Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Bagian 6
mengatur sebagian pasukan untuk menjaga sekitar rumah itu dan sisanya
mengejar sisa-sisa kawanan penjahat itu. Penduduk Pittler dengan
senang hati menawarkan diri untuk mengawasi penjahat-penjahat yang
telah tertangkap. Quinn memasukai rumah persembunyian Todd. Kakinya dengan cepat
mencari tempat tidur untuk membaringkan Eleanor. Quinn bersyukur
ruangan di sebelah ruangan tempat Eleanor disekap itu mempunyai
perapian. Tanpa sedikitpun membuang waktu, Quinn mengambil jerami
kering di ruangan sebelah dan menyalakan perapian.
Quinn kembali ke sisi Eleanor setelah api perapian menyala. Ia melihat
wajah pucat Eleanor dengan pedih dan mengambil tangan dinginnya yang
memerah oleh darah. "Eleanor...," panggilnya pedih, "Eleanor..."
Quinn merasa tidak berdaya melihat keadaan Eleanor seperti ini. Wajah
ceria itu nampak sangat pucat. Gadis yang selalu membantahnya dengan
penuh semangat itu tampak sangat kesakitan dan ia tidak dapat berbuat
apa-apa selain menggenggam tangannya yang dingin. Andai saja hari ini
ia tidak begitu keras kepala. Andai saja hari ini ia menemani Eleanor,
semua ini tidak akan terjadi. Ia tahu nyawa Eleanor terancam. Ia tahu
hanya ia yang bisa menjaga gadis liarnya ini. Namun mengapa ia tetap
membiarkan gadis ini pergi seorang diri" Mengapa ia memilih duduk di
belakang meja mendengarkan laporan bawahannya atas pengamatan
terhadap Mathias" Air mata Quinn yang tidak menetes di hari kematian orang tuanya,
menuruni pipinya yang basah.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Quinn.
Quinn segera menyeka air matanya dan bergegas membuka pintu.
"Saya datang bersama dokter, Paduka," Seb berdiri di pintu dengan
membawa payung menaungi seorang pria tengah baya.
"Sungguh sebuah kehormatan bisa melayani Anda, Paduka," kata pria itu.
"Jangan berbasa-basi," sergah Quinn, "Cepat periksa Eleanor."
"Baik, Paduka," pria itu segera mengikuti Quinn ke dalam kamar tempat
ia membaringkan Eleanor. Seb menutup payung dan melangkah masuk. Matanya terpaku pada pintu
ruangan ke mana Quinn dan dokter itu menghilang, yang sekarang
tertutup rapat. Ia ingin masuk dan melihat keadaan Eleanor tapi ia tidak
berani. Beberapa jam lalu ia menyadari Eleanor sangat sangat jauh dari
jangkauannya. Hingga saat ini pun ia sulit mempercayai gadis periang
yang akrab dengannya itu adalah seorang Ratu, Ratu Kerajaan Viering.
Seperti rakyat Viering lainnya, ia tahu siapa gadis yang dinikahi raja
mereka. Namun tidak sedikit pun terlintas di pikirannya Lady Eleanor,
putri Earl of Hielfinberg, dan Eleanor, diketahuinya sebagai pelayan
seorang Earl adalah gadis yang sama.
Pintu terbuka dan Quinn muncul.
Sekarang mengertilah Seb mengapa suami Eleanor, sang pelayan seorang
Earl, terkesan begitu angkuh dan menjauh dari penduduk umumnya. Di
perjumpaan pertama mereka, Seb mempunyai kesan suami Eleanor
adalah seorang yang tegas. Bahkan di saat-saat kritis yang menegangkan
seperti ini, pemuda itu tampak penuh wibawa. Yang Seb herankan adalah
mengapa ia sedikit pun tidak curiga ketika Eleanor memanggil suaminya
Quinn" "Ehmm... Paduka," Seb memanggil pemuda itu dengan ragu-ragu, "Bila
Anda berkenan, gantilah baju basah Anda dengan baju kering ini."
Quinn melihat Seb. Ia baru sadar pemuda itu masih ada di sana.
"T-tentu saja saya tidak keberatan bila Anda menolak," Seb panik, "Saya
sudah mengatakan pada Mrs. Brandrick baju ini tidak cocok untuk Anda
tapi Mrs. Brandrick bersikeras. Ia khawatir Anda jatuh sakit. Ia juga
memaksa saya untuk membawa baju ganti untuk Eleanor, ah, tidak,
Paduka Ratu." "Terima kasih," Quinn mengambil baju kering di tangan Seb.
Seb terperangah. Ia memperhatikan Quinn pergi ke ruangan di sebelah
kamar Eleanor. Saat itulah ia menyadari bercak darah dari ruangan itu
hingga ke pintu belakang. Ia mengamati darah yang mulai mengering di
daun pintu. "Itu adalah darah Eleanor."
Seb terperanjat. Ia membalikkan badan melihat Quinn yang sudah
mengganti baju basahnya. Pemuda itu tampak aneh dengan baju kasar
penduduk miskin. Kesannya seperti batu berlian dibungkus daun kering.
"Mereka telah melukai Eleanor."
Seb serasa melihat bara api di mata pemuda itu.
Sekali lagi pintu tempat Eleanor terbaring, terbuka. Kali ini yang muncul
adalah dokter yang dibawa Seb.
"Saya sudah menghentikan pendarahan Paduka Ratu," lapornya, "Saya
juga telah membalut lukanya seadanya. Maaf saya tidak bisa melakukan
lebih banyak untuk Paduka Ratu."
"Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik," kata Quinn lalu ia
berpaling pada Seb, "Antar dia pulang. Aku akan menjaga Eleanor." Dan
pemuda itu menghilang di balik pintu dengan membawa baju kering yang
disiapkan Mrs. Brandrick untuk Eleanor.
Quinn melihat Eleanor yang berbaring setengah telanjang di ranjang.
Perban putih melilit perutnya demikian kedua telapak tangannya yang
sesaat lalu masih berdarah.
Quinn duduk di sisi Eleanor dan dengan hati-hati mengangkat tubuh
Eleanor. Di saat Eleanor berada di pelukannya itulah ia merasakan tubuh
dingin Eleanor bergetar. "Jangan khawatir," bisiknya lembut, "Aku akan segera melepas baju
basahmu." Dengan hati-hati ia membebaskan kulit Eleanor dari gaun
basahnya dan dengan hati-hati pula ia mengeringkan tubuh Eleanor.
Setelah ia menyelesaikan tugasnya mengganti baju Eleanor, Quinn duduk
kembali di sisi Eleanor. "Eleanor," Quinn menggosok-gosok tangan Eleanor dengan hati-hati.
"Eleanor, bertahanlah," bisiknya cemas melihat tubuh gadis itu terus
menggigil. Quinn tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia telah mengeringkan
tubuh Eleanor. Ia juga telah mengganti gaunnya dengan gaun kering
yang disiapkan Mrs. Brandrick. Ia juga telah menyelimuti Eleanor dengan
selimut hangat. Api dari perapian juga telah menghangatkan ruangan.
Namun gadis itu terus menggigil kedinginan.
"Eleanor," Quinn memegang wajah dingin yang pucat itu. "Eleanor...."
Quinn sadar ia harus melakukan sesuatu. Ia pun berdiri dan mulai
melepas bajunya. -----0----- Eleanor merasa hangat dan nyaman. Ia merasakan tangan yang kekar
merangkul pinggangnya erat-erat. Tangan lain menggosok-gosok
punggungnya. Pipinya menempel pada sesuatu yang lembut dan hangat.
Entah apa yang ada di dekatnya itu. Apa pun itu, ia memberi kehangatan
dan kenyamanan padanya. Ia dapat merasakan setiap kehangatan yang
terpancar darinya di kulitnya yang halus. Ia dapat merasakan setiap
sentuhan lembut di kulitnya yang sensitif.
"Eleanor, apa kau sudah merasa hangat?" samar-samar terdengar nada
berat yang dipenuhi kecemasan, "Eleanor, bertahanlah."
Eleanor mencoba mengenali suara itu.
"Eleanor, kau tidak boleh pergi."
Suara itu... ia sering mendengar suara itu.
"Eleanor, Eleanor," orang itu terus memanggilnya dengan cemas.
"Eleanor, Eleanorku."
Ya! Ia tahu siapa orang itu.
"Sadarlah, Eleanor. Tunjukkan padaku semangatmu yang menggebugebu itu, Eleanor."
Eleanor mencoba memanggil nama orang itu, tapi ia merasa tidak
bertenaga. Eleanor mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya lirihan
kecil, "... Q-Quinn..."
Quinn kaget. Dijauhkannya Eleanor dari tubuhnya.
Eleanor berusaha keras membuka mata. Ia berusaha untuk sadar.
"Eleanor, kau masih hidup," Quinn gembira.
"Q-Quinn...," lirih Eleanor. Mata Eleanor yang terbuka sedikit itu perlahanlahan
menutup lagi. "Eleanor, jangan tidur!" Quinn mencegah, "Kau tidak boleh tidur," Quinn
memegang pipi Eleanor. "Dingin..." Quinn menarik selimut menutupi tubuh telanjang mereka dan memeluk
Eleanor erat-erat. "Kau sudah lebih hangat?"
Quinn melihat Eleanor meringis kesakitan.
Quinn cepat-cepat melonggarkan pelukannya.
Kepala Eleanor terkulai lemas di lengan Quinn.
Quinn melihat wajah pucat yang menahan sakit itu dan bersumpah,
"Jangan panggil aku Quinn kalau aku tidak bisa menangkap dalang di
balik semua ini." "Quinn...," tubuh Eleanor bergetar, "Dingin..."
Quinn bingung. Apa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membuat
Eleanor merasa hangat" Quinn memeluk Eleanor dengan hati-hati dan
menggosok-gosok tubuh gadis itu dengan hati-hati pula.
Mata Eleanor mulai terpejam lagi.
"Eleanor," Quinn panik, "Jangan tidur. Tetaplah bersamaku. Berbicaralah
denganku." Eleanor membuka mata. Dengan sinar matanya yang dipenuhi kelelahan,
ia melihat Quinn. Sesaat kemudian ia menutup mata lagi.
"Eleanor! Eleanor!" panggil Quinn, "Jangan tidur! Tetaplah terjaga. Kau
harus bertahan." Tapi... Eleanor sudah tidak kuat lagi. Quinn pun tidak dapat mencegah
mataEleanor terpejam. "Eleanor!" Quinn memegang wajah gadis itu - berusaha
membangunkannya. Suara ketukan pintu di tengah-tengah suara hujan deras menarik
perhatian Quinn. Quinn segera mengenakan celana panjangnya dan membuka pintu rumah
kecil itu. "Kereta kuda sudah tiba, Paduka," lapor Pedro.
"Saya membawa baju hangat untuk Anda dan Paduka Ratu," Nicci muncul
dari belakang Pedro. "Masuklah," Quinn memberi jalan, "Eleanor ada di dalam kamar itu," ia
menunjuk kamar dari mana sinar berasal.
Nicci bergegas pergi. Mrs. Brandrick yang mengikuti kereta kerajaan memperhatikan Quinn.
Beberapa saat lalu keragu-raguannya sirna ketika melihat Nicci, wanita
yang sering terlihat bersama Eleanor, muncul dari dalam kereta. Namun
ia merasakan sebuah dorongan besar untuk memperjelas pertanyaanpertanyaan di
kepalanya. "Paduka," kata Mrs. Brandrick hati-hati, "Saya tahu pertanyaan ini tidak
sopan. Namun bila Anda berkenan bisakah Anda menegaskan kepada
kami bahwa Eleanor yang kami kenal baik adalah Ratu."
"Eleanor yang kalian kenal adalah istriku, Ratu Kerajaan Viering," Quinn
menegaskan. Pekikan kaget terlompat dari mulut Mrs. Brandrick juga kawan-kawan
Eleanor yang mengikuti kereta kerajaan.
"Bila ia memang seorang Ratu," Mrs. Brandrick melanjutkan
pertanyaannya, "Mengapa ia sering terlihat sendirian di Loudline?"
"Mrs. Brandrick," kata Quinn, "Kau sudah mengenal Eleanor sejak lama,
bukan?" Mrs. Brandrick mengangguk.
"Apa menurutmu Eleanor mau duduk manis selayaknya seorang Ratu?"
"Tidak, Paduka," jawab Mrs. Brandrick spontan. Kemudian ia kaget oleh
jawabannya sendiri. Namun sebelum ia mengubahnya, Quinn
membuatnya heran dengan tawa gelinya.
"Sekarang apakah engkau masih meragukannya?" tanyanya. Mata sayu
Quinn melihat pintu kamar yang tertutup rapat. "Kalau saja ia mau duduk
diam, hal ini tidak akan terjadi."
Mrs. Brandrick termenung. Raja benar. Eleanor yang dikenalnya bukan
seorang lady yang angkuh dan sombong. Eleanor yang dikenalnya adalah
seorang gadis periang yang penuh semangat dan ramah.
"Mrs. Brandrick, Seb, dan juga kalian semua," Quinn melihat kawankawan Eleanor
itu satu per satu, "Biarlah hal ini menjadi rahasia di antara
kita." Mereka kebingungan. "Perlakukan Eleanor seperti biasanya," Quinn menjelaskan keinginannya
dan menambahkan, "Kalau kalian tidak ingin membaca peristiwa
pembunuhan di Fyzool."
Mata mereka membelalak oleh kepanikan.
"Paduka, Anda tidak serius, bukan?" tanya Mrs. Brandrick.
"Siapa tahu apa yang akan dilakukan Xenaku," Quinn tersenyum dan
meninggalkan mereka ke kamar tempat Eleanor terbaring.
"Mereka benar-benar pasangan serasi," komentar Seb melihat Quinn
menutup pintu. "Kau sudah tidak punya harapan, Seb," Mrs. Brandrick menepuk pundak
pemuda itu. BAB 26 Quinn termenung menatap pedang di tangannya. Sepanjang usahanya
menemukan Eleanor, Quinn terus berdoa informasi yang didapatnya salah
tetapi sekarang... Mata Quinn tidak lepas dari simbol yang terukir indah di pegangan
pedang itu. Ia tidak mungkin salah mengenali simbol itu. Ia tidak
mungkin melupakan simbol yang dilihatnya hampir setiap hari. Itu adalah
simbol keluarga Soyoz. Itu adalah lambang keluarga sepupunya itu.
Quinn termenung. Ia tidak dapat mempercayai semua ini. Quinn juga
tidak dapat mempercayai bukti yang ditemukannya di sisi tubuh Eleanor
yang tergeletak dalam hujan deras.
Ia tidak percaya sepupunya yang penakut itu terlibat dalam usaha
pembunuhan Eleanor! Quinn dapat mempercayai dalang di balik semua ini
adalah Simona tetapi Mathias... Tidak! Ia tidak dapat mempercayainya.
Siapakah yang dapat membawa keluar pedang ini bila bukan Mathias
sendiri" Apakah gunanya Simona membawa pedang ini bila ia telah menyewa
segerombol penjahat untuk membunuh Eleanor"
Apakah Simona harus membawa pedang ini bila ia ingin menghabisi
Eleanor dengan tangannya sendiri"
Quinn benar-benar sukar mempercayai ini semua!
"Paduka," Jancer memecahkan lamunan Quinn, "Apakah yang harus kami
lakukan" Todd masih tidak mau membuka mulut. Ia tidak mau
memberitahu kami hubungannya dengan Duke of Binkley. Simona juga
masih belum tertangkap."
Quinn diam termenung di kursinya.
Grand Duke memperhatikan Quinn yang terus mengawasi pedang di
tangannya itu lalu ia berpaling pada Jancer. "Jancer, apakah kau yakin
mereka terlibat dalam masalah ini" Berhati-hatilah dengan kata-katamu.
Ini bukan masalah sepele."
"Saya sangat yakin, Grand Duke," jawab Jancer, "Bukti sudah ada di
tangan kita," Jancer merujuk pedang di tangan Quinn, "Selain itu
beberapa prajurit yakin mereka melihat Simona di antara penjahat yang
kabur. Dan Paduka Ratu, seperti kata Paduka, pernah melihat Simona
bersama Todd." Grand Duke tidak melihat adanya celah untuk membantah dugaan itu. Ia
melihat Quinn yang kini meletakkan pedang itu di meja.
"Haruskah kami mengirim pasukan ke Arsten?" tanya Jancer pula, "Kami
yakin Simona bersembunyi di sana. Perlukah kami meminta polisi
Loudline dan Pittler membantu menangkap bawahan-bawahan Todd yang
kabur?" "Tidak, Jancer," akhirnya Quinn membuka mulut, "Saat ini cukup awasi
keadaan Arsten dengan diam-diam. Aku tidak ingin terjadi peristiwa apa
pun yang mengguncang Viering."
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun Jancer ingin membantah perintah itu, ia tetap berkata, "Saya
mengerti, Paduka." Jancer tidak ingin menambahi beban pemuda itu. Ia juga dapat
memahami keinginan pemuda itu untuk merahasiakan peristiwa ini dari
masyarakat luas. Penduduk Pittler, di malam itu, telah diminta Quinn untuk menutup mulut
tentang peristiwa ini. Quinn juga menyuruh setiap orang di Fyzool
menutup mulut tentang keadaan Eleanor. Bila ada yang menanyakan
Eleanor, Quinn hanya memperbolehkan setiap orang berkata Eleanor
demam. Semenjak hari itu pula Quinn tidak pernah memanggil Duke of
Binkley. Ia juga tidak memerintahkan polisi untuk menangkap bawahan
Todd yang masih berkeliaran di Viering terutama Loudline dan Pittler.
Satu-satunya pasukan yang bergerak sejak hari itu hanyalah sebagian
kecil dari pasukan keamanan Istana.
Grand Duke pun tahu resikonya bila kabar ini tersiar luas. Kerajaan
Viering pasti akan terguncang lagi - jauh lebih terguncang dari saat berita
pernikahan Duke of Binkley ataupun pernikahan Raja. Peristiwa ini tentu
akan memecahkan penduduk Viering. Peristiwa ini juga akan
mempengaruhi pandangan kerajaan-kerajaan lain pada Viering. Yang
paling parah, bila dugaan mereka salah, kepercayaan penduduk pada
Raja akan hilang. Duke of Binkley memang seorang duke yang dikenal Viering sebagai
seorang pemuda tidak berguna yang suka bersenang-senang,
berkebalikan dengan Raja. Namun ia tetaplah keluarga kerajaan dan
seperti Quinn, ia disegani sebagian penduduk Viering sebagai satusatunya
keturunan keluarga Soyoz.
Seperti Grand Duke, Duke of Binkley yang terdahulu adalah orang yang
cukup berpengaruh di Viering. Grand Duke Bernard, Duke of Binkley
terdahulu dan ayah Quinn terkenal sebagai trio yang selalu berkerja sama
mengatur Viering dengan Raja Alvaro sebagai pemegang kuasa terbesar.
Hubungan di antara ketiganya pun sangat erat seperti Quinn dan Mathias
ketika mereka masih kecil.
Bernard memperhatikan Quinn.
Sejak malam ia membawa pulang Eleanor yang terluka parah, ia sering
seperti ini: diam termenung dengan sinar mata yang tidak terbaca.
Seringkali Grand Duke ingin menanyakan apa yang tengah dipikirkannya
namun ia tidak berani. Keadaan Quinn yang seperti ini jauh lebih
menakutkan daripada ketika ia marah.
Sejak saat itu pula Grand Duke kembali sering meragukan keputusannya
sendiri. Andaikan ia tidak memilih Eleanor, peristiwa ini tidak akan pernah
terjadi. Eleanor tampaknya bukan pilihan yang tepat. Sejak Eleanor memasuki
Istana, selalu ada saja yang diperbuatnya untuk menyibukkan seisi
Istana. Hampir tiap hari pula ia membuat Quinn marah. Setiap saat ia
selalu memberontak, membuat keributan dan mengacaukan suasana.
Duke Bernard berpikir apakah yang semula membuatnya memilih
Eleanor" "Bernard," panggilan Quinn membuat Duke of Krievickie terperanjat.
Duke Bernard sudah siap bila Quinn mau memarahinya.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau memilih dia." Quinn tersenyum.
Grand Duke terpana. "Kau tidak salah memilih. Kalau bukan gadis seperti Eleanor, pasti tidak
ada yang sanggup menjadi Ratuku."
Grand Duke membalas senyum itu. Ia ingat awal dari keputusannya ini.
"Dialah yang memberi saya ide ini," katanya.
"Oh ya?" Raja tertarik.
"Dia pernah berkata hanya kuda betina saja yang cocok untuk Anda.
Menurut saya, ia benar. Butuh ketegasan dan keberanian untuk menjadi
istri pilihan Anda."
Raja tersenyum. Kalau bukan Eleanor, pasti tidak ada yang sanggup menghadapi
keegoisannya. Kalau bukan Eleanor, ia tidak akan menemukan pujaannya.
Kalau bukan Eleanor, ia tidak akan pernah menemukan warna dalam
kehidupan monotonnya. Semua ini karena Eleanor, karena dia hadir dalam hidupnya.
"Terima kasih, Bernard," lagi-lagi Quinn membuat Duke terpanah dengan
senyumannya, "Kau sudah memilih kuda liar untukku."
Untuk pertama kalinya Duke benar-benar berlega hati telah memilih
Eleanor. "Kalau ada keperluan panggil aku," Quinn berdiri, "Aku ada di kamar
Eleanor." "Saya mengerti, Paduka." Grand Duke berpikir kapankah terakhir kali ia
melihat senyum yang menawan itu.
Quinn melangkahkan kaki ke kamar Eleanor.
Beberapa hari sudah berlalu namun Quinn merasa peristiwa itu
berlangsung bertahun-tahun lalu. Suasana di Fyzool terasa sangat sepi
tanpa tawa ceria Eleanor. Ia merasa tidak bersemangat melewati hariharinya yang
tanpa amarah. Ia merasakan ada yang kurang dalam
dirinya tanpa seruan-seruan kerasnya.
Quinn membuka pintu kamar Eleanor dengan perlahan.
Earl of Hielfinberg, ayah Eleanor, duduk di kursi di sisi tempat tidur
Eleanor. Earl telah berada di Istana sehari setelah peristiwa itu. Setiap
saat ia selalu terlihat duduk di sisi putrinya yang masih belum sadar
dengan wajah sedih. "Eleanor...," Earl menggenggam tangan Eleanor dengan hati-hati.
Quinn berdiam diri di pintu.
"Eleanor, jangan tinggalkan aku," desah Earl lagi.
"Dia akan sembuh."
Earl menoleh. Raja masuk dan duduk di sebelah Earl. "Eleanor penuh gairah hidup. Ia
tidak akan pergi semudah ini. Percayalah padaku."
Earl tidak menanggapi. Ia menggenggam erat tangan Eleanor dan
menunduk dalam-dalam. 'Eleanor,' Quinn melihat wajah tenang Eleanor, 'Aku yakin kau akan sadar
lagi. Aku yakin!' "Beristirahatlah, Earl," kata Quinn, "Saya akan menjaga Eleanor."
"Tidak, Paduka," tolak Earl, "Saya ingin menemani Eleanor."
"Eleanor tidak akan senang melihat Anda seperti ini. Anda juga perlu
menjaga kesehatan." Earl hanya memperhatikan Eleanor tanpa suara.
"Beristirahatlah," Quinn meletakkan tangannya di pundak yang lesu itu,
"Saya masih membutuhkan Anda menjaga Eleanor selama saya sibuk."
Mata Earl beralih kepada pemuda yang beberapa hari ini disibukkan oleh
urusan penculikan Eleanor. "Saya mengerti," ia mengalah.
Quinn melihat Earl yang pergi dengan berat hati kemudian mengalihkan
perhatiannya ke Eleanor yang masih belum sadar diri.
Tiga hari sudah berlalu sejak peristiwa itu. Tiga hari pula Eleanor terus
tidak sadarkan diri. Seperti yang dikhawatirkan Mrs. Brandrick, suhu tubuh Eleanor terus
meninggi malam itu. Suhu tubuhnya terus meninggi hingga keesokan
harinya. Lawrence, dokter yang dipanggil pihak Fyzool, mengatakan Eleanor
terserang demam. Selain itu suhu tubuhnya meninggi akibat perlawanan
tubuhnya terhadap kuman-kuman di lukanya.
Quinn mengambil tangan Eleanor dengan hati-hati. "Eleanor," ia mencium
tangan yang masih terbalut perban itu. "Aku yakin kau mendengar
suaraku," katanya lagi, "Bila kau mendengarku, segeralah sadar. Aku
benar-benar kesepian. Aku tidak punya alasan untuk marah-marah."
Quinn meletakkan tangan dingin itu di pipinya. Matanya terpaku pada
wajah Eleanor. "Eleanor," tangannya yang lain mengelus kepala Eleanor,
"Segeralah sadar. Berjanjilah padaku kau tidak akan kalah. Berjanjilah
kau akan segera bangun dari tidur panjangmu."
Seseorang mengetuk pintu.
Quinn segera berdiri untuk membuka pintu.
"Dokter Lawrence datang untuk melihat keadaan Paduka Ratu," lapor
Nicci. "Selamat siang, Paduka," Dokter Lawrence menyapa, "Saya datang untuk
memeriksa Paduka Ratu."
Quinn mengikuti Dokter ke sisi pembaringan. Tanpa sedikit pun
mengeluarkan suara, ia memperhatikan Dokter merawat luka-luka
Eleanor yang masih belum kering dibantu Nicci. Kemudian, seperti yang
selalu dilakukannya selama tiga hari ini, ia memeriksa kondisi Eleanor.
Nicci segera merapikan baju Eleanor dan membenahi selimut tebalnya.
"Keadaan Ratu sudah mulai stabil," Lawrence melaporkan hasil
pemeriksaannya, "Sekarang yang perlu kita khawatirkan adalah
demamnya. Saya harap dalam waktu dekat ini panas Ratu akan turun."
Quinn diam. Lawrence tersenyum melihat wajah cemas pemuda itu. Ia mendekati
pemuda itu. "Jangan khawatir, Paduka," Dokter Lawrence menepuk pundak Quinn,
"Saya dengar Ratu adalah seorang yang penuh semangat. Ia akan segera
sadar. Percayalah pada saya."
Mata Quinn terus terpaku pada Eleanor.
"Jagalah kesehatan Anda," sang dokter kemudian berpesan, "Saya lihat
akhir-akhir ini Anda sangat lelah."
"Terima kasih, Lawrence. Aku tahu batas kemampuanku," kata Quinn,
"Bila kau punya waktu, bisakah kau memeriksa Earl pula."
"Earl?" Lawrence kebingungan.
"Eleanor tidak akan senang bila mendengar ayahnya sakit ketika ia
sadar," Quinn menerangkan, "Kulihat akhir-akhir ini Earl kurang sehat."
"Tentu, Paduka Raja."
Suara ketukan pintu kembali terdengar.
Nicci segera membuka pintu sesaat kemudian ia mendekati Quinn.
"Grand Duke menginginkan kehadiran Anda di ruangan Anda, Paduka," ia
melaporkan, "Ada seorang tamu yang ingin menemui Anda."
"Aku mengerti," lalu ia berpaling pada Lawrence, "Maaf aku tidak bisa
mengantar kepergianmu, Lawrence."
"Saya memahaminya, Paduka."
"Jangan lupa periksa Earl," pesan Quinn sebelum ia pergi dan kepada
Nicci, ia berkata, "Jagalah Eleanor sampai aku kembali. Earl sedang
beristirahat di ruangannya."
"Saya mengerti, Paduka."
Lawrence memperhatikan kepergian Quinn dengan senyum. "Ia seorang
pemuda yang mengagumkan."
Nicci mengangguk sependapat. "Tidak ada yang dapat memahami Paduka
Ratu sebaik Paduka," tambahnya pula.
-----0----- "Kau benar-benar sudah di luar batas, Simona!" untuk kesekian kalinya
dalam lima hari belakangan ini Duke Binkley memarahi istrinya, "Apa
yang harus kulakukan bila Quinn marah?"
"Tidak akan! Lihatlah sampai sekarang ia belum melakukan apapun
terhadapmu." "Belum bukan berarti tidak!" seru Mathias gusar, "Kau tidak tahu siapa
Quinn. Kau tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Apa yang harus
kulakukan. Apa?""
Simona mengacuhkan Mathias yang terus berjalan mondar-mandir
dengan gusar. "Kau benar-benar sinting! Mengapa kau membawa pedang keluargaku"
Quinn pasti tahu aku ada hubungannya dengan peristiwa ini. Apa yang
harus kulakukan" Bagaimana kalau ia mengirimkan pasukan untuk
menangkapku?" "Tidak mungkin! Quinn tidak pernah memanggilmu. Sampai sekarang
juga masih tidak ada pergerakan dari Istana."
"Pedang keluarga Soyoz ada di tangannya. Apa masih ada jalan untuk
memungkirinya!?""
"Katakan saja seseorang mencuri pedang itu," kata Simona tenang.
"Bagaimana kalau Eleanor mengatakan semuanya!" Eleanor melihatmu,
bukan" Bagaimana kalau Quinn percaya padanya?"
"CUKUP!" akhirnya Simona marah, "Kau benar-benar cerewet! Kalau
memang takut, bunuh saja Quinn dan Eleanor. Memangnya apa kelebihan
Quinn" Dia hanya seorang pemuda dengan gelar Raja! Tidak lebih dari
itu!" "Lebih dari itu!?" Mathias terperanjat, "Ia adalah seorang Raja! Ia bukan
kebetulan menjadi seorang Raja! Apa yang harus kulakukan kalau ia
menangkapmu!" Tidak! Quinn pasti menangkapmu. Quinn pasti akan
melakukannya. Ia pasti akan menangkapku juga. Pedang Soyoz ada di
tangannya bukan?" Simona kesal melihat suami tidak bergunanya. Selama lima hari ini ia
terus-terusan melihat suaminya seperti itu
Malam itu setelah ia dengan tidak mudahnya kabur dari kejaran para
prajurit Istana, Mathias menyambut kepulangannya dengan amarah. Ia
terus menanyakan keberadaan pedang keluarga Soyoz. Sedikitpun tidak
mengkhawatirkannya. Setelah mengetahui ke mana perginya pedang
pusakanya, Mathias menjadi gusar. Tiap hari ia terus meneliti isi korankoran di
seluruh Viering. Ia juga tiada hentinya mengomelinya.
Di mata Simona, Mathias benar-benar bodoh! Raja tidak mungkin
mengambil tindakan gegabah. Mathias bukan hanya sepupunya tapi juga
putra seorang Duke berpengaruh. Tidak ada yang perlu ditakutinya. Lihat
saja buktinya. Hingga hari ini ia tidak mengambil tindakan apa pun
bahkan ia menutup-nutupi kejadian itu. Pihak Istana juga hanya
menjelaskan Eleanor demam. Hingga detik ini tidak ada yang mengungkit
peristiwa sebenarnya yang menimpa Eleanor. Juga tidak ada yang
mengungkit masalah pedang keluarga Soyoz. Kalau memang Quinn bisa
melakukan sesuatu pada mereka, mereka bisa mencegahnya.
"Mathias," Simona bergelayut manja pada suaminya. "Kau tidak ingin aku
ditangkap mereka bukan?"
"Omong kosong!" hardik Mathias, "Tentu saja aku tidak
menginginkannya!" Simona tersenyum puas. "Kalau kau tidak ingin dinyatakan terlibat dalam
masalah ini, mengapa kau tidak menutup mulut gadis ingusan itu" Gadis
ingusan itu masih belum sadar, bukan?" tanya Simona, "Kau tahu kalau
dia sadar dia pasti akan mengatakan semua yang terjadi padanya.
Namun bila ia tidak pernah sadar, tidak akan ada yang tahu apa yang
telah terjadi. Quinn pasti tidak akan menghantuimu. Kau juga bisa
dengan lega mengumumkan hilangnya pedang keluargamu. Tidak akan
ada yang curiga. Semua akan berlanjut dengan normal kembali."
Duke Binkley itu terdiam.
-----0----- "Apa yang kaulakukan, Derrick?" omel Irina melihat adiknya masih
membaca koran di ruang makan. "Mengapa engkau tidak segera bersiapsiap" Matahari
sudah semakin tinggi."
"Aku belum selesai membaca koran hari ini."
"Apoa kau tidak ingin melihat Eleanor?"
"Untuk apa kau terburu-buru?" tanya Derrick, "Eleanor tidak akan ke
mana-mana. Bukankah Dokter juga mengatakan Eleanor tidak akan sadar
dalam waktu dekat ini."
"Apa kau tidak mengkhawatirkan Eleanor?"
"Aku peduli pada Eleanor tapi adakah gunanya melihatnya setiap hari" Ia
masih belum sadar. Pihak Istana juga sudah memanggil dokter untuk
mengawasi perkembangan kondisi Eleanor. tidak ada yang perlu
kucemaskan tentang itu. Sekarang yang lebih mengkhawatirkanku adalah
desas desus yang berkembang di dalam Istana."
"Desas-desus apa?" tanya Irina, "Bukankah Raja juga mengatakan
Eleanor mengalami kecelakaan di Pittler?"
Derrick melihat wajah polos kakaknya dan mendesah. "Kau memang
bukan Eleanor." "Apa maksud perkataanmu itu1?" Irina marah.
"Apa kau tidak curiga melihat luka-luka Eleanor" Apa kau tidak pernah
bertanya mengapa Quinn terlihat ingin menyembunyikan keadaan Eleanor
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sebenarnya?" "Raja pasti tidak mau rakyat mengkhawatirkan Eleanor."
"Dasar wanita," keluh Derrick, "Percuma saja aku membicarakannya
denganmu. Papa juga tidak mau membicarakannya denganku. Eleanor
juga masih belum sadar."
"Mengapa kau tidak membicarakannya denganku?" bujuk Irina.
"Tidak! Percuma saja! Kau tidak akan mengerti!"
"Karena kau tidak mengatakannya," bantah Irina, "Kalau kau
mengatakannya, aku pasti mengerti."
Derrick terdiam. Saat ini memang hanya kakaknya yang bisa diajaknya
berbicara. Mengatakan pikirannya kepada orang lain mungkin akan
membuat pikirannya terasa lebih ringan. Irina mungkin juga mempunyai
pendapat yang sama. "Aku curiga kejadian yang menimpa Eleanor di Pittler bukan murni
kecelakaan," Derrick mengutarakan kecurigaannya, "Luka-lukanya terlalu
rapi untuk dikatakan sebagai akibat kecelakaan. Aku rasa ada yang coba
membunuh Eleanor di Pittler."
Irina terpekik kaget. "Jangan mengada-ada. Tidak akan ada yang ingin
membunuh gadis semanis Eleanor."
"Aku tidak mengada-ada. Pikirkanlah baik-baik. Siapa yang paling
diuntungkan bila Eleanor mati?"
Irina langsung mengetahui jawabannya. "Itu... tidak mungkin."
"Mengapa tidak?" tanya Derrick.
"Mathias dapat dipastikan meneruskan tahta kalau Quinn tidak
mempunyai keturunan."
"Itu tidak mungkin! Kau tahu Mathias. Dia... dia..."
"Ya, dia adalah seorang pengecut tapi Simona?" serang Derrick, "Apakah
kau pikir Simona juga seorang pengecut" Ingatlah dia adalah mantan
kriminal. Membunuh bukanlah hal yang sulit baginya. Ia mengenal
banyak penjahat yang mau melakukan pekerjaan itu untuknya."
Irina benar-benar kehabisan kata-kata.
"Bagiku itu adalah alasan yang paling masuk akal atas diamnya phak
Istana," Derrick mengakhiri perdebatannya, "Quinn juga tahu apa yang
akan terjadi bila ia langsung memerintahkan prajurit untuk menahan
Simona ataupun Mathias."
"Tapi... itu tidak mungkin, bukan?"
"Ini hanya dugaanku. Ini masih dugaanku." Derrick ingat ia harus
memperingati Irina. "Jangan katakan pada siapa pun. Satu omongan
yang salah bisa menyebabkan gejolak di Viering," ia memperingati
kakaknya. Irina mengangguk. Derrick memperhatikan Irina. memberitahu Irina tampaknya bukan
tindakan bijaksana. Ia telah memperingati Irina namun siapa tahu yang
bisa mempercayai mulut seorang wanita" Derrick juga tidak bisa
menahan dirinya. Ia pernah mencoba mengutarakan dugaannya pada
ayahnya tapi sang Grand Duke marah. Eleanor, gadis yang sering
diajaknya bertukar pendapat, masih terbaring tidak sadar diri. Derrick
juga tidak mungkin mengatakannya pada Quinn ataupun Earl.
"Mengapa engkau masih belum pergi?" tanya Derrick, "Bukannya kau
ingin melihat Eleanor?"
Irina langsung teringat tujuannya semula mencari Derrick. "Mengapa
engkau tidak segera bersiap-siap?" ia memarahi Derrick lagi, "Apa kau
tidak ingin melihat Eleanor?"
"Pergilah dulu," Derrick membuka kembali korannya, "Aku akan menyusul
setelah aku menyelesaikan ini."
Irina marah melihat adiknya. "Apakah engkau tidak bisa membacanya
sepulang dari Fyzool!?"
"Tidak bisa," Derrick menjawab mantap, "Koran adalah bagian dari
sarapan." Irina benar-benar marah dibuatnya. Tanpa sepatah kata pun ia
meninggalkan adiknya. Ia masih mengomel ketika ia sudah tiba di Istana.
Semua pria sama saja. Derrick hanya mengkhawatirkan Eleanor di
mulutnya. Demikian pula Raja Quinn. Walaupun tampaknya Quinn
mengkhawatirkan Eleanor, ia masih jarang melihat keadaan Eleanor.
Selama kedatangannya ke Istana dalam tiga hari belakangan, Irina sama
sekali tidak pernah melihat Quinn di kamar Eleanor. Dari Earl Hielfinberg,
ia mengetahui Quinn menghabiskan waktunya di ruang kerjanya.
Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Eleanor masih tidak sadarkan diri
dan ia terus berkutat dengan masalah lain. Irina merasa seperti ditipu. Ia
sempat memuji ketegasan Quinn dalam menangani kondisi Eleanor
namun sekarang ia kembali meragukan pemuda itu.
Irina terkejut melihat seorang pemuda di sisi tempat tidur. Pemuda itu
membungkuk ke arah Eleanor. Tangannya yang terulur ke wajah Eleanor
menghalanginya mengenali rupa pemuda itu. Irina baru saja berpikir
pemuda itu adalah Quinn ketika ia menyadari sesuatu yang tidak beres.
Tangan pemuda itu bukan memegang wajah Eleanor seperti dugaannya
semula melainkan memegang leher Eleanor!
"Apa yang kaulakukan?" Irina menjadi was-was.
Pemuda itu terperanjat. "Duke Binkley!" Irina terperanjat. Ia teringat kecurigaan Derrick.
"A-aku hanya memeriksanya," Mathias gugup, "Beberapa saat lalu ia
tampak kesakitan, jadi aku memeriksanya."
"Tolong Anda jauhi Eleanor," kata Irina memperingati, "Anda tidak perlu
khawatir, saya akan memanggil dokter untuk memeriksa Eleanor."
"Saya lega mendengarnya. Tolong Anda periksa keadaannya. Maaf saya
masih ada urusan," Mathias dengan gugup bergegas meninggalkan kamar
Eleanor. Irina memperhatikan sikap gugup Mathias dengan curiga. Satu jam yang
lalu ia masih menertawakan kecurigaan adiknya, sekarang ia mulai
memikirkannya dengan serius.
Ia yakin beberapa saat lalu ia melihat Mathias sedang mencekik Eleanor.
Ia berusaha membunuh Eleanor! Mathias tidak mungkin berniat
membunuh Eleanor kecuali ia ingin menutup mulut Eleanor. Tapi
mengapa" Apakah dugaan Derrick benar"
Irina tidak mengerti. Namun ia segera sadar. Dibandingkan memikirkan
hal ini, sekarang yang lebih penting adalah memastikan keadaan Eleanor.
Irina benar-benar lega merasakan nafas Eleanor yang naik turun dengan
teratur. Pintu terbuka. "Apalagi maumu!?" Irina langsung bersiaga. "Bukankah aku sudah
mengatakan aku akan memanggil dokter!?"
Nicci melihat Irina dengan kaget. "M-maafkan saya, M'lady," kata Nicci
gugup, "Apakah saya menganggu Anda"'
Irina sadar siapa yang baru saja dibentaknya. "Tidak, Nicci. Engkau tidak
mengangguku. Aku hanya pikir kau adalah seorang penganggu yang baru
saja pergi." "Apakah ada yang menganggu Paduka Ratu selama saya pergi?" Nicci
langsung memeriksa keadaan Eleanor dengan cemas. "Maafkan saya.
Saya tidak akan gegabah lagi. Saya hanya pergi untuk mengganti air
kompres Paduka Ratu."
Irina melihat baskom air di tangan Nicci. Kemudian ia menyadari
kejanggalan lain di kamar itu. "Di mana Earl Hielfinberg?"
"Paduka meminta Earl beristirahat," jawab Nicci, "Kesehatan Earl
menurun. Pagi ini Dokter Lawrence telah menyarankan Earl untuk
beristirahat seharian."
"Tentu saja kesehatan Earl menurun!" Irina marah teringat
ketidakpedulian Derrick maupun Quinn pada Eleanor, "Tiap hari ia
menjaga Eleanor dari pagi sampai malam. Para pria itu mana mau
peduli!" "Siapa yang kaukatakan tidak peduli itu, Irina?" Derrick memasuki kamar
dengan kesal. "Derrick! Aku baru saja."
'Engkau juga tahu apa yang akan terjadi kejadian ini bisa menyebabkan
gejolak di Viering.' Irina teringat peringatan Derrick pagi ini.
"Derrick," Irina menarik tangan Derrick, "Kita harus segera mencari
Paduka Raja." Derrick bingung. "Bukannya kau ingin aku segera menjenguk Eleanor"
Mengapa sekarang kau ingin mengajakku pergi?"
"Nicci," Irina berbalik, "Jangan tinggalkan sisi Eleanor tak peduli siapa pun
yang memanggilmu." "Saya mengerti, M'lady."
"Ikut saja aku," Irina menarik adiknya.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Derrick ketika mereka sudah
meninggalkan Irina. "Aku melihat Mathias di kamar Eleanor," Irina berbicara dengan suara
kecil sehingga prajurit yang menjaga pintu kamar Eleanor tidak dapat
mendengarnya. Raut wajah Derrick langsung menjadi serius.
"Aku rasa kau benar. Mathias ingin menghabisi Eleanor. Aku melihat ia
mencekik Eleanor." "Apa kau sudah mengatakannya pada Nicci?" Derrick curiga.
"Apa kau pikir aku ini bodoh!?" Irina kesal. "Aku tahu apa akibatnya kalau
aku sembarangan bicara! Saat ini kita harus segera memberitahu Raja
untuk memperkuat keamanan Eleanor."
Derrick mengangguk sependapat.
Sesaat kemudian mereka sudah berada di ruangan tempat Quinn bekerja.
Selain Quinn, Duke Bernard juga ada di sana untuk mendengarkan
kecurigaan Derrick. "Jangan bicara sembarangan!" Duke Krievickie marah, "Apa kau sadar
akibat apa yang bisa ditimbulkan perkataanmu itu, Derrick!"
"Derrick mungkin benar, Papa," Irina membela adiknya, "Aku yakin aku
melihat Mathias mencekik Eleanor."
Wajah Quinn sama sekali tidak berubah mendengarnya.
"Jelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada Eleanor, Quinn!" desak
Derrick. "Derrick, apa kau sadar dengan siapa kau berbicara!?" Grand Duke dan
putrinya melabrak Derrick secara bersamaan.
"Sudahlah, Bernard," Quinn mendinginkan suasana lalu ia melihat
Derrick, "Rasanya tidak ada gunanya aku menyembunyikan hal ini lebih
lama lagi darimu, Derrick."
Quinn mengeluarkan sesuatu dari dalam kolong meja kerjanya.
Mata Derrick membelalak melihat pedang panjang itu di meja kerja
Quinn. Irina juga ikut kaget melihat simbol yang terukir di gagang pedang itu.
"P-paduka... ini...," Irina tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
Tangan Quinn bertumpu pada sikunya di atas meja. Jari-jari Quinn
bertautan di depan mulutnya yang dengan tenang berkata, "Ini
ditemukan bersama Eleanor."
Mata kedua kakak beradik itu membelalak semakin lebar.
"Saat ini masih belum jelas apa keterlibatan Binkley dengan penculikan
dan usaha pembunuhan Eleanor ini," Quinn melanjutkan tetap dengan
suara tenangnya, "Todd, sang pemimpin komplotan yang menculik
Eleanor, masih tidak mau membuka mulut. Kami masih menyelidiki
hubungan Simona dengan peristiwa ini."
"Bisa diyakinkan Mathias tidak mempunyai keberanian untuk melakukan
ini," Derrick sependapat, "Tetapi kalau Simona. Tidak perlu diragukan
lagi. Ia adalah jenis wanita yang akan melakukan apa saja untuk meraih
ambisinya." "Saat ini hanya beberapa orang saja yang mengetahui hal ini. Aku tidak
ingin berita ini tersebar luas sebelum ada bukti tentang kelibatan
Binkley." "Kami mengerti, Paduka," Irina langsung menanggapi, "Kami berjanji
tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun."
"Aku punya permintaan," kata Derrick.
"Katakanlah." "Aku ingin dilibatkan dalam masalah ini," Derrick berkata sungguhsungguh,
"Eleanor adalah adikku. Aku tidak bisa berdiam diri melihat
orang lain ingin mencelakakan Eleanor. Walaupun ke ujung dunia, aku
akan menangkap orang yang mencelakai Eleanor."
"Derrick, jangan gegabah!" hardik Duke Bernard, "Ini adalah masalah
serius." "Aku bukan anak kecil lagi, Papa!"
"Setuju," Quinn menarik perhatian ayah dan anak yang sudah memulai
pertengkaran mereka, "Bernard, jelaskan perkembangan penyelidikan
kita pada Derrick. Dan kau, Derrick, mulai besok aku mengharapkan
kedatanganmu di Fyzool." Quinn berdiri. "Irina, bisakah kau pergi
denganku ke kamar Eleanor. Aku ingin mendengar secara terperinci apa
yang sudah kaulihat di kamar Eleanor."
"Baik, Paduka," mereka menanggapi dengan tangkas.
BAB 27 Seminggu berlalu sudah sejak percobaan pembunuhan Eleanor.
Panas Eleanor sudah berangsur-angsur turun. Luka di tangannya sudah
mulai mengering. Namun menurut Dokter Lawrence, luka di perutnya
tidak akan sembuh secepat luka di kedua telapak tangannya.
Earl Hielfinberg juga sudah menunjukkan batas kesehatannya. Sekarang
atas nasihat dokter, ia beristirahat di kamar lain yang tak jauh dari kamar
Eleanor. Earl bukan saja lelah karena menunggui Eleanor sepanjang hari
namun juga karena kecemasannya. Pada awalnya ia menolak namun
setelah dibujuk oleh banyak orang, akhirnya ia mau menurut.
Todd juga masih menutup mulut. Ia tetap berpura-pura tidak tahu apa
yang telah terjadi di tempat persembunyiannya di Pittler. Ia terus
mengelak pertanyaan demi pertanyaan yang diutarakan padanya.
Sikapnya ini membuat Derrick sering lepas kendali hingga para prajurit
kewalahan mencegah Derrick melukai tahanan mereka. Bawahan Todd
juga tidak banyak membantu. Mereka tidak tahu siapa dalang peristiwa
ini. Sebagian dari mereka bersikap keras kepala seperti Todd dan
sebagian hanya tahu mereka diperintah Todd.
Di Arsten juga tidak tampak pergerakan yang mencurigakan. Simona
masih tetap tidak terlihat di dalam maupun sekitar Arsten. Mathias juga
tidak pernah menunjukkan sikap yang mencurigakan. Ia juga tidak
pernah mengumumkan hilangnya pedang pusaka keluarga mereka.
Quinn merasa sudah saatnya ia mengambil tindakan tegas. Mulanya ia
ingin menanti Mathias mengumumkan hilangnya pedang warisan keluarga
mereka. Namun tampaknya sekarang ia harus memanggil kakak
sepupunya itu dan menanyakan langsung keberadaan pedang yang
digenggam Eleanor ketika ia ditemukan.
"Eleanor, dalam waktu dekat ini aku akan meringkus semua yang
menyebabkanmu seperti ini. Aku berjanji padamu."
Quinn termenung melihat Eleanor. Hari-hari belakangan ini semangatnya
terus mengendur. Ia merasa seluruh tenaganya telah dibawa Eleanor
tidur. Dulu ia selalu berharap Eleanor dapat bersikap tenang. Ia tidak menyukai
setiap keributan yang dibuat Eleanor di Istananya. Sekarang ketika
harapan itu terkabul, ia mengharapkan yang sebaliknya. Quinn tidak
sanggup melihat gadis liarnya tidak berdaya seperti ini.
"Hari itu seharusnya aku mengikatmu," gumam Quinn. Mata kelabunya
yang sendu menatap lekat-lekat wajah yang tertidur nyenyak itu.
Tangannya membelai lembut setiap lekuk wajah Eleanor.
"Aku telah berusaha mencegahmu tetapi aku kalah. Kau tahu aku selalu
kalah darimu," Quinn menggenggam kedua tangan Eleanor erat-erat dan
menunduk dalam-dalam, "Andai saja aku berusaha lebih keras, semua ini
tidak akan terjadi. Kau tidak akan celaka. Kau adalah poin penting dalam
perebutan tahta ini. Kaulah pion untuk memberiku keturunan."
"Pion penting?"
Quinn terperanjat. Mata biru jernih Eleanor menatapnya tajam.
"Eleanor!?" Quinn terpekik kaget, "K-kau sudah sadar?"
"Ya," kata Eleanor sinis, "Cukup sadar untuk mendengar semuanya."
Quinn terdiam. Tidak ada gadis yang marah pertama kali tersadar dari tidur panjangnya.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak ada seorang gadis pun yang berani menatapnya seperti itu.
Tidak ada seorang gadis pun yang sanggup menunjukkan kemarahannya
ketika ia masih lemah. Tidak ada seorang gadis pun selain Eleanor!
Quinn tersenyum lega. "Ini baru kau," katanya sambil merengkuh Eleanor
dalam pelukannya. "Beginikah caramu memperlakukan poin pentingmu?"
"Tidak, Eleanor," Quinn membenarkan, "Kau bukan poin pentingku.
Bukan lagi." "Oh?" Eleanor terkejut. "Setelah kau berhasil menyingkirkan Simona, kau
juga akan menyingkirkanku?" suaranya tertahan oleh kesedihan yang
tiba-tiba menyiksa dadanya.
"Tidak," Quinn menjauhkan Eleanor dari pelukannya. Ia menatap Eleanor
lekat-lekat dan menegaskan, "Aku belum mempunyai cukup bukti untuk
menahan Simona walaupun sekarang kami masih memperdalam
penyelidikan. Aku yakin dalam waktu dekat kami akan menemukan bukti
keterlibatan mereka dalam usaha pembunuhanmu ini."
"Dan setelah itu kau akan mendepakku?"
"Setelah semua ini apakah kau kira aku sanggup?" Quinn tersenyum
lembut. "Mengapa tidak?" Eleanor balik bertanya, "Kau selalu mengeluh
mengeluhkan setiap tindakanku. Kau tidak pernah menyukaiku."
"Ya," Quinn mengakui, "Harus kuakui itu tetapi tidak selalu seperti itu."
Eleanor tidak mempercayai pemuda itu. "Katakan yang sejujurnya
padaku. Kau tahu kau tidak bisa membohongiku."
Quinn tersenyum geli. "Apakah aku bisa berbohong di saat seperti ini?"
"Kau menertawakanku," protes Eleanor, "Kau menertawakanku karena
aku tidak punya harga diri, karena aku menjadi istrimu demi tahta. Aku
adalah pelacur kelas atas."
"Tidak. Aku tidak pernah berpikir seperti itu."
"Tapi kau mengatakannya!"
Quinn terperanjat. "Itu dulu," ia mengakui, "Sekarang tidak lagi. Besok,
lusa, dan seterusnya juga tidak akan."
Eleanor membuang wajah. Quinn mengulurkan tangan menyentuh pipi Eleanor dan memalingkan
wajah Eleanor ke arahnya. Tangannya yang lain melingkari pinggang
Eleanor. "Jangan menghindariku."
Eleanor mengarahkan pandangannya ke tempat lain.
"Kau memang...," Quinn tidak dapat mengutarakan.
"Liar!" sahut Eleanor.
"Ya," Quinn mengulum senyumnya, "Tapi kadang-kadang"
"Tidak punya aturan," potong Eleanor. Eleanor menatap lekat-lekat mata
kelabu Quinn, "Bukankah itu yang mau kaukatakan!" Aku liar, tidak bisa
diatur, tidak punya adat, binal dan entah apa lagi yang ada dalam
pikiranmu." "Ya, Eleanor, kau tidak bisa diatur dan kadang-kadang tidak punya
aturan. Tapi karena itulah aku mencintaimu."
Eleanor terdiam. Ia memandang Quinn penuh ketidakpercayaan.
"Aku bersyukur kau bukan gadis anggun yang membosankan itu. Aku
berterima kasih pada Tuhan atas keliaranmu itu," Quinn bersungguhsungguh, "Kalau
bukan karena keliaranmu itu, mungkin kau sudah mati
sekarang." Quinn mendekap Eleanor erat-erat, "Aku tidak mau menjadi duda di usia
semuda ini." "Ba... bagaimana mungkin?" Eleanor tidak percaya, "Kau sedang mabuk,
Quinn?" Quinn menjawab pertanyaan itu dengan ciuman lembutnya.
Eleanor terperangah. "Kau merasakan anggur" Mencium bau anggur?"
Eleanor menggeleng. Quinn berkata serius. "Aku mencintaimu."
"Mengapa?" "Kau selalu butuh penjelasan," Quinn tersenyum, "Aku mencintaimu
karena kau adalah kau. Kau penuh semangat, bebas. Kau membuat
hidupku yang monoton menjadi bergairah dan penuh kejutan."
"Aku bersungguh-sungguh, Eleanor," tegas Quinn melihat raut wajah
Eleanor, "Kalau bukan kau, takkan ada yang tahan menjadi istriku dan
digunjingkan orang lain tiap saat. Kalau bukan kau, takkan ada yang
dapat menghentikan kebiasaan burukku. Karena kaulah aku menemukan
hidup yang penuh gairah. Kau membawa gairah pada hidupku yang
monoton ini. Kau membuatku menemukan gadis yang benar-benar
kucintai seumur hidupku. Aku mencintaimu karena kau adalah kau,"
tegas Quinn lagi. "Apakah itu belum cukup?"
"Biar aku pikir dulu," Eleanor meletakkan tangan di pundak Quinn.
"Khawatirnya, aku tidak memberimu kesempatan," Quinn membaringkan
Eleanor, menindihnya dan menciumnya dengan penuh kasih.
Quinn membelai wajah Eleanor. "Kau begitu menggairahkan,"
gumamnya. Eleanor tersenyum. Tangannya menggelantung di leher Quinn.
"Sayangnya," Quinn menjauhkan diri, "Untuk beberapa waktu, aku harus
mengurungmu di kamar."
Eleanor membelalak. "Kalau perlu, aku akan menahanmu di tempat tidur."
"Aku tidak mau!" protes Eleanor.
"Kau baru sadar setelah pingsan berhari-hari. Lukamu belum sembuh.
Kau butuh istirahat total."
Eleanor memasang muka masam.
"Kau membuatku tidak tega."
Eleanor tidak mengubah raut wajahnya. "Aku membencimu."
"Setelahnya kau akan mencintaiku kembali," lanjut Quinn.
Eleanor membelalak. "Bagaimana kau tahu?"
"Kupikir aku selalu tahu apa yang kaupikirkan."
Eleanor memasang lagi muka masam.
Quinn tertawa geli. "Apa yang kautertawakan!?"
"Kadang kau seperti anak kecil."
"Aku tidak peduli padamu!" Eleanor menghindari Quinn.
"Kalau aku mencari wanita lain?" goda Quinn.
"Aku juga akan mencari pria lain!"
"Katamu kau mencintaiku."
"Aku tidak pernah mengatakannya. Kau yang mengatakannya."
"Aku akan membuatmu mengakuinya."
"Coba saja," tantang Eleanor.
"Kalau aku berhasil?"
"Tidak akan!" "Kalau, Eleanor, kalau," Quinn menekankan.
"Kau berhasil," jawab Eleanor, "Kau mendengar yang kaumau."
"Kau tahu apa yang kumau?"
"Tentu saja! Kau ingin aku berkata 'aku mencintaimu'."
Quinn tersenyum penuh kemenangan, "Kau telah mengatakannya."
Eleanor terperangah. "K... kau..."
Quinn menghela nafas. "Berdebat denganmu sungguh melelahkan. Kau
pandai memilih kata-kata."
Eleanor membalik badan. "Hei!" Quinn menahan. Ia mengangkat Eleanor dan memangkunya.
Eleanor menghindari pandangan Quinn.
"Apa kau marah padaku?" tanya Quinn bersalah, "Apa mengucapkan tiga
kata 'aku cinta padamu' sungguh berat untukmu?"
Eleanor tidak menanggapi.
"Kalau kau tidak suka, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan
melakukannya lagi." "Sungguh?" "Kau bisa memegang kata-kataku."
"Aku tidak suka dikurung di kamar atau di tempat tidur. Aku ingin bebas
seperti dulu." "Baiklah." Eleanor berpaling - melihat wajah bersalah Quinn dengan senyum puas.
"Kau tidak bisa mengurungku, kau sudah berjanji."
"Kau!" Quinn kaget.
"Aku mencintaimu," Eleanor melingkarkan tangan di leher Quinn.
"Kau sungguh pandai berbicara," desah Quinn.
"Tapi kau mencintaiku karena itu."
"Ya," Quinn mendesah panjang dan menunduk mencium Eleanor,
"Katakan lagi, Eleanor."
Eleanor tersenyum. "Aku mencintaimu."
Dan Quinn merasa kepenatannya selama seminggu belakangan ini sirna.
Tangan Quinn terus menjelajahi tiap lekuk wajah Eleanor. Dengan hatihati ia
membaringkan Eleanor kembali sementara bibirnya terus
mencumbu Eleanor. Hatinya dipenuhi oleh perasaan cinta yang tak dapat
diutarakannya dengan kata-kata. Quinn tidak pernah menyangka seorang
wanita bisa membuatnya luluh seperti ini.
Eleanor merengkuh kepala Quinn dan saat itulah rintihan kesakitan
terlepas dari mulutnya. Quinn kaget. "Kau tidak apa-apa?" ia baru sadar luka-luka Eleanor masih
belum pulih. Eleanor juga baru sadar kedua telapak tangannya dibungkus oleh kain
putih. "Aku akan memanggil Lawrence," Quinn beranjak dari sisi Eleanor.
Eleanor segera menarik baju Quinn. Lagi-lagi rintihan kesakitan terlepas
dari mulutnya. "Jangan banyak bergerak," Quinn berkata cemas. "Aku tidak ingin lukamu
kembali terbuka." "Aku ingin minum," protes Eleanor.
Lagi-lagi Quinn menyadari kecerobohannya. Eleanor baru saja sadar dari
tidur panjangnya. Tentunya ia sangat kehausan setelah berhari-hari tidak
minum setetes air pun. "Tunggulah aku," Quinn membungkuk mencium kening Eleanor, "Aku
akan segera kembali."
Baru saja Eleanor berpikir Quinn akan pergi ke mana ketika ia melihat
pemuda itu melangkah ke meeja di dekat kaki pembaringan. Di atas meja
riasnya, ia melihat sebuah teko dan sebuah gelas.
Quinn menuangkan segelas air untuk Eleanor.
Eleanor tertawa geli. Quinn kembali di sisi Eleanor dengan wajah tidak senang. "Apa yang
kautertawakan?" "Aku pikir kau akan ke mana, ternyata...," Eleanor tidak dapat
menghentikan tawanya sampai rintihan kesakitan kembali terlepas dari
mulutnya. Tangannya memegang erat-erat perutnya.
"Lihatlah!" Quinn marah, "Aku sudah memperingatimu." Quinn segera
meletakkan gelas di meja kecil sisi pembaringan Eleanor dan menyingkap
selimut Eleanor. Eleanor membelalak kaget ketika Quinn membuka kancing baju tidurnya.
"A-apa yang kaulakukan!?" Eleanor panik ketika kancing sepanjang kerah
baju tidurnya hingga ujung gaun tidurnya itu hampir terbuka
setengahnya. "Diamlah!" Quinn memperingati dengan tajam. "Biarlah aku memeriksa
lukamu." Wajah Eleanor sudah merah padam ketika tangan Quinn memeriksa kain
yang membalut perutnya itu dengan teliti.
"Sepertinya lukamu tidak terbuka kembali," Quinn duduk di sisi Eleanor
dengan lega. "Lain kali jangan melakukan tindakan yang bisa membuatku
sakit jantung." "Aku tidak bisa berjanji," kata Eleanor jujur.
Quinn menatap tajam Eleanor.
"Kau menyukaiku karena itu, bukan?" Eleanor tersenum manis.
"Kau...," Quinn merasa ia benar-benar kalah telak oleh senyum yang
menggoda itu. Eleanor berusaha mengancingkan kembali baju tidurnya dengan jarijarinya yang
tidak bebas. "Apa yang kau lakukan?" Quinn panik.
"Aku hanya ingin mengancingkan gaun tidurku," Eleanor membela diri.
"Aku tidak bisa terus seperti ini, bukan?"
Quinn melihat dada Eleanor yang hampir telanjang. Tanpa banyak suara,
ia merapikan kembali gaun tidur Eleanor kemudian membantu gadis itu
duduk. Tangan kirinya terus memeluk pundak gadis itu dengan lembut
sementara tangannya yang lain mengambil gelas di meja. Dengan
telatennya ia membantu Eleanor meneguk air.
Suara keributan di depan pintu menarik perhatian Quinn.
"Berbaringlah kembali," Quinn membaringkan Eleanor dengan hati-hati
kemudian menarik selimut menutupi tubuh gadis itu, "Aku akan
memanggil dokter dan mengabarkan keadaanmu pada Earl."
"Papa ada di sini?" Eleanor kaget.
"Benar," Quinn tersenyum, "Karena itu kali ini aku ingin kau menjadi
gadis manis. Aku tidak main-main, Eleanor."
"Aku berjanji," senyuman Eleanor tidak sanggup menghilangkan keraguan
Quinn. Namun Quinn juga tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus
memeriksa keributan di luar sebelum Eleanor juga mendengarnya dan
sesegera mungkin memanggil Lawrence.
"Apa yang kalian maksud selain Nicci dan Quinn, tidak ada yang boleh
memasuki kamar Eleanor!?" Mathias menuntut jawaban. "Kalian tahu
siapa aku!" Aku adalah Duke of Pittler."
"Maafkan kami," prajurit itu berkata, "Kami hanya menjalankan perintah
yang diberikan pada kami."
Prajurit lain turut bersuara, "Paduka Raja sendiri yang memerintahkan
kami untuk melarang tiap orang kecuali Nicci memasuki kamar Paduka
Ratu." "Apa kalian pikir aku akan percaya!" Quinn tidak mungkin melarangku
menemui Eleanor!" "Benar. Aku yang memerintahkan mereka mencegah setiap orang kecuali
Nicci memasuki kamar Eleanor," Quinn muncul dari balik pintu dengan
segala wibawanya. Para prajurit itu terperanjat. "Maafkan kami, Yang Mulia Paduka," mereka
segera berlutut, "Kami tidak berniat membuat keributan."
Mathias pucat pasi. Ia tidak menduga akan bertemu langsung dengan
Quinn di sini. Sejak hari Irina mendapatkannya di dalam kamar Eleanor,
Mathias telah mengutus orang untuk memperhatikan kamar Eleanor. Dari
orang itu pula, Mathias mempelajari pola pengunjung-pengunjung
Eleanor. Dan siang seperti ini Quinn tidak pernah berada di kamar
Eleanor. Sepertinya hari ini adalah pengecualian.
"Kebetulan engkau datang, Mathias. Aku ingin berbicara denganmu."
Mathias sadar ia tidak bisa lari. Mathias tegang dan takut ketika Quinn
terus berdiam diri. Dalam hatinya ia mulai menyalahkan Simona. Bila Simona tidak bertindak
gegabah, ia tidak akan menghadapi situasi saat ini. Bila Simona tidak
terus mendesaknya, ia tidak akan berusaha membunuh Eleanor.
Mathias panik. Mungkinkah Quinn tahu ia pernah berusaha membunuh
Eleanor" Mungkinkah Irina telah memberitahunya" Mungkinkah Quinn
tahu saat ini ia membawa racun yang ingin diminumkannya pada
Eleanor" Mungkinkah Quinn ingin menangkapnya"
"Masuklah," Quinn membuka pintu ruang kerjanya.
Mathias semakin panik melihat ketenangan Quinn. Ia sadar sikap Quinn
yang seperti tidak pernah terjadi apa-apa ini justru lebih membahayakan
dari kemarahannya yang meledak-ledak.
Quinn duduk di meja kerjanya dan menatap langsung ke mata kakak
sepupunya itu. "Mathias," ia membuka mulut.
"A-aku tidak tahu!" Mathias berkata panik, "Aku tidak tahu apa pun!
Semua ini rencana Simona. Dia sama sekali tidak memberitahuku!
Simona merencanakan semua ini. Ia ingin membunuh Eleanor. Aku sama
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali tidak tahu. Aku tidak terlibat!"
Quinn terperanjat. Ia tahu Mathias adalah seorang pengecut tapi sama
sekali tidak disangkanya Mathias jauh lebih pengecut dari yang
diduganya. Ia mengajak Mathias memang karena ia ingin memancing
pengakuannya. Ia ingin menanyakan keberadaan pedang keluarga Soyoz
pada Mathias tapi tak disangka...
"Mathias, apa kau sadar dengan perkataanmu itu?"
"Sekarang Simona ada di Arsten," kata Mathias pula dengan panik, "Kau
bisa mengirim orang menangkapnya. Aku tidak tahu. Aku tidak terlibat
dengan masalah ini!"
"Aku mengerti," kata Quinn, "Sampai kami menangkap Simona, aku tidak
ingin kau meninggalkan ruangan ini." Quinn pun segera menyuruh orang
untuk memanggil Jancer menghadap.
Sama seperti dirinya, Jancer terkejut bukan oleh pengakuan Mathias
melainkan oleh kegugupannya.
Jancer melihat Quinn setelah mendengar pengakuan Mathias.
"Kau tahu apa yang harus kaulakukan," Quinn berdiri dari kursinya, "Aku
ingin menemui Eleanor." Saat ini yang paling diinginkan Quinn adalah
menyembunyikan kepalanya di lekuk leher Eleanor dan melepaskan
semua kekacauan pikirannya ini. Quinn tahu Binkley terlibat dalam
masalah ini tetapi tetap saja pengakuan Mathias membuatnya kaget.
Quinn mempercepat langkahnya. Ia ingin segera mengubur segala
kepenatannya dalam pelukan hangat Eleanor.
Namun kejutan itu lebih besar ketika membuka pintu kamar Eleanor.
"Eleanor, apa yang kaulakukan!?" ia menyerbu panik melihat Eleanor
bukan saja telah turun dari tempat tidur tapi telah menuju serambi.
"KEMBALI KE TEMPAT TIDURMU SAAT INI JUGA!!!"
Seruan marah itu mengagetkan setiap orang yang mendengarnya.
"Apa yang terjadi?" tanya orang-orang.
"Pasti Paduka Ratu membuat ulah lagi," seorang spontan menjawab
sambil tersenyum arti. "Paduka Ratu!?"
"Apakah Paduka Ratu sudah sadar?"
"Aku ingin melihat keadaan di luar," Eleanor membela diri.
"KEMBALI!!!" Quinn mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.
"LEPASKAN!!" Eleanor memberontak, "KAU TIDAK BISA MELARANGKU!
Aku ingin melihat keadaan di luar!"
"Paduka Ratu sudah sadar!" Mereka mengenal baik seruan yang tidak
mau kalah itu. "Paduka Ratu sudah sadar!!" Mereka bersorak gembira.
"Kembali ke tempat tidurmu saat ini juga," untuk ketiga kalinya Quinn
memerintahkan Eleanor. Namun kali ini ia tidak membuang waktu untuk
bersilat lidah dengan Eleanor. Ia segera mengangkat Eleanor dan
menindihnya di tempat tidur sehingga Eleanor tidak dapat berbuat apaapa.
Eleanor merintih kesakitan merasakan perih di perutnya yang serasa
seperti teriris-iris. Quinn dengan kaget memeriksa perut Eleanor. "Lihatlah apa yang sudah
kaulakukan!" ia menuduh Eleanor melihat noda merah di kain putih itu.
"Aku akan memanggil dokter," dan ia menegaskan, "Kali ini aku
memaksamu berdiam diri di tempat tidur. Kalau kau masih berani
meninggalkan tempat tidurmu, jangan salahkan aku mengikatmu."
Demi sakit yang menyerang perutnya, Eleanor tidak sanggup membantah
Quinn. Quinn langsung bertindak cepat.
Dalam waktu singkat, Eleanor sudah membuat keributan baru di Fyzool.
Begitu sibuknya orang-orang sehingga Mathias yang ditahan di ruangan
Quinn juga mengetahuinya. Simona yang beberapa saat kemudian tiba di
Fyzool pun langsung mengetahuinya.
"Aku akan membunuhnya!" teriak Simona, "Aku akan membunuh
mereka! Aku akan membunuh pengkhianat itu!! Mathias, aku akan
menarikmu ke akhirat!!" teriakan histeris sang Duchess of Binkley
mengisi kedinginan penjara bawah tanah Fyzool.
-----0----- "Aku benar-benar tidak percaya!" seru Derrick melihat reaksi ketakutan
Mathias ketika ia diharapkan pada Simona. Hingga hari ini, beberapa hari
setelah Eleanor sadar, ia masih sering mengucapkannya.
"Aku juga sukar mempercayainya," Quinn mengakui, "Aku tidak mengerti
mengapa aku pernah mengagung-agungkannya."
"Untung Irina menolaknya," kata Derrick, "Tapi, andai Irina mau
menikahinya, ia mungkin menjadi seorang gentleman sejati. Aku percaya
Irina akan mendidiknya dengan ketat."
"Sekarang apa yang harus kami lakukan, Paduka?" tanya Jancer.
"Biarkan gosip itu terus beredar," jawab Quinn, "Untuk saat ini kita cukup
memfokuskan diri pada masalah ini. Segera selesaikan penyelidikan. Aku
ingin Simona segera diharapkan ke pengadilan. Mengenai Mathias,
perdalam penyelidikan. Periksa apakah pengakuan Simona benar.
Semakin cepat semakin baik. Aku tidak mau dibuat pusing lagi
karenanya." "Tapi kulihat keadaanmu tidak membaik," komentar Derrick.
"Kau tahu Eleanor," Quinn mengakui, "Sepuluh kepala tidak cukup untuk
memikirkan gadis liar itu."
Derrick tertawa. "Eleanor tidak pernah mau diam di tempat tidur. Karena
itulah Irina selalu takut ia jatuh sakit."
"Jancer, Derrick," Quinn berdiri, "Kuserahkan sisa masalah ini pada
kalian." "Jangan khawatir. Aku akan segera menyelesaikannya," Derrick
menjamin, "Aku juga ingin segera melihat mereka dihukum."
Quinn meninggalkan ruangannya.
"Anda mau ke mana, Paduka?" tanya Jancer.
"Mengawasi Eleanor," jawab Quinn.
"Kau benar-benar dibuat pusing olehnya," komentar Derrick lagi.
"Setan pun tidak tahu apa yang direncanakan Eleanor," Quinn
melambaikan tangan dan meninggalkan mereka.
Tawa geli Derrick mengiringi kepergian Quinn.
"Paduka sudah berubah," komentar Jancer, "Ia tampak lebih bahagia."
"Ya," Derrick sependapat, "Hanya dia yang bisa mengatasi Eleanor dan
hanya Eleanor yang bisa mengimbangi Quinn."
-----0----- Dokter Lawrence tertawa geli.
"Tidakkah itu keterlaluan, Lawrence?" Eleanor melapor pada dokternya
dengan penuh semangat, "Kemarin ia benar-benar mengikatku!"
Sang dokter kesulitan menghentikan tawanya. "Paduka melakukannya
untuk kebaikan Anda. Ingat di hari Anda sadar, Anda sudah membuat
ulah sehingga luka Anda terbuka lagi dan Anda demam lagi."
"Paduka Raja sangat khawatir sampai ia sendiri tidak tidur semalaman,"
Nicci mengingatkan pula dengan tajam.
"Aku akan mati bosan," Eleanor cemberut.
"Aku jamin itu tidak akan terjadi. Aku sudah mati karena sakit jantung
sebelum kau mati bosan."
Mereka melihat ke pintu. "Selamat siang, Paduka Raja," Nicci dan Dokter Lawrence menyambut.
"Engkau adalah iblis! Kau tidak akan mati semudah itu."
Alis Quinn terangkat. "Apakah itu kesibukan barumu" Menyebarkan
rahasiaku?" Eleanor membuang muka dengan kesal.
Quinn tertawa geli. Dokter Lawrence tersenyum. Belum seminggu ia mengenal Eleanor
namun ia sudah dapat memahami mengapa Fyzool tidak pernah tidur
selama Eleanor membuka matanya.
"Bagaimana keadaan Eleanor?" tanya Quinn.
"Sudah lebih baik. Saya yakin Paduka Ratu akan segera pulih," dan
Dokter Lawrence menegaskan, "Selama ia tidak membuat ulah dan mau
meminum obatnya." "Serahkah itu padaku," Quinn berjanji. "Aku merestuimu mengambil
segala tindakan medis untuk membuat Eleanor diam."
"Saya mengerti, Paduka," Dokter Lawrence tersenyum penuh arti, "Maka
saya akan memberinya dalam bentuk cairan untuk mempermudah Anda."
"Itu akan sangat membantu," Quinn tersenyum pula.
Eleanor kesal melihat persekongkolan mereka. Ia melihat Nicci berdiri di
kaki tempat tidur. "Nicci, Papa?"
Nicci tidak tahu harus menjawab apa. Ketika tahu Eleanor sudah sadar,
Earl of Hielfinberg bersikeras untuk kembali ke Schewicvic tanpa
menemui Eleanor. Ia juga tidak pernah datang menjenguk Eleanor. Earl
takut. Setelah melihat Eleanor, ia tidak akan tega berpisah dengan putri
kesayangannya. Eleanor sedih. Quinn duduk di sisi Eleanor. "Kau bisa menemuinya di Schewicvic," ia
memegang tangan Eleanor dengan lembut.
"Benarkah?" mata Eleanor bersinar gembira.
"Kalau kau sudah pulih," Quinn menekankan, "Aku yakin saat itu akan
segera tiba kalau kau mau menjadi anak manis."
Eleanor langsung cemberut.
Quinn tertawa geli dibuatnya.
"Saya harus segera kembali," Dokter Lawrence meringkas peralatan
kedokterannya. "Ini adalah obat untuk hari ini," ia menyerahkan sebotol
cairan pada Quinn. "Seperti biasa?" tanya Quinn.
"Ya, Paduka. Seperti biasa."
Eleanor langsung waspada.
"Saya akan mengantar Anda, Dokter," kata Nicci.
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu, Lawrence."
"Tidak perlu, Paduka Ratu. Anda cukup berbaring di sini demi kesehatan
Anda." "Kau dengar itu?" Quinn memperingati Eleanor, "Semua orang ingin kau
segera sembuh." "Kecuali kau." "Tidak. Aku sangat menginginkannya melebihi mereka."
"Kau ingin aku mati bosan!"
"Apa kau pikir aku tega?"
"Kemarin kau mengikatku!" Eleanor mengingatkan Quinn atas
perlakuannya kemarin. Demi mencegah Eleanor yang memaksa turun dari
tempat tidur, Quinn melaksanakan ancamannya. Ia mengingat tangan
Eleanor pada tiang-tiang tempat tidur sehingga gadis itu tidak bisa
berbuat apa-apa selain berbaring.
"Jadi," Quinn menyimpulkan, "Itu alasannya."
"APA!?" Mereka sudah benar-benar melupakan Lawrence maupun Nicci yang
memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa suara.
Quinn membungkuk menangkap bibir yang cemberut itu. "Kau tahu,
sayang, kau tidak cocok dengan wajah ini."
Eleanor marah. "Aku membencimu! Aku benci!"
"Itu bagus," Quinn dengan santai membuka botol obat Eleanor, "Karena
setelahnya kau sudah tidak punya kebencian lagi yang tersisa."
Eleanor membelalak melihat Quinn meminum obat itu. "Aku tidak mau,"
Eleanor memberontak dari sepasang tangan yang meraih tubuhnya, "Aku
tidak mau!" ia berusaha menjauhkan diri dari Quinn.
Quinn merangkum wajah Eleanor dan tersenyum penuh kemenangan.
"AKU TIDAAK," mulut Quinn menutup mulutnya. Cairan obat yang
dibencinya mengalir ke mulutnya tanpa dapat dihentikan dan terus
menuruni tenggorokannya. "Ini baru anak manis," Quinn tersenyum puas.
Eleanor melihat pemuda itu dengan marah.
Quinn mengambil air di meja. "Kau mau minum sendiri atau."
"Aku akan minum sendiri!" sahut Eleanor marah.
"Khawatirnya, aku tidak ingin kehilangan kesempatan."
"Aku bisa minum sendiri!" Eleanor bersikeras.
"Apa yang bisa kaulakukan dengan tanganmu yang seperti itu?" Quinn
menunjuk telapak tangan Eleanor yang terbungkus perban hingga ruas
jari-jarinya. "Kau pasti sengaja," Eleanor menuduh, "Kau pasti menyuruh Lawrence
mengikatku seperti ini."
Quinn hanya tersenyum. Ia memasukkan isi gelas ke dalam mulutnya dan
kembali meminumkannya pada Eleanor dari mulut ke mulut.
Eleanor memberontak. Air mata membasahi sepasang mata murkanya.
Namun amarahnya langsung sirna ketika Quinn mulai mencumbunya,
mencium matanya yang basah dan menjelajahi wajahnya.
"Aku benar-benar tidak tega," bisik Quinn, "Aku tidak suka melihatmu
seperti ini," Quinn mencium bibir Eleanor lagi, "Jadilah gadis manis dan
segera pulih. Aku ingin membawamu keluar."
Eleanor mengangguk. Ia sudah benar-benar luluh dalam cumbuan Quinn.
Tangannya terulur memeluk Quinn tapi kemudian ia kesal menyadari
perban mencegah tangannya bergerak bebas.
Quinn melepaskan tangan Eleanor dari lehernya dan mencium jari-jari
Eleanor yang muncul dari dalam perbannya. "Kalau kau tidak banyak
menggerakkan tanganmu, Lawrence akan segera melepasnya."
"Aku akan sangat bosan," Eleanor cemberut.
"Tidak akan. Aku tidak akan membiarkanmu bosan," Quinn berjanji, "Aku
akan menemanimu setiap kali aku ada waktu kosong."
"Mustahil!" Eleanor merajuk lagi.
"Aku pasti akan meluangkan waktu," Quinn bersungguh-sungguh, "Aku
sudah terserang penyakit. Aku tertular Earl Hielfinberg tapi aku tidak
berusaha mencegahnya."
Eleanor terperangah. Quinn berbaring di sisi Eleanor. "Setiap kali berada di sini, aku tidak ingin
pergi lagi. Aku ingin selalu berada di sisimu. Mencumbumu seperti ini," ia
mencium gadis itu lagi, "Katakan, Eleanor."
"Aku mencintaimu," Eleanor mengatakan apa yang paling ingin didengar
Quinn saat ini, "Aku sangat mencintaimu."
Hati Quinn dipenuhi kebahagiaan. Ia mencumbu Eleanor dengan segala
kelembutan yang diketahuinya. Ia membelai Eleanor dengan kelembutan
yang baru dipelajarinya. Ketukan pintu terdengar sangat keras.
"Sialan!" umpat Quinn, "Siapa yang berani mengangguku!?"
Eleanor tersenyum. "Lihatlah siapa itu. Mungkin ada yang mencarimu."
"Siapapun itu, ia harus menungguku. Aku masih tidak ingin berpisah
dengan istri tercintaku."
Eleanor bahagia mendengarnya. Ia mencari kehangatan di dada Quinn.
"Ada apa?" Quinn bertanya dengan suara keras.
"Duke of Binkley datang menjenguk Ratu," lapor prajurit dari balik pintu.
Eleanor dan Quinn saling bertatapan.
Quinn berdiri untuk merapikan baju tidur Eleanor dan membenahi
selimutnya. "Biarkan dia masuk," kata Quinn setelahnya.
Eleanor tidak dapat melihat pria yang berdiri di pintu.
Mathias tidak berani menatap Quinn. Ia sudah mempersiapkan diri ketika
mendengar Quinn ada di dalam kamar Eleanor. Namun tetap saja
keberaniannya hilang melihat wibawa pemuda itu.
"Maafkan saya, Duke Binkley," suara lembut mengusir ketakutan Mathias,
"Saya tidak dapat menyambut Anda dengan baik. Dokter hanya
mengijinkan saya berbarng."
Mata Mathias terpaku pada gadis yang berbaring di tengah ranjang besar
itu. Sepasang mata biru cerah menatapnya dengan lembut.
"B-bagaimana keadaan Anda, Paduka Ratu?" tanya Mathias.
"Sudah hampir pulih." Mathias memperhatikan tiap gerakan bibir Eleanor
lekat-lekat. "Quinn berjanji ia akan membawaku pergi bila aku sudah
pulih." Quinn tidak menyukai cara Mathias menatap Eleanor.
"Hanya bila kau sudah pulih," Quinn membungkuk mencium Eleanor.
"Aku akan segera pulih."
"Bila kau mau menjadi gadis manis."
Mathias merasa seperti disingkirkan. Ia meninggalkan mereka tanpa
suara.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Apa kau tidak pernah berpikir mengapa kau selalu dinomorduakan"'
Mathias teringat komentar Simona di suatu siang, 'Apa kau tidak pernah
berpikir mengapa kau tidak bisa menjadi raja!"'
Tanpa perlu berpikir, semua orang juga tahu. Jauh sebelum ia dilahirkan,
Quinn sudah menjadi seorang Putra Mahkota, penerus tahta Viering.
"Lihat, itu Duke Binkley."
"Mau apa dia di sini" Apakah dia melihat Duchess of Binkley?"
"Mengapa Raja belum menahannya?"
"Menurutmu, apakah Duke juga terlibat?"
"Pasti!" seorang di antara wanita itu menjawab mantap, "Sejak dulu aku
sudah yakin Duke pasti akan melakukan sesuatu seperti ini."
"Benar-benar aib Viering! Almarhum Duke Binkley pasti malu melihat
putranya." "Ia harus bersyukur Raja masih memberinya muka ketika ia menikahi
wanita jalang itu." "Aku heran mengapa Raja masih terkesan menutup-nutupi masalah ini."
"Apakah kau bodoh!" Raja tentu tahu apa yang akan terjadi kalau
masalah ini menjadi besar."
"Ini adalah masalah besar! Mereka ingin membunuh Ratu!!"
"Karena itu Raja Quinn semakin hati-hati menangani masalah ini!"
"Duke Binkley benar-benar beruntung. Raja masih memandangnya
sebagai putra almarhum seorang yang berpengaruh di Viering."
Mathias mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengar perkataan
orang-orang itu. Semenjak Simona ditangkap, omongan itu terus beredar
di sekitar Istana. Pada awalnya mereka hanya membicarakannya di
belakangnya sekarang mereka sudah tidak peduli lagi. Mereka tidak
segan membicarakannya dengan suara keras di depannya.
"Raja Quinn benar-benar pria yang mengagumkan. Tidakkah kau
berpendapat demikian" Ia tahu masalah ini pasti akan mengguncang
Viering karena itu ia berbohong pada setiap orang tentang keadaan Ratu.
Bahkan sampai saat ini pun ia masih berhati-hati dalam menangani
masalah ini. Ia benar-benar mengutamakan Viering."
"Untung penerus tahta Viering adalah Raja Quinn. Aku tidak tahu apa
jadinya kerajaan ini kalau Duke Binkley yang naik tahta."
"Jangan sampai itu terjadi!"
"Aku lega sangat lega ketika Raja memutuskan untuk menikah. Aku
sempat khawatir akan pilihan Grand Duke tetapi sekarang aku tidak
meragukannya lagi." "Benar," mereka tertawa gembira, "Ratu memang seorang gadis yang
menyenangkan. Rasanya Istana tidak pernah sepi karena Ratu."
Mathias ingin sesegera mungkin meninggalkan Istana. Ia tidak ingin
mendengar orang-orang membanding-bandingkannya dengan Quinn.
Ketika mereka masih kecil, orang-orang itu selalu menyanjungnya.
Lambat laun mereka mulai mengagungkan Quinn dan melihatnya seperti
sampah masyarakat. Apapun yang dilakukan Quinn, mereka selalu
menyanjungnya. Apapun yang diputuskan Quinn, mereka selalu
mengagungkannya. Selalu, selalu dan selalu!
Quinn juga demikian. Ketika mereka masih kecil, Quinn selalu
mengikutinya. Quinn selalu menyanjungnya namun lambat laun ia mulai
suka mengkritiknya. Sekarang Quinn bersikap seolah-olah ia adalah orang
yang paling berkuasa atas hidupnya.
Mengapa" Jawabannya mudah. Karena ia adalah seorang Raja.
Ia hanya menikahi wanita yang dicintainya namun dunia mengatakannya
seperti ia menikahi seorang iblis. Quinn menikah karena terpaksa namun
mereka menyanjungnya seperti ia menikahi seorang bidadari.
Ia tidak akan datang ke tempat ini bila bukan karena ingin menunjukkan
kepeduliannya pada Eleanor. Berhari-hari ia membulatkan tekad untuk
menjenguk gadis itu. Namun tak sampai satu detik tekad itu dihancurkan
oleh sepasang mata dingin Quinn.
Quinn tampaknya tidak ingin ia mendekati Eleanor. Quinn tentunya ingin
menguasai Eleanor seorang diri seperti ia menguasai kehidupannya.
Mathias teringat senyum manis Eleanor. Ia tidak pernah benar-benar
memperhatikan Eleanor. Ia tidak menyadari kecantikkan gadis itu ketika
ia mencoba mencekiknya. Namun gadis itu... Mathias terkenang sepasang
mata biru cerah yang membiusnya.
Quinn sungguh beruntung bisa mendapatkan gadis semanis itu.
'Apakah kau tidak pernah ingin menjadi Raja"' Mathias teringat
pertanyaan Simona, 'Kalau kau menjadi Raja, tidak ada seorang pun yang
berani mengatakan hal buruk tentangmu. Kau juga bisa mendapatkan
segala yang kauinginkan.'
Segala yang kau inginkan...
Mathias teringat lagi pada sepasang mata yang menatap lembut padanya,
senyum manis yang mampu menundukkan hati siapa pun, juga pada
suaranya yang lembut mengusir segala kegalauan hati.
'Engkau masih Duke of Binkley!' Simona memarahinya di suatu saat.
Benar! Ia masih putra seorang Duke yang pernah berpengaruh di Viering.
Bukan Quinn seorang yang bisa mendapatkan yang terbaik!
BAB 28 "Seperti keinginan Anda, Paduka," lapor Jancer, "Minggu lalu kami sudah
mengirim Todd dan bawahannya ke kepolisian Loudline. Menurut kabar
yang kami terima dari Wayne, polisi sudah bergerak meringkus kawanan
Todd yang belum tertangkap. Paling lambat Selasa mendapat mereka
akan dihadapkan ke pengadilan.
"Kami juga telah menambahkan kesaksian Eleanor dan Mathias pada
laporan itu," kata Derrick pula.
"Pekerjaan bagus," puji Quinn sambil merapikan kembali tumpukan
kertas yang baru dibacanya.
"Apakah ini baik?" tanya Jancer, "Kita tidak memberi keputusan yang
jelas tentang keterlibatan Duke Binkley."
"Biar pengadilan yang memutuskan," jawab Quinn, "Tugas kita hanya
menulis laporan sejelas mungkin sesuai yang kita ketahui." Quinn berdiri
dan mendekati Jancer. "Serahkan laporan ini ke kepolisian Loudline hari
ini juga. Biar Wayne bisa segera melaksanakan tugasnya."
"Baik, Paduka," Jancer menerima kembali laporan itu, "Apakah kami
harus mengirim Duchess pula?"
"Tidak. Biarkan dia di sini sampai mereka membutuhkannya," lalu Quinn
melihat Derrick, "Sudah waktunya aku menemui wanita rendah itu."
Mereka terperanjat. "Saya tidak setuju!" cegah Jancer, "Duchess adalah wanita yang
berbahaya." "Kalau kau memang ingin bertemu dengannya, kami bisa membawanya
ke sini," timpal Derrick, "Ia tidak pantas kaukunjungi."
"Di sini terlalu banyak mata dan telinga," Quinn terus melangkah ke
pintu, "Derrick, temani aku."
Derrick sadar ia tidak bisa mencegah Quinn. Demikian pula Jancer. maka
Jancer menambah pasukan untuk mengawal Quinn ke ruang penjara
bawah tanah dan Derrick menunjukkan jalan ke ruang tempat mereka
menahan Simona. Simona langsung menerjang pintu selnya mendengar kedatangan Quinn.
"Aku akan membunuh kalian! Aku akan menghancurkan kerajaan ini!"
serunya. "Dia sudah gila," komentar Derrick, "Apa yang bisa dilakukannya dari
sini?" "Apa kau lupa masih banyak anak buah Todd yang berkeliaran di
Loudline" Mereka pasti akan meneruskan rencana ini ketika gadis ingusan
itu berkeliaran di kota," Simona mengingatkan, "Suatu saat nanti mereka
pasti akan membunuh gadis itu!"
Demi keheranan mereka, Quinn tertawa geli. "Rupanya kau masih belum
mendengar gosip itu. Eleanor pasti akan sangat berterima kasih padamu.
Berkat kau, sekarang aku tidak perlu khawatir lagi melepas Eleanor
seorang diri di Loudline. Penduduk Loudline tahu ratu mereka sering
berkeliaran di kota dengan menyamar menjadi gadis desa. Sekarang anak
kecil pun sibuk mencari-cari Ratu Eleanor di antara penduduk Loudline.
Teman-teman Eleanor juga sudah bersumpah padaku akan menjaga baik
Eleanor selama ia berada di kota."
Simona marah mendengarnya. "Kusumpah kalian. Kusumpah kalian tidak
akan mendapat keturunan!"
"Kau tidak perlu khawatir," Quinn menanggapi dengan suara tegasnya,
"Aku yakinkan kau dalam waktu dekat ini kau akan mendengar lahirnya
putra kami." "Kaupikir aku buta!" Gadis itu tidak hamil! Ia tidak pernah hamil!"
"Tidak pernah tidak berarti tidak akan," lagi-lagi Quinn menanggapi
dengan kepala dinginnya, "Daripada memikirkan kami, lebih baik kau
memikirkan masa depanmu," Quinn memberitahu, "Hari ini laporanmu
sudah diserahkan ke pengadilan. Hukuman yang menantimu tinggal
menunggu hari." Simona membelalak. "Kau boleh membujuk Mathias atau siapa pun untuk membebaskanmu,"
kata Quinn lagi, "Tapi aku tidak menjamin itu adalah keputusan
bijaksana. Di luar sana ada banyak orang yang ingin berjumpa
denganmu." Derrick mengagumi Quinn. Simona adalah orang yang paling bertanggung
jawab atas kejadian yang menimpa Eleanor namun Quinn tetap bersikap
sebagai seorang raja yang bijaksana. Ia lebih mengutamakan
keselamatan Simona dibandingkan meluapkan amarahnya. Kalau ia
adalah Quinn, ia pasti akan membiarkan Simona mati di perjalanan ke
Loudline di tangan orang-orang yang marah pada perbuatannya pada
Eleanor. "Ikutilah nasehatku. Jagalah sikapmu sampai hari itu tiba."
"Mathias tidak akan melepaskanmu! Mathias pasti akan membalas
dendam!" "Kita pergi," Quinn membalik badan.
"Kau tidak mengenal Mathias. Mathias pasti akan membalas dendam!"
Quinn sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan itu.
Derrick diam memperhatikan wajah tenang Quinn. Ia ingin tahu apa yang
dipikirkan pemuda itu. "Derrick, apakah menurutmu Mathias terlibat?"
Derrick kaget mendengar pertanyaan itu.Itu adalah yang selalu diucapkan
tiap orang. Itu adalah pertanyaan yang selalu diajukan tiap orang pada
Quinn. "Aku tidak tahu," Derrick menjawab jujur, "Itu mungkin saja tapi melihat
ketakutan Mathias, hal itu rasanya mustahil."
Quinn diam. Derrick yakin pemuda itu pasti tahu seisi Viering menanti jawabannya.
Sikap Quinn yang tidak jelas telah memecah Viering. Sebagian percaya
Quinn ingin melindungi Mathias dan sebagian percaya Mathias tidak
terlibat. "Aku pun tidak tahu," akhirnya Quinn menjawab, "Wanita sangat
menakutkan. Ia bisa mengubah seorang pria."
"Seperti Eleanor mengubahmu?" goda Derrick.
Quinn tidak menjawab. Matanya terpaku pada halaman Istana.
-----0----- "Selamat, Paduka Ratu," Dokter Lawrence tersenyum, "Luka di tangan
Anda sudah sembuh." Eleanor berseru gembira. Hampir setengah bulan lamanya ia terbaring di
tempat tidur. Musim dingin juga sudah ada di depan mata. Selama itu
keadaannya sudah semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkannya
duduk di atas tempat tidur dengan bersandar pada tembok ditumpu
bantal-bantal empuk seperti saat ini.
"Rasanya sudah lama aku tidak menggerakkan tanganku," Eleanor
menggerak-gerakkan jari-jarinya dengan gembira.
"Aku rasa itu bukan pilihan yang bagus," keluh Irina, "Lihatlah Eleanor
sudah siap-siap melompat pergi."
"Oh," Dokter Lawrence kaget, "Haruskah saya membalutnya lagi?"
"Tindakan bagus," Irina langsung merestui.
"Benar," Nicci sependapat, "Paduka Ratu tidak akan bisa memegang apa
pun kalau tangannya terperban erat."
"Tidak mau!" Eleanor langsung menyembunyikan tangannya di belakang
bantal yang menyangga punggungnya.
"Kemarin Paduka Ratu diam-diam meninggalkan tempat tidur," Nicci
memberitahu. "Itu karena aku bosan."
"Kemarinnya lagi Anda pergi ke beranda."
"Matahari sangat hangat. Apa salahnya aku berjemur matahari!?"
"Kemarinnya lagi Anda bermain api sampai api hampir membakar gaun
tidur Anda dan Paduka Raja panik."
"Api perapian hampir padam! Aku hanya ingin menghidupkannya
kembali!" Eleanor membela diri, "Lagipula percikan api hanya kebetulan
melompat ke gaun tidurku. Quinn hanya suka membesar-besarkan
masalah!" Irina pucat pasi mendengarnya. "Tampaknya kau masih tidak boleh
melepas perban tangan Eleanor."
"Benar," Dokter Lawrence sependapat.
"Tidak! Tidak! Aku tidak mau!" Eleanor menolak, "Aku janji aku akan
menurut." "Minggu lalu kau juga berjanji padaku akan menjadi gadis manis."
Mereka melihat ke pintu. Quinn memasuki kamar dengan tangan terlipat di belakang punggungnya
diikuti Derrick. Dokter Lawrence segera berdiri untuk menyambut Quinn. "Selamat siang,
Paduka Raja," katanya memberi salam.
"Selamat siang, Paduka," Nicci membungkuk hormat dan memberi jalan
pada Quinn ke sisi Eleanor.
"Selamat siang, Paduka," Irina pun menjinjing ujung gaunnya - memberi
hormat, "Maaf adik saya suka merepotkan Anda."
"Jangan khawatir. Aku sudah biasa. Sekarang kalau ia tiba-tiba menjadi
gadis manis, aku akan berpikir apakah dia benar-benar Eleanor."
"Dia adalah iblis!"
"Eleanor!" hardik Irina. "Jaga bicaramu!"
Quinn tertawa. "Ini adalah kebiasaan barunya," katanya memberitahu,
"Memberitahu seisi dunia akan rahasiaku."
Eleanor langsung membuang mukanya dengan marah.
Irina tidak suka melihat sikap Eleanor.
"Hari ini kau sangat cantik," Quinn mengulurkan setangkai bunga pada
Irina. "Jangan biarkan Eleanor merusak wajah cantikmu itu."
"T-terima kasih, Paduka," Irina menerimanya dengan gugup.
Eleanor membelalak marah. "Derrick," perintahnya, "Bawa rangkaian
bunga yang besar untukku."
Derrick kaget. "Hei! Hei!" protes Quinn, "Mana ada istri yang minta rangkaian bunga
pada pria lain di depan suaminya?"
"Ingat, aku mau rangkaian bunga yang besar dan indah," Eleanor
mengabaikan Quinn. Derrick bingung. "Aku tahu," Quinn menyimpulkan, "Kau cemburu."
"Siapa yang cemburu!?" Eleanor membuang muka.
"Baiklah, aku bersalah. Aku menyesal," kata Quinn, "Aku akan memberi
rangkaian bunga yang besar untukmu."
Eleanor tidak menghiraukannya.
"Eleanor, jangan keras kepala!" hardik Irina lagi, "Ini adalah penghujung
musim gugur. Dari mana kau akan mendapatkan bunga sebanyak itu?"
Quinn tersenyum. "Irina, kau akan menjadi seorang ibu yang baik."
Wajah Irina merah padam. "Nah, Eleanor, apakah kau sudah mendengar kata ibu angkatmu?" Quinn
berdiri di sisi Eleanor, "Jangan keras kepala."
Saat itulah Irina melihat bunga-bunga yang disembunyikan Quinn di
belakang tubuhnya. Eleanor masih tidak memalingkan kepalanya melihat Quinn.
"Aku kalah darimu," desah Quinn dan ia meletakkan rangkaian bunga
yang sejak awal disembunyikannya dari penglihatan Eleanor, di atas
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pangkuan gadis itu. Eleanor terkejut melihat bunga warna warni yang memenuhi
pangkuannya. Begitu banyaknya bunga-bunga itu hingga mereka
berserakan di sekitar tubuhnya. Eleanor melihat Quinn dengan mata
terbelalak. Kemudian ia sibuk memungut bunga-bunga itu ke dalam
pelukannya. Quinn tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. "Lawrence," katanya
kemudian, "Apakah kau yakin akan melepas perban tangan Eleanor?"
Dokter Lawrence melihat Quinn dengan heran.
"Apakah kau tidak khawatir jantungku akan berhenti berdetak?"
"Anda benar!" Dokter Lawrence langsung tersadar. "Tampaknya saya
harus memikirkan kembali keputusan saya." Dokter melihat Eleanor,
"Nah, Paduka Ratu," ia mengulurkan tangan.
Merasakan gelagat tidak baik, Eleanor segera menyembunyikan
tangannya di belakang punggung. "Aku tidak mau! Aku berjanji akan
menjadi gadis penurut."
"Bagaimana menurutmu, Nicci?" Quinn melihat pelayan yang sudah
mengikuti Eleanor semenjak ia masih kecil.
"Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu," jawab Nicci, "Saya
dapat meyakinkan Anda Paduka Ratu tidak akan menepati janjinya."
"Aku sependapat," Quinn mengangguk-angguk, "Sepertinya, aku juga
harus mencabut semua janji-janjiku sebagai hukuman."
"Tidak!" Eleanor berseru keras memprotes Quinn, "Kau sudah berjanji
akan membawaku pergi setelah aku sembuh!"
"Apakah aku pernah menjanjikannya?" tanya Quinn lalu ia berpaling pada
pelayan Eleanor yang berdiri di sisi Dokter Lawrence, "Nicci?"
Menyadari permainan Quinn, Nicci menjawab, "Saya rasa Anda tidak
pernah menjanjikannya."
"Irina?" "Saya juga tidak pernah mendengarnya."
"Lawrence?" Quinn ganti menanyai dokter yang menangani Eleanor.
"Saya berani bersumpah saya tidak pernah mendengar Anda
menjanjikannya." "Aku juga tidak pernah mendengarnya," Derrick langgung menanggapi.
"Nah, Eleanor?" Quinn menahan senyum gelinya melihat wajah cemberu
Eleanor. "Kau pernah menjanjikannya!" seru Eleanor keras kepala, "Kau sudah
berjanji padaku!" "Seseorang juga pernah berjanji padaku untuk menjadi gadis manis tapi
ia selalu membuat jantungnya hampir berhenti."
Eleanor marah. "Kau juga sering berjanji akan meluangkan waktu untuk
menemaniku tapi mana buktinya!" Kau tidak pernah datang
menemuiku!!" "Aku berkata aku akan berusaha," Quinn membela diri.
"Sama saja!" Eleanor kembali membuang wajah sambil menyilangkan
tangan di dada. "Baiklah," Quinn menyerah, "Sekarang di depan orang-orang ini, aku
membuat janji padamu. Aku akan mengajakmu pergi jika Dokter
Lawrence mengijinkanmu."
"Pembohong!" sahut Eleanor sengit tanpa memalingkan wajah.
"Melihat kesembuhan Anda yang cepat, saya yakin besok saya bisa
mengijinkan Anda keluar," sang Dokter menjanjikan pula dan ia segera
menambahkan, "Namun itu bila Anda mau menuruti pesan-pesan saya
dan tidak pernah menolak minum obat yang saya berikan untuk Anda."
"Penipu!" Eleanor menanggapi lagi dengan sengit.
"Celaka," Quinn kebingungan, "Eleanor benar-benar marah. Tampaknya
hari ini aku harus menyusun rencana untuk besok. Lawrence, apakah
besok kau bisa mengijinkanku membawa Eleanor pergi?"
"Tentu, Paduka Raja," jawab Lawrence, "Namun saya berharap Anda
mengijinkan saya ikut serta. Saya perlu mengawasi Paduka Ratu selama
24 jam." "Tentu," Quinn meloloskan permintaan itu, "Tidak masalah."
"Benarkah itu!?" Eleanor langsung melihat Quinn dengan mata berbinarbinarnya.
"Benarkah besok kau akan mengajakku pergi?"
"Tentu," Quinn berjanji, "Hanya bila kau adalah gadis manis."
"Kau sudah berjanji!" rengek Eleanor, "Kau sudah berjanji padaku. Kau
sudah berjanji di depan mereka."
"Aku juga sudah memberi syarat."
"Tidak ada! Tidak ada syarat itu!" Eleanor memprotes dengan gencar.
"Eleanor," Irina yang memperhatikan pasangan itu berkomentar, "Sejak
kapan kau menjadi manja seperti ini?"
"Apakah kau tidak tahu, Irina?" tanya Quinn, "Dia adalah gadis yang
paling manja dan keras kepala yang pernah ada di dunia."
"Quinn yang memulainya!" Eleanor membela diri, "Dia suka membuat
janji kosong." "Eleanor!" tegur Irina, "Paduka Raja bukan orang yang tidak punya
pekerjaan! Ia sibuk mengurusi urusan Viering. Sebagai seorang Ratu, kau
tidak boleh menambahi beban Paduka. Engkau harus bisa membantunya
memimpin kerajaan ini. Kau tidak boleh keras kepala!"
Eleanor langsung memasang wajah cemberut.
"Aku yakin kau akan menjadi seorang ibu yang baik," Quinn tersenyum
lembut pada Irina dan menambahkan, "Tidak seperti seseorang."
Wajah Irina memerah padam.
"Aku juga bisa kalau aku mau!" protes Eleanor.
"Kalau kau mau," Quinn menekankan.
Merasa diledek, Eleanor kembali memasang wajah marah.
Dokter Lawrence meringkas barangnya.
"Engkau akan pulang, Dokter?" tanya Derrick, "Kebetulan aku juga akan
pulang. Aku akan mengantarmu."
"Kau akan pergi, Derrick?" Eleanor bertanya kecewa, "Kalau kau pergi,
siapa yang akan menemaniku?"
Quinn mengeluarkan suara batuk keras.
"Jangan pergi," pinta Eleanor, "Kita sudah lama tidak berbincangbincang."
Derrick tersenyum. "Aku harus pergi sebelum seseorang membunuhku."
"Siapa?" tanya Eleanor tertarik, "Apakah kau sudah punya kekasih" Siapa
itu" Mengapa kau tidak pernah memberitahuku?"
Quinn mengeluarkan lagi suara batuk keras.
"Orang itu ada di sisimu," Derrick membenarkan.
"Siapa?" Eleanor melihat sekelilingnya.
"Kau ini...," akhirnya Quinn tidak dapat menahan kegeramannya, "Apa
kau tidak sadar aku ada di sini?"
"Kau masih di sini?" Eleanor bertanya heran seolah baru menyadari
keberadaan pemuda itu. "Kau memang mencari mati," Quinn menjatuhkan diri di atas Eleanor dan
menggelitik gadis itu. "Kita juga harus pergi," Irina melihat Nicci penuh arti. Bersama Derrick
dan Dokter, mereka meninggalkan kamar Eleanor tanpa suara.
"Untuk sementara Paduka Raja tidak ingin diganggu," Derrick
memberitahu prajurit Istana yang menjaga pintu kamar Eleanor, "Bila ada
yang mencari beliau, katakan padanya untuk menunggu."
Suara tawa yang terdengar ketika pintu terbuka, sudah memberitahu
mereka apa yang harus mereka lakukan.
"Kami mengerti," sahut mereka.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka berpisah dengan Nicci dan
Dokter Lawrence, Derrick bertanya pada kakaknya, "Irina, kau tidak jatuh
cinta pada Quinn, bukan?"
Irina terperanjat. Serta merta wajahnya memerah. "A-apa maksud katakatamu itu!"
Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada Raja Quinn!" Ia
adalah suami Eleanor!"
"Untunglah kau menyadarinya," Derrick lega dan ia mengakui, "Aku
sempat cemas melihat reaksimu di kamar Eleanor."
Irina termenung. Ia tidak dapat memungkiri detak jantungnya yang
sangat keras ketika Quinn memujinya. Ia juga tidak dapat menahan
panas di wajahnya melihat senyum Quinn yang ditujukan padanya.
Namun ia tidak dapat meyakinkan dirinya itu bukan reaksi cinta. Dari
sekian banyak pujian yang diterimanya, baru kali ini ia tersipu.
"Irina," Derrick menarik perhatian kakaknya, "Quinn minta aku
menyampaikan sesuatu kepadamu. Ia ingin kau membujuk Earl
Hielfinberg." "Membujuknya menjenguk Eleanor?" tanya Irina, "Aku rasa itu tidak
mungkin. Kau tahu Earl sama keras kepalanya dengan Eleanor."
"Quinn percaya Earl akan mendengarmu."
Irina termenung. Seperti semua orang yang mengenal Eleanor, ia pun
tahu Eleanor sangat merindukan ayahnya namun Earl bersikukuh untuk
tidak bertemu muka dengan putri kesayangannya. "Aku akan
mencobanya tetapi aku tidak dapat berjanji."
-----0----- Suara ketukan di pintu menarik perhatian Eleanor dan Nicci.
"Pasti Irina!" sahut Eleanor gembira.
"Anda tidak boleh turun dari tempat tidur, Paduka Ratu!" Nicci
memperingati ketika melihat gadis itu sudah bersiap-siap turun dari
tempat tidur, "Biar saya yang membuka pintu."
"Baiklah," Eleanor kecewa. Dengan tidak sabar, ia menanti kemunculan
Irina di balik pintu. Ia heran ketika melihat seorang prajurit berbicara
dengan serius kepada Nicci. Jarak yang cukup jauh dari tempat tidurnya
ke pintu dan suara mereka yang kecil, membuatnya tidak dapat
mendengar percakapan mereka.
Tak lama kemudian Nicci menutup pintu dan dengan senyum gembira ia
berkata, "Saya punya berita bagus untuk Anda, Paduka Ratu. Paduka
sudah mendapat ijin Dokter Lawrence dan ia sedang menanti Anda di
Tognozzi saat ini." "Benarkah itu!?" Eleanor langsung bersorak gembira. "Aku harus segera
bersiap-siap," Eleanor turun dari tempat tidur, "Quinn pasti tidak senang
menungguku terlalu lama."
"Hati-hati dengan luka Anda!" Nicci khawatir melihat gerakan lincah gadis
itu yang terkesan sembrono.
"Aku harus segera bersiap-siap atau Quinn akan marah-marah," Eleanor
membuka lemari bajunya. "Jangan khawatir," Nicci menenangkan, "Prajurit itu mengatakan Raja
meminta Anda untuk tidak tergesa-gesa."
Namun Eleanor tidak mendengarnya, ia sudah membongkar isi lemari
bajunya. Nicci pun tersenyum. Ia tahu benar majikannya tidak dapat berdiam diri
di dalam kamar. Berminggu-minggu berbaring di atas tempat tidur,
bukanlah hal yang bisa diterimanya. Hanya Raja Quinnlah yang bisa
membuatnya berbaring selama itu di atas tempat tidur. Sekarang ia tentu
telah mencapai titik di mana ia sudah tidak dapat menahan dirinya untuk
tidak bermain keluar seperti kesukaannya.
Dengan sigap, Nicci membantu Eleanor berdandan kemudian mengantar
gadis itu ke kereta yang sudah menantinya. Senyum gembira di wajah
Eleanor membuatnya turut bergembira.
Beberapa saat kemudian Nicci berdiri di depan pintu Istana sambil
melambaikan tangan hingga kereta yang membawa Eleanor menghilang.
Kemudian ia pergi untuk merapikan kamar Eleanor yang berantakan oleh
ulah gadis itu. Dengan kepergian Eleanor, pasukan yang biasanya menjaga pintu kamar
Eleanor pun menghilang. Ketika merapikan kamar Eleanor, Nicci berpikir sudah berapa lamakah ia
tidak merasakan kesunyian seperti ini. Selalu ada saja yang dilakukan
Eleanor hingga ia kewalahan. Selalu ada saja yang diributkan Eleanor
hingga suasana kamar yang besar ini tidak pernah sesunyi ini.
Nicci melihat tempat tidur Eleanor yang sekarang sudah kosong. Ia pun
tersenyum bahagia untuk majikannya yang liar itu.
"Paduka Raja benar-benar memahami Anda," gumamnya, "Ia tidak akan
membuat Anda bersedih."
Ketika merapikan bunga dalam vas yang kemarin dipetik Quinn untuk
Eleanor, Nicci teringat komentar Eleanor sepanjang malam kemarin.
"Lihatlah bunga-bunga ini. Apakah kau percaya ini adalah musim gugur!"
Besok aku akan meminta Quinn memetiknya lagi untukku. Aku akan
membuat kamarku serasa seperti musim semi!"
"Paduka Ratu pasti akan senang bila ia kembali sore ini kamarnya sudah
penuh oleh bebungaan," pikir Nicci.
Segera setelah tugasnya selesai, Nicci segera menuju kebun Istana
sambil menenteng sebuah keranjang besar.
"Apakah Eleanor sedang tidur, Nicci?" cegat Quinn melihat wanita itu di
Hall Istana. "Paduka!?" Nicci terperanjat. "Anda di sini?"
"Aku berada di tempat ini sejak pagi."
"Bu-bukankah Anda menanti Paduka Ratu di Tognozzi?"
Quinn langsung bersiaga. Ia menjadi was-was tetapi ia tetap berusaha
tenang. "Katakan apa yang terjadi."
"Beberapa saat lalu seorang prajurit memberitahu Paduka Ratu bahwa
Anda menanti beliau di Tognozzi. Menurut prajurit itu, Anda akan
membawa Paduka Ratu bepergian."
"Sudah berapa lama Eleanor meninggalkan Istana?" tanya Quinn.
"Kira-kira dua sampai tiga jam yang lalu."
"Terima kasih, Nicci," kata Quinn, "Sekarang panggil Jancer
menghadapku sesegera mungkin di Ruang Kerjaku"
Nicci bingung mendengar perintah itu tetapi ia tetap berkata, "Baik,
Paduka." Quinn segera bergegas ke Ruang Kerjanya. Ia tidak membutuhkan
penjelasan lebih panjang lagi untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.
Ia juga tidak perlu memutar otak untuk mengetahui dalang di balik
semua ini. Setelah berulang kali gagal membunuh Eleanor, akankah Mathias
melepaskan gadis itu"
Quinn geram. Simona benar-benar merupakan racun. Ia telah mencoreng
muka kerajaan ini dan ia telah mempengaruhi Mathias menjadi seseorang
yang tidak ia kenal. Begitu sampai di Ruang Kerjanya, Quinn mengeluarkan peta dari laci
meja kerjanya. Quinn mempelajari segala rute yang mungkin diambil
para penculik Eleanor itu dari Tognozzi.
Quinn tidak akan melepaskan para penculik itu. Sekali ia pernah kecurian.
Sekali pula ia pernah hampir kecurian dan sekarang ia kembali kecurian!
Quinn tidak bisa meremehkan masalah keamanan Eleanor. Ia tidak lagi
bisa mengandalkan para prajurit tangguh Viering. Setiap orang bisa
membohongi Eleanor atas namanya. Harus ia sendirilah yang mengawasi
Eleanor siang dan malam. "Saya datang membawa Jancer menghadap Anda, Paduka," kata Nicci.
"Aku punya tugas lain untukmu, Nicci," kata Quinn, "Beritahu Vicenzo aku
ingin ia membersihkan Ivory Chamber. Aku dan Eleanor akan pindah ke
sana mulai dari malam ini."
Lagi-lagi Quinn membuat Nicci bingung dengan perintah yang
diucapkannya dengan penuh ketenangan itu. "Baik, Paduka," Nicci
memberi hormat kemudian mengundurkan diri dari ruangan itu.
"Kita punya masalah gawat," Quinn tidak membuang waktu untuk
menjelaskan keadaan pada Kepala Pengawal Istana itu, "Siapkan prajurit
berkuda terbaikmu sesegera mungkin. Kita akan melakukan pengejaran.
Mereka menculik Eleanor."
Jancer terkejut. Ia telah memperketat pengawalan terhadap Eleanor
semenjak peristiwa usaha pembunuhannya yang terakhir dan ia masih
saja kecurian. "Perintahkan pula seorang prajurit untuk menghadap Houghton dan
memintanya menyiapkan kapal perang tercepatnya. Kirim prajurit ke
Tognozzi untuk memerintah mereka menutup pelabuhan sampai kita tiba.
Kita tidak punya banyak waktu. Mereka telah meninggalkan Istana dua
sampai tiga jam yang lalu."
"Hamba mengerti, Paduka," Jancer menegapkan dada dan memberi
hormat ala prajurit. "Saya akan menyiapkan prajurit saat ini juga."
Dalam waktu singkat suasana Istana menjadi ramai.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prajurit berlarian di sepanjang koridor Istana untuk mempersiapkan diri.
Para penjaga kuda dengan sigap memasang pelana para kuda andalan
Viering. Beberapa prajurit diutus untuk menghadap Komandan Angkatan
Laut Viering dan beberapa diperintahkan untuk segera ke Tognozzi dan
memerintahkan pejabat setempat menutup pelabuhan.
Quinn pun segera menanggalkan baju santainya dengan baju perangnya
dan ia bergegas memimpin prajurit yang mulai berkumpul di halaman
Istana. Kesibukan mendadak di dalam Istana membuat para pengunjung Istana
terheran-heran tetapi mereka hanya dapat berspekulasi sendiri tentang
keadaan yang sebenarnya. Nicci pun mulai menyadari keadaan dan ia menjadi ketakutan karenanya.
Ia telah membiarkan mereka menculik Eleanor!!
Seharusnya ia curiga ketika prajurit itu mengatakan Dokter Lawrence
memberikan restunya pada Raja Quinn. Ia sendiri juga tahu luka di perut
Eleanor belum sembuh bahkan sebuah gerakan sembrono Eleanor akan
membuka kembali luka itu.
Seharusnya ia curiga ketika prajurit itu menyebut Tognozzi. Tidak
mungkin Quinn tidak tahu ketakutan Eleanor akan laut. Mengapa ia
menunggu gadis itu di Tognozzi" Ia tidak mungkin menantinya di
pelabuhan bila ia tidak ingin mengajaknya berlayar.
Nicci terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia berdoa demi keselamatan
gadis yang disayanginya itu.
-----0----- Eleanor terbangun dengan sakit yang teramat sangat di kepalanya.
Terror Di Akhir Pekan 1 Dewa Arak 58 Mayat Hidup Tiga Dara Pendekar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama