Death Du Jour Karya Kathy Reichs Bagian 7
mengupayakan surat penggeledahan. Lalu, aku akan menyelidiki ke Texas. Aku mau
tahu setiap jengkal tempat yang pernah dikunjungi Owens. Kemudian, kembali ke
Padepokan Setan itu untuk melakukan pengintaian terang-terangan. Aku ingin
melihat warna keringat guru itu, dan aku tidak punya banyak waktu. Aku harus ada
di Montreal hari Senin."
"Menurutku dia berbahaya, Ryan."
Dia mendengarkan tanpa memotong pembicaraanku saat kuceritakan percakapanku
dengan Red Skyler. Setelah selesai, kami tidak berkata apa-apa untuk beberapa
saat lamanya, sementara Ryan mencerna katakata sosiolog itu, menghubungkannya
dengan apa yang baru saja kami diskusikan.
"Aku akan menghubungi Claudel dan menanyakan status Anna Goyette."
"Terima kasih, Ryan."
"Awasi Kathryn ya," ujarnya dengan suara lesu. "Oke."
Aku tidak pernah mendapatkan kesempatan itu, Saat aku naik ke atas, Kathryn
sudah tidak ada.[] 1?ft O ialan!" seruku ke ruangan yang kosong. Birdie meng-O ikutiku ke lantai
atas. Dia terpaku saat mendengar ledakan emosiku, merendahkan kepalanya, dan
menatapku dengan pandangan tajam. "Sialan!"
Tidak ada yang menjawab. Ryan memang benar. Kathryn masih belum stabil. Aku tahu bahwa aku tidak bisa
menjamin keselamatannya, atau keselamatan bayinya, jadi mengapa aku merasa
bertanggung jawab" "Dia pergi, Birdie. Apa yang bisa kita lakukan?"
Kucing itu tidak menawarkan solusi, jadi kuikuti polaku sendiri. Saat merasa
gelisah, aku bekerja. Aku kembali ke dapur. Pintu terbuka dan tiupan angin telah menyerakkan fotofoto
autopsi itu. Atau, apakah memang angin yang melakukannya" Laporan Hardaway masih berada di
tempat yang kutinggalkan tadi.
Apakah Kathryn telah melihat fotofoto itu" Apakah fotofoto yang mengerikan itu
membuatnya melarikan diri dengan panik"
Karena merasakan serangan perasaan bersalah, aku duduk dan memilah-milah foto
itu. Setelah dibersihkan dari gerombolan belatung dan tanah, tubuh Jennifer Cannon
terlihat lebih awet dari yang kubayangkan. Walaupun pembusukan sudah menggerogoti wajah dan isi rongga
perutnya, lukanya masih jelas terlihat di tubuhnya yang membengkak dan sudah
membiru. Luka sayatan. Ratusan luka. Ada beberapa yang melingkar, ada yang lurus,
berukuran satu sampai beberapa cm. Luka itu mengumpul di dekat lehernya, di
bagian kepala, dan di sepanjang lengan dan kakinya. Seluruh tubuhnya seperti
kanvas yang penuh luka, tetapi pembengkakan kulit membuat bekas luka ini sulit
diamati. Bercak hematoma tampak di manamana.
Kuperiksa beberapa foto jarak dekat. Walaupun luka di dada memiliki pinggiran
yang halus, sayatan lain terlihat bergerigi dan tidak rata. Sebuah sayatan dalam
di bagian atas lengan kanannya menunjukkan daging yang robek dan serpihan
tulang. Aku beralih ke foto kepala. Walaupun ada pengelupasan, kebanyakan rambut masih
menempel. Anehnya, sisi belakang menunjukkan tulang yang berkilat di antara
rambut yang acak-acakan, seakanakan ada bagian kulit kepalanya yang hilang.
Aku sudah pernah melihat pola itu sebelumnya. Di mana"
Kuselesaikan pengamatan foto itu, lalu membuka laporan Hardaway.
Dua puluh menit kemudian, kusandarkan tubuhku dan kupejamkan mata.
Kemungkinan penyebab kematian: habisnya darah akibat luka tusukan. Luka di dada
dengan sayatan halus dibuat oleh pisau yang memotong beberapa pembuluh darah
utama. Karena pembusukan, ahli patologi tidak merasa yakin mengenai penyebab
luka sayatan lainnya. Kulewati hari itu dalam suasana gelisah. Kutuliskan laporan tentang Jennifer
Cannon dan korban Murtry lainnya, kemudian beralih ke data CAT scan, berhenti
beberapa kali untuk mendengarkan apakah Kathryn kembali ke rumah.
Ryan menelepon jam dua untuk mengabarkan bahwa berita tentang Jennifer Cannon
telah meyakinkan seorang hakim dan surat izin penggeledahan sudah diterbitkan
untuk menggeledah padepokan Saint Helena. Dia dan Baker akan ke sana segera
setelah surat itu sampai.
Kuceritakan hilangnya Kathryn dan mendengarkan suaranya yang berusaha
meyakinkanku bahwa itu bukan salahku. Aku juga menceritakan kembalinya Birdie.
"Setidaknya ada berita bagus."
"Ya. Sudah ada kabar tentang Anna Goyette?" "Belum."
"Texas?" "Masih menunggu. Akan kukabarkan nanti apa yang terjadi di sini."
Saat menutup telepon, kurasakan belaian bulu di pergelangan kakiku dan melihat
ke bawah, ke Birdie yang sedang membuat guratan angka delapan di antara kedua
kakiku. "Ayo Bird. Bagaimana kalau kita makan?"
Kucingku kadang-kadang senang dengan mainan anjing yang bisa digigit-gigit. Aku
pernah mencoba menjelaskan bahwa semua mainan itu sebenarnya untuk anjing, tapi
dia tidak peduli. Kuambil sebuah mainan tulang kecil dari laci lemari dapur dan melemparkannya ke
ruang duduk. Birdie berlari menyeberangi ruangan, mengintai, kemudian menerkam mangsanya. Dia
menegakkan tubuhnya, memosisikan barang itu di antara kedua cakar depannya, dan mulai menggigit-gigit
barang buruannya itu. Aku mengamatinya, bertanya dalam hati, apa yang menarik dari barang yang licin
itu. Kucingku mengunyah ujungnya, kemudian membalikkan mainan itu dan menggigiti
benda itu dari satu ujung ke ujung lainnya. Benda itu terjatuh dan Bird
menariknya kembali dan menancapkan taringnya ke kulitnya.
Aku mengamatinya, terpaku.
Apakah itu penyebabnya"
Kudekati Birdie, berjongkok, dan menarik benda mainannya itu. Birdie meletakkan
cakar depannya di lututku, berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan mencoba
merebut kembali hadiahnya itu. Degup jantungku semakin kencang saat aku melihat
kulit yang sudah dikoyak-koyak itu.
Ya Tuhan. Kubayangkan luka yang tidak jelas penyebabnya di kulit Jennifer. Sayatan buatan.
Koyakan yang bergerigi, Aku berlari ke ruangan duduk, mencari kaca pembesar, bergegas ke dapur dan
meraih fotofoto itu kembali. Kupilih foto kepala dan mengamatinya dari balik
kaca pembesar itu. Daerah yang botak itu bukan disebabkan oleh pembusukan. Rambut yang tersisa
masih menempel dengan kuat di kulit kepala. Bagian kulit dan rambut yang
terlepas berbentuk segi empat, ujungnya tampak robek dan bergerigi.
Kulit kepala Jennifer Cannon telah dirobek dari batok kepalanya.
Aku memikirkan apa arti semua itu. Dan aku memikirkan hal lainnya.
Apakah aku memang benarbenar bodoh" Apakah pola pikirku yang sudah ditentukan
sebelumnya telah membutakan mataku akan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas"
Kuraih kunci dan tasku, kemudian berlari keluarn rumah.
Empat puluh menit kemudian, aku sudah berada di universitas. Tulangbelulang
korban Murtry yang belum teridentifi kasi menatap dari meja labku. Bagaimana aku
bisa begitu ceroboh" "Jangan pernah mengasumsikan sumber luka." Katakata guruku
muncul kembali dalam ingatanku setelah sekian puluh tahun tertanam di benakku.
Aku telah masuk perangkap. Ketika melihat hancurnya tulang, aku ingat pada rakun
dan burung pemakan bangkai. Aku tidak melihatnya dengan jelas. Aku tidak
mengukurnya. Sekarang aku akan melakukannya.
Walaupun ada kerusakan yang luas di batok kepala sebagai ulah para pemakan
bangkai, luka lainnya sudah ada sebelumnya.
Dua lubang di bagian belakang tengkorak adalah luka yang paling jelas. Masingmasing berukuran lima milimeter, dengan jarak tiga puluh lima milimeter di
antara keduanya. Luka ini tidak disebabkan oleh burung pemakan bangkai, dan pola
itu terlalu besar sehingga tidak mungkin ulah rakun.
Luka ini disebabkan oleh anjing yang cukup besar. Begitu juga goresan yang
sejajar di tulang kepala dan lubang-lubang kecil yang sama di bagian bahu dan
rusuk. Jennifer Cannon dan rekannya telah diserang oleh
binatang, mungkin anjing besar. Gigi binatang itu telah merobek daging keduanya
dan menembus tulangnya. Beberapa gigitan cukup kuat sehingga mampu menembus
tebalnya tulang tengkorak. Pikiranku melompat.
Carole Comptois, korban di Montreal yang digantung di pergelangan tangannya dan
disiksa, juga diterkam seekor binatang.
Kesimpulan yang bagus, Brennan.
Ya. Tidak masuk akal. Tidak, ujarku kepada diri sendiri. Justru sebaliknya.
Sebelumnya, sikapku yang skeptis tidak membantu korban-korban ini. Aku begitu
ceroboh ketika memerhatikan luka akibat serangan binatang ini. Aku meragukan
hubungan antara Heidi Schneider dan Dom Owens, dan aku juga tidak berhasil
melihat hubungan lelaki itu dengan Jennifer Cannon. Aku juga tidak menolong
Kathryn atau Carlie, dan aku tidak melakukan apa pun untuk mencari Anna Goyette.
Mulai sekarang, jika diperlukan, aku akan melakukan sesuatu. Jika ada
kemungkinan sekecil apa pun bahwa Carole Comptois dan para wanita di Pulau
Murtry ada hubungannya, aku akan membuka pikiranku untuk menerima kemungkinan
itu. Kutelepon Hardaway, tidak terlalu berharap dia bekerja di Sabtu sore
seperti ini. Dia tidak ada di kantornya. Begitu juga dengan LaManche, ahli
patologi yang telah melakukan autopsi atas Comptois. Kutinggalkan pesan untuk
keduanya. Dengan gemas, kuambil sebuah buku dan kutuliskan hal-hal yang telah kuketahui.
Baik Jennifer Cannon maupun Carole Comptois berasal
dari Montreal. Keduanya tewas akibat serangan binatang.
Tulangbelulang yang dikuburkan dengan Jennifer Cannon juga memiliki tanda bekas
gigitan binatang. Korban itu tewas dengan kadar Rohypnol yang sangat tinggi,
menyiratkan keracunan akut.
Rohypnol ditemukan pada kedua korban yang ditemukan bersama Heidi Schneider dan
keluarganya di St-Jovite.
Rohypnol ditemukan pada beberapa mayat di lokasi pembunuhan/bunuh diri kelompok
Order of the Solar Temple.
The Solar Temple beroperasi di Quebec dan Eropa.
Ada panggilan telepon dari rumah di St-Jovite ke komune Dom Owens di Saint
Helena. Keduanya property milik Jacques Guillion, yang juga pemilik property di
Texas. Jacques Guillion adalah orang Belgia.
Salah seorang korban di St-Jovite, Patrice Simonnet, juga orang Belgia.
Heidi Schneider dan Brian Gilbert bergabung dengan kelompok Owens di Texas dan
kembali ke sana untuk melahirkan kedua bayinya. Mereka meninggalkan Texas dan
dibunuh. Di St-Jovite. Korban St-Jovite tewas kira-kira tiga minggu yang lalu.
Jennifer Cannon dan korban yang belum teridentifi kasi tewas tiga sampai empat
minggu yang lalu. Carole Comptois mati kurang dari tiga minggu yang
lalu. Kutatap halaman itu. Sepuluh. Sepuluh orang tewas. Kembali frasa aneh itu
melesat di dalam benakku, Death du jour, Kematian hari ini. Kami menemukannya
hari demi hari, tetapi semuanya tewas pada saat yang bersamaan.
Siapa yang berikutnya" Lingkaran setan apakah yang sedang kami masuki saat ini"
etibanya di rumah, segera kuhidupkan komputer untuk merevisi laporanku tentang
mayat Murtry dengan menyertakan luka akibat serangan binatang. Kemudian, kucetak
dan kubaca ulang perbaikan yang baru kuketik.
Setelah selesai, jam menyanyikan lagu Westminster yang lengkap, kemudian
terdengar enam dentingan. Perutku menggeram, menandakan bahwa aku belum makan
apa-apa sejak roti bagel dan kopi di pagi hari.
Aku beranjak ke beranda, memetik daun kemangi dan bawang putih. Kemudian, kuiris
lapisan keju, mengambil dua telur dari lemari es, dan menumis semuanya.
Kupanggang sekerat roti bagel, menuangkan segelas Diet Coke, dan kembali ke meja
di ruangan duduk. Ketika melihat catatan yang kubuat di universitas, sebuah pikiran yang
mengkhawatirkan muncul dalam benakku.
Anna Goyette juga menghilang kurang dari tiga minggu yang lalu.
Rasa laparku langsung hilang. Kutinggalkan meja dan duduk di sofa. Aku berbaring
dan membiarkan pikiranku melayang, membiarkan berbagai hubungan yang mungkin
terjadi untuk mengambang ke permukaan.
Kuurutkan berbagai nama. Schneider. Gilbert. Comptois. Simonnet. Owens. Cannon.
Goyette. Tidak ada hubungannya. Usia. Empat bulan. Delapan belas. Dua puluh lima. Empat puluh.
Tidak ada pola. Tempat. St-Jovite. Saint Helena.
Hubungan" Saint, Apa itu bisa menjadi penghubung" Aku menuliskan catatan. Tanya Ryan
lokasi properti milik Guillion di Texas.
Kugigit-gigit kuku jempolku. Apa yang membuat Ryan sedemikian lama"
Mataku melayang ke beberapa rak yang merapat ke enam dinding ruangan untuk
berjemur, yang semuanya berjumlah delapan dinding. Buku disusun dari lantai
sampai langitlangit. Itu adalah hal yang tidak pernah bisa ku-singkirkan. Aku
benarbenar harus memilah-milah dan membuang buku yang tidak terpakai lagi. Aku
memiliki belasan dokumen yang tidak pernah kubaca lagi, beberapa dari masa aku
masih kuliah dulu. Universitas. Jennifer Cannon. Anna Goyette. Keduanya mahasiswa di McGill.
Aku memikirkan Daisy Jeannotte, dan katakata aneh yang diucapkannya tentang
asistennya. Mataku mendarat di komputer. Screen saver berbentuk tulang belakang yang meliukliuk seperti ular di sekeliling monitor. Tulang panjang menggantikan tulang
belakang, kemudian tulang rusuk, pinggul, dan layar pun menjadi gelap.
Pertunjukan dimulai lagi dengan menampakkan tengkorak yang berputar perlahan.
Email. Ketika aku dan Jeannotte bertukar alamat, aku memintanya untuk
menghubungiku saat Anna sudah kembali. Aku belum memeriksa pesan di komputerku
selama berharihari. Kubuka internet, mengunduh surat, dan memindai nama para pengirim. Tidak ada
satu pun dari Jeannotte. Keponakanku, Kit, mengirimkan tiga pesan. Dua dikirim
minggu yang lalu dan satu dikirim pagi ini. Kit tidak pernah mengirimiku email.
Kubuka suratnya yang terakhir.
Dari: khoward Kepada: tbrennan Subjek: Harry
Bibi Tempe: Aku meneleponmu, tapi sepertinya Bibi tidak ada di rumah. Aku benarbenar
khawatir tentang Harry. Tolong telepon aku. Sejak usia dua tahun, Kit memanggil ibunya dengan namanya saja. Walaupun
orangtuanya tidak setuju, anak itu tidak mau mengubahnya. Harry terdengar lebih
cocok di telinganya. Saat aku berusaha mencari pesan-pesan sebelumnya dari keponakanku, kurasakan
emosi yang bercampur-aduk. Mengkhawatirkan keselamatan Harry. Kesal karena
sikapnya yang sembarangan. Rasa iba pada Kit. Rasa bersalah karena aku sering
tidak peduli. Dia pasti menelepon ketika aku sedang berbicara dengan Kathryn.
Aku masuk ke ruangan duduk dan menekan tombol mesin penjawab telepon.
Hi, Bibi Tempe. Ini Kit. Aku menghubungimu untuk membicarakan Harry. Waktu aku
menelepon ke apartemenmu di Montreal, dia tidak mengangkatnya dan aku tidak tahu
ke mana dia pergi. Aku tahu dia masih di sana sampai beberapa hari yang lalu.
Pause. Saat terakhir kalinya kami berbicara, dia
kedengarannya aneh, lebih aneh daripada biasanya. Tawa gugup. Apakah dia masih
di Quebec" Kalau tidak, apakah Bibi tahu di mana dia" Aku khawatir. Aku belum
pernah mendengar suaranya seaneh ini. Tolong telepon aku. Bye.
Kubayangkan keponakanku, dengan matanya yang hijau dan rambutnya yang
kecokelatan. Sungguh sulit dipercaya bahwa Howard Howard telah memberikan
kontribusi gennya kepada Harry. Dengan tinggi lebih dari dua meter dan kurus
seperti tangga, Kit adalah jelmaan ayahku.
Kuputar pesan itu sekali lagi dan memikirkan apa ada sesuatu yang tidak beres.
Tidak, Brennan. Tetapi, mengapa Kit sedemikian khawatirnya"
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Telepon dia. Harry baikbaik saja.
Kutekan tombol otomatis. Tidak ada jawaban.
Kucoba menelepon rumahku di Montreal. Sama saja. Kutinggalkan pesan.
Pete. Dia belum mendapat kabar dari Harry. Tentu saja. Dia menyenangi adikku
sama seperti dia menyenangi jamur kuku. Harry juga tahu itu.
Cukup, Brennan. Kembali ke korban-korban tadi. Mereka membutuhkanmu.
Kukembalikan pikiranku ke adikku. Harry sudah pernah pergi tanpa berita. Aku
harus mengasumsikan bahwa dia baikbaik saja.
Aku kembali ke sofa dan berbaring. Saat terbangun, aku masih memakai baju yang
tadi, telepon berdering di atas dadaku.
"Terima kasih karena sudah menelepon, Bibi Tempe,
aku mungkin aku terlalu cemas berlebihan, tapi ibuku terdengar seperti sangat ?tertekan saat terakhir kalinya kami bicara. Dan sekarang dia menghilang.Tidak
seperti Harry. Maksudku, biasanya dia tidak pernah terdengar begitu tertekan."
"Kit, aku yakin dia baikbaik saja."
"Bibi mungkin memang benar, tapi, yah, kami sudah menyusun rencana. Dia selalu
mengeluhkan bahwa kami tidak pernah menghabiskan waktu bersama-sama lagi, jadi
aku berjanji untuk pergi naik kapal dengannya minggu depan. Boleh dikatakan aku
sudah selesai melaksanakan renovasi itu, jadi aku dan Harry akan berlayar di
Teluk selama beberapa hari. Kalau dia berubah pikiran, dia 'kan bias
meneleponku." Kurasakan amarah yang biasa kurasakan saat berhadapan dengan kecuekan adikku.
"Dia pasti menghubungimu, Kit. Waktu aku meninggalkannya, dia sibuk dengan
pelatihannya. Kamu tahu 'kan sifat ibumu?"
"Ya." Dia berhenti sejenak. "Tapi, justru itu. Dia kedengarannya seperti ..." Dia
mencaricari katayang tepat, "Datar. Tidak seperti Harry."
Aku teringat malamku yang terakhir dengan Harry. "Mungkin karena ada hal baru
yang ditemukannya. Ketenangan yang indah." Katakataku bahkan terdengar tidak
masuk akal untuk diriku sendiri.
"Yah. Mungkin begitu. Apakah dia pernah mengatakan mau ke mana?"
"Tidak. Kenapa?"
"Katakatanya membuatku berpikir bahwa dia sedang merencanakan untuk pergi ke
suatu tempat. Tapi, sepertinya, bukan idenya sendiri, atau dia memang tidak
mau pergi" Ah, entahlah."
Dia menghela napas. Dalam benakku, kulihat keponakanku menyisir rambutnya ke
belakang dengan tangannya, kemudian mengelus bagian atas kepalanya. Itu yang
dilakukan Kit kalau sedang frustrasi.
"Apa katanya?" Walaupun sudah membuat kesimpulan, aku mulai gelisah.
"Aku tidak ingat jelasnya, tapi begini kira-kira. Tidak ada bedanya apa yang dia
pakai atau bagaimana penampilannya. Apakah itu kedengarannya seperti ibuku?"
Tidak. Sama sekali tidak.
"Bibi Tempe, apakah Bibi tahu tentang pelatihan yang sedang diikuti Harry?"
"Hanya namanya saja. Inner Life Empowerment, kalau tidak salah. Apakah kamu
merasa lebih baik kalau aku mencari tahu?"
"Ya." "Dan aku akan menelepon tetanggaku di Montreal dan menanyakan apakah mereka
pernah melihat Harry. Ok?" "Ya."
"Kit. Kamu masih ingat ketika dia bertemu dengan Striker?"
Hening sejenak. "Ya."
"Apa yang terjadi?"
"Harry pergi mengikuti perlombaan balon udara, pergi selama tiga hari, dan tahutahu sudah menikah."
"Ingat betapa khawatirnya kamu saat itu?"
"Ya. Tapi, dia tidak lupa membawa alat pengikal rambutnya waktu itu. Tolong
minta dia menghubungi aku ya" Aku sudah meninggalkan pesan, tapi mungkin dia
memang sedang marah atau apa. Siapa tahu?"
Kututup gagang telepon dan melihat jam. Jam dua belas lewat lima belas menit.
Aku mencoba menghubungi Montreal. Harry tidak menjawabnya, jadi aku meninggalkan
pesan lagi. Saat berbaring di kegelapan, pikiranku menyediakan diri untuk
ditanyai sekali lagi. Mengapa aku tidak menghubungi ILE"
Karena tidak ada alasan untuk melakukan hal itu. Harry ikut pelatihan itu
melalui sebuah lembaga yang sah, dan tidak ada alasan untuk menjadi khawatir.
Lagi pula, kalau aku ingin mengetahui semua rencana Harry, aku butuh waktu
penyelidikan yang lama. Besok. Aku akan menelepon besok. Tidak malam ini. Kuakhiri penyelidikan ini.
Kunaiki tangga, membuka baju dan merebahkan diri di bawah seprai. Aku butuh
tidur. Aku butuh istirahat dan melepaskan diri dari segala kekacauan yang
mendominasi pikiranku. Di atas kepala, kipas di langitlangit berdengung dengan suara lembut.
Kubayangkan kamar makan Dom Owens, dan walaupun aku berusaha keras
menyingkirkannya, semua nama itu melayang-layang kembali.
Brian. Heidi. Brian dan Heidi adalah mahasiswa.
Jennifer Cannon adalah mahasiswa.
Anna Goyette. Perutku melilit. Harry. Harry mendaftarkan diri mengikuti seminar pertamanya di North Harris County
Community College. Harry seorang mahasiswa.
Vang lain dibunuh atau hilang saat berada di Quebec. Adikku ada di Quebec. Atau
apakah dia memang di sana"
Ke mana sih Ryan" Saat akhirnya Ryan menelepon, perasaan khawatirku meningkat menjadi rasa takut
yang nyata.[] 1?HT~)ergi" Maksudmu pergi bagaimana?" Aku sudah terti-JL dur nyenyak, dan ketika
Ryan membangunkanku di pagi buta, aku sedikit pusing dan masih belum bangun
sepenuhnya. "Ketika kami sampai ke sana dengan membawa surat izin penggeledahan, tempat itu
sudah ditinggalkan."
"Dua puluh enam orang menghilang begitu saja?"
"Owens dan seorang wanita mengisi bensin mobilnya sekitar pukul tujuh pagi
kemarin. Tukang pompa bensinnya ingat karena hal itu di luar kegiatan rutin
mereka. Aku dan Baker mengunjungi komune itu sekitar pukul lima sore. Antara
kedua waktu itu sang pendeta dan para pengikutnya pergi dari tempat itu."
"Mereka pergi begitu saja?"
"Baker sudah mengeluarkan APB (semacam perintah kepada kepolisian untuk melacak
penjahat), tapi sejauh ini belum ada yang melaporkan melihat mobil van itu."
"Ya ampun." Aku tidak memercayai apa yang kudengar,
"Sebenarnya, ada berita yang lebih buruk lagi." Aku menunggu.
"Sekitar delapan belas orang lainnya telah menghilang di Texas."
Aku merasa diriku membeku.
"Ternyata ada sekelompok orang lainnya di dalam
properti milik Guillion di sana. Kantor Sheriff Fort Bend County telah mengawasi
mereka selama beberapa tahun dan tidak berkeberatan mengunjungi tempat itu.
Sayangnya, saat tim polisi tiba di sana, mereka sudah menghilang. Mereka
menemukan seorang lelaki tua dan seekor anjing cocker spaniel bersembunyi di
bawah beranda." "Apa katanya?"
"Lelaki itu sekarang ditahan, tapi entah dia itu sudah pikun atau tolol, dia
belum memberikan keterangan apa pun."
"Atau mungkin sangat ketakutan."
Kuamati langit kelabu di luar jendelaku yang semakin terang.
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang aku akan menggeledah padepokan Saint Helena dan berharap polisi
setempat bisa menemukan petunjuk ke mana Owens membawa mereka pergi."
Kulirik jam. Tujuh lewat sepuluh dan aku sudah dihadapkan pada situasi berat
begini. "Bagaimana ceritamu?"
Kuceritakan tentang bekas gigitan di tulang dan kecurigaanku tentang Carole
Comptois. "Bukan modus operandi yang tepat."
"Modus operandi apa" Simonnet ditembak, Heidi dan keluarganya disayat-sayat dan
digorok, dan kita belum tahu apa penyebab kematian yang dua orang di lantai
atas. Cannon dan Comptois keduanya diserang binatang dan pisau. Itu bukan
kejadian yang biasa kita temui."
"Comptois dibunuh di Montreal. Cannon dan temannya ditemukan hampir dua ribu
kilometer di selatan tempat itu. Apa anjing itu naik pesawat?"
"Aku tidak mengatakan bahwa mereka diserang oleh
anjing yang sama. Hanya dengan pola yang sama." "Kenapa?"
Aku sudah mengajukan pertanyaan itu kepada diriku sepanjang malam. Dan siapa"
"Jennifer Cannon adalah mahasiswi McGill. Begitu juga Anna Goyette. Heidi dan
Brian juga sedang kuliah saat mereka bergabung dengan kelompok Owens. Apa kamu
bisa mencari informasi apakah Carole Comptois kuliah di kampus mana" Apa dia
mengambil kursus atau bekerja di kampus?"
"Dia seorang WTS."
"Mungkin dia memenangkan beasiswa," tukasku. Sikap nya yang negatif mulai
membuatku kesal. "Ok, Ok. Jangan marah-marah seperti itu dong,"
"Ryan ..." Aku ragu-ragu, tidak mau membuat ketakutanku menjadi kenyataan dengan
mengungkapkannya dalam katakata.
Dia menunggu. "Adikku mendaftar untuk ikut seminar di univesitas swasta di Texas."
Untuk sejenak, hening. "Anaknya meneleponku kemarin karena dia tidak bisa menghubungi ibunya. Aku juga
begitu." "Dia mungkin sedang dikucilkan sebagai bagian dari pelatihan itu. Kamu tahu
'kan, seperti retret begitu. Mungkin dia sedang merenung dan melakukannya dengan
menyendiri. Tapi, kalau kamu benarbenar khawatir, telepon kampusnya saja." "Iya
juga ya." "Meskipun dia mendaftar di Lone Star State tidak berarti-"
"Aku tahu, aku seperti orang paranoid, tapi katakata
Kathryn membuatku ketakutan, dan sekarang Dom Owens sedang merencanakan entah
apa dan entah di mana."
"Kita akan menangkapnya."
"Aku tahu." "Brennan, entah bagaimana mengatakannya." Dia m narik napas panjang kemudian
mengembuskannya. "Adikmu sedang mengalami sebuah transisi, dan sekarang ini dia
membuka diri untuk menerima hubungan baru apa pun. Dia mungkin bertemu dengan
seseorang dan pergi selama beberapa hari."
Tanpa membawa alat pengikal rambutnya" Kegelisahan menghujam seperti gundukan
salju tebal yang beku di dalam dadaku.
Setelah kami memutuskan hubungan telepon, kucoba lagi menelepon Harry. Di dalam
kepalaku kulihat telepon berdering di apartemenku yang kosong. Dia pergi ke mana
sih jam tujuh di hari Minggu pagi begini"
Minggu. Sialan! Aku bahkan tidak bisa menghubungi kampusnya sampai besok.
Kuseduh kopi, kemudian menelepon Kit, walaupun di Texas baru jam enam pagi.
Dia terdengar sopan, tetapi sekaligus gugup, dan tidak mengikuti alur
pertanyaanku. Ketika akhirnya memahami perkataanku, dia tidak yakin apakah
pelatihan yang diikuti ibunya itu merupakan mata kuliah rutin dari kampusnya.
Dia ingat pernah melihat beberapa bukunya dan berjanji akan ke rumah ibunya
untuk memeriksa. Aku tidak bisa duduk diam begitu saja. Kubuka koran Observer, kemudian jurnal
Belanger. Aku bahkan mencoba menonton pendeta yang berkhotbah di Minggu pagi.
Baik berita kejahatan, Louis-Phillipe, ataupun khotbah itu tidak
bisa menarik perhatianku. Jiwaku bersembunyi di jalan buntu tanpa bisa keluar.
Karena suasana hatiku tidak enak, kukenakan sepatu olahraga dan keluar rumah.
Langit terlihat cerah, udara lembut dan lembap saat kususuri Queens Road West,
kemudian memotong di Princeton menuju Freedom Park. Bulir keringat mengalir
deras seperti anak sungai ketika sepatu Nike-ku dipacu mengelilingi laguna.
Bebek-bebek kecil meluncur dalam satu barisan di belakang ibu mereka, suara
mereka mengiringi cuaca di Minggu pagi itu.
Pikiranku tetap kacau dan tidak menentu, para tokoh dan berbagai kejadian selama
minggu-minggu terakhir ini berputarputar di benakku. Aku mencoba memusatkan
perhatian pada irama sepatuku, irama napasku, tetapi ucapan Ryan terus
terngiang-ngiang di telingaku. Hubungan baru. Itukah sebutan yang diciptakannya
bersama Harry untuk malam di Hurley itu" Itukah sebutan untuk petualanganku
dengannya di Melannie Tessl
Kuseberangi taman, berlari ke utara menuju klinik, kemudian menyusuri jalanan
sempit di Myers Park. Kulewati taman-taman yang indah dan pekarangan untuk
parkir mobil, di sana-sini diurus dengan apiknya oleh pemilik rumah.
Aku baru saja menyeberangi Providence ketika bertabrakan dengan lelaki bercelana
cokelat, berkemeja merah muda, dan jaket olahraga yang kusut yang sepertinya
asli dari Sears. Dia menjinjing tas kerja yang sudah usang dan tas kanvas yang
menggelembung berisi korsel untuk slides. Ternyata Red Skyler.
"Sedang menggelandang di tenggara sini?" tanyaku, mencoba mengatur napas
kembali. Red tinggal di sisi lain dari Charlotte, di dekat universitas.
"Aku mengajar di Myers Park Methodist hari ini." Dia menunjuk sebuah kompleks
bangunan abuabu di seberang jalan. "Aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan
s//cfe-nya." "Oh oke." Aku sudah basah oleh keringat dan rambutku menempel ke kulit. Kucubit
kaus oblongku dan melepaskannya dari tubuhku.
"Bagaimana kemajuan kasusmu?"
"Tidak baik. Owens dan para pengikutnya menghilang ditelan bumi."
"Mereka bersembunyi?"
"Rupanya begitu. Red, boleh aku tanya sehubungan dengan pernyataanmu kemarin?"
"Tentu saja." "Ketika kita mendiskusikan sekte, kamu katakana ada dua jenis sekte pada
umumnya. Kita asyik membicarakan satu jenis sekte sampai lupa membicarakan jenis
yang satunya lagi." Seorang lelaki berlari melewati kami sambil membawa anjing poodle Standard yang
hitam. Keduanya samasama perlu dicukur.
"Kamu bilang, ada program pengenalan diri yang dikomersialkan dalam defi nisimu
tentang sekte." "Ya. Kalau mereka mengandalkan perubahan pola pikir untuk mendapatkan dan
mempertahankan anggotanya." Dia menaruh tasnya di trotoar dan menggaruk-garuk
hidungnya. "Kalau tidak salah, kamu bilang kelompok semacam ini mendapatkan anggotanya
dengan membujuk pengikutnya untuk mengikuti kursus secara terusmenerus dan
membayar?" "Ya. Tidak seperti sekte yang kita diskusikan kemarin,
berbagai program ini tidak bermaksud untuk menahan orangorang ini selamanya.
Mereka mengeksploitasi para pengikutnya sepanjang mereka mau membeli berbagai
kursusnya itu. Dan membawa orang lain mengikuti kursus tersebut."
"Jadi, kenapa kamu menganggap mereka sebagai sekte?"
"Pengaruh yang dipaksakan dalam program pengembangan diri ini sungguh luar
biasa. Mereka melakukan hal yang sama, pengendalian tingkah laku melalui
perubahan pola pikir."
"Apa yang terjadi dalam program pelatihan pengenalan diri ini?"
Red melirik jam tangannya,
"Aku akan selesai pukul sepuluh lewat empat puluh lima. Kita bisa bertemu untuk
sarapan dan akan kuceritakan semua yang kuketahui tentang program itu."
!!t~) rogram itu dikenal sebagai pelatihan pengenalan diri Jl kelompok besar."
Sambil berbicara, Red mengoleskan saus merah kejagung bakarnya. Kami sedang
berada di restoran Anderson's dan melalui jendela bisa kulihat gedung
Presbyterian Hospital. "Program itu dikemas sedemikian rupa sehingga mirip dengan seminar, atau kursus
di perguruan tinggi, tapi semua sesi dirancang untuk membuat para siswa tergugah
secara emosional dan secara psikologis. Bagian itu tidak disebutkan dalam
brosurnya. Begitu juga fakta bahwa orangorang yang ikut akan dicuci otak untuk
menerima pandangan dunia yang sangat baru." Dia menusuk sekeping daging
panggang. "Bagaimana cara kerjanya?"
"Kebanyakan program berjalan selama empat sampai lima hari. Hari pertama
bertujuan untuk menetapkan kekuasaan sang pemimpin. Banyak kegiatan yang membuat
siswa merasa malu dan diserang secara lisan. Hari berikutnya mereka dijejali fi
losofi baru. Para pelatih meyakinkan siswanya bahwa hidup mereka tidak berguna
dan satu-satunya jalan keluaradalah menerima pola pikir yang baru."
Jagung bakar. "Hari ketiga biasanya dipenuhi dengan berbagai pelatihan. Menimbulkan keadaan
setengah sadar. Mem belokkan kenangan. Bayangan yang dituntun. Pelatih membuat
semua orang mengungkapkan kekecewaan, penolakan, kenangan buruk. Ajarannya
berfungsi agar siswa mengungkapkan semua emosi dalam dirinya. Kemudian, di hari
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berikutnya dilakukan curhat yang hangat antara sesama siswa, dan pemimpin
berubah dari sosok pemberi tugas yang keras menjadi ibu atau ayah yang penuh
kasih. Ini adalah awal dari serangkaian kursus atau mata kuliah berikutnya. Hari
terakhir biasanya diisi dengan bersenang-senang dan kegembiraan, banyak yang
berpelukan, berdansa, musik, dan permainan. Kemudian penawaran berikutnya yang
lebih berat." Sepasang suamiistri berpakaian warna khaki dan kemeja golf yang sama masuk ke
bilik di sebelah kanan kami. Yang lelaki memakai kemeja bercorak kerang dan yang
wanita berwarna hijau busa.
"Yang berbahaya adalah karena berbagai kursus ini bisa membuat orang menjadi
sangat tertekan, baik secara fi sik maupun psikologis. Banyak orang tidak tahu
akan seberapa besar tekanannya. Kalau saja mereka tahu,
mungkin mereka tidak akan pernah mau ikut."
"Apakah para siswa tidak membicarakan program itu setelah selesai mengikuti
kursus?" "Mereka diharuskan menjaga kerahasiaan, bahwa mendiskusikan eksperimen itu akan
mengganggu orang lain. Mereka disuruh menggembar-gemborkan kehidupan mereka
telah berubah, tapi menutup-nutupi prosesnya yang sarat benturan dan mengguncang
jiwa." "Mereka biasanya merekrut peserta di mana?" Aku merasa sudah bisa menebak
jawabannya. "Di mana saja. Di jalanan. Dari pintu ke pintu. Di sekolah, tempat bisnis,
klinik kesehatan. Mereka beriklan di berbagai surat kabar, majalah New Age-"
"Bagaimana dengan kampus atau universitas?"
"Lahan yang sangat subur. Di papan buletin, di asrama dan ruang makan, di hari
pendaftaran kegiatan ekstrakurikuler. Beberapa sekte menyuruh anggotanya
bercokol di pusat konseling kampus untuk mencari mahasiswa yang datang
sendirian. Sekolah tidak menyetujui atau memberi dukungan kepada orangorang
seperti ini, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya. Bagian
administrasi membuang iklan mereka dari papan buletin, tapi iklan itu selalu
muncul kembali." "Tapi, ini perkara yang berbeda 'kan" Seminar pengenalan diri ini berbeda dengan
jenis sekte yang kita diskusikan kemarin."
"Tidak juga. Beberapa program digunakan untuk menarik anggota ke dalam
organisasi yang ada di belakangnya. Kita ikut kursus itu, kemudian mereka
mengatakan bahwa kinerjamu bagus sehingga kita dipilih untuk mengikuti tingkat
yang lebih tinggi, atau bertemu dengan sang guru, atau semacamnya."
Katakata itu menghantamku seperti tumbukan ke dada. Makan malam Harry di rumah
sang pemimpin. "Red, orangorang macam apa yang biasanya masuk ke dalam perangkap semacam ini?"
Kuharap suaraku terdengar lebih tenang dari perasaanku.
"Penelitianku menunjukkan adanya dua factor utama." Dia mengacungkan dua
jarinya. "Depresi dan hubungan yang memburuk."
"Maksudmu bagaimana?"
"Seseorang yang sedang dalam transisi biasanya sendirian dan kebingungan,
sehingga biasanya rentan." "Dalam transisi?"
"Mereka yang baru lulus SMU dan akan masuk perguruan tinggi, mereka yang lulus
dari perguruan tinggi dan sedang mencari pekerjaan. Baru bercerai. Baru
dipecat." Katakata Red mulai kabur dari hadapanku. Aku harus berbicara dengan Kit.
Ketika memusatkan perhatianku kembali, kulihat Red sedang menatapku dengan aneh.
Aku tahu bahwa aku sebaiknya mengatakan sesuatu.
"Kurasa adikku mungkin terlibat dalam salah satu kelompok pelatihan ini. Inner
Life Empowerment." Dia mengangkat bahu. "Banyak kelompok semacam ini. Aku belum pernah mendengar
yang satu itu." "Sekarang kami kehilangan jejaknya. Tidak ada yang bisa menghubunginya."
"Tempe, kebanyakan program ini biasanya tidak berbahaya. Tapi, sebaiknya kamu
harus berbicara dengannya. Efeknya bisa sangat berbahaya untuk beberapa orang
tertentu." Seperti Harry. Campuran antara rasa takut dan kesedihan meresap
ke dalam diriku. Kuucapkan terima kasih kepada Red, membayar bon makanan. Di trotoar, aku
teringat akan satu pertanyaan lagi.
"Kamu pernah mendengar seorang sosiolog bernama Jeannotte" Dia meneliti gerakan
keagamaan." n "Daisy Jeannotte?" Salah satu alisnya terangkat, membuat kerutan menghiasi
dahinya. "Aku bertemu dengannya di McGill beberapa minggu yang lalu dan aku penasaran
tentang penilaian rekan-rekannya terhadap dirinya."
Dia terlihat ragu. "Ya. Kudengar dia berada di Kanada."
"Kamu mengenalnya?"
"Aku mengenalnya bertahuntahun yang lalu." Suaranya terdengar datar. "Jeannotte
tidak termasuk aliran mainstream."
"Oh?" Kuamati wajahnya, tetapi tidak bisa membaca apa-apa.
"Terima kasih untuk ham dan jagung bakarnya, Tempe. Kuharap kamu mendapatkan apa
yang kamu cari." Tawanya terlihat dipaksakan.
Kusentuh lengannya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Red?"
Senyumannya menghilang. "Apa adikmu ini murid Daisy Jeannotte?"
"Bukan. Kenapa?"
"Jeannotte menjadi pusat kontroversi beberapa tahun yang lalu, Aku tidak tahu
dengan jelas ceritanya dan aku tidak mau menyebarkan gosip. Berhatihatilah kalau
menghadapinya." Aku ingin bertanya lebih banyak lagi, tetapi setelah
mengatakan itu, ia hanya mengangguk dan berjalan menuju mobilnya.
Aku berdiri di bawah terpaan matahari dengan mulut terbuka. Apa maksudnya dengan
mengatakan itu" Setiba di rumah, kulihat Kit telah meninggalkan pesan. Dia menemukan katalog
pelatihan itu, tetapi tidak ada informasi mengenai pelatihan yang diikuti Harry
di daftar North Harris County Community College. Namun, dia berhasil menemukan
selebaran Inner Life Empowerment di meja ibunya. Di kertas itu ada lubang bekas
paku payung, dan dia menduga selebaran itu didapatkan dari papan buletin. Dia
menghubungi nomor yang tercantum, tapi sudah tidak berfungsi lagi.
Pelatihan Harry tidak ada hubungannya dengan kampus itu!
Katakata Red bertautan dengan katakata Ryan, semakin mencekam kalbuku. Hubungan
baru. Dalam transisi. Tidak berafi liasi. Rentan,
Selama sisa hari itu, aku meloncat-loncat dari satu tugas ke tugas lainnya,
konsentrasiku selalu buyar oleh perasaan khawatir dan tidak menentu, yang terus
menghantui. Kemudian, saat bayang-bayang rumah memanjang di beranda, aku
menelepon seseorang yang akhirnya membuat pikiranku tersusun dengan baik
kembali. Kudengarkan dengan tercengang saat dia bercerita, kemudian aku
mengambil keputusan. Kuhubungi dekan fakultas dan mengatakan bahwa aku akan pergi lebih cepat dari
yang direncanakan. Karena aku telah mengambil cuti untuk menghadiri konferensi
antropologi fi sik, maka mahasiswaku hanya akan kehilangan satu jam pelajaran
saja, Aku menyesal, tetapi
aku harus pergi. Setelah kami memutuskan hubungan telepon, aku langsung melesat ke atas untuk
membereskan tas. Bukan menuju Oakland, tetapi Montreal.
Aku harus menemukan adikku.
Aku harus menghentikan kegilaan yang berputarputar seperti guntur di Piedmont.[]
1?Saat pesawat lepas landas, kupejamkan mata dan kusandarkan tubuh ke kursi,
terlalu kelelahan karena tidak bisa tidur nyenyak sehingga tidak punya tenaga
untuk memerhatikan keadaan di sekelilingku. Biasanya aku menikmati perasaan yang
dialami saat pesawat lepas landas dan mengamati dunia di bawah menjadi mengecil,
tetapi tidak begitu perasaanku pada saat itu. Katakata seorang lelaki tua yang
ketakutan melompat-lompat di benakku.
Kuregangkan tubuhku, dan kakiku mengetukngetuk kotak yang kuletakkan di bawah
tempat duduk. Dijinjing. Selalu terlihat olehku. Barang itu harus selalu ada
dalam kepemilikanku. Di sampingku, Ryan membuka-buka majalah USAirways. Karena tidak berhasil
mendapatkan tiket penerbangan dari Savannah, dia mengemudikan mobil ke Charlotte
untuk mengejar penerbangan nomor enam tiga puluh lima. Di bandara dia
menjelaskan pernyataan yang didapatnya dari Texas.
Lelaki tua itu melarikan diri untuk melindungi anjingnya.
Seperti Kathryn, pikirku, mengkhawatirkan bayinya.
"Apakah dia mengatakan dengan jelas apa rencana mereka?" tanyaku dengan suara
rendah. Pramugari sedang menunjukkan cara mengenakan ikat pinggang dan masker
oksigen. Ryan menggelengkan kepala. "Lelaki itu Cuma menumpang. Dia berada di peternakan
itu karena diberi tempat tinggal dan diizinkan memelihara anjingnya. Dia
sebenarnya tidak tertarik pada pengajaran mereka, tapi dia memetik cukup banyak
pelajaran." Majalah itu dijatuhkan ke pangkuannya.
"Dia mengoceh tentang energi kosmik, dewi penolong, dan penghabisan yang
berapi." "Maksudnya kiamat?"
Ryan mengangkat bahunya. "Katanya orangorang yang tinggal bersamanya tidak cocok
untuk tinggal di dunia ini. Sepertinya mereka memerangi kekuatan jahat selama
ini dan sekarang sudah waktunya untuk pergi. Hanya saja dia tidak boleh membawa
Fido." "Jadi, dia bersembunyi di bawah beranda."
Ryan mengangguk. "Siapa yang dimaksudkannya dengan kekuatan jahat
itu?" "Dia sendiri tidak tahu."
"Dan dia tidak bisa mengatakan ke mana perginya orangorang suci itu?"
"Utara. Ingat, kakek ini sudah tidak begitu jelas lagi ingatannya."
"Dia tidak pernah mendengar nama Dom Owens?"
"Tidak pernah. Pemimpinnya bernama Toby."
"Tidak ada nama belakang."
"Nama belakang hanya berlaku di dunia ini saja. Tapi, bukan itu yang membuatnya
ketakutan. Tampak nya, hubungan antara Toby dan kakek itu baikbaik saja. Ada
seorang wanita yang membuatnya sangat ketakutan."
Apa yang pernah dikatakan oleh Kathryn" "Bu-kan Dom. Tapi wanita itu." Ada wajah
berkelebat di hadapanku. "Siapa wanita itu?"
"Dia tidak tahu namanya, tapi katanya wanita itu berkata kepada Toby bahwa AntiKristus sudah musnah dan kiamat sudah dekat. Itulah saatnya kereta gerbong akan
melaju." "Dan?" Aku merasa kebas.
"Anjing itu tidak ikut diundang." "Tidak ada lagi?"
"Katanya wanita itu benarbenar pemimpin tertinggi." "Kathryn juga pernah berkata
tentang seorang wanita."
"Namanya?" "Aku tidak menanyakannya. Saat itu aku tidak begitu menyadari perlunya
menanyakan namanya."
"Apa lagi yang dikatakan Kathryn?"
Kuulangi semua percakapan kami yang bias kuingat.
Ryan meletakkan tangannya ke atas tanganku.
"Tempe, kita tidak tahu apa-apa tentang Kathryn. Kecuali bahwa dia menjalani
seluruh hidupnya bersama masyarakat sekte itu. Dia muncul di tempatmu,
mengatakan bahwa dia menemukan alamatmu dari direktori universitas. Padahal
menurutmu alamatmu tidak terdaftar. Pada hari yang sama, empat puluh tiga orang
teman terdekatnya kabur dari dua Negara bagian dan wanita itu juga menghilang."
Benar. Ryan pernah mengungkapkan kecurigaannya tentang Kathryn.
"Kamu tidak berhasil menemukan siapa yang mengancammu dengan pura-pura membunuh
kucing itu?" "Tidak." Kutarik tanganku, kemudian memainkan kuku jempolku.
Untuk sejenak, kami berdua tidak berkata apaapa.
Kemudian, aku teringat pada suatu hal.
"Kathryn juga mengatakan sesuatu tentang sang Anti-Kristus."
"Bagaimana?" "Katanya Dom tidak percaya pada Anti-Kristus." Ryan tidak berkata apa-apa selama
beberapa saat. Kemudian, "Aku pernah bicara dengan para petugas yang menyelidiki kematian Solar Temple di
Kanada. Kamu tahu apa yang terjadi di Morin Heights?"
"Aku hanya tahu bahwa ada lima orang yang mati. Waktu itu aku sedang di
Charlotte dan media Amerika memusatkan perhatian pada kejadian di Swiss.
Kejadian di Kanada tidak terlalu banyak diberitakan."
"Mari kuceritakan apa yang terjadi. Joseph DiMambro mengirimkan sekelompok
pembunuh untuk membunuh seorang bayi." Dia berhenti untuk membiarkan katakatanya
meresap ke dalam pikiranku. "Morin Heights menjadi pemicu kejadian yang terjadi
di luar negeri. Sepertinya kelahiran anak itu tidak disetujui oleh Pemimpin
Besarnya, jadi dia menilai bayi itu sebagai Anti-Kristus. Setelah bayi itu mati,
para pengikutnya bebas melaksanakan penyeberangan."
"Va Tuhan. Apakah Dom Owens salah seorang anggota The Solar Temple?"
Ryan mengangkat bahunya kembali. "Atau mungkin hanya meniru-niru saja. Sungguh
sulit mengetahui apa arti ocehannya di Adler Lyons sampai para psikolog
menafsirkannya." Sebuah buku catatan ditemukan di padepokan Saint Helena. Dan sebuah peta
Provinsi Quebec. "Tapi, aku tidak peduli siapa yang memimpin kalau
orangorang yang tidak berdosa itu antre menuju ke jurang kematian. Akan
kutangkap bajingan itu dengan tanganku sendiri, lalu menggoroknya dan
menggorengnya sendiri."
Otot rahangnya mengeras saat dia memungut majalah
itu. Kupejamkan mata dan mencoba beristirahat, tetapi bayangan itu tidak mau pergi
juga. Harry, yang santai dan penuh kehidupan. Harry yang memakai baju olahraga tanpa
riasan wajah sedikit pun.
Sam, yang gemas karena pulaunya ada yang mengganggu.
Malachy. Mathias. Jennifer Cannon. Carole Comptois. Seekor kucing yang terbakar.
Isi paket yang sekarang ada di dekat kakiku.
Kathryn, yang sorot matanya memelas. Seakanakan aku bisa menolongnya.
Seakanakan, aku bias menarik jiwanya dan membuatnya menjadi lebih baik.
Atau apakah fi rasat Ryan yang benar" Apakah aku sedang dijebak" Apakah Kathryn
dikirim untuk tujuan tertentu yang tidak kusadari" Apakah Owens yang bertanggung
jawab atas pembunuhan kucing itu"
Harry sudah pernah berbicara tentang kelompoknya. Kehidupannya menyebalkan dan
kelompok itu akan membantunya memperbaiki dirinya. Begitu juga dengan Kathryn.
Katanya kelompoknya memengaruhi semua pengikutnya. Brian dan Heidi kabur dari
kelompok itu. Kelompok apa" Kelompok kosmik" Sebuah kelompok keagamaan" The
Order of the Solar Temple"
Aku merasa seperti seekor ngengat di dalam toples, menabrak kaca toples dengan
berbagai pemikiran yang berseliweran, tetapi tidak mampu melarikan diri dari
keter - batasan pemikiranku sendiri.
Brennan, kamu membuat dirimu menjadi gila! Tidak ada yang bisa kamu lakukan dari
ketinggian tiga puluh tujuh ribu kaki.
Aku memutuskan untuk melepaskan diri dengan mundur ke seratus tahun yang lalu.
Kubuka tas kerjaku, meraih buku harian Belanger, dan meloncat ke bulan Desember
1844, berharap harihari liburan membuat suasana hati Louis-Philippe menjadi
lebih baik. Dokter yang baik itu menikmati makan malam Natal di rumah Nicolet, menyukai pipa
barunya, tetapi tidak menyetujui rencana adiknya untuk kembali menjadi penyanyi.
Eugenie diundang untuk menyanyi di Eropa.
Louis-Philippe memang tidak punya rasa humor, tetapi dia sangat gigih. Nama
adiknya sering ditulis di beberapa bulan pertama tahun 1845. Kentara sekali
bahwa dia sering mengungkapkan pandangannya. Tetapi, sang dokter sangat gusar
karena Eugenie tidak mau dibujuk. Dia akan berangkat pada bulan April, ikut
dalam konser di Paris dan Brussel, kemudian menghabiskan musim panas di Prancis,
kembali ke Montreal di akhir Juli.
Sebuah suara memerintahkan meja dan kursi ditegakkan kembali dan dikunci
posisinya karena pesawat sebentar lagi akan mendarat di Pittsburgh.
Satu jam kemudian, setelah pesawat terbang kembali, kubaca sekilas musim semi
1945. Louis-Philippe disibukkan dengan rumah sakit dan masalah kota, tetapi
masih sempat melakukan kunjungan mingguan kepada adik iparnya. Rupanya Alain
Nicolet tidak ikut ke Eropa bersama istrinya.
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku jadi penasaran, bagaimana hasil tur Eugenie.
Tampaknya Paman Louis-Philippe tidak peduli, karena dia tidak begitu sering
menyebut-nyebut hal itu selama bulan-bulan itu. Kemudian, sebuah catatan menarik
perhatianku. 17 Juli 1845. Karena keadaan yang tidak biasanya, Eugenie akan tinggal lebih
lama di Prancis. Semua persiapan telah dilakukan, tetapi Louis-Philippe tidak
begitu jelas menceritakan apa penyebabnya.
Kutatap awan putih di luar jendela. "Keadaan yang tidak biasanya" seperti apakah
yang membuat Eugenie harus tinggal lebih lama di Prancis" Aku menghitung-hitung.
Elisabeth dilahirkan pada bulan Januari. Astaga.
Selama musim panas dan musim gugur, Louis-Philip-pe hanya sedikit bercerita
tentang adiknya. Surat dari Eugenie. Semuanya baikbaik saja.
Ketika roda pesawat kami menyentuh landasan di Bandara Dorval, cerita tentang
Eugenie muncul kembali. Dia juga telah kembali ke Montreal. 16 April 1846.
Bayinya berusia tiga bulan.
Nah itu dia. Elisabeth Nicolet dilahirkan di Prancis. Alain pasti bukan ayahnya. Tetapi,
kalau begitu, siapakah ayahnya"
Aku dan Ryan turun dari pesawat tanpa berkata apa-apa. Dia memeriksa pesanpesannya, sementara aku menunggu koper. Saat kembali, wajahnya menunjukkan bahwa
ada kabar yang tidak baik.
"Van itu ditemukan dekat Charleston."
"Kosong." Dia mengangguk. Eugenie dan bayinya menghilang, dan aku kembali ke abad ini.
Langit tampak mendung dan hujan rintik-rintik menerpa cahaya lampu ketika aku
dan Ryan melaju di sepanjang Highway 2D. Menurut pilot, suhu di Montreal sekitar
tiga derajat Celcius dengan cuaca sejuk.
Kami mengemudikan mobil dengan membisu karena telah sepakat tentang apa yang
akan kami lakukan selanjutnya. Aku sebenarnya ingin segera sampai ke rumahku,
untuk mencari adikku dan menyingkirkan fi rasat yang sudah terpendam begitu lama
dalam diriku. Namun, akan kulakukan apa yang diminta Ryan. Kemudian, aku akan
melaksanakan rencanaku sendiri.
Kami memarkir mobil di Parthenais, lalu aku dan Ryan berjalan menuju gedung itu.
Aroma ragi tercium di udara, berasal dari tempat pembuatan bir Molson. Minyak
menghiasi genangan air di trotoar yang tidak rata.
Ryan keluar di lantai pertama, dan aku terus naik ke kantorku di lantai lima.
Setelah melepaskan jaket, kutekan sebuah nomor ekstensi di dalam gedung. Mereka
sudah menerima pesanku dan kami bisa memulainya kalau aku sudah siap. Aku
langsung ke laboratorium.
Kukumpulkan pisau bedah, penggaris, lem, dan penghapus sepanjang enam puluh cm,
lalu meletakkan semua barang itu di atas meja kerjaku. Kemudian, kubuka paket
yang tadi kujinjing, membukanya, lalu memeriksa isinya.
Tengkorak dan rahang korban Murtry yang tidak teridentifi kasi itu sama sekali
tidak rusak selama perjalanan. Aku sering juga penasaran, apa yang dipikirkan
para petugas bandara ketika memindai barang-barangku yang berisi tengkorak
manusia. Kuletakkan tengkorak itu di atas cincin gabus di tengah meja. Kemudian,
kupencet dan kumasukkan lem ke dalam sendi rahang, lalu meletakkan rahang itu di
tempatnya. Sementara menunggu lem mengering, kuambil buku panduan ketebalan kulit wajah
wanita Amerika berkulit putih. Setelah rahang terasa cukup padat, kuletakkan
tengkorak itu ke sebuah pegangan, menyesuaikan tingginya, dan mengencangkannya
dengan penjepit. Lubang mata yang kosong menatap kedua mataku ketika aku
mengukur dan memotong tujuh belas cincin karet kecil dan menempelkannya ke
tulang wajah. Dua puluh menit kemudian, kubawa tengkorak itu ke ruangan kecil di ujung
koridor. Sebuah plakat mengindikasikan bahwa ruangan itu adalah Section
d'Imagerie. Seorang teknisi menyambutku dan mengatakan bahwa sistem sedang
berjalan. Tanpa membuang waktu, kuletakkan tengkorak itu pada sebuah copy stand (pegangan
untuk memotret), merekam gambarnya dengan kamera video, dan mengirimkannya ke
komputer. Kulakukan evaluasi gambar digital di monitor dan memilih orientasi
wajah dari bagian depan. Kemudian, dengan menggunakan stylus dan papan untuk
menggambar yang menyatu dengan komputer, aku mulai menghubung-hubungkan tanda
dari cincin karet kecilkecil yang tadi kutempelkan pada tengkorak itu. Saat aku
mengarahkan silang-kawat di seluruh layar, sebuah siluet yang mengerikan mulai
muncul. Setelah puas dengan bentuk wajahnya, kulanjutkan ke bagian yang lain. Dengan
menggunakan daftar tulang yang ada di komputer sebagai panduan, kucari contoh
mata, telinga, hidung, dan bibir dari bank data program tersebut, dan
menempelkan semua bagian wajah yang cocok ke tengkorak tersebut.
Kemudian, kupilih rambutnya, menambahkan gaya rambut yang menurutku paling
sederhana. Karena tidak mengetahui apa pun tentang korban itu, aku memutuskan lebih baik untuk tampak
samar daripada salah. Ketika sudah puas dengan berbagai komponen yang
kutambahkan pada gambar kepala itu, kugunakan stylus untuk menyatukan semuanya
dan membuat rekonstruksi itu menjadi lebih hidup. Semua proses itu memakan waktu
kurang dari dua jam. Kusandarkan tubuhku dan mengamati hasil kerjaku,
Sebuah wajah menatap dari layar. Mata yang sayu, hidung yang mancung, dan tulang
pipi yang tinggi dan lebar. Semuanya terlihat kaku, tanpa ekspresi sedikit pun.
Dan entah mengapa, tampaknya cukup kukenal. Aku menelan ludah. Kemudian, dengan
sentuhan stylus, kuubah gaya rambutnya. Potongan pendek. Poni!
Kutahan napas. Apakah rekonstruksiku itu mirip dengan Anna Goyette" Atau, apakah
aku telah menciptakan wajah seorang wanita muda pada umumnya dan memberikan
potongan rambut yang pernah kukenal"
Kukembalikan rambut itu ke gaya sebelumnya dan mengevaluasi kemiripannya. Ya"
Tidak" Entahlah. Akhirnya, kusentuh sebuah perintah dalam menu drop-down dan empat kerangka
muncul di layar. Kuban-dingkan gambar yang satu dengan yang lainnya, mencari
tanda ketidakcocokan antara gambar yang kubuat dengan tengkorak itu, Pertamatama, tengkorak yang tidak diubah dengan rahangnya. Berikutnya gambar yang
terkelupas, dengan tulang di sebelah kiri tengkorak, dan di sebelah kanan tampak
daging dan kulit yang menempel. Ketiga, wajah yang kuciptakan bertumpang tindih
dengan bayangan tembus pandang yang mengerikan di atas tulang dan penanda
jaringan. Yang terakhir, perkiraan bentuk wajah yang sudah selesai. Kusentuh
gambar yang terakhir dengan mengklik mouse, sehingga memenuhi layar komputer dan menatapnya
selama beberapa saat. Aku masih belum yakin.
Kucetak gambar itu, kemudian menyimpannya, lalu bergegas ke kantorku. Ketika
meninggalkan gedung, kuletakkan beberapa salinan gambar itu di meja Ryan. Kertas
catatan yang kutempelkan berisi dua kata: Murtry, Inconnune, Tidak dikenal. Aku
masih memikirkan banyak hal lainnya.
Saat aku turun dari taksi, hujan sudah reda, tetapi suhu telah menukik tajam.
Lapisan es tipis terbentuk di permukaan genangan air dan membeku di sejumlah
kabel dan dahan pohon. Apartemen terlihat remang-remang dan hening seperti kuburan. Setelah meletakkan
jaket dan tasku di ruang duduk, aku langsung ke kamar tidur tamu, Peralatan rias
wajah Harry tampak tergeletak di atas meja rias. Apakah dia menggunakannya tadi
pagi atau minggu kemarin" Baju. Sepatu lars. Pengering rambut. Majalah. Tidak
ada petunjuk yang menunjukkan ke mana Harry atau kapan dia meninggalkan tempat
ini. Aku sudah menduga hal itu. Yang tidak kuduga adalah rasa kekhawatiran yang
mencengkeramku saat aku mencari dari kamar ke kamar.
Kuperiksa mesin penjawab telepon. Tidak ada pesan. Tenang. Mungkin dia menelepon
Kit. Ternyata tidak. Charlotte"
Tidak ada kabar dari Harry, tetapi Red Skyler telah menelepon dan mengatakan
bahwa dia sudah menghubungi Jaringan Kewaspadaan Sekte (Cult Awareness Net work, CAN), Tidak ada informasi mengenai Dom Owens, tetapi ada sebuah laporan
mengenai Inner Life Empowerment (ILE). Menurut CAN, kelompok itu sah, ILE
berkiprah di beberapa negara bagian, menawarkan seminar yang tidak berguna,
tetapi tidak berbahaya. Hadapi dirimu sendiri dan hadapi orang lain. Omongkosong semuanya, tetapi mungkin tidak berbahaya dan aku tidak perlu terlalu
khawatir. Kalau ingin mendapatkan informasi lebih banyak lagi, aku bisa
menghubungi Red atau CAN. Dia meninggalkan kedua nomor yang bias dihubungi.
Aku tidak begitu memerhatikan pesan-pesan lainnya. Sam, minta diberi kabar. Katy
melaporkan bahwa dia sudah kembali ke Charlottesville.
Jadi, ILE tidak berbahaya dan Ryan mungkin benar. Harry sedang pergi berkencan
lagi. Amarah membuat pipiku terasa panas.
Seperti robot, kugantungkan jaket dan menyeret koper ke dalam kamar tidurku.
Kemudian, aku duduk di pinggir tempat tidur, memijat pelipisku, dan membiarkan
pikiranku mengembara. Digit di jamkupelan-pelan menunjukkan menit demi menit.
Beberapa minggu terakhir ini telah menjadi masamasa yang paling sulit sepanjang
karierku. Penyiksaan dan mutilasi yang dialami berbagai korban ini jauh
melampaui apa yang biasa kulihat sebelumnya. Dan aku tidak bisa mengingat kapan
aku pernah menangani sedemikian banyak korban kematian dalam jangka waktu yang
demikian pendek. Bagaimanakah hubungan antara pembunuhan di Murtry dengan
pembunuhan di St-Jovite" Apakah Carole Comptois dibunuh dengan tangan sadis yang
sama" Apakah pembantaian di St-Jovite hanyalah awalnya saja"
Pada saat ini apakah ada seorang maniak yang sedang merencanakan pembantaian
yang terlalu mengerikan untuk bisa dibayangkan"
Harry harus menyelesaikan masalahnya sendiri.
Aku tahu apa yang akan kulakukan berikutnya. Paling tidak, aku tahu di mana aku
harus memulainya. Hujan sudah turun lagi dan kampus McGill diselimuti bunga es yang tipis dan
membeku. Gedung itu tampak seperti siluet hitam, satu-satunya cahaya di sore
hari yang kelam dan basah ini berasal dari deretan jendelanya. Di sana-sini,
tampak sosok tubuh yang bergerak di dalam kotak yang terang, seperti boneka
kecil di pentas wayang. Cangkang es yang berlubang-lubang kecil tampak remuk di undakan tangga ketika
aku menggenggam pegangan tangan menuju Birks Hall. Gedung itu kosong,
ditinggalkan oleh para penghuninya yang takut akan terjadinya badai salju. Tidak
ada jaket di tiang gantungan, tidak ada sepatu lars yang sedang mencair di
sepanjang dinding. Mesin cetak dan fotokopi tidak ada yang memakai, satu-satunya
suara hanyalah ketukan air hujan di kaca.
Langkah kakiku bergema saat menaiki tangga ke lantai tiga. Dari koridor utama,
aku bisa melihat bahwa pintu kantor Jeannotte tertutup. Aku memang tidak
berharap dia akan berada di kantornya, tetapi memutuskan untuk mencari tahu. Dia
tidak menduga kedatanganku dan orang biasanya akan mengatakan hal yang aneh saat
didatangi di luar jam biasanya.
Saat membelok di sudut, kulihat lampu kuning menyala dari bawah pintu. Aku
mengetuk, tidak yakin apa yang akan kutemui.
Ketika pintu kubuka, mulutku ternganga karena kehe Sekeliling kelopak matanya tampak memerah, kulitnya terlihat pucat dan
penampilannya lesu. Tubuhnya menegang saat melihatku, tetapi gadis itu tidak
berkata apa-apa. "Apa kabar, Anna?"
"Oke." Dia mengedipkan matanya dan poninya tampak tersentak.
"Aku Dr. Brennan. Kita pernah bertemu beberapa minggu yang lalu." "Aku tahu."
"Ketika aku ke sini lagi, katanya kamu sedang sakit."
"Aku baikbaik saja. Aku hanya sedang pergi beberapa waktu lamanya."
Aku ingin menanyakan pergi ke mana, tetapi memutuskan untuk menahan diri. "Dr.
Jeannotte ada?" Anna menggelengkan kepalanya. Dia pelan-pelan merapikan rambutnya, ke belakang
telinganya. "Ibumu cemas memikirkanmu."
Dia mengangkat bahu, gerakannya perlahan dan hampir tidak terlihat. Dia tidak
bertanya mengapa aku tahu tentang keluarganya.
"Aku sedang menangani sebuah proyek bersama bibimu. Dia juga khawatir."
"Oh." Dia menunduk sehingga aku tidak bias melihat wajahnya.
Kejutkan dia dengan kabar itu.
"Kata temanmu, kamu mungkin terlibat dalam sesuatu yang mungkin membuatmu
gelisah." Matanya kembali menatap mataku. "Aku tidak punya teman. Siapa yang berkata
begitu?" Suaranya terdengar kecil dan datar.
"Sandy O'Reilly. Dia menggantikan kamu bekerja hari itu."
"Sandy menginginkan jam kerjaku. Kenapa kamu ke sini?"
Pertanyaan yang bagus. "Aku mau bicara denganmu dan dengan Dr. Jeannotte." "Dia tidak ada."
"Kamu punya waktu untuk bicara denganku?"
"Tidak ada yang bisa kamu lakukan untukku. Hidupku adalah urusanku sendiri."
Nadanya yang datar membuatku miris.
"Kuhormati hakmu itu. Tapi, sebenarnya aku berpendapat bahwa justru kamu yang
bisa menolongku." Lirikannya mengarah ke koridor, kemudian kembali kepadaku.
"Menolongmu bagaimana?"
"Kamu mau menemaniku minum kopi?"
"Tidak." "Bisakah kita ngobrol di tempat lain?"
Dia menatapku beberapa lama, sorot matanya tampak datar dan kosong. Kemudian,
dia mengangguk, mengambil syal dari tiang gantungan jaket, dan mendahuluiku
menuruni tangga, lalu keluar lewat pintu belakang. Sambil membungkuk untuk
menghindari hujan, kami bergegas menaiki bukit menuju pusat kampus, kemudian
berputar kembali ke Redpath Museum. Anna mengambil kunci dari
sakunya, membuka pintu, dan berjalan di depanku menyusuri koridor yang remangremang. Tercium bau lumut dan bau apek di udara.
Kami naik ke lantai dua dan duduk di sebuah bangku kayu, dikelilingi oleh
tulangbelulang makhluk yang sudah lama mati. Di atas kepala kami tergantung
seekor paus beluga, korban keganasan zaman Pelistocene. Debu melayang di bawah
terpaan cahaya yang terang.
"Aku sudah tidak lagi bekerja di museum, tapi masih sering ke sini untuk
merenung." Dia melirik ke rusa besar Irlandia. "Semua makhluk ini hidup di dunia
yang berbeda jutaan tahun lamanya dan di lokasi dengan jarak ribuan kilometer,
namun sekarang disatukan di sini, tidak bergerak dalam ruang dan waktu. Aku suka
itu." "Ya." Itu salah satu cara pandang terhadap makhluk yang sudah punah. "Stabilitas
adalah hal yang jarang ditemui di zaman sekarang."
Dia menatapku dengan pandangan aneh, kemudian kembali menatap tulangbelulang
itu. Kuamati bentuk wajahnya saat dia mengamati koleksi museum itu.
"Sandy bercerita tentang kamu, tapi aku tidak terlalu menyimak." Dia berbicara
tanpa memandangku. "Aku tidak tahu siapa kamu atau apa yang kamu inginkan."
"Aku teman bibimu."
"Bibiku orang baik."
"Ya. Ibumu khawatir kamu mungkin terlibat dalam kesulitan."
Dia tersenyum pahit. Rupanya katakataku bukan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
"Kenapa kamu peduli kalau ibuku khawatir?"
"Aku khawatir karena suster Julienne cemas karena kamu menghilang. Bibimu tidak
tahu bahwa sebelumnya kamu juga pernah kabur dari rumah."
Matanya beralih dari tulangbelulang itu dan kembali menatapku. "Apa lagi yang
kamu ketahui tentang diriku?" Dia mengibaskan rambutnya. Mungkin udara dingin
telah membuatnya lebih terjaga. Atau mungkin juga karena telah menjauh dari
bayangan gurunya. Dia sepertinya lebih hidup dibandingkan dengan ketika berada
di Birks. "Anna, bibimu memohon kepadaku untuk menemukanmu. Dia tidak ingin ikut campur,
dia hanya ingin bisa menenangkan hati ibumu."
Dia terlihat tidak yakin. "Karena kamu sepertinya telah membuat diriku sebagai
salah satu proyekmu, kamu juga pasti sudah tahu bahwa ibuku gila. Kalau aku
terlambat sepuluh menit saja, dia langsung menghubungi polisi."
"Menurut polisi, kamu biasanya hilang lebih dari sepuluh menit.1
Matanya tampak sedikit memicing. Bagus, Brennan. Sudutkan dia.
"Dengarlah, Anna. Aku tidak mau ikut campur. Tapi, kalau ada yang bisa kubantu,
aku akan sangat senang melakukannya."
Aku menunggu, tetapi dia tidak berkata apa-apa.
Balikkan lagi. Mungkin dia akan membuka diri.
"Mungkin kamu yang bisa menolongku. Seperti yang kamu tahu, aku bekerja sama
dengan koroner, dan beberapa kasus baru-baru ini membuat kami kebingungan.
Seorang wanita muda bernama Jennifer Cannon menghilang dari Montreal beberapa
tahun yang lalu. Tubuhnya ditemukan minggu yang lalu di South Carolina. Dia
mahasiswi McGill."
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ekspresi wajah Anna tidak berubah.
"Kamu mengenalnya?"
Dia masih diam seperti kerangka fosil di sekeliling kami.
"Tanggal tujuh belas Maret, seorang wanita bernama Carole Comptois dibunuh dan
dibuang di Yle des Soeurs. Usianya delapan belas tahun."
Tangannya mengelus rambut.
"Jennifer Cannon tidak mati sendirian." Tangannya terjatuh ke pangkuannya,
kemudian kembali ke telinganya. "Kami belum berhasil mengidentifi kasi orang
yang dikuburkan bersamanya."
Kukeluarkan gambar ciptaanku dan menunjukkannya kepada Anna, Dia mengambilnya,
matanya menghindari mataku.
Kertas itu bergetar sedikit saat dia menatap wajah ciptaanku itu.
"Apa ini wajah sungguhan?"
"Bentuk wajah adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu. Tidak ada yang pernah bisa
meyakini ketepatannya."
"Kamu membuat gambar ini dari sebuah tengkorak?" Ada sebuah getaran di dalam
nadanya. "Ya." "Rambutnya salah." Hampir tidak terdengar. "Kamu kenal wajah ini?" "Amelie
Provencher." "Kamu mengenalnya?"
"Dia bekerja di pusat konseling." Dia tetap menghindari kontak mata.
"Kapan terakhir kalinya kamu melihat dia?"
"Dua minggu yang lalu. Mungkin lebih lama lagi, aku tidak yakin. Aku tidak ada
di sini." "Dia mahasiswi di sini?"
"Apa yang mereka lakukan kepadanya?"
Aku ragu-ragu, tidak yakin seberapa banyak yang harus kuungkapkan. Suasana hati
Anna yang berubah-ubah membuatku menduga dia sedang teler karena obatobatan atau
sedang tidak stabil. Dia tidak menunggu ja-wabanku,
"Mereka membunuhnya?"
"Siapa, Anna" Siapa 'mereka' itu?"
Akhirnya, dia menatapku. Pupilnya tampak berkilauan di bawah cahaya lampu.
"Sandy bercerita tentang apa yang kamu bicarakan. Dia memang benar sekaligus
juga salah. Ada sebuah kelompok di kampus ini, tapi mereka tidak ada hubungannya
dengan Setan. Dan, aku tidak ada hubungannya dengan mereka. Amalie yang
berhubungan dengan mereka. Dia mendapatkan pekerjaan di pusat konseling karena
mereka menyuruhnya melamar pekerjaan itu."
"Kamu bertemu dengan Amalie di sana?"
Dia mengangguk, menyekakan buku jari ke bawah matanya yang kiri dan kanan,
kemudian menyekanya ke celana.
"Kapan?" "Aku tidak ingat lagi. Sudah lama. Waktu itu aku sedang benarbenar frustrasi,
jadi kupikir mungkin ada baiknya mencoba konseling. Saat aku mendatangi pusat
konseling itu, Amelie selalu berusaha mengobrol denganku, bersikap benarbenar
penuh perhatian. Dia tidak pernah membicarakan dirinya sendiri atau masalahnya.
Dia benarbenar mendengarkan apa yang kukatakan. Kami memiliki banyak kesamaan,
jadi kami akhirnya berteman."
Aku teringat katakata Red. Para pengikut biasanya diperintahkan untuk
mempelajari calon anggota, untuk meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki
kesamaan, dan mendapatkan rasa percayanya.
"Dia bercerita tentang kelompok yang diikutinya, mengatakan bahwa kelompok itu
telah membuat hidupnya berubah. Aku akhirnya menghadiri salah satu pertemuan
mereka. Kelihatannya baikbaik saja." Dia mengangkat bahu. "Ada yang memberikan
ceramah, lalu kami makan, melakukan latihan pernapasan, dan sebagainya. Mulamula
aku tidak begitu tertarik, tapi aku kembali beberapa kali karena semua orang
bersikap seakanakan mereka benarbenar menyukaiku."
Hujan kasih sayang. "Lalu, mereka mengundangku ke daerah pedesaan. Sepertinya asyik, jadi aku pun
memutuskan untuk ikut. Kami ikut dalam permainan dan mendengarkan ceramah,
berdoa, dan melakukan latihan. Amelia menyukainya, tapi tidak cocok untukku.
Menurutku semuanya hanya omong kosong belaka, tapi kita tidak bisa menyatakan
ketidaksetujuan kita. Lagi pula, mereka tidak pernah membiar-kanku sendirian.
Semenit pun aku tidak diizinkan untuk sendirian.
"Mereka ingin aku mengikuti pelatihan yang waktunya lebih lama lagi dan ketika
aku menolak, sepertinya mereka marah. Aku harus bersikap benarbenar menyebalkan
supaya boleh pulang ke kota. Setelah itu, kuhindari Amalie, tapi aku masih
bertemu dengannya beberapa kali lagi."
"Apa nama kelompoknya?"
"Entahlah." "Apa menurutmu mereka yang membunuh Amalie?"
Dia menyeka tangannya di kedua sisi pahanya.
"Ada seorang lelaki yang kukenal waktu di sana. Dia mendaftarkan diri dari
tempat lain. Nah, setelah aku pergi, dia masih tetap tinggal di sana, jadi lama
juga aku tidak melihatnya. Mungkin setahun. Kemudian, aku bertemu
dengannya di sebuah konser di Yle Notre Darne. Kami sering pergi bersama untuk
beberapa waktu, tapi tidak ada kelanjutannya." Dia mengangkat bahunya kembali.
"Saat itu, dia telah meninggalkan kelompok itu, tapi dia punya banyak cerita
seram tentang apa yang terjadi di sana. Tapi juga dia tidak mau banyak bercerita
tentang hal itu. Dia benarbenar ketakutan." "Siapa namanya?"
"John, dan aku tidak tahu nama belakangnya." "Di mana dia sekarang?"
"Entahlah. Kalau tidak salah, dia sudah pindah." Dia menyeka air mata dari bulu
mata sebelah bawah. "Anna, apakah Dr, Jeannotte ada hubungannya dengan kelompok ini?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Suaranya terdengar serak pada kata yang
terakhir. Kulihat pembuluh darah biru kecil menonjol di lehernya.
"Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, di kantornya, kamu sepertinya sedikit
gugup saat berada dekat Dr. Jeannotte."
"Dia benarbenar baik kepadaku. Dia lebih baik untukku dibandingkan dengan
meditasi dan latihan pernapasan itu." Dia mengembuskan napas. "Tapi, dia juga
banyak menuntut dan aku selalu khawatir, jangan sampai berbuat salah."
"Katanya kamu sering menghabiskan waktu dengannya?"
Matanya kembali menatap tulangbelulang itu. "Bukankah kamu ingin tahu tentang
Amalie dan orangorang yang sudah mati itu?"
"Anna, maukah kamu berbicara dengan orang lain" Apa yang kamu katakan kepadaku
sangat penting dan polisi pasti ingin menindaklanjuti hal ini. Seorang detektif bernama Andrew Ryan
sedang menyelidiki semua pembunuhan ini. Dia orang yang sangat baik dan
menurutku kamu akan menyukainya."
Dia menatapku dengan kebingungan, lalu menarik rambut di belakang kedua
telinganya. "Tidak ada yang bisa kuceritakan kepadamu. John yang bisa banyak bercerita, tapi
aku tidak tahu ke mana perginya orang itu."
"Kamu masih ingat di mana tempat diadakannya seminar itu?"
"Seperti di sebuah peternakan. Kami naik mobil van dan tidak memerhatikan
keadaan sekitar karena mereka mengajakku bermain game. Sewaktu pulang, aku tidur
sepanjang perjalanan. Mereka membuat kami selalu terjaga dalam waktu lama,
membuatku sangat kelelahan. Selain John dan Amalie, aku tidak pernah melihat
mereka lagi. Dan sekarang kamu bilang dia-"
Di lantai bawah terdengar sebuah pintu terbuka, kemudian terdengar suara orang.
"Siapa di sana?"
"Bagus. Sekarang kunciku pasti akan dia ambil," bisik Anna.
"Memangnya kita tidak boleh berada di sini?" "Tidak juga. Ketika berhenti
bekerja di museum, aku tidak mengembalikan kuncinya." Gawat.
"Biar aku yang menghadapinya," ujarku sambil bangkit dari bangku itu.
"Siapa di sana?" aku berseru. "Kami ada di sini."
Terdengar langkah kaki di undakan tangga, kemudian seorang satpam muncul di
pintu. Topinya tampak dilesak kan ke dekat matanya, dan sebuah syal yang basah hampir tidak bisa menutupi
perutnya yang buncit. Napasnya terengah-engah dan giginya tampak kuning di bawah
cahaya ungu. "Syukurlah, akhirnya kamu muncul juga," ujarku berlebihan. "Kami sedang
menggambar Odocoileus virginianus dan kelupaan waktu. Semua orang pulang duluan
karena hujan salju, dan tampaknya mereka lupa bahwa kami masih ada di dalam.
Kami terkunci." Aku memberikan senyuman malu-malu. "Aku baru saja mau menelepon
keamanan." "Kalian tidak boleh ada di sini sekarang. Museum nya sudah tutup," ujarnya.
Rupanya aktingku tidak ada gunanya.
"Ya, aku mengerti. Kami harus segera pergi. Suaminya pasti akan mengkhawatirkan
dia," ujarku sambil mengangguk ke arah Anna yang menganggukangguk seperti kurakura mainan. Satpam itu mengalihkan matanya yang berair dari Anna kepadaku kembali, kemudian
menganggukkan kepalanya ke tangga.
"Kalau begitu, ayo pergi."
Kami tidak membuang-buang waktu lagi.
Di luar, hujan masih turun. Tetesannya sekarang sudah semakin lebat, seperti es
serut Slushies yang pernah kubeli bersama adikku dari tukang es serut di musim
panas. Wajahnya berkelebat di hadapanku. Di manakah kamu, Harry"
Di Birks Hall, Anna menatapku dengan pandangan aneh.
"Odocoileus virginianus?"
"Nama itu muncul di kepalaku begitu saja."
"Tidak ada rusa berekor putih di dalam museum."
Apakah sudut mulutnya membentuk senyuman atau hanya karena cuaca dingin" Aku
mengangkat bahu. Dengan enggan, Anna memberikan nomor telepon rumah dan alamatnya. Kami berpisah
dan aku meyakinkan dirinya bahwa Ryan akan segera menghubunginya. Saat bergegas
menuju Universitas, sesuatu membuatku membalikkan tubuh. Anna tampak berdiri di
bawah bangunan tua bergaya Gothic, tidak bergerak, seperti teman-temannya dari
zaman Cenozoic. Setiba di rumah, aku langsung menekan nomor pager Ryan. Beberapa menit kemudian,
telepon berdering. Kukatakan kepadanya bahwa Anna sudah muncul lagi dan
kuceritakan secara garis besar percakapan kami tadi. Dia berjanji akan
menghubungi koroner, sehingga sebuah pencarian dapat dimulai berdasarkan catatan
medis dan gigi milik Amalie Provencher. Dia segera menutup gagang telepon karena
berniat untuk menghubungi Anna sebelum dia meninggalkan kantor Jeannotte. Dia
akan meneleponku kembali untuk menceritakan apa yang telah dialaminya sepanjang
hari tadi. Aku makan salad nigoise dan roti croissant untuk makan malam, kemudian mandi
agak berlamalama, dan memakai pakaian olahraga yang sudah agak usang. Aku masih
merasa kedinginan dan memutuskan untuk menyalakan perapian. Aku telah
menggunakan kayu terakhir yang kumiliki sehingga kubuat surat kabar menjadi
gumpalan bola dan meletakkannya di dalam perapian. Es mengetukngetuk jendela
saat aku menyalakan api dan mengamatinya melahap gumpalan surat kabar itu.
Jam delapan lewat empat puluh menit. Kuraih jurnal
Belanger dan memilih acara TV "Seinfeld", berharap irama dialog dan tawa dalam
acara itu bias membuatku tenang. Bila dibiarkan, aku tahu pikiranku akan
menerawang seperti seekor kucing di malam hari, mengeong dan mengerang, dan
meningkatkan kegelisahanku ke tingkat di mana aku tidak mungkin bisa tidur.
Tidak ada gunanya. Jerry dan Kramer (pemain dalam film seri Seinfeld) sudah
berusaha sekeras mungkin, tetapi aku tidak bisa memusatkan perhatian.
Mataku mendarat ke perapian. Apinya telah meredup sehingga yang tersisa hanya
beberapa jilatan api mengelilingi bagian bawah perapian. Kudekati perapian,
memisah-misahkan gumpalan surat kabar, merobeknya dan membentuk gumpalan bola
lagi, kemudian memasukkannya lagi ke dalam perapian.
Aku sedang mencolok-colok potongan kayu saat sesuatu meletup dalam benakku.
Surat kabar! Aku sudah melupakan mikrofi Im itu!
Aku kembali ke tempat tidur, menarik halaman surat kabar yang aku fotokopi dari
McGill dan membawanya ke sofa. Aku hanya membutuhkan beberapa detik saja untuk
menemukan sebuah artikel di La Presse.
Artikel itu singkat, persis seperti yang kuingat. 20 April 1845. Eugenie Nicolet
berlayar ke Prancis. Dia akan menyanyi di Paris dan Brussel, menghabiskan musim
panas di Prancis, dan kembali ke Montreal pada bulan Juli. Ada daftar orangorang
yang menyertainya, begitu juga tanggal-tanggal konsernya. Lalu, ada ringkasan
kariernya dan berbagai komentar tentang bagaimana orangorang pasti akan
merindukannya. Uang receh yang kumiliki untuk memfotokopi salinan
hanya cukup sampai tanggal 26 April. Kubaca semua yang telah kucetak, tetapi
nama Eugenie tidak pernah muncul lagi. Kemudian aku mundur lagi, mencaricari di
setiap cerita dan pengumuman.
Artikel yang kucari kutemukan pada tanggal 22 April.
Ada orang lain yang muncul di Paris. Bakat lelaki ini bukanlah di musik, tetapi
pidato. Dia sedang melakukan tur untuk berpidato, menentang penjualan manusia
dan menggalakkan perdagangan dengan Afrika Barat. Dia dilahirkan di Gold Coast,
melanjutkan pendidikan di Jerman, dan mengajar di bidang fi losofi di
Universitas Halle. Dia baru saja menyelesaikan serangkaian kuliah di McGill
School of Divinity. Aku mundur terus dan menjelajahi sejarah. Delapan belas empat puluh lima.
Perbudakan sedang mencapai puncaknya di Amerika Serikat, tetapi telah dilarang
di Prancis dan Inggris. Kanada waktu itu masih menjadi koloni Inggris. Gereja
dan kelompok misionaris memohon negara Afrika untuk menghentikan penjualan
penduduknya, dan mendorong orang Eropa untuk terlibat dalam perdagangan yang
mematuhi hukum dengan Afrika Barat untuk menggantikan perdagangan budak. Apa
istilah yang mereka gunakan" "Perdagangan yang sah."
Kubaca nama para penumpang dengan semangat yang semakin terpacu.
Dan nama kapalnya. Eugenie Nicolet dan Abo Gabassa menyeberang dengan menggunakan kapal yang sama.
Aku bangkit untuk menusuk-nusuk api di perapian.
Apakah itu jawabannya" Apakah aku telah menemukan rahasia yang telah tersembunyi
selama seratus lima puluh tahun lamanya" Eugenie Nicolet dan Abo Gabassa"
Sebuah perselingkuhan"
Kukenakan sepatu, mendekati pintu bergaya Prancis, mengangkat pegangannya, dan
mendorong pintu itu. Pintu itu terkunci, beku karena udara dingin. Kudorong
dengan pahaku sampai kaitannya terlepas.
Tumpukan kayu tampak membeku dan aku menghabiskan waktu cukup lama untuk
melepaskan potongan kayu dengan menggunakan sekop taman. Saat akhirnya kembali
ke dalam rumah, aku menggigil dan tubuhku berselimutkan butiran es kecilkecil.
Sebuah suara menghentikan langkahku ketika aku berjalan menuju perapian.
Bel pintuku tidak berdering, tetapi berkicau. Dan sekarang kicauan itu
terdengar, kemudian tiba-tiba berhenti, seakanakan orang itu telah menyerah.
Kujatuhkan potongan kayu, bergegas menuju kotak pengaman, dan menekan tombol
video. Di layar, kulihat sesosok tubuh menghilang di pintu depan.
Kuraih kunci, berlari ke lobi, dan membuka pintu menuju ruang depan. Pintu luar
masih berada di tempatnya. Kutekan lidah pintu dan membukanya lebar-lebar.
Dasiy Jeannotte tergeletak di atas undakan tangga gedung apartemenku.[]
i?Sebelum aku sempat meraih tubuhnya, dia sudah bergerak lebih dahulu. Pelan-pelan
dia menarik tangannya, berguling, dan mengambil posisi duduk, membelakangiku.
"Kamu terluka?" Kerongkonganku begitu keringnya sehingga suaraku terdengar
melengking. Dia meringis mendengar suaraku, kemudian membalikkan tubuh.
"Es ini benarbenar membahayakan. Aku tergelincir, tapi tidak apa-apa."
Kuulurkan tangan dan dia menerima bantuanku sehingga bisa berdiri lagi. Dia
tampak gemetaran dan kondisinya terlihat tidak begitu baik.
"Ayo, masuklah ke dalam dan akan kubuatkan teh."
"Tidak, aku tidak bisa lamalama. Ada yang menungguku. Aku seharusnya tidak
keluar di malam yang membahayakan seperti ini, tapi aku harus bicara denganmu."
"Ayo masuk dulu, di dalam lebih hangat."
"Tidak. Terima kasih." Nadanya sama dinginnya dengan suhu di luar.
Dia membetulkan syalnya, kemudian menatap mataku tajam-tajam. Di belakangnya,
curahan es menembus cahaya lampu. Batang pohon terlihat berkilauan hitam di
antara uap natrium dari lampu jalan.
"Dr. Brennan, kamu tidak boleh mengganggu mahasiswiku. Aku sudah berusaha
membantumu, tapi tampaknya
kamu malah menyalahgunakan kebaikanku. Kamu tidak bisa mengejar anakanak muda
itu dengan cara seperti ini. Dan, memberikan nomor teleponku kepada polisi
dengan tujuan untuk mengganggu asistenku benarbenar keterlaluan."
Tangan yang dibalut sarung tangan menyeka matanya, meninggalkan goresan hitam di
pipinya. Amarahnya berkobar seperti kompor di dapur. Lenganku kusilangkan di
atas pinggangku dan melalui kemeja fl anel aku merasa kukuku menancap ke kulit.
"Apa maksudmu" Aku tidak mengejar Anna." Aku membalas ucapannya. "Ini bukan
proyek penelitian! Sejumlah orang ditemukan mati! Yang sudah pasti ada sepuluh
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang, hanya Tuhan yang tahu berapa banyak lagi yang akan jadi korban."
Butiran es mengenai dahi dan lenganku. Aku tidak merasakannya sama sekali.
Katakatanya membuatku murka dan kuluapkan semua perasaan putus asa dan frustrasi
yang telah terpendam selama beberapa minggu terakhir ini.
"Jennifer Cannon dan Amalie Provencher adalah mahasiswi McGill. Mereka dibunuh,
Dr. Jeannotte. Tapi, bukan hanya dibunuh. Tidak. Pembunuhan saja belum cukup
untuk orangorang itu. Orang gila itu melemparkan mereka menjadi mangsa binatang,
kemudian menonton di kala kulit mereka dirobek-robek dan tengkorak mereka
digigit sampai menembus otaknya."
Aku terus mengoceh, tidak lagi mengendalikan suaraku. Kulihat beberapa orang
mempercepat langkah kaki mereka, walaupun berjalan di atas trotoar yang licin.
"Satu keluarga dibantai dan tubuhnya dipotongpotong, dan seorang wanita tua
ditembak di kepalanya sekitar
dua ratus kilometer dari sini. Bayi! Mereka membantai dua bayi mungil! Seorang
gadis berusia delapan belas tahun dirobek, dimasukkan ke dalam bagasi dan
dibuang di kota ini. Mereka semua mati, Dr. Jeannotte, dibunuh oleh sekelompok
orang gila yang menganggap diri mereka teladan moral yang paling baik."
Aku merasa pipiku memerah, walaupun dalam cuaca sedingin ini.
"Nah, sekarang aku mau mengatakan sesuatu kepadamu." Kuacungkan jariku yang
gemetaran. "Akan kutemukan para bajingan ganas yang merasa dirinya benar itu,
akan kubuat mereka menghentikan semua perbuatannya, tidak peduli seberapa banyak
anak gereja, atau pembimbing konseling, atau orang yang mengoceh tentang kitab
suci di jalanan yang harus kuganggu! Dan itu termasuk murid-muridmu! Dan mungkin
termasuk dirimu!" Wajah Jeannotte tampak pucat seperti hantu di tengah kegelapan malam, maskara
yang luntur mengubah wajahnya menjadi sebuah topeng. Sebuah gundukan terbentuk
di atas mata kirinya, menyebabkan timbulnya bayang-bayang sehingga menjadikan
mata sebelah kanannya tampak lebih terang.
Kuturunkan jariku dan kembali melingkarkan lenganku di tubuhku. Aku sudah
terlalu banyak bicara. Ledakan emosiku sudah usai sehingga sekarang cuaca dingin
membuatku menggigil kedinginan.
Tidak ada orang di jalanan dan sekarang semuanya hening. Aku bisa mendengar
napasku sendiri. Aku tidak tahu apa yang kuharap terjadi selanjutnya, tetapi bukan pertanyaan
yang kemudian muncul dari bibirnya. "Kenapa kamu menggunakan perumpamaan seperti
itu?" "Apa?" Apa dia mempertanyakan keteranganku tadi"
"Kitab suci, tukang mengoceh, dan anak gereja. Kenapa kamu menggunakan istilah
seperti itu?" "Karena aku yakin bahwa para pembunuh ini didorong oleh orangorang fanatik yang
berkedok agama." Jeannotte tampak diam. Ketika berbicara, suaranya terdengar lebih dingin dari
malam itu dan katakatanya membuatku lebih beku daripada cuaca di luar.
"Kamu benarbenar keterlaluan, Dr. Brennan. Kuperi-ngat kan dirimu untuk tidak
ikut campur." Matanya yang tidak berwarna menusuk mataku. "Kalau kamu terus
memaksa, aku terpaksa akan bertindak."
Sebuah mobil menyusuri lorong di seberang gedung apartemenku dan berhenti. Saat
membelok ke jalanan, lampunya menyorot, menyapu blok dan untuk sejenak menyinari
wajah Jeannotte. Tubuhku menegang, dan kuku jariku semakin menghujam tubuhku.
Astaga. Ternyata bukan ilusi yang diciptakan oleh bayangan. Mata kanan Jeannotte
terlihat sangat pucat. Karena tidak memakai riasan, alis dan bulu matanya tampak
putih diterangi cahaya lampu mobil.
Dia mungkin melihat sesuatu di wajahku karena dia langsung menarik syalnya ke
atas, membalikkan tubuhnya, dan bergegas menyusuri jalanan. Dia tidak pernah
menoleh ke belakang lagi.
Ketika masuk kembali ke dalam, lampu di mesin penjawab telepon tampak menyala.
Ryan. Aku meneleponnya kembali dengan tangan yang masih gemetaran.
"Jeannotte terlibat," ujarku tanpa membuang waktu
lagi. "Dia baru saja datang ke sini dan menyuruhku mundur. Sepertinya teleponmu
kepada Anna benarbenar membuatnya panik. Ryan, ketika kita kembali ke Saint
Helena, kamu masih ingat lelaki yang rambutnya beruban?"
"Ya. Lelaki kurus, sekurus boneka pengusir burung, tinggi. Dia masuk untuk
berbicara dengan Owens." Ryan terdengar kelelahan.
"Jeannotte memiliki pola kulit putih yang sama, mata yang sama. Tadinya tidak
begitu jelas karena dia menyembunyikannya dengan rias wajah." "Berkas rambut
putih yang sama?" "Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, mungkin karena dia memakai cat rambut.
Pasti ada hubungan di antara keduanya. Kesamaan itu terlalu aneh sehingga tidak
mungkin hanya kebetulan belaka."
"Mereka kakak-beradik?"
"Aku tidak menaruh perhatian waktu itu, tetapi kupikir lelaki di Saint Helena
itu terlalu muda untuk menjadi ayahnya dan terlalu tua untuk menjadi anaknya."
"Kalau Jeannotte berasal dari pegunungan di Tennessee, maka ada kemungkinan
kesamaan genetik." "Ih, menyebalkan." Aku sedang tidak dalam suasana untuk bercanda.
"Bisa saja seluruh klan mewarisi gen yang sama."
"Ini serius, Ryan."
"Kamu tahu, garis yang berbeda terdapat pada orang yang berbeda." Dia meniru
katakata Jeff Foxworthy (pelawak AS yang terkenal). "Kalau garismu sama dengan
adikmu, maka mungkin-"
Garis. Sesuatu tentang garis membuatku sadar.
"Apa kamu bilang?"
"Orang, bukankah itu yang kalian-"
"Berhenti bercanda dong\ Aku baru saja teringat akan sesuatu. Kamu masih ingat
apa yang dikatakan ayah Heidi Schneider tentang tamu mereka?"
Hubungan telepon sunyi beberapa saat lamanya.
"Dia mengatakan bahwa orang itu kelihatan seperti seekor sigung. Seekor sigung
yang jelek." "Sialan. Jadi, mungkin si Ayah bukannya sok puitis."
Di latar belakang kudengar telepon berdering beberapa kali. Tidak ada yang
menjawabnya. "Apakah Owens mengirim si Rambut Putih itu ke Texas?" tanya Ryan.
"Tidak, bukan Owens. Kathryn dan lelaki tua itu membicarakan seorang wanita.
Mungkin maksudnya Jeannotte. Dia mungkin mengendalikan pertunjukan dari sini dan
memiliki beberapa wakil di perkampungan yang lainnya. Kurasa dia juga menarik
orangorang di kampus melalui acara seminar dan sebagainya."
"Apa lagi yang bisa kamu ceritakan tentang Jeannotte?"
Kuceritakan semua hal yang kuketahui, termasuk perilakunya terhadap para
asistennya, dan bertanya apa yang dia dapatkan dari percakapannya dengan Anna.
"Tidak banyak. Kurasa dia memendam banyak rahasia. Anak itu sangat tidak
stabil." "Dia mungkin pecandu obat terlarang."
Deringan telepon berbunyi lagi.
"Kamu sendirian di situ?" Selain bunyi deringan telepon, kantor polisi itu
sepertinya terdengar terlalu sunyi.
"Semua orang sudah pulang karena badai salju ini. Apa kamu juga menghadapi
masalah?" "Maksudmu?" "Kamu tidak mendengarkan berita" Badai salju ini
benarbenar parah. Bandara ditutup, dan banyak jalan yang tidak bisa dilewati.
Aliran listrik juga terganggu sepanjang hari dan sepanjang pantai selatan sangat
dingin dan gelap. Pemerintah kota mulai mengkhawatirkan para lansia. Dan juga
penjarah." "Sejauh ini aku baikbaik saja. Apakah anak buah Baker menemukan sesuatu yang
menghubungkan Saint Helena dengan kelompok di Texas?"
"Tidak juga. Orang tua yang punya anjing itu banyak berbicara tentang pertemuan
dengan dewi penolongnya. Sepertinya Owens dan para pengikutnya memiliki
pemikiran yang sama. Semuanya ada di dalam buku harian mereka."
"Buku harian?" "Va. Rupanya beberapa pengikutnya kreatif juga." "Dan?"
Aku mendengarnya menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan.
"Cepat ceritakan dongV
"Menurut beberapa ahli di sini, mereka membicarakan hari kiamat dan bahwa
saatnya sudah dekat. Mereka menunggu kiamat besar. Sheriff Baker tidak mau
mengambil risiko. Dia telah menghubungi FBI."
"Dan FBI juga tidak menemukan petunjuk ke mana tujuan mereka" Maksudku, tujuan
di bumi ini." "Untuk bertemu dengan dewi penolong dan menyeberang ke tempat yang lebih baik.
Itulah berita konyol yang sedang kita hadapi. Tapi, mereka benarbenar
terorganisasi dengan baik. Rupanya perjalanan itu telah lama direncanakan."
"Jeannotte! Kamu harus menemukan Jeannotte! Pasti dia! Dialah dewi penolong yang
mereka sebutsebut itu!"
Aku tahu, suaraku pasti terdengar histeris, tetapi aku tidak bisa menahan diri.
"Ok. Aku sependapat. Sudah waktunya untuk mengejar sang bidadari. Kapan dia
meninggalkan tempatmu?"
"Lima belas menit yang lalu."
"Ke mana perginya?"
"Entahlah. Katanya dia akan bertemu dengan seseorang."
"OK, aku akan menemukannya, Brennan. Kalau duga-anmu benar tentang ini, profesor
kecil itu adalah wanita yang sangat berbahaya. Jangan, kuulangi, jangan kau
lakukan apa-apa sendiri. Aku tahu kamu mengkhawatirkan Harry, tapi seandainya
Harry terjebak dalam kekusutan ini, dibutuhkan seorang ahli untuk
menyelamatkannya. Kamu mengerti?"
"Bolehkah aku menggosok gigi" Atau itu juga dianggap berisiko?" ujarku ketus.
Sikapnya yang melindungiku membuatku kesal.
"Kamu tahu apa maksudku. Coba cari lilin. Aku akan kembali menghubungimu begitu
ada kabar baru." Kututup gagang telepon dan berjalan mendekati pintu bergaya Prancis. Aku ingin
berada di ruangan yang lebih luas, lalu kugeser gordennya. Halaman di luar
seperti sebuah taman mitologi, pepohonan dan semak-semak tampak seperti kaca.
Ram nyamuk menutupi balkon di lantai atas dan menjuntai ke atas batu bata
perapian dan dinding. Kucari lilin, korek api, dan lampu senter, kemudian mencari radio dan headphone
dari tas olahraga dan meletakkan semua barang itu di atas meja dapur. Kembali ke
ruangan duduk, kuhenyakkan tubuhku ke sofa dan memasang berita CTV.
Ternyata Ryan benar. Badai itu menjadi berita utama. Aliran listrik mati di
seluruh provinsi dan Hydro-Quebec tidak dapat memastikan kapan listrik akan
hidup lagi. Suhu terus menurun dan hujan salju akan semakin lebat.
Kukenakan jaket dan bolakbalik tiga kali mengambil potongan kayu. Kalau sampai
listrik mati, aku masih mendapatkan kehangatan. Berikutnya, kuambil selimut
tambahan dan meletakkannya di tempat tidur. Saat kembali ke ruangan duduk,
pembaca berita yang tampak murung itu sedang menjabarkan berbagai peristiwa yang
dibatalkan penyelenggaraannya.
Itu adalah ritual yang sering kudengar dan anehnya membuatku merasa nyaman. Jika
ada salju yang mengancam di Selatan, sekolah ditutup, kegiatan masyarakat
berkurang, dan pemilik rumah yang panic memborong barang di toko. Biasanya badai
salju tidak muncul ataupun seandainya pun salju turun, salju itu langsung hilang
keesokan harinya. Di Montreal, persiapan menghadapi badai dilakukan secara
tertib dan teratur, bukan dengan kepanikan, didominasi dengan aura "kita bisa
menghadapinya". Persiapanku menghabiskan waktu lima belas menit. TV menarik perhatianku selama
sepuluh menit berikutnya. Istirahat sejenak. Ketika mematikan televisi,
kegelisahan kembali melanda. Aku merasa tidak berdaya, seperti kumbang ditusuk
jarum. Ryan memang benar. Tidak ada yang bisa kulakukan dan ketakberdayaanku
membuatku lebih gelisah. Aku kembali melakukan rutinitasku di malam hari, berharap bisa menyingkirkan
pemikiran buruk lebih lama lagi. Saat menyusup ke balik selimut, arus
kegelisahan menerjang dengan hebatnya.
Harry. Mengapa aku tidak menyimak ceritanya" Bagaimana aku bisa begitu egois" Ke
mana perginya adikku itu" Mengapa dia tidak menelepon anaknya" Mengapa dia tidak
meneleponku" Daisy Jeannotte. Siapa yang akan ditemuinya" Rencana gila apa yang sedang
disusunnya" Berapa banyak nyawa tidak bersalah yang akan diajaknya pergi
bersamanya" Heidi Schneider. Siapa yang merasa terancam oleh kehadiran bayi kembar Heidi
sehingga mengakibatkan pembunuhan bayi yang sedemikian sadisnya" Apakah kematian
mereka menjadi pertanda akan terjadinya pertumpahan darah yang lebih banyak
lagi" Jennifer Cannon. Amalie Provencher. Carole Comptois. Apakah pembunuhan mereka
merupakan bagian dari kegilaan ini" Kebiasaan setan apakah yang telah mereka
langgar" Apakah kematian mereka hanyalah akibat dari ritual setan" Apakah adikku
akan mengalami nasib yang sama"
Saat telepon berdering, aku langsung meloncat sehingga lampu senter jatuh ke
lantai. Ryan, kataku penuh harap. Semoga Ryan dan dia sudah menangkap Jeannotte.
Suara keponakanku muncul di seberang saluran telepon.
"Aduh, Bibi Tempe. Kurasa aku benarbenar bodoh. Harry pernah menelepon. Aku
menemukan pesannya di kaset yang lain." "Kaset lain?"
"Mesin penjawabku adalah mesin jenis lama yang berisi kaset perekam. Kaset yang
mulamula kupasang ternyata kurang bagus putaran pitanya, jadi aku memasukkan
kaset baru. Aku sudah lupa pada kaset yang lama itu, sampai seorang teman
perempuanku datang berkunjung. Aku benarbenar khawatir karena kami seharusnya
pergi bersama minggu kemarin, tapi ketika aku menjemputnya, dia tidak ada di
rumah. Ketika dia mampir malam ini, aku benarbenar marah dan dia bersikeras
bahwa dia sudah meninggalkan pesan. Kami akhirnya berdebat, jadi kukeluarkan
kaset lama dan memutarnya. Ternyata, dia memang meninggalkan pesan dan begitu
juga Harry. Persis di akhir kaset."
"Apa yang dikatakan ibumu?"
"Dia sepertinya marah. Kamu tahu bagaimana Harry 'kan. Tapi, dia juga sepertinya
ketakutan. Dia sedang berada di sebuah peternakan atau entah apa, dan ingin
pulang, tapi tidak ada yang mau mengantarkannya ke Montreal. Jadi, kurasa dia
masih berada di Kanada."
"Apa lagi katanya?" Jantungku berdebar demikian keras sehingga keponakanku pasti
mendengarnya juga. "Katanya keadaan menjadi semakin mengerikan dan dia ingin pergi, Kemudian, kaset
itu terputus atau mungkin sambungan teleponnya yang terputus atau entah apa. Aku
tidak yakin. Pesan itu berakhir seperti itu,"
"Kapan dia meneleponmu?"
"Pam menelepon hari Senin. Pesan Harry sesudah itu." "Tidak ada tanda
tanggalnya?" "Mesin ini mesin kuno." "Kapan kamu mengganti kaset itu?" "Mungkin
hari Rabu atau Kamis. Aku tidak yakin. Tapi, aku yakin sebelum akhir pekan."
"Coba pikir lagi, Kit!" Sambungan telepon berdengung.
"Kamis. Waktu aku pulang dari kapal, aku merasa lelah
dan kaset itu tidak mau diputar mundur, jadi aku mengeluarkannya dan
menyimpannya. Itulah saat aku memasukkan kaset yang baru. Sialan, itu berarti
dia meneleponku setidaknya empat hari yang lalu, mungkin sudah enam hari. Va
Tuhan, kuharap dia baikbaik saja. Dia terdengar panik sekali, tidak seperti
kebiasaannya." "Kurasa aku tahu dia bersama siapa. Dia akan baikbaik saja." Aku sendiri tidak
memercayai katakataku itu.
"Kabari aku begitu kamu berhasil bicara dengannya. Katakan kepadanya aku
menyesali semua ini. Aku benarbenar ceroboh.1
Aku berjalan ke jendela dan menempelkan wajahku ke kaca. Es yang membeku membuat
lampu jalanan menjadi matahari kecil dan jendela tetanggaku menjadi segi empat
yang berpendar. Air mataku meleleh di pipi saat memikirkan adikku, entah di mana
di tengah badai salju. Kuseret tubuhku ke tempat tidur, menyalakan lampu, dan duduk diam menunggu
telepon dari Ryan. Sesekali cahaya meredup, mati, kemudian kembali normal. Waktu berlalu. Telepon
tetap bungkam. Aku tertidur. Mimpiku memberikan petunjuk terakhir. []
i?Aku berdiri menatap gereja tua itu. Sekarang musim dingin dan pepohonan tampak
telanjang. Walau pun langit tampak kelam, dahandahan membuat bayang-bayang
layaknya sarang laba-laba merambat di atas bebatuan berwarna abu-abu. Tercium
aroma salju, dan keheningan yang biasanya mendahului badai terasa mencekam di
sekelilingku. Di kejauhan kulihat sebuah danau yang membeku.
Sebuah pintu terbuka dan sesosok tubuh diterpa cahaya lampu berwarna kuning. Ia
Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak ragu-ragu, kemudian berjalan ke arahku, kepala ditundukkan menentang
angin. Sosok itu semakin dekat dan kulihat bahwa dia seorang wanita. Kepalanya
berkerudung dan dia memakai gaun hitam yang panjang.
Saat wanita itu mendekat, serpihan salju pertama muncul dari langit. Dia membawa
sebuah lilin dan baru aku sadar bahwa dia membungkuk untuk melindungi nyala api.
Entah berapa lama lilin itu bias bertahan menyala dalam cuaca seperti ini.
Wanita itu berhenti dan memberikan isyarat dengan anggukan kepalanya. Sekarang,
kerudungnya sudah dipenuhi salju. Aku berusaha mengenali wajahnya, tetapi tampak
tidak jelas, seperti bebatuan yang berada di dasar kolam.
Dia membalikkan tubuh dan aku mengikutinya.
Wanita itu berjalan semakin jauh ke depan. Aku kaget dan mencoba mengejarnya,
tetapi tubuhku tidak mau mendengarkan perintah otakku. Kakiku terasa berat dan
aku tidak bisa mempercepat langkahku. Kulihat dia menghilang di balik pintu itu.
Aku memanggilnya, tetapi tidak keluar suara apa pun dari mulutku.
Kemudian, aku sudah berada di dalam gereja dan semuanya tampak redup. Dinding
terbuat dari batu dan lantai dari tanah. Jendela besar-besar menghilang di
kegelapan di atas kepala. Dari celah jendela, kulihat tetesan salju melayang
seperti asap. Aku tidak ingat mengapa aku datang ke gereja ini. Aku merasa
bersalah karena pasti aku ke situ karena ada sesuatu yang penting. Seseorang
menyuruhku ke situ, tetapi aku tidak ingat siapa yang menyuruh.
Saat berjalan dalam kegelapan sore, aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa
kakiku tidak memakai alas kaki. Aku malu karena tidak ingat di mana kutinggalkan
sepatuku. Aku ingin pergi, tetapi tidak tahu jalannya. Aku merasa bahwa jika aku
menelantarkan tugasku, aku tidak bisa pergi dari tempat ini.
Kudengar suara bergumam dan membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ada sesuatu di
lantai, tetapi tidak jelas, sebuah bayangan yang tidak bisa kukenali. Aku
bergerak mendekat dan bayangan itu berubah menjadi beberapa benda.
Sebuah lingkaran kepompong yang dibungkus, Kuamati kepompong itu. Semuanya
terlalu kecil sehingga tidak mungkin berisi tubuh manusia, tetapi bentuknya
seperti tubuh manusia. Kudekati salah satu di antaranya dan mengendurkan salah satu ujungnya. Terdengar
suara dengungan. Kutarik kain itu dan kawanan lalat menyeruak dan terbang ke jendela. Kaca itu beku oleh
salju dan kuamati kawanan serangga itu mengumpul di sekitarnya, tahu bahwa
mereka tidak akan bisa terbang dalam cuaca dingin.
Mataku kembali ke bungkusan itu. Aku tidak terburu-buru karena aku tahu ini
bukan mayat. Orang mati tidak dibungkus seperti ini.
Tapi, ternyata memang itulah yang kutemukan. Dan aku mengenali wajahnya. Amalie
Provencher menatap diriku, bentuknya seperti lukisan kartun yang dilukis dengan
berwarna abu-abu. Namun, aku masih tidak bisa bergerak cepat. Aku bergerak dari satu bungkusan ke
bungkusan yang lain, membuka kainnya dan menyebabkan lalat terbang ke kegelapan
malam. Semua wajah itu terlihat putih, mata menatap lurus ke depan, tetapi aku
tidak mengenali mereka. Kecuali satu.
Aku bisa mengenali ukurannya sebelum membuka bungkusannya. Ia terlihat lebih
kecil dari yang lainnya. Aku tidak mau melihat, tetapi tidak mungkin berhenti.
Tidak! Aku mencoba menyangkal, tetapi tidak ada gunanya.
Carlie berbaring menelungkup, jari-jemarinya terlipat menjadi kepalan tinju yang
mengarah ke atas. Kemudian, kulihat dua sosok lainnya, kecil, berdampingan dalam lingkaran itu.
Aku menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
Sebuah tangan menyentuh lenganku. Aku mendongak dan melihat wanita yang
membimbingku. Dia berubah, atau paling tidak terlihat lebih jelas.
Ternyata seorang biarawati, kerudungnya berjuntai
dan ditutupi jamur. Saat berjalan, bisa kudengar suara rosarionya dan bau tanah
serta bau apek. Aku bangkit dan melihat kulitnya yang cokelat ditutupi butiran merah yang
bernanah. Aku tahu ini Elisabeth Nicolet.
"Siapa kamu?" Aku memikirkan pertanyaan itu, tetapi dia menjawabnya.
"Semuanya ada di gaun gandum yang paling gelap." Aku tidak memahaminya, "Kenapa
kamu ada di sini?" "Aku datang dengan hati berat untuk menjadi pengantin Kristus."
Kemudian, kulihat sosok lainnya. Sosok wanita itu berdiri di kejauhan, cahaya
salju yang remang-remang mengaburkan bentuk tubuhnya dan membuat rambutnya
berwarna abu-abu. Matanya menatap mataku dan dia berbicara, tetapi katakatanya
tidak dapat kupahami. "Harry!" Aku menjerit, tetapi suaraku terdengar lirih.
Harry tidak mendengarku. Dia menjulurkan kedua lengannya dan mulutnya bergerak,
sebuah lubang hitam merupakan wajahnya.
Kembali aku berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Dia berbicara lagi dan aku mendengar suaranya, walaupun katakatanya terdengar
jauh, tetapi suaranya mengalir seperti air sungai.
"Tolong! Aku sedang sekarat."
"Tidak!" Aku mencoba berlari, tetapi kakiku tidak mau kuajak bergerak.
Harry masuk ke jalan yang tidak kulihat sebelumnya. Di atasnya kulihat sebuah
tulisan. DEWI PENOLONG. Dia menjadi sebuah bayangan yang menyatu dengan
kegelapan. Kupanggil-panggil dia, tetapi dia tidak menoleh lagi. Aku mencoba mengejarnya,
tetapi tubuhku tidak bisa bergerak, tidak ada yang bergerak, kecuali air mata
yang mengalir di pipiku. Temanku berubah. Sayap berbulu yang gelap muncul dari punggungnya dan wajahnya
tampak pucat dan retak-retak. Matanya menggumpal menjadi batu. Ketika kutatap,
irisnya menjadi bening dan warnanya menghilang dari alis dan bulu matanya.
Seberkas warna putih muncul di rambutnya dan memanjang ke belakang, mengiris
kulit kepala dan membuatnya melayang tinggi ke udara. Kulit itu mendarat ke
lantai dan lalat menyerbu dari jendela, mengumpul di atasnya.
"Sekte tidak boleh diacuhkan." Suara itu dating dari sekelilingku, tetapi entah
dari mana. Latar belakang dalam mimpi berganti ke tanah pertanian. Cahaya matahari membelah
lumut Spanyol dan bayangan besar menarinari di antara pepohonan. Cuaca terasa
panas dan aku sedang menggali. Aku berkeringat saat menyendok tanah berwarna
darah kering dan melemparkannya ke tumpukan di belakangku.
Sekop menyentuh sesuatu dan aku menggali bagian pinggirnya, perlahan-lahan
mengungkapkan apa yang terkubur di situ. Bulu putih bercampur tanah berwarna
merah bata. Kuikuti punggung yang melengkung. Sebuah tangan berkuku merah yang
panjang. Kugali sampai ke lengan bagian atas. Jumbai koboi. Semuanya berkilauan
di panas yang terik ini. Aku melihat wajah Harry dan memekik.
engan jantung berdebar kencang dan bermandikan keringat, aku duduk tegak. Aku
membutuhkan beberapa saat untuk sadar kembali.
Montreal. Tempat tidur. Badai es.
Lampu masih menyala dan ruangan itu terasa sunyi. Kulihat jam. Jam tiga lewat
empat puluh dua menit. Tenang. Mimpi hanyalah mimpi. Mimpi sering kali mencerminkan rasa takut dan
kegelisahan, bukan kenyataan.
Lalu, pikiran lain muncul. Telepon Ryan. Apakah aku tertidur saat dia menelepon"
Kulemparkan selimut dan berjalan ke ruangan duduk. Mesin penjawab telepon tampak
gelap. Kembali ke tempat tidur, kubuka bajuku yang basah. Ketika menjatuhkan celanaku
ke lantai, bias kulihat bekas kuku yang melingkar di telapak tanganku. Aku
memakai jins dan sweter tebal.
Sepertinya aku tidak akan bisa tidur lagi, jadi aku ke dapur dan mendidihkan
air. Aku merasa mual akibat mimpi itu. Aku tidak mau mengingatnya lagi, tetapi
bayangan itu telah melepaskan sesuatu ke dalam pikiranku, dan aku harus
menangkap apa artinya. Kubawa cangkir tehku ke sofa.
Mimpiku biasanya bukanlah mimpi yang menyenangkan, tapi juga bukan mimpi yang
menakutkan atau mengerikan. Biasanya terdiri atas dua jenis.
Biasanya di dalam mimpi aku tidak bisa menelepon, melihat jalan, atau naik
pesawat terbang. Aku harus ikut ujian, tetapi tidak pernah mengikuti kuliahnya.
Artinya mudah ditebak: gelisah.
Akhir-akhir ini, pesan mimpiku semakin membingungkan. Alam bawah sadarku membawa
Kaki Tiga Menjangan 43 Pendekar Rajawali Sakti 174 Sepasang Taji Iblis Anak Naga 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama