Sang Alkemis Karya Paulo Coelho Bagian 1
SANG ALKEMIS @kapuKOrner Prolog ALKEMIS ITU MENGAMBIL BUKU YANG DIBAWA SESEORANG DALAM karavan. Membuka-buka
halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut
di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona
oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh kedalam danau itu dan tenggelam. Di
titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus.
Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati
danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata
yang asin. "Mengapa engkau menangis?" tanya dewi-dewi itu.
"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.
"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau kami
selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya
dari dekat." "Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau.
"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi bertanya heran. "Di
dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!"
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
"Aku menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu
indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa
melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."
"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
@kapuKOrner Bagian Satu Bagian Satu @kapuKOrner Nama bocah itu Santiago...
NAMA BOCAH ITU SANTIAGO, PETANG MENJELANG IA tiba dengan kawanan ternaknya di
sebuah gereja yang terbengkalai. Atapnya sudah lama runtuh, dan pohon sikamor
yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristi pernah berdiri.
Dia memutuskan untuk bermalam di situ. Dia melihat ke arah domba-dombanya yang
masuk lewat pagar yang rusak, kemudian meletakkan papan di atas pagar rusak itu
supaya kawanan ternak tidak keluyuran di malam hari. Tak ada serigala di daerah
ini, tapi seekor domba pernah tersesat di malam hari, dan si bocah harus
mencarinya sepanjang esok harinya.
Dia menyapu lantai dengan jaketnya dan merebahkan badan, menjadikan buku yang
baru selesai dibacanya sebagai bantal. Dia berkata dalam hati bahwa dia harus
mulai membaca buku yang lebih tebal: ia lebih lama dibaca, dan lebih nyaman
sebagai bantal. Hari masih gelap ketika dia terbangun, dan mendongakkan kepala, dia dapat
melihat bintang-bintang melalui atap yang nyaris hancur.
Aku ingin tidur lagi sebentar, pikirnya. Dia bermimpi yang sama seperti minggu
lalu, dan sekali lagi dia terbangun sebelum mimpinya selesai.
Dia bangkit, mengambil tongkatnya, dan membangunkan domba-domba yang masih
tidur. Dia perhatikan, segera setelah dia bangun, kebanyakan hewan piaraannya
juga mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya
dengan domba-domba itu, yang telah bersamanya selama dua tahun, menggembalakan
mereka menyusuri pedesaan guna mencari makanan dan air.
"Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku," gumamnya. Memikir
kan hal ini sejenak, dia sadar boleh jadi sebaliknya: dialah yang menjadi
terbiasa dengan jadwal mereka.
Tapi ada beberapa yang lebih susah dibangunkan. Si bocah menusuk mereka, satu
per satu, dengan tongkatnya, memanggil nama mereka masing-masing. Dia percaya
domba-domba itu dapat mengerti apa yang diucapkannya. Jadi terkadang dia
membacakan mereka bagian dari bukunya yang membuatnya terkesan, atau
menceritakan kesepian dan kebahagiaan seorang gembala di ladang. Sesekali dia
berkomentar untuk mereka tentang apa yang dilihatnya di desa-desa yang mereka
lalui. Tapi beberapa hari terakhir ini, yang ia bicarakan kepada domba-dombanya hanya
satu: gadis itu, puteri seorang pedagang yang tinggal di desa yang akan mereka
capai dalam kira-kira empat hari. Dia baru sekali ke desa tadi, tahun lalu.
Pedagang itu adalah pemilik toko kain, dan dia selalu meminta agar domba-domba
dicukur di hadapannya, supaya dia tidak ditipu. Seorang teman memberitahu sang
bocah tentang toko kain itu, dan dibawalah domba-dombanya ke sana.
@kapuKOrner "Aku mau jual wol"...
"AKU MAU JUAL WOL," KATA SI BOCAH KEPADA PEDAGANG ITU.
Toko sedang ramai, maka si pedagang menyuruh gembala itu untuk menunggu sampai
sore. Jadi, duduklah si bocah di tangga toko, dan mengeluarkan buku dari tasnya.
"Rupanya ada juga gembala yang bisa membaca," terdengar suara seorang gadis di
belakangnya. Paras gadis itu khas daerah Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan mata
yang secara samar-samar mengingatkan pada para penakluk bangsa Moor.
"Yah..., biasanya aku lebih banyak belajar dari domba-dombaku daripada dari
buku,"jawabnya. Selama dua jam mereka mengobrol, si gadis memberitahu bahwa dia
adalah anak pedagang kain itu, dan bercerita tentang kehidupan di desa tadi,
yang setiap hari sama belaka dengan semua hari lain. Si gembala menceritai gadis
itu tentang pedesaan Andalusia, dan hal-hal menarik lainnya di kota-kota yang
pernah dia singgahi. Suatu peruhahan yang menyenangkan dari bicara dengan dombadombanya. "Bagaimana kamu belaiar membaca?" tanya gadis itu suatu ketika.
"Sama seperti orang-orang lain," katanya. "Di sekolah."
"Eh, kalau kamu bisa baca, kenapa cuma jadi gembala?"
Si bocah menjawab dengan menggumam-gumam tak jelas supaya dia bisa mengelak
untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Dia yakin si gadis tidak akan pernah
mengerti. Dia melanjutkan kisah perjalanan-perjalanannya, dan mata bening Moor
gadis itu membelalak takut dan terkejut. Waktu terus berjalan, dan sang bocah
berharap semoga hari itu tak akan pernah berakhir, semoga ayah gadis itu terus
sibuk dan membiarkan dia menunggu selama tiga hari. Dia sadar dia merasakan
sesuatu yang belum pernah dia alami: hasrat untuk menetap di satu tempat buat
selamanya. Bersama gadis berambut hitam legam ini, hari-harinya tentulah tak
akan sama seperti dulu. Tapi akhirnya pedagang itu muncul, dan menyuruhnya untuk mencukur empat domba.
Dia membayar wol itu dan meminta sang gembala untuk kembali tahun depan.
@kapuKOrner Dan sekarang hanya tinggal...
DAN SEKARANG HANYA TINGGAL EMPAT HARI LAGI DIA AKAN kembali ke desa itu. Dia
gembira, dan sekaligus gelisah: barangkali gadis itu sudah lupa padanya. Banyak
gembala yang lewat, menjual wol mereka.
"Tak masalah," katanya kepada domba-dombanya. "Aku kenal gadis-gadis lain di
tempat-tempat lain."
Tapi dalam hati dia tahu itu adalah masalah. Dan dia tahu bahwa para gembala,
seperti pelaut dan seperti pedagang keliling, selalu menemukan sebuah kota di
mana ada seorang yang mampu membuat mereka melupakan keasyikan mengembara sesuka
hati. Hari mulai terang, dan sang gembala menggiring domba-dombanya ke arah matahari.
Mereka tidak perlu membuat keputusan apapun, pikirnya. Mungkin itulah sebabnya
mereka selalu berada di dekatku.
Yang menjadi perhatian domba-domba itu hanyalah makanan dan air. Selama si bocah
tahu di mana mendapatkan padang rumput yang bagus di Andalusia, mereka akan jadi
temannya. Betul, hari-hari mereka sama belaka, dangan jam-jam yang tampak tanpa
akhir antara pagi dan petang; dan mereka tak pernah baca buku di masa muda
mereka, dan tak tahu kalau sang bocah bercerita tentang pemandangan kota. Mereka
puas hanya dangan makanan dan air, dan, sebagai imbalannya, mereka dangan murah
hati memberikan wol, rekan mereka, dan --sesekali-- daging mereka.
Jika suatu hari aku jadi monster, dan memutuskan membunuh mereka, satu per satu,
mereka akan waspada baru setelah hampir seluruh kawanan ini terjagal, pikir si
bocah. Mereka mempercayaiku, dan mereka sudah lupa bagaimana mengandalkan naluri
mereka sendiri, karena aku menggiring mereka ke makanan.
Si bocah terkejut dengan pikiran-pikirannya. Mungkin karena gereja itu, dengan
pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang telah
membuatnya bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram
terhadap kawan-kawan setianya. Dia minum sedikit dari anggur sisa makan malamnya
kemarin, dan merapatkan jaket ke badannya. Dia tahu bahwa beberapa jam lagi dari
sekarang, dengan matahari di titik puncak, panasnya akan sangat terik sehingga
dia tidak akan sanggup membimbing kawanan domba itu melewati padang. Itu adalah
saat segenap warga Spanyol tidur selama musim panas. Panasnya teror berlanjut
sampai malam tiba, jadi sepanjang waktu itu dia harus membawa-bawa jaketnya.
Tapi ketika dia ingin mengeluh tentang beratnya jaket tadi, dia ingat, karena
dia punya jaketlah maka dia kuat menahan dinginnya pagi.
Kita harus siap menghadapi perubahan, pikirnya, dan dia bersyukur dengan
tebalnya jaket dan kehangatannya.
Jaket itu punya tujuan, begitu juga si bocah. Tujuannya dalam hidup adalah
berkelana, dan, setelah dua tahun menyusuri kawasan Andalusia, dia tahu semua
kota di wilayah itu. Dia berencana, pada kunjungannya kali ini, untuk
menjelaskan pada gadis itu bahwa begitulah cara seorang gembala jelata mernbaca.
Bahwa dia pernah belajar di seminari sampai umur enambelas. Orangtuanya ingin
supaya dia jadi pastur, dan dengan begitu bisa menjadi kebanggaan sebuah
keluarga petani miskin. Mereka bekerja keras hanya untuk mendapatkan makanan dan
air, seperti domba-domha itu. Dia sudah belajar bahasa Latin, Spanyol dan
teologi. Tapi sejak kecil dia sudah ingin tahu tentang dunia, dan ini jauh lebih
penting baginya daripada mengetahui Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia.
Suata sore, saat mengunjungi keluarganya, dia memberanikan diri bicara kepada
ayahnya bahwa dia tidak ingin jadi pastur. Bahwa dia ingin mengembara.
@kapuKOrner "Orang-orang dari seluruh dunia...
"ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak," kata ayahnya.
"Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu mereka pergi sebenarnya
mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka mendaki gunung untuk melihat
kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa masa silam lebih baik
daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut pirang, atau berkulit
gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang yang tinggal di sini."
"Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal mereka," si
bocah menjelaskan. "Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin tinggal di
sini selamanya," lanjut ayahnya.
"Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana kehidupan
mereka," kata anaknya.
"Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu
berkelana," kata ayahnya. "Di kalangan kita, yang berkelana hanya para gembala."
"Kalau begitu, aku mau jadi gembala!"
Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Esok harinya, dia memberi anaknya kantong
bersi tiga koin emas Spanyol kuno.
"Ini kutemukan di ladang suatu hari. Aku ingin ini menjadi bagian warisanmu.
Tapi pakailah untuk membeli domba. Bawalah ke padang-padang, dan suatu hari kau
akan tahu bahwa desa-desa kitalah yang terbaik, dan perempuan-perempuan kitalah
yang tercantik." Dan dia memberi restu pada anaknya. Si bocah dapat melihat dari pandangan mata
ayahnya hasrat untuk bisa, bagi dirinya sendiri, berkelana ke seluruh dunia
--suatu hasrat yang masih menyala, meski ayahnya berusaha menguburnya, selama
berpuluh tahun, di bawah beban perjuangan untuk mendapatkan air untuk minum,
pangan untuk makan, dan tempat yang sama untuk tidur setiap malam sepanjang
hidupnya. @kapuKOrner Cakrawala memancarkan warna...
CAKRAWALA MEMANCARKAN WARNA, DAN tiba-tiba matahari muncul. Si bocah merenungkan
percakapan dengan ayahnya, dan merasa bahagia; dia sudah melihat banyak kastil
dan bertemu banyak perempuan (tapi tak ada yang setara dengan seseorang yang
menunggunya dalam beberapa hari lagi). Dia punya jaket, buku yang dapat
ditukarkan dengan yang lain, dan kawanan domba. Tapi, yang paling penting, dia
setiap hari dapat menjalani mimpinya. Jika dia merasa bosan dengan ladang-ladang
Andalusia, dia bisa menjual domba-dombanya dan pergi ke laut. Pada saat dia
sudah merasa puas di laut, dia sudah tahu kota-kota lain, perempuan-perempuan
lain, dan kesempatan-kesempatan lain yang membahagiakan. Aku tak dapat menemukan
Tuhan di seminari, pikirnya, saat dia melihat terbitnya matahari.
Kapanpun dia mau, dia mencari jalan baru untuk berkelana. Dia belum pernah ke
tempat gereja yang hancur itu sebelumnya, meski telah sering berjalan melewati
daerah-daerah itu. Dunia ini begini luas dan tak berbatas; dia mengizinkan
domba-dombanya menetapkan rute hanya untuk sejenak, sehingga dia akan menemukan
hal-hal menarik lainnya. Masalahnya kawanan domba itu bahkan tak sadar bahwa
mereka menapaki jalan baru setiap hari. Mereka tidak melihat ladang-ladangnya
baru dan musim berganti-ganti. Yang mereka pikirkan cuma makanan dan air.
Mungkin kita semua juga begitu, pikir si bocah. Bahkan aku --aku tidak
memikirkan perempuan lain sejak berjumpa dengan puteri pedagang itu. Melihat ke
arah matahari, dia menghitung bahwa dia akan tiba di Tarifa sebelum tengah hari.
Di sana dia dapat menukarkan bukunya dengan buku yang lebih tebal, mengisi botol
anggurnya, bercukur dan potong rambut; dia harus mempersiapkan diri untuk
pertemuan dengan gadis itu, dan dia tidak ingin memikirkan kemungkinan ada
gembala lain, dengan kawanan domba yang lebih banyak, sampai duluan di sana dan
melamarnya. Kemungkinan untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan membuat hidup menarik,
pikirnya saat melihat lagi posisi matahari, dan mempercepat langkahnya. Dia
tiba-tiba ingat: di Tarifa ada seorang perempuan tua yang bisa menafsirkan
mimpi. @kapuKOrner Perempuan itu membawa bocah..
PEREMPUAN ITU MEMBAWA SI BOCAH KE RUANGAN DI belakang rumahnya, yang dipisahkan
dengan ruang tamunya oleh tirai manik-manik warna-warni. Perabot ruangan itu
terdiri dari satu meja, sebuah patung Hati Suci Yesus, dan dua kursi.
Perempuan itu duduk, dan menyuruh si bocah duduk. Kemudian dia meraih kedua
tangan si bocah ke tangannya sendiri, dan mulai berdoa tanpa suara.
Kedengarannya seperti doa orang Gipsi. Si bocah pernah punya pengalaman di jalan
dengan orang-orang Gipsi; mereka juga berkelana, tapi mereka tidak punya kawanan
domba. Kata orang kaum Gipsi menghabiskan hidup mereka dengan menipu orang lain.
Juga dikatakan mereka punya perjanjian dengan setan, dan bahwa mereka menculik
anak-anak, membawanya ke tenda-tenda misterius mereka, lalu menjadikan anak-anak
itu budak mereka. Sebagai anak kecil, si bocah selalu ketakutan setengah mati
kalau sampai tertangkap oleh orang Gipsi, dan ketakutan masa kecilnya kembali
muncul saat perempuan tua itu meraih tangannya dan meletakkannya di tangannya
sendiri. Tapi dia punya Hati Suci Yesus di sana, pikirnya, mencoba meyakinkan diri
sendiri. Dia tidak ingin tangannya gemetar, menunjukkan pada perempuan tua itu
bahwa dia takut. Diam-diam dia merapal doa Bapa Kami.
"Sangat menarik," kata perempuan itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari
tangan si bocah. Lalu ia terdiam. Si bocah jadi gelisah. Tangannya mulai
gemetar, dan perempuan itu merasakannya. Si bocah cepat menarik tangannya.
"Aku datang ke sini bukan karena aku ingin kamu membaca telapak tanganku,"
katanya, menyesal telah datang. Dia sempat berpikir sebaiknya dia membayar
perempuan itu, dan pergi tanpa mengetahui apapun; dia merasa telah kelewat
berlebihan menganggap penting mimpinya yang berulang itu.
"Kamu datang supaya kamu dapat memahami mimpi-mimpimu," kata perempuan tua itu.
"Dan mimpi adalah bahasa Tuhan. Ketika Dia berbicara dengan bahasa kita, aku
dapat menafsirkan apa yang dikatakanNya. Tapi bila dia bicara dengan bahasa
jiwa, cuma kamu yang bisa mengerti. Tapi, bahasa apapun itu, aku minta bayaran
untuk konsultasi ini."
Tipuan lagi, pikir si bocah. Tapi dia putuskan untuk mengambil risiko. Seorang
gembala selalu menempuh risiko dengan serigala dan kemarau, dan itulah yang
membuat hidup gembala jadi menarik.
