The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri Bagian 1
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum membaca :
" Cerita ini berawal dari mimpi-mimpi yang saya dapatkan sejak kelas Sembilan di SMP
(atau MTSN. Karena saya bersekolah disekolah agama) sampai sekarang. Mimpimimpi itu beragam dan sebagian besar sangat berbau fantasi dan fiksi yang kental. Dan
saya terinspirasi untuk menuangkan salah satunya ke dalam ceritanya ini (atau mungkin
dua sampai tiga mimpi. Tergantung dari sayanya saja").
" Awal dari cerita ini saya dapatkan dari mimpi saya pada malam tanggal 22 November
2012. Dan saya tegaskan, mimpi ini saya dapatkan saat saya sedang memikirkan ide
novel-novel saya yang sebagian besar tidak terurus. Bukan karena memikirkan ide
cerita baru. " Karena setiap orang tidak bisa mengingat seluruh mimpi yang baru saja didapatnya
(termasuk saya juga), jadi ada banyak tambahan yang ditambahkan di cerita ini.
" Kebanyakan nama-nama di cerita ini berbau Jepang dan Barat. Harap dimaklumi, saya
adalah seorang yang sangat menggemari anime dan manga dari Jepang. Juga novelnovel dari Barat seperti Twilight dan sebagainya yang menurut saya seru untuk dibaca.
" Untuk nama "Rifan", itu adalah nama seseorang yang dekat dan selalu baik pada saya
(dan membuat saya suka padanya. Keep it secret.). Sedangkan "Aria" adalah nama
julukan saya karena hobi menyanyi nggak jelas di depan teman-teman (tapi temanteman saya bilang suara saya bagus dan cocok untuk bernyanyi).
" Sepertinya anda akan merasa tidak nyambung dengan ceritanya. Jadi kalau bisa, silakan
di kritik atau diberikan saran. Saya sendiri sebenarnya masih pemula untuk menulis
sebuah cerita maupun novel. Kalau mau mengkritik atau memberi saran, silakan kirim
saja SMS ke nomor saya (+6285248391066) atau ke akun Facebook saya di "Kisuna
Angel". Tanpa tanda petik.
" Cerita ini adalah revisi ulang dari versi aslinya (hak cipta dari saya sendiri! Ini asli
buatan saya, juga yang versi aslinya). Versi aslinya juga sama, namun dengan tokoh yang
berbeda. Kalau ingin tahu, silakan hubungi saya untuk mendapatkan versi aslinya.
Nama tokoh dalam versi asli sama dengan versi ini.
" Dan saya tegaskan. Ini cerita fiksi, bukan cerita nyata.
Every Story has a beginning. An happy beginning, or" sad beginning"
The Chronos Sapphire adalah sebutan manusia gen buatan yang mempunyai kekuatan
yang luar biasa dan diluar akal manusia. Kebanyakan kemampuan mereka adalah telekinesis dan
membaca pikiran serta IQ yang tinggi. Pada awalnya, mereka adalah gen buatan untuk bayi tabung
dan membantu para pasangan yang belum memiliki anak dan tidak bisa punya anak. Seiring
waktu, pendapat itu berubah, dan sekitar 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2005,
Laboratorium Terlarang, yang semula memproduksi gen untuk bayi tabung, mulai mengembangbiakkan gen-gen buatan yang mempunyai susunan DNA yang kompleks dan menjadikannya
sebagai manusia super jika mereka dilahirkan. Hal itu illegal dan mereka tetap membuat gen
tersebut sebanyak 200 buah untuk dijadikan tentara oleh orang-orang yang mau membayar mahal.
Sebuah kapal yang memuat sekitar 200 gen yang siap dikembang-biakkan tersebut kemudian
berlayar ke sebuah dermaga di Inggris. Namun, tiba-tiba kapal tersebut hancur di tengah lautan
karena ledakan yang belum diketahui penyebabnya hingga sekarang.
Orang-orang mengira, 200 gen itu telah habis terbakar. Laboratorium Terlarang juga
menutup mulut soal itu. Apalagi dengan pemberitaan bahwa Laboratorium Terlarang melakukan
kegiatan illegal, tempat mereka beroperasi resmi ditutup dan orang-orang yang bekerja pada
tempat tersebut menghilang entah kemana. Dan kasus tersebut ditutup tanpa alasan yang jelas.
Selama lebih dari lima belas tahun setelah kasus tersebut, tiba-tiba kasus itu kembali
dibuka. Beberapa orang tua di berbagai belahan dunia mengaku bahwa anak mereka diculik oleh
sekelompok orang militer dan menyalahkan pemerintah. Walau tidak di semua tempat, tapi ada
beberapa anak di belahan dunia yang diculik pada waktu yang sama dan diperkirakan adalah
penculikan terencana karena anak-anak yang diculik tersebut adalah anak-anak dari bayi tabung
dari Laboratorium Terlarang.
Pemerintah yang tidak tahu apa-apa, segera meneliti masalah tersebut.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih dalam, dan melibatkan salah satu mantan pekerja di
Laboratorium Terlarang, penyebab beberapa anak yang diculik tersebut akhirnya terungkap.
Mantan pekerja tersebut mengatakan, bahwa sekitar 8 gen buatan yang seharusnya juga ikut
dibawa oleh kapal yang hancur lebih dari lima belas tahun lalu itu dibawa pergi oleh tiga orang
ilmuwan yang menentang ide pembuatan tentara dari gen tersebut. Mereka bertiga lalu
membagikan gen tersebut pada sekitar 6 pasangan yang ingin sekali punya anak, namun tidak bisa
memiliki keturunan di berbagai belahan dunia. 2 gen lagi tetap dibawa oleh ketiga ilmuwan.
Beberapa tahun setelahnya, tidak ada lagi kabar dari ketiga ilmuwan tersebut.
Lalu, sekitar 3 tahun kemudian, para ilmuwan Laboratorium Terlarang kembali beroperasi
di sebuath tempat yang tidak diketahui dan tidak bisa dijamah oleh pemerintah. Para ilmuwan
tersebut mencoba membuat lagi gen buatan tersebut, namun tidak berhasil karena salah ukuran
pada DNA yang dijadikan sebagai gen buatan. Tidak tanpa seorang ilmuwan jenius yang celakanya
adalah ilmuwan yang melarikan 8 gen buatan lima belas tahun silam.
Para ilmuwan tersebut hampir menyerah untuk membuat gen buatan tersebut saat mereka
menyadari, bahwa 8 gen tersebut masih hidup dan tersebar di seluruh dunia. Dengan berbagai
cara, mereka mencoba mendapatkan ke-8 gen yang sudah menjadi manusia tersebut.
Ardelia Ainsworth, kepala para ilmuwan tersebut, memerintahkan tentara militer bayaran
illegal untuk melakukan pekerjaan tersebut sementara ia dan para ilmuwan menjalin bisnis dengan
pemuka Negara dan beberapa pejabat untuk bekerja sama dalam "melatih" ke-8 gen itu nantinya
menjadi mesin pembunuh terhebat dan tidak bisa ditandingi oleh siapapun.
Pencarian ke-8 gen tersebut lalu dimulai selama lima tahun. Dan sekarang, ke-8 gen
tersebut sudah terkumpul. 7 laki-laki, dan 1 perempuan. Kemampuan mereka rata-rata semua
sama. Membaca pikiran, telekinesis, dan juga kecerdasan diatas rata-rata. Namun, yang
membedakan mereka adalah kemampuan baru yang akan muncul di dalam diri mereka seiring
waktu. Kini, mereka menjalani penderitaan berkepanjangan dan dipaksa membunuh dan
memberitahukan kepada seluruh dunia. Bahwa Laboratorium Terlarang kembali beroperasi.
Para anggota The Chronos Sapphire (dua tahun setelah berada di Laboratorium
Terlarang): " Dylan Arthur : cowok berusia 19 tahun berkebangsaan Amerika. Ciri-cirinya adalah
rambut berwarna hitam panjang dan diikat ke belakang. Bermata biru dan sifatnya
sangat mendekati seorang pemimpin. Kemampuan yang dimiliki adalah panca indera
super tajam. Kode namanya adalah The Chronos Sapphire nomor 2.
" Jack Lucios : cowok berambut pirang karamel dan memilik bola mata berwarna biru
pekat. Dia berasal dari Jerman. Sifatnya sangat dingin dan tertutup dengan semua
orang. Menganggap dirinya sendiri adalah yang terkuat. Kemampuan yang dimilikinya
adalah menghentikan waktu. Kode namanya adalah Chronos Sapphrie nomor 1
" Rifan Hawkins : cowok berusia 19 tahun berambut hitam pendek dan memiliki bola
mata berwarna sama dengan rambutnya. Sifatnya kadang susah ditebak. Dibilang terlalu
santai, juga tidak tepat. Dibilang serius juga tidak. Dia adalah orang Jepang yang tinggal
di Hongkong, China. Kemampuannya adalah mengembalikan penghentian waktu dan
memiliki sambungan empati dengan Aria, Chronos Sapphire terakhir. Kode namanya
adalah Chronos Sapphire nomor 3.
" Duke Mendev : cowok berusia 19 tahun dan memiliki sifat yang ceria. Dia adalah The
Chronos Sapphire yang punya saudara kandung di sana, yaitu Lord. Ia berasal dari
Rusia. Kemampuannya adalah mengendalikan pikiran orang lain. Ciri-ciri Duke
adalah, selalu tersenyum dan memiliki bola mata berwarna hijau tosca. Kode namanya
adalah Chronos Sapphire nomor 4.
" Lord Mendev : cowok berusia 18 tahun yang bersaudara kandung dengan Duke.
Sifatnya tidak jauh beda dengan saudaranya. Lord sering menjadi penyerang utama
dalam timnya dengan Duke dalam misi. Kemampuannya adalah mengendalikan
bayangan orang lain dan juga tubuh aslinya. Ciri-ciri Lord adalah berambut pirang
kecoklatan dan mata hijau tosca seperti Duke. Kode namanya adalah Chronos
Sapphire nomor 5. " Stevan Wilson : cowok berusia 18 tahun berambut hitam kemerahan dan mempunyai
mata tajam setajam elang yang jika kau menatapnya mungkin kau akan langsung merasa
seperti akan diterkam oleh elang sungguhan. Namun, ia adalah orang yang baik. Stevan
memiliki kemampuan panca indera super tajam seperti Dylan. Ia berasal dari Korea.
Kode namanya adalah Chronos Sapphire nomor 6.
" Charles Bernard : cowok berusia 18 tahun berambut pirang yang dipotong ala remaja
Jepang. Charles adalah cowok yang tinggal di Indonesia. Sama dengan Aria. Charles
amat sangat periang. Charles mempunyai kemampuan teleportasi dan berganti raga.
Kode namanya adalah Chronos Sapphire nomor 7.
" Shiroyuki Aria : dia adalah satu-satunya cewek di dalam The Chronos Sapphire.
Sifatnya sangat lembut dan tidak mudah meledak-ledak. Namun, ia juga cepat merasa
menyerah. Usianya juga 18 tahun. Aria adalah pasangan empati Rifan. Ciri-ciri Aria
adalah berambut hitam lurus panjang dan bermata biru kecoklatan. Aria juga orang
yang memegang kalung bulan sabit biru. Kalung yang menjadi kunci untuk keluar dari
The Chronos Sapphire. Kode namanya adalah Chronos Sapphire nomor 8.
PROLOG Namaku Shiroyuki Aria. Umurku enam belas tahun. Aku adalah seorang gadis remaja kelas 2
SMA. Mungkin, jika kalian ingin mendeskripsikan aku seperti apa, silahkan bayangkan seorang
gadis berkulit putih dan berambut hitam lurus yang kontras dengan warna kulitnya yang putih
seputih susu. Soal wajah, mungkin kalian bisa membayangkan wajah oriental yang dihiasi sepasang
bola mata berwarna biru kecoklatan dan bulu mata lentik, lengkap dengan bibir mungil tipis
berwarna merah muda. Serta hidung yang mancung. Kalian bisa mendeskripsikanku seperti itu.
Menurutku, aku tidak terlalu cantik. Tapi orang-orang disekitarku menganggapku sangat cantik.
Padahal aku merasa biasa saja.
Aku tinggal dengan kedua kakakku. Shiroyuki Keiko dan Shiroyuki Kazuhi. Kedua
orangtua kami sudah meninggal saat aku masih berumur empat tahun. Sebagai anak tertua, Kak
Keiko bertanggung jawab untuk menghidupiku dan Kak Kazuhi. Ia sekarang mengajar sebagai
dosen ilmu genetika di sebuah universitas ternama di Palangkaraya di usianya yang baru 19 tahun.
Menakjubkan dan mengesankan, ya" Kakakku memang salah satu orang jenius yang pernah ada.
Tapi itu hal biasa bagiku.
Kedua orangtua kami meninggal dalam kecelakaan mobil saat aku berusia empat tahun.
Aku tidak ingat persis bagaimana wajah keduanya. Karena setelah kejadian itu, kakak tertuaku
membakar semua benda yang berhubungan dengan orangtua kami.
Ralat. Tidak semua. Hanya tiga benda yang disisakan Kak Keiko. Tiga buah kalung bulan
sabit berwarna biru. Tapi kedua kakakku tidak pernah memakainya. Hanya aku yang terus
memakainya. Alih-alih, ternyata mereka memberikannya padaku. Katanya, sih, sebagai hadiah
ulang tahun. Benar atau tidaknya, bukan masalah bagiku. Mereka tetap menyayangiku, kok. Jadi
tidak masalah. Tapi masalahnya adalah, mereka terlalu protektif padaku. Entah karena alasan apa,
mereka selalu bersikap begitu padaku. Aku tidak pernah bertanya, dan aku juga tidak pernah
berniat membaca pikiran mereka. Aku takut mereka jadi tahu tentang kemampuanku dan malah
lebih bersikap protektif padaku. Ogah banget.
Kalau kalian bertanya tentang kehidupanku, aku tidak bisa memberikan penjelasan yang
spesifik. Hanya satu kata.
Menyenangkan. Ya. Menyenangkan, karena aku lebih sering menyendiri ketimbang mengobrol dengan
teman-teman sebayaku di sekolah. Walau kadang, aku kesepian juga. Bukannya aku penyendiri
atau apa. Aku hanya mencoba menyembunyikan kemampuan aneh-ku dari siapapun termasuk
kedua kakakku. Apa saja kemampuan aneh-ku" Yang pertama adalah, aku bisa membaca pikiran.
Kemampuan ini kudapat saat aku kelas tiga SD. Hanya dengan melihat wajah seseorang atau
melihat sikapnya, aku bisa dengan jelas membaca apa yang sedang dipikirkannya. Aku pernah
membuat salah seorang temanku malu karena aku membongkar rahasianya yang sering memakai
peralatan kosmetik ibunya diam-diam dan memuji dirinya sendiri di cermin seperti ibu tiri Putri
Salju yang selalu bertanya pada cermin ajaib. Dan aku sempat digencet selama enam hari oleh
temanku itu sebelum dia pindah ke luar negeri bersama orangtuanya.
Kemampuanku yang kedua adalah, IQ-ku yang lebih dari 500 atau setara orang-orang
jenius diseluruh dunia yang dikumpulkan jadi satu. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi aku bisa
membaca sebuah buku tiga ribu halaman dalam waktu lima belas menit dan paham serta megnerti
apa yang dijelaskan dibuku tersebut. Kemampuan membaca cepatku ini sangat membantuku
dalam belajar. Dan aku selalu menjadi juara kelas. Hehehe"
Kemampuanku yang ketiga, hmm" sebenarnya aku tidak yakin ini disebut kemampuan
atau tidak. Aku bisa berbicara dengan suara lain di otakku. Bukan dengan suaraku sendiri, tapi
suara orang lain. Aku bisa berbicara dengan Suara sejak aku kelas enam SD. Dan Suara sering kali
menghiburku di kala aku sedih karena sering digencet oleh teman-teman sekelasku (karena sekali
lagi, aku membaca pikiran teman sekelasku). Dan Suara juga sering menemaniku dalam tidur. Aku
tidak tahu siapa dia, tapi aku berasumsi, dan yakin kalau Suara adalah cowok. Tapi dia tidak
pernah mau mengaku siapa dia (okelah. Untuk hal itu, aku tidak mau memaksanya).
Biasanya aku melatih semua kemampuanku itu di gudang di belakang rumah yang sudah
kusulap menjadi "kamar kedua"-ku kala ingin melakukan sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh
kedua kakakku (yang dalam artian adalah kemampuanku). Dan tidak ada satupun yang boleh
masuk ke gudang itu seijinku.
Aku tidak pernah mengajak teman-temanku main ke rumah. Sejujurnya, aku hampir tidak
punya teman karena aku lebih sering menyendiri. Hanya beberapa orang saja yang dekat
denganku. Dan karena hanya mempunyai sedikit teman, aku jadi lebih leluasa melatih
kemampuanku dimana saja. Asal tidak diketahui orang lain.
Tapi pagi itu, pagi yang seharusnya kujalani dengan biasanya, berubah menjadi mimpi
buruk paling mengerikan dalam hidupku. Mimpi buruk yang benar-benar membuatku trauma.
BAB 1 Pagi Hariku yang Damai Berakhir
Seperti biasa, aku bangun pagi jam 5:30 pagi dan merapikan tempat tidur. Kamarku sederhana
saja. Hanya ada beberapa perabotan standar di kamarku. Itu termasuk meja rias, lemari yang
menyimpan seluruh trofi dan piala yang kudapat saat aku mengikuti lomba-lomba (yang
kebanyakan adalah lomba olimpiade akademik), dan lemari buku tiga tingkat. Kamarku dicat
dengan warna ungu muda. Kelihatan sekali, ya, femininnya"
Setelah merapikan tempat tidur, aku segera pergi ke kamar mandi. Dan sekitar lima belas
menit kemudian aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Kemeja lengan panjang warna putih,
jas dengan badge sekolah di dada kiri berwarna hitam, dan rok lipit kotak-kotak biru. Cukup
simpel. Dan tidak bertele-tele.
Aku melihat kearah kertas biru muda yang terpajang di sisi cermin rias. Itu jadwal
kegiatanku sehari-hari. Coba kita lihat :
Hari Senin Kegiatan Wajib Waktu -Sekolah, Belajar -07.00-15.00 -Latihan Vocal -17.00-18.00 -Menyiapkan -18.00 Makan Malam -Belajar, -19.00-22.00 Mengerjakan PR Kegiatan Tidak Wajib Waktu MELATIH KEMAMPUAN DIMANAPUN DAN TIDAK DITENTUKAN KAPANPUN Selasa Sda Sda Sda Sda Rabu Sda Sda Sda Sda Kamis Sda Sda Sda Sda Jumat Sda Sda Sda Sda Sabtu Sda Sda
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sda Sda Minggu - - Sda Sda Hoho" ternyata kegiatanku sama saja seperti kemarin-kemarin. Biasanya aku punya
banyak kegiatan. Lebih dari sepuluh kegiatan, malah. Tapi belakangan ini, aku sering ikut latihan
vocal karena aku menjadi kandidat dalam sebuah acara menyanyi. Lebih tepatnya ajang pencarian
bakat. Kalau tidak salah, nama ajang itu" Penyanyi Muda Berbakat.
Tolong jangan tanya apakah aku yang mendaftarkan diri dengan sukarela ke ajang itu.
Bukan aku. Tapi Kakakku, Keiko. Dia yang mendaftarkanku karena hobiku yang dari dulu suka
menyanyi. Dan beruntungnya aku masuk ke dalam nominasi sepuluh besar. Sulit dipercaya,
bukan" Oke. Itu tidak perlu dibahas. Aku sedang tidak mood untuk membicarakannya.
Aku merapikan rambutku yang kugerai bebas dan memasang bando hitam ke rambutku.
Aku lalu beralih ke tas sekolahku yang terletak di meja belajar. Mengecek ada barang yang
ketinggalan atau tidak. "Hmmm" handphone, Ipad, MP3 Player, buku tulis, kotak pensil, permen coklat, dan"
flash disk." Aku tersenyum puas dan kembali menutup tasku. "Beres, deh!"
Aku mengambil kalung bulan sabit biruku dan memasangkannya di leherku. Karena ketiga
kalung itu sudah menjadi milikku, aku praktis menyatukan semua bandulnya dalam satu tali. Jadi
aku tidak perlu pakai tiga kalung sekaligus. Setelahnya, aku memakai jam tangan mungilku yang
bergambar bunga mawar. Itu adalah hadiah dari temanku. Satu-satunya temanku. Tapi sekarang
dia sedang pergi menengok keluarganya yang sedang sakit di Amerika. Aku harap dia sudah
pulang kemari. Setelah siap, aku segera berjalan kearah pintu, menekan sebuah tombol virtual di dinding
untuk mematikan semua alat-alat elektronik di kamarku dan bergegas ke ruang makan.
*** "Ah! Aria! Kamu sudah bangun?"
Itu suara Kakakku. Keiko. Dia pasti sedang memasak sarapan. Menilik dari baunya, aku
yakin dia sedang memasak sesuatu yang enak. Kami memiliki jadwal untuk membuat makanan
untuk masing-masing waktu. Kak Keiko di pagi hari untuk membuat sarapan, Kak Kazuhi akan
membuat makan siang, dan aku yang mendapat giliran membuat makan malam.
"Hai, Kak. Selamat pagi." sapaku sambil duduk di kursi dan menopangkan dagu. "Masak
apa?" Kak Keiko tersenyum sambil memainkan pisau dapur ditangannya. Aku sempat bergidik
melihatnya melakukan itu. Dia seperti sedang memikirkan apakah akan mencincangku atau tidak
dengan pisau itu (yang sebenarnya tidak akan pernah dia lakukan karena dia sangat sayang
padaku). "Kesukaanmu. Roti bakar isi ikan salmon dan salad buah segar." Katanya sambil
membawakanku sebuah nampan berisi sepiring roti bakar dan semangkuk kecil salad buah. Juga
ada segelas susu di sebelahnya.
"Sudah kuduga." Aku menerima nampan itu dan meletakkannya di meja, lalu dengan
lahap memakan roti isi itu. "Baunya sudah tercium sebelum aku masuk ke ruang makan."
Kak Keiko tersenyum lagi. Lalu dia segera kembali ke balik kompor dan memasak lagi.
"Ngomong-ngomong, bagaimana hasil ujianmu kemarin?" tanya Kak Keiko.
"Ujian" apa?"
"Ujian masuk universitas. Kamu termasuk dalam siswa yang terpilih untuk memilih
universitas yang akan kamu masuki nanti, kan" Bukannya kemarin itu ujiannya sudah dimulai."
"Oh" itu." aku menggigit rotiku lagi, "Lumayan lancar. Aku bahkan keluar dari ruangan
sebagai orang pertama yang berhasil menyelesaikan enam ratus soal itu."
"Kau hebat." Puji kakakku.
"Terima kasih. Tapi sekarang ini, aku sedang tidak berminat membahas hal itu."
Kak Keiko manggut-manggut lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada kompor. Aku
sendiri terus memakan sarapanku.
"Hari ini Kakak ada kegiatan apa?" tanyaku memecahkan keheningan yang ada. "Ah,
ngomong-ngomong, dimana Kak Kazuhi?"
"Kazuhi sudah berangkat pagi-pagi sekali. Katanya ada ujian tengah semester." Kak Keiko
memasukkan beberapa roti isi ke dalam kotak bekalku, "Aku sendiri memang banyak kegiatan
hari ini. Aku harus menghadiri rapat antar dosen. Katanya ada masalah di laboratorium pusat."
"Ooo?" Aku memasukkan sesendok salad buah kedalam mulutku dan bisa merasakan rasa asam
dan manis bercampur jadi satu didalam mulutku.
Kak Keiko lalu duduk di kursi di hadapanku dan memakan sarapan bagiannya.
"Kotak bekalmu sudah kuisi. Juga botol minummu." Katanya.
"Mmm?" Aku cepat-cepat menyelesaikan makanku dan membawa nampanku ke bak cuci. Sambil
mencuci piring, aku menatap langit pagi yang kelihatan mendung. Tidak biasanya pagi ini terlihat
agak suram. Aku mendengar suara kursi yang diduduki Kak Keiko berderit dan langkah kaki Kak
Keiko yang berjalan kearah kulkas.
"Hari ini aku pulang telat. Mungkin sampai larut malam. Kau dan Kazuhi langsung pergi
tidur saja jika sudah selesai makan malam." Katanya sambil membuka pintu kulkas.
"Apa masalah di laboratorium itu segitu besarnya sampai kakak harus pulang larut
malam?" "Bisa jadi." Katanya sambil menghela nafas, "Katanya, masalahnya cukup serius hingga
harus minta bantuanku."
"Begitu, ya?" Aku mengelap tanganku dan mengambil kotak bekal serta botol minumku dan
memasukkannya ke dalam tas.
"Aku berangkat dulu, Kak. Aku tidak mau telat pergi ke sekolah dan ketinggalan bus untuk
pergi ke Museum." Kataku.
"Oke. Hati-hati, ya" Ingat, kamu harus makan tepat waktu." Katanya.
"Aku mengerti, bu."
Aku baru saja akan melangkah saat Kak Keiko memanggil namaku (lagi).
"Aria," "Ya?" Aku menoleh kearahnya dan melihatnya melemparkan sesuatu kearahku. Aku segera
menangkapnya dan mendapati sebuah kotak tipis berwarna hijau tua berada di tanganku. Ada
sebuah pita berwarna merah tua di sisinya.
"Apa ini?" tanyaku.
"Hadiah." Jawab Kak Keiko. "Dariku dan Kazuhi. Selamat ulang tahun, ya."
*** Aku berjalan di trotoar sambil memasangkan earset MP3 Player ke kedua telingaku dan memutar
lagu kesukaanku. Selama berjalan, aku memerhatikan pemandangan di sekitarku. Pohonpohonnya terlihat lebih hijau sekarang. Sekarang sudah bulan Februari, tanggal 14. Menurut orangorang, hari ini adalah Valentine"s Day atau Hari Valentine. Hari dimana orang-orang memberikan
coklat atau benda-benda yang menyatakan rasa kasih sayang pada orang yang dituju.
Itu bagi orang-orang yang sudah punya orang yang disuka (walau tidak harus orang yang
disukai juga, sih"), bagi orang-orang yang tidak punya, silahkan merana saja.
Sayangnya, aku termasuk orang-orang yang merana itu. Nasibku benar-benar, deh"
Oh ya, dan hari ini juga ulang tahunku (bukankah tadi Kak Keiko sudah mengatakannya
dengan jelas pada kalian" Bagus, deh kalau ingat).
Tapi apa gunanya juga aku mikirin itu" Ah, ya" Suara hari ini tidak berbicara denganku.
Ini agak aneh sebenarnya. Biasanya dia selalu mengajakku bicara dan menceritakan padaku hal-hal
yang menakjubkan. Tapi kenapa hari ini dia tidak "berkicau", ya" Mungkin dia lagi capek" Bisa
jadi" Aku berhenti di halte bus dan duduk di kursi yang ada. Sambil menghela nafas, aku
memikirkan study tour-ku ke Museum Palangkaraya nanti. Aku tidak terlalu tertarik dengan
pelajaran sejarah. Dan aku bosan dengan pelajaran itu. Pelajaran itu sering membuatku
mengantuk. "Psst!! Itu Shiroyuki Aria, kan?"
Aku mendengar seseorang menyebut namaku. Walau aku memakai earset dan seharusnya
tidak mendengar suara apapun, aku masih bisa mendengar suara orang lain.
"Wah" iya! Itu Shiroyuki Aria. Dia kandidat Penyanyi Muda Berbakat, kan" Kau sudah
dengar beritanya kemarin" Dia masuk nominasi sepuluh besar dan menjadi nomor dua di
nominasi itu!" sahut yang lain.
"Tentu saja! Suaranya merdu sekali seperti malaikat. Pantas saja dia masuk nominasi
sepuluh besar." Aku melirik sedikit kearah orang-orang itu dan melihat sekumpulan cowok yang berkasakkusuk di dekatku. Mereka itu seperti ibu-ibu saja kalau begitu!
Dasar cowok penggosip! Batinku sambil tertawa geli.
Bus kearah sekolahku sudah datang. Aku cepat-cepat masuk ke dalam dan duduk di kursi
paling belakang. *** Aku turun tepat di depan gerbang sekolah dan menatap bangunan yang ada dalamnya. Bangunan
bercat coklat muda dan bertingkat tiga. SMA Harapan.
Aku melihat ada beberapa bus biru muda di dekatku. Itu pasti bus yang akan membawa
teman-temanku untuk pergi ke Museum.
"Aria!!!" Seorang remaja perempuan seusiaku yang berpakaian sama denganku berlari kearahku
sambil melambaikan tangannya. Rambutnya yang dipotong pendek diatas bahu agak berkibar
karena angin pagi yang berhembus.
Dia Rinoa. Satu-satunya temanku disekolah. Selain temanku yang sedang ke Amerika itu.
"Hei, teman." Sapaku.
"Aku kira kamu tidak akan datang." katanya sambil memegang tanganku. "Study tour kali
ini pasti mengasyikkan."
"Aku berharap juga begitu." Kataku sambil membetulkan letak tali tas sekolahku. "Jadi"
semua sudah siap?" Rinoa mengangguk, "Hanya kamu yang belum datang. Atas saranku, Mr. Drew mau
menunggumu." Katanya.
"Begitu?" "Nah, ayo! Kita harus cepat-cepat berangkat!"
Rinoa menarik tanganku dan berlari kearah salah satu bus biru muda dan mengajakku
masuk. Segera setelah aku masuk, teman-temanku yang lain juga ikut masuk.
*** Perjalanan ke Museum ternyata lebih cepat dari yang kuduga.
Hanya dalam waktu setengah jam, kami sudah sampai di Museum. Kami lalu berbaris
sesuai kelas kami. Mr. Drew, wali kelasku, segera memberikan pengarahan pada kami. Aku tetap
memakai earset-ku. Jadi aku tidak mendengarkan apapun pengarahannya.
Setelah itu, beliau menyuruh kami untuk berkeliling. Rinoa segera mengajakku
bersamanya menyusuri deretan benda-benda bersejarah disana. Tapi dia tidak membicarakan
benda-benda itu. "Kau tahu, aku akan diajak ke sebuah restoran hari ini untuk merayakan satu tahun aku
berpacaran dengan Akira. Bukankah itu bagus?" katanya sambil berjalan di sampingku.
"Bagus. Selamat kalau begitu." Kataku balik.
Lalu dia mulai menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya,
pacarnya, dan bla bla bla" tapi setidaknya, aku mendengarkan.
Aku memandangi semua benda-benda yang dipajang dengan tidak berselera.
Tiba-tiba Rinoa berhenti berjalan dan memegangi tanganku.
"Aria," "Hmm" Apa?"
Aku menoleh kearahnya. Dan dia" terkejut" Tangannya menunjuk ke sebuah arah. Aku
mengikuti arah yang ditunjuknya dan aku yakin, aku juga sama terkejutnya dengan dia.
Sekitar sepuluh orang berpakaian militer dan mengenakan penutup wajah sedang berjalan
kearah kami. Salah satu diantara mereka sedang menyerang tiga orang teman sekelasku.
"Apa" yang mereka lakukan?" gumamku sambil melangkah mundur. Aku punya
pengalaman buruk dengan orang-orang militer.
"Aria, ayo" kita harus pergi. Aku" merasa" ini aneh. Pokoknya kita harus pergi!"
Aku mengangguk setuju. Kami lalu berbalik kearah jalan kami pergi tadi. Tapi ternyata
oarng-orang yang sama seperti yang tadi kami lihat juga berada disana. Aku melihat kearah lain,
semuanya sama. Sepertinya aku dan Rinoa saja yang dikepung. Dan ini" aneh.
"A, ada apa ini?" tanya Rinoa padaku.
"Aku juga tidak tahu." Aku menjawab dengan suara pelan.
Tapi sepertinya ini memang aneh. Kenapa mereka mengepung kami berdua"
"Target ditemukan. Aktifkan The Chronos Sapphire nomor 8." Ujar salah seorang
diantara mereka, yang aku rasa adalah bos mereka.
"Apa?" "Apa, Aria?" Aku menggeleng. Tapi tiba-tiba aku merasakan kepalaku sakit. Dan semakin lama semakin
terasa sakit. "Aaakkhh?" Aku jatuh terduduk sambil memegangi kepalaku. Sementara semua orang itu semakin
mendekat kearah kami. "Aria" Aria, kamu kenapa?"
"Aku" aku tidak apa-apa. Aaakkh!!!"
Aku merasa ada sesuatu yang menarik-narik seluruh syarafku sampai rasanya mau putus.
Ada apa ini" Kenapa" kenapa kepalaku"
Aku mendengar suara Rinoa yang berteriak dan melihatnya sedang dipaksa menjauh
dariku oleh salah seorang orang itu.
"Rinoa!!" Seseorang menarik lenganku dan memaksaku berdiri.
"Lepaskan temanku!!" aku mendengar Rinoa berteriak, "Apa mau kalian?"!"
Aku tahu tidak ada gunanya dia berteriak seperti itu. Suaranya semakin bertambah jauh
sebelum pandanganku berubah gelap.
Mungkin" ini hari terakhirku untuk melihat semua yang aku kenal.
BAB 2 Laboratorium Terlarang ?"ei! Hei! Bangun!"
Aku membuka mataku dan melihat bayangan-bayangan aneh yang mengerubungiku.
Beberapa saat kemudian, aku baru bisa melihatnya dengan jelas. Tiga orang cowok sedang
mengerubungiku. Salah seorang diantaranya memangkuku di tangannya.
"Hei, dia sudah sadar!" ujar suara yang tadi kudengar. Seorang cowok dengan rambut
panjang yang diikat ke belakang dan agak berjenggot. Tapi usianya terlihat masih muda.
Aku berusaha bangun dan mengabaikan rasa sakit yang masih mendera kepalaku.
"Wow wow" sebentar" kamu baru saja pulih, Manis." Kata cowok yang memangkuku.
"Err" dimana?"
Aku melihat ke sekelilingku dan barulah aku sadar. Sepanjang mata aku memandang, yang
ada hanyalah cowok-cowok ini. Ada sekitar tujuh orang cowok di tempat ini.
"Kamu harus istirahat dulu." Cowok berambut panjang itu membantuku berdiri dan
mendudukkanku di sebelah seorang cowok berambut hitam pendek dan sedang memejamkan
matanya. Sepertinya dia sedang tidur.
"Akhirnya dia benar-benar sadar! Untung saja suntikan itu tidak berpengaruh padanya."
Ujar yang lain. Kali ini seorang cowok berambut pirang dan dipotong ala rambut cowok Jepang.
"Anu" ini dimana?" tanyaku.
"Sebaiknya kamu istirahat saja dulu. Kamu baru datang. Nanti kita bicarakan." Ujar si
rambut panjang. "Kamu masih lemah. Sebaiknya kamu menggunakan Rifan sebagai bantal."
Aku menoleh kearah cowok yang duduk disebelahku.
"Hei, Rifan! Bangun!"
Cowok itu membuka matanya, dan aku bisa melihat warna matanya yang sewarna dengan
rambutnya yang berwarna hitam. Pandangan matanya terlihat tajam walau dia baru bangun tidur.
"A, apa?" tanyanya.
Aku terkesiap mendengar suaranya. Suara ini" suara ini"
"Jaga gadis ini. Dia butuh istirahat." Kata si rambut panjang.
Cowok bernama Rifan itu menoleh kearahku dan mengangguk. Dia lalu menunjuk
bahunya, "Kau boleh bersandar padaku." Katanya. "Silakan."
Aku masih memandangnya dengan tatapan terkejut. Aku menatap wajahnya lekat-lekat.
Aku tahu suara ini. Aku tahu aku kenal suara ini.
"Hei, kamu baik-baik saja, Aria?" katanya.
Kali ini dia menyebut namaku. Satu hal lagi yang membuatku terkejut. Aku bahkan belum
memberitahukan namaku padanya ataupun mereka yang ada disini karena mereka memaksaku
untuk istirahat. Tidak ada yang tahu namaku disini.
"Kamu" kamu bagaimana kamu tahu namaku?"
Rifan mengerjap sebentar dan kemudian jadi salah tingkah.
"Eh" maaf. Aku" aku" aku melantur." Katanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kau tahu namaku." Kataku, "Kau Suara, kan?"
Rifan menatapku sebentar, kemudian mengangguk. "Ya. Akulah yang" selama ini selalu
berbicara denganmu. Lewat pikiranmu."
Aku benar-benar tidak percaya. Aku bisa menemukan sosok Suara yang selama ini hanya
kudengar suaranya. Tapi" tapi kenapa dia ada disini" Dia selalu bercerita kalau dia berada di
rumahnya. Di salah satu Negara bagian Asia Timur. Dia selalu bilang jika kutanya sedang apa dia,
mungkin sedang istirahat, atau sedang membaca buku.
"Kenapa kamu ada disini" Kamu" kamu bilang kamu tinggal di Negara bagian di Asia
Timur. Kenapa?" "Sebaiknya kamu bertanya nanti saja. Kamu harus istirahat dulu." Ujar Rifan.
Aku tidak mau disuruh istirahat. Aku tidak mau istirahat sebelum dia memberikan
penjelasan kepadaku. Tapi mataku berat dan aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak tidur.
Akhirnya aku menyandarkan kepalaku di bahunya dan memejamkan mata. Sementara kepalanya
sendiri ia sandarkan ke kepalaku dan ikut tidur.
*** Kali ini, aku dibangunkan oleh si rambut pirang. Katanya kita akan makan malam. Aku tidak yakin
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang dimaksud dengan makan malam karena disini sangat gelap dan penerangan hanya ada
pada lampu 5 watt yang ada di langit-langit tempat yang seperti sel penjara ini.
"Makan" malam?"
Cowok berambut pirang itu mengangguk. "Tidak apa-apa, makanannya sama seperti yang
kita makan sehari-hari. Mereka hanya membutuhkan kekuatan kita." Dia berbicara dengan nada
suara yang pahit. "Apa maksudnya?" tanyaku.
"Tidak apa-apa." Dia menggeleng dan tersenyum padaku. "Oh ya, kita belum berkenalan.
Aku Charles. Charles Bernard."
"Yang itu Dylan, Stevan, Lord, Duke, dan" Jack."
Dia memperkenalkan yang lain dan mereka membalas dengan antusias. Kecuali yang
disebut terakhir. Dia kelihatan penyendiri.
"Aku Aria." Kataku memperkenalkan diri. "Yang itu" Jack" Apa dia selalu begitu?"
tanyaku menunjuk kearah Jack.
"Begitulah." Charles mengedikkan bahu. "Tapi yang pasti, jangan pernah berurusan
dengannya. Dia" yah. Pokoknya jangan dekat-dekat dengannya."
Aku hanya mengangguk, walau sebenarnya tidak mengerti.
"Dan yang ini, yang tidur disebelahmu ini," Charles menunjuk orang yang ada disebelahku
sambil tersenyum jenaka, "Rifan. Rifan Hawkins. Itu nama lengkapnya."
"Rifan?" "Apa dia punya kemampuan sepertiku?" tanyaku.
"Kemampuan" Ah, maksudmu kemampuan seperti bertelepati, membaca pikiran, atau"
terbang?" tanya Charles balik.
"Ya" kira-kira seperti itulah?"
"Tentu saja. Kami semua memilikinya."
"Hee?"" Charles duduk disebelahku dan menunjuk dirinya sendiri, "Aku juga punya kemampuan.
Aku bisa berteleportasi, menggunakan kemampuan telekinesis, dan" berganti raga." Katanya.
"Berganti raga?"?"
"Charles, jangan menakut-nakutinya."
Dylan berjalan kearah kami sambil membawa sebuah nampan. Wajahnya agak kebaratan.
Matanya berwarna hijau dan rambutnya kuning jagung.
"Aku tidak menakut-nakutinya?" gerutu Charles sambil memanyunkan bibirnya.
"Tapi kau mau menakutinya." Sela Dylan, "Lagipula, hanya kamu satu-satunya yang
mempunyai kemampuan berganti raga. Jadi jangan ceritakan detail itu pada gadis ini."
Charles menggerutu pelan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dylan menoleh kearahku
sambil menyodorkan nampan yang dibawanya padaku.
"Ini. Bagianmu dan Rifan." Katanya.
Aku menerima nampan itu dan tidak sengaja menyentuh tangannya. Sekejap kemudian
aku merasakan suaraku tertahan di tenggorokanku.
"Hmm" Ada apa?" tanya Dylan.
Aku cepat-cepat menggeleng. Aku tidak bisa memberitahu apa yang baru saja kulihat dari
pikirannya. "T, tidak apa-apa?" kataku.
"Benar" Sepertinya kamu melihat apa yang kupikirkan tadi, ya?"
Aku terkejut dan hampir saja menjatuhkan nampan ditanganku. Aku mau bertanya, tapi
aku baru ingat, Charles bilang, semua yang ada disini mempunyai kemampuan yang sama
denganku. Aku mengangguk pelan dan menundukkan kepala. "Maaf, kalau" itu tidak sopan."
Kataku. "Tidak apa-apa." Kata Dylan sambil tersenyum, "Itu hal biasa. Sekarang, makanlah. Kamu
pasti lapar." Aku mengangguk lagi dan mengambil semangkuk sup. Aku melirik kearah Rifan, yang
masih tidur disebelahku. "Anu?" "Aku sudah bangun, kok." Rifan tiba-tiba berbicara dan membuka kedua matanya. Lalu
meregangkan badannya seolah dia baru saja tidur nyenyak.
"Selamat malam, Dylan." Katanya.
"Seperti biasa, kamu selalu bersikap santai di situasi seperti ini." Kata Charles sambil
mengambil piring berisi nasi hangat dengan lauk ikan tuna goreng. Lengkap dengan sayurannya.
"Kau juga seperti biasa, selalu cerewet." Kata Rifan sambil tersenyum dan meninju bahu
Charles dengan gerakan main-main.
"Aaaww" sakit tahu!"
Rifan tidak memperdulikan perkataan Charles dan mengambil satu piring yang tersisa di
nampan dan mulai memakan makanannya.
Aku memandangi mereka selagi mereka makan. Aku juga memperhatikan yang lain.
Mereka semua makan seperti orang-orang normal. Tapi kenapa kami berada di tempat ini"
"Aria, kamu tidak makan?" Charles menunjuk sup di tanganku. Yang masih mengepulkan
asap panas. "Nanti supmu jadi dingin. Apa kamu memikirkan sesuatu?"
"Eh" tidak ada apa-apa?"
Aku menyendok sup itu dan memakannya. Setidaknya aku mendapat makanan layak
disini. "Hei, Charles,"
Charles menoleh kearahku lagi dengan mulut penuh makanan. "Apha?"
Aku tertawa kecil mendengar suaranya yang masih mengunyah makanan. "Sebaiknya kamu
telan dulu makananmu." Kataku.
Dia nyengir kemudian mengunyah makanannya sebentar dan menelannya.
"Ada apa?" tanyanya denagn suara yang jelas.
"Sebenarnya" ini dimana?" tanyaku sambil memperhatikan sekeliling. "Kenapa kalian"
maksudku, kita semua, berada disini" Apa karena kemampuan kita yang kamu maksud?"
Charles memain-mainkan sendoknya sambil menatap nasi di piringnya.
"Hmm" sebenarnya disini adalah tempat dimana orang-orang seperti kita dikumpulkan."
Katanya. "Maksudnya?" "Laboratorium Terlarang. Tempat ini adalah tempat pembiakan sel genetika buatan."
Rifan berbicara sambil memakan makanannya. "Tempat ini juga menjadi neraka bagi kami."
"Neraka" Maksud Kakak apa?" aku bertanya. Entah karena apa, tiba-tiba aku merasa ingin
memanggilnya dengan sebutan "Kakak".
"Tolong jangan panggil aku dengan sebutan "Kak". Mengenai pertanyaanmu tadi. Disinilah
tempat orang-orang seperti kita berkumpul"diculik, untuk istilah kasarnya." Kata Charles
menyambung perkataan Kak"eh, maksudku Rifan.
"Kau tahu kemampuan kita ini datangnya dari mana?" tanya Charles.
Aku menggeleng. Jujur saja. Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa
mendapatkan semua kemampuanku itu. aku pikir itu hanyalah kebetulan belaka atau sebuah
anugerah yang diberikan kepadaku. Hanya kepadaku, mungkin.
"Kemampuan kita itu berasal dari DNA kita." Kata Charles, "Sebelum kita lahir, kita
adalah gen buatan yang kemudian dijual pada orang yang tidak memiliki anak atau mengalami
masalah keturunan. Istilahnya, kita adalah bayi tabung. Awalnya Laboratorium ini melakukan
pengembangbiakkan untuk membantu orang-orang seperti itu. Tapi" sekitar dua puluh tahun
yang lalu?" ?" terjadi penyimpangan pada Laboratorium Terlarang. Sekitar dua ratus gen buatan yang
semula akan dijual dengan alasan tersebut, direkayasa hingga mendatangkan kemampuan yang luar
biasa pada gen itu kelak jika mereka sudah lahir. Kemampuan yang jika disalah gunakan akan
membawa malapetaka pada orang-orang disekitar kita. Tapi hanya orang-orang laboratorium yang
tahu. Dan jika gen-gen itu lahir, mereka berencana memanfaatkannya untuk pekerjaan kotor
seperti" yah?" "Begitu" aku mengerti secara garis besarnya." Kataku manggut-manggut. "Tapi, kenapa
hanya ada delapan orang yang ada disini" Seharusnya"seperti katamu tadi, seharusnya ada dua
ratus orang, kan?" "Itulah yang menjadikan kita sedikit istimewa disini." Rifan lagi-lagi ikut bicara. "Kita
adalah satu-satunya yang tersisa dari dua ratus gen buatan yang dijual itu."
"M, maksudnya?"
"Gen lain yang seharusnya dijual itu, terbakar bersama sebuah kapal yang membawanya ke
seluruh dunia untuk disebarkan. Semuanya hangus terbakar sebelum diselamatkan. Kecuali kita.
Kita diselamatkan oleh seorang pelaut yang kemudian menyerahkan kita ke sebuah rumah sakit di
Amerika, dan rumah sakit itu kemudian menyebarkan gen kita pada orang-orang yang berniat
membeli bayi tabung dengan harga yang murah. Rumah sakit itu tahu kalau kita adalah gen-gen
yang dibuat dengan rekayasa DNA yang kompleks, rumit, dan tidak bisa dibedakan satu sama lain
dengan DNA manusia biasa. Mereka menjual gen kita tanpa sepengetahuan Laboratorium
Terlarang." "Tapi ternyata Laboratorium Terlarang mencium hal itu. Pihak Laboratorium Terlarang
lalu berusaha mencari keberadaan kita sampai sekarang. Dan kini, kedelapan gen itu sudah
berkumpul disini. Kita berkumpul disini karena satu alasan. Kita akan dipergunakan sebagai
boneka oleh Laboratorium Terlarang sebagai mesin pembunuh."
Aku memandangi mereka semua satu-persatu. Aku sebenarnya masih tidak percaya
dengan apa yang dikatakan Charles tadi. Tapi" mesin pembunuh"
"Mesin" pembunuh" Maksudmu, kita akan disuruh membunuh orang?" tanyaku.
"Begitulah." Rifan selesai makan dan menaruh piringnya di lantai, "Semua yang ada disini
berada disini dalam waktu yang lama. Ada yang sudah berada disini lebih dari 5 tahun. Termasuk
aku." "Berarti saat" aku kelas 6 SD" Saat kamu berbicara padaku lewat pikiranku?"
Rifan mengangguk. "Aku disini selama enam tahun, sejak berusia sebelas tahun. Dylan
berada disini dalam waktu yang sama denganku. Lord, Stevan, dan Duke disini selama tiga tahun
setelah aku dan Dylan. Jack" aku tidak tahu. Sepertinya dia sudah lama disini karena aku sudah
melihatnya sejak pertama kali berada disini. Charles baru saja disini tiga bulan lalu. Dan kau yang
terakhir." Aku menoleh kearah Charles, "Kamu juga" baru disini?"
"Iya. Untungnya aku tahan dengan siksaan dari mereka." kata Charles, "Kami semua sering
disiksa dengan?" "Sebaiknya jangan membicarakan itu di depan Aria." Sela Rifan. "Dia satu-satunya cewek
disini." Mendengar perkataannya, aku baru sadar. Aku adalah satu-satunya cewek disini. Kenapa
aku tidak menyadarinya"
"Karena itu?" Charles mengedikkan bahu, "Dia menjadi lebih istimewa dari kita. Karena
dia satu-satunya yang punya pasangan empati disini."
"Pasangan empati?"
"Maksudku, dua orang yang bisa saling bertukar pikiran kapanpun dan dimanapun.
Biasanya itu hanya berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dan sayangnya sebelum kamu datang,
tidak ada perempuan lain." Kata Charles dengan nada menggerutu. "Dan lebih disayangkan,
ternyata Rifan yang mendapat pasangan empati."
Aku mengerjapkan mata tidak mengerti, dan kemudian baru aku menyadari (lagi). Alasan
kenapa aku bisa berbicara dengan Rifan selama ini adalah karena akulah pasangan empatinya. Aku
menoleh kearah Rifan yang membuang muka kearah lain. Aku melihat dia" malu"
"Kalian berdua mungkin akan menjadi pasangan terkuat diantara kami." Kata Charles,
"Rifan, kau beruntung, Aria gadis yang cantik, lho! Dia juga pandai, dan bisa saja menjadi pacar
atau bisa saja menjadi istri?"
"Kau bilang sekali lagi, kuterbangkan kau dari sini dengan kemampuan telekinesisku."
Kata Rifan dengan nada mengancam.
Charles nyengir dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
"Heee" damai, damai?"
"Eh" maaf kalau aku yang membuat kalian?"
"Bukan apa-apa. Kami sudah sering bercanda seperti ini." Kata Charles, "Iya, kan, Rifan?"
Rifan mengangguk tak acuh.
Aku memandanginya dengan perasaan yang tak menentu. Entah kenapa" aku merasakan
ada sesuatu yang aneh dari sikapnya. Tiba-tiba aku merasa dipandangi oleh seseorang, aku
menoleh dan melihat Jack menatap kearahku dengan tatapan benci. Kenapa dengannya"
"Lalu" apa ada cara agar kita bisa keluar dari sini?" tanyaku pada Charles.
"Sayangnya tidak."
Dylan berjalan kearah kami dan membereskan piring-piring kami. Dia sempat melirik
mangkuk supku yang masih penuh.
"Tidak kau makan?" tanyanya.
"Entah kenapa aku sedang tidak berselera makan." Jawabku, "Maaf, kalau aku membuangbuang makanan."
"Tidak apa-apa. Lagipula jarang ada yang mau makan sup jamur ini selain Rifan. Tumben
sekali dia tidak memilih sup." Kata Dylan sambil berjalan pergi.
Aku menoleh kearah Rifan dan melihatnya mulai memejamkan mata lagi. Dan aliran
nafasnya berubah teratur. Seperti orang yang tidur.
"Dia tidur?" tanyaku.
"Alasan dia saja. Kalau jam segini, dia tidak akan tidur. Kecuali kalau sudah larut malam,
atau saat kami semua sudah tidur." Kata Charles. "Dia selalu berjaga-jaga jika salah satu dari kami
menyakiti satu sama lain."
Aku manggut-manggut mengerti.
"Anu, aku masih punya pertanyaan lagi."
"Ada apa lagi?" tanya Charles. Dengan mata sedikit berbinar. Entah karena apa, aku sudah
terbiasa dipandang seperti itu sejak aku muncul sebagai nominasi sepuluh besar Penyanyi Muda
Berbakat. "Kenapa" kita dikurung disini" Apa kita akan keluar saat mereka memanggil kita?"
Charles memandangku sebentar, kemudian kearah lain.
"Tidak ada yang tahu kapan kita akan dipanggil. Selama ini kami dikurung disini saja.
Tidak pernah ada yang memanggil kami." Katanya, "Tapi, mungkin sebentar lagi akan berubah."
Tiba-tiba pintu baja ruangan ini terbuka. Cahaya dari luar menyilaukan mataku dan yang
lain. Ada sekitar tiga orang yang berdiri di depan pintu. Salah satu diantara mereka melihat
kearahku dan mengisyaratkan dua orang yang lain untuk berjalan kearahku.
Charles berdiri di depanku dan menghalangi mereka.
"Kalian mau apa?" tanyanya.
"Diam, Nomor 7. Ini urusan Administrator. Dia meminta kami untuk membawa gadis itu."
ujar yang berpakaian jas abu-abu. "Untuk diuji coba terlebih dahulu."
Mendengar kata itu, aku merasa seperti sebuah barang.
"Apa-apaan?" Pria berjas abu-abu itu memukul Charles sampai jatuh. Dylan yang sedari tadi diam
mendekati Charles dan membantunya berdiri.
"Apa maksudmu" Kami bukan barang. Keluarkan saja kami dari sini. Kami mau pulang."
Kata Dylan sinis. Pria itu melihat kearah Dylan, tapi kemudian mengacuhkannya lagi. Ia lalu menarik paksa
tanganku dengan keras sampai aku bisa merasakan tulang pergelangan tanganku serasa patah.
"Ayo!!" "Tunggu?" Aku berontak dan mencoba melepaskan tangannya. Tapi tubuhnya terlalu kekar di balik
jasnya, dan pria itu mengeratkan cengkeramannya pada tanganku.
"Hentikan!!" Duke dan Lord membantuku melepaskan diri dan membuat pria itu mundur. Wajahnya
kelihatan marah. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Duke.
Aku menggeleng, tapi rasa nyeri di pergelangan tanganku masih amat sangat terasa.
"Kalian ingin keluar" Biarkan gadis ini dijadikan percobaan pertama!" ujar pria itu.
"Sebenarnya untuk apa kami dikumpulkan" Apa hanya untuk dijadikan mesin
pembunuh!" Kami ini bukan pembunuh dan tidak akan pernah menjadi pembunuh!!" kata Dylan.
Sekarang pria itu benar-benar marah. Sepertinya dia siap untuk memukul kami semua.
"Cukup, Zen." Pria yang satu lagi maju dan menyingkirkan Duke dan Lord yang berdiri di
depanku dan menarikku seperti pria yang bernama Zen tadi, tapi tidak dengan dipaksa.
"Ayo, Nona, anda harus ikut dengan kami." Katanya.
"Kalau aku tidak mau?"
"Anda akan tahu nanti. Anda mau ikut atau tidak?"
Aku menimbang sebentar dan melihat kearah teman-teman baruku. Kemudian
mengangguk. Nada suara pria yang satu ini lebih lembut daripada Zen.
"Asal mereka tidak dipukul seperti tadi." Kataku.
Pria itu mengangguk. Aku lalu mengikutinya keluar saat Charles menarik tanganku.
"Aria?" "Tidak apa-apa." Kataku sambil tersenyum, "Kalian semua tunggu saja disini. Ya?"
Aku melepaskan tangannya dan keluar dari ruangan itu. Sebelum menutup pintu, aku
memperhatikan wajah mereka satu-persatu dan tersenyum menenangkan, kemudian menutup
pintunya. Aku tidak tahu kalau setelah keluar dari ruangan itu, kami semua akan dihadapkan dengan
sebuah alat yang akan menyiksa kami setiap harinya : Helm Listrik pencuci otak dan incubator
yang akan menidurkan kami selama kami tidak mendapat "misi".
BAB 3 Kalung Bulan Sabit Biru(ku)
Sudah dua tahun berlalu sejak hari menyakitkan itu. Rasanya seperti sudah lama sekali. Waktu dua
tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi rasanya itu sudah seperti sepuluh tahun lalu. Aku masih
ingat hari itu, saat aku mengira semua akan baik-baik saja, dan Charles serta yang lain tidak akan
dipukul lagi. Aku kira mereka semua akan dibebaskan. Karena, jujur saja, walau aku baru
mengenal mereka beberapa jam, mereka seolah terasa sangat dekat denganku. Mungkin karena
kami adalah gen buatan yang sama.
Dan sejak hari itu juga, aku mulai merasakan sakit di sekujur tubuhku karena aliran listrik
yang terus mengaliri tubuhku jika aku membangkang dari mereka, atau dengan sengaja kabur. Dan
ujung-ujungnya, aku selalu disakiti dengan helm listrik itu.
Soal pencucian otak" aku tidak yakin aku sebenarnya sudah dicuci otak atau tidak. Karena
setiap kali aku memakai helm itu, aku merasa pikiranku kosong dan kemudian kembali lagi tepat
setelah melakukan "misi". Semua juga mengalami hal itu. Kata Rifan, itu efek dari helm tersebut.
Ah" sejak hari itu juga, Rifan selalu menemaniku yang sering ketakutan dan tidak bisa
tidur akibat rasa ngeri dan kesakitan yang kurasakan. Dia selalu menyemangatiku dan memelukku
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kala aku menangis kesakitan. Dan dia selalu mengirimkan pikiran-pikiran menyenangkan dengan
hanya menyentuhkan dahi kami satu sama lain.
Dan aku merasa nyaman jika dia memelukku, dan menghiburku.
Selama dua tahun, kami sudah menerima ratusan misi. Mulai dari yang kecil, sampai yang
terbesar. Dan hari berikutnya kami mendapatkan misi secara serentak di satu tempat yang sama.
Dan itu menjadi akhir penderitaan kami selama ini dan mengubahnya menjadi awal
kehancuranku. *** Aku terbangun dan mendapati diriku sedang dipeluk oleh Rifan. Aku sempat kaget dan hampir
saja berteriak kalau saja aku tidak ingat sebelum aku tidur, aku sempat menangis karena lenganku
disayat oleh Ardelia. Pemilik Laboratorium Terlarang. Dan juga sang Administrator. Dia
mengatakan padaku kalau aku adalah salah satu asset istimewanya dan dia tidak suka jika aku
membantahnya. Dan mengenai luka sayatan itu, yang sepanjang sepuluh senti dan hampir
mengenai urat nadiku, aku tadi sempat melemparkan helm listrik yang akan dipakaikannya lagi
padaku agar kami siap untuk misi berikutnya dan berusaha kabur. Dia lalu mencengkeram
lenganku dan menyayatnya.
Rifan lalu mengobati luka itu dengan obat antiseptic dan membalutnya dengan perban dari
baju yang sudah disobek menjadi kain panjang. Hanya Rifan dan aku yang ada di ruangan
sementara yang lain belum kembali. Dan saat itulah aku menangis. Aku benar-benar tidak tahan
dengan semua ini dan hampir saja bunuh diri kalau Kak Rifan tidak mencegahku.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sambil menjauhkan pecahan kaca yang kupegang
sangat dekat dengan leherku.
Aku menatapnya nanar dan dengan mata yang kabur karena airmata.
"Aku" aku?" aku terisak, "Aku tidak tahan" orang itu. Ardelia. Dia terus menyiksaku
dan kalian semua. Aku tidak tahan. Aku" aku mau mati saja!"
Aku meraih lagi pecahan kaca itu dan mendekatkannya ke tanganku yang terluka. Dan ia
sekali lagi menjauhkan benda itu dariku.
"Aria, hentikan!!"
"Kenapa kamu menjauhkan benda itu dari aku!?" kataku marah. Dan frustasi, "Aku ingin
mati, Rifan! Aku nggak mau seperti ini lagi!!"
Isak tangisku semakin keras dan membuat bahuku berguncang. Aku bahkan tidak
mengindahkan panggilan Rifan lagi.
Tiba-tiba tanganku ditarik, dan tahu-tahu saja wajahku terbenam di dada Rifan yang bidang.
Dia memelukku. Sangat erat.
"Rifan" Rifan, lepas?"
"Aku tahu kamu tidak tahan," bisiknya di telingaku. "Tapi kamu harus bia bertahan. Kamu
pikir, hanya kamu yang menderita. Yang lain juga. Kita semua menderita. Tapi bagaimana kita bisa
melarikan diri" Kamu selalu berusaha melakukan itu, tapi tidak berhasil, kan?"
"Aku hanya ingin pergi, tapi" aku" aku?"
Rifan semakin erat memelukku. Dan aku merasa sulit bernafas.
"Jangan pernah lagi berbuat bodoh seperti itu. Itu hanya akan membuat hatimu semakin
terasa sakit." Bisiknya lagi.
"Tapi" tapi, aku?"
Rifan melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Kedua matanya yang tajam menatap
tepat kearah mataku. "Aria, berjanjilah, jangan pernah berbuat seperti itu lagi." Katanya.
Entah karena kekuatan apa, aku mengangguk pelan dan menundukkan wajah. Aku tidak
bisa menatap matanya lebih lama lagi. Aku merasa wajahku memerah, tapi isak tangisku masih
terdengar di telingaku sendiri.
Rifan memelukku lagi sambil mengusap kepalaku.
"Lebih baik kamu tidur. Aku akan menjagamu."
Aku merapatkan diri padanya dan menutup mata. Tapi selama beberapa saat aku tidak
bisa tertidur karena memikirkan semua yang terjadi pada kami. Aku tahu, semua juga tidak tahan
dengan semua ini. Kami semua sudah mengalami hal yang sama disini. Disiksa, dicuci otak, dan
semuanya. Aku ragu apa kami bisa kembali ke kehidupan kami yang normal karena" awal
kehancuran akan segera tiba.
*** Aku berdiri dan berjalan kearah pintu baja. Meletakkan tanganku disana dan memaksakan pikiran
untuk membuka pintu itu tanpa menggunakan kunci otomatis atau yang lainnya. Aku mendapat
kemampuan ini"kemampuan yang baru ini, dua bulan lalu. Aku tidak pernah memberitahukan ini
pada siapapun. Termasuk pada" ah. Aku rasa, Rifan juga memiliki kemampuan yang sama
sepertiku. Karena dia adalah pasangan empatiku.
Oh ya, aku juga bisa menembus benda-benda lain seperti pintu. Tapi aku tidak mau
menggunakannya sekarang. Aku sedang malas (disaat seperti ini aku bilang malas).
Aku berdiri di koridor gelap yang biasa kulewati jika dibawa ke "ruangan penyiksa" itu.
Aku sudah hafal letak jalan di koridor ini, dan kadang aku sering berjalan-jalan tanpa diketahui
penjaga. Aku benar-benar sangat berterima kasih dengan kemampuan baruku ini. Hihi"
Aku baru saja akan melangkah ketika sebuah tangan memegang pundakku dan
membuatku terkejut. "Tenang. Ini aku."
Aku menoleh ke belakang dan melihat sang Administrator, Ardelia, di hadapanku. Dengan
membawa sesuatu yang bersinar di tangannya. Berkilauan" apa itu benda berharga"
Tunggu"Ardelia"
"Kau?" Wanita itu menatapku dari atas ke bawah dan kembali lagi ke wajahku.
"Ternyata memang mirip." Katanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
Ardelia tidak menjawab, tapi terus menatapku.
"Ikuti aku, nak. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Katanya sambil berbalik dan
melangkah kearah lain. Sejak aku berada disini dan disiksa oleh orang-orang disini, aku jadi sangat membenci
mereka, terutama Ardelia. Dia memperlakukanku dan yang lain seperti boneka. Dan aku, pribadi
dalam hati, amat sangat membenci tempat ini beserta orang-orangnya lebih daripada yang lain.
Tapi entah kenapa, kakiku mengikuti langkah kaki Ardelia. Seolah ada sesuatu yang
menyuruhku untuk mengikutinya.
Ardelia lalu berhenti di sebuah pintu kayu jati berwarna coklat tua dan membukanya.
"Masuklah, nak." Perintahnya.
Aku masuk ke dalam tempat itu dan melihat segala macam furniture modern berada di
ruangan ini. Mulai dari meja kerja, sampai sofa kulit berwarna hitam yang diletakkan di sebelah
pintu. Ada banyak monitor disini. Semuanya memperlihatkan keadaan setiap sudut Laboratorium
Terlarang. Ardelia duduk di balik meja kerjanya dan menatap kearahku.
"Mau apa kamu memanggilku kesini?" tanyaku.
"Sebaiknya kamu duduk dulu," balasnya, "Aku ingin bertanya sesuatu padamu."
Aku mengerutkan kening dan menatap wajah Ardelia lekat-lekat. Dan entah kenapa, aku
merasa pernah mengenal wajahnya.
Aku lalu duduk di sofa di dekatku dan menatap kearahnya.
"Apa yang mau kamu tanyakan dariku?"
"Bagaimana keadaanmu?"
Ha" Untuk apa dia tanya keadaanku setelah dia menyiksaku"! Aneh.
Tapi akhirnya kujawab juga. Walau dengan rasa heran dan penasaran (eh, bukannya kata
itu artinya sama, ya").
"Baik. Setelah siksaanmu yang benar-benar membuatku menderita dan kesakitan setiap
malam." Jawabku. "Begitu?" "Apa maksud pertanyaanmu" Menanyakan apa aku baik-baik saja atau tidak. Aku jelasjelas tidak dalam keadaan baik." kataku lagi.
Ardelia menatap kearahku. Tunggu"kenapa ekspresi wajahnya kelihatan sedih"
"Karena sebenarnya, aku sudah lama menantikan pembicaraan denganmu. Secara
langsung." Katanya. "Ha?"?" Ardelia bersandar di punggung kursinya dan terus menatap kearahku.
"Kau tahu kenapa kamu special disini?" tanyanya.
Pertanyaan yang sudah sangat biasa bagiku. Aku sudah ditanyai itu jutaan kali oleh semua
orang di laboratorium ini.
"Karena aku satu-satunya perempuan di The Chronos Sapphire. Iya, kan?" kataku, "Aku
sudah sering mendengar pertanyaan itu jutaan kali."
"Kau tahu alasan lain dibalik semua itu?"
Aku terdiam sebentar dan menggeleng. Aku hanya tahu kalau aku adalah satu-satunya
perempuan di The Chronos Sapphire, sebutan bagi manusia buatan seperti kami (yang dalam
artian hanya ada delapan orang termasuk aku. Kalian sudah tahu, kan, siapa saja").
"Itu karena kamu berbeda dari yang lain," kata Ardelia, "Karena kamu" err" siapa nama
kedua orangtuamu?" Untuk apa pula dia menanyakan nama kedua orang tuaku"
"Shiroyuki Kazuto dan Shiroyuki Haruka. Mereka meninggal saat aku berusia empat
tahun." Jawabku. "Ah, ya" Kazuto?" Ardelia memalingkan wajahnya dan melihat salah satu layar monitor.
"Pria itu adalah salah satu dari ilmuwan yang ada di laboratorium ini. Dulu sekali."
"Apa" Tidak mungkin!"
"Memang itu kenyataannya," Ardelia memainkan benda yang ada ditangannya. Dan
kusadari itu adalah kalungku. Kalung bulan sabitku yang tidak pernah kupikirkan lagi. Setidaknya
sampai aku melihatnya lagi di depan mataku.
"Kalungku!" "Kau tahu arti sebenarnya kalung ini?" tanyanya sambil melemparkan kalung itu kearahku.
Aku menangkapnya dan memandangi ketiga bandulnya. Lalu menatap kearah Ardelia lagi.
"Tidak. Kakakku hanya bilang, kalung ini sangat penting untuk kedua orang tua kami.
Dan" kalung ini yang dulu melindungi?"
"Itu karena kalung itu adalah kunci."
"He"apa?" Ardelia bangkit dari kursi yang didudukinya dan berjalan kearahku. Tepat di hadapanku,
dia berhenti. Jarinya menunjuk ke kalungku.
"Kalung itu adalah kunci untukmu bisa keluar dari sini," kata Ardelia. "Kunci untuk keluar
dari sini, jika kamu menginginkannya."
"Kalung ini!?" Ardelia mengangguk saat aku menatapnya tidak percaya. Aku yakin dia berbohong. Aku
lalu menatap lekat wajahnya dan mulai membaca pikirannya.
Sial. Dia ternyata tidak berbohong.
"Kau sungguh"ini kunci untukku bisa keluar dari sini?"
"Ya." "Atas dasar apa kau bilang ini padaku?" tanyaku lagi.
"Kau bisa membaca pikiran. Seharusnya kamu sudah membaca pikiranku tentang itu
sekarang." Jawabnya.
"Aku tidak mau membuang tenaga hanya untuk membaca pikiranmu." Kataku, "Lagipula,
aku membencimu." "Apa perlu kuceritakan alasannya?"
"Kalau kau tidak langsung menyodoriku helm listrik untuk menyiksaku lagi. Silakan."
Ardelia duduk di sebelahku dan memegang tanganku. Entah kenapa, sentuhan tangannya
hangat. Persis seperti sentuhan tangan seorang ibu.
Tapi sayangnya, ibuku sudah meninggal.
"Kau perlu mendengarkan apa yang sebenarnya menimpa kedua orangtuamu. Alasan
lahirnya The Chronos Sapphire, dan yang terpenting?"
"Apa yang terpenting?" tanyaku.
"Takdirmu yang akan merubah semua yang terjadi saat ini." tandasnya.
*** Aku berdiri di belakang pintu. Kembali ke ruangan tempat kami semua dikurung. Kalung bulan
sabit biruku aku simpan di saku bajuku yang sudah lusuh dan robek-robek karena sering di tarik
dan dilepas paksa oleh para penjaga.
Aku menatap wajah teman-temanku satu-persatu. Dylan, Duke, Lord, Stevan, Charles,
Jack, dan" Rifan. Aku menatap wajah mereka yang tertidur pulas dan merasa tidak tega jika aku
pergi dari sini sendirian. Pergi meninggalkan mereka yang terluka sementara aku berhasil kabur.
Tidak. Aku tidak akan meninggalkan mereka semua. Mereka teman-temanku. Keluarga
baruku. Kataku dalam hati.
Aku lalu berjalan dan merebahkan diriku di samping Rifan yang tertidur pulas. Nafasnya
terdengar teratur. Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya. Dia tidak bergerak, atau
menjawab. Dia benar-benar tidur.
Kalungku sedikit berpendar dalam kegelapan. Buru-buru aku menutupinya dengan jas
sekolahku dan menaruh kepalaku diatasnya.
Aku akan menyelamatkan mereka semua. Aku tidak akan pergi tanpa mereka.
*** Esoknya, kami digiring ke ruangan dimana biasanya kami disiksa. Tapi kali ini, saat aku sudah
berada disana. Tidak ada helm listrik, incubator, atau semacamnya. Yang ada malah sebuah meja
panjang yang diatasnya terdapat beberapa pakaian. Juga ada beberapa senjata di dekat pakaianpakaian tersebut.
Ardelia masuk diikuti tiga orang berpakaian seperti dirinya, jas putih. Dia dan tiga orang itu
lalu berdiri di hadapan kami. Matanya sempat melirik kearahku.
"Kali ini, kalian akan ditugaskan dalam satu area yang sama." Katanya sambil mendekati
meja di belakangnya. "Misi kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Kalian akan diberi pakaian
baru, dan senjata baru. Kalian harus bisa bekerja sama dalam satu tim yang sudah ditentukan
seperti sebelumnya."
Dia lalu menjelaskan rincian misi pada kami dengan selengkap-lengkapnya (kau tidak akan
bisa membayangkan bagaimana dia bisa menjelaskan semua itu hanya dalam lima tarikan nafas
dengan satu tarikan nafas setiap dia berhenti berbicara). Ardelia juga bilang, kali ini kami tidak
akan dicuci otak lagi. Tapi jika kami menentangnya, kemungkinan kami yang paling besar adalah
dibunuh oleh anak buah Ardelia. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengancam kami.
"Kalian harus sudah siap sebentar lagi. Silakan berganti pakaian kalian dan pergi ke kapal
yang akan membawa kalian ke tempat misi di dermaga di pinggir pantai." Kata Ardelia, "Semoga
kalian berhasil." Dia lalu pergi dari ruangan itu sementara kami semua ditinggal di tempat ini untuk berganti
pakaian. Beberapa penjaga yang tadi berada di sekitar pintu juga ikut keluar dan berjaga di depan
pintu. Dylan dan yang lain lalu mengganti pakaian mereka sementara aku pergi ke pojok ruangan,
dimana ada sebuah tirai untuk memberiku ruang berganti pakaian sambil membawa pakaianku.
Aku lalu menutup tirainya dan mulai berganti baju.
Sambil memakai bajuku, aku mulai memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini
bersama yang lain. Kalau yang dikatakan Ardelia padaku kemarin adalah benar, berarti aku bisa
membawa mereka semua pergi.
"Aria." Aku tersentak dan menoleh ke belakang karena suara itu terdengar dingin dan
menyeramkan. Saat menoleh, aku melihat Jack berdiri disana. Pakaiannya yang serba hitam
membuatnya tidak terlihat olehku karena disini tidak berpenerangan. Tapi aku bisa melihat kedua
matanya yang menatap tajam kearahku.
Tapi kenapa dia menerobos masuk ke balik tirai padahal aku sedang berganti pakaian"
Untung saja aku sudah memakai semua pakaianku. Kalau tidak, hiiii"
"Ada apa, Jack?" tanyaku, "K, kamu tahu, kan, ini?"
"Aku dengar semuanya." Katanya. Nadanya datar dan agak menakutkan.
"Dengar apa?" tanyaku lagi.
"Semua yang dikatakan Ardelia padamu." Kata Jack, "Tentang kunci yang bisa
mengeluarkan kita dari The Chronos Sapphire selamanya."
Deg! Dia" dia mendengarkan pembicaraan kami" Tapi" bagaimana"
"Aku tahu. Dan jangan pernah berusaha membohongiku. Kita semua bisa membaca
pikiran satu sama lain."
"Maaf, Jack. Aku tidak berniat membagi hal itu padamu." Kataku berusaha terdengar
tenang. "Aku tidak mau kau terlalu berharap kita bisa keluar dari sini."
"Tapi kau mempunyai kunci-nya!!"
Kali ini suaranya terdengar marah. Aku menatapnya dengan kening berkerut. Apa dia
berusaha mendapatkan kunci itu untuk dirinya sendiri" Dan tidak memerdulikan yang lain"
"Ya. Aku memang berniat mendapatkan kunci itu untuk diriku sendiri." Jack membaca
pikiranku, "Dan aku tidak peduli pada mereka semua. Mereka adalah pengganggu!"
"Kau bilang Dylan, Charles, Duke, Stevan, Lord, dan Rifan pengganggu" Kau tidak pernah
tahu bagaimana memperhatikanmu?" tanyaku mulai marah. "Kalau kau seperti itu, mereka tidak
akan pernah memaafkanmu. Semua"kita semua ingin keluar dari sini. Aku memang kebetulan
punya kuncinya. Tapi aku tidak akan menyerahkannya padamu. Kunci ini untuk bersama. Bukan
untuk diri sendiri."
Aku bisa melihat wajah Jack yang marah di kegelapan. Dia lalu memegang kedua
pundakku dan mendorongku ke dinding.
"Kyaa!!" "Berikan kuncinya padaku sekarang!!" kata Jack. "Atau aku akan menyakitimu."
Dia mengatakan "akan menyakitimu" dengan nada pelan namun mengancam. Membuat
bulu kudukku meremang. Tapi aku yakin, itu hanyalah gertakan belaka.
"Kau tidak akan bisa." Kataku, "Karena aku yang memegang kuncinya."
Jack semakin mencengkeram kedua bahuku dengan lebih keras hingga membuat bahuku
sakit. "Jack, lepaskan aku!"
"Tidak. Sebelum kau berikan padaku kuncinya!"
"Kau sakit, Jack." Kataku sambil mendorongnya menjauh. Aku memegang bahu kananku
yang kesakitan karena cengkeramannya.
Jack melihat kearahku dan menjentikkan jarinya. Aku mengerutkan kening melihat
tindakannya. Ia lalu mendekat kearahku.
"Menjauhlah, Jack. Atau aku akan berteriak dan kau akan dihukum oleh Ardelia." Kataku.
"Sayangnya, mereka tidak akan mendengarkanmu." Balasnya, "Karena aku baru saja
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentikan waktu. Kemampuan baruku."
"Menghentikan" waktu?" aku terkesiap dan menyadari yang terjadi, "Kalau begitu,
berarti?" "Semua yang ada di Laboratorium Terlarang membeku dalam waktu." Kata Jack, "Dan
hanya kamu saja yang tidak kubekukan. Jadi aku bisa berbicara sepuasnya padamu."
Jack semakin mendekat kearahku. Aku tahu aku harus kabur. Dan saat dia tinggal
beberapa senti lagi dariku, aku segera berlari menjauh darinya dan keluar dari tirai. Aku harus
menjauh darinya. Aku melihat ke sekeliling, Dylan dan yang lain memang benar-benar membeku
dalam waktu. Tapi" Sebuah tangan membekap mulutku dan menarikku ke balik sebuah lemari besi besar yang
ada di sudut ruangan. "Jangan ribut" ini aku." Kata si pemilik tangan berbisik di telingaku.
Rifan" Ia melepaskan bekapannya dari mulutku dan menoleh kearahnya dengan perasaan
terkejut. "Rifan" Kamu" kamu tidak beku?" tanyaku.
"Tentu saja tidak." Jawab Rifan, "Aku punya kemampuan penangkalnya. Aku bisa
menghentikan kemampuan Jack.
"B, baguslah kalau begitu" tapi?"
Aku mendengar suara langkah kaki Jack mendekat.
"Sebaiknya kita bersembunyi di tempat lain." Kata Rifan.
Aku mengangguk. "Kamu punya kemampuan menembus benda sepertiku?"
"Ya. Karena aku pasangan empati-mu, tentu saja aku punya." Katanya sambil tersenyum.
Tapi baru saja kami akan menembus dinding di dekat kami, Jack menjentikkan jarinya lagi,
dan seketika itu juga semua orang kembali bergerak seperti biasa.
"Hei, kalian berdua sedang apa disitu?"
Charles yang berdiri di dekat lemari langsung menemukan kami berdua. Dia tidak
mungkin bisa melihat bahwa kami sedang berusaha melarikan diri dari Jack. Dan dia tidak tahu
apa yang sedang terjadi ketika dia dan yang lain beku dalam waktu.
"Tidak ada apa-apa. Aria kehilangan salah satu antingnya." Kata Rifan, yang langsung
membuatku mengerutkan kening.
Anting" Anting apanya" Kataku dalam hati.
Tapi Charles tidak menanyakan lebih lanjut dan mengambil senjatanya. Sebuah pedang
panjang seperti katana dan menyarungkannya di belakang punggungnya. Dia juga mengambil
sepucuk pistol dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Untuk apa pistol itu?" tanyaku. Setahuku, Charles hanya menggunakan katana dalam
setiap misi dan tidak pernah mau memakai pistol walau pistol itu adalah pistol semi-otomatis.
"Hanya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu, katana-ku hilang, dan nanti aku tidak punya
senjata." Jawabnya sambil nyengir.
"Oh, begitu?" Charles lalu berjalan kearah pintu diikuti yang lain. Jack juga mengikutinya. Aku dan Rifan
segera mengambil senjata kami dan ikut keluar.
BAB 4 Ancaman Jack Kami semua lalu digiring masuk ke dalam sebuah kapal besar. Di atas kapal, aku melihat Ardelia
memandangi kami. Wajahnya tidak jelas terlihat dari sini. Tapi aku bisa merasakan dia menatap
kearahku dengan tatapan yang seolah mengatakan : "Ingat apa yang kukatakan kemarin. Mungkin
ini kesempatanmu." Aku memalingkan wajah dan tidak sengaja tersandung batu dan hampir terjatuh kalau saja
tidak ditahan oleh Rifan.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
"Eh" iya. Terima kasih." Kataku sambil berdiri tegak dan melanjutkan langkahku.
Rifan berjalan tepat di sampingku dan memegang tanganku. Aku menatapnya dengan
kening berkerut. Tapi dia terlihat biasa saja menggenggam tanganku. Dia bahkan semakin
mengeratkan genggamannya.
"Rifan, kenapa?"
"Aku hanya ingin menggenggam tanganmu," selanya, "Aku merasa Jack mengawasi kita di
belakang." Aku melirik sedikit ke balik bahuku. Yah" memang benar. Jack menatap kami dengan
tatapan marah. "Kurasa kau benar."
Kami berdua lalu melangkah lebih cepat.
Sesampainya kami diatas kapal, Ardelia langsung turun dari kapal dan menyuruh para
penjaga bersiap di posisinya dan memerintahkan kapal untuk segera berangkat. Tumben sekali.
Biasanya dia memberi "pidato" terlebih dahulu pada kami.
Rifan menarik tanganku menuju ke sisi kapal dan aku bisa mendengar mesin kapal
bergerak disini. Perlahan kapal melaju sementara kami berdiri dalam diam.
"Aku tadi mendengar percakapanmu dengan Jack. Di kamar ganti-mu." Kata Rifan.
"Ap"kau menguping atau?"
"Menguping. Kalau kamu mau mencari tahu istilah bagusnya, mencuri dengar."
"O, oh?" Aku memalingkan wajah dan melihat kearah Laboratorium Terlarang yang semakin jauh
dari pandangan mata. Aku teringat lagi dengan perkataan Ardelia.
"Kau tidak mau menceritakannya?" tanya Rifan. "Kalau kau tidak keberatan, tentunya."
"Maaf. Aku" aku sedang tidak ingin membicarakannya." Kataku sambil menutup mata.
"Semuanya" terlalu sulit. Bahkan bagiku."
"Kamu bisa saja berbagi denganku. Aku pasangan empati-mu. Dan mungkin bisa
menjadi?" Kata-kata Rifan terhenti disitu. Aku menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
"Menjadi apa?" tanyaku.
"Lupakan saja. Tidak penting." Katanya sambil menggaruk-garuk kepala dan menatap laut
di depan kami. "Ya sudah?" Aku menoleh ke belakang. Melihat Charles dan Dylan sedang mengagumi senjata satu
sama lain. Tanpa sadar, aku memegang Blue Rose milikku. Sebuah pedang berwarna silver
kebiruan dan memiliki ornament mawar pada pegangan pedangnya. Entah darimana Ardelia
mendapatkan pedang ini untukku. Semua senjata kami juga begitu. Semuanya dibuat dengan
material khusus sehingga bisa dibedakan. Pedang Blue Rose-ku adalah salah satu yang terunik
selain katana Charles dan Rifan.
Pandanganku beralih kearah Jack " yang masih menatapku dengan tatapan marah. Aku
memalingkan pandanganku dan melihat wajah Rifan. Kedua mata Rifan terlihat serius dibalik
sikap santainya. Aku merasa ada sesuatu di dalam hatiku yang bergetar. Entah apa itu.
Tiba-tiba aku melihat sikap tubuh Rifan menegang selama beberapa detik.
"Ada apa?" tanyaku.
"Dia memakainya lagi." kata Rifan pelan.
Segera kusadari kalau kapal ini berhenti dan segala disekitar kami seperti burung yang
sedang terbang di atas kami berhenti. Jack memakai kemampuannya lagi. Aku melihat kearah
Jack, dia sedang berjalan kearah kami.
"Masalah besar." Gumamku.
"Ayo, kita ke tempat lain." Rifan menarik tanganku dan mengajakku ke sisi lain kapal.
Aku dan Rifan lalu bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu yang besar di dekat
buritan kapal. Rifan melihat ke sekeliling. Tidak ada orang.
"Aku harap dia tidak mengikuti kita." Katanya, "Aku tidak punya kemampuan
menghilangkan diri."
Aku tertawa kecil mendengar nada bercanda dalam suaranya.
"Aku serius?" "Iya, iya" aku tahu, kok." Kataku.
"Kemampuannya hanya bisa digunakan dalam lima menit. Tapi kalau dia terlalu sering
menggunakannya, kemampuannya bisa meningkat."
"Begitukah?" "Ya. Aku pandai membaca kemampuan orang." Ujar Rifan sambil menunjuk dirinya
sendiri. "Hoo" kalau begitu, kau bisa membaca kemampuanku?" tantangku.
"Err" soal itu?"
Wajahnya kelihatan merah. Dan dia terlihat lucu jika seperti itu. Tanpa sadar, aku
tersenyum geli melihatnya.
"Apa" Kau tidak bisa membaca kemampuanku?"
"Bukan begitu?" katanya mencoba membela diri, "Hanya saja?"
"Kau mau jadi pahlawan?"
Kami berdua serentak menoleh ke hadapan kami dan melihat Jack sudah berdiri di
hadapan kami. Tepat satu meter di hadapan kami.
Rifan maju ke depanku dan berusaha melindungiku.
"Apa maumu, Jack" Kenapa kamu seperti memaksa Aria?"
Jack tersenyum dengan sebelah bibirnya dan menatap kearahku. Aku merasa bulu
kudukku langsung meremang menatap bola matanya yang berwarna hijau terang itu. Sinar matanya
kelihatan seperti harimau yang s
iap menelanku bulat-bulat.
"Kau tidak tahu dia menyimpan rahasia dari kita semua?" tanyanya.
"Rahasia apanya" Dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari kita semua." Kata Rifan.
Aku menggenggam tangannya yang ada di depanku. Mengirimkan sebuah pikiran padanya.
Jack menyeringai mendengar perkataan Rifan. Dia lalu berbicara sambil menunjuk
kearahku, tepat setelah aku mengatakan kata terakhir pada Rifan lewat pikiranku.
"Dia punya kunci agar kita bisa keluar dari The Chronos Sapphire." Kata Jack. "Aku
mendengarnya sendiri. Aku mendengar dari percakapannya dengan Ardelia kemarin malam."
"Aku sudah tahu hal itu." balas Rifan, "Tapi aku tidak suka kalau ada orang yang berniat
memakai kekuatan kunci itu untuk kepentingan diri sendiri. Tidak sebelum dia menang
melawanku." "Sombong sekali kau."
Aku bisa merasakan hawa membunuh yang kuat dari Jack. Dan aku tahu, sasaran
membunuhnya adalah aku. "Seharusnya kau memanfaatkannya, Rifan. Aku tidak percaya, kau ternyara sebodoh ini."
ejek Jack. "Kau?" "Sudah. Berhenti." Kataku menengahi mereka berdua.
Mereka berdua menoleh kearahku. Aku menelan ludah dan berusaha menatap Jack
dengan tatapan setenang dan setegas mungkin.
"Aku tidak akan menyerahkan kunci itu pada siapapun. Tanpa seijinku. Kunci itu hanya
mau menuruti perintahku." Kataku. "Kunci itu punya jiwa. Dia tidak bisa berpindah tangan pada
siapa saja tanpa seijinku. Jika tidak, dia akan membakar habis jiwa pemilik tidak sah-nya dan mati
seketika." "Kalau begitu, buat kunci itu menuruti perintah semua The Chronos Sapphire!" ujar Jack
sambil merentangkan tangannya, "Dan aku yang akan memerintahkan lebih banyak pada kunci itu.
Termasuk melenyapkan kalian berdua."
"Tidak semudah itu." Rifan mengepalkan kedua tangannya.
"Aku tahu kau ingin keluar dari semua ini." kataku, "Tapi kunci itu hanya bisa dipakai
disaat benar-benar dibutuhkan. Selebihnya, dia hanya menjadi benda mati. Aku-lah yang bisa
membuat kunci itu bangun."
Jack menatap padaku dengan tatapan kesal. Dia hendak maju kearahku, tapi ditahan Rifan.
"Jangan coba-coba." Ancam Rifan.
Jack menatap kami berdua dengan semakin kesal. Kemudian menjentikkan jarinya, dan
waktu kembali berjalan. Kapal kembali bergerak dan hampir membuatku terjatuh karena
guncangannya. "Kalian benar-benar membuatku marah." Geram Jack, "Dan akan kupastikan, kalian tidak
akan bisa lolos dariku. Sampai aku mendapatkan kunci itu."
Dia lalu pergi dan meninggalkan kami berdua. Aku merenungi setiap perkataannya.
Ucapannya benar-benar membuat tubuhku gemetar, seakan aku baru saja disodori helm listrik
lagi. Dengan tegangan lebih tinggi. Aku juga merasakan kalung bulan sabitku bergetar sepertiku.
Rupanya kalung itu memang memiliki jiwa.
Rifan menoleh kearahku dan memegang pundakku.
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku mengangguk pelan. Tapi aku tidak bisa berhenti gemetar.
"Benar" Tubuhmu gemetar. Apa gara-gara ucapan Jack barusan?" tanyanya lagi.
"Aku rasa" aku rasa begitu." Jawabku akhirnya. "Aku merasa ancamannya benar-benar
akan terjadi. Dan" mungkin juga dia memang akan membunuhku. Kalau itu sampai terjadi?"
"Apa benda yang dia maksud dengan "kunci" akan berpindah tangan?"
Aku mengangguk. Rifan menghembuskan nafas berat dan melepas pegangannya pada pundakku.
"Sepertinya kau harus menceritakan semua itu padaku. Kau hanya menceritakan sedikit
melalui pikiranmu." Kata Rifan, "Dan kuharap, kau benar-benar menceritakan semuanya."
Aku menatap kearahnya. Ke wajahnya yang serius. Aku bisa melihat sinar mata yang tajam
itu menusuk mataku dan membuat wajahku memerah.
Aku menarik nafas dan kemudian menghembuskannya perlahan.
"Baiklah" aku harap setelah aku menceritakan ini, kamu tidak memburuku juga seperti
Jack." Kataku. "Tidak akan. Aku yang akan melindungimu."
Sekali lagi aku menatap wajahnya. Dan saat itu juga aku sadar akan perasaanku sendiri.
*** "Hei, kalian berdua darimana saja?"
Dylan melambaikan tangannya kearah kami. Ia dan yang lain sedang duduk di dekat pintu
baja menuju dalam kapal. Aku tidak melihat Jack diantara mereka. Aku yakin dia tidak mau
bergabung dengan kami. Dan dia memang selalu begitu.
"Hanya mencari udara segar. Lagipula, aku suka melihat laut." Kata Rifan.
"Alasan saja kamu," kata Duke sambil tertawa. Rambut coklatnya agak berkibar karena
angin yang berhembus. "Asal kamu jangan macam-macam pada Aria. Walau dia pasangan empati-mu, dia itu
perempuan." Kata Stevan sambil mengedipkan mata.
Aku dan Rifan saling pandang dan kemudian agak menjauh karena jarak kami berdua
terlalu dekat. "Lho" Kenapa wajahmu memerah, Aria?" tanya Charles.
"Wa, wajahku" memerah?" aku memegang pipiku dan merasakannya agak panas.
Sepertinya memang benar. "Wah" ternyata benar, ya" Rifan, curang kamu?" kata Duke sambil mengacak-acak
rambut Rifan. "Hei!!!" Rifan menepis tangan Duke yang mengacak-acak rambutnya sambil tersungutsungut.
Aku tertawa melihat tingkah mereka. Sudah lama aku tidak tertawa lepas seperti ini.
Rasanya" aneh juga. "Jadi, kalian tadi melakukan apa saja?" tanya Duke.
"Melakukan apanya" Kami tidak melakukan apa-apa, kok. Hanya mencari udara segar."
Kataku. "Benar" Kok, sepertinya aku melihat ketidak-jujuran disini." Kata Dylan sambil bercanda.
Duh" dia ini. Apa dia bisa melihat pikiranku yang kacau balau"
"Aria, kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Dylan lagi. Kali ini nadanya serius. Dan
seketika itu juga pandangan semua tertuju padaku.
"Err" aku?" dilihat oleh mereka seperti ini, aku jadi merasa risih. Aku sudah lupa
bagaimana rasanya dilihat dengan tatapan kagum maupun sinis yang pernah kudapatkan sewaktu
aku masuk nominasi sepuluh besar Penyanyi Muda Berbakat. Ini lebih dari kedua tatapan itu
karena kami semua bisa membaca pikiran.
Semua menunggu apa yang akan kukatakan (kecuali Rifan. Karena aku sudah
memberitahukan semuanya padanya). Aku jadi semakin gugup untuk sekedar mengatakan
kebohongan, atau aku harus menceritakan semuanya.
"Aku" a, aku?"
"Biar aku yang mengatakannya." Sela Rifan.
"Mengatakan apa" Apa kita melewatkan sesuatu?" tanya Charles.
"Sepertinya, iya." Kata Duke. "Oke. Apa yang ingin kamu katakan?"
Rifan menatapku sekilas. Dan aku mengangguk. Mungkin lebih baik jika dia saja yang
mengatakannya daripada aku. Aku tidak bisa menyusun setiap kata yang ada di pikiranku jika aku
sudah sangat gugup. "Baiklah. Kau pasangan empati Aria. Mungkin kau bisa menjelaskan apa yang akan
dikatakan Aria." Kata Dylan.
Rifan mengangguk. Dan kemudian dia memulai ceritanya.
Enam menit kemudian, aku bisa melihat wajah Dylan, Duke, Charles, Lord, dan Stevan
yang memandangku dan Rifan dengan tatapan terkejut. Pandangan mereka beralih lagi kearahku.
Kali ini lebih lama. "A, apa semua itu benar, Aria?" tanya Duke, "Yang dikatakan Rifan itu?"
Aku mengangguk. "Semuanya memang benar." Kataku. "Aku memang punya kunci yang dimaksud Jack.
Tapi aku tidak berniat memakainya. Setidaknya sampai kita agak jauh dari jangkauan
Laboratorium Terlarang. Aku bukannya mau memakainya untukku sendiri. Aku memikirkan
kalian semua. Aku tidak mau pergi tanpa kalian. Kalian sudah kuanggap seperti keluarga. Dan aku
akan memakai kunci itu jika saatnya tiba."
"Hmm" kurasa kau benar." Kata Dylan menyetujui. "Laboratorium Terlarang punya
banyak koneksi dimana-mana. Kita harus bisa menjauh dari koneksi mereka terlebih dahulu."
"Aku juga setuju soal itu." kali ini Duke yang bicara, "Tapi, kau benar-benar tidak akan
memakai kunci itu, Aria" Sebenarnya kami sudah pasrah kalau hidup kami memang seperti ini.
Jika kau mau memakainya untuk dirimu sendiri, pakailah."
"Tidak. Aku lebih senang jika aku memakainya untuk kita semua." Kataku sambil
menggelengkan kepala tidak setuju. "Aku ingin mengeluarkan kita semua. Aku tidak mau
meninggalkan kalian."
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami semua terdiam. Hanya ada bunyi mesin kapal yang terdengar.
"Kurasa itu bukan masalah." Charles tiba-tiba bersuara dan memecahkan keheningan.
"Yang penting, kita percayakan saja kunci itu pada Aria. Dia tidak akan mengkhianati kita.
Tidak seperti Jack." Katanya lagi.
Aku hanya mengangguk. "Benar. Kami semua percaya padamu, Aria. Jadi kau tidak usah khawatir. Kami tidak akan
memburumu seperti Jack." Kata Duke, "Yah" walau aku iri juga padanya karena punya
kemampuan menghentikan waktu. Seandainya saja, aku yang punya kemampuan itu."
"Mungkin kau ingin menceburkan diri ke dalam laut dan mencoba berenang ke tepi
pantai." Canda Stevan.
"Sialan. Jangan mengejekku begitu."
Cair sudah keheningan di antara kami. Aku kembali tertawa lepas seperti tadi. Tanpa
kusadari, Rifan memegang pundakku dan tersenyum kearahku. Aku balas menatapnya dan
tersenyum juga. "Oh, ya Tuhan" bisakah kalian tidak bermesraan disini?" Charles membentangkan
tangannya diantara aku dan Rifan.
"Kalau kalian ingin bermesraan, silakan lakukan di tempat lain." Charles mengatakan itu
sambil meleletkan lidah pada Rifan. Yang langsung dibalas Rifan dengan jitakan tepat di kepala
Charles. "Charles?" "Maaf. Aku hanya bercanda." Kata Charles setelah dia mendapat satu jitakan lagi dari
Rifan. Aku memandangi mereka semua sambil tersenyum. Aku benar-benar bersyukur punya
teman-teman seperti mereka. Dan aku berjanji, aku akan membawa mereka semua keluar dari
semua ini. BAB 5 Misi Terakhir untuk Para Malaikat Penghancur
Aku mengerjapkan mata dan melihat kearah Rifan yang tidur di sebelahku. Sekarang sudah
malam. Dan aku serta yang lain langsung memutuskan untuk tidur setelah makan. Sebenarnya
kami disediakan satu kamar untuk masing-masing dari kami. Itu agar menghindari kebencian
diantara yang lain karena merasa direndahkan atau sebagainya oleh para penjaga atau sesama The
Chronos Sapphire (sebenarnya hanya Jack yang merasa direndahkan). Tapi Rifan dan aku bisa
menembus berbagai benda, dan bisa leluasa bertemu satu sama lain karena kebetulan kamarnya
berada di sebelah kanan kamarku.
Aku menatap kearah Rifan yang tertidur di sebelahku. Wajahnya kelihatan damai walau
keadaan sudah seperti ini. Atau mungkin juga, dia sudah terbiasa dengan ini semua. Jadi dia tidak
ambil pusing soal itu. kadang-kadang, aku heran bagaimana dia bisa setenang itu.
"Mengamatiku, ya?"
Tiba-tiba kedua matanya terbuka dan langsung menatap kearahku.
"Eh" kau belum tidur, ya?" kataku gugup karena "ketahuan" mengamatinya.
Rifan lalu bangkit dan duduk.
"Tidak juga. Aku tadi tertidur. Tapi, karena kamu juga bangun?"
"Apa karena aku pasangan empati-mu" Jadi, jika aku bangun, kamu juga bangun?"
tanyaku. "Kira-kira begitulah." Jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku mengamatinya menguap dan mengucek-ucek mata. Dan disaat beginilah, aku sering
merasa geli melihatnya begitu. Dia jadi seperti seorang anak kecil yang baru bangun tidur.
"Lagi-lagi kamu mengamatiku."
Ucapannya membuatku tersentak dan aku buru-buru menunduk untuk menutupi wajahku
" yang aku yakin, sudah memerah tanpa kusadari.
"M, maaf. Aku?"
"Untuk apa kamu minta maaf?" tanyanya sambil menepuk kepalaku. "Harusnya tidak
perlu minta maaf. Lagipula, kamu tidak salah apa-apa, kan, padaku?"
Aku menggeleng. "Kalau begitu, tidak perlu sering minta maaf padaku." Kata Rifan lagi.
Dia lalu mengelus rambutku dan membuatku tidak bisa berkata-kata lagi.
"B, baiklah. Aku" aku tidak akan sering meminta maaf padamu." Kataku.
Aku mendongakkan kepala dan melihatnya tersenyum. Aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak tersenyum. "Oke. Sebaiknya, kamu tidur lagi. Besok kita akan mengalami hari yang lebih buruk dari
yang kemarin." Kata Rifan, "Karena kita akan melakukannya dengan keadaan sadar."
Aku memikirkan apa yang dikatakannya.
Benar juga. Mulai besok, kami akan melakukan misi dalam keadaan sadar. Tidak dalam
keadaan setengah sadar sehabis dicuci otak. Memikirkan itu membuat perutku mulas. Aku
merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Aria?" Rifan menyentuh tanganku, yang gemetar tanpa kusadari.
"Kamu memikirkan sesuatu" Apa" soal Jack?"
Aku menggeleng. Dan Rifan langsung menarikku ke pelukannya.
"Kalau begitu, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya lagi.
"Aku hanya" yah" aku merasakan sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Mungkin" tidak
lama lagi." kataku. "Memikirkannya saja, aku merasa takut."
Rifan mengeratkan pelukannya dan aku merasa perasaanku menghangat. Menggantikan
perasaan tidak enak tadi.
"Nah, jadi jangan memikirkannya lagi." kata Rifan, "Aku akan menjagamu. Jadi, tidak perlu
memikirkan hal yang membuatmu tidak enak, ya?"
Aku mengangguk lagi. Dan aku memejamkan mataku di pelukannya.
*** Aku terbangun lagi tepat saat aku merasa waktu berhenti.
Aku melihat keluar jendela bundar yang menghadap ke laut. Diluar masih gelap. Tapi aku
merasakan waktu berhenti. Buktinya adalah suara air yang terhenti. Dan suasananya terlalu hening.
Ini" buruk. Aku bisa merasakannya. Jack berada di depan pintu. Tepat di depan pintu.
"Ri, Rifan?" Aku mengguncang bahu Rifan yang tidur di sebelahku. Dia bergerak sedikit, dan langsung
duduk tegak. Ia menatap kearahku.
"Dia datang?" tanyanya pelan seperti berbisik.
Aku mengangguk. Dan menggenggam kalung yang terus berada di saku pakaianku.
Dia mengincar kalung ini. batinku.
Rifan berdiri dan mendekat kearah pintu. Menempelkan tangannya di lantai. Merasakan
getaran dari situ. Ia menoleh kearahku. "Kau mau kita pergi, atau menunggunya diam di depan pintu dan membuatnya kehabisan
waktu yang telah dibekukannya?" bisiknya.
"Aku rasa kita pilih yang kedua." Jawabku. "Aku tidak mau ada yang terluka. Atau"
tolong. Biarkan saja dia disana."
Rifan sepertinya tidak menyetujui perkataanku. Tapi dia mengangguk.
"Kau mau kutemani?" tanyanya lagi.
"Tidak. Aku rasa tidak perlu." Kataku menggeleng, "Aku tidak bisa terus bergantung
padamu. Sebaiknya kamu kembali saja ke kamarku."
"Kamu yakin, Aria?" nada suaranya terdengar khawatir.
Ah"tidak. Sangat khawatir.
"Aku yakin." Aku tersenyum menenangkan padanya, "Terima kasih sudah menemaniku."
Rifan terlihat ragu. Tapi aku berhasil meyakinkannya lewat pikiranku. Ia mengangguk dan
kemudian kembali ke kamarnya melewati dinding.
Setelah Rifan pergi, aku meletakkan kepalaku dan menarik selimut sampai ke ujung
kepala. Aku tidak ingin keluar dan mendapati Jack menghunuskan pedangnya dan membunuhku.
Aku berharap waktu segera kembali berputar.
*** "Tuan putri" bangun?"
Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan menyibakkan selimut. Cahaya matahari masuk lewat
jendela bundar di dekatku. Sudah pagi" Sepertinya iya.
"Tuan putri?" Itu suara Charles. Aku berusaha membuka mulutku dan mendapati suaraku terdengar
serak. Bahkan di telingaku sendiri.
"Iya. Aku sudah bangun. Tenang saja?" kataku.
"Oke. Tapi sebentar lagi kita akan sampai di tempat tujuan kita." Kata Charles lagi dari
balik pintu. "Sebaiknya kau bersiap-siap, kalau kau tidak mau tertangkap basah oleh Dylan karena
kau tidur bersama Rifan kemarin malam. Dan disuruh menceritakan detailnya pada Dylan."
Demi mendengar ucapan Charles yang seperti itu, aku langsung merasa seluruh rasa
kantukku menghilang. Tapi terlambat untuk membalas ucapannya. Aku mendengar langkahnya yang menjauh
dari balik pintu. Dalam kebingunganku, aku mencoba mencerna apa yang tadi baru saja dikatakan Charles.
Darimana dia tahu tentang hal itu"
Aku sampai diatas geladak kapal tepat saat yang lain sudah berada disana. Aku cepat-cepat
duduk di antara Charles dan Rifan yang sedang asyik makan roti yang dicampur dengan sup jamur.
"Mau?" Charles menawarkan semangkuk sup beserta roti padaku. Aku tersenyum dan
menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Ia lalu kembali memakan makanannya.
Sepertinya dia tidak ingat dengan apa yang dikatakannya barusan saat dia membangunkanku.
Yah" dia memang terlalu santai. Lebih santai daripada Rifan.
Aku menggelengkan kepala dan mulai memakan makananku. Tepat saat aku merasa
dadaku sesak dan aku jadi sulit bernafas.
"Aria" Kamu kenapa?"
Charles memegani pundakku. Tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kepalaku serasa
dipukul oleh ribuan palu.
"Ha?" Pandanganku tiba-tiba terasa kabur. Dan selanjutnya aku tidak ingat apa-apa.
*** Begitu aku membuka mataku, aku berada di tempat yang seluruhnya putih. Tidak ada apa-apa
disana kecuali aku. Aku bangun dan melihat ke sekeliling. Aku tidak mengerti dimana tempat ini. Tapi"
"Ternyata kau datang juga."
Suara di belakangku membuatku menoleh. Dan aku langsung berhadapan dengan seorang
gadis berambut panjang berwarna hitam sepertiku. Tapi wajahnya kelihatan pucat. Kulitnya terlalu
putih, hampir transparan. Ia mengenakan gaun putih panjang sampai ke mata kaki. Sepatu hak
tinggi berwarna putih mengkilat tersembul dari balik gaunnya.
"Lama sekali waktumu untuk mengunjungiku." Kata gadis itu lagi, "Kau tahu sudah berapa
lama aku menunggu?" "Siapa" kamu?"
Gadis itu tersenyum dan menunjuk dirinya sendiri.
"Maya. Itu namaku." Katanya. "Aku, adalah bayangan dirimu."
"Bayangan diriku" Seperti cermin?"
"Bisa dibilang begitu." Ia mengedikkan bahu seolah itu hal yang tidak penting.
"Lalu?" aku melihat ke sekelilingku lagi sebelum menatapnya, "Ini dimana?"
"Di dalam kalung. Kalung bulan sabitmu." Jawabnya.
"Kalung" maksudmu, kalung itu!?"
"Ya. Aku adalah bayangan dirimu. Dan aku berada di dalam kalungmu."
Di tangannya tiba-tiba muncul kalung bulan sabit yang selalu kukenakan. Dia
memperhatikannya sejenak sebelum melemparkannya kearahku.
"Kau harus menjaga kalung ini baik-baik." katanya, "Suatu hari nanti, kamu akan
membutuhkannya. Membutuhkanku."
"Membutuhkanmu?"
"Kau sudah diceritakan Ardelia mengenai kalung ini, kan?" tanya Maya.
Aku mengangguk. "Kalau begitu, aku hanya perlu memperjelas lagi."
"Memperjelas apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Kau ingin tahu cara menggunakan kalung ini?" tanyanya balik.
"Aku harus menyinarinya dengan sinar bulan purnama, kan" Dan akan muncul sebuah
pintu untuk keluar dari The Chronos Sapphire. Yang kutahu dari Ardelia hanya itu. Tidak ada
yang lain." "Memang hanya itu caranya," kata Maya, "Lebih jelasnya, kau memerlukan keberanian
untuk membuka pintu keluar. Kau harus bisa menahan perasaanmu dna menjaga emosimu agar
tidak mengganggu konsentrasimu saat membuka pintu. Dimana itu akan berakibat fatal. Saat kau
tidak berkonsentrasi penuh, pintu akan terbuka ke jalan yang salah. Sebaliknya, jika benar, maka
jalan keluar akan terbuka."
"Kalung ini tidak boleh sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Jack mengincar kalung
ini, kan?" Aku mengangguk lagi. "Kalung ini rentan pada kekuatan yang ada di sekitarnya. Selama ia ada padamu, itu akan
menjadi jimatmu. Tapi jika sampai jatuh ke tangannya?"
Aku tahu yang dimaksud dengan dia adalah Jack. Dan aku bisa menebak apa yang akan
dikatakannya selanjutnya.
"Aku mengerti." Kataku, "Aku hanya harus menjaga agar kalung ini tidak jatuh ke tangan
Jack, kan?" "Ya. Kalau tidak, akan terjadi sesuatu yang buruk." Maya setuju dengan ucapanku.
Tunggu"kenapa tubuhnya seperti berpendar dan semakin transparan"
"Maya, kenapa?"
Maya melihat dirinya sendiri dan tersenyum.
"Waktuku sudah habis. Aku hanya bisa berbicara denganmu sebentar." Katanya,
"Sebenarnya aku harus terus bersemayam di kalung itu sampai kau memanggilku kembali untuk
membuka pintu keluar. Aku hanya bisa muncul satu kali lagi, dan setelah itu aku akan
menghilang." "Apa" Menghilang kemana" Kau bayanganku, kan?"
"Bayangan?" dia mengucapkannya dengan nada merenung. "Aku bayangan dirimu di
masa yang akan datang."
"Ha?"" "Waktuku sudah menipis. Aku hanya bisa memberitahumu hal ini sebelum kita berpisah :
jauhi Jack. Jangan pernah mendekatinya."
"Kalau itu, aku sudah tahu."
"Ini berbeda." Kata Maya. Tubuhnya semakin tidak terlihat, "Kemampuan menghentikan
waktu milik Jack sudah berkembang pesat kemarin malam. Sekarang ia bisa mengendalikan waktu
sepuasnya untuk mendapatkanmu. Dan juga kalung itu. Kau harus terus bersama pasangan empatimu. Dia adalah kuncimu yang kedua."
"Kunci kedua" Apa maksudnya?"
"Aku hanya bisa memberitahumu hal itu. Selebihnya, kau harus mencari tahu sendi?"
Tubuhnya sudah sepenuhnya menghilang. Dan aku langsung tersedot ke dalam kegelapan.
*** ?"ria! Aria" Aria!!"
Aku membuka kedua mataku dan melihat wajah-wajah kabur di mataku. Beberapa saat
kemudian, wajah-wajah itu kelihatan jelas. Wajah Rifan yang pertama kali kulihat. Ia terlihat
khawatir. Sebelah tangannya menyentuh wajahku.
"Ap, apa" apa ada yang terjadi?" tanyaku.
"Kau pingsan." Kata Charles. "Saat sarapan, kau pingsan. Apa kau mengingatnya?"
Aku menggeleng pelan. Aku masih merasa tersedot ke dalam kegelapan.
"Tapi, kau baik-baik saja, kan?" tanya Stevan.
"Mmm" aku baik-baik saja."
Rifan membantuku duduk dan ia tetap memegangiku walau aku sudah duduk tegak.
"Terima kasih, Rifan." kataku sambil tersenyum.
"Sama-sama." Dylan menempelkan telapak tangannya ke keningku.
"Badanmu agak hangat. Kau sakit?" tanyanya.
Aku mengerutkan kening. Seharusnya kami tidak bisa sakit. Kami, kan, The Chronos
Sapphire. Manusia yang lebih dari manusia biasa.
"Kurasa tidak. Aku hanya" hanya sedikit lelah. Kemarin malam, aku tidak bisa tidur
nyenyak karena?" Seolah mengerti apa yang akan kukatakan selanjutnya, Dylan mengangguk samar.
"Kami bisa merasakan gerakan kami terhenti saat dia menggunakan kemampuannya." Kata
Duke, "Kemampuan itu sulit ditandingi. Dia bisa menjadi penguasa waktu kalau dia mau."
Aku rasa itu ide yang buruk, karena dengan begitu, dia bakal memburu dan membunuhku
dengan mudah. "Oke. Aku baik-baik saja. Kalian silakan kembali ke aktivitas kalian." Kataku, "Biar" biar
Rifan yang menemaniku. Dan Charles juga."
"Oh, tidak. Aku tidak mau menjadi pengganggu." Kata Charles sambil mengangkat
tangannya. "Aku juga harus memeriksa senjataku."
"Aku juga. Jadi sebaiknya kami tinggalkan kalian."
Mereka lalu kembali ke aktivitas masing-masing (dibilang aktivitas juga kurang tepat, sih,
sebenarnya"). Aku merasa perutku bergemuruh. Melihat mereka tidak menyentuh makanan, aku
rasa, mereka sudah selesai sarapan.
"Ini." Rifan menyodorkan sepotong roti yang beruap. Sepertinya roti itu baru matang. Aku bisa
mencium wangi gandum hangat dari roti itu.
"Kau pingsan sebelum sarapan. Supmu tumpah. Jadi hanya roti ini yang tersisa." Kata
Rifan, "Makanlah. Kau pasti lapar."
Aku menerima roti itu dan menggigitnya sedikit.
"Enak?" "Setiap kali kau makan sesuatu, pasti akan kau bilang enak." Kata Rifan lagi.
Aku tersenyum. Lalu memakan rotiku sampai habis. Rifan memberikanku sebotol air, dan
aku meminumnya beberapa teguk.
"Terima kasih." Kataku sambil mengembalikan botol setengah kosong itu pada Rifan.
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang, kau bisa menceritakannya. Apa yang terjadi saat kamu pingsan?" kata Rifan
tanpa basa-basi. "Apa aku harus menceritakannya?"
"Harus. Karena tidak setiap kali aku tidak bisa membaca pikiranmu, dan berkomunikasi
lewat pikiranmu kalau sedang pingsan." Jawabnya.
Aku lalu menceritakan apa yang kulihat saat aku pingsan. Tentang Maya dan juga katakatanya. Semua kuceritakan pada Rifan.
Rifan manggut-manggut mendengar ceritaku. Keningnya berkerut samar setelah aku
menyelesaikan ceritaku. "Apa dia bilang padamu kalau kalung yang kamu miliki itu punya kekuatan yang luar
biasa?" "Ya. Dia menceritakan sedikit. Tapi itu sudah cukup." Kataku mengangguk. "Dia
memberitahuku agar menjauh dari Jack. Kemampuannya sudah berkembang pesat sejak kemarin
malam. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa meningkatkan kemampuannya secepat itu.
Tapi, yang pasti itu masalah besar. Kalau dia menghentikan waktu sekali lagi?"
?" kau mungkin akan dibunuhnya." Kata Rifan.
"Begitulah?" "Kalau begitu, serahkan saja padaku." Ujar Rifan, "Aku yang akan melindungimu. Aku
janji." "Aku tidak butuh janji." Kataku main-main, "Aku butuh bukti."
Rifan tersenyum lebar. Ia mengulurkan jari kelingkingnya.
"Janji jari kelingking?" tanyaku geli melihat apa yang dilakukannya.
"Aku, kan berjanji untuk melindungimu" karena itu, aku mengajukan janji jari kelingking."
Katanya sambil tersenyum.
Aku tertawa pelan dan mengangguk, lalu menyambut jari kelingkingnya dengan jari
kelingkingku. "Baik. Aku akan menunggu buktinya darimu." Tantangku.
Kami berdua lalu tertawa bersama dan tidak memerdulikan tatapan penuh arti dari Charles
dan yang lain. Kali ini, aku semakin yakin dengan perasaanku. Sekarang ini, aku perlu bukti darinya.
Bukti. Ya. Bukti bahwa perasaanku sama dengannya.
*** Menjelang malam, kami baru sampai di tempat kami akan melakukan misi. Ini jarak yang cukup
jauh untuk ditempuh oleh kapal ini, yang biasa mengangkut kami. Dan dengan jarak seperti ini"
"Tidak" mungkin?" gumamku tercekat.
"Ada apa?" tanya Rifan yang berdiri disampingku.
"Tempat ini" jauh dari Laboratorium Terlarang." Kataku sambil menatap kearah Rifan.
"Kamu" kamu tahu artinya, kan?"
Seperti diriku, dia mulai kelihatan cemas. Dia mengangguk pelan dan samar, hingga hanya
aku yang bisa melihatnya.
"Rifan, aku takut." Kataku. Aku tidak mencoba menyembunyikan ketakutanku. Aku
memang benar-benar takut sekarang. "Bagaimana kalau Jack" aku tidak bisa membayangkannya.
Itu terlalu menakutkan."
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Tetap berada di sampingku. Tidak akan kubiarkan dia
mendekatimu sehelai rambutpun." Katanya.
"Tapi?" aku menelan ludah dan melirik kearah Jack yang sedang mengurus senjatanya
bersama Dylan secara diam-diam.
"Rifan, ini" semakin memikirkannya, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku
diberitahu Ardelia, jika kita sudah berada di luar jangkauan Laboratorium Terlarang, dan tidak ada
kabar lagi dari sana, itu berarti Ardelia sudah melaksanakan tugas terakhirnya. Menghancurkan
Laboratorium Terlarang."
"Kau yakin dia berkata jujur?"
Aku mengangguk yakin, "Dia teman kedua orangtuaku. Dialah yang menjadi alasan kenapa
The Chronos Sapphire terbentuk. Dia juga yang berniat menghancurkan kita agar tidak lahir dan
menjadi mesin pembunuh dengan menghancurkan kapal yang mengangkut 200 gen lain yang sama
dengan kita di lautan. Ardelia mengatakan padaku, dia disuruh. Oleh seseorang. Aku tidak tahu
siapa yang dia maksud. Tapi, orang itu mengincar kalungku sudah sejak lama."
"Rifan, kalau benar orang itu mengincar kalung ini, berarti dia juga mengincarku. Karena
hanya aku yang bisa membuka pintu keluar. Dan kalau Jack adalah orang itu"atau setidaknya, aku
kira adalah dia. Dia akan?"
"Tidak perlu dipikirkan lagi." kata Rifan menyela, "Sekarang yang terpenting adalah
melaksanakan misi ini dulu. Setelah itu, kita pikirkan nanti."
Aku menatapnya tidak setuju. Jelas ini menjadi pikiranku. Tapi dia menyuruhku untuk
tidak memikirkannya. Dan, baiklah. Aku mengaku kalah. Aku tidak bisa menolak tatapannya yang
menusuk langsung ke hatiku dan membuatnya berdebar kencang.
Duke memanggil kami berdua untuk memeriksa senjata kami dan memberikan beberapa
gadget untuk saling berkomunikasi.
Dengan langkah berat, aku berjalan kearah mereka. Aku tidak bisa tidak memikirkan
segala kemungkinan yang ada.
Aku yakin, ini akan menjadi misi terakhir kami. Selamanya.
Dan kehancuran diantara kami akan terjadi secepatnya"
BAB 6 Ancamannya Berubah Menjadi Kenyataan
(Dia Membunuh Dylan di Depan Mataku)
Aku dan Rifan mengendap-ngendap ke tengah hutan di pulau entah berantah ini. Yang lain
melakukan hal yang sama di sisi lain hutan. Menurut Dylan, nama pulau ini adalah Pulau Sleep
Forest. Aku tidak heran dengan namanya, mengingat sekarang ini adalah tahun 2027, semua itu
terasa biasa bagiku. Sesuai strategi yang diberikan Ardelia pada kami, kami akan menyerang sebuah gedung
besar " yang dikelilingi dengan tembok tinggi setinggi enam meter (menurut penglihatanku dari
sini) dan memiliki aliran listrik diatasnya itu dari arah berlainan. Gedung itu adalah pusat
pengendalian sebuah perusahaan bernama ERU COMPANY. Perusahaan itu sudah merajai
hampir seluruh media komunikasi di dunia. Konon, perusahaan ERU COMPANY mempunyai
asset yang sangat mahal dan bernilai tinggi jika diperjual-belikan di dunia. Tidak heran orang yang
membayar Laboratorium Terlarang untuk mengirim kami membunuh seluruh orang yang ada di
gedung itu menginginkan hasil terbaik. Pasti orang itu ingin mengambil keuntungan dari ERU
COMPANY yang sebentar lagi akan tinggal kenangan. Aku bisa melihat sebuah gedung yang luar
biasa besar dan tinggi tidak jauh dari tempat kami berdiri sekarang.
Aku lalu menunjuk sebuah pohon besar dengan banyak sulur tanaman di sekitarnya.
"Disini saja kita meletakkan barang-barang kita." Kataku.
Dan dia mengangguk setuju.
Yang kumaksud bukanlah senjata kami, melainkan sebuah tas ransel yang berisi
perlengkapan bertahan hidup kami. Sejak misi pertama kami, kami jarang menggunakan barangbarang di dalam ransel ini karena biasanya jemputan (maksudku kapal yang membawa kami untuk
menjalani misi) kami sudah datang tepat saat kami menyelesaikan misi.
Kami berdua lalu menaruh tas ransel kami dan menyembunyikannya dengan menumpuk
beberapa ranting kering dan dedaunan yang gugur, serta sulur-sulur tanaman itu. Aku merasa itu
adalah cara yang bagus untuk semakin menyamarkan posisi ransel kami. Rifan lalu memberikan
sebuah penanda di pohon itu. sebuah tanda berbentuk bunga mawar dengan katananya di batang
pohon. Pertama kali melihatnya, mungkin kau akan tertawa. Tapi, percayalah padaku, kau tidak
akan mau tahu bagaimana aku kebingungan mencari letak ransel kami saat tanda itu menghilang
karena tersapu oleh air (waktu itu, kejadiannya di dekat pantai. Dan tolong jangan bertanya. Aku
benar-benar tidak mau membicarakan hal itu).
Setelah siap, kami mengaktifkan earset mini tanpa kabel kami, yang terpasang di telinga
kami. Suara Dylan langsung terdengar di telingaku. Memberikan perintah pada kami untuk
melakukan misi, seperti yang dia lakukan sebelum-sebelumnya.
"Nomor 4 dan 7 menyerang dari sisi barat, nomor 5 dan 6 menyerang dari sisi timur,
nomor 3 dan 8 akan menyerang dari sisi selatan. Kami, nomor 1 dan 2, akan menyerang dari sisi
utara. Nomor 4 dan 7 yang akan menyerang pertama, disusul nomor 5 dan 6, nomor 3 dan 8, dan
kami akan menyerang bersamaan." Kata Dylan. "Semua mengerti?"
Aku yakin bisa mendengar suara Charles dan yang lain di telingaku bersamaan dengan
suara yang keluar dari mulutku.
"Mengerti." Setelah itu aku mengangguk pada Rifan. Dan kami segera berlari menuju ERU
COMPANY dengan kecepatan super.
*** Aku dan Rifan berhenti di depan pagar beton setinggi tiga puluh meter (dan ternyata bukan enam
meter), menatap keatasnya dan melihat ada semacam kawat yang aku yakin, dialiri dengan listrik.
Kami berdua lalu mengambil ancang-ancang untuk melompat. Segera setelah Rifan
melompat lebih dulu, aku juga ikut melompat. Jika kau membayangkan bagaimana kami
melompat, mungkin kau bisa membayangkannya dengan melemparkan sebuah benda ke udara
setinggi mungkin. Ya. Seperti itulah kami melompat.
Kami melewati kawat listrik itu dengan sebuah gerakan akrobatik dan mendarat dengan
mulut di balik tembok. Rifan mengambil sebuah jarum tipis dan melemparkannya ke seorang penjaga yang tidak
menyadari kami berada sekitar satu meter di belakangnya. Jarum itu tepat menancap di kakinya
dan membuat penjaga itu roboh seketika.
"Jarum bius." Gumamku mengenali senjata yang digunakannya, "Kau tidak pernah
memakai senjata itu sejak misi ke- 987."
Angka yang mengejutkan, ya" Tapi, yah" dalam satu hari, kami bisa mendapat enam misi
sekaligus. Jadi jangan terlalu terkejut dengan hal itu.
Rifan hanya tersenyum lebar dan segera berlari. Aku mengikutinya dan menjentikkan jari,
seketika itu suasana di sekitar kami berubah gelap. Ini kemampuan dasar yang dilatih sendiri oleh
Ardelia untukku. Aku tidak bisa menemukan nama yang tepat untuk menyebut kemampuan ini,
tapi aku lebih sering menyebutnya : Pengendali cahaya.
Kadang aku suka nama itu.
Aku lalu memegang pedangku dan mengeluarkannya dari sarungnya. Lari kami melambat
saat mendekati pintu masuk selatan gedung ERU COMPANY.
"Giliranmu," sembari berkata begitu, Rifan berlari ke belakangku.
Aku segera mengayunkan pedangku menghantam pintu dari kaca setebal lima senti itu dan
membuatnya pecah berantakan. Dan tepat saat itu, suara alarm sirene meraung-raung dari pintu
tersebut. Aku juga mendengar suara sirene lain dari sisi lain gedung. Ini hanyalah sebagai pengalih
perhatian bagi para penjaga untuk kami bunuh.
"Timur, barat, dan utara." Kata Rifan. "Pembantaian akan segera dimulai. Ayo."
Kami menemui beberapa penjaga bersenjata lengkap yang berlari kearah kami. Dengan
gerakan yang cepat, kami membunuh mereka semua. Semakin kami ke dalam gedung, kami
menemukan banyak penjaga yang bersiap menyerang kami. Yah" kami bisa menyerang dan
membunuh mereka dengan mudah.
Masalahnya adalah, aku takut melihat darah.
Begitu setetes darah menciprati wajahku, aku cepat-cepat membersihkannya agar tidak
merasa mual dan ingin muntah. Jika aku sedang tidak sadarkan diri, mungkin aku tidak akan
setakut ini. Tapi, misi harus terus berjalan. Kami harus berhasil menuntaskan misi kami, kalau
tidak mau dihukum. *** Aku dan Rifan sudah sampai di lantai 75 gedung ini. Dylan sudah memberikan detail gedung ini
pada semua The Chronos Sapphire bahwa gedung ini mempunyai sekitar 150 lantai dan hampir
menjulang ke atas awan. Bagaimana cara para arsitek membangun gedung ini, aku tidak mau tahu.
Tapi kami menemui banyak kesulitan untuk membereskan para penjaga dan menyerang para
ilmuwan serta karyawan yang ada di tempat ini.
"Haaaaa!!!!" Aku menyerang tiga orang penjaga sekaligus dalam satu serangan. Seperti serangan seorang
samurai Jepang. Aku mendengar mereka berteriak kesakitan sebelum akhirnya roboh ke lantai
dengan bersimbah darah. Dan setidaknya, aku harus berusaha untuk tidak melihat semua darah
itu. Rifan melemparkan enam jarum biusnya (kali ini dengan racun) kearah dua penjaga
sisanya. Mereka juga roboh seketika.
Rifan menggosok tangannya pada celananya, lalu menoleh kearahku.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
"Tidak terlalu," aku mengakui, "Tapi, kita harus terus."
Kami berlari lagi ke lantai atas. Aku menggenggam erat pedangku dan tanganku jadi sakit
karenanya. Tiba-tiba aku berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Aku yakin wajahku memucat saat
aku melihat pemandangan di depan mataku. Rifan ikut berhenti mendengar aku tidak lagi berlari
di sebelahnya. "Uh-oh?" kataku.
Rifan mengikuti arah pandanganku. Dan wajahnya kelihatan" terkejut"
Di depan kami " lebih tepatnya enam meter di depan kami, aku melihat seseorang sedang
menusuk yang lain dengan sebuah pedang seperti katana juga, tapi lebih pendek. Aku lupa
namanya. Yang membuatku memucat adalah, orang yang sedang menusuk temannya itu adalah Jack.
Dan aku sekarang melihat dengan jelas (karena sejak kami dicuci otak dengan helm listrik,
penglihatan"oh, bukan, seluruh panca indera kami menjadi lebih tajam dari sebelumnya) siapa
yang ditusuk oleh Jack. Dylan. "Tidak" tidak?"
Aku ingat ancaman Jack waktu itu. Aku ingat dia bilang dia akan menghancurkan hidupku.
Dan aku yakin, dia sedang melaksanakannya sekarang.
"Kau yakin Jack dan Dylan sudah menyelesaikan orang-orang di lantai teratas?" bisik Rifan
saat Jack melihat kearah kami.
Aku melotot kearahnya. Ini bukan saatnya untuk melucu.
Aku mendengar Jack menghentikan jarinya dan seketikat itu juga waktu berhenti. Dengan
kecepatan yang luar biasa, Jack berlari kearah kami sambil menghunuskan pedangnya.
Lari. Itu suara Maya. Hei"dia berada dalam pikiranku sekarang" Bukankah dia bilang, dia
tidak bisa dipanggil kecuali untuk membuka pintu, atau apalah untuk mendeskripsikan jalan keluar
dari The Chronos Sapphire"
Bukan saatnya memikirkan hal itu. katanya lagi. Nada suaranya terdengar mendesak.
Cepat, lari. "Rifan, ayo!" Ia mengangguk. Dan kemudian kami berlari ke luar jendela dan melompati dahan pohon
yang bercabang dan melompat ke jendela di lantai 85. Kami menembus kaca dan mendarat di atas
karpet berwarna biru gelap di sebuah koridor panjang. Tapi, aku bisa merasakan waktu yang
berhenti dan membeku. Dan"jujur saja. Itu membuatku merinding.
Rifan melingkarkan tangannya dibahuku dan menuntunku untuk lari. Dia mengirimkan
pikiran kalau kami harus terus berlari. Aku lalu berusaha mengimbangi langkahnya.
"Kau tahu kita akan lari kemana?" tanyaku padanya.
Dia menggeleng, "Tapi setidaknya kita harus mencari yang lain. Aku memikirkan sesuatu
untuk membuat mereka tidak beku dalam waktu." Katanya.
"Dan, apa itu?" tanyaku lagi.
"Lebih baik nanti saja dibicarakan." Kata Rifan, "Sebaiknya kita terus berla?"
Sekelebat bayangan muncul di hadapan kami. Jack muncul dari bayangan itu. Dengan
pedang yang berlumuran darah. Begitu juga dengan pakaiannya. Aku mulai merasa mual dan
hampir muntah melihat darah.
"Akhirnya ketemu juga." Seringainya. Dan, sumpah, dia benar-benar terlihat seperti
pembunuh bayaran berdarah dingin!
Rifan maju di depanku. Berusaha untuk melindungiku.
"Mundur." Katanya sambil menghunuskan pedangnya.
"Kau selalu jadi pahlawan, ya?"
Dan dengan ucapan itu, Jack menyerang Rifan.
"Berhenti!!!" seruku berusaha melerai mereka. Tapi sepertinya mereka tidak
mendengarkan. Jack mengayunkan pedangnya ke segala arah dengan gerakan yang tidak bisa kulihat.
Terlalu cepat, menurutku. Tapi, kemampuan Rifan juga tidak bisa dianggap remeh. Dia pernah
membunuh 50 orang sekaligus dalam misi kami yang ke- 989. Dan jangan tanya bagaimana dia
melakukannya. "Hiaaa!!!" Rifan menyerang lagi kearah Jack dengan jurus pedangnya (yang dia namai sendiri) dengan
sebutan Sword Slicer. Entah kenapa dia menamai setiap jurus pedang yang digunakannya dengan
nama yang aneh. Jack mundur beberapa langkah dengan tangan kanan berlumuran darah. Rifan berhasil
menyabet tangan kanannya dan meninggalkan goresan sepanjang delapan senti yang terus
mengeluarkan darah. "Kau" anak kecil!!"
Jack menyerang lagi, dan kali ini aku tidak bisa melihat setiap serangannya lagi dan
semakin lama semakin cepat. Aku terkejut melihat kecepatannya yang mengagumkan. Darimana
dia mendapat kecepatan seperti itu"
Darimana dia dapat kecepatan seperti itu" Tidak ada The Chronos Sapphire yang
mempunyai kecepatan lebih daripada sebuah jet pribadi yang kecepatannya seperti kecepatan
ultrasonic. Kataku dalam hati.
Kemampuannya, suara Maya kembali terdengar di kepalaku. Kemampuannya berkembang
terlalu pesat. Semua kemampuan jahat ada padanya.
Lalu bagaimana cara menghentikannya" Tanyaku. Tunggu. Kenapa kau bisa berbicara
lewat otakku" Bukannya kau bilang, kau hanya bisa muncul satu kali lagi"
Aku bisa mendengar suaranya yang tertawa kecil.
Aku bilang aku hanya bisa muncul di hadapanmu satu kali. Bukan tidak bisa berbicara
denganmu. Katanya. Okeee" aku mengerti sekarang.
Suara pedang yang berbenturan mengalihkan perhatianku. Aku langsung melihat percikan
bunga api di depanku. Jack berada di depanku dengan wajah yang penuh hasrat membunuh.
Pedangnya menekan pedang Rifan dan hampir mengenai ujung hidungku.
Tidak bagus. Kata Maya, Kau sebaiknya juga bertarung. Ah"atau mencoba untuk kabur.
The Chronos Sapphire Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengeluarkan pedangku dari sarungnya dan menyerang Jack hingga dia mundur.
Oke. Aku memang disuruh oleh Maya sekarang.
"Kukira kau akan lari." Kata Jack.
"Sebenarnya tidak. Aku hanya berusaha mengatur keadaanku." Kataku. "Lebih baik kau
bertarung denganku."
"Berdua lebih baik, Aria." Rifan berdiri di sebelahku. Aku mendengar nafasnya sudah
terengah-engah. Sementara waktu masih belum juga berjalan. Aku menghitung, sudah sekitar
setengah jam waktu berhenti.
"Kalian menyerang bersama-sama, akan tetap kuhadapi." Jack bersiap dengan posisi
bertarungnya. Aku memosisikan pedangku sedikit diatas kepalaku dan berdiri agak rendah. Posisi ini
biasa kugunakan untuk latihan. Tapi kali ini, ini bukanlah saat latihan.
Jack menyerang duluan. Dengan sigap, aku menahan serangannya. Benturan antara Blue
Rose-ku dengan pedangnya (yang aku ingat, namanya Deathly Sorrow) menghasilkan gelombang
yang luar biasa besar dan hampir membuat segala sesuatu di sekeliling kami terpental.
Ulurlah waktu. Kata Maya. Ulur waktu sampai waktu kembali berputar.
Oke" tapi sampai kapan aku harus mengulur waktu" Tanyaku.
Aku memukul mundur Jack dan menyerang secara beruntun. Gerakanku terlihat luwes
dimataku sendiri. Rifan sering kali menyebutnya Blue Rose Dancing. Dan aku tidak peduli dia
mau menyebut apa semua seranganku (aku baru tahu tiga hari setelah berada di Laboratorium
Terlarang, kalau dia adalah seorang otaku1) dengan nama-nama aneh.
Waktu yang dia punya tinggal tiga menit lagi. suara Maya kembali terdengar di otakku.
Buat dia kewalahan atau apalah. Yang pasti, kelemahannya yang paling fatal adalah akurasi
serangannya. "Akurasi?" Serang dia dengan serangan bertubi-tubi. Gunakan saja seluruh kekuatanmu. Gerakan yang
lebih cepat darinya akan membuatnya kewalahan.
Tapi dia lebih cepat dariku! Kataku. Mana bisa aku menyamai kecepatannya"!
Kau ini benar-benar tidak tahu, ya" Tanya Maya. Dari suaranya, aku tahu dia mengejekku.
Aku hampir saja tertebas pedang Jack kalau saja Rifan tidak mendorongku mundur dan
menahan serangannya. "Rifan!!" "Pertarunganmu, adalah pertarunganku juga." Kata Rifan sambil menyerang Jack, "Karena
itu, aku akan membantumu."
Nah, pasangan empati-mu juga membantumu. Kalian berdua harus mengulur waktu sebisa
mungkin. Kecepatan kalian berdua, jika digabungkan, akan menghasilkan sebuah kecepatan yang
luar biasa. Kata Maya. Buat strategi. Kirimkan strategi itu pada Rifan lewat empati-mu.
Kesempatan kalian kabur hanya 50%. Buatlah menjadi 100%.
Baiklah. Aku mendongak kearah Rifan yang kembali bertarung dengan Jack.
Rifan, aku punya rencana! Kataku. Mengirimkan pikiranku pada Rifan.
1 Seseorang yang menggemari anime, komik, dan segala hal yang berbau Jepang. Kebanyakan para otaku adalah
pria. Dan wanita otaku sangat jarang.
Apa" Kau sudah bisa bertarung lagi" Aku tidak bisa menahan serangannya lagi. balas
Rifan. Aku punya rencana. Dengarkan aku. Kita harus mengulur waktu sampai kemampuan
menghentikan waktu milik Jack menghilang. Sisa waktunya satu setengah menit lagi. Kita akan
bergantian menyerangnya. Setelah aku bilang change, kita akan bergantian menyerang. Kataku.
Sesuai keinginanmu, tuan putri.
Aku memejamkan mata sejenak dan mengatur nafasku. Kemudian perlahan aku membuka
mataku. "Change!!" Segera setelah aku mengatakan itu, aku berlari kearah mereka berdua dengan pedang
terhunus. Rifan bersalto dan mundur sejauh tiga meter di belakangku.
Aku menyabetkan Blue Rose kearah wajah Jack, dan berhasil membuat luka sayatan
disana. Tidak habis dengan itu, aku mencoba menggunakan kecepatan pedang yang kupunya.
Rifan menunggu di belakang sambil mengembalikan tenaganya.
Satu menit. Jack kembali menyerang. Aku segera menahannya dan memuntir pedangku ke bawah.
"Gadis kecil sialan! Kau akan membayar karena sudah melukai wajahku!" geramnya.
"Hoo" tapi, sepertinya itu tidak akan mungkin terjadi."
Aku menyelesaikan ucapanku bersamaan dengan melepaskan pertahananku dan
menendang perutnya. Kakiku mendarat mulus disana dan membuatnya mundur. Dari mulutnya
Perjodohan Busur Kumala 19 Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban Bara Naga 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama