Ceritasilat Novel Online

Walk Remember 2

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks Bagian 2


Toby Bush, ketika drama itu pertama kali dipentaskan. Seorang pekerja serabutan yang tidak punya
pekerjaan tetap dan sudah pernah mengerjakan beberapa proyek untuk Playhouse sebelumnya. Ia
tidak punya pekerjaan tetap karena ia terus minum bir sepanjang hari selama bekerja, dan
sekitar pukul dua siang ia sudah dalam keadaan mabuk. Kurasa ia tidak dapat melihat dengan baik,
karena ia sering secara tidak sengaja memukul jarinya sendiri dengan palu sedikitnya
sekali dalam sehari. Setiap kali itu terjadi, ia akan melempar palunya dan melompat-lompat, sambil
memegangi jarinya dan menyumpahi semua orang mulai dari ibunya sampai iblis. Setelah lebih
tenang, ia akan mengambil bir lagi untuk meredakan rasa sakitnya sebelum kembali bekerja.
Buku-buku jarinya sebesar buah kenari, selalu dalam keadaan bengkak karena sekian tahun
kena palu, dan tak seorang pun mau menyewa tenaganya sebagai seorang pegawai tetap. Satusatunya alasan Hegbert mempekerjakannya adalah karena Toby mau dibayar murah.
Namun Hegbert tidak mengizinkan kebiasaan minum-minum atau sumpah serapahnya,
sedangkan Toby betul-betul tidak tahu bagaimana caranya berkerja dalam suatu
lingkungan yang menerapkan peraturan ketat. Akibatnya, hasil pekerjaannya cuma asal jadi,
meskipun itu tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa tahun berbagai properti panggung itu mulai
rontok, dan Hegbert yang berusaha memperbaikinya sendiri. Hegbert memang ahli dalam
membalik-balik halaman Alkitab, tapi ia tidak cukup mahir memalu paku. Properti-properti itu
penuh dengan paku bengkok dan berkarat yang menonjol ke luar dari mana-mana, menembus
permukaan kayu di begitu banyak tempat sehingga kami harus waspada dalam melangkah. Kalau kami
menyenggolnya di tempat yang salah, kami bisa terluka atau properti itu akan
ambruk, dan membuat lubang-lubang paku kecil di seluruh permukaan lantai panggung.
Setelah beberapa tahun panggung Playhouse terpaksa dipugar. Meskipun mereka
tidak bisa secara tegas menutup pintu untuk Hegbert, mereka meminta padanya untuk lebih
berhati-hati di masa mendatang. Itu berarti kami harus berlatih di ruang kelas sampai bisa
mengatasi kecanggungan-kecanggungan kami.
Untungnya Hegbert tidak terlibat secara langsung dalam penyutradaraan drama itu,
karena kesibukannya sebagai pendeta. Tugas itu jatuh ke tangan Miss Garber, dan hal
pertama yang diperintahkannya kepada kami adalah menghafal dialog secepat mungkin. Kami
memang tidak punya banyak waktu untuk latihan sebagaimana biasanya karena Thanksgiving jatuh
pada harihari terakhir di bulan November, dan Hegbert tidak ingin drama itu
dipentaskan terlalu dekat
dengan Hari Natal, agar tidak mempengaruhi makna sesungguhnya. Akibatnya kami
hanya punya waktu tiga minggu untuk mempersiapkan pementasannya sebaik mungkin, yang
berarti seminggu lebih cepat daripada biasanya.
Latihan dimulai pada pukul tiga, dan Jamie ternyata sudah hafal dialognya
sendiri sejak hari pertama, yang jelas bukan hal yang mengejutkan. Namun yang membuatku terkejut
adalah ia juga hafal semua dialogku, dan dialog para pemain lainnya. Di saat kami berlatih
satu adegan, ia akan memerankan bagiannya tanpa naskah, sedangkan aku sibuk dengan setumpuk
kertas, sambil berusaha menemukan yang mana kalimatku berikutnya. Setiap kali aku
mengangkat kepala, aku melihat wajahnya yang penuh antusias, seakan sedang menantikan suatu
keajaiban atau entah apa. Satu-satunya dialog yang kukuasai pada hari pertama adalah
dialog si gelandangan bisu, dan tiba-tiba aku merasa iri pada Eddie, setidaknya dalam hal
itu. Hal ini membutuhkan banyak kerja keras, bukan sesuatu yang kuharapkan saat mendaftarkan
diri untuk mengikuti kelas ini. Perasaan mulia mengenai partisipasiku dalam drama itu meluntur pada latihan hari
kedua. Meskipun aku tahu bahwa aku sedang melakukan "sesuatu yang benar", teman-temanku
tidak mau mengerti, dan mereka terus mengejekku sejak mereka tahu.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Eric begitu mendengar berita itu. "Kau akan main
drama bersama Jamie Sullivan" Kau sudah sinting atau memang bodoh?" Aku menggumamkan
jawaban bahwa aku punya alasan yang baik, namun Eric belum puas, dan ia
mengatakan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta pada Jamie.
Tentu saja aku menyangkalnya, yang justru membuat mereka berasumsi bahwa itu
benar, dan mereka tertawa semakin keras dan menceritakannya lagi pada orang berikut yang
mereka temui. Ceritanya berkembang menjadi semakin ngawur - menjelang istirahat makan siang aku
mendengar dari Sally bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk bertunangan. Aku
sebetulnya merasa Sally cemburu. Sudah bertahun-tahun ia naksir aku, dan perasaan itu
mungkin bisa timbal-balik kecuali oleh fakta bahwa ia memiliki bola mata yang seperti kaca.
Hal itu merupakan sesuatu yang sulit kuabaikan. Matanya mengingatkanku pada mata yang
dipasang pada mata boneka burung hantu yang biasa dijual di toko antik, dan sejujurnya
itu membuatku sedikit merinding. Kurasa sejak itulah aku kesal lagi pada Jamie. Aku tahu itu bukan salahnya,
namun akulah yang harus menerima serangan-serangan yang sebenarnya ditujukan pada Hegbert.
Padahal Hegbert masih belum bisa membuatku merasa diterima sejak malam pesta dansa
homecoming itu. Aku mulai tergagap-gagap membawakan dialogku di dalam kelas selama beberapa
hari berikutnya. Aku tidak sungguh-sungguh berusaha menghafalkannya, dan sekalisekali aku membuat lelucon yang membuat semua tertawa, kecuali Jamie dan Miss Garber.
Setelah latihan selesai aku langsung pulang untuk segera melupakannya, dan aku bahkan tidak
peduli untuk membaca kembali naskahnya. Malah aku menceritakan kepada teman-temanku tentang
kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan oleh Jamie dan bagaimana Miss Garber
berhasil memaksaku ikut dalam drama ini.
Namun Jamie rupanya tidak berniat melepaskanku begitu saja. Tidak, ia membalasku
di tempat yang paling menyakitkan, tepat melukai egoku.
Aku sedang pergi bersama Eric pada hari Sabtu malam setelah pertandingan
kejuaraan football reguler di Beaufort, sekitar seminggu setelah latihan drama itu
dimulai. Kami sedang berkumpul di tepian perairan di luar Cecil's Diner, menikmati hushpuppy sambil
melihat orangorang lalu-lalang berkendaraan. Saat itulah aku melihat Jamie
sedang berjalan di sepanjang jalan
itu. Ia masih berada dalam jarak seratus meter, mengenakan sweter tuanya lagi,
menoleh ke sana kemari sementara tangannya membawa Alkitab. Saat itu sudah pukul sembilan, yang
berarti sudah larut baginya untuk keluar, dan yang lebih aneh lagi adalah melihatnya
berada di bagian kota ini. Aku langsung berbalik memunggunginya dan menaikkan kerah jaketku,
namun Margaret - yang biasanya telat mikir - ternyata cukup cerdas untuk tahu siapa yang
sedang dicari Jamie. "Landon, pacarmu datang."
"Dia bukan pacarku," sahutku. "Aku tidak punya pacar."
"Tunanganmu, kalau begitu."
Kurasa ia juga sempat berbicara dengan Sally.
"Aku belum bertunangan," sahutku. "Sudah, ah."
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Jamie telah melihatku, dan
rupanya sudah. Ia sedang berjalan ke arah kami. Aku pura-pura tidak tahu.
"Nah, ia kemari," ujar Margaret, yang lalu cekikikan.
"Aku tahu," sahutku.
Dua puluh detik kemudian ia mengatakannya lagi.
"Ia masih menuju kemari." Jamie memang sigap.
"Aku tahu," desisku. Kalau bukan karena bentuk kakinya, Margaret bisa membuatmu
gila, sama seperti yang dilakukan Jamie.
Aku menoleh ke belakang lagi. Kali ini Jamie tahu aku sudah melihatnya dan ia
tersenyum serta melambai ke arahku. Aku membuang muka, dan tak lama setelah itu ia sudah
berdiri persis di sebelahku. "Halo, Landon," sapanya, tanpa memedulikan wajah kesalku. "Halo, Eric,
Margaret..." Ia menegur semua orang satu per satu. Semua menggumamkan "halo" sambil berusaha
tidak melihat ke arah Alkitab-nya.
Eric sedang menggenggam sekaleng bir, dan ia menyembunyikannya ke belakang
punggungnya agar Jamie tidak melihatnya. Jamie bahkan bisa membuat Eric merasa
bersalah saat ia berada cukup dekat dengannya. Mereka dulu bertetangga, dan Eric pernah
jadi tempat Jamie menumpahkan semua pendapatnya. Di belakangnya Eric menjuluki Jamie "si
penyelamat", yang jelas-jelas ia kaitkan dengan organisasi Bala Keselamatan Salvation Army. "Jabatannya seharusnya Brigjen," seloroh Eric. Tapi begitu Jamie berdiri persis
di hadapannya, ceritanya langsung lain. Dalam benak Eric, Jamie memiliki hubungan khusus dengan
Tuhan, dan ia tidak ingin menampilkan kesan yang kurang baik pada Jamie.
"Apa kabar, Eric" Aku jarang melihatmu belakangan ini." Ia mengatakannya seakan
masih sering berbicara dengan Eric.
Eric mengubah posisi berdirinya dan menunduk, dengan ekspresi yang
memperlihatkan rasa bersalah. "Ya, aku memang jarang ke gereja akhir-akhir ini," sahutnya.
Jamie tersenyum ramah. "Kurasa itu tidak apa-apa, asal jangan jadi kebiasaan."
"Tidak akan." Aku pernah mendengar tentang pengakuan dosa - yang dilakukan oleh umat Katolik
dengan duduk di bilik bersekat dan mengungkapkan semua dosa mereka pada seorang pastor dan seperti itulah Eric saat ia berada di dekat Jamie. Untuk sesaat aku merasa Eric
akan memanggilnya dengan sebutan "ma'am".
"Kau mau bir?" tanya Margaret. Kurasa ia sedang mencoba melucu, namun tidak ada
yang tertawa. Jamie mengangkat tangannya untuk menyentuh rambutnya. "Oh... tidak, tidak usah...
tapi, terima kasih." Ia menatapku lekat-lekat dengan mata yang bersinar ramah, dan aku langsung tahu
bahwa aku dalam kesulitan. Tadinya kukira Jamie akan memintaku berbicara empat mata
atau semacamnya, yang sejujurnya kurasa akan lebih baik, namun ternyata bukan itu
rencananya. "Kau benar-benar tampil bagus dalam latihan minggu ini," katanya padaku, "Aku
tahu kau harus mengingat banyak dialog, tapi aku yakin kau akan segera menghafalnya. Aku
cuma ingin mengucapkan terima kasih karena mau menawarkan diri waktu itu. Kau memang pria
sejati." "Trims," sahutku, perutku mulai mulas. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang,
tapi semua temanku sedang menatapku, tiba-tiba mempertanyakan apakah aku telah
mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang Miss Garber yang memaksaku dan entah apa
lagi. "Teman-temanmu seharusnya bangga," lanjut Jamie.
"Oh, tentu saja," sahut Eric antusias. "Bangga sekali. Landon ini memang orang
baik, sampai rela menawarkan diri."
Gawat. Jamie tersenyum pada Eric, kemudian berpaling kembali padaku, wajahnya riang
seperti biasa. "Aku juga ingin mengatakan jika kau perlu bantuan, kau boleh datang kapan
saja. Kita bisa duduk di teras seperti waktu itu dan berlatih dengan dialog-dialog yang
kaurasa perlu." Aku melihat mulut Eric membentuk kata-kata "seperti waktu itu" ke arah Margaret.
Situasinya semakin gawat. Perutku terasa semakin mual.
"Oke," gumamku, sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa melepaskan diri dari
semua ini. "Aku bisa menghafalnya di rumah."
"Landon, kadang-kadang membantu lho jika ada teman berlatih," usul Eric.
Sudah kubilang Eric suka menggodaku, meskipun ia sahabatku.
"Tidak usah, sungguh," kataku pada Eric. "Aku akan menghafalnya sendiri."
"Mungkin," ujar Eric sambil tersenyum, "ada baiknya kalau kalian berdua latihan
di depan anak-anak panti asuhan saat kalian sudah menguasainya dengan lebih baik. Semacam
geladi resik, kan" Aku yakin mereka akan menikmatinya."
Boleh dibilang kau bisa melihat cara otak Jamie bekerja begitu kata panti asuhan
itu disebut.

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua tahu bahwa itu adalah obsesinya. "Menurutmu begitu?" tanya Jamie.
Eric mengangguk serius. "Aku yakin. Landon sebetulnya yang pertama kali punya
ide itu, tapi aku tahu kalau aku seorang anak yatim piatu, aku akan menyukainya, meskipun
itu cuma pertunjukan drama." "Aku juga," timpal Margaret.
Saat mereka membicarakannya, satu-satunya yang terlintas dalam benakku adalah
adegan dalam Julius Caesar saat Brutus menikam Caesar dari belakang. Kau juga, Eric"
"Jadi itu ide Landon?" tanya Jamie, sambil mengangkat alisnya. Jamie menatapku,
dan aku langsung tahu bahwa ia sedang mempertimbangkan kebenarannya.
Namun Eric tidak berniat melepaskanku begitu saja. Setelah berhasil membuatku
terpojok seperti ini, ia bisa menghabisiku dengan mudah. "Kau mau melakukannya, Landon?"
tanya Jamie. "Memberikan hiburan pada anak-anak di panti asuhan itu, maksudku."
Itu sesuatu yang sulit untuk ditolak, kan"
"Kurasa begitu," kataku tak berdaya sambil memelototi sahabatku. Bila dilatih,
Eric bisa jadi pemain catur yang hebat. "Bagus, kalau begitu semuanya sependapat. Itu kalau kau setuju tentunya, Jamie."
Senyuman Eric begitu manis, sehingga cukup untuk memberi rasa manis pada separo RC Cola
yang beredar di seluruh negeri. "Ehm... oke, kurasa aku bisa membicarakannya dengan Miss Garber dan pimpinan panti
asuhan. Jika mereka setuju, kurasa itu ide yang bagus sekali."
Dan nyatanya, jelas terlihat bahwa Jamie sangat menyukai ide itu.
Sekak Mat. Hari berikutnya, aku menghabiskan empat belas jam untuk menghafal dialogku,
menyumpahi teman-temanku, dan mempertanyakan bagaimana hidupku bisa lepas kendali seperti
ini. Tahun terakhirku di SMU jelas tidak akan seperti yang kubayangkan pada awalnya. Tapi
kalau aku harus tampil di hadapan sekelompok anak yatim piatu, jelas aku tidak ingin
kelihatan seperti orang tolol. BAB 6 ?" KAMI segera menyampaikan rencana untuk anak-anak panti asuhan itu pada Miss
Garber, dan ia menganggapnya sebagai ide yang luar biasa. Omong-omong, itu memang ungkapan
favoritnya - luar biasa - setelah ia menyapamu dengan "Haloooo". Pada hari Senin, saat ia tahu
aku sudah menguasai dialogku, ia berkata, "Luar biasa!" dan mengucapkan kata itu selama
dua jam berikutnya setiap kali aku selesai melakukan suatu adegan. Menjelang akhir
latihan, aku sudah mendengarnya sekitar jutaan kali.
Miss Garber ternyata mengembangkan ide kami dengan lebih baik lagi. Ia
menyampaikan rencana kami kepada seisi kelas, dan menanyakan apakah ada pemain lain yang juga
bersedia tampil, sehingga anak-anak panti asuhan bisa betul-betul menikmati seluruh
pertunjukan itu. Caranya meminta menunjukkan bahwa mereka sebetulnya tidak punya pilihan lain,
dan ia melayangkan pandangannya ke seisi kelas, seakan menanti seseorang untuk
menganggur agar ia bisa menganggapnya sebagai suatu keputusan. Tak seorang pun bergerak, kecuali
Eddie. Entah bagaimana seekor serangga bisa masuk ke dalam lubang hidungnya di saat yang
tepat, sehingga ia harus bersin keras-keras. Serangga itu melesat keluar dari hidungnya,
melintasi mejanya, dan mendarat di lantai dekat kaki Norma Jean. Cewek itu meloncat bangkit dari
kursinya sambil menjerit dengan suara nyaring, dan mereka yang berada di sekitarnya mulai
berteriak, "Iiih... jorok!" Siswa-siswa lain menoleh ke sana kemari dan menjulurkan leher mereka,
mencoba melihat apa yang terjadi, dan selama sepuluh detik berikutnya suasana kelas riuh
rendah. Bagi Miss Garber, itulah jawaban yang dibutuhkannya.
"Luar biasa," ujarnya, sambil mengakhiri diskusi itu.
Sementara itu Jamie benar-benar antusias mengenai pertunjukan untuk anak-anak
panti asuhan itu. Sewaktu istirahat di antara latihan ia menarikku ke samping dan
mengucapkan terima kasih padaku karena mau memikirkan anak-anak panti asuhan. "Kau tentu tidak bisa
membayangkan," ujarnya dalam nada nyaris penuh rahasia, "tapi selama ini aku
bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan untuk anak-anak itu tahun ini. Sudah berbulan-bulan aku
berdoa untuk itu, karena aku ingin Natal ini menjadi yang paling istimewa."
"Kenapa Natal ini begitu penting?" tanyaku padanya, dan Jamie tersenyum sabar,
seakan aku baru saja mengajukan pertanyaan yang tidak begitu penting.
"Karena memang istimewa," sahutnya.
Langkah berikutnya adalah membicarakan ide itu dengan Mr. Jenkins, pimpinan
panti asuhan. Aku tidak pernah bertemu dengan Mr. Jenkins, karena panti asuhan itu
terletak di Morehead City, di seberang jembatan Beaufort, dan aku tidak pernah punya alasan
untuk ke sana. Ketika Jamie mengejutkanku keesokan harinya dengan kabar bahwa kami bisa bertemu
dengan Mr. Jenkins malam itu, aku khawatir pakaianku tidak cukup pantas. Aku
tahu bahwa kami akan ke panti asuhan, tapi aku ingin memberikan kesan yang baik. Meskipun
aku tidak seantusias Jamie mengenai hal itu (tak seorang pun akan merasa seantusias
Jamie), aku tidak ingin dianggap sebagai si Grinch yang merusak suasana Natal untuk anak-anak
yatim piatu. Sebelum berangkat ke panti asuhan, kami harus berjalan kaki ke rumahku dulu
untuk meminjam mobil ibuku. Sementara kami di sana, aku berencana untuk berganti
pakaian yang lebih baik. Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit, dan Jamie
tidak bicara banyak sepanjang perjalanan, setidaknya sampai kami berada di kawasan tempat
tinggalku. Rumah-rumah di sekitar rumahku berukuran besar dan terpelihara dengan baik.
Jamie menanyakan padaku siapa saja yang tinggal di sana dan sudah berapa tahun umur
rumah-rumah itu. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya tanpa berpikir panjang. Tapi saat aku
membuka pintu depan rumahku, tiba-tiba aku menyadari betapa berbedanya rumahku
dibandingkan dengan rumahnya. Ekspresi tercengang membayang di wajahnya saat ia melayangkan
pandangannya ke ruang tamu rumahku. Aku yakin inilah rumah paling mewah yang pernah dimasukinya. Beberapa saat
kemudian aku melihat matanya menjelajahi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding.
Lukisan-lukisan nenek moyangku. Seperti kebanyakan keluarga di daerah Selatan, seluruh garis
silsilahku bisa ditelusuri mengikuti puluhan lukisan wajah yang berderet di dinding-dinding
rumah. Ia memandangi lukisan-lukisan itu seakan sedang mencari kemiripannya, kemudian ia
mengalihkan perhatiannya ke perabotan, yang boleh dibilang masih tampak baru, bahkan setelah
dua puluh tahun. Berbagai perabotan itu merupakan hasil kerajinan tangan yang dibuat atau
diukir dari kayu mahoni dan cherry, dan didesain secara khusus untuk setiap ruangan. Memang
bagus, harus kuakui, tapi tak pernah kuperhatikan secara serius. Bagiku, ini hanya sebuah
rumah. Bagian favoritku adalah jendela di kamarku yang mengarah ke bagian atas teras. Saranaku
untuk kabur. Namun, aku mengajaknya berkeliling untuk melihat-lihat ruang duduk,
perpustakaan, ruang baca, dan ruang keluarga. Mata Jamie semakin melebar setiap memasuki ruangan
baru. Ibuku sedang berada di teras, menikmati segelas mint julep sambil membaca, dan ia
mendengar suara kami. Ibuku masuk ke rumah untuk menyapa kami.
Rasanya sudah kukatakan bahwa semua orang dewasa di kota ini menyayangi Jamie,
dan itu termasuk ibuku. Meskipun Hegbert selalu memberikan khotbah yang entah dengan
cara bagaimana menyinggung nama keluarga kami, ibuku tidak pernah menaruh dendam pada
Jamie, karena ia begitu manis. Mereka mengobrol sementara aku di atas, mengaduk-aduk
isi lemari untuk mencari kemeja bersih dan dasi. Di masa itu anak laki-laki sering memakai
dasi, terutama saat mereka akan bertemu dengan orang yang memiliki kedudukan. Sewaktu aku
kembali ke bawah dengan pakaian lengkap, Jamie sudah menceritakan pada ibuku tentang
rencana kami. "Ide yang bagus sekali," ujar Jamie, sambil menatapku dengan wajah gembira.
"Landon benar-benar berhati mulia."
Ibuku - setelah memastikan bahwa ia tidak salah dengar - memandangku dengan alis
terangkat. Ia menatapku seakan aku makhluk asing.
"Jadi ini idemu?" tanya ibuku. Seperti yang diketahui semua penduduk kota ia
tahu Jamie tidak pernah bohong. Aku berdeham, membayangkan Eric dan apa yang masih ingin kulakukan terhadapnya.
Mungkin perbuatan Eric bisa dibalas dengan melumuri gula sirop dan semut merah
ke tubuhnya. "Bisa dibilang begitu," sahutku.
"Bukan main." Hanya itu yang bisa diucapkan ibuku. Ia memang tidak mengetahui
detailnya, tapi ibuku tahu aku pasti disudutkan sedemikian rupa hingga mau melakukan hal
seperti ini. Kaum ibu selalu mengetahui hal-hal semacam ini, dan aku bisa melihat bahwa ia
sedang mengamatiku sambil mencoba membayangkan situasinya. Untuk menghindari
tatapannya, aku melihat arlojiku, menunjukkan wajah terkejut, kemudian mengingatkan Jamie secara
sambil lalu bahwa sebaiknya kami segera berangkat. Ibuku mengeluarkan kunci mobil dari dalam
tasnya dan menyerahkannya kepadaku, masih sambil mengawasiku saat kami melangkah ke arah
pintu. Aku menghela napas lega, dengan anggapan bahwa aku berhasil lolos. Namun saat aku
berjalan bersama Jamie menuju mobil, aku mendengar suara ibuku lagi.
"Mampirlah kapan-kapan, Jamie!" seru ibuku. "Pintu selalu terbuka bagimu di
rumah ini." Bahkan seorang ibu bisa menikammu dari belakang.
Aku masih menggelengkan kepala saat masuk ke dalam mobil.
"Ibumu wanita yang luar biasa," ujar Jamie.
Aku menyalakan mesin mobil. "Ya," sahutku. "Kurasa begitu."
"Dan rumah bagus sekali."
"He-eh." "Kau seharusnya bersyukur."
"Oh," ujarku, "Tentu. Bisa dibilang aku orang paling beruntung di muka bumi
ini." Entah mengapa Jamie tidak menangkap nada sarkastis dalam suaraku.
Kami tiba di panti asuhan persis menjelang gelap. Kami kepagian beberapa menit,
dan kepala panti asuhan itu masih berbicara di telepon. Ia sedang melakukan pembicaraan
penting, sehingga tidak dapat langsung menemui kami. Jadi kami harus duduk menunggunya dulu. Kami
sedang menunggu di bangku di lorong depan ruang kerjanya, ketika Jamie berpaling ke
arahku. Alkitabnya berada di atas pangkuan. Kurasa ia membutuhkan Alkitab untuk
mendapatkan pegangan, tapi mungkin itu cuma kebiasaan.
"Kau benar-benar hebat hari ini," ujarnya. "Dengan dialogmu, maksudku."
"Trims," sahutku, merasa bangga dan sedih pada waktu yang bersamaan. "Tapi aku
belum dapat menjiwainya," tambahku. Tidak mungkin bagi kami untuk berlatih di teras,
dan aku berharap Jamie tidak akan mengusulkannya.
"Kau akan bisa. Tidak akan sulit setelah kau hafal semua dialognya."
"Kuharap begitu."
Jamie tersenyum, dan beberapa saat kemudian ia mengubah topik pembicaraan
sehingga membuatku bingung. "Kau pernah memikirkan masa depan, Landon?" tanyanya.
Aku tercengang mendengar pertanyaannya karena kedengarannya begitu... biasa.
"Ya, tentu saja. Kurasa begitu," sahutku dalam nada waswas.
"Apa yang ingin kaulakukan dengan hidupmu?"
Aku mengangkat bahu, sedikit cemas memikirkan ke mana arah pembicaraannya kali
ini. "Aku belum tahu. Aku belum pernah memikirkannya sejauh ini. Aku akan ke UNC
musim gugur yang akan datang, setidaknya kuharap begitu. Aku masih harus diterima dulu."
"Kau akan diterima," ujarnya.
"Dari mana kau tahu?"
"Karena aku juga mendoakannya."
Ketika Jamie mengatakannya, aku mengira kami akan segera terlibat dalam diskusi
mengenai kekuatan doa dan iman, namun Jamie justru memberikan kejutan lain padaku.
"Bagaimana setelah kau lulus perguruan tinggi" Apa yang akan kaulakukan setelah
itu?" "Aku tidak tahu," sahutku, sambil mengangkat bahu. "Mungkin aku akan jadi
penebang kayu berlengan satu."

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak menganggap itu lucu.
"Kurasa sebaiknya kau menjadi pendeta," ujarnya dalam nada yang serius.
"Menurutku kau pandai menghadapi orang, dan mereka menghormati perkataanmu."
Meskipun konsepnya betul-betul tidak masuk akal, aku tahu Jamie mengatakannya
dengan tulus dan dimaksudkan sebagai pujian.
"Terima kasih," kataku. "Aku tidak tahu apakah aku mau jadi pendeta, tapi aku
yakin aku akan menemukan sesuatu." Setelah beberapa saat aku baru menyadari bahwa
percakapan kami terhenti dan sekarang giliranku untuk bertanya.
"Bagaimana denganmu" Apa yang ingin kaulakukan nanti?"
Jamie mengalihkan pandangannya, tatapannya menerawang sejenak, membuatku
bertanyatanya apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku ingin menikah," ujarnya perlahan. "Dan di saat aku menikah, aku ingin
ayahku berjalan mendampingiku menuju altar dan aku ingin semua orang yang kukenal ada di sana.
Aku ingin gereja penuh sesak dengan para tamu."
"Itu saja?" Meskipun aku tidak meremehkan ideuntuk menikah, rasanya konyol
mengharapkan hal itu sebagai tujuan utama dalam hidupmu.
"Ya," sahutnya. "Hanya itu yang kuinginkan."
Caranya menjawab membuatku merasa ia menganggap nasibnya akan sama seperti Miss
Garber. Aku berusaha membuat dirinya merasa lebih baik, meskipun aku
menganggapnya konyol. "Kau akan menikah kelak. Kau akan bertemu dengan seseorang dan kalian berdua
akan cocok, dan ia akan memintamu untuk menikahinya. Aku yakin ayahmu akan senang
sekali mendampingimu menuju altar."
Aku tidak menyinggung tentang banyaknya tamu yang datang ke gereja nanti. Kurasa
itu bagian yang sulit kubayangkan.
Jamie mencerna jawabanku, memikirkan caraku menjawabnya, meskipun aku tidak
mengerti alasannya. "Kuharap begitu," kata Jamie akhirnya.
Aku tahu Jamie tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut - jangan tanya padaku
bagaimana aku bisa mengetahuinya - karena itulah aku mengalihkan topik
pembicaraan. "Sudah berapa lama kau mendatangi panti asuhan ini?" tanyaku berbasa-basi.
"Sudah tujuh tahun. Aku baru berumur sepuluh tahun ketika pertama kali datang
kemari. Aku lebih muda dari kebanyakan anak-anak di sini waktu itu."
"Apakah kau menikmatinya, atau itu justru membuatmu sedih?"
"Dua-duanya. Sebagian anak-anak di sini berasal dari situasi yang betul-betul
mengenaskan. Mendengar kisah mereka bisa membuatmu terharu. Tapi saat mereka melihatmu muncul
dengan membawa beberapa buah buku dari perpustakaan atau mainan baru, senyum mereka
akan segera menghapus semua kesedihan. Rasanya tak ada yang bisa menandingi perasaan itu."
Wajah Jamie tampak bersinar saat mengucapkan kata-kata itu. Meskipun ia tidak
mengatakannya untuk membuatku merasa bersalah, tetap saja itulah yang kurasakan.
Itulah salah satu alasan mengapa sulit bagiku untuk menghadapinya, tapi pada saat itu aku
mulai terbiasa dengannya. Aku menyadari bahwa Jamie bisa membuatmu merasakan banyak hal,
kecuali merasa normal. Pada saat itu Mr. Jenkins membuka pintu dan mengundang kami masuk. Ruang
kerjanya nyaris tampak seperti kamar rumah sakit, lantai berubin hitam-putih, dinding dan
langit-langit putih, dan lemari besi di dinding. Di tempat yang biasanya diletakkan tempat
tidur, terdapat meja besi yang seakan belum selesai dirakit. Ruangan ini nyaris tidak menunjukkan
sesuatu yang bersifat pribadi. Tak ada foto atau semacamnya.
Jamie memperkenalkanku, dan aku menjabat tangan Mr. Jenkins. Setelah kami duduk,
Jamie-lah yang banyak berbicara. Mereka sudah lama berteman, kau bisa langsung
melihatnya, dan Mr. Jenkins memeluk Jamie dengan hangat saat masuk tadi. Setelah merapikan
roknya, Jamie menjelaskan rencana kami. Mr. Jenkins sudah pernah menonton drama itu
beberapa tahun yang lalu, dan ia tahu persis apa yang sedang dibicarakan Jamie. Meskipun Mr.
Jenkins sangat menyukai Jamie dan tahu bahwa maksudnya baik, ia tidak menganggap usulnya itu
sebagai ide yang bagus. "Kurasa itu bukan ide yang bagus," ujarnya.
Dari situlah aku tahu apa yang ada dalam benak Mr. Jenkins.
"Kenapa tidak?" tanya Jamie, alisnya terangkat. Ia tampak benar-benar tidak
memahami sikap kurang antusias Mr. Jenkins.
Mr. Jenkins meraih sebatang pensil dan mulai mengetuk-ngetuknya di atas meja,
jelas memikirkan cara untuk menjelaskan alasannya. Kemudian ia meletakkan pensilnya
dan menghela napas. "Meskipun itu usul yang bagus dan aku tahu kau ingin melakukan sesuatu yang
istimewa, drama itu tentang seorang ayah yang pada akhirnya menyadari betapa ia mencintai
putrinya." Ia memberi kesempatan kepada kami untuk meresapi ucapannya sambil mengambil
pensilnya kembali. "Natal sudah terasa berat di sini tanpa mengingatkan anak-anak itu akan
apa yang tidak mereka miliki. Kurasa jika anak-anak menonton pertunjukan seperti itu..."
Ia bahkan tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Jamie membekap mulutnya dengan
tangan. "Ya, Tuhan," ujarnya, "Anda benar. Aku tidak memikirkan itu sama sekali."
Sejujurnya, aku juga tidak berpikir sampai sejauh itu. Tapi tidak perlu
diragukan lagi bahwa apa yang dikatakan Mr. Jenkins masuk akal.
Namun Mr. Jenkins tetap mengucapkan terima kasih kepada kami dan mengajak kami
berbincang-bincang sebentar mengenai apa yang sudah direncanakan. "Kami akan
memasang pohon Natal kecil dengan beberapa hadiah - sesuatu yang dapat mereka gunakan
bersama. Kalian berdua boleh datang berkunjung pada Malam Natal..."
Setelah berpamitan, Jamie dan aku berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku tahu Jamie sedang sedih. Semakin sering aku menghabiskan waktu bersama Jamie, semakin
aku menyadari bahwa ia memiliki bermacam-macam emosi - ia tidak sealu ceria dan
bahagia. Percaya atau tidak, saat itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa dalam banyak
hal Jamie sama seperti manusia lainnya.
"Aku menyesal rencanamu tidak bisa dilaksanakan," ujarku pelan.
"Aku juga." Tatapannya menerawang lagi, dan ia perlu waktu sebelum melanjutkan lagi.
"Aku cuma ingin melakukan sesuatu yang berbeda untuk mereka tahun ini. Sesuatu
yang istimewa, yang takkan mereka lupakan selamanya. Aku merasa begitu yakin
tadinya..." Ia menghela napas, "Tuhan sepertinya punya rencana lain yang sejauh ini belum
kuketahui." Ia terdiam lama, dan aku mengawasinya. Melihat Jamie merasa sedih ternyata
membuat perasaanku lebih buruk daripada merasa kesal karena harus bersamanya. Tidak
seperti Jamie, aku pantas merasa buruk terhadap diriku sendiri - aku tahu orang seperti apa aku
ini. Tapi Jamie... "Mumpung kita sudah di sini, kau mau mampir sebentar untuk melihat anak-anak
itu?" tanyaku, memecah keheningan. Hanya itulah yang terlintas dalam benakku yang
dapat kulakukan untuk membuat Jamie merasa lebih baik. "Aku bisa menunggu di sini
sementara kau menemui mereka, atau menunggu di mobil kalau kau mau."
"Maukah kau menemui mereka bersamaku?" tanyanya tiba-tiba.
Sejujurnya, aku tidak yakin sanggup menghadapi mereka, tapi aku tahu Jamie
benar-benar ingin aku menemaninya. Dan ia sedang sedih sehingga kata-katanya terucap begitu
saja. "Oke, aku ikut."
"Mereka tentu berada di ruang rekreasi sekarang. Biasanya mereka ada di sana
pada waktu seperti ini," ujarnya.
Kami berjalan menyusuri lorong sampai ke ruangan paling ujung, di sana terdapat
dua pintu yang membuka ke dalam ruangan yang cukup besar. Di pojok terdapat pesawat
televisi kecil dengan sekitar 30 kursi lipat yang ditempatkan di sekelilingnya. Anak-anak
sedang duduk di kursi itu, mengerumuni pesawat televisi, dan hanya mereka yang duduk di barisan
terdepan yang dapat melihat televisi dengan jelas.
Aku melayangkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Di pojok ruangan
terdapat sebuah meja ping-pong tua. Permukaannya sudah retak-retak dan berdebu, tidak ada
net. Ada beberapa cangkir Styrofoam kosong di atasnya, meja itu tampaknya sudah tidak
pernah digunakan selama beberapa bulan, mungkin juga sudah bertahun-tahun. Di sepanjang
dinding dekat meja ping-pong itu ada sebuah rak, dengan beberapa mainan di sana sini balok-balok kayu, puzzle, dan sejumlah mainan lainnya. Tidak terlalu banyak, dari yang
sedikit itu terlihat seakan sudah lama sekali berada di ruangan ini. Di sepanjang dinding yang lain
terdapat beberapa meja kecil dengan tumpukan kertas koran yang dicorat-coret dengan
krayon. Kami berdiri di ambang pintu selama beberapa saat. Mereka belum menyadari
kehadiran kami, dan aku bertanya untuk apa koran-koran itu.
"Mereka tidak punya buku mewarnai," bisik Jamie, "jadi mereka memakai koran
bekas." Jamie tidak memandangku saat berbicara - perhatiannya tertuju pada anak-anak itu.
Ia sudah mulai tersenyum lagi. "Apakah ini semua mainan yang mereka miliki?" tanyaku.
Jamie mengangguk. "Ya, kecuali boneka binatang. Mereka boleh menyimpan bonekaboneka itu di kamar mereka. Di sini tempat penyimpanan sisa mainan yang mereka miliki."
Kurasa Jamie sudah terbiasa akan hal itu. Namun bagiku, kelengangan ruangan itu
membuat suasananya terasa menyedihkan. Tidak terbayang olehku dibesarkan di tempat
seperti ini. Jamie dan aku akhirnya melangkah masuk ke ruangan itu dan seorang di antara
anak-anak itu menoleh mendengar suara langkah kaki kami. Usia anak itu sekitar delapan tahun,
dengan rambut merah dan bintik-bintik di wajahnya, dan gigi depannya sudah tanggal.
"Jamie!" serunya gembira begitu melihat Jamie, dan tiba-tiba semua kepala
berpaling. Anakanak itu berusia antara lima sampai dua belas tahun, lebih banyak
anak laki-laki daripada perempuan. Selanjutnya aku baru tahu bahwa anak-anak itu ditempatkan di rumah
orangtua angkat setelah berusia dua belas tahun.
"Hai, Roger," sahut Jamie, "apa kabar?"
Setelah itu, Roger bersama beberapa anak lain mulai mengerumuni kami. Beberapa
anak yang tidak memedulikan kehadiran kami, bergerak lebih dekat ke pesawat televisi
karena ada beberapa tempat kosong di barisan terdepan sekarang. Jamie memperkenalkanku pada
seorang anak yang lebih besar, yang menanyakan apakah aku pacar Jamie. Dari nadanya, aku
merasa anak itu memiliki pandangan yang sama terhadap Jamie seperti kebanyakan anakanak di sekolah kami. "Ia cuma teman biasa," sahut Jamie. "Tapi ia baik sekali."
Selama sekitar sejam kami mengunjungi anak-anak itu. Aku mendapat banyak
pertanyaan seperti di mana aku tinggal, apakah rumahku besar, dan mobil merek apa yang
kumiliki. Ketika kami akhirnya harus pergi, Jamie berjanji akan segera mengunjungi mereka lagi.
Aku menyadari bahwa Jamie tidak menjanjikan akan mengajakku lagi.
Sementara kami berjalan menuju mobil, aku berkata, "Mereka anak-anak yang baik."
Aku mengangkat bahu dengan kikuk. "Aku senang kau mau membantu mereka."
Jamie berpaling ke arahku dan tersenyum. Ia tahu bahwa tidak banyak yang bisa
ditambahkan setelah itu, namun aku bisa melihat bahwa Jamie masih penasaran
mengenai apa yang bisa ia lakukan bagi mereka di Hari Natal.
BAB 7 ?" DI awal bulan Desember, setelah sekitar dua minggu latihan, langit musim dingin
sudah gelap sebelum Miss Garber memperbolehkan kami pulang. Jamie memintaku menemaninya
pulang berjalan kaki. Aku tidak tahu mengapa ia ingin aku menemaninya. Beaufort
bukanlah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi.
Satu-satunya pembunuhan yang pernah kudengar terjadi sekitar enam tahun yang
lalu ketika seseorang tewas ditusuk di luar Maurice's Tavern - omong-omong, merupakan tempat
berkumpul orang-orang seperti Lew. Selama kurang-lebih satu jam suasana kota
cukup gempar, dan telepon-telepon berdering di seluruh penjuru kota sementara kaum wanita yang
panik

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan kemungkinan masih adanya pembunuh gila berkeliaran di jalan,
mengintai korbankorban yang lengah. Pintu-pintu dikunci, senjata diisi, kaum
pria duduk di dekat jendela depan,
mewaspadai kalau-kalau ada seseorang yang tidak dikenal mengendap-endap di
jalan. Namun seluruh kehebohan itu mereda sebelum malam itu berakhir saat seorang pria
menyerahkan diri pada polisi. Ternyata pembunuhan itu terjadi akibat percekcokan di bar yang
lepas kendali. Rupanya si korban mencoba berbuat curang saat berjudi. Pria itu didakwa
melakukan pembunuhan tingkat dua dan dihukum enam tahun penjara.
Para polisi di kota kami menjalani tugas-tugas yang paling membosankan di dunia
ini, namun mereka masih suka berlagak sok jago sambil membawa-bawa pentungan atau dudukduduk di kedai kopi sambil membahas soal "kejahatan besar" itu, seakan mereka telah
berhasil mengungkap suatu misteri seheboh kasus penculikan bayi keluarga Lindbergh.
Namun rumah Jamie searah dengan rumahku, dan aku tidak dapat menolak tanpa
melukai perasaannya. Tapi jangan salah mengerti, ini bukan berarti aku suka padanya atau
semacamnya. Tapi setelah kau melewatkan beberapa jam dalam sehari dengan seseorang, dan kau
masih akan menghabiskan waktu dengan orang itu selama sedikitnya seminggu lagi, kau tidak
ingin melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat hari-hari mendatang menjadi tidak
menyenangkan. Drama itu akan dipentaskan pada hari Jumat dan Sabtu, dan banyak orang yang
sudah mulai membicarakannya. Miss Garber begitu terkesan dengan penampilanku dan Jamie
sehingga ia terus menceritakan kepada semua orang bahwa pertunjukan kali ini akan jadi
pertunjukan terbaik yang pernah dipentaskan oleh sekolah kami. Miss Garber ternyata memiliki
kemampuan yang mencengangkan dalam berpromosi. Kota kami memiliki seubah stasiun pemancar
radio, dan mereka mewawancarai Miss Garber secara langsung, tidak hanya sekali, tapi dua
kali. "Acaranya akan luar biasa," komentarnya, "betul-betul luar biasa."
Miss Garber juga menghubungi surat kabar, dan mereka telah sepakat untuk menulis
artikel tentang drama itu. Surat kabar mau melakukannya karena kaitan antara Jamie dan
Hegbert, meskipun semua orang di kota kami sudah mengetahuinya. Namun Miss Garber tetap
tidak kenal lelah, dan ia baru saja mengatakan kepada kami bahwa pihak Playhouse akan
menyediakan kursi-kursi tambahan untuk menampung jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas.
Seisi kelas mengeluarkan suara oh dan ah, seakan itu sesuatu yang hebat atau semacamnya,
tapi kemudian kurasa memang itulah yang dirasakan sebagian di antara mereka. Ingat, kami
memiliki orangorang seperti Eddie. Ia mungkin menganggap inilah satu-satunya
saat dalam hidupnya yang akan
mendapat perhatian banyak orang. Yang menyedihkan adalah ia mungkin benar.
Kau mungkin mengira aku juga ikut antusias dengan kegiatan ini, tapi nyatanya
tidak. Teman-temanku masih mengejekku di sekolah, dan sudah lama aku tidak menikmati
sore yang bebas. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah fakta bahwa aku sedang
melakukan "sesuatu yang benar". Aku tahu bahwa itu tidak banyak berarti, namun sejujurnya,
hanya itulah alasanku. Kadang-kadang aku merasa gembira dengan perbuatanku, meskipun aku
tidak pernah mengakuinya kepada siapa pun. Aku nyaris bisa membayangkan para malaikat di
surga, berkerumun dan memandangku dengan air mata mengambang di sudut mata mereka,
membicarakan betapa baiknya aku karena mau berkorban.
Jadi aku memikirkan semua itu sambil menemaninya pulang pada malam pertama,
ketika Jamie mengajukan pertanyaan padaku.
"Benarkah kau dan teman-temanmu kadang-kadang pergi ke tempat pemakaman di malam
hari?" Sebagian dari diriku tercengang saat mengetahui Jamie tertarik pada hal itu.
Meskipun sebetulnya bukan rahasia, rasanya itu bukan sesuatu yang akan menggugah rasa
ingin tahunya. "Yeah," sahutku sambil mengangkat bahu. "Kadang-kadang."
"Apa yang kaulakukan di sana, selain makan kacang?"
Jadi ia juga tahu mengenai hal itu.
"Aku tidak tahu," ujarku. "Mengobrol... bercanda. Kami cuma senang duduk-duduk di
sana." "Kau tidak pernah takut?"
"Tidak," sahutku. "Kenapa" Apakah kau akan takut?"
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Mungkin."
"Kenapa?" "Karena aku khawatir kalau yang kulakukan di sana tidak benar."
"Kami tidak melakukan perbuatan buruk di sana. Maksudku, kami tidak merobohkan
batubatu nisan atau meninggalkan sampah di mana-mana," ujarku. Aku tidak mau
mengungkapkan padanya mengenai percakapan kami tentang Henry Preston karena aku tahu itu bukan
sesuatu yang ingin didengar Jamie. Minggu lalu Eric sempat bertanya seberapa cepat orang
seperti Preston bisa naik ke tempat tidur dan... ehm... kau tahu, kan"
"Pernahkah kalian cuma duduk di sana dan mendengarkan suara-suara di sekeliling
kalian?" tanyanya. "Seperti suara derik jangkrik, atau gemeresik dedaunan di saat angin berembus" Atau
pernahkah kalian berbaring telentang sambil memandangi bintang-bintang?"
Meskipun termasuk gadis remaja dan sudah berusia tujuh belas tahun, Jamie tetap
sama sekali tidak tahu apa-apa tentang para remaja. Bagi Jamie mencoba memahami
remaja pria ibarat mencoba menguraikan teori relativitas.
"Tidak juga," sahutku.
Ia mengangguk pelan. "Kurasa itulah yang akan kulakukan jika ada di sana.
Maksudku, seandainya aku pergi ke sana. Aku akan mengamati sekelilingku dan benar-benar
memperhatikannya dengan saksama, atau duduk diam dan memasang telingaku."
Seluruh percakapan ini terkesan aneh, tapi aku tidak berniat memperpanjangnya,
dan kami terus berjalan dalam keheningan selama beberapa waktu. Karena Jamie sudah
menanyakan sesuatu tentang diriku, aku merasa harus menanyakan sesuatu tentang dirinya.
Maksudku, sejauh ini ia sama sekali tidak mengungkit soal rencana Tuhan atau semacamnya, sehingga
paling tidak itulah yang dapat kulakukan.
"Oke, apa yang biasa kaulakukan?" tanyaku. "Maksudku, selain membantu di panti
asuhan, menolong makhluk-makhluk malang, dan membaca Alkitab?" Harus kauakui
kedengarannya menggelikan, bahkan bagiku sendiri, namun memang itulah yang biasa dilakukan
Jamie. Ia tersenyum padaku. Kurasa ia tercengang mendengar pertanyaanku, terutama
perhatianku terhadap kebiasaannya. "Aku melakukan banyak hal. Aku belajar untuk sekolah, menghabiskan waktu bersama
ayahku. Kami bermain gin rummy kadang-kadang. Hal-hal semacam itu."
"Apakah kau tidak pernah pergi bersama teman-temanmu, sekadar untuk bersenangsenang." "Tidak," sahutnya. Dari caranya menjawab aku bisa merasakan bahwa tidak banyak
teman yang menyukai kehadirannya.
"Aku berani bertaruh kau tidak sabar untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tahun
depan," ujarku, mengalihkan percakapan.
Perlu beberapa saat baginya sebelum menjawab.
"Kurasa aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi," sahutnya lugas.
Jawabannya sempat membuat aku bingung. Jamie termasuk siswa yang selalu meraih nilai
tertinggi di kelas kami. Ia bahkan berpeluang menjadi siswa teladan, tergantung bagaimana hasil
semester terakhir. Omong-omong, kami sudah mengadakan taruhan untuk menebak berapa kali
ia akan menyebut rencana Tuhan dalam pidatonya kelak. Aku bertaruh empat belas kali,
karena ia hanya mendapat waktu lima menit.
"Bagaimana dengan Mount Sermon" Kupikir kau berencana untuk melanjutkan ke sana.
Kau pasti menyukai tempat seperti itu," usulku.
Ia menatapku dengan mata berbinar. "Maksudmu aku cocok berada di sana, kan?"
Kata-kata yang dilontarkannya kadang-kadang bisa membuatmu terenyak.
"Maksudku bukan begitu," sahutku cepat. "Aku pernah mendengar betapa inginnya
kau kuliah di sana tahun depan."
Jamie mengangkat bahu tanpa sungguh-sungguh menjawabku, dan sejujurnya, aku jadi
merasa serba-salah. Saat itu kami telah sampai di depan rumahnya, dan berhenti
di trotoar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bayangan Hegbert di ruang duduk melalui
gorden. Lampunya menyala, dan Hegbert sedang duduk di sofa dekat jendela. Kepalanya menunduk,
seakan sedang membaca sesuatu. Mungkin membaca Alkitab.
"Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon," kata Jamie, dan ia
menengadahkan wajahnya ke arahku sesaat, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya di jalan masuk
rumahnya. Saat memperhatikannya dari belakang, terlintas dalam benakku bahwa percakapan
kami barusan adalah yang paling aneh di antara sekian banyak percakapan kami. Jamie
tetap tampak normal, meskipun beberapa jawabannya terdengar janggal.
Pada malam berikutnya, saat aku mengantarnya pulang, ia bertanya tentang ayahku.
"Ia baik-baik saja, kurasa," sahutku. "Ia jarang ada di rumah."
"Kau merindukannya" Dibesarkan tanpa kehadirannya?"
"Kadang-kadang."
"Aku juga sering merindukan ibuku," ujarnya, "meskipun aku tidak pernah
mengenalnya." Itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa Jamie dan aku mungkin memiliki
kesamaan. Aku membiarkan pikiran itu terserap sejenak.
"Tentunya itu berat bagimu," ujarku tulus. "Meskipun ayahku seperti orang asing
bagiku, setidaknya ia masih ada."
Jamie berpaling ke arahku sementara kami terus melangkah, kemudian ia menatap ke
depan lagi. Ia menarik-narik rambutnya perlahan. Aku mulai memperhatikan bahwa Jamie
menarik rambutnya setiap kali merasa gelisah atau tidak tahu harus berkata apa.
"Memang, kadang-kadang. Tapi jangan keliru - aku mencintai ayahku dengan sepenuh
hati - namun ada saatnya aku bertanya-tanya akan seperti apa suasananya kalau ada
seorang ibu. Kurasa kami bisa membicarakan topik yang tidak bisa kubicarakan dengan ayahku."
Kupikir yang dimaksud Jamie adalah membicarakan cowok. Baru kemudian aku tahu
bahwa aku keliru. "Bagaimana rasanya hidup bersama ayahmu" Apakah ia sama seperti orang yang
ditampilkannya di gereja?"
"Tidak. Sebenarnya ayahku memiliki rasa humor yang tinggi."
"Hegbert?" semburku. Membayangkannya saja aku tidak bisa.
Kurasa Jamie terkejut mendengar aku menyebut nama ayahnya dengan nama kecilnya,
namun ia tidak mempersoalkannya dan tidak menanggapi komentarku. Malah ia
berkata, "Jangan terkejut begitu. Kau akan menyukainya, setelah kau lebih mengenalnya."
"Aku tidak yakin aku akan lebih mengenalnya."
"Kau tidak pernah tahu, Landon," ujarnya sambil tersenyum, "apa rencana Tuhan."
Aku benci saat Jamie mengatakan hal seperti itu. Ia berbicara dengan Tuhan
setiap hari, dan kau tidak akan pernah tahu apa yang dikatakan "Yang Di Atas" kepadanya. Ia
bahkan mungkin sudah memiliki tiket untuk langsung terbang ke surga, kalau kau mengerti
maksudku, karena ia begitu baik. "Bagaimana aku bisa mengenalnya dengan lebih baik?" tanyaku.
Jamie tidak menyahut, namun tersenyum pada dirinya sendiri, seakan ia mengetahui
rahasia yang tidak mau diungkapkannya padaku. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku
benci saat ia sedang begitu. Pada malam berikutnya kami mengobrol tentang Alkitab-nya.
"Kenapa kau selalu membawanya?" tanyaku.
Aku mengira ia membawa Alkitab ke mana-mana cuma karena ia putri seorang
pendeta. Itu bukan pikiran yang berlebihan, mengingat bagaimana Hegbert menyikapi Ayat-ayat
Suci dan yang lainnya. Namun Alkitab yang dibawa Jamie sudah tua dan sampulnya tampak
sudah usang. Aku menganggap Jamie termasuk orang yang akan membeli Alkitab baru setiap tahun
atau secara berkala sekadar untuk membantu pihak penerbit Alkitab atau memperbarui
ketaatannya kepada Tuhan atau semacamnya.
Ia melangkah beberapa saat sebelum menjawab.
"Ini tadinya milik ibuku," ujarnya.
"Oh..." Nada suaraku seperti aku baru saja menginjak kura-kura kesayangan
seseorang dan meremukkan tempurungnya. Ia menatapku. "Tak apa-apa, Landon. Kau kan tidak tahu."
"Maafkan aku karena bertanya..."
"Jangan minta maaf. Kau kan tidak punya maksud apa-apa." Jamie terdiam sejenak.
"Ibu dan ayahku mendapat Alkitab ini pada hari pernikahan mereka, namun ibuku-lah yang
kemudian menggunakannya. Ia selalu membacanya, terutama di saat ia sedang melewati masa

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa sulit dalam hidupnya." Aku teringat pada keguguran yang berkali-kali dialaminya. Jamie melanjutkan
ceritanya. "Ia suka membacanya di malam hari sebelum tidur, dan ia membawanya ke rumah
sakit sewaktu aku dilahirkan. Ketika ayahku mengetahui ibuku meninggal, ia membawaku
dan Alkitab ini pulang dari rumah sakit itu."
"Aku minta maaf," ujarku lagi. Di saat seseorang menceritakan sesuatu yang sedih
padamu, hanya itulah yang menurutmu bisa kaukatakan, meskipun kau sudah mengatakannya
sebelumnya. "Alkitab ini membuatku... merasa dekat dengannya. Kau bisa mengerti?" Ia tidak
mengatakannya dengan sedih, tapi lebih hanya untuk memberikan jawaban atas
pertanyaanku. Entah mengapa itu membuatku merasa lebih tidak enak lagi.
Setelah ia mengungkapkan cerita itu, aku membayangkan Jamie dibesarkan oleh
Hegbert lagi, dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sementara
memikirkan jawabannya, aku mendengar suara klakson mobil di belakang kami, dan kami samasama berhenti melangkah lalu menengok ke belakang saat kami mendengar mobil itu
menepi. Eric dan Margaret berada di dalam mobil itu, Eric di belakang kemudi, Margaret
di sisi yang terdekat dengan kami. "Wow, coba lihat siapa yang kita temukan di sini," ujar Eric sambil
mencondongkan tubuhnya ke arah kemudi sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku belum
menceritakan padanya bahwa aku mengantar Jamie pulang. Rasa ingin tahu dalam pikiran remaja
membuat perkembangan baru ini mengalahkan perasaanku setelah mendengar cerita Jamie.
"Halo, Eric. Halo, Margaret," sapa Jamie riang.
"Kau mengantarnya pulang, Landon?" Aku bisa melihat setan kecil di balik senyum
Eric. "Hai, Eric," sapaku, sambil berharap ia tidak pernah melihatku.
"Malam yang indah untuk jalan-jalan, kan?" ujar Eric. Kurasa karena Margaret
berada di antara dirinya dan Jamie, Eric merasa lebih berani daripada biasanya di hadapan
Jamie. Jelas ia tidak akan membiarkan peluang ini lewat tanpa membuatku merasa terpojok.
Jamie memandang sekelilingnya dan tersenyum. "Ya."
Eric juga melihat ke sekelilingnya, dengan tatapan sayu di matanya sebelum ia
menarik napasnya dalam-dalam. Aku tahu Eric cuma berpura-pura. "Wah, benar-benar
menyenangkan di luar, ya." Ia menghela napas kemudian menoleh ke arah kami sambil mengangkat
bahu. "Sebenarnya aku ingin menawarkan tumpangan pada kalian, tapi itu tentu tidak
semenyenangkan berjalan-jalan di bawah bintang, dan aku tidak ingin kalian berdua kehilangan
itu." Eric mengatakannya seakan ia melakukan suatu kebaikan pada kami.
"Oh, lagi pula kami sudah hampir sampai di rumahku," ujar Jamie. "Aku baru akan
menawarkan segelas sari apel pada Landon. Kalian mau menunggu kami di sana"
Masih ada banyak." Sari apel" Di rumahnya" Jamie tidak menyebut apa-apa tadi...
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku, sambil bertanya dalam hati apakah keadaan
ini bisa lebih buruk lagi. "Oh, tak usah... tak apa-apa. Kami akan ke Cecil's Diner."
"Di hari sekolah?" tanya Jamie polos.
"Oh, kami tidak akan sampai larut malam," janji Eric, "tapi kami sebaiknya
segera pergi. Nikmati sari apel kalian."
Eric menjalankan mobilnya kembali, perlahan-lahan. Jamie mungkin akan menganggap
Eric pengemudi yang hati-hati. Nyatanya tidak begitu, meskipun Eric sangat lihai
melepaskan diri dari masalah begitu ia menabrak sesuatu. Aku ingat ketika ia mengatakan kepada
ibunya bahwa seekor sapi tiba-tiba muncul di depan mobilnya dan karena itulah bumper serta
bagian depan mobilnya rusak. "Kejadiannya begitu cepat, Mom, sapi itu muncul entah dari mana.
Tiba-tiba sapi itu sudah berada di depanku, dan aku tidak sempat mengerem pada waktunya."
Semua orang tahu bahwa seekor sapi tidak tiba-tiba muncul entah dari mana, namun ibunya
mempercayai ucapannya. Omong-omong, ibunya juga pernah menjadi ketua pemandu sorak.
Begitu mereka menghilang dari pandangan, Jamie berpaling padaku dan tersenyum.
"Kau punya teman-teman yang menyenangkan, Landon."
"Tentu saja." Aku menyatakan kalimat itu dengan hati-hati.
Setelah mengantar Jamie - tidak, aku tidak mampir untuk minum sari apel - aku
langsung pulang, sambil menggerutu sepanjang jalan. Sementara itu aku sudah melupakan
cerita Jamie, dan yang terngiang di telingaku adalah suara tawa teman-temanku dari arah
Cecil's Diner. Lihat kan apa yang terjadi saat kau jadi orang baik"
Keesokan paginya semua siswa di sekolah tahu bahwa aku mengantar Jamie pulang.
Hal ini menimbulkan spekulasi baru mengenai kami berdua. Kali ini malah lebih gawat
daripada sebelumnya. Begitu gawatnya sehingga aku terpaksa melewatkan istirahat makan
siangku di perpustakaan untuk menghindari semua itu.
Malam itu latihan dilakukan di Playhouse. Latihan terakhir sebelum pementasan
pertama, dan masih banyak yang harus kami kerjakan. Sepulang sekolah, siswa laki-laki di
kelas drama harus membawa semua properti panggung dari ruang kelas ke truk sewaan untuk
diangkut ke Playhouse. Masalahnya adalah siswa laki-lakinya hanya aku dan Eddie, dan Eddie
bukanlah orang yang indra-indranya terkoordinir dengan baik. Kami harus melewati sebuah
pintu, menggotong barang berat, dan postur Hooville-nya menjadi kendala. Pada setiap
saat yang kritis ketika aku betul-betul memerlukan bantuannya untuk menahan beban, ia akan
tersandung debu atau seekor serangga di lantai, sehingga berat latar properti panggung itu akan
ditimpakan pada jari-jariku, yang kemudian akan terjepit di kusen pintu dengan cara yang amat
menyakitkan. "S-s-sori," kata Eddie. "Sakit... ya?"
Aku menelan sederetan umpatan yang nyaris terlontar dari mulutku dan menjawab
dengan sengit, "Pokoknya jangan lakukan itu lagi."
Namun Eddie tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tersandung-sandung lagi,
sama seperti halnya ia tidak mampu mencegah turunnya hujan. Pada saat kami selesai membongkar
pasang semuanya, jemariku tampak seperti jemari Toby, si tukang serabutan. Bagian
terburuknya adalah, aku bahkan tidak sempat makan sebelum latihan dimulai. Memindahmindahkan properti panggung itu telah menghabiskan waktu tiga jam, dan kami baru selesai
memasangnya kembali beberapa menit sebelum yang lain tiba untuk mulai latihan. Dengan semua kejadian
yang berlangsung hari itu, boleh dikatakan suasana hatiku betul-betul tidak baik.
Aku mengucapkan dialog-dialogku tanpa konsentrasi, dan Miss Garber tidak sekali
pun mengucapkan kata luar biasa sepanjang malam. Matanya menunjukkan keprihatinan,
namun Jamie hanya tersenyum dan mengatakan padanya agar tidak khawatir, dan semuanya
akan baikbaik saja. Aku tahu Jamie cuma ingin mempermudah keadaan tapi aku
menolaknya ketika ia memintaku mengantarnya pulang.
Playhouse terletak di tengah-tengah kota, dan aku harus berjalan ke arah yang
berbeda dengan arah rumahku untuk mengantarnya pulang. Selain itu, aku tidak ingin
terlihat mengantarnya pulang lagi. Namun Miss Garber kebetulan mendengar pembicaraan kami
dan berkata dengan nada tegas, bahwa aku akan menemaninya dengan senang hati.
"Kalian berdua bisa mengobrol tentang pementasan itu," ujarnya. "Mungkin kalian bisa berlatih
bagian-bagian yang masih kaku." Tentu saja, yang dimaksud kaku di sini adalah aku.
Jadi sekali lagi aku mengantar Jamie pulang, tapi ia pasti tahu bahwa aku sedang
tidak ingin berbicara karena aku melangkah sedikit lebih jauh di depannya. Kedua tanganku di
dalam saku, bahkan aku tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah ia mengikutiku. Ini
berlangsung selama beberapa menit pertama, dan aku tidak mengucapkan sepatah kata pun
padanya. "Suasana hatimu sedang tidak baik, ya?" tanya Jamie akhirnya. "Kau bahkan tidak
berusaha malam ini." "Tidak ada yang luput dari perhatianmu, kan?" sahutku ketus tanpa menoleh ke
arahnya. "Mungkin aku bisa membantu," usulnya. Nadanya terdengar tulus, yang membuatku
jadi semakin kesal. "Aku tidak yakin," bentakku.
"Mungkin kalau kau mau menceritakan padaku apa yang mengganjal - "
Aku tidak membiarkan Jamie menyelesaikan ucapannya.
"Dengar," kataku, seraya berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengannya.
"Aku menghabiskan waktu seharian untuk menggotong-gotong properti sialan itu. Aku
belum makan sejak siang, dan sekarang aku harus berjalan ekstra satu mil hanya untuk
memastikan kau sampai di rumah, padahal kita sama-sama tahu bahwa kau sebetulnya tidak membutuhkanku
untuk mengantar pulang." Baru pertama kali itulah aku menaikkan volume suaraku saat berbicara dengannya.
Terus terang, rasanya lumayan menyenangkan. Aku sudah memendamnya sekian lama. Jamie
tampak sangat terkejut untuk menanggapi kemarahanku, dan aku terus melanjutkan.
"Satu-satunya alasanku melakukan ini adalah karena ayahmu, yang bahkan tidak
menyukaiku. Semua ini betul-betul konyol. Aku berharap tidak pernah setuju untuk
melakukannya." "Kau cuma mengatakan semua ini karena kau tegang menghadapi pementasan besok - "
Aku memotong ucapannya dengan gelengan kepalaku. Sekali aku sudah mulai,
kadangkadang sulit bagiku untuk berhenti. Aku hanya mampu menghadapi sikap
optimis dan keceriannya sampai di sini, dan ini bukan hari yang tepat untuk mendesakku makin
jauh. "Kau masih juga belum mengerti, ya?" tanyaku gusar. "Aku sama sekali tidak
merasa tegang menghadapi pementasan. Aku cuma sedang tidak ingin berada di sini. Aku tidak
ingin mengantarmu pulang, aku tidak ingin teman-temanku terus membicarakanku, dan aku
tidak ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau terus berlagak seakan kita berteman, tapi
nyatanya tidak begitu. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Aku cuma ingin semua ini segera
berakhir dan aku bisa kembali ke kehidupan normalku."
Jamie tampak sakit hati menerima luapan kemarahanku, dan sejujurnya, aku tidak
dapat menyalahkannya. "Aku mengerti," cuma itu yang dikatakannya. Aku menunggunya balas membentak,
membela dirinya, atau mencari masalah baru, namun ia tidak melakukannya. Jamie
cuma menunduk. Kurasa sebagian dari dirinya ingin menangis, namun ia tidak
melakukannya, dan akhirnya aku meneruskan lngkahku, meninggalkannya berdiri di tempatnya. Namun
tak lama setelah itu aku mendengar ia juga mulai bergerak. Ia berada dalam jarak lima
meter di belakangku sepanjang perjalanan menuju rumahnya, dan ia tidak berusaha berbicara
padaku lagi sampai ia akan melangkah ke jalan masuk rumahnya. Aku sudah mulai berjalan
menjauh ketika mendengar suaranya. "Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon," serunya.
Hatiku menciut begitu mendengar ucapannya. Bahkan di saat aku bersikap kejam
terhadapnya dan mengatakan hal-hal yang paling menyakitkan, ia masih bisa
menemukan alasan untuk berterima kasih padaku. Jamie memang gadis semacam itu, dan kurasa aku
benar-benar membencinya karena alasan tersebut.
Atau lebih tepatnya, aku membenci diriku sendiri karena alasan itu.
WWW.DINOSPREAD.US BAB 8 ?" CUACA di malam pementasan itu sejuk dan segar, langitnya terang tanpa segumpal
awan pun. Kami harus tiba satu jam lebih awal, dan sepanjang hari aku merasa tidak enak
karena caraku berbicara pada Jamie di malam sebelumnya. Jamie tidak pernah melakukan apa-apa
kecuali bersikap baik padaku, dan aku tahu bahwa aku memang bersikap tolol. Aku
melihatnya di lorong sekolah sewaktu pergantian mata pelajaran, dan aku berniat menghampirinya untuk
meminta maaf atas apa yang telah kukatakan, namun Jamie menghilang di antara orang
banyak sebelum aku sempat menghampirinya.
Ia sudah ada di Playhouse sewaktu aku sampai di sana. Aku melihatnya berbicara


A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Miss Garber dan Hegbert di sisi dekat layar panggung. Semua tampak sedang
bergerak, berusaha meredakan ketegangan, namun Jamie kelihatan begitu letih. Ia belum mengenakan
kostumnya - ia akan memakai gaun putih yang menjuntai untuk memberikan kesan seperti
malaikat - dan ia masih mengenakan sweter yang sama yang dikenakannya di sekolah tadi. Meskipun
aku merasa cemas menanggapi reaksinya, aku tetap menghampiri mereka bertiga.
"Hai, Jamie," tegurku. "Halo, Pendeta... Miss Garber."
Jamie menoleh ke arahku. "Halo, Landon," sahutnya perlahan. Aku bisa melihat bahwa ia masih belum
melupakan peristiwa malam sebelumnya, karena ia tidak tersenyum padaku sebagaimana yang
biasa ia lakukan begitu melihatku. Aku bertanya apakah aku bisa berbicara dengannya
berdua, lalu kami meminta diri. Aku bisa melihat Hegbert dan Miss Garber mengawasi kami saat kami
menjauh dari jarak pendengaran mereka.
Aku melayangkan pandangan ke arah panggung dengan gelisah.
"Maafkan aku atas segala perkataanku padamu tadi malam," ujarku memulai. "Aku
tahu bahwa semua itu mungkin melukai perasaanmu, dan aku salah karena telah
mengatakannya." Ia menatapku, seakan bertanya-tanya apakah ia dapat mempercayai ucapanku.
"Kau serius mengenai ucapanmu tadi malam?" tanya Jamie akhirnya.
"Suasana hatiku sedang tidak baik, itu saja. Emosiku kadang-kadang meledak
begitu saja." Aku tahu bahwa aku tidak secara langsung menjawab pertanyaannya.
"Aku mengerti," sahutnya. Nadanya saat mengatakan itu persis seperti pada malam
sebelumnya, kemudian ia berpaling ke arah kursi-kursi penonton yang masih
kosong. Ekspresi sedih di matanya kembali tampak.
"Dengar," ujarku, sambil meraih tangannya. "Aku berjanji akan menebus
kesalahanku." Jangan tanya padaku mengapa aku mengatakannya - rasanya itulah yang harus
kulakukan pada saat itu. Untuk pertama kalinya malam itu, Jamie mulai tersenyum.
"Terima kasih," jawabnya, sambil berpaling ke arahku.
"Jamie?" Jamie menoleh. "Ya, Miss Garber?"
"Kurasa sudah waktunya kau bersiap-siap." Miss Garber menggerakkan tangannya.
"Aku harus pergi sekarang," ujar Jamie kepadaku.
"Aku tahu." "Break a leg - Patahkan kaki/Semoga sukses," ujarku. Mengucapkan sukses sebelum
pementasan dianggap membawa sial. Karena itulah semua orang akan mengatakan
"break a leg". Aku melepaskan tangannya. "Untuk kita berdua. Janji."
Setelah itu kami harus bersiap-siap, dan kami terpaksa berpisah. Aku menuju ke
arah ruang ganti pakaian laki-laki. Gedung Playhouse memang lumayan lengkap, mempertimbangkan
lokasinya di Beaufort, dengan ruang ganti terpisah yang membuat kami merasa seakan jadi
aktor-aktor profesional, bukan sekadar anak-anak sekolah.
Kostumku, yang disimpan di Playhouse, sudah tersedia di dalam ruang ganti itu.
Sebelumnya, semasa latihan, mereka mengukur tubuh kami agar bisa dilakukan
perubahan, dan aku sedang berpakaian saat Eric masuk tanpa diundang. Eddie masih ada di situ,
mengenakan kostum gelandangan bisunya, dan ia tampak ketakutan saat melihat Eric.
Sedikitnya sekali seminggu Eric biasa menerornya, sehingga Eddie berusaha keluar secepat mungkin,
sambil menaikkan celana kostumnya sambil berjalan menuju pintu. Eric tidak
memedulikannya dan langsung duduk di atas meja rias, persis di muka cermin.
"Jadi," kata Eric sambil memperlihatkan senyum nakal, "apa yang akan kaulakukan
sekarang?" Aku menatapnya heran. "Apa maksudmu?" tanyaku.
"Mengenai pementasan itu, tolol. Akan kaukacaukan dialogmu atau apa?"
Aku menggeleng. "Tidak."
"Kau akan menabrak properti-properti panggung itu?" Semua orang tahu tentang
properti panggung. "Aku tidak punya rencana seperti itu," sahutku tak acuh.
"Maksudmu kau melakukan ini sebagaimana mestinya?"
Aku mengangguk. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk mengacaukannya.
Eric menatapku selama beberapa saat, seakan sedang melihat seseorang yang tidak
dikenalnya. "Kurasa kau sekarang sudah dewasa, Landon," kata Eric akhirnya. Berhubung Eric
yang mengatakannya, aku tidak yakin apakah itu dimaksudkannya sebagai pujian.
Meskipun demikian, aku tahu bahwa ia benar.
Di dalam drama itu, Tom Thornton tercengang saat melihat malaikat untuk pertama
kalinya, yang kemudian menjadi alasan mengapa Tom mau ikut membantu malaikat itu
menebarkan suasana Natal di antara mereka yang kurang beruntung. Kata-kata pertama yang
terucap dari mulut Tom adalah, "Kau cantik sekali," dan aku seharusnya mengucapkan kalimat
itu seakan keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam. Itulah saat paling menentukan dari
seluruh pertunjukan itu, dan mempengaruhi semua yang terjadi setelahnya.
Namun masalahnya, sampai sejauh ini aku belum berhasil menghayatinya. Memang aku
bisa mengucapkannya dengan baik, tapi tidak terdengar begitu meyakinkan, mengingat
kemungkinan bahwa aku mengucapkannya sebagaimana yang dilakukan oleh semua orang saat
berhadapan dengan Jamie, kecuali Hegbert. Ini merupakan satu-satunya adengan yang tidak
pernah dikomentari Miss Garber dengan ucapan luar biasa, karena itu aku merasa tegang.
Aku terus berusaha membayangkan orang lain sebagai malaikatnya agar aku dapat mengucapkan
kalimat itu sebagaimana mestinya. Tapi hal itu selalu terlupakan karena begitu banyak
hal yang harus kuperhatikan. Jamie masih berada di ruang ganti saat layar akhirnya dibuka. Aku tidak melihat
Jamie tapi itu bukan masalah. Adegan-adegan pertama memang belum menampilkan dirinya intinya lebih tentang hubungan antara Tom Thornton dengan putrinya.
Aku tidak merasa terlalu tegang saat menjejakkan kakiku di panggung, karena aku
sudah sering latihan, namun kenyataannya berbeda saat waktunya tiba. Gedung Playhouse
itu betulbetul penuh, dan seperti yang diprediksi Miss Garber, mereka terpaksa
menambahkan dua baris kursi tambahan di deret paling belakang. Biasanya tempat itu cukup untuk empat
ratus orang, tapi dengan adanya kursi-kursi tambahan itu sedikitnya lima puluh orang lagi
bisa duduk. Selain itu, masih banyak yang berdiri bersandar pada dinding, berdesak-desakan seperti
ikan sarden. Begitu aku muncul di panggung, semua penonton langsung diam. Aku melihat
sebagian besar penonton adalah wanita tua yang sudah beruban, yang biasanya bermain bingo
dan minum Bloody Mary saat makan siang, meskipun aku bisa melihat Eric dan semua temanku
di deretan belakang. Rasanya menegangkan, kalau kau mengerti maksudku, berdiri di hadapan
mereka semua sementara semua orang menungguku mengatakan sesuatu.
Karena itu aku berusaha sebaik mungkin untuk mencurahkan seluruh konsentrasiku
saat melakukan adegan-adegan awal dalam pertunjukan itu. Omong-omong, Sally, si
cantik bermata satu, bermain sebagai putriku, karena ia memiliki postur tubuh yang bisa
dibilang kecil, dan kami menampilkan adegan sebagaimana yang sudah kami latih sebelumnya. Kami samasama tidak mengacaukan dialog meskipun akting kami tidak spektakuler. Di saat layar
diturunkan untuk menampilkan babak kedua, kami harus buru-buru mengganti latar dan properti
panggung. Kali ini semua turun tangan, dan jari-jariku selamat karena aku berusaha keras
menghindari Eddie. Aku masih juga belum melihat Jamie - kurasa ia dibebastugaskan dari memindahmindahkan latar karena kostumnya terbuat dari bahan tipis dan mungkin akan robek kalau
sampai tersangkut paku - tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Jamie karena berbagai
hal yang harus aku lakukan. Tiba-tiba, layar dibuka lagi dan aku kembali berada di dalam
dunia Hegbert Sullivan, berjalan melewati berbagai etalase toko mencari kotak musik yang
didambakan oleh putriku untuk Hari Natal.
Aku membelakangi arah Jamie masuk, namun aku mendengar para penonton serentak
menarik napas begitu ia muncul di panggung. Tadinya aku menganggap bahwa
suasananya sunyi, tapi sekarang tiba-tiba menjadi hening. Pada saat itu, melalui sudut
mataku aku bisa melihat Hegbert berdiri di sisi panggung dengan rahang bergetar. Aku bersiapsiap untuk berbali, dan setelah itu aku akhirnya melihat apa yang diperhatikan semua orang.
Untuk pertama kalinya sejak aku mengenal Jamie, rambutnya yang berwarna seperti
madu tidak disanggul, melainkan dibiarkan tergerai lepas. Lebih panjang daripada yang
pernah kubayangkan, dan tergerai sampai di bawah tulang belikatnya. Rambutnya juga
diberi glitter, sehingga memantulkan sinar lampu panggung dan menjadikannya tampak seperti
lingkaran halo dari kristal. Dalam gaun putihnya yang menjuntai dan secara khusus dijahit
untuknya, penampilan Jamie sungguh-sungguh memesona. Ia sama sekali tidak tampak seperti
gadis yang kukenal sejak anak-anak, atau gadis yang belakangan ini mulai kukenal lebih
akrab. Ia juga memakai sedikit makeup - tidak banyak, cukup untuk memberi aksen pada kelembutan
garis- garis wajahnya. Ia sedang tersenyum, seakan menyembunyikan rahasia di dalam
hatinya, sesuai dengan peran yang harus ditampilkannya.
Ia betul-betul tampak seperti malaikat.
Aku tahu bahwa mulutku menganga sedikit, dan aku cuma bisa berdiri di sana
sambil menatapnya sekian lama, terenyak dalam keheningan, sampai tiba-tiba aku teringat
ada kalimat yang harus kuucapkan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian perlahan-lahan aku
mengucapkannya. "Kau cantik sekali," kataku padanya. Kurasa semua yang berada di dalam ruangan
itu, mulai dari wanita beruban yang duduk di depan sampai teman-temanku di deretan paling
belakang, tahu bahwa aku benar-benar serius dengan ucapanku.
Untuk pertama kalinya aku berhasil menjiwai kalimat itu.
BAB 9 ?" MENGATAKAN bahwa pertunjukan itu sukses besar sebetulnya sama sekali tidak
berlebihan. Para penonton tertawa dan menangis, dan itu memang yang diharapkan dari mereka.
Namun suasananya benar-benar istimewa berkat kehadiran Jamie - dan aku merasa para
pemain lain juga sama terkejutnya seperti aku melihat penampilannya. Mereka semua
menampakkan reaksi yang sama seperti aku ketika pertama kali melihatnya. Hal itu membuat seluruh
pertunjukan semakin mantap di saat mereka memainkan perang masing-masing. Kami menyelesaikan
pertunjukan pertama tanpa satu kendala pun, dan pada malam berikutnya malah
lebih banyak lagi penonton yang datang. Bahkan Eric menghampiriku seusai pertunjukan untuk
memberi selamat padaku, yang merupakan kejutan setelah apa yang dikatakannya padaku
sebelumnya. "Kalian berdua bermain bagus," kata Eric apa adanya. "Aku bangga padamu, sobat."
Sementara ia mengatakan itu, Miss Garber menyerukan, "Luar biasa!" kepada semua
orang yang mau mendengar atau yang kebetulan lewat. Ia mengatakannya berulang-ulang,
sampai kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku setelah aku berbaring di tempat tidurku
malam itu. Aku mencari Jamie setelah layar diturunkan untuk terakhir kali, dan melihatnya di
pojok bersama ayahnya. Hegbert tampak berlinang air mata - baru pertama kali itulah aku
melihatnya menangis - Jamie berada dalam pelukannya, dan mereka berangkulan selama beberapa
saat. Hegbert membelai-belai rambut putrinya sambil berbisik, "Malaikatku," sementara
Jamie memejamkan matanya. Aku bahkan merasa tenggorokanku tercekat.
Aku menyadari bahwa melakukan "sesuatu yang benar" sebetulnya bukan sesuatu yang
buruk. Setelah mereka akhirnya saling melepaskan pelukan, dengan bangga Hegbert
mengingatkan Jamie untuk menemui para pemain lainnya. Jamie juga memperoleh banyak ucapan
selamat dari semua yang berada di belakang layar. Jamie tahu ia telah bermain dengan baik,
namun ia masih terus mengatakan pada semua orang bahwa ia tidak mengerti apa yang sebetulnya
perlu diributkan. Seperti biasa wajahnya menampakkan keceriaan, tapi dengan


A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penampilannya yang begitu cantik, kesannya menjadi berbeda. Aku berdiri di belakang, membiarkan
dirinya menikmati momen itu. Aku bahkan harus mengakui bahwa ada bagian dari diriku yang
merasa seperti si tua Hegbert. Mau tidak mau aku merasa bahagia melihat Jamie, dan juga
bangga. Ketika akhirnya ia melihatku berdiri sendirian, Jamie meminta diri lalu berjalan
menghampiriku. Ia menengadahkan wajahnya sambil tersenyum. "Terima kasih, Landon, atas apa yang
telah kaulakukan. Kau membuat ayahku bahagia sekali."
"Sama-sama," sahutku tulus.
Anehnya adalah, ketika ia mengatakan itu, aku menyadari bahwa ia akan pulang ke
rumahnya diantar Hegbert. Untuk sekali ini aku berharap bisa punya kesempatan
untuk menemaninya pulang berjalan kaki.
Hari Senin berikutnya merupakan minggu terakhir kami di sekolah sebelum Liburan
Natal, dan semua kelas akan menghadapi ujian akhir. Selain itu, aku harus menyelesaikan
formulir pendaftaranku untuk masuk UNC, yang selama ini tertunda gara-gara semua latihan
itu. Aku sudah berencana untuk belajar keras minggu itu, kemudian membereskan tugasku
untuk pendaftaran UNC pada malam hari sebelum aku tidur. Meskipun demikian, mau tidak
mau aku terus teringat pada Jamie.
Transformasi yang terjadi pada diri Jamie saat pementasan itu sangat
menakjubkan, dan aku menganggap hal itu menandakan perubahan dalam dirinya. Aku tidak tahu mengapa
aku berpikiran seperti itu, namun itulah yang terjadi. Aku jadi tercengang ketika ia
muncul pada pagi pertama itu dengan penampilannya yang lama: sweter cokelat, rambut disanggul ke
atas, rok kotak-kotak, dan seterusnya.
Hanya dengan sekali lihat, mau tidak mau aku merasa kasihan padanya. Ia baru
saja dianggap normal - bahkan istimewa - selama akhir pekan, atau setidaknya memberi kesan semacam
itu, tapi entah mengapa Jamie membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Oh, orangorang memang jadi lebih ramah padanya, dan mereka yang selama ini tidak pernah berbicara
padanya juga ikut memuji penampilannya. Namun aku bisa langsung melihat bahwa semua ini tidak akan
berlangsung selamanya. Sikap yang sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak memang
sulit diubah, dan sebagian dari diriku bertanya-tanya apakah situasinya bisa lebih
buruk lagi bagi Jamie setelah ini. Kini setelah semua orang tahu bahwa ia dapat tampil normal,
mereka mungkin akan bersikap lebih kejam lagi.
Ingin rasanya aku menyatakan pendapatku padanya, sungguh, namun aku berencana
untuk melakukannya setelah minggu itu berakhir. Tidak hanya karena banyak yang masih
harus kukerjakan, tapi aku juga ingin punya sedikit waktu untuk memikirkan cara
terbaik untuk mengatakannya pada Jamie. Sejujurnya, aku masih agak merasa bersalah atas segala
yang pernah kukatakan padanya sewaktu mengantarnya pulang terakhir kali, dan itu bukan hanya
karena pementasan berlangsung sukse. Rasa bersalah ini muncul lebih dikarenakan oleh
kenyataan bahwa selama kami saling mengenal, Jamie selalu bersikap baik, dan aku tahu
bahwa akulah yang bersalah. Sejujurnya, kupikir ia tidak ingin berbicara denganku. Aku tahu Jamie bisa
melihatku berkumpul bersama teman-temanku saat istirahat makan siang sementara ia duduk
sendirian, membaca Alkitab, namun tidak pernah sekali pun ia menghampiri kami. Tetapi saat
aku akan meninggalkan sekolah pada hari itu, aku mendengar suaranya di belakangku,
menanyakan apakah aku tidak keberatan menemaninya pulang. Meskipun aku merasa belum siap
untuk menyatakan pendapatku padanya, aku bersedia menemaninya. Demi masa lalu,
kupikir. Beberapa saat kemudian Jamie langsung menuju pokok pembicaraannya.
"Kau ingat apa yang kaukatakan sewaktu terakhir kalikau mengantarku pulang?"
tanyanya. Aku mengangguk, sambil berharap ia tidak mengungkit-ungkit itu lagi.
"Kau berjanji untuk menebusnya," ujar Jamie.
Untuk sesaat aku bingung. Aku merasa sudah menebus kesalahanku dengan
penampilanku dalam pementasan itu. Jamie melanjutkan.
"Aku sudah memikirkan apa yang bisa kaulakukan," lanjutnya tanpa memberikan
kesempatan padaku untuk memotong, "dan inilah yang terlintas dalam benakku."
Ia bertanya apakah aku keberatan membantunya mengumpulkan botol-botol acar dan
kaleng kopi yang sudah ia sebar di berbagai tempat usaha di seluruh pelosok kota sejak
awal tahun. Ia meletakkannya di atas gerai penjualan, biasanya dekat kasir, supaya orang-orang
dapat memasukkan uang receh ke dalamnya. Uangnya nanti disumbangkan untuk panti
asuhan. Jamie tidak pernah mau meminta uang secara langsung untuk beramal, ia ingin mereka
memberikannya secara sukarela. Menurut pendapatnya, itu adalah hal yang harus dilakukan oleh
umat Kristen. Seingatku aku pernah melihat berbagai wadah itu di tempat-tempat seperti Cecil's
Diner dan Crown Theater. Aku dan teman-temanku biasa memasukkan penjepit kertas dan logamlogam kecil ke dalam wadah-wadah itu di saat si kasir tidak melihat, mengingat
suaranya mirip seperti koin yang dijatuhkan ke dalamnya. Sesudah itu kami akan cekikikan sendiri
membayangkan reaksi Jamie. Kami sering membuat lelucon tentang bagaimana ia akan membuka
salah satu kalengnya, dengan harapan akan menemukan jumlah yang membesarkan hati karena
beratnya kaleng itu. Tapi saat mengeluarkan isi kalengnya ia tidak akan menemukan apa-apa
selain logam dan penjepit kertas. Kadang-kadang, saat kau teringat berbagai hal yang pernah
kaulakukan, hatimu akan menciut, dan itulah persisnya yang terjadi padaku di saat itu.
Jamie melihat ekspresi di wajahku.
"Kau tidak perlu melakukannya," ujarnya, jelas-jelas tampak kecewa. "Aku cuma
berpikir, karena Natal sudah dekat dan aku tidak punya mobil, aku tidak akan sempat
mengumpulkan semua..." "Tidak," ujarku, memotong pembicaraannya. "Aku akan melakukannya. Lagi pula aku
tidak begitu sibuk." Jadi itulah yang kulakukan mulai hari Rabu itu, meskipun aku masih harus belajar
untuk menghadapi ujian dan menyelesaikan formulir pendaftaranku. Jamie telah
memberikan padaku daftar tempat ia meletakkan wadah-wadahnya, dan dengan meminjam mobil ibuku, aku
memulai dari pelosok kota yang paling jauh pada keesokan harinya. Ia telah menyebar
sekitar enam puluh wadah, dan aku memperhitungkan bahwa aku hanya akan membutuhkan satu hari untuk
mengumpulkan semua wadah itu. Dibandingkan dengan menyebarkannya,
mengumpulkannya kembali akan menjadi pekerjaan mudah. Jamie sudah menghabiskan hampir enam
minggu untuk itu karena pertama-tama ia harus mencari enam puluh botol dan kaleng, dan
kemudian ia hanya dapat menempatkan dua atau tiga buah sehari mengingat bahwa ia tidak memiliki
mobil dan hanya dapat membawa sebanyak itu dalam sekali jalan. Ketika aku memulai, aku
merasa agak lucu karena harus mengumpulkan wadah-wadah itu, mengingat itu adalah proyek
Jamie. Namun aku terus mengingatkan diriku bahwa Jamie-lah yang telah meminta tolong padaku.
Aku mampir dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk mengumpulkan wadah-wadah
itu, dan menjelang akhir hari yang pertama aku menyadari bahwa aku akan membutuhkan
waktu sedikit lebih lama dari yang aku perkirakan. Aku baru berhasil mengumpulkan
sekitar dua puluh wadah atau lebih, karena aku telah melupakan satu fakta yang sederhana dari
kehidupan di Beaufort. Di kota kecil seperti ini, sulit rasanya untuk hanya sekadar masuk
sebentar dan mengambil sebuah wadah tanpa berbincang-bincang dulu dengan pemilik tempat atau
menyapa seseorang yang mungkin kaukenal. Memang tidak ada pilihan lain. Karena itulah
aku terpaksa duduk di suatu tempat sementara seseorang akan mengajak bicara tentang ikan
marlin yang berhasil ditangkapnya pada musim gugur lalu, atau mereka akan menanyakan padaku
mengenai sekolahku dan menyinggung bahwa mereka membutuhkan seseorang untuk memindahkan
beberapa dus di belakang, atau mungkin mereka menginginkan pendapatku apakah
sebaiknya mereka menggeser rak majalan ke sisi lain di toko mereka. Jamie, setahuku,
sangat hebat menghadapi hal semacam ini, dan aku mencoba untuk berlaku seperti yang kupikir
akan dilakukan Jamie. Bagaimanapun ini adalah proyeknya.
Untuk mempersingkat waktu, aku tidak berhenti untuk memeriksa hasil yang aku
peroleh selama berada dalam perjalanan. Aku cuma menaruh botol demi botol atau kaleng
itu dalam suatu tumpukan. Menjelang akhir hari pertama semua uang receh itu terkumpul
dalam dua buah botol besar, yang aku bawa naik ke kamarku. Aku melihat beberapa lembaran uang
kertas melalui kacanya - tidak terlalu banyak - namun aku tidak merasa terlalu berkecil
hati sampai aku menuang isinya ke atas lantai dan melihat bahwa uang receh itu hanya terdiri
dari pecahan satu sen. Meskipun jumlah logam dan penjepit kertasnya tidak sebanyak yang
tadinya kuperkirakan, aku tetap saja kecewa setelah menghitung jumlah uang itu.
Jumlahnya $20,32. Bahkan di tahun 1958 itu tidak banyak, terutama kalau harus dibagi di antara
tiga puluh anak. Namun aku belum merasa putus asa. Menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan,
aku berangkat lagi pada hari berikutnya, mengangkut sekitar beberapa puluh dus
karton, dan mengobrol dengan sekitar dua puluh pengusaha lainnya sambil mengumpulkan wadahwadah yang ada. Hasilnya: $23,89.
Hari ketiga ternyata lebih menyedihkan lagi. Setelah menghitung uangnya, bahkan
aku tidak dapat mempercayainya. Ternyata hanya $11,52. Asalnya dari tempat-tempat di
sekitar tepi pantai, tempat para turis dan remaja sering berkumpul. Kami memang benar-benar
luar biasa, pikirku dalam hati. Melihat betapa sedikitnya yang terkumpul secara keseluruhan - $55,73 - aku merasa
tidak enak, terutama karena wadah-wadah itu sudah ada di sana selama hampir sepanjang
tahun dan aku sendiri sudah melihatnya. Malam itu seharusnya aku menelepon Jamie untuk
memberitahunya jumlah uang yang berhasil kukumpulkan, namun aku merasa tidak
dapat melakukannya. Ia sudah mengatakan padaku betapa inginnya ia berbuat sesuatu yang
istimewa tahun ini, dan ini tidak akan terwujud - bahkan aku mengetahui itu. Oleh karena
itu aku berbohong padanya dengan mengatakan ahwa aku tidak akan menghitung jumlah uang
yang terkumpul sampai kami berdua dapat melakukannya bersama, karena ini adalah
proyeknya, bukan proyekku. Rasanya begitu mengecilkan hati. Aku berjanji untuk mengantarkan
uang itu pada sore berikutnya, setelah pulang sekolah. Besok tanggal 21 Desember, hari
yang terpendek dalam tahun itu. Hari Natal tinggal empat hari lagi.
"Landon," kata Jamie setelah menghitung jumlahnya, "ini benar-benar mukjizat!"
"Berapa jumlahnya?" tanyaku. Aku tahu persis berapa jumlahnya.
"Hampir dua ratus lima puluh tujuh dolar!" Nadanya begitu antusias saat
menengadahkan wajahnya ke arahku. Karena Hegbert ada di rumah, aku diperbolehkan berada di
ruang tamu, dan di sanalah Jamie menghitung uangnya. Semuanya tersusun dalam tumpukan-tumpukan
kecil yang rapi di seluruh permukaan lantai, hampir seluruhnya terdiri atas kepingan
dua puluh lima sen dan sepuluh sen. Hegbert sedang duduk di meja dapur, menyusun khotbahnya,
dan bahkan Hegbert ikut menoleh ketika mendengar suara Jamie.
"Menurutmu itu cukup?" tanyaku polos.
Air matanya berlinang di pipinya saat ia melayangkan pandangannya ke seputar
ruangan itu, seakan masih belum mempercayai apa yang ia lihat di hadapannya. Bahkan setelah
pementasan itu, Jamie belum pernah tampak sebahagia ini. Ia menatap aku lekat-lekat.
"Ini... benar-benar luar biasa," ujarnya, sambil tersenyum. Nadanya lebih
emosional daripada biasanya. "Tahun lalu, aku cuma berhasil mengumpulkan tujuh puluh


A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dolar." "Aku senang hasil tahun ini lebih baik," ujarku dengan tenggorokan yang
tercekat. "Kalau kau tidak menyebar wadah-wadahmu lebih awal tahun ini, kau mungkin tidak akan
mendapatkan sebanyak itu." Aku tahu bahwa ucapanku tidak benar, namun aku tidak peduli. Untuk sekali ini,
aku melakukan sesuatu yang benar.
Aku tidak membantu Jamie memilihkan mainan-mainan itu - kurasa ia lebih tahu apa
yang diinginkan oleh anak-anak itu - namun ia tetap memintaku ikut bersamanya ke panti
asuhan itu pada Malam Natal agar aku juga bisa ada di sana sewaktu anak-anak itu membuka
hadiah-hadiah mereka. "Ayolah, Landon," bujuknya ketika itu, dan melihat Jamie begitu
antusias, aku merasa tidak tega untuk mengecewakannya.
Tiga hari kemudian, saat ayah dan ibuku sedang menghadiri pesta di rumah wali
kota, aku mengenakan jas bercorak houndstooth dan dasiku yang terbaik lalu berjalan menuju
mobil ibuku dengan mengepit hadiah untuk Jamie. Aku telah menghabiskan sisa uangku untuk
membelikannya sweter yang bagus, karena hanya itulah yang terpikir olehku. Jamie
memang bukan tipe yang mudah untuk dibelikan sesuatu.
Aku seharusnya berada di panti asuhan itu pada pukul 19.00, namun jematan di
dekat dermaga Morehead City sedang diangkat, dan aku harus menunggu sampai kapal
pengangkut barang perlahan-lahan lewat di bawahnya. Akibatnya, aku tiba terlambat beberapa
menit. Pintu depannya sudah dikunci saat itu, dan aku terpaksa menggedornya sampai Mr.
Jenkins akhirnya mendengar gedoranku. Ia mencari-cari kunci yang tepat di antara rencengannya,
dan tak lama setelah itu membuka pintunya. Aku masuk sambil menepuk-nepuk lenganku untuk
mengusir dingin. "Ah... kau sudah datang," tegurnya senang. "Kami sedang menantimu. Ayo, mari kita
ke tempat mereka berkumpul."
Ia mengajakku melewati lorong menuju ruang rekreasi, ke tempat yang sama yang
pernah kumasuki sebelumnya. Aku berhenti sebentar untuk menarik napasku dalam-dalam
sebelum akhirnya melangkah masuk.
Suasananya ternyata lebih baik daripada yang tadinya kubayangkan.
Di tengah-tengah ruangan itu aku melihat sebuah pohon yang besar, didekorasi
dengan kertas mengilap dan lampu-lampu berwarna serta ratusan ornamen buatan tangan. Di
bawah pohon, tersebar ke seluruh penjuru, tampak hadiah-hadiah yang dibungkus dalam
berbagai ukuran dan bentuk. Tumpukannya tinggi, dan anak-anak itu sedang duduk di lantai,
berdekatan membentuk setengah lingkaran yang besar. Mereka mengenakan pakaian terbaik
mereka - yang laki-laki memakai celana panjang biru laut dan kemeja putih berkerah, sementara
yang perempuan memakai rok biru laut dan blus putih berlengan panjang. Mereka semua
tampak seperti habis didandani untuk menyambut peristiwa besar ini, dan hampir semua
anak laki-laki rambutnya baru dicukur. Di atas meja di dekat pintu, terdapat sebuah wadah berisi minuman dan piringpiring dengan kue yang dibentuk seperti pohon Natal dan dihiasi dengan gula berwarna hijau.
Aku bisa melihat beberapa orang dewasa yang duduk di antara anak-anak; beberapa anak yang lebih
kecil duduk di atas pangkuan anak-anak yang lebih dewasa, wajah-wajah mereka penuh dengan
antisipasi sementara mereka mendengar lagu Twas the Night Before Christmas.
Namun aku tidak melihat Jamie, setidaknya aku tidak langsung melihatnya. Aku
mendengar suaranya lebih dulu. Ia sedang membacakan sebuah cerita, dan akhirnya aku
melihatnya. Ia sedang duduk di lantai di depan pohon Natal dengan kaki terlipat.
Di luar dugaanku, aku melihat rambutnya dibiarkan tergerai, persis seperti malam
pementasan itu. Dan ia tidak mengenakan sweter cokelat tuanya, melainkan sweter
merah berleher V yang entah bagaimana memberi aksen pada warna matanya yang biru muda.
Bahkan tanpa glitter di rambutnya atau gaunnya yang putih panjang menjuntai, ia tampak
memesona. Tanpa sadar aku menahan napas, dan dari sudut mataku aku bisa melihat Mr.
Jenkins tersenyum ke arahku. Aku mengembuskan napas dan tersenyum, sambil berusaha memulihkan
kendali diriku. Jamie hanya berhenti sebentar untuk mengangkat wajahnya. Ia melihatku berdiri di
ambang pintu, kemudian kembali membaca untuk anak-anak itu. Cerita yang dibacakannya
baru selesai beberapa menit kemudian, setelah itu ia berdiri dan merapikan roknya lalu
berjalan mengitari anak-anak itu untuk menghampiriku. Aku tetap berdiri di tempatku karena tidak
tahu harus melangkah ke mana. Sementara itu diam-diam Mr. Jenkins menyelinap pergi.
"Maaf, kami mulai tanpa menunggumu," ujar Jamie ketika ia akhirnya tiba di
dekatku, "tapi anak-anak itu sudah tidak sabar lagi."
"Tak apa-apa," sahutku, sambil tersenyum, mengagumi penampilannya.
"Aku senang sekali kau bisa datang."
"Aku juga." Jamie tersenyum dan meraih tanganku untuk membimbingku. "Ayo, ikut," ajaknya.
"Bantu aku membagikan hadiah-hadiah ini."
Kami melewatkan satu jam berikutnya dengan membagikan hadiah-hadiah, dan kami
mengawasi sementara anak-anak itu membuka hadiah mereka satu per satu. Jamie
telah menjelajahi seluruh penjuru kota untuk berbelanja, memilih beberapa hadiah untuk
setiap anak, hadiah-hadiah pribadi yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Namun
hadiah-hadiah yang dibeli Jamie bukan satu-satunya yang diterima anak-anak itu - pihak panti
asuhan maupun mereka yang bekerja di sana juga membelikan sesuatu untuk mereka. Kertas-kertas
kado dilemparkan ke sana kemari dalam suasana yang semakin riang, pekikan-pekikan
kegembiraan terdengar di mana-mana. Bagiku, paling tidak, anak-anak itu telah menerima
sesuatu yang jauh melebihi yang mereka harapkan, dan mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih
pada Jamie. Pada saat suasana gempita itu akhirnya mereda dan hadiah untuk semua anak sudah
dibuka, suasananya mulai menjadi lebih tenang. Ruangan itu dirapikan oleh Mr. Jenkins
dan seorang wanita yang belum pernah kulihat, dan beberapa anak yang lebih kecil mulai
tertidur di bawah pohon. Beberapa anak yang lebih besar sudah kembali ke kamar tanpa lupa membawa
hadiah mereka, dan mereka telah meredupkan penerangan saat berjalan ke luar. Lampulampu pohon Natal tampak bersinar indah sementara lagu Silent Night melantun pelan dari
sebuah gramofon. Aku masih duduk di lantai dekat Jamie, yang sedang memangku seorang gadis kecil
yang tertidur. Karena suasana yang riuh tadi, kami belum sempat mengobrol, bukan
berarti kami mempermasalahkan keriuhan itu. Kami berdua memandangi lampu-lampu pohon Natal,
dan aku bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran Jamie. Sejujurnya, aku tidak tahu,
namun tatapannya terkesan begitu lembut. Kurasa - tidak, aku yakin - Jamie merasa senang melihat
hasil malam ini, dan jauh di lubuk hatiku aku juga merasa senang. Sampai sekarang itu
merupakan Malam Natal terbaik yang pernah kualami.
Aku melirik ke arahnya. Dengan cahaya lampu yang menyinari wajahnya, ia tampak
sama cantiknya dengan setiap orang yang pernah kulihat.
"Aku membelikan sesuatu untukmu," kataku akhirnya. "Membelikan hadiah,
maksudku." Aku berbicara pelan agar tidak membangunkan gadis kecil yang tidur di
pangkuannya, dan kuharap itu bisa menyembunyikan kecemasan dalam suaraku.
Ia mengalihkan pandangannya dari pohon itu ke wajahku, sambil tersenyum lembut.
"Kau tidak perlu membelikanku sesuatu." Ia juga merendahkan suaranya, dan suaranya
terdengar seperti musik di telingaku.
"Aku tahu," sahutku, "tapi aku mau." Aku telah menyisihkan hadiah itu di satu
sisi, dan menyerahkan bingkisan yang sudah dibungkus kertas kado itu padanya.
"Bisakah kau membukanya untukku" Tanganku sedang sedikitpenuh saat ini." Ia
menatap si gadis kecil, kemudian menatap kembali ke arahku.
"Kau tidak perlu membukanya sekarang, kalau kau sedang tidak bisa," ujarku,
sambil mengangkat bahu, "sebetulnya isinya tidak seberapa."
"Jangan begitu," ujarnya. "Aku hanya ingin membukanya di hadapanmu."
Untuk menjernihkan pikiranku, aku menatap hadiah itu, dan mulai membukanya,
dengan menarik selotipnya sedemikian rupa agar tidak menimbulkan banyak suara, kemudian
melepaskan kertas kadonya dan sampai pada dusnya. Setelah menyisihkan kertas
pembungkusnya, aku mengangkat tutup dus itu dan mengeluarkan sweternya, yang aku
angkat untuk diperlihatkan kepadanya. Warnanya cokelat, seperti yang biasa dipakainya.
Namun kupikir Jamie membutuhkan sweter baru.
Dibandingkan dengan kegembiraan yang baru kusaksikan sebelumnya, aku tidak
mengharapkan reaksi berlebihan.
"Lihat, cuma ini. Aku sudah bilang tadi isinya tidak seberapa," ujarku. Aku
berharap ia tidak kecewa menerimanya. "Bagus sekali, Landon," ujarnya tulus. "Aku akan memakainya saat bertemu
denganmu lagi. Terima kasih." Kami duduk diam selama beberapa saat, dan aku kembali memandangi lampu-lampu di
pohon Natal. "Aku juga membawa sesuatu untukmu," bisik Jamie akhirnya. Ia melayangkan
pandangan ke arah pohon, dan aku mengikuti pandangannya. Hadiahnya masih tergeletak di bawah
pohon, agak tersembunyi di balik batang pohon itu, dan aku meraihnya. Bentuknya
persegi, lentur, dan agak berat. Aku meletakkannya di atas pangkuanku dan membiarkannya di sana tanpa
berusaha untuk membukanya. "Bukalah," ujarnya, sambil menatapku.
"Kau tidak bisa memberikan ini kepadaku," ujarku dengan napas terkecat. Aku
sudah tahu apa isinya, dan aku tidak mempercayai apa yang telah dilakukan Jamie. Tanganku
mulai bergetar. "Please," ujarnya padaku dalam suara yang teramat lembut, "bukalah. Aku ingin
kau memilikinya." Dengan ragu aku membuka bungkusnya perlahan-lahan. Ketika kertas kadonya
akhirnya lepas, aku memegang hadiah itu dengan hati-hati, takut merusaknya. Aku
menatapnya, dengan penuh emosi, dan perlahan-lahan tanganku mengusap bagian atasnya, menelusuri
sampul kulitnya yang sudah mulai usang sementara air mataku mulai mengambang. Jamie
mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas tanganku. Rasanya hangat dan lembut.
Aku melirik ke arahnya, tak tahu harus berkata apa.
Jamie telah memberikan Alkitab-nya kepadaku.
"Terima kasih atas apa yang telah kaulakukan," bisiknya padaku. "Ini merupakan
Natal terbaik yang pernah kualami."
Aku berpaling tanpa menjawab dan mengulurkan tanganku ke arah aku meletakkan
gelasku sebelumnya. Lagu Silent Night masih terdengar, musiknya memenuhi seluruh
ruangan. Aku meneguk minumanku, sambil mencoba meredakan rasa kering yang tiba-tiba terasa di
tenggorokanku. Ketika aku minum, saat-saat yang kuhabiskan bersama Jamie kembali
melintas dalam benakku. Aku teringat pesta dansa homecoming itu dan apa yang telah ia
lakukan untukku pada malam itu. Aku teringat pertunjukan itu dan betapa cantik penampilannya
ketika itu. Aku teringat saat-saat aku mengantarnya pulang dan bagaimana aku membantunya
mengumpulkan botol dan kaleng-kaleng yang diisi kepingan uang receh untuk panti asuhan itu.
Saat semua bayangan ini melintas dalam benakku, aku tiba-tiba terenyak. Aku
menatap Jamie, kemudian ke arah langit-langit dan seisi ruangan itu, sambil mencoba
menguasai emosiku sebaik mungkin, dan setelah itu aku kembali menatap Jamie. Ia sedang tersenyum
padaku dan aku membalas senyumnya. Pada saat itu aku cuma bisa bertanya-tanya dalam hati
bagaimana aku bisa sampai jatuh cinta pada seorang gadis seperti Jamie Sullivan.
BAB 10

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?" AKU mengantar Jamie pulang dari panti asuhan malam itu. Mulanya aku tidak yakin
apakah aku akan melakukan kebiasaan lama dengan pura-pura menguap dan meletakkan tanganku
di pundaknya, tapi sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana perasaan Jamie terhadapku.
Memang, ia telah memberikan hadiah paling istimewa yang pernah kuterima. Meskipun aku
mungkin tidak pernah akan membukanya dan membacanya seperti yang dilakukan Jamie, aku tahu
pemberian Alkitab itu baginya sama seperti memberikan sebagian dari dirinya sendiri. Namun
Jamie memang termasuk orang yang akan mendonorkan sebuah ginjalnya pada orang asing
yang ditemuinya di jalanan, kalau orang itu memang betul-betul membutuhkannya. Jadi
aku tidak yakin akan arti hadiah yang diberikannya ini.
Jamie pernah mengatakan padaku bahwa ia bukanlah orang tolol, dan kurasa
akhirnya aku mengakui bahwa Jamie memang tidak tolol. Ia mungkin saja... ehm, berbeda... tapi
rupanya ia tahu apa yang telah kulakukan untuk anak-anak panti asuhan itu, dan kalau
direnungkan kembali, kurasa ia sudah mengetahuinya bahkan di saat kami sedang duduk di lantai ruang
tamunya. Ketika ia menyebutnya sebagai mukjizat, kurasa yang dimakusd Jamie adalah aku.
Seingatku, Hegbert masuk ke dalam ruangan saat Jamie dan aku sedang
membicarakannya, naun ia tidak banyak bicara ketika itu. Hegbert tua memang tidak seperti
biasanya belakangan ini, setidaknya sepanjang pengetahuanku. Oh, khotbah-khotbahnya masih tetap
tentang uang, dan ia masih menyinggung tentang para pezina, tapi akhir-akhir ini khotbahnya lebih
pendek daripada biasanya, dan kadang-kadang ia akan berhenti di tengah khotbahnya dan
akan memandang dengan tatapan aneh, seakan tiba-tiba teringat pada sesuatu, sesuatu
yang menyedihkan. Aku tidak tahu apa artinya, karena aku tidak mengenalnya dengan cukup baik. Saat
Jamie membicarakan ayahnya, sepertinya ia sedang mendeskripsikan seseorang yang sama
sekali tidak kukenal. Aku tidak bisa membayangkan Hegbert yang memiliki rasa humor
sebagaimana aku tidak bisa membayangkan ada dua buah bulan di langit.
Bagaimanapun, ia memasuki ruangan sementara kami sedang menghitung uang, dan
Jamie berdiri dengan air mata tergenang. Hegbert bahkan seakan tidak menyadari
kehadiranku di sana. Ia mengatakan pada putrinya bahwa ia bangga padanya dan menyayanginya, tapi
kemudian ia kembali ke dapur untuk menyelesaikan khotbahnya. Ia bahkan tidak menyapaku sama
sekali. Oke, aku tahu bahwa aku bukan anak muda yang paling religius dalam jemaatnya,
namun aku tetap menganggap sikapnya agak aneh.
Saat sedang memikirkan Hegbert, aku melirik ke arah Jamie yang sedang duduk di
sebelahku. Ia sedang menatap ke luar jendela dengan wajah damai, tersenyum
simpul, tapi pada saat yang sama tatapannya seakan menerawang. Aku tersenyum. Mungkin ia sedang
memikirkan diriku. Tanganku mulai terulur ke arah tempat duduknya, namun sebelum aku
berhasil meraih tangannya, Jamie memecah keheningan di antara kami.
"Landon," katanya sambil berpaling ke arahku, "apakah kau pernah memikirkan
Tuhan?" Aku menarik tanganku. Saat aku sedang memikirkan Tuhan, aku biasanya membayangkan-Nya seperti dalam
lukisan-lukisan tua yang biasa aku lihat di gereja-gereja - sosok yang tinggi
besar menjulang di atas suatu pemandangan alam, dalam jubah putih dan rambut panjang tergerai,
jarinya menunjuk atau semacam itu - namun aku tahu bahwa bukan itu yang dimaksud Jamie. Ia sedang
berbicara tentang rencana Tuhan. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk menjawab.
"Tentu," sahutku. "Kadang-kadang, kurasa."
"Apakah kau pernah mempertanyakan mengapa ada beberapa hal harus terjadi
sebagaimana adanya?" Aku mengangguk, meskipun tidak begitu yakin.
"Aku sering memikirkan hal itu belakangan ini."
Lebih sering daripada biasanya" Aku ingin bertanya, namun aku tidak mengatakan
apa-apa. Aku tahu masih banyak yang ingin disampaikan Jamie, karena itu aku tetap diam.
"Aku tahu Tuhan memiliki rencana untuk kita semua, tapi kadang-kadang aku tidak
mengerti apa pesan di balik itu. Apakah kau pernah mengalaminya?"
Ia mengatakannya seakan hal itu selalu kupikirkan sepanjang waktu.
"Well," ujarku, sambil berusaha untuk mengarang menjawab, "kurasa kita memang
tidak harus mengerti sepanjang waktu. Kurasa kadang-kadang kita hanya perlu percaya
saja padaNya." Kuakui itu jawaban yang lumayan bagus. Kurasa perasaanku terhadap Jamie membuat
otakku bisa bekerja lebih cepat daripada biasanya. Aku bisa melihat bahwa ia
sedang memikirkan jawabanku. "Ya," kata Jamie akhirnya, "kau benar."
Aku tersenyum dalam hati dan mengubah topik pembicaraan, karena berbicara
tentang Tuhan bukanlah jenis percakapan yang dapat membangkitkan suasana romantis.
"Kau tahu," ujarku ringan, "rasanya menyenangkan tadi ketika kita duduk di bawah
pohon." "Ya, memang," ujarnya. Pikiran Jamie masih berada entah di mana.
"Dan kau juga kelihatan cantik."
"Terima kasih."
Ini tidak selancar yang kuharapkan.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku akhirnya, dengan harapan perhatiannya akan
teralih padaku kembali. "Tentu," sahutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Setelah pulang gereja besok, dan, ehm... setelah kau menghabiskan waktu bersama
ayahmu... maksudku..." Aku terdiam sejenak dan menoleh ke arahnya. "Maukah kau
datang ke rumahku untuk makan malam Natal?"
Meskipun wajahnya masih mengarah ke jendela, aku bisa melihat samar-samar
bayangan sebuah senyum. "Ya, Landon, dengan senang hati."
Aku menarik napas lega, sementara aku masih belum dapat mempercayai bahwa aku
telah sungguh-sungguh mengajaknya. Aku bertanya-tanya bagaimana semua ini sampai bisa
terjadi. Aku melewati jalan yang jendela-jendelanya tampak dihiasi lampu-lampu Natal,
lalu melintasi Beaufort City Square. Beberapa menit kemudian, ketika aku mengulurkan tanganku
ke arah kursinya, aku akhirnya berhasil menggenggam tangannya, dan Jamie tidak menarik
tangannya menjauh. Itulah akhir malam yang sempurna.
*** Ketika kami tiba di depan rumahnya, lampu-lampu di ruang tamunya masih menyala
dan aku bisa melihat Hegbert di balik gorden. Kurasa Hegbert sengaja menunggu karena ia
ingin mendengar cerita tentang acara di panti asuhan itu. Entah itu, atau ia ingin
memastikan bahwa aku tidak mencium putrinya di jalan masuk rumahnya. Aku tahu Hegbert akan
mengangkat alisnya jika aku melakukan hal-hal semacam itu.
Aku sedang memikirkan - mengenai apa yang akan kulakukan di saat kami akhirnya
harus berpisah, maksudku - saat kami keluar dari mobil dan mulai melangkah ke arah
pintu. Jamie tampak senang dan puas pada waktu yang bersamaan, dan kurasa ia gembira aku
mengundangnya untuk datang ke rumahku besok. Karena Jamie cukup cerdas untuk
menarik kesimpulan mengenai apa yang telah kulakukan untuk anak-anak panti asuhan itu,
kurasa ia juga cukup peka untuk memahami situasi ini. Kurasa ia bahkan menyadari bahwa baru
pertama kali inilah aku mengajaknya menghabiskan waktu bersamaku atas kemauanku sendiri.
Saat kami menapakkan kaki di undakan depan rumahnya, aku melihat Hegbert
mengintip ke luar dari balik gorden kemudian menarik dirinya kembali. Sebagian orangtua,
seperti orangtua Angela misalnya, itu berarti bahwa mereka tahu kau sudah sampai di rumah dan kau
masih memiliki beberapa menit lagi sebelum mereka membukakan pintu. Biasanya itu
memberi waktu untuk bertatapan sambil mengumpulkan keberanian untuk berciuman. Biasanya waktu
yang dibutuhkan memang selama itu.
Sejauh ini aku tidak tahu apakah Jamie mau menciumku, sesungguhnya aku tidak
yakin ia mau. Tapi dengan penampilannya yang begitu cantik, dengan rambut tergerai dan
semua yang terjadi malam itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan peluang itu kalau memang ada.
Aku dapat merasakan ketegangan di dalam perutku saat Hegbert membuka pintu.
"Aku mendengar suara kalian," ujarnya perlahan. Kulitnya tampak pucat seperti
biasanya, dan ia kelihatan lelah. "Halo, Pendeta Sullivan," sapaku dalam nada kecewa.
"Hai, Daddy," sapa Jamie dengan riang beberapa saat kemudian. "Seandainya Daddy
ikut tadi. Suasanya betul-betul luar biasa."
"Aku ikut gembira." Hegbert seakan mengumpulkan keberanian kemudian berdeham.
"Aku akan beri kalian kesempatan untuk saling mengucapkan selamat malam. Aku akan
membiarkan pintunya terbuka." Hegbert memutar tubuhnya dan kembali masuk ke ruang duduk. Dari tempatnya duduk,
aku tahu bahwa ia masih dapat mengawasi kami. Ia berpura-pura membaca, meskipun aku
tidak bisa melihat apa yang ada di tangannya.
"Aku senang sekali malam ini, Landon," ujar Jamie.
"Aku juga," sahutku, sementara merasakan tatapan Hegbert yang ditujukan ke
arahku. Aku bertanya-tanya apakah Hegbert tahu bahwa aku telah menggenggam tangan putrinya
dalam perjalanan pulang. "Pukul berapa sebaiknya aku datang besok?" tanya Jamie.
Alis Hegbert tampak terangkat sedikit.
"Aku akan menjemputmu. Bagaimana kalau pukul lima?"
Ia menoleh ke belakang. "Daddy, apakah aku boleh mengunjungi rumah orangtua
Landon besok?" Hegbert mengangkat tangannya lalu menggosok matanya. Ia mendesah.
"Kalau itu kauanggap penting, boleh saja," sahutnya.
Bukan jawaban yang terlalu meyakinkan, tapi cukup baik bagiku.
"Apa yang harus kubawa?" tanyanya. Sudah merupakan tradisi di daerah Setalan
untuk menanyakan pertanyaan itu.
"Kau tidak usah bawa apa-apa," sahutku. "Aku akan menjemputmu pukul lima kurang
seperempat." Kami masih berdiri di sana selama beberpaa saat tanpa mengatakan apa-apa, dan
aku bisa melihat Hegbert mulai agak kehilangan kesabarannya. Ia belum membalik selembar
pun halaman bukunya sejak kami berdiri di sana.
"Sampai ketemu besok," ujar Jamie akhirnya.
"Oke," sahutku.
Ia menundukkan kepalanya untuk sesaat, kemudian menatapku lagi. "Terima kasih
telah mengantarku pulang," katanya.
Setelah itu, ia berbalik dan melangkah masuk. Sekilas aku melihat seulas senyum
membayang lembut di bibirnya saat ia mengintip dari balik pintu, persis sebelum
ia menutupnya. Keesokan harinya aku menjemput Jamie tepat pada waktunya dan senang melihat
rambutnya kembali tergerai. Ia mengenakan sweter yang kuberikan padanya, tepat sesuai
janjinya. Ibu maupun ayahku agak tercengang ketika aku menanyakan pada mereka apakah
mereka tidak keberatan kalau aku mengundang Jamie untuk makan malam. Sebetulnya itu
bukan masalah - setiap kali ayahku pulang, ibuku akan menyuruh Helen, koki kami, memasak
cukup banyak untuk sebuah pasukan kecil.
Kuraa aku belum menyebutkannya sebelum ini, mengenai si koki, maksudku. Rumah
kami memiliki seorang pelayan dan seorang koki, bukan hanya karena keluargaku mampu,
tapi juga karena ibuku bukan ibu rumah tangga paling hebat di muka bumi ini. Ia memang
bisa membuat sandwich sekali-kali untuk makan siangku. Tapi ada saat-saat ketika mustard bisa
menodai kuku-kukunya, dan untuk melupakannya ia akan membutuhkan sedikitnya tiga sampai
empat hari. Tanpa Helen, aku mungkin dibesarkan hanya dengan memakan kentang lembut
hangus dan steik garing. Untungnya, ayahku sudah menyadari itu begitu mereka menikah,
sehingga si koki maupun pelayan kami sudah bekerja di tempat kami sejak sebelum aku lahir.
Meskipun rumah kami lebih besar daripada rumah kebanyakan orang, itu bukan
istana atau

A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacamnya, dan koki maupun pelayan kami tidak tinggal bersama kami karena kami
tidak memiliki fasilitas tinggal yang terpisah atau semacam itu. Ayahku telah membeli
rumah itu karena historisnya. Meskipun rumah kami bukan yang pernah ditinggali Blackbeard,
yang tentunya akan menjadikannya lebih menarik lagi bagi orang seperti aku. Pemilik
sebelumnya adalah Richard Dobbs Spaight, yang pernah ikut menandatangani Konstitusi.
Spaight juga pernah memiliki rumah pertanian di daerah pinggiran New Bern, yang terletak
sekitar empat puluh mil dari jalan besar, dan di sanalah ia dimakamkan. Rumah kami memang
tidak setenar rumah tempat Dobbs Spaight dimakamkan, meskipun masih memberikan hak pada ayahku
untuk membual di sepanjang lorong gedung Kongres. Setiap kali ayahku mengitari kebun,
aku bisa melihatnya berangan-angan mengenai warisan yang ingin ditinggalkannya. Entah
mengapa itu membuatku sedih, karena apa pun yang akan ia lakukan, ia takkan pernah bisa
mengungguli Richard Dobbs Spaight. Suatu peristiwa bersejarah seperti menandatangani
Konstitusi hanya akan terjadi sekali selama beberapa ratus tahun, dan entah apa pun yang
kaulakukan, seperti memperjuangkan subsidi para petani tembakau atau menyatakan pendapatmu mengenai
"pengaruh Merah" tidak akan bisa menandinginya. Bahkan orang seperti aku tahu
mengenai hal itu. Rumah kami pernah tercatat dalam National Historic Register - dan kurasa masih
sampai sekarang. Meskipun Jamie sudah pernah ke rumahku sebelumnya, ia tetap masih
terkesan saat melangkah masuk ke rumahku. Ibu dan ayahku mengenakan pakaian yang bagus, begitu
juga aku, dan ibuku mencium pipi Jamie untuk menyambutnya. Saat ibuku menciumnya, aku
Pusaka Negeri Tayli 4 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Kucing Ditengah Burung Dara 2

Cari Blog Ini