"Aku bermimpi yang sama dua kali," kata si bocah. "Aku mimpi aku sedang berada
di ladang dengan domba-dombaku, ketika seorang anak muncul lalu bermain dengan
hewan-hewan itu. Aku tidak suka orang berbuat begitu, karena domba takut pada
orang asing. Tapi anak-anak selalu dapat bermain dengan mereka tanpa membuat
mereka takut. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak mengerti bagaimana domba-domba
itu bisa tahu umur manusia."
"Ceritakan lebih banyak tentang mimpimu," kata perempuan tua. "Aku harus ke
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapur dulu melihat masakanku, dan karena uangmu sedikit, aku tidak bisa
memberimu banyak waktu."
"Anak itu bermain-main cukup lama dengan dombaku," lanjut si bocah, agak marah.
"Dan tiba-tiba, dia membawaku dengan dua tangannya dan memindahkanku ke piramida
Mesir." Dia berhenti sebentar untuk melihat apakah perempuan tua itu tahu piramida
Mesir. Tapi dia diam saja.
"Kemudian di piramida Mesir tadi," --dia mengucapkan tiga kata terakhir dengan
lambat, supaya perempuan tua itu paham-- "anak itu berkata padaku, 'Kalau kamu
datang ke sini, kamu akan temukan harta terpendam.' Lalu, tepat saat dia mau
menunjukkan padaku lokasi harta itu, aku terbangun. Dua-duanya begitu."
Perempuan itu terdiam beberapa saat. Kemudian diambilnya tangan si bocah dan
diamatinya dengan seksama.
"Aku tidak akan minta bayaran apa-apa sekarang," katanya. "Tapi aku mau
sepersepuluh dari harta itu, kalau kau temukan."
Si bocah tertawa --karena gembira. Dia dapat menghemat uangnya yang cuma sedikit
itu karena sebuah mimpi tentang harta terpendam!
"Oke, tafsirkan mimpi itu," katanya.
"Pertama-tama, berjanjilah padaku. Berjanjilah bahwa kamu akan memberiku
sepersepuluh dari hartamu sebagai imbalan apa yang akan kuceritakan padamu."
Si gembala berjanji. Perempuan tua itu minta dia berjanji lagi sambil melihat
patung Hati Suci Yesus. "Ini mimpi dalam bahasa buana," katanya. "Aku bisa menafsirkannya, tapi
tafsirannya sangat sulit. Makanya aku merasa berhak mendapat bagian dari apa
yang akan kau temukan. "Dan inilah tafsirannya: kamu harus pergi ke Piramida di Mesir. Aku belum pernah
mendengar tentangnya, tapi, bila seorang anak menunjukkannya padamu, artinya
tempat itu benar-benar ada. Di sana akan kau temukan harta yang akan membuatmu
kaya." Si bocah terkejut, kemudian kesal. Dia tidak perlu mencari-cari perempuan tua
itu untuk hal ini! Tapi kemudian dia ingat bahwa dia tidak perlu membayar
apapun. "Aku lidak perlu buang waktu hanya untuk cerita seperti ini," katanya.
"Sudah kubilang mimpimu itu sulit. Hal-hal sederhana dalam hidup memang yang
paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya. Dan karena
aku tidak bijak, aku harus belajar seni yang lain, misalnya membaca telapak
tangan." "Lalu bagaimana aku bisa sampai ke Mesir?"
"Aku hanya menafsirkan mimpi. Aku tidak tahu cara mengubahnya menjadi kenyataan,
ltu sebabnya aku harus hidup dari pemberian anak-anak perempuanku."
"Dan bagaimana kalau aku tidak pernah sampai di Mesir?"
"Maka aku tidak akan dapat bayaran. Kejadian begini bukan baru kali ini."
Dan perempuan tua itu menyuruh si bocah pergi, sambil berkata bahwa dia telah
membuang waktunya terlalu banyak untuk si gembala.
Kecewalah si bocah; dia memutuskan tidak akan percaya lagi pada mimpi. Dia ingat
dia masih punya urusan lain yang harus dibereskan; dia pergi ke pasar untuk
mencari makanan, dia menukarkan bukunya dengan yang lebih tebal, dan dia
menemukan bangku panjang di alun-alun, tempat dia dapat mencicipi anggur yang
baru dibelinya. Hari itu panas, dan anggurnya terasa menyegarkan. Domba-dombanya
ada di gerbang kota, di kandang milik seorang teman. Bocah itu kenal banyak
orang di kota ini. Itulah daya tarik berkelana baginya --dia selalu punya temanteman baru, dan tidak perlu meluangkan seluruh waktunya dengan mereka. Bila
seseorang bertemu dengan orang yang sama setiap hari, seperti yang terjadi
padanya di seminari, mereka berubah menjadi bagian dari kehidupan orang tadi.
Kemudian mereka ingin orang itu berubah. Jika seseorang tidak seperti yang
dikehendaki, yang lainnya marah. Setiap orang rupa-rupanya punya ide yang jelas
tentang bagaimana orang lain seharusnya menjalani hidup mereka, tapi tak satu
pun mengenai kehidupannya sendiri.
Dia memutuskan untuk menunggu sampai matahari sedikit terbenam sebelum
mengiringi kawanan dombanya kembali melewati ladang-ladang. Tiga hari lagi dia
akan bersama puteri pedagang kain itu.
Dia mulai membaca buku yang dibelinya. Di halaman pertama digambarkan tentang
upacara pemakaman. Dan nama orang-orang yang terlibat sangat sulit diucapkan.
Jika suatu saat dia menuliis buku, pikirnya, dia akan menampilkan satu orang
saja pada satu waktu, sehingga pembaca tidak perlu repot menghafal banyak nama.
Ketika dia akhirnya dapat berkonsentrasi pada bacaannya, dia lebih menyukai buku
itu; pemakamannya pada hari yang bersalju, dan dia ikut merasakan dinginnya.
Saat dia asyik membaca, seorang lelaki tua duduk di sebelahnya dan mencoba
membuka obrolan. "Sedang apa mereka itu?" tanya lelaki tua tadi, menunjuk orang-orang di alunalun. "Bekerja," sahut si bocah dengan acuh tak acuh, menunjukkan sikap ingin
berkonsentrasi pada bacaannya.
Sebenarnya, dia sedang membayangkan mencukur domba-dombanya di hadapan puteri
pedagang itu, sehingga ia dapat melihat bahwa si bocah adalah orang yang mampu
melakukan hal-hal yang sulit. Dia sudah membayangkan kejadian itu beberapa kali;
setiap kali, gadis terkagum-kagum saat dia menjelaskan hahwa domba harus dicukur
dari belakang ke depan. Dia juga mencoba mengingat beberapa kisah menarik untuk
diceritakan saat dia mencukur domba-domba itu. Kebanyakan dibacanya dari bukubuku, tapi dia ingin menceritakannya seolah itu pengalaman pribadinya. Gadis itu
tidak akan tahu bedanya, sebab dia tidak bisa membaca.
Sementara itu, lelaki tua tadi terus berusaha membuka obrolan. Dia bilang dia
lelah dan haus; dan bertanya bolehkah dia minta sedikit anggur si bocah. Si
bocah memberikan botolnya, berharap orang tua itu akan meninggalkannya
sendirian. Tapi lelaki tua itu ingin ngobrol, dan dia bertanya pada si bocah buku apa yang
sedang dibacanya. Si bocah tergoda untuk bertindak kasar, dan pindah ke bangku
lainnya, tapi ayahnya mengajarkan agar menghormati orang yang lebih tua. Maka
ditunjukkannya buku itu pada si lelaki tua --dengan dua alasan: pertama, karena
dia sendiri tidak yakin bagaimana mengeja judulnya; dan kedua, kalau orang tua
itu tidak bisa membaca, dia mungkin bakal malu dan atas kemauan sendiri akan
pindah ke bangku lain. "Hmm...," kata si orang tua, melihat seantero buku itu, seakan menyaksikan benda
aneh. "Ini buku penting, tapi sangat menjengkelkan."
Si bocah terkejut. Orang tua ini ternyata bisa membaca, dan dia sudah membaca
buku itu. Dan kalau betul buku itu menjengkelkan, seperti yang dikatakan si
orang tua, si bocah masih sempat untuk menukarnya dengan buku lain.
"Buku ini menyatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh hampir semua buku
di dunia," lanjut orang tua itu. "Ia menggambarkan ketidakmampuan orang untuk
memilih Legenda Pribadi mereka sendiri. Dan berakhir dengan mengatakan bahwa
setiap orang mempercayai dusta terbesar di dunia."
"Apa dusta terbesar itu?" tanya si bocah, sungguh-sungguh terkejut.
"Begini: bahwa pada saat tertentu dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas
apa yang terjadi pada diri kita, dan hidup kita lalu dikendalikan oleh nasib.
Itulah dusta terbesar di dunia."
"Itu tidak pernah terjadi padaku," kata si bocah. "Mereka ingin aku menjadi
pastor, tapi kuputuskan untuk jadi gembala."
"Itu jatuh lebih baik," kata si orang tua. "Karena kamu benar-benar suka
berkelana." "Dia tahu pikiranku," si bocah membatin. Sementara itu, lelaki tua tadi
membalik-balik buku tersebut, tampak sama sekali tak berkeinginan
mengembalikannya. Si bocah baru sadar pakaian orang itu aneh. Dia tampak seperti
orang Arab, yang tidak luar biasa di daerah itu. Afrika hanya beberapa jam dari
Tarifa; orang hanya perlu menyeberangi selat sempit dengan perahu. Orang-orang
Arab sering datang di kota itu, berbelanja, dan melafalkan doa-doa aneh mereka
beberapa kali sehari. "Bapak berasal dari mana" tanya si bocah.
"Dari banyak tempat."
"Tak ada orang yang berasal darl banyak tempat," kata si bocah. "Aku ini
gembala, dan aku pernah ke banyak tempat, tapi aku berasal dari satu tempat saja
--dari sebuah kota dekat kastil kuno. Di sanalah aku lahir."
"Kalau begitu, bisa dibilang aku lahir di Salem."
Si bocah tidak tahu di mana kota Salem itu, tapi dia tidak ingin bertanya,
khawatir kelihatan bodoh. Selintas dia melihat orang-orang di alun-alun; mereka
datang dan pergi, dan semuanya tampak sangat sibuk.
"Seperti apa sih kota Salem itu?" dia bertanya, mencoba mendapat sekadar
petunjuk. "Seperti yang sudah-sudah."
Belum ada petunjuk sama sekali. Tapi dia tahu Salem bukan di Andalusia. Karena
bila di sana, dia tentu sudah pernah mendengarnya.
"Bapak kerja apa di Salem?" dia mendesak.
"Apa kerjaku di Salem?" Lelaki tua itu tertawa. "Aku ini raja Salem!"
Orang memang suka omong aneh-aneh, pikir si bocah. Kadang lebih baik bersama
kawanan domba, yang tidak bicara apa-apa. Dan lebih baik lagi sendirian dengan
buku-buku. Mereka menuturkan kisah-kisah hebat di saat kita ingin
mendengarkannya. Tapi kalau kita bicara dengan orang-orang, mereka mengocehkan
hal-hal yang begitu aneh sampai kita tidak tahu bagaimana cara melanjutkan
percakapan. "Namaku Melchizedek," kata lelaki tua itu. "Berapa domba yang kamu punya?"
"Cukup banyak," kata si bocah. Dia dapat melihat lelaki tua itu ingin tahu lebih
banyak tentang kehidupannya.
"Nah, kalau begitu kita punya masalah. Aku tidak bisa membantu bila kamu masih
merasa punya cukup banyak domba."
Si bocah mulai jengkel. Dia tidak minta bantuan. Justru orang tua itu yang minta
minuman anggurnya, dan memulai obrolan.
"Kembalikan bukuku," kata si bocah. "Aku harus pergi dan mengumpulkan dombadombaku dan berangkat."
"Beri aku sepersepuluh dari domba-dombamu," kata si orang tua, "maka kau akan
kuberitahu cara mencari harta terpendam itu."
Si bocah teringat mimpinya, dan tiba-tiba semuanya menjadi jelas baginya.
Perempuan tua itu tidak minta bayaran apapun darinya, tapi lelaki tua ini
--mungkin dia suaminya-- mencoba mendapat uang yang jauh lebih banyak sebagai
imbalan untuk informasi tentang sesuatu yang bahkan tidak ada. Lelaki tua ini
rupanya orang Gipsi juga.
Tapi sebelum si bocah dapat berkata apa-apa, orang tua itu berdiri, mengambil
tongkat, dan mulai menulis di pasir alun-alun itu. Sesuatu yang cemerlang
memancar dari dadanya dengan cahaya yang begitu kemilau sehingga si bocah sempat
tersilau. Dengan gerakan yang terlalu cepat untuk orang seusianya, dia menutupi
sesuatu itu dengan jubahnya. Ketika panglihatannya kembali normal, si bocah
dapat membaca apa yang ditulis lelaki tua di pasir itu.
Di sana, di pasir alun-alun kota kecil itu, si bocah membaca nama ayah dan
ibunya dan nama seminari yang pernah dimasukinya. Dia membaca nama puteri si
pedagang kain, yang dia sendiri pun belum tahu, dan dia membaca hal-hal yang tak
pernah dia ceritakan pada orang lain.
@kapuKOrner Aku adalah Raja Salem... "AKU ADALAH RAJA SALEM," KATA LELAKI TUA ITU.
"Mengapa seorang raja mau bicara dengan seorang gembala?"si bocah bertanya,
kagum dan malu. "Karena beberapa alasan. Tapi bolehlah dikatakan yang paling penting adalah
karena kamu telah berhasil menemukan Legenda Pribadimu."
Si bocah tidak tahu apa itu "Legenda Pribadi" seseorang.
"Legenda Pribadi adalah apa yang selalu ingin kita tunaikan. Setiap orang, saat
mereka belia, tahu apa Legenda Pribadi mereka.
"Pada titik kehidupan mereka itulah semuanya jelas dan segalanya mungkin
terjadi. Mereka tidak takut untuk bermimpi, dan mendambakan segala yang mereka
inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi, dengan berlalunya waktu, suatu daya
misterius mulai meyakinkan mereka bahwa mustahillah bagi mereka untuk mewujudkan
Legenda Pribadi mereka."
Tak ada satu pun perkataan lelaki tua itu yang dipahami si bocah. Tapi dia ingin
tahu apakah "daya misterius" itu; puteri si pedagang kain akan terkesan kalau
dia ceritakan hal ini! "Itu adalah kekuatan yang tampaknya negatif, tapi benarnya menunjukkan kepadamu
cara mewujudkan Legenda Pribadimu. Kekuatan ini mempersiapkan rohmu dan
kehendakmu, karena ada satu kebenaran terbesar di planet ini: siapapun kamu,
atau apapun yang kau lakukan, saat kau benar-benar menginginkan sesuatu, itu
karena hasrat tadi bersumber di dalam jiwa alam semesta. Itulah misimu di
dunia." "Bahkan kalaupun yang kita inginkan sekadar berkelana" Atau menikah dengan
puteri seorang pedagang kain?"
"Yes, atau bahkan mencari harta. Jiwa Buana dihidupi oleh kebahagiaan orangorang. Dan juga oleh kekecewaan, rasa iri, dan kecemburuan. Mewujudkan Legenda
Pribadi seseorang adalah satu-satunya kewajiban real orang itu. Semuanya adalah
satu." "Dan, saat kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya."
Mereka berdua terdiam sejenak, mengamati alun-alun dan orang-orang kota itu.
Lelaki tua itulah yang mulai bicara.
"Mengapa kamu memelihara kawanan domba?"
"Sebab aku suka berkelana."
Lelaki tua itu menunjuk ke arab tukang roti di jendela toko di satu sudut alunalun. "Waktu dia kecil, dia juga ingin berkelana. Tapi dia pertama-tama
memutuskan untuk membeli toko roti dan mengumpulkan uang. Ketika dia sudah jadi
orang tua, dia cuma ingin pergi satu bulan ke Afrika. Dia tidak pernah menyadari
bahwa orang, pada suatu saat dalam hidup mereka, mampu melakukan apa yang mereka
impikan." "Seharusnya dia memutuskan jadi gembala," kata si bocah.
"Ya, dia pernah berpikir begitu," kata lelaki tua itu. "Tapi tukang roti adalah
orang yang lebih penting daripada gembala. Tukang roti punya rumah, sementara
gembala tidur di ruang terbuka. Orang tua lebih suka anak mereka menikah dengan
tukang roti daripada dengan gembala."
Si bocah merasakan tusukan di hatinya, memikirkan puteri pedagang kain itu.
Pastilah ada tukang roti di kotanya.
Lelaki tua itu melanjutkan, "Lama kelamaan, apa yang orang pikirkan tentang
gembala dan tukang roti menjadi lebih penting bagi mereka daripada Legenda
Pribadi mereka sendiri."
Lelaki tua itu membuka lembaran-lembaran buku tadi, dan tiba di halaman yang
ingin dibacanya. Sibocah menunggu, dan kemudian menyela orang tua itu sama
seperti ketika dia disela. "Mengapa Bapak ceritakan semua ini padaku?"
"Karena kamu sedang berusaha mewujudkan Legenda Pribadimu. Dan kamu berada di
titik ketika kamu hampir menyerah."
"Itukah sebabnya Bapak selalu muncul di saat-saat yang tak terduga?"
"Tidak selalu dengan cara ini, tapi aku selalu muncul dalam satu bentuk atau
lainnya. Kadang-kadang aku muncul dalam bentuk solusi, atau ide bagus. Di waktu
lain, pada saat genting, aku mempermudah terjadinya hal-hal yang muskil. Ada
hal-hal lain yang juga kulakukan, tapi sering orang tidak sadar bahwa akulah
yang melakukannya." Lelaki tua itu bertutur bahwa, seminggu yang lalu, dia terpaksa tampil di depan
seorang penambang, dan mengambil bentuk sebongkah batu. Penambang itu sudah
mengorbankan segalanya demi menambang zamrud. Sudah lima tahun dia bekerja di
suatu sungai, dan mencermati ratusan ribu batuan untuk mencari sebutir zamrud.
Penambang itu hampir menyerah, tepat pada saat jika dia memeriksa satu batu lagi
--hanya satu lagi-- dia akan menemukan zamrudnya. Karena penambang tadi telah
mengorbankan semuanya demi Legenda Pribadinya, orang tua itu memutuskan untuk
terlibat. Dia mengubah dirinya menjadi batu yang menggelinding di kaki penambang
itu. Si penambang, dengan sepenuh marah dan kecewa atas lima tahunnya yang siasia, memungut batu itu dan melemparkannya ke samping. Tapi dia melemparkannya
dengan begitu keras sehingga batu tadi pecah. Dan di sana, di batu
yang terbelah, melekat zamrud yang terindah.
"Di masa-masa awal hidup mereka, orang-orang sudah tahu apa alasan hidup
mereka," kata lelaki tua itu, dengan nada getir. "Mungkin itu pula sebabnya
mereka pun menyerah terlalu dini. Tapi begitulah kenyataaanya."
Si bocah mengingatkan lelaki tua itu bahwa dia pernah menyinggung soal harta
terpendam. "Harta terungkap oleh kekuatan air yang mengalir, dan terkubur oleh arus yang
sama," katanya. "Bila kamu ingin mengetahui tentang hartamu sendiri, kamu harus
memberiku sepersepuluh dari kawanan dombamu."
"Bagaimana kalau sepersepuluh hartaku saja?"
Orang tua itu tampak kecewa. "Jika kau mulai dengan menjanjikan apa yang belum
kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk bekerja guna mendapatkannya."
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si bocah memberitahu bahwa dia telah berjanji akan memberi sepersepuluh dari
hartanya kepada perempuan Gipsi.
"Orang Gipsi memang ahlinya dalam soal itu," keluh si orang tua. "Tapi, baguslah
kalau kamu jadi tahu bahwa segala sesuatu dalam hidup ini ada harganya, itulah
yang coba diajarkan oleh para Satria Cahaya."
Lelaki tua itu mengembalikan buku kepada si bocah.
"Besok, pada waktu yang sama ini, bawakan aku sepersepuluh kawanan dombamu. Dan
aku akan memberitahumu cara menemukan harta karun itu. Selamat sore."
Dan dia menghilang di sudut alun-alun.
@kapuKOrner Si bocah mulai lagi membaca...
SI BOCAH MULAI LAGI MEMBACA BUKUNYA, TAPI DIA TIDAK BISA lagi berkonsentrasi.
Dia merasa tegang dan marah, karena dia tahu orang tua itu benar. Dia pergi ke
bakeri itu dan membeli roti, menimbang-nimbang apakah dia perlu bercerita kepada
si tukang roti apa yang dikatakan orang tua tadi tentang dirinya. Kadang-kadang,
lebih baik membiarkan semua hal seperti adanya, pikirnya, dan memutuskan untuk
tidak bicara apapun. Bila dia bicara, tukang roti itu akan menghabiskan tiga
hari untuk berpikir meninggalkan apapun yang telah dimilikinya, meski dia sudah
terbiasa dengan keadaan yang ada. Si bocah harus sanggup menahan diri untuk
tidak membuat tukang roti itu gelisah. Maka dia mulai berjalan-jalan keliling
kota, dan tanpa sadar sampai di gerbang. Ada sebuah bangunan kecil di sana,
dangan loket tempat orang membeli tiket ke Afrika. Dan dia tahu Mesir ada di
Afrika. "Bisa saya bantu?" tanya pria di belakang loket itu.
"Mungkin besok," kata si bocah, pergi menjauh. Kalau dia menjual satu saja
dombanya, dia akan punya cukup uang untuk sampai ke pantai di seberang selat
itu. Pikiran ini menakutkannya.
"Salah satu pemimpi," kata penjual tiket kepada pembantunya, memandang si bocah
yang menjauh. "Dia tidak punya uang untuk melanglang."
Tatkala berdiri di jendela loket tadi, si bocah teringat kawanan dombanya, dan
memutuskan dia harus kembali untuk menjadi gembala. Dalam dua tahun dia telah
belajar semua hal tentang penggembalaan: dia tahu cara mencukur domba, bagaimana
mengawasi betina yang hamil, dan bagaimana melindungi dombanya dari serigalaserigala. Dia kenal semua ladang dan padang rumput di Andalusia. Dan dia tahu
harga yang tepat bagi setiap ekor dombanya.
Dia memutuskan untuk kembali ke kandang temannya melalui rute terpanjang yang
ada. Saat berjalan melewati kastil kota itu, dia menangguhkan kepulangannya, dan
mendaki jalan bebatuan yang landai menuju ke puncak tembok. Dari sana, dia dapat
melihat Afrika di kejauhan. Seseorang pernah mengatakan kepadanya bahwa dari
sanalah orang Moor datang, untuk menduduki seluruh Spanyol.
Dia dapat melihat hampir seluruh kota dari tempat duduknya, termasuk alun-alun
di mana dia berbincang dengan lelaki tua tadi. Terkutuklah saat aku bertemu
dengan orang tua itu, pikirnya. Dia datang ke kota ini hanya untuk mencari
seorang perempuan yang bisa menafsirkan mimpinya. Baik perempuan itu maupun si
lelaki tua sama sekali tak terkesan oleh kenyataan bahwa dia seorang gembala.
Mereka itu orang-orang penyendiri yang tak lagi percaya pada apapun, dan tidak
paham bahwa para gembala menjadi terikat dengan domba-dombanya. Dia tahu ihwal
setiap anggota kawanan dombanya: dia tahu mana yang pincang, mana yang bakal
beranak dua bulan lagi, dan mana yang paling malas. Dia tahu cara mencukur
mereka, dan bagaimana menyembelih mereka. Seandainya dia memutuskan untuk
meninggalkan domba-domba itu, mereka pasti sengsara.
Angin mulai kencang. Dia tahu angin apa itu: orang menamakannya levanter, karena
pada saat itulah bangsa Moor datang dari kota Levant di ujung timur Mediterania.
Levanter berembus makin kencang. Di sinilah aku, antara kawanan dombaku dan
hartaku, pikir si bocah. Dia harus memilih antara apa yang dia telah menjadi
terbiasa dengannya dan apa yang ingin dimilikinya. Ada juga puteri pedagang kain
itu, tapi ia tidaklah sepenting kawanan dombanya, karena gadis itu tidak
tergantung padanya. Barangkali si gadis bahkan tidak ingat dia. Dia yakin tak
ada bedanya dia datang kapan: bagi gadis itu, setiap hari sama saja, dan jika
tiap hari sama belaka dengan berikutnya, itu karena orang lupa menyadari hal-hal
baik yang terjadi setiap hari dalam hidup mereka, misalnya terbitnya matahari.
Kutinggalkan ayahku, ibuku, dan kastil kota. Mereka telah terbiasa dengan
kepergian diriku, dan begitu pula aku. Domba-domba itu juga akan terbiasa dengan
ketakhadiranku, pikir si bocah.
Dari tempat duduknya, dia dapat mengamati alun-alun. Orang-orang terus datang
dan pergi dari bakeri si tukang roti. Sepasang kekasih duduk di bangku tempat
dia mengobrol dengan lelaki tua itu, dan mereka berciuman.
"Tukang roti itu...," katanya pada diri sendiri, tanpa menyelesaikan apa yang
dipikirnya. Levanter kian kencang, dan dia merasakan kekuatannya di wajahnya.
Angin itu memang telah membawa bangsa Moor, tapi ia juga mengantarkan aroma
gurun dan wangi perempuan-perempuan berkerudung. Ia membawa keringat dan impianimpian para lelaki yang pernah pergi untuk mencari hal-hal yang belum dikenal,
dan untuk emas dan petualangan --dan demi Piramida. Bocah itu iri dengan
kebebasan sang angin, dan merasa bahwa dia pun bisa memiliki kebebasan serupa.
Tak ada sesuatu pun yang menahannya selain dirinya sendiri. Domba-domba, puteri
pedagang kain itu, dan ladang-ladang Andalusia hanyalah langkah-langkah di
sepanjang jalan menuju Legenda Pribadinya.
Esoknya, si bocah bertemu dengan lelaki tua itu pada sore hari. Dia membawa enam
dombanya. "Aku terkejut," kata si bocah. "Temanku kontan membeli semua domba lainnya. Dia
bilang dia selalu bermimpi jadi gembala, dan itu pertanda baik."
"Itulah yang memang sering terjadi," kata si orang tua. "Itu disebut prinsip
keberuntungan. Kalau kamu main kartu untuk pertama kali, kamu hampir pasti bakal
menang. Kemujuran pemula."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena ada kekuatan yang menginginkanmu mewujudkan Legenda Pribadimu; kekuatan
itu merangsang seleramu dengan rasa sukses."
Kemudian si orang tua mulai memeriksa domba-domba itu, dan dia melihat seekor
yang pincang. Si bocah menjelaskan bahwa kepincangan itu bukan masalah, sebab
domba tersebut yang paling pintar di antara kawanannya, dan menghasilkan paling
banyak wol. "Di mana harta karun itu?" tanya si bocah.
"Di Mesir, dekat Piramida ."
Si bocah tercengang. Perempuan tua itu mengatakan hal yang sama. Tapi dia tidak
minta bayaran apapun. "Untuk mendapatkan harta itu, kamu harus mengikuti tanda-tanda. Tuhan sudah
menyediakan satu jalan bagi tiap orang untuk diikuti. Kamu hanya perlu membaca
tanda-tanda yang ditinggalkanNya untukmu."
Sebelum si bocah menjawab, seekor kupu-kupu muncul dan terbang di antara dia dan
orang tua itu. Dia teringat sesuatu yang pernah diberitahukan oleh kakeknya:
bahwa kupu-kupu adalah pertanda baik. Seperti jangkrik, dan seperti pengharapan;
seperti cicak dan seperti daun semanggi helai-empat.
"Betul," kata orang tua itu, bisa membaca pikiran si bocah. "Seperti yang
kakekmu ajarkan. Ini adalah pertanda baik."
Lelaki tua itu membuka jubahnya, dan si bocah terpesona pada apa yang
dilihatnya. Ia memakai penutup dada emas yang berat, bertabur batu-batu mulia.
Si bocah teringat kemilau cahaya yang dilihatnya kemarin.
Dia benar-benar seorang raja! Dia pasti menyamar supaya tidak bertemu dengan
pencuri. "Bawalah ini," kata lelaki tua itu, mengulurkan batu putih dan batu hitam yang
tertancap di tengah-tengah penutup dadanya. "Batu-batu ini disebut Urim dan
Thummim. Batu hitam menandakan 'ya' dan batu putih menandakan 'tidak'. Saat kamu
tidak dapat membaca tanda-tanda, mereka akan membantumu membacanya. Selalulah
ajukan pertanyaan yang jujur.
"Tapi, kalau bisa, cobalah untuk membuat keputusan sendiri. Harta karun itu ada
di Piramida; itu sudah kamu ketahui. Tapi aku harus menuntut bayaran dengan enam
domba karena aku sudah membantumu membuat keputusan."
Si bocah memasukkan batu-batu tadi kekantongnya. Mulai saat itu, dia akan
membuat keputusan sendiri.
"Jangan lupa bahwa segala yang kamu hadapi hanya satu hal tunggal. Dan jangan
lupa bahasa pertanda. Dan, yang paling penting, jangan lupa mengikuti Legenda
Pribadimu sampai ke kesimpulannya.
"Tapi sebelum aku pergi, aku ingin menuturimu satu cerita kecil.
"Seorang pemilik toko mengirim puteranya untuk belajar tentang rahasia
kebahagiaan dari pria yang paling bijaksana di dunia. Si bocah mengembara,
menyeberangi gurun selama empatpuluh hari, dan akhirnya sampailah dia kesatu
istana yang indah, tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.
"Tanpa mencari orang bijak itu dulu, pahlawan kita langsung saja memasuki ruang
utama istana itu, melihat macam-macam kegiatan: para pedagang datang dan pergi,
orang-orang berbincang di sudut-sudut, orkestra kecil memainkan musik yang
lembut, dan ada sebuah meja yang dipenuhi piring-piring makanan terlezat yang
ada di belahan dunia tersebut. Si orang bijak bercakap-cakap dengan setiap
orang, dan si anak harus menunggu selama dua jam sebelum akhirnya dia mendapat
perhatian orang itu. "Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian keterangan si anak tentang
alasan dia datang, tapi berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk menerangkan
rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan
kembali dalam dua jam. "'Sambil kamu melihat-lihat, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,' kata
orang bijak itu, menyodorkan sendok teh berisi dua tetes minyak. 'Sambil kamu
keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya.'"
"Anak tadi mulai naik turun tangga-tangga istana, dengan pandangan tetap ke arah
sendok itu. Satelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat si orang bijak
berada. "'Nah,' tanya orang bijak itu, 'apakah kamu melihat tapestri Persia yang
tergantung di ruang makanku" Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar
pertamanan selama sepuluh tahun itu" Apakah kamu memperhatikan kertas kulit yang
indah di perpustakaanku"'"
"Anak itu merasa malu, dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya
hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yang
percayakan si orang bijak kepadanya.
"'Kembalilah dan perhatikan duniaku yang mengagumkan ini,' kata si orang bijak.
'Kamu tidak dapat mempercayai orang kalau kamu tidak tahu rumahnya.'
"Dengan lega, anak itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi istana itu,
kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan dinding-dinding. Dia
melihat taman-taman, pergunungan di sekelilingnya, bunga-bunga yang indah, dan
mengagumi selera di balik pemilihan segenap hal yang ada di sana. Sekembalinya
dia ke orang bijak itu, dia mengungkapkan secara terinci semua yang dilihatnya.
"'Tapi mana minyak yang kupercayakan padamu"' tanya si orang bijak.
"Memandang ke sendok yang dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi telah
hilang. "'Baiklah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan padamu,' kata manusia
terbijak itu. 'Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan dunia, dan tak
pernah melupakan tetesan minyak di sendok.'"
Sang gembala tidak berkata apa-apa. Dia sudah paham cerita yang dituturkan raja
tua itu. Sang gembala boleh saja berkelana, tapi dia tidak boleh melupakan
domba-dombanya. Orang tua itu melihat pada si bocah dan, dengan tangan menyatu, membuat gerakangerakan aneh di atas kepala si bocah. Kemudian, membawa domba-domba sang
gembala, dia pergi. @kapuKOrner Pada titik tertinggi di Tarifah...
PADA TITIK TERTINGGI DI TARIFA TERDAPAT SEBUAH benteng tua, yang dibangun oleh
bangsa Moor. Dari puncak dindingnya, orang dapat melihat sepintas wajah Afrika.
Melchizedek, sang raja Salem, sore itu duduk di atas tembok benteng, dan
merasakan terpaan levanter di wajahnya. Domba-dombanya gelisah di dekatnya, tak
nyaman dengan majikan baru mereka dan terkejut dengan perubahan yang teramat
besar itu. Yang mereka inginkan hanya makanan dan air.
Melchizedek mengamati sebuah kapal kecil yang sedang menjajaki jalan keluar
pelabuhan. Dia tidak akan pernah lagi melihat si bocah, sama seperti dia tak
pernah lagi melihat Abraham setelah ia meminta kepadanya bayaran sepersepuluh.
Itu memang tugasnya. Dewa-dewa mestinya tidak memiliki hasrat, karena mereka tak punya Legenda
Pribadi. Tapi raja Salem itu sungguh-sungguh berharap semoga si bocah sukses.
Sayang sekali dia. melupakan namaku secepat itu, pikirnya. Seharusnya kuulangi
rnengucapkan namaku untuknya. Sehingga saat bicara tentang diriku dia akan sebut
bahwa aku adalah Malchizedek, raja Salem.
Dia melihat ke angkasa, merasa agak malu, dan berkata, "Tuhanku, aku tahu ini
adalah pangkal kesombongan, seperti yang Engkau katakan. Tapi seorang raja tua
kadang kala harus merasa bangga pada dirinya."
@kapuKOrner Betapa anehnya Afrika ini...
BETAPA ANEHNYA AFRIKA INI, PIKIR SI BOCAH.
Dia sedang duduk di kedai yang sangat mirip dengan kedai-kedai minum lain yang
pernah dilihatnya sepanjang jalan-jalan sempit Tangier. Beberapa pria merokok
dari pipa raksasa yang diedarkan dari satu ke orang lain. Hanya dalam beberapa
jam dia sudah melihat para pria berjalan bergandengan tangan, perempuanperempuan dengan wajah tertutup, dan para imam menaiki puncak menara dan
menyanyi --seraya semua orang di dekatnya berlutut dan meletakkan dahi mereka ke
tanah. "Sembahyang orang kafir," gumamnya. Sebagai putera altar, dia selalu melihat
gambar Santo Santiago Matamoros di atas kuda putihnya, dengan pedang terhunus,
dan orang-orang seperti itu berlutut di bawah kakinya. Si bocah merasa gelisah
dan benar-benar sendirian. Orang-orang kafir in berpandangan buruk tentang
mereka. Selain itu, karena terburu-buru pergi dia melupakan satu hal, hanya satu detail,
yang bisa membuatnya tersingkir dari harta karunnya untuk waktu yang lama: hanya
bahasa Arab yang dipakai di negeri ini.
Pemilik kedai mendekati dia, dan si bocah menunjuk minuman yang disajikan di
meja sebelah. Ternyata teh pahit. Bocah itu lebih suka anggur.
Tapi dia tidak perlu mangkhawatirkan hal itu saat ini. Yang perlu dipikirkan
adalah harta karunnya, dan bagaimana cara mendapatkan harta itu. Panjualan
domba-dombanya menghasilkan cukup uang di kantongnya, dan si bocah tahu bahwa di
dalam uang ada keajaiban; siapapun yang punya uang tak akan pernah merasa
sendirian. Tidak lama lagi, mungkin hanya dalam beberapa hari, dia akan tiba di
Piramida. Seorang lelaki tua, dengan piringan emas di dada, tak akan berdusta
hanya untuk mendapat enam ekor domba.
Lelaki tua itu pernah berkata tentang tanda-tanda dan pertanda, dan, ketika si
bocah menyeberang selat tadi, dia berpikir tentang tanda-tanda. Betul, lelaki
tua itu sudah tahu apa yang sedang dia bicarakan: selama si bocah menghabiskan
waktu di ladang-ladang Andalusia, dia menjadi terbiasa mempelajari jalur mana
yang harus diambil dengan mengamati permukaan tanah dan langit. Dia sudah paham
bahwa kehadiran burung tertentu menandakan adanya ular di dekatnya, dan semaksemak tertentu adalah pertanda ada air di daerah itu. Domba-domha itulah yang
mengajarinya. Jika Tuhan membimbing domba-domba sedemikian baik, dia juga akan membimbing
manusia, pikirnya, dan itu membuat perasaannya lebih nyaman. Tehnya tidak terasa
pahit lagi. "Kamu siapa?" dia mendengar suara bertanya dalam
bahasa Spanyol. Si bocah lega. Dia sedang memikirkan tanda-tanda, dan seseorang muncul.
"Kamu bisa bahasa Spanyol?" tanyanya. Pendatang baru itu adalah remaja
berpakaian Barat, tapi warna kulitnya menandakan dia dari kota ini. Dia kirakira seumur dan setinggi si bocah.
"Hampir semua orang di sini bicara bahasa Spanyol. Tempat ini hanya dua jam dari
Spanyol." "Duduklah, kutraktir kamu," kata si bocah. "Dan mintakan segelas anggur untukku.
Aku tidak suka teh ini."
"Tidak ada anggur di negeri ini," kata pemuda itu. "Agama di sini melarangnya."
Si bocah mengatakan padanya bahwa dia ingin ke Piramida. Hampir saja dia
bercerita tentang harta karunnya, tapi tidak jadi. Jika dia cerita, kemungkinan
anak Arab itu akan minta bagian sebagai imbalan membawa dia ke sana. Dia ingat
perkataan lelaki tua itu soal menawarkan sesuatu yang belum kita miliki.
"Aku ingin kamu mengantarku ke sana kalau bisa. Aku akan membayarmu sebagai
pemandu." "Apa kamu tahu caranya sampai ke sana?" tanya pendatang baru itu.
Si bocah sadar bahwa pemilik kedai itu berdiri di dekatnya, menyimak percakapan
mereka. Dia merasa tak enak dengan kehadiran orang itu. Tapi dia sudah
mendapatkan seorang pemandu dan tidak ingin kehilangan peluang ini.
"Kamu harus melewati hamparan gurun Sahara," kata pemuda tadi. "Dan untuk itu,
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu perlu uang. Aku perlu tahu apa kamu punya cukup uang."
Si bocah menganggap pertanyaan ini aneh. Tapi dia percaya pada lelaki tua itu,
yang berkata bahwa, saat kita menginginkan sesuatu, alam semesta selalu berpadu
untuk membantu kita. Dia mengeluarkan uangnya dari kantong dan menunjukkannya pada pemuda tadi. Si
pemilik kedai mendekat dan melihat juga. Kedua orang in bertukar kata dalam
bahasa Arab, dan pemilik kedai tampak kesal.
"Ayo keluar," kata pendatang baru itu. "Dia ingin kita pergi."
Si bocah merasa lega. Dia berdiri untuk membayar bon, tapi pemilik kedai itu
menariknya dan bicara dengan semburan kata-kata bernada marah. Si bocah bertubuh
kuat, dan ingin membalas, tapi dia berada di negeri asing. Teman barunya
mendorong pemilik kedai dan menarik si bocah. "Dia ingin uangmu," katanya.
"Tangier tidak seperti kota-kota lain di Afrika. Ini kota pelabuhan, dan setiap
pelabuhan ada malingnya."
Si bocah percaya pada kawan barunya. Dia sudah menyelamatkannya dari keadaan
yang membahayakan. Dia mengeluarkan uang dan menghitungnya.
"Kita bisa sampai di Piramida besok," kata yang lain sambil mengambil uangnya.
"Tapi aku harus beli dua onta."
Mereka berjalan berdua melalui jalan-jalan sempit Tangier. Di mana-mana
bertebaran kios dengan aneka barang dagangan. Mereka tiba di tengah alun-alun
besar tempat pasar berada. Ada ribuan orang di sana, berdebat, menjual, dan
membeli; sayuran ditimbun di antara pisau-pisau, dan karpet-karpet dipajang di
sisi tembakau. Tapi si bocah tak pernah melepaskan pandangan dari kawan barunya.
Bagaimanapun, semua uangnya dipegang anak itu. Dia sempat berpikir untuk meminta
uangnya kembali, tapi urung karena itu tidak sopan. Dia sama sekali tak paham
istiadat di negeri asing ini.
"Akan kuawasi saja dia," katanya dalam hati. Dia tahu dia lebih kuat daripada
kawannya itu. Tiba-tiba, di tengah segenap kebingungan itu, dia melihat pedang terindah yang
pernah dilihatnya. Sarungnya bersulam perak, gagangnya hitam dan bertatah batubatuan mulia. Si bocah berjanji pada diri sendiri bahwa, sepulangnya dari Mesir,
dia akan membeli pedang itu.
"Tanyakan pada penjualnya berapa harga pedang itu," katanya pada kawannya.
Kemudian dia sadar perhatiannya sempat teralih ke pedang itu. Hatinya tertekan,
seolah dadanya tiba-tiba menghimpitnya. Dia tidak berani melihat sekitar, karena
dia tahu apa yang akan didapatinya. Dia melanjutkan menatap pedang indah itu
agak lebih lama, sampai akhirnya dia menghimpun keberanian untuk berpaling.
Sekitarnya adalah pasar, tempat orang-orang datang dan pergi, berteriak dan
membeli, dan aroma makanan yang aneh.., tapi dia tak menemukan kawan barunya. Si
bocah ingin mempercayai bahwa temannya itu terpisah darinya tanpa sengaja. Dia
memutuskan untuk menunggu saja di sana dan menanti kedatangannya. Saat dia
menunggu, seorang imam naik ke atas menara di dekatnya dan mulai menyanyi; semua
orang di pasar itu berlutut, menyentuhkan dahi mereka ke tanah dan mengikuti
nyanyian itu. Lalu, bagaikan koloni semut pekerja, mereka memberesi kios-kios
mereka dan pergi. Matahari pun mulai membenam. Si bocah melihatnya sejenak melalui lintasannya,
sampai akhirnya menghilang di belakang rumah-rumah putih di sekeliling alun-alun
itu. Dia ingat, ketika matahari terbit tadi pagi dia berada di benua lain, masih
menjadi gembala dengan enampuluh domba, dan menantikan saat bertemu dengan
seorang dara. Pagi itu dia tahu semua hal yang akan terjadi padanya saat dia
berjalan melalui ladang-ladang yang sangat dikenalnya. Tapi sekarang, ketika
matahari mulai terbenam, dia berada di negeri lain, seorang asing di ranah
asing, tempat dia mengucap bahasanya pun tak mampu. Dia bukan lagi seorang
gembala, dan dia tak punya apa-apa, tidak juga uang untuk pulang dan memulai
lagi segalanya. Semuanya ini terjadi antara matahari terbit dan tenggelam, pikir si bocah. Dia
mengasihani diri, dan menyesali kenyataan bahwa hidupnya bisa berubah begitu
cepat dan begitu drastis.
Dia sangat malu sampai ingin menangis. Dia tidak pernah menangis bahkan di depan
domba-dombanya. Tapi pasar sudah sepi, dan dia begitu jauh dari rumah, maka dia
pun menangislah. Dia menangis karena Tuhan tidak adil, dan karena beginilah
rupanya cara Tuhan mengganjar orang-orang yang mempercayai mimpi-mimpi mereka.
Kala aku punya domba, aku bahagia, dan aku membuat mereka yang ada di sekitarku
bahagia. Orang-orang melihat aku datang dan menyambutku, renungnya. Tapi kini
aku sedih dan sendiri. Aku akan menjadi seorang yang pahit dan tak percaya pada
siapapun karena satu orang telah menghianatiku. Aku akan membenci orang-orang
yang menemukan harta karun mereka karena aku tak pernah bisa menemukan milikku.
Dan aku akan mempertahankan sesedikit apapun yang sudah kupunya, sebab aku
terlalu remeh untuk menaklukkan dunia.
Dia membuka kantongnya untuk melihat apa miliknya yang tersisa; mungkin masih
ada sepotong sisa roti yang dimakannya di kapal. Tapi yang dia dapati hanya buku
yang berat, jaketnya, dan dua batu pemberian orang tua itu.
Saat melihat batu itu, dia merasa lega karena beberapa alasan. Dia telah menukar
enam dombanya dengan dua batu berharga yang diambil dari piringan emas penutup
dada. Dia bisa jual batu-batu ini dan beli tiket pulang. Tapi kali ini aku akan
lebih pintar, pikir si bocah, seraya memindahkan batu-batu itu dari kantong
supaya bisa dimasukkannya ka dalam saku. Ini kota pelabuhan, dan satu-satunya
kebenaran yang diucapkan kawannya itu kepadanya adalah bahwa kota pelabuhan
selalu penuh maling. Sekarang barulah dia mengerti mengapa pemilik kedai itu tampak sangat marah: ia
mencoba memberitahu dia supaya tidak mempercayai pemuda itu. "Aku ini seperti
semua orang lain --aku memandang dunia menurut apa yang ingin kulihat terjadi,
bukan apa yang sesungguhnya terjadi."
Dia meraba batu-batu itu perlahan-lahan, merasakan suhunya dan merasakan
permukaannya. Batu-batu itu adalah hartanya. Memegangnya saja sudah membuat dia
merasa lebih tenang. Kedua batu itu mengingatkannya pada si orang tua.
"Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu
meraihnya," katanya waktu itu.
Si bocah mencoba mengerti kebenaran dalam apa yang dikatakan orang itu. Di
sanalah dia di tengah pasar yang kosong, tanpa sesen pun dimilikinya, dan tanpa
seekor pun domba untuk dijaga sepanjang malam. Tapi batu-batu ini adalah bukti
bahwa dia pernah bertemu seorang raja --seorang raja yang tahu masa lalu si
bocah. "Mereka dinamakan Urim dan Thummim, dan mereka dapat membantumu untuk membaca
pertanda." Si bocah mengembalikan batu-batu itu ke dalam kantong dan memutuskan
untuk melakukan percobaan. Orang tua itu memberitahu dia supaya mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat jelas, jika si bocah ingin tahu apa yang
dibutuhkannya. Maka bertanyalah dia apakah berkah lelaki tua itu masih
bersamanya. Dia mengeluarkan salah satu batu. Jawabnya "ya."
"Apakah aku akan menemukan hartaku?" tanyanya.
Dia memasukkan tangannya ke dalam kantong, dan meraba-raba untuk mendapatkan
salah satu batu. Ketika dia melakukan hal itu, kedua batu tadi terdorong melalui
sebuah lubang di kantong itu dan jatuh ke tanah. Si bocah tak pernah tahu ada
lubang di kantongnya. Dia membungkuk untuk memungut Urim dan Thummim dan
mengembalikan mereka ke dalam kantong. Tapi saat dia melihat batu-batu itu
tergeletak di atas tanah, ucapan lain muncul di benaknya.
"Belajarlah untuk mengenali pertanda dan ikuti mereka," lelaki tua itu pernah
berkata. Pertanda. Si bocah tersenyum sendiri. Dia mengambil kedua batu itu dan
memasukkannya kembali ke dalam kantongnya. Dia tidak merasa perlu menambal
lubang tadi --batu-batu itu toh bisa jatuh kapan saja. Dia tahu ada hal-hal
tertentu yang tidak boleh ditanyakan orang, agar tak melenceng dari Legenda
Pribadinya. "Aku berjanji aku akan membuat keputusan sendiri," katanya dalam
hati. Tapi batu-batu itu telah memberitahunya bahwa si orang tua masih bersamanya, dan
itu membuatnya merasa lebih percaya-diri. Dia melihat lagi ke sekeliling alunalun yang kosong, merasa tak sesedih sebelumnya, ini bukan tempat yang asing;
ini tempat baru. Betapapun, yang selalu diinginkannya memang hanya itulah: mengenal tempat-tempat
baru. Bahkan kalaupun dia tak pernah sampai ke Piramida, dia sudah pernah
berkelana lebih jauh daripada semua gembala yang dikenalnya. Ah, pikirnya, kalau
saja mereka tahu tentang sesuatu yang lain yang hanya sejauh dua jam perjalanan
kapal dari tempat mereka. Meski dunia barunya saat ini hanyalah sebuah pasar
yang kosong, dia sudah menyaksikan saat pasar itu dipenuhi kehidupan, dan dia
tak akan pernah melupakannya. Dia teringat pedang tadi. Agak menyakitkan bila
dipikirkan, tapi dia tak pernah melihat pedang seperti itu sebelumnya. Saat dia
merenungkan hal-hal ini, dia sadar dia harus memilih antara memandang dirinya
sebagai korban malang seorang pencuri dan sebagai pengembara dalam pencarian
harta karunnya. "Aku seorang pengembara, yang mencari harta berharga," katanya pada dirinya.
@kapuKOrner Dia terbangun karena dikejutkan...
DIA TERBANGUN KARENA DIKEJUTKAN SESEORANG. DIA tertidur di tengah pasar itu, dan
kehidupan di alun-alun akan dimulai.
Melihat sekeliling, dia mencari dombanya, dan kemudian sadar bahwa dia berada di
dunia baru. Tapi bukannya sedih, dia merasa bahagia. Dia tidak perlu lagi
mencari makanan dan air untuk domba-dombanya. Sebaliknya, dia dapat mencari
harta karunnya. Dia tidak punya sesen pun di sakunya, tapi dia punya keyakinan.
Dia telah memutuskan, tadi malam, bahwa dia akan menjadi pengembara persis
seperti cerita di buku-buku yang selalu membuatnya terpesona.
Dia berjalan pelan-pelan melewati pasar. Para pedagang memasang tenda kios-kios
mereka, dan si bocah membantu seorang penjual manisan memasang tendanya. Wajah
penjual manisan itu menyungging senyum: dia bahagia, sadar tantang hidupnya, dan
bersiap memulai pekerjaan hari ini. Senyumnya mengingatkan si bocah pada lelaki
tua itu --seorang raja tua misterius yang pernah dia jumpai. "Pedagang manisan
ini membuat manisan bukan supaya kelak dia bisa berkelana atau menikah dengan
puteri seorang pemilik toko. Dia melakukannya karena memang itulah yang
diinginkannya," pikir si bocah. Dia sadar bahwa dia mampu melakukan hal serupa
dengan yang dilakukan si lelaki tua --merasakan apakah seseorang dekat atau jauh
dari Legenda Pribadinya. Hanya dengan menatap mereka. Gampang sekali, tapi
ternyata aku tak pernah melakukannya sebelumnya, pikirnya.
Saat tenda sudah terpasang, penjual tadi menawari si bocah manisan pertama yang
dibuatnya untuk hari itu. Si bocah berterima kasih, memakannya, dan meneruskan
perjalanannya. Saat baru berjalan beberapa langkah, dia sadar bahwa ketika
mereka mendirikan kios tadi, salah satu dari mereka bicara bahasa Arab dan yang
lain Spanyol. Dan mereka saling mengerti dengan sangat baik.
Pastilah ada bahasa yang tak tergantung pada kata-kata, pikir si bocah. Aku
pernah mengalaminya dengan domba-domba, dan sekarang terjadi dengan manusia.
Dia belajar banyak hal bara Beberapa di antaranya adalah hal-hal yang sudah
pernah dia alami, dan tak terlalu baru, tapi belum pernah dia renungkan
sebelumnya. Dan dia tidak merenungkannya karena dia sudah terbiasa dengannya.
Dia sadar: Jika aku dapat belajar memahami bahasa tanpa kata-kata ini, aku bisa
belajar memahami dunia. Santai dan tak tergesa, dia lega bahwa dia dapat melangkah melalui jalan-jalan
sempit Tangier. Hanya dengan cara itulah dia mampu membaca pertanda. Dia tahu
ini memadukan kesabaran, tapi para gembala tahu banyak tentang kesabaran. Sekali
lagi dia melihat bahwa, di negeri asing itu, dia menerapkan pelajaran-pelajaran
serupa dengan yang dia pelajari dari domba-dombanya.
"Segalanya satu belaka," sang raja tua pernah berkata.
@kapuKOrner Pedagang kristal itu terbangun...
PEDAGANG KRISTAL ITU TERBANGUN BERSAMA HARI, DAN merasakan kegelisahan yang sama
seperti yang diidapnya setiap pagi. Dia berada di tempat yang sama selama tiga
dasawarsa: sebuah toko di ujung jalan berbukit, dilewati oleh pembeli yang
sedikit. Sekarang sudah terlambat untuk mengubah semuanya --satu-satunya yang
pernah dia pelajari adalah menjual dan membeli barang pecah-belah kristal.
Pernah ada suatu masa ketika banyak orang kenal tokonya: pedagang-pedagang Arab,
ahli-ahli geologi Prancis dan Inggris, para serdadu Jerman yang selalu banyak
uang. Di hari-hari itu sangat menyenangkan menjual kristal, dan dia pernah
merasa betapa akan kayanya ia, dan punya perempuan-perempuan cantik di sisinya
seiring menuanya usia. Tapi, waktu melangkah, dan Tangier berubah. Kota tetangga Ceuta berkembang lebih
laju, dan bisnis melayu. Para jiran berpindahan, dan di bukit itu hanya tinggal
beberapa toko kecil yang bertahan. Dan tidak ada orang yang mau menaiki bukit
hanya untuk melihat-lihat beberapa toko sempit.
Tapi pedagang kristal itu tak punya pilihan. Dia telah menjalani tigapuluh tahun
hidupnya dengan membeli dan menjual barang-barang kristal, dan sekarang sudah
terlambat untuk melakukan hal yang lain.
Dia menghabiskan sepanjang hari dengan mengamati jarangnya orang yang lalulalang di jalan itu. Dia melakukan hal ini selama bertahun-tahun, dan tahu
jadwal setiap orang yang lewat. Namun, tepat sebelum jam makan siang, seorang
bocah berhenti di depan tokonya. Dia berpakaian normal, tapi mata pedagang
kristal yang berpengalaman itu tahu anak itu tak punya uang. Meski begitu, si
pedagang memutuskan untuk menunda makan siangnya sebentar sampai anak itu pergi.
@kapuKOrner Selembar kartu yang tergantung...
SELEMBAR KARTU YANG TERGANTUNG DI PINTU MASUK mengumumkan sejumlah bahasa yang
bisa digunakan di toko itu. Si bocah melihat seorang lelaki keluar dari belakang
meja. "Aku bisa membersihkan barang-barang di etalase itu, kalau Bapak mau," kata si
bocah. "Tidak akan ada orang yang membeli barang-barang itu kalau melihat
tampilannya begitu."
Lelaki itu melihat padanya tanpa menanggapi.
"Sebagai imbalan, Bapak bisa memberiku makanan."
Lelaki itu tetap bungkam, dan si bocah merasa dia harus mengambil keputusan. Di
kantongnya ada jaket --dia tentu tidak akan memerlukannya di gurun. Mengeluarkan
jaket tadi, dia mulai membersihkan barang-barang kristal itu. Dalam setengah
jam, dia sudah membersihkan semua barang di etalase, dan ketika dia sedang
melakukan hal itu, dua orang pembeli masuk ke toko dan membeli beberapa kristal.
Selesai membersihkan, dia minta pada lelaki itu sekadar makanan. "Ayo kita pergi
makan siang," kata si pedagang.
Ia memasang tanda di pintu, dan mereka pergi ke warung kecil di dekat toko itu.
Saat mereka duduk di satu-satu-nya meja di situ, tertawalah pedagang kristal
itu. "Kamu tidak perlu membersihkan apa-apa," katanya. "Al-Quran menyuruhku memberi
makan orang yang lapar."
"Kalau begitu, mengapa Bapak membiarkan aku melakukannya?" tanya si bocah.
"Karena kristal itu kotor. Dan kita, kau dan aku, perlu membersihkan pikiran
kita dari hal-hal yang negatif."
Setelah mereka makan, pedagang itu manoleh pada si bocah dan berkata, "Aku ingin
kamu kerja di tokoku. Dua orang pembeli datang hari ini selagi kamu bekerja, dan
itu adalah pertanda baik."
Orang-orang bicara tentang pertanda, pikir sang gembala. Tapi mereka sebenarnya
tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sama seperti aku tak menyadari bahwa
selama bertahun-tahun aku bicara dengan bahasa tanpa kata kepada domba-dombaku.
"Maukah kamu bekerja untukku?" tanya pedagang itu.
"Aku dapat bekerja sampai akhir hari ini," jawab si bocah. "Aku akan bekerja
sepanjang malam, sampai subuh, dan aku akan bersihkan semua barang kristal di
tokomu. Sebagai imbalan, aku perlu uang untuk berangkat ke Mesir besok."
Pedagang itu tertawa. "Kalaupun kamu membersihkan kristalku setahun penuh..,
kalaupun kamu dapat komisi yang tinggi untuk setiap barang yang laku, kau masih
harus pinjam uang untuk sampai ke Mesir". Jarak dari sini ke sana itu ribuan
kilometer gurun." Sesaat ada kebisuan yang begitu dalam sehingga kota itu terasa tidur. Tak ada
suara dari pasar, tak ada perdebatan di antara penjual, tak ada orang yang naik
ke menara untuk bernyanyi. Tidak ada harapan, tak ada petualangan, tak ada rajaraja tua atau Legenda Pribadi, tidak ada harta. Dan tak ada Piramida. Seolah
dunia terbungkam karena menelan jiwa si bocah. Dia duduk di sana, menatap kosong
melalui pintu warung, berharap dia mati, dan segalanya berakhir pada saat
kematian itu. Pedagang itu melihat si bocah dengan cemas. Segenap keceriaan yang dilihatnya
tadi pagi lenyap tuntas. "Aku dapat memberimu uang yang kau perlukan untuk kembali ke negerimu, Anakku,"
kata si pedagang kristal.
Si bocah diam saja. Dia berdiri, merapikan bajunya, dan mengambil kantongnya
"Aku akan kerja di tempatmu," katanya.
Dan setelah beberapa lama terdiam, dia menambahkan, "Aku perlu uang untuk
membeli sejumlah domba."
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
@kapuKOrner Bagian Dua Bagian Dua @kapuKOrner Sudah hampir satu bulan...
SUDAH HAMPIR SATU BULAN SI BOCAH BEKERJA DI TOKO KRISTAL, dan dia dapat
merasakan bahwa itu bukanlah pekerjaan yang membuatnya bahagia. Pedagang itu
melewatkan sepanjang hari dengan mengomel di belakang meja, menyuruh si bocah
berhati-hati dengan barang-barang dan supaya tidak memecahkan apapun.
Tapi, dia bertahan dengan pekerjaannya karena pedagang itu memperlakukannya
dengan baik, meski dia seorang penggerutu tua; si bocah mendapat komisi yang
bagus untuk setiap barang yang terjual, dan sudah bisa menabung. Pagi itu dia
menghitung: jika dia terus bekerja setiap hari seperti sekarang, dia perlu satu
tahun penuh untuk dapat membeli beberapa domba.
"Aku ingin membuat lemari pajangan untuk kristal ini," kata si bocah pada
pedagang itu. "Kita dapat menaruhnya di luar, agar menarik perhatian orang-orang
yang melewati dasar bukit."
"Aku belum pernah punya lemari seperti itu," jawab si pedagang. "Orang-orang
yang lalu-lalang bakal menabraknya, dan barang-barang itu bisa pecah."
"Yah, saat aku membawa domba-dombaku melewati padang, beberapa di antara mereka
mungkin mati bila kami bertemu ular. Tapi begitulah kehidupan domba dan para
gembala." Pedagang itu berpaling ke seorang pembeli yang hendak membeli tiga gelas
kristal. Kini dagangannya lebih laku..., seolah waktu berputar kembali ke harihari silam ketika jalan itu menjadi salah satu daya-tarik utama Tangier.
"Bisnis kita benar-benar makin baik," katanya pada si bocah, setelah pembelinya
pergi. "Barangku lebih laris, dan kamu bisa segera kembali ke domba-dombamu.
Mengapa mesti minta lebih dari hidup ini?"
"Karena kita harus menanggapi pertanda," kata si bocah, hampir tanpa arti;
kemudian dia menyesali ucapannya, karena pedagang itu tidak pernah bertemu
dengan sang raja. "Itulah yang disebut prinsip keberuntungan, kemujuran pemula. Karena kehidupan
ingin kita meraih Legenda Pribadi kita," kata raja tua itu satu ketika.
Tapi pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah itu sendiri di
tokonya merupakan satu pertanda, dan, seiring berjalannya waktu dan mengalirnya
uang ke laci, dia tidak menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat
bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan
tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia
mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya.
"Mengapa kamu ingin ke Piramida?" tanyanya, untuk melupakan soal lemari pajangan
itu.. "Karena aku selalu mendengar tentang Piramida," jawab si bocah, tanpa sedikit
pun menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan
yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu.
"Aku tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya
untuk melihat Piramida," kata si pedagang. "Piramida-piramida itu hanya tumpukan
batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu."
"Bapak tidak pernah bermimpi berkelana," kata si bocah, berpaling untuk
menyambut seorang pembeli yang masuk toko.
Dua hari kemudian, pedagang itu bicara tentang lemari pajangan yang dimaksud si
bocah. "Aku tak terlalu suka pada perubahan," katanya.
"Kamu dan aku tidak seperti Hassan, pedagang kaya itu. Jika dia salah beli,
tidak akan berpengaruh banyak padanya. Tapi kita berdua harus menanggung beban
kesalahan-kesalahan kita."
Benar juga, pikir si bocah, dengan sedih.
"Mengapa kamu berpikiran kita perlu memiliki lemari pajangan?"
"Aku ingin lebih cepat mendapatkan kembali domba-dombaku. Kita harus mengambil
keuntungan saat kemujuran berada di pihak kita. Itu disebut prinsip
keberuntungan. Atau kemujuran pemula."
Pedagang itu terdiam sejenak. Kemudian dia berkata, "Nabi memberi kami Al-Quran,
dan meminta kami memenuhi hanya lima kewajiban selama hidup. Yang terpenting
adalah percaya hanya pada satu Tuhan. Yang lainnya shalat lima waktu sehari,
puasa selama bulan Ramadhan, dan berderma pada orang miskin."
Dia berhenti sejenak. Matanya basah ketika dia bicara tentang Nabi. Dia orang
beriman, dan, bahkan dengan segenap ketidaksabarannya, dia ingin rnenjalani
hidupnya menurut hukurn Islam.
"Kewajiban yang kelima, apa?" tanya si bocah.
"Dua hari yang lalu, kamu mengatakan bahwa aku tidak pernah bermimpi
mengembara,"jawab pedagang itu. "Kewajiban kelima bagi setiap Muslim adalah
menunaikan ibadah haji. Kami diwajibkan, paling sedikit satu kali selama hidup,
untuk rnengunjungi kota suci Mekkah.
"Mekkah malah lebih jauh dari Piramida. Saat aku muda, yang kuinginkan hanyalah
mengumpulkan uang untuk membuka toko ini. Aku berpikir, suatu hari nanti aku
akan kaya dan dapat pergi ke Mekkah. Mulailah uang kudapat, tapi aku tak pernah
bisa lega meninggalkan toko pada orang lain; kristal adalah barang yang rentan.
Sementara itu, orang-orang berjalan melewati tokoku sepanjang waktu, menuju
Mekkah. Beberapa dari mereka adalah peziarah yang kaya, berkelana dengan kafilah
bersama para pembantu dan onta, tapi kebanyakan orang yang melakukan ziarah itu
lebih miskin dari aku. "Semua orang yang ke sana merasa bahagia karena dapat melakukannya. Mereka
meletakkan lambang-lambang penziarahan itu di pintu-pintu rumah mereka. Salah
satunya, seorang tukang sepatu yang seumur hidupnya memperbaiki sepatu,
bercerita bahwa dia sanggup berjalan selama hampir satu tahun rnelalui gurun,
tapi merasa capek saat harus berjalan melewati jalan-jalan Tangier untuk membeli
kulit." "Kok, Bapak tidak pergi ke Mekkah sekarang?" tanya si bocah.
"Justru pikiran tentang Mekkah-lah yang membuatku terus hidup. Itulah yang
membuatku kuat menghadapi hari-hari yang sama belaka ini; yang membuatku tahan
menghadapi kristal-kristal bisu di rak, dan sanggup makan siang dan makan malarn
di warung jelek yang itu-itu juga. Aku takut bila impianku terwujud, aku tak
punya alasan lagi untuk melanjutkan hidup.
"Kamu bermimpi tentang domba-domba dan Piramida, tapi kamu beda denganku, karena
kamu ingin mewujudkan impianmu. Aku hanya memimpikan Mekkah. Sudah ribuan kali
kubayangkan diriku melewati gurun pasir, tiba di Ka'bah, mengitarinya tujuh kali
sebelum aku menyentuhnya. Kubayangkan orang-orang yang akan berada di sampingku,
dan yang di depanku, dan percakapan dan doa-doa yang kami panjatkan bersama.
Tapi aku takut semua itu akhirnya akan membuatku kecewa, jadi aku lebih suka
memimpikannya saja."
Hari itu, si pedagang mengizinkan si bocah membuat lemari pajangan. Tidak semua
orang dapat melihat impiannya menjadi kenyataan dengan cara yang sama.
@kapuKOrner Dua bulan berlalu,... DUA BULAN BERLALU, DAN LEMARI PAJANGAN ITU MENARIK banyak pembeli ke toko
kristal. Si bocah sudah memperkirakan, bahwa jika dia bekerja selama enam bulan,
dia dapat kembali ke Spanyol dan membeli enampuluh domba, malah ditamhah
enampuluh domba lagi. Kurang dari setahun, dia sudah bisa menggandakan kawanan
dombanya, dan dia bisa melakukan bisnis dengan orang Arab, karena dia sekarang
dapat bicara dalam bahasa mereka yang aneh. Sejak pagi di pusat pasar tempo
hari, dia tidak pernah lagi memanfaatkan Urim dan Thummim, karena Mesir baginya
kini hanyalah mimpi yang sarna jauhnya dengan Mekkah bagi pedagang kristal itu.
Toh, si bocah sudah senang dengan pekerjaannya, dan terus membayangkan hari saat
dia turun dari kapal di Tarifa sebagai seorang pemenang.
"Kau harus selalu tahu apa yang kau inginkan," orang tua itu pernah berkata. Si
bocah tahu, dan sekarang sedang bekerja ke arahnya. Mungkin harta karunnya
adalah ini: terdampar di negeri asing, ketemu pencuri, dan menggandakan jumlah
kawanan dombanya tanpa keluar sesen pun.
Dia bangga pada dirinya. Dia sudah belajar beberapa hal penting, seperti
bagaimana berdagang kristal, dan tentang bahasa tanpa kata-kata.., dan tentang
pertanda. Suatu sore dia melihat seorang pria di atas bukit, yang mengeluh bahwa
susah sekali menemukan tempat yang layak untuk mendapatkan minuman setelah letih
mendaki. Si bocah, terbiasa mengenali pertanda, berbicara kepada pedagang
kristal. "Mari kita jual teh untuk orang-orang yang mendaki bukit."
"Sudah banyak tempat minum teh di sekitar sini," kata pedagang itu.
"Tapi kita bisa menjual teh di dalam gelas kristal. Orang akan menikmati tehnya
dan ingin membeli gelasnya. Aku pernah diberitahu bahwa kecantikan adalah
penggoda terbesar bagi lelaki."
Pedagang itu tidak menanggapi, tapi sorenya, setelah sembahyang dan menutup
toko, dia mengajak si bocah duduk dengannya dan memberikan hookahnya, pipa aneh
yang biasa dipakai orang Arab.
"Apa sebenarnya yang kamu cari?" tanya si pedagang tua.
"Sudah kukatakan pada Bapak. Aku ingin membeli kembali domba-dombaku, jadi aku
harus mendapatkan uang untuk itu."
Pedagang itu menambahkan batubara ke hookah, dan mengisap dalam-dalam.
"Sudah tigapuluh tahun toko ini kumiliki. Aku tahu kristal yang bagus dan yang
jelek, dan mengerti semua hal yang perlu untuk memahami kristal. Aku tahu sisisisinya dan perilakunya. Kalau kita sajikan teh dalam kristal, toko ini bakal
berkembang. Dan kemudian aku harus mengubah cara hidupku."
"Lho, bukankah itu bagus?"
"Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sebelum kamu datang, aku
memikirkan betapa banyaknya waktu yang kusia-siakan di tempat yang sama ini,
sementara teman-temanku telah pindah, entah mereka jatuh bangkrut atau menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Itu membuatku sangat tertekan. Kini kurasakan hal
itu tidaklah terlalu buruk. Ukuran toko ini sudah pas seperti yang memang
kuinginkan. Aku tak mau mengubah apapun, karena aku tidak tahu bagaimana
menghadapi perubahan. Aku sudah terbiasa dengan keadaanku sekarang ini."
Si bocah tidak tahu harus bilang apa. Orang tua itu melanjutkan, "Kamu benarbenar merupakan berkah bagiku. Sekarang aku mengerti sesuatu yang tidak kulihat
sebelumnya: rahmat yang diabaikan akan menjadi kutuk. Aku tak ingin apa-apa lagi
dalam hidup ini. Tapi kamu mendesakku untuk melihat kekayaan dan cakrawala yang
tak pernah kukenal. Sekarang, setelah aku melihatnya, dan sesudah kulihat betapa
besarnya peluang-peluangku, aku akan merasa lebih buruk daripada sebelum kamu
datang. Sebab aku jadi tahu hal-hal yang mampu kulakukan, sementara aku tidak
mau melakukannya." Baguslah aku menahan diri dengan tidak mengatakan apa-apa pada tukang roti di
Tarifa itu, pikir si bocah.
Mereka terus mengisap pipa sampai sesaat sebelum matahari mulai tenggelam.
Mereka berbincang dalam bahasa Arab, dan si bocah berbangga diri karena mampu
melakukannya. Pernah ada saat ketika dia mengira domba-dombanya dapat mengajari
segala hal yang perlu dia ketahui tentang dunia. Tapi mereka tidak bisa
mengajari dia bahasa Arab.
Rupanya ada banyak hal di dunia ini yang tak dapat diajarkan oleh domba-domba
itu padaku, pikir si bocah, saat dia menyalami pedagang tua itu. Yang selalu
mereka lakukan, sesungguhnya, hanyalah mencari makanan dan air. Dan mungkin
bukan mereka yang mengajarku, tapi akulah yang belajar dari mereka.
"Maktub," kata pedagang itu, akhirnya.
"Apa 'tuh artinya?"
"Kamu harus lahir sebagai orang Arab untuk memahaminya," jawabnya. "Tapi dalam
bahasamu maknanya kira-kira 'Sudah tertulis'."
Dan, seraya menekan-nekan batubara di hookah, dia berkata pada si bocah bahwa
dia boleh mulai menjual teh di gelas kristal. Kadang-kadang, tidak ada cara
untuk membendung sungai. @kapuKOrner Orang-orang itu mendekati bukit...
ORANG-ORANG ITU MENDAKI BUKIT, DAN KELELAHAN SAAT mencapai puncak. Tapi di sana
mereka melihat sebuah toko kristal yang menawarkan teh rasa jahe yang
menyegarkan. Mereka masuk untuk minum teh itu, yang disajikan dalam gelas-gelas
kristal yang indah. "Isteriku tidak pernah berpikir tentang hal ini," kata seseorang, dan dia
membeli beberapa kristal --dia akan menjamu sejumlah tamu malam itu, dan para
tamu akan terkesan oleh keindahan gelas-gelas tuan rumah. Lelaki yang lain
berkata bahwa teh selalu terasa lebih nikmat jika disajikan dalam kristal,
karena aromanya bertahan. Orang ketiga berkata bahwa di Timur memang ada tradisi
menggunakan gelas kristal untuk teh karena ia mengandung daya gaib.
Tidak lama, tersebarlah kabar itu, dan banyak sekali orang yang mendaki bukit
untuk melihat toko yang melakukan hal baru dalam perdagangan yang sudah kuno.
Toko-toko lain dibuka dan menyediakan teh dalam kristal juga, tapi mereka tidak
berada di puncak sebuah bukit, dan bisnis mereka kecil saja.
Pedagang itu akhirnya harus mempekerjakan dua pegawai lagi. Dia mulai mengimpor
teh dalam jumlah yang sangat besar, bersama dengan kristalnya, dan tokonya
dicari-cari oleh para lelaki dan perempuan yang haus akan hal-hal baru.
Dan, dalam keadaan begitu, bulan-bulan pun berlalu.
@kapuKOrner Si bocah terbangun sebelum fajar...
SI BOCAH TERBANGUN SEBELUM FAJAR. SUDAH SEBELAS BULAN sembilan hari sejak dia
pertama kali menginjakkan kaki di benua Afrika.
Dia mengenakan pakaian Arabnya yang terbuat dari linen putih, dibeli khusus
untuk hari ini. Dia memasang kain penutup kepala dan mengencangkannya dengan
cincin dari kulit onta. Memakai sandal barunya, dia menuruni tangga pelan-pelan.
Kota masih tidur. Dia mengunyah kue dan minum teh panas dari gelas kristal. Lalu
dia duduk di pintu masuk yang terkena sinar matahari, mengisap hookah.
Dia merokok tenang-tenang, tak memikirkan apapun, dan mendengarkan suara angin
yang mengantarkan bau gurun. Seusai merokok, dia merogoh salah satu sakunya, dan
menahan tangannya di sana sejenak, untuk sesuatu yang akan diambilnya.
Setumpuk uang. Cukup untuk membeli seratus duapuluh domba, tiket pulang dan
surat izin untuk mengimpor barang-barang Afrika ke negerinya.
Sabar dia menunggu pedagang itu bangun dan membuka toko. Lalu mereka berdua
beranjak untuk minum teh lagi.
"Aku akan berangkat hari ini," ucap si bocah. "Aku sudah punya uang yang
kuperlukan untuk membeli domba. Dan Bapak sudah punya uang yang Bapak perlukan
untuk pergi ke Mekkah."
Lelaki tua itu diam saja.
"Maukah Bapak memberi restu padaku?" tanya si bocah. "Bapak sudah menolongku."
Lelaki itu terus menyiapkan tehnya, tanpa mengatakan apapun. Kemudian dia
berpaling pada si bocah. "Aku bangga padamu," katanya. "Kamu membawakan suasana baru ke dalam toko
kristalku. Tapi kamu tahu bahwa aku tidak akan pergi ke Mekkah. Seperti kamu
tahu bahwa kamu tak akan membeli domba."
"Dari mana Bapak tahu?" tanya si bocah, kaget.
"Maktub," kata pedagang kristal tua itu.
Dan dia memberi restunya pada si bocah.
@kapuKOrner Si bocah pergi... SI BOCAH PERGI KE KAMARNYA DAN MENGEMAS BARANG-barangnya. Tiga karung banyaknya.
Saat dia hendak pergi, dia melihat, di pojok ruangan, kantong gembala lusuhnya.
Kantong itu terikat, dan sudah lama dia hampir tak pernah memikirkannya lagi.
Ketika dia mengeluarkan jaketnya dari kantong itu, berniat untuk memberikannya
pada seseorang di jalan, dua butir batu jatuh ke lantai. Urim dan Thummim.
Itu membuat si bocah berpikir tentang si raja tua, dan mengejutkannya karena
sadar telah begitu lama waktu berlalu sejak terakhir kali dia memikirkan raja
itu. Selama hampir setahun ini dia bekerja tanpa henti, hanya berpikir untuk
menabung uang supaya bisa pulang ke Spanyol dengan bangga.
"Jangan pernah berhenti bermimpi," raja tua itu pernah berkata. "Ikutilah
pertanda." Si bocah mengambil Urim dan Thummim, dan, sekali lagi, mengidap perasaan yang
aneh bahwa raja tua itu berada di dekatnya. Dia telah bekerja keras selama satu
tahun, dan pertandanya mengisyaratkan itulah saatnya untuk pergi. Aku akan
kembali ke pekerjaanku yang dulu, pikir si bocah. Meski domba-domba itu tidak
mengajariku bahasa Arab. Tapi domba-domba itu mengajarinya sesuatu yang lebih penting: bahwa ada bahasa
di dunia yang dimengerti setiap orang, bahasa yang digunakan si bocah sepanjang
waktu saat dia mencoba mengembangkan hal-hal baru di toko kristal itu. Itulah
bahasa gairah, menyangkut hal-hal yang dicapai dengan rasa cinta dan niat, dan
sebagai bagian dari ikhtiar mencari sesuatu yang diyakini dan diinginkan.
Tangier bukan lagi kota asing, dan dia merasa bahwa, sebagaimana dia menaklukkan
tempat ini, dia sanggup menaklukkan dunia.
"Jika kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta akan membantumu
mencapainya," kata raja tua itu.
Tapi sang raja tua tidak bilang apa-apa tentang dirampok, atau tentang gurun
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasir yang menghampar tak berbatas, atau tentang orang-orang yang tahu impianimpian mereka tapi tidak mau mewujudkannya. Raja tua itu tidak mengatakan
padanya bahwa Piramida hanyalah tumpukan batu, atau bahwa setiap orang dapat
membuatnya di halaman rumahnya. Dan dia lupa menyebut bahwa kalau kita punya
uang yang cukup untuk membeli kawanan domba yang lebih besar daripada yang
pernah kita miliki, maka kita perlu membelinya.
Si bocah mengambil kantongnya dan memasukkannya bersama dengan barang-barangnya
yang lain. Dia menuruni tangga dan mendapati pedagang itu sedang melayani
sepasang orang asing, sementara dua pembeli lainnya berjalan menghampiri toko,
ingin minum teh dari gelas-gelas kristal. Pagi ini lebih ramai daripada
biasanya. Dari tempatnya berdiri, untuk pertama kalinya dia melihat rambut
pedagang tua itu sangat mirip dengan rambut sang raja tua. Dia teringat senyum
penjual manisan, di hari pertamanya di Tangier, saat dia tidak punya apa-apa
untuk dimakan dan tak tahu mau kemana --senyum itu juga seperti senyum sang raja
tua. Sepertinya dia pernah ke sini dan meninggalkan tandanya, pikirnya. Toh tak satu
pun di antara orang-orang ini pernah bertemu dengan raja tua itu. Padahal, dia
bilang bahwa dia selalu muncul untuk membantu orang-orang yang berusaha
mewujudkan Legenda Pribadi mereka.
Dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada si pedagang kristal. Dia tidak
ingin menangis dengan dilihat orang lain. Dia akan merindukan tempat ini dan
semua hal baik yang pernah dialaminya di sana. Namun dia kini lebih percayadiri, dan merasa seakan sanggup menaklukkan dunia.
"Aku akan kembali ke ladang-ladang yang kukenal, untuk memelihara ternakku
lagi." Dia berkata pada dirinya dengan sepenuh keyakinan, tapi dia tak lagi
merasa bahagia dengan keputusannya. Dia telah bekerja setahun penuh untuk
mewujudkan impiannya, dan impiannya itu, detik demi detik, menjadi makin tak
penting. Mungkin karena itu bukanlah impiannya yang sejati.
Siapa tahu.., mungkin lebih baik seperti si pedagang kristal: tak pernah pergi
ke Mekkah, dan hanya menjalani hidupnya dengan menginginkan hal itu, pikirnya,
sekali lagi mencoba meyakinkan dirinya. Tapi saat dia memegang Urim dan Thummim,
mereka mengirimkan kekuatan dan keinginan sang raja tua. Secara kebetulan --atau
mungkin ini adalah pertanda, pikir si bocah-- dia mampir ke kedai yang pernah
dia masuki di hari pertamanya di Tangier. Pencuri itu tidak ada, dan pemilik
kedai membawakan teh untuknya.
Aku selalu dapat kembali menjadi gembala, pikir si bocah. Aku sudah tahu cara
merawat domba, dan aku belum lupa bagaimana melakukannya. Tapi mungkin aku tak
akan pernah lagi mendapat kesempatan untuk pergi ke Piramida di Mesir. Orang tua
itu memakai piringan dada dari emas, dan dia tahu tentang masa laluku. Dia
benar-benar seorang raja, raja yang bijak.
Bukit-bukit Andalusia hanya berjarak dua jam perjalanan, sementara ada gurun
luas membentang antara dia dan Piramida Toh si bocah merasa ada cara lain untuk
melihat situasi dirinya: sebenarnya dia hanya berjarak dua jam dari harta
karunnya..., kenyataan bahwa dua jam itu telah merentang menjadi setahun penuh
bukanlah masalah. Aku tahu mengapa aku ingin kembali kepada kawanan dombaku, pikirnya. Aku
memahami domba-domba; mereka bukan lagi merupakan masalah, dan mereka bisa
menjadi sahabat. Sementara, aku tidak tahu apakah gurun dapat menjadi teman,
padahal di gurun itulah aku harus mencari harta karunku. Tapi bila aku tidak
mendapatkannya, aku selalu bisa pulang. Toh aku sekarang punya cukup uang, dan
seluruh waktu yang kuperlukan. Jadi, mengapa tidak dicoba"
Tiba-tiba dia merasa sangat bahagia. Dia selalu dapat kembali menjadi gembala.
Dia selalu bisa menjadi penjual kristal lagi. Mungkin dunia punya harta-harta
terpendam lainnya, tapi dia punya satu impian, dan dia telah bertemu dengan
seorang raja. Ini tidak terjadi pada setiap orang!
Dia menyusun rencana saat dia meninggalkan kedai. Dia ingat salah satu dari
pemasok toko itu mengangkut kristal dengan karavan yang melintasi gurun. Dia
menggenggam Urim dan Thummim; karena dua batu itulah dia sekali lagi berada di
jalan menuju harta karunnya.
"Aku selalu berada di tempat yang dekat, saat seseorang ingin mewujudkan Legenda
Pribadinya," raja tua itu pernah berkata kepadanya.
Bagaimana kalau dia mendatangi gudang pemasok kristal dan mencari tahu apakah
Piramida memang sejauh itu"
@kapuKOrner Lelaki Inggris itu... LELAKI INGGRIS ITU DUDUK DI BANGKU PANJANG DI SATU bangunan yang berbau
binatang, keringat dan debu; bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Aku
tak pernah berpikiran akan berakhir di tempat seperti, pikirnya, sembari
membalik-balik halaman sebuah jurnal kimia. Setelah sepuluh tahun di
universitas, di kandang ternak inilah diriku sekarang.
Tapi dia harus terus. Dia percaya akan pertanda. Sepanjang hidupnya dan segenap
penelitiannya ditujukan untuk mencari satu bahasa sejati di alam semesta.
Pertama-tama dia mempelajari bahasa Esperanto, lalu agama-agama besar, dan kini
dia menekuni alkemi, kimia. Dia mampu berbahasa Esperanto, dia sangat paham
semua agama besar, tapi dia belum juga menjadi ahli kimia, menjadi alkemis. Dia
telah mengungkap kebenaran di balik pertanyaan-pertanyaan penting, tapi kajiankajiannya telah membawanya ke titik jauh yang tampaknya tak sanggup dicapainya.
Dia telah berupaya mati-matian untuk membina hubungan dengan seorang alkemis.
Tapi para alkemis adalah orang-orang aneh, yang hanya memikirkan diri sendiri,
dan hampir selalu menolak membantunya. Siapa tahu, mereka telah gagal mengungkap
rahasia Karya Agung --Batu Filsuf-- dan karena alasan inilah mereka tak mau
memaparkan pengetahuan mereka.
Dia telah mengeluarkan banyak harta warisan ayahnya, mencari dengan sia-sia Batu
Filsuf itu. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu di perpustakaanperpustakaan besar dunia, dan telah membeli semua buku langka dan terpenting
tentang alkemi. Di satu buku dia membaca bahwa dulu ada alkemis termashur Arab
yang mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratus tahun, dan
bahwa dia telah menemukan Batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki Inggris itu amat
terkesan dengan kisah tadi. Tapi dia tak pernah mengira bahwa cerita itu bukan
sekadar dongeng, bila seorang temannya --sekembali dari ekspedisi arkeologi di
gurun-- tidak memberitahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatankekuatan yang menakjubkan.
"Dia tinggal di oasis Al-Fayoum," tutur temannya itu. "Dan orang-orang bilang
umurnya duaratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas."
Orang Inggris itu tak sanggup membendung gairahnya. Dia menunda semua janjinya
dan mengumpulkan semua bukunya yang terpenting, lalu di sinilah dia kini berada,
duduk di dalam gudang yang berdebu dan bau. Di luar, sebuah karavan besar sedang
disiapkan untuk menyeberangi Sahara, dan dijadwalkan melewati Al-Fayoum.
Aku akan menemukan alkemis terkutuk itu, pikir si orang Inggris. Dan bau
binatang terasa tak terlalu menyengat lagi.
Seorang pemuda Arab, juga membawa banyak bagasi, masuk dan menyapa si orang
Inggris. "Kamu mau ke mana?" tanya pemuda Arab itu.
"Aku mau ke gurun," jawabnya, kembali ke bacaannya.
Saat ini dia tidak ingin bercakap-cakap. Yang perlu dia lakukan adalah memeriksa
lagi semua yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun, karena alkemis itu
pasti akan mengujinya. Pemuda Arab itu mengeluarkan buku dan mulai membaca. Buku itu dalam bahasa
Spanyol. Baguslah, pikir si orang Inggris. Dia lebih paham bahasa Spanyol
daripada Arab, dan, kalau anak ini mau ke Al-Fayoum, akan ada orang yang bisa
diajak ngobrol saat tidak ada hal-hal penting yang dikerjakan.
@kapuKOrner "Aneh", Kata sibocah...
"ANEH," KATA SI BOCAH, SAAT DIA SEKALI LAGI BERUSAHA membaca adegan pemakaman
yang memulai buku itu. "Sudah dua tahun aku mencoba untuk membaca buku ini, dan
aku tidak pernah bisa melewati halaman-halaman pertama ini." Bahkan tanpa ada
seorang raja yang menyela pun dia tidak mampu berkonsentrasi.
Dia masih bimbang dengan keputusan yang diambilnya. Tapi dia sudah bisa memahami
satu hal: membuat keputusan hanyalah permulaan. Bila seseorang membuat
keputusan, sebenarnya dia menyelam ke dalam arus kuat yang akan membawanya ke
tempat-tempat yang tak pernah dia impikan saat pertama kali membuat keputusan
itu. Waktu aku memutuskan untuk mencari harta karunku, pikirnya, aku tak pernah
membayangkan bakal berakhir dengan bekerja di sebuah toko kristal Dan bergabung
dengan karavan ini mungkin merupakan keputusanku, tapi kemana karavan ini akan
menuju masih merupakan misteri bagiku.
Di dekatnya ada lelaki Inggris, membaca buku. Kelihatannya dia tidak ramah, dan
tampak terganggu saat si bocah masuk. Mereka mungkin bisa menjadi teman, tapi
orang Inggris itu menutup pintu percakapan.
Si bocah menutup bukunya. Dia merasa enggan melakukan apa yang membuatnya akan
tampak seperti orang Inggris itu. Dia mengambil Urim dan Thummim dari sakunya,
dan mulai bermain dengan mereka.
Orang asing itu berteriak, "Urim dan Thummim!"
Secepat kilat si bocah memasukkan keduanya kembali ke sakunya.
"Batu-batu ini tidak dijual," katanya.
"Mereka tak terlalu berharga," jawab lelaki Inggris itu. "Mereka hanya terbuat
dari batu kristal, dan ada jutaan batu kristal di bumi. Tapi orang-orang yang
paham hal-hal semacam ini pastilah tahu bahwa batu-batu itu adalah Urim dan
Thummim. Aku tidak menyangka batu-batu itu ada di wilayah ini."
"Aku mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang raja," kata si bocah.
Orang asing itu tidak menyahut; dia cuma memasukkan tangannya ke kantongnya dan
mengeluarkan dua batu yang sama seperti milik si bocah.
"Kamu tadi menyebut-nyebut raja?" tanyanya.
"Mungkin kamu tidak percaya ada raja yang mau bicara dengan orang seperti aku,
seorang gembala," katanya, ingin mengakhiri percakapan.
"Sama sekali tidak Para gembalalah yang pertama kali mengakui seorang raja
ketika seluruh dunia tak mau mengakui. Jadi, tidak mengherankan kalau raja-raja
mau bicara dengan para gembala."
Dan dia meneruskan, khawatir si bocah tidak memahami ucapannya. "Itu ada di
Alkitab. Buku yang sama yang mengajariku tentang Urim dan Thummim. Batu-batu ini
merupakan satu-satunya bentuk keilahian yang diizinkan oleh Tuhan. Para imam
membawa mereka dalam piringan emas penutup dada."
Si bocah tiba-tiba merasa gembira berada di gudang itu. "Barangkali ini adalah
sebuah pertanda," kata orang Inggris, setengah berteriak.
"Siapa yang memberitahumu tentang pertanda?" keingintahuan si bocah meningkat
sejak itu. "Segala sesuatu di dunia adalah pertanda," kata orang
Inggris, sekarang menutup jurnal yang sedang dibacanya. "Ada bahasa universal,
dimengerti oleh setiap orang, tapi sudah dilupakan. Aku sedang mencari bahasa
universal itu, antara lain. Itulah sebabnya aku di sini. Aku harus mencari orang
yang tahu tentang bahasa universal itu. Seorang alkemis, ahli kimia."
Percakapan mereka tersela oleh pemilik gudang.
"Kalian beruntung, kamu berdua," kata orang Arab gemuk itu. "Ada karavan yang
berangkat ke A1-Fayoum hari ini."
"Tapi aku mau ke Mesir," kata si bocah.
"Al-Fayoum itu di Mesir," kata orang Arab itu. "Orang Arab macam apa kau ini?"
"Itu pertanda baik," kata si orang Inggris, setelah orang Arab gemuk itu pergi.
"Kalau bisa, aku ingin menulis ensiklopedi yang sangat besar hanya tentang kata
keberuntungan dan kebetulan. Dengan kata-kata itulah babasa universal ditulis."
Dia berkata pada si bocah bahwa bukanlah kebetulan dia bertemu dengannya, dengan
Urim dan Thummim di tangannya. Dan dia menanyakan si bocah apakah dia pun sedang
mencari alkemis itu. "Aku sedang mencari harta karun," kata si bocah, dan segera menyesal telah
mengungkapkannya. Tapi lelaki Inggris itu tampak tak terlalu menaruh perhatian.
"Dalam satu hal, aku juga," katanya.
"Aku bahkan tidak tahu apa itu alkemi," kata si bocah, ketika pemilik gudang
memanggil mereka keluar. @kapuKOrner "Aku pemimpin kafilah ini,"...
"AKU PEMIMPIN KAFILAH INI," KATA LELAKI BEREWOKAN bermata gelap itu. "Aku
memegang kendali atas hidup dan mati setiap orang yang bersamaku. Gurun pasir
itu seperti perempuan yang tak terduga, dan kadang ia membikin lelaki gila."
Ada hampir duaratus orang berkurnpul di sana dan empatratus hewan --onta, kuda,
keledai, dan unggas. Dalam kerumunan ada perempuan, anak-anak, dan sejumlah
lelaki dengan pedang di pinggang dan senapan di bahu mereka. Orang Inggris itu
membawa beberapa kopor penuh buku. Suasananya bising, sehingga sang pemimpin
harus mengulang perkataannya beberapa kali supaya setiap orang mengerti.
"Ada berbagai macam orang, dan setiap orang mempunyai Tuhannya masing-masing.
Tapi Tuhan yang kusembah adalah Allah, dan dengan namaNya aku bersumpah akan
sekali lagi melakukan segala yang mungkin untuk mengalahkan gurun. Tapi aku
ingin setiap orang dari kalian semua berjanji kepada Tuhan yang kalian percayai
bahwa kalian akan mengikuti apapun yang kuperintahkan. Di gurun, pembangkangan
berarti kematian." Terdengar gumaman di kerumunan itu. Seriap orang berjanji dalam diam kepada
Tuhan mereka masing-masing. Si bocah berjanji pada Yesus Kristus. Orang Inggris
itu tidak mengatakan apapun. Dan gumam-gumam itu berlangsung lebih lama daripada
sekadar sumpah. Orang-orang juga memanjatkan doa minta perlindungan.
Nada panjang terdengar dari terompet, dan semua orang bergegas. Si bocah dan
orang Inggris telah membeli onta, dan dengan ragu-ragu menaiki punggungnya. Si
bocah merasa kasihan pada onta orang Inggris itu, karena harus membawa banyak
kopor buku. "Tak ada hal yang kebetulan," kata si orang Inggris, menyambung percakapan yang
terputus di gudang tadi. "Aku ke sini karena seorang kawanku mendengar tentang
seorang Arab yang ...."
Tapi karavan mulai bergerak, dan tak mungkinlah mendengar apa yang dikatakan
lelaki Inggris itu. Namun si bocah tahu apa yang hendak dia ungkapkan: rantai
misterius yang menghubungkan satu hal dengan hal lain, rantai serupa yang
menyebabkan dia menjadi gembala, yang menyebabkan mimpinya berulang, yang
membawanya ke sebuah kota di dekat Afrika, bertemu seorang raja, dan dirampok
hanya untuk bertemu dengan seorang pedagang kristal, dan ....
Semakin dekat seseorang ke pewujudan Legenda Pribadinya, semakin besar Legenda
Pribadinya menjadi alasan utamanya untuk hidup, pikir si bocah.
Karavan bergerak ke arah timur. Karavan itu berjalan pagi, berhenti saat
matahari sedang terik-teriknya, dan melanjutkan perjalanan sore hari. Si bocah
bicara sebentar dengan orang Inggris, yang menghabiskan sebagian besar waktu
dengan buku-bukunya. Si bocah diam-diam mengamati progres hewan dan orang-orang yang melewati gurun
itu. Sekarang semuanya sangat berbeda dari keadaan saat mereka berangkat: waktu
itu ada kebingungan dan teriakan, tangisan anak-anak dan lenguh hewan-hewan,
semuanya bercampur dengan perintah-perintah gugup para pemandu dan pedagang.
Tapi, di gurun, yang terdengar hanya suara angin yang tak henti, dan irama kaki
hewan-hewan. Bahkan para pemandu hanya bicara sepatah-dua kata antara sesamanya.
"Aku sering menapaki pasir ini," kata salah seorang penunggang onta suatu malam.
"Tapi gurun ini begitu luas, dan kaki langit begitu jauh, sehingga membuat orang
merasa kecil, dan seakan dia harus tetap diam."
Si bocah mengerti secara naluriah apa yang dimaksud, walau dia sebelumnya tak
pernah menginjakkan kaki di gurun. Setiap dia melihat laut, atau api, dia
terdiam, terpana oleh kekuatan dasar mereka.
Aku telah belajar banyak hal dari dornba-domba, dan aku telah belajar banyak hal
dari kristal-kristal, pikirnya. Aku dapat pula belajar sesuatu dari gurun. Ia
tampak tua dan bijak. Angin tak pernah berhenti, dan si bocah ingat hari ketika dia duduk di benteng
di kota Tarifa dengan angin yang sama ini menerpa wajahnya. Ini mengingatkannya
pada wol dari domba-dombanya..., domba-dombanya yang kini mencari makanan dan
air di ladang-ladang Andalusia, seperti selalu mereka lakukan.
"Mereka bukan domba-dombaku lagi," katanya pada dirinya, tanpa kerinduan.
"Mereka pasti sudah terbiasa dengan gembala baru mereka, dan mungkin sudah
melupakanku. Itu bagus. Mahluk seperti domba, yang terbiasa berkelana, paham
tentang langkah tanpa jeda."
Dia memikirkan puteri pedagang kain itu dan yakin dia mungkin sudah menikah.
Mungkin dengan seorang tukang roti, atau dengan gembala yang dapat membaca dan
bisa menceritainya kisah-kisah yang memikat --bagaimanapun, dia bukanlah satusatunya lelaki. Tapi dia merasa gembira akan pemahaman naluriahnya atas komentar
penunggang onta itu: mungkin dia juga sedang belajar bahasa universal yang
berhubungan dengan masa silam dan masa kini setiap orang. "Firasat," begitu
ibunya biasa menyebutnya. Si bocah mulai mengerti bahwa sebenarnya intuisi
adalah penceburan mendadak suatu jiwa ke dalam arus kehidupan universal, tempat
terhubungnya sejarah semua orang, dan kita bisa mengetahui semua hal, karena
semuanya sudah tertulis di sana.
"Maktub," ucap si bocah, teringat pedagang kristal itu.
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gurun adalah hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat-tempat
lainnya. Jika karavan terhalang oleh batu besar, ia harus mengitarinya; bila ada
daerah bebatuan yang luas, mereka harus melakukan putaran besar. Kalau pasir
terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih
keras. Di beberapa tempat, permukaan tertutup oleh garam dari bekas danau-danau
yang mengering. Hewan-hewan mogok di tempat-tempat seperti itu, dan para
penunggang onta terpaksa turun dan mengurangi beban mereka. Para penunggang itu
membawa sendiri barang-barang mereka melalui pijakan-pijakan yang berbahaya, dan
kemudian memuati lagi onta-onta itu. Bila seorang pemandu jatuh sakit atau
meninggal, para penunggang onta harus mengadakan undian dan memilih pemandu
baru. Tapi semua ini terjadi karena satu alasan dasar: tak peduli berapa banyak jalan
putaran dan penyesuaian-penyesuaian yang dibuat, karavan-karavan itu teras
berjalan menuju titik kompas yang sama. Begitu rintangan-rintangan teratasi, ia
kembali ke jalannya, melihat bintang yang menunjukkan lokasi oasis. Saat orang
melihat bintang itu bersinar di langit pagi, mereka tahu mereka berada di jalur
yang benar menuju air, pohon-pohon palem, tempat berteduh, dan orang-orang lain.
Hanya orang Inggris yang tidak menyadari semua ini; dia, sepanjang waktu,
membenamkan diri dalam buku-bukunya.
Si bocah juga punya buku, dan dia mencoba membacanya selama hari-hari pertama
perjalanan. Tapi dia merasa lebih tertarik mengamati karavan itu dan
mendengarkan angin. Segera setelah dia mengenal ontanya, dan menjalin hubungan
dengannya, dia membuang bukunya. Meski si bocah telah mengembangkan suatu
tahayul bahwa setiap dia membuka bukunya dia akan belajar sesuatu yang penting,
dia memutuskan bahwa buku itu adalah sebuah beban yang tak perlu.
Dia menjadi akrab dengan penunggang onta yang berjalan di sebelahnya. Di malam
hari, ketika mereka duduk mengelilingi api unggun, si bocah menceritakan pada
penunggang itu pengalaman-pengalamannya sebagai gembala.
Pada salah satu percakapan, penunggang tadi bercerita tentang kehidupannya
sendiri. "Aku dulu tinggal di dekat El Cairum," katanya. "Aku punya kebun anggrek, anakanak, dan kehidupan yang tampaknya tak akan berubah sampai aku mati. Suatu
tahun, ketika terjadi panen terbaik, kami semua pergi ke Mekkah, dan aku
memenuhi satu-satunya kewajiban yang belum kulaksanakan dalam hidupku. Aku dapat
meninggal dengan bahagia, dan hal itu membuatku merasa nyaman.
"Suatu hari, bumi berderak, dan Nil meluap. Selama ini kupikir itu hanya dapat
terjadi pada orang lain, tak akan pernah pada diriku. Para tetanggaku takut
kehilangan pohon-pohon zaitun mereka karena banjir itu, dan isteriku takut kami
kehilangan anak-anak kami. Kurasa semua yang kumiliki akan musnah."
"Lahanku rusak, dan aku harus mencari pekerjaan lain untuk mendapatkan nafkah
hidup. Maka sekarang aku jadi penunggang onta. Tapi bencana itu mengajariku
untuk memahami firman Allah: orang tidak perlu takut pada hal yang tak dikenal
bila mereka sanggup meraih apa yang mereka butuhkan dan inginkan.
"Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita ataupun
barang-barang dan tanah kita. Tapi ketakutan ini lenyap saat kita memahami bahwa
kisah hidup kita dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama."
Sesekali, karavan mereka berpapasan dengan karavan lain. Yang satu selalu
memiliki sesuatu yang dibutuhkan yang lain --seolah segalanya memang telah
disuratkan oleh satu tangan. Saat mereka duduk mengelilingi unggun, para
penunggang onta saling bertukar kabar tentang badai, dan menuturkan kisah-kisah
tentang gurun. Di saat lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah
orang-orang Badui yang mengawasi jalan sepanjang rute karavan. Mereka memberi
peringatan tentang para perompak dan suku-suku buas. Mereka datang dan pergi
secara diam-diam, mengenakan pakaian hitam yang hanya memperlihatkan mata
mereka. Suatu malam, seorang penunggang onta mendatangi api unggun tempat orang
Inggris dan si bocah duduk. "Ada isu tentang perang suku," ungkapnya kepada
mereka. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak
seorang pun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi dia mengalami bahasa tanpa
kata-kata... bahasa universal.
Orang Inggris itu bertanya apakah mereka dalam bahaya.
"Sekali kau masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali," ujar penunggang
onta itu. "Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah
jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk
bahaya." Dan dia menyimpulkan dengan mengucapkan kata misterius itu: "Maktub."
"Kamu harus lebih memperhatikan karavan," kata si bocah pada lelaki Inggris itu,
setelah si penunggang onta pergi. "Kita melewati banyak jalan memutar, tapi kita
selalu mengarah ke tujuan yang sama."
"Dan kamu harus membaca lebih banyak tentang dunia," jawab orang Inggris. "Dalam
hal ini buku-buku itu seperti karavan."
Himpunan orang dan hewan-hewan mulai berjalan lebih cepat. Hari-hari sebelumnya
selalu redam, tapi sekarang, bahkan di malam hari --saat para pengembara
biasanya mengobrol di sekitar api unggun-- pun senyap. Dan, suatu hari, pemimpin
karavan memutuskan bahwa api unggun tidak boleh lagi dinyalakan, supaya tidak
menarik perharian orang ke karavan.
Para pengembara itu mengikuti kebiasaan dengan menata hewan-hewan menjadi
lingkaran di malam hari, tidur bersama di tengah-tengahnya untuk berlindung dari
dinginnya malam. Dan sang pemimpin menyebar para pengawal bersenjata di
pinggiran kelompok. Suatu malam orang Inggris itu tidak bisa ridur. Dia memanggil si bocah, dan
mereka berjalan-jalan di bukit-bukit pasir yang mengitari tempat perkemahan.
Saat itu bulan purnama, dan si bocah menuturkan kisah hidupnya kepada lelaki
Inggris itu. Si orang Inggris terpesona pada bagian kerika toko kristal itu mencapai kemajuan
setelah si bocah mulal bekerja di sana.
"Itulah prinsip yang mengatur semua hal," katanya. "Dalam alkemi, itu disebut
Jiwa Buana. Bila kamu menginginkan sesuatu dengan segenap hatimu, itulah saat
terdekatmu dengan Jiwa Buana. Ia selalu merupakan kekuatan yang positif."
Dia juga berkata bahwa ini bukanlah berkah bagi manusia semata, bahwa segala
yang ada di muka bumi ini mempunyai jiwa, entah itu mineral, sayuran, ataupun
hewan --atau bahkan sekadar pemikiran sederhana.
"Segala yang ada di dunia berubah tanpa henti, karena bumi ini hidup.., dan
mempunyai jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari
bahwa ia bekerja untuk kita. Tapi di toko kristal itu kamu mungkin menyadari
bahwa gelas-gelas pun bekerja sama dalam suksesmu."
Si bocah merenungkan hal itu sejenak saat ia memandang bulan dan putihnya pasir.
"Aku telah melihat karavan saat ia menyeberangi gurun," katanya. "Karavan dan
gurun berbicara dalam bahasa yang sama, dan dengan alasan itulah gurun
mengizinkan penyeberangan itu. Ia akan menguji setiap langkah karavan untuk
melihat apakah karavan itu tepat waktu, dan, jika tepat, kita akan sarnpai ke
oasis." "Bila salah satu dari kita mengikuti karavan ini hanya berdasarkan keberanian
pribadi, tapi tanpa memahami bahasa itu, perjalanan ini akan jauh lebih sulit."
Mereka berdiri di sana memandang bulan.
"Itulah keajaiban pertanda," kata si bocah. "Aku pernah melihat bagaimana para
pemandu membaca tanda-tanda gurun, dan bagaimana jiwa karavan berbicara kepada
jiwa gurun." Orang Inggris itu berkata, "Sebaiknya aku memberi lebih banyak perhatian pada
karavan." "Dan sebaiknya aku membaca buku-bukumu," kata si bocah.
@kapuKOrner Buku-buku itu adalah... BUKU-BUKU ITU ADALAH BUKU-BUKU YANG ANEH. MEREKA bicara tentang air raksa,
garam, naga-naga, dan raja-raja , dan tak satu pun yang dia pahami. Tapi ada
satu ide yang tampak terus berulang di semua buku itu: segenap benda merupakan
perwujudan dari satu hal saja.
Pada salah satu buku dia membaca bahwa teks terpenting dalam kepustakaan alkemi
hanya memuat beberapa baris, dan tergurat di permukaan sebutir zamrud.
"Itu adalah Tablet Zamrud," kata orang Inggris itu, bangga karena merasa dapat
mengajari sesuatu pada si bocah.
"Kalau begitu, mengapa kita memerlukan buku-buku ini?" tanya si bocah.
"Supaya kita dapat memahami beberapa baris itu," jawabnya, tanpa terlihat benarbenar yakin akan apa yang dikatakannya.
Buku yang paling menarik perhatian si bocah memuat cerita-cerita tentang
keluarga para alkemis yang termashur. Mereka adalah orang-orang yang membaktikan
seluruh hidup mereka untuk pemurnian logam-logam di laboratorium mereka; mereka
yakin bahwa jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan
membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang akan tertinggal adalah
Jiwa Buana. Jiwa Buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di muka
bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi. Mereka menamakan
penemuan itu Karya Agung --sebagian cair, sebagian padat.
"Tidak dapatkah kamu sekadar mengamati orang dan tanda-tanda untuk memahami
bahasa itu?" tanya si bocah.
"Kamu ini gandrung menyederhanakan semua hal," jawab si orang Inggris, jengkel.
"Alkemi adalah ilmu yang serius. Setiap langkah harus diikuti dengan tepat
seperti yang dilakukan oleh para pakar besar itu."
Si bocah belajar bahwa bagian cair dari Karya Agung tadi dinamakan Obat Hidup,
dan bahwa ia dapat menyembuhkan semua penyakit; ia juga membuat sang alkemis
tidak menjadi tua. Dan bagian padatnya dinamakan Batu Filsuf.
"Tidak mudah menemukan Batu Filsuf itu," ujar si orang Inggris. "Para alkemis
menghabiskan waktu bertahun-tahun di laboratorium mereka, mengamati api yang
memurnikan logam-logam itu. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu di dekat api
itu hingga berangsur-angsur mereka menghilangkan kecongkakan-kecongkakan dunia.
Mereka menemukan bahwa pemurnian logam-logam itu mengarah pada pemurnian
terhadap diri mereka sendiri."
Si bocah teringat pada pedagang kristal itu. Dia pernah berkata bahwa baguslah
bagi si bocah untuk membersihkan barang-barang kristal, supaya dia mampu
membebaskan dirinya sendiri dari pikiran-pikiran negatif. Si bocah makin
bertambah yakin bahwa alkemi dapat dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
seseorang. "Juga," kata si orang Inggris, "Batu Filsuf memiliki sifat yang menakjubkan.
Seiris kecil batu itu mampu mengubah sejumlah besar logam menjadi emas."
Mendengar hal itu, si bocah menjadi lebih tertarik lagi pada alkemi. Dia
berpikir bahwa, dengan sedikit kesabaran, dia dapat mengubah apa saja menjadi
emas. Dia membaca riwayat hidup macam-macam orang yang telah berhasil melakukan
hal itu: Helvelius, Elias, Fulcanelli, dan Geber. Kisah-kisah mereka
menakjubkan: setiap orang dari mereka menjalani Legenda Pribadi mereka sampai
selesai. Mereka berkelana, bicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan
mukjizat-mukjizat kepada yang ragu, dan memiliki Batu Filsuf dan Obat Hidup.
Tapi saat si bocah ingin mempelajari cara meraih Karya Agung, dia benar-benar
bingung. Di situ hanya ada gambar-gambar, kode-kode instruksi, dan tullsantulisan yang kabur. @kapuKOrner Mengapa mereka membuatnya...
"MENGAPA MEREKA MEMBUATNYA BEGITU RUMIT?" DIA bertanya pada orang Inggris suatu
malam. Dilihatnya orang itu kesal, dan tidak memahami buku-bukunya.
"Supaya mereka yang bertanggung jawab untuk memahaminya bisa memahami," katanya
"Bayangkan jika setiap orang berkeliling mengubah timah menjadi emas. Emas akan
kehilangan harganya. "Hanya orang-orang gigih, dan mau mempelajari hal-hal dengan sungguh-sungguh,
yang dapat meraih Karya Agung. Itulah sebabnya aku ada di sini, di tengah-tengah
gurun ini. Aku mencari seorang alkemis sejati yang mau membantuku mengurai kodekode itu." "Kapan buku-buku ini ditulis?" tanya si bocah.
"Beberapa abad yang lalu."
"Waktu itu belum ada mesin cetak,"sanggah si bocah. "Tidak akan ada seorang pun
yang bisa paham tentang alkemi. Mengapa mereka memakai bahasa yang begitu aneh,
dengan begitu banyak gambar?"
Orang Inggris itu tidak langsung menjawab. Dia berkata selama beberapa hari
terakhir ini dia memperhatikan bagaimana karavan itu berjalan, tapi dia tidak
belajar sesuatu yang baru. Satu-satunya hal yang dia perhatikan adalah bahwa
pembicaraan tentang perang semakin sering terjadi.
@kapuKOrner Lalu suatu hari si bocah...
LALU SUATU HARI SI BOCAH MENGEMBALIKAN BUKU-BUKU kepada orang Inggris itu.
"Pelajaran apa yang kamu dapat?" dia bertanya, penasaran ingin tahu. Dia perlu
berbincang dengan seseorang untuk menghindar dari berpikir tentang kemungkinan
perang. "Aku belajar bahwa dunia mempunyai jiwa, dan bahwa siapapun yang memahami jiwa
itu dapat juga memahami bahasa benda-benda. Aku belajar bahwa banyak alkemis
menyadari Legenda Pribadi mereka, dan menyelesaikan pencarian Jiwa Buana, Batu
Filsuf, dan Obat Hidup. "Tapi, terutama, aku belajar bahwa hal-hal ini sangat sederhana sehingga
semuanya dapat ditulis di atas permukaan zamrud."
Orang Inggris itu kecewa. Bertahun-tahun penelitian, simbol-simbol magis,
istilah-istilah asing dan peralatan laboratorium.., tak satu pun dari hal-hal
ini yang mengesankan si bocah. Jiwanya pastilah terlalu primitif untuk memahami
hal-hal seperti itu, pikirnya.
Dia mengambil kembali buku-bukunya dan memasukkan lagi ke dalam tas-tasnya.
"Kembali ke pengamatan karavan," katanya. "Itu juga tidak mengajarkan apa-apa
padaku." Si bocah kembali merenungkan kesunyian gurun, dan pasir-pasir yang terbuncah
oleh hewan-hewan. "Setiap orang mempunyai caranya sendiri dalam mempelajari
sesuatu," katanya membatin. "Cara dia tidak sama dengan caraku, dan sebaliknya.
Tapi kami berdua sedang mencari Legenda Pribadi kami, dan untuk itu aku
menghormatinya." @kapuKOrner Karavan mulai berjalan...
KARAVAN MULAI BERJALAN SIANG DAN MALAM. ORANG-orang Badui yang berkerudung
semakin sering muncul, dan si penunggang onta --yang telah menjadi teman baik si
bocah-- menjelaskan bahwa perang suku sudah dimulai. Karavan itu akan sangat
beruntung jika bisa mencapai oasis.
Hewan-hewan sudah kelelahan, dan orang-orang semakin jarang berbincang.
Kesunyian adalah aspek terburuk dari malam itu, saat sekadar erangan onta pun
--yang sebelumnya tak berarti apa-apa selain suatu erangan onta-- sekarang
menakutkan setiap orang, karena mungkin saja itu tanda adanya serangan.
Namun si penunggang onta tampak tak terlalu pusing dengan ancaman perang itu.
"Aku hidup," katanya pada si bocah, saat mereka makan seikat kurma suatu malam,
tanpa api unggun dan tanpa bulan. "Saat aku makan, yang kupikirkan ya cuma
makan, Bila aku sedang berbaris, aku hanya berkonsentrasi pada baris. Kalau aku
harus bertempur, itu adalah hari yang sama baiknya untuk mati seperti semua hari
lain. "Karena orang tidak hidup di masa lalu ataupun masa depan. Aku hanya tertarik
pada masa kini. Bila kau dapat selalu konsentrasi pada masa kini, kau akan
menjadi orang yang bahagia. Kau akan tahu ada kehidupan di gurun, bahwa ada
bintang-bintang di langit, dan bahwa pertempuran suku ini karena mereka bagian
dari ras manusia. Hidup akan menjadi pesta bagimu, suatu festival besar, karena
kehidupan adalah momen kita hidup saat ini."
Dua malam kemudian, ketika dia bersiap tidur, si bocah mencari bintang yang
mereka ikuti setiap malam. Dia merasa cakrawala agak lebih indah dari
semestinya, karena dia seakan menyaksikan bintang-bintang di permukaan gurun itu
sendiri. "Itulah oasisnya," kata penunggang onta.
"Oh, ya" Kalau begitu mengapa kita tidak ke sana sekarang saja?" tanya si bocah.
"Karena kita harus tidur."
@kapuKOrner Si bocah terbangun saat...
SI BOCAH TERBANGUN SAAT MATAHARI TERBIT. DI SANA, DI depannya, tempat bintangbintang kecil berada tadi malam, adalah deretan pohon kurma yang tak berujung,
merentang sepanjang gurun.
"Kita berhasil!" kata orang Inggris itu, yang juga bangun pagi.
Tapi si bocah diam saja. Dia betah dengan kesunyian gurun, dan dia puas hanya
dengan melihat pohon-pohon itu. Dia masih harus menempuh perjalanan jauh ke
piramida, dan suatu hari kelak pagi ini hanya akan menjadi sepotong kenangan.
Tapi ini adalah momen saat ini --pesta yang disebut-sebut si penunggang onta-dan dia ingin menjalaninya seperti dia menjalani pelajaran-pelajaran masa
lalunya dan impian-impian masa depannya. Meski pemandangan pohon kurma ini suatu
hari nanti hanya akan menjadi kenangan, saat ini ia berarti keteduhan, air, dan
Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suatu pengungsian dari perang. Kemarin, erangan onta menandakan bahaya, dan
sekarang sederet pohon kurma melambangkan suatu keajaiban.
Dunia memang berbicara dengan banyak bahasa, pikir si bocah.
@kapuKOrner Waktu beranjak... WAKTU BERANJAK CEPAT, DAN BEGITU PULA KARAVAN-karavan, pikir alkemis itu, ketika
dia melihat ratusan orang dan hewan tiba di oasis. Orang-orang berteriak pada
para pendatang baru, debu mengaburkan matahari gurun, dan anak-anak di oasis itu
meluap kegirangan melihat kedatangan orang-orang asing tadi. Alkemis itu melihat
para kepala suku menyambut pemimpin karavan, dan berbincang lama dengannya.
Tapi tak ada yang mengesankan alkemis itu. Dia sudah sering melihat orang-orang
datang dan pergi, dan gurun tetap saja seperti ini. Dia pernah melihat raja-raja
dan para pengemis menapaki pasir gurun itu. Bukit-bukit pasir berubah tanpa
henti oleh angin, toh tetap saja sama seperti pasir-pasir yang dikenalnya sejak
dia masih kecil. Dia selalu senang melihat kebahagiaan yang dirasakan para
pengembara ketika, setelah berminggu-minggu memandang pasir kuning dan langit
biru, untuk pertama kalinya mereka menyaksikan hijaunya pelepah kurma. Mungkin
Tuhan menciptakan gurun agar manusia bisa menghargai pohon kurma, pikirnya.
Dia memutuskan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang lebih praktis. Dia
tahu di karavan itu ada seseorang yang akan diajarinya beberapa rahasianya.
Pertanda sudah memberitahu dia. Dia belum tahu siapa orang itu, tapi mata
terlatihnya akan mengenali orang tersebut saat ia muncul. Dia berharap orang itu
secakap muridnya yang terdahulu.
Aku tidak tahu mengapa hal-hal ini harus disampaikan dengan kata-kata mulut,
pikirnya. Sebenarnya tidak ada yang terlalu rahasia; Tuhan mengungkapkan
rahasia-rahasianya dengan mudah kepada segenap ciptaanNya.
Dia hanya mempunyai satu penjelasan untuk kenyataan ini: segala hal harus
disampaikan dengan cara itu karena mereka terbuat dari kehidupan murni, dan
kehidupan jenis ini tidak dapat ditangkap dengan gambar atau kata-kata.
Karena orang-orang menjadi terpesona dengan gambar dan kata-kata, mereka
Nyawa Titipan 1 Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu Darah Pendekar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama