Blind Date Karya Aliazalea Bagian 4
"Suatu hari nanti saya akan telepon adik kamu dan minta dia mengajari saya
lewat telepon," gerutu Reilley.
"Kamu sudah lapar belum?" tanyaku, sengaja mengganti topik.
Reilley mengembuskan napasnya sebelum menjawab, "Starving," sambil
menundukkan kepalanya, dan mulai menciumi leherku. Setelah mengenal Reilley
selama enam minggu ini, aku tahu dia agak sedikit terobsesi dengan leherku.
Menurut dia, leherku bagian dari tubuhku yang paling seksi, selain bibirku
tentunya. Saat itulah kulihat seseorang melambaikan tangannya kepada Reilley, kemudian
bergegas mendekati kami. Ada sesuatu yang familiar dengan wajah orang itu. Aku
tahu, aku pernah bertemu dengannya sebelum ini. Di mana, ya" Aku langsung
menyikut Reilley agar menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Aku tidak
akan pernah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Barat untuk mempertontonkan
hubungan cinta mereka kepada semua orang.
"Someone"s coming," bisikku.
"So?" Bibir Reilley masih menempel pada leherku.
"So you need to stop. Ini nggak sopan," jelasku.
"Kata siapa?" "Kata siapa," geramku.
"Kalau saya berhenti, would you allow me to explore your neck further later?"
Aku tidak percaya kami sedang bernegosiasi tentang ini. "Fine."
Reilley pun mengangkat bibirnya dari leherku, dan mengalihkan perhatiannya
kepada laki-laki yang sedang berjalan mendekati.
"Hey, man, I don"t know you"re back," ucap laki-laki itu, sambil menaiki tangga.
"Just for the weekend. Jack, this is Titania." Reilley memperkenalkan diriku
kepada temannya itu. "Hello, I"m Jack," ujar laki-laki itu, sambil mengulurkan tangannya.
"Titania," balasku, dan menjabat tangan Jack yang kelihatan seperti panda.
PANDA!!! "Oh, my God." Tanpa aku sadari, aku sudah mengucapkan kata-kata itu.
Khawatir bahwa genggaman tangannya terlalu keras, Jack langsung melepaskan
tanganku. "Titania, ada apa?" tanya Reilley khawatir.
Aku tidak menghiraukan Reilley, dan mengajukan pertanyaanku kepada Jack.
"Apakah kamu pernah menonjok orang di restoran di Winston sekitar sembilan
bulan yang lalu?" Kulihat Jack memicingkan matanya sebelum menjawab, "Ya, pernah. Itu
tonjokan yang paling pantas saya berikan sepanjang hidup saya."
Kulihat Reilley menatapku bingung. Kemudian tiba-tiba dia berkata, "Nggak
mungkin... kamu...."
"Feisty little lady," ucap Reilley dan Jack bersamaan, kemudian tertawa
terbahakbahak. Kini giliranku yang menatap mereka berdua dengan bingung. Mengapa mereka
tertawa" "Bagaimana bisa sih saya nggak mengenali kamu sebelumnya." Reilley
mengatakan hal ini dengan wajah terkesima sambil menggeleng.
"Rambutnya lebih pendek sekarang," ucap Jack.
"Dia pakai kacamata hitam hari itu," lanjut Reilley. "Dia juga kelihatan lebih
kecil hari itu," sambung Reilley.
"Dia nggak pakai sepatu hak waktu itu," balas Jack.
"Oke, kalain berdua sedang membicarakan apa sih?" tanyaku, mulai sedikit
jengkel karena mereka jelas-jelas sedang membicarakan diriku, seakan-akan aku
tidak berada di situ. Reilley menatapku sambil tersenyum.
"She still feisty I give you that," ucap Jack lagi.
"Yep," balas Reilley.
"Apakah laki-laki itu masih mengganggu kamu lagi setelah hari itu?" tanya Jack
kepadaku. "Sayangnya, ya," balasku pendek karena masih terlalu kesal untuk mengatakan
apa-apa lagi. "She kicked him in the balls the second time," sambar Reilley.
"Oh, ya?" Jack terdengar kagum sambil menatapku. "Baguslah. Dia pantas
menerimanya," lanjutnya.
"Apa maksud kamu ketika berkata kamu tidak mengenali saya sebelumnya?"
tanyaku kepada Reilley. "Aku laki-laki yang menanyakan, apakah kamu baik-baik saja," jawab Reilley
enteng. "WHAAATTTT?" "Hei, aku musti pulang nih. Istriku menunggu untuk makan siang sama-sama.
I"ll see you both of you around," ucap Jack, sambil menepuk bahu Reilley.
Mungkin ini hanya perasaanku saja, tetapi kelihatannya dia mengedipkan mata kanannya
kepada Reilley. "Nice to meet you... again," ujar Jack kepadaku, kemudian menuruni tangga dan
berjalan menuju arah kanan.
Begitu Jack hilang dari pandangan, aku langsung menarik Reilley masuk ke
dalam rumah. "Kamu laki-laki yang pakai topi baseball?" teriakku. Ternyata ketika Reilley
mengatakan, "It was my pleasure," setelah membantuku mengganti ban mobilku
memoriku langsung bisa mengingat kembali kata-kata yang diucapkan Jack, "It was
our pleasure," setelah membantuku mengatasi Brandon hari itu. Tidak
disangkasangka ternyata aku sebetulnya telah bertemu dengan Reilley sembilan
bulan yang lalu. "Topi baseball" Saya nggak ingat kalau saya pakai topi hari itu," balas Reilley
sambil nyengir. "Saya ingat," omelku. "Saya ingat Jack karena dia mengingatkan saya pada
seekor panda. Berkaitan dengan kamu, karena saya nggak bisa lihat wajah kamu,
maka saya hanya ingat kamu pakai topi baseball Wake Forest," lanjutku.
"Menurut kamu, Jack mirip panda?" Reilley kelihatan sangat terhibur dengan
arah percakapan ini. "Ya, matanya dalam dan dia agak... tunggu sebentar, are you trying to distract
me?" "Is it working?" Reilley menarikku ke dalam pelukannya. Punggungku
bersandar pada dadanya. "Nggak!!! Saya perlu... ahhh...." Reilley sudah menenggelamkan wajahnya di
leherku, dan aku tidak bisa berpikir lagi.
"Kamu perlu apa?" Tangan kanannya sudah menyentuh payudaraku.
"Saya... ahhh...." Reilley sedang mengelus payudaraku. Tanganku kemudian
naik dan menarik kepala Reillely lebih membungkuk. Kusandarkan kepalaku pada
bahunya dan kudekatkan bibir Reilley pada bibirku.
Reilley menggeram, dan memutar tubuhku sehingga dadaku menempel pada
dadanya. Aku tidak tahu bagaimana kami sampai di kamar, tahu-tahu aku sudah
ada di atas tempat tidur dan tubuh Reilley sedang menekan seluruh tubuhku di
atas kasur. "Titania," ucapnya pelan, dan perlahan-lahan tangannya masuk ke balik sweaterku.
Salah satu dari kami biasanya langsung berhenti sampai di situ saja, tetapi
tidak hari ini. Tangan Reilley terus naik melewati perutku, sementara lidahnya sedang
mengeksplorasi mulutku. Otakku berteriak aku harus berhenti, tetapi bukan
menghentikan Reilley aku justru menarik kepala Reilley ke arahku agar aku bisa
menciumnya lebih dalam. Tangan Reilley meraba punggungku, dan melepaskan
kait BH-ku. "I need to touch you," bisik Reilley. Aku hanya mendesah. Tanpa ada kain sehelai
pun di antara telapak tangannya dan kulitku, aku bisa merasakan efek penuh
sentuhan kulitnya yang agak kasar pada kulitku. Sentuhan itu membuatku sulit
bernapas. Tidak ada laki-laki mana pun yang pernah aku perbolehkan
menyentuhku seperti ini, bahkan Brandon pun tidak.
"Oh, my God," ucapku, dan menarik sweater Reilley. Aku mulai mengeksplorasi
punggungnya di balik sweater itu. Aku bisa merasakan otot-otot yang menegang
beberapa detik, kemudian relaks dan menerima sentuhanku. Punggung Reilley
terasa halus di bawah telapak tanganku. Kemudian aku menarik tanganku dan
pindah ke dada Reilley. Lalu pada satu detik aku bisa merasakan tangan Reilley
sedang mencoba membuka kancing celana jeans-ku, dan pada detik selanjutnya
Reilley sudah menghilang dari hadapanku. Meninggalkanku dengan napas yang
memburu, dan otak yang terlalu beku untuk memikirkan apa yang sedang terjadi.
Perlahan-lahan aku bangun dari posisi tidurku, dan melihat Reilley sedang
berdiri dengan napas terengah-engah sekitar lima meter dariku. Dia sedang
menatapku sambil mengerutkan dahinya.
"Sori, saya seharusnya berhenti," ucapku pelan.
"Nggak, saya yang seharusnya berhenti," balas Reilley pendek. Ekspresi di
wajahnya terlihat antara marah, bingung, dan penasaran.
Aku ingin menghapus ekspresi itu dari wajahnya dengan pelukanku. Aku lalu
melangkah turun dari tempat tidur, dan berjalan ke arahnya. Akan tetapi, ketika
aku berjalan satu langkah mendekatinya, Reilley mundur selangkah juga. Aku tahu
mungkin Reilley hanya sedang mencoba mengontrol emosinya. Oleh karena itu, dia
tidak bisa terlalu dekat denganku pada saat ini, tetapi tindakannya tetap
membuat perutku tiba-tiba mual. Dia membuatku merasa seolah-olah ini semua salahku,
akulah penyebab mengapa dia begini.
"I"ll just get out of your way then," ucapku, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Reilley tidak mencoba menarikku ke pelukannya, dan menjelaskan ini semua bukan
salahku seperti yang aku harapkan. Dia membiarkanku melangkah pergi.
Kukunci pintu kamar mandi, duduk di atas toilet, dan menenggelamkan
wajahku di kedua telapak tanganku. Aku sudah siap menangis. Bagaimana
mungkin hari yang dimulai dengan sangat menjanjikan menjadi seperti ini" Kami
bahkan belum berada di rumah ini selama stau jam, dan kami sudah melalui situasi
yang tidak mengenakkan. Selama enam minggu bersamanya, inilah pertama kalinya
kami bertengkar. Ini bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai suatu pertengkaran
karena tidak ada satu pun dari kami yang berteriak-teriak. Kalau begitu, mengapa
ini justru membuat hatiku menjadi semakin gelisah"
Aku lalu menyadari, ternyata Reilley telah menanggalkan kait BH-ku dan
kancing celana jeans-ku. Buru-buru kupasang kembali kait dan kancing itu, dan
berdiri mencuci mukaku di wastafel. Karena wastafel itu lebih tinggi daripada
wastafel yang ada di apartemenku, aku terpaksa berjinjit agar bisa membungkukkan
tubuhku di atasnya ketika mencuci muka tanpa membasahi bajuku. Setelah
mengusap wajahku dengan handuk, aku lalu merapikan wajahku di depan cermin.
Sudah biasa bagi orang yang sedang pacaran bertengkar, kucoba meyakinkan
diriku. Kutegakkan bahuku, dan melangkah ke luar kamar mandi. Kulihat Reilley
sudah menghilang dari kamar tidur. Aku pun berjalan ke luar kamar, dan melihat
Reilley sedang berdiri di dapur. Perlahan-lahan aku mendekatinya. Reilley
kelihatan serius sambil menatap karton telur yang ada di hadapannya, seakan-akan dia tidak
mendengar langkahku. "Kamu nggak bisa menggodok telur dengan mata kamu, Reilley," komentarku,
seceria mungkin. Kulihat Reilley tersentak karena kaget. Aku berpura-pura tidak melihat
reaksinya itu, dan mengambil karton telur dari hadapannya.
"Kita bisa bikin omelet," ucapku, masih dengan nada ceria.
"Sure," balas Reilley. Dia kelihatan terkejut mendengar nadaku yang ceria.
"Apakah ada makanan lain yang bisa dimakan dengan telur?" Kupaksa mataku
menatapnya. "Kayaknya... saya nggak tahu juga... Sudah lama saya nggak ada di rumah,"
ucapnya tergagap. Reilley lalu berjalan menuju lemari es.
"Apa yang kamu punya di dalam sana?" tanyaku.
"Mentega, keju, tomat, susu, tunggu... lupakan susunya, soalnya sudah
kadaluarsa beberapa hari yang lalu. Itu saja," jawab Reilley, sambil melemparkan
botol susu yang masih setengah penuh ke dalam tempat sampah.
Aku mulai menurunkan wajan dari gantungannya di atas kompor. Sekali lagi
aku harus berjinjit untuk mencapainya. Kompor itu juga lebih tinggi daripada
kompor normal. "Kasih ke saya semua itu," ucapku, dan mulai membuka-buka lemari mencari
mangkuk besar yang bisa digunakan untuk mengocok telur. Kutemukan mangkuk
yang tepat pada lemari di atas tempat cuci piring. Reilley mengeluarkan mentega,
keju, dan beberapa buah tomat dari lemari es. Ia meletakkannya semua itu di
sebelah kompor. "Kompor kamu kok tinggi sekali, ya?" tanyaku, sambil mulai memecahkan
beberapa buah telur ke dalam mangkuk.
"Apakah terlalu tinggi untuk kamu?" Reilley terdengar khawatir.
"Sedikit. Ini kan rumah kamu. Mungkin kamu merasa seperti raksasa di rumah
saya." Tanpa kusangka-sangka, Reilley lalu mengeluarkan sebuah stool setinggi 30
sentimeter dari lemari yang tersembunyi di sudut dapur.
"Apakah ini bisa membantu?"
"Yes," ucapku, lalu mengambil stool itu dari genggamannya. Aku
meletakkannya di atas lantai, dan naik ke atasnya. Aku langsung merasa lebih
nyaman karena sekarang kompor itu berada satu level dengan perutku.
"Apa lagi yang kamu perlukan?" tanya Reilley.
"Saya perlu pemarut keju, pisau, dan talenan," balasku.
Dalam sekejap mata ketiga benda itu sudah ada di sampingku.
"Ada yang bisa saya bantu?" Seperti biasa Reilley selalu mencoba membantuku
memasak. "Kamu bisa memarut kejunya ke dalam mangkuk telur, sementara saya
memotong tomat." Reilley langsung memarut keju cheddar itu, dan aku pun mulai memotong tomat.
Kami bekerja dalam diam. "Apakah ini cukup?" tanya Reilley, setelah beberapa menit.
Aku melirik dan mengangguk. "Oke, biar saya yang kerjakan itu. Bisa tolong
ambil piring dan susun tomat ini di atasnya?"
"Sure." Reilley lalu berjalan menuju salah satu lemari, dan mengeluarkan dua
buah piring. Dia juga mengeluarkan dua buah garpu dari dalam laci.
Sekali lagi kuaduk telur bercampur keju, kemudian menaburkan garam dan
merica di atasnya. Kupotong sebongkah mentega dan memasukkannya ke dalam
wajam, lalu memanaskan wajan itu. Perlahan-lahan aku mulai menuangkan telur ke
atas wajan itu. Aroma keju dan telur langsung menyelimuti dapur.
"That smells good," ucap Reilley. Mau tidak mau aku langsung tertawa. Reilley
ikut tertawa bersamaku, dan cair sudah bongkahan es yang membatasi kami.
Aku membalik omelet itu untuk memastikan semua bagiannya telah matang
dengan sempurna. Seperti juga diriku, Reilley kurang suka makan makanan yang
setengah matang. Kami selalu makan makanan yang benar-benar matang atau
welldone. Aku lalu memotong telur itu menjadi dua bagian. Seperti biasa, bagian
Reilley kubuat lebih besar daripada bagianku. Aku tidak tahu di mana dia menyimpan
semua makanan itu karena meskipun makannya banyak, dia tidak pernah kelihatan
gendut. Sedangkan aku, hanya makan sedikit saja langsung harus sit-up lima puluh
kali kalau tidak mau perutku semakin buncit. Dunia ini memang tidak adil.
Reilley lalu mengangkat kedua piring itu ke meja makan.
"Why don"t you sit down. Saya ambilkan kamu minuman," ucapnya, sambil
menatapku tajam ketika aku mencoba protes.
Aku duduk di kursi makan. Reilley meletakkan piring di hadapanku dengan
satu garpu dan satu serbet berwarna biru. Dia melakukan hal yang sama dengan
piring dan peralatan makan untuknya, kemudian berjalan menuju lemari es.
"Oke, kita ada heineken, absolute vodka, dan jus apel. Kamu mau yang mana"!"
teriaknya. "Jus saja. Jangan pakai es," jawabku.
Tiga puluh detik kemudian Reilley menggenggam botol jus apel di tangan
kanannya, dan satu gelas tinggi di tangan kirinya. Dia mengantongi satu botol
heineken di kantong celana jeans-nya.
"Thank you," ucapku, ketika Reilley menuangkan jus apel untukku.
"No... thank you," balas Reilley, sambil duduk di kursi makan dan membuka
botol birnya. "Hari ini rencananya kita ingin melakukan apa?" tanyaku dan memasukkan
satu suap telur ke dalam mulutku.
"Mmmhhh... I"m thinking that we should drive to town and look around. They used
to shoot...." "Dawson"s Creek di Wilmington. Ya, saya tahu," potongku.
"Ya. Saya rasa semua orang tahu tentang itu, ya." Reilley terdengar kecewa.
"Sebetulnya, saya nggak tahu sama sekali tentang itu sampai adik saya kasih
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu ke saya." "Apakah kamu pernah menonton seri itu?" Reilley terdengar sedikit bersemangat.
"Nggak sama sekali. Saya masih sibuk nonton Beverly Hills 90210 saat itu,"
jelasku. Reilley tertawa, "Oh, saya ingat seri itu. Saya selalu berpendapat Brenda
"hot"." Aku pun tertawa. "You like slutty girls huh?" candaku.
"Brenda wasn"t slutty. Nah, kalau Kelly berbeda. Dia merebut Dylan dari
Brenda." "Kamu masih ingat itu?" Aku tidak menyangka laki-laki seperti Reilley suka
menonton serial TV semacam itu.
Reilley tersenyum tersipu-sipu. "Kadang-kadang otak saya suka menyimpan
informasi yang nggak mutu."
"Informasi nggak mutu lains eperti apa lagi yang ada di otak kamu?" tanyaku
penasaran. "Kamu betul-betul mau dengar?" tanya Reilley bingung.
"Ya. Siapa tahu informasi itu bisa berguna suatu hari nanti," jelasku.
Reilley terlihat serius sebelum mengatakan, "Kamu tahu lagu Goo Goo Dolls
yang berjudul Black Balloon?"
"Saya tahu beberapa lagu Goo Goo Dolls, tetapi saya nggak tahu judulnya.
Mungkin saya bisa mengenali lagunya kalau kamu nyanyikan untuk saya,"
jawabku. "Seperti ini lho... Baby"s black balloon makes her fly. I almost fell into that
hole in your life." Reilley hanya perlu menyanyikan dua baris, dan aku bisa langsung
mengenali lagu itu. "Oh, yang itu judulnya Black Balloon?" tanyaku kepadanya.
Reilley mengangguk. "Apa kamu tahu maksud lagu itu?" sambungnya.
"Tentang seorang cewek, kan?" tanyaku ragu. Kulihat Reilley menggeleng.
"Kalau begitu, tentang apa dong?" lanjutku.
"Lagu itu tentang bagaimana rasanya saat menggunakan narkoba," jawab
Reilley. "No, it"s not," bantahku. "Kamu pasti mengarang deh." Mana mungkin ada
orang menulis lagu hits, yang mengakui mereka pernah menggunakan obat-obatan
terlarang" Kemudian aku ingat, ada band dari Afrika Selatan yang menulis lagu
tentang bagaimana rasanya kalau sedang ML.
Reilley mengangkat bahunya. "John Rzeznik yang bilang sendiri kok."
"John who?" "Rzeznik," ulang Reilley. "Dia lead singer Goo Goo Dolls," lanjut Reilley ketika
melihat muka bingungnya. "Oh, the hot dude," ucapku.
"Menurut kamu John Rzeznik "hot?"" Kini giliran Reilley yang terlihat bingung.
"Superhot. Dia itu... mmmhhh.... Nggak tahu deh... misterius mungkin. Dia
seolah-olah tahu sesuatu yang kita nggak tahu. Saya suka sekali bibirnya." Aku
sengaja mengucapkan ini untuk melihat reaksi Reilley, yang sekarang sedang
menatapku seakan-akan aku baru saja mengatkaan bahwa Gollum, karakter
antagonis di film The Lord of the Rings, kelihatan cute.
"Bibirnya?" Reilley meletakkan garpu di atas meja.
"Ya, bibirnya. Kayaknya enak dicium, dan rambutnya..." Aku mencoba
menahan tawaku. "Rambutnya?" Mata Reilley sudah membelalak.
"Kamu nggak akan mengerti betapa "hot"-nya dia karena kamu laki-laki,"
balasku cuek. "You"re right. I don"t. Saya bisa mengerti kalau misalnya kamu bilang...
mmmmhhh... siapa tuh orang Inggris yang main di film bareng Kiera Knightley?"
Reilley mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuknya, mencoba
mengingatingat. "Film Kiera Knightley kan ada banyak. Kamu harus lebih spesifik," ucapku.
"It was a medieval movie," lanjut Reilley.
"King Arthur?" tebakku.
"Ya, itu dia!" teriak Reilley antusias. "Kamu ingat siapa pemeran utama
lakilakinya?" "Clive Owen," jawabku.
"Ya, benar banget," Reilley mengkonfirmasi jawabanku. "Nah, kalau kamu
bilang dia "hot", saya bisa mengerti."
"Menurut saya, Clive Owen memang hot, tetapi berbeda tipenya dari penyanyi
Goo Goo Dolls," jelasku.
"Ada tipe yang beda-beda?"
"Tentu saja ada. Kami para wanita kan sebetulnya nggak terlalu berbeda dengan
laki-laki." Aku menggunakan kata-kata yang sering diutarakan oleh profesorku di
kelas Women"s Studies. Profesor itu mungkin akan tertawa terbahak-bahak bila
mengetahui aku telah mengutip kata-katanya. Pada tahun pertama di universitas,
kami semua diwajibkan mengambil kelas yang berhubungan dengan unsur-unsur
kemanusiaan. Entah bagaimana aku berakhir di kelas itu. Setelah dua minggu aku
harus mengajukan permintaan pertukaran kelas karena pikiranku tidak sejalan
dengan profesor itu. Menurut aku, laki-laki dan perempuan adalah dua spesies
yang sangat berbeda, yang tidak seharusnya berbagi planet.
Kulihat Reilley masih menungguku menyelesaikan argumentasiku. "Oke,
pertimbangkanlah seperti ini. Apakah menurut kamu Jennifer Lopez hot?" tanyaku
kepada Reilley. "Duuuh... do you need to ask?" balas Reilley sarkasme.
Tanpa menghiraukan nada Reilley, aku melanjutkan, "Oke... sekarang apakah
menurut kamu Catherine Zeta-Jones hot?"
"Catherine Zeta-Jones yang mana, ya?" tanyanya.
"Istri Michael Douglas. Dia main di Zorro," ucapku, tidak sabaran.
"Oh, dia. Ya, dia "hot"," kata Reilley.
"Nah, bagaimana kamu bisa menjelaskan itu" Dua wanita yang nggak ada
mirip-miripnya sama sekali."
"Tentu saja mereka nggak mirip. Jennifer Lopez is more feisty kind of hot
whereas that Zorro lady is more sophisticated hot," jelas Reilley.
"Kedua-duanya hot, kan?" desakku.
Dari wajahnya aku dapat melihat, Reilley mulai memahami argumentasiku.
"Mengerti kan maksud saya?" ucapku, penuh kemenangan.
Reilley mengangkat garpu sambil menggerutu. Seperti juga laki-laki pada
umumnya, Reilley menolak mengakui kekalahannya. Aku mengangkat garpu
sambil mencobao menahan senyum.
"Telur saya sudah dingin deh," omelnya, sambil menatapku. "And why are you
looking at me like that for?"
"I wasn"t looking at you like anything," balasku, dan memasukkan sesuap telur ke
mulutku untuk mencegah diriku agar tidak terbahak-bahak.
Kulihat Reilley menyapu bersih piringnya, meskipun sambil menggerutu. Aku
belum pernah melihat Reilley ngambek, dan ternyata dia betul-betu lucu kalau itu
sampai kejadian. "Jadi, apa lagi yang ada di Wilmington selain tempat di mana dulu film
Dawson"s Creek shooting?" Aku mencoba mencari topik baru agar Reilley tidak
terlihat terlalu jengkel lagi. Ternyata aku berhasil karena wajahnya langsung
ceria dalam hitungan detik. "Well, it has it"s charms. Semu aorang sangat bersahabat, dan sebetulnya mereka
kenal satu sama lain. I would take you around town once you finish your lunch,"
ujar Reilley, sambil tersenyum dan mengangkat piring gelasnya menuju dapur.
"Saya sudah selesai," ucapku, setelah memasukkan potongan terakhir telurku
dan mengangkat piring gelas menuju dapur juga.
10 Kehabisan Waktu HARI Minggu sore aku memasuki apartemenku sambil mengucapkan, "Home sweet
home," kemudian mengempaskan tubuh ke sofa. Aku sudah tidak memiliki energi
lagi untuk melakukan apa pun. Aku berpikir untuk meminta izin sakit besok agar
bisa mencerna semua yang terjadi padaku akhir minggu ini. Bibirku terasa agak
sedikit bengkak karena habis diciumi dan menciumi Reilley. Mau tidak mau aku
tertawa mengingat apa saja yang telah kami lakukan dua puluh empat jam yang
lalu. "Titania O"Reilley," ucapku pelan. "Mrs. O"Reilley," ucapku lagi. Aku harus
mengaku bahwa kedua nama itu terdengar cocok untukku.
Kutatap cincin berlian yang sekarang melingkari jari manis tangan kiriku. Aku
masih tidak percaya bahwa Reilley telah melamarku. Kucoba mengingat-ingat
kejadian tadi malam sambil tersenyum.
Setelah makan siang, akud an Reilley pergi menuju pusat kota Wilmington. Aku
harus mengakui kota ini memang menarik. Jalanan utama tidak sebesar di Winston,
tetapi ada banyak toko kecil yang berderet di sisi kiri dan kanan jalan,
membuatnya kelihatan menarik dan mengundang. Reilley membawaku ke dermaga, dan kami
menghabiskan sore itu sambil duduk-duduk dan menikmati suasana yang damai.
"Saya suka di sini," ucapku perlahan.
"I was hoping that you would say that," balas Reilley. Aku sedang menutup mata,
jadi tidak bisa melihat ekspresi wajah Reilley.
Reilley lalu meraih tangan kiriku dan mengenakan sesuatu yang dingin pada
jari manisku. Kubuka mataku untuk melihat apa yang Reilley sedang lakukan, dan
hanya bisa ternganga ketika melihat cincin berlian yang sudah melingkari jariku.
"Kamu nggak usah kasih jawaban sekarang. Saya hanya ingin kamu tahu kalau
saya serius dengan kamu, dan I wish to wake up everyday seeing your face beside
me. Saya ingin menikahi kamu, punya anak dari kamu, dan hidup bersama-sama kamu
seumur hidup saya," ucap Reilley, tanpa melepaskan genggamannya pada
tanganku. Aku masih tidak bisa berkata-kata. Perlahan-lahan kualihkan tatapanku dari
cincin itu ke wajah Reilley, yang sedang menatapku sambil tersenyum. Untungnya
dermaga itu sudah kosong karena matahari sebentar lagi akan tenggelam. Jadi,
tidak ada orang yang bisa menyaksikan lamaran ini. Hal itu justru membuat apa yang
sedang terjadi terasa lebih asli dan khidmat.
"Reilley," bisikku. Jantungku berdetak lebih cepat, dan kurasakan seluruh
tubuhku tiba-tiba menjadi panas.
"Ssshhh... take all the time that you need to consider it. Saya nggak ingin
mendesak kamu. Saya akan ada di sini sampai kamu siap, oke" Saya nggak akan ke manamana."
Reilley lalu memelukku dan mencium keningku. Aku ingin melebur dalam
pelukannya. Setelah matahari terbenam sepenuhnya, Reilley menuntunku pergi ke salah satu
restoran khas Wilmington untuk makan malam. Aku betul-betul tidak bisa berpikir
dengan jernih, aku masih shock. Sebisa mungkin aku mencoba bertingkah biasa
saja, seakan-akan tidak ada kejadian heboh yang pernah kualami sepanjang hidupku.
Tidak setiap hari seorang wanita dilamar laki-laki yang memang diinginkannya.
Kata-kata itu membuatku terdiam seketika. Apakah aku betul-betul menginginkan
Reilley" Aku tahu, secara fisik aku sangat tertarik dengannya. Aku sangat
menyukai segala hal tentang dirinya. Dia memiliki pekerjaan yang bagus dan mapan. Dia
sudah punya rumah, dan dia sangat mencintai keluarganya. Keluarganya pun
kelihatannya menyukaiku. Dia sangat perhatian kepadaku, dan selalu
mempertimbangkan keadaan serta perasaanku dalam situasi apa pun. Lalu seperti
ada petasan yang meledak sangat dekat dengan diriku, aku pun terlonjak dari kursiku. Reilley
terlihat khawatir ketika menanyakan, apakah aku tidak apa-apa. Aku
meyakinkannya bahwa aku hanya perlu pergi ke toilet sebentar. Meskipun Reilley
menatapku dengan curiga, dia tetap membiarkanku pergi.
Di dalam toilet aku baru bisa berpikir, C-I-N-T-A. Lima huruf itu muncul ketika
aku mencoba menggambarkan perasaanku yang sebenarnya kepada Reilley. Aku
mencintai Reilley. Bagaimana bisa, ya" Aku baru mengenalnya selama enam
minggu. Selama ini aku selalu terheran-heran melihat orang-orang yang
menyebarkan undangan perkawinan hanya setelah mengenal pasangan mereka
selama satu bulan, tetapi kini aku mengerti bagaimana fenomena seperti ini bisa
terjadi. *** Sekali lagi kupandangi jariku, yang tiba-tiba terasa lebih berat daripada dua
hari yang lalu. Tiba-tiba aku menginginkan pelukan Reilley, yang selalu bisa
menenangkanku. Aku tidak habis-habisnya menganalisis permintaan Reilley sejak
dia menanyakannya, terutama setelaha ku menyadari bahwa aku mencintainya.
Kalau begitu, mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku" Kalau aku
menerima lamaran Reilley, jelas-jelas aku bisa membuktikan kepada Brandon bahwa
dia salah. Aku telah menemukan laki-laki lain, yang menginginkanku dan ingin
menikahiku. Hah!!! Aku tidak tahu mengapa aku memikirkan Brandon pada saat
ini. Otakku mulai berputar dengan bunyi klik... klik... klik... dan KLIK. Ya...
ampun, itu dia. Brandon. Aku harus bertatap muka dengannya untuk memberitahukan
berita ini. Buru-buru kurogoh telepon selularku dari dalam tas, dan langsung menekan
nomor telepon selular Brandon. Aku telah menghapus segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, termasuk nomor teleponnya. Aku agak terkejut ketika
menyadari, ternyata aku masih ingat nomor itu dengan sempurna. Aku berharap dia
masih menggunakan nomor yang sama. Kudengar nada sambung. Aku menunggu
beberapa saat, kemudian kudengar nama Brandon mengucapkan namaku.
"Hei, Brandon. Apa kabar?"
"Aku baik-baik saja," jawab Brandon, dengan nada bingung. Aku yakin, dalam
hati Brandon sedang bertanya-tanya ada apa aku meneleponnya.
"Baguslah kalau begitu. Apakah kamu masih tinggal di Memphis?"
"Masih. Ada apa?" Brandon terdengar curiga.
Aku mengakhiri basa-basiku, dan langsung ke topik utama. "Aku hanya ingin
tanya, apakah kamu ada rencana berkunjung ke Winston dalam waktu dekat?"
"Nggak sih. Ada apa?" tanyanya, semakin curiga.
Aku mencoba mengontrol emosiku agar suaraku tidak terdengar terlalu
gembira. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan ke kamu, dan aku nggak bisa
omong lewat telepon," ucapku semanis mungkin.
"Oh, ya?" Tiba-tiba Brandon terdengar bersemangat.
"Ya," balasku. Kudengar suara kertas yang sedang dibolak-balik, seolah-olah Brandon sedang
melihat agendanya. "Saya bisa ada di sana hari Sabtu siang, bagaimana?"
tanyanya. "That"s perfect." Aku tahu Reilley tidak akan ada di North Carolina pada akhir
minggu itu. Jadi, dia tidak akan memergoki pertemuanku dengan Brandon.
"Kamu ingin kita bertemu di mana?"
Aku langsung memberikan nama restoran favorit Brandon di Winston. Aku
selalu berpikir itu restoran favorit "kami" ketika aku bersamanya, tetapi kini
aku menyadari betapa aku sangat tidak menyukai makanan yang dihidangkan di
restoran itu. "Apakah kamu ingin aku jemput?" Aku hampir saja tertawa ketika mendengar
Brandon menanyakan hal ini. Ini baru pertama kalinya dia menawarkan
menjemputku. Biasanya kalau ada date denganku, Brandon akan memintaku
menemuinya di restoran saja. Hanya pada saat-saat terakhir hubungan kami saja
Brandon rela menjemputku, yang kin aku tahu hanya sebagai salah satu cara
menutupi rasa bersalahnya kepadaku karena perselingkuhannya.
"Aku bertemu kamu saja di sana langsung. Sekitar pukul 12.00, bagaimana?"
Brandon langsung menyetujui jadwal itu. Aku lalu menutup telepon sebelum aku
mulai tertawa terbahak-bahak di depannya, dan merusak semua rencanaku.
"Hahaha... biar tahu rasa nih orang," ucapku.
*** Aku tidak bisa tidur selama beberapa hari, menunggu hingga hari Sabtu tiba.
Semakin hari aku semakin yakin, satu-satunya jawaban yang harus aku berikan
kepada Reilley, kalau dia melamar lagi adalah, "Yes". Setiap malam, di mana pun
dia berada, dia akan meneleponku hanya untuk menanyakan apa yang aku lakukan
hari itu. Dia meminta maaf tidak bisa pergi menemuiku hingga minggu depan
karena dia akan berada di San Fransisco. Meskipun aku merindukannya, aku bukan
tipe perempuan yang merengek-rengek meminta agar pacarnya cepat pulang. Aku
hanya memintanya menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia tidak
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyinggung satu patah kata pun tentang cincin yang sekarang melingkari jariku
dan lamarannya. Aku yakin dia sedang berusaha menepati janjinya, dan
memberikanku waktu untuk mempertimbangkan ini semua. Aku sangat bersyukur
atas toleransi itu. Satu-satunya orang yang tahu hubunganku dengan Reilley sudah pada tahap
yang sangat serius adalah Sandra. Mau tidak mau aku terpaksa memberitahukan
alasan meminta MBD membatalkan semua kencan buta yang sudah dijadwalkannya
untukku, meskipun aku masih ada sekitar dua minggu lagi sampai kontrakku habis.
Sandra mengucapkan selamat kepadaku, dan berharap agar aku mengirimkan
undangan pernikahanku secepatnya. Didi memang terdengar curiga ketika
mendengar laporanku yang biasa-biasa saja tentang kunjunganku ke Wilmington.
Untuk pertama kalinya aku bisa menyembunyikan apa yang sebetulnya terjadi
darinya. Aku berjanji, aku akan memberitahunya setelah aku berbicara dengan
Brandon, dan juga Reilley.
Untungnya hari Sabtu akhirnya tiba juga. Aku sengaja datang agak terlambat ke
restoran untuk membuat Brandon menunggu. Aku kini yang memegang kendali,
dan aku berniat menggunakan keadaan ini dengan semaksimal mungkin. Kulihat
Brandon sudah duduk di meja tempat kami biasa duduk di restoran ini. Aku
menyentuh jari manis tangan kiriku untuk memastikan bahwa cincin Reilley, benda
yang menandai diriku sebagai miliknya, masih melingkar di sana. Brandon berdiri
dari kursinya ketika melihatku. Aku pun mendekat dan sengaja mencium pipinya.
Brandon kelihatan agak terkejut, tetapi dia membalas ciumanku dengan antusias.
"You look good, babe," ucap Brandon. Aku sengaja tidak membetulkan kata yang
digunakannya untuk memanggilku. Tatapan Brandon penuh dengan kerinduan yan
gtidak mapmu dibendungnya lagi.
"I feel good," jawabku, sambil tersenyum.
Waiter kemudian tiba, dan kami memesan makanan dan minuman masingmasing.
"Pekerjaan kamu bagaimana?" tanyaku.
"Baik-baik saja," jawab Brandon. Lalu, "It"s so good to hear your voice again."
Ketika melihat aku hanya tersenyum, Brandon melanjutkan, "Jadi, apa yang
perlu kamu bicarakan kepadaku?"
Aku sudah menunggu hingga dia mengajukan pertanyaan ini. Sebelum aku
menjawab, waiter sudah kembali dengan minuman pesanan kami. Aku pun minum
seteguk sebelum menjawab.
"Kamu masih ingat apa yang kamu katakan kepadaku ketika aku
mengembalikan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku?"
Brandon menatapku bingung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Kamu berkata... "Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang akan mau
dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan
kamu"." "Aku berkata begitu?" Brandon kelihatan terkejut.
"Yes, you did," ucapku tenang.
Aku hampir saja tertawa ketika melihat wajah Brandon, yang kelihatan sangat
bersalah. "Kamu nggak usah kelihatan bersalah begitu. Aku nggak akan mengomeli
kamu soal itu. Aku sebetulnya mau mengucapkan terima kasih kepada kamu."
Kini Brandon kelihatan terkejut, penasaran, dan bingung.
"Selama sembilan bulan, aku sudah mencoba membuktikan kamu salah.
Memang aku memerlukan waktu lebih lama daripada yang aku rencanakan, tetapi
nggak apa-apa." "Maksud kamu?" "I"m engaged, Brandon," ucapku, smabil mengangkat tangan kiriku dan
menunjukkan cincin berlian Reilley.
Mata Brandon hampir saja keluar ketika melihat cincin empat karat itu. "He is a
great guy. Dia bukan seorang pengacara, tapi dia ada pekerjaan yang cukup
mapan." Melihat Brandon tidak bereaksi, aku melanjutkan, "Yang paling penting adalah dia
menyayangi aku, dan dia ingin menghabiskan seluruh hidupnya... dengan aku."
Brandon masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata ketika makanan kami tiba.
Aku langsung menyerang salad salmon bakarku. Brandon tidak menyentuh
makanannya, dia justru mengerlingkan matanya kepadaku.
"Apakah ini alasannya mengapa kamu ingin bicara kepadaku langsung" Untuk
memamerkan pertunangan kamu?" Suara Brandon terdengar sedikit bergetar.
Aku menelan suapanku sebelum menjawab, "Nggak, kan aku sudah katakan.
I"m here to thank you." Dalam hati aku sedang bersorak gembira. Aku betul-betul
telah membalas penghinaan Brandon terhadapku sembilan bulan yang lalu itu.
"Thank me my ass," omelnya. Beberapa orang sudah mulai melirik ke arah meja
kami. "Brandon, kamu harus tenang. Orang-orang mulai memperhatikan kita,"
ucapku pelan. Seperti yang sudah aku perkirakan, Brandon meledak.
"Aku nggak peduli orang memperhatikan kita. Apakah kamu sudah tidur
dengan dia" Oh... aku yakin kamu sudah hamil beberapa bulan ya, itu sebabnya
mengapa dia melamar kamu!" teriak Brandon.
"Brandon...," aku mencoba menenangkannya, tetapi Brandon seolah-olah tidak
mendengar dan berlanjut dengan kemarahannya.
"Aku nggak percaya kamu bersedia tidur dengan dia, tetapi nggak dengan
aku," ucapnya. "Aku tidak tidur dengan dia!" teriakku. Aku tidak terima segala tuduhan yang
dilayangkan Brandon kepadaku. Kuletakkan garpu yang aku pegang agar tidak
melemparkannya kepada Brandon.
Brandon terdiam, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Aku kini yakin,
pikirannya sudah tidak stabil. Ada apa juga dia tertawa kalau tidak ada yang
lucu" "Ohhh... that guy is so much smoother than I am. I give him that," ujar Brandon,
sambil mencoba mengontrol tawanya.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Apakah kamu nggak bisa lihat, Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu.
Itu sebabnya dia melamar kamu. Pakai cincin mahal segala lagi." Brandon
menunjuk cincin dari Reilley.
"Dia nggak hanya ingin ML dengan aku," omelku.
"Has he said that he loves you?"
"Of course..." Tiba-tiba aku teringat, Reilley tidak pernah mengatakan kata
cinta kepadaku. Tentu saja dia mengatakan dia ingin menikahiku dan hidup denganku
selama-lamanya, tetapi tidak kata cinta.
Melihatku tiba-tiba terdiam, Brandon berkata, "Dia belum bilang apa-apa
tentang itu, kan?" tanya Brandon, dengan penuh kemenangan.
"Dia nggak perlu omong. Aku tahu dia mencintaiku." Aku mencoba terdengar
meyakinkan, tetapi aku tahu hatiku mulai bertanya-tanya.
"Kamu yakin?" Aku hanya mengerlingkan mataku kepada Brandon. "Jangan nikah dengan dia,
aku tahu tipe laki-laki seperti dia. Dia cuma salah satu dari banyak laki-laki
yang terobsesi dengan perempuan Asia. Mereka hanya ingin mencicipi saja, dan begitu
mereka sudah tahu bagaimana rasanya mereka akan meninggalkan kamu tanpa
permisi lagi," ucap Brandon pelan.
Ini tidak mungkin. Reilley tidak seperti yang Brandon gambarkan, tetapi tanpa
sadar aku mulai menganalisis tindakan-tindakan Reilley yang memang kelihatan
sangat tertarik dengan budaya dan kebiasaanku sebagai orang Asia. Aku tetap
mencoba membela Reilley. "Dari mana kamu tahu tentang itu?"
"Karena aku laki-laki. Percaya kepadaku soal yang satu ini. Memang kamu
sudah tahu dia selama berapa lama sih?"
"Beberapa bulan," jawabku.
"Beberapa bulan" Jelas-jelas dia hanya ingin ML saja dengan kamu, that"s it."
"Shut up, Brandon," ucapku datar.
"Oke... oke... coba aku ganti kalimatnya. Aku sudah kenal kamu selama tiga
tahun, dan aku nggak yakin aku ingin dan bisa menikah dengan kamu. Dia baru
kenal kamu selama beberapa bulan, dia bakalan kabur sebelum bulan madunya
kelar." "No, he won"t," bantahku.
"Mau taruhan?" Mata Brandon terlihat berbinar-binar. "Menurut aku, kamu
jangan menikah dengan laki-laki yang baru kamu kenal selama beberapa bulan saja.
Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia."
"Aku tahu semua hal yang perlu aku tahu tentang dia," balasku.
"Oh, yeah" Do you know his social security number?" tantangnya, ketika melihatku
tersedak Brandon tersenyum lebar.
Shit! teriakku dalam hati. Jangankan nomor jaminan sosial, aku bahkan tidak
tahu nama ibu Reilley. "Apakah dia tinggal di Winston?" Kudengar Brandon bertanya.
"No, he doesn"t," jawabku. "We try to meet as often as possible when he"s
around." "Aha... dia sudah merencanakan semuanya dengan baik kelihatannya. Aku
yakin dia juga pacaran dengan orang lain selain kamu."
"Enak saja kamu ngomong."
"Buka mata kamu, Titania. Dia itu laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks
dari kamu, dia akan mendapatkannya dari orang lain."
"Not all men are jerks like you, Brandon," geramku.
"Are you sure about that?"
Kalau Brandon enanyakan hal itu dua puluh empat jam yang lalu, aku akan
langsung menjawab dengan, "Of course I"m sure," tanpa perlu berpikir panjang
lagi, tetapi sekarang aku mulai mempertanyakan keyakinanku itu. Aku betul-betul tidak
merencanakan hubunganku dengan Reilley dibedah dan dianalisis Brandon. Aku
hanya menemuinya untuk mengibarkan bendera kemenanganku di hadapannya,
tetapi sekarang aku hanya bisa duduk diam dan menatap Brandon yang sedang
tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana mungkin posisi kami berganti hanya
dalam hitungan menit"
"Saya sudah mengatakan apa yang perlu dikatakan, sekarang I"m gonna go,"
ucapku, sambil mengeluarkan uang dua puluh dolar dari dalam dompetku dan
melemparkannya ke atas meja.
"Oh come on, babe. Kamu nggak harus pergi." Brandon menarik pergelangan
tanganku. "I"m not your babe. Sekarang lepaskan tangan aku," desisku. Brandon
melepaskanku dan aku pun bergegas ke luar restoran.
*** Malam itu aku tidak mengangkat telepon ketika Reilley meneleponku, juga ketika
dia meneleponku pada hari-hari berikutnya. Meskipun aku tahu aku tidak
seharusnya mendengarkan kata-kata Brandon, entah mengapa aku tidak bisa
menghapuskannya dari kepalaku. Kata-katanya terngiang-ngiang di telingaku.
"Apa kamu nggak bisa lihat, Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu. Itu
sebabnya dia melamar kamu. Pakai cincin mahal segala lagi." Pisau baru saja
menyayat hatiku. "Has he said that he loves you?" Pisau itu sekarang sudah menusuk.
"Dia cuma salah satu dari banyak laki-laki yang terobsesi dengan perempuan Asia.
Mereka hanya ingin mencicipi saja, dan begitu mereka sudah tahu bagaimana
rasanya mereka akan meninggalkan kamu tanpa permisi lagi." Sebuah kampak sudah melayang.
"Aku sudah kenal kamu selama tiga tahun, dan aku bahkan masih nggak yakin aku
ingin menikah dengan kamu. Dia baru kenal kamu selama beberapa bulan, dia bakalan
kabur sebelum bulan madunya kelar." Kudengar bunyi gergaji listrik baru saja
dinyalakan. "Buka mata kamu, Titania. Dia itu laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks
dari kamu, dia akan mendapatkannya dari orang lain." Aku sudah mati karena jantungku
berhenti berdetak. Aku betul-betul sedang berlaku tidak adil terhadap Reilley, dan aku tahu aku
harus meluruskan ini semua sebelum semuanya menjadi lebih parah lagi. Reilley
berkata dia harus pergi ke New York pada akhir bulan ini. Jadi, aku harus
meneleponnya sekarang untuk bertemu dengannya. Aku tahu Reilley akan tiba dari
San Fransisco pada hari Kamis. Jadi, pada Rabu malam aku pun meneleponnya.
"Titania, are you okay" Kamu nggak angkat telepon dariku." Meskipun Reilley
berbicara dengan tenang, aku bisa mendengar kekhawatiran di balik suaranya.
"I"m fine. Hei, kamu keberatan nggak kalau saya datang ke Wilmington untuk
bertemu kamu besok?" Aku mencoba membuat suaraku terdengar gembira.
"Tentu saja nggak, tetapi apakah itu nggak terlalu jauh untuk kamu" Saya bisa
pergi ke rumah kamu langsung dari Raleigh."
Aku hampir saja menangis mendengar Reilley mengatakan ini. Seperti biasa, dia
selalu penuh perhatian. Dia jelas-jelas tidak mau aku harus menempuh jarak empat
setengah jam, yang berarti sembilan jam bolak-balik hanya untuk menemuinya.
"No no... it"s okay. Saya ingin sekalian melihat Wilmington lagi, "jawabku.
"Well, okay," ucap Reilley ragu.
"Pukul beratap kamu sampai di rumah?"
"Sekitar pukul empat," jawab Reilley.
"Okay then. I will see you at four tomorrow," ucapku, lalu menutup telepon itu.
Aku terpaksa meminta izin pulang lebih cepat dari kantor besok.
*** Keesokan harinya, ketika aku baru saja melangkah ke luar mobil Reilley bergegas
menuju ke arahku. Tanpa mempedulikan reaksiku, dia langsung memelukku dan
mencium bibirku. "I"m sorry. I don"t mean to kiss you like that, but I"ve been missing you for
the past week," ucap Reilley, setelah dia melepaskan bibirku.
Aku hanya mengangguk. "Kamu sudah makan?" tanyanya, sambil menarikku masuk ke dalam
rumahnya. "Sudah," jawabku pendek. "Kamu?" tanyaku.
"Sudah, saya makan burger tadi di jalan."
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
"Reilley... we need to talk," ucapku, akhirnya memberanikan diri mengatakan apa
yang perlu aku katakan. "So talk," balas Reilley cuek.
"Can we sit somewhere?" tanyaku.
Mendengar nada seriusku, Reilley langsung menarikku ke arah meja makan. Dia
baru melepaskan tangan kiriku ketika duduk.
Aku menarik napas dalam sebelum berkata, "Sori... ya, saya nggak angkat
telepon dari kamu selama seminggu ini," ucapku.
"Ya, saya agak khawatir jangan-jangan telepon kamu rusak atau ada apa
begitu," balas Reilley.
"Telepon saya nggak rusak. Saya hanya perlu waktu untuk berpikir."
"Berpikir" Tentang kita?" tanya Reilley hati-hati.
Aku mengangguk. Seperti bisa menebak kata-kataku selanjutnya, Reilley
langsung nyerocos, "Look. Saya kan sudah berkata, kamu nggak usah khawatir soal
itu. Kamu lupakan saja omongan saya if that would make you feel any better. Saya
nggak..." Reilley terdiam ketika melihatku mengangkat tangan. Aku lalu mengeluarkan
kotak cincin yang terbuat dari beludru warna hitam dari dalam tasku.
"Saya ke sini untuk mengembalikan ini ke kamu." Kudorong kotak beludru itu
ke hadapan Reilley. "I can"t marry you, Reilley." Aku tidak berani menatapnya.
Ketika selang beberapa detik dan Reilley masih belum mengatakan apa-apa, aku
terpaksa mengangkat wajahku. Apa yang kulihat pada wajah Reilley langsung
membuat jantungku berhenti berdetak. Dia sedang menatapku dari balik bulu
matanya. Ada kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaan di tatapannya itu.
"I see," ucap Reilley pendek.
Aku lalu mengangguk. "I"m sorry that you have wasted so much of your time and
energy on me." Kutarik tasku dari pangkuanku, dan berdiri. Reilley hanya
mengangkat kepalanya dan menatapku, tetapi dia tidak berdiri.
"Saya akan kirimkan barang-barang kamu. Bye, Reilley," ucapku, dan tanpa
menunggu jawaban aku langsung bergegas ke luar ruangan itu menuju mobil.
Lima belas menit kemudian, aku sudah berada di I-40 menuju Winston dengan
air mata yang sudah membasahi seluruh wajahku. Dadaku rasanya mau meledak.
Mengetahui bahwa aku sebaiknya tidak berada di belakang setir dengan keadaan
seperti ini, aku pun menghentikan mobilku di bahu jalan dan menangis sepuasnya.
Aku baru menyadari kemudian, salju sedang turun dengan cukup lebat. Aku
melihat ke sekelilingku, dan permukaan jalan raya itu sudah putih semua. Dari
gelagatnya kelihatannya North Carolina akan tertutup oleh salju tebal sebelum
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah malam, dan aku harus sudah berada di rumah sebelum hal itu terjadi.
Buruburu kuhidupkan mesin mobil, dan dengan ban berdecit aku kembali ke jalan
raya. Dalam kondisi seperti itulah aku meninggalkan Wilmington, Reilley, dan hatiku di
sana. *** Bulan Maret pun tiba, dan untuk pertama kalinya kota Winston-Salem betul-betul
mati total. Dengan salju setebal hampir 80 sentimeter, orang-orang Winston
disarankan hanya keluar rumah kalau memang betul-betul perlu saja. Untungnya
aku telah membeli makanan sebanyak-banyaknya sehingga aku tidak perlu keluar
rumah sama sekali. Aku bisa mendengar bunyi angin yang bertiup dengan kencang
di luar. Ketika aku mengintip ke luar melalui jendela, aku tidak bisa melihat
apa-apa kecuali putih. Kantorku sempat ditutup selama dua hari, hal yang sangat aku
syukuri karena aku yakin mobilku tidak akan mampu menembus salju setinggi itu.
Menurut Didi, keadaan di Washington, D.C. bahkan lebih parah. Dia tidak bisa
keluar rumah sama sekali selama dua hari karena salju telah mengubur mobilnya
hingga atap. Reilley sama sekali tidak mencoba menghubungiku.
Seminggu kemudian, Didi memberitahuku dia tidak bisa mengunjungiku untuk
liburan musim semi. Meskipun akhirnya badai salju sudah berlalu, dia tidak
berani membawa mobil dari Washington, D.C. menuju Winston sendirian dengan keadaan
jalan yang belum betul-betul normal. Di satu sisi aku merasa sangat kecewa
dengan berita ini karena aku sangat mengharapkan kedatangannya untuk menghiburku,
tetapi di sisi lain aku sangat berterima kasih kepada Tuhan atas kejadian ini
karena aku belum siap menghadapi serangan pertanyaan yang pasti akan datang darinya.
Didi masih belum tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Reilley. Aku selalu
menghindar setiap kali dia menanyakan tentang itu.
Suatu hari, tanpa ada hujan atau badai, aku teringat satu bait lagu Burung Camar
yang didendangkan Vina Panduwinata.
Tiba-tiba kusadari lagu burung camar tadi
Hanya kisah sedih nada duka, hati yang terluka,
Tiada teman, berbagi derita,
Bahkan untuk berbagi cerita.
Tanpa kusadari aku sudah menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadaku
yang tiba-tiba terasa sakit sekali.
Bulan Maret berganti ke bulan April, dan April ke Mei. Aku mulai merasa
seperti zombie. Orang-orang di kantorku pun mulai mengomentari wajahku yang
kelihatan lelah dan tidak pernah lagi tersenyum. Tidak seperti waktu bulan
Januari, di mana aku tidak habis-habisnya tersenyum kepada semua orang. Linnell, bosku,
mengumpamakan wajahku yang sekarang seperti bumi yang tidak lagi terkena sinar
matahari, semuanya gelap. Aku tertawa sedih ketika mendengar ini karena
sejujurnya aku memang merasa seperti telah kehilangan matahariku. Sebagai
seorang profesional, aku tidak pernah membiarkan kehidupan pribadiku
memengaruhi pekerjaanku sehingga Linnell tidak memiliki alasan menegurku. Aku
mulai menyesali keputusanku tentang Reilley. Beberapa kali aku mencoba menekan
nomor teleponnya yang masih terdaftar di deretan nama "Hunny Bunny" di
phonebook telepon selularku, tetapi pada detik terakhir aku menekan CANCEL
sebelum panggilan itu tersambung.
Lebih parahnya lagi, akibat keputusan tergoblok yang pernah aku ambil
sepanjang hidupku pada bulan Februari itu, kini Brandon mengira dia memiliki hak
mengganggu hidupku lagi. Akhirnya, baru dengan ancaman aku akan
melaporkannya ke polisi kalau dia tidak juga berhenti menggangguku, Brandon
menghentikan aksi terornya.
Tanggal 4 Mei pukul setengah enam pagi, aku menelepon Didi untuk
mengucapkan selamat ulang tahunnya yang ke-27. "Mbak, Reilley bagaimana
kabarnya?" tanya Didi, setelah kami membahas segala sesuatu yang perlu dibahas,
tetapi tetap menghindari topik ini.
Aku terdiam seribu bahasa. Sudah dua bulan lebih aku tidak bertemu dengan
Reilley. Lebih dari apa pun juga, aku merindukan suaranya yang selalu penuh
dengan kehangatan. Selama satu bulan pertama setelah aku memutuskan hubungan
dengannya, aku tetap membiarkan peralatan mandinya berada di dalam kamar
mandi, bersebelahan dengan peralatan mandiku. Kubiarkan handuk Reilley
tergantung tanpa disentuh. Beberapa bajunya masih tersimpan di lemari. Bahkan
botol cologne-nya yang masih setengah penuh kubiarkan berada di atas meja
dandanku. Aku tidak mampu menyingkirkan benda-benda itu. Benda-benda yang
mengingatkanku bahwa Reilley benar-benar pernah hadir di dalam hidupku.
Memasuki bulan kedua aku mencoba memberanikan diri, dan mulai
menyingkirkan benda-benda itu. Baru saja aku mengangkat botol shampoo-nya, aku
langsung tidak bisa bernapas. Aku harus duduk di atas toilet dan memegangi
dadaku, berusaha tetap menjaga utuh hatiku yang sudah retak ini. Aku tahu, aku
sebaiknya memenuhi janjiku untuk mengirimkan benda-benda itu kembali kepada
Reilley, tetapi aku masih juga belum sanggup melakukannya.
"I don"t want to talk about it," ucapku, menjawab pertanyaan Didi.
"Mbak ada apa sih dengan dia" Kok tiba-tiba saja Mbak berhenti bicara tentang
dia, padahal aku dengar Mbak excited banget ketika baru balik dari Wilmington?"
Nada Didi terdengar agak menuduh.
"Aku nggak ingin membicarakan tentan gdia, oke." Nadaku terdengar tajam.
"Dia berbuat apa denganmu sih, Mbak" Dia nggak macam-macam, kan?" Kini
Didi terdengar agak waswas.
"Kamu kok omong begitu?"
"Habis... Mbak nggak mau menjelaskan ke aku duduk permasalahnnya. Jadi, ya
aku hanya bisa menebak, kan?"
"Di, just let it go, okay," pintaku. Kudengar Didi terdiam. "You"re not gonna
let it go, are you?" "No. Mbak, kamu sudah diam saja selama dua bulan lebih tentang ini. Mbak
sudah jarang tertawa lagi. Setiap kali aku telepon, Mbak selalu kedengaran
capek. Mbak selalu menghindar setiap kali aku bertanya soal Reilley. Setidak-tidaknya,
ketika Mbak putus dengan Brandon, Mbak masih bisa marah-marah, tetapi ini...
Mbak hanya diam saja. Aku tahu Mbak sudah putus dengan Reilley, dan aku yakin
Mbak yang memutus dia. Yang aku nggak tahu, "mengapa" Mbak memutus dia?"
"Kamu tahu dari mana aku putus dengan Reilley?"
"Mbak, aku ini calon doktor jurusan psikologi. Segoblok apakah Mbak pikir aku
ini kalau sampai nggak bisa mengenali gelagat orang yang sedang patah hati?"
Aku terdiam mendengar pernyataan Didi. Aku pikir aku sudah berhasil
membohongi adikku, tetapi ternyata dia hanya berdiam diri dan menelan semua
alasanku karena dia sedang menunggu hingga aku siap menceritakan kejadian
sebenarnya. Mendengarku terdiam, Didi bertanya lagi, "You wanna talk to me about
it?" Hanya dengan kata-kata itu, meluncurlah tetesan air mata pertama dari sudut
mataku. "Dia berencana mau memutus aku. Jadi, sebelum dia bisa memutus aku, aku
lebih dulu memutus dia," ucapku perlahan-lahan.
"Oke... dari mana Mbak tahu dia bakal memutus Mbak?" Aku tahu Didi
mendengar suaraku yang tersedak mencoba menahan tangis, tetapi dia tidak
mengatakan apa-apa. "Dari semua gelagatnya yang selalu manis dan perhatian kepadaku," jawabku.
"Mbak, kayaknya Mbak harus menjelaskan ke aku deh. Mengapa laki-laki yang
perhatian kepada Mbak, dan selalu baik kepada Mbak mengindikasikan mereka
akan memutus hubungan?"
"Brandon selingkuh setelah lebih perhatian dan lebih manis terhadapku!"
teriakku. "What in the hell... Mbak kok bisa-bisanya membandingkan Reilley dengan lakilaki
supersinting kayak Brandon sih?" Didi berteriak marah.
"Karena itu benar, Di. Brandon berkata kepadaku bahwa Reilley nggak akan
menikahiku setelah dia memuaskan rasa penasarannya tentang aku."
"That is the most ass backward thing I have ever heard," geram Didi. "Wait a
minute, Mbak bilang Brandon berkata ke Mbak.... Sejak kapan Mbak omong dengan dia
lagi?" Kuseka air mataku dengan tisu, kemudian menceritakan semuanya kepada Didi.
Mulai dari lamaran Reilley, pertemuanku dengan Brandon, hingga hari aku pergi
menemui Reilley di Wilmington dan mengembalikan cincin itu. Didi tidak
berkatakata selama beberapa menit, dan aku jadi khawatir saluran teleponku tibatiba terputus. "Di, kamu masih di situ, kan?" tanyaku.
"Masih. Sorry, aku hanya sedang terkesima dengan kakakku yang pintar ini.
mengapa kok dia selalu jadi goblok bila dekat-dekat dengan mantan pacar
brengseknya itu." "Aku nggak goblok," omelku. Aku tidak akan tinggal diam kalau ada orang
yang mengatakan aku goblok. Tidak ada orang yang boleh menggunakan kata itu
untuk menggambarkan diriku, kecuali diriku sendiri.
"Oh, ya" Jadi, mengapa Mbak memutus Reilley?" tantang Didi.
Aku langsung terdiam. "Mbak sudah bicara dengan dia sejak dari Wilmington?" tanya Didi. Dengan
susah payah dia mencoba menggunakan nada sehalus mungkin denganku.
"Belum. Dia nggak telepon aku juga."
"Ya, iyalah dia nggak telepon, Mbak. Laki-laki mana juga yang bakal menelepon
begitu lamarannya ditolak?"
Sekali lagi aku hanya terdiam.
"Mbak cinta kan dengan Reilley?"
"Ya. Aku sebetulnya ingin bilang perasaanku ke dia, tetapi dia nggak pernah
mengatakan cinta kepadaku. Jadi, ya sudah."
"Sejak kapan sih Mbak jadi begini sentimentilnya hanya gara-gara satu kata itu"
Bukannya selama ini Mbak bilang ke aku kalau kata cinta itu sudah terlalu
dibesarbesarkan" Lagi pula juga, dia sudah melamar Mbak. Apakah itu belum cukup
bukti bahwa dia cinta kepada Mbak."
"I don"t know. I serously don"t know, okay!" teriakku frustrasi.
"Oke... oke...," balas Didi, agak terkejut mendengar teriakanku.
"Aku harus bagaimana, Di?"
"Kalau Mbak memang terobsesi banget mendengar kata cinta dari dia, aku
sarankan Mbak tanya dia. Telepon dia sekarang juga dan tanya," perintah Didi.
"Kalau misalnya dia nggak mau bicara dengan aku, bagaimana?"
"Ya... kan masih ada e-mail, text message, surat, kirim kurir, samper dia di
rumahnya kek, di kantornya kek. Pokoknya, terserah deh," balas Didi tidak
sabaran. Aku memikirkan saran Didi beberapa detik, kemudian loncat dari tempat tidur.
"Di, sudah dulu ya," ucapku, dan tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung
memutuskan sambungan itu.
Dengan tangan gemetaran aku menekan nomor telepon Reilley. Aku berjalan
bolak-balik di samping tempat tidur, menunggu hingga ada nada sambung. Setelah
lima deringan aku mendengar suara Reilley.
"You have reached Francis O"Reilley"s cell number. I"m sorry that I"m unable to
pick up your call right now. Please leave a message and I will get back to you as soon
as I can." "Damn it!" teriakku. Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sudah pukul
setengah tujuh. Aku harus mandi dan berangkat kerja.
Satu setengah jam kemudian, aku sudah tiba di kantor tanpa menyadari
bagaimana aku bisa sampai di sana. Aku sudah mencoba menghubungi nomor
Reilley sebanyak empat kali, dan setiap kali voicemail-nya yang menjawab. Apakah
mungkin Reilley sedang berada di luar Amerika, dan tidak membawa teleponnya
sehingga semua panggilan akan langsung masuk ke voicemail" Aku menimbangnimbang
untuk menelepon kantor Reilley di Raleigh. Selama mengenal Reilley, aku
tidak pernah mengganggu orang di kantornya. Aku akhirnya memutuskan untuk
memberinya waktu, mungkin dia memang sedang sibuk dan tidak bisa mengangkat
telepon. Kutarik napas dalam, dan menumpukan perhatianku pada pekerjaanku.
Pukul sembilan aku mencoba menghubungi nomor telepon selular Reilley lagi,
tetapi kembali hanya voicemail-nya yang menjawab. Pukul sepuluh telepon
selularku bergetar. Jantungku langsung berhenti berdetak selama beberapa detik, kemudian
kuberanikan diri melirik ke layar dan menggeram.
"Di, aku sedang coba menghubungi dia, tapi belum terhubung. Nanti begitu aku
bisa terhubung dengan Reilley, aku langsung kasih tahu kamu, ya," ucapku,
sebelum Didi bisa mengatakan apa-apa.
"Oke," balas Didi, sambil cekikikan dan menutup telepon. Pikiranku sudah
terlalu galau untuk menanyakan mengapa dia cekikikan.
Aku menimbang-nimbang telepon selularku dengan tangan kanan, lalu tanpa
aku sadari aku mulai menuliskan pesan untuk Reilley.
Reilley, I really need to talk to you. Would you call me as soon as you read
this message. Titania. Aku lalu mengirimkan pesan itu dan mencoba mengontrol napasku, yang tibatiba
memburu. Pukul 12.00, aku masih belum juga mendapat kabar apa-apa dari
Reilley. Aduh, ini orang ke mana sih" Setidak-tidaknya, dia kan bisa telepon aku
balik atau kirim text message kalau memang dia nggak mau omong denganku,
omelku dalam hati. Pukul satu siang, aku baru kembali dari makan siang ketika
aku akhirnya memutuskan menelepon kantor Reilley. Aku sudah tidak mampu
menunggu lagi. Kukeluarkan kartu nama Reilley dari dalam agendaku.
Kutekan nomor itu perlahan-lahan untuk memastikan aku tidak salah tekan
atau salah lihat, lalu kuletakkan telepon di telinga. Tidak lama kemudian aku
mendengar nada sambung, dan seorang wanita yang menyebut dirinya sebagai
Wanda menyambutku dengan ramah.
"Can I please be connected to Francis O"Reilley," ucpaku, kemudian menahan
napas. "Mr. O"Reilley"s is not in today, but I can connect you to his assistant. Would
that be okay?" balas Wanda. Asisten" Reilley tidak pernah berkata kepadaku dia punya asisten. Tampaknya
jabatan Reilley di perusahaan ini jauh lebih tinggi daripada apa yang telah
diungkapkannya kepadaku. "Yes, that would be fine," jawabku.
"Hold, please." Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara laki-laki di ujung
saluran telepon. "Yes, I"m supposed to be connected to Mr. Francis O"Reilley"s assistant?"
"Yes. I am Mr. O"Reilley"s assistant. I"m Michael, how can I help you?" Michael
terdengar ramah. "Ya. Bisa kasih tahu bagaimana saya dapat menghubunginya" Saya sudah
mencoba menghubungi telepon selularnya sejak pagi, tetapi tidak pernah diangkat.
"Wah, saya nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi, teleponnya biasanya tetap
hidup sampai dia naik ke pesawat."
"Is he going somewhere?"
"Well, he"s technically on his vacatio, Ma"am, but he always leaves his cell on
just incase we need to reach him."
Aku mengembuskan napas kesal. Tampaknya aku harus menunda bertemu
dengan Reilley hingga dia kembali dari cutinya. "Apakah Anda tahu kapan dia akan
kembali?" "Pesawatnya berangkat dari Raleigh pukul 16.00 hari ini. Dia baru akan kembali
sekitar bulan Juli."
"Bulan Juli"!" teriakku terkejut.
"Ya, Mr. O"Reilley selalu mengambil cuti delapan minggu untuk pergi ke Nice
setiap tahun, Ma"am."
"Did you say Nice?" Aku langsung teringat, Reilley pernah mengatakan dia dan
keluarganya selalu pergi ke Nice setiap musim panas. Sekarang kan masih awal
bulan Mei. Musim panas baru akan dimulai pada bulan Juni.
"Yes, Ma"am," jawab Michael. Aku langsung melirik jam tanganku, yang kini
telah menunjukkan pukul setengah dua. Aku langsung panik.
"Dia mengambil penerbangan apa?"
"Dia akan terbang ke JFK dengan Delta, lalu melanjutkan penerbangannya
dengan Air France ke Paris lalu Nice."
"Apa nomor penerbangannya?"
Kudengar suara keyboard yang sedang ditekan, kemudian Michael memberikan
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nomor penerbangan itu. Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih sebelum
menutup telepon. Tanpa mematikan komputer, aku langsung pergi menemui bosku
dan meminta izin keluar karena ada keadaan darurat. Melihat wajah panikku,
Linnell tidak bertanya-tanya lagi dan langsung membolehkanku pergi.
Aku berlari sekuat tenaga menuruni tangga menuju lantai dasar, lalu aku berlari
lagi menuju mobil. Kuhidupkan mesin, dan tanpa menunggu lagi aku langsung
tancap gas. Aku hanya ada waktu dua jam lebih sedikit untuk mengejar
penerbangan itu. Aku sudah kehabisan waktu.
"Tunggu, Reilley, tunggu... please tunggu sampai aku datang!" ucapku pelan.
11 Belajar Bahasa Indonesia KUTATAP tubuh tinggi besar, yang masih tertidur di atas sofa. Tiba-tiba seorang
laki-laki mengenakan jas putih dokter dengan rambut ubanan dan langkah sigap
sudah memasuki ruangan diikuti suster. Setelah dia cukup dekat, aku bisa membaca
nama yang disulam pada jas putihnya. Roland Smith, M.D.
"Ahhh... our sleeping beauty is awake," ucap dokter itu, dengan suara yang
menggelegar. Aku sebenarnya ingin sekali menutup telingaku dengan kedua
tanganku, tetapi karena tangan kananku sedang digenggam oleh Didi dan tangan
kiriku oleh Dokter Smith aku pun hanya bisa meringis saja.
"Is she going to be alright?" tanya Didi khawatir.
"Apakah Anda merasa pusing atau penglihatan agak kabur?" tanya Dokter
Smith kepadaku, masih dengan suara yang terlalu keras.
Aku menggeleng. "Hanya capek saja," ucapku pelan.
"Ya. Itu biasa setelah tidur terlalu lama," jelas Dokter Smith. Aku jadi
bertanyatanya, sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. "Badan Anda akan
terasa sedikit kaku beberapa hari karena memar di seluruh tubuh Anda, tetapi tidak ada tulang
yang patah," lanjut Dokter Smith. Memar" Tubuhku ada memarnya" Bagian mana"
Aku mulai bertanya-tanya dalam hati.
"Apa kakak saya sudah diperbolehkan pulang?" tanya Didi lagi.
"Saya rasa akan lebih baik bila dia menginap satu malam lagi, hanya untuk
memastikan dia betul-betul baik-baik saja. Kadang-kadang ada efek yang agak
terlambat datangnya setelah benturan di kepala, seperti yang dialaminya. Kami
hanya ingin memastikan dia tidak mengalami hal-hal seperti itu sebelum kami
memperbolehkannya pulang."
Kulihat Didi mengangguk. Aku menyentuh infus yang menempel pada hidungku, dan
Didi langsung bertanya, "Apakah dia masih perlu oksigen itu?"
"Apakah Anda mengalami masalah pernapasan?" tanya Dokter Smith
kepadaku. Aku menggeleng, dan Dokter Smith langsung memerintahkan suster
agar mencabut selang oksigen itu secepatnya.
"Shift saya akan habis dalam beberapa menit, tetapi Marge akan mengurus
Anda sampai saya kembali besok pagi, oke," ucap Dokter Smith, sambil menunjuk
suster yang kini sedang tersenyum kepadaku.
"Don"t worry about a thing, dear," Marge mencoba meyakinkanku.
Aku mengangguk, dan Dokter Smith berlalu diikuti Marge.
"Aku lupa ingin tanya sesuatu ke Dokter Smith. I"ll be right back, okay," ucap
Didi, kemudian menghilang keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya.
Ketika ruangan sudah kosong kembali, aku baru menyadari Reilley sedang
berdiri di samping sofa sambil menatapku tidak pasti.
"Hi." Aku rasanya ingin menendang diriku setelah mengucapkan kata itu. Ada
banyak sekali yang ingin aku katakan kepadanya, tetapi satu-satunya kata yang
aku bisa ucapkan hanya "hi?"
Tiba-tiba Reilley sudah berdiri di samping tempat tidur sambil memegangi
tanganku. Aku mencoba membalas dengan meremas tangan Reilley, tetapi ototototku
masih terlalu kaku. "I"m sorry," ucapku akhirnya.
"Ssshhh... just rest. We can talk about it later," balas Reilley, kemudian
mencium tanganku. "Stay?" pintaku.
"I"ll be here." Reilley lalu mencium keningku, dan aku pun kembali ke alam
bawah sadar. *** Ketika aku terbangun lagi, sinar matahari sudah tidak bersinar di luar sana.
Kamarku kelihatan agak redup hanya dengan penerangan sebuah lampu tidur, yang
terletak di atas meja kecil di samping sofa. Sudah tidak ada selang yag menempel
pada hidungku, dan tidak ada jarum yang menusuk pergelangan tanganku. Marge
rupanya telah mengangkat semua itu ketika aku masih tidur. Kulihat Reilley
sedang tidur sambil duduk dengan mengistirahatkan kepalanya di atas kasur. Kuangkat
tanganku perlahan-lahan, dan membelai rambutnya. Satu kali... dua kali... tiga
kali... Reilley mulai bergerak di bawah belaianku. Pada belaian keempat, Reilley
mengangkat kepalanya dan menatapku.
"Hey," ucapnya, dengan nada sedikit mengantuk.
Baru pada saat itu aku sadari, Reilley kelihatan sangat lelah. Ada garis hitam
di bawah matanya, dan kerutan-kerutan di keningnya kelihatan lebih dalam daripada
yang aku ingat. Dia kelihatan lima tahun lebih tua hanya dalam waktu dua bulan.
Reilley meraih tanganku, mendekatkannya pada hidungnya dan menarik napas
dalam-dalam sambil menutup matanya.
"God, I miss that smell," bisiknya.
"Kamu kelihatan lelah," ujarku pelan. Reilley membuka matanya ketika mendengar
nada khawatirku. "Sudah dua bulan belakangan ini saya nggak bisa tidur," kata Reilley. Aku
hanya menatap Reilley, mencoba tersenyum. "There was this girl. Kami baru dating
sebulan ketika saya tahu bahwa saya nggak akan pernah bisa hidup tanpa dia.
Jadi, dia saya lamar pada Hari Valentine"s, thinking that I may be able to get a yes
on such a romantic day." Reilley mengedipkan matanya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum.
"But she didn"t take the proposal so well. She just kept quiet like a deer
caught in the headlight. So I had to improvise. I told her to take all the time in the world
to think about it, even though I feel like shaking some sense into her right then and there."
Reilley melanjutkan ceritanya dengan lebih serius. Aku sebetulnya sudah ingin tertawa,
tetapi Reilley langsung mengerlingkan matanya begitu melihat senyumku sehingga
aku terpaksa menggigit bibir bawahku.
"Anyway, my patience paid off, because our relationship... blossomed (Reilley
meringis ketika mengatakan kata ini. Aku tahu, kata "berkembang" terkesan lebih pas
diucapkan oleh wanita, bukan laki-laki semaskulin Reilley) selama seminggu
setelah itu, tetapi tiba-tiba nggak ada hujan nggak ada badai dia berhenti menjawab
telepon. Waktu itu saya sedang ada di San Fransisco karena ada pekerjaan, so I can"t just
bolt. Malam sebelum saya seharusnya pulang, dia telepon saya dan memberitahu dia
akan datang ke rumah saya, bukan kebalikannya seperti yang saya sudah rencanakan
sebelumnya." Reilley terdengar sangat sedih dan kecewa ketika mengatakan ini
semua. Aku mencoba bangun dari posisi tidur, ingin memeluknya dan mengusir
semua kesedihan serta kekecewaan itu. Ketika Reilley melihat apa yang aku coba
lakukan, dia justru bangun dari kursinya dan duduk di atas tempat tidur agar
bisa lebih dekat denganku. "Saya sudah terbiasa pulang ke rumahnya, sampai-sampai saya hampir
menganggap rumahnya sebagai rumah saya daripada rumah saya sendiri. Saya rasa
dia juga tahu itu. Oleh karena itu, saya pikir permintaannya agak sedikit aneh,
tetapi saya ikut saja. Semakin saya pikirkan tentang itu, saya berkesimpulan mungkin...
hanya mungkin... dia berencana menerima lamaran saya. Saya mencoba menyimpan
semua kebahagiaan itu di bawah penampilan yang sok cool, tentunya. But when I
saw her coming out of her car looking like a very sexy Greek goddess...."
Aku mencoba memotong kalimat Reilley, dan menegurnya agar tidak
menggangguku dengan menyebutku seksi atau mengibaratkanku seperti Dewi
Yunani, tetapi Reilley mengangkat tangannya memintaku memberinya kesempatan
agar dapat menyelesaikan ceritanya. Aku pun menutup mulutku kembali.
"As I was saying... she looked like a Greek goddess... and I just lost it. I
grabbed her before she had a chance to take a breath and kissed the living hell out of her.
She didn"t protest either, so I thought it was a good sign." Aku berusaha agar pipiku tidak memerah
karena mengingat ciuman Reilley hari itu, yang menurutku adalah ciuman
terdahsyat yang pernah aku rasakan sepanjang hidupku.
"Dia bilang dia perlu bicara. Jadi, kami duduk. Dia melemparkan bomnya ke
saya. She literally made me from the happiest man alive in one minute to the
most miserable in the next. Saya terlalu kaget ketika mendengar kata-katanya. Jadi, saya hanya
duduk diam seperti orang idiot. The next thing I knew she was gone." Reilley
sedang menundukkan kepalanya, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Reilley," ucapku. Nadaku antara memohon dan mencoba terdengar simpatik.
"My life without you was hell. Selama sebulan saya coba menghapus kamu dari
pikiran saya, tetapi nggak bisa. Hal-hal kecil yang bikin saya gila, like how
you would always sleep on the furthest side of the bed but ended up snuggled up to me
anyway, atau cara kamu menggigit bibir bawah kalau kamu lagi gugup. Hell I even missed seeing
your hair all mussed up in the morning but still manage to look so hot.
Pokoknya..." kulihat Reilley menarik napas, baru kemudian berkata, "I missed you," sambil
menatapku. Reilley menyentuh wajahku dengan jari-jarinya.
"By April, I can"t even think straight anymore. I just want to hear your voice
so bad that I would pick my phone up, dial your number and hang-up before it starts ringing,
several times a day. I could"ve showed up at your door one day and demand you to take me
back, but I know that... that"s not what you want. You"re the kind of person who when you
said you can"t marry someone, you must have meant it or you wouldn"t be saying it. I want
to respect your decision, so I left you alone. Even though it was killing me, but I left
you alone." Mendengar semua penjelasannya aku tahu Reilley mengenalku luar-dalam,
mungkin lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. Selama dua bulan aku
mengharap Reilley menghubungiku, tetapi di dalam hati kecilku aku tahu yang aku
inginkan adalah agar Reilley menghormati keputusanku untuk tidak menikahinya.
"Then that day. I was supposed to be flying out to Nice to join my family like I
always do every year, but at the last minute I bailed. I have no idea why, but I just
felt... wrong, like I"m
missing something. So instead of checking-in I just sat there at the departure
area for two hours." Reilley tertawa sedih ketika mengatakan ini.
"Kemudian, saya lihat kamu. Awalnya saya nggak yakin dan berpikir saya
berhalusinasi, tetapi saya ikuti kamu sampai keluar dari gedung terminal, dan
hanya untuk memastikan saya panggil nama kamu. Kamu tetap jalan saja. Jadi, saya
pikir saya pasti sudah salah orang. Saya panggil nama kamu again and again, lalu
tiba-tiba kamu berhenti dan menoleh." Reilley menggeleng, seolah-olah dia sedang
mencoba mengusir bayang-bayang yang menghantui pikirannya.
"Kamu kelihatan seperti baru melihat hantu. Muka kamu pucat... shock
kayaknya. Saya nggak tahu mengapa kamu ada di situ, tetapi dalam hati saya
berharap kamu datang mencari saya. Anywa, you didn"t look too happy to see me.
Jadi, saya tahu kamu datang bukan untuk saya. Tahu-tahu kamu tertawa, dan saya jadi
yakin kamu memang datang mencari saya. Lalu..."
Reilley tersedak, dia seakan-akan sedang bersusah payah menahan emosinya.
Kugenggam jari-jarinya, kudekatkan pada hidungku, dan kuambil napas dalamdalam.
Aromanya jauh lebih wangi daripada yang aku ingat.
"The moment that car came at you, saya nggak bisa lihat apa-apa selain ketakutan
saya sendiri. Ketakutan kehilangan kamu lagi. I would"ve tried to pull you out
of the way, tetapi saya terlalu jauh dan mobil itu menabrak kamu sehingga kamu jatuh ke
aspal. I swear I thought you were dead. I went to pull the driver out of his
car, he was about 80, a crazy old grandpa who is senile enough that he probably didn"t know that
he was speeding, and I wanted to hit him, But then someone screamed that you were alive
and I just... I just..." Kutarik Reilley ke dalam pelukanku. Aku tidak peduli posisi tubuh Reilley
menjadi kurang nyaman. "I"m so sorry, Reilley," ucapku pelan. "Saya coba
menghubungi telepon selular kamu hari itu selama berjam-jam, tetapi saya selalu
mendengar nada voicemail."
Reilley melepaskan pelukannya, dan menatapku. "Kamu telepon saya?"
tanyanya, dengan suara tidak percaya.
Aku mengangguk. "Saya bahkan mengirim text untuk memberitahu saya perlu
bicara dengan kamu secepatnya, tetapi kamu nggak pernah telepon saya balik."
Reilley menundukkan kepalanya, kemudian dia tiba-tiba tertawa
sekencangkencangnya sambil menggeleng-geleng. Aku hanya bisa menatapnya bingung,
tetapi lama-kelamaan aku tersenyum karena menyadari betapa aku merindukan
suara tawa itu. "Kamu kok tertawa?" tanyaku, sambil tersenyum.
"Hahaha... Saya nggak bawa telepon selular hari itu. Ketinggalan di rumah, itu
sebabnya kamu mendengar nada voicemail melulu. Hahaha... I can"t believe it.
Pada hari ketika kamu memutuskan bicara dengan saya adalah hari di mana saya nggak
bawa telepon." "Kamu lupa membawa telepon?" tanyaku bingung. Reilley tidak pernah lupa
membawa telepon selularnya. Dia pernah berkata, benda itu adalah hal kedua
terpenting baginya setelah diriku.
"Saya tahu, pasti menurutmu aneh, kan" Saya nggak tahu bagaimana itu bisa
terjadi. Saya bahkan nggak menyadari hal itu sampai saya ingin menelepon 911
untuk menolong kamu."
Aku mengangguk. Tanpa kusangka-sangka Reilley kemudian menatapku tajam.
"Mengapa kamu nggak menunggu saya sebelum bertemu Brandon" Semua ini
nggak akan terjadi kalau kamu nggak pergi menemui dia."
"Dari mana kamu tahu soal itu?"
"Adik kamu cerita semuanya kepada saya. Did you hoenstly believe that I was
going to leave you and that I didn"t love you?"
Aku meringis mendengar pertanyaan Reilley. Tampaknya Didi sudah menceritakan
segala sesuatunya kepada Reilley. Tiba-tiba Reilley meremas lengan atasku
dengan kedua tangannya, dan berkata dengan tajam, "Promise me that you would
never ever think like that ever again."
Aku hanya bisa menatap Reilley dengan mulut ternganga. "Promise me," ucap
Reilley lagi. "I promise," balasku lemah. Mendengar kepastian itu, Reilley baru melepaskan
pegangannya pada lenganku. Kemudian kuberanikan diri untuk mengatakan katakata
yang aku sudah ingin katakan kepadanya. Aku tidak peduli apakah dia
merasakan hal yang sama. Dia harus tahu bagaimana perasaanku kepadanya.
"I love you," ucapku perlahan-lahan.
Reilley kelihatan terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi kemudian dia
membalas, "Your love for me is nothing compares to how much I love you."
"I know, but I think I can keep up," candaku.
"Taht would be impossible because I love you so... so... so much. So much so
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
that I"m willing to meet with that psycho ex-boyfriend of yours to tell him that if he
ever bother you again with that trash talk of his, I will swing my fist at his face again. Kali
ini saya nggak akan berhenti sampai dia mati." Reilley terdengar cukup geram ketika mengucapkan
kata-kata ini. "Oh... please don"t do that," pintaku, sambil tertawa.
"You don"t want me to kill him?" tanya Reilley bingung.
"Oh... You have no idea how much I want you to kill him, tetapi bagaimana kalau
kamu kirim orang lain saja untuk melakukannya. Saya hanya nggak mau kamu
menyentuh bagian mana pun dari diri orang nggak bermutu itu," balasku.
"Well... wel... look at you going all Sicilian on me."
"Sicilian?" "Ya. Kamu nggak ada belas kasihan."
"Saya nggak ada belas kasihan?"
"Oh... yeah, which makes you look so much hotter."
"Oke, kamu harus berhenti menggunakan kata hot dan seksi untuk menggambarkan
saya deh." "Mengapa?" "Kata-kata itu bikin saya merasa nggak nyaman," protesku.
"Bagaimana kalau saya katakan, kamu juga wanita paling pintar yang pernah
saya temui?" "You think so?" tanyaku agak terkejut.
"Mengapa kamu kelihatan kaget?"
"Well, I have never been the smart one in the family. So I don"t know whether I
should believe you or not."
"Well, believe it. It"s not your fault that your sister is freakishly smart."
"Hey...!" teriakku, meskipun dengan nada bercanda.
Reilley tertawa melihat reaksiku. "Hei, omong-omong, dari mana kamu tahu
saya akan ada di RDU hari itu?" lanjutnya.
RDU adalah kode airport Raleigh. "Saya telepon kantor kamu dan asisten kamu,
Michael, memberitahu saya," jelasku.
"Oh," kata Reilley.
"Omong-omong, kamu nggak pernah cerita ke saya kalau kamu punya asisten."
"Dia masih baru. Saya naik jabatan jadi head programmer bulan April kemarin.
Itulah sebabnya saya dapat asisten."
"Kamu naik jabatan?"
Reilley mengangguk. "Hal itu berarti waktu travel saya bisa dikurangi, dan saya
bisa relaks sedikit."
"That would be a nice change. Mungkin kamu akan bisa menghabiskan lebih
banyak waktu kamu di Wilmington," usulku.
Reilley sedang menatapku, dia kelihatan agak ragu. Aku tahu ada sesuatu yang
ingin dia tanyakan. Jadi, aku hanya diam menunggu. Kemudian, Reilley menarik
napas dan meraih kedua tanganku. "Saya tahu ini mungkin bukan saat yang tepat,
but I don"t think I can stand the suspense any longer," ucapnya perlahan-lahan.
"What are you talking about?" tanyaku hati-hati.
Reilley mengeratkan genggamannya dan menatapku, lalu berkata, "Kalau saya
melamar kamu sekarang, apakah kamu akan menjawab ya" Atau kamu masih perlu
waktu untuk berpikir lagi?"
"Saya nggak perlu waktu untuk berpikir lagi," jawabku, sambil tersenyum.
"Is that a yes?" Reilley mulai tersenyum.
"Menurut kamu?" balasku, sambil nyengir. Reilley langsung menarikku ke
dalam pelukannya, kemudian mulai menciumi wajahku. Reilley mencium bibirku
sedalam-dalamnya, dan tidak melepaskannya selama beberapa menit.
Aku harus memohon kepadanya agar berhenti, dan memberiku kesempatan
bernapas lagi. "Thank you," bisik Reilley.
Pada saat itulah aku menyadari Reilley benar-benar mencintaiku. Aku tidak
tahu mengapa Reilley bisa tergila-gila kepadaku, tetapi aku tidak akan
menanyakan hal itu. Ibuku selalu berkata, lebih baik digila-gilai daripada menggila-gilai
orang yang kita cintai. Aku hanya berharap Reilley akan tetap mencintaiku sampai aku
tua dan keriput karena aku tahu aku akan masih mencintainya hingga aku mati.
Saat itulah aku dapat mengerti arti mimpiku ketika Reilley memintaku lari
bersamanya menuju garis 10-yard pada saat aku dikejar Brandon. Aku sadar
sekarang, garis 10-yard itu menggambarkan kebahagiaanku dengan Reilley. Itu
sebabnya mengapa aku harus mencapai garis itu dengan berlari bersama-sama
Reilley, bukan dipanggul olehnya karena akulah yang harus melepaskan diriku dari
Brandon. Apa pun yang dilakukan Reilley, kalau Brandon masih memiliki pengaruh
begitu besar terhadap diriku, maka hubunganku dengannya akan mati di jalan. Aku
akan memastikan hal itu tidak terjadi lagi.
"You really need to get some sleep. You look terrible," ucapku, sambil sekali
lagi menyentuh wajahnya. "Apa saya kelihatan sejelek itu?" tanya Reilley, sambil membelai wajahku.
Aku tersenyum. "As bad as you might look, which is not as bad as other people.
You can still pull-off a photo shoot or two," candaku.
"Well, menurut saya kamu kelihatan fantastic untuk orang yang tidur selama
empat hari berturut-turut," balas Reilley.
"Empat hari" Saya sudah tidak sadarkan diri selama empat hari?" teriakku
terkejut. Reilley mengangkat bahunya, "Kepala kamu terbentur cukup keras."
"Saya ada di mana sih?" tanyaku, sambil melihat ke sekelilingku.
"Kamu masih ada di Raleigh, tetpai saya bisa bawa kamu pulang begitu Dokter
Smith bilang oke." Aku mengangguk. "Saya minta maaf karena kamu nggak bisa berlibur bersama
keluarga kamu." Reilley mengibaskan tangannya, "Don"t worry about it. This is the best vacation
tha tI have since I was ten."
"Kamu lebih memilih menunggui orang sakit, dan tidur di sofa yang terlalu
kecil untuk kamu di dalam kamar yang berbau alkohol daripada ada di Nice?"
tanyaku ragu. "Ah... kamu lupa poin yang paling penting."
"Apa itu?" "That I get to spend all of those time being close to you."
Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk membalas Reilley. Aku hanya
bisa menatapnya sambil tersenyum tersipu-sipu. Kemudian pintu kamar terbuka,
dan Didi masuk dengan membawa beberapa kantong plastik. Aku langsung bisa
mencium bau burger. Tiba-tiba aku merasa lapar.
"Sudah bangun, ya?" ucap Didi. Ia kemudian meletakkan semua bawannya di
atas sofa, lalu berjalan ke arahku dan mencium pipiku.
"Bawa apa, Di?" tanyaku.
Didi langsung berjalan setengah berlari menuju sofa, "Aku beli chicken teriyaki
dari Subway, cheeseburger, Big Mac, sop krim, dan tacos dari Taco Bell. Untuk
minumnya aku beli pepsi, mountain dew, dan ice lemon tea," jawabnya.
"Aduh, semua kamu borong?" candaku.
"Habis aku pikir Mbak pasti kelaparan. Mbak sudah nggak makan empat hari.
Lagi pula, cowok Mbak ini kalau makan nggak kira-kira. Untungnya aku masih
kebagian makanan begitu dia selesai makan." Sambil bicara Didi mengeluarkan
semua isi plastik itu, dan meletakkannya di atas meja makan untuk pasien. Dia
kemudian mendorong meja itu ke hadapanku.
"Hey, Ry," ucap Didi kepada Reilley, yang kini sedang menatap adikku dengan
tatapan jenaka. Aku menatap Reilley bingung. Sejak kapan adikku memanggil
Reilley dengan Ry" Reilley menggeleng kepadaku, menandakan dia akan
menjelaskan semuanya nanti.
"Oh... ya, Mbak ingin kumur dulu" Mbak belum sikat gigi selama empat hari
lho," ucap Didi cuek. Aku langsung menutup mulutku karena malu. Reilley kan
baru saja menciumiku. Bagaimana dia bisa melakukannya, dan tidak jatuh pingsan.
Melihat reaksiku Didi hanya tertawa, sedangkan Reilley menatapku bingung
karena dia tidak memahami apa yang sedang kami bicarakan. "Kumur saja dulu
deh," jawabku. "Mungkin pakai Listerine," tambahku. Didi tersenyum, kemudian
mengisi gelas dengan air dan membawa gelas itu kepadaku. Ia juga membawakan
aku satu botol Listerine citrus berukuran kecil dan satu baskom.
Aku langsung melakukan aktivitas higienis-ku dengan wajah agak memerah
karena malu. Setelah aku selesai dengan itu semua, Reilley mengangkat baskom dan
menumpahkan isinya ke wastafel. Dia bahkan menyempatkan diri mencuci baskom
itu sebelum kembali duduk di hadapanku.
"Jadi, Mbak ingin yang mana?" tanya Didi. Aku memfokuskan perhatianku
pada semua makanan yang ada di hadapanku. "Memang aku boleh ya makan
makanan seperti ini?" tanyaku ragu.
"Boleh kok, kata Marge nggak apa-apa." Tanpa menunggu persetujuanku, Didi
langsung memasukkan sedotan pada masing-masing tutup ketiga gelas plastik yang
ada di hadapanku. Aku lalu memilih membuka tutup mangkuk plastik yang berisi sop krim. Didi
menyerahkan sendok plastik untukku, kemudian meletakkan napkin pada dadaku.
"Scoot over, dude, I also want to sit on the bed!" perintah Didi kepada Reilley.
Aku agak terkejut ketika Reilley mengikuti perintah itu dan bergeser sedikit.
"So, have you told her?" tanya Didi, sambil mengambil cheeseburger dan mulai
membuka pembungkus kertasnya.
"Yeah, I told her," balas Reilley, yang sedang melahap Big Mac.
"Dia bilang apa?"
"Dia bilang dia cinta saya." Wajah Reilley kelihatan memerah ketika
mengatakan ini. "Oh, ya?" Didi langsung menatapku dengan mata berbinar-binar, sambil
mengunyah. Aku hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan adikku ini.
Kumasukkan suapan pertama sop krim itu, dan harus menutup mukaku. Ini adalah
sop krim terenak yang pernah aku rasakan. Tanpa menunggu lagi, aku langsung
menghabiskan sop itu. Didi dan Reilley menatapku sambil tertawa.
"Masih lapar?" tanya Reilley kepadaku.
Aku mengangguk sambil membuka bungkus taco, dan mulai memakannya.
Kami semua lalu makan dalam diam.
"Saya melamar dia... lagi," lanjut Reilley, Didi langsung terbatuk-batuk. Aku
buru-buru menyodorkan salah satu gelas yang ada di hadapanku kepadanya. Didi
minum sambil mengerlingkan matanya kepada Reilley.
"Dude, what part of the word "wait a day or two" do you not understand?" omel
Didi pada Reilley, setelah dia sudah dapat mengontrol batuknya.
"It doesn"t matter, dia bilang ya," balas Reilley bangga.
"You said yes?" teriak Didi, dan langsung meremas pahaku. Didi baru
melepaskannya ketika melihatku meringis. "Sori, sori... lupa... lupa," ucapnya
meminta maaf. Rupanya salah satu bagian yang memar adalah pahaku. "Jadi, kapan
menikahnya?" tanya Didi antusias.
"Di, aku baru dilamar hari ini. Kita perlu ada acara perkenalan, lalu lamaran,
dan baru nikah. Lagi pula, Reilley perlu bertemu Ibu dan Bapak dulu....
Omongomong, kamu nggak bilang ke mereka kan kalau aku masuk rumah sakit?"
tanyaku khawatir. "Tadinya aku sudah akan telepon mereka, tetapi kata dokter Mbak nggak kritis.
Jadi, aku nggak jadi telepon. Honestly, kalau Mbak waktu itu kritis, Ibu dan
Bapak pasti sudah di sini," jelas Didi.
Aku langsung mengembuskan napas lega. Aku betul-betul tidak ingin membuat
orangtuaku panik. Tiba-tiba kudengar Reilley terkikik, aku dan Didi langsung
menatapnya bingung. "I"m sorry, but I found your conversation quite fascinating. Kalian tadi bicara
tentan gapa sih?" tanya Reilley, di antara tawanya.
"Nothing important," balasku.
"Saya sudah meminta beberapa kali ke adik kamu untuk mengajari saya bahasa
Indonesia, tetapi dia menolak," ucap Reilley, sambil menunjuk Didi.
Didi hanya melirikkan matanya kepadaku sambil tersenyum. Didi yang sudah
memakain habis cheeseburger tiba-tiba turun dari tempat tidur, dan mengambil
sesuatu dari dalam tasnya. Dia kembali beberapa menit kemudian membawa
agendanya. Dia duduk kembali di atas tempat tidur, dan menuliskan sesuatu di
dalam agendanya. Setelah itu, ia merobek kertas itu dan menunjukkannya kepada
Reilley. "Bisa kamu baca itu keras-keras?" pinta Didi.
Reilley meletakkan Big Mac di atas meja, dan meraih kertas itu. "Apa ini?"
tanyanya bingung. "Kamu bilang mau belajar bahasa Indonesia. Nah, ini pelajaran pertama kamu,"
balas didi, dengan sedikit memaksa.
"Oh... oke," jawab Reilley, yang kemudian memicingkan matanya. Aku menatap
Didi penuh tanda tanya, tetapi Didi malah justru mengedipkan matanya kepadaku.
Kucoba mengintip apa yang ditulis Didi di selembar kertas itu, tetapi Didi
menahanku. Meskipun penasaran, aku terus memakan taco dan menunggu.
"Ekyu... shinta... kemyu.... Benar nggak saya mengucapkannya?"
"Mengerti nggak, Mbak?" tanya Didi kepadaku. Aku menggeleng.
"Coba sekali lagi, Ry. Pandang Titania ketika kamu mengucapkan itu," pinta
Didi. Reilley lalu menatapku, dan mengulangi kata-kata itu.
Memahami apa yang Reilley baru katakan, mau tidak mau aku tertawa
terbahak-bahak. "Saya tadi berkata apa sih?" tanya Reilley penasaran.
?"Aku cinta kamu," basically means I love you in Indonesian," jelasku.
"Oh," ucap Reilley, dan mengulangi tiga kata itu dengan pengucapan yang lebih
sempurna. "Aku juga cinta kepada kamu," balasku, sambil menatap Reilley.
"Oke, itu kedengaran beda. Kalau yang itu maksudnya apa?" tanya Reilley,
ingin tahu. "I just said that I love you too," jawabku.
"Oh, really?" Reilley kedengaran sangat tertarik. "Teach me more Indonesian
words," pintanya. "Apa yang kamu mau tahu?" tanyaku.
"Ini orang pasti benar-benar cinta kepadamu, Mbak, sampai mau belajar bahasa
kita. Aku kayaknya nggak pernah deh lihat orang sebegitu relanya belajar bahasa
Indonesia. Kita saja suka malas belajar bahasa kita sendiri," komentar Didi.
"Kayaknya dia memang suka segala sesuatu tentang budaya Asia deh," balasku.
"Oke, kalian baru omong apa tentang saya?" tanya Reilley.
"Nothing," balasku dan Didi bersamaan, lalu kami pun tertawa terbahak-bahak.
Aku baru berhenti tertawa ketika kulihat Reilley sedang memicingkan matanya
curiga. *** Empat bulan kemudian. "Kamu sudah siap?" tanyaku kepada Reilley.
"Yeah, I think so," jawab Reilley.
"Jangan panik oke, you"ll be fine. Kamu kan sudah sering mengobrol dengan
mereka melalui telepon. Ini nggak beda dari itu kok." Aku mencoba sebisa mungkin
menenangkan Reilley. "Oke," balas Reilley, sambil sekali lagi merapikan kaus yang dikenakannya.
Kami sedang berdirid i lokasi kedatangan Airport Raleigh, menunggu sampai
orangtuaku menginjakkan kaki mereka untuk pertama kalinya di North Carolina.
Tidak lama kemudian kulihat bapak dan ibuku berjalan bersama-sama. Bapakku
mendorong trolley, yang berisi dua kopor besar. Mereka kelihatan lebih tua dari
terakhir kali aku melihat mereka.
"They"re here," bisikku kepada Reilley.
Reilley yang sudah berkali-kali melihat foto orangtuaku langsung bisa
mengenali mereka. Lagi pula, mereka adalah satu-satunya orang Asia yang keluar
dari pesawatan yang baru saja mendarat dari Detroit, Michigan.
Aku langsung berlari memeluk mereka. Bapak memelukku selama lima menit
tanpa mau melepaskanku. Ibu hanya mengangkat bahunya dan menunggu
gilirannya dengan sabar. Setelah Bapak melepaskanku, Ibu kemudian memelukku.
"Bagaimana, Ta" Baik-baik saja?" tanyanya.
"Baik, Bu," jawabku. "Penerbangannya bagaimana?" tanyaku.
Ibu melepaskan pelukannya, lalu berkata, "Ya, enak sekali. Kalau pergi ke
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amerika seperti ini lagi sih Ibu mau. Nggak capek." Ibuku kemudian tertawa. Aku
harus berterima kasih kepada calon suamiku, yang memaksa membayari tiket
pesawat Business Class orangtuaku. Aku ingat betul argumentasi di antara kami
dua bulan yang lalu, yang jelas-jelas akhirnya dimenangi oleh Reilley.
"Reilley, kamu nggak perlu membayari tiket mereka. Saya bisa bayar sendiri,"
ucapku. "Saya memang ingin membayari," balas Reilley.
"Mereka orangtua saya. Tanggung jawab saya."
"Sebentar lagi mereka juga akan jadi orangtua saya, dan saya hanya mau
memastikan mereka mendapatkan akomodasi yang terbaik."
"They will be fine with Coach tickets, kamu nggak usah menghabiskan uang kamu
untuk beli tiket Business Class," jelasku. Meskipun aku tahu Business Class
memang lebih baik daripada kelas ekonomi, aku tidak mau Reilley harus membayar 7000
dolar hanya untuk dua tiket pesawat Jakarta - Raleigh bolak-balik.
"Titania, ini penerbangan tiga puluh jam. Mereka sudah enam puluh tahun, dan
ini ungkapan rasa syukur saya karena mereka mengizinkan kamu menikah dengan
saya tanpa pernah bertemu saya sebelumnya. I want to do this for them, so deal
with it." "Apa maksud kamu dengan "mereka nggak pernah bertemu kamu
sebelumnya?" Mereka sudah pernah melihat..." Aku tidak bisa menyelesaikan
kalimatku karena Reilley sudah memotong.
"Foto saya. Ya, saya tahu. You told me so many times. Mereka kan nggak pernah
bertemu saya langsung. Besides it"s not my money we"re spending, but our money."
"Kita masih belum menikah. Jadi, secara hukum itu masih uang kamu,"
bantahku. "Coba saya tanya ini ke kamu. Apa kamu akan membiarkan orangtua saya travel
dari Raleigh ke Jakarta tanpa akomodasi yang terbaik kalau kamu memang mampu
membayarnya?" "Tentu saja saya akan memastikan mereka mendapatkan akomodasi yang
terbaik, yang bisa saya pikirkan."
Reilley menatapku dengan senyum penuh kemenangan. "Aggghhh... fine you can
pay for thos damn tickets," geramku.
"Hello, Bapak, nice to finally meet you. I"m Francis." Kudengar suara Reilley di
belakangku, dan ucapannya itu membuatku tersadar dari lamunan. Ketika aku
berputar, aku melihat dia sedang berjabat tangan dengan Bapak, yang kini
kelihatan superkecil dan sangat Asia berdiri di sampingnya. Aku agak terkejut karena dia
menggunakan nama Francis, yang terdengar sangat formal, ketika berkenalan
dengan orangtuaku. "Ya, sama-sama," balas Bapak.
Aku hampir saja tersedak, mencoba menahan tawaku ketika melihat Reilley
sedang mengerlingkan matanya kepadaku penuh dengan tanda tanya. Aku dan
Didi tidak mengajarkan apa arti kata "sama-sama" kepada Reilley.
"Reilley, ini ibu saya," ucapku.
Reilley langsung berjalan ke arah Ibu dan menjabat tangannya. "Hello, Ib. Apa
kabar?" ucapnya dengan fasih.
Ibuku langsung membalas dengan menggunakan bahasa Indonesia, "Wahhh,
sudah bisa bahasa Indonesia, ya?"
Sekali lagi Reilley menatapku bingung. "Ibu saya kaget karena kamu bisa bicara
bahasa Indonesia dengan fasih," jelasku.
"Oh... Terima kasih. Still learning," ucap Reilley.
Ibu dan Bapak tertawa mendengar kata-kata Reilley. Kami lalu berjalan menuju
pelataran parkir. Reilley langsung mengambil alih tugas mendorong trolley, dan
mengajak bicara Bapak sehingga aku bisa berbicara lebih leluasa dengan Ibu.
"Persiapannya sudah selesai, Ta?" tanya Ibu.
"Sudah, pokoknya Ibu dan Bapak nggak usah khawatir. Keluarga Reilley
banyak membantu. Didi juga, selama summer kemarin. Dia harusnya datang besok
pagi dari D.C.," jelasku.
"Reilley kelihatannya baik," komentar Ibu, sambil memperhatikan punggung
Reilley. "Dia cinta kepadaku," ucapku, sambil tersenyum.
Ibuku mengangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak disusul olehku. Bapak
dan Reilley menolehkan kepala mereka, ingin mengetahui apa yang membuat kami
tertawa. "We"re just talking about the wedding!" teriakku kepada Reilley, yang kemudian
tersenyum dan kembali bercakap-cakap dengan Bapak.
*** Seminggu kemudian, aku pun resmi menjadi Mrs. O"Reilley. Tentu saja aku
menangis dan harus di-makeup lagi sebelum resepsi, yang diadakan di sebuah taman
terbuka di daerah Winston. Selain orangtuaku dan adikku, beberapa bude, pakde,
om, tante, dan sepupuku ikut datang dari Jakarta menghadiri pernikahan kami.
Ternyata keluarga Reilley juga tidak kalah besarnya dengan keluargaku. Walaupun
rencananya kami hanya ingin mengadakan pesta kecil dengan hanya mengundang
keluarga dan teman-teman dekat saja, akhirnya tamu kami tetap meledak hingga
mencapai dua ratus orang. Upacara pernikahan kami tetap terasa resmi dan sakral
karena kami dikelilingi oleh orang-orang yang kami cintai dan mencintai kami.
Aku harus membiasakan diri setiap kali mendengar Reilley memperkenalkanku.
"This is my wife, Titania," itulah kata-kata yang diucapkannya dengan bangga.
Aku harus menahan diri agar tidak loncat ke pelukannya, dan menciuminya sampai dia
minta ampun. Epilog SATU bulan setelah semua keluargaku kembali ke Indonesia dengan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya dariku dan Reilley, aku menghabiskan waktuku
dengan suamiku di Wilmington. Jauh dari segala hiruk-pikuk yang sudah
mengelilingi kami selama beberapa bulan belakangan ini.
Aku dan Reilley sedang menyisiri pantai di depan rumah, yang baru beberapa
hari ini menjadi rumahku juga. Aku mengajukan permintaan ke kantor agar
ditransfer ke Wilmington setelah menikah karena aku tidak mungkin meminta
Reilley menjual rumah ini dan tinggal bersamaku di Winston. Linnell sempat
ngamuk setengah mati ketika mendengar permintaanku, tetapi dia mengerti ketika
aku jelaskan bahwa dalam budaya Asia tugas seorang istri adalah ikut suami.
Aku langsung merasa nyaman dengan Wilmington. Sekarang aku mengerti
daya tarik kota kecil ini. Perlahan-lahan aku juga mulai menyukai rumah Reilley,
meskipun aku harus menggunakan stool jika ingin masak atau menggunakan
wastafel. Reilley selalu tertawa setiap kali melihatku sedang berdiri di atas
stool itu. Udara bulan Oktober yang mulai agak dingin mengelilingi kami, tetapi aku
hampir tidak merasakannya karena senantiasa ada dalam pelukan hangat Reilley.
Aku tidak menyangka kisah pencarian suami melalui jasa blind date berakhir
dengan tidak terlalu blind date karena aku sudah kenal Reilley sebelumnya.
"How are you adjusting being married to me?" tanya Reilley kepadaku.
"I"m adjusting well enough," ucapku. "Kamu bagaimana" Sudah bosan dengan
saya belum?" candaku.
Reilley tertawa dan mengeratkan pelukannya. "Nggak sampai lima puluh tahun
ke depan atau mungkin lebih," bisiknya.
"Hanya lima puluh tahun?" tanyaku, sambil mengerlingkan mataku kepadanya.
Reilley menatapku dan menjawab, "Ya... karena pada saat itu kamu bakaln
sudah hampir delapan puluh tahun, dan kemungkinan besar baumu jadi aneh.
Kayak permen obat batuk dan Counterpain."
"Mengapa kamu pikir saya baunya akan seperti itu?"
"Well... saya nggak tahu juga. Suatu hari saya melihat seorang nenek di grocery
store, di satu tangan dia memegang sekantong permen obat batuk dan kotak
Counterpain di tangan yang satunya."
"Apakah kamu bertemu dia di sini, di Wilmington?"
Reilley mengangguk. "Mengapa?" tanyanya, ketika melihat ekspresi wajahku.
"Saya pernah melihat dia juga sebelumnya. Rambutnya disanggul dan dia pakai
cardigan warna biru kalau nggak salah," ucapku.
"Ya," balas Reilley antusias.
"Saya bertemu dia beberapa kali, dan saya berpikir mengapa dia selalu
sendirian saja." Tiba-tiba aku teringat akan nenek itu, dan aku merasa kasihan
kepadanya. "Mungkin suaminya baru meninggal," ucap Reilley pelan.
"Ya, mungkin. Dia seharusnya menikah lagi supaya nggak sendirian seperti itu,
ya nggak?" "Well, mungkin dia nggak mau menikah lagi. Mungkin dia terlalu cinta kepada
suaminya sehingga sulit baginya bisa jatuh cinta dengan orang lain lagi."
Kupertimbangkan komentar Reilley. Sejujurnya, kalau misalnya Reilley tiba-tiba
terkena serangan jantung dan meninggal, amiti-amit... amit-amit... jangan sampai
deh... tetapi kalau saja hal itu terjadi, aku yakin aku juga tidak akan menikah
lagi. Tidak ada orang yang dapat menggantikan posisinya di dalam hatiku pada saat ini
dan sampai kapan pun juga.
"Apakah dia punya anak, ya?" gumamku.
"Mungkin ada. But maybe all her kids lived out of state and doesn"t have much
time to come and see her." "Oh, that"s a terrible thing to do to a parent," geramku.
"Not to burst your bubble, but you are doing it right now to your parents," ucap
Reilley pelan, sambil tertawa. Ketika melihatku mengerling, Reilley langsung
terdiam. "Saya nggak menelantarkan orangtua," omelku.
"Saya nggak bilang kamu beigtu. Hey look, saya juga melakukan hal yang sama
dengan orangtua saya, oke. Setidak-tidaknya kamu masih bisa dimaafkan karena
kamu tinggal beribu-ribu mil jauhnya dari mereka. Bagaimana saya" Saya hanya
tinggal empat jam perjalanan bermobil dari mereka, tetapi saya jarang bertemu
mereka," jelas Reilley.
Aku menimbang-nimbang kata-kata Reilley ini. "Ya, kita betul-betul perlu lebih
sering bertemu orangtua kamu. Maybe we can invite them to stay over or
something. Kita bisa jemput mereka dari Winston dan mengantar mereka pulang nantinya.
Bagaimana menurut kamu?"
"That sounds like a good idea," ucap Reilley. "Kita juga bisa melakukan hal yang
sama untuk orangtua kamu. Mungkin kita bisa ke Jakarta kalau liburan.
Bagaimana?" "Kamu ingin pergi ke Jakarta?" tanyaku bingung.
"Ya.... Saya ingin melihat negara tempat kamu grew up. Lihat rumah kamu,
teman-teman kamu, sekolah kamu, bahkan kebun yang pernah kamu ceritakan ke
saya." "Kamu ingin pergi ke Jakarta?" tanyaku sekali lagi.
"Okay, is it just me or do I get the feeling that you don"t want me to go to
Jakarta?" Reilley terdengar sedikit jengkel.
"Fine. We can go to Jakarta. Akan tetapi, saya peringatkan Jakarta itu nggak
seperti kota-kota lain yang pernah kamu kunjungi."
Reilley mengangkat bahunya. "Nggak mungkinlah lebih parah dari Tokyo."
"Ooohhh... kalau kamu pikir Tokyo parah, saya nggak tahu deh apa yang kamu
akan katakan tentang Jakarta."
"It can"t be that bad if the people are as nice as you," balas Reilley, sambil
tersenyum. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum kepada suamiku ini. "Saya akan coba
bicara dengannya kalau saya bertemu dia lagi. Siapa tahu mungkin kita bisa jadi
teman," lanjutku. "Siapa?" "Ratu Elizabeth." Ketika kulihat Reilley tidak juga memahami nadaku yang
sarkasme, aku berkata dengan jengkel, "Nenek-nenek permen obat batuk itu, of
course." Tanpa kusangka-sangka Reilley menatap langit, dan tertawa terbahak-bahak.
Aku sudah berhenti melangkah, dan menatapnya sambil menjejak-jejakkan kakiku
ke atas pasir dengan tidak sabaran menunggu hingga dia menjelaskan alasan atas
reaksinya itu. Tiba-tiba Reilley mengangkat tubuhku dan memutarku sambil berteriak, "I love
this woman!" Beberapa orang yang sedang berjalan langsung berhenti dan menonton
kelakuan gila Reilley. "Reilley, turunkan saya!" perintahku.
Reilley berhenti memutarku. "Apakah saya pernah bilang ke kamu bahwa kamu
perempuan paling baik, paling pintar, dan paling seksi yang pernah saya temui?"
tanya Reilley. "All the time," balasku datar, meskipun hatiku cukup berbunga-bunga. Reilley
memang tidak pernah lupa mengingatkanku tentang betapa baik, pintar, dan
seksinya aku. Tidak peduli berapa kali dia sudah mengatakannya, jantungku masih
tetap akan berhenti sesaat setiap kali mendengarnya.
Reilley sengaja tidak memedulikan nadaku dan berbisik, "Katakan kamu cinta
kepada saya juga, baru kamu saya turunkan."
"I love you," bisikku.
"Apa?" Reilley mendekatkan telinganya pada bibirku.
"I said I love you," geramku.
"Saya nggak bisa dengar, kamu perlu bicara lebih keras."
"I love you, goddamn it! Now put me down!" teriakku.
"She loves me too!" teriak Reilley, dan mulai memutarku lagi sambil tertawa
dengan keras. Aku mendengar orang-orang di sekitar kami juga mulai tertawa. Mau
tidak mau aku pun tertawa.
Kupeluk tubuh Reilley seerat-eratnya. Aku betul-betul mencintai dan dicintai
oleh laki-laki gila, yang sekarang sedang memutar-mutar tubuhku sambil
meneriakkan kepada seluruh Wilmington bahwa dia mencintaiku, dan aku tidak
bisa berhenti tersenyum serta tertawa karenanya.
Kesatria Baju Putih 17 Damar Wulan Karya Zuber Usman Dendam Ratu Air 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama