Ceritasilat Novel Online

Twilight 7

Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 7


sebenarnya mereka mengawasiku. Lirikan cepat mereka mengikuti setiap gerakanku.
Benar-benar tak ada harapan. Apakah aku lari saja" Apakah mereka berani
menggunakan kemampuan mereka untuk menghentikanku di tempat umum seperti ini"
Atau mereka hanya mengikuti"
Aku mengeluarkan surat tak beralamat itu dari sakuku dan meletakkannya di atas
tas kulit hitam Alice. Ia menatapku
"Suratku," kataku. Ia mengangguk, menyelipkannya di balik penutup bagian atas.
Edward akan segera menemukannya.
Menit-menit berlalu dan waktu kedatangan Edward semakin dekat. Betapa
menakjubkan, setiap sel tubuhku sepertinya mengetahui kedatangannya,
menginginkan kedatangannya. Itu membuatnya sangat sulit. Aku mendapati diriku
memikirkan alasan untuk tetap tinggal, untuk melihatnya dulu, baru melarikan
diri. Tapi aku tahu akan mustahil kabur jika Edward sudah di sini.
Beberapa kali Alice menawarkan menemaniku membeli sarapan. Aku memberitahunya
belum ingin sarapan. Aku memandang papan jadwal kedatangan, memerhatikan saat penerbangan demi
penerbangan tiba tepat waktu. Penerbangan dari Seattle merangkak mendekati baris teratas.
Ketika aku hanya punya tiga puluh menit untuk melarikan diri, angka-angka itu
berubah. Pesawatnya tiba sepuluh menit lebih cepat. Aku tak punya waktu lagi.
"Kurasa aku mau makan sekarang" kataku buru-buru.
Alice berdiri. "Aku ikut bersamamu."
"Kau keberatan kalau Jasper saja yang menemaniku?" tanyaku. "Aku merasa
sedikit... " Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Mataku cukup liar sehingga bisa
menyampaikan apa yang tidak kukatakan.
Jasper bangkit berdiri. Mata Alice tampak bingung tapi yang membuatku lega - ia
tidak curiga. Ia pasti menganggap perubahan dalam penglihatannya sebagai hasil
rencana si pemburu, bukannya pengkhianatanku.
Jasper berjalan tanpa suara di sisiku, tangannya di punggungku, seolah
membimbingku. Aku berpura-pura tidak tertarik pada beberapa kafe yang mula-mula
kami lihat, pandanganku mencari-cari apa yang sesungguhnya kuinginkan. Dan di
sanalah, di belokan, di luar jangkauan mata Alice yang tajam: toilet wanita
lantai tiga. "Kau keberatan?" tanyaku pada Jasper saat kami melintasinya. "Aku tidak bakal
lama." Begitu pintu menutup di belakang aku lari. Aku ingat saat tersesat dari kamar
mandi ini karena pintunya ada dua.
Pintu yang lain tak jauh dari lift. Aku hanya perlu lari sebentar, dan kalau
Jasper tetap menunggu di tempat, ia takkan bisa melihatku. Aku tidak menoleh ke
belakang saat berlari. Ini satu-satunya kesempatanku, bahkan kalaupun Jasper
melihat, aku harus terus berlari. Orang-Orang
menatapku, tapi aku mengabaikannya. Di belokan lift sudah menanti, dan aku
berlari, mengulurkan tangan di antara pintunya yang hampir menutup. Lift itu
penuh sesak oleh orang-orang yang akan turun. Aku menyelinap di antara para
pengguna lift yang kesal, dan memastikan tombol lantai satu telah ditekan. Sudah
menyala, dan pintu lift pun menutup.
Begitu pintunya membuka, aku lari lagi meninggalkan gerutuan jengkel di
belakangku. Aku memperlambat lariku saat melewati petugas sekuriti di rel
pemindai koper, dan lari lagi begitu mendekati pintu keluar. Aku tidak tahu
apakah Jasper sudah mulai mencariku atau belum. Aku hanya punya bebrrapa detik
kalau ia mengikuti bau tubuhku. Aku melompat keluar dari pintu otomatis, nyaris
menabrak kacanya ketika pintu itu membuka terlalu pelan.
Tak ada taksi satu pun. Aku tak punya waktu. Alice dan Jasper entah hampir menyadari aku menghilang,
atau malah sudah. Mereka akan menemukanku dalam sekejap.
Pintu shuttle menuju Hyart sedang menutup, jaraknya beberapa meter di
belakangku. "Tunggu!" aku berseru, melambai-lambai ke arah pengemudinya.
"Ini shuttle ke Hyart," si pengemudi berseru bingung saat membukakan pintu.
"Ya," napasku tersengal-sengal, "itu tujuanku." Aku bergegas menaiki undakannya.
Ia ragu-ragu melihatku tidak membawa bawaan, tapi kemudian mengangkat bahu, tak
mau repot-repot bertanya.
Kebanyakan kursinya kosong. Aku duduk sejauh mungkin dari penumpang lain dan
memandang ke luar jendela saat mula-mula jalan setapak, kemudian bandaranya,
melesat dari pandangan. Aku tak bisa menahan diri membayangkan Edward berdiri di
ujung jalan saat menemukan ujung jejakku. Aku belum boleh menangis, aku
mengingatkan diri. Jalan yang harus kulalui masih panjang.
Keberuntungan masih bersamaku. Di depan Hyatt, pasangan yang kelelahan tampak
mengeluarkan koper terakhir dari bagasi taksi. Aku melompat dari shuttle dan
berlari ke taksi, menyelinap ke jok di belakang pengemudi. Pasangan itu dan si
pengemudi shuttle menatapku.
Kuberitahu sopir taksi yang terkejut itu alamat ibuku. "Aku harus tiba di sana
secepat mungkin." "Itu di Scottsdale," protesnya.
Aku melempar empat dua puluh dolaran ke kursi di sebelahnya.
'Apakah itu cukup?" "Tentu, Nak, tidak masalah."
Aku bersandar lagi di jok, melipat tangan di pangkuan, Kota yang familier mulai
melesat di sekelilingku, tapi aku tidak memandang ke luar jendela. Aku memaksa
diriku tetap penuh kendali. Kuputuskan untuk tidak menyerah, mengingat rencanaku
sudah berjalan dengan baik. Tak ada gunanya larut dalam ketakutan, juga
kekhawatiran. Takdirku telah ditentukan Sekarang aku hanya tinggal mengikutinya.
Jadi. Sebagai ganti panik aku memejamkan mata dan menghabiskan dua puluh menit
perjalanan itu bersama Edward.
Aku membayangkan tetap tinggal di bandara untuk bertemu Edward. Aku membayangkan
aku berdiri berjinjit untuk melihat wajahnya lebih dulu. Betapa luwes dan anggun
gerakannya di antara keramaian orang yang memisahkan kami. Kemudian aku lari
mendekat - kikuk seperti biasa-dan aku pun berada dalam pelukan tangan
pualamnya, akhirnya aman.
Aku bertanya-tanya ke mana kami akan pergi. Ke suatu tempat di utara, agar ia
bisa keluar di siang hari. Atau mungkin di tempat yang sangat terpencil, supaya
kami bisa berbaring di bawah matahari bersama-sama lagi. Aku membayangkannya di
pantai, kulitnya berkilauan bagai air laut. Tak peduli betapa lamanya kami harus
bersembunyi. Terperangkap dalam kamar hotel bersamanya akan menjadi surga dunia
bagiku. Aku masih menyimpan banyak sekali pertanyaan untuknya. Aku bisa
mengobrol dengannya selamanya, tak pernah tidur, tak pernah meninggalkan
sisinya. Bisa kulihat wajahnya dengan sangat jelas sekarang...bahkan mendengar suaranya.
Dan terlepas dari semua ketakutan dan keputusasaanku, aku merasa bahagia. Aku
begitu larut dalam lamunan, sehingga tak menyadari betapa cepat waktu berlalu.
"Hei, berapa nomornya"'
Pertanyaan sopir taksi membuyarkan lamunanku, dan bayangan indahku pun lenyap.
Rasa ngeri yang dingin dan tanpa kompromi menanti untuk mengisi ruang kosong
yang ditinggalkannya. "Lima-delapan-dua-satu." Suaraku tercekat. Sopir taksi menatapku, khawatir aku
sakit atau apa. "Kalau begitu, kita sudah sampai." Ia ingin sekali mengeluarkanku dari mobilnya,
barangkali berharap aku takkan meminta kembalian.
"Terima kasih," bisikku. Tak ada alasan untuk takut, aku mengingatkan diriku
sendiri. Rumahnya kosong. Aku harus bergegas; ibuku menantiku, ketakutan,
mengandalkan aku. Aku lari ke pintu, mengulurkan tangan ke atasnya dan mengambil kunci. Kubuka
pintunya. Di dalam gelap, kosong, normal. Aku berlari menghampiri telepon seraya
menyalakan lampu dapur. Di sana, di whiteboard, tampak sepuluh digit angka yang
rapi. Jemariku gemetaran menekan nomor itu, beberapa kali keliru. Aku harus
menutup dan memulai lagi. Kali ini aku hanya berkonsentrasi pada tomboltombolnya, dengan saksama menekannya satu per satu. Berhasil. Aku mendekatkan
gagang telepon ke telinga dengan tangan gemetar. Hanya berdering satu kali.
"Halo, Bella," suara tenang itu menyambut di ujung telepon. "Ini sangat cepat.
Aku terkesan." "Apakah ibuku baik-baik saja?"
"Dia sangat baik-baik. Jangan khawatir, Bella, aku sama sekali tak punya masalah
dengannya. Kecuali kau tidak datang sendirian, tentunya." Ringan, senang.
"Aku sendirian." Aku tak pernah sesendiri ini seumur hidupku.
"Bagus sekali. Sekarang, kau tahu studio balet di belokan dekat rumahmu?"
"Ya, aku tahu jalan ke sana."
" Well kalau begitu, kita akan bertemu sebentar lagi"
Aku menutup telepon. Aku lari meninggalkan ruangan, melewati pintu muka, menuju panas yang menyengat.
Tak ada waktu untuk menoleh dan memandang rumahku, dan aku tak ingin melihatnya
seperti saat ini- kosong, simbol rasa takut dan bukannya tempat berlindung.
Orang terakhir yang memasuki ruang-ruang yang sangat kukenal itu adalah musuhku.
Dari sudut mata aku nyaris bisa melihat ibuku berdiri di bawah bayangan pohon
kayu putih tempat aku biasa bermain ketika masih kanak-kanak. Atau berlutut di
gundukan tanah di sekitar kotak pos, makam segala macam bunga yang coba ditanam
Mom. Ingatan-ingatan itu lebih baik daripada kenyataan mana pun yang bakal
kulihat hari ini. Tapi aku menjauh dari semua itu, menuju belokan, meninggalkan
semua di belakangku. Aku merasa sangat lamban, seperti berlari di pasir basah - seolah-olah aku tak
memiliki kekuatan untuk menyusuri jalanan ini. Beberapa kali aku terpeleset,
sekali jatuh, menahan tubuhku dengan tangan, lalu tertatih-tatih bergerak maju.
Tapi akhirnya aku sampai di ujung jalan. Tinggal satu ruas jalan lagi sekarang.
Aku berlari, peluh menetes-netes di wajahku, napasku terengah-engah. Sinar
matahari terasa panas di kulitku. Kelewat terang saat memantul di aspal putih
dan menyilaukan pandangan. Aku merasa terekspos habis-habisan. Lebih mengerikan
daripada yang pernah kubayangkan, aku kini mengharapkan hutan-hutan hijau Forks
yang protektif rumahku. Ketika berbelok di sudut terakhir, menuju Jalan Cactus aku bisa melihat studio
itu, seperti yang selama ini kuingat Lapangan parkir di depannya kosong, semua
kerai jendela tertutup. Aku tak bisa lari lagi - aku tak sanggup bernapas,
kelelahan dan ketakutan mengalahkanku. Aku memikirkan ibuku agar bisa terus
bergerak, langkah demi langkah.
Ketika semakin dekat, aku bisa melihat tanda di balik pintu. Ditulis tangan di
atas kertas pink menyala, tulisan itu berbunyi "studio tari ditutup selama libur
musim semi". Kusentuh gagang pintunya, menariknya membuka perlahan. Tidak
dikunci. Aku berusaha mengatur napas, dan membuka pintu.
Lobi gelap dan kosong sejuk, terdengar deru suara pendingin ruangan. Kursi
plastik lipat ditumpuk sepanjang dinding karpetnya beraroma sampo. Lantai dansa
sebelah barat gelap, aku bisa melihatnya lewat jendela yang terbuka. Lampu-lampu
di lantai dansa sebelah timur yang lebih besar menyala, tapi kerai jendelanya
tertutup. Ketakutan mencengkeramku begitu kuat hingga seperti menjeratku. Aku tak bisa
memaksa kakiku melangkah.
Kemudian suara ibuku memanggil.
"Bella" Bella?" Nada histeris yang sama. Aku berlari ke pintu, menuju sumber
suara. "Bella, kau membuatku takut! Jangan pernah lakukan itu lagi?" Suaranya berlanjut
ketika aku berlari memasuki ruangan panjang berlangit-langit tinggi itu.
Aku memandang sekelilingku, berusaha menemukan dan mana datangnya suara Mom. Aku
mendengarnya tertawa, dan aku pun berputar menghadap ke arah suara itu.
Di sanalah dia, di layar televisi, mengacak-acak rambutku merasa lega. Rekaman
itu diambil saat Thanksgiving, waktu usiaku dua belas. Kami pergi mengunjungi
nenekku di California, itu tahun terakhir sebelum ia meninggal. Suatu hari kami
ke pantai, dan aku menjulurkan tubuhku terlalu jauh ke bibir dermaga. Ia
melihatku nyaris jatuh, berusaha menggapai keseimbangan. "Bella" Bella?" ia
memanggilku ketakutan. Kemudian layar televisi berubah jadi biru.
Perlahan-lahan aku berbalik. James berdiri mematung di ambang pintu belakang,
begitu kaku hingga awalnya aku tak mengenalinya. Ia memegang remote control.
Lama kami bertatapan, kemudian ia tersenyum.
Ia berjalan menghampiriku, lumayan dekat, lalu melewatiku untuk meletakkan
remote di sebelah VCR. Aku hati-hati berbalik, memerhatikannya.
"Maafkan hal tadi, Bella, tapi tidakkah lebih baik kalau ibumu tak perlu
terlibat urusan kita?" Suaranya sopan, ramah.
Dan tiba-tiba aku tersadar. Ibuku aman. Ia masih di Florida. Ia tak pernah
menerima pesanku. Ia tak pernah dibuat ketakutan oleh mata merah gelap milik
wajah amat pucat di depanku ini. Ibuku aman.
"Ya," aku menjawab, suaraku lega.
"Kau tak terdengar marah meskipun aku telah mengelabuimu."
"Memang tidak." Suaraku yang tiba-tiba meninggi memicu keberanianku. Apa artinya
sekarang" Sebentar lagi segalanya bakal berakhir. Charlie dan Mom takkan pernah
terluka, tak perlu merasa takut. Aku nyaris pusing. Bagian analitis dalam
benakku mengingatkan bahwa aku nyaris meledak akibat tekanan yang kurasakan.
"Betapa aneh. Kau benar-benar tulus dengan perkataanmu" Matanya yang gelap
menilaiku dengan sangat tertarik. Iris nyaris hitam, hanya ada sedikit nuansa
kemerahan di sekelilingnya. Haus. "Kalian manusia bisa lumayan menarik. Kurasa
aku bisa membayangkan gambaranmu. Mengagumkan - sebagian kalian sepertinya sama
sekali tidak memikirkan kepentingan sendiri."
Ia berdiri beberapa meter dariku, tangan dilipat, menatapku dengan sorot
penasaran. Tak ada kebengisan pada wajah atau sikap tubuhnya. Tampangnya sangat
biasa, sama sekali tak ada yang istimewa pada wajah maupun tubuhnya. Hanya
kulitnya yang putih dan mata berkantong yang sudah biasa bagiku. Ia mengenakan
kaus lengan panjang biru pucat dan jins belel.
"Kurasa kau akan memberitahuku bahwa kekasihmu akan membalaskan dendam untukmu?"
ia bertanya, dan bagiku ia seperti berharap-harap.
"Tidak, kurasa tidak. Setidaknya, aku memintanya untuk tidak melakukannya."
"Apa katanya?" "Aku tidak tahu." Rasanya aneh sekali bisa berkomunikasi dengan pemburu yang
sopan ini. "Aku meninggalkan surat untuknya."
"Betapa romantis, surat terakhir. Dan menurutmu dia akan menghargainya?"
Suaranya hanya sedikit tegang sekarang nada sinis mewarnai nada bicaranya yang
sopan. "Kuharap begitu."
"Hmmm. Well, kalau begitu harapan kita berbeda. Kau tahu, semua ini sedikit
terlalu mudah, kelewat cepat. Sejujurnya, aku kecewa. Aku mengharapkan tantangan
yang lebih besar. Lagi pula, aku hanya memerlukan sedikit keberuntungan."
Aku menunggu dalam diam. "Ketika Victoria tak dapat menyentuh ayahmu, aku menyuruhnya mencari tahu lebih
banyak tentangmu. Tak ada gunanya berlari mengejarmu ke seluruh dunia padahal
aku bisa menunggu nyaman di tempat yang kutentukan. Jadi, setelah berbicara
dengan Victoria, kuputuskan untuk pergi ke Phoenix mengunjungi ibumu. Kudengar
kau ingin pulang. Awalnya, aku tak pernah mengira kau bersungguh-sungguh.
Kemudian aku bertanya-tanya. Manusia bisa sangat mudah ditebak; mereka suka
berada di tempat familier, tempat aman. Dan bukankah ini rencana yang sempurna,
pergi ke tempat terakhir yang mungkin menjadi tempat persembunyianmu-tempat yang
katamu akan kaudatangi. "Tapi tentu saja aku tidak yakin, itu hanya dugaan. Aku biasanya punya insting
mengenai mangsa yang kuburu, kau boleh menyebutnya indra keenam. Aku
mendengarkan pesanmu setibanya di rumah ibumu, tapi tentu saja aku tak yakin
dari mana kau menelepon. Memiliki nomormu tentu sangat berguna, tapi kau bisa
saja berada di Antartika, dan permainan ini takkan berjalan kecuali kau di
dekat-dekat sini. "Kemudian kekasihmu naik pesawat ke Phoenix. Victoria mengawasi mereka untukku,
tentu saja. Dalam sebuah permainan dengan banyak pemain, aku tak bisa bekerja
sendirian, Jadi mereka memberitahu apa yang kuharapkan, bahwa kau ada di sini.
Aku sudah siap; aku telah menyaksikan semua video rekamanmu yang menarik.
Kemudian tinggal sedikit gertakan saja."
"Sangat mudah, kau tahu, tidak terlalu memenuhi standarku. Jadi. Begini, kuharap
kau salah mengena, kekasihmu. Edward. Bukan?"
Aku tak menyahut. Nyaliku benar-benar ciut. Aku punya firasat sebentar lagi ia
akan mencapai tujuannya yang sebenarnya. Dan kemenangannya sama sekali tak ada
hubungannya denganku. Tak ada kepuasan dalam mengalahkan diriku, manusia lemah
ini. "Apakah kau sangat keberatan kalau aku meninggalkan pesan untuk Edward-mu?"
Ia mundur selangkah dan menyentuh video kamera digital seukuran telapak tangan,
dengan hati-hati meletakkannya di atas stereo. Nyala lampu merah kecil
menandakan alat itu sudah mulai merekam. Ia mengaturnya beberapa kali,
melebarkan lensanya. Aku menatapnya ngeri.
"Maafkan aku, tapi aku hanya berpikir dia takkan mampu menahan diri untuk tidak


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memburuku setelah menyaksikan ini. Dan aku tak ingin dia melewatkan apa pun.
Tentu saja, ini semua untuknya. Kau hanya manusia, yang sayang sekali berada di
tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan tak diragukan lagi, boleh
kutambahkan, berada bersama kelompok yang salah."
Ia menghampiriku, tersenyum. "Sebelum kita mulai..."
Perutku mual ketika ia berbicara. Sesuatu yang tidak kuperkirakan.
"Aku senang memanas-manasi sedikit. Sebenarnya jawabannya sudah ada di sana
selama ini, dan aku begitu takut Edward akan mengetahuinya dan merusak
kesenanganku. Hal seperti itu pernah terjadi, oh, sudah lama sekali. Satusatunya mangsaku yang berhasil kabur dariku.
"Kau tahu, vampir yang begitu tololnya untuk jatuh cinta pada korban kecilnya
ini mengambil keputusan yang tak sanggup diambil oleh Edward-mu yang lemah itu.
Ketika vampir tua itu tahu aku mengincar teman kecilnya, dia menculik gadis itu
dari rumah sakit jiwa tempatnya bekerja - aku takkan pernah mengerti obsesi yang
dimiliki beberapa vampir terhadap kalian manusia - dan begitu vampir tua itu
membebaskannya, dia membuat gadis itu aman. Gadis itu sepertinya bahkan tidak
merasakan sakitnya, makhluk kecil malang. Dia telah terperangkap di lubang hitam
itu terlalu lama. Ratusan tahun sebelumnya dia bisa saja dibakar karena
penglihatannya. Pada tahun 1920-an, hukumannya adalah rumah sakit jiwa dan
terapi syok. Ketika gadis itu membuka mata, kemudaannya yang baru membuatnya
kuat, seolah-olah dia belum pernah melihat matahari. Si vampir tua menjadikannya
vampir baru yang kuat, dan tak ada alasan lagi bagiku untuk menyentuhnya." Ia
mendesah. "Sebagai balas dendam, aku menghancurkan si vampir tua."
"Alice," desahku, terkejut.
"Ya, teman kecilmu. Aku terkejut melihatnya di lapangan itu. Jadi kurasa
pengalaman ini tidak buruk-buruk amat bagi kelompoknya. Aku mendapatkanmu, tapi
mereka mendapatkannya. Satu-satunya korban yang berhasil kabur dariku. Suatu
kehormatan, sebenarnya. "Dan aromanya memang sangat lezat, aku masih menyesal tak sempat mencicipinya...
Aromanya bahkan lebih lezat daripada kau. Maaf - aku tak bermaksud
menyinggungmu. Aroma tubuhmu sangat menyenangkan. Bunga-bungaan, bagaimanapun...
" Ia maju selangkah lagi, sampai jaraknya tinggal beberapa senti. Ia mengangkat
beberapa helai rambutku dan mengendusnya dengan lembut. Lalu perlahan-lahan ia
mengembalikannya lagi di tempat semula, dan aku merasakan ujung jarinya yang
dingin di leherku. Ia mengangkat tangannya dan mengelu pipiku sekilas dengan ibu
jarinya, wajahnya penasaran Aku ingin sekali menjauhkan diri darinya, tapi
tubuhku membeku Aku bahkan tak bisa beringsut.
"Tidak," gumamnya pada diri sendiri, lalu menjatuhkan tangannya, "aku tak
mengerti." Ia mendesah. "Well, kurasa kita selesaikan saja sekarang. Kemudian
aku bisa menelepon teman-temanmu dan memberitahu mereka di mana bisa
menemukanmu, dan pesan kecilku."
Aku benar-benar mual sekarang. Ada rasa sakit yang mendekat, dan aku bisa
melihat di matanya. Ia tidak akan puas hanya dengan menang memangsaku, lalu
pergi. Takkan berakhir cepat seperti yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku
khawatir bakal jatuh. Ia melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, dengan wajar, seakan-akan mencari
sudut pandang yang lebih baik dari patung di museum. Wajahnya masih ramah dan
terbuka saat memutuskan dari mana harus memulai.
Kemudian ia mencondongkan tubuh, dan senyumnya yang menawan perlahan melebar,
semakin lebar, hingga tidak menyerupai senyuman sama sekali melainkan deretan
gigi, terpapar jelas dan berkilauan.
Aku tak dapat menahan diri-aku mencoba lari. Sama sia-sianya seperti yang
kuperkirakan, selemah lututku saat itu. Kepanikan menguasaiku dan aku melesat ke
pintu darurat. Dalam sekejap ia sudah di depanku. Aku tidak melihat apakah ia menggunakan
tangan atau kakinya, terlalu cepat. Entakan keras menghantam dadaku-tubuhku
melayang ke belakang dan aku mendengar suara pecahan saat kepalaku menghantam
cermin. Kacanya hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan dan
bertebaran di lantai di sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit. Aku tak bisa bernapas,
perlahan-lahan ia menghampiriku.
"Itu efek yang sangat menyenangkan," katanya, mengamati kaca-kaca yang
berserakan, suaranya kembali ramah. "Kupikir ruangan ini cukup dramatis untuk
film sederhanaku. Itu sebabnya aku memilih tempat ini untuk berjumpa denganmu.
Sempurna, ya kan?" Aku mengabaikannya, dengan tangan dan lutut aku merangkak ke pintu lain.
Ia langsung menghadangku, kakinya menginjak kakiku. Aku mendengar suara keretak
itu sebelum merasakannya. Tapi kemudian aku merasakannya, dan aku tak dapat
menahan jerit kesakitanku. Aku berbalik untuk meraih kakiku, dan ia berdiri
menjulang di atasku, tersenyum.
"Apakah kau mau memikirkan kembali permintaan terakhirmu?" tanyanya ramah. Ibu
jari kakinya menekan kakiku yang patah dan aku mendengar lengkingan kesakitan.
Aku terkejut menyadari akulah yang menjerit itu.
"Tidakkah kau lebih ingin Edward berusaha mencariku?" ujarnya.
"Tidak!" seruku parau. "Tidak, jangan Edward -" Lalu sesuatu menghantam wajahku,
melemparkanku kembali ke cermin yang sudah pecah.
Selain sakit di kakiku, aku merasakan robekan tajam di kulit kepalaku, di tempat
pecahan kaca itu menusukku. Cairan hangat mengalir deras di antara helai
rambutku. Aku bisa merasakannya membasahi bagian bahu kausku, mendengarnya
menetes-netes di lantai kayu di bawahku. Aromanya membuatku mual.
Dalam keadaan pusing dan mual aku melihat sesuatu yang tiba-tiba memberiku
secercah harapan terakhir. Matanya, yang sebelumnya penuh tekad, kini membara
dengan hasrat tak terkendali. Darah yang mengalir meninggalkan noda kemerahan di kaus putihku, dengan cepat menggenang di lantai membuatnya sinting karena dahaga. Terlepas dari tujuan awalnya, ia tak dapat
menahan diri lebih lama. Biarlah segera berlalu sekarang hanya itu yang bisa kuharapkan saat aliran darah
dari kepalaku mulai membuatku tak sadarkan diri. Mataku memejam.
Aku mendengar, seolah dari kedalaman air, raungan terakhir si pemburu. Aku bisa
melihat, lewat lorong panjang yang terbentuk di mataku, sosok gelapnya
menghampiriku. Dengan kekuatan terakhir, tanganku terangkat menutup wajah.
Mataku terpejam dan aku pun tak sadarkan diri.
23. MALAIKAT SAAT tak sadarkan diri, aku bermimpi.
Aku melayang-layang di bawah permukaan air yang gelap, dan mendengar suara
paling menyenangkan yang bisa ditangkap pikiranku - suara yang indah,
membahagiakan, sekaligus mengerikan. Suara geraman lain; lebih dalam, lebih
ganas, dan sarat amarah. Aku diseret naik, nyaris mencapai permukaan, oleh rasa sakit tajam yang menusuknusuk tanganku yang terulur, namun aku tak punya cukup tenaga untuk membuka
mata. Kemudian aku tahu aku sudah mati.
Karena, dari kedalaman air, aku mendengar suara malaikat memanggil namaku,
memanggilku ke satu-satunya surga yang kuinginkan.
"Oh, tidak, Bella, tidak!" malaikat itu berseru putus asa.
Di belakang ratapan itu ada suara lain-keributan mengerikan yang berusaha
kuhindarkan. Raungan penuh
ancaman, gelegar amarah yang mengerikan, dan lengkingan kesakitan, sekonyongkonyong pecah... Namun aku berusaha berkonsentrasi pada suara si malaikat.
"Bella, kumohon! Bella, dengar, kumohon, kumohon, Bella, kumohon!" ia memohon.
Aku ingin mengatakan ya. Apa saja. Tapi aku tak bisa mengucapkannya.
"Carlisle!" si malaikat berseru, kesedihan mendalam memenuhi suaranya yang
sempurna. "Bella, Bella, tidak, oh kumohon, tidak, tidak!" Dan si malaikat pun
menangis tersedu-sedu. Malaikat tak seharusnya menangis, itu tidak benar. Aku mencoba menemukannya,
memberitahunya semua baik-baik saja, tapi airnya sangat dalam hingga menekanku,
dan aku tak bisa bernapas.
Kepalaku seperti ditekan. Rasanya sakit. Kemudian, saat rasa nyeri itu menembus
kegelapan dan menggapaiku, aku merasakan sakit yang lain, lebih kuat. Aku
menjerit, tersengal-sengal keluar dari kolam yang gelap.
"Bella!" si malaikat berseru.
"Dia kehilangan banyak darah, tapi luka di kepalanya tidak terlalu dalam," suara
tenang itu memberitahuku. "Hati-hati kakinya patah."
Geram kemarahan nyata di bibir si malaikat.
Aku merasakan tusukan tajam di dadaku. Ini tidak mungkin surga, ya kan" Terlalu
banyak rasa sakit. "Kurasa beberapa rusuknya juga patah," pemilik suara merdu itu melanjutkan katakatanya. Tapi rasa sakit yang tajam itu telah lenyap. Ada rasa sakit baru, rasa terbakar
di tanganku yang mengalahkan semua rasa sakit yang kurasakan.
Seseorang membakarku. "Edward." Aku mencoba memberitahunya, tapi suaraku sangat pelan dan berat. Aku
tak bisa memahami diriku sendiri.
"Bella, kau akan baik-baik saja. Kau bisa mendengarku, Bella" Aku mencintaimu."
"Edward," aku mencoba lagi. Suaraku sedikit lebih jelas.
"Ya, aku di sini."
"Sakit," rengekku.
"Aku tahu, Bella, aku tahu"-kemudian, menjauh dariku, terdengar amat sangat
ketakutan- "tak bisakah kau melakukan sesuatu?"
"Tolong ambilkan tasku... Tenangkan dirimu, Alice, itu akan membantu," Carlisle
berjanji. "Alice?" erangku.
"Dia di sini, dia tahu di mana menemukanmu."
"Tanganku sakit," aku mencoba memberitahunya.
"Aku tahu, Bella. Carlisle akan memberimu sesuatu, rasa sakitnya akan berhenti."
"Tanganku terbakar!" aku berteriak, akhirnya terbebas dari kegelapan, mataku
perlahan-lahan membuka. Aku tak dapat melihat wajah Edward, sesuatu yang gelap
dan hangat membayangi mataku. Kenapa mereka tak bisa melihat apinya dan
memadamkannya" Suaranya terdengar ngeri. "Bella?"
"Apinya! Tolong matikan apinya!" aku menjerit saat rasa panas itu membakarku.
"Carlisle! Tangannya!"
"Dia menggigitnya." Suara Carlisle tak lagi tenang melainkan terkejut.
Aku mendengar Edward menghela napas ngeri.
"Edward, kau harus melakukannya." Itu suara Alice, di dekat kepalaku, jari-jari
dingin mengusap kelembaban di kedua mataku.
"Tidak!" ia berteriak.
"Alice," aku mengerang.
"Mungkin ada kesempatan," kata Carlisle.
"Apa?" Edward memohon.
"Coba lihat apakah kau bisa mengisap racunnya keluar. Lukanya cukup bersih."
Saat Carlisle bicara, aku bisa merasakan kepalaku semakin tertekan, ada yang
berdenyut-denyut di kulit kepalaku. Rasa sakitnya kalah oleh rasa sakit yang
ditimbulkan api itu. "Apakah akan berhasil?" tanya Alice tegang.
"Aku tidak tahu," sahut Carlisle. "Tapi kita harus bergegas."
"Carlisle, aku... " Edward ragu. "Aku tak tahu apakah aku bisa melakukannya."
Ada kepedihan dalam suara indahnya lagi.
"Itu keputusanmu, Edward, apa pun itu. Aku tak bisa menolongmu. Aku harus
menghentikan perdarahannya, kalau kau akan mengisap darah dari tangannya."
Aku menggeliat dalam cengkeraman rasa sakit yang kuat, membuat rasa sakit di
kakiku muncul kembali. "Edward!" jeritku. Aku tahu mataku kembali terpejam. Aku membukanya, begitu
putus asa ingin menemukan wajahnya. Dan aku melihatnya. Akhirnya, aku melihat
wajahnya yang sempurna memandangku, pergulatan antara kebimbangan dan kepedihan
tampak nyata di sana. "Alice, cari sesuatu untuk menahan kakinya!" Carlisle membungkuk di depanku,
membereskan luka di kepalaku. "Edward, kau harus melakukannya sekarang atau akan
terlambat." Wajah Edward tampak lelah. Aku memerhatikan matanya saat kebimbangan itu tibatiba berganti menjadi tekad yang membara. Rahangnya mengeras. Aku merasakan
jemarinya yang kuat dan sejuk di tanganku yang terbakar, menahannya. Kemudian
kepalanya menunduk ke atasnya, bibirnya yang dingin menekan kulitku.
Awalnya rasa sakit itu semakin parah. Aku menjerit dan meronta dari cengkeraman
sejuk yang menahanku. Aku mendengar suara Alice, berusaha menenangkan diri.
Sesuatu yang berat menekan kakiku di lantai, dan Carlisle menahan kepalaku
dengan tangannya yang keras bagai batu.
Kemudian, perlahan, saat tanganku mati rasa, aku pun tenang. Sengatan terbakar
di tanganku mulai berkurang hingga tak lagi terasa.
Aku mulai sadarkan diri saat rasa sakit itu lenyap. Aku takut jatuh lagi ke
dalam air yang gelap, takut akan kehilangan dirinya di kegelapan.
"Edward," aku mencoba bicara, tapi tak dapat mendengar suaraku. Namun mereka
bisa. "Dia di sini, Bella."
"Tinggallah, Edward, tinggallah bersamaku... "
"Ya, aku akan bersamamu." Suaranya tegang tapi terselip nada kemenangan di sana.
Aku mendesah bahagia. Api itu lenyap, rasa sakit yang lain memudar berganti rasa
kantuk yang menyelimuti diriku.
"Sudah keluar semua?" Carlisle bertanya dari jauh.
"Darahnya bersih," kata Edward pelan. "Aku bisa merasakan obat penghilang
sakitnya." "Bella?" Carlisle mencoba memanggilku.
Aku berusaha menjawabnya. "Mmmm?"
"Apakah apinya sudah hilang?"
"Ya." Desahku. "Terima kasih, Edward."
"Aku mencintaimu," jawabnya.
"Aku tahu," aku menghela napas, rasanya sangat lelah.
Aku mendengar suara favoritku di dunia ini: tawa pelan Edward. Letih karena
perasaan lega. "Bella?" Carlisle bertanya lagi.
Dahiku berkerut; aku ingin tidur. "Apa?"
"Di mana ibumu?"
"Di Florida," aku mendesah. "Dia mengelabuiku, Edward. Dia menonton video
rekaman kami." Kemarahan dalam suaraku terdengar lemah.
Tapi itu membuatku teringat.
'Alice." Aku mencoba membuka mata. "Alice, videonya - dia tahu tentang kau,
Alice, dia tahu dari mana asalmu." Aku bermaksud mengatakannya saat ini juga,
tapi suaraku lemah. "Aku mencium bau bensin," aku
menambahkan, tersadar dari kabut yang menggayuti pikiranku.
"Sudah saatnya memindahkannya," kata Carlisle.
"Tidak, aku ingin tidur," aku menolak.
"Kau bisa tidur, Sayang, aku akan menggendongmu," Edward menenangkanku.
Dan aku pun berada dalam pelukannya, meringkuk di dadanya - melayang-layang
semua sakitnya hilang. "Sekarang tidurlah. Bella," adalah kata-kata terakhir yang kudengar.
24. JALAN BUNTU KETIKA terbangun aku melihat cahaya putih terang. Aku berada di ruang yang asing
ruang putih. Dinding di sebelahku tertutup tirai yang memanjang dari atas hingga
bawah; di atas kepalaku, cahaya terang menyilaukan pandangan. Aku dibaringkan di
tempat tidur keras-dengan besi pengaman. Bantal-bantalnya kempis dan kasar. Ada
bunyi bip yang mengganggu tak jauh dariku. Aku berharap itu artinya aku masih
hidup. Kematian tak seharusnya tidak senyaman ini.
Tangan-tanganku dipenuhi slang infus, dan ada sesuatu direkatkan di wajahku, di
bawah hidung. Kuangkat tanganku untuk melepaskannya.
"Jangan, tidak boleh." Jari-jari dingin menangkap tanganku.
"Edward?" Aku menoleh sedikit, dan wajahnya yang indah hanya beberapa senti
dariku, ia meletakkan dagunya di ujung bantal. Sekali lagi aku menyadari diriku
masih hidup, kali ini dengan perasaan bersyukur dan bahagia. "Oh, Edward, aku
benar-benar menyesal!"
"Ssssttt." Ia menyuruhku diam. "Sekarang semuanya baik-baik saja."
"Apa yang terjadi?" Aku tak bisa mengingat jelas, dan pikiranku memberontak saat
mencoba mengingatnya. "Aku nyaris terlambat. Aku bisa saja terlambat," ia berbisik, suaranya terdengar
menyesal. "Aku bodoh sekali. Edward. Kupikir dia menyandera ibuku."
"Dia mengelabui kita semua."
"Aku harus menelepon Charlie dan ibuku," samar-samar aku ingat untuk
melakukannya.

Twilight Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alice sudah menelepon mereka. Renee ada di sini - well, di sini, di rumah sakit
ini. Dia sedang mencari makan."
"Dia di sini?" Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berputar makin menjadi, dan
tangannya dengan lembut menahanku di bantal.
"Sebentar lagi dia kembali," Edward berjanji. "Dan kau belum boleh bergerak."
