Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 3
cantik sekali. Ada daya pikat yang tak bisa dilawan pada sosoknya yang kecil dan
rapi di tempat duduk sais, pada letak topinya yang miring, bahkan pada caranya
memegang pecut dan mengguncang tali kekang.
Ternyata si Singa Betina adalah Maisie Robinson! Tapi bagaimana mungkin ia
memiliki kuda dan kereta" Apakah ia baru menerima warisan" Apa yang diincarnya"
Sementara Hugh masih terpukau, terjadi kecelakaan. Seekor kuda jenis unggul yang
sedang gugup berlari dan melewati kereta Augusta dikejutkan oleh salakan seekor
anjing terrier kecil. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya dan pengendaranya
jatuh ke jalan, persis di depan kereta yang dikendarai Maisie.
Dengan cepat gadis itu mengubah arah, memperlihat^ kan kemahirannya yang
mengesankan dalam menguasai kendaraannya, dan berhenti melintang jalan. Karena
berusaha menghindari tabrakan, keretanya jadi berada tepat di depan kuda-kuda
Augusta; kusirnya menarik tali kekang dan mengeluarkan sumpah serapah
Gadis itu menghentikan keretanya dengan tiba-tiba. Semua orang menatap
pengendara kuda yang terlempar itu. Ia tampaknya tidak mengalami cedera. Ia
bangkit tanpa dibantu, mengibaskan-ngibaskan debu dari tubuhnya, dan melangkah
untuk menangkap kudanya sambil mengutuk.
Maisie mengenali Hugh. "Hugh Pilaster, kau rupanya!" teriaknya.
Wajah Hugh memerah. "Selamat pagi," ujarnya, tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Hugh segera sadar bahwa dia telah melakukan pelanggaran tata krama yang serius. Ia tidak sepatutnya
menunjukkan bahwa ia kenal dengan Maisie sementara ia bersama kedua bibinya,
karena tak mungkin ia mengenalkan orang seperti itu pada mereka. Hugh seharusnya
tidak mengacuhkannya. Meskipun demikian, Maisie tidak mencoba menyapa wanita-wanita itu. "Senangkah
kau dengan kuda-kuda poni ini?" tanyanya. Gadis itu kelihatannya telah melupakan
pertengkaran mereka. Hugh benar-benar serba salah oleh gadis cantik yang mengherankan ini, oleh
kemahirannya mengendarai kereta, dan sikapnya yang berani. "Kuda-kuda itu indah
sekali," kata Hugh tanpa memandang kedua hewan itu.
"Kuda-kuda ini mau dijual."
Bibi Augusta berkata dingin, "Hugh, katakan pada orang ini kita mau lewat!"
Maisie memandang Augusta untuk pertama kali. "Diam kau, cerewet tua," katanya
santai. Clementine terenyak dan Bibi Madeleine menjerit
kaget. Hugh ternganga. Busana Maisie yang indah dan keretanya yang mahal membuat
orang mudah lupa bahwa gadis itu adalah anak dari daerah pemukiman kumuh. Katakatanya begitu kasar, hingga sejenak Augusta terkesima tak mampu menjawab. Tak
seorang pun berani bicara seperti itu padanya.
Maisie tidak memberi kesempatan bagi Augusta untuk pulih. Sambil berpaling pada
Hugh, ia berkata, "Katakan pada sepupumu Edward bahwa dia harus membeli kudakuda poniku!" Kemudian ia melecutkan cemetinya dan keretanya menjauh.
Meledaklah kemarahan Augusta. "Lancang benar kau, mengeksposku pada orang
seperti itu!" ucapnya murka. "Berani sekali kau melepaskan topimu untuk memberi
hormat padanya!" Hugh menatap Maisie, memperhatikan punggungnya yang rapi dan topinya yang penuh
gaya pergi menjauh, semakin mengecil sepanjang jalan itu.
Bibi Madeleine menimpali. "Bagaimana kau sampai kenal dia, Hugh?" ujarnya.
"Pemuda keturunan baik-baik tidak akan kenal wanita seperti itu! Dan
kelihatannya kau malah telah mengenalkannya pada Edward!"
Edward-lah yang telah mengenalkan Maisie pada Hugh, namun Hugh tak ingin mencoba
menimpakan kesalahan kepada orang lain. Walau bagaimanapun, mereka tak akan
mempercayainya. "Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengannya," kata Hugh.
Clementine penasaran. "Di mana kau bertemu dia?"
"Di suatu tempat, namanya Argyll Rooms."
Augusta merengut pada Clementine dan ujarnya, "Aku tak mau tahu hal-hal seperti
itu. Hugh, katakan pada Baxter, kita pulang."
Hugh berkata, "Saya ingin jalan-jalan sebentar." Ia membuka pintu kereta.
"Kau pasti mengincar wanita itu!" ucap Augusta. "Tidak akan kubiarkan!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Jalanlah, Baxter," kata Hugh sambil melangkah turun. Kusir kereta mengguncang
tali kekang, roda kereta berputar, dan Hugh melepaskan topinya ketika kedua
bibinya yang marah dibawa pergi oleh kereta itu.
Ia belum tahu akhir kejadian ini. Akan ada kesulitan lagi nanti. Paman Joseph
akan diberitahu, dan segera semua mitra akan tahu bahwa Hugh bergaul dengan
wanita rendahan. Tapi ini hari libur, mentari bersinar, taman penuh sesak dengan orang-orang yang
bersenang-senang, dan Hugh sanggup menghilangkan rasa cemasnya akan kemarahan
bibinya hari ini. Ia merasa senang ketika melangkah menyusuri jalan setapak. Ia
menuju ke arah berlawanan dengan yang diambil Maisie. Orang-orang mengendarai
kereta kuda berputar-putar, karenanya mungkin saja ia bertemu lagi dengan gadis
itu. Ia ingin bicara lebih jauh padanya. Ia ingin menjelaskan duduk perkaranya
mengenai ayahnya. Cukup aneh juga bahwa ia tidak marah lagi padanya sehubungan
dengan ucapannya itu. Gadis itu cuma salah paham, pikirnya, dan ia akan mengerti
kalau hal itu diterangkan padanya. Walau bagaimanapun, sekadar berbicara sudah
cukup menggairahkan. Hugh sampai di Hyde Park Corner dan membelok ke utara, menyusuri Park Lane. Ia
melepaskan topinya pada banyak kerabat dan kenalan: Young William dan Beatrice
yang menaiki kereta kuda model brougham. Paman Samuel yang menunggang kuda
betina cokelat kemerahan, Mr. Mulberry dengan istri dan anak-anaknya. Maisie
mungkin berhenti di ujung sana, atau mungkin telah pergi kini. Hugh mulai merasa
ia takkan bertemu lagi dengan gadis itu.
Tapi ternyata mereka bertemu lagi.
Gadis itu baru saja beranjak menyeberangi Park Lane. Tak salah lagi, itu pasti
dia, yang mengenakan dasi sutra berwarna jamur. Gadis itu tidak melihat Hugh.
143 Mendadak Hugh mengikutinya menyeberangi jalan, membelok ke Mayfair, dan
menyusuri sebuah lorong belakang sambil berlari agar tidak tertinggal. Gadis itu
menghentikan keretanya hingga ke suatu istal dan meloncat turun. Seorang
pengurus kuda keluar dan menolongnya menangani kuda-kuda itu.
Hugh mendekati gadis itu dengan napas terengah-engah. Ia bertanya-tanya, mengapa
ia melakukan ini. "Halo, Miss Robinson," ucapnya.
"Halo!" "Aku mengikutimu," katanya, meski ia tak perlu menyampaikan hal itu.
Gadis itu melemparkan pandangan terus terang. "Mengapa?"
Tanpa berpikir, kata-katanya terloncat dari mulutnya; "Maukah kau pergi denganku
suatu malam, kapan-kapan?"
Gadis itu memalingkan kepalanya ke satu sisi dan agak cemberut, mempertimbangkan
tawaran Hugh. Ekspresinya ramah, seolah-olah ia menyukai gagasan itu, dan Hugh
mengira ia akan menerimanya. Namun kelihatannya ada pertimbangan lain yang
membuatnya tidak segera mengiyakan. Gadis itu memalingkan wajah darinya, dahinya
berkerut sedikit; kemudian ia tampak membulatkan pikirannya. "Kau takkan sanggup
mengajakku," katanya dengan pasti; ia membalikkan punggung dan melangkah
memasuki istal. [IV] Peternakan Cammel Cape Colony Afrika Selatan
144 14 Juli 1873 Hugh yang baik, Senang sekali menerima kabar darimu! Kami agak terkucil di sini, dan kau tak
bisa membayangkan kegembiraan yang kami dapatkan dari sepucuk surat panjang
berisi berita ringan dari kampung halaman. Mrs. Cammel, yang dulunya adalah Yang
Mulia Amelia Clapham hingga dia kawin denganku, khususnya senang sekali membaca
ceritamu tentang Singa Betina.
Aku tahu aku agak terlambat menyampaikan hal ini, tapi aku sangat terkejut
mendengar berita kematian ayahmu. Anak sekolah tidak biasa menulis ucapan
belasungkawa. Dan tragedimu agak tersisih karena Peter Middleton mati tenggelam
pada hari itu juga. Tapi percayalah padaku, sebagian besar dari kami memikirkan
dan membicarakanmu setelah kau dibawa pergi dengan tiba-tiba oleh ibumu dari
sekolah.... Aku gembira kau menanyakan Peter. Aku merasa berdosa sejak hari itu. Aku
sebenarnya tidak melihat anak malang itu meninggal, tapi aku cukup lama
menyaksikan kejadian itu, dan karenanya bisa menduga kelanjutannya.
Sepupumu Edward, sebagaimana kaugambarkan dengan jelas sekali, lebih busuk
daripada bangkai kucing. Kau berhasil mendapatkan sebagian besar pakaianmu dari
air dan melarikan diri, tapi Peter dan Tonio tidak segesit itu.
Aku berada di seberang, dan kurasa Edward dan Micky bahkan tidak
memperhatikanku. Atau mungkin mereka tidak mengenalku. Pokoknya, mereka tak
pernah berbicara padaku tentang insiden itu.
Setelah kau pergi, perlakuan Edward terhadap Peter semakin menjadi-jadi. Dia
membenamkan kepala Peter ke dalam air dan mencipratkan air ke mukanya.
sementara anak malang itu berusaha dengan susah payah mendapatkan kembali
pakaiannya. Aku mengerti keadaan tak terkendali lagi, namun aku benar-benar pengecut. Aku
seharusnya menolong Peter, tapi tubuhku kalah besar dibanding mereka, tentu saja
bukan tandingan Edward dan Micky Miranda, dan aku juga tak ingin pakaianku
basah. Apakah kau ingat hukuman kalau kita melanggar batas kawasan sekolah" Dua
belas kali didera dengan Striper, namun aku tidak berkeberatan mengaku bahwa aku
lebih takut pada itu ketimbang yang lainnya. Kusambar pakaianku dan menyelinap
tanpa menarik perhatian. Aku menoleh ke belakang sekali, dari tepi tambang batu dan pasir. Aku tidak tahu
apa yang terjadi sementara itu, tapi Tonio menaiki tebing dalam keadaan
telanjang dan menyambar seikat pakaian basah. Edward berenang menyeberangi kolam
mengejarnya, meninggalkan Peter yang megap-megap kehabisan napas di tengah
kolam. Kupikir Peter tidak apa-apa, tapi ternyata aku keliru. Dia pasti kehabisan
tenaga. Sementara Edward mengejar Tonio, dan Micky menyaksikan mereka, Peter
mati lemas tanpa ada seorang pun yang memperhatikannya.
Tentu saja aku tidak tahu hingga beberapa lama kemudian. Aku kembali ke sekolah
dan menyelinap ke kamarku. Pada waktu guru-guru mulai mengajukan pertanyaan, aku
bersumpah aku tidak ke mana-mana siang itu. Ketika cerita menakutkan itu mulai
mencuat, aku tak pernah berani mengaku bahwa aku melihat apa yang telah terjadi.
Bukan cerita yang layak dibanggakan. Hugh. Tapi menceritakan hal sebenarnya
akhirnya membuatku merasa lebih lega....
Hugh meletakkan surat Albert Cammel dan menatap ke
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY luar jendela kamar tidurnya. Surat itu sedikit banyak menerangkan apa yang
dibayangkan Cammel. Surat itu menerangkan betapa jauhnya Micky Miranda telah merasuki keluarga
Pilaster, sampai-sampai ia melewatkan setiap masa liburan bersama Edward dan
semua pengeluarannya ditanggung oleh orangtua Edward. Tidak disangsikan lagi,
Micky telah bercerita pada Augusta bahwa Edward sebenarnya telah menghabisi
nyawa Peter. Namun di pengadilan, Micky berkata Edward telah mencoba
menyelamatkan anak yang tenggelam itu. Dan dengan menyampaikan kisah bohong,
Micky telah menyelamatkan keluarga Pilaster dari aib yang diketahui oleh
masyarakat luas. Augusta sangat berterima kasih dan barangkali juga takut ?kalau-kalau suatu hari Micky nanti berbalik menentang mereka dan membeberkan hal
sebenarnya. Hugh merasa agak takut mengetahui hal ini. Albert Cammel tanpa sadar
telah mengungkapkan bahwa hubungan Augusta dengan Micky sangat dalam, jahat, dan
korup. Namun masih ada suatu teka-teki. Sebab Hugh mengetahui sesuatu tentang Peter
Middleton yang hampir tidak diketahui orang lain. Peter memiliki fisik lemah dan
semua anak laki-laki memperlakukannya sebagai anak lemah. Karena malu dengan
keadaannya, ia menjalani suatu pelatihan, dan latihan utamanya adalah berenang.
Ia berenang menyeberangi kolam itu jam demi jam, mencoba membina fisiknya.
Usahanya tidak berhasil: seorang anak tiga belas tahun takkan bisa memiliki bahu
bidang dan dada kekar, kecuali setelah tumbuh menjadi lelaki dewasa, dan proses
itu tak bisa dipaksakan. Satu-satunya hasil yang diperolehnya adalah ia jadi seperti ikan dalam air. Ia
sanggup menyelam ke dasar kolam, menahan napas selama beberapa menit, mengapung
dengan punggungnya, dan membuka matanya di dalam air. Diperlukan lebih dari
sekadar Edward Pilaster untuk membuatnya mati lemas.
Lalu mengapa ia tewas"
Hugh yakin Albert Cammel telah menceritakan yang sebenarnya, sepanjang
pengetahuannya. Namun pasti ada hal-hal lain. Sesuatu yang lain telah terjadi di
siang yang panas terik itu di Bishop's Wood. Seorang perenang yang tidak pandai
mungkin bisa terbunuh secara tak sengaja, mati lemas karena tak sanggup menahan
hantaman Edward yang bertubi-tubi. Tapi bergelut secara biasa-biasa saja tak
mungkin sampai menewaskan Peter. Dan kalau tidak sengaja, berarti kematiannya
pasti direncanakan. Dan itu berarti pembunuhan.
Hugh merinding. Hanya ada tiga orang di tempat kejadian: Edward, Micky, dan Peter. Peter pasti
telah dibunuh oleh Edward atau Micky.
Atau oleh keduanya. [VI AUGUSTA sudah mulai bosan dengan perabot Jepang miliknya. Ruang duduk itu penuh
dengan penyekat ruangan dari belahan dunia timun perabot berlekuk dengan kaki
kecil, kipas dan pot bunga Jepang dalam lemari berpernis hitam. Semuanya mahal,
namun tiruannya yang lebih murah sudah muncul di toko-toko di Oxford Street, dan
penampilannya tidak lagi eksklusif, khususnya bagi rumah semewah milik Augusta.
Malangnya Joseph tidak membolehkan dilakukan dekorasi ulang begitu cepat, jadi
Augusta harus puas dengan perabot yang semakin umum selama beberapa tahun. Ruang
duduk merupakan tempat Augusta mengadakan pertemuan pada acara minum teh setiap
hari kerja. Para wanita 148 biasanya hadir lebih dulu: ipar-iparnya, Madeleine dan Beatrice, dan putrinya
Clementine. Para mitra biasanya datang dari bank sekitar jam lima: Joseph, Old
Seth, suami Madeleine, George Hartshorn, dan sekali-sekali Samuel. Jika bisnis
sedang sepi, putra-putra mereka hadir juga: Edward, Hugh, dan Young William.
Satu-satunya tamu tetap yang bukan anggota keluarga dan pada acara minum teh
adalah Micky Miranda, tapi adakalanya mereka menerima kunjungan seorang pendeta
Methodist, mungkin seorang misionaris yang tengah mencari dana untuk melakukan
kegiatan agama di Laut Selatan, Malaya, atau Jepang yang baru saja dikembangkan.
Augusta berusaha keras agar para anggota keluarga rajin menghadiri pertemuan.
Semua anggota keluarga Pilaster suka makanan yang manis-manis, jadi ia
menyediakan kue-kue enak dan teh terbaik dari Assam dan Sailan. Rencana untuk
acara-acara besar seperti liburan keluarga dan perkawinan disusun selama
pertemuan seperti ini, sehingga siapa pun yang tidak hadir, pasti tidak dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi di lingkungan keluarga.
Meskipun demikian, kadang-kadang salah satu anggota keluarga merasa ingin
melepaskan diri dari semacam keharusan menghadiri pertemuan. Contoh terbaru
adalah istri Young William, Beatrice, kurang-lebih setahun yang silam, setelah
Augusta agak bersikeras memasalahkan bahan pakaian pilihan Beatrice yang tidak
sesuai dengan selera Augusta. Bila terjadi hal seperti ini, Augusta biasanya
membiarkan mereka sebentar, kemudian kembali mengambil hati mereka dengan
kedermawanannya. Dalam kasus Beatrice, Augusta mengadakan pesta mahal untuk
merayakan ulang tahun ibu Beatrice yang sudah tua, nyaris pikun, dan hampirhampir tak bisa dibawa tampil di hadapan para tamu. Beatrice merasa bersyukur
untuk ini. Ia segera melupakan soal bahan pakaian itu, persis seperti keinginan
Augusta. Dalam acara-acara minum teh ini Augusta jadi tahu apa yang terjadi dalam
lingkungan keluarga dan Pilasters Bank. Kini ia sedang mencemaskan Old Seth.
Dengan hati-hati ia mengarahkan para anggota keluarga untuk menerima gagasan
bahwa Samuel tak mungkin menjadi Mitra Senior berikutnya, namun Seth tidak
menunjukkan tanda-tanda akan mengundurkan diri, kendati kesehatannya semakin
memburuk. Augusta kesal sekali karena rencananya yang sudah matang jadi tak
menentu oleh kegigihan seorang laki-laki tua.
Pada akhir bulan Juli, London kian lengang. Kaum aristokrat pergi ke luar kota
pada waktu ini; mereka sedang dalam perjalanan ke kapal pesiar mereka di Cowes
atau pondok perburuan di Skotlandia. Mereka biasa tinggal di pedalaman,
membantai burung, berburu rubah dan rusa hingga sesudah hari Natal. Antara
Februari dan Paskah mereka mulai balik, dan pada bulan Mei Musim London ramai
kembali. Keluarga Pilaster tidak mengikuti kebiasaan ini. Kendati jauh lebih kaya
ketimbang sebagian besar kaum aristokrat tersebut, mereka adalah usahawan dan
tidak mempunyai pikiran untuk bermalas-malasan selama setengah tahun membantai
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satwa yang tak berdaya di hutan-hutan pedalaman Skotlandia. Meskipun demikian,
para mitra biasanya dapat dibujuk untuk berlibur pada bulan Agustus selama
hampir sebulan penuh, asal tidak terjadi gejolak dalam dunia perbankan.
Pada tahun ini, selama musim panas keluarga Pilas* ter ragu untuk berlibur,
karena ada badai yang berkecamuk mengancam pusat-pusat keuangan Eropa; namun
keadaan yang paling buruk tampaknya sudah berlalu, tingkat Suku Bunga Bank turun
menjadi tiga persen, dan Augusta telah menyewa sebuah puri kecil di Skotlandia.
Ia dan Madeleine merencanakan berangkat
dalam waktu kurang-lebih satu minggu, dan para pria akan menyusul satu atau dua
hari kemudian. Beberapa menit menjelang jam empat, tatkala ia berdiri di ruang duduk, kecewa
pada perabotnya dan sikap keras kepala Old Seth, Samuel melangkah masuk.
Seluruh anggota keluarga Pilaster berwajah buruk, namun Samuel-lah yang paling
jelek, pikir Augusta. Hidungnya besar, tapi mulutnya lemah seperti mulut
perempuan, dan giginya tidak rata. Lelaki ini cerewet/ necis, teliti sekali akan
kebersihan makanannya, sayang kucing dan benci anjing.
Tapi yang membuat Augusta tidak menyukainya adalah dari semua lelaki dalam
keluarga, ia paling sulit dibujuk. Augusta dengan daya tariknya sanggup
mempengaruhi Old Seth yang lemah terhadap wanita memikat, kendati usianya sudah
lanjut; Augusta mampu menangani Joseph dengan mengikis kesabarannya; George
Hartshorn takluk pada Madeleine dan karenanya bisa dipengaruhi secara tidak
langsung; yang lainnya masih muda dan dapat diintimidasi, meski Hugh kadangkadang menyulitkannya. Samuel tak mempan terhadap apa pun... khususnya daya tarik kewanitaan Augusta.
Sangat menjengkelkan caranya menertawakan Augusta ketika wanita itu merasa telah
menunjukkan sikap pintar tak kentara. Samuel memberikan kesan bahwa wanita ini
tak perlu ditanggapi dengan serius, dan hal itu sangat melukai perasaan Augusta.
Ia jauh lebih tersinggung karena sikap Samuel yang diam-diam mencemooh,
ketimbang dijuluki wanita tua oleh seorang wanita murahan di taman.
Meskipun demikian, hari ini Samuel tidak menyunggingkan senyumnya yang
menyiratkan keraguan. Ia tampak marah, begitu marah, hingga sesaat Augusta
merasa waswas. Lelaki ini jelas datang lebih awal dengan maksud menemuinya
ketika ia sendirian. Terlintas dalam benak Augusta bahwa selama dua bulan ia
telah berkom- SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY plot untuk menjatuhkan Samuel, padahal membunuh orang hanya perlu waktu singkat.
Samuel tidak menjabat tangannya, tapi berdiri di depannya dalam setelan abu-abu
mutiara dan dasi merah anggur, sosoknya menguarkan semerbak cologne. Augusta
mengangkat tangannya dalam sikap defensif.
Samuel mengeluarkan tawa hambar dan menjauh. "Aku tidak bermaksud memukulmu,
Augusta," ujarnya. "Meskipun Tuhan tahu kau layak dicambuk."
Tentu saja ia tak akan menyentuh Augusta. Samuel seorang yang lemah lembut, yang
menolak mendanai ekspor senapan. Rasa percaya diri Augusta pulih seketika dan ia
berkata dengan penuh penghinaan, "Berani sekali kau mengritikku!"
"Mengritik?" ucap lelaki itu amarah kembali terpancar di matanya. "Aku tak akan
merendahkan diri untuk mengritikmu." Ia diam sejenak, kemudian berbicara kembali
dengan terkendali. "Aku sama sekali tidak menghormatimu."
Augusta tak bisa diintimidasi untuk kedua kali. "Apakah kau datang ke sini untuk
memberitahukan bahwa kau bersedia menghentikan cara hidupmu yang keji?" ujarnya
dengan suara melengking. "Cara hidupku yang keji?" ulang Samuel. "Kau bersedia menghancurkan kebahagiaan
ayahku dan menyengsarakan hidupku, semua demi ambisimu, tapi kau masih bisa
bicara tentang cara hidup-/:" yang keji! Kurasa kau sudah begitu keji, sampaisampai kau lupa apakah kekejian itu."
Ia begitu yakin dan bernafsu, sehingga Augusta bertanya dalam hati, mungkinkah
dirinya benar-benar keji telah mengancam Samuel. Kemudian ia sadar bahwa lelaki
ini mencoba menggoyahkan tekadnya dengan mengeksploitasi simpatinya. "Aku cuma
prihatin memikirkan nasib bank keluarga kita," katanya dingin.
"Itukah dalihmu" Itukah yang akan kaukatakan pada
152 Tuhan yang Maha Kuasa pada hari kiamat, bila Tuhan menanyaimu mengapa kau
memerasku?" tanya Samuel sengit.
"Aku hanya melakukan kewajibanku." Kini Augusta mampu mengendalikan diri dan
hatinya bertanya-tanya mengapa lelaki ini datang ke sini. Apakah untuk menerima
kekalahan... atau untuk menentangnya" Seandainya lelaki ini mengalah, Augusta bisa
memastikan dirinya akan menjadi istri Mitra Senior. Namun alternatif tersebut
membuatnya ingin menggigit kukunya. Kalau lelaki ini menentangnya, Augusta harus
berjuang dengan susah payah dan lama, tanpa kepastian akan hasilnya.
Samuel melangkah ke jendela dan melihat ke taman. "Aku ingat ketika kau masih
seorang gadis mungil yang cantik," ujarnya merenung. Augusta menggerutu tak
sabar. "Kau biasa pergi ke gereja mengenakan gaun putih dengan pita putih di
rambutmu," ia melanjutkan. "Pita itu tak bisa membodohi orang. Kau bahkan sudah
sok mengatur ketika itu. Dulu orang-orang biasa berjalan-jalan di taman setelah
acara kebaktian, dan anak-anak lain takut padamu, tapi mereka bermain denganmu
karena kau mengatur permainan itu. Kau bahkan meneror orangtuamu. Kalau
keinginanmu tidak dipenuhi, kau mengamuk berteriak-teriak, sehingga orang
menghentikan kereta mereka untuk mengetahui apa yang terjadi. Air muka ayahmu,
semoga arwahnya beristirahat dalam kedamaian, menunjukkan bahwa dia selalu
memikirkanmu. Dia tak bisa mengerti, bagaimana dia telah menghadirkan setan
seperti dirimu ke dunia ini."
Apa yang dikatakan Samuel memang mendekati kenyataan, dan hal itu membuat
Augusta tidak nyaman. "Itu semua terjadi puluhan tahun yang lalu," ujarnya
sambil memalingkan wajah.
Samuel meneruskan ucapannya, seolah-olah wanita itu tidak berbicara. "Bukan
untuk kepentinganku aku cemas. Aku ingin menjadi Mitra Senior, tapi aku bisa
hidup tanpa'jabatan itu. Aku mampu menjadi Mitra Senior yang baik; mungkin tidak
sedinamis ayahku, tapi lebih merupakan pekerja tim. Namun Joseph tidak memenuhi
syarat untuk memegang jabatan itu. Temperamennya buruk dan tindakannya juga
tidak dipikirkan dengan matang. Dia tak mampu mengambil keputusan yang tepat,
dan ulahmu membuat keadaan semakin parah. Kau mengipas-ngipasi ambisinya dan
mengaburkan visinya. Dia memang bagus dalam kelompok, karena * yang lain bisa
membimbingnya dan mengerem tindakannya yang salah. Tapi dia tak bisa menjadi
pemimpin, penilaiannya tidak cukup bagus. Dalam jangka panjang, dia akan
merugikan bank keluarga kita. Apa kau tidak memedulikan hal itu?"
Selama sesaat Augusta bertanya dalam hati, apakah lelaki ini benar. Apakah
dirinya akan membahayakan kelangsungan hidup bank keluarga" Namun bank itu
memiliki cadangan uang begitu banyak, sehingga mereka tak mungkin menghabiskan
semuanya, walaupun mereka tidak bekerja lagi. Walau bagaimanapun, tidak masuk
akal beranggapan bahwa Joseph tidak tepat bagi kelangsungan hidup bank. Tugas
para wanita tidak terlalu sulit. Mereka masuk kerja, membaca nibrik keuangan di
koran, meminjamkan uang, dan mengumpulkan bunganya. Joseph sanggup melakukan
semua itu sama baiknya dengan mereka. "Kalian kaum lelaki selalu berpura-pura
bahwa seluk-beluk bank itu rumit dan misterius," kata Augusta. "Tapi kau tak
bisa mengelabui-ku." la sadar bahwa ia berada dalam posisi bertahan. "Aku
membenarkan diriku di-hadapan Tuhan, bukan di hadapanmu," katanya lagi.
"Apakah kau benar-benar akan mendatangi ayahku seperti ancamanmu?" tanya Samuel.
"Kau tahu itu bisa membunuhnya."
Wanita itu ragu hanya sesaat. "Tak ada pilihan lain," katanya tegas.
154 Lelaki itu lama memandangnya. "Kau setan betina, aku percaya kau akan
melakukannya," ujarnya.
Augusta menahan napas. Apakah lelaki ini akan mengalah" Wanita itu merasa
kemenangan hampir berada dalam genggamannya, dan dalam khayalannya ia mendengar
seseorang berkata penuh hormat: Perkenankan saya memperkenalkan Mrs. Joseph
Pilaster, istri Mitra Senior Pilasters Bank....
Lelaki itu bimbang, kemudian berbicara dengan nada penuh ketidaksenangan.
"Baiklah. Akan kukatakan pada yang lain bahwa aku tak ingin menjadi Mitra Senior
bila nanti ayahku mengundurkan diri."
Augusta menahan senyum kemenangannya. Ia telah meraih kemenangan. Ia berpaling
untuk menyembunyikan luapan kegembiraannya.
"Nikmatilah kemenanganmu," kata Samuel dengan getir. "Tapi ingat, Augusta, kita
semua punya rahasia, bahkan kau juga. Suatu hari nanti seseorang akan
menggunakan rahasiamu untuk mencelakakanmu dengan cara seperti ini, dan kau akan
ingat apa yang pernah kau lakukan terhadapku."
Augusta merasa heran. Apa maksudnya" Tanpa alasan apa pun, pikiran tentan Micky
Miranda terlintas dalam benaknya, namun ia menyisihkan hal itu. "Aku tidak punya
rahasia yang memalukanku," ujarnya. "Tidak punya?"
"Tidak!" tantangnya, namun keyakinan Samuel mencemaskannya.
Samuel melemparkan pandangan aneh. "Seorang pengacara muda bernama David
Middleton menemuiku kemarin."
Sejenak Augusta tidak mengerti. "Haruskah aku mengenalnya?" Nama itu tak asing
dan hal ini menggelisahkannya.
"Kau pernah bertemu dengannya, tujuh tahun yang lalu, dalam suatu penyidikan."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Sekonyong-konyong Augusta merasa dingin. Middleton: nama anak yang mati lemas
itu. Samuel berkata, "David Middleton yakin saudaranya dibunuh... oleh Edward."
Augusta ingin sekali duduk, namun, pantang baginya membiarkan Samuel melihatnya
tak bisa menguasai diri. "Mengapa dia mencoba menimbulkan kesulitan sekarang,
setelah tujuh tahun berlalu?"
"Dia berkata padaku bahwa dia tak puas dengan penyidikan itu, tapi dia diam
karena takut hal itu malah menambah penderitaan orangtuanya. Tapi ibunya
meninggal tak lama kemudian, menyusul Peter, dan ayahnya meninggal tahun ini."
"Mengapa dia mendekatimu, bukan aku?"
"Dia anggota klubku. Dia telah membaca ulang arsip penyidikan, dan katanya ada
beberapa saksi mata yang tak pernah dipanggil untuk memberikan bukti."
Pasti ada, pikir Augusta cemas. Salah seorang adalah Hugh Pilaster yang nakal;
seorang pemuda Amerika Latin bernama Tony, atau kurang-lebih begitulah namanya;
dan ada orang ketiga yang belum pernah diidentifikasi. Kalau David Middleton
bisa menghubungi salah seorang dari mereka, seluruh cerita akan muncul, ke
permukaan. Samuel tampak merenung. "Dari sudut pandangmu, sayang sekali penyidik sebab
kematian mengeluarkan pendapat tentang heroisme Edward. Hal itu membuat orang
curiga. Mereka lebih percaya kalau dikatakan Edward berdiri bimbang di tepi
kolam, sementara seorang anak sekarat di air. Tapi setiap orang yang pernah
mengenalnya tahu betul bahwa dia takkan menyeberangi jalan untuk menolong
seseorang, apalagi menyelam ke dalam kolam untuk menyelamatkan temannya yang
tenggelam." Percakapan ini benar-benar tak masuk akal, juga merupakan penghinaan. "Berani
benar kau," ujar Augusta, namun ia tak mampu memulihkan nada berwibawanya yang
biasa. Samuel tidak mengacuhkannya. "Teman-teman sekolahnya tidak percaya sama sekali.
David bersekolah di situ juga beberapa tahun sebelumnya, dan dia banyak kenal
dengan murid-murid yang lebih senior. Setelah berbicara dengan mereka, dia
semakin curiga." "Semua gagasan itu tidak masuk akal."
"Middleton orang yang tidak mudah puas, seperti semua pengacara," kata Samuel
tanpa memedulikan protesnya. "Dia takkan mendiamkan hal ini."
"Dia sama sekali tidak membuatku takut."
"Bagus, karena aku yakin dia akan segera mengunjungimu." la melangkah ke pintu.
"Aku berhalangan menghadiri acara minum teh. Selamat siang, Augusta."
Augusta terenyak di salah satu sofa. Ia tidak mengantisipasi hal ini. Bagaimana
bisa sampai demikian" Kemenangannya atas Samuel sirna. Persoalan lama itu
mencuat lagi tujuh tahun kemudian, ketika ganjalan itu seharusnya sudah
dilupakan sama sekali! Ia takut sekali akan apa yang mungkin terjadi atas
Edward. Ia tidak tahan jika suatu bencana menimpa Edward. Ia memegangi kepalanya
agar tidak lagi berdenyut keras. Apa yang bisa dilakukannya"
Hastead, kepala pelayannya, masuk, diikuti oleh dua pelayan wanita yang membawa
baki teh dan kue. "Permisi, Madam," katanya dengan aksen Welsh. Mata Hastead
selalu memandang ke arah lain dan orang tak pernah yakin ke mana harus
memusatkan perhatian. Pada awalnya hal ini mencemaskan, namun sekarang Augusta
sudah terbiasa. Ia mengangguk. "Terima kasih, Madam," kata pelayan itu, dan
mereka mulai menata perlengkapan makan-minum yang terbuat dari porselen. Kadangkadang Augusta bisa terhibur oleh kelakuan Hastead yang penurut dan para pelayan
yang mengerjakan perintahnya; tapi hari ini itu semua tak bisa meng-157
gugah perasaannya. Ia bangkit dan pergi ke jendela kaca yang terbuka. Taman yang
bermandikan sinar mentari juga tak mampu menenangkan perasaannya. Bagaimana ia
akan mencegah David Middleton"
Ia sedang mencari jalan keluar ketika Micky Miranda tiba.
Ia gembira melihat pemuda itu. Micky tampak menarik, seperti biasa, dengan
mantel hitam dan celana bergaris-garis, kerah putih bersih di sekeliling
lehernya, * dan dasi satin hitam. Ia melihat Augusta sedang gundah dan segera
menunjukkan simpatinya. Ia melintasi ruangan dengan keanggunan dan kesigapan
seekor kucing hutan, dan suaranya begitu lembut, "Mrs. Pilaster, apa yang
merisaukan Anda?" Augusta bersyukur pemuda itu yang pertama datang. Digenggamnya lengan Micky.
"Sesuatu yang.menakutkan telah terjadi."
Tangan pemuda itu bertumpu di pinggang Augusta, seakan-akan mereka tengah
berdansa, dan wanita itu merasakan getaran nikmat ketika jemari Micky menekan
pinggulnya. "Jangan sedih," ujar pemuda itu menghibur. "Ceritakan pada saya."
Ia merasa lebih tenang. Pada saat-saat seperti ini, ia sangat senang pada Micky.
Hal ini mengingatkannya pada perasaannya terhadap Earl Strang yang muda itu,
ketika ia masih seorang gadis. Micky sangat mengingatkannya pada Strang: gerakan
tubuhnya yang anggun, sikapnya yang penuh perhatian, pakaiannya yang indah, dan
terutama caranya bergerak, kelenturan dan mekanisme tubuhnya yang mulus. Strang
berkulit cerah dan sangat Inggris, sedangkan Micky berkulit gelap dan orang
Amerika Latin, namun keduanya mampu membuatnya merasa begitu feminin. Ia ingin
menarik pemuda itu ke tubuhnya dan menyandarkan pipi ke bahunya....
Ia melihat para pelayan menatapnya keheranan, dan menyadari bahwa agak tak patut
Micky berdiri di situ 158 dengan kedua tangan di pinggulnya, la melepaskan diri dari pemuda itu, memegang
lengannya, dan menuntunnya melalui jendela kaca, menuju taman. Di situ
percakapan mereka tidak akan terdengar oleh pelayan. Udara hangat dan lembut.
Mereka duduk berdekatan di bangku kayu, di tempat yang rindang. Augusta
memiringkan tubuh untuk memandang pemuda itu. Ia ingin sekali memegang
tangannya, tapi itu tidak pantas.
Pemuda itu berkata, "Aku melihat Samuel pergi. Apakah dia ada hubungannya dengan
soal ini?" Augusta berbicara perlahan, dan Micky mendekatkan tubuh untuk mendengar
ucapannya, demikian dekat hingga Augusta bisa menciumnya nyaris tanpa
menggerakkan badan. "Dia datang untuk mengatakan padaku bahwa dia tidak
mengincar jabatan Mitra Senior."
"Berita bagus!"
"Ya. Artinya jabatan itu pasti akan jatuh ke tangan suamiku."
"Dan Papa bisa mendapatkan senapannya."
"Begitu Seth mengundurkan diri."
"Aku jengkel sekali melihat Old Seth bertahan hidup!" seru Micky. "Papa terusmenerus menanyaiku, kapan si tua Seth meninggal."
Augusta tahu mengapa Micky begitu cemas: ia takut ayahnya akan menyuruhnya
pulang ke Kordoba. "Kurasa Seth tidak akan bertahan lebih lama lagi," ujar
wanita itu menghiburnya. Micky memandang matanya. "Tapi bukan itu yang merisaukan Anda."
"Bukan. Tapi soal anak yang mati tenggelam di sekolahmu Peter Middleton. Samuel?bercerita padaku bahwa kakaknya, David si pengacara, mulai mengajukan
pertanyaan." Wajah Micky yang mulus menjadi gelap. "Sesudah sekian tahun ini?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ternyata dia sengaja berdiam diri demi kepentingan orangtuanya, tapi mereka
sekarang telah meninggal."
Micky merengut. "Seberapa besar masalah ini?"
"Kau mungkin lebih tahu daripada aku." Augusta bimbang. Ada pertanyaan yang
harus diajukannya, namun ia takut akan jawabannya. Ia mengencangkan sarafnya.
"Micky, apakah menurutmu karena kesalahan Edward-lah anak muda itu mati?"
"Ehm..." "Katakan ya atau tidak!" perintahnya.
Micky diam, kemudian akhirnya berkata, "Ya."
Augusta memejamkan matanya. Teddy buah hatiku, pikirnya, mengapa kaulakukan ini"
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Micky berkata perlahan, "Peter tidak begitu pandai berenang. Edward tidak
membuatnya mati lemas, tapi dia menguras tenaga anak itu. Peter masih hidup
ketika Edward meninggalkannya untuk mengejar Tonio. Tapi aku percaya anak itu
terlalu lemah untuk berenang ke tepi, dan dia mati lemas sementara tak seorang
pun memperhatikannya."
"Teddy tidak bermaksud membunuhya."
"Tentu tidak." "Ini cuma canda kasar anak sekolah."
"Edward tidak bermaksud mencelakakannya."
"Jadi, itu bukan pembunuhan."
"Kurasa itu pembunuhan," ucap Micky sungguh-sungguh, dan jantung Augusta seakan
berhenti berdetak. "Jika seorang pencuri membanting seseorang ke tanah dengan
maksud untuk merampoknya, tapi orang itu terkena serangan jantung dan meninggal,
maka pencuri itu bersalah melakukan pembunuhan, meskipun dia tidak berniat
membunuh." "Dari mana kau tahu ini?"
"Aku menanyakan kepastiannya pada seorang pengacara, beberapa tahun yang lalu."
"Mengapa?" 160 "Aku ingin tahu posisi Edward."
Augusta membenamkan wajah ke tangannya. Kejadian itu lebih buruk daripada yang
dibayangkannya. Micky meraih tangan wanita itu, menjauhkannya dari wajahnya, dan menciumnya satu
demi satu. Gerakannya begitu lembut, hingga Augusta ingin menangis. Sambil terus
memegang tangan wanita itu, Micky berkata, "Orang yang berakal sehat takkan
menghukum mati Edward karena sesuatu yang terjadi ketika dia masih kanak-kanak."
"Tapi apakah David Middleton punya akal sehat?" Augusta menangis.
"Barangkali tidak. Tampaknya dia telah memupuk obsesinya selama beberapa tahun
ini. Semoga kekerasan hatinya tidak menuntunnya untuk membuka tabir tragedi di
kolam itu." Augusta bergidik membayangkan segala akibatnya. Akan pecah skandal; koran
sensasional akan berkoar: AHLI WARIS BANK RAHASIAKAN AIB; polisi akan datang;
Teddy tersayang yang malang mungkin akan diadili; dan bagaimana kalau ia
dinyatakan bersalah karena menyebabkan Peter mati tenggelam"
"Micky, aku ngeri memikirkan ini!" bisiknya.
"Kalau begitu, kita harus melakukan sesuatu."
Augusta meremas tangan pemuda itu, kemudian melepaskannya dan berpikir keras. Ia
jadi sadar, betapa seriusnya problem ini. Ia telah melihat bayang-bayang tiang
gantungan melingkari leher putranya satu-satunya. Bukan waktunya lagi menimbangnimbang, harus segera diambil tindakan. Syukurlah Edward mempunyai teman
sejati Micky. "Kita harus pastikan penyidikan David Middleton gagal. Berapa ?orang yang mengetahui hal sebenarnya?"
"Enam," kata Micky dengan segera. "Edward, Anda, dan aku jadi tiga orang, tapi
kita tak akan mengatakan apa pun padanya. Lalu ada Hugh."
161 "Dia tidak berada di sana ketika anak itu mati."
"Memang tidak, tapi cukup banyak yang dilihatnya. Dia tahu bahwa apa yang kita
ceritakan pada penyidik kematian itu bohong. Dan karena kita berbohong, kita
akan kelihatan bersalah."
"Kalau begitu, Hugh jadi masalah. Yang lainnya?"
"Tonio Silva menyaksikan seluruh kejadian ini."
"Dia tidak berkata apa-apa waktu itu."
"Dia terlalu takut padaku waktu itu. Tapi aku tidak yakin dia masih takut
sekarang." "Dan yang keenam?"
"Kami tak pernah tahu siapa dia. Aku tidak melihat wajahnya waktu itu, dan dia
tak pernah menghubungi pihak berwajib. Sayang sekali kita tak bisa berbuat apaapa sehubungan dengan dia. Tapi jika tak ada yang tahu siapa dia, kukira dia
tidak akan membahayakan kita."
Augusta merasakan lagi getaran rasa takut, ia tidak yakin mengenai hal itu.
Bahaya selalu ada bahwa saksi yang tak dikenal akan tampil. Namun Micky benar,
mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Kalau begitu, yang dua orang bisa kita
tangani: Hugh dan Tonio."
Mereka diam berpikir. Hugh tak bisa lagi dianggap gangguan kecil, pikir Augusta. Keuletannya
membuatnya naik daun di bank keluarga itu, dan Teddy kelihatan lamban
dibandingkan dia. Augusta berhasil menyabot percintaan antara Hugh dan Lady
Florence Stalworthy. Namun kini Hugh merupakan ancaman bagi Teddy dengan cara
yang jauh lebih berbahaya. Harus dilakukan sesuatu sehubungan dengan pemuda itu.
Tapi apa" Ia salah seorang anggota keluarga Pilaster, meski nasibnya kurang
beruntung. Augusta memeras otak, tapi tidak menemukan jalan keluarnya.
Micky yang tengah berpikir keras berkata, "Tonio punya kelemahan."
"Ya?" "Dia penjudi berat. Berani memasang taruhan lebih besar daripada kesanggupannya,
dan kalah terus." "Barangkali kau bisa atur suatu permainan judi. Bagaimana?"
"Barangkali." Terlintas dalam pikiran Augusta bahwa Micky mungkin tahu bagaimana menipu dalam
permainan kartu. Namun, ia tak mungkin bisa memintanya; menyiratkan hal itu saja
sudah merupakan penghinaan besar bagi lelaki mana pun.
Micky berkata, "Mungkin perlu dana besar. Maukah Anda menyediakan uang kalau aku
berjudi dengannya?" "Kau perlu berapa?"
"Kurasa seratus pound."
Augusta tidak ragu. Nyawa Teddy terancam. "Baik," ujarnya. Ia mendengar suara
riuh di dalam rumah; tamu-tamu acara minum teh mulai berdatangan. Ia bangkit.
"Aku tidak yakin bagaimana harus menangani Hugh," sambungnya cemas. "Aku harus
benar-benar memikirkannya. Kita mesti ke dalam."
Saudara iparnya, Madeleine, sudah berada di sana, dan mulai berbicara begitu
mereka masuk. "Penjahit itu membuatku kehausan. Dua jam untuk mengepas baju. Aku
ingin sekali minum secangkir teh... oh, dan kau masih punya kue almond yang lezat
itu, kan" Aduh, cuacanya panas sekali, ya?"
Augusta meremas tangan Micky penuh arti, dan duduk untuk menuangkan teh.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY BAB EMPAT Agustus LONDON panas dan lembap, penduduknya mendambakan udara segar dan lapanganlapangan terbuka. Pada hari pertama bulan Agustus, semua orang pergi ke
gelanggang pacuan kuda di Goodwood.
Mereka bepergian dengan kereta api khusus dari Stasiun Victoria di selatan
London. Berbagai kelas masyarakat Inggris tercermin jelas dalam tatanan
transportasi penumpang. Masyarakat kelas atas menempati gerbong-gerbong mewah
kelas satu dengan tempat duduk berlapis kulit, para pemilik toko dan guru
sekolah memenuhi gerbong kelas dua yang cukup nyaman, para pekerja pabrik dan
pelayan rumah duduk berdesakan di bangku-bangku kayu keras di gerbong kelas
tiga. Turun dari kereta, golongan aristokrat meneruskan perjalanan dengan kereta
kuda, kelas menengah naik bus yang ditarik oleh kuda, dan para pekerja berjalan
kaki. Bekal piknik orang kaya telah dikirim dengan kereta sebelumnya: puluhan
keranjang yang dibawa oleh para pelayan muda yang kekar, berisi barang pecahbelah dari porselen dan kain linen untuk alas, masakan ayam dan mentimun,
sampanye dan buah persik yang dibudidayakan di rumah kaca. Bagi yang tidak
begitu kaya ada kios-kios yang
164 menjual sosis, kerang, dan bir. Mereka yang tak mampu, membawa bekal roti dan
keju yang dibungkus dengan sapu tangan.
Maisie Robinson dan April Tilsley pergi bersama Solly Greenbourne dan Tonio
Silva. Kedudukan mereka dalam hierarki masyarakat menjadi kabur. Solly dan Tonio
jelas termasuk kelas satu, tapi Maisie dan April seharusnya termasuk kelas tiga.
Solly berkompromi dengan membeli tiket kelas dua, dan mereka naik bus yang
ditarik oleh kuda dari stasiun melintasi Downs ke gelanggang pacuan.
Meskipun demikian, Solly tidak mau makan makanan yang dibeli di kios, jadi ia
telah menyuruh empat pelayannya pergi lebih dulu untuk mengangkut bekal berupa
ikan salmon dingin dan anggur putih yang diberi es. Mereka menghamparkan alas
meja seputih salju di tanah dan duduk mengitarinya di rumput tebal. Maisie
menyuapi Solly sedikit demi sedikit. Gadis itu semakin menyukai Solly. Pemuda
itu baik pada setiap orang, ceria, dan enak diajak bicara. Satu-satunya sifat
buruknya adalah rakus. Maise masih belum membiarkan Solly melampiaskan
kehendaknya, namun tampaknya semakin gigih gadis itu menampiknya, semakin mesra
sikap pemuda itu terhadapnya.
Pacuan kuda dimulai sesudah makan siang. Ada seorang pembantu bandar di dekat
mereka, berdiri di atas sebuah kotak dan meneriakkan angka taruhan. Ia
mengenakan pakaian manyala, dasi sutra yang berkibar-kibar, setangkai bunga
besar di lubang kancingnya, dan topi putih. Ia membawa sebuah kantong kulit
penuh uang yang disampirkan di bahunya dan berdiri di bawah spanduk bertulisan:
"Wm. Tucker, the King's Head, Chichester".
Tonio dan Solly bertaruh pada setiap pacuan. Maisie menjadi bosan: satu pacuan
sama saja dengan pacuan lainnya kalau kita tidak bertaruh. April tak ingin beran
- 165 jak dari sisi Tonio, namun Maisie memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat.
Kuda bukanlah satu-satunya daya tarik. Kawasan Downs di sekitar pacuan kuda
penuh dengan tenda, kios, dan gerobak. Ada kios judi, pertunjukan makhluk aneh,
dan orang gipsi berkulit gelap dengan ikat kepala berwarna cemerlang tengah
meramal. Ada pula para penjual gin, sari apel, pie daging, jeruk, dan Alkitab.
Suara organ putar dan kelompok pemusik saling ber- * saing, dan di antara
kerumunan orang, para pemain sulap, pemain ketangkasan, dan akrobat menunjukkan
kebolehan, berharap penonton akan memberi uang pada mereka. Ada anjing berjoget,
orang kerdil, manusia berbadan besar, dan orang yang berjalan dengan galah.
Suasana karnaval yang meriah itu sangat mengingatkan Maisie pada rombongan
sirkusnya dulu. Ia jadi terkenang masa lalunya dan merasa agak menyesal telah
meninggalkannya. Para penghibur berada di sini untuk menyedot uang dari
masyarakat dengan cara apa pun yang dapat mereka lakukan, dan hati Maisie
tergugah menyaksikan keberhasilan mereka.
Ia tahu bahwa ia seharusnya mengambil lebih banyak dari Solly. Bodoh kalau mau
begitu saja pergi dengan salah seorang terkaya di dunia dan tinggal terkungkung
dalam satu kamar di kawasan Soho. Mestinya ia sudah mengenakan berlian dan
busana bulu yang mahal, dan sudah memikirkan sebuah rumah kecil di pinggiran
kota di St. John's Wood atau Clapham. Pekerjaannya menunggang kuda milik Sammies
akan segera berakhir. Musim London hampir usai dan mereka yang mampu membeli
kuda sudah mulai pergi ke pedalaman. Namun selama ini ia hanya mau menerima
bunga dari Solly. Hal ini membuat April jengkel.
Maisie melewati sebuah tenda besar. Di luar ada dua orang gadis berpakaian
sebagai pembantu bandar dan seorang laki-laki bersetelan hitam yang berteriak,
"Satu - 166 satunya kepastian pacuan di Goodwood hari ini adalah datangnya Hari Kiamat!
Percayalah pada Yesus, dan imbalannya adalah kehidupan kekal." Interior tenda
tersebut tampak sejuk dan teduh, dan secara spontan Maisie masuk. Sebagian besar
mereka yang duduk di bangku tampaknya telah menjadi pemeluk agama baru. Maisie
mengambil tempat duduk dekat pintu keluar dan mengambil sebuah buku nyanyian.
Ia bisa mengerti mengapa orang pergi ke kapel dan berkhotbah pada acara pacuan
kuda. Hal ini membuat mereka merasa tergabung dalam sesuatu, merasa memiliki.
Rasa memiliki adalah godaan sebenarnya yang ditawarkan Solly: bukan berlian dan
busana bulu, tapi harapan akan menjadi wanita simpanan Solly Greenbourne, dengan
tempat tinggal dan penghasilan tetap dan kedudukan sebagaimana mestinya. Bukan
kedudukan terhormat, juga tidak permanen semua akan berakhir . begitu Solly ?bosan padanya, namun semua itu jauh lebih baik daripada keadaannya saat ini.
Para jemaat bangkit untuk menyanyikan sebuah himne. Himne tentang dimandikan
dengan darah domba. Ini membuat Maisie merasa tak enak. la keluar.
Ia melewati sebuah pertunjukan sandiwara boneka yang sedang mencapai klimaks.
Tokoh boneka Mr. Punch dipukul dari satu sisi panggung kecil ke sisi satunya
oleh istrinya yang menggenggam pentungan. Maisie mengamati kerumunan manusia itu
dengan tatapan seorang ahli. Pertunjukan Punch dan Judy tidak akan memperoleh
banyak uang jika diselenggarakan dengan jujur; sebagian besar penonton akan
menyelinap pergi tanpa membayar, dan yang lainnya hanya akan membayar masingmasing setengah penny. Namun ada cara lain untuk menguras uang pelanggan.
Setelah beberapa saat, ia melihat seorang anak di belakang tengah mencopet
seorang lelaki bertopi tinggi. Setiap orang kecuali Maisie tengah menonton
pertunjukan tersebut, dan tak
167 seorang pun melihat tangan kecil yang kotor itu menyelinap ke dalam saku rompi
lelaki itu. Maisie tidak berniat mencegahnya. Pemuda kaya dan tidak hati-hati layak
kehilangan jam saku, dan maling yang berani pantas mendapatkan jarahannya,
begitu pendapatnya. Namun ketika memperhatikan si korban dengan lebih saksama,
ia mengenal rambut hitam dan mata biru Hugh Pilaster. Ia ingat April bercerita
padanya bahwa Hugh tak punya uang. Ia tak sanggup menanggung beban kehilangan
jam sakunya. Spontan Maisie memutuskan untuk menyelamatkannya dari
kecerobohannya. Ia bergegas memutar ke belakang kerumunan manusia. Pencopet itu adalah seorang
anak lelaki lusuh berambut cokelat kekuningan, berumur kurang-lebih sebelas
tahun, persis usia Maisie ketika ia kabur dari rumah. Anak itu dengan perlahan
sekali menarik rantai jam Hugh dari rompinya. Terdengar tawa riuh penonton
pertunjukan, dan pada saat itulah si anak mengendap-endap kabur dengan
menggenggam jam di tangannya.
Maisie menyambar pergelangannya.
Pencopet itu mengeluarkan teriakan kecil penuh ketakutan dan mencoba melepaskan
diri, namun Maisie terlalu kuat baginya. "Berikan padaku dan aku takkan bilang
apa-apa," katanya perlahan dengan suara tajam.
Anak itu ragu sesaat. Maisie melihat rasa takut dan ketamakan bercampur di
wajahnya yang kotor. Lalu dengan sikap pasrah ia menjatuhkan jam itu ke tanah.
"Pergi sana. Curi jam orang lain saja," kata Maisie. Ia melepaskan tangan anak
itu, yang menghilang seketika.
Maisie memungut jam itu. Sebuah jam saku emas. Ia membuka penutupnya dan
memeriksa jam berapa sekarang: sepuluh tiga puluh. Di bagian belakangnya ada
tulisan grafir: SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tobias Pilaster dari istrimu tercinta Lydia 23 Mei 1851
Jam itu merupakan hadiah dari ibu Hugh kepada ayahnya. Maisie senang telah
menyelamatkan benda ini. Ia menutupnya lagr dan menepuk pundak Hugh. - Pemuda
itu berbalik, kesal karena ada yang mengalihkan perhatiannya dari hiburan itu;
lalu mata birunya yang cemerlang terbelalak penuh keheranan. "Miss Robinson!"
"Jam berapa sekarang?" kata Maisie.
Pemuda itu dengan sendirinya meraba-raba mencari jamnya. Ternyata sakunya
kosong. "Lho..." Ia melihat ke sekeliling, seolah-olah mungkin saja jamnya jatuh.
"Mudah-mudahan aku tidak..."
Maisie mengacungkan jam itu.
"Wow!" serunya. "Bagaimana kau bisa menemukannya?"
"Kulihat kau kecopetan, dan kuselamatkan jam ini." "Mana malingnya?"
"Sudah kulepaskan. Cuma seorang anak laki-laki kecil.""Tapi...." Ia terkesima.
"Semula akan kubiarkan dia mengambil jam itu, tapi aku tahu kau takkan bisa beli
lagi." "Kau bercanda."
"Tidak. Dulu aku biasa mencuri, waktu masih anak-anak, kapan saja aku bisa
lolos." "Menakutkan sekali."
Maisie merasa jengkel lagi terhadapnya. Menurutnya pemuda itu mempunyai sikap
merasa benar sendiri. Gadis itu berkata, "Aku ingat pemakaman ayahmu. Waktu itu
udara dingin dan sedang hujan. Ayahmu meninggal dan masih punya utang pada
ayahku... meski - 169 pun demikian kau punya mantel pada hari itu, sedangkan aku tidak. Adilkah itu?"
"Entahlah," ujar Hush dengan kejengkelan yang muncul tiba-tiba. "Aku baru
berusia tiga belas tahun ketika ayahku jatuh bangkrut, apakah itu berarti aku
harus berpura-pura tak acuh terhadap ketidakadilan dan kejahatan selama
hidupku?" Maisie tersentak. Tidak sering laki-laki berbicara kasar padanya, dan dengan
kejadian ini Hugh telah dua kali melakukannya. Namun ia tak mau lagi bertengkar
dengan pemuda itu. Disentuhnya lengan Hugh. "Maaf," katanya. "Aku tidak
bermaksud mengritik ayahmu. Aku cuma ingin kau mengerti mengapa seorang anak
sampai mencuri."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikap pemuda itu segera menjadi lunak. "Aku sendiri belum berterima kasih karena
kau telah menyelamatkan jamku. Jam ini kado perkawinan ibuku untuk ayahku, jadi
jauh lebih bernilai ketimbang harganya."
"Dan anak itu akan mencari orang bodoh lain yang bisa dia copet."
Pemuda itu tertawa. "Aku belum pernah bertemu dengan orang seperti kau!"
katanya. "Bagaimana kalau kita minum bir" Aku kepanasan."
Justru itu yang diinginkan Maisie. "Ya, mari."
Beberapa meter dari situ ada sebuah gerobak beroda empat yang berat, sarat
dengan tong-tong besar. Hugh membeli dua pot bir keras yang hangat. Maisie
menikmati birnya dengan satu tenggakan panjang, ia haus sekali. Rasanya lebih
nikmat ketimbang anggur Prancis yang dibawa Solly. Pada gerobak itu ada tulisan
dengan batu kapur dalam huruf besar yang kasar, bunyinya: YANG COBA-COBA MENCURI
POT MINUMAN AKAN TAHU RASA AKIBATNYA.
Air muka Hugh yang biasanya ceria tampak merenung dan setelah beberapa lama ia
berkata, "Sadarkah kau bahwa kita berdua adalah korban bencana yang sarn,a?"
170 Gadis itu tidak menyadarinya. "Maksudmu?"
"Pada tahun 1866 terjadi krisis keuangan. Ketika krisis itu terjadi, perusahaanperusahaan yang benar-benar jujur jatuh bangkrut... seperti pada waktu seekor kuda
dalam satu tim jatuh dan menyeret yang lainnya bersamanya. Bisnis ayahku ambruk
karena orang berutang kepadanya dan tidak membayar; dan dia begitu menderita,
sampai-sampai dia mengakhiri hidupnya dan meninggalkan ibuku sebagai janda dan
aku sebagai anak yatim dalam usia tiga belas tahun. Ayahmu tak bisa memberimu
makan karena orang berutang kepadanya dan tak mampu membayar, dan kau kabur dari
rumah dalam usia sebelas tahun."
Maisie mengerti logika perkataan Hugh, namun hatinya takkan memperkenankannya
untuk sependapat; ia sudah terlalu lama membenci Tobias Pilaster. "Itu tidak
sama," ia mengajukan protes. "Kaum pekerja tidak mengendalikan semua ini. Mereka
hanya melakukan apa yang diperintahkan. Boslah yang punya kuasa. Merekalah yang
salah kalau keadaan tidak berjalan dengan semestinya."
.Hugh tampak berpikir keras. "Entahlah, barangkali kau benar. Bos tentu
memperoleh imbalan lebih besar. Tapi setidaknya aku yakin akan satu hal: apakah
dia bos atau karyawan, anak-anak mereka tak bisa disalahkan."
Maisie tersenyum. "Sulit dipercaya akhirnya kita sependapat tentang satu hal."
Keduanya menghabiskan minuman mereka, mengembalikan tempat minuman, dan berjalan
menuju komidi putar yang terdiri atas kuda-kuda kayu. "Mau naik?" ucap Hugh.
Maisie tersenyum. "Tidak."
"Kau ke sini sendirian?"
"Tidak, aku dengan... teman-teman." Karena suatu alasan, ia tak ingin pemuda itu
tahu ia diajak ke sini oleh Solly.
171 "Dan kau" Kau ke sini dengan bibimu yang seram itu?"
Hugh merengut. "Tidak. Pengikut Methodist tidak suka dengan pacuan. Dia akan
murka kalau ia tahu aku berada di sini."
"Apakah dia menyukaimu?"
"Sama sekali tidak."
"Lalu mengapa dia membolehkanmu tinggal bersamanya?"
"Dia suka kalau orang tak lepas dari penglihatannya, sehingga dia bisa mengawasi
mereka." "Apakah dia mengawasimu"'
"Dia mencoba mengawasiku." Hugh tersenyum. "Kadang-kadang aku lolos."
"Pasti sulit hidup bersamanya."
"Aku tak sanggup hidup dengan penghasilanku sendiri. Aku harus sabar dan bekerja
keras di bank milik keluarga. Akhirnya aku akan naik pangkat, kemudian bisa
mandiri." Ia tersenyum lagi. "Kemudian aku akan menyuruhnya diam seperti yang
kaulakukan." "Kuharap kau tidak menghadapi kesulitan karena aku."
"Memang aku dalam kesulitan, tapi aku senang bisa melihat ekspresi wajahnya
waktu itu. Pada saat itulah aku mulai menyukaimu."
"Itukah sebabnya kau mengajakku makan malam?"
"Ya. Mengapa kau menolak?"
"Karena April bilang kau tak punya satu penny pun atas namamu."
"Uangku cukup untuk membeli dua iris daging dan puding buah plum."
"Bagaimana seorang gadis bisa menolak ajakan itu?" kata Maisie mengejek.
Hugh tertawa. "Mari kita pergi malam ini. Kita ke Cremorne Garden dan berdansa."
Maisie tergoda, tapi ia memikirkan Solly dan merasa berdosa.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tidak, terima kasih." "Mengapa tidak?"
Maisie menanyai dirinya dengan pertanyaan serupa. Ia tidak mencintai Solly dan
tidak mengambil uangnya; mengapa ia mencadangkan dirinya untuk pemuda itu" Aku
berusia delapan belas tahun, pikirya, dan kalau aku tak bisa pergi berdansa
dengan seorang pemuda yang kusukai, untuk apa aku hidup" "Baiklah."
"Kau bersedia?"
"Ya." Hugh tersenyum. Gadis itu telah membuatnya bahagia. "Apakah aku harus
menjemputnmu?" Maisie tak ingin Hugh melihat kawasan kumuh Soho tempat ia tinggal satu kamar
dengan April. "Tidak usah, kita bertemu di suatu tempat."
"Baiklah. Kita akan pergi ke dermaga Westminster dan naik kapal ke Chelsea."
"Ya." Ia merasa lebih bergairah daripada yang dirasakannya selama beberapa bulan
ini. "Jam berapa?" "Jam delapan?" Maisie berhitung dengan cepat. Solly dan Tonio ingin tinggal hingga pacuan
terakhir, kemudian mereka harus naik kereta api kembali ke London. Ia akan
mengucapkan selamat tinggal pada Solly di Stasiun Victoria dan berjalan ke
Westminster. Rasanya ia sanggup melakukannya. "Tapi kalau aku terlambat, kau mau
menunggu?" "Semalaman, jika perlu."
Memikirkan Solly membuatnya merasa berdosa. "Lebih baik aku kembali kepada
teman-temanku sekarang." "Akan kuantar kau," kata Hugh dengan bergairah. Maisie
tidak menginginkan hal itu. "Sebaiknya tidak." "Baiklah, terserah kau."
Maisie mengeluarkan tangan dan mereka berjabatan. Aneh rasanya begitu formal.
"Sampai nanti malam," ujarnya.
173 "Aku akan berada di sana."
Maisie berjalan pergi. Ia merasa pemuda itu memperhatikannya. Mengapa kulakukan
itu" pikirnya. Apakah aku ingin pergi dengannya" Apakah aku benar-benar
menyukainya" Pertama kali bertemu, kami bertengkar hingga pesta kami bubar, dan
hari ini ia siap bertengkar lagi kalau tidak kuajak berbaikan. Kami sebenarnya
tidak serasi. Kami takkan bisa berdansa bersama. Mungkin aku tidak jadi pergi.
Tapi mata birunya indah. Ia bertekad tidak akan memikirkan hal itu lagi. Ia telah setuju untuk bertemu
dengan Hugh dan akan menepatinya. Ia mungkin akan menikmatinya dan mungkin juga
tidak, namun tak ada gunanya menyusahkan diri sebelumnya.
Ia harus mencari-cari alasan untuk meninggalkan Solly. Pemuda itu menantinya
untuk membawanya makan malam. Tapi Solly tak pernah menanyainya selalu menerima?dalihnya, betapa pun tidak masuk akalnya. Tapi Maisie akan mencoba mencari
alasan yang meyakinkan, karena ia merasa tak enak meyalahgunakan sifat Solly
yang tak mudah marah. Teman-temannya belum beranjak dari tempat ia meninggalkan mereka tadi. Mereka
menghabiskan sepanjang siang itu antara pagar pacuan dan pembantu bandar yang
berpakaian khusus. April dan Tonio tampak ceria dan penuh kemenangan. Begitu
melihat Maisie, April berkata, "Kami menang seratus sepuluh pound. Hebat bukan?"
Maisie gembira atas kemujuran April memperoleh uang sebesar itu tanpa susah
?payah. Ketika ia sedang mengucapkan selamat pada mereka, muncul Micky Miranda,
berjalan santai dengan kedua ibu jari di saku rompinya yang kelabu. Maisie tidak
merasa heran melihat pemuda itu; setiap orang pergi ke Goodwood.
Kendati Micky sangat tampan, Maisie tidak menyukai 174 nya. Pemuda itu mengingatkannya pada kepala arena sirkus yang menganggap setiap
wanita pasti bangga diajaknya bercinta, dan tersinggung sekali jika dirinya
ditolak. Micky, seperti biasa, diikuti oleh Edward. Maisie ingin tahu latar
belakang hubungan mereka. Kedua orang itu sangat berbeda: Micky ramping, necis,
penuh percaya diri; Edward bertubuh besar, canggung, egois, dan tamak. Mengapa
mereka demikian akrab" Namun sebagian besar orang tertarik pada Micky. Tonio
memandangnya dengan rasa hormat yang dalam bercampur takut, bagaikan seekor anak
anjing terhadap tuannya yang bengis.
Di belakang mereka ada seorang laki-laki yang lebih tua dan seorang wanita muda.
Micky memperkenalkan lelaki itu sebagai ayahnya. Maisie mengamatinya dengan
penuh minat. Ia sama sekali tidak mirip Micky. Tubuhnya pendek, kakinya
melengkung, bahunya sangat bidang, dan wajahnya kasar tertempa cuaca. Beda
dengan anaknya, ia tidak tampak nyaman mengenakan kerah kaku dan topi tinggi.
Wanita yang mendampinginya bergayut seperti seorang kekasih, namun ia pasti
lebih muda tiga puluh tahun dibandingkan lelaki itu. Micky memperkenalkannya
sebagai Miss Cox. Mereka semua berbicara tentang kemenangan mereka. Baik Edward maupun Tonio
banyak memperoleh kemenangan dengan memasang taruhan pada seekor kuda bernama
Prince Charlie. Solly mula-mula menang, kemudian kalah lagi, tapi tampaknya
menikmati semuanya. Micky tidak membicarakan jumlah kemenangan yang
diperolehnya, dan Maisie menduga ia tidak bertaruh sebanyak yang lain: ia
terlalu hati-hati, terlalu penuh perhitungan untuk bisa menjadi penjudi berat.
Meskipun demikian, beberapa saat kemudian pemuda itu menimbulkan keheranannya.
Ia berkata pada Solly, "Kami akan mengadakan permainan judi kelas berat malam
ini, Greenbourne... minimum satu pound. Mau ikut?" Terlintas dalam benak Maisie:
postur Micky yang 175 tampak tenang ternyata menyembunyikan perasaan tegang yang mendalam. Pemuda itu
memang misterius. Solly biasanya setuju saja. "Aku ikut," ujarnya. Micky berbalik pada Tonio. "Kau
mau ikut?" Nadanya yang tegas tampak tidak wajar bagi Maisie.
"Percayalah," kata Tonio penuh semangat. "Aku akan datang!"
April tampak risau dan berkata, "Tonio, jangan malam ini, kau sudah janji
padaku." Maisie menduga Tonio tidak sanggup bermain apabila taruhan minimumnya
satu pound. "Aku janji apa?" kata Tonio dengan satu kedipan mata pada teman-temannya.
April membisikkan sesuatu, dan semua laki-laki itu tertawa.
Micky berkata, "Ini permainan besar terakhir dalam musim ini, Silva. Kau akan
menyesal kalau tidak ikut."
Maisie heran mendengarnya. Di Argyll Rooms ia mendapatkan kesan bahwa Micky
tidak menyukai Tonio. Mengapa kini ia mengajaknya main kartu"
Tonio berkata, "Aku mujur hari ini. Lihat berapa banyak aku menang dalam taruhan
pacuan kuda! Aku akan main kartu malam ini."
Micky melirik pada Edward sekilas, dan Maisie menangkap rasa lega di matanya.
Kata Edward, "Bagaimana kalau kita makan malam di klub?"
Solly menatap Maisie, dan ia sadar bahwa ia jadi punya alasan untuk tidak
berkencan dengan Solly malam ini. "Makan malamlah dengan mereka, Solly,"
katanya. "Aku tidak keberatan."
"Kau yakin?" "Ya. Aku telah menikmati siang ini. Kau boleh menikmati malamnya di klubmu." .
"Beres, kalau begitu." ujar Micky.
Ia dan ayahnya, Miss Cox dan Edward mohon diri dan berpisah dengan mereka.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tonio dan April memasang taruhan lagi pada pacuan berikutnya. Solly menggandeng
Maisie dan berkata, "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?"
Mereka berjalan-jalan menyusuri pagar bercat putih yang membatasi jalur pacuan.
Mentari hangat dan udara pedesaan terasa menyegarkan. Setelah beberapa saat,
-Solly bertanya, "Kau suka padaku, Maisie?"
Gadis itu menghentikan langkahnya, berjinjit, dan mencium pipi Solly. "Suka
sekali." Pemuda itu memandang matanya, dan Maisie heran melihat air mata di balik
kacamatanya. "Solly sayang, ada apa?" tanyanya.
"Aku juga menyukaimu," kata Solly. "Lebih daripada siapa pun yang pernah
kutemui." "Terima kasih." Maisie terharu. Tidak biasanya Solly memperlihatkan luapan
perasaan yang lebih kuat daripada antusiasme seadanya.
Lalu pemuda itu bertanya, "Maukah kau kawin denganku?"
Gadis itu takjub. Ini benar-benar di luar dugaan. Laki-laki dari golongan Solly
tidak biasanya melamar gadis seperti dirinya. Laki-laki semacam itu biasanya
merayunya untuk bercinta, memberinya uang, menjadikannya wanita simpanan, dan
punya anak, namun tidak mengawininya. Ia terkesima, tak mampu berbicara.
Sambung Solly, "Aku akan memberimu apa saja yang kauinginkan. Katakanlah ya."
Kawin dengan Solly! Maisie sadar, siapa pun takkan percaya bahwa ia akan kaya
untuk selama-lamanya. Tempat tidur empuk setiap malam, nyala api di perapian
dalam setiap kamar, dan mentega sebanyak yang sanggup dinikmatinya. Ia akan
bangun tidur sesukanya, bukan kapan ia mesti bangun. Ia takkan kedinginan lagi,
takkan menahan lapar, takkan berpakaian lusuh lagi, takkan letih lagi.
Kata Ya bergetar di ujung lidahnya.
177 Ia memikirkan kamar April yang kecil di kawasan Soho, dengan sarang tikus di
dalam temboknya; ia memikirkan betapa kakusnya mengeluarkan bau busuk pada harihari panas; ia memikirkan malam-malam yang mereka lewatkan tanpa makan; ia
memikirkan betapa kakinya sakit setelah seharian menjelajahi jalan-jalan.
Ia menatap Solly. Seberapa sulitnya kawin dengan" laki-laki ini"
Pemuda itu berkata, "Aku sangat mencintaimu, aku mendambakanmu."
Pemuda ini benar-benar mencintainya, Maisie yakin. Dan itulah masalahnya. Maisie
tidak mencintainya. Pemuda itu layak mendapatkan yang lebih baik. Ia layak mendapatkan istri yang
benar-benar mencintainya, bukan seorang gadis keras hati yang miskin. Kawin
dengan pemuda itu berarti menipunya. Dan pemuda itu terlalu baik; ia tak sampai
hati melakukannya. Gadis itu nyaris menangis. Katanya, "Kau lelaki paling baik dan paling lembut
yang pernah kutemui..."
"Jangan berkata tidak," ujar Solly, memotong pembicaraan. "Jika kau tak sanggup
mengatakan ya, jangan katakan apa-apa. Pikirkanlah, paling tidak sehari, atau
mungkin lebih lama lagi."
Maisie menarik napas panjang. Ia sadar, ia seharusnya menampiknya, dan lebih
mudah melakukannya sekarang juga. Namun pemuda itu begitu tulus sewaktu memohon
kepadanya. "Akan kupikirkan." ucapnya.
Pemuda itu tersenyum. 'Terima kasih."
Ia menggelengkan kepala dengan sedih. "Apa pun yang terjadi, Solly, aku yakin
aku takkan pernah dilamar oleh lelaki yang lebih baik darimu."
178 HUGH dan Maisie naik kapal pesiar bertenaga uap yang ongkosnya satu penny dari
Dermaga Westminster ke Chelsea. Senja itu hangat dan terang, dan sungai yang
keruh itu ramai dengan kapal suplai, tongkang, dan feri. Kapal itu membawa
mereka ke hulu, di bawah jembatan baru jalur kereta api untuk Stasiun Victoria,
melewati Rumah Sakit Chelsea Christopher Wren di pantai utara dan, di selatan,
Lapangan Battersea, tempat duel tradisional kota London. Jembatan Battersea
adalah struktur kayu yang sudah lapuk dan terancam ambruk. Di ujung selatannya
berdiri pabrik-pabrik, namun di sisi hadapannya rumah-rumah yang asri menjamur
di sekitar Gereja Lama Chelsea, dan anak-anak telanjang bermain-main di bagian
sungai yang dangkal. Mereka turun sekitar satu mil dari jembatan dan berjalan menyusuri dermaga,
menuju gerbang Cremorne Gardens yang bersepuh. Taman itu terdiri atas dua belas
ekar pepohonan dan gua buatan, taman bunga dan lapangan rumput, tanaman pakis
dan pepohonan kecil di antara sungai dan King's Road. Hari sudah senja ketika
mereka tiba; ada lampion Cina di pepohonan dan lampu gas sepanjang jalan setapak
yang berkelok-kelok. Tempat itu dipadati pengunjung, banyak orang muda yang baru
saja menonton pacuan kuda memutuskan untuk melewatkan hari mereka di sini.
Setiap orang mengenakan pakaian terbaik, dan mereka berjalan-jalan santai di
taman itu, tertawa dan mencari pasangan kencan, gadis-gadis berjalan dua-dua,
para pemuda berjalan dalam kelompok yang lebih besar, pasangan muda-mudi
bergandengan. Cuaca sepanjang siang tadi cerah, mentari bersinar dan udara hangat, namun kini
malam terasa panas dan gelegar guntur menandakan akan datang badai. Hugh
179 merasa senang, sekaligus gugup. Ia merasa bergairah menggandeng Maisie, namun
juga merasa tak menentu karena tak tahu aturan permainan yang tengah
dilakukannya. Apa yang diharapkan gadis ini" Apakah gadis ini akan membiarkannya
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menciumnya" Membiarkannya berbuat apa saja yang ia inginkan" Hugh ingin sekali
menyentuh tubuhnya, tapi tidak tahu dari mana harus mulai. Apakah gadis ini akan
membiarkannya melakukan apa saja" Ia ingin, namun belum pernah melakukannya dan
ia takut akan salah tingkah. Para karyawan Pilasters Bank banyak berbicara
tentang gadis-gadis jalanan, apa yang akan dan tidak akan mereka lakukan, namun
menurut dugaan Hugh sebagian besar omongan mereka tak lebih dari bualan. Tapi
Maisie tak bisa diperlakukan sebagai gadis murahan. Ia lebih kompleks daripada
mereka. Hugh juga agak cemas dipergoki oleh seseorang yang dikenalnya. Keluarganya akan
menentang habis-habisan apa yang tengah diperbuatnya sekarang. Cremorne Gardens
bukan hanya tempat kelas rendah, tapi juga menggalakkan kemaksiatan, menurut
pandangan pengikut Methodist. Kalau ia sampai ketahuan, Augusta akan
memanfaatkannya untuk mencelakakannya. Edward bisa saja membawa perempuan nakal
ke tempat-tempat mesum: ia putra dan ahli waris. Beda dengan Hugh yang miskin,
berpendidikan rendah, dan diyakini akan gagal seperti ayahnya; mereka akan
berkata bahwa tempat-tempat maksiat adalah habitatnya yang alami, dan ia
segolongan dengan karyawan administratif, pengrajin, dan gadis seperti Maisie.
Hugh sedang menghadapi tahap yang menentukan dalam kariernya. Ia akan
dipromosikan menjadi karyawan bagian koresponden dengan gaji 150 poundsterling
setahun, lebih dari dua kali gajinya sekarang, dan itu bisa terancam oleh
laporan tentang perilaku bejat.
Ia memandang dengan cemas para laki-laki lain di
180 jalan setapak yang berkelok-kelok itu, di antara bunga-bunga, takut akan
mengenali seseorang. Ada segelintir laki-laki kelas atas, sebagian menggandeng
gadis-gadis, namun mereka semua dengan hati-hati menghindari pandangan mata
Hugh. Ia menyadari bahwa mereka juga waswas akan dipergoki. Rupanya orang-orang
yang dikenalnya juga ingin merahasiakan hal ini, sama seperti dirinya, dan ia
merasa lega. Ia merasa bangga pergi dengan Maisie. Gadis ini mengenakan gaun biru-hijau
berpotongan leher rendah dan bustle di belakang; sebuah topi pelaut bertengger
penuh gaya di rambutnya yang ditata tinggi. Banyak yang kagum memandangnya.
Mereka melewati sebuah teater balet, sebuah rombongan sirkus dari timur, sebuah
arena boling Amerika, dan beberapa tempat menembak, kemudian masuk ke sebuah
restoran untuk menikmati makan malam. Ini merupakan pengalaman pertama bagi
Hugh. Kendati restoran-restoran sudah semakin umum, kebanyakan pengunjungnya
adalah kelas menengah; golongan kelas atas masih belum menyukai gagasan makan di
tempat umum. Kawula muda seperti Edward dan Micky cukup sering makan di luar,
namun mereka menganggap hal itu sekedar keisengan dalam bersenang-senang, dan
hanya melakukannya ketika mengincar atau telah mendapatkan perempuan nakal untuk
menemani mereka. Selama makan, Hugh mencoba tidak memikirkan payudara Maisie. Bagian atasnya
tampak menonjol menggairahkan di atas garis leher gaunnya, dan payudara itu
sangat pucat, berbintik-bintik. Ia pernah melihat payudara tanpa penutup, cuma
sekali... di Nellie's beberapa minggu yang lalu. Tapi ia belum pernah
menyentuhnya. Keraskah seperti otot, atau lembek" Bila seorang wanita
menanggalkan korsetnya, apakah payudaranya bergerak-gerak ketika ia berjalan,
atau tetap kaku" Kalau disentuh, apakah benda itu akan melentur atau keras
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY seperti tempurung lutut" Apakah gadis itu akan membiarkannya menyentuh
payudaranya" Kadang-kadang ia bahkan berpikir untuk menciumnya, seperti lelaki
di riimah bordil mencium payudara pelacur itu, namun keinginan terpendam ini
membuatnya malu. Sebenarnya ia agak malu memiliki semua perasaan ini. Tampaknya
sangat vulgar hanya memikirkan tubuh wanita yang bersamanya, seakan-akan ia tak
peduli pada wanita itu, tapi hanya ingin memperalatnya. Namun ia tak kuasa
menahan diri, khususnya dengan Maisie yang begitu menggoda.
Sementara mereka makan, ada pertunjukan kembang api di bagian lain taman. Bunyi
dan kilatan cahayanya mengejutkan singa dan harimau di kebun binatang, dan
satwa-satwa itu meraung karena merasa terganggu. Hugh ingat bahwa Maisie pernah
bekerja di sirkus, dan ia bertanya seperti apa rasanya.
"Kau jadi mengenal orang dengan baik bila kau tinggal begitu berdekatan,"
katanya sungguh-sungguh. "Ada baiknya dalam beberapa hal, dan ada buruknya.
Mereka selalu saling tolong. Ada skandal cinta, banyak pertengkaran, kadangkadang ada perkelahian. Terjadi dua kali pembunuhan dalam tiga tahun aku ikut
rombongan sirkus." "Astaga." "Dan penghasilan dari sirkus tak bisa diandalkan." "Mengapa?"
"Bila orang ingin berhemat, hiburanlah yang mula-mula dihentikannya."
"Itu tak pernah terpikir olehku. Aku harus ingat, jangan sampai menanamkan uang
bank dalam bentuk bisnis hiburan."
Gadis itu tersenyum. "Apakah kau selalu memikirkan masalah keuangan?"
Tidak, pikir Hugh, aku selalu memikirkan payudaramu. Katanya, "Kau harus
mengerti, aku putra seorang
182 pembawa sial dan penyebab aib dalam keluarga. Aku lebih tahu tentang perbankan
daripada generasi muda keluarga Pilaster, tapi aku harus bekerja mati-matian
untuk membuktikan kemampuanku."
"Mengapa begitu penting membuktikan dirimu?"
Pertanyaan bagus, pikir Hugh. Ia menimbang-nimbang sejenak, lalu berkata, "Aku
selalu demikian, kukira. Di sekolah aku harus menjadi bintang kelas. Dan
kegagalan ayahku membuat keadaan semakin buruk; setiap orang berpendapat aku
akan melakukan hal yang sama, dan harus kutunjukkan bahwa mereka keliru."
"Dalam satu hal, aku merasa sama. Aku tak mau menempuh hidup seperti ibuku,
selalu berada di ambang kepapaan. Aku akan punya banyak uang, tak peduli apa
yang harus kulakukan."
Dengan selembut mungkin Hugh berkata, "Itukah sebabnya kau kencan dengan ?Solly?"
Gadis itu cemberut, dan sejenak Hugh mengira ia akan marah, tapi ternyata ia
menyunggingkan senyum ironis. "Kukira pertanyaan itu wajar. Kalau kau ingin tahu
hal yang sebenarnya, aku tidak membanggakan hubunganku dengan Solly. Aku
telanjur memberinya... harapan."
Hugh heran. Apakah itu berarti ia tidak bertindak terlalu jauh dengan Solly"
"Kelihatannya dia menyukaimu."
"Dan aku menyukainya. Tapi bukan persahabatan yang diinginkannya, sejak dulu.
Aku sudah lama tahu itu."
"Aku mengerti maksudmu." Hugh menyimpulkan gadis itu melakukan segala-galanya
dengan Solly, dan itu berarti mungkin ia tidak mau melakukannya dengannya. Ia
merasa kecewa sekaligus lega: kecewa karena ia begitu bernafsu pada gadis itu,
lega karena ia begitu gugup sehubungan dengan hal ini.
"Kau tampaknya senang karena sesuatu," ujar Maisie:
"Kurasa aku senang mendengar kau dan Solly cuma berteman."
183 Gadis itu kelihatan sedih, dan Hugh bertanya-tanya apakah ia telah mengatakan
sesuatu yang salah. Ia membayar makan malam mereka. Sangat mahal, tapi ia membawa uang tabungannya
untuk membeli pakaian baru, sembilan belas shilling, karenanya ia mempunyai
banyak uang saat ini. Pada waktu mereka meninggalkan restoran, orang-orang di
taman tampaknya sudah lebih riuh, pasti karena mereka telah banyak menenggak bir
dan gin malam ini. Mereka beranjak ke lantai dansa. Berdansa bukan masalah bagi Hugh: itulah satusatunya mata pelajaran yang diajarkan dengan baik di Folkestone Academy.
Ia menuntun Maisie ke lantai dansa dan memeluknya untuk pertama kali. Ujung
jemarinya serasa tersengat ketika ia meletakkan tangan kanannya di lekukan
punggung Maisie, di atas bustle-nya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh gadis
itu melalui pakaiannya. Dengan tangan kirinya ia memegang tubuh gadis itu, dan
gadis itu meremasnya; perasaan yang menggairahkan aliran urat darahnya.
Pada akhir dansa pertama, Hugh tersenyum senang padanya, dan ia heran sekali
karena gadis itu mengulurkan tangan dan menyentuh mulutnya dengan ujung jari.
"Aku suka kalau kau tersenyum," katanya. "Kau tampak seperti anak kecil."
"Seperti anak kecil" bukanlah kesan yang ingin diberikan Hugh, tapi saat ini apa
pun yang menyenangkan gadis itu tidak menjadi masalah baginya.
Mereka berdansa lagi. Mereka memang pasangan dansa yang serasi: kendati Maisie
pendek, Hugh cuma sedikit lebih tinggi, dan kaki mereka lincah. Ia telah berdansa dengan puluhan gadis, ratusan malah,
tapi belum pernah ia merasakan senikmat ini. Ia merasa seolah-olah baru sekarang
menemukan kenikmatan memeluk tubuh seorang wanita, bergerak dan berayun
mengikuti irama musik, dan melakukan langkah-langkah rumit secara berbarengan.
184 "Kau lelah?" tanyanya pada Maisie ketika dansa berakhir.
"Tentu tidak!" Mereka berdansa lagi.
Pada acara dansa pergaulan, tidaklah patut berdansa dengan gadis yang sama lebih
dari dua kali. Kau harus menuntunnya meninggalkan lantai dansa dan menawarkan
diri untuk mengambilkannya sampanye atau sorbet. Hugh selalu jengkel dengan
aturan-aturan semacam itu, dan sekarang ia senang dan bebas menjadi pedansa tak
dikenal pada acara dansa umum ini.
Mereka terus melantai hingga tengah malam, ketika musik tidak lagi dimainkan.
Semua pasangan meninggalkan lantai dansa dan beranjak ke jalan setapak di taman.
Hugh memperhatikan kebanyakan laki-laki itu tetap melingkarkan lengan ke tubuh
pasangan mereka, walaupun mereka tak lagi berdansa; jadi, dengan-agak waswas ia
melakukan hal serupa. Maisie tampaknya tidak keberatan.
Pesta itu jadi tak terkendali. Di sisi jalan setapak kadang-kadang ada kabin,
seperti boks di gedung opera. Di sini orang bisa duduk dan makan sambil
memperhatikan orang-orang yang lewat. Sebagian dari kabin itu telah disewa oleh
kelompok-kelompok mahasiswa tahun pertama yang kini sedang mabuk. Topi seorang
laki-laki yang berjalan di depan Hugh dipukul hingga melayang dari kepalanya,
dan Hugh sendiri harus merunduk guna menghindari sepotong roti yang dilemparkan
seseorang. Ia merapatkan Maisie ke tubuhnya untuk melindunginya, dan ia senang
sekali karena Maisie melingkarkan lengan ke pinggangnya dan meremasnya.
Banyak pepohonan dan tanaman menjalar yang rindang di pinggir jalan setapak
utama, dan samar-samar Hugh melihat pasangan-pasangan di bangku kayu, kendati ia
tidak yakin apakah mereka sedang berpelukan atau cuma duduk bersama. Ia terkejut
ketika sejoli yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY berjalan di depan mereka menghentikan langkah dan berciuman penuh nafsu di
tengah jalan setapak itu. Ia menuntun Maisie mengitari mereka dengan perasaan
kikuk. Tapi setelah sesaat ia mampu mengatasi rasa kikuknya dan mulai
terangsang. Beberapa menit kemudian, mereka melewati pasangan lain yang sedang
berpelukan. Ia melihat mata Maisie, dan gadis itu tersenyum padanya, seolah
memberikan dorongan. Tapi ia tidak berani menuruti keinginannya mencium gadis
itu. Taman itu kian gaduh. Mereka harus mengambil jalan memutar untuk menjauhi
perkelahian yang melibatkan enam atau tujuh orang anak muda, yang semuanya
berteriak-teriak dalam keadaan mabuk, saling pukul dan merobohkan. Hugh mulai
memperhatikan sejumlah wanita yang datang tanpa teman, dan bertanya dalam hati
apakah-mereka pelacur. Suasana berubah menjadi agak tegang dan ia merasa perlu
melindungi Maisie. Kemudian sekitar tiga sampai empat puluh anak muda datang menyerbu, melayangkan
topi orang-orang, mendorong para wanita ke samping, dan membanting laki-laki ke
tanah. Tak ada yang sanggup meloloskan diri dari mereka; mereka berpencar
melintasi lapangan rumput pada kedua sisi jalan setapak. Hugh dengan sigap
bertindak. Ia berdiri di depan Maisie dengan punggung menghadap ke arah
datangnya serangan, lalu melepaskan topinya dan melingkarkan kedua lengannya ke
tubuh gadis itu dan memeluknya erat-erat. Para perusuh itu lewat. Ada yang
menghantamkan bahunya yang berat ke punggung Hugh. Pemuda itu oleng, masih
memeluk Maisie, namun ia berhasil untuk tetap tegak. Di satu sisinya seorang
gadis tergeletak, dan di sisi lain seorang lelaki ditinju wajahnya. Kemudian
para berandalan itu berlalu.
Hugh mengendurkan genggamannya dan menunduk memandang Maisie. Gadis itu balas
menatapnya dengan 186 penuh harap. Dengan ragu-ragu Hugh merendahkan kepalanya dan mencium bibir
Maisie. Bibir itu terasa nikmat, lembut, dan bergerak-gerak. Hugh memejamkan
matanya. Telah bertahun-tahun ia menunggu ini: ciuman pertamanya. Menyenangkan,
seperti yang diimpikannya. Ia menghirup bau tubuh. Bibir gadis itu bergerak
lembut menekan bibirnya. Hugh sama sekali tak ingin menghentikan ciumannya.
Maisie melepaskan diri. Ia menatap Hugh dengan tajam, kemudian memeluknya eraterat, menarik tubuh Hugh rapat-rapat. "Kau bisa menghancurkan semua rencanaku,"
ujarnya perlahan. Hugh tak mengerti apa maksudnya.
Ia melihat ke sisi jalan setapak. Ada sebuah tempat berteduh dengan tempat duduk
kosong. Hugh memberanikan diri berkata, "Bagaimana kalau kita duduk?"
"Baiklah." Mereka berjalan menembus kegelapan dan duduk di tempat kosong itu. Hugh
menciumnya lagi. Kali ini ia tidak begitu ragu. Ia melingkarkan lengan ke bahu Maisie dan
merengkuh tubuh gadis itu, dan dengan tangannya yang lain ia mengangkat dagunya,
menciumnya dengan lebih bernafsu, menekankan bibirnya ke bibir gadis itu kuatkuat. Gadis itu membalas dengan antusias, membusungkan dadanya sehingga Hugh
dapat merasakan payudara Maisie menyatu dengan dadanya. Ia heran karena gadis
itu begitu bergairah, tapi ia maklum kalau gadis-gadis pun suka berciuman
seperti laki-laki. Kegairahan gadis itu membuatnya lebih terangsang.
Hugh membelai pipi dan lehernya, dan tangannya jatuh ke bahu Maisie. Hugh ingin
menyentuh payudaranya, namun ia takut gadis itu tersinggung, karenanya ia ragu.
Maisie menempelkan bibir ke telinganya, dan sambil mencium ia berbisik, "Kau
boleh menyentuhnya."
Hugh terkejut karena gadis itu bisa membaca pikir 187 annya, namun ajakan itu merangsangnya, nyaris tak tertahankan bukan hanya ?karena gadis itu bersedia, tapi karena ia benar-benar mengucapkannya. Kau boleh
menyentuhnya. Ujung jemarinya menyusuri bahu gadis itu, bergerak ke lehernya,
turun ke payudaranya, dan ia menyentuh bagian yang membusung di atas garis leher
gaunnya. Kulitnya lembut dan hangat. Ia tak yakin apa yang akan dilakukannya
setelah ini. Haruskah ia mencoba memasukkan tangannya"
Maisie menjawab pertanyaan tak terucapkan itu dengan mengambil tangan Hugh dan
menekankannya ke bagian gaunnya di bawah garis leher. "Remaslah, tapi dengan
lembut," bisiknya. Pemuda itu melakukannya. Rasanya tidak seperti otot atau tempurung lutut, tapi
lebih lentur. Tangannya mengelus dan meremas bergantian. Napas Maisie panas
mengenai lehernya. Hugh merasa sanggup melakukan ini semalaman, namun ia
berhenti untuk mencium bibir Maisie lagi. Kali ini gadis itu menciumnya
sebentar, kemudian melepaskan ciumannya, menciumnya, melepaskan lagi dan lagi,
dan cara itu bahkan lebih menggairahkan. Hugh sadar, banyak cara untuk
berciuman. Tiba-tiba gadis itu membeku. "Dengarkan," katanya.
Samar-samar Hugh sadar bahwa taman itu menjadi ingar-bingar, dan kini ia
mendengar teriakan serta benturan keras. Ketika mengarahkan pandang ke jalan
setapak, ia melihat orang-orang berlarian ke sana kemari.
"Pasti ada yang berkelahi lagi," katanya.
Lalu ia mendengar bunyi peluit polisi.
"Sialan," ujarnya. "Sekarang ada kesulitan."
"Sebaiknya kita pergi," kata Maisie.
"Mari kita cari arah jalan masuk ke King's Road, mungkin di sana kita bisa
menemukan kereta sewaan."
"Baik." Hugh agak ragu sebentar, segan untuk pergi. "Tapi, satu ciuman lagi."
188 "Ya." Ia mencium Maisie yang menyambutnya dengan pelukan erat.
"Hugh," ujar gadis itu, "terus terang aku senang bertemu denganmu."
Ia merasa ucapan itu ucapan paling manis yang pernah ia peroleh.
Mereka berjalan ke utara, terburu-buru. Sesaat kemudian muncul dua pria muda,
yang satu mengejar yang lainnya. Pria pertama menabrak Hugh hingga terjatuh
limbung. Ketika ia berdiri, kedua pria itu telah menghilang.
Maisie khawatir dan bertanya, "Kau tidak apa-apa, Hugh?"
Hugh membersihkan pakaiannya dan mengambil topinya dari jalan. "Tidak ada yang
luka," katanya. "Tapi aku tidak mau hal itu terjadi padamu. Mari kita potong
jalan ini saja, lewat taman itu... mungkin lebih aman."
Saat mereka memotong kompas, lampu penerangan jalan mati.
Mereka terus berjalan dalam gelap. Dari kejauhan terdengar suara ribut-ribut...
teriakan wanita dan pria, disusul dengan peluit polisi. Tiba-tiba Hugh sadar
bahwa dirinya bisa ikut tertangkap, lalu setiap orang akan tahu apa yang
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukannya malam ini. Augusta pasti akan menyerang dirinya, mengatakan bahwa
ia bukan pria yang bertanggung jawab untuk bekerja di bank keluarga. Hugh
mendesah. Tapi begitu teringat kehangatan tubuh Maisie, ia bertekad akan
mempersetankan apa yang akan dikatakan Augusta.
Mereka menghindari jalan setapak dan lapangan terbuka, memilih masuk ke
kelebatan pohon serta semak-semak bunga. Letak tanahnya agak tinggi di tepi
sungai, jadi Hugh tahu bahwa mereka berada di jalur yang tepat, asalkan mereka
terus mengambil arah mendaki ke atas bukit.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dari kejauhan ia melihat kelap-kelip lentera dan ia menuju ke arah tersebut. Tak
lama kemudian mereka bersua dengan pasangan-pasangan lain yang rupanya juga
berjalan di jalur yang sama. Hugh berharap segera bertemu lagi dengan pasangan
lain yang tidak mabuk. Dengan berada di dalam kelompok orang-orang terhormat, ia
berharap mereka tidak terlalu dicurigai polisi.
Saat mereka mendekati pintu taman, sekitar empat puluh polisi memasuki gerbang.
Tertahan oleh arus manusia yang bergerak keluar, mereka mulai memukuli siapa
saja tanpa pandang bulu. Kerumunan orang itu berbalik dan berlarian kembali ke
arah semula. Hugh memutuskan dengan cepat. "Biarkan aku menggendongmu," katanya pada Maisie.
Maisie agak bingung, tapi segera menjawab, "Baik."
Hugh membungkuk dan mengangkat tubuh Maisie. "Kau pura-pura pingsan," bisiknya.
Maisie segera menutup kedua matanya dan pura-pura lemas. Hugh berjalan menuju
pintu taman, menerobos kerumunan orang sambil berteriak dengan suara berwibawa,
"Beri jalan! Beri jalan!" Melihat seorang wanita sakit sedang digendong, orangorang yang berlainan itu membuka jalan. Akhirnya Hugh berada di depan para
polisi yang sama paniknya. "Beri jalan, Pak Polisi! Biarkan wanita ini keluar!"
Hugh berteriak pada salah satu polisi. Si polisi agak ragu, tampangnya terlihat
sengit, dan sesaat Hugh mengira tipuannya akan ketahuan. Untungnya seorang
sersan memberi perintah, "Beri dia jalan!" Hugh terus berjalan menerobos
kerumunan polisi, dan tak lama ke-* mudian sudah berada di tepi jalan, tanpa ada
gangguan. Maisie membuka kedua matanya dan Hugh tersenyum padanya. Ia senang bisa
menggendong Maisie dan karenanya tidak terburu-buru menurunkannya. "Kau tidak
apa-apa?" Maisie mengangguk. Ia menangis terharu. "Cukup, turunkan-aku."
190 Hugh menurunkan Maisie perlahan-lahan, lalu memeluknya. "Jangan menangis,"
hiburnya. "Sekarang sudah tidak apa-apa."
Maisie menggelengkan kepala. "Bukan... bukan ribut-ribut itu," bisiknya." Aku
sudah pernah melihat orang berkelahi, tapi baru kali ini ada orang yang mau
memperhatikan diriku. Sejak kecil aku selalu harus menjaga diriku sendiri.
Sekarang aku merasakan pengalaman baru."
Hugh tidak tahu harus menjawab apa. Semua wanita yang dikenalnya menganggap
sudah tugas pria untuk menjaga wanita. Tapi dengan Maisie ia merasakan lain:
Hugh mencari kereta sewaan, tapi sayangnya tak ada satu pun yang tampak. "Aku
khawatir kita harus berjalan kaki."
"Ketika usiaku baru sebelas tahun, aku harus berjalan selama empat hari untuk
tiba di' Newcastle," kata Maisie. "Jadi, bukan masalah kalau hanya jalan dari
Chelsea ke Soho." [in] MICKY MIRANDA mulai belajar menipu dalam bermain kartu sejak bersekolah di
Windfield. Ia butuh uang tambahan, karena uang sakunya pas-pasan, Metoda tipuan
kartu hasil temuannya waktu itu masih kasar sekali, tapi cukup untuk mengelabui
anak-anak sekolah. Lalu, dalam perjalanan di atas kapal melintasi samudra
Atlantik menuju Kordoba, ia pernah terkena batunya. Orang yang coba ditipunya
ternyata seorang pemain profesional. Pria itu tidak marah, malah mengajari Micky
dasar-dasar ilmu tipuan kartu.
Sebenarnya melakukan tipuan kartu sangat berbahaya, apalagi jika jumlah taruhan
sangat tinggi. Jika uang 191 taruhan hanya beberapa penny, orang tidak akan curiga ada yang mau menipu. Tapi
lain halnya jika jumlahnya makin besar.
Malam ini jika tertangkap basah, bukan saja rencananya menghabisi Tonio akan
kandas, tapi juga nama dan reputasinya akan hancur. Di Inggris, menipu dalam
permainan kartu dianggap kejahatan tak terampuni. Ia akan diminta berhenti dari
keanggotaan klubnya, teman-temannya akan menghindar kalau dikunjunginya, dan tak
seorang pun sudi berbicara dengannya di jalan. Kendati sangat jarang, ia pernah
mendengar cerita tentang para pria Inggris yang tertangkap melakukan tipuan
kartu. Nasibnya akan berakhir dengan rasa malu dan terusir keluar dari Inggris.
Mungkin di Malaya atau Hudson Bay. Kalau Micky, ia akan terusir kembali ke
Kordoba, merasakan selamanya hinaan kakaknya dan melewatkan hari-harinya dengan
beternak sapi. Memikirkannya saja sudah membuatnya merinding ngeri.
Tapi jika rencananya malam ini berhasil, hasilnya akan sepadan dengan risikonya.
Ia melakukan ini bukan sekadar untuk membuat Augusta senang. Augusta memang
penting bagi Micky, karena melalui dia, Micky bisa masuk dan diterima di
kalangan atas kota London. Tapi selain itu ia sangat menginginkan jabatan Tonio.
Papa sudah mengatakan bahwa mulai sekarang Micky harus bisa menghidupi diri
sendiri. Tidak akan ada lagi kiriman uang dari Kordoba ke London untuknya.
Karena itu, ia butuh pekerjaan. Jabatan yang dipegang Tonio sangat ideal.
Sebagai konselor Kordoba di Inggris, Micky tak perlu berkerja rutin dan berat,
tapi punya penghasilan memadai dan posisi terhormat. Juga bisa naik pangkat.
Suatu hari nanti mungkin ia bisa menjadi menteri di Kordoba. Dengan demikian ia
akan dihormati di mana pun. Bahkan kakaknya sendiri takkan bisa mengejeknya
lagi. 192 Malam itu Micky, Edward, Solly dan Tonio makan malam lebih awal di Cowes, klub
favorit mereka. Pada jam sepuluh malam, mereka berempat sudah masuk ke ruang
permainan kartu. Di meja bakarat, dua orang bergabung: Kapten Carter dan
Viscount Montagne. Montagne orang tolol, tapi rekannya, Carter, sangat tangguh.
Micky tahu ia harus berhati-hati dengan orang itu.
Di seputar meja, sekitar .10 inci dari tepinya, melintang sebuah garis putih.
Setiap pemain memiliki setumpuk uang emas di depannya. Begitu diletakkan di
dalam lingkaran putih, berarti uang itu dijadikan taruhan oleh pemiliknya.
Sesuai rencana, Micky pura-pura banyak minum sejak siang. Sewaktu makan siang,
ia membasahi bibirnya dengan sampanye dan sisanya sengaja ia buang diam-diam ke
rumput. Di dalam kereta kembali ke London, ia pura-pura menerima minuman yang
disodorkan Edward, padahal minuman itu tidak ditelannya. Sewaktu makan malam ia
melakukan yang sama. Sekarang ia memesan bir jahe yang mirip dengan soda brendi.
Ia tahu bahwa ia harus segar dan waras untuk melakukan tipuan kartu. Jika
berhasil, ia akan bisa merebut pekerjaan Tonio Silva.
Ia menjilat bibirnya dengan agak gugup, lalu tersadar dan berusaha tampak
santai. Dari semua permainan kartu, bakarat-lah yang paling populer. Mungkin bakarat
sengaja diciptakan untuk membuat orang yang cerdik bisa mencuri secara legal
dari si kaya, pikir Micky.
Dari segi teknik, bakarat adalah permainan untung-untungan. Tidak diperlukan
strategi atau teknik jitu. Setiap pemain menerima dua kartu yang nilainya mesti
dijumlahkan. Misalnya kartunya bernilai tiga dan empat, berarti nilai
keseluruhannya tujuh; dua dan enam, nilainya delapan. Nilai tertinggi adalah
sembilan. Seandainya total nilainya lebih dari sembilan, yang diperhitungkan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY adalah digit terakhir. Jadi, nilai lima belas dihitung lima, nilai dua puluh
dihitung nol. Pemain dengan nilai kartu kecil bisa meminta kartu tambahan yang harus
diletakkan secara terbuka di meja, jadi setiap orang bisa melihatnya.
Bandar bakarat hanya melayani tiga pihak: sebelah kiri, sebelah kanan, dan
dirinya sendiri. Para pemain hanya bermain di sisi kiri atau di sisi kanan.
Bandar membayar siapa saja yang nilai kartunya lebih dari kartu miliknya.
Keuntungan lain dari bakarat, khususnya dari sudut pandang seorang penipu, dalam
sekali permainan digelar tiga kotak kartu yang masih baru. Ini berarti si penipu
bisa memakai kartu tambahan yang ia sembunyikan tanpa perlu khawatir apakah ada
pemain lain yang telah memegang kartu yang sama.
Ketika para pemain lainnya sedang santai dan menyalakan cerutu, ia minta pelayan
membawakan tiga kotak kartu baru. Ketika kembali, si pelayan otomatis
menyerahkan kartu itu pada Micky.
Untuk bisa mengendalikan permainan, pertama-tama Micky harus menjadi bandar.
Untuk itu, ada dua hal yang mesti dilakukan: ia harus memanipulasi pembagian
kartu dan mengubah kedudukan kartu. Tidak terlalu sulit sebenarnya, hanya saja
kali ini ia tegang. Ini bisa mengacaukan manuver yang paling mudah sekalipun.
Ia merobek bungkus kartu. Semua kartu selalu disusun sama, kartu Joker di atas
dan kartu As sekop di bagian paling bawah, membuang kartu Joker dan mulai
mengocok sambil menikmati licinnya kartu baru. Mudah sekali memindahkan kartu As
dari tumpukan paling bawah ke paling atas, tapi ia harus menjaga jangan sampai
kartu itu terambil oleh pemain lain yang akan memotong kartu.
Ia menyodorkan kartu-kartu itu pada Solly, yang duduk di sisi kanannya. Saat
meletakkan kartu di meja,
194 Micky menahan kartu paling atas As sekop di telapak angannya yang lebar, ? ?hingga tersembunyi dari pandangan para pemain lain. Kemudian, dengan telapak
tangan terus menghadap ke bawah. Micky menerima tumpukkan kartu dari Solly
sambil meletakkan kartu As sekop itu di tumpukan paling atas. Ia berhasil
memanipulasi kedudukan kartu.
"Kartu paling tinggi menjadi bandar?" tanyanya, pura-pura tak peduli mereka
mengatakan ya atau tidak.
Yang lain bergumam setuju.
Sambil memegang kartu erat-erat, ia mengangkat sedikit kartu As sekop dan dengan
kecepatan seorang pemain profesional mulai membagikan kartu kepada para pemain.
Ketika tiba gilirannya, ia mengambil kartu As sekopnya. Dengan serentak mereka
membalik kartu masing-masing, dan milik Micky ternyata paling tinggi. Otomatis
ia menjadi bandar. Dengan senyum biasa ia berkata, "Kurasa aku akan beruntung malam ini."
Tak ada yang berkomentar.
Ia jadi lebih santai. Sambil menyembunyikan perasaan leganya, ia membagi kartu pertama.
Tonio bermain di sisi kirinya, bersama Edward dan Viscount Montagne. Di sisi
kanannya duduk Solly dan Kapten Carter. Micky tidak merencanakan untuk menang.
Bukan itu tujuannya. Ia hanya ingin Tonio kalah habis-habisan.
Selama beberapa saat, ia memainkan kartu dengan wajar, sedikit kehilangan uang
milik Augusta. Yang lain mulai santai dan sudah minta disediakan minuman kedua.
Ketika saatnya tiba, Micky menyalakan cerutunya.
Di saku jasnya, di sisi kotak cerutunya, ia telah menyembunyikan beberapa pasang
kartu yang dibelinya dari toko di St. James Street, tempat klubnya biasa memesan
kartu, jadi tidak akan mencurigakan.
195 Ia telah mengatur kartu-kartu itu menjadi pasangan-pasangan bernilai sembilan:
lima dengan empat, sembilan dengan sepuluh, sembilan dengan jack, dan
seterusnya. Sisa kartu lain ditinggal di rumah.
Sambil memasukkan kembali kotak cerutunya, ia mengambil tumpukan kartu yang
telah ia persiapkan itu. Ia lalu menyelipkan kartu-kartu barunya ke bagian bawah
kartu lama. Ketika yang lain sedang mencampur brendi dengan air, ia mengocok
kartu-kartu secara sistematis: satu kartu baru di atas, lalu dua kartu seadanya,
lalu satu lagi yang baru, dua lagi seadanya. Lalu ia membagikan kartu ke sisi
kiri, lalu ke sisi kanan, dan untuk dirinya sendiri ia memberikan pasangan kartu
yang pasti menang. Pada kesempatan lain, ia memberikan kemenangan pada sisi Solly. Untuk sesaat ia
melakukan hal yang sama, membuat Tonio selalu kalah dan Solly selalu menang.
Uang yang ia menangkan dari sisi Tonio dibayarkan ke sisi Solly, sehingga tak
ada yang curiga pada Micky, karena tumpukan uang di depannya tidak pernah
berubah drastis. Tonio telah mempertaruhkan sebagian besar uang kemenangannya di pacuan
kuda sekitar seratus pound. Ketika jumlahnya sudah menyusut jadi sekitar lima ?puluh pound, ia berdiri dan berkata, "Sisi kiri sial terus, aku mau pindah ke
dekat Solly." Ia pindah duduk ke sisi kanan meja.
Tentu saja tidak ada gunanya, karena Micky tetap bisa mengatur pasangan kartu
menangnya. Hanya saja ia gugup mendengar Tonio bicara tentang nasib sial. Ia
ingin Tonio berpikir dirinya sedang di ambang keberuntungan, meski uangnya makin
berkurang sedikit demi sedikit.
Kadang-kadang Tonio bertaruh mulai dari lima sampai sepuluh mata uang emas
sekali taruhan. Jika ia bertaruh sebesar itu, Micky akan memberinya keme 196 nangan. Tonio dengan gembira akan berteriak, '*Hari ini aku beruntung sekali,
aku yakin ini." Padahal tumpukan uangnya makin lama makin menipis.
Micky sudah lebih santai. Ia bisa menganalisis kondisi mental Tonio sementara
memikirkan teknik memanipulasi yang lebih halus lagi. Ia merencanakan bahwa
membuat Tonio bangkrut saja tidak cukup. Tonio harus dijerumuskan untuk berutang
sebanyak mungkin sehingga dia tidak mampu untuk membayar kembali. Hanya dengan
kondisi seperti itulah Tonio bisa dihabisi untuk selamanya.
Micky dengan sabar memainkan kartunya, sampai Tonio terkuras habis dengan
perlahan-lahan. Tonio sebenarnya tidak bodoh. Bisa saja sewaktu-waktu ia mundur
dari meja judi, hingga terhindar dari kebangkrutan total.
Ketika uang Tonio hampir ludes, Micky mengambil taktik lain. Ia mengambil kotak
cerutu dari sakunya dan mengangsurkan sebatang pada Tonio. Katanya, "Tonio,
cobalah ini... cerutu dari rumah." Dengan lega ia melihat Tonio mengambil
cerutunya. Cerutu dari Kordoba berukuran panjang. Perlu sekitar setengah jam
untuk menghabiskannya, dan Tonio tidak akan pulang sebelum mengisapnya sampai
habis. Ketika ia menyulut cerutunya, Micky mengambil langkah terakhir yang mematikan.
Beberapa putaran lagi, Tonio benar-benar terkuras habis. "Yah, habislah sudah
uang kemenanganku di pacuan kuda siang tadi di Goodwood," keluhnya kesal.
"Oh, kita perlu memberi kesempatan pada Tonio untuk meraih kembali kekalahannya
malam ini," kata Micky. "Pilaster pasti mau memberimu utang seratus pound."
Edward agak kaget mendengar tawaran Micky, tapi karena tumpukan uang di depannya
cukup banyak, ia merasa tak pantas menolak. "Tentu, tentu saja."
Solly berkomentar. "Mungkin sudah waktunya kau
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY mundur, Silva. Kau harus bersyukur, hari ini bisa main judi tanpa keluar modal
sama sekali." Micky diam-diam mengutuk Solly yang selalu baik hati. Seandainya Tonio menerima
saran Solly, habislah sudah rencana Micky malam ini.
Tonio agak bimbang. Micky menahan napas. Hanya sebentar, karena bukan sifat Tonio untuk berjudi setengah-setengah. Persis
seperti sudah diduga oleh Micky, Tonio menjawab, "Baiklah," katanya, "aku main
sampai cerutu ini habis."
Micky mendesah lega. Tonio memberi isyarat pada pelayan, minta dibawakan pena, kertas, dan tinta.
Edward menghitung koin-koin emas senilai seratus pound dan Tonio menulis surat
pengakuan utang. Micky tahu jika Tonio kalah lagi malam ini, ia takkan mampu
membayar utangnya. Permainan berlanjut. Micky mulai berkeringat sambil terus berusaha mengendalikan
permainan. Kadang ia memberi kemenangan sedikit pada Tonio untuk membuatnya
tetap optimis, tapi secara sistematis membuatnya kalah dengan perlahan tapi
pasti. Ketika sudah kalah lima puluh pound, dengan geram Tonio berkata, "Aku
hanya menang jika bertaruh tinggi. Kupertaruhkan se-.rnua uangku ini."
Jumlah itu sangat besar, meski untuk ukuran Klub Cowes. Jika Tonio kalah,
berarti habislah ia. Satu atau dua anggota klub yang melihat jumlah taruhan itu
datang mendekat untuk ikut menonton.
Micky membagikan kartu. Ia melihat ke arah Edward di sisi kirinya. Edward menggelengkan kepala, tanda
tidak menginginkan kartu tambahan.
Di sisi kanan, Solly juga menggelengkan kepala Micky membalik kedua kartunya,
satu As dan satu angka delapan. Jumlah sembilan.
198 Edward juga membalik kartunya. Micky tidak tahu berapa jumlahnya, karena ia
hanya mengatur jumlah kartu di tangannya. Yang lain diberi secara acak. Ternyata
Edward memiliki lima dan dua, berarti nilai tujuh. Ia dan Kapten Carter kalah.
Solly membalikkan kartunya kartu yang menentukan nasib Tonio.?Ternyata ia punya kartu senilai sembilan dan sepuluh. Jumlahnya sembilan belas,
atau dihitung sembilan. Ini berarti sama dengan nilai kartu bandar. Jadi seri,
tidak ada yang memang atau yang kalah. Tonio tetap memiliki lima puluh pound
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya. Micky mengumpat dalam hati.
Ia ingin Tonio kalah total malam ini. Dengan cepat ia mengumpulkan semua kartu
di meja, dan dengan nada sedikit meremehkan ia bertanya, "Mau mengurangi jumlah
taruhanmu, Silva?" "Sudah pasti tidak," jawab Tonio. "Bagikan kartu."
Micky berterima kasih pada nasib baiknya. Ia mulai membagi kartu dengan memberi
kartu senilai sembilan pada dirinya sendiri.
Kali ini ia melihat Edward mengetuk-ngetuk kartunya, berarti minta tambahan
kartu ketiga. Micky memberinya kartu klaver, senilai empat dan memandang ke arah
Solly. Solly lewat. Micky membalik kartunya dan memiliki nilai lima dengan empat. Sedangkan Edward
punya kartu senilai empat, kartu Raja, dan kartu empat lagi. Jumlahnya delapan.
Ia kalah. Solly membalikkan kartunya, senilai enam. Satu empat dan satu dua. Sisi kanan
juga kalah dengan bandar.
Dan Tonio bangkrut total.
Ia jadi pucat dan dalam sekejap tampak sakit. Mengumpat sesuatu dalam bahasa
Spanyol. Micky menekan senyum kemenangannya dan mulai mengumpulkan koin-koin
miliknya lalu ia melihat se ?199suatu yang membuat napasnya tercekat dan jantungnya seolah berhenti.
Di meja ada empat kartu senilai empat, semuanya kartu klaver.
Malam itu mereka main dengan tiga kotak kartu baru, berarti mestinya hanya ada
tiga kartu klaver senilai empat. Siapa pun yang melihat bahwa ada empat kartu
senilai empat bergambar sama, akan tahu bahwa ada yang menambahkan satu kartu
ekstra. Itulah risiko menggunakan tipuan seperti ini, dan peluang terjadinya hanya satu
dari seratus ribu. Jika penipuan itu terbongkar, Mickylah yang akan babak belur, bukan Tonio.
Sejauh ini tidak ada yang memperhatikan kelainan pada empat kartu klaver itu.
Dalam bakarat, kartu yang seragam tidak terlalu menarik perhatian. Dengan gaya
setenang mungkin Micky meraup semua kartu di meja. Jantungnya berdebar keras.
Baru saja ia akan menarik napas lega, Edward menceletuk, "Hei... tunggu! Kulihat
ada empat kartu klaver senilai empat."
Dalam hati Micky mengutuk ketololan Edward. Tapi Edward sekadar bicara tanpa
pikir, sebab ia tidak tahu rencana Micky.
'Tidak mungkin," komentar Viscount Montagne. "Kita main dengan tiga pasang
kartu, jadia hanya ada tiga pasang kartu senilai empat dengan gambar yang sama."
"Tepat," jawab Edward.
Micky mengembuskan asap cerutunya. "Kau mabuk, Pilaster. Salah satu kartu itu
bergambar sekop." "Oh, maaf."
Viscount Montagne berkata, "Pada malam seperti ini, siapa yang bisa membedakan
kartu klaver dengan kartu sekop?"
Sekali lagi Micky menghela napas lega, berpikir ia sudah lepas dari kemungkinan
tertangkap basah tapi ia salah, terlalu cepat merasa lega.?200
Tonio berkata dengan nada penasaran, "Coba kita lihat kartu-kartunya."
Jantung Micky serasa berhenti. Kartu-kartu terakhir yang dimainkan sudah
dikumpulkan menjadi satu tumpukan dan dikocok, untuk digunakan lagi dalam
permainan selanjutnya. Jika tumpukan kartu itu dibongkar, akan terlihat memang
ada empat kartu klaver senilai empat. Dan habislah untuk Micky selamanya di
London. Dengan putus asa ia berkata, "Kuharap kau tidak mempertanyakan ucapanku."
Dalam klub para gentlemen, pertanyaan seperti itu bersifat tantangan mengenai
integritas seseorang; pertanyaan seperti itu bisa berkembang menjadi duel.
Orang-orang di meja lain mulai memperhatikan meja Micky. Semua melihat ke arah
Tonio sambil menunggu jawabannya.
Micky berpikir cepat. Jika berhasil membuktikan bahwa dari tumpukan kartu bekas
pakai tadi ada kartu sekop senilai empat, berarti ucapannya benar. Sisa kartu
yang lain tidak akan dipertanyakan lagi.
Tapi sekarang ia harus menemukan dulu kartu sekop senilai empat, Ada tiga kartu
senilai itu. Dua kartu mungkin ada di tumpukan kartu bekas pakai, dan ada
kemungkinan yang satu lagi ada di tumpukan kartu bekas mereka gunakan. Dan
tumpukan itu masih dipegang Micky.
Hanya itu kesempatan yang ia miliki.
Ketika semua pandangan terarah pada Tonio, Micky membalik kartunya hingga
menghadap ke arahnya. Dengan gerakan ibu jarinya yang terlatih, ia menguak sudut
atas kartu-kartu baru. Dari luar terlihat matanya masih mengarah pada Tonio,
namun ia tetap bisa melihat nilai dan gambar masing-masing kartu yang sengaja ia
tempatkan dalam bidang penglihatan.
Tonio menjawab dengan keras kepala, "Mari kita lihat kartu bekas pakai itu."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Yang lain menatap Micky. Sambil menguatkan hati, Micky berdoa semoga ia
menemukan kartu sekop senilai empat. Dalam ketegangan ini, tak ada yang
memperhatikan tangan Micky yang masih memegang kartu baru. Kartu-kartu yang
dipermasalahkan ada dalam tumpukan di meja, jadi rasanya tidak penting apa yang
dilakukan Micky dengan kartu-kartu di tangannfa.
Tapi ia harus bertindak cepat, tak bisa terlalu lama bersitegang soal kehormatan
diri. Sebentar lagi pasti ada yang tidak sabar dan tanpa peduli tata krama lagi,
akan memeriksa kartu bekas pakai di depannya. Untuk mengulur perhatian mereka,
ia berkata, "Kalau tidak bisa menerima kekalahan dengan jantan, kau tidak ikut
main." Peluh mulai membasahi dahinya. Ia khawatir,-jangan-jangan karena tergesagesa ia luput memperhatikan kartu sekop empat.
Dengan tenang Solly berkata, "Tidak ada salahnya kalau melihat saja, bukan?"
Solly sialan, selalu menggunakan akal sehat yang menyebalkan, umpat Micky putus
asa. Tiba-tiba ia melihat kartu yang diinginkannya.
Ia menyembunyikannya di telapak tangannya.
"Baiklah," jawabnya, berlagak tak acuh, padahal hatinya menjerit senang.
Semua yang hadir di meja itu diam menanti.
Micky meletakkan kartu-kartu yang dipegangnya sambil tetap menggenggam kartu
sekop empat di telapak tangannya. Lalu ia mengambil tumpukan kartu bekas pakai
di meja, sambil menjatuhkan kartu sekop empat ke tumpukan paling atas.
Didorongnya tumpukan itu ke hadapan Solly. "Kujamin ada kartu sekop empat di
situ,'! katanya. Solly membalikan kartu paling atas, dan semuanya melihat ucapan Micky memang
benar. Suara bisik-bisik lega terdengar di ruangan itu.
Micky masih khawatir seseorang akan membalikkan
202 semua kartu dan menemukan ternyata memang ada empat kartu klaver senilai empat.
Viscount Montagne berkata, "Kukira masalahnya sudah selesai, dan bicara atas
nama diriku sendiri, Miranda, aku hanya bisa minta maaf kalau tadi ada sedikit
keraguan atas ucapanmu."
"Kuterima," jawab Micky santai.
Mereka sekarang memandang ke arah Tonio. Ia berdiri, wajahnya masih tegang.
"Sialan kalian semua," umpatnya sambil berjalan keluar ruangan.
Micky meraup semua kartu di meja. Sekarang tak seorang pun akan tahu apa yang
telah ia lakukan. Kedua telapak tangannya masih berkeringat. Ia menyekanya di celananya. "Maaf
atas kelakuan teman senegaraku tadi, "katanya penuh simpati. "Jika ada sesuatu
yang kubenci, tak lain adalah teman yang tidak bisa main kartu seperti layaknya
seorang gentleman" [IV] MENJELANG dini hari Maisie dan Hugh masih berjalan ke arah utara melalui kawasan
pinggiran kota, Fulham-dan South Kensington.
Udara makin panas dan bintang-bintang mulai menghilang. Mereka bergandengan
tangan, kendati telapak tangan masing-masing basah oleh keringat. Maisie masih
agak bingung campur bahagia.
Malam ini sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia tak mengerti, tapi
menyukainya. Dulu, ketika pria mencium dan meraba dadanya, ia merasa itu hanya
semacam transaksi antara apa yang ia berikan dengan apa yang-ia butuhkan dari
mereka. Tapi malam ini berbeda sekali. Justru dialah yang menginginkan Hugh
menyentuhnya?" 203 hanya saja pemuda ini terlalu sopan untuk melakukan apa pun, tanpa lebih dahulu
diminta oleh Maisie! Semuanya bermula ketika mereka berdansa. Waktu itu ia belum sadar bahwa Hugh
berbeda dari semua pria muda kelas atas yang pernah menghabiskan malam
bersamanya. Hugh memang lebih menarik dan terlihat tampan dengan kemeja putih
dan dasi sutra. Tapi perilakunya tetap memperlihatkan bahwa ia masih naif dengan
wanita. Lalu, di lantai dansa, Maisie mulai membayangkan betapa senangnya
mencium Hugh. Perasaan ini makin kuat ketika mereka keluar ke taman dan melihat
pasangan lain saling bercumbu. Sikap ragu Hugh sangat memikat. Pria-pria lain
menganggap acara makan malam dan bercakap-cakap sebagai pembukaan yang
menjengkelkan. Mereka selalu tak sabar ingin mengajaknya ke tempat gelap, lalu
mulai meraba-raba. Tapi Hugh malah malu-malu.
Padahal dalam kejadian lain. seperti tadi di tempat keributan, Hugh cepat
bertindak seperti layaknya seorang ksatria. Juga setelah ia tertubruk seseorang
dan terjatuh, yang dipikirkannya adalah jangan sampai hal yang sama terjadi pada
diri Maisie. Ada sesuatu yang membuat Hugh berbeda dari pria lain yang pernah
dikenal Maisie. Algojo Gunung Sutra 1 Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti Sakit Hati Broken Hearts 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama