Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari Bagian 3
"Harus. Soalnya sampean tidak bisa berharap akan terjadi hal seperti dulu lagi.
Srintil tidak akan menyusul sampean malam-malam dan menyelinap tidur satu
lincak." Terkilas sebuah senyum di wajah Rasus. Dan lenyap. Kegelapan menelan senyum
dan sosok Rasus sekaligus. Ada sosok yang bergerak dalam gulita dan ada jiwa yang
merayap-rayap, meraba tanpa pedoman. Rasus hendak masuk ke rumah Darkim
tetapi urung. Rumah Kastaliput hendak dimasukinya juga namun tidak jadi.
Demikian juga rumah Wiryadasim. Di depan rumah Srintil, Rasus menghentikan
langkah. Berdiri diam seperti batang pisang di sampingnya. Di langit hanya ada
taburan bintang karena bulan baru akan terbit tengah malam nanti. Tetapi ada
kalong samar-samar terbang ke selatan. Burung bence melintas dan menciap. Itu
burung maling. Dan tidak peduli maling atau Rasus yang bergerak dalam kegelapan
burung itu akan berteriak-teriak.
"Dengar, Anakku. Ada bence. Maka tidurlah," kata Srintil.
"Bence, Mak?" "Ya. Bila ada bence suka ada maling."
"Maling, Mak?" "Ya. Maling itu orang jahat."
"Tamu-tamu tadi sore bukan maling, Mak?"
"Bukan, bukan."
106 "Tentara itu juga bukan maling?"
"Bukan. Dia orang baik."
"Orang baik. Jadi bagaimana?"
"Baik ya bak Tidak nakal. Suka menolong."
"Suka membelikan layang-layang?"
"Ya, ya." "Tetapi aku tidak dibelikannya, Mak."
"Kamu masih kecil. Kamu belum bisa bermain layang-layang."
"Emak suka orang yang baik, ya?"
"Tentu. Maka kamu kelak harus jadi orang yang baik."
"Jadi tentara?"
"Wah, hebat. Emak suka sekali bila kamu kelak jadi tentara."
"Emak suka tentara, ya?"
107 Srintil menelan ludah. Seseorang yang sedang berdiri dalam kegelapan di dekat
batang pisang juga menelan ludah. Ditahannya batuk yang mulai menggelitik
tenggorokan. Sementara Srintil menarik Goder ke dalam pelukannya Rasus bergerak
perlahan-lahan dan menjauh. Burung bence kembali melintas dan berteriak. Dan
Rasus mempercepat langkahnya, pulang.
Hingga sinar bulan datang mengusir kegelapan di Dukuh Paruk, Rasus masih
tergolek gelisah di atas lincak. Dari tempatnya berbaring Rasus melihat remang
pepohonan yang makin jelas, bambu muda menjulang dan kadang melentur oleh
angin malam yang kering dan dingin. Sesekali Rasus menyadari dirinya sedang
membuktikan kebenaran kata-kata Sakum bahwa Srintil tak mungkin datang
menyusulnya; hal yang seharusnya terjadi bila Srintil masih seorang ronggeng. Dan
hingga jauh malam memang tak ada orang datang. Rasus lega. Rasus ingin tidur.
Rasa kantuk mulai terasa merayapi denyut nadinya, namun serta-merta lenyap
kembali ketika dalam telinga Rasus berdenging kembali ucapan Sakum, "Apakah
perasaanku salah bahwa sampean masih suka terhadap Srintil?"
Pelita kecil yang tercantel pada tiang kayu lapuk tinggal memiliki tetes terakhir
minyaknya. Tetes minyak itu melembabkan sumbu kain, merembes naik menerobos
selongsong logam dan sampailah ke batas nyala. Setiap molekul minyak tersambar
panas lalu melepas tenaga yang dikandungnya menjadi bunga api. Nyala itu tinggal
sebesar gabah. Kelap-kelip makin mengecil, kehilangan runcingnya sedikit demi
sedikit. Wamanya yang kuning kemerahan perlahan-lahan berubah biru, di pusatnya
ada titik pijar membara. Lambat-laun segala bentuk di sekeliling pelita mulai
kehilangan sosoknya. Nyala yang tinggal titik pijar biru mulai bergetar. Dan padam.
Dari tempat Rasus berbaring terdengar suara desah yang dalam. Gubuk doyong itu
mendaulat segumpal kegelapan dari jamahan sinar bulan yang temaram. Rasus
terkurung di dalamnya, gelisah karena selalu gagal mengembalikan perasaan dari
pengembaraannya. Kalau bukan karena kebuntuan maka pengembaraan rasa akan
berkepanjangan. Ketika bulan mulai turun di belahan langit barat Rasus
memejamkan mata. Dinginnya udara di malam kemarau.
Sepinya dukuh terpencil yang sedang lelap, tanpa sedikit pun terasa pertanda
kehidupan manusia. Hanya suara puluhan jangkrik di rumah Sakum. Dan tikus yang
berkejaran di atas atap yang berlapis sampah kering. Rasus tidur tidak sampai dua
jam. Mimpi-mimpi buruk yang menyeramkan mendorongnya kembali ke alam jaga.
Kepalanya berpusing ketika dia mencoba duduk. Termangu dan memijit-mijit
tengkuknya yang terasa panas dan kaku. Melalui dinding bambu yang sudah
menerawang Rasus melihat langit di timur mulai benderang. Di barat bulan hampir
menyentuh rumpun bambu, pucat seakan takut tertangkap basah oleh matahari.
Rasus mengambil perlengkapan mandi lalu keluar menuju pancuran.
108 Seekor kumbang tahi melintas di depannya dengan dengung yang berat. Masih
seperti dulu ketika Rasus seorang bocah. Ada burung sikatan mencecet di atas
pancuran. Ada kelelawar di mulut lubang kayu sengon lalu merayap masuk. Lebah
madu berdengung mengelilingi kerimbunan pohon bungur yang sedang berbunga.
Rasus bertekad melawan udara dingin lalu berjongkok di bawah pancuran. Beberapa
kali dia berbangkis setelah air sedingin embun menyiram dahinya yang panas.
Pulang ke rumah Rasus mengenakan seragam hijaunya lalu menggelar kain sarung
di tanah untuk bersembahyang dan berdoa. Dia ingin memperoleh keyakinan bahwa
keputusan yang mendadak diambilnya untuk meninggalkan Dukuh Paruk pagi buta
saat itu juga adalah hal yang terbaik terutama bagi dirinya sendiri.
Sepatu dikenakan, ikat pinggang dipasang. Topi lapangan disambar dari ujung
lincak. Ransel yang sudah tertutup rapi disandangnya di pundak. Dan Rasus keluar
dari gubuk doyong tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya cepat dan pasti menuju
lurus rumah Kartareja. Diketuknya pintu gubuk yang masih sepi itu.
"Kek, keluar sebentar. Aku, Rasus, mau minta diri."
"Eh, Cucuku?" "Ya, Kek." "Mau berangkat sekarang?"
Kartareja membuka pintu tetapi Rasus tidak mau masuk. Dia ingin berbicara di luar
dan kelihatan begitu tergesa.
"Kukira sampean masih sehari lagi tinggal di sini. Mengapa tergesa amat" Ada
urusan penting lainnya?"
"Tidak juga, Kek. Aku memerlukan persiapan sebelum berangkat ke luar Jawa. Jadi
aku harus berangkat dari sini sepagi mungkin."
109 "Ah, Cucuku. Sesungguhnya aku ingin berbicara dengan sampean. Tadi malam
kutunggu sampean tidak datang. Pembicaraan hanya untuk aku dan sampean."
"Sekarang ini kita hanya berdual Kek."
"Ya. Tetapi ini pembicaraan penting. Yah, tak mengapalah bila sampean
menghendakinya. Cucuku, sesungguhnya aku ingin bertanya, bagaimana hubungan
sampean dengan Srintil. Maafkan aku, Wong Bagus. Soalnya hal ini perlu
kusampaikan kepada sampean."
Rasus menjatuhkan pundak dan menunduk. Dia kelihatan sulit menemukan katakata.
"Kek, tadi malam Kang Sakum sudah bertanya demikian kepadaku. Aku tak bisa
berkata apa-apa sebab aku akan segera berangkat ke tempat yang jauh dan entah
kapan kembali. Maka begini saja, Kek. Bila ada lelaki baik-baik yang berniat
mengambil Srintil maka bantulah keduanya. Tetapi bila ada lelaki yang datang hanya
untuk bermain-main, tolong katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh
berperilaku seperti dahulu. Aku yang melarangnya, Kek."
Kartareja mengangguk-angguk, mencoba memahami kata-kata Rasus yang
bersayap. Sesungguhnya dia menghendaki sebuah ketegasan. Tetapi ketika
Kartareja hendak berkata sesuatu Rasus sudah mengulurkan tangan minta
bersalaman, lalu berbalik dengan langkah seorang tentara. Kartareja hanya bisa
mengikutinya dengan pandangan. Rasus makin jauh, makin tenggelam, dalam
keremangan pagi. Dan lenyap di balik rumpun-rumpun bambu.
Bagian Keempat Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah kecamatan Dawuan berubah gemuruh
oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan
ukuran. Truk-truk kuning mengangkut tanah yang dikeruk dari bukit-bukit untuk
menimbun wilayah-wilayah rendah yang akan dilalui jalur pengairan. Buldoser
menggali arau meratakan tanah siang malam, kadang tidak berhenti selama dua
puluh empat jam. Orang Dawuan dan sekitarnya berkesempatan melihat para
pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah lain; melihat pakaiannya, ulahnya,
110 keseronokannya. Mereka juga melihat orang Jepang dan Prancis yang selalu menarik
perhatian, terutama bagi anak-anak.
Dawuan bergairah. Apalagi para pekerja proyek sering memutar film di lapangan,
gratis. Warung-warung yang buka siang dan malam muncul di mana-mana.
Persentuhan nilaikota dan desa berlangsung amat intensif terutama di kalangan para
pekerja muda serta para remaja setempat. Dan pada kenyataannya nilaikota yang
mendesak dan menggurui nilai desa. Anak muda Dawuan mulai menirugaya ,
perilaku serta pakaian para pekerja. Mereka mulai berbicara dalam dialekJakarta .
Kegairahan Dawuan merembes juga ke Dukuh Paruk. Kini anak-anak disana senang
bermain teras batang pisang yang dibuat traktor-traktoran, buldoser atau truk
pengangkut tanah. Nyai Kartareja membuka warung kecil-kecilan menjual pecel dan
kelapa muda. Siang hari banyak pekerja beristirahat di warungnya, demi pecel atau
demi seorang perempuan muda yang sudah sering menjadi buah-bibir di antara
mereka. Tidak jarang Srintil dikunjungi oleh orang-orang proyek, baik siang maupun malam
hari. Dalam batas tertentu Srintil merasa senang. Melalui pertemuan-pertemuan
semacam itu dia memperoleh sarana penyiaran tentang siapa dirinya sekarang.
Tetapi sebenarnya Nyai Kartareja-lah yang lebih banyak menerangkan bahwa Srintil
sekarang lain. Dia tidak lagi mau melayani petualangan. Dia sudah ada yang
menghadapinya dengan sungguh-sungguh, Bajus, orang yang bukan sekadar
pekerja rendahan pada proyek pembangunan irigasi.
Pada mulanya Srintil risi dengan celoteh Nyai Kartareja. Seakan Nyai Kartareja ikut
mempercepat punahnya angan-angan Srintil terhadap seorang laki-laki muda yang
tak mungkin begitu saja lenyap dari angannya. Tidak. Srintil tak ingin angan-angan
itu mati meski dia juga tidak tahu bagaimana cara menghidupkannya. Biarlah anganangan itu menjadi umbi gadung yang seakan kering dan mati ketika kemarau. Atau
semacam pepenget yang selalu saja membawa kelembutan setiap kali dia
mengenangkannya. Srintil juga sudah menerima pesan lewat Kakek Kartareja; dia
boleh berhubungan dengan laki-laki yang baik dan sekali-kali jangan berurusan
dengan lelaki petualang. Pesan yang indah bukan hanya karena isinya, melainkan
terutama karena dia datang dari Rasus. Indah, namun sekaligus menyembunyikan
teka-teki tersamar. Mungkin Rasus setuju bila Srintil diambil oleh laki-laki yang
sungguh membutuhkannya sebagai ibu rumah tangga. Namun apa yang mungkin
terjadi bila Rasus kembali dari tugas dan mendapatkan Srintil masih seorang diri"
Mereka-reka jawaban atas pertanyaan itu selalu membuat Srintil berdebar, kadang
tersenyum seorang diri dan kadang mengeluh karena menahan rasa cemas.
Kemudian, celoteh Nyai Kartareja seperti demikian adanya, berkembang menjadi
kenyataan. Bajus dengan teratur mengunjungi Srintil, tetap dengan warna tanpa
111 petualangan. Kadang Bajus datang bersama teman dan kadang dia mengundang
Kartareja ikut duduk-duduk di rumah Srintil. Segalanya menjadi lugas dan terbuka.
Pada kunjungannya yang kesekian pada suatu pagi hari Minggu, Bajus sudah bisa
mengajak Srintil ke luar Dukuh Paruk tanpa seorang pun memandangnya dengan
tanda tanya. Dengan Goder bersama mereka maka Bajus dan Srintil tidak bisa tidak
terkesan sedang memperlihatkan sketsa sebuah rumah tangga. Bertemu lurah
Pecikalan di dekat balai desa laki-laki tua itu tersenyum ramah. Bertemu dengan
priayi-priayi kecamatan di Dawuan mereka mengangguk dan sumeh. Srintil seperti
meneguk air dari gayung setelah menempuh perjalanan panjang melintasi sawah
yang kerontang. Dia merasa perlahan-lahan muncul ke permukaan setelah sekian
lama tenggelam dalam sisi aib sejarah kemanusiaan.
Dalam mobil di sisi Bajus, Srintil duduk diam. Tatapan matanya lurus ke depan.
Goder yang dipangkunya juga tak bergeming. Namun sementara Goder tegang
karena baru kali pertama naik mobil, Srintil diam karena sedang merasakan adanya
arus balik di dalam jiwanya. Matanya merah. Anehnya, senyum Srintil serta-merta
merekah manakala Bajus mengajaknya berbicara.
"Kita ke Eling-eling. Sekadar jalan-jalan. Kamu man, bukan?"
"Terserahlah. Oh, tetapi nanti dulu. Kalau Mas mau, jangan ke Eling-eling."
"Kenapa?" "Ah, sebenarnya tidak mengapa. Aku hanya belum berani ke sana."
"Teringat masa lalu?"
"Nah, Mas sudah mengerti. Dua tahun tinggal di kota Eling-eling sebagai tahanan,
sungguh tidak enak buat dikenang kembali."
"Baik. Kita ke pantai selatan saja. Sudah lama juga aku tidak melihat laut.
Bagaimana?" 112 Srintil mengangguk dan tersenyum. Pantai selatan adalah tempat yang jauh dari
Dukuh Paruk. Boleh jadi satu atau dua orang di sana bisa mengenal Srintil sebagai
ronggeng atau bekas tahanan. Namun kemungkinannya jauh lebih kecil daripada di
kota Eling-eling. Makin jauh dari Dawuan Srintil kelihatan semakin santai. Mula-mula Srintil hanya
berbicara kepada Goder, memperkenalkan ini-itu kepadanya. Lalu ketawanya pecah
ketika mendengar Goder minta dibelikan kuda penarik andong seperti yang baru
dilihatnya. Tertawa lagi setelah Goder bertanya karung yang dibawa orang di pinggir
jalan tadi tidak berisi kepala manusia. Bajus tersenyum-senyum dan sesekali ikut
menggoda Goder. "Kaleng yang dipikul orang itu berisi ular naga," katanya sambil
menunjuk laki-laki pedagang kerupuk yang berjalan di depan. Goder membeliakkan
mata. Srintil dan Bajus tertawa bersama.
Sampai di pantai Bajus memilih tempat yang agak terpencil buat memarkir jipnya.
Itu bukan tempat yang terbaik. Namun itulah pilihannya karena Bajus ingin
memperoleh suasana yang lebih pribadi, tidak terlalu banyak dilihat oleh pengunjung
lain. Goder tidak berani melepas rangkulannya terhadap Srintil. Laut adalah
kedahsyatan pertama yang pernah dilihatnya.
Mata Srintil lurus ke depan, ke tengah laut yang berbingkai langit. Ombak yang
susul-menyusul dan pecah di pantai, perahu nelayan yang timbul-tenggelam diayun
gelombang atau binatang-binatang kecil yang merayap-rayap di batas pantai adalah
bukan pemandangan biasa bagi Srintil. Atau: kesibukan para anak dan istri nelayan
yang sedang memilih-milah ikan menurut jenisnya, ubur-ubur diberi wadah sendiri,
semuanya tidak berhasil menyita perhatian Srintil.
Matanya masih lurus ke tengah laut. Mata sedang menjadi duta batinnya menerobos
ketersempitan dan keterbatasan. Sukmanya lolos dan mengembara dalam sesaat
buat membaca laut biru, langit biru, Nusakambangan hijau dan ombak yang
bergulung putih. Mendadak nuraninya sendiri bertindak menjadi guru bijak dan
memberi tahu bahwa ada selera agung di balik keserasian yang mahadalam dan kini
tergelar luas di hadapannya. Selera agung yang transendental terhadap segala
citakarsa manusia dan karena keagungannya manusi diminta runduk oleh suara
bening di dalam jiwa. Runduk dalam cita dan perilaku, runduk dalam karsa dan
karya. Dan kemudian Srintil dengan nilai kemanusiaannya sendiri merasa selera
agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan
kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk dan menyelaraskan diri kepadanya. Atau
membiarkan segala manusia dan tiap-tiap jiwa menempuh jalan lain satu-satunya,
jalan keakuan dan keangkuhan manusia yang sesungguhnya terlampau lemah buat
menciptakan keselarasan hidup bahkan keselarasan dirinya.
113 Ketika titik jernih mulai mengembang dalam hati Srintil ada suara memanggilnya
dari samping belakang. Srintil menoleh. Pada saat yang sama kamera di tangan
Bajus berdecik. Detik yang sempurna tepat. Kamera bukan hanya merekam sosok
seorang perempuan muda, melainkan juga citra manusia bebas emosi dan hatinya
mulai menyentuh kedamaian yang dalam. Bajus tersenyum lebar tanpa sadar sedikit
pun bahwa dirinya yang amatir secara kebetulan baru saja bertindak sebagai
seorang juru potret profesional. Kelak dia sendiri heran melihat hasil kerjanya.
Dalam hal normal pencahayaan, sudut pandang maupun perspektif obyek
keberhasilannya tidak bisa dikatakan menyolok. Tetapi bahwa foto itu berbicara
banyak dalam bahasa jiwa - suatu prestasi fotografi yang sulit terjadi - hanya foto
itu sendiri yang bisa mengiyakannya.
Puas berpanas dan berangin-angin Bajus mengajak Srintil bersama Goder berjalan
mencari tempat yang teduh di sekitar mobil. Di sana Bajus membuat beberapa
potret lagi. Sekali Srintil diambil gambarnya ketika duduk di bumper mobil, sekali
ketika dia duduk di jok depan memangku Goder. Lalu Bajus pergi dan kembali
membawa tiga ikat rambutan dan tiga botol minuman. Bajus memperhatikan tertib
jemari Srintil ketika mengupas rambutan. Juga ketika Srintil mengulum daging buah
yang putih dan lembut itu. Samar-samar terlihat pertanda gejolak rasa pada wajah
Bajus. Namun Bajus sendiri yang segera menumpasnya dengan cara secepatnya
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memalingkan muka dan mengutuk diri sesengit mungkin.
Hampir tengah hari Bajus menghidupkan mesin jipnya hendak pulang. Srintil sudah
membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas
dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah
penginapan. Sejenak Srintil tertegun. Teringat olehnya ke tempat semacam inilah
dulu dia sering dibawa oleh 'laki-laki' itu dari tahanan. Apabila benar Bajus
mempunyai tujuan erotik Srintil sudah siap menolaknya.
"Kita makan dulu," kata Bajus. "Di situ nasi gorengnya enak," sambungnya sambil
menunjuk sebuah warung agak tersembunyi di samping losmen. Bajus yang tidak
menaruh perhatian ketika Srintil menarik napas lega berjalan paling dulu menuju
warung. Srintil membopong Goder lalu mengikutinya di belakang. Kebanyakan kursi
sudah diduduki oleh pembeli dan Bajus kehilangan tempat kesayangannya.
"Kamu juga suka nasi goreng?"
"Suka, Mas." "Kita pesan tiga. Apa minumnya?"
114 "Terserah, Mas."
"Air jeruk?" Srintil mengangguk. Seorang pelayan yang berpakaian kenes datang dan berbicara
dengan Bajus. Diam-diam Srintil memperhatikan bagaimana cara Bajus menghadapi
pelayan yang jelas dipasang sebagai burung pemikat itu. Dia cantik dan kelihatan
sudah mengenal Bajus. Namun Srintil harus mengakui sikap Bajus nyaris tanpa cela;
dia hanya berbicara seperlunya dengan bahasa dan cara yang lugas pula. Srintil
malu.-bp- *** Kegairahan yang mewarnai wilayah kecamatan Dawuan sudah berlangsung
hampirlima bulan. Truk dan buldoser sudah menjadi pemandangan biasa. Juga
tingkah-laku orang-orangkota yang bekerja di proyek pembangunan bendungan dan
jaringan pengairan. Bisa jadi yang masih menarik perhatian orang adalah hadirnya
orang-orang Jepang dan Prancis. Suatu kali mereka menciptakan suasana kocak
ketika mereka mencoba makan pecel di sebuah warung. Mereka blingsatan dengan
air mata bercucuran karena lidah mereka tersengat oleh pedasnya cabai.
Dukuh Paruk terimbas gairah. Bukan hanya Nyai Kartareja yang diberi kesempatan
berdagang pecel dan laris; hampir semua laki-laki Dukuh Paruk mendapat
pekerjaan. Mereka dibayar secara patut untuk pekerjaan membantu tukang batu,
penggalian-penggalian tanah atau ngemplek, yakni menutup tanggul baru dengan
lapisan rumput. Kesibukan Dawuan memberi kesan bahwa mala petaka tihun 1965
sudah mulai terlupakan. Penggal sejarah baru sedang merayap datang.
Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar
kecurigaan tidak lagi menjadi warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan
bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting dalam
pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan orang kepadanya.
Orang-orang sekecamatan Dawuan hanya mempunyai wawasan yang sederhana.
Bajus itu orang proyek. Proyek itu milik pemerintah, jadi Bajus orang pemerintah.
Apabila Bajus menggandeng Srintil maka orang-orang sekecamatan Dawuan hanya
115 bisa memberikan satu makna; Srintil sudah digandeng pemerintah. Bekas tahanan
politik atau bukan nyatanya Srintil sudah dipakai oleh pemerintah. Jadi keberadaan
Srintil tentulah sudah positif.
Dan ada beberapa foto di rumah Srintil yang mempertegas tentang siapa dan
bagaimana dia. Orang-orang melihat dengan mata berseri foto-foto yang
memperlihatkan Srintil sedang duduk di bumper mobil Bajus dan foto Srintil ketika
dia kelihatan begitu mapan di jok depan mobil itu. Kebanggaan Srintil muncul pada
senyumnya. Namun ada satu hal yang membuatnya kurang puas di hati.
Mengapakah foto kebanggaan itu mesti menempel pada dinding anyaman bambu di
bawah atap ilalang" Selayaknya dia menempel pada dinding tembok yang putih atau setidaknya pada
dinding kayu dengan cat biru samar. Ah, ya. Apalagi bila Srintlil teringat celoteh
orang banyak; dirinya sepenuhnya pantas menjadi ibu rumah tangga pada keluarga
yang memiliki sebuah mobil. Srintil teringat perhiasan-perhiasan emasnya.
Jumlahnya cukup untuk menjadikannya tinggal dalam sebuah rumah kayu yang
kuat, bahkan kalau mau, berdinding tembok. Sebagai bekas tahanan politik Srintil
memang masih amat takut memperlihatkan suatu bentuk kebanggaan meski yang
paling samar sekalipun. Takut dikatakan ora rumangsa, tidak tahu-diri sebagai orang
yang pernah disangkutpautkan dengan perkara kesalahan hidup yang amat besar.
Tetapi ketakutan dalam hati Srintil mulai terkikis bilamana dia berhadapan dengan
nilai sejati kehidupan kampung, keselarasan. Apabila dia menghendaki sebuah
rumah yang pantas maka itulah upaya mencapai keselarasan antara diri dengan
kehendak sejarah. Dalam kehidupan yang sedang bergairah Srintil mendengar
bisikan yang jelas, "Kamu sekarang tidak pantas lagi bersarang dalam sebuah gubuk
ilalang." Ketika yakin dirinya sudah didikte oleh sejarah maka Srintil mengajak Kartareja
berbicara. Sengaja dipilihnya saat yang sepi sehingga tak seorang pun mendengar
pembicaraan itu. "Kek, apakah tidak salah bila aku ingin membeli rumah yang agak pantas" Apakah
tindakan semacam itu tidak menyinggung perasaan orang banyak?"
Kartareja tidak mampu segera menjawab. Kartareja sudah cukup lama membaca
obah-mosiking zaman, maka dia sudah yakin tak ada aral apa pun bagi niat Srintil.
Boleh jadi masalahnya menjadi lain bila Srintil tidak cantik. Kecantikan itu tidak bisa
ditampik dan dia perhiasan sejarah sendiri. Maka meskipun sama-sama bekas
tahanan tidak bisa tidak Srintil memperoleh tempat yang khas. Kartareja tidak heran
116 bila kehidupan sendiri sudah memberikan
menginginkan sebuah rumah baru.
sasmita restu bagi Srintil yang Namun Kartareja memendam kekecewaan, mengapa yang memberikan motivasi
kegairahan Srintil adalah Bajus. Mengapa bukan Rasus" Adalah sangat citrawi bagi
Kartareja dan semua warga puak bila anak Dukuh Paruk sendiri yang memberi
dorongan kemudian membawa Srintil ke dalam kehidupan baru. Kehidupan tanpa
rasa takut dan sekaligus membersihkan Dukuh Paruk dari bekas-bekas luka akibat
geger komunis 1965. "Kakek diam, apakah Kakek tidak setuju?"
"Oh, bukan. Bukan. Aku setuju, Wong Ayu. Masalahnya, adakah kamu mendengar
seseorang hendak menjual rumah?" kata Kartareja berkelit dengan bagus.
"Memang belum, Kek. Itulah. Bila Kakek setuju, maka Kakek juga yang akan aku
mintai tolong mencarikannya."
"Aku?" "Ya, Kek. Kalau bukan Kakek, siapa lagi?"
"Memang benar, Cucuku. Tetapi lebih dulu kita harus minta izin lurah. Yah,
sebaiknya kita hati-hati. Misalkan lurah tidak setuju, maka apa boleh buat, aku pun
tidak akan setuju kamu membeli rumah baru."
"Aku hanya menurut kepada Kakek. Yang jelas aku sudah ingin keluar dari gubuk
ilalang. Malu, Kek. Malu bila Mas Bajus berkunjung."
"Aku mengerti, Wong Ayu. Maka baiklah. Kamu sediakan saja biayanya. Nanti akan
kucoba bertanya dulu kepada Pak Lurah."
117 Lurah Pecikalan yang tua dan kuno sesungguhnya merasa malu bila ada priayi
proyek seperti Bajus masuk ke tengah kemelaratan Dukuh Paruk. Terang
kemelaratan di pedukuhan terpencil itu secara resmi bisa dihubungkan dengan
kemampuannya sebagai kepala desa. Maka tanpa mengingat Dukuh Paruk yang
sekali waktu dihubungkan dengan keberingasan orang-orang komunis, lurah
Pecikalan menyetujui keinginan Srintil yang disampaikan lewat Kartareja. Bahkan
lurah tua itu memberi keterangan tentang beberapa orang yang hendak menjual
rumah. Mereka adalah para penerima uang ganti rugi tanah dan bermaksud
membangun rumah baru yang permanen.
Tidak sampai sebulan Srintil sudah mendapat rumah yang akan dibelinya, sebuah
rumah berkerangka kayu jati bekas milik seorang petani kaya di Dawuan.
Pemboyongan rumah itu melibatkan semua orang Dukuh Paruk, tak terkecuali
Sakum yang keropos kedua matanya. Bajus yang mengetahui hal itu beberapa hari
kemudian mengirim lima orang tukang batu dengan kelengkapan secukupnya. Hanya
dalam enam minggu semuanya selesai; buat kali pertama di Dukuh Paruk berdiri
sebuah rumah kayu jati berdinding tembok dan berlantai semen, lengkap dengan
kakus dan sumur. Srintil mengisinya dengan tempat tidur terbaik yang bisa dibeli di
Dawuan serta perabotan lain. Dan sebuah lampu pompa. Malam hari rumah Srintil
benderang sehingga setiap saat orang bisa melihat tiga buah foto tertempel di
tembok ruang depan. Srintil merasa hampir berhasil meraih dirinya kembali. Lihatlah ketika senyum itu
menciptakan lekuk bagus di kedua ujung bibir, tanpa hambatan rasa takut. Cahaya
temaram mulai muncul di wajah Srintil, mengusir sedikit demi sedikit sikapnya yang
mudah gugup, peka dan begitu cepat merasa cemas. Meski belum bisa dikatakan
ceria namun kerenyahan tingkah sudah terlihat setiap hari. Bila seorang diri
menghaadapi foto-foto itu Srintil merasa terbang bersama burung branjangan yang
berkicau riang di ketinggian langit di atas sawah luas di sekitar Dukuh Paruk.
Matanya menatap luasnya bumi, jauh lebih luas daripada Dukuh Paruk yang kusam
dan terasing. Dan sejuta kali lebih luas daripada kompleks rumah tahanan di kota
Eling-eling. Dari kebebasan di awang-awang Srintil mudah sekali menikmati
kuningnya kembang waru, merahnya kembang soka dan ungunya kembang kecipir.
Awan-gemawan mengirimkan irama kecapi petikan jari Wirsiter dan asmara dahana
yang bergetar bersih melalui pita suara Ciplak.
Ketika terbang bersama burung branjangan itu pula Srintil mendapati dirinya berada
pada inti kelembagaan perempuan; bukan perempuan lawan timbangan laki-laki
dalam makna primitif, perempuan milik umum. Dia merasa ada lelaki tertentu di
sampingnya, laki-laki yang akan membuatnya disebut sebagai perempuan somahan,
perempuan rumah tangga. Memang laki-laki itu bukan dia yang paling banyak
membuat catatan yang berkesan di hati. Dia bukan Rasus, melainkan Bajus. Tak
mengapa. Srintil sudah banyak belajar dan tahu bahwa cita tak selamanya sejajar
dengan garis pepesthen, suratan takdir.
118 Dan Srintil tidak bisa menolak kenyataan bahwa Bajus makin lama membuat Rasus
tersisih dari hatinya. Bajus yang sama sekali belum memperlihatkan hal-hal yang
tidak disukainya. Perkenalan selama lima bulan dengan orang proyek itu adalah
harapan. Selama itu Bajus sungguh belum pernah menyentuh kulitnya, belum
pernah berbicara tentang hal-hal erotik baik langsung maupun tersamar. Sopan dan
ramah seperti seorang priayi sejati. Ditambah dengan kenyataan Bajus membantu
banyak sekali dalam pembangunan rumah Srintil maka mahkota Dukuh Paruk itu
hanya bisa menarik satu nalar, Bajus adalah lelaki yang baik dan bersungguhsungguh. Dia bukan laki-laki dari dunia petualangan, dunia yang Srintil bertekad
ingin meninggalkannya. Tetapi juga, belum sekali pun Bajus membicarakan - meski hanya melalui ungkapan
yang tidak langsung - tentang perkawinan. Suatu penantian yang demikian lekat
dalam jiwa sebagai benalu mencengkeram dahan kayu. Kadang Srintil merasa tidak
sabar menunggu sampai mulut Bajus mengeluarkan kata-kata lamaran atau
semacam itu. Lalu setiap kali Srintil membunuh sendiri ketidaksabarannya dengan
kesadaran seorang perempuan kampung. Perempuan adalah bubu yang bila sudah
dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk. Selamanya bubu tak akan mengejar
ikan atau memaksanya masuk ke dalamnya.
Hanya nyinyir Nyai Kartareja yang suatu kali menyingkap perasaan Srintil.
"Nah, rumah bagus sudah dibangun. Sir sudah dibangun. Sekarang aku mau
bertanya, jenganten. Kapan kiranya di Dukuh Paruk ini diadakan hajat besar?"
"Jangan bertanya soal itu, Nyai. Aku malu. Dan aku tidak tahu," jawab Srintil
gugup. Pipinya merona merah.
"Maafkan aku, jenganten. Soalnya aku hanya ingin tahu. Semua orang di sini ingin
segera melihat sampean bersanding. Wajar, kan" Soalnya, apa lagi yang kurang.
Semuanya sudah pantas."
"Entahlah, Nyai."
Srintil tidak meneruskan kata-katanya. Menunduk dan diam. Tiba-tiba saja dia
merasa ada sepotong sejarah yang hilang. Seakan dia adalah perawan suci kemarin
sore yang belum mengerti laki-laki, sehingga Srintil merasa amat canggung
menghadapinya. Nyai Kartareja menangkap kebimbangan yang tergambar pada
wajah Srintil. 119 "Eh, lha, jenganten. Mbok sampean jangan membiarkan diri terkatung-katung.
Segala keinginan harus disetiari. sampean tidak lupa ngasrep pada hari kelahiran?"
Srintil diam. "Sampean tidak lupa berpuasa Senin-Kamis?"
Srintil masih diam. Oh, kamu, Nyai Kartareja. Jangankan ngasrep dan puasa SeninKamis. Setiap saat aku memohon kepada Tuhan, kiranya segera datang laki-laki
yang suka mengawiniku. Laki-laki kepada siapa aku akan membuktikan diri dengan
sepenuh hati bahwa aku sekarang lain dengan aku yang dahulu. Laki-laki yang akan
membuat diriku mendapat sebutan yang sangat kudamba: ibu rumah tangga.
"Eh, lha, barangkali begini, jenganten. Biasa. Dalam urusan semacam ini hampir
selalu diperlukan seorang perantara. Nah, aku akan melaksanakan pekerjaan
semacam itu bila jenganten menghendakinya. Atau, kita ini orang Dukuh Paruk. Kita
yakin segala hal yang kita citakan harus diikhtiarkan dengan japa-mantra, dengan
srana dan dengan upaya. Soal upaya sampean sendiri bisa melakukannya. Srana
berupa susuk masih ada pada tubuh sampean. Tetapi soal japa-mantra, ah.
sampean tidak bisa meninggalkan Nyai Kartareja."
"Nyai!" kata Srintil cepat dan keras. "Jangan lagi bicara soal susuk dan pekasih.
Susukmu pasti sudah luruh karena aku sudah melanggar larangan-laranganmu. Dan
aku tidak ingin kawin lantaran mantra pekasih. Aku ingin kawin seperti semua orang
kawin. Itu saja." "Eh, lha. Misalkan memang demikian yang sampean kehendaki. Toh sampean tidak
bisa menyepelekan arti peran perantara. Eh, lha, aku ini sudah tua, jenganten.
Ketika sampean merasa sedang terkatung seperti sekarang, sampean pasti
memerlukan seorang perantara. Nah, sekarang aku ingin sampean berkata kapan
kiranya aku atau suamiku harus menemui Pak Bajus. Beliau akan kami ajak
berbincang dengan bijak tentang kemungkinan perkawinan sampean berdua.
Bagaimana?" "Jangan, Nyai," kata Srintil lirih setelah lama terdiam. "Bagaimana juga aku harus
sabar menunggu. Barangkali perhatian Mas Bajus sekarang ini sedang tercurah
kepada pekerjaannya. Barangkali. Atau entahlah. Yang jelas aku malu, Nyai."
120 Nyai Kartareja mengerti apa yang dimaksud oleh Srintil. Malu yang hampir selalu
muncul ketika seorang bekas tahanan politik seperti Srintil hendak menampilkan
perikeberadaannya. Dan malu sebab takut dikatakan sebagai bubu yang memanggilmanggil ikan.
Februari 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh
orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara
terasa sangar, panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan,
mematahkan pelepah pisang dan mematahkan batang bambu muda. Di sawah
tanaman padi yang sedang berbunga melewati saat kritis. Penyerbukan bisa gagal
karena angin yang terlalu kencang. Bila hujan turun curahnya jatuh dalam butiranbutiran besar.
Di Dukuh Paruk angin kencang menyapu pepohonan dan rumpun-rumpun bambu
dengan suara mendesau. Batang pohon dan bambu bergesekan menciptakan derit
yang nyaring. Dahan dan ranting kering berjatuhan. Atap-atap ilalang tersingkap.
Orang-orang mulai merasakan gatalnya miang bambu yang beterbangan bersama
angin. Pukul empat sore angin mereda. Sementara anak-anak Dukuh Paruk bertebaran di
pekarangan-pekarangan mencari kayu kering yang jatuh, Srintil bersama Nyai
Kartareja siap berangkat ke Dawuan. Kemarin Bajus mengirim pesan bahwa Srintil
diminta menemaninya mengikuti rapat orang-orang proyek pembangunan pengairan
di sebuah tempat peristirahatan dekat kota Eling-eling. Maka Goder diminta jangan
dibawa serta. Dan karena waktu yang mendesak Srintil ditunggu Bajus di Dawuan.
Nyai Kartareja disuruh menemani Srintil sampai ke kota kecamatan itu.
Srintil berdandan setelah mengingat-ingat dengan saksama bagaimana istri Kapten
Mortir berkain kebaya, merias wajah, dan menata sangggul. Nyai Kartareja
membantu. Perempuan tua itu bukan hanya mengerti bagaimana menyanggul
ronggeng. Dia tahu pula tata cara perempuan priayi. Artinya, sanggul tidak boleh
terlalu tinggi, tidak perlu pamer keindahan tengkuk. Perhiasan Srintil tinggal tidak
seberapa. Tetapi subang ceplik-nya melekat indah pada lembut daun telinganya
yang lebar. Dulu Nyai Kartareja adalah induk semang Srintil. Dia mendapatkan uang dengan
cara menjual Srintil dalam arti mendekati sebenarnya. Segala kehendak
didiktekannya kepada Srintil dengan gaya seorang majikan kepada kacungnya.
Sekarang sepenuhnya terbalik. Ketika berjalan mengiringkan Srintil, Nyai Kartareja
tidak bisa merasa lain kecuali sedang melaksanakan tugas seorang inang. Dia
121 memang tetap mengharapkan uang dari Srintil tetapi tidak bisa menentukan sendiri
apalagi memaksanya. Yang diharapkan sekadar belas kasih atau pengertian Srintil.
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari jauh terlihat sebuah jip berhenti di jalan besar di ujung pematang. Srintil
mempercepat langkah. Orang-orang yang berpapasan hanya disapa seperlunya. Dan
kepolosan senyum orang-orang itu menandakan mereka bukan sekadar memahami
ketergesaan Srintil. Nyai Kartareja benar ketika dia berkata bahwa semua orang
Dukuh Paruk memandang dengan penuh harap hubungan antara Srintil dan Bajus.
Di ujung pematang Srintil dijemput oleh tatapan mata dan senyum Bajus yang
sudah berpakaian rapi. Yang ditatap hanya bisa tersipu.
"Apa Mas tidak malu membawaku ke tempat rapat?" kata Srintil lirih.
"Ah, dengar, Pak Bajus," sela Nyai Kartareja. "Cucuku ini pantas dibawa ke mana
saja. Iya, kan?" "Memang, Nyai. Kalau tidak, mengapa aku mau bersusah-susah. Apalagi rapat kali
ini akan dihadiri orang-orang penting dari Jakarta."
"Eh, lha. Dengar, jenganten. sampean akan berhimpun dengan orang-orang
penting. Di Dukuh Paruk, bahkan di Dawuan hanya sampean yang memiliki
keberuntungan seperti ini."
Srintil tertunduk malu. Dan tetap tidak membuka mulut ketika naik ke dalam mobil
yang sudah dibukakan pintunya oleh Bajus. Mesin hidup dan mobil bergerak
meninggalkan Nyai Kartareja yang termangu seorang diri. "Oh kamu, Srintil. Kamu
anak Santayib yang mati termakan racun tempe bongkrek. Kamu cucu Sakarya.
Siapa mengira akan demikian beruntung nasibmu, digandeng laki-laki yang punya
mobil." Di dalam mobil yang sedang melaju beberapa kali Bajus mencuri pandang ke
samping. Ya. Semula Bajus bermaksud singgah ke rumah rias di kota Eling-eling
untuk memoles Srintil. Kini secara pasti Bajus merasa tidak perlu melaksanakan niat
semula. Srintil ternyata sudah pintar mematut dirinya. Bajus malah membalik
pikiran. Daripada memoles Srintil dengan sentuhan rias gaya kota maka pastilah
Srintil akan kehilangan daya pikatnya yang khas. Bunga sakura memang cantik,
bunga tulip juga cantik. Orang-orang kota sudah mengerti. Sekarang mereka harus
mengakui bahwa bunga lembayung pun mempunyai kecantikan tersendiri.
122 Kecantikan yang tak ada referensinya pada wajah patung Venus atau Dewi
Aphrodite, melainkan pada wajah Pradnya Paramita.
"Kita mampir sebentar ke rumah pondokanku," ujar Bajus menjelang masuk ke kota
Eling-eling. "Ada mapku ketinggalan. Aku terlalu tergesa tadi."
Srintil tersenyum. Boleh juga. Aku ingin melihat rumah sewa Mas Bajus.
Bajus tinggal seorang diri dalam rumah gedung yang dikontraknya selama dua
tahun. Tidak terlalu besar namun keadaannya membuktikan kemampuan keuangan
si penyewa. Srintil duduk di ruang tamu sementara Bajus masuk ke dalam. Entahlah,
Srintil merasakan keinginan yang kuat untuk membersihkan lantai yang mungkin
sudah dua hari tidak terkena sapu. Dan pot-pot tanaman yang kering sehingga
bunganya kelihatan layu. Angan-angan Srintil mengembang tak tertahan. Ya, kelak
akan kubereskan semuanya. Mas Bajus akan melihat bukti bahwa bekas ronggeng
atau bekas tahanan pun bisa menjadi istri yang baik, dan bisa lebih baik daripada
perempuan bukan bekas ronggeng atau perempuan bukan bekas tahanan. Ya. Orang
seperti Mas Bajus yang tidak mau berbuat sembrono sebelum ada ikatan
perkawinan, yang membantu membuatkan rumah baru, yang sering membawaku
bertamasya, dan yang mengangkat martabatku di mata semua orang, pastilah lakilaki yang amat layak menerima pengabdianku sepenuh hati. Bahkan andaikata Mas
Bajus bukan orang proyek dan tidak mempunyai sebuah mobil maka dia tetap
berhak mendapat balas budi berupa kesetiaanku sepanjang hayat. Persoalannya
sekarang, kapankah aku akan resmi menjadi istri Mas Bajus"
"Eh, melamun" Ayo berangkat," kata Bajus yang sudah beberapa saat lamanya
menatap Srintil dari ambang pintu tengah tanpa disadari oleh yang bersangkutan.
Srintil tergagap, lalu bangkit dan berjalan mendahului Bajus. Dia merasa seakan
tersentak mendadak dari alam mimpi yang amat mengesankan. Diremasnya kuatkuat tali tas tangannya. Dikutuki dalam diam dirinya yang telah berangan tinggi.
"Rapat nanti mungkin baru berakhir lepas tengah malam. Sesudah itu ada pesta,"
kata Bajus ketika baru mengeluarkan mobil dari halaman rumah. "Dalam rapat itu
kukira tak ada perempuan yang hadir. Baru dalam pesta nanti kamu lihat, kamu
bukan satu-satunya perempuan."
"Mereka istri para pejabat yang sedang rapat, Mas?"
123 "Ya dan bukan. Yang masih bujangan seperti saya ini mana mungkin membawa
istri, paling-paling calon istri atau pacar."
Srintil tersenyum. "Lalu pukul berapa kita mau pulang, Mas?"
"Tergantung. Mungkin saja menjelang pagi. Atau kita menginap saja. Kamu mau,
kan" Percayalah, aku tidak akan memasuki kamarmu."
"Ya, aku percaya. Tetapi kita pulang saja. Menjelang pagi pun jadilah."
"Kita lihat bagaimana nanti. Syukur bila semuanya selesai sebelum pagi."
Hanya diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-eling ke daerah berhawa
sejuk di kaki gunung di sebelah utaranya. Bajus membelokkan mobilnya ke halaman
sebuah vila mungil yang ternyata kemudian sudah disewanya. Srintil diajaknya
masuk. Di ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman-minuman
serta buah-buahan. Srintil diberi tahu di mana dia bisa beristirahat, dan di mana
letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk mengeluarkan map dan buku
agenda. Sebuah pemutar pita kaset diambil dari kamar lain. Srintil diajari bagaimana
menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus lupa atau tidak mengerti
bahwa Srintil buta huruf.
"Selama aku mengikuti rapat di hotel seberang jalan itu kamu beristirahat dulu di
sini. Bila memerlukan sesuatu panggil saja penunggu vila di kamar belakang."
"Berapa lama, Mas?"
"Pokoknya lama. Tetapi bila sedang beristirahat aku akan kemari. Dan setiap kali
ada kesempatan aku akan menengokmu di sini."
Srintil berseri-seri dan tersenyum ketika mengantar Bajus sampai ke teras.
Dipandangnya laki-laki yang mulai mengakar di hatinya dengan perasaan lembut
yang menyapu hati. Bajus menyeberang jalan, membelok ke kiri kemudian masuk ke
halaman sebuah hotel yang besar dan megah. Ada kain rentang terpampang di teras
hotel itu, tetapi Srintil tidak mengerti tulisan apa di sana. Dan sosok Bajus
menghilang di balik taman bunga di halaman hotel.
Pukul tujuh malam Srintil melihat belasan mobil berdatangan. Hatinya mulai ragu
dan bertanya apakah benar dirinya berkelayakan muncul di tengah orang-orang
penting itu. Di dalam kamar Srintil mencari keyakinan diri pada cermin. Masih biasa
seperti yang dilihatnya saban hari. Dia sering mendengar orang berkata dirinya
cantik. Seberapa cantik" Cantik menurut orang kampung apakah juga cantik
menurut orang-orang penting yang sedang menghadiri rapat itu" Kalau ya, tak
mengapa. Tetapi kalau tidak, Srintil merasa hanya akan menjadi sasaran cemooh.
Keluar ke kamar istirahat Srintil duduk gelisah. Melihat banyak buah-buahan tetapi
dia tidak ingin makan, tidak ingin minum. Ah, tetapi buah duku boleh juga. Srintil
mengambilnya beberapa butir. Dilihatnya pesawat pemutar pita kaset dan Srintil tak
bernafsu menghidupkannya. Dia belum pernah menyentuh benda semacam itu.
124 Namun diambilnya sebuah majalah dan dibuka-bukanya. Banyak gambar perempuan
terpampang. Dan Srintil mendapat gambaran umum tentang orang cantik. Lalu
hatinya berbisik, kalau cantik itu seperti perempuan yang tergambar dalam majalah
itu, Srintil merasa tidak perlu terlalu berkecil hati.
Di ruang rapat Bajus menyibukkan dirinya sejak sidang belum dimulai, ikut
mengatur tempat duduk serta kelengkapan rapat yang lain. Dia memerlukan citra
keakraban dengan para pejabat. Sebagai pemborong kelas dua Bajus sadar betul
keakraban semacam itu amat perlu. Dalam rapat yang akan segera diselenggarakan
Bajus sesungguhnya tidak mempunyai peran resmi apa pun. Namun selama dia tidak
ingin ketinggalan dalam hal jatah pekerjaan, Bajus harus rajin datang pada rapat
seperti itu. Nanti Bajus tidak akan duduk di antara para peserta rapat. Kepentingannya adalah
bertemu dengan seorang pemborong kelas satu, seorang laki-laki berahang persegi.
Orang inilah yang akan terlibat dalam rapat dan Bajus akan meminta jatah
pekerjaan borongan kepadanya. Bajus sudah lama mengenalnya, lama sekali. Maka
Bajus sudah merasa setengah berhasil ketika melihat laki-laki yang ditunggunya
turun dari mobil. Bajus berlari mendekat, menyapa dengan gaya merendah lalu
meminta tas laki-laki itu untuk dibawakan.
"Baru tiba dari Jakarta, Pak?"
"Tidak. Aku datang siang tadi dan sudah beristirahat sebentar di Eling-eling. Sudah
banyak yang hadir?" "Sudah. Bapak termasuk yang paling akhir."
"Kebetulan, karena aku jadi tidak menunggu-nunggu. Tetapi rapat belum dimulai,
bukan?" "Memang belum, Pak. Baru pukul tujuh lebih sedikit. Saya dengar rapat akan dibuka
pukul setengah delapan."
Bajus mengantarkan si Rahang Persegi sampai ke kursinya, bertanya ini-itu, lalu
keluar ruangan dan terus melangkah ke halaman. Teringat olehnya Srintil tentu
sudah lapar. Dipanggilnya tukang satai pikul yang mangkal dekat gerbang,
disuruhnya ikut ke seberang jalan. Srintil keluar dari kamar karena mendengar orang
datang. Dijemputnya Bajus dengan senyum.
"Selesai, Mas?"
"Selesai" Baru saja hendak dimulai. Aku perlu keluar sebentar karena kamu tentu
sudah lapar. Kita makan satai ayam. Sudah kupesan."
Bajus duduk dengan kepala terkulai pada sandaran. Jarinya mengetuk-ngetuk
tangan-tangan kursi, mukanya benderang.
"Nanti, mungkin ada temanku dari Jakarta yang akan datang kemari. Nanti bila
rapat sudah usai." "Juga orang penting, Mas?"
"Ya. Kaya-raya dan orangnya baik. Kamu bisa membuktikannya sendiri nanti."
"Aku malu, Mas."
"Kamu tidak perlu malu. Sudah kukatakan orangnya baik. Kamu sudah sekian bulan
berkenalan dengan aku dan kini kamu tidak usah merasa malu kepada siapa pun."
"Siapa namanya, Mas?"
"Blengur. Pak Blengur. Mobilnya banyak tetapi kalau kemari sering naik pesawat
terbang, turun di Semarang. Ah, satainya datang. Kita makan dulu."
125 Sementara Bajus makan dengan penuh nafsu Srintil malah kehilangan selera.
Perutnya yang lapar tidak menyebabkan dia bisa menikmati enaknya satai ayam
bercampur lontong yang masih hangat. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang
tidak menentu. Kadang timbul rasa menyesal mengapa mau diajak Bajus ke tempat
yang bersuasana asing. Tetapi kadang justru merasa senang karena bersama Bajus
Srintil merasa menggenggam harapan. Dan Srintil bukan tidak menyadari betapa
mahal harapan yang sedang mengembang dalam hatinya terhadap Bajus. Mahal,
sehingga Srintil tidak bisa lain kecuali memeliharanya dengan hati-hati.
"Kalau bukan karena Pak Blengur tak akan aku pernah beberapa kali naik pesawat
terbang. Siapa tahu suatu saat nanti kita berdua diajaknya terbang lagi ke Jakarta.
Kamu ingin sesekali naik kapal udara?"
Srintil tidak siap menjawab pertanyaan asing itu. Dia hanya mengangkat muka dan
melihat Bajus yang sedang mengembalikan piring kepada tukang satai. Atau Bajus
sendiri tidak bersungguh-sungguh. Buktinya dia tidak melanjutkan kata-katanya,
bahkan pamit hendak kembali ke tempat rapat.
Maafkan, kamu kutinggal dulu. Percayalah, aku akan segera datang bila rapat
selesai." Kembali seorang diri Srintil berusaha menyingkirkan pikiran yang macam-macam.
Segalanya disederhanakan menjadi niat membuat Bajus senang. Srintil tidak ingin
membuatnya kecewa dan ingin tampil sebaik-baiknya, baik di depan Pak Blengur
atau siapa saja. Sedapat mungkin akan dijauhkannya perasaan malu dan rendah
diri. Kenuadian Srintil masuk kamar karena yakin kini dandanannya telah rusak.
Bajus duduk gelisah di ruang tamu yang paling dekat dengan pintu ruang rapat.
Rencananya sudah bulat, secepatnya mendaulat Blengur begitu laki-laki berahang
persegi itu keluar. Dia sangar khawatir terdahului oleh orang lain terutama laki-laki
yang keluar-masuk kantor hotel. Koran di tangan sudah sekian kali dibuka namun
tidak satu baris pun kalimat yang menarik perhatiannya. Kadang dibuka buku
agendanya demi meyakinkan usulan yang akan diajukan kepada Blengur masih
terselip di sana. Seorang perempuan setengah baya yang sangat ramah mendekat,
berbicara macam-macam sebelum mengutarakan maksud yang sebenarnya; apakah
Bajus mengharapkan jasa seorang gadis panggilan. Mula-mula Bajus menolak
dengan halus. Namun ketika perempuan ramaja ini bertahan dengan keuletannya
Bajus menyuruhnya menjauh dengan segera.
Ternyata rapat hanya berlangsung tidak sampai dua jam. Bajus berdiri dan
melongok ke dalam. Dilihatnya Blengur sedang berbincang sambil berdiri dengan
seorang pejabat penting yang berkantor di Eling-eling. Tidak sabar, Bajus masuk.
Dengan kesopanan seorang kacung diambilnya tas dari tangan Blengur, lalu berdiri
menunggu. Keduanya kemudian keluar.
"Kok mereka pulang, Pak?" tanya Bajus ketika melihat banyak mobil keluar
meninggalkan hotel. "Sudah tak ada acara lagi?"
"Tidak ada. Bupati tidak menghendaki ada pesta. Wah, kebetulan. Aku pun tak
menghendaki pesta. Aku hanya ingin beristirahat."
"Kita bisa ngomong-ngomong sebentar di sini, Pak?"
"Soal apa?" "Biasa, Pak. Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Bapak saya minta pekerjaan."
126 "Ah, ya. Tetapi, jus, kali ini payah. Dalam rapat tadi diputuskan aku hanya
mendapat borongan bernilai seratus juta; membangun kantor pendirian pertanian
dengan perumahan pegawainya, serta tujuh jembatan jalan kampung yang terputus
oleh saluran irigasi."
"Tanpa tender, Pak?"
"Kamu jangan sok tahu. Tendernya ya dalam rapat tadi. Tender dengan cara
kekeluargaan, cara gotong-royong. Begitulah."
"Maaf, Pak. Kalau Bapak masih percaya saya mohon pekerjaan itu Bapak serahkan
kepada saya." "Kamu memang begitu."
"Soalnya Bapak tak pantas menangani sendiri proyek sekecil ini. Itu ukuran untuk
saya, Pak." "Ya. Baiklah. Keuntungan resmi sebesar sepuluh persen kita bagi dua. Dan kamu
bisa atur agar orang-orang daerah ikut makan, tetapi tanpa mengurangi jatah kamu.
Ingat, orang-orang di daerah itu penting."
"Saya mengerti, Pak."
"Nah! "Lalu Bapak hendak beristirahat di mana malam ini?"
Blengur menatap Bajus demikian rupa sehingga terjadi komunikasi yang hanya
mereka berdua mengerti. "Kamu sudah minta pekerjaan dan akan mendapat uang lima juta. Sekarang kamu
malah bertanya di mana aku akan beristirahat. Dasar tidak tahu diri kamu ini.
Mestinya aku yang bertanya begitu kepadamu!"
"Anu, maaf, Pak," kata Bajus sambil sibuk membuka-buka buku agendanya.
"Nah, ini, Pak. Bagaimana?"
Blengur memperhatikan dua buah foto yang baru diserahkan kepadanya oleh Bajus.
Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan seakan lupa benda yang dipegangnya hanya
berdimensi dua. Perempuan dalam foto itu langsung menjebaknya dengan kesan
yang kuat. Tetapi Blengur belum juga tahu dengan pasti di manakah sisi yang paling
mengesankan hatinya. Kecantikannya tidak menonjol, tidak juga biasa. Karena
terkesan sisa kecantikan zaman bahari, kecantikan yang diam seperti cantiknya
bunga-bunga liar yang tak pernah mengerti dirinya cantik.
Atau karena foto itu dibuat sangat profesional sehingga kewajaran obyek menjadi
sebuah keluarbiasaan karena dia tidak hanya berbicara dalam figur. Ada kedalaman
jiwa yang menampakkan diri dalam totalitas wajah sehingga perempuan dalam foto
itu serta-merta menyita segenap angan-angan Blengur. Atau lagi, perempuan dalam
foto itu sesungguhnya sama sekali tidak luar biasa menurut ukuran Blengur. Apabila
dia kelihatan demikian mengesankan maka masalahnya terletak pada kondisi
psikologis Blengur sendiri. Dia yang gagal dan tidak mampu bermanis-manis di
rumah selalu berkhayal penuh romantisme erotik di tempat-tempat lain. Yang
memilih keprimitifan erotik sebagai salah satu bumbu hidup yang terpenting sambil
merendahkan nilai-nilai moral dan etika yang mengikatnya. Dialah macam laki-laki
yang selalu cenderung menganggap, setiap perempuan yang baru pertama
dilihatnya lebih cantik dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian atmosfer tempat
pelesiran dekat kota Eling-eling itu adalah suasana yang penuh kemudahan bagi
petualangan erotik. Sehingga Blengur, misalnya, datang ke sana berbekal hati yang
sudah kehilangan penilaian obyektif. Maka sesungguhnya Blengur tidak mampu lagi
mengatakan secara benar sampai di manakah kadar kecantikan perempuan dalam
foto yang sedang dipegangnya.
127 "Bagaimana, Pak?" tanya Bajus yang sudah sekian lama menanti tanggapan
Blengur. "Yah, boleh juga. Siapa namanya?"
"Namanya terdengar aneh, Pak. Srintil."
"Srin...?" "Til. Srintil. Ah, soal nama tidak sepenting sosoknya. Begitu, Pak?"
"Sudah biasa kamu bawa-bawa, ya."
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu, Pak. Aku sudah mengenalnya lebih dari lima bulan. Jadi aku sudah tahu
banyak tentang dia. Srintil berasal dari kampung yang sangat terpencil di daerah
Dawuan. Dukuh Paruk namanya."
Sementara Blengur terus menatap foto Srintil, Bajus terus memberi keterangan
panjang tentang perempuan muda dari Dukuh Paruk itu. Ketika berkata bahwa
Srintil kini kelihatan sedang berusaha keras menjadi seorang ibu rumah tangga,
Bajus mengubah nada kata-katanya dengan tekanan yang khas.
"Jadi begitu," potong Blengur. "Lalu mengapa dia mau kamu bawa kemari" Kamu
tipu dia, kan?" "Memang bisa disebut begitu, Pak. Aku telah banyak membantunya, termasuk
membantu membangun rumahnya. Jadi kukira, Srintil telah salah mengartikan
sikapku. Disangka aku akan mengawininya. Padahal..."
"Padahal kamu tidak mungkin bisa mengawininya," sela Blengur sambil tersenyum.
Dia tahu Bajus kehilangan keperkasaarmya sejak peristiwa kecelakaan di proyek
Jatiluhur beberapa tahun sebelumnya.
"Yah, begitulah, Pak. Bapak sudah tahu."
"Nah, aku akan melihatnya dulu. Di manakah dia sekarang" Di hotel ini?"
"Tidak. Di vila seberang jalan itu."
Srintil sedang bercermin untuk kesekian kalinya ketika dia mendengar suara
langkah-langkah di teras vila. Debar jantungnya tak berhasil ditolak. Namun Srintil
melangkah ke luar dan membukakan pintu. Senyum malu-malu menyambut
kedatangan Bajus yang diikuti oleh Blengur. Srintil merasa ada sepasang mata asing
menyapu ke seluruh tubuhnya. Kemudian ada tangan yang besar dan berlemak
terjulur ke hadapannya. Disambutnya tangan itu dengan segala kecanggungan.
"Ini Pak Blengur yang telah kukatakan kepadamu, Srin."
"Ya," jawab Srintil hampir tak terdengar. Blengur hanya tersenyum.
Dua laki-laki mendahului duduk dan mereka kelihatan amat santai. Terapi Srintil
baru mau duduk setelah Bajus berkali-kali menyilakannya. Dia masih tetap canggung
dan selalu menunduk karena merasa Blengur terus memperhatikannya. Bajus
hendak bangkit namun Blengur menahannya.
"Aku ingin mandi. Ada air panas di sini?"
"Wah maaf, Pak. Di sini hanya ada kamar mandi biasa."
"Siapa yang tahan mandi air biasa bila hawa begini dingin. Baik. Sementara saya
akan kembali ke hotel untuk mandi dan mengambil pakaian. Sopir juga belum saya
urus." "Tetapi Bapak nanti tidur di sini, kan" Supaya saya bisa menyiapkan kamarnya."
"Ya." Blengur keluar dan Bajus menarik napas panjang. Bukan napas lega karena Bajus
merasa harus menyampaikan sesuatu yang teramat penting kepada Srintil.
128 Kesantaian secara lamban dan pasti mulai berubah menjadi serius. Bajus gelisah.
Srintil menangkap secara samar perubahan pada sikap Bajus.
"Srin, dengarlah. Aku ingin berbicara suatu hal yang penting kepadamu. Penting
sekali karena menyangkut penghidupanku."
"sampean mau bicara apa, Mas?"
"Begini. Sebenarnya aku merasa malu bila harus mengatakan bahwa telah banyak
kebaikan kuberikan kepadamu selama ini. Semuanya itu kuberikan kepadamu
dengan ikhlas." "Ya, Mas. Aku merasa berutang budi kepadamu. Karena itu aku ingin membalas
kebaikan-kebaikanmu. Tetapi Mas belum sekali pun berkata harus bagaimanakah
aku ini. Padahal, Mas, aku seorang perempuan."
Bibir Srintil masih bergerak-gerak hingga beberapa saat kemudian, namun suaranya
tidak lagi terdengar. Bajus tersandar ke belakang. Bukan karena dia melihat Srintil
mulai menangis melainkan dia tahu persis makna yang tersirat di balik ucapan
perempuan di hadapannya. Dengan bahasa air mata dan suasana Srintil minta diberi
kesempatan membalas budi yang telah diterimanya dengan cara yang disukai oleh
perempuan; penyerahan kesetiaan yang penuh melalui perkawinan. Tetapi Bajus
sadar permintaan demikian sampai kapan pun mustahil dikabulkannya.
"Begini saja, Srin," kata Bajus dengan suara mulai
memberat. "Bila benar kamu ingin membalas budi maka ada cara yang amat mudah
kamu laksanakan. Mudah sekali. Aku akan lebih dari senang bila permintam ini kamu
laksanakan." "Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa" Sekiranya selama ini Mas menutup-nutupi
kenyataan bahwa sebenarnya Mas sudah punya istri, maka aku mau menjadi istri
kedua. Dan biarlah aku menjadi pelayan istri pertama serta anak-anak Mas."
"Oh, tidak begitu. Aku memang belum mempunyai istri. Jangan berangan tentang
perkara yang sulit-sulit. Permintaanku amat bersahaja."
129 "Apa?" Bajus menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepala seakan sedang mengibas
pergi lumpur yang menodai jidatnya.
"Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah, dia
orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya berapa pun harganya
akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia,
Srin." Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan dadanya
turun-naik dengan cepat. Kedua tangannya bergetar.
"Hanya itu permintaanku, Srin. Supaya tidak ada pikiran macam-macam anggaplah
Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau malah tidak perlu karena kenyataannya dia
dalam semua hal lebih baik daripada aku. Kamu mau, bukan?"
"Tidak!" "Tunggu dulu..."
"Tidak. Tidak, tidak!"
"Srintil!" "Tidak!" Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia
menjatuhkan diri ke kasur dan merasa terempas ke balik tabir antah-berantah.
Dalam sekejap dunianya yang penuh bunga bersemi berubah menjadi padang
kerontang dan sangat gersang. "Oalah, Gusti Pengeran, oalah, Biyung, kaniaya
temen awakku..." 130 Tangis dalam ratapan panjang terdengar keras oleh Bajus yang kini duduk
gelagapan. Mengapa demikian jauh meleset perhitungannya. Bila Srintil menolak
keinginan Tamir maka itu bisa dimengerti. Tamir hanya seorang buruh murahan
yang hanya bermodal semangat badak. Tetapi Blengur" Dia telah ditampik oleh
seorang bekas ronggeng dan sundal.
Bajus terus tergagap. Sudah terbayang olehnya bila dia gagal menyenangkan hati
Blengur maka lima juta bakal lepas dari tangan. Bahkan buat selanjutnya dia
mungkin tidak akan mendapat pekerjaan lagi. Segalanya harus kembali dimulai dari
titik nol. Oh, tidak bisa jadi. Blengur tidak boleh dikecewakan bahkan dengan
santapan yang sudah berada tepat di ujung lidah. Dia bisa murka. Sekali lagi Bajus
hendak membujuk Srintil. Kali ini bulat tekadnya Srintil harus menurut.
Hati-hati dibukanya pintu kamar Srintil. Dia masih tersedu hingga bagian
punggungnya berguncang. Bajus duduk di pinggir tempat tidur, suaranya seperti
ayah kepada anak yang sedang merajuk.
"Srin, kuharap kamu mau mengerti. Kasihani aku dan tolonglah aku sekali ini saja.
Bagaimana nanti bila kamu tidak man membantuku" Mau ya, Srin?"
Srintil menggeliat bangkit. Dipandangnya Bajus sekilas dengan tatapan luar biasa
dingin. Turun dari tempat tidur. Dirapikannya rambut yang tergerai di bagian depan.
Diambilnya tas tangan. "Tunggu. Mau ke mana kamu?"
Tak sepatah kata pun menjawab Srintil melangkah hendak ke luar. Bajus bertindak
menangkap tangan Srintil yang bersikeras hendak ke luar. Buat kali pertama Bajus
berlaku kasar, memaksa Srintil kembali duduk di tempat tidur.
"Kamu tetap menolak" Tidak bisa! Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku
telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu!"
Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang
pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang
131 didengarnya. Tiba-tiba Bajus menghentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu.
Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat,
"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut
akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa
melakukannya?" Pintu terbanting dan dikunci dari luar.
Mengapa orang terlanjur percaya bahwa pembunuhan ialah menghentikan fungsi
ragawi sebagian atau keseluruhan dengan satu dan lain senjata. Mengapa orang
terlanjur beranggapan kekejaman ialah tumpahnya darah dan lukanya bagian raga.
Dengan demikian Bajus misalnya gampang sekali mengelak bila ada tuduhan dia
baru saja melakukan kekejaman luar biasa sekaligus pembunuhan. Dalam dua-tiga
detik melalui beberapa kata dia telah berhasil sempurna membuat seorang manusia
kehilangan kemanusiaannya, bahkan tanpa Bajus sendiri melihatnya.
Satu detik setelah daun pintu terbanting mulailah berlangsung proses lenyapnya
akal budi dari totalitas sebentuk pribadi. Godam pertama mengguncangkan tiang
kesadaran yang menopang akal budi Srintil, yakni ketika dia mendapatkan
kenyataan citanya menjadi istri Bajus adalah sebuah pundi-pundi hampa. Srintil
masih sempat merasakan perih dan pahitnya guncangan ini. Deraan kedua membuat
tiang kesadarannya miring, tidak kuat menahan beban perintah harus melakukan
perjinahan; sejarah lamanya sendiri yang sudah ingin ditinggalkan dengan suatu
tekad membaja. Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam
mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah
tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia.
Sosok itu tentu masih bernama Srintil atau ronggeng Dukuh Paruk. Tentu pula dia
masih akan disebut sebagai manusia. Namun faktor yang membedakan antara
dirinya dengan segala jenis satwa - akal budi dan kesadarannya - sudah gaib sedetik
yang lalu. Srintil tidak tahu lagi apa pun dari segi keberadaan dirinya. Dia tidak tahu
lagi dirinya yang kini tinggal menjadi monumen seonggok benda organik. Posisi
tubuh serta semua anggota badannya masih melukiskan orang terkejut, sama
seperti ketika Bajus membanting daun pintu. Wajahnya mati, mati. Matanya tidak
berkedip, mulutnya melongo. Roh kemanusiaan tidak tampak lagi sedikit pun.
Hanya beberapa langkah di luar kamar Bajus duduk gelisah. Pikirannya sama sekali
lepas dari keadaan di dalam kamar. Dia tidak tahu ada kiamat kecil baru saja
berlangsung tepat di balik tembok di belakangnya. Yang menggelisahkan Bajus
adalah kenyataan bagaimanapun dia harus menghadapi Blengur. Sungguh tidak
132 terbayangkan olehnya apa yang bakal
kesenangan kepada orang Jakarta itu.
terjadi bila dia gagal menyuguhkan Ada orang terlihat berjalan memasuki halaman vila. Sesungguhnya Bajus tidak perlu
panik sebab dia bisa memastikan orang yang datang bukan Blengur. Tubuhnya kecil
dan pendek. Sopirnya. Tetapi tak urung Bajus kelihatan gugup ketika menjemput
sopir itu di depan pintu.
"Pak Bajus diminta Bapak datang ke hotel," kata sopir itu.
"Hanya aku?" "Kata Bapak, ya."
"Baik. Aku akan segera ke sana."
Bajus masuk kembali hanya untuk meyakinkan bahwa kamar Srintil benar-benar
terkunci dari luar. Kemudian dia keluar menyusul sopir Blengur. "Ah, mungkin lebih
baik kukatakan kepada Pak Blengur, tiba-tiba Srintil sakit perut. Ah, tidak. Lebih safe
kukatakan Srintil kedatangan bulan hanya sepuluh menit yang lalu."
Dengan penemuan yang gila Bajus merasa lebih tenang berjalan ke kamar nomor
tiga di mana Blengur berada. Pak Blengur menyewa kamar hotel" Dia tidak jadi
bermalam di vila, dan Srintil harus diantar ke kamarnya" Tetapi Srintil sedang
kedatangan bulan. "Masuklah, Jus," ujar Blengur setelah mendengar pintu diketuk.
"Duduklah," sambungnya.
Bajus tidak menyangka akan berhadapan dengan kesantaian. Di sana Blengur
duduk merokok dan tenang. Sangat tenang. Tidak tergambar kehausan berahi.
Matanya yang terkenal berwarna petualangan kelihatan teduh.
133 "Jus, aku membuktikan sendiri katamu memang benar."
"Kata yang mana, Pak?"
"Srintil itu." "Cantik dan lugu, kan?"
"Bukan itu maksudku. Aku terkesan oleh citra pada wajahnya. Wajah perempuan
jajanan yang sangat berhasrat menjadi ibu rumah tangga. Jus!"
"Ya, Pak." "Memang kamu tahu siapa aku. Aku yang senang berpetualang. Tetapi entahlah.
Aku tidak tega memakai Srintil."
"Pak?" "Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah
tangga. Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi obyek
petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri
dari dunia lamanya."
"Pak, lalu?" "Ya. Antar dia pulang ke rumahnya malam ini juga. Ini uang buat Srintil dan
katakan sebagai hadiah dari aku."
134 Mata Bajus menatap sebuah amplop menggembung yang disodorkan oleh Blengur.
Tangannya bergerak gamang.
"Ya, Pak, ya," kata Bajus gugup. Amplop itu dimasukkan ke saku jaketnya. "Tetapi,
Pak." "Apa?" "Proyek. Ya, bagaimana dengan proyek itu?"
Blengur tersenyum. "Dasar recehan, kamu. Tentu saja proyek itu tetap untukmu. Sekarang sana keluar.
Antar Srintil pulang."
Seperti kembang ilalang tertiup angin kemarau, Bajus keluar dari kamar Blengur
dan berjalan cepat kembali ke vila di seberang jalan. Hatinya lega dan benderang.
Segala kekusutan yang mendadak menjerat tiba-tiba pula lenyap dengan cara yang
tak disangka dan amat mudah.
"Srin, semuanya sudah selesai. Kalau kamu ingin pulang mari saya antar sekarang
juga," kata Bajus sambil memutar kunci kamar.
"Srin, ini uang banyak sekali dari Pak Blengur buat kamu. Uang hadiah. Bukan
uang..." Sunyi. Mencekam. Bulu kuduk merinding. Adakalanya orang menjadi sangat takut
bila tiba-tiba berhadapan dengan mayat. Dan akan sekian kali lebih takut bila yang
di depan mata adalah mayat hidup. Srintil terlihat masih dalam posisi yang ganjil.
Wajah mati. Mata tak berkedip dan mulut melongo. Bajus terhenyak ke belakang
dan amplop yang menggembung jatuh ke lantai. Gagap dia. Sulit baginya menerima
kenyataan bahwa kemanusiaan kadang tidak lebih tebal dari kulit bawang. Srintil
beberapa menit yang lalu masih lengkap dengan pesona seorang perempuan muda
yang cantik. Pesona yang bahkan sesungguhnya menembus juga jantung Bajus yang
impoten. Kini tak ada lagi pesona. Tidak juga kecantikan. Kemanusiaannya tinggal
135 tersisa berupa sosok dan nama. Selebihnya adalah citra hewani. Citra makhluk tanpa
akal budi. Bajus surut. Dan terus surut hingga punggungnya merapat ke tembok. Semenit dua
menit Bajus masih belum berhasil menata perasaan dengan memahami kenyataan
yang terpampang tepat di depan mata. Dan sesaat ketegangan akhirnya mereda.
Bajus menghubungkan keadaan Srintil sebelum dan sesudah dia terkunci di kamar.
Bajus mulai merasa dirinyalah penyebab perubahan drastis pada diri Srintil.
Kesadaran Bajus perlahan-lahan pulih. Pundaknya mengendur dan napasnya
normal. Matanya masih menatap, boneka hidup yang bernapas pendek-pendek.
Kemudian Bajus melangkah maju.
"Srin, kenapa kamu?"
Tak ada tanggapan, bahkan dalam sasmita yang paling samar sekalipun.
Dipungutnya amplop yang jatuh lalu disodorkannya ke tangan Srintil yang
mengambang di udara. Tetapi tangan itu tidak semili pun bergeming. Bajus
membungkuk ingin melihat mata Srintil lebih jelas. Di sana hanya ada lingkaran
hitam tanpa ekspresi rasa dan cita, sebentuk kematian dalam hidup. Kebimbangan
kembali menyergap. Bajus keluar hendak mencari seseorang, barangkali dia bisa
membantu mengurangi kebingungannya. Mungkin Blengur. Namun langkahnya
terhenti di teras vila. Bajus masuk lagi, berjalan tak menentu. Tangannya merogoh
saku celana dan terpegang kunci kontak mobil. Ya. Kini Bajus tahu secara pasti apa
yang sebaiknya dia lakukan, mengantar Srintil pulang ke Dukuh Paruk saat itu juga.
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Srin, maafkan aku. Maafkan aku, ya! Sekarang mari kita pulang."
Srintil menoleh dengan gerakan linglung. Dan bukan mata Bajus yang ditolehnya
melainkan tubuh laki-laki itu. Matanya tak bergulir, seakan sudah tersekap mati
dalam kelopaknya. Dan meski terasa sebagai upaya untung-untungan Bajus
membimbing tangan kiri Srintil. Hatinya lega ketika ternyata Srintil menurut. Srintil
berjalan seperti tidak melihat apa pun meski kedua matanya terbuka lebar dan tidak
berkedip. Bajus merasa seperti sedang menuntun orang setengah lumpuh dan buta.***
Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari bersama temanteman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu. Dunia kecil berbumi
batang pisang bermatahari lampu blencongtelah berjasa besar meletakkan dasardasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini.Para dalang telah menanamkan
pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai
kebenaran sejati. Nilai-nilai itu demikian mapan dalam jiwa sehingga bila sedang
menonton wayang kulit aku tidak pernah merasa lain kecuali sebagai putra Amarta.
Aku akan sangat kecewa bila dalam peperangan di atas batang pisang itu negara
Amarta kalah. Dan aku pernah menangis ketika menonton wayang dengan cerita
Abimanyu, seorang prajurit putra Amarta, gugur dengan tubuh penuh panah.
Nilai yang kuperoleh dari dunia wayang itu bisa saja masih mengendap dalam jiwa
ketika aku memasuki dinas ketentaraan. Aku, Rasus, mungkin saja kadang secara
tidak sadar menganggap diri ini adalah Gatotkaca atau Bima, dua prajurit dan kstaria
Amarta yang perkasa. Kedua tokoh itu sangat kukagumi; Gatotkaca suka mencopot
kepala musuh dari badan hanya dengan jemarinya, Bima suka menginjak lawannya
hingga luluh. Musuh-musuh itu adalah orang Astina atau negeri angkara murka
136 lainnya. Prajurit yang gagah adalah mereka yang seperkasa Gatotkaca arau Bima,
demikian keyakinanku. Anehnya jiwaku amat tertekan ketika suatu ketika dulu, entah mengapa, aku
membunuh dua orang perampok yang memasuki Dukuh Paruk. Peristiwa yang justru
memberi jalan kepadaku memasuki dinas ketentaraan itu takkan terlupakan. Dan
aku tidak lupa juga bahwa waktu itu aku telah bersumpah tidak akan lagi
menghentikan hak hidup seseorang, baik dia jahat atau bukan.
Boleh jadi karena aku telah bersumpah demikian maka sesungguhnya aku sering
bergelut dengan jiwaku sendiri ketika bertugas di suatu tempat di sudut tenggara
Jawa Tengah sesaat sesudah terjadi geger komunis 1965. Gatotkaca Rasus sering
harus memberondongkan Karl Gustaf ke kubu-kubu yang mestinya berisi manusia;
manusia yang sangat mungkin seperti diriku juga, merasa diri sebagai Gatotkaca.
Untung, dalam hal pemberondongan semacam itu aku sekali pun tidak pernah
melihat langsung manusia yang terhuyung jatuh akibat peluru yang kutembakkan.
Namun suatu kali aku benar-benar harus mengamalkan doktrin dasar seorang
tentara. Pada saat yang genting hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh.
Aku memilih yang pertama. Korbanku seorang anak muda yang sudah mengayun
parang dari belakang. Dia yang rubuh karena sangkurku lebih cepat daripada
parangnya. Ya Tuhan! Kulihat dia megap-megap, matanya terbeliak-beliak sebelum
mati karena dadanya robek oleh sangkurku. Lepas dari motivasi-motivasi politik
yang menyebabkan dia menggabungkan diri dengan kaum pemberontak maka
selebihnya dia hanyalah manusia seperti aku.
Dan aku telah membunuhnya. Jadi aku telah melakukan tiga kali pembunuhan
langsung. Demi Tuhan meski aku seorang tentara maka aku berdoa kiranya Tuhan
tidak lagi membawaku ke suatu titik dalam hidup di mana aku harus menambah
korban tanganku sendiri. Tentulah sikap demikian bisa disebut sikap pengecut,
terutama di kalangan tentara. Namun aku sungguh tidak mau dituduh begitu saja.
Sebab kengerianku terhadap pembunuhan bukan perasaan yang kubangun dalam
alam sadar. Dia muncul sebagai bagian fitrah totalitas hidupku. Dengan demikian
yang benar adalah kesimpulan bahwa sebenarnya aku tidak cocok menjadi prajurit.
Atau. Selama sekian tahun menjadi tentara aku adalah Gatotkaca yang harus
berhadapan dengan kenyataan yang banyak menyimpang dari konsep keprajuritan
yang kuperoleh dari cerita wayang. Gatotkaca itu memelintir kemudian mencopot
kepala musuhnya yang berasal dari bangsa lain, negara lain. Sedangkan yang harus
kuhadapi ternyata adalah orang-orang yang bagaimanapun juga adalah saudarasaudaraku. Perampok-perampok yang kubunuh di Dukuh Paruk itu. Anak muda yang
kurobek dadanya dengan sangkur itu. Dan, ya Tuhan. Di Kalimantan Barat ini aku
membunuh manusia lagi. Bahkan aku sempat bercakap-cakap dengan korbanku
sebelum dia meninggal. Dalam suatu penghadangan serombongan pemberontak masuk perangkap.
Sebagian besar mereka jatuh pada berondongan pertama. Beberapa orang lolos.
Dan yang seorang lari bersembunyi ke samping hanya beberapa meter dari moncong
bedilku. Dia ingin membalas memberondong ke posisi mama pasukanku. Tetapi dia
jatuh oleh tembakanku. Ketika suasana mereda kudekati dia, laki-laki yang ternyata
berambut panjang. Belum mati, matanya menatapku. Mulutnya bergerak-gerak, lalu
kudengar suaranya yang parau. Yang membuatku terperanjat adalah kenyataan
orang yang baru kurobohkan itu berbicara dalam bahasa ibuku.
137 "Mas. sampean dari Jawa, kan?" katanya megap-megap.
"Ya. Mengapa?" "Aku akan mati di sini. Tolong sampaikan berita kematianku kepada orang tuaku di
Jawa." Dia menyebut satu nama, satu tempat yang berada di wilayah kabupaten Elingeling.
Sesuatu yang bagiku terasa lebih besar adalah rusaknya konsep keprajuritan dalam
jiwaku; lambat-laun aleu tidak merasa menjadi Gatotkaca lagi. Mungkin salahnya
para dalang mengapa mereka belum sekali pun menampilkan cerita di mana
Gatotkaca membunuh prajurit Amarta lainnya yang membelot dan memberontak.
Ah, ternyata dalam hal kelemahan hati menghadapi darah dan pembunuhan aku
tidak sendiri.Ada seorang teman yang menjadi gila oleh sebuah kejadian yang amat
mencekam. Dia mendapat tugas mengeksekusi pemberontak yang tertangkap hidup.
Semuanya berjalan biasa dan tertib sampai si pemberontak ditembak dan jasadnya
dimasukkan ke liang kubur. Pada saat itulah jasad yang semula dikira sudah tidak
bernyawa melompat bangkit dan menerkam temanku. Temanku dapat
melumpuhkannya karena dia hanya bergumul dengan orang yang sedang meregang
nyawa. Tetapi jiwa temanku kalah. Kesadarannya hilang dan sekarang dia
dikerangkeng sebab berbahaya.
Apabila aku mulai berpikir bahwa diriku tidak pantas menjadi tentara maka
sebabnya bukan hanya perkara temanku yang jadi miring itu. Bukan pula hanya
karena aku lemah menghadapi darah dan pembunuhan. Lebih dari itu; Dukuh Paruk
sama sekali tidak memberi bekal kejiwaan kepadaku untuk berbuat sesuatu melalui
penggunaan senjata. Dukuh Paruk hanya mengajariku tentang keselarasan dan
penyelarasan yang bersumber dari kesantunan. Boleh jadi inilah tema pesan terakhir
moyangku Ki Secamenggala. Dia memang konon bromocorah. Namun pada akhir
hayatnya dia menyadari bahwa keselarasan dan penyelarasan diri dengan selera
alam adalah lebih menentramkan jiwa daripada segala kekerasan. Bila benar
demikian maka bagaimanapun juga darahku adalah darah Dukuh Paruk sejati.
Dengan demikian maka keprajuritan bukanlah tempat yang cocok bagiku.
Atau entahlah. Yang jelas aku menjadi gembira bukan main ketika mulai terdengar
selentingan bahwa batalion kami akan ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke Pulau
Jawa. Aku melihat bagaimana teman-teman bergembira.Ada yang menciumi foto
anak dan istrinya atau pacarnya. Ada yang bersorak-sorai karena merasa akan
segera berkumpul kembali dengan regu sepak bolanya. Hanya ada seorang yang
linglung yakni temanku yang miring itu. Juga aku sendiri yang meski gembira tidak
bisa lain kecuali merenung, karena aku tidak punya istri atau anak, bahkan pacar.
Aku hanya mempunyai Dukuh Paruk yang kuharap masih setia memangku sebuah
gubuk doyong di mana aku ditumbuhkan sebagai kecambah manusia.
Sementara teman-teman mulai mengumpulkan kenang-kenangan untuk dibawa
pulang ke Jawa aku lebih banyak tinggal di markas. Ada seorang teman berkata
dengan penuh gembira bahwa dia telah memperoleh mandau dan perisai suku Dayak
Iban. Teman lain memperoleh kera hantu, seekor binatang yang sangat
menakjubkan. Badannya kecil, sebesar celurut busuk dan matanya bulat sungguh
tidak sebanding dengan ukuran badannya.
Lalu mengapa Dukuh Paruk yang makin tua dan kumuh kini makin terasa nyaring
memanggilku pulang" Mengapa" Kadang aku menuduh diriku sendiri bersikap
terlampau sentimental, terutama terhadap gubuk lapuk yang mungkin kini sudah
rubuh itu. Atau siapa saja akan sangat mudah mengatakan sebenarnya aku tak
mampu melupakan Dukuh Paruk karena masih ada manusia perempuan yang
bernama Srintil disana . Atau lagi, jasadku memang saripati tanah Dukuh Paruk.
138 Tidak mengherankan bila aku selalu ingin kembali kepada ibuku. Jawaban itu secara
sendiri-sendiri atau gabungan ketiga-tiganya kuakui kebenarannya. Namun aku
sungguh merasa belum puas. Masih saja tersisa pertanyaan mengapa aku selalu
teringat Dukuh Paruk"
Lama sekali aku mengembara dalam alam permenungan sebelum akhirnya aku
memperoleh jawaban yang memadai. Jawaban itu datang bersamaan dengan
munculnya kesadaran bahwa seiauh ini aku telah keliru bersikap terhadap Dukuh
Paruk. Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya lelap
dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah. Aku telah
sekian lama membiarkan kumbang tahi beterbangan bebas, membiarkan koreng
merayapi kaki dan tangan anak-anak sedarah dan membiarkan mereka puas makan
singkong. Aku alpa membiarkan tanah airku yang kecil buta dan pekak terhadap
kasih sayang Ilahi, kasih sayang sejati yang menjadi motivasi dasar keterberadaan
Dukuh Paruk bersama segenap isinya. Semula aku berkeyakinan sikapku terhadap
Dukuh Paruk sudah benar; membiarkan tanah airku hidup seperti apa adanya adalah
sama berharga dengan membiarkan lumut atau bunga bangkai tumbuh dalam
kebebasannya. Atau membiarkan katak berjuang antara hidup dan mati dalam mulut
ular. Atau bersikap toleran terhadap cerpelai yang sekali-sekali mencuri anak ayam
agar kehidupan jenisnya selamat dari kepunahan.
Demi Seniman Agung yang menciptakan Dukuh Paruk, semestinya aku tidak
mempersamakan tanah airku yang kecil itu hanya sekadar dengan lumut atau
cerpelai. Di sana ada kemanusiaan, maka mestinya ada juga akal budi dan nurani.
Namun akulah yang menjadi saksi pertama bahwa kemanusiaan, akal budi, dan
nurani di tanah airku yang kecil hanya berkembang sampai ke taraf primitif. Dan
apabila benar aku mencintai Dukuh Paruk, mengapa aku berdiam diri dan
membiarkan orang-orang sepuak tumbuh liar dengan segala akibatnya berupa
kekalahan-kekalahan hidup" Membiarkan mereka ternista oleh saringan alam"
Dulu aku demikian yakin membiarkan Dukuh Paruk apa adanya adalah arif.
Sekarang dengan kesadaranku sendiri pikiranku berbalik; membiarkan Dukuh Paruk
tetap cabul, kere, dan dungu adalah bertentangan dengan misi utama kemanusiaan
itu sendiri. Di sana adalah orang-orang sepuak yang berjumlah tidak lebih dari tujuh
puluh kepala. Menggembalakan mereka mestilah bukan suatu pekerjaan yang
terlampau sulit. Bahkan bagiku permasalahannya demikian mudah bila dibandingkan
dengan tugas keprajuritan yang sering kali harus berhadapan dengan darah yang
tumpah. Dan yang paling mendasar dari segalanya; bila Dukuh Paruk memang harus
diangkat dari lumpur pelimbahan maka pada siapakah tanggung jawab tugas
semacam itu" Aku tidak ingin berkata bahwa akulah pihak pertama yang harus mengemban
tanggung jawab itu. Pihak pertama itu mestilah para pemangku kekuasaan resmi.
Namun aku harus menyadari, wawasan kekuasaan pada taraf nasional atau regional
nyatanya tidaklah mesti menukik dan rinci sampai ke masalah pedukuhan kecil
seperti Dukuh Paruk. Sementara itu wawasan kekuasaan desa demikian payah
sehingga lurah Pecikalan misalnya hanya merasa malu karena dalam wilayah
kekuasaannya ada pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Sepanjang yang teringat
sekali pun aku belum pernah menyaksikan mereka berbuat sesuatu yang nyata bagi
perbaikan tanah airku yang kecil itu.
139 Dalam keadaan demikian aku memang merasa ada tangan menuding kepadaku.
Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi
pemanusiaan Dukuh Paruk. Ini sebuah pekerjaan yang menyenangkan karena akan
kulakukan di atas pangkuan ibu kandungku. Aku akan sangat senang melakukannya
tanpa mengingat di sana ada gubuk reyot bekas sarangku, tanpa mengingat adanya
Srintil, bahkan tanpa menghubung-hubungkannya dengan semangat patriotik.
Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. Hidup pribadiku tentulah
sangat kecil bila dibandingkan dengan besar dan luasnya totalitas kehidupan. Namun
dalam kekecilan hidupku aku merasa telah menemukan sebuah makna. Memang
tidak gemerlap. Tetapi dia akan sangat berharga bila suatu ketika diriku sendiri
bertanya, apakah yang sudah kuperbuat dalam hidupku yang bersahaja ini.
Mengajak Dukuh Paruk menyelaraskan diri dengan selera Ilahi adalah mengajak
orang-orang di sana membersihkan diri dari koreng, dari ciu, dari omong cabul, dan
dari kesewenangan berahi. Dan yang terpenting, memperkenalkan kepada mereka
siapakah Penguasa Sejati kepada siapa mereka harus bertata krama sebaik-baiknya.
Mereka harus bisa membaca huruf dan membaca alam. Mereka harus bisa
menggunakan pikir selain rasa. Dan mereka harus percaya bahwa kemelaratan sama
sekali tidak bisa menjadi nilai kebanggaan.
Anganku terus melambung sampai akhirnya terbentur pada kenyataan yang pahit.
Bila aku ingin menjadi gembala yang baik, maka aku harus tinggal di tengah
mereka. Dan aku harus pula membawa bekal. Ini berarti aku harus melepaskan diri
dari dinas ketentaraan yang sekaligus aku kehilangan sumber penghasilan. Padahal
di Dukuh Paruk aku tak punya apa-apa lagi kecuali sebuah sarang tua dengan
beberapa jengkal tanah di bawahnya. Sulit. Bagaimana mungkin aku bisa berbuat
sesuatu yang berarti bagi tanah airku yang kecil bila perutku sendiri kemudian
menjadi lapar" Atau aku harus menunda rencana sampai usiaku di atas empat puluh. Pada saat itu
aku tidak lagi menjadi anggota pasukan tempur aktif dan aku boleh mengajukan
permohonan untuk berdinas di sebuah Komando Rayon Militer yang dulu bernama
Puterpra. Pada setiap kecamatan terdapat komando ini. Dan tentu saja aku ingin
menjadi anggota Koramil Dawuan. Ini pun kalau bisa. Lagi pula usia di atas empat
puluh baru akan menjelang lebih dari dua belas tahun yang akan datang.
Sampai aku pulang kembali ke Jawa ternyata pikiranku masih terombang-ambing.
Pasukanku diberi istirahat secara bergilir dan aku sengaja memilih giliran yang paling
akhir. Biarlah teman-teman lebih dulu melepas rindu kepada istri dan anak-anak
mereka. Atau kecintaan mereka. Aku hanya mempunyai Dukuh Paruk dan kukira dia
sabar menunggu sampai teman-temanku pulang kembali ke markas. Dan aku tidak
segera berangkat ke Dukuh Paruk manakala akhirnya giliran cutiku tiba.
140 Mungkin karena aku ingin melihat Dawuan kini dengan irigasinya yang baru.
Mungkin juga karena aku ingin melihat Srintil; bagaimanakah hubungannya yang
dulu kuketahui dengan orang proyek itu. Yang jelas bukan karena aku ingin segera
melakukan gagasan baru apa pun buat tanah airku yang kecil ketika pada hari cuti
yang ketiga aku pulang ke sana. Tiba di Dawuan sudah pukul sebelas malam karena
aku mampir nonton film di kota Eling-eling. Ada niat hendak pinjam sepeda kepada
Sersan Pujo di Koramil Dawuan. Tetapi urung karena aku sungguh merasa tidak
mempunyai alasan buat tergesa-gesa sampai ke Dukuh Paruk.
Malam gelap pekat dan langit hanya memperlihatkan kerlipan bintang-bintang.
Tetapi tanah yang kuinjak sedikit melumpur, mungkin habis hujan tadi siang. Sepi
sekali. Warung-warung yang buka hingga jauh malam karena ingin melayani para
pekerja proyek yang lembur, kini sudah tiada. Aku tidak melihat seorang pun di jalan
kecuali para peronda di gardu jaga. Dan suasana makin lengang ketika aku mulai
menapaki pematang panjang yang lurus menuju Dukuh Paruk.
Aku hanya berteman suara langkah kaki serta lampu senter kecil di tangan kiri. Ya,
sudah kudengar gemercik air di saluran-saluran kuarter pertanda bendungan dan
saluran pengairan sudah bekerja. Lalu samar-samar mulai kudengar suara; apa"
Tembang ronggeng" Aku maju beberapa langkah lalu berhenti memasang telinga.
Suara itu jelas datang dari dukuhku yang kini sudah kelihatan remangnya. Tidak
salah lagi. Itu laguEling-eling Banyumasan dengan parikan khas.
Dhongkel gelang daning bung alang-alang
Wis sakjege wong lanang gedhe gorohe
Lisus kali kedhung jero banyu mili
Meneng soten atine bolar-baleran
Wakul kayu cepone wadhah pengaron
Kapanane, kapanane ketemu padha dhewekan
Oh, Dukuh Paruk. Meski ada perubahan tetapi aku tahu betul milik siapakah suara
itu. Oh, tanah airku yang kecil. Masih jugakah engkau dalam kekumuhan karena
engkau terlena oleh tembang berahi" Dan engkau, Srintil. Tak ada hak perorangan
buat melarangmu tetap meronggeng. Tidak ada. Aku pun tidak. Aku hanya ingin
bertanya dengan amat merendah, belum cukupkah kegetiran yang kauperoleh
selama meniti garis hidup sebagai ronggeng"
Kita sama-sama anak kandung Dukuh Paruk dan kita sama-sama mencintainya
karena sesungguhnya tidak ada ibu yang jahat. Tetapi ibu kita memang bodoh sejak
semula. Dia tidak mengerti semua hal yang baik atau yang buruk bagi anakanaknya. Srintil, kamu tidak harus memenuhi semua permintaan Dukuh Paruk!
141 Aku bergerak kembali dengan kekecewaan yang mulai mengembang. Sementara itu
Srintil terus berlagu. Kini terdengar dia menyuarakan lagu jenaka.
Klinthang-klinthung pasar kewan kidul gunung
Tipar lor Sugihan, Jatisalu Pasar Manis
Terus ngetan anjog maring Pesanggrahan
Klinthang-klinthung ana mantri mikul calung
Mampir gubug randha, urut senthong dilongoki
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mbok menawa Nini Randha nggodhog wedang.
Lalu terdengar Srintil terbahak-bahak. Aku sendiri jadi terkejut karena kemudian
aku sadar hari hampir menjelang tengah malam. Ketika malam demikian lengang
Srintil bertembang dan terbahak seorang diri" Kupercepat langkah langsung ke arah
rumah Srintil. Di halaman aku berdiri tercengang melihat rumah itu sudah berubah,
besar dan berdinding tembok. Srintil kudengar masih tertawatawa. Tawa yang aneh.
"Kula nuwun, kula nuwun!" seruku sambil mengetuk pintu.
"Sinten?" Kudengar Nyai Sakarya menyahut.
"Aku, Nyai. Rasus."
"Gusti, Cucuku Wong Bagus!"
Aku menerobos masuk pada detik pertama pintu terbuka. Kulihat Nyai Sakarya
berdiri menggigil. Wajahnya pasi. Matanya berkaca dan mulutnya komat-kamit.
"Oalah, Cucuku Rasus. Mengapa baru sekarang kamu pulang?"
"Ada apa, Nyai?"
Nyai Sakarya hanya menunjuk ke pintu kamar depan yang terkunci dengan palang
kayu dari luar. Nuraniku segera berkata Srintil ada di dalam. Kunci kudobrak tetapi
kuat bukan main. Kutarik pisau belatiku buat meretas temali sebesar jari. Putus.
Palang kayu kutarik. Kamar terbuka dan bau najis langsung menerpa hidungku.
Yang kulihat di sana adalah manusia yang hampir semenjak bayi kukenal. Yang
seperti demikian adanya dia pernah mempunyai makna amat penting dalam
kehidupanku. Yang suatu kali dalam masa yang panjang dia kuanggap sebagai
jelmaan Emak. Emak yang melahirkan diriku.
Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang tertangkap oleh
mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian
kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek.
Srintil yang duduk di atas sesuatu, mungkin kotorannya sendiri. Srintil yang hanya
menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam
kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh
Paruk itu. Aku tak sanggup berbuat sesuatu bahkan untuk sekadar membuka mulut. Bukan
hanya sekali aku mengalami keguncangan jiwa. Atau katakan, karena aku memang
lemah maka hidupku jadi penuh keguncangan. Namun keguncangan kali ini jauh
lebih mengerikan daripada keguncangan ketika aku menyaksikan seseorang yang
sedang meregang nyawa dengan tubuh bersimbah darah. Srintil tidak bisa dikatakan
mengalami apa pun kecuali penjungkirbalikan derajat manusia menjadi derajat
binatang. Ini cukup untuk kukatakan bahwa yang terjadi atas dirinya seribu kali lebih
hebat daripada kematian karena kematian itu sendiri adalah anak kandung
kehidupan kemanusiaan. 142 Ada tangan dengan halus menuntunku ke luar. Boleh jadi aku patuh dan kemudian
ikut melangkah ke luar. Atau entahlah, karena kemudian aku mulai sadar sudah
berada di atas dipan. "Laa ilaaha illallaah!"
"Sudah eling. Syukur, Cucuku sudah eling," kata Nyai Sakarya yang kudengar
samar. "Ya. Nyebut, Cucuku. Dan bersabarlah. Kita sedang menerima bencana lagi,"
sambung Kartareja. Seseorang menyodorkan segelas air yang segera kuminum habis. Orang-orang
Dukuh Paruk ternyata sudah mengelilingiku. Sakum berjalan meraba. Tangannya
kutarik agar dia duduk di sampingku. Nyai Kartareja dan Tampi menangis. Goder
mungkin yang paling merasakan mala petaka yang terjadi atas diri Stintil. Anak yang
baru berusia empat tahun itu melolong demi Srintil yang telah sekian lama menjadi
ibunya. Sepuluh menit kemudian aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kartareja tanpa
kuminta menceritakan semuanya.
"Srintil jadingengleng begitu Bajus menyatakan tidak bisa mengawininya. Itu kata
Bajus sendiri yang mengantarkan Srintil pulang."
"Tidak ada yang bertanya apa alasannya?"
"Aku yang menanyakan itu. Bajus itu ternyata laki-laki peluh akibat suatu
kecelakaan di Jatiluhur. Kalau demikian keadaannya kita tidak bisa apa-apa," ujar
Kartareja. "Memang Bajus itu lemah. Srintil pernah berkata selama sekian bulan bergaul
dengan Bajus belum sekali pun laki-laki itu menyentuhnya," sambung Nyai
Kartareja. "Bajus hanya ingin berkawan dengan Srintil. Lain tidak."
143 "Tetapi dia tetap salah," kataku. "Kebaikannya yang berlebihan memang harus
punya arti khusus bagi Srintil atau perempuan mana pun."
"Ya. Namun bagaimana kita akan meminta tanggung jawab atas kesalahan seperti
itu?" Aku bangkit dan menghentakkan kaki ke tanah. Bagaimanapun juga aku ingin
menempeleng laki-laki yang bernama Bajus. Ah, tetapi tindakan semacam itu
percuma saja. Ada benarnya kata Kartareja; bukan hal yang mudah meminta
pertanggungjawaban kepada Bajus. Aku hanya akan menambah kepusingan.
"Lalu, apa kalian sudah berbuat sesuatu untuk menolong Srintil?"
"Eh, lha, sudah. Tiga orang tua sudah kudatangkan kemari," ujar Nyai Kartareja.
"Srintil sudah dimandikan, sudah diberi sambetan, sebab siapa tahu dia kemasukan
roh jahat. Namun Srintil makin menjadi. Hampir semua pakaiannya dirobek-robek.
Kaca lemari dipecahkannya. Seminggu yang lalu Goder dicekiknya. Untung kami
melihat sehingga anak itu tidak mati lemas."
"Ya. Maka kami terpaksa menutupnya dalam kamar. Dan karena kami khawatir ia
akan menggantung diri maka kainnya kami ganti dengan celana kolor. Itu lebih
aman." "Sudah lapor kepada lurah?"
"Ya sudah," jawab Kartareja. "Dia menyuruh kami membawa Srintil ke rumah sakit.
Nah, urusan semacam itu aku tidak tahu. Lurah kuminta menyuruh seorang
pembantunya untuk menolong kami. Tidak bisa, katanya semua orang sedang sibuk.
Mau ada Pemilu. Ya, Pemilu."
Lepas tengah malam hanya beberapa orang yang masih tinggal: aku, suami-istri
Kartareja serta Nyai Sakarya. Tetapi Nyai Sakarya disuruh tidur. Pasti dia sudah
beberapa malam bergadang menjaga cucunya dan konon hanya Tampi serta Nyai
Kartareja yang setia membantunya. Di kamar depan Srintil masih bertembang.
Kadang diselingi dengan cakap sendiri, grenengan. Kadang tawanya mendadak
ngikik dan panjang. Aku masuk ke kamarnya, ingin mencoba berkomunikasi. Namun
lagi-lagi aku menghadapi kesulitan pada diriku sendiri. Berat bukan main melihat
kenyataan yang ada di depan mata.
Oh, Dukuh Paruk. Dulu pun aku pernah bersumpah takkan memaafkanmu karena
kaurenggut Srintil dari tanganku untuk kaujadikan ronggeng. Dulu aku mengalah
kepadamu karena kepentinganku terhadap Srintil hanya urusan pribadiku. Oh,
Dukuh Paruk. Karena kedunguanmu maka kini Srintil hanya tinggal sosok dan
nyawa. Karena kedunguanmu maka kau pasti tidak merasa bahwa sesungguhnya
engkaulah yang harus bertanggung jawab atas kehancuran yang luar biasa ini.
Dukuh Paruk! Engkau yang bebal, jorok, dan cabul dalam sekejap telah
melenyapkan semua pesona anakmu dan melumurinya dengan kejijikan.
144 "Srin," kataku sambil maju perlahan. Hati-hati kuletakkan tanganku di pundaknya.
"Lihatlah kemari. Kamu mengerti siapa aku, bukan?"
Srintil menoleh. Cermin diri yang selama ini kukenal tidak muncul sedikit pun pada
kedua matanya sehingga tidak mudah percaya bahwa yang sedang kuhadapi benarbenar Srintil.
"Kamu kenal siapa aku, bukan?" ulangku.
"Rasus. Rasus gila yang akan mengembalikan aku ke rumah tahanan. Ya, kan?"
"Oh, tidak." "Tetapi kamu dulu yang menyusulku di tahanan?"
"Ya." "Eh, Kang Rasus. Panggil Sakum. Panggil semua penabuh calung. Kita bertayub.
Mau, Kang?" Sebelum aku berkata sesuatu Srintil sudah bangkit.
Bau sengak mengambang. Dan Srintil mulai melenggak-lenggok.
Kembange, kembang terong Kepengin cemerong-cerong Arep nembung akeh wong Aku keluar lagi dengan keperihan yang makin dalam. Ransel kusandang dan kepada
Kartareja kukatakan aku ingin beristirahat di gubukku sendiri. Nyai Sakarya
meminjamiku sebuah lampu tempel, kemudian aku melangkah ke luar.
Di bawah sinar bulan temaram aku tidak tahu sejauh manakah gubukku sudah
doyong. Dan aku membuka pintunya tanpa ragu sedikit pun. Ransel kuletakkan di
atas lincak dan aku keluar lagi dengan handuk dan lampu tempel yang belum lepas
dari tangan. Ke pancuran.
Bulan tua sudah berada di tengah belahan langit barat. Musim penghujan mulai
tiba, pertama kali membawa ribuan nyamuk ke tanah airku yang kecil. Aku tidak
bisa tidur. Karena nyamuk, karena Srintil, dan karena kesadaran yang pasti bahwa
aku adalah anak Dukuh Paruk sejati. Aku adalah warisnya yang sah maka sah pula
hakku untuk berdiri menghalangi kedunguan puakku sendiri. Aku berhak
menggugurkan lahirnya ronggeng-ronggeng baru di Dukuh Paruk selama ronggeng
menjadi ciri kebebasan selera manusia yang tidak tahu akan adanya Selera Agung
yang transenden, dan karenanya harus diutamakan. Aku takkan lagi membiarkan
Dukuh Paruk apa adanya. Puncak mala petaka sudah tiba dan aku geram bukan
main karena Srintil-lah yang harus memikulnya.
Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan bangkit
dari kebodohannya. Dan dengan air mata berjatuhan aku memohon kepada Tuhan
kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali memanusia dan mampu memahluk.
Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju putih lengan
panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakan aku tentara adalah
potongan rambut serta sepatuku. Pintu rumah Kartareja kuketuk. Istrinya kuminta
memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku akan membawanya
ke rumah sakit tentara karena aku tahu di sana ada bagian perawatan penyakit
kejiwaan. Oh, aku harus menyaksikan sekali lagi Srintil yang sudah kehilangan
kemanusiaannya. Dia liar sehingga diperlukan tenaga tiga orang untuk membawanya
145 ke sumur. Aku terpaksa mendekat karena suasana menjadi genting. Srintil merontaronta tak mau dimandikan.
"Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan" Maka ayo mandi," bujuk Nyai Kartareja.
Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.
"He, Kang Rasus gagah."
"Memang. Kamu juga cantik."
"He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?"
Semua diam. Semua menghunjamkan pandang ke mataku.
"Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi penganten," kataku.
"Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus. Kamu mau
memandikan aku?" "Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi."
Srintil cekikikan ketika kusirami tubuhnya dengan air langsung dari ember. Nyai
Kartareja dan Tampi membersihkan badannya, mencuci rambutnya. Dan Srintil terus
cekikikan. Dan syukur hanya cekikikan sehingga Tampi dan Nyai Kartareja dapat
bekerja dengan baik. Selesai mandi rambut Srintil dipilin dengan handuk supaya
cepat kering. Aku pergi ke depan menunggu Srintil selesai didandani. Terdengar
keributan kecil di antara tawa Srintil. Namun aku percaya semuanya bisa berjalan
baik. Sakum datang tertatih-tatih. Tahu saja dia bahwa aku sedang duduk di ruang tamu.
"Oh, Mas Tentara. Sekarang beginilah jadinya. Dulu aku bilang apa. Andaikan dulu
sampean menuruti kata-kataku, Srintil tak sampai menjadi demikian keadaannya.
Sudah terlanjur, Mas Tentara. Sekarang aku tidak berani menganjurkan sampean
mengawini Srintil. sampean tentu malu mempunyai istri perempuan tidak waras.
Iya, kan?" Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tak berani melihat mata Sakum yang
buta. Tiba-tiba aku merasa menjadi inti kedunguan Dukuh Paruk kepada siapa tadi
malam aku mengumumkan perang. Dan Sakum dengan bahasa yang amat
bersahaja menunjukkan bahwa kunci utama untuk menembus kedunguan tanah
airku yang kecil justru berada pada genggamanku. Dengan kata lain, bukan
keseluruhan Dukuh Paruk yang harus memikul tanggung jawab atas keadaan Srintil
melainkan aku. Ada denyut keras menyentak jantungku.
Sementara aku masih bimbang oleh pertanyaan Sakum, Nyai Sakarya muncul. Di
tangannya ada sebuah amplop yang menggembung.
"Cucuku, ini uang kepunyaan Srintil. Bajus memberikannya kepada Srintil ketika
terakhir kali dia mengantar Srintil pulang. Tak ada yang berani menggunakannya.
Nah, kalau sampean mau membawa Srintil ke rumah sakit, pakailah uang ini."
"Jadi uang itu pemberian Bajus, orang proyek itu?" tanyaku.
"Ya." Kuterima amplop itu dari tangan Nyai Sakarya untuk kulempar kembali ke atas
meja. Isinya lembar lima ribuan yang masih baru-baru berhamburan ke lantai. Aneh,
146 tak seorang pun tertarik untuk melihatnya. Semua orang memandang wajahku.
Apakah mereka mengerti nama Bajus telah menusuk telingaku hingga ke benak"
"Srintil akan kurawat dengan uangku sendiri," kataku datar dan pasti.
Srintil keluar diapit oleh Nyai Kartareja dan Tampi. Ya. Dengan kain dan baju yang
layak masih terlibat gambaran Srintil yang dulu. Beda bukan pada badannya yang
kurus, amat kurus. Tetapi pada kedua matanya yang mati, mimiknya yang liar dan
wajah yang hampa dari citra kemanusiaan. Ah, tidak peduli. Aku bangkit dan
mengajak Srintil langsung berangkat. Tetapi Srintil mogok di depan pintu. Dia
menuntut bunga buat hiasan sanggulnya. Tampi lari ke samping rumah, kembali
membawa dua kuntum kenanga yang sudah kuning. Baunya mengambang. Namun
Srintil meremasnya lalu melemparkannya ke wajah Tampi. Giliran anak Sakum yang
lari. Di tepi dukuh dia memungut beberapa kembang bungur yang berguguran. Dan
Stintil kembali menampik. Kembang itu diremas. Remahnya menaburi wajah Nyai
Sakarya. Akhirnya Srintil bertindak sendiri. Sambil mengangkat ujung kain dia
berlari. Liar. Aku mengikutinya dari belakang. Di bawah pohon bungur dia
membungkuk, mengambil sekuntum bunga yang masih segar, lalu memasangnya di
sisi konde. "Nah, begini. Bagus, kan?"
"Ya. Sekarang, ayolah. Hari sudah siang."
"Aku mau jadi penganten, Kang?"
"Betul." "Jangan bohong. Kamu mau menipuku?"
"Tidak. Aku juga mau jadi penganten."
Srintil meringkik dan terus meringkik. Dia berjalan, tangannya kadang melengganglenggok, kadang digapainya dedaunan yang dekat. Aku berbalik menjemput Nyai
Kartareja dan mengambil tas pakaian Srintil dari tangannya. Mata semua orang
Dukuh Paruk tertuju kepadaku. Mata yang berharap, mata yang menangis, dan mata
yang tak berhasil kuterjemahkan maknanya.
Di luar perhitunganku Srintil terus berjalan di depan dengan arah yang pasti. Ya,
Tuhan! Kini aku sungguh mengerti. Manusia tanpa kesadaran yang sedang berjalan
di depan itu adalah amanat bagiku. Ya, Tuhan, Engkau yang tidak menaruh
kepentingan apa pun atas realita Dukuh Paruk, namun Engkau telah menentukan
hukum dialektik atas dirinya. Yang sedang berjalan seperti daun kering tertiup angin
itu adalah dia yang sedang terkena hukum dialektik sejarah pribadinya. Kemudian
nuraniku berkata bahwa aku harus menolongnya, membantunya agar dia mampu
menata perwujudannya selaras dengan selera Engkau.
Ketika berjalan sepanjang pematang yang menghubungkan Dukuh Paruk dengan
dunia luar beberapa kali Srintil berhenti. Bahkan sekali dia hendak duduk tetapi aku
cepat menangkap tangannya. Orang-orang yang sedang bekerja di sawah
memperhatikan kami dengan pandangan mata yang asing. Jelas sekali kesan
mereka yang menganggap Srintil sudah berada di luar kebersamaan nilai. Mereka
yang berjalan berlawan arah cepat-cepat menyimpang. Anak-anak lari menjauh.
Sampai di depan pasar Dawuan mendadak Srintil jadi beringas. Dia hendak
menerobos orang-orang yang menontonnya, masuk ke dalam pasar. Aku teringat
kepercayaan orang Dukuh Paruk bahwa orang gila yang sudah masuk ke pasar akan
sulit sembuhnya. Maka aku segera menangkap Srintil, merangkulnya dan terus
147 membawanya ke arah terminal. Orang-orang pasar yang dulu sangat memanjakan
Srintil kini jadi penonton. Mereka ketakutan seakan Srintil adalah anjing geladak
yang sakit dan selalu siap menggigit mereka.
Sopir bus jurusan kota Eling-eling mula-mula berkeberatan membawa kami. Tidak
ingin ada keonaran dalam busnya, katanya. Dengan wajah masam akhirnya dia
mengalah setelah melihat kartu anggota militer yang kusodorkan dekat matanya.
Di dalam kendaraan, alhamdulillah, Srintil kelihatan jinak. Tetapi turun dari bus dia
hendak lari. Dia berteriak-teriak menuduhku hendak membawanya kembali ke dalam
tahanan. Ya. Rumah besar beratap seng yang dulu menyekap Srintil selama dua
tahun kelihatan dari terminal. Aku kewalahan. Dua orang tukang becak kumintai
bantuan. Lalu dengan hati yang menangis tangan Srintil kubelenggu dengan sapu
tangan. Dia kugotong naik becak.
Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketegangan yang
meliputi hatiku hampir berakhir ketika becak berhenti di gerbang rumah sakit
tentara. Seorang sipil yang kebetulan ada dalam gardu jaga kuminta mendekat.
Srintil kami papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa. Ya, Tuhan!
Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena Srintil terus meronta maka sebuah kamar berpintu besi dibuka untuknya.
Ketika petugas menguncinya dengan sebuah gembok besar air mataku meleleh.
Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil.
Kukatakan semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya
perawatan. Tetapi lidahku tiba-tiba kelu ketika petugas bertanya tentang
hubunganku dengan Srintil.
"Istri?" "Bukan. Aku masih bujangan."
"Adik?" "Bukan. Hanya saudara."
"Hanya saudara?"
Aku diam dan menunduk.Ada angin beliung berpusar keras dalam kepalaku. Dan
beliung itu berubah menjadi badai yang amat dahsyat karena aku mendengar Srintil
melolong-lolong dalam kamar yang persis kerangkeng. Satu-satu diserunya nama
orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat
itu keberadaanku adalah nurani tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk. Aku adalah
hati ibu yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap
dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut.
Samar, samar sekali, kulihat petugas rumah sakit itu tersenyum. Oh, tidak salah
bila seseorang yang sedang berdiri di depanku tidak mengerti tentang gempa luar
biasa yang sedang mengguncang jiwaku. Dengarlah kata-katanya yang seloroh.
"Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa
kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat. Lalu maafkan aku, Mas. Dia bukan
istri, bukan pula adik sampean. Maaf. Pasien itu calon istri sampean barangkali?"
"Ya!" Hening. Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega.
Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah
kurobohkan hanya dengan sebuah kata yang begitu singkat. Segalanya menjadi
ringan seperti kapuk ilalang. Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih
sekalipun. Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit.
Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik keputusanku.
Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang demikian dalam maka aku
148 memutuskan hendak mengawini Srintil meski dia kini dalam keadaan tanpa martabat
kemanusiaan. Itu pikiran umum dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian
amat sepele dan terlalu bersahaja. 'Ya' yang kuucapkan tidak berlatar sikap jiwa
yang sentimental, tidak melankolik apalagi emosional. 'Ya' yang kuucapkan adalah
wakil dari kebeningan jiwa, wakil dari warna dasar totalitas diri yang sudah sekian
lama mencoba menyesuaikan diri dengan keselarasan agung. Dia tidak berada jauh
dari titik puncak piramida kesadaranku, sejajar dengan garis kudus yang
menghubungkan keberadaanku dengan keberadaan Ilahi. Maka keputusanku amat
sah, teduh, dan tenang. Setenang aliran sungai manakala dia menyentuh kedalaman
samudra. Malam hari ketika sudah berada kembali di Dukuh Paruk aku berdiri tanpa teman di
luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan
nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. Sekelilingku
adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk ilalang, bukuh Paruk
yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap maksud tertinggi
kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah bersungguh-sungguh mengembangkan
akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia seharusnya menyingkirkan kurap dan
cacing yang menggerogoti anak-anak, serta kebodohan yang hanya membawa
kemelaratan turun-temurun. Karena tak pernah atau tak mampu mengembangkan
akal budi pula, tanah airku yang kecil sesungguhnya tak pernah berusaha
menyelaraskan diri dengan selera Ilahi. Ibuku telah sekian lama terlena dalam krida
batin yang naif, kenaifan mana telah melahirkan antara lain ronggeng-ronggeng
Dukuh Paruk. Ronggeng sendiri mestinya tiada mengapa bila dia memungkinkan
ditata dalam keselarasan agung. Namun ronggeng yang mengembangkan wawasan
berahi yang primitif ternyata tidak mendatangkan rahmat kehidupan.
Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif, langit di
atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasat mata setelah dia
membuat jantera bianglala di seputar bulan. Mendiang Sakarya sering mengatakan,
bulan berkalang bianglala adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk
selalu percaya akan kata-kata kamituanya. Tetapi kiranya mendiang Sakarya mau
mengerti bila aku berpendapat lain. Bulan berkalang bianglala di atassana kuanggap
sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang
sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan
dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba
tanpa batas. TAMAT 149 Legenda Yang Hilang 2 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Bongkok Dari Notre 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama