Ceritasilat Novel Online

Frankenstein 4

Frankenstein Or The Modern Prometheus Karya Mary Shelley Bagian 4


Hanya dari kaulah aku mengharapkan pertolongan. Walaupun demikian aku tidak punya perasaan apa-apa, kecuali rasa benci kepadamu. Kau pencipta yang tidak berperasaan! Kau memberiku perasaan dan nafsu, tapi menjadikanku sasaran rasa jijik dan kebencian manusia. Namun hanya kepadamulah aku berhak minta belas kasihan dan perbaikan nasib. Aku bertekad minta keadilan kepadamu, yang sia-sia saja kudapatkan dari makhluk lain yang memiliki bentuk manusia.
Perjalanan yang harus kutempuh sangat jauh, dan penderitaan yang harus kutanggung sangat berat. Aku meninggalkan daerah yang begitu lama kudiami di akhir musim gugur. Aku hanya berjalan di malam hari, aebab takut bertemu dengan manusia. Di sekelilingku alam sedang membusuk, dan panas matahari semakin tidak terasa. Hujan turun dan salju berjatuhan. Sungai-sungai besar airnya membeku. Permukaan bumi keras, dingin dan tandus. Aku tidak bisa menemukan tempat lagi untuk berteduh.
Oh, bumi! Betapa seringnya aku menyesali kutukan atas diriku! Sifatku yang lemah lembut sudah musnah. Sekarang di dalam diriku yang ada hanya kekerasan dan kegetiran. Makin dekat aku dengan tempat tinggalmu, makin kuat dorongan dalam hatiku untuk membalas dendam.
Salju makin sering berguguran dan air mengeras, tapi aku berjalan terus tanpa istirahat. Kadang-kadang aku menemukan petunjuk dari beberapa kejadian, dan kini aku memiliki peta negeri ini. Walaupun demikian aku masih sering jauh tersesat dari jalan yang seharusnya kuambil.
Perasaanku yang menderita membuatku, pantang mundur. Setiap kejadian yang kualami selalu menambah kemarahan dan kesedihanku. Kemudian sampailah aku ke wilayah Switzerland. Di situlah aku mengalami kejadian yang sangat pahit kurasakan. Waktu itu matahari sudah mulai terasa panas kembali, dan muka bumi sudah kelihatan hijau lagi.
Biasanya aku beristirahat di siang hari, dan meneruskan perjalanan kalau kegelapan malam me nyembunyikan diriku dari pandangan manusia. Tapi suatu hari aku mencoba mengubah kebiasaanku. Jalan yang kulalui menembus hutan lebat, dan setelah matahari terbit aku masih meneruskan perjalananku. Hari itu sangat cerah dan indah seperti lazimnya hari di awal musim semi. Sinar matahari terasa lembut dan udara segar. Rasa senang dan sukacita yang selama itu mati kini terasa hidup kembali dalam diriku. Aku terseret oleh perasaan ini dan melupa kan kesendirian serta kejelekan rupaku. Aku bahkan merasa berbahagia. Air mataku meleleh di pipi, dan dengan rasa bersyukur aku mengangkat mataku yang basah ke arah matahari yang penuh rahmat dan memberiku rasa gembira.
Aku terus mengikuti jalan setapak sampai ber akhir di tepi sungai yang dalam dan deras airnya. Di kiri-kanan sungai banyak pohon kayu yang cabangnya condong ke atas air, dan kini penuh tunas muda musim semi. Di situ aku berhenti, tidak tahu pasti dengan arah yang akan kuambil seterusnya. Tiba-tiba aku mendengar suara orang, dan aku bersembunyi di balik sebatang pohon yang rimbun. Aku hampir-hampir belum masuk ke persembunyian, waktu kulihat seorang gadis lari ke arahku. Dia berlari sambil tertawa-tawa, seperti sedang main kejar-kejaran.
Gadis ini berlari terus sepanjang tepi sungai. Tiba-tiba dia terpeleset dan tercebur ke dalam air yang arusnya deras. Aku menghambur ke luar dari persembunyian. Aku terjun ke air, dan dengan sekuat tenaga dia kuselamatkan dari dalam air serta kubawa ke tepi.
Dia tidak sadarkan diri, dan aku berusaha e bisa-bisanya untuk membuatnya siuman. Waktu itu tiba-tiba aku terganggu oleh kedatangan seorang laki-laki, rupanya orang yang tadi sedang berkejar-kejaran dengan si gadis.
Demi melihatku, laki-laki ini terus menyerbu ke arahku. Si gadis direbutnya dari tanganku, terus dibawanya masuk lebih dalam ke tengah hutan. Dengan cepat aku mengikutinya, tidak tahu apa sebabnya. Tapi waktu dia mengetahui bahwa aku mengikutinya, laki-laki ini mengacungkan pistol yang dibawanya serta melepaskan tembakan. Aku roboh ke tanah, sementara orang yang melukaiku melarikan diri lebih cepat ke tengah hutan.
Inilah imbalan untuk pertolonganku" Aku telah menyelamatkan jiwa seorang manusia, dan sebagai hadiahnya kini aku meliuk-liuk kesakitan karena luka yang merobekkan daging dan menghancurkan tulangku.
Rasa senang yang belum lama kurasakan kini berubah menjadi kemarahan dan kesakitan. Terdorong oleh rasa sakit yang kuderita, aku bersumpah selamalamanya akan memusuhi dan membalas dendam kepada semua bangsa manusia. Tapi resa sakit karena lukaku mengalahkan segala galanya. Urat nadiku berhenti berdenyut, dan aku jatuh pingsan.
Selama beberapa minggu hidupku di tengah hutan sangat sengsara. Dengan segala daya upaya aku berusaha mengobati luka yang kudapatkan. Peluru mengenai bahuku, dan aku tidak tahu apakah peluru mengeram di dalam tubuhku atau tembus terus ke belakang. Kalaupun peluru mengeram dalam tubuhku, aku tidak punya alat untuk mengeluarkannya.
Hatiku bertambah menderita oleh rasa pedih memikirkan ketakadilan dan rasa tak tahu membalas budi yang dimiliki manusia. Setiap hari hasratku untuk membalas dendam semakin meningkat. Dendamku hanya akan bisa diredakan dengan pembunuhan dan darah, sebab hanya itulah yang layak sebagai ganti penderitaan yang kurasakan.
Setelah beberapa minggu berlalu lukaku sembuh, dan aku meneruskan perjalanan kembali. Rasa sakit yang kutanggung tidak bisa lagi diredakan oleh kelembutan sinar matahari, atau oleh belaian angin musim semi. Suasana gembira di sekelilingku kurasakan hanya sebagai ejekan untuk menghina diriku yang sebatang kara. Aku bahkan merasa lebih menderita, sebab sadar bahwa aku tidak layak menikmati kegembiraan.
Tapi jerih payahku sekarang hampir berakhir, dan dua bulan kemudian aku sudah sampai ke perbatasan kota Jenewa.
Aku sampai ke sana di waktu sore. Aku langsung mencari tempat persembunyian di tengah ladang. Di situlah aku memikirkan cara untuk mengajukan permohonanku kepadamu. Aku merasa lelah dan sangat lapar serta sedih. Aku sampai tidak merasakan kelembutan angin yang bertiup, atau merasakan keindahan terbenamnya matahari di balik pegunungan Jura. Waktu itu kesedihanku hanya sembuh sedikit dengan tidur sebentar, yang kemudian terganggu oleh kedatangan seorang anak yang manis. Anak ini berlari-lari ke arahku, dengan kelincahan kanak-kanak yang lucu. Waktu melihatnya, tiba-tiba sebuah gagasan melintas dalam benakku. Anak kecil ini pasti belum punya prasangka buruk dan hidupnya belum lama; dia pasti belum terpengaruh oleh rasa ngeri melihat rupa buruk, pikirku. Seandainya aku bisa menangkap serta mendidiknya untuk menjadi temanku, tentu aku takkan merasa kesepian lagi di dunia yang penuh didiami manusia ini. Terdorong oleh gagasan ini, aku menangkap anak laki-laki ini waktu dia lewat di dekatku. Segera setelah dia melihat rupaku, dia menutup matanya dengan tangan seraya memekik. Dengan keras renggutkan tangan yang menutupi matanya seraya berkata:
Nak, apa artinya ini" Aku tidak akan menyakitimu. Dengar perkataanku. Dia berontak sekuat tenaga Lepaskan akut teriaknya. Binatang" Makhluk buruk"
Kau mau memakanku dan mencabik-cabik tubuhku. Kau seorang raksasa. Lepaskan aku! Kalau tidak, akan kuadukan kau kepada ayahku. Nak, kau takkan bertemu Lagi dengan ayahmu. Kau harus ikut denganku. Makhluk mengerikan" Lepaskan aku! Ayahku orang terkemuka dia M, Frankenstein dia akan menghukummu. Jangan kau berani membawaku. Frankenstein! Jadi kau anak musuhku. Kepada dialah aku bersumpah akan membalas dendam. Kau akan menjadi korbanku yang pertama. Si anak masih berontak untuk melepaskan diri, sambil melontarkan kata-kata yang membuatku sangat marah. Kucekik lehernya supaya dia diam, dan dalam sekejap dia sudah menggeletak mati di muka kakiku.
Kupandangi korbanku, dan hatiku penuh dengan rasa kemenangan. Sambil bertepuk aku berkata, Aku pun bisa menimbulkan kesedihan. Musuhku tidak kebal dari rasa sedih. Kematian ini akan menimbulkan kesedihan pada dirinya dan seribu kesedihan lainnya akan menyiksa serta menghancurkannya. Waktu aku melihat kepada mayat si anak, kulihat benda berkilat-kilat pada dadanya. Ternyata bandul kalung yang bagus, dan terus kurenggutkan dari lehernya. Bandul berisi potret seorang wanita yang sangat cantik. Walaupun hatiku jahat, tapi potret ini melembutkan dan menarik hatiku. Beberapa saat lamanya aku memandangi matanya yang hitam dan berbulu mata tebal serta bibirnya yang manis. Seketika kemarahanku kembali. Aku teringat kembali bahwa untuk selama-lamanya aku takkan bisa menikmati kesenangan dari makhluk yang cantik. Dalam pandangankurupanya yang cantik seketika berubah menjijikkan dan menakutkan.
Herankah kau kalau pikiran semacam itu menimbulkan kemarahanku" Saat itu aku hanya merasa heran karena aku tidak langsung menyerbu bangsa manusia dan mati dalam usaha untuk menghancurkan mereka. Sementara aku dikuasai oleh perasaan ini, ku tinggalkan tempat aku melakukan pembunuhan itu. Aku mencari tempat bersembunyi yang lebih baik. Kumasuki sebuah gudang yang kelihatannya kosong. Tapi ternyata dugaanku keliru.
Seorang wanita sedang tidur di atas jerami. Dia masih muda. Walaupun rupanya tidak secantik potret wanita yang kubawa, tapi kecantikannya sedang mekarmekarnya dan tubuhnya sehat segar. Inilah dia salah seorang yang senyum manisnya di tujukan kepada setiap orang kecuali aku, pikirku. Aku membungkuk di atasnya seraya berbisik, Bangunlah, Cantik, kekasihmu ada di dekatmu. Dia akan mau mengorbankan nyawa untuk mendapatkan pandangan penuh kasih sayang dari matamu. Sayangku, bangunlah! Gadis yang sedang tidur ini bergerak. Seketika tubuhku menggigil karena takut. Apakah dia akan terbangun, melihatku, mengutuki diriku dan mengatakan bahwa aku pembunuh" Pasti itulah yang akan dilakukannya kalau dia membuka mata serta melihatku.
Pikiran gilaku timbul, dan iblis dalam hatiku bangkit. Bukan aku, melainkan dialah yang akan menderita. Aku telah melakukan pembunuhan karena aku tidak mungkin mendapatkan apa saja yang seharusnya dia bisa memberikan kepadaku Gadis ini harus menebus kemalanganku.
Kejahatan yang kulakukan adalah akibat dia, bersumber dari gadis ini. Maka dialah yang harusmerasakan hukumannya! Berkat pengajaran Felix tentang hukum yang bengis, aku tahu bagaimana cara memfitnah untuk mencelakaan orang lain. Aku membungkuk di atas gadis ini, terus kumasukkan kalung ke dalam satu lipatan pada pakaiannya.
Dia bergerak lagi, dan aku melarikan diri.
Selama beberapa hari aku berkeliaran dekat tempat terjadinya pembunuhan. Kadang-kadang aku ingin bertemu denganmu, dan kadang-kadang aku ingin meninggalkan dunia yang penuh kesedihan ini untuk selama-lamanya. Akhirnya aku mengembara sampai ke pegunungan ini. Aku berkeliaran di antara jurang-jurang dan tebing karang, tersiksa oleh hasrat menyala-nyala yang hanya bisa dipuaskan olehmu.
Kita tidak akan berpisah sebelum kau berjanji akan memenuhi permintaanku. Aku seorang diri dengan keadaan menyedihkan. Manusia takkan mau bergaul denganku. Tapi makhluk yang sama buruknya dengan diriku pasti takkan menampikku. Teman hidupku harus makhluk yang jenisnya sama dengan diriku, serta memiliki keburukan rupa yang sama pula denganku. Makhluk semacam inilah yang harus kauciptakan.
Bab 17 MAKHLUK ini selesai bercerita. Pandangan matanya kini dipusatkan kepadaku, meng-harapkan sebuah jawaban. Tapi aku kalap dan bingung. Aku tidak bisa memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang diminta dari padaku. Dia meneruskan, Kau harus menciptakan makhluk perempuan untukku, yang bisa kuajak hidup bersama dan saling mengasihi. Hanya kau sendiri saja yang akan sanggup memenuhi permintaanku. Aku memintanya kepadamu sebagai tuntutan hak yang harus kaupenuhi.
Bagian ceritanya yang terakhir telah membangkitkan kembali kemarahanku yang sudah reda waktu dia menceritakan hidupnya yang tenang dekat rumah De Lacey. Dan demi dia mengatakan ini, aku tidak dapat menahan lagi kemarahan yang berkobar dalam hatiku.
Aku menolak permintaanmu. jawabku. Dan takkan ada siksaan yang bisa memaksaku untuk menyetujuinya. Kau boleh mengatakan aku orang yang paling jahat, tapi kau takkan bisa merendahkan diriku di hadapanku sendiri. Aku harus menciptakan satu lagi makhluk seperti kau, dan berdua denganmu akan memusnahkan dunia" Pergi kau dari sini! Aku sudah menjawab permintaanmu. Kau boleh menyiksaku, tapi aku takkan memenuhi tuntutanmu. Kau keliru, jawab si iblis. Aku tidak akan mengancammu. Sebaliknya aku akan memberi penjelasan untuk meyakinkanmu. Aku menjadi jahat, sebab keadaanku menyedpikan. Bukankah aku ditolak dan dibenci oleh seluruh bangsa manusia" Sedangkan kau sendiri, penciptaku, dengan senang hati mau merobek-robek tubuhku. Jangan lupakan hal itu. Dan sekarang coba katakan kepadaku, apakah mungkin aku akan mengasihani manusia yang tidak mengasihani diriku" Kau tidak akan mengatakan bahwa perbuatanmu sebuah tindakan pembunuhan, kalau kau bisa melemparkanku ke jurang dari atas tebing serta menghancurkan tubuhku, hasil karya tanganmu sendiri. Apakah aku akan menghormati orang yang memandang rendah diriku" Cobalah kalau ada orang yang,mau bergaul denganku serta berbaik hati kepadaku. Maka bukan kejahatan, melainkan perbuatan baik yang akan kulakukan kepadanya, sebagai tanda terima kasih atas kesudiannya menerima diriku. Tapi itu takkan bisa terjadi. Kesadaran manusia merupakan tembok pemisah yang tidak memungkinkan mereka mau bergaul denganku. Tapi aku tidak mau diperbudak oleh keadaanku yang menyedihkan. Aku akan membalas dendam atas penderitaan yang kurasakan. Kalau aku tidak bisa membangkitkan rasa cinta, aku akan menimbulkan rasa takut. Terutama terhadap dirimu, musuh utamaku, penciptaku, aku bersumpah akan membencimu selama-lamanya. Hati-hati! Aku akan menjadi penyebab kehancuranmu. Aku tidak akan berhenti berusaha sebelum hatimu hancur luluh, sehingga kau mengutuki saat kau dilahirkan di dunia.
Kemarahan iblisnya tampak menyala-nyala waktu dia mengucapkan kata-kata ini. Mukanya kelihatan terlalu mengerikan bagi mata manusia. Tapi kemudian kemarahannya mereda, dan dia meneruskan:
Aku ingin menyadarkanmu. Kemarahan ini merugikan diriku, sebab kau tidak sadar bahwa kaulah penyebab semua bencana. Kalau ada makhluk yang merasa kasihan kepadaku, aku akan membatas kebaikannya seratus kali lipat. Karena kebaikan makhluk ini aku mau berdamai dengan seluruh bangsanya! Tapi kini aku digoda oleh impian kebahagiaan yang takkan bisa kucapai. Yang kuminta dari m u satu hal yang wajar dan tidak berlebih-lebihan. Aku minta dibuatkan makhluk seperti aku yang berlawanan jenis kelaminnya, makhluk yang sama buruknya dengan diriku. Permintaanku tidak seberapa, tapi aku sadar bahwa hanya ituldh yang bisa kuterima, dan sudah cukup memuaskanku. Benar kami akan menjadi makhluk terasing yang terpisah dari kehidupan lain di dunia. Tapi karena itu kami bahkan akan lebih terikat antara satu dengan lainnya. Kehidupan kami tidak akan berbahagia seperti kebanyakan orang lain, tapi akan penuh kedamaian dan bebas dari penderitaan yang sekarang kurasakan. Oh! Penciptaku, buatlah aku berbahagia. Berilah kesempatan aku merasa berterima kasih kepadamu karena satu kebaikan saja! Berilah aku kesempatan bisa mengasihi satu makhluk hidup saja. Janganlah kau menolak permintaanku! Hatiku merasa tergerak. Aku menggigil kalau membayangkan akibat yang mungkin terjadi kalau aku memenuhi permintaannya. Tapi aku juga merasakan adanya kebenaran dalam argumentasi yang dikemukakan olehnya. Ceritanya serta perasaan yang dilahirkannya membuktikan bahwa dia makhluk yang perasaannya baik. Dan bukankah aku sebagai pencipta berkewajiban memberikan kebahagiaan kepadanya, sesuai dengan kemampuanku" Dia melihat perubahan perasaanku, serta meneruskan;
Kalau kau setuju untuk memenuhi permintaanku, kau maupun manusia lainnya takkan melihat kami lagi. Kami akah pergi ke tengah rimba belantara di Amerika Selatan, Makananku tidak sama dengan makanan manusia. Aku tidak menyembelih kambing atau domba untuk memuaskan nafsu makanku. Bijibijian dan buah-buahan sudah cukup untuk menjaga kelangsungan hidupku. Teman hidupku juga haruB punya kodrat yang sama dengan diriku, dan akan puas dengan makanan yang sama. Kami akan tidur di atas tumpukan daun kering. Matahari akan menyinari tubuh kami serta meranumkan makanan kami. Apa yang kulukiskan kepadamu penuh kedamaian dan cukup manusiawi. Kau harus sadar bahwa penolakanmu akan mengakibatkan bencana, dan itu karena kekejaman mu. Tapi kekejaman di matamu kini sudah berubah menjadi belas kasihan. Ijinkanlah aku memanfaatkan kesempatan yang baik ini untuk memohonmu agar mau berjanji memenuhi keinginanku. Kau bermaksud menyingkir dari masyarakat manusia, jawabku, dan tinggal di tengah hutan rimba serta hidup bersama binatang Uar, Bagaimana kau akan bisa hidup terpencil, padahal selama ini mendambakan kasih sayang dan simpati manusia" Kau pasti akan kembali, dan sekali lagi menuntut kebaikan hati mereka. Dan kau akan mendapat sambutan kebencian seperti sebelumnya. Nafsu jahatmu pasti akan timbul kembali. Padahal kau sudah punya teman yang bisa membantumu melakukan tindakan pengrusakan. Aku mustahil akan bisa memenuhi keinginanmu. Berhentilah kau mengemukakan alasan, sebab aku takkan mau terbujuk.
Sungguh tidak tetap pendirianmul Sesaat yang lalu hatimu sudah tergerak oleh kata-kataku. Mengapa sekarang hatimu menjadi keras kembali" Aku bersumpah kepadamu, demi bumi yang kudiami, dan demi kau yang telah membuat diriku, bahwa aku akan melakukan apa yang telah kujanjikan. Bersama teman hidup yang akan kauberikan kepadaku aku akan menyingkir dari kalangan manusia. Aku akan hidup di tengah alam yang paling liar. Nafsu jahatku pasti akan lenyap, sebab aku akan memperoleh simpati! Aku akan hidup dengan tenang, dan pada saat-saat kematianku aku tidak akan mengutuki penciptaku. Kata-katanya menimbulkan pengaruh aneh atas diriku. ARu merasa kasihan kepadanya, dan kadang-kadang aku bahkan ingin menghiburnya. Tapi kalau aku melihat kepada rupa jasmaniahnya, kalau aku melihat makhluk buruk yang bergerak dan berbicara, hatiku merasa sakit dan perasaanku berubah menjadi ngeri serta penuh kebencian. Aku mencoba membunuh perasaan ini. Aku merasa bahwa aku tidak bisa berbelas kasihan kepadanya. Tapi aku tidak berhak menahan darinya sedikit kebahagiaan yang masih bisa kuberikan kepadanya. Kau bersumpah akan hidup dalam kedamaian kataku. Tapi bukankah kau sudah memperlihatkan kejahatan sehingga aku tidak bisa percaya kepadamu" Tidak mungkinkah kalau pemenuhan keinginanmu akan kauanggap satu kemenangan, yang akan menyebabkan kau lebih bisa membalas dendam dalam daerah yang lebih luas"
Apa pula ini" Janganlah kau mengajukan alasan yang berbelit-belit. Aku hanya minta satu jawaban. Kalau aku tidak punya ikatan dan tidak mendapat kari kasih sayang, maka bagianku adalah ke-bencian dan kejahatan. Kasih sayang yang ditujukan kepadaku akan melenyapkan sifat jahatku Aku akan menjadi makhluk pencinta perdamaian, tidak saling mengganggu dengan makhluk lainnya. Bahkan manusia takkan tahu bahwa aku ada di muka bumi ini. Kejahatanku hanya akibat kesen dirian yang sangat ku benci. Kebajikan pada diriku pasti akan bangkit kembali kalau aku hidup bersama dengan makhluk yang sama dengan diriku. Aku akan merasakan kasih sayang dari makhluk yang perasa, dan aku akan tersambung dengan rantai kehidupan yang sekarang putus dari diriku.
Aku berdiam diri be berapa waktu lamanya. Kurenungkan semua yang dikemukakannya dengan berbagai argumentasi. Kupikirkan janjinya akan membangkitkan kembali kebajikan yang telah diperlihatkan olehnya pada awal kehidupannya. Dulu semua kebaikannya lenyap karena rasa benci dan jijik yang dilemparkan kepadanya, dari orang-orang yang dianggapnya sebagai pelindung bagi dirinya.
Tapi kemampuan dan ancamannya juga tidak terlewatkan dalam pertimbanganku. Dia makhluk yang bisa hidup di dalam gua es, dan bisa bersembunyi di tebing karang yang tak terdaki oleh manusia. Dia makhluk yang memiliki banyak kelebihan, sehingga sangat sulit diperangi.
Setelah lama berpikir, akhirnya aku mengambil keputusan bahwa demi keadilan terhadap dirinya dan keselamatan bagi sesamaku aku harus memenuhi permintaannya. Maka aku menoleh kepadanya seraya berkata: Aku menyetujui tuntut anmu tapi dengan sumpah kau akan meninggalkan Eropa selamalamanya. Kau harus menyingkir dari masyarakat manusia segera setelah kuserahkan ke tanganmu perempuan yang akan menyertaimu dalam pengasingan.
Aku bersumpah, serunya, demi matahari, demi langit biru dan demi api cinta yang membakar hatiku, bahwa kalau kau meluluskan permohonanku, selama manusia hidup mereka takkan melihatku lagi. Kembalilah ke rumahmu dan mulailah bekerja. Aku akan memperhatikan kemajuan pekerjaanmu dengan ketaksabaran yang tak ada bandingannya. Dan jangan takut, setelah pekerjaanmu selesai barulah aku akan muncul.
Setelah mengatakan ini, tiba-tiba dia meninggalkanku. Rupanya dia takut jangan-jangan aku mengubah putusanku lagi. Kulihat dia menuruni gunung lebih cepat daripada burung elang yang menukik dari angkasa. Segera dia hilang dari pandangan di-tengah padang es yang tidak rata.
Ceritanya menghabiskan waktu sehari, dan mata hari sudah mulai masuk ke balik kaki langit waktu dia pergi. Aku harus segera turun ke lembah, sebab tidak lama lagi kegelapan malam akan turun. Tapi hatiku terasa berat dan langkahku lambat. Usaha untuk mendaki melalui jalan setapak yang melingkar-lingkar hampir-hampir menghabiskan tenagaku. Lebih-lebih pikiran dan perasaanku penuh dengan kejadian pada hari itu.
Hari sudah malam waktu aku melewati separuh jalan menuju ke rumah peristirahatanku. Aku berhenti dan duduk dekat pancuran. Kadang-kadang taburan bintang kelihatan di antara awan yang berarak. Pohon-pohon pinus yang hitam kelihatan di hadapanku, dan di sana-sini tampak pohon-pohon yang roboh ke tanah.
Pemandangan penuh ketenangan, serta membangkitkan perasaan aneh dalam hatiku. Aku menangis tersedu-sedu dengan kesedihan yang sangat dalam.
Sambil menjalin jari-jemariku aku berseru: Oh! Bintang, awan dan angin, kalian datang untuk mengejekku. Kalau kalian kasihan kepadaku, lenyapkan perasaan dan ingatanku. Biarlah aku menjadi orang yang tidak memiliki semua itu. Tapi kalau tidak, tinggalkan aku. Tinggalkan aku, dan biarkan diriku diselubungi kegelapan.
Ini pikiran orang yang kalap dan sangat menderita oleh kesedihan. Tapi aku tidak bisa melukiskan bagaimana bintang yang berkedip-kedip menyiksa hatiku, dan bagaimana desauan angin terdengar seperti badai yang akan datang untuk menyapu diriku.
Pagi, tiba sebelum aku sampai ke desa Chamounix. Tanpa beristirahat dulu, aku langsung pulang ke Jenewa. Bahkan-dalam hati aku tidak mampu melukiskan perasaanku sendiri. Hatiku terasa berat seperti dibebani sebuah gunung. Namun aku pulang ke rumah dan kembali menemui keluargaku.
Rupaku yang liar membangkitkan kekhawatiran mereka. Tapi aku tidak menjawab pertanyaan mereka, bahkan aku hampir-hampir tidak berbicara sama sekali. Aku merasa seakan tidak layak meminta belas kasihan mereka, seakanakan aku sudah tidak bisa lagi menikmati kesenangan bergaul dengan mereka. Tapi aku tetap mencintai mereka. Untuk menyelamatkan mereka, maka aku bersedia melakukan pekerjaan yang paling menjijikkan sekali lagi. Bayangan akan melakukan pekerjaan ini sekali lagi membuat hal lainnya seakan berlalu seperti mimpi. Hanya pikiran ingin menyelamatkan keluargaku sajalah yang bagiku merupakan kenyataan hidup.
Bab 18 HARI demi hari dan minggu demi minggu berlalu setelah aku kembali ke Jenewa. Tapi aku masih belum bisa mengumpulkan keberanian untuk memulai pekerjaanku. Aku takut kepada pembalasan dendam iblis yang merasa kecewa, tapi aku tidak bisa mengatasi kengerian kepada pekerjaan menjijikkan yang harus kulakukan.
Kemudian ternyata aku tidak bisa membuat makhluk perempuan tanpa sekali lagi belajar dulu selama beberapa bulan. Aku mendengar bahwa seorang sarjana Inggris telah mencapai satu penemuan yang akan bermanfaat bagi pekerjaanku. Seringkali aku berpikir ingin minta ijin kepada ayah untuk pergi ke Inggris karena kepentingan ini.
Tapi aku tidak melewatkan setiap dalih untuk menunda pekerjaanku. Aku masih saja ngeri untuk memulai pekerjaanku, dan lama-lama keharusanku melakukan pekerjaan ini terasa tidak begitu mutlak lagi bagiku.
Memang telah terjadi perubahan dalam diriku. Kesehatanku yang belum lama ini sangat merosot, kini sudah hampir pulih sama sekali. Pikiranku pun kalau tidak terganggu oleh janji yang tidak menyenangkan ini sudah terasa ringan dan mulai pulih kembali.Ayah merasa sangat senang melihat perubahan pada diriku. Dia mulai memikirkan cara paling baik untuk mengusir sisa-sisa kesedihan yang masih kurasakan, sebab kadang-kadang kemurunganku masih sering kembali menggelapkan wajahku. Pada saat-saat aku diganggu kesedihan seperti itu, aku selalu pergi menyendiri. Beberapa hari lamanya aku menyendiri di tengah danau, naik sebuah perahu kecil. Aku melihat awan yang berarak atau mendengarkan suara riak air danau. Biasanya udara segar dan matahari yang cemerlang selalu bisa menenangkan kembali perasaanku. Kembaliku ke rumah selalu disambut dengan senyuman dan air muka yang lebih gembira dari seluruh keluargaku.
Suatu hari, waktu aku kembali dari pengembaraan seperti ini, ayah memanggilku. Diajaknya aku menjauhi lain-lainnya, dan dia berkata kepadaku: Anakku, aku gembira melihat kesehatan dan kegembiraanmu sudah pulih kembali. Tapi kau kulihat masih belum merasa bahagia, dan seringkali menghindari kami semua. Lama sekali aku bingung memikirkan apa kira-kira penyebabnya. Tapi kemarin satu gagasan melintas dalam otakku. Karena gagasanku punya landasan yang kuat, maka kuharap kau mau mengakuinya. Menyedihkan satu hal bukan saja tak ada gunanya, tapi juga membuat kita semua merasa sengsara.
Aku gemetar mendengar kata-kata ayah, dan dia meneruskan: Kuakui, Nak, bahwa aku selalu mengharapkan kau akan segera mengikat tali perkawinan dengan Elizabeth. Itu akan mengeratkan hubungan kekeluargaan antara kita, dan merupakan penghiburan bagiku pada saat-saat akhir hayatku. Kalian sudah saling menyinta sejak masih kanak-kanak. Kalian belajar bersamasama, dan dalam hal selera maupun perangai kalian cocok antara satu dengan lainnya. Tapi sungguh buta manusia, kalau yang kuanggap sebagai hal yang baik bagi pelaksanaan rencanaku ternyata merupakan hal yang bisa menghancurkannya. Mungkin kau menganggap dia sebagai adikmu, tanpa keinginan untuk memperis-terikannya. Tidak, bisa jadi kau bertemu dengan gadis lain yang kaucintai. Dan karena kau merasa ada ikatan dengan Elizabeth, maka pergolakan dalam jiwamu selalu membuat dirimu senantiasa terganggu kesedihan.
Ayah, yakinlah bahwa aku mencintai saudara sepupuku dengan penuh kasih sayang dan ketu us an hati. Aku belum pernah menemukan wanita yang lebih kucintai daripada Elizabeth. Harapan masa depanku sama sekali tergantung dari ikatan antara kami berdua.
Pernyataanmu tentang hal ini membuatku sangat gembira, Victor, melebihi semua kegembiraan yang pernah kurasakan. Kalau memang demikian perasaanmu, pasti kita semua akan berbahagia, walaupun peristiwa yang belum lama terjadi masih membuat kita semua murung. Memang kemurungan inilah, yang sering tampak pada wajahmu, yang ingin segera kulenyapkan. Cobalah katakan, apakah kau keberatan kalau pernikahanmu segera kita laksanakan. Kita baru saja tertimpa kemalangan, dan peristiwa yang belum lama terjadi telah merenggutkan ketenangan yang seharusnya kurasakan pada usiaku yang sudah lanjut ini. Kau masih muda. Tapi di segi materi atau bekal hidup kau tidak punya kekhawatiran apa-apa. Jadi kurasa perkawinan dalam usia muda takkan berakibat apa-apa bagi rencana masa depanmu, atau kedudukan yang ingin kaucapai. Tapi janganlah kau menganggap aku ingin mendiktekan kebahagiaanmu. Demikian juga penundaan sedikit takkan berakibat yang serius bagiku. Tafsirkan lah kata-kataku dengan hati tulus. Dan kuharap kau mau menjawab dengan jujur pula.
Aku mendengarkan kata-kata ayah sambil ber diam diri. Beberapa waktu lamanya aku tidak bisa memberikan jawaban. Aku memeras otak untuk berusaha mendapatkan satu keputusan. Aduh! Gagasan untuk menikah dengan Elizabeth dalam waktu dekat sangat mengerikan bagiku. Aku masih terikat dengan satu janji yang harus kupenuhi. Aku tidak berani melanggar janjiku, sebab pasti bencana dan kesedihan yang luar biasa akan menimpa keluargaku yang tercinta!
Dapatkah aku memasuki upacara perkawinan dengan beban yang memberatkan masih tergantung di leherku, serta; membungkukkan tubuh ku ke tanah" Aku harus memenuhi janjiku dulu serta membiarkan makhluk ini pergi dengan teman hidupnya, sebelum aku mengharapkan ketenangan untuk menikmati ikatan perkawinanku.
Aku juga teringat dengan hal-hal yang harus kulakukan sebelum aku mulai bekerja. Aku harus pergi ke Inggris, atau melakukan s urat menyurat dengan para sarjana di negeri itu, yang pengetahuan dan penemuannya sangat kuperlukan.
Cara surat-menyurat untuk mendapatkan pengetahuan yang ingin kuperoleh tidak begitu memuas kanku. Lagipula aku sama sekali tidak ingin mela kukan pekerjaan yang menjijikkan ini di rumah ayahku, yang didiami oleh orangorang yang paling kucintai.
Aku sadar bahwa akan terjadi banyak peristiwa yang menakutkan. Dan kalau perbuatanku ketahuan sedikit saja, tentu mereka yang melihatnya akan merasa sangat ngeri. Aku juga sadar bahwa di rumah aku takkan mendapat kebebasan penuh. Padahal dalam melakukan pekerjaan ini aku harus menyendiri, untuk menyembunyikan perasaanku selama aku menangani segala hal yang menjijikkan.
Aku harus menjauhi semua orang yang kucintai selama menunaikan tugasku. Setelah pekerjaanku selesai, dan pasti akan segera bisa kuselesaikan, baru aku kembali ke tengah keluargaku untuk me-, nikmati rasa damai dan bahagia. Setelah janjiku kupenuhi, makhluk buruk ini akan pergi untuk selama-lamanya. Atau lebih baik lagi kalau sementara itu terjadi peristiwa yang akan menyebabkan makhluk ciptaanku binasa, dan akan terbebaslah diriku dari perbudakan untuk selama-lamanya.
Perasaan ini mendorongku untuk menetapkan satu jawaban untuk pertanyaan ayahku. Aku menerangkan ke-padanya bahwa aku ingin melancong ke Inggris. Tapi aku menyembunyikan alasan se-I benarnya mengapa aku ingin pergi ke sana. Aku mengemukakan dalih yang kira-kira tidak akan mencurigakan, tapi juga aku menekankan keinginanku dengan sungguh-sungguh supaya ayah menyetujuinya.
Beberapa saat lamanya berlalu dengan penuh ketegangan bagiku. Akhirnya ayah menyatakan gembira kalau aku akan menemukan kesenangan karena perjalanan yang akan kulakukan. Dia berharap semoga perubahan suasana dan kesenangan yang akan kualami akan baik akibatnya bagiku. Dia mengharapkan kembaliku kelak aku sudah pulih kembali kepada sifat periangku seperti sediakala.
Berapa lamanya aku pergi terserah kepada pertimbanganku sendiri: mungkin selama beberapa bulan, atau kalau perlu setahun. Karena kasih sayangnya yang kebapakan, ayah menetapkan agar aku pergi bersama seorang teman. Tanpa memberitahukan lebih dulu kepadaku, atas persetujuan Elizabeth maka Clerval akan menemani perjalananku mulai dari Strasbourg.
Hal ini bertentangan dengan keinginanku me nyendiri selama aku menyelesaikan pekerjaanku. Tapi dalam perjalanan, kehadiran seorang teman sama sekali tidak merupakan penghalang. Bagiku bahkan ada segi keuntungannya, yaitu aku takkan merasa kesepian serta takkan terganggu oleh perasaan yang bisa membuatku menjadi gila rasanya.
Clerval bahkan akan bisa menghalangi musuhku yang mungkin akan datang mengganggu. Kalau aku seorang diri, bukankah sesekali makhluk buruk ini akan memperlihatkan rupanya yang menjijikkan" Bukankah dia sudah berjanji akan mengawasi kemajuan pekerjaanku, serta mengingatkanku agar aku memulai pekerjaaanku"
Maka aku pun melakukan perjalanan ke Inggris. Kami sudah sepakat bahwa pernikahanku dengan Elizabeth akan dilangsungkan segera setelah aku kembali.
Usia ayahku yang sudah lanjut tidak mengijinkan adanya penundaan lagi. Bagi diriku sendiri, aku menjanjikan satu imbalan setelah ku-selesaikan pekerjaanku yang menjijikkan yaitu terbebasnya diriku dari rasa tertekan yang kuderita. Setelah aku bebas dari perbudakan diriku yang menyedihkan ini, aku bisa hidup bersama Elizabeth sebagai suami-isteri serta melupakan kese dihan masa lampauku.
Sebelum berangkat aku membuat beberapa per siapan untuk melakukan perjalanan. Tapi selalu saja satu perasaan menghantuiku, serta mengisi hatiku dengan rasa takut dan khawatir. Selama aku pergi, keluargaku tidak sadar bahwa ada musuh yang mengancam keselamatan mereka. Mereka juga tanpa perlindungan terhadap serangannya, yang mungkin akan dilakukan setelah aku berangkat.
Tapi dia sudah berjanji akan mengikutiku ke mana saja aku pergi. Tidakkah dia akan mengikutiku ke Inggris" Bayangan ini sangat mengerikan, tapi juga menenangkan diriku kalau mengingat kese lama tan keluargaku. Aku sangat menderita memikirkan mungkin akan terjadi peristiwa yang berlawanan dengan dugaanku.
Walaupun demikian, selama aku menjadi budak makhluk ciptaanku sendiri, aku membiarkan diriku diperintah oleh dorongan impuls yang kurasakan pada saat itu. Dan pada saat itu besar dugaanku bahwa si iblis akan mengikutiku. Maka keluargaku sementara bebas dari perbuatan jahatnya.
Pada akhir bulan September sekali lagi aku meninggalkan kampung halamanku. Perjalanan ini atas usulku sendiri, yang disetujui oleh Elizabeth. Tapi dia merasa khawatir memikirkan penderitaan yang kurasakan. Lebih-lebih aku akan jauh dari dia yang selalu menghiburku.
Atas desakan Elizabeth pula maka Clerval disuruh menemaniku dalam perjalanan. Tapi seorang pria buta dari ribuan peristiwa kecil yang takkan terlewatkan oleh perhatian seorang wanita. Elizabeth mengharapkan agar aku lekas kembali. Ribuan perasaan yang saling bertentangan membuatnya membisu waktu dia mengucapkan selamat jalan kepadaku dengan air mata bercucuran.
Aku menghenyakkan diri di tempat duduk kereta yang kunaiki. Aku hampirhampir tidak tahu ke mana aku akan pergi, serta tidak peduli dengan yang terjadi di sekelilingku. Aku hanya teringat dengan perasaan getir telah memerintahkan agar alat-alat kimiaku dipak untuk kubawa. Penuh dengan bayangan yang mengerikan, aku melewati alam yang indah dengan mata hampa dan tidak mampu melihat apa-apa. Aku hanya bisa memikirkan tujuan perjalananku serta pekerjaan yang harus kulakukan. Beberapa hari berlalu tanpa perbuatan apa-apa sementara aku menempuh perjalanan. Akhirnya aku sampai ke Strasbourg, dan di sana aku menunggu kedatangan Clerval selama dua hari.
Dia pun datang. Aduh! Betapa besarnya perbedaan antara dia dengan aku! Dia penuh gairah hidup. Dia gembira menyaksikan matahari terbenam, dan lebih gembira lagi menyaksikan matahari terbit esoknya sebagai permulaan hari baru. Clerval menunjukkan kepadaku warna alam yang berubah-ubah serta keindahan warna langit. Untuk inilah kita hidup, katanya. Sekarang aku benar-benar bisa menikmati kehidupan! Tapi kau, sahabatku Frankenstein yang tercinta, mengapa kau selalu murung dan berdukacita"
Memang aku selalu dikuasai oleh kesedihan. Aku bahkan tidak bisa melihat turunnya bintang senja atau bayangan matahari yang keemasan di permukaan air sungai Rhine. Dan kau, sahabatku, pasti akan lebih senang membaca catatan Clerval. Dia melihat pemandangan alam dengan mata perasaannya. Sedangkan aku selalu dibutakan oleh bayangan yang ada dalam pikiranku. Aku makhluk malang yang dihantui kutukan, dan tertutup dari setiap kesenangan. Kami sepakat untuk menghiliri sungai Rhine dengan perahu dari Strasbourg ke Rotterdam. Dari sana kami bisa naik kapal ke London. Dalam perjalanan ini kami melalui beberapa pulau yang penuh ditumbuhi pohon-pohon rindang, serta melihat beberapa buah kota yang indah.
Di Mannheim kami singgah sehari, dan pada hari kelima sejak keberangkatan kami dari Strasbourg kami sampai ke Mainz. Mulai dari Mainz pemandangan di kiri kanan sungai Rhine semakin indah. Arus sungai lebih deras serta berkelokkelok di antara bukit-bukit. Bukit-bukit ini tidak tinggi, tapi lerengnya terjal serta bentuknya indah.
Kami melihat banyak sekali runtuhan kastil, tegak berdiri di tebing-tebing karang. Kastil yang menjulang tinggi ini dikelilingi oleh hutan yang menghitam karena lebatnya. Bagian sungai Rhine di sini memang penuh pemandangan yang paling unik dan paling indah. Di satu tempat tampak bukit-bukit yang kasar dengan kastil di tepi tebing curam, dan di bawahnya mengalir air sungai Rhine yang deras. Kemudian di balik satu belokan tiba-tiba kelihatan kebun anggur yang subur, tepi sungai yang hijau dan landai, air sungai yang tenang serta kota yang permai.
Waktu itu kebetulan sedang musim panen anggur. Di mana-mana kami mendengar nyanyian merdu para pekerja yang sedang menuai anggur, sementara kami terus meluncur mengikuti arus. Bahkan aku sendiri yang sedang menderita tekanan batin dan menderita kesedihan, waktu itu turut merasa gembira. Aku berbaring di atas dasar perahu. Sambil menatap langit biru yang tak berawan, aku merasa seakan sedang mereguk ketenangan yang lama tidak kurasakan. Dan kalau perasaanku saja sudah begini, siapa yang akan bisa melukiskan perasaan Clerval"
Clerval merasa seperti sedang mengembara di negeri dongeng, dan sedang menikmati kebahagiaan yang tidak pernah dikecap oleh manusia. Aku sudah melihat pemandangan paling indah di negeriku, katanya. Aku sudah pernah pergi ke danau Lucerne dan Uri. Di sana lereng gunung bersalju seakan tegak lurus turun langsung ke air. Bayangannya yang hitam tampak suram. Untunglah di dekatnya ada pulau yan$ hijau "ubur, raenyegarkan pandangan mata. Aku pernah melihat danau ini dilanda badai. Ombak bergulung-gulung seperti gelombang samudera. Ombak ini memecah ke kaki gunung, melimbur dan menenggelamkan seorang pendeta dengan isterinya. Kabarnya sampai sekarang di waktu malam suara jeritan mereka masih sering terdengar di antara desauan angin.
Aku sudah pernah melihat gunung La Valaisdan Pays de Vaud. Tapi negeri ini, Victor, bagiku lebih mempesona daripada semua keindahan yang pernah kusaksikan. Gunung di Switzerland lebih hebat dan unik, tapi tepi sungai di sini memiliki pesona yang tak ada taranya. Lihatlah kastil yang menjulang tinggi di tebing-tebing karang. Juga pulau-pulau yang hampir tertutup seluruhnya dengan pohon-pohonan, dan kastilnya tersembunyi di balik daun-daun hijau. Dan sekarang perhatikan rombongan pekerja yang bermunculan dari tengah kebun anggur. Dan desa yang setengah tersembunyi di balik pegunungan. Ah, pasti roh halus yang menjaga tempat ini punya hubungan yang lebih serasi dengan manusia, daripada roh halus yang bersembunyi di puncak-puncak gunung es yang tak ter-daki di negeri kita sendiri.
Clerval! Sahabatku yang tercinta! Bahkan sekarang pun aku merasa senang sekali mengulangi kata-kata pujian yang kauucapkan! Dia adalah manusia yang jiwanya sangat puitis. Imajinasinya yang penuh warna diperindah oleh hatinya yang peka. Jiwanya penuh rasa kasih sayang, dan kesetiaannya kepada sahabat hampir-hampir seperti khayalan dalam buku cerita. Tapi simpati sesama manusia masih belum cukup baginya. Pemandangan alam yang bagi orang lain hanya merupakan sasaran kekaguman, dicintainya dengan sepenuh hati. Setelah melewati Cologne, kami turun dan terus melintasi dataran rendah Negeri Belanda. Perjalanan selanjutnya kami tempuh melalui daratan, sebab angin datang dari arah yang berlawanan dan arus terlalu tenang sehingga tidak cukup kuat untuk mendorong perahu kami.
Dalam perjalanan ini kami tidak lagi melihat pemandangan indah. Tapi beberapa hari kemudian kami sudah sampai ke Rotterdam, dan dari sana kami naik kapal ke Inggris. Di akhir bulan Desember kami sampai. Pagi sangat cerah waktu pertama kali kami me lihat tebing-tebing karang Britania yang putih. Tepi sungai Thames memiliki pemandangan yang lain daripada yang telah kami lihat. Tanah di situ rata, tapi sangat subur. Setiap kotanya selalu mengingatkanku akan satu cerita yang pernah kubaca. Kami melihat Tilbury Fort dan teringat akan Armada Spanyol; Gravesend, Woolwich dan Greenwich semua tempat-tempat yang sudah pernah kudengar bahkan di negeriku sendiri.
Akhirnya kami melihat menara kota London yang tak terhitung banyaknya. Yang tertinggi menara gereja Saint Paul, menara yang paling terkenal dalam sejarah Inggris.
Bab 19 LONDON sementara ini merupakan tujuan kami. Kami bermaksud tinggal selama beberapa bulan di kota yang hebat dan sangat terkenal ini. Clerval sangat berhasrat menemui beberapa orang yang bakat maupun kepandaiannya paling menonjol pada waktu ini. Tapi bagiku itu merupakan tujuan kedua. Aku terutama punya kesibukan mengumpulkan informasi yang kubutuhkan sebagai sarana untuk memenuhi janjiku. Aku segera menggunakan surat-surat pengantar yang kubawa, yang dialamatkan kepada para sarjana ilmu pengetahuan alam terkemuka.
Seandainya perjalanan ini kulakukan dulu waktu aku masih menuntut pelajaran dan belum dirundung kemalangan, pasti aku akan merasa sangat senang. Tapi kini aku hanya menemui orang-orang yang bisa memberiku informasi tentang hal-hal yang sekarang sangat kubenci.
Tapi suara Clerval bisa melembutkan hatiku. Bersama dia, aku bisa merasakan ketenangan walaupun hanya bersifat sementara. Tapi melihat muka orang lain yang penuh kesibukan atau kegembiraan membuat hatiku merasa sedih kembali Aku sadar bahwa ada tembok pemisah yang sangat tinggi antara aku dengan manusia sesamaku. Tembok pemisah ini ditandai dengan darah William dan Justine. Dan ingatan kepada peristiwa yang bertalian dengan nama mereka selalu membuat hatiku merasa sangat menderita.
Tapi dalam diri Clerval aku melihat gambaran diriku sendiri pada masa sebelum ditimpa kemalangan. Dia punya hasrat besar untuk mencari pengalaman dan menuntut pelajaran. Baginya watak manusia yang berbeda-beda merupakan sumber pelajaran dan pengamatan yang menyenangkan. Dia juga bercita-cita ingin pergi ke India. Dia yakin telah menguasai bahasanya, dan pelaksanaan keinginannya bisa dengan cara membantu kemajuan kolonialisasi dan perniagaan Eropa.
Kunjungan ke Inggris ini dimanfaatkannya untuk mengusahakan pelaksanaan rencananya. Dia selalu sibuk, dan yang menahan kegembiraan hatinya hanyalah perasaanku yang selalu penuh kesedihan. Sebenarnya aku selalu berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku tidak ingin menghalangi kesenangannya yang wajar sebagai seorang yang baru memasuki dunia kehidupan, dan belum terganggu oleh kesedihan atau kenangan pahit. Aku seringkali tidak mau menemaninya, dengan dalih aku punya urusan sendiri. Padahal tujuan sebenarnya ialah agar aku bisa menyendiri.
Kini aku juga sudah mulai bisa mengumpulkan bahan yang kuperlukan untuk mengerjakan ciptaanku yang baru. Sedangkan pekerjaan itu sendiri bagiku merupakan siksaan yang tak ada habis-ha bisnya. Setiap pikiran yang kutujukan kepada soal ini selalu mendatangkan penderitaan paling pedih, dan setiap kata yang kuucapkan membuat bibirku gemetar serta hatiku berdebar-debar. Setelah tinggal selama beberapa bulan di London, kami menerima sepucuk surat dari Skotlandia. Pengirimnya ternyata orang yang pernah menjadi tamu kami di Jenewa. Dia menceritakan keindahan negeri kelahirannya, serta mengundang kami untuk mengunjungi Perth, kota tempat tinggalnya.
Dengan penuh hasrat Clerval menyambut baik undangan ini. Aku sendiri sebenarnya segan bergaul dengan orang lain. Tapi aku juga ingin melihat kembali gunung dan sungai serta keindahan alam di sana yang sangat terkenal. Sekarang sudah bulan Pebruari. Kami meren canakan untuk memulai perjalanan kami ke utara pada akhir bulan depan. Dalam perjalanan ini kami tidak bermaksud mengambil jalan raya yang menuju ke Edinburgh. Kami akan mengunjungi Windsor, Oxford, Matlock serta danau-danau di Cumberland.
Kami bermaksud melakukan pengembaraan sampai akhir bulan Juli. Aku mengepak alat-alat kimia beserta bahan yang sudah kukumpulkan. Aku bertujuan menyelesaikan pekerjaanku di sebuah tempat terpencil di pegunungan utara Skotlandia.
London kami tinggalkan pada tanggal 27 Maret. Di Windsor kami singgah beberapa hari, menjela jahi hutannya yang indah. Hutan ini merupakan pemandangan yang baru bagi kami, para pendaki gunung. Kami sangat takjub melihat pohon eik besar-besar, binatang buruan yang tak terhitung banyaknya serta rombongan rusa yang sangat banyak.
Dari sana kami terus pergi ke Oxford. Waktu kami memasuki kota, kami segera teringat kepada peristiwa yang terjadi di situ satu setengah abad berselang. Di situlah Charles Pertama mengumpulkan pasukannya. Penduduk kota ini tetap setia kepadanya, walaupun seluruh bangsa meninggalkannya untuk mengikuti ketentuan Parlemen dan tuntutan kemerdekaan.
Kenangan kepada raja yang malang ini beserta teman-temannya, Falkland yang ramah, Goring yang pemalas, permaisuri serta anaknya, meninggalkan kesan pada beberapa bagian kota di tempat-tempat yang diduga pernah mereka diami. Peninggalan masa lampau ini masih banyak terdapat, dan dengan rasa senang kami menapaki jejaknya kembali.
Walaupun tanpa ini semua, keindahan kota ini memang sudah cukup mengagumkan. Gedung-gedung perguruan tinggi yang terdapat di situ bentuknya kuno dan indah. Jalan-jalannya lebar dan bagus. Sungai Isis yang indah mengalir di tengah padang rumput dan tanaman hijau, terus melalui kota yang penuh menara dan kubah di antara pohon-pohonan yang sudah tua dan besar-besar. Aku senang sekali melihat pemandangan di situ. Tapi masih saja kegembiraanku diracuni oleh kenangan pahit masa lalu serta bayangan gelap masa depan.
Sebenarnya aku punya pembawaan yang cocok untuk kebahagiaan yang penuh ketenangan. Di masa kanak-kanakku aku tidak pernah merasa kecewa. Rasa bosan belum pernah menguasaiku. Aku menyukai keindahan, dan apa saja yang merupakan hasil ciptaan manusia selalu menarik hatiku.
Tapi aku seperti pohon yang disambar petir. Jiwaku sudah hangus. Dan aku merasa bahwa aku hanya hidup untuk mengalami kesedihan. Aku akan menjadi orang yang pribadinya hancur, tak tertahankan bagiku dan memilukan bagi orang lain.
Kami agak lama tinggal di Oxford. Kami mengembara ke mana-mana, serta berusaha mengenali setiap tempat yang ada hubungannya dengan sejarah Inggris. Penemuan yang kami dapatkan dalam pengembaraan ini seringkali menyebabkan keberangkatan kami untuk meneruskan perjalanan jadi tertunda. Kami mengunjungi makam Hampden dan ladang tempat pahlawan ini gugur. Sesaat terlupakan olehku rasa takut yang menyedihkan, dan aku ganti merenungkan pengorbanan diri demi kemerdekaan yang dikesankan oleh monumen ini. Sesaat aku berani melemparkan rantai yang membelenggu diriku, serta melihat berkeliling dengan semangat hidup yang lebih tinggi. Namun besi belenggu sudah melukai dagingku. Aku roboh kembali, gemetar dan tidak berdaya, kembali menjadi orang yang menyedihkan.
Oxford kami tinggalkan pula, dan kami terus ke Mattock, tempat perhentian kami berikutnya. Daerah di sekitar desa ini agak mirip pemandangan di Switzerland. Bedanya hanya di situ segala-galanya lebih rendah. Pegunungannya juga ditumbuhi pohon pinus, tapi puncaknya tidak diselimuti salju seperti pegunungan Alpen.
Kami mengunjungi gua-gua yang indah, peninggalan sejarah alam. Di situ keadaannya mirip dengan di Servox dan Chamounix. Nama Chamounix yang disebutkan oleh Clerval membuatku gemetar. Aku lalu segera mengajaknya meninggalkan Matlock.
Dari Derby kami masih menuju ke utara, dan kami tinggal selama dua bulan di Cumberland dan Westmorland. Kini aku hampir-hampir merasa seakan sedang berada di pegunungan Swiss. Lapisan salju yang tampak di sana-sini di lereng utara pegunungan merupakan pemandangan yang sangat kukenal. Demikian juga danau-danaunya serta anak sungai yang mengalir deras di antara batu-batu karang. Di situ pun kami menemukan beberapa hal yang hampir membuatku merasa bahagia.
Tapi kegembiraan Clerval jauh lebih besar daripada kegembiraanku. Alam pikirannya menjadi lebih luas karena pergaulan dengan orang-orang berbakat. Aku bisa melewatkan sisa hidupku di sini, katanya kepadaku. Di tengahtengah pegunungan ini aku tidak lagi merindukan Switzerland dan sungai Rhine.
Ternyata dia tidak bisa mempertahankan pendapatnya. Jarang ada pengembara yang bisa mencintai satu tempat untuk selama-lamanya. Dia segera pula tertarik kepada tempat lain, dan itu pun kemudian ditinggalkan pula untuk mencari keindahan baru.
Kami belum rata menjelajahi semua danau di Cumberland dan Westmorland, dan saat pertemuan yang kami janjikan dengan sahabat Skot ini sudah tiba. Maka kami pun meneruskan perjalanan pula.
Aku sendiri tidak menyesal meninggalkan daerah yang berdanau-danau ini. Aku sudah cukup lama melupakan janjiku, dan aku takut jangan-jangan kekecewaan si iblis menimbulkan akibat yang tidak baik. Siapa tahu dia tetap tinggal di Switzerland, dan membalaskan dendamnya kepada keluargaku. Pikiran ini memburu dan menyiksaku, sehingga aku tidak bisa lagi beristirahat dan menikmati kedamaian. Dengan tidak sabar aku menunggu kedatangan suratsuratku. Kalau surat yang kutunggu datangnya terlambat, seribu satu rasa takut mencengkamku. Dan kalau surat tiba dan aku melihat tulisan Elizabeth atau ayah, aku hampir-hampir tidak berani membaca dan meyakinkan nasibku. Kadang-kadang aku merasa seakan si iblis mengikutiku, serta mengingatkan kelalaianku dengan membunuh teman perjalananku. Kalau pikiran ini melintas pada otakku, aku tidak mau meninggalkan Clerval barang sesaat. Aku ingin melindunginya dari kemarahan iblis perusak ini. Aku merasa seperti orang yang melakukan kejahatan besar, dan perasaan ini selalu menghantuiku. Aku sama sekati tidak bersalah, tapi aku telah mendatangkan kutukan yang mengerikan terhadap diriku seperti pelaku kejahatan.
Aku mengunjungi Edinburgh dengan mata dan pikiran lemah. Namun kota ini cukup mampu raem-pesona manusiayang paling celaka di dunia. Clerval tidak begitu menyukainya seperti dia menyukai Oxford. Baginya ketuaan kota Oxford lebih menarik dan menyenangkan.
Walaupun demikian keindahan dan keberesan kota Edinburgh merupakan pergantian suasana, menarik kekagumannya. Kastil-kastilnya sangat romantis dan paling indah di dunia. Petilasan Raja Arthur, Mata air Saint Bernard dan Bukit Pentland juga tidak kurang indahnya. Tapi aku sudah tidak sabar, ingin segera sampai ke tempat tujuan.
Seminggu kemudian kami meninggalkan Edinburgh. Kami melalui Coupar, Saint Andrew, serta menyusuri tepi sungai Tay menuju ke Perth. Di sana sahabat kami sudah menunggu. Tapi aku tidak punya selera untuk tertawa dan bercakap-cakap dengan orang asing, seperti lazimnya seorang tamu mengharapkan keramahan tuan rumah. Maka aku menyatakan keinginanku kepada Clerval untuk menjelajahi Skotlandia seorang diri.
Kau kupersilakan menyenang-nyenangkan dirimu sendirian, kataku, dan mari kita tetapkan rumah sahabat kita ini sebagai tempat pertemuan. Ijinkan aku pergi selama satu atau dua bulan. Tapi kuminta kepadamu janganlah kau mengganggu urusanku. Biarkan aku menyendiri dan menikmati ketenangan sebentar. Setelan aku kembali, kuharap hatiku sudah terasa ringan, dan lebih cocok dengan perangaimu. Clerval ingin melarang keinginanku. Tapi demi melihat bahwa tekadku sudah bulat, dia mengurungkan maksudnya. Dia mendesakku agar sering menulis surat kepadanya.
Aku lebih suka mengembara bersamamu, katanya, daripada bersama orang Skot yang belum kukenal. Segeralah kau kembali, Sahabatku, supaya aku merasa senang kembali. Aku takkan merasa senang selama berpisah denganmu.
Setelah berpisah dengan sahabatku, aku ingin pergi ke tempat yang paling terpencil di Skotlandia untuk menyelesaikan pekerjaanku sendirian. Aku tidak ragu-ragu lagi bahwa makhluk ini terus mem-buntutiku. Dia akan memperlihatkan diri setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, supaya dia bisa menerima teman hidupnya.
Dengan tujuan ini aku pergi ke pegunungan utara. Aku memilih tempat di salah satu pulau yang terjauh dari kepulauan Orkney. Tempat yang kupilih sangat cocok untuk melakukan pekerjaan yang akan kuselesaikan. Hampir-hampir tempatku hanya merupakan sebungkal besar batu karang, yang sisinya selalu dihantam gelombang. Tanahnya tandus, dengan padang rumput yang hampirhampir tidak mencukupi untuk memberi hidup beberapa sapi kurus. Ladangnya juga tidak menghasilkan gandum cukup untuk penghuni pulau yang tidak lebih dari 4 lima orang. Penghuni pulau ini juga kurus-kurus, menandakan bahwa mereka kurang makan. Sayur-mayur, roti dan air tawar didatangkan dari daratan yang jauhnya sekitar tujuh kilometer dari pulau.
Di pulau ini hanya ada tiga buah pondok buruk. Salah satu di antaranya kosong waktu aku datang. Pondok ini kusewa. Di dalamnya hanya terdiri atas dua kamar. Keadaannya kotor, serta menunjukkan kemelaratan yang menyedihkan. Atapnya sudah runtuh di sana-sini, temboknya tidak dikapur dan pintunya berlepakan dari engselnya.
Aku memerintahkan agar pondok ini diperbaiki dan kubeli beberapa perabotan. Apa yang kulakukan pasti membuat penghuni pulau merasa heran, kalau perasaan mereka belum mati karena kekurangan dan kemiskinan. Selanjutnya mereka tidak pernah memperhatikan maupun mengusikku. Mereka bahkan hampir-hampir tidak mengucapkan terima kasih atas pemberianku yang berupa makanan sedikit dan pakaian kepada mereka. Sampai sejauh itulah penderitaan menumpulkan perasaan manusia.
Dalam pengasinganku ini aku bekerja di pagi hari. Di sore hari, kalau cuaca mengijinkan, aku berjalan-jalan di pantai karang untuk mendengarkan ombak memecah di bawah kakiku. Pemandangan di sekelilingku membosankan, walaupun selalu berubah-ubah.
Aku teringat kembali kepada Switzerland. Pemandangan di sana jauh berbeda dengan di tempat terpencil yang gersang ini. Di sana bukit-bukitnya penuh kebun anggur, dengan pondok yang lebih banyak tersebar di dataran rendah. Permukaan danaunya yang jernih membayangkan langit biru. Kalau tertiup angin, ombaknya hanya seperti riak yang timbul karena airnya dipermainkan anak kecil, kalau dibandingkan dengan gelombang samudera di sini. Karenanya maka aku segera mulai bekerja setelah aku menempati pondok. Tapi semakin aku memperoleh kemajuan, pekerjaanku menjadi semakin mengerikan dan membosankan. Kadangkala aku tidak berhasil menguatkan hatiku untuk masuk ke dalam laboratorium selama beberapa hari. Dan pada kesempatan lainnya aku bekerja siang-malam untuk mengejar ketinggalan dan kerugian waktu. Pekerjaan yang kulakukan memang sangat menjijikkan. Waktu pertama kali aku melakukannya dulu, semangatku yang hampir seperti orang keranjingan membutakan diriku dari kengerian kepada perbuatanku. Pikiranku tertuju kepada hasil kerjaku, dan mataku tertutup dari kengerian atas pekerjaan yang kulakukan. Tapi sekarang aku seringkali merasa ngeri sendiri kepada apa yang sedang kutangani.
Karena keadaan itu semua, maka perasaanku juga tidak sama seperti dulu. Aku melakukan pekerjaan yang menjijikkan. Suasana di sekitarku membosankan. Aku seorang diri, dan tidak ada selingan yang bisa mengalihkan perhatianku dari suasana di dalam ruang kerjaku. Semua menyebabkan aku menjadi terganggu oleh perasaan khawatir dan gelisah.
Setiap saat aku merasa takut bertemu dengan , makhluk yang menuntut pemenuhan janjiku. Kadang-kadang aku duduk dengan mata tertuju ke tanah. Aku takut jangan-jangan kalau kuangkat kepalaku, aku akan melihat makhluk yang menakutkan ini. Aku takut menjauhi manusia sesamaku, jangan-jangan kalau aku seorang diri makhluk ini akan datang meminta teman hidup yang kujanjikan kepadanya.
Sementara itu aku bekerja terus, dan kemajuan yang kucapai sudah kelihatan. Aku berharap akan segera menyelesaikannya, tapi aku tidak berani membayangkan bencana yang akan terjadi, yang sudah mulai tampak samarsamar dan memedihkan hatiku.
Bab 20 SUATU malam aku duduk dalam laboratorium. Matahari sudah lama terbenam, tapi bulan baru saja muncul dari tepi samudera. Sinar lampu yang kumiliki tidak cukup untuk menerangi pekerjaanku. Maka aku duduk tanpa melakukan apaapa. Aku sedang mempertimbangkan apakah aku akan berhenti atau terus bekerja.
Waktu aku duduk sambil termenung ini, tiba-tiba sebuah pikiran terlintas dalam otakku. Pikiran ini mendorongku untuk meninjau akibat yang bisa terjadi karena pekerjaan yang kulakukan.
Tiga tahun yang lalu aku melakukan pekerjaan yang sama. Aku menciptakan iblis yang kekejamannya tanpa tandingan, yang menyebabkan hatiku penuh penyesalan yang paling getir serta hidupku sangat menderita. Sekarang aku sedang menciptakan makhluk semacam itu satu lagi, yang sifatsifatnya belum kuketahui. Bisa jadi kejahatannya akan sepuluh ribu kali lipat dari temannya. Mungkin dia akan lebih suka membunuh dan menimbulkan bencana.
Makhluk yang telah kuciptakan memang sudah bersumpah mau meninggalkan kalangan manusia dan bersembunyi di tengah padang belantara. Tapi calon teman hidupnya ini belum menjanjikan apa-apa. Besar kemungkinannya makhluk yang belum jadi ini akan lebih pintar dan cerdas. Mungkin dia akan menolak persetujuan yang telah dibuat sebelum dia diciptakan. Mereka mungkin juga akan saling membenci. Makhluk yang sudah jadi saja membenci rupanya sendiri yang buruk. Apakah mustahil kalau dia akan merasa jijik melihat makhluk perempuan yang seburuk dia sendiri" Makhluk perempuan ini juga mungkin akan membenci calon teman hidupnya, dan lebih suka memilih manusia yang rupanya lebih bagus. Makhluk perempuan ini mungkin akan meninggalkan calon teman hidupnya. Dan kemarahan si laki-laki akan bangkit kembali karena ditinggalkan oleh makhluk yang sejenis dengan dirinya.
Walaupun mereka jadi meninggalkan Eropa un tuk hidup di tempat yang terpencil, tetap masih akan ada bencana yang bisa terjadi. Akibat hubungan kedua iblis ini akan lahir anak-anak me t reka. Maka di dunia akan hidup satu bangsa setan. Mereka akan terus berkembang-biak, sehingga akhirnya hidup manusia akan terus-menerus terancam bahaya dan ketakutan Apakah aku berhak mencelakakan manusia sesamaku serta mendatangkan bencana bagi generasi yang akan datang" Sebelumnya hatiku telah tergerak oleh kebaikan makhluk ciptaanku. Aku telah terdesak oleh ancaman iblisnya. Tapi kini untuk pertama kalinya aku sadar dengan akibat buruk yang akan timbul karena pemenuhan janjiku.
Aku gemetar membayangkan generasi yang akan datang akan mengutuki diriku sebagai penyebar hama. Karena sifat mementingkan diri sendiri, aku tidak raguragu membeli ketenteraman diriku dengan harga berapa saja; mungkin dengan tukaran kemusnahan bangsa manusia di masa yang akan datang .Aku menggigil dengan hati kecut waktu aku mengangkat kepalaku dan dalam sinar bulan kulihat iblis terkutuk ini di jendela. Senyum menge rikan tersungging pada bibirnya waktu dia melihat kepadaku, yang sedang melaksanakan tugas yang dibebankan kepadaku.
Ya, selama aku mengembara ke mana-mana dia selalu mengikutiku. Dia berkeliaran di hutan-hutan, bersembunyi di dalam gua, atau tinggal di padang alang-alang yang luas serta sunyi. Sekarang dia datang untuk melihat kemajuan kerjaku serta menuntut pemenuhan janjiku.
Kulihat air mukanya memancarkan kedengkian dan kejahatan yang tak ada taranya. Dalam tempo sekejap aku memikirkan apa yang sedang kukerjakan. Dengan marah aku berpikir, sungguh gila aku mau membuat satu lagi makhluk yang seperti dia. Menggigil karena marah, kucabik-cabik benda yang hampir selesai kubuat.
Si iblis melihat apa yang kulakukan. Makhluk tempat dia menggantungkan harapan masa depan dan kebahagiaannya kuhancurkan! Dia meraung dengan kemarahan dan keputusasaan etan kemudian dia menggeram penuh rasa dendam dan pergi.
Kutinggalkan kamarku. Pintu kukunci, dan dalam hati aku bersumpah takkan mengulangi pekerjaanku. Kemudian dengan langkah gemetar aku pergi ke kamar tidurku. Aku sendirian. Tak ada seorang pun di dekatku yang bisa mengusir kesedihanku, atau meringankan tekanan batin yang kurasakan. Beberapa jam berlalu. Selama itu aku duduk dekat jendela memandangi laut. Laut tenang, hampir-hampir tidak bergerak sama sekali. Angin tidak bertiup, dan alam semesta tidur pulas di bawah rembulan yang lembut. Kulihat hanya ada satu dua perahu nelayan di laut, dan sekali-sekali terdengar suara nelayan saling berseru kepada sesamanya.
Aku merasakan kesunyian di sekitarku, walaupun aku tidak menyadari tentang berapa dalamnya kesunyian ini. Tiba-tiba telingaku menangkap suara dayung dikayuhkan dekat pantai. Kulihat seseorang mendarat dekat pondokku. Beberapa menit kemudian kudengar pintu 9 rumahku bergerit, seakan ada orang yang sedang berusaha membukanya perlahan-lahan. Sekujur badanku menggigil. Aku punya firasat tentang siapa yang membuka pintu, dan aku ingin membangunkan penghuni pondok yang tidak begitu jauh dari pondokku. Tapi aku merasa tidak berdaya. Seperti dalam mimpi buruk, karena sadar akan ancaman bahaya aku bahkan seperti terpaku ke tanah.
Kemudian kudengar bunyi langkah kaki sepanjang lorong. Pintu terbuka, dan makhluk yang sangat kutakuti muncul. Setelah menutup pintu, dia menghampiriku seraya berkata dengan suara lembut, Kau telah menghancurkan pekerjaan yang sudah kaulakukan. Apa maksudmu" Kau berani melanggar janjimu sendiri" Selama ini aku sudah bersusah-payah dan menderita. Aku meninggalkan Switzerland mengikutimu. Aku merayap-rayap sepanjang tepi sungai Rhine, di antara pohon-pohonan dan bukit. Aku tinggal selama berbulan-bulan di padang belantara Inggris dan di tengah # padang alang-alang Skotlandia. Aku menahankan kelelahan, dingin dan lapar yang tiada bandingannya. Kau berani menghancurkan harapanku" .
Pergi kau! Aku membatalkan janjiku. Aku tidak sudi menciptakan makhluk yang seperti kau, yang sama dalam keburukan dan kejahatannya. Hai, Budak! Sebelumnya aku sudah mem berikan penjelasan kepadamu. Tapi rupanya kau tidak layak menerima kebaikan hatiku. Ingat, aku memiliki kekuatan. Kau sendiri sadar bahwa keadaanmu menyedihkan. Tapi akan kubuat agar kau menderita kesedihan yang sedemikian rupa besarnya, sehingga kau akan membenci cahaya matahari. Kau penciptaku, tapi akulah tuanmu. Patuhi perintahku!
Saat-saat kebimbangan hatiku sudah lewat, dan kekuatanmu pun akan habis. Ancamanmu takkan menggerakkanku untuk melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya, ancamanmu bahkan semakin membulatkan tekadku untuk tidak membuat teman melakukan kejahatan untukmu. Apakah aku secara sadar akan melepaskan ke dunia ini iblis yang kegemarannya menyebarkan maut dan kesedihan" Pergi kau! Tekadku sudah bulat. Kata-katamu hanya akan menambah kemarahanku.
Si iblis melihat kebulatan tekad pada air mukaku. Dia mengeretakkan gigi karena marah dan tidak berdaya. Apakah setiap orang akan memiliki isteri masing-masing, katanya, Dan setiap orang punya teman hidup, sedangkan aku harus sendirian" Aku punya perasaan dan rasa kasih sayang, tapi semua sudah sirna karena kebencian dan penghinaan. Hai manusia! Kau boleh membenci, tapi awas! Hidupmu akan penuh penderitaan dan kesengsaraan. Dan tidak lama lagi kebahagiaanmu akan direnggutkan untuk selama-lamanya. Patutkah kau mendapat kebahagiaan, sedangkan aku sengsara" Kau bisa merengatkan pemenuhan nafsuku, tapi aku akan membalas dendam. Dari saat sekarang pembalasan dendam bagiku lebih berharga daripada cahaya terang atau makanan! Aku bisa mati. Tapi sebelumnya kau, penyiksaku yang bengis, akan mengutuki sinar matahari yang menerangi kesengsaraan mu. Hati-hati! Sebab aku tak kenal takut dan punya kekuatan. Aku akan memperhatikanmu dengan kecerdikan seekor ular, supaya aku bisa menyengatmu dengan bisaku. Awas, kau pasti akan menyesal telah membuat diriku menderita.
Hai setan, minggat kau! Jangan kauracuni udara dengan kedengkianmu. Aku sudah menyatakan ke putusanku kepadamu. Aku bukan seorang pengecut yang akan mengubah keputusanku karena diancam. Tinggalkan aku. Aku kebal terhadap bujukan dan ancaman.
Baik! Aku pergi. Tapi ingat, aku akan datang kepadamu pada malam perkawinanmu.
Aku menghambur ke depan seraya berseru, Bangsat! Sebelum kau menetapkan kematianku, jaga dulu keselamatanmu sendiri.
Aku bermaksud meringkusnya, tapi dia mengelakkan terkamanku dan meninggalkan rumah dengan cepat. Beberapa saat kemudian kulihat dia sudah naik perahu. Perahunya meluncur di permukaan air seperti panah lepas dari busurnya, dan segera dia lenyap di balik gelombang samudera.
Sekali lagi di sekelilingku sunyi, tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang di telingaku. Hati ku sangat panas karena marah. Ingin sekali aku memburu si pembunuh dan melemparkannya ke laut supaya mati terbenam. Aku berjalan mondar-mandir dalam kamar dengan pikiran kalut. Sementara itu khayalanku membayangkan ribuan gambaran yang menyiksa dan menghantuiku. Mengapa aku tidak mengejarnya dan bertarung dengan dia sampai salah satu menemui ajal" Aku telah membiarkannya pergi, dan dia mengarahkan perahunya menuju ke daratan. Aku menggigil memikirkan siapa korban berikutnya yang akan mati untuk memuaskan nafsu pembalasan dendamnya.
Kemudian aku teringat kembali dengan kata-katanya aku akan datang kepadamu pada malam perkawinanmu. Jadi pada saat itulah dia bermaksud menetapkan nasibku. Pada saat itu aku harus mati. Kematianku sekaligus akan menjadi pemuas dan penghapus kedengkiannya.
Walaupun demikian bukan kematianku yang kutakutkan. Yang kupikirkan ialah Elizabeth yang sangat kucintai. Terbayang olehku air mata dan kesedihannya yang takkan ada habis-habisnya, setelah dia melihat orang yang paling dikasihinya direnggutkan dari sisinya secara biadab sekali. Air mataku yang pertama sejak berbulan-bulan yang terakhir membanjir ke luar. Dan aku bertekad takkan menyerah kepada musuhku tanpa melakukan perlawanan. Malam pun berlalu, dan matahari terbit. Perasaanku menjadi lebih tenteram, kalau memang kemarahan yang berubah menjadi keputusasaan bisa disebut ketenteraman. Aku pergi meninggalkan rumah, meninggalkan kengerian yang terjadi semalam. Aku berjalan-jalan di pantai, yang hampir kuanggap sebagai perbatasan antara diriku dengan manusia sesamaku.
Aku ingin sekali mengakhiri hidupku di tebing karang. Kalau aku kembali, aku pun hanya akan menemui kematian. Atau kemungkinan yang lebih buruk lagi, kembaliku hanya untuk menyaksikan orang yang paling kucintai menemui ajal karena cekikan iblis ciptaanku sendiri.
Aku berkeliaran di pulau tanpa tujuan, seperti arwah yang sedang mengembara. Siangnya waktu matahari makin meninggi, aku berbaring di rumput dan segera diserang kantuk yang sangat berat. Kemarin malam aku berjaga hampir semalaman. Syarafku merasa terganggu dan mataku merah karena kurang tidur dan kesusahan.
Tidur nyenyak menyegarkan tubuhku kembali. Setelah aku terbangun, aku merasa lagi bahwa aku termasuk bangsa manusia. Aku mulai memikirkan semua yang telah terjadi dengan perhatian yang lebih terpusat. Tapi tetap saja kata-kata si iblis terngiang di telingaku seperti lonceng kematian. Semua terasa seperti mimpi, walaupun demikian begitu jelas dan menekan perasaan seperti kenya taan.
Matahari sudah jauh condong ke barat, dan aku masih duduk di pantai. Kumakan kue gandum yang kubawa dengan lahap. Waktu itu kulihat sebuah perahu nelayan mendarat di dekatku. Seorang nelayan memberikan sebuah paket kepadaku. Isinya surat-surat dari Jenewa, dan satu lagi surat dari Clerval. Dia mendesakku agar aku segera menyusulnya.
Dalam suratnya, Clerval mengatakan bahwa dia membuang-buang waktunya dengan sia-sia di tempat dia berada sekarang. Dia juga sudah menerima surat dari sahabat-sahabatnya di London, yang menyuruhnya segera kembali untuk melaksanakan rencana perjalanan ke India. Clerval tidak ingin menunda keberangkatannya lagi. Karena dia akan segera kembali ke London, maka dia meminta agar aku menemaninya. Mungkin tidak lama lagi dia akan berangkat dari London menempuh perjalanannya yang jauh ke India. Dia mendesakku agar se gera meninggalkan pulau terpencil dan menemuinya di Perth. Dari sana kami akan menuju ke selatan bersama-sama. Surat ini sedikit banyaknya menyadarkan diriku kembali kepada hidup yang sedang kuhayati. Maka aku memutuskan akan meninggalkan pulauku dua hari lagi.
Tapi sebelum aku pergi aku masih punya tugas yang harus kuselesaikan lebih dulu. Memikirkan hal ini aku menggigil. Aku harus mengemasi alat-alat kimiaku. Dan untuk itu aku harus masuk ke ruangan tempatku selama ini melakukan pekerjaanku yang menjijikkan.
Keesokan harinya di waktu fajar kukuatkan hatiku untuk membuka pintu laboratorium. Sisa-sisa makhluk yang baru separuh jadi, yang telah kuhancurkan, berserakan di lantai. Aku hampir-hampir merasa seakan aku telah merobek-robek daging manusia benar-benar. Aku berhenti dulu untuk mengumpulkan keberanianku, dan kemudian masuk ke dalam ruangan. Dengan tangan gemetar kuangkuti semua perkakasku ke luar ruangan. Tapi kupikir aku tidak bisa meninggalkan sisa-sisa pekerjaanku untuk menimbulkan kecurigaan penghuni pulau. Maka semua kukumpulkan dalam sebuah keranjang, ku tambah dengan beberapa bungkal batu. Aku berniat melemparkan keranjang beserta isinya ke laut pada malamnya. Sementara itu sambil menunggu malam tiba aku duduk di pantai. Aku sibuk membersihkan dan mengemasi alat-alat kimiaku.
Tak ada yang akan lebih menguatkan tekadku untuk mengubah keputusan daripada kedatangan si iblis semalam. Sebelumnya aku menganggap janjiku sebagai satu hal yang harus kupenuhi, betapapun akibatnya. Tapi sekarang aku merasa seakan lapisan buram yang menutupi mataku telah diambil, dan untuk pertama kalinya bisa melihat dengan terang. Gagasan ingin memperbaharui pekerjaanku sedikit pun tidak terlintas di otakku. Ancaman terhadap diriku memberatkan hatiku, tapi kurasa sudah tak ada lagi yang bisa kukerjakan untuk mencegah atau menghindarkannya.
Kini pendirianku sudah tegas. Membuat satu lagi iblis seperti yang sudah kuciptakan merupakan perbuatan paling hina. Kuhalaukan dari benakku semua pikiran yang mungkin akan menyebabkan aku tergoda untuk mengubah kembali keputusanku.Kira-kira pada jam setengah tiga pagi bulan terbit. Kunaikkan keranjang ke atas sampan, kemudian aku berlayar sejauh sekitar enam kilometer dari pantai. Di mana-mana sunyi. Beberapa buah perahu sedang kembali menuju daratan, tapi aku bahkan menjauhi daratan.
Aku merasa seakan sedang melakukan kejahatan yang sangat besar, menggigil ketakutan jangan-jangan bertemu dengan manusia sesamaku. Pada suatu ketika bulan yang terang tiba-tiba tertutup awan. Kesempatan ini kumanfaatkan untuk menceburkan keranjang ke laut. Keranjang segera terbenam ke dasar laut, dan aku segera meninggalkan tempat itu.
Langit berawan, tapi udara tetap segar. Kemudian angin utara mulai bertiup dan menyebabkan hawa menjadi lebih dingin. Tapi hawa dingin menyegarkan badanku serta menenangkan perasaan. Aku sampai memutuskan untuk tinggal lebih lama di laut. Kemudian kutetapkan untuk mengambil arah lurus, dan aku berbaring menelentang di dasar perahu.
Bulan masih tetap bersembunyi di balik awan. Semuanya kelihatan remangremang, dan suara yang kudengar hanya bunyi lunas perahu meluncur menembus ombak. Suara air yang lembut ini seperti menghimbauku, dan dalam waktu singkat aku f udah tidur nyenyak.
Aku tidak tahu berapa lamanya aku dalam keadaan demikian, tapi waktu aku terbangun matahari sudah agak tinggi. Angin cukup kencang, dan alun samudera mengancam keselamatan bidukku yang kecil. Angin bertiup ke arah timur laut, jadi aku pasti sudah terdorong cukup jauh dari pantai tempatku bertolak. Aku berusaha ganti haluan, tapi segera kuketahui bahwa kalau aku ganti haluan pasti perahu akan segera penuh air. Dalam keadaan demikian, yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti arah angin bertiup.
Kuakui aku merasa takut juga. Aku tidak punya kompas, dan pengetahuan ilmubumiku di bagian dunia ini sangat terbatas sehingga matahari tidak banyak membantuku. Aku bisa saja terdorong angin ke tengah Lautan Atlantika, serta merasakan siksaan kelaparan sebelum akhirnya binasa ditelan gelombang samudera yang mengganas di sekelilingku. Aku bahkan sudah mulai diserang rasa dahaga yang membakar, awal dari penderitaan lainnya.
Aku menengadah ke langit, yang tertutup awan dan terus bergerak ditiup angin. Kemudian aku ganti melihat ke laut, yang akan menjadi kuburanku. Iblis! seruku, tugasmu sudah selesai! Aku memikirkan Elizabeth, ayah dan Clerval semua akan kutinggalkan, dan si iblis akan memuaskan nafsunya yang keji dan haus darah terhadap mereka. Pikiran ini membuatku sangat ngeri. Bahkan sekarang pun, di saat-saat ajal makin mendekatiku aku masih menggigil memikirkannya.
Beberapa jam berlalu dalam keadaan demikian. Tapi setelah matahari condong ke barat sedikit demi sedikit angin kencang berhenti. Kini angin berubah menjadi sepoi-sepoi, dan gelombang tidak lagi mengganas. Aku masih merasa kelelahan dan hampir-hampir,, tidak kuasa memegang kemudi. Tiba-tiba kulihat daratan di arah selatan. Tenagaku sudah hampir habis karena ketegangan yang kualami selama beberapa jam. Dan kini harapan akan mendapat keselamatan membuat hatiku sangat gembira. Air mataku membanjir ke luar.
Alangkah anehnya perasaan kita! Kita merasa begitu cinta kepada hidup pada saat-saat kita diancam bahaya maut! Layar perahu kutambah dengan bajuku, dan dengan sukacita kukemudikan perahuku ke arah daratan. Pantai yang semakin dekat kulihat berbatu-batu karang dan masih liar. Tapi setelah aku lebih dekat lagi, kulihat dengan jelas bahwa daratan ini didiami manusia. Kulihat beberapa buah perahu dekat pantai. Ternyata aku sampai ke daratan yang didiami manusia beradab.
Dengan hati-hati kukemudikan perahu mengikuti bentuk pantai yang berkelokkelok. Karena aku sangat lapar dan haus, maka perahu kutujukan ke kota supaya aku lebih mudah mendapatkan makanan. Untunglah aku membawa uang. Waktu aku membelok melewati sebuah tanjung, kulihat sebuah kota dan pelabuhan yang bagus. Ku-belokkan perahu masuk ke pelabuhan dengan hati gembira. Tanpa terduga-duga aku sudah terlepas dari ancaman bencana. Tatkala aku sedang menambatkan perahu dan menurunkan layar, beberapa orang datang menge-rumuniku. Mereka kelihatan sangat heran melihat kedatanganku. Tapi bukannya memberikan bantuan, mereka bahkan berbisikbisik antara sesamanya. Mereka juga membuat beberapa isyarat yang menimbulkan sedikit kekalutan seandainya aku datang pada kesempatan yang berlainan.
Kuperhatikan mereka bercakap-cakap dalam ^bahasa Inggris. Maka aku pun menegur mereka dalam bahasa ini. Sahabat yang baik, kataku, sudikah kalian mengatakan kepadaku nama kota ini dan memberitahukan di mana aku berada"
Kau akan segera tahu, jawab seorang dengan suara serak. Mungkin kau datang ke tempat yang tidak akan kausukai, tapi kau takkan mendapat keterangan apa-apa.
Aku sangat heran mendapat jawaban yang sedemikian kasarnya dari orang yang tidak kukenal. Demikian juga aku merasa kurang senang melihat air muka mereka yang mengandung kemarahan.
Mengapa kau menjawab begitu kasar" aku balik bertanya. Aku yakin bukan adat orang Inggris menerima orang asing dengan kasar dan tanpa keramahan. Aku tidak tahu, katanya lagi, bagaimana adat orang Inggris. Yang aku tahu sudah menjadi adat ^ orang Irlandia untuk membenci penjahat . Selama dialog ini berlangsung, kulihat kerumunan orang banyak semakin bertambah. Muka mereka memancarkan perasaan campuran antara kemarahan dan rasa ingin tahu. Sikap mereka yang tidak menyenangkan ini sedikit banyaknya membuatku merasa takut juga.
Aku menanyakan jalan menuju ke penginapan, tapi tak seorang pun menyahut. Kemudian aku ngiangkah maju. Orang banyak mengeluarkan suara menggerutu dan mengikutiku. Seorang bermuka buruk menepuk bahuku dan berkata: Mari, Tuan. Kau harus ikut denganku menemui Mr. Kirwin untuk memberikan keterangan mengenai dirimu.
Siapa Mr. Kirwin" Mengapa aku harus memberikan keterangan tentang diriku" Bukankah ini negeri merdeka"
Betul, Tuan, cukup merdeka bagi orang baik-baik. Mr. Kirwin seorang hakim. Dan kau harus memberikan keterangan tentang kematian seorang tuan yang ditemukan mati terbunuh di sini semalam.
Jawabannya membuat aku terperanjat, tapi aku segera tenang kembali. Aku tidak bersalah, dan itu akan bisa dibuktikan dengan mudah. Maka kuikuti pengantarku sambil berdiam diri, dan aku diantarkannya ke sebuah rumah yang terbagus di kota itu.
Sebenarnya aku sudah hampir jatuh pingsan karena lelah dan lapar. Tapi kupikir di tengah orang banyak rasa kesopanan mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga. Kelemahanku bisa saja ditafsirkan sebagai rasa takut atau rasa bersalah. Waktu itu aku sama sekali tidak sadar bahwa aku akan segera menyaksikan satu hal yang sangat mengejutkan, lebih mengejutkan daripada rasa w kengerian dan kematian .sendiri.
Sampai di sini aku harus berhenti bercerita sejenak. Aku harus mengumpulkan segenap tenagaku untuk bisa mengingat kembali semua kejadian yang akan kuceritakan selanjutnya.
Bab 21 AKU segera dihadapkan kepada hakim. Dia seorang laki-laki dengan air muka ramah, serta sikapnya tenang dan lembut. Walaupun demikian dia melihat kepadaku dengan pandangan bengis. Kemudian dia menoleh kepada pengantarku seraya menanyakan siapa yang akan menjadi saksi dalam perkara itu. Kurang lebih selusin orang tampil ke depan. Seorang yang ditunjuk oleh hakim segera mulai bercerita. Katanya semalam dia memancing bersama saudara iparnya yang bernama Daniel Nugent serta anaknya. Kira-kira jam sepuluh malam mereka melihat badai datang dari utara, dan mereka segera menuju ke pelabuhan. Malam itu gelap, sebab bulan belum terbit. Mereka tidak masuk ke pelabuhan, tapi seperti biasa mendarat di sebuah teluk kecil sejauh tiga kilometer dari pelabuhan. Dia berjalan di muka menjinjing joran, diikuti lainlainnya. Sedang dia berjalan di atas pasir, kakinya tersandung pada suatu benda sehingga dia tersungkur jatuh. Kedua temannya membantu dia berdiri. Kena sinar lentera, mereka melihat bahwa dia tersandung pada tubuh manusia yang sudah menjadi mayat. Mula-mula mereka mengira telah menemukan mayat orang yang mati terbenam dan dilemparkan ombak ke pantai. Tapi setelah diperiksa, ternyata pakaian mayat tidak basah. Bahkan mayat itu masih terasa hangat. Mereka segera mengusung mayat ke sebuah pondok yang terdekat, milik seorang perempuan tua. Mereka berusaha menolong, kalau-kalau tubuh yang mereka temukan belum mati. Tapi usaha mereka sia-sia. Ternyata si mati seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Rupanya dia mati dicekik, sebab tidak terdapat bekas penganiayaan lain kecuali bekas jari yang hitam pada lehernya.
Bagian pertama ceritanya sama sekali tidak menarik perhatianku. Tapi setelah dia menyebutkan bekas jari pada leher si mati, aku teringat kembali kepada pembunuhan adikku. Aku mulai merasa sangat gelisah. Tubuhku gemetar dan mataku seperti tertutup kabut. Aku sampai terpaksa berpegangan pada kursi supaya tidak jatuh. Hakim memperhatikan diriku dengan pandangan , tajam Rupanya dia sudah menarik kesimpulan yang tidak menyenangkan setelah melihat sikapku.
Cerita saksi pertama tadi diperkuat oleh anaknya. Kemudian Daniel Nugent disuruh maju. Dia bersumpah dengan tegas bahwa sebelum kakak iparnya jatuh tersandung dia melihat sebuah perahu. Perahu tidak jauh dari pantai, dan di dalamnya hanya ada satu orang penumpang. Dia menduga perahu yang dilihatnya dalam sinar beberapa buah bintang adalah perahu yang sama dengan yang kunaiki dan baru saja mendarat.
Seorang perempuan ganti bercerita. Katanya dia berdiri di ambang pintu rumahnya satu jam sebelum mayat ditemukan, menunggu kedatangan suaminya. Waktu itu dia melihat perahu yang dinaiki seorang laki-laki sedang meninggalkan pantai, tepat di tempat mayat kemudian ditemukan orang .Seorang perempuan lagi membenarkan cerita si pengail yang mengusung mayat ke rumahnya. Mayatnya memang belum dingin. Mereka meletakkan mayat di atas tempat tidur dan menggosok-gosok tubuhnya. Daniel pergi ke kota untuk mencari obat, tapi si mati sudah tidak bisa ditolong lagi.
Beberapa orang lainnya ditanya tentang pendaratanku. Mereka sepakat dengan satu pendapat. Kata mereka, karena angin dari utara sangat kencang maka kemungkinan besar selama berjam-jam aku berputar-putar di tengah laut dan kembali ke tempat semula. Di samping itu mereka mengira aku membawa korban dari tempat lain, dan rupanya aku tidak mengenali pantai itu. Mereka mengira bahwa aku tidak tahu telah masuk ke pelabuhan dekat tempat aku membuang mayat.
Setelah mendengar keterangan mereka, Mr. Kirwin minta agar aku diantarkan ke ruangan tempat meletakkan mayat. Dia ingin melihat pengaruhnya atas diriku setelah aku melihat mayat. Gagasan ini mungkin timbul setelah dia melihat perubahan pada air mukaku waktu aku mendengar cara si korban terbunuh.
Maka aku pun diantarkan oleh hakim bersama beberapa orang lainnya ke sebuah penginapan. Aku heran memikirkan kejadian semalam dengan serba kebetulan yang sangat aneh. Walaupun demikian aku tetap tenang. Aku tahu benar bahwa pada saat mayat ditemukan aku sedang bercakap cakap dengan beberapa orang di pulau yang kudiami. Pasti peristiwa ini takkan berakibat apaapa terhadap diriku, pikirku.
Aku masuk ke dalam ruangan tempat mayat diletakkan, dan diantarkan ke peti mati. Bagaimana aku akan bisa melukiskan perasaanku demi aku melihat si mati" Aku menjadi kaku seperti patung pada saat yang sangat mengerikan itu. Aku bahkan sampai tidak bisa menggigil karena kepedihan hati yang kuderita. Semua seakan berubah menjadi seperti dalam mimpi, demi kulihat tubuh Henry Clerval yang sudah tidak bernyawa lagi terbaring di hadapanku. Aku tergagap dan tersengal-sengal. Sambil menubruk mayatnya, aku berseru: Aduh, Henry, sahabatku tercinta! Jadi mesin pem bunuhku juga sudah mencabut-nyawamu" Aku sudah membinasakan dua orang. Dan korban lain menunggu nasibnya. Tapi kau, Clerval, sahabatku, pelindungku... Ragaku sudah tidak kuasa lagi menanggungkan semua penderitaan yang kualami. Aku segera diusung ke luar, sebab dari kalutnya aku sampai seperti orang sekarat.
Setelah ini aku terserang demam. Aku terbaring selama dua bulan di ambang kematian. Di kemudian hari kudengar bahwa igauanku sangat menakutkan. Aku menyebut diriku sendiri pembunuh William, Justine dan Clerval. Kadangkadang aku meminta kepada penjagaku untuk membunuh iblis yang sedang menyiksaku. Pada kesempatan lainnya aku mengira si iblis sudah mencekik leherku, dan aku menjerit keras-keras karena sakit dan ketakutan. Untunglah aku berbicara dalam bahasaku sendiri, sehingga hanya Mr. Kirwin saja yang memahami kata-kataku. Tapi tingkah laku dan te riakan teriakanku sudah cukup untuk menimbulkan kengerian siapa saja yang menyaksikan.
Mengapa aku tidak mati saja" Penderitaanku jauh melebihi apa yang pernah dialami manusia sebelumnya. Mengapa aku tidak tenggelam saja ke dalam kelupaan dan istirahat untuk selama-lamanya" Maut sudah merenggutkan banyak sekali anak-anak yang manis, tumpuan harapan orang tua. Berapa banyaknya pengantin baru atau sepasang muda-mudi yang sedang berkasihkasihan direnggutkan oleh tangan maut yang kejam" Satu hari mereka masih merasakan kebahagiaan serta penuh harapan, dan esoknya sudah menjadi makanan cacing kuburan! Dibuat dari bahan apa tubuhku sebenarnya, sehingga bisa menahankan berbagai penderitaan untuk terus merasakan siksaan" Tapi aku menerima hukuman siksaan hidup. Dalam tempo dua bulan aku seakan terbangun dari sebuah mimpi dalam sebuah ruang tahanan. Aku telentang di atas sebuah tempat tidur buruk, dikelilingi tembok penjara dan pintu berterali besi. Waktu itu pagi hari, aku ingat, waktu aku terjaga dan mendapatkan kesadaranku kembali.
Aku sudah melupakan kejadiannya yang tepat. Aku hanya merasakan seakan kesedihan yang luar biasa tiba-tiba memberatkan hatiku. Waktu aku melihat berkeliling, aku sadar bahwa aku berada di dalam ruang tahanan yang sangat menyedihkan. Setelah semua kembali terlintas dalam ingatanku, aku mengerang dengan perasaan sangat getir.
Suaraku mengganggu seorang perempuan tua yang sedang tidur di kursi di sisiku. Dia seorang perawat bayaran, isteri salah seorang sipir penjara. Mukanya yang buruk sudah memperlihatkan sifat-sifat buruk yang lazim dimiliki oleh orang-orang dari kelas mereka. Garis-garis mukanya keras dan kasar, seperti orang yang biasa menyaksikan kesedihan orang lain tanpa merasakan belas kasihan. Nada suaranya menunjukkan bahwa dia sama sekati tidak punya perasaan.
Perempuan ini menegurku dalam bahasa Inggris. Suaranya mengingatkanku kembali dengan suara yang sering kudengar selama aku merasakan penderitaanku. Sekarang kau sudah lebih baik, Tuan" tanyanya .Aku menjawab dalam banasa yang dipergunakannya, dengan suara lemah: Ya, kurasa aku sudah lebih baik. Tapi kalau memang semuanya benar, kalau semua bukan mimpi, aku sangat menyesal karena aku masih hidup untuk merasakan semua kesedihan dan kengerian ini.
Dalam hal itu, jawab si perempuan tua, kalau yang kaumaksudkan orang yang telah kau bunuh, aku yakin lebih baik bagimu kalau kau mati saja. Sebab aku yakin kau akan mengalami penderitaan yang lebih besar lagi! Tapi bagaimanapun juga itu bukan urusanku. Aku dipanggil untuk merawatmu sampai kau sembuh. Aku sekedar menjalankan tugas tanpa perasaan apa-apa. Memang sebaiknya setiap orang berbuat semacam itu.
Aku membuang muka dengan perasaan jijik dari perempuan yang tidak berperasaan ini. Dia dengan enaknya berkata semacam itu kepada orang yang v baru diselamatkan dari renggutan elmaut! Tapi aku masih merasa lemah, dan tidak bisa mengingat-ingat semua yang telah terjadi. Seluruh rangkaian kehidupanku kurasakan sebagai rentetan mimpi. Kadang-kadang aku meragukan apakah semua sungguh-sungguh terjadi, sebab aku tidak bisa menyadarinya sebagai suatu kenyataan.
Sementara itu makin lama ingatanku semakin terang, dan gambaran yang melintas pada benakku semakin jelas. Aku pun merasa pusing, seakan demamku kembali. Kegelapan seakan menekan diriku dari segala penjuru. Tak ada seorang pun di dekatku yang menghiburku dengan kasih sayang. Tak ada tangan lembut yang membantuku.
Tabib datang dan menuliskan resep obat, dan si perempuan tua mengambilkannya untukku. Tapi baik si tabib maupun si perawat menunjukkan sikap tidak peduli dan kasar. Siapa yang akan mempedu-likan nasib seorang pembunuh" Siapa yang akanmerasa berkepentingan kecuali algojo yang akan menerima upah dari pekerjaan menggantungku"
Demikianlah mula-mula perasaanku. Tapi tidak lama kemudian segera kuketahui bahwa Mr. Kirwin menunjukkan sikap sangat manis dan lemah lembut. Dia telah memberikan kamar paling baik dalam rumah penjara. Ternyata ruang tahananku yang menyedihkan itu termasuk paling baik! Dia juga yang telah mengusahakan tabib dan perawat untukku. Memang benar, dia sendiri hampir tidak pernah datang menjengukku. Dia sangat ingin meringankan penderitaan manusia sesamanya, tapi dia tidak ingin menyaksikan penderitaan maupun mendengarkan igauan seorang pembunuh. Tapi kadang-kadang dia datang untuk melihat apakah perawatan terhadap diriku dilakukan secara semestinya. Tapi kunjungannya singkat-singkat dan dengan jarak yang cukup lama.
Suatu hari setelah aku mulai agak pulih, aku duduk di kursi. Mataku setengah terbuka dan mukaku pucat seperti mayat. Aku merasa tercengkam oleh kesedihan dan kemurungan, serta seringkali berpikir lebih baik mati saja daripada tetap hidup di dunia yang penuh penderitaan ini. Sekali pernah aku berpikir apakah tidak lebih baik kalau aku mengaku bersalah saja, dan menerima hukuman. Dibandingkan dengan Justine, toh aku jauh lebih berdosa.
Itulah yang sedang kupikirkan waktu pintu kamar tahananku dibuka dan Mr. Kirwin masuk. Air mukanya memancarkan simpati dan belas kasihan. Dia menarik sebuah kursi ke dekatku seraya berkata kepadaku dalam bahasa Perancis:
Aku khawatir tempat ini sangat tidak enak bagimu. Ada yang bisa kulakukan untuk membuatnya lebih menyenangkan" Terima kasih, tapi semua yang kausebutkan tidak ada artinya bagiku. Di muka bumi ini tidak ada kesenangan apa pun yang bisa kurasakan.
Aku tahu bahwa simpati seorang asing hanya sedikit sekali artinya bagi seorang yang menderita kesengsaraan aneh seperti yang kaualami. Tapi mudahmudahan kau segera bisa meninggalkan tempat yang sangat menyedihkan ini. Sebab sudah ada bukti yang tidak meragukan, yang dengan mudah akan bisa membebaskanmu dari tuduhan melakukan tindak kejahatan. Itu yang paling tidak kukehendaki. Karena beberapa peristiwa aneh yang kualami, aku menjadi manusia yang paling malang di dunia. Karena penderitaan yang kurasakan, apakah datangnya ajal akan menyedihkan bagiku" Memang tidak ada lagi yang lebih malang dan menyedihkan daripada peristiwa aneh yang belum lama ini terjadi. Karena peristiwa yang aneh kau telah tersesat ke pantai yang penghuninya terkenal karena keramahtamahannya. Tapi sebaliknya kau ditangkap seketika itu juga dan didakwa membunuh. Yang pertama kali kaulihat di sini adalah mayat sahabatmu yang dibunuh secara kejam, dan diletakkan oleh iblis pembunuh ini di jalan yang akan kaulalui. Mendengar kata-kata Mr. Kirwin, aku merasa heran karena dia mengetahui begitu banyak tentang diriku. Demikian juga rupanya dia memahami apa yang kurasakan. Mungkin air mukaku memperlihatkan rasa keheranan, sebab Mr. Kirwin cepat-cepat berkata:
Setelah kau jatuh sakit, surat-surat yang terdapat pada dirimu diantarkan kepadaku. Aku memeriksanya, untuk menemukan alamat kerabatmu yang bisa kuberitahu tentang kemalangan dan sakit yang sedang kauderita. Aku menemukan beberapa pucuk surat. Di antaranya juga kutemukan surat dari ayahmu. Aku segera menulis surat ke Jenewa. Hampir dua bulan berlalu sejak aku mengirim surat ini. Tapi selama ini kau sakit. Bahkan sekarang kau masih gemetar. Kau tidak boleh dikejutkan oleh apa pun juga.
Ketegangan ini sudah seribu kali lebih buruk daripada kejadian mengerikan apa pun juga. Katakan kepadaku siapa lagi yang terbunuh, dan siapa lagi yang harus kuratapi.
Keluargamu baik-baik saja, kata Mr. Kirwin dengan lemah lembut. Dan seseorang, seorang sahabat, akan datang mengunjungimu. Aku tidak tahu mengapa gagasan itu melintas dalam benakku. Tapi seketika terlintas dalam pikiranku bahwa si pembunuh telah datang untuk mencemoohkanku, serta mengejekku dengan kema-tian Clerval. Ini tidak lain untuk memuaskan nafsu iblisnya. Mataku kututup dengan kedua tangan, dan aku menjerit dengan penuh kepedihan:
Oh! Suruh dia pergi! Aku tidak mau bertemu dengannya. Demi Tuhan, jangan biarkan dia masuk!
Mr. Kirwin memperhatikan diriku dengan air muka sedih. Dia mau tidak mau menganggap semanku sebagai tanda-tanda rasa bersalah. Dia berkata kepadaku dengan nada agak bengis: Anak muda, kukira kedatangan ayahmu akan membuatmu merasa gembira, bukannya menimbulkan rasa jijik. Ayahku! seruku terperanjat, sementara semua ketegangan ku mengendur dari penderitaan ke rasa senang. Benarkah ayahku datang" Aduh, sungguh baik benar dia! Tapi di mana dia" Mengapa dia tidak segera menemuiku" Perubahan sikapku membuat hakim merasa heran dan gembira. Mungkin dia mengira semanku tadi adalah igauan yang kembali sesaat. Kini seketika dia tampak lagi keramahannya. Dia bangkit dan meninggalkan ruangan bersama si perawat. Sesaat kemudian ayahku masuk.
Saat itu tidak ada lagi yang akan lebih menggembirakan hatiku daripada kedatangan ayahku. Kuulurkan tanganku kepadanya seraya berseru, Jadi Ayah selamat dan Elizabeth dan Ernest" .
Ayah menenangkan diriku dengan meyakinkan bahwa mereka selamat tidak kurang suatu apa. Dia juga berusaha membesarkan hatiku dengan mengajakku bercakap-cakap tentang bahan percakapan yang menyenangkan. Tapi kemudian dia menyadari bahwa keadaan di dalam penjara tidak bisa membangkitkan kegembiraan.
Tempat yang kaudiami ini sungguh mengerikan, Nak! katanya sambil melihat ke jendela berterali besi dan seluruh isi kamar dengan murung. Kau pergi melancong untuk mencari kebahagiaan, tapi bencana seakan selalu membuntutimu. Dan Clerval yang malang...
Nama sahabatku yang terbunuh membangkitkan kekalutan yang terlalu besar dan tidak tertahankan oleh kondisi badanku yang lemah. Air mataku bercucuran.
Aduh! Ya Ayah, jawabku. Nasib yang sangat mengerikan selalu mengikutiku, dan aku harus hidup untuk merasakannya. Kalau tidak, aku pasti sudah mati di atas peti mati Henry.
Kami tidak diijinkan bercakap-caka p lama-lama. Kesehatan badanku masih belum mengijinkan, dan aku harus selalu mendapat ketenangan. Mr. Kirwin datang untuk memberitahukan bahwa tenagaku masih lemah, dan belum boleh melakukan apa pun yang melelahkan. Tapi bagiku kedatangan ayah seperti kedatangan malaikat pelindung, dan sedikit demi sedikit kesehatanku pun pulih.
Setelah aku sembuh dari sakit, aku ganti dikuasai oleh kesedihan dan kemurungan yang tak bisa dihalaukan oleh apa pun juga. Clerval selalu terbayang di pelupuk mataku, dalam keadaan sudah mati dan sangat mengerikan. Lebih dari sekali kekalutanku menimbulkan rasa takut semua orang, jangan-jangan penyakit ku kambuh lagi.
Aduh! Mengapa mereka menyelamatkan hidupku yang penuh kesedihan dan terkutuk ini" Pasti aku akan merasakan nasibku juga, yang kini sudah semakin mendekat. Segera, tidak lama lagi, maut akan mengakhiri segala-galanya dan membebaskanku dari beban penderitaan yang menghancur kanku menjadi debu. Dan setelah menerima ganjaran hukum aku juga akan beristirahat untuk selamalamanya. Tapi rupanya itu pun tidak bisa kuharapkan. Kematian masih jauh bagiku, sebab aku akan dibebaskan. Seringkali aku termenung selama berjamjam, mendambakan terjadinya satu peristiwa yang akan menghancurkan diriku beserta iblis perusakku.
Pengadilan berkala pun segera dibuka. Aku sudah tiga bulan dalam tahanan. Aku masih lemah dan terancam kemungkinan kambuh kembali. Wa laupun demikian aku bersedia menempuh perjalanan sejauh seratus lima puluh kilometer ke kota besar tempat sidang pengadilan diselenggarakan. Mr. Kirwin berusaha sekuat tenaga mengumpulkan saksi dan menyiapkan pembelaanku. Aku tidak usah menanggung malu tampil di muka umum sebagai seorang penjahat, sebab perkaranya tidak diajukan ke pengadilan yang menentukan hidup dan mati. Hakim bahkan tidak menuntut ongkos perkara. Sebab terbukti aku berada di Kepulauan Orkney pada saat mayat sahabatku ditemukan. Dan dua minggu kemudian aku dibebaskan dari tahanan.
Ayah sangat bersukacita karena aku dibebaskan dari tuduhan melakukan kejahatan. Demikian juga dia bergembira karena aku diperbolehkan kembali menghirup udara segar, dan diijinkan kembali ke kampung halamanku. Aku sendiri tidak turut merasakan kegembiraan ini. Bagiku dinding penjara bawah tanah dengan tembok istana sama saja, sama-sama kubenei.
Mangkuk kehidupanku sudah diracuni untuk selama-lamanya. Walaupun matahari menyinariku sama dengan sinar yang dipancarkan kepada semua orang yang berhati riang, namun di sekelilingku aku tidak melihat apa pun kecuali kegelapan. Ya, yang kulihat hanya kegelapan yang mengerikan, tidak bisa ditembus cahaya kecuali sepasang mata yang berkilat-kilat melihat kepadaku. Kadang-kadang mata ini sepasang mata Clerval yang sudah hampa karena nyawa sudah meninggalkan tubuhnya. Kadang-kadang matanya berubah menjadi mata makhluk ciptaanku yang berkaca-kaca dan ber kabut, seperti yang pertama kali kulihat di dalam kamarku di Ingolstadt.
Ayah berusaha membangkitkan kembali perasaan kasih sayang dalam hatiku. Dia berbicara tentang Jenewa, yang akan segera kudatangi. Dia juga bercerita tentang Elizabeth dan Ernest. Tapi kata-kata ayah hanya bisa membuatku mengeluarkan suara keluhan dan erangan.
Memang kadang-kadang aku juga menginginkan kebahagiaan, memikirkan saudara sepupuku yang sangat kucintai, atau merasa rindu kampung halaman. Aku ingin sekali lagi melihat danau yang biru, atau sungai Rhone yang deras airnya. Aku merindukan semua yang kucintai di masa kanak-kanakku. Tapi perasaanku sudah kacau, sehingga bagiku rasanya tidak berbeda tinggal dalam penjara atau dikelilingi pemandangan alam yang indah.
Aku pun masih sering terserang rasa putus asa karena kesedihan yang tak bisa dilukiskan hebatnya. Pada saat-saat semacam itu aku seringkali berusaha mengakhiri hidupku yang kubenci. Aku harus selalu dijaga dan diawasi. Mereka pun harus tangkas bertindak untuk mencegahku berbuat nekat. Namun masih ada tugas yang harus kupenuhi. Pikiran akan tugas ini mengalahkan keputusasaanku yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku tidak boleh terlambat kembali ke Jenewa Di sana aku harus menjaga keselamatan jiwa semua orang yang kucintai. Aku juga harus menunggu kedatangan si pembunuh, atau mencari tempat persembunyiannya. Kalau dia berani datang lagi atau dia kute mukan akan kuakhiri hidupnya dengan bidikan yang takkan meleset lagi.
Bumi Manusia 5 Wiro Sableng 083 Wasiat-iblis Seruling Sakti 8

Cari Blog Ini