Ceritasilat Novel Online

Lautan Monster 1

Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan Bagian 1


PE R C Y JA C K S O N & T H E
O LY M P I A N S -T H E SE A O F M O N S T E R SLAUTAN MONSTER
RICK RIORDAN Buku adalah Jendela Ilmu Please respect the author"s
copyright and purchase a legal copy of
this book www.AnesUlarNaga.com Untuk Patrick John Riordan,
pendongeng terbaik di keluarga
Isi Buku 1. Sahabatku Berbelanja Gaun Pengantin
2. Aku Bermain Bola Karet dengan Para Kanibal
3. Kami Memanggil Taksi Penyiksaan Abadi
4. Tyson Bermain dengan Api
5. Aku Mendapat Teman Kabin Baru
6. Serangan Merpati Iblis
7. Aku Menerima Hadiah dari Orang Asing
8. Kami Menaiki Putri Andromeda
9. Aku Menjalani Reuni Keluarga Terburuk
10. Kami Menumpang Kendaraan Bersama Hantu-Hantu Anggota Konfederasi
11. Clarisse Meledakkan Segalanya
12. Kami Mendatangi Resort & Spa C.C.
13. Annabeth Mencoba Berenang Pulang
14. Kami Bertemu Domba Pembawa Malapetaka
15. Bukan Siapa-Siapa Mendapat Bulu Domba
16. Aku Karam Bersama Kapal
17. Kami Mendapat Kejutan di Pantai Miami
18. Serbuan Kuda-Kuda Poni Pesta
19. Lomba Kereta Tempur Berakhir dengan Gempar
20. Sihir Bulu Domba Itu Terlampau Ampuh
Ucapan Terima Kasih Sa h a ba t k u Be rbe l a n j a
G a u n Pe n g a n t i n Mimpi burukku berawal seperti ini.
Aku sedang berdiri di jalanan sunyi di sebuah kota pantai kecil. Saat itu
tepat tengah malam. Badai menerjang. Dera angin dan hujan mencabik-cabik
deret pepohonan palem sepanjang trotoar. Bagunan semen merah jambu dan
kuning menjajari tepi jalan, jendela-jendelanya tertutupi papan. Satu blok di
depan, melewati semak-semak kembang sepatu, lautan tampak bergulung
ganas. Florida, pikirku. Meski aku tak yakin bagaimana aku bisa tahu itu. Aku
tak pernah menginjakkan kakiku di Florida sebelumnya.
Kemudian aku mendengar suara derap kaki hewan menapaki jalan. Aku
menoleh dan melihat temanku Grover berlari terbirit-birit.
Betul, aku bilang derap kaki hewan.
Grover adalah seorang satir. Dari pinggang ke atas, dia kelihatan seperti
pemuda jangkung tipikal dengan jenggot pendek berwarna oranye muda dan
mengidap jerawat parah. Dia berjalan dengan pincang, tapi kecuali kau
mendapatinya sedang tak memakai celana (yang sangat tak kusarankan), kau
tak akan mendapat kesan nonmanusia darinya sama sekali. Celana jins longgar
dan kaki palsu menyembunyikan fakta bahwa dia memiliki bokong berbulu dan
sepasang kaki berkuku belah.
Grover adalah sahabatku di kelas enam. Dia pernah menyertai
petualangan bersamaku, dan juga bersama dengan seorang gadis bernama
Annabeth untuk menyelamatkan dunia, tapi aku belum bertemu dengan Grover
semenjak Juli lalu, saat dia memulai misi berbahayanya seorang diri"sebuah
misi yang tak pernah ditempuh seorang satir dengan selamat.
Omong-omong, dalam mimpiku, Grover tengah menyeret ekor kambingnya, sembari menggenggam sepasang sepatu manusianya dengan
kedua tangannya seperti yang biasa dia lakukan saat harus bergerak cepat. Dia
berderap cepat melewati toko-toko kecil penjual cedera mata bagi wisatawan
dan tempat-tempat penyewaan papan seluncur. Angin membengkokkan batangbatang pohon palem hingga nyaris mencium tanah.
Grover takut akan sesuatu di belakangnya. Dia pasti baru datang dari sisi
pantai. Pasir basah menutupi bulu-bulunya. Dia baru terbebas dari suatu
tempat. Dia berusaha membebaskan diri dari " sesuatu.
Suara geraman yang mengerikan membelah badai. Di belakang Grover, di
ujung belakang blok, sesosok bayangan muncul. Ia memukul satu lampu jalan,
yang menyemburkan bunga-bunga api.
Grover terhuyung-huyung, meringis ketakutan. Dia bergumam pada diri
sendiri, Harus melarikan diri. Harus memperingatkan mereka!
Aku tak bisa melihat apa yang mengejarnya, tapi aku dapat mendengar
gumaman dan umpatannya. Permukaan tanah bergetar saat ia makin mendekat.
Grover berlari ke pojok sebuah jalan dan terhenti. Dia berlari ke pekarangan
buntu yang dipenuhi toko. Tak ada waktu untuk berbalik arah. Pintu terdekat
terbanting membuka oleh terpaan badai. Plang di atas jendela etalase bertulis:
BUTIK PENGANTIN ST. AUGUSTINE.
Grover melesat masuk. Dia bersembunyi di balik rak penuh gaun
pengantin. Bayangan monster melewati muka toko. Aku dapat menghirup baunya"
kombinasi memuakkan dari bulu domba dan daging busuk dan bau tubuh
masam aneh yang hanya dimiliki para monster, seperti sigung yang sehari-hari
makan masakan Meksiko. Grover gemetar di balik gaun-gaun pengantin. Bayangan sang monster
melintas. Keheningan selain bunyi derai hujan. Grover menarik napas dalam.
Mungkin sosok itu telah pergi.
Kemudian kilat menyambar. Seluruh muka toko meledak, disusul suara
auman monster: "MILIKKU!"
Aku tersentak bangun, menggigil di tempat tidurku.
Tak ada badai. Tak ada monster.
Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar tidurku.
Kukira aku melihat sekelebat bayangan melintas di luar jendela"
bayangan seperti manusia. Namun, kemudian ada ketukan di pintu kamar
tidurku"ibuku memanggil: "Percy, kau akan terlambat?"dan sebentuk
bayangan di jendela itu pun menghilang.
Pasti hanya khayalanku saja. Jendela lantai lima dengan jalan keluar
darurat yang sudah usang dan reyot " tak mungkin ada orang di luar sana.
"Ayolah, Sayang," panggil ibuku lagi. "Hari terakhir sekolah. Seharusnya
kau gembira! Kau sudah hampir berhasil!"
"Sebentar," seruku.
Aku meraba ke bawah bantalku. Jemariku menggenggam erat pena yang
selalu menemani tidurku. Kukeluarkan pena itu, kuamati tulisan Yunani Kuno
yang terukir di sisinya: Anaklusmos. Riptide.
Aku ingin melepas tutupnya, namun sesuatu menahanku. Sudah lama
aku tak menggunakan Riptide ".
Lagi pula, ibuku telah membuatku berjanji untuk tidak menggunakan
senjata berbahaya di apartemen setelah aku mengayunkan lembing ke arah yang
salah dan menghancurkan seisi rak pajangan keramik Cina miliknya. Aku
menaruh Anaklusmos di meja sisi tempat tidurku dan memaksa diriku bangkit
dari tempat tidur. Aku berganti pakaian secepat yang kubisa. Aku berusaha tak memikirkan
tentang mimpi burukku atau monster atau bayangan di jendelaku.
Harus melarikan diri. Harus memperingatkan mereka!
Apa yang Grover maksudkan"
Aku membuat gerakan cakar tiga-jari di atas jantungku dan mendorong
ke depan"isyarat purbakala yang pernah diajarkan Grover padaku untuk
menangkal bala. Mimpi itu tak mungkin nyata.
Hari terakhir sekolah. Ibuku benar, seharusnya aku gembira. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku hampir melewati setahun penuh tanpa
dikeluarkan. Tak ada kecelakaan aneh. Tak ada perkelahian di kelas. Tak ada
guru yang berubah jadi monster dan mencoba membunuhku dengan makanan
kafetaria beracun atau tugas rumah yang meledak. Besok, aku akan menempuh
perjalanan menuju tempat yang paling kusukai di seluruh dunia"Perkemahan
Blasteran. Tinggal sehari lagi. Sudah pasti bahkan aku sendiri tak akan
mengacaukannya. Seperti biasa, aku tak menyadari betapa salahnya aku.
Ibuku menyiapkan wafel biru dan telur biru untuk sarapan. Kebiasaannya
memang lucu, merayakan momen istimewa dengan makanan serbabiru. Kurasa
itu caranya mengungkapkan bahwa tak ada yang tak mungkin. Percy bisa lulus
dari kelas tujuh. Wafel bisa berwarna biru. Berbagai keajaiban kecil seperti itu.
Aku menyantap sarapanku di meja dapur sementara ibuku mencuci
piring. Dia mengenakan seragam kerjanya"rok biru berbintang-bintang dan
blus bergaris merah-putih yang dia kenakan untuk menjual permen di toko
Sweet on America. Rambut cokelat panjangnya diikat kuncir kuda.
Wafelnya sungguh lezat, tapi kurasa aku tak melahapnya seperti biasa.
Ibu menatapku dan mengerutkan alisnya. "Percy, apa kau baik-baik saja?"
"Yeah " tentu."
Tapi Ibu selalu tahu ketika ada sesuatu yang menggangguku. Dia segera
mengeringkan tangannya dan duduk di depanku. "Sekolah atau " "
Dia tak perlu menyelesaikan ucapannya. Aku sudah tahu maksud
pertanyaannya. "Aku merasa Grover sedang dalam masalah," ucapku, dan aku
memberitahunya tentang mimpiku.
Ibu mengerucutkan bibirnya. Kami tak berbicara banyak tentang bagian
hidupku yang lain. Kami berusaha menjalani hidup senormal mungkin, tapi
ibuku tahu segalanya tentang Grover.
"Aku tak akan terlalu mencemaskannya, Sayang," kata Ibu. "Grover
adalah seorang satir yang besar sekarang. Jika ada masalah, aku yakin kita pasti
akan mendengarnya dari " dari perkemahan ". " Bahu Ibu menegang saat dia
mengucapkan kata perkemahan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tak ada apa-apa," ucap Ibu. "Begini saja. Sore ini kita akan merayakan
hari terakhir sekolah. Ibu akan mengantarmu dan Tyson ke Rockefeller Center"
ke toko skateboard yang kau senangi."
Oh, ya ampun, itu akan asyik sekali. Kami selalu menghemat uang. Di
antara kelas-kelas malam ibuku dan biaya sekolah swastaku, kami tak pernah
mampu untuk melakukan hal-hal istimewa seperti membeli skateboard. Tapi
nada suaranya mengusikku.
"Tunggu dulu," seruku. "Kupikir kita akan berkemas untuk menyiapkan
diriku berangkat ke perkemahan malam ini."
Ibu memuntir lap piringnya. "Ah, Sayang, tentang itu " Ibu mendapat
pesan dari Chiron semalam."
Semangatku menciut. Chiron adalah penanggung jawab kegiatan di
Perkemahan Blasteran. Dia tak akan menghubungi kami kecuali ada sesuatu
yang serius terjadi. "Apa yang dikatakannya?"
"Menurutnya " mungkin belum aman untukmu datang ke perkemahan
saat ini. Kita mungkin harus menundanya?"
"Menunda" Ibu, bagaimana mungkin perkemahan itu bisa tidak aman"
Aku adalah blasteran! Justru perkemahan itu satu-satunya tempat teraman di
muka bumi ini untukku!"
"Biasanya memang begitu, Sayang. Tapi dengan masalah yang sedang
mereka alami?" "Masalah apa?" "Percy " Ibu benar-benar minta maaf. Ibu berencana membicarakan ini
denganmu sore nanti. Ibu tak bisa menjelaskannya semua sekarang. Ibu bahkan
tak yakin Chiron pun bisa. Semuanya terjadi secara tiba-tiba."
Pikiranku berputar-putar. Bagaimana mungkin aku tak pergi ke
perkemahan" Aku sudah berencana mengajukan jutaan pertanyaan, tapi tepat
saat itu jam dinding dapur berdentang menunjukkan telah lewat setengah jam.
Ibuku nyaris tampak lega. "Tujuh tiga puluh, sayang. Kau sudah harus
berangkat. Tyson akan menunggu."
"Tapi?" "Percy, kita akan bicarakan ini nanti sore. Berangkatlah ke sekolah."
Itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan, tapi sorot mata ibuku
tampak begitu mengibas"semacam peringatan, seolah jika aku terlalu
mendesaknya dia akan mulai menangis. Lagi pula, Ibu memang benar tentang
temanku Tyson. Aku harus segera menemuinya di stasiun kereta bawah tanah
tepat waktu. Jika tidak, dia akan kebingungan dia takut menempuh perjalanan
bawah tanah sendirian. Aku membenahi barang-barangku, tapi berhenti di ambang pintu. "Bu,
masalah di perkemahan ini. Apakah " mungkinkah itu ada hubungannya
dengan mimpiku tentang Grover?"
Ibu menghindari tatapan mataku. "Kita akan bicarakan ini nanti sore,
Sayang. Ibu akan jelaskan " sebanyak yang Ibu bisa."
Dengan enggan, aku mengucapkan selamat tinggal. Aku berlari turun
tangga berusaha mengejar kereta Nomor Dua.
Aku belum tahu saat itu, tetapi Ibu dan aku tak akan mendapat
kesempatan untuk berbincang di sore hari.
Bahkan, aku tak akan melihat rumah untuk waktu yang sangat lama.
Selagi melangkah keluar, aku memandang gedung berbatu bata di depan
jalan. Hanya sedetik, aku melihat sebentuk bayangan gelap di bawah cahaya
matahari"siluet manusia di balik tembok batu bata, bayangan yang tak berasal
dari mana pun. Kemudian ia beriak dan lenyap.
A k u Be r m a i n Lempa r B o l a K a r e t
d e n g a n Pa r a K a n i b a l
Hariku berawal dengan normal. Atau senormal yang mungkin di Meriwether
College Prep. Begini, ini adalah sekolah "progresif" di pusat kota Manhattan, yang
artinya kami duduk di atas sekarung kacang alih-alih kursi kelas biasa, dan kami
tidak memperoleh nilai rapor, dan para gurunya mengenakan jins dan kaus
konser rock saat mengajar.
Itu sih asyik-asyik saja buatku. Maksudku, toh aku pengidap GPPH
(gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas) dan disleksia, seperti
kebanyakan anak blasteran, jadi nilai-nilaiku tak pernah baik di sekolah biasa
bahkan sebelum mereka mengeluarkanku. Satu-satunya hal buruk dari sekolah
Meriwether ini adalah para gurunya selalu melihat segala sesuatu dari sisi
terangnya, padahal anak-anaknya tak selalu " yah, terang, alias cerdas.
Ambil contoh jam pelajaran pertamaku hari ini: Bahasa Inggris. Seluruh
siswa pertengahan telah membaca satu buku berjudul Lord of the Flies, di mana
semua anak dalam cerita itu terdampar di sebuah pulau dan berubah jadi
sinting. Jadi untuk ujian akhir kami, guru kami menyuruh kami ke pekarangan
luar untuk menghabiskan satu jam penuh tanpa pengawasan orang dewasa
untuk melihat apa yang akan terjadi. Yang terjadi adalah perlombaan tarik-jepret
tali celana kolor besar-besaran antara anak kelas tujuh dan delapan, dua
perkelahian adu kelereng, dan pertandingan bola basket asal hantam dan
dorong. Murid peninda, Matt Sloan, memimpin sebagian besar aktivitas yang
terjadi. Sloan sebenarnya tidak besar atau kuat, tetapi lagaknya sudah seperti
jagoan. Dia punya mata seperti anjing pit bull, dengan rambut hitam gondrong
acak-acakan, dan dia selalu mengenakan pakaian yang mahal tapi berantakan,
seolah dia ingin memberi tahu orang lain bagaimana dia sama sekali tak peduli
pada uang keluarganya. Salah satu gigi depannya ompong gara-gara dia pernah
mengendarai mobil Porsche ayahnya untuk kebut-kebutan dan menabrak plang
bertulisan TOLONG PELAN-PELAN, ADA ANAK-ANAK.
Omong-omong, Sloan sedang menarik tali celana kolor semua anak
sampai dia berbuat satu kesalahan saat mencobanya pada temanku Tyson.
Tyson adalah satu-satunya anak yang tak punya rumah di Meriwether


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

College Prep. Menurut perkiraan aku dan ibuku, dia ditinggalkan oleh
orangtuanya saat dia masih sangat kecil, barangkali karena dia sangat "
berbeda. Tinggi badannya hampir mencapai dua meter dan tampak bagai Yeti
sang Manusia Salju, tapi dia sering sekali menangis dan takut pada hampir
segala hal, termasuk bayangan dirinya sendiri. Bentuk wajahnya aneh dan
tampak brutal. Aku tak bisa tahu apa warna matanya, karena aku hanya bisa
memandang sampai sebatas deret giginya yang tumpang-tindih. Suaranya berat,
tapi cara bicaranya lucu, mirip anak yang berumur jauh lebih kecil"kurasa itu
karena dia tak pernah bersekolah sebelum masuk Meriwether ini. Dia
mengenakan celana jins belel, sepatu kets dekil ukuran 20, dan kemeja flanel
kotak-kotak yang bolong di sana-sini. Badannya berbau seperti jalan-jalan gang
kota New York, karena di sanalah tempat tinggalnya, dalam kotak kardus bekas
lemari es, tepat di 72nd street.
Meriwether Prep mengadopsinya sebagai salah satu proyek bakti
masyarakat agar semua siswa bisa merasa telah berbuat baik. Sayangnya,
sebagian besar dari mereka tak tahan dengan Tyson. Begitu mereka tahu bahwa
dia anak yang cengeng, di balik badannya yang besar dan tampangnya yang
seram, mereka langsung membuat diri mereka merasa lebih baik dengan
mengerjainya. Bisa dibilang aku teman Tyson satu-satunya, yang artinya dia
adalah satu-satunya temanku.
Ibuku telah mengeluh ke sekolah jutaan kali bagaimana mereka harus
membantu Tyson lebih banyak. Ibu menelepon pihak LSM, tetapi kelihatannya
tetap tak ada hasilnya. Pekerja LSM mengatakan Tyson tak ada. Mereka
bersumpah telah menjelajahi gang yang kami terangkan dan tak dapat
menemukan bocah itu, meski bagaimana kau bisa melewatkan bocah raksasa
yang tinggal dalam kardus bekas lemari es, terdengar agak ajaib.
Omong-omong, Matt Sloan merayap di belakangnya dan berusaha
menarik kolornya, dan Tyson panik. Dia menepis Sloan sedikit terlalu keras.
Sloan terbang sejauh lima meter dan tersangkut di ayunan ban yang
diperuntukkan bagi anak-anak kecil.
"Dasar anak aneh!" teriak Sloan. "Kenapa kamu nggak balik saja ke kotak
kardusmu!" Tyson mulai sesenggukan. Dia mendudukkan pantatnya di rangka-panjat
dengan begitu kerasnya sampai-sampai tiang yang didudukinya melendut, dan
membenamkan wajahnya di balik kedua tangannya.
"Tarik kembali ucapanmu, Sloan!" bentakku.
Sloan cuma mencibir ke arahku. "Kenapa sih kamu mau repot-repot,
Jackson" Kamu bisa saja punya teman-teman kalau kamu nggak selalu membela
anak aneh itu." Aku mengepalkan tanganku. Kuharap mukaku tak kelihatan semerah
yang kurasakan. "Dia bukan anak aneh. Dia cuma " "
Aku mencoba berpikir hal yang tepat untuk kukatakan, tapi Sloan tak
mau dengar. Dia dan teman-teman besarnya yang jelek terlalu sibuk tertawa.
Aku bertanya-tanya apakah hanya khayalanku saja, ataukah Sloan punya
pengikut di sekitarnya jauh lebih banyak dari biasanya. Aku sudah biasa
melihatnya dengan dua atau tiga anak, tapi hari ini dia sepertinya punya lebih
dari setengah lusin, dan aku cukup yakin aku belum pernah melihat anak-anak
itu sebelumnya. "Tunggu saja sampai pelajaran olahraga nanti, Jackson," umpat Sloan.
"Kamu nggak bakal selamat."
Saat mata pelajaran pertama berakhir, guru bahasa Inggris kami, Pak de
Milo, muncul ke pekarangan untuk mengamati kekacauan yang terjadi. Dia
menyatakan bahwa kami sudah paham akan inti buku Lord of the Flies dengan
baik sekali. Kami semua lulus dari mata pelajarannya, dan kami diharapkan
agar kelak saat dewasa, kami tak akan pernah menjadi pelaku kekerasan. Matt
Sloan mengangguk-ngangguk penuh perhatian, lalu memberiku seringai gigi
ompongnya. Aku terpaksa berjanji untuk mentraktir Tyson roti lapis selai kacang
tambahan saat jam makan siang nanti untuk meredakan tangisnya.
"Aku " aku anak aneh?" Tyson bertanya padaku.
"Nggak," aku berjanji, sambil menggertakkan gigi. "Matt Sloanlah yang
anak aneh." Tyson mendengus. "Kamu teman yang baik. Kangen kamu tahun depan
kalau " kalau aku nggak bisa " "
Suaranya bergetar. Kusadari dia tentu tak tahu apakah dirinya masih
akan diundang kembali pada tahun ajaran berikutnya sebagai proyek bakti
masyarakat. Aku penasaran apakah kepala sekolah bahkan mau menyediakan
waktu untuk membicarakan masalah itu dengan Tyson.
"Jangan khawatir, Jagoan," akhirnya aku menyemangati. "Semuanya
akan baik-baik saja."
Tyson memberiku tatapan terima kasih, sampai-sampai aku merasa bagai
pembohong besar. Bagaimana mungkin aku bisa menjanjikan kepadanya bahwa
semuanya akan baik-baik saja"
Ujian kami berikutnya adalah ilmu alam. Bu Tesla memberi tahu bahwa kami
harus mencampur zat-zat kimia sampai berhasil membuat sesuatu meledak.
Tyson adalah pasangan laboratoriumku. Tangan-tangannya jelas terlalu besar
untuk memegang tabung-tabung mini yang harus kami gunakan. Dia tak
sengaja menumpahkan sebaki bahan-bahan kimia dari meja utama dan
menghasilkan awan cendawan berwarna jingga dalam keranjang sampah.
Setelah Bu Tesla mengevakuasi ruang lab dan memanggil regu pemusnah
limbah berbahaya, dia memuji Tyson dan aku yang dianggap sebagai ahli kimia
berbakat. Kami menjadi murid pertamanya yang pernah berhasil lulus dari
ujiannya dalam waktu kurang dari tiga puluh detik.
Aku lega pagi hari berlalu begitu cepat, karena itu membuatku tak terlalu
sibuk memikirkan tentang masalahku. Aku khawatir ada masalah yang terjadi di
perkemahan. Bahkan lebih buruknya lagi, aku tak bisa menghilangkan ingatan
akan mimpi burukku. Aku punya firasat buruk bahwa Grover sedang terancam
bahaya. Dalam mata pelajaran sosial, selagi kami menggambar peta garis lintang/
garis bujur, aku membuka buku catatanku dan memandang foto yang terselip di
dalamnya"temanku Annabeth sedang berlibur di Washington D.C. Dia
mengenakan celana jins dan jaket denim di luar kaus Perkemahan Blasterannya
yang berwarna jingga. Rambut pirangnya tertarik ke belakang dengan seikat
bandana. Annabeth tengah berdiri di depan Tugu Lincoln dengan tangan
disilangkan depan dada, tampak begitu puas dengan diri sendiri, seolah dialah
yang merancang tugu itu. Begini, Annabeth ingin jadi arsitek saat dewasa nanti,
jadi dia selalu mengunjungi monumen-monumen terkenal dan semacamnya. Dia
memang selalu begitu. Dia mengirim foto itu lewat e-mail setelah libur musim
semi, dan kadang-kadang aku akan memandangi foto itu sekadar untuk
mengingatkan pada diriku sendiri bahwa Annabeth itu nyata dan Perkemahan
Blasteran dengan begitu terbukti bukan khayalanku saja.
Andai saja Annabeth ada di sini. Dia pasti bisa menafsirkan arti mimpiku.
Aku memang tak pernah mengaku padanya, bahwa dia lebih pandai dariku,
meskipun terkadang dia bisa sangat mengesalkan.
Aku baru mau menutup buku catatanku saat Matt Sloan tiba-tiba
menghampiri dan langsung menarik foto itu dari bindernya.
"Hei!" protesku.
Sloan mengamati foto itu dan matanya melotot. "Wah, Jackson. Siapa
cewek ini" Cewek ini pasti bukan?"
"Kembalikan!" Telingaku rasanya memanas.
Sloan mengoper foto itu ke teman-teman jeleknya, yang tertawa mengejek
dan mulai menyobek-nyobeknya untuk dijadikan sebagai wadah ludah. Mereka
adalah anak-anak baru yang pasti sedang berkunjung, karena mereka semua
mengenakan label nama bodoh "HAI! NAMAKU ADALAH:" dari kantor
administrasi. Anak-anak ini pastinya juga punya selera humor yang ganjil,
karena mereka semua mengisi label itu dengan nama-nama aneh seperti:
PENGISAP SUMSUM, PEMAKAN TENGKORAK, dan JOE BOB. Tak ada satu
pun manusia yang punya nama seperti itu.
"Anak-anak ini akan pindah ke sini tahun depan," Sloan menyombong,
seolah ingin membuatku ketakutan. "Aku yakin mereka juga bisa membayar
iuran sekolahnya, nggak kayak temanmu yang terbelakang itu."
"Dia nggak terbelakang." Aku harus berusaha keras menahan diri untuk
menonjok muka Sloan. "Kamu memang payah banget, Jackson. Untungnya aku bakal mengakhiri
kemalanganmu jam pelajaran berikutnya."
Teman-teman bongsornya melumat habis fotoku. Aku ingin sekali
mencincang mereka, tapi aku terikat aturan ketat dari Chiron untuk jangan
pernah mengeluarkan amarahku pada sosok manusia biasa, betapa pun
menjengkelkannya mereka. Aku harus menyimpan tenagaku hanya untuk
melawan para monster. Tetap saja, sebagian diriku berpikir, kalau saja Sloan tahu siapa diriku
yang sebenarnya " Bel akhir pelajaran berbunyi.
Saat Tyson dan aku tengah menginggalkan kelas, suara anak perempuan
terdengar berbisik, "Percy!"
Aku mengedarkan pandangan ke area loker, tapi tak ada seorang pun
yang terlihat memanggilku. Sepertinya tak ada satu anak perempuan pun di
Meriwether yang ingin ketahuan memanggil-manggil namaku.
Sebelum aku sempat memikirkan apakah aku telah berkhayal, serombongan anak terlihat berjalan terburu-buru menuju ruang gimnasium,
menyeret Tyson dan aku bersama mereka. Waktunya Pelajaran Olahraga. Pelatih
kami telah menjanjikan kami sebuah pertandingan bebas bola karet bagi semua
anak, dan Matt Sloan telah berjanji untuk membunuhku.
Seragam olahraga Meriwether adalah celana pendek biru langit dan kaus
sablonan. Untungnya, kami melakukan sebagian pelajaran olahraga kami di
dalam ruangan, jadi kami tak harus berlari mengelilingi Tribeca tampak bagai
segerombol peserta pelatihan anak-anak hippie.
Aku berganti pakaian secepat yang kubisa dalam ruang ganti karena aku
tak mau berurusan dengan Sloan. Aku sudah mau pergi saat Tyson memanggil,
"Percy?" Dia belum berganti. Dia masih berdiri di depan bilik timbangan,
menggenggam seragam olahraganya. "Maukah kamu " eh " "
"Oh. Iya." Aku berusaha terdengar tak terganggu akan permintaannya.
"Yeah, tentu, sobat."
Tyson membungkuk di dalam bilik timbangan. Aku berdiri menjaga di
luar pintu saat dia berganti. Aku merasa canggung melakukan ini, tapi dia
sering kali memintanya. Kurasa itu karena tubuhnya penuh bulu dan dia punya
luka-luka aneh di sekujur punggungnya, yang tak berani kutanyakan
penyebabnya. Omong-omong, aku sudah tahu dari pengalaman yang sudah-sudah
kalau orang-orang mengejek Tyson saat dia berganti pakaian, dia akan sedih dan
mulai mencopoti pintu-pintu loker satu per satu.
Saat kami sampai di ruang olahraga, Pelatih Nunley sedang duduk di
balik meja kecilnya membaca Sports Illustrated. Nunley sudah hampir berumur
sejuta tahun, dengan kacamata lensa ganda, dan gigi ompong semua, dan
rambut ubanan bergelombang penuh minyak. Dia mengingatkanku pada sang
Oracle di Perkemahan Blasteran"yang berupa mumi kering"hanya saja Pelatih
Nunley bergerak jauh lebih sedikit dari mumi itu dan dia tak pernah
mengembuskan asap warna hijau. Yah, itu sejauh pengamatanku sih.
Matt Sloan berujar, "Pak Pelatih, bolehkah aku jadi kapten?"
"Eh?" Pelatih Nunley mendongak dari balik majalahnya. "Yeah,"
gumamnya. "Mm-hmm."
Sloan menyeringai dan langsung mengambil alih pemilihan anggota. Dia
menunjukku sebagai kapten tim lawan, tapi tidak masalah siapa yang kupilih
sebagai anggotaku, karena semua anak jagoan dan populer sudah mengambil
tempat di pihak Sloan. Begitu pula dengan sejumlah besar siswa pengunjung.
Di pihakku aku punya Tyson, Corey Bailer si penggila komputer, Raj
Mandali si jago kalkulus, dan setengah lusin anak lain yang selalu diganggu oleh
Sloan dan gengnya. Biasanya aku akan tenang-tenang saja dengan hanya ada
Tyson di sisiku"dia sendiri sudah senilai separuh dari jumlah tim"tapi para
siswa pengunjung di regu Sloan kelihatannya hampir setinggi dan sekuat Tyson,
dan jumlah mereka itu ada enam.
Matt Sloan menggelontorkan satu keranjang penuh bola di tengah-tengah
lapangan. "Takut," gumam Tyson. "Baunya aneh."
Aku menatapnya. "Apa yang baunya aneh?" Karena aku merasa dia
sedang tak bicara tentang dirinya sendiri.
"Mereka." Tyson menunjuk ke teman-teman baru Sloan. "Baunya aneh."
Para pengunjung itu sedang meregangkan lutut mereka, memandangi
kami seolah sekarang waktunya pembantaian. Aku tak habis pikir dari mana
mereka berasal. Suatu tempat di mana mereka memberi makan anak-anak
dengan daging mentah dan memukuli mereka dengan tongkat.
Sloan meniup peluit milik pelatih dan pertandingan pun dimulai. Regu
Sloan berlari ke garis tengah. Di reguku, Raj Mandali meneriakkan sesuatu
dalam bahasa Urdu, mungkin "Aku harus pergi pipis!" dan berlari ke arah pintu
keluar. Corey Bailer berusaha merayap ke balik matras pelapis tembok dan
bersembunyi. Sisa timku berusaha sebisa mungkin mundur pelan-pelan dan tak
menonjolkan diri sebagai target.
"Tyson," ujarku. "Mari k?"
Sebuah bola terlontar menonjok perutku. Aku terjengkang di tengahtengah lantai lapangan. Regu lain tertawa terbahak-bahak.
Pandanganku mengabur. Rasanya aku baru saja mendapat sentakan
manuver Heimlich dari seekor gorila. Aku tak percaya ada orang yang bisa
melempar bola sekuat itu.
Tyson berteriak, "Percy, bungkuk!"
Aku berguling saat bola karet satu lagi melintas kencang di balik
kupingku dengan kecepatan suara.
Syuuut! Bola itu menabrak tembok matras, dan Corey Bailer memekik nyaring.
"Hei!" Aku berteriak ke regu Sloan. "Kau bisa membunuh orang!"
Pengunjung bernama Joe Bob menyeringai jahat padaku. Entah
bagaimana, dia tampak jauh lebih besar sekarang " bahkan lebih tinggi dari
Tyson. Otot bisepnya tampak menonjol dari balik kausnya. "Memang itu
harapanku, Perseus Jackson! Memang itu harapanku!"
Caranya menyebut namaku membuat bulu kuduk di sepanjang
punggungku meremang. Tak ada orang yang memanggilku Perseus kecuali
mereka yang mengetahui identitas asliku. Teman-teman " dan musuh.
Apa yang tadi dikatakan Tyson" Bau mereka aneh.
Monster. Di sekeliling Matt Sloan, para pengunjung itu terus bertambah besar.
Mereka bukan lagi anak-anak. Mereka sekarang adalah raksasa setinggi dua
setengah meter dengan mata liar, gigi-gigi runcing, dan tangan berbulu dengan
tato ular dan wanita penari hula dan hati Valentine.
Matt Sloan menjatuhkan bolanya. "Hah"! Kalian bukan dari Detroit! Siapa
?" Anak-anak lain di timnya mulai menjerit dan berlari ke arah pintu keluar,
tetapi raksasa bernama Pengisap Sumsum melemparkan bola dengan ketepatan
tinggi. Bola itu melintas melewati Raj Mandali saat dia baru berlari keluar dan
menabrak pintu, membantingnya hingga tertutup seperti sihir. Raj dan anakanak lain menggedor-gedor pintu itu putus asa tapi pintu itu tak membuka
sedikit pun. "Biarkan mereka pergi!" Aku berteriak ke para raksasa.
Satu yang bernama Joe Bob menggeram ke arahku. Dia punya tato di
bisepnya bertuliskan: JB cinta Babycakes. "Dan kehilangan remah-remah lezat
kami" Tak akan, Putra Dewa Laut. Kami para Laistrygonian tak cuma bermainmain dengan kematianmu. Kami ingin makan siang!"
Dia mengibaskan tangan dan sekumpulan bola karet baru bermunculan
di garis tengah lapangan"tapi bola-bola ini tidak terbuat dari karet merah. Bolabola itu terbuat dari perunggu, seukuran bola meriam, berlubang-lubang seperti
bola wiffle (bola yang digunakan dalam bisbol) dengan pijar api menyembur dari
lubang-lubangnya. Bola-bola itu pasti panas membakar, tapi para raksasa itu
memungutnya dengan tangan kosong.
"Pelatih!" teriakku.
Nunley mendongak ngantuk, tapi jika dia melihat sesuatu yang tak
normal dari permainan bola karet itu, dia tak menunjukkannya. Itulah
masalahnya dengan kaum manusia biasa. Kekuatan sihir yang dinamakan Kabut


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menutupi sosok para monster dan dewa yang sebenarnya dari pandangan mata,
jadi manusia cenderung melihat beberapa murid kelas delapan memukuli anakanak yang lebih kecil seperti biasa. Barangkali anak-anak lain melihat anak-anak
brutal pendukung Matt Sloan sedang bersiap untuk melempar campuran bom
Molotov ke sekeliling. (Itu bukan pertama kalinya). Bagaimana pun, aku yakin
tak ada seorang pun yang menyadari kami sedang berurusan dengan monster
pemakan manusia yang haus darah.
"Yeah. Mm-hmm," Pelatih menggumam. "Bermainlah yang baik."
Dan dia kembali menekuni majalahnya.
Raksasa bernama Pemakan Tengkorak melempar bolanya. Aku menyingkir ke samping saat komet perunggu berapi itu melesat melewati
bahuku. "Corey!" teriakku.
Tyson menariknya keluar dari balik matras latihan tepat saat bola itu
meledak menabraknya, membakar matras itu jadi serpih-serpih asap.
"Lari!" kuperintahkan teman-teman timku. "Ke pintu keluar lain!"
Mereka berlari ke ruang ganti, tapi dengan sekali kibasan tangan Joe Bob
lagi, pintu itu juga terbanting menutup.
"Tak ada yang boleh keluar kecuali kalian kalah!" Joe Bob meraung. "Dan
kalian tak kalah sampai kami habis melahap kalian!"
Dia melontarkan bola apinya sendiri. Teman-teman satu timku berpencar
saat bola itu meledakkan lantai gimnasium hingga meninggalkan lubang
menganga. Aku baru hendak merogoh Riptide, yang selalu kusimpan dalam sakuku,
tapi lalu kusadari aku tengah memakai celana pendek olahraga. Tak ada saku.
Riptide itu terselip dalam saku celana jinsku dalam loker ruang ganti. Dan pintu
menuju ruang ganti itu terkunci. Aku benar-benar tak bersenjata.
Satu bola api lagi meluncur ke arahku. Tyson mendorongku, tapi ledakan
itu tetap membuatku terjungkal. Aku terjengkang di lantai, terbengong-bengong
memandangi semburan asap, kaus sablonku tercabik dengan lubang-lubang
panas. Tepat di seberang garis tengah, dua raksasa lapar menatapku liar.
"Daging!" mereka berteriak. "Daging pahlawan untuk santap siang!"
Mereka berdua bersiap menyerang.
"Percy butuh pertolongan!" teriak Tyson, dan dia melompat ke depanku
tepat saat kedua raksasa melempar bola-bola mereka.
"Tyson!" aku berteiak, tapi terlambat.
Kedua bola itu menubruknya " tapi tidak " dia menangkapnya. Entah
bagaimana, Tyson, yang begitu cerobohnya sampai-sampai suka menjatuhkan
peralatan lab dan merusak rangka taman bermain secara rutin, telah menangkap
dua bola logam berapi yang melesat ke arahnya dengan kecepatan miliaran
kilometer per jam. Dia melontarkannya kembali ke arah dua pemiliknya yang
kaget, yang berteriak "GAWAAAAAT!" saat bola-bola perunggu itu meledak di
dada mereka. Kedua raksasa itu hancur menjadi tiang kembar kobaran api"bukti jelas
bahwa mereka benar-benar monster. Para monster tidak mati. Mereka hanya
terbuyar dalam kumpulan asap dan debu, yang membuat para pahlawan tak
perlu repot bersih-bersih usai pertarungan.
"Saudara-saudaraku!" Joe Bob di Kanibal meraung. Dia menegangkan
otot-ototnya dan tato Babycakes-nya bergelombang. "Kau akan membayar atas
kehancuran mereka!" "Tyson!" teriakku. "Awas!"
Satu komet lain meluncur ke arah kami. Tyson sempat menepisnya ke
samping. Bola itu melesat melewati kepala Pelatih Nunley dan mendarat di
kursi penonton dengan suara BUUM! Menggelegar kuat.
Anak-anak berlari kocar-kacir sambil menjerit-jerit, berusaha menghindar
dari lubang panas yang terbentuk di lantai. Sebagian anak lain menggedorgedor pintu, memohon pertolongan. Sloan sendiri berdiri mematung di tengahtengah lapangan, memandang tak percaya saat bola-bola kematian beterbangan
di sekitarnya. Pelatih Nunley masih tak melihat apa pun. Dia mengetuk alat bantu
pendengarannya seolah ledakan itu memberinya gangguan kecil, tapi matanya
tetap terpaku pada majalahnya.
Pasti satu sekolah bisa mendengar suara ledakan itu. Kepala sekolah,
polisi, siapa pun akan datang menolong kami.
"Kemenangan akan jadi milik kami!" raung Joe Bob sang Kanibal. "Kami
akan menyantap tulang-tulang kalian!"
Aku ingin mengingatkannya kalau dia sudah menjadikan permainan
lempar bola karet ini terlalu berlebihan, tapi sebelum aku sempat mengutarakannya, dia sudah mengangkat satu bola lagi. Tiga raksasa lain
mengikuti aksinya. Aku tahu kami akan mati. Tyson tak akan mampu menangkis semua bola
itu secara bersamaan. Tangannya pasti sudah terbakar parah dari menangkis
bola pertama. Tanpa pedangku "
Aku punya ide gila. Aku berlari ke arah ruang ganti.
"Pergi!" pekikku ke teman-teman reguku. "Menyingkir dari pintu."
Ledakan bergema di belakangku. Tyson telah memukul balik dua bola itu
ke pemiliknya dan meledakkan mereka menjadi gumpalan abu.
Artinya tersisa dua raksasa lagi yang masih berdiri.
Bola ketiga meluncur tepat ke arahku. Aku memaksakan diri untuk
menunggu"satu, dua"kemudian segera menyingkir ke samping saat bola api
itu menghancurkan pintu ruang ganti.
Sekarang, aku rasa gas yang terkumpul dalam ruang ganti pria sudah
cukup untuk membuat satu ledakan, jadi aku tak kaget saat bola karet berapi itu
memicu satu ledakan BUUUUUUM! Yang amat dahsyat.
Temboknya runtuh. Pintu-pintu loker, kaus kaki, kolor pengaman anak
laki-laki khusus olahraga, dan aneka barang-barang pribadi menjijikkan
bertebaran di sepenjuru ruang olahraga.
Saat berbalik, aku melihat Tyson menonjok Pemakan Tengkorak tepat di
muka. Raksasa itu terjatuh membungkuk. Tapi raksasa terakhir, Joe Bob, dengan
cermatnya masih menggenggam bolanya, menunggu datangnya peluang. Dia
melempar bolanya tepat saat Tyson berbalik menghadapnya.
"Tidak!" aku berteriak.
Bola itu menubruk Tyson tepat di dada. Dia terlempar sejauh lapangan
hingga membentur dinding belakang, yang langsung retak dan sebagian
dindingnya menimpa tubuhnya, menyisakan lubang dengan pemandangan
Church Street. Aku tak mengerti bagaimana Tyson masih bisa hidup, tapi
kelihatannya dia hanya bengong. Bola perunggu itu menyemburkan asap di
depan kakinya. Tyson berusaha memungutnya, tapi dia terjungkal, kebingungan, ke tumpukan blok-blok silinder.
"Wah!" Joe Bob berseru puas. "Akulah yang menang! Aku akan punya
daging cukup banyak untuk membawakan Babycakes sekantung makanan
anjing!" Dia memungut bola lagi dan menargetkannya pada Tyson.
"Hentikan!" Aku berteriak. "Akulah yang kauinginkan!"
Raksasa itu menyeringai. "Kau ingin mati lebih dulu, Pahlawan Muda?"
Aku harus melakukan sesuatu. Riptide pasti ada di sekitar sini.
Lalu aku melihat jinsku di antara tumpukan pakaian berasap dekat kaki
raksasa. Kalau saja aku bisa ke sana " Aku tahu ini mungkin akan sia-sia, tapi
aku melesat maju. Raksasa itu tertawa. "Makanan siangku mendekat." Dia mengangkat
tangannya untuk melempar. Aku menyiapkan diri untuk mati.
Tiba-tiba tubuh sang raksasa mematung. Ekspresi wajahnya berubah dari
nyengir puas jadi kaget. Tepat di tempat pusarnya mestinya berada, kausnya
merobek terbuka dan muncul sesuatu seperti tanduk"bukan, bukan tanduk"
ujung mengilat dari sebuah belati.
Bola itu terjatuh dari genggamannya. Monster itu memandangi ujung
belati yang menusuk perutnya dari belakang.
Dia menggumam, "Wadouw," dan meledak jadi sebentuk kobaran asap
hijau, yang kurasa akan membuat Babycakes cukup sedih.
Berdiri di tengah asap adalah temanku Annabeth. Mukanya dekil dan
bergores luka. Dia menyandang ransel kumal di bahu, topi bisbol terselip dalam
sakunya, belati perunggu di tangan, dan tatapan liar ada pada mata abu-abu
gelapnya, seolah dia baru dikejar segerombolan hantu sejauh ribuan mil.
Matt Sloan, yang sedari tadi berdiri mematung, akhirnya tersadar. Dia
mengerjap-ngerjapkan mata memandang Annabeth, seolah teringat samarsamar akan sosoknya dalam foto di buku catatanku. "Itu ceweknya " Itu
ceweknya?" Annabeth menonjok hidungnya dan langsung merobohkannya ke lantai.
"Dan kau," Annabeth memperingatkannya, "jangan ganggu temanku."
Ruang gimnasium kini terbakar. Anak-anak masih berlarian sambil
menjerit-jerit. Aku mendengar bunyi raung sirene dan suara seperti orang
kumur-kumur dari interkom. Di balik jendela kaca pintu keluar, aku bisa
melihat sang kepala sekolah, Pak Bonsai, bergumul dengan pintu yang terkunci,
sekerumunan guru berada di belakangnya.
"Annabeth " " aku tergagap. "Bagaimana kau " berapa lama kau " "
"Hampir dari sepanjang pagi." Dia menyarungkan belati perunggunya.
"Aku sudah berusaha mencari waktu yang baik untuk bicara denganmu, tapi
kau nggak pernah sendiri."
"Bayangan yang aku lihat pagi ini"itu adalah?" Mukaku rasanya
merona. "Demi dewa-dewa, kau mengamati dari jendela kamar tidurku?"
"Nggak ada waktu untuk menjelaskan!" bentaknya, meski dia kelihatan
merona juga. "Aku cuma nggak ingin?"
"Di sana!" seorang wanita berteriak. Pintu-pintu terbanting membuka
dan orang-orang dewasa berhamburan masuk.
"Temui aku di luar," Annabeth memberitahuku. "Dan dia." Annabeth
menujuk ke arah Tyson, yang masih duduk terbengong-bengong bersandar ke
tembok. Annabeth memberinya tatapan jijik yang tak kumengerti. "Kau
sebaiknya juga membawanya."
"Apa?" "Nggak ada waktu!" ujarnya. "Cepat!"
Dia mengenakan topi bisbol Yankees-nya, yang merupakan hadiah ajaib
dari ibunya, dan langsung menghilang.
Itu artinya tinggal aku sendiri berdiri di tengah-tengah lapangan yang
terbakar saat kepala sekolah datang bersama separuh staf fakultas dan beberapa
petugas polisi. "Percy Jackson?" ujar Pak Bonsai. "Apa " bagaimana " "
Di sana tepat di tembok yang jebol, Tyson mengerang dan berdiri dari
tumpukan blok-blok silinder. "Sakit kepala."
Matt Sloan juga mulai tersadar. Dia menatapku dengan pandangan takut.
"Percy yang melakukannya, Pak Bonsai! Dia yang membakar seluruh gedung.
Pelatih Nunley bisa memberitahumu! Dia melihat seluruh kejadiannya!"
Pelatih Nunley selama ini tekun membaca majalahnya, tapi hebatnya"
dia memilih tepat waktu itu untuk mendongak saat Sloan menyebut namaku.
"Heh" Yeah. Mm-hmm."
Orang-orang dewasa lain berbalik memandangiku. Aku tahu mereka tak
akan memercayaiku, bahkan jika aku memberi tahu mereka yang sebenarnya.
Aku mengambil Riptide dari dalam saku jinsku yang koyak, memberi tahu
Tyson, "Ayo!" dan melompat keluar lubang tembok yang menganga di sisi
gedung. K a m i M e m a n g g i l Ta k s i
Pe n y i k s a a n Aba d i
Annabeth menanti kami di gang Church Street. Dia menarik Tyson dan aku
dari trotoar tepat saat mobil pemadam kebakaran melintas dengan raungannya,
melaju ke arah Meriwether Prep.
"Di mana kau menemukan dia?" tanya Annabeth, sambil menunjuk
Tyson. Nah, kalau situasinya berbeda, aku akan senang sekali bertemu kembali
dengannya. Kami sudah lumayan kompak musim panas lalu, meski
kenyataannya ibunya adalah Athena dan tak akur dengan ayahku. Sebenarnya
aku lebih merindukan dirinya dari yang ingin kuakui.
Tapi aku baru saja diserang oleh para raksasa kanibal, Tyson telah
menyelamatkan nyawaku tiga atau empat kali, dan yang bisa dilakukan oleh
Annabeth hanya memelototinya seolah Tysonlah biang masalahnya.
"Dia adalah temanku," kukatakan pada Annabeth.
"Apa dia nggak punya rumah?"
"Memangnya apa hubungannya dia punya rumah atau nggak" Asal kau
tahu, dia bisa mendengarmu. Kenapa nggak kau saja yang bertanya padanya?"
Annabeth tampak terkejut. "Dia bisa bicara?"
"Aku bicara," Tyson mengaku. "Kau cantik."
"Ih! Jijik!" Annabeth mundur darinya.
Aku tak percaya Annabeth bisa bersikap sekasar itu. Aku mengamati
tangan Tyson, yang kuyakini pasti sudah terbakar parah oleh bola-bola karet
berapi itu, tapi tangannya kelihatan baik-baik saja"kotor dan penuh luka,
dengan kuku-kuku tangan dekil seukuran keripik kentang"tapi kukunya
memang selalu kelihatan seperti itu. "Tyson," seruku tak percaya. "Tanganmu
nggak terbakar sama sekali."
"Tentu saja," Annabeth bergumam. "Aku heran para Laistrygonian itu
berani menyerangmu dengan adanya dia di dekatmu."
Tyson tampak terpesona dengan rambut pirang Annabeth. Dia berusaha
menyentuhnya, tapi Annabeth segera menepis tangannya.
"Annabeth," ujarku, "apa yang kaubicarakan" Laistry- apa?"
"Laistrygonian. Monster-monster di ruang gimnasium itu. Mereka adalah
ras kanibal raksasa yang hidup jauh di utara. Odysseus pernah bertemu mereka
sekali, tapi aku belum pernah menemui mereka jauh ke selatan sampai New
York sebelumnya." "Laistry"aku bahkan nggak bisa menyebutkan namanya. Apa sebutan
buat mereka dalam bahasa Inggris?"
Annabeth berpikir sebentar. "Orang Kanada," putusnya. "Sekarang
ayolah, kita harus segera pergi dari sini."
"Polisi akan mengejarku."
"Itu masalah kita yang paling nggak penting," ujar Annabeth. "Apa kau
pernah mendapat mimpi?"
"Mimpi " tentang Grover?"
Wajah Annabeth sontak pucat. "Grover" Tidak, ada apa dengan Grover?"
Aku memberitahunya tentang mimpiku. "Kenapa" Apa yang kau sendiri
impikan?" Tatapan matanya tampak terganggu, seolah pikirannya melaju secepat
jutaan kilometer per jam.
"Perkemahan," seru Annabeth akhirnya. "Masalah besar di perkemahan."
"Ibuku mengatakan hal yang sama! Tapi masalah seperti apa?"
"Aku juga nggak tahu persis. Ada sesuatu yang salah. Kita harus segera
ke sana. Para monster mengejarku sepanjang perjalananku dari Virginia,
berusaha menghentikanku. Apa kau mendapat banyak serangan?"
Aku menggeleng. "Nggak ada satu pun sepanjang tahun " sampai hari
ini." "Nggak ada satu pun" Tapi bagaimana mung?" Kemudian tatapannya
beralih ke Tyson. "Oh."
"Apa maksudmu, 'oh'?"
Tyson mengacungkan tangan seolah dia masih berada di dalam kelas.
"Orang-orang Kanada di ruang gimnasium memanggil Percy sesuatu " Putra
Dewa Laut?"

Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Annabeth dan aku bertukar pandangan.
Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi kurasa Tyson berhak
mengetahui kebenarannya setelah dia hampir mati terbunuh."
"Jagoan," ujarku, "kau pernah mendengar kisah-kisah lama tentang
dewa-dewa Yunani" Kayak Zeus, Poseidon, Athena?"
"Ya," ucap Tyson.
"Yah " dewa-dewa itu masih hidup. Mereka sepertinya mengikuti arah
Peradaban Barat, berdiam di negara-negara adikuasa, contohnya sekarang
mereka tinggal di Amerika Serikat. Dan kadang-kadang mereka memiliki anak
dengan manusia. Anak-anak yang disebut blasteran."
"Ya," jawab Tyson, sepertinya masih menungguku menyampaikan
maksud dari penjelasanku.
"Eh, yah, Annabeth dan aku sendiri adalah blasteran," ujarku. "Kita
seperti " pahlawan yang masih dilatih. Dan kapan pun monster-monster
menciumi bau kami, mereka akan menyerang kami. Itulah yang dilakukan para
raksasa di ruang gimnasium tadi. Monster-monster."
"Ya." Aku memandangnya. Tyson bahkan tidak tampak terkejut atau bingung
mendengar apa yang kukatakan, yang justru membuatku terkejut dan bingung.
"Jadi " kau memercayaiku?"
Tyson mengangguk. "Tapi kau adalah " Putra Dewa Laut?"
"Iya," aku mengaku. "Ayahku Poseidon."
Tyson mengerutkan kening. Sekarang dia baru tampak bingung. "Tapi
kalau begitu " "
Bunyi sirene meraung. Mobil polisi melintas tepat di luar gang kami.
"Kita nggak punya waktu untuk membahas ini," seru Annabeth. "Kita
akan membahasnya di dalam taksi."
"Naik taksi menuju perkemahan?" kataku. "Kau tahu berapa banyak
uang?" "Percaya deh padaku."
Aku ragu. "Bagaimana dengan Tyson?"
Aku membayangkan mengantar teman raksasaku memasuki Perkemahan
Blasteran. Jika dia selalu ketakutan di taman bermain biasa dengan anak-anak
bandel biasa, bagaimana sikapnya nanti saat berada di medan pelatihan khusus
anak-anak setengah-dewa" Di sisi lain, polisi pasti sedang memburu kami.
"Kita nggak bisa meninggalkannya begitu saja," aku memutuskan. "Dia
juga akan menemui kesulitan."
"Benar." Annabeth terlihat cemas. "Kita jelas harus ikut membawanya.
Sekarang ayo pergi."
Aku tak suka dengan cara bicara Annabeth, seolah-olah Tyson adalah
sumber penyakit yang kau butuhkan supaya bisa pergi ke rumah sakit, tapi aku
mengikutinya menyusuri lorong gang. Kami bertiga mengendap melewati jalanjalan kecil pusat kota sementara asap tebal membumbung di belakang kami dari
ruang gimnasium sekolahku.
*** "Sebentar." Annabeth menghentikan kami di pojok Thomas and Trimble.
Dia merogoh ke dalam ranselnya. "Kuharap aku masih punya satu lagi."
Wajahnya terlihat lebih parah dari saat aku melihatnya tadi. Dagunya
tersayat. Ranting dan rumput tersangkut di rambutnya yang terkuncir, seolah
dia tidur selama beberapa malam di hutan terbuka. Sobekan di kelim jinsnya
terlihat seperti bekas cakaran makhluk.
"Apa sih yang kaucari?" tanyaku.
Di sekeliling kami, bunyi sirene meraung-raung. Kurasa tak akan lama
lagi sampai beberapa polisi tambahan melintasi jalan ini, mencari-cari anak-anak
nakal pengebom ruang gimnasium. Pasti Matt Sloan sudah memberi pernyataan
pada mereka. Dia pasti telah memelintir ceritanya agar Tyson dan akulah yang
tampak bagai kanibal-kanibal haus darah itu.
"Ketemu satu. Terpujilah para dewa." Annabeth menarik koin emas yang
kukenali sebagai drachma, mata uang yang berlaku di Gunung Olympus. Satu
sisi tercetak muka orang yang mirip Zeus, dan di sisi lainnya, gambar Empire
State Building. "Annabeth," ujarku. "Sopir taksi New York nggak mau menerima uang
itu." "St?thi," dia berteriak dalam bahasa Yunani Kuno. "? h?rma diabol?s!"
Seperti biasa, sewaktu dia bicara dengan bahasa Olympus, entah bagaimana aku
mengerti artinya. Dia berkata: Berhenti, Kereta Tempur Terkutuk!
Perkataan itu tidak membuatku merasa lebih bersemangat mengikuti
rencananya, apa pun itu. Dia melempar koinnya ke jalan, tapi bukannya jatuh bergemerincing ke
aspal, uang drachma itu terbenam ke dalam dan raib.
Sejenak, tak ada apa pun yang terjadi.
Kemudian, tepat di tempat koin itu jatuh, aspal tampak menggelap. Aspal
itu mencair ke dalam genangan berbentuk kotak kira-kira seukuran satu tempat
parkir"cairan merah bergelegak seperti darah. Lalu sebuah mobil muncul dari
genangan itu. Jelas itu adalah taksi, tapi bukan seperti taksi umumnya kota New York,
warnanya bukan kuning. Warnanya abu-abu asap. Maksudku, taksi itu terlihat
seperti telah dijalin dari asap, seolah kau bisa berjalan persis menembusnya. Ada
tulisan tersetak di pintunya"sesuatu seperti AUB-BUA REBUSARIDA"tapi
mata disleksiaku membuatku kesulitan untuk mengartikannya.
Jendela penumpang diturunkan, dan seorang wanita tua menjulurkan
kepalanya. Rambut abu-abu tebalnya menutupi matanya, dan mulutnya komatkamit aneh, seolah-olah dia baru saja mendapat suntikan obat bius. "Mau naik"
Mau naik?" "Tiga orang ke Perkemahan Blasteran," ucap Annabeth. Dia membuka
pintu belakang mobil dan melambai ke arahku untuk segera naik, seolah ini
semua betul-betul wajar. "Ah!" wanita tua itu memekik. "Kami tak membawa jenis itu!"
Dia mengacungkan telunjuk kurusnya ke arah Tyson.
Apa-apaan sih ini" Hari-Khusus-Mengejek-Anak-Besar-dan-Jelek"
"Ada bayaran tambahan," Annabeth berjanji. "Tiga drachma lagi saat
sudah sampai." "Oke!" teriak sang wanita tua.
Dengan ragu, aku masuk ke dalam taksi. Tyson tergencet di tengah.
Annabeth masuk paling akhir.
Interiornya juga sewarna abu-abu asap tapi rasanya sih cukup padat.
Kursinya tak rata dan berjendul-jendul"seperti kebanyakan taksi. Tak ada kaca
Plexiglas yang memisahkan kami dari wanita tua yang menyetir " Tunggu
sebentar. Ternyata wanita tua itu tak sendiri. Ada tiga orang, semua
berdempetan di kursi depan, masing-masing dengan seberkas rambut menutupi
mata mereka, dengan tangan berupa tulang berbalut kulit, dan gaun berbahan
kain karung warna abu-abu gelap.
Wanita yang menyetir berseru, "Long Island! Bonus biaya keluar-metro!
Ha!" Dia menginjak pedal gas kencang-kencang, dan kepalaku terbanting ke
jok belakang. Suara rekaman terdengar dari pengeras suara: Hai, Ganymede di
sini, pengantar-cangkir Zeus, dan setiap kali aku keluar membeli anggur bagi Dewa
Langit, aku selalu mengencangkan sabuk pengaman!
Aku menatap ke bawah dan menemukan rantai hitam besar alih-alih
sabuk pengaman biasa. Kuputuskan bahwa aku tak seputus asa itu " belum,
setidaknya. Taksi melaju mengitari pojok West Broadway, dan wanita sepuh yang
duduk di tengah memekik, "Awas! Belok kiri!"
"Yah, kalau kau berikan mata itu kepadaku, Prahara, aku jelas bisa
melihatnya!" sang sopir mengeluh.
Tunggu sebentar. Memberikan matanya"
Aku tak punya waktu untuk bertanya karena sang pengemudi sibuk
membanting setir untuk menghindar dari truk pengantar barang yang melaju,
menyerempet pinggir jalan dengan suara debum keras, dan segera melaju
kencang di blok berikut. "Tawon!" wanita ketiga berkata kepada pengemudi. "Berikan koin gadis
itu padaku! Aku ingin menggigitinya."
"Kau sudah menggigit koin yang terakhir, Gusar!" ujar sang pengemudi,
yang namanya pasti Tawon. "Sekarang giliranku!"
"Bukan!" teriak nenek yang bernama Gusar.
Nenek di tengah, Prahara, memekik, "Lampu merah!"
"Rem!" teriak Gusar.
Alih-alih, Tawon malah menginjak pedal gas dan mobil segera melaju di
pinggir jalan, mendecit memutari pojokan lain, dan menjatuhkan boks surat
kabar. Dia meninggalkan perutku di suatu tempat di Broome Street.
"Permisi," kataku. "Tapi " bisakah kau melihat?"
"Tidak!" jerit Tawon dari balik setir.
"Tidak!" jerit Prahara di tengah-tengah.
"Tentu saja!" jerit Gusar, sembari bertengger di jendela mobil.
Aku memandang Annabeth. "Mereka buta?"
"Nggak juga," ucap Annabeth. "Mereka punya satu mata."
"Satu mata?" "Iya." "Masing-masing?"
"Bukan. Satu mata bagi mereka bertiga."
Di sebelahku, Tyson mengerang dan menguasai kursi. "Rasanya nggak
begitu enak." "Oh, ya ampun," seruku, karena aku pernah melihat saat Tyson mabuk
darat dalam perjalanan karyawisata sekolah dan kamu tak akan ingin berada
dalam jangkauan lima belas meteran darinya. "Bertahanlah, Jagoan. Apa ada
yang punya kantong sampah atau semacamnya?"
Ketiga wanita itu terlalu sibuk bertengkar untuk memberiku secuil
perhatian. Aku mempertahankan memandang nyawanya, pada dan Annabeth, aku yang memberinya sedang tatapan berusaha tega-benar- kaulakukan-ini-padaku. "Hei," ujarnya, "Taksi Abu-Abu Bersaudari adalah jalan tercepat menuju
perkemahan." "Kalau begitu kenapa kamu nggak naik ini dari Virginia?"
"Itu di luar area jasa mereka," ucap Annabeth, seolah alasan itu mestinya
sudah jelas banget. "Mereka cuma menyediakan jasa bagi kota besar New York
dan sekitarnya." "Kami pernah mengantar selebriti dengan taksi ini!" seru Gusar. "Jason!
Kau ingat dia?" "Jangan ingatkan aku!" Tawon meringis. "Dan kita bahkan belum punya
taksi zaman itu, dasar kelelawar bangka. Itu kan tiga ribu tahun yang lalu!"
"Berikan aku gigi!" Gusar berusaha merenggut mulut Tawon, tapi Tawon
mengibaskan tangannya. "Hanya kalau Prahara memberiku mata!"
"Tidak!" Prahara memekik. "Kau sudah memakainya kemarin!"
"Tapi aku sedang menyetir, dasar nenek sihir!"
"Alasan! Belok! Itu belokanmu!"
Tawon membanting setir ke Delancey Street, membuat aku tergencet
antara Tyson dan pintu. Dia menginjak gas lagi dan kami meluncur di Jembatan
Williamsburg dengan kecepatan seratus dua belas kilometer per jam.
Ketiga saudari itu mulai bertengkar betulan sekarang, menampar satu
sama lain saat Gusar berusaha menarik muka Tawon dan Tawon berusaha
menarik muka Prahara. Dengan rambut melayang-layang dan mulut terbuka,
berteriak pada satu sama lain, aku menyadari bahwa tak satu pun dari saudari
itu memiliki gigi kecuali Tawon, yang punya satu gigi kuning jamuran di depan.
Alih-alih mata, mereka hanya punya kelopak mata tertutup yang cekung ke
dalam, kecuali bagi Gusar, yang punya satu mata hijau yang dikelilingi urat-urat
darah yang menatap segalanya dengan penuh nafsu, seolah ia tak puas-puas
memelototi segala yang ada.
Pada akhirnya, Gusar, yang memiliki mata, berhasil merebut gigi itu dari
mulut Tawon. Hal itu membuat Tawon sangat geram hingga dia membanting
kemudi ke sisi Jembatan Williamsburg, sambil menjerit, "Kembalikan!
Kembalikan!" Tyson mengerang dan memegang kuat perutnya.
"Eh, kalau ada yang mau tahu," kataku, "kita akan segera mati!"
"Jangan khawatir," Annabeth memberitahuku, walau terdengar ragu.
"Abu-Abu Bersaudari tahu apa yang mereka lakukan. Mereka sangat bijaksana."
Perkataan ini datang dari anak Dewi Athena, tapi aku tetap tak yakin.
Kami sedang meluncur sepanjang tepi jembatan dengan ketinggian empat puluh
meter di atas Sungai East.
"Betul, bijaksana!" Gusar menyeringai di kaca spion mobil, memamerkan
gigi yang baru didapatnya. "Kami tahu banyak hal!"
"Semua jalan di Manhattan!" Tawon menyombong, masih sambil
menonjoki saudarinya. "Ibu kota Nepal!"
"Lokasi yang kaucari!" tambah Prahara.
Tiba-tiba kedua saudarinya meninjunya dari kedua sisi, sambil teriak,
"Diam! Diam! Dia juga belum tanya!"
"Apa?" tanyaku. "Lokasi apa" Aku tak mencari?"
"Tak ada apa-apa!" Prahara menambahkan. "Kau benar, Nak. Tak ada
apa-apa!" "Katakan." "Tidak!" mereka semua menjerit.
"Terakhir kalinya kami mengatakannya, sesuatu yang buruk terjadi!" kata
Prahara. "Mata dilempar ke sungai!" Gusar menyepakati.
"Butuh bertahun-tahun untuk menemukannya lagi!" raung Tawon. "Dan
omong-omong tentang mata"kembalikan!"
"Tidak!" teriak Gusar.
"Mata!" Tawon berteriak. "Berikan!"
Dia memukul keras punggung Gusar. Ada bunyi pluk yang menjijikkan
dan suatu benda terlempar dari muka Gusar. Gusar mencari-carinya, berusaha
mengambilnya, tapi dia malah mengibasnya dengan punggung tangannya. Bola
mata hijau berlendir itu meluncur dari bahunya, ke jok belakang, dan mendarat
tepat di pangkuanku. Aku langsung terloncat, kepalaku membentur langit-langit interior mobil
dan bola mata itu bergulir ke sisi lain.
"Aku nggak bisa lihat!" Ketiga saudari itu berteriak.
"Berikan mata itu padaku!" pekik Tawon.
"Berikan dia matanya!" Annabeth berteriak.
"Nggak ada di aku!" seruku.
"Di sana, di depan kakimu," kata Annabeth. "Jangan injak! Ambil saja!"
"Aku nggak mau ambil benda itu!"
Taksi membentur pagar pembatas dan terus meluncur dengan suara
gerusan yang memekakkan telinga. Seluruh tubuh mobil bergetar, mengembuskan asap abu-abu seolah mobil ini akan segera hancur akibat
kekacauan itu. "Pengin muntah!" Tyson memperingatkan.
"Annabeth," aku berteriak, "biarkan Tyson menggunakan ranselmu!"
"Apa kau gila" Ambil matanya!"
Tawon merebut setir, dan taksi itu berkelok menjauh dari pagar pembatas.
Kami meluncur sepanjang jembatan menuju Brooklyn, melesat lebih cepat dari
taksi-taksi manusia biasa. Abu-Abu Bersaudari saling memekik dan memukul


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan meraung-raung meminta mata mereka.
Akhirnya, kukumpulkan keberaniaku. Aku merobek secarik kain dari
kaus sablonku, yang sudah koyak di sana-sini akibat kebakaran tadi, dan
menggunakannya untuk memungut bola mata itu dari lantai mobil.
"Anak manis!" raung Gusar, seolah entah bagaimana tahu aku memegang
alat pengintipnya yang hilang. "Kembalikan padaku!"
"Nggak akan kuberikan sampai kau menjelaskan," kukatakan padanya.
"Apa yang kaubicarakan tadi, tentang lokasi yang kucari?"
"Nggak ada waktu!" pekik Prahara. "Percepat!"
Aku memandang keluar jendela. Benar saja, pohon-pohon dan mobilmobil dan seluruh kompleks rumah yang kami lewati kini hanya terlihat bagai
gambar kabur abu-abu. Kami sudah berada di luar Brooklyn, mengarah ke pusat
Long Island. "Percy," Annabeth memperingatkan, "mereka nggak akan bisa menemukan tempat tujuan kita tanpa mata. Kita hanya terus ngebut sampai kita
hancur jadi jutaan keping."
"Mereka harus memberitahuku dulu," aku mengancam. "Atau aku akan
membuka jendela dan melempar mata ini ke arus jalan raya."
"Jangan!" raung Abu-Abu Bersaudari. "Terlalu berbahaya!"
"Aku turunkan jendela nih."
"Tunggu!" teriak Abu-Abu Bersaudari. "30, 31, 75, 12!"
Mereka meneriakkan angka-angka itu seperti pemain belakang football
memberi aba-aba untuk memulai pertandingan.
"Apa maksud ucapanmu?" tanyaku. "Itu nggak masuk akal!"
"30, 31, 75, 12!" raung Gusar. "Cuma itu yang bisa kami beritahukan
padamu. Sekarang berikan pada kami matanya! Hampir sampai perkemahan!" Kami kini sudah melaju di jalan bebas hambatan, melesat kencang
melewati daerah pedalaman bagian utara Long Island. Aku bisa melihat Bukit
Blasteran di depan, dengan pohon pinus raksasanya di puncak"pohon Thalia,
yang mengandung sumber kehidupan dari seorang pahlawan yang gugur.
"Percy!" seru Annabeth tak sabar. "Berikan mereka matanya sekarang!"
Kuputuskan untuk tak membantah. Kulemparkan mata itu ke pangkuan
Tawon. Wanita sepuh itu segera memungutnya, mendorongnya masuk ke dalam
rongga matanya seperti orang memasang lensa kontak, dan mengerjapkan
matanya. "Wow!"
Dia menginjak rem. Taksi pun berputar empat atau kali di tengah
gumpalan asap dan mendecit sampai berhenti di tengah-tengah jalan pedesaan
di bawah Bukit Blasteran.
Tyson bersendawa keras. "Baikan sekarang."
"Baiklah," kukatakan pada Abu-Abu Bersaudari. "Sekarang beritahukan
padaku arti dari angka-angka itu."
"Nggak ada waktu!" Annabeth membuka pintu taksi. "Kita harus keluar
sekarang." Aku baru hendak menanyakan mengapa harus begitu buru-buru, saat
aku mendongak ke arah Bukit Blaster dan langsung mengerti.
Di puncak bukit terlihat segerombolan pekemah. Dan mereka tengah
diserang. Ty s o n Be r m a i n d e n g a n Api
Omong-omong tentang mitologi, kalau ada sesuatu yang lebih kubenci dari trio
wanita sepuh barusan, itu adalah banteng. Musim panas terakhir, aku bertarung
melawan Minotaurus di puncak Bukit Blaster. Kali ini yang kulihat di atas sana
lebih gawat lagi: dua banteng. Dan ini bukan banteng biasa"ini bantengbanteng perunggu seukuran gajah. Dan bukan itu saja gawatnya. Biasanya,
mereka akan mengembuskan api dari moncongnya juga.
Begitu kami keluar dari taksi, Abu-Abu Bersaudari langsung memundurkan mobilnya, mengarah pulang ke New York, tempat kehidupan
terasa lebih aman. Mereka bahkan tak menunggu bonus bayaran tiga drachma
mereka. Mereka meninggalkan kami di pinggir jalan begitu saja, Annabeth
hanya dengan menyandang ransel dan belatinya, sementara Tyson dan aku
masih dengan seragam olahraga sablonan kami yang sudah lumayan hangus.
"Oh, sial," ujar Annabeth, memandangi pertarungan yang sedang
berlangsung di atas bukit.
Yang paling mencemaskanku bukanlah banteng-banteng itu sendiri. Atau
sepuluh orang pahlawan dalam baju zirah perang lengkap yang berusaha
mengusir musuh berlapis perunggunya. Yang mencemaskanku adalah bantengbanteng itu berkeliaran di sepenjuru bukit, bahkan hingga ke sisi belakang
pohon pinus. Mestinya itu tak bisa terjadi. Sihir perbatasan perkemahan
menghalangi monster-monster melewati pohon pinus Thalia. Tapi bantengbanteng perunggu itu bisa melakukannya.
Salah satu pahlawan berseru, "Patroli perbatasan, kemari!" Suara anak
perempuan"terdengar kasar dan familier.
Patroli perbatasan" pikirku. Perkemahan selama ini tak punya patroli
perbatasan. "Itu Clarisse," kata Annabeth. "Ayo, kita harus bantu dia."
Biasanya nih, berlari membantu Clarisse tak akan kumasukkan dalam
daftar "hal-hal yang ingin kulakukan". Dia adalah salah satu anak penindas di
perkemahan. Kali pertama kami bertemu, dia berusaha mengenalkan kepalaku
dengan dudukan toilet. Dia juga putri dari Ares, dan aku baru berselisih berat
dengan ayahnya musim panas kemarin, jadi sekarang Dewa Perang dan semua
anaknya sudah pasti membenciku habis-habisan.
Tetap saja, dia kini sedang menghadapi masalah. Teman-teman sesama
pejuangnya sudah berpencar ke mana-mana, berlari panik saat banteng-banteng
bersiap menyeruduk. Sepetak besar rerumputan di sekeliling pohon pinus
terbakar. Satu pahlawan berteriak dan melambaikan tangannya saat dia berlarilari memutar, surai kuda yang tertancap di atas helmnya berkobar seperti gaya
rambut Mohawk terbakar. Baju perang Clarisse sendiri sudah kelihatan hangus.
Dia bertarung dengan batang tombak yang patah, ujung yang satunya menancap
tak penting di sendi logam dari bahu salah satu banteng.
Aku membuka tutup penaku. Pena itu berkilau, memanjang dan makin
berat sampai aku menggenggam pedang perunggu Anaklusmos di tanganku.
"Tyson, tetaplah di sini. Aku nggak ingin kamu coba-coba menantang maut
lagi." "Jangan!" seri Annabeth. "Kita membutuhkannya."
Aku menatap Annabeth. "Dia manusia biasa. Dia cuma lagi beruntung
saja dengan bola-bola karet itu tapi dia nggak bisa?"
"Percy, tahukah kau makhluk-makhluk yang ada di atas sana" Bantengbanteng Colchis, dibuat oleh tangan Hephaestus sendiri. Kita nggak bisa
melawannya tanpa Tabir Surya SPF 50,000 dari Medea. Kita akan betul-betul
gosong." "Tabir surya apa?"
Annabeth merogoh-rogoh ke dalam ranselnya sambil mengutuk. "Aku
punya satu kendi wangi-wangian kelapa tropis di meja kamar tidurku. Kanapa
aku bisa lupa bawa?"
Aku sudah tahu cukup banyak untuk tak mengajukan banyak pertanyaan
pada Annabeth. Itu cuma akan membuatku tambah bingung. "Dengar, aku
nggak ngerti apa yang kau bicarakan, tapi aku nggak akan membiarkan Tyson
terpanggang." "Percy?" "Tyson, mundurlah." Aku mengangkat pedangku. "Aku akan masuk."
Tyson berusaha memprotes, tapi aku sudah berlari mendaki bukit menuju
Clarisse, yang kini sedang berteriak-teriak ke tim patrolinya, berusaha
menyuruh mereka membentuk formasi pertahanan. Itu ide yang bagus.
Beberapa orang yang mendengarkan kini berbaris bahu-ketemu-bahu, mengunci
perisai mereka membentuk dinding perunggu-dan-kulit-lembu-jantan, tombak
mereka meruncing ke atas seperti duri-duri landak.
Sayangnya, Clarisse cuma bisa mengumpulkan enam pekemah. Keempat
lainnya masih berlari-lari mengitari bukit dengan helm terbakar. Annabeth
berlari ke arah mereka, berusaha menolong. Dia memancing salah satu banteng
untuk mengejarnya, kemudian langsung menghilang, betul-betul membingungkan sang monster. Banteng satunya lagi menerjang ke barisan
Clarisse. Aku sudah mendaki setengah bukit"belum cukup dekat untuk
menolong. Clarisse bahkan belum melihatku.
Sang banteng melesat begitu cepat untuk ukuran tubuh sebesar itu. Kulit
logamnya berkilauan diterpa cahaya matahari. Ia memiliki mata batu delima
sebesar kepalan tangan, dan tanduk perak mengilat. Saat ia membuka mulutnya
yang berengsel, gumpalan asap putih panas menyembur keluar.
"Tahan barisan!" Clarisse memerintahkan para prajuritnya.
Satu hal yang harus kuakui dari Clarisse, dia memang anak yang bernyali.
Dia anak perempuan bertubuh bongsor dengan mata bengis seperti ayahnya.
Clarisse kelihatan seperti memang dilahirkan untuk mengenakan baju zirah
Yunani, tapi aku tak tahu bagaimana anak seperti dia pun bisa bertahan
menghadapi terjangan banteng-banteng itu.
Sayangnya, pada saat itu, banteng yang lain sudah kehilangan minat
mengejar Annabeth. Ia berbalik, memutar ke belakang tubuh Clarisse yang tak
terlindungi. "Di belakangmu!" aku berteriak. "Awas!"
Seharusnya aku tak bicara apa-apa, karena yang kulakukan hanya
membuatnya kaget. Banteng Nomor Satu menabrak perisainya, dan formasi pun
berantakan. Clarisse terpental ke belakang dan mendarat di petak rumput yang
terbakar. Banteng itu menerjang melewatinya, tapi sebelumnya sempat
menyemburkan napas apinya ke pahlawan-pahlawan lain. Perisai mereka segera
melumer di tangan mereka. Mereka langsung menjatuhkan senjata dan berlari
terbirit-birit saat Banteng Nomor Dua mulai mengepung Clarisse untuk
menghabisinya. Aku melesat ke depan dan segera menarik lilitan yang mencuat dari baju
besi Clarisse. Aku menyeretnya keluar lintasan tepat saat Banteng Nomor Dua
merangsek maju laksana gerbong kereta. Aku sempat mengayunkan pedang
Riptideku dan menoreh sayatan besar di panggulnya, tapi monster itu hanya
berkeriat-keriut dan mengerang, dan terus menerjang.
Monster itu belum menyentuhku, tapi aku dapat merasakan sengatan
panas dari kulit logamnya. Suhu tubuhnya sudah cukup untuk memanaskan
burrito beku. "Lepaskan aku!" Clarisse meninju lenganku. "Percy, terkutuklah kau!"
Aku menjatuhkan dirinya dalam onggokan daun di sebelah pohon pinus
dan berbalik menghadap banteng-banteng itu. Kami sekarang berada di
tanjakan bukit yang mengarah ke dalam, lembah Perkemahan Blasteran berada
tepat di bawah kami"kabin-kabin, fasilitas pelatihan, Rumah Besar"semuanya
terancam bahaya kalau banteng-banteng ini sampai melewati kami.
Annabeth meneriakkan perintah ke para pahlawan lain, menyuruh
mereka untuk berpencar dan mengalihkan perhatian banteng-banteng itu.
Banteng Nomor Satu berlari mengitari bukit, mengarah ke posisi
belakangku. Selagi ia melintasi tengah bukit, tempat garis perbatasan tak kasat
mata itu seharusnya menahannya, banteng itu melambat sedikit, seolah ia
sedang berjuang melawan angin kencang; tapi kemudian sang banteng
melepaskan diri dari terpaan angin dan terus melaju. Banteng Nomor Dua
berbalik menghadapku, api menyembur keluar dari luka yang kutorehkan di sisi
tubuhnya. Aku tak tahu apakah banteng itu merasa kesakitan, tapi mata batu
delimanya tampak memelototiku liar seolah-olah aku telah membuat masalah
ini jadi personal. Aku tak bisa bertarung menghadapi dua banteng ini dalam waktu
bersamaan. Aku harus menjatuhkan Banteng Nomor Dua terlebih dulu,
menebas lehernya sebelum Banteng Nomor Satu menerjang kembali dengan
mengamuk. Lenganku terasa letih. Kusadari sudah cukup lama sejak terakhir
kalinya aku menggunakan Riptide, betapa kemahiran berpedangku sudah
lumayan karatan. Aku menerjang ke depan tapi Banteng Nomor Dua menyemburkan api ke
arahku. Aku berguling ke samping saat udara tiba-tiba terasa panas membakar.
Seluruh oksigen tersedot keluar dari paru-paruku. Kakiku terbelit sesuatu"akar
pohon, barangkali"dan nyeri menyengat pergelangan kakiku. Untung, aku
sempat mengayunkan pedangku dan berhasil memotong sebagian dari
moncong monster itu. Ia berlari menjauh, tampak liar dan kehilangan arah. Tapi
sebelum sempat merasa lega, aku berusaha berdiri, dan kaki kiriku terpelintir di
bawah tubuhku. Pergelangan kakiku terkilir, atau mungkin malah patah.
Banteng Nomor Satu menerjang lurus ke arahku. Tak mungkin aku
merayap keluar dari lintasannya.
Annabeth berteriak: "Tyson, bantu dia!"
Di suatu tempat di dekatku, menuju puncak bukit, Tyson meraung,
"Nggak"bisa"masuk!"
"Aku, Annabeth Chase, memberimu izin untuk memasuki perkemahan!"
Petir mengguncang sisi bukit. Tiba-tiba Tyson sudah berada di sana,
melaju cepat ke arahku, sambil berteriak: "Percy butuh pertolongan!"
Sebelum aku sempat melarangnya, dia melompat ke antara aku dan
banteng tepat saat banteng itu melepaskan semburan api nuklirnya.
"Tyson!" pekikku.
Semburan api itu berputar mengelilinginya seperti angin topan merah.
Aku hanya dapat melihat siluet hitam tubuhnya. Aku yakin sekali temanku
sudah diubah menjadi gumpalan abu.
Tapi ketika api padam, Tyson masih berdiri di sana, sama sekali tak
terluka. Bahkan pakaian kumalnya tak terbakar sedikit pun. Banteng itu pasti
sama terkejutnya dengan aku, karena sebelum ia sempat melepaskan semburan
berikutnya, Tyson mengepalkan tangannya dan meninju muka si banteng. "SAPI
JAHAT!" Tinjunya menghasilkan lubang persis di tempat moncong si banteng
perunggu tadinya berada. Dua semburan asap memancar keluar dari kedua
kupingnya. Tyson meninjunya lagi, dan perunggu itu menggumpal di bawah
tangannya seperti lembar aluminium. Wajah si banteng kini tampak bagai
boneka kaus kaki yang dibalik.
"Jatuh!" teriak Tyson.
Si banteng terhuyung dan terjatuh ke belakang punggungnya. Kakikakinya bergerak-gerak lemah di udara, uap panas menyembur keluar dari
kepalanya yang rusak di tempat-tempat yang aneh.
Annabeth berlari menghampiriku.
Pergelangan kakiku rasanya seperti dipenuhi dengan zat asam, tapi
Annabeth memberiku sedikit nektar bangsa Olympus untuk kuteguk dari
termosnya, dan aku langsung merasa lebih baik. Ada bau terbakar yang
nantinya kusadari berasal dari tubuhku sendiri. Bulu-bulu di lenganku telah
hangus. "Banteng yang satunya lagi?" tanyaku.
Annabeth menunjuk ke bawah bukit. Clarisse telah menaklukkan Sapi
Jahat Nomor Dua. Clarisse telah menusuk kaki belakang sang monster dengan
tombak perunggu langitnya. Sekarang, dengan moncong separuh dan luka
sayatan besar di pinggulnya, monster itu berusaha berlari dengan gerak lambat,
berputar-putar seperti kuda-kudaan di komidi putar.
Clarisse melepaskan helmnya dan melangkah menuju kami. Sejumput
rambut cokelatnya berasap, tapi kelihatannya dia tak sadar. "Kau"merusak"
segalanya!" dia berteriak padaku. "Tadinya semua sudah dalam kendaliku!"
Aku terlalu kaget untuk menjawab. Annabeth menggerutu, "Senang
berjumpa lagi denganmu juga, Clarisse."
"Aah!"

Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Clarisse memekik. "Jangan sekali-sekali kau mencoba menyelamatkanku lagi!"
"Clarisse," ucap Annabeth, "beberapa pekemahmu cedera."
Itu cukup menyadarkannya. Bahkan Clarisse pun memerhatikan prajurit
di bawah komandonya. "Aku akan kembali," seru Clarisse geram, kemudian pergi dengan tertatih
memeriksa kerusakan yang terjadi.
Aku menatap Tyson. "Kamu nggak mati."
Tyson menunduk seolah merasa malu. "Maafkan aku. Datang menolong.
Mengabaikan perintahmu."
"Salahku," kata Annabeth. "Aku nggak punya pilihan. Aku harus
membiarkan Tyson melewati garis perbatasan untuk menyelamatkanmu. Kalau
nggak, kau akan mati."
"Membiarkan dia melewati garis perbatasan?" tanyaku. "Tapi?"
"Percy," ujar Annabeth, "pernahkah kau melihat Tyson dari dekat"
Maksudku " wajahnya. Abaikan kabut, dan benar-benar menatapnya."
Kabut itu membuat manusia hanya bisa melihat apa yang otak mereka
bisa proses " Aku tahu hal itu juga bisa mengelabui anak-anak setengah-dewa,
tapi " Aku menatap wajah Tyson lekat-lekat. Memang tak mudah. Aku selalu
kesulitan menatap langsung padanya, meski aku tak tahu kenapa bisa begitu.
Kukira itu karena selai kacang selalu menempel di gigi-gigi tumpang-tindihnya.
Aku memaksakan diri untuk memusatkan pandanganku pada hidung besarnya
yang berjendulan, kemudian sedikit lebih tinggi kedua matanya.
Bukan, bukan dua mata. Satu mata. Satu mata besar, berwarna cokelat seperti kulit anak sapi, tepat
di tengah-tengah keningnya, dengan bulu mata tebal dan titik air mata besar
mengaliri kedua sisi pipinya.
"Tyson," aku tergagap. "Kau adalah " "
"Cyclops," Annabeth melanjutkan. "Masih kecil banget, kelihatannya.
Mungkin karena itu dia nggak bisa menembus garis perbatasan semudah
banteng-banteng tadi. Tyson adalah salah satu dari anak yatim piatu yang nggak
punya rumah." "Salah satu dari apa?"
"Mereka ada di hampir seluruh kota-kota besar," Annabeth berkata
dengan ekspresi muak. "Mereka adalah " kesalahan, Percy. Anak-anak dari
arwah liar dan para dewa " Yah, khususnya satu dewa sih, biasanya " dan
mereka biasanya nggak terlahir sebagaimana yang diinginkan. Nggak ada yang
menginginkan mereka. Mereka tersingkirkan. Mereka tumbuh liar di jalan-jalan.
Aku nggak tahu bagaimana yang satu ini bisa menemukanmu, tapi jelas
kelihatannya dia menyenangimu. Kita harus membawanya ke Chiron, biarkan
dia memutuskan apa yang harus dilakukan."
"Tapi api itu. Bagaimana?"
"Dia itu Cyclops," Annabeth terhenti, seolah sedang mengingat sesuatu
yang tidak mengenakkan. "Mereka bekerja menempa besi bagi para dewa.
Mereka harus kebal terhadap api. Itulah yang dari tadi ingin kusampaikan
padamu." Aku benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa tidak menyadari
apa sesungguhnya Tyson itu"
Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya saat itu. Satu sisi bukit
kini terbakar. Pahlawan-pahlawan terluka perlu bantuan. Dan masih ada lagi
dua banteng-perunggu babak belur yang harus kami buang, yang menurutku
tak akan muat dalam tong sampah biasa.
Clarisse datang kembali dan menyeka abu dari keningnya. "Jackson,
kalau kau bisa berdiri, bangkit dong. Kita perlu mengangkut yang cedera
kembali ke Rumah Besar, memberi tahu Tantalus apa yang baru terjadi."
"Tantalus?" tanyaku.
"Penanggung jawab kegiatan," ujar Clarisse tak sabar.
"Chiron adalah penanggung jawab kegiatan. Dan di mana Argus" Dia kan
kepala keamanannya. Dia harusnya ada di sini."
Clarisse memberi tatapan masam. "Argus dipecat. Kalian berdua sudah
pergi terlalu lama. Banyak hal yang sudah berubah."
"Tapi Chiron " Dia sudah melatih anak-anak melawan selama lebih dari
tiga ribu tahun. Dia nggak bisa pergi begitu saja. Apa yang terjadi?"
"Itulah yang terjadi," bentak Clarisse.
Dia menunjuk ke arah pohon Thalia.
Setiap pekemah tahu kisah di balik pohon itu. Enam tahun lalu, Grover,
Annabeth, dan dua anak setengah-dewa lain bernama bernama Thalia dan Luke
mendatangi Perkemahan Blasteran dengan dikejar oleh sekumpulan monster.
Ketika mereka terpojok di puncak bukit ini, Thalia, putri Zeus, menumbalkan
dirinya dengan berdiri di sini untuk terakhir kalinya untuk memberi temantemannya waktu meloloskan diri. Saat dia sekarat, ayahnya, Zeus, merasa iba
padanya dan mengubahnya ke dalam bentuk pohon pinus. Arwahnya telah
menguatkan sihir perbatasan di perkemahan, melindunginya dari kedatangan
monster-monster. Semenjak itu, pohon pinus itu selalu berada di atas sini, kokoh
dan kuat. Tapi kini, jarum-jarum daunnya tampak kuning. Tumpukan besar daundaunnya yang membusuk teronggok di dasar pohonnya. Tepat di tengah batang
pohonnya, sekitar satu meter dari tanah, ada bolongan kecil seukuran lubang
peluru, meneteskan cairan warna hijau.
Serpih es terasa menusuk-nusuk dadaku. Sekarang aku tahu mengapa
perkemahan terancam bahaya. Sihir perbatasannya sudah tak manjur karena
pohon Thalia sedang sekarat.
Seseorang telah meracuninya.
A k u M e n d apa t Te m a n K abi n B a r u
Pernah tidak kau kembali ke rumah dan mendapati kamarmu berantakan"
Misalnya ada orang yang senang membantu (hai, Bu) yang telah mencoba
"membersihkannya", dan tiba-tiba kau jadi tak bisa menemukan apa pun" Dan
kalau pun tak ada sesuatu yang hilang, kau mendapat firasat aneh seolah ada
seseorang yang mengobrak-abrik barang-barang pribadimu dan membersihkan
segalanya dengan pengilap furnitur wangi lemon"
Itulah yang kurasakan saat melihat kembali Perkemahan Blasteran.
Di permukaannya, memang semua tak kelihatan begitu berbeda. Rumah
Besar masih berada di sana dengan atap pelana birunya dan serambi depannya.
Ladang stroberinya masih terpanggang sinar mentari. Gedung-gedung bertiang
putih gaya Yunani bertebaran di sekitar lembah"gedung amfiteater, arena
pertarungan, paviliun makan dengan pemandangan selat Long Island. Dan tepat
di antara hutan dan sungai, terdapat kabin-kabin yang sama"paduan aneh dari
dua belas gedung, masing-masing mewakili dewa Olympus yang berbeda.
Tapi sekarang terasa adanya aura bahaya. Kau bisa segera tahu ada
sesuatu yang salah sedang terjadi. Bukannya bermain bola voli di lapangan, para
konselor dan satir menumpuk persenjataan di gudang peralatan. Para peri
pohon, yang menyandang busur dan panah, berbincang dengan gugup di
pinggir hutan. Hutan kelihatan sakit, rerumputan di padang tampak kuning
pucat, dan bekas kobaran api di Bukit Blasteran terlihat seperti bekas luka parah.
Seseorang telah mengusik tempat favoritku di seluruh dunia, dan aku
bukanlah " yah, pekemah yang hatinya senang.
Selagi kami berjalan menuju Rumah Besar, aku mengenali sebagian besar
anak dari musim panas lalu. Tak ada satu pun yang berhenti untuk menegur.
Tak ada satu pun yang bilang, "Selamat datang." Beberapa anak terlihat
keheranan saat mereka melihat Tyson, tapi sebagian besar hanya berlalu begitu
saja dan melanjutkan tugasnya"mengantarkan pesan, memikul senjata untuk
diasah di roda gerinda. Kemah rasanya seperti sekolah militer. Dan percayalah
padaku, aku sangat tahu. Sebab, aku sudah pernah dikeluarkan dari beberapa
sekolah militer juga. Tapi hal itu sama sekali tak mengusik Tyson. Dia betul-betul terpesona
dengan semua yang dia lihat. "Apa tuh!" serunya dengan napas tertahan.
"Itu kandang untuk kuda-kuda pegasus," kataku. "Kuda-kuda bersayap."
"Apa tuh!" "Em " itu adalah toilet."
"Apa tuh!" "Kabin-kabin untuk para pekemah. Kalau mereka nggak tahu siapa
orangtuamu di Olympus, mereka akan menempatkanmu di kabin Hermes"
kabin cokelat yang di sana"sampai kau ditentukan. Kemudian, setelah mereka
tahu, mereka akan menaruhmu di kelompok ayah atau ibumu."
Dia memandangku dengan terpesona. "Kau " punya kabin?"
"Nomor tiga." Aku menunjuk ke gedung rendah berwarna abu-abu yang
terbuat dari bebatuan laut.
"Kau tinggal dengan teman-teman dalam kabin?"
"Tidak. Tidak, aku cuma sendiri." Aku sedang tak bersemangat
menjelaskan. Kebenaran yang memalukan: Aku adalah satu-satunya penghuni
kabin itu karena aku tak semestinya dilahirkan. Dewa "Tiga Besar?"Zeus,
Poseidon, dan Hades"telah membuat kesepakatan setelah Perang Dunia II
untuk tak memiliki anak lagi dengan kaum manusia. Kami memiliki kekuatan
yang lebih besar daripada anak-anak setengah-dewa biasa. Kami terlalu tak bisa
diramalkan. Saat marah, kami akan membuat berbagai masalah " seperti
Perang Dunia II, contohnya. Perjanjian "Tiga Besar" itu baru dilanggar dua kali
"sekali ketika Zeus menjadi ayah bagi Thalia, sekali lagi ketika Poseidon
memiliki aku. Tak satu pun dari kami yang semestinya dilahirkan.
Thalia telah diubah menjadi pohon pinus saat dia berumur dua belas
tahun. Aku sendiri " yah, aku berusaha sebaik mungkin untuk tak mengikuti
jejaknya. Aku berulang kali mengalami mimpi buruk tentang bagaimana
Poseidon akan mengubah wujudku jika aku kelak berada di ambang kematian"
menjadi plankton, barangkali. Atau kumpulan ganggang laut yang terus-terusan
mengambang di tengah laut.
Saat kami tiba di Rumah Besar, kami menemukan Chiron dalam
kamarnya, mendengarkan lagu santai era 1960-an kesukaannya sementara
dirinya mengemasi tas pelananya. Sepertinya aku harus menjelaskan"Chiron
adalah seorang centaurus. Dari pinggang ke atas dia kelihatan seperti pria paruh
baya biasa dengan rambut keriting cokelat dan janggut kusut. Dari pinggang ke
bawah, dia adalah kuda jantan putih. Dia bisa menyamar menyerupai manusia
dengan memadatkan tubuh bagian bawahnya ke dalam kursi roda ajaib.
Bahkan, dia pernah menjadi guru bahasa Latinku selama tahun ajaranku di kelas
enam. Tapi seringnya sih, kalau langit-langit gedung cukup tinggi, dia akan
lebih senang menghabiskan waktu dalam tubuh asli centaurusnya.
Begitu kami melihatnya, Tyson mematung. "Kuda poni!" pekiknya,
tampak betul-betul terpukau.
Chiron berbalik, tampak tersinggung. "Maaf?"
Annabeth berlari ke arahnya dan memeluknya. "Pak Chiron, apa yang
terjadi" Bapak akan " pergi?" Suaranya bergetar. Chiron sudah seperti ayah
kedua baginya. Chiron mengacak-acak rambutnya dan memberinya senyum manis.
"Halo, Nak. Dan Percy, ya Tuhan. Kau tumbuh makin besar setahun ini!"
Aku menelan ludah. "Clarisse bilang Bapak " Bapak " "
"Dipecat." Mata Chiron berkilat dengan kepedihan yang jenaka. "Eh, yah,
harus ada orang yang disalahkan. Raja Zeus yang paling sedih. Pohon yang dia
ciptakan dari arwah putrinya, diracun! Pak D harus menghukum seseorang."
"Selain dirinya sendiri, maksud Bapak," aku menggeram. Bayangan akan
sosok sang direktur perkemahan saja, Pak D, sudah membuatku kesal.
"Tapi ini gila!" tangis Annabeth. "Pak Chiron, Bapak tak mungkin ada
kaitannya dengan meracuni pohon Thalia!"
"Tetap saja," Chiron mendesah, "sebagian orang di Olympus sudah tak
memercayaiku lagi, mengingat beberapa kondisi yang ada."
"Kondisi apa?" tanyaku.
Wajah Chiron jadi muram. Dia memasukkan kamus bahasa Latin-Inggris
ke dalam tas pelananya sementara lagu Frank Sinatra mengalir keluar dari
pemutar CD portabel miliknya.
Tyson masih memandangi Chiron dengan terkagum-kagum. Dia
merengek seolah ingin menepuk panggul Chiron tapi dia takut mendekat.
"Kuda poni?" Chiron mendengus. "Tuan Cyclops muda! Aku adalah centaurus."
"Pak Chiron," kataku. "Ada apa dengan pohon itu" Apa yang terjadi?"
Dia menggelengkan kepalanya sedih. "Racun yang digunakan pada
pohon pinus Thalia adalah racun yang berasal dari Dunia Bawah, Percy.
Beberapa bisa yang bahkan aku sendiri tak pernah melihatnya. Racun itu pasti
berasal dari monster yang hidup jauh di dalam lubang Tartarus."
"Kalau begitu kita tahu siapa yang bertanggung jawab. Kro?"
"Jangan memanggil nama Penguasa Titan, Percy. Terutama tidak di sini,
tidak sekarang." "Tapi musim panas lalu dia mencoba menyulut perang saudara di
Olympus! Ini pasti idenya. Dia sudah menjadikan Luke kaki-tangannya,
pengkhianat itu." "Bisa saja," ujar Chiron. "Tapi sayangnya aku dipersalahkan karena aku
tak sanggup mencegahnya dan aku tak bisa menyembuhkannya. Pohon itu
hanya memiliki sisa waktu hidup selama beberapa minggu kecuali " "
"Kecuali apa?" tanya Annabeth.
"Ah, tidak," ucap Chiron. "Cuma pikiran bodoh. Seluruh lembah
merasakan akibat dari racun itu. Sihir perbatasan kehilangan keampuhannya.
Perkemahan sendiri perlahan sekarat. Hanya ada satu sumber kehidupan yang
akan cukup kuat untuk membalikkan pengaruh racun itu, dan ia sudah hilang
beberapa abad yang lalu."
"Apa itu?" tanyaku. "Kami akan pergi mencarinya!"
Chiron menutup tas pelananya. Dia menekan tombol stop pada pemutar
CD-nya. Kemudian dia berbalik dan menaruh tangan di pundakku, menatapku
lekat-lekat. "Percy, kau harus berjanji padaku bahwa kau tidak akan bertindak
gegabah. Aku sudah bilang pada ibumu aku tidak ingin kau datang ke sini sama
sekali musim panas ini. Keadaan terlalu berbahaya. Tapi karena sekarang kau
sudah berada di sini, tetaplah di sini. Berlatihlah giat. Belajarlah bertarung. Tapi
jangan pergi." "Kenapa?" tanyaku. "Aku ingin melakukan sesuatu! Aku nggak bisa
membiarkan perbatasan dirusak begitu saja. Seluruh perkemahan ini akan?"
"Diserbu para monster," ucap Chiron. "Benar, itu yang kutakuti. Tapi kau
tak boleh membiarkan dirimu terpancing untuk terburu-buru mengambil
tindakan! Ini bisa jadi perangkap dari penguasa Titan. Ingat musim panas lalu!
Dia nyaris saja mengambil nyawamu."
Itu benar, tapi tetap saja, aku ingin sekali menolong. Aku juga ingin
membalas perbuatan Kronos. Maksudku, bukankah seharusnya penguasa Titan
sudah mengerti kesalahannya sekian abad lalu ketika dia digulingkan para
dewa" Bukankah seharusnya dicincang hingga jutaan keping dan dibuang ke
bagian tergelap Dunia Bawah sudah cukup memberinya isyarat kecil bahwa tak
ada seorang pun yang menginginkan kehadirannya" Karena dia tidak fana, dia
masih hidup di bawah Tartarus sana"menderita siksa abadi, begitu bernafsu
untuk kembali dan membalas dendam pada Olympus. Kronos tak bisa
mengambil tindakan sendiri, tapi dia sangat lihai dalam memanipulasi pikiran
manusia dan bahkan para dewa untuk melakukan pekerjaan kotornya.
Racun itu sudah pasti adalah perbuatannya. Siapa lagi yang begitu tega
menyerang pohon Thalia, satu-satunya yang tersisa dari seorang pahlawan yang
telah mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan teman-temannya"
Annabeth berusaha keras untuk tak menangis. Chiron menyeka air mata
dari pipinya. "Tinggallah bersama Percy, Nak," kata Chiron pada Annabeth.
"Jaga keselamatannya. Ramalan itu"ingat!"
"Aku"aku akan mengingatnya."
"Em " " ujarku. "Apakah maksudmu ini tentang ramalan superberbahaya yang menyangkut diriku, tapi para dewa telah melarang kalian untuk
memberitahunya padaku?"
Tak ada yang menjawab. "Oke deh," gumamku. "Cuma mengecek saja."
"Pak Chiron " " ujar Annabeth. "Bapak memberitahuku bahwa para
dewa membuat Bapak kekal hanya selama mereka membutuhkan Bapak untuk
melatih para pahlawan. Jika mereka mengeluarkan Bapak dari perkemahan?"
"Berjanjilah kau akan berusaha sebisa mungkin untuk menjaga Percy dari
bahaya," desaknya. "Bersumpahlah demi Sungai Styx."
"Aku"aku bersumpah demi Sungai Styx," kata Annabeth.
Guntur menggelegar di luar.
"Baiklah kalau begitu," Chiron berujar. Dia terlihat lebih rileks sedikit.
"Barangkali namaku kelak akan dipulihkan dan aku akan kembali. Sampai saat
itu terjadi, aku akan pergi mengunjungi kerabat-kerabat liarku di Everglades.


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin saja mereka mengetahui suatu obat bagi pohon yang teracuni itu yang
aku sudah lupa. Apa pun yang terjadi, aku akan tinggal di pengasingan sampai
masalah ini terpecahkan " kapan pun itu."
Annabeth menahan isaknya. Chiron menepuk pundaknya dengan
canggung. "Tenang, tenanglah, Nak. Aku harus memercayakan keselamatan
kalian pada Pak D dan penanggung jawab kegiatan yang baru. Kita harus
berharap " yah, barangkali mereka tak akan menghancurkan perkemahan
secepat yang kukhawatirkan."
"Siapa sih sebenarnya si Pak Tantalus ini?" aku mendesak. "Bagaimana
dia bisa sampai mengambil alih pekerjaan Bapak?"
Bunyi tiupan terompet kerang terdengar di sepenjuru lembah. Aku tak
sadar waktu sudah begitu larut. Sudah waktunya bagi para pekemah berkumpul
untuk makan malam. "Pergilah," kata Chiron. "Kau akan bertemu dengannya di paviliun. Aku
akan menghubungi ibumu, Percy, dan memberitahunya bahwa kau aman-aman
saja. Dia pasti akan mencemaskanmu sekarang. Tapi ingatlah peringatanku! Kau
sedang terancam bahaya besar. Jangan pernah mengira sesaat pun bahwa
penguasa Titan telah melupakanmu!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia berderap meninggalkan ruangan
dan menyusuri aula, Tyson terus memanggilnya, "Kuda poni! Jangan pergi
dulu!" Aku teringat aku lupa memberitahukan Chiron tentang mimpiku akan
Grover. Kini sudah terlambat. Guru terbaik yang pernah kumiliki kini pergi,
mungkin untuk selamanya. Tyson mulai menangis hampir sama parahnya dengan Annabeth.
Aku berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa
segalanya akan baik-baik saja, tapi aku sendiri meragukannya.
Matahari tengah terbenam di balik paviliun makan saat para pekemah keluar
dari kabin-kabin mereka. Kami berdiri di bawah bayangan tiang marmer dan
memandangi mereka berbaris masuk. Annabeth tampak masih terguncang, tapi
dia berjanji nanti akan bicara dengan saudara-saudaranya dari kabin Athena"
selusin anak laki-laki dan perempuan dengan rambut pirang dan mata abu-abu
seperti dirinya. Annabeth bukanlah yang tertua, tapi dia menghabiskan musim
panas di perkemahan paling lama dibanding anak-anak lain. Kau bisa
mengetahuinya dengan melihat kalung kemahnya"satu manik-manik untuk
setiap musim panas, dan Annabeth sudah memiliki enam butir. Tak ada yang
menyanggah haknya untuk memimpin barisan.
Berikutnya muncul Clarisse, memimpin anak-anak kabin Ares. Satu
tangannya disangga kain ambin dan sebuah sayatan luka parah tampak
menggores pipinya, tapi selain dari itu, perjumpaannya dengan bantengbanteng perunggu tampaknya sama sekali tak mengusiknya. Seseorang telah
menempeli kertas di balik punggungnya bertulisan, CEWEK LEMBU. Tapi tak
ada seorang pun di kabinnya yang mau repot-repot memberitahunya tentang
itu. Setelah barisan anak-anak Ares, berikutnya datang rombongan kabin
Hephaestus"enam anak laki-laki dipimpin oleh Charles Beckendorf, anak kulit
hitam bongsor berusia lima belas tahun. Dia punya tangan seukuran sarung
tangan bisbol dan wajah yang tampak keras dengan mata terpicing dari
menempa besi sepanjang hari. Dia cukup baik jika kau sudah mengenalnya, tapi
tak ada seorang pun yang pernah memanggilnya Charlie atau Chuck atau
Charles. Sebagian besar hanya memanggilnya Beckendorf. Menurut gosip yang
beredar dia bisa membuat apa saja. Berikan kepadanya sepotong logam dan dia
bisa membuat pedang setajam silet atau panglima robot atau kolam mandi
burung kicau untuk taman nenekmu. Apa pun yang kau inginkan.
Penghuni kabin-kabin lain pun berdatangan: Demeter, Apollo, Aphrodite,
Dionysus. Kaum peri air berdatangan dari sungai kano. Peri pohon meleleh
keluar dari dalam pepohonan. Dari padang rumput, selusin satir bermunculan,
yang sedihnya mengingatkanku akan Grover.
Aku selalu merasa iba terhadap para satir. Saat mereka berada di
perkemahan, mereka harus melakukan rangkaian pekerjaan ganjil bagi Pak D,
sang direktur, tapi tugas terpenting mereka adalah saat berada di dunia luar.
Mereka adalah pencari para pekemah. Mereka menyamar ke sekolah-sekolah di
seluruh dunia, mencari anak-anak yang dicurigai blasteran dan mengantarkan
mereka memasuki perkemahan. Itulah bagaimana aku bertemu Grover. Dia
adalah yang pertama mengenali aku sebagai anak setengah-dewa.
Setelah para satir memasuki ruang makan, barisan kabin Hermes
membuntuti paling belakang. Mereka memiliki anggota kabin terbesar. Musim
panas lalu, barisan itu dipimpin oleh Luke, anak laki-laki yang ikut bertarung
bersama Thalia dan Annabeth di puncak Bukit Blasteran. Untuk sementara,
sebelum Poseidon mengklaim aku sebagai anaknya, aku menetap di kabin
Hermes. Luke sempat berkawan denganku " dan kemudian dia mencoba
membunuhku. Kini barisan kabin Hermes dipimpin oleh Travis dan Connor Stoll.
Mereka bukan kembar, tapi mereka berdua tampak amat mirip hingga sulit
dibedakan. Aku tak bisa ingat siapa yang lebih tua. Mereka berdua jangkung
dan kurus, dengan seberkas rambut cokelat menggantung di depan mata.
Mereka mengenakan kaus PERKEMAHAN BLASTERAN yang dikeluarkan dari
celana pendek longgarnya, dan mereka memiliki tampang mirip peri jahil yang
juga dimiliki semua anak Hermes: alis mata melengkung ke atas, senyum
sarkastis, kilatan di matanya setiap kali mereka menatapmu"seolah mereka
hendak menyelipkan petasan ke balik bajumu. Menurutku alangkah lucunya
mengetahui dewa pencuri memiliki anak-anak dengan nama akhir "Stoll",
karena pengucapannya mirip "stole", bentuk lampau dari "steal" yang artinya
mencuri. Tapi sekalinya aku mengucapkan hal itu ke Travis dan Connor, mereka
berdua memandangiku dengan tatapan kosong seolah mereka tak mengerti
leluconnya. Begitu para pekemah terakhir memasuki paviliun, aku menyilakan Tyson
berdiri di tengah-tengah paviliun. Pembicaraan langsung terputus. Kepalakepala menoleh. "Siapa yang mengundang itu?" seseorang dari meja Apollo
berkomentar. Aku melotot ke arah suara itu, tapi aku tak tahu siapa yang barusan
bicara. Dari meja utama suara pelan yang familier terdengar, "Wah, wah, ini pasti
si Peter Johnson. Tahun mileniumku komplet sudah."
Aku menggertakkan gigiku. "Percy Jackson " Pak."
Pak D menyesap Diet Cokenya. "Ya. Yah, seperti yang biasa dibilang anak
muda masa kini: Terserah deh."
Pak D mengenakan kemeja Hawaii berpola macan tutul yang biasa
dipakainya, celana bermuda, dan sepatu tenis dengan kaus kaki hitam. Dengan
perut buncitnya dan wajah merahnya yang bertabur jerawat, dia kelihatan
seperti seorang turis Las Vegas yang terlalu lama berada di kasino. Di
belakangnya, seorang satir gugup sedang mengupas kulit anggur dan
menyerahkannya pada Pak D satu demi satu.
Nama asli Pak D adalah Dionysus. Dewa Anggur. Zeus menunjuknya
sebagai direktur Perkemahan Blasteran sebagai program rehabilitasinya hingga
ratusan tahun"hukuman karena mengejar-ngejar peri pohon terlarang.
Di sebelahnya, tempat Chiron biasanya duduk (atau berdiri, dalam
bentuk centaurus), ada seseorang yang belum pernah kulihat sebelumnya"pria
pucat, kurus kering, berbalut baju parasut tahanan usang berwarna jingga.
Nomor yang tertulis di sakunya adalah 0001. Dia memiliki bayangan biru gelap
di bawah matanya, kuku-kuku tangan yang kotor, dan rambut ubanan yang
terpangkas buruk, seolah-olah potongan rambut terakhirnya dilakukan dengan
sabit pemotong rumput liar. Dia menatapku; pandangan matanya membuatku
gugup. Dia kelihatan " rusak. Marah dan frustasi dan kelaparan di waktu
bersamaan. "Anak ini," Dionysus mengatakan padanya, "harus kau waspadai. Putra
Poseidon, kau tahu."
"Ah!" seru si tahanan. "Yang itu."
Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa dia dan Dionysus sudah
membahas tentang aku panjang lebar.
"Aku Tantalus," ujar si tahanan, sambil tersenyum dingin. "Dalam tugas
khusus di sini sampai, yah, sampai Tuanku Dionysus memutuskan yang
sebaliknya. Dan kau, Perseus Jackson, aku sungguh berharap kau akan menahan
diri dari menyulut masalah lagi."
"Masalah?" aku menantang.
Dionysus menjentikkan jarinya. Sebuah surat kabar muncul di meja"
halaman depan dari New York Post hari ini. Di sana ada foto buku tahunanku di
Meriwether Prep. Sulit bagiku untuk membaca tajuk utamanya, tapi aku bisa
menebak tulisannya. Sesuatu seperti: Bocah Tiga Belas Tahun Gila Membakar
Gimnasium. "Ya, masalah," Tantalus berkata dengan puas. "Kau juga menyebabkan
banyak masalah musim panas lalu, kudengar."
Aku terlalu jengkel untuk bicara. Seolah-olah itu adalah salah-ku kalau
para dewa nyaris melancarkan perang saudara"
Seorang satir bergerak maju dua senti dengan gugup dan menempatkan
sepiring daging panggang di depan Tantalus. Penanggung jawab kegiatan yang
baru menjilati bibirnya. Dia menatap ke gelas pialanya dan berkata, "Rootbeer.
Persediaan terbatas Barq. 1967."
Gelas itu mengisi dirinya sendiri dengan minuman soda berbuih. Tantalus
menjulurkan tangannya dengan ragu, seolah takut gelas itu panas.
"Ayo, minumlah, Sobat Tua," ujar Dionysus, dengan kilatan aneh di
matanya. "Barangkali sekarang bisa."
Tantalus hendak meraih gelasnya, tapi gelas itu melarikan diri sebelum
dia bisa menyentuhnya. Beberapa tetes rootbeernya tumpah, dan Tantalus
berusaha mencolek tetesan itu dengan jemarinya, tapi tetesan itu berguling pergi
secara tak terduga sebelum dia sempat menyentuhnya. Dia memungut garpu
dan mencoba menusuk sepotong daging, tapi piring itu malah meluncur
sepanjang meja dan akhirnya menerbangkan diri, langsung menjatuhkan diri ke
tumpukan arang di tungku pembakaran.
"Sial!" gerutu Tantalus.
"Ah, yah," kata Dionysus, suaranya menunjukkan simpati palsu.
"Barangkali perlu beberapa hari lagi. Percayalah padaku, Sobat Tua, bekerja di
perkemahan ini saja akan jadi suatu siksaan tersendiri. Aku yakin pada akhirnya
kutukan lamamu akan menghilang."
"Pada akhirnya," gumam Tantalus, sambil memandangi Diet Coke milik
Dionysus. "Tahukah kau rasanya betapa kerongkongan orang menjadi begitu
kering setelah tiga ribu tahun?"
"Kau adalah arwah dari Padang Hukuman itu," seruku. "Arwah yang
berdiri di tepi sungai dengan pohon buah yang menaungimu, tapi kau tak bisa
makan ataupun minum."
Tantalus mencibir ke arahku. "Seorang pemikir sejati, kau ya, Nak?"
"Kau pasti telah melakukan sesuatu yang sangat buruk saat hidup,"
kataku, tak begitu terkejut. "Apa yang kau perbuat?"
Mata Tantalus memicing. Di belakangnya, para satir menggelenggelengkan kepala dengan kuatnya, berusaha memperingatkanku.
"Aku akan mengawasimu, Percy Jackson," ujar Tantalus. "Aku tak ingin
ada masalah sedikit pun di kemahku."
"Kemah-mu sudah menghadapi masalah " Pak."
"Oh, pergi duduklah sana, Johnson," desah Dionysus. "Kurasa meja di
sebelah sana adalah milikmu"meja yang tak pernah ingin diduduki orang lain."
Wajahku terbakar, tapi aku tahu sebaiknya aku tutup mulut. Dionysus
adalah anak bandel yang kekal dan sangat berkuasa yang ketuaan. Aku berujar,
"Ayo, Tyson." "Oh, tidak," ujar Tantalus. "Si monster tetap di sini. Kita harus putuskan
apa yang akan dilakukan terhadap makhluk itu."
"Terhadap dia," hardikku. "Namanya adalah Tyson."
Penanggung jawab kegiatan yang baru mengangkat alisnya.
"Tyson telah menyelamatkan perkemahan," desakku. "Dia menghabisi
banteng-banteng perunggu itu. Kalau tidak, mereka tentu sudah membakar
habis seluruh tempat ini."
"Ya," desah Tantalus, "dan alangkah malangnya kalau itu sampai terjadi."
Dionysus tertawa mengejek.
"Tinggalkan kami," Tantalus memerintahkan, "sementara kami memutuskan tentang nasib makhluk ini."
Tyson menatapku takut dengan satu mata besarnya, tapi aku tahu aku tak
bisa melanggar perintah langsung dari kedua kepala perkemahan. Setidaknya,
tak secara terang-terangan.
"Aku akan berada di sini, Jagoan," janjiku. "Jangan khawatir. Kami akan
mencarikanmu tempat yang baik untuk tidur malam ini."
Tyson mengangguk. "Aku memercayaimu. Kau adalah temanku."
Yang membuatku semakin merasa bersalah.
Aku berjalan gontai menuju meja Poseidon dan merosot ke bangku.
Seorang peri pohon membawakanku sepiring pizza zaitun-pepperoni khas
bangsa Olympus, tapi aku tak berselera makan. Aku sudah hampir terbunuh
dua kali hari ini. Aku berhasil mengakhiri tahun ajaran terakhir sekolahku
dengan kehancuran penuh. Perkemahan Blasteran sedang dirundung masalah
besar dan Chiron telah berpesan agar aku tak melakukan apa pun.
Aku sedang tak begitu merasa bersyukur, tapi aku mengambil hidangan
makan malamku, sebagaimana biasanya, ke tungku perunggu dan menyisihkan
sebagian porsi makanku ke dalam api.
"Poseidon," gumamku, "terima persembahanku."
Dan sekalian dong beri aku sedikit bantuan, doaku pelan. Kumohon.
Asap dari pizza yang terbakar berubah menjadi suatu aroma"bau semilir
laut murni dengan campuran bunga-bunga liar"tapi aku tak mengerti apakah
itu artinya ayahku benar-benar mendengarkan.
Aku kembali ke tempat dudukku. Aku tak mengira situasi masih akan
memburuk. Tapi kemudian Tantalus menyuruh salah satu satir meniupkan
terompet kerangnya untuk mendapatkan perhatian kami dalam mendengar
sebuah pengumuman. "Eh, yah," kata Tantalus, saat pembicaraan terhenti. "Hidangan enak lagi! Atau
begitulah yang aku dengar." Saat bicara, dia mendekatkan tangannya ke piring
makannya yang kembali terisi, berharap mungkin makanan itu tak menyadari
apa yang dilakukannya, tapi tak berhasil. Piring itu melesat turun meja begitu
tangannya mendekat baru lima belas senti.
"Dan kini pada hari pertama tugasku," lanjutnya, "aku ingin mengucapkan sungguh bentuk hukuman yang menyenangkan berada di sini.
Sepanjang sesi musim panas mendatang, aku berharap untuk menyiksa, eh,
berinteraksi dengan setiap diri kalian. Kalian semua tampak cukup baik untuk
bisa makan." Dionysus bertepuk tangan sopan, memimpin sebagian tepuk tangan
setengah hati dari para satir. Tyson masih berdiri di meja depan, tampak tak
nyaman, tapi setiap kali dia mencoba menepi dari sorotan, Tantalus menariknya
kembali. "Dan sekarang beberapa perubahan!" Tantalus melempar senyum licik ke
arah pekemah. "Kami akan mengadakan kembali perlombaan kereta tempur!"
Gumaman segera pecah di seluruh meja"kegairahan, rasa takut,
ketakpercayaan. "Yah, aku tahu," lanjut Tantalus, meninggikan suaranya, "bahwa
perlombaan ini pernah dihentikan beberapa tahun lalu karena adanya, eh,
beberapa kesalahan teknis."
"Tiga tewas dan dua puluh enam termutilasi," seseorang di meja Apollo
berceletuk. "Ya, ya!" ujar Tantalus. "Tapi aku tahu bahwa kalian semua akan
bergabung denganku dalam menyambut kembalinya tradisi perkemahan ini.
Mahkota daun dafnah emas akan diberikan bagi sang pemenang pengendara
kereta tempur setiap bulan. Semua regu diharapkan mendaftarkan diri besok
pagi! Perlombaan pertama akan diadakan tiga hari lagi. Kami akan
membebaskan kalian dari sebagian besar kegiatan rutin kalian untuk
menyiapkan kereta tempur dan memilih kuda-kuda kalian. Oh, dan sudahkah
kusebutkan, kabin regu yang menang akan dibebaskan dari tugas-tugas kerja
selama satu bulan kemenangan mereka?"


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ledakan perbincangan yang bergairah pun terjadi"tak ada tugas di
dapur sebulan penuh" Tak ada bersih-bersih kandang" Apa dia serius"
Kemudian orang terakhir yang kusangka bakal protes menyanggah.
"Tapi, Pak!" ujar Clarisse. Clarisse tampak tegang, tapi dia berdiri untuk
bicara dari meja Ares. Beberapa pekemah cengengesan saat mereka melihat
tulisan CEWEK LEMBU! di punggungnya. "Bagaimana dengan tugas patroli"
Maksud saya, kalau kami meninggalkan semuanya untuk menyiapkan kereta
tempur kami?" "Ah, pahlawan kita hari ini," seru Tantalus. "Clarisse sang Pemberani,
yang seorang diri berhasil menaklukkan banteng-banteng perunggu!"
Clarisse mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian merona. "Em, saya nggak
?" "Dan rendah hati, pula." Tantalus menyeringai. "Jangan khawatir,
Sayang! Ini adalah perkemahan musim panas. Kita di sini untuk bersenangsenang, bukankah begitu?"
"Tapi pohon itu?"
"Dan sekarang," kata Tantalus, sementara beberapa teman kabin Clarisse
menariknya kembali menduduki kursinya, "sebelum kita melanjutkan ke acara
api unggun dan bernyanyi bersama, ada satu masalah rumah tangga yang harus
diurus. Percy Jackson dan Annabeth Chase merasa pantas, entah atas alasan apa,
untuk membawa makhluk ini kemari." Tantalus melambaikan tangan ke arah
Tyson. Gumaman cemas menyebar di antara pekemah. Banyak pandangan muka
menengok ke arahku. Rasanya ingin sekali aku membunuh Tantalus.
"Nah, tentu saja," ucapnya, "Cyclops memiliki reputasi sebagai monster
haus darah dengan kapasitas otak yang sangat kecil. Di bawah kondisi normal,
aku akan membebaskan makhluk buas ini ke hutan dan menyuruh kalian
memburunya dengan obor dan tongkat runcing. Tapi, siapa tahu" Barangkali
Cyclops yang ini tidak seburuk sebagian besar dari sanak saudaranya. Sampai ia
terbukti pantas untuk dimusnahkan, kita memerlukan tempat untuk menyimpannya! Aku sudah memikirkan tentang kandang, tapi hal itu akan
membuat kuda-kuda ketakutan. Kabin Hermes, barangkali?"
Hening di meja Hermes. Travis dan Connor Stoll tiba-tiba tampak
terkagum-kagum dengan taplak mejanya. Aku tak bisa menyalahkan mereka.
Kabin Hermes selalu penuh sesak sampai-sampai bisa meledak. Tak mungkin
mereka bisa mengambil Cyclops setinggi nyaris dua meter sebagai penghuni
kabin mereka. "Ayolah," cibir Tantalus. "Monster ini mungkin bisa disuruh melakukan
tugas-tugas kasar. Ada ide di mana sebaiknya makhluk buas ini dijinakkan?"
Tiba-tiba semua menahan napas.
Tantalus segera menjauh dari Tyson dengan kaget. Yang bisa kulakukan
hanyalah menatap tak percaya pada cahaya terang hijau yang akan segera
mengubah hidupku"bayangan hologram menakjubkan yang muncul tepat di
atas kepala Tyson. Dengan perut melilit, aku teringat akan apa yang dikatakan Annabeth
tentang Cyclops, Mereka adalah anak-anak dari arwah-arwah liar dan para dewa "
Yah, khususnya satu dewa sih, biasanya "
Berputar-putar di atas Tyson adalah trisula hijau bercahaya"simbol yang
sama yang muncul di atas kepalaku di hari Poseidon mengklaim aku sebagai
anaknya. Sejenak semua orang tampak terpukau dalam hening.
Mendapat pengakuan adalah peristiwa langka. Beberapa pekemah
menanti-nanti tak sabar akan momen itu sepanjang hidup mereka. Ketika aku
diklaim oleh Poseidon musim panas lalu, semua orang membungkuk dengan
hormat. Tapi sekarang, mereka mengikuti arahan Tantalus, dan Tantalus
meledak dalam tawa. "Yah! Kurasa kita sudah tahu di mana kita harus
menempatkan makhluk buas ini sekarang. Demi dewa-dewa, aku bisa melihat
kemiripan dalam keluarganya!"
Semua orang tertawa kecuali Annabeth dan sedikit temanku lainnya.
Tyson tampak tak menyadarinya. Dia terlalu terpesona, berusaha
menyambar trisula bercahaya yang kini mulai samar dari atas kepalanya. Dia
terlalu polos untuk mengerti bagaimana orang-orang tengah mengejeknya,
betapa orang-orang begitu keji.
Tapi aku mengerti. Aku mendapat teman kabin baru. Aku mendapat seorang monster
sebagai saudara tiri. Se r a n g a n M e r pa t i I b l i s
Beberapa hari berikutnya adalah siksaan, persis seperti yang Tantalus inginkan.
Pertama, ada Tyson yang pindah ke kabin Poseidon, cekikikan sendiri
setiap lima belas detik sambil berseru, "Percy saudaraku?" seolah-olah dia baru
saja memenangkan sebuah lotre.
"Oh, Tyson," kataku. "Nggak sesederhana itu."
Tapi susah sekali untuk menjelaskan padanya. Dia sudah berada di langit
ketujuh. Dan aku sendiri " meski aku senang dengan si jagoan itu, aku tak bisa
menahan rasa maluku. Rasa terhina. Nah tuh, sudah kukatakan.
Ayahku, sang Poseidon yang sangat berkuasa, bisa tergila-gila pada
arwah liar, dan Tyson adalah akibatnya. Maksudku, aku sudah mendengar
mitos-mitos tentang Clyclops. Aku bahkan ingat bahwa mereka sering kali
adalah anak-anak dari Poseidon. Tapi aku tak pernah benar-benar merasa bahwa
itu berarti mereka adalah " keluargaku. Sampai aku mendapati Tyson tinggal
bersamaku di tempat tidur sebelah.
Dan lalu ada komentar-komentar miring dari para pekemah lain. Tibatiba, aku bukanlah Percy Jackson lagi, anak keren yang telah mengembalikan
petir Zeus musim panas lalu. Sekarang aku adalah Percy Jackson, anak malang
yang memiliki saudara monster jelek.
"Dia bukan saudara kandungku!" Aku selalu protes kapan pun Tyson
sedang tidak ada. "Dia itu seperti saudara tiri dari sisi keluarga monster. Seperti
" saudara tiri dua kali, atau kayak gitu deh."
Tak ada yang mendengarnya.
Kuakui"aku marah pada ayahku. Aku merasa, menjadi anaknya kini
bagai suatu lelucon. Annabeth berusaha menghiburku. Dia menyarankan agar kami membentuk satu tim dalam perlombaan kereta tempur untuk mengalihkan
pikiran kami dari masalah itu. Jangan salah kira dulu"kami berdua sangat
membenci Tantalus dan kami sangat mencemaskan kondisi perkemahan"tapi
kami tak tahu apa yang harus kami perbuat. Sampai kami mendapatkan rencana
brilian untuk menyelamatkan pohon Thalia, kami pikir alangkah baiknya jika
kami ikut serta dalam perlombaan. Lagi pula, ibu Annabeth, Athena, adalah
pencipta kereta tempur, dan ayahku sendiri telah menciptakan kuda-kudanya.
Bersama-sama kami akan memenangi lomba itu.
Satu pagi Annabeth dan aku sedang duduk di tepi danau kano menggambar
sketsa rancangan kereta tempur ketika beberapa pelawak dari kabin Aphrodite
lewat dan bertanya padaku jika aku perlu meminjam pensil alis untuk satu
mataku " "Eh sori, matamu ada dua yah."
Saat mereka berlalu sambil tertawa cekikikan, Annabeth menggerutu,
"Abaikan saja mereka, Percy. Bukan salahmu kau punya saudara seorang
monster." "Dia bukan saudaraku!" bentakku. "Dan dia juga bukan monster!"
Annabeth menaikkan alisnya. "Hei, jangan marah sama aku dong! Dan
teknisnya, dia memang seorang monster."
"Yah kau sendiri yang memberinya izin untuk memasuki perkemahan."
"Karena itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawamu! Maksudku " maafkan aku, Percy, aku nggak mengira Poseidon akan mengklaim
dirinya. Cyclops adalah makhluk yang paling licik, curang?"
"Dia nggak kayak gitu! Kenapa sih kamu sebegitu bencinya pada
Cyclop?" Kuping Annabeth memerah. Aku merasa ada sesuatu yang enggan dia
ceritakan padaku"sesuatu yang buruk.
"Lupakan saja," ujarnya. "Nah, as roda untuk kereta ini?"
"Kau memperlakukannya seolah dia makhluk yang mengerikan," kataku.
"Dia menyelamatkan nyawaku."
Annabeth meletakkan pensilnya dan berdiri. "Kalau begitu mungkin
sebaiknya kau merancang kereta ini dengan-nya."
"Mungkin memang seharusnya begitu."
"Oke!" "Oke!" Dia melangkah pergi dengan gaduh dan meninggalkanku yang merasa
lebih buruk dari sebelumnya.
Dua hari kemudian, aku berusaha tak memikirkan tentang masalahku.
Silena Beauregard, salah satu gadis yang baik dari kabin Aphrodite,
memberiku pelajaran menunggang pertamaku dengan pegasus. Dia menjelaskan bahwa hanya ada satu kuda-bersayap kekal bernama Pegasus, yang
masih mengembara bebas di suatu tempat di langit, dan meskipun setelah
sekian abad ia telah memiliki banyak anak, tak ada satu pun yang secepat atau
seheroik ayahnya, tapi semuanya diberi nama mengikuti sang Pegasus yang
utama dan terhebat. Sebagai putra Dewa Laut, aku tak pernah suka pergi ke langit. Ayahku
memiliki persaingan dengan Zeus, jadi aku berusaha menjauh dari teritori dewa
langit sebisa mungkin. Tapi mengendarai kuda bersayap terasa berbeda. Ia tidak
membuatku setegang seperti saat berada dalam pesawat terbang. Barangkali itu
karena ayahku telah menciptakan kuda-kuda dari buih lautan, jadi pegasus ini
bisa dibilang semacam " teritori netral. Aku bisa memahami pikiran mereka.
Aku tak terkejut ketika pegasusku melompat ke pucuk pepohonan atau
mengejar sekawanan burung camar ke balik awan.
Masalahnya adalah Tyson juga ingin menunggangi "kuda poni ayam",
tapi pegasus itu ketakutan setiap kali Tyson mendekat. Aku mengatakan pada
mereka melalui telepati bahwa Tyson tak akan melukai mereka, tapi sepertinya
mereka tak memercayaiku. Itu membuat Tyson menangis.
Satu-satunya orang di perkemahan yang tidak memiliki masalah dengan
Tyson adalah Beckendorf dari kabin Hephaestus. Dewa pandai besi selalu
bekerja dengan para Cyclops dalam tempat penempaannya, maka Beckendorf
mengajak Tyson ke gudang persenjataan untuk mengajarinya kerajinan logam.
Dia bilang dia akan membuat Tyson pandai menciptakan barang-barang ajaib,
bagaikan seorang ahli, dalam waktu singkat.
Usai makan siang, aku berlatih di arena bersama dengan para penghuni
kabin Apollo. Bermain pedang sudah menjadi kelebihanku. Orang-orang bilang
aku lebih mahir dalam bermain pedang dibanding pekemah mana pun dalam
ratusan tahun terakhir, kecuali mungkin Luke. Orang-orang selalu membandingkan aku dengan Luke.
Aku mengalahkan anak-anak Apollo dengan begitu mudahnya. Seharusnya aku menguji diriku melawan penghuni kabin Ares dan Athena,
mengingat mereka memiliki petarung pedang terbaik, tapi aku tak akur dengan
Clarisse dan saudara-saudaranya, dan setelah pertengkaranku dengan Annabeth, aku sama sekali tak ingin bertemu dengannya.
Aku pergi ke kelas memanah, meski aku buruk dalam memanah, dan
kelas itu terasa berbeda tanpa pengajaran Chiron. Dalam pelajaran seni dan
kerajinan, aku mencoba membuat patung kepala dan dada Poseidon dari batu
pualam, tapi patung itu mulai menyerupai Sylvester Stallone, jadi aku
tinggalkan saja. Aku mendaki tembok panjat lengkap dengan semburan lahar
dan gempa bumi. Dan di malam harinya, aku melakukan patroli perbatasan.
Meskipun Tantalus telah mendesak agar kami melupakan upaya melindungi
kemah, sebagian pekemah diam-diam tetap melakukannya, membuat jadwal di
waktu-waktu luang kami. Aku duduk di puncak Bukit Blasteran dan memandang para peri pohon
datang dan pergi, bernyanyi ke pohon pinus yang tengah sekarat. Para satir
membawa seruling mereka dan memainkan lagu-lagu sihir rimba, dan untuk
sementara daun-daun pinusnya tampak melebat. Bunga-bunga di bukit berbau
lebih manis dan rerumputannya tampak menghijau. Tapi segera setelah musik
berhenti, penyakit itu merayap kembali ke udara. Sepenjuru bukit tampak
tertular, sekarat dari racun yang telah menyerap ke akar pohon. Semakin lama
Si Teratai Merah 1 Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur Tiga Naga Sakti 1

Cari Blog Ini