Ceritasilat Novel Online

Piano Di Kotak Kaca 2

Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica Bagian 2


Dengan begitu nama keluarga mereka akan diteruskan olah anak laki-lakinya, dan ibu bisa
tenang menghadapi ayah di alam baka. Tidak, Bram benci ibunya dengan alasan yang tidak jelas.
Pokoknya ia tak mau menyenangkan satu orang pun.. Semua orang dibencinya dan tidak ada satu
orang pun yang boleh bahagia. Akan ditariknya semua orang ikut dalam kejatuhannya.
Sifat Bram berubah menjadi tetutup, egois, pendiam, pemurung, dan negatif thinking. Di rumah
ini tidak ada televisi. Eman pun dilarang menyalakan radio. Eman cuma boleh menyetel kaset.
Bram tak pernah membaca koran, apalagi berlangganan. Eman yang sering membaca koran, tapi
koran itu tak pernah tergeletak sehingga bisa dilihat Bram. Eman membaca di kamarnya sendiri.
Bram hidup di dunianya sendiri, dunia yang tak pernah tersentuh kehidupan dunia raya, dunia
yang mirip dunia novel yang dibuatnya, tak tekontaminasi berita-berita masa kini.
Bram tak tahu mengapa ia begitu, tapi langkah itu diambilnya setelah ia mendengar berita
tentang aktor muda yang baru muncul dan hal itu menimbulkan kepedihan di hatinya. Bila ia
mengganti chanel televisi, ia akan melihat sinetron terbaru dan teringat dunia film yang tak
mungkin dikunjungi lagi. Bahkan berita kelaparan yg terjadi di Afrika pun membuat hatinya
kesal, karena mengingatkannya bahwa Tuhan telah menciptakan begitu banyak kesedihan di
dunia ini. Braaakk....!!!! Suara keras itu membuat Bram tersentak. Ia menoleh ke jendela dan melihat keluar. Dihihatnya
seorang gadis kurus berambut panjang terjatuh di bagian dalam pagarnya. Ia mengenali gadis itu
sebagai gadis yang tempo hari masuk ke rumahnya dan mengobrol dg Eman. Mungkin juga
gadis yang mengintip pada saat ia main piano waktu itu ia tak sempat melihat wajahnya. Bram
merasa kesal mengapa ada anak murid seperti ini, terus-terusan mengganggunya" Ini tak pernah
terjadi sejak dua belas tahun lalu, ketika seorang murid ke sini untuk memetik bunga matahari
yang ditanamnya. Anak itu digigit oleh Dobby, anjing yang sekarang sudah mati. Anak itu lalu
dihukum olah Bu Lia. Dan sejak itu Bram memerintah Eman untuk tdk menanam bunga yg
terlalu bagus. Cukup bugenvil dan bunga rumput.
Bram buru-buru masuk ke kamar. Ia tak mau gadis itu melihatnya. Paling-paling sebentar lagi
Eman mengusirnya. Eman sedah tahu majikannya tak suka hal seperti ini.
"Sheila!" panggil Eman terkejut. "Kenapa kakimu?"
Gadis itu terpincang-pincang menghampiri Eman. "Tolong sembunyikan saya, Kek. Saya mau
ditangkap polisi?" "Ditangkap polisi" Memang ada apa?"
Tapi Sheila tiba-tiba terkulai pingsan dan jatuh menimpa Eman. Buru-buru Eman memapahnya
masuk ke rumah. "Tuan! Tuan Bram!" serunya.
Bram keluar dan melihat Eman memapah gadis itu. Bram segera membantu membaringkan
Sheila di sofa ruang tamu.
"Siapa dia" Kenapa dia?" tanya Bram.
"Saya tidak tahu, Tuan. Kelihatannya murid dari asrama."
"Kenapa pingsan?"
"Tahu-tahu dia pingsan di depan,Tuan. Mungkin karena ketakutan. Dia bilang dia mau ditangkap
polisi, makanya dia minta tolong pada saya."
"Kenapa minta tolong sama kamu" Memang kamu kenal dia?"
Eman tersipu-sipu. "Kami sudah bertemu beberapa kali, Tuan. Ini.... Sudah pertemuan ketiga.
Anaknya baik, Tuan. Dia pernah menolong saya pada saat saya jatuh....."
"Sudah saya bilang tidak boleh ada yang datang kemari!" hardik Bram. Eman langsung diam.
"Setelah dia sadar, kamu harus mengusirnya pergi!"
Bram lalu menyuruh Eman melepaskan sepatu Sheila dan membuatkan teh, semetara itu ia
memijat kaki gadis itu untuk melancarkan peredaran darah.
Sheila merasakan sentuhan pada kakinya. Ia membuka mata dan ia melihat tempat yang tidak
dikenalnya. Ia sedang berbaring di sofa, dan seorang pria sedang memegang kakinya. Ia pun
melompat dari sofa. "Kau mau apa?" tanyanya garang untuk menutupi rasa takutnya. Tapi kumudian ia melihat pria
itu lebih jelas. Pria di hadapannya itu tampan, dan bertubuh kekar. Wajahnya memang tampan,
tapi.... Di pipi kirinya ada bekas luka yang cukup mengganggu pemandangan. Sheila kemudian
berseru. "Oh.... Kau pria yang main piano itu.!"
Bram memandang gadis di hadapannya dg jengkel. Sudah masuk rumahnya tanpa izin, menuduh
dirinya hendak mengapa- apakan dia, ternyata anak ini juga yg mengintipnya main piano. Bram
berdiri dan mengambil tongkatnya, lalu dengan langkah tertatih-tatih, tapi cukup gesit, ia masuk
ke kamarnya. Biar saja Eman yang mengurus semuanya, batinnya.
Sheila menatap kaki pria itu dengan terkejut. Kakinya..... Ternyata pria itu timpang! Sayang
sekali, mungkin itu sebabnya ia mengucilkan diri di sini. Tapi......
"Tunggu, Omm. Mau kemana?"
Bram berhenti melangkah. Serta-merta ia merasa dirinya sangat tua. Ya benar gadis itu memang
pantas memanggilnya "OMM" .Gadis itu masih SMA, pasti usianya belasan tahun. Sedangkan ia
sudah 36 tahun. Mengapa ia tidak merasa dirinya sudah tua" Pastilah karena ia jarang bertemu
orang selama belasan tahun ini. Sekarang ia sadar, mengucilkan diri tidak akan mengubah
kenyataan bahwa ia sudah pantas memiliki ponakan sebesar gadis itu.
"Kalau perlu apa-apa panggil Eman saja. Kalau sudah baikan kembalilah ke asrama. Apakah kau
tak tahu kalau aku tak suka menerima tamu?"
"Aku tidak mau balik ke asrama!" seru gadis itu. Ia buru-buru menghampiri Bram dan
menatapnya dengan pandangan memohon. "Tolong saya, Omm. Mereka akan menjebloskan saya
ke penjara." "Kenapa?" Sheila menunduk dan menjawab ragu "Saya.... Saya memukul teman saya hingga berdarah. Saya
tidak tahu saat ini ia masih hidup apa tidak."
"Kenapa kamu melakukan itu?"
"Eh..." Sheila teringat perasaan yang muncul begitu tiba-tiba dalam hatinya waktu ia
memutuskan menghantam Indah dg balok kayu itu, sama persis ketika ia ingin memukul Renny
dg botol beling. "Saya tidak tahu."
"Kenapa kamu berpikir kalau saya akan membantu orang yang bersalah seperti kamu?"
"Kelihatannya Oom berhati baik. Saya tahu itu. Tolong sembunyikan saya, Oom. Mereka pasti
mengejar saya kemari."
"Kenapa kamu berpikir kalau mereka akan mengejar kemari?"
"Ini tempat terdekat dari asrama. Lagi pula.... Saya rasa Oom punya hubungan dengan Bu Lia."
Bram tediam. Ia mengamati wajah muda di depannya. Gadis bertubuh kurus ini pasti usianya
tidak lebih dari tujuh belas tahun. Wajahnya begitu belia dan omongannya sembrono, tapi Bram
bisa menarik kesimpulan bahwa otaknya cerdas.
"Saya tidak akan menyembunyikan orang yang bersalah di rumah saya." mendengar itu Sheila
mengeluh kecewa. ?" tapi saya akan lihat apa yang bisa bantu sebisa saya." senyum Sheila
mengembang. "Makasih Oom." "Panggil saja saya Bram."
"Makasih Oom Bram."
"Bram." "Oh, iya Bram." ulang Sheila. Ia berpikir tentu pria ini tidak mau dipanggil 'Oom' olehnya karena
masuh muda. Berapa usianya kira-kira" Ia menebak kira-kira tiga puluh tahun lebih . Berapa
lebihnya" Eman muncul dari dapur dengan membawa secangkir teh manis. Ia tersenyum melihat Sheila
sudah siuman. Gadis itu balas tersenyum, walau wajahnya jelas terbias pucat.
TOK! TOK! TOK! Sheila langsung melompat mendengar ketukan di pintu. Ia berembunyi di belakang tubuh Bram.
"Man, buka pintunya." suruh Bram.
Eman buru-buru membuka pintu. Dua orang wanita masuk. Sheila mengenalinya sebagai Bu Lia
dan bu Susan, gurunya. Buru- buru ia bersembunyi lagi di belakang tubuh Bram.
Bu Lia angkat bicara. "Ma..... Maaf kami datang kemari Pak Bram. Tapi kami....."
"Silahkan duduk." ucap Bram tegas. Kedua guru itu langsung duduk di sofa. Sheila membatin,
kenapa gurunya bisa begitu hormat pada Bram"
"Kami mencari gadis itu." tunjuk Bu Lia pada Sheila.
"Saya tahu ia memukul temannya hingga berdarah, kan" Sekarang bagaiman keadaan
temannya?" Susan memandang pria di depanya dengan terpesona. Sudah lama ia mendengar cerita mengenai
Bram dari Bu Lia, tapi baru kali ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia sudah tahu
mengapa pria itu mengucilkan diri, tapi kini ia ragu kenapa alasannya. Bram merupakan salah
satu pria tertampan yang pernah dilihatnya. Mengapa cacat di wajahnya dan ketimpangannya
mengganggu batinya hingga ia hidup terisolasi"
"Keadaanya. . Ia sudah sadar... Tapi.."
"Berati ia tidak mati. Apakah ia gagar otak?"
"Tadi ia sudah sadar, dan kelihatannya tidak...."
"Berarti ia tidak gagar otak, apa lukanya parah?"
Bu lia terdiam. Bram terkesan membela Sheila, dan hal ini membuatnya bingung. Mengapa
hanya karena urusan gadis yang melanggar peraturan ini, Bram rela menemani 'Orang luar' dan
bukan pembantunya" Begitu pentingkah gadis ini" Menurut Bu Lia tidak. Dia tahu betul, Bram
tidak mungkin tertarik pada anak ingusan ini.
"Tidak." "Kalau tidak saya harap ibu bisa memaafkan kesalahan Sheila."
Bu Lia terdiam. Masalah Sheila semakin meresahkannya. Kalau dibiarkan tentu kelakuannya
semakin menjadi-jadi. Dan Sheila masih bersekolah lama di tempat ini. Kalau dari sekarang
tidak dibina..... "Saya berjanji tidak akan mengeluarkannya dari sekolah. Tapi dia tetap harus dihukum atas
kesalahan yang diperbuatnya." ujar Bu Lia tegas.
Bram menoleh pada Sheila, "Bagaimana" Sudah cukup adil kan, Shaila?"
Tiba-tiba Sheila berlutut dan memeluk lutut Bram, "Tidak! Saya tidak mau kembali ke sana!
Saya tidak mau kembali ke asrama!"
Bram mengerutkan keningnya, "Kalau kau tidak mau kembali ke asrama berarti kau mau di
keluarkan?" "Tidak! Saya tidak bisa kembali ke asrama, bila dikeluarkan pun saya tidak punya tempat untuk
pergi! Izinkan saya tetap tinggal di sini!" isaknya.
"APA?""!" Seru Bram, Bu Lia, dan Susan bebarengan.
Susan yang dari tadi diam saja angkat bicara, "Sheila kenapa kau tak mau kembali ke asrama"
Kamu tahu kami tidak mungkin berbuat sesuatu yang buruk terhadapmu, kan?"
Sheila memandang Susan, seingatnya guru itu tidak pernah peduli terhadapnya. Sementara guru
yang lain membenci dan memvonisnya sebagai "pembuat onar" Susan selalu menganggapnya tak
ada, tak berharga, tak eksis.
"Aku nggak mau kembali."
"Tapi kau tak bisa menyusahkan Pak Bram, tahu kah kau beliau siapa?"
Sheila teringat perlakuan guru-gurunya terhadapnya sejak ia tiba di tempat itu. Mereka dan Ratna
setali tiga uang. "Dia orang baik, kalian jahat padaku!"
"Sheila dia pemilik sekolah Mutiara Bunda!" seru Susan.
Sheila terkejut mendengarnya, ia menatap Bram, lalu bergantian menatap Bu Lia dan Susan.
"Baik, aku tinggal saja di sini. Walaupun jadi pembantu tidak apa-apa!"
Susan menatap Bu Lia, lalu berusaha membujuk Sheila lagi, "Sheila kalau masih bisa
melanjutkan sekolah, kenapa kau ingin menjadi pembantu?"
"Aku tidak mau sekolah lagi, aku mau tinggal di sini saja." serunya keras kepala.
Bu Lia ikut membujuk, "Tapikan kau punya teman di asrama, siapa namanya" Ti....."
Sheila tertawa sinis, "Jangan pura-pura perhatian, Bu Lia. Kalaupun saya tidak diizinkan tinggal
di sini, biarpun tidak ada tempat untuk pergi saya akan tetap keluar dari sekolah itu!"
Bu Lia memandang Bram seolah meminta bantuan.
"Sheila ...." panggilnya lembut, "Kembalilah ke sana. Di sini saya tidak memerlukan pembantu,
sudah ada Eman." Sheila menatap Bram, "Tapi Oom" eh, Bram..... Kakek Eman kan sudah tua. Waktu itu ia
membawa setumpukan kayu bakar dan terjatuh. Kalau tidak ada aku, mungkin ia sulit bangun
sendiri. Coba pikirkan, dari pada aku menggelandang di jalan, lebih baik aku di sini, aku dapat
pekerjaan, dan kau dapat pembantu!"
Sedari tadi Eman mondar-mandir lewat ruang tamu itu, berlagak menaruh minum untuk tamu,
bolak-balik mengambil ini, menaruh itu, padahal ia cuma ingin menguping.
"Di jakarta aku juga dijadikan pembantu olah tante Ratna. Padahal suaminya yang menjadi
walinya begitu baik. Dan aku sudah tidak tahan lagi tinggal di rumahnya sampai aku sudah tujuh
belas tahun, sampai aku sudah dianggap dewasa...."
Bu Lia tersentak kaget, "Sheila jangan menjelek-jelekan tantemu yang begitu baik..."
Sheila tidak peduli, ia melanjutkan, " Mereka bilang aku tidak boleh hidup sendiri sebelum aku
dianggap dewasa. Tapi aku malah dijadikan pembantu. Lebih baik aku di sini. Kau mau
memberiku gaji, kan?"
"Tentu saja." Bram teringat, "Tapi bukan itu masalahnya, aku ingin bertanya...."
"Sama saja. Selama ini aku sering melakukan tugas rumah tangga. Semuanya tidak sulit. Aku
lebih baik bekerja gratis di sini dari pada dipekerjakan olah orang yang menganggap dirinya
telah berbuat baik, padahal sebaliknya."
Sekarang Bram ingat apa yang ingin ditanyakannya. "Memangnya orangtuamu di mana?"
Tanpa diminta Susan menjawab, " Ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya."
Sekarang ruang tamu itu hening. Tak ada yang berbicara, bahkan Sheila memandang kedua
gurunya dengan penuh kebencian, tapi tak berkata apa-apa.
"Nah, Bram kau lihatkan" Aku rasa bekerja untuk orang baik sepertimu jauh lebih baik dari pada
di asrama, rumah tanteku, atau tempat lain dimana pun. Mereka tidak memandang sebelah mata
pada anak seorang pembunuh. Terlebih anak dari seorang suami yang membunuh istrinya." kata
Sheila sinis. Suaranya bergetar, napasnya memburu, matanya berkaca-kaca.
Eman menyela, "Saya butuh orang untuk membantu saya, Tuan."
Semua menoleh padanya. "Saya sudah tua dan sakit-sakitan, dan saya rasa Sheila sangat cocok membantu di sini."
Bram terdiam, berpikir sejenak lalu berbicara, " Saya rasa untuk sementara ini saya akan
menampung Sheila di sini."
Bu Lia dan Susan ternganga.
BAB 6 AKHIRNYA Bram memutuskan Sheila akan tinggal di rumahnya, sebagai pembantu yg digaji
sesuai standar yang berlaku. Tapi status Sheila tetap murid SMA Mutiara Bunda, jadi gadis itu
belajar sendiri dan mengikuti setiap ulangan dan ujian yang diadakan sekolah. Bedanya ia tidak
belajar di kelas bersama teman-temannya di kelas. Bram khusus meminta Bu Susan datang ke
rumahnya setiap akhir minggu untuk memberikan soal ulangan untuk Sheila. Awalnya Bu Lia
tidak setuju, tapi karena Bram bersikeras, akhirnya Bu Lia menyerah dg berat hati.
Tidak jelas alasan Bram mengizinkan Sheila tinggal di situ. Ia pun bertanya-tanya kenapa ia
menyetujui keinginan Sheila. Lalu diingatnya, hatinya tergerak saat Bu Lia kengucapkan latar
belakang Sheila dengan begitu gamlangnya.
"Ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya!"
Saat itulah Bram sadar bahwa Sheila telah diperlakukan dg tidak adil dan tidak diperlakukan
sebagaimana layaknya manusia yang punya perasaan dan pikiran. Ia punya firasat Sheila tidak
mengada-ada. Dan akhirnya, ia menilai bahwa nasib Sheila sama seperti dirinya. Dunia tidak
menerima mereka, dan mereka harus bertahan hidup sendirian di dunia ini, lepas dari manusia
lainnya. Eman sendiri yang mengambilkan barang-barang Sheila di asrama. Sheila diberi kamar yang
tadinya berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang jarang dipakai Bram. Kini barangbarangnya diletakkan di gudang dan ruangannya menjadi kamar Sheila.
Sheila merasa sangat bahagia. Baru kali ini ia mendapatkan kamar yang besar untuk dirinya
sendiri. Sebenarnya kamar di rumah Ratna juga lumayan, tapi Sheila masih ingat kamar iu
memang kamar pembantu, sehingga dari jendela kamarnya ia dapat melihat dapur dan kamar
mandi. Kini kamarnya benar-benar sebuah kamar, dengan ranjang besi yang ditemuakan Eman di
gudang. Diatasnya dihamparkannya matras gulung, dan setelah dilapisi seprai, ranjang itu mirip
ranjang sungguhan. Eman juga memasukan lemari untuk diisi dengan barang-barang Sheila. Lamari kecil itu tadinya
tempat menyimpan buku-buku Bram, tapi pria itu menyeruh Eman menyimpan buku-bukunya di
kardus dan ditaruh di gudang. Sheila juga diberikan bangku dan meja untuk belajar. Sheila
menganggap itu terlalu banyak. Bram benar-benar baik padanya.
"Aku hanya bisa menampungmu di sini sampai usiamu tujuh belas tahun. Kau bilang saat itu kau
sudah dianggap dewasa dan bisa hidup sendiri."
"Ya.... Itu pun aku sudah berterima kasih pada Oom, eh Bram."
"Berapa lama lagi itu..?"
"Setahun lagi, tujuh belas desember tahun depan."
Bram mengangguk-angguk, "Selama itu kau ku gaji standar saja, tidak melebihi gaji Eman, tapi
kau harus bekerja lebih banyak dari dia, mengarti?"
"Mengerti. Tenang saja , aku akan berusaha sekuat tenaga."
"Kemudian aku juga mau memberitahu, kau jangan lagi mengatakan aku baik. Aku sama sekali
tidak baik. Lama-lama kau akan melihat sifat asliku. Saat itu lebih baik kau jauhi aku dan jangan
membantah. Aku akan cepat baik kembali."
"Oke." "Dan aku suka sendirian. Aku tidak suka diganggu. Letak kamarmu dekat dengan kamar Eman ,
jauh dari kamarku. Itu bagus, karena aku suka mengetik sampai malam dan tidurmu pasti
terganggu kalau dekat dg kamarku. Kalau aku tidak keluar dari kamar jangan mengetuk pintu
kamarku. Kalau makanan sudah matang, tidak usah memberitahu aku. Kalau lapar aku akan
mengambil sendiri. Kalau ada surat letakkan saja di meja makan, nanti aku pasti lihat. Kalau
tidak ada hal yang penting-penting amat, tidak usah menggangguku. Tanya saja pada Eman, dia
tahu aku mau bagaimana."
Sheila mengangguk. "Kurasa soal pembagian tugas yang harus dilakukan tanya Eman saja. Ia tentu lebih mengerti.
Aku tahunya semua hal sudah beres."
"Kakek Eman sudah kasih tahu. Aku yang mencuci, menyetrika, mengepel. Ia mengurus kebun,
memasak, dan membersihkan barang-barang. Tapi aku juga minta diajarkan memasak,
soalnya......" "Satu hal lagi Sheila." Sheila berhenti bicara dab menatap Bram. "Aku tidak ingin trlalu dekat
dengan seseorang. Jagalah jarak. Aku tidak suka kau teralu banyak bicara."
Hari kedua Sheila di rumah Bram, Tini dan Wenny datang berkunjung. Saat itu Bram sedang di


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamarnya. Sheila ragu apakah ia bisa memasukkan temannya ke dalam rumah lalu setelah
berpikir panjang, ia mengajak temannya untuk mengobrol di luar pagar. Bram pasti tidak suka
kalau terlu banyak orang datang.
"Sheila kau yakin ingin terus tinggal di sini?" tanya Tini sambil terus mengusap matanya. Sheila
tersenyum, baru sadar ternyata temannya itu cengeng.
"Ya. Lebih baik aku tinggal di sini dari pada di asrama. Kalian pasti ngiri sama aku, kan?"
"Kau memang enak." ujar Wenny dengan tatapan iri. "Kalau aku bisa digorok orangtuaku kalau
aku kabur dari asrama "
"Tapi statusku masih murid, kok.aku juga tetap ikut ulangan juga seperti kalian."
Tini menyela," Eh bagaiman kalau aku mencatatkan soal ulangan untukmu" Kau kan ulangannya
setelah kami ulangan, jadi kau bisa dapat bocoran."
Sheila tertawa, "Nggak usah, di sini aku malah punya semangat belajar. Nggak percaya" Ayo
kita adu nilai di akhir semester!"
"Kau sudah dengar kabar terbaru Indah" Orangtuanya akan memindahkannya ke sekolah leguler
di jakarta. Mereka marah sekali anaknya dipukul teman di sekolah." ujar Wenny.
"Keadaanya bagaimana?" tanya Sheila.
"Yang kudengar dari Tiwik sih sudah membaik. Cuma ada tiga jahitan di kening, lalu boleh
pulang dari rumah sakit. Tapi lukanya akan membekas jadi harus ditutupi poni."
Tini cekikikan. "Dia nggak bisa ikut lomba jidat nonong, dong..."
"Kau beruntung Sheila orangtua Indah tidak melaporkan ke polisi. Kabarnya Bu Lia telah
memberikan uang damai untuk mereka. Ini pasti dari pemilik rumah ini." kata Wenny. Lalu ia
mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada Sheila, "Memangnya yang tinggal di sini mantan
aktor terkenal ya?" "Ngaco kamu!" sembur Sheila. "Yang ku tahu sih dia pengarang, soalnya tiap malam ketak-ketik
terus, kayaknya sibuk banget ya jadi pengarang?"
"Mukanya kayak gimana sih?" tanya Wenny penasaran.
"Uh, ganteng banget...! Kau suka Rano Karno kan" Rano Karno mah...... lewat!" jawab Sheila
seenaknya. "Terus kau naksir dia?" tanya tini.
"Eh. .. Pikiranmu jangan kotor ya" Umurnya sudah tua! Kata kakek Eman umurnya sudah tiga
puluh enam! Tadinya ku pikir masih tuga puluh, habis masih kelihatan muda sih. Ternyata beda
dua puluh tahun dari aku."
"Yeeee. Nggak pa-pa lagi. Kalau ceweknya yang lebih tua itu yang nggak bagus!"
Sheila jadi risi. "Eh jangan ngomongin itu lagi, deh. Bercanda yang serius dong!"
"Bercanda yang serius gimana?"
Tawa mereka pun berderai.
Sheila bertanya lagi, "Teman-teman di sekolah ada yang ngegosipin aku nggak?"
"Nggak. Nggak ada yang tahu kau tinggal di sini. Mereka pikir kau dikeluarkan, soalnya Bu Lia
ngomong gitu. Cuma Bu Susan yang memanggil kami berdua dan menceritakan yang
sebenarnya. Kata mereka berita ini jangan dibocorkan ke anak-anak lain.
Sheila manggut-manggut. Itu pasti permintaan Bram juga. Pria itu pasti terganggu dengan
kehadirannya di sini, padahal ia ingin mengasingkan diri. Sheila bersyukur karena hati Bram
baik, mengizinkannya mengganggu kehidupannya.
Setelah mengobrol sebentar tentang situasi sekolah. Tini dan Wenny akhirnya pamit. Mereka
berjanji akan sering-sering menjenguk Sheila. Tentunya di tempat yang sama, di luar pagar
rumah itu. Namun, tentu saja Bu Lia tidak bisa tinggal diam. Ia tak mau disalahnkan belakangan. Masalah
sheila adalah masalah yang cukup pelik. Anak itu bukan anak biasa, karena hak perwaliannya
hampir jatuh ke tangan negara kalau tidak ada Haryanto. Ia masih dianggap di bawah umur dan
belum bisa mengambil keputusan. Maka Bu Lia menghubungi Ratna dan Haryanto sebagai wali
yang berhak. Haryanto kaget luar biasa. Pada hari yang sama dengan pemberitahuan tersebut ia datang ke
Mutiara Bunda, Bu Lia pun mengantarkannya ke rumah Bram.
"Jadi anda wali Sheila?" tanya Bram. Kali ini ia mulai ragu, bijaksanakah ia menerima Sheila di
sini, sebab akhir-akhir ini ketengannya terganggu dan ia mesti menerima beberapa orang masuk
ke rumahnya. "Ya, saya saudara angkat ayah Sheila. Orangtua ayahnya yang mengangkat saya sebagai anak.
Walau kami jarang bertemu hubungan kami cukup dekat. Sheila kan terhitung keponakan saya
juga. Sejak ayahnya dipenjara, saya bertanggung jawab atas dia. Masalah ini sangat mengejutkan
saya. Saya pikir Sheila baik-baik saja di sini. Kalau tahu ia tidak betah, biar saya bawa pulang
lagi saja. Nanti saya pindahkan ke sekolah lain." tutur Haryanto sambil terus celingak-celinguk
ke belakang tubuh Bram, mencari-cari sosok Sheila.
"Tapi katanya Sheila tidak mau kembali ke asrama dan tidak mau pulang."
Haryanto mengerutkan keningnya. "Tidak mau pulang" Oh mungkin ia masih merasa bersalah
sama Reza. Tidak! Reza tidak marah padanya. Anak itu sudah lupa soal tempo hari. Biasalah.....
Anak-anak, mudah bertengkar, mudah pula baiknya."
"Katanya Sheila tidak mau pulang karena dijadikan pembantu oleh istri anda."
Haryanto terdiam dengan wajah terkejut. Ia tak bisa bicara beberapa saat.
"Dia.... Bilang begitu?" tanyanya lirih.
Bram mengangguk. " Makanya saya kasihan dan menerimanya di sini. Melihat keterkejutan
anda, saya mulai paham masalah ini. Anda memang menyayanginya, tapi tampaknya ia tak
diperlakukan adil oleh istri anda.."
Haryanto diam lagi, ia tampak terpukul.
"Kalau begitu, sekarang Sheila mana?"
Bram mengangguk, lalu memanggil Eman. "Eman! Tolong panggilkan Sheila."
Eman yang sejak tadi mondar mandir di situ, buru-buru pergi ke belakang, ke kamar Sheila. Tapi
beberapa saat kemudian ia kembali lagi.
"Tuan, Sheila bilang ia tidak mau ketemu Oomnya. Ia bilang Oomnya suru pulang saja, Sheila
tidak mau ikut pulang." kata pembantu tua itu, lalu menbahkan, "Dia bilang tidak akan keluar
kamar sebelum Oomnya pulang."
Bram berpandangan dengan Haryanto, "Lebih baik kita ke kamarnya saja."
Haryanto mengangguk dan mengikuti Bram menuju kamar Sheila. Ketika dilihatnya Bram
meraih tongkat dan jalan tertati-tatih, hatinya lantas bertanya-tanya siapa pria ini," Kenapa Bu
Lia yang notabennya kepala sekolah kelihatan begitu segan pada Bram dan tak mampu
mengambil Sheila begitu saja" Bu Lia juga langsung pulang ke asrama begitu mengantarkan
Haryanto kamari. Katanya Haryanto bicarakan saja hasilnya setelah urusannya selesai.
Rumah itu mungil. Modelnya biasa saja, tapi interiornya begitu menarik. Barang-baranya
berwarna polos, tapi tampak menonjol dan indah. Ini pasti barang mahal, pikir Haryanto.
Walaupun tempat ini sederhana, Haryanto mrnduga Bram bukan orang susah. Buktinya ia bisa
tinggal di sini tanpa bekerja.
Meraka tiba di sebuah kamar yang bertuliskan KAMAR SHEILA dengan kertas putih dan tulisan
spidol warna-warni. Pasti itu baru dibuat. Melihat itu, Haryanyo berpikir Sheila betah di sini.
Sheila tidak pernah menuliskan ini di ramahnya.
Bram menoleh pada Haryanto, dan memberi tanda dengan tangannya bahwa ini kamar Sheila.
Haryanto mengangguk paham bahwa Bram menyerahkan semua ini padanya, dan akhirnya
tergantung pada keputusan Sheila.
Haryanto mendekat ke pintu, lalu mengetuk perlahan.
"Sheila..." Tidak ada jawaban. " Sheila ini Oom Haryanto. Oom datang kemari untuk mengajakmu pulang."
Tetap tak ada jawaban. "Sheila, Oom tidak marah. Kau tahu, Oom sayang padamu dan peduli padamu, makanya Oom
langsung kemari begitu tahu kau ada masalah."
Di dalam Sheila duduk di tempat tidur, mendengar kata-kata lembut Oomnya, air matanya
mengalir tabpa bisa ia tahan.
"Reny, Reza, dan tante menunggu kepulanganmu."
"Tidak! " terdengar suara Sheila dari dalam kamar. "Tante benci padaku . Renny dan Reza juga
tidak menyukaiku. Di sana cuma Oom yang baik padaku. Tapi di sini Oom Bram dan kakek
Eman baik padaku." "Pak Bram baik. Tapi oom seharusnya bertanggung jawab atas hisaup kamu. Jangan membuat
orang lain repot, Sheila pulanlah dengan Oom." Bijuk Haryanto.
"Oom jangan khawatir, karena di sini aku bekerja sebagi pembantu. Saya dapat gaji dan masih
bisa bersekolah. Oom tidak usah khawatir lagi pada saya menetap di sini adalah keputusan saya
sendiri?" Haryanto kaget ia belum mendengar masalah ini dari Bu Lia.
"Kamu di sini jadi pembantu...."
" Nggak apa-apa Oom. Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Dulu di Jakarta tante
Ratna juga suka menyuruh-nyuruh saya. Sama saja ,Oom. Maaf kalo Oom tersinggung, tapi saya
bekerja di sini atas kemauan saya sendiri, tidak ada yang menyuruh-nyuruh. Saya tidak dianggap
sebagai pembantu oleh Oom Bram. Saya bebas melakukan apa saja. Di Jakarta....." Sheila tidak
melanjutkan ucapannya, sadar bahwa ia mungkin akan menyinggung Haryanto.
Haryanto terpaku menatap pintu kamar Sheila. Matanya berkunang-kunang. "Tante....
Menjadikan kamu pembantu?"
Sheila terdiam. Mata Haryanto berkaca-kaca. "Maafkan Oom Sheila. Oom mau membantu kamu, malah
menyusahkanmu." Sheila mendekati pintu dan berkata lirih, "Satu-satunya hal yang saya sesali adalah Tante tidak
mengajari saya bermain piano, sehingga saya tidak bisa memainkan lagu di hari ulang tahun
Oom." Kini Haryanto menangis. Lama ia terdiam di situ, lalu menoleh pada Bram. "Baiklah, saya akan
tinggalkan Sheila di sini. Saya menyesal tidak bisa membahagiakan dia, malah
menyusahkannya." ia menolah ke pintu. "Sheila, Oom pulang dulu. Baik-baiklah di sini kalau
sempat mampir ke Jakarta, rumah Oom terbuka untuk mu kapan saja. Bahkan kalau kau tidak
betah di sini, kau boleh tinggal lagi bersama Oom."
Tiba-tiba terdengar gerendel pintu di buka. Begitu pintu terbuka, Sheila menghambur ke pelukan
Haryanto. Gadis itu menangis di sana. Haryanto juga memeluk ponakannya erat-erat. Bertahuntahun Haryanto merasa rindu pada kedua orangtua angkatnya yang sudah meninggal, yang telah
menyekolahkannya hingga berhasil. Ia juga rindu pada Charles, saudara angkatnya yang bandel,
yang tidak mau sekolah sehingga hidupnya jadi susah.
Charles tak pernah mau menemuinya. Haryanto tahu mungkin Charles merasa iri pada Haryanto
karena orangtuanya selalu memuji Haryanto yang rajin, dan memarahi Charles yang bandel.
Akhirnya Haryanto mendapatkan kesempatan itu, kesempatan untuk membalas budi orangtua
angkatnya, yaitu dengan menjadi wali Sheila. Tapi kini pupus sudah. Baru ia tahu istrinya begitu
kejam, telah membuat Sheila menderita. Kini ia merasa bersalah karena keponakannya harus
tinggal dg orang lain. Mudah-mudahan Bram baik pada Sheila.
"Sheila jaga dirimu baik-baik."
"Oom juga!" seru Sheila sesenggukan.
Haryanto melepaskan pelukannya. Ia berpaling pada Bram yang bersandar di dinding
memperhatikan mereka. "Saya titip Sheila, pak Bram. Mohon bimbingannya."
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya, Pak haryanto." jawab Bram.
Haryanto pun pulang dengab tubuh lunglai. Ia cuma berharap , Sheila bisa mendapatkan
kebahagiaan yang telah lama hilang.
Sheila sungguh-sungguh bahagia tinggal di rumah itu. Baru kali ini ia merasa benar-benar tinggal
di sebuah rumah, walau penghuninya cuma sedikit.
Tugasnya tidak sulit. Bangun tidur pukul lima pagi ia langsung mencuci baju, lalu menjemurnya
di luar. kemudian ia mengepel seluruh rumah, setelah selesai ia membantu Eman menyiapkan
sarapan, kemudian ia sarapan bersama Eman.
Bram tidak pernah sarapan. Pagi-pagi ia biasanya berolahraga dengan peralatan gym di
kamarnya, lalu mandi dan mengetik sampai siang. Bila lapar ia akan keluar kamar lalu makan
sendirian, kemudian masuk kamar lagi sampai sore. Menjelang pukul tujuh ia makan malam
sendirian, lalu masuk kamar lagi. Sungguh hidup yang membosankan, pikir Sheila. Ia merasa
beruntung masih bisa menghirup udara segar di luar, berhenti sebentar untuk melihat rimbunya
bunga bugenvil, dan menatap langit yang biru bila matahari menutup awan.
Sehabis sarapan Sheila belajar sendiri di kamarnya sampai pukul sepuluh. Kadang-kadang ia
tidak belajar dan ikut Enan ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari tiga atau empat hari
sekalian. Pukul sepuluh ia membantu Eman menyiapkan makan siang, lalu makan siang bersama
Eman sekitar pukul dua siang. Lalu ia mengangkat jemuran yang saat itu sudah kering dan
menyetrikanya, lalu menaruhnya di tempat pakaian luar kamar mandi, yang akan diambil sendiri
oleh Bram bila ia akan memakai pakaian itu. Sesudah itu Sheila mandi sore dan belajar lagi.
Biasanya ia tidak makan malam karena pukul delapan saja ia sudah ngantuk. Keesokan harinya
ia bangun lagi pagi-pagi untuk mencuci. Begitulah rutinitasnya di rumah itu.
Kadang Sheila memperhatikan pintu kamar Bram hingga lama, seolah perbuatannya bisa
menyebabkan pria itu keluar dan berbincang-bincang dengannya, tapi Bram jarang keluar kamar.
Paling kalau ia ingin makan malam, makan siang, makan pagi. Dan mandi sore. Itu pun kalau
bertemu Sheila, ia cuma tersenyum tanpa bicara apa-apa. Sheila berusaha menyenangkan pria itu
dengan membuatkan makanan, tentu saja diajari Eman. Eman lah yang akan memberitahu Bram
kalau itu buatan Sheila. "Ini sayur terong buatan Sheila, Tuan."
Sheila yang mendengar itu di balik dinding ruang makan, sambil pura-pura membereskan taplak,
girang luar biasa. Seolah ia bisa melihat Bram menyukai masakannya, lalu bersyukur karena
sudah mengizinkan Sheila tinggal di rumahnya.
Setiap jumat pagi Bu Susan akan datang menemui Sheila. Ia membawakan beberapa soal
ulangan yang diujukan minggu sebelumnya. Ia menyeruh Sheila mengerjakannya, lalu kembali
ke asrama. Pulang sekolah Bu Susan datang lagi untuk mengambil jawabannya. Sebenarnya
Sheila bisa saja mencontek dari buku teks atau catatan. Tapi ia tidak mau. Ia tahu kali ini tidak
ada lagi batasan baginya untuk menjadi murid SMA. Ia berharap walau tak belajar di kelas, ia
menguasai pelajaran yang sama, bahkan lebih, dari murid yang belajar di kelas. Untuk itu ia
mesti menjadi pengawas bagi dirinya sendiri.
Ibu Susan yang cantik itu kelihatan naksir Bram, pikir Sheila. Sebab berkali-kali Bu Susan
berlama-lama di rumah itu sambil berpura-pura mengobrol dengan Sheila yang kakinya gatal
ingin keluar rumah. Lalu sekitar pulul empat sore, Bram akan keluar sebentar. Saat itu lah Bu
Susan mengajak Bram mengobrol. Mereka bisa mengobrol selama satu hingga dua jam, dan saat
itu Sheila sudah melesat seperti panah keluar rumah. Sejak dulu ia tak suka Bu Susan. Sampai
kini pun ia tetap tak suka, walaupun wanita itu kini lebih memperhatikannya.
Ada satu hal yang membuat Sheila bingung. Sudah sebulan ia tinggal di sini, tapi belum pernah
Bram memainkan piano yang ada di ruang tamu. Ketika ia tanya pada Eman, pria tua itu
menjawab bahwa tuan biasanya main dua atau tiga hari sekali. Sheila pikir tentu pria itu malu
padanya. tapi ia tak mau pria itu merasa tak nyaman karena kehadirannya. Ia masih lama tinggal
di sini, masih setahun lagi. Ia ingin sekali Bram merasa kehadirannya menguntungkan, bukannya
mengganggu. Karena itu sheila girang luar biasa ketika suatu hari Bram bermain piano.
Sesuai permintaan Sheila tidak akan mengganggu atau mengajak bicara kalau tidak diminta. Jadi
ia pun tidak mengganggu. Ia duduk di dapur sambil pura-pura membereskan sesuatu. Dari situ
denting piano Bram terdengar jelas.
Bram memainkan beberapa lagu yang tak dikenal Sheila. Gadis itu menikmatinya sambil duduk
di lantai dapur. Eman yang masuk dapur dan melihat sheila jadi kebingungan. Sheila menaruh
telunjuknya di bibir sebagai isyarat agar Eman tudak bicara apa-apa. Eman cuma geleng-geleng
kepala. Ketika Bram memainkan lagu Fur Elise sebagai lagu terakhir, Sheila menangis. Bram
memainkan lagu ini dengan begitu sedihnya. Menilik judulnya, apa berkaitan dengan cinta Bram
yang telah lalu" Pria setampan dia pasti pernah menjalin cinta, pikir sheila.
Musik berhenti Terdengar suara orang mengenakan jaket, Bram berseru, "Man, aku pergi ke supermaket dulu!"
Sheila menunggu beberapa menit, lalu keluar dari dapur. ia langsung menghampiri piano.
Dielusnya piano putih itu. Piano itu sama persis dengan miniatur piano dalam kotak kaca milik
ibunya. Sheila membuka tutup piano itu, lalu duduk di hadapannya.
Ting..! Denting pianio itu terdengar indah di telinganya. Bila satu nada saja terdengar begitu indah,
apalagi banyak, pikirnya. lalu ditekan-tekannya tuts piano itu. Bunyinya terdengar berisik dan
tidak enak. Ia menghela napas, dan kembali menutup piano. Bunyi seindah yang dihasilkan Bram
atau renny saat memainkan piano ini pasti hasil latihan selama bertahun-tahun. Orang biasa tidak
akan bisa. "Suka piano?" Suara itu membuat Sheila tersentak. Ia menoleh dan melihat Bram duduk di sofa, mengenakan
sweter dengan bahan wol. Ternyara pria itu belum berangkat. Betapa malunya Sheila! Pasti
tontonan tadi lucu sekali. Ia menekan tuts piano asal-asalan, tapi dengan gaya bak pianis
kawakan. "Bram!" seru Sheila.
Bram tertawa. "Aku melihatmu main piano tadi. Gayamu boleh juga."
Wajah Sheila memanas. "Kau tidak pergi ke supermarket?"
"Mau ikut?" BAB 7 SUPERMARKET langganan Bram tidak jauh dari jalan raya dekat asrama. Bram memakai
sweter gombrong berwarna abu-abu yang menyembunyikan bentuk tubuhnya, kaca mata hitam,
serta topi ber-cap panjang yang menutupi mata dan hidungnya. Sheila pikir pria itu pasti ingin
menutupi wajahnya agar tak dikenali orang. Menurut Eman mereka telah tinggal di situ selama
empat belas tahun, waktu yang tidak sebentar. Apa yang ingin dihindarkan Bram dengan
mengasingkan dirinya" Dan dari siapa"
Rupanya Bram pergi ke supermarket seminggu atau dua minggu sekali, untuk membeli rokok,
silet cukur, serta beberapa keperluan mandi, dan melihat koleksi buku baru yang ada di toko
buku dekat supermarket itu. Koleksi bukunya cukup lengkap, dan rupanya karena memiliki
langganan seperti Bram, mereka menyediakan beberapa judul buku baru, walau jumlahnya hanya
satu-satu. Memasuki toko itu, seorang petugas tersenyum pada Bram. Rupanya mereka mengenali
pelanggan setia mereka. "Katanya..... Kau penulis novel detektif, ya?" tanya Sheila pada Bram. "Eman memberiku satu
buah buku untuk dibaca. Aku senang banget pada karakter detektif Richard. Sudah pintar,
misterius pula. Sayangnya tidak diceritakan apa dia punya istri apa tidak." celoteh gadis itu.
Biasanya ia tidak berani mengajak Bram bicara di dalam rumah, takut ptia itu terganggu.
Sekarang keluar lagi bawelnya.
"Richard tidak punya hubungan asmara. Dia mengabdikan diri untuk menyelidiki kasus-kasus
pembunuhan." jawab Bram.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dia pinter banget! Bisa nebak orang lain dari mana hanya dari debu yang menempel pada
pakaiannya yang sebelah mana, atau ciri-ciri lain yang berubah pada orang itu. Tapi aku juga
bingung, kata Eman, kau sudah mengarang puluhan novel. Bagaiman ada ide kalau televisi dan
koran saja tidak ada di rumahmu" Di koran kan banyak kasus pembunuhan, itu bisa menambah
ide, kan?" Bram telihat tidak suka. "cara orang membunuh memang makin canggih. Mereka tidak perlu
meniru berita di koran atau televisi untuk melakukan pembunuhan. Mereka berpikir dengan otak
mereka. Akupun juga."
"Jadi kau berpikir seolah kau seorang pembunuh" Kau juga memikirkan cara membunuh korban
yang diincar?" "Ya, dari situ aku mendapatkan ide-ide untuk ceritaku."
"Woow, hebat!" puji Sheila. "Bagaiman caranya kita membunuh orang yang ada di dalam rumah
kita, tapi tidak ketahuan orang lain" Walau kita gampang membunuhnya, tentu sulit
menyembunyikan pembunuhan itu."
"Gampang. Bunuh lalu sembunyika mayatnya. Bisa saja dikubur di belakang rumah, atau
dubuang ke tempat lain, atau dipotong-potong lalu dibuang ke tempat sampah...." saat melihat
ekspresi wajah Sheila yang murung, Bram sadar gadis itu sedang membicarakan orangtuanya..
Ayahnya telah membunuh ibunya, dan menurut cerita Bu Lia, jenazah Ibu Sheila sampai saat ini
belum ditemukan. Tentulah Sheila masih penasaran bagaiman ayahnya membunuh ibunya.
"Sudahlah, jangan bucarakan pembunuhan. Aku sudah bosan. Oh ya, kau suka piano?"
"Suka sekali." mata Sheila menerawang. "Aku ingin sekali bisa bermain piano. tapi itu sepertinya
tidak mungkin lagi. Kudengar paling bagus belajar piano diusia tujuh sampai sepuluh tahun.
Lebih dari itu, bakal sulit sekali,"
"kata siapa?" tanya Bram. "Lalu kau pikir, apakah pencipta piano sudah pasti bisa bermain
piano?" "Maksudmu, orang yang pertama kali membuat piano?"
Bram mengangguk. "Pasti bisa dong. Masa yang menciptakan tidak bisa memainkan."
"Lalu apakah dia masih berusia tujuh sampai sepuluh tahun waktu menciptakan piano?"
"Ya nggaklah. Pasti sudah dewasa umurnya."
"Nah, dia belajar piano setelah dewasa, kan?"
Sheila terdiam sesaat, lalu tertawa. "Ya ampun benar! Kenapa selama ini aku begitu bodoh, ya?"
"Makanya jangan mengikuti opini umun, punya opini sendiri saja sudah cukup."
"Berarti aku masih bisa belajar piano?"
"Kau mau?" "Tentu saja mau!" seru Sheila antusias. "Aku ingin sekali bisa memainkan Fur Elise, seperti yang
kau mainkan tadi. Ehmmmm.... Sebenarnya aku juga pernah mendengar lagu itu waktu kita
belum saling kenal." kata gadis itu malu-malu.
Bram tersenyum. "Fur Elise itu dikarang oleh Beethoven. Lagu itu tak sesulit karyanya yang lain
seperti Moon ligh sonata yang terkenal, tapi anehnya Fur Elise malah paling dikenal orang."
"Rasanya aku pernah mendengar tentang Beethoven itu."
"Ya , dia memang sangat terkenal. Dan kisah hidupnya juga unik. Telinganya tuli saat karirnya
sedang menanjak. Kalau tidak salah saat usianya 30 tahun. Tapi ia tak pernah menyerah. Lagu
Fur Elise dikarangnya pada saat usianya 40 tahun."
"Berarti setelah ia tuli" Hebat dong!"
"Ya semangat berkarya patut ditiru. Dan uniknya lagu ini tentang lagu ini, partiturnya ditemukan
di catatan milik Therese vin Brunswick. Kabarnya wanita itu adalah wanita yang dicintai
Beethoven selama hidupnya."
"Oh ya, lalu apakah mereka menikah?"
"Sayangnya tidak."
"Jangan-jangan lagu itu adalah ungkapan cintanya pada wanita itu?"
"Mungkin saja, lagu itu kan tidak ada liriknya, jadi kita tidak tahu apa isinya, paling-paling
menebak dari nadanya yang lembut dan romantis."
Sheila terdiam, ia sudah tak sabar ingin memainkan sendiri lagu yang kini sudah menjadi lagu
favoritnya itu. "Jadi apakah aku boleh belajar piano?"
"Tentu saja." Sheila mengira Bra m sendiri yang akan mengajarnya. Tapi ternyata Bram sibuk. Bram pernah
mengobrol dengan Bu Susan, dan wanita itu memberitahu bahwa ia menguasai bbeberapa alat
musik, termasuk piano. Maka pada kedatangan Bu Susan berikutnya ke rumah itu, Bram
memintanya untuk memberi Sheila les piano. Tentu saja Bram akan membayar biayanya. Tak
terduga Bu Susan langsung setuju, bahkan sangat antusias. Dia bersedia datang setiap sabtu dan
minggu untuk memberikan Sheila les piano selama 1 jam setiap kali datang.
Tadinya ia ingin menolak, ia teringat kejadian di rumah Haryanto sewaktu Ratna berkata akan
mengajarnya. Ternyata malah membohongi dan mempermalukannya. Ia tidak suka pada Susan.
Siapa tahu firasatnya itu berati Susan akan seperti Ratna, tidak mau mengajarinya piano. Tapi
Sheila tidak enak bila menolak kebaikan hati Bram. Dengan berat hati ia menyetujui. Dengan
syarat Bram tidak boleh terlalu berharap padanya.
Begitulah Sheila mendapatkan les piano dari Bu susan. Wanita itu satang sebanyak tiga kali
dalam seminggu. Jumat untuk memberikan ulangan, sabtu dan minggu untuk les piano. Setiap
kali datang ia pasti mengajak Bram mengobrol. Sheila tak suka hal itu, entah mengapa. Baginya
Susan datang membawa tali untuk menjerat leher Bram dan mengikatnya. Tapi tali itu
dikalungkannya pelan-pelan setiap kali datang. Nanti bila tiba waktunya untuk menjerat, talinya
tinggal ditarik. Terjeratlah hati sang pria, tanpa tahu selama ini dirinya diincar. Ketika Sheila
menceritakan hal ini pada Tini dan Wenny yang kebetulan mengunjunginya, kedua gadis itu
langsung tertawa teebahak-bahak.
"Aku bisa membayangkan! Ya ampun! Aku bisa membayangkannya!" seru Wenny.
"Tapi Bu susan nggak jelek-jelek banget loh.!" kata Tini
Sheila mengangguk. Itulah yang ditakutkannya. Sepertinya ia takut kehilangan kasih sayang
Bram. Baginya Bram adalah pengganti Haryanto yang dulu menggantikan ayahnya. Senang
rasanya memiliki seseorang yang selalu siap melindunginya jika ia perlu dan memberikannya
bila ia butuh sesuatu. Apa jadinya kalau Bram jadian dengan Bu susan" Bagaimana nasibnya
kalak" "Belajar piano tidak segampang belajar alat musik lain." jelas Susan pada saat mengajarkan
teori-teori dasar pada Sheila. "Kalau gitar tinggal ditekan pada tempat-tempat yang tepat, lalu
digenjreng, langsung bisa terdengar enak. Kalau piano, jika kau tekan bagian chordnya bersamasama malah terdengar tidak enak. Seperti ini...." Susan mencontohkan dan Sheila menganggukangguk paham. "Jauh lebih enak kalau kau menekannya bergantian seperti ini...." Susan
mencontohkan lagi. Kali ini Sheila kagum pada keahlian Susan. Baru ia tahu ternyata Susan
pandai main piano. "Tapi itu sulit butuh latihan lama untuk bisa memainkan jari-jarimu di piano. Ini soal
ketrampilan. Bila kau sudah memainkan irama apa saja, tinggal bakat mu yang menentukan. Bila
bakatmu besar kau akan bisa memainkan lagu yang baru kau dengar tanpa partitur."
"Semua lagu?" Susan mengangguk. "Semua lagu." Susan memainkan lagu yang sedang populer saat ini dan Sheila terpesona. Tapi
karena Susan memainkannya satu lagu penuh, Shaila agak jengkel. Jangan-jangan wanita ini
hanya mau pamer, soalnya suara piano kan bisa terdengar sampai kamar Bram..
Setelah selesai, Sheila berkata tegas, "Saya cuma mau bisa bermain satu lagu saja, boleh tidak,
Bu?" Susan tampak terkejut. "Kenapa" Saya tidak akan kasih lagu yang susah-susah, kok. Kamu tahu
lagu Twinke- Twinkel little star, kan" Lagu itu kan....."
"bukan itu maksud saya,Bu. Saya mau belajar lagu Fur Elisa saja. Kira-kira berapa lama saya
bisa memainkan lagu itu?" pinta Sheila.
"Lagu itu cukup susah, lho. Kamu mesti belajar lagu-lagu pendek dulu, melatih jari-jarimu.
Nggak bisa langsung lagu susah itu."
"Kalau saya tetap mau lagu itu, berapa lama saya bisa?"
Susan menjawab jengkel."Ya sekitar enam bulan sampai satu tahun."
"Bisa lebih cepat, Bu."
"Tergantung bagaimana kamu latihan. Mungkin kalau tiap hari latihan, sebulan dua bulan juga
bisa. Tapi saya ingatkan, karena dasar kamu belum cukup kuat, mungkin lagu itu tidak terdengar
bagus kalau kamu mainkan. jadi sebaiknya....."
"saya berjanji akan mempelajarinya selama satu bulan." tekad Sheila.
Sheila bingung darimana Bram mendapatkan uang untuk membayar tagihan-tagihan dan
kebutuhan sehari-hari. Ia sudah tahu Bram pemilik asrama, tapi itukan milik keluarganya, lagi
pula Sheila tak pernah melihat Bu Lia datang mengantarkan uang. Jadi dugaanya itu tidak masuk
akal. Kalau dari novel, bagaimana caranya pria itu memperoleh uang" Sheila pernah dengar
kehidupan penulis susah karena uang yang didapat sedikit. Tapi Bram kelihatannya selalu punya
uang untuk berbagai kebutuhan mereka. Lagi pula, bagaimana Bram menerbitkan novel detektif,
kalau Bram tak pernah kemana-mana selain ke supermarket"
Suatu hari pertanyaan Sheila terjawab dengan datangnya pria bernama Frans. Pria itu editor dari
salah satu penerbit terkenal di jakarta. Sejak pagi Bram sudah mengingatkan Eman untuk
menyiapkan makan siang yang cukup istimewa untuk menyambut pria itu. Sebab pria itu sedah
datang jauh-jauh dan datang di waktu makan siang. Sudah sepantasnya dijamu. Tapi Bram sudah
mengingatkan bahwa ia tak akan menemui pria itu, seperti biasanya. Sheila paham, Bram ingin
tetap menjaga namanya agar tetap tak dikenal, seperti sikapnya yang selama ini mengucilkan
diri. Itu enaknya jadi pengarang terkenal, tapi tak dikenal, pikir Sheila.
Bram menyerahkan sejilid print out komputer tebal lengkap dengan disketnya kepada Eman.
"Serahkan saja ke dia, lalu kalau ada berkas-berkas yang mesti ditandatangani bawa saja ke
kamar." "Aku saja." seru Sheila mengambil jilid tebal itu.
Bram memandanya,"Kau sudah tahu aku tak ingin bertemu dengannya, kan?"
Shaila mengangguk, "Tenang saja!"
"Jadi tak usah membicarakan aku, mengarti?"
"Tentu saja aku tak akan membicarakan dirimu dengannya." protes Sheila.
"Kau tidak tahu, Sheila. Mereka biasanya ingin tahu identitas pengarang, jadi pasti ditanya-tanya
seperti apa aku, kalau kau ditanya olehnya tentang aku, jangan dijawab."
Sheila mengerti sekarang,
" Beres, Bos!" Frans datang pukul dua belas siang. Frans Samudra adalah pria berumur empat puluh tahun dan
bertubuh gempal. Ia sudah lama bekerja di Graha Pustka Jakarta, dan sudah lama tahu tipikal
sifat pemgarang. Mereka inginnya duperhatikan, dipujinya, dan diberi servis yang baik. Bila
melakukan ini pada mereka, naskah bagus mengalir deras dan uang pun akan mengalir deras ke
pundi-pundi perusahaan. Biasanya perasaan pengarang sensitif. Sedikit kritikan saja akan membuat mereka down. Mereka
cuma butuh sanjungan, bukan kritikan. Frans sudah tahu semua itu, maka ia yang berinisiatif
mengambil naskah ke rumah Bram. Dengan begitu Bram akan tersanjung dan merasa
dibutuhkan. Cuma sidikit yang diberikan pada tempat yang tepat, keuntunganpun akan berkali
lipat. Cuma keluar ongkos dan waktu seharian, pikirnya.
Frans tidak tahu bagaimana rupa Bram. Naskah pertama Bram tiba di penerbit melalui pos, dan
setelah diterbitkan naskah itu mendapatkan sambutan luar biasa. Setelah itu naskah demi naskah
pun mengalir, dan Frans berinisiatif mengambil sendiri naskah, agar terjalin hubungan baik
antara pengarang dan perusahaan. Tapi sudah bertahun-tahun datang ke rumah Bram, ia tak
pernah bertemu langsung dengan pengarangnya. Ia cuma diterima oleh seorang pembantu, dan
memberikan makan siang setiap ia datang.
Frans tahu Bram ada di rumah tapi tak pernah bersedia menemuinya. Pengarang memang aneh,
apa susahnya sih keluar sebentar, menyalami tangannya dan masuk lagi" Pikirnya. Tapi memang
pengarang biasanya eksentrik, punya gaya yang aneh-aneh dan sifat yang tidak normal. Maklum
mereka seniman intelek. Frans tetap datang mengambil naskah selanjutnya, meski ia cuma
diterima oleh Eman. Ini menunjukan ketulusan hatinya memberikan servis yang baik pada
pengarang, lagi pula makan siangnya enak.
Hari ini Frans bertemu dengan gadis kurus berusia belasan tahun, wajahnya cantik dan ceria.
kulitnya putih, tapi pipinya kemerah-merahan, kontras dengan rambutnya yang hitam legam dan
panjang. Mungkin gadis yang tinggal di daerah dingin begitu semua, pikirnya.
"Ini naskahnya, Oom." kata Sheila ramah sambil menyerahkan satu jilid tebal naskah baru. Frans
menerima dengan hati-hati lalu memasukan ke dalam tas. Bagi orang yang berkecimpung di
dunia penerbitan, sebuah naskah sangat berharga.
"Pak Bramnya, ada?" tanya Frans.
"Ada tapi sedang tidak enak badan, jadi biar saya saja yang menemui Oom," jawab Sheila. "Oh
iya, sebentar lagi makan sianya siap, Pak Bram berpesan agar Oom makan siang di sini."
Frans tersenyum, "Wah baik sekali. kalau begitu saya bisa datang tiap hari ke sini. Kamu......
Keponakanya pak Bram?"
"Ehm..... Bukan, saya tinggal di sini untuk membantu pak Bram."
"Memangnya...... " mata Frans melongok ke dalam, seolah dengan begitu ia bisa melihat dimana
Bram berada, "Pak Bram umurnya berapa, sih?"
Sheila ingat untuk merahasiakan identitas Bram. "Kita ke ruang makan aja yuk, Oom. Makan
sianya pasti sudah siap."
Saat menuju ruang makan. Frans melihat-lihat hiasan di dinding rumah itu. "Kok di sini tidak ada
foto" Saya penasaran dengan wajah pak Bram seperti apa sih?"
"Maaf Oom, saya dipesan tidak boleh membicarakan Pak Bram. Oh ya, oom bawa berkas yang
perlu ditandatangani?"
Frans teringat dan mengeluarkan sebuah map dari tasnya.
"Ini berkas kontras novel yang baru, tolong ditandatangani ,juga kuitansi pembayaran beserta
ceknya. Tolong kuitansinya juga ditandatangani. Oh ya, saya juga membawa nomor bukti untuk
pengarang.... Buku terbarunya sebanyak sepuluh buah."
Sheila memberikan map itu kepada Eman yang langsung memawanya ke dalam. Ia sendiri
mempersilakan Frans duduk dan menyendokan nasi.
"Kamu nggak ikut makan?" tanya Frans.
"Nggak usah Oom, saya cuma melayani."
"Lho, kamu kan bukan pembantu" Jangan melayani saya, biar saya ambil sendiri." cegah Frans
tidak enak. "Saya memang pembantu di sini, Oom."
Frans kaget, "Apa" Gadis secantik kamu jadi pembantu" Wah, saya juga mau dong, kerja sama
saya aja." Sheila tertawa mendengar gurauan Frans.
"Nama kamu siapa?"
"Sheila." "Sheila, kamu sudah makan?"
Sheila menggeleng. "Kalau begitu, ayo temani saya makan."
Sheila akhirnya menurut. Ia mengambil piring dan duduk di depan Frans. Sambil makan mereka
ngobrol. Karena Sheila sudah mengatakan tidak mau membicarakan Bram, Frans menanyakan
perihal diri Sheila. Sheila bercerita saat ini ia masih berstatus siswa di sekolah yang ada di area
tanah tersebut, dan bekerja di rumah Bram sambil mencari uang dan mendapatkan tempat
tinggal. Selebihnya ia tak menceritakan masalah pribadinya atau mengapa ia sampai menjadi
pembantu di tempat itu. Frans juga menceritakan suka dukanya menkadi editor. Sheila mendengar cerita-cerita Frans
tentang beberapa pengarang yang dikenalnya.
".... Kalau tidak pakai dupa, tidak bisa mengarang! Mungkin bau dupa bisa merangsang otaknya
supaya bisa bikin cerita bagus, ya?" tutur Frans.
Sheila tersenyum, "Tapi memang betul, karya -karya Sarah Farani memang bagus-bagus.
Seandainya ada dupa di sini , jangan-jangan saya bisa ikut mengarang."
"Kenapa kamu tidak coba mengarang saja" Sekarang banyak lho remaja yang sudah jadi
pengarang." Sheila menggeleng, "Ah, saya nggak bisa Oom. Itu kan mesti punya bakat. Saya nggak berbakat
nulis." "Lalu kamu bakatnya apa?"
Sheila menggeleng. "Tapi kamu punya hobi dong?"
Mata Sheila langsung berbinar. "Saya suka main piano."
"Nah, kamu bisa jadi pianis."
Sheila bengong. Tak pernah terpikir olehnya cita-cita seperti itu. Apa seorang pianis bisa
menghasilkan uang" Tapi ia baru menyadari, sampai saat ini ia brlum punya cita-cita. Apa citacitanya" Ia tidak tahu. Ia cuma ingin menjalani hidupnya ini sampai tujuh belas tahun, sampai ia
dianggap dewasa dan hidup sendiri. Lalu setelah itu apa" Wajahnya mendadak murung. Apa
seorang anak pembunuh bisa mempunyai masa depan" Bisakah ia menjadi dokter, atau insinyur,
atau cita-cita setinggi langit yang dimiliki teman-temannya" Menjadi pianis, apakah aku bisa"
"Saya...... belum begitu bisa main piano, Oom. Baru belajar beberapa kali." ujar Sheila.
"Ah, lama-lama kan bisa. Pokoknya kalau sudah cita-cita, biarpun mustahil, hati-hati deh."
"kenapa?" "Karena.... Bisa tercapai."
Sheila tertawa, "Ah, Oom bisa saja. Oom kok begitu yakin setiap orang bisa mencapai citacitanya" Emang dulu cita-cita Oom apa?"
Frans berkata serius, "Dulu Oom suka sekali membaca buku. Oom sering berpikir betapa
hebatnya seorang pengarang. Mereka bisa membuat karya yang butuh proses panjang untuk
membuatnya. Sama seperti patung, satu patung membutuhkan kesabaran yang cukup panjang
untuk membuatnya, dan memolesnya sehingga menjadi suatu karya yang indah."
"Terus?" "Belakangan Oom tahu bahwa di balik seorang pengarang, masih ada orang yang berjasa dalam
pembentukan sebuah karya, yaitu editor. Oom suka menganalisis pengarang ini dan anu, kenapa
karyanya begini, kenapa kayanya begitu. Ketika Oom melamar menjadi editor sepuluh tahun
yang lalu, Oom nggak tahu kalau Oom bakal suka banget."
"Jadi Oom bahagia?"
"Jalas dong, tidak ada yang lebih membahagiakan selain mengerjakan sesuatu yang kita sukai.
Udah senang, dibayar lagi!"
"Oom nggak mencoba jadi pengarang?"
"Kayaknya nggak deh, Oom lebih bahagia begini. Oom mencintai pekerjaan Oom. Nggak semya
profesi bisa membuat kita bahagia Lho! Seperti pengarang yang mengucilkan diri untuk serius
bikin novel, waktunya untuk bertemu orang lain pasti tidak banyak. Kalau Oom yang begitu pasti
tidak betah!" Sheila sadar, Frans menyinggung Bram lagi. Frans juga menyadarinya.
"Eh, Oom nggak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho!" sergah Frans.
Tapi Sheila berpikir, kata-kata Frans ada benarnya juga, "Emang kalau kita punya cita-cita tinggi
nggak bikin stres Oom?"


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Stres sih lain lagi, itu sih soal bagaimana kita mengaturnya, kalau sudah punya cita-cita yang
kuat, secara alam bawah sadar manusia akan berusaha memcapai cita-cita itu."
"Masa sih, Oom?"
"iya benar, makanya suatu hari kalau kamu sudah jadi pianis terkenal, jangan lupakan Oom ya."
Sheila bersenandung sambil menjemur pakaian yang baru dicucinya. Hari masih gelap, masih
pukul 05.15. Karena bangun kepagian, gelap-gelap ia sudah selesai mencuci. Mendekati tempat
Boy dirantai, sejak tadi anjing itu menggeram-geram.
"Diam." bisiknya.
Setelah sebulan Sheila tinggal di sini, masa Boy masih saja menggonggongnya. Bram menyuruh
Eman merantai Boy di depan rumah karena Sheila takut anjing. Apa gara-gara iti sikap Boy
bermusuhan terus dengan Sheila"
Boy menggeram lagi. "Anjing jelek." bisik Sheila lagi. Ia bingung karena Bram sangat menyayangi anjing ini. Boy
sama sekali tidak cantik seperti anjing pundel yang bisa diberi pita. Ini anjing yang sangat buruk,
dan sangat menyeramkan. Guk! Boy malah menggonggong.
"Diam, nanti pada bangun semua!" rutuk Sheila jengkel, Boy terus menggonggong. Akhirnya
Sheila menghampirinya dan membuka rantai di leher Boy. Anjing itu menggoyang-goyangkan
ekornya kesenangan. Sheila langsung mundur, siapa tahu tiba-tiba Boy menerkamnya.
Sheila clingak-clinguk kakek Eman tidak ada. Sepagi ini ia pasti sedang memasak air di dapur
sambil menyetel kast keroncong kesukaanya. Sheila mandang anjing itu lagi, lalu membuka
pintu pagar. "Boy, Tsk, Tsk, Tsk! Boy! Ayo keluar!"bisiknya sambil menjentikan jarinya. Anjing
itu menggoyang-goyangkan ekornya lalu mengikuti Sheila keluar pagar., Sheila buru-buru
masuk lagi ke dalam pagar lalu menutupnya. Ia pun masuk ke dalam rumah sambil membawa
ember bekas tepat pakaian tadi.
"Man! Eman!" panggil Bram. Eman buru-buru menghampiri majikannya. "Boy mana" Ada sisa
daging ayam nih, coba pangil!"
Eman ke depan rumah, ke tempat Boy dirantai, tapi ajing itu tidak ada . Rantainya masih ada di
tempatnya, tapi sudah terbuka. Buru-buru Eman kembali ke dalam. "Tuan, Boy hilang . Dicuri
orang, kali!" "Apa?" Bram mengerutkan kening. Kalau di Jakarta mungkin saja kalau anjing herder dicuri
orang. Tapi di kampung seperti ini"
"Masa tidak ada, mungkin ia lompat pagar!"
"Tapi dari pagi saya belum bula rantainya, Tuan."
Bram memeriksa ke depan dan mencari-cari Boy. Benar anjing itu tidak ada dimana-man. "Coba
panggil Sheila, mungkin ia tahu Boy dimana." Sheila yang dipanggil berkata bahwa ia tak tahu
Boy kemana. Bram berkata, "Man, coba kamu cari Boy di luar, jangan-jangan ia keluar sendiri dan tersesat.
Sekalian tanya-tanya ke tetangga siapa tahu mereka melihat." Eman pun keluar rumah mencari
Boy, lima belas menit kemudian ia kembali dan mengetuk pintu kamar Bram. Bram menyuruh
pembantu kepercayaannya itu masuk.
"Sudah ketemu?" Bram berhenti mengetik dari komputernya.
Eman menggeleng, "Tidak ada yang melihat, Tuan. Tapi kata Bu Tati tetangga sebelah kita, ia
melihat pintu pagar dibukakan seseorang sehingga Boy keluar."
Bram mengerutkan kening, "Siapa yang buka?"
"Sheila." Hujan deras turun membasahi bumi. Musim hujan sudah datang, walau tak tepat pada waktunya.
Bram menemui Sheila dengan wajah merah karena marah. Urat-urat di pelipisnya menonjol dan
ia terlihat berusaha keras menekan kemarahannya. "Apa kau tahu sejak lahir ia tak pernah keluar
dari rumah ini, bagaiman kalau ia tersesat?"
Sheila terdiam, tidak bisa menjawab. Ia menunduk, padahal diamnya itu malah menunjukan ia
sudah mengaku bahwa itu perbuatannya. ia tak kuasa berbohong seperti rencananya semula.
"Bukan hanya itu yang ku sesali. Aku tak mengira kau membalas semua kebaikanku dengan ini!
Kau biarkan anjingku keluar rumah begitu saja. Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi.?"
"A... Aku..." "Kau begitu kejam pada binatang yang tak berdosa! Kau begitu kejam!" sembur Bram, kemudian
meninggalkan Sheila. Tiba-tiba ia membalikan tubuhnya, "Kalau anjing itu mati, kau yang
membunuhnya!" lalu ia berlalu dan memanggil Eman.
Sepeninggal Bram, Sheila tertegun. Ia kejam" Benarkah ia kejam" Tapi ia benar -bemar
menyeaal telah mengeluarkan Boy tadi pagi. kini disadarinya ia memang kejam. Boy belum
makan sejak pagi, dan anjing itu pasti kesulitan menemukan rumah ini lagi. Sekarang sedang
hujan, pasti bulunya basah dan ia kedinginan. Sheila memukul keramik dengan tangannya dan ia
menangis tanpa suara. Ia memang kejam. Cuma karena anjing itu lebih disayang Bram daripada dirinya, lebih sering
ditemui Bram ketimbang dirinya, lebih punya arti bagi Bram ketimbang dirinya. Ia telah
mengusir anjing itu. Kejam! Ia kejam seperti ayahnya yang tega membunuh istrinya sendiri!
Kalau ajing itu mati....."
Tiba-tiba Sheila berlari keluar tanpa memedulikan hujan yang saat ini sangat lebat dan petir yang
memyambar-nyambar. penduduk di sana tidak ada yang keluar jika hujan, sebab mereka tinggal
di daratan tinggi yang beresiko tersambar petir. Aku mesti menemukan Boy sekarang juga, tekad
Sheila. "Sheila...!" panggil Eman yang telah membawa payung ingin keluar rumah. Rupanya ia juga
ingin mencari Boy. Tapi Sheila tak menjawab panggilan pria tua itu. Ia terus berlari di tengah
hujan yang lebat dan sebentar saja tubuhnya sudah tak terlihat lagi ditelan kabut .
"Boy..! Boy....'" teriak Sheila di tengah hujan. Suaranya bagai ditelan bumi yang basah, tidak
bergema sama sekali. Ia berharap mendengar salakan anjing yang menyahuti panggilannya, tapi
alam tetap sunyi. "Boy....! Boy...!" Sheila menyusuri pinggir kali kecil tempat air gunung mengalir ke tempat yang
lebih rendah. Diperiksanya setiap celah siapa tahu boy disana. Diceknya setiap air yang mengalir
siapa tahu Boy hanyut di sana. Ditanyainya setiap orang yang ditemuinya, barangkali mereka
merlihat Boy. Tapi Boy tak juga ditemukan, anjing itu seperti tertelan bumi.
Dua jam kemudian, hujan masih belum berhenti. Sheila terjatuh di tanah becek. Ia menangis, dan
membiarkan wajahnya bermandikan lumpur. Apa Boy benar-benar hilang" Apa anjing itu mati"
Apa ia benar-benar kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya"
Lalu lambat-lambat didengarnya suara anjing. Sheila menegakkan tubuhnya. Dipasangnya
telinga baik-baik. Tidak terdengar apa-apa. Tapi didengarnya lagi salakan anjing bercampur
suara gemericik hujan. Apa ia sedang berhalusinasi!
Guk..! Guk...! Sheila melihat gubuk di tengah sawah tak jauh darinya. Di sana seekor anjing herder sedang
menyalak ke arahnya. "Boy....! " seru Sheila bergembira. Buru-buru ia berlari ke arah pondok itu, sampai terjatuh lagi,
dan terjerembab ke sawah yang becek. Boy menyalak lagi seolah menertawakannya. Sheila pun
tertawa. Gembira sekali rasanya bisa menemukan anjing itu. Anehnya Boy sendirian di pondok
itu, entah bagaimana bisa sampai ke sana.
Sheila memeluk dan menciumi Boy, anjing itu pun menjilati wajah Sheila seolah ia pun
mengenalinya. "Kau sudah mengenali aku, Boy!" tawa Sheila. Ia memeluk anjing itu lagi. "Maafkan aku, tadi
pagi kau menyebalkan, sih." katanya pura-pura menggerutu. "Tapi yang penting, kau sudah ku
temukan. Ayo kita pulang!"
Sheila tak menunggu hujan reda. Ia menarik ikat leher Boy dan menuntun anjing itu pulang. Tiba
di rumah, hujan tiba-tiba berhenti. Langit benderang tiba-tiba, seakan tercuci bersih oleh hujan.
"Kek! Kakek Eman!" seru Sheila. Ia masuk ruang tamu. Tapi langkahnya tiba-tiba berhenti
begitu melihat Bram di sana. Wajahnya tampak kaku. Dan di lantai, terletak sebuah tas yang
sangat dikenalnya, tas besarnya. Wajah Sheila memucat, apa Bram akan mengusirnya"
"Bram." panggil Sheila lirih. Ia menuntun Boy masuk, tak peduli tetes air yang berjatuhan dari
tubuh mereka membuat lantai sangat kotor. "Aku sudah menemukan Boy."
"Bawa ke Eman. Suruh dimandikan."
Sheila tidak bergerak, ia menunjuk tasnya. "Tasku, kenapa ada di sini?"
"Aku sudah memutuskan, Boy hari ini ditemukan atau tidak, kau tak bisa lagi tinggal di sini."
Kata-kata itu terdengar seperti petir di telinga Sheila. Gadis itu terpana sesaat, kakinya bagai
terpaku di lantai. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri dan memeluk lutut Bram. "Bram, maafkan aku. Aku memang
salah, tapi tolong beri aku kesempatan lagi! Aku tidak akan menyia-nyiakanya, aku akan
merawat dan menyayangi Boy. Aku mau tetap di sini..."
Bram berkata lembut, " Eman akan mengantarmu ke rumah Oommu. Jangan sedih, Sheila.
Mungkin kita tidak berjodoh. Tapi aku yakin semua peristiwa yang telah terjadi akan
membuatmu semakin dewasa."
Sheila menangis tersedu-sedu, tubuhnya jatuh lemas ke lantai. Bram tak kuasa menahan harunya.
Ia tak bisa menyaksikan hal ini. Tapi ia sungguh-su.gguh tak dapat mengubah keputusannya.
Baginya yang terpenting adalah kepercayaan, ia sadar dirinya seorang perfeksionis. Jika ia
menyayangi ia rela memberikan seluruh hidupnya, tapi sekali ia dihianati, seumur hidup ia tak
akan percaya lagi. Ia begitu percaya pada Sheila, tapi gadis itu telah berdusta padanya. Bukan
hanya berdusta, Sheila juga telah melakukan hal yang membuatnya bersedih. Boy tidak bersalah
apa-apa. Kenapa sheila mengeluarkan anjing itu" Baginya, pepatah. "Anjing adalah sahabat
terbaik manusia." itu benar. Anjing tak mungkin menghianati, anjing tak mungkin berdusta.
Sedangkan manusia, tak ada satu pun yang bisa dipercayainya. Bram bangkit berdiri dan menuju
kamarnya. Tangis Sheila tak terdengar lagi, Bram tahu gadis itu lambat-laun akan melupakannya. Hal ini
hanya kerikil kecil dalam perjalanannya menuju dewasa. Sheila mesti melanjutkan hidupnya, ia
juga. "Sheila.....! Sheila.....!!!" terdengar suara Eman yang panik, Bram menoleh. Gadis itu berbaring
tak sadarkan diri di lantai. Pakaiannya yang basah, berlumpur membuat lantai jadi sangat kotor.
Eman mengguncang-guncang tubuh gadis itu, mencoba menyadarkannya.
Bram buru-buru menghampiri sheila, dipengangnya hidung gadis itu, masih bernapas.
"Naikan ke sofa." suruhnya pada Eman. Eman menggotong tubuh Sheila dan Bram membantu
mengangkan kaki Sheila, ia terkaget. Tubuh gadis itu panas, Sheila rupanya demam. Mungkin
karena kehujanan setelah mencari Boy.
"Ambil air hangat dan handuk, juga pakaian bersihnya." suruh Bram. Eman cepat-cepat
melakukan perintah majikannya.
Bram membuka seluruh pakaian Sheila yang basah dan berlumpur. Gadis itu telanjang,
dihadapannya dan juga Eman, yang sudah datang membawakan air hangat dalam baskom dan
juga handuk kecil. Bram berusaha tak melihat tubuh gadis kurus yang sudah menampakkan
bentuk tubuh wanita dewasanya itu. Eman sengaja disuruhnya mengambil es batu untuk
mengompres supaya Sheila tak malu nantinya, mengetahui tubuhnya sudah dilihat dua orang.
Bram berusaha bekarja cepat, Bram menyeka tubuh gadis itu dengan handuk kecil yang sudah
dicelupkan ke air hangat. Tubuh Sheila terasa panas. Tidak mengukurpun Bram tahu panasnya
lebih dari 38 derajat celcius. Setelah menyeka tubuh Sheila dengan handuk bersih, Bram
mamakaikan pakaian kering ke tubuh gadis itu.
Eman membawakanair yang berisi es batu untuk mengompres. Bram meletakkan handuk dingin
di dahi gadis itu. Dan mendekatkan mulut botol minyak kayu putih ke hidunya agar Sheila cepat
siuman. Tapi terdengar dengkuran halus dari mulut Sheila.
"Kelihatannya ia terlalu lelah, jadi tertidur." ujar Bram. "tolong sipakan obat penurun panas dan
air minum, Man. Biar ia bisa minum obat kalau ia sudah siuman nanti."
Eman mengangguk dan pergi ke dapur.
Tinggal Bram sendirian bersama Sheila. Ditatapnya wajah belia gadis itu. Apakah ia mesti
membatalakn keputusannya untuk menyuruh Sheila pergi" Gadis itu tak punya siapa-siapa selain
Oomnya yang baik itu. Tapi dalam pengawasan Oomnya yang baik itu pun Sheila telah ditindas
oleh tantenya. Sejak awal Bram memang kasihan pada gadis itu. Diusia remaja Sheila sudah
harus sendirian. Orangtuanya tak ada, bukan karena meninggal, melainkan yang satu membunuh
yang lainnya, ia paham betapa besar penderitaan yang dialami Sheila.
Tiba-tiba didengarnya Sheila mengigau, " Boy..... Boy.... Boy....! Dimana kau " Aku harus
mencarimu Boy...." Bram menggelengkan kepalanya, Sheila pasti terlalu dalam memikirkan kemana Boy tadi,
sampai mencarinya hampir tiga jam.
"Bram lebih menyukaimu ......Boy, Bram sering bersamamu..... Bram lebih suka anjing dari pada
manusia. ....." Bram menatap wajah Sheila yang tampak gelisah. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya yang
dikompres. Bram terpaku memandang gadis itu. Apa Sheila sengaja membiarkan Boy keluar dari
pagar kerena ingin menyingkirkannya" Karena ia iri pada Boy yang lebih diperhatikan oleh
Bram! Mata Bram terbuka sekarang, ia sekarang paham. Sheila melakukan ini hanya karena iri. Seekor
anjing lebih diperhatikan oleh Bram dibanding dirinya, berarti......
"Kelihatannya Sheila khilaf."
Bram menoleh dan melihat Eman di belakangnya. Rupanya pria tua itu juga mendengar igauan
Sheila. "Kasihan ia, Tuan. Susah payah ia ingin tinggal di sini, masa baru sebulah tuan sudah
mengusirnya pergi?" Bram bangkit dengan kasar dan menyeret kakinya terseok-seok ke arah kamar. "Kalau ia bangun,
kasih obat." ucapnya dingin, Bram pun masuk ke kamarnya.
BAB 8 SHEILA terbangun karena guncangan di bahunya.. Ia membuka mata dan melihat Eman di
sampingnya. "Bangun, Sheila. Panasmu masih tinggi, ayo minum obat dulu."
Sheila merasa tubuhnyq amat lemah. Ia bingung mengapa ia terbaring di sofa. Lalu diingatnya,
hujan deras yang mengguyur tubuhnya, dan Boy ada di sebuah pondok di tengah-tengah sawah.
Lalu..... "Aku akan diusir!" ia memegang tangan Eman erat-erat. "Kakek, aku akan diusir dari sini oleh
Bram!" rengeknya. "Bagaimana ini! Tolong aku,Kek. Bujuk Bram!"
Eman tersenyum. "Tenang, nanti Kakek bantu membujuknya. Sekarang kamu minum obat dulu."
Sheila agak tenang dan ia meminum satu tablet yang disodorkan Eman dengan segelas air. Lalu
ia merasa sangat mengantuk. "Kek, aku tidur lagi,ya?"
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang menggantung di benak Sheila. Tapi ia lupa mau bertanya
apa. Esok harinya Sheila bangun dengan tubuh segar. Ia sudah di tempat tidurnya sendiri. Ia lalu
teringat, dalam keadaan setengah sadar dirinya dipapah Eman ke tempat tidur. Kemudian Eman
menyelimutinya, masih diingatnya kata-kata pria tua itu.
"Pindah tidur di sini saja, kalau di sana nanti kamu tidak nyenyak. Di sana dingin."
Sheila tersenyum, tapi seketika senyumnya hilang setelah menyadari apa yang terjadi. Ia akan
diusir dari rumah ini! Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, tapi.....
Lalu dilihatnya tumpukan barang-barangnya yang telah diletakkan di tempatnya semula. Tasnya
pun sudah kempis, tanda barang-barangnya sudah dikeluarkan. Apa artinya ini" Apakah ..... ia
boleh tetap tinggal..." Batinya gembira.
Ia keluar kamar dan menemukan Eman di dapur.
"Kek, aku boleh tetap tinggal di sini?"
Eman diam saja, lalu berkata,"Kalau kau tidak ada, lalu siapa yang membantuku mencuci
pakaian?" Sheila terdiam, lalu ia melompat dan bersorak, "Horeeee, cihuy...!!!"
Eman tertawa. "Tapi ada syarat dari tuan."
"Syarat apa?" "Kamu harus bersikap dewasa, jangan seperti anak-anak. Jangan minta diperhatika terus."
"Maksudnya, perhatian dari siapa?"
"Pikir saja sendiri."
"Dari Kakek?" ujar Sheila nakal, "Ya sudah, aku nggak akan ajak Kakek ngomong lagi, nggak
akan perhatiin Kakek lagi!"
Eman pura-pura marah, "Awas ya kamu, nanti tidak kuajarkan membuat bolu nanas."
"Ya, jangan dong.... Janji harus ditepati!" rengak Sheila, pura-pura takut.
Eman pun tertawa gembira. Sesungguhnya belum pernah ia merasa sebahagia ini.
Waktu terus berlalu. Semenjak kejadian itu Bram semakin jarang keluar. Bahkan ia pun tak
terlalu dekat dengan Boy. Kini malah Sheila yang dekat dengan anjing itu. Boy tak lagi dirantai,
ia bebas berkeliaran dalam rumah karena Sheila sudah memandikan bersih-bersih satu minggu
sekali. Sheila pun tahu diri, ia tak perbah mengganggu Bram. Ia membuat kehadirannya di rumah ibu
tidak dirasakan oleh Bram. Bila Bram keluar, ia tahu diri, dan masuk ke dalam kamar. Bahkan
Bram tak pernah lagi mengajaknya ke supermarket. Bila mereka kebetulan berpapasan secara tak
sengaja, mereka akan saling melempar senyum, tapi cuma sampai di situ. Sheila tak tahu
mengapa Bram seperti itu, sengaja menjaga jarak dengannya. Tapi ia menduga mungkin Bram
tak ingin diganggu, jadi ia pun berusaha agar pria itu tidak terganggu.
Tanpa terasa waktu terus berlalu. Sudah enam bulan Sheila tinggal di rumah Bram. Bu Susan
datang tiga kali dalam seminggu. Dan bila pada bulan pertama Bram selalu keluar untuk
mengobrol, kini tidak lagi. Sheila yang capek menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
gurunya itu. Dari alasan yang ia buat sendiri, separti Bram yang sedang kurang enak badan,
sedang mengerjakan novel yang dikejar deadline, sedang malas keluar, hingga Sheila menjawab
tidak tahu.... Lama kelamaan Susan jadi kurang bersemangat. Bila dulu ia bisa beberapa jam di rumah itu,
lama kelamaan, cuma seperluanya saja. Kalau sudah selasai urusannya, ia akan pulang ke
asrama. terus terang Sheila lebuh suka seperti itu. Ia toh cuma butuh ulangan dan pelajaran
piano. Sebenarnya terkesan tak menghargai, tapi sudah dikatakan sejak awal ia tak menyukai
Susan. Gurunya itu selalu menganggapnya tak ada., alias tak pedulu padanya. Tak pernah
sekalipun Susan menanyakan kabarnya. Bila ia berbicara yang dibicarakan hanya dirinya sendiri
atau situasi di sekolah. Makanya, dalam enam bulan hubungan mereka, mereka tidak bertambah
dekat. Seperti ikatan tanpa emosional yang didasarkan saling menguntungkan.. Susan dapat
uang, Sheila dapat ilmu. Beda dengan perasaan Sheila terjadap Bram. Walaupun mereka jarang bicara, bahkan hampir
tidak pernah, pria itu menempati hampir seluruh hatinya. Sisa hatinya yang lain Sheila berikan
pada almarhum mamanya, Haryanto dan Eman, juga Wenny, Tini, dan Pak Alex. Mereka orangorang yang penting baginya, dan peduli padanya.
Pelajaran piano Sheila mengalami banyak kamajuan, walau tak seperti rencana semula,
menguasai lagu Fur Elise dalam waktu satu bulan. Ternyata benar kata Susan tidak bisa seperti
itu. Bagian depan lagu itu mudah tapi di tengah-tengahnya ada yang sulit. Akhirnya Sheila
menuruti kata Susan untuk nelatih beberpa irama dan membuat tangannya terampil terlebih
dahulu. Kini Sheila sudah lancar memainkan Fur Elise, bahkan tanpa melihat partitur.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya tiba juga saat kenaikan kelas. Sheila menunggu dengan harap-harap cemas Susan
mengantarkan rapornya, setelah membagikan rapor siswa-siswa lain. Sejak pagi Sheila sudah
gelisah. Satu pakaian sampai dicucinya dua kali, dan jemurannya jatuh ke tanah hingga ia harus
mencuci ulang saking gemetarannya tangannya.
"Sudahlah, naik nggak naik kelas sama saja. Nggak naik toh kau tetap tak melanjutkan sekolah,
naik juga tetap tak sekolah." goda Eman.
"Duh... Kek. Jangan ngomong begitu dong. Aku nggak mau ngulang, walaupun tidak harus
sekolah!" Eman menunjuk, "Lihat.... Ada yang datang. Tapi kok bukan Bu Susan?"
Sheila menoleh ke pagar dan terpekik kaget, "Pak Alex"!" Buru-buru ia berlari menghampiri
Pak Alex dan menyongsong pria itu. Alex tersenyum sambil mengangkat buku bersampul biru
yang dikenali Sheila sebagai buku rapor.
"Kok, Pak Alex yang mengantarka rapor, Bu Susan mana?"
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Eman membuatkan minuman.
"Bu Susan sakit. Saya disuruh Bu Lia kemari. Ternyata kau tinggal di sini, Sheila. Kok nggak
bilang-bilang?" "Jadi, Pak Alex tidak tahu?"
"Saya kira sejak kejadian..... Ehm....... Tempo hari, kamu sudah pindah ke sekolah lain, baru tadi
pagi saya tahu." "Cuma Wenny dan Tini yang tahu, Pak. Diantara para guru, cuma Bu Lia dan Bu Susan yang
tahu. Mereka sudah berpesan supaya kedua teman saya tidak membocorkan hal ini, takut
menimbulakan kecemburuan anak-anak lain."
Alex memandangi Sheila. "Ya ampun, baru satu smester saya tidak melihat kamu. Kamu sudah
tumbuh dewasa." Sheila melihat dirinya sendiri, "Masa sih Pak" Berubah apanya?"
"Kamu tambah tinggi, gemukan sedikit, lalu......" Alex menatap gadis itu lagi, ia tak bisa berkata
bahwa sekarang Sheila sudah tampak seperti gadis dewasa sepenuhnya.
"Yah..... Masa saya gemuk sih, Pak.!" Protes Sheila.
Tentu saja Alex tak bisa bilang bahwa Sheila gemuk di bagian-bagian tertentu. Wajahnya
memanas, dan ia mengalihkan dengan membicarakan hasil rapor Sheila.
" Ini hasil belajarmu."
Sheila buru-buru merebut rapornya. "Naik kelas nggak, Pak?"
"Nggak," Sheila terdiam, lalu ia tersenyum tidak percaya, pasti Alex menggodanya. Ia membuka rapor
halaman pertama. Di situ tertulis dengan jelas, ia naik ke kelas dua. Dan tidak ada angka merah.
Sheila melompat kegirangan."Aku naik kelas! Aku naik kelas! Horeeeee...!!!!"
Alex cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu.
lagi-lagi sheila membuat ia teringat adiknya yang sudah meninggal. Kalau masih hidup, pasti
adiknya sudah seperti ini, pikirnya. Sudah tumbuh seperti gadis dewasa sepenuhnya.
Mereka ngobrol sambil berjalan-jalan di sekitar situ. Beberapa tetangga memperhatikan mereka.
Sheila menyapa mereka satu per satu dengan ramah. Rupanya gadis itu mengenal tetangga di
sekitar ramah. "Enak tinggal di sini?"tanya Alex.
"Kalo tidak enak, saya nggak akan betah, Pak." jawab Sheila.
"Kadang saya berpikir, Sheila dengan sifatmu yang luar biasa itu, kamu juga akan mengalami
hidup yqng luar biasa. Ternyata saya benar."
"Sifat saya yang laur biasa mana, Pak" Saya kan biasa-biasa saja!" jawab Sheila.
Alex tersenyum, "Kamu tidak bisa melihat duri kamu sendiri, tapi orang lain bisa."
Wajah Sheila berubah murung. "Bapak bilang begitu karena saya anak pembunuh, kan" Saya
punya sifat kejam dalam diri saya, makanya berkali-kali saya mendapatkan masalah."
"Lho, bukan Sheila. kenpa kamu berpikiran seperti itu?"
"Lalu?" "Bukan itu yang saya maksud dengan sifat. Kamu punya banyak sifat istimewa. Kamu perhatian
dengan orang lain, kamu kecenderungan untuk terlibat secara emosional dengan orang lain.
Singkatnya, kamu sensitif dan perhatian pada orang lain. Tapi orang-orang yang memiliki sifat
seperti itu punya kelemahan."
"Apa kelemahannya?"
"Jika orang lain kurang peduli padanya, ia akan membenci orang itu."
Sheila merenung. Benarkah itu" Ia punya sifat yang seperti ayahnya". Apakah papa membunuh
mama karena benci, akibat mama kurang perhatian dan selalu merendahkan Papa" lalu waktu
Sheila memukul Reza dengan botol, apakah karena dua saudara itu selalu menghinanya" Lalu
terhadap Indah, memang jelas perlakuan Indah buruk padanya, tapi ia toh tak perlu sampai
menghantamkan balok, kan" Lalu, ia melepaskan Boy agar Bram lebih memperhatikannya.
Tiba-tiba Sheila berhenti berjalan. Ia berjongkok dan tangannya memegang kepalanya.
"Kenapa Sheila?" tanya Alex kaget.
Sheila menangis, "Saya jahat, Pak. Saya kejam! Saya tidak pantas hidup! Orang seperti saya
tidak pantas hidup, bagi orang-orang di sekitar saya , saya berbahaya!"
Alex ikut berjongkok, "Sheila apa kamu tersinggung dengan kata-kata saya barusan" Saya tidak
bermaksud menghakimi kamu. Saya tidak bermaksud berkata dahwa kamu jahat. Itu saya
katakan karena....." kata-kata Alex terhenti, Sheila memandang gurunya itu, menunggu
kelanjutannya, ?"" sifat kamu?" murip dengan.... Saya."
Sheila berhenti menangis, "Bapak?" mirip dengan saya?"
"Ya. Apa kamu tidak tahu mengapa kita berdua meresa cocok satu sama lain" Karena sifat kita
sama, kita selalu memperhatikan orang lain, dan bila orang itu tidak menaruh perhatian dengan
intensitas yang sama, saya akan tersinggung. tapi karena saya sudah dewasa, saya tidak
melampiaskannya seperti kamu. Kamu mengumbar emosimu yang terkadang muncul begitu saja.
Kemarahanmu bisa muncul tiba-tiba karena egomu dilanggar orang lain. Itu sebabnya kamu
menyerang indah ketika ia mempermalukanmu di depan saya. Mungkin juga ada pemicu lain
sebagai tambahannya."
Sheila terdiam, mencerna kata-kata Alex. "Lalu bagaimana saya bisa mengendalikan diri saya,
Pak.?" Alex tertawa. "Itulah sebabnya, semakin bertambah umur kita, semakin dewasalah sikap kita,
semakin bisa kita menutupi kekurangan yang ada pada diri kita.
"Bagaimana kalau semakin bertambah umur saya, sikap saya tidak bertambah dewasa?"
Alex menghela napas, " Saya pikir itulah yang terjadi pada..... Ehm... Maaf ya, ayah kamu."
Tanpa sadar, mereka telah berbincang-bincang selama dua jam. Dan ketika tiba kembali ke
rumah, hari sudah sore. Sheila teringat, ia belum sempat makan siang dan kini perutnya terasa
lapar. "Pak Alex mau makan di sini, Pak?" katanya menawarkan.
"Tidak usah, saya kembali ke Asrama saja, sebentar lagi jam makan malam. Kalau saya tidak
kembali nanti orang-orang khawatir."
Shrila melepas kepergian alex sampai tubuh pria itu hilang dari pandangannya. Ia pun masuk dan
menutup pintu pagar. Masih diingatnya peecakapan dengan Alex mengenai ayahnya.
"Apa kamu pernah bertemu lagi dengan ayahmu, Sheila?"
"Saya sudah tidak bertemu dengan Papa semenjak ia ditangkap. Itulah terakhir kali saya
melihatnya." "Lalu kenapa kau tidak menjenguknya di penjara?"
Sheila menyipitkan matanya dan pandangannya menerawang jauh, "Saya membencinya, Pak. Ia
sudah menghancurkan hidup saya. Saya tidak mau bertemu dengannya lagi untuk selamanya."
"Yang tadi gurumu, Sheila?" suara itu membuat sheila tersentak dari lamunannya. Ia mendapati
Bram berdiri di hadapannya.
"Ehm... Iya." Lalu Sheila buru-buru menjelaskan, "Maaf tadi aku berjalan-jalan sampai lupa
waktu, aku belum membereskan...."
"Tidak apa-apa. Tidak usah bingung begitu." senyum Bram. "Kudengar kau naik kelas dengan
nilai yang bagus, selamat ya."
Senyum Sheila mengembang, "Terima kasih."
"Kau mau hadiah apa?"
Sheila tertegun, "Apa?"
"Kau mau hadiah apa" Kau kan sudah naik kelas, sepatutnya dapat hadiah."
"Tidak! Tidak usah, Bram. Kau sudah begitu baik padaku, tidak usah memberikan hadiah
untukku. Aku bukan anak kecil."
"Aku juga tidak bulang kau masih kecil, kau sudah dewasa."
Wajah Sheila memerah. Ia sangat senang Bram mau bicara padanya, walaupun mungkin hanya
untuk hari ini saja. "Ya sudah. Bagaimana kalau kita makan malam sama-sama." pinta Sheila.
Bram mengusulkan untuk makan malam diudara terbuka. Eman menyiapkan masakan istimewa
andalannya, dan menyuruh Sheila menata meja di kebun. Sheila sangat gembira. Bibirnya tak
henti-hentinya tersenyum. Dipetiknya bunga bugenvil yang rimbun dan diletakkanya di dalam
vas bunga. Tak lupa dinyalakannya dua lilin untuk mengusir lalat. Pekarangan rumah Bram
cukup besar. Dari luar pagar orang tak akan bisa melihat mereka makan malam di kebun. Ini
sangat sempurna. Eman menyajikan msakanan yang dulu ia pelajari ketika ia bekerja pada orang belanda. Steak
daging sapi dan sayur-sayuran pelengkap. Juga Hotspot, sup kental dengan macam-macam isi
yang bergizi di dalamnya. Ini sangat sempurna. ketika Sheila mengajak makan bersama, pria tua
itu tidak mau. "Aku sudah kenyang. Lagipula lidahku tidak cocok makan makanan Belanda." katanya.
Maka Sheila berdua dengan Bram di bawah cahaya bintang-bintang yang malam itu memenuhi
langit yang cerah tak berawan.
"Hmmmm....... Enak sekali." ucap Sheila yang merasa dirinya agak gugup. Maklum lah selama
ini Bram selalu menjaga jarak dan selalu tertutup padanya. Ia jadi takut kali pria itu akan
menyesal karena telah memutuskan untuk makan malam dengannya.
"Sudah lama aku ingin makan malam di langit yang terbuka. Ternyata baru kali ini kesampaian.
Untung ada kau, Sheila. Kalau tidak aku sendirian makan malam begini..... Tentu mirip orang
gila." ucap Bram. Sheila tertawa, "Aku juga senang sekali! Sungguh! Pengalaman ini tak akan kulupankan
selamanya. bagaiman kalau kita lakukan ini setiap tahun" Setiap aku naik kelas?" Sheila ingat
tahu depan mungkin ia tak ada di sini lagi sebab usianya sudah lewat tujuh belas tahun.
"Lupakan apa yang aku katakan barusan." tambahnya.
Bram sadar apa yang dipikirkan gadis itu."Apa setelah kau berusia tujuh belas tahu kau akan
kembali ke rumah Haryanto"
Sheila menggeleng kuat-kuat. "Tidak. aku sudah mengumpulkan uang dari gaji yang kau berikan
padaku. Aku akan mencari tempat ringgal sendiri, lalu menyelesaikan SMA ku di sana. Setelah
lulus mungkin aku akan bekerja."
"Jadi, kau tidak akan menamatkan SMA mu di sini"
"Aku tidak mau kembali ke asrama." jawab Sheila.
Bram terdiam. ia pura-pura menikmati makanannya. Gaji yang ia bayarkan kepada Sheila tidak
seberapa. Bila dikalikan dua belas masih belum cukup untuk membayar tempat tinggal, apalagi
untuk biaya sekolah. Sebenarnya jalan keluarnya mudah saja. Biarkan Sheila tinggal di sini
sampai tamat SMA. Saat itu mungkin uang gadis itu sudah terkumpul cukup banyak, dan Sheila
bisa bekerja. Tapi Bram tidak bisa, semakin lama Sheila di sini semakin ia terikat pada gadis itu.
Ia tak mau hal itu terjadi. Sheila akan pergi darinya, itu sudah pasti. Gadis itu akan menemukan
hal-hal yang baru, kehidupan yang baru. Sedangkan ia akan tetap di sini. ia tak mau merasa lebih
kesepian dibandingkan sebelum Sheila datang. Makanya ia selalu menghindar dari gadis itu. ia
tak mau terlibat terlalu dalam dengan Sheila.
Bram mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kemajuan les pianomu dengan bu Susan?"
Wajah Sheila berseri-seri. " Aku sudah bisa memainkan lagu Fur Eluse!"
Bram tersenyum, "Ya, aku sudah dengar peemainanmu ketika les."
"Suaranya kedengaran sampai kamar, ya?"
"Tentu saja, saat les aku tak bisa mengetik karena suaranya berisik sekali."
"Maaf, ya." ujar Sheila memelas.
Bram tertawa, "Yang penting ada hasilnya. Punya keterampilan sangat baik untuk masa
sekarang. Kalau cuma mengandalkan ijasah SMA belum tentu kita bisa mendapatkan perkejaan.
Tapi kalau kau bisa main piano , kau punya lebih banyak pilihan. Kau bisa menjadi guru les
piano, bisa jadi pianis,bisa men...."
Sheila lama ingin menanyakan hal itu, "apa menjadi pianis bisa hidup?"
"Tentu saja bisa. ku dengar bayaran main piano di kafe-kafe atau restoran cukup tinggi. Sekarang
malah sudah menjamur permainan piano di pesta pernikahan. Orang semakin peduli terhadap
mutu dan mereka lebih suka memakai tenaga profesional ketimbang maminta teman main piano
di pestanya." "Mahal?" "Kalau dihitung-hitung penghasilannya bisa beberapa kalilipat dari gaji karyawan kantor."
"Masa?" tanya Sheila tak percaya.
"Makanya rajin-rajin latihan piano. Tapi jangan main piano di waktu subuh atau malam-malam,
ya." Sheila meringis, "Mengganggu, ya?"
"Sudah tahu jangan nanya."
Sheila merasa sangat gembira. Mereka ngobrol ngalor ngidul sampai larut malam . Baru
sekarang ia menyadari ucapan Alex ada benarnya. Bram juga punya sifat yang sama dengannya,
makanya mereka cocok. Mereka bisa terlibat secara emosional dan dalam, serta mengharapkan
intensitas yang sama dari orang lain.
BAB 9 KALAU biasanya Sheila sibuk belajar setiap hari, kini ia harus libur selama sebulan. Ini malah
membuatnya bosan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Setiap hati pekerjaannya bermain dengan
Boy, mengajak anjing itu berkeliling kampung, memasak semua bahan makanan sampai enek
menghabiskannya, sambil terkantuk-kantuk mendengarkan kaset keroncong milik Eman. Tini
dan Wenny tidak datang berkunjung seperti biasanya. Mereka sedang pulang ke rumah masingmasing. Bu Susan pun pulang ke rumah orangtuanya, jadi tidak datang mengajar les piano.
Ketika Sheila hampir mati bosan, Eman berkata bahwa tanggal 25 juni Bram ulang tahun. Berarti
tak lama lagi. Mendadak Sheila kegirangan. Ia bisa mengisi waktu luang dengan mempersiapkan
pesta untuk pria itu! Eman setuju untuk membantu Sheila menyiapkan makanan untuk pesta. Cuma kue tart yang ia
tak bisa, jadi kue ulang tahunnya berupa bolu yang dilapisi margarine dan ditaburi meisyes.
"Kek, bagaimana kalau kita mrngundang orang-orang agar pestanya ramai.!"
Eman mrngerutkan kening, "Mrngundang siapa" Tuan pasti nggak suka."
"Jangan bilang-bilang! Pesta kujutan kalau tidak banyak tamunya nggak seru!" Saat itu alasan
Sheila adalah Bram memang tidak suka bertemu orang-orang seperti penghini asrama atau orang
dari Jakarta semacam Frans. Tapi pria itu masih sering ke Supermarket dan mengenal beberapa
orang di sana. Bram tidak anti pada penduduk desa di sini. Jadi, Sheila berencana mengundang
beberapa tetangga untuk menghadiri pesta Bram. Selain bisa menjalin hubungan baik, mengenal
tetangga ada untungnya juga. Hidup di dunia sendirian sangan sulit. Tapi bila kenal beberapa
orang, sewaktu-waktu mereka bisa menolong kita.
Eman menjawab, " Pokoknya kalu ada apa-apa, saya tidak mau tanggung jawab, ya. Sheila yang
mesti tanggung jawab ke Tuan sendiri."
"Beres deh... Yang penying Kakek mau kan, bantuin masak."
Jadi, sehari sebelum 25 juni, Sheila sibuk mengundang dua puluh orang tetangga terdekat
mereka, termasuk pemilik Supermatket yang dikenal Bram. Ternyata mereka mau datang, malah
antusias. Belum ada yang mengundang mereka ke pesta ulang tahun, terlebih usia mereka sudah
dewasa. Mereka jadi ingin tahu seperti apa rumah Bram.
Hari H tiba. Sheila berencana ingin membelikan Bram saputangan. Saputangan yang dimiliki
Bram cuma sedikit, padahal setiap hari harus dipakai. Sheila membeli dengan uangnya sendiri.
Selain itu, bahan makanan untuk pesta juga biayanya sendiri, plus sedikit persediaan makanan
yang sudah ada di kulkas.
Pesta rencananya akan diadakan pukul dua belas siang, tepat saat makan siang. Eman sengaja
tidak mempersiapkan makanan di meja, sebab kadang Bram keluar kamar pada pukul setengah
dua belas. Untuk kemungkinan itu Sheila sudah menyiapkan jawabannya. Ia bilang Eman harus
mengatakan bahwa makan belum siap.
Pukul dua belas orang-orang mulai berdatangan. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, juga ada yang
membawa anak. Sheila menyuruh mereka berkumpul di pekarangan. Ia sudah menyiapkan tikar
di sana, untuk tempat duduk. Hal ini supaya Bram tidak tahu sudah ada banyak tamu di
rumahnya. Tak lama kemudian semua tamu sudah hadir. Sheila meminta mereka siap-siap menyambut. Ia
pergi ke kamar Bram dan mengetuknya.
"Ya" terdengar suara dari dalam.
"Bram makan siangnya sudah siap. Pakai baju yang rapi ya, ini makan siang istimewa. Hari ini
ulang tahunmu, kan?" ujar Sheila di depan pintu.
Bram diam saja. Tapi lima menit kemudian ia membuka pintu.
"KEJUTAN...!!!!" Serentak dua puluh orang tamu berteriak. Bram terkejut. Ia menatap Sheila
seolah bertanya. Sheila menatapnya dengan wajah berseri-seri.
"Selamat ulang tahun, Bram. Mereka semua datang ke sini untuk merayakan ulang tahunmu!"
"Happy bithday to you! Happy birthday to you! Happy birthday to you! Happy birthday to
you!?" para tamu bernyanyi dipandu Sheila.
Selesai bernyanyi , semua orang maju untuk memberikan selamat untuk Bram. Beberapa
diantaranya membawa kado. Bram terpaksa menyalami mereka dengan senyum yang
dipaksakan. Sheila tahu kalau setelah ini Bram akan marah, tapi Sheila akan menjelaskan.
Salah seorang tamu yang menyalami Bram rupanya agak bawel. ia berkata, "Selamat ulang tahun
ya. Selama ini saya mengira rumah ini tidk ada penghuninya. Baru kali ini saya bisa kenal
pemiliknya." ia lalu mengamati wajah Bran dengan seksama. "Tunggu dulu! Wajah anda kok
Familier ya" Apa anda artis atau semacamnya?"
Wajah Bram memucat. "Tidak, saya cuma orang biasa," jawabnya.
"Tapi wajah anda mirip....... Aktor terkenal tahun delapan puluhan favotit saya! Namanya.........
Aduh, siapa ya" Kok saya jadi lupa begini?" Ia terus berpikir sementara tamu lain di
belakangnya sudah tak sabar dan mendorong tubuhnya. Tiba-tiba ia berseru, "Abraham Mukti!
Ya benar, Abraham mukti namanya!"
Bram menggeleng, "Bukan. anda pasti salah."
Tamu itu mengerutkan kening, lalu menggelengkan kepalanya, "Tapi anda mirip sekali. Sumpah
deh. Seperti pinang dibelah dua." ia pun bergeser dan digantikan tamu lainnya.
Sheila mempersilakan tamu yang sudah memberikan selamat untuk makan siang di pekarangan.
di tikar yang sudah disediakan. Saat semua tamu sudah menyalaminya, Bram menarik tangan
Sheila ke dalam. "Kau pikir apa yang kau lakukan, Sheila?" desis Bram marah.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sheila sudah menyiapkan segalanya, " Begini, Bram. Aku tahu kau tidak seka acara seperti ini.
Kau tidak seka bertemu orang. Tapi ada baiknya kau mengenal tetangga. Jika sesuatu terjadi
padamu, mereka bisa menolongmu. Lagi pula....."
Tiba-tiba Bram mencekal tangan Sheila hingga gadis itu kesakitan , "Adduuuuhhhh......"
"Tak usah mencampuri urusanku, Sheila. Aku tak tahu setan apa yang merasukimu hari ini.
Lama-kelamaan kau semakin mengganggu di rumah ini. Bagimana kalu kau pindah saja ke
tempat lain, agar kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan.?"
Sheila langsung ketakutan. "Jangan!!!! Jangan usir aku Bram, aku cuma mau......."
"Kau cuma mau mencampuri urusanku." desis Bram marah.
"Ak........akuu akan menyuruh mereka pulang."
"Bagus! Suruh mereka pulang sekarang, atau kau yang pulang!" Bram pun meninggalkan Sheila
dengan langkah tertatih menuju kamarnya.
Sheila terpaksa membatalkan acara permainan yang sudah disiapkannya. Setelah para tamu
selesai makan, ia minta maaf dan berkata bahwa Bram kurang sehat, jadi tidak bisa menemani
mereka. Mereka pungucapkan terima kasih dan pulang ke rumah masing-masing.
Selasai pesta, Sheila dan Eman duduok termenung di ruang tamu, sambil memandangi kado di
meja ruang tamu. "Tuan marah, ya?" tanya Emab.
"He-eh.." jawab Sheila lemah.
"Sudah ku duga. Lain kali kau mesti kendengar kata-kataku."
"Tapi aku bermaksud baik, Kek."
"Sheila, ada kalanya baik menurut kita, belum tentu baik menurut orang lain, jangan menyuruh
orang memakai sepatu kita, ukurannya belum tentu sama."
Sheila terdiam, lalu ia mengambil metafora yang sama, "Kalau sepatunya kubelikan untuk dia"
Dan kubelikan ukuran yang cocok buat dia?"
"Tetap saja belum tentu cocok. Siapa tahu modelnya tidak cocok.
Sheila terdiam lagi, "Ya sudah lah, berarti kali ini aku salah lagi. Lain kali tidak akan ada lagi
pesta kejutan ultah untuk Bram."
Lalu ia berpikir, ini ulang tahun Bram yang terakhir yang dirayakannya. Tahun depan ia sudah
tak ada lagi di sini. Bahunya pun lunglai dan wajahnya muram. Bram mengapa aku tak bisa
mengerti dirimu" Apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga kau begitu menutup diri"
Liburan akhirnya berlalu. Tahun ajaran baru dimulai. Sheila kini kelas 2 SMA. Pertama kali
datang ke rumah itu setelah liburan panjang, Bu Susan membawakannya setumpuk buku
pelajaran kelas dua, "Ini milik kelas dua yang sudah naik ke kelas tiga. Ia bilang berikan saja
semuanya,dia sudah tidak mau pakai lagi."
Saking gembiranya, Sheila memeluk Bu Susan. Kini baru disadarinya bahwa Bu Susan baik.
Wanita itu hanya tidak biasa memperlihatkan perasaannya. Tadinya Sheila juga bingung
bagaimana mendapatkan buku-buku pelajaran. Minta pada Bram tidak enak, beli sendiri juga
harganya sangat mahal. Saat sekolah, waktu lebih cepat berlalu karena Sheila punya kesibukan. Ia barusaha mendapatkan
nilai baik disetiap ulangan yang diujukan Bu Susan. Ia tak mau main-main. Belajar di kelas tentu
berbeda dengan belajar sendiri. Maka ia berjuang mati-matian, dan setiap hal yang tidak
dimengertinya ditanyakannya pada Bu Susan atau Tini dan Wenny yang datang secara teratur
beberapa hari sekali. Adapun Bram, sejak pesta ulang tahun kejutan yang dibuat Sheila tidak pernah lagi bicara
dengan gadis itu. Sheila sangat menyesal. Mestinya ia tak sembrono seperti itu. Padahal
hubungannya dengan Bram sudah mulai membaik sejak makan malam untuk merayakan
kenaikan kelasnya. Kini sudah tercipta lagi jarak yang memisahkan mereka.. Akhirnya Sheila
lebih menyibukan diri dengan belajar, baik belajar pelajaran maupun berlatih piano. Semakin
pilu hatinya, semakin besar tekadnya, dan semakin keras perjuangannya.
Suatu malam Sheila terbangun dan terbatuk-batuk. Di sekelilingnya banyak sekali asap. Buruburu ia keluar dan berusaha mencari udara segar.
"Kek"!!! Kakek...!"
Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya dipapah dan dibawa keluar. Karena langkah penolongnya
tertatih-tatih, ia segera tahu bahwa Bram yang menolongnya.
Tak lama kemudian ia sudah tiba di luar dan melihat bahwa api berasal dari kamar Bram. Ia pun
berseru panik. "Kakek!! Kakek Eman masih di dalam"
"Sudah, sudah keluar. Ia sedang mengambil air." sergah Bram. "Ayo kita ke tempat aman dulu."
Sheila merasa jantungnya hampir melompat keluar menyaksikan api yang begitu besar menjilatjilat dan berkobar. Hawa panasnya serasa menjilat wajahnya juga. Ia ingin sekalu membantu
memadamkab api, tapi kakinya begitu lrmas dan tak bisa bergerak. "KEBAKARAN...!!!!
KEBAKARAN"!!!! TOLONG... KEBAKARAN...!!!!"
Suaranya bergema dalam kesunyian. Dalam waktu singkat salah seorang tetangga terbangun dan
melihat apa yang terjadi. Orang itu juga berteriak menyerukan. Dalam sekejap tetangga-tetangga
berdatangan, membawa ember dan slang untuk membantu memadamkan api. Untunglah ada
keran air di depan rumah Bram, dan dari sana penduduk mengambil air dan menyiramkannya ke
api yang menyala. Belasan orang datang, dan beberapa saat kemudian api berhasil dipadamkan. Bram mengucapkan
terima kasih atas bantuan mereka. Para tetengga itulah yang sebagian datang waktu pesta ulang
tahun yabg diadakan Sheila.
Saat para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Sheila melihat kerusakan yang
terjadi. Rupanya hanya kamar Bram dan gudang yang terbakar. Ternyata semalam mati lampu.
Karena Bram tidak bisa tidur ia menyalakan lilin dan membaca. Tapi lalu ia ketiduran, dan lilin
itu jatuh ke atas kertas, dan api semakin membesar. Ketika Bram bangun, api sudah sulit
dipadamkan. "Bram, kamarmu terbakar separuhnya, lalu bagaimana?" tanya Sheila.
Bram, yang juga sedang melihat-lihat tersenyum, "Untunglah komputer dan buku-bukunya
selamat. Tempat tidur yang terbakar tidak apa-apa, masih bisa diperbaiki. Komputerku berisi
data penting. File novelku ada di sana semua!" tuturnya.
"Sudah tertimpa musibah, masih bilang untung.!" gerutu Sheila sambil membantu memunguti
barang-barang Bram yang berantakan akibat belasan orang masuk ke tempat itu untuk
memadamkan api. "Yaaa.... Dari setiap musibah kan harus mengambil hikmahnya." senyum Bram. Ia lalu
menghapiri Sheila, " Dan aku juga mau minta maaf."
Sheila menatap Bram, "Untuk apa?"
"Dua bulan yang lalu kau telah mengundang tetangga, dan aku marah-marah. Padahal kalau tidak
ada mereka semalam, api akan melahap semua isi rumah ini."
Sheila tersenyum. "Aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan itu dan membuat kau marah
padaku. Tapi sekarang aku tahu kenapa, rupanya aku takut hal seperti tadi terjadi."
"Hal seperti apa?"
"Aku berpikir, bahwa kau hanya tinggal sendirian bersama kakek Eman yang sudah tua. Dan
sebentar lagi usiaku tujuh belas tahun. Aku sudah harus meninggalkan tempat ini. Bila kau tidak
kenal siapa-siapa di sini bagaimana kalau terjadi apa-apa" Siapa yang akan menolongmu kalau
kau tak kenal tetangga?"
Bram terdiam, tenggorokannya tercekat karena haru. Sheila ternyata telah berpikir sejauh itu.
"Ter.... Terima kasih.." gumamnya, lalu tangannya sibuk membenahi barang-barangnya.
Sheila mengangkat selembar foto. Yang pria berwajah mirip dengan Bram, tapi lebih tua. Yang
wanita terlihat sangat cantik, kira-kira berusia empat puluh tahun.
"Ini orangtuamu?"
"Ya. itu foto mereka saat ayahku belum meninggal. Waktu itu....." Bram tidak jadi melanjutkan,
foto itu dibuat saat Bram berada di puncak ketenaran, belum cacat seperti sekarang.
Sheila melihat wajah Bram yang berubah murung. "Kau teringat pada almarhum ayahmu?"
"Ya, kadang-kadang. Kadang-kadang aku rindu padanya, dan teringat ia sudah tak ada lagi, dan
tak bisa ku temui lagi." tak lama kemudian Bram berkata, "Apakah kau masih sering mengingat
tentang ayahmu, Sheila?"
"Tidak....!" "Apa kau tak rindu padanya?"
"Tidak...." Bram mendekati Sheila dan memegang pundak gadis itu, lalu menghadapkan wajah gadis itu
padanya. " Sheila akan jauh lebih baik bila kau memaafkan ayahmu. Kebencian yang kau simpan
di hatimu semakin lama akan membuatmu makin menderita."
Mata Sheila berkaca-kaca. Tak dipungkurinya hatinya terkadang rindu pada ayahnya bila ia
membayangkan betapa ayahnya begitu mengasihinya. Waktu ayahnya mengajaknya berdua saja
ke Taman Ria, atau ke pantai ancol bermain pasir. Atau waktu ayahnya membelikannya
kembang api pulang dari bekerja, atau...... Banyak sekali hal-hal tiba-tiba teringat, yang membuat
hatinya sangat sedih. Tiba-tiba tangisnya meledak dan ia memeluk tubuh Bram. Ia menangis tersedu-sedu. Bram
membiarkan gadis itu menangis, melepas semua beban yang menghimpit di dadanya.
"Sheila, kalau kau merindukan ayahmu, temuilah dia. Jenguklah ia di penjara."
Sheila menangis lama sekali, lalu ia menjawab, "Tidak Bram, aku tak mau bertemu dengannya
lagi..." Bulan oktober tiba, musim hujan tiba. Sheila berpikir, betapa cepatnya waktu berlalu. Sheila
teringat besok ulang tahun Haryanto. Ia tidak akan lupa ulang tahun Haryanto, sebab di hari itu
Ratna menghina dan mempermalukannya. Haryanto ingin ia memainkan piano, tapi ia tak bisa
sedikitpun. Sekarang ia sudah bisa main piano. Ingin sekali ia main di depan Oomnya itu, tapi
tentu saja tidak bisa. Ia enggan bertemu Ratna dan kedua anaknya. Seandainya waktu bisa
diputar kembali ke tahun lalu ia ingin memainkan lagu Fur Elise kesukaan Oomnya itu dengan
kemampuannya sekarang.. Tentu saja itu hanya ada di cerita-cerita. Ini kehidupan nyata dan
segala sesuatu tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Eman masuk ke dapur dengan membawa beberapa batang singkong yang diambil di kebun.
"Mau dimasak apa, Kek" Dikolak, digoreng, atau direbus?" tanya Sheila, ia sendiri sedang
memotong-motong wortel untuk membuat sup kacang merah.
"Dibuat getuk saja."
"Emang bisa?" "Apasih yang Kakek nggak bisa?" gurau Eman.
Sheila mengambil emping mentah yang disimpan di laci bahan-bahan makanan kering.
"Empingnya kugoreng saja ya Kek, cocok kalau dimakan dengan sup kacang merah."
"Ya sudah, jangan hangus-hangus, tuan senangnya emping yang masih putih."
"Ada koran brkas nggak, Kek, buat tirisan minyaknya?"
"Ambil sendiri di kamar Kakek."
Sheila pergi ke kamar Eman. Kamar itu berbau balsam gosok, karena Eman bisa memakainya
sepanjang waktu. Rasanya tidak enak kalau tidak pakai balsam, katanya. Tupukan koran bekas
ada di sudut kamar. Sheila mengambil koran yang paling atas dan memeriksa tanggalnya. Sudah
tiga hari yang lalu, berarti bisa dipakai, pikirnya.
Matanya membaca headline yang ditulis besar-besar di koran. RAMPOK MENYERGAP
KELUARGA FURNITUR____ Sudah jatuh tertimpa tangga. Habis bangkrut, kemalingan.
Seratus juta amblas. Sheila jadi ingat, Haryanto juga pengusaha furnitur. Ia membuat mebel dari kayu dan
memasarkannya ke toko-toko furniture. Sheila jadi tertarik untuk membaca. Ia tak keluar dari
kamar Eman, melainkan duduk di lantai dan membaca berita tersebut.
Nasib Har (42) sungguh malang. Baru saja perusahaannya bangrut akibat krisis moneter,
hartanya pun digasak rampok. Har beserta istri dan dua anaknya disekap oleh lima orang
permpok bersenjata api, di perumahan Kencana Makmur Blok C-7 kelurahan kedoya, Jakarta
Barat. Usai mengobrak-abrik seisi ruangan, kawanan rampok kabur menggasak uang kontan
seratus juta dan perhiasan emas senilai sepuluh juta rupiah, barang elektronik senilai puluhan juta
rupiah, dan sebuah mobil panther milik korban.
Perampokan.yang terjadi di rumah Har ini berjalan sangat cepat. Kelima perampok datang
mengendarai mobil kijang. Pengusaha furnitur ini pasrah ketika pelaku mengancam akan
menembak putra sulungnya, Reza (18) dan istrinya Ratna (37) setelah melumpuhkan seisi rumah,
kawanan garong menyeret suami-istri dan anak mereka ke kamar tidur di lantai dasar. Lalu pintu
dikunci dari luar. Dengan leluasa para garong mengobrak-abrik rumah, menjarah uang dan
perhiasan emas di laci lemari kamar tidur Har di lantai dua. Sedangkan di lantai dasar perampok
menggasak tiga handphone, radio, tape, serta DVD.
Kawanan garong ini meninggalkan korban yang dikurung di kamar dengan membawa kabur
mobil panther milik Har setelah sebelumnya meminta kunci pada putra korban. Kasus
perampokan ini dilaporkan Har ke Polsekta Jakarta Barat. Kepada petugas yqng datang ke lokasi
kejadian, Har menjelaskan bahwa lima perampok masuk ke rumah setelah mereka menyantap
makan malam, pukul 20.15. Ketika beraksi kelima pelaku menutup wajah dengan sarung.
Har meminta polisi segera menangkap pelaku dan mengembalikan uangnya, karena uang itu
adalah uang pinjaman korban yang akan dipakai untuk membangun kembali usaha furniturnya
yang baru saja bangkrut. Sheila terkejut sekali membaca berita itu. Alamat yang tertera adalah alamat rumah Haryanto,
Oomnya. Sedangkan Reza dan Ratna yang disebut-sebut dalam berita ini sudah pasti
menunjukkan bahwa ini keluarga Oomnya. Sheila langsung berlari keluar dari kamar Eman.
"Sheila...! Sheila...! Mau kemana?" seru Eman melihat gadis itu berlari tanpa menutup pintu
kamarnya lagi. Sheila langsung mengetuk pintu kamar Bram, padahal selama ini ia belum pernah melakukan hal
itu. "Bram.... Bram...."
"Masuklah, tidak dikunci!" terdengar suara dari dalam, Sheila langsung menerjang masuk dan
memberikan koran itu pada Bram.
"Bram, baca ini!"
Bram membaca bagian yang ditunjuk Sheila. Selesai membaca ia menatap Sheila bingung, "Ada
apa dengan berita ini?"
"Ini Oomku yang tempo hari datang kemari, Bram. Oom Haryanto! Ia kerampokan. Uang untuk
mambangun kembali usahanya yang bangkrut dirampok!"
Bram merenung dan membaca lagi berita itu. "Kasihan sekali. Benar-benar sudah jatuh tertimpa
tangga." Sheila menangis, "Aku tak tahu Oomku bangkrut. Sekarang setelah kerampokan, ia pasti tak
punya apa-apa." Bram menatap Sheila, "Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Aku ingin ke Jakarta, aku ingin melihat sendiri bagaimana keadaannya."
Bram mengangguk, "Pergilah, lihat ia butuh apa"
"Tapi aku tak punya apa-apa untuk membantunya. Kedatanganku pasti hanya akan membuatnya
tambah sedih. Bila aku tak datang padahal sudah mengetahui hal ini, bukankan itu berarti aku tak
menunjukkan perhatianku padanya?"
Bram berkata lembut, "Sheila kau membenci mereka, kan?"
Sheila mengangkat wajahnya dan menatap Bram. "Tantemu itu, bukannya dia yang menyiksamu,
lalu anak-anaknya kau bilang mereka selalu mengejekmu dan tak pernah menganggapmu sebagai
sepupu mereka." "Tapi Oom Haryanto baik padaku, Bram. Dan di dunia ini hanya ada dua orang yang benar-benar
tulus mengulurkan bantuan saat aku susah. Dua orang itu adalah kau dan Oom Haryanto...." mata
Sheila menerawang. "Dia mengasuhku saat papa ditangkap dan dipenjara. Dia telah
mengeluarkan uang cukup banyak untuk menyewa pengacara yang membela kasus papa. Dia
menyekolahkanku, lalu ingin membiayaiku les, walau tante Ratna tidak setuju. Lalu setelah aku
membuat masalah, dia memindahkan aku ke sekolah asrama. itu semua membutuhkan uang yang
tidak sedikit. Kali ini yang dibutuhkannya adalah uang seratus juta yang dibawa lari perampok
itu. Itu pasti untuk membangun usahanya dan menyekolahkan Renny dan Reza. Tapi aku tak
punya uang sebanyak itu. Aku sungguh sedih tidak bisa membantunya!" Sheila pun menangis.
Bram meraih tangan Sheila, "Kau benar-benar ingin membantunya?"
"Lebih dari pada menginginkan apa pun di dunia ini." jawab Sheila.
"Kalau begitu....." Bram mengambil buku cek dan menuliskan sesuatu, lalu memberikannya pada
Sheila, "Berikan ini padanya."
Sheila mengambil cek itu ragu-ragu, lalu ia membaca angka seratus juta rupiah yang dituliskan
Bram. Ia kaget dan memandang Bram. " Kau tak perlu melakukan ini, aku tak bermaksud....."
"Sheila, apalah artinya uang jika kau punya banyak dan seseorang sangat membutuhkannya saat
ini" Pergilah ke rumah Oommu dan berikan cek ini padanya."
"Tapi...." "Hanya satu yang kuminta darimu"
Sheila menatap Bram, "Apa?"
"Pargilah, jenguk ayahmu di penjara."
Sheila terdiam. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia memeluk Bram erat-erat. Pria itu
sampai terkejut, tak mengira Sheila akan memeluknya. Lalu gadis itu keluar dari kamar sambil
membawa cek pemberian Bram.
BAB 10 KEESOKAN harinya Sheila mengenakan pakaian terbaiknya, baju yang dibelinya di pasar ketika
ia baru saja gajian. Baju itu berwarna putih dan berlengan pendek, dipadu dengan rok sepanjang
betis. Dipakai juga sepatu putihnya yang baru, berhak lima sentimeter. Ia terlihat tinggi dan
Bayang Bayang Kematian 1 Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa Suramnya Bayang Bayang 19

Cari Blog Ini