Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 2
"Condesa yang tercinta! Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa bahwa Anda
dapat diselamatkan!"
"Aku pun harus mengucap syukur kepada Tuhan, karena aku dapat bicara lagi dengan
kalian," jawab Putri.
"Dokter Sternaulah yang berjasa dalam memulihkan kesehatan Anda."
"Memang, tetapi aku tahu juga bahwa kaupun
memegang peranan penting. Kau telah banyak berkurban untuk kepentinganku. Maka
kuucapkan banyak terima kasih atas segala perbuatanmu itu, sahabatku yang
setia." "O, itu sudah merupakan tugasku," kata Alimpo. "Kami rela mengikuti Anda sampai
ke ujung dunia pun. Demikian pun pendapat Elvira."
"Aku belum tahu, bagaimana aku dapat membalas budi Anda itu. Tunggu saja sampai
ayahku sembuh." Keesokan harinya akan diperoleh kepastian, pengobatan pada Pangeran itu berhasil
seperti pada Putri atau tidak.
Roseta duduk di sisi tempat tidur ayahnya dan setiap saat mengawasi ayahnya. Si
sakit telah tidur selama tiga hari.
Setiap saat ia dapat bangun. Sternau masuk ke dalam dan memegang tangan Putri.
"Roseta!" "Carlos! Ayah akan sembuhkah?"
"Ada harapan, tidak lama lagi."
Ia melepaskan tangan Putri dan memegang tangan si sakit. Setelah sesaat
memegangnya ia melepasnya lagi dengan tiba-tiba lalu berdiri di bagian kepala
tempat tidur. Pangeran bergerak lalu membuka matanya dan
melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru dalam kamar seperti biasa dilakukan
orang bila ia baru terbangun dari tidurnya. Pandangan matanya berhenti pada
Roseta. Lama ia mengamati dan menelitinya, kemudian ia bertanya perlahan, "Ya
Tuhan, di manakah aku" Apa yang kumimpikan" Roseta, anakku, benarkah kau yang
kulihat" Di manakah senor Sternau yang telah menyelamatkanku?"
Roseta menjadi pucat pasi. Ia terdiam sejenak, kemudian ia bangkit dan dengan
tersedu berkata, "Ayah, ayahku yang tercinta. Kaukenali aku" Kau mengenali aku?"
Wajah ayahnya berseri-seri gembira.
"Ya, aku mengenalimu. Kau Roseta, putriku. Jangan suruh Cortejo, Clarissa dan
Alfonso datang padaku. Sternau harus mencegahnya! Aku merasa lelah, aku harus tidur. Mari, beri aku
ciuman tidur, Nak, dan esok pagi datanglah kembali padaku!"
Roseta berusaha keras mengekang perasaan harunya, namun tiada berhasil. Ia
mengerang dan air matanya bercucuran melalui pipinya. Berkali-kali ia menciumi
ayahnya hingga ayahnya tertidur. Kemudian ia bangkit. Ia melihat Sternau dan
memeluknya sambil menangis terisak-isak.
BAB IV PERNIKAHAN Empat Belas hari sudah berlalu. Don Manuel sudah sehat kembali. Dengan senang
hati ia mengizinkan pernikahan putrinya dengan Karl Sternau. Satu-satunya yang
masih mengganggu pikirannya ialah nasib putranya yang masih tiada tentu itu.
Mereka masih belum mencapai kesepakatan tentang tindakan apa yang harus diambil
untuk menyelamatkannya. Di puri Rheinswalden terjadilah kesibukan menjelang pesta pernikahan yang akan
diadakan pada malam Natal.
Sesuai dengan permintaan Roseta pernikahan itu dirayakan dengan cara sederhana
saja, demikian pula keinginan Sternau.
Sehari sebelum Natal tibalah mualim Unger yang sudah lama dinanti-nantikan oleh
keluarganya itu. Setelah menyantap makanannya ia duduk-duduk bersama istrinya di
rumah untuk mendengar ceritera tentang kejadian-kejadian dalam minggu akhirakhir ini. Nyonya Unger telah mendengar segalanya yang berhubungan dengan puri
Rodriganda dan ia suka sekali berceritera tentang itu.
Mualim mendengarkan dengan penuh perhatian.
Setelah mendengar beberapa lamanya ia memotong,
"Jadi Dokter Sternau itu harus melarikan diri dari Rodriganda" Mengapa" Tentu
bukan karena ada orang hilang di Rodriganda?"
"Tidak ... tetapi, aku heran ... kau tahu juga" Memang di Rodriganda ada seseorang
yang hilang. Seorang letnan dari pasukan berkuda. Nyonya Sternau telah
menceritakannya." "Apakah mereka tahu, di mana ia berada sekarang?"
"Tidak. Atau ...tunggu, aku teringat sesuatu: kata Dokter Sternau, mungkin ia
dibawa naik sebuah kapal."
"Astaga, aku makin merasa tertarik kepada ceritera ini.
Apa nama kapal itu" Pendolakah" Coba ingat baik-baik!"
"Aku tahu pasti Nyonya Sternau tidak menyebutkan nama."
"Apalagi yang dikatakannya?"
Nyonya Mualim harus mengingat-ingat sejenak, kemudian ia berseru penuh semangat,
"Ya, aku ingat sekarang: ada seorang ahli hukum yang tersangkut dalam hal ini.
Namanya aku tidak ingat lagi, kedengarannya asing dan sukar mengucapkannya."
"Bukankah namanya Gasparino Cortejo?"
"Itu dia, namanya! Tetapi, aneh juga, bagaimana kau dapat mengetahuinya?"
"Kemudian akan kaudengar tentang hal itu. Sekarang aku harus segera pergi ke
Dokter Sternau. Aku membawa khabar yang amat penting baginya."
Ia mengenakan topinya lalu pergi. Di taman ia berjumpa dengan Sternau yang
hendak pergi berjalan-jalan ke hutan. Mualim memberi salam dengan mengangkat
topinya. Sternau berhenti, ketika dilihatnya orang itu hendak bicara dengannya.
"Maaf, tuankah Dokter Sternau?" Tanya Unger.
"Benar," jawabnya.
"Boleh saya mengganggu sebentar, saya ada khabar penting bagi Anda."
"Tentu saja. Anda pasti mualim Unger, ayah anak yang bernama Kurt itu."
"Tepatlah dugaan Anda, Dokter. Saya baru sampai hari ini."
"Khabar penting itu mengenai bidang kedokterankah?"
"Bukan. Tentang pengalaman Anda ketika berada di Spanyol."
"Sungguh?" tanya Sternau terheran-heran. "Anda ketika
itu ada di Spanyol?"
"Tidak, tetapi dalam pelayaran pulang saya telah mendengar sesuatu yang mungkin
sangat penting bagi Anda."
"Saya jadi ingin sekali tahu! Maksud saya hendak berjalan-jalan makan angin,
tetapi di sini pun sudah cukup angin sejuk. Mari kita duduk saja di atas bangku
itu." Mereka duduk sebelah menyebelah lalu mualim memulai ceriteranya. "Kami baru
berlabuh di pelabuhan Nantes di Perancis. Di sebelah kami berlabuh sebuah Kapal
Spanyol La Pendola. Nakhodanya bernama Landola.
Ia menyebut dirinya seorang saudagar, namun sebenarnya ia seorang perompak dalam
penyamaran. Dalam sebuah kedai minuman kebetulan saya dapat menyaksikan
percakapan antara dua pelaut mereka. Yang seorang berceritera kepada yang lain
bahwa mereka menahan seseorang atas suruhan orang yang bernama Gasparino
Cortejo. Orang tahanan itu kini berada di kapal mereka."
Makin banyak mualim itu berceritera, makin besar perhatian Sternau terhadap
ceriteranya. Akhirnya Sternau melompat dari tempat duduknya lalu berseru penuh
semangat, "Tidak dapat Anda bayangkan, betapa penting keterangan Anda itu bagi
saya. Jadi nakhoda kapal itu bernama Henrico Pendola?"
"Benar, dan kapalnya bernama La Pendola yang berarti
"Bulu". Tetapi saya rasa nama itu palsu. Saya berani bertaruh bahwa Pendola itu
sebenarnya kapal perompak Lion yang membuat lautan Afrika dan Amerika Timur
menjadi tidak aman."
"Kalau begitu, nakhoda Henrico Landola itu tak lain dan tak bukan adalah nakhoda
Grandprise." "Mungkin. Namun ceriteraku masih belum selesai.
Salah seorang pelaut menanyakan kepada nakhoda, apa yang harus diperbuat dengan
tahanannya, lalu nakhoda menjawab bahwa ia akan mengalami nasib sama dengan
tahanannya yang lainnya, yang mereka bawa dari Mexico
tiga bulan yang lalu."
Sternau bertanya terkejut, "Dari Mexico" Apakah Anda masih mendengar hal-hal
lain lagi tentang tahanan itu?"
"Tidak, tetapi pelaut mengatakan sesuatu. Ia sangat menyayangkan tahanan yang
berpangkat tinggi itu. Mungkin pangkatnya seorang pangeran."
"Namanya tidak disebut?"
"Disebut juga. Pelaut itu menamakannya "si tua Fernando". Ketika itu mereka
berlayar membelok di Tanjung Harapan, menyusuri pantai Afrika sampai Zeila.
Di situ tahanan itu dinaikkan ke darat untuk dijual ke Harrar. Ceritera yang
ganjil ini saya ceriterakan kepada Anda, karena kedua peristiwa itu mengandung
persamaan yang mencolok. Kedua-duanya dilakukan oleh pelaku yang sama, yaitu
oleh orang yang bernama Cortejo."
Ketika Sternau mendengar ini, ia mulia mengerti.
Terkilat olehnya kata-kata Jacques Tardot, seorang kawan tahanan dalam penjara
di Barcelona, yang dicurahkan pada saat menjelang meninggalnya. Orang itu
menyebut nama "Fernando" yang telah meninggal di Mexico. Agaknya Fernando itu
saudara don Manuel. Karena ia tahu bahwa nakhoda kapal Pendola sama orangnya
dengan nakhoda kapal Lion, maka ia menduga bahwa don Fernando tidaklah
meninggal, melainkan diculik dan dibawa berlayar oleh Landola. Dan dugaan itu
diperkuat lagi oleh keterangan mualim tentang penculikan yang lainnya.
Penculiknya pun bernama Cortejo. Mungkin di sini bukan dimaksudkan notaris
Cortejo. Sternau tahu juga bahwa bendahara yang bekerja pada pangeran Mexico itu
bernama Cortejo juga. Cortejo ini saudara dari Cortejo bendahara Pangeran
Spanyol. Dengan sekuat tenaga ia menghalau segala pikiran yang bertubi-tubi
menyerangnya lalu ia bertanya, "Apakah Anda masih ada keterangan lain tentang
orang itu?" "Tidak." "Juga tidak tahu ke mana Pendola berlayar setelah meninggalkan Nantes?"
"Saya mendengar bahwa mereka hendak menuju
Tanjung Harapan, tetapi ucapan seorang perompak seperti itu tidak dapat
dipercaya penuh. Anda tahu bahwa kapal-kapal demikian tidak mempunyai haluan
yang tetap. Seorang perompak hanya menuju tempat yang ada mangsanya."
"Dapatkah diusahakan, supaya kita mengetahui di mana saja Pendola telah berlabuh
atau dilihat orang?"
"Dapat, tetapi penyelidikan demikian memerlukan biaya yang besar. Anda harus
pergi ke Berlin dan minta bantuan dari kedutaan untuk menyelidikinya. Anda tentu
akan mendapat jawaban, meskipun agak lama."
"Bagaimana bila saya minta, supaya keterangan itu dikirim dengan kawat?"
"Tentu akan tiba lebih cepat lagi, tetapi biayanya akan bertambah besar pula.
Andaikata Anda dapat mengetahui di lautan mana Pendola berada, apa yang dapat
dilakukan?" "Saya akan pergi ke kapal perompak itu untuk membebaskan tahanan."
"Pekerjaan membebaskan itu begitu pentingnya bagi Anda?"
"Bukan main pentingnya. Lain kali anda akan mendengar lebih banyak tentang hal
itu. Yang ingin saya ketahui sekarang ialah: pada ketika ini Anda bebas, tanpa
pekerjaan?" "Ya." "Dapat, asal saya dapat bantuan dari seorang ahli mesin yang dapat dipercaya di
ruang kapal. Ijazah nakhoda untuk mengadakan pelayaran besar saya miliki."
"Dapatkah kapal sedemikian di lautan lepas menandingi Pendola?"
"Yah ... sukar menjawab pertanyaan itu. Setidak-tidaknya kapal itu harus
dilengkapi dengan beberapa buah meriam yang tangguh, mempunyai bangun yang kuat
serta dilayani oleh kelasi yang gagah perkasa."
"Dapatkah Anda mengemudikan kapal " Kapal uap kecil
misalnya ?" "Jadi menurut Anda, mungkin juga."
"Mungkin, kalau syarat-syarat tadi dipenuhi."
"Berapa harga kapal sedemikian agaknya?"
"Seratus dua puluh ribu mark tanpa perlengkapan."
"Adakah yang menjual kapal demikian, bekas pakai?"
"Wah, ... itu agak susah dicari. Kapal-kapal sedemikian hanya dibuat untuk
keperluan pribadi. Merupakan kapal pesiar mewah yang dimiliki oleh kaum jutawan.
Mereka akan merasa sayang menjual kapalnya. Lagi pula kapal bekas pakai kurang
sesuai dengan keperluan Anda. Anda seharusnya menyuruh buat sendiri sebuah kapal
yang tangguh serta sesuai dengan keinginan Anda.
Perlengkapannya pun harus diadakan atas pilihan Anda."
"Tahukah Anda, di mana terdapat galangan kapal yang terbaik?"
"Sepengetahuan saya galangan termasyhur di Greenock di tepi sungai Clyde."
"Di Skotlandia?"
"Benar, dan sebaiknya Anda sendiri pergi ke situ."
"Tetapi saya tidak mempunyai keahlian dalam bidang itu. Maukah Anda ikut dengan
saya, bila saya hendak melaksanakan nasehat Anda?"
"Dengan senang hati, Dokter."
"Baik, akan saya pikirkan hal itu. Adikku yang sangat rapat dengan istri Anda,
mengusulkan untuk menyisihkan sejumlah uang guna keperluan Anda, agar Anda
sebagai nakhoda dapat hidup bebas, tiada perlu bergantung pada orang lain. Bila
saya membeli sebuah kapal, maka kapal itu bukan milik Anda, namun Anda menjadi
nakhoda di kapal itu. Bila pekerjaan kita itu membuahkan hasil, maka saya suka
membantu Anda lebih banyak lagi. Kini saya akan pergi ke hutan dahulu.
Keterangan Anda itu penting sekali bagiku, sehingga saya memerlukan waktu dalam
ketenangan untuk mengolahnya lebih lanjut. Selamat malam, Mualim."
"Selamat malam, Dokter."
Mereka berjabatan tangan lalu berpisah.
Tengah hari sebuah kereta memasuki puri
Rheinswalden. Di dalamnya duduk Perwira pengadilan.
Mula-mula ia pergi ke rumah penjaga puri, yaitu rumah keluarga Unger, untuk
menyampaikan sebuah bingkisan.
Bingkisan itu merupakan hadiah Natal bagi Kurt, anak kecil yang sudah menawan
hati perwira itu. Seperempat jam kemudian ia mengunjungi Sternau,yang
menerimanya dengan suka hati.
"Anda membawa khabar apa?" tanya Dokter.
"Saya merasa gembira dapat membawa khabar baik menjelang Natal ini." Setelah
membakar cerutunya ia melanjutkan perkataannya, "Saya telah menyelidiki berbagai
hal yang berhubungan dengan keluarga Rodriganda. Tuan putri sudah diketahui
segalanya. Kita dapat meminta bantuan di kedutaan Spanyol.
Tuan Putri dapat menerima penuh bagiannya dalam warisan. Lagi pula saya telah
mengirim seorang reserse yang sangat cerdas ke Barcelona."
"Itu perbuatan yang sangat bijaksana. Biayanya tentu atas tanggungan saya."
"Itu kemudian dapat kita bicarakan lagi. Reserse itu pun diberi tugas menjaga
puri Rodriganda." "Bagus sekali. Segala itu tentu akan besar manfaatnya, karena don Manuel
sementara ini berniat menetap di Jerman untuk menanti hasil dari pencaharian
putranya." "Apa" Calon mertua Anda tidak mau bertindak langsung terhadap ahli waris palsu
itu?" "Tidak. Lagi pula itu tidak mungkin seandainya ia mau juga."
"Itu tidak dapat saya pahami."
"Segala itu ada sangkut pautnya dengan hukum pemilikan di Rodriganda."
"Masih belum jelas juga bagiku. Mengapa don Manuel tidak berdaya dalam hal ini?"
"Anda akan mengerti bila saya terangkan bahwa puri serta tanah Rodriganda bukan
merupakan milik pribadi, melainkan milik keluarga, diwariskan kepada putra sulung bila sudah mencapai
usia 21 tahun. Hal itu berarti bahwa setelah syarat mengenai usia itu terpenuhi,
ayah dan putra keduanya mempunyai hak yang sama."
"Dan siapakah ahli waris Pangeran itu?"
"Tak lain dan tak bukan don Alfonso yang
sesungguhnya, oleh kaum perampok diberi nama Mariano.
Ia pun pergi ke puri Rodriganda dengan menyamar sebagai Alfred de Lautreville.
Baik untuk sementara kita namakan don Alfonso yang sesungguhnya tetap Mariano,
karena untuk yang palsunya kita masih belum mempunyai nama lain."
"Itu pendapat Anda, tetapi apa buktinya" Lagi pula kita harus menemukan Mariano
lebih dahulu, supaya ia dapat mengemukakan tuntutannya. Kesulitannya ialah
karena Alfonso di mata hukum adalah pemilik yang sah atau dengan kata lain dia
dengan Pangeran sama-sama memiliki harta keluarga. Kesimpulannya ialah: secara
yuridis dapat dikatakan bahwa don Manuel untuk melancarkan pengaduan terhadap
Alfonso ia harus juga ... meminta izin
... dari Alfonso sebagai rekan pemilik."
"Celaka dua belas dengan peraturan semacam itu!"
"Memang. Peraturan-peraturan yang dibuat mengenai keluarga Rodriganda mempunyai
suatu kekurangan.
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemungkinan bahwa ayahnya mempunyai alasan untuk mengadukan anaknya, telah
terlupakan. Memang betul, don Manuel mempunyai hak untuk tinggal dan
memerintah di Rodriganda bersama putranya. Namun ...
apakah bijaksana mengingat keadaan sekarang, Pangeran tinggal di daerah yang
penuh dengan bahaya maut itu.
Jadi jelaskah sekarang bagi Anda, mengapa Pangeran merasa tidak berdaya dan
mengapa terpaksa menunggu sampai Mariano ditemukan orang?"
"Apakah tidak dapat diusahakan supaya Alfonso dihukum?"
"Tidak dapat. Apa bukti yang dapat kita kemukakan"
Alfonso kini berdiri di atas angin dan tanpa Mariano kita
tidak berdaya." "Ya, bila Anda mempunyai pandangan demikian, saya tidak dapat berbuat apa-apa.
Dan apakah maksud Anda dengan don Manuel" Apakah Anda bermaksud
merahasiakan penyembuhannya?"
"Itu tidak mungkin, sekiranya saya mau juga. Mana mungkin Pangeran dikurung
terus-menerus dalam puri.
Puri Rodriganda dengan komplotan penjahat di dalamnya diam-diam harus diawasi
oleh orang-orang yang dapat dipercaya. Namun kita terpaksa membiarkan sementara
kaum penjahat itu masih menikmati barang rampasannya.
Paling-paling dapat kita usahakan supaya bagian warisan Roseta dapat
dikeluarkan." Berhubung dengan hal itu saya ada khabar baik. Orang saya di Rodriganda
mengkhabarkan bahwa mereka tidak ada niat untuk menyangkal wanita tamu kita itu
sebagai Putri Roseta de Rodriganda."
"Jadi itu berarti bahwa mereka tidak akan mencegah Putri menuntut haknya
mendapat sebagian dari warisan."
"Benar. Mengenai itu saya pun sudah berkirim surat dengan duta di Berlin. Ia
sudi membantu dengan segenap tenaga."
"Saya harus mengucapkan banyak terima kasih."
"Tadi saya dengar dari Unger bahwa Anda hendak pergi untuk membeli sebuah
kapal." "Benar, itulah kehendakku."
"Ceritera yang saya dengar dari Mualim itu sangat aneh kedengarannya. Bolehkah
saya memperhatikan kepentingan Anda selagi Anda bepergian?"
"Boleh, asal jangan sampai mengganggu pekerjaan Anda, sebagai orang awam saya
tidak tahu tentang hal itu."
"Janganlah khawatir! Anda orang Jerman, Anda sedang dipersulit orang. Saya dapat
menyelidiki mereka tanpa diketahui mereka. Segera akan dapat saya ketahui di
mana dan bila mana kapal Pendola terlihat orang." Perwira pengadilan bangkit
berdiri. "Kini saya mengucapkan
selamat atas keberhasilan Anda, Dokter! Bolehkah saya bertemu dengan pasienpasien Anda untuk menyampaikan salam saya" Saya telah melihat mereka ketika
mereka sakit dan kini saya ingin sekali memuatnya dalam laporan tertulis saya."
"Saya akan mengajak mereka ke mari."
Setelah ia kembali lagi bersama Pangeran dan Putri, Perwira itu tercengang
melihat perubahan yang terjadi atas diri mereka. Ia telah menyaksikan Roseta
pucat seperti patung marmar berlutut sambil berdoa. Kini ia melihat Putri
seperti sediakala: berwibawa seperti layaknya seorang bangsawan serta diliputi
daya tarik yang merupakan rahasia dari seorang wanita sejati. Pangeran pun
dengan sikapnya yang agung serta berwibawa menimbulkan kesan yang jauh berlainan
dengan ketika ia masih sakit. Kini Perwira berjanji pada dirinya untuk
menggunakan segala pengaruh yang ada padanya untuk menolong mereka.
Dalam bangsal besar di puri diadakan persiapan-persiapan untuk hari esok. Pada
suatu sisi didirikan sebuah meja sembahyang dikelilingi oleh pagar pohon-pohon
cemara. Lagi pula Tuan Tanah telah menyeret sebuah pohon cemara berukuran
raksasa dengan tangan sendiri ke dalam bangsal. Pohon itu didirikan di tengahtengah bangsal. Pada saat ini Kapten sedang menghiasi pohon itu, dibantu oleh
Ludwig. Pintu bangsal terkunci, Karena Tuan tanah tidak mau diganggu. Bangsal
tempat pesta harus dirahasiakan bagi para tamu. Tiada seorang pun yang diizinkan
masuk, siapa pun juga. Rodenstein sedang berhati murung ketika ia bersama pembantunya melakukan
pekerjaan menghias itu. Lilin-lilin sudah dipasang, kini giliran buah kenari
untuk direkati kertas emas. Buah-buah itu tertumpuk di atas meja di samping
botol lem dan beberapa lembar kertas emas.
"Ludwig, apa yang kau kerjakan dari tadi" Kau harus mewarnai buah kenari, bukan
cakar ayammu!" "Maaf Kapten, saya tidak kuasa mencegah sedikit kertas
emas melekat pada jariku."
"Kaunamakan itu sedikit?" ejek Tuan tanah. Kertas yang melekat pada jarimu itu
cukup untuk dipakai merekati semua buah kenari yang dapat dikumpulkan dalam
seluruh kerajaan." "Itu tidak benar, Kapten."
"Tutup mulut!" hardik Tuan tanah kepada Ludwig yang tidak dapat bekerja
menyenangkan hati majikannya.
"Kurang ajar benar, berani kau membantah aku!"
"Saya tidak mau kurang ajar, Kapten. Hanya saya mau mengatakan di tempat, bahwa
Anda tidaklah adil. Sebab tangan Anda sendiri penuh berlepotan dengan lem dan
kertas emas." Seperti disambar petir Tuan tanah memandang kepada pembantunya. Kemudian ia
perlahan-lahan melihat tangannya yang benar-benar penuh dengan lem dan kertas
emas itu. Demi dilihatnya, amarahnya menjadi-jadi.
"Diam, dungu!" hardiknya. "Coba katakan, kertas emas itu siapa punya" Engkaukah
yang membelinya atau aku"
Bukankah aku sebagai pemiliknya berhak untuk menghiasi tanganku dengan kertas
emas sepuas hatiku?"
"Kalau begitu, biar Tuan Kapten seorang diri saja melakukan pekerjaan merekat
ini." Sejenak Tuan tanah terdiam, tiada sanggup
mengatakan apa-apa lagi, tetapi kemudian ia menghardik,
"Apa-apaan ini. Kau sudah menjadi gila, berani membuka mulut terhadapku. Ingat,
untuk siapa sebenarnya kau disuruh bekerja, untuk aku atau untuk nona manis yang
patut mendapat emas lebih banyak lagi daripada emas yang ada di seluruh dunia
ini" Dan kalau kau tidak lekas-lekas ..."
Ia memutuskan kalimatnya. Pintu diketuk orang lalu terdengar suara Kurt, "Tolong
bukakan pintu, Kapten!"
Amarah Kapten kini beralih ke tempat lain.
"Jangan masuk!" hardiknya. "Aku tidak
memerlukanmu." "Tetapi aku ingin memperlihatkan sesuatu kepada
Anda!" "Aku tak ada waktu." Teriak Rodenstein.
"Bukakan pintunya sedikit saja, nanti Anda melihat sesuatu."
"Tak mungkin!" teriak Rodenstein. "Lekas pergi!"
"Ya sudah, aku akan menembaknya sendiri saja."
Tuan tanah menjadi agak bingung.
"Menembak" Siapa yang kau tembak?"
"Harimau!" "A ... pa" Gila kau, barangkali."
"Selamat tinggal, Kapten."
"Tunggu, Nak! Aku datang."
Ia melemparkan kuas yang penuh lem serta buah kenari yang hampir rampung
direkati kertas emas itu ke arah kepala penjaga hutan lalu ia melompat keluar
dari pintu. Di luar berdiri Kurt berpakaian pemburu lengkap. Di bahu sebelah kiri ia
menyandang bedil dan di bahu sebelah kanan ia memikul sebuah benda. Ternyata
setelah diamati benda itu merupakan semacam bulan-bulan untuk melatih orang
menembak, serta sebuah harimau dari kaleng yang dapat digerak-gerakkan. Ketika
dilihatnya benda itu, ia menanya dengan terheran-heran, "Itukah yang kau maksud
dengan harimau itu?"
"Benar," tawa Kurt dengan memandang secara nakal.
"Dari mana kauperoleh binatang buas itu?"
"Dari Perwira pengadilan sebagai hadiah Natal."
"O, begitu," kata Tuan tanah dengan rasa heran.
"Dan apa sebabnya Perwira itu memberimu bingkisan itu?"
"Entahlah. Mungkin karena aku tidak jadi
menembaknya." "Dan kini mau apa kau dengan benda itu?"
"Pergi ke hutan dan berlatih menembak. Anda harus hadir untuk mengajarku
menembak." "Tetapi sekarang aku tidak ada waktu."
"Baik, kalau begitu. Aku akan pergi sendiri. Kukira aku dapat juga tanpa
bantuan. Dokter Sternau telah berkalikali berburu binatang buas. Aku harus menjadi pemburu besar seperti dia."
"Ya, tetapi kau dapat juga belajar lain kali."
"Tidak, harus sekarang juga. Ayo, Pak Kapten, mari ikut aku."
Tuan tanah tiada tahan mendengar rayuan itu. Ia menyerah. Mereka berdua pergi ke
hutan, anak yang besar dan yang kecil. Perwira itu tidak dapat memberi hadiah
yang lebih tepat lagi daripada mainan itu. Mula-mula ia meminta nasihat Sternau,
hadiah Natal apa yang paling baik bagi anak itu dan Sternau menganjurkan mainan
itu, meskipun mainan demikian tidak biasa diberikan kepada anak-anak.
Hari itu hari menjelang Natal, hari cerah dalam musim dingin. Seluruh alam
seakan-akan berhias untuk memuliakan pasangan pengantin. Menjelang pukul sepuluh
penghuni rumah berkumpul di bangsal besar puri yang perhiasannya yang berwarna
hijau itu mempesonakan para pengunjung. Tuan tanah berseri-seri mendengar puji-pujian
orang yang dialamatkan padanya.
Lewat pukul sepuluh tibalah pendeta umat
Rheinswalden dan selesai pidato yang mengharukan diadakan upacara pernikahan.
Setelah selesai pemberkatan diadakan makan bersama yang sederhana oleh keluarga
pengantin dengan beberapa orang tamu.
Itulah sesuai dengan permintaan pasangan pengantin yang disetujui oleh setiap
orang. Pada malam hari penghuni puri berkumpul lagi dalam bangsal, namun kini pohon
natal menjadi terang oleh lilin-lilin kecil yang menyala dalamnya. Semuanya itu
merupakan pemandangan yang mempesonakan bagi para tamu bangsa Spanyol itu. Di
tanah air mereka sendiri mereka tidak mengenal hal seperti itu.
Putri yang masih muda itu berdiri dekat suaminya dan berseru penuh kekaguman.,
"Alangkah indahnya!" Elvira bertepuk tangan dengan gembira dan bersorak,
"Pemandangan seindah ini belum pernah kita saksikan di
Spanyol, bukankah begitu, Alimpo?"
Kini tiba giliran hadiah-hadiah untuk dibagikan.
Hadian-hadiah itu memenuhi sebuah meja panjang di bawah pohon terang. Helena
Sternau memperoleh sebuah benda perhiasan yang mahal harganya dari Roseta,
sedangkan Roseta mendapat sebagai balasan dari Helena sebuah topi hasil rajutan
sendiri yang indah. Pasangan pengantin muda itu tidak saling memberi hadiah.
Hadiah natal yang paling berharga bagi mereka ialah mengucapkan harapan semoga
mereka dapat hidup dengan bahagia. Kurt mendapat tugas bersama orang tuanya
untuk membagi-bagikan hadiah. Ia sendiri dapat dari Tuan tanah sehelai baju
musim dingin yang indah berikut topi. Baju dan topi itu berlapiskan kulit rubah
yang ditembak oleh Kurt sendiri. Anak itu bukan main bahagianya dengan hadiah
itu. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasihnya dengan memeluk dan mencium Tuan
tanah. Tentu saja Kapten pun berlimpah-limpah menerima hadiah dari don Manuel,
dari putrinya dan dari Sternau. Alimpo dan istrinya pun merasa gembira sekali
dengan pemberiannya. Sehingga penjaga puri itu pada akhir malam berkata, "Senor
Sternau, pesta Natal seperti ini belum pernah kami alami dalam hidup kami.
Demikian juga pendapat Elviraku."
Pesta pernikahan sudah lampau. Kini Dokter harus menyibukkan diri dengan
pemecahan rahasia yang masih meliputi keluarga Rodriganda itu. Ia hanya memberi
waktu empat pekan kepada dirinya untuk menikmati
pernikahannya sekaligus untuk mengadakan persiapan untuk berlayar.
Perwira pengadilan sementara itu tidak tinggal diam. Ia mempunyai kawan-kawan
berpengaruh di London maupun di Berlin. Kawan-kawan itu dapat memberikan
pertolongan besar dalam penyelidikan mereka terhadap La Pendola.
Dari Berlin dan London oleh kedutaan diadakan penyelidikan yang menghasilkan
berita bahwa Pendola beberapa waktu yang lalu telah berlabuh di Sint Helena
untuk mengisi air. Kemudian kapal itu berlayar ke arah Tanjung Harapan. Setidaktidaknya mereka sudah tahu di mana kaum perompak itu berada.
Akhir Januari Sternau bersama Mualim meninggalkan Rheinswalden. Miliknya yang
paling dicintainya dipercayakannya kepada Tuan tanah. Selain sejumlah uang yang
besar ia membawa surat-surat wesel untuk bank-bank di Inggris. Kapten
mengantarkannya ke Mainz.
Di situ ia naik kapal api yang membawanya ke hilir sungai Rijn.
Perpisahan dengan istrinya terasa berat. Roseta yang tidak dapat berpisah
dengannya menangis terus menerus serta memeluk suaminya. Ayahnya, Alimpo dan
Elvira tetap menyertainya. Tanpa mengucapkan kata-kata Pangeran menciumi
anaknya. "Janganlah menangis, Putri yang kusayangi," kata Elvira. Tuan kita yang perkasa
itu pasti segera kembali lagi. Alimpo pun berkata demikian."
"Benar," tambah suaminya. "Tuan Dokter itu tepat orangnya yang dapat menangkap
Kapten Landola. Pasti ia akan menemukan perompak itu."
Agak ke belakang berdiri Ludwig dan Kurt. Anak itu pun menangis dan mata penjaga
hutan berlinang-linang. Ia merasa malu serta menegur anak itu, "Janganlah
menangis, Nak. Kau tidak boleh menjadi seorang yang berhati lembek di tempat."
"Bukankah Anda juga menangis," kata Kurt.
"Aku" Menangis" Yang bukan-bukan! Itu tetes-tetes peluhku. Hari ini panas
sekali. Delapan hari yang lalu dinginnya seperti di Siberia dan sekarang kapal
api dapat berlayar lagi. Iklim sudah berubah-ubah saja."
Di atas jembatan berdiri Perwira pengadilan. Ia ingin bicara sekali lagi dengan
Sternau. Ia berusaha menenteramkan hati Sternau. Selama dalam bepergian ia akan
tetap mengurus persoalannya dan mengawasi don Manuel serta putrinya.
Kapten menemaninya sampai kota Keulen. Kemudian
mereka berpisah. "Berapa lamanya Anda meninggalkan kami?" tanya Rodenstein.
"Tidak dapat saya katakan. Hari depan saya ada di tangan Tuhan.
"Baik saya berharap semoga Tuhan lekas
mengembalikan Anda kepada kami."
"Tolong sampaikan sekali lagi salamku kepada Roseta dan yang lainnya."
"Baik, Dokter! Janganlah kita menyiksa diri lebih lama lagi. Setiap perpisahan
akan diikuti oleh pertemuan kembali. Pergilah bersama Tuhan!"
"Sama-sama dengan Anda!"
Mereka berjabat tangan. Bagi Sternau dan Mualim terbuka suatu masa baru yang
tiada berketentuan serta penuh dengan petualangan.
BAB V KAPAL BAJAK LAUT MILIK LANDOLA Di pantai sebelah barat Inggris, di muara Sungai Clyde, terdapat sebuah teluk.
Di teluk itu terletak kota Greenock yang termasyhur di kalangan bangsa-bangsa
yang suka berlayar. Di galangan-galangan kapal kota itu banyak kapal dagang
serta kapal Jerman dibuat. Banyak di antara kapal perang perkasa dan kapal
dagang besar ataupun kecil yang lahir di galangan Greenock, kini mengarungi
lautan. Dokter Sternau dan Mualim Unger menginap di salah satu hotel besar di kota itu.
Mereka datang ke situ, karena mereka hendak membeli sebuah kapal kecil yang
ringan untuk mengejar Landola. Mereka mencari di pelabuhan dan di semua galangan
kapal, namun tidak menemukan.
Kini mereka duduk di kamar tamu sebuah hotel untuk membicarakan masalahnya.
Berhadapan dengan mereka duduk seorang orang tua yang telah mendengar percakapan
mereka. Kata orang itu bahwa tidak berapa jauh dari situ berlabuh sebuah kapal
api kecil yang indah di tepi sungai. Selanjutnya ia berkata bahwa seorang
advokat tinggal tidak jauh dari situ, yang mengurus tentang penjualannya. Kapal
itu berlabuh dekat villa tempat orang itu tinggal.
Sternau mengucapkan terima kasih atas penjelasan itu dan setelah makan siang
bersama Mualim ia segera pergi untuk melihat kapal itu. Hingga kini mereka hanya
mencari di muara sungai. Sekarang mereka berjalan di
sepanjang sungai ke arah hulu. Tidak lama kemudian mereka melihat kapal itu di
tepi sungai. Kapal itu indah, dapat berlayar cepat, panjang empat puluh meter,
lebar enam meter dan tinggi sepuluh meter, bertiang dua dan diperlengkapi dengan
tali-temali serta layar untuk membantu mesin dengan tenaga angin, sehingga
hampir tidak ada kapal lain yang dapat menandinginya. Sebilah papan gunanya
sebagai tangga untuk naik ke kapal.
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka pergi ke geladak. Tingkap-tingkap yang menuju ke ruang kapal terbuka,
kamar pun tidak terkunci. Setelah Unger yang ahli dalam bidang ini memeriksa
kapal dengan teliti, ia berpendapat bahwa kapal itu dalam keadaan sangat baik,
tiada berkekurangan. Mereka turun dari kapal dan ketika mereka melihat villa itu di sebuah taman dan
melihat papan di pagar dengan tulisan: "Emery Millner, Advokat", mereka masuk.
Mereka berjalan melalui sebuah taman. Seorang pelayan menghampiri mereka dan
mengantarkan mereka ke kamar Advokat. Mereka menerangkan tujuan mereka datang ke
situ lalu mendengar bahwa villa maupun kapal itu milik Pangeran Nottingham.
"Milik Pangeran Nottingham?" tanya Sternau terheran-heran. "Tolong beritahukan
juga nama Baginda yang lengkap."
"Sir Henry Dryden, Pangeran Nottingham," kata Advokat.
"Kalau begitu, putrinya beberapa waktu yang lalu, telah bertamu pada Putri
Roseta, kawannya, di puri Rodriganda di Spanyol"
"Benar," kata Advokat yang kini di pihaknya menunjukkan rasa heran. "Anda kenal
dia?" "Bahkan sangat baik. Saya pun ketika itu berada di Rodriganda dan saya harap
Anda mengizinkan saya menamakan saya sahabat mereka."
Dengan gembira Advokat itu berseru, "Kalau begitu, Andalah Dokter Sternau yang
telah membedah Pangeran tua itu."
"Benar." "Kalau begitu, saya menganggap suatu kehormatan besar menerima Anda. Sir Henry
dan Lady Amy sebelum berangkat ke Mexico singgah padaku lalu Lady itu telah
banyak berceritera tentang Anda padaku. Ia bersahabat dengan istriku, ia telah
menceriterakan segalanya tentang Rodriganda."
"Lalu masih ingin saya tambahkan bahwa Putri Roseta kini sudah menjadi istriku.
Ia tinggal di Jerman bersama ibuku."
"Agak cepat juga berlangsung!" kata Advokat. "Dari ceritera Lady Amy kami sudah
dapat menduga bahwa hal itu akan terjadi, namun bahwa hal itu begitu cepat
berlangsung mesti ada sebab-sebabnya. Dan saya ingin sekali mendengar sisa
ceriteranya!" "Karena Lady Amy telah mempercayakan kepada Anda, maka tiada alasan bagi saya
untuk tidak berbuat demikian," jawab Sternau ramah.
"Bolehkah saya pertama-tama memperkenalkan Anda kepada istriku" Akan saya anggap
sebagai kehormatan besar bila Anda berdua selama berada di Greenock menjadi tamu
kami." Meskipun Sternau mengemukakan keberatan, akhirnya ia harus menerima juga
undangan itu. Istri Advokat gembira ketika mendengar siapa tamunya itu dan
berusaha sedapat-dapatnya untuk membuat tamunya merasa senang tinggal di
rumahnya. Sternau menceriterakan pengalamannya yang menyebabkan ia diterima dengan segala senang
hati. Ia mendengar bahwa Lord Dryden hendak menjual kapal pesiarnya, karena ia
tidak akan dapat menggunakannya berhubung dengan rencananya tinggal lama di
Mexico. Sternau dapat membeli kapal itu dengan harga yang agak murah.
Kemudian diadakan penyusunan awak kapal. Selain Unger awak itu akan terdiri dari
empat belas kelasi dan beberapa orang masinis dan stokar. Kelasi memanggil
Mualim Unger "nakhoda" dan Sternau setuju dengan
panggilan sebagai pemilik kapal.
Kapal yang hingga kini bernama The Fleeds diberi nama baru Roseta.
Advokat membantu dalam penyediaan bahan makanan, senjata dan mesiu. Mengingat
tugasnya untuk mencari seorang perompak maka diperlukan beberapa buah meriam.
Karena itu kapal Roseta diperlengkapi dengan enam buah meriam dan dua buah
senapan yang dapat berputar, sebuah di geladak dekat haluan dan sebuah dekat
buritan. Kapal itu mempunyai kecepatan 18 mil per jam dan memerlukan zat pembakar batu
baru seratus kilo sejam. Maka perlu beberapa kali singgah di pelabuhan untuk memuat batu bara.
Tak lama kemudian kapal itu berlayar menuju ke muara sungai Clyde ke lautan
dengan tujuan yang tiada tentu.
Satu hal sudah tentu: nakhoda Landola sudah pasti ada di pantai barat Afrika.
Mereka melewati Teluk Biskaye dengan selamat, arus laut berbahaya yang oleh para
pelaut dinamakan kuburan kelasi, dan mereka singgah di Kepulauan Azores, Canari,
dan Tanjung Verde untuk memperoleh penyuluhan.
Namun mereka tidak dapat memperolehnya sedikit pun.
Kini Sternau menuju ke Sint Helena. Di situ ia hendak memuat batu bara. Di situ
ia berjumpa dengan jejak pertama. Nakhoda Pendola telah singgah di situ untuk
mengisi air. Nakhoda itu telah berlayar ke arah selatan.
Maka Sternau berlayar juga ke arah selatan, menuju Tanjung Harapan.
Kapal Roseta berada beberapa derajat di sebelah utara Tanjung itu. Pagi-pagi
sekali nakhoda Unger masuk ke kamar Sternau untuk melaporkan bahwa di sebelah
barat terlihat sebuah kapal bertiang tiga. Di antara kelasi kapal Roseta ada
seorang Negro yang pernah bekerja pada Landola.
Negro yang mempunyai pandangan mata yang tajam itu sudah melihat kapal itu lebih
dahulu daripada Unger yang
memakai teropong. "Kapal itu Pendola?" tanya Sternau.
"Masih belum dapat dipastikan," jawab Unger.
"Tetapi melihat layarnya kapal itu kapal dagang. Akan kusuruh mendekatinya."
Mereka pergi ke geladak lalu memegang teropong.
Setelah mengamati beberapa menit lamanya mereka melihat kapal bertiang tiga itu
berhaluan ke selatan seperti juga kapal Roseta. Hanya kapal Roseta berlayar
lebih cepat, karena mendapat angin baik yang membantu tenaga uap. Sedang mereka
melaju terdengar pekik Negro yang masih berada di puncak tiang itu.
"Ada apa?" seru Sternau ke atas.
"Ada kapal lain, Tuan," jawab Negro itu. "Di sebelah barat. Kurang jelas
nampaknya: layarnya hitam."
"Layar hitam?" tanya Unger gugup. "Tidak ada kapal lain yang memakainya selain
kapal Nakhoda Landola!"
Ia membidikkan teropongnya ke arah tempat yang ditunjuk oleh Negro lalu melihat
sebuah kapal lain yang menuju dengan kecepatan luar biasa ke arah kapal yang
satunya. Nampaknya kurang jelas karena layarnya yang hitam.
"Benar, itu kapal yang kita cari," kata Unger akhirnya dengan rasa tegang.
"Kau tidak salah?" tanya Sternau.
"Tidak. Landola itu penjahat yang cerdik. Ia menggunakan dua macam layar. Bila
memasuki pelabuhan, ia menggunakan layar putih, tetapi bila di tengah laut, biasa ia
menukarnya dengan yang hitam.
Pekerjaan menukar itu sebenarnya tidak mudah, tetapi ia tidak peduli. Yang
dipikirkan adalah keselamatannya.
Nampaknya ia hendak menyerang kapal dagang itu, begitu cepat ia bergerak ke arah
kapal itu." "Mari kita menolong mereka!" usul Sternau, "akhirnya saya dapat menemukan
Landola. Mudah-mudahan ia tidak akan lolos lagi!"
Nakhoda menggelengkan kepalanya. "Kita tidak boleh melupakan bahwa kapal kita
itu agak kecil. Hanya dalam keadaan darurat baru kita dapat melawan para bajak
laut itu. Kita harus berusaha menaklukkannya di atas kapalnya. Dalam pertempuran
di lautan lepas, meskipun kita dapat mengakibatkan kerugian besar bagi mereka,
namun kita tidak dapat menaklukkannya. Harapan kita semoga kapal dagang itu
sanggup mengadakan perlawanan. Maka keadaannya menjadi dua lawan satu.
Akan kusuruh menurunkan layar. Kita hanya memakai tenaga uap, supaya mereka
tidak cepat melihat kita."
Segala persiapan diadakan layar yang mudah terlihat dari jauh harus diturunkan
dan senjata-senjata disiapkan.
Dengan tiada kentara kapal kecil itu melaju ke arah pertempuran yang tidak lama
lagi pasti akan terjadi. Para perompak sementara itu sudah mendekati kapal dagang. Bendera perompak
berwarna merah dinaikkan.
Dentuman meriam merupakan tanda bagi kapal dagang untuk memutar haluan. Kapal
itu berupaya sedapat-dapatnya untuk meloloskan diri. Sekali berputar dengan
cepat membuat kapal itu lepas dari jangkauan tembak perompak. Namun Pendola
melakukan siasat yang serupa.
Si penyerang bergerak lebih laju dan segera terkejar olehnya kapal itu.
Tembakan yang kedua menggelegar di atas laut. Sekali ini digunakan peluru yang
sesungguhnya, maka tampak peluru itu menembusi dinding kayu dari kapal dagang,
sehingga berkeping-keping kayu berpelantingan. Di kapal bajak laut terdengar
sorak sorai yang dibalas oleh kapal dagang dengan teriak orang yang marah. Kapal
yang diserang itu tiba-tiba menurunkan layar dan memutar haluan, sehingga kapal
perompak melewatinya. Pada saat itu juga membubung dua gumpalan asap dari atas
geladak kapal dagang, dua tembakan terdengar serentak dengan itu tampak di kapal
perompak terjadi suatu kekacauan.
Tembakan-tembakan itu ternyata mengenai sasaran.
"Bagus!" puji Unger. "Kapal itu kapal dagang Inggris
diperlengkapi dengan dua buah meriam. Mereka bermaksud mengadakan perlawanan.
Anak buahnya pandai juga menembak. Mari, kita serang bajak laut itu dari jurusan
lain." Kedua kapal itu kini berhadap-hadapan. Terjadi saling tembak menembak. Meskipun
nyata bahwa kapal perompak itu lebih unggul, namun mereka tidak ingin tembak
menembak itu berlangsung lama. Layar yang diturunkan itu kini dikembangkan lagi
untuk dapat menampung lebih banyak angin lalu mereka berdampingan dengan kapal
dagang itu. "Ia ingin menyeret kapal itu!" seru Sternau.
"Benar," jawab Unger. "Tetapi lihatlah, orang Inggris itupun tidak bodoh. Ia pun
mengembangkan layarnya. Ia menghadapkan haluannya kepada lawannya, seperti
seekor rubah yang mengunjukkan giginya terhadap anjing.
Ayo maju cepat! Dalam lima menit kita ada di situ untuk turut menentukan nasib."
Kapal Roseta itu hingga kini tidak mengeluarkan asap, maka tidak tampak oleh
kedua kapal itu. Kini tampak membubung keluar dari cerobong asapnya segumpal
asap. Serentak terdengar pekik gembira dari kapal Inggris. Bajak laut pun melihat
lawannya yang baru itu namun agak meremehkan lawannya yang kecil itu. Ia
meneruskan penyerangannya.
Kapal Roseta meluncur di sisi kapal Inggris.
Nakhodanya yang berdiri di atas geladak berseru ke bawah, "Ahoi! Kawan
atau bukan?" "Kawan," jawab Sternau. "Jangan menyerah!"
"Tentu tidak!" seru nakhoda kapal Inggris.
Untuk mempertegas perkataannya nakhoda itu memberi aba-aba untuk menyerang lagi.
Hiruk Pikuk serta sumpah serapah yang terdengar dari kapal bajak laut menandakan
bahwa tembakan itu tepat mengena. Tiba-tiba terdengar suara orang memerintah
dengan berang, "Rapatkan kapal.
Bersiaplah untuk menyeret kapal itu!"
"Itulah dia, Landola!" kata Unger. "Namun kita tidak akan membiarkan dia menyeret kapal."
Kapal pesiar itu berpaling haluan ke arah buritan kapal bajak laut, begitu
dekatnya sehingga meriam-meriam kapal perompak itu tidak dapat mengenainya.
"Bagus sekali!" puji Unger. "Hantam dia!"
Sedangkan kedua meriamnya berusaha membocorkan kapal musuh dengan menembakinya
di bawah garis batas air, maka senapan-senapannya yang dapat berputar menembaki
geladak kapal musuh. Baru sekarang perompak sadar bahwa sang Kancil itu harus
mendapat perhatiannya juga. Tetapi meriam-meriamnya tidak dapat mengenainya.
Untuk menangkis peluru senapan pun Unger sudah ada persiapannya, yaitu dengan
menggantungkan tirai-tirai di sepanjang lambung.
Kapal perompak itu kini diapit oleh kapal Inggris dengan kapal pesiar. Keduanya
memberi perlawanan dengan gigihnya. Akhirnya Landola insaf bahwa ia berada dalam
keadaan gawat. Ia tidak dapat lebih mendekati kapal Inggris lagi sebelum dapat
mengibaskan kapal pesiar.
"Seret tempurung kelapa terkutuk itu!" teriak Landola.
Dalam sekejap mata dua buah sampan diturunkan ke air dan dimuati orang untuk
dapat menyerang kapal pesiar.
"Bagus!" kata Unger, "mereka langsung akan jungkir balik."
Lalu ia memberi aba-aba untuk mundur, supaya dapat menembak lebih baik. Kemudian
ia sendiri melayani senapannya. Mula-mula sampan yang terbesar mendekati mereka.
Unger membidik dengan cermat lalu menembak.
Peluru masuk ke dalam haluan, menembusi sampan lalu keluar lagi dari belakang
sampan. Beberapa orang pendayung terluka, kemudinya telah hancur. Sampan
kemasukan air lalu tenggelam. Awak kapalnya terjun ke dalam laut. Sampan kedua
bergegas menyelamatkan mereka. Namun sampan ini pun diserang, menjadi bocor,
lalu tenggelam. Kini Landola makin sadar bahwa kapal kecil ini lebih berbahaya daripada kapal
Inggris yang besar itu. Ia gemetar karena marahnya. Mereka melihat nakhoda itu
berada jauh di atas sedang melayani kemudi dan suaranya terdengar dengan jelas.
"Lemparkan granat ke bawah," bunyi aba-abanya. "Kita akan meledakkan kapal
kerdil itu." Pada saat itu Sternau menampakkan diri dari balik tirai pelindung lalu berseru
ke atas, "Terimalah salam dari Cortejo di Rodriganda, Henrico Landola!"
Perampok itu menjadi pucat. Ia sadar kedoknya sudah terbuka lalu membentak,
"Lempar granat! Ayo cepat!
Mampuskan bedebah ini!"
Namun Unger menghidupkan mesin dan menghindar, sehingga tidak terjangkau oleh
granat. Tetapi kini mereka diancam oleh meriam-meriam kapal perompak. Unger
mengarahkan kapal ke arah kemudi musuh dan berusaha menghancurkannya dengan
tembakan. Bila itu berhasil, maka bajak laut akan dapat dipatahkan
perlawanannya. Henrico Landola dapat menduga siasat itu lalu mengembangkan layar dan berusaha
menenggelamkan kapal pesiar itu, namun kapal pesiar itu mengelak dengan
lincahnya. Sementara itu kapal Inggris pun tiada tinggal diam.
Meskipun kapal itu menderita kerusakan parah, tetapi peluru-pelurunya telah
mengakibatkan kerusakan pada kapal lawannya. Bajak laut kini harus membagi-bagi
perhatiannya kepada dua tempat, sehingga kedudukannya menjadi lemah. Lenyaplah
kemungkinan baginya mengalahkan kapal dagang itu dan ketika kapal pesiar itu
tetap menembaki kemudinya ia menyadari bahwa lawannya berusaha untuk mematahkan
perlawanannya. Maka ia mengembangkan semua layarnya, melepaskan tembakan sekali lagi ke arah
kapal Inggris, lalu berkat dorongan angin, cepat-cepat berlayar menghindar.
Di atas geladak kapal Inggris terdengar sorak sorai orang. Ketika kapal pesiar
itu mendekati kapal Inggris
untuk merapat, kapal itu diterima dengan sorak gembira.
Sternau dan Unger menaiki kapal yang diselamatkan itu.
"Anda datang tepat waktunya untuk menyelamatkan kami," kata nakhodanya sambil
mengulurkan tangannya. "Kapal pesiar Anda itu kecil-kecil cabai rawit!"
"Anda sendiri pun tidak kurang perkasanya," jawab Sternau.
"Ah, saya hanya melakukan apa yang harus dikerjakan!
Masih adakah kemungkinan, bajak laut itu menyerang kami lagi?"
"Saya kira tidak ada. Ia tahu bila ia berniat demikian ia akan menghadapi kita
berdua." "Maksud Anda, Anda hendak mendampingi kami terus?"
"Bukan Anda, melainkan bajak laut itu. Sejak beberapa pekan yang lalu saya
mencari laknat itu."
"Wah," kata nakhoda terheran-heran. "Mungkinkah Anda harus membuat perhitungan
dengannya?" Benarlah. Maukah Anda menolong saya?"
"Dengan suka hati."
"Tolong buatkan laporan bahwa Anda telah bertempur melawan kapal Lion dengan
nakhoda Grandeprise, dan bahwa nama itu nama palsu. Kapal itu sebenarnya bernama
La Pendola dan nakhodanya seorang Spanyol bernama Henrico Landola. Dengan
demikian ia dapat ditangkap. Saya berpura-pura mengikuti Anda berlayar ke
Tanjung Harapan. Dengan demikian ia akan merasa aman dan tidak akan menyangka
bahwa saya mengikutinya."
"Tetapi ada perhitungan apa sebenarnya Anda dengannya?"
Sternau menceritakan kepada nakhoda sebanyak yang perlu diketahui lalu kembali
lagi ke kapal pesiarnya, yang berlayar ke arah selatan, sedangkan kaum perompak
berlayar ke arah barat daya. Setelah perompak itu sedemikian menjauh sehingga
tidak teramati dengan teropong terbaik pun, maka Unger mengambil haluan yang
sama. Landola telah mendapatkan pelajaran yang sangat pahit. Ia sadar bahwa ia tidak
dapat mengalahkan kapal Inggris maupun kapal pesiar, maka ia melarikan diri.
"Salam dari Rodriganda" itu merupakan teka-teki baginya. Bahwa orang yang
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikan salam itu seorang musuh, itu sudah pasti, tetapi siapakah musuh
itu, tidak dapat diterkanya. Setidak-tidaknya ia tahu bahwa kapal pesiar itu
menuju Tanjung Harapan, maka ia harus mengambil tindakan seperlunya. Ia pun
harus ke Tanjung Harapan untuk memperoleh penyuluhan tentang hal-hal yang
beberapa hari yang lalu masih belum dapat diketahui, namun ia tidak berani
menampakkan diri di situ, karena ia tahu bahwa kapal pesiar itu tentu akan lebih
dahulu tiba. Maka ia tetap berlayar ke arah barat daya untuk menghindari kapalkapal lain, kemudian mengubah haluan ke selatan. Dekat Tanjung Harapan ia hendak
membelok ke arah timur. Pada ketika itu hari sudah malam, maka ia dapat
mendekati pantai tanpa menarik perhatian. Menjelang pagi ia mencari sebuah teluk
yang sunyi lalu berlabuh tanpa diketahui orang. Kemudian ia menulis surat kepada
orang kepercayaannya di Tanjung Harapan yang mendapat tugas menyimpan suratsurat yang masuk. Surat itu dipercayakan kepada dua orang menggunakan sampan
berlayar ke Tanjung Harapan.
Mereka tiba di kota tanpa diketahui orang. Salah seorang di antara mereka
tinggal di sampan sedangkan yang lainnya pergi menemui orang kepercayaan itu
yang membaca surat itu. "Untung kalian mendapat tempat berlabuh yang tersembunyi," kata orang itu
setelah membaca surat. "Semalam tiba sebuah kapal pesiar yang membawa laporan bahwa nakhoda Landola itu
sama orangnya dengan perompak Grandeprise."
"Masih adakah ia di sini?"
"Masih. Ia sedang memuat batu bara."
"Siapakah namanya?"
"Sternau. Dan nakhoda kapal pesiar itu bernama Unger.
Gubernur telah memanggil semua perwakilan dan melarang mereka berhubungan dengan
Landola. Itu berlaku juga untuk surat-surat yang tertulis. Semua surat yang
dialamatkan kepadanya harus segera diserahkan kepada pemerintah. Maka aku harus
berhati-hati. Surat yang kuterima kemarin akan kuserahkan kepadamu tetapi untuk
sementara aku tidak berani mengambil risiko."
Orang kepercayaan itu menyerahkan kepada kelasi itu sebuah sampul dalam keadaan
terbuka; isinya ditulis dengan kode.
Kelasi yang mendapat tugas dari Landola untuk mengumpulkan keterangan tentang
kapal pesiar itu, pergi ke bagian pelabuhan tempat kapal itu sedang berlabuh. Ia
masih belum sampai di tempat tujuannya ketika ia berjumpa dengan seseorang.
Orang itu terdiam sejenak sambil berpikir, demi dilihatnya kelasi itu. Ia
berpaling lalu menahan kelasi itu. Orang tak dikenal itu berpakaian sebagai
seorang pelaut yang sejahtera. Ia menegur, "Hai kawan baik, kau bekerja di kapal
mana?" "Di kapal Amerika itu," kata perompak itu sambil menunjuk ke arah kapal Amerika
yang baru dilaluinya ketika ia masuk ke pelabuhan.
"O, begitu...", jawab orang itu kurang percaya. "Kukira pernah melihatmu di kapal
lain. Kau kenal Funchal?"
"Ya." "Bilamana kau mengenalnya?"
"Sudah bertahun-tahun yang lalu. Ketika itu aku bekerja di sebuah kapal
Perancis." "Kalau begitu, tentu kau kenal juga ibu Dry yang tinggi kurus tubuhnya itu."
"Tidak. Aku tak dapat mengingatnya kembali. Sudah lampau begitu lamanya."
"Wah, kukira baru-baru ini aku melihatmu di situ.
Tentunya kau pernah mendengar tentang "Nona Mietje?""
"Belum pernah."
"Mungkin aku salah. Kukira baru-baru ini kau bekerja di kapal Pendola,
nakhodanya bernama Landola."
"Sekali-kali tidak kukenal orang itu. Lagi pula aku tidak ada waktu. Permisi!"
Perompak itu melanjutkan perjalanannya, namun pada kelokan yang berikutnya ia
berhenti dan mengintip ke belakang. Orang tak dikenal itu mengikutinya. Perompak
itu menyadari bahwa sangatlah berbahaya baginya tinggal lama-lama di situ, maka
ia bergegas kembali ke sampannya dan meninggalkan kota.
Orang yang tidak dikenal yang menegur perompak itu tak lain tak bukan nakhoda
Unger yang sedang pergi menemui kepala pelabuhan untuk mengurus surat-suratnya,
karena kapal Roseta sudah selesai memuat batu bara dan bersiap-siap hendak
bertolak lagi. Unger masih dapat mengingat dengan baik muka orang itu. Ia merasa
curiga. Ia mengikuti orang itu. Setelah orang itu meninggalkan pelabuhan, Unger
kembali lagi ke kapal untuk menjumpai Sternau.
"Dokter, Anda lihat sampan itu?" tanyanya. "Muatannya dua orang, yang seorang
adalah kelasi kapal Pendola. Ia mengelabui mata saya dengan mengatakan bahwa ia
bekerja di kapal Amerika. Ia berbohong, sebab sampannya sudah nyata bukan buatan
Amerika. Mungkin itu merupakan petunjuk ke arah yang kita cari. Baik kita
turunkan sebuah sampan yang akan dimuati dua orang untuk memata-matai mereka.
Sebenarnya saya sendiri ingin ikut, tetapi saya harus ke kantor pelabuhan."
Sternau melaksanakan nasihat Unger lalu Unger pergi ke darat. Ia segera melihat
bahwa sampan itu tidak berlabuh dekat kapal Amerika melainkan berlayar terus.
Sternau menyuruh siapkan sebuah perahu dimuati empat orang pendayung berikut
seorang jurumudi untuk memata-matai sampan perompak. Meskipun keadaan laut belum
boleh disebut buruk, namun ombak-ombaknya demikian tinggi, sehingga merupakan
perlindungan baik bagi perahu yang tidak berlayar itu, sedangkan layar putih
dari sampan nampak berkilat-kilat dengan jelasnya dari kejauhan.
Kedua orang bajak laut itu duduk dengan santai, mereka tidak perlu mendayung.
Mereka mendapat angin buritan sehingga berlayar dengan lajunya. Segera mereka
sampai dekat kapal Pendola. Nakhoda Landola mendengar laporan mereka dengan
tenang lalu masuk ke kamarnya untuk memecahkan berita kode. Bunyi berita itu:
"Dokter Sternau yang kita penjarakan di Barcelona, mengikuti Kalian. Ia tahu
segalanya, Cortejo."
Ahli hukum itu telah menyuruh mata-matanya di Rheinswalden mencari informasi
lalu menganggap perlu menyampaikan informasi itu kepada nakhoda dengan segera.
Khabar ini dikirimkan ke berbagai tempat yang mungkin disinggahi Landola. Kode
itu telah disusun mereka sendiri. Sudah beberapa kali mereka menggunakan kode
demikian. Nakhoda Landola kembali lagi ke geladak untuk memberi perintah kepada
perwira pertamanya. "Kita membongkar sauh," katanya.
"Sekarang juga?" tanya orang itu terheran-heran.
"Bukankah berbahaya untuk menampakkan diri pada siang hari?"
" Benar. Namun lebih berbahaya lagi untuk tinggal tetap di sini. Kita segera
pergi ke Hindia Barat."
Perwira yang tahu bahwa maksudnya mula-mula hendak berlayar ke Lautan Hindia,
merasa heran. Landola menerangkan, "Kita sedang dimata-matai, maka kita harus
mengelabui mata mereka. Orang sudah mengetahui juga bahwa kapal Pendola itu sama
dengan kapal Lion. Maka kita harus mengubah bentuk kapal serta tali temalinya
lalu kita harus memperoleh surat-surat kapal yang baru. Maka cepatlah bertolak!"
Ketika kapal itu keluar dari teluk, perahu Sternau yang berjarak kurang dari
setengah mil itu, berada dekat tepi.
Kelima orang awak kapal mengamati Pendola selama masih belum hilang dari
pandangannya. Kemudian mereka berlayar kembali ke Tanjung Harapan. Mereka
mendapat angin haluan, sehingga baru siang tiba di tempat kapal pesiar.
Kapal Roseta menanti dengan mesin dalam keadaan berjalan. Setelah Sternau dan
Unger mendengar laporan dan mengetahui bahwa Pendola sudah bertolak, kata Unger,
"Ia menyimpang, ia tidak berlayar mengitari Tanjung."
"Kalau begitu kemana gerangan tujuannya?"
"Itu sulit diterka. Kita harus mengikutinya. Saya mempunyai dugaan, mungkin
benar, mungkin juga tidak."
Unger berjalan hilir mudik di geladak. Kemudian ia melanjutkan,"Landola tahu
bahwa kedoknya sudah terbuka. Demi keselamatan, ia harus mengubah bentuk maupun
nama kapal. Di mana ia dapat melakukan pekerjaan itu" Tentu bukan di galangan
umum. Ia harus mencari tempat tersembunyi dan tempat semacam itu banyak terdapat
di Hindia Barat, di balik Kepulauan Antila, di pulau kecil-kecil yang beratusratus banyaknya bertebaran di situ. Saya rasa, dugaan saya itu tidak jauh
menyimpang dari kebenaran."
"Kalau begitu kemanakah gerangan tujuannya?"
"Itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Sudah tentu ia akan menjauhi segala rute air
yang ramai. Dengan demikian tidaklah mudah mencari dia. Namun arus laut dekat
khatulistiwa harus dilaluinya dan bila kita mendahuluinya ke arus itu, kita
tentu akan menjumpainya." "Saya kurang mengerti."
"Karena Anda bukanlah pelaut, Dokter. Namun bagi kami para pelaut terdapat
jalan-jalan di laut seperti juga jalan-jalan di darat bagi seorang penunggang
kuda. Percayakan saja kepada saya ... Landola tidak akan dapat lolos. Untuk
menenteramkan hati Anda mula-mula saya akan menempuh arah barat, kemudian
berlayar bolak-balik antara utara dan selatan, maka di situ pasti kita akan
menjumpainya. Saat itu kita akan dapat memastikan juga tujuan perompak itu ke
mana." "Langsung kita akan menyerangnya."
"Jangan! Kita hanya dapat menimbulkan sedikit
kerusakan padanya, sedangkan ia dapat menghancurkan kita. Ia memiliki perahuperahu penyelamat, seandainya kita dapat berhasil membocorkan kapalnya dengan
tembakan. Tetapi bila nasib kita buruk, terkena oleh tembakan meriamnya, maka
tamatlah sudah riwayat kita.
Perahu penyelamat kita yang hanya dua buah itu bahkan tidak layak untuk dimuati
separuh awak kapal. Lagi pula perahu-perahu itu hanya diperhitungkan untuk
menempuh jarak yang dekat, bukan untuk menempuh samudera."
Sternau harus membenarkan pelaut yang
berpengalaman itu. Tiada lama lagi kapal Roseta meninggalkan pelabuhan Tanjung
Harapan dan menempuh lautan lepas. Empat belas hari kemudian di suatu tempat di ibu kota Mexico sedang berbaring
seorang gadis di atas tikar ayunan. Gadis itu memegang dua pucuk surat dalam
tangannya. Surat yang satu sudah dibacanya dan yang lain sedang dibacanya,
berbunyi: Greenock, 28-1-1849 "Lady Amy Dryden, Mexico City Lady Amy yang tercinta,
Anda telah meninggalkan Rodriganda dalam keadaan yang diliputi keganjilan dan
karena saya yakin bahwa Anda ingin mendengarkan kelanjutan dari peristiwaperistiwa itu, saya memberanikan diri untuk bertindak sebagai pembawa berita
Anda. Dari isi surat-surat lampiran, Anda dapat memaklumi bahwa saya telah berusaha
untuk menceriterakan segala peristiwa hingga pada hari ini selengkap-lengkapnya
kepada Anda dan dari baris-baris terakhir Anda dapat mengetahui bahwa pada saat
ini saya berada di salah satu daerah milik Anda, kini sebagai tamu Advokat
Millner. Esok hari saya bermaksud pergi dan insya Allah saya dapat menemukan jejak yang
akan membawa saya kepada Tuan Lautreville yang berada di kapal Pendola sebagai
orang tahanan. Saya yakin Roseta pun telah menulis surat kepada Anda yang mudahmudahan akan mendapat balasan yang mesra dari Anda pula.
Bila usaha saya itu dikaruniai dengan hasil, maka hasil yang sekecilnya pun akan
langsung Anda dengar dari : sahabat Anda Karl Sternau
Itu surat pengantarnya dan kini ia mulai membaca surat-surat lampirannya. Dalam
surat-surat itu ia membaca tentang segala peristiwa yang telah terjadi sejak
keberangkatannya dari Rodriganda. Ia membaca juga bahwa sahabat wanitanya telah
menikah dengan Sternau. Berita itu menimbulkan rasa sedih pada dirinya, karena peristiwa itu
disangkutkannya pada rahasia menghilangnya kekasihnya. Acap kali ia teringat padanya ... dan kini ia harus mendengar
bahwa kekasihnya telah diculik, ditahan ... dan dibawa mengembara di atas kapal ...
mengelilingi dunia ... mengarungi lautan luas! Mengapa"
Apa kesalahannya" Mengapa ia sampai dimusuhi orang-orang sekejam itu" Dan
Sternau, pemuda yang kuat, gagah perkasa itu. Akan berhasilkah ia menyelamatkan
kekasihnya" Amy yang sedang melamun itu tiada berasa air matanya menitik silih
berganti dari matanya yang cantik itu.
Suasana sedih itu tiba-tiba terganggu oleh seorang pembantu rumah tangga yang
datang untuk memberitahukan kedatangan senorita Josefa Cortejo.
Cepat-cepat ia menghapus air matanya dan sebelum ia sempat menyimpan suratsuratnya, tamunya sudah masuk.
Kedua wanita itu berkenalan pada kesempatan ketika di adakan tertullia, yang
berarti di Mexico suatu pertemuan ramah tamah antara beberapa orang pria dan
wanita. Pada kesempatan itu Josefa Cortejo diperkenalkan padanya dan sejak itu
Josefa tidak pernah lepas dari sisinya.
Amy Dryden serta merta merasa antipati terhadap Josefa dengan matanya yang
seperti burung hantu itu.
Maka gadis Inggris itu tidaklah ramah terhadapnya.
Namun pada kesempatan-kesempatan seperti ini senorita Josefa terus menerus
melekat pada dirinya. Kemarin
sampai-sampai ia berani meminta izin kepada Lady Amy untuk mengunjunginya. Amy
tidak dapat menolak tanpa menjadi kasar, sehingga mengakibatkan Josefa kini
masuk ke dalam. Ketika Lady Amy melihat tamunya, ia bangkit berdiri sambil memperlihatkan senyum
secara sopan tetapi tidak ramah. Josefa itu baginya terlalu suka menonjolkan
keinginannya untuk menjadi akrab dengannya, meskipun tak pernah Lady Amy
menerangkan kepadanya tentang pangkat dan keturunannya.
"Maafkan saya telah mengganggu, Lady Dryden.' kata Josefa sambil menunduk
sedikit. Tubuhnya yang kaku itu membuat gerakan ini nampak canggung.
"Suka hati kami menerima Anda," bunyi jawabnya secara dingin.
Setelah duduk di atas kursi, Josefa melanjutkan,
"Sebenarnya saya tidak akan secepat ini dapat memenuhi undangan Anda kemarin,
seandainya ayah saya tidak datang berkunjung. Saat ini ayah menjadi tamu Lord
Dryden." "Masya Allah! Ayah Anda mengunjungi ayahku?" tanya Amy terheran-heran.
"Benar. Untuk membicarakan suatu perkara yang ada sangkut pautnya dengan
kedudukan ayah Anda sebagai wakil negara Inggris. Saya ikut ayah karena saya
bergembira dapat berkenalan dengan Anda, seorang wanita dari kalangan tinggi. Di
Mexico jarang kita dapati orang yang layak dijadikan kawan."
Amy memandang dengan rasa heran kepada tamunya yang tidak nampak mempunyai
keturunan yang tinggi itu lalu berkata, "Saya kira di Mexico pun terdapat banyak
keluarga kalangan tinggi."
"Mungkin benar pendapat Anda," jawab Josefa sambil menarik hidung. Mungkin dari
kalangan tinggi namun tidak megah. Sebagai tunangan salah seorang Tuan tanah
yang kaya raya di Mexico, kita tidak dapat lebih berhati-hati dalam memilih
kawan." Pembantu datang menghidangkan coklat, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di
Mexico. Sesudah pembantu itu pergi, Amy melanjutkan pertanyaannya, "Anda sudah
bertunangan?" "Masih belum resmi. Itu masih perlu dirahasiakan secara diplomatis."
"Jadi tunangan Anda itu seorang diplomat?"
"Yah, sebenarnya juga tidak," jawab Josefa agak kemalu-maluan, "namun ia boleh
memakai gelar itu; pria pilihanku itu mempunyai harapan menjadi orang besar
kelak." "Kalau begitu saya harus mengucapkan selamat kepada Anda."
"Terima kasih Lady Dryden. Pernahkah Anda
mendengar tentang pangeran Rodriganda?"
"Tentang Pangeran Rodriganda?" tanya Amy terheran-heran.
"Nama itu kiranya Anda sudah kenal juga."
Amy yang cepat dapat menguasai dirinya, menjawab,
"Saya mempunyai seorang kawan wanita yang bernama demikian juga."
"Ia berbangsa Spanyol?"
"Benar. Roseta de Rodriganda y Sevilla. Ayahnya adalah Pangeran Manuel de
Rodriganda." Josefa memicingkan matanya seperti seekor binatang buas layaknya lalu bertanya,
"Di mana Anda telah berkenalan dengan Roseta itu?"
"Di Madrid. Kemudian saya mengunjunginya di Rodriganda."
"Kapan?" Kata "kapan" itu terdengar begitu kasar, sehingga Amy merasa tersinggung lalu
tanpa disengaja ia tidak menyebut tanggalnya yang tepat. Ia hanya berkata,
"Beberapa waktu sesudah kami berkenalan."
"Tetapi kapan tepatnya, my Lady?"
Pertanyaan itu diajukan dengan nada garang. Meskipun Amy tidak berbakat
menanggapi hal-hal secara diplomatis,
namun ia telah membaca surat Sternau yang
mengungkapkan segala kejadian, maka ia agak waspada.
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menjawab, tidak sesuai dengan kebenaran, "Kira-kira setahun yang lalu."
"Ah, masa! Bukankah lebih dahulu?" desak Josefa.
Muka Amy menjadi merah padam, bukan disebabkan oleh rasa malu karena
menceriterakan kebohongan, melainkan karena nada kurang ajar yang digunakan oleh
tamunya itu. "Dari mana Anda mendapat kesimpulan itu?" tanya Amy pendek.
"Karena Anda sudah mengatakan lebih dahulu bahwa ayah Roseta itu Pangeran
Manuel." "Memang setahun yang lalu Pangeran pun masih ada di situ. Baru kemudian saya
mendengar bahwa ia hilang." Ia berlaku bijaksana untuk tidak menyinggungnyinggung berita tentang penyelamatan don Manuel.
"Kapan Anda mendengar?"
"Hari ini." "Hari ini" Siapa yang membawa berita itu?"
"Seorang kawan."
"Dan siapakah kawan itu?"
Itu sudah keterlaluan bagi Amy. Ia bangkit berdiri lalu berkata dengan tinggi
hati, "Senorita, apakah sesuai dengan tata krama untuk eh ... menanyai orang
secara demikian, seperti seorang polisi terhadap tawanannya, tentang kehidupan
pribadi seseorang" Namun gadis dengan mata burung hantu itu tetap tenang saja lalu menjawab, "Itu
karena saya menaruh perhatian."
"Saya pun menaruh perhatian, bila saya bertanya siapakah Anda sebenarnya?"
"Bukankah saya sudah memperkenalkan diri kepada Anda, my Lady?"
"Ya, hanya sebagai Senorita Josefa, tanpa keterangan lebih lanjut."
"Nama keluargaku Cortejo."
"Ya, itu pun sudah saya dengar. Tetapi siapakah Senor Cortejo itu?"
"Ia pernah menjabat sekretaris Pangeran Fernando dan kini menduduki jabatan sama
pada Pangeran Alfonso."
"Sekretaris! Jadi hanya seorang pelayan kantor!" jawab Amy sambil mundur
selangkah. "Sanggupkah Anda menyadari keagungan seorang Lord bangsa Inggris?"
"Sanggup benar."
Mata Amy yang cantik itu berapi-api. Ia melangkah ke arah tamunya lalu bertanya
dengan berang, "Dan Anda pun tahu juga bahwa ayahku itu seorang Lord?"
"Tahu, Lady Amy."
"Dan Anda, sebagai seorang pelayan kantor, begitu kurang ajar memberanikan diri
berkenalan denganku serta mengunjungiku" Sebenarnya dapat juga saya izinkan,
seorang gadis yang hina pun, asal saya menyukainya.
Tetapi Anda tiada tahu diri, berani menanyaiku sedemikian rupa seperti seorang
polisi Spanyol saja. Anda ... seorang gelandangan. Anda kira Anda siapa" Sekarang
lekas enyah dari rumahku!"
Josefa menjadi pucat pasi. Ia mengambil mantel yang telah ditanggalkannya lalu
bertanya, "Bersungguh-sungguhkah Anda, my Lady?"
"Memang saya bersungguh-sungguh. Apakah ayah Anda masih keluarga Gasparino
Cortejo di Rodriganda?"
"Benar, mereka kakak beradik."
"Sekarang saya baru mengerti mengapa saya merasa benci kepada Anda. Saya selalu
jijik melihat Anda. Paman Anda yang bernama Gasparino itu seorang penjahat yang
harus mendapat ganjarannya. Keahliannya membuat para pangeran dan putri sakit
jiwa; ia suka menculik orang, ia e
... sudahlah enyah saja dari sini! Saya tidak mau melihat Anda lagi!"
Amy berpaling lalu meninggalkan ruangan,
meninggalkan Josefa seorang diri, yang karena marahnya berdiri seolah-olah
terpaku. Akhirnya ia dapat mengatasi keadaan kakunya. Ia mengacungkan tinjunya
ke arah pintu yang baru saja dilalui oleh Amy lalu berkata dengan menggertakkan gigi,
"Kau akan menyesali perbuatanmu itu, wanita sombong, tak lama lagi!"
Setelah Josefa pergi, Amy kembali lagi. Percakapan dengan wanita Mexico itu
membuat hatinya panas, namun akhirnya ketenangannya pulih kembali ketika ia
berayun-ayun di atas tikar ayunan. Pikirannya melayang-layang ke kawannya
Roseta, yang telah menikah dengan bahagia.
Tidak lama kemudian kembali pelayan tadi masuk untuk melaporkan kedatangan
orang. Orang itu Lord Dryden, yang telah membiasakan diri harus melapor lebih
dahulu, meskipun putrinya sendiri yang hendak dikunjunginya. Gadis itu
menghampirinya dan menciumnya.
"Aku gembira sekali, ayah datang ," katanya.
"Kau mengharapkan kedatanganku?" tanya ayahnya.
"Tidak, tetapi kedatangan ayah menghibur hatiku. Baru saja aku dibuat marah
sekali." "Kau?" tanya ayahnya sambil tertawa. "Siapa yang menyebabkan kemarahan itu?"
"Josefa Cortejo."
"Ayahnya datang padaku. Katanya, putrinya datang padamu. Apakah ia kawanmu?"
"Bukan. Itu memang kehendaknya, tetapi aku benci kepadanya, anak eh ... pelayan
kantor itu." Lord Dryden pura-pura terkejut. "Mengapa tiba-tiba putri kesayanganku itu
menjadi begitu angkuh?"
"Angkuh" Itu bukan sifatku, kebencianku terhadapnya membuat aku seperti ini.
Sejak beberapa waktu yang lalu ia selalu membayangiku, akhirnya ia sampai berani
berkunjung padaku. Ia begitu kurangajar untuk menanyai aku tentang perkaraperkara yang paling bersifat pribadi.
Akhirnya aku mengusirnya."
"Tepat sama benar sikap yang kuambil terhadap ayahnya," kata Lord Dryden.
"Ayah telah mengusirnya juga" Mengapa?"
"Cortejo hendak menipuku. Ia telah mendengar tentang
rencanaku hendak menetap di Mexico. Kemudian ia datang menawarkan sebidang tanah
luas serta bangunan-bangunannya, suatu hacienda di sebelah utara yang bernama
del Erina. Penyewanya bernama Pedro Arbellez.
Tadi ia kembali untuk mendengar putusanku."
"Langsung ayah mengusirnya?"
"Benar, karena sementara itu aku mendengar bahwa hacienda itu sesungguhnya milik
Arbellez. Cortejo sekali-kali tidak berhak menjual tanah itu atas perintah
Pangeran Rodriganda."
"Dahulu tanah itu milik Pangeran Rodriganda?"
"Memang. Tanah itu sesuai dengan isi surat wasiat sudah dihibahkan kepada
Arbellez. Tetapi aku datang untuk keperluan lain. Kau kan suka sekali
bepergian?" Amy memandang ayahnya. "Benar, bukankah Anda sudah tahu."
"Kau telah berkali-kali mengadakan perjalanan seorang diri saja. Biasanya aku
tidak perlu menaruh khawatir, namun kali ini ... aku bimbang juga ..."
"Jadi ayah menghendaki aku mengadakan perjalanan?"
"Benar. Aku harus menyampaikan surat-surat penting kepada gubernur Jamaica.
Demikian pentingnya surat-surat itu, sehingga aku tidak dapat mempercayakannya
kepada orang lain. Di pelabuhan Vera Cruz berlabuh sebuah kapal perang yang
dapat membawanya, tetapi aku tidak dapat mempercayakannya kepada nakhodanya,
karena ia bukanlah seorang diplomat. Tak ada jalan lain bagiku daripada
mengutusmu. Sebenarnya seorang wanita di larang berada dalam kapal perang, namun
bila aku yang menghendaki harus dapat diadakan perkecualian."
Amy bangkit melompat. "Ayah, aku terima tugas itu!
Serahkan saja padaku!"
"Baik!" kata ayahnya. "Aku percaya padamu, tetapi sebenarnya aku tidak mau
mengganggumu. Aku gembira mengetahui kamu berjiwa sebagai seorang Inggris sejati
yang tidak ragu-ragu memegang tugas berbahaya seperti itu. Bilamana dapat kau
pergi, perkara itu penting."
"Esok pagi." "Maka mulailah berkemas. Aku ikut kamu sampai Vera Cruz untuk mengantarkanmu ke
kapal. Gubernur Jamaica itu seorang kawan baikku. Akan kusiapkan sepucuk surat
pengantar bagimu. Ia akan menjemputmu."
Keesokan harinya datang dua puluh orang penunggang kuda yang akan mendampingi
kereta yang membawa Dryden bersama putrinya ke Vera Cruz. Komandan kapal perang
itu menerima gadis itu dengan suka hati. Ia menyiapkan kamarnya sendiri untuk
ditempati oleh Amy. Setelah ayah dengan putri berpamitan dan surat-surat penting diserahkan ke dalam
tangan gadis itu, maka kapal itu bertolak.
Cuaca cerah dan pelayaran terasa lancar serta menyenangkan. Pada siang hari Amy
duduk dilindungi oleh sebuah layar terhadap teriknya matahari. Pada malam hari
ia menikmati keindahan pemandangan laut Hindia Barat, yang terkenal karena
bahayanya tetapi juga karena keindahannya.
Air laut memantulkan cahaya dengan sangat indahnya.
Pengunjung seolah-olah pandangannya menembusi kristal cair sampai ke dasar laut.
Tampak dengan indahnya bayangan dari tumbuh-tumbuhan serta hewan. Di muka haluan
kapal buih berpercikan ke atas seolah-olah mutiara yang gemerlapan, sedangkan di
belakang buritan terjadi alur berbuih yang tiap saat berubah bentuk.
Pelayaran melalui teluk Campeche ke terusan Yucatan untuk kemudian mengarungi
laut Karabi. Teluk Honduras terdapat di sebelah kanan mereka serta pulau Kuba di
sebelah kiri. Kepulauan Grand dan Little Cayman mereka lalui dan kemudian mereka
sampai dekat Jamaica. Untuk mencapai ibu kota Kingston kita harus melalui
dangkalan Pedro yang berbahaya karena dasarnya yang berbatu karang itu. Beratusratus kapal sudah dibuat kandas di daerah perairan itu.
Pada suatu pagi, matahari masih rendah, namun bila kita memandang kepada
permukaan air, mata kita akan
terasa sakit. Hal demikian biasa kita dapati pada daerah-daerah berhawa panas
seperti ini. Tiba-tiba seorang jaga yang sedang bertugas memberi tahu bahwa di kejauhan
tampak sebuah layar kapal.
Ketika kapal itu mendekat ternyata bahwa kapal itu merupakan kapal pesiar kecil
yang di samping tenaga uap memasang juga layar supaya dapat bergerak lebih cepat
lagi. Amy duduk di bawah layar tendanya dan nakhoda berdiri di sisinya.
"Kapal kecil tetapi baik," katanya. "Ia melaju dengan kecepatan luar biasa, yang
tadinya saya sangka tidak mungkin. Coba lihatlah, my Lady."
Gadis itu berdiri di sebelah nakhoda di tepi geladak supaya dapat melihat kapal
pesiar lebih baik. Kapal perang itu melepas
kan tembakan untuk mengajak kapal pesiar mendekat.
"Kapal apa?" tanya komandan jaga.
"Kapal pesiar pribadi Roseta," jawabnya.
"Siapa pemiliknya?"
"Karl Sternau dari Jerman!"
Demi mendengar nama itu, Amy bersorak gembira. Ia mengerahkan segenap tenaganya
untuk dapat melihat lebih baik. Benar juga, kini tampak olehnya tubuh yang kukuh
tegap dari Sternau yang sedang melayani kemudi.
"Anda kenal akan orang itu, my Lady?" tanya nakhoda yang telah mendengar
pekiknya itu. "Benar, Tuan. Ia salah seorang sahabat karibku.
Bolehkah ia naik ke kapal kita?"
"Tentu, bila Anda inginkan." Nakhoda meneropongkan tangannya di depan mulutnya
lalu berseru ke arah kapal pesiar, "Apakah Tuan Sternau sendiri ada di kapal?"
"Ada," bunyi jawabnya menggema kembali.
"Naiklah ke kapal kami!"
"Saya tidak ada waktu," bunyi jawabnya, meskipun Sternau tahu bahwa perintah
kapal perang sebenarnya harus ditaati.
"Lady Dryden ada di sini!" seru nakhoda.
"Kalau begitu aku datang!"
Kapal pesiar itu menurunkan sebuah perahu kecil.
Makin mendekati kapal perang makin saling mengenal mereka. Amy melambai dengan
sehelai saputangan sedangkan Sternau dengan topinya. Akhirnya ia menaiki tangga
dan sampai ke atas geladak. Pertama-tama ia menyalami nakhoda, kemudian ia
menghampiri Amy yang mengucapkan selamat datang kepadanya.
"Saya kira Anda ada di Afrika," katanya setelah ia mengulurkan kedua belah
tangannya. "Saya telah mengiring kapal Lion hingga kemari," jawab Sternau menerangkan.
"Kapal Lion" Maksud Anda kapal bajak laut itu?" tanya nakhoda.
"Memang itu," jawab Sternau. Saya tidak ada waktu karena saya tetap harus
mengamatinya. Maukah Anda membantu saya menangkap nakhoda Grandeprise?"
"Tentu saja mau, sekarang juga!" seru orang Inggris itu dengan bersemangat. "Itu
merupakan kesempatan baik yang tidak boleh dilewatkan. Di manakah dia?"
"Di balik dangkalan Pedro. Bila Anda mendekat dari sebelah kiri dan saya dari
sebelah kanan, maka ia akan terjepit di antara kita."
"Berani betul Anda dengan kapal sekecil itu melawan Grandeprise."
"Anda tidak ada waktu untuk mendengarkan
keterangan itu. Tetapi Lady Amy dapat menceriterakan segalanya kepada Anda. Kita
harus bertindak cepat supaya dapat menjumpai perompak itu di balik dangkalan
Pedro." Sternau yang sudah hendak menuruni tangga itu masih ditahan oleh nakhoda.
"Seandainya bajak laut itu menjauhi pertempuran,"
katanya, "maka kita akan menggiringnya ke dangkalan Serranilla atau Rosalind,
maka dia akan kandas di atas batu karang. Mari kita pergi!"
Sternau kembali lagi ke kapal pesiarnya, yang melaju
dengan kecepatan tinggi ke dangkalan Pedro. Setengah jam kemudian ia melihat
kapal Pendola. Unger yang sedang tertawa dalam hati, memeriksa peta laut itu
lalu berkata, "Dalam waktu sepuluh menit ia akan lari balik ke dangkalan. Baik kita tembak
kemudinya, maka ia akan tidak berdaya lagi."
"Baik, tetapi jangan menembak di bawah garis air, karena di situ terdapat
tawanannya. Kapal itu sekali-kali tidak boleh tenggelam."
"Itu harus diberitahu juga kepada orang-orang Inggris itu."
Kapal pesiar itu berpura-pura tidak menghiraukan kapal perompak dan karena
mereka menempuh jalan air yang agak sempit, maka tiadalah mereka sadari ketika
kapal pesiar itu berlayar tepat di sebelahnya. Ketika sampai di laut lepas kapal
pesiar itu tiba-tiba membelok dengan lincahnya menuju ke buritan kapal perompak
sambil menembaki kemudi. Tembakan itu tepat mengena, sehingga kemudi kapal
perompak patah. Gerakan yang dilakukan dengan tiba-tiba serta berani itu menimbulkan kekacauan
di atas kapal Pendola. Segenap anak buah berlarian ke atas geladak. Landola pun kini tampak.
"Bangsat itu lagi. Terkutuklah dia!" serunya. "Hantam saja mereka!"
Namun kapal Pendola belum siap untuk bertempur.
Mengingat di daerah ini terdapat banyak pelabuhan, maka mereka sudah menutupi
lubang-lubang tempat menembakkan meriam. Beberapa pucuk bedil yang cepat dapat dipegang mereka tidak
dapat mengenai kapal pesiar.
Sternau berdiri di atas geladak. "Salam dari Rodriganda!"
serunya. Ia mengambil bedilnya yang berlaras dua dan dapat menjangkau sasaran
yang jauh itu lalu membidik.
Tembakan meletup dan nakhoda Landola rebah.
"Peluru telah mengenai bahunya dan telah
menghancurkan tulang. Orang itu masih dapat berbicara,"
kata Unger. Sekali lagi terdengar letupan bedil Sternau dan
perwira pertama yang dapati dikenali dengan picinya, rebah.
Sternau menyuruh matikan mesin sehingga kapal pesiar itu berayun-ayun perlahan,
lalu mengisi lagi bedilnya. Tembakannya yang kemudian mengenai jurumudi dan
tembakan yang keempat melukai perwira kedua.
"Bagus. Kini mereka tanpa pimpinan!" seru Unger.
"Lihat, kapal Inggris datang juga!"
Kapal perang itu muncul dari balik dangkalan dan berhenti dekat kapal perompak.
"Hallo!" seru nakhoda ke bawah kepada Sternau, "Anda telah melumpuhkannya!
Bagus!" "Lalu mematahkan perlawanan keempat perwira,"
tambah Sternau. "Ingat bahwa ada seorang tahanan di dalam ruang kapal."
"Beres!" Kapal Inggris itu menembak. Pelurunya menyusuri geladak. Tembakan dimaksudkan
supaya kapal itu menaikkan bendera. Maka bendera Spanyol dinaikkan.
"Apa nama kapal dan nakhodanya," tanya kapal Inggris.
"La Pendola, nakhoda Landola."
"Berapa besar jumlah penumpang?"
"Dua puluh empat orang, bunyi jawabnya.
"Bohong kamu! Semua orang harus naik ke kapalku.
Cepat!" Kapal Pendola sudah tidak berdaya dengan kemudinya yang hancur. Bagi awak kapal
hanya ada satu pilihan untuk menyelamatkan diri yaitu melarikan diri. Mereka
pura-pura mau mentaati perintah kapal perang. Perahu-perahu penyelamat
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diturunkan ke air, namun mereka bukannya pergi ke kapal perang melainkan
secepatnya mendayung ke darat. Mereka tidak sempat membawa harta bendanya, hanya
tubuhnya yang dapat diselamatkan.
Dalam sekejap mata Sternau mengejar mereka dengan kapal pesiarnya. Setelah
dilihatnya bahwa orang tahanannya tidak ada di antara mereka, maka ia berlayar
kembali ke kapal perompak. Kapal perang itu menembaki para pelarian.
Kapal perang itu menurunkan juga beberapa sampan ke air yang didayung menuju ke
kapal perompak. Nakhoda yang terluka itu tidak ada di atas kapal. Ia dibawa lari
dalam salah satu sampan yang menjadi sasaran tembakan oleh kapal perang itu.
Pertama-tama yang harus dikerjakan ialah menggeledah kapal perompak. Dari segala
yang dilihat tampak dengan nyata bahwa kapal itu kapal perompak, tetapi Sternau
tidak ada perhatian mengenai hal itu. Ia menyalakan salah sebuah lentera kapal
itu lalu turun ke dalam ruang. Negro yang dahulu pernah bekerja di kapal
perompak itu kini menjadi penunjuk jalan.
Kapal layar yang berlayar tanpa muatan barang, diberi beban batu-batu atau pasir
di bagian bawah dari ruang, supaya kapal itu cukup dalam masuk ke air. Bagi
kapal Pendola beban itu semata-mata terdiri dari pasir. Dan karena setiap kapal
selalu kemasukan air, maka pasir itu basah. Di atas pasir yang basah itu digali
sebuah lubang yang ditutupi dengan papan rapat-rapat. Lubang yang menyerupai
kandang babi yang kotor dan berbau busuk itu dihuni oleh seorang kerangka hidup
yang dirantai. Ketika tahanan itu mendengar kedatangan kedua orang itu ia mengguncangguncangkan rantainya serta bertanya,
"Siapa di situ?"
Bunyi kosong dari suaranya itu sangat mengibakan.
Sternau menghampirinya lalu berkata, "Kami adalah kawan, Letnan!"
"Suara itu pernah saya dengar! Apakah ini nyata atau mimpi?"
Dengan sekuat tenaga tahanan itu bangkit untuk menatap orang-orang itu.
Sternau mengangkat lenteranya supaya wajahnya kena cahaya.
"Ya Tuhan!" seru tahanan itu. "Senor Sternau!" karena gembiranya ia tidak dapat
berkata-kata lagi lalu rebah tak
berdaya dalam lubangnya. Sternau memeriksa rantainya lalu melihat bahwa rantai itu dapat diputuskan
dengan sebuah tang. Orang negro itu telah lari naik ke atas dan kembali lagi
membawa anak kunci itu. Ia tahu bahwa anak kunci itu disimpan di kamar nakhoda.
Letnan itu lalu dilepaskan dari belenggunya dan dibawa ke atas dalam keadaan
tiada sadarkan diri. Ia tidak dibawa ke geladak melainkan ke kamar nakhoda,
supaya matanya yang masih belum terbiasa dengan cahaya matahari tidak kesilauan.
Langsung disuruh Sternau menurunkan sampan ke air untuk menjemput Lady Dryden.
Dalam pada itu Letnan atau Mariano (nama yang diberikan para perampok di
pegunungan kepadanya) sudah siuman.
"Senor Sternau, Anda ini bagaikan malaikat yang turun dari langit. Nyatakah
segala ini atau hanya mimpi?"
tanyanya. "Semua ini nyata," jawab Dokter. "Namun jangan tanya apa-apa lagi. Anda masih
akan mendengar semuanya. Pakaian Anda kotor, Anda tidak boleh lebih lama lagi dalam keadaan seperti ini.
Dalam kopor nakhoda Landola tentu ada seperangkat pakaian. Kita berada dekat
Jamaica. Tetapi tentang hal itu kemudian saja. Inilah sebuah celana, baju, kaos kaki,
sepatu dan sebuah topi. Segala keperluan Anda terpenuhi. Ada juga air untuk
mandi. Cepatlah mandi dan berganti pakaian!"
"Siapa yang hendak mengunjungiku?"
"Seorang wanita. Lebih dari itu tak dapat saya katakan.
Ketuklah bila Anda selesai."
Sternau meninggalkan kamar dan Mariano mandi serta berganti pakaian. Sedang ia
sibuk berpakaian ia mendengar seseorang berbisik di luar. Ia masih dalam keadaan
lemah, tetapi ia berhasil tanpa pertolongan mengenakan pakaian. Ketika ia
melihat di cermin ia merasa puas melihat pakaiannya sekarang sudah bersih, lalu
ia pergi ke pintu dan mengetuk.
"Silakan masuk, Lady Amy! Saya harap, ia tidak akan mati kegirangan," bunyi
suara Sternau di luar. Mariano mengangkat pandangannya lalu ... nampak kekasihnya
yang dirindukannya selama berbulan-bulan ketika ia berada dalam tahanan para
perompak yang buas itu. Limbung jalannya, namun ia dapat menguasai dirinya kembali. Dengan mengulurkan
tangan ia berjalan menghampiri gadis yang karena gembiranya itu makin bertambah
cantiknya. "Amy, Lady Amy, alangkah bahagiaku!" soraknya.
Tubuhnya yang kurus kering, pipinya yang pucat cekung, semuanya itu tidak tampak
oleh gadis itu. Ia hanya melihat pandangan matanya yang berseri-seri lalu ia
mengulurkan tangannya kepada kekasihnya dan menjawab. "Alfred, akhirnya,
akhirnya kau bebas lagi!"
Mereka berpelukan dan berciuman tanpa mengeluarkan kata-kata. Kegembiraannya
karena pertemuan kembali itu membuat mereka lupa akan segala peristiwa yang
terjadi pada waktu antara perpisahannya di Rodriganda dengan hari itu. Tiba-tiba
Mariano merasa dirinya lemas, kekasihnya terlepas dari pegangannya. Wajahnya
menjadi pucat seperti mayat, ia mengejapkan mata dan berjalan limbung.
"Alfred!" seru Amy yang tetap memegangnya. "Ada apa dengan kamu?"
"Kebahagiaan itu ... terlalu ... banyak ... bagiku,"
erangnya dengan suara lemah. Tangannya menggapai-gapai di udara mencari tempat
berpegang. Gadis itu tidak dapat menahannya lagi dan membiarkannya rebah di atas
kursi. "Duduklah saja dan beristirahatlah," ia memohon. "Kau telah banyak menderita,
kau masih lemah." Gadis Inggris itu berlutut dekatnya dan memandang dengan rasa cemas kepada
kekasihnya. Baru kini tampak olehnya betapa pengaruh masa tahanan, rasa lapar,
haus dan penderitaan rohani telah mengubah wajah dan tubuh kekasihnya. Hati
gadis itu menjadi kecut. Ia ingin
menangis keras-keras untuk mencurahkan rasa sedih dan kasihan yang menyerang
jiwanya, namun ia menahan diri.
Hanya getar suaranya menandakan bahwa hatinya hancur luluh karena rasa iba.
"Kau menderita. Kau sedang sakit, kekasihku!"
Sesaat kemudian keadaan Mariano pulih kembali. Ia mengangkat pandangannya dan
pandangan itu bertemu kembali dengan wajah gadis itu. Pipi Mariano kini tampak
lebih segar. Ia berkata, "Aku telah mengalami masa penuh pencobaan dan derita,
namun kini ... alhamdullillah semuanya sudah lalu!"
Amy membelai pipi kekasihnya yang cekung itu dengan lemah lembut. "Tapi aku
yakin Alfred, tenagamu akan pulih kembali, sekuat dahulu ketika kau masih
tinggal di Spanyol. Aku bersedia, senantiasa merawatmu, agar setiap bekas derita
hilang lenyap dari hidupmu dan kemudian ..."
Gadis itu terhenti berbicara sambil menjadi merah mukanya. "Dan kemudian ...?"
tanya kekasihnya sambil memandang dengan penuh kasih sayang kepada gadis itu.
Gadis itu memeluk kekasihnya dengan penuh
kemesraan, namun Mariano menggeleng kepalanya seraya berkata, "Aku kurang yakin
kebahagiaan itu akan menjadi milikku."
"Mengapa berpendapat demikian?"
"Kamu masih belum mengenalku. Pengetahuanmu tentang diriku itu sedikit sekali
dan yang sedikit itu ... salah pula." Tampak dengan nyata bahwa perkataan yang terakhir itu sukar keluar dari
mulutnya. Amy terperanjat. Ia ingin membaca dalam mata Mariano tetapi hanyalah
rasa cinta dan setia dapat dibacanya. Ia memegang tangannya lalu berkata,
"Penderitaanmu itu telah membuatmu putus asa.
Namun aku yakin, semangatmu akan pulih kembali.
Memang, sedikit saja yang kuketahui tentangmu, tetapi aku tahu bahwa kau cinta
padaku dan itu sudah cukup.
Bagi hatiku segala yang lain tidak menjadi soal!"
"Tetapi kau harus mendengarnya juga. Dengarlah! Aku
bukan orang seperti yang kaukenal dahulu ..."
Tetapi Amy menutup mulutnya dengan tangannya serta memotong perkataannya.
"Jangan sekarang Alfred! Aku tahu bahwa kau adalah jujur dan baik. Lain dari itu
aku tidak perlu tahu. Bila kau sudah cukup kuat, boleh kau curahkan segala isi
hatimu kepadaku. Kini baik kita mengucap syukur kepada Tuhan yang telah
melepaskanmu dari derita dan yang mengembalikanmu kepadaku!"
Mariano tersenyum bahagia dan ia menurut. Tangannya memegang kekasihnya dan
matanya menatap wajahnya yang cantik.
Mereka hanya ingat akan dirinya, suara gaduh di atas geladak tidak
dihiraukannya. Di atas geladak orang sedang sibuk memindahkan barang-barang dan
senjata dari kapal bajak laut ke atas kapal perang.
Akhirnya terdengar bunyi orang mengetuk pintu perlahan-lahan. Setelah dijawab
oleh Amy, masuklah Sternau.
"Maafkan aku," katanya, "kekhawatiranku akan kawanku memaksaku mengganggu
kalian. Aku datang sebagai dokter untuk mengajak Letnan ikut aku ke geladak.
Orang yang berbulan-bulan telah disembunyikan dalam ruang kapal, perlu mendapat
perawatan yang baik."
Mereka mengikutinya ke geladak.
Di atas geladak keadaannya kacau balau. Peti-peti berserakan di mana-mana.
Demikian pun senjata, mesiu dan bahan makanan. Mereka sedang sibuk memindahkan
barang-barang itu dari kapal perompak yang terletak di sisi kapal perang. Di
sisi yang lain terletak kapal pesiar. Anak kapal mereka membantu nakhoda kapal
Inggris dalam pekerjaannya.
Setelah orang Spanyol itu berdiri di suatu tempat penuh mendapat sinar matahari,
baru sekarang tampak dengan nyata betapa buruk pengaruh dari masa tahanannya
yang tidak berperikemanusiaan itu. Tampaknya seolah-olah hidupnya tidak bertahan
lebih lama lagi. Kulitnya
berwarna kehijau-hijauan, matanya cekung, pipinya kurus dengan tulang pipi yang
menonjol. Ia telah berjumpa dengan maut, jasmaniah maupun rohaniah.
Sternau memeriksa dengan teliti. Amy memandang dengan rasa cemas kepada wajahnya
yang sungguh-sungguh. "Kita harus bersyukur kepada Tuhan." Kata Sternau
akhirnya, "bahwa Anda sudah ditemukan, Letnan.
Karena bila terlambat beberapa minggu saja, Anda tidak akan berada dalam keadaan
hidup." Amy sangat terkejut lalu berseru, "Masya Allah, sudah demikian burukkah
keadaannya, Dokter?"
"Bukan begitu, my Lady," jawab Sternau. "Saya hanya dapat mengatakan bahwa ia
masih sangat lemah, namun dengan perawatan yang baik kita dapat mengubah keadaan
itu. Udara segar, gerak badan, dan makanan yang bergizi akan membuatnya pulih
kembali seperti sediakala."
"Saya merasa terhibur, terima kasih Dokter," kata Amy sambil mengulurkan tangan
kepadanya. "Saya akan merawatnya dengan baik, mengerjakan segalanya yang perlu
dikerjakan." Sternau memandang gadis cantik itu dengan
tersenyum, "Apakah Anda mempunyai waktu untuk segala hal itu, Lady Amy?"
"Tentu. Saya tidak akan meninggalkannya."
"Saya sebenarnya merasa heran, mengapa Anda sampai terdampar di kapal perang ini
di perairan dekat Jamaica."
"Saya bertugas menyampaikan beberapa surat kepada gubernur di pulau ini."
"Kalau begitu, maka pertemuan kita ini bersifat kebetulan saja ..."
"Tidak," jawabnya memotong. "Pasti lebih dari itu: suatu pemberian dari Tuhan
yang Maha Kuasa, maka puji syukur harus kita ucapkan kepada Tuhan."
"Memang saya pun sepaham dengan Anda. Berapa lamanya Anda hendak tinggal di
Jamaica?" "Sampai saya menerima jawaban. Atau barangkali Anda menganggap perlu tinggal
lebih lama lagi, mengingat
keadaan kawan kita?"
"Sebenarnya saya ingin menganjurkan waktu istirahat yang lama untuk memulihkan
keadaan jasmani maupun rohani, namun iklim kota Kingston kurang sehat. Udara di
sini membangkitkan demam, maka kurang sesuai sebagai tempat istirahat orang
sakit. Apakah Anda hendak kembali lagi ke Mexico?"
"Benar. Kapal perang mendapat perintah untuk membawaku kembali ke Vera Cruz."
"Setelah berpikir sejenak, Sternau menjawab, "Kapal perang masih tinggal semalam
di sini untuk memindahkan muatan dari kapal bajak laut. Saya dapat membawa Anda
dengan kapal pesiar saya ke Kingston. Anda dapat meminta kepada gubernur untuk
menyelesaikan surat-surat dengan cepat. Kemudian saya antarkan Anda ke Vera
Cruz; Anda dapat mempercayai kapal pesiar saya. Ia dapat berlayar lebih cepat
daripada kapal perang, lagi pula persenjataannya pun lengkap, maka kita tidak
perlu khawatir akan terjadi apa-apa. Makin cepat kita dapat memindahkan Letnan
ke dataran tinggi Mexico, makin baiklah untuk kesehatannya."
Amy setuju dengan pendapat Sternau. Mereka
memberitahukan keputusannya kepada nakhoda kapal perang Inggris. Nakhoda
mengatakan bahwa wanita itu telah dipercayakan kepadanya, namun ia tidak dapat
memaksanya tinggal di kapal perang. Secara adil menurut pendapatnya, Sternau
harus memperoleh sebagian dari hasil barang rampasan milik kapal bajak laut,
karena ia telah mengambil bagian dalam menaklukkan kapal itu.
Namun Sternau menampik pemberian itu. Ia menyuruh pindahkan barang-barang bawaan
Lady Amy ke kapal pesiarnya lalu bertolak, berlayar menuju Kingston.
Setelah tiba di situ, Amy menyelesaikan beberapa formalitas yang diperlukan lalu
mendarat. Sternau mengantarkannya ke gubernur. Gubernur ingin memperkenalkan
gadis itu kepada keluarganya serta mengajaknya tinggal beberapa waktu sebagai
tamunya. Tetapi Amy menjelaskan kepadanya bahwa ia harus segera kembali ke Mexico dan
meminta supaya surat-surat dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Gubernur
kini menyadari bahwa tawarannya kepada Lady Amy untuk tinggal di rumahnya, tidak
akan membuahkan hasil. Maka ia berjanji akan menyelesaikan surat-surat
secepatnya. Ia menepati janjinya, maka keesokan harinya kapal Roseta sudah dapat
bertolak. Mereka berlayar kembali ke kapal perang, yang dijumpainya dekat dangkalan Pedro.
Kapal perang itu masih berlabuh di sisi kapal bajak laut. Mereka masih
memindahkan barang-barang dari kapal Pendola. Setelah selesai pekerjaan itu maka
kapal bajak laut akan ditenggelamkan.
"Tidak banyak perompak dapat lolos," kata Amy.
"Ketika kalian pergi kemarin," kata nakhoda Inggeris.
"Saya telah menyelidiki pantai Jamaica dengan teropong.
Kalau tidak salah, saya melihat beberapa orang laki-laki berpakaian seragam
pelaut sedang mengusung seseorang yang sedang luka atau sakit. Daerah pantai itu
tidak berpenghuni, maka saya merasa heran, melihat orang-orang itu. Saya
langsung mengirim sampan ke situ. Anak buah saya hanya menemukan jejak-jejak
kaki orang." "Mungkinkah nakhoda itu berhasil naik ke darat" Itu harus kita selidiki."
Kata Mariano dengan hati kesal, "Jiwa Landola itu sebenarnya tidak berharga
sedikit pun, namun saya ingin sekali bertemu dengannya untuk membuat
perhitungan. Ia telah berlaku sangat kejam terhadap saya, menyiksa saya.
Maka inginlah saya mengadakan pembalasan."
"Baik, biarlah kita mendapat kepastian," kata Sternau.
"Penyelidikan itu paling lama memakan waktu satu jam, sudah itu kita akan
mendapat kepastian."
Kapal pesiar berlayar menuju pantai tempat yang ditunjuk oleh nakhoda. Dalam
seperempat jam mereka sampai di situ. Sternau khawatir kalau-kalau jejak para
perompak akan terhapus, maka ia seorang diri naik ke
darat untuk menyelidiki daerah sekitar. Tetapi tanah di situ merupakan batu
karang yang keras. Lagi pula kemarin ketika pertempuran itu terjadi, air laut sedang surut. Ketika
pasang datang, semua jejak terhapus oleh air laut. Akhirnya Sternau harus
kembali ke kapal lagi tanpa membawa hasil apa pun.
BAB VI MEXICO CITY Pelayaran ke Vera Cruz berlangsung dengan cepat dan baik. Setelah berlabuh
Sternau dan Unger berkehendak mengantarkan dua sejoli yang sedang berkasihkasihan itu ke Mexico. Kapal pesiar dipercayakan kepada awak kapal.
Bila mereka pergi lebih lama dari dua bulan maka awak kapal harus melapor kepada
Lord Dryden. Karena tubuh Mariano masih sangat lemah, ia tidak dapat naik kuda. Maka mereka
pergi naik kereta pos yang merupakan kendaraan penghubung antara pelabuhan dan
ibu kota. Ketiga orang itu melengkapi diri dengan senjata dan bahan makanan,
karena di daerah-daerah itu pada masa itu orang masih belum mengenal adanya
hotel. Kemudian mereka meninggalkan Vera Cruz.
Perjalanan naik kereta pos Mexico pada zaman itu bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Kereta itu dapat dimuati duabelas sampai enambelas orang ditarik
oleh delapan keledai liar. Di sebelah muka berjalan dua ekor keledai, di tengah
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
empat ekor dan di belakang masih ada dua ekor lagi. Keledai-keledai itu biasa
hidup liar di atas padang rumput dan setiap kali diadakan perjalanan kereta,
keledai-keledai itu harus ditangkapi lebih dahulu dengan menggunakan laso.
Keledai-keledai liar itu tentu saja memberontak terus menerus waktu dikenakan
kekangnya dan setelah terpasang kekang tiada tertahan mau pun terkendalikan
lagi, lari sekencang angin puyuh. Daerah yang ditempuh mereka itu hampir-hampir
tiada berpenghuni. Jalan mereka melalui punggung-punggung
gunung, jurang-jurang yang curam dan hutan rimba.
Jarang sekali dapat dijumpai sebuah pondok Indian sunyi yang dihuni oleh
keturunan tuan tanah kaya raya yang telah jatuh miskin.
Kerap kali jalan mereka melalui tepi sungai tandus berbatu-batu. Di musim semi
air sungai itu mengalir dengan sangat derasnya. Ada kalanya jalan mereka itu di
atas tebing-tebing yang terjal, sehingga kesalahan yang kecil dibuat oleh sang
sais akan mengakibatkan kereta itu jatuh ke dalam jurang, hancur berkepingkeping. Meski pun demikian kereta pos itu tetap berjalan dengan kencangnya. Sais
duduk di tempatnya memegang enambelas tali kendali di tangannya. Di sampingnya
duduk pembantunya, penggiring keledai. Orang itu tiada sempat duduk tenang
sedetik pun. Sedang kencang-kencangnya kereta dilarikan, ia melompat dari atas
tempat duduknya yang tinggi untuk menggiring keledai-keledai atau untuk
menghentikan kereta. Sementara itu ia mengisi semua sakunya dengan batu-batu,
melompat kembali ke atas kereta yang sedang dilarikan kencang itu lalu
menembakkan batu-batu kepada keledai yang agak malas berlari atau tidak menurut
perintah. Itulah merupakan ketangkasan baginya untuk dapat diangkat menjadi sais
bila ia lulus. Seorang sais kereta pos yang tangkas sangat dihormati orang dan itulah
selayaknya. Sais kereta yang menghubungkan Mexico dengan Vera Cruz mendapat upah
bulanan sebesar seratus duapuluh peseta dan makanan sehari-hari diberikan dengan
cuma-cuma. Bila pada akhir tahun keretanya belum pernah terbalik, maka ia
mendapat upah tambahan seratus limapuluh peseta. Hal yang paling susah diatasi
ialah keadaan keamanan yang buruk di perjalanan. Setiap orang Mexico pada zaman
itu adalah seorang petualang, maka dengan sendirinya orang baru berani
mengadakan perjalanan bila dipersenjatai secukupnya. Namun masih kerap kali
terjadi bahwa para penumpang sampai di tempat tujuannya, barang-barang
bawaannya dirampok habis-habisan atau bahkan ada juga yang sama sekali tidak
sampai di tempat tujuannya karena dibunuh semuanya.
Menjelang malam para penumpang tiba di suatu tempat perhentian, tempat mereka
dapat bermalam. Di situ hanya terdapat sebuah gubuk dikelilingi oleh pohon
kaktus berduri. Di dalam pekarangan yang berpagar itu terdapat beberapa ekor
kuda dan keledai bertubuh kurus-kurus sedang makan rumput. Penghuni gubuk itu
seorang "kepala pos", seorang Mexico bertubuh kurus yang lebih menyerupai seorang
perampok atau pembunuh daripada orang baik-baik. Di samping jabatannya sebagai
kepala pos, ia pun mengusahakan sebuah "hotel pulque". Ini berarti bahwa ia
menampung air sari dari semacam pohon agave yang dimasukkan ke dalam kendi-kendi
kumal untuk dijadikan semacam arak. Minuman itu dijual dengan harga mahal kepada
para tamu, yang dapat melepas dahaga dengan meminumnya, meski pun dengan rasa
jijik. Amy merasa takut kepada orang itu. Lagi pula ia merasa jijik melihat gubuknya
itu, maka disiapkanlah sebuah tempat tidur di dalam kereta. Ketiga orang lakilaki lebih suka tidur di kolong langit. Malam itu malam yang cerah.
Bintang-bintang di langit bergemerlapan bagaikan intan dan bau harum tercium
keluar dari tanah. Amy dan Mariano telah memisahkan diri dari kelompok dan
berjalan-jalan di dalam pekarangan yang berpagar. Mereka berjalan bergandengan
tangan, hati mereka penuh dengan kebahagiaan, namun mereka tidak dapat menemukan
kata-kata untuk mengutarakannya. Akhirnya kata Amy perlahan, "Lama benar
kunantikan setelah kejadian-kejadian di Rodriganda hingga kini."
"Itu merupakan masa penuh dengan bencana bagiku,"
bunyi jawabnya. "Dan bagiku suatu masa penuh kekhawatiran
tentangmu, Alfred." Tiba-tiba pemuda itu berhenti lalu berkata, "Janganlah
namakan aku Alfred. Namaku Mariano."
"Mariano?" "Benar. Alfred de Lautreville adalah nama samaranku."
Amy memandang dengan rasa heran kepadanya.
Setelah berdiam sejenak, tanyanya, "Itukah barangkali yang begitu menekan
jiwamu?" "Benarlah. Mari, kita duduk sebentar. Aku harus jujur terhadapmu."
"Dapatkah pengakuanmu itu ditangguhkan?"
"Tidak. Jiwaku begitu tertekan olehnya. Aku ingin bebas dari tekanan itu."
"Kau 'kan masih sakit" Jiwamu akan dibuat tegang olehnya."
"Jangan khawatir, Amy. Kekurangjujuranku terasa lebih berat lagi daripada
ingatanku kepada peristiwa-peristiwa yang berlalu itu."
Mereka duduk-duduk di atas sebuah batu besar dengan nyamannya. Setelah Mariano
diam sejenak, ia memulai,
"Kurasa, sudah pernah kau dengar sedikit tentang keturunanku dari Sternau."
"Benar. Di Rodriganda pernah ia membayangkan dan kemudian ia menulis surat
kepadaku tentang hal itu."
"Yah. Aku telah jadi korban suatu persekongkolan jahat dan sudah menjadi tugasku
untuk memecahkan soal itu.
Aku telah diculik dari orang tuaku lalu terdampar ke dalam sarang perampok."
Amy memekik karena terkejutnya. "Dalam sarang perampok"
Benarkah itu?" "Benar. Aku telah dibesarkan di kalangan perampok."
Itu sekali-kali tidak terduga oleh Amy. Ia menarik nafas panjang, namun tidak
dapat mengucapkan kata-kata.
Sikap diam Amy terasa berat oleh pemuda itu, maka ia melepaskan diri dari
pegangan kekasihnya lalu berkata,
"Kau diam saja. Jadi kau memandang hina aku. Itulah sesungguhnya yang kutakuti!"
Amy memegang kembali tangan kekasihnya lalu
bertanya, "Tetapi bukankah di luar Kemauanmu bahwa kau hidup di kalangan orang
jahat itu?" "Benar, karena ketika itu aku masih seorang anak kecil.
Lagi pula meski pun aku hidup di tengah-tengah mereka, namun aku tidak
dibesarkan seperti mereka. Belum pernah aku melakukan perbuatan menentang
hukum." "Alhamdulillah. Tetapi aku kurang mengerti, bagaimana mungkin kau yang hidup
bersama perampok kemudian menjadi orang yang seperti kukenal itu."
"Karena kepala perampok mempunyai rencana tertentu denganku. Ia membesarkan
sesuai adat kebiasaan yang terdapat dalam kalangan ningrat. Satu-satunya
perbuatanku yang melanggar hukum ialah memakai nama palsu. Itu telah aku lakukan
di Rodriganda." "Namun itu karena terpaksa, bukankah begitu, Mariano?"
Itulah pertama kali Amy mengucapkan nama itu.
Mariano memegang tangan kekasihnya, menekankannya kepada hatinya lalu berkata
dengan terbata-bata, "Terima kasih, Amy, terima kasih! Kau begitu baik
terhadapku. Kini aku mempunyai keberanian untuk menceriterakan segalanya yang
sampai sekarang begitu berat menekan jiwaku."
Ia mendekatkan gadis itu padanya lalu berceritera: tentang ingatannya mengenai
masa kanak-kanaknya, tentang hidupnya bersama kaum perampok dan tentang segala
sesuatu yang terjadi kemudian. Lama ia berceritera, juga tentang kecerdasan
Sternau dalam menguraikan persoalan dan menarik kesimpulan. Setelah ia selesai,
maka Amy memeluk kekasihnya dan berkata, "Terima kasih untuk keterbukaan hatimu.
Kini semuanya sudah beres, karena aku tahu bahwa kau benar-benar patut aku
menaruh cinta. Tuhan akan memberikan segalanya menjadi baik bagi kita."
"Dan bagaimana dengan ayahmu...?" tanya Mariano.
"Jangan khawatir! Ayah selalu adil dan bermurah hati dan ia sangat menyayangiku.
Ia akan selalu berlaku sesuai
dengan hati nuraninya sebagai seorang ayah yang mencintai putrinya."
Sepasang asyik masyuk itu masih duduk-duduk beberapa lamanya lagi di situ
tenggelam dalam mimpi kebahagiaan. Kemudian mereka kembali lagi bergabung dengan
Iblis Penghela Kereta 2 Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Rahasia Hiolo Kumala 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama