Let Go Karya Windhy Puspitadewi Bagian 3
menatap lurus pada Nathan. "Jangan berkata
seolah-olah kamu udah nyerah."
Nathan tampak tertegun, lalu tersenyum samar.
"Bahaya," gumamnya pelan.
"Bahaya" Apa maksudnya?" tanya Raka heran,
tetapi Nathan tidak menjawab. Dia mengambil
tasnya, lalu bergegas berjalan ke pintu keluar.
"Tunggu!" sergah Raka sambil berlari
mengejarnya. "Kamu belum jawab
pertanyaanku-" Kata-kata Raka terpotong. Di depan kelas,
Dhihan dan yang lainnya sedang duduk
menunggu. Raka menatap mereka dengan heran.
"Kami mau minta maaf. Gara-gara kami, kamu
begadang bikin tugas," kata Dhihan.
"Aku!" ralat Alfi. "Terutama, aku yang harus
minta maaf." "Sori, Ka, kami nggak bersikap jadi temen yang
baik," timpal Doni. "Beberapa hari terakhir dan,
terutama, tadi. Seharusnya, kamilah yang maju
dan membelamu." Doni mengalihkan pandangan ke arah Nathan
yang hanya balas memandangnya dengan
dingin. "Bukan dia. Karena kami yang temenan
lebih lama sama kamu."
Raka menggaruk-garuk kepalanya. "Apa sih!
Udahan, ah. Aku merinding dengarnya!"
"Oke, lanjutkan urusan kalian," kata Nathan
hingga semua langsung terdiam. "Aku harus
menyerahkan lembar jawaban ini ke Pak
Anung." Ketika Nathan sudah akan melangkah, Dhihan
dan Alfi merangkulnya. "Tunggu!" cegah Dhihan. "Gini, Than, tadi kami
mendengar beberapa hal yang menarik."
"Bener! Bener!" timpal Alfi. "Bukannya kami
bermaksud mencuri dengar, tapi tadi
kedengaran gitu aja."
"Intinya?" tanya Nathan dingin.
"Aku denger kamu mau bantuin Raka
menguasai semua pelajaran," kata Dhihan.
"Gimana kalau kamu bantuin kami-kami ini
juga" Jangan khawatir, kami semua nggak kalah
bebalnya sama idiot itu, kok!"
"Hoi, aku masih bisa denger omongan kalian!"
dengus Raka. "Kamu nggak akan nyesel, deh, ngajarin kami,"
lanjut Dhihan. "Daripada kamu cuma ngajarin seorang bebal,
kan, lebih baik ngajarin banyak bebal," tambah
Dhihan. "Dua kepala lebih baik daripada satu
kepala." Nathan menghela napas, lalu menggeleng.
"Sungguh, ini bujukan paling aneh, nggak masuk
akal, dan paling menggambarkan tingkat
kecerdasan kalian saking idiotnya."
Dhihan dan Alfi hanya meringis.
"Tapi," katanya kemudian sambil melepaskan
diri dari rangkulan kedua cowok itu, "akan aku
coba." "WOOOOW!!!" seru Dhihan diikuti teriakan dari
yang lain. "Oh, ya, kayaknya, tadi aku mendengar katakata "mati"," kata Dhihan kemudian. "Siapa yang
bakal mati?" Raka menelan ludah, lalu menatap Nathan yang
walaupun sama terkejutnya, tetap dapat
mengendalikan diri. "Aku," jawab Nathan. Dhihan dan yang lain
langsung terdiam. Nathan tersenyum sinis, lalu
menunjuk Raka. "Dia ini, saking bodohnya, bikin
aku hampir mati bunuh diri sewaktu ngajarin."
Mereka semua langsung tertawa, kecuali Raka.
Dia menatap Nathan yang sedang memandang
lurus ke depan. Nathan yang merasa
diperhatikan, menoleh dan hanya tersenyum
samar. *** - 15 - Kesalahpahaman tentang hubungan Raka
dengan Sarah semakin menjadi-jadi ditambah
provokasi dari teman-teman mereka. Hal itu
membuat Raka merasa dia akan dicap cowok
berengsek jika tega menolak Sarah. Namun,
bagaimana dengan Nadya"
Hari Rabu itu, Raka sengaja mampir ke toko
musik untuk mencari Nadya. Benar saja, cewek
itu memang ada di sana sedang membaca buku
sambil menyeruput secangkir latte.
"Hai." Nadya tampak terkejut melihat Raka. "Oh, hai."
Raka menarik kursi di depannya, lalu duduk.
"Aku lagi cari CD The Used dan kebetulan lihat
kamu di sini, jadi aku gabung aja. Nggak
keberatan, kan?" Nadya menggeleng. "Duduk aja."
Raka memesan secangkir besar cappucino dan
mulai mencari-cari bahan pembicaraan.
"Baca buku apa?" tanyanya kehabisan ide.
"Sekali Merengkuh Dayung," jawabnya.
"Diah Marsidi?"
Nadya membelalakkan mata. "Kamu udah
baca?" "Nggak perlu sekaget itu, baca sampulnya juga
ketahuan siapa yang ngarang," kata Raka sambil
nyengir. Nadya memonyongkan mulutnya dan Raka
tertawa. "Tapi, ya, aku emang udah baca, kok," kata
Raka. "Menarik, mengunjungi tempat-tempat
yang indah, tapi belum mendunia; menikmati
alam dan penduduknya. Bikin aku pengin jadi
backpacker." "Kamu juga berpikir kayak gitu?" tanya Nadya
senang. "Emangnya kamu juga?" Dada Raka kembali
berdebar-debar. Nadya mengangguk. "Suatu saat... pasti..."
Raka tersenyum. Musik klasik mulai mengalun. Nadya
menggerak-gerakkan kepalanya mengikuti
irama yang didengarnya. ?"Fur Elise", Ludwig Van Beethoven." Raka
mencoba menebak judulnya.
Nadya menatapnya kagum. "Kamu benar-benar
orang yang di luar duagan."
Raka meringis. Kalau saja Nadya tahu, beberapa
hari terakhir, dia jadi rajin mendengarkan musik
klasik dan menghafalkan judulnya.
"Aku cuma orang yang akan mati-matian
melakukan sesuatu demi mendapatkan apa
yang aku inginkan." "Hah?" Nadya mengangkat alis, tetapi Raka
tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
Teringat akan CD yang sudah dia pesan lewat
toko musik online, Raka merogoh tasnya dan
mengambil sebuah bungkusan.
"Ini," katanya sambil menyodorkan bungkusan
itu. "Apa ini?" tanya Nadya.
"Buka saja." "CD George Gershwin!" Nadya terpekik kecil
melihat isi bungkusan itu.
"Jangan bilang kalau kamu udah punya," kata
Raka khawatir. "Belum," sahutnya. "Tapi, bagaimana kau..."
Raka mengangkat bahu. "Aku kebetulan lihat,
jadi aku pikir sekalian aja."
"Tunggu..." Nadya menyipitkan mata. "Tadi,
kamu bilang, kamu kebetulan melihatku di sini,
tapi kenapa kamu udah siap bawa CD ini?"
Raka menelan ludah. Sial! Ketahuan!
"Oke, aku emang sengaja ke sini." Raka
mengaku. "Soalnya, aku lupa ngasih ini di
sekolah. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu
ke sini tiap hari Rabu. Ya, kan?"
Nadya mengangguk-angguk. "Tapi, kenapa
kamu repot-repot" Beli CD ini untukku, bahkan
sampai nyari aku ke sini?" Dia memandang Raka
sambil tersenyum jail. Raka menghela napas panjang. Dia sedang
mengujiku! "Karena aku suka kamu," jawab Raka kemudian.
Air muka Nadya langsung berubah, tak
menyangka akan diberi jawaban seperti itu.
Senyumnya hilang digantikan wajah bingung
dan rona yang makin lama makin memerah.
Jantung Raka rasanya mau copot dan lututnya
lemas. Setelah itu mereka terdiam, tak ada satu pun
kata terucap. Karena tak tahu lagi apa yang
harus dilakukan atau dikatakan, Raka
memutuskan untuk pergi. "Aku," dia menelan ludah, lalu bangkit, "duluan,
ya." Tanpa menunggu reaksi Nadya, dia segera
meninggalkan tempat itu sambil menikmati
sensasi yang ditimbulkan oleh entah kebodohan
atau keberanian yang baru saja dilakukannya.
Namun, dia lega. *** Saat Raka sedang memikirkan tentang
bagaimana menegaskan perasaannya kepada
Sarah, dia melihat Nadya sedang menempelkan
pamflet di papan pengumuman di lantai dua.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menghampiri
cewek itu. "Hai," sapa Raka dengan terengah-engah.
"Hai," balas Nadya sambil menatapnya kaget
bercampur heran, "kamu habis joging?"
"Kayak yang kamu lihat," jawab Raka, "NGGAK."
Nadya meringis. Sepertinya, tak ada yang
berubah dari diri cewek ini. Raka jadi khawatir
apakah dia nggak menganggap serius
ucapannya waktu itu. "Itu ditempel di semua papan pengumuman?"
tanya Raka. "Mau aku bantu?"
"Please," kata Nadya sambil menyodorkan
sebagian tumpukan pamflet di tangannya.
Mereka berjalan dari satu papan pengumuman
ke papan pengumuman lain sambil ngobrol
tentang banyak hal. Bagi Raka, berbicara
dengan Nadya, memang selalu menyenangkan.
Setiap berada di dekat cewek itu, dia selalu
merasakan sensasi melayang dan perasaan yang
berdebar-debar. "Oh, ya, pulang sekolah nanti, ada rapat
Veritas," ujar Nadya sambil membubuhkan lem
pada pamflet yang akan ditempel. "Tadi, Sarah
bilang, tolong kasih tahu kalau aku ketemu
kamu." "Ooh..." Raka manggut-manggut.
"Kamu ke mana aja?" tanya Nadya.
"Hah?" "Kayaknya, akhir-akhir ini, kamu lumayan sering
menghilang, kayak mau menghindari sesuatu,"
tambahnya. Lebih tepatnya, menghindari seseorang, jawab
Raka dalam hati. Dia nggak ingin
kesalahpahaman yang terjadi semakin
bertambah parah. "Aku cuma lagi sibuk nyiapin masa depan." Raka
mencoba memberi alasan. Nadya mengangkat alis. "Hah?"
"Nathan sekarang jadi tutor kami," jelasnya.
"Dan, dia guru paling kejam yang pernah aku
temui. Asli! Dia beratus-ratus kali jauh lebih
kejam daripada Pak Anung. Dia ngasih kami 100
soal yang harus dikerjakan selama dua hari
setiap minggu!" Nadya tertawa. "Seenggaknya, dia nggak pernah
meremehkanmu." "Yah..." Raka mengangkat bahu. "Cuma satu itu
sisi baiknya dia." "Kamu benar-benar serius ingin memperbaiki
nilai, ya?" tanya Nadya. "Padahal, menurutku,
menguasai satu bidang saja sudah cukup hebat,
kok." "Kalau toh, nanti aku ngelanjutin kuliah yang
nggak ada hubungannya sama sains sama sekali,
aku tetep harus lulus SMA dulu, kan?" kata
Raka. "Benar juga," Nadya manggut-manggut. "Hidup
emang nggak pernah adil." Kedua orang itu
berjalan ke papan pengumuman berikutnya,
papan terakhir. "Oh, ya," kata Nadya kemudian. "Sejak
pembicaraan kita waktu itu, kayaknya aku udah
tahu aku mau jadi apa..."
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa?" tanya Raka antusias.
"Dokter," sahut Nadya. "Kamu nggak heran,
kan?" tanyanya sambil tersenyum. "Karena
kedua ortuku dokter, kamu pasti berpikir wajar
kalau aku juga milih jadi dokter?"
"Kamu benar-benar ahli membaca pikiran aku,"
kata Raka heran. Nadya tertawa. "Tapi, setelah kupikir sungguhsungguh, memang itulah yang ingin kulakukan.
Aku suka pelajaran biologi, mengamati anatomi
tubuh manusia, menemukan hal baru, dan
bertemu banyak orang. Kalau aku bisa
melakukan apa yang kusukai, sekaligus
membantu orang lain, itu bakal jadi hal hebat,
kan?" Raka tersenyum. "Pastinya."
Cowok ini merasa semakin kagum, tetapi juga
jadi takut pada Nadya. Cewek ini selalu logis
dalam pemikiran dan tegas dalam pendiriannya.
Sesuatu yang membuat Raka jatuh cinta, tetapi
terkadang juga membuatnya merasa kecil dan
khawatir tak bisa mengimbangi.
"Kalau kamu," kata Raka sambil menatap kedua
mata Nadya dalam, "apa pun yang kamu
lakukan, pasti akan menjadi sesuatu yang
hebat." Nadya tertegun mendengar kata-kata Raka.
Mereka terdiam selama beberapa saat dan
hanya saling menatap. Ada perubahan warna di
wajah Nadya. *** "RAKA!!!" panggil seseorang.
Sial! umpat Raka dalam hati. Mengganggu saja!
"APA?" bentaknya jengkel sambil mendelik ke
arah orang yang memanggil. Sarah.
Sarah tampak terkejut bercampur takut melihat
reaksi Raka hingga dia menghentikan
langkahnya. "So-sori, ada apa?" ulang Raka dengan intonasi
yang lebih lembut. "I-itu," kata Sarah masih agak ketakutan, tetapi
sorak-sorai teman-temannya yang berdiri tidak
jauh dari tempat itu seperti membangkitkan
keberanian cewek itu lagi. "Nanti, ada rapat
Veritas, sepulang sekolah."
"Ya, tadi aku sudah diberi tahu Nad..." Raka
menoleh ke tempat Nadya tadi berdiri, tetapi
cewek itu sudah tidak ada di sana.
Raka menghela napas. "Sial!"
"Apanya?" tanya Sarah heran.
"Bukan apa-apa." Raka menggeleng dan
mengikuti Sarah kembali ke kelas.
*** Tak disangka, rapat Veritas kali ini memegang
rekor sebagai rapat terlama. Mungkin, karena
edisi ulang tahun sekolah, jadi banyak yang
harus dibahas. Setelah pembagian tugas-yang
akhirnya menempatkan Raka di bagian
dokumentasi-jam sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Raka langsung merasa itu
kesempatan untuk mengajak Nadya pulang
bersamanya. "Pulang naik apa, Nad?" tanyanya sambil
membereskan semua barang-barang yang
tergeletak di meja. "Angkot, mungkin," jawab Nadya.
"Nggak bahaya?" Raka mencoba
memancingnya. "Ah!" pekik Sarah tiba-tiba. "Benar! Sudah pukul
sembilan malam, bagaimana ini... aku pulang
sendiri..." Cewek itu memandang Raka penuh harap.
Raka menelan ludah dan berharap dia menjadi
cowok berengsek yang berpura-pura tidak peka
atau, setidaknya, berpura-pura tidak
melihatnya. Mereka pun terdiam selama
beberapa saat sebelum akhirnya dia menyerah.
"Aku antar kamu pulang," kata Raka.
"Benar?" tanya Sarah girang.
Raka mengangguk, lalu menoleh ke arah Nadya
yang sedang sibuk memasukkan buku-buku ke
dalam tasnya. Nadya pasti ngerti, pikir Raka. Sarah lebih lemah
daripada dia, jadi sudah sewajarnya aku
mendahulukan Sarah. Kalau Nadya, kan, bisa
bela diri, pasti nggak akan apa-apa.
"Aku pulang dulu," kata Nadya buru-buru.
"Tunggu!" sergah Nathan. "Aku antar kamu
pulang." "Eh?" Raka mendelik menatap Nathan, tetapi
dia sepertinya tidak melihatnya.
"Aku bisa jaga diri," elak Nadya sambil memakai
sepatu. "Tapi, ini udah pukul sembilan malam dan kamu
cewek," jawab Nathan. "Sehebat apa pun, kalau
dikeroyok sepuluh orang cowok, kamu nggak
akan bisa apa-apa." Nadya menatap Nathan tajam. "Jangan
mengada-ada, deh." "Aku nggak mengada-ada dan aku nggak
menerima kata "NGGAK"." Nathan menyambar
tas Nadya, lalu menghilang di balik pintu keluar.
"HEI!" teriak Nadya sambil mengejar Nathan.
Raka membatu. Apa yang barusan terjadi" Apa
Nathan juga suka sama Nadya"
"Raka..." Suara Sarah membuyarkan lamunan Raka.
"Kita berangkat?" tanya cewek itu.
"Eh... oh. Ya..."
*** Perayaan ulang tahun sekolah Raka tinggal tiga
hari lagi dan hampir semua orang di sekolah itu
sibuk mempersiapkannya. Kelas Raka berencana
membuat stan cokelat yang menjual berbagai
makanan berbahan dasar cokelat. Itu ide
cewek-cewek dan, akhirnya, memang
merekalah yang paling repot. Para cowok
setuju-setuju saja dan hanya membantu
mempersiapkan dekorasinya.
"Sadar nggak, sih, kamu ngeliatin aku tuh udah
kayak mau bunuh?" tanya Nathan ketika dia dan
Raka tinggal berdua membuat backdrop.
"Masa?" Raka balik bertanya dengan nada kesal.
Nathan hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu suka sama Nadya?" tanya Raka,
akhirnya, karena sudah tidak tahan.
Nathan mengangkat alis, lalu menyeringai.
"Sudah kuduga..." ujarnya. "Tapi, sebelum aku
jawab," katanya dengan tatapan yang sangat
mencurigakan. "Aku mau tanya, apa pedulimu"
Kamu, kan, udah punya Sarah?"
"A-apa?" Raka mulai panik. "Bukan apa-apa.
Aku cuma pengin tahu! Lagian, aku nggak ada
hubungan apa-apa sama Sarah!"
"Lebih baik kamu nggak perlu tahu," kata
Nathan tenang. "Kamu nggak bakal bisa
menyaingiku, kamu sadar itu, kan" Lagian,
kayaknya, Nadya juga nggak cukup penting
buatmu. Buktinya, kemarin aja, Sarah yang
kamu ajak pulang, bukan dia."
"Aku kan nggak bisa ngebiarin Sarah pulang
sendiri," kilah Raka.
"Kan, ada aku," sahut Nathan. "Emangnya,
kamu nggak berpikir kalau aku juga nggak bakal
ngebiarin dia pulang sendiri kalau kamu ngajak
Nadya?" Raka tercenung dan merasa bodoh kenapa tidak
berpikir sampai ke situ. "Raka..." Raka menoleh, Sarah sedang berjalan ke
arahnya sambil membawa minuman.
"Ini," katanya sambil menyodorkan minuman
yang dipegangnya. "Oh, thanks," jawab Raka. "Lho, buat Nathan?"
"Yah, aku lupa!" pekik Sarah. "Aku ambil lagi!"
Lalu, dia bergegas pergi lagi.
"Bodoh..." desah Nathan sambil menggelenggelengkan kepala.
"Oke, jujur! Aku nggak tahu apa yang harus aku
lakukan," aku Raka menyerah. "Aku nggak mau
jadi cowok berengsek yang nyakiti hati dia. Aku
nggak tega nolak semua perlakuan baiknya, aku
nggak sekejam itu. Aku nggak sesadis kamu!"
"Dan, Nadya?" tanya Nathan. "Apa kamu
memikirkan perasaannya juga" Dan, bagaimana
perasaanmu" Atau, perasaan Sarah saat
akhirnya dia tahu siapa sebenarnya yang kamu
sukai" Sikapmu yang nggak jelas ini justru
menyakiti lebih banyak orang. Sekarang, mana
sebenarnya yang lebih sadis?"
Raka menelan ludah. Kata-kata Nathan
menghujam tepat ke sasaran.
"Aku pernah bilang, kan, suatu saat, kamu akan
melakukan sesuatu yang lebih sadis daripada
yang kulakukan," tambahnya. "Lihat sekarang."
Raka langsung bangkit setelah mendengar katakata Nathan.
"Mau ke mana?" "Mencari Nadya," jawab Raka.
Nathan mengangkat bahu. "Oke."
"Than," kata Raka sebelum pergi. "Thanks,
walaupun aku nggak tahu kenapa kamu
melakukan ini semua."
"Anggap aja, persaingan sama lawan yang
lemah nggak mengasyikkan buatku," jawabnya
enteng. Raka mendelik. "Jadi, kamu benar-benar..."
"Percayalah, kamu nggak bakal mau tahu," kata
Nathan dengan pandangan misterius.
*** Raka tidak bertanya lebih lanjut, pikirannya
sibuk mencari Nadya. Setelah mencari-cari dan
bertanya sana-sini, akhirnya dia melihat cewek
itu di gudang perlengkapan, sedang
mengumpulkan peralatan pertukangan.
Nadya tampak terkejut melihat kedatangan
Raka, tetapi kemudian bersikap tak peduli.
"Cari apa?" tanya Raka.
"Cari alat-alat buat teman-teman yang mau
bikin dekor," jawab Nadya ketus.
"Aku bantu," kata Raka sambil ikut mencari-cari
kira-kira alat apa saja yang diperlukan.
"Nggak usah," tolak Nadya. "Tenagamu lebih
dibutuhkan di kelas daripada di sini."
"Jangan khawatir, di kelas, udah beres, kok."
"Nggak usah," tolak Nadya lagi ketika Raka
menawarkan diri membantu membawa
peralatan itu. "Tapi, ini berat, Nad."
"KUBILANG NGGAK USAH!" bentak Nadya.
Napasnya naik-turun dan dia memandang Raka
dengan marah. Raka terpaku.
"Maaf," katanya setelah berhasil
mengendalikan diri. "Aku cuma nggak mau ada yang salah paham.
Aku nggak enak sama Sarah."
"Tapi, aku-" "Tolong!" potongnya. "Berhentilah bersikap
baik sama semua orang. Beberapa orang bisa
salah arti sama kebaikanmu itu," lanjutnya.
"Dan..." dia berhenti sejenak, "berhenti, deh,
mengumbar kata "suka" ke sembarang orang.
Kamu bisa nyakiti hati seseorang tanpa kamu
sadari." Lalu, dia berjalan meninggalkan Raka
dengan membawa perangkat alat-alat itu.
Tepat saat dia sudah sampai di pintu, Raka
menarik tangan Nadya, mencegahnya pergi.
"Yang aku suka bukan dia!"
"Siapa yang kamu sukai," kata Nadya dingin,
"bukan urusanku." Dia menepis tangan Raka,
lalu pergi. Raka menghela napas dan jatuh terduduk.
Semuanya hancur berantakan, Nadya
membencinya. Apa yang harus kulakukan" batinnya.
"Lho, Ka!" Raka mendongak dan melihat Dhihan dan Alfi
menatapnya dengan heran. "Lagi ngapain?" tanya Alfi. "Aku dan Dhihan cari
ke mana-mana, ternyata kabur ke sini."
Raka terdiam sejenak. "Kamu mabuk, ya, Ka?" tanya Dhihan yang
kemudian berjongkok dan menepuk-nepuk
bahu temannya itu. "Guys," kata Raka kemudian, "aku mau minta
tolong..." Dhihan dan Alfi langsung berpandangan tak
mengerti. *** "Sarah menunggumu di ruang Veritas," kata
Nathan begitu jam sekolah usai. "Ada yang mau
dia bicarakan." "Hah?" Raka bengong menatapnya.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih kembali," jawab Nathan sambil
berlalu meninggalkan Raka yang masih tak
mengerti apa yang sedang terjadi. Raka
bergegas pergi ke ruang Veritas.
"Kata Nathan, ada yang mau kamu bicarakan
sama aku." Raka membuka percakapan.
Sarah mengangguk ragu-ragu. "I-iya."
"Sebenarnya, dia yang nyuruh." Sarah berjalan
menghampiri Raka. "Bukan, lebih tepatnya
mendorongku. Dia bilang, "Raka itu otaknya
bebal, jadi kamu harus bilang supaya dia tahu"."
"Apa maksudnya dia bilang begitu!" dengus
Raka tersinggung. "Ada beberapa hal yang harus dikatakan baru
bisa dimengerti." Sarah menatap kedua mata
Raka. "Dia juga bilang begitu."
"Hah?" "Kamu bisa balik badan?" pinta Sarah yang
tambah membuat Raka bingung. "Aku agak
kesulitan ngomonginnya kalau kamu menatapku
kayak gitu." Raka mengangkat bahu, lalu menuruti
permintaan cewek itu walau masih tak mengerti
maksudnya. "Kamu menyukaiku?" tanya Sarah kemudian
tanpa basa-basi hingga membuat Raka
gelagapan. "Ak-aku..." "Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya," kata
Sarah lirih. "Itulah sebabnya aku nggak pernah
nanya langsung sama kamu. Aku suka kamu,
kamu tahu?" Raka tidak menjawab. "Selama ini, aku nggak pernah bilang secara
langsung karena aku takut ditolak," aku Sarah.
"Karena itu, aku berusaha menunjukkannya.
Tapi, ternyata, sikapku malah membuatmu
susah. Kamu emang terlalu baik, kamu pasti
nggak tega menyakiti hatiku. Maaf..."
"Aku yang seharusnya minta maaf, Sar," kata
Raka. "Seharusnya, aku yang lebih tegas tentang
perasaanku sendiri, seharusnya kamu nggak
usah sampai ngomong kayak gini. Sori..."
Setelah itu, kedua orang itu terdiam. Raka tidak
tahu bagaimana reaksinya saat ini, tetapi
kemudian tiba-tiba dia merasakan kepala Sarah
disandarkan ke punggungnya.
"Aku suka kamu," katanya dengan suara
tergetar sambil menarik kemeja Raka.
Raka menelan ludah. "Suka..." ulang Sarah. Kali ini, diikuti oleh isakan.
"Benar-benar suka."
Raka menghela napas. "Terima kasih."
"Suka..." "Iya..." Sarah mulai menangis. "Ini kali pertama, aku
suka sama seseorang."
"Ini juga kali pertama ada yang bilang suka sama
aku." "Suka..." isak Sarah.
"Terima kasih..."
Dia tetap menangis di punggung Raka hingga
setengah jam kemudian. Sekolah sudah agak
sepi ketika akhirnya "pembicaraan" mereka
selesai. Sarah pun sudah bisa tersenyum
walaupun sedikit. Ketika Raka menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang, Sarah menolak dan
berkata bahwa dia butuh waktu untuk sendiri.
Begitu Raka keluar dari ruang Veritas, Nathan
sudah berdiri di sana. "Thanks," kata Raka
sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Jawabannya sudah kuberikan sebelumnya,"
kata Nathan. "Jujur aja, aku masih nggak ngerti kenapa kamu
melakukan semua ini buatku." Raka
menatapnya. "Satu lagi perbuatan baik sebelum aku mati."
Nathan menjawab dengan tenang. Mendengar
jawaban seperti itu, entah kenapa, tiba-tiba
Raka merasa kemarahan menyelimuti dirinya
hingga dia memukul tembok.
"Aku udah bilang, kan, jangan bilang hal yang
kayak gitu lagi!" geramnya.
"Melihatmu semarah ini," Nathan menatap
kedua mata Raka, "artinya, aku udah terlalu
jauh." "Apa maksudmu?"
Nathan hanya tersenyum sinis.
*** Hari Rabu tepat sehari sebelum perayaan ulang
tahun sekolah, Raka mampir ke toko musik
tempat Nadya biasanya minum kopi sambil
mendengarkan musik klasik yang biasanya
dilantunkan di toko itu. Dia sengaja datang karena kesulitan berbicara
dengan cewek itu di sekolah. Nadya terkesan
selalu menghindarinya. Namun, ternyata, hari
ini pun, dia tidak datang ke toko itu.
*** "Dua jam lagi kita manggung!" Alfi
memperingatkan. Semua anak terlihat panik dan demam
panggung yang sama. Ini kali pertama mereka
unjuk gigi di depan sekian banyak orang. Kalau
bisa, Raka ingin ditelan black hole sekarang juga
daripada menyanyi di atas panggung dengan
risiko dilempari telur dan tomat busukmengingat suaranya yang pas-pasan
"Kamu lihat Nadya?" tanya Raka pada Nathan
yang saat itu sedang sibuk menyiapkan
peralatan. "Lagi dipanggil Bu Ratna," jawabnya.
Raka manggut-manggut gelisah. Dia sudah tidak
sabar menyelesaikan kesalahpahaman yang
terjadi di antara mereka.
"Jangan khawatir," kata Nathan seakan-akan
bisa merasakan kegusarannya. "Aku akan bantu
kamu menemukan dia saat kamu di panggung
nanti." Raka tampak tak percaya, bercampur senang.
"Yang perlu kamu lakukan cuma mengikuti ke
mana aku pergi," lanjut Nathan. "Karena..." dia
menyeringai lalu pergi sambil tertawa, "Nadya
akan selalu ada di dekatku."
Raka hanya bisa melotot. Ketika akhirnya tiba waktunya tampil, Raka
melihat Nathan benar-benar melakukan
ucapannya. Dia berdiri di pojok yang agak jauh
dari kerumunan bersama Nadya dan sesekali
tersenyum penuh kemenangan. Bahkan, kedua
orang itu terlihat tertawa-tawa, seakan-akan
sengaja ingin membuat Raka marah.
Raka sudah nggak tahan hingga, pada saat
menyanyikan refrain "Mr. Brightside"-nya The
Killers, dia lepas kontrol dan berteriak-teriak
sekuat tenaga. "JEALOUSYYYY... turning saint into the sea!
Swimming through sick lullaby...!"
Herannya, penonton malah memberikan tepuk
tangan yang lebih meriah saat dia berteriakteriak nggak keruan seperti itu. Sepertinya,
mereka mengira itu bagian dari pertunjukan.
Sebelum satu lagu terakhir, Raka meminta
break sepuluh menit, kemudian memberi tanda
pada Dhihan dan yang lain.
"Please Guys." Dia menatap mereka penuh
harap. Dhihan mengangkat bahu. "Mau gimana lagi"
Good luck!" Dia mengacungkan ibu jarinya
diikuti teman-temannya yang lain.
"Thanks," kata Raka lalu bergegas turun dari
panggung. Dia tak peduli dengan pandangan
heran orang-orang yang menonton dan
langsung berlari ke tempat Nadya dan Nathan
berada. "Di mana Nathan?" tanya Raka dengan napas
terengah-engah begitu sampai di depan Nadya.
"Beli minuman," jawab Nadya dingin seperti
saat kali pertama mereka berbicara.
Apa Nathan sengaja membiarkan kami berdua"
Raka bertanya-tanya dalam hati.
"Emangnya, boleh kamu lari dari panggung
kayak gitu?" tanya Nadya.
"Mereka bisa lanjut tanpa aku."
"Nad, aku..." Raka menatap kedua mata Nadya
dalam-dalam, menunjukkan yang akan
dikatakannya adalah sesuatu yang serius.
"Kamu tahu sendiri aku nggak begitu pinter
ngomong. Kamu tahu sendiri ototku bicara lebih
banyak daripada otakku. Dan, kamu tadi dengar
sendiri kalau suaraku jelek. Jadi, kemungkinan,
aku nyanyi kayak Heath Legder dalam 10 Things
I Hate About You atau Jerry O" Connel dalam
Scream 2 adalah nol persen."
Nadya mengulum senyumnya, berusaha
menahan tawa. "Baiklah!" Tiba-tiba, dari panggung, terdengar
suara Dhihan. "Lagu berikutnya yang
merupakan lagu terakhir merupakan request
pribadi dari vokalis kami yang melarikan diri
entah ke mana," katanya. "Mungkin, dia malu
dengan suaranya dan nggak tega bikin lagu
keren berikut jadi trauma buat kalian."
Riuh tawa dari kerumunan langsung terdengar.
Kalau saja Raka nggak sedang bicara serius
dengan Nadya, dia pasti sudah melompat ke
panggung dan memukuli Dhihan untuk
membuatnya diam. "Kamu sudah dengar sendiri, kan, tadi?"
tanyanya pada Nadya. Intro lagu itu mulai
terdengar. "Aku minta mereka menyanyikan
lagu ini buatmu." Nadya terdiam. Sesaat kemudian, dia
terperangah ketika Dhihan mulai bernyanyi.
"Hello, good morning,
how you do" What makes your rising sun so new"
I could use a fresh beginning too
All of my regrets are nothing new
So this is the way that I say I need you
This is the way that I"m"
Raka menatap lurus ke mata Nadya. "Inilah
perasaanku." "Learning to breathe
I"m learning to crawl
I"m finding that you and you alone can break my
fall I"m living again, awake and alive
I"m dying to breathe in these abundant skies"
"Aku suka sama kamu, Nad," kata Raka,
akhirnya. "Aku akan mengulanginya lagi sampai
kamu percaya karena aku sungguh-sungguh.
Aku nggak tahu sejak kapan, dari mana, dan apa
yang aku sukai darimu. Tapi, aku tahu, di
dekatmu, aku jadi menyukai diriku apa adanya."
Wajah Nadya memerah dan matanya berkacakaca. Dia menutup mulutnya.
"Hello, good morning, how you been"
Yesterday left my head kicked in
I never, never thought that
I would fall like that Never knew that I could hurt this bad"
Raka menghela napas, lega karena akhirnya dia
menegaskan lagi apa yang selama ini
dirasakannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya
sudah tidak ia pedulikan.
"So this is the way I say I need you
This is the way that I say I love you
This is the way that I say I"m yours
This is the way, this is the way"
Lagu selesai dinyanyikan.
"Aku balik ke sana lagi, ya," kata Raka sambil
mengangguk-angguk kikuk, lalu berbalik.
"Tunggu!" sergah Nadya.
Raka menoleh, menatap orang yang disukainya
itu penuh tanda tanya. "Kamu curang!" katanya dengan suara tercekat.
"Kamu udah bilang tentang perasaanmu, tapi
kamu nggak memberiku kesempatan buat
melakukan hal yang sama."
Raka mengangkat bahu. "Oke, aku tunggu!"
"Kamu pernah merasakan patah hati?" tanya
Nadya. Raka menghela napas. Dia merasa Nadya pasti
akan membuatnya merasakannya sebentar lagi.
"Rasanya sakit sekali," kata Nadya. "Perih dan
bikin mual, marah, dan sedih dalam satu
waktu." Raka masih mendengarkannya.
"Aku mengalaminya belum lama ini," lanjutnya.
"Saat kamu dekat sama Sarah setelah kamu
bilang suka sama aku, rasanya..." Nadya terdiam
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejenak, "seperti patah hati."
"Hah?" Raka tidak yakin dengan apa yang baru
saja dia dengar. "Itu perasaanku," kata Nadya.
Raka masih menatap cewek itu dengan bingung.
"Serius?" tanyanya tanpa suara.
Dengan wajah memerah, Nadya mengangguk
dan tersenyum. "If you ever break my heart
again, I"ll break your neck."
Saat itu juga, Raka merasa semua beban di
pundaknya terangkat. Dia sampai jatuh
terduduk saking leganya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Nadya sambil
berjongkok di dekatnya. "Ternyata, merasa senang dan lega dalam satu
waktu cukup menguras energi," katanya.
"Aku nggak nyangka lagu itu yang kamu pilih,"
kata Nadya. "Kamu kaget?" Nadya mengangkat bahu. "Nathan udah
memperingatkan kalau kamu bakal melakukan
sesuatu yang norak, tapi aku nggak nyangka
bakal senorak itu." Raka mengernyit. "Nathan?"
"Ternyata, kalian emang saling mengerti tanpa
kalian sadari," ujar Nadya.
Raka terdiam. "Nad! Ditunggu di ruang OSIS!" panggil
seseorang dari kejauhan. Nadya bangkit, tetapi
sebelum dia pergi, Raka menarik tangannya.
"Nanti pulang bareng?"
"Ah! Nggak usah, aku bisa pulang sendiri, aku..."
Nadya terpaku selama beberapa saat, lalu
tertawa kikuk. "Ya, ampun, aku emang sama
sekali nggak manis."
Raka masih menunggu jawabannya.
"Aku nggak bawa helm," kata Nadya kemudian.
"Aku bawa," kata Raka. "Aku selalu bawa karena
aku selalu nunggu-nunggu kesempatan kayak
gini." Nadya tersenyum, lalu mengangguk pasti.
"Satu lagi," cegah Raka sebelum Nadya menepis
genggamannya. "Emangnya, yang tadi itu norak,
ya?" "Banget," jawab Nadya sambil meringis. "Tapi,
kupikir, seberani apa kamu berbuat norak,
sebesar itulah rasa sukamu pada seseorang."
Raka mengangkat alis. "Jadi?"
Nadya menghela napas, kemudian mempererat
genggaman tangannya pada cowok itu.
"Terima kasih, aku sangat tersanjung."
*** Malam semakin larut dan perayaan ulang tahun
sekolah Raka sudah sampai di penghujung
acara. Raka masih menunggu Nadya di tempat
yang sama, memperhatikannya berlari ke sana
kemari. Sesekali, Nadya berhenti dan menatap
Raka sambil tersenyum. Dan, tak ada lagi yang
membuat Raka lebih bahagia daripada itu.
Namun, dalam hati, dia masih takut tidak bisa
menjadi seperti yang diharapkan Nadya.
"Ka." "Uhm?" "Lagi mikirin apa?" tanya Nadya. "Serius
banget." Raka menggeleng. "Sesuatu yang nggak
penting." "Kayak biasanya, kan?" Nadya meringis. "Aku
udah selesai." "Pulang sekarang?" Raka berdiri dan mengambil
tas. "Kamu udah ngambil barangmu?"
Nadya mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat parkir dalam
diam. Pikiran Raka masih berkecamuk dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang harus
dilakukan setelah ini. "Nad..." Raka akhirnya memutuskan untuk
mengatakan isi benaknya. "Aku bukan orang
yang romantis. Sebelumnya, aku belum pernah
suka sama cewek dan aku emang belum pernah
punya pacar. Aku nggak tahu apa yang orang
pacaran biasa lakukan. Bahkan, aku nggak tahu
gimana cara menunjukkan perasaanku. Jangan
berharap terlalu banyak meski aku sungguhsungguh ingin kamu bisa merasakannya."
Nadya tidak mengatakan apa-apa. Lapangan
parkir masih kurang beberapa meter lagi, tetapi
suasana sudah menjadi canggung. Raka menarik
tangan Nadya dan menggenggamnya, mencoba
mencairkan suasana. "Ini sudah cukup," kata Nadya tiba-tiba.
Raka menghentikan langkahnya dan menoleh,
wajah Nadya memerah. "Ini saja sudah cukup," ulangnya. "Aku udah
bisa merasakan perasaanmu."
Jantung Raka serasa berhenti selama beberapa
saat. Ternyata, emang hanya sesederhana ini,
batinnya. Nggak perlu ciuman, pelukan,
nyanyian, atau puisi. Kalau kamu menyukai
seseorang dengan sangat, tindakan kecil seperti
ini saja sudah cukup mewakilinya.
Raka tersenyum. Dia tidak perlu memikirkan
pendapat orang karena apa yang dirasakannya
adalah tentang dia dan Nadya, bukan tentang
mereka. Memang hanya sesederhana ini.
*** Sebenarnya, Raka sempat mengkhawatirkan
Sarah setelah kejadian itu, tetapi ternyata
kekhawatirannya tak beralasan. Di edisi terbaru
Veritas, Sarah menulis sesuatu yang
menunjukkan bahwa dia lebih tegar daripada
yang terlihat. Saya baru sadar bahwa saya sangat beruntung
Saya beruntung masih bisa bernapas;
Saya beruntung dapat berlari, melihat,
mendengar, berbicara, dan merasakan;
Saya beruntung bisa makan dan minum tanpa
pernah kekurangan; Saya beruntung memiliki keluarga yang
mencintai saya; Saya beruntung memiliki teman yang ada saat
tawa dan tangis saya. Saya sangat beruntung. Tetapi, kenapa baru sekarang saya sadar"
Mungkin, karena sebelumnya saya nggak
pernah bersyukur. Selesai membacanya, Raka tersenyum. Sarah
akan baik-baik saja. *** "Kalau besok lusa aku nggak bisa, gimana kalau
besok?" kata Nadya lewat telepon.
"Besok, aku ada belajar tambahan sama
Nathan," keluh Raka.
"Kamu masih minta diajarin sama dia?" tanya
Nadya. "Gimana kalau aku saja yang ngajarin
kamu?" "Nggak!" tolak Raka tegas. "Aku nggak mau
kamu bodoh-bodohin."
"Lha, kamu, kan, emang bodoh."
"Yang baru aja kamu katakan itu salah satu
sebab aku nggak mau kamu ajarin," kata Raka.
Nadya tertawa. "Yah! Berusahalah," katanya kemudian. "Kalau
kamu mau, kita lulus sama-sama."
"Aaargh... jangan bikin aku tambah depresi,"
desah Raka. Nadya tertawa lagi.
"Kalau gitu, kita nontonnya Jumat malam aja,"
usul Nadya. "Boleh." "Oke." Lalu, mereka terdiam. Pembicaraan sudah
berakhir dan seharusnya ini adalah saat ketika
salah satu dari mereka mengatakan, "I love you"
atau "Sweet dream" atau "Already miss you"
atau "bla bla bla" yang lain. Namun, tak ada
satu pun yang memulainya.
"Nad..." Akhirnya, Raka mencoba memulai.
"Uhm?" Raka berusaha sekuat tenaga, tetapi mulutnya
berat. "Bye." "Bye." KLIK! "ARRGGGHHHHH!!!" Raka menjerit kesal seraya
membanting handphone-nya ke kasur.
Apa yang barusan kulakukan" Aku sama sekali
nggak romantis. Cowok itu menghela napas dalam-dalam, lalu
menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur.
"Tapi, bukan begitu," gumam Raka.
"Seharusnya, bukan begitu."
Pintu kamar tiba-tiba diketuk.
"Masuk, Ma," sahut Raka. "Ada apa, Ma?"
tanyanya begitu mamanya membuka pintu dan
berjalan ke arahnya. "Seharusnya, Mama yang nanya kayak gitu,"
kata Mama yang kemudian duduk di kasur, di
sampingnya. "Kenapa kamu teriak-teriak
begitu?" "Bukan apa-apa," jawab Raka sambil
menegakkan diri. "Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu
punya pacar?" tanya Mama.
Raka mengangkat alis. "Kok, Mama tahu?"
"Mama ini emang nggak pintar, tapi juga nggak
bodoh," jawab Mama sambil tersenyum
sombong. "Mama lihat perubahan sikapmu
belakangan ini dan gimana kamu jadi agak
berbunga-bunga setiap nerima telepon dari
yang bernama Nadya. Melihat itu, Mama nggak
perlu nyewa Sherlock Holmes buat nyari tahu."
"Berubah" Aku?" tanya Raka tak percaya.
"Masa, sih, Ma?"
Mama mengangguk. "Sekarang, bilang kenapa
kamu nggak pernah cerita tentang Nadya?"
Raka mengangkat bahu. "Mama nggak pernah
nanya dan emang nggak ada yang perlu
diceritakan." "Kamu salah," sahut Mama. "Tentang hidupmu,
bagi Mama, selalu ada yang perlu diceritakan.
Oke, kalau gitu, pertama-tama, kayak apa
Nadya itu?" Raka bingung harus mulai dari mana
menggambarkan pacarnya itu.
"Dia cantik," katanya kemudian. "Dia cewek
paling cantik yang pernah kulihat. Dia juga
pintar, dalam pelajaran olahraga maupun
pelajaran yang lain. Aktif di hampir semua
kegiatan sekolah, populer, tegas, mandiri."
Mama mengernyit. "Apa kedengarannya nggak
terlalu sempurna?" "Dia emang sempurna," kata Raka sambil
mengangguk-angguk. "Dia benar-benar mau pacaran sama kamu?"
tanya Mama tak percaya. "Maksud Mama?" "Soalnya, kedengaran kayak Anastasia mau
pacaran sama Rasputin atau Putri Salju pacaran
sama salah satu kurcaci atau Timun Emas
pacaran dengan Buta Ijo," ujar Mama jujur.
"Beauty and the beast di dunia nyata."
"Sungguh! Kadang-kadang, dalam hati, aku juga
nanya, apa benar aku anak kandung Mama,"
dengus Raka. "Emangnya, kamu nggak merasa kayak gitu?"
Raka mengangkat alis. "Bahwa aku bukan anak
kandung Mama?" "Bukan!" Mama memutar bola matanya.
"Bahwa dia terlalu sempurna buat kamu."
"Nggak sebelum Mama nanya tadi," jawab Raka
agak kesal, lalu terdiam.
Benar juga, kenapa dia bisa suka sama aku, ya"
"Kamu maksa dia pacaran sama kamu?" tanya
Mama. "Nggaklah, Ma!"
"Sekarang, Mama mau tanya, apa yang
membuatmu suka sama dia?" Mama bertanya
lagi, kali ini dengan lembut. "Apa karena dia
cantik, pintar, atau apa pun yang kamu
sebutkan tadi itu?" Raka menggeleng tegas. "Itu jackpot," katanya. "Aku suka dia karena
setiap kali bersama dia, aku jadi lebih suka
diriku sendiri. Aku nyaman jadi aku apa adanya.
Itu alasannya." "Kalau begitu," Mama tersenyum, "mungkin, dia
menyukaimu dengan alasan yang sama."
Raka menatap kedua mata Mama, mencoba
mencari tahu apakah ibunya itu sedang
bercanda. Setelah sadar mamanya serius, dia
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangguk. "Mungkin juga."
"Oke, kalau begitu," Mama bangkit dari tempat
tidur, "informasi tentang anak Mama, untuk
sementara, sudah cukup."
"Mama benar-benar suka ikut campur," dengus
Raka. Mama menyeringai. "Emangnya, itu nggak
menurun sama kamu?" Raka langsung membatu. Akhirnya, dia sadar
dari mana dia mendapatkan sifat ikut
campurnya. "Oh, ya, Ka." Mama berbalik lagi begitu sampai
di pintu. "Mama ada permintaan."
"Uhm?" "Tolonglah, kali ini, kamu mau mengunjungi
papamu," pintanya sambil menatap Raka penuh
harap. "Sudah dua tahun, Ka, papamu pasti
sedih sekali." "Kapan kamu bisa memaafkannya?" tanya
Mama. "Bukan keinginan dia meninggalkan kita.
Dia menyayangi kita, menyayangimu, kamu
tahu itu, kan?" "Tetap aja dia meninggalkan kita," sahut Raka
dingin, "meninggalkan Mama, padahal dia janji
nggak akan meninggalkan kita secepat itu."
"Kamu tahu itu nggak mungkin!" jerit Mama
setengah emosi. "Berhentilah bersikap kayak
anak kecil." "Aku bakal tetap bersikap kayak anak kecil,"
kata Raka. "Supaya Papa menyesal telah
meninggalkanku tanpa sempat membimbingku.
Tanpa sempat mengajariku bagaimana jadi
dewasa. Tolong, Ma, aku sungguh belum siap.
Aku belum siap pergi ke makam Papa."
Mama terdiam. Lalu, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, dia keluar dan menutup pintu
kamar pelan-pelan. *** Dalam hati kecilnya, Raka tidak benar-benar
membenci papanya. Sampai kapan pun,
papanya adalah orang yang sempurna di
matanya. Dia cerdas, ramah, baik, dan lucu. Di
mana pun, dia selalu mampu mencairkan
suasana dan menjadi magnet untuk menarik
orang-orang berkumpul di dekatnya. Tidak ada
yang jelek tentang papanya dan itu membuat
Raka bangga sebagai anaknya. Namun, ternyata,
justru itulah yang terburuk.
Suatu ketika, papa Raka itu jatuh sakit; batukbatuk parah dan suhu badannya tinggi.
Diagnosis awal menunjukkan gejala TBC, tetapi
begitu foto rontgen paru-parunya keluar, semua
dokter yang mereka temui sepakat papa Raka
mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Hati
Raka hancur berkeping-keping mendengarnya
dan diperparah oleh tangisan mamanya yang
harus dia dengar setiap malam.
Berat badan papanya menyusut dalam sekejap.
Matanya cekung, tulang pipinya menonjol, dan
gairah hidupnya hilang. Sosok ceria yang selama
ini mendampingi Raka hampir tak berbekas.
Papa berjanji dia akan berjuang dan nggak akan
meninggalkan mereka secepat itu.
Namun, nyatanya, dia tidak bisa memenuhi janji
yang dibuatnya sendiri. Enam bulan kemudian,
sejak vonis kanker itu diberikan, Papa pergi
tanpa sepatah kata pun diucapkan. Tak ada kata
maaf karena telah melanggar janji, tak ada kata
maaf karena telah membuat Raka dan
mamanya menderita, tak ada penyesalan
karena telah meninggalkan mereka berdua
seorang diri. Itulah yang membuat Raka sangat
membencinya. *** "Kamu ini benar-benar bebal," desah Nathan
saat dia memberi Raka pelajaran tambahan.
"Yang lainnya udah selesai dari tadi."
Kelas sudah sepi. Tadinya, ada delapan anak
yang berkumpul, tetapi sekarang, tinggal Raka
dan Nathan. "Berisik!" dengus Raka. "Kalau kamu mau
pulang, pulang aja!"
"Dan, bikin semua waktuku yang kubuang
buatmu sia-sia?" tanya Nathan sinis. "Cepat
selesaikan!" "I"M DOING IT!!!" gerutu Raka. Soal
termodinamika yang diberikan Nathan
membuat perutnya mual. Hingga detik ini, Raka
tak mengerti kenapa dia harus mempelajari hal
yang tidak disukainya dan terlebih yang tidak
ada hubungannya dengan jurusan yang dia tuju
nanti. "Waktu perayaan kemarin, kamu ke mana?"
tanya Raka. "Kalau kamu sempat nanya kayak gitu,
seharusnya soal-soal yang kuberikan itu sudah
selesai kamu kerjakan dari tadi," ujar Nathan.
"Intermezo!" sahut Raka jengkel. "Anggap itu
intermezo! Otakku bisa meledak kalau
difokuskan menyelesaikan soal-soal najis ini
aja." Nathan menghela napas, lalu menyandarkan
punggungnya ke kursi. "Aku menyingkir,
mengalah buatmu." "Nggak ada yang namanya mengalah," kata
Raka sambil masih berusaha menyelesaikan soal
biadab itu. "Jadi, maksudmu, aku emang dikalahkan
olehmu?" tanya Nathan.
"Bukan," Raka menggeleng, "kalau masalah
perasaan, nggak ada yang namanya mengalah,
juga nggak ada yang namanya kalah atau
menang, termasuk siapa yang datang duluan
atau menyatakan lebih dulu. Yang namanya
perasaan nggak bisa diatur kayak gitu. Aku bisa
jadian sama Nadya karena aku suka dia dan dia
suka aku. Gitu, kan?"
Nathan tidak mengatakan apa-apa, Raka sampai
mendongak untuk melihat reaksi cowok itu.
"Kamu itu..." kata Nathan dengan wajah masih
tertegun, "kadang-kadang, kata-kata yang kamu
ucapkan emang nggak sesuai sama mukamu."
Raka menyipitkan mata. "Maksudmu?"
"Kata-katamu itu terlalu dalam buat seseorang
dengan muka bodoh kayak kamu."
"Kurang ajar!" gerutu Raka. "Bukannya kamu
juga sama?" "Apanya?" "Tindakanmu sering beda sama ucapanmu."
"Buktikan!" tantang Nathan.
"Kamu selalu sok nggak peduli, tapi ternyata
selama ini kamu memperhatikan aku, ya, kan?"
"Jangan membuatku merinding," sahut Nathan
dingin. "Kamu membantuku menyelesaikan masalah
Sarah," ujar Raka. "Terus... masalah Nadya juga.
Nggak perlu mengelak, Nadya sendiri yang
bilang ke aku." Nathan terdiam. Seolah-olah, dia tidak bisa
berkata apa-apa untuk menyangkalnya.
"Kamu sendiri juga begitu, kan?" tanya cowok
itu kemudian sambil membetulkan
kacamatanya. "Hah?" "Kamu selalu bilang ke semua orang kalau kamu
benci ayahmu, tapi kenyataannya bukan kayak
gitu, kan?" lanjut Nathan.
Raka menghentikan kegiatannya. Membatu.
"Kamu cum a ngomong dan berbohong sama
semua orang buat melindungi dirimu." Tatapan
Nathan seakan-akan menembus ke dalam
kepala Raka. "Kamu ini sebenarnya pengecut."
"Aku nggak mau dengar omong kosong ini," ujar
Raka sambil memasukkan buku-bukunya ke
dalam tas. "Kamu nggak mau dengar karena itu
kebenarannya," kata Nathan tajam. "Pengecut."
"Berisik!" Raka bangkit. "Aku nggak mau dengar
kata-katamu." "Kapan kamu berhenti pura-pura" Dasar
pengecut!" "BERISIK!" Kesabaran Raka sudah sampai
batasnya. Bahkan, dia lupa Nathan sedang
mengidap penyakit dan tanpa sadar dia
melayangkan tinju ke mukanya hingga cowok
itu terjatuh dari kursi. Kacamatanya sampai
terlepas dan ikut jatuh. Nathan memegangi dagunya, lalu tersenyum
sinis. "Kenapa" Kamu nggak berani mendengar
kebenarannya, kan?" "Kamu nggak benci ayahmu," kata Nathan
sambil berusaha berdiri. "Kamu pura-pura benci
justru karena kamu sangat mencintainya. Kamu
nggak sanggup menerima kenyataan kalau dia
sudah meninggal. Begitu, kan?"
"DIAAAAM!!!" Raka melayangkan tinju lagi
hingga Nathan roboh sebelum sempat berdiri
tegak. Nathan tidak membalas, tetapi hal itu
justru membuat Raka kalap dan memukulnya
bertubi-tubi. "Tapi, waktu terus berjalan, Ka!" teriak Nathan
sambil berusaha melindungi kepalanya dari
pukulan-pukulan Raka. "Ayahmu udah mati, tapi
kamu masih hidup! Sampai kapan kamu akan
terikat dengan masa lalu?"
Raka terus memukulnya, berharap agar cowok
itu diam. Agar Nathan tidak mengatakan hal
yang selama ini paling tidak ingin didengarnya:
kebenaran. Akhirnya, Raka kehabisan tenaga
dan jatuh terlentang dengan napas terengahengah di sebelah Nathan.
Nathan berusaha untuk duduk, sudut bibrnya
berdarah dan dia terbatuk-batuk. Kalau dia
mau, sebetulnya, dia bisa saja membalas Raka,
bahkan menjatuhkannya dengan sekali
serangan. "Kamu harus mencoba melepaskannya," kata
Nathan sambil memasang kacamata. "Buat
ayahmu, untuk ibumu dan-terutama-buat
dirimu sendiri. Mencoba melindungi hatimu
dengan cara membenci orang yang kamu cintai"
Kamu menyiksa dirimu sendiri." Lalu, Nathan
berdiri dan mengambil tasnya. "Besok hari
kematian ayahmu, kan" Waktu yang tepat buat
menuntaskan semuanya," kata Nathan sebelum
pergi. "Bagaimana kamu bisa tahu besok hari
kematian papaku?" tanya Raka sambil
menelungkupkan tangannya ke muka.
"Kamu ingat waktu aku pingsan dan kamu
membawaku ke rumahmu?" tanya Nathan.
"Saat kamu keluar membeli makan malam,
ibumu cerita tentang semuanya padaku. Dia
sangat mengkhawatirkanmu, kamu tahu?"
Raka menelan ludah. Dia tahu. Sangat tahu.
Selama ini, dia hanya berpura-pura tidak
menyadarinya. *** "And the hardest part
Was letting go, not taking part
Was the hardest part"
Raka termenung di kamar sambil memutar lagu
Coldplay itu berulang-ulang, mencoba
menenangkan diri. "And the strangest thing
Was waiting for that bell to ring
It was the strangest start"
Apa yang diucapkan Nathan siang tadi terasa
seperti sebuah hantaman bagi Raka. Nathan
memperlihatkan kebenaran yang selama ini
tidak ingin dia lihat. Dia memang tidak pernah
membenci papanya. Tidak akan pernah bisa. Dia
melakukan semua itu karena tidak ingin
kehilangan sosok papanya itu di dalam
benaknya. "I could feel it go down
Bittersweet, I could taste in my mouth
Silver lining the cloud Oh and I I wish that I could work it out"
Setiap kali seseorang membicarakan papanya,
Raka seperti selalu diingatkan akan
kematiannya. Namun, Raka takut. Semakin dia
sadar bahwa papanya sudah meninggal, sosok
papanya akan semakin kabur dalam ingatan.
Raka tidak mau hal itu terjadi. Dia tidak mau
papanya hanya menjadi sebuah kenangan.
Baginya, papanya masih hidup.
"And the hardest part
Was letting go, not taking part
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
You really broke my heart"
Namun, waktu terus berjalan. Mau tak mau,
Raka memang harus menerima kenyataan
bahwa papanya sudah meninggal. Waktu
papanya sudah habis, sementara waktu dia
masih panjang. Dia masih hidup, seperti kata
Nathan. Akan datang saat-mungkin-dia tidak
lagi bagaimana wajah papanya, suaranya,
caranya tertawa, caranya berjalan, tetapi tentu
saja dia harus menghadapinya. Sudah bukan
saatnya melarikan diri lagi. Raka merasa sudah
cukup terikat oleh kematian yang bukan
miliknya. "Papa, maafkan aku," lirih Raka. Berpura-pura
membenci seseorang yang sangat dicintai
memang sangat menyakitkan. Papanya pun
pasti merasakan sakit yang sama.
Aku sungguh-sungguh minta maaf, kata Raka
dalam hati. Kurasa memang sudah saatnya aku
melepasmu. *** Mama Raka sedang menonton TV sendirian
ketika Raka menuruni tangga.
"Ma." Mama menoleh. "Uhm?"
"Besok..." Raka terdiam sejenak. "Besok, aku
ikut Mama ke makam Papa."
Mama Raka langsung terpaku, sejurus
kemudian, air matanya menetes. Tanpa
mengatakan apa-apa, dia mengangguk. Sebuah
senyum terukir di bibirnya.
Sudah tiga hari terhitung sejak Raka memukul
Nathan, cowok itu tidak masuk sekolah. Nadya
bilang dia sakit dan Raka langsung merasa
bersalah. Dia takut pukulannya telah membuat
penyakit Nathan tambah parah. Akhirnya, Raka,
Nadya, Sarah, dan Dhihan berniat
menjenguknya. "Mau ke tempat Nathan?" tanya Nadya yang
pagi itu langsung menghampiri meja Raka
begitu melihatnya datang.
Raka mengangguk. "Ikut?"
"Ya," jawab Nadya. "Hari ini, sepulang sekolah?"
"Aku juga ikut!" Sarah yang hari itu duduk di
depan meja Raka langsung berseru.
"Tapi, naik apa?" tanya Raka. "Masa mau naik
motor bertiga" Selain sudah pasti akan
ditangkap polisi, motorku nggak muat."
"Aku juga ikut," sahut Dhihan yang langsung
membuat mereka bertiga menoleh ke arahnya
karena tak ada satu pun yang sadar kapan dia
datang. "Dia, kan, sobat aku juga, guru aku, malah."
Dhihan memberi alasan. "Kalau begitu, masalah transportasi udah
beres." Raka manggut-manggut. "Oh, ya! Kita
lupa hal yang penting! Ada yang tahu alamat
rumahnya?" "Ya, ampuuun," keluh Nadya. "Itu malah jadi hal
terakhir yang kamu pikirkan?" dia menggeleng
sambil menepuk-nepuk bahu Raka. "Tenang,
aku udah punya!" *** Rumah Nathan cukup membuat mereka semua
ternganga. Gosip dia anak orang kaya, ternyata
memang hanya gosip belaka. Kenyataannya, dia
adalah anak orang yang SANGAT SANGAT KAYA.
Bahkan, ruang tamunya hampir sama luas
dengan rumah Raka. Seorang pria setengah baya dengan penampilan
tenang, tetapi berwibawa masuk saat keempat
orang itu sedang mengagumi benda-benda yang
terpajang di ruangan itu.
"Saya ayahnya Nathan." Dia memperkenalkan
diri sambil menyalami mereka satu per satu.
Begitu sampai giliran Raka, pria itu langsung
memotong. "Caraka," katanya sambil tersenyum. "Saya
sudah tau." Raka melongo, tetapi tidak berniat bertanya
lebih lanjut tentang hal itu.
"Bagaimana keadaan Nathan, Om?" Raka buka
suara. Air muka ayah Nathan langsung berubah.
Senyumnya menghilang, dia tampak sedih.
"Memburuk," jawab pria itu. "Kesehatannya
turun drastis tiga hari terakhir."
"Apa itu gara-gara..." Raka menelan ludah,
"pukulan saya" Om tahu, kan, kalau saya yang
mukul dia" Apa karena itu dia..."
"Oh, bukan! Bukan!" sergah ayah Nathan buruburu. "Saya tahu tentang pemukulan itu, tetapi
bukan itu penyebab kesehatannya menurun.
Nathan jago bela diri, jadi dia pasti bisa
melindungi bagian-bagian yang vital dari
pukulanmu." Raka langsung menyandarkan diri ke kursi,
merasa sangat lega. "Kalian pasti sudah tahu kalau Nathan sakit,"
kata ayah Nathan. Raka mengangguk. "Kanker otak," ujarnya
pelan. Ayah Nathan terdiam sesaat. "Lebih tepatnya,
ada tumor di otaknya."
Hening seketika. "HAAAAAAAAAAAAAAHH?" teriak Dhihan tak
percaya. "Tumor?" ulang Sarah. Matanya mulai berkacakaca.
Ayah Nathan mengangguk. "Sejak kapan di-dia... Pe-penyakitnya..." Nadya
tergagap, lalu menoleh ke arah Raka. "Kamu
udah tahu tentang ini, Ka?"
Raka memegang tangan Nadya, mencoba
menenangkannya. "Ya."
"Sejak kapan dia tahu tentang penyakitnya?"
tanya Nadya kemudian, kepada ayah Nathan.
"Sejak kelas tiga SMP," jawab ayah Nathan
dengan pandangan mata menerawang-ia
tampak sedang mengingat-ingat suatu kisah
sedih. "Tepat setahun sejak ibunya meninggal."
"Ibunya meninggal?" ulang Dhihan.
"Orang yang sangat dekat sama Nathan." Ayah
Nathan menghela napas. "Waktu itu, saya
sungguh merasa Tuhan tidak adil kepadanya."
Mereka semua terdiam. "Saya bukan ayah yang baik," lanjutnya. "Saya
terlalu sibuk mengurusi bisnis saya hingga
hampir tidak pernah ada untuknya. Itulah
sebabnya Nathan sangat dekat dengan ibunya.
Dari ibunya, dia mendapatkan cinta dari yang
seharusnya juga saya berikan. Kematian ibunya
betul-betul memukulnya." Tiba-tiba saja, ayah
Nathan mulai bercerita, tampak ingin berbagi.
"Dia yang semula sangat ceria, humoris, cerdas,
jago olahraga, dan pandai bergaul langsung
berubah jadi anak yang pemurung dan mudah
marah. Nilai-nilainya pun turun drastis dan dia
jadi anak yang nakal." Ayah Nathan bercerita
panjang-lebar. "Tapi, akhirnya, dia sembuh?" tanya Raka.
"Ya," ayah Nathan mencoba tersenyum. "Dia
lebih tegar daripada yang semula saya kira. Dia
justru lebih cepat belajar "melepaskan" daripada
saya. Sekarang saja, saya masih belum bisa
merelakan kematian istri saya."
Raka sekarang mengerti kenapa Nathan
memintanya untuk merelakan kematian
papanya. Si jago segala bidang itu sudah pernah
mengalaminya. "Butuh satu tahun hingga dia akhirnya bisa
bangkit lagi," kata ayah Nathan. "Tapi, temantemannya sudah telanjur menjauhinya. Nilainilainya pun hampir tak tertolong lagi. Seakanakan semua itu belum cukup, penyakit itu pun
datang. Karena penyakit itu, dia tidak
diperbolehkan lagi melakukan olahraga yang
menguras tenaga seperti basket dan sepak bola.
Padahal, olahraga adalah satu-satunya yang
tersisa yang dia miliki." Ayah Nathan tampak
menerawang, seperti menyesali sesuatu.
"Apa memang sudah tak bisa ditolong lagi,
Om?" tanya Nadya. "Kata dokter, tumornya bisa diangkat dengan
operasi," jawab ayah Nathan. "Tapi, dalam
operasi, selain ada kemungkinan gagal, masih
ada lagi kemungkinan meninggal di meja
operasi." "Kalau begitu, kenapa Nathan nggak dioperasi?"
tanya Raka heran. Ayah Nathan menatapnya cukup lama sebelum
menjawab. "Dia nggak mau."
"Hah?" "Selama ini, pengobatannya hanya lewat obatobatan yang diminum," jelasnya. "Bahkan, dia
menolak melakukan kemoterapi."
"Kenapa" Kenapa dia nggak mau dioperasi?"
tanya Nadya tak habis pikir. "Dia nggak mau
sembuh?" "Mungkin," ayah Nathan tersenyum getir. "Ibu
yang sangat dia sayangi sudah
meninggalkannya. Semua miliknya sudah tidak
ada lagi. Mungkin sudah tidak ada lagi alasan
untuk tetap hidup." "Bagaimana dengan Om?" tanya Raka.
"Memangnya, Om nggak bisa jadi alasan yang
cukup buat Nathan tetap hidup" Kenapa Om
nggak maksa Nathan" Di-dia, kan, anak Om
satu-satunya..." Raka tidak habis pikir dan mulai
emosi. "Kamu tahu saya tidak mungkin memaksa dia,"
kata ayah Nathan kalem walaupun dari nada
suaranya tampak sedang sekuat tenaga
menahan perasaan. "Saya telah terlalu lama
tidak memedulikannya. Saat saya sadari betapa
pentingnya Nathan bagi saya, semuanya sudah
terlambat. Saya tidak mungkin menjadi
alasannya untuk hidup. Saya juga tidak mungkin
memaksanya untuk operasi kalau dia sendiri
tidak menginginkannya."
"Apa Om nggak mau dia sembuh" Apa Om
nggak cinta sama anak Om sendiri?" Raka
semakin emosi. "Maaf, tapi saya nggak ngerti
dengan cinta yang kayak gitu. Cinta yang justru
membiarkan orang yang mereka cintai mati.
Memangnya, ada cinta yang kayak gitu?"
Nadya mempererat genggamannya pada Raka
sambil tersenyum, menenangkannya.
"Kamu bilang saya tidak mencintainya?" tanya
ayah Nathan, kali ini nadanya mulai meninggi.
"Kamu pikir saya tidak ingin dia sembuh" Saya
ayahnya. Demi Tuhan! Tentu saja saya ingin dia
sembuh! Tapi, memaksanya berjuang untuk
hidup, padahal sebenarnya dia tidak
menginginkannya, itu sama saja membunuhnya.
Ini hidupnya, saya tidak mungkin ikut campur.
Dia yang harus menjalaninya, bukan saya atau
siapa pun. Dia sudah cukup dewasa untuk
membuat keputusannya sendiri. Apa saya masih
berhak memaksanya?" Napas Raka naik turun. Ayah Nathan mulai
kehilangan kontrol akan emosinya. Tak ada satu
pun dari mereka yang mengeluarkan kata-kata
setelah itu. "Saya mau ketemu Nathan, Om," kata Raka
kemudian. Ayah Nathan yang telah berhasil menenangkan
diri mengangguk, lalu mengantar Raka dan
teman-temannya ke depan kamar Nathan.
Sebelum mengetuk pintu, Raka meminta
kepada yang lain agar membiarkan dirinya
sendiri saja. *** Nathan sedang membaca di tempat tidurnya.
Dia tampak lebih kurus daripada kali terakhir
Raka melihatnya. Matanya agak cekung dan
tampak lelah, yang tak berubah hanya sorot
matanya yang tetap dingin dan tajam.
"Hai," sapa Raka. "Kamu nggak kaget
melihatku?" "Apa kamu sadar kalau suaramu itu keras
banget?" tanya Nathan sinis. Dia menutup
bukunya dan melepas kacamatanya, lalu
menaruhnya di meja samping tempat tidur.
Raka duduk di satu-satunya kursi yang ada di
situ. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Kayak yang kamu lihat sendiri," jawab Nathan
singkat. "Buat apa kamu ke sini?"
"Jenguk." Raka menaruh tasnya di lantai.
"Nggak cuma aku, ada Nadya, Sarah, dan
Dhihan juga. Mereka lagi di bawah sekarang.
Kami semua khawatir sama kamu."
"Khawatir" Kenapa?" tanya Nathan, tidak
antusias. "Karena kamu sahabat kami!" jawab Raka
dengan nada tinggi.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sahabat?" Nathan tersenyum sinis.
"Kamu nggak nganggap kami sahabatmu?"
"Itu terdengar lebih baik," jawabnya "Mulai
sekarang, tolong jangan menemuiku lagi.
Persahabatan kita berakhir sampai di sini saja."
"Kenap-" "Kita berdua," potong Nathan, "tahu bagaimana
sulitnya melepaskan orang yang dekat dengan
kita. Kamu sudah tahu tentang penyakitku ini,
jadi tolong jangan membuatnya sulit untuk kita
berdua." "Aku benci cara bicaramu yang seakan-akan
udah nggak ada harapan lagi," kata Raka kesal.
"Masih ada operasi, kamu masih ada
kemungkinan sembuh."
"Lalu, kalau aku sembuh, terus apa?" tanya
Nathan tajam. "Aku sudah kehilangan
semuanya, aku tak tahu lagi apa hidupku ini
layak diperjuangkan."
Raka tak bisa berkata apa-apa.
"Aku sudah merencanakannya sejak semula,"
lanjutnya. "Aku mau mati perlahan-lahan, tanpa
penyesalan, tanpa terikat oleh siapa pun, atau
apa pun yang akan membuatku tak rela
meninggalkan dunia ini."
"Jadi, ini sebabnya kamu jaga jarak sama orangorang yang mau dekat sama kamu?" tanya
Raka. "Ya, dan itu cukup berhasil." Nathan menatap
kedua mata Raka dalam-dalam. "Sampai kamu
datang." Raka menelan ludah. "Kamu merusak semuanya," katanya dengan
suara serak, berusaha menahan emosi. "Kamu
datang dengan segala mimpimu, kehidupanmu,
dan teman-temanmu, lalu menyeretku ke
dalamnya. Kamu seakan mengejekku dengan
memperlihatkan semua hal yang udah nggak
mungkin bisa kumiliki. Kamu membuatku
merasa tak rela harus meninggalkan dunia ini.
Kamu telah menggagalkan rencanaku."
"Kamu masih bisa!" teriak Raka. "Kamu masih
bisa memiliki dan merasakannya!"
"Berhentilah menyeretku ke kehidupanmu,"
kata Nathan dingin. "Ini bukan hidupmu yang
sedang kita bicarakan. Ini hidupku dan biarkan
aku membuat keputusan sendiri. Kali ini, kamu
salah memilih orang buat melampiaskan hobi
ikut campurmu." Raka tertegun. Nathan merebahkan dirinya. "Aku capek, aku
mau tidur." Dia memalingkan wajahnya.
"Kalau saja saat itu kamu menuruti katakataku," katanya lagi. "Buat tetap cuma jadi
teman sekelas, nggak kurang dan nggak lebih.
Pasti nggak akan sesakit ini. Kamu merasakan
sakitnya juga, kan" Tapi, semuanya belum
terlambat, Ka. Mulai sekarang, aku bukan
sahabatmu lagi dan jangan datang menemuiku
lagi. Ini yang terbaik untukmu. Pulanglah."
Namun, Raka tidak ke mana-mana. Dia terpaku
di tempat itu cukup lama hingga Nathan benarbenar tertidur. Pikirannya kacau dan dadanya
sesak. Dia tidak tahu sejak kapan dia mulai
peduli pada Nathan. Yang dia tahu, dia nggak
ingin Nathan pergi. Rasanya sangat
menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena
cowok itu meminta dirinya menjauh di saat-saat
terakhirnya. *** "Ibu sudah tahu tentang hal ini?" tanya Raka
pada Bu Ratna keesokan harinya.
Bu Ratna mengangguk. "Tentu saja, ibu kan wali
kelasnya. Ibulah yang meminta dispensasi
untuknya saat pelajaran olahraga dan upacara."
"Kenapa Ibu tidak pernah cerita pada siapa
pun?" "Karena bukan Ibu yang berhak memberi tahu
tentang hal itu," jawab Bu Ratna tegas. "Nathan
lah yang punya hak untuk menceritakannya.
Lagi pula, bukankah kamu juga sudah tahu dari
dia?" Raka terdiam. "Kamu menyesal sudah terlalu dekat dengan
dia?" tanya Bu Ratna seakan bisa membaca
pikiran muridnya itu. "Kalau tidak, saat tiba
waktunya Nathan pergi, kamu tidak akan
merasa sangat kehilangan seperti sekarang?"
"Sebenarnya..." Raka tertunduk. "Dia sudah
memperingatkan saya."
Bu Ratna menghela napas. "Ayahnya menemui
Ibu waktu dia kali pertama masuk ke sekolah ini.
Dia minta Ibu membujuk Nathan supaya mau
dioperasi. Ayahnya benar-benar putus asa."
"Ibu membujuknya?" tanya Raka.
"Ya." Bu Ratna mengangguk. "Tapi, tidak
berhasil. Dia bilang, "hanya keajaiban yang bisa
membuat saya mau dioperasi". Nathan sangat
tegas dengan keputusannya itu hingga Ibu tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Ibu pun jadi berpikir
mungkin dia memang ingin mati." Bu Ratna
terdiam. "Tapi, kemudian Ibu sadar Ibu salah,"
lanjutnya. "Dia bukannya ingin mati, dia hanya
tidak tahu lagi untuk apa dia hidup."
Raka mengernyit. "Memangnya itu beda?"
"Tentu saja beda," Bu Ratna tersenyum.
"Mamamu pasti tahu jawabannya."
Raka mengangguk-angguk. "Sekarang, apa
hubungannya semua ini sama saya" Apa ini juga
ada kaitannya dengan alasan Ibu memasukkan
saya ke Veritas" Waktu itu, Ibu bilang, karena
saya bisa membuat keajaiban."
Bu Ratna mengangguk, lalu tersenyum. "Benar,
masuknya kamu ke Veritas memang ada
hubungannya dengan ini."
Raka masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Ibu yakin, hanya kamu yang bisa menyadarkan
Nathan tentang apa yang layak diperjuangkan
dalam hidup." "Hah?" Raka melongo. "Saya" Memangnya,
sejak kapan, saya punya kemampuan seperti
itu?" "Raka..." kata Bu Ratna lembut. "Bahkan,
setelah apa yang kamu lakukan pada Sarah dan
Nadya, kamu masih tidak tahu kelebihanmu?"
Raka menggeleng keras. "Kamu punya kemampuan untuk masuk ke
kehidupan orang lain," jelas Bu Ratna.
"Suka ikut campur, maksud Ibu?" tanya Raka
sambil memicingkan mata. Bu Ratna tersenyum. "Yah... itu istilah lainnya.
Tapi ikut campurmu ini justru menolong orang
yang kamu masuki hidupnya. Kamu
menyadarkan mereka akan sesuatu yang selama
ini mereka lupa atau pura-pura tak mereka
sadari." Guru ini menatap Raka. "Ditambah
dengan sifatmu yang bertindak sebelum
berpikir itu, orang akan bisa langsung melihat
ketulusanmu dalam melakukannya,"
tambahnya. "Itulah kelebihanmu. Tanpa kamu
sadari, kamu sudah banyak membantu orang
dengan sifat ikut campurmu itu."
Kedua orang itu terdiam selama beberapa saat.
Raka tertunduk, lalu menghela napas.
"Jadi, Ibu berharap, saya bisa memengaruhi
Nathan dengan apa yang Ibu sebut kelebihan
saya itu?" desah Raka. Dia menutup mukanya
dengan kedua belah tangannya.
"Ya," jawab Bu Ratna tegas.
Diam, lagi-lagi. "Maaf," lirih Raka. "Saya gagal. Saya nggak
berhasil menyadarkan dia. Saya emang nggak
bisa membuat keajaiban."
"Belum," kata Bu Ratna lembut. "Kamu belum
gagal. Tapi, semua tetap bergantung padamu.
Tergantung sekeras apa usahamu untuk
menyadarkan dia. Kalau kamu memang
menganggap Nathan penting, kamu pasti tahu
caranya." Raka mendongak dan melihat Bu Ratna
memandangnya dengan keyakinan penuh.
"Manusia itu lebih berani menghadapi apa pun
kalau melakukannya demi orang yang dia
sayangi," tambah Bu Ratna. "Mamamu adalah
salah satu contohnya."
Raka tercenung. Bu Ratna hanya mengangguk
tanpa mengatakan apa-apa.
*** "Ada apa, Raka?" tanya mamanya khawatir
sambil menyalakan lampu kamar. "Kayak nggak
ada orang rumah waktu Mama pulang. Kenapa
lampu kamarmu nggak kamu nyalakan" Ada
apa" Kamu sakit?"
Mama bergegas menaruh telapak tangannya ke
dahi anaknya itu. "Nggak apa-apa, Ma," kata Raka sambil
menegakkan badan untuk duduk. "Aku cuma
pengin tidur cepat."
"Kamu ini nggak pintar berbohong," desah
Mama. "Mama sudah hafal tabiatmu. Kamu
cuma tidur cepat kalau ada masalah. Coba
ceritakan pada Mama ada apa."
Raka tetap diam. "Raka," kata sang Mama lembut, "mana tahu
Mama bisa bantu. Lagi pula, Mama merasa
Mama berhak untuk tahu tentang
kehidupanmu. Kehidupan seseorang yang
selama tujuh belas tahun ini selalu berada di
samping Mama." Raka menghela napas, menyerah.
Bagaimanapun, dia sedang berhadapan dengan
orang yang mengandung dan membesarkannya.
Mama memang berhak untuk tahu setiap detik
kehidupannya. Raka mulai menceritakan tentang apa yang
terjadi. Tentang penyakit Nathan, tentang
bagaimana dia menolak dioperasi, tentang
persahabatan mereka. Tentang kenyataan
bahwa dia baru sadar kalau dia sangat
menyayangi Nathan. Juga tentang apa yang
dikatakan Bu Ratna serta bagaimana guru itu
masih percaya dia bisa meyakinkan Nathan.
"Ingin mati dan nggak tahu hidup untuk apa,
apa bedanya?" tanya Raka mengulang
pertanyaan Bu Ratna. "Terus, kenapa Bu Ratna
juga bilang kalau Mama adalah contoh manusia
yang lebih berani menghadapi apa pun demi
orang yang dia sayangi?"
Mama terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Saat papamu meninggal," mama Raka mulai
menjelaskan, "Mama sebenarnya ingin ikut mati
bersamanya. Kepergian papamu seakan-akan
membawa separuh jiwa Mama. Mama nggak
sanggup hidup sendirian, bahkan ide ikut mati
itu pun benar-benar hampir pasti dijalankan."
Raka menelan ludah. "Tapi, kenyataannya, Mama nggak
melakukannya..." lanjut Mama, "karena ada
kamu. Kamulah alasan Mama tetap berjuang
untuk hidup. Saat itu, Mama ingin mati,
sungguh. Tapi, kamu membuat hidup layak
diperjuangkan. Walau Mama harus bekerja lagi,
membanting tulang demi membiayaimu,
membesarkanmu seorang diri, Mama rela
melakukannya demi kamu. Mungkin, itulah
bedanya antara ingin mati dan tak tahu hidup
untuk apa." "Kalau aku nggak ada, mungkin Mama memilih
ikut mati bersama Papa?" tanya Raka.
"Mungkin," jawab Mama sambil tersenyum,
"hidup terlalu keras untuk dilalui seorang diri."
"Walaupun hidup sangat keras, Mama tetap
berjuang demi aku," Raka bergumam. "Manusia
memang lebih berani menghadapi apa pun
demi orang yang disayanginya."
Raka menggenggam tangan mamanya,
menunjukkan bagaimana dia sangat berterima
kasih atas semua yang perempuan itu lakukan
untuknya. "Nathan juga manusia," kata mama lembut.
"Kalau dia berhasil menemukan apa yang patut
diperjuangkan dalam hidup, Mama yakin dia
akan mau menjalani operasi itu."
"Tapi, apa?" tanya Raka putus asa.
"Bukan "apa", tapi "siapa"," ralat sang Mama.
Raka mengangkat alis, tak mengerti maksudnya.
"Kamu, Caraka," jelas sang Mama. "Kamu yang
harus jadi alasan Nathan untuk hidup."
"Sejak kali pertama Mama melihat Nathan,"
lanjut Mama. "Sorot matanya, bukan sorot mata
orang yang ingin mati. Sorot matanya adalah
sorot pejuang, dia hanya belum menemukan
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alasan perjuangannya. Tugasmu adalah
menyadarkannya. Bu Ratna pasti juga berpikir
seperti itu." "Tapi, bagaimana?" tanya Raka. "Dia itu keras
kepala!" "Bukannya itu seperti melihat dirimu sendiri?"
tanya mamanya sambil tersenyum. "Kamu pasti
tahu apa yang bisa melunakkannya."
Raka menggaruk-garuk kepalanya.
"Kamu menyayanginya, kan?" tanya sang
Mama. "Aku cuma tahu dia udah jadi sahabat yang
sangat penting bagiku," jawab Raka. "Sejak
kenal dia, aku merasa sudah jauh berubah jadi
seseorang yang lebih baik. Dia banyak
membantuku dan menyadarkan sesuatu yang
sangat penting." "Kalau begitu, sekarang giliranmu," kata Mama.
"Dia membantumu jadi kamu yang seperti
sekarang, maka kamu juga harus membantu
dia." "Percayalah, Ma," kata Raka. "Itu adalah hal
yang paling ingin kulakukan."
*** "Kamu bakal coba meyakinkan dia lagi?" tanya
Nadya ketika Raka meneleponnya.
"Ya, walaupun aku nggak yakin sama hasilnya."
"Kok nggak yakin?"
"Dia, bahkan, nggak mau hidup demi ayahnya,"
jelas Raka. "Kenapa dia harus mendengarkan
aku" Mungkin, bagi dia, emang udah nggak ada
siapa-siapa lagi." Tak ada suara dari Nadya selama beberapa saat.
"Dia punya kamu," katanya kemudian.
"Aku?" tanya Raka tak mengerti.
"Seperti halnya Brahms punya Joseph, Mozart
punya Leopold, dan Edmund Hillary punya
Tenzing Norgay," jelas Nadya. "Nathan punya
Caraka. Kamu yang akan membantunya
menjalani hidup yang dia perjuangkan."
"Menurutmu, aku bisa?"
"Aku yakin," jawab Nadya. "Dalam hal ini, cuma
kamu yang bisa." Raka menghela napas. "Kenapa kamu
memercayaiku sampai sebesar itu?"
"Karena aku tahu, kamu nggak akan
mengecewakan aku," jawab Nadya dengan nada
tegas. Tanpa sadar, Raka tersenyum.
Nathan sedang tidur ketika Raka datang ke
rumahnya lagi. Ayah Nathan mempersilakan
Raka menunggu di kamar anaknya itu,
menunggu sampai akhirnya Nathan terbangun.
"Kamu..." ujar Nathan dengan suara serak
sambil berusaha untuk duduk, kaget mendapati
Raka duduk di kursi dekat tempat tidur. "Mau
apa ke sini?" "Menemuimu," jawab Raka.
Nathan terdiam sejenak, lalu memandang
"sahabatnya" itu tajam.
"Bukannya udah kubilang supaya berhenti
menemuiku?" Raka hanya diam. "Setelah ini, jangan datang lagi!" kata Nathan
dengan nada tinggi. "Persahabatan kita sudah
berakhir. Jangan pernah menemuiku lagi!"
"Berisik!" bentak Raka. "Kalau kamu nggak mau
ketemu aku lagi, itu terserah kamu! Kalau
bagimu persahabatan kita udah berakhir, itu
juga terserah kamu! Tapi, bagiku nggak!" lanjut
Raka, berusaha merendahkan nada suaranya.
"Berhenti bikin keputusan buat orang lain. Aku
menemuimu atau nggak, aku yang memutuskan
sendiri." "Kamu ini benar-benar keras kepala!" teriak
Nathan emosi. "Emang, tapi aku nggak kepala batu kayak
kamu!" balas Raka. "Kalau emang kamu merasa
seberat itu buat pisah sama teman-teman,
kenapa nggak berusaha mempertahankan
hidupmu sekarang?" "Gampang kalau ngomong!" Mata Nathan
memerah dan dadanya naik-turun. "Bukan
kamu yang dihadapkan pada kematian.
Emangnya, kalau kamu di posisiku, kamu mau
dioperasi dengan risiko mati di meja operasi"
Hah?" Raka menatap kedua mata Nathan dalamdalam.
"Aku mau," jawabnya serius. "Aku mau
melakukannya. Kesempatan sekecil apa pun
yang memungkinkan aku bisa berkumpul lagi
sama orang-orang yang aku cintai akan aku
ambil, bahkan walaupun risikonya mati di meja
operasi. Harapan sekecil apa pun akan
kuperjuangkan demi orang-orang yang aku
cintai dan mencintaiku."
Nathan tertegun mendengar jawaban Raka, tak
menyangka. Emosinya menurun.
"Tapi, itu kamu," katanya, mulai melunak.
"Jumlah orang-orang yang kamu cintai dan
mencintaimu emang membuat hidupmu patut
diperjuangkan. Beda denganku. Sejak semula,
saat ibuku meninggalkan aku, aku emang
pengin mati. Orang yang kucintai dan
mencintaiku sudah nggak ada lagi."
"Pembohong!" sembur Raka. "Kalau emang
kamu pengin mati, kenapa kamu masuk
sekolah" Bukannya lebih baik diam di kamar
dan nunggu sampai waktumu datang" Dengan
begitu, kan, kamu nggak bakal terikat sama
kehidupan siapa pun yang bikin kamu kayak
sekarang, berat melepaskannya. Jangan bilang
kamu melakukannya gara-gara kamu nggak mau
dikasihani. Aku tahu bukan itu alasanmu."
Raka menatap Nathan yang tidak berkomentar
apa-apa. "Kamu masuk sekolah justru karena kamu masih
pengin hidup," lanjutnya. "Kamu pengin ada
sesuatu atau seseorang mengingatkanmu
tentang hidup yang layak diperjuangkan. Jadi,
sebenarnya, bukan aku yang menyeretmu ke
kehidupanku, kamu sendiri yang membiarkan
dirimu terseret." Nathan masih terdiam. "Dan, kamu bilang, setelah kematian ibumu,
nggak ada lagi yang kamu cintai dan
mencintaimu." Raka menatapnya. "Lalu, kamu
pikir kami itu apa?"
"Ayahmu, aku, Nadya, Sarah, Dhihan, Alfi," jelas
Raka. "Kamu mau aku menyebutkan nama
anak-anak satu kelas?"
Nathan masih tidak mengatakan apa-apa.
"Kamu udah jadi bagian dari kami," kata Raka
mencoba meyakinkan. "Dan, aku tahu,
walaupun selama ini kamu selalu kelihatan
nggak peduli, sebenarnya nggak ada yang lebih
peduli pada kami daripada kamu. Apa yang
udah kamu lakukan padaku, Sarah, Nadya,
Dhihan, dan yang lainnya jadi bukti semua itu.
Sikap dinginmu pun, aku tahu, sebenarnya buat
melindungi kami. Jadi, apa kami nggak cukup
layak diperjuangkan?"
Mereka terdiam selama beberapa saat.
Raka mendesah. "Kamu bilang persahabatan
kita ini bakal menyakitkan buat kita berdua
kalau diteruskan. Kamu benar, ini emang
menyakitkan. Sangat, malah. Kenyataan bahwa
aku bakal kehilangan kamu adalah hal paling
menyakitkan setelah kematian papaku. Tapi,
karena menyakitkan, aku jadi sadar kalau kamu
udah jadi bagian terpenting dalam hidupku.
Kamu jadi sesuatu yang layak diperjuangkan
bagiku." Raka bicara panjang-lebar, dari lubuk
hatinya. "Sungguh, Than," dia menunduk, menopang
kepalanya dengan kedua tangan, "kalau emang
menyakitkan, kalau emang berat buat pergi dan
melepaskan persahabatan kita, jangan lakukan.
Ambil kesempatan sekecil apa pun itu demi
dirimu sendiri dan..." Dia menelan ludah. "Demi
aku." Nathan tak bersuara dalam waktu yang cukup
lama. "Kamu ini banyak omong," katanya kemudian.
Gantian Raka yang terdiam.
"Kalau aku mati di meja operasi," lanjutnya,
"aku akan menghantuimu."
Raka mendongak dan melihat cowok itu
tersenyum. "Beneran?" tanya Raka tak percaya.
"Aku udah nggak sanggup melawan kepalamu
yang keras itu," desahnya. "Mungkin, kalau aku
menuruti omonganmu, kamu bakal berhenti
menggangguku." Raka meringis. "Kenapa kamu melakukan ini semua?" tanya
Nathan. "Hah?" "Berusaha keras supaya aku mau dioperasi."
Nathan menatap Raka. "Kenapa kamu
melakukannya" Apa karena kamu
menganggapku sahabatmu?"
Raka mengangkat bahu. "Aku cuma nggak bisa
membiarkanmu begitu aja."
Nathan tersenyum sinis seperti yang biasa dia
lakukan. "Plagiat!" ujarnya.
Raka tertawa. *** Operasi Nathan sudah dijadwalkan, tiga bulan
lagi. Selama tiga bulan itu, dia tidak pernah
dibiarkan sendirian meskipun sehari. Raka,
Nadya, dan Sarah bergantian menjaganya.
Cuma, karena setiap kali melihat Nathan, Sarah
pasti menangis, akhirnya setiap giliran Sarah,
Raka atau Nadya ikut menemaninya. Sementara
itu, Dhihan dan yang lain datang setiap akhir
minggu. Nathan benar-benar telah menjadi
bagian dari mereka. Nathan mengalami banyak sekali perubahan
tiga bulan terakhir itu-selain kepalanya yang jadi
gundul dan berat badannya yang menyusut
tajam. Dia tampak lebih ceria dan sering
melontarkan lelucon-lelucon yang selalu bisa
membuat teman-temannya tertawa. Dia jauh
lebih menyenangkan daripada yang mereka
kenal selama ini. Mungkin sebenarnya, itulah
sifat aslinya sebelum maut merenggut ibunya
dan penyakit itu datang. Teman-temannya pun jadi semakin
menyayanginya dan sangat berharap operasinya
berjalan lancar. Mereka, terutama Raka, tidak
rela melepas Nathan pergi.
*** "Tiba-tiba aku merasa bego banget," keluh Raka
ketika hanya dia dan Nathan di kamar
menunggu operasi. Nathan sudah di bawah
pengaruh obat bius, tetapi kesadarannya belum
hilang. "Ngapain juga aku susah-susah membujukmu
ikut operasi ini," kata Raka dengan nada
menyesal. "Padahal, kalau orang yang punya
segala hal yang diinginkan cewek sepertimu
nggak ada di dunia ini, persaingan nggak akan
terlalu ketat lagi."
Nathan hanya tersenyum lemah. Tidak lama
kemudian, beberapa suster datang untuk
membawanya ke ruang operasi.
"Jangan pergi," kata Raka sambil menggenggam
erat tangan Nathan sebelum dia dibawa pergi.
"Kalau kamu pergi, aku akan membencimu
seumur hidupku. Berjanjilah kamu akan
berjuang dalam operasi ini!"
Nathan tidak menjawab. Kesadarannya sudah
berangsur-angsur menghilang, tetapi dari sorot
mata cowok itu, Raka tahu sahabatnya itu tidak
akan mengecewakannya. - Epilog - The flowers cut and brought inside
Black cars in a single line
Your family in suits and ties
And you"re free Nathan meninggal satu tahun kemudian.
Operasi yang dijalani berhasil mengangkat
tumornya. Namun, karena sudah telanjur
menyebar ke daerah-daerah vital, nyawanya
tidak terselamatkan lagi. Hari ini adalah hari
pemakamannya. The ache I feel inside Is where the life has left your eyes
I"m alone for our last goodbye
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
But you"re free Raka berdiri jauh dari tempat pemakaman. Dia
tidak sanggup melihat jasad Nathan
dikebumikan. Saat sedang memperhatikan
prosesi pemakaman dari tempatnya berdiri,
tiba-tiba seseorang menyentuh pundak cowok
itu. Raka menoleh dan melihat Bu Ratna sudah
berdiri di belakangnya. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil melepas
earphone setelah memencet tombol pause di
iPod-nya. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Bu Ratna
heran. "Kenapa kamu tidak mendekat ke sana?"
Raka membalikkan badannya lagi, menatap
lurus ke depan. "Nggak apa-apa," katanya. "Dari sini sudah
cukup. Nathan pasti tahu saya datang ke
pemakamannya." Bu Ratna tidak mengatakan apa-apa. Dia sudah
menduga alasan sebenarnya.
"Ini ada titipan dari ayah Nathan untukmu,"
kata Bu Ratna sambil menyodorkan selembar
amplop. "Apa ini?" Raka mengambil amplop itu.
"Sesuatu yang Nathan tulis untukmu di hari-hari
terakhir hidupnya," jawab Bu Ratna. "Ibu pergi
dulu." Sebelum pergi, Bu Ratna menepuk-nepuk
pundak Raka dengan lembut. Raka memasang
earphone dan memutar lagu lagi. Kemudian, dia
mulai membaca kata-kata yang tertulis di
sampul depan: "To Caraka".
I remember you like yesterday
Yesterday I still can"t believe you"re gone
Oh I remember you like yesterday
Yesterday And until I"m with you, I carry on
Ketika kamu membaca surat ini, bisa dipastikan
saat itu aku sudah nggak ada lagi di dunia ini.
Kamu pasti heran kenapa aku menulis surat
untukmu-kenyataannya, aku sendiri juga nggak
tahu. Mengingat betapa bodohnya dirimu,
kayaknya sejelas apa pun aku memberi tahu,
kamu pasti nggak akan mengerti.
Raka tersenyum. Dasar. Adrift on your ocean floor
I feel weightless numb and sore
A part of you and me is torn
You"re free Aku ingin memberi tahu betapa aku sangat
berterima kasih. Selama ini, aku selalu mencaricari keajaiban yang bisa memberiku alasan buat
hidup. Ketika bertemu denganmu, Nadya,
Sarah, dan yang lain, aku disadarkan kalau
sebenarnya aku nggak perlu mencarinya.
Ternyata, keajaiban itu justru sedang kualami,
kurasakan, dan kujalani. Ternyata, hidup adalah
keajaiban itu sendiri. I woke from a dream last night
I dreamt that you were by my side
Reminding me I still had life
In me Aku sangat berterima kasih karena itu.
Raka menelan ludah. Melihat tinta yang
memudar dari bekas bulatan titik air, dia bisa
menduga Nathan menangis ketika menulis surat
itu. I remember you like yesterday
Yesterday I still can"t believe you"re gone
Oh I remember you like yesterday
Yesterday And until I"m with you, I carry on
p.s. Jangan membenciku. Waktu terus berjalan,
aku sudah mati, tapi kamu masih hidup. Tak
perlu terikat masa lalu. Sungguh, nggak apa-apa
bagiku kalau kelak kamu melupakanku. Biar aku
saja yang mengingatmu, itu sudah lebih dari
cukup bagiku. "Sial!" geram Raka sambil meremas kertas di
tangannya itu. Dia jatuh terduduk di tanah, lalu
menutupi wajahnya, mencoba menahan air
mata yang sudah hampir tak terbendung. "Aku
akan membencimu! Aku akan membencimu
seumur hidupku!" Air mata Raka mulai menetes. Akhirnya, untuk
kali pertama setelah sekian lama, dia menangis.
Raka bersumpah, dia tidak akan pernah
membiarkan kenangan tentang Nathan hilang.
Dia tidak akan pernah melupakannya.
Dalam edisi Veritas yang ditujukan untuk
Nathan, Sarah mengutip kata-kata George
Bernard Shaw: "Aku bisa kehilangan seorang
teman seperti itu dengan kematianku, tetapi
tidak dengan kematiannya."
"...And In the End, the Love We Take Is Equal To
the Love We Make." (The Beatles)
*** Tanah Warisan 9 Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Jabang Bayi Dalam Guci 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama