Ceritasilat Novel Online

Expected One 8

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan Bagian 8


hitungan detik. Maria tidak lagi bisa melihat suaminya dari lokasi ia berdiri. Selain itu, Tamar
dan Yohanes yang masih kecil menjadi gelisah di tengah lingkungan yang hiruk
pikuk. Maria menyingkir dari keramaian dan membawa kedua anaknya ke pasar.
Saat mereka melewati jalan berkerikil, Maria melihat
jubah hitam dua orang Farisi di depannya. Ia yakin mendengar nama Easa
disebutkan. Maria menarik selubungnya untuk menutupi sebagian besar wajahnya. Ia
menjaga langkah agar tetap dapat mengikuti mereka, anaknya berjalan di depan.
Kedua lelaki itu berbicara dengan leluasa, tapi dalam bahasa Yunani. Kemungkinan
karena mereka tahu rata-rata orang tidak memahami bahasa itu.
Tapi Maria seorang perempuan terhormat dan terpelajar. Ia mampu berbahasa Yunani
dengan fasih. Maria paham benar ketika salah seorang di antara mereka menoleh kepada temannya
dan berkata, "Sepanjang orang Nasrani itu hidup, kita tidak akan tenang. Akan kita singkirkan
dia secepatnya, demi kebaikan kita semua."
f Maria bertemu Bartolomeus di pasar. Ia diminta membelikan makanan untuk muridmurid lain. Maria menyuruhnya kembali ke Easa dan menyampaikan pesan agar Easa
dan pengikutnya meninggalkan rumah Yusuf malam ini juga.
Mereka harus keluar dari Yerusalem demi keselamatan Easa.
Maria percaya, rumah yang ditinggalinya dulu bersama Lazarus dan Martha adalah
pilihan terbaik. Jarak rumah itu cukup jauh dari Yerusalem, tapi tidak terlalu jauh untuk kembali
ke sana atau keluar dengan cepat.
f Easa bertemu dengan Maria dan anakanak di Bethany malam harinya. Sebagian murid
menginap bersama mereka di rumah Lazarus, sementara yang lainnya menginap di
rumah Simon, teman kepercayaan mereka, yang letaknya berdekatan. Di rumah Simonlah, beberapa tahun
lalu Maria melanggar perintah Lazarus dan Yohanes hingga menimbulkan konsekuensi
besar. Para murid berkumpul malam ini untuk membahas kejadiankejadian hari itu dan
membuat rencana untuk menghadapi peristiwa yang telah menanti mereka.
Maria merasa cemas. Ia menangkap bahwa opini penduduk Yerusalem terpecah.
Separuh mendukung insan Nasrani istimewa yang memiliki mukjizat dan menyayangi
kaum miskin ini, dan separuh lagi menentang lantaran khayalan mereka sendiri
bahwa Easa akan menantang Rumah Tuhan dan tradisi mereka tanpa kenal ampun.
Maria menceritakan pembicaraan dua imam yang ia dengar saat berjalan ke pasar
tadi. Saat ia bercerita, Yudas datang dari rumah Jairus, membawa kabar lain.
"Dia benar. Situasi Yerusalem semakin berbahaya bagimu," katanya pada Easa.
"Jairus mengatakan bahwa Caiaphas dan Annas menuntut hukuman mati terhadapmu
dengan tuduhan menodai agama.
Petrus merasa muak. "Dasar sampah," serapahnya. "Easa tidak pernah menyampaikan
ajaran yang menentang agama, dan kalaupun ingin, ia tidak sanggup melakukannya.
Merekalah orangorang yang menodai agama, ular-ular itu."
Tidak tampak raut cemas di wajah Easa. "Tidak jadi soal, Petrus. Imam-imam ini
tidak memiliki wewenang untuk menghukum mati seseorang," kata Easa, ucapannya
menunjukkan pengetahuan hukumnya yang luas. "Hanya Roma yang bisa melakukan hal itu. Dan orang Romawi tidak
menganggapku melanggar hukum Yahudi."
Hingga larut malam mereka mendiskusikan tindakan yang harus dilakukan besok.
Maria ingin Easa menjauhi Yerusalem hingga kota itu kembali tenang. Tapi Easa
tidak mengindahkannya. Orang yang berdatangan besok akan semakin banyak karena
berita tentang ajaran yang disampaikan Easa dengan berani, selain kemampuannya
menyembuhkan telah menyebar ke seluruh kota. Ia tidak ingin
mengecewakan orang yang jauh-jauh datang ke Yerusalem untuk melihatnya. Pun ia
tidak ingin tunduk pada tekanan para imam. Lebih dari sebelumnya, kini ia perlu
menjadi seorang pemimpin.
Kebesokannya, Maria memilih untuk tetap di Bethany bersama anakanak dan Martha.
Beban kehamilan semakin terasa berat baginya, dan perjalanan kembali ke Bethany dengan
kecepatan seperti itu membuatnya letih. Maria menjaga anakanaknya yang bermain
di rumah sambil berusaha menjauhkan pikirannya dari bahaya yang mungkin dihadapi Easa di kota.
Maria sedang duduk di kebun depan sambil mengawasi Tamar yang bermain di rumput
ketika seorang perempuan mendekatinya. Ia mengenakan selubung tebal warna hitam.
Wajah dan rambutnya ditutup, mustahil mengetahui apakah ia seorang tamu yang
sudah dikenal atau bukan. Barangkali ia seorang tetangga baru yang belum Maria
kenal" Perempuan itu semakin dekat, Maria bisa mendengar tawa tertahannya. "Ada apa,
Saudaraku" Kau tidak mengenaliku setelah kita berteman sekian lama?"
Selubung diturunkan, ternyata ia Salome, putri Herodian.
Wajahnya tidak lagi bulat seperti waktu ia kecil. Ia telah mekar menjadi seorang
wanita dewasa sekarang. Maria berlari menyambutnya, cukup lama mereka saling
berpelukan. Setelah kematian Yohanes, terlalu berbahaya bagi Salome untuk
terlihat bersamasama dengan orang Nasrani.
Kehadirannya juga berbahaya bagi Easa. Jika pendukungnya ingin menang dari
pengikut Yohanes, mereka tidak boleh terlihat berteman dengan perempuan yang
dikutuk karena menyebabkan
penahanan Yohanes, jika bukan kematiannya.
Perpisahan yang terpaksa dilakukan itu terasa berat bagi Maria dan Salome.
Salome merasa hancur karena tidak diizinkan menyelesaikan pendidikannya sebagai
imam dan karena dipisahkan dari orangorang yang lebih ia cintai dibandingkan
keluarganya sendiri. Bagi Maria, perpisahan itu adalah efek menyedihkan lainnya
dari keputusan yang tidak adil bagi mereka berdua setelah eksekusi Yohanes.
Salome memekik ketika melihat Tamar kecil. "Lihatlah dia! Dia seperti
kembaranmu!" Maria mengangguk, tersenyum. "Dari luar. Dari dalam, ia sudah menumbuhkan citra
ayahnya." Maria menceritakan beberapa kejadian yang dialami Tamar dan bagaimana
putrinya itu telah memiliki keistimewaan sejak ia mulai berjalan. Tamar telah
menyembuhkan seekor kambing yang jatuh ke dalam parit di Magdala, hanya dengan
sentuhan tangannya yang mungil.
Sekarang usianya tiga tahun, tapi kemampuan bicaranya sungguh luar biasa ia bisa
berbicara dalam bahasa Yunani dan Aram.
"Ia sungguh beruntung memiliki sepasang orangtua seperti kalian," kata Salome,
wajahnya menjadi suram. "Dan kita harus menjaga keamanan kalian. Karena itulah
aku datang ke sini, Maria. Aku mendengar kabar dari istana. Easa dalam bahaya
besar." "Mari masuk. Di dalam tidak ada yang melihat, dan tidak ada yang mendengar
kecuali telinga kecil ini" kata Maria menunjuk pada Tamar-"jika tidak dibuat
sibuk." Maria bangkit untuk mengangkat Tamar. Tapi perutnya yang sudah membesar
membuatnya sulit membungkuk. Salome merentangkan tangannya. "Ayo ke kakakmu
Salome," katanya. Tamar ragu-ragu, ia memandang wajah perempuan yang belum dikenalnya lalu wajah
ibunya untuk mendapatkan persetujuan.
Senyum lebar menghiasi wajah Tamar saat ia melompat ke gendongan sang putri
Herodian. Setelah mereka masuk ke rumah, Maria memberi isyarat pada Martha untuk membawa
Tamar. Martha mengambil Tamar dari gendongan Salome. "Ayo, Putri Kecil, kita cari
kakakmu." Yohanes sedang berjalan-jalan bersama Lazarus. Martha mengatakan bahwa ia akan
membawa keponakannya keluar agar Salome bisa berbicara empat mata dengan Maria. Setelah
mereka keluar, Salome meraih tangan Maria.
"Dengarkan aku, masalahnya sangat genting. Ayah tiriku hari ini berada di rumah
Pontius Pilatus di Yerusalem, dan aku ikut bersamanya. Dua hari lagi Pilatus
akan berangkat ke Roma untuk menemui kaisar dan ia harus memberikan laporan
lengkap. Aku menggunakan dalih ingin bertemu dengan Claudia Procula, istri
Pilatus, agar boleh pergi bersamanya. Claudia adalah cucu Caesar Augustus, jadi aku tahu ayah tiriku
tentu tidak akan menolak. Tapi tentu saja, bukan karena itu aku ingin ikut. Aku
tahu kau, Easa, dan yang lainnya ada di sini. Di mana Maria Agung?" "Ada di
sini," jawab Maria. "Ia menginap di keluarga Yusuf malam ini bersama dengan
wanita lain. Aku akan mengantarmu ke sana besok, jika kau mau."
Salome mengangguk dan melanjutkan kisahnya. "Aku berdalih ingin bertemu Claudia
untuk mendengar kabar tentang orangorang Nasrani yang tengah berada di Yerusalem. Tak
kukira, Claudia mau bercerita banyak! Maria, bukankah ini mengagumkan?"
Maria tidak mengerti maksud Salome. "Apa?"
Bola mata Salome yang hitam dan eksotis membelalak.
"Kau tidak tahu" Oh, Maria, ini berita besar. Di malam Easa menghidupkan putri
Jairus, tidakkah kau melihat seorang perempuan di tengah kerumunan saat kau akan
pergi" Dia bersama orang Yunani yang menggendong anak sakit, anak laki-laki."
Peristiwa itu terbayang kembali dalam kepala Maria. Dua malam terakhir, sebelum
tidur, ia selalu terbayang wajah perempuan itu. "Ya," jawab Maria. "Aku
memberitahu Easa, lalu ia menoleh ke perempuan itu untuk menyembuhkan anaknya.
Aku merasa yakin akan hal ini, selain perempuan itu tidak tampak seperti rakyat
biasa atau seorang Yahudi."
Salome tertawa lepas. "Maria, perempuan itulah Claudia Procula. Easa telah
menyembuhkan putra semata wayang Pontius Pilatus."
Maria terkejut. Sekarang semuanya menjadi jelas firasat itu, perasaan mengetahui
ada sesuatu yang terjadi di luar penyembuhan itu. "Siapa saja yang mengetahui hal ini, Salome?"
"Tidak ada kecuali Claudia, Pilatus, dan budak Yunani
itu. Pilatus melarang istrinya menceritakan peristiwa itu. Ia justru diperintahkan
untuk mengatakan bahwa penyembuhan itu adalah kehendak dewa-dewa Yunani jika ada
orang yang bertanya". Salome
mencibir untuk menunjukkan rasa muaknya.
"Claudia yang malang tidak tahan untuk tidak menceritakannya, dan ia tahu bahwa
dulu aku seorang Nasrani."
"Kau masih seorang Nasrani," kata Maria dengan ramah sambil berdiri agar bayi
dalam perutnya bisa menyesuaikan posisi. Ia perlu merenungkan informasi penting
ini. Ini kabar yang menggembirakan, tapi ia belum berani untuk terlalu senang.
Tentulah, peristiwa itu bagian dari rencana Tuhan untuk Easa.
Apakah Ia menghadirkan Claudia dan putranya yang sakit agar Easa bisa
menyembuhkannya dan membuktikan kerasulannya kepada Pilatus" Dan seandainya
nasib Easa berakhir di tangan Pontius Pilatus, tentulah ia tidak akan memberikan
hukuman kepada orang yang telah menyembuhkan
putranya sendiri" "Tapi ada lagi, Saudaraku," wajah Salome kembali muram.
"Ketika aku di sana, Jonathan Annas dan iparnya yang kejam datang mengunjungi
Pilatus dan ayah tiriku. Mereka mengajukan tuntutan terhadap Easa." Salome
tersenyum getir. "Aku mendengar kedatangan mereka, maka kemudian aku memohon
pada Claudia untuk memberitahukan tempat yang paling aman untuk bersembunyi agar aku bisa
menguping." Maria tersenyum pada Salome, yang selalu banyak
akal. "Pilatus tidak mau mendengarkan dan berusaha mengenyampingkannya sebagai sesuatu
yang tidak penting agar ia bisa menyudahi pertemuannya dengan Herod. Yang
penting bagi Pilatus, Roma mendapat laporan baik tentang kemampuannya selaku
gubernur. Ia mengincar posisi di Mesir."
Maria mendengarkan dengan sabar, jantungnya berdegup keras saat Salome
melanjutkan. "Tapi ayah tiriku si Herod yang sombong berpihak pada imam-imam
goblok itu. Mereka mempermainkannya dengan mengatakan bahwa Easa menyebut
dirinya raja Yahudi dan ingin menggeser Herod dari singgasananya.
Maria menggelenggelengkan kepala. Tentu saja, itu tidak masuk akal. Easa tidak
memiliki hasrat untuk duduk di atas singgasana duniawi. Ia adalah raja yang
bertahta di dalam hati jemaat, raja yang menyampaikan kerajaan Tuhan pada
mereka. Untuk itu ia tidak memerlukan istana atau singgasana. Tapi Herod yang gelisah
merasa terancam lantaran manipulasi Annas dan Caiaphas.
"Kudengar Pilatus menemui Claudia tak lama sesudah itu ia tidak melihat tempat
persembunyiankudan berkata, 'Sayangku, aku khawatir nasib tidak berpihak pada
Easa. Para imam menuntut agar ia dihukum mati. Dan mereka ingin Easa ditahan
sebelum Paskah.' Lalu Claudia berkata, 'Tapi tentunya kau tidak akan membiarkan
ia dihukum.' Pilatus tidak menjawab, lalu kudengar Claudia bertanya lagi,
'Bukankah begitu"' Kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi hingga Pilatus keluar dari ruangan.
Saat aku yakin ia sudah pergi, aku keluar dan menemui Claudia dalam kondisi
gemetar. Ia berkata bahwa suaminya tidak berani menatap matanya saat ia keluar.
Oh, Maria, dia sangat mencemaskan kejadian yang akan menimpa Easa. Aku juga
merasa cemas. Kau harus mengajaknya keluar dari Yerusalem."
"Apakah ayah tirimu tahu di mana kau sekarang?"
Salome mengangkat bahu. "Aku memberitahu bahwa aku akan berbelanja kain sutra.
Ia terlalu sibuk dengan rencana keberangkatannya ke Roma hingga tidak tahu atau
tidak peduli di mana aku menginap malam ini. Dia asyik dengan dirinya sendiri."
Maria berusaha memikirkan strategi. Ia harus menung gu sampai Easa pulang malam
ini, baru kemudian menceritakan segalanya, tentu saja. Maria tahu, ia perlu
sedikit membujuk Salome agar mau menginap dan menceritakan semuanya dengan
rinci. Salome menginap, dan merasa sangat gembira ketika Maria Agung datang siang
harinya. Ibunda Easa yang bijak itu datang bersama Maria-Maria lain yang lebih
tua saudaranya, Maria Yakobus, dan sepupu mereka, Maria Salome. Yang terakhir
ini adalah ibunda dua pengikut Easa yang paling setia.
Salome merasa mendapat kehormatan karena berada di dekat wanitawanita bijaksana
ini, mereka adalah pemimpin tradisi Nasrani yang kuat, meski tidak banyak
berbicara. Tapi kegembiraan Salome menguap, seperti juga Maria Magdalena.
"Aku melihat kegelapan besar di cakrawala, Putri-pu-triku."
kata Maria Agung. "Aku datang untuk bertemu dengan putraku.
Kita semua harus bersiap menghadapi ujian kekuatan dan keimanan pada peringatan
Paskah ini." f Kabar dari Yerusalem memang menciutkan hati. Kerumunan orang yang lebih besar
lagi menyambut kedatangan Easa dan orangorang Nasrani di gerbang kota pagi itu,
membuat penjaga Romawi tidak tenang. Kaum Nasrani telah menyiapkan lokasi di
luar Rumah Tuhan, tempat Easa berkhotbah dan menjawab pertanyaan serta tantangan
yang dilancarkan kepadanya. Seperti kemarin, para perwakilan imam besar dan
Rumah Tuhan telah menempatkan orangorang mereka di tengah kerumunan.
Keributan meningkat ketika pedagang dan lintah darat yang kemarin memaki-maki,
maju untuk memprotes kehadiran orang Nasrani. Akhirnya, untuk menenangkan
situasi dan mencegah pertumpahan darah, Easa meninggalkan tempat itu bersama para pengikutnya yang
paling setia. Malam harinya di Bethany, campuran antara observasi Salome, kecerdasan Jairus,
dan nubuat Maria Agung menciptakan atmosfer yang mencekam. Hanya Easa yang
kelihatannya tidak terpengaruh dengan situasi yang kian menegangkan. Dengan
tenang, ia menyusun rencana untuk besok.
Simon dan Yudas, yang siang harinya berjumpa dengan orangorang Zelot, memiliki
rencana sendiri. "Jumlah kita cukup banyak untuk menghadapi siapa pun yang ingin mencelakakanmu,"
kata Simon. "Jumlah orang yang datang ke Rumah Tuhan besok akan membludak. Jika kau menekankan pada mereka
bahwa kerajaan Tuhan akan membebaskan orang Yahudi dari penindasan, seperti yang
kita ketahui, maka mereka akan mengikutimu."
"Sampai ke mana?" tanya Easa tenang. "Tindakan itu mungkin akan mengorbankan
darah orang Yahudi yang tidak berdosa. Itu bukan JalanNya. Tidak, Simon. Aku
tidak akan memancing kericuhan yang hanya akan mengakibatkan pertumpahan darah
di hari yang suci. Bagaimana aku bisa
menunjukkan kerajaan Tuhan bersemayam dalam tiap diri manusia, lelaki maupun
perempuan, jika aku meminta mereka berdarah-darah dan mati karenanya" Kau salah
memaknai JalanNya, Saudaraku."


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi tanpamu tidak ada JalanNya," geram Petrus. Ketegangan selama beberapa hari
terakhir tampak jelas pada Petrus, lebih dari murid-murid lainnya. Ia telah
mengorbankan segalanya demi
keyakinannya pada Easa dan JalanNya. Ia tidak sanggup membayangkan akhir yang
tragis. "Kau keliru, Saudaraku," kata Easa. Tak ada nada marah dalam ucapannya pada
Petrus, Easa melanjutkan dengan suara yang hangat. "Petrus, aku sudah pernah
mengatakan saat kita masih kecil.
Kau adalah batu tempat berkembangnya pelayanan kita. Pusakamu akan hidup
sebagaimana pusakaku." Petrus masih resah, begitupun murid-murid lainnya. Easa menangkap perasaan ini,
ia mengangkat tangan. "Saudarasaudaraku, dengarkan aku. Ingatlah segala yang telah aku sampaikan. Dan
ingatlah bahwa kerajaan Tuhan hidup di dalam diri kalian, tak ada penindas mana
pun yang bisa merebutnya. Jika kebenaran itu kalian
simpan dalam hati, kalian tidak akan pernah merasa sedih atau takut."
Kemudian Easa mengangkat tangan kepada murid muridnya dan memimpin Doa Bapa
Kami. f Malam itu, Easa meninggalkan pengikutnya untuk berbicara empat mata dengan Maria
Agung. Setelah itu, ia mengucapkan selamat malam dan menemui istrinya.
"Kau tidak boleh takut, Merpati Kecil," katanya lembut.
Maria berusaha membaca mata Easa. Tidak jarang, Easa menyembunyikan visi yang
diterimanya dari para pengikutnya.
Tapi ia jarang melakukan hal itu terhadap istrinya. Hanya kepada Maria, Easa
mencurahkan hampir segalanya. Tapi malam ini, Maria merasa Easa menahan sesuatu.
"Apa yang kau lihat, Easa?" tanyanya pelan. "Aku melihat bapaku di surga telah
menghamparkan rencana besar dan kita harus mengikutinya." "Memenuhi nubuat?"
"Jika itu yang ia kehendaki."
Maria terdiam sejenak. Bunyi nubuat sangat jelas bahwa sang mesias harus
mengakhiri hidupnya di tangan orangorangnya sendiri.
"Bagaimana dengan Pontius Pilatus?" tanya Maria dengan secercah harapan. "Kau
adalah orang yang diutus untuk menyembuhkan putranya. Jadi dia telah menyaksikan
sendiri siapa engkau sesungguhnya.
Tidakkah itu bagian dari rencana Tuhan?"
"Maria, dengarkan aku baikbaik. Yang akan kusampaikan ini adalah intisari ajaran
Nasrani. Tuhan membuat rencana, dan Ia menempatkan lelaki dan perempuan pada
tempatnya masingmasing. Tapi ia tidak memaksa mereka untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang ayah yang
baik, Tuhan membimbing anakanaknya, juga memberi mereka kesempatan untuk
menentukan pilihan."
Maria mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha menghubungkan falsafah Easa
dengan situasi yang mereka hadapi. "Kau percaya bahwa Tuhan menempatkan Pontius
Pilatus pada posisi ini?"
Easa mengangguk. "Ya. Pilatus, istrinya yang baik, anak mereka."
"Dan apakah Pilatus akan memilih untuk menolongmu atau tidak...itu bukan ketentuan
Tuhan?" Easa menggeleng. "Tuhan tidak mendikte kita, Maria. Ia membimbing kita. Terserah
pada individu masingmasing, untuk memilih pemimpinnya. Termasuk pilihan antara
rencana Tuhan dengan hasrat duniawi. Kau tidak bisa mengabdi pada Tuhan
sekaligus mengabdi pada kebutuhan duniawi. Kerajaan Surga akan datang kepada
mereka yang memilih Tuhan. Aku tidak bisa mengatakan, kepada siapa Pontius
Pilatus memilih untuk mengabdikan diri jika waktunya tiba."
Maria mendengarkan dengan seksama. Meskipun ia mengenal baik kalimat dalam
ajaran Nasrani itu, tapi penjelasan Easa yang mengambil contoh Pontius Pilatus
menjadikan dogma ini jernih dan bertenaga. Dalam suatu kilatan firasat, Maria
merasa perlu menyimpan katakata suaminya tadi, mengingatnya secara persis
seperti saat Easa mengucapkannya.
Akan tiba waktu saat Maria harus mengajar orang lain secara persis seperti Easa
mengajarkannya. "Imam besar dan para pendukungnya berkeras agar aku ditahan. Sekarang kita tahu,
kita tidak bisa menghindar," lanjut Easa. "Tapi kita akan meminta mereka untuk
mengirimku ke Pilatus. Aku akan mengajukan kasusku kepadanya. Maka keputusan
akan bergantung pada keimanan dan nuraninya. Kita harus siap dengan keputusan
apa pun yang akan ia ambil. Apa pun keputusannya, kita harus menunjukkan lewat
tindakan kita bahwa kita mengetahui kebenaran bahwa jika kita membuka hati bagi
kerajaan Tuhan, tak ada apa pun yang bisa mengubahnya, tidak seorang kaisar,
penindas, maupun rasa sakit. Bahkan tidak pula kematian."
Mereka berbicara hingga larut malam, membahas rencana Easa untuk keesokan hari.
Maria mengajukan pertanyaan terberat yang memenuhi dadanya, hanya sekali ini.
"Bisakah jika kita pergi saja dari Yerusalem malam ini" Kita kembali ke bukit
Galilee untuk berkhotbah di sana hingga Annas dan Caiaphas menemukan mangsa
lain?" "Kau lebih tahu di antara yang lain, Mariaku," tegur Easa lembut. "Masyarakat
memerhatikan kita sekarang. Aku harus memberi teladan."
Maria mengangguk paham, lalu Easa menceritakan percakapannya dengan Maria Agung.
Mereka memutuskan akan terlalu berbahaya jika mereka hadir di Rumah Tuhan besok.
Terlalu banyak orang tidak berdosa di sana yang mungkin akan terluka jika
terjadi kericuhan. Easa terutama memikirkan keselamatan murid-muridnya. Imam
besar menginginkan dirinya, bukan yang lain. Mereka
sudah banyak mendengar dari Jairus. Tidak perlu membahayakan orang lain. Ia bisa
melakukan pertemuan tertutup dengan pengikut-pengikut terdekatnya pada sore
hari, di rumah Yusuf yang jauh dari lokasi peringatan Paskah. Di sana, Easa akan
memberikan instruksi tentang tugas mereka masingmasing dalam pelayanan keirnaman
seandainya ia harus menghabiskan waktu lama dalam penjara seperti Yohanes atau
jika terjadi yang lebih buruk. Mereka akan bermalam di tanah Yusuf di Getsemane,
di bawah bintangbintang Yerusalem yang suci.
Dan di sana Easa akan membiarkan dirinya ditahan.
"Kau akan menyerahkan diri pada penguasa Rumah Tuhan?" tanya Maria tidak
percaya. "Tidak, tidak. Aku tidak boleh bersikap begitu. Para jemaat tidak lagi mengimani
JalanNya jika itu kulakukan. Tapi aku harus memastikan penahananku terjadi jauh
dari kota sehingga tidak terjadi pertumpahan darah dan kekacauan. Aku akan
meminta salah seorang dari kalangan kita untuk
'berkhianat' lalu pergi ke penguasa agar mereka mencopot kedudukanku.
Pengawal akan datang ke Gethsemane. Di sana tidak ada banyak orang karena itu
tidak akan terjadi kekacauan."
Pikiran Maria berpacu. Semua ini terjadi begitu cepat.
Sebuah pikiran buruk menyentaknya. "Oh, Easa. Tapi siapa"
Siapa orang dari kalangan kita yang berani melakukannya Kau tidak bisa
mengharapkan Petrus atau Andreas. Dan jelas bukan pula Filipus dan Bartolomeus.
Adikmu Yakobus pun akan mengorbankan jiwanya dulu, dan Simon akan membunuh orang
lain." Lalu jawaban itu muncul, Maria dan Easa mengucapkannya serentak. "Yudas."
Wajah Easa tampak muram. "Aku harus pergi dulu, Merpatiku. Aku harus memberitahu
Yudas bahwa ia terpilih untuk melaksanakan tugas ini karena kekuatannya."
Easa mengecup pipi istrinya lalu pergi. Maria memandang kepergiannya dengan
perasaan takut akan peristiwa esok.
f Sesuai rencana, keesokan siang mereka berkumpul untuk makan bersama. Easa, dua
belas pengikut terpilih, dan semua Maria.
Anakanak tetap di Bethany bersama Martha dan Lazarus.
Easa mengawali senja dengan ritual pengurapan. Ritual ini dilakukan sesuai
versinya sendiri, yakni dengan mencuci kaki tiap orang dalam ruangan. Easa
menjelaskan ritual itu suatu bentuk pengakuan bahwa tiap orang adalah putra
Tuhan yang memiliki tugas khusus menyampaikan kerajaan Tuhan.
"Aku telah memberi kalian contoh, segala yang telah dilakukan di sini terhadap
kalian, lakukanlah juga terhadap orang lain. Dan akuilah bahwa di mata Tuhan,
kalian setara dengan orang lain. Aku akan memberikan perintah baru malam ini
bahwa kalian akan saling mencintai sebagaimana aku mencintai kalian. Karena
ketika kalian memasuki dunia, aku akan membuat orang mengenali kalian sebagai
orang Nasrani lewat sikap saling mencintai." Setelah mencuci kaki semua
pengikutnya dalam ruangan itu, Easa memimpin mereka menuju meja untuk makan
malam Paskah. Ia mengerat roti yang tidak beragi, memberkatinya, lalu berkata,
"Ambillah ini dan makanlah, karena roti ini akan menjadi seperti tubuhku." Lalu
ia mengambil secawan anggur dan mengucapkan syukur sebelum
mengedarkannya ke sekeliling meja. "Inilah darah perjanjian baruku, yang akan
tertumpah untuk banyak orang."
Maria mengamati tanpa bersuara bersama yang lainnya. Hanya dia dan Maria-Maria
lain yang tahu rincian peristiwa yang akan terjadi. Saat Yudas mendapat isyarat
dari Easa, ia akan meninggalkan makan malam dan menemui Jairus. Jairus akan
membawanya menemui Annas dan Caiaphas, dan
menunjuknya sebagai seorang pengkhianat. Yudas akan meminta tiga puluh keping
perak agar pengkhianatannya tampak otentik.
Sebagai imbalannya, ia akan menunjukkan tempat Easa menyendiri pada para imam
itu. Di tempat yang jauh dari kota dan tidak akan ada kerumunan orang, akan
mudah menangkap Easa. Ketegangan tampak jelas di wajah Yudas. Murid-murid lain tidak mengetahui
rencana ini karena Easa tidak ingin mengambil risiko. Ia tidak ingin terjadi
perselisihan, apalagi jika mereka menolak rencana ini. Belakangan, Maria
meratapi Yudas dan ketidakadilan kejadian itu. Ia akan membela Yudas di hadapan
murid lain, yang memandangnya sebagai pengkhianat belaka.
Tapi ketika waktu itu tiba, sudah sangat terlambat bagi Yudas Iskariot. Tuhan
telah menciptakan tempat untuknya, dan ia memilih menerimanya.
Easa menoleh pada Yudas. Ia menyerahkan sekerat roti yang telah dibasahi anggur,
isyarat yang telah di tentukan. "Apa yang harus kaulakukan, lakukanlah segera." Saat Maria menatap kepergian
Yudas, hatinya seperti teriris.
Tak akan ada jalan untuk kembali. Matanya bertemu dengan mata Maria Agung, yang
juga menatap kepergian Yudas membawa nasib Easa di tangannya. Kedua wanita itu
saling berpegangan sambil terus menatap Yudas, dan berdoa dalam hati agar Tuhan
melindungi Easa terkasih.
f Balatentara datang dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kekuatan yang tidak
Maria sangka-sangka. Hari sudah malam ketika Yudas muncul bersama para prajurit
imam besar. Terjadi kekacauan saat kelompok bersenjata lengkap itu tiba, membuat
para rasul pria terkejut. Cukup jauh dari tempat itu, kaum perempuan berjaga dan
berdoa di samping perapian. Semua perempuan, kecuali Maria Magdalena, yang
menunggu bersama Easa. Petrus melompat dari tempat berdirinya, meraih pedang dari salah seorang
prajurit muda yang terkejut. "Tuanku, kami akan berperang untukmu!" pekiknya
lalu mengejar seseorang yang ia kenal, Malchus, pelayan sang imam besar. Ia
memotong telinga lelaki itu hingga darahnya mengucur deras.
Easa berdiri dan berjalan tenang menghampiri mereka. "Cukup, Saudaraku," katanya
kepada Petrus dan yang lainnya.
Kepada pasukan imam besar, ia berkata, "Turunkan senjata kalian. Tidak ada yang
akan melukai kalian. Percayalah padaku."
Easa menghampiri Malchus yang jatuh tersungkur dan merekatkan jubahnya ke
telinga lelaki itu untuk menyumbat darah. Easa meletakkan telapak tangannya di
telinga lelaki itu dan berkata, "Kau sudah cukup menderita karena ini." Saat ia
melepas tangannya, telinga lelaki itu sembuh dan darah berhenti mengalir.
Easa membantu Malchus berdiri dan berkata padanya, "Caiaphas mengirim pasukannya
untuk melawanku seperti yang akan ia lakukan terhadap seorang pencuri atau pembunuh.
Mengapa" Saat aku datang ke Rumah Tuhan setiap hari, ia tidak berusaha
menangkapku atau mengisyaratkan bahwa aku orang yang berbahaya. Ini adalah saat
kelam bagi umat kami."
Salah seorang prajurit yang mengenakan lencana pemimpin, maju dan melontarkan
tuntutan dalam bahasa Aram. "Apakah kau Easa, Orang Nasrani?" "Benar," jawabnya
dalam bahasa Yunani. Beberapa orang pengikut memaki-maki dan menyalahkan Yudas. Easa telah menasihati
Yudas agar tidak menjawab jika ini terjadi, dan Yudas mematuhinya. Ia justru
mencium lembut pipi Easa, berharap pengikut yang lain paham bahwa itu adalah
isyarat bahwa ia ditugaskan melakukan pengkhianatan itu.
Prajurit dengan lencana pemimpin membacakan dakwaan penahanan, dan Easa dibawa
untuk menempuh nasibnya di tangan para imam besar.
f Maria Magdalena tetap berjaga dan berdoa bersama Maria-Maria lain hingga larut
malam. Mereka tidak bisa mendekati kaum lelaki, karena risikonya terlalu tinggi.
Emosi mereka memuncak, meski tak seorang pun yang memberitahu mereka kejadian
yang tengah berlangsung. Para Maria bergantian memimpin doa dan saling menenangkan. Malam sudah larut
saat mereka melihat obor melintasi Lembah Kidron, menuju tempat mereka. Ternyata
mereka hanya kelompok kecil terdiri dari dua lelaki dan seseorang yang tampaknya
perempuan mungil. Maria berdiri setelah menyadari bahwa perempuan itu adalah
putri Herodian. Ia berlari menyambut Salome dan memeluknya. Ketika itu, barulah ia tahu bahwa
lelaki yang memegang obor adalah senturion Romawi yang berpakaian sehari-hari.
Ia adalah lelaki bermata biru yang disembuhkan Easa.
"Saudaraku, tidak ada banyak waktu," kata Salome terengahengah. Jelaslah ia
berlarian hingga sampai ke tempat itu. "Aku datang dari Benteng Antonia. Claudia
Procula mengutusku dan menitipkan rasa hormat dan simpati terdalam atas
ketidakadilan yang menimpa suamimu."
Maria mengangguk, memberi isyarat kepada Salome untuk meneruskan, dan menelan
rasa takutnya. Jika istri penguasa Romawi mengirim utusan di tengah malam, pasti ada masalah
besar. "Easa akan disidangkan besok pagi di hadapan Pilatus," Salome melanjutkan. "Tapi
Pilatus mendapat tekanan besar untuk memberi hukuman mati padanya. Oh, Maria, ia
tidak ingin melakukannya.
Claudia mengatakan bahwa Pilatus tahu, Easalah yang menyembuhkan putranya. Atau
setidaknya, ia mau berusaha menerima fakta itu dengan cara Romawinya. Tapi ayah
tiriku yang kejam memerintahkan agar Easa dihukum mati secepatnya. Herod akan ke Roma pada hari
Sabat. Ia telah mengatakan pada Pilatus bahwa persoalan dengan orang Nasrani ini harus
sudah beres sebelum keberangkatannya. Maria, mengertikah kau betapa seriusnya
persoalan ini" Mereka mungkin
menghukum mati Easa. Besok."
Semuanya terjadi begitu cepat. Tidak seorang pun menduga akan terjadi seperti
ini. Mereka menyangka akan ada masa penahanan sehingga Easa mempunyai waktu
untuk membela kasusnya di hadapan Roma dan di hadapan Herod. Memang selalu ada
kemungkinan bahwa yang terburuklah yang terjadi, tapi tidak secepat ini.
Salome melanjutkan dengan napas tersengal-sengal.
"Claudia Procula mengirim kami untuk membawamu. Dua lelaki ini adalah pelayan
kepercayaannya." Maria menoleh dan menyaksikan cahaya memendar dari wajah lelaki yang diam
membisu di belakang obor. Maria mengenalinya sekarang. Ia adalah orang Yunani
yang menggendong seorang anak sakit di luar rumah Jairus. "Mereka akan
mengantarmu ke tempat Easa ditahan.
Claudia telah mengawasi lingkungan itu bersama para penjaga hingga pagi
menjelang. Barangkali, inilah kesempatan terakhirmu untuk melihat Easa. Tapi
kita harus segera pergi."
Maria meminta mereka menunggu, lalu ia menemui Maria Agung. Ia tahu, perempuan
tua itu tak mampu pergi menemui Easa dalam waktu cepat. Tapi ia harus menawarkan
kepadanya sebagai penghormatan atas posisinya selaku ibunda Easa.
Maria Agung mencium pipi menantunya. "Sampaikan itu pada putraku. Katakan
padanya bahwa aku akan berada di sana besok. Apa pun yang akan terjadi,
terjadilah. Pergilah bersama Tuhan, Putriku."
f Maria dan Salome berjalan cepatcepat untuk mengimbangi langkah dua lelaki yang
diam membisu. Mereka menuju perbatasan timur. Sebelumnya, Maria meluangkan waktu untuk menukar
selubung hitamnya, seperti yang sekarang dikenakan Salome, dengan selubung merah


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menandakan bahwa ia adalah imam Nasrani. Saat mereka berjalan, sang putri
Herodian menyampaikan sesuatu. "Aku telah mengirim seorang utusan ke Martha.
Easa ingin bertemu anakanaknya. Ia juga memberitahu pelayan Claudia." Salome
menunjuk ke budak Yunani itu. "Easa tahu, kau tak akan sempat ke Bethany dan
menjemput mereka jika kau ingin menemuinya."
Pikiran Maria Magdalena berpacu. Ia tidak ingin Tamar dan Yohanes menyaksikan
peristiwa traumatis. Tapi, jika kemungkinan terburuklah yang akan terjadi, Easa tentu
ingin bertemu anakanaknya untuk kali terakhir. Cinta Easa terhadap Yohanes
kecil, sama seperti terhadap Tamar.
Easa mencintai keduanya tanpa syarat. Keamanan dan perlindungan mereka semua
merupakan persoalan saat matahari terbit nanti. Maria berdoa dalam hati, tapi ia tidak
punya waktu untuk memikirkan persoalan itu sekarang. Mereka telah sampai di luar
lokasi penahanan Easa. Sejauh ini, kegelapan melindungi mereka sehingga tidak
memancing perhatian. Tapi mereka terpaksa menuruni tangga yang panjang dengan
diterangi nyala obor. Senturion membisikkan instruksi dan mereka menunggu lelaki Yunani itu memeriksa
wilayah sekitar dengan cepat. Budak itu turun hingga ke dasar tangga baru
kemudian memberi isyarat untuk maju.
Salome tetap berada di tangga teratas untuk mengawasi sekeliling, perannya sama seperti budak
Yunani tadi, hanya saja ia mengawasi di tangga terbawah. Maria dan senturion
bergegas turun dan masuk ke lorong penjara. Senturion mengangkat obor untuk
menerangi daerah yang berbelok belok.
Maria mengikuti di belakangnya, berusaha menulikan telinga dari rintihan
kesakitan para tahanan yang bergema di dinding sekelilingnya. Ia tahu, suara itu
bukan berasal dari Easa, karena seberapa pun sakitnya, ia tidak akan merintih,
itu bukan wataknya. Tapi Maria sangat iba kepada jiwa-jiwa malang yang tengah
menanti nasib di dalam penjara Romawi.
Senturion mengeluarkan kunci dari balik bajunya, memasukkannya ke lubang pintu,
melepas kunci, lalu membiarkan Maria masuk ke sel tahanan suaminya.
Bertahuntahun kemudian, Maria tahu bahwa Claudia dan Salomelah yang telah
berjasa mengambilkan kunci dan menyingkirkan penjaga.
Mereka melakukannya dengan menyuap, ditambah ongkos pribadi yang tidak sedikit
bagi Salome. Maria berterima kasih sepanjang sisa hidupnya kepada Claudia Procula dan
temannya, Salome, yang kerap disalah pahami. Ia bersyukur bukan hanya karena
kejadiankejadian malam ini, juga karena masa-masa gelap sesudah itu.
f Maria menahan desakan untuk menangis pilu melihat kondisi Easa. Ia dipukuli
dengan sangat kejam. Terlihat memar-memar di wajah tampannya, dan Maria bisa melihatnya meringis
karena menahan rasa sakit saat berdiri untuk menyambutnya. Maria membisikkan
pertanyaan ini ketika ia menatap wajah suaminya yang terluka parah.
"Siapa yang melakukan ini padamu" Suruhan Caiaphas dan Annas?"
"Sssh. Dengarkan aku, Mariaku, karena waktu sangat sempit dan banyak yang harus
kusampaikan. Tak ada tempat untuk menyalahkan, karena sikap itu hanya akan
memancing balas dendam. Jika kita memaafkan, kita berada di posisi terdekat
dengan Tuhan. Karena itulah kita hadir di sini, untuk mengajarkan anakanak
Israel dan seluruh penghuni bumi.
Camkanlah ini dan ajarkan kepada siapa pun yang mau mendengar, sebagai kenangan
terhadap diriku." Sekarang giliran Maria yang meringis. Ia tidak sanggup mendengar Easa berbicara
seperti ini, seolah waktu kematiannya sudah pasti. Menangkap kesedihan Maria,
Easa berkata dengan lembut.
"Semalam di Gethsemane, aku berdoa kepada Tuhan bapa kita. Aku memintanya untuk
mengambil cawan ini dariku, jika itu adalah kehendakNya. Tapi Ia tidak
mengambilnya. Ia tidak mengambilnya karena inilah kehendakNya. Tak ada jalan
lain, mengertikah kau" Umat tidak bisa memahami kerajaan Tuhan tanpa contoh yang
sangat besar. Dan aku akan memberi contoh itu. Aku akan menunjukkan kepada
mereka bahwa aku bisa mati demi mereka, dan tanpa sakit ataupun takut. Tuhan
kita telah menunjukkan cawan itu padaku dan aku meminumnya dengan rasa gembira.
Tugas itu telah terlaksana." Maria tidak kuasa membendung aliran air mata, tapi ia berusaha keras untuk tidak
terisak. Bunyi sekecil apa
pun akan membongkar keberadaannya di penjara itu. Easa berusaha menenangkan
Maria. "Kau harus kuat sekarang, Merpatiku, karena kau a-kan membawa Jalan Nasrani yang
sejati bersamamu, dan kau akan mengajarkannya ke seluruh dunia. Yang lainnya juga akan
berjuang. Aku telah memberi mereka instruksi setelah makan malam. Tapi hanya kau
yang mengetahui isi hati dan kepalaku.
Jadi kaulah yang harus menjadi pemimpin umat berikutnya, dan setelah engkau,
anakanak kita." Maria berusaha berpikir dengan kepala jernih. Ia harus fokus pada permintaan
terakhir Easa, bukan pada kesedihannya sendiri. Ia bisa berdukacita nanti.
Sekarang, ia harus menunjukkan kualitas seorang pemimpin Nasrani yang
terpercaya. "Easa, seperti yang kauketahui, tidak semua orang mencintaiku. Sebagian di
antara mereka tidak akan mengikutiku.
Meskipun kau telah mengajarkan untuk memperlakukan wanita secara setara. Aku
khawatir, pemahaman itu akan pudar setelah kepergianmu. Bagaimana kau memintaku untuk
menyampaikan pada mereka bahwa kau telah memilihku sebagai pemimpin umat
Nasrani?" "Aku telah memikirkannya malam ini," jawab Easa.
"Pertama, hanya kau yang memiliki Kitab Cinta."
Maria mengangguk. Easa menghabiskan sebagian besar masa pengabdiannya untuk
menuliskan keyakinan-keyakinan umat Nasrani dan pemahamannya sendiri dalam suatu jilid buku
yang mereka sebut Kitab Cinta. Murid-murid yang lainya tahu tentang kitab ini,
tapi Easa tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun kecuali Maria. Kitab itu
disimpan rapat-rapat di rumah Maria di Galilee.
"Aku selalu mengatakan bahwa Kitab Cinta tak akan pernah melihat cahaya
sepanjang aku hidup. Karena selama aku berada di bumi ini, kitab itu belum lengkap," lanjut Easa.
"Setiap menit dalam setiap hari kehidupanku, Tuhan menunjukkan pemahaman baru.
Setiap orang yang aku jumpai
membuatku lebih mengenal Tuhan. Aku telah menuliskan hal-hal semacam ini dalam
Kitab Cinta. Jika aku wafat, kau harus membawanya dan menjadikannya landasan seluruh ajaran
sesudah kematianku." Maria mengangguk paham. Kitab cinta memang suatu kenangan indah dan kuat tentang
segala yang pernah diajarkan Easa. Murid-muridnya akan sangat bersyukur dan
terpesona jika belajar dari kitab itu.
"Ada hal lain, Maria. Aku akan memberikan suatu pertanda. Suatu isyarat jelas
kepada mereka bahwa engkaulah penerusku. Jangan takut, Merpatiku, karena aku
akan membuat seluruh dunia tahu bahwa kaulah murid yang paling aku kasihi."
Easa menyentuh perut Maria yang membuncit. Sejenak ia tidak mengatakan apa-apa.
"Anak yang kau kandung, putra kita berdua ini, memiliki darah para rasul dan
raja, sebagaimana putri kita. Keturunan mereka akan memiliki peran dalam dunia,
mengajarkan kerajaan Tuhan dan katakata yang tersimpan dalam Kitab Cinta agar
manusia di seluruh dunia mengenal kedamaian dan keadilan." Bayi dalam kandungan
itu menendang sebagai jawaban nubuat yang diutarakan ayahnya. "Anak ini
menyandang suatu takdir yang istimewa di kepulauan barat.
Dari sanalah, kalimat JalanNya akan menyebar. Aku telah memberi pesan kepada
pamanku, Yusuf, mengenai pengasuhannya. Kau harus memercayai Yusuf dan membiarkan anak ini pergi ke
manapun Tuhan membawanya."
Maria mengabulkan permintaan Easa. Yusuf seorang lelaki yang luhur, bijaksana,
kuat, dan berpengetahuan luas. Ia banyak melakukan perjalanan karena
pekerjaannya sebagai pedagang.
Semasa mudanya, Easa menemani Yusuf ke pulau-pulau yang kehijauan dan berkabut
di sebelah barat Gaul. Ia pernah mengatakan pada Maria bahwa saat ia berada di
sana, ia mendapat firasat bahwa ajaran Nasrani akan berkembang di antara
penduduk bermata biru tajam yang menghuni pulau ini.
"Dan kau harus menamainya Yeshua-Daud, untuk mengenang diriku dan pendiri
dinasti kita. Dari keturunannya akan lahir seorang raja besar yang memimpin
dunia ini." Maria menerima permintaan Easa lalu bertanya, "Bagaimana dengan putri kita,
Sarah-Tamar?" Easa tersenyum saat Maria menyebut nama putri yang sangat dicintainya. "Ia harus
tetap bersamamu hingga dewasa.
Setelah itu, ia akan menempuh jalan yang ia pilih. Tamar kita itu mewarisi
kekuatanmu. Tapi Israel tidak aman bagimu dan anakanak, aku menyaksikannya
sendiri. Yusuf akan membawamu ke Mesir, bersama yang lainnya yang memilih untuk
pergi. Alexandria adalah pusat pembelajaran yang aman.
Tempat ini aman bagi jemaat kita. Kau bisa tinggal di sana atau ke tempat yang
lebih jauh lagi, ke negara-negara barat, terserah padamu, Maria. Kau harus
memutuskan yang terbaik demi penyebaran ajaran Nasrani. Ikutilah kata hatimu dan
percayalah pada Tuhan sebagai pembimbingmu."
"Dan bagaimana dengan Yohanes kecil?" tanya Maria. Easa selalu memperlakukan
anak itu seperti putranya sendiri. Tapi darah dan takdir Yohanes akan berbeda,
mereka berdua tahu. Mata Easa muram saat merenungkan. "Bahkan di usia sekarang, Yohanes berkemauan
keras dan tidak tenang. Tapi kau ibunya dan kau akan membimbingnya, namun
Yohanes membutuhkan pengaruh
seorang lelaki untuk mengatasi kegelisahannya. Petrus dan Andreas sangat
menyayanginya. Jika ia sudah lebih besar, ia bisa diasuh oleh Petrus atau
saudaranya." Easa tidak perlu menguraikan lebih jauh, Maria tahu maksudnya. Dulu, Petrus dan
Andreas adalah pengikut sang Pembaptis. Mereka sudah saling mengenal sejak usia
kanakkanak di Galilee, dan kerap datang ke rumah Tuhan di Capernaeum
bersamasama. Petrus dan Andreas memberi julukan kepada Yohanes kecil sebagai
putra rasul besar, sebagaimana anak asuh Easa.
"Aku harus menitipkan pesan terima kasih kepada satu orang lagi," kata Easa.
"Yaitu wanita Romawi, Claudia Procula.
Sampaikanlah padanya bahwa aku berutang budi. Ia banyak berkorban agar kau bisa
datang menemuiku, dan aku berterima kasih kepadanya. Katakan padanya agar jangan
terlalu keras menghakimi suaminya. Pontius Pilatus harus memilih pemimpinnya, dan aku melihat
ia mengambil pilihan yang buruk.
Tapi pada akhirnya, pilihannya itu menuntaskan rencana Tuhan bagi kita semua."
Easa memberi pentunjuk lebih jauh kepada istrinya, sebagian bersifat spiritual
dan sebagian praktis, sebelum
mengucapkan katakata terakhir untuk menenangkannya.
"Kuatkan dirimu, apa pun yang akan terjadi besok. Jangan cemaskan diriku,
sebagaimana aku tidak merasa cemas akan nasibku. Aku telah tenang menerima cawan
Bapa kita dan bergabung denganNya di surga, Maria. Jadilah pemimpin umat dan
janganlah takut. Ingatlah selalu, siapa dirimu. Engkau adalah ratu, kau seorang
Nasrani, dan kau adalah istriku."
f Tubuh Maria yang gemetar melangkah lunglai di belakang Salome, melewati
jalanjalan Yerusalem sementara langit mulai terang karena pagi akan datang.
Salome memiliki sebuah rumah yang aman bagi mereka dan ia telah menyuruh seorang
utusan untuk membawa Martha dan anakanak ke sana.
Begitu Maria telah sampai dengan aman di rumah itu, menanti kedatangan iparnya
bersama Yohanes dan Tamar, Salome segera mengirim utusan lain untuk menjemput
Maria Agung dan yang lainnya di Getsemane.
f Di lokasi lainnya di Yerusalem, seorang perempuan mulia lainnya, Claudia
Procula, merasa diimpit beban berat saat menunggu keluarganya hari itu. Saat
malam telah larut, akhirnya ia merebahkan diri karena kelelahan. Begitu pelayan
Yunaninya datang memberitahu bahwa misi mereka membawa istri sang Nasrani telah
berjalan sukses, barulah ia mengizinkan dirinya memejamkan mata.
Claudia bangun dengan tubuh bersimbah keringat. Mimpi buruk mencekam dirinya. Ia
bisa merasakan bayangan itu berputar-putar mengelilinginya di kamar itu. Claudia
memejamkan mata, tapi bayangan itu tak mau pergi, begitu juga suatu suara yang
memenuhi kepalanya. Suara itu dilontarkan beramai-ramai. Ratusan, barangkali
ribuan orang, berulangulang mengucapkan "Salib dia di depan Pontius Pilatus,
salib dia di depan Pontius Pilatus." Ada suara lain di samping teriakan yang
dilakukan berulangulang dengan patuh oleh suarasuara dalam kepalanya, tapi
Claudia tidak bisa menangkapnya kecuali enam kata itu.
Sama seperti suara dalam mimpi buruknya, bayangan yang ia lihat pun sangat
menyeramkan. Dimulai dengan sebuah mimpi indah, dengan anakanak menari di bukit
berumput di bawah matahari musim semi. Easa berdiri di tengah lingkaran, di
kelilingi anakanak yang semuanya berpakaian putih. Pilo tertawa dan menari-nari
bersama anakanak itu, juga Smedia.
Sekarang, bukit itu penuh dengan orangorang dari berbagai usia, berpakaian
putih, tersenyum dan bernyanyi.
Claudia mengenali salah seorang lelaki yang hadir dalam mimpinya. Ia adalah
Praetorus, senturion yang tangannya patah dan telah disembuhkan oleh Easa.
Setelah mendengar kabar tentang
kesembuhan Pilo yang ajaib, lelaki itu datang untuk meyakinkan Claudia dengan
kesembuhan yang ia alami sendiri.
Tapi begitu Claudia sadar bahwa jiwa-jiwa yang tersenyum dalam mimpinya, orang
dewasa maupun anakanak, adalah mereka yang telah disembuhkan Easa, pemandangan
pun berubah. Tahan berhenti dan langit menjadi gelap sementara paduan suara itu
semakin keras: "salib dia di depan Pontius Pilatus, salib dia di depan Pontius Pilatus."
Lalu Claudia melihat Pilo yang ia cintai terjatuh. Bayangan terakhir sebelum ia
terbangun dari mimpinya adalah Easa yang membungkuk lalu mengangkat Pilo. Ia
membawa Pilo menjauh tanpa menoleh ke belakang sementara orangorang berjatuhan
di sekitar mereka. Kemudian ia melihat suaminya menjerit putus asa melihat Easa
dari Nazaret pergi menjauh, seolah ia pergi membawa tubuh Pilo yang sudah tidak
bernyawa. Petir menyambar langit sementara teriakan terus mengikuti mereka
menuruni bukit. "Salib dia di hadapan Pontius Pilatus."
"Salib dia!" Suara ini berbeda. Bukan teriakan menakutkan dalam mimpi buruknya,
tetapi suara kebencian yang nyata dari balik dinding Benteng Antonia. "Salib
dia!" Claudia berdiri dan berpakaian, tak lama kemudian pelayan Yunaninya tergesagesa
masuk ke kamar. "Nyonya, Anda harus datang sebelum terlalu terlambat.
Tuan duduk di kursi hakim dan para imam menuntut hukuman mati."
"Siapa yang berteriak-teriak di luar?"
"Ada keributan besar. Hari masih pagi tapi sudah banyak orang berdatangan ke
sini. Para imam itu pasti telah bekerja semalaman untuk mengumpulkan orang
banyak. Hukuman akan diputuskan
sebelum penduduk Yerusalem lainnya memiliki kesempatan membela Yeshua."
Claudia merapikan diri dengan cepat, tanpa riasan seperti biasa. Ia tidak peduli
dengan penampilannya hari ini. Ia hanya harus mengenakan pakaian yang pantas
untuk muncul di hadapan orangorang yang menghadiri persidangan. Ia melihat
sekilas ke cermin, sebuah pikiran menyentaknya.
"Di mana Pilo" Ia belum bangun, bukan?"
"Belum, Nyonya. Ia masih di tempat tidur."
"Bagus. Temani dia dan pastikan ia tetap di sana. Jika ia bangun, jaga ia agar
sejauh mungkin dari pagar. Aku tidak ingin ia melihat atau mendengar kejadian di
kota ini." "Tentu, Nyonya," jawab budak Yunani itu dan Claudia berlari keluar kamar,
menjalankan misi terpenting dalam hidupnya.
f Claudia Procula berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan dan rasa muaknya
saat memasuki selasar yang telah diubah menjadi ruang sidang. Pilatus telah
menyepakati konsensus dengan para imam besar untuk tidak menggunakan kamar


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Romawi yang resmi dan berisiko
dicemarkan pada acara Paskah. Selasar itu sebuah lokasi yang tertutup dan
terpisah. Kericuhan yang semakin hebat di luar pagar tak terlihat dari sana. Kursi Pontius
Pilatus telah dimasukkan dan ia duduk di kursi hakim Roma yang tinggi. Di
belakangnya, berdiri dua pengawal kepercayaannya. Salah satunya adalah si mata
biru, Praetorus, dan lainnya adalah lelaki kasar bernama Longinus yang tidak
disukai Claudia. Pilatus telah termakan hasutan Caiaphas dan Annas, di pihak
lain ia juga mendengarkan seorang utusan Herod. Sementara itu perwakilan Rumah
Tuhan, Jairus, menarik perhatian orang dengan ketidakhadirannya.
Bersimpuh di lantai di hadapan mereka, diikat dan
bersimbah darah, Easa dari Nazaret.
Claudia menatap Easa dari balik tirai. Easa mengangkat pandangannya seolah
merasakan kehadiran Claudia sebelum ia melihatnya. Mereka bertatapan cukup lama,
seolah menembus keabadian. Dan Claudia merasakan perasaan cinta murni dan
ketenangan seperti yang ia rasakan pada malam Pilo disembuhkan. Ia tidak
memiliki keinginan untuk melepas tatapan itu atau memalingkan wajah dari
kehangatan lelaki di hadapan mereka. Bagaimana mereka tidak merasakannya"
Bagaimana mungkin mereka berdiri dalam ruang tertutup ini tapi tak tersentuh
cahaya matahari yang bersinar dari sosok yang sedemikian kudus ini"
Claudia berdehem agar suaminya mengetahui kehadirannya. Pilatus mengangkat
pandangan dari kursinya dan memandang Claudia. "Saudarasaudara sekalian, saya
permisi dulu," kata sang penguasa lalu menghampiri istrinya. Claudia membawa
suaminya ke tempat yang agak jauh agar percakapan mereka tidak terdengar.
Kepanikan merasuk dirinya saat ia melihat wajah suaminya yang pucat.
Keringat membasahi dahi Pilatus dan mengalir ke pelipisnya, padahal hari masih
pagi. "Aku tidak melihat jalan keluarnya, Claudia," katanya pelan.
"Pontius, kau tidak boleh membiarkan mereka membunuh lelaki ini. Kautahu siapa
dia." Pilatus menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tahu siapa dia, dan itulah yang
membuatku sulit mengambil keputusan."
"Tapi kautahu dia lelaki jujur yang telah mengabdi di daerah ini. Kautahu ia
tidak pernah melakukan kejahatan hingga harus dihukum."
"Mereka menuduhnya seorang pemberontak. Jika mereka menganggapnya ancaman
terhadap Roma, aku tidak bisa membiarkannya hidup."
"Tapi kautahu itu tidak benar!"
Pilatus mengalihkan pandangannya dari sang istri untuk waktu yang cukup lama. Ia
menarik napas dalam dalam sebelum menatap istrinya kembali. "Claudia, aku merasa
tersiksa. Lelaki ini menantang seluruh logika dan akal sehat Romawi. Setiap
falsafah yang aku pelajari bertabrakan dengan situasi yang sedang kita hadapi.
Hatiku mengatakan bahwa ia tidak berdosa dan aku tidak boleh menghukum seseorang
yang tidak berdosa."
"Jadi jangan lakukan! Apa sulitnya" Kau memiliki kekuatan untuk
menyelamatkannya, Pontius.
Selamatkanlah lelaki yang telah mengembalikan putra kita."
Pilatus mengusap keringat dari wajahnya. "Tidak semudah itu karena Herod telah
mengeluarkan perintah hukuman mati baginya. Dan Herod telah menyampaikannya tadi
pagi." "Herod itu serigala."
"Benar, tapi ia serigala yang akan berangkat ke Roma malam ini. Dan ia memiliki
kekuasaan untuk menghancurkanku lewat Caesar, jika aku tidak membuatnya senang.
Ia bisa menjatuhkan kita, Claudia. Apakah semua ini layak kita dapatkan" Apakah
satu lagi nyawa pemberontak Yahudi layak membuat masa depan kita hancur?"
"Dia bukan pemberontak!" teriak Claudia. Namun mereka diganggu dengan kehadiran
seorang perwakilan Herod yang meminta Pilatus kembali ke ruang sidang. Saat Pilatus akan
pergi, Claudia mencengkeram tangannya.
"Pontius, aku bermimpi buruk semalam. Tolonglah, aku
mencemaskan dirimu dan Pilo jika kau tidak menyelamatkan lelaki ini. Kutukan
Tuhan akan menimpa kita semua."
"Mungkin. Tapi Tuhan yang mana" Apakah aku harus percaya bahwa Tuhannya orang
Yahudi berkuasa menggulingkan Roma?" tanya Pilatus. Ketika seorang lagi datang
memintanya kembali ke ruang sidang, Pilatus menatap tajam wajah istrinya. "Ini
dilema, Claudia. Dilema paling berat yang pernah aku hadapi. Jangan berpikir
bebanku tidak seberat beban yang kaurasakan."
Ia kembali ke kursinya untuk mengajukan pertanyaan kepada tahanan sementara
Claudia mengawasi dari balik tirai.
"Kepala imam kaummu telah mengirimmu kepadaku, menuntut agar kau dihukum mati,"
kata Pilatus kepada tahanannya. "Apa yang telah kau lakukan" Apakah kau raja
umat Yahudi?" Easa menjawab dengan tenang seperti biasa. Jika ada orang asing menyaksikan
peristiwa ini, pasti ia tidak mengira bahwa nyawa sang tahanan dipertaruhkan
dengan jawabannya. "Apakah itu pertanyaanmu sendiri, karena segala yang kau ketahui tentang aku"
Ataukah orang lain memintamu mengajukan pertanyaan ini?"
"Jawab saja pertanyaanku. Apakah kau seorang raja" Jika kau mengatakan tidak,
aku akan mengembalikanmu ke para imam, biar mereka yang menentukan hukuman bagimu
berdasarkan hukum kalian sendiri."
Jonathan Annas melompat kaget mendengar ini. "Kami tidak memiliki hukum untuk
mengkum mati, Yang Mulia.
Karena itulah kami datang kepadamu. Jika dia bukan pengacau dan orang yang
berbahaya, kami tak akan mengganggu Yang Mulia dengan persoalan ini."
"Biar tahanan sendiri yang menjawab," kata Pilatus mengabaikan ucapan Annas.
Easa menatap lurus ke wajah Pilatus. Saat Claudia mengawasi tanyajawab itu, ia
mendapat firasat kuat bahwa keduanya tidak melihat atau mendengar orang lain
yang ada di ruangan itu. Peristiwa itu hanya berlangsung antara Easa dan
Pilatus, suatu tahan takdir dan keimanan yang akan mengubah dunia.
Claudia merasakan dalam tubuhnya yang gemetar.
"Aku datang ke dunia agar bisa menunjukkan jalan Tuhan kepada umat dan bersaksi
atas kebenaran." Filsuf Romawi dalam diri Pilatus bangkit mendengarkan ucapan ini. "Kebenaran,"
katanya sambil berpikir. "Katakan padaku, wahai Nasrani, apakah kebenaran itu?"
Dua lelaki itu saling berpandangan, terkunci dalam nasib yang saling menjalin.
Pilatus yang lebih dulu mengalihkan pandangannya, sekarang ia menatap para imam.
"Akan aku katakan apa itu kebenaran. Kebenaran adalah bahwa aku sama sekali
tidak menemukan kesalahan pada lelaki ini."
Ucapan Pilatus terpotong dengan pemberitahuan kedatangan seseorang. Sidang
terhenti sementara saat Jairus memasuki ruangan dan memberi salam pada imam-imam
lain. Ia memohon maaf pada Pilatus atas keterlambatannya dengan alasan urusan mendesak
untuk keperluan Paskah. "Bagus, Jairus," kata Pilatus lega melihat kehadiran perwakilan yang telah
menjadi temannya itu. Mereka saling berbagi rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. "Aku telah
memberitahu saudara-saudaramu di
sini bahwa aku tidak menemukan kesalahan lelaki ini. Dengan demikian, aku tidak
bisa memberikan hukuman kepadanya."
Jairus mengangguk dengan bijak. "Aku mengerti."
Caiaphas menatap tajam pada Jairus dan berkata, "Kautahu betapa berbahayanya
lelaki ini." Jairus menatap imam itu lalu menatap Pilatus kembali, berusaha sekuat mungkin
tidak melihat sang tahanan. "Tapi sekarang adalah hari Paskah, Saudarasaudaraku.
Inilah hari keadilan dan kedamaian bagi seluruh umat." Kepada Pilatus, ia
berkata, "Kau mengetahui tradisi yang kami lakukan setiap tahun pada saat
seperti ini?" Pilatus menyadari umpan dari Jairus dan memanfaatkannya.
"Ya, tentu saja. Pada waktu seperti ini aku membiarkan bangsamu memilih seorang
tahanan yang akan mendapat pengampunan dan pembebasan. Bagaimana kalau kita
hadapkan tahanan ini pada
masyarakat untuk memberikan pendapat?"
"Bagus sekali!" kata Jairus. Ia tahu, Caiaphas dan Annas terpojok dan tidak bisa
membebaskan diri dari tawaran yang begitu mulia ini. Ia juga tahu, kerumunan
orang yang telah datang sebagian besarnya adalah pendukung para imam besar.
Ada juga sejumlah orang yang dibayar untuk menjatuhkan Easa sekiranya keputusan
seperti inilah yang diambil. Jairus hanya bisa berharap kelompok Nasrani dan
pendukung mereka telah datang sekarang dan membawa banyak pengikut.
Pilatus memberi isyarat pada senturion untuk mengeluarkan tahanan ke dinding
benteng. Caiaphas dan Annas memohon diri, ini menunjukkan bahwa mereka tidak
boleh terlihat bersamasama orang Romawi pagi ini. Tapi mereka akan kembali
begitu keputusan untuk melepaskan tahanan telah diambil. Pilatus curiga, para
imam besar itu tergesagesa pergi karena ingin mengamankan kedudukan mereka
bersama para pengikut dalam kericuhan. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Jairus berpandangan dengan Pilatus, lalu meninggalkan tempat. Kedua lelaki itu
saling bertatapan penuh arti tepat sebelum masingmasing bergerak untuk
menunaikan tugas mereka. Pilatus mengeluarkan pengumuman Paskah di hadapan kerumunan orang. "Kalian
memiliki tradisi," suaranya bergema di suasana pagi Yerusalem, "bahwa aku akan menyerahkan
keputusan kepada kalian tentang salah seorang tahanan yang mendapat kehormatan
pada peringatan Paskah ini." Easa diseret dengan kasar ke samping Pilatus. Sang
penguasa melirik Longinus karena telah bersikap tidak semestinya. "Cukup,"
desisnya sebelum berbicara kembali kepada khalayak. "Akankah aku
membebaskan lelaki ini, raja umat Yahudi?"
Terdengar keributan karena masingmasing orang ingin suaranya didengar. Sebuah
suara yang berbeda dari yang lain berteriak, "Kami tidak memiliki raja kecuali
Caesar!" Yang lain memekik, "Bebaskan Barrabas orang Zelot." Usulan ini disambut
pekikan tanda persetujuan.
Sebuah suara meneriakkan, "Lepaskan orang Nasrani," tapi tak ada sambutan. Para
pengikut Rumah Tuhan telah berkoakkoak dengan lantangnya, teriakan yang
menginginkan pembebasan Barrabas menjadi dominan. "Barrabas! Barrabas!
Barrabas!" Pilatus tidak punya pilihan kecuali melepaskan tahanan yang namanya diteriakkan
kerumunan orang. Barnabas pun dilepaskan untuk memperingati Paskah, dan
Easa dihadapkan pada hukuman cambuk.
Claudia Procula menjegal suaminya dengan pertanyaan saat ia turun dari podium.
"Kau akan mencambuknya?"
"Diamlah, hai perempuan!" hardiknya sambil mendorong istrinya dengan kasar. "Aku
akan memukulnya di hadapan publik dan akan kusuruh Longinus dan Praerotus menjadikan
hukuman ini sebagai pertunjukan. Inilah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan
nyawanya. Barangkali hukuman itu akan memuaskan nafsu haus darah mereka hingga
mereka berhenti berteriak meminta penyaliban." Pilatus menghela napas, dan
melepaskan cengkeramannya pada sang istri. "Tinggal itu yang bisa kulakukan,
Claudia." "Dan jika itu tidak cukup?"
"Jangan bertanya jika kau tidak ingin mendengar jawabannya."
Claudia mengangguk. Ia sangat mengerti. "Pontius, ada satu hal lagi yang kuminta
darimu. Keluarga lelaki ini istri dan anakanaknya ada di belakang benteng. Aku
memintamu menunda hukuman cambuk untuk memberinya waktu bertemu dengan mereka.
Barangkali, inilah kesempatan terakhir baginya untuk berbicara dengan orangorang
yang ia cintai. Aku mohon."
Pilatus mengangguk singkat. "Akan aku tunda, tapi tidak bisa lama. Aku akan
menyuruh Praetorus membawa tahanan.
Ia orang yang dipercaya kalangan Nasranimu. Aku akan mengirim Longinus untuk
mempersiapkan panggung tontonan."
f Pontius Pilatus menepati kata-katanya. Ia mengizinkan Easa dibawa ke ruangan di
bagian belakang benteng untuk bertemu dengan Maria dan anakanaknya. Easa memeluk
Yohanes kecil dan Tamar, dan berpesan agar mereka berani dan menjaga ibu mereka.
Ia mengecup keduanya dan berkata, "Ingatlah, Anakanakku, apa pun yang terjadi,
aku selalu bersamamu."
Saat waktu hampir habis, Easa memeluk Maria Magdalena untuk terakhir kalinya.
"Dengarlah, Merpatiku. Ini sangat penting. Jika aku tinggal daging dan tulang,
kau tidak boleh menempel padaku.
Kau harus merelakan kepergianku dan mengingat bahwa jiwaku akan selalu
menyertaimu. Tutuplah matamu, dan aku akan ada di dekatmu."
Maria berusaha terenyum di tengah-tengah air matanya.
Ia berusaha keras untuk berani. Hatinya tercabik-cabik, dan ia merasa kelu
dengan rasa sakit dan ketakutan, tapi ia tidak mau menunjukkannya. Kekuatannya
adalah hadiah terakhir yang bisa ia persembahkan pada suaminya.
Praetorus tiba di ruangan itu lalu membawa Easa. Mata biru senturion ini
dikelilingi warna merah. Easa melihatnya dan menenangkan lelaki itu. "Lakukanlah apa yang harus kau
lakukan." "Kau akan menyesal karena kaulah yang menyembuhkan tangan ini," kata senturion
itu terbata-bata. Easa menggelengkan kepala. "Tidak , aku lebih suka jika aku tahu orang di
hadapanku adalah teman. Tahu bahwa aku memaafkanmu. Tapi kumohon, beri aku kesempatan sekali lagi."
Praetorus mengangguk lalu pergi untuk menunggu di
luar. Easa memandang anakanaknya dan meletakkan tangan di dadanya. "Ingatlah, aku ada
di sini. Selalu." Mereka berdua mengangguk sungguh-sungguh. Mata hitam Yohanes besar dan berani,
mata Tamar penuh air mata seolah paham dengan situasi yang menakutkan.
Kemudian Easa menoleh ke Maria dan berbisik.
"Berjanjilah, kau tak akan membiarkan mereka menyaksikan kejadian hari ini. Dan
aku tidak ingin kau menyaksikan kejadian selanjutnya. Tapi jika sudah berakhir..."
Maria tidak mengizinkannya menyelesaikan ucapannya. Ia meraih tubuh Easa dan
memeluknya erat-erat untuk kali terakhir, menyerap segala yang Easa rasakan ke
dalam otak dan tubuhnya seolah mereka satu tubuh. Ia akan menyimpan kenangan
terakhir ini hingga maut menjemput. "Aku akan berada di sampingmu," bisik Maria.
"Apa pun yang terjadi."
"Terima kasih, Mariaku," ucap Easa sambil mendorong lembut tubuh istrinya.
Sambil tersenyum, ia mengucapkan katakata terakhir padanya. Seolah ia akan
kembali nanti untuk makan malam bersama.
"Kau tidak akan merindukanku karena aku tidak akan pergi. Nanti akan lebih baik
dibandingkan sekarang, karena setelah ini kita tidak akan terpisah."
f Maria dan anakanak diantar ke bagian belakang Benteng Antonia oleh budak Yunani
Claudia Procula. Maria meminta bertemu dengan Claudia untuk menyampaikan terima kasih secara
langsung. Namun budak itu menggeleng dan
menjawab dalam bahasa aslinya.
"Nyonya sangat tertekan dengan kejadian hari ini. Ia mengatakan pada saya bahwa
ia tidak bisa menemui Anda. Ia telah melakukan segalanya untuk menyelamatkan
suami Anda." "Katakan padanya, aku tahu. Dan Easa pun tahu. Dan katakan padanya bahwa aku
berharap bisa bertemu dengannya suatu hari untuk menatap wajahnya dan
menyampaikan terima kasihku, juga terima kasih Easa."
Lelaki Yunani itu mengangguk dengan hormat, lalu pergi menemui majikannya.
Maria dan anakanak masuk ke dalam situasi kacau pada Jumat agung di Yerusalem.
Maria harus menjauhkan anakanaknya dari wilayah itu sejauh mungkin sebelum suara
pecutan sampai ke telinga mereka. Rumah yang ditawarkan Salome untuk mereka
tidak jauh letaknya. Maria memutuskan pergi ke sana, menemui Martha dan
memintanya membawa anakanak ke Bethany.
Maria Agung dan dua Maria yang juga berusia lanjut ada di rumah itu. Namun
Martha tidak ada. Ia keluar untuk mencari Magdalena dan anakanak, tidak tahu
bahwa mereka sudah sampai di rumah itu.
Maria Magdalena mengemban tugas berat untuk menyampaikan kejadian pagi itu
kepada ibunda Easa. Maria Agung mengangguk, air mata menggenang di matanya yang sudah tua tapi
menyimpan begitu banyak kearifan dan kasih sayang. "Ia sudah melihat peristiwa
ini dulu sekali. Kami berdua melihatnya," tutur Maria Agung pada akhirnya.


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua wanita itu memutuskan untuk datang ke Yerusalem yang sedang kacau. Tapi
sebelumnya mereka harus menemukan Martha yang akan membawa Yohanes
dan Tamar ke tempat yang aman baru kemudian pergi untuk melihat Easa. Jika dia
akan dihukum dan disalib hari ini, mereka tak akan meninggalkannya. Maria telah
berjanji. Dan Easa telah meminta hanya kepadanya dan kepada ibundanya, untuk
menemani di saat-saat terakhirnya.
Saat mereka bersiap meninggalkan rumah, Maria A-gung menghampiri menantunya. Di
tangannya ada selubung merah yang menunjukkan status mereka. Ia menyerahkan
selubung itu kepada Maria
Magdalena. "Pakailah, Putriku. Kau seorang Nasrani dan seorang ratu, lebih dari
sebelumnya." Mengangguk pelan, Maria menerima selubung merah panjang itu dan menyelimutkan ke
tubuhnya. Ia sangat sadar bahwa kehidupannya di bumi tak akan sama lagi.
f "Salib dia! Salib dia!" Kerumunan orang meneriakkan hukuman itu bersamasama.
Pilatus menyaksikan dengan perasaan bercampur aduk antara tidak berdaya dan muak. Easa
dari Nazaret yang telah berdarah-darah itu tidak membuat mereka puas. Bahkan
kondisi itu malah membuat mereka meneriakkan tuntutan yang lebih dahsyat lagi,
nyawa sang tahanan. Seorang lelaki maju membawa mahkota yang dibuat dari cabang
pohon berduri. Ia melemparkan mahkota itu ke Easa yang masih terkulai lantaran
pecutan yang bertubi-tubi, punggungnya yang terbuka terpanggang matahari.
"Inilah mahkotamu, jika kau seorang raja," teriak lelaki itu diiringi tawa
ejekan orangorang. Praetorus sedang membuka belenggu Easa dan dalam proses memindahkannya dari
lokasi pencambukan saat Longinus memungut mahkota duri itu lalu menancapkannya dengan kejam ke
kepala Easa. Kulit kepala dan dahi Easa terkoyak, darah bercampur keringat
mengucur ke matanya sementara kerumunan orang bersorak-sorai. "Cukup, Longinus!"
hardik Praetorus melihat perbuatan rekannya.
Longinus tertawa, suaranya keras dan kejam. "Kau lembek sekarang." Ia meludah ke
kaki Praetorus. "Kau tampaknya tidak menikmati tugas mencambuk raja Yahudi ini."
Ketika Praetorus menjawab, suaranya begitu tajam hingga punggung Longinus
menegak. "Jika kau menyentuh dia lagi," kata Praetorus, "aku akan menambah
cabikan di pipimu." Pilatus menengahi mereka berdua. Ia mencium bahaya di antara dua pengawalnya.
Pilatus tidak akan mengizinkan hal itu terjadi, sudah cukup banyak persoalan
untuk hari ini. Jika mereka ingin berkelahi nanti, di luar suasana ricuh ini,
itu urusan mereka. Tapi sekarang ia harus mengendalikan situasi sebelum
segalanya semakin buruk. Penguasa itu mengangkat tangan untuk meminta perhatian
kerumunan orang. "Lihatlah lelaki ini," kata Pilatus. "Aku mengatakan lelaki, bukan raja. Aku
tidak melihat kesalahan pada dirinya dan ia telah dicambuk sesuai dengan hukum
Romawi. Tak ada lagi yang perlu kita lakukan di sini."
"Salib dia! Salib dia!" teriakan itu terdengar lagi, berulangulang, seolah
mereka telah dilatih dan dimobilisasi. Pilatus kesal melihat manipulasi khalayak
ramai, karena membuat posisinya menjadi sulit.
Ia menyentuh Easa sambil membungkuk untuk menyampaikan sesuatu. "Dengarkan aku,
hai orang Nasrani," katanya pelan. "Inilah kesempatan terakhir untuk
menyelamatkan diri. Aku bertanya padamu, apakah kau raja umat Yahudi" Karena
jika kau mengatakan tidak, aku tidak mempunyai alasan untuk menyalibmu
berdasarkan hukum Romawi. Aku memiliki kekuasaan untuk
membebaskanmu." Kalimat terakhir itu diucapkan dengan desakan yang sangat.
Easa menatap Pilatus cukup lama. Katakan! Ayo, katakan!
Seolah membaca pikiran Pontius Pilatus, Easa menjawab dengan bisikan, "Aku tidak
bisa membuat persoalan ini lebih mudah bagimu. Takdir telah dipilihkan untuk
kita, tapi sekarang kau harus memilih pemimpinmu sendiri."
Ketegangan di tengah-tengah kerumunan memuncak. Teriakan-teriakan mereka membuat
otak Pilatus serasa mau pecah. Ada teriakan yang membela Easa, cukup banyak
jumlahnya. Tapi teriakan mereka tertutup dengan kutukan haus darah orangorang
suruhan yang mendapat bayaran untuk menunaikan tugasnya tanpa kenal iba. Sarafsaraf Pilatus menegang seperti busur saat ia berusaha
menyeimbangkan tugasnya, ambisinya, falsafahnya, dan keluarganya di bahu orang
Nasrani yang mengenaskan ini. Sebuah teriakan dari sebelah kiri membuatnya
kaget. Ia menoleh, ternyata suara itu berasal dari perwakilan Herod, sang
penguasa Galilee. "Ada apa?" bentaknya.
Orang itu menyerahkan gulungan kertas dengan stempel Herod. Pilatus merobek
perekatnya lalu membaca tulisan.
"Selesaikan urusan dengan orang Nasrani ini secepatnya karena aku akan berangkat
ke Roma lebih awal. Dan aku akan pergi setelah tahu bahwa aku bisa memberikan
laporan baik kepada Caesar tentang caramu mengatasi ancaman terhadap
Kekaisarannya." Itulah pukulan terakhir bagi Pontius Pilatus. Ia membaca kertas itu lagi dan
sadar bahwa darah telah menutupinya darah Easa, yang melumuri tangan Pilatus. Ia
memanggil seorang pelayan untuk membawakan mangkuk perak berisi air. Pilatus
mencuci tangannya, menggosok noda-noda itu, berusaha tidak melihat air yang
berubah menjadi merah karena darah tahanan di hadapannya.
"Aku mencuci tanganku dari darah lelaki ini!" teriaknya pada kerumunan orang.
"Saliblah raja kalian, jika itu yang kalian inginkan." Ia membalikkan badan
tanpa menoleh ke Easa dan bergegas menuju Benteng Antonia.
Tapi urusan Pontius Pilatus belum selesai. Caiaphas datang tak lama kemudian
bersama sejumlah orang dari Rumah Tuhan.
"Apa kau belum cukup menyusahkanku hari ini?" Pilatus membentak imam itu.
"Hampir, Yang Mulia." Caiaphas tersenyum puas.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?"
"Adalah tradisi kami untuk memberi tanda pada tiang
salib. Tanda itu berupa tulisan yang menjelaskan kejahatan orang yang dihukum. Kami
memintamu menuliskan bahwa dia adalah penista agama."
Pilatus menarik bahan untuk menulis. "Aku akan menuliskan hukuman yang kuberikan
padanya, bukan yang kau minta. Itulah tradisi."
Dan ia menuliskan singkatan INRI2, di bawahnya
tertera makna singkatan itu Easa dari Nazaret, Raja umat Yahudi.
Pilatus menatap pelayannya. "Pastikan tulisan ini yang dipakukan di atas salib
tahanan. Dan salin tulisan itu ke dalam bahasa Ibrani dan Aram."
Caiaphas terperanjat. "Tidak boleh begitu! Jika pun terpaksa, kau harus menulis,
'Ia mengklaim dirinya sebagai raja umat Yahudi', agar orangorang tahu bahwa kami
tidak menghormatinya karena perbuatannya itu."
Pilatus tidak mau berurusan lagi dengan lelaki itu dan manipulasinya, sekarang
dan selamanya. Ia menancapkan bisa dalam jawabannya. "Katakata yang telah
kutulis, tidak bisa diubah lagi."
Ia membalikkan tubuhnya dari Caiaphas dan yang lainnya untuk masuk ke ruangannya
yang tenang. Di sana ia menyendiri sepanjang sisa hari itu.
f Kerumunan membengkak dan bergerak seperti makhluk hidup, membawa Maria dan
anakanaknya. Ia meng= gandeng Yohanes dan Tamar, di sebelah kanan dan kirinya,
sambil berjuang bergerak di tengah-tengah kerumunan untuk mencari Martha. Dari
omongan orangorang, Maria tahu bahwa
hukuman terhadap Easa telah dijatuhkan dan ia dalam perjalanan menuju bukit
Golgotha untuk dieksekusi. Melihat pergerakan kerumunan, Maria mendapat bayangan
bahwa Easa sedang diarak melewati jalan itu. Putus asa menghantui dirinya. Ia
harus menemukan Martha dan harus tahu anakanaknya dibawa
2 Iesus Nazarenus Rex ludaeorum.
ke tempat aman agar ia bisa menemani Easa di saat terakhirnya.
Lalu ia mendengar suara itu. Suara Easa bergema di kepalanya, begitu jelas
seolah ia ada di sampingnya. "Mintalah dan Ia akan memberi. Begitu sederhana.
Kita harus meminta apa yang kita inginkan kepada Tuhan Bapa kita, dan Ia akan
memberikannya kepada anakanak yang Ia cintai."
Maria Magdalena meremas tangan kedua anaknya dan memejamkan mata. "Aku memohon
padaMu, ya Tuhan terkasih, bantulah aku menemukan Martha agar aku bisa menyerahkan anakanakku dan mendampingi Easa yang aku cintai di masa penderitaannya."
"Maria! Maria! Aku di sini!" suara Martha memecah di antara kerumunan. Ia
berlari menghampiri saudaranya hanya dalam beberapa detik setelah Maria berdoa.
Maria membuka mata dan melihat Martha tengah mendesak di antara kerumunan.
Mereka saling berpelukan dengan penuh haru. "Kau mengenakan selubung merah.
Itulah sebabnya aku menemukanmu," kata Martha.
Maria menahan tangis. Tak ada waktu lagi, tapi kehadiran Martha membuatnya
sangat lega. "Ayo, Putri kecilku," kata Martha pada kemenakannya, sambil
mengangkat Tamar. "Dan kau juga,
Pangeranku," katanya menggandeng tangan Yohanes.
Maria memeluk erat kedua anaknya sejenak, berusaha meyakinkan bahwa mereka akan
bertemu lagi di Bethany secepat mungkin. "Pergilah bersama Tuhan, Saudaraku,"
bisik Martha. "Kami akan menjaga anakanak sampai kau bisa pulang. Jagalah dirimu." Martha
mencium iparnya, yang kini seorang wanita dewasa dan seorang ratu, lalu berjalan
melawan arus kerumunan sekali lagi, sambil membawa anakanak.
f Menerobos kerumunan padat menjadi perjuangan tersendiri bagi Maria Magdalena. Ia
mampu menyejajarkan langkahnya dengan pergerakan orangorang di sekitarnya, tapi tak
mampu mendekati Easa. Ia melihat selubung merah Maria Agung dan Maria-Maria
lainnya di antara kerumunan lalu mengikuti mereka melewati jalan berkelok-kelok
menuju Golgotha. Maria berusaha mendekati mereka, namun ia terdorong dan
terdorong lagi ke belakang karena desakan sekian banyak orang.
Saat senturion mencapai puncak bukit yang dikenal sebagai Tempat Tengkorak,
Maria melihat posisi mereka setidaknya seratus meter di depannya. Terlihat sosok
Easa yang terhuyunghuyung dan selubung-selubung merah ibundanya dan Maria-Maria
lain. Kerumunan masih menyesaki jalan itu, membuat langkah Maria terhalang. Ia
tidak peduli lagi, tak ada waktu untuk memikirkan apa pun selain mendekati Easa.
Maria berbelok, meninggalkan barisan orang, dan mendaki lereng bukit yang
berbatu. Lereng itu penuh dengan batubatu tajam dan semak belukar, tapi Maria
Magdalena tidak merisaukan semua itu. Tubuhnya tidak merasakan apa pun saat ia
bergerak mendekati Easa dengan langkah pasti.
Maria begitu teguh dengan tekadnya hingga semula ia tidak sadar bahwa langit
telah gelap. Ia tergelincir dan bagian bawah selubungnya terkoyak, tangannya pun
tergores semak berduri. Saat terjatuh, Maria mendengar suatu bunyi. Bunyi
itu menyayat hingga ke lubuk hati, bunyi yang akan menghantuinya setiap malam
seumur hidupnya. Itulah bunyi logam bertemu logam, palu yang menghantam paku. Ada jeritan
kepedihan dan Maria tergelincir lagi. Tapi tak lama kemudian, ia sadar bahwa
jeritan itu berasal dari mulutnya sendiri.
Maria sudah sangat dekat sekarang. Ia tak akan membiarkan apa pun
menghalanginya. Saat Maria berhasil berdiri, ia melihat dengan perasaan kelu
karena bebatuan di sekelilingnya licin dengan air.
Langit telah menghitam, hujan menetes seperti air mata ilahi menerpa tanah yang
terbakar dan berduka, tanah tempat Putra Tuhan dipaku pada salib kayu.
f Beberapa saat kemudian, Maria Magdalena sampai di kaki tiang salib. Ia bergabung
dengan mertuanya dan Maria-Maria lain yang tengah berjaga dan berdoa. Ada dua
lelaki lain yang menderita di Bukit Golgotha hari ini. Mereka disalib di sebelah
Easa. Maria tidak melihat mereka, tak bisa menatap kecuali kepada Easa. Maria
bertekad tidak melihat luka-luka suaminya.
Ia memfokuskan perhatian pada wajah Easa yang terlihat tulus dan tenang, matanya
terpejam. Wanitawanita lain berdiri bersamasama, saling menggenggam tangan, berdoa kepada
Tuhan untuk membebaskan Easa dari penderitaan. Maria melihat ke sekelilingnya
dan sadar bahwa ia tidak mengenal siapa pun di antara kerumunan orang yang
berdiri di belakang mereka. Dan ia tidak melihat seorang pun murid lelaki
menyaksikan peristiwa hari itu.
Prajurit Romawi menjaga agar kerumunan tidak mendekati tiang salib. Saat menatap
barisan senturion, Maria melihat Praetorus di bagian depan. Ia mengucapkan doa
dalam hati untuk berterima kasih kepadanya dialah tentunya yang menjadikan
tempat itu hanya diisi oleh kerabat Easa.
Mereka membeku saat mendengar Easa berusaha mengatakan sesuatu. Sulit menangkap
ucapannya karena bobot tubuh yang tergantung pada diafragma itu tidak
memungkinkannya untuk bernapas dan berbicara sekaligus.
"Ibunda...," bisiknya, "lihatlah putramu."
Wanitawanita itu bergerak semakin dekat ke tiang salib untuk mendengar katakatanya. Darah mengucur dari tubuhnya yang terkoyak-koyak, bercampur dengan
tetesan hujan yang menimpa wajah wanitawanita itu. "Kekasihku," katanya kepada
Magdalena, "lihatlah ibumu."
Easa menutup mata dan berkata lembut tapi jelas, "Selesai sudah." Kepalanya
terkulai, dan tubuhnya diam tak bergerak.
Suasana hening, tak ada yang bergerak sama sekali. Langit menjadi hitam
sepenuhnya, bukan warna mendung karena hujan, tapi hitam kelam tanpa setitik pun
cahaya. Kerumunan orang di bukit itu mulai panik. Teriakan kebingungan memecah
suasana. Tapi kegelapan itu tak bertahan lama, berkurang menjadi keabuan saat
dua tentara menghampiri Praetorus.
"Kami mendapat perintah untuk mempercepat kematian tahanan-tahanan ini agar
jasad mereka bisa disingkirkan sebelum hari Sabat."
Praetorus menatap tubuh Easa. "Tak perlu memotong kakinya. Ia sudah mati."
"Apakah kau yakin?" tanya salah seorang tentara.
"Biasanya kematian akibat penyaliban memakan waktu berjamjam, bahkan kadang
berhari-hari." "Ia sudah mati," geram Praetorus. "Kau tidak boleh menyentuhnya."
Dua tentara itu terdiam untuk memahami ancaman dalam nada suara pemimpin mereka.
Kelompok itu kemudian pergi untuk menunaikan tugas yang tidak menyenangkan,
memotong kaki dua tahanan lain yang disalib, untuk mempercepat proses kematian
mereka. Praetorus tengah sibuk memberi perintah sehingga tidak melihat Longinus
menghampiri satu sisi tiang salib. Saat mata birunya kembali ke tiang penyaliban
Easa, keadaan sudah sangat terlambat.
Longinus menancapkan tombak ke pinggir tubuh sang tahanan dari Nazaret. Maria
Magdalena menjerit karena tindakan itu.
Longinus membalas dengan tawa yang keras dan kejam. "Hanya memeriksa. Tapi kau
benar. Ia sudah mati." Ia berpaling ke Praetorus, wajah lelaki itu putih karena
amarah. "Kau mau apa?"
Praetorus hendak menjawab, tapi ia mengurungkan niatnya.
Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya sangat tenang. "Tak ada.
Aku tak butuh apa-apa lagi. Kau telah menciptakan kutukan untuk dirimu sendiri
dengan perbuatanmu." f "Turunkan lelaki ini!" perintah Praetorus.
Seorang utusan dari benteng Pilatus telah menyampaikan pesan untuk memindahkan
jasad lelaki dari Nazaret ini dan menyerahkannya kepada umatnya untuk
dikuburkan sebelum matahari tenggelam. Perintah ini tidak lazim, karena biasanya
korban penyaliban dibiarkan membusuk di tiang salib sebagai peringatan bagi
masyarakat. Tapi kebiasaan itu tak berlaku bagi Easa.
Paman Easa yang kaya raya, Yusuf, telah datang bersama Jairus di Benteng Antonia
dan bertemu dengan Claudia Procula.
Perempuan inilah yang mengizinkan mereka memindahkan jasad Easa agar bisa segera
dikuburkan. Saat Yusuf sudah berada di dekat tiang salib, ia menenangkan Maria Agung dengan
kabar bahwa putranya akan dipindahkan dari tiang kematiannya.
Ibunda Easa merentangkan tangannya setelah sejumlah tentara mengangkat jasad
Easa. "Aku ingin memeluk putraku untuk terakhir kalinya," tutur Maria Agung.
Praetorus mengambil jasad Easa dan dengan lembut membaringkannya di atas
pangkuan sang ibunda. Maria agung memeluknya, ia membiarkan dirinya menangis di depan banyak orang.
Tangisan atas hilangnya sang putra yang tampan. Maria Magdalena bersimpuh di
sampingnya lalu Maria Agung memeluk keduanya. Satu tangannya pada menantunya,


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan yang lainnya mengusap kepala Easa.
Mereka terus bersamasama dalam posisi dukacita itu untuk waktu yang cukup lama.
f Yusuf telah memesan makam untuk keluarganya di taman pekuburan, tak jauh dari
Golgotha. Ke sanalah umat Nasrani membawa jasad Easa. Dupa dan beberapa batang
lidah buaya dibawa ke makam oleh Nicodemus, seorang Nasrani muda yang bekerja
untuk Yusuf. Para Maria memulai persiapan penguburan jenazah dengan
menghamparkan kain penguburan. Tapi ketika tiba waktu pengurapan dengan dupa,
Maria Agung menyerahkan toples itu kepada Maria Magdalena.
"Kehormatan ini hanya untukmu," katanya.
Magdalena menjalankan tugasnya sebagai seorang janda dalam ritual penguburan
itu. Ia mencium dahi Easa dan mengucapkan selamat tinggal sementara air matanya
bercampur dengan minyak dupa.
Saat melakukannya, ia yakin mendengar suara Easa, lemah tapi pasti, di kuburan
itu. "Aku selalu bersamamu."
Bersamasama, para perempuan Nasrani itu mengucapkan selamat tinggal dan
meninggalkan makam bagian dalam. Sebuah batu besar telah dipilih untuk menutup
kubur dan melindungi jasad Easa.
Dibutuhkan beberapa orang lelaki, ditambah sebuah kerekan dari tambang dan
papan, untuk menjaga bongkahan batu itu mantap pada posisinya. Begitu tugas
terakhir selesai, kelompok yang berduka ini kembali ke rumah Yusuf. Maria
Magdalena jatuh pingsan setibanya di sana. Ia tidak sadarkan diri hingga
keesokan harinya. Pada Sabtu siang, sejumlah murid pria berkumpul di rumah Yusuf untuk bertemu
dengan Magdalena dan Maria-Maria lainnya. Mereka saling bercerita tentang
kejadian kemarin dalam suasana duka, dan saling menghibur. Itulah masa
kesedihan, tetapi juga masa yang mempererat hubungan mereka.
Sepertinya masih terlalu dini untuk memikirkan masa depan pergerakan mereka,
namun penyatuan jiwa ini menjadi suatu obat bagi hati mereka yang terluka.
Tapi Maria Magdalena merasa khawatir. Tidak ada yang melihat atau mendengar
kabar tentang Yudas Iskari ot sejak penahanan Easa. Lalu datanglah Jairus,
membawa kabar tentang saudaranya itu. Ia mengatakan bahwa kondisi Yudas sangat
buruk setelah penahanan Easa. Ia berteriak pada Jairus malam itu seraya
bertanya, "Mengapa ia memilihku untuk melakukan hal ini" Mengapa aku yang
dipilih untuk melakukan kejahatan terhadap kalanganku sendiri?"
Meski Maria telah menjelaskan pada murid kalangan dalam bahwa Easa telah
memerintahkan Yudas untuk menyerahkannya ke pihak berwenang, namun kalangan luar
tidak atau tidak bisa mengetahui yang sebenarnya. Karena itulah nama Yudas
disejajarkan dengan kata "pengkhianat" di seantero Yerusalem.
Dan julukan itu menyebar dengan cepat. Reputasi Yudas menjadi bagian dari
sejarah panjang ketidakadilan yang menerpa jalur takdir dan nubuat ini. Maria
berdoa agar kelak ia dapat memulihkan nama Yudas. Tapi ia belum tahu bagaimana
caranya. Yudas tak tahu apakah Maria bisa mengembalikan nama baiknya atau tidak.
Belakangan para murid mengetahui hal ini, namun sudah terlambat. Persoalan ini
merupakan satu tragedi lagi yang terjadi di siang yang kelam itu. Merasa tak
sanggup menerima namanya dikaitkan dengan kematian pimpinan dan gurunya untuk
selamanya, Yudas Iskariot mencabut nyawanya sendiri di Hari Kegelapan. Ia
ditemukan tergantung di sebuah pohon di luar tembok Yerusalem.
f Maria Magdalena tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Terlalu banyak bayangan yang
bermunculan di kepalanya, terlalu banyak bunyi dan kenangan pula. Lalu ada satu
hal lain. Mulanya adalah perasaan tak tenang, suatu pemahaman samar bahwa ada sesuatu yang
tidak beres. Maria bangun dari ranjangnya lalu berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.
Langit masih gelap. Masih ada setidaknya satu jam lagi sebelum subuh. Tak seorang pun terbangun, dan
tak ada yang aneh di rumah itu.
Lalu ia tahu. Maria merasakan kilatan nubuat disertai kemampuan melihat
kegaiban. Easa. Ia harus ke kuburan.
Sesuatu terjadi di makam Easa. Maria ragu-ragu sejenak. Apakah sebaiknya ia
membangunkan Yusuf atau salah seorang di antara mereka untuk menemaninya"
Petrus, barangkali" Tidak! Hanya kau sendiri.
Ia mendengar jawaban itu di kepalanya, yang bergema ke sekelilingnya. Dibalut
keimanan dan selubung perkabungan, dengan langkah pelan Maria Magdalena membuka
pintu. Begitu berada di luar rumah, ia berlari secepatnya ke makam.
Hari masih gelap saat Maria tiba di pekuburan. Langit berwarna ungu, alih-alih
hitam. Subuh akan datang. Maria mendapat cukup cahaya untuk melihat batu besar
itu bongkahan yang untuk memindahkannya dibutuhkan tenaga selusin lelaki telah bergeser dari tempatnya.
Maria bergegas ke celah yang terbuka, jantungnya berdegup keras karena takut.
Ia membungkuk agar kepalanya masuk ke lobang pusara. Dan ia melihat Easa sudah
tidak ada. Anehnya, terlihat cahaya di kuburan itu. Suatu pancaran aneh yang
menyinari seluruh liang itu. Dengan jelas, Maria melihat kain linen penguburan
tergeletak di bongkahan batu. Sosok tubuh Easa berbekas di kain itu, tapi hanya
itulah bukti bahwa ia pernah berada di sini.
Bagaimana ini terjadi" Apakah para imam itu begitu membenci Easa hingga mereka
mencuri jenazahnya" Tapi tentu bukan begitu persoalannya. Siapa yang telah melakukan hal
semacam ini" Kehabisan napas, Maria tersungkur dari kuburan itu dan jatuh ke tanah. Ia
terbaring di sana, meratapi peristiwa yang ia yakini sebagai satu lagi tindakan
nista terhadap Easa. Saat Maria menangis, pancaran matahari memulai
perjalanannya melintasi langit. Sinar pertama matahari pagi menari-nari di atas
wajahnya saat ia mendengar suara lelaki di belakangnya.
"Wahai perempuan, mengapa kau menangis. Siapa yang kau cari?"
Maria tidak langsung memandang sumber suara itu. Ia mengira itu adalah tukang
kebun yang datang pagi-pagi untuk menyiangi rumput dan bebungaan di sekitar
makam. Kemudian ia merasa bahwa Tuhan menyaksikan segalanya dan mungkin akan
menolongnya. Di antara derai air mata, ia berbicara sembari menengadahkan
kepala. "Seseorang telah mengambil kekasihku, dan aku tidak tahu ke mana ia
dibawa. Jika Kautahu di mana ia sekarang, kumohon katakanlah padaku."
"Maria," terdengar jawaban singkat dari belakang, suara itu sangat dikenalnya.
Maria berdiri kaku, sejenak takut untuk menoleh, tak yakin apa yang akan ia
lihat. "Maria, aku di sini," katanya lagi.
Maria Magdalena menoleh sementara sinar matahari pagi menyinari sosok indah di
hadapannya. Easa berdiri di
sana, mengenakan jubah sederhana. Luka-lukanya telah sembuh sempurna. Ia
tersenyum pada Maria, senyumah hangat dan penuh kasih.
Saat Maria berjalan menghampirinya, ia mengangkat tangan. "Jangan menempel
padaku, Maria," katanya lembut. "Waktuku di bumi ini telah habis, meski aku belum naik ke Bapaku. Aku ingin
memberimu isyarat awal. Pergilah ke saudarasaudara kita, sampaikan pada mereka
bahwa aku akan segera naik ke Bapaku, yang juga Bapamu dan Bapa mereka, di
surga." Maria mengangguk sambil berdiri terpesona di hadapannya.
Ia merasa kemurnian dan cahaya hangat kebaikan Easa memancar di sekelilingnya.
"Waktuku di sini telah habis. Sekarang adalah waktumu."
Dua Puluh Chateau des Pommes Bleues 2 Juli 2005
Maureen duduk di taman bersama Peter. Air mancur Maria Magdalena bergelegak
lembut di belakang mereka. Ia harus membawa Peter menghirup udara segar dan jauh
dari orang lain. Wajah sepupunya itu pucat dan kuyu akibat tidak tidur dan stres
lantaran kejadiankejadian dalam minggu ini.
Beberapa hari terakhir membuat wajahnya tampak lebih tua sepuluh tahun. Maureen
bahkan melihat garis-garis kelabu di pelipis Peter padahal sebelumnya tidak ada.
"Kautahu bagian mana yang paling berat?" suara Peter nyaris seperti bisikan.
Maureen menggeleng. Baginya, ini adalah bagian paling mendebarkan dari segala
kondisi yang mungkin. Tapi ia tahu, banyak keyakinan Peter, bahkan alasan
hidupnya, mendapat tantangan dari berbagai kalimat dalam injil Maria. Betapapun,
katakata Maria meneguhkan premis yang paling sakral dalam ajaran Kristiani,
yaitu kebangkitan. "Tidak, apa" Katakanlah," jawab Maureen. Peter menatap sepupunya, matanya merah
dan berkacakaca saat ia berusaha membuat Maureen memahami pikiran yang tengah
berkecamuk dalam kepalanya. "Bagaimana seandainya...bagaimana
seandainya selama dua ribu tahun ini kita menentang wasiat terakhir Yesus
Kristus" Bagaimana jika pernyataan yang hendak disampaikan Injil Yohanes, ketika
Yesus muncul untuk kali pertama di hadapan Maria Magdalena adalah bahwa ia
penerus yang dipilihnya"
Betapa ironisnya jika kita, dengan menggunakan namaNya, telah menolak posisi
Maria, bukan hanya sebagai seorang rasul, tetapi juga sebagai pemimpin para
rasul?" Peter termenung sesaat, berusaha memilah tantangan-tantangan yang muncul dalam
benaknya, juga dalam jiwanya.
'"Jangan menempel padaku.' Itulah yang ia katakan pada Maria. Kausadar, betapa
pentingnya ucapan itu?" Maria menggeleng, menunggu penjelasan.
"Injil-injil tidak menerjemahkan seperti itu melainkan dengan kalimat 'Jangan
menyentuhku.' Kemungkinan kata Yunani aslinya adalah 'menempel', bukan 'menyentuh'. Tapi tak
ada yang memandangnya seperti itu. Kau lihat perbedaannya?" Keseluruhan gagasan ini
adalah suatu pengungkapan baru bagi Peter sebagai seorang cendekiawan dan ahli bahasa.
"Bisakah kaulihat, penerjemahan satu kata saja bisa mengubah segalanya" Tapi
dalam injil ini, kata yang dipakai jelas
'menempel', bahkan kata ini digunakan dua kali saat ia mengutip ucapan Yesus."
Maureen berusaha mengikuti reaksi keras Peter terhadap satu kata. "Pasti ada
perbedaan antara 'Jangan menyentuhku' dengan 'Jangan menempel padaku'."
"Ya," kata Peter mantap. "Terjemahan 'Jangan menyentuhku' digunakan untuk
menentang Maria Magdalena, untuk menunjukkan bahwa Kristus mendorongnya.
Sedangkan dalam naskah ini, Dia mengatakan pada Maria agar tidak menempel
padaNya setelah ia pergi karena Ia ingin Maria berdiri sendiri." Desahan napas
Peter sarat dengan kelelahan. "Ini sangat berat, Maureen. Sangat berat."
Seluk beluk kisah Maria Magdalena mulai menjelas di kepala Maureen. "Kupikir,
penggambaran perempuan sebagai pemimpin dalam pergerakan itu adalah salah satu
unsur penting dalam kisah Maria," katanya. "Pete, aku tidak suka membuatmu
semakin pusing, tapi bagaimana hubungan pandangan ini dengan Bunda Maria" Ia
menyebutnya Maria Agung dan dengan jelas menempatkannya sebagai pemimpin umat.
Tampaknya Maria adalah gelar yang diberikan pada seorang perempuan pemimpin.
Kemudian tentang selubung merah..."
Peter menggelenggelengkan kepala, seolah dengan begitu pikirannya akan jernih.
"Kautahu," jawabnya, "aku pernah mendengar argumentasi bahwa pernyataan Vatikan untuk
menggambarkan Bunda Maria hanya dalam warna putih dan biru adalah cara untuk
menghilangkan kekuatannya.
Dengan kata lain, cara untuk menyembunyikan peran pentingnya sebagai salah satu
pemimpin Nasrani yang, sebagaimana telah kita saksikan, mengenakan selubung
merah. Terus terang, aku selalu berpikir argumen itu hanya omong kosong.
Aku merasa yakin bahwa Bunda Maria ditampilkan dalam warna biru dan putih untuk
menunjukkan kesuciannya. "Tapi sekarang," kata Peter, bertambah resah, "tak ada lagi yang jelas bagiku."
Cape Codf Massachussets 2 Juli 2005
Di tepi samudera Atlantik, tepatnya di Cape Cod, konglomerat real estate, Eli
Wainwright, duduk di samping jendela sambil memandang hamparan rumput yang
terbentang di tanahnya yang luas. Hampir seminggu ini ia tidak mendapat kabar
dari Derek. Hatinya cemas. Kontingen Amerika telah sampai di Prancis untuk
memperingati hari Yohanes Pembaptis, dan pemimpin kelompok itu telah menelepon
Eli untuk mengabarkan bahwa Derek belum bergabung dengan mereka di Paris.
Eli memeras otak, berusaha berpikir seperti Derek. Putranya itu memang selalu
membuat ulah, tapi Derek sadar pertemuan itu sangat penting. Yang harus ia
lakukan adalah mengikuti rencana, berusaha sedekat mungkin dengan Guru Keadilan,
dan mencari informasi sebanyak mungkin tentang pergerakan dan motivasinya.
Setelah laporan lengkap didapat, kontingen Amerika ini bisa memulai rencana kup
untuk membebaskan struktur kekuasaan Persaudaraan dari kontingen Eropa.
Dalam pertemuan terakhir di Amerika, Derek merasa jengkel dengan proposal
pencapaian target yang dikemukakan Eli karena memakan waktu lama. Eli seorang
ahli strategi, tapi putranya tidak mewarisi kesabaran dan kemampuan membuat
rencana yang menjadikan Wainwright seorang miliuner.
Mungkinkah Derek melakukan sesuatu yang gegabah dan bodoh"
Jawabannya, atau semacam itu, muncul siang itu saat jeritan istri Eli memecah
ketenangan suasana laut di Cape Cod. Eli bangkit dari kursinya dan berlari ke
ruang depan. Di sana, istrinya telah tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar.
"Demi Tuhan, Susan. Apa yang terjadi?"
Susan tidak bisa menjawab. Tangisnya begitu histeris sehingga ia hanya menunjuk
ke kotak Federal Express yang tergeletak di lantai, di samping tubuhnya.
Dengan menguatkan hati, Eli mengangkat sebuah peti kayu kecil dari kotak itu.
Setelah ia membuka tutup peti, terlihatlah cincin angkatan Derek dari Yale.
Cincin itu disertai potongan jari telunjuk dari tangan kanan Derek Wainwright .
Chateau de Pom me s Bleu 3 Juli 2005
Dalam situasi normal sekalipun, Maureen mudah terbangun dari tidur. Apalagi
dengan berbagai masalah menyangkut naskah itu yang membuatnya pusing. Maureen
sulit tidur padahal tubuhnya sangat lelah. Ia mendengar langkah kaki di koridor
depan kamarnya lalu duduk tegak di atas ranjang.
Langkah itu sangat ringan, seolah orang yang berjalan berusaha keras agar tidak
terdengar. Maureen mendengarkan dengan seksama, tapi tidak bergerak. Rumah itu
sangat besar, dilengkapi banyak kamar dan pelayan yang barangkali belum ia
kenal, pikir Maureen berusaha menenangkan diri.
Ia berbaring lagi dan berusaha tidur, tapi usahanya terganggu dengan bunyi mesin
mobil di luar chateau. Jarum jam hampir berada di angka 3:00 dini hari. Siapakah
orang itu" Maureen berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke jendela yang menghadap bagian
depan rumah. Ia menggosok-gosokkan mata agar dapat melihat dengan jelas.
Mobil yang berjalan melewati jendela dan gerbang depan chateau adalah mobil
sewaannya dikendarai seseorang yang terlihat seperti sepupunya, Peter.
Maureen berlari keluar pintu dan turun ke kamar Peter. Setelah lampu dihidupkan,
terlihatlah barangbarang milik Peter sudah tidak ada. Tas hitamnya pun tidak
ada, begitu juga kacamata, Alkitab, dan rosari yang ia simpan di samping tempat
tidurnya. Dengan cemas Maureen mencaricari sekiranya Peter meninggalkan pesan untuknya.
Catatankah, atau apa pun" Tapi pencariannya sia-sia.
Bapa Peter Healy telah pergi.
f Maureen berusaha memilah-milah peristiwa selama dua puluh empat jam terakhir.
Percakapan terakhirnya dengan Peter berlangsung di tepi air mancur. Kala itu,
Peter menjelaskan pentingnya katakata "Jangan menempel padaku." Ia tampak
tertekan, tapi Maureen merasa itu berhubungan dengan kondisi emosionalnya dan
karena ia tidak tidur sepanjang minggu ini.
Apakah yang membuatnya pergi di tengah malam, dan ke mana"
Ini bukan karakter Peter. Ia tak pernah meninggalkannya atau bahkan
mengecewakannya, tidak pernah. Maureen merasa panik. Jika ia kehilangan Peter,
ia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Peterlah satusatunya keluarga Maureen,
satusatunya orang di bumi ini yang Maureen percayai, meski ia tak pernah
mengatakannya. "Reenie?" Maureen melompat karena suara di belakangnya. Ternyata Tammy yang berdiri di
ambang pintu, menggosok-gosokkan mata untuk mengusir kantuk. "Maaf, aku
mendengar suara mobil lalu aku mendengar gerakan di sini. Sepertinya kita semua
menjadi mudah kaget. Ke mana sang pendeta?"
"Aku tidak tahu," Maureen berusaha tidak terkesan cemas.
"Itu suara mobil yang dibawa Peter. Aku tidak tahu mengapa atau ke mana. Sialan!
Apa maksudnya?" "Mengapa tidak kau hubungi saja telepon genggamnya?"
"Peter tidak punya telepon genggam."


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tammy memandang Maureen, bingung. "Dia punya. Aku melihat dia menggunakannya."
Sekarang giliran Maureen yang terlihat bingung. "Peter benci telepon genggam. Ia
tak punya waktu untuk teknologi, terutama untuk mencari telepon genggam, baginya
memuakkan. Ia tidak mau membawa alat itu meskipun aku memohonnya untuk keperluan
darurat." "Maureen, aku sudah dua kali melihatnya menggunakan telepon genggam. Setelah
kupikir-pikir, di kedua kesempatan itu ia menggunakannya saat duduk dalam mobil.
Aku tak suka mengatakan ini, tapi kupikir ada sesuatu yang tidak beres di
Arques." Maureen merasa ingin muntah. Ia bisa menangkap dari raut wajah Tammy bahwa
mereka berdua memiliki pikiran yang sama berbarengan.
"Ayo," kata Maureen sambil berlari melewati koridor chateau lalu turun ke ruang
kerja Sinclair. Tammy mengikuti separuh langkah di belakangnya.
Mereka berhenti di pintu, sudah separuh terbuka. Sejak naskah itu berada di
ruang kerja ini, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan jika seorang di
antara mereka berada di dalamnya. Maureen menelan ludah dan menguatkan hati saat
memasuki kamar yang gelap itu. Di belakangnya, Tammy menemukan tombol lampu lalu
menghidupkannya dan tampaklah meja baca sudah kosong. Permukaan kayu mahogani
yang licin itu memantulkan cahaya lampu. Kosong sama sekali. "Semuanya hilang,"
bisik Maureen. Berdua dengan Tammy, mereka menggeledah kamar itu, tapi tak ada naskah Maria
Magdalena yang tersisa. Kertas catatan warna kuning pun hilang. Tak ada secarik
kertas pun, bahkan satu batang pulpen pun tak terlihat. Satusatunya bukti naskah
itu pernah ada di sana adalah toples tanah liat yang masih berdiri di sudut.
Lokasinya memang tidak dilewati orang. Tapi kedua toples itu sudah kosong.
Pusaka yang sesungguhnya telah hilang.
Dan kelihatannya Bapa Peter Healy, orang yang paling dipercaya Maureen, yang
telah membawanya. Maureen melangkahkan kakinya yang lemas untuk duduk di sofa beludru. Ia tak
sanggup bicara, tak tahu apa yang harus diucapkan atau dipikirkan. Ia duduk saja
di sofa, tatapannya nanar.
"Maureen, aku harus mencari Roland. Kau tetap di sini, ya" Kami akan segera
kembali." Maureen mengangguk, lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Ia masih duduk dalam
posisi yang sama saat Tammy dan Roland kembali, diikuti Berenger Sinclair.
"Mademoiselle Paschal," sapa Roland lembut sambil berjongkok di samping sofa.
"Aku mohon maaf atas kesedihan akibat kejadian malam ini."
Maureen menatap lelaki Occitan bertubuh besar itu, yang menunduk dengan perasaan
prihatin. Belakangan, ketika Maureen memiliki waktu untuk mengingat momen ini secara
mendetail, ia merasa betapa luar biasanya lelaki itu. Pusaka paling berharga
bagi kalangannya telah dicuri, namun yang paling ia cemaskan adalah kesedihan
Maureen. Lebih dari siapapun, Roland telah banyak memberi pelajaran tentang
spiritualitas sejati kepada Maureen. Akhirnya ia paham, mengapa mereka disebut
les bonnes hommes. Orangorang yang baik.
"Ah, begitu, ya. Ternyata Bapa Healy telah memilih pemimpinnya," kata Sinclair
tenang. "Sudah kuduga. Maafkan aku, Maureen."
Maureen bingung. "Kau sudah menduga ini akan terjadi?" Sinclair mengangguk. "Ya,
Sayang. Rasanya aku harus menceritakan semuanya sekarang. Kami sudah tahu sepupumu
bekerja untuk seseorang. Kami hanya belum yakin siapa orang itu."
Maureen terlihat sangsi. "Apa maksudmu" Peter mengkhianati aku" Ia memang
berencana mengkhianatiku sejak dulu?"
"Aku tidak bisa mengatakan motif Bapa Healy. Aku hanya tahu ia memiliki motif.
Kurasa, besok sore kita sudah mengetahui yang sebenarnya."
"Tolong katakan padaku, apa yang terjadi?" Suara ini milik Tammy. Maureen baru
tahu bahwa temannya itu pun ketinggalan informasi. Roland duduk dengan tenang di
sampingnya sementara Tammy memandangnya dengan tatapan menuduh. "Ternyata banyak
yang kau rahasiakan dariku,"
bentaknya pada lelaki besar itu.
Roland mengangkat bahunya yang besar. "Untuk melindungimu, Tamara. Kita semua
memliki rahasia. Itu memang perlu. Tapi sekarang, kupikir sudah waktunya untuk membuka diri satu sama
lain. Aku percaya, Mademoiselle Paschal berhak mengetahui segalanya. Ia telah
membuktikan dirinya lebih dari cukup."
Maureen ingin menjerit lantaran stres dan bingung. Rasa frustrasi itu pasti
terlihat di wajahnya karena Roland segera meraih tangannya. "Ayo, Mademoiselle.
Ada yang ingin aku tunjukkan." Kemudian ia berpaling ke Sinclair dan Tammy, lalu
melakukan sesuatu yang belum pernah Maureen lihat
sebelumnya memberi perintah. "Berenger, tolong minta pelayan membawakan kopi
lalu bergabunglah bersama kami di ruangan Pimpinan Agung. Tamara, ikutlah
bersama kami." f Mereka melewati koridor yang berbelok-belok lalu masuk ke suatu sayap chateau,
tempat yang belum pernah Maureen masuki.
"Aku terpaksa memintamu sedikit bersabar, Mademoiselle Paschal," kata Roland
dari bahunya. "Aku harus menjelaskan beberapa hal dulu sebelum bisa menjawab
pertanyaanmu yang paling penting."
"Oke," kata Maureen, merasa sedikit rendah diri saat mengikuti Roland dan Tammy,
tak tahu harus mengatakan apa lagi. Pikirannya melayang ke California selatan,
saat ia bertemu Tammy di marina. Ia merasa sangat naif, seolah peristiwa itu
terjadi dua abad lalu. Tammy membandingkannya dengan Alice di Wonderland. Betapa
pasnya perbandingan itu sekarang, karena Maureen merasa sedang berjalan dengan
kaca pembesar. Segalanya yang ia pikir telah ia pahami ternyata
sebaliknya. Roland membuka pintu ganda berukuran sangat besar di depan mereka dengan kunci
yang tergantung di lehernya. Bunyi nyaring terdengar saat mereka masuk. Roland
segera menekan kode untuk membungkam alarm itu. Cahaya lampu yang telah
dihidupkan menampakkan ruangan yang megah dan penuh dekorasi. Sungguh sebuah
ruang pertemuan yang pantas bagi para raja dan ratu Prancis. Melihat
keindahannya, ruangan itu pantas disejajarkan dengan ruang singgasana di
Versailles dan Fountainbleu. Dua kursi berukir dan bersepuh emas yang serasi berdiri di atas
podium di bagian tengah, masingmasing bergambarkan apel biru yang sangat indah.
"Inilah jantung organisasi kami," kata Roland menjelaskan.
"Perkumpulan Apel Biru. Setiap anggota perkumpulan ini memiliki garis darah
agung, khususnya terhubung ke Sarah-Tamar. Kami adalah keturunan bangsa Cathar,
dan kami berusaha sekuat tenaga menjaga tradisi kami semurnimurninya."
Roland membawa mereka ke tempat potret Maria Magdalena digantungkan, di balik
kuris-kursi yang bak singgasana. Lukisan itu mirip lukisan Magdalena yang dibuat
Georges de la Tour yang dilihat Maureen di Los Angeles. Tapi ada satu perbedaan
penting. "Apakah kau masih ingat suatu malam ketika Berenger mengatakan bahwa
salah satu lukisan de la Tour yang paling penting ternyata raib dan tidak
diperlihatkan ke publik" Itu karena lukisan tersebut berada di sini," katanya.
"De la Tour adalah anggota perkumpulan kami, ia meninggalkan lukisan ini untuk
kami. Namanya Pertobatan Magdalena dan Salib Berpatung Yesus."
Maureen memandang potret itu dengan perasaan terpesona dan takjub. Seperti karya
seniman Prancis lainnya, lukisan itu menonjolkan cahaya dan bayangan. Tapi dalam
lukisan yang satu itu, pose Maria Magdalena berbeda dengan posenya pada lukisan
lain yang pernah Maureen lihat. Versi yang satu ini menggambarkan Maria yang
menyandarkan tangan kirinya di atas tengkorak kepala, yang kini diketahui
Maureen adalah tengkorak Yohanes. Tangan kanannya memegang salib berpatung Yesus
dan matanya menatap wajah Kristus.
"Terlalu berbahaya jika lukisan ini diperlihatkan ke publik. Pesan yang
disampaikan sangat jelas Maria sedang melakukan pertobatan untuk Yohanes, suami
pertamanya, dan ia menatap dengan penuh cinta kepada Yesus, suami keduanya."
Roland memandu kedua wanita itu menuju lukisan besar di dinding lain. Yang ini
menggambarkan dua santo tua sedang duduk di tanah berbatu sambil melakukan
sesuatu yang sepertinya adalah diskusi atau debat yang hangat.
"Tamara bisa menceritakan sejarah lukisan ini," kata Roland, tersenyum pada
Tammy yang berdiri di sebelahnya.
Maureen menatap temannya untuk menagih penjelasan.
"Ini karya seniman Flemishi, David Teniers Muda," kata Tammy. "Lukisan ini
diberi nama Santo Antonius sang Pertapa dan Santo Paulus di Gurun. Santo Paulus
di sini bukan Santo Paulus yang menulis dalam Perjanjian Baru, tapi santo
regional lain yang juga seorang pertapa.
1 Masyarakat Jerman yang menetap di Belgia utara.
Berenger Sauniere, pendeta legendaris di Rennesle-Chateau, menyerahkan lukisan
ini untuk Perkumpulan. Ya, ia juga salah seorang di antara kami."
Maureen menatap lukisan itu dengan seksama. Ia mulai melihat unsur-unsur yang
kini sangat akrab baginya. Ia menunjukkan kepada mereka. "Aku melihat salib
berpatung Yesus dan tengkorak kepala."
"Benar," jawab Tammy. "Antonius di sebelah sini. Ia memakai simbol yang mirip
dengan huruf 'T1 di lengan bajunya.
Tapi sebenarnya itu adalah salib versi Yunani, disebut Tau. Orang yang
memopulerkan simbol ini di kalangan kami adalah Santo Fransiskus Assisi.
Antonius sedang mengangkat pandangan dari bukunya, yang melambangkan Kitab
Cinta, dan menatap salib berpatung Yesus. Dan lihatlah Paulus di sebelah sini.
Ia membuat isyarat 'Ingatlah Yohanes' dengan tangannya dan berdebat dengan
temantemannya tentang siapa mesias pertama, Yohanes atau Yesus. Sejumlah buku
dan naskah bertebaran di sekitar kaki mereka, menunjukkan banyaknya materi yang
Jabang Bayi Dalam Guci 1 Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat Kalung Keramat Warisan Iblis 2

Cari Blog Ini