Ceritasilat Novel Online

Death Dujour 4

Death Du Jour Karya Kathy Reichs Bagian 4


biarawati sudah mengetahui
hal itu pula. Kubaca lembaran kertas yang menceritakan penyakitnya dan pemakaman
public yang dilaksanakan kemudian.
Tetapi, aku harus tahu tentang kelahirannya. Kuraih sabun dan membuat busa.
Tidak ada gunanya menghindari buku harian. Kusapukan sabun itu di bahuku.
Tetapi, aku punya fotokopinya, jadi bisa menundanya sampai sesudah aku berada di
Charlotte. Kucuci kakiku.
Surat kabar. Itulah saran yang diajukan Jeannotte. Ya. Aku akan menggunakan
waktu yang kumiliki di hari Senin untuk menelaah surat kabar tua. Lagi pula aku
harus ke McGill untuk mengembalikan buku harian ini.
Aku menyelusup ke dalam air panas dan memikirkan adikku. Harry yang malang. Aku
benarbenar tidak mengacuhkannya kemarin. Aku memang lelah, tetapi apakah itu
sebabnya" Atau apakah gara-gara Ryan" Harry berhak untuk tidur bersamanya bila
dia menginginkannya. Jadi, mengapa aku bersikap begitu dingin padanya"
Kuputuskan untuk lebih ramah kepadanya malam ini.
Aku sedang mengeringkan badan dengan handuk saat mendengar deringan alarm
keamanan. Kutarik sebuah kemeja tidur fl anel Disney pemberian Harry pada hari
Natal dan memakainya dengan menariknya lewat kepala.
Kudapati Harry berdiri di ruangan duduk, masih memakai jaketnya, sarung tangan,
dan topi, sementara matanya menerawang jauh. "Capek, ya?"
"Ya." Pikirannya kembali ke saat ini dan dia tersenyum tipis kepadaku.
"Lapar?" "Begitulah. Aku rehat dulu beberapa menit, ya." Dia melemparkan tasnya ke atas
sofa dan menghenyakkan tubuh di sebelahnya.
"Oke. Lepaskan jaketmu dan duduk-duduk dulu sebentar."
"Oke. Sialan, kenapa dingin sekali di sini. Aku merasa seperti es lilin, padahal
hanya jalan kaki sebentar dari metro (stasiun kereta bawah tanah)."
Beberapa menit kemudian, kudengar dia masuk ke kamar tidur tamu, kemudian
menghampiriku di dapur. Kupanggang salmon dan mengaduk salad, sementara Harry
menata meja. Saat kami sudah bersiap hendak makan, kutanyakan kabarnya hari ini.
"Baikbaik saja." Dia memotong kentangnya, meremasnya, kemudian menambahkan saus
asam. "Baik?" Aku memancingnya.
"Ya. Kami membahas banyak hal."
"Kamu sepertinya sudah melewati jalanan jelek sepanjang enam puluh kilometer."
"Ya. Aku benarbenar capek." Dia sama sekali tidak tersenyum saat mendengar
istilah yang kugunakan. "Jadi, apa saja yang kalian lakukan?"
"Banyak ceramah, banyak latihan." Dia menyendokkan saus ke atas ikannya. "Apa
butiran hijau kecil ini?"
"Acar timun. Latihan seperti apa?"
"Meditasi. Permainan."
"Permainan?" "Saling bercerita. Senam. Apa pun yang mereka suruh lakukan."
"Kamu lakukan apa saja yang mereka suruh lakukan?"
"Aku melakukannya karena aku memilih untuk melakukannya," ujarnya dengan ketus,
Aku terkejut. Harry jarang membentakku seperti itu, "Maaf. Aku hanya capek
sekali." Untuk sejenak kami makan tanpa berkata apaapa. Aku sebenarnya tidak ingin tahu
tentang terapinya yang mengandalkan sentuhan dan rabaan itu, tetapi setelah
beberapa menit berlalu, aku mencobanya kembali.
"Berapa banyak orang yang hadir di sana?"
"Cukup banyak."
"Apakah orang-orangnya menarik?"
"Aku melakukan ini bukan karena ingin mendapatkan teman baru, Tempe. Aku belajar
untuk mengendalikan hidupku. Untuk bisa bertanggung jawab. Hidupku menyebalkan
dan aku mencoba mencari jalan untuk memperbaikinya."
Dia menusuk saladnya. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kalinya dia
terlihat sedemikian murungnya. "Dan latihan itu ada gunanya bagimu?" "Tempe,
kamu harus mencobanya sendiri. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kami lakukan
atau bagaimana cara kerjanya."
Dia menyapukan saus acar timunnya dan menusuk ikan salmonnya.
Aku tidak berkata apa -apa.
"Kurasa kamu tidak akan bisa memahaminya. Kamu terlalu dingin."
Dia mengangkat piringnya dan membawanya ke dapur. Percuma saja semua usahaku
untuk tertarik pada kegiatannya.
Aku menghampirinya di bak cuci.
"Aku mau langsung tidur saja," ujarnya, menepuk bahuku. "Kita bicara besok saja,
ya." "Aku sudah akan berangkat besok sore." "Oh. Kutelepon saja kalau begitu."
Di kamar tidur, kuulangi lagi percakapan itu di dalam kepalaku. Aku tidak pernah
melihat Harrytidak bersemangat seperti itu atau begitu galak saat kutanyai. Dia
pasti benarbenar kelelahan. Atau mungkin karena Ryan. Atau perceraiannya dengan
Striker. Kelak, aku akan bertanya-tanya mengapa aku tidak melihat tandatanda itu
sebelumnya. Padahal, mungkin hal itu bisa mengubah banyak hal yang akan terjadi
selanjutnya. [] 13 '.f Pada hari Senin aku bangun di waktu subuh, berencana untuk membuat sarapan
untukku dan untuk Harry. Dia menolak, katanya ini hari berpuasa. Dia pergi
sebelum jam tujuh, memakai sweter tanpa rias wajah, sebuah pemandangan yang
tidak pernah kuduga akan pernah kulihat.
Ada beberapa catatan rekor yang menunjukkan tempat-tempat terdingin di bumi ini,
tempat paling kering, dan paling rendah. Tempat yang paling muram tidak usah
diragukan lagi adalah bagian majalah dan mikrofi s di Perpustakaan McLennan di
McGill. Ruangannya sangat panjang dan sempit, terletak di lantai dua dengan
lantai semen dan pencahayaan yang redup, dan lantainya berwarna merah darah.
Dengan mengikuti arahan pustakawan, kulewati sederetan rak majalah dan surat
kabar menuju rak logam yang berisi banyak kardus kecil dan kaleng logam bundar.
Kutemukan beberapa kardus yang kuinginkan dan membawanya ke ruang baca. Setelah
memutuskan untuk memulainya dari surat kabar berbahasa Inggris, kukeluarkan satu
rol mikrofi Im dan mengaitkannya ke mesin pembaca.
Pada tahun 1846, Montreal Gazette diterbitkan setiap tiga minggu, dengan format
yang mirip New York Times masa kini. Banyak kolom sempit, sedikit gambar,
berbagai iklan. Alat pembacaku sudah jelek dan begitu pula fi Imnya. Seperti
mencoba membaca di bawah air. Film itu berubah-ubah fokusnya, lalu helaian
rambut dan kotoran terus berseliweran di layar.
Iklan menayangkan topi dari bulu binatang, peralatan kantor Inggris, kulit domba
yang belum disamak. Dr. Taylor menawarkan balsem tumbuhan liverwort, Dr. Berlin
menawarkan pil penyakit empedu. John Bower Lewis mempromosikan dirinya sebagai
seorang pengacara andal. Pierre Gregoire dengan senang hati akan menata rambut
Anda. Kubaca iklannya: Pria sopan menerima pelanggan pria dan wanita yang terhormat. Mampu menata
rambut yang halus dan berminyak, betapa pun sulitnya. Akan melakukan penataan
yang mengagumkan untuk menghasilkan rambut keriting yang indah dan memperbaiki
rambut agar tampil cantik. Harga terjangkau. Hanya pelanggan tertentu saja.
Dan sekarang bagian berita.
Antoine Lindsay tewas saat tetangganya menghantam kepalanya dengan sepotong
kayu. Temuan koroner: Pembunuhan Direncanakan.
Seorang gadis Inggris, Maria Nash, belum lama ini mendarat di Montreal, menjadi
korban penculikan dan pengkhianatan. Dia tewas dalam kondisi gila di Emigrant
Hospital. Saat Bridget Clocone melahirkan bayi lelaki di Women's Lying-in Hospital, dokter
mendapati bahwa janda berusia empat puluh tahun ini telah melahirkan anak
lainnya baru-baru ini. Polisi menyelidiki rumah majikannya dan menemukan mayat
bayi lelaki yang disembunyikan di bawah pakaian di dalam sebuah kotak. Bayi itu
menunjukkan "... tandatanda kekerasan seakanakan mendapatkan tekanan jari-jemari yang kuat di
lehernya". Temuan Koroner: Pem bunuhan Direncanakan.
Va ampun. Apakah semuanya tidak pernah berubah"
Kupercepat pengamatanku dan kupindai daftar kapal yang datang dan pergi dari
pelabuhan, dan daftar penumpang kapal laut yang meninggalkan Montreal menuju
Liverpool. Berita yang tidak berguna.
Tarif untuk naik kapal uap. Jasa kereta kuda ke Ontario. Pemberitahuan tentang
pemindahan. Tidak banyak orang yang pindah minggu itu.
Akhirnya aku menemukannya. Kelahiran, Pernikahan, Kematian. Di kota ini pada
tanggal tujuh belas, Nyonya David Mackay, melahirkan anak lakilaki. Nyonya
Marie-Claire Bisset melahirkan anak perempuan. Tidak ada yang menyebutkan
Eugenie Nicolet dan bayinya.
Kuamati posisi berita kelahiran di setiap surat kabar dan langsung meloncat ke
bagian itu di setiap surat kabar untuk beberapa minggu berikutnya. Tidak ada
berita apa-apa. Kuperiksa setiap surat kabar di rol fi Im itu. Sampai akhir
tahun 1846 tidak ada catatan mengenai kelahiran Elisabeth.
Kucoba surat kabar berbahasa Inggris lainnya. Hasilnya sama. Tidak ada yang
memberitakan Eugenie Nicolet. Tidak ada berita lahirnya Elisabeth. Aku beralih
ke surat kabar berbahasa Prancis. Sama saja.
Pada pukul sepuluh mataku mulai perih dan rasa sakit menyebar di punggung dan
bahuku. Aku bersandar, meregangkan tubuh, dan memijat pelipis. Sekarang apa"
Di seberang ruangan, seseorang yang sedang menggunakan mesin pembaca lainnya
menekan tombol mundur. Ide bagus. Aku mencoba mundur. Elisabeth dilahirkan
pada bulan Januari. Mari kita cek periode ketika sperma dan sel telur bertemu.
Kukeluarkan beberapa kotak dan memasang fi Im ke alatnya. April 1845. Iklan yang
sama. Peringatan yang sama tentang orang pindah. Daftar penumpang yang sama. Di
surat kabar berbahasa Inggris. Surat kabar berbahasa Prancis.
Pada saat aku membaca La Presse, mataku sudah hampir tidak bisa fokus lagi.
Kulirik jam tanganku. Setengah dua belas. Dua puluh menit lagi.
Aku bertopang dagu dan menekan tombol mundur. Saat fi Im berhenti, aku akhirnya
tiba di bulan Maret. Aku bergerak maju secara manual, berhenti di sana-sini
untuk memeriksa bagian tengah layar, saat aku melihat nama Belanger.
Aku duduk tegak dan mengatur alat fokus di mesin itu. Beritanya singkat. Eugenie
Belanger berangkat ke Paris. Penyanyi terkenal dan istri Alain Nicolet berangkat
ditemani dua belas orang pengiringnya dan akan pulang pada musim berikutnya.
Kecuali berita tentang betapa dia akan dirindukan, tidak ada catatan lainnya.
Jadi, Eugenie pergi ke luar kota, Kapankah dia kembali" Di manakah dia pada
bulan April" Apakah Alain pergi bersamanya" Apakah Alain menyusulnya" Kulirik
jam tanganku. Sialan. Kuperiksa dompet, merogoh ke dasar tas, dan mencetak sebanyak mungkin halaman
sesuai dengan uang receh yang kumiliki. Kugulung lagi fi Im itu dan
mengembalikannya, lalu bergegas menyeberangi kampus menuju Birks Hall.
Pintu kantor Jeannotte tertutup dan dikunci, jadi aku langsung ke kantor
departemen. Sekretaris itu memaling kan matanya dari layar komputer, dan berusaha cukup lama untuk meyakinkanku
bahwa buku harian itu akan diserahkan dengan selamat kepada sang profesor.
Kutulis pesan terima kasih, lalu pergi.
Ketika berjalan kembali menuju apartemen, pikiranku masih pada sejarah yang baru
kubaca. Kubayangkan rumah-rumah megah tua yang kulewati pada seratus tahun yang
lalu. Apakah yang dilihat para penghuninya saat mereka menatap ke seberang
Sherbrooke" Bukan Musee des Beaux-Arts atau Ritz-Carlton. Bukan penawaran
terakhir dari Ralph Lauren, Giorgio Armani, dan etalase Versace.
Aku bertanya dalam hati apakah mereka akan menyukai para tetangga yang penuh
gaya itu, Pasti pemandangan berbagai butik itu lebih menyegarkan daripada rumah
sakit cacar yang dibuka kembali tak jauh dari halaman belakang rumah mereka.
Setiba di rumah, kuperiksa mesin penjawab telepon, kalau-kalau Harry menelepon
saat aku sedang tidak di rumah. Tidak ada pesan. Aku segera membuat roti lapis,
kemudian mengendarai mobil ke lab untuk menandatangani laporan. Saat hendak
pergi lagi, kutinggalkan sehelai catatan di meja LaManche, mengingatkannya pada
tanggal aku akan kembali. Biasanya, aku menghabiskan sebagian besar bulan April
di Charlotte, dengan asumsi bahwa aku akan segera kembali ke Montreal jika ada
panggilan dari pengadilan atau hal-hal mendesak lainnya. Pada bulan Mei dan
setelah akhir semester musim semi, aku kembali lagi untuk menghabiskan musim
panas. Setiba di rumah lagi, aku memerlukan waktu satu jam untuk membereskan baju dan
merapikan bahan kerja. Walaupun aku tidak termasuk golongan orang yang suka
bepergian dengan membawa tas kecil, baju bukanlah masalah bagiku, Setelah
bertahuntahun lamanya pulang-pergi antara dua negara ini, aku semakin sadar
bahwa lebih praktis menyiapkan dua set segala macam barang di dua tempat yang
kutempati. Aku memiliki koper beroda terbesar di dunia dan memenuhinya dengan
buku, arsip, buku harian, naskah, bahan kuliah dan apa pun yang sedang
kukerjakan. Pada perjalanan kali ini, koperku berisi beberapa kilo fotokopi
Pada pukul setengah empat aku naik taksi ke bandara. Harry belum juga menelepon.
