Ceritasilat Novel Online

Semester Pertama Di Malory 1

Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 1


http://tagtag.com/tamanbacaan
SEMESTER PERTAMA DI MALORY TOWERS
Ebook by Syauqy_arr OCR by Raynold 1. BERANGKAT DARRELL RIVERS memperhatikan dirinya di kaca. Sudah tiba saatnya untuk berangkat
ke stasiun. Tetapi masih ada sedikit waktu untuk sekali lagi melihat bagaimana
rupa dirinya dalam pakaian seragam sekolahnya.
"Cukup manis," kata Darrell, memutar dirinya. "Jas cokelat, topi cokelat, pita
merah muda, blus putih, rok cokelat, dan ikat pinggang merah muda. Aku suka
warna-warna ini...... Ibunya menjenguk ke dalam kamar itu dan tersenyum. "Mengagumi dirimu sendiri,
ya?" tanyanya. "Terus terang aku juga sangat menyukai seragam itu. Memang
seragam Malory Towers sungguh indah. Ayolah, Darrell. Jangan sampai kita
ketinggalan kereta. Apalagi ini adalah semester pertamamu."
Perasaan hati Darrell tak terkirakan. Untuk pertama kalinya ia akan pergi ke
sekolah berasrama. Sekolah Malory Towers hanya menerima murid yang sudah berumur
lebih dari dua belas tahun. Jadi Darrell mungkin akan menjadi salah satu murid
yang termuda di sekolah itu. Ia membayangkan masa-masa sekolahnya nanti pastilah
penuh dengan suasana gembira, persahabatan, belajar giat, dan bermain riang.
"Bagaimana ya rasanya nanti?" selalu pertanyaan itu muncul di hatinya. "Sudah
begitu banyak aku membaca cerita tentang sekolah-sekolah berasrama, tetapi
mungkin Malory Towers akan berbeda dari sekolah-sekolah itu. Ya, setiap sekolah
pasti punya sesuatu yang khas. Mudah-mudahan aku akan punya banyak teman akrab
nanti." Darrell sedih juga meninggalkan sahabat-sahabatnya selama ini. Tak seorang pun
di antara mereka yang melanjutkan sekolah ke Malory Towers. Sebagian di antara
mereka meneruskan pelajaran di sekolah yang sekarang, sebagian lagi pergi ke
sekolah-sekolah berasrama yang lain.
Kopor besarnya telah penuh sesak. Pada sisinya tertulis dengan huruf-huruf hitam
besar: DARRELL RIVERS. Juga tertempel tulisan-tulisan besar: M.T. - singkatan
dari Malory Towers. Darrell tinggal membawa raket tenisnya saja serta sebuah tas
kecil berisi barang-barang yang akan diperlukannya pada malam pertama di asrama.
"Kopor besarmu tak akan dibuka pada malam pertama itu," kata ibunya. "Jadi tiap
murid baru akan terpaksa memakai barang-barang yang dibawanya di tas kecilnya.
Seperti pakaian tidur, sikat gigi, dan semacamnya. Ini uang sakumu, sepuluh
shilling. Uang itu untuk sepanjang semester ini, jadi hati-hatilah
membelanjakannya. Murid-murid di kelasmu tak diperkenankan memiliki uang saku
lebih dari itu." "Aku akan berhemat," kata Darrell, memasukkan lembaran uang kertas itu ke dalam
dompetnya. "Lagi pula takkan banyak yang bisa dibeli di sekolah itu. Itu taksi
kita datang, Ibu. Ayo berangkat."
Darrell telah berpamitan pada ayahnya, yang kini berada di kantor. Tadi ayahnya
menjabat tangannya erat-erat dan berkata, "Selamat jalan dan semoga kau menyukai
sekolah barumu, Darrell. Malory Towers adalah sekolah yang sangat bagus. Banyak
yang bisa kau dapat di sana. Berusahalah untuk menyumbangkan sesuatu pada
sekolah itu sebagai imbalannya."
Akhirnya mereka berangkat. Kopor besar Darrell berada di tempat duduk di sebelah
sopir. Darrell menjulurkan kepalanya ke luar mobil dan berseru pada kucing hitam
yang sedang membasuh diri di cahaya matahari di atas tembok, "Aku akan segera
kembali! Aku akan merindukan kalian semua.
Terutama pada awal-awal masa sekolah ini. Tetapi kemudian aku pasti akan merasa
kerasan di sana bukan, Bu?"
"Tentu," kata ibunya, "kau pasti senang di sana. Begitu senang sehingga kukira
kau akan segan untuk pulang dalam liburan musim panas nanti."
Mereka harus pergi ke London. Dari sana Darrell akan naik kereta api jurusan
Cornwall, tempat Malory Towers berada. "Selalu ada kereta api khusus ke Malory
Towers," kata Nyonya Rivers.
"Lihat pengumuman itu. Malory Towers. Sepur Tujuh. Ayo. Masih banyak waktu. Aku
akan menungguimu sampai kau berkenalan dengan kepala asramamu, dan kawan-kawan
barumu. Setelah itu kau akan kutinggal."
Keduanya pergi ke Sepur Tujuh. Di situ sudah terlihat sebuah rangkaian panjang
kereta api, bertuliskan Malory Towers. Semua gerbongnya khusus diperuntukkan
para murid yang akan menuju sekolah itu. Setiap gerbong ditempeli tulisan yang
berbunyi, Menara Utara, Menara Selatan, Menara Barat, atau Menara Timur.
"Kau di Menara Utara," kata Nyonya Rivers. "Malory Towers memiliki empat buah
asrama. Masing-masing asrama memiliki sebuah menara, dan menurut tempat menara
itulah asrama-asrama tadi diberi nama. Kata kepala sekolah, kau akan ditempatkan
di Menara Utara. Dan kepala asramamu adalah Nona Potts. Mari kita cari beliau."
Darrell melihat-lihat ke sekitarnya. Tempat itu hampir penuh oleh murid-murid
yang akan pergi ke Malory Towers - ya, agaknya mereka memang hanya murid-murid
Malory Towers kalau melihat seragam sekolah mereka. Semuanya murid wanita.
Memang Malory Towers sekolah khusus untuk murid-murid wanita. Dan semuanya
agaknya saling kenal. Ramai sekali mereka saling sapa, tertawa, atau berteriakteriak gembira Tiba-tiba saja Darrell merasa malu.
"Rasanya takkan mungkin aku mengenal mereka semua," pikirnya. "Ya ampun! Banyak
yang besar-besar lagi! Hampir dewasa! Beranikah aku berteman dengan mereka?"
Memang, murid-murid di kelas tertinggi tampaknya begitu besar bagi Darrell. Dan
mereka agaknya sama sekali tak memperhatikan murid-murid yang lebih kecil dari
mereka. Murid-murid kelas rendah dengan penuh hormat menepi bila mereka lewat,
dan dengan anggun mereka memasuki gerbong-gerbong yang telah tersedia.
"Halo, Lottie! Halo, Mary! Hei, itu Penelope! Penny! Kemarilah! Kau jahat
sekali, Hilda, tak menulis surat sepucuk pun padaku liburan ini! Jean, ayo naik,
cepat!" Suara begitu ribut, riuh rendah. Darrell mencari-cari ibunya di antara begitu
banyak anak-anak itu. Ah, itu dia! Nyonya Rivers tampak sedang bercakap-cakap
dengan seorang guru yang berwajah bersungguh-sungguh. Itu pasti Nona Potts.
Darrell memperhatikan calon kepala asramanya itu dari kejauhan. Ya, rasanya ia
akan menyukai guru itu. Darrell menyukai matanya yang cemerlang ria, walaupun
mulutnya menunjukkan ia berkemauan keras. Ia harus hati-hati menghadapi guru
ini. Jangan sampai berbuat sesuatu yang tak disukainya.
Nona Potts menghampirinya, tersenyum. "Wah, anak baru, ya?" katanya. "Kau akan
berada satu gerbong denganku. Lihat, di gerbong sana itu! Anak-anak baru selalu
satu gerbong denganku."
"Oh, apakah ada anak baru lainnya kecuali aku" Maksudku, yang sekelas dengan
aku?" tanya Darrell.
"Oh, ya, tentu. Ada dua lagi. Mereka belum tiba. Nyonya Rivers, ini adalah murid
yang sekelas dengan Darrell. Namanya Alicia Johns. Ia akan menemani Darrell bila
Anda akan meninggalkannya."
"Halo!" sapa Alicia, dengan mata bersinar ceria pada Darrell. "Aku sekelas
denganmu. Kau sudah dapat tempat di sudut" Lebih enak duduk di sudut. Ayo, cari
tempat sekarang yuk! Bisa kehabisan nanti."
"Kalau begitu, lebih baik aku pergi sekarang saja." Nyonya Rivers tersenyum.
Dipeluk dan diciumnya Darrell. "Aku akan menulis surat segera setelah kuterima
suratmu. Semoga kau kerasan di sana."
"Pasti! Ibu jangan kuatir!" kata Darrell. Nyonya Rivers segera meninggalkan
putrinya. Darrell mengikuti ibunya dengan pandangan mata. Ia tak sempat merasa
sedih oleh perpisahan itu, sebab Alicia langsung mengambil alih dirinya,
mendorongnya ke arah gerbong Nona Potts.
"Taruh tasmu di sudut itu," kata Alicia. "Dan punyaku akan kutaruh di sini. Itu
berarti kedua tempat ini sudah jadi milik kita. Nah, ayo sekarang ke pintu. Kita
lihat-lihat apa yang terjadi. Lihat di sana itu - itulah contoh 'Cara Terburuk
Untuk Berpamitan Pada Putri Tersayang'!"
Darrell berpaling ke arah mana Alicia mengangguk Ia melihat seorang anak yang
seumur dengannya, berpakaian seragam Malory Towers, tetapi dengan rambut panjang
mengurai di punggung. Anak itu memeluk ibunya rapat-rapat dan tampak menangis.
"Si ibu mestinya menanggapi hal seperti itu dengan hanya tersenyum, memberinya
sebatang cokelat, dan meninggalkannya," kata Alicia. "Kalau orang punya anak
seperti itu, hanya cara itulah yang terbaik Dasar anak manja!"
Memang. Si ibu berlaku seburuk putrinya. Di pipinya juga terlihat air mata.
Dengan langkah mantap Nona Potts mendekati ibu dan anak itu.
"Lihat apa yang akan dilakukan Potty," bisik Alicia. Darrell terkejut juga oleh
julukan yang diberikan Alicia pada kepala asrama mereka. Potty memang bisa jadi
kependekan atau panggilan untuk Potts, tetapi kata itu juga berarti 'sedikit
sinting'! Padahal Nona Potts sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesintingan
sedikit pun. Ia seratus persen waras. Dan tegas.
"Biarlah Gwendoline ikut denganku," kata Nona Potts pada sang ibu. "Sudah
saatnya ia masuk ke gerbong. Dan di sana ia akan merasa tenang Nyonya Lacey."
Gwendoline agaknya sudah siap untuk mengikuti Nona Potts. Tetapi Nyonya Lacey
masih memeluk putrinya itu. Alicia mendengus. "Kaulihat apa yang menyebabkan
Gwendoline begitu cengeng?" katanya. "Ibunya! Aku gembira bahwa ibuku cukup
sehat cara berpikirnya. Ibumu pun tampaknya sangat menyenangkan. Periang dan
menyenangkan." Darrell gembira ibunya. mendapat pujian seperti itu. Ia kini melihat betapa
dengan tegas Nona Potts melepaskan rangkulan Gwendoline pada ibunya dan
menuntunnya ke gerbong. "Alicia, ini satu lagi," kata Nona Potts. Alicia menarik Gwendoline naik.
Ibu Gwendoline juga ikut mendekat dan menjenguk ke dalam gerbong itu. "Ambillah
tempat duduk di sudut, Sayang," katanya. "Dan jangan duduk membelakangi
lokomotif. Bisa mual nanti kalau kau duduk mundur begitu. Dan..."
Seorang anak lain datang mendekat. Kecil namun tampaknya kokoh. Berwajah
sederhana dengan rambut dikepang rapi. "Apakah ini gerbong Nona Potts?" ia
bertanya. "Benar," jawab Alicia. "Kau murid baru" Menara Utara?" .
"Ya. Namaku Sally Hope."
"Di mana ibumu?" tanya Alicia. "Mestinya beliau mengantarkanmu dan menyerahkanmu
pada Nona Potts agar kau bisa dicoret dalam daftarnya."
"Oh, Ibu merasa tak perlu mengantarkan aku " kata Sally. "Aku datang sendiri"
"Ya ampun!" seru Alicia. "Ternyata banyak juga macam ibu-ibu itu. Ada yang
datang dan berpisah dengan putrinya sambil tersenyum. Ada yang menangis meraungraung. Dan ada pula yang tak datang sama sekali!"
"Alicia, jangan ngoceh tak keruan!" tukas Nona Potts tandas. Ia sudah tahu akan
sifat Alicia yang berlidah begitu tajam. Dan Nyonya Lacey yang mendengar katakata Alicia tadi tampak berang juga, hingga lupa akan nasihat apa lagi yang akan
dikatakannya pada Gwendoline. Dengan pandang marah ia menatap Alicia. Untunglah
saat itu terdengar peluit kondektur dan serentak terjadi keributan saat anakanak bergegas berebut naik.
Nona Potts ikut berebut naik bersama dua atau tiga murid lagi. Ibu Gwendoline
mencoba menjenguk ke dalam, tetapi sayang saat itu Gwendoline sedang membungkuk
ke lantai, mencari sesuatu yang agaknya terjatuh.
"Di mana Gwendoline!" seru Nyonya Lacey. "Aku harus mengucapkan selamat jalan
padanya. Mana... " Saat itu kereta mulai bergerak meninggalkannya. Gwendoline baru sadar akan hal
itu. Ia cepat berdiri dan menangis. "Ibu!" teriaknya. "Ah, aku belum pamitan
padanya!" "Berapa kali kau ingin berpamitan?" tukas Alicia. "Paling sedikit sudah dua
puluh kali tadi kuhitung...."
Nona Potts memperhatikan Gwendoline. Tampaknya anak ini anak tunggal yang
terlalu dimanja dan terlalu mementingkan diri sendiri. Pastilah sulit untuk
mengajarnya nanti. Kemudian diperhatikannya si Kecil Sally Hope. Gadis cilik yang lucu, dengan
kepangan rambutnya yang rapi ketat dan mukanya yang mungil. Ia tak diantar
ibunya. Tetapi apakah Sally peduli akan hal itu" Sulit untuk diterka.
Lalu, Darrell. Rasanya mudah sekali membaca pikiran Darrell. Anak itu agaknya
takkan bisa menyembunyikan perasaan hatinya. Anak itu akan suka berkata terus
terang tentang apa yang dirasanya. Tetapi sudah pasti ia takkan setajam Alicia
dalam berbicara. "Seorang anak yang manis, jujur, dan bisa dipercaya," pikir Nona Potts. "Tapi
mungkin nakal juga. Tampaknya otaknya cukup encer. Mudah-mudahan ia tahu
menggunakan otak tersebut. Aku memerlukan seseorang yang bisa dibanggakan dari
Menara Utara." Anak-anak itu mulai bercakap-cakap. "Bagaimana sih rupa Malory Towers itu?"
tanya Darrell. "Aku sudah melihat potretnya. Begitu besar tampaknya. Tetapi
bagaimana sebenarnya?"
"Memang besar," kata Alicia. "Dan pemandangan lautnya indah sekali. Untung kau
ditempatkan di Menara Utara. Pemandangannya terbaik dari asrama lainnya."
"Apakah setiap asrama memiliki ruang kelas tersendiri?" tanya Darrell. Alicia
menggelengkan kepala. "Oh, tidak Semua murid dari keempat asrama itu bersekolah di gedung sekolah yang
sama. Tiap asrama memiliki sekitar enam puluh orang murid.
Tiap asrama memiliki seorang kepala murid. Untuk Menara Utara, kepala muridnya
adalah Pamela , yang duduk di sana itu."
Pamela seorang gadis jangkung, pendiam. Ia duduk dengan seorang gadis sebayanya,
dan mereka agaknya sangat bersahabat dengan Nona Potts. Mereka asyik
memperbincangkan rencana mereka dalam semester ini.
Alicia, Sally, Darrell, dan seorang gadis lagi bernama Tessie tak lama sudah
asyik bercakap-cakap pula. Hanya Gwendoline yang duduk muram dan diam di
sudutnya. Tak ada yang memperhatikan dirinya, dan ini sesuatu yang jarang
terjadi baginya! Ia mengeluarkan suara tersedu, dan dari sudut matanya ia melirik anak-anak itu.
Alicia yang bermata tajam menangkap lirikan sembunyi-sembunyi itu. Ia
menyeringai dan berbisik pada Darrell, "Dia hanya pura-pura menangis! Orang yang
benar-benar bersedih cenderung untuk menyembunyikan kesedihannya, dan tidak
malah memamerkannya. Jangan ada yang memperhatikan Gwendoline tersayang itu!"
Kasihan Gwendoline! Sesungguhnya sikap Alicia yang tak mengacuhkan dirinya
adalah suatu obat yang sangat mujarab bagi kecengengannya.
Ia harus segera sadar bahwa kehidupan di sekolah nanti sangat berbeda dengan
kehidupannya di rumah. "Tak usah bersedih, Gwendoline!" seru Nona Potts dengan suaranya yang riang.
Tetapi hanya itu saja yang diucapkannya untuk Gwendoline. Ia langsung berbicara
asyik dengan Pamela dan kawannya.
"Aku ingin muntah!" kata Gwendoline akhirnya, dalam usaha terakhirnya untuk
menarik perhatian dan rasa iba anak lain.
"Tapi tampaknya tidak begitu," tukas Alicia. "Mukaku selalu tampak hijau bila
mau muntah. Tapi kau tidak. Ia tak apa-apa, bukan, Nona Potts?"
Rasanya Gwendoline ingin sekali bisa muntah-muntah agar Alicia yang sok tahu itu
tahu rasa. Lemas ia menyandarkan diri di tempat duduknya, dan bergumam perlahan,
"Aku ingin muntah... mual sekali! Oh, apa yang harus kulakukan?"
"Tunggu, aku punya kantung kertas!" Alicia mengeluarkan selembar kantung kertas
besar dari tasnya. "Saudaraku juga seperti kau, selalu mabuk bila berkendaraan,
selalu ingin muntah. Karenanya Ibu selalu membawa kantung kertas bila Sam ikut
pergi dengannya. Tampaknya lucu juga kalau Sam muntah ke dalam kantung kertas
itu. Persis seperti seekor kuda yang sedang makan dari kantung yang dikaitkan di
lehernya!" Semua tertawa. Kecuali Gwendoline, tentu. Ia bahkan tampak gusar. Kurang ajar,
Alicia itu! Ia takkan mau berkawan dengan anak itu! Tetapi setelah serangan
lidah tajam Alicia tadi, Gwendoline jadi sangat pendiam. Ia duduk tak bergerak.
Tak lagi berusaha untuk memikat perhatian anak-anak lainnya. Ia takut pada apa
yang pasti dikatakan Alicia nanti.
Darrell memandang Alicia dengan sedikit kagum. Sungguh menyenangkan anak ini.
Alangkah senangnya bila mereka bisa bersahabat baik!
2. MALORYTOWERS LAMA juga perjalanan ke Malory Towers. Tetapi rangkaian kereta api yang panjang
itu juga membawa sebuah gerbong tempat makan. Murid-murid bergantian makan
siang. Dan bahkan saat minum teh juga mereka lewatkan dalam perjalanan itu. Pada
awal perjalanan semua memang riang, ramai bercanda. Namun lama kelamaan mereka
serasa tak punya nafsu untuk berbicara. Beberapa bahkan sudah tertidur. Sungguh
suatu perjalanan yang terlalu panjang!
Tapi akhirnya sampai juga mereka ke stasiun tujuan. Dari stasiun tersebut,
sekolah Malory Towers masih sekitar tiga kilometer lagi. Beberapa bis besar
menunggu di depan stasiun untuk mengangkut anak-anak itu ke sana.
"Ayo, cepat!" kata Alicia mencengkeram tangan Darrell. "Kalau kita cepat-cepat,
kita mungkin akan bisa memperoleh tempat duduk di depan, dekat sopir. Ayolah!
Mana tasmu?" "Aku ikut!" seru Gwendoline. Tetapi semua sudah berangkat sebelum Gwendoline
bisa mengumpulkan semua barangnya.
Alicia dan Darrell berhasil mendapat tempat duduk terdepan. Sementara itu anakanak ribut naik ke bis tersebut. Stasiun kecil itu hanya mempunyai seorang kuli
yang kini begitu sibuk memindahkan kopor-kopor besar dari kereta api ke bis. .


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Malory Towers terlihat dari sini?" tanya Darrell melihat berkeliling.
"Tidak. Tapi nanti terlihat. Nanti jalan ini menikung dan tiba-tiba saja Malory
Towers muncul di hadapan kita," kata Alicia.
"Ya, begitu indah munculnya yang tiba-tiba itu," Pamela ikut berbicara. Gadis
pendiam yang menjadi kepala murid asrama Menara Utara itu duduk di belakang
Alicia dan Darrell. Matanya bersinar saat ia berkata lagi, "Kukira pemandangan
paling indah atas sekolah kita adalah dari sudut jalan itu. Apalagi bila
matahari berada di belakangnya!"
Darrell bisa merasakan kehangatan di suara Pamela saat ia berbicara tentang
sekolah yang begitu dicintainya itu. Ia memperhatikan gadis besar itu dan
seketika menyukainya. Pamela melihat pandangan mata Darrell dan ia tertawa. "Kau beruntung, Darrell,"
katanya. "Kau anak baru, dan akan mengalami banyak hal di sekolah kita. Waktumu
masih sangat lama di Malory Towers. Sedang aku... pelajaranku hampir berakhir
Satu-dua semester lagi aku akan terpaksa meninggalkan sekolah ini Kuharap kau
menggunakan waktumu sebaik-baiknya di Malory Towers. Kau pasti akan
menyukainya." "Ya, pasti!" Angguk Darrell mantap. Kemudian ia berpaling ke depan, menunggu
penampilan pertama sekolah barunya itu, sekolah yang akan didiaminya untuk waktu
paling cepat enam tahun. Mereka menikung. Alicia cepat memberinya isyarat dengan sikunya. "Lihat itu,
lihat! Di sana itu, di bukit! Laut berada di baliknya, jauh di bawah tebing, tak
terlihat" Darrell melihat ke arah yang ditunjuk Alicia.
Terlihat olehnya sebuah gedung besar berdiri tinggi di puncak bukit. Gedung itu
berbentuk segi empat, dan tiap sudutnya dihiasi sebuah menara bulat tinggi. Dua
di depan, dan dua di belakang.
Menara-menara utara, selatan, barat, dan timur. Pada lereng yang menghadap ke
laut, bukit itu begitu terjal dan akhirnya membentuk tebing batu karang yang
hampir tegak lurus. Malory Towers. Dindingnya berwarna batu, lembut kelabu. Sebagian besar dinding itu dirambati
oleh sulur-suluran, begitu rapat menghijau sampai ke atap. Bagaikan sebuah puri
di zaman lampau! Dan jendela-jendela di gedung itu bersinar cemerlang.
"Sekolahku!" pikir Darrell. Suatu kehangatan mengisi hatinya. "Indah sekali. Aku
benar-benar beruntung bisa mempunyai sekolah seperti itu sebagai rumahku untuk
beberapa tahun ini. Aku pasti akan menyukainya."
"Apakah kau menyukainya?" tanya Alicia tak sabar.
"Ya, sangat!" kata Darrell. "Tapi rasanya aku takkan pernah bisa mengenali
tempat-tempatnya.... Rasanya sekolah itu begitu besar!"
"Oh, kau nanti akan kuantar berkeliling," kata Alicia. "Cukup mengherankan, tapi
kau pasti dengan cepat akan mengenali semua tempat di sana." .
Bis mereka menikung, dan Malory Towers lenyap. Tetapi gedung megah itu muncul
lagi di tikungan berikutnya, semakin dekat. Tak berapa lama bis-bis itu pun
sudah menderu berhenti, di depan telundakan lebar yang menuju sebuah pintu
besar. "Oh! Seperti pintu masuk ke sebuah istana!" seru Darrell.
"Ya." Tiba-tiba Gwendoline mendekat di belakang mereka. "Dan aku akan merasa
bagaikan seorang putri bila melangkah di telundakan itu," katanya pula sambil
mengibaskan rambutnya yang terurai keemasan.
"Pasti," dengus Alicia. "Tapi buang jauh-jauh pikiran semacam itu bila Potty ada
di dekatmu!" Darrell turun dari bis dan langsung tenggelam dalam arus anak-anak yang bergegas
menaiki telundakan. Ia mencari-cari Alicia, tapi entah ke mana anak itu.
Terpaksa Darrell menaiki telundakan itu sendiri, menenteng tas serta raketnya.
Ia merasa kesepian di antara ributnya anak-anak itu.
Takut juga ia sedikit, tanpa Alicia yang selalu berceloteh di sampingnya.
Segalanya terasa kabur. Darrell tak tahu harus pergi ke mana atau harus berbuat
apa. Sia-sia ia mencari Alicia atau Pamela , kepala murid.
Keduanya tak tampak di tengah begitu banyak murid-murid itu. Apakah ia harus
langsung pergi ke Menara Utara" Anak-anak lain tampak begitu yakin apa yang
harus mereka lakukan, kecuali Darrell.
Ah, untung. Itu Nona Potts! Cepat-cepat ia mendekati kepala asrama itu. Nona
Potts tersenyum padanya. "Halo! Bingung, ya" Di mana si Nakal Alicia itu"
Mestinya ia mengurusmu. Semua murid dari Menara Utara harus langsung ke tempat
tersebut dan merapikan diri Ibu Asrama sudah menunggu kalian!"
Darrell tak tahu arah menuju Menara Utara. Maka ia sendiri saja di dekat Nona
Potts, menunggu. Alicia muncul kembali bersama serombongan anak-anak.
"Hai!" ia menyapa Darrell. "Aku kehilangan kau. 1m semua kawan-kawan sekelas
kita. Tetapi tak usah tahu nama-nama mereka dulu bisa bingung kau. Beberapa di
antaranya dari Menara Utara, beberapa dari menara lainnya. Ayo! Kita ke Menara
Utara untuk bertemu dengan Ibu Asrama. Mana Gwendoline sayang?"
"Alicia!" kata Nona Potts tajam, tetapi matanya tersenyum. "Jangan ganggu
Gwendoline terus. Beri kesempatan padanya untuk menyesuaikan diri."
"Sally... di mana dia" Oh, itu. Ayo, Sally! Baiklah, Nona Potts. Aku akan
mengantar mereka ke Menara Utara dan mengasuh mereka sedikit," kata Alicia.
Sally, Gwendoline. dan Darrell mengikuti Alicia. Mereka berada di sebuah ruangan
yang sangat besar, dengan pintu-pintu besar di sisinya serta sebuah tangga lebar
melengkung ke atas. "Ini ruang pertemuan," kata Alicia. "Itu laboratorium, ruang senam, ruang
kesenian, dan ruang menjahil Ayo, kita harus menyeberangi Taman Dalam untuk
pergi ke asrama kita."
Darrell tak tahu apa yang disebut Taman Dalam itu. Tetapi ia segera
mengetahuinya. Malory Towers dibangun mengelilingi sebuah tempat terbuka, dan
inilah yang disebut Taman Dalam oleh Alicia.
Tempat ini berbentuk persegi empat, dengan gedung Malory Towers sebagai keempat
sisinya. Alicia membawa anak-anak baru itu keluar dari ruang pertemuan, dan di
depan mereka terhampar Taman Dalam itu.
"Indah sekali!" seru Darrell. "Tempat apa yang terbenam di tengah itu?"
Ia menunjuk pada sebuah tempat dengan rumput hijau dan berbentuk lingkaran serta
seakan 'terbenam' agak- dalam dari permukaan tanah. Di sisi lingkaran yang cukup
besar itu terdapat telundakan-telundakan batu, melingkar dan tampaknya untuk
tempat duduk. Mirip lingkaran pertunjukan sirkus dengan tempat pertunjukannya di
bawah permukaan tanah. "Itu tempat kita bermain drama di musim panas," kata Alicia. "Para pemain di
lapangan rumput di bawah itu, para penonton duduk di tempat duduk yang
melingkarinya. Sangat menyenangkan!"
Di permukaan tanah, mengelilingi lapangan rumput yang tenggelam itu, terdapat
taman yang sangat indah oleh bunga mawar dan berbagai bunga lainnya. Di antara
petak-petak bunga itu terdapat pula petak-petak rumput yang menghijau.
"Di sini agaknya hangat dan terlindung," kata Darrell.
"Tetapi di musim panas hawanya terlalu panas," kata Alicia, terus membawa mereka
ke seberang. "Tetapi pemandangannya sungguh mempesonakan di semester Paskah. Saat kita
meninggalkan rumah kita pada bulan Januari, di tengah hawa beku dan salju, maka
kita dapati di Taman Dalam ini bunga-bunga berkembang ceria dalam lindungan
gedung yang mengelilinginya. Lihat, bunga-bunga tulip sudah keluar. Padahal ini
baru bulan April." Di setiap sudut rangkaian bangunan yang membentuk segi empat itu terdapat sebuah
menara. Alicia menunjukkan Menara Utara, sebab keempat menara tadi serupa benar
satu dengan yang lain. Darrell memperhatikan menara itu. Tingginya empat tingkal
Dan Alicia berhenti sebentar di depan Menara Utara tersebut untuk memberi
penjelasan. "Di lantai bawah ada ruang makan dan ruang rekreasi, serta dapur. Di lantai dua
terdapat kamar-kamar tempat kita tidur. Begitu juga di lantai tiga. Di lantai
empat kamar tidur untuk karyawan serta gudang tempat barang-barang kita."
"Dan setiap menara susunannya sama?" tanya Darrell, memperhatikan menaranya.
"Alangkah senangnya kalau tempat tidurku di puncak menara ini. Pasti
pemandangannya sangat indah!"
Ramai sekali anak-anak keluar-masuk di pintu bawah menara itu. "Ayo, cepatlah!"
beberapa di antara mereka berseru pada Alicia. "Sebentar lagi makan malam
terhidang. Dan baunya, mmmh, sungguh sedap!"
"Pada awal semester biasanya masakan yang dihidangkan memang luar biasa," kata
Alicia. "Setelah itu - tak begitu hebat. Coklat, biskuit, dan sebangsanya. Ayo,
mari kita temui Ibu Asrama."
Setiap menara punya Ibu Asrama sendiri, yang bertanggung jawab atas anak-anak
yang ada di asramanya. Ibu Asrama Menara Utara ternyata seorang wanita yang agak
gemuk, tapi tampak gesit. Berpakaian sangat rapi dan sangat bersih.
Alicia membawa ketiga murid baru itu ke hadapannya. "Ini tambah tiga orang anak
lagi, untuk sasaran amukan Anda," katanya.
Darrell memperhatikan Ibu Asrama itu, yang sedang mengerutkan kening membaca
daftar di tangannya. Rambutnya rapi, tersisir dan tersembunyi di topi kain yang
indah dan terikat rapi di bawah dagu. Segalanya pada dirinya begitu bersih
sehingga Darrell merasa dirinya sendiri sangatlah kotor. Ia sedikit merasa takut
juga pada Ibu Asrama yang tampaknya akan bersikap keras ini. Tetapi ketika
wanita ini mengangkat muka dan tersenyum padanya, semua rasa takut Darreil
lenyap. Senyum itu begitu ceria dan sepenuh hati - seolah-olah mata, mulut, dan
hidungnya juga ikut tersenyum.
"Tunggu... kau pasti Darrell Rivers," kata Ibu Asrama, mencoret sebuah nama di
daftarnya. "Kau bawa surat dokter" Berikan padaku. Dan kau pasti Sally Hope."
"Bukan, aku Gwendeline Mary Lacey," kata Gwendoline.
"Jangan lupa Mary-nya," tambah Alicia. "Gwendeline Mary tersayang."
"Cukup, Alicia," tukas Ibu Asrama, mencoret nama Gwendoline "Kau nakal sekali.
Seperti ibumu dulu. Tapi kurasa kau jauh lebih nakal darinya. "
Alicia menyeringai. "Ibuku dulu juga bersekolah di sini," katanya pada Darrell.
"Dan beliau juga tinggal di Menara Utara ini. Dan selama bertahun-tahun beliau
berada di bawah pengawasan Ibu Asrama kita ini. Ibu titip salam untuk Anda." Ia
berpaling pada Ibu Asrama. "Kata beliau, sungguh sayang saudara-saudara lelakiku
tak bisa dikirimnya kemari. Rasanya hanya Andalah yang akan bisa mendidik
mereka." "Kalau mereka seperti kau, maka aku bersyukur bahwa mereka tak bisa dikirim
kemari" kata Ibu Asrama. "Satu saja dari keluarga Johns sudah lebih dari cukup
bagiku. Ibumulah yang membuat rambutku begitu cepat memutih. Dan kau agaknya mau
membuat seluruh rambutku jadi putih, ya?"
Ia tersenyum lagi. Wajahnya sabar dan bijaksana. Setiap anak yang merasa sakit
pasti akan tenang dalam rawatan Ibu Asrama ini. Tetapi hati-hati bagi mereka
yang malas dan suka pura-pura sakit atau tak berhati-hati dalam bekerja! Senyum
ramah itu pasti akan lenyap dan wajah itu akan berubah menakutkan!
Suara gong menggema di Menara Utara itu.
"Makan malam," kata Ibu Asrama. "Biarlah kalian membereskan barang-barang nanti
saja. Kereta api kalian terlambat, pastilah kalian merasa lelah. Semua anak
kelas satu langsung pergi tidur segera setelah selesai makan malam"
"Oh, Ibu!" keluh Alicia. "Masa kami tak diberi waktu untuk bercakap-cakap
sepuluh menit saja...."
"Aku katakan tadi, langsung pergi tidur, Alicia," kata Ibu Asrama. "Ayo,
pergilah! Cuci tangan kalian cepat-cepat dan segera turun ke ruang makan.
Cepat!" Lima menit kemudian Alicia dan kawan-kawannya telah duduk di ruang makan,
menikmati makan malam yang lezat. Mereka merasa sangat lapar, jadi enak sekali
makan. Darrell melihat berkeliling. Begitu banyak anggota asramanya! Mana
mungkin ia mengenal mereka semua" Dan rasanya tak mungkin ia punya keberanian
untuk ikut serta bercanda dan tertawa dengan mereka. Tetapi hal itu tentu saja
tidak benar. Ia akan segera menjadi bagian dari semua ini!
3. MALAM DAN PAGI PERTAMA
SELESAI makan, sesuai dengan perintah Ibu Asrama, anak-anak kelas satu langsung
pergi tidur. Darrell menyukai kamarnya. Kamar tersebut panjang, dan di sepanjang
dindingnya terdapat jendela-jendela menghadap ke laut, lagi! Sesaat Darrell
berdiri di depan salah satu jendela, memperhatikan laut biru yang bergulung
tenang serta suara ombak berdebur sayup-sayup. Betapa indahnya tempat ini.
"Jangan melamun saja!" suara Alicia membuyarkan pikirannya. "Ibu Asrama akan
segera datang meninjau!"
Darrell berpaling dari jendela. Kamar tidur itu memiliki sepuluh tempat tidur.
Masing-masing tempat tidur dipisahkan oleh tirai-tirai yang bisa ditarik ke
tepi. Setiap tempat tidur berseprai putih bersih dan masing-masing mendapat
selembar selimut tebal berisi bulu yang dilipat pada tempat tidur itu. Selimutselimut itu berbeda-beda warnanya, sehingga ceria bila dilihat dari tempatnya
berdiri: barisan tempat tidur putih dengan aneka warna selimut terlipat rapi.
Tirai-tirai tadi membentuk semacam bilik, dan pada tiap bilik terdapat sebuah
lemari, sebuah peti tempat pakaian dengan cermin hias di atasnya. Di kedua ujung
kamar terdapat tempat cuci muka dengan air dingin dan panas.
Anak-anak sibuk membuka tas serta mengeluarkan barang-barang mereka. Darrell
mengeluarkan pakaian tidurnya, lap muka, sikat gigi, dan pasta giginya. Selembar
handuk bersih tergantung di rak dekat lemari.
"Sungguh menyenangkan tidur berteman begini banyak," pikir Darrell. "Pasti kita
bisa bercakap-cakap dan bermain-main sampai malam."
Semua anak baru tidur di kamar itu. Sally, Gwendoline, dan Darrell. Alicia juga
di situ, ditambah enam orang anak lagi. Anak-anak lama ini memperhatikan ketiga
anak baru tersebut berlari ke tempat membasuh muka, mencuci muka dan menggosok
gigi, kemudian kembali ke tempat-tempat tidur mereka.
Salah seorang di antara anak lama ini melihat arloji di tangannya dan berkata
tegas, "Semua naik ke tempat tidur!" Anak ini bertubuh tinggi, berambut hitam,
dan agaknya pendiam. Semua langsung naik ke tempat tidur, kecuali Gwendoline.
Gwendoline sibuk menyikat rambutnya yang indah keemasan sambil menghitung, "Lima
puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam..."
"Hei, kau, Anak baru! Siapa namamu" Cepat naik ke tempat tidur!" kata anak
berambut hitam tadi. "Aku harus menyikat rambutku seratus kali setiap malam," kata Gwendoline.
"Nah... aku jadi lupa sudah sampai hitungan berapa aku tadi."
"Tutup mulut dan cepat naik ke tempat tidur, Gwendoline Mary!" kata Alicia yang
tempat tidurnya berdampingan dengan tempat tidur Gwendoline. "Katherine adalah
ketua kamar ini. Kau harus melakukan apa yang diperintahkannya."
"Tetapi aku sudah berjanji pada Ib... Ib..." Gwendoline mulai terisak-isak. "Aku
sudah berjanji pada Ibu untuk menyikat ram-ram-rambutku seratus kali tttiap
malam...." "Kau bisa meneruskan menyikat rambutmu besok malam," suara ketua kamar itu
terdengar dingin dan tajam. "Kini naiklah ke tempat tidur."
"Oh, biarlah kuselesaikan sekarang saja," kata Gwendoline, tergopoh-gopoh
meneruskan menyikat rambut. "Lima puluh tujuh... lima puluh..."
"Apakah aku harus memukul pantatnya dengan sikatku, Katherine?" tanya Alicia,
bangkit berdiri dan bersiap dengan sikat rambutnya. Gwendoline menjerit dan
melompat ke atas tempat tidur.
Semua tertawa. Mereka tahu bahwa sesungguhnya Alicia tidak bermaksud akan
memukul Gwendoline benar-benar.
Gwendoline berbaring, marah. Ingin sekali rasanya menangis. Dipikirkannya ibunya
yang kini begitu jauh dari dirinya, dan ia mulai terisak-isak.
"Buang ingusmu, Gwendoline!" kata Alicia setengah mengantuk.
"Jangan ada yang berbicara lagi," kata Katherine. Sunyi kemudian kamar itu.
Sally Hope terdengar melepas napas panjang. Darrell mengira-ngira apakah anak
itu sudah tidur ataukah belum. Tirai antara tempatnya dan tempat Sally tidak
tertutup. Tidak. Sally belum tidur. Ia berbaring dengan mata terbuka. Tak
terlihat air mata, tetapi wajah itu tampak bersedih hati.
"Mungkin ia rindu akan rumahnya," pikir Darrell.
Ia pun berpikir akan rumahnya sendiri. Tetapi ia mengerti tak ada perlunya ia
bersedih hati. Lagi pula banyak yang diharapkannya dari sekolah ini, hingga ia
takkan sempat bersedih. Ia telah bertekad dari semula untuk bersenang-senang di
sekolah ini, untuk menyukai apa saja yang ada.
Ibu Asrama masuk. Ia memeriksa setiap tempat tidur. Beberapa orang anak sudah
tertidur, kelelahan. Ibu Asrama terus memeriksa seluruh kamar itu. Membetulkan
letak selimut di sini. Mematikan air yang masih menetes di keran. Menutup tiraitirai di jendela-jendela sebab saat itu di luar langit masih terang.
"Selamat malam," katanya akhirnya. "Selamat tidur. Tak boleh ada yang bersuara
lagi." "Selamat malam, Ibu!" beberapa orang anak yang belum tidur membalas. Darrell
mengintai dari balik tirainya, ingin melihat apakah Ibu Asrama itu tersenyum.
Ternyata Ibu Asrama melihat wajah Darrell di tirai dan tersenyum. "Tidurlah
dengan nyenyak," katanya, dan ia pun keluarlah tanpa bersuara lagi.
Semuanya berusaha untuk segera tidur. Kecuali Gwendoline. Ia malah berusaha
untuk tetap bangun. Apa kata ibunya tadi" "Kau pasti akan merasa sedih malam
ini, Sayang. Aku tahu. Tapi kuatkanlah hatimu...."
Karena ibunya berkata begitu, maka Gwendoline memutuskan untuk bersedih hati.


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi matanya rasanya tak bisa dibuka terus. Tak lama Gwendoline juga tertidur
nyenyak seperti yang lain. Di rumahnya, ibu Gwendoline mengusap air mata dan
berkata, "Kasihan sekali si Gwen. Mestinya ia tak usah kukirim begitu jauh
dariku. Aku yakin saat ini ia tak bisa tidur dan menangis terus sepanjang
malam." Nyatanya Gwendoline tidur tenang, malah tersenyum saat ia bermimpi menjadi ratu
dari semua anak-anak di sekolah ini, menjadi juara kelas, dan menjadi juara
dalam segala cabang olahraga yang ada.
Pagi harinya, suara lonceng yang keras membangunkan semua isi asrama. Sesaat
Darrell tak tahu ia berada di mana. Kemudian didengarnya suara Alicia berseru,
"Bangun! Bangun! Pemalas! Kalian harus merapikan tempat tidur sebelum sarapan!"
Darrell melompat turun dari tempat tidurnya. Sinar matahari memasuki kamar,
sebab Katherine sudah membuka tirai jendela. Anak-anak mulai ramai berbicara.
Bergantian mereka menggunakan tempat cuci muka. Darrell bergegas memakai seragam
yang disukainya itu, blus putih dan rok cokelat dengan ikat pinggang merah muda,
seperti juga kawan-kawannya. Disikatnya rambutnya ke belakang, dan dipasangnya
dua buah jepit rambut agar rambut tersebut tetap rapi. Gwendoline membiarkan
rambutnya terurai lepas di bahunya.
"Kau tak boleh mengatur rambutmu seperti itu," kata Alicia. "Paling tidak di
sekolah ini kau tak boleh."
"Tetapi aku selalu mengaturnya seperti ini," kata Gwendoline. Wajahnya yang
cantik itu tampak menunjukkan kekeraskepalaan.
"Mukamu jadi tak keruan karenanya," kata Alicia.
"Tidak!" tukas Gwendoline. "Kau berkata begitu karena rambutmu pendek dan
kasar!" Alicia mengejapkan mata pada Katherine yang mendatangi mereka. "Biarkan
Gwendoline sayang memamerkan rambutnya yang panjang dan lembut bagai sutra itu,"
katanya. "Nona Potts akan sangat gembira melihatnya nanti."
"Guru pribadiku. Nona Winters, suka sekali melihat rambutku begini," kata
Gwendoline tampak gembira.
"Oh, jadi kau tak pernah bersekolah sebelum ini?" tanya Alicia. "Hanya guru
pribadi yang mengajarmu" Pantas!"
"Pantas apa?" tanya Gwendoline ketus.
"Tak apa. Bisa kauketahui sendiri nanti," kata Alicia. "Siap, Darrell" Itu gong
sarapan. Rapikan sepraimu. Gwendoline, lipat baju tidurmu. Lihat Sally itu anak baru tapi begitu rapi tanpa harus diberi tahu lagi."
Sally tersenyum kecil. Ia hampir tak pernah berkata-kata. Bukan karena malu,
tetapi memang pendiam dan agaknya sudah banyak mengerti akan tugas yang harus
dilakukannya walaupun ia anak baru. Darrell heran juga melihat hal itu. Mereka
semua pergi ke ruang makan. Meja panjang di situ sudah siap. Beberapa anak telah
duduk dan menyapa Kepala Asrama dengan sopan. Ibu Asrama juga sudah ada di situ.
Dan tampak pula seorang dewasa yang belum dikenal Darrell.
"Itu Mam'zelle Dupont," bisik Alicia. Mam'zelle adalah singkatan dari kata
Prancis untuk 'nona'. "Di Malory Towers ini ada dua orang guru bahasa Prancis.
Yang satu gendut dan periang, yang satu kurus dan selalu bermuka masam. Untuk
semester ini kita memperoleh yang gendut dan periang. Tapi kedua guru itu sangat
pemarah. Mudah-mudahan saja bahasa Prancismu cukup bagus."
"Wah, bahasa Prancisku tak begitu baik," kata Darrell kuatir.
"Mam'zelle Dupont membenci Mam'zelle Rougier. Dan Mam'zelle Rougier membenci
Mam'zelle Dupont," Alicia berbisik lagi. "Kadang-kadang mereka bertengkar ramai.
Sering Ibu Asrama terpaksa dipanggil untuk meleraikan mereka."
Mata Darrell terbelalak heran. Katherine yang duduk di seberang meja darinya
tertawa. "Jangan percaya semua kata-kata Alicia," katanya. "Lidahnya kadangkadang tak bisa diatur. Sampai saat ini kami belum pernah menyaksikan kedua
Mam'zelle itu bertarung."
"Ah, suatu saat itu pasti terjadi," kata Alicia. "Dan aku ingin menyaksikannya."
Mam'zelle Dupont bertubuh pendek, gemuk, dan bundar. Rambutnya digelung tinggi
di puncak kepalanya. Matanya yang hitam kecil tak pernah berhenti bergerak Ia
memakai gaun hitam yang sangat pas untuk dirinya. dan sepatu hitam di kakinya
yang kecil. Ia rabun dekat tetapi tak mau memakai kaca mata biasa. Untuk melihat, ia memakai
sebangsa kaca mata yang tidak diselipkan di telinga, tetapi bergagang panjang
dan harus dipegang dengan tangan. Benda ini dinamakan lorgnette, dan bila tak
digunakan tergantung dengan pita hitam di lehernya.
Alicia pandai sekali menirukan gerak-gerik orang. Anak-anak di sekitarnya
tertawa tergelak-gelak melihat ia menirukan gaya Mam 'zelle Dupont melihat
sesuatu dari dekat dengan mempergunakan lorgnette-nya. Tetapi seperti anak lain.
Alicia juga takut dan segan pada Mam'zelle Dupont dan berusaha untuk tidak
membuatnya marah. "Anak-anak baru harus menghadap Kepala Sekolah setelah makan pagi," Nona Potts
mengumumkan. "Ada tiga orang di kelas satu, dua orang di kelas dua. dan seorang
di kelas empat. Semuanya boleh menghadap bersama-sama, kemudian bergabung dengan
murid-murid lain di ruang pertemuan untuk acara Doa Bersama. Pamela , kau
bertugas mengantarkan anak-anak baru itu ke Kepala Sekolah."
Pamela . ketua murid dari Menara Utara. bangkit. Anak-anak baru juga berdiri. di
antaranya Darrell. Mereka mengikuti Pamela . Pamela membawa mereka ke pintu yang
menuju Taman Dalam kemudian memasuki sebuah pintu di bagian gedung yang
menghubungkan Menara Utara dengan Menara Timur. Di tempat itulah kantor Kepala
Sekolah dan san. - singkatan dari sanatorium, tempat anak-anak yang sakit
beristirahat. Mereka sampai ke sebuah pintu yang bercat krem tua. Pamela mengetuk pintu itu
Sebuah suara rendah terdengar dari dalam. "Masuklah."
Pamela membuka pintu. "Saya mengantarkan anak-anak baru, Nona Grayling."
katanya. "Terima kasih, Pamela," kata suara rendah itu.
Dan kini Darrell melihat wanita berambut putih sedang menghadap meja, menulis.
Wajahnya tenang, tanpa keriput sedikit pun. Matanya biru jernih, dan bibirnya
membayangkan kekerasan hati. Darrell merasa takut juga menghadapi Kepala Sekolah
dengan suara rendah ini. Mudah-mudahan ia takkan pernah harus ditegur langsung
olehnya! Anak-anak baru itu berdiri berbaris di depan Kepala Sekolah. Nona Grayling
memperhatikan mereka satu per satu. Darrell merasa wajahnya memerah, entah
kenapa. Kakinya terasa lemas juga. Mudah-mudahan Nona Grayling tidak mengajukan
suatu pertanyaan pun padanya. Pasti ia takkan mampu menjawab pertanyaan
tersebut. Nona Grayling bertanya nama-nama mereka, serta berbicara beberapa kalimat dengan
setiap anak yang ditanyainya. Kemudian dengan nada bersungguh-sungguh, ia
berbicara pada mereka semua,
"Suatu hari nanti, kalian akan meninggalkan sekolah ini, memasuki kehidupan
sebagai seorang wanita muda. Kalian harus membekali diri dengan kecerdasan otak,
kelembutan hati, dan kemauan untuk membantu sesamamu. Kalian harus membekali
diri dengan pengertian yang mendalam tentang banyak hal, dengan kemauan untuk
menerima tanggung jawab, serta menampilkan diri sebagai wanita yang patut
dicintai dan dipercaya. Semua ini bisa kalian pelajari di Malory Towers - kalau
saja kalian memang bertekad untuk mempelajarinya. Kami sama sekali tidak
menganggap kemampuan murid-murid untuk memenangkan bea siswa, gelar, atau lulus
berbagai ujian sebagai tanda keberhasilan kami. Yang kami anggap berhasil adalah
bila bekas murid kami tampil sebagai wanita yang lembut hati, cerdas, dipercaya,
berpikiran matang... seseorang yang bisa jadi andalan orang-orang di
sekelilingnya. Aku menganggap sekolah kita gagal bila ada seseorang yang tak
mempelajari sifat-sifat baik itu di sini."
Semua ini diucapkan dengan begitu bersungguh-sungguh sehingga Darrell tak berani
bernapas. Saat itu ia juga bertekad untuk menjadi salah satu lulusan Malory
Towers yang betul-betul berhasil.
"Ada di antara kalian yang dengan mudah bisa menguasai hal-hal yang kusebutkan
tadi, ada juga yang harus belajar keras untuk menguasainya. Mudah ataupun sulit,
kalian wajib mempelajarinya. Sebab hanya dengan begitulah kalian bisa bahagia
kelak bila meninggalkan sekolah ini, dan bisa menularkan kebahagiaan itu pada
orang-orang di sekitar kalian."
Nona Grayling berhenti sejenak. Kemudian ia berbicara lagi dengan nada lebih
ringan, "Kalian akan memperoleh banyak sekali dengan tinggal di Malory Towers
ini. Bertekadlah untuk memberikan banyak pula pada sekolah ini, dalam arti
membuat diri kalian berhasil seperti yang kukatakan tadi."
"Oh!" tak sadar Darrell berseru, lupa bahwa tadi ia yakin ia takkan berani
bersuara. "Tepat seperti itulah kata Ayah padaku saat aku akan berangkat kemari,
Nona Grayling." "Betulkah ?" Nona Grayling tersenyum dengan mata cemerlang pada gadis cilik ini.
"Nah, kalau orang tuamu sudah berpikiran seperti itu, maka kukira kau pastilah
salah satu yang beruntung akan bisa belajar apa saja di sini dengan lebih mudah.
Mungkin suatu hari Malory Towers bisa berbangga karena mempunyai murid engkau."
Ia berbicara beberapa lama lagi. kemudian anak-anak itu diperkenankan pergi.
Sangat terkesan akan kata-kata tadi, mereka tanpa bersuara meninggalkan kamar
itu. Bahkan Gwendoline juga tak mengucapkan sepatah kata pun. Apa pun yang kelak
akan terjadi, saat itu masing-masing berjanji dalam hati untuk berusaha sebaik
mungkin belajar di Malory Towers. Apakah janji itu terbukti atau tidak, itu
sangat tergantung pada masing-masing anak.
Mereka kemudian pergi ke ruang pertemuan, bergabung dengan seluruh murid sekolah
itu untuk acara Doa Bersama. Mereka semua menunggu kedatangan Nona Grayling di
panggung. Tak lama suara lagu pujian terdengar di ruang itu. Hari pertama semester itu
mulai. Darrell bernyanyi dengan sepenuh hati, hati yang riang dan bahagia.
Betapa banyaknya yang bisa diceritakannya pada ibunya nanti.
4. KELAS NONA POTTS SELURUH murid Malory Towers tiap pagi berkumpul di ruang pertemuan untuk berdoa
bersama. Murid-murid itu berkumpul menurut kelasnya. bukan menurut asramanya.
Darrell memperhatikan anak-anak yang sekelas dengannya. Betapa banyaknya!
Mungkin dua puluh lima atau tiga puluh orang. Nona Potts, kepala asramanya,
ternyata adalah juga wali kelas satu. Di situ juga tampak Mam'zelle Dupont,
bernyanyi dengan penuh semangat. Dan guru di sebelahnya itu pastilah Mam 'zelle
satunya. Sama-sama guru Prancis, tetapi alangkah berbedanya!
Yang ini tinggi, jangkung, kurus. Rambutnya juga digelung, tetapi bukan di atas
kepala, melainkan di belakang kepala. Menurut pandangan Darrell, guru ini memang
pemarah. Alicia bercerita siapa guru-guru lainnya. "Itu guru sejarah, Nona Carton - yang
di sana itu, yang memakai leher baju tinggi dan kaca mata dengan penjepit
hidung. Ia sangat pandai, tetapi suka menyindir kalau ada yang lemah dalam
sejarah. Dan itu guru kesenian, Nona Linnie. Ia sangat baik, sangat ramah."
Darrell berharap akan banyak berjumpa dengan Nona Linnie nanti, kalau ia betulbetul seramah seperti kata Alicia. Memang guru kesenian itu tampak menyenangkan.
Wajahnya manis, muda, rambutnya merah ikal.
"Dan itu guru musik, Pak Young. Kau lihat dia" Dia aneh. Kalau sedang baik, baik
sekali. Kalau sedang jahat, jahat sekali. Kami selalu bingung menentukan sedang
bagaimana dia bila mengajar kami."
Ibu-ibu Asrama juga ikut dalam acara Doa Bersama Darrell melihat Ibu Asrama,
seperti biasa mengerutkan kening seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Alicia
mulai berbisik lagi. "Dan itu..." Mata Nona Potts melirik ke arahnya. Alicia langsung tutup mulut dan menekuni
buku nyanyian pujaannya. Nona Potts sama sekali tak menyukai anak-anak yang suka
berbisik-bisik, terutama saat berdoa bersama.
Pembacaan doa selesai, murid-murid pergi ke kelas masing-masing. Kelas-kelas ini
berada di bagian gedung yang berada di sisi sebelah barat. Gedung ini segera
terisi oleh suara hiruk-pikuk tawa riang anak-anak itu. Jika sedang berada di
gang-gang yang menuju kelas-kelas tersebut, memang tak ada yang mengharuskan
anak-anak itu untuk berdiam diri.
Anak-anak kelas satu menempati ruangan yang jendelanya menghadap ke laut. Sebuah
ruang besar, dengan meja guru di bagian depan dan beberapa lemari di bagian
belakang. Meja dan kursi untuk murid-murid diatur dengan rapi.
"Cup! Ini mejaku!" Seorang anak bertubuh gemuk langsung duduk di meja yang
dipilihnya, dekat jendela.
"Aku cup yang ini!" Gwendoline ikut-ikut, menduduki meja dekat jendela lainnya.
Anak gemuk tadi mengawasi Gwendoline dengan rasa heran.
"Kau anak baru, kan?" tanyanya kemudian. "Nah, kau tak berhak memilih tempat
dudukmu. Anak baru tinggal menduduki kursi yang tersisa setelah dipilih oleh
anak-anak lama." Muka Gwendoline merah padam. Dikibaskannya rambut keemasannya dan ia merengut
berdiri. Ia tetap berdiri di samping meja yang dipilihnya. Tak berani duduk,
tetapi malu untuk meninggalkannya. Seorang anak bertubuh kecil tetapi kuat
mendorongnya ke pinggir, langsung duduk di meja itu.
"Aku ambil meja ini!" kata anak itu. "Hai, Rita, bagaimana liburanmu" Nggak enak
ya berada di kelas Potty lagi?"
Darrell berdiri menunggu sampai dilihatnya semua anak - kecuali dirinya, Sally,
dan Gwendoline, serta dua atau tiga orang anak baru lainnya - sudah duduk.
Kemudian ia menyelinap di antara kursi dan meja, untuk duduk di tempat duduk di
samping Alicia. Sungguh untung tempat tersebut masih kosong. Alicia sedang asyik
berbicara dengan anak di meja sebelahnya. Mereka tampaknya sangat akrab.
Kemudian ia berpaling pada Darrell. "Darrell, ini sahabatku, Betty Hills. Kami
selalu duduk berdampingan. Sayang sekali ia tinggal di Menara Barat."
Darrell tersenyum pada Betty. Betty anak yang lincah, dengan mata cokelat yang
nakal dan rambut yang sebagian terjurai menutupi dahi. Darrell menyukai anak
ini, tetapi sayang sekali Alicia telah bersahabat dengan Betty. Tadinya Darrell
berharap Alicia mau jadi sahabat akrabnya. Darrell tak begitu berminat untuk
bersahabat dengan Sally ataupun Gwendoline.
"Sssh!" kata anak yang duduk dekat pintu. "Potty datang!"
Langsung sunyi di kelas itu. Semua berdiri tegap, menghadap lurus ke depan.
Terdengar langkah ringan - tapi cepat - wali kelas mereka itu. Nona Potts masuk
ke dalam ruangan, mengangguk pada semua anak dan berkata, "Kalian boleh duduk."
Semua duduk. Menunggu dalam sunyi. Nona Potts mengeluarkan daftar nama,
mengabsen mereka, dan mencatat adanya anak-anak baru dari asrama lain. Kemudian
ia berdiri menghadap murid-murid kelasnya yang sunyi menunggu.
"Semester musim panas selalu merupakan semester yang paling menyenangkan,"
katanya. "Kalian akan bisa berenang, main tenis, piknik, dan jalan-jalan. Tetapi
jangan keliru menyimpulkan bahwa semester musim panas itu hanya untuk bersenangsenang. Sama sekali bukan. Dalam semester ini kalian juga harus kerja keras. Di
antara kalian ada yang harus menempuh ujian pada semester berikut. Kalau di
semester ini kalian kerja keras, maka ujian itu akan terasa ringan. Kalau tidak,
yah aku yakin akan banyak yang mengeluh dan mengaduh!"
Ia berhenti sejenak. Kemudian menatap tajam pada dua-tiga orang anak. "Semester
yang lalu ada satu-dua orang anak yang agaknya cukup kerasan di urutan terbawah
setiap minggu," katanya. "Aku harap pada semester ini anak-anak tersebut mau
merelakan tempat itu pada anak-anak baru, dan berusaha keras untuk naik tingkat.
Terus terang aku tak begitu mengharapkan anak-anak baru untuk langsung menempati
tempat yang lumayan. Tapi kalau anak lama sampai tetap berada di tingkat
terbawah... yah, itu namanya keterlaluan!"
Beberapa orang anak merah padam mukanya.
Nona Potts melanjutkan pembicaraannya, "Aku yakin di semester ini semua punya
otak cukup cerdas," katanya, "walaupun aku masih ragu tentang anak-anak baru.
Kalau ada yang tak punya otak dan berada di tingkat terendah, itu wajar. Tetapi
kalau kalian punya otak dan berada di tempat itu, nah, terpaksa kalian harus
berhadapan dengan aku. Dan kalian tahu apa itu artinya, bukan ?"
"Ya!" beberapa orang anak menjawab penuh semangat. Nona Potts tersenyum.
Wajahnya sesaat berseri. "Nah, setelah kuucapkan ancaman-ancaman itu, kini mari
kita lanjutkan. Ini adalah daftar apa saja yang harus kalian miliki. Kalau ada
di antara kalian yang ternyata tak memiliki barang-barang yang ditulis di sini,
maka pergilah ke Katherine. Mintalah barang itu di akhir pelajaran nanti. Aku
akan memberi waktu sepuluh menit untuk itu."
Pelajaran pun berlangsung. Matematika. Nona Potts membagikan kertas ulangan
untuk melihat sampai tingkat mana pelajaran anak-anak baru, dan untuk melihat
apakah isi kelas itu bisa dianggap satu tingkat. Darrell merasa soal yang harus
dibuatnya cukup mudah, tetapi terdengar Gwendoline berkeluh kesah. Rambut
panjangnya terurai sampai ke meja.
"Kenapa, Gwendoline?" tanya Nona Potts tajam.
"Guru pribadiku, Nona Winters, belum pernah mengajariku menyelesaikan soal
seperti ini." rengek Gwendoline. "Caranya menulis soal juga berbeda."
"Kau harus belajar untuk menerima caraku," kata Nona Potts. "Dan Gwendoline,
mengapa rambutmu tak kaurapikan pagi ini?"
"Sudah!" kata Gwendoline heran, mengangkat muka. "Aku telah menyikatnya baikbaik, sampai hitungan... "
"Aku tak ingin mengetahui sampai hitungan berapa," tukas Nona Potts. "Kau tak
boleh masuk ke kelas dengan rambut terurai seperti itu. Kepanglah nanti waktu


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istirahat!" "Dikepang!" seru Gwendoline ngeri, sehingga semua tertawa. "Tetapi aku tak
pernah..." "Cukup," kata Nona Potts. "Kalau kau tak tahu cara mengepang rambutmu, mungkin
ibumu harus memotongnya pendek-pendek nanti."
Gwendoline begitu ketakutan, hingga susah bagi Darrell untuk menahan tawanya.
"Puas kau!" bisik Alicia, begitu Nona Potts membelakangi mereka untuk menulis
sesuatu di papan tulis. Gwendoline dengan marah mencibir padanya. Tak mungkin
ibunya mau memotong rambutnya yang begitu indah. Bahkan beliau pasti takkan
mengizinkannya mengepang rambut itu. rapi kini ia harus! Padahal ia tak tahu
cara mengepang rambut. Gwendoline begitu merana rasa hatinya, hingga hampir
semua pertanyaan yang diajukan padanya tak bisa dijawabnya.
Pelajaran berlangsung terus. Waktu istirahat tiba, anak-anak berhamburan keluar
untuk bermain di mana pun yang mereka sukai. Ada yang bermain tenis di salah
satu dari sekian banyak lapangan tenis yang ada. Ada yang berjalan-jalan saja.
Ada yang duduk-duduk di Taman Dalam. Darrell sesungguhnya ingin bermain dengan
Alicia, tetapi Alicia agaknya sedang asyik bermain dengan Betty. Mereka pasti
takkan senang bila ia ikut. Terpaksa Darrell mencari-cari siapa yang bisa
diajaknya bermain. Dua di antara anak-anak baru agaknya telah bersahabat.
Seorang anak baru lagi punya saudara sepupu, dan mereka pergi bermain berdua.
Gwendoline entah pergi ke mana, mungkin mengepang rambutnya. Tinggal Sally Hope.
Di mana dia" Ternyata Sally duduk sendiri di rumput. Wajahnya tak membayangkan perasaan apa
pun. Darrell mendekatinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Malory Towers?"
tanyanya. "Aku menyukai keadaan di sini."
"Lumayan," jawab Sally singkat.
"Apakah kau menyesal meninggalkan sekolahmu yang dulu?" tanya Darrell lagi. "Aku
memang ingin kemari, tetapi sedih juga meninggalkan kawan-kawanku yang dulu. Kau
pasti juga berat meninggalkan kawan-kawanmu, kan?"
"Aku tak punya kawan," kata Sally. Aneh sekali anak ini, pikir Darrell. Rasanya
sulit untuk diajak berbicara. Ia selalu dengan sopan menjawab setiap pertanyaan,
tetapi tidak balas bertanya, sehingga percakapan terpaksa berhenti.
"Mudah-mudahan aku tak terpaksa bersahabat dengannya," pikir Darrell. "Wah, itu
Gwendoline. Apakah itu yang dikiranya mengepang rambut" Tampaknya rambutnya
telah berubah." "Apakah rambutku sudah rapi?" tanya Gwendoline dengan lagu mohon dikasihani.
"Telah kucoba mengepangnya. Sungguh jahat Nona Potts memaksaku mengepang
rambutku ini. Aku selalu membiarkannya terurai. Kurasa aku takkan menyukai guru
yang satu itu." "Mari kutolong mengepang rambutmu," kata Darrell berdiri. "Agaknya kau tak tahu
cara mengepang rambut, Gwendoline."
Dengan cekatan Darrell mengepang rambut keemasan itu. Cepat sekali selesai.
Membentuk kepangan yang panjang dan ujungnya diikatnya dengan seutas pita kecil.
"Selesai sudah," kata Darrell, memutar Gwendoline untuk melihatnya dari depan.
"Kau tampak lebih manis."
Gwendoline cemberut dan lupa untuk berterima kasih pada Darrell. Sesungguhnya ia
memang lebih manis kini. "Betapa manjanya dia," pikir Darrell. "Aku tak ingin
bersahabat dengan Sally, apalagi dengan Gwendoline. Sepatutnya dia kutampar saja
untuk kecongkakannya ini!"
Lonceng berbunyi. Anak-anak berlarian ke kelas masing-masing. Darrell juga
berlari. Ia sudah tahu di mana kelasnya, dan ia sudah kenal beberapa orang teman
sekelasnya. Tak lama ia akan merasa kerasan di Malory Towers ini.
5. MINGGU PERTAMA BERLALU
DARRELL memang segera merasa mapan di Malory Towers. Ia telah mengenal nama-nama
tidak saja murid-murid kelas satu di Menara Utara, tetapi bahkan seluruh murid
yang ada di asrama itu. Dari ketua murid, Pamela , sampai murid termuda nomor
dua, Mary-Lou. Yang termuda di Menara Utara ternyata Darrell sendiri. Tetapi
sering ia merasa bahwa si Kecil Mary-Lou jauh lebih muda dari dirinya.
Mary-Lou sangat penakut. Ia takut pada tikus kumbang, petir, suara-suara di
malam hari, kegelapan, dan ratusan hal lainnya lagi. Kasihan sekali Mary-Lou.
Tak heran matanya begitu besar karena terbiasa membelalak ketakutan. Darrell
yang jarang takut pada apa pun, sering tertawa melihat tingkah Mary-Lou. Seekor
kumbang kecil saja bisa membuat Mary-Lou lari tunggang-langgang.
Ada sepuluh anak di asrama kelas satu di Menara Utara. Katherine, kepala kamar
merangkap ketua kelas. Alicia yang berlidah tajam dan bertabiat amat kocak
Kemudian Darrell, Gwendoline, dan Sally. Ketiganya anak baru. Setelah itu MaryLou dengan matanya yang besar ketakutan. serta siap untuk melompat mundur kapan
saja. Lalu Irene, seorang anak yang sangat pandai, terutama dalam matematika dan
musik. Ia selalu berada di urutan pertama dalam pelajaran - tetapi, oh, betapa
tololnya ia untuk hal-hal di luar pelajaran! Kalau ada yang bukunya hilang,
pasti Irene. Kalau ada yang salah masuk kelas, pastilah Irene. Sekali pernah ia
memasuki ruang kesenian, mengira akan ada pelajaran melukis. Setengah jam ia
sendirian menunggu di tempat itu. Tak ada yang mengerti, mengapa Irene tidak
merasa heran bahwa kawan-kawan sekelasnya tak muncul di ruangan itu.
"Bagaimana kau bisa enak-enak duduk sendirian di sana, tanpa berpikir mengapa
anak lain tak ada yang datang?" tanya Katherine heran. "Apa yang sedang
kaupikirkan, Irene?"
"Oh, aku sedang memikirkan suatu soal matematika yang baru saja diberikan Nona
Potts pada kita," kata Irene, dengan mata bersinar dari balik kaca matanya yang
besar. "Soal yang sangat menarik. dan ada dua atau tiga cara untuk
menyelesaikannya. Pertama..."
"Oh, jangan bercerita tentang matematika lagi di luar kelas!" keluh Alicia.
"Irene, kau betul-betul sinting!"
Tetapi Irene sama sekali waras. Ia hanya sangat pandai dan rajin. Otaknya selalu
mengerjakan suatu persoalan rumit, sehingga lupa akan persoalan kecil yang
sedan9 dihadapinya. Dan dia juga sangat suka lelucon. Jika ia merasa ada sesuatu
yang lucu, maka tawanya akan meledak begitu keras dan tiba-tiba, sehingga seisi
kelas terkejut. Bahkan Nona Potts pernah terlompat karena tawa Irene yang begitu
mendadak dan keras itu. Alicia-lah yang paling suka membuat Irene tertawa,
mengacaukan seluruh kelas.
Ketiga orang anak lainnya adalah: Jean, seorang anak periang, cerdik dan cerdas,
paling pandai memegang uang untuk keperluan sekolah; Emily, seorang anak.
pendiam dan rajin, pandai merajut, dan karenanya disukai Mam'zelle; Violet.
pemalu, pendiam sering tidak diajak dalam berbagai hal, karena memang tak
tertarik untuk melakukan apa saja, dan sering anak-anak tak pernah sadar apakah
Violet ada bersama mereka atau tidak.
Itulah kesepuluh anak yang ada di kamar itu. Darrell merasa ia telah mengenal
teman-temannya itu bertahun-tahun - padahal sesungguhnya baru beberapa hari
saja. Ia sudah tahu benar bahwa kaus kaki Irene selalu turun. Ia tahu cara Jean
berbicara dengan aksen Skotsnya yang khas, pendek dan tajam. Ia tahu mengapa
Mam'zelle tidak suka pada Jean, yaitu karena Jean tidak suka pada orang yang
terlalu menunjukkan perasaan hatinya. Jean sendiri tak pernah menunjukkan
kegembiraan yang berlebihan pada apa saja.
Darrell sudah hafal akan kebiasaan Gwendoline untuk selalu berkeluh kesah,
kebiasaan Mary-Lou untuk langsung menjerit ketakutan. Ia menyukai suara
Katherine yang tegas mantap, serta kemampuannya untuk bisa menanggulangi apa
saja. Ia tahu banyak tentang Alicia. tetapi itu tidak aneh sebab Alicia tak
pernah berhenti berbicara tentang apa saja - saudaranya, ibunya, ayahnya,
anjingnya, pekerjaannya. pendapatnya tentang berbagai hal dan siapa saja.
Alicia sama sekali tak suka pada basa-basi sopan santun palsu, keluhan, atau
pujian yang tak perlu. Ia selalu berterus terang seperti Darrell Tetapi kalau
Darrell masih berlembut hati, maka Alicia tak tanggung-tanggung pedas katakatanya. Ketajaman lidahnya membuat anak seperti Gwendoline benci padanya,
sementara yang penakut seperti Mary-Lou sangat takut padanya. Tapi Darrell
sangat suka pada Alicia. "Ia begitu lincah," kata Darrell dalam hati "Rasanya tak pernah bosan dengan
Alicia berada di dekat kita. Kalau saja pribadiku bisa menari seperti dia! Semua
mendengarkan apa yang dikatakannya, bahkan bila ia mengatakan sesuat yang kejam.
Sebaliknya, tak ada yang memperhatikan kata-kataku. Aku menyukai Alicia. Sayang
ia sudah bersahabat akrab dengan Betty. Aku sesungguhnya akan memilihnya sebagai
sahabat akrab." Darrell agak lama berkenalan dengan kawan-kawan sekelasnya yang tinggal di
asrama lain. Ia hanya bertemu dengan mereka di kelas atau waktu bermain. Tetapi
tidak di ruang rekreasi atau asrama, sebab mereka punya ruang rekreasi sendiri
di asrama mereka - padahal di ruang ini atau di kamarlah perkenalan mereka bisa
lebih akrab. Tetapi untuk permulaan, rasanya cukup bila mengenal baik-baik
kawan-kawan seasrama dulu pikir Darrell. '
Ia tak begitu mengenal murid-murid yang kelasnya lebih tinggi darinya, sebab
mereka tak dijumpainya di kelas. Mereka hanya dilihatnya saat Doa Bersama. Atau
bila Pak Young, guru musik, mengadakan latihan nyanyi bersama yang melibatkan
beberapa kelas. Atau bila ia bertemu dengan mereka di lapangan tenis, atau kolam
renang. Tentu saja banyak yang didengarnya tentang anak-anak yang lebih besar itu. Di
antara mereka yang tinggal di Menara Utara, ia mengenal sedikit tentang Marilyn,
ketua seksi olahraga sekolah itu. MarilYn sangat disukai murid-murid lain. "Ia
selalu berlaku adil dan mau membuang waktu untuk mengajari anak-anak lain,
bahkan anak-anak kelas satu," kata Alicia. "Ia sama pandainya dengan Remmington,
guru olahraga itu, tetapi jauh lebih pandai mengajar kukira. Remmington selalu
tak sabaran bila mengajar pemula. Marilyn tidak. Bahkan anak yang paling tolol
sekalipun diperhatikannya benar-benar."
Tentang Pamela , tentu saja semua anak kenai dan menghormatinya. Ia begitu
berwibawa, pandai, dan bahkan menurut kabar ia telah menulis sebuah buku. Ini
membuat anak-anak kelas satu begitu kagum! Membuat karangan pendek saja sudah
begitu sukar, apalagi menulis buku!
Ada dua orang lagi yang terkenal karena tak disukai - Doris dan Fany. "Mereka
sudah keterlaluan, tak bisa diomongkan lagi," kata Alicia yang selalu siap
menyatakan pendapat tentang siapa saja, dari Winston Churchill sampai ke anak
tukang masak di asrama. "Mereka terlalu fan."
"Apa maksudmu... fan itu?" tanya Gwendoline yang agaknya tak pernah mendengar
kata, itu. "Wah, sungguh ketinggalan zaman kau!" kata Alicia ketus. "Fan, artinya fanatik.
Keterlaluan taat pada agama hingga malahan kelewat batas. Mereka mengira hanya
mereka sendiri yang baik, orang lain tidak. Mereka selalu menghalang-halangi
orang lain bersenang-senang. Sungguh memuakkan pasangan itu. Selalu menunggu
sampai ada orang yang berbuat salah! Mereka tak segan-segan membuntuti dan
mengintai. Pernah suatu malam aku menyelinap ke luar dan pergi menyeberangi
Taman Dalam untuk menemui Betty di Menara Barat yang sedang mengadakan pesta
tengah malam. Doris melihatku' keluar, dan jendelanya, dan ia bersembunyi di
bilik tempat sepatu untuk menungguku pulang."
"Apakah ia berhasil menangkapmu?" tanya Mary-Lou dengan mata membesar ketakutan.
"Tentu saja tidak! Kaupikir apa aku ini?" kata Alicia dengan nada mengejek. "Aku
menduga ia bersembunyi di dalam bilik sepatu itu... dan kukunci pintu bilik itu
dari luar!" Irene tiba-tiba tertawa dengan tawanya yang begitu khas, meledak, membuat anakanak lain terlompat terkejut. "Jalan pikiranmu selalu tak bisa kuikuti, Alicia,"
katanya. "Tak heran kedua orang itu selalu melotot padamu setiap bertemu pada
acara Doa Bersama. Aku yakin mereka selalu mengawasimu kini, menunggu sampai kau
lengah dan berbuat suatu kesalahan."
"Aku pasti bisa mengatasi mereka," kata Alicia tegas. "Kalau mereka menjebakku,
maka aku akan membalas dengan jebakan yang lebih kejam lagi!"
"Oh, ayolah sekali-sekali jebak mereka!" pinta Darrell yang sangat gemar akan
lelucon dan muslihat Ia sendiri tak berani memasang muslihat pada siapa pun,
tetapi ia selalu bersedia membantu kalau ada orang ingin menjebak orang lain.
Darrell kini juga telah mengenal kelas-kelas yang harus dikunjunginya. Ruang
kesenian yang begitu terang dengan cahaya dari luar. Laboratorium yang belum
pernah dimasukinya, tapi sedikit menakutkan dirinya. Ruang senam dengan berbagai
peralatannya - ayunan, tali untuk memanjat, balok 10m pat, kasur untuk alas
berguling. Darrell sangat menyukai senam dan selalu memperoleh angka cukup bagus
dalam olahraga. Seperti Alicia juga, yang lincah bagaikan monyet dan kuat bagai
kuda. Lain dari Mary-Lou yang takut berbuat apa saja, kecuali bila dipaksa.
Rasanya menyenangkan. Tidur bersama di satu kamar, kemudian bersekolah di gedung
yang sangat dekat dengan tempat mereka tinggal, juga bersama-sama. Darrell kini
tahu di mana guru-guru tinggal yaitu di bagian gedung yang menghadap ke selatan,
kecuali beberapa guru yang tinggal di asrama untuk mengawasi murid-murid itu,
seperti Nona Potts dan Mam'zelle. Aneh kini bila ia memikirkan betapa bingungnya
waktu ia pertama kali tiba di sekolah ini. Kini ia merasa dirinya bukan murid
baru lagi. Salah satu yang paling disukai Darrell adalah kolam renang besar yang terletak
di pinggir pantai. Kolam tersebut di gali di batu-batu karang tepi pantai dan
dasarnya dibiarkan tetap berbatu-batu karang tidak rata. Juga tepinya berlumut,
bahkan kadang-kadang bagian dasarnya licin pula oleh lumut Tapi tiap hari bila
air pasang, air laut menyerbu masuk ke dalam kolam tersebut, membuat air kolam
bergelombang. Sungguh menyenangkan berenang-renang di tempat itu.
Pantai lautnya sendiri terlalu berbahaya untuk tempat mandi. Ombaknya terlalu
besar dan kuat Anak-anak dilarang berenang di laut ini. Di dalam kolam semua
aman. Salah satu ujung kolam dibuat cukup dalam hingga bisa untuk terjun dari
papan loncat yang tinggi. Di situ juga ada tempat luncur serta papan loncat yang
lebih rendah. Mary-Lou dan Gwendoline takut pada kolam renang ini. Mary-Lou karena takut pada
air, Gwendoline karena takut pada rasa dingin yang langsung menggigit bila ia
masuk air untuk pertama kalinya. Mata Alicia selalu bersinar nakal setiap
melihat Gwendoline berdiri menggeletar kedinginan. Dan anak manja ini kerap
sekali tiba-tiba mendapat suatu dorongan, hingga mau tak mau ia harus masuk
kolam. Karena itu kini setiap kali dilihatnya Betty atau Alicia datang, cepatcepat ia memaksa diri untuk masuk ke kolam.
Minggu pertama terasa berlalu begitu lambat Banyak sekali yang harus dipelajari
dan diketahui. Segalanya begitu asing dan menyenangkan. Tetapi Darrell merasa
gembira mempelajari itu semua dan segera bisa menyesuaikan diri dengan keadaan
barunya itu. Tak lama ia sudah menyatu dengan kehidupan di sekolah tersebut, dan
kawan-kawannya menerima kehadirannya dengan suka hati.
Tidak demikian dengan Gwendoline. Keangkuhannya membuat anak lain tak suka
padanya. Sedang Sally Hope lain lagi keadaannya. Ia tidak angkuh, tapi tidak
pula terlalu ramah. Anak-anak mencoba untuk bersahabat dengannya. Tetapi Sally
begitu tertutup, tak pernah bercerita banyak tentang dirinya sendiri atau
keluarganya. Akhirnya anak-anak membiarkannya saja menyendiri, walaupun tidak
membencinya. "Seminggu telah lewat!" seru Alicia beberapa hari kemudian. "Minggu pertama
rasanya memang merayap lambat. Setelah itu hari-hari akan terasa terbang, dan
tahu-tahu libur tengah semester akan tiba. Setelah itu kita akan mengharap-harap
kedatangan libur panjang. Kau sudah merasa kerasan tinggal di sini kan,
Darrell?" "Oh, tentu saja!" kata Darrell. "Aku senang tinggal di sini. Kalau setiap
semester sama seperti ini, aku akan merasa bahagia sekali."
"Ah, tunggu saja nanti," kata Alicia. "Mula-mula semuanya memang menyenangkan.
Tetapi tunggu sampai kau mendapat satu-dua hukuman dari Mam'zelle, mendapat
semprotan dari Ibu Asrama, dipanggil oleh Potty, dicatat dalam daftar hitam Nona
Remmington, diancam oleh murid-murid kelas atas..."
"Oh, sudahlah!" seru Darrell. "Aku yakin itu semua takkan terjadi padaku,
Alicia. Jangan kautakut-takuti aku!"
Tetapi dalam beberapa hal Alicia benar. Kehidupan di Malory Towers tidaklah
selalu seindah seperti yang diharapkan Darrell.
6. LELUCON KECIL ALICIA OTAK Darrell cemerlang dan ia sudah dilatih untuk menggunakannya dengan baik.
Segera ternyata bahwa ia bisa mengikuti pelajaran dengan baik pula. Bahkan dalam
beberapa hal, misalnya mengarang, ia termasuk yang terbaik. Darrell puas akan
hasil yang dicapainya. Segalanya terasa begitu mudah.
"Tadinya kukira aku harus bekerja lebih keras di sini," pikirnya. "Tetapi
ternyata tidak. Hanya matematika yang agak sulit. Kalau saja aku bisa sebaik
Irene dalam matematika! Dia sungguh hebat, bisa mengerjakan segala soal di luar
kepala, sementara aku yang mengerjakannya di kertas saja sudah kewalahan."
Maka setelah satu-dua minggu pertama, Darrell tak merasa tegang lagi. Ia tak
begitu kuatir lagi utuk pelajarannya. Ia mulai mencari hal-hal yang bisa
menggembirakan kelasnya, seperti yang biasa dilakukan oleh Alicia. Dan Alicia
merasa senang mendapat bantuan seorang lagi untuk kenakalannya. Betty kini
bahkan lebih berani dari Alicia.
Darrell sampai heran, anak itu tampaknya tak mengenal rasa takut Ada dua orang
guru yang biasanya jadi sasaran kenakalan Betty dan Alicia.
Yang pertama adalah Mam'zelle Dupont. Yang kedua adalah seorang guru yang lembut
pendiam, Nona Davies, yang mengajar jahit-menjahit dan sering bertugas menjaga


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak bila mereka sedang . mengerjakan pekerjaan rumah. Nona Davies seolaholah tak pernah punya prasangka bahwa Alicia dan Betty akan membuat berbagai
gangguan untuknya. Kalau Mam'zelle lain. Ia memang mencurigai kedua anak itu,
tetapi masih sering juga ia terjebak.
"Pernah kaudengar tidak, bagaimana suatu hari Betty menaruh tikus putih di laci
meja Mam'zelle?" tanya Alicia. "Binatang itu tak bisa keluar, karenanya cari
jalan lain. Ia nekat mendorong tempat tinta yang diletakkan di lubang meja. Dan
begitu moncongnya muncul di lubang meja, Mam 'zelie kaget setengah mati!"
"Apa yang dilakukannya?" tanya Darrell penuh perhatian.
"Ia langsung lari ke luar kelas seolah-olah dikejar ratusan ekor anjing!" kata
Alicia. "Waktu dia di luar kelas, kami ambil tikus itu, dan Betty
menyembunyikannya di punggungnya. Akhirnya Mam'zelle cukup berani untuk kembali
ke kelas. Ia memerintahkan kami untuk mencari tikus itu di mejanya. Tentu saja
tikus tersebut tak bisa ditemukan. Dan Mam'zelle mengira matanyalah yang salah!"
"Oh, kalau saja waktu itu aku ada, alangkah senangnya!" keluh Darrell. "Alicia,
coba lakukan lagi sesuatu yang lucu seperti itu. Coba lakukan di kelas
matematika. Aku yakin Nona Potts akan memarahiku karena pekerjaan rumahku. Kalau
saja bisa kita alihkan perhatiannya, mungkin ia akan lupa padaku."
"Apa" Mempermainkan Potty?" dengus Alicia. "Gila apa! Potty tahu semua akal
bulus murid-muridnya. Ia tak bisa dibuat mainan!"
"Kalau begitu, di kelas Mam'zelle saja," pinta Darrell. "Aku suka pada
Mam'zelle, tetapi aku ingin melihat bagaimana tingkahnya kalau sedang marah.
Ayolah, Alicia, lakukan sesuatu untuknya."
Darrell tampak begitu kagum akan Alicia, sehingga Alicia merasa bangga sekali.
Ia berpikir keras, mencari siasat.
Betty ikut mendesak. "Ayolah, Alicia! Kau pasti punya cara untuk
mempermainkannya. Atau bisa kautiru apa yang dilakukan Sam, Roger, atau Dick di
sekolahnya." Betty kemudian berpaling pada Darrell. "Ketiga kakak Alicia itu
bersekolah di satu sekolah," ia bercerita. "Dan di sana ada seorang guru yang
mereka juluki si Dogol. Guru itu begitu mudah dipermainkan. Berbagai muslihat
kena padanya, dan anak-anak tak pernah terhukum."
Darrell berpikir pastilah sangat senang punya kakak laki-Ia ki seperti Sam,
Roger, dan Dick itu. Sayang ia tak punya kakak lelaki. Ia hanya punya seorang
adik perempuan. "Ada sesuatu yang dilakukan Roger semester lalu, sungguh lucu," kata Alicia
tiba-tiba. "Mungkin bisa kita lakukan di sini. Tapi kau dan Betty harus
membantuku, Darrell."
"Oh, tentu, tentu aku bersedia!" kata Darrell bersemangat.
"Waktu itu Roger pura-pura tuli," kata Alicia. "Dan apa saja yang dikatakan Pak
Dogol pura-pura tak bisa didengarnya dengan jelas. Misalnya saat Pak Dogol
berkata, 'Johns, jangan banyak bergerak!', Roger menyahut, 'Aku harus bersorak,
Pak" Untuk apa" Tapi baiklah... Hip, hip, horeeeeee!'"
Darrell tertawa geli. "Oh, Alicia, pasti itu sangat lucu. Ayolah, pura-puralah
tuli. Kami akan membantumu sepenuh hati! Jangan kuatir! Lakukan itu di kelas
Mam'zelle!" Anak-anak kelas satu segera tahu apa rencana Alicia. Mereka berdebar-debar
menunggu rencana itu dilaksanakan. Bagi murid-murid lama daya tarik kembali
bersekolah sudah mulai luntur, dan mereka mulai mencari-cari sesuatu yang bisa
membuat suasana meriah. Mereka menyatakan sanggup untuk membantu Alicia
mempermainkan Mam'zelle. "Begini," kata Alicia. "Aku akan pura-pura salah mengartikan setiap kata-kata
Mam'zelle. Lalu kau harus mengulang kata-kata itu keras-keras untukku, Darrell,
kemudian Betty juga. Setelah itu, seluruh kelas ikut mengulangi kata-kata
tersebut keras-keras. Mengerti" Pasti asyik!"
Keesokan harinya Mam'zelle memasuki ruang kelas satu dengan tersenyum cerah,
sama sekali tak menduga akan adanya rencana matang untuk mempermainkannya itu.
Hari itu hari yang cerah, di musim panas yang indah. Mam'zelle baru saja
rnendapat dua pucuk surat dari Prancis. Keduanya memberi kabar bahwa seorang
keponakan telah lahir. Ia juga mengenakan sebuah bros baru. rambutnya baru saja
dicuci malam sebelumnya. Segalanya embuat hatinya senang!
Dengan berseri ia menghadapi murid-muridnya.
"Ah, Murid-muridku tersayang," katanya tersenyum, "hari ini kita akan belajar
bahasa Prancis dalam suasana yang sangat menyenangkan, n 'est ce pas"* Kita akan
membuktikan bahwa kelas ini lauh lebih baik dari kelas dua. Bahkan Gwendoline
pasti bisa menghapalkan kata-kata kerja tanpa membuat kesalahan sedikit pun!
Benar, bukan?" Gwendoline merasa tak yakin tentang itu. Sejak ia berada di Malory Towers,
penilaiannya pada guru pribadinya dulu makin hari makin turun. Nona Winters
ternyata tidak mengajarkan apa saja yang mestinya diketahuinya saat ini!
Pelajaran apa saja ia ketinggalan. Yang masih disukainya tentang Nona Winters
hanyalah kegemaran guru pribadi itu untuk memuji-muji keindahan rambutnya,
keayuan tingkah lakunya, kecantikan dandanannya. Hal-hal seperti itu memang
sangat menyenangkan bagi anak seperti Gwendoline. Tetapi itu semua tak
didapatinya di Malory Towers. Ia malahan harus bekerja keras untuk mengejar
ketinggalannya - tanpa ada orang yang merasa iba padanya!
Alangkah baiknya kalau dahulu ia belajar cukup banyak bahasa Prancis. Mam 'zelle
selalu menyatakan keheranannya akan begitu sedikitnya yang diketahui oleh
Gwendoline. Sering Mam'zelle mengusulkan agar Gwendoline menyediakan diri untuk
menerima pelajaran tambahan, supaya paling tidak sampai ke tingkat yang sama
dengan anak-anak lain. Tetapi dengan berbagai alasan Gwendoline selalu
menghindari pelajaran tambahan itu. Baginya pelajaran bahasa Prancis lima kali
seminggu sudah begitu berat, apalagi kalau diberi pelajaran tambahan!
Ia tersenyum ragu pada Mam'zelle, sambil dalam hati berharap agar Alicia segera
beraksi. Ia berharap dengan gangguan dari Alicia, maka Mam'zelle tak akan
memperhatikan dirinya. Mam'zelle memandang berkeliling. Dia makin gembira melihat bahwa pagi ini
tampakriya anak-anak penuh semangat, berseri-seri seakan ingin segera mereguk
semua pelajaran tentang bahasa Prancis itu. Ah, manis-manis sekali murid-murid
pagi ini, pikir Mam'zelle. Lebih baik ia bercerita saja pada mereka, tentang
keponakannya yang baru lahir. Anak-anak itu pasti merasa senang.
Mam'zelle tak pernah bisa berhenti lagi kalau sudah berbicara tentang keluarga
yang dicintainya di Prancis, setiap ada kabar baru dari rumah. Dan sering anakanak malah mendesaknya bercerita tentang mereka. Sebab makin banyak Mam 'zelle
bercerita tentang La mignonne Vvonne, La chere Josephine, dan La mechante
Louise, * makin sedikit mereka harus mendengar tentang kata kerja serta gender.
Maka anak-anak itu merasa gembira waktu Mam'zelle memberi tahu tentang lahirnya
keponakannya itu. "/I est appeLe Jean - ia diberi nama John. II est tout petit, oh, tout petit!"
Mam'zelle memberi gambaran betapa kecilnya bayi itu dengan kedua belah
tangannya. "Nah, apa artinya itu tadi 11- est - tout - petit. Siapa tahu?" .
Alicia duduk dengan sikap sangat memperhatikan. Badannya condong ke depan dengan
salah satu tangannya di belakang telinga, seolah-olah ingin mendengarkan lebih
jelas. Mam'zelle melihatnya.
"Ah, Alicia. Kau tak begitu jelas mendengarkanku" Baiklah, aku ulangi. Il - est
- tout - petit. Coba ulangi!"
"Maaf, bagaimana?" tanya Alicia sopan, kini menangkupkan kedua telapak tangannya
di belakang telinga. Darrell hampir tak bisa menahan tawa. Ditahannya agar mukanya tetap serius.
"Alicia, kau ini kenapa?" seru Mam'zelle. "Kau tak bisa mendengar?"
"Apa yang membuatku gentar" Wah, kurasa tak ada ada, Mam'zelle," kata Alicia
tampak sangat heran. Seorang anak hampir tertawa terkikik.
"Mam'zelle berkata: Kau tak bisa mendengar?" Betty mengulang kata-kata Mam
'zelle keras-kera. "Melempar?" tanya Alicia, tampak semakin terkejut, heran.
"KAU TAK BISA MENDENGAR?" Darrel berteriak, ikut dalam permainan itu. Dan
seluruh kelas juga berteriak serentak, "KAU TAK BISA MENDENGAR?"
Mam 'zelle mengetuk mejanya. "Anak-anak! Diam semua! Kalian ribut sekali!"
"Mam 'zelle, mungkin Alicia TULI!" kata Darrell keras-keras seolah-olah
Mam'zelle juga tak bisa mendengar. "Mungkin ia sakit telinga."
"Ah, kasihan! La pauvre petite!" kata Mam'zelle yang kadang-kadang menderita
sakit telinga juga, karenanya selalu merasa kasihan pada orang yang punya
penderitaan serupa. Ia berseru keras pada Alicia, "Kau sakit telinga?"
"Bunga" Oh, maaf, hari ini bukan giliranku membawa bunga, Mam 'zelle," kata
Alicia. "Entah giliran siapa."
Irene sudah tak tahan lagi. Tiba-tiba tawanya meletus begitu keras dan mendadak.
Anak-anak di dekatnya sampai terkejut
"Tiens!" seru Mam'zelle, terkejut juga. "Apa itu" Oh, kau itu, Irene" Untuk apa
kau bersuara begitu aneh" Jangan diulang!"
"Kadang-kadang aku terpaksa bersin, Mam 'zelle," kata Irene membenamkan
hidungnya ke sapu tangannya seolah-olah akan bersin. Tapi ia kembali menahan
tawanya, sehingga keluar suara-suara aneh darinya.
"Alicia." Mam'zelle kembali berpaling pada si Nakal, yang langsung menaruh
telapak tangannya di belakang telinga lagi. "Jangan bicara padaku tentang bunga.
Apakah kau sakit selesma?"
"Tidak, aku tidak membawa duit dua puluh lima, Mam 'zelle," jawab Alicia,
membuat Mam 'zelle tercengang.
"Mam'zelle berkata SAKIT SELESMA bukan DUIT DUA PULUH LIMA!" teriak Darrell.
"SAKIT SELESMA!" bantu Betty. "Itu tuh, SAKIT PILEK!"
"KAU SAKIT SELESMA?" seisi kelas berteriak bersama-sama, seolah-olah latihan
paduan suara. "Oh, sakit selesma! Mengapa Anda tidak berkata dengan jelas tadi," kata Alicia.
"Ya, aku sakit selesma."
"Ah, kalau begitu memang ada pengaruhnya pada telingamu," kata Mam 'zelle.
"Sudah berapa lama kau sakit?"
Darrell mengulangi pertanyaan itu. Kemudian Betty juga.
"Oh, berapa lama" Mungkin sudah dua tahun," jawab Alicia tenang. Irene kembali
membenamkan mukanya ke sapu tangannya. Mam 'zelle jadi kebingungan.
"Rasanya anak ini takkan bisa mengikuti pelajaran, kasihan sekali dia," kata
Mam'zelle. "Alicia, duduk saja di cahaya matahari, dekat jendeIa itu. Dan baca saja buku
bahasa Prancismu. Belajarlah sendiri, toh kau tak bisa mendengar kami."
Alicia memandang pada Darrell, seolah-olah ingin tahu apa yang baru dikatakan
Mam'zelle. Darrel dengan senang hat! mengulang kata-kata Mam'zelle tadi sekuat
suaranya: Sayang Betty begitu ingin tertawa, sehingga tak sempat mengulangi
kata-kata tadi. Tetapi anak-anak lain serentak berseru bersama, "KAU TAK BISA
MENDENGAR KAMI!" Tapi saat itu tiba-tiba pintu terbuka dan Nona Potts muncul dengan wajah sangat
marah. Ia sedang mengajar di kelas dua, yang berdampingan dengan kelas satu. Dan
ia tak mengerti mengapa di kelas satu terdengar teriakan-teriakan yang begitu
gemuruh. "Mam'zelle, maaf bila aku mengganggu," katanya pada Mam 'zelle. "Tetapi perlukah
anak-anak mengulangi kalimat-kalimat bahasa Prancis begitu keras?"
"Ah, Nona Potts, maaf. Tidak untukku anak-anak ini mengulangi kalimat-kalimat
tadi begitu keras. Tetapi untuk Alicia. Kasihan dia," Mam'zelle menerangkan.
Nona Potts tercengang. Diperhatikannya Alicia. Alicia jadi gelisah Ia mencoba
bersikap seolah-olah ia tak tahu apa-apa. Tetapi Nona Potts selalu malah curiga
kalau Alicia atau Betty bersikap tak bersalah begitu.
"Apa maksud Anda, Mam'zelle?" Nona Potts berpaling lagi pada Mam'zelle. "Apakah
Alicia tiba-tiba tuli" Pagi tadi dia tak apa-apa."
"Tetapi sekarang ia betul-betul tuli," kata Mam'zelle. Nona Potts memandang
tajam pada Alicia. "Datanglah padaku nanti waktu istirahat, Alicia," katanya kemudian. "Ada yang
ingin kukatakan padamu. "
Tak ada yang berani berteriak mengulangi kata-kata ini. Tetapi ternyata Mam
'zelle dengan suka rela melakukannya. Dengan suara keras ia berteriak, "Alicia!
Nona Potts berkata..."
"Tak usah mengulang kata-kataku, Mam'zelle," kata Nona Potts. "Alicia pasti
datang nanti. Kutunggu kau jam sebelas, Alicia. Dan harap berdiri bila aku
berbicara padamu!" Tak terasa Alicia berdiri, dengan muka merah padam. Nona Potts keluar
meninggalkan kelas itu, Dan ia menutup pintu tidak terlalu perlahan. Mam'zelle
benci pada orang yang suka membanling pintu.
"Ah, pintu itu! Suaranya menembus kepalaku!" katanya. "Nona Potts sangat baik
dan pandai, tetapi ia tak tahu kalau membanting pintu bisa membuat sakit
kepala...." "Atau sakit telinga," Darrell mencoba melucu. tetapi tak seorang pun tertawa.
Munculnya Nona Potts dan kemarahannya membuat kelucuan yang ada lenyap seketika.
Alicia tak lagi berbicara tentang sakit telinganya. Diambilnya sebuah buku dan
ia pindah duduk ke dekat jendela, di kehangatan cahaya matahari. Biar sedikit ia
harus mengambil keuntungan dari hasil ulahnya! Mam 'zelle tak lagi memperhatikan
dirinya. Dengan giat ia mencari siapa di antara murid-murid kelas satu ini yang
dapat mengucapkan perubahan kata kerja bahasa Prancis dengan benar. Tetapi
ternyata usahanya sia-sia, dan keramahannya tadi sewaktu masuk kini jadi
kemarahan. Hampir semua anak kelas satu jadi sasaran kemarahannya itu.
Dengan gemas ia meninggalkan kelas itu waktu lonceng istirahat berbunyi. Anakanak berkerumun di sekeliling Alicia. "Oh, Alicia, aku hampir mati karena
menahan tawa!" - "Sayang sekali Potty muncul secara tiba-tiba!" - "Apakah ia
akan menghukummu, Alicia?"
"Darrell berteriak begitu keras sehingga langit-langit hampir runtuh!" kata
Irene. "Mau meletus badanku karena menahan tawa tadi."
"Nah, kini aku harus menghadap Potty," kata Alicia. "Sayang sekali aku lupa
bahwa ia mengajar di kelas tetangga kita. Sudahlah. Sampai nanti, Kawan-kawan!"
7. DARREL TAK BISA MENGUASAI DIRI
ALICIA dimarahi dan diberi tugas tambahan. Ia keluar dari kantor Nona Potts, dan
bertemu dengan Mam'zelle di jalan. "Kau sudah menghadap Nona Potts?" tanya
Mam'zelle, masih mengira bahwa mungkin Alicia tidak mendengar perintah Nona
Potts tadi. "Oh, ya, terima kasih, Mam'zelle," jawab Alicia, dan pergi meninggalkan Mam
'zelle yang ternganga. Aneh sekali. Bagaimana Alicia bisa begitu cepat sembuh"
Lama juga Mam'zelle termenung di itu sampai Nona Potts melihat dan mendekatinya.
"Kalau Alicia memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan tuli lagi, suruh dia
menghadapku," kata Nona Potts. "Aku bisa menyembuhkan penyakit seperti itu
dengan cepat." Nona Potts meninggalkan Mam'zelle. Barulah kini Mam 'zelle tahu bahwa ia telah
dipermainkan Alicia. "0, anak nakal itu!" dengusnya geram. "Dia telah menipuku!
Dia telah mengelabuiku! Nakal 5ekali! Tak akan aku percaya lagi padanya!"
Darrell sangat menikmati peristiwa lucu itu. Betapa cerdiknya Alicia! Dengan
rasa kagum ia memandang anak itu. Dan Alicia bangga merasa dikagumi orang lain.
Ini selalu mendorongnya untuk berbuat lebih nakal lagi. Mary-Lou juga memandang
Alicia seolah-olah ia seseorang yang sangat luar biasa. Alicia menggandeng
tangan Darrell. "Kita akan merancang sesuatu lagi nanti," katanya. "Kau, aku, dan Betty. Kita
akan bergabung dengan julukan Trio Teror. Hebat, kan?"
"Oh, yar Darrell begitu gembira bisa satu komplotan dengan Betty dan Alicia.
"Ayo, kita cari suatu muslihat baru! Mungkin aku bisa mengusulkan sesuatu...."
Tetapi mereka memutuskan untuk tidak tergesa-gesa berbuat nakal lagi. Mereka
akan menunggu beberapa lama. Kemudian mungkin mereka bisa menggoda Nona Linnie.
Gwendoline merasa sangat iri melihat betapa Alicia dan Betty - yang dianggap
sebagai jagoan dari kelas satu - bersahabat dengan Darrell. Padahal Darrell
hanyalah seorang anak baru seperti dirinya. Padahal ia lebih cantik dan, ia
yakin, lebih menarik untuk dijadikan sahabat.
Dibicarakannya hal ini dengan Sally Hope. "Aku tak suka melihat betapa Darrell
selalu ingin menonjlkan dirinya. Dia pikir dia sudah paling hebat! Berkomplot
dengan Alicia dan Betty... huh! Mereka lebih baik berkawan denganku daripada
dengan anak itu. Tapi belum tentu aku mau berkawan dengan mereka!"
Sally tak tertarik pada kata-katanya. Tetapi Gwendoline tak peduli.Ia
melanjutkan menggerutu tenang Darrell. "Darrell itu... dikiranya dia yang paling
pandai! Dikiranya dia pandai main tenis pandai berenang... Kalau aku mau, akan
kutunjuk kan padanya bahwa aku dua kali lebih baik dari dia."
"Lalu kenapa tak kaulakukan itu?" akhirnya Sally tak tahan lagi. "Selama ini
yang kautunjukkan adalah bahwa kau dua kali lebih buruk dari dia."
Gwedoline terperangah, tersinggung. Sally Hope yang pendiam itu berani berkata
begitu padanya! Dipandangnya Sally dengan pandang gusar, seolah-olah ingin
menelan anak itu. "Baiklah," kata Gwendoline kemudian, "akan kutunjukkan padamu, Sally. Selama ini
aku tak berusaha sebab kurasa memang tak ada gunanya bagiku. Aku sesungguhnya
tak ingin bersekolah di sini. Ibu juga sesungguhnya tak ingin mengirimku ke
sini. Ayahlah yang memaksaku. Waktu aku diasuh Nona Winters, hasil pelajaranku
selalu cemerlang. Aku bisa berbuat serupa di sini, kalau saja aku mau!"


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebetulan Alicia saat itu datang, dan mendengar pidato yang aneh itu. Alicia
tertawa keras-keras. "Kau tak bisa main tenis, kau tak bisa renang, kau menjerit kedinginan bila jari
kakimu tersentuh air, kau bahkan tak tahu semua perkalian dua belas, Nak!"
katanya mengejek. "Dan kini kau merasa tak ada gunanya kautunjukkan kepandaianmu
di sini! Kau tak akan bisa berbuat apa pun bila kau punya penilaian terlalu
tinggi bagi dirimu sendiri seperti ini!"
Sally ikut tertawa. Ini membuat Gwendoline sangat marah. Ingin sekalj ia
menampar keduanya! Tetapi Nona Winters selalu berkata bahwa seorang wanita yang
tahu sopan santun tak pernah keliru menggunakan tangannya. Lagi pula pastilah
sangat berbahaya untuk menampar Alicia.
Gwendoline meninggalkan tempat itu sambil mengangkat muka. "Gwendoline Mary
Sayang," kata Alicia. "Anak emas Ibu, kekasih Ayah, murid cemerlang Nona
Winters! Tapi mengerjakan soal pecahan saja tak bisa!"
Sore itu anak-anak kelas satu mendapat giliran menggunakan kolam renang. Gembira
sekali mereka, riuh rendah bermain di air. Alicia menyelam dan berenang di bawah
air dari ujung ke ujung kolam renang itu. Dilakukannya pergi-pulang, dan semua
bertepuk tangan melihat ketangguhannya tersebut.
"Hebat sekali!" seru Darrell. "Bagaimana kau bisa tahan tak bernapas begitu
lama" Ingin sekali aku bisa melakukannya. Lakukan sekali lagi, Alicia, kalau kau
sudah siap lagi!" "Kupingku kemasukan air," kata Alicia, mengguncangkan kepalanya. "Rasanya
telingaku tertutup. Harus kutunggu sampai telingaku bebas dari air. Aku akan
terjun saja, ah." Alicia seorang peloncat indah yang pandai, sepandai ia berenang dan menyelam.
Gwendoline sungguh iri padanya. Ia tentu merasa yakin dirinya bisa berenang dan
terjun lebih baik dari Alicia - kalau saja ia bisa mengatasi hal-hal yang
ditakutkannya pada permulaan terjun atau berenang itu. Ia takut pada awal
terjun. Ia tak suka pada rasa dingin bila tercebur di air. Ia tak senang berada
di dalam air, selalu merasa seolah-olah akan terbenam. Jadi karena itulah ia tak
mau menunjukkan bahwa ia bisa terjun lebih baik dari Alicia.
Hanya ada seorang yang lebih buruk darinya dalam hal berenang. Mary-Lou. Tapi
tak seorang pun mengejek Mary-Lou. Menggoda Mary-Lou hanya seperti menggoda
seekor anak kucing yang ketakutan. Gwendoline kini melihat Mary-Lou berkecimpung
tak jauh darinya. Dan karena Gwendoline tahu bahwa Mary-Lou lebih takut pada air
darinya, maka Gwendoline merasa ia punya kekuasaan lebih besar.
Gwendoline berjalan dalam air ke tempat Mary-Lou, dan tiba-tiba ditubruknya anak
itu, dibenamkannya kuat-kuat. Mary-Lou tak punya kesempatan untuk menjerit. Ia
membuka mulut dan air menderas masuk. Ia meronta-ronta tak berdaya. Gwendoline
yang merasakan betapa Mary-Lou meronta, malah merasa bahwa ia jauh lebih kuat,
dan terus menahan Mary-Lou dalam air lebih lama dari yang dimauinya. Ia baru
melepaskan Mary-Lou saat tiba-tiba punggungnya dicengkeram seseorang.
Ia berpaling, dan berhadapan dengan Darrell yang susah payah menahan marah,
sampai menggeletar seluruh tubuhnya, bukan karena dingin tapi karena rasa gusar
yang amat sangat. "Binatang kau!" teriak Darrell. "Kulihat kau membenamkan Mary-Lou dengan
sengaja! Dan kau tahu Mary-Lou takut air! Kau ingin dia mati lemas?"
Darrell menarik Mary-Lou, membantunya berdiri. Mary-Lou terengah-engah,
menyembur-nyembur. Mukanya biru, dan agaknya ia ingin muntah karena terlalu
banyak air asin yang masuk ke dalam perutnya.
Anak-anak mulai banyak yang berenang mendekat. Darrell dengan suara gemetar
marah berkata pada Gwendoline, "Tunggu saja di situ. Akan kubenamkan kau,
Gwendoline, agar kau tahu bagaimana rasanya terbenam!"
Mary-Lou mendekap Darrell erat-erat. Gwendoline takut juga akan ancaman Darrell,
dan ia melangkah ke arah tepi kolam, takut kalau-kalau ada anak lain yang
melaksanakan ancaman Darrell, sementara Darrell belum sempat bertindak.
Tapi saat ia menaiki tangga di tepi kolam, Darrell yang telah memberikan MaryLou yang menangis pada Alicia telah menyusulnya, memegang bahunya.
"Aku tak akan membenamkanmu, Pengecut!" kata Darrell. "Tapi akan kutunjukkan
padamu apa yang terjadi pada orang sekeji engkau ini!"
Dan tangan Darrell cepat sekali melecut keras. Empat buah tamparan keras
terdengar, hampir sama kerasnya dengan jerit kesakitan Gwendoline.
Tangan Darrell sangat keras, dan ia menampar dengan sepenuh kekuatan, dilambari
oleh rasa marah yang hebat. Ke mana pun Gwendoline mencoba menghindar, tamparan
Darrell tepat mengenai sasaran. Suara tamparan itu bagaikan tembakan pistol.
"Hei, Darrell!" teriak Katherine, ketua kelasnya. "Hentikan! Apa yang
kaulakukan" Lepaskan Gwendoline! "
Masih sangat marah, Darrell berpaling pada Katherine. "Harus ada yang menghajar
si Pengecut Gwendoline ini!"
"Ya, tapi bukan kau!" kata Katherine tajam. "Kau berada di pihak yang salah bila
kau menampar dia seperti itu. Sungguh memalukan, bagaimana kau tak bisa menahan
diri!" "Dan kau juga sungguh memalukan!" jerit Darrell membuat semua anak tercengang.
"Kalau saja aku ketua kelas, aku akan mengharuskan anak-anak. seperti Gwendoline
ini untuk belajar berenang dengan baik, sehingga tak punya waktu untuk menggoda
anak-anak yang lebih lemah darinya, seperti Mary-Lou!"
Belum pernah anak-anak itu melihat Darrell marah. Beberapa saat mereka
tercengang. Kemudian suara dingin Katherine terdengar lagi, "Cepat tinggalkan
kolam ini! Ayo, cepat! Untung tak ada guru yang melihatmu."
Darrell keluar dari kolam. Masih gemetar marah. Diambilnya handuk lebarnya, dan
dengan berselimut handuk itu ia mendaki telundakan di tebing yang menuju ke
sekolah mereka di atas sana. Dadanya masih ingin meledak karena kemarahannya.
Gwendoline yang keji! Katherine yang mengesalkan! Malory Towers yang menjemukan!
Tetapi sebelum ia sampai ke puncak telundakan itu, sebelum sampai ke pintu pagar
yang membatasi daerah sekolah, kemarahan Darrell telah lenyap. Ia kecewa pada
dirinya sendiri. Mengapa tadi ia bertindak seperti itu" Ia harus bisa menguasai
diri lebih baik lagi. Ia tak boleh membiarkan kemarahannya meledak seperti saat
ia masih kecil. Dengan kemarahan yang semakin lama semakin surut lenyap, Darrell memasuki
halaman sekolah, ke tempat ganti pakaian. Ia telah ditegur di depan anak banyak
oleh Katherine. Tak ada yang membelanya. Bahkan Alicia pun tidak. Ia telah
membentak-bentak ketua kelasnya. Kelakuannya pada Gwendoline sama buruknya
dengan kelakuan Gwendoline terhadap Mary-Lou. Bedanya hanyalah Gwendoline
bertindak hanya karena memang dia berhati kejam, sementara dirinya terdorong
oleh rasa marah. Tapi rasa marah ataukah hati kejam, rasanya kini sama-sama
buruknya. Ia menyesal kini telah menampar Gwendoline. Itulah hasil yang terburuk dari
memiliki sifat pemarah. Banyak hal dilakukannya dengan tanpa berpikir panjang
akan akibatnya. Tanpa berpikir bahwa nanti bila marahnya hilang ia akan malu
akan perbuatannya. Dan ia takkan merasa damai di hatinya sebelum ia menyatakan
penyesalannya pada orang yang disakitinya walaupun orang itu masih sangat
dibencinya. Darrell mendengar seseorang terisak-isak di kamar ganti pakaian. Ia menjenguk ke
dalam. Dilihatnya Gwendoline dengan muram sedang memperhatikan bekas-bekas jari
merah cemerelang di pahanya, tempat Darrell tadi menamparnya keras-keras. Kalau
tadi ia tak cepat naik tangga kolam, mungkin pipinyalah yang ditampar Darrell.
Gwendoline terisak keras.
"Aku akan menulis surat pada Ibu," pikirnya. "Kalau saja ia bisa melihat garisgaris merah ini... wah, bahkan di sini terpeta semua jari Darrell!"
Darrell muncul di belakangnya, membuatnya terlompat terkejut. "Gwendoline,
maafkan aku. Aku menyesal telah menamparmu tadi. Aku sungguh-sungguh menyesal.
Aku tadi begitu marah sehingga tak terpikir olehku apa yang kulakukan."
Sayangnya Gwendoline tak cukup murah hati ataupun cukup sopan untuk menerima
permintaan maaf yang begitu wajar.Ia memandang angkuh pada Darrell.
"Kuharap saja kau betul-betul menyesal," katanya. "Aku akan menulis ke ibuku.
Kalau saja beliau tahu murid-murid Malory Towers itu seperti kau, pasti beliau
takkan memperkenankan aku datang kemari!"
8. DARRELL - DAN GWENDOLINE
DI KOLAM renang anak-anak merundingkan kejadian yang begitu mengguncangkan hati
mereka itu. "Sungguh tak kuduga Darrell yang tenang itu bisa meledak seperti itu!"
"Ia tak boleh kurang ajar pada Katherine! Sungguh kasar dia pada sea rang ketua
kelas." "Katherine, apa yang akan kaulakukan?"
Katherine kini sudah keluar dari kolam. Wajahnya yang biasa tenang tampak merah
dan gusar. Ia suka pada Darrell - tetapi kini tiba-tiba saja pendapatnya tentang
anak itu berubah. Alicia Juga merasa sangat heran. Ia keluar dari air, menelengnelengkan kepalanya, mencoba mengeluarkan air dari telinganya. Siapa mengira
Darrell bisa marah seperti itu"
"Ayo, semua ke ruang rekreasi, Anak-anak Menara Utara, segera setelah kalian
berganti pakaian," kata Katherine akhirnya, dengan suaranya yang tenang seperti
biasa. Anak-anak itu saling pandang. Rapat anak-anak kelas satu! Tentu tentang
Gwendoline dan Darrell. Mereka menghambur berlari menaiki tebing, berebut masuk
ke kamar ganti pakaian sambil berbicara riuh rendah.
Baik Gwendoline maupun Darrell tak tampak. Gwendoline telah pulang ke- kamarnya,
untuk membubuhkan krim dingin pada pahanya. Sesungguhnya bekas tamparan Darrell
itu tak perlu diobati, tetapi ia bertekad untuk membuat hal ini sebuah perkara
besar! Ia selalu merasa iri pada Darrell dan kini ia merasa mempunyai suatu hal
untuk menjatuhkannya. Masa habis menampar langsung minta maaf, pikir Gwendoline.
Pasti permintaan maaf itu hanya untuk mempermainkannya saja.
Sementara itu kedelapan murid kelas satu lainnya dari Menara Utara telah
berkumpul di ruang rekreasi. Katherine duduk di sebuah meja dan memandang
berkeliling. "Aku yakin kalian semua sependapat bahwa walaupun kita sangat menyukai Darrell,
kita tak boleh membiarkan kelakuannya barusan begitu saja," katanya mulai.
"Oh, Katherine, jangan marahi dia," pinta Mary-Lou dengan suaranya yang lemah.
"Ia telah menolongku dari bahaya terbenam. Ia betul-betul menyelamatkanku. "
"Tidak," kata Katherine. "Gwendoline tentulah tidak begitu tolol untuk
mencelakakan seseorang. Aku kira ia tiba-tiba merasa mengkal karena selalu
diejek oleh semua anak. karena ia tak bisa berenang dengan baik."
Mary-Lou sangat yakin bahwa Darrell adalah seorang pahlawan. Ia begitu menderita
sewaktu berada di bawah tekanan Gwendoline di bawah air, dan ia sangat yakin
setiap saat ia bisa pingsan terbenam. Kemudian datanglah Darrell yang begitu
kuat dan cepat menyelamatkannya. Bagaimana Katherine bisa punya pendapat lain"
Mary-Lou tentu saja tak berani berbicara tentang apa yang dipikirkannya, tetapi
ia duduk saja dengan wajah gelisah dan kuatir. Ingin sekali ia angkat bicara
membela Darrell, tetapi ia tak berani.
"Kupikir Darrell harus minta maaf pada Katherine karena telah bersikap begitu
kurang ajar," kata Irene. "Dan kalau ia tak mau melakukannya, kita semua
mendiamkannya saja, tak akan berbicara dengannya selama seminggu. Sungguh
kelakuannya di luar dugaan."
"Kupikir, dia juga harus minta maaf pada Gwendoline," kata Katherine. "Kudengar
tamparannya dari ujung kolam renang. Minta maaf pada Gwendoline kurasa lebih
penting daripada minta maaf padaku."
"Tetapi jauh lebih berat!" kata Alicia. "Betapa tidak menyenangkan bagiku untuk
minta maaf, tentang apa saja, pada Gwendoline Mary sayang itu."
"Apakah kau tidak akan menegur Gwendoline juga?" tanya Jean.
"Ya," kata Katherine, "tentu saja. Entah di mana Darrell kini. Mudah-mudahan
saja ia tidak mengamuk karena kita haruskan minta maaf pada Gwendoline. Kalau ia
masih marah, pastilah sulit untuk menyuruhnya melakukan hal itu Aku sesungguhnya
tak ingin melaporkannya ataupun mendiamkannya. Tak pernah kuduga ia begitu
pemarah." Tepat saat ia selesai berbicara pintu terbuka dan Darrell masuk. Ia tampak heran
melihat teman-temannya berkumpul di situ, diam tak bersuara dan agak tegang
memandang padanya. Katherine tertegun melihat betapa tenangnya wajah Darrell
kini. Dan sebelum ia sempat membuka mulut, Darrell telah mendekatinya dan
berkata, "Katherine, aku sangat menyesal telah berbicara seperti tadi padamu.
Entah bagaimana aku bisa melakukannya. Saat itu aku begitu marah, mungkin,
sehingga tak bisa mengendalikan diriku."
Kembali Katherine terperangah. Apa yang akan diucapkannya langsung lenyap dari
otaknya dan ia pun sesaat tak tahu harus berkata apa. Tetapi ia cepat menguasai
diri. Pandangan matanya yang tadi marah cepat meredup menjadi senyum saat ia
berkata, "Tak apa, Darrell. Aku memang tahu kau sedang marah. Tapi..."
"Itulah kesalahanku yang terbesar," kata Darrell, mengucap-usap ujung hidungnya
seperti biasanya bila ia merasa malu akan dirinya sendiri. "Sifatku yang pemarah
itu, maksudku. Aku mewarisinya dari ayahku. Tetapi Ayah selalu bisa menguasai
diri dan hanya meledak pada hal-hal yang sangat perlu saja. Maksudku, pernah
juga ia marah besar, tetapi selalu karena ada alasan besar juga untuk itu. Lain
dengan aku. Sering aku marah besar untuk hal-hal yang tak berarti. Sungguh jelek
sifatku itu, Katherine. Tetapi percayalah, dulu sewaktu aku akan berangkat ke
Malory Towers ini, aku telah bertekad untuk menghilangkan kebiasaan buruk itu."
Anak-anak yang tadi memandang dingin pada Darrell saat ia baru masuk, kini
memandangnya dengan perasaan ramah dan hangat. Ternyata Darrell seorang anak
Hina Kelana 27 Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak Dewi Penyebar Maut I I 1

Cari Blog Ini