Ceritasilat Novel Online

Perfume Story Of Murderer 3

Perfume The Story Of A Murderer Karya Patrick Suskind Bagian 3


Perlahan-lahan ketel mulai mendidih. Dan setelah beberapa waktu, hasil sulingan mulai merembes keluar dari kepala tambat, mengalir ke sebuah botol Florentine yang telah disiapkan di bawah. Awalnya menetes lambat-lambat, lalu mengalir deras. Tampilannya tampak biasa saja, seperti lapisan sup kelam. yang tipis. Namun sedikit demi sedikit -apalagi setelah botol pertama diganti dengan yang kedua, godokan itu mulai terbagi menjadi dua: di bagian bawah adalah cairan bunga atau tetumbuhan, dan di bagian atas mengambang lapisan minyak yang tebal. Jika cairan itu -yang beraroma sangat tipis - dikeluarkan dengan hati-hati melalui cerat bagian bawah botol Florentine, yang tinggal adalah minyak murni - inilah esensinya, sari pati aroma yang diperas dari tanaman.
Grenouille terpana kagum melihat proses ini. Sangat sedikit dalam hidup ini yang mampu menyulut antusiasmenya. Itu pun tak terlihat di wajah - kegembiraan
yang menyala dalam kobaran beku. Namun demikianlah kini yang ia rasakan saat melihat prosedur penyulingan memanfaatkan elemen api, air, dan uap, dengan peralatan sederhana namun cerdik untuk menangkap sari pati atau jiwa sebuah materi. Jiwa beraroma, minyak tak terlihat yang kini ada dalam botol Florentine itu adalah yang terbaik dari sebuah materi. Satu-satunya hal di dunia ini yang mampu menarik hati Grenouifle. Sisanya - kelopak bunga, daun, kulit, warna, keindahan, vitalitas, dan kualiras lain sama sekali tak masuk hitungan. Sama sekali tidak menarik. Tak lebih dari sekadar sekam yang harus disingkirkan.
Selang beberapa waktu, saat hasil sulingan mengembun dan menjernih, barulah tabung penyulingan itu diangkat dari api, dibuka dan dibuang endapan kotorannya. Tampak lunak dan pucat seperti jerami basah, seperti tulang burung kecil yang putih, seperti sayuran yang direbus terlalu lama, terasa hambar dan berserabut, seempuk bubur dan sulit dikenali asalnya, pucat pasi dan nyaris tidak berbau. Endapan atau ampas itu lalu dibuang ke luar jendela, ke arah sungai. Baldini dan Grenouille kemudian memasukkan tanaman baru ke dalam tabung penyulingan, memasukkan air, dan ditaruh lagi di atas tungku. Kembali ketel itu mulai mendidih dan kembali darah kehidupan tanaman di dalamnya menetes ke botol Florentine. Ini kerap berlanjut sepanjang malam. Baldini memandangi tungku sementara Grenouille mengawasi botol. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu sampai siklus berikutnya.
Mereka duduk di pinggir tungku, seolah tersihir menunggui ramuan mendidih. Namun lamunan keduanya tak sama. Baldini suka memandangi nyala dan percik bunga api serta permukaan tembaga yang merah membara. Ia suka mendengar suara halus kayu terbakar dan gelegak isi tabung yang mendidih, karena ini mengingatkannya pada
masa lalu. Hanyut dibuai lamunan. Ia mengambil sebotol anggur dari toko karena panas godokan membuatnya haus, meminum anggur sama mengingatkannya pada masa lalu. Lalu mulailah bibirnya berceloteh tentang nostalgia masa muda, tak berkesudahan. Ia bercerita tentang Perang Pemberontakan Spanyol, saat partisipasinya melawan Austria telah turut memberi pengaruh penting dalam hidup; tentang Camisards - kawan seperjuangan kala merajalela di Cevennes; tentang putri seorang Huguenot di Esterel yang lantaran mabuk kepayang dengan parfum bunga lavender lalu mengabulkan permintaannya; tentang bagaimana ia nyaris mengakibatkan kebakaran hutan dan memusnahkan seluruh daerah tersebut kalau saja tidak ada mistral - angin utara yang bertiup kuat di Prancis selama musim dingin; plus berulang-ulang kisah basi tentang bagaimana ia menyuling parfum di tanah terbuka saat malam, di bawah terang bulan, berteman anggur dan suara tokek serta derik jangkrik; juga tentang minyak lavender ciptaannya - minyak parfum yang begitu kuat dan murni sampai bisa ditimbang seharga perak; tentang tahun-tahun pembelajarannya di Genoa, tahun-tahun pengabdiannya sebagai seorang ahli di kota Grasse, di mana jumlah ahli parfum sama banyak dengan pembuat sepatu - beberapa ada yang sangat kaya sampai bisa hidup seperti pangeran, tinggal di rumah-rumah besar dengan taman dan teras serta ruangan-ruangan makan berdekor mewah tempat mereka berpesta dengan peralatan makan dari porselen dan emas, bla... bla.... bla....
Macam itulah dongeng Baldini sambil minum anggur. Pipinya makin merona oleh anggur, panas tungku, dan antusiasme kisahnya sendiri.
Grenouille duduk memojok di balik bayang-bayang tanpa menyimak sama sekali. Ia tak peduli segala macam cerita lama. Ia hanya peduli satu hal: proses baru ini.
Matanya nyalang tak berkedip menatap puncak tabung-tempat di mana rembesan sulingan mengalir keluar. Dan saat menatap ia membayangkan diri sendiri sebagai isi tabung itu, mendidih dan merembes keluar sebagai sulingan, tapi dalam bentuk yang lebih baik, lebih baru dan tak dikenal dari sekian tanaman eksotis yang ia tanam dalam batin. Bermekaran membentuk buket-buket bunga yang tak dikenal siapa pun selain dirinya sendiri, dan dengan aroma unik yang tercipta ia mengubah dunia menjadi Taman Surga yang harum mewangi, di mana hidup terasa lebih indah dan nyaman ditinggali - tentu saja dalam kaitannya dengan penciuman. Sebagai tabung penyulingan raksasa, ia akan membanjiri dunia dengan berbagai hasil sulingan ciptaannya. Demikianlah lamunan Grenouille saat itu.
Baldini yang terbakar anggur masih terus mengocehkan nostalgia yang makin lama makin dahsyat dan terjerat dalam semangatnya sendiri. Sementara itu, Grenouille memutuskan untuk berhenti mengkhayal. Saat itu ia hapus sama sekali lamunan menjadi tabung penyulingan raksasa dan mulai mernikirkan bagaimana cara memanfaatkan pengetahuan baru ini untuk tujuan yang lebih nyata....
Sembilan Belas TAK MAKAN WAKTU LAMA sampai Grenouille menjadi ahli penyulingan. Ia menemukan - dengan hidung yang jauh lebih membantu ketimbang segudang peraturan Baldini -bahwa panas api memegang peranan penting dalam menentukan kualitas hasil sulingan. Setiap tanaman, setiap bunga, setiap jenis kayu, dan setiap minyak perasan biji menuntut prosedur penggodokan tersendiri. Kadang harus sangat panas, kadang sedang, dan untuk bebungaan apinya harus sekecil mungkin.
Persiapan lain juga begitu. Mint dan lavender bisa disuling berkelompok. Yang lain ada yang harus disisihkan dengan hati-hati terlebih dahulu, dipetik, dipotong, digerus, ditumbuk, atau bahkan dibuat menjadi bubur sebelum ditaruh dalam ketel. Sialnya, ada banyak hal yang tak bisa disuling sama sekali. Ini membuat Grenouille sebal.
Melihat betapa Grenouile makin mahir menangani perangkat kimia, Baldini bersedia membebaskannya berkreasi dengan tabung penyulingan. Jelas sebuah peluang yang tidak disia-siakan begitu saja oleh Grenouille. Sementara tetap mengerjakan tugas pembuatan parfum dan produk wewangian lain di siang hari, malamnya ia habiskan khusus untuk menguasai seni penyulingan. Ia berencana menciptakan aroma dasar yang sama sekali baru, untuk kemudian dikembangkan menjadi beberapa macam aroma sesuai ingatannya selama ini. Kesuksesan datang bertahap. Awalnya ia berhasil membuat minyak dari jelatang dan dari biji seledri, eau de toilette dari batang elderberry segar dan ranting cemara. Hasil sulingannya memang nyaris berbeda dengan aroma ramuan asal, tapi paling tidak masih cukup menarik untuk diteruskan lebih jauh. Kendati demikian, tetap ada substansi tertentu yang prosedurnya gagal sama sekali. Misalnya saat Grenouille mencoba menyuling aroma kaca, lempung, aroma dingin sebuah kaca yang mulus, pokoknya benda-benda yang tak bisa diendus hidung manusia normal. Ia telah mencoba sedikit pada kaca jendela - dan pecahan botol, dan sekarang ingin mencoba lagi dalam jumlah besar, dalam pecahan-pecahan yang dibuat sehalus debu - semuanya gagal. Selanjutnya ia mencoba menyuling kuningan, porselen dan kulit, kayu, serta kerikil. Tanah juga ia coba suling mentah-mentah. Begitu pun darah, kayu, ikan segar, dan rambutnya
sendiri. Di ujung percobaan, ia menyuling air mentah dari sungai Seine. Aroma uniknya dirasa pantas diabadikan. Ia yakin bahwa dengan bantuan tabung penyulingan ia mampu menjarah aroma unik dari benda-benda itu, seperti yang telah kenyang ia lakukan pada tumbuhan, lavender, dan biji jintan. Ia tak sadar bahwa penyulingan sesungguhnya tak lebih dari sekadar proses memisahkan substansi kompleks menjadi komponen yang mudah menguap dan yang tak mudah menguap. Ini hanya berguna dalam seni membuat parfum, karena sari minyak yang mudah menguap dari tanaman tertentu bisa diekstraksi atau dipisahkan dari substansi lain yang sedikit atau tidak memiliki bau. Pada substansi yang kurang atau tidak memiliki sari minyak, proses penyulingan tentu saja tak berguna. Buat manusia modern seperti kita hal ini pasti bisa segera dipahami, tapi dalam kasus Grenouille, pengetahuan ini didapat secara menyakitkan, setelah melewati berjam-jam percobaan yang mengecewakan. Selama berbulan-bulan ia tetap keras kepala menongkrongi tabung penyulingan, malam demi malam, mencoba setiap cara dan teknik menyuling aroma baru yang radikal -aroma yang tak pernah ada di bumi dalam wujud konsentrat. Usaha ini tentu saja berbuah kekonyolan. Hasil terjauh yang didapat selalu minyak tanaman. Sumur produktivitasnya yang tak terbatas itu terus memompa usaha tanpa hasil. Hidung ajaib Grenouille justru jadi penghalang terbesarnya dalam memahami kegagalan. Saat akhirnya sadar bahwa ia telah gagal, Grenouille menyudahi percobaan dan jatuh sakit.
Dua Puluh DEMAM TINGGI MENYERANG GRENOUILLE. Beberapa hari pertama dibarengi keringat deras, tapi kemudian, seolah pori-pori kulitnya tak tahan lagi dan mulai mengeluarkan jerawat serta bisul dalam jumlah tak terhitung. Banyak yang pecah dan mengeluarkan air tapi kemudian tumbuh lagi. Ada juga yang tumbuh sampai matang benar, membengkak tebal dan memerah, lalu meletus menumpahkan nanah kental serta darah kekuningan. Dengan segera ratusan borok, bisul, dan nanah itu membuat Grenouille tampak seperti patung martir yang ditimpuki dari dalam.
Baldini tentu saja khawatir. Sangat tidak menyenangkan kehilangan murid berharga di saat ia justru tengah berencana mengembangkan bisnis lebih jauh. Membuat cabang-cabang di luar kota dan bahkan sampai keluar negeri. Pesanan terus meningkat, tidak hanya dari seluruh Paris, tapi terutama dari negeri-negeri seberang. Ini tentu saja harus segera diantisipasi dengan membuka cabang baru. Baldini berniat membuka sebuah pabrik kecil di kota Saint-Antoine, di mana ia bisa memproduksi parfum-parfum yang paling cepat dibuat dalam kuantitas besar, dikemas dalam botol-botol kedl oleh anak-anak perempuan sebagai buruh, dan segera dikirim ke Belanda, Inggris, dan Jerman Raya. Usaha begini tak sepenuhnya legal untuk seorang ahli parfum yang berdiam di Paris, tapi Baldini baru saja beroleh dukungan dari orang-orang berpengaruh - bukan hanya dari komisaris perdagangan, tapi juga dari pihak-pihak pemegang hak waralaba untuk kantor pabean kota Paris, atau dengan salah seorang anggota Majelis Keuangan Istana dan promotor pelaksana perdagangan nasional seperti Monsieur Feydeau de Brou. Tokoh terakhir
ini bahkan menawarkan prospek untuk mendapatkan paten kerajaan - benar-benar mimpi indah serupa cek kosong untuk meretas semua batasan sipil dan profesional. Menjamin kebebasan dan keamanan berbisnis secara permanen serta kekayaan tak terbayangkan.
Baldini juga menyimpan rencana lain. Rencana favorit yang berfungsi sebagai rencana tandingan atas rencana pendirian pabrik di pinggiran kota Saint-Antoine. Barang-barang dagangan di tempat itu, kelak, walau tidak diproduksi massal, akan tersedia untuk siapa saja. Tapi untuk orang-orang tertentu dan klien-kiien dari katangan atas, ia ingin menciptakan - bahkan sudah dibuat - parfum pribadi yang hanya cocok untuk masing-masing orang tersebut, seperti pakaian jadi yang dibuat khusus dengan parfum tersebut, misalnya, lengkap dengan pengenal dan sulaman nama pemakai. Ia bisa membayangkan nama-nama parfum itu sebagai 'Parfum de la Marquise de Cema', 'Parfum de la Marechale de Villar', 'Parfum du Duc d'Aiguillor', dan seterusnya. Ia membayangkan 'Parfum de Madame la Marquise de Pompadour', atau bahkan 'Parfum de Sa Majeste le Roi' dalam kemasan flacon bertatahkan batu akik mahal dengan pegangan bersepuh emas dan di bagian dasarnya, pada tempat tersembunyi, terukir tulisan: 'Giuseppe Baldini, Sang Ahli Parfum'. Nama sang Raja dan namanya kelak akan tertulis di satu benda yang sama. Sedemikian tingginya angan-angan dan gagasan Baldini. Dan sekarang Grenouille jatuh sakit, kendati Grimal -semoga arwahnya beristirahat dengan tenang - telah bersumpah bahwa anak itu tidak mengidap penyakit apa pun, bahwa Grenouille sanggup menghadapi tugas apa pun, bahkan tak mempan diganyang wabah hitam - wabah pes abad pertengahan yang membunuh nyaris separo penduduk Eropa Barat. Tapi nyatanya sekarang ia jatuh sakit. Sakit berat. Bagaimana kalau sampai meninggal"
Mengerikan! Bisa rusak semua rencana indah mendirikan pabrik, mengupah buruh-buruh wanita, mendapatkan paten, dan parfum untuk sang Raja.
Baldini bertekad melakukan apa saja demi nyawa sang murid. Ia menyuruh Grenouile pindah dari dipan di laboratorium ke ranjang haru yang bersih di lantai atas. Kasurnya ia lengkapi dengan kain sutra. Ia bahkan memapah Grenouille naik tangga dengan tangannya sendiri, walau jijik pada jerawat dan pecahan bisul. Ia menyuruh istrinya memanaskan sup kaldu ayam dan menyiapkan anggur. Ia memanggil dokter paling terkenal di Paris - seorang bernama Procope yang menuntut dibayar di muka sejumlah dua puluh franc, bahkan sebelum ia setuju untuk berkunjung.
Sang dokter datang, mengangkat selimut dengan tangan terjumput karena jijik, melihat sekilas ke tubuh Grenouille yang seperti ditembusi ratusan peluru, dan langsung meninggalkan kamar tanpa sekalipun membuka tas medis yang dibawa oleh seorang asisten. Kepada Baldini sudah jelas. Ini kasus cacar air sifilistik bernanah stadium tinggi. Tak bisa ia melaporkan bahwa kasusnya dengan komplikasi campak dilakukan pengobatan karena pisau bedah tak bisa dimasukkan dengan benar ke bagian tubuh yang luka - ini pun sudah lebih mirip badan mayat ketimbang organisme hidup. Dan meskipun bau khas yang biasanya timbul bersama wabah ini belum tercium (dari sudut pandang ilmiah, ini terhitung telaah detail yang luar biasa), sang dokter memastikan bahwa si penderita akan mati dalam waktu 48 jam - sepasti namanya, Procope. Saat itu ia menuntut dua puluh franc lagi untuk kunjungan dan prognosisnya - lima franc bisa diambil kembali apabila jasad Grenouille boleh dibawa untuk keperluan demonstrasi medis. Lalu sang dokter pun pamit.
Baldini sangat terpukul. Ia meraung menangisi kehancuran yang menjelang. Menggigiti jemari meratapi nasib. Sekali lagi, persis di ambang pencapaian cita-cita, seluruh rencana agungnya runtuh berantakan. Kalau dulu ia dihancurkan oleh Pelissier dan kelompoknya dengan kekayaan dan plagiarisme mereka, sekarang oleh pemuda dengan sumur aroma baru yang tak pernah kering ini, anak bungkuk sialan ini yang lebih berharga dari seluruh emas di dunia. Entah bagaimana anak itu kini memutuskan untuk terserang cacar air sifilistik plus campak bernanah stadium tinggi. justru di saat seperti ini! Kenapa tidak dua tahun ke depan saja" Atau paling tidak setahun mendatang" Saat itu Baldini pasti sudah kaya raya seperti tambang perak, seperti Raja Midas dengan pantat bersepuh emas! Grenouille boleh saja mad tahun depan, tapi jangan sekarang, brengsek! Tidak dalam waktu 48 jam!
Sesaat Baldini sempat mempertimbangkan gagasan untuk ke Notre-Dame di mana ia bisa menyalakan lilin dan berdoa memohon pertolongan Bunda Maria untuk kesembuhan Grenouille. Tapi ia tepiskan gagasan itu karena waktunya sempit. Baldini bergegas menyambar kertas dan tinta, lalu mengusir istrinya keluar dari kamar Grenouille. Ia akan mengawasi sendiri. Duduk di kursi di samping ranjang, kertas catatan di pangkuan, sebuah pena bertinta di tangan dan mencoba memeras pengetahuan Grenouille tentang seni buatan parfum. Demi Tuhan, jangan sampai dia berani mati duluan tanpa berkata apa-apa -membawa harta karun Baldini ke liang kubur. Tidakkah Grenouille sudi meninggalkan warisan pada orang tepercaya, agar generasi mendatang tidak harus kehilangan aroma terbaik sepanjang masa" Ia, Baldini, dengan amat senang hati akan menyampaikan warisan itu. Formula utama dari parfum terluhur yang pernah ada. Akan menghantarkannya ke puncak ketenaran, bahkan atas
nama Grenouille - ya, ia sungguh bersumpah demi segala suci akan melakukan itu. Ia akan menggelar yang terbaik dari parfum-parfum itu di hadapan sang Raja, dalam sebuah flacon batu akik bersepuh emas dengan ukiran dedikasi berbunyi, "Dari Jean-Baptiste Grenouille, Sang Ahli Parfum, Paris". Demikian bisik Baldini ke telinga Grenouille. Dengan segenap hati memohon dan membujuk.
Namun sia-sia. Grenouille tak berucap apa-apa selain menghasilkan sekresi berair dan bisul pecah. Berbaring bisu di atas kasur berlapis sutra, mengucapkan salam perpisahan dengan cairan menjijikkan itu, tanpa mewariskan formula, pengetahuan, atau aroma apa pun. Ingin sekali rasanya Baldini memberangus dan memukuli onggokan daging ini sampai mati, memeras keluar rahasia berharga itu - kalau saja bisa demikian... dan kalau saja tidak bertentangan dengan keyakinan Kristen untuk mencintai sesama.
Demikianlah ia terus mendengkur dan memelas dengan suara paling manis, memanjakan Grenouille, dan - dengan perjuangan setengah mati menahan diri - mengelapi keringat di kening Grenouille, pada luka-lukanya yang mendidih, menyuapi sesendok demi sesendok anggur, berharap agar setidaknya mampu "melemaskan' lidah Grenouille. Ini dilakukan sepanjang malam dan berujung sia-sia. Menjelang fajar ia menyerah. Baldini jatuh kelelahan di kursi di ujung ruangan seraya menatap - tidak lagi dengan kernarahan, tapi dengan kepasrahan bisu. Pada tubuh sekarat Grenouille yang terbaring di ranjang, yang tak bisa ia tolong, jarah, atau bujuk untuk mengatakan apa pun. Kematian yang hanya bisa disaksikan dengan pikiran mati rasa seperti seorang nakhoda menyaksikan kapalnya karam, embawa seluruh kekayaan ke dasar laut. Ketika itulah mendadak mulut pemuda sekarat itu membuka, mengeluarkan suara jernih yang berlawanan dengan
kondisinya. Ia berkata, "Katakan padaku, Maitre, adakah cara lain mengekstraksi aroma dari benda-benda selain diperas dan disuling?"
Baldini - yang dengan mata tertutup mengelus kening, setengah yakin suara itu keluar dari imajinasinya sendiri atau dari alam lain - menjawab otomatis, "Ya, ada."
"Apa itu?" datang pertanyaan dari arah ranjang. Sontak Baldini membuka mata lelahnya lebar-lebar. Grenouille masih terbaring tak bergerak. Mungkinkah mayat itu berbicara"
"Apa sajakah itu?" datang lagi pertanyaan itu. Kali ini Baldini menangkap bibir Grenouille bergerak berucap. Berakhir sudah, pikirnya. Inilah akhirnya. Kegilaan akibat demam atau menjelang kematian. Ia bangkit, melangkah ke sisi ranjang, lalu membungkuk mendekati si sakit. Mata Grenouille terbuka dan menatap Baldini dengan pandangan aneh yang sama seperti ketika pertama kali bertemu.
"Apa sajakah itu?" kembali ia bertanya.
Baldini merasa tak tega. Ia tak mungkin menolak permintaan terakhir seseorang menjelang ajal. Ia menjawab, "Ada tiga cara lain, anakku: enfleurage a chaud, enfleurage a froid, dan enfleurage a l'huile. Masing-masing merupakan teknik penyulingan superior dalam banyak aspek, dan biasa digunakan untuk mengekstraksi aroma terbaik yang pernah ada, yaitu bunga melati, mawar, dan jeruk."
"Di mana semua ini bisa dilakukan?" tanya Grenouille. "Di selatan, jawab Baldini, "terutama sekali di kota Grasse."
"Baguslah," jawab Grenouille.
Dan dengan itu ia menutup mata. Baldini bangkit dengan lemas. Batinnya tersiksa. Ia kumpulkan semua kerras dan meniup lilin. Hari sudah lewat fajar dan ia sangat kelelahan. Aku harus memanggil pendeta, pikirnya. Tangan kanan tergesa membuat tanda salib, lalu pergi.
Sementara itu, Grenouille sama. sekali tidak mati. Ia hanya tidur nyenyak, hanyut dalam mimpi, sambil mengisap kembali seluruh cairan kehidupan yang membuncah keluar bersama bisul dan jerawat. Luka-luka dan kawah bernanah perlahan mengering dan menutup.
Dua Puluh Satu GRENOUILLE AMAT INGIN saat itu juga berangkat ke selatan, ke kota di mana ia bisa belajar teknik penyulingan baru seperti uraian Baldini. Tapi tentu saja tidak mungkin. Ia hanya seorang murid rendahan, atau dengan kata lain: sama sekali bukan siapa-siapa. Seperti dijelaskan Baldini -setelah menampakkan kegembiraan luar biasa menyambut kebangkitan Grenouille dari kematian - ia bahkan lebih rendah dari 'bukan siapa-siapa' karena seorang murid yang benar harus memiliki persyaratan memadai seperti surat legitimasi, akta kelahiran, memiliki kerabat kalangan ningrat, serta sertifikat ikatan kontrak. Semua ini Grenouille tak punya. Pun andai Baldini kelak memutuskan untuk membantunya mengurus surat-surat resmi kenaikan tingkat ke status ahli, itu hanya bisa terjadi atas dasar bakat ajaib Grenouille, kesempurnaan perilaku sejak saat itu, dan terutama sekali atas kebaikan Baldini. Yang terakhir ini meskipun banyak menguntungkan Grenouille, tetap saja akan membuat ia berutang budi selamanya. Cukup lama sampai Baldini bersedia memenuhi janji - nyaris tiga tahun. Selama itu, dengan bantuan Grenouille, Baldini mewujudkan impian. Ia membangun pabrik di pinggir kota
Saint-Antoine, meloloskan tender untuk parfum eksklusif di kalangan istana, serta menerima paten kerajaan. Parfumnya terjual sampai ke St. Petersburg di Rusia, Palermo di Italia, dan Copenhagen di Denmark. Barang-barang beraroma kesturi sangat dicari, bahkan di Konstantinopel. Padahal Tuhan pun tahu orang-orang di sana sudah lebih dari cukup memiliki parfum sendiri. Parfum Baldini tercium mulai dari kantor-kantor elegan di London sampai istana Parma, juga di puri Warsawa dan di istana kecil dinasti Graf von und zu Lippe-Detmold. Kontras dengan angan-angan semula untuk hidup menyepi dalam kemiskinan di Messina, Baldini yang kini berusia tujuh puluh tahun, berubah menjadi pembuat parfum terbesar di seluruh Eropa dan termasuk salah satu orang terkaya di Paris.
Di awal tahun 1756 Baldini membeli gedung seberang di Pont au Change yang ia pakai untuk tempat tinggal karena gedung lama sudah penuh sampai ke atap dengan parfum dan rempah-rempah. Saat itu ia menyampaikan pada Grenouille bahwa kini ia bersedia melepasnya, dengan tiga syarat. Pertama, ia tak boleh membuat parfum apa pun yang sama dengan apa yang kini ada di bawah atap gedung milik Baldini atau menjual formulanya pada pihak ketiga. Kedua, ia harus meninggalkan Paris dan tidak kembali lagi selama Baldini masih hidup. Dan ketiga, Grenouille harus merahasiakan dua syarat tersebut. Ia diminta bersumpah atas nama semua santo, atas nama. jiwa ibunya yang malang, dan atas nama kehormatannya sendiri.
Grenouille tidak memiliki kehormatan, tidak percaya santo, dan membenci ibunya, jadi dengan enteng ia bersumpah. Sumpah demi apa pun ia bersedia. Syarat bagaimanapun yang diajukan Baldini akan diterima. karena ia sudah sangat tak sabar ingin segera memiliki surat resmi status ahli. Kunci menuju kebebasan, berkelana tanpa
diganggu siapa pun, dan mencari pekerjaan. Hal lain tidak penting. Lagi pula, syarat macam apa itu" Tak boleh memasuki Paris lagi" Siapa juga yang butuh Paris" Ia sudah kenyang dengan kota ini sampai ke ceruk terkecilnya sekalipun. Aroma kota ini akan selalu ia bawa ke mana pun melangkah. Boleh dibilang ia telah memiliki Paris selama bertahun-tahun. Tak boleh membuat parfum-parfum laris yang kini dimiliki Baldini" Tak boleh menyebarkan formulanya" Bah! Ia mampu membuat ribuan lagi, dan setiap kali jauh lebih baik, kapan saja ia mau! Tapi ia tak mau begitu. Grenouille tak berniat bersaing dengan Baldini atau ahli parfum borjuis lainnya. Tak pernah terlintas niat untuk menjadi kaya dengan bakat ini. Tak ingin hidup dari situ kalau memang ada jalan lain mengongkosi hidup. Yang paling diinginkan adalah mengosongkan jiwanya yang paling dalam - satu-satunya hal terindah dari apa pun yang bisa ditawarkan dunia. Dus, syarat Baldini bukan apa-apa buat Grenouille.
Grenouille berkemas pagi-pagi sekali di awal musim semi, di bulan Mei. Baldini membekalinya dengan sebuah ransel kecil, selembar kemeja, dua pasang stoking, sebongkah besar sosis, selimut pelana kuda, dan uang 25 franc. Menurut Baldini, ini saja sudah berlebihan dari apa yang semestinya diberikan, mengingat bahwa Grenouille tidak membayar sepeser pun untuk pendidikan yang diterimanya selama ini. Grenouile hanya diwajibkan membayar uang pemutusan kontrak sebesar dua franc. Tidak lebih. Yah, Baldini rupanya masih menyimpan sedikit simpati untuk Jean-Baptiste Grenouille setelah sekian lama tinggal bersama. Ia mendoakan semoga Grenouille beruntung dalam perjalanan dan sekali lagi mengingatkan secara empatik agar tidak melupakan janji. Setelah itu ia mengantar Grenouille melewati koridor sempit ke pintu belakang seperti saat pertama kali bertemu, dan mereka berpisah.
Baldini tidak mengangsurkan tangan memberi salam -simpatinya tak sampai sejauh itu. Ia tak pernah bersalaman dengan Grenouille. Selama ini ia selalu berusaha agar mereka tidak bersentuhan. Perasaan yang datang dari rasa jijik tanpa alasan, atau takut tertular, atau terkontaminasi entah apa. Ia hanya berucap, "Adieu." Grenouille mengangguk, merunduk melewati pintu dan berlalu. Jalanan pagi itu tampak lengang.
Dua Puluh Dua BALDINI MEMANDANG KEPERGIAN sang mantan murid. Ransel di punggung Grenouille bergerak melintasi jembatan ke seberang. Tubuh itu kecil, bungkuk, mengusung ransel seperti manusia bongkok dan dari samping malah seperti orang tua. Di ujung jalan yang berkelok ke Palais de Parlement, Baldini tak bisa melihatnya lagi dan merasa amat lega.
Kini akhirnya ia mengaku bahwa ia tak pernah menyukai pemuda itu. Tak pernah merasa nyaman setiap saat bersama Grenouille di bawah satu atap sementara terus menjarah pengetahuan dan bakatnya. Ia merasa seperti seorang manusia suci yang kecipratan amal jelek untuk pertama kali, atau seperti orang yang curang saat bermain kartu. Memang benar bahwa risiko untuk sampai tertangkap basah selama ini kecil sekali, apalagi prospeknya juga luar biasa, tapi kegugupan dan perasaan tak nyaman yang ditimbulkan juga sama besarnya. Jujur saja, selama tahun-tahun belakangan ini ia selalu dihantui ketakutan bahwa suatu hari nanti ia harus membayar
keterlibatannya dengan Grenouille. Semoga semua bisa berakhir dengan baik! Begitu doanya setiap hari. Semoga aku berhasil menggelembungkan keuntungan dari bisnis berisiko tinggi tanpa harus membayar akibatnyal Semoga aku berhasil! Yang kulakukan memang tidak benar, tapi Tuhan pasti mau memaklumi, aku yakin. Tuhan telah cukup keras menghukumku berkali-kali di masa lalu, tanpa sebab apa pun, jadi cukup adil kalau Dia memberi keringanan untuk yang satu ini. Coba, dosa apa yang sebenarnya kulakukan, kalau memang ada" Paling banter aku hanya beroperasi sedikit di luar peraturan Serikat Kerja Ahli Parfum dengan mengeksploitasi berkah ajaib seorang pekerja tak berpengalaman dan mengakui bakatnya sebagai milikku. Aku hanya melenceng sedikit dari jalur tradisional nilai-nilai serikat kerja. Yang kulakukan hari ini adalah apa yang selalu kubenci di masa lalu. Salahkah itu" Banyak orang lain berlaku curang sepanjang hayat. Aku hanya menukil sedikit selama beberapa tahun. Itu pun hadir begitu saja di depan rumah - seperti berkah. Sebuah peluang sekali seumur hidup yang tak mungkin kulewatkan. Mungkin bukan semata-mata peluang, tapi Tuhan sendiri yang mengirim penyihir itu ke rumahku, sebagai ganti hari-hari memalukan saat menghadapi Missier dan kawan-kawan. Atau barangkali Tuhan tidak mengarahkan ini semua khusus untukku, tapi justru untuk menghukum Pelissier! Ya, itu lebih mungkin. Dengan cara bagaimana lagi Tuhan mampu menghukum orang itu kalau tidak dengan mengangkatku" Dari sudut pandang itu, keberuntunganku terletak pada cara Tuhan mencapai tujuan-Nya. Dus, tidak hanya harus kuterima, tapi juga tanpa rasa malu dan tanpa penyesalan....
Begitulah Baldini kerap berpikir selama tahun-tahun itu. Di pagi hari saat meniti tangga turun ke toko, sore hari saat naik lagi membawa peti kas untuk menghitung koin-koin
emas dan perak, dan malam hari saat ia terbaring di sisi buntal tulang yang mendengkur-yang ia sebut sebagai istri... tapi ia sendiri tak bisa tidur saking takut kehilangan harta.
Dan hari ini adalah saatnya mengenyahkan semua kecemasan itu. Tamu aneh itu telah pergi dan tak akan kembali. Tapi kekayaan yang ditinggalkan tetap jadi miliknya dan aman sampai ke masa depan. Baldini menangkup tangan ke dada dan merasakan di balik bajunya, sebuah buku tebal terselip aman bersama detak jantung. Enam ratus formula telah tercatat di sini. Lebih dari yang mampu diramu oleh seluruh generasi ahli parfum. Ia boleh saja kehilangan harta sekarang, tapi dengan buku ini ia bisa jadi kaya lagi dalam waktu satu tahun. Sungguh, ia tak bisa menuntut lebih dari ini!
Matahari pagi menerpa atap-atap rumah seberang jalan. Sinarnya berpendar keemasan dan terasa hangat di wajah. Baldini masih menatap ke arah selatan, ke jalan yang menuju Palais de Parlemen - menyenangkan sekali tak harus melihat tampang Grenouille lagi! Dengan penuh rasa syukur ia memutuskan untuk berziarah ke Notre-Dame hari ini. Di sana ia akan melempar koin emas ke dalam kotak amal, menyalakan tiga batang lilin, lalu berlutut memanjatkan puji syukur pada Tuhan yang telah memberi karunia rezeki dan menjauhkannya dari bencana.
Tapi siang hari itu juga, persis saat Baldini hendak pergi ke gereja, sesuatu yang aneh terjadi: ada kabar bahwa Inggris telah menyatakan perang terhadap Prancis. Berita ini saja sudah sangat menggelisahkan. Terlebih lagi Baldini telah berencana mengirim produksi parfum ke Londan persis pada hari itu. Terpaksalah ia menunda ziarah ke Notre-Dame dan berbelok ke pusat kota untuk memastikan kabar itu lebih jauh. Setelah itu bergegas ke pabriknya di pinggiran kota Saint-Antoine dan menunda kiriman menuju London - setidaknya untuk saat ini.
Malam itu di tempat tidur, sebelum ia lelap, mendadak ia kedatangan ide bagus. Melihat kemungkinan pecah perang dan kekerasan yang akan terjadi di seluruh koloni Dunia Baru, ia akan meluncurkan produk parfum bertajuk 'Prestige du Quebec, sebuah parfum heroik beraroma tar, yang apabila sukses - ia yakin pasti begitu - akan menghasilkan keuntungan yang jauh melebihi kerugian akibat pembatalan bisnis dengan Inggris. Ide konyol ini membuatnya lega dan menefungkup nyaman di atas bantal, di atas buku kumpulan formula yang saking tebainya sampai terasa menembus bantal. Tapi Baldini malah merasa nyaman dan aman begitu. Maitre Baldini tertidur lelap dan tidak pernah bangun lagi.
Dua Puluh Tiga KETIKA RUMAH KELUARGA Giuseppe Baldini runtuh, Grenouille sudah dalam perjalanan menuju Orleans. Paris, kota kejam nan berkabut itu, telah ia tinggalkan nun jauh di belakang. Setiap langkah membuat udara makin jernih, bersih, dan murni. Juga makin tipis. Tak ada lagi badai perubahan ribuan aroma setiap detik. Di sini hanya ada beberapa aroma khas; bau jalan berpasir, padang rumput, bau tanah, tanaman, air.. membentang sepanjang daerah pedesaan dalam deburan arus panjang, bergulung perlahan, mereda perlahan, nyaris tanpa jeda.
Bagi Grenouille, kesederhanaan ini menjadi pembebasan. Alunan aroma surga dunia membelai hidung. Untuk pertama kali dalam hidup ia tak harus mempersiapkan diri menangkap aroma baru yang tak
terduga atau bahkan bersifat menyerang. Pun tak harus kehilangan aroma yang menyenangkan - di setiap tarikan napas. Untuk pertama kali ia hampir bisa bernapas dengan begitu lega dan bebas, padahal biasanya ia harus selalu waspada menangkap aroma. Disebut 'hampir' karena kita pasti mafhum bahwa tak ada yang lewat begitu saja di depan hidung Grenouile. Ia sudah sangat terbiasa memasang sikap waspada dan cemas pada apa pun yang datang dari luar dan masuk ke indra penciuman. Sepanjang hayat, bahkan pada detik-detik ia merasakan setitik kepuasan, kenyamanan, dan barangkali juga kebahagiaan, ia lebih memilih membuang napas ketimbang menghirup. Persis seperti ketika ia memulai hidup - tidak dengan menghirup udara penuh kelegaan, tapi dengan jerit tangis membekukan darah. Terlepas dari syarat Baldini yang ia terima - yang ia pandang semata-mata sebagai pembatasan konstitusional - yang jelas, makin jauh ia dari Paris, perasaan semakin nyaman, semakin mudah bernapas, makin ringan melangkah, sampai kadang mampu menegakkan tubuh kala berjalan sehingga tampak seperti seorang ahli kalau dilihat dari jauh. Seperti manusia normal.
Yang paling melegakan adalah keadaan yang jauh dari siapa pun. Paris adalah tempat berpenduduk terpadat dibanding kota mana pun di dunia. Enam sampai tujuh ratus ribu orang tinggal di Paris. Setiap kelokan jalan dan gang-gangnya selalu terisi orang. Rumah-rumah sesak dijejali penghuni dari ruang bawah tanah sampai loteng. Nyaris tak ada sudut di Paris yang tidak dipenuhi oleh manusia. Tidak ada batu atau sejengkal tanah pun yang tidak sumpek oleh bau manusia.
Makin jauh dari kungkungan manusia, makin jelas bagi Grenouille bahwa selama delapan belas tahun ini emisi bau manusialah yang telab menekannya seperti udara saat
badai petir. Semula ia mengira hanya ingin menjauh dari dunia secara umum, tapi ternyata bukan dunia bukan, tapi manusia penghuninya yang ingin ia jauhi. Kau bisa hidup nyaman di dunia ini kalau tidak ada manusia lain.
Di hari ketiga perjalanaanya, Grenouiile mulai mengendus bau kota Orleans, jauh sebelum ada tanda apa pun yang menyatakan bahwa ia sudah dekat kota. Hidungnya mencium kondensasi aroma manusia di udara dan segera memutuskan untuk tidak langsung masuk kota. Ia masih ingin merasakan kebebasan penciuman ini lebih lama lagi sebelum tercemar oleh iklim manusia. Grenouille mengambil jalan memutar sangat jauh, tiba di Loire at Chhteaueuf dan menyeberang di sungai Sully. Bekal sosisnya hanya bertahan sejauh ini. Ia beli lagi satu, setelah itu pergi meninggalkan sungai untuk masuk lebih jauh.
Grenouille menghindari tidak hanya kota, tapi juga pedesaan. Nyaris mabuk oleh udara yang makin jernih dan jauh dari bau manusia. Permukiman atau peternakan terasing hanya dimasuki kalau butuh bekal baru saja, membeli roti dan langsung menghilang lagi ke hutan. Setelah beberapa minggu ia bahkan tak tahan menemui petualang dan pejalan kaki yang kadang ditemui. Tak kuat mencium konsentrat aroma yang pasti merebak bersama sosok petani yang muncul saat menata jerami di padang rumput. Dengan gugup ia menghindari setiap rombongan biri-biri - bukan lantaran bau kambing atau domba, tapi bau gembalanya yang ia tak tahan. Dusun dan perkampungan ia lewati begitu saja dan lebih suka mengambil jalan memutar setiap kali ia menangkap aroma penunggang kuda dari jarak beberapa jam jauhnya. Bukan karena takut dihadang dan ditanyai surat-surat atau diseret masuk wajib militer (ia bahkan tak tahu bahwa sedang ada perang), tapi karena ia jijik terhadap bau penunggangnya. Dus, rencana semula untuk inengambil rute terpendek
menuju Grasse berubah menjadi sebuah perjalanan bebas -seperti yang kerap terjadi setiap kali ia punya niat atau rencana. Grenouille tak ingin lagi pergi ke suatu tempat. Ia hanya ingin menjauh. Jauh dari manusia.
Akhirnya, malam hari jadi waktu favoritnya untuk bertualang. Siang hari ia merangsek ke bawah belukar, tidur di bawah semak-semak, di cekungan akar pohon besar, di tempat yang paling tidak bisa dijangkau, menggulung badan seperti binatang dengan selimut tertarik sampai kepala, menekan hidung di lekukan siku agar mimpi tidak terganggu oleh bau apa pun. Grenouille bangun setiap senja, mengendus-endus ke segala arah, dan hanya saat ia yakin bahwa petani terakhir telah pergi dari ladang dan petualang paling berani telah bermalam, hanya saat cahaya pupus dan jalan-jalan perkampungan sepi oleh manusia, Grenouille berani keluar dan melanjutkan perjalanan. Ia tak butuh penerangan untuk melihat. Bahkan saat masih berani jalan siang had ia kerap menutup mata dan berjalan mengikuti petunjuk hidung. Bentangan tanah lapang dan penglihatan membuat matanya sakit. Ia hanya suka pada cahaya bulan. Cahaya bulan tidak mengenal warna dan menyisiri kontur benda-benda dengan sangat lembut.
Menyelimuti bumi dengan warna kelabu suram, menahan semut makhluk hidup agar tetap di sarangnya sepanjang malam. Dunia seperti disepuh timah, di mana tak satu pun yang bergerak kecuali angin yang kadang jatuh memayung seperti bayang-bayang di atas rimba kelabu. Tak ada sesuatu pun yang hidup kecuali aroma ibu bumi -satu-satunya dunia yang ia terima, karena sangat mirip dengan dunia dalam jiwanya sendiri.
Grenouille berjalan ke arah selatan. Kira-kira saja karena ia tidak mengandalkan kompas magnet tapi kompas hidung. Membuatnya berjalan memutari setiap kota, setiap
desa, setiap permukiman. Berminggu-minggu ia tidak bertemu satu manusia pun, sampai nyaris yakin bahwa ia memang hidup sendirian di dunia ini, dalam banjir kegelapan atau cahaya bulan nan beku. Tapi ternyata hidungnya masib bisa salah.
Manusia juga hadir saat malam. Bahkan di daerah paling terpencil sekalipun. Bersembunyi seperti tikus masuk sarang kalau ingin tidur. Bumi belum bersih dari mereka karena dalam tidur pun mereka masih mengeluarkan bau yang merembes keluar dari celah retakan rumah ke udara terbuka, meracuni alam yang tak mampu berbuat apa-apa. Makin Grenouile terbiasa dengan udara jernih, makin sensitif pula ia terhadap bau manusia, yang sialnya kadang suka mengapung entah dari mana saat malam. Sama. memuakkannya dengan bau kotoran binatang dan nyaris menutupi aroma tempat tinggal manusia itu sendiri. Kalau sudah begini, Grenouille lebih memilih untuk kabur lebih jauh. Sensitivitas dan ketajaman penciumannya makin meningkat, pun dengan bau yang makin jarang tercium. Demikianlah, hidung ajaibnya membawa Grenouille ke daerah yang makin terpencil dan jauh dari manusia. Seolah tertarik kutub magnet yang mendorongnya untuk tak tersentuh siapa pun.
Dua Puluh Empat KUTUB ITU, titik kerajaan yang paling jauh dari manusia itu bernama Massif Central di Auvergne, sekitar lima hari perjalanan sebelah selatan Dermont, di puncak gunung Plomb du Cantal berketinggian enam ribu kaki.
Gunung itu terdiri atas sebuah karang kerucut raksasa berwarna biru kelabu dan dikelilingi oleh tanah tandus
yang amat luas, dipasaki beberapa pohon gosong yang tertutup lumut serta semak belukar. Di sana-sini batu-batu besar mencuat seperti gigi busuk. Di terik siang sekalipun daerah itu begitu muram dan redup sampai gembala terpapa di provinsi termiskin ini tak akan sudi menggiring ternaknya ke sini. Malam hari diputihkan oleh cahaya bulan, membuat dataran ini tampak seperti berasal dari dunia lain. Bahkan Lebrun, bandit paling terkenal di Auvergne, walau dikejar dari segala penjuru, lebih suka lari ke Uvennes untuk ditangkap, diseret, dan dipenjara ketimbang bersembunyi di Plomb du Cantal yang jelas-jelas tak terusik orang.
Sadar bahwa di gunung itu ia bakal mati sendirian. Lebih baik mati di bui bersama manusia normal daripada jadi zombi kesepian. Bermil-mil. di sekitar pegunungan, tak sejengkal tanah pun dihuni manusia atau binatang mamalia. Kalaupun ada, paling-paling kelelawar, beberapa ekor kumbang, dan ular beludak. Tak ada yang sudi menjejaki tempat ini selama puluhan tahun.
Grenouille tiba di gunung ini pada suatu malam di bulan Agustus tahun 1756. Saat fajar menyingsing, ia berdiri di puncak. Belum sadar bahwa perjalanannya sudah sampai akhir. Dipikirnya ini sekadar lokasi transit sebelum tiba di daerah berudara lebih murni. Ia memutar tubuh dan membiarkan hidungnya mengendus bebas, mengembara melintasi panorama alam liar pegunungan. Di sebelah timur terletak dataran tinggi Saint-Flour dan rawa-rawa sungai Riou. Di sebelah utara - arah datangnya tadi - berjejer rapat pegunungan baru gamping. Dari sebelah barat, angin lembut pagi hari membawa aroma bebatuan dan rumput liar. Dan dari selatan, kaki gunung Plomb membentang bermil-mil sampai ke ngarai Truyere yang gelap. Benar-benar tak ada manusia dari segala penjuru. Selangkah lebih dekat saja, ke arah mana pun, baunya pasti akan tercium.
Hidung kompas Grenouille berputar bingung kehilangan orientasi. Ia sadar telah sampai tujuan, meski tetap butuh waktu untuk yakin dan jatuh hati pada tempat ini.
Saat matahari terbit, Grenouille masih berdiri di puncak itu dengan hidung terangkat tinggi ke udara. Setengah putus asa ia mencoba menentukan arah munculnya manusia yang mungkin datang mengancam, plus arah sebahknya untuk melarikan diri. Ia menduga bahwa ke arah mana pun pasti sama saja, karena cepat atau lambat pasti bakal tercium. Tapi tak ada apa pun. Hanya ada kedamaian - kedamaian penciuman, kalau boleh dibilang demikian. Ke mana pun kepala berputar yang tercium hanya aroma bebatuan, lumut, dan rumput kering.
Grenouile butuh waktu sangat lama untuk percaya bahwa saat itu ia tidak mengandalkan penciuman lagi. Ia tak siap mendapati kesialan dan jadi ragu terhadap indranya sendiri. Ia bahkan menggunakan mata untuk membantu pengamatan, terutama saat matahari terbit. Mencermati cakrawala, mencari tanda-tanda kehadiran manusia seperti atap gubuk, asap, pagar, jembatan, atau hewan ternak. Tangannya mencakup ke dekat telinga dan menyimak kalau-kalau ada suara desing sabit, gonggongan anjing, atau tangisan anak kecil. Seharian penuh ia berdiri diam di terik matahari, di puncak Plomb du Cantal dan menunggu sedikit saja dari tanda-tanda yang ia cari. Keraguannya perlahan reda menjelang senja, seiring terbitnya perasaan girang luar biasa. Ia telah lolos dari bau menjijikkan itu! Ia benar-benar sendirian sekarang. Satu-satunya manusia di dunia.
Grenouille melompat bersorak keras-keras. Seperti awak kapal karam melihat daratan setelah berminggu-minggu terapung tanpa arah. Kesendirian ini sungguh patut dirayakan! Sekali lagi ia bersorak girang seraya melempar ransel, selimut, dan tongkat ke tanah. Kakinya berhentakan
ke tanah, kedua tangan terangkat, menari berputar-putar, menjeritkan namanya sendiri ke empat penjuru angin, mengangkat dan mengguncang tinju kuat-kuat ke arah bawah, dan kepada matahari tenggelam. Grenouille benar-benar kegirangan seperti orang gila dan terus begitu sampai larut malam.
Dua Puluh Lima BEBERAPA HARI BERIKUTNYA ia habiskan waktu dengan bermukim di gunung, setelah memutuskan bahwa ia tak akan meninggalkan daerah surgawi ini begitu cepat. Pertama-tama ia mengendus mencari air dan menemukan sebuah arus kecil di retakan bebatuan, sedikit di bawah puncak gunung. Memang tidak banyak, tapi kalau cukup sabar menjilat, selama satu jam ia bisa memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Makanan ia temukan dalam wujud kadal-kadal kecil dan ular cincin. Grenouille menjepit kepala mereka lalu memakan mereka hidup-hidup. Ia juga makan lumut kering, rumput, serta buah berry lumut. Pola makan seperti ini, walau tak bisa diterima olah standar borjuis, sama sekali tak menjijikkan baginya. Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, ia tak lagi makan makanan hasil olahan tangan manusia seperri roti, sosis, atau keju. Setiap kali lapar ia memakan apa saja yang kira-kira bisa dimakan dan lewat dekat situ, tak peduli rasa. Ia lebih kenal indra penciuman ketimbang indra pengecap, jadi tidak ada masalah. Ia juga tak butuh tempat berteduh dan cukup puas bernaung di atas batu. Tapi tak lama sampai ia menemukan ini.
Dekat retakan sumber air, Grenouille menemukan sebuah gua alam yang mengarah ke perut gunung dengan
jalur tajam dan berkelok, berakhir kira-kira 30 meter di sebuah lereng berbatu. Punggung gua begitu sempit sampai Grenouile harus berjalan membungkuk dan bahunya bergesekan dengan langit-langit. Tapi ia bisa duduk dan dengan sedikit memutar badan bahkan bisa berbaring. Begini saja rasanya sudah sangat nyaman. Tempat ini banyak memberi keuntungan. Ujung terowongan gelap gulita, bahkan di siang hari. Sepi, tanpa suara apa pun. Udara terasa lembap, asin, dan dingin. Grenouilie dapat langsung mengendus bahwa tak ada makhluk hidup yang pemah masuk ke sini. Saat tinggal di sana, batin Grenouille terseret ke dalam arus kekaguman agung - seperti saat pertama kali seseorang menjejakkan kaki di katedral Paus di Roma, atau mesjid agung di Konstantinopel. Selimut pelana digelar hati-hari di atas lantai seperti menutupi altar, lalu ia berbaring di atasnya. Sangat nyaman dan penuh berkah. Grenouille kini berada 45 meter di bawah tanah, di dalam perut gunung paling terpencil di Prancis. Seperti berada dalam kuburan sendiri. Seumur-umur ia tidak pernah merasa demikian aman. Bahkan melebihi kenyamanan berada dalam kandungan. Dunia boleh musnah di luar sana, tapi Grenouille tak akan peduli. Lalu ia mulai menangis perlahan. Tak tahu harus berterima kasih pada siapa untuk karunia sebaik ini.
Hari-hari selanjutnya, Grenouille keluar hanya untuk menjilat air, buang hajat, dan berburu kadal serta ular. Mereka lebih mudah ditangkap pada malam hari, saat bernaung di bawah batu gamping atau dalam lubang kecil yang mudah dilacak hidung.
Ia kembali ke puncak beberapa kali lagi selama beberapa minggu pertama untuk mengendusi cakrawala. Lama-kelaman ini lebih menjadi kebiasan ketimbang kewaspadaan karena ia tak pernah mencium ancaman apa pun. Jadi bosan sendiri dan lebih suka kembali ke gua
secepat mungkin setelah selesai memenuhi kebutuhan dasar bertahan hidup. Di dalam sini ia merasa lebih hidup. Dua puluh jam sehari ia habiskan dalam kegelapan, kesunyian, dan tidak bergerak sama sekali. Duduk di atas selimut pelana di ujung koridor gua, punggung bersandar dinding, bahu terjepit di antara batu, dan menikmati diri.
Kita kenal orang-orang yang suka mencari kesendirian seperti orang saat dirundung penyesalan, orang-orang yang mengalami kegagalan, para santo atau nabi. Umumnya mereka menyepi ke gurun, hidup bersama serangga dan madu alam. Ada juga yang lebih suka thiggal di gua, lubang, atau pulau terpencil. Yang lain berkutat di gua-gua pegunungan, berkawan kabut dan udara dingin. Mereka melakukan semua ini agar bisa lebih dekat pada Sang Pencipta. Kesendirian dijadikan media pertobatan dan penebusan dosa, didasari keyakinan bahwa - jalan hidup yang dipilih telah sesuai dengan kehendak Tuhan. Ikhlas menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sampai kesendirian itu dipecahkan oleh pertanda agung untuk mewartakan wahyu pada umat manusia.
Tapi kasus Grenouille tidak begitu. Sama sekali tidak ada Tuhan dalam pikirannya. Ia tidak sedang menebus dosa atau menunggu wahyu Ilahi. Kesendirian ini dilakukan murni atas dasar kesenangan pribadi, untuk lebih dekat pada diri sendiri. Tidak lagi terganggu oleh hal-hal eksternal. Ia puas dengan diri sendiri dan sangat suka begini. Berbaring di atas batu seperti mayat, nyaris tak bernapas dan jantung nyaris tak berdetak, tapi tetap merasa menjalani hidup lebih intensif dan ceria daripada seumur hidup tinggal di luar.
Dua Puluh Enam KATA PANGGUNG UNTUK pesta batin ini tidak lain dan tidak bukan bersumber dari kerajaan hati yang paling dalam. Tempat ia memendam lapisan demi lapisan aroma yang ditemui sejak lahir. Mood awal dibangun dengan mengingat kembali ingatan-ingatan paling awal dan terpendam: hawa permusuhan di kamar tidur Madame Gaillard, tangan-tangannya yang kurus kering; napas cuka apel Bapa Terrier; manisnya hawa keibuan Bussie sang ibu susu; aroma bangkai tanah pekuburan Cimetieres des Innocents; dan hawa-membunuh ibunya. Ingatan-ingatan horor ini membuat Grenouille berkubang dalam keseganan dan rasa jijik sampai merinding.
Kadang, kalau racun batin ini sedang cukup baik hati menyingkir dari ingatan, ia membiarkan diri hanyut sesaat ke momen awal manisnya hidup saat di tempat Grimal -teringat pada kepulan aroma daging, kulit mentah, dan kubangan penyamakan, atau membayangkan kumpulan aroma 600 ribu penduduk Paris di akhir musim panas yang pengap dan gerah.
Lalu seketika itu, seluruh kebencian yang terpendam meledak sedemikian rupa-titik kulminasi dari tahun-tahun awal latihan mendayagunakan keajaiban penciuman. Seperti hujan badai disertai gemuruh petir ia menggulung semua ingatan aroma yang selama ini begitu merendahkan hidung ningratnya. Ia lemparkan seperti hujan batu es mengguyur ladang padi. Seperti angin topan ia mengacak-acak aroma-aroma tersebut, dan menenggelamkan mereka dalam banjir bandang penyucian. Kemarahan ini terasa begitu adil dan manis.
Dendam kesumatnya terbalas pada saat ini. Ah, sungguh momen yang agung. Tubuh Grenouille menggeliat
kesenangan dan terangkat begitu tinggi sampai kepalanya membentur atap gua, lalu mereda dan kembali rebah seperti orang kekenyangan. Sungguh terlalu menyenangkan aksi vulkanik ini karena mampu menghapus seluruh ingatan aroma yang tidak enak. Begitu terus rutinitas favorit Grenouille, berulang-ulang tanpa henti di relung teater jagatnya yang terdalam. Melemparkannya ke kelelahan yang manis dari ledakan pembenaran diri, seperti seorang pahlawan usai berbuat kebajikan.
Kini ia bisa istirahat sejenak dengan nurani jernih. Ia mengulat - seluas yang bisa dijangkau tubuhnya di koridor gua nan sempit itu. Keterbatasan fisik ini tak bisa disamai dengan karpet bersih dalam batin, di mana ia bisa mengulat sepuas dan sekuatnya dengan nyaman, lalu lelap lagi. Yang ada sekarang tinggal aroma-aroma menyenangkan, seperti aroma hembusan angin gunung, misalnya. Begitu kaya dan asli, seolah terlahir dari padang-padang rumput musim semi. Lalu ada aroma angin bulan Mei yang berhembus mendesiri dedaunan hijau dari rimba entah di mana, aroma angin laut yang terasa sedikit pahit dengan hawa asin ikan salmon.
Sore menjelang saat ia bangkit - tak bisa pasti benar soal waktu di dalam gua seperti ini. Tak ada cahaya atau bahkan kegelapan, karena sejatinya tak ada benda nyata apa pun dalam jagat terdalam seorang Grenouille, kecuali aroma. (Itu sebabnya jagat ini diistilahkan sebagai 'lanskap'. Istilah ini tidak terlalu tepat, barangkali, tapi satu-satunya yang paling mungkin karena bahasa kita memang tak bisa menjelaskan dunia aroma.) Dalam jagat jiwa Grenouille, saat itu hari sore dan matahari berada di selatan, waktu tidur siang usai. Terik tengah hari yang melumpuhkan perlahan menyusut, mengembalikan hawa hidup setelah dibatasi begitu lama. Panas api dendam dan kemurkaan -musuh utama wewangian agung - telah menyingkir, dan
kawanan iblis dalam batin telah diberangus. Lanskap yang tersisa dalam hatinya kini melayangkan kelembutan dan mengkilap di bawah lapisan gairah kedamaian yang menandai momen kebangkitan - menanti uluran tangan sang majikan untuk datang menyambut.
Grenouille serta-merta bangkit, mengusir sisa kantuk dari tubuh. Dalam pikiran dan perasaan terdalam, sang Grenouille berdiri menjulang. Seperti raksasa yang dirawat sendiri dalam segala kebesaran dan kemegahan, sempurna dalam pandangan - sayang sekali tak ada yang melihat. Dan lihatlah ia: begitu angkuh dan agung.
Ya! Inilah kerajaannya! Kerajaan tanpa tanding seorang Grenouille! Yang tercipta dan diperintah olehnya, yang bisa dihancurkan kapan saja ia mau, untuk kemudian bangkit lagi, dibuat menjadi tidak terbatas dan dipertahankan dengan pedang api dari segala pengganggu. Di sini kehendaknya adalah mutlak. Kehendak sang Grenouille Yang Agung, indah, dan tak terbandingkan. Setelah berhasil mengenyahkan aroma busuk masa lalu, ia ingin kerajaannya harum semerbak. Dengan langkah-langkah besar ia lewati padang rendah untuk menabur berbagai rupa wewangian. Di sana dan di sini sesuka hati, di bentangan ladang dalam dimensi-dimensi tak berbatas, di bidang-bidang kecil, menabur benih atau menjejalkan sendiri satu demi satu ke lokasi-lokasi terpilih. Di tempat terjauh dalam kerajaan itu, Grenouille Yang Agung menjadi seorang tukang kebun yang gigih, giat berlarian ke sana kemari sampai tak sejengkal tanah pun yang luput ditebari wewangian.
Demi melihat betapa bagusnya semua ini, dan ketika seluruh bumi telah sesak oleh berkah benih, Yang Mulia kemudian menurunkan hujan semangat nan lembut dan tanpa putus. Dari segala arah benih-benih itu mulai berkecambah, bertunas, membuncahkan taman surga yang
mendamaikan hatinya. Seantero padang bergulung ombak wewangian nan mewah, lengkap dengan taman-taman tersembunyi yang menyimpan batang-batang pohon sarat getah, meledak bermekaran dengan indah.
Kemudian Grenouille Yang Agung memerintahkan hujan untuk berhenti. Dan demikianlah. Lalu ia menyuruh matahari untuk mewartakan senyum lembutnya ke seantero padang. Bila jatuh padi sebuah kuncup, niscaya akan merebak. Tak lupa Grenouille memberi sentuhan pelangi dengan karpet warna yang ditenun dari berbagai jenis kapsul wewangian. Grenouille Yang Agung melihat betapa sangat bagusnya hal ini, lalu mengirim angin napasnya untuk bertiup ke seluruh padang. Mekaran-mekaran yang tersentuh segera menumpahkan diri dengan wewangian dan saling mencampur aroma masing-masing menjadi sebuah aroma tunggal yang terus berubah dalam keanekaragaman, bergulung berfusi menjadi aroma pemujaan universal kepada Grenouille. Grenouille Yang Agung, Yang Tak Terbandingkan dan Terelok, bertahta di awan beraroma emas, menghirup napasnya kembali, sangat puas dengan persembahan tersebut. Ia berkenan memberkahi makhluknya beberapa kali lipat, yang lantas dijawab dengan nyanyian puja-puji, rasa syukur, dan ledakan aroma yang lebih megah lagi. Saat sore menjelang, aroma itu masih terus tumpah dan bersatu dengan birunya malam, membentuk udara yang lebih fantastis lagi. Sebuah pesta aroma agung telah menunggu, bersama sebuah ledakan besar semburan aroma bernuansa kembang api yang butirannya berkilau seperti permata.
Namun Grenouille Yang Agung merasa agak lelah. Ia menguap dan berkata, "Wahai, telah kulakukan hal yang luar biasa, dan aku senang karenanya. Tapi sebagaimana semua pekerjaan saat selesai, kiranya ini mulai terasa
membosankan. Aku akan undur diri. Sebagal puncak acara, akan kusimpan satu kesenangan kecil ke dalam hatiku."
Demikianlah Grenouille Yang Agung bersabda. Sementara warga jagat aroma berdansa dan berpesta di bawahnya, ia meluncur dengan kepakan sayap terentang lebar dari singgasana awan emas, melintasi padang jiwanya yang gelap, dan pulang ke hatinya.
Dua Puluh Tujuh AH, SUNGGUH MENYENANGKAN pulang ke rumah! Peran ganda sebagai pembalas dendam dan pencipta jagat sungguh melelahkan. Kendati lantas dirayakan selama berjam-jam oleh hasil ciptaan juga belum Cukup meredakan kelelahan. Grenouille Yang Agung kini merindukan sedikit kesenangan domestik.
Hatinya adalah sebuah puri berwarna ungu. Terletak di sebuah padang bertaburan karang, tertutup bukit-bukit pasir, dikelilingi oasis berawa, dan didirikan di belakang dinding-dinding batu. Puri ini lianya bisa dicapai dari udara. Memiliki seribu kamar pribadi, seribu ruangan bawah tanah, dan seribu ruang duduk nan elegan yang salah satunya berisi sebuah sofa ungu tempat Grenouille tak lagi menjadi Grenouile Yang Agung, tapi kembali menjadi Grenouille biasa, atau barangkali lebih tepat disebut sebagai Jean-Baptiste. Di sanalah ia beristirahat.
Kamar-kamar pribadi yang jumlahnya seribu itu dipenuhi rak dari lantai sampai ke langit-langit, berisi seluruh aroma yang dikumpulkan Grenouille seumur hidup. Jumlahnya ada beberapa juta. Yang terbaik disimpan dalam tong-tong di gudang loteng. Seperti anggur, setelah cukup lama disimpan aroma-aroma ini akan dipindah ke dalam
botol yang disusun berjejer bermil-mil sepanjang koridor puri, disusun berdasarkan tahun dan tingkatan tertentu. Begitu banyak sampai tak mungkin dihabiskan semua - pun bila memakan waktu seumur hidup untuk itu.
Begitu Jean-Baptiste kembali ke rumah, berbaring di sofa sederhana nan empuk di ruang duduk berwarna ungu, barulah ia benar-benar beristirahat. Tangan Grenouille bertepuk memanggil para pelayan. Sosok-sosok penurut ini tidak terlihat, tak bisa diraba, tidak bersuara, dan tentu saja tidak berbau - sungguh gambaran pelayan imajiner sejati. Grenouille memerintahkan mereka pergi ke kamar pribadi dan mengambil. sebotol ini atau sebotol itu dari pustaka aroma, juga ke gudang loteng untuk mengambil minuman. Pelayan-pelayan imajiner itu bergegas, sementara perut Grenouille keram menanti penuh harap. Mendadak ia merasa seperti seorang pemabuk yang cemas kalau pesanan brendinya, entah bagaimana, tidak ada. Bagaimana kalau gudang loteng atau pustaka aroma itu mendadak kosong" Atau anggur dalam tong-tong itu mendadak masam" Kenapa mereka membiarkannya menunggu" Kenapa mereka tidak datang juga" Ia butuh pesanan itu sekarang. Amat sangat. Ia ketagihan dan bakal mati di tempat kalau tidak segera mendapatkannya.
Tenangkan dirimu, Jean-Baptiste! Tenanglah, kawan! Mereka pasti datang membawakan pesananmu. Pelayan-pelayan seperti terbang mempersembahkan permintaan. Membawa buku aroma di atas nampan tak terlihat, tangan-tangan bersaput mereka yang juga tak terlihat membawakan botol-botol berharga itu, meletakkan di lantai dengan sangat hati-hati, membungkuk hormat, lalu menghilang.
Kini akhirnya ia sendirian lagi. Tangan Jean-Baptiste meraih, membuka botol pertama, menuang penuh-penuh sampai ke bibir gelas, menariknya ke mulut dan meminum
sampai habis. Segelas penuh aroma dingin ia habiskan dalam sekali teguk. Hmm... nikmat sekali. Begitu segarnya sampai mata Jean-Baptiste berlinang bahagia. Segera ia menuang segelas lagi. Aroma dari tahun 1752, dipanen saat musim semi, sebelum matahari terbit di Pont-Royal. Waktu itu hidungnya dituntun ke arah barat, di mana angin semilir membawa aroma laut, hutan, serta sedikit sentuhan tar dari kapal-kapal tongkang yang terikat di pinggir sungai. Ini adalah aroma di penghujung malam pertama ia menghabiskan waktu berkeliling Paris tanpa izin Grimal. Aroma segar dari hari baru berikutnya. Fajar pertama yang pernah diendusnya dalam kebebasan. Tak heran jika kini jadi lambang kebebasan. Lambang sebuah kehidupan yang berbeda. Aroma harapan bagi Grenouille. Ia jaga dengan sangat hati-hati dan diminum setiap hari.
Begitu gelas kedua kosong, semua kegugupan, keraguan, dan rasa tidak aman langsung lenyap, digantikan oleh kenyamanan luar biasa. Grenouille merebahkan punggung ke sofa, membuka sebuah buku dan mulai membaca memoarnya sendiri. Ia membaca tentang aroma masa kecil, masa sekolah, aroma jalan raya dan ceruk tersembunyi kota Paris, juga tentang aroma manusia. Grenouille merinding lagi teringat bau tak sedap itu - bau yang telah ia musnahkan. Dengan jijik ia terus menelaah, sampai akhirnya benar-benar tak tahan dan menutup buku kuat-kuat, menyingkirkannya dan meraih buku lain.
Ini dilakukannya sambil terus menenggak aroma tanpa putus. Setelah botol berisi aroma harapan, ia membuka yang lain dari tahun 1744, berisi kehangatan aroma kayu di muka rumah Madame Gaillard. Setelah itu ia melahap sebotol aroma sore musim panas, diimbuhi parfum dan sarat percik aroma dari pinggiran sebuah taman di Saint-Germain-des-Pres, bertahun 1753.
Grenouille minum sampai mabuk. Kaki dan tangan terasa makin berat tergeletak di sofa. Pikiran nyaman dalam kabut. Tapi pesta belum berakhir. Mata memang sudah tak kuat membaca dan jemarinya juga sudah tak kuat memegang buku, tapi ia belum ingin menyerah sebelum menandaskan satu botol lagi. Aroma terbaik yang pernah ada. Aroma si gadis dari jalan Marais....
Ia minum dengan takzim dan punggung tegak di atas sofa, walau sulit dan ruang duduk serasa berputar setiap kali ia bergerak. Seperti anak kecil di ruang kelas ia merapatkan kedua lutut, kaki lurus bersisian dan tangan kiri bersandar rapi di atas paha kiri. Begitulah si kecil Grenouille menenggak aroma yang paling berharga. Segelas demi segelas dan merasa makin sedih setiap kalinya. Ia sadar sudah minum terlalu banyak. Sadar tak akan bisa menahan aroma lezat sebanyak itu. Tapi ia terus minum sampai botol kering. Ingatannya melayang ke perjalanan menyusuri gang gelap dari jalan raya ke pekarangan samping rumah dan akhirnya tiba di bawah penerangan teras belakang. Si gadis duduk mengupas plum kuning. Di kejauhan, petasan roket dan desis kembang api membahana....
Grenouille meletakkan gelas dan duduk bergeming selama beberapa menit. Kaku oleh nostalgia dan aroma, sampai rasa terakhir lenyap dari langit-langit mulut. Pandangan dan kepala terasa kosong, lalu ia ambruk ke sofa dan mulai mendengkur.
Tepat saat itu, Grenouille yang lain juga lelap di atas selimut pelana. Sama lelapnya dengan Grenouille imajiner tadi. Segala tindak-laku, dan kelelahan luar biasa yang dirasakan oleh Grenouille Yang Agung juga persis dirasakan oleh Grenouille yang asli.
Saat bangun tentu saja ia tidak berada di ruang duduk atau puri ungu atau padang aroma batin tadi, tapi dalam
gua batu pengap di ujung terowongan, di atas tanah keras, dalam kegelapan. Mual oleh lapar dan haus, kedinginan dan sengsara seperti seorang pemabuk setelah semalam suntuk pesta minuman. Grenouille merangkak keluar dari gua.
Di luar sudah hari baru lagi. Biasanya menjelang malam atau pagi. Tapi di tengah malam. buta sekalipun, cahaya bintang serasa menusuk seperti jarum. Udara berdebu, menyengat dan menggores paru-paru. Bentangan lanskap serasa rapuh. Grenouille berjalan tertatih membentur batu. Bau paling samar sekalipun tercium begitu tajam dan membakar bagi hidung yang tak biasa dengan aroma realitas. Si kutu Grenouille kini sudah sepeka petapa saat keluar dari cangkang, bertelanjang ria menyusur pantai.
Ia pergi ke sumber air di retakan batu, menjilat-jilat selama satu jam. Lebih dari itu akan sangat menyiksa. Detak waktu di alam nyata ini tak kenal berhenti dan terus membakar kulit. Beberapa larik lumut di kupas dari bebatuan, ditelan tanpa dikunyah. Ia berjongkok dan buang air sembari makan. Ini harus dilakukan cepat, cepat, dan cepat. Bagai makhluk buron yang ketakutan - binatang kecil berdaging lembut. Terlebih ketika melihat burung nazar berputar-putar di atas kepala... ia bergegas lari masuk gua, ke ujung terowongan tempat selimut pelana tergelar. Hanya di situ ia bisa merasa aman.
Grenouille bersandar ke dinding batu, merentang kaki dan menunggu. Ia harus menahan tubuh agar diam sediam mungkin. Perlahan ia mulai bisa menguasai napasnya. jantungnya berdetak lebih lambat dan teratur. Dentuman gelombang dalam jiwanya perlahan menyurut. Mendadak kesendirian serasa menusuk jantung. Grenouille menutup mata. Pintu-pintu kegelapan dalam dirinya membuka, dan ia masuk. Pementasan berikut dari teater jiwa Grenouille akan segera dimulai
Dua Puluh Delapan BEGITULAH SETERUSNYA dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan demi bulan. Tanpa henti selama tujuh tahun. Sementara itu, dunia dilanda perang dunia. Manusia berperang di Silesia dan Saxony, di Hanover dan Low Countries, Bohemia dan Pomerania. Bala tentara Raja berguguran di Hesse dan Westphalia, di Kepulauan
Balearic, di India, di Mississippi, dan di Kanada - itu pun kalau tidak lebih dulu ambruk terserang tifus dalam perjalanan. Perang merampas hidup lebih dari sejuta orang. Prancis kehilangan daerah koloni, dan negara-negara lain kehilangan begitu banyak uang sampai akhirnya mernutuskan dengan berat hati untuk mengakhiri perang.
Suatu hari di musim dingin selama periode tersebut, Grenouille nyaris mati kedinginan tanpa disadari. Selama lima hari ia berbaring di ruang tunggu ungunya dan saat terbangun begitu kedinginan sampai tak sanggup bergerak. Ia menutup mata dan ingin agar tidur saja sampai mati. Tapi mendadak cuaca berubah. Es mulai mencair dan ia selamat.
Pernah salju begitu tebal sampai ia tak kuat menggali untuk mengambil lumut di bebatuan. Jadilah ia mengisi perut dari bangkai-bangkai kaku kelelawar beku.
Pernah seekor burung gagak terbaring mati di mulut gua. Ia memakannya juga. Hanya realitas dunia luar seperti ini yang ia sadari selama tujuh tahun. Ia benar-benar tak pernah meninggalkan gunung, nyaman bergumul dengan kerajaan mimpi dan pasti bakal di sana terus sampai mati (karena ia tak merasa kekurangan apa-apa) kalau saja tidak tertimpa sebuah bencana yang memaksanya turun gunung. Memuntahkan Grenouille kembali ke dunia.
Dua Puluh Sembilan BENCANA YANG DIMAKSUD bukan gempa bumi, bukan kebakaran hutan, bukan tanah longsor atau gua runtuh. Sama sekali bukan bencana eksternal, tapi internal. Dan kebetulan sangat menekan batin karena mampu menutup media pelarian favorit Grenouille. Ini terjadi sewaktu tidur, atau lebih tepat dalam mimpinya, selagi ia berada di kerajaan aroma.
Saat itu ia sedang tidur di sofa ungu di ruang duduk seperti biasa, dengan botol-botol aroma berserakan di sana-sini. Ia telah minum sangat banyak, plus dua botol aroma si gadis berambut merah sebagai penutup. Tampaknya pesta kali ini sedemikian kelewatan, karena meskipun tidurnya sudah seperti orang mati, tapi tidak dibarengi mimpi indah seperti biasa. Mimpi yang datang berupa gumpalan-gumpalan kabut serupa hantu. Grenouille mengenali kabut itu sebagai potongan-potongan aroma. Awalnya melayang-layang dalam rajutan-rajutan tipis melewati hidung, tapi lama-lama makin tebal dan mengawan. Lalu mendadak ia seperti berdiri persis di tengah-tengah kabut yang terus menebal, merambat naik perlahan sampai sepenuhnya membungkusnya, menggulung begitu rupa dan membuatnya sulit bernapas. Ia terpaksa menghirup napas kalau tak mau tercekik. Saat itulah batin Grenouille berkata bahwa ini adalah aroma tubuhnya sendiri.
Walau tahu bahwa ini bau tubuh sendiri, tapi sungguh sangat tidak sedap dan tak tertahankan. Sialnya, meski tak tahan bau ini, Grenouille malah tenggelam makin dalam. Ia tak kuat mencium bau tubuhnya sendiri!
Grenouille menjerit seperti orang dibakar hidup-hidup.
dinding puri, dan melesat meruntuhkan seluruh jagat imajiner dalam jiwanya seperti badai api. Melolong keluar dari mulut gua ke lorong gua dan menyebar ke seantero dataran Saint-Flour - seolah gunung itu sendiri yang menjerit. Grenouille terbangun dalam jeritan. Ia langsung melompat meronta ke sana kemari, berusaha mengusir kabut pikiran yang mencekik. Ia amat sangat ketakutan. Seluruh tubuh menggigil oleh perasaan takut mati. Kalau jeritannya tak cukup kuat merobek kabut itu, ia pasti sudah tenggelam. Brr.. sungguh kematian yang mengerikan. Badannya gemetar lagi setiap kali teringat. Dan sementara duduk menenangkan diri, batinnya mendeburkan keyakinan baru: ia harus mengubah jalan hidup. Tak sudi mengulang mimpi seperti itu untuk kedua kali. Ia pasti mati kalau sampai terulang.
Grenouille menyambar selimut pelana, menutupi bahunya, lalu merayap keluar. Fajar sudah menyingsing. Suatu pagi di akhir Februari. Matahari bersinar cerah. Bumi mengepulkan aroma batu lembap, lumut, dan air. Angin menisikkan semilir bunga anemones. Grenouille berjongkok di depan gua. Cahaya matahari menghangatkan tubuh, bersama dengan tarikan napas menghirup udara segar. Ia masih gemetar setiap kali teringat kabut mimpi tadi. Tapi gemetar yang sama juga ia nikmati dari kehangatan cahaya matahari yang menyapa punggung. Lega rasanya mendapati bahwa dunia luar masih ada setidaknya buat tempat mengungsi. Apa jadinya kalau waktu keluar gua tadi dunia sudah musnah! Tak ada cahaya, tak ada aroma, tak ada apa pun - hanya kabut mengerikan di dalam, di luar, di mana-mana....
Perlahan rasa kagetnya menyurut. Perlahan pula kegelisahan mereda, dan Grenouille mulai merasa lebih aman. Menjelang siang ia kembali ke jiwa lama sebagai sosok berdarah dingin. Grenouille merapatkan jari tengah
dan telunjuk tangan kiri ke bawah hidung, lalu bernapas sepanjang punggung kedua jari itu. Ia bisa mencium udara musim semi yang basah bercampur aroma anemones, capi tak mencium bau apa pun dari jemarinya. Grenouille membalik tangan dan mencium telapaknya. Ia bisa merasakan kehangatan yang memancar tapi tak mencium apa pun. Lalu ia menggulung lengan baju dan mengubur hidung di lipatan siku. Ia tahu ini lokasi yang biasanya jadi salah satu sumber bau manusia, tapi ia tetap tak mencium apa pun. Ia tak mencium apa-apa di ketiak, tidak pula di kaki atau sekitar kemaluan walau telah membungkuk sedekat mungkin. Aneh sekali. Ia, Grenouille, mampu mencium orang lain dari jarak bermil-mil, tapi tak mampu mengendus kemaluan sendiri dari jarak tak sampai serentangan tangan! Grenouille tidak lantas panik, tapi menanggapi dengan dingin dan berkomentar sendiri, "Bukannya aku tidak berbau, karena segala sesuatu pasti mengeluarkan aroma. Tampaknya aku tak bisa mencium aromaku sendiri karena sudah sangat terbiasa sejak lahir. Hidungku jadi kebal. Kalau aku bisa memilah-milah aromaku - atau setidaknya sebagian dari itu, lalu mencoba lagi, pasti bisa. Begitulah adanya aku."
Grenouille mulai membuka pakaian satu per satu. Sudah dekil, kumal, dan sobek-sobek karena tujuh tahun tak pernah dilepas. Aromanya pasti sudah sangat bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri. Ia menumpuk pakaian di depan gua dan berjalan menjauh. Seperti tujuh tahun lalu ia memanjat lagi ke puncak gunung. Ia berdiri persis di tempat yang sama waktu pertama kali datang, mengangkat hidung ke arah barat, dan membiarkan angin menyisiri tubuh. Ia berniat mengangkat diri ke udara semaksimal mungkin. Memompa badan ke angin barat - ke arah aroma laut dan padang basah, agar bisa dijadikan semacam penyeimbang terhadap bau badan. Menciptakan gradien
antara tubuh dengan pakaian yang baru saja dilepas, agar bisa dicium lebih jelas. Dan agar hidung tidak terkontaminasi oleh bau tubuh, ia mencondongkan diri sedemikian rupa ke arah angin, dengan tangan terjulur ke belakang, seperti perenang sebelum mencebur ke air.
Pose konyol ini bertahan selama beberapa jam. Kulit Grenouille yang pucat karena jarang kena matahari memerah seperti udang rebus. Menjelang sore ia kembali ke gua. Dari jauh ia bisa melihat pakaiannya masih ada di tempat. Selang beberapa meter ia menutup hidung dan membukanya lagi setelah berada persis di dekat tumpukan pakaian. Ia mencoba teknik mengendus gaya Baldini -mencuri udara dengan cepat lalu dilepas lagi penuh-penuh. Untuk menangkap aroma, ia menangkup tangan membentuk lonceng di sekitar pakaian, dengan hidung menempel di atas jempol. Segala kemungkinan dijajal demi mengekstraksi aroma dari pakaian, tapi yang dicari tak kunjung tercium. Tampaknya memang tak ada di situ. Aroma lain bisa dijejaki dengan mudah, seperti aroma bebatuan, pasir, lumut, getah, darah burung gagak, bahkan bau sosis yang ia beli bertahun-tahun lalu dekat Sully juga masih tercium jelas. Tumpukan pakaian ini menyimpan jumal penduman dari tujuh sampai delapan tahun lalu. Hanya satu aroma yang tak ada: bau badannya sendiri -orang yang mengenakan pakaian itu sepanjang waktu.
Sekarang ia benar-benar mulai cemas. Matahari telah tenggelam dan ia masih berdiri telanjang di pintu gua, yang telah dihuninya dalam kegelapan selama tujuh tahun ini. Angin dingin bertiup. Tapi rasa dingin yang muncul datang dari rasa takut. Tak seperti kengerian yang dirasakannya saat bermimpi - yang satu ini harus selalu dihindari dengan segala cara. Rasa takut yang dihadapi sekarang hadir dari kesadaran bahwa ternyata ia tak terlalu mengenal diri sendiri. Ia tak bisa melarikan diri, tapi juga tak ragu
melangkah lebih dekat. Ia malah merasa harus memastikan lebih jauh - pun bila harus berujung dengan kenyataan bahwa ia memang tidak memiliki bau. Apa pun itu, ia harus tahu sekarang juga.
Grenouille masuk ke gua. Gelap memang, tapi seperti biasa ia selalu bisa menentukan arah layaknya siang hari. Lagi pula ia sudah ribuan kali melewati jalan itu. Tahu setiap jengkal dan kelokan, dapat membaui setiap stalagmit dan stalagmitnya. Sama sekali tidak sulit menentukan arah. Yang sulit adalah perjuangan melawan ingatan ihwal mimpi mencekik yang makin meninggi setiap langkah. Tapi Grenouille bukan pengecut - setidaknya dari sudut pandang perjuangan melawan rasa takut terhadap kesadaran bahwa ia tak tahu banyak tentang diri sendiri. Grenouille bisa menang karena sadar tak punya pilihan lain. Tiba di ujung terowongan, di tempat karang-karang menjulang miring ke atas, rasa takut itu menghilang. Ia merasa tenang, berpikir jernih dan hidung setajam pisau. Grenouille berjongkok, meletakkan tangan menutup mata dan mengendus. Di tempat ini ia berkubang selama tujuh tahun. Sedikit banyak pasti ada aroma tubuh yang tertinggal. Melebihi tempat lain di dunia. Grenouille bernapas perlahan, mencoba menganalisis setepat mungkin, mengizinkan diri untak menilai. Selama seperempat jam ia berjongkok di situ. Memorinya sempurna dan ia tahu persis bagaimana bau tempat ini tujuh tahun yang lalu: aroma bebatuan nan lembap, asin, dingin, dan begitu bersih-sangat pasti tak pernah ditempati makhluk hidup lain baik manusia ataupun binatang.... Persis dengan aroma yang ia cium sekarang.
Ia terus berjongkok selama beberapa waktu. Dengan tenang, mengangguk-angguk lembut. Lalu ia berbalik dan berjalan. Semula membungkuk, sampai terowongan memungkinkannya untuk berdiri tegak, dan terus ke udara terbuka.
Di luar gua, Grenouffle mengemasi buntelnya (jangan tanya sepatu, karena sudah hancur sejak bertahun-tahun lalu), melingkari selimut pelana ke sekeliling bahu, dan malam itu juga pergi meninggalkan Plomb du Cantal, ke arah selatan.
Tiga Puluh PENAMPILAN GRENOUILLE TAK KERUAN. Rambut panjang mengijuk sampai ke lutut, janggut sampai ke pusar, kuku panjang-panjang seperti cakar burung, kulit di kedua lengan dan kaki (yang tidak tertutup pakaian) mengelupas kemerahan.
Manusia pertama yang ia temui adalah para petani di ladang dekat kota Pierrefort. Mereka langsung lari ketakutan. Tapi begitu tiba di kota, ia malah jadi tontonan. Ratusan orang merubung ternganga. Banyak yang percaya bahwa ia pasti budak pelarian sebuah kapal dagang. Yang lain bilang ia bukan manusia, tapi gabungan antara manusia dengan beruang atau makhluk ajaib dari hutan. Seorang pelaut menyatakan bahwa ia tampak seperti Indian Cayenne dari seberang lautan. Ia lantas digiring menghadap wali kota. Di sana sekali lagi ia mengejutkan semua orang saat mengeluarkan surat-surat status sebagai seorang ahli, membuka mulut dan berkata-kata dengan suara tidak terlalu jelas karena ini pertama kalinya ia berbicara pada orang lain setelah tujuh tahun. Grenouille mengutarakan bagaimana ia diserang perampok, diseret dan ditawan di dalam gua selama tujuh tahun. Selama itu ia tak pernah melihat matahari atau manusia lain, diberi makan oleh
tangan-tangan tak terlihat yang engusung keranjang dalam gelap, dan akhirnya dibebaskan begitu saja - tanpa pernah tahu kenapa dan tanpa pernah melihat penculik ataupun penyelamatnya. Grenouille sengaja mengarang kisah ini karena pasti akan lebih mudah dipercaya ketimbang alasan sebenarnya. Toh waktu itu para perampok memang dikenal sering merajalela di pegunungan Auvergne dan Languedoc, termasuk di Cevennes. Grenouille cakup puas melihat wali kota mencatat tanpa protes, lalu mengirim laporan itu ke Marquis de la Taillade-Espinasse, sang penguasa kota sekaligus anggota parlemen di kota Toulouse.
Di usia empat puluh tahun, sang Marquis tak lagi peduli pada kehidupan istana di Versailles dan lebih suka menyepi. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan. Goresan penanya melahirkan banyak karya penting seputar dinamika ekonomi-politik, termasuk usulan penghapusan pajak tempat tinggal dan hasil-hasil pertanian. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan metode pajak pendapatan progresif terbalik yang akan sangat memberatkan masyarakat termiskin dan memaksa mereka untuk lebih giat mengusahakan kegiatan ekonomi. Terdorong oleh kesuksesan buku ini, ia menulis sebuah risalah tentang bagaimana mendidik anak-anak lelaki dan perempuan usia lima sampai seputuh tahun. Kemudian ia beralih ke eksperimen di bidang peternakan. Dengan menebar benih sapi jantan ke berbagai jenis rumput, ia mencoba menghasilkan hibrida antara sayuran dengan binatang penghasil susu. Setelah sukses membuat keju dan 'rumput susu' ciptaannya - seperti dijelaskan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Lyon sebagai, "bercita rasa susu kambing, walau agak pahit" - ia terpaksa meninggalkan eksperimen itu karena mahalnya biaya menebar benih banteng ke ratusan hektar ladang rumput. Kendati
demikian, keseriusan menekuni bidang agrobiologi telah membangkitkan minat tak hanya pada binatang pembajak sawah, tapi juga pada bumi dan keterkaitannya dengan biosfer itu sendiri.
Ia belum lagi usai menuntaskan penelitian tentang hibrida tanaman-binatang ketika mendadak terserang demam riset gala-gilaan untuk membuat risalah agung mengenai hubungan antara kedekatan makhluk hidup terhadap bumi dan energi kehidupan. Tesisnya menyatakan bahwa kehidupan hanya mampu berkembang pada jarak tertentu..dari bumi, karena bumi secara terus-menerus mengeluarkan gas perusak (disebut sebagai fluidum letale) yang melemahkan daya hidup, dan cepat atau lambat - bahkan berpotensi - memusnahkan daya hidup tersebut. Itu sebabnya semua makhluk hidup secara naluriah berusaha menjauhkan diri dari bumi melalui proses pertumbuhan - maksudnya bahwa kita tumbuh semakin tinggi dan menjauh dari tanah, bukan mengarah ke tanah. Itu pula sebabnya kenapa bagian-bagian terpenting makhluk hidup secara alami mengarah ke atas, seperti kuncup butir padi, mekaran bunga, kepala manusia. Dus, tubuh mulai membungkuk dan merunduk kembali ke arah tanah selama proses penuaan, semua makhluk akhirnya menjadi korban gas maut, untuk kemudian berubah menjadi gas itu sendiri setelah membusuk dalam kematian.
Ketika Marquis de la Taillade-Espinasse menerima kabar bahwa di Pierrefort ada orang yang pernah mendekam di gua selama tujuh tahun - itu artinya benar-benar terbungkus oleh elemen perusak dari bumi, ia girang bukan kepalang dan segera memboyong Grenouille ke laboratoriumnya, untuk dijadikan objek penelitian. Ia menemukan bahwa teorinya terbukti benar. Bahkan tampak secara visual. Gas fluidum letale telah begitu parah menyerang Grenouille sampai tubuh berusia 25 tahun itu
jelas-jelas menunjukkan gejala penuaan. Taillade-Espinasse menegaskan bahwa Grenouille bisa lolos dari kematian karena selama dikurung ia diberi makan tanaman penyingkir elemen bumi secara teratur, kemungkinan berupa roti dan buah-buahan. Kondisi fisik Grenouille hanya bisa dipulihkan melalui pengusiran sepenuhnya unsur fluidum, menggunakan mesin ventilasi khusus ciptaan Taillade-Espinasse. Alat itu tersimpan di rumah mewahnya di Montpellier. Kalau Grenouille bersedia merelakan dirinya menjadi objek demonstrasi ilmiah, ia tak hanya akan membantu melenyapkan kontaminasi gas beracun, tapi juga memberi Grenouille banyak uang. Dua jam kemudian mereka duduk bersama di kereta kuda. Meski kondisi jalan amat buruk, mereka berhasil menempuh jarak 64 mil ke Montpellier hanya dalam dua hari. Sang Marquis mendayagunakan wewenang kebangsawanannya untuk melecut kuda dan saisnya sampai maksimal. Bahkan tak sungkan membantu membetulkan roda patah atau pelana putus. Begitu bergairahnya ia dengan temuan ini dan begitu ingin menampilkannya di hadapan publik sesegera mungkin. Grenouille sendiri tak sekalipun diizinkan beranjak dari kereta. Ia dipaksa terus duduk, dibungkus pakaian perca dan selimut pelana yang kumal oleh tanah dan lumpur. Selama perjalanan ia diberi umbi mentah sebagai pengganjal perut. Sang Marquis berharap prosedur ini mampu mempertahankan status kontaminasi fluidum untuk sementara.
Setiba di Montpellier, ia segera membawa Grenouille ke gudang di loteng, lalu menyebar undangan ke seluruh anggota fakultas kedokteran, asosiasi botani, sekolah pertanian, klub kimia terapan, Freemasons' Lodge, dan kalangan terpelajar lain yang jumlahnya tak lebih dari selusin di kota itu. Beberapa hari kemudian, persis
seminggu setelah turun gunung, Grenouille berdiri di atas podium, di aula utama Universitas Montpellier. Kepada ratusan pengunjung yang datang ia dipersembahkan sebagai sebuah sensasi ilmiah tahun ini.
Dalam ceramah tersebut, Taillade-Espinasse menggambarkan Grenouille sebagai bukti hidup kesahihan teorinya tentang fluidum letate. Sambil melucuti pakaian Grenouille satu per satu ia menjelaskan efek merusak gas mematikan itu terhadap tubuh. Ia menunjuk bekas gosong dan parut pada kulit, kanker kulit kemerahan yang amat luas di dada, bahkan bukti efek merusak gas tersebut terhadap struktur tulang dengan mengacu pada kepincangan dan kebongkokan Grenouille. Organ internal juga ditunjuk sebagai korban, seperti pankreas, hati, paru-paru, kandung kemih, dan sistem pencernaan. Analisis ini dibeberkan dengan sebaskom penuh contoh organ-organ tersebut, di kaki podium. Ringkasnya, tak diragukan lagi bahwa kelumpuhan daya hidup yang disebabkan oleh kontaminasi fluidum letale selama tujuh tahun telah sedemikian parah sampai si korban - yang penampilan luarnya memang lebih mirip tikus ketimbang manusia -bisa dikatakan sebagai makhluk di ambang kematian. Namun demikian, sang Marquis meyakinkan bahwa hanya dalam waktu delapan hari, dengan memakai alat terapi ventilasi plus diet ketat, ia mampu menyembuhkan makhluk malang ini, mengarah kepada titik bukti berikutnya bahwa penyembuhan total tetap bisa diterapkan bagi siapa saja. Dus, ia mengundang hadirin untuk datang lagi minggu depan dan menyaksikan kesuksesan prognosis ini - dengan catatan tentu saja, bahwa paparan saat itu harus dipandang sebagai bukti tak terbantahkan dari kebenaran teori Marquis tentang gas fluidum dari bumi.
Ceramah ilmiah itu sukses luar biasa. Para hadirin ramai menyambut bertepuk tangan, lalu antre melewati podium tempat Grenouille berdiri. Dalam kondisi fisik seperti sekarang - penuh parut dan cacat bentuk - Grenouille memang tampak begitu mengerikan sampai orang yakin ia tak mungkin bisa disembuhkan dan tinggal menunggu mati saja. Padahal yang punya badan merasa sehat dan biasa saja. Banyak di antara orang-orang terpelajar itu yang menepuk-nepuk tubuhnya atas-bawah dengan lagak profesional, mengukur, melihat ke dalam mulut dan mata Grenouille seperti dokter. Beberapa ada yang langsung menyapa dan bertanya tentang pengalaman selama tinggal di gua dan kondisi kesehatannya saat ini. Tapi Grenouille bersikukuh dengan skenario Marquis dan menjawab semua pertanyaan dengan suara seperti orang tercekik ditambah aksi gerakan tangan menunjuk ke pangkal tenggorok, seolah mengatakan bahwa organ ini juga sudah busuk dimakan fluidum letate.
Seusai demonstrasi, Taillade-Espinasse bergegas mengepak dan memboyong Grenouille kembali ke gudang di loteng rumah. Lalu di hadapan beberapa dokter terpilih dari fakultas kedokteran ia mengunci Grenouille dalam mesin ventilasinya - sebuah kamar sempit terbuat dari papan-papan pinus yang dijalin rapat. Sebuah corong pengisap dipasang di atasnya, mencuat sampai ke atap rumah. Corong ini berfungsi mengisap udara dari langit, bebas dari gas maut. Udara ini lalu dialirkan keluar melalui sebuah katup buka-tutup dari kulit yang dipasang di lantai. Seorang pelayan ditugasi mengoperasikan dan mengawasi siang-malam, agar ventilator di dalam corong tidak berhenti memompa. Demikianlah, Grenouille kini dikelilingi arus udara yang disaring terus-menerus, diberi menu diet penyingkir racun bumi berupa kaldu daging burung dara, pai burung pipit, daging cincang bebek liar,
buah-buahan segar yang dipetik langsung dari pohon, roti gandum yang khusus dikukus di ketinggian, anggur Pyrenees, susu kambing, dan krim beku dari telur ayam betina yang diternak di loteng rumah. Semua disajikan selang beberapa jam melalui sebuah pintu bertekanan berdinding ganda di sisi mesin.
Kombinasi perawatan dekontaminasi dan revitalisasi fisik ini berlangsung selama lima hari. Pada hari keenam sang Marquis mematikan ventilator, membawa Grenouille ke kamar bilas untuk dimandikan selama beberapa jam dalam sebuah bak berisi air hujan yang dihangatkan, dan terakhir membedaki tubuh dari kepala sampai kaki dengan sabun cair khusus dari Potosi di pegunungan Andes. Kuku jari tangan dan kaki dipotong rapi, gigi dibersihkan dengan limau pembersih dari Dolomites. Setelah itu cakur jenggot, potong rambut, disisiri, ditata, dan dibedaki. Penjahit dan tukang sepatu juga didatangkan. Grenouille dibuatkan kemeja sutra, lengkap dengan jabot (rumbai kain) di dada dan manset, stoking sutra, mantel panjang, celana panjang dan rompi beludru warna biru, plus sepatu hitam gagah bermata sabuk dari kulit. Yang sebelah kanan diganjal sedemikian rupa untuk menutupi kepincangan Grenouille. Sang Marquis turun tangan memberi riasan bedak putih ke wajah Grenouille yang penuh parut, memberi pemerah pada pipi dan bibir, tak lupa menebalkan alis membentuk lengkung khas para bangsawan dengan pensil alis nan lembut. Terakhir ia memercikkan parfum favoritnya tipis-tipis beraroma violet. Sang Marquis mundur dua langkah, mengamati hasil karyanya, dan lama memikirkan kata yang tepat mengutarakan suka cita.
"Monsieur," katanya kemudian, "saya benar-benar puas. Kagum pada kegeniusan saya sendiri. Tentu saja saya tak pernah meragukan teori saya tentang fluidum letale, apalagi ditambah konfirmasi terapi terapan seperti ini. Telah saya
ubah Anda dari binatang menjadi manusia. Sungguh tindakan agung nan terpuji. Maaf, tapi saya benar-benar terharu! Berdirilah di depan cermin dan pandang diri Anda sendiri. Untuk pertama kalinya Anda akan sadar bahwa Anda adalah seorang manusia. Mungkin tidak tampan atau spesial atau apalah, tapi tak pelak seorang manusia normal yang bisa diterima lingkungan. Silakan, Monsieur! Pandangi dan kagumilah keajaiban yang telah saya ciptakan bersama Anda!"
Itu adalah pertama kalinya seseorang memanggil Grenouille dengan sebutan 'monsieur'. Sebuah sapaan terhormat yang menggetarkan.
Grenouille melangkah ke depan cermin dan melihat kcajaiban itu. Ini juga pertama kalinya ia becermin. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dalam balutan biru nan tampan, dengan kemeja putih dan stoking sutra. Secara refleks ia merunduk, sebagaimana kebiasaan untuk selalu merunduk di depan lelaki seperti itu. Si lelaki ikut merunduk. Begitu pun saat ia tegak lagi. Keduanya saling pandang. Yang paling mencengangkan Grenouille adalah fakta bahwa ia tampak begitu normal. Sang Marquis benar, bahwa tak ada yang spesial dari penampilannya. Tidak tampan tapi juga tidak buruk. Biasa dan normal saja. Berpostur kecil dan agak kaku, wajah sedikit tanpa ekspresi - pokoknya seperti ribuan lelaki normal lain di dunia. Kalau sekarang ia keluar jalan-jalan pasti tak ada yang memerhatikan. Jenis orang yang kalau bertemu di jalan tidak memberi kesan menonjol. Dan selain sedikit bau violet serta perangkat yang dikenakan, Grenouile tak mencium apa-apa dari sosok itu.
Tak terbayangkan bahwa sepuluh hari lalu para petani berlarian menjerit ketakutan melihatnya. Secara pribadi, Grenouille tak merasa ada perubahan antara ia yang dulu dengan yang sekarang - pun saat berpejam mata. Hirupan
napasnya mengenali aroma parfum murahan, beludru, sepatu baru, aroma sutra, bedak, riasan, dan aroma samar sabun Potosi. Seketika ia sadar bahwa bukan makanan mewah atau omong kosong unit ventilasi yang membuatnya tampak normal. Kenormalan itu murni datang dari balutan beberapa lembar pakaian, potongan rambut, dan riasan kosmetik.
Grenouille berkedip membuka mata dan melihat lelaki di cermin mengedip balik. Selarik senyum di bibir bergincu seolah menyatakan bahwa ketampanannya biasa saja. Tapi Grenouille juga merasa bahwa lelaki di cermin itu, figur tak berbau yang didandani seperti manusia ini, tidak terlalu jelek. Bahkan kalau kostumnya disempurnakan, mungkin cukup berpotensi memengaruhi dunia. Jauh di luar dugaan Grenouille sendiri. Anggukan dibalas anggukan. Begitu pun saat ia curi-curi mengembangkempiskan hidung.
Tiga Puluh Satu HARI BERIKUTNYA, ketika sang Marquis hendak mengajari pose-pose dasar, sikap tubuh, dan langkah dansa yang dibutuhkan menjelang debut sosial Grenouille, si pemuda pura-pura lemas. Berlagak sangat kelelahan dan tercekik, lalu ambruk ke sofa.
Sang Marquis panik. Ia menjerit memanggil pelayan, me anggil tukang kipas dan operator ventilator portabel. Sementara para pelayan berkelebat, ia berlutut di sisi Grenouille, mengipasi dengan sapu tangan beraroma violet, lalu memohon - benar-benar memohon - agar Grenouille bangun dan jangan mati dulu sampai lusa demi kelangsungan teori fluidum letale.
Grenouille menggeliat, batuk-batuk dan mengeluh. Menepis sapu tangan kuat-kuat dan setelah "jatuh" dari sofa dengan gaya dramatis, merayap ke sudut ruangan. "Jangan parfum itu lagi!" jeritnya lemah. "Jangan parfum yang itu! Aku bisa mati!" Taillade-Espinasse segera membuang sapu tangan dan botol parfumnya sekalian keluar jendela. Baru setelah itu Grenouille mau berlagak sembuh. Lalu, dengan suara makin tenang ia menjelaskan bahwa sebagai seorang ahli parfum ia punya hidung sensitif dan selalu bereaksi terhadap parfum tertentu, apalagi selama periode penyembuhan ini. Soal kenapa aroma violet bisa sangat mengganggu dijelaskan karena parfum itu mengandung ekstrak akar bunga violet berkonsentrasi tinggi yang pasti berasal dari dalam tanah dan dengan sendirinya memberi efek buruk pada penderita fluidum letale. Kemarin saja, saat pertama kali mencium aroma itu, ia sudah merasa tak enak. Dan hari ini aroma itu seperti membawanya kembali ke ingatan mencekik dalam gua selama. tujuh tahun. Ia sungguh tak tahan. Kini setelah disembuhkan secara ajaib oleh sang Marquis, ia merasa lebih baik mati daripada terserang fluidum lagi. Mengingat bahwa parfum itu diekstraksi dari akar saja sudah cukup membuat tubuhnya keram. Grenouille meyakinkan bahwa ia pasti bisa langsung sembuh jika Marquis mengizinkan ia membuat parfum sendiri. Parfum yang mampu mengenyahkan sisa-sisa aroma violet. Parfum baru ini sangat ringan dan beraroma udara, terbuat dari bahan-bahan penyingkir elemen bumi seperti sari almond dan bunga pohon jeruk, minyak eukaliptus, pinus, dan cemara. Jika dipercikkan sedikit pada pakaian, beberapa tetes di leher dan pipi, Grenouille pasti akan kebal selamanya dari serangan memalukan yang baru saja terjadi.
Grenouille mengutarakan semua ini dalam ledakan verbal yang tak jelas, diiringi batuk-batuk, napas tersengal
dan kesulitan bernapas, plus aksentuasi tubuh menggigil, berkedut-kedut dan mata yang diputar sedemikian rupa sampai tinggal putihnya saja yang kelihatan. Sang Marquis sangat terkesan melihat semua ini. Meyakinkan sekali gejala dan penjelasan yang diberikan dengan teori fluidum letale. Betapa bodohnya ia sampai tidak menyadari soal parfum violet itu. jelas, memang sangat mengandung elemen bumi. Dia sendiri pasti akan terinfeksi kalau memakainya bertahun-tahun. Sungguh di luar dugaan bahwa hari demi hari ia digiring menuju kematian hanya gara-gara parfum! Lihat saja gejalanya: encok, leher kaku, impotensi, sembelit, tekanan pada telinga, gigi busuk - tak diragukan lagi bahwa semua bersumber dari racun fluidum di parfum bunga violet itu. Dan si bodoh ini, si bongkok buruk rupa di sudut ruangan ini, telah menguak rahasia tersebut. Marquis jadi terharu. Ingin rasanya menghambur, memeluk, dan mengangkat Grenouille penuh girang, tapi ia takut masih terlalu banyak mengandung aroma violet. Kalau Grenouille sakit lagi bisa repot nanti. Jadilah ia menjerit memanggil pelayan dan memerintahkan agar semua parfum bunga violet disingkirkan, menganginkan seantero rumah, semua pakaian dicuci dari racun dengan ventilator, dan membawa Grenouille dengan tandu saat itu juga ke pembuat parfum terbaik di kota. Memang ini tujuan Grenouille berpura-pura sakit.
Ilmu pembuatan parfum terhitung tradisi lawas di Montpellier, dan walau kini kalah bersaing dengan. para ahli dari kota Grasse, masih ada beberapa ahli parfum dan pembuat sarung tangan yang tinggal di kota itu. Sosok paling bergengsi di bidang ini adalah Runel, yang telah lama berbisnis dengan dinasti Marquis de la Taillade-Espinasse sebagai penyedia sabun, minyak, dan wewangian. Runel menyatakan bersedia meminjamkan studionya selama satu jam pada si ahli parfum aneh dari Paris yang hadir bersama
iringan pelayan serta tandu. Grenouille tak mau diberi petunjuk. Ia bilang sudah cukup tahu apa yang harus dilakukan dan akan baik-baik saja. Lantas ia mengunci diri di laboratorium selama satu jam, sementara Runel menunggu bersama kepala rumah tangga keluarga sang Marquis sambil minum beberapa gelas anggur di kedai minum. Di situ dengan masygul ia diberi tahu kenapa parfum violetnya tak lagi jadi parfum favorit.
Laboratorium dan bengkel kerja Runel ternyata tidak selengkap milik Baldini. Seorang ahli parfum biasa tak akan bisa berbuat banyak hanya dengan beberapa botol minyak bunga, kolonye, dan rempah-rempah, tapi hidung Grenouille yakin bahwa bahan-bahan di tempat ini sudah cukup untuk mencapai tujuan. Toh ia tak ingin membuat parfum hebat atau kolonye fantastis seperti yang ia buat untuk Baldini dulu - kolonye yang begitu terkenal dan berkualitas jauh di atas rata-rata ciptaan ahli parfum lain. Ia juga tak berniat membuat parfum jeruk seperti bualannya pada Marquis tadi. Bahan-bahan dasar seperti minyak neroli, eukaliptus, dan cemara akan dipakai Grenouile untuk menyamarkan aroma asli yang ingin dibuat, yaitu aroma manusia. Ia ingin punya aroma seperti manusia normal lain - pun bila itu hanya buatan dan bersifat sementara. Grenouille mafhum bahwa setiap orang memiliki bau khasnya sendiri-sendiri. Fakta ini jelas bagi hidung Grenouille yang mampu mengenali ribuan aroma individual dan bisa menentukan perbedaannya pada setiap manusia sejak mereka lahir. Kendati demikian, tetap ada tema dasar utama pada masing-masing aroma tersebut, dan kebetulan umumnya sederhana saja, seperti aroma keju masam atau keringat, misalnya. Tema dasar nan kaya ini ada pada semua manusia dan menciptakan aura khas individual berbentuk awan kecil.
Pecut Sakti Bajrakirana 4 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Pangeran Perkasa 16

Cari Blog Ini