Ceritasilat Novel Online

Kekayaan Yang Menyesatkan 7

Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 7


benar busuk dan tidak segan-segan menjatuhkan orang lain." Tiba-tiba Maisie
sadar ia bicara dengan aksen asalnya: Newcastle. Aksen yang sudah jarang
dipakainya di kalangan pergaulan di kota London. Ia kembali ke aksen normalnya.
"Jangan sekali-kali meremehkan kemampuan Augusta dalam persekongkolan dan
fitnah-memfitnah." "Aku sama sekali tidak takut padanya," timpal Nora agak menyombongkan diri. "Aku
sendiri tidak segan-segan mengerjai orang lain jika sudah terdesak."
Maisie percaya Nora bisa melakukan hal itu dan ia merasa simpati pada Hugh.?Busana yang paling cocok bagi Nora adalah busana gaya polonais, sebab bisa
menyamarkan tubuhnya yang ter/alu subur. Detail-detail gaun yang ramai dan
berwiru - 400 wiru makin menonjolkan wajahnya yang manis, dan dengan memakai korset panjang,
tubuhnya bisa tampak lebih ramping.
"Pertama-tama, kau harus tampil cantik," kata Maisie pada Nora yang sedang
mematut-matut diri di depan cermin. "Kalau menyangkut hubungan dengan pria,
hanya itu yang penting. Yang lebih pelik adalah bagaimana kita bisa diterima
oleh kaum wanita." "Aku sendiri merasa lebih mudah bergaul dengan pria daripada dengan wanita,"
kata Nora. Memang begitulah citramu, pikir Maisie.
Lanjut Nora, "Kurasa kau juga begitu. Jadi, tidak heran kalau kita sekarang di
sini bersama-sama." O ya" pikir Maisie heran.
"Bukannya aku mau menyamai tingkatanmu," kata Nora. Tapi setiap wanita ambisius
di London menjadikan dirimu model dan merasa iri padamu."
Maisie kurang senang dijadikan model bagi para wanita pemburu kekayaan, tapi
mungkin ia layak dianggap demikian. Nora menyamakan dirinya dengan Maisie:
menikah karena uang. Maisie harus menerimanya dengan hati lapang.
Nora berkata lagi. "Aku mengawini pria yang jadi kambing hitam dalam keluarga,
pria yang tidak punya modal, tapi aku tidak mengeluh, sedangkan kau berhasil
mengawini salah satu pria paling kaya di dunia."
Kau pasti terkejut kalau kukatakan aku bersedia tukar tempat dengamu, pikir
Maisie. Tapi ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Oke, posisi kita sekarang memang serupa.
Karena itu, akan kubantu kau agar bisa diterima di kalangan atas di London...
kelas paling munafik di antara semua strata masyarakat.
"Pertama-tama, ingat: Jangan sekali-kali membicarakan nilai materi sesuatu," ia
mengawali nasihatnya, karena teringat apa yang pernah dialaminya. "Tetaplah
tenang menghadapi segala situasi, tak peduli apa pun
yang terjadi. Seandainya kusir keretamu kena serangan jantung, atau kereta
kudamu rusak di tengah jalan, topimu diterbangkan angin nakal, atau pakaianmu
berantakan, cukup beri komentar dengan tenang, "Hmm, tidak apa-apa." Lalu
masuklah ke kereta sewaan. Ingat selalu, daerah pedalaman selalu lebih dihargai
daripada daerah pekotaan, tidak bekerja lebih dihormati daripada jadi pekerja,
nilai-nilai lama lebih baik daripada nilai baru, dan status lebih dihormati
daripada kekayaan materi. Cukup tahu semuanya sedikit-sedikit, jangan coba-coba
ingin jadi pakar. Berlatihlah bicara tanpa menggerakkan bibir aksenmu jadi ?lebih intelek. Ceritakan pada orang-orang bahwa asal-usulmu dari daerah
pertanian Yorkshire kawasan itu terlalu luas untuk diselidiki kebenarannya, dan
?bertani merupakan cara hidup terhormat kalau kau miskin."
Nora memasang tampang bodoh, lalu berkata dengan nada lamban, "Astaga, begitu
banyak yang harus diingat. Apakah aku mampu"*
"Bagus," kata Maisie. "Kau bisa melakukannya dengan sangat baik."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MICKY MIRANDA berdiri di ujung Berwick Street, memakai mantel tipis untuk
menepis hawa dingin malam musim semi. Ia mengisap cerutu sambil memandang
jalanan. Tidak jauh darinya ada lampu jalan, tapi ia sendiri dalam bayangbayang, sehingga wajahnya terhindar dari penglihatan orang-orang yang lalulalang. Ia sedang gundah, tidak puas pada diri sendiri. Ia tidak menyukai
kekerasan. Itu cara Papa dan kakaknya, Paulo. Bagi Micky, kekerasan adalah awal
dari kekacauan dan kegagalan.
402 Berwick Street adalah jalan sempit yang dipenuhi kedai minum dan rumah inap
murahan. Anak-anak bertubuh kotor bermain dalam cahaya lampu, sementara anjinganjing mengorek-ngorek selokan. Micky sudah berada di jalan sejak senja turun,
dan belum ada seorang polisi pun yang lewat untuk meronda. Sekarang sudah tengah
malam. Hotel Russe tampak di seberang jalan. Kumuh, walau dulu pernah jaya. Lampu di
atas pintu menyala suram. Micky dapat melihat lobi dalamnya. Sepi, tak ada
seorang pun di bagian resepsionisnya.
Dua orang pria juga menunggu di kedua sisi pintu masuk hotel. Jadi, bersama
Micky, ada tiga orang yang menunggu Antonio Silva.
Micky berusaha tampak tenang di depan Edward dan Augusta ketika mereka
menyinggung soal artikel Tonio di koran The Times. Tapi hatinya bergolak galau.
Bagaimana ia bisa membiarkan-Tonio merusak rencana besarnya" Ia telah bersusah
payah membujuk keluarga Pilaster agar membiayai proyek jalan kereta api
Santamaria. Ia bahkan sampai mengawini Rachel demi proyek itu. Seluruh kariernya
sangat tergantung pada suksesnya proyek ini. Jika ia gagal, Papa akan memecatnya
sebagai konsul negerinya di London. Lebih dari itu, ia harus pulang ke rumah
disertai rasa malu dan hina. Hidupnya yang sudah mapan dan terhormat di London
akan lenyap seketika. Tadi Rachel ingin tahu rencananya malam ini. Micky hanya tertawa-tawa
menanggapinya. "Jangan coba-coba menanyai ke mana aku akan melewatkan malamku."
Tak mau kalah, istrinya berkata, "Kalau begitu, aku "juga akan pergi malam ini."
"Ke mana?" "Jangan coba menanyai ke mana aku akan melewatkan malamku sendiri."
Micky menyeret istrinya ke dalam kamar dan menguncinya dari luar.
403 Nanti jika ia pulang pasti akan disambut sumpah serapah istrinya. Hal biasa.
Pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, ia akan menelanjangi istrinya, lalu
bercinta dengan penuh gairah. Biasanya istrinya segera menyerah dan menyambutnya
dengan antusias. Malam ini pasti akan terulang lagi seperti biasa.
Kalau saja ia juga bisa seyakin itu dalam menghadapi Tonio.
Ia bahkan tidak yakin Tonio masih berdiam di hotel kumuh di depannya ini. Sudah
tentu ia tidak bisa masuk ke lobi dan menanyakan Tonio. Akan membangkitkan
kecurigaan. Pulang dari rumah Augusta, ia bertindak cepat. Dibutuhkan waktu empat puluh
delapan jam untuk menemukan tempat Tonio dan menyewa dua pria bajingan untuk
membantunya. Sekarang mungkin saja Tonio sudah pindah hotel. Kalau benar, Micky
akan mengalami kesulitan besar.
Orang yang berhati-hati akan pindah hotel setiap beberapa hari sekali. Juga
tidak akan memakai kertas hotel untuk membuat pesan pada orang luar. Tapi Tonio
memang bukan tipe orang yang hati-hati. Sejak dulu ia selalu ceroboh. Jadi,
besar kemungkinan ia masih tinggal di hotel ini.
Ternyata benar. Beberapa menit setelah tengah malam, Tonio datang.
Dari seberang, Micky bisa melihat sosoknya, berjalan dari arah Leicester Square.
Hatinya berdebar keras, tapi ia masih bisa menahan diri untuk tidak bergerak,
sampai ia memastikan figur di depannya memang Tonio. Apalagi setelah wajahnya
kelihatan di bawah lampu jalanan. Dengan lega bercampur cemas Micky mendesah.
Lega karena ia bisa menemukan musuhnya, cemas karena sebentar lagi akan ada
kekerasan yang berbahaya.
Tiba-tiba ia melihat dua polisi ronda.
Benar-benar sial. Kedua hamba hukum itu datang dari arah berlawanan dengan
Tonio. Mereka membawa 404 pentungan kayu dan lentera tangan. Micky diam terpana. Tak ada yang bisa ia
lakukan saat ini. Kedua polisi itu berpapasan dengan Micky. Hanya sedikit
mengangkat topi, dan berlalu begitu saja. Mereka tidak curiga pada pria
berpakaian apik itu, yang sedang sendirian di tepi jalan di tengah malam begini.
Tugas mereka adalah mencari dan menangkap penjahat. Mereka juga berpapasan
dengan Tonio, beberapa meter dari pintu depan hotel. Begitu Tonio masuk ke dalam
hotel, selamatlah dia. Micky mengutuk dalam hati.
Lalu kedua polisi itu berbelok di samping hotel. Hilang dari pandangan.
Micky memberi tanda pada dua bajingan di depan.
Mereka bergerak cepat. Sebelum Tonio mencapai pintu hotel, kedua pria kasar itu berhasil menangkap dan
menyeretnya ke gang di samping hotel. Ia berteriak sekali, lalu diam. Sepi.
Senyap. Setelah membuang sisa cerutunya, Micky ikut melangkah ke gang sebelah hotel.
Mulut Tonio sudah disumpal kain. Kedua bajingan itu sedang memukulinya dengan
potongan besi. Kepala dan wajahnya sudah berlumuran darah. Tubuhnya memang
terlindung oleh mantel luarnya yang tebal, tapi tangan dan lututnya tidak.
Pemandangan itu membuat Micky mual. "Berhenti, berhenti, bodoh. Apa kalian tidak
lihat dia sudah hampir mati?" Memang Micky tidak bermaksud membunuh Tonio. Ia
ingin peristiwa ini tampak seperti perampokan biasa yang disertai penganiayaan.
Apalagi kedua polisi tadi sudah sempat melihat wajah Micky.
Dengan enggan mereka berhenti mendera Tonio yang tergeletak diam.
"Kosongkan sakunya!" bisik Micky cepat.
Tonio tetap diam ketika kedua orang itu mengosongkan isi sakunya: jam rantai,
buku saku, beberapa keping koin, sapu tangan sutra, dan sebuah kunci.
"Berikan kunci itu. Sisanya kalian ambil." kata Micky.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Salah satu bajingan yang usianya lebih tua Barer, atau lebih dikenal dengan ?sebutan Dog berkata, "Berikan dulu upah kami."
?Micky memberi mereka masing-masing sepuluh pound mata uang emas.
Dog memberikan kuncinya. Di pangkal kunci terikat kertas kecil dengan nomor 11.
Cukup bagi Micky. Ia berbalik keluar dari gang. dan melihat seorang pria sedang memperhatikan
mereka. Jantungnya serasa berhenti.
Dog juga melihat orang itu. la menyumpah, tangan kanannya mengangkat potongan
besi ke arah laki-laki itu. Tiba-tiba Micky menyadari sesuatu dan dengan cepat
berkata, "Tidak perlu. Lihatlah dia."
Laki-laki itu memiliki mulut melorot dan pandangan kosong. Rupanya ia idiot.
Dog membatalkan niatnya. "Dia tidak akan menyulitkan kita."
Micky segera melangkah pergi, meninggalkan dua bajing itu yang sedang sibuk
mencopot sepatu bot Tonio. Ia berharap takkan pernah melihat mereka lagi. Micky
masuk ke dalam Hotel Russe. Belum ada satu petugas pun di meja resepsionis.
Micky merasa lega. Dengan langkah pasti ia naik ke tingkat dua.
Hotel Russe terdiri atas tiga rumah yang disambung jadi satu, dan Micky
membutuhkan beberapa menit sebelum menemukan kamar nomor 11.
Kamar itu sesak, agak kotor, dan dilengkapi perabot tua model klasik. Micky
meletakkan topi dan tongkatnya di kursi. Secara sistematis ia mulai mencaricari. Di meja tulis ia menemukan sebuah salinan artikel dari koran The Times,
yang lalu diambilnya. Kurang berharga sebenarnya. Tonio bisa saja menulis dari
ingatan, bukan dari bahan tulisan. Yang dicarinya adalah BUKTI TERTULIS. Tanpa
bukti ini, artikel Tonio akan dianggap isapan jempol belaka oleh pers. Apalagi
pembaca. 406 Di dalam laci lemari ia menemukan sebuah novel The Duchess of Sodom. Hampir saja
ia masukkan ke dalam saku mantelnya, tapi batal karena risikonya tidak sebanding
dengan nilai buku. Lalu ia melanjutkan ke lemari pakaian. Baju dan celana
diperiksa. Juga tumpukan pakaian dalam. Tidak ada apa-apa.
Ia memang tidak mengharapkan bisa menemukan apa yang dicarinya di tempat yang
mudah ditemukan. Ia naik ke atas meja tulis, mencoba melihat bagian atas lemari pakaian. Tidak
ada apa-apa, hanya endapan debu.
Ditariknya seprai ranjang, memeriksa bantal, meraba-raba bagian atas kasur.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Di bawah kasur.
Sebuah amplop besar berisi lembaran kertas yang diikat dengan pita yang biasa
dipakai para pengacara. Sebelum sempat memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah
kaki di depan kamar. Dengan gesit ia menjatuhkan bundel dokumen dan bersembunyi di belakang pintu
kamar. Tidak ada yang masuk. Langkah kaki itu makin menjauh dan hilang.
Ia membuka dokumen itu dan memeriksa isinya. Ditulis dalam bahasa Spanyol dengan
cap stempel dari seorang pengacara di Palma, ibukota Kordoba. Ungkapan saksi
mata tentang apa yang terjadi di tambang milik Papa: Penyiksaan dan pembunuhan
atas para pekerja tambang, dewasa, wanita, anak-anak. Segala usia.
Micky mencium bundel berkas itu. Jawaban atas doanya^ selama dua hari ini.
Ia memasukkan semuanya ke dalam saku mantelnya. Sebelum membakar semuanya, ia
akan mencatat nama-nama dan alamat para saksi dan mengirimkannya ke Papa. Dalam
beberapa hari mereka akan hilang dari peredaran. Itu sudah pasti.
Ada lagi yang masih tertinggal" Diperiksanya sekali
407 lagi seluruh ruangan kamar yang berantakan. Tak ada lagi yang ia butuhkan. Tidak
akan ada lagi bukti untuk artikel Tonio, dan tanpa bukti, cerita Tonio tidak
akan ada nilainya. Ia meninggalkan kamar dan menuruni tangga hotel.
Sial, ada petugas di balik meja resepsionis. Si petugas mengangkat kepala dan
bertanya dengan nada menantang, "Bisa saya bantu?"
Micky cepat membuat keputusan. Menjawab pertanyaan si petugas, berarti akan
membiarkan dia melihat wajahnya, kalau tidak menjawab, paling-paling ia akan
dianggap kasar dan tidak sopan. Maka ia tidak mengatakan apa-apa dan langsung
keluar. Si petugas tidak mengejarnya.
Ketika melangkah keluar hotel, ia mendengar suara sayup rintihan minta tolong.
Rupanya berasal dari Tonio, karena tak lama kemudian ia melihat bekas teman
sekelasnya itu merangkak pelan di jalanan depan hotel, darahnya menetes di atas
jalan. Pemandangan itu membuat Micky mual. Dengan jijik ia menahan diri, lalu
melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
[III] SORE hari, para wanita dan pria kaya yang tidak mempunyai kegiatan akan saling
bertandang. Kebiasaan yang melelahkan dan membosankan. Dalam seminggu, Maisie
akan menghindar selama empat hari, menyuruh pelayannya mengatakan ia tidak ada
di rumah. Baru pada hari Jumat ia mau menerima tamu. Bisa mencapai dua puluh
sampai tiga puluh orang: Kalangan kaya dari Marlborough, golongan Yahudi,
radikal seperti Rachel Bodwin, dan beberapa istri relasi kaya Solly. Emily
Pilaster termasuk kategori terakhir itu. Suami-408
nya, Edward Pilaster, punya bisnis dengan Solly: Proyek jalan kereta api di
Kordoba. Maisie menduga kedatangan Emily sehubungan dengan soal bisnis ini. Tapi
ia belum juga beranjak pada pukul setengah enam sore, ketika semua tamu sudah
pulang. Emily berwajah cantik, dengan mata biru besar. Usianya baru dua puluh tahun,
tapi setiap orang bisa melihat ada kesedihan dalam dirinya. Maisie tidak heran
ketika ia bertanya pelan, "Bisakah aku membicarakan sesuatu yang pribadi sekali
sifatnya?" , "Tentu... apa itu?"
"Kuharap... kuharap Anda tidak tersinggung, sebab tidak ada lagi yang bisa kuajak
bicara tentang hal ini?"
Kedengarannya seperti masalah seks. Ini bukan pertama kalinya wanita muda datang
ke Maisie, menceritakan masalah seks mereka yang tabu dibicarakan dengan ibu
sendiri. Mungkin dengan Maisie mereka merasa lebih percaya, atau mungkin mereka
sudah mendengar tentang masa lalunya. "Jangan ragu, tidak gampang membuatku
tersinggung. Apa masalahmu?"
"Suamiku membenci diriku," isaknya.
Maisie merasa simpati. Ia tahu dan kenal Edward sejak ia masih kerja di Argyll.
Pria yang menjijikkan. Tidak heran jika sekarang ia makin memuakkan. Maisie bisa
bersimpati pada siapa pun yang kawin dan tinggal serumah dengan pria seperti
Edward. "Perlu Anda ketahui," lanjut Emily dengan terisak tangisnya. "Kedua orangtuanya
ingin dia menikah, tapi dia selalu menolak, jadi mereka menawarkan uang dan
kemitraan dalam bank keluarga. Akhirnya dia mau menikah. Aku sendiri juga mau
karena kelihatannya dia pria yang sopan dan aku sudah ingin punya anak. Tapi dia
tidak pernah menyukaiku, dan sejak memperoleh uang serta kemitraan, dia makin
benci padaku." Maisie menghela napas. "Memang kejam, tapi kau tidak sendirian. Banyak wanita
yang senasib denganmu.v SBOOK BY OBI

Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PRC/TXT BY OTOY Emily menghapus air matanya dengan sapu tangan sambil berusaha menghentikan
tangisnya. "Aku tahu, dan aku tidak mau Anda berpikir bahwa aku sekarang
menyesal telah menikah dengannya. Aku hanya ingin memperbaiki keadaan. Aku bisa
melupakan semuanya jika saja aku punya anak. Hanya itu yang kudambakan saat
ini." Anak-anak memang bisa dijadikan penghiburan bagi para istri yang tidak bahagia
dalam perkawainan, pikir Maisie. Ia menanyakan, "Apakah ada alasan kenapa kalian
tidak punya anak sampai sekarang?"
Emily tampak gelisah, sebentar-sebentar memindahkan posisi duduknya. Wajahnya
yang kekanak-kanakan memerah karena malu, tapi tampaknya ia sudah membulatkan
tekad. "Aku sudah hampir dua tahun menikah dan sampai sekarang belum ada
hasilnya." "Masih terlalu dini untuk..." "Tidak, aku tidak berharap akan langsung mengandung saat ini."
Maisie tahu wanita muda kadang sulit berterus terang, maka ia mencoba menuntun
Emily dengan pertanyaan. "Apakah dia pernah menyentuhmu?"
"Dulu ya, setelah itu tidak pernah lagi."
"Ketika itu, ada yang salah dengan kalian?"
"Masalahnya... aku sendiri tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan sebagai
suami-istri." Maisie mendesah lagi. Bagaimana seorang ibu bisa membiarkan putrinya masuk ke
pelaminan tanpa mengajarkan lebih dahulu apa arti malam pertama dalam
perkawinan" Maka ia pun menjelaskan pada Emily, apa yang seharusnya terjadi
antara suami-istri. Wajah Emily bersemu merah mendengarnya. "Akukah yang salah kalau dia tidak bisa
melakukannya denganku, Mrs. Greenbourne?"
"Bukan, ini bukan salahmu, tapi pria memang cenderung menyalahkan wanita. Yang
dialami suamimu adalah masalah umum kaum pria. Disebut impotensi."
410 "Apa penyebabnya?" "Banyak sekali."
"Apakah ini berarti aku tidak akan bisa punya anak?" "Ya, sampai suamimu bisa
berfungsi dengan semestinya."
Emily hampir menangis lagi. "Aku begitu menginginkan anak. Aku kesepian dan
tidak bahagia. Seandainya aku punya anak, aku bisa melupakan semua ini."
Maisie jadi berpikir, apakah masalah utama yang membuat Edward impoten. Edward
yang dulu dikenalnya sama sekali tidak impoten. Apa yang bisa ia lakukan untuk
menolong Emily" Ia bisa menyelidiki apakah Edward memang sekarang jadi impoten
atau hanya jika dengan istrinya. Ya, ada satu orang yang bisa membantunya April?Tilsley, sobat lamanya. Terakhir ia dengar dari Tilsley, Edward masih sering
datang ke rumah bordil Nellie. Tapi itu sudah beberapa tahun yang silam. Sulit
bagi seorang nyonya-terhormat untuk bergaul erat dengan pemilik rumah bordil
terkenal. "Kita bisa minta tolong pada seseorang yang kenal baik dengan Edward,"
katanya hati-hati. Mungkin dia bisa menolongmu."
Emily jagi gugup. "Maksud Anda, Edward punya pacar gelap" Tolong katakan padaku.
Aku harus menghadapi kenyataan ini."
Dia gadis yang keras hati, pikir Maisie. Dia mungkin saja masih polos dalam hal
laki-laki, tapi ia punya kemauan keras jika menghendaki sesuatu. "Wanita ini
bukan pacar Edward. Tapi, jika dia memang punya, temanku ini pasti tahu."
Emlly mengangguk. "Ya, aku ingin sekali bertemu teman Anda itu."
"Tapi aku ragu apakah orang seperti kau perlu pergi ke..."
"Aku p?rlu pergi. Edward adalah suamiku, dan kalau ada yang jelek tentang
dirinya, aku perlu tahu." Wajah 411 nya kembali mengeras. Sambungnya, "Aku bersedia melakukan apa saja. Percayalah.
Apa saja, sebab jika tidak, hidupku akan kering."
Maisie mencoba sekali lagi. "Nama sobatku April. Dia punya rumah bordil di dekat
Leicester Square. Jaraknya sekitar dua menit dari sini. Kau mau ke sana sekarang
juga?" "Apa itu rumah bordil?" tanya Emily.
Kereta kuda mereka diparkir agak jauh dari depan Nellie's. Tengok kanan-tengok
kiri dan setelah merasa tidak ada yang kenal, mereka berdua turun. Maisie tidak
mau mengambil risiko ada yang tahu ia masuk ke rumah bordil paling terkenal di
London. Untunglah, saat-saat begini orang-orang kelas atas sedang mempersiapkan
diri untuk keluar makan dan pesta malam hari. Di jalan hanya ada beberapa orang
kelas bawah. Setelah membayar sewa kereta, mereka segera masuk. Pintu depan
tidak dikunci. Sekarang mereka sudah berada di dalam.
Sore hari jelas bukan harinya rumah bordil macam Nellie. Di bawah sinar lampu
malam, interior ruang dalamnya bisa tampak gemerlapan, tapi di bawah mentari
sore, ruangan itu kelihatan kusam dan lusuh. Gorden dan karpetnya tampak lusuh,
di permukaan meja tampak bekas-bekas api rokok dan gelas. Lukisan erotiknya juga
tampak vulgar. Seorang wanita tua dengan pipa rokok di mulut sedang menyapu
lantai. Ia sama sekali tidak terkesan melihat kedatangan dua nyonya terhormat
yang berbusana kelas atas. Ketika ditanya di mana bisa bertemu April, ia hanya
menunjuk sekejap ke lantai dua.
Mereka menemukan April di dapur lantai dua, sedang menikmati teh bersama
beberapa anak buahnya. Semuanya bergaun tidur atau pakaian dalam saja; jalas
mereka belum berdandan untuk menyambut para langganan.
412 April tidak mengenal Maisie lagi. Mereka berdua saling bertatap mata. Cukup
lama. Di mata Maisie, sobat lamanya tidak banyak berubah: masih kurus, wajahnya
makin keras dengan pandangan tajam; parasnya tampak capek, mungkin karena
terlalu sering bergadang tiap malam dan terlalu banyak minum sampanye murahan;
tapi pembawaannya penuh percaya diri sebagai seorang pelaku bisnis hiburan yang
berhasil. "Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya tegas.
"Kau tidak kenal aku lagi, April?" tanya Maisie; dengan seketika April melompat
dan memeluk wanita di depannya.
Ketika mereka selesai berpelukan dan bercium pipi, April berkata pada para anak
asuhnya, "Lihat, inilah wanita yang memperoleh apa yang kita impikan sejak lama.
Dulu namanya Miriam Rabinowicz, lalu menjadi Maisie Robinson, dan sekarang
dikenal sebagai Mrs. Solomon Greenbourne!"
Para wanita langsung bersorak-sorai, seakan sedang menghadapi seorang pahlawan.
Maisie menjadi jengah; ia tak pernah mengira April akan terang-terangan
menceritakan masa lalunya, apalagi di depan Emily Pilaster! Tapi semuanya sudah
terlambat. "Mari kita rayakan peristiwa ini dengan minum gin dulu," ajak April. Mereka
duduk bersama dan salah satu anak asuh April membawa sebotol minuman serta
beberapa gelas. Sebenarnya Maisie tidak pernah suka minum gin, apalagi sekarang
ia terbiasa minum sampanye terbaik. Tapi demi persahabatan lama, ia memaksakan
diri menelannya. Dilihatnya Emily juga menelan dengan terpaksa. Belum juga
habis, gelas mereka segera diisi kembali.
"Nah, apa yang membuatmu datang ke sini" tanya April.
"Masalah perkawinan," jawab Maisie. "Temanku ini punya masalah. Suaminya
impoten." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Bawa saja dia ke sini, Sayang," gurau April. "Kami akan melatihnya jadi normal
kembali." "Kurasa dia sudah biasa ke sini," kata Maisie. "Siapa namanya?" "Edward
Pilaster." April kaget. "Oh, Tuhan." Dengan serius ia memandangi Emily. "Jadi, kamu Emily.
Gadis malang/' "Kau tahu namaku," kata Emily. Ia tampak canggung. "Berarti dia pernah
membicarakan diriku denganmu." Direguknya lagi isi gelas gin di tangannya.
Salah satu anak buah April berkomentar, "Edward tidak impoten."
Pipi Emily memerah. "Maafkan aku," kata wanita itu. "Soalnya Edward selalu memesanku." Ia bertubuh
tinggi dengan rambut gelap dan dada besar. Dalam pandangan Maisie, penampilannya
tidak begitu meyakinkan, apalagi dengan rokoknya yang terus-menerus menempel di
bibir serta gaun tidurnya yang lusuh; tapi mungkin kalau sudah berdandan ia jadi
tampak menarik. Emily bicara lagi setelah bisa mengatasi rasa terpananya. "Aneh," komentarnya.
"Edward adalah suamiku, tapi kau lebih mengenalnya daripada aku. Bahkan aku
tidak tahu siapa namamu."
"Lily." Ruangan itu tiba-tiba diselimuti kesenyapan. Hanya suara Maisie yang mencerucup
gin di gelas; aneh, sekarang terasa lebih enak. Ia merasa situasi saat ini
sangat aneh: dapur, para wanita penghibur, gin, dan Emily yang sejam lalu masih
belum tahu soal hubungan seks, tapi sekarang sedang membahas impotensi suaminya
dengan pelacur favoritnya.
"Baiklah." kata April tiba-tiba. "Sekarang kau sudah mendapatkan jawabannya.
Kenapa Edward jadi impoten denganmu, istrinya sendiri" Kurasa karena sobat
karibnya si Micky tidak ada di dekatnya. Edward tidak
414 pernah bisa main dengan wanita jika dia sendirian di kamar."
"Micky?" tanya Emily polos. "Micky Miranda" Duta Besar Kordoba?"
April mengangguk. "Mereka selalu bersama-sama, terutama di sini. Pernah juga
Edward datang sendiri ke sini, tapi percuma saja. Dia tak bisa berfungsi sama
sekali." Emily tampak bingung. Maisie menolong dengan bertanya secara langsung. "Kalau
mereka berdua, apa yang mereka lakukan?"
Lily yang menjawab. "Permintaan mereka tidak begitu rumit. Mereka mencoba
beberapa variasi. Saat ini yang mereka suka adalah tidur berdua dengan satu
wanita. Biasanya aku atau Muriel."
Maisie berkata lagi, "Tapi apakah Edward bisa berfungsi?"
Lily mengangguk. "Tidak diragukan." "Menurutmu dia hanya bisa beraksi kalau
bertiga seperti itu?"
Lily mengernyitkan dahinya. "Kurasa tidak peduli siapa gadisnya, atau dalam
situasi apa pun, selama ada Micky, dia tidak impoten. Jika sendirian, dia tak
bisa apa-apa." "Seakan kepada Mickylah sebenarnya Edward bernafsu?" kejar Maisie.
Dengan pelan Emily menyela, "Aku serasa sedang bermimpi... mimpi buruk."
Direguknya gelas gin-nya. "Apakah semua ini benar-benar terjadi" Apakah akan
terus-menerus begini?"
April menjawab, "Perlu kau ketahui, mereka berdua cukup sopan dibanding para
pelanggan lain yang buas."
Bahkan Maisie sendiri ikut terpana. Di benaknya melayang kejadian beberapa tahun
silam, ketika pada suatu malam ia sedang bercinta untuk pertama kalinya dengan
Hugh. Edward tiba-tiba masuk, meradang penuh
415 nafsu. Sekarang ia tahu apa yang bisa membuat Edward bernafsu: jika melihat pria
lain bercinta dengan seorang wanita, lalu ia ikut ambil bagian. Singkatnya, ia
hanya bernafsu pada wanita bekas pakai. "Ya, dia hanya bernafsu pada wanita
bekas pakai!" Beberapa wanita tertawa geli.
"Ya, bekas pakai. Tepat sekali!" sambut April dengan geli.
Emily tampak masih bingung. "Aku tidak mengerti."
April menjelaskan. "Ada pria yang hanya bergairah pada wanita yang baru saja
bersama pria lain." Suara gelegar tawa para anak buah April memenuhi ruangan.
Emily ikut geli, dan segera suara tawa para wanita menggelegar memenuhi ruangan
itu. Akhirnya mereka semua kelelahan tertawa. Setelah suasana kembali tenang, Maisie
berkata, "Tapi sekarang bagaimana kita menolong Emily" Dia ingin sekali punya
anak dari Edward. Sudah tentu dia tidak akan mengundang Micky ikut tidur bersama
dia dan suaminya." Wajah Emily kembali suram.
April menatap Emily, lalu bertaya, "Sampai sejauh mana kau menghendaki anak dari
suamimu, Emily?" "Akan kulakukan apa saja," jawab Emily dengan suara tegar. "Benar, apa saja... apa
saja!" "Jika memang begitu, bisa kubantu. Ada sesuatu yang bisa kita kerjakan."
[IV] JOSEPH PILASTER baru saja menghabiskan sepiring besar jeroan domba campur telur,
lalu mulai memoles sepotong roti dengan mentega. Augusta sering berpikir, apakah
sifat pemarah pria setengah baya ada
416 hubungannya dengan banyaknya daging yang mereka makan. Memikirkan jeroan saja
sudah membuat isi perutnya hampir tumpah.
"Sidney Madler datang ke London," kata Joseph tiba-tiba. "Aku ada janji bertemu
dia pagi ini." Untuk sesaat Augusta tidak menangkap makna ucapan suaminya. "Madler?" tanyanya.
"Madler. Dari New York. Dia marah karena Hugh tidak menjadi mitra di Pilasters
Bank." "Apa urusannya?" tanya Augusta jengkel. "Tidak sopan!" komentarnya tak acuh,
kendati dalam hatinya mulai bergejolak rasa khawatir.
"Aku tahu apa yang akan dia katakan," kata Joseph. "Ketika kita melakukan kerja
sama dengan Madler and Bell, sudah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa operasi
di London akan dikelola oleh Hugh. Dan sekarang, kau tahu kan, Hugh sudah minta
berhenti." "Ya, tapi bukan kau yang meminta dia berhenti."
"Benar, tapi aku bisa saja menahannya jika kutawarkan kemitraan dalam bank."
Bahaya! Joseph kedengarannya mulai melemah, pikir Augusta cemas. Menakutkan. Ia
harus mulai memompa semangat suaminya kembali. "Aku percaya kau tidak akan
mengizinkan pihak luar ikut menentukan siapa yang bisa dan tidak bisa menjadi
mitra di Pilasters Bank."
"Sudah tentu aku tidak akan membiarkan seorang pun mendikteku."
Sebuah pertanyaan melintas di benak Augusta. "Apakah Mr. Madler bisa
menghentikan kerja sama bank?"
"Btsa saja. Tapi sejauh ini dia belum mengatakan apa-apa."
"Apakah akan merugikan bank?"
"Ya. Nilainya besar. Tapi jika Hugh pergi ke bank Greenbournes, dia pasti akan
membawa serta nasabah dan jaringan bisnisnya... itu yang akan sangat merugikan
Pilasters Bank." 417 "Jadi, apa yang dipikirkan Madler tidak banyak membuat perbedaan."
"Mungkin tidak. Tapi aku harus menemui dia dulu. Dia sudah jauh-jauh datang dari
New York untuk meributkan soal kepergian Hugh."
"Katakan padanya Hugh membandel dengan menikahi wanita murahan yang bisa
merugikan citra bank kita."
"Ya, akan kukatakan begitu," sambut Joseph sambil berdiri. "Sampai nanti malam,
Sayang." Augusta ikut berdiri dan mencium bibir suaminya. "Jangan sampai kena pengaruh
orang luar, Joseph," katanya.
Joseph menegakkan kedua bahunya dan dengan mantap menyahut, "Tentu."
Ketika suaminya sudah pergi, Augusta duduk kembali sambil menikmati kopinya. Ia
mencoba mereka-reka, seberapa serius kerugian yang akan diakibatkan oleh
kepergian Hugh. Ia telah mencoba mempengaruhi Joseph agar tidak cemas atau
mengalah pada orang luar, tapi tentu ia tak bisa selalu ikut campur. Ia harus
terus memantau situasi ini.
Ia tak menyangka bahwa kepergian Hugh dari bank akan membawa banyak kerugian.
Tidak terpikir olehnya bahwa dengan menempatkan Edward sebagai mitra dan
menjatuhkan Hugh, mereka akan kehilangan uang banyak. Apakah ia telah
membahayakan bank yang merupakan pilar dari seluruh impian dan cita-citanya"
Tapi tak mungkin. Pilasters Bank begitu besar dan kaya. Apa pun yang ia perbuat
tidak akan membuat bank itu bangkrut.
Ketika ia masih menyelesaikan sarapannya, Hastead datang memberitahukan bahwa
Mr. Fortescue ingih bertemu. Dengan cepat Augusta membuang bayangan Sidney
Madler dari benaknya. Bertemu dengan tamu yang ini jauh lebih penting bagi
rencananya. Jantungnya berdebar keras.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Michael Fortescue adalah politisi yang ia biayai dan sekarang sudah menjadi
salah satu pionnya. Dengan bantuan keuangan dari Joseph, Fortescue memenangkan
kursi Deaconridge, lalu menjadi anggota Parlemen. Augusta sejak awal telah
mengatakan padanya, bahwa ia membayar bantuan keuangan dari keluarga Pilaster
dengan mengatur agar Joseph mendapat gelar bangsawan. Bantuan yang ia keluarkan
mencapai lima ribu pound cukup untuk membeli rumah mewah di London tapi itu ? ?tidak seberapa dibandingkan hasil yang akan ia peroleh. Saat untuk bertamu
biasanya sore hari, jadi tamu-tamu yang datang pagi hari biasanya punya urusan
penting. Kedatangan Michael Fortescue sepagi ini pasti untuk memberi kabar
tentang gelar itu. Jantungnya berdebar makin keras memikirkan kemungkinan ini.
"Suruh dia tunggu di ruang tamu dalam," perintahnya pada kepala pelayannya. "Aku
akan segera menemuinya." Ia mencoba menenangkan dirinya dulu.


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejauh ini kampanyenya sudah berjalan sesuai rencana. Arnold Hobbes telah
menulis beberapa artikel di The Forum dengan topik: Sudah saatnya memberi gelar
bangsawan sebagai penghargaan pada wakil dari dunia bisnis. Lady Morte juga
telah membicarakan soal ini dengan Ratu, dan secara tak langsung telah
menceritakan kehebatan Joseph. Menurut pengamatannya, Ratu cukup terkesan.
Selain itu, Fortescue sendiri telah bicara dengan Perdana Menteri Disraeli soal
ini. Sekarang ia tinggal menunggu memetik buahnya.
Menunggu hasil rencananya membuat Augusta tegang, dan rasanya hampir tak
tertahankan lagi. Dengan berdebar-debar ia bergegas naik tangga, kepalanya
berdengung dengan ucapan-ucapan yang telah lama ia dan Lady Whitehaven... Earl dan
Countess of Whitehaven... tentu, my Lady... seperti yang diinginkan oleh my Lady"
Ruang tamu dalam terletak di dekat lobi luar rumah, dan bisa dicapai dengan naik
tangga sebentar. Ada 419 sebuah jendela yang menghadap ke jalan. Selain itu, ada satu keistimewaan ruang
tamu itu. Satu jendelanya menghadap ke aula utama. Orang-orang di aula tidak
akan tahu jika sedang diawasi, dan selama bertahun-tahun Augusta telah melihat
banyak pemandangan unik dari jendela ini. Ruang tamu dalam ini kecil dan nyaman,
dengan langit-langit rendah dan perapian. Pada pagi hari, Augusta biasa menerima
tamu di ruang ini. Michael Fortescue berwajah tampan, tinggi, dan tangannya besar. Ia tampak
gelisah, duduk menunggu. Augusta masuk dan langsung duduk di sebelahnya,
memberinya salam hangat serta senyum menawan. n
Ia langsung melaporkan. "Aku baru saja bertemu Perdana Menteri."
Augusta hampir tak bisa berbicara. "Lalu, kau membicarakan soal gelar
kebangsawanan itu?" "Ya, kami membicarakan soal ini. Aku berhasil meyakinkan betapa pentingnya
mengangkat wakil dari dunia bisnis di House of Lords, dan dia setuju, bahkan
sudah merencanakan akan menunjuk siapa yang pantas mendapatkan gelar
kebangsawanan ini." "Bagus sekali!" kata Augusta lega. Tapi mengapa Fortescue masih kelihatan tegang
serta gelisah tak menentu" "Lalu kenapa kau lesu begini?"
"Masalahnya, ada berita buruk yang menyangkut keputusan ini," jawab Fortesque
takut-takut. "Apa?" "Beliau ingin memberikan gelar itu kepada Ben Greenbourne."
"Apa" Tidak!" jerit Augusta panik. Perutnya serasa tertusuk. "Bagaimana itu bisa
terjadi?" Fortescue menjadi defensif. "Kukira beliau bisa memberikan gelar itu pada siapa
saja yang dia inginkan. Dia perdana menteri."
"Ya, tapi aku tidak melakukan semua ini untuk keuntungan Ben Greenbourne!"
420 "Ya, aku setuju, memang ironis sekali," jawab Michael Fortescue. "Aku telah
berusaha." "Jangan cepat menyerah begitu, apalagi kalau kau mengharapkan sokonganku untuk
pemilihan kelak." Mata Fortescue memancarkan kejengkelan dan pemberontakan, dan sesaat Augusta
mengira ia telah kehilangan simpati pria itu. Ia menduga Fortescue akan
mencampakkannya sekarang. Tapi ternyata pria itu berkata, "Maaf, aku juga
menyesal dengan kehendak Perdana Menteri ini."
"Tenang, biar kupikirkan jalan keluarnya," sela Augusta cemas. Ia berdiri dan
mondar-mandir di ruang kecil itu. "Kita harus menemukan cara untuk mengubah
pikiran Perdana Menteri... misalnya dengan menciptakan suatu skandal pada diri Ben
Greenbourne. Kira-kira apa kelemahannya" Putranya menikah dengan perempuan
murahan, tapi itu tidak cukup." Tiba-tiba ia teringat, gelar kebangsawanan Ben
kelak akan diwariskan kepada putranya, dan otomatis istrinya juga berhak
menyandangnya. Bulu romanya bergidik memikirkan Maisie akan menyandang gelar
bangsawan, dan semua itu berkat upaya dan uangnya. Memikirkannya saja sudah
menyakitkan. "Apa kira-kira aliran politik keluarga Greenbourne?" "Tidak ada
yang tahu pasti." Ia menatap politisi muda di depannya. Pria itu tampak kesal. Ia s^dar bahwa ia
harus segera mengubah sikapnya. Ia segera duduk di dekat Fortescue, meraih
tangannya yang besar, dan mendekapnya dengan kedua tangannya sambil berkata,
"Aku tahu naluri politikmu tajam sekali. Sejak awal, itulah yang membuatku
kagum. Cobalah mengira-ngira, apa paham politik keluarga itu."
Fortescue segera luluh, persis seperti pria-pria lain jika sudah dirayu oleh
Augusta. "Jika didesak, mungkin mereka mengaku beraliran Liberal. Kebanyakan
orang bisnis berpaham Liberal, begitu juga kebanyakan orang Yahudi. Tapi karena
Ben tidak pernah mengeluarkan
pendapat politiknya, sukar menjadikan dia musuh kaum Konservatif yang berkuasa
sekarang." "Dia orang Yahudi," kata Augusta. "Ya, inilah kunci kita."
Fortescue agak bingung. "Perdana Menteri sendiri orang Yahudi, tapi dia bisa
memperoleh gelar bangsawan Lord Beaconsfield."?"Ya, aku tahu, tapi dia sekarang sudah menjadi orang Kristen. Selain itu..."
Fortescue mengangkat alis matanya.
"Naluriku yang membisikkan hal ini. Keyahudian Ben yang akan menjadi kunci." i
"Kalau ada yang bisa kulakukan..."
"Kau telah banyak membantuku. Untuk kali ini belum, tapi nanti kalau Perdana
Menteri mulai meragukan Ben Greenbourne, ingatkan padanya bahwa ada Joseph
Pilaster yang bisa menjadi alternatif yang aman."
"Akan kulakukan, Mrs. Pilaster."
Lady Morte tinggal di sebuah rumah besar di Curzon Street yang harganya
sebenarnya di luar jangkauan suaminya. Pintu depan dibukakan oleh seorang
penjaga pintu berseragam ketika Augusta datang. Ia diantar ke sebuah ruang tamu
yang dipenuhi pernak-pernik mahal dari toko di Bond Street: tempat lilin dari
emas, pigura dari perak, ornamen porselen, vas bunga dari kristal, dan sebuah
tempat pena antik bertatahkan berlian yang mungkin seharga kuda pacu yang masih
muda. Augusta merasa Harriet Morte tidak pantas membelanjakan uangnya yang
senantiasa kurang untuk membeli benda-benda mahal seperti ini. Tapi justru sifat
pemboros itulah yang dengan mudah bisa ia manfaatkan.
Sambil menunggu nyonya rumah, ia mondar-mandir di sekeliling ruangan. Rasa panik
makin merambati dirinya bila ia memikirkan prospek Ben Greenbourne yang akan
memperoleh gelar bangsawan. Ia takkan sangSBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY gup melakukan kampanye semacam ini untuk kedua kalinya. Dan yang lebih
mengerikan adalah memikirkan ia harus menghadapi kemungkinan Maisie si jahanam ?itu menyandang gelar bangsawan.
?Lady Morte masuk, lalu berkata basa-basi, "Oh, senang sekali Anda datang sepagi
ini!" Nadanya terdengar menyindir, karena Augusta bertamu sebelum tengah hari.
Dari busananya tampak ia belum sempat berdandan rapi. Rambutnya yang berwarna
perak juga kelihatan belum rapi disisir.
Tapi kau terpaksa menerima kedatanganku, bukan" pikir Augusta. Kau tidak punya
pilihan, karena aku bisa setiap saat menagih utangmu di bank.
"Aku datang ingin berkonsultasi pada Anda," sapanya dengan nada selembut
mungkin. "Sesuatu yang sangat mendesak."
"Ya, apa yang bisa kubantu?"
"Perdana Menteri telah setuju menganugerahkan gelar bangsawan pada seorang
bankir." "Hebat sekali. Aku sudah mengatakan hal ini pada Yang Mulia^Ratu. Rupanya ada
pengaruhnya juga." "Sayangnya gelar itu akan diberikan pada Greenbourne."
"Oh, sayangku. Betapa tidak beruntungnya kalian."
Augusta bisa merasakan Harriet Morte sebenarnya senang mendengar kemalangan yang
akan menimpa dirinya. Ia benci pada Augusta. "Bukan hanya tidak beruntung,"
sanggah Augusta. "Aku telah mengeluarkan tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak
sedikit untuk gelar ini, dan sekarang yang akan memetik hasilnya adalah saingan
terbesar suamiku, Ben Greenbourne."
"Ya, aku mengerti."
"Kuharap kita bisa mencegah hal ini terjadi." "Aku tidak yakin apakah kita bisa
melakukannya." Augusta pura-pura berpikir keras. "Gelar kebangsawanan harus
disetujui Sri Ratu, benar kan?"
423 "Ya, pasti. Secara teknis, beliaulah yang menganugerahkan gelar ini."
"Jadi, dia bisa saja melakukan sesuatu, jika Anda memintanya."
Lady Morte tergelak. "Mrs. Pilaster, Anda terlalu membesar-besarkan kemampuanku.
"Augusta pura-pura tidak mendengar sindiran si nyonya rumah. Lanjut Lady Morte,
"Sri Ratu tidak akan memperhatikan masukan dariku jika itu menyangkut usulan
Perdana Menteri. Selain itu, apa yang akan menjadi dasar keberatanku?"
"Greenbourne adalah orang Yahudi."
Lady Morte mengangguk. "Kasus seperti itu memang pernah menjadi pertimbangan
beliau. Aku ingat ketika Gladstone mengusulkan Lionel Rothschild diberi gelar
bangsawan. Ratu menolaknya mentah-mentah. Tapi itu sepuluh tahun yang lalu.
Sejak itu kita punya Disraeli."
"Ya, tapi Disraeli beragama Kristen, sedangkan Greenbourne tetap menganut agama
Yahudi-nya." "Apa itu ada bedanya?" gumam Lady Morte. "Tapi bisa juga. Sri Ratu masih sering
mengritik putra mahkota Pangeran Wales karena terlalu banyak bergaul dengan
orang Yahudi." "Jadi, kalau Anda bersedia menyampaikan fakta pada beliau bahwa Perdana Menteri
akan mengusulkan seorang Yahudi menjadi bangsawan..."
"Bisa saja aku menyinggung hal ini secara tak langsung. Kupastikan beliau akan
mendengarkan hal ini."
Augusta masih belum puas. Berpikir keras. Lalu ber^ tanya, "Apa yang bisa
kulakukan untuk membuat Sri Ratu makin memperhatikan bisikan Anda?"
"Jika bisa diatur, protes masyarakat, debat di parlemen, barangkali, rangkaian
artikel di surat kabar."
"Ya, pers," tanggap Augusta cepat. Di benaknya segera terbayang Arnold Hobbes.
"Ya, tepat. Kurasa aku bisa mengaturnya."
*** 424 Arthur Hobbes jadi serba salah ketika menerima kedatangan Augusta secara
mendadak di kantornya yang sesak dan berantakan. Ia bingung harus melakukan apa
dulu, merapikan kamar kerjanya, atau menyambutnya dengan segera, atau mengajak
Augusta keluar dari kantornya. Akhirnya ia melakukan semuanya seketika, dengan
amat gugup. Memindahkan berkas-berkas dan arsip-arsip yang berantakan dari
lantai ke meja, mengambilkan segelas sherry dan sepiring biskuit, dan dengan
seketika juga mengajak Augusta keluar dari kantornya. Augusta membiarkan ia
gugup selama beberapa menit, lalu berkata dengan tegas, "Tenang, Mr. Hobbes...
duduk dulu dan dengarkan aku."
"Tentu... tentu," jawab Hobbes jengah. Ia mengambil kursi dan duduk menghadap
tamunya dengan patuh. Kacamata bacanya yang bundar dan tipis bertengger di
pangkal hidungnya. Augusta menceritakan inti masalahnya dengan penekanan pada nama Ben Greenbourne
yang akan mendapat gelar kebangsawanan.
"Sangat^disayangkan, sangat disayangkan," gumam Hobbes berulang kali. Suaranya
masih gugup. "Tapi kupikir The Forum tidak bisa disalahkan. Seperti permintaan
Anda, kami telah melakukan kampanye menggebu-gebu tentang pemberian gelar
bangsawan bagi kaum usahawan."
Dan sebagai balas jasa, kau memperoleh jabatan dalam dua perusahaan yang
dikendalikan suamiku, pikir Augusta mengkal. "Aku tahu ini bukan salahmu.
Masalahnya sekarang, apa yang bisa kaulakukan."
"Jurnal saya dalam posisi sulit," sambut Hobbes cemas. "Kami telah
mengkampanyekan dengan aktif soal gelar bangsawan bagi wakil dari bank. Kalau
sekarang kami berbalik menentangnya, bagaimana nanti opini publik?"
"Ya, tapi kalian tidak menginginkan gelar itu diberikan pada orang Yahudi."
425 "Benar, benar, kendati .kebanyakan bankir adalah orang Yahudi."
"Apakah kalian tidak bisa menulis bahwa cukup banyak bankir Kristen yang layak
diberi gelar itu?" "Bisa saja." Nada suaranya agak ragu.
"Kalau begitu, apa yang kalian tunggu?"
"Maafkan saya, Mrs. Pilaster, itu saja tidak cukup."
"Aku tidak mengerti,"'.kata Augusta tak sabar.
"Pertimbangan profesional. Saya membutuhkan berita sensasional yang bisa memikat
sidang pembaca. Misalnya, kita bisa menuduh Perdana Menteri yang sekarang juga ?dikenal sebagai Lord Beaconsfield terlalu memihak pada rasnya sendiri. Itulah
?yang saya sebut berita sensasional. Sayangnya, beliau orang yang sangat tegas,
sehingga berita seperti ini tidak akan dipercaya publik."
Augusta benci dengan masalah yang berputar-putar, tapi ia menyadari masalahnya
memang sangat kompleks. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, "Waktu Disraeli disumpah di
House of Lords, apakah seremoninya formal?"
"Ya, sama dengan yang lainnya."
"Juga mengambil sumpah di atas kitab suci agama Kristen?"
"Ya, pasti." "Perjanjian Lama dan Baru?"
"Saya mulai bisa menangkap arah pikiran Anda, Mrs. Pilaster. Apakah Ben
Greenbourne mau bersumpah di atas kitab suci agama Kristen" Dari wataknya,
kemungkinan dia tidak mau."
Augusta menggelengkan kepala dengan ragu. "Dia mungkin mau saja, jika tidak ada
yang meributkan sejak awal. Dia bukan orang yang suka ribut-ribut, tapi dia
keras hati, tidak senang jika ditantang atau didorong-dorong orang lain untuk
melakukan sesuatu. Jika diperlakukan begitu, dia akan memberontak. Pada
dasarnya, dia tidak senang diperintah orang lain tentang bagaimana bersikap "
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, didesak oleh publik," gumam Hobbes cerah. "Ya, didesak publik."
"Bisakah kau melakukannya melalui jurnalmu?"
Arthur Hobbes jadi bergairah. "Bisa saya bayangkan sekarang, berita besar di
halaman utama: PENGHINAAN DI HOUSE OF LORDS. Anda benar-benar berbakat menjadi
wartawati Mrs. Pilaster!"
"Terima kasihatas pujianmu," kata Augusta; nadanya sinis, tapi Hobbes tidak
menyadarinya. Tiba-tiba Hobbes mundur lagi. "Tapi Ben Greenbourne adalah orang yang sangat
berpengaruh." "Juga Joseph Pilaster!" sahut Augusta tak mau kalah.
"Ya, sudah tentu."
"Kalau begitu, aku bisa mengandalkan kalian?"
Hobbes menimbang-nimbang risikonya dan memutuskan untuk memihak keluarga
Pilaster. "Baiklah, serahkan pada saya."
Augusta mengangguk lega. Ia mulai merasa segala sesuatunya akan kembali memihak
dirinya. Lady Morte akan membuat Sri Ratu tak senang pada Ben Greenbourne,
Hobbes akan melemparkan isu rasialis di jurnalnya, dan Fortescue akan siap pada
saatnya untuk membisikkan ke telinga Perdana Menteri bahwa ada seorang kandidat
lain yang lebih cocok dan netral: Joseph Pilaster. Sekali lagi usahanya akan
membuahkan hasil yang sangat menguntungkan.
Ia bangkit dari kursi dan bersiap pergi, tapi Hobbes berkata dengan agak ragu,
"Boleh saya mengemukakan topik lain?"
"Silakan." "Seorang teman menawarkan satu set mesin cetak yang harganya sangat miring. Saat
ini, Anda tahu, kami memakai percetakan dari luar. Jika kami memiliki mesin
sendiri, biaya produksi akan lebih kecil, sehingga kami bisa mencetak sesuatu
yang lain sebagai tambahan."
"Ya, aku mengerti," jawab Augusta tak sabar.
427 "Bisakah Pilasters Bank memberi kredit komersial?" Inilah rupanya harga dari
bantuan Hobbes atas kampanyenya. "Ya, berapa?"
"Seratus enam puluh pound."
Murah sekali. Jika saja ia sama giatnya meniup isu rasialis Yahudi, seperti
waktu ia mengkampanyekan gelar bangsawan bagi seorang wakil dari dunia
perbankan, berarti uang sejumlah itu benar-benar tidak terbuang percuma.
"Harga itu murah sekali," kata Hobbes.
"Akan kubicarakan dengan suamiku." Sudah tentu suaminya akan setuju, hanya saja
ia tidak mau meninggalkan kesan pada Hobbes bahwa soal uang adalah soal yang
mudah. Dengan demikian, Hobbes akan lebih menghargai nilai uang yang diberikan.
"Terima kasih. Selalu senang melakukan bisnis dengan Anda, Mrs. Pilaster."
"Ya, sudah tentu." jawab Augusta ketus sambil meninggalkan ruangan sumpek itu.
428 BAB EMPAT efltftf [i] KEDUTAAN Kordoba sepi. Kantor-kantor di lantai bawah kosong, karena tiga
pegawainya telah pulang beberapa jam yang lalu. Di lantai satu, ruang makan


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utama, Michael dan Rachel baru saja selesai menjamu para tamu: Sir Peter
Mountjoy, pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri Inggris dan istrinya; juga
Duta Besar Denmark; dan Chevalier Michele dari Kedutaan Itali. Mereka semua
sudah pulang, dan sekarang tinggal mereka berdua. Micky bersiap hendak pergi
mencari hiburan malam hari.
Kenyamanan berumah tangga secara tetap sudah mulai membosankan Micky. Ia sudah
berusaha mengejutkan atau membuat muak istrinya yang sangat tidak berpengalaman
dalam masalah ranjang. Apa saja yang diminta Micky, istrinya akan menyambutnya
dengan antusias. Rachel telah lama memutuskan untuk patuh pada suaminya jika
sudah menyangkut soal ranjang. Belum pernah Micky menemukan seorang wanita yang
begitu logis dan penurut dalam soal seks.
Di ranjang memang ia patuh, tapi tidak dalam urusan lain. Rachel percaya bahwa
di luar urusan seks, wanita harus punya pendapat dan sikap mandiri; dan
prinsipnya 429 ini benar-benar ia praktekkan. Akibatnya mereka selalu bertengkar, mulai dari
masalah sepele sampai ke masalah persamaan hak wanita dengan pria. Kadang-kadang
di tengah pertengkaran misalnya soal uang atau pelayan rumah Micky akan ? ?membungkam istrinya dengan mengajaknya bercinta. Di mana saja. Istrinya akan
menyambut dengan gairah dan segera melupakan pertengkaran mereka. Tapi sekarang
sudah tidak lagi. Kadang-kadang Rachel langsung kembali ke permasalahan yang
mereka pertengkarkan setelah selesai bercinta.
Akhir-akhir ini Micky makin sering pergi ke rumah bordil Nellie bersama Edward.
Juga malam ini. Mereka akan hadir di Pesta Topeng yang diadakan April. April
menjanjikan bahwa malam ini para wanita kalangan atas yang kesepian dan butuh
rangsangan dalam kehidupan seksual mereka akan berbaur dengan para pelacur
biasa. Entah benar atau tidak, malam Pesta Topeng selalu menarik.
Selesai menyisir rambut dan mengisi kotak cerutunya, Micky turun ke lantai
bawah. Rachel sedang menunggu di depan pintu utama. Micky heran. Tidak biasanya
istrinya bersikap seperti itu. Wajah Rachel tampak tegang, ditambah dengan raut
wajah mendung dan kedua tangannya dilipat. Micky bersiap-siap masuk ke dalam
pertengkaran. "Sekarang sudah jam sebelas malam," kata Rachel. "Kau mau pergi ke mana selarut
ini?" "Bersekutu dengan setan," jawab Micky jengkel. "Menyingkirlah, jangan
menghalangi jalan!" Ia menyambar tongkat dan topinya.
"Kau mau ke tempat Nellie?"
Ia kaget dan heran, hingga terdiam sesaat.
"Benar kan, kau mau ke sana?"
"Siapa yang memberitahumu?" tanya Micky.
Mulanya Rachel ragu, tapi kemudian menjawab, "Emily Pilaster. Katanya kau dan
Edward sering ke sana."
"Jangan suka mendengarkan gosip semacam itu!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Wajah Rachel jadi pucat. Micky tahu ia mulai ketakutan. Tidak seperti biasanya.
Mungkin malam ini pertengkaran mereka akan berbeda.
"Kau harus berhenti pergi ke sana," kata Rachel.
"Sudah kukatakan berulang kali padamu, jangan sekali-kali memberi perintah pada
tuanmu!" "Kali ini bukan perintah, tapi ultimatum!" sahut Rachel tegas.
"Jangan ngawur. Minggir!"
"Kau mesti berjanji tidak akan pergi ke rumah lacur itu lagi. Kalau tidak, aku
akan meninggalkan rumah ini malam ini dan tidak akan kembali lagi."
Kali ini dia serius, pikir Micky. Mungkin karena itulah dia kelihatan takut.
Bahkan dia sudah memakai sepatu untuk bepergian. "Kau tidak akan pergi ke manamana," kata Micky. "Kau akan kukunci di kamar."
"Tidak bisa. Aku telah membuang semua kunci. Saat ini tidak ada satu kamar pun
di rumah ini yang bisa dikunci."
Pintar sekali dia, pikir Micky kagum. Rupanya malam ini akan menjadi arena
kontes yang menarik antara dia dan aku. Dengan menyeringai ia berkata, "Lepaskan
gaunmu." "Kali ini tidak, Micky," jawab istrinya mantap. "Dulu kukira kau mencintaiku
dengan caramu sendiri. Sekarang aku sadar bahwa semua itu cuma ilusi. Bagimu
seks hanyalah alat untuk mengendalikan orang lain. Aku ragu kau bisa
menikmatinya." Micky mengulurkan tangan dan meremas dada istrinya. Hangat dan terasa agak
berat, kendati tersembunyi di balik pakaiannya yang berlapis-lapis. Tapi wajah
Rachel tampak beku dan tanpa emosi, la sadar malam ini istrinya tidak akan
takluk. "Ada apa denganmu sebenarnya?"
"Pria bisa ketularan penyakit kotor di tempat seperti itu."
431 "Para wanita di sana sangat bersih." "Kumohon, Micky, jangan pura-pura bersikap
tolol begitu." Rachel benar. Memang tidak ada wanita lacur yang bersih. Selama ini Micky masih
bernasib baik karena selama bertahun-tahun main dengan pelacur, ia hanya satu
kali terkena campak ringan. "Baik, kuakui aku bisa kena penyakit menular dari
mereka." "Dan aku akan ketularan juga."
Micky hanya angkat bahu. "Itu sudah risiko menjadi istriku. Jika aku kena demam,
kau juga bisa ketularan."
"Ya, tapi sipilis bisa menurun."
"Apa maksudmu?"
"Penyakit kelamin bisa menurun ke anak-anak kita. Dan itu yang akan kuhindari.
Aku tidak mau punya anak yang membawa penyakit darimu." Napas Rachel tersengalsengal, tanda menahan emosi berat. Setelah tenang, ia berkata, "Jadi, akan
kutinggalkan rumah malam ini juga, kecuali kau berjanji tidak akan pergi ke
tempat itu lagi." Percuma saja diskusi dilanjutkan. Micky berkata sambil mengayunkan tongkat,
siap-siap memukul istrinya. "Akan kulihat apakah kau masih mau pergi dengan
hidung patah." Ia mengayunkan tongkat sekuat tenaga ke arah istrinya.
Tapi Rachel sudah siap sejak awal. Ia menunduk dan lari ke arah pintu utama.
Micky kaget ternyata pintu itu tidak terkunci. Rupanya ia sudah mempersiapkan
sejak tadi, jika sampai terjadi kekerasan dari suaminya. Dengan gesit Rachel
sudah berada di luar. Micky berusaha mengejarnya. Terlambat, istrinya sudah dinantikan sebuah kereta.
Dengan cepat ia melompat ke dalamnya. Micky terkejut melihat istrinya telah
mempersiapkan segalanya dengan rapi. Tapi ia masih belum menyerah. Dengan
berlari ia mengejar kereta istrinya, namun di depannya menghadang seorang pria
besar 432 dengan topi tinggi. Ayah Rachel, Mr. Bodwin, si pengacara.
."Rupanya kau tidak mau memperbaiki cara hidupmu," kata ayah Rachel.
"Kau menghasut istriku?" gertak Micky. Ia sangat berang karena dikalahkan oleh
istrinya. "Dia meninggalkanmu atas kehendaknya sendiri." Suara Bodwin sedikit bergetar,
tapi ia tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun. "Dia akan kembali padamu
jika kau mau meninggalkan cara hidupmu yang kotor itu. Tapi sebelumnya kau harus
diperiksa dokter dulu dan disembuhkan tuntas jika ternyata kau terkena penyakit
menular." Untuk sesaat Micky bernafsu ingin memukul ayah Rachel, tapi segera mengurungkan
niatnya. Kekerasan bukan cara ia memecahkan masalah. Selain itu, pasti akan ada
tuntutan dari Bodwin, dan skandal yang akan menyudutkan posisinya sebagai duta
negaranya. Rachel tidak berharga untuk diperjuangkan seperti itu.
Lebih baik didiamkan saja, putusnya mantap. Untuk apa aku berkelahi hanya untuk
memperoleh Rachel" "Ambil dia," katanya tegas, "aku sudah jenuh padanya." Ia
berbalik masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu utama.
Di dalam rumah, ia mendengar suara kereta kuda pergi menjauh. Di lubuk hatinya
ia menyesali kepergian istrinya. Memang sejak awal ia menikahi Rachel demi
formalitas saja; juga untuk mempengaruhi Edward agar segera menyusul dirinya.
Hari demi hari ia dan Rachel selalu .bertengkar. Memang melelahkan, tapi
sebenarnya ia senang bisa menemukan mitra bersilat lidah dan beradu argumentasi.
Tapi, di sisi lain, tanpa istri ia bisa hidup lebih bebas.
Setelah menenangkan diri, ia memakai kembali topi tingginya pergi keluar rumah.
Di luar cuaca sangat indah: langit jernih dan bintang gemerlapan. Orang 433 orang tidak perlu membakar batu bara untuk menghangatkan rumah.
Sambil menyusuri Regent Street, benaknya kembali ke masalah bisnis. Sejak
dipukuli sebulan yang lampau, Tonio tak pernah menyebut-nyebut tentang artikel
mengenai tambang nitrat itu. Tonio mungkin masih menyembuhkan luka-lukanya,
sedangkan saksi-saksi hidup di Kordoba pasti sudah dibereskan oleh ayahnya.
Micky sudah mengirimkan identitas mereka. Hugh jadi terpukul karena
kekhawatirannya terbukti terlalu dibesar-besarkan. Edward jadi pemenang.
Sementara itu, Edward berhasil membujuk Solly Greenbourne untuk ikut menjadi
penjamin obligasi proyek jalan kereta api Santamaria. Memang tidak mudah: selama
ini Solly selalu curiga dengan proyek-proyek di Amerika Selatan. Edward berhasil
meyakinkannya dengan memberi jaminan keuntungan besar yang akan dibayar oleh
Pilasters Bank jika sampai gagal. Juga Edward selalu menekankan persahabatan
masa lalu mereka. Tapi, menurut Micky, kebaikan hati Solly-lah yang membuat ia
setuju ikut dalam proyek spekulatif ini.
Saat ini mereka sedang membahas kontrak. Prosesnya lama sekali dan bertele-tele.
Yang membuat Micky gundah bukan lamanya proses, tapi Papa yang selalu marahmarah. Ia ingin memperoleh dananya secepat mungkin. Menurut ayahnya, perjanjian
bisa dibuat hanya dalam beberapa jam.
Tapi, kalau mengingat berbagai kendala yang berhasil diatasinya, Micky bangga
sekali. Pertama-tama Edward yang menolak usulan proyeknya. Ia berhasil
mengatasinya dengan bantuan Augusta dengan imbalan ia harus menikah, lalu ?membujuk Edward juga ikut menikah. Bahkan bisa dikatakan Edward bisa menjadi
mitra dalam bank karena dirinya juga. Lalu tentangan dari Hugh Pilaster, dan
gangguan dari Tonio Silva. Sekarang ia hampir memetik buah dari segala upaya
434 kerasnya selama ini. Jika jalan kereta api Santamaria selesai dibangun, semua
orang di Kordoba akan mengingatnya sebagai jalan kereta api Micky Miranda.
Setengah juta pound bukan uang sedikit. Melebihi jumlah anggaran militer setahun
di Kordoba. Keberhasilannya pasti akan membuat posisi kakaknya, Paulo, jadi
tidak berarti di mata Papa.
Tak lama kemudian, ia tiba di rumah hiburan Nellie. Pesta sudah dimulai sejak
tadi: meriah, dipenuhi minuman dan gelak tawa serta asap cerutu, sementara
sekelompok kecil pemusik memainkan irama dansa dengan keras. Semua wanita
memakai topeng. Ada yang sekadar menutupi mata dan pangkal hidung, ada juga yang
menutupi hampir seluruh wajah, kecuali mata dan mulut.
Micky mendesak masuk ke tengah ruangan, mencium beberapa wanita yang
dikenalinya. Di ruang main kartu, ia melihat Edward yang segera berdiri begitu
melihat sobatnya masuk. Tanpa sungkan ia berbisik keras, "April menyediakan barang baru."
"Berapa usianya?"
"Tujuh belas." Artinya sekitar dua puluh tiga tahun, pikir Micky yang sudah hafal betul cara
April memudakan usia anak buahnya. Tapi ia tertarik juga. "Sudah kaulihat dia?"
"Ya. Dia memakai topeng tentunya."
"Ya, sudah tentu." Micky jadi ingin tahu, apa kira-kira cerita gadis itu nanti.
Bisa saja ia seorang gadis pedalaman yang lari dari rumah dan tersesat di kota
London; atau ia sengaja diculik dari daerah pertanian, lalu dijual di Nellie's;
atau ia hanya seorang pelayan wanita yang membutuhkan tambahan uang atas upahnya
yang hanya enam shilling seminggu dengan kerja keras enam belas jam sehari,
tanpa libur. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Lengannya disentuh seorang wanita bergaun hitam legam. Topeng di wajah wanita
itu tidak bisa menyembunyikan siapa pemakainya. April, yang segera berbisik,
"Benar-benar masih baru."
Tidak diragukan, pasti ia sudah tawar-menawar harga dengan Edward untuk malam?istiwewa seperti ini. "Apa kau sudah memeriksanya?" gurau Micky sinis.
April menggelengkan kepala. "Tidak perlu lagi. Aku tahu kapan seorang gadis
berbohong dan kapan berterus terang. Pengalaman!"
"Jika ternyata dia bohong, kau tidak akan mendapat bayaran," tegas Micky,
padahal mereka berdua tahu bahwa Edward pasti akan membayar April.
"Oke, tidak masalah."
"Ceritakan tentang dia."
"Yatim piatu, dibesarkan oleh pamannya. Karena dia sudah besar, pamannya ingin
cepat-cepat melepas tanggung jawab, lalu mengatur perkawinan dengan seorang
laki-laki tua. Dia menolak dan akibatnya dia diusir dari rumah. Kuselamatkan dia
dari hidup menggelandang.""Kau memang malaikat," ejek Micky sinis. Ia sama sekali tak percaya cerita
April. Kendati Micky tak bisa membaca wajah April yang tersembunyi di balik
topeng, Micky merasa April menyembunyikan sesuatu tentang gadis ini. Maka ia
bertanya, "April/ ceritakan pada kami yang sebenarnya."
"Sudah kuceritakan," jawab April. "Jika kalian tidak berminat, saat ini ada enam
pria yang bersedia membayar sebanyak yang kalian sanggupi."
Edward jadi khawatir. "Sudahlah, jangan berbantah lagi. Micky, mari kita lihat
dia." "Kamar tiga," sambar April cepat. "Dia sudah menunggu kalian."
Gadis itu sedang berdiri di sudut kamar, memakai gaun terusan sederhana,
wajahnya tertutup topeng besar, hanya bagian mata dan mulut yang terbuka. Micky
436 masih curiga. Wajahnya tidak tampak, jangan-jangan sangat jelek dan mungkin saja
cacat. Apakah ini semacam jebakan"
Gadis itu tampak gemetar ketakutan. Micky menatapnya tajam dan makin lama makin
bergairah. Dengan tak sabar ia memerintah, "Berlutut di sisi ranjang, cepat!"
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan, dan Micky langsung menyambarnya.
Setelah selesai, ia menggeser ke samping untuk memberi kesempatan bagi Edward.
Jauh di lubuk hatinya ia menyesal karena malam ini ia tidak bersama Rachel.
Mendadak ia merasa kesepian karena ingat bahwa Rachel telah pergi
meninggalkannya. Edward membalikkan tubuh mangsanya. Kasar dan begitu tiba-tiba, hingga topeng di
wajah gadis itu setengah tersingkap.
"Ya Tuhan!" seru Edward tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Micky tak acuh.
Edward sedang berlutut menatap wajah gadis yang setengah tertutup topeng itu.
Micky menduga Edward mengenal mangsanya. Ia ikut menatap wajah si gadis,
terpana, sementara si gadis membetulkan letak topengnya. Tapi Edward merenggut
topeng itu. Barulah Micky bisa mengenali siapa dia, wajah kekanak-kanakan dengan mata biru
besar. Emily, istri Edward sendiri!
"Belum pernah kulihat sandiwara seperti ini!" ujar Micky geli, lalu tertawa.
Edward menjadi berang. "Kau perempuan kotor!" teriaknya. "Kau melakukan ini
untuk mempermalukan suamimu sendiri!"
"Tidak, Edward, tidak sama sekali!" seru Emily. "Ini kulakukan untuk
menolongmu menolong kita berdua!"?"Sekarang mereka malah jadi tahu!" teriaknya sambil melayangkan tinju ke wajah
istrinya yang tak berdaya.
437 Emily berteriak kesakitan dan berupaya bangun. Edward meninjunya lagi.
Micky masih tergelak-gelak. Kejadian yang sangat menggelikan: seorang pria pergi
ke rumah bordil dan bercinta dengan istrinya sendiri!
April masuk karena mendengar teriakan dan tawa di kamar. Ia membentak sambil
menarik tubuh Edward. "Tinggalkan dia! Sekarang!"
Edward mendorong April. "Minggir! Aku bebas memberi pelajaran pada istriku
sendiri!" "Dasar tolol! Dia hanya ingin punya anak darimu!"
"Biar kuberi tinjuku dulu!"
Mereka bergulat sejenak. Edward menang, tinjunya melayang lagi ke wajah
istrinya. April tak mau kalah, tinjunya melayang ke telinga Edward. Edward
berteriak kesakitan. Micky tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Mendekati tawa
histeris. Akhirnya April berhasil memisahkan Emily dari suaminya.
Emily berhasil keluar dari ranjang, berdiri, dan herannya malah menghadapi
suaminya sambil berkata, "Kuharap kau jangan menyerah, Edward. Akan kulakukan
apa pun untukmu... apa pun yang kauinginkan!"
Dengan berang Edward malah berusaha meninju istrinya sekuat tenaga. Luput,
karena April merangkul kedua kakinya, la jatuh berlutut. April berkata, "Emily,
cepat keluar sebelum dia membunuhmu... cepat keluar kamar!"
Emily bergegas lari keluar kamar sambil menangis.
Di dalam kamar, Edward masih kesetanan. Sambil menuding April ia berteriak,


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jahanam, aku tidak akan datang ke rumah busukmu ini!"
Micky langsung merebahkan diri di sofa, tertawa terbahak-bahak sambil memegang
perutnya. 438 [II] PESTSA dansa malam musim panas di rumah Maisie Greenbourne merupakan acara yang
tak bisa dilewatkan oleh kalangan atas kota London. Maisie selalu menyediakan
kelompok pemusik terbaik, makanan terenak, dekorasi paling sensasional tapi
indah, dan sampanye tanpa henti. Tapi alasan utama semua kalangan atas ingin
diundang adalah: Pangeran Wales sendiri pasti datang.
Tahun ini Maisie berniat memperkenalkan kembali Nora Pilaster dalam penampilan
barunya. Sebuah strategi yang penuh risiko, karena jika gagal, baik Nora maupun Maisie
akan menjadi bahan tertawaan dan gosip. Tapi jika sukses, takkan ada seorang pun
yang berani mengusik Nora lagi.
Sebelum pesta dansa/Maisie menyelenggarakan acara makan malam yang akrab. Hanya
dua puluh empat orang. Pangeran Wales sudah memberitahukan ia hanya akan datang
di pesta dansa. Hugh dan Nora datang. Nora tampak sangat memikat dalam gaun biru
langit berbahu terbuka dan berhiaskan pita-pita satin kecil. Warna dan model
gaun itu membuat posturnya lebih indah.
Para tamu lain agak kaget melihat Nora ikut hadir, tapi mereka menduga Maisie
tahu betul akan apa yang dilakukannya. Maisie berharap mereka benar dalam soal
yang satu ini. Ia tahu benar cara berpikir Pangeran, dan sudah bisa meramalkan
apa kira-kira reaksinya nanti. Yang penting, jangan sampai sang pangeran merasa
dimanfaatkan oleh teman-temannya. Kalau sudah begini, ia tidak segan-segan
langsung pergi meninggalkan pesta. Kalau itu terjadi, Maisie dan Nora akan
dikucilkan di kalangan atas London. Kalau memikirkan risikonya, Maisie jadi
bergidik ngeri. Untuk apa ia mau melakukan ini" Tapi ini bukan untuk Nora,
melainkan untuk Hugh! SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Hugh masih bekerja di Pilasters Bank. Sudah bulan kedua sejak ia menyatakan
mengundurkan diri dari bank keluarganya. Solly berulang kali mendesaknya untuk
segera bergabung dengan Greenbournes Bank. Tapi tetap saja Pilasters Bank
menahan Hugh: ia baru boleh keluar setelah bulan ketiga. Itu memang siasat
mereka, makin lama Hugh ditahan, makin baik.
Setelah makan malam, Maisie bicara dengan Nora ketika mereka berada di kamar
rias. "Pada waktunya nanti, kau akan kuperkenalkan dengan Pangeran, jadi
usahakan kau selalu berada di dekat-dekatku."
"Ya, aku akan lekat terus denganmu," aksen pinggiran Nora keluar, tapi segera
kembali ke aksen kelas atas lagi. "Jangan khawatir! Aku tidak akan jauh-jauh
darimu." Pada jam setengah sebelas malam, para tamu mulai berdatangan. Biasanya Maisie
tidak mengundang Augusta Pilaster, tapi malam ini ia mengundangnya untuk
menyaksikan kemenangan Nora. Ia menduga Augusta akan menolak undangannya, tapi
ternyata wanita itu justru datang lebih awal. Maisie juga mengundang mentor
senior Hugh dari New York. Sidney Madler. Pria itu datang dengan busana khas
Amerika, jas pendek dan dasi hitam.
Maisie dan Solly berdiri hampir satu jam menyalami para tamu, lalu Pangeran
Wales tiba. Mereka menemaninya ke ruang utama dan memperkenalkan ayah Solly. Ben
Greenbourne menunduk hormat dengan sikap seorang perajurit Prusia. Lalu Maisie
melantai bersama Pangeran.
"Yang mulia," Maisie mengawali rencananya, "aku punya gosip paling mutakhir yang
akan membuat Anda geli"
Pangeran berbisik di telinganya, "Ceritakan padaku, Mrs. Greenbourne. Aku ingin
tahu, apa itu." "Tentang insiden malam itu di pesta dansa keluarga Tenbigh."
440 Sang Pangeran tampak tegang. "Oh, ya. Cukup memalukan. Ketika gadis itu memaki
de Tokoly sebagai seekor bandot tua yang cabul, kukira dia mengumpat diriku."
Maisie tertawa geli, seakan-akan gurauan sang Pangeran tak masuk akal, walau ia
tahu banyak orang di pesta malam itu juga berpendapat sama.
"Tapi, teruskan," kata Pangeran. "Apa masih ada yang tidak kuketahui malam itu?"
"Ya, kukira ada, Yang Mulia. Rupanya De Tokoly berani bersikap demikian pada
gadis itu karena sebelumnya dia sudah diberitahu oleh seseorang bahwa gadis itu
wanita gampangan." "Gadis gampangan?" Sang Pangeran mendecak. "Perlu kuingat istilah itu."
"Dan gadis itu juga sudah disarankan sebelumnya untuk langsung bersikap tegas,
kalau perlu menampar, jika de Tokoly bersikap tidak sopan padanya."
"Dan terjadilah insiden itu. Betapa liciknya orang yang merancang semua itu."
Maisie agak ragu sesaat. Ia belum pernah memanfaatkan persahabatannya dengan
Pangeran Wales untuk menjatuhkan seseorang. Tapi jika mengingat kelicikan
Augusta, ia jadi bertekad bulat. "Apakah Anda kenal wanita dengan nama Augusta
Pilaster?" "Ya, pernah kudengar. Wanita dari kelompok bankir terkemuka di London."
"Dialah yang merancang semuanya. Si gadis menikah dengan keponakan Augusta, Hugh
Pilaster, keponakan yang sangat dia benci. Jadi, dia merencanakan semua itu
untuk menjatuhkan posisi keponakannya sendiri."
. "Licik sekali wanita itu. Seperti ular! Tapi seharusnya dia tidak melakukannya
di pesta yang kuhadiri. Dia patut kuhukum."
Inilah saat yang ditunggu-tunggu Maisie. "Yang Mulia bisa memberi perhatian pada
Nora, untuk menunjukkan 441 bahwa Yang Mulia sudah memaafkan dia," katanya, berdebar menunggu jawaban
Pangeran. "Dan tidak mengacuhkan Augusta... begitu" Ya. aku setuju."
Segera setelah dansa selesai, Maisie berkata, "Yang Mulia, bolehkah aku
memperkenalkan Nora Pilaster" Dia kebetulan hadir malam ini."
Pangeran memandang Maisie dengan penuh arti, "Apa kau telah merencanakan semua
ini, musang cilik?" Inilah yang ditakutkan Maisie selama ini. Kemungkinan besar Pangeran merasa
diperalat olehnya. Beliau bukan orang bodoh, jadi lebih baik aku terang-terangan
saja. "Oh, betapa bodohnya aku, Yang Mulia, berani-beraninya mencoba menutupi
mata Anda yang tajam." Dengan pandangan sepolos mungkin ia menatap kedua mata
Pangeran. "Yang Mulia, hukumlah hambamu ini."
Sang Pangeran tersenyum senang. "Ah, jangan menggoda. Kau sudah kumaafkan."
Maisie menarik napas panjang dan dalam; ia berhasil. Sekarang terserah Nora
bagaimana bersikap dan menyenangkan Pangeran Wales.
"Di mana Nora?" tanya Pangeran.
Nora memang ada di dekat-dekat Maisie, persis seperti yang diinstruksikan.
Maisie berkata, "Yang Mulia, bolehkah kuperkenalkan Nora Pilaster?"
Nora menghormat di depan Pangeran.
Pangeran menatap sosoknya yang memikat. "Menarik," komentarnya antusias. "Benarbenar menarik." Hugh merasa heran bercampur senang ketika menyaksikan betapa ramahnya Pangeran
Wales berbincang-bincang dengan istrinya.
Dulu Nora dikucilkan dari kalangan atas London, sekarang menjadi pusat iri hati
setiap wanita yang hadir. Pakaiannya sempurna, tata kramanya memesona, dan semua
ini bisa terjadi berkat bantuan Maisie.
442 Hugh melirik Augusta dan Joseph yang kebetulan berdiri di dekatnya. Augusta
pura-pura tak peduli dengan Nora dan Pangeran, kendati Hugh tahu ini hanya purapura. Bibinya pasti sedang terbakar hatinya karena pemandangan di depannya,
apalagi melihat betapa Maisie, gadis pekerja yang pernah dicercanya beberapa
tahun silam, sekarang ternyata lebih populer dan berpengaruh daripada dirinya.
Bertepatan pada saat itu, Sidney Madler datang mendekat. Katanya pada Joseph,
"Itukah gadis yang katamu tidak pantas menjadi istri seorang bankir?"
Sebelum Joseph menjawab, Augusta sudah menyambar cepat. Suaranya ditekan
serendah dan sesopan mungkin. "Dialah penyebab batalnya kontrak utama dari
bank." Hugh menyela. "Sebenarnya tidak ada kontrak bank yang batal."
Augusta bertanya ke suaminya. "Count de Tokoly tidak membatalkan kontrak
pinjamannya?" "Tidak, rupanya dia sudah melupakan rasa tersinggungnya," jawab Joseph.
Augusta pura-pura senang mendengar bisnis suaminya berhasil. "Ah, betapa
menguntungkan." Tapi nada suaranya terdengar tidak tulus.
Madler menyela, "Kebutuhan finansial akhirnya mengalahkan prasangka-prasangka
sosial." "Ya, Anda benar," kata Joseph. "Malam itu aku terlalu tergesa-gesa menentang
masuknya Hugh sebagai mitra Pilasters Bank."
Augusta menyela dengan suara semanis madu, "Joseph, apa katamu tadi?"
"Aku bicara bisnis, Sayang. Urusan laki-laki." Ia berbalik ke arah Hugh dan
berkata, "Dengan tulus kukatakan bahwa kami tak ingin kau pindah ke Greenbournes
Bank." Hugh terkesima. Kaget dan tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu bahwa
keputusannya telah membuat berang
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Sidney Madler. Tapi tidak pernah Joseph mengakui kesalahannya di depan orang
lain. Tapi apa motif Joseph mengatakan semuanya ini" Maka ia menjawab .pelan,
"Paman tahu alasan saya pindah ke bank keluarga "Greenbourne."
"Mereka tidak akan mengangkatmu sebagai mitra. Kau bukan orang Yahudi. Ingat
itu," kata Joseph. "Ya, saya menyadari sejak awal."
"Kalau begitu, bukankah lebih baik bekerja pada bank keluarga saja?"
Hugh merasa diremehkan. Rupanya Joseph hanya mencoba membujuknya untuk tetap
tinggal, sebagai pegawai, bukan mitra. Ia menjawab dingin, "Terus terang, "ku
lebih senang bekerja di bank keluarga Greenbourne yang jauh dari intrik keluarga
sendiri" pandangan matanya sengaja diarahkan ke Augusta "Di sana sistem ? ?penghargaan dan tanggung jawabku sudah jelas, dan semuanya didasarkan atas
kecakapanku sebagai bankir."
Augusta masih tak mau tinggal diam. "Kau lebih memilih bekerja pada orang
Yahudi?" "Jangan ikut campur," tegur Joseph tegas. "Kau tahu kenapa aku mengangkat
masalah ini, Hugh. Mr. Madler merasa kita telah membuatnya kecewa dengan
rencanamu keluar. Selain itu, para mitra lainnya juga khawatir kalau kau keluar,
semua nasabah Amerika Utara akan kau bawa serta."
Hugh berupaya tampil setenang mungkin. Inilah saatnya melakukan negosiasi. "Aku
tidak akan kembali ke Pilasters Bank walau gajiku dinaikkan dua kali lipat.
Hanya satu hal yang akan mengubah keputusanku, kemitraan dalam Pilasters Bank."
Joseph mendesah, "Hmmm... kau benar-benar keras kepala dalam tawar-menawar."
Madler menyela. "Seorang bankir memang harus bersikap begitu dalam negosiasi?"
444 "Baiklah," Joseph menyerah. "Kutawarkan kemitraan dalam Pilasters Bank pada
Anda." Hugh merasa lemas. Mulanya mereka menghinaku, sekarang, menyerah. Aku telah
menang. Serasa dalam mimpi ia mendengar tawaran pamannya.
Diliriknya Augusta. Wajahnya pucat pasi, tapi ia diam saja. Augusta tahu ia
telah kalah malam ini. "Kalau begitu...," kata Hugh, diam sesaat. "Kuterima tawaran Paman."
Augusta akhirnya tidak tahan lagi. Wajahnya jadi merah membara, penuh emosi.
Dengan ketus ia berkata, "Kau akan menyesali malam ini sepanjang sisa hidupmu."
Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan suami dan tamunya.
Augusta melangkah cepat menyeruak para tamu pesta yang sedang melantai atau
mengobrol. Langsung menuju pintu utama. Orang-orang memandanginya. Ia tidak tahu
ia tampak jelas sedang berang dan emosional, tapi ia tak bisa menyembunyikan
lagi. Semua orang yang dibencinya sekarang sedang naik daun. Mulai dari Maisie
si gadis rendah yang jadi orang kaya baru, Hugh yang tak tahu diuntung, belum
lagi Nora yang bisa begitu anggun, padahal dulu begitu norak dan kampungan.
Perutnya jadi terasa kaku melintir dan ia merasa mual.
Akhirnya ia tiba di pelataran luar, memanggil si penjaga, dan membentak, "Cepat
panggilkan kereta Mrs. Pilaster!" Si penjaga berlari patuh dan ketakutan.
Augusta merasa puas. Ternyata masih ada juga orang yang bisa diintimidasinya.
Ia meninggalkan pesta tanpa berpamitan pada siapa pun, meninggalkan suaminya
sendirian di pesta. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya kosong dan.hatinya
panas. Ketika ia tiba di rumah, Hastead menyambutnya dengan setengah mengantuk dan
memberitahu, "Mr. 445 Hobbes ada di ruang duduk, Ma'am. Sudah kukatakan padanya Anda baru pulang
subuh, tapi tetap saja dia ingin menunggu."
"Dia mau apa sepagi ini?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa."
Augusta sebenarnya sedang tidak berminat menerima editor The Forum itu. Ada
urusan apa ia datang sepagi ini" Ia tergoda untuk mengabaikan tamu tak diundang
itu, tapi segera ingat urusan gelar kebangsawanan, jadi ia mengurungkan niatnya.
Ia masuk ke ruang tamu. Tamunya sedang tidur di samping perapian. "Selamat pagi!" sapa
Augusta keras. Hobbes tergeragap, bangun berdiri, dan menyapa gugup, "Mrs. Pilaster! Selamat...
ah, ya... selamat pagi."
"Apa yang begitu penting sepagi buta ini?"
"Kupikir Anda harus menjadi orang pertama yang membaca artikelku," katanya
sambil mengangsurkan jurnalnya.
Edisi terbaru The Forum yang masih hangat dan berbau tinta. Augusta membuka
halaman depan dan membaca artikel utamanya:
APAKAH ORANG YAHUDI BISA MENJADI - BANGSAWAN"
Semangatnya segera bangkit. Kekalahannya tadi di pesta hanya sesaat saja, masih
ada peperangan lain yang harus ia menangkan.
Ia mulai membaca beberapa alinea:
Kami percaya bahwa mungkin tidak benar kabar angin yang berembus saat ini di
lingkungan Westminster dan di beberapa klub di kota London, bahwa Perdana
Menteri sedang memikirkan kemungkinan memberi gelar bangsawan kepada salah satu
bankir yang berbangsa dan beragama Yahudi.
Kami tidak pernah mendukung adanya penindasan
446 berdasarkan agama dan ras. Kendati demikian, toleransi kami ada batasnya.
Memberikan gelar bangsawan kepada orang yang secara terbuka tidak mengakui agama
Kristen hanya akan membuahkan malapetaka sosial.
Memang Perdana Menteri sendiri juga keturunan Yahudi, tetapi sudah lama beliau
memeluk agama Kristen, sehingga ketika dilantik oleh Yang Mulia Ratu, beliau
bersumpah di atas Kitab Suci. Maka tidak ada permasalahan sosial dan legal atas
pengangkatannya sebagai salah satu bangsawan Kerajaan. Tetapi kini kami berhak
menanyakan apakah bankir calon bangsawan ini akan bersedia mengorbankan
keyakinannya dengan bersumpah di atas Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru. Jika
ia bersikeras hanya mau bersumpah di atas Kitab Suci Perjanjian Lama, apakah
para uskup di House of Lords tidak akan memprotes"
Kami yakin bankir tersebut adalah warga negara yang setia pada Kerajaan dan
orang yang jujur dalam melakukan bisnis...
Masih banyak lagi alinea yang bertema sama. Augusta merasa senang dan lega. Ia
mengangkat kepala dan berkata pada Hobbes, "Bagus, bisa menimbulkan perdebatan
seru." "Kuharap demikian," Jawab Hobbes. Dengan gerakan gugup ia mengambil secarik
kertas dari kantong jaketnya. "Aku telah mengambil kontrak pembelian mesin cetak
yang pernah kuceritakan pada Anda. Tagihan pembayarannya..."
"Datang saja langsung ke bank nanti siang," sela Augusta ketus, mengabaikan
dokumen yang diulurkan Hobbes. Entah kenapa, ia tak sabar dengan tingkah laku
Hobbes, walau ia tahu sebagai editor Hobbes sangat bermanfaat bagi rencananya.
Setelah emosinya reda, dengan nada manis ia berkata, "Suamiku akan memberimu cek
nanti siang." 447 Hobbes mengangguk. "Kalau begitu, izinkan aku pamit." Ia keluar.
Augusta menarik napas lega. Sebentar lagi mereka akan tahu siapa dia. Biar
Maisie Greenbourne berpikir bahwa ia adalah panutan di kalangan atas kota
London. Biar dia pamer bisa berdansa dengan Pangeran Wales. Satu hal yang tak
bisa disangkalnya dan tidak dimilikinya: kekuatan pers. Bagi keluarga
Greenbourne, dampak negatif artikel ini akan terasa lama sekali.
Dan Joseph-lah yang akan menerima buahnya: gelar bangsawan.
Dengan perasaan lega ia duduk dan membaca ulang seluruh artikel.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY AGAK siang sedikit, Hugh bangun dengan perasaan bersemangat. Istrinya telah


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterima kalangan atas kota London dan ia sendiri akan diangkat menjadi mitra di
Pilasters Bank. Kemitraan itu akan memberinya peluang tidak hanya berpenghasilan
ribuan pound per tahun, tapi dalam beberapa tahun ke depan, ratusan ribu pound.
Suatu hari ia akan menjadi kaya sekali.
Solly akan kecewa dengan keputusan Hugh, tapi seperti biasa ia akan memahami
alasan Hugh. Solly orang yang baik.
Hugh memakai mantel tidurnya. Dari laci samping tempat tidur ia mengambil sebuah
kotak permata dan mengantonginya. Lalu ia pergi ke kamar tidur istrinya.
Kamar Nora besar, tapi berkesan sesak. Jendela, kaca rias, dan tempat tidur-?semuanya dilapis dengan kain sutra berpola. Lantainya ditutup karpet tebal.
Kursi dipenuhi bantalan berbordir, dan di meja kecil serta di
448 setiap rak terbuka dipajang boneka porselen, foto-foto berbingkai, kotak-kotak
porselen, dan suvenir-suvenir lain. Warna yang dominan adalah biru dan merah
jambu, warna favorit istrinya, tapi hampir semua warna lain ada di mana-mana di
ruangan itu. Nora sedang duduk di ranjang, dikelilingi bantal-bantal egipuk, sedang menikmati
teh hangat. Hugh ikut duduk dan berkata, "Kau sungguh hebat tadi malam."
"Ya, kubuat mereka semua kagum dan iri." Nora tampak sangat bangga pada dirinya
sendiri. "Aku melantai dengan Pangeran."
"Dia terus-menerus menatap dadamu," gurau Hugh. Ia meraba dada istrinya yang
tertutup baju tidur sutra berleher tinggi.
Nora menepis tangan suaminya. "Hugh! Jangan sekarang," katanya jengkel.
Hugh tersinggung. "Kenapa tidak bisa sekarang?"
"Kan sudah sekali dalam minggu ini."
"Dulu ketika baru kawin, kita melakukannya setiap hari."
"Tepat sekali ketika kita baru kawin. Seorang wanita tidak ingin melakukan itu
?setiap hari untuk seterusnya."
Hugh mengernyitkan dahi. Ia akan bahagia sekali jika bisa bercinta dengan
istrinya setiap hari. Bukankah itu hal yang normal antara suami-istri" Atau
memang ia terlalu aktif" "Menurutmu, berapa kali seharusnya kita melakukannya?"
tanyanya ragu. Nora terlihat senang ditanya begitu, seakan memang inilah yang ia tunggu. "Tidak
lebih dari sekali seminggu," jawabnya tegas.
"O, ya?" Nafsu Hugh segera meleleh, malah sekarang ia merasa lemas. Seminggu
sekali" Perlahan tangannya membelai paha istrinya melalui selimut. "Ah, mungkin
bisa ditambah lagi."
"Tidak," jawab Nora tegas sambil menggeser kakinya.
Hugh benar-benar kecewa. Dulu istrinya begitu ber 449 gairah setiap kali diajak bercinta. Bahkan mereka berdua selalu menikmatinya.
Lalu kenapa sekarang berubah begini" Apakah sejak dulu Nora hanya bersandiwara
untuk membuatnya senang" Kalau benar, sungguh menyakitkan.
Hugh menimbang-nimbang apakah ia perlu memberikan hadiahnya. Biar bagaimanapun,
ia sudah membelinya dan tidak mau membawanya kembali ke Jpko perhiasan.
"Baiklah, kalau begitu maumu. Ini ada sedikit hadiah bagimu, untuk memperingati
keberhasilanmu di pesta." fa mengulurkan kotak perhiasan itu.
Seketika sikap Nora berubah. "Oh, Hugh, kau tahu aku senang diberi hadiah!" Ia
menarik tali pita pengikat dan-membuka tutup kotak. Di dalam kotak terlihat
seuntai kalung emas dengan bandul berbentuk bunga yang dikelilingi batu-batu
rubi dan sapir. "Oh, indahnya."
"Pakailah." Nora mencoba kalung itu. Kurang cemerlang di lehernya yang tertutup baju tidur. "Akan terlihat indah
dengan gaun malam berleher rendah," kata Hugh.
Nora melirik genit ke arah suaminya dan mulai membuka baju tidurnya. Hugh
menanti dengan berdebar. Bandul itu tergantung di belahan dada Nora, seperti
setetes air hujan di kuntum mawar. Nora tersenyum pada suaminya. "Mau
menciumku?" tanyanya.
Hugh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah Nora memang sedang menggodanya,
atau benar-benar ingin bercinta"
"Mari ke ranjang," ajak istrinya mesra.
"Tadi katamu..."
"Ah, seorang wanita perlu menyatakan terima kasihnya, bukan?" Nora menyingkapkan
selimut. Tiba-tiba Hugh merasa sakit. Jadi, hadiah kalung emas itulah yang mengubah sikap
istrinya. Tapi ia tak sanggup melawan hasratnya. Dengan perasaan benci pada
dirinya sendiri, ia menyerah.
450 Selesai bercinta, ia merasa ingin menangis.
Hugh menerima sepucuk surat dari Tonio Silva.
Semenjak pertemuan mereka di kedai kopi Plage, Tonio bagaikan lenyap ditelan
bumi. Artikel yang dijanjikan juga tidak muncul di The Times. Hugh jadi tampak
tolol di depan para mitra, karena ribut dan mempersoalkan dampak yang mungkin
timbul. Di setiap kesempatan, Edward selalu mengungkit soal ini, tapi isu Hugh
ingin pindah ke Greenbournes Bank mengalahkan masalah artikel tersebut.
Hugh pernah menulis surat ke Hotel Russo, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Ia
agak khawatir tentang temannya ini, tapi apa yang bisa ia lakukan"
Dengan penuh rasa ingin tahu ia membuka surat Tonio. Datangnya dari sebuah rumah
sakit umum, isinya meminta kesediaan Hugh datang. Akhir surat mengatakan: "Apa
pun yang kau lakukan, kumohon jangan mengatakan di mana aku tinggal."
Apa yang telah menimpa Tonio" Dua bulan yang lalu ia tampak segar dan sehat.
Kenapa sekarang ia ada di rumah sakit" Hugh jadi khawatir. Hanya orang miskin
yang pergi ke rumah sakit umum milik pemerintah. Orang kaya akan mengundang
dokter, perawat, bahkan dokter bedah sekalipun.
Dicekam rasa ingin tahu, Hugh segera pergi ke rumah sakit umum. Di sana ia
menemui Tonio tergeletak tak berdaya di sebuah ranjang kecil dan kotor.
Rambutnya yang kemerahan sudah tercukur habis, sedangkan wajah dan kepalanya
penuh luka dan jahitan. "Oh, Tuhan!" . kata Hugh. "Kau baru tertabrak kereta?"
"Dipukuli." "Apa yang terjadi?"
"Aku diserang di depan Hotel Russe beberapa minggu yang lalu." "Dirampok?"
451 "Ya." "Keadaanmu parah sekali."
"Sebenarnya tidak begitu parah. Hanya jari patah dan engsel kaki tergeser, dan
luka-luka ini tidak begitu dalam, tapi banyak sekali. Sekarang sudah membaik."?"Seharusnya kau menghubungi aku. Kita harus me-ngeluarkanmu dari sini
secepatnya. Akan kupanggil dokter dan perawat."
"Jangan, sobat lama. Kuhargai kemurahan hatimu. Tapi uang bukan satu-satunya
alasanku memilih tinggal di tempat ini. Di sini lebih aman. Selain kau, hanya
satu orang yang tahu aku ada di sini: seorang teman lama yang suka membawakan
kabar dari Kordoba serta brendi dan roti daging. Jadi, kuharap kau tidak
memberitahu siapa pun." "
"Tak seorang pun, bahkan istriku sendiri."
"Bagus." Tonio sekarang sudah berubah. Ia tampak cermat dan tidak sembrono lagi, pikir
Hugh. "Tapi kau tak bisa terus-menerus bersembunyi di sini dari kejaran para
penjahat di jalanan."
"Orang-orang yang menyerangku bukan penjahat jalanan, Pilaster. Aku tahu itu."
Hugh melepas topinya dan duduk di tepi ranjang. Ia pura-pura tidak mendengar
erangan sakit pria yang terbaring di sisi ranjang Tonio.
"Pilaster, apa yang kualami malam itu bukan sekadar perampokan jalanan. Kunci
kamar hotelku diambil dan mereka mencuri seluruh berkas artikelku serta bukti-.
bukti autentik yang disahkan notaris di Kordoba, pengakuan para saksi mata atas
pembunuhan dan penyiksaan di tambang nitrat milik keluarga Miranda"
Hugh terkesima. Tak pernah menyangka bahwa transaksi bisnis obligasi proyek
jalan kereta api di sebuah negara Amerika Selatan bisa berkaitan dengan sebuah
kejahatan di jalanan sempit di kota London, dengan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY korban yang saat ini masih tergeletak di ranjang di depannya. "Kemungkinan
Pilasters Bank bisa dicurigai mengatur rencana jahat ini."
"Tidak! Bank keluargamu memang kuat, tapi tak mungkin bisa mengatur pembunuhan
di Kordoba." "Pembunuhan?" tanya Hugh kaget. "Siapa yang dibunuh?"
"Semua saksi mata yang tertera di dalam berkasku yang hilang dari kamar hotel
malam itu." "Benar-benar sulit dipercaya... bisa sejauh itu."
"Aku masih bernasib baik. Masih hidup. Kurasa mereka khawatir karena pembunuhan
di London pasti akan diselidiki lebih serius daripada pembunuhan di Kordoba
sana." "Jadi, menurutmu siapa yang berada di belakang semua ini?" tanya Hugh bingung.
"Micky Miranda."
Hugh menggeleng. "Lepas dari rasa tidak senangku pada Micky, kurasa tak mungkin
dia melakukan ini semua."
"Proyek jalan kereta api Santamaria merupakan sangat vital baginya. Ini akan
membuat keluarganya menjadi kelompok terkuat kedua di Kordoba setelah kelompok
Presiden Gracia." "Ya, aku tahu itu, dan aku juga yakin Micky tidak akan ragu-ragu melakukan
sesuatu yang sedikit melanggar hukum. Tapi pembunuhan" Dia bukan tipe pembunuh."
"Dia pembunuh."
"Ah, yang benar."
"Ya, aku tahu pasti. Semula memang aku tak percaya. Selama ini'aku memang bisa
dikelabui dengan sikapnya yang simpatik. Dulu kukira dia sahabatku. Padahal
sebenarnya dia sangat jahat. Aku tahu itu sejak semasa kita sekolah."
"Bagaimana bisa?"
453 Tonio menggeser sedikit posisi tubuhnya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi tiga
belas tahun yang lalu, sore hari ketika Peter Middleton tenggelam di kolam di
sisi Bishop's Wood."
Hugh tersengat rasa kaget. Sudah bertahun-tahun ia bertanya-tanya tentang
peristiwa itu. Bagaimana Peter bisa tenggelam, padahal ia perenang hebat" Sukar
dikatakan kalau itu sebuah kecelakaan. Ia sudah lama curiga ada permainan kotor
dalam kecelakaan itu. Mungkin sekarang ia bisa tahu kejadian sebenarnya.
"Teruskan, sobat, aku ingin mendengarnya.
Tonio tampak ragu. "Bisa tolong mengambilkan sedikit anggur madeira" Ada di
lantai bawah ranjang ini." Hugh menuangkan sedikit di dalam gelas dan
menyorongkannya pada Tonio. Ketika Tonio mencerucup-nya sedikit demi sedikit,
Hugh mencoba mengingat kejadian tiga belas tahun yang lalu. Kolam yang dingin,
sangat dingin, dinding kolam yang menyeramkan, dan matahari yang terik. Tak
terasa keringat dingin mengalir dan membuat bulu tengkuknya meremang.
"Petugas mayat diberitahu bahwa Peter meninggal karena mengalami kesukaran
bernapas. Itu benar, tapi dia tidak tahu bahwa penyebabnya karena Edward
berulang kali membenamkan kepala Peter ke dalam air kolam."
"Kalau itu aku tahu," sela Hugh. "Aku mendapat surat dari 'Hump' Cammel yang
sekarang tinggal di Cape Colony. Waktu itu dia sempat menyaksikan kejadian ini
dari tepi kolam, tapi dia tidak menyaksikan akhir tragedi itu."
"Ya, kau benar. Kau dan Hump lari. Tinggal aku, Peter, Edward, dan Micky."
"Lalu apa yang terjadi setelah aku lari?" tanya Hugh tak sabar.
"Aku mengambil batu dan melempar kepala Edward. Kena di dahinya dan berdarah.
Dia jadi berang dan lari 454 mengejarku. Peter, ditinggalnya bersama Micky. Aku berhasil keluar dulu dari
tepi kolam." "Sejak dulu Edward tidak pernah bisa lari cepat, kan?"
"Ya, benar. Aku meninggalkan dia jauh di belakang. Di tengah jalan, aku menengok
ke belakang. Kulihat Micky sedang mengejar Peter di kolam. Di tepi kolam, dia
berhasil menangkap mangsanya. Kulihat kepala Peter ditenggelamkan berkali-kali
oleh Micky. Jelas sekali terlihat. Aku terus melanjutkan lariku."
Tonio mencerucup lagi anggurnya. "Ketika sampai-di atas bukit, kulihat Edward
tertinggal jauh di bawah. Aku duduk sebentar mengatur napas dan kulihat... ya... aku
ingat dengan jelas sekali, kepala Peter masih ditenggelamkan oleh Micky. Peter
menggapai dan memberontak putus asa, tapi tak bisa melepaskan diri. Micky
sengaja menenggelamkannya. Itu jelas-jelas pembunuhan."
"Oh, Tuhan," desah Hugh ngeri.
Tonio mengangguk setuju. "Kalau kuingat sore hari itu, aku jadi muak. Entah
berapa lama aku memandangi mereka. Edward nyaris berhasil menangkapku. Kulihat
Peter sudah tidak memberontak lagi. Ketika Edward sampai di puncak bukit, aku
melanjutkan lariku kembali ke asrama sekolah."
"Jadi, itulah kejadian sebenarnya sore hari itu. Peter ternyata dibunuh, tidak
kecelakaan tenggelam," kata Hugh dengan terkejut dan ngeri.
"Lalu di hutan kita bertemu..."
Hugh ingat bertemu Tonio yang ketakutan, telanjang bulat, lari terengah-engah
sambil menangis, membawa pakaiannya yang basah kuyup. Ingatan itu membawanya
kembali ke kesedihan berikutnya waktu ia mendengar kematian ayahnya di hari yang
sama. "Kenapa kau tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya ,
455 "Aku masih ketakutan pada Micky, takut mengalami nasib yang sama dengan Peter.
Terus terang, sampai sekarang pun aku masih takut pada Micky, apalagi setelah
kejadian malam itu. Kau juga mesti waspada."
"Ya, jangan khawatir." Hugh berpikir. "Dan aku yakin sampai sekarang Edward dan
ibunya tidak pernah tahu kejadian sebenarnya soal kematian Peter." _'?"Kenapa kau bisa mengatakan begitu?"
"Untuk apa mereka melindungi Micky kalau mereka tahu yang sebenarnya?"
"Kalau Edward bisa saja. Dia sahabat karib Micky."
"Bisa juga, tapi aku tahu karakter Edward. Dia tidak akan tahan menyimpan
rahasia sebesar itu lama-lama. Tapi sekarang aku sadar, Augusta tahu bahwa
cerita Micky di depan polisi bahwa Edward mencoba menyelamatkan Peter adalah
bohong besar!" "Bagaimana dia bisa tahu?"
"Dari ibuku. Ini berarti Augusta mencoba menutupi kejadian sebenarnya. Aku
percaya dia rela berbohong apa pun demi Edward, tapi tidak untuk Micky. Waktu
itu Augusta malah belum mengenalnya."
"Jadi, menurutmu apa yang terjadi?"
Hugh mencoba menganalisis. "Coba bayangkan sore itu. Edward berhenti mengejarmu,
lalu kembali ke kolam. Di sana dia melihat Micky sedang menarik tubuh Peter dari
air. Melihat Edward, Micky berkata, 'Bodoh kau, Edward. Lihat apa yang
kaulakukan pada Peter. Dia mati tenggelam karena ulahmu tadi!' Ingat, Edward
tidak melihat kejahatan Micky. Micky membohonginya dengan mengatakan Peter mati
karena kelelahan setelah dibenamkan Edward tadi. Ketika Edward bertanya dia
mesti bagaimana, Micky dengan liciknya berkata, 'Jangan takut. Kita katakan saja
bahwa Peter mati tenggelam karena kecelakaan, bahkan kau berusaha menyelamatkan
dia. Nah, dengan mengarang cerita begini, dia menutupi kejahatannya sendiri,
sekaligus membuat SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward dan Augusta merasa berutang budi padanya. Bagaimana, masuk akal atau
tidak?" Tonio mengangguk setuju. "Ya Tuhan... aku yakin kau benar."
"Sekarang juga kita harus pergi ke polisi!" kata Hugh dengan amarah membara.
"Untuk apa?" tanya Tonio ragu.
"Kau adalah saksi hidup atas sebuah pembunuhan. Kau bisa mengatakannya pada
polisi, walaupun peristiwanya sudah bertahun-tahun lewat. Micky tetap harus
ditahan." "Ya, bisa saja, tapi kau melupakan sesuatu. Micky memiliki kekebalan
diplomatik." Hugh tidak memikirkan ini. Sebagai duta negaranya, polisi Inggris tidak bisa
mengadili Micky. "Ya, kau benar, tapi paling tidak dia bisa dipermalukan karena
diusir pulang ke negaranya."
Tonio menggeleng.. "Aku saksi satu-satunya. Micky dan Edward pasti akan
menggunakan segala upaya untuk balik menuduh diriku. Semua tahu keluargaku dan
keluarga Micky bermusuhan di Kordoba. Akan sulit meyakinkan orang-orang." Tonio
diam sejenak. "Tapi kau-mengatakan pada Edward bahwa bukan dia pembunuh Peter,
tapi Micky Miranda."
"Kukira dia tidak akan mempercayaiku, karena selama ini dia terus curiga aku
berusaha menjauhkan dia dari Micky. Tapi ada satu orang yang mesti kita
hubungi?" "Siapa?" "David Middleton." "Kenapa?"
"Kukira dia berhak tahu soal kematian adiknya. Dia memang kasar waktu menanyakan
soal ini di pesta keluarga Tenbigh malam itu. Tapi aku* sudah berjanji padanya
kalau aku mendapatkan informasi tentang Peter, aku akan memberitahu dia. Jadi,


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku terikat pada janjiku sendiri. Dia akan kukontak sore ini."
457 "Menurutmu dia berani pergi ke polisi?"
"Kukira dia akan berpikir dua kali, karena tahu semuanya percuma saja, seperti
sudah kita pikirkan bersama."
Tiba-tiba ia merasa sedih. Dengan lesu ia berdiri dan berpamitan. "Aku harus
kembali kerja. Aku akan diangkat menjadi mitra dalam waktu dekat ini."
"Selamat!" kata Tonio tulus."Aku yakin kau memang pantas menerima kemitraan itu.
Apakah kau bisa menghentikan proyek jalan kereta api Santamaria?"
Hugh menggelengkan kepala. "Maaf, Tonio. Pilasters Bank sudah berhasil bekerja
sama dengan Greenbourne Bank. Para mitra kedua bank sudah sama-sama setuju untuk
menerbitkan obligasi ini bersama-sama. Mereka sedang dalam tahap penyusunan
kontrak kerja sama. Maaf, sudah terlalu jauh untuk dihentikan. Kukira kita sudah
kalah perang." "Sialan." umpat Tonio kecewa.
"Kukira keluargamu harus mencoba cara lain untuk menentang keluarga Miranda."
"Aku khawatir mereka sudah tak bisa dihentikan lagi."
"Aku prihatin mendengar ini," kata Hugh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan
mengerutkan dahi. "Tonio, kau baru saja menceritakan suatu misteri padaku. Peter
yang jago renang, bisa mati tenggelam. Tapi ceritamu justru menimbulkan misteri
yang lebih besar lagi."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Coba pikirkan. Peter sedang berenang; Edwrad bertengkar dengannya dan mencoba
menenggelamkannya. Kita semua lari ketakutan. Edward lari mengejarmu. Lalu Micky
membunuh Peter. Padahal itu tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi
sebelumnya. Apa yang dilakukan Peter padanya?"
"Ya, motif apa. Aku juga sudah bertanya-tanya selama bertahun-tahun ini."
"Micky Miranda membunuh Peter Middleton... tapi mengapa?"
458 BAB LIMA [U AUGUSTA merasa dunia adalah miliknya pada saat penganugerahan gelar bangsawan
kepada suaminya diumumkan. Pagi itu suasana di rumahnya bagai pesta besar. Ia
mondar-mandir menyambut para tamu yang datang memberi selamat. Micky ikut
datang. Di pintu, ia sudah disambut oleh Hastead yang pada pelbagai kesempatan
berulang kali menyebut nyonya rumahnya dengan "my lady".
Di mata Micky, Augusta benar-benar mengagumkan. Bagai ratu lebah yang sedang
dikerumuni para pengikut setianya. Ia telah berhasil memenangkan peperangan
secara brilian. Diawali dengan isu keluarga Greenbourne yang akan menerima gelar, lalu disusul
dengan berita anti Yahudi di surat kabar. Augusta sama sekali tidak memberitahu
siapa pun tentang ulah dan andilnya ini, bahkan pada Micky sekalipun. Tapi Micky
tahu, karena ia sudah mengenal Augusta. Dalam beberapa hal, ia sama dengan Papa
Miranda yang juga punya tekad baja untuk mencapai keinginannya. Bedanya, Augusta
lebih pandai dan lebih lihai dalam memanipulasi orang lain. Kekaguman Micky
makin besar. 459 / Satu-satunya orang dekat yang bisa menghalangi rencana Augusta adalah Hugh
Pilaster. Sulit sekali bagi Augusta menghancurkan Hugh. Seperti alang-alang, ia
selalu tumbuh lagi setiap kali dicabut. Dimusnahkan di satu tempat, akan tumbuh
di tempat lain. Bahkan makin lama makin banyak dan makin kuat.
Tapi untunglah Hugh tidak berhasil menghalangi perwujudan proyek jalan kereta
api di Kordoba. Dengan bantuan ibunya, Edward dan Micky ternyata terlalu kuat
untuk dicegah Hugh dan Tonio. "Bagaimana soal kontraknya?" tanya Micky pada
Edward. "Kapan kalian menandatanganinya dengan Greenbournes Bank?"
"Besok." "Bagus!" komentar Micky lega. Sudah setengah tahun ini ia diteror oleh telegram
ayahnya yang selalu menanyakan kelanjutan proyek ini.
Malamnya Micky dan Edward makan di Klub Cowes. Selama makan, Edward harus
menyambut ucapan selamat dari sesama anggota klub. Bukankah ia akan mewarisi
gelar ayahnya kelak" Micky juga ikut bangga. Selama ini ia selalu menggantungkan
keberuntungan nasibnya pada keluarga Pilaster, khususnya Edward dan Augusta..
Jika mereka berdua makin berpengaruh, ia sendiri akan ikut terangkat. Berarti
kekuasaan Micky ikut naik.
Selesai makan, mereka pindah ke ruang santai. Belum ada anggota klub lainnya di
sana. Hari belum terlalu malam. "Kupikir-pikir dan akhirnya kusimpulkan, orang
Inggris terlalu takut pada istri mereka," komentar Micky sambil menyalakan
cerutunya. "Itu sebabnya banyak didirikan klub semacam ini."
"Apa maksudmu?" tanya Edward.
"Coba perhatikan," jawab Micky. "Tempat ini benar-benar replika dari rumah orang
Inggris. Meja kursi mahal dan indah, pelayan yang selalu siap melayani kita,
makanan dan minuman berlimpah ruah. Kita bisa makan di sini, berbisnis di sini,
membaca berita dan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY apa saja di sini, bahkan tidur, jika kita sudah terlalu mabuk. Satu-satunya yang
membedakan klub dengan rumah adalah tidak ada wanita di sini."
"Apa kalian tidak punya klub di Kordoba?"
"Sudah tentu tidak. Di negaraku, jika pria ingin minum sampai mabuk, bicara
politik, merokok, membicarakan para perempuan piaraan, mereka akan melakukannya
di rumah. Kaum istri tidak akan berani ikut-ikutan. Bisa-bisa mereka kena pukul.
Lain dengan di Inggris; para pria begitu takut pada istri, sampai menciptakan
klub semacam ini." "Kau kelihatannya tidak takut pada Rachel" Kudengar kamu sudah membuangnya.
Benar?" "Kukirim dia kembali ke rumah ibunya," jawab Micky enteng, seolah tak peduli,
karena ia tidak mau Edward tahu kejadian sebenarnya.
"Para tamumu pasti ingin tahu kenapa dia tak pernah mendampingimu. Pernah mereka
bertanya?" "Ya, kukatakan dia sedang sakit atau tidak enak badan."
"Tapi bukankah mereka tahu dia sedang mempersiapkan rumah sakit khusus bagi
wanita yang mengandung tanpa suami" Benar-benar upaya memalukan."
"Tidak ada pengaruhnya. Malah mereka ikut simpati padaku karena punya istri yang
aneh dan keras kepala."
"Jadi, kau akan menceraikan dia?"
"Tidak. Akan menimbulkan skandal. Seorang diplomat tidak boleh bercerai. Aku
terikat padanya selama aku menjadi diplomat Kordoba. Untunglah dia tidak
mengandung saat kuusir pulang." Benar-benar ajaib, pikirnya lega. Selama
bertahun-tahun kawin, Rachel tidak juga mengandung. Apa istrinya steril" Atau
dia sendiri yang mandul" Ia memanggil pelayan dan minta diberi brendi. "Bicara
soal istri," lanjut Micky agak ragu, "bagaimana kabar Emily?"
Edward tampak jengah, "Aku jarang ketemu dia,
461 sama seperti kau dengan Rachel. Dia melewatkan hari-harinya di rumah pedesaan di
Leicestershire yang kubelikan beberapa waktu yang lalu."
"Jadi, kita berdua sekarang bujangan lagi."
Edward menyeringai senang. "Bukankah kita selama ini bahkan sejak dulu sudah
bujangan?" Micky tergelak geli. Pandangan matanya tertuju ke arah pintu ruang santai.
Tampak tubuh tambun Solly Greenbourne. Entah kenapa, ia takut melihat Solly.
Aneh. Padahal Solly pria paling tidak berbahaya di London. "Itu ada teman yang
ingin /nengucapkan selamat padamu," katanya pada Edward.
Ketika Solly mendekat, Micky melihat ia tidak tersenyum ramah seperti biasa,
malah tampak sangat marah. Ini aneh. Micky merasa ada yang tidak beres dengan
kontrak jalan kereta api Santamaria. Ia menghibur diri dengan menganggap
kekhawatirannya tidak beralasan. Tapi Solly tidak pernah marah selama ini....
Ia mencoba ramah pada Solly. "Halo, Solly, sobat lamaku, bagaimana kabarnya si
jenius dari dunia keuangan?"
Solly tampak tidak berminat pada Micky. Ia langsung menatap Edward. "Pilaster,
kau bajingan terkutuk," katanya.
Micky terpana dan ketakutan. Solly dan Edward sudah hampir menandatangani
kontrak kerja sama proyek raksasa itu. Baru kali ini ia melihat Solly berang dan
marah besar. Ini serius sekali. Bahkan gawat. Apa yang membuat Solly marah
begini" Edward juga ikut kaget. "Greenbourne, kenapa kau kesetanan begfni?"
Wajah Solly makin merah padam. Ia nyaris tak sanggup bicara karena menahan
emosi. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Aku sudah tahu bahwa kau dan ibumu,
si nenek sihir itu, yang mendalangi rangkaian artikel kotor di The ForumV
462 "Oh, tidak!" Micky tiba-tiba berteriak sendiri. Ini benar-benar bencana. Sejak
semula ia sudah curiga dengan keterlibatan Augusta dalam serangan itu, kendati
tidak ada bukti-bukti nyata tapi bagaimana Solly bisa tahu"?Pertanyaan yang sama juga hinggap di benak Edward. "Siapa yang telah menjejali
benakmu dengan fitnah kotor itu?"
"Salah satu komplotan ibumu yang kebetulan menjadi dayang Sri Ratu," jawab Solly
cepat. Micky tahu yang dimaksudnya adalah Harriet Morte. Augusta tampaknya punya
pengaruh atas diri wanita itu. Solly meneruskan, "Dia membocorkan rahasia,
menceritakan semuanya pada Pangeran Wales. Aku baru saja makan malam dengan
beliau." Solly pasti sudah gila karena berani membocorkan isi obrolannya dengan pewaris
tahta kerajaan, pikir Micky. Tapi mungkin kemarahan yang amat sangat sudah
menutupi akal sehatnya. Micky bingung, bagaimana cara mendamaikan mereka agar
penandatanganan kontrak besok tidak sampai gagal.
Ia mencoba mendinginkan suasana. "Solly, teman lama, kau jangan cepat percaya
dengan kabar itu." Solly menatapnya. Kedua bola matanya melotot merah. Dahinya berkeringat. "O ya"
Ketika kubaca berita hari ini tentang penganugerahan gelar bangsawan pada Joseph
Pilaster yang seharusnya untuk ayahku.... aku tidak percay^"
"Tapi..." "Bisa kaubayangkan akibatnya untuk ayahku?"
Micky mulai bisa memahami kemarahan Solly. Bukan untuk dirinya sendiri dia
berang, tapi demi ayahnya. Kakek Ben Greenbourne tiba di London dari Rusia hanya
berbekal uang lima pound dan pakaian lusuh serta sepatu berlubang.
Penganugerahan gelar bangsawan pada Ben berarti sebuah pengakuan atas harkat dan
463 bobot keluarganya keluarga besar Greenbourne. Selain itu juga semacam pengakuan
?bagi semua orang Yahudi , di Inggris. Sebuah kemenangan besar bagi bangsanya.
Edward berkomentar, "Aku tidak bisa disalahkan kalau kalian berasal dari bangsa
Yahudi." Micky cepat-cepat masuk untuk menetralisir suasana. "Kalian tidak perlu
bertengkar begitu di tempat umum. Bukankah kalian mitra dalam sebuah proyek
besar?" "Kau memang tolol, Miranda," tukas Solly jengkel, sehingga Micky ngeri. "Lupakan
saja soal proyek jalan kereta api sialan itu, atau semua proyek bersama dengan
Greenbournes Bank. Setelah kuceritakan soal ini kepada para mitra bank, mereka
tidak akan mau melakukan bisnis lagi dengan keluarga Pilaster."
Micky serasa menelan tulang ketika melihat Solly meninggalkan mereka berdua.
Orang memang mudah lupa betapa berkuasanya seorang bankir, tapi dalam beberapa
menit mereka bisa menghancurkan harapanmu. Begitu juga dengan Micky, cukup satu
kalimat saja dari Solly, sudah memusnahkan segala harapannya.
"Sialan," gerutu Edward. "Yahudi sialan."
Micky hampir saja membentaknya untuk tutup mulut. Edward bisa saja hanya kena
damprat karena kehilangan proyek besar ini, tapi tidak bagi Micky. Ia akan
kehilangan segalanya. Papa akan marah dan akan melampiaskan padanya.
Apakah masih ada harapan baginya" Ia.#iencoba berpikir dengan tenang. Adakah
yang bisa mencegah Solly membatalkan proyek ini" Jika ada, harus secepatnya ia
lakukan karena begitu Solly bertemu ayahnya atau anggota keluarga Greenbourne
lainnya, musnahlah harapan Micky.
Apakah Solly bisa diajak bicara"
Harus dicoba. Sekarang juga.
Dengan cepat ia bangkit berdiri.
"Mau ke mana kau?" tanya Edward.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Micky memutuskan tidak memberitahu Edward. "Main kartu, kau tidak mau main?"
"Ya, tentu saja." Dengan cepat ia ikut bangkit dari duduknya dan bergabung
dengan Micky. Di dasar tangga, Micky mencari alasan. "Kau main dulu... nanti kususul."
Edward naik ke ruang atas. Micky masuk ke dalam kamar gantung mantel, mengambil
topi dan tongkatnya, lalu bergegas keluar dari klub.
Ia menengok ke kanan dan ke kiri sepanjang Pali Mali, takut kalau-kalau Solly
sudah menghilang. Sudah mulai gelap, lampu-lampu gas jalanan mulai dinyalakan.
Micky tidak bisa menemukan Solly. Lalu, dari jarak sekitar seratus meter, ia
melihat tubuh Solly yang besar sedang bergegas ke arah St. James.
Micky mengejarnya. Ia akan menjelaskan pada Solly betapa pentingnya proyek ini bagi dirinya dan
nasib ribuan orang di Kordoba. Ia akan membohongi Solly betapa di tangannya
tergantung nyawa jutaan orang miskin di Kordoba. Menghentikan proyek itu berarti
menghukum mereka semua, hanya karena kemarahan Solly atas kelicikan Augusta.
Solly berhati emas, jika diminta demi alasan kemanusiaan, pasti ia bersedia
menarik kembali niatnya. Ia berkata baru saja bersama Pangeran Wales. Artinya kemungkinan besar ia belum
sempat menceritakan kasus ini pada orang lain. Di klub tadi tak seorang pun
mendengar pertengkaran mereka. Jadi, besar kemungkinan Ben Greenbourne belum
tahu soal ini. Sudah tentu kebenaran akan muncul juga nanti. Pangeran bisa saja memberitahu
orang lain. Tapi peduli amat, kontrak proyek sudah akan ditandatangani besok,
tentunya jika kasus Augusta bisa ditahan tidak sampai ke telinga keluarga
Greenbourne. Setelah itu, silakan saja kedua keluarga besar itu bertengkar. Yang
penting, proyeknya sudah jalan.
465 Pall Mall dipenuhi dengan pelacur jalanan yang sedang mencari mangsa, juga para
pejalan kaki yang baru keluar dari klub, serta kereta kuda dan kereta sewaan.
Micky mengalami kesukaran mengejar Solly. Ia makin panik dan cemas. Lalu Solly
Raja Pedang 5 Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia Bara Diatas Singgasana 10

Cari Blog Ini