Aku tinggal di apartemen yang mungkin paling unik di Charlotte. Apartemenku
berukuran paling kecil di kompleks yang dikenal sebagai Sharon Hall, properti
berukuran dua setengah acre di Myers Park. Akta tidak mencatat fungsi asli
bangunan kecil ini, dan sekarang, karena tidak ada label yang lebih baik, para
penghuninya menyebutnya sebagai Coach House Annex atau disingkat Annex.
Rumah utama di Sharon Hall dibangun pada tahun 1913 sebagai rumah untuk tokoh
industri perkayuan setempat. Ketika istrinya meninggal pada tahun 1954, bangunan
bergaya Georgia berukuran 7DD meter persegi itu disumbangkan kepada Queens
College. Bangunan itu ditempati oleh jurusan musik sampai pertengahan sembilan
belas delapan puluhan, pada saat properti itu dijual dan rumah megah serta
paviliunnya diubah menjadi apartemen. Pada waktu itu ditambahkan sayap bangunan
dan annex yang menjadi sepuluh rumah, semuanya sama dengan gaya rumah aslinya.
Batu bata tua dari dinding pekarangan digunakan untuk membangun gedung baru, dan
jendela, tembok, dan lantai kayu dibuat semirip
mungkin dengan gaya tahun 1913.
Pada awal tahun sembilan belas enam puluhan sebuah gazebo dibangun di sebelah
Annex dan bangunan kecil itu digunakan sebagai dapur kecil di musim panas,
Akhirnya, dapur itu tidak digunakan lagi dan menjadi gudang selama dua dasawarsa
berikutnya. Pada tahun 1993 seorang eksekutif NationsBank membeli Annex dan
mengubahnya menjadi town house terkecil di dunia, mengubah gazebo itu menjadi
bagian dari daerah tempat tinggal utama. Dia pindah tepat pada saat situasi
pernikahanku yang memburuk menyebabkan aku harus mencari tempat tinggal baru.
Aku mendapatkan rumah dua lantai seluas delapan puluh meter persegi dan walaupun
penuh sesak, aku sangat menyukainya.
Satu-satunya suara di rumah itu adalah detikan lambat jam besarku. Pete pasti
pernah masuk ke kamar ini. Dia memang sudah terbiasa memutarkan jam itu untukku.
Kupanggil-panggil Birdie, tetapi kucing itu tidak muncul. Kugantungkan jaket di
lemari ruang depan dan menyeret tas menaiki tangga kecil menuju kamar tidurku.
"Bird?" Tidak ada yang mengeong dan tidak ada wajah putih berbulu muncul di sudut
ruangan. Di lantai bawah, kutemukan sebuah pesan di meja dapur. Pete membawa Birdie,
tetapi dia akan ke Denver hari Rabu selama satu sampai dua hari dan memintaku
mengambil kucing itu selambat-lambatnya besok. Mesin penjawab telepon berkedipkedip seperti lampu tanda bahaya dan memang seharusnya begitu, pikirku.
Kulirik jam tanganku. Setengah sebelas. Aku sebenarnya tidak mau keluar lagi.
Kutekan nomor telepon Pete. Nomor rumahku dulu,
selama bertahuntahun. Kubayangkan pesawat telepon di dinding dapur, lekukan
berbentuk V di sisi kanannya. Kami pernah menikmati masamasa menyenangkan di
rumah itu, khususnya di dapur, dengan perapian dan meja pinus tua yang besar.
Tamu selalu tertarik untuk masuk ke tempat itu, meskipun kucoba untuk mengajak
mereka ke ruangan lain. Kudengar mesin penjawab berfungsi dan terdengar suara Pete yang meminta
penelepon untuk meninggalkan pesan. Aku pun meninggalkan pesan. Aku mencoba
menelepon Harry. Rutinitas yang sama, hanya kali ini suaraku yang menyambut dari
mesin penjawab. Kudengarkan pesan-pesan untukku. Pete. Kepala departemenku. Dua orang mahasiswa.
Seorang teman mengundangku ke sebuah pesta pada hari Selasa yang lalu. Mertuaku.
Dua panggilan telepon lainnya yang langsung ditutup. Sahabatku, Ann. Tidak ada
kabar buruk. Selalu melegakan saat mendengar serangkaian monolog berlalu tanpa
menggambarkan bencana yang telah atau akan terjadi.
Aku makan pizza dingin dan hampir selesai membongkar isi koper saat telepon
berdering. "Perjalanannya lancar?"
"Lumayan. Seperti biasanya."
"Bird mengatakan dia akan menuntut."
"Untuk apa?" "Karena disia-siakan."


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia mungkin bisa menang. Apa kamu yang akan jadi pengacaranya?"
"Kalau dia bisa menunjukkan bahwa dia punya cukup uang."
"Ada kesibukan apa di Denver?"
"Pernyataan seorang saksi. Seperti biasanya."
"Boleh aku jemput Birdie besok saja" Aku sudah bangun sejak jam enam pagi dan
benarbenar kecapaian."
"Kudengar Harry datang mengunjungimu di sana."
"Bukan gara-gara itu," tukasku. Adikku selalu menjadi sumber pertengkaran dengan
Pete. "Hey, hey, tenang dulu. Bagaimana keadaannya?"
"Luar biasa." "Besok juga boleh. Pukul berapa?"
"Besok hari pertamaku di sini, jadi aku sepertinya baru akan keluar sore hari.
Mungkin pukul enam atau tujuh."
"Tidak apa-apa. Datang saja pukul tujuh dan aku bisa menyediakan makan malam."
"Aku-" "Demi Birdie. Dia perlu bukti bahwa kita masih tetap berteman. Tampaknya dia
merasa bahwa semua ini salahnya."
"Oke." "Kamu 'kan tidak mau kalau Birdie harus ikut terapi di dokter hewan." Aku
tersenyum. Pete. "Ok. Tapi, aku akan membawa makanan." "Boleh saja."
Hari berikutnya lebih kacau daripada yang kuperkirakan. Aku bangun jam enam,
tiba di kampus pukul setengah delapan. Pada pukul sembilan aku memeriksa email,
menyortir surat pos, dan menelaah bahan kuliah.
Kuserahkan hasil ujian kedua kelasku, sehingga aku harus memperpanjang jam
kerjaku. Beberapa mahasiswa ingin mendiskusikan nilainya, yang lainnya
menginginkan keringanan karena tidak mengikuti ujian. Selalu saja ada keluarga
yang meninggal saat ujian, dan berbagai krisis
pribadi yang menerpa mereka. Tidak ada pengecualian untuk ujian tengah semester
ini. Pada pukul empat, aku menghadiri rapat Komite Mata Kuliah dan Kurikulum yang
menghabiskan waktu sembilan puluh menit untuk mendiskusikan apakah jurusan
Filsafat bisa mengganti nama mata kuliah tentang Thomas Aquinas. Aku kembali ke
kantorku dan melihat cahaya berkedip di pesawat teleponku. Dua pesan.
Seorang mahasiswa lagi yang bibinya meninggal. Sebuah pesan dari keamanan kampus
memperingatkan pencurian di Gedung Ilmu Fisika.
Berikutnya aku mengumpulkan diagram, jangka, cetakan, dan setumpuk bahan yang
akan dipersiapkan asistenku untuk latihan di lab hari berikutnya. Kemudian, aku
menghabiskan waktu satu jam di lab untuk memastikan bahwa berbagai spesimen yang
kupilih sudah cukup. Pada pukul enam aku mengunci semua laci dan pintu lab. Tidak tampak ada orang di
koridor di Gedung Colvard dan terasa sunyi, tetapi pada saat aku membelok di
ujung lorong ke arah kantorku, aku terkejut saat melihat seorang wanita muda
membungkuk di depan pintu kantorku.
"Ada yang bisa kubantu?"
Dia meloncat saat mendengar suaraku.
"Aku ... Tidak. Maaf. Aku tadi mengetuk." Dia bicara tanpa membalikkan tubuhnya,
membuatku sulit untuk melihat wajahnya. "Aku salah, bukan kantor ini yang
seharusnya kudatangi." Bersamaan dengan itu dia membelok di sudut gedung dan
menghilang dari pandangan.
Aku tiba-tiba teringat pada pesan tentang seringnya terjadi orang masuk tanpa
izin. Tenang, Brennan. Dia mungkin hanya mendengarkan
untuk melihat apakah ada orang di dalam.
Kuputar pegangan pintu yang langsung terbuka, Sialan. Aku yakin telah
menguncinya tadi. Atau tidak" Tanganku penuh dengan buku sehingga tadi aku
menutup pintu dengan kakiku. Mungkin kaitannya tidak mengunci.
Aku segera melihat sekilas barangbarang di ruangan itu. Sepertinya tidak ada
yang diganggu. Kuraih tas dari laci paling bawah dan memeriksanya. Uang. Kunci.
Paspor. Kartu kredit. Semua yang pantas diambil masih ada di dalamnya.
Mungkin dia memang salah kantor. Mungkin dia melihat ke dalam, menyadari
kesalahannya, dan baru akan beranjak pergi. Aku tidak melihatnya membuka pintu.
Pokoknya begitulah. Kubereskan tas kerjaku, memutar kunci dan menguji kuncinya, kemudian berjalan
menuju lantai tempat parkir.
Perbedaan Charlotte dengan Montreal seperti perbedaan antara Boston dengan
Bombay, Sebagai kota yang memiliki beragam kepribadian, Charlotte dulunya
merupakan kota terindah dari Old South dan juga pusat keuangan terbesar kedua di
Negara ini. Di kota ini juga terdapat pusat Charlotte Motor Speedway,
NationsBank dan First Union, serta Opera Carolina dan Coyote's Joe. Tampak
gereja di setiap sudut kota dan beberapa bar kecil di sana-sini. Ada country
club dan tempat bar-beque, jalan raya yang penuh sesak dan kuldesak yang sepi.
Pendeta Billy Graham yang terkenal itu dibesarkan di sebuah peternakan yang
sekarang telah menjadi pusat perbelanjaan dan Pendeta Jim Baker memulai
kariernya di gereja setempat dan berakhir di gedung pengadilan karena skandal
seksnya. Charlotte adalah tempat dicanang-kannya kebijakan untuk meraih
keseimbangan rasial di sekolah negeri, dan tempat berbagai akademi swasta,
beberapa di antaranya berorientasi agama dan yang lainnya benarbenar sekuler.
Charlotte adalah kota yang mendiskriminasikan orang berdasarkan ras pada tahun
1960-an, tetapi kemudian sekelompok pemimpin kaum kulit hitam dan kaum kulit
putih bekerja sama untuk mendirikan restoran, penginapan, tempat rekreasi, dan
transportasi terpadu. Saat Hakim James B. McMillan menetapkan kebijakan pada
1969, tidak ada kerusuhan sama sekali. Hakim itu sendiri sering mengalami
kritikan tajam, tetapi kebijakannya tetap berjalan dan seluruh kota mematuhinya.
Aku selalu tinggal di bagian tenggara kota itu. Dili worth. Myers Park. ?Eastover. Foxcroft. Walaupun jauh dari universitas, berbagai lingkungan
perumahan ini termasuk yang paling tua dan paling indah, labirin jalanan dihiasi
rumah yang serbaindah dan pekarangan yang luas dilindungi pohon elm dan ek yang
umurnya lebih tua dari piramid. Kebanyakan jalanan di Charlotte, seperti banyak
penghuni Charlotte, terlihat menyenangkan dan anggun.
Kubuka jendela mobil dan kuhirup udara sore di bulan Maret. Ini adalah harihari
transisi, belum memasuki musim semi, tetapi sudah bukan musim dingin, saat kita
membuka dan mengenakan kembali jaket beberapa kali sehari. Bunga crocus mulai
menyembul dari dalam tanah dan tak lama udara akan dihiasi dengan bau dogwoods,
redbuds, dan azaleas. Lupakan Paris. Di musim semi, Charlotte adalah kota yang
paling indah di muka bumi.
Aku memiliki beberapa rute yang bisa kupilih saat pulang ke rumah dari kampus,
Malam ini, aku memutuskan untuk mengambil jalan bebas hambatan sehingga aku
menggunakan jalan keluar ke Harris Boulevard. Lalu lintas di Highway 1-85 dan 177 bergerak dengan mulus sehingga dalam waktu lima belas menit aku sudah masuk
ke jalan raya dan mengarah ke tenggara di Providence Road. Aku berhenti di Pasta
and Provisions Company untuk membeli spageti, Caesar salad, dan roti bawang, dan
tak lama setelah jam tujuh aku membunyikan bel pintu rumah Pete.
Dia membuka pintu sambil mengenakan jins belel dan baju rugby berwarna kuning
biru, terbuka di bagian leher. Rambutnya acak-acakan seakan baru disisir dengan
tangannya. Dia terlihat tampan. Pete selalu terlihat tampan.
"Kenapa tidak menggunakan kuncimu?"
Betul juga, mengapa aku tidak menggunakannya"
"Supaya bertabrakan dengan seorang gadis pirang bercelana spandex di ruang
baca?" "Apa dia sudah datang?" ujarnya, melihat ke sekelilingnya seakanakan sedang
mencari. "Mimpi saja terus. Nih, masak air panas dulu." Kuserahkan pasta yang tadi
kubeli. Ketika Pete meraih kantong berisi makanan itu, Birdie menampakkan dirinya,
meregangkan salah satu kaki belakangnya, kemudian yang satunya lagi, dan duduk
dengan rapinya. Matanya menatap wajahku, tetapi dia tidak mendekat.
"Hey, Bird. Kangen sama aku?"
Kucing itu tidak bergerak. "Kamu benar. Dia marah," ujarku.
Kulemparkan tasku ke sofa, kemudian mengikuti Pete ke dapur. Kursi di sekeliling
meja dipenuhi tumpukan surat, kebanyakan belum dibuka. Begitu pula dengan tempat
duduk di bawah jendela dan rak kayu di bawah telepon.
Aku tidak berkomentar apa-apa. Sekarang semuanya bukan masalahku lagi.
Kami melewatkan satu jam berikutnya dengan makan spageti dan mendiskusikan Katy
dan anggota keluarga lainnya. Kuceritakan ibunya menelepon, mengeluhkan bahwa
Pete tidak mengacuhkannya. Pete berkomentar dengan mengatakan bahwa dia
mempersembahkan ibunya dan Birdie dalam satu paket. Aku menyuruhnya untuk
menelepon ibunya. Dia berjanji akan meneleponnya.
Pada pukul setengah sembilan aku memangku Birdie ke mobilku, Pete mengikuti
sambil membawa perlengkapan kucing itu. Kucingku membawa barang lebih banyak
dariku saat bepergian. Ketika membuka pintu, Pete meletakkan tangannya di atas tanganku.
"Kamu yakin tidak mau menginap di sini?"
Dia meremas jari-jemariku dan dengan tangannya yang lain mengelus rambutku
dengan lembut. Apa aku mau" Sentuhannya terasa begitu menyenangkan dan makan malam terasa
normal, sungguh nyaman. Aku merasa sesuatu di dalam diriku mulai meleleh.
Pikir, Brennan. Kamu lelah. Kamu bergairah. Cepat pulang saja.
"Bagaimana dengan Judy?"
"Ada sedikit gangguan dalam susunan kosmos."
"Kurasa tidak, Pete. Kita sudah pernah membahas ini. Aku menikmati makan
malamnya." Dia mengangkat bahu dan menarik kembali tangannya.
"Pokoknya kamu tahu di mana tempat tinggalku," ujarnya sambil berjalan kembali
ke dalam rumah. Aku pernah membaca bahwa ada sepuluh triliun sel dalam otak manusia. Semua sel
milikku terjaga di malam itu, berkecamuk dalam diskusi yang hiruk-pikuk mengenai
satu topik: Pete. Mengapa aku tidak menggunakan kunci milikku" Batasan, itu alasan yang
dikemukakan sel otakku. Bukan sekadar alasan lama yang mengatakan: "ini
garisnya, jangan menyeberanginya", tetapi menetapkan batasan yang baru, baik
secara nyata maupun simbolis.
Mengapa pula kami dulu sampai berpisah" Pernah ada saat ketika aku sangat
mendambakan pernikahan dan tinggal dengannya seumur hidupku. Apa yang berubah
antara diriku yang dahulu dan diriku yang sekarang ini" Aku masih sangat muda
ketika menikah, tetapi apakah aku yang sedang berkembang dahulu itu begitu
berbeda dengan diriku sekarang" Atau adakah kedua sosok Pete yang dulu dan yang
sekarang yang berbeda" Apakah Pete yang kunikahi dulu benarbenar tidak
bertanggung jawab" Sangat tidak bisa diandalkan" Apakah dulu aku berpikir bahwa
hal itu adalah bagian dari pesonanya"
Diskusi monologku mulai terdengar seperti lagu yang biasa dinyanyikan oleh Sammy
Cahn, komentar sel otakku.
Apakah yang terjadi di antara kami selama itu yang menyebabkan kami berpisah"
Pilihan apakah yang telah kami buat" Apakah kami akan membuat pilihan itu
sekarang" Apa salahku" Salah Pete" Takdir" Apa yang salah" Ataukah semuanya
sudah berjalan dengan benar" Apakah aku sekarang berada di jalur baru yang
benar, jalan yang telah diarahkan oleh pernikahanku"
Rangkaian pertanyaan yang cukup sulit, ujar sel otakku.
Apakah aku masih bersedia tidur dengan Pete"
Sebuah jawaban ya tanpa ragu lagi dilontarkansel-sel
itu. Tetapi, ini adalah tahun yang kering untuk berhubungan seks, ujarku.
Pilihan kata yang menarik, ujar salah satu sel. Kering. Tidak adanya daging.
Menandakan rasa lapar. Ada seorang pengacara di Montreal, protesku.
Bukan itu jawabannya, ujar salah satu sel di atas. Orang itu sama sekali tidak
memberikan kenikmatan. Voltasenya berada di daerah merah dengan orang itu.
Tidak ada gunanya berdebat dengan otak bila bagian tubuh itu sedang penuh
gairah.[] i?Pada hari Sabtu pagi, aku baru tiba di universitas saat telepon kantorku
berdering. Suara Ryan benarbenar mengejutkanku.
"Aku tidak menginginkan berita cuaca," ujarnya sebagai pembukaan.
"Suhu lima belas derajat dan aku memakai krim tabir surya."
"Kamu memang benarbenar keras kepala, Brennan." Aku tidak berkomentar apa-apa.
"Mari kita bicarakan tentang St-Jovite." "Oke." Kuraih pulpen dan mulai membuat
gambar segitiga. "Kita mendapatkan empat nama." Aku menunggu.
"Ternyata memang satu keluarga, Ibu, ayah, dan bayi kembar lakilaki."
"Kita 'kan sudah tahu tentang hal itu?" Kudengar suara gemerisik kertas.
"Brian Gilbert, usia dua puluh tiga tahun, Heidi Schneider, usia dua puluh
tahun, Malachy dan Mathias Gilbert, usia empat bulan."
Kuhubungkan garis di bawah menjadi beberapa segitiga kecil.
"Kebanyakan wanita akan terpesona oleh kemampuan penyelidikanku."
"Aku bukan kebanyakan wanita." "Kamu marah?"
"Apakah memang ada alasan aku harus marah?"
Kulemaskan gerahamku dan kupenuhi paru-paruku dengan udara. Untuk beberapa saat
lamanya dia tidak menyahut.
"Bell Canada tidak tergesa-gesa seperti biasanya, tetapi catatan telepon itu
akhirnya datang juga hari Senin. Satu-satunya nomor jarak jauh selama setahun
terakhir dialamatkan ke kode area delapan-empattiga."
Aku berhenti di tengah-tengah segitiga.
"Kelihatannya kamu bukanlah satu-satunya orang yang merindukan Dixie."
"Lucu." "Kenangan lama sepertinya tidak akan pernah terlupakan."
"Di mana?" "Beaufort, South Carolina." "Apa kamu yakin?"
"Wanita tua itu sering menelepon ke nomor itu, kemudian panggilan telepon itu
berhenti musim dingin kemarin."
"Dia menelepon ke mana?"
"Mungkin ke sebuah rumah. Sheriff setempat akan memeriksanya hari ini."
"Itu tempat tinggal keluarga muda itu?"
"Tidak juga. Petunjuk Beaufort ini membuatku berpikir. Panggilan telepon itu
sepertinya cukup sering, kemudian berhenti pada tanggal dua belas Desember.
Kenapa" Itu sekitar tiga bulan sebelum kebakaran. Ada sesuatu yang mengusikku.
Bagian tiga bulan itu. Lalu, aku teringat. Itu adalah waktu ketika para tetangga
mengatakan bahwa pasangan suamiistri dan bayi itu terlihat di St-Jovie. Kamu mengatakan kedua
bayi itu berusia empat bulan, jadi kupikir mereka dilahirkan di Beaufort dan
panggilan telepon itu berhenti saat mereka tiba di St-Jovite."
Kubiarkan dia meneruskan ceritanya.
"Aku menelepon Beaufort Memorial, tapi tidak ada bayi kembar yang dilahirkan di
sana selama setahun terakhir ini. Kemudian, aku mencoba menelepon beberapa
klinik, dan menemukan sesuatu. Mereka ingat sang ibu di Kembali terdengar
gemerisik kertas. "... Beaufort-Jasper Comprehensive Health Clinic di Saint
Helena. Itu sebuah pulau."
"Aku tahu itu, Ryan."
"Itu klinik kesehatan di pedesaan, kebanyakan dokternya berkulit hitam,
kebanyakan pasiennya berkulit hitam. Aku bicara dengan salah seorang dokter
kandungan dan, setelah berdebat tentang rahasia pasien omong-kosong itu, dokter
wanita itu mengakui telah menangani kelahiran yang cocok dengan deskripsi yang
kuberikan. Wanita itu datang saat hamil empat bulan, mengandung bayi kembar.
Tanggal kelahirannya di akhir November. Heidi Schneider. Dokter itu mengatakan
dia ingat Heidi karena berkulit putih dan karena anak kembar itu."
"Jadi, Heidi melahirkan di situ?"
"Tidak. Alasan lainnya kenapa dokter itu ingat pada Heidi adalah karena dia
menghilang. Wanita itu terus memeriksakan diri ke dokter sampai hamil enam
bulan, kemudian tidak pernah kembali lagi."
"Itu saja?" "Itu saja yang dikatakan oleh dokter wanita itu sampai aku mengirimkan faks foto
autopsi. Dia pasti akan membayang-bayangkan foto itu selama beberapa hari ini saat hendak tidur. Saat
menelepon kembali, dia menjadi lebih terbuka. Tapi, bukan berarti info di chartnya bisa membantu. Heidi tidak begitu jujur saat mengisi formulir di rumah sakit
itu. Dia menuliskan Brian Gilbert adalah sang ayah, menuliskan alamat rumahnya
di Sugar Land, Texas, dan tidak mengisi alamat setempat dan nomor teleponnya."
"Ada apa di Texas?"
"Kami sedang memeriksanya, Bu."
"Jangan mulai, Ryan."
"Apakah kepolisian di Beaufort cukup cerdas?"
"Aku tidak mengenal mereka. Lagi pula, mereka tidak punya yurisdiksi di St.


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Helena. Daerah itu tidak termasuk ke daerah mana pun, jadi merupakan juridiksi
sheriff." "Kita akan menemuinya."
"Kita?" "Aku akan naik pesawat ke sana hari Minggu dan perlu pemandu lokal dong. Kamu
tahu 'kan, seseorang yang mengenal bahasanya, mengenal protocol lokalnya. Aku
bahkan tidak tahu bagaimana cara kalian makan jagung bakar."
"Aku tidak bisa. Katy akan pulang minggu depan. Lagi pula, Beaufort mungkin
adalah salah satu tempat yang paling kusenangi di planet ini. Se andainya aku
menjadi pemandumu, yang mungkin tidak akan kulakukan, bukan pada saat kamu
sedang bertugas." "Atau kenapa." "Kenapa apa?" "Kenapa orang mau makan jagung bakar." "Tanya Martha Stewart." "Pertimbangkan
dulu." Tidak perlu. Aku tidak ingin bertemu dengan Ryan di Beaufort. Sama seperti tidak
ingin mendaftarkan diriku sebagai wanita lajang yang mencari pasangan di bagian
People Meeting People di surat kabar setempat.
"Bagaimana dengan dua mayat yang hangus di lantai atas?" Kembali ke St-Jovite.
"Kami masih menyelidikinya."
"Apakah Anna Goyette sudah pulang ke rumahnya?" "Sama sekali tidak tahu."
"Ada perkembangan kasus pembunuhan Claudel?" "Yang mana?"
"Gadis hamil yang melepuh itu."
"Setahuku sih belum ada perkembangan apaapa."
"Kamu memang sumber informasi yang berguna. Nanti ceritakan kepadaku apa yang
kamu temukan di Texas."
Kututup telepon dan kuambil sekaleng Diet Coke. Aku tidak mengetahuinya saat
itu, tetapi hari itu ternyata hari yang sarat dengan pembicaraan melalui
telepon. Sepanjang sore, aku menyelesaikan makalah yang akan disajikan di pertemuan
American Association of Physical Anthropology pada awal April. Aku merasakan
stres yang biasa kuhadapi karena menundanya terus sampai menit-menit terakhir.
Pada pukul setengah empat, aku sedang memilah-milah foto hasil CAT-scan saat
telepon bordering kembali. "Kamu harus lebih sering keluar rumah."
"Beberapa di antara kita 'kan punya kerjaan, Ryan."
"Alamat di Texas itu rumah Schneider. Menurut orang tuanya, yang menurutku tidak
akan pernah memenangi permainan Final Jeopardy, Heidi dan Brian datang sekitar
bulan Agustus dan terus tinggal di sana sampai kedua bayinya lahir. Heidi
menolak perawatan sebelum kelahiran
dan melahirkan di rumah dengan bantuan seorang bidan. Kelahiran yang mudah.
Tidak ada masalah. Kakek dan nenek yang berbahagia. Kemudian, seorang lelaki
mengunjungi pasangan suamiistri itu di bulan Desember dan seminggu kemudian
datang seorang wanita tua menyupir mobil van dan mereka pun pergi." "Pergi ke
mana?" "Orang tuanya tidak tahu. Anaknya tidak pernah menghubungi mereka lagi." "Siapa
lelaki itu?" "Tidak tahu, tapi mereka mengatakan bahwa lelaki itu membuat Heidi dan Brian
sangat ketakutan. Setelah dia pergi, mereka menyembunyikan kedua bayinya dan
tidak mau keluar rumah sampai wanita tua itu tiba di sana. Papa Schneider juga
tidak menyukai lelaki itu."
"Kenapa?" "Tidak menyukai tampangnya. Orang itu mengingatkannya pada seekor .... Coba
kulihat apa katakata persisnya." Aku bisa membayangkan Ryan sedang membalikkan
halaman catatannya. "... 'sigung keparat,' Sedikit puitis 'kan?"
"Si Ayah memang seorang Yeat (nama keluarga Irlandia terpandang). Ada lagi?"
"Berbicara dengan orangorang ini seperti bicara dengan burung parkitku, tapi ada
satu hal lagi." "Kamu punya burung?"
"Mama mengatakan bahwa Heidi dan Brian anggota sebuah kelompok. Dan, semua
anggota kelompok itu hidup bersama-sama. Dan, kamu siap mendengar berita ini?"
"Aku baru saja minum empat butir Valium. Berita apa?"
"Di Beaufort, South Carolina."
"Semuanya cocok."
"Seperti sepatu mahal yang pas di kaki pemiliknya." "Apa lagi yang mereka
katakan?" "Tidak ada hal lain yang berguna." "Bagaimana dengan Brian Gilbert?"
"Dia dan Heidi bertemu di kampus dua tahun yang lalu, keduanya putus sekolah tak
lama setelah Itu. Mama Schneider menduga dia berasal dari Ohio. Katanya aksesnnya lucu. Kami sedang memeriksanya."
"Kamu menceritakannya kepada mereka?"
"Ya." Untuk sejenak kami berdua membisu. Menyampaikan berita pembunuhan adalah bagian
terburuk dari pekerjaan seorang detektif, hal yang paling tidak mereka sukai.
"Aku masih memerlukan bantuanmu di Beaufort."
"Aku masih tidak akan datang. Ini pekerjaan detektif, bukan ahli forensik."
"Tahu tentang lingkungan itu akan mempercepat proses penyelidikan."
"Aku tidak yakin aku mengenal lingkungan itu sebaik yang kaukira."
Sepuluh menit kemudian, telepon bordering kembali.
"Bonjour, Temperance. Comment ga v a?"
LaManche. Ryan tidak membuang waktu sedikit pun, dan telah mengajukan
argumentasinya dengan baik. Apakah aku bisa menolong Letnan Detektif Ryan dalam
penyelidikannya di Beaufort" Ini adalah penyelidikan yang cukup sensitif dan
media menjadi semakin tidak sabar. Semua biaya yang kukeluarkan akan diganti.
Lampu tanda ada pesan masuk menyala saat kami sedang berbicara. Aku berjanji
kepada LaManche bahwa aku akan mempertimbangkan dulu apa yang bias kubantu, lalu
meletakkan gagang telepon.
Pesan itu dari Katy. Rencananya untuk minggu depan sudah dapat dipastikan. Dia
masih akan pulang pada akhir pekan, tetapi kemudian ingin bergabung dengan
teman-temannya di Hilton Head Island.
Saat duduk kembali untuk merenungkan semuanya, mataku beralih ke layar komputer
yang menampilkan makalah yang belum selesai itu. Katy dan aku bisa pergi ke
Beaufort untuk berakhir pekan dan aku bisa bekerja di sana. Lalu, dia bisa ke
Hilton Head dan aku tinggal di sana untuk membantu Ryan. LaManche akan senang
mendengarnya. Ryan akan senang pula. Dan, aku juga butuh penghasilan tambahan.
Aku juga punya alasan untuk tidak pergi.
Sejak Ryan menelepon, bayangan Malachy melayang-layang di benakku. Aku melihat
matanya yang setengah terbuka dan dadanya yang koyak, jarijari kecilnya yang
mengepal dalam kematian. Aku memikirkan saudara kembarnya yang juga meninggal,
orang tuanya yang meninggal, dan kakek-neneknya yang dirundung kesedihan.
Memikirkan kasus itu menenggelamkan diriku dalam suasana melankolis dan aku
ingin menjauh dari suasana itu untuk beberapa waktu lamanya.
Kuperiksa silabus kuliahku untuk minggu berikutnya. Aku harus menayangkan sebuah
fi Im dalam pelajaran tentang evolusi manusia pada hari Kamis. Aku bisa
mengganti harinya. Pelajaran tentang Don Johanson akan sama saja jika
disampaikan pada hari Selasa.
Sebuah ujian cepat tentang tulang dalam pelajaran osteologi, kemudian lab
terbuka. Aku menelepon dan melakukan pembicaraan singkat. Tidak masalah. Alex
bisa menggantikanku kalau aku mempersiapkan semua bahan untuknya.
Kuperiksa buku agendaku. Tidak ada rapat komite lagi bulan ini. Setelah besok,
tidak ada pertemuan dengan mahasiswa sampai minggu depan. Mengapa bisa begini"
Aku yakin sudah bertemu dengan semua mahasiswaku di kampus kemarin. Semuanya
bisa berjalan dengan baik.
Dan sebenarnya, memang aku memiliki kewajiban untuk membantu kalau bisa. Tidak
peduli seberapa kecil pun bantuanku itu. Aku tidak bisa mengembalikan warna ke
pipi Malachy atau menutup luka yang mengerikan di dadanya. Dan, aku tidak bias
meng hilangkan rasa pilu keluarga Schneider atau mengembalikan anak dan kedua
cucu kembar itu kepada mereka. Tetapi, aku bisa membantu menangkap bajingan
psikopat yang telah membunuh mereka. Dan mungkin menyelamatkan jiwa MalachyMalachy lainnya. Kalau kamu bersedia melakukannya, Brennan, lakukan saja.
Kutelepon Ryan dan mengatakan bahwa aku bias membantunya hari Senin dan Selasa.
Aku akan memberitahukan di mana aku akan menginap di Beaufort.
Aku memiliki ide lain, jadi aku mengangkat telepon lagi, dan menghubungi Katy.
Kujelaskan rencanaku dan dia setuju dengannya. Jadi, kami akan bertemu di rumah
pada hari Jumat dan berangkat dengan mengendarai mobilku.
"Sekarang pergilah ke klinik dan lakukan tes TB," ujarku kepadanya. "Subdermal,
bukan hanya tes goresan saja. Lalu, ambil hasilnya hari Jumat sebelum pergi,"
"Kenapa?" "Karena Mama punya ide bagus untuk proyekmu dan itu adalah persyaratannya. Dan
waktu di klinik nanti, buat fotokopi catatan imunisasimu."
"Catatan apa?" "Catatan semua suntikan yang pernah kamu dapatkan. Kamu harus memilikinya supaya
bisa mendaftarkan diri ke universitas. Dan, bawa semua catatan yang diserahkan
dosenmu untuk tugas proyek ini."
"Kenapa?" "Nanti kamu akan tahu sendiri alasannya."[]
i f. 15 f' Hari Kamis berlalu cepat dengan mengajar dan berdiskusi dengan mahasiswa.
Setelah makan malam, kutelepon Pete untuk menitipkan Birdie selama akhir pekan.
Ha\ry menelepon sekitar jam sepuluh, mengabarkan seminarnya sudah selesai. Dia
telah ditunjuk untuk bertemu dengan pengajarnya dan akan makan malam di rumahnya
pada hari Jumat. Dia ingin menggunakan apartemenku selama akhir pekan.
Kukatakan bahwa dia bisa tinggal selama yang diinginkannya. Aku tidak menanyakan
dia ke mana saja sepanjang minggu ini atau mengapa tidak meneleponku. Aku sudah
beberapa kali meneleponnya, tetapi tidak pernah diangkat, termasuk dua kali
setelah tengah malam. Aku juga tidak mengatakan hal itu kepadanya.
"Kamu akan bertemu dengan Ryan di Negeri Kapas minggu depan?" tanyanya.
"Sepertinya sih begitu." Aku merasa gerahamku saling bersentuhan. Bagaimana dia
bisa tahu hal itu" "Pasti akan senang di sana." "Ini urusan pekerjaan, Harry."
"Ya. Tapi, dia memang lucu seperti seekor kepik yang mungil."
"Leluhurnya memang dilahirkan untuk memanen ubi." "Apa?"
"Nggak apa-apa."
Jumat pagi kupilih potongan tulang, menuliskan beberapa pertanyaan, dan
mempersiapkan semuanya di atas nampan. Alex, asistenku, akan mempersiapkan kartu
dan spesimen dengan urutan angka, dan menentukan waktu yang disediakan bagi
mahasiswa untuk bergerak dari satu nampan ke nampan berikutnya. Metode kuis
tulang yang sangat lazim.
Katy tiba tepat pada waktunya, dan pada tengah hari kami sudah mengendarai mobil
menuju selatan. Suhu bertahan pada kisaran lima belas derajat Celcius, warna
langit persis seperti yang tergambar di poster promosi Grand Strand. Kami
menurunkan atap danj endela agar rambut kami melambailambai ditiup angin. Aku
yang mengemudi dan Katy yang memilih musik rock and roli.
Kami mengambil rute 1-77 ke selatan melalui Columbia, memotong di tenggara pada
1-26, kemudian ke selatan lagi dengan menggunakan 1-95. Di Yemassee, kami keluar
dari jalan raya antarnegara bagian dan melaju di jalanan pedesaan yang sempit.
Kami mengobrol, tertawa, dan berhenti setiap kali ingin berhenti. Barbecue di
Piggy Park milik Maurice. Berfoto di reruntuhan Gereja Old Sheldon-Prince
Williams, yang dibakar oleh Sherman setelah perjalanannya menuju lautan. Dengan
jadwal yang tidak padat, semuanya terasa menyenangkan, ditambah dengan kehadiran
putriku, dan mengarah ke tempat yang paling kusenangi di seluruh dunia.
Katy menceritakan beberapa mata kuliah yang diambilnya dan tentang lelaki yang
dikencaninya. Menurutnya, tidak ada yang layak dipertahankan. Dia bercerita
tentang halangan, yang sekarang sudah ditanganinya, yang telah mengancam
berbagai rencananya untuk liburan musim semi. Dia bercerita tentang anakanak
perempuan yang akan menyewa apartemen dengannya di Hilton Head, dan aku tertawa sampai
perutku sakit. Ya, ini memang putriku, dengan humor yang begitu kelam seperti
cerita para vampir. Aku belum pernah merasa sedekat ini dengannya dan untuk
beberapa saat lamanya aku menjadi muda dan bebas kembali, dan melupakan
pembunuhan bayibayi itu. Di Beaufort kami melewati lapangan udara marinir, berhenti sejenak di Bi-Lo,
kemudian melaju melewati kota dan melewati Jembatan Wood Memorial menuju Pulau
Lady. Di puncaknya, aku membelok dan menatap kembali pantai Beaufort,
pemandangan yang selalu membangkitkan semangatku.
Aku menghabiskan musim panas masa kecilku di dekat Beaufort, dan sebagian besar
kehidupanku setelah dewasa, rantai kehidupan yang baru-baru ini terputus saat
aku mulai bekerja di Montreal. Kusaksikan pertumbuhan pesat deretan restoran
cepat saji dan pembangunan pusat pemerintahan daerah, yang dijuluki "Taj Mahal"
oleh penduduk setempat. Jalanan telah diperlebar, lalu lintas semakin padat.
Pulau-pulaunya sekarang menjadi resor golf dan apartemen. Tetapi, Bay Street
tetap tidak berubah. Rumah-rumah besar masih berjejer dengan agungnya, diteduhi oleh deretan pohon ek
yang digelantungi lumut Spanyol. Hanya sedikit yang masih sama dalam kehidupan
ini; aku menemukan ketenangan dalam laju kehidupan Beaufort yang lamban. Alur
waktu menyemut menuju lautan keabadian.
Saat kami menuruni ujung jembatan, melaju lurus ke depan dan membelok ke sebelah
kiri, bisa kulihat beberapa kapal ditambatkan di Factory Creek, sebuah cekungan
air dari Sungai Beaufort. Matahari sore mengintip dari balik jendela kapal dan
menyinari tiang serta dek kapal. Kususuri jalan sekitar satu kilometer di
Highway 21, kemudian membelok ke lapangan parkir di restoran Ollie's Seafood.
Saat berkelok-kelok menembus kerimbunan pohon ek, aku menuju bagian belakang
lapangan parkir itu dan menghentikan mobil di tepi sungai.
Aku dan Katy mengumpulkan belanjaan dan tas kami, lalu berjalan menyeberangi
Ollie's menuju Marina Pulau Lady. Di kedua sisi tampak tumpukan lumpur,
rerumputan hijau musim semi menyeruak dari tumpukan jerami hitam tahun kemarin.
Burung-burung kecil mengomel saat kami berjalan melewati mereka dan melesat
keluar-masuk di antara rerumputan dan cattails. Kuhirup aroma campuran air
payau, klorofi I, dan tumbuhan yang meranggas, dan merasa senang karena telah
kembali ke daerah pedesaan.
Jalan dari pantai mirip dengan sebuah lorong menembus markas marina, sebuah
bangunan putih persegi empat dengan tingkat ketiga yang pendek di sepanjang
atapnya, dan pintu menuju lantai pertama. Di sebelah kanan, ada pintu ke toilet
dan ruangan untuk mencuci baju. Kantor Apex Realty, pembuat kapal laut, dan
pemimpin pelabuhan menempati ruangan di sebelah kiri kami.
Kami berjalan melewati terowongan, menyusuri dermaga yang mengambang di air
dengan anak tangga kayu horizontal, dan menyeberang menuju dermaga yang paling
jauh. Saat menyusuri tangga itu, Katy mengamati setiap kapal yang kami lewati.
The Ecstasy, kapal Morgan berukuran lima belas meter dari Norfolk, Virginia. The
Blue Palm, kapal berukuran delapan belas meter buatan sendiri dengan lambung
baja dan layar yang cukup untuk mengarungi seluruh dunia. The Hillbilly Heaven,
kapal pesiar klasik tahun sembilan belas tiga puluhan, dahulu elegan, sekarang sudah
rusak dan tidak pantas dinaiki lagi. The Melanie Tess, adalah kapal terakhir di
sebelah kanan. Katy mengamati Christ Craft berukuran tiga belas meter, tetapi
tidak berkata apaapa. "Tunggu sebentar," ujarku, sambil men jatuhkan barang bawaanku ke atas dek.
Aku naik ke buritan, ke anjungan, dan memencet beberapa tombol di kotak
peralatan di sebelah kanan kursi kapten. Kemudian, kuraih sebuah kunci, membuka
pintu masuk, mengaitkan kembali kaitannya, dan menurunkan diriku tiga langkah ke
dalam kabin utama. Di dalam, udara terasa sejuk dan bau kayu, lumut, serta
disinfektan pinus menusuk hidung. Kubuka pintu keluar dan Katy menyerahkan
makanan dan tas pakaian kami, kemudian naik ke atas dek.
Tanpa berkata sepatah pun, aku dan putriku meninggalkan semua barang bawaan kami
di ruangan utama, kemudian berkeliling kapal, melihat-lihat dekorasinya. Ini
adalah kebiasaan yang kami lakukan saat dia masih kecil dan tidak peduli
seberapa tua umurku kelak, ini akan menjadi bagian yang paling kusenangi saat
tinggal di tempat yang tidak kukenal. The Melanie Tess sebenarnya bukan tempat
yang asing, tetapi aku sudah tidak pernah melihatnya lagi sejak lima tahun yang
lalu, dan merasa penasaran untuk melihat perubahan yang dikatakan Sam.
Kami melihat dapur yang terletak satu undakan di bawah ruangan utama. Terdapat
kompor, tempat mencuci piring, dan lemari es dari kayu dengan pegangan kotak es
gaya kuno. Lantainya dari kayu parket, sedangkan dindingnya, seperti biasanya,
dari kayu jati. Di sisi kanan kapal tampak tempat makan malam, dengan bantalan
berwarna merah muda dan hijau. Di depan dapur tampak lemari makanan dan kotak
tidur berbentuk V yang cukup besar untuk ditiduri dua orang.
Di buritan tampak kabin utama dengan tempat tidur berukuran besar dan lemari
dengan cermin. Seperti di ruangan utama dan tempat makan malam, semuanya terbuat
dari kayu jati dan bantalan dari katun yang cerah dengan pola dedaunan. Katy
terlihat lega saat melihat ada pancuran di kamar mandi utama.


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asyik sekali," katanya. "Aku boleh tidur di kotak tidur?"
"Apa kamu yakin mau tidur di situ?"
"Yakin sekali. Kelihatannya nyaman sekali, jadi aku akan membuat sarang kecil di
sana, meletakkan semua barangku di atas rak-raknya." Dia membuat gerakan
meletakkan berbagai barang kecil di atas rak.
Aku tertawa. Rutinitias "barang" George Carlin adalah salah satu episode komedi
yang kami sukai. "Lagi pula, aku hanya akan di sini selama dua malam, jadi Mama
pakai tempat tidur yang besar saja." "OK."
"Lihat, ada sebuah communique bertuliskan nama Mama." Dia meraih sebuah amplop
dari meja dan menyerahkannya kepadaku. Kurobek lidah amplopnya dan mengeluarkan
sehelai kertas pesan. Air dan listrik sudah dipasang, jadi semuanya sudah siap. Telepon aku kalau
kalian sudah beresberes. Nanti kuajak makan malam. Selamat menikmati. Sam
Kami merapikan barang belanjaan, lalu Katy langsung menata barang-barangnya saat
aku menelepon Sam. "Hey, hey, Sayang, kalian sudah beresberes?" "Kami sudah di
sini sekitar dua puluh menit. Kapalnya cantik, Sam. Aku tidak percaya bahwa ini
kapal yang sama." "Hanya membutuhkan sedikit uang dan kerja keras." "Perbedaannya terlihat jelas.
Apa kamu pernah tinggal di sini?"
"Oh, ya. Itulah sebabnya telepon dan mesin penjawab ada di situ. Memang sedikit
berlebihan untuk sebuah kapal, tetapi aku tidak boleh sampai ketinggalan pesan.
Kamu boleh menggunakan nomor itu kapan saja."
"Terima kasih Sam. Aku benarbenar menghargainya."
"Aku jarang menggunakannya. Jadi, memang harus ada orang yang memakainya."
"Ya, terima kasih lagi."
"Bagaimana dengan makan malam?"
"Aku tidak mau merepotkan-"
"Lho, aku 'kan perlu makan juga, Begini saja. Aku akan keluar ke Gay Seafood
Market membeli bahan makanan untuk acara masak-masak Melanie besok. Bagaimana
kalau aku bertemu dengan kalian di Factory Creek Landing. Letaknya di sebelah
kanan, tepat setelah Ollie's dan sebelum jembatan. Memang tidak mewah, tapi
udang di sana enak sekali."
"Jam berapa?" "Sekarang pukul enam lewat empat puluh, bagaimana kalau sekitar setengah
delapan" Aku akan ke toko itu dan mengambil motor Harley dulu."
"Dengan satu syarat. Aku yang traktir."
"Kamu memang keras kepala, Tempe."
"Jangan main-main denganku."
"Apa rencana kita besok masih sama?"
"Kalau kamu tidak keberatan. Aku tidak mau-"
"Yeah. Yeah. Kamu sudah memberi tahu dia?"
"Belum. Tapi, dia akan tahu dengan sendirinya begitu kalian bertemu. Sampai
ketemu satu jam lagi."
Kulemparkan tasku ke atas tempat tidur, kemudian berjalan ke anjungan. Matahari
sudah terbenam, sisasisa berkas cahayanya membuat langit berwarna merah muda.
Cahayanya mengilaukan payau di sebelah kananku dan menyorot seekor ibis putih
yang sedang berdiri di atas rerumputan. Jembatan menuju Beaufort terlihat hitam
di depan langit yang berwarna merah muda, seperti tulang dari monster kuno yang
meregangkan tubuhnya di langit. Kapal-kapal di marina kota mengintip dari
seberang sungai ke arah dermaga kami yang kecil.
Walaupun hari telah semakin dingin, udara masih terasa halus seperti kain satin.
Embusan angin meniup rambut dan membelai wajahku.
"Apa acara malam ini?"
Katy bergabung denganku. Kulirik jam tangan.
"Kita akan bertemu dengan Sam Rayburn untuk makan malam setengah jam lagi."
"Sam Rayburn" Kukira dia sudah meninggal."
"Memang sudah. Yang ini adalah Sam sang walikota Beaufort dan seorang teman
lama." "Seberapa tua usianya?"
"Lebih tua dari Mama. Tapi, dia masih bisa jalan. Kamu pasti akan menyukainya."
"Tunggu dulu." Dia mengacungkan jarinya kepadaku dan aku bisa melihatnya sedang
berpikir melalui sorotan matanya. Lalu, kesimpulan terbersit. "Ini lakilaki
monyet itu 'kan?" Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. "Apa kita akan ke sana besok"
Tidak, jangan menjawab. Tentu saja besok kita akan ke sana. Itulah sebabnya
kenapa aku harus disuntik kemarin." "Kamu sudah disuntik 'kan?"
"Batalkan saja pesanan kamar di sanitarium," ujarnya, sambil menjulurkan
lengannya. "Aku sudah bersih dari tuberculosis."
Saat kami tiba di restoran, motor Sam telah diparkir di lapangan parkir. Musim
panas yang lalu dia telah bergabung dengan Lotus, kapal layar itu, dan pesawat
ultra-ringan sebagai tambahan terbaru dalam daftar mainannya yang cukup panjang.
Aku tidak pernah yakin apakah semua mainan itu adalah cara Sam untuk menentang
usianya yang sudah setengah baya atau hanya usahanya untuk berintegrasi dengan
aktivitas manusia setelah sekian lama hanya meneliti kehidupan primata.
Walaupun usianya lebih tua sepuluh tahun dariku, aku dan Sam sudah berteman
lebih dari dua puluh tahun lamanya. Saat aku masih duduk di bangku kuliah tahun
kedua, Sam sudah menjadi mahasiswa pascasarjana tahun kedua. Kami menjadi dekat
karena, menurut dugaanku, kehidupan kami saat itu sangat berbeda.
Sam adalah orang Texas, putra tunggal pemilik asrama keturunan Yahudi. Pada usia
lima belas tahun, ayahnya tewas saat mempertahankan kotak uang yang isinya hanya
dua belas dolar. Setelah kematian suaminya, Nyonya Rayburn tenggelam dalam
depresi yang tidak pernah bisa diatasinya. Sam memikul beban menjalankan bisnis
setelah menyelesaikan SMA dan mengurus ibunya. Setelah kematian ibunya tujuh
tahun kemudian, dia menjual
asrama itu dan bergabung dengan marinir. Dia selalu gelisah, penuh amarah, dan
tidak tertarik kepada apa pun.
Kehidupan di dunia militer semakin mempersinis sikap Sam. Di tempat latihan
calon marinir, dia menganggap hal-hal Jenaka yang dilakukan teman-temannya
sangat mengesalkan dan membuatnya semakin pendiam. Selama perang Vietnam, dia
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati burung dan berbagai binatang,
menggunakan mereka sebagai tempat pelarian dari horor di sekelilingnya. Dia amat
muak dengan pembunuhan yang dilihatnya selama perang dan merasa sangat bersalah
karena ikut berperan dalam perang itu. Semua binatang terlihat sangat lugu dalam
perang yang ganas itu, tidak termotivasi oleh berbagai rencana untuk membunuh
sesamanya. Dia khususnya sangat tertarik pada monyet, kehidupan kawanannya yang
teratur, dan cara mereka menyelesaikan masalah dengan hanya menimbulkan sedikit
cedera. Untuk pertama kali dalam hidupnya Sam merasa benarbenar terpesona.
Sam kembali ke Amerika Serikat dan masuk ke University of Illinois di ChampaignUrbana. Dia menyelesaikan gelar sarjananya dalam waktu tiga tahun dan saat aku
bertemu dengannya dia adalah asisten di bagian pengenalan zoologi yang kuikuti.
Dia terkenal di antara para mahasiswa karena cepat marah, punya lidah yang
tajam, dan sangat mudah kesal. Khususnya oleh mahasiswa yang rendah daya
tangkapnya dan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Dia benarbenar teliti dan
sangat cerewet, tetapi sangat adil dalam menilai hasil kerja mahasiswa.
Semakin lama aku mengenal Sam, semakin kusadari bahwa dia hanya menyukai
beberapa orang saja, tetapi sangat setia kepada mereka yang dia masukkan ke
dalam lingkaran kehidupannya yang kecil itu. Dia pernah mengatakan kepadaku bahwa,
karena telah menghabiskan waktu bertahuntahun di dunia primata, dia merasa tidak
cocok lagi di dunia manusia. Sudut pandang monyet, begitulah dia menyebutnya,
telah menunjukkan kepadanya betapa konyolnya tingkah laku manusia.
Sam akhirnya ganti jurusan ke antropologi fi sik, melakukan penelitian di
Afrika, dan menyelesaikan gelar doktornya. Setelah beberapa kali mengajar di
beberapa universitas, dia akhirnya tiba di Beaufort pada awal 1970-an sebagai
ilmuwan yang bertanggung jawab atas fasilitas primata.
Walaupun usia telah melunakkan hati Sam, aku ragu bahwa hal itu akan bisa
mengubah rasa tidak nyamannya tentang interaksi sosial. Bukannya dia tidak mau
berpartisipasi. Dia suka bergaul. Keikutsertaannya dalam pemilihan walikota
membuktikan hal itu. Hanya saja kehidupan Sam tidak berjalan seperti kehidupan
orang lain pada umumnya. Jadi, dia membeli sepeda motor dan gantole untuk
terbang. Kedua benda tersebut menyediakan rangsangan dan keasyikan, tetapi tetap
mudah diduga dan bisa dia tangani. Sam Rayburn adalah salah seorang dari sekian
manusia yang paling kompleks dan paling cerdas yang pernah kukenal.
Sang walikota yang terhormat itu ada di bar, sedang menonton pertandingan basket
sambil minum bir. Aku menyapanya, dan seperti biasanya, Sam langsung mengambil alih, memesan
segelas bir lagi untuk dirinya, Diet Coke untukku dan Katy, kemudian mengarahkan
kami ke bilik tempat duduk di bagian belakang restoran.
Putriku tidak menunda-nunda waktu lagi dan langsung menegaskan kecurigaannya tentang rencana esok
hari, kemudian menghujani Sam dengan berbagai pertanyaan.
"Sudah berapa lama Paman menangani pusat primata
ini?" "Lumayan lama juga, Aku bekerja untuk orang lain sampai sekitar sepuluh tahun
yang lalu, kemudian membeli perusahaan itu untuk kumiliki sendiri, Hal itu
hampir membuatku jatuh bangkrut, tapi aku senang telah melakukannya. Tidak ada
yang lebih menyenangkan daripada menjadi boss sendiri."
"Berapa banyak monyet yang tinggal di pulau ini?"
"Sekarang sekitar empat ribu lima ratus ekor." "Mereka punya siapa?"
"FDA. Perusahaanku memiliki pulau ini dan mengurus semua hewan itu."
"Dari mana asal mereka?"
"Mereka dibawa ke Pulau Murtry dari sebuah koloni di Puerto Riko. Ibumu dan aku
pernah bekerja di sana, entah kapan di Zaman Perunggu dulu. Tapi, mereka semua
awalnya berasal dari India, termasuk golongan rhesus."
"Macaca mulatta." Katy mengucapkan genus dan spesies itu dengan nada mengalun
dan berirama. "Bagus sekali. Dari mana kamu belajar taksonomi primata?"
"Aku mengambil jurusan psikologi. Banyak penelitian yang dilakukan terhadap
rhesus. Mungkin Paman juga tahu, seperti Harry Harlow dan keturunannya?"
Sam baru saja akan berkomentar saat pelayan tiba membawa piring berisi tiram dan
kerang goreng, udang rebus, roti jagung, dan kubis kuah. Kami berkonsentrasi
sejenak untuk menyendokkan saus ke piring masing-masing, memeras jeruk nipis,
dan mengupas udang. "Monyet-monyet itu digunakan untuk apa?"
"Populasi Murtry adalah koloni untuk dikembangbiakkan.
Beberapa monyet kecil dikirim ke Food and Drug Administration, tapi kalau
binatang itu terus tumbuh besar sampai berat badan tertentu, mereka akan tinggal
di sana selamanya. Surga monyet."
"Ada apa lagi di luar sana?" Putriku sepertinya tidak kesulitan untuk mengunyah
dan berbicara pada saat yang bersamaan.
"Tidak banyak. Monyet-monyet itu dibiarkan bebas sehingga mereka bisa pergi ke
mana saja. Mereka membentuk berbagai kelompok sosial dan memiliki peraturannya
sendiri. Ada pos makanan, dan tempat untuk menangkap mereka, tetapi di luar
perkemahan, mereka bebas untuk berkeliaran di pulau."
"Perkemahan apa?"
"Itulah sebutan kami untuk daerah di sebelah kanan dermaga. Ada sebuah pos
makanan, sebuah klinik hewan kecil, kebanyakan untuk kasus gawat darurat,
beberapa gudang untuk makanan monyet, dan sebuah trailer untuk tempat tinggal
mahasiswa dan peneliti." Dia mencelupkan tiram ke dalam saus cocktail,
memiringkan kepalanya, kemudian menjatuhkannya ke dalam mulutnya.
"Ada sebuah perkebunan di pulau ini pada abad kesembilan belas." Setetes saus
merah tersangkut di janggutnya. "Milik keluarga Murtry. Dari situlah pulau itu
mendapatkan namanya."
"Siapa yang boleh masuk ke pulau itu?" Tanya putriku sambil mengupas seekor
udang lagi. "Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke situ.
Monyet-monyet itu bebas virus dan bernilai tinggi. Siapa saja, dan maksudku
siapa saja, yang menjejakkan kaki di pulau itu harus mendapatkan izin dariku
terlebih dahulu, dan harus mendapatkan beberapa macam imunisasi, termasuk tes
negatif untuk TB dalam waktu enam bulan terakhir."
Sam menoleh kepadaku dengan pandangan bertanya dan aku mengangguk.
"Kukira di zaman sekarang sudah tidak ada lagi orang yang terjangkit TB."
"Tes ini bukan untuk melindungimu, anak manis. Para monyet sangat rentan pada
TB. Sebuah epidemic bisa menghancurkan sebuah koloni lebih cepat dibandingkan
dengan kamu mengucapkan yang bener nih."
Katy menoleh kepadaku. "Mahasiswa Mama juga harus disuntik semuanya?"
"Setiap kali akan ke sini, ya."
Di awal karierku, sebelum aku terpikat oleh forensik, penelitianku biasanya
melibatkan monyet untuk mempelajari proses penuaan di tulangbelulang. Aku
mengajar semua kuliah primatologi di UNCC, termasuk penelitian lapangan di Pulau
Murtry. Sudah empat belas tahun aku selalu membawa mahasiswa ke sana.
"Hm," gumam Katy, memasukkan kerang ke dalam mulutnya. "Ini pasti akan mantap
sekali." Pada pukul setengah delapan keesokan harinya, kami berdiri di dermaga di ujung
utara Pulau Lady, tak sabar untuk segera berangkat ke Murtry. Perjalanannya
seperti perjalanan menuju terarium. Kabut tebal menutupi semuanya, menyelimuti
ujung kapal dan menyebabkan pemandangan di hadapan kami tidak begitu jelas,
Walaupun jarak Murtry hanya kurang dari satu setengah kilometer, aku tidak bisa melihat
apa-apa di lautan di hadapan kami. Saat mendekat, seekor ibis terkejut dan
segera terbang, kakinya yang panjang dan ramping mengikuti dari belakang.
Para karyawan telah tiba dan sedang membongkar dua kapal terbuka milik fasilitas
tersebut. Tak lama kemudian, mereka sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pergi
lagi. Aku dan Katy menghirup kopi, menunggu tanda dari Sam. Akhirnya, dia
bersiul dan melambai mengajak masuk. Kami meremas cangkir Styrofoam,
melemparkannya ke drum minyak yang berubah fungsi menjadi tempat sampah, dan
bergegas menuruni dermaga sebelah bawah.
Sam menolong kami masuk ke dalam kapal, kemudian melepaskan tali dan melompat ke
dalamnya. Dia menganggukkan kepala kepada lelaki di kemudi dan kapal pun mulai
melenggang meninggalkan dermaga ....
"Berapa lama perjalanannya?" tanya Katy kepada Sam.
"Air sudah pasang, jadi kita akan mengambil alur Parrot Creek, kemudian memutar
sungai dan memotong di payau. Seharusnya, tidak lebih dari empat puluh menit."
Katy duduk bersila di dasar kapal.
"Kamu lebih baik berdiri dan bersandar di sisi," saran Sam, "Kalau nanti Joey
melaju, kapal ini akan melompat-lompat. Getarannya sangat kuat sehingga sanggup
menggetarkan tulang punggungmu."
Katy bangkit dan Sam menyerahkan seutas tali kepadanya.
"Pegang ini. Kamu mau memakai jaket pelampung?" Katy menggelengkan kepala. Sam
menoleh kepadaku. "Putriku seorang perenang ulung," ujarku menenangkan lelaki
tua itu. Saat itu Joey menyalakan mesin dan kapal mulai hidup. Kami melaju ke lautan
lepas, angin menerpa rambut, baju, dan menghamburkan katakata dari mulut kami.
Pada satu titik, Katy menepuk bahu Sam dan menunjuk ke pelampung yang terapungapung, "Sarang kepiting,"seru Sam.
Lebih jauh lagi, dia menunjukkan sarang burung elang di atas tanda penunjuk
kanal. Katy mengangguk penuh semangat.
Tak lama kemudian, kami sudah meninggalkan lautan dan masuk ke daerah payau.
Joey berdiri sambil meregangkan kedua kakinya, mata menatap ke depan saat dia
memutar dan membalikkan kemudi, mengarahkan kapal menuju alur air yang sempit.
Ku perkirakan hanya ada jalur selebar tiga meter yang bias dilewati kapal. Kapal
miring ke samping kiri, kemudian ke kanan, meliuk-liuk, cipratan air membasahi
rerumputan di kedua sisi.
Aku dan Katy saling berpegangan dengan erat dan memegang kapal, tubuh kami
menyesuaikan diri dengan tekanan sentrifugal pada setiap belokan, tertawa dan
menikmati keasyikan kecepatan dan keindahan hari itu. Walaupun aku sangat
mencintai Pulau Murtry, kupikir aku lebih menyenangi perjalanan menyeberang ke
pulau tersebut. Pada saat kami tiba di Murtry, kabut telah menghilang. Cahaya matahari
menghangatkan dermaga dan menyentuh tanda di jalur masuk ke pulau tersebut.
Embusan angin menggoda dedaunan di hadapan kami, mengirimkan bercak bayangan dan
tahan cahaya yang selalu berubah bentuk di atas katakata: MILIK PEMERINTAH.
DILARANG MASUK. Saat isi kapal sudah dibongkar dan semua orang sudah berada di stasiun lapangan,
Sam memperkenalkan Katy kepada para karyawan. Aku sudah mengenal hampir
semuanya, walaupun ada beberapa wajah baru. Joey sudah bekerja sejak dua musim
panas yang lalu. Fred dan Hank masih dalam program latihan. Saat memperkenalkan,
Sam memberikan gambaran singkat tentang kegiatan stasiun itu.
Joey, Larry, Tommy, dan Fred adalah para teknisi, tugas utama mereka memelihara
fasilitas itu setiap hari dan menangani pengangkutan barang persediaan. Mereka


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pengecatan dan perbaikan, membersihkan batu karang dan pos makanan,
dan menjaga agar monyet mendapatkan makanan dan air yang cukup.
Jane, Chris, dan Hank lebih terlibat langsung dengan monyet, memantau data semua
kelompok monyet. "Data apa?" tanya Katy.
"Kehamilan, kelahiran, kematian, penyakit. Kami selalu menghitung populasi
dengan cukup ketat. Ada beberapa proyek penelitian. Jane ikut dalam kajian
serotonin. Setiap hari dia mencatat berbagai perilaku, untuk melihat monyet mana
yang menjadi lebih agresif, lebih impulsif. Kemudian, kami membandingkan data
tersebut dengan kadar serotonin dalam tubuh mereka. Kami juga melihat
rankingnya. Semua monyet Jane memakai kalung telemetrik yang mengirimkan sinyal
sehingga dia bisa menemukan mereka. Kamu mungkin akan melihat salah seekor di
antaranya." "Serotonin adalah senyawa kimia di dalam otak," ujarku menjelaskan.
"Ya," sahut Katy. "Sebuah neurotransmiter yang diperkirakan berhubungan dengan
perilaku agresif." Sam dan aku saling tersenyum. Dasar anak hebat!
"Bagaimana menentukan apakah seekor monyet
bersikap impulsif?" tanya Katy.
"Monyet jantan akan lebih berani mengambil risiko. Melakukan lompatan yang lebih
panjang, misalnya, jauh di atas pohon. Meninggalkan kelompoknya pada usia yang
masih muda." "Jantan?" "Ini adalah kajian awal. Tidak melibatkan monyet beti-na."
"Kamu mungkin akan melihat salah seekor monyetku di perkemahan," ujar Jane, yang
mengikatkan sebuah kotak berantena panjang ke pinggangnya. "J-7. Dia ada di
kelompok O. Mereka sering main ke sini."
"Dia itu monyet yang klepto 'kan?" tanya Hank.
"Ya. Dia suka mengambil apa pun yang berserakan. Dia mengambil sebuah pulpen
minggu lalu. Dan jam tangan Larry. Larry nyaris kena stroke sewaktu mengejar si
jahil itu." Ketika semua orang sudah mengenakan peralatannya, memeriksa tugasnya, dan pergi,
Sam mengajak Katy tur di pulau itu. Aku mengekor, mengamati putriku menjadi
pelacak monyet. Saat menyusuri jalur setapak, Sam menunjukkan pos makanan, dan
menggambarkan setiap kelompok yang sering mengunjungi tempat-tempat itu. Dia
membicarakan daerah kekuasaan dan hierarki penguasaan, dan garis keturunan,
sementara Katy menempelkan teropong di wajahnya dan mengawasi pepohonan.
Di pos makanan E, Sam melemparkan segenggam biji jagung kering ke atas atap
logam. "Jangan bergerak dan perhatikan," katanya.
Tak lama kemudian, kami mendengar sibakan dedaunan dan melihat sekelompok monyet
mendekat. Dalam waktu beberapa menit, kami sudah dikelilingi gerombolan
monyet, beberapa di antaranya tetap di pohon, yang lainnya mendarat di tanah dan
mulai mendekati biji jagung yang berserakan.
Katy benarbenar terpesona.
"Itu kelompok F," ujar Sam. "Memang kelompoknya kecil, tapi dikendalikan oleh
sekelompok monyet betina yang paling tinggi rankingnya di pulau ini. Dia
benarbenar pemimpin yang hebat."
Pada saat kami kembali ke perkemahan, Sam telah membantu Katy merancang sebuah
proyek sederhana. Putriku merapikan catatannya, sementara Sam mengambilkan
sekantong jagung untuknya, kemudian Katy keluar lagi. Aku mengamatinya
menghilang di kerumunan pohon ek, dengan teropong mengayun di pahanya.
Aku dan Sam duduk di beranda yang dilindungi kerai dan berbincang sejenak,
kemudian dia kembali bekerja dan aku mengeluarkan draf CAT scan. Walaupun sudah
mencoba, aku masih tidak bisa memusatkan perhatian. Pola sinus tidak begitu
menarik saat aku mendongak dan bisa melihat sinar matahari berkilauan di atas
ombak di muara dan menghirup bau garam bercampur pinus.
Para karyawan kembali pada tengah hari, Katy berada di antara mereka. Setelah
makan roti lapis dan keripik Fritos, Sam kembali mengerjakan datanya, dan Katy
kembali menghilang ke dalam hutan.
Aku kembali mencoba mengerjakan makalahku, tetapi masih tidak berhasil juga. Aku
mulai melamun setelah tiga halaman.
Aku terbangun saat mendengar suara yang sudah akrab dengan telingaku.
Thunk! Rat a tat a tat a tat a tat. Thunk! Rat a tat a tat tat tat.Dua ekor
monyet baru saja melompat dari pohon dan berlari di atas atap beranda. Sambil
berusaha untuk tidak kentara, kubuka pintu, menyelinap keluar menuju undakan.
Kelompok O telah memasuki perkemahan dan sedang beristirahat di dahan pohon di
atas stasiun lapangan. Pasangan yang tadi membangunkanku sekarang meloncat dari
stasiun ke atas trailer dan duduk di kedua ujung atapnya.
"Itu dia." Aku tidak mendengar Sam datang ke belakangku. "Lihat."
Dia menyerahkan teropongnya kepadaku.
"Aku bisa melihat tatonya," ujarku, membaca dada di setiap monyet. "J-7 dan GN9. 3-7 memakai kalung."
Kukembalikan alat itu dan Sam menempelkannya di matanya.
"Apa yang dipegangnya" Apa dia masih memegang jam tangan Larry?"
Hasil curiannya yang lain.
"Barang itu berkilat. Seperti emas sewaktu ditimpa cahaya matahari."
Saat itu GN-9 meloncat dan meneriakkan ancaman. 3-7 merecet dan meloncat dari
atap, melompat-lompat dari dahan ke dahan sampai dia keluar dari sudut pandangan
kami. Harta karunnya meluncur dari atas atap masuk ke saluran air.
"Ayo kita lihat."
Sam mengambil tangga dari samping rumah dan menyandarkannya di samping trailer.
Dia membersihkan sarang laba-laba, menguji tangga itu, kemudian naik ke atas.
"Apa-apaan ini?"
"Apa?" "Sialan." "Apa Sam?"
Dia memutar sesuatu di tangannya. "Kunyuk!"
"Apa sih?" Aku mencoba melihat apa yang dijatuhkan monyet itu, tetapi tubuh Sam
menghalangi pandanganku. Sam berdiri diam di puncak tangga, kepalanya menunduk.
"Sam, apa itu?"
Tanpa mengatakan apa pun, dia menuruni tangga dan menjulurkan tangannya agar aku
bisa melihat benda itu. Aku segera tahu apa benda itu dan tahu apa artinya, dan
merasa cahaya matahari lenyap dari muka bumi.
Kupandang mata Sam dan kami saling berpandangan tanpa berkata apa-apa.[]
1?Aku berdiri sambil memegang benda itu, tidak mau memercayai apa yang terlihat
oleh kedua mataku. Sam yang mulai bicara. "Itu rahang manusia."
"Ya." Kulihat bayang-bayang yang tepinya bergerigi menyapu wajahnya.
"Mungkin dari pekuburan Indian kuno."
"Tidak mungkin karena ada gigi palsunya."
Kuputar rahang itu dan cahaya matahari dipantulkan oleh gigi palsu dari emas.
"Inilah yang menarik perhatian J-7," katanya, sambil menatap gigi palsu itu.
"Dan daging ini," ujarku, menunjuk bongkahan daging berwarna cokelat yang
menggantung pada sendi tulang itu.
"Apa artinya ini?"
Kuangkat rahang itu dan kuendus-endus. Tercium bau kematian yang lembap dan
membuat mual. "Dalam cuaca seperti ini, tergantung apakah tubuhnya dikubur atau dibiarkan di
alam terbuka, aku menduga orang ini sudah mati kurang dari setahun lamanya."
"Bagaimana mungkin!" Segaris pembuluh darah mencuat di dahinya.
"Jangan teriak padaku. Rupanya tidak setiap orang yang masuk ke pulau ini
meminta izinmu lebih dulu."
Kupalingkan wajahku darinya. "Dari mana monyet itu mendapatkannya?" "Dia 'kan
monyetmu, Sam. Kamu cari sendiri jawabannya."
"Memang aku akan mencari jawabannya!"
Dia bergegas menuju stasiun lapangan, menaiki dua tangga sekaligus, dan
menghilang masuk ke dalamnya. Melalui jendela yang terbuka, aku bisa mendengar
suaranya menyalak memanggil Jane.
Untuk sejenak aku berdiri di situ, mendengarkan suara gemerisik daun palem dan
kebingungan. Apakah kematian sudah menembus pulau kedamaianku ini"
"Tidak!" Jeritku di dalam hati. "Jangan di sini!"
Kudengar gemerisik kerai saat pintu dibuka. Sam muncul bersama Jane, kemudian
memanggilku. "Ayo, Quincy. Kita kumpulkan para tersangkanya. Jane tahu ke mana perginya
kelompok O kalau mereka tidak ada di perkemahan, jadi kita bisa mengetahui
keberadaan 3-7, Mungkin, para penjahat kecil itu bisa memberi kita informasi."
Aku tidak bergerak. "Oh ya, aku minta maaf. Hanya saja, aku tidak suka potongan tubuh muncul di
pulauku. Kamu tahu 'kan bagaimana sifatku."
Aku tahu, Tetapi, bukan amarah Sam yang membekukan diriku. Aku mencium bau pinus
dan merasakan embusan angin yang hangat di pipiku. Aku tahu apa yang ada di luar
sana dan tidak mau menemukannya.
"Ayolah." Kutarik napas panjang, sama enggannya seperti seorang wanita yang sedang dalam
perjalanan menemui dokter ahli kanker.
"Tunggu." Aku masuk ke dalam stasiun lapangan dan mengaduk-aduk dapur sampai menemukan
sebuah ember plastik. Kumasukkan rahang itu ke dalamnya, menyembunyikan ember
itu di dalam lemari di kamar belakang, dan meninggalkan pesan untuk Katy.
Kami mengikuti jejak di belakang stasiun lapangan dan mengikuti Jane menuju
pusat pulau itu. Dia memimpin kami ke sebuah daerah yang pepohonannya besarbesar sebesar anjungan lepas pantai, dengan dedaunan yang rimbun di atas kepala.
Tanah kaya dengan humus dan pohon cemara jarum, udara sarat dengan aroma
tumbuhan yang mati dan kotoran binatang. Gerakan di antara dahan menunjukkan ada
monyet di sekitar situ. "Ada monyet di sini," kata Jane, sambil menghidupkan pesawat penerimanya.
Sam menjelajahi pepohonan dengan teropongnya, mencoba melihat kode yang ditato
di tubuh binatangbinatang liar itu.
"Itu kelompok A," ujarnya.
"Hunh!" Seekor monyet muda merunduk di dahan di atasku, bahu diturunkan, buntut mengayun
di udara, matanya menatap wajahku. Raungan yang tajam dan parau adalah caranya
untuk mengatakan "Menjauhlah!"
Saat kubalas tatapannya, monyet itu duduk, menundukkan kepalanya, kemudian
menegakkannya lagi secara diagonal dari tubuhnya. Dia mengulangi gerakan itu
beberapa kali, kemudian memutar tubuhnya dan melesat kencang ke pohon
berikutnya. Sam memindai puncak pepohonan saat Jane berhenti lagi dan berputar searah jarum
jam, memusatkanperhatian pada suara di headset-nya. Akhirnya,
"Aku mendapatkan sinyal yang sangat lemah."
Dia melirik ke arah monyet muda itu menghilang, berhenti, kemudian berputar
lagi. "Sepertinya dia di dekat Alcatraz." Dia menunjuk ke arah jam sepuluh.
Walaupun kebanyakan tempat di pulau itu diberi tanda dengan huruf, beberapa
tempat lama memiliki nama seperti OK Corral atau Alcatraz.
Kami bergerak menuju Alcatraz, tetapi saat berada di selatan tempat pengumpul,
Jane keluar dari jalan setapak dan menembus hutan. Tumbuhan terlihat lumayan
tebal di sini, tanah terasa lembut saat diinjak. Sam menoleh kepadaku.
"Hatihati saat di dekat kolam. Alice melahirkan beberapa ekor bayi musim lalu,
dan kurasa suasana hatinya sedang tidak bersahabat sekarang ini."
Alice adalah buaya berukuran lima meter yang sudah tinggal di Murtry sepanjang
ingatan orang. Tidak ada yang tahu siapa yang memberikan nama itu kepadanya.
Para karyawan menghormati haknya untuk berada di situ dan membiarkannya tinggal
dikolam tersebut. Kuacungkan jempol kepada Sam. Walaupun aku tidak takut pada mereka, buaya
bukanlah makhluk yang ingin kujadikan teman.
Kami berada sekitar tujuh meter dari jalan setapak saat aku menciumnya, awalnya
masih samar, hanya campuran bau hutan organik yang gelap. Mulamula aku kurang
yakin, tetapi saat kami berjalan semakin dekat, bau itu terasa lebih tajam dan
ketegangan menyapu dadaku,
Jane memotong jalan ke arah utara, menjauhi kolam, dan Sam mengikutinya,
teropong selalu diarahkan ke dahan di atas kami. Aku sedikit menjauh. Bau
menyengat itu muncul dari depan kami. Kukelilingi permen karet bekas yang
terjatuh di tanah dan berhenti. Aku bisa melihat alang-alang dan daun palem
mengelilingi kolam itu. Hutan itu menjadi hening saat Jane dan Sam menjauh,
gemerisik kaki mereka semakin terdengar sayup-sayup pada setiap langkah.
Bau daging yang membusuk sangat khas. Aku menciumnya di rahang itu, dan sekarang
bau manis yang busuk itu mencemari udara sore, mengatakan kepadaku bahwa buruan
kami sudah semakin dekat. Dengan nyaris tidak bernapas, aku bergerak melingkar
seperti yang dilakukan Jane, mata terpejam, setiap indra dipusatkan pada indra
perasa. Gerakan yang sama, fokus yang berbeda. Jane mencari dengan telinganya,
sedangkan aku berburu dengan hidungku.
Bau itu muncul dari arah kolam. Aku bergerak mendekat, hidungku mengikuti bau
itu dan mataku mengawasi gerakan reptil. Di atas terdengar pekikan monyet,
kemudian urin mengucur ke tanah. Dahan bergerakgerak dan daun melambailambai ke
bawah. Bau busuk itu semakin kuat setiap kali aku melangkah.
Aku melangkah sekitar tiga meter, berhenti, dan mengarahkan teropongku ke
dedaunan palem yang tebal dan tumbuhan yaupon holly yang memisahkan aku dengan
kolam itu, Awan yang berwarna-warni berubah-ubah bentuk tepat di pinggir kolam,
Aku bergerak maju, pelan-pelan menguji setiap pijakan. Di pinggiran semak, bau
pembusukan semakin jelas. Aku mendengarkan. Hening. Kuamati bagian bawah semak
itu. Tidak ada apa-apa. Jantungku berdegup kencang dan keringat membasahi
wajahku. Cepat bergerak, Brennan. Bagi buaya, tempat ini sudah terlalu jauh dari kolam.
Kutarik sebuah bandana dari saku celana, menutup mulut dan hidungku, kemudian
berjongkok untuk melihat apa yang begitu menarik bagi lalat-lalat di depanku.
Kerumunan lalat itu terbang pada saat yang bersamaan, mendengung dan terbang di
sekelilingku. Kulambai-lambaikan tangan mengusir mereka, tetapi lalat-lalat itu
segera kembali lagi. Sambil menampar lalat itu dengan sebelah tanganku, kupegang
bandana dengan tangan yang lainnya dan mengangkat dahandahan yaupon. Serangga
berlompatan menerpa wajah dan lenganku, mendengung dan terbang karena merasa
terganggu. Kerumunan lalat itu tertarik ke sebuah kuburan dangkal, tersembunyi dari
pandangan karena tertutup dedaunan tebal. Dari permukaannya tampak wajah manusia
menatapku, bentuknya berubah-ubah di bawah bayangan. Aku membungkuk, kemudian
mundur lagi dengan perasaan ngeri.
Yang kulihat bukan lagi sebuah wajah, melainkan tengkorak yang sudah dipereteli
oleh hewan pemakan bangkai. Yang terlihat sebagai mata, hidung, dan bibir
sebenarnya hanyalah tumpukan kepiting mungil, bagian dari gerombolan kepiting
yang lebih besar yang menutupi tengkorak dan memakan dagingnya.
Saat melihat ke sekeliling, aku baru sadar bahwa ada pihak lain yang juga ikut
memanfaatkannya. Peng galan tulang rusuk yang sudah koyak tergeletak di sebelah
kananku. Tulang lengan, masih dihubungkan dengan otot sendi dari ligamen yang
kering, mengintip dari bawah tanah sekitar dua meter jauhnya.
Kusibakkan semak itu dan berjongkok dengan bertumpu
di tumitku, tidak mampu bergerak karena perasaan dingin dan mual. Di ekor mataku
kulihat kedatangan Sam. Dia mengucapkan sesuatu, tetapi katakatanya tidak mampu
menembus benakku. Entah di mana, jutaan kilometer jauhnya, sebuah motor
terdengar meraung keras, kemudian berhenti.
Aku ingin berada di tempat lain. Menjadi orang lain. Menjadi orang yang tidak
menghabiskan waktu bertahuntahun mencium kematian dan melihat tahap pembusukan
yang paling akhir. Menjadi orang yang tidak mau bekerja dari hari ke hari
merekonstruksiulang jasad sisa pembunuhan oleh mucikari jagoan, rekan yang
murka, orang sinting, dan psikopat. Aku datang ke pulau ini untuk melarikan diri
dari kekejaman yang kuhadapi dalam pekerjaanku. Tetapi, bahkan di sini pun,
kematian menemukanku. Aku kewalahan. Hari baru. Kematian baru. Death du jour. Ya
Tuhan, berapa banyak lagi hari kematian yang harus kuhadapi"
Kurasakan sentuhan tangan Sam di bahuku dan mendongak. Tangan lainnya menutup
hidung dan mulutnya. "Apa yang kautemukan?"
Kumiringkan kepalaku ke arah semak dan Sam merundukkan dedaunan dengan
sepatunya. "Astaga!"
Aku setuju dengannya. "Sudah berapa lama dia di sini?" Aku mengangkat bahu.
"Beberapa hari" Minggu" Tahun?"
"Lokasi kuburan itu sudah menjadi tempat berpesta bagi fauna di pulaumu, tetapi
sebagian besar tubuhnya sepertinya tidak terganggu. Aku tidak bias menilai
kondisi mayat itu." "Pasti bukan monyet yang menggalinya. Mereka tidak suka makan daging. Ini pasti
ulah burung pemakan bangkai."


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Burung pemakan bangkai?"
"Turkey vultures. Mereka suka makan bangkai monyet."
"Aku juga pasti akan menanyai rakun." "Oh ya" Rakun suka yaupon, tetapi kurasa
mereka tidak suka makan bangkai."
Kutatap kembali kuburan itu.
"Mayat itu dibaringkan miring, dengan bahu kanan di bawah permukaan tanah. Tidak
heran kalau baunya menarik hewan pemakan bangkai. Burung dan rakun mungkin
menggali dan memakannya, kemudian menarik lengan dan rahang saat pembusukan
melemahkan sendi-sendinya." Kutunjuk bagian tulang rusuk. "Mereka memakan bagian
dada dan menariknya keluar. Sisa tubuhnya mungkin terlalu dalam atau terlalu
sulit untuk digali, jadi mereka meninggalkannya di dalam situ."
Dengan menggunakan sebatang kayu, kutarik lengan itu lebih dekat. Walaupun
bagian sikunya masih terhubungkan, ujung tulang panjangnya sudah menghilang,
bagian dalamnya yang seperti spons menonjol dengan pinggiran yang kasar dan
bergerigi. "Lihat bagaimana ujungnya menunjukkan bekas kunyahan" Ini bekas gigi hewan. Dan
ini?" Kutunjuk sebuah lubang kecil. "Itu bekas gigitan. Hewan kecil, mungkin
rakun." "Sialan." "Dan tentu saja kepiting dan serangga juga ikut berperan."
Sam bangkit, memutar tubuhnya dan menendang tanah dengan tumit sepatunya.
"Ya ampun. Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kamu panggil koroner setempat dan dia akan menghubungi ahli
antropologi setempat." Aku bangkit dan membersihkan kotoran dari jinsku. "Dan
semua orang menginformasikan apa yang mereka ketahui kepada sheriff."
"Ini benarbenar mimpi buruk. Aku tidak mau ada sembarangan orang berkeliaran di
pulau ini." "Mereka tidak akan berkeliaran di pulau ini, Sam.
Mereka hanya akan datang ke sini, menggali mayat ini, mungkin membawa seekor
anjing pelacak untuk melihat apakah masih ada orang lain yang dikuburkan di
pulau ini." "Bagaimana mungkin " Sialan. Ini tidak mungkin terjadi." Butiran keringat mulai?menetes dari pelipisnya. Otot rahangnya mengeras.
Untuk sejenak kami berdua tidak berkata apaapa. Lalat mendengung dan
beterbangan. Sam akhirnya memecahkan keheningan. "Kamu harus melakukannya."
"Melakukan apa?"
"Apa pun yang harus dilakukan. Menggali mayat itu," Dia menunjukkan lengannya ke
arah kuburan itu "Enak saja. Ini bukan daerah yurisdiksiku."
"Aku tidak peduli siapa yang punya yurisdiksi di sini. Aku tidak mau ada
sekelompok orang bodoh berkeliaran di pulau ini, menyabot pulauku, mengacaukan
jadwal kerjaku, dan kemungkinan besar menulari monyet-monyetku. Tidak bisa! Aku
walikota daerah ini dan ini pulauku. Aku akan duduk di dermaga sambil membawa
senapanku, aku tak akan membiarkan hal itu terjadi."
Pembuluh darah di dahinya dan otot di lehernya mencuat keluar. Jarinya diacungacungkan untuk menegaskan setiap perkataannya.
"Wah, penampilan yang pantas mendapatkan Academy Award, Sam, tapi aku masih
tidak mau melakukannya. Dan Jaffer ada di USC di Columbia. Dia yang menangani
kasus antropologi di South Carolina, jadi mungkin dialah yang akan dihubungi
koroner setempat. Dan punya sertifi kasi dan dia sangat hebat."
"Dan Jaffer monyong itu mungkin mengidap TBI"
Sepertinya tidak ada gunanya mendebat, jadi aku pun diam saja.
"Kamu melakukan pekerjaan itu setiap hari 'kan" Kamu bisa menggali mayat itu dan
menyerahkan semuanya ke si Jaffer."
Masih tidak ada ujung pangkalnya. "Kenapa tidak, Tempe?" tanyanya sambil melotot
kepadaku. "Kamu tahu 'kan bahwa aku sedang menangani kasus lain di Beaufort ini. Aku sudah
berjanji dengan orang ini bahwa aku akan bekerja sama dengannya dan aku harus
kembali ke Charlotte pada hari Rabu."
Aku tidak memberikan jawaban yang sesungguhnya, yaitu bahwa aku sama sekali
tidak ingin ikut campur dalam kasus ini. Secara mental, aku belum siap untuk
menyamakan pulau tempat istirahatku sebagai tempat kematian yang mengerikan.
Sejak pertama kali melihat rahang itu, bayangan buruk sudah melintas-lintas di
benakku, bekas-bekas kasus di masa lalu. Wanita yang dicekik, bayi yang
dibantai, lelaki muda dengan leher digorok dan mata yang nanar. Kalau
pembantaian mencapai pulau ini, aku tidak mau terlibat sedikit pun.
"Kita akan membicarakannya lagi di perkemahan," ujar Sam, "Jangan bercerita
tentang mayat itu kepada siapa pun."
Tanpa memedulikan sifatnya yang diktator itu, kuikatkan bandanaku ke semak-semak
dan kami berjalan pulang.
Saat kami sudah dekat ke jalan setapak, kulihat sebuah mobil bak terbuka yang
usang di dekat tempat kami menembus masuk ke hutan. Mobil itu dipenuhi makanan
monyet dan membawa tangki berisi tiga ratus galon air yang diikat di bagian
belakang kendaraan. Joey sedang memeriksa tangki itu.
Sam memanggilnya. "Tunggu sebentar."
Joey menyeka punggung tangannya ke mulut, kemudian menyilangkan lengan. Dia
memakai jins dan kemeja dengan bagian lengan dan leher yang sudah dipotong.
Rambut pirangnya yang berminyak menggantung seperti mie di sekeliling wajahnya.
Joey mengamati kami mendekat, matanya disembunyikan oleh kacamata hitamnya,
mulutnya tampak seperti garis tipis di wajahnya. Tubuhnya terlihat tegang.
"Aku tidak mau ada seorang pun mendekati kolam," ujar Sam kepada Joey.,
"Alice dapat monyet lagi?"
"Tidak." Sam tidak memerinci jawabannya. "Makan an itu mau diantar ke mana?"
"Pos makan nomor tujuh."
"Tinggalkan saja dan segera kembali ke stasiun." "Bagaimana dengan airnya?"
"Penuhi tankinya dan segera kembali ke perkemahan. Kalau kamu melihat Jane,
suruh dia ke markas juga."
Bayang-bayang Joey mendarat di wajahku dan sepertinya beristirahat di situ untuk
beberapa saat lamanya. Lalu, dia masuk ke dalam mobil dan melaju pergi, tangki
berbunyi nyaring di belakangnya.
Aku dan Sam berjalan tanpa berkata apa-apa. Aku mencemaskan peristiwa yang akan
terjadi berikutnya, dan berniat untuk tidak membiarkan Sam memaksaku. Kuingat
kembali katakatanya, melihat wajahnya saat dia menemukan kuburan itu. Kemudian
ada hal lainnya. Tepat sebelum Sam bergabung denganku, kupikir aku mendengar
suara motor. Apakah itu suara mobil bak terbuka tadi" Aku bertanya dalam hati,
sudah berapa lama Joey memarkir mobilnya di jalan setapak itu. Dan mengapa
diparkir di situ" "Kapan Joey mulai bekerja untukmu?" tanyaku.
"Joey?" Dia berpikir sejenak. "Hampir dua tahun yang lalu."
"Apakah dia dapat diandalkan?"
"Yang pasti perasaan kasihannya melebihi akal sehatnya. Dia termasuk orang yang
selalu merasa sendu, selalu membicarakan hak-hak binatang, dan khawatir kalaukalau tindakan kami mengganggu kawanan monyet. Dia tidak tahu sedikit pun
tentang binatang, tetapi dia pekerja yang bagus."
Saat kami tiba di perkemahan, kudapati pesan dari Katy. Dia sudah menyelesaikan
pengamatannya dan pergi ke dermaga untuk membaca. Saat Sam menghampiri telepon,
aku berjalan menuju tepi laut. Putriku sedang duduk di salah satu kapal itu,
sepatu ditanggalkan, kaki dijulurkan di hadapannya, lengan baju dan celananya
digulung setinggi mungkin. Kulambaikan tangan dan dia membalasnya, kemudian
menunjuk ke kapal itu. Aku
menggelengkan kepala dan mengangkat kedua tanganku, memberikan tanda bahwa sudah
waktunya untuk pergi. Dia tersenyum dan terus membaca.
Saat aku masuk kembali ke stasiun lapangan, Sam sedang berada di samping meja
dapur, berbicara dengan menggunakan ponsel. Aku duduk di bangku di hadapannya.
"Kapan dia akan kembali?" tanyanya. Dia terlihat lebih gelisah dari sebelumnya.
Hening. Dia mengetuk-ngetukkan pensil ke mejanya, bolakbalik dari satu ujung ke
ujung lainnya, kemudian membiarkannya meluncur di sepanjang jarinya.
"Ivy Lee, aku harus bicara dengannya sekarang juga. Kamu bisa menghubunginya?"
Hening. Tap. Tap. Tap. "Tidak, seorang deputi saja tidak cukup. Aku perlu bicara dengan Sheriff Baker."
Hening sejenak lagi. Tap. Tap Ujung pensil itu patah dan Sam melemparkannya ke ?keranjang sampah di ujung dapur.
"Aku tidak peduli apa yang dia katakan, coba terus. Suruh dia meneleponku ke
pulau ini. Aku akan menunggu." Dia membanting ponsel itu.
"Bagaimana mungkin sheriff dan koroner samasama tidak bisa dihubungi?" Dia
mengelus rambut dengan kedua tangannya.
Kumiringkan tubuhku, mengangkat kedua kakiku, dan bersandar ke dinding. Selama
ini aku sudah memetik pengalaman bahwa cara terbaik untuk menghadapi Sam adalah
dengan tidak mengacuhkannya. Emosinya datang dan pergi dengan begitu saja.
Dia bangkit dan berjalan mondar-mandir di dapur, memukulkan tinjunya ke telapak
tangannya yang lain. "Ke
mana perginya si Harley itu?" Dia melirik jam tangannya.
"Sudah jam empat lewat sepuluh. Bagus sekali. Dalam waktu dua puluh menit lagi
semua orang akan kembali ke sini, ingin segera pulang ke kota. Mereka seharusnya
tidak bekerja di hari Sabtu begini. Ini hari pengganti untuk hari lain yang
cuacanya buruk." Ditendangnya sepotong kapur ke seberang ruangan.
"Aku tidak bisa memaksa mereka untuk tetap tinggal di sini. Atau apakah aku
harus memaksa mereka" Mungkin aku bisa menceritakan mayat itu kepada mereka,
memerintahkan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh keluar pulau ini, lalu
membawa setiap orang ke dalam kamar dan menanyainya, seperti Hercule Poirot!"
Mondar-mandir lagi. Melihat jam tangan. Mondar-mandir. Akhirnya dia mengempaskan
bokongnya ke bangku di depanku dan meletakkan dahi dalam kepalan tangannya.
"Omelanmu sudah selesai?"
Tidak ada jawaban. "Boleh aku memberi saran?"
Dia tidak mendongak. "Begini. Mayat itu ada di pulau ini karena ada orang yang mau menyembunyikannya.
Jelas, mereka tidak memperhitungkan J-7."
Aku berbicara kepada batok kepalanya.
"Kulihat ada beberapa kemungkinan. Satu. Dia dibawa ke sini oleh salah seorang
pegawaimu, Dua. Orang luar yang ikut dalam kapal, mungkin orang setempat yang
tahu kegiatan rutinmu. Pulau ini tidak dijaga setelah para karyawan pulang ke
kota 'kan?" Dia mengangguk tanpa mengangkat kepalanya.
"Tiga, Mungkin salah seorang gembong narkoba yang naik kapal di perairan sini."
Tidak ada tanggapan. "Bukankah kamu petugas cagar alam?" Dia mendongak. Dahinya
berkilat oleh keringat. "Ya."
"Kalau kamu tidak bisa memanggil koroner atau Sheriff Baker, dan kamu tidak
memercayai seorang deputi, teleponlah teman-teman penjaga cagar alammu. Mereka
memiliki yurisdiksi untuk daerah lepas pantai 'kan" Menelepon mereka tidak akan
menimbulkan kecurigaan dan mereka bisa memanggil seseorang untuk menutup tempat
itu sampai kamu berbicara dengan sheriff."
Dia menampar permukaan meja. "Kim."
"Terserah siapa pun orangnya. Minta dia merahasia kannya sampai kamu berbicara
dengan Baker. Tadi sudah kujelaskan apa yang harus dilakukannya."
"Kim Waggoner bekerja untuk Departemen Sumber Daya Alam South Carolina. Dia
sudah pernah menolongku dulu ketika aku terlilit masalah hukum. Aku bisa
memercayai Kim." "Apakah dia bisa berjaga sepanjang malam?" Walaupun aku bukan wanita penakut,
mengawasi pembunuh atau gembong narkoba bukanlah pekerjaan yang kuinginkan.
"Tidak masalah." Dia sudah menekan tombol telepon. "Kim seorang eks marinir."
"Dia bisa menangani orang yang mau menerobos masuk?"
"Dia makan paku untuk sarapan." Seseorang menjawab dan Sam minta bicara dengan
Waggoner. "Tunggu sampai kamu bertemu dengannya," ujarnya, menutup mulut telepon dengan
tangannya. ada saat karyawan berkumpul, segalanya sudah diatur. Para karyawan membawa Katy
dengan kapal mereka, sementara Sam dan aku tetap tinggal di pulau. Kim tiba tak
lama setelah pukul lima dan memang persis seperti yang dikatakan Sam. Dia
memakai pakaian yang cocok untuk penjaga hutan, sepatu tempur, dan topi lebar
Australia, dan membawa amunisi cukup banyak untuk memburu badak. Pulau itu akan
aman dengan adanya dia di sini.
Pada perjalanan pulang ke marina, Sam kembali memintaku untuk melakukan
penggalian itu. Aku mengulangi apa yang tadi kukatakan kepadanya. Sheriff.
Koroner. Jaffer. "Aku akan bicara denganmu besok," ujarku saat dia menghentikan mobilnya di
pinggir jalan. "Terima kasih karena sudah mengantarkan kami hari ini. Aku tahu
Katy sangat senang."
"No problemo." Kami mengamati seekor burung pelikan melaju di atas air, kemudian melipat
sayapnya dan menghujamkan kepalanya di antara ombak laut. Ia muncul kembali
dengan seekor ikan di paruhnya, cahaya matahari menerpa sisik ikan itu.
Kemudian, pelican itu tersandung ombak dan ikan itu pun terjatuh kembali ke
lautan. "Sialan. Kenapa mereka harus memilih pulauku?" Sam terdengar lelah dan putus
asa. Kubuka pintu mobil. "Nanti ceritakan kepadaku apa yang dikatakan Sheriff Baker."
"Aku janji." "Kamu mengerti 'kan kenapa aku tidak bisa melakukannya?"
Saat aku menutup pintu dan membungkukkan tubuh di jendela yang terbuka, dia
mengajukan argumentasi baru.
"Tempe, pikirkan dulu. Pulau monyet. Mayat yang terkubur. Walikota setempat.
Kalau media mencium ini, mereka pasti akan merangsek, dan kamutahu betapa
sensitifnya permasalahan hak asasi binatang. Aku tidak ingin media meliput
Murtry." "Itu bisa saja terjadi, tak peduli siapa pun yang menangani kasus itu."
"Aku tahu. Ini-"
"Sudahlah, Sam."
Saat aku mengamatinya menjauh, burung pelican itu kembali terbang melingkar dan
menukik di atas kapal. Seekor ikan baru tampak berkilat di paruhnya.
Sam memiliki kegigihan yang sama besarnya. Aku ragu apakah dia akan menyerah
begitu saja, dan dugaanku memang benar. []
17 tf Setelah makan malam di bar Steamer Oyster, aku dan Katy mengunjungi sebuah
galeri di Saint Helena. Kami berjalan-jalan di berbagai ruangan gedung tua yang
ber-keriut itu, melihat-lihat karya para seniman Gullah setempat, menghargai
sudut pandang lain dari sebuah tempat yang kami pikir sudah kami kenal. Tetapi,
saat aku mengkritik karya kolase, lukisan, dan foto, aku teringat pada
tulangbelulang, kepiting, serta lalat yang menarinari.
Katy membeli sebuah miniatur burung bangau yang diukir dari kulit kayu dan dicat
biru keunguan. Pada perjalanan pulang, kami berhenti untuk membeli es krim kopi,
kemudian menyantapnya di haluan Melanie Tess, bercakap-cakap dan mendengarkan
suara layar kapal di sekeliling kami saat ditiup angin. Bulan menghantarkan
cahayanya di atas payau. Saat mengobrol, kuamati cahaya kuning yang lemah muncul
dari kegelapan malam. Putriku menceritakan ambisinya menjadi se seorang yang menyusun profi I kasus
kriminal dan berbagi kekhawatirannya dalam meraih cita-citanya itu. Dia mengoceh
tentang keindahan Murtry dan mengungkapkan perilaku aneh kawanan monyet yang
diamatinya. Pada satu saat, aku berniat untuk menceritakan temuanku kepadanya,
tetapi kemudian menangguhkannya. Aku tidak mau menodai kenangan indah
kunjungannya ke pulau itu.
Aku pergi tidur pukul sebelas malam dan berbaring
untuk beberapa saat lamanya mendengarkan suara layar dan memaksa diriku untuk
tidur. Akhirnya aku pun jatuh tertidur, membawa kejadian hari itu bersamaku dan
menganyamnya dengan berbagai pengalaman yang kualami beberapa minggu terakhir
ini. Aku naik kapal bersama Mathias dan Malachy, berusaha menjaga mereka agar
tetap berada di atas kapal. Kubersihkan kepiting dari sesosok mayat, melihat
gerombolan kepiting itu kembali lagi begitu aku berhasil mengusirnya. Tengkorak
mayat itu berubah menjadi wajah Ryan, kemudian menjadi tubuh Patrice Simonnet
yang hangus terbakar. Sam dan Harry berteriak kepadaku, katakata mereka tidak
dapat kupahami, wajah mereka keras dan penuh amarah.
Saat telepon membangunkanku, aku merasa pusing, tidak yakin sedang berada di
mana atau mengapa aku berada di situ. Aku berjalan tersaruk-saruk menuju dapur
kapal. "Selamat pagi." Ternyata Sam, suaranya terdengar tegang dan gugup.
"Jam berapa sekarang?" "Hampir jam tujuh." "Kamu di mana?"
"Di kantor Sheriff. Rencanamu tidak akan berhasil." "Rencana?" Otakku berusaha
keras untuk berkonsentrasi ke percakapan.
"Temanmu ada di Bosnia."
Aku mengintip melalui kerai. Di dermaga, seorang lelaki tua berjambang sedang


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di atas dek kapal layarnya. Saat kulepaskan tali kerai, dia memiringkan
kepalanya dan menenggak sekaleng Old Milwaukee.
"Bosnia?" "Jaffer. Ahli antropologi di USC. Dia sedang ke Bosnia
untuk menggali kuburan massal untuk PBB. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan
dia akan kembali." "Siapa yang menangani kasus-kasusnya?"
"Tidak jadi soal. Baxter ingin kamu yang menangani kasus ini."
"Siapa Baxter?"
"Baxter Colker adalah koroner Beaufort County. Dia ingin kamu yang
melakukannya." "Kenapa?"
"Karena aku ingin kamu yang melakukannya." Penjelasan itu sudah cukup gamblang.
"Kapan?" "Secepat mungkin. Harley sudah memanggil seorang detektif dan deputinya. Baxter
akan bertemu dengan kita di sini pukul sembilan. Dia sudah menyiapkan tim
transportasi. Kalau kita sudah siap untuk berangkat ke Murtry, dia akan
menghubungi tim itu dan mereka akan menemui kita di dermaga Pulau Lady untuk
membawa mayat itu ke Beaufort Memorial. Tapi, dia ingin kamu yang melakukan
penggaliannya. Sebutkan saja peralatan yang kamu perlukan dan kami akan
menyediakannya." "Apakah Colker ahli patologi forensik?"
"Baxter adalah petugas yang ditunjuk dan tidak pernah mendapatkan pelatihan
medis. Pekerjaannya mengurus rumah pemakaman. Tapi, dia sangat teliti dan ingin
melakukan semua ini dengan benar."
Aku memikirkannya sesaat.
"Apakah Sheriff Baker punya dugaan siapa yang mungkin terkubur di sana?"
"Banyak perdagangan narkoba yang sedang terjadi di sini. Dia akan berbicara
dengan orangorang Bea Cukai AS dan DEA setempat. Juga petugas cagar alam. Kata
Harley, mereka sedang mengintai payau dan Sungai Coosaw bulan lalu. Dia menduga
itu adalah mayat salah seorang anggota gembong itu dan aku sependapat dengannya.
Orangorang ini membunuh orang seperti menepuk nyamuk saja. Kamu akan membantu
kami 'kan?" Dengan enggan, aku menyanggupinya. Kusebutkan peralatan yang harus disediakan
dan dia berjanji akan langsung mempersiapkannya. Aku diminta siap pada pukul
sepuluh. Selama beberapa menit aku berdiri termenung, tidak yakin apa yang harus
kulakukan tentang Katy. Aku bisa menjelaskan situasinya dan menyerahkan
kepadanya tentang apa yang akan dilakukannya. Lagi pula, tidak ada alasan dia
tidak bisa pergi bersama kami ke pulau itu. Atau, aku bisa mengatakan kepadanya
bahwa ada sesuatu dan Sam meminta bantuanku. Katy bisa menghabiskan hari ini di
sini atau pergi ke Hilton Head lebih cepat dari yang direncanakannya. Aku tahu
bahwa pilihan kedua lebih baik, tetapi memutuskan untuk menceritakan lebih
dahulu semuanya. Kulahap semangkuk sereal Raisin Bran dan mencuci mangkuk serta sendoknya. Karena
tidak bisa duduk diam, aku memakai celana pendek dan kemeja, kemudian beranjak
keluar untuk memeriksa layar dan tangki air. Saat berada di situ, sekalian saja
kubereskan kursi di anjungan. Masuk ke dalam lagi, kurapikan tempat tidur dan
kukencangkan balutan handuk di kepala. Kurapikan juga bantal di sofa dan
memungut bulu-bulu dari karpet. Kuputar jam dan melihat pukul berapa sekarang.
Baru jam tujuh lewat lima belas menit. Katy pasti baru bangun beberapa jam lagi.
Setelah mengenakan sepatu kets, diam-diam aku keluar dari kapal.
Kukemudikan mobil ke Rute 21 ke timur ke seberang Saint Helena menuju Pulau
Harbor, kemudian melewati Pulau Hunting, dan membelok di taman kota. Jalanan
yang sempit itu menembus rawa yang hening dan gelap seperti dasar sebuah danau.
Pohon palem Palmetto dan pohomek menjulang dari tanah yang kelam. Di sana-sini
secercah cahaya matahari menembus kanopi, menyebabkan air berkilau keemasan.
Kuparkir mobil di dekat mercusuar dan berjalan di atas jalan papan menuju
Diburu Topeng Reges 1 Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi Lagu Rindu Puncak Ciremai 1

Cari Blog Ini