukaran itu berlangsung lancar.
Aku kembali berada di gua yang gelap itu, sementara arwah orang mati melayanglayang di sekitarku. Monster itu berbicara dari dalam lubang yang tak bisa
kulihat, tetapi kali ini bukan kepadaku. Kekuatan melumpuhkan milik suara itu
tampaknya diarahkan ke tempat lain.
Dan dia tak mencurigai apa-apa" tanyanya.
Suara lain, yang hampir kukenali, menjawab di balik bahuku. Tidak, tuanku.
Dia tak menyadarinya, sama seperti yang lain. Aku menoleh, tetapi tak ada siapasiapa di situ. Si pembicara tak terlihat.
Tipuan demi tipuan, makhluk di lubang itu berkomentar. Bagus.
Sungguh, tuanku, kata suara di sebelahku, engkau sesuai dengan nama Si
Menyimpang. Tapi apakah itu benar-benar perlu" Aku bisa saja membawakanmu
curianku secara langsung Kau" kata si monster dengan mencemooh. Kau sudah menunjukkan batas kemampuanmu.
Kau tentu sudah gagal sama sekali, andai aku tak turut campur.
Tapi, tuanku - Dia, budak kecil. Enam bulan ini kita telah memperoleh banyak hal. Amarah Zeus
sudah membesar. Poseidon telah memainkan kartunya yang terakhir.
Sekarang kita akan menggunakannya untuk merugikan dirinya. Tak lama lagi, kau


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mendapat hadiah yang kauinginkan, dan pembalasan dendammu. Begitu kedua
benda itu dibawa ke tanganku ... tapi tunggu. Dia ada di sini.
Apa" Si hamba yang tak terlihat tiba-tiba terdengar tegang. Engkau memanggilnya,
tuanku" Tidak. Kekuatan penuh perhatian si monster sekarang tertuang padaku, membuatku
terpaku di tempat. Terkutuklah darah ayahnya - dia terlalu mudah berubah,
terlalu tak bisa diduga. Anak itu yang membawa dirinya sendiri ke sini.
Mustahil! seru si hamba. Mungkin mustahil untuk orang lemah sepertimu, suara itu mengejek. Lalu kekuatan
dinginnya kembali beralih kepadaku. Jadi ... kau ingin bermimpi tentang misimu,
blasteran muda" Aku akan memenuhi keinginanmu.
Pemandangan berubah. Aku berdiri di ruang singgasana yang luas, bertembok marmer hitam dan berlantai
perunggu. Singgasana mengerikan yang kosong itu dibuat dari tulang manusia yang
dipadukan. Di kaki mimbar berdirilah ibuku, beku dalam cahaya emas berkilauan,
tangannya terjulur. Aku mencoba melangkah mendekati, tetapi kakiku tak mau bergerak. Aku meraihnya,
tetapi menyadari bahwa tanganku layu hingga ke tulang. Kerangka tulang yang
menyeringai dalam baju zirah Yunani mengerumuniku, menyampirkan jubah sutra pada
tubuhku, menghiasi kepalaku dengan mahkota daun dafnah yang diasapi dengan racun
Chimera, membakar kulit kepalaku.
Suara jahat itu mulai tertawa. Hormat kepada sang pahlawan penakluk!
* * * Aku tersentak bangun. Grover mengguncang bahuku.
"Truknya berhenti," katanya. "Kami rasa mereka akan datang untuk memeriksa
hewan." "Sembunyi!" desis Annabeth.
Dia sih gampang. Tinggal memakai topi ajaib, langsung menghilang. Aku dan Grover
harus melompat ke balik karung pakan dan berharap kami terlihat mirip lobak.
Pintu truk berderit terbuka. Cahaya matahari dan udara panas mengalir masuk.
"Sial!" kata salah seorang sopir itu, melambaikan tangan di depan hidungnya yang
jelek. "Lebih enak mengangkut peralatan rumah."
Dia memanjat masuk dan menuangkan air dari kendi ke piring hewan-hewan itu.
"Kepanasan, jagoan?" tanyanya kepada si singa, lalu melemparkan sisa air tepat
di wajah si singa. Singa itu mengaum marah. "Ya, ya, ya," kata lelaki itu.
Di sebelahku, di bawah karung lobak, Grover menegang. Sebagai pemakan sayur yang
cinta damai, dia tampak segarang pembunuh.
Si sopir melempar kantong makanan yang penyek kepada si antelop. Dia menyeringai
kepada si zebra. "Apa kabar, Belang" Setidaknya kau akan disingkirkan di
perhentian ini. Suka acara sulap, nggak" Kau pasti suka yang satu ini. Kau akan
digergaji menjadi dua!"
Si zebra, dengan mata liar ketakutan, menatap lurus kepadaku.
Tak ada suara, tetapi sejernih kristal, kudengar ia berkata: Bebaskan aku, Tuan.
Tolong. Aku terlalu tertegun, sehingga tak langsung bereaksi.
Terdengar duk-duk-duk keras dari sisi truk.
Si sopir yang berada di dalam bersama kami berteriak, "Apa maumu, Eddie?"
Suara di luar - suara Eddie tentunya - balas berteriak. "Maurice" Kau bilang
apa?" "Kenapa kau menggedor-gedor?"
Duk-duk-duk. Di luar, Eddie berteriak, "Menggedor apa?"
Teman kita Maurice memutar mata dan keluar lagi, sambil mengumpat Eddie karena
tolol. Sedetik kemudian, Annabeth muncul di sebelahku. Pasti dia yang menggedor-gedor
agar Maurice keluar dari truk. Katanya, "Usaha transportasi ini pasti ilegal."
"Jelas," kata Grover. Dia berhenti sejenak, seolah mendengarkan. "Kata si singa,
orang-orang ini penyelundup hewan!"
Benar, kata suara zebra di otakku.
"Kita harus membebaskan mereka!" kata Grover. Dia dan Annabeth memandangku,
menunggu pimpinanku. Aku mendengar zebra itu berbicara, tetapi tidak si singa. Kenapa" Mungkin satu
lagi cacat belajar yang kuidap ... aku cuma bisa memahami zebra" Lalu kupikir:
kuda. Apa kata Annabeth soal Poseidon menciptakan kuda" Apakah zebra cukup dekat
dengan kuda" Apakah karena itu aku bisa memahami perkataannya"
Kata si zebra, Buka kerangkengku, Tuan. Tolong. Aku akan baik-baik saja setelah
itu. Di luar, Eddie dan Maurice masih saling membentak, tetapi aku tahu mereka akan
masuk untuk menyiksa hewan-hewan ini lagi kapan saja. Aku menyambar Riptide dan
membacok gembok dari kerangkeng zebra.
Zebra itu melompat keluar. Ia berputar menghadapku dan menunduk. Terima kasih,
Tuan. Grover mengangkat tangannya dan mengatakan sesuatu kepada si zebra dalam bahasa
kambing, seperti pemberkatan.
Persis ketika Maurice melongokkan kepala lagi ke dalam untuk memeriksa sumber
keributan, si zebra melompatinya dan masuk ke jalan. Terdengar teriakan dan
jeritan dan klakson mobil. Kami bergegas ke pintu truk dan melihat si zebra
berlari di jalan lebar yang diapit dua deret hotel dan kasino dan tanda neon.
Kami baru saja membebaskan seekor zebra di Las Vegas.
Maurice dan Eddie berlari mengejarnya, diikuti beberapa polisi yang berteriak,
"Hei! Kalian perlu izin untuk itu!"
"Sekarang waktu yang tepat untuk pergi," kata Annabeth.
"Hewan yang lain dulu," kata Grover.
Aku memotong gembok dengan pedang. Grover mengangkat tangannya dan mengucapkan
pemberkatan kambing yang sama dengan yang diberikannya kepada si zebra.
"Selamat berjuang," kataku kepada hewan-hewan itu. Si antelop dan si singa
keluar dari kerangkeng mereka dan pergi bersama-sama ke jalan.
Beberapa wisatawan menjerit. Sebagian besar hanya mundur dan memotret, mungkin
menyangka ini semacam pertunjukan dari salah satu kasino.
"Apakah hewan-hewan itu akan baik-baik saja?" tanyaku kepada Grover.
"Maksudku, padang pasir dan-"
"Nggak usah khawatir," katanya. "Aku memberikan perlindungan satir kepada
mereka." "Maksudnya?" "Maksudnya, mereka akan mencapai alam liar dengan selamat," katanya. "Mereka
akan menemukan air, makanan, naungan, apa pun yang mereka butuhkan, sampai
mereka menemukan tempat tinggal yang aman."
"Kenapa kau nggak bisa memberkati kita seperti itu?" tanyaku.
"Cuma bisa buat hewan liar."
"Jadi, cuma Percy yang akan terpengaruh," Annabeth menyimpulkan.
"Hei!" protesku.
"Bercanda," katanya. "Ayo. Kita keluar dari truk jorok ini."
Kami disambut sore padang pasir. Udaranya paling sedikit 43 derajat Celcius, dan
kami pasti kelihatan seperti gelandangan yang digoreng, tetapi semua orang
terlalu tertarik pada hewan liar, sehingga tak terlalu memperhatikan kami.
Kami melewati Monte Carlo dan MGM. Kami melewati piramida, kapal bajak laut,
Patung Liberty, replika yang cukup kecil, tetapi tetap membuatku rindu rumah.
Aku tak yakin apa yang kami cari. Mungkin cuma tempat untuk berlindung dari
panas selama beberapa menit, mencari roti lapis dan limun, membuat rencana baru
untuk menuju ke barat. Kami sepertinya salah membelok, karena kami ternyata menemui jalan buntu,
berdiri di depan Hotel dan Kasino Teratai. Pintu masuknya berupa bunga neon
raksasa, kelopaknya menyala dan berkedip-kedip. Tak ada orang yang masuk atau
keluar, tetapi pintu krom yang gemerlap itu terbuka, menumpahkan udara AC yang
beraroma bunga - kembang teratai, mungkin. Aku belum pernah mencium bau teratai,
jadi aku tak yakin. Si penjaga pintu tersenyum kepada kami. "Hei, anak-anak. Kalian kelihatan capek.
Mau masuk dan duduk dulu?"
Aku sudah belajar bercuriga setelah seminggu terakhir ini. Aku menyimpulkan
siapa pun bisa menjadi monster atau dewa. Sulit membedakannya.
Tetapi, lelaki ini normal. Sekali lihat saja, aku bisa membedakan. Lagi pula,
aku begitu lega mendengar seseorang yang terdengar begitu simpatik, sehingga aku
mengangguk dan berkata kami ingin masuk. Di dalam, kami mengedarkan pandangan
sekali, dan Grover berkata, "Wah."
Seluruh lobi itu merupakan ruangan permainan raksasa. Dan maksudku bukan mesin
judi atau permainan Pac-Man kuno yang norak. Ada perosotan air dalam ruangan
yang bagaikan ular memutari lift kaca, yang menjulang setinggi paling sedikit
empat puluh lantai. Ada tembok panjat di satu sisi gedung, dan jembatan lompat
bungee dalam ruangan. Ada pakaian realitas-virtual beserta senapan laser yang
berfungsi. Dan ratusan game video, masing-masing sebesar televisi layar lebar.
Pokoknya, kau tinggal sebut mainan apa pun, tempat ini pasti punya. Ada beberapa
anak lain yang bermain, tapi tidak terlalu banyak. Tak perlu menunggu giliran
untuk permainan apa pun. Ada pelayan dan gerai camilan di semua tempat,
menyajikan setiap macam makanan yang dapat kaubayangkan.
"Hei!" kata seorang pelayan. Setidaknya, kuduga dia seorang pelayan. Dia
mengenakan kemeja Hawaii putih-kuning yang bercorak teratai, celana pendek, dan
sandal jepit. "Selamat datang di Kasino Teratai. Ini kunci kamar kalian."
Aku terbata-bata, "Eh, tapi ...."
"Tenang, tenang," katanya sambil tertawa. "Tagihannya sudah diurus. Tak ada
biaya tambahan, tak perlu memberi tip. Langsung saja naik ke lantai atas, kamar
4001. Kalau perlu apa-apa, misalnya sabun busa tambahan untuk bak mandi air
panas, atau target tanah liat untuk arena tembak, atau apa pun, hubungi saja
meja depan. Ini kartu Tunai-Teratai. Bisa dipakai di restoran dan di semua
permainan dan wahana.' Dia memberi kami kartu kredit plastik warna hijau masing-masing satu.
Aku yakin pasti ada kekeliruan. Jelas dia menganggap kami anak seorang jutawan.
Tetapi, kuterima kartu itu dan berkata, "Berapa besar nilainya?"
Alisnya bertaut. "Maksudnya?"
"Maksudku, kapan nilai tunainya habis?"
Dia tertawa. "Oh, kau sedang bercanda. Boleh juga. Nikmati kunjungan kalian."
Kami naik lift ke lantai atas dan memeriksa kamar kami. Ternyata kamarnya mewah,
terdiri atas tiga kamar tidur dan bar yang diisi permen, soda, dan keripik.
Sambungan telepon langsung ke bagian layanan kamar. Handuk empuk dan kasur air
serta bantal bulu. Televisi layar besar yang dilengkapi parabola dan internet
berkecepatan tinggi. Balkonnya memiliki bak mandi air panas sendiri, dan benar
saja, ada mesin pelontar target dan senapan, jadi kita bisa meluncurkan burung
dara tanah liat langsung ke atas langit Las Vegas dan menembaknya dengan
senapan. Aku merasa itu tak mungkin legal, tapi kupikir cukup keren.
Pemandangan menghadap ke daerah Strip dan padang pasirnya sangat indah, meskipun
aku ragu kami akan sempat melihat pemandangan, kalau kamarnya seperti ini.
"Wah, asyik," kata Annabeth. "Tempat ini ...."
"Asyik," kata Grover. "Benar-benar asyik."
Ada pakaian di lemari, dan ukurannya pas. Aku mengerutkan kening, merasa ini
agak aneh. Kulemparkan ransel Ares ke keranjang sampah. Tak diperlukan lagi. Saat kami
pergi nanti, aku tinggal menagihkan ransel baru di toko hotel.
Aku mandi. Segar sekali rasanya, setelah seminggu bepergian dengan tubuh kotor.
Aku bertukar pakaian, makan sekantong keripik, minum tiga Coke, dan setelahnya
merasa lebih baik daripada yang kurasakan beberapa hari ini. Di sudut benakku
ada masalah kecil yang terus mengusik. Aku bermimpi atau apa ... aku perlu
berbicara dengan teman-temanku. Tetapi, aku yakin itu bisa menunggu.
Aku keluar dari kamar tidur dan mendapati bahwa Annabeth dan Grover juga sudah
mandi dan berganti pakaian. Grover sedang makan keripik kentang sepuasnya,
sementara Annabeth menyalakan saluran National Geographic di televisi.
"Tersedia segala macam stasiun di situ," kataku kepadanya, "kau malah menyalakan
National Geographic. Sudah gila, ya?"
"Acaranya kan menarik."
"Aku merasa enak," kata Grover. "Aku suka tempat ini."
Tanpa ia sadari, sayap tumbuh dari sepatunya dan mengangkatnya 30 cm dari
lantai, lalu turun lagi. "Jadi, sekarang apa?" tanya Annabeth. "Tidur?"
Aku dan Grover bertukar pandang dan menyeringai. Kami berdua mengangkat kartu
plastik Tunai-Teratai kami yang berwarna hijau itu.
"Waktunya bermain," kataku.
Aku tak ingat kapan terakhir kali aku asyik bermain seperti itu. Aku berasal
dari keluarga yang relatif miskin. Berfoya-foya ala kami adalah keluar makan di
Burger King dan menyewa video. Hotel bintang lima di Vegas" Mana mungkin.
Aku melompat bungee dari lobi lima atau enam kali, meluncur di perosotan air,
berselancar salju di turunan ski tiruan, dan bermain kucing-kucingan laser
realitas-virtual, dan permainan penembak jitu FBI. Aku melihat Grover beberapa
kali, berpindah-pindah permainan. Dia benar-benar menyukai permainan pemburu
terbalik - yaitu rusa keluar dan menembaki pemburu. Kulihat Annabeth bermain
game tanya-jawab dna permainan otak lainnya. Di sana ada permainan simulasi 3-D
raksasa, dan kita bisa membangun kota sendiri, dan benar-benar bisa melihat
gedung hologram mencuat pada papan tampilan. Aku tak terlalu terkesan, tetapi
Annabeth suka sekali. Aku tak tahu kapan persisnya aku pertama kali menyadari ada yang aneh.
Mungkin saat aku memerhatikan seorang pemuda berdiri di sampingku di penembak
jitu VR. Umurnya sekitar tiga belas tahun, kira-kira, tapi pakaiannya aneh. Aku
menyangka dia anak seorang peniru Elvis. Dia memakai jins cutbrai dan kemeja
merah berlengan hitam, dan rambutnya dikeriting dan diminyaki seperti rambut
anak perempuan New Jersey pada malam pesta.
Kami bermain penembak-jitu bersama dan dia berkata, "Aduhai, sobat. Aku baru dua
minggu di sini, dan permainannya makin lama makin keren."
Aduhai" Kemudian, saat kami mengobrol, aku mengomentari sesuatu sebagai 'gue banget',
dan dia menatapku agak heran, seolah-olah belum pernah mendengar kata itu
digunakan seperti itu sebelumnya.
Katanya namanya Darrin, tetapi begitu aku mulai banyak bertanya, dia bosan
denganku dan mulai kembali ke layar komputer.
Kataku, "Hei, Darrin?"
"Apa?" "Sekarang tahun berapa?"
Dia merengut kepadaku. "Di dalam game?"
"Bukan. Di dunia nyata."
Dia harus mengingat-ingat. "1977."
"Masa," kataku, merasa agak takut.
"Sungguh." "Hei, bung. Pemali. Aku lagi main."
Setelah itu, dia benar-benar tidak menggubrisku.
Aku mulai mengajak bicara beberapa orang, dan ternyata tak mudah. Mereka lengket
ke layar televisi, atau layar video, atau makanan, atau apa pun. Aku menemukan
seorang pemuda yang mengatakan bahwa sekarang tahun 1985.
Seorang lagi mengatakan sekarang tahun 1993. Mereka semua mengaku belum terlalu
lama berada di sini, beberapa hari, paling lama beberapa minggu. Mereka tidak
tahu persis dan mereka tidak peduli.
Lalu, terpikir olehku, sudah berapa lama aku berada di sini" Rasanya baru
beberapa jam, tetapi apa benar"
Aku berusaha mengingat mengapa kami berada di sini. Kami sedang menuju Los
Angeles. Kami semestinya mencari pintu masuk ke Dunia Bawah. Ibuku ....
Selama satu detik mengerikan, aku kesulitan mengingat namanya. Sally. Sally
Jackson. Aku harus mencarinya. Aku harus menghentikan Hades memicu Perang Dunia
III. Kutemukan Annabeth masih membangun kota.
"Ayo," kataku. "Kita harus pergi."
Tak ada tanggapan. Kuguncang dia. "Annabeth?"
Dia mengangkat kepala, kesal. "Apa?"
"Kita harus pergi."
"Pergi" Kau bicara apa sih" Aku baru saja membangun menara-"
"Tempat ini jebakan."
Dia tidak menjawab sampai kuguncang lagi. "Apa?"
"Dengar. Dunia Bawah. Misi kita!"
"Oh, ayolah, Percy. Beberapa menit lagi."
"Annabeth, ada orang-orang yang sudah berada di sini sejak tahun 1977. Anak-anak
yang nggak pernah bertambah tua. Begitu masuk, kita akan tinggal selamanya."
"Lalu?" tanyanya. "Bisakan kau membayangkan tempat yang lebih asyik?"


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mencengkeram pergelangan tangannya dan menyentakkannya dari permainan itu.
"Hei!" Dia menjerit dan memukulku, tetapi orang lain bahkan tak mau repot
menoleh. Mereka terlalu sibuk.
Aku memaksanya menatap mataku langsung. Kataku, "Laba-laba. Laba-laba besar yang
berbulu." Itu menyentakkannya. Penglihatannya menjernih.
"Demi dewa-dewa," katanya. "Berapa lama kita-"
"Nggak tahu, tapi kita harus mencari Grover."
Kami mencari, dan menemukan dia masih bermain Rusa Pemburu Virtual.
"Grover!" kami berdua berteriak.
Dia berkata, "Matilah, manusia! Matilah, pencemar jahat yang bodoh!"
"Grover!" Dia mengarahkan senapan plastik itu kepadaku dan mulai menembak, seolah-olah aku
hanya salah satu gambar di layar.
Aku menoleh kepada Annabeth, dan kami bersama-sama memegang lengan Grover dan
menyeret dia pergi. Sepatu terbangnya menjadi aktif dan mulai menarik-narik
kakinya ke arah lain sementara dia berteriak, "Nggak mau! Aku baru sampai ke
level baru! Nggak!" Si pelayan Teratai bergegas menghampiri. "Wah, apakah kalian siap untuk kartu
platinum?" "Kami mau pergi," kataku.
"Sayang sekali," katanya, dan aku merasa dia memang sungguh-sungguh, bahwa kami
akan membuatnya patah hati kalau kami pergi. "Kami baru saja menambah satu
lantai penuh yang berisi permainan untuk anggota pemilik kartu platinum."
Dia menyodorkan kartunya, dan aku ingin satu. Aku tahu bahwa kalau aku mengambil
satu, aku tak akan pernah pergi. Aku akan tinggal di sini, bahagia selamanya,
bermain game selamanya, dan tak lama kemudian melupakan ibuku, misiku, bahkan
mungkin namaku sendiri. Aku akan bermain penembak virtual bersama Darrin Disco
yang aduhai itu selamanya.
Grover meraih kartu itu, tetapi Annabeth menarik tangannya dan berkata, "Tidak,
terima kasih." Kami berjalan ke arah pintu, dan sementara kami berjalan, aroma makanan dan
bunyi permainan terasa semakin mengundang. Aku teringat kamar kami di lantai
atas. Kami bisa saja menginap hanya satu malam, tidur di tempat tidur betulan
sekali ini .... Lalu, kami melewati pintu Kasino Teratai dan berlari menyusuri trotoar.
Sepertinya hari sedang sore, kira-kira waktu yang sama seperti saat kami masuk
ke kasino, tetapi ada yang aneh. Cuacanya telah berubah sama sekali. Ada badai,
dengan petir panas menyambar-nyambar di padang pasir.
Ransel Ares tersampir di bahuku. Aneh. Aku yakin ransel itu sudah kubuang di
keranjang sampah di kamar 4001, tetapi saat itu ada masalah lain yang harus
kucemaskan. Aku berlari ke kios koran terdekat dan membaca tahunnya dulu. Untunglah,
tahunnya masih sama dengan tahun kami masuk. Lalu, aku membaca tanggalnya: dua
puluh Juni. Kami berada di dalam Kasino Teratai selama lima hari.
Kami hanya punya sisa waktu satu hari sebelum titik balik matahari musim panas.
Satu hari untuk menuntaskan misi kami.
17. Kami Berbelanja Kasur Air
Ini ide Annabeth. Dia menyuruh kami masuk ke kursi belakang sebuah taksi Vegas seolah-olah kami
punya uang, dan berkata kepada si sopir, "Los Angeles."
Si sopir mengunyah cerutunya dan menilai penampilan kami. "Jaraknya hampir lima
ratus kilometer. Untuk itu, kalian harus bayar di muka."
"Terima kartu debit kasino, nggak?" tanya Annabeth.
Dia mengangkat bahu. "Beberapa. Sama seperti kartu kredit. Harus kugesek dulu."
Annabeth memberinya kartu Tunai-Teratai hijau itu.
Si sopir memandangnya kurang percaya.
"Gesek saja," desak Annabeth.
Si sopir menggeseknya. Argonya mulai berderak. Lampu berkedip-kedip. Akhirnya lambang tak-terhingga
muncul di sebelah tanda dolar.
Cerutu itu jatuh dari bibir si sopir. Dia menoleh kepada kami dengan mata
terbeliak. "Los Angeles sebelah mana... eh, Yang Mulia?"
"Dermaga Santa Monica." Annabeth duduk lebih tegak.
Aku tahu dia menyukai sebutan 'Yang Mulia' itu. "Kalau bisa mengantar kami ke
sana dengan cepat, kau boleh menyimpan kembaliannya.'
Mungkin Annabeth semestinya tidak bilang begitu.
Spidometer taksi itu tak pernah turun di bawah 150 km per jam di sepanjang
perjalanan menyeberangi Padang Pasir Mojave.
* * * Di jalan, kami punya banyak waktu untuk mengobrol. Aku menceritakan mimpi
terbaruku kepada Annabeth dan Grover, tetapi semakin aku berusaha mengingatnya,
perinciannya semakin kabur. Kasino Teratai itu sepertinya membuat ingatanku
korsleting. Aku tak bisa ingat suara si pelayan tak kasat mata itu, meskipun aku
yakin orang itu kukenal. Si pelayan menyebut monster di lubang itu dengan gelar
selain 'tuanku' ... nama atau gelar khusus...
"Sang Bisu?" usul Annabeth. "Sang Kaya" Keduanya julukan untuk Hades."
"Mungkin ..." kataku, meskipun keduanya terasa tidak pas.
"Ruang singgasana itu kedengarannya seperti ruang milik Hades," kata Grover.
"Biasanya ruangan itu digambarkan seperti itu."
Aku menggeleng. "Ada yang aneh. Ruang singgasana itu bukan bagian utama mimpi
itu. Dan suara dari lubang itu ... entahlah. Cuma nggak terasa seperti suara
dewa." Mata Annabeth melebar. "Apa?" tanyaku.
"Eh ... nggak. Aku cuma - Nggak, itu pasti Hades. Mungkin dia mengutus pencuri
ini, orang yang nggak kelihatan ini, untuk mengambil petir asali, lalu timbul
masalah-" "Apa misalnya?"
"Nggak - nggak tahu," katanya. "Tapi, kalau dia mencuri lambang kekuatan Zeus
dari Olympia, dan para dewa memburunya, banyak masalah yang bisa timbul, kan"
Jadi, pencuri ini terpaksa menyembunyikan petir itu, atau entah bagaimana dia
kehilangan barangnya. Pokoknya, dia gagal membawanya ke Hades. Itu yang dibilang
suara di dalam mimpimu kan" Orang itu gagal. Itu bisa menjelaskan apa yang
dicari Erinyes saat mereka menyerang kita di bus. Mungkin mereka menyangka kita
sudah mengambil petir itu."
Aku heran Annabeth punya masalah apa. Dia tampak pucat.
"Tapi, kalau aku sudah mengambil petir itu," kataku, "buat apa aku pergi ke
Dunia Bawah?" "Untuk mengancam Hades," usul Grover. "Untuk menyogok atau memerasnya demi
mendapatkan kembali ibumu."
Aku bersiul. "Pikiranmu licik juga, untuk ukuran kambing."
"Wah, terima kasih."
"Tapi, makhluk di lubang itu berkata, dia menunggu dua benda,' kataku. "Kalau
petir asali itu satu, satu lagi apa?"
Grover menggeleng, jelas bingung.
Annabeth menatapku seolah-olah dia tahu pertanyaanku berikutnya, dan diam-diam
berharap agar aku tidak bertanya.
"Kau punya dugaan soal makhluk apa yang berada di lubang itu, ya?" tanyaku
kepadanya. "Maksudku, kalau itu bukan Hades?"
"Percy ... jangan bicarakan itu. Karena kalau bukan Hades .... Tidak. Pasti
Hades." Tanah gersang bergerak lewat. Kami melewati tanda yang bertuliskan PERBATASAN
NEGARA BAGIAN CALIFORNIA, 19 KM.
Aku merasa bahwa ada satu keping informasi yang penting tapi sederhana, yang
luput dari perhatianku. Rasanya seperti saat aku menatap sebuah kata umum yang
semestinya kukenal, tetapi aku tak bisa memahaminya karena satu-dua hurufnya
melayang-layang. Semakin kupikirkan isiku, semakin aku yakin bahwa
mengonfrontasi Hades bukanlah jawaban yang tepat. Ada hal lain yang sedang
terjadi, sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Masalahnya: kami melaju menuju Dunia Bawah dengan kecepatan 150 km per jam,
bertaruh bahwa Hades memegang petir asali itu. Kalau kami sampai di sana dan
menemukan bahwa kami salah, kami tak akan punya waktu untuk memperbaikinya.
Tenggat titik balik matahari musim panas akan berlalu dan perang akan dimulai.
"Jawabannya berada di Dunia Bawah," Annabeth meyakinkanku. "Kau melihat arwah
orang mati, Percy. Itu hanya mungkin ada di satu tempat. Yang kita lakukan ini
sudah benar." Dia berusaha membangkitkan semangat kami dengan mengusulkan berbagai strategi
cerdik untuk masuk ke Negeri Orang Mati, tetapi hatiku tidak berselera.
Terlalu banyak faktor yang tak diketahui. Rasanya seperti mengebut belajar untuk
suatu ujian tanpa tahu topiknya. Dan percayalah, itu sih sudah cukup sering
kulakukan. Taksi itu melaju ke barat. Setiap tiupan angin melalui Death Valley terdengar
seperti arwah orang mati. Setiap kali rem sebuah truk berdesis, aku teringat
pada suara reptil Echinda
* * * Pada saat matahari terbenam, taksi menurunkan kami di pantai di Santa Monica.
Pemandangannya persis seperti pantai L.A. di film-film, tetapi lebih bau. Ada
wahana karnaval di sepanjang Dermaga, pohon kelapa di sepanjang trotoar,
gelandangan tidur di bukit pasir, dan cowok peselancar yang menunggu ombak
sempurna. Aku, Grover, dan Annabeth menyusuri tepi pantai.
"Sekarang bagaimana?" tanya Annabeth.
Samudra Pasifik menjadi emas akibat matahari terbenam. Aku memikirkan sudah
berapa lama waktu berlalu sejak aku berdiri di pantai di Montauk, di seberang
negara ini, memandang samudra yang lain.
Bagaimana mungkin ada seorang dewa yang mampu mengendalikan semua itu" Apa kata
guru IPA-ku dulu - dua per tiga permukaan bumi diliputi air"
Bagaimana mungkin aku ini putra seseorang yang seberkuasa itu"
Aku melangkah ke ombak. "Percy?" kata Annabeth. "Kau mau apa?"
Aku terus berjalan, hingga air sepinggang, lalu sedada.
Annabeth berseru kepadaku, "Kau tahu sekotor apa air itu" Ada segala macam racun
- " Pada saat itulah kepalaku masuk ke air.
Pertama-tama aku menahan napas. Sulit rasanya memaksa diri mengisap napas.
Akhirnya, aku tak tahan lagi. Aku menarik napas. Benar saja, aku bisa bernapas
dengan normal. Aku berjalan turun ke dasar pasir. Semestinya aku tak bisa melihat di air keruh,
tapi entah bagaimana aku bisa tahu letak segala sesuatu. Aku dapat merasakan
tekstur dasar yang beralun. Aku dapat melihat koloni sand-dollar (hewan laut
berbentuk bulat pipih seperti koin besar berwarna hitam dan jika mati warnanya
berubah menjadi putih kehijauan) yang bertebaran di gunung pasir. Aku bahkan
bisa melihat arus, aliran panas dan dingin berpusaran bersama.
Aku merasakan sesuatu menggesek kakiku. Aku melihat ke bawah dan hampir
terlompat dari air seperti peluru. Di sebelahku meluncur hiu mako sepanjang satu
setengah meter. Tetapi, hewan itu tidak menyerang. Ia menggosokkan hidung padaku. Mengekor
seperti anjing. Dengan ragu kusentuh sirip punggungnya. Hiu itu melonjak
sedikit, seolah-olah memintaku memegang lebih erat. Aku memegang sirip itu
dengan kedua tangan. Hiu itu melesat, menarikku bersamanya. Ia membawaku turun
ke kegelapan. Ia menurunkanku di tepi laut dalam, di tempat bukit pasir menurun
menjadi jurang luas. Rasanya seperti berdiri di tepi Grand Canyon pada tengah
malam, tak bisa melihat banyak, tetapi tahu lubang itu ada di sana.
Permukaan laut tampak berkilauan sekitar 45 meter di atas sana. Aku tahu aku
semestinya hancur oleh tekanan air. Tetapi, aku juga semestinya tak bisa
bernapas. Aku bertanya-tanya apakah ada batas kedalaman yang bisa kuturuni, apakah aku
bisa tenggelam ke dasar Samudra Pasifik.
Lalu, aku melihat sesuatu berkilauan dalam kegelapan di bawah, yang naik ke
arahku dan tampak semakin besar dan terang. Sebuah suara perempuan, seperti
suara ibuku, memanggil: "Percy Jackson."
Sementara dia mendekat, bentuknya semakin jelas. Rambutnya hitam berombak,
pakaiannya terbuat dari sutra hijau. Cahaya berkelap-kelip di sekelilingnya, dan
matanya begitu indah, sampai-sampai aku hampir tak memerhatikan kuda laut
sebesar kuda yang ditungganginya.
Wanita itu turun. Si kuda laut dan si hiu mako melesat pergi dan mulai bermain,
sepertinya main kucing-kucingan. Si wanita bawah air tersenyum kepadaku. "Kau
telah menempuh jarak yang jauh, Percy Jackson. Hebat."
Aku tak yakin apa yang harus dilakukan, jadi aku membungkuk. "Kau wanita yang
berbicara kepadaku di Sungai Mississippi."
"Benar, Nak. Aku Nereid, arwah laut. Tidak mudah bagiku, muncul begitu jauh di
hulu sungai, tetapi kaum naiad, sepupu air tawarku, membantu mempertahankan
kekuatan nyawaku. Mereka menghormati Tuan Poseidon, meskipun mereka bukan
anggota istananya." "Dan ... kau anggota istana Poseidon?"
Dia mengangguk. "Sudah bertahun-tahun tak ada putra Dewa Laut yang lahir. Kami
mengamatimu dengan minat besar."
Tiba-tiba aku teringat wajah-wajah dalam ombak di lepas Pantai Montauk sewaktu
aku masih kecil, bayangan wanita-wanita yang tersenyum. Sebagaimana begitu
banyak hal aneh dalam hidupku, aku tak pernah terlalu memikirkannya sebelum ini.
"Kalau ayahku begitu tertarik padaku," kataku, "Kenapa dia tidak ke sini" Kenapa
dia tak berbicara kepadaku?"
Arus dingin naik dari kedalaman.
"Jangan terlalu keras menilai sang Penguasa Lautan," kata si Nereid. "Dia sedang
berdiri di ambang perang yang tak diinginkan. Banyak hal menyita waktunya. Lagi
pula, dia dilarang membantumu secara langsung. Dewa tak boleh terlihat pilih
kasih." "Bahkan pada anak-anaknya sendiri?"
"Terutama pada mereka. Dewa hanya bisa bekerja dengan pengaruh tak langsung. Itu
sebabnya aku memberimu peringatan, dan hadiah."
Dia mengulurkan tangan. Di telapak tangannya, tiga butir mutiara putih bersinar.
"Aku tahu kau akan pergi ke wilayah Hades," katanya. "Hanya sedikit manusia yang
pernah melakukan ini dan berhasil keluar hidup-hidup: Orpheus, yang memiliki
keterampilan musik yang hebat; Hercules, yang memiliki kekuatan besar; Houdini,
yang bisa melepaskan diri bahkan dari kedalaman Tartarus. Apakah kau memiliki
bakat-bakat ini?" "Eh ... tidak, sih."
"Ah, tapi kau memiliki hal lain, Percy. Kau memiliki banyak bakat yang baru
mulai kaukenal. Para oracle telah meramalkan masa depan yang besar dan hebat
untukmu, jika kau bertahan hidup hingga dewasa. Poseidon tak ingin kau mati
sebelum waktumu. Karena itu, ambillah ini. Saat kau membutuhkan bantuan,
bantinglah sebutir mutiara ke dekat kakimu."
"Apa yang akan terjadi?"
"Itu," katanya, "tergantung pada kebutuhanmu. Tapi ingat: apa yang dimiliki laut
akan selalu kembali ke laut."
"Peringatannya apa?"
Matanya berbinar-binar dengan cahaya hijau. "Ikuti kata hatimu, atau kau akan
kehilangan semuanya. Hades semakin kuat dengan adanya keraguan dan keputusasaan.
Dia akan mengelabuimu jika dia bisa, membuatmu tak memercayai pikiranmu sendiri.
Begitu kau berada di dunianya, dia tak akan pernah membiarkanmu pergi dengan
sukarela. Kuatkan hatimu. Semoga berhasil, Percy Jackson."
Dia memanggil kuda lautnya dan menungganginya ke arah kehampaan.
"Tunggu!" panggilku. "Di sungai waktu itu, kau bilang, jangan percaya pada
hadiah. Hadiah apa?"
"Selamat tinggal, Pahlawan Muda," serunya kembali, suaranya semakin samar ke
dalam kegelapan. "Kau harus mendengarkan kata hatimu."
Dia menjadi titik hijau bersinar, lalu dia menghilang.
Aku ingin mengikutinya turun ke kegelapan. Aku ingin melihat istana Poseidon.
Tetapi, aku melihat ke atas, pada matahari terbenam yang semakin gelap di
permukaan. Teman-temanku menunggu. Waktu kami sedikit sekali ....
Aku menolakkan tubuh ke arah pantai.
Sesampainya aku di pantai, pakaianku langsung kering. Aku menceritakan apa yang
terjadi kepada Grover dan Annabeth, dan menunjukkan mutiara itu kepada mereka.
Annabeth meringis. "Tak ada hadiah tanpa biaya."
"Yang ini gratis."
"Tidak." Annabeth menggeleng. "Tak ada yang namanya makan gratis. Itu peribahasa
Yunani kuno yang cocok dengan kehidupan Amerika. Akan ada biayanya. Lihat saja."
Dengan pikiran ceria itu, kami berbalik meninggalkan laut.


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * Dengan uang receh dari ransel Ares, kami naik bus ke Hollywood Barat. Kepada
sopir kutunjukkan alamat Dunia Bawah yang kuambil dari Pusat Belanja Taman
Patung Bibi Em, tetapi dia belum pernah mendengar tentang Studio Rekaman DOA.
"Kau mengingatkanku pada seseorang yang kulihat di televisi," katanya. "Kau ini
aktor anak-anak atau apa?"
"Eh ... aku pemeran pengganti ... untuk banyak aktor anak-anak."
"Oh! Pantas." Kami berterima kasih kepadanya dan cepat-cepat turun di halte berikutnya.
Kami luntang-lantung selama berkilo-kilometer, mencari DOA. Tampaknya tak ada
orang yang tahu di mana letaknya. Tempat itu tidak ada di buku telepon.
Dua kali kami menyusup ke gang untuk menghindari mobil polisi.
Aku terpaku di depan jendela toko peralatan rumah karena sebuah televisi
menyiarkan wawancara dengan seseorang yang tampak sangat akrab - ayah tiriku,
Gabe si Bau. Dia sedang berbicara dengan Barbara Walters - seolah-olah dia
semacam selebriti besar. Barbara mewawancarainya di apartemen kami, di tengahtengah permainan poker, dan ada seorang gadis pirang yang duduk di sebelahnya,
menepuk-nepuk tangannya. Air mata palsu berkilauan di pipinya. Dia berkata, "Jujur, Nona Walters, andai
bukan berkat Sugar, konselor menghadapi duka, aku pasti hancur. Anak tiriku
merenggut segala sesuatu yang kupedulikan. Istriku ... Camaroku ... Ma-maaf. Aku
sulit membicarakan hal ini."
"Demikianlah, Amerika." Barbara Walters menoleh ke kamera. "Seorang pria yang
terkoyak. Seorang remaja laki-laki yang bermasalah serius. Mari saya tunjukkan
lagi, foto terakhir pelarian muda yang bermasalah ini, diambil seminggu yang
lalu di Denver." Layar beralih ke foto kabur yang berisi aku, Annabeth, dan Grover, berdiri di
luar restoran Colorado, berbicara kepada Ares.
"Siapakah anak-anak lain dalam foto ini?" Barabara Walters bertanya dengan
dramatis. "Siapa lelaki yang bersama mereka itu" Apakah Percy Jackson seorang
remaja nakal, teroris, atau mungkin korban cuci otak dalam kultus baru yang
mengerikan" Setelah pesan-pesan berikut, kita akan berbincang dengan psikolog
anak terkemuka. Jangan ke mana-mana, Amerika."
"Ayo," kata Grover kepadaku. Dia menarikku menjauh sebelum aku sempat menonjok
dan melubangi jendela toko peralatan itu.
Hari menjadi gelap, dan orang-orang yang tampak kelaparan mulai keluar ke jalan
untuk bermain. Nah, jangan salah paham, ya. Aku ini orang New York. Aku tak
mudah takut. Tapi, suasana L.A. berbeda sama sekali dengan New York. Di rumah,
segala sesuatu terasa dekat. Sebesar apa pun kota itu, orang bisa berjalan ke
mana pun tanpa tersesat. Pola jalan dan kereta bawah tanahnya mudah dipahami.
Segalanya membentuk suatu sistem. Seorang anak bisa aman asalkan dia tidak
bodoh. L.A. tidak seperti itu. Kota itu luas, kacau-balau, dan sulit dijelajahi.
Mengingatkanku pada Ares. L.A. itu bukan hanya luas; ia juga harus membuktikan
kebesarannya dengan berisik dan aneh dan sulit dijelajahi. Aku tak tahu
bagaimana kami bisa menemukan pintu masuk ke Dunia Bawah sebelum besok, titik
balik matahari musim panas.
Kami berjalan melewati anggota geng, gelandangan, dan pedagang kaki lima, yang
menatap kami seolah-olah berusaha menimbang apakah mereka mau repot-repot
merampok kami. Saat kami bergegas melewati pintu masuk sebuah gang, sebuah suara dari kegelapan
berkata, "Hei, kalian."
Seperti orang tolol, aku berhenti.
Tahu-tahu saja kami dikepung. Segerombolan anak mengelilingi kami.
Seluruhnya ada enam orang - anak kulit putih yang berpakaian mahal dan berwajah
kejam. Seperti anak-anak di Akademi Yancy: anak kaya dan manja yang bermain-main
menjadi anak nakal. Secara naluriah, aku membuka tutup Riptide.
Ketika pedang itu muncul begitu saja, anak-anak itu mundur, tetapi pemimpinnya
entah sangat bodoh atau sangat pemberani, karena dia terus merangsek dengan
pisau lipat. Aku keliru bertindak, malah mengayun pedang.
Anak itu memekik. Tetapi, dia rupanya seratus persen manusia, karena pedang itu
menembus dadanya tanpa melukai. Dia melihat ke bawah. "Apa-apaan ..."
Kusimpulkan aku punya waktu tiga detik sebelum rasa kagetnya berubah menjadi
amarah. "Lari!" teriakku kepada Annabeth dan Grover.
Kami mendorong dua anak yang menghalangi dan berlari, tak tahu hendak ke mana.
Kami membelok tajam. "Di sana!" seru Annabeth.
Di blok itu hanya ada satu toko yang tampaknya masih buka, jendelanya mencorong
dengan neon. Tanda di atas pintu bertuliskan kira-kira STIANA KASRU ARI CRSTUY.
"Istana Kasur Air Crusty"' Grover menerjemahkan.
Sepertinya bukan tempat yang ingin kukunjungi kecuali dalam keadaan darurat,
tetapi saat ini jelas memenuhi syarat sebagai keadaan darurat.
Kami menerjang pintu, berlari ke balik kasur air, dan menunduk. Sedetik
kemudian, anak-anak geng berlari lewat di luar.
"Kayaknya kita lolos," kata Grover, terengah-engah.
Sebuah suara di belakang kami menggelegar, "Lolos dari apa?"
Kami semua terlompat. Di belakang kami, berdiri seorang pria yang mirip burung pemangsa dalam setelan
jas santai. Tingginya paling sedikit 210 cm, kepalanya tak berambut sama sekali.
Kulitnya abu-abu seperti kulit samak, matanya berkelopak tebal, senyumnya dingin
mirip reptil. Dia menghampiri kami perlahan-lahan, tetapi aku merasa bahwa dia
mampu bergerak cepat jika perlu.
Pakaiannya mirip-mirip seragam Kasino Teratai. Jelas-jelas berasal dari era
tujuh puluhan. Kemejanya terbuat dari bahan sutra bercorak, tak terkancing
hingga setengah dadanya yang tak berbulu. Kelepak jas beledunya selebar landasan
pesawat. Kalung rantai perak di lehernya - jumlahnya tak terhitung olehku.
"Aku Crusty," katanya, dengan senyum kuning-tartar.
Aku menahan desakan hati untuk berkata, Benar sekali.
"Maaf, kami masuk tanpa permisi," kataku. "Kami cuma, eh, melihat-lihat."
"Maksudmu, bersembunyi dari anak-anak nakal tadi," gerutunya. "Mereka
berkeliaran setiap malam. Aku jadi dapat banyak pengunjung, berkat mereka. Nah,
kalian ingin melihat-lihat kasur air?"
Aku baru akan berkata, Tidak, terima kasih, tetapi dia meletakkan tangannya yang
besar di bahuku dan mengarahkanku memasuki ruang pameran.
Ada segala jenis kasur air yang bisa kaubayangkan: bermacam-macam kayu,
bermacam-macam pola seprai; ukuran Queen, King, bahkan Emperor.
"Ini model yang paling populer." Crusty melebarkan tangannya dengan bangga di
atas sebuah tempat tidur yang tertutup seprai satin hitam, dengan Lampu Lava
yang dibangun langsung di papan di ujung tempat tidur. Kasur itu bergetar,
sehingga mirip agar-agar rasa minyak.
"Pijat sejuta tangan," kata Crusty. "Ayo, coba saja. Malah, sekalian saja tidur
di situ. Aku tak keberatan. Toh hari ini belum ada pelanggan." "Eh," kataku,
"saya tidak ..."
"Pijat sejuta tangan!" seru Grover, dan melompat naik. "Oh, teman-teman! Ini
keren." "Hmm," kata Crusty sambil membelai dagunya yang berkulit samak. "Hampir,
hampir." "Hampir apa?" tanyaku.
Dia menoleh ke Annabeth. "Tolonglah aku dan coba yang di sini, Sayang. Mungkin
cocok." Annabeth berkata, "Tapi apa-"
Lelaki itu menepuk bahu Annabeth untuk menenangkan hatinya, dan mengajaknya ke
model Deluxe Safari, yang ranjangnya diukir singa kayu jati dan selimutnya
berpola macan tutul. Ketika Annabeth tak ingin berbaring, Crusty mendorongnya.
Crusty menjentikkan jari. "Ergo! "
Tali muncul dari sisi-sisi kasur, mengikat Annabeth, menahannya pada kasur.
Grover berusaha bangkit, tetapi tali juga keluar dari kasur satin hitamnya, dan
mengikatnya. "Ng-nggak k-k-keren!" teriaknya, suaranya bergetar akibat pijatan sejuta tangan.
"Ng-nggak k-keren s-sama se-sekali!"
Si raksasa memandang Annabeth, lalu menoleh kepadaku dan menyeringai.
"Hampir, sialan."
Aku berusaha menyingkir, tetapi tangannya terjulur dan mencengkeram tengkukku.
"Hei, Nak. jangan khawatir. Sebentar saja pasti ketemu yang cocok untukmu."
"Lepaskan teman-temanku."
"Nanti juga kulepaskan. Tapi aku harus mencocokkan mereka dulu."
"Apa maksudmu?"
"Panjang semua kasur di sini tepat 180 cm, begitu. Teman-temanmu terlalu pendek.
Harus dijadikan muat."
Annabeth dan Grover terus meronta.
"Paling tak tahan, melihat ukuran yang tak sempurna," gerutu Crusty. "Ergo!"
Tali-tali baru melompat keluar dari bagian atas dan bawah tempat tidur, membelit
pergelangan kaki Grover dan Annabeth, lalu di sekeliling ketiak mereka.
Tali itu mulai bertambah erat, menarik teman-temanku dari kedua ujung.
"Jangan khawatir," kata Crusty kepadaku. "Ini kegiatan peregangan. Tambahan
sekitar tujuh sentimeter pada tulang punggung. Bahkan mungkin mereka bisa hidup.
Nah, mari kita cari kasur yang kau suka, ya?"
"Percy!" teriak Grover.
Benakku berpacu. Aku tahu aku tak mampu melawan penjual kasur air raksasa ini
sendirian. Dia bisa mematahkan leherku sebelum aku sempat mengeluarkan pedang
"Nama aslimu bukan Crusty, ya?" tanyaku.
"Secara sah, namaku Proscrustes," dia mengakui.
"Si Peregang," kataku. Aku ingat ceritanya: raksasa yang berusaha membunuh
Theseus dengan keramahan berlebihan, dalam perjalanan Theseus ke Athens.
"Ya," kata si penjual. "Tapi siapa yang bisa mengucapkan Proscrustes" Tidak
bagus untuk bisnis. Nah, 'Crusty', semua orang bisa mengucapkannya."
"Kau benar. Kedengarannya lebih enak."
Matanya berbinar. "Menurutmu begitu?"
"Oh, benar sekali," kataku. "Dan pengerjaan tempat tidur ini" Bagus sekali!"
Dia menyeringai lebar, tetapi jarinya di leherku tidak melonggar. "Aku selalu
bilang begitu kepada semua pelanggan. Setiap kali. Tak ada yang mau repot-repot
memerhatikan pengerjaannya. Berapa banyak kepala ranjang berisi Lampu Lava yang
pernah kaulihat?" "Nggak terlalu banyak."
"Benar sekali!"
"Percy!" teriak Annabeth. "Kau mau apa?"
"Jangan hiraukan dia," kataku kepada Proscrustes. "Dia memang merepotkan."
Si raksasa tertawa. "Semua pelangganku memang begitu. Tak ada yang tepat 180 cm.
Tak ada tenggang rasa. Lalu, mereka malah mengeluh soal pencocokan itu."
"Apa yang kau lakukan kalau pelanggan lebih tinggi daripada 180 cm?"
"Oh, itu sering terjadi. Perbaikannya mudah."
Dia melepaskan leherku, tetapi sebelum aku sempat bereaksi, dia meraih ke
belakang meja kasir di dekat situ dan mengeluarkan kapak kuningan raksasa
bermata dua. Katanya, "Aku tinggal meletakkan subjek di tengah-tengah dan
memotong apa pun yang menjuntai di kedua ujung."
"Ah," kataku, sambil menelan keras. "Masuk akal."
"Aku senang bisa bertemu pelanggan yang cerdas!"
Tali itu sekarang sudah benar-benar meregangkan teman-temanku. Annabeth memucat.
Grover membuat suara-suara menggelegak, seperti angsa yang dicekik.
"Jadi, Crusty ..." kataku, berusaha meringankan suara. Aku melirik label harga
di kasur Bulan Madu Istimewa yang berbentuk hati. "Apakah yang ini benar-benar
memiliki stabilisator dinamis yang menghentikan gerak ombak?"
"Benar. Coba saja."
"Iya, mungkin aku akan coba. Tapi, apakah tetap berfungsi untuk orang besar
sepertimu" Tak ada ombak sama sekali?"
"Dijamin." "Masa, sih." "Betulan." "Coba tunjukkan."
Dia duduk di tempat tidur itu dengan bersemangat, sambil menepuk kasurnya. "Tak
ada gelombang. Lihat kan?"
Aku menjentikkan jari. "Ergo."
Tali membelit tubuh Crusty dan meratakannya pada kasur.
"Hei!" teriaknya.
"Letakkan dia di tengah-tengah," kataku.
Tali itu menyesuaikan diri atas perintahku. Seluruh kepala Crusty menonjol di
atas. Kakinya menjuntai di bawah.
"Jangan!" katanya. "Tunggu! Ini cuma peragaan."
Aku membuka tutup Riptide. "Sedikit penyesuaian ..."
Aku tak ragu soal apa yang akan kulakukan. Andai Crusty itu manusia, toh aku tak
bisa melukainya. Kalau dia memang monster, dia layak dijadikan debu beberapa
lama. "Tawar-menawarmu hebat," katanya. "Kuberi diskon tiga puluh persen untuk
beberapa model pajangan!"
"Kurasa akan kumulai di atas." Aku mengangkat pedang.
"Tak perlu uang muka! Tak ada bunga selama enam bulan!"
Aku mengayunkan pedang. Crusty berhenti membuat tawaran.
Aku memotong tali di kasur-kasur lain. Annabeth dan Grover berdiri, mengerang
dan meringis dan mengutukku banyak-banyak.
"Sepertinya kau tambah jangkung," kataku.
"Lucu sekali," kata Annabeth. "Lain kali, lebih cepatlah."
Aku melihat papan pengumuman di balik meja kasir Crusty. Ada iklan untuk Jasa
Pengantaran Hermes, dan satu lagi untuk Kompendium Monster di Area L.A. yang
Serba-Baru - 'Satu-satunya Buku Alamat Monster yang Anda perlukan!' Di bawah itu,
brosur jingga cerah untuk Studio Rekaman DOA, menawarkan komisi untuk jiwa
pahlawan. 'Kami selalu mencari bakat baru!' Alamat DOA tercantum tepat di
bawahnya, disertai peta. "Ayo," kataku kepada teman-teman.
"Tunggu sebentar dong," keluh Grover. "Kami kan hampir diregangkan sampai mati!"
"Kalau begitu, kau siap untuk Dunia Bawah," kataku. "Cuma satu blok dari sini."
18. Annabeth Pakar Sekolah Kepatuhan
Kami berdiri dalam bayangan Valencia Boulevard, menatap huruf-huruf emas yang
diukir dalam marmer hitam: STUDIO REKAMAN DOA.
Di bawahnya, distensil pada pintu kaca: DILARANG MEMINTA SUMBANGAN.
DILARANG BUANG SAMPAH. MAKHLUK HIDUP DILARANG MASUK.
Sudah hampir tengah malam, tetapi lobi terang-benderang dan penuh orang.
Di balik meja satpam, duduk seorang satpam tangguh yang memakai kacamata hitam
dan earpiece. Aku menoleh kepada teman-temanku. "Oke. Kalian ingat rencananya."
"Rencana," kata Grover sambil menelan ludah. "Ya. Aku suka rencana itu."
Annabeth berkata, "Bagaimana kalau rencananya gagal?"
"Jangan berpikiran negatif."
"Baik," katanya. "Kita mau memasuki Negeri Orang Mati, tapi aku nggak boleh
berpikiran negatif."
Aku mengambil mutiara dari saku, tiga bola warna susu pemberian Nereid di Santa
Monica. Mutara itu sepertinya tak akan memberi bantuan yang bagus, kalau terjadi
apa-apa. Annabeth meletakkan tangan di bahuku. "Maaf, Percy. Kau benar, kita pasti
berhasil. Segalanya akan lancar."
Dia menyikut Grover. "Iya, betul!" dia menceletuk. "Kita sudah sampai sejauh ini. Kita pasti berhasil
mencari petir asali dan menyelamatkan ibumu. Enteng."
Aku memandang mereka berdua, dan merasa sangat bersyukur. Baru saja beberapa
menit sebelumnya aku hampir membiarkan mereka teregang sampai mati pada kasur
air mewah, tetapi sekarang mereka malah berusaha tabah demi aku, berusaha
menghiburku. Aku memasukkan kembali mutiara itu ke dalam saku. "Mari kita menghajar Dunia
Bawah." Kita masuk ke lobi DOA. Musik instrumental lembut beralun dari speaker tersembunyi. Karpet dan dinding
berwarna abu-abu baja. Kaktus pensil tumbuh di pojok-pojok seperti tulang
kerangka tangan. Perabotnya terbuat dari kulit hitam, dan setiap tempat sudah
diduduki. Ada orang yang duduk di sofa, ada yang berdiri, ada yang menatap
keluar jendela, atau menunggu lift. Tak ada yang bergerak, atau berbicara, atau
melakukan apa pun. Dari sudut mata, aku bisa melihat mereka semua dengan baik,
tetapi jika aku berfokus hanya pada salah satu, mereka mulai tampak ... tembus
pandang. Aku bisa melihat menembus tubuh mereka.


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meja satpam itu berupa podium tinggi, jadi kami harus mendongak untuk melihat si
satpam. Dia jangkung dan anggun, kulitnya berwarna cokelat dan rambutnya yang berwarna
pirang putih dipotong model tentara. Dia mengenakan kacamata hitam cangkang
kura-kura dan setelan jas sutra Italia yang serasi dengan rambutnya.
Mawar hitam disematkan di kelepak di bawah kartu nama perak.
Aku membaca kartu nama itu, lalu menatapnya bingung. "Namamu Chiron?"
Dia membungkuk di atas meja. Aku tak bisa melihat apa-apa di kacamatanya kecuali
bayanganku sendiri, tetapi senyumnya manis dan dingin, seperti senyum ular
piton, sesaat sebelum ia memakanmu.
"Bocah yang manis." Dia memiliki aksen aneh - aksen Inggris mungkin, tetapi
seolah-olah juga dia belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. "Katakan,
sobat, apakah aku mirip centaurus?"
"Ti-tidak." "Pak," tambahnya mulus.
"Pak," kataku. Dia menjepit kartu nama itu dan menunjuk huruf-hurufnya. "Kau bisa membaca ini,
Bung" Tulisannya C-H- A-R-O-N. Ikuti aku, baca: KE-RON."
"Charon." "Luar biasa! Sekarang: Pak Charon."
"Pak Charon," kataku.
"Bagus." Dia bersandar. "Aku benci disangka manusia-kuda tua itu. Nah, ada yang
bisa kubantu, anak-anak mati?"
Pertanyaannya menghantam perutku seperti lemparan bola. Aku menoleh kepada
Annabeth, meminta bantuan.
"Kami ingin ke Dunia Bawah," katanya.
Mulut Charon berkedut. "Wah, baru sekarang ada yang begini."
"Oh ya?" tanya Annabeth.
"Jujur dan langsung. Tidak menjerit-jerit. Tidak berkata 'Ini pasti keliru, Pak
Charon.'" Dia mengamati kami. "Bagaimana cara kalian mati"'"
Aku menyikut Grover. "Oh," katanya. "Eh ... tenggelam ... di bak mandi."
"Kalian bertiga?" tanya Charon.
Kami mengangguk. "Bak mandinya besar sekali." Charon tampak sedikit terkesan. "Saya kira, kalian
pasti belum punya koin untuk tarif penumpang. Biasanya, untuk orang dewasa,
misalnya, aku bisa menagih kartu kredit American Express, atau menambahkan
ongkos feri ke tagihan kabel terakhir. Tapi untuk anak-anak ... sayangnya,
kalian biasanya tidak siap mati. Sepertinya kalian harus duduk selama beberapa
abad." "Kami punya koin kok." Aku meletakkan tiga drachma emas di meja, sebagian uang
yang kutemukan di meja kantor Crusty.
"Wah..." Charon membasahi bibir. "Drachma betulan. Drachma emas betulan. Sudah
lama aku tidak melihat ini ...."
Jemarinya melayang tamak di atas koin.
Kami nyaris berhasil. Lalu, Charon menatapku. Tatapan dingin di belakang kacamata itu seolah-olah
mengebor lubang di dadaku. "Tunggu," katanya. "Kau tak bisa membaca namaku
dengan benar. Kau disleksia, Nak?"
"Tidak," kataku. "Aku sudah mati."
Charon memajukan tubuh dan mengendus. "Kau belum mati. Semestinya sudah kuduga.
Kau anak dewa." "Kami harus ke Dunia Bawah," aku bersikeras. Charon menggeram, jauh di dalam
tenggorokannya. Langsung saja semua orang di ruang tunggu itu bangkit dan mulai mondar-mandir,
gelisah, menyalakan rokok, menyugar rambut, atau memeriksa arloji.
"Pergilah kalian, selagi masih bisa," kata Charon kepada kami. "Biar yang ini
kuambil, dan aku akan melupakan pernah melihatmu."
Dia bergerak meraih koin itu, tetapi aku menyambarnya kembali.
"Tak ada layanan, tak ada tip." Aku berusaha terdengar lebih pemberani daripada
yang kurasakan. Charon menggeram lagi - suara yang berat dan membekukan darah. Arwah orang mati
mulai menggedor-gedor pintu lift.
"Sayang," aku menghela napas. "Padahal persediaan koinnya masih banyak."
Aku mengangkat satu kantong penuh dari simpanan Crusty. Aku mengeluarkan
segenggam drachma dan membiarkan koin itu terjatuh melalui jemariku.
Geraman Charon berubah menjadi bunyi yang lebih mirip dengkuran singa.
"Kau pikir saya bisa dibeli, anak dewa" Eh ... sekadar ingin tahu, berapa banyak
isi di kantong itu?"
"Banyak," kataku. "Pasti gajimu dari Hades tidak cukup untuk kerja keras seperti
ini." "Soal gaji sih belum seberapa. Coba saja kau urus arwah-arwah ini sepanjang
hari. Selalu berisik, 'Tolong jangan biarkan aku mati' atau 'Tolong bantu aku
menyeberang gratis.' Gajiku tak pernah dinaikkan selama tiga ribu tahun. Kau
pikir setelan seperti ini murah"'
"Bapak layak mendapatkan lebih," aku sepakat. "Sedikit penghargaan.
Penghormatan. Gaji tinggi."
Dengan setiap kata, aku menumpuk satu koin emas lagi di meja.
Charon melirik jas sutra Italia-nya, seolah-olah membayangkan dirinya memakai
setelan yang lebih bagus lagi. "Harus kubilang, Nak, bicaramu sekarang sedikit
masuk akal. Sedikit."
Aku menumpuk beberapa koin lagi. "Saya bisa menyinggung soal kenaikan gaji saat
saya berbicara dengan Hades."
Dia menghela napas. "Perahunya kebetulan hampir penuh. Biarlah kutambahkan,
kalian bertiga supaya bisa berangkat."
Dia berdiri, meraup uang kami, dan berkata, "Ikut aku."
Kami menyeruak di antara kerumunan arwah yang menunggu, yang mulai menggapaigapai pakaian kami seperti angin, suara mereka membisikkan hal-hal yang tak bisa
kupahami. Charon mendorong mereka ke samping, menggerutu,
"Benalu." Dia menemani kami ke lift, yang sudah dipenuhi jiwa orang mati, masing-masing
memegang karcis hijau. Charon menyambar dua arwah yang berusaha naik bersama
kami dan mendorong mereka kembali ke lobi.
"Bagus. Nah, jangan macam-macam selama aku pergi," katanya kepada ruang tunggu.
"Dan kalau ada yang mengubah setelan radio dari stasiun easy-listening lagi,
akan kupastikan kalian berada di sini seribu tahun lagi. Mengerti?"
Dia menutup pintu. Dia memasukkan kartu kunci di celah di panel lift dan kami
mulai turun. "Apa yang terjadi pada arwah yang menunggu di lobi?" tanya Annabeth.
"Tak ada," kata Charon.
"Sampai berapa lama?"
"Selamanya, atau sampai aku ingin bermurah hati."
"Oh," kata Annabeth. "Itu ... adil."
Charon mengangkat alis. "Siapa bilang kematian itu adil, Nona Muda" Tunggu saja
sampai giliranmu tiba. Kalian pasti segera mati, kalau menuju tempat yang kalian
tuju." "Kami akan keluar hidup-hidup," kataku.
"Ha." Aku tiba-tiba merasa pusing. Kami sudah tidak lagi bergerak turun, tetapi maju.
Udaranya menjadi berkabut. Arwah-arwah di sekitarku mulai berubah. Pakaian
modern mereka berkedip-kedip, berubah menjadi jubah bertudung warna abu-abu.
Lantai lift mulai berayun. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Saat aku membuka mata,
setelan Italia warna krem milik Charon sudah berganti menjadi jubah hitam
panjang. Kacamata cangkang kura-kura hilang. Di tempat yang semestinya ditempati
matanya, hanya ada dua lubang kosong - seperti mata Ares, tetapi mata Chiron
benar-benar gelap, penuh dengan malam, kematian, dan keputusasaan.
Dia melihatku menatap dan berkata, "Apa?"
"Tidak," aku berhasil bicara.
Aku merasa dia menyeringai, tetapi tidak persis itu. Daging wajahnya menjadi
tembus pandang, sehingga tengkoraknya terlihat.
Lantai terus berayun. Kata Grover, "Kayaknya aku mulai mabuk laut."
Ketika aku berkedip lagi, lift itu bukan lift lagi. Kami berdiri di atas perahu
kayu. Charon sedang bergalah, membawa kami menyeberangi sungai gelap yang
berminyak, berputar-putar dengan tulang, ikan mati, dan hal-hal lain yang lebih
aneh - boneka plastik, bunga anyelir yang hancur, ijazah bertepi emas yang
basah. "Demi Sungai Styx," gumam Annabeth. "Sungai ini begitu ...."
"Tercemar," kata Charon. "Selama ribuan tahun, kalian manusia telah melemparkan
segala hal ke sungai ini saat menyeberang - harapan, impian, hasrat yang tak
pernah terwujud. Pengelolaan limbah yang tak bertanggung jawab, menurutku sih."
Kabut mengepul dari air kotor. Di atas kami atap stalaktit nyaris tak terlihat
dalam kekelaman. Di depan, pesisir seberang berkilauan dengan cahaya kehijauan,
warna racun. Panik mencekik tenggorokanku. Sedang apa aku di sini" Orang-orang di
sekitarku ... mereka sudah mati.
Annabeth menggenggam tanganku. Dalam situasi biasa, ini pasti membuatku jengah,
tetapi aku memahami perasaan gadis itu. Dia ingin diyakinkan bahwa ada orang
lain yang hidup di perahu ini.
Aku mendapati diriku menggumamkan doa, meskipun aku tak yakin berdoa kepada
siapa. Di bawah sini, hanya satu dewa yang penting, dan untuk menghadapi dialah
aku datang. Tepi pantai Dunia Bawah mulai tampak. Bebatuan bergerigi dan pasir gunung api
hitam membentang ke dalam pulau sekitar seratus meter, hingga ke dasar sebuah
tembok batu tinggi, yang membentang ke kedua arah, sepanjang yang terlihat.
Sebuah bunyi datang dari suatu tempat di dekat situ dalam kekelaman hijau,
menggaung dari bebatuan-lolongan seekor hewan besar.
"Si Tua Bermuka Tiga sedang lapar," kata Charon. Senyumnya menjadi tengkorak
dalam cahaya kehijauan. "Nasib sial buat kalian, anak-anak dewa."
Dasar perahu kami menyusup ke atas pasir hitam. Kaum mati mulai turun.
Seorang wanita memegang tangan anak perempuan. Sepasang kakek dan nenek
tertatih-tatih sambil bertautan tangan. Seorang bocah, yang tidak lebih tua
dariku, menyeret kaki tanpa suara di dalam jubah kelabunya.
Kata Charon, "Aku ingin mengucapkan semoga beruntung, Bung, tapi di sini tidak
ada kemujuran. Ingat, jangan lupa menyinggung kenaikan gajiku."
Dia memasukkan koin emas kami ke dompetnya sambil dihitung, lalu mengambil
galahnya. Dia menyanyikan lagu yang mirip-mirip lagu Barry Manilow, sambil
mengayuh perahu kosong itu kembali menyeberangi sungai.
Kami mengikuti para arwah di jalan yang sering dilalui itu.
* * * Aku tak yakin apa yang kuharapkan - Gerbang Mutiara, atau pintu besi yang hitam
dan besar, atau sesuatu. Namun, pintu masuk ke Dunia Bawah seperti perpaduan
antara keamanan bandara dan pintu tol.
Ada tiga pintu masuk di bawah sebuah gerbang hitam raksasa yang bertanda ANDA
MEMASUKI KAWASAN EREBUS. Setiap pintu masuk memiliki pintu detektor logam, yang
di atasnya dipasangi kamera keamanan. Setelahnya, ada kios-kios tol yang dijaga
oleh siluman berjubah hitam seperti Charon.
Lolongan hewan kelaparan itu sekarang sangat lantang, dan aku tak bisa melihat
dari mana asalnya. Si anjing berkepala tiga, Cerberus, yang semestinya menjaga
pintu Hades, tidak terlihat di mana pun.
Kaum mati mengantre dalam tiga baris, dua bertandakan ADA PETUGAS, dan satu yang
bertandakan KEMATIAN MUDAH. Antrean KEMATIAN MUDAH bergerak dengan cepat. Yang
dua lagi merayap. "Bagaimana menurutmu?" tanyaku kepada Annabeth.
"Antrean yang lancar pasti langsung menuju Padang Asphodel," katanya.
"Tanpa sanggahan. Mereka tak ingin mengambil risiko menghadapi penghakiman dari
pengadilan, karena mungkin saja keputusannya tidak memihak mereka."
"Ada pengadilan untuk orang mati?"
"Ya. Tiga hakim. Pemegang jabatan itu berganti-ganti. Raja Minos, Thomas
Jefferson, Shakespeare - orang-orang seperti itu. Kadang-kadang mereka melihat
suatu kehidupan dan memutuskan bahwa orang itu layak diberi hadiah istimewa Padang Elysium. Kadang-kadang mereka memutuskan hukuman. Tetapi, sebagian besar
orang, ya, mereka cuma menjalani hidup. Tak ada yang istimewa, baik ataupun
buruk. Jadi, mereka masuk ke Padang Asphodel."
"Lalu, melakukan apa?"
Kata Grover, "Bayangkan berdiri di ladang gandum di Kansas. Selamanya."
"Gawat," kataku.
"Tidak segawat itu," gumam Grover. "Lihat."
Beberapa siluman berjubah hitam menarik seorang arwah ke samping dan
menggeledahnya di meja keamanan. Wajah orang mati itu tampak tak asing.
"Itu pendeta yang masuk berita, kan?" tanya Grover.
"Oh, iya." Sekarang aku ingat. Kami pernah melihatnya di televisi beberapa kali
di asrama Akademi Yancy. Dia penginjil televisi dari New York utara yang
menyebalkan, menggalang dana jutaan dolar untuk rumah-rumah yatim piatu, lalu
tertangkap memakai uang itu untuk barang-barang di rumah mewahnya, seperti
dudukan toilet berlapis emas, dan lapangan golf mini dalam ruangan. Dia mati
saat dikejar polisi, ketika 'Lamborghini untuk Tuhan'-nya terjun ke jurang.
Kataku, "Apa yang mereka lakukan padanya?" "Hukuman khusus dari Hades," tebak
Grover. "Orang yang benar-benar jahat mendapat perhatian pribadi darinya begitu
mereka tiba. Para Erin - Makhluk Baik akan menyiapkan siksa abadi baginya."
Membayangkan Erinyes membuatku menggigil. Kusadari bahwa aku sedang berada di
wilayah mereka sekarang. Bu Dodds tua akan menjilat-jilat bibir dengan
bersemangat. "Tapi, kalau dia pendeta," kataku, "dan dia meyakini neraka yang
berbeda ...." Grover mengangkat bahu. "Siapa yang tahu, apakah dia melihat tempat ini seperti
yang kita lihat sekarang. Manusia melihat apa yang mereka ingin lihat. Kalian
sangat keras kepala - eh, gigih, dalam hal itu."
Kami semakin mendekati gerbang. Lolongan itu kini begitu keras sehingga
mengguncang tanah di bawah kakiku, tetapi aku masih belum bisa menyimpulkan dari
mana asalnya. Lalu, sekitar lima belas meter di depan kami, kabut hijau bergetar. Di tempat
jalan itu bercabang menjadi tiga, berdirilah seekor monster raksasa yang tampak
berbayang. Tadi aku tak melihatnya karena monster itu setengah tembus-pandang, seperti kaum
mati. Kalau tidak bergerak,makhluk itu menyatu dengan apa pun yang berada di
belakangnya. Hanya mata dan giginya yang tampak padat. Dan mata itu menatap
lurus-lurus kepadaku. Rahangku membuka. Aku cuma bisa berkata, "Itu anjing Rottweiler."
Sejak dulu aku membayangkan Cerberus sebagai anjing mastiff besar berbulu hitam.
Tapi, dia jelas-jelas murni Rottweiler, tetapi tentu saja ukurannya dua kali
lipat mamut, nyaris tembus pandang, dan memiliki tiga kepala.
Kaum mati berjalan tepat ke arahnya - tidak takut sama sekali. Baris-baris ADA
PETUGAS bercabang di sebelah kiri dan kanan anjing itu. Arwah KEMATIAN MUDAH
berjalan tepat di antara kaki depannya dan di bawah perutnya, yang dapat mereka
lakukan tanpa membungkuk sedikit pun.
"Aku mulai bisa melihatnya dengan lebih jelas," gumamku. "Kenapa ya?"
"Kurasa ..." Annabeth membasahi bibir. "Aku khawatir, itu karena kita semakin
dekat dengan kematian."
Kepala tengah si anjing menjulur ke arah kami. Ia mengendus udara dan menggeram.
"Ia bisa mencium bau orang hidup," kataku.
"Tapi, nggak masalah," kata Grover, gemetar di sebelahku. "Karena kita punya
rencana." "Benar," kata Annabeth. Aku belum pernah mendengar suaranya begitu lirih.
"Rencana." Kami bergerak ke arah monster itu.
Si kepala tengah menggeram kepada kami, lalu menggonggong begitu lantang
sehingga bola mataku bergetar.
"Kau bisa memahami dia?" tanyaku kepada Grover.
"Bisa sekali," katanya. "Aku bisa mengerti."
"Apa katanya?" "Menurutku, tak ada kata empat-huruf dalam bahasa manusia yang bisa dijadikan
terjemahan perkataannya."
Aku mengambil sebatang tongkat besar dari ransel - tiang tempat tidur yang
kupatahkan dari kasur Deluxe Safari Crusty. Aku mengangkatnya, dan berusaha
memancarkan bayangan anjing yang menyenangkan ke arah Cerberus - iklan makanan
anjing, anak anjing kecil yang lucu-lucu, hidran kebakaran. Aku berusaha
tersenyum, seolah-olah aku belum akan mati sebentar lagi.
"Hei, Sobat Besar," panggilku. "Pasti kau jarang diajak bermain."
"GRRRRRRRRRR!" "Anjing pintar," kataku lemah.


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengayun-ayunkan tongkat itu. Kepala tengah anjing itu mengikuti gerakannya.
Kedua kepala yang lain memasang mata kepadaku, tak menghiraukan para arwah sama
sekali. Aku mendapat perhatian penuh Cerberus.
Aku tak yakin itu hal yang bagus.
"Ambil!" Aku melemparkan tongkat itu ke dalam gelap, lemparan yang kuat dan
jauh. Kudengar tongkat itu tercemplung ke dalam Sungai Styx.
Cerberus mendelik kepadaku, tak terkesan. Matanya bengis dan dingin.
Gagal deh rencananya. Cerberus kini membuat geraman jenis baru, lebih dalam di ketiga tenggorokannya.
"Eh," kata Grover. "Percy?"
"Ya?" "Barangkali kau ingin tahu."
"Ya?" "Cerberus" Dia bilang kita punya waktu sepuluh detik untuk berdoa kepada dewa
pilihan kita. Setelah itu ... yah ... dia lapar."
"Tunggu!" kata Annabeth. Dia mulai menggeledah ranselnya.
Gawat, pikirku. "Lima detik," kata Grover. "Kita lari saja sekarang?"
Annabeth mengeluarkan bola karet merah seukuran jeruk bali. Bola itu bertuliskan
WATERLAND, DENVER, CO. Sebelum aku sempat menghentikannya, dia mengangkat bola
itu dan berderap lurus ke Cerberus.
Dia berteriak, "Lihat bola ini" Kau mau bolanya, Cerberus" Duduk!"
Cerberus tampak tertegun, sama seperti kami.
Ketiga kepalanya ditelengkan. Enam lubang hidung melebar.
"Duduk!" seru Annabeth lagi.
Aku yakin bahwa sebentar lagi dia akan menjadi biskuit anjing terbesar di dunia.
Namun, Cerberus malah menjilat tiga pasang bibirnya, menurunkan kaki belakang,
dan duduk, langsung saja meremukkan belasan arwah yang sedang lewat di kolong
tubuhnya dalam barisan KEMATIAN MUDAH. Arwah-arwah mendesis saat tubuhnya
membuyar, seperti udara yang keluar dari ban.
Annabeth berkata, "Anjing pintar!"
Dia melemparkan bola itu kepada Cerberus.
Anjing itu menangkapnya dengan mulut tengah. Bola itu agak terlalu kecil untuk
dikunyahnya, dan kedua kepala lain mulai menggigit-gigit ke arah si kepala
tengah, berusaha mendapatkan mainan baru itu.
"Lepaskan!" perintah Annabeth.
Kepala-kepala Cerberus berhenti berkelahi dan menatapnya. Bola itu terselip
antara dua giginya seperti sepotong permen karet kecil. Dia merintih keras
dengan nada ketakutan, lalu melepaskan bola itu, yang sekarang berlendir dan
nyaris tergigit jadi dua, di kaki Annabeth.
"Anjing pintar." Dia memungut bola itu, tak memedulikan ludah si monster yang
mengotorinya. Dia menoleh kepada kami. "Pergi sekarang. Baris KEMATIAN MUDAH - lebih cepat."
Kataku, "Tapi -"
"Sekarang!" Perintahnya, dengan nada seperti yang digunakannya pada si anjing.
Aku dan Grover beringsut maju dengan hati-hati.
Cerberus mulai menggeram.
"Tetap di tempat!" perintah Annabeth kepada si monster. "Kalau kau mau bola,
tetap di tempat!" Cerberus merintih, tetapi dia tetap di tempat.
"Kau bagaimana?" tanyaku pada Annabeth saat kami melewatinya.
"Aku tahu harus bagaimana, Percy," gumamnya. "Setidaknya, aku cukup yakin ...."
Aku dan Grover berjalan di antara kaki monster itu.
Tolong, Annabeth, aku berdoa. Jangan menyuruhnya duduk lagi.
Kami berhasil lewat. Cerberus tetap saja menyeramkannya meskipun dilihat dari
belakang. Kata Annabeth, "Anjing baik!"
Dia mengangkat bola merah yang koyak itu, dan mungkin menyimpulkan hal yang
sepertiku - jika dia memberi hadiah kepada Cerberus, tak ada yang tersisa untuk
membuat tipuan lain. Annabeth tetap melempar bola itu. Mulut kiri si monster segera menangkapnya, dan
langsung diserang oleh kepala tengah, sementara kepala kanan mengerang protes.
Sementara perhatian si monster tersita, Annabeth berjalan cepat di kolong
perutnya dan bergabung dengan kami di detektor logam.
"Kok kau bisa begitu sih?" tanyaku kagum.
"Sekolah kepatuhan," katanya terengah-engah, dan aku kaget melihat ada air di
matanya. "Waktu aku masih kecil, di rumah ayahku, kami punya seekor
Doberman ...." "Itu nggak penting," kata Grover sambil menyentakkan kemejaku. "Ayo!"
Kami baru saja akan melesat di barisan KEMATIAN MUDAH ketika Cerberus mengerang
dengan mengenaskan dari ketiga mulutnya. Annabeth berhenti.
Dia berbalik untuk menghadap anjing itu, yang telah berputar 180 derajat untuk
melihat kami. Cerberus terengah-engah penuh harap, bola merahnya yang kecil itu tercabik-cabik
dalam genangan air liur di kakinya.
"Anjing baik," kata Annabeth, tetapi suaranya terdengar sedih dan ragu.
Kepala-kepala monster itu dimiringkan, seolah-olah mencemaskan Annabeth.
"Nanti kubawakan bola lagi," janji Annabeth samar. "Kau mau, kan?"
Monster itu merintih. Aku tidak perlu menguasai bahasa anjing untuk mengetahui
bahwa Cerberus masih menunggu bola itu.
"Anjing pintar. Aku akan segera berkunjung lagi. Aku - aku berjanji."
Annabeth menoleh kepada kami. "Ayo."
Aku dan Grover melewati detektor logam, yang langsung saja menjerit dan
menyalakan lampu merah yang berdenyar-denyar "Benda tanpa izin! Sihir
terdeteksi!" Cerberus mulai menggonggong.
Kami cepat-cepat melewati gerbang KEMATIAN MUDAH, yang memicu alarm lain lagi,
dan berlari ke Dunia Bawah.
Beberapa menit kemudian, kami sedang bersembunyi di atas batang busuk sebuah
pohon hitam raksasa, kehabisan napas, sementara siluman keamanan berlari lewat,
berteriak meminta bala bantuan dari para Erinyes.
Grover menggumam, "Nah, Percy, apa pelajaran kita hari ini?"
"Bahwa anjing berkepala tiga lebih suka bola karet merah daripada tongkat?"
"Bukan"' katanya kepadaku. "Kita belajar bahwa rencanamu benar-benar menggigit!"
Aku tidak yakin soal itu. Kupikir, mungkin aku dan Annabeth memiliki pikiran
yang benar. Bahkan di sini, di Dunia Bawah, semua makhluk - bahkan monster memerlukan sedikit perhatian sekali-sekali.
Aku memikirkan hal itu sambil menunggu para siluman lewat. Aku berpura-pura tak
melihat Annabeth mengusap air mata dari pipinya saat dia mendengar lolongan
sedih Cerberus di kejauhan, merindukan teman barunya.
19. Kami Mengetahui Keadaan Sesungguhnya, Kira-Kira
Bayangkan keramaian penonton konser terbesar yang pernah kaulihat, lapangan
stadion yang disesaki jutaan penggemar.
Sekarang bayangkan lapangan yang berjuta kali lipat lebih besar, dijejali dengan
orang, dan bayangkan listrik sedang mati, dan tak ada bunyi, tak ada cahaya, tak
ada bola pantai yang terambul-ambul di antara keramaian. Telah terjadi peristiwa
yang tragis di belakang panggung. Kelompok-kelompok orang berbisk-bisik hanya
luntang-lantung dalam bayangan, menunggu konser yang tak akan pernah dimulai.
Kalau bisa membayangkan itu, kau mengetahui kira-kira seperti apa Padang
Asphodel itu. Rumput hitam telah diinjak-injak oleh jutaan kaki mati. Angin
hangat dan lembap bertiup seperti bau rawa-rawa. Pohon-pohon hitam - kata
Grover, itu pohon poplar - tumbuh berkelompok di sana-sini.
Langit-langit gua sangat tinggi di atas kami, mirip kumpulan awan badai, tetapi
ada stalaktitnya, yang bersinar abu-abu samar dan tampak sangat runcing.
Aku berusaha tidak membayangkan bahwa stalaktit itu bisa jatuh menimpa kami
kapan saja, tetapi di seluruh lapangan memang ada beberapa yang telah jatuh dan
menancap di rumput hitam. Barangkali kaum mati tidak perlu mencemaskan bahayabahaya kecil seperti tertusuk stalaktit seukuran roket peluncur.
Aku, Annabeth, dan Grover berusaha menyatu dengan orang ramai, memasang mata
kalau-kalau ada siluman satpam. Mau tak mau aku mencari wajah yang kukenal di
antara para arwah Asphodel, tetapi orang mati sulit dilihat.
Wajahnya bergetar. Semuanya tampak sedikit marah atau bingung. Mereka mendatangi
kami untuk berbicara, tetapi suaranya terdengar seperti ocehan, seperti
kelelawar terbang. Begitu dia menyadari kami tidak memahami perkataannya, dia
merengut dan pergi. Kaum mati tidak menakutkan. Hanya menyedihkan.
Kami berjalan perlahan-lahan, mengikut baris pendatang baru yang berkelok-kelok
dari gerbang utama menuju paviliun bertenda hitam yang dipasangi bendera yang
bertulisan: PENGHAKIMAN UNTUK ELYSIUM DAN KUTUKAN ABADI
Selamat Datang, Orang Mati Baru!
Dari belakang tenda, keluar dua baris yang jauh lebih kecil.
Di sebelah kiri, arwah yang diapit satpam siluman digiring menuruni jalan
berbatu-batu menuju Padang Hukuman yang berpendar dan berasap di kejauhan, tanah
gersang luas yang retak-retak, berisi sungai lava dan ladang ranjau dan
berkilometer-kilometer kawat berduri yang memisahkan berbagai daerah siksaan.
Dari jauh pun, terlihat orang dikejar-kejar anjing neraka, dibakar di tiang,
dipaksa berlari telanjang melalui kumpulan kaktus, atau mendengarkan musik
operan. Aku dapat melihat sebuah bukit kecil, dengan sosok Sisyphus yang seukuran semut,
berusaha mendorong batu besar ke puncak. Dan aku juga melihat banyak siksaan
yang lebih buruk - hal-hal yang tak ingin kugambarkan.
Barisan yang keluar di sebelah kanan paviliun penghakiman jauh lebih baik.
Yang ini turun menuju sebuah lembah kecil yang dikelilingi tembok - komunitas
kompleks perumahan, yang tampaknya merupakan satu-satunya bagian yang
menyenangkan di Dunia Bawah. Di balik gerbang satpam, ada beberapa kelompok
rumah indah dari setiap zaman dalam sejarah, vila Romawi dan istana abad
pertengahan, dan rumah besar bergaya Victoria. Bunga perak dan emas bermekaran
di pekarangan. Rumput bergelombang dalam warna-warni pelangi.
Terdengar tawa dan tercium bau masakan daging panggang.
Elysium. Di tengah-tengah lembah itu terdapat sebuah danau biru berkilauan, serta tiga
pulau kecil seperti sanggraloka liburan di Kepulauan Bahama. Kepulauan Kaum
Diberkahi, untuk orang-orang yang telah memilih dilahirkan kembali tiga kali,
dan tiga kali mencapai Elysium. Aku langsung tahu bahwa di sanalah aku ingin
tinggal saat aku mati nanti.
"Itulah inti semua ini," kata Annabeth, seolah-olah membaca pikiranku.
"Itulah tempat bagi pahlawan."
Namun, aku memikirkan betapa sedikitnya orang yang masuk ke Elysium, betapa
kecilnya jika dibandingkan dengan Padang Asphodel atau bahkan Padang Hukuman.
Begitu sedikit orang yang menjalani hidupnya dengan baik. Bikin depresi saja.
Kami meninggalkan paviliun penghakiman dan semakin dalam memasuki Padang
Asphodel. Suasana semakin gelap. Warna-warni pudar dari pakaian kami.
Kerumunan arwah yang mengoceh mulai menipis.
Setelah berjalan beberapa kilometer, kami mulai mendengar pekik yang tak asing
lagi di kejauhan. Membayangi cakrawala adalah istana dari obsidian hitam
berkilauan. Di atas tembok, berputaran tiga makhluk hitam seperti kelelawar:
Erinyes. Aku mendapat perasaan bahwa mereka menanti kami.
"Sekarang sudah terlambat untuk berbalik, ya?" kata Grover penuh harap.
"Kita akan baik-baik saja." Aku berusaha terdengar percaya diri.
"Mungkin sebaiknya kita mencari di tempat lain dulu," usul Grover.
"Misalnya, Elysium ...."
"Ayo, anak kambing." Annabeth memegang lengan Grover.
Grover memekik. Sepatunya memunculkan sayap dan kakinya melesat ke depan,
menariknya dari Annabeth. Dia terjengkang di rumput.
"Grover," tegur Annabeth. "Jangan main-main."
"Tapi aku nggak-"
Dia memekik lagi. Sepatunya mengepak-ngepak, seolah-olah sudah gila.
Mereka naik dari atas tanah dan mulai menyeretnya menjauhi kami.
"Maia!" dia berteriak, tetapi kata sihir itu tampaknya tidak berpengaruh. "Maia
dong! Polisi! Tolong!"
Aku pulih dari rasa tercengang dan meraih tangan Grover, tetapi terlambat.
Dia semakin cepat, menuruni bukit seperti dalam kereta luncur.
Kami berlari mengejarnya.
Annabeth berteriak, "Buka tali sepatunya!"
Gagasan yang cerdas, tetapi sepertinya tidak mudah dilakukan, kalau sepatumu
sedang menarikmu dengan kecepatan penuh. Grover berusaha duduk, tetapi dia tak
berhasil mendekati tali sepatu.
Kami terus mengejarnya, berusaha tetap melihatnya sementara dia melaju di antara
kaki para arwah yang mengoceh kepadanya dengan sebal.
Aku yakin Grover akan menerjang gerbang istana Hades, tetapi sepatunya membelok
ke kanan dengan tajam dan menyeretnya ke arah yang berlawanan.
Turunan semakin terjal. Grover semakin melesat. Aku dan Annabeth harus berlari
untuk mengejarnya. Tembok gua menyempit di kedua sisi, dan kusadari bahwa kami
memasuki semacam terowongan samping. Sekarang tidak ada rumput hitam atau pohon,
hanya ada batu di bawah kaki, dan cahaya temaram dari stalaktit di atas.
"Grover!" teriakku, suaraku menggema. "Berpegangan pada sesuatu!"
"Apa?" dia balas berteriak.
Dia menyambar kerikil, tetapi tak ada yang cukup besar untuk memperlambat laju
tubuhnya. Terowongan semakin gelap dan dingin. Bulu tanganku merinding. Baunya jahat di
bawah sini. Aku jadi memikirkan hal-hal yang semestinya tak kuketahui - darah
yang tertumbah di altar batu kuno, napas busuk seorang pembunuh.
Lalu, aku melihat apa yang ada di hadapan kami, dan aku berhenti total di tengah
jalan. Terowongan itu melebar menjadi gua gelap raksasa, dan di tengah-tengahnya
ada jurang sebesar blok kota.
Grover meluncur lurus ke tepi jurang.
"Ayo, Percy!" teriak Annabeth, menarik pergelangan tanganku.
"Tapi itu-" "Aku tahu!" teriak Annabeth. "Tempat yang kau gambarkan di mimpimu. Tapi Grover
akan jatuh kalau kita tak menangkapnya."
Dia benar, tentu saja. Kesulitan Grover mendorongku bergerak lagi.
Dia berteriak, mencakar-cakar tanah, tetapi sepatu bersayap itu terus
menyeretnya ke arah lubang, dan tampaknya kami tak mungkin mencapai dirinya
tepat waktu. Yang menyelamatkannya adalah kaki kambingnya.
Sepatu terbang itu sejak dulu memang longgar di kakinya, dan akhirnya Grover
menabrak batu besar dan sepatu kirinya pun terbang lepas. Sepatu itu melaju ke
kegelapan, masuk ke jurang. Sepatu kanannya terus menarik, tetapi tidak secepat
sebelumnya. Grover mampu memperlambat lajunya dengan memegang batu besar itu dan
menggunakannya sebagai jangkar.
Dia berjarak tiga meter dari tepi lubang ketika kami menangkapnya dan menariknya
menaiki tanjakan. Sepatu bersayap yang satu lagi menarik diri hingga lepas,
berputar-putar mengelilingi kami dengan marah dan menendangi kepala kami untuk
memprotes, sebelum terbang ke dalam jurang untuk bergabung dengan kembarannya.
Kami semua ambruk, lelah, di atas kerikil obsidian. Tangan dan kakiku terasa
seperti timah. Bahkan ranselku terasa lebih berat, seolah-olah diisi dengan
batu. Grover luka-luka cukup parah. Tangannya berdarah. Pupil matanya menjadi pipih,
seperti kambing, seperti yang selalu terjadi setiap kali dia ketakutan.
"Aku nggak tahu bagaimana ..." dia terengah-engah. "Aku nggak ...."
"Tunggu," kataku. "Dengar."
Terdengar sesuatu - bisik berat dalam gelap.
Beberapa demikian, Annabeth berkata, "Percy tempat ini - "
"Sst." Aku berdiri.
Bunyi itu semakin keras, suara jahat yang bergumam, dari jauh, jauh di bawah
kami. Berasal dari lubang.
Grover duduk tegak. "Bu - bunyi apa itu?"
Annabeth juga mendengarnya sekarang. Terlihat di matanya. "Tartarus. Pintu masuk
ke Tartarus." Aku membuka tutup Anaklusmos.
Pedang perunggu itu membesar, bersinar dalam kegelapan, dan suara jahat itu
tampaknya ragu, sesaat saja, sebelum melanjutkan celotehnya.
Aku hampir bisa menangkap kata-katanya sekarang, kata yang sangat kuno, bahkan
lebih kuno daripada bahasa Yunani. Seolah-olah ....
"Sihir," kataku.
"Kita harus keluar dari sini," kata Annabeth.
Bersama-sama kami menyeret Grover berdiri dan mulai mundur menyusuri terowongan.
Kakiku terasa lambat sekali. Ranselku memberatiku. Suara itu semakin lantang dan
marah di belakang kami, dan kami pun berlari.


Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktunya tepat sekali. Tiupan angin dingin menarik punggung kami, seolah-olah seluruh lubang itu sedang
mengisap napas. Selama satu detik yang mengerikan, aku terpeleset, kakiku
tergelincir di kerikil. Andai kami lebih dekat ke tepi, kami pasti sudah
tersedot masuk. Kami terus berjuang maju, dan akhirnya mencapai puncak terowongan, dan gua itu
melebar ke Padang Asphodel. Angin itu berhenti. Lolongan ukra menggema dari
kejauhan terowongan. Sesuatu merasa tidak senang bahwa kami lolos.
"Apa sih itu tadi?" Grover terengah-engah, saat kami ambruk dalam keamanan
relatif sekelompok poplar hitam.
"Salah satu piaraan Hades?"
Aku dan Annabeth saling pandang. Aku tahu dia sedang menimbang-nimbang suatu
pikiran, mungkin pikiran yang sama dengan yang diperolehnya dalam perjalanan
taksi ke L.A., tetapi dia terlalu takut untuk menceritakannya. Itu saja sudah
cukup untuk membuatku ngeri.
Aku menutup pedang, memasukkan pena itu kembali ke saku. "Mari kita lanjut."
Aku menatap Grover. "Kau bisa berjalan?"
Dia menelan ludah. "Iya, tentu. Dari dulu juga aku nggak suka sepatu itu."
Dia berusaha terdengar tabah, tetapi dia gemetar sama parahnya dengan aku dan
Annabeth. Apa pun yang berada di lubang itu bukan piaraan siapa pun. Dia sangat
tua dan kuat. Echidna sekalipun tidak menimbulkan perasaan seperti itu.
Aku hampir merasa lega memunggungi terowongan itu dan menuju istana Hades.
Hampir. * * * Para Erinyes mengitari kota mara, tinggi di dalam kekelaman. Tembok luar benteng
itu berkilauan hitam, dan gerbang perunggu setinggi dua lantai itu terbuka
lebar. Setelah dekat, kulihat bahwa ukiran pada gerbang itu adalah adegan-adegan
kematian. Beberapa berasal dari zaman modern - bom atom yang meledak di sebuah
kota, parit yang berisi tentara bertopeng gas, antrean korban kelaparan Afrika
yang menunggu sambil membawa mangkuk kosong - tetapi semua adegan itu sepertinya
diukir pada perunggu itu ribuan tahun yang lalu. Aku bertanya-tanya apakah aku
sedang melihat ramalan yang telah terjadi.
Di dalam pekarangan, ada taman teraneh yang pernah kulihat. Jamur warna-warni,
semak beracun, dan tanaman bercahaya ajaib yang tumbuh tanpa sinar matahari.
Permata mulia mengimbangi ketiadaan bunga, tumpukan batu mirah delima sebesarbesar kepalanku, tumpukan intan merah. Di sana-sini, berdiri patung-patung taman
Medusa seperti tamu pesta yang membeku - anak-anak, satir, dan centaurus yang
dijadikan batu - semuanya tersenyum mengerikan.
Di tengah-tengah taman terdapat kebun pohon delima, bunga jingganya cerah
seperti neon dalam gelap. "Kebun Persephone," kata Annabeth. "Terus berjalan."
Aku mengerti mengapa dia ingin cepat-cepat lewat. Bau kecut delima itu sangat
santer. Aku tiba-tiba ingin melahapnya, tetapi lalu aku ingat kisah Persephone.
Segigit makanan Dunia Bawah, dan kami tak akan pernah bisa pergi.
Aku menarik Grover menjauh agar dia tidak memetik sebuah delima besar yang
merekah basah. Kami menaiki tangga ke istana, di antara tiang hitam, melalui serambi marmer
hitam, dan memasuki rumah Hades. Aula masuknya berlantai perunggu berkilat, yang
seakan-akan mendidih dalam cahaya obor yang terpantul. Tak ada langit-langit,
hanya atap gua, jauh di atas. Kukira mereka tak pernah harus mencemaskan hujan
di bawah sini. Setiap pintu samping dijaga oleh satu kerangka yang berpakaian militer.
Beberapa memakai baju zirah Yunani, beberapa seragam jaket merah Inggris,
sebagian baju loreng tentara dengan bendera Amerika yang koyak di bahu.
Mereka membawa tombak atau senapan atau M-16. Tak ada yang mengganggu kami,
tetapi lubang mata mereka yang hampa itu mengikuti kami berjalan di aula, menuju
sepasang pintu besar di ujung seberang.
Dua kerangka Marinir A.S. menjaga pintu. Mereka menyeringai kepada kami, sambil
memegang peluncur RPG di depan dada.
"Eh," gumam Grover, "pasti Hades tak pernah di ganggu wiraniaga yang datang ke
rumah." Ranselku terasa seberat satu ton sekarang. Aku tak tahu kenapa. Aku ingin
membukanya, memeriksa apakah aku entah bagaimaan ditumpangi bola boling yang
tersesat, tetapi sekarang bukan waktunya.
"Nah, teman-teman," kataku. "Barangkali sebaiknya kita ... mengetuk?"
Angin panas bertiup di koridor, dan pintu itu berayun terbuka. Kedua penjaga itu
melangkah ke samping. "Kukira itu berarti silakan masuk," kata Annabeth.
Ruangan di dalam mirip dengan ruangan di mimpiku, tetapi kali ini singgasana
Hades diduduki. Dia dewa ketiga yang pernah kutemui, tetapi dewa pertama yang benar-benar tampak
Pendekar Kembar 7 Warisan Berdarah Karya Rajakelana Senopati Pamungkas I 2

Cari Blog Ini