Ceritasilat Novel Online

Kutukan Bangsa Titan 3

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 3


enggan. "Baiklah jika begitu. Mari kita berangkat."
"Kau akan membuat kita tertangkap, dengan gaya
menyetirmu yang ugal-ugalan," gerutu Thalia. "Aku terlihat
lebih enam belas daripada kamu."
"Mungkin," gertak Zo?. "Tapi aku sudah menyetir
semenjak mobil diciptakan. Mari kita pergi."
Selagi Blackjack dan aku meneruskan perjalanan ke selatan,
membuntuti van, aku bertanya-tanya apakah Zo? hanya
bercanda. Aku tak tahu kapan peristiwa mobil diciptakan,
tapi aku merasa itu bagai di zaman prasejarah"di zaman
ketika orang-orang masih menonton TV layar hitam-putih
dan berburu dinosaurus. Seberapa tua sesungguhnya Zo?" Dan apa yang sempat
dikatakan oleh Pak D" Pengalaman buruk seperti apa yang
pernah dia alami dengan para pahlawan"
Begitu kami mendekati Washington, Blackjack mulai
memelan dan menurunkan ketinggian. Dia bernapas dengan
berat. "Kau baik-baik saja?" aku bertanya padanya.
Baik-baik saja, Bos. Aku bisa ... aku bisa menaklukkan
satu bala tentara. "Kau tak terdengar baik-baik saja." Dan tiba-tiba aku
merasa bersalah, karena aku telah mengendarai pegasus
seharian, nonstop, berusaha menyamai kecepatan arus lalu
lintas jalan bebas hambatan. Bahkan bagi seekor kuda
terbang sekali pun, itu pasti sangat berat.
Jangan khawatirkan aku, Bos! Aku ini kuat.
Kupikir ia benar, tapi aku juga berpikir Blackjack akan
terjerembap ke tanah sebelum ia mau mengeluh, dan aku tak
mau hal itu terjadi. Untungnya, laju van mulai memelan. Van itu menyeberang Sungai Potomac menuju ousat Washington. Aku
mulai memikirkan tentang patroli udara dan misil-misil dan
hal-hal semacamnya. Aku tak tahu persisnya bagaimana
cara alat-alat pertahanan itu bekerja, dan tidak yakin jika
pegasus akan muncul di radar militer biasa, tapi aku tak
ingin mencari tahu dengan ditembakkan dari udara.
"Turunkan aku di sana," kataku pada Blackjack. "Itu
sudah cukup dekat." Blackjack begitu letihnya hingga ia tidak mengeluh.
Dia mendarat di Tugu Washington dan menaruhku di atas
rumput. Vannya hanya berjarak beberapa blok dari situ. Zo?
parkir di pinggir jalan. Aku memandangi Blackjack. "Aku ingin kau kembali
ke perkemahan. Beristirahatlah. Merumputlah. Aku akan
baik-baik saja." Blackjack menelengkan kepalanya skeptis. Kau yakin,
Bos" "Kau sudah banyak membantu," kataku. "Aku akan
baik-baik saja. Dan berton-ton terima kasih."
Berton-ton jerami, barangkali, renung Blackjack.
Kedengarannya enak tuh. Baiklah, tapi berthati-hatilah,
Bos. Aku mendapat firasat mereka tidak datang ke sini
untuk bertemu dengan makhluk-makhluk yang ramah dan
ganteng sepertiku. Aku berjanji untuk berhati-hati. Kemudian Blackjack
melesat pergi, mengitari tugu dua kali sebelum menghilang
di balik arakan awan. Kupandangi van putih. Semua keluar dari mobil.
Grover menunjuk pada salah satu dari gedung-gedung besar
yang menjajari kompleks museum. Thalia mengangguk, dan
mereka berempat berjalan pelan di tengah sebuan angin
dingin. Aku mulai mengikuti. Tapi kemudian segera
mematung. Satu blok di depan, pintu sebuah sedan hitam membuka. Seorang pria dengan rambut beruban potongan militer
keluar sedan. Dia mengenakan kacamata hitam dan mantel
hitam. Nah, barangkali kalau di Washington, kau akan
menganggap orang-orang potongan begitu akan berada di
mana-mana. Tapi segera terpikir olehku bahwa aku sudah
pernah melihat mobil yang sama ini beberapa kali di jalan
bebas hambatan, melaju ke selatan. Ia membuntuti van.
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan berbicara
melaluinya. Kemidan dia mengedaran pandangan ke sekitar,
seolah dia sedang memastikan keadaan aman, dan mulai
berjalan memasuki kompleks mengikuti arah temantemanku.
Yang terburuk dari hal ini: saat dia berpaling menghadapku, aku mengenali wajahnya. Itu adalah Dr. Thorn,
sang manticore dari Asrama Westover.
Dengan topi tak kasat mata, kuikuti Thorn dari kejauhan.
Jantungku berdebar-debar. Jika dia bisa selamat setelah
terjatuh dari tebing, maka Annabeth pasti juga selamat.
Mimpiku benar. Annabeth masih hidup dan sedang ditawan.
Thorn menjaga jarak dari teman-temanku, menjaga
agar tak terlibat. Akhirnya, Grover berhenti di depan gedung besar
bertulisan MUSEUM LANGIT DAN ANTARIKSA
NASIONAL. Gedung milik Institut Smithsonian! Aku
sudah pernah ke sini jutaan kali sebelumnya bersama ibuku,
tapi segalanya tampak serba lebih besar di kala itu.
Thalia memeriksa pintunya. Pintu itu terbuka, tapi tal
ada banyak orang yang masuk. Terlalu dingin, dan sekolah
sedang libur. Mereka menyelip masuk.
Dr. Thorn terlihat ragu. Aku tak tahu kenapa, tapi dia
tidak masuk ke dalam museum. Dia berbalik dan mengarah
kembali ke kompleks. Aku membuat keputusan kilat dan
segera mengikutinya. Thorn menyeberang jalan dan menaiki anak tangga
Museum Sejarah Nasional. Ada plang besar pada pintu.
Awalnya kukira tulisannya CLOSED FOR PIRATE
EVENT. Tapi lantas kusadari kata PIRATE"PEROMPAK"itu pasti mestinya terbaca PRIVATE.
Kuikuti Dr. Thorn ke dalam, melewati ruangan besar
penuh dengan mastodon dan tulang rangka dinosaurus. Ada
suara-suara di depan, berasal dari balik pintu ganda tertutup.
Dua penjaga berdiri di luar. Mereka membuka pintu untuk
Thorn, dan aku harus berlari menyusulnya untuk menyelip
ke dalam sebelum mereka menutupnya kembali.
Di dalam, yang kulihat begitu mengerikan hingga aku
nyaris memekik keras, yang mungkin sudah akan
membuatku terbunuh. Aku berada di dalam ruangan bundar luas dengan
balkon memagari tingkat dua. Setidaknya selusin pengawal
manusia berdiri di balkon, ditambah dua monster"wanita
reptil dengan dua tubuh ular menggantukan dua tungkai
kaki. Aku sudah pernah melihat mereka sebelumnya.
Annabeth menyebut mereka Drakaina Skythia.
Tapi bukan itu hal terburuknya. Berdiri diapit wanita
ular"aku berani bersumpah dia sedang menatap lurus
padaku"adalah seorang musuh lama, Luke. Dia tampak
menyedikan. Kulitnya pucat dan rambut pirangnya terlihat
hampir kelabu, seolah dia telah bertambah sepuluh tahun
hanya dalam waktu beberapa bulan. Pijar amarah matanya
masih nampak di sana, dan begitu pula dengan codet
melintangi sisi wajahnya, tempat dulu seekor naga pernah
melukainya. Tapi codet itu sekarang berwarna merah
mengerikan, seolah baru-baru ini lukanya dibuka kembali.
Di sebelahnya, duduk sehingga bayang-bayang
menyelubunginya, adalah seorang pria lain. Yang bisa
kulihat dari pria itu hanyalah buku-buku jarinya pada lengan
kursi bersepuh emas, yang menyerupai singgasana.
"Bagaimana?" tanya pria yang duduk di kursi.
Suaranya sama seperti yang kudengaar dalam mimpiku"tak
seseram Kronos, namunlebih berat dan kuat, seolah-olah
bumi sendiri yang sedang bicara. Suaranya memenuhi
seluruh ruangan meskipun dia tidak berteriak.
Dr. Thorn mencopot kacamatanya. Mata dua warnanya,
cokelat dan biru, berbinar dengan semangat. Dia
membungkuk kaku, lantas bicara dengan aksen Prancis
anehnya: "Mereka sudah di sini, Jenderal."
"Aku sudah tahu itu, bodoh," suara sang pria membahana. "Tapi di mana?"
"Di museum roket."
"Museum Langit dan Antariksa," Luke mengoreksi
jengkel. Dr. Thorn membelalak ke arah Luke. "Seperti yang
kaukatakan, Tuan." Aku merasa Thorn akan segera menusuk Luke dengan
salah satu duri-durinya bersamaan dengan saat dia
menyebutnya tuan. "Berapa banyak?" tanya Luke.
Thorn berpura-pura rak mendengarkan.
"Berapa banyak?" sang Jenderal mendesak.
"Empat, Jenderal," ucap Thorn. "Satir, Grover
Underwood. Dan gadis dengan rambut hitam berpaku dan
dengan"bagaimana kau menyebutnya"pakaian punk dan
perisai yang buruk."
"Thalia," ucap Luke.
"Dan dua gadis lain"para Pemburu. Satunya
mengenakan hiasan kepala perak."
"Yang itu aku tahu," geram Jenderal.
Semua di ruangan bergerak gelisah.
"Biar kutangkap mereka," ujar Luke pada sang
Jenderal. "Kita punya lebih dari cukup?"
"Sabar," kata Jenderal. "Mereka tentu akan cukup
kewalahan saat ini. Aku sudah mengirimkan teman main
kecil untuk menyibukkan mereka."
"Tapi?" "Kita tak bisa berisiko kehilanganmu, Nak."
"Betul, Nak," ujar Dr. Thorn dengan senyum keji. "Kau
terlalu rentan. Biarkan aku yang menghabisi mereka."
"Tidak." Sang Jenderal bangkit dari kursinya, dan aku
dapat melihat sosoknya untuk pertama kali.
Sosoknya tinggi dan kekar, dengan kulit cokelat muda
dan rambut hitam licin. Dia mengenakan setelan jas sutra
cokelat mahal seperti yang dikenakan para pria di bursa
saham Wall Street, tapi kau tak akan menganggap pria ini
sebagai pemain saham. Dia memiliki wahah brutal, bahu
bidang, dan tangan yang dapat mematahkan sebuha tiang
bendera. Matanya seperti batu. Aku merasa seperti sedang
melihat sebuah patung hidup. Rasanya merupakan hal yang
ajaib dia bisa bergerak. "Kau sudah pernah mengecewakanku, Thorn," katanya.
"Tapi, Jenderal?"
"Tak ada alasan!"
Thorn berjengit. Kukira Thorn adalah sosok menakutkan saat pertama kali aku melihatnya dengan seragam
hitamnya di akademi militer. Tapi kini, berdiri di hadapan
sang Jenderal, Thorn terlihat seperti prajurit konyol jadijadian. Sang Jenderal adalah sosok jenderal sesungguhnya.
Dia tak membutuhkan seragam. Dia adalah orang yang
ditakdirkan memimpin. "Aku seharusnya melemparkanmu ke dalam lubang
Tartarus atas ketidakbecusanmu," ujar sang Jenderal.
"Kukirim kau untuk menangkap anak dari tiga dewa besar,
dan kau membawakanku putri kurus kering Athena."
"Tapi kau menjanjikanku pembalasan dendam!" protes
Thorn. "Sebuah komando khusus untukku!"
"Aku adalah komandan senior Raja Kronos," ujar sang
Jenderal. "Dan aku akan memilih letnan-letnan yang akan
membawakanku hasil! Hanya berkat Lukelah kita masih
bisa menyelamatkan rencana kita. Sekarang enyahlah dari
hadapanku, Thorn, sampai aku menemukan tugas kasar lain
buatmu." Wajah Thorn berubah ungu oleh amarah. Kukira
mulutnya akan segera berbusa atau menembakkan duru-duri,
tapi dia hanya membungkuk kiku dan segera meninggalkan
ruangan. "Sekarang, Nak." Sang Jenderal berpaling pada Luke.
"Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah mengisolasi
anak blasteran Thalia. Monster yang kita cari dengan
demikian akan mendatanginya."
"Para Pemburu akan sulit kita enyahkan," kata Luke.
"Zo? Nightshade?"
"Jangan sebutkan namanya!"
Luke menelan ludah. "M-maaf, Jenderal. Aku hanya"
" Sang Jenderal membungkamnya dengan kibasan
tangannya. "Biar kutunjukkan padamu, Nak, bagaimana kita
akan menaklukkan para Pemburu."
Dia menunjuk pengawal di lantai dasar. "Apa kau
punya gigi itu?" Pengawal itu terhuyung ke depan dengan sebuah pot
keramik. "Ya, Jenderal!"
"Tanam mereka," perintahnya.
Di tengah ruangan ada sebuah lingkaran besar tanah,
yang kurasa mestinya ditempati sebuah pameran dinosaurus.
Aku memandang gugup saat si pengawal mengambil gigigigi taring putih dari dalam pot dan menanamnya dalam
tanah. Dia meratakan tanahnya sementara sang Jenderal
tersenyum dingin. Si pengawal melangkah mundul dari gundukan tanah
dan mengelap kedua tangannya. "Siap, Jenderal!"
"Bagus! Sirami mereka, dan kita akan biarkan mereka
mengendus mangsa mereka."
Si pengawal memungut sebuah kaleng siram kecil
dengan lukisan bunga aster pada badan kaleng, yang kurasa
agak aneh, karena apa yang dia tuangkan bukanlah air. Itu
adalah cairan merah gelap, dan aku merasa itu bukanlah
minuman sari buah Hawaii.
Tanah itu mulai berbuih. "Segera," kata sang Jenderal. "Akan aku tunjukkan
padamu, Luke, betapa prajurit yang akan menjadi bala
tentaramu dari kapal kecil itu tampak tak berarti."
Like menegangkan kepalannya. "Aku menghabiskan
satu tahun melatih bala tentaraku! Saat Putri Andromeda
tiba di gunung, mereka akan menjadi yang terhebat?"
"Bah!" ujar Jenderal. "Aku tak menyangkal bahwa
pasukanmu akan menjadi pasukan kehormatan yang baik
bagi Raja Kronos. Dan kau, tentu saja, akan memiliki
peranan untuk dimainkan?"
Kukira Luke berubah makin pucat saat sang Jenderal
mengucapkan itu. ?"tapi di bawah kepemimpinanku, kekuatan Raja
Kronos akan meningkat hingga ratusan kali lipat. Kekuatan


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami tak akan terhentikan. Perhatikanlah, mesin-mesin
pembunuh utamaku." Tanah itu memecah. Aku melangkah mundur tegang.
Di tiap tempat sebuah gigi ditanam, sesosok makhluk
berjuang keluar dari tanah. Makhluk pertama berkata:
"Meong?" Itu adalah anak kucing. Seekor kucingbetina kecil
jingga dengan garis-garis serupa macan. Kemudian satu lagi
muncul, hingga mereka berjumlah dua belasm bergulingguling dan bermain-main di tanah.
Semua menatap mereka tak percaya. Sang Jnederal
meraung, "Apa ini" Anak-anak kucing menggemaskan"
Dari mana kautemukan gigi-gigi itu?"
Sang pengawal yang membawa gigi-gigi tadi
merengket ketakutan. "Dari pameran, Tuan! Seperti yang
kausuruh. Macan bergigi-pedang?"
"Bukan, idiot! Kubilang tyrannosaurus! Kumpulkan ...
makhluk-makhluk kecil berbulu sialan itu dan bawa mereka
keluar. Dan jangan pernah munculkan mukamu di
hadapanku lagi." Sang pengawal yang ketakuan menjatuhkan kaleng
siramnya. Dia kumpulkan anak-anak kucing itu dan
mengambil langkah seribu keluar ruangan.
"Kau!" Sang Jenderal menunjuk pada pengawal lain.
"Ambilkan aku gigi yang benar. SEKARANG JUGA!"
Pengawal baru segera berlari untuk melaksanakan
perintah. "Idiot," gerutu Jenderal.
"Inilah mengapa aku tak menggunakan manusia," ujar
Luke. "Mereka tak bisa dipercaya."
"Mereka berotak-lemah, gampang dibeli, dan menyukai
kekerasan," kata Jenderal. "Aku suka mereka."
Semenit kemudian, si pengawal bergegas masuk
ruangan sambil membawa serangkup penuh gigi-gigi taring
besar di tangannya. "Bagus," kata sang Jenderal. Dia memanjat ke langkan
balkon dan melompat turun, enam meter.
Pada tempatnya mendarat, lantai marmernya retaj di
bawah sepatu kulitnya. Dia beridri mematung sejenak,
mengernyit, dan meremas bahunya. "Terkutuklah leher
tegangku." "Perlu koyo panas lagi, Tuan?" tanga sang pengawal.
"Atau perlu tambahan obat Tylenol?"
"Tidak! Ia akan reda sendiri." Sang Jenderal mengibas
jas sutranya denga isyarat mengusir, lantas merenggut gigigigi itu. "Akan kulakukan ini sendiri."
Dia mengangkat satu giginya dan tersenyum. "Gigi
dinosaurus"ha! Manusia-manusia bodoh itu bahkan tak
tahu ketika mereka memiliki gigi naga dalam museum
mereka. Dan bukan gigi naga sembarangan pula. Gigi ni
berasal dari Sybaris purba sendiri! Ini akan sangat berguna."
Pria itu menanamnya dalam tanah, kedua belas gigi itu.
Kemudian dia memungut kaleng siramnya. Dia sirami tanah
dengan cairan merah, membuang jaleng itu setelag selesai
menggunakannya, dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Bangkitlah!" Tanah itu berguncang. Sebuah tangan rangka menyeruak dari tanah, menggapai-gapai udara.
Sang Jenderal mendongak ke arah balkon. "Cepatlah,
apa kau punya baunya?"
"Ya, Tuansss," kata salah satu wanita ular. Dia
mengeluarkan sebuah selendang sutra, seperti yang biasa
dikenakan para Pemburu. "Bagus," ujar sang Jenderal. "Begitu para prajuritku
mengendus baunya, mereka akan memburu pemiliknya
tanpa ampun. Tak ada yang adapa menghentikan mereka,
tak ada senjata yang dikenali oleh balsteran maupun
Pemburu dapat mengalahkan mereka. Mereka akan
melumatkan para Pemburu dan sekutu mereka hingga
berkeping-keping. Lemparkan itu kemari!"
Selagi dia mengatakan itu, tulang-tulang kerangka
menyeruak dari dalam tanah. Ada dua belas rangka-tulang,
untuk masing-masing gigi yang ditanam Jenderal. Mereka
bukan sperti rangka-rangka Halloween, atau yang biasa
kulihat dalan film-film picisan. Ini adalah daging yang
bertumbuh selagi aku menadanginya, berubah jadi manusia,
tapi manusia dengan kulit abu-abu suram, mata kuning, dan
pakaian modern"kaus aku-abu tanpa lengan, celana loreng,
dan sepatu bot militer. Kalau kau tak melihat dari dekat, aku
bisa saja memercayai mereka sebgaia manusia namun
daging mereka transparan dan tulang-belulang mereka
berkilat-kilat di bawah permukaan kulit, seperti gambaran
sinar-X. Salah satu dari mereka menatap tepat ke arahku,
memandangiku dingin, dan aku tahu bahwa topi tak kasat
mata tak akan menutupiku dari pandangan mereka.
Sang wanita ular melemparkan selendang dan
selendang itu melayang turun ke tangan Jenderal. Begitu
sang Jenderal memberikannya pada para prajurit, mereka
akan segera memburu Zo? dan yang lain hingga mereka
binasa. Aku tak punya waktu untuk berpikir. Aku berlari dan
melompat dengan segenap tenagaku, bergesa melewati para
prajurit dan merebut selendang itu dari udara.
"Apa ini?" teriak sang Jenderal.
Aku mendarat di atas kaki satu prajurit kerangka, yang
mendesis. "Penyusup," geram Jenderal. "Seorang yang
terselubung kegelapan. Kunci pintu!"
"Itu Percy Jackson!" pekik Luke. "Pasti itu dia."
Aku berpacu menuju pintu keluar, tapi mendengar
suara sobekan dan menyadari prajurit kerangka telah
menyobek sepotong kain dari lengan bajuku. Saat aku
menoleh ke belakang, dia sedang memegang carikan kain itu
ke hidungnya, mengendus baunya, lantas mengedarkannya
pada teman-temannya. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa.
Aku menyelipkan diri melewati pintu tepat saat para
pengawal membanting pintu itu menutup di belakangku.
Dan kemudian aku berlari sekencang-kencangnya.[]
Aku berlari melintasi kompleks museum, tak berani
menoleh ke belakang. Aku bergesa memasuki Museum
Langit dan Antariksa dan melepaskan topi tak kasat mataku
begitu melewato area pendaftaran.
Bagian utama museum adalah sebuah ruangan besar
dengan roket-roket dan peawat-pesawat bergantungan dari
langit-langit. Tiga lantai balkon melingkari dinding,
sehingga kau bisa melihat barang-barang pameran dari
berbagai ketinggian berbeda. Tempat itu tak ramai, hanya
beberapa keluarga dan dua kelompok tur anak-anak,
barangkali sedang mengikuti semacam karyawisata liburan
sekolah. Aku ingin berteriak pada mereka untuk mengusir
mereka pergi, tapi kupikir itu hanya akan membuatku
ditahan polisi. Aku harus menemukan Thalian dan Grover
dan kedua Pemburu. Tak lama lagi, pria-pria kerangka itu
akan menyerbu museum, dan kurasa mereka tak akan mau
mengikuti rangkaian tur audionya.
Aku berlari menabrak Thalia"sungguhan. Aku berlari
kencang menyusur jalur landai menuju balkon teratas dan
menabraknya, menjatuhkannya hingga masuk ke dalam
kapsul angkasa Apollo. Grover memekik kaget. Sebelum aku bisa memperoleh keseimbangan kembali,
Zo? dan Bianca sudah menyiagakan panah-panah mereka,
menargetkan pada dadaku. Busur-busur mereka muncul
begitu saja. Saat Zo? menyadari siapa diriku sebenarnya, dia tidak
tampak bersemangat menurunkan busurnya. "Kau! Beraniberaninya menunjukkan wajah engkau di sini?"
"Percy!" seru Grover. "Syukurlah."
Zo? memelototinya, dan wajah Grover memerah.
"Maksudku, em, ya ampun. Kau nggak semestinya berada di
sini.!" "Luke," seruku, berusaha mengumpulkan napas. "Dia
ada di sini." Amarah di mata Thalia segera meredup. Dia meletakkan tangannya pada gelang peraknya. "Di mana?"
Kuceritaan pada mereka tentang Museum Sejarah
Nasional, Dr. Thorn, Luke, dan sang Jenderal.
"Sang Jenderal di sini?" Zo? tampak terkejut. "Itu
mustahil! Kau bohong."
"Untuk apa aku berbohong" Dengar, sudah tak ada
waktu. Para prajurit kerangka?"
"Apa?" desak Thalia. "Berapa banyak?"
"Dua belas." Kataku. "Dan bukan itu saja. Pria itu,
dang Jenderal, dia bilang dia telah mengirim sesuatu, sebuah
"teman main", untuk menyibukkan kalian di sini. Monster."
Thalia dan Grover bertukar pandang.
"Kami sedang mengikuti jejak Artemis," kata Grover.
"Aku cukup yakin jejak itu mengarah ke sini. Bau monster
yang kuat ... Artemis pasti sempat singgah ke sini untuk
mencari monster misterius itu. Tapi kami belum menemukan apa pun."
"Zo?," Bianca berkata gugup, "kalau itu benar sang
Jenderal?" "Tidak mungkin!" bentak Zo?. "Percy pasti hanya
melihat bayangan pesan-Iris atau bayangan ilusi lainnya."
"Bayangan tak akan meretakkan lantai marmer," kataku
padanya. Zo? menghela napas dalam, berusaha menenangkan
dirinya sendiri. Aku tak mengerti mengapa dia mengambil
masalah ini begitu personal, atau bagaimana dia bisa kenal
dengan pria Jenderal ini, tapi kurasa sekarang bukanlah saat
yang tepat untuk bertanya.
"Kalau Percy mengatakan yang sebenarnya tentang
para prajurit keranagka," ujar Zo?, "kita tak punya waktu
untuk berdebat. Mereka adalah musuh terburuk, paling
mengerika ... Kita harus segera pergi."
"Ide bagus," timpalku.
"Aku tak menyertakan engkau, bocah," kata Zo?. "Kau
bukanlah bagian dari misi ini."
"Hei, aku kan berusaha menyelamatkan nyawa kalian!"
"Kau tak seharusnya ikut, Percy," ujar Thalia muram.
"Tapi kau sudah ada di sini sekarang. Ayolah. Mari kita
kembali ke van." "Ini bukanlah keputusan engkau!" bentak Zo?.
Thalia menggertaknya. "Kau bukan bos di sini, Zo?.
Aku tak peduli setua apa umurmu! Kau tetap saja anak
manja angkuh!" "Kau tak pernah memiliki kebijaksanaan ketika
menyangkut anak laki-laki," geram Zo?. "Kau tak pernah
bisa meninggalkan mereka!"
Thalia sepertinya akan segera meninju Zo?. Kemudian
semua mematung. Kudengar suara geraman begitu
kencangnya hingga kukira salah satu mesin roket sedang
bertingkah. Di bawah kami, beberapa orang dewasa berteriak.
Suara seorang anak kecil terdengar melengking girang:
"Anak kucing!" Sesuatu yang besar melesat menaiki tanjakan. Sosok itu
seukuran truk, dengan cakar perak dan bulu emas berkilat.
Aku sudah pernah melihat monster ini sekali sebelumnya.
Dua tahun lalu, aku melihat sekilas sosoknya dari dalam
kereta. Sekarang, secara langsung dan dari jarak dekat,
makhluk itu terlihat lebih besar.
"Singa Nemeas," seru Thalia. "Jangan bergerak."
Singa itu mengaum begitu kerasnya hingga embusannya mengacak rambutku. Gigi taringnya berkilat seperti baja
tanpa karat. "Berpencarlah mengikuti aba-abaku," kata Zo?.
"Berusahalah mengalihkan pikirannya."
"Sampai kapan?" tanya Grover.
"Sampai kupikirkan cara untuk membunuhnya. Ayo!"
Kubuka tutup Riptide dan berguling ke kiri. Panahpanah berdesing melewatiku, dan Grover memainkan irama
twit-twit nyaring dengan serulingnya. Aku menoleh dan
melihat Zo? dan Bianca memanjati kapsul Apollo. Mereka
menembakkan panah-panah, susul-menyusul, semua patah
begitu mengenai bulu logam singa tanpa sedikit pun
mencederainya. Sang singa mengayunkan kapsul dan
memiringkan pinggirnya, hingga menjatuhkan kedua
Pemburu dari belakang kapsul. Grover masih memainkan
nada panik yang mengerikan, dan sang singa berbalik
mengincarnya, tapi Thalia mencegat langkahnya, sembari
memegang Aegis. Sang singa pun menjengit. "AUUUMM!"
"Hi-yah!" seru Thalia. "Mundur!"
Sang singa menggeram dan mencakar udara, tapi ia
mundur seolah perisai itu adalah kobaran api.
Selama sedetik, kupikir Thalia sudah berhasil
menundukkanya. Kemudian kulihat singa itu merunduk,
otot-otot kakinya menegang. Aku suda pernah melihat
banyak kucing jalanan yang berkelahi di sekitar apartemenku di New York. Aku tahu singa itu akan segera
menyerang. "Hei!" teriakku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, tapi
aku menerjang makhluk buas itu. Aku hanya ingin
menyingkirkannya dari teman-temanku. Kuayunkan Riptide,
sebuah tebasan bagus pada panggulnya yang semestinya
sudah memotong monster itu jadi Adonan Kucing, namun
pedang itu hanya berdencang mengenai bulunya dengan
percikan bunga-bunga api.
Singa itu menyerangku dengan cakarnya, merobek
secarik mantelku. Aku mundur ke langkan. Makhluk itu
merangsek maju ke arahku, lima ratus kilo monster, dan aku
tak punya pilihan kecuali untuk berpaling dan melompat.
Aku mendarat di atas sayap pesawat perak model-kuno,
yang mencondong dan nyaris mengempasku ke lantai
bawah, tiga tingkat ke bawah.
Sebuah panah melesat melewati kepalaku. Singa itu
melompat ke pesawatku, dan kawat-kawat yang menahan
pesawat pun mulai mengerang.
Singa itu mencoba meraihku, dan aku melompat ke
barang pameran lainnya, sebuat pesawat angkasa berbentuk
aneh dengan baling-baling serupa helikopter. Aku
mendongak dan melihat sang singa mengaum"dalam
moncongnya, tampak lidah merah jambu dan kerongkongan.
Mulutnya, pikirku. Bulu-bulunya sama sekali tak dapat
dilukai, tapi jika saja aku bisa menyerang mulutnya ... Satusatunya masalah adalah, monster itu bergerak terlalu cepat.
Di antara sabetan cakar dan gigi taringnya, aku tak bisa


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat tanpa takut terpotong-potong.
"Zo?!" teriakku. "Sasar mulutnya!"
Sang monster menerjang. Sebuah anak panah melesat,
betul-betul jauh dari sasaran, dan aku terjatuh dari pesawat
angkasa ke puncak sebuah objek pameran utama, sebuah
bola bumi raksasa. Aku meluncur ke bawah Rusia dan jatuh
bergantungan di garis khatulistiwa.
Singa Nemeas menggeram dan menyeimbangkan posisi
berdirinya di atas sebuah pesawat antariksa, tapi bobot
tubunya terlampau berat. Salah satu kawat yang
menahannya terputus. Saat pajangan itu mengayun turun
seperti pendulum, sang singa melompat turun ke Kutub
Utara bola bumi. "Grover!" teriakku. "Kosongkan lantai!"
Sekumpulan anak-anak berlari kocar-kacir sambil
menjerit. Grover berusaha menggiring mereka menjauh dari
monster tepat saatawat lain yang menahan pesawat antariksa
terputus dan pajangan itu roboh ke lantai. Thalia terjatuh
dari langkan lantai dua dan mendarat tepat di seberangku, di
sisi lain bola bumi. Sang singa memandangi kami berdua,
berusaha menentukan siapa dari kami yang akan ia bunuh
pertama kali. Zo? dan Bianca berada di atas kami, menyiapkan busur,
tapi mereka harus terus bergerak-gerak mencari sudut
sasaran yang tepat. "Tak bisa menembak!" teriak Zo?. "Buat dia membuka
mulutkan lebih lebar lagi!"
Sang singa menggeram dari puncak globe.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ide-ide. Aku
membutuhkan ... Toko cendera mata. Aku punya ingatan samat dari
perjalananku ke sini pada masa kecil. Sesuatu yang kuminta
ibuku untuk membelikannku, dan aku menyesalinya. Kalau
mereka masih menjual barang itu ...
"Thalia," seruku, "terus sibukkan dia."
Dia mengangguk serius. "Hi-yah!" Dia mengacungkan tombaknya dan sebuah
lengkung jaring listrik biru menyembur, menyeterum ekor
sang singa. "AUUUUUM!" Singa itu berbalik dan menerjang.
Thalia mengelak dari terjangannya, seraya mengankat Aegis
untuk menjaga jarak dari monster itu, dan aku berlari cepat
menuju toko cendera mata.
"Ini bukan waktunya untuk membeli cendera mata,
bocah!" jerit Zo?. Aku berpacu masuk toko, membentur berderet-deret
kaus, meloncat ke atas meja-meja penuh dengan planet yang
menyala-dalam-gelap dan gumpalan lengket antariksa.
Wanita pramuniaganya tidak protes. Dia terlalu sibuk
bersembunyi di balik mesin kasirnya.
Itu dia! Jauh di dinding sana"paket-paket perak
berkilat. Satu rak penuh. Kuambil semua jenis yang bisa
kutemukan dan berlari keluar toko dengan sepelukan penuh.
Zo? dan Bianca masih menghujani panah-panah ke arah
monster, namun tanpa hasil. Singa itu tampak tahu lebih
baik daripada membuka mulutnya lebar-lebar. Ia menyerang
Thalia, menerkam dengan cakarnya. Ia bahkan terus
memicingkan matanya hingga memipih.
Thalia menikam monster itu dan bergerak mundur.
Sang singa menekannya. "Percy," seru Thalia, "apa yang akan kaulakukan?"
Sang singa mengaum dan menepis Thalia seperti
mainan kucing, membuatnya terbang ke sisi roket Titan.
Kepalanya membentur logam dan dia pun meluncur jatuh ke
lantai. "Hei!" aku berteriak pada singa. Aku terlalu jauh untuk
menyerang, maka kuambil risiko: kulempar Riptide seperti
belati lontar. Pedang itu memantul dari sisi tubuh singa, tapi
itu cukup untuk merebut perhatian sang monster. Ia
berpaling mengadapku dan mengaum.
Hanya tersisa satu cara untuk mendekatinya. Aku menerjang, dan selagi sang singa melompat untuk mencegarku,
aku mencomot sekantong makanan antariksa dan menyasar
ke dalam mulutnya"sebongkah makanan, parfait3 stroberi
yang dibeku-keringkan4, berbungkus plastik keras.
Makanan penutup yang terbuat dari telur, krim, dan buah."peny.
Freeze-dried adalah proses pengawetan makanan dengan membekukannya kemudian
menghangatannya pelan-pelan sambil divakum agar kelembapannya berkurang. Teknik
pengawetan ini memelihara nutrisi dan digunakan untuk mengawetkan makanan untuk dibawa
para astronot ke luar angkasa."peny.
Mata sang singa membelalak dan ia tersedak seperti
kucing yang menelan gumpalan rambut.
Aku tak bisa menyalahkannya. Aku teringat pernah
merasakan hala yang saa saat kucoba melahap makanan luar
angkasa saat masih kecil. Makanan itu benar-benar tak
berasa dan menjijikkan. "Zo?, bersiaplah!" teraikku.
Di belakangku, aku bisa mendengar suara orang-orang
berteriak. Grover sedang memainkan sebuah lagu
mengerikan lainnya dengan serulingnya,
Aku berlari menjauh dari singa. Ia berhasil memuntahkan paket makanan luar angkasa itu dan menatapku dengan
pandangan kebencian murni.
"Waktunya camilan!" teriakku.
Ia berbuat kesalahan dengan mengaum padaku, dan aku
memasukkan roti es krim ke dalam kerongkongannya.
Untungnya, aku selalu menjadi pelempar yang cukup andal,
meskipun bisbol bukanlah kemahiranku. Sebelum sang
singa bisa berhenti tercekik, kutembakkan lagi dua es krim
dengan rasa berlaian dan spageti awetan buat santapan
malam. Mata sang singa membelalak. Ia membuka mulutnya
lebar-lebar dan melangkah mundur dengan kaki-kaki
belakangnya, berusaha menjauh dariku.
"Sekarang!" aku berteriak.
Segera, panah-panah menusuk mulut sang singa"dua,
empat, enam. Sang singa meronta-ronta liar, berbalik, dan
terjungkal ke belakang. Dan kemudian ia tak berkutik.
Alarm meraung ke sepenjuru museum. Orang-orang
berhambur ke pintu keluar. Petugas-petugas keamanan
berlari kocar-kacir panik tanpa tahu apa yang sebenarnya
sedang terjadi. Grover berlutut di sisi Thalia dan membantunya
bangkit. Thalia tampak baik-baik saja, hanya sedikit
linglung. Zo? dan Bianca menjatuhkan diri dari balkon dan
mendarat di sebelahku. Zo? memandangiku waspada. "Itu adalah ... strategi
yang menarik." "Hei, tapi berhasil kan?"
Dia tak membantah. Sang singa tampak mencair, seperti yang kadang terjadi
pada monster-monster yang mati, hingga tak ada lagi yang
tersisa kecuali kulit bulunya yang berkerlap-kerlip, dan
bahkan itu pun menciut hingga seukuran kulit bulu singa
normal. "Ambil itu," kata Zo? padaku.
Aku menatapnya. "Apa, bulu singa" Bukankah itu,
kayak, melanggar hak-hak binatang atau semacamnya?"
"Itu barang rampasan perang," dia memberitahuku. "Itu
adalah hak engkau." "Kau yang membunuhnya," ujarku.
Dia menggelengkan kepalanya, hampir tersenyum.
"Kukira roti lapis es krim engkaulah yang membunuhnya.
Adil ya adil, Percy Jackson. Ambil bulu itu."
Aku mengangkatnya; bulu itu ternyata amat sangat
ringan. Bulu itu juga licin dan lembut. Ia tak tampak seperti
sesuatu yang bisa menangkal serangan pedang. Selagi aku
memandanginya, kulit bulu itu berubah menjadi sebuah
mantel"sebuah mantel panjang cokelat keemasan.
"Bukan seperti gayaku, sih," gumamku.
"Kita harus segera keluar daris ini," kata Grover.
"Penjaga keamanan tak akan kebingungan dalam waktu
lama." Aku baru memperhatikan untuk pertama kalinya betapa
anehnya bagaimana para penjaga itu tidak berlari untuk
menangkap kami. Mereka menghambut ke segala arah
kecuali ke arah kami, seolah mereka sedang sibuk mencarocari sesuatu bak orang gila. Beberapa orang menabraj
dinding atau satu sama lain.
"Kau yang menyebabkan itu?" tanyaku pada Grover.
Dia mengangguk, tampak sedikit malu. "Hanya lagu
yang membuat sedikit linglung. Aku memainkan beberapa
lagu Barry Manilow. Berhasil setiap saat. Tapi hanya
bertahan selama beberapa detik."
"Penjaga kemanan bukanlah ancaman terbesar kita,"
ujar Zo?. "Lihat."
Melalui dinding kaca museum, aku bisa melihat
segerombolan orang berjalan melinatsi halaman. Gerombolan manusia abu-abu dengan pakaian kamuflase abu-abu.
Mereka masih terlalu jauh bagi kami untuk bisa melihat
mata mereka, tapi aku bisa merasakan tatapan mereka
menghunjam tajam tepat ke arahku.
"Pergi," kataku. "Mereka akan memburuku. Aku akan
alihkan mereka." "Tidak," ucap Zo?. "Kita pergi bersama-sama."
Aku menatapnya. "Tapi, kau tadi bilang?"
"Kau adalah bagian dari misi ini sekarang," ujar Zo?
setengah hati. "Aku tak menyukainya, tapi takdir tak dapat
diubah. Kau adalah anggota misi kelima. Dan kita tak akan
meninggalkan seorang pun di belakang."[]
Kami sedang menyeberang Sunga Potomac saat kami
melihat sebuah helikopter. Itu adalah helikopter model
militer hitam canggih persis seperti yang kami lihat di
Asrama Westover. Dan helikopter itu mengarah tepat ke
arah kami. "Mereka mengenali van ini," seruku. "Kita harus
meninggalkannya." Zo? berbelok ke jalur cepat. Helikopter itu pun
menambah kecepatan. "Barangkali pihak militer akan menembaknya jatuh,"
ujar Grover penuh harap. "Militer mungkin akan mengira itu helikopter milik
mereka," ujarku. "Bagaimana mungkin sang Jenderal bisa
menggunakan manusia, sih?"
"Tentara bayaran," ujar Zo? sinis. "Itu sungguh hina,
tapi ada banyak manusia yang akan bertarung demi tujuan
apa pun selama mereka dibayar."
"Tapi tidakkah kaum manusia ini melihat untuk siapa
mereka bekerja?" tanyaku. "Tidakkah mereka menyadari
semua monster yang mengelilinginya?"
Zo? menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu
seberapa banyaka yang bisa mereka lihat lewat kabut. Aku
ragu itu berpengaruh bagi mereka jika pun mereka tahu
kebenarannya. Terkadang manusia bisa lebih mengerikan
daripada monster." Helikopter itu terus mendekat, melaju lebih cepat
daripada kami yang harus berpacu di tengah-tengah arus
kemacetan D.C. Thalia memejamkan matanya dan berdoa sepenuh
kekuatan. "Hei, Ayah. Petir akan berguna di saat ini.
Kumohon?" Tapi langit tetap abu-abu dan bersalju. Tak ada tandatanda datangnya badai petir yang akan sangat membantu.
"Di sana!" seru Bianca. "Tempat parkir itu!"
"Kita akan terperangkap," ujar Zo?.
"Percayalah padaku," kata Bianca.
Zo? meluncur menyeberangi dua alur arus kendaraan
dan memasuki tempat parkir sebuah mall di sisi selatan
sungai. Kami tinggalkan van dan mengikuti Bianca
menuruni beberapa anak tangga.
"Jalur masuk kereta bawah tanah," ujar Bianca. "Mari
ke arah selatan. Alexandria."
"Apa pun deh," Thalia menyepakati.
Kami membeli tiket dan memasuki pagar putar,
menoleh ke belakang melihat-lihat jika ada yang mengejar.
Beberapa menit kemudian kami sudah menaiki kereta
dengan aman menuju selatan, meluncur meninggalkan D.C.
Selagi kereta kami menembus ke atas permukaan tanah,
kami bisa melihat helikopter tadi berputar-putar di atas
tempat parkir, tapi ia tak mengejar kami.
Grover mendesah lega. "Pekerjaan bagus, Bianca,
memikirkan kereta bawah tanah."
Bianca tampak senang. "Yah, aku melihat stasiun itu
saat Nico dan aku melewatinya musim panas lalu. Aku ingat
merasa benar-benar terkejut melihatnya, karena stasiun ini
belum berada di sini saat kami masih tinggal di D.C."
Grover mengerutkan alis. "Baru" Tapi stasiun tadi
kelihatan sudah tua."
"Kurasa begitu," kata Bianca. "Tapi percaya padaku,
saat kami tinggal di sini saat masih kecil, kereta bawah
tanah belum ada." Thalia memajukan duduknya. "Tunggu sebentar. Tak
ada kereta bawah tanah sama sekali?"
Bianca mengangguk. Begini, aku tak tahu apa pun tentang kota Washington
D.C., tapi aku tak bisa mengerti bagaimana sistem kereta
bawah tanah mereka terwujud dalam rentang waktu kurang
dari dua belas tahun. Kurasa semua orang berpikiran sama,
karena mereka tampak bingung.
"Bianca," kata Zo?. "Sudah berapa lama sejak ..."
Suaranya terputus. Suara baling-baling helikopter terdengar
makin keras kembali. "Kita harus pindah kereta," kataku. "Stasiun berikut."
Selama setengah jam berikut, yang bisa kami pikirkan
hanya bagaimana cara meloloskan diri dengan selamat.
Kami berpindah kereta dua kali. Aku tak tahu sedikit pun ke
mana kami menuju, tapi setelah beberapa lama kami
akhirnya terlepas dari kejaran helikopter itu.
Sayangnya, pada saat kami turun dari kereta, kami
mendapati diri berada di akhir jalur, di sebuah kawasan
industri tanpa apa pun selain gudang-gudang dan jalur
kereta. Dan salju. Salju yang tumpah-ruah. Rasanya jauh
lebih dingin di sini. Aku lega mengenakan mantel bulu singa
baruku.

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami menyusuri langsiran gerbong kereta, berpikir
barangkali akan ada kereta khusus penumpang lain di suatu
tempat, tapi di sana hanya ada berderet-deret gerbong
barang, yang sebagian besar terselimuti salju, seolah
gerbong-gerbong itu sudah tak digerakkan sekian tahun
lamanya. Seorang pria gelandangan sedang berdiri dekat api
dalam tong sampah. Kami pasti terlihat sangat menyedihkan, karena pria itu memberi kami seringai ompongnya
sambil berujar, "Kalian semua ingin menghangatkan diri"
Kemarilah!" Kami berkumpul mendekati api. Gigi-gigi Thalia
bergemeletuk. Dia berkata, "Yah, ini l-l-l-umayan."
"Kaki-kaki kambingku membeku," keluh Grover.
"Kaki-kakimu," koreksiku, mengingat kehadiran pria
gelandangan itu. "Barangkali kita mesti menghubungi perkemahan,"
kata Bianca. "Chiron?"
"Tidak," ujar Zo?. "Mereka sudah tak bisa membantu
kita lagi. Kita harus mengakhiri misi ini sendiri."
Aku memandang muram ke arah langsiran kereta. Di
suatu tempat, di arah barat, Annabeth sedang terancam
bahaya. Artemis tengah dirantai. Monster penanda kiamat
sedang berkeliaran. Dan kami tersangkut di pinggiran kota
D.C., berbagi api dengan seorang gelandangan.
"Kalian tahu," ujar pria gelandangan, "kalian tak
pernah benar-benar kehilangan teman." Wajahnya kumal
dan janggutnya kusut, namun ekspresi wajahnya tampak
baik. "Kalian anak-anak butuh kereta menuju barat?"
"Benar, Pak," jawabku. "Bapak tahu ada kereta itu?"
Dia menunjuk dengan tangan dekilnya.
Tiba-tiba kusadari adanya sebuah kereta barang,
mengilap dan bebas salju. Itu adalah salah satu kereta
pengangkut-mobil, dengan tirai baja berlubang dan tiga
lantai mobil di dalam. Di sisi badan kereta barang itu ada
tulisan JALUR BARAT MATAHARI.
"Itu ... pas banget," ujar Thalia. "Makasih, eh ..."
Dia berbalik ke arah pria gelandangan, tapi dia sudah
menghilang. Tong sampah di hadapan kami dingin dan
kosong, seolah dia telah membawa kobaran api itu
bersamanya. Sejam kemudian kami melaju ke arah barat. Tak ada
masalah siap yang menyopir saat ini, kami semua
mendapatkan mobil mewah kami sendiri. Zo? dan Bianca
menduduki mobil Lexus di tingkat teratas. Grover sedang
berpura-pura menjadi pembalap di balik setir sebuah
Lamborghini. Dan Thalia tengah menghidupkan radio dalam
Mercedes SLK hitam agar dia bisa mendengarkan stasiun
rock-alternatif dari D.C.
"Boleh ikutan?" tanyaku padanya.
Dia mengendikkan bahu, maka aku memanjat ke dalam
jok sebelah kursi sopir. Radio sedang memainkan lagu White Stripes. Aku
kenal lagu ini karena itu satu-satunya CD yang kumiliki
yang disukai ibuku. Ibu bilang itu mengingatkannya pada
Led Zeppelin. Memikirkan tentang ibuku membuatku sedih,
karena sepertinya kemungkinan besar aku tak akan bisa
pulang saat Natal. Aku mungkin takkan hidup selama itu.
"Mantel yang bagus," kata Thalia padaku.
Aku rapatkan mantel itu ke sekujur badanku, bersyukur
atas kehangatannya. "Yeah, tapi Singa Nemea itu bukanlah
monster yang tengah kita cari."
"Bahkan mendekati pun tidak. Kita masih harus
menempuh perjalanan jauh."
"Apa pun wujud monster misterius ini, sang Jenderal
bilang ia akan mendatangimu. Mereka ingin menjauhkanmu
dari kelompok, agar monster itu muncul dan bertarung
melawanmu satu-lawan-satu."
"Dia bilang begitu?"
"Yah, kurang lebih seperti itu. Iya."
"Itu hebat. Aku senang dijadikan sebagai umpan."
"Tak ada ide monster seperti apa ini barangkali?"
Dia menggelengkan kepalanya murung. "Tapi kau tahu
ke mana kita akan pergi, kan" San Francisco. Itulah tempat
yang hendak dituju Artemis."
Aku teringat akan sesuatu yang sempat dikatakan
Annabeth saat pesta dansa: bagaimana ayahnya pindah ke
San Francisco, dan bahwa mustahil baginya untuk pergi.
Kaum blasteran tak bisa tinggal di sana.
"Kenapa?" tanyaku. "Memang apa buruknya dari San
Francisco?" "Kabut benar-benar tebal di sana oleh karena Gunung
Pupus Harapan berada di dekatnya. Sihir bangsa Titan"
setidaknya yang tersisa darinya"masih tertinggal di sana.
Monster-monster dalam jumlah yang tak akan kaupercayai
begitu terpikat pada tempat itu."
"Apa itu Gunung Pupus Harapan?"
Thalia mengangkat alisnya. "Kau benar-benar tidak
tahu" Tanyakan saja pada si bloon Zo?. Dia kan ahlinya."
Thalia melotot ke luar jendela depan. Aku ingin
menanyakan apa maksud perkataannya, tapi aku juga tak
ingin terdengar seperti orang idiot. Aku benci merasa Thalia
tahu lebih banyak dariku, maka aku menutup mulut.
Matahari petang bersinar menembus sisi lubang-baja
dari gerbong kereta, melemparkan bayang-bayang ke wajah
Thalia. Aku berpikir betapa berbedanya dia dari Zo?"Zo?
begitu formal dan dingin seperti tingkah seorang putri,
Thalia dengan pakaian acak-acakannya dan sikap pemberontaknya. Namun juga ada sesuatu yang serupa dari
mereka. Sikap keras yang sama. Saat ini, ketika tengah
duduk di bawah bayang-bayang dengan raut muram, Thalia
terlihat persis seperti salah satu Pemburu.
Kemudian tiba-tiba, pikiran itu menimpaku: "Itu
sebabnya kau tidak akur dengan Zo?."
Thalia mengerutkan alis. "Apa?"
"Para Pemburu mencoba merekrutmu," tebakku.
Sinar matanya berubah amat terang mengancam.
Kukira Thalia akan segera membuatku raib dari Mercedes
ini, namun dia hanya mendesah.
"Aku hampir saja bergabung dengan mereka," dia
mengakui. "Luke, Annabeth, dan aku tak sengaja bertemu
dengan mereka suatu kali, dan Zo? berusaha meyakinkanku. Dia sudah berhasil melakukannya, tapi ..."
"Tapi?" Jemari Thalia mencengkeram kemudi. "Aku diharuskan meninggalkan Luke."
"Oh." "Zo? dan aku akhirnya berkelahi. Dia bilang aku begitu
tolol. Dia bilang aku akan menyesali keputusanku. Dia
bilang bahwa Luke akan mengecewakanku suatu hari nanti."
Aku memandangi matahari di balik tirai logam. Kami
sepertinya meluncur makin cepat setiap detiknya"bayangbayang berkedip-kedip seperti proyektor film lama.
"Memang berat," ujarku. "Sulit untuk mengakui bahwa
Zo? benar." "Dia nggak benar! Luke nggak pernah mengecewakanku. Nggak pernah."
"Kita harus bertarung dengannya," kataku. "Hanya itu
satu-satunya cara." Thalia tak menjawab. "Kau belum melihat Luke belakangan ini," aku
memperingatkan. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi?"
"Aku akan lakukan apa yang harus kulakukan."
"Bahkan jika itu artinya membunuhnya?"
"Kumohon," katanya. "Keluarlah dari mobilku."
Aku merasa kasihan padanya hingga aku langsung
menuruti. Saat aku baru hendak pergi, dia berujar, "Percy."
Saat aku menoleh kembali, mata Thalia merah, tapi aku
tak tahu apakah itu disebabkan oleh amarah atau kesedihan.
"Annabeth juga ingin bergabung dengan para Pemburu.
Mungkin kau semestinya memikirkan apa sebabnya."
Sebelum aku bisa menanggapi, dia menaikkan jendela
mobilnya dan membungkamku.
*** Aku duduk di kursi pengemudi Lamborghini Grover. Grover
tengah tertidur di jok belakang. Dia akhirnya menyerah
berusaha membuat Zo? dan Bianca terkesan dengan musik
serulingnya setelah dia memainkan lagu "Poison Ivy"Sulur
Beracun" dan mengakibatkan sulur-sulur itu mencuat
sungguhan dari sistem pendingin Lexus mereka.
Selagi aku memandangi terbenamnya mentari, aku
terpikir akan Annabeth. Aku takut jatuh tertidur. Aku takut
akan apa yang mungkin kuimpikan.
"Oh, jangan takut pada mimpi," ujar sebuah suara tepat
di sebelahku. Kutolehkan pandangan. Entah mengapa, aku tak
terkejut mendapati pria gelandangan dari tempat langsiran
kereta duduk di jok sebelah. Celana jinsnya sudah begitu tua
hingga nyaris berwarna putih. Mantelnya koyak, dengan
kain dalamannya mencuat. Dia terlihat seperti boneka
beruang yang habis dilindas truk.
"Kalau bukan karena mimpi," ujarnya, "aku tak akan
tahu separuh hal yang kuketahui tentang masa depan.
Mereka lebih baik daripada tabloid-tabloid terbitan
Olympus." Dia berdeham, lantas mengangkat kedua
tangannya dengan gaya dramatis:
"Mimpi bagai podcast,
Men-download kebenaran Beri tahu hal keren."
"Apollo?" tebakku, karena kurasa tak ada orang lain
yang mampu mengarang haiku seburuk itu.
Dia menaruh telunjuknya ke bibirnya. "Aku sedang
menyamar. Panggil aku Fred."
"Dewa bernama Fred?"
"Eh, yah ... Zeus memaksakan peraturan-peraturan
tertentu. Lepas tangan, saat ada misi manusia. Bahkan
ketika ada suatu malapetaka besar yang semestinya tak
terjadi. Tapi tak ada yang bisa berbuat macam-macam pada
adik perempuanku. Tak siapa pun."
"Bisakah kau menolong kami, kalau begitu?"
"Sttt. Aku sudah melakukannya. Apa kau tak melihat
ke arah luar?" "Kereta ini. Seberapa cepat kita melaju?"
Apollo terkekeh. "Cukup cepat. Sayangnya, kita hampir
kehabisan waktu. Sekarang matahari sudah hampir
terbenam. Tapi kurencanakan akan mengantar kalian
melinatsi seporsi besar dataran Amerika, setidaknya."
"Tapi di mana Artemis berada?"
Raut wajahnya mengeruh. "Aku tahu banyak, dan aku
melihat banyak. Tapi aku tak tahu jawaban itu. Dia ... dia
tertutupi dariku. Aku tak menyukainya."
"Dan Annabeth?"
Dia mengerutkan alisnya. "Oh, maksudmu gadis yang
kauhilangkan itu" Hmm. Aku tak tahu."
Aku berusaha menahan amarahku. Aku tahu para dewa
memiliki kesulitan untuk menganggap serius kaum manusia,
bahkan pun para blasteran. Kami memiliki rentang umur
yang sangat pendek, jika dibandingkan dengan kaum dewa.
"Bagaimana dengan monster yang tengah dicari
Artemis?" tanyaku. "Apa kau tahu apa itu?"
"Tidak," sahut Apollo. "Tapi ada satu orang yang
barangkali tahu. Jika kau belum menemukan monster itu
saat kau tiba di San Francisco, carilah Nereus, sang Lelaki
Tua dari Lautan. Dia memiliki ingatan yang kuat dan mata
yang tajam. Dia memiliki bakat pengetahuan yang
kadangkala tak diketahui oleh Oracleku sendiri."
"Tapi itu kan Oracle-mu," protesku. "Tak bisakah kau
beritahukan pada kami apa arti ramalan itu?"
Apollo mendesah. "Kau sama saja dengan bertanya
pada seorang seniman untuk menjelaskan karya seninya,
atau bertanya pada seorang penyair untuk menjelaskan
puisinya. Bukan itu tujuannya. Arti itu hanya akan dipahami
melalui proses pencarian."
"Dengan kata lain, kau tidak tahu."
Apollo mengecek arlojinya. "Ah, lihatlah waktu
sekarang! Aku harus segera pergi. Aku ragu aku bisa
menanggung risiko membantumu lagi, Percy, tapi ingatlah
akan kata-kataku! Tidurlah! Dan saat kau kembali nanti, aku
mengharapkan sebuah haiku yang bagus tentang
perjalananmu!" Aku ingin mengajukan protes mengatakan bahwa aku
tidak lelah dan aku tak pernah membuat haiku seumur
hidupku, tapi Apollo menjentikkan jarinya, dan hal
berikutnya yang kusadari adalah aku mengatupkan mataku.
Dalam mimpiku, aku adalah orang lain. Aku mengenakan
tunik Yunani model-kuno, yang rasanya terlalu berangin di
bagian bawah, dan sandal kulit bertali. Kulit Singa Nemeas
membungkus punggungku seperti mantel tanpa lengan, dan
aku sedang berlari ke suatu tempat, ditarik oleh seorang
gadis yang menggenggam tanganku erat.
"Cepat!" seru sang gadis. Terlalu gelap untuk melihat
wajah gadis itu dengan jelas, tapi aku dapat mendengar rasa
takut dari suaranya. "Dia akan menemukan kita!"
Saat itu malam hari. Jutaan bintang bersinar di atas
kami. Kami berlari melewati rerumputan tinggi, dan bau
ribuan jenis bunga membuat udara terasa memabukkan.
Tamannya begitu indah, namun gaids itu memanduku cepat
melintasinya, seolah nyawa kami sedang terancam.
"Aku tak takut," aku berusaha berkata padanya.
"Seharusnya kau takut!" ujar sang gadis, menarikku
bersamanya. Dia memiliki rambut hitam panjang terkepang
sepanjang punggungnya. Jubah sutranya berkilat samar di
bawah terpaan cahaya bintang-bintang.
Kami berpacu menyusuri sisi bukit. Dia menarikku ke
balik semak berduri dan kami pun merebahkan diri, samasama kehabisan napas. Aku tak tahu mengapa gadis itu
begitu ketakutan. Taman itu tampak begitu damai. Dan aku
merasa kuat. Lebih kuat dari yang pernah kurasakan
sebelumnya. "Tak perlu berlari," kataku padanya. Suaraku terdengar
lebih dalam, jauh lebih percaya diri. "Aku telah mengalahkan ribuan monster dengan tangan hampa."
"Bukan monster yang ini," kaya sang gadis. "Ladon
terlalu kuat. Kau harus mengambil jalan memutar, ke atas
gunung menuju ayahku. Hanya itu satu-satunya jalan."
Kepedihan suaranya mengejutkanku. Dia betul-betul
khawatir, hampir seperti dia peduli terhadapku.


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak percaya pada ayahmu," ujarku.
"Kau memang tak seharusnya memercayainya," sang
gadis sepakat. "Kau harus mengelabuinya. Tapi kau tak bisa
mengambil hadiahnya secara langsung. Kau akan mati!"
Aku terkekeh pelan. "Kalau begitu kenapa kau tak
menolongku, gadis cantik?"
"Aku ... aku takut. Ladon akan menghentikanku.
Saudari-saudariku, kalau mereka sampai tahu ... mereka tak
akan menganggapku sebagai saudari mereka lagi."
"Kalau begitu memang tak ada pilihan." Aku bangkit
berdiri, menggosok kedua tanganku.
"Tunggu!" ujar sang gadis.
Gadis itu tampak berjuang keras mengambil keputusan.
Kemudian, jemarinya bergetar, dia mengangkat tangannya
dan menarik sebuah bros putih panjang dari rambutnya.
"Jika kau mesti bertarung, ambil ini. Ibuku, Pleione,
memberikannya padaku. Dia adalah putri lautan, dan
kekuatan laut terkandung di dalamnya. Kekuatan keabadianku."
Gadis itu mengembuskan napas ke jepitan itu, dan ai
pun berkilat samar. Bros itu bergemerlap di bawah cahaya
bintang seperti tiram yang disemir.
"Ambillah," katanya padaku. "Dan jadikan ini sebagai
senjata." Aku tertawa. "Jepitan rambut" Bagaimana mungkin ini
bisa menebas Ladon, gadis cantik?"
"Mungkin memang tak bisa," dia mengakui. "Tapi
hanya itu yang bisa kutawarkan, jika kau tetap berkeras
kepala." Suara gadis itu melunakkan hatiku. Aku mengulurkan
tangan dan memungut jepit rambut itu, dan selagi aku
mengambilnya, jepitan itu memanjang dan makin memberat
dalam genggamanku, hingga aku memegang pedang
perunggu yang sangat kukenali.
"Sangat seimbang," ujarku. "Meski aku biasanya lebih
menyukai menggunakan kedua tangan kosongku. Harus
kunamakan apa pedang ini?"
"Anaklusmos," ujar sang gadis sedih. "Arus air yang
akan mengejutkan orang. Dan tanpa kausadari, kau akan
terhempas ke lautan."
Sebelum aku bisa berterima kasih padanya, terdengar
sauar injakan di rimput, suara desisan seperti udara yang
berembus keluar dari ban, dan sang gadis pun berkata,
"Terlambat! Dia sudah ada di sini!"
Aku tersentak duduk di jok pengemudi Lamborghini.
Grover mengguncang-guncang lenganku.
"Percy," katanya. "Sudah pagi. Kereta sudah berhenti.
Ayo!" Aku berusaha menghapus rasa kantukku. Thalia, Zo?,
dan Bianca sudah keluar dari tirai-tirai logam. Di luar
tampak pegunungan bersalju yang dipenuhi pohon-pohon
pinus, cahaya merah mentari mencuat di antara dua puncak
gunung. Aku merogoh pena dari dalam sakuku dan menekuninya. Anaklusmos, nama Yunani Kuno bagi Riptide. Bentuk
yang berbeda, namun aku yakin ini adalah pedang yang
sama dengan yang kulihat dalam mimpiku.
Dan aku juga meyakini akan suatu hal lain. Gadis yang
kulihat itu adalah Zo? Nightshade.[]
Kami tiba di pinggiran kota ski kecil yang bertengger di
tengah pegunungan. Ada plang bertulisan SELAMAT
DATANG DI CLOUDCROFT, NEM MEXICO. Udara
terasa dingin dan ringan. Atap-atap kabin berselimuti
tumpukan salju, dan gundukan salju kotor menumpuk di
pinggir-pinggir jalan. Pohon-pohon pinus tinggi menampak
di balik lembah, melempar bayang-bayang gelap-gulita,
meski pagi itu begitu cerah.
Bahkan dengan mantel bulu-singa yang kukenakan, aku
begitu kedinginan begitu kami tiba di Jalan Utama, hampir
satu kilometer dari jalur kereta. Selagi kami berjalan,
kuberitahukan Grover mengenai pembicaraanku dengan
Apollo malam kemarin"bagaimana dia memberitahuku
untuk mencari Nereus di San Francisco.
Grover tampak gelisah. "Itu bagus, kurasa. Tapi kita
harus tiba di sana terlebih dulu."
Aku berusaha untuk tak terlalu deperesi memikirkan
peluang kami. Aku tak ingin membuat Grover panik, tapi
aku tahu kami memiliki tenggat waktu pentung lain yang
kian mendekat, selain dari menyelamatkan Artemis sebelum
pertemuan tahunan para dewa. Sang Jenderal telah bilang
bahwa Annabeth hanya akan dipertahankan hidup hingga
tenggat titik balik matahari musim dingin. Itu hari Jumat,
tinggal empat hari lagi. Dan dia menyebutkan sesuatu
tentang pengorbanan. Aku tak suka mendengar hal itu sama
sekali. Kami berhenti di tengah-tengah kota. Kau bisa melihat
hampir segala hal dari tempat itu: sekolah, beberapa toko
cendera mata dan kafe, beberapa kabin ski, dan toko bahan
pangan. "Hebat," ujar Thalia, mengedarkan pandangan ke
sekitar. "Tak ada stasiun bus,. Tak ada taksi. Tak ada tempat
penyewaan mobil. Tak ada jalan keluar."
"Itu ada kedai kopi!" seru Grover.
"Iya," ujar Zo?. "Kopi boleh juga."
"Dan kue-kue," ujar Grover penuh harapan. "Dan
kertas lilin." Thalia mendesah. "Baiklah. Bagaimana kalau kalian
berdua pergi membeli makanan buat kita. Percy, Bianca, dan
aku akan mengecek ke toko bahan pangan. Barangkali
mereka bisa memberi arahan bagi kami."
Kami sepakat untuk bertemu kembali di depan toko
dalam waktu lima belas menit. Bianca tampak tak nyaman
pergi bersama kami, tapi dia tetap melakukannya.
Di dalam toko, kami menemukan beberapa hal penting
mengenai Cloudcroft: tak ada cukup salju untuk berski, toko
bahan pangan itu menjual tikus-tikus karet seharga satu
dollar, dan tak ada jalan keluar yang mudah untuk masuk
dan keluar kota kecuali kau memiliki mobil pribadi.
"Kalian bisa saja memanggil taksi dari Alamogordo,"
kata sang pramuniaga ragu. "Itu berlokasi di bawah
pegunungan, tapi dibutuhkan waktu setidaknya satu jam
penuh untuk sampai di sana. Menghabiskan biaya tujuh
ratus dollar." Pramuniaga itu tampak begitu kesepian, hingga aku
memutuskan untuk membeli satu ekor tikus karet.
Kemudian kami berjalan keluar dan berdiri di serambi.
"Hebat," gerutu Thalia. "Aku akan berjalan-jalan,
melihat-lihat kalau ada orang di toko-toko lain yang
memiliki saran." "Tapi kata pramuniaga itu?"
"Aku tahu," katanya padaku. "Aku akan tetap mengecek."
Aku membiarkannya pergi. Akku tahu bagaimana
rasanya begitu gelisah. Semua anak blasteran memiliki
masalah kurangnya daya perhatian oleh karena refleks
pertarungan bawaan kami. Kami tak tahan hanya berdiri
diam menunggu. Lagi pula, aku merasa Thalia masih kesal
oleh pembicaraan kami semalam tentang Luke.
Bianca dan aku berdiri bersamaan dengan kikuk.
Maksudku ... aku memang tak pernah merasa nyaman bicara
hanya berdua dengan seorang gadis, dan aku tak pernah
berduaan bersama Bianca sebelumnya. Aku tak yakin apa
yang harus kukatakan, terutama mengingat kini dia adalah
Pemburu. "Tikus yang bagus," ujarnya pada akhirnya.
Kutaruh tikus itu di langkan serambi. Barangkali itu
akan menarik lebih banyak pembeli untuk memasuki toko.
"Jadi ... apa kau senang menjadi seorang Pemburu
sejauh ini?" tanyaku.
Dia mengerutkan bibirnya. "Kau bukannya masih
marah padaku karena memilih bergabung, kan?"
"Ya nggaklah. Selama, kautahu ... selama kau sendiri
bahagia." "Aku nggak yakin "bahagia; adalah kata yang tepat,
dengan kepergian Yang Mulia Artemis. Tapi menjadi
seorang Pemburu jelas asyik. Entah mengapa aku merasa
jadi lebih tenang. Semuanya tampak memelan di sekelilingku. Kurasa itulah keabadian."
Aku menatapnya, berusaha mengenali perbedaannya.
Dia memang tampak lebih percaya diri dari sebelumnya,
lebih tenang. Bianca tak lagi menyembunyikan wajahnya di
balik topi hijaunya. Dia mengucir rambutnya ke belakang,
dan dia menatap tepat ke mataku saat bicara. Dengan
menggigil, kusadari bahwa lima ratus atau seribu tahun dari
sekarang, Bianca di Angelo akan tampak persis seperti saat
ini. Dia mungkin akan melakukan perbincangan seperti ini
bersama anak blasteran lain lama setelah kematianku, tapi
Bianca akan tetap tampak seperti gadis usia dua belas tahun.
"Nico tak mengerti keputusanku," gumam Bianca. Dia
memandangiku seolah ingin mendapat penenangan bahwa
semua akan baik-baik saja,
"Dia akan baik-baik saja," ucapku. "Perkemahan
Blasteran menampung banyak anak-anak di bawah umur.
Mereka melakukan hal yang sama untuk Annabeth."
Bianca mengannguk. "Kuharap kita bisa menemukannya. Annabeth, maksudku. Dia beruntung memiliki
teman sepertimu." "Aku tak banyak gunanya baginya."
"Jangan salahkan dirimu, Percy. Kau mempertaruhkan
nyawamu untuk menyelamatkan aku dan adikku. Maksudku, itu tindakan yang sangat berani. Kalau aku tak bertemu
denganmu, aku tak akan berani meninggalkan Nico di
perkemahan. Kupikir jika ada orang-orang sepertimu di
sana, Nico akan baik-baik saja. Kau orang yang baik."
Pujian itu mengejutkanku. "Meskipun aku menjatuhkanmu di permainan tangkap bendera?"
Dia tertawa. "Oke. Kecuali untuk saat itu, selebihnya
kau orang yang baik."
Sekitar dua ratus meter dari tempat kami berdiri,
Grover dan Zo? terlihat keluar dari kedai kopi sambil
mendekap kantong-kantong kue dan minuman. Aku merasa
masih enggan untuk bertemu dengan mereka kembali.
Rasanya aneh, tapi kusadari aku senang berbicara dengan
Bianca. Dia ternyata lumayan. Setidaknya, jauh lebih mudah
untuk ditemani dibanding Zo? Nightshade.
"Jadi bagaimana sejarahmu dengan Nico?" tanyaku
padanya. "Di mana kalian bersekolah sebelum di
Westover?" Dia mengerutkan kening. "Kurasa itu adalah sekolah
asrama di D.C. Rasanya itu sudah lama sekali."
"Kalian tak pernah tinggal dengan orangtua kalian"
Maksudku, salah satu orangtua kalian yang manusia?"
"Kami diberi tahu bahwa kedua orangtua kami sudah
meninggal. Ada simpanan di bank untuk kami. Uang yang
sangat banyak, kurasa. Seorang pengacara akan datang
sekali waktu untuk mengecek keadaan kami. Kemudian aku
dan Nico harus meninggalkan sekolah itu."
"Kenapa?" Dia menautkan alisnya. "Kami harus pergi ke suatu
tempat. Aku ingat yang itu karena suatu hal yang penting.
Kami menempuh perjalanan jauh. Dan kami menetap di
suatu hotel selama beberapa mingu. Dan kemudian ... aku
tak tahu. Suatu hari seorang pengacara lain datang untuk
menjemput kami. Dia bilang sudah waktunya bagi kami
untuk pergi. Dia mengantar kami kembali ke timur,
melewati D.C. Kemudian menuju Maine. Dan kami pun
mulai bersekolah di Westover.
Itu adalah kisah yang ganjil. Namun jika dipikir lagi,
toh Bianca dan Nico adalah blasteran. Tak ada yang normal
bagi mereka. "Jadi selama ini kau yang membesarkan Nico hampir
sepanjang hidupmu?" tanyaku. "Hanya kalian berdua?"
Dia mengangguk. "Itu sebabnya aku ingin sekali
bergabung dengan para Pemburu. Maksudku, aku tahu ini
tindakan yang egois, tapi aku ingin memiliki kehidupanku
sendiri dan teman-temanku sendiri. Aku sayang Nico"
jangan salah kira"aku hanya perlu mengetahui bagaimana
rasanya tak menjadi kakak selama dua puluh empat jam
penuh." Aku berpikir tentang musim panas lalu, bagaimana
perasaanku saat aku mengetahui bahwa aku memiliki
cyclops sebagai adik. Aku bisa mengerti akan apa yang
dikatakan Bianca. "Zo? sepertinya memercayaimu," kataku. "Omongomong, apa sih yang sebenarnya kalian berdua sempat
bicarakan"tentang sesuatu yang berbahaya dari misi ini?"
"Kapan?" "Kemarin pagi di paviliun," kataku, sebelum aku bisa
menghentikan ucapanku sendiri. "Sesuatu tentang sang
Jenderal." Wajahnya mengeruh. "Bagaimana kau bisa ... Topi tak
kasat mata. Apa kau menguping?"
"Tidak! Maksudku, nggak beneran menguping. Aku
cuma?" Aku diselamatkan dari berusaha menjelaskan saat Zo?
dan Grocer tiba dengan membawa minuman dan kue-kue.
Cokelat panas untuk Bianca dan aku. Kopi untuk mereka.
Aku mendapat muffin bluberi, dan rasanya sangat enak
sampai-sampai aku nyaris mengabaikan tatapan maraha
yang diberikan Bianca padaku.
"Kita harus melakukan mantra pelacak jejak," ujar Zo?.
"Grover, apa kau masih punya biji pohon ek yang tersisa?"
"Emm," gumam Grover. Dia sedang mengunyah
sepotong muffin gandum, lengkap dengan bungkusnya.
"Kurasa masih ada. Aku hanya perlu?"
Dia mematung. Aku baru hendak bertanya ada masalah apa, saat
semilir hangat berdesir lewat, seperti embusan udara musim
semi yang tersesat di tengah-tengah musim dingin. Udara
segar diiringi dengan bunga-bunga liar dan sinar mentari.
Dan suatu hal lain"hampir seperti sebuah suara, berusaha
mengatakan sesuatu. Sebuah peringatan.
Zo? berdengap. "Grover, gelas engkau."
Grover menjatuhkan gelas kopinya, yang dihias gambar
burung-burung. Tiba-tiba burung-burung itu melepaskan diri
dari gelas itu dan melayang pergi"sekawanan merpati
kecil. Tikus karetku berdecit. Ia berlari menyusuri langkan
serambi dan memasuki pepohonan"dengan bulu sungguhan, dan kumis tikus sungguhan.


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Grover terjatuh di sebelah gelas kopinya, yang
menguarkan uap di salju. Kami mengelilinginya dan
berusaha membangunkannya. Dia mengerang, matanya
berkedip-kedip. "Hei!" ujar Thalia, berlari dari arah jalan. "Aku baru
saja ... Ada apa dengan Grover?"
"Aku nggak tahu," ujarku. "Dia jatuh pingsan."
"Eeeeeehhh," erang Grover.
"Yah, cepat bangunkan dia!" kata Thalia. Dia memegangi tombaknya. Dia menoleh ke belakangnya seperti
sedang diikuti. "Kita harus segera pergi dari sini."
Kami berhasil tiba di ujung kota sebelum dua kerangka
pertama muncul. Mereka melangkah keluar dari balik
pepohonan di dua sisi jalan. Alih-alih mengenakan
kamuflase abu-abu, mereka kini mengenakan seragam biru
Kepolisian Negara Bagian New Mexico, tapi mereka
memiliki kulit abu-abu tembus-pandang yang sama dan
mata kuning. Mereka mengeluarkan pistol mereka. Kuakui aku
pernah berpikir bahwa sepertinya aka asyik sekali
mempelajari cara menembakkan pistol, tapi aku berubah
pikiran begitu melihat para prajurit kerangka itu mengacungkan pistol mereka ke arahku.
Thalia mengetuk gelangnya. Aegis melingkar ke wujud
aslinya di lengannya, namun para prajurit itu tak
terpengaruh sedikit pun. Matak kuning bersinar mereka
menusuk tepat ke mataku. Kuhunus Riptide, meski aku tak yakin apa gunanya
pedang ini melawan pistol.
Zo? dan Bianca menyiapkan busur mereka, tapi Bianca
mengalami kesulitan karena Grover terus-terusan pingsan
dan bersandar padanya. "Mundur," kata Thalia.
Kami mulai bergerak mundur"namun kemudian
kudengar gemerisik ranting pohon. Dua kerangka lagi
bermunculan dari jalan di belakang kami. Kami dikepung.
Aku bertanya-tanya di mana para kerangka lain berada.
Aku sudah melihat selusin kerangka di Smithsonian. Lantas
salah satu prajurit mengangkat ponsel ke mulutnya dan
bicara melaluinya. Hanya saja dia tidak bicara. Dia membuat suara
gemeretuk, seperti gigi-gigi kering pada tulang kerangka.
Tiba-tiba kusadari apa yang tengah terjadi. Para kerangka itu
berpencar untuk mencari kami. Kerangka-kerangka ini kini
tengah memanggil saudara-saudara mereka. Tak lama lagi
kami akan diserbu. "Sudah dekat," erang Grover.
"Sudah di sini kok," kataku.
"Bukan," desaknya. "Berkah itu. Berkah dari Alam
Liar." Aku tak tahu apa yang dia bicarakan, tapi aku
mengkhawatirkan kondisinya. Grover sedang tak bisa
berjalan, apalagi untuk bertarung.
"Kita harus berhadapan satu-lawan-satu," ujar Thalia.
"Empat dari mereka. Empat dari kita. Barangkali dengan
begitu mereka tak akan memerhatikan Grover."
"Setuju," kata Zo?.
"Alam Liar!" rintih Grover.
Angin hangat bertiup melewati ngarai, berdesir
menggerakkan dedaunan, tapi aku memakukan pandanganku pada kerangka-kerangka itu. Aku teringat
bagaimana sang Jenderal bercerita dengan sombong akan
nasib Annabeth. Aku teringat bagaimana Luke mengkhianatinya
Dan aku menerjang ke depan.
Kerangka pertama menembakkan pistolnya. Waktu
melambat. Aku tak akan bilang mampu melihat pelurunya,
tapi aku dapat merasakan lajunya, persis seperti aku
merasakan arus air di lautan. Aku menangkisnya dengan
ujung pedangku dan terus menerjang.
Kerangka itu menarik pentungan dan aku menebas siku
lengannya. Kemudian kuayunkan Riptide pada pinggangnya
dan kubelah dia jadi dua.
Tulang-belulangnya terputus dan berjatuhan ke aspal
dalam sebuah tumpukan. Hampir seketika pula, tulangbelulang itu mulai bergerak, menyusun kembali dirinya.
Kerangka kedua menggertakkan giginya padaku dan
berusaha menembak, tapi kujatuhkan pistolnya ke salju.
Kukira tindakanku cukup lumayan, hingga dua
kerangka lain menembakku dari belakang.
"Percy!" teria Thalia.
Aku terjerembab dengan wajah telungkup di jalan.
Kemudia kusadari sesuatu ... aku tidak mati. Tembakan
peluru itu terasa tumpul, seperti sebuah dorongan dari
belakang, tapi ia tak melukaiku.
Bulu Singa Nemeas itu! Mantelku tahan peluru.
Thalia menyerang kerangka kedua. Zo? dan Bianca
mulai menembakkan panah-panah ke kerangka tiga dan
empat. Grover berdiri di sana sembari merentangkan kedua
tangannya ke arah pepohonan, seolah ingin memeluk
mereka. Terdengar suara dentaman dari hutan di sisi kiri kami,
seperti bunyi sebuah buldoser. Barangkali bala bantuan
kerangka-kerangka itu telah tiba. Aku bangkit dan
membungkuk dari terjangan sebuah pentungan polisi.
Kerangka yang kubelah jadi dua telah tersusun kembali,
mengejarku. Tak mungkin kami bisa menghentikan mereka. Zo? dan
Bianca menembak ke kepala mereka dari jarak dekat, namun
panah-panah itu hanya berdesing melewati tengkorak
kosong mereka. Satu kerangka menyerang Bianca, dan
kukira dia sudah akan mati, tapi Bianca menghunus pisau
berburunya dan menikam prajurit itu tepat di dada. Seluruh
tubuh kerangka itu meledak dalam gumpalan asap, hanya
menyisakan sedikit tumpukan abu dan sebuah lencana
polisi. "Bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Zo?.
"Aku nggak tahu," ujar Bianca tegang. "Tikaman
beruntung?" "Kalau begitu, lakukan lagi!"
Bianca mencobanya, namun tiga keragka yang tersisa
kini berhati-hati menghadapinya. Mereka menekan kami ke
belakang, menjaga kami sejarak pentungan.
"Rencana?" kataku selagi kami bergerak mundur.
Tak ada yang menjawab. Pepohonan di belakang
kerangka-kerangka itu menggigil. Dahan-dahannya berderak. "Berkah," gumam Grover.
Dan kemudian, dengan raungan besar, babi terbesar
yang pernah kulihat menerjang dari jalan. Itu adalah celeng,
setinggi sembilan meter, dengan moncong merah jambu
beringus dan taring seukuran kano. Punggungnya penuh
dengan rambut-rambut cokelat yang berdiri tegak, dan
matanya liar dan penuh amarah.
"NGOIIIIIIIIIK!" ia berdengking, dan menghantam
ketiga kerangka dengan taringnya. Kekuatannya begitu
hebat, sampai-sampai mereka terhempas melayang ke
pepohonan dan ke sisi gunung, tempat mereka pecah
berhamburan, tulang paha dan tulang lengan bertebaran
kemana-mana. Kemudian babi itu berpaling pada kami.
Thalia mengangkat tombaknya, tapi Grover memekik,
"Jangan membunuhnya!"
Celeng itu menggeram dan mengais-ngais tanah,
bersiap menerjang. "Itu Babi Hutan Erymanthias," ujar Zo?, berusaha tetap
tenang. "Kurasa kita tak bisa membunuhnya."
"Itu adalah berkah," kata Grover. "Berkah dari Alam
Liar!" Sang celeng berseru "NGOIIIIK!" dan mengayunkan
taringnya. Zo? dan Bianca menghindar dari jalannya. Aku
harus mendorong Grover agar dia tidak terlempar ke gunung
dengan mengendarai Taring Celeng Ekspres.
"Yeah, aku merasa terberkati!" seruku. "Berpencar!"
Kami berlari ke sepenjuru arah, dan sesaat celeng itu
tampak kebingungan. "Ia ingin membunuh kita!" seru Thalia.
"Tentu saja," timpal Grover. "Ia kan liar!"
"Jadi kenapa ia bisa disebut berkah?" tanya Bianca.
Itu sepertinya pertanyaan yang masuk akal bagiku, tapi
babi itu tersinggung dan menerjangnya. Bianca lebih gesit
dari yang kukira. Dia berguling dari jalur tapak babi dan
muncul di belakang. Celeng itu menyerang dengan
taringnya dan melumatkan plang SELAMAT DATANG DI
CLOUDCROFT. Aku memeras otak, berusaha mengingat-ingat mitos
tentang celeng itu. Aku cukup yakin Hercules sudah pernah
bertarung melawan makhluk ini sekali, tapi aku tak ingat
bagaimana cara Hercules mengalahkannya. Aku hanya
memiliki ingatan samar-samar tentang celeng itu melintasi
beberapa kota Yunani sebelum Hercules berhasil menaklukkannya. Kuharap Cloudcroft sudah diasuransikan
terhadap seranga celeng. "Terus bergerak!" teriak Zo?. Dia dan Bianca berlari ke
arah berlawanan. Grover menari-nari mengelilingi sang
babi, memainkan serulingnya sementara celeng itu mendengus dan berusaha mencungkilnya dengan tarinya. Tapi
Thalia dan aku adalah juara dalam hal ketidakberuntungan.
Saat celeng itu berpaling ke arah kami, Thalia berbuat
kesalahan dengan mengangkat Aegis sebagai perlindungan.
Pandangan kepala Medusa membuat celeng itu berdengking
ngamuk. Barangkali kepala itu tampak terlalu mirip dengan
anggota keluarganya. Celeng itu pun merangsek ke arah
kami. Kami hanya berhasil menghindar dari kejarannya
karena kami berlari menaiki bukit, dan kami bisa menyelapnyelip ke sela-sela pepohonan sementara celeng itu harus
berlari lurus melewatinya.
Di sisi lain bukit, aku menemukan sebuah bentangan
jalur lama kereta, setengah terbenam dalam salju.
"Ke sini!" Kurenggut lengan Thalia dan kami berlari
menyusuri jalur sementara celeng itu meraung di belakang
kami, terpeleset dan tergelincir saat ia berusaha menyusuri
sisi bukit yang curam. Kaki-kakinya tak diciptakan untuk
itu, terpujilah dewa-dewi.
Di hadapan kami, aku melihat sebuah terowongan
tertutup. Di luar sisi terowongan, tampak sebuah jembatan
tua merentangi jurang. Sebuah ide gila melintas di benakku.
"Ikuti aku!" Thalia melambat"aku tak punya waktu untuk bertanya
kenapa"tapi aku menariknya dan dengan enggan dia
mengikuti. Di belakang kami, sepuluh ton tangki babi
sedang menumbangkan pohon-pohon pinus dan memecahkan bebatuan dengan kaki-kakinya selagi mengejar kami.
Thalia dan aku berlari memasuki terowongan dan
muncul di sisi seberang. "Tidak!" teriak Thalia.
Dia berubah seputih es. Kami tengah berada di ujung
jembatan. Di bawah, gunung menukik curam ke lembah
yang penuh salju sekitar dua puluh meteran ke bawah.
Celeng itu berada tepat di belakang kami.
"Ayolah!" kataku. "Jembatan itu bisa menahan berat
kita, kayaknya." "Aku nggak bisa!" teriak Thalia. Matanya melebar
dengan penuh ketakutan. Celeng itu menabrak terowongan tertutup, menghantamnya dengan kecepatan penuh.
"Sekarang!" teriakku pada Thalia.
Dia melihat ke bawah dan menelan ludah. Aku
bersumpah mukanya berubah hijau.
Aku tak punya waktu untuk memproses alasannya.
Celeng itu merangsek masuk terowongan, melaju tepat ke
arah kami. Rencana B. Kusergap Thalia dari belakang dan
kudorong kami berdua hingga meluncur jatuh dari tepi
jembatan, ke sisi gunung. Kami meluncur dengan
menggunakan Aegis sebagai papan seluncur, melewati
bebatuan dan lumpur dan salju, berpacu ke bawah bukit. Si
celeng tak seberuntung itu; ia tak dapat berbalik dengan
cepat, jadi kesepuluh ton bobot monster itu menerjang terus
ke atas jembatan kecil itu, yang ambruk di bawah tekanan
bobotnya. Celeng itu pun terjun-bebas ke jurang dengan
dengkingan nyaring dan mendarat di tumpukan salju dengan
suara DEBUMAN besar. Thalia dan aku mengerem luncuran. Kami berdua
kehabisan napas. Aku terluka dan berdarah. Rambut Thalia
tersangkuti jarrum-jarum daun pinus. Di sebelah kami,
celeng itu mendengking dan meronta. Yang bisa kulihat
adalah ujung rambut pada punggungnya. Hampir seluruh
tubuhnya terbenam lumpur salju seperti sebuah paket
styrofoam. Celeng itu tidak tampak terluka, tapi sepertinya
ia juga tak akan ke mana-mana.
Aku menatap Thalia. "Kau takut ketinggian."
Sekarang saat kami aman berada di dasar gunung,
matanya menampakkan amarah biasanya. "Jangan bodoh."
"Itulah alasan kenapa kau ketakutan saat berada di bus
Apollo. Kenapa kau tak ingin membicarakannya."
Thalia mengambil napas dalam. Kemudian dia
menyingkirkan jarum-jarum pinus dari rambutnya. "Kalau
kau bilang-bilang pada orang lain, aku bersumpah?"
"Tidak, tidak," kataku. "Itu tak mengapa. Hanya saja ...
putri Zeus, Penguasa Langit, takut pada ketinggian?"
Dia baru hendak mendorongku ke gundukan salju saat,
di atas kami, suara Grover memanggil, "Halooooo?"
"Di bawah sini!" teriakku.
Beberapa menit kemudian, Zo?, Bianca, dan Grover
bergabung dengan kami. Kami berdiri memandangi celeng
itu berjuang keluar dari timbunan salju.
"Berkah dari Alam Liar," kata Grover, meski dia kini
tampak terganggu. "Aku setuju," kata Zo?. "Kita harus menggunakannya."
"Tunggu dulu," kata Thalia jengkel. Dia masih tampak
seperti habis kalah bertarung melawan pohon Natal.
"Jelaskan padaku kenapa kau bisa begitu yakin bahwa babi
ini merupakan berkah?"
Grover tampak emandanginya, resah. "Ia adalah
kendaraan kita ke barat. Apa kau tahu betapa cepatnya
celeng ini bisa berjalan?"


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asyik," kataku. "Kayak ... koboi babi."
Grover mengangguk. "Kita harus naik. Andai saja ...
andai saja tadi aku sempat mencari-cari ke sekitar. Tapi ia
sudah menghilang sekarang."
"Apa yang hilang?"
Grover sepertinya tak mendengarku. Dia melangkah
mendekati celeng itu dan melompat ke punggungnya.
Dengan segera celeng itu mulai membuat kemajuan
mengatasi timbunan lumpur salju. Begitu ia terbebas
darinya, tak akan ada yang bisa menghentikannya. Grover
mengeluarkan serulingnya. Dia mulai memainkan sebuah
lagu yang merusak kuping dan meyondorkan apel ke depan
celeng. Apel itu melayang dan berputar tepat di depan
moncongnya, dan celeng itu pun kegirangan, berusaha
meraihnya. "Setir otomatis," gumam Thalia. "Hebat."
Thalia berjalan susah payah dan melompay ke belakang
Grover, yang masih menyisakan cukup banyak tempat bagi
kami semua. Zo? dan Bianca pun berjalan mendekati celeng.
"Tunggu sebentar," seruku. "Apa kalian berdua tahu
apa yang dibicarakan Grover tentang"berkah alam liar
ini?" "Tentu saja," sahut Zo?. "Apa kau tak merasakannya
dalam embusan angin" Ia begitu kuat ... aku tak pernah tahu
akan dapat merasakan kehadirannya lagi."
"Kehadiran apa?"
Dia memandangiku seolah aku ini idiot. "Penguasa
Alam Liar, tentu saja. Hanya selama sesaat, pada saat
kedatangan celeng itu, aku merasakan kehadiran Pan."[]
Kami mengendarai celeng hingga terbenamnya matahari,
yang kurasa hanya selama itu pula pantatku mampu
bertahan. Bayangkan mengendarai sebuah sikat baja raksasa
melintasi tanah berkerikil sepanjang hari. Seperti itulah rasa
nyamannya menunggangi celeng.
Aku sama sekali tak tahu berapa keliometer jauh
perjalanan yang kami tempuh, tapi pegunungan mengabur di
kejauhan dan digantikan oleh berkilo-kilometer dataran
yang kering dan rata. Rerumputan dan semak elukar kian
jarang hingga kami pun berderap (celeng berderap nggak
sih") melewati gurun.
Saat malam tiba, celeng itu berhenti di dasar sungai dan
mengendus. Ia mulai meminum air berlumpur itu, kemudian
mencabut kaktus saguaro dari dasar dan menguyahnya,
lengkap dengan jarun-jarum kaktusnya.
"Ini jarak terjauh yang bisa ia tempuh," kata Grover.
"Kita harus turun selagi ia makan."
Tak ada yang perlu dibujuk untuk segera turun. Kami
meluncur turun dari punggung celeng sementara ia sibuk
menyobek-nyobek kaktus. Kemudian kami berjalan tertatihtatih sebaik yang kami bisa dengan pantat kami yang
bengkak. Setelah saguari ketiganya dan seteguk lagi air lumpur,
celeng itu mendengking dan bersendawa, kemudian berputar
dan berderap balik menuju timur.
"Ia lebih menyukai pegunungan," tebakku.
"Aku nggak bisa menyalahkannya," ujar Thalia.
"Lihat." Di depan kami membentang jalur dua-jalur setengah
tertutupi pasir. Di sisi lain jalan tampak sekelompok gedung
yang terlalu kecil untuk disebut kota: rumah yang dipalang,
toko taco yang tampaknya sudah tak buka semenjak
sebelum kelahiran Zo? Nightshade, dan sebuah gedung
semen putih kantor pos dengan plang bertulisan GILA
CLAW, ARIZONA menggantung miring di atas pintu. Di
belakangnya tampak bentangan perbukitan ... tapi kemudian
kusadari itu bukan perbukitan biasa. Daerah pedalaman tak
akan tampak sedatar itu. Bukiy-bukit itu merupakan
gundukan raksasa dari mobil-mobil bekas, peralatan rumah
tangga, dan barang-barang rongsokan logam lainnya. Itu
dalah tempat pembuangan sampah yang seperti tak ada
ujungnya. "Wow," seruku. "Aku mendapat firasat kita nggak bakalan menemukan
tempat penyewaan mobil di sini," kata Thalia. Dia
memandang Grover. "Apa kau masih punya celeng
cadangan?" Grover mengendus udara, tampak tegang. Dia merogoh
biji-biji pohon ek dan melemparnya ke pasir, kemudian
memainkan serulingnya. Biji-biji itu mengatur posisi
mereka senderi membentuk pola tang tak masuk akal
bagiku, tapi Grover terlihat cemas.
"Itu kita," katanya. "Kelima biji itu."
"Aku yang mana?" tanyaku.
"Yang bentuknya kayak salah bikin," sahut Zo?.
"Oh, diamlah." "Kumpulan yang itu," kata Grover, menunjuk ke
sebelah kiri, "adalah masalah."
"Monster?" tanya Thalia.
Grover terlihat cemas. "Aku nggak mencium bau apa
pun, yang nggak masuk akal. Tapi biji-biji pohon ek nggak
akan berbohong. Tantangan kita berikutnya ..."
Dia menunjuk tepat ke arah tempat pembuangan
sampah. Dengan sinar matahari yang kini hampir
menghilang, perbukitan logam itu tampak seperti sesuatu
yang berada di planet asing.
Kami memutuskan untuk berkemah malam ini dan mencoba
menjelajahi tempat pembuangan sampah di pagi harinya.
Tak satu pun dari kami yang ingin menyelam ke bak sampah
dalam gelap. Zo? dan Bianca mengeluarkan lima kantong tidur dan
matras busa dari dalam ransel mereka. Aku tak tahu
bagaimana cara mereka melakukannya, karena ransel
mereka begitu kecil, tapi pasti sudah disihir untuk
menampung begitu banyak barang. Kusadari busur dan
kantong-kantong panah mereka pastinya juga sudah disihir.
Aku belum pernah memikirkannya sebelumnya, tapi ketika
para Pemburu membutuhkannya, senjata itu tiba-tiba saja
sudah tersampir di punggung mereka. Dan saat mereka tak
memerlukannya lagi, senjata itu pun menghilang.
Malam menjadi dingin dengan cepat, maka Grover dan
aku mengumpulkan papan-papan lama dari rumah rusak.
Dan Thalia memberinya kejutan listrik untuk menghasilkan
api unggun. Tak lama kami pun sudah senyaman yang bisa
kaurasakan saat berada di tengah-tenagh kota hantu
terbengkalai. "Bintang-bintang muncul," kata Zo?.
Dia benar. Ada jutaan bintang bermunculan di langit,
tanpa cahay lampu kota yang akan mengubah langit menjadi
jingga. "Mengagumkan," kata Bianca. "Aku belum pernah
benar-benar melihat Galaksi Bimasakti sebelumnya."
"Ini nggak ada apa-apanya," kata Zo?. "Di masa lalu,
ada jauh lebih banyak lagi. Banyak rasi bintang telah
menghilang karena polusi cahaya yang dibuat manusia."
"Kau bicara seolah aku sendiri bukan manusia," kataku.
Zo? mengangkat alisnya. "Aku ini Pemburu. Aku
peduli pada apa yang terjadi terhadap tempat-tempat liar di
dunia. Bukankah hal yang sama berlaku pula bagi dikau?"
"Bagi kau," Thalia mengoreksi. "Bukan dikau."
"Tapi kau menggunakan kau di awal kalimat."
"Dan juga di akhir," ujar Thalia. "Bukan dikau. Bukan
engkau. Cukup kau." Zo? mengangkat tanggannya kesal. "Aku benci bahasa
ini. Terlalu sering berubah-ubah!"
Grover mendesah. Dia masih memandangi langit
seperti sedang meikirkan tentang masalah polusi cahaya.
"Andai saja Pan masih ada di sini, dia akan membenahi
segalanya." Zo? mengangguk sedih. "Barangkali itu karena kopinya," kata Grover. "Aku
sedang minum kopi, dan angin datang. Barangkali kalau aku
minum kopi lagi ..."
Aku cukup yakin kopi tak ada kaitannya dengan apa
yang terjadi di Cloudcroft, tapi aku tak tega untuk memberi
tahu itu pada Grover. Aku terpikir akan tikus karet dan
burung-burung mini yang tiba-tiba hidup ketika angin
berembus. "Grover, apa kau benar-benar mengira yang tadi
itu adalah Pan" Maksudku, aku tahu kau ingin itu berasal
dari Pan." "Dia mengirim pertolongan untuk kita," Grover
bersikukuh. "Aku nggak tahu mengapa atau bagaimananya.
Tapi itu jelas kehadirannya. Setelah misi ini selsesai
dilaksanakan, aku akan kembali ke New Mexico dan minum
kopi banyak-banyak. Itu adalah petunjuk terbaik yang
pernah kami dapatkan selama dua ribu tahun. Aku sudah
begitu dekat." Aku tak menjawab. Aku tak ingin meremukkan harapa
Grover. "Yang bikin aku penasaran," ujar Thalia, sambil
menatap Bianca, "adalah bagaimana kau bisa menghancurkan salah satu zombie. Masih ada banyak zombie lain
di luar sana. Kita harus cari tahu cara untuk melawannya."
Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu.
Aku cuma menusuknya dan ia langsung terbakar."
"Mungkin ada sesuatu yang istimewa dari belatimu,"
kataku. "Itu belati yang sama dengan punyaku," sahut Zo?.
"Sama-sama perunggu langit. Tapi kepunyaanku tidak
membuat para prajurit jadi seperti itu."
"Barangkali kau harus mengenai kerangka itu di titik
tertentu," kataku. Bianca tampak tak nyaman dengan perhatian semua
yang terpusat padanya. "Lupakan saja," kata Zo? padanya. "Nanti kita akan
temukan jawabannya. Sementara itu, kita seharusnya
merencanakan gerak selanjutnya. Saat kita melewati tempat
pembuangan sampah, kita harus melanjutkan perjalanan ke
barat. Kalau kita bisa menemukan jalan, kita bisa
menumpang kendaraan yang lewat menuju kota terdekat.
Kukira itu mestinya Las Vegas."
Aku baru ingin protes mengatakan bahwa Grover dan
aku pernah mengalami pengalaman buruk saat berada di
kota itu, tapi Bianca sudah mengajukan keluhannya terlebih
dulu. "Tidak!" serunya. "Jangan ke sana!"
Dia terlihat sangat ketakutan, seperti baru saja
diturunkan di ujung jalur curam roller coaster.
Zo? mengerutkan alis. "Kenapa?"
Bianca mengambil napas dengan gemetar. "Aku ... aku
merasa kami pernah menetap di sana selama beberapa lama.
Nico dan aku. Saat kami sedang dalam perjalanan. Dan
kemudian, aku nggak ingat lagi ..."
Tiba-tiba sebuah pikiran buruk menerpaku. Aku
teringat akan apa yang dikatakan Bianca padaku tentang
Nico dan dirinya menetap di sebuah hotel sementara waktu.
Aku beradu mata dengan Grover, dan aku merasa dia sedang
memikirkan hal yang sama.
"Bianca," kataku. "Hotel yang kautempati itu. Apakah
itu mungkin dinamakan Hotel dan Kasino Lotus?"
Matanya membeliak. "Bagaimana kau bisa tahu itu?"
"Oh, hebat," kataku.
"Tunggu," ujar Thalia. "Apa tuh Kasino Lotus?"
"Dua tahun lalu," kataku, "Grover, Annabeth, dan aku
terperangkap di sana. Hotel itu dirancang agar orang tak
ingin meninggalkannya. Kami tinggal di sana selama sekitar
satu jam. Saat kami keluar, lima hari telah berlalu. Hotel itu
mempercepat waktu." "Tidak," kata Bianca. "Tidak, itu nggak mungkin."
"Kau bilang ada orang yang datang dan
menjemputmu," aku ingat perkatannya.
"Benar." "Seperti apa rupanya" Apa yang dia katakan?"
"Aku ... aku nggak ingat. Kumohon, aku benar-benar
nggak ingin membicarakannya."
Zo? memajukan duduknya, alisnya bertaut prihatin.
"Kau bilang bahwa Washington, D.C., telah berubah saat
kau kembali musim panas lalu. Kau tak ingat kereta bawah
tanah ada di sana." "Iya, tapi?" "Bianca," kata Zo?, "bisakah dikau memberitahuku
siapa nama presiden Amerika Serika saat ini?"
"Jangan konyol," ujar Bianca. Dia memberi tahu kami
nama presiden yang benar.
"Dan siapa presiden sebelumnya?" tanya Zo?.
Bianca berpikir sejenak. "Roosevelt."
Zo? menelan ludah. "Theodore atau Franklin?"
"Franklin," kata Bianca. "F.D.R."
"Kayak Jalan Raya FDR?" tanyaku. Karena serius,
hanya itu yang kuketahui tentang F.D.R.
"Bianca," kata Zo?. "F.D.R. bukanlah presiden terakhir.
Itu sekitar tujuh puluh tahun lalu."
"Itu mustahil," kata Bianca. "Aku ... aku belum setua
itu." Dia memandangi tangannya seolah ingin memastikan
tangannya belum keriputan.
Mata Thalia berubah iba. Kurasa dia sendiri tahu
bagaimana rasanya ditarik dari pusaran waktu selama
beberapa waktu. "Tidak apa-apa, Bianca. Yang terpenting
adalah kau dan Nico selamat. Kalian berhasil keluar."
"Tapi bagaimana bisa?" kataku. "Kami hanya berada di
sana selama sejam dan kami nyaris tak bisa keluar.
Bagaimana kau bisa membebaskan diri setelah tinggal di
sana sekian lama?" "Aku sudah bilang padamu." Bianca tampak hampir
menangis. "Seorang laki-laki datang dan bilang sudah
waktunya untuk pergi. Dan?"
"Tapi siapa" Kenapa dia melakukannya?"
Sebelum dia dapat menjawab, kami diterpa oleh cahaya
menyilaukan dari tengah jalan. Lampu depan mobil muncul
begitu saja. Aku setengah berharap itu adalah Apollo,
datang untuk memberi kami tumpangan lagi, namun


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesinnya terlalu hening bagi kendaraan matahri, dan lagi
pula, sekarang sudah malam. Kami memberesi kantongkantong tidur kami dan segera menepi begitu limusin putih
berbahaya meluncur hingga berhenti tepat di hadapan kami.
*** Pintu belakang limusin itu membuka tepat di sebelahku.
Sebelum aku bisa melangah menjauh, mata pedang
menyentuh tenggorokanku. Aku mendengar suara Zo? dan Bianca menyiagakan
busur-busur mereka. Begitu pemilik pedang itu keluar dari
dalam mobil, aku mundur dengan sangat perlahan. Aku
harus melakukannya, karena dia menekan mata pedangnya
ke bawah daguku. Dia tersenyum keji. "Tidak begitu gesit kini, kau yah,
bocah tengik?" Dia adalah pria besar dengan potongan rambut krukat,
jaket kulit hitam khas pengendara motor, jins hitam, kaus
putih tanpa lengan, dan sepatu bot tentara. Kacamata gelap
menutupi matanya, tapi aku tahu apa yang ada di balik dua
lensa kacamatnya"soket kosong penuh dengan kobaran
api. "Ares," geramku.
Dewa Perang itu memandangi teman-temanku.
"Santailah, Anak-anak."
Dia menjentikkan jarinya, dan senjata-senjata mereka
terjatuh ke tanah. "Ini adalah pertemuan damai." Dia menekan ujung
pedangnya sedikit lebih jauh di bawah daguku. "Tentu saja
aku ingin sekali membawa kepalamu sebagai trofi, tapi
seseorang ingin bertemu denganmu. Dan aku tak pernah
memenggal musuh-musuhku di hadapan seorang wanita."
"Wanita?" tanya Thalia.
Ares menoleh ke arahnya. "Wah, wah. Kudengar kau
telah kembali. Dia menurunkan pedangnya dan mendorongku
menjauh. "Thalia, putri Zeus," renung Ares. "Kau tak bergaul
dengan teman-teman yang baik."
"Apa urusanmu, Ares?" sembur Thalia. "Siapa yang
ada di dalam mobil?"
Ares tersenyum, menikmati perhatiannya. "Oh, aku
ragu dia ingin bertemu dengan kalian semua. Khususnya
mereka." Dia memajukan dagunya ke arah Zo? dan Bianca.
"Mengapa kalian semua tidak pergi saja membeli taco
sementara menunggu" Dia hanya akan bicara dengan Percy
selama beberapa menit."
"Kami tak akan meninggalkannya sendiri bersama
dikau, Dewa Ares," ujar Zo?.
"Lagi pula," ucap Grover pada akhirnya, "tempat
taconya kan tutup." Ares menjentikkan jarinya lagi. Lampu-lampu di dalam
kedai Meksiko itu tiba-tiba menyala. Papan-papan yang
memalang pintu berjatuhan dan tanda TUTUP membalik ke
tulisan BUKA. "Kau bilang apa tadi, bocah kambing?"
"Pergilah," kataku pada teman-teman. "Aku akan
tangani ini." Aku berusaha terdengar lebih percaya diri dari yang
kurasakan sesungguhnya. Kurasa Ares tak terkelabui.
"Kau dengar bocah ini," ujar Ares. "Dia besar dan kuat.
Dia bisa mengatasi segalanya."
Teman-temanku berpaling dengan ragu menuju
restoran taco. Ares memandangiku dengan pandangan benci,
kemudian membuka pintu limusin layaknya seorang supir.
"Masuklah ke dalam, bocah," ujarnya. "Dan jaga
sopan-santunmu. Dia lebih tak menoleransi kekasaran
daripadaku." Saat aku menatapnya, rahangku hampir copot.
Aku lupa akan namaku. Aku lupa di mana aku berada.
Aku lupa bagaimana cara bicara satu kalimat penuh.
Wanita itu mengenakan gaun satin merah dan
rambutnya dikeriting dalam jalinan ikal kecil. Wajahnya
adalah wajah tercantik yang pernah kulihat: rias wajah yang
sempurna, sepasang mata memikat, senyuman yang bisa
mencerahkan sisi gelap rembulan.
Saat mengenangnya kembali, aku tak bisa menjelaskan
padamu serupa siapa sosoknya. Atau bahkan apa warna
rambut atau matanya. Pilihlah aktris tercantik yang terpikir
olehmu. Sang dewi ini sepuluh kali lipat lebih cantik
darinya. Pilihlah warna rambut kesukaanmu, warna mata,
atau apa pun. Sang dewi meiliki itu semua.
Saat dia tersenyum padaku, sekilas dia tampak sedikit
mirip Annabeth. Kemudian jadi mirip bintang televisi yang
pernah kutaksir saat kelas lima SD. Kemudia ... yah, kau
dapat gambarannya. "Ah, akhirnya kau datang, Percy," ujar sang dewi.
"Aku Aphrodite."
Aku bergeser menduduki jok di seberangnya dan
mengatakan sesuatu seperti, "Em eh gah."
Dia tersenyum. "Kau manis sekali. Tolong pegangi
ini." Dia menyondorkanku sebuah cermin berkilat seukuran
piring makan malan dan memintaku memeganginya
untuknya. Dia mencondongkan tubuhnya dan memulas
lipstiknya, meski kulihat lipstik di bibirnya masih sempurna.
"Apa kau tahu mengapa kau ada di sini?" tanyanya.
Aku ingin menjawab. Kenapa aku sampai tak bisa
menyusun satu kalimat lengkap" Dia hanya seorang wanita.
Seorang wanita yang sangat canti. Dengan mata serupa
kolam mata air ... Wow. Kucubit lenganku, keras-keras.
"Aku ... aku nggak tahu," ucapku akhirnya.
"Oh, Sayang," ujar Aphrodite. "Masih menyangkal
juga?" Di luar mobil, aku bisa mendengar Ares terkekeh. Aku
merasa dia bisa mendengar seluruh perbincangan kami.
Bayangan dirinya berada di luar sana membuatku marah,
dan itu membuat pikiranku lebih jernih.
"Aku nggak tahu apa maksudmu," kataku.
"Yah kalau begitu, kenapa kau mengikuti misi ini?"
"Artemis ditangkap!"
Aphrodite memutar bola matanya. "Oh, Artemis.
Kumohon. Itu kasus yang sangat tak penting. Maksudku,
kalaupun mereka mau menangkap seorang dewi, seharusnya dia adalah seorang dewi yang cantik memesona,
bukankah begitu" Aku merasa kasihan pada makhluk
malang yang harus menahan Artemis. Mem-bo-san-kan!"
"Tapi dia sedang mengejar monster," protesku.
"Monster yang sangat mengerikan. Kami harus mencarinya!"
Aphrodite menyuruhku memegang cermin sedikir lebih
tinggi. Dia sepertinya menenmukan masalah mikroskopis di
sudut matanya dan mulai membenahi maskaranya. "Selalu
tentang monster. Tapi sayangku Percy, itulah alasan anakanak yang lain menjalani misi ini. Aku lebih tertarik padamu."
Jantungku berdebar. Aku tak ingin menjawab, tapi
matanya mampu menarik jawaban dari mulutku. "Annabeth
sedang terancam." Aphrodite berbinar. "Tepat sekali."
"Aku harus menolongnya," ujarku. "Aku mendapati
beberapa mimpi." "Ah, kau bahkan memimpikan dirinya! Itu manis
sekali!" "Tidak! Maksudku ... bukan itu maksudku."
Dia membuat suara ck ck ck. "Percy, aku berada di
pihakmu. Lagi pula, akulah alasan yang menyebabkanmu
bisa berada di sini."
Aku memandanginya. "Apa?"
"Kaus beracun yang diberikan Stoll bersaudara pada
Phoebe," ujarnya. "Apa kau pikir itu sebuah kecelakaan"
Mengirim Blackjack untuk mencarimu" Membantumu
keluar diam-diam dari perkemahan?"
"Kau yang melakukannya?"
"Tentu saja! Karena jujur sajalah, betapa membosankannya para Pemburu itu! Sebuah misi mencari
monster, bla bla bla. Menyelamatkan Artemis. Biarkan saja
dia terus menghilang, menurutku. Tapi sebuah misi
pencarian cinta sejati?"
"Tunggu sebentar. Aku nggak pernah bilang?"
"Oh, Sayang, kau tak peerlu mengucapkannya. Kau
tentu tahu bahwa Annabeth nyaris saja bergabung dengan
para Pemburu, bukan?"
Aku merona. "Aku nggak tahu pasti?"
"Dia nyaris saja menyia-nyiakan hidupnya! Dan kau,
Sayang, kau bisa mencegahnya dari tindakan itu. Romantis
sekali!" "Eh ..." "Oh, turunkan cerminnya," Aphrodite memerintahkan.
"Aku tampak baik-baik saja."
Aku tak sadar aku masih memegangnya, tapi begitu aku
menurunkannya, kusadari betapa pegalnya lenganku.
"Sekarang dengarkan, Percy," kata Aphrodite. "Para
Pemburu adalah musuhmu. Lupakan mereka dan Artemis
dan monster itu. Itu tak penting. Kau cukup memfokuskan
pikiran untuk mencari dan menyelamatkan Annabeth."
"Apa kau tahu di mana dia berada?"
Aphrodite mengibaskan tangannya kesal. "Tidak, tidak.
Kuserahkan urusan-urusan detail itu padamu. Tapi sudah
lama sekali sejak kami mendapati sebuah kisah cinta tragis
yang indah." "Hei, pertama-tama, aku nggak pernah bilang apa pun
tentang cinta. Dan kedua, apanya yang tragis?"
"Cinta mengalahkan segalanya," Aphrodite menjanjikan. "Lihat saja Helen dan Paris. Apakah mereka
membiarkan apa pun menghalangi cinta mereka berdua?"
"Bukankah mereka memulai Perang Troya dan
mengakibatkan ribuan orang tewas?"
"Fuuuh. Bukan itu intinya. Ikuti kata hatimu."
"Tapi ... aku nggak tahu apa katanya. Hatiku,
maksudku." Aphrodite tersenyum simpati. Dia memang sungguh
memesona. Dan itu bukan hanya karena wajahnya yang
cantik atau bagaimana. Dia begitu memercayai cinta, hingga
sulit untuk tak merasa bersemangat saat mendengar dia
membicarakannya. "Tak mengetahui adalah separuh dari sisi menariknya,"
ujar Aphrodite. "Sangat menyakitkan, bukan" Tidak yakin
siapa yang kaucintai dan siapa yang mencintaimu" Oh, dasar
anak-anak! Kalian manis sekali sampai-sampai aku ingin
menangis jadinya." "Tidak, tidak," kataku. "Jangan lakukan itu."
"Dan jangan khawatir," ujarnya. "Aku tak akan
menjadikan ini kisah yang mudah dan membosankan
untukmu. Tidak, aku masih akan menyimpan beberapa
kejutan menarik. Penderitaan. Ketidakpastian. Oh, kau
tunggu saja nanti." "Tak apa-apa," kataku padanya. "Jangan repot-repot."
"Kau sungguh manis sekali. Andai semua putriku bisa
mematahkan hati anak laki-laki semanis dirimu." Mata
Aphrodite mulai berkaca-kaca. "Sekarang, kau sebaiknya
pergi. Dan berhati-hatilah di teritori suamiku, Percy. Jangan
ambil apa pun. Dia sangat cerewet terhadap pernak-pernik
dan rongsokannya." "Apa?" tanyaku. "Maksudmu Hephaestus?"
Tapi pintu mobil itu membuka dan Ares merenggut
pundakku, menarikku keluar dari mobil dan kembali ke
kegelapan gurun. Perjumpaan dengan sang dewi cinta berakhir sudah.
"Kau beruntung, bocah tengik." Ares mendorongku dari
limusinnya. "Berterima kasihlah."
"Untuk apa?" "Atas kebaikan hati kami. Kalau urusan ini diserahkan
padaku?" "Lalu kenapa tak kau bunuh saja aku?" aku membalas
gertakannya. Itu adalah perkataan yang bodoh untuk
disampaikann pada dewa perang, tapi berada di dekatnya
selalu membuatku merasa marah dan nekat.
Ares mengangguk, seolah aku akhirnya mengatakan
sesuatu yang cerdas. "Aku akan dengan senang hati membunuhmu, serius,"
ujarnya. "Tapi begini, ada situasi yang sedang kuhadapi.
Menurut desas-desus yang beredar di Olympus, kau
kemungkinan akan melancarkan peperangan terbesar dalam
sejarah. Aku tak ingin mengacaukan itu. Lagi pula, bagi
Aphrodite kau sudah seperti sosok pemain opera-sabun atau
semacannya. Jika aku membunuhmu, hal itu akan
membuatku tampak buruk di hadapnnya. Tapi jangan
khawatir. Aku belum melupakan janjiku. Suatu hari nanti,
nak"tak lama lagi"kau akan mengangkat pedangmu
dalam pertarungan, dan kau akan mengingat kemurkaan
Ares." Aku mengepalkan tanganku. "Kenapa mesti
menunggu" Aku sudah mengalahkanmy sekali. Apa
pergelangan kakimu sudah sembuh?"
Dia menyeringai licik. "Gertakanmu lumayan juga,
bocah tengik. Tapi kau tetap tak ada apa-apanya di banding
jagonya penggertak. Aku akan memulai pertarungan begitu
aku siap. Hingga saat itu tiba ... Enyahlah."
Dia menjentikkan jarinya dan dunia berputar tiga ratus
enam puluh derajat, berputar dalam pusaran debu-debu
merah. Aku terjatuh ke tanah.
Saat aku berdiri lagi, limusin itu telah menghilang.
Jalanannya, restoran taconya, seluruh kota dari Gila Claw
telah menghilang. Teman-temanku dan aku berdiri di
tengah-tengah pusat pembuangan sampah, bergununggunung rongsokan logam membentang ke segala penjuru.
"Apa yang dia inginkan darimu?" tanya Bianca, begitu
kuceritakan pada mereka tentang Aphrodite.
"Oh, eh, nggak yakin juga," aku berbohong. "Dia
menyuruh kita untuk berhati-hati dengan tempat sampah
suaminya. Dia bilang untuk tak mengambil apa pun."
Zo? memicingkan matanya. "Dewi cinta tak akan
menempuh perjalanan khusus hanya untuk memberitahumu
hal itu. Berhati-hatilah, Percy. Aphrodite telah
mengakibatkan banyak pahlawan binasa."
"Untuk sekali-kalinya aku setuju dengan Zo?," timpal
Thalia. "Kau tak bisa memercayai Aphrodite."


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Grover menatapku dengan cara aneh. Sebagai orang
yang berempati tinggi, biasanya dia bisa membaca emosiku,
dan aku merasa dia tahu persis akan apa yang dibicarakan
oleh Aphrodite padaku. "Jadi," kataku, ingin segera mengalihkan topik,
"bagaimana kita bisa keluar dari sini?"
"Ke sana," kata Zo?. "Itulah arah barat."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Di bawah cahaya bulan purnama, aku terkejut seberapa
baiknya aku bisa melihat Zo? memutar bola matanya ke
arahku. "Ursa Mayor berada di utara," katanya, "itu artinya
arah itu pasti barat."
Dia menunjuk ke barat, kemudian pada rasi bintang
utara, yang sulit dikenali karena ada begitu banyak bintang
lain di sana. "Oh, yeah," kataku. "Yang kayak beruang-beruangan
itu." Zo? tampak tersinggung. "Tunjukkan penghormatanmu. Itu bukanlah beruang sembarangan. Ia adalah lawan
yang kuat." "Kau bersikap seolah ia sungguhan."
"Teman-teman," sela Grover. "Lihatlah!"
Kami sampai di puncak gunung sampah. Bertumpuktumpuk barang logam berkilat di bawah sinar rembulan:
potongan-potongan kepala kuda perunggu, kaki-kaki logam
dari patung manusia, bangkai kereta tempur yang sudah
rusak, berton-ton perisai dan pedang dan senjata-senjata
lain, bersama dengan barang-barang yang lebih modern,
seperti mobil-mobil yang bersepuh emas dan perak, lemari
es, mesin cuci, dan layar monitor komputer.
"Wow," seru Bianca. "Barang-barang itu ... sebagian
kelihatan kayak emas sungguhan."
"Memang," ujar Thalia serius. "Seperti yang dibilang
Percy tadi, jangan sentuh apa pun. Ini adalah tempat
pembuangan sampah para dewa."
"Sampah?" Grover memungut sebuah mahkota cantik
terbuat dari emas, perak, dan perhiasan. Mahkota itu patah
di satu sisi, seolah habis dibelah oleh kapak. "Kau sebut ini
sampah?" Dia menggigit ujungnya dan mulai mengunyah. "Ini
kan enak!" Thalia merebut mahkota itu dari tangan Grover. "Aku
serius!" "Lihat!" seru Bianca. Dia ber;ari menuruni bukit,
terpeleset oleh gulungan perunggu dan piring-piring emas.
Dia memungut sebuah busur yang berkilat keperakan di
bawah sinar rembulan. "Busur Pemburu!"
Dia memekik terkejut saat busur itu mulai menciut, dan
membentuk sebuah jepitan rambut berbentuk bulan sabit.
"Ini persis kayak pedang Percy!"
Wajah Zo? tegang. "Tinggalkan, Bianca."
"Tapi?" "Benda itu ada di sini karena suatu alasan. Semua yang
dibuang di tempat sampah ini harus tetap di tempat ini. Ini
semua adalah barang-barang rusak. Atau menyimpan
kutukan." Bianca dengan enggan menaruh kembali jepit rambut
itu. "Aku nggak suka tempat ini," kata Thalia. Dia
mencengkeram batang tombaknya.
"Apa menurutmu kita akan diserang oleh lemari es si
pembunuh berdarah dingin?" tanyaku.
Dia memberiku tatapan tajam. "Zo? benar, Percy.
Barang-barang di sunu pasti dibuang karena suatu alasan.
Sekarang ayolah, mari kita seberangi tempat ini."
"Itu kali kedua kau setuju dengan Zo?," gumamku, tapi
Thalia tak mengacuhkanku.
Kami mulai mencari jalan melewati bebukitan dan
lembah-lembah sampah. Rongsokan ini seperti tak ada
habis-habisnya, dan kalau saja tak ada Ursa Mayor, kami
pasti sudah tersesat. Semua bukit ini terlihat sama semua.
Aku ingin bilang kami tak menyentuh barang-barang
ini, tapi ada terlalu banyak sampah-sampah keren yang
sebagian mesti kami periksa. Kutemukan sebuah gitar listrik
bebentuk seperti lyre Apollo yang sangat keren hingga aku
harus memungutnya. Grover menemukan potongan pohon
Pendekar Setia 1 Setan Harpa Karya Khu Lung Kekayaan Yang Menyesatkan 4

Cari Blog Ini