"Tapi apa yang kaukatakan padanya?" tanyaku panik. Aku sama sekali tak ingin
ditenangkan. Ibuku ada di sini dan aku sedang dalam pemulihan setelah serangan
vampir. "Kenapa kau memberitahunya aku ada di sini?"
"Kau jatuh dari dua deret tangga lalu dari jendela." Ia berhenti. "Harus
kauakui, ini mungkin saja terjadi."
Aku mendesah dan rasanya nyeri sekali. Aku memandangi tubuhku di balik selimut,
kakiku bengkak. "Seberapa buruk keadaanku?" aku bertanya.
"Kakimu patah, begitu juga empat rusukmu, beberapa bagian tengkorakmu retak,
memar hampir di sekujur tubuh, dan kau kehilangan banyak darah. Mereka memberimu
transfusi. Aku tidak menyukainya - sesaat aromamu jadi berbeda."
"Itu pasti perubahan yang baik untukmu."
"Tidak, aku menyukai aromamu yang asli."
"Bagaimana kau melakukannya?" tanyaku pelan. Ia langsung tahu maksudku.
"Aku tak yakin." Ia memalingkan wajah dari tatapanku yang bertanya-tanya,
mengangkat tanganku yang dibalut perban dan menggenggamnya lembut dalam
tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai kabel yang terhubung dengan salah
satu monitor. Aku menunggu jawabannya dengan sabar.
Ia mendesah tanpa membalas tatapanku. "Rasanya mustahil... untuk berhenti," ia
berbisik. "Mustahil. Tapi aku melakukannya." Akhirnya ia memandangku, setengah
tersenyum. "Aku harus mencintaimu."
"Tidakkah rasaku seenak aromaku?" Aku balas tersenyum. Dan itu membuat wajahku
terasa sakit. "Lebih baik, bahkan - lebih baik daripada yang kubayangkan."
"Maafkan aku," ujarku menyesal.
Ia menatap langit-langit. "Dari semua yang perlu dimaafkan."
"Apa lagi yang harus kumintai maaf?"
"Karena nyaris mengenyahkan dirimu selamanya dariku."
"Maafkan aku," aku meminta maaf lagi.
"Aku tahu kenapa kau melakukannya." Suaranya menenangkan. "Tentu saja itu masih
tidak masuk akal. Kau seharusnya menungguku, seharusnya memberitahuku."
"Kau takkan membiarkanku pergi."
"Memang tidak." Ia menimpali dengan geram. "Takkan kubiarkan."
Beberapa ingatan yang sangat tak menyenangkan mulai menghantuiku. Aku merinding,
kemudian meringis. Edward langsung waswas.
"Ada apa, Bella?"
"Apa yang terjadi pada James?"
"Setelah aku menjauhkannya darimu, Emmett dan Jasper membereskannya." Katakatanya sarat dengan penyesalan yang sangat dalam.
Ini membingungkanku. "Aku tidak melihat Emmett dan Jasper di sana."
"Mereka harus meninggalkan ruangan... darahmu berceceran di mana-mana."
"Tapi kau tetap tinggal."
"Ya, kau tetap tinggal."
"Dan Alice dan Carlisle...?" aku bertanya-tanya.
"Mereka juga menyayangimu, kau tahu."
Kelebatan ingatan menyakitkan dari saat terakhir aku melihat Alice,
mengingatkanku akan sesuatu. "Apakah Alice melihat rekamannya?" tanyaku waswas.
"Ya." Suaranya berubah kelam, samar-samar menguarkan kebencian.
"Alice tak pernah mengerti, itu sebabnya dia tidak ingat."
"Aku tahu. Dia memahaminya sekarang." Suara Edward tenang tapi wajahnya kelam
oleh amarah. Aku mencoba meraih wajahnya dengan tanganku yang lain, tapi sesuatu
menghentikanku. Aku memandang ke bawah, melihat kantong transfusi menahan
tanganku. "Auw." Aku meringis.
"Ada apa?" tanyanya waswas-perhatiannya teralihkan, tapi hanya sedikit.
Kesedihan tak sepenuhnya memudar dari matanya.
"Jarum," aku menjelaskan, memalingkan pandang. Aku berkonsentrasi menatap
langit-langit dan berusaha menarik napas panjang dalam-dalam dan mengabaikan
nyeri di sekitar rusukku.
"Takut jarum," ia bergumam pelan pada dirinya sendiri, sambil menggeleng. "Oh,
vampir sadis yang berniat menyiksanya sampai mati, tentu, tidak masalah, dia
langsung lari menemuinya. Tapi jarum infus... "
Aku memutar bola mataku. Aku senang mengetahui setidaknya reaksi seperti ini
tidak menyakitkan. Kuputuskan untuk mengubah topik.
"Kenapa kau ada di sini?" aku bertanya.
Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan terpancar di matanya. Alisnya
bertaut saat wajahnya menekuk. "Kau ingin aku pergi?"
"Tidak!" protesku, ngeri membayangkannya. "Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir
kau ada di sini" Aku harus tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali."
"Oh," kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam. "Aku datang ke Phoenix
untuk berbicara dari hati ke hati. Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks."
Matanya yang lebar tampak jujur dan tulus, hingga aku sendiri nyaris
memercayainya. "Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku
menginap bersama Carlisle dan Alice- tentu saja aku ke sini dengan ditemani
orangtua," ia menambahkannya lugu, "tapi kau terpeleset ketika sedang naik
tangga menuju kamarku dan... well, kau tahu kelanjutannya. Tapi kau tak perlu
mengingat detailnya; kau punya alasan bagus untuk tidak mengingatnya dengan
jelas." Aku memikirkannya beberapa saat. "Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak
ada jendela yang pecah, misalnya.
"Tidak juga," katanya. "Alice terlalu banyak bersenang-senang ketika"
menciptakan barang bukti. Semua telah diatasi, kami membuatnya sangat meyakinkan
- barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu mengkhawatirkan
apa pun." Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling ringan. "Sekarang
tugasmu hanya sembuh."
Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau pengaruh obat hingga tak
bereaksi terhadap sentuhannya. Suara bip di monitor langsung bergerak tak
terkendali - sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa mendengar irama jantungku
yang mendadak liar. "Ini bakal memalukan," gumamku pada diri sendiri.
Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. "Hmmm, aku jadi penasaran... "
Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin cepat bahkan sebelum bibirnya
menyentuh bibirku. Tapi ketika akhirnya bibir kami bersentuhan, meskipun teramat
lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.
Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah lega saat monitor menunjukkan
jantungku berdetak lagi. "Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi denganmu daripada biasanya."
Dahinya berkerut. "Aku belum selesai menciummu," aku mengeluh. "Jangan buat aku pergi
menghampirimu." Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut bibirku. Monitor langsung
bergerak kacau lagi. Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri. "Kurasa aku mendengar ibumu,"
katanya, tersenyum. "Jangan tinggalkan aku," aku berseru, rasa panik yang tak masuk akal merasukiku.
Aku tak bisa membiarkannya pergi - ia mungkin akan menghilang dariku lagi.
Sekejap ia melihat ketakutan di mataku. "Aku takkan meninggalkanmu," ia
berjanji, sungguh-sungguh, kemudian tersenyum. "Aku akan tidur siang."
Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke sofa recliner dari kulit
sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu berbaring dan memejamkan
mata. Posisinya diam tak bergerak.
"Jangan lupa bernapas," bisikku sinis. Ia menarik napas panjang, matanya masih
terpejam. Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang berbicara dengan seseorang
barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan sedih. Ingin rasanya aku melompat
dari tempat tidur dan berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya
baik-baik saja. Tapi keadaanku tak
memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak sabar.
Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari sana.
"Mom!" aku berbisik, suaraku penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang
tertidur di sofa recliner dan berjingkat menghampiriku.
"Dia tak pernah pergi, ya kan?" gumamnya pada diri sendiri.
"Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!" Ia membungkuk dan memelukku lembut,
dan aku merasakan air mata hangat menetes di pipiku.
"Bella, aku sedih sekali!"
"Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik saja, tidak apa-apa," aku
mencoba menenangkannya. "Aku senang akhirnya kau tersadar." Ia duduk di tepi tempat tidur.
Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa. "Berapa lama aku tak sadarkan
diri?" "Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup lama."
"Jumat?" Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari ketika... tapi aku tak ingin
memikirkannya. "Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk sementara waktu, Sayang luka-lukamu parah sekali."
"Aku tahu." Aku bisa merasakannya.
"Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik, meskipun masih sangat muda. Dan
dia lebih mirip model daripada dokter... "
"Kau bertemu Carlisle?"
"Dan adik Edward, Alice. Dia gadis menyenangkan."
"Memang," aku menimpali sepenuh hati.
Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam. "Kau
tidak bilang punya teman-teman yang baik di Forks."
Aku tersenyum, kemudian mengerang.
"Apa yang sakit?" Mom bertanya waswas, kembali menghadapku.
Mata Edward berkilat menatapku.
"Tidak apa-apa," aku meyakinkan mereka. "Aku hanya perlu mengingat untuk tidak
bergerak." Edward kembali pura-pura tidur.
Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik. "Di mana Phil?" tanyaku cepat.
"Di Florida - oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat sebelum berangkat, kami
mendapat berita terbaik!"
"Phil mendapatkan kontrak?" aku menebaknya.
"Ya! Bagaimana kau tahu" The Suns, kau percaya?"
"Itu hebat, Mom," kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak
begitu mengerti apa artinya itu.
"Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville," Mom sibuk meracau sementara aku
hanya terpaku menatapnya. "Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan
Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku sangat membenci dingin,
tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak
seburuk itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan
bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa,
dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar mandimu
sendiri-" "Mom, tunggu sebentar!" selaku. Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan
terlalu tegang untuk bisa dibilang tidur. "Apa yang kaubicarakan" Aku takkan
pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks."
"Tapi kau tak perlu lagi, dasar bodoh," ia tertawa. "Phil bisa tinggal bersama
kita lebih sering lagi sekarang... kami sudah sering membicarakannya, dan kalau
dia harus melakukan perjalanan jauh, aku akan tinggal separuh waktu denganmu dan
separuh lagi dengannya."
"Mom." Aku meragu, bertanya-tanya bagaimana bersikap diplomatis tentang hal ini.
"Aku ingin tinggal di Forks. Aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik di
sekolah, dan aku punya beberapa teman cewek"-ia melirik ke arah Edward lagi saat
aku mengingatkannya aku punya teman, jadi aku mencoba alasan lain-"dan Charlie
membutuhkanku. Dia sebatang kara di sana, dan dia sama sekali tak bisa memasak."
"Kau mau tinggal di Forks?" tanyanya, heran. Ide ini tak terbayangkan olehnya.
Lalu matanya kembali melirik Edward. "Kenapa?"
"Sudah kubilang - sekolah, Charlie-aduh!" Aku mengangkat bahu. Bukan ide bagus.
Tangannya bergerak ke sana kemari, mencoba menemukan bagian tubuhku yang bisa
ditepuk-tepuk. Ia menaruh tangannya di dahiku, karena bagian itu tidak diperban.
"Bella, Sayang, kau tidak menyukai Forks," ia mengingatkanku.
"Tidak terlalu buruk, Mom."
Ia merengut, lalu memandangku dan Edward bergantian, kali ini benar-benar
disengaja. "Apakah karena anak laki-laki ini?" bisiknya.
Aku hendak berbohong tapi mata Mom mengamati wajahku, dan aku tahu ia bisa
melihat jawabannya di sana.
"Dia salah satu alasannya," aku mengakui. Tak perlu kuakui, dialah alasan
terbesarku. "Apakah kau sempat berbicara dengan Edward?" tanyaku.
"Ya." Ia bimbang memandangi Edward yang diam tak bergerak. "Dan aku ingin bicara
denganmu rentang hal ini."
O-ow. "Tentang apa?" tanyaku.
"Kurasa anak laki-laki itu jatuh cinta padamu," tuduhnya, berusaha menjaga
suaranya tetap pelan. "Aku juga berpikir begitu," ujarku.
"Dan bagaimana perasaanmu padanya?" Ia tak bisa menutupi rasa penasaran dalam
suaranya. Aku mendesah, memalingkan wajah. Meskipun aku sangat menyayangi ibuku, ini bukan
sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya. "Aku cukup tergila-gila padanya." Nahitu kedengarannya seperti sesuatu yang mungkin dikatakan seorang remaja cewek
centang cowok pertamanya.
"Well, dia kelihatan sangat baik, dan, ya Tuhanku, dia luar biasa tampan, tapi
kau masih sangat muda. Bella... " Suaranya terdengar ragu-ragu; sejauh yang bisa
kuingat, inilah pertama kalinya sejak aku berusia delapan tahun ia nyaris
menunjukkan otoritasnya sebagai orangtua. Aku mengenali nada masuk-akal-namuntegas dari percakapan yang pernah kualami dengannya ketika membahas cowok.
"Aku tahu itu, Mom. Jangan khawatir. Aku Cuma naksir," aku menenangkannya.
"Benar," ia menimpali, langsung senang.
Kemudian ia mendesah, dan dengan perasaan bersalah melirik jam bundar besar di
dinding. "Kau harus pergi?"
Ia menggigit bibir. "Phil seharusnya menelepon sebentar lagi... Aku tak tahu kau
akan segera sadar..."
"Tidak apa-apa, Mom." Aku berusaha menyembunyikan rasa legaku supaya perasaannya
tidak terluka. "Aku tidak akan sendirian."
"Aku akan segera kembali. Aku tidur di sini, kau tahu," ujarnya, bangga pada
dirinya sendiri. "Oh, Mom, kau tak perlu melakukannya! Kau bisa tidur di rumah - aku takkan
menyadarinya." Pengaruh obat penghilang sakit di otakku membuatku sulit
berkonsentrasi sekarang, meski nyatanya aku telah tidur berhari-hari.
"Aku terlalu tegang," ia mengakui malu-malu. "Telah terjadi tindak kejahatan di
kompleks kita, dan aku tidak suka berada di sana sendirian."
"Kejahatan?" tanyaku kaget.
Seseorang menerobos ke studio tari di pojokan dekat rumah dan membakarnya hingga
rata dengan tanah - sama sekali tak bersisa! Dan mereka meninggalkan mobil
curian tepat di halaman depan. Kau ingat dulu kau menari di sana, Sayang?"
"Aku ingat." Aku bergidik dan meringis ngeri.
"Aku bisa tinggal. Sayang kalau kau membutuhkanku."
"Tidak, Mom. Aku akan baik-baik saja. Edward akan menemaniku."
Ekspresinya menunjukkan bahwa sepertinya itulah alasannya ingin tinggal. "Aku
akan kembali malam ini." Kedengarannya itu seperti peringatan sekaligus janji,
dan ia kembali menatap Edward saat mengucapkannya.
"Aku sayang kau, Mom."
"Aku juga sayang kau. Bella. Cobalah untuk lebih berhari-hari ketika berjalan.
Sayang, aku tak ingin kehilangan dirimu."
Mata Edward tetap terpejam, tapi senyum lebar mengembang di wajahnya.
Perawat masuk untuk memeriksa semua infusku dan kabel-kabel yang menempel di
rubuhku. Mom mengecup dahiku, menepuk-nepuk tanganku yang diperban, kemudian
pergi. Perawat memeriksa catatan di monitor jantungku.
"Kau tegang Sayang" Irama jantungmu sedikit lebih tinggi di bagian ini."
"Aku baik-baik saja," aku meyakinkannya.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan kuberitahu dokter bahwa kau sudah sadar. Dia akan ke sini sebentar lagi."
Begitu perawat menutup pinru, Edward langsung berada di sisiku.
"Kau mencuri mobil?" Alisku terangkat.
Ia tersenyum, sama sekali tak menyesal. "Mobil bagus, lajunya sangat cepat."
"Bagaimana tidur siangmu?" tanyaku.
"Menarik." Matanya menyipit.
"Apa?" Ia menunduk ketika menjawab, "Aku terkejut. Kupikir Florida... dan ibumu...
Well, kupikir itulah yang kauinginkan."
Aku menatapnya tak mengerti. "Tapi kau harus berada di dalam ruangan seharian
bila berada di Florida. Kau hanya bisa keluar pada malam hari, seperti vampir
sejati." Ia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya serius. "Aku akan tinggal di
Forks, Bella. Atau di mana pun yang keadaannya seperti di sana," ia menjelaskan.
"Di tempat aku tak bisa melukaimu lagi."
Awalnya aku tak langsung memahaminya. Aku terus menatapnya hampa saat katakatanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan.
Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat
napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di dadaku.
Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku dengan saksama ketika rasa
sakit yang tak ada hubungannya dengan tulang-tulang yang patah, rasa sakit yang
jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku.
Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak
bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum
beralih ke monitor. "Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?" tanyanya ramah, sambil menepuknepuk kantong infus. "Tidak, tidak," gumamku, berusaha menghilangkan kepedihan dari suaraku. "Aku
tidak membutuhkan apa-apa." Aku tak bisa memejamkan mata sekarang.
"Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kau tidak terlalu tegang; kau
perlu beristirahat." Ia menunggu, tapi aku hanya menggeleng.
"Baiklah," ia mendesah. "Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap."
Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik, waswas mesin-mesin itu,
lalu pergi. "Sssstt, Bella, tenanglah."
"Jangan tinggalkan aku." Aku memohon, suaraku parau
"Aku takkan meninggalkanmu," ia berjanji. "Sekarang tenanglah sebelum aku
memanggil perawat untuk memberimu obat penenang."
Tapi jantungku tak mau tenang.
"Bella." Ia membelai wajahku hati-hati. "Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada
di sini selama kau membutuhkanku."
"Kau bersumpah takkan meninggalkanku?" bisikku. Setidaknya aku mencoba
mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku nyeri.
Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya ke
wajahku. Matanya lebar dan serius. "Aku bersumpah."
Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika
aku bernapas. Ia terus menatapku sementara tubuhku pelan-pelan rileks dan suara
bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap, lebih mendekati hitam daripada
keemasan. "Lebih baik?" tanyanya.
"Ya," sahutku hati-hati.
Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti. Kurasa aku memilih
kata "overreaction -bereaksi berlebihan."
"Mengapa kau bilang begitu?" aku berbisik, menjaga suaraku agar tidak gemetaran.
"Apakah kau lelah menyelamatkanku setiap saat" Kau ingin aku pergi?"
"Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja tidak. Yang benar saja.
Dan aku juga senang-senang saja menyelamatkanmu - jika saja bukan karena fakta
bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya... bahwa akulah alasan kau
berada di sini." "Ya, kaulah penyebabnya." Aku merengut. "Alasan aku berada di sini-hidup-hidup."
"Nyaris," ia berbisik. "Dibalut perban dan plester dan nyaris tak bisa
bergerak." "Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini," kataku,
mulai jengkel. "Aku sedang memikirkan yang lain - kau boleh pilih. Kalau bukan
karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks."
Ia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari
wajahnya. "Meski begitu, itu bukan yang terburuk," ia melanjutkan berbisik, seolah-olah
aku tak pernah mengatakan apa-apa. "Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di
sana, terbaring di lantai... meringkuk dan terluka." Suaranya tercekat. "Yang
terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat. Bahkan bukan mendengarmu
menjerit kesakitan-semua ingatan mengerikan itu akan kubawa bersamaku sepanjang
masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa... mengetahui bahwa aku tak bisa
berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan membunuhmu."
"Tapi kau tidak membunuhku."
"Aku bisa saja. Semudah itu."
Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba membujuk dirinya sendiri
untuk meninggalkanku, dan rasa panik mencekat paru-paruku, mencoba melepaskan
diri. "Berjanjilah padaku." Aku berbisik.
"Apa?" "Kau tahu maksudku." Aku mulai marah sekarang. Ia benar-benar bersikeras untuk
terus berpikir negatif. Ia mendengar perubahan pada nada suaraku. Tatapannya tajam. "Sepertinya aku tak
cukup kuat untuk berada jauh darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya...
entah itu akan membunuhmu atau tidak." Ia menambahkan dengan kasar.
"Bagus." Meski begitu ia tidak berjanji-fakta itu tak terlewatkan olehku.
Kepanikanku nyaris tak terbendung; tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam
diriku untuk mengendalikan amarahku. "Kau memberitahuku bagaimana kau
berhenti... sekarang aku mau tahu kenapa," desakku.
"Kenapa?" ulangnya hati-hati.
"Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan racunnya menyebar" Saat ini
aku akan sama seperti dirimu."
Mata Edward sepertinya berubah hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku
mengetahui hal seperti ini. Alice pasti terlalu disibukkan oleh hal-hal tentang
dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat berhati-hati dengan pikirannya ketika berada di
sekitar Edward - jelas Edward tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang
penciptaan vampir. Ia terkejut, marah. Lubang hidungnya kembang-kempis, mulutnya
seolah dipahat dan batu. Ia tidak akan menjawab, itu sangat jelas.
"Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin
hubungan," kataku. "Tapi kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan
perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu
menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu
sama lain." Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat tidurku, lalu meletakkan
dagunya di sana. Raut wajahnya lembut, kemarahannya mereda. Sepertinya ia telah
memutuskan ia tidak marah padaku. Kuharap aku punya kesempatan untuk
mengingatkan Alice sebelum Edward menemuinya.
"Kau telah menyelamatkanku," katanya pelan.
"Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane," aku berkeras. "Aku juga ingin jadi
Superman." "Kau tidak tahu apa yang kauminta." Suaranya lembut; ia menatap lekat-lekat
ujung sarung bantal. "Kurasa aku tahu."
"Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir sembilan puluh tahun
memikirkan hal ini, dan aku masih tidak yakin."
"Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?"
"Tidak, aku tidak berharap begitu." Ia berhenti sebelum melanjutkan, "Tapi
hidupku sudah berakhir. Aku tidak menyerahkan apa pun."
"Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa menyakitiku." Aku semakin
baik dalam hal ini. Mudah rasanya mengakui betapa aku membutuhkannya.
Meski begitu ia sangat tenang. Yakin.
"Aku tak bisa melakukannya. Bella. Aku takkan melakukannya padamu."
"Kenapa tidak?" Tenggorokanku tercekat dan mapanku rak selantang yang
kuinginkan. "Jangan bilang padaku itu terlalu sulit untukmu! Setelah hari ini,
atau kurasa beberapa hari yang lalu... setelah itu. Seharusnya bukan apa-apa."
Ia menatap geram padaku. "Dan rasa sakitnya?" tanyanya.
Wajahku memucat. Aku tak bisa menahannya. Tapi aku berusaha menjaga ekspresiku
hingga tidak kelihatan betapa jelas aku mengingat rasanya... api dalam nadiku.
"Itu masalahku." Karaku. "Aku bisa mengatasinya."
"Sangat mungkin untuk bersikap berani hingga pada titik keberanian itu berubah
jadi kegilaan." "Bukan masalah. Tiga hari. Sama sekali, bukan masalah."
Edward meringis lagi saat kata-kataku mengingatkannya bahwa aku tahu lebih
banyak daripada yang mungkin diharapkannya. Aku melihatnya berusaha menekan
amarah, memerhatikan saat matanya mulai bertanya-tanya.
"Charlie?" tanyanya tiba-tiba. "Renee?"
Waktu berlalu dalam keheningan saat aku berusaha menjawab. Aku membuka mulut,
tapi tak ada suara yang keluar. Aku menutupnya lagi. Ia menunggu, kemudian
ekspresinya berganti jadi kemenangan karena tahu aku tidak mengetahui
jawabannya. "Begini saja, itu juga bukan masalah," gumamku akhirnya; suaraku terdengar sama
tidak meyakinkannya seperti setiap kali aku berbohong. "Renee selalu membuat
keputusan yang menurut dia benar - dia ingin aku melakukan yang sama. Dan
Charlie lebih fleksibel, dia terbiasa hidup sendirian. Aku tak bisa menjaga
mereka selamanya. Aku punya kehidupan sendiri yang harus kujalani."
"Tepat sekali," tukasnya. "Dan aku tak ingin mengakhirinya."
"Kalau kau menungguku hingga sekarat, ada kabar baik untukmu! Aku baru saja
mengalaminya!" "Kau akan sembuh," ia mengingatkanku.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri, mengabaikan nyeri yang muncul
karenanya. Aku menatapnya, dan ia balas menatap. Wajahnya tidak menunjukkan
kompromi. "Tidak," kataku pelan. "Aku takkan sembuh."
Kerutan di dahinya semakin dalam. "Tentu saja kau akan sembuh. Paling-paling
akan meninggalkan satu atau dua bekas luka... "
"Kau keliru," aku berkeras. "Aku bakal mati."
"Sungguh, Bella." Sekarang ia cemas. "Kau akan keluar dari sini beberapa hari
lagi. Paling lama dua minggu."
Aku menatapnya geram. "Aku mungkin takkan mati sekarang - tapi suatu saat.
Setiap menit dalam hidupku aku semakin dekat ke kematian. Dan aku akan menjadi
tua." Wajahnya merengut saat ia memahami arti ucapanku. Ia menempelkan jemarinya yang
panjang ke dahinya, matanya terpejam. "Itulah yang mestinya terjadi. Yang
seharusnya terjadi. Yang akan terjadi seandainya aku tidak ada - dan aku
seharusnya tidak ada."
Aku mendengus. Ia membuka mata, terkejut. "Itu bodoh. Itu seperti mendatangi
orang yang baru menang lotere, mengambil uangnya, dan berkata, 'Begini, kita
kembali saja ke bagaimana segalanya seharusnya terjadi. Lebih baik begitu.' Dan
aku tidak memercayainya."
"Aku bukan hadiah lotere," geramnya.
"Benar. Kau jauh lebih baik."
Ia memutar bola matanya dan merapatkan bibirnya. "Bella, kita tidak akan
membahasnya lagi. Aku menolak mengutukmu mengalami malam tak berujung, dan
inilah keputusanku."
"Kalau kaupikir ini akhirnya, berarti kau tidak mengenalku," aku
mengingatkannya. "Kau bukan satu-satunya vampir yang kukenal."
Matanya kembali kelam. "Alice takkan berani."
Dan untuk beberapa saat ia tampak sangat mengerikan hingga aku tak dapat
mencegah untuk memercayainya - aku tak dapat membayangkan ada orang yang cukup
berani untuk membuatnya marah.
"Alice sudah melihatnya kan?" Aku mencoba menebak. "Itu sebabnya hal-hal yang
dikatakannya membuatmu marah. Dia tahu aku akan jadi seperti dirimu... suatu hari nanti."
"Dia keliru. Dia juga melihatmu mati. Tapi itu juga tidak terjadi."
"Kau takkan mendapatkanku bertaruh melawan Alice."
Lama sekali kami bertatapan. Suasana hening kecuali bunyi deru mesin bunyi bip,
tetesan. Dan detak jam besar di dinding. Akhirnya ekspresinya melembut.
"Jadi bagaimana kesimpulannya?" aku bertanya-tanya.
Ia tertawa dingin. "Aku yakin itu namanya jalan buntu."
Aku mendesah. "Auw," gumamku.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, sambil melirik tombol untuk memanggil perawat.
"Aku baik-baik saja." Aku berbohong.
"Aku tidak percaya," katanya lembut.
"Aku tidak mau tidur lagi."
"Kau harus beristirahat Semua perdebatan ini tidak baik untukmu."
"Jadi menyerahlah" aku menyarankan.
"Usaha bagus." Ia menggapai tombol.
"Jangan!" Ia mengabaikanku "Ya?" terdengar suara dan speaker di dinding.
"Kurasa Bella sudah siap untuk obat penghilang sakitnya," katanya tenang tak
memedulikan kekesalan yang terpancar di wajahku.
"Aku akan menyuruh perawat ke sana" Suara itu terdengar bosan.
"Aku takkan meminumnya," aku berjanji.
Ia memandang kantong cairan di samping tempat tidurku. "Kurasa mereka takkan
menyuruhmu meminum apa-apa."
Detak jantungku mulai memburu. Ia melihat ketakutan di mataku, dan mendesah
putus asa. "Bella, kau sakit. Kau perlu tenang supaya bisa sembuh. Kau benar-benar keras
kepala. Saat ini mereka tidak akan memasang jarum lagi di tubuhmu."
"Aku tidak takut jarum," gumamku. "Aku takut memejamkan mata."
Kemudian ia tersenyum simpul, dan memegang wajahku dengan kedua tangannya.
"Sudah kubilang, aku takkan pergi ke mana-mana. Jangan khawatir. Selama kau
senang karenanya, aku akan di sini."
Aku balas tersenyum, mengabaikan rasa sakit di pipiku. "Itu berarti selamanya,
tahu." "Oh, kau akan melupakannya - kau cuma naksir aku."
Aku menggeleng tak percaya-itu membuatku pusing. "Aku terkejut waktu Renee
memercayai ucapanku itu. Aku tahu kau tahu lebih baik darinya."
"Itulah hal terindah menjadi manusia." Ia memberitahuku. "Segala sesuatu
berubah." Mataku menyipit. "Jangan kelewat berharap."
Ia tertawa ketika perawat masuk sambil mengacungkan suntikan.
"Permisi." Katanya pada Edward
Edward bangkit dan pergi ke ujung ruangan, bersandar di dinding. Ia bersedekap
dan menunggu. Aku terus menatapnya, masih waswas. Ia menatapku tenang.
"Nah, ini obatnya, Sayang." Perawat tersenyum saat menyuntikkan obat ke tabung
infusku. "Kau akan merasa lebih baik sekarang."
"Terima kasih," gumamku datar. Hanya sebentar. Aku langsung merasakan kantuk
menetes-netes dalam aliran darahku.
"Kurasa sudah bereaksi," gumamnya, saat kelopak mataku mulai memejam.
Perawat pasti telah meninggalkan ruangan, karena sesuatu yang dingin dan lembut
menyentuh wajahku. "Tinggallah." Kata itu nyaris tak terdengar.
"Aku akan ada di sini," ia berjanji. Suaranya indah, bagai nina bobo. "Seperti
kataku, selama ini membuatmu bahagia... selama ini adalah yang terbaik untukmu."
Aku mencoba menggerak-gerakkan kepala, tapi terlalu berat. '"Itu tidak sama,"
gumamku. Ia tertawa. "Sudah, jangan khawatirkan itu, Bella. Kau bisa berdebat denganku
saat kau bangun nanti."
Kurasa aku tersenyum mendengarnya. '"Ke."
Aku bisa merasakan bibirnya di telingaku.
"Aku mencintaimu," bisiknya.
"Aku juga." "Aku tahu," ia tertawa pelan.
Aku menoleh sedikit... mencari. Ia tahu apa yang kucari. Bibirnya menyentuh


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut bibirku. "Terima kasih," desahku. "Sama-sama."
Aku sudah nyaris tak sadarkan diri. Tapi aku melawannya dengan sisa-sisa
tenagaku. Tinggal satu lagi yang ingin kukatakan padanya.
"Edward?" aku berusaha mengucapkan namanya dengan jelas.
"Ya?" "Aku bertaruh memegang Alice," gumamku. Kemudian aku pun tertidur.
EPILOG: ACARA ISTIMEWA EDWARD membantuku naik ke mobilnya, sangat berhati-hati dengan sutra dan
shiffon-nya, bunga-bunga yang baru saja disematkannya di rambutku yang ditata
ikal penuh gaya, serta tongkat berjalanku. Ia mengabaikan bibirku yang cemberut
sangat marah. Setelah aku duduk nyaman, ia menyelinap ke jok pengemudi, dan melaju mundur dari
jalanan sempit dan panjang itu.
"Kapan tepatnya kau akan memberitahuku apa yang terjadi?" gerutuku. Aku benarbenar tidak suka kejutan. Dan ia tahu itu.
"Aku benar-benar terkejut kau belum mengetahuinya juga." Ia tersenyum mengejek,
dan aku tercekat. Apakah aku bakal terbiasa dengan kesempurnaannya"
"Aku sudah bilang kau terlihat sangat tampan, bukan?" ujarku.
"Sudah." Ia tersenyum. Aku belum pernah melihatnya mengenakan hitam. Warna itu
sangat kontras dengan kulitnya yang pucat, membuat ketampanannya benar-benar
bagaikan mimpi. Itu tak dapat kusangkal, bahkan kalaupun kenyataan dirinya
mengenakan tuksedo membuatku sangat gugup.
Tidak segugup yang ditimbulkan gaunku. Atau sepatu yang kukenakan. Sepatuku
hanya satu, berhubung kakiku yang lain masih rapat terbalut gips. Tapi hak
stiletto yang kukenakan hanya dipegangi tali sutra, dan itu jelas takkan
membantuku saat berjalan terpincang-pincang begini.
"Aku takkan bertamu lagi kalau Alice akan memperlakukanku seperti Barbie
Percobaan," sahutku seraya mencengkeram jok kursi. Aku menghabiskan sebagian
besar hariku di kamar Alice yang sangat luas, menjadi korban tak berdaya saat ia
berperan jadi penata rambut dan penata rias. Setiap kali aku merasa tak nyaman
atau mengeluh, ia mengingatkanku bahwa ia sama sekali tidak ingat bagaimana
rasanya menjadi manusia, dan memintaku tidak menghancurkan kesenangannya.
Kemudian ia memakaikan gaun paling konyol - warna biru gelap, berimpel, dan
tanpa lengan, dengan label berbahasa Prancis yang tak kumengerti - gaun yang
lebih cocok dikenakan dalam peragaan busana daripada di Forks. Tak ada yang
bagus dari pakaian formal kami, aku yakin itu. Kecuali... tapi aku takut
menguraikan kecurigaanku, bahkan dalam pikiranku sendiri.
Perhatianku teralih dering telepon. Edward mengeluarkan ponsel dari saku dalam
jasnya, melihat sebentar ke layar sebelum menjawab.
"Halo, Charlie," sahutnya hati-hati.
"Charlie?" Dahiku berkerut.
Charlie... agak sedikit kurang bersahabat sejak kepulanganku ke Forks. Ia
menyikapi pengalaman burukku dalam dua sikap. Terhadap Carlisle, ia teramat
sangat bersyukur dan berterima kasih. Di sisi lain ia sangat yakin semua ini
salah Edward - sebab kalau bukan karena Edward, aku tidak akan meninggalkan
rumah. Dan Edward sama sekali tidak menentangnya. Belakangan ini Charlie
memberlakukan beberapa peraturan yang tak pernah diterapkannya padaku
sebelumnya: jam malam... jam berkunjung.
Sesuatu yang dikatakan Charlie membuat mata Edward membelalak tak percaya,
kemudian senyuman langsung mengembang di wajahnya.
"Kau bercanda!" Ia tertawa.
"Ada apa?" desakku.
Ia mengabaikanku. "Biarkan aku bicara padanya," saran Edward, kegembiraannya tampak nyata. Ia
menunggu sebentar. "Halo, Tyler, ini Edward Cullen." Suaranya sangat ramah, tapi hanya di
permukaan. Aku mengenalnya cukup baik untuk menangkap kejailan di baliknya. Apa
yang dilakukan Tyler di rumahku" Kebenaran mengerikan mulai terbentuk di
benakku. Sekali lagi aku memandang gaun yang kukenakan atas paksaan Alice itu.
"Aku menyesal kalau ada semacam kesalahpahaman, tapi Bella sudah punya teman
kencan malam ini." Nada suara Edward berubah, dan ancaman dalam suaranya tibatiba jauh lebih nyata saat ia melanjutkan kata-katanya. "Dan sejujurnya dia
tidak akan punya waktu untuk siapa pun kecuali aku, setiap malam. Jangan tersinggung. Aku menyesal
malammu tidak menyenangkan." Ia sama sekali tidak terdengar menyesal. Kemudian
ia menutup telepon, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Wajah dan leherku merah padam karena marah. Aku bisa merasakan air mata
kemarahan menggenangi mataku.
Ia terkejut melihatku. "Apakah bagian terakhir tadi kelewatan" Aku tak bermaksud
menyinggung perasaanmu."
Aku mengabaikan kata-katanya.
"Kau mengajakku ke prom!" teriakku.
Sekarang semua sudah jelas. Kalau saja aku memerhatikan sejak awal, aku yakin
pasti bisa melihat tanggal di poster-poster di seluruh penjuru sekolah. Tapi aku
tak pernah menyangka ia bakal mengajakku. Tidakkah Edward mengenalku sama
sekali" Ia tidak mengira reaksiku bakal begitu, itu sudah jelas. Ia mengatupkan bibir
dan matanya menyipit. "Jangan mempersulit keadaan. Bella."
Aku menoleh ke luar jendela; kami sudah setengah jalan menuju sekolah.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanyaku cemas.
Ia menunjuk tuksedonya. "Sungguh, Bella, menurutmu apa yang kita lakukan?"
Aku merasa dipermalukan. Pertama, karena aku tidak melihat apa yang tampak jelas
di depan mata. Juga karena kecurigaan samar - sebenarnya harapan - yang
berkembang di hatiku seharian ini, mengingat Alice mencoba mengubahku jadi ratu
kecantikan, benar-benar jauh melenceng. Harapanku yang setengah mengerikan
kelihatannya sangat konyol sekarang.
Aku sudah menduga sesuatu sedang terjadi. Tapi prom, yang benar saja! Itu sama
sekali tak terpikirkan olehku.
Air mata kemarahan menetes di pipiku. Aku cemas mengingat aku tak terbiasa
mengenakan maskara. Bergegas
kuusap bagian bawah mataku agar maskaranya tidak belepotan. Tanganku tidak hitam
ketika kutarik; barangkali Alice tahu aku membutuhkan makeup antiair.
"Ini benar-benar konyol. Kenapa kau menangis?" tanya Edward kesal.
"Karena aku marah!"
"Bella." Mata keemasannya menatapku lekat-lekat.
"Apa?" gumamku, bingung.
"Ayolah," desaknya.
Tatapannya mencairkan segenap amarahku. Mustahil bertengkar dengannya kalau ia
bersikap curang seperti itu. Aku menyerah.
"Baiklah." Bibirku mencebik, aku tak mampu memelototinya segalak yang
kuinginkan. "Aku akan ikuti maumu. Tapi nanti akan kaulihat. Nasib burukku belum
berakhir. Barangkali aku akan mematahkan kakiku yang lain. Lihat sepatu ini! Ini
jerat kematian!" Aku menjulurkan kakiku yang sehat sebagai buktinya.
"Hmmm." Ia memandangi kakiku lebih lama dari seharusnya. "Ingatkan aku untuk
berterima kasih pada Alice untuk hal itu nanti malam."
"Alice akan datang?" Ini sedikit menenangkan.
"Bersama Jasper, dan Emmett... dan Rosalie," ia mengakui.
Perasaan tenang itu langsung lenyap. Hubunganku dengan Rosalie tidak mengalami
kemajuan, meskipun hubunganku dengan suami - sesekali - waktunya bisa dibilang
baik. Emmett senang berada di dekatku - menurut dia, reaksi manusiaku sangat
menghiburnya... atau barangkali kenyataan aku sering kali terjatuh itu yang
membuatnya menganggapku sangat lucu. Rosalie bersikap seakan-akan aku tidak ada.
Setelah menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran itu, terpikir
olehku hal lain. "Apakah Charlie terlibat?" aku bertanya, tiba-tiba curiga.
"Tentu saja." Ia nyengir, lalu tergelak. "Meski begitu, kelihatannya Tyler
tidak." Kukertakkan gigiku. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tyler bisa punya
pikiran konyol seperti itu. Di sekolah, tempat Charlie tak bisa ikut campur,
Edward dan aku tak terpisahkan - kecuali pada hari-hari cerah yang sangat jarang
terjadi. Kami sudah di sekolah sekarang; mobil Rosalie tampak mencolok di lapangan
parkir. Hari ini langit berawan tipis, secercah sinar matahari tampak jauh di
sebelah barat. Edward keluar dan mengitari mobil untuk membukakan pintuku. Ia mengulurkan
tangan. Aku tak bergerak dari tempat duduk, tangan terlipat, diam-diam berpuas diri.
Lapangan parkir dipenuhi orang berpakaian formal: para saksi. Ia tak dapat
memindahkanku secara paksa dari mobil seperti yang mungkin dilakukannya
seandainya kami hanya berdua.
Ia mendesah. "Waktu seseorang hendak membunuhmu, kau seberani singa - kemudian
saat seseorang menyebut-nyebut soal dansa... " Ia menggeleng.
Aku menelan liurku. Berdansa.
"Bella, aku takkan membiarkan apa pun melukaimu - bahkan tidak dirimu sendiri.
Aku takkan pernah melepaskanmu, aku janji."
Aku mempertimbangkannya dan tiba-tiba merasa jauh lebih baik. Ia bisa melihatnya
di wajahku. "Sudah, sudah," katanya lembut, "takkan seburuk itu." Ia membungkuk dan memeluk
pinggangku. Aku menggenggam tangannya yang lain dan membiarkannya mengangkatku
dari mobil. Ia tetap memelukku erat-erat, menyokongku saat aku terpincang-pincang menuju
sekolah ...... Di Phoenix, prom diadakan di ballroom hotel. Di sini, pestanya berlangsung di
ruang gym. Barangkali itulah satu-satunya ruangan di kota ini yang cukup luas
untuk pesta dansa. Ketika kami sampai di dalam, aku tertawa geli melihat balonbalon dan pita-pita krep pastel yang menghiasi dinding.
"Ini seperti film horor yang menunggu saatnya dimulai," olokku.
" Well" gumamnya saat kami pelan-pelan mendekati meja tempat penjualan karcis meskipun ia praktis menggendongku, tapi aku masih harus melangkah tertatih-tatih
- "ada lebih dari cukup vampir hadir di sini."
Aku melihat ke arah lantai dansa; bagian tengah lantai tampak lengang hanya ada
dua pasangan berputar-putar anggun. Pasangan-pasangan lain merapat di pinggir
lantai untuk memberi mereka ruang - tak ada yang ingin tampak kontras di dekat
kedua pasangan yang memukau itu. Emmett dan Jasper tampak mengintimidasi dan
tanpa cela dalam balutan tuksedo klasik. Alice tampak memukau dalam gaun satin
hitam berpotongan leher V yang memamerkan kulitnya yang putih bagai salju. Dan
Rosalie... Well, ya Rosalie. Penampilannya sungguh di luar dugaan. Gaun merah
menyalanya berpunggung terbuka, melekat ketat sampai ke betis yang kemudian
melebar jadi tumpukan rimpel yang memanjang di belakangnya. Garis leher gaunnya
jatuh hingga ke pinggang. Aku mengasihani semua gadis di ruangan itu, termasuk
diriku sendiri. "Kau mau aku mengunci pintu-pintu supaya kau bisa membantai orang-orang kota tak
berdosa ini?" bisikku penuh konspirasi.
"Dan apa peranmu dalam adegan itu?" Ia menatapku geram.
"Oh, tentu saja aku bersama kelompok vampir." Ia tersenyum enggan.
"Apa pun asal kau tak perlu berdansa."
"Apa pun." Ia membayar tiket kami, kemudian membimbingku ke lantai dansa. Kupeluk
lengannya, dan menyeret kakiku.
"Aku punya waktu semalaman," ia mengingatkan.
Akhirnya ia menarikku ke tempat keluarganya sedang berdansa elegan-boleh
dibilang dengan gaya yang sangat tidak sesuai dengan musik masa kini. Aku
memerhatikan mereka dengan ngeri.
"Edward." Tenggorokanku sangat kering hingga aku hanya bisa berbisik. "Aku
benar-benar tidak bisa berdansa!" Bisa kurasakan rasa panik bergejolak dalam
dadaku. "Jangan khawatir, bodoh," ia balas berbisik. "Aku bisa." Ia melingkarkan
tanganku di lehernya, mengangkatku, lalu meletakkan kakinya di bawah kakiku.
Kemudian kami pun berdansa.
"Aku merasa seperti berumur lima tahun," aku tertawa setelah beberapa menit
berdansa waltz tanpa perlu bersusah-payah.
"Kau tidak kelihatan seperti berumur lima tahun," gumamnya, sesaat menarikku
lebih rapat, sehingga kakiku sedikit terangkat dari lantai.
Alice dan aku bertemu pandang saat kami berputar dan tersenyum menyemangati aku balas tersenyum padanya. Aku terkejut menyadari aku menikmatinya... sedikit.
"Oke, ini tidak terlalu buruk," aku mengakui.
Tapi tatapan Edward kini terarah ke pintu, wajahnya tampak marah.
"Ada apa?" aku bertanya keras-keras. Aku mengikuti arah pandangannya, tidak
fokus akibat berputar-putar, namun akhirnya aku bisa melihat apa yang
mengganggunya. Jacob Black, tidak mengenakan tuksedo melainkan kemeja putih
lengan panjang dan dasi, rambutnya ditarik licin dalam kucir kuda. Ia berjalan
menghampiri kami. Setelah kaget waktu mengenalinya tadi, kini aku merasa kasihan pada Jacob. Ia
jelas-jelas merasa tidak nyaman - teramat sangat tidak nyaman. Penyesalan
terpancar di matanya saat kami beradu pandang.
Edward menggeram sangat pelan.
"Jaga sikapmu!" desisku.
Suara Edward terdengar sinis. "Dia ingin mengobrol denganmu."
Jacob sampai di tempat kami, perasaan malu dan menyesal makin jelas di wajahnya.
"Hei, Bella, aku memang berharap kau ada di sini." Jacob terdengar seperti
mengharapkan sebaliknya. Tapi senyumnya tetap hangat.
"Hai, Jacob." Aku balas tersenyum. "Apa kabar?"
"Boleh aku meminjamnya?" tanyanya ragu-ragu, memandang Edward untuk pertama
kali. Aku terkejut melihat Jacob tak perlu mendongakkan kepala. Ia pasti telah
bertambah tinggi beberapa senti sejak pertama kali aku melihatnya.
Wajah Edward tenang ekspresinya hampa. Satu-satunya jawabannya adalah dengan
hati-hati membiarkanku berdiri di atas kakiku sendiri, lalu mundur selangkah.
"Terima kasih," kata Jacob ramah.
Edward hanya mengangguk, menatapku lekat-lekat sebelum berbalik menjauh.
Jacob menaruh tangannya di pinggangku, dan aku mengulurkan tangan ke bahunya.
"Wow, Jake, berapa tinggimu sekarang?"
Ia tampak bangga. "Seratus delapan puluh lima senti."
Kami tidak benar-benar berdansa-mustahil dengan kondisi kakiku saat ini. Sebagai
gantinya, dengan canggung kami bergoyang dari satu sisi ke sisi lain tanpa
menggerakkan kaki. Itu bagus juga, dengan tingginya sekarang ia jadi tampak
kurus, jangkung dan tak seimbang, hingga barangkali ia bukan pedansa yang lebih
baik daripada diriku sendiri.
"Jadi, bagaimana ceritanya kau bisa di sini?" aku bertanya tanpa benar-benar
ingin tahu. Melihat reaksi Edward tadi, aku bisa menduga jawabannya.
"Kau percaya, ayahku memberiku dua puluh dolar supaya aku datang ke prom
kalian?" ia mengakui, sedikit malu-malu.
"Ya, aku percaya," gumamku. "Well, kuharap setidaknya kau menikmatinya. Ada yang
kau suka?" aku menggodanya, memberi isyarat dengan kepala ke sekelompok cewek yang berbaris di
dekat dinding bagai sekumpulan gaun warna pastel.
"Yeah," ia mendesah. "Tapi dia sudah bersama seseorang."
Ia menunduk untuk sesaat melihat tatapan penasaranku - kemudian kami sama-sama
berpaling, merasa jengah.
"Omong-omong kau cantik sekali," ia menambahkan malu-malu.
"Mm, trims. Jadi kenapa Billy membayarmu supaya datang ke sini?" aku buru-buru
bertanya, meskipun aku tahu jawabannya.
Jacob tidak kelihatan senang karena topik percakapan kami berubah. Ia
memalingkan wajah, sekali lagi merasa jengah.
"Katanya, di sini tempat yang 'aman' untuk berbicara denganmu. Aku bersumpah
orang tua itu mulai kehilangan akal sehatnya."
Aku ikut tertawa, namun lemah.
"Lagi pula, katanya, kalau aku mengatakan sesuatu padamu dia akan membelikan
master cylinder yang kubutuhkan," ia mengaku sambil tersenyum malu-malu.
"Kalau begitu, katakan saja padaku. Aku ingin kau bisa menyelesaikan mobilmu."
Aku balas tersenyum. Setidaknya Jacob tidak memercayai satu pun kegilaan ini.
Itu membuat keadaan sedikit lebih mudah. Sambil bersandar di dinding Edward
memandang wajahku, sementara wajahnya sendiri datar. Aku melihat cewek kelas
sophomore bergaun pink mengawasinya malu-malu, namun sepertinya Edward tidak
menyadari keberadaan cewek itu.
Jacob berpaling lagi, merasa malu. "Jangan marah, oke?"
"Tidak mungkin aku marah padamu, Jacob," aku meyakinkannya. "Aku bahkan tidak
akan marah pada Billy. Katakan saja apa yang harus kaukatakan."
"Well - ini bodoh sekali, maafkan aku. Bella - dia ingin kau putus dengan
pacarmu. Dia memintaku untuk memohon padamu." Ia menggeleng jijik.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia masih percaya takhayul, eh?"
"Yeah. Dia... seperti kebakaran jenggot waktu kau mengalami kecelakaan di
Phoenix. Dia tidak percaya... " Dengan sadar Jacob tidak meneruskan katakatanya. Mataku menyipit. "Aku terjatuh."
"Aku tahu itu," Jacob langsung menyahut.
"Pikirnya, Edward ada kaitannya dengan kecelakaan yang menimpaku." Itu bukan
pertanyaan, dan terlepas dari janjiku, aku merasa marah.
Jacob tak berani menatapku. Kami bahkan tak lagi repot-repot bergoyang mengikuti
musik, meskipun tangannya masih di pinggangku, dan tanganku melingkar di
lehernya. "Begini, Jacob, aku tahu Billy barangkali tidak bakal percaya tapi hanya supaya
kau tahu"-ia memandangku sekarang, bereaksi terhadap ketulusan dalam suaraku"Edward benar-benar telah menyelamatkan nyawaku. Seandainya bukan karena Edward
dan ayahnya, aku pasti sudah mati."
"Aku tahu," ujarnya. Sepertinya ucapan tulusku telah sedikit memengaruhinya.
Paling tidak mungkin nantinya ia bisa meyakinkan Billy.
"Hei, aku menyesal kau harus datang dan melakukan ini, Jacob," aku meminta maaf.
"Setidaknya, yang penting kau mendapatkan onderdilmu, ya kan?"
"Yeah," gumamnya. Ia masih tampak canggung... kecewa.
"Ada lagi?" tanyaku tak percaya.
"Lupakan saja," gumamnya, "aku akan mencari pekerjaan dan menabung sendiri."
Aku memelototinya sampai kami bertemu pandang. "Katakan saja, Jacob."
"Ini buruk sekali."
"Aku tak peduli. Beritahu aku," desakku.
"Oke... tapi, hhh, ini kedengarannya buruk sekali." Ia menggeleng "Dia
menyuruhku memberitahumu, bukan, memperingatkanmu, bahwa - dan ini kata-katanya,
bukan aku" - ia mengangkat satu tangannya dari pinggangku dan membuat tanda
kutip - "Kami akan mengawasi." Dengan hati-hati ia menunggu reaksiku.
Kata-katanya terdengar seperti di film-film mafia. Aku tertawa keras-keras.
"Aku menyesal kau harus melakukan ini. Jake," olokku.
"Aku tidak terlalu keberatan." Ia tertawa lega. Pandangannya tampak memuji saat
sekilas menelusuri gaunku. "Jadi, haruskah aku menyuruhnya untuk jangan ikut
campur?" tanyanya penuh harap.
"Tidak," desahku. "Bilang padanya aku berterima kasih. Aku tahu dia bermaksud
baik." Musiknya berhenti, dan kulepaskan lenganku dari lehernya.
Tangannya masih di pinggangku, dan ia memandang kakiku yang digips. "Kau mau
berdansa lagi" Atau bisakah aku membantumu bergerak ke suatu tempat?"
Edward menjawabnya untukku. "Tidak apa-apa, Jacob. Aku yang mengambil alih."
Jacob berjengit dan dengan mata terbelalak menatap Edward yang tahu-tahu muncul
di sebelah kami. "Hei, aku tidak melihatmu di situ," gumam Jacob. "Kalau begitu, sampai ketemu,
Bella." Ia melangkah mundur, melambai dengan setengah hati.
Aku tersenyum. "Yeah, sampai ketemu."
"Maaf," katanya lagi sebelum berbalik menuju pintu.
Lengan Edward telah memelukku saat lagu berikut mulai dimainkan. Iramanya
sedikit cepat untuk berdansa lambat, tapi sepertinya itu tidak mengganggunya.
Kusandarkan kepalaku di dadanya, merasa senang.
"Merasa lebih baik?" godaku.
"Tidak juga," katanya singkat.
"Jangan marah pada Billy," desahku. "Dia hanya mengkhawatirkan diriku demi
kebaikan Charlie. Bukan apa-apa."
"Aku tidak marah pada Billy," ia meralat tajam. "Tapi anak laki-lakinya
membuatku jengkel." Aku menarik tubuhku agar bisa memandangnya. Wajahnya sangat serius. "Kenapa?"
"Pertama-tama dia membuatku mengingkari janjiku sendiri."
Aku menatapnya tidak mengerti.
Ia setengah tersenyum. "Aku sudah berjanji takkan melepaskanmu malam ini," ia
menjelaskan. "Oh. Well, aku memaafkanmu."
"Terima kasih. Tapi ada hal lain." Wajah Edward cemberut.
Aku menunggu dengan sabar.
"Dia menyebutmu cantik," akhirnya ia meneruskan kata-katanya, kerutan di
wajahnya semakin nyata. "Mengingat penampilanmu saat ini, itu bisa dibilang
menghina. Kau lebih dari sekadar cantik."
Aku tertawa. "Kau mungkin sedikit bias."
"Kurasa tidak. Lagi pula, aku punya daya lihat yang sempurna."
Kami kembali berdansa, kakiku di atas kakinya saat ia menarikku lebih dekat.
"Jadi, apakah kau akan menjelaskan alasan untuk semua ini?" aku bertanya-tanya.
Ia menunduk menatapku, bingung, dan aku memandang pita kertas krep dengan penuh
arti. Ia berpikir sebentar kemudian mengubah arah, memutar-mutar tubuhku melewati
keramaian menuju pintu belakang gym. Sekilas aku sempat melihat Jessica dan Mike
yang setang berdansa sambil memandangiku penasaran. Jessica melambai, dan aku
balas tersenyum padanya. Angela juga ada di sana, tampak luar biasa bahagia
dalam pelukan si kecil Ben Cheney; Angela tak pernah melepaskan pandangannya
dari Ben, yang sedikit lebih pendek daripadanya. Lee, Samantha, Lauren, dan
Conner menatap kami geram; aku bisa menyebutkan semua orang yang menari
melewatiku. Kemudian kami sampai di luar, di bawah cahaya temaram matahari
terbenam serta udara sejuk.
Begitu kami sendirian, ia menggendong dan membawaku melintasi halaman yang gelap
ke bangku di bawah bayangan pepohonan madrone. Ia duduk di sana, sambil terus
memelukku erat di dadanya. Bulan telah muncul di langir, rampak jelas di antara
awan-awan tipis, dan wajahnya bertambah pucat dalam cahaya putih. Mulutnya
tegang, matanya resah. "Intinya?" aku memulai dengan lembut.
Ia mengabaikanku, menatap bulan.
"Twilight, lagi," gumamnya. "Akhir yang lain. Tak peduli berapa sempurna sebuah
hari, toh harus berakhir juga." "Beberapa hal tak perlu berakhir," gumamku setengah mendesis, langsung tegang.
Ia mendesah. "Aku membawamu ke prom," katanya pelan, akhirnya menjawab pertanyaanku, "karena
aku tak ingin kau kehilangan momen apa pun. Aku tak ingin kehadiranku
menjauhkanmu dan segala peluang kalau aku bisa membuatnya terjadi. Aku ingin kau
menjadi manusia. Aku ingin hidupmu berjalan seperti seharusnya seandainya aku
mati pada tahun 1918."
Aku bergidik mendengar kata-katanya, lalu menggeleng marah. "Dalam dimensi
paralel aneh manakah aku bakal pernah mau pergi ke prom atas keinginanku
sendiri" Seandainya kau tidak seribu kali lebih kuat dariku, aku takkan pernah
membiarkanmu membawaku kemari."
Ia tersenyum sekilas, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. "Kau sendiri yang
bilang ini tidak terlalu buruk."
"Itu karena aku bersamamu."
Beberapa saat kami terdiam. Ia menatap bulan dan aku menatapnya. Kuharap ada
cara untuk menjelaskan betapa aku sama sekali tidak tertarik pada kehidupan
manusia yang normal. "Maukah kau memberitahuku sesuatu?" tanyanya, menunduk, menatapku seraya
tersenyum simpul. "Bukankah aku selalu melakukannya?"
"Berjanjilah kau akan memberitahuku," desaknya, tersenyum.
Aku tahu aku bakal langsung menyesalinya. "Baiklah."
"Kau sepertinya benar-benar terkejut saat mengetahui aku akan membawamu ke
sini," ia memulai. "Memang" selaku.
"Tepat," ia menyetujui. "Tapi kau pasti sudah punya teori lain... aku penasaran
- kaupikir kenapa aku mendandanimu seperti ini?"
Benar, aku langsung menyesal. Kucibirkan bibirku, ragu-ragu. "Aku tidak ingin
memberitahumu." "Kau sudah berjanji," tukasnya keberatan.
"Aku tahu." "Apa masalahnya?"
Aku tahu ia mengira perasaan malulah yang menahanku. "Kurasa itu akan membuatmu
marah - atau sedih."
Alisnya bertaut di atas matanya saat ia memikirkannya. "Aku masih ingin tahu.
Kumohon." Aku mendesah. Ia menunggu.
"Well. Aku menduga itu semacam... acara istimewa. Tapi aku tidak berpikir ini
kegiatan manusia biasa... prom!" ejekku.
"Manusia?" tanyanya datar. Ia memilih kata kuncinya.
Aku memandangi gaunku, memainkan chiffon-nya. Ia menunggu dalam diam.
"Oke," aku buru-buru mengaku. "Aku berharap kau mungkin berubah pikiran... bahwa
kau akan mengubahku, akhirnya."
Berbagai emosi muncul bergantian di wajahnya. Aku mengenali beberapa di
antaranya: amarah... sedih... kemudian ia tampak senang.
"Kaupikir itu sejenis acara resmi, ya?" godanya sambil menyentuh kerah
tuksedonya. Aku cemberut untuk menyembunyikan rasa maluku. "Aku kan tidak tahu. Setidaknya
bagiku ini lebih masuk akal daripada prom."
Ia masih nyengir. "Tidak lucu, tahu," kataku.
"Tidak, kau benar, ini tidak lucu," ia menimpali, senyumnya memudar. "Meskipun
begitu aku lebih suka menganggapnya lelucon, daripada percaya bahwa kau serius."
"Tapi aku memang serius."
Ia menghela napas dalam. "Aku tahu. Dan kau benar-benar menginginkannya?"
Kepedihan itu kembali tampak di matanya. Kugigit bibirku dan mengangguk
"Kau siap mengakhiri semua ini," gumamnya, nyaris kepada dirinya sendiri, "siap
menjadikan ini akhir hidupmu, meskipun hidupmu bahkan belum dimulai. Kau siap
merelakan semuanya."
"Ini bukan akhir, ini baru permulaan," sergahku, suaraku berbisik.
"Aku tidak pantas mendapatkannya," katanya sedih.
"Kau ingat waktu kaubilang aku tidak melihat diriku sendiri dengan sangat
jelas?" tanyaku, satu alisku terangkat. "Kau sama butanya denganku."
"Aku tahu siapa diriku."
Aku mendesah. Tapi suasana hatinya yang berubah-ubah memengaruhiku. Ia mengerutkan bibir dan
matanya mencari-cari. Ia mengamati wajahku lama sekali.
"Kalau begitu, kau sudah siap?" tanyanya.
"Mmm." Kutelan liurku. "Ya?"
Ia tersenyum, lalu perlahan-lahan menunduk hingga bibirnya yang dingin menyapu
kulitku tepat di sudut rahang.
"Sekarang juga?" ia berbisik, napasnya terasa sejuk di kulitku. Tanpa sadar aku
gemetar. "Ya," bisikku, jadi suaraku tidak terdengar parau. Kalau dipikirnya aku hanya
menggertak, ia bakal kecewa. Aku sudah membuat keputusan ini, dan aku yakin. Tak
peduli tubuhku kaku seperti papan, kedua tanganku mengepal, napasku tak
beraturan... Ia tergelak misterius, lalu menjauh. Wajahnya memang kelihatan kecewa.
"Kau tak mungkin benar-benar percaya aku bakal menyerah semudah itu," ejeknya.
"Seorang gadis boleh bermimpi."
Alisnya terangkat. "Itukah yang kauimpikan" Menjadi monster?"
"Tidak juga," kataku, cemberut mendengar pilihan katanya. Monster. "Aku lebih
sering memimpikan bersamamu selamanya."
Ekspresinya berubah, melembut, sedih mendengar kepedihan dalam suaraku.
"Bella." Jari-jarinya menyusuri bentuk bibirku. "Aku akan tinggal bersamamutidakkah itu cukup?"
Aku tersenyum di bawah jemarinya. "Untuk sekarang, ya."
Wajahnya cemberut melihat tekadku. Tak seorang pun bakal mengalah malam ini. Ia
menghela napas, dan suara yang dikeluarkannya jelas geraman.
Kusentuh wajahnya. "Dengar," kataku. "Aku mencintaimu lebih dari semua yang ada
di dunia ini bila digabungkan. Tidakkah itu cukup?"
"Ya, itu cukup," jawabnya, tersenyum. "Cukup untuk selamanya."
Dan ia pun membungkuk lagi, menekankan bibir dinginnya sekali lagi ke leherku.
Selesai Sinopsis "Tentang tiga hal aku benar-benar yakin:
Pertama, Edward seorang vampir.
Kedua, ada sebagian dirinya - dan aku tak tahu seberapa dominan bagian itu yang haus akan darahku. Dan ketiga, aku mencintainya. Dan cintaku padanya teramat dalam dan tanpa
syarat." Ketika Isabella Swan pindah ke Forks yang muram, ia bertemu Edward Cullen, cowok
misterius sangat memesona yang membuat perasaannya jungkir balik Dengan kulit
porselen, mata keemasan, dan suara merdu memikat, Edward sungguh sosok teramat
menarik yang membuat Isabella terpikat. Selama ini Edward telah berhasil
menyembunyikan identitasnya yang sesungguhnya, tapi Bella bertekad untuk
menyingkapkan rahasia paling kelamnya.
Hanya saja Bella sama sekali tidak menyadari bahaya yang menantinya, ketika
hubungannya dengan Edward semakin akrab. Dan sanggupkah Bella berpaling dan
meninggalkan Edward sebelum segalanya terlambat dan tak ada jalan kembali
baginya" Ini adalah kisah cinta terlarang. Dan seperti cinta terlarang lainnya, cinta ini
tak mengenal jalan kembali, selain menjadi hidup dan sekaligus mati pada saat
yang sama. -o0~Dewi KZ~Raynold~Otoy~0oRe edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Tapak Siluman 1 Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah Di Kota Hantu 1

Cari Blog